10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Dasar Sistem Berikut ini ...
(10) BAB 2 Landasan Teori
-
Upload
tilas-notapiri -
Category
Documents
-
view
120 -
download
1
Transcript of (10) BAB 2 Landasan Teori
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Perkembangan Produksi dan Ekspor Lada Putih Dunia
Lada termasuk salah satu komoditas pertanian yang banyak diperdagangkan
dunia dan sangat diperlukan baik di negara-negara produsen sendiri maupun di
negara-negara pengimpor. Sebanyak 70-80 persen permintaan impor lada putih
langsung dipergunakan untuk kebutuhan industri terutama untu kindustri pengolahan
makanan dan farmasi.
Tabel 2. Perkembangan Produksi Lada Putih Dunia Tahun 2001-2010 (Ton)
TahunNegara
TotalIndonesia China, PR. Vietnam Malaysia Brazil2001 38,000 21,700 2,500 2,700 2,000 66,9002002 41,000 23,000 3,000 2,400 2,000 71,4002003 35,000 33,000 4,500 3,200 3,000 78,7002004 26,000 35,000 10,000 3,500 5,000 79,5002005 22,000 20,000 12,000 3,000 5,000 62,0002006 21,000 18,000 16,000 3,000 4,500 62,5002007 21,000 20,000 11,000 4,000 3,500 59,5002008 18,000 28,000 9,970 6,600 3,000 65,5702009 17,000 21,800 22,000 6,600 2,500 69,9002010 19,000 22,800 22,000 7,050 2,000 72,850
Rata-rata 25,800 24,330 11,297 4,205 3250 68,882Persentas
e 37.46 35.32 16.40 6.10 4.72 100.00Sumber: International Pepper Community (IPC). World Pepper Statistics. www.ipcnet.org.
Diakses tanggal 22 Desember 2012.
Total produksi lada putih dunia cenderung berfluktuatif, dengan produksi
terendah pada tahun 2005 yaitu sebesar 62,000 ton hingga mencapai produksi
11
tertinggi yang terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar 79,500 ton. Negara produsen lada
putih seperti Indonesia, China, Malaysia, dan Brazil masing-masing menyumbang
sebesar 37.46 persen, 35.32 persen, 6.10 persen dan 4,72 persen dari total produksi
lada putih dunia selama sepuluh tahun terakhir, sedangkan 16.40 persen sisanya
berasal dari Vietnam yang tercatat menjadi produsen lada putih sejak tahun 2004.
Indonesia merupakan negara penghasil lada putih terbesar dunia dengan rata-rata
produksi 25,800 ton per tahunnya. Perkembangan ekspor lada putih dunia dapat di
lihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Perkembangan Ekspor Lada Putih Dunia Tahun 2001-2010 (Ton)
TahunNegara
TotalIndonesia Vietnam China, PR. Malaysia Brazil India2001 29,637 2,506 2,079 1,812 2,700 147 38,8812002 31,343 2,584 5,860 2,190 2,800 213 44,9902003 24,596 4,500 4,563 4,334 2,800 312 41,1052004 13,762 4,880 3,479 1,695 4,000 189 28,0052005 16,227 11,350 2,530 1,861 3,500 1,269 36,7372006 15,045 17,872 10,185 5,469 3,800 1,531 53,9022007 15,544 11,062 4,801 3,884 3,000 1,460 39,7512008 16,038 9,976 6,620 3,090 2,500 1,396 39,6202009 11,465 22,532 2,100 2,642 2,500 1,509 42,7482010 13,453 20,000 2,400 2,887 2,000 1,250 41,990Rata-rata 18,711 10,726.2 4,461.7 2,986.4 2,960 927.6
36,884.8
Sumber: International Pepper Community (IPC). World Pepper Statistics. www.ipcnet.org.
Diakses tanggal 22 Desember 2012.
Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa rata-rata ekspor selama sepuluh
tahun terakhir (2001-2010), Indonesia menempati urutan pertama sebagai Negara
pengekspor lada putih dunia, dengan rata-rata total ekspor per tahunnya yaitu sebesar
18,711 ton atau menyumbang sebesar 45.89 persen dari total ekspor lada putih dunia.
China merupakan negara produsen lada putih kedua setelah Indonesia, namun
demikian China bukanlah salah satu eksportir besar karena produksi komoditas
mereka sebagian besar untuk konsumsi di dalam negerinya sendiri. Hal ini terlihat
12
dari rata-rata produksi China selama sepuluh tahun terakhir adalah sebesar 24,330 ton
sedangkan rata-rata ekspor lada putih China selama sepuluh tahun terakhir hanya
sebesar 4,461.7 ton. Hal ini berarti sebanyak 19,868.3 ton lada putih China digunakan
untuk konsumsi di dalam negerinya sendiri. Secara lebih jelas pertumbuhan produksi
dan ekspor lada putih dunia selama 10 tahun terakhir di tunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1.a. Perkembangan Produksi Lada Putih Dunia Tahun 2001-2010
Gambar 1.b Perkembangan Ekspor Lada Putih Dunia Tahun 2001-2010
13
2001200220032004200520062007200820092010 -
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
45,000
IndonesiaChina,PR.VietnamMalaysiaBrazil
2001200220032004200520062007200820092010 -
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
IndonesiaVietnamChina, PR.MalaysiaBrazilIndia
Berdasarkan Gambar 1, dapat terlihat bahwa pertumbuhan produksi dan
ekspor lada putih dunia selama 10 tahun terakhir. Dalam gambar di atas dapat terlihat
bahwa pertumbuhan produksi dan ekspor lada putih Indonesia terus mengalami
penurunan. Pada tahun 2004, produksi lada putih Indonesia sempat digantikan oleh
China, sementara itu pada tahun 2006 ekspor lada putih Indonesia digantikan oleh
Vietnam.
2.1.2 Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional diartikan sebagai pertukaran barang dan jasa yang
terjadi melampaui batas antar negara. Perdagangan internasional diperlukan untuk
mendapatkan manfaat yang dimungkinkan oleh spesialisasi produksi. Dengan
perdagangan, setiap orang, wilayah, atau bangsa dapat memusatkan perhatian untuk
memproduksi barang dan jasa yang dapat dilakukannya secara efisien, sementara
mereka melakukan perdagangan untuk memperoleh barang dan jasa lain yang tidak
diproduksinya (Lipsey, 1997).
Teori Perdagangan Internasional menganalisa tentang dasar-dasar terjadinya
perdagangan antar negara, arus barang dan jasa, kebijakan yang diarahkan pada
pengaturan arus perdagangan serta pengaruhnya terhadap kesejahteraan negara-
negara yang terlibat. Teori perdagangan internasional juga menunjukkan keuntungan
yang dapat diperoleh masing-masing negara dengan adanya perdagangan
internasional (Salvatore, 1997).
Model Adam Smith
Model Adam Smith ini memfokuskan pada keuntungan mutlak yang
menyatakan bahwa suatu negara akan memperoleh keuntungan mutlak dikarenakan
negara tersebut mampu memproduksi barang dengan biaya yang lebih rendah
dibandingkan negara lain. Menurut teori ini jika harga barang dengan jenis sama tidak
memiliki perbedaan di berbagai negara maka tidak ada alasan untuk melakukan
perdagangan internasional.
14
Model Ricardian
Model Ricardian memfokuskan pada kelebihan komparatif dan mungkin
merupakan konsep paling penting dalam teori pedagangan internasional. Dalam
Sebuah model Ricardian, negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang
mereka paling baik produksi. Tidak seperti model lainnya, rangka kerja model ini
memprediksi dimana negara-negara akan menjadi spesialis secara penuh
dibandingkan memproduksi bermacam barang komoditas. Juga, model Ricardian
tidak secara langsung memasukan faktor pendukung, seperti jumlah relatif dari buruh
dan modal dalam negara.
Model Heckscher-Ohlin
Model Heckscgher-Ohlin dibuat sebagai alternatif dari model Ricardian dan
dasar kelebihan komparatif. Mengesampingkan kompleksitasnya yang jauh lebih
rumit model ini tidak membuktikan prediksi yang lebih akurat. Bagaimanapun, dari
sebuah titik pandangan teoritis model tersebut tidak memberikan solusi yang elegan
dengan memakai mekanisme harga neoklasikal kedalam teori perdagangan
internasional.
Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan
oleh perbedaan dalam faktor pendukung. Model ini memperkirakan kalau negara-
negara akan mengekspor barang yang membuat penggunaan intensif dari faktor
pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang yang akan menggunakan faktor
lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris dengan model H-o, dikenal
sebagai Pradoks Leotief, yang dibuka dalam uji empiris oleh Wassily Leontief yang
menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang buruh
intensif dibanding memiliki kecukupan modal dan sebagainya.
Teorema Heckscher-Ohlin menyatakan bahwa sebuah negara akan
mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang
15
relatif melimpah dan murah di negara itu dan dalam waktu yang bersamaan ia akan
mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumber daya yang relatif langka
dan mahal di negara itu (Salvatore, 1997).
Proses perdagangan internasional yang timbul sebagai akibat perbedaan
tersebut, juga dapat disebabkan karena adanya perbedaan antara permintaan dan
penawaran di setiap negara. Kelebihan permintaan domestik (excess demand)
terhadap penawaran domestik akan mendorong suatu negara untuk melakukan
permintaan impor, sedangkan kelebihan penawaran (excess supply) terhadap
permintaan domestik akan mendorong suatu negara untuk melakukan penawaran
ekspor.
Menurut Heckscher-Ohlin, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan
negara lain disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu
keunggulan dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi. Basis dari keunggulan
komparatif adalah:
1. Faktor endowment, yaitu kepemilikan faktor-faktor produksi didalam suatu
negara.
2. Faktor intensity, yaitu teksnologi yang digunakan didalam proses produksi,
apakah labor intensity atau capital intensity.
Analisis teori H-O :
a. Harga atau biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh jumlah atau
proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing Negara
b. Comparative Advantage dari suatu jenis produk yang dimiliki masing-masing
negara akan ditentukan oleh struktur dan proporsi faktor produksi yang
dimilkinya.
c. Masing-masing negara akan cenderung melakukan spesialisasi produksi dan
mengekspor barang tertentu karena negara tersebut memilki faktor produksi
yang relatif banyak dan murah untuk memproduksinya
16
d. Sebaliknya masing-masing negara akan mengimpor barang-barang tertentu
karena negara tersebut memilki faktor produksi yang relatif sedikit dan mahal
untuk memproduksinya
Kelemahan dari teori H-O yaitu jika jumlah atau proporsi faktor produksi
yang dimiliki masing-masing negara relatif sama maka harga barang yang sejenis
akan sama pula sehingga perdagangan internasional tidak akan terjadi. Jadi menurut
teori H-O, suatu negara akan berspesialisasi dalam produksi dan ekspor barang-
barang yang input (faktor produksi) utamanya relatif sangat banyak di negara tersebut
dan impor barang yang input utamanya tidak dimiliki oleh negara tersebut (jumlahnya
terbatas).
2.1.3 Teori Penawaran dan Permintaan Ekspor
Secara teoritis ekspor suatu barang dipemgaruhi oleh suatu penawaran
(supply) dan permintaan (demand). Dalam teori perdagangan internasional disebutkan
bahwa factor-faktor yang mempengaruhi ekspor dapat dilihat dari sisi permintaan dan
sisi penawaran. Dari sisi permintaan, ekpor dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar
riil, pendapatan dunia dan kebijakan devaluasi. Sedangkan dari sisi penawaran,
ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, harga domestik, nilai tukar riil, kapasitas
produksi yang bisa diproduksi melalui investasi, impor bahan baku, dan kebijakan
deregulasi.
Produk-produk yang betul-betul kompetitif, penawaran dan permintaan
domestik akan tergantung pada harga barang, sedangkan permintaan dan penawaran
asing (ekspor) akan bergantung pada harga dalam mata uang asing (Krugman dan
Obsfeld (2000) yang diterjamahkan oleh Basri (2004)), dijelaskan pula bahwa
perdagangan akan terjadi di suatu pasar apabila terdapat perbedaan harga pada waktu
sebelum perdagangan, jika kedua negara menghasilkan produk yang sama. Selain
berbagai factor tersebut di atas, hubungan perdagangan antar negara yang
mempengaruhi aktivitas ekspor impor adalah nilai tukar mata uang masing-masing
negara (Samanhudi, 2009).
17
2.1.4 Faktor Harga
Apabila suatu Negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain
(ekspor dan impor) maka ada beberapa factor yang harus diperhatikan. Salah satu
diantaranya adalah harga dari barang yang akan diperdagangkan karena harga akan
menentukan besar kecilnya jumlah barang yang akan diperdagangkan (Samanhudi,
2009). Teori permintaan menerangkan tentang cirri hubungan antara jumlah
permintaan dan harga barang yang merupakan suatu hipotesa yang menerangkan :
“Makin rendah harga suatu barang, maki banyak permintaan terhadap barang
tersebut, sebaliknya makin tinggi harga suatu barang makin rendah permintaan
barang tersebut (cateris paribus)” (Sadono Sukirno, 2003:76).
2.1.5 Nilai Tukar Mata Uang (Kurs)
Kurs merupakan perbandingan antara nilai tukar mata uang suatu negara
dengan negara lain. Perdagangan yang dilakukan anatar dua negara tidaklah semudah
yang dilakukan dalam suatu negara, karena harus memakai dua mata uang yang
berbeda misalnya antara Indonesia dan Amerika Serikat, pengimpor Amerika harus
memberli rupiah untuk membeli barang-barang dari Indonesia. Sebaliknya pengimpor
Indonesia harus membeli dollar amerika untuk menyelesaikan pembayaran terhadap
barang yang dibelinya di Amerika.
Nilai tukar adalah nilai mata uang suatu negara diukur dari nilai satu unit mata
uang terhadap mata uang negara lain. Apabila kondisi ekonomi suatu negara
mengalami perubahan, maka biasanya diikuti oleh perubahan nilai tukar secara
subtansional. Masalah mata uang muncul saat suatu negara mengadakan transaksi
dengan negara lain, dimana masing-masing negara menggunakan mata uang berbeda.
Jadi nilai tukar merupakan harga yang harus dibayar oleh mata uang suatunegara
untuk memperoleh mata uang negara lain.
Nilai tukar mata uang asing memainkan peranan sentral dalam hubungan
perdagangan internasional, karena kurs memungkinkan dapat membandingkan harga
18
barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu Negara. Hal ini juga dijelaskan oleh
Salvatore (1999) bahwa dalam melakukan transaksi perdagangan antar Negara,
mereka menggunakan mata uang asing bukan mata uang negaranta, mereka
membutuhkan mata uang standar seperti US$ untuk bertransaksi. Apabila mata uang
domestik terapresiasi terhadap mata uang asing maka harga impor bagi penduduk
domestik menjadi lebih murah, tetapi apabila nilai mata uang domestic terdepresiasi
maka nilai mata uang asing menjadi lebih mahal yang mengakibatkan ekspornya bagi
pihak luar negeri menjadi lebih murah.
Para ekonom membedakan kurs menjadi dua yaitu kurs nominal dan kurs riil.
Kurs nominal adalah harga relative dari mata uang dua Negara,. Sebagai contoh, jika
mata dollar Amerika Serikat dan yen Jepang adalah 120 yen per dollar, maka orang
Amerika Serikat dapat menukarkan 1 dollar untuk 120 yen di pasar uang. Sebaliknya
orang Jepang yang ingin memiliki dollar akan membayarkan 120 yen untuk setiap
dollar yang dibeli. Ketika orang-orang mengacu pada “kurs” di antara kedua Negara,
mereka biasanya mengartikan kurs nominal (Mankiw, 2003)
Nilai tukar riil ada;ah nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi dengan harga
relatif yaitu harga-harga didalam negeri dibandingkan dengan harga-harga di luar
negeri. Nilai tukar dapat dihitung dengtan menggunakan rumus dibawah ini :
Q = S.P/P*
Dimana : Q = Nilai tukar riil
S = Nilai tukar nominal
P = Tingkat harga domestic
P* = Tingkat harga di luar negeri
19
2.1.6 Konsep Keunggulan Komparatif
Kunci perdagangan internasional adalah teori keunggulan komparatif. Prinsip
teori ini bahwa suatu negara dapat meningkatkan standar kehidupan dan pendapatan
riilnya melalui spesialisi produksi komoditi yang memiliki produktivitas tinggi.
Negara-negara akan mengutamakan untuk memproduksi komoditi yang paling
produktif. Prinsip keunggulan komparatif menunjukkan bahwa spesialisasi akan
menguntungkan semua negara meskipun ada negara yang secara mutlak lebih efisien
dalam memproduksi semua barang dibandingkan Negara lainnya. Jika negara-negara
itu mau melakukan spesialisasi produk di mana mereka mendapat keunggulaan
komparatif (atau efisiensi relatif lebih tinggi), maka perdagangan antar negara akan
menguntungkaan bagi semuanya. Karena itu mengingat kondisi produktif di tiap
negara sangat berbeda, negara-negara tersebut sangat menyadari bahwa akan lebih
menguntungkan jika melakukan spesialisasi dalam produksi suatu jenis barang
tertentu (Lindert, 1993).
2.1.7 Konsep Keunggulan Kompetitif
Berbeda dengan konsep keunggulan komparatif (comparative advantage)
yang menyatakan bahwa suatu negara tidak perlu menghasilkan suatu produk apabila
produk tersebut telah dapat dihasilkan oleh negara lain dengan lebih baik, unggul, dan
efisien secara alami, konsep keunggulan kompetitif adalah sebuah konsep yang
menyatakan bahwa kondisi alami tidaklah perlu untuk dijadikan penghambat karena
keunggulan pada dasarnya dapat diperjuangkan dan ditandingkan (dikompetisikan)
dengan berbagai perjuangan/usaha. Dan keunggulan suatu negara bergantung pada
kemampuan perusahaan-perusahaan di dalam negara tersebut untuk berkompetisi
dalam menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar.
Menurut Porter (1998), ada empat kategori atribut yang merupakan faktor
penentu keunggulan bersaing industri nasional, yakni kondisi faktor (factor
conditions), kondisi permintaan (demand conditions), industri pendukung dan terkait
(related and supporting industries), serta persaingan, struktur dan strategi perusahaan
20
(firms strategy, structure, and rivalry). Keempat atribut tersebut didukung oleh
peranan kesempatan atau peluang (chance) dan peranan pemerintah (government)
dalam meningkatkan daya saing industri nasional, dan secara bersama-sama
membentuk suatu sistem yang dikenal dengan “the national diamond”. Dalam
hubungannya, keempat determinan ini saling menguatkan satu sama lain.
Kondisi faktor produksi dibagi menjadi dua, yaitu yang biasa dan yang
terspesialisasi. Yang biasa adalah faktor-faktor produksi yang diwarisi secara alami
seperti kekayaan sumber daya alam (SDA), tanah, dan tenaga kerja yang belum
terlatih. Sedangkan yang terspesialisasi adalah faktor-faktor produksi yang tidak
terdapat secara alami, melainkan harus diciptakan terlebih dahulu. Contoh dari faktor
produksi yang terspesialisasi adalah teknologi dan tenaga kerja yang terlatih. Kondisi
faktor produksi dikatakan baik apabila jumlah faktor produksi yang dimiliki ada
banyak dan perbandingan antara faktor produksi biasa dengan faktor produksi
terspesialisasi adalah proporsional. Semakin baik kondisi faktor produksi yang
dimiliki oleh perusahaan-perusahaan di dalam suatu negara, maka akan semakin
kompetitif negara tersebut.
Kondisi permintaan dikatakan dapat menaikkan kompetitivitas apabila kondisi
permintaan tersebut adalah mutakhir (sophisticated). Yang dimaksud dengan
permintaan mutakhir di sini adalah kecenderungan untuk selalu menuntut agar produk
yang dihasilkan terus diinovasi supaya bisa memuaskan kebutuhan para demander.
Selanjutnya adalah industri-indsutri yang berkaitan dan mendukung.
Kompetitivitas dapat meningkat apabila industri-industri yang berkaitan dan
mendukung memusatkan diri mereka dalam satu kawasan. Hal ini akan menghemat
biaya komunikasi, ongkos gudang penyimpanan, ongkos transportasi, serta akan
meningkatkan arus pertukaran informasi.
Yang paling akhir adalah strategi, struktur, dan persaingan perusahaan.
Strategi dan struktur yang diterapkan perusahaan akan menentukan
21
kompetitivitasnya. Hal ini lebih menyangkut kepada konteks waktu dan budaya
dimana perusahaan itu berada. Tidak semua perusahaan cocok menggunakan strategi
dan struktur tertentu. Perusahaan dituntut agar dapat menerapkan strategi dan struktur
yang paling tepat dengan keadaan yang dialami agar dapat survive terhadap kondisi
sekitarnya. Selain itu, persaingan antarperusahaan juga dapat meningkatkan
kompetitivitas perusahaan karena dengan adanya persaingan, maka dipastikan akan
ada usaha ekstra dari perusahaan untuk meningkatkan daya saingnya agar dapat,
sekali lagi, survive dalam kompetisi.
Gambar 2. “The National Diamond System”
22
2.1.8 Pengertian Daya Saing
Pengertian daya saing mengacu pada kemampuan suatu negara untuk
memasarkan produk yang dihasilkan negara itu relatif terhadap kemampuan negara
lain. Konsep daya saing dalam perdagangan internasional terkait dengan keunggulan
yang dimiliki suatu komoditas atau kemampuan suatu negara dalam menghasilkan
komoditas tersebut secara lebih efisien daripada negara lain. Daya saing dapat juga
dikatakan sebagai kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar luar negeri dan
kemampuan untuk dapat bertahan dalam pasar tersebut, dalam artian jika suatu
produk mempunyai daya saing maka produk tersebutlah yang banyak diminati oleh
banyak konsumen (Tatakomara, 2004).
2.2 Penelitian Terkait
Samanhudi (2009) melakukan penelitian untuk mengetahui factor-faktor yang
mempengaruhi ekspor pertanian Indonesia ke Amerika Serikat dengan menggunakan
data panel untuk komodotas karet, coklat dan CPO dalam kurun waktu triwulanan
selama 9 tahun (1999-2007). Dengan menggunakan Generalized Least Square
disimpulkan bahwa harga produk pertanian, GDP Amerika Serikat, kurs mata uang
berpengaruh terhadap volume ekspor produk perkebunan Indonesia ke Amerika
serikat.
Anggraini (2006) melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang
paling berpengaruh terhadap volume ekspor kopi Indonesia dari Amerika Serikat
periode tahun 1975-2004. Data yang digunakan adalah data sekunder. Dengan
menggunakan model regresi linear diketahui bahwa pendapatan perkapita Amerika
Serikat, harga kopi dunia, harga teh dunia (sebagai barang substitusi) dan konsumsi
kopi Amerika Serikat satu tahun sebelumnya berpengaruh secara signifikan terhadap
volume ekspor kopi Indonesia dari Amerika Serikat.
Popy Anggasari (2008) melakukan penelitian untuk menganalisis perkembangan
produksi, konsumsi dan impor kedelai serta menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi volume impor kedelai di Indonesia. Dengan menggunakan metode
23
analisis regresi linear berganda OLS diketahui bahwa volume impor kedelai secara
nyata dipengaruhi oleh harga kedelai domestik, harga kedelai luar negeri, niai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika dan dummy tarif impr sebesar 10 persen.
2.2.1 Penelitian Mengenai Lada
Pada tahun 2008, Dizy Soebtrianasari melakukan penelitian mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan lada putih Indonesia di pasar
Internasional serta menganalisis pengaruh perdagangan lada putih di pasar
internasional terhadap harga yang terbentuk. Penelitian ini menggunakan data
sekunder berupa deret waktu (time series) selama dua puluh lima tahun (1982-2006).
Model analisis yang digunakan adalah model persamaan simultan yang di duga
dengan metode Two Stages Least Square (2SLS) dengan menggunakan program
Statistical Analysis System (SAS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penawaran
ekspor lada putih Indonesia ke Amerika Serikat sangat dipengaruhi oleh produksi
lada putih Indonesia, jumlah ekspor lada putih Indonesia ke Amerika Serikat tahun
sebelumnya dan harga riil ekspor lada putih Indonesia. Sedangkan untuk faktor yang
mempengaruhi penawaran ekspor lada putih Indonesia ke Belanda, hanya peubah
harga riil ekspor saja yang berpengaruh nyata. Pada jangka panjang, ekspor lada putih
Indonesia ke Amerika Serikat lebih responsif terhadap perubahan produksi lada putih,
sedangkan ekspor lada putih ke Belanda hanya responsif terhadap perubahan harga
riil ekspor.
2.2.2 Penelitian Mengenai Daya Saing Lada
Marlinda (2008) melakukan penelitian mengenai daya saing lada Indonesia di
pasar Internasional. Jenis data yang digunakan adalah berupa data sekunder yang
merupakan data deret waktu selama sepuluh tahun dari tahun 1997-2006. Dari
analisis struktur pasar dengan menggunakan nilai Herfindahl Index dan
Concentration Ratio diperoleh hasil bahwa struktur pasar lada Indonesia
menunjukkan kecenderungan kea rah pasar persaingan oligopoli. Berdasarkan analisis
nilai Revealed Comparative Advantage (RCA), komoditi lada Indonesia memiliki
24
keunggulan komparatif yang mempunyai nilai RCA yang lebih dari satu. Pada tahun
2006, Indonesia mempunyai nilai RCA sebesar 14,32 tetapi daya saingnya masih
lebih rendah jika dibandingkan dengan Vietnam.
Kania (2011) melakukan penelitian untuk untuk melihat perkembangan
ekspor lada Indonesia serta untuk mengetahui struktur pasar yang terbentuk pada
komoditas lada di pasar internasional. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk
melihat apakah Indonesia, sebagai salah satu negara pengekspor lada terbesar
memiliki keunggulan untuk produk tersebut, baik secara komparatif maupun
kompetitif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data deret waktu tahun
2001-2010. Hasil yang diperoleh pada penelitian membuktikan perkembangan ekspor
lada Indonesia berfluktuasi, struktur pasar pada perdagangan lada di pasar
internasional menunjuk ke arah oligopoli dengan tingkat konsentrasi pasar sedang,
nilai rata-rata harfindahl Index pada tahun 2001-2010 sebesar 1.622 dengan nilai
rasio konsentrasi berkisar 68 persen, Dari aspek keunggulan komparatif selama
periode yang sama Indonesia memiliki keunggulan komparatif, Indonesia menempati
peringkat kedua setelah Vietnam. Sebaliknya aspek keunggulan kompetitif pada
periode tersebut menunjukan penurunan pangsa pasar dan daya saing yang melemah.
2.3 Kerangka Pikir
Indonesia merupakan produsen dan eksportir utama lada putih di dunia. Lada
putih sebagai komoditas ekspor memiliki nilai ekonomi tinggi untuk meningkatkan
kesejahteraan petani dan menambah devisa negara. Selain itu, komoditas lada putih
juga sebagai penyedia lapangan kerja dan pemenuhan bahan baku industri. Lada putih
Indonesia masih mempunyai kekuatan dan peluang untuk dikembangkan, karena
lahan yang sesuai untuk lada putih cukup luas, biaya produksi lebih rendah dibanding
negara pesaing, tersedianya teknologi budidaya lada yang efisien, serta adanya
peluang melakukan diversifikasi produk apabila harga lada jatuh.
Perdagangan lada putih dewasa ini semakin berkembang yang ditandai dengan
semakin meningkatnya permintaan lada putih oleh negara-negara konsumen dan
semakin banyaknya jumlah negara pengekspor lada putih di dunia. Kedudukan
25
Indonesia dalam perdagangan lada putih di pasar internasional tidak hanya
dipengaruhi oleh penawaran ekspor lada putih Indonesia saja, tetapi juga dapat
dipengaruhi oleh penawaran ekspor lada putih negara pesaing lainnya seperti
Vietnam, China, Malaysia, Brazil, dan India. Vietnam merupakan pendatang baru
dalam perdagangan lada dunia tetapi merupakan pesaing utama Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir.
Selama periode tahun 2001-2010, ekspor lada putih Indonesia mengalami
fluktuasi dan cenderung mengalami penurunan. Hal tersebut diduga oleh pengaruh
fluktuasi dari berbagai faktor yang mempengaruhinya, seperti produksi domestik,
harga ekspor lada putih, harga domestik lada putih, dan nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah
menganalisis daya saing dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
ekspor lada putih Indonesia. Semua variabel uji yang digunakan dalam penelitian ini
adalah berdasarkan hasil dari rujukan penelitian-penelitian terdahulu dan hipotesis
yang digunakan dalam penelitian ini.
Daya saing lada putih Indonesia di pasar Internasional dapat dilihat
berdasarkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Analisis keunggulan
komparatif pada penelitian ini menggunakan analisis RCA (Revalead Comparatif
Advantage). Nilai RCA diperoleh dari perbandingan pangsa pasar lada putih
Indonesia dengan pangsa pasar lada putih dunia di pasar Internasional, Pada RCA
akan dijelaskan kekuatan daya saing komoditas lada putih
Indonesia secara relatif terhadap produk sejenis dari negara lain
(dunia) yang juga menunjukkan posisi komparatif Indonesia sebagai
produsen komoditas udang dibandingkan dengan negara-negara
lainnya dalam perdagangan internasional.
Daya saing lada putih Indonesia berdasarkan keunggulan kompetitif dianalisis
dengan menggunakan Porter’s Diamond. Analisis ini melihat daya saing berdasarkan
kondisi faktor (factor sumberdaya manusia, faktor sumber daya alam, faktor
sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi, faktor sumber daya modal dan
26
infrastruktur), kondisi permintaan, industri terkait dan pendukung, strategi
perusahaan, struktur dan persaingan.
Kemudian untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor lada
putih Indonesia dianalisis menggunakan regresi linear berganda dengan metode
Ordinary Least Square (OLS). Pada akhirnya penelitian ini diharapkan dapat menjadi
salah satu acuan bagi pemerintah maupun para pelaku eksportir lada putih dalam
mengambil kebijakan yang terkait dengan daya saing dan ekspor lada putih Indonesia
di pasar internasional.
27
Secara Komparatif
(Analisis RCA)
Secara Kompetitif
(Porter’sDiamond)
Volume Ekspor lada Putih
Kebijakan Peningkatan Daya Saing dan Ekspor Lada Putih Indonesia
Day
a S
aing
Lad
a P
utih
Ind
ones
iaD
aya
Sai
ng L
ada
Put
ih I
ndon
esia
Produksi Lada Putih Indonesia
Harga Ekspor Riil Lada Putih
Harga Domestik Riil Lada Putih
Nilai tukar rupiah terhadap US$
Fak
tor-
Fak
tor
yang
mem
peng
aruh
i Eks
por
lada
Put
ih
Gambar 3. Kerangka Pikir
2.4 Definisi Variabel Operasional
Definisi operasional mencakup pengertian-pengertian yang akan digunakan
untuk mendapatkan dan menganalisa data yang terdapat dalam penelitian. Variabel-
variabel dalam penelitian tersebut ialah :
1. Volume ekspor lada putih negara produsen merupakan volume ekspor lada
putih ke masing-masing negara tujuan tiap tahunnya dan dinyatakan dalam
satuan ribu kilogram.
2. Produksi lada putih negara produsen merupakan jumlah total produksi lada
putih masing-masing negara produsen dan dinyatakan dalam satuan ribu
kilogram.
3. Harga ekspor riil lada putih Indonesia adalah harga FOB dari lada putih
Indonesia yang merupakan hasil bagi antara total nilai ekspor lada putih
dengan volume ekspor lada putih, yang telah di deflasikan dengan Indeks
Harga Perdagangan Besar Indonesia (IHPBI) dengan tahun dasar (2000=100)
dan dinyatakan dalam satuan US$ per kilogram.
4. Harga ekspor riil lada putih negara produsen adalah harga FOB dari lada putih
masing-masing negara produsen yang merupakan hasil bagi antara total nilai
ekspor lada putih dengan volume ekspor lada putih, yang telah dideflasikan
dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) negara produsen dengan tahun dasar
(2000=100) dan dinyatakan dalam satuan US$ per kilogram.
5. Harga domestik riil lada putih Indonesia adalah harga lada putih dalam negeri
setiap tahunnya yang telah di deflasikan dengan IHK Indonesia dengan tahun
dasar (2000=100) dan dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram.
6. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat merupakan rata-rata nilai
tukar Indonesia terhadap dollar Amerika Serikat per tahun dan di deflasikan
dengan IHK Indonesia dengan tahun dasar (2000=100) dan dinyatakan dalam
satuan rupiah per dollar Amerika Serikat.
28
2.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan studi penelitian terdahulu maka dalam penelitian ini akan diajukan
beberapa hipotesis, diantaranya :
Nilai RCA lada putih Indonesia lebih besar dari satu (RCA > 1),
artinya Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada
komoditi lada putih (di atas rata-rata dunia) sehingga
komoditi tersebut berdaya saing kuat.
Hubungan positif terjadi antara produksi lada putih dengan
volume ekspornya. Semakin tinggi produksi domestik maka
volume ekspornya akan mengalami peningkatan.
Ekspor lada putih Indonesia dipengaruhi oleh harga ekspor,
dimana hubungan keduanya positif. Jika terjadi kenaikan
harga ekspor maka ekspor meningkat atau sebaliknya.
Harga domestik dengan volume ekspor TPT Indonesia ke AS
berhubungan negatif. Bila terjadi kenaikan harga domestik maka
ekspor TPT akan menurun.
Nilai tukar rupiah secara nominal berhubungan positif dengan
ekspor lada putih Indonesia. Jika terjadi depresiasi nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS, maka volume ekspor akan
meningkat dan sebaliknya.
29