1. Sindrom Dapson Pada Pasien Morbus Hansen (Kalbemed)

download 1. Sindrom Dapson Pada Pasien Morbus Hansen (Kalbemed)

of 4

Transcript of 1. Sindrom Dapson Pada Pasien Morbus Hansen (Kalbemed)

  • 7/25/2019 1. Sindrom Dapson Pada Pasien Morbus Hansen (Kalbemed)

    1/4

    123

    LAPORAN KASUS

    CDK-225/ vol. 42 no. 2, th. 2015

    PENDAHULUAN

    Sindrom sulfon atau Dapsone Hypersensitivity

    Syndrome (DHS) dapat timbul 5 6 minggu

    hingga 6 bulan setelah terapi awal

    pada pasien gizi buruk. Gejala DHS

    umumnya berupa trias: demam, erupsi

    kulit, dan keterlibatan organ tubuh (paru,

    hati, sistem saraf, dan sebagainya),1 dapat

    juga disertai malaise, dermatitis eksfoliatif,

    ikterus disertai nekrosis hati, limfadenopati,methemoglobinemia, dan anemia.2

    Secara farmakokinetik, dapson diserap

    lambat dalam saluran cerna tetapi hampir

    sempurna. Kadar puncak tercapai setelah 1-3

    jam, yaitu 10-15mcg/mL setelah pemberian

    dosis yang dianjurkan. Kadar puncak cepat

    turun, tetapi masih dijumpai dalam jumlah

    cukup setelah 8 jam. Waktu paruh eliminasi

    berkisar antara 10-50 jam dengan rata-rata

    28 jam. Pada dosis berulang sejumlah kecil

    Sindrom Dapson pada

    PasienMorbus HansenVidyani Adiningtyas Kusumastanto,*Prima Kartika Esti**

    *Dokter Magang SMF Ilmu Kulit dan Kelamin, **SMF Ilmu Kulit dan Kelamin

    RS Kusta dr. Sitanala, Tangerang, Indonesia

    ABSTRAK

    Dapson merupakan obat antibiotik dan antiinamasi yang dapat digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit, seperti lepra, dermatosis

    vesikobulosa, vaskulitis, malaria, Pneumonitis carinii pneumonia. Dapson memiliki efek samping yang jarang, namun mengancam nyawa,

    yaitu Dapsone Hypersensitivity Syndrome (DHS) atau Sindrom Sulfon. Dilaporkan satu kasus DHS pada wanita penderita kusta berusia 52

    tahun dengan manifestasi klinis demam, anemia, ascites, edema tungkai, dermatitis eksfoliativa, peningkatan SGOT dan SGPT. Gejala membaik

    dengan terapi kortikosteroid oral dan terapi suportif lain. Para dokter diharapkan dapat mengenai efek samping DHS yang paling fatal serta

    menangani secara cepat dan tepat.

    Kata kunci:Dapson, DHS, lepra, morbus hansen, sindrom dapson

    ABSTRACT

    Dapsone is an antibiotic drug and antiinamation, widely used for a variety of disease with indications ranging from lepra, vesicobullous

    dermatitis, vasculitis, malaria, and Pneumonitis carinii pneumonia. Dapsone has a rare potentially fatal side effect named Dapsone

    HypersensitivitySyndrome (DHS)or Sulfon Syndrome. A DHS case was reported in 52-year-old woman with leprosy; the clinical manifestations

    are fever, anemia, ascites, edema of lower extremity, exfoliativa dermatitis, also elevated serum levels of AST and ALT. The case was clinically

    improved by oral steroid and other supportive therapy. Physicians should be aware of potentially fatal DHS to ensure timely diagnosis and

    appropriate management.Vidyani Adiningtyas Kusumastanto, Prima Kartika Esti. Dapsone Syndrome in Morbus Hansen Patient.

    Keywords:Dapsone, DHS, leprosy, morbus hansen, dapsone syndrome

    Alamat korespondensi email: [email protected]

    obat masih ditemukan hingga 35 hari setelah

    pemberian dihentikan. Obat ini tersebar luas di

    seluruh jaringan dan cairan tubuh, cenderung

    tertahan dalam kulit dan otot, tetapi lebih

    banyak dalam hati dan ginjal. Sebanyak 50-

    70% obat terikat pada protein plasma dan

    mengalami daur enterohepatik. Daur ini yang

    menyebabkan obat masih ditemukan dalam

    darah, lama setelah pemberian dihentikan.

    Dapson mengalami metabolisme di hatidan kecepatan asetilasinya ditentukan oleh

    faktor genetik. Ekskresi melalui urin berbeda

    jumlahnya bagi setiap sediaan sulfon, dapson

    dosis tunggal 70-80% diekskresi terutama

    bentuk metabolitnya.

    Efek samping yang mungkin timbul antara

    lain: nyeri kepala, erupsi obat, anemia

    hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati

    perifer, sindrom dapson, nekrolisis epidermal

    toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan

    methemoglobinemia.1 Efek samping dapson

    yang paling sering adalah hemolisis yang

    berhubungan erat dengan besarnya dosis;

    dapat terjadi pada hampir setiap pasien yang

    menerima 200-300 mg dapson sehari. Dosis

    100 mg pada orang normal atau dosis kurang

    dari 50 mg pada penderita defisiensi enzim

    G6PD tidak menimbulkan hemolisis. Sering

    terlihat methemoglobinemia, kadang disertai

    pembentukan Heinzbody.

    Walaupun sulfon menyebabkan hemolisis,

    anemia hemolisis jarang terjadi, kecuali jika

    pasien juga menderita kelainan eritrosit atau

    sumsum tulang. Tanda hipoksia akan muncul

    jika hemolisis sudah berat. Anoreksia, mual,

    muntah dapat terjadi. Gejala lain yang pernah

    dilaporkan ialah nyeri kepala, gugup, sulit

    tidur, penglihatan kabur, parestesia, neuropati

    perifer yang dapat pulih, demam, hematuria,

    pruritus, psikosis, dan berbagai bentuk

  • 7/25/2019 1. Sindrom Dapson Pada Pasien Morbus Hansen (Kalbemed)

    2/4

    124

    LAPORAN KASUS

    CDK-225/ vol. 42 no. 2, th. 2015

    kelainan kulit. Gejala mirip mononukleosis

    infeksiosa yang berakibat fatal pernah pula

    dilaporkan.

    KASUS

    Seorang wanita usia 52 tahun datang ke

    Instalasi Gawat Darurat RS Kusta dr. Sitanala,

    Tangerang, pada April 2014 dengan keluhan

    utama nyeri ulu hati sejak 2 minggu sebelum

    masuk rumah sakit. Nyeri ulu hati tidak

    menjalar, tidak hilang timbul, dan bertambah

    berat sejak 2 hari sebelumnya.

    Didapatkan keluhan tambahan berupa

    demam, mata kuning, pucat, timbul bercak

    merah pada kulit yang kemudian mengelupas

    di seluruh tubuh, lemas, mual, muntah, kaki

    bengkak, perut buncit, dan beberapa luka

    pada tubuh (Gambar).Pada September 2013,

    disadari muncul lebih dari 5 bercak berwarna

    merah di tangan kanan dan kiri, tidak ada

    rasa gatal maupun hilang rasa, kesemutan,

    pada bagian bercak dirasakan tidak

    berkeringat. Riwayat kontak dengan pasien

    lepra disangkal. Pasien mengonsumsi multi-

    drug treatmentpausibasill er selama 2 bulan

    (karena obat multibasiler habis) lalu multi-

    drug treatment multibasiler selama sebulan;

    kemudian dihentikan oleh keluarga pada

    bulan Maret 2014, karena pasien mengalami

    bercak merah di kulit seluruh tubuh danmengelupas. Pasien berobat ke dokter, diberi

    salep lanolin untuk pemakaian pagi-sore,

    namun tidak membaik. Selain itu, untuk

    demam pasien mengonsumsi parasetamol

    3 x 500 mg, demam turun tetapi meningkat

    kembali. Riwayat sakit kuning sebelumnya,

    riwayat pemakaian obat suntik, transfusi

    darah, hemodialisa, ataupun kontak dengan

    penderita hepatitis disangkal.

    Pada pemeriksaan fisik ditemukan, keadaan

    umum compos mentis, tampak sakit berat.

    Suhu tubuh 38,3o

    C, tekanan darah 95/70mmHg, frekuensi nadi 114 x/menit, dan

    frekuensi nafas 20 x/menit. Kedua bola

    mata ikterik ringan dan konjungtiva

    anemis. Pada pemeriksaan jantung dan

    paru tidak ditemukan kelainan, pada

    pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri

    tekan epigastrium dan ascites masif (tes

    undulasi +), sehingga hati dan limpa tidak

    dapat dipalpasi. Kedua telapak tangan pucat,

    serta kedua kaki pitting edema. Ditemukan

    kelainan dermatologik berupa plak dan

    makula eritematosa hiperpigmentosa ter-

    sebar generalisata, berukuran plakat, batas

    tegas, terdapat skuama, erosi, ekskoriasi, ulkus,

    dan xerosis.

    Pada pemeriksaan penunjang didapatkan:

    hemoglobin 5.8 g/dL, hematokrit 17,6%,

    leukosit 2.700/uL, trombosit 194.000/uL, gula

    darah sewaktu 117 mg/dL, SGOT 137 U/L,

    SGPT 159 U/L, ureum 85,9 mg/dL, kreatinin

    1,36 mg/dL. Pemeriksaan penunjang hari

    ke-4 perawatan: hitung jenis basofil/

    eosinofil/batang/segmen/limfosit/monosit

    -/-/-/92/1/2, jumlah eosinofil 72, bilirubin

    1,1 mg/dL, bilirubin direk 0,82 mg/dL,

    bilirubin indirek 1,28 mg/dL, protein total

    4,3 g/dL, albumin 1,7 g/dL, dan globulin 2,6

    g/dL. Pada USG abdomen didapatkan kesan

    gambaran asites masif di rongga abdomen.

    Pasien dirawat oleh dokter spesialis kulit dan

    kelamin bersama dokter spesialis penyakit

    dalam.

    Penatalaksanaan adalah dengan meng-

    hentikan pemberian obat dapson, terapi

    suportif berupa infus ringer laktat 30 tetes per

    menit, keseimbangan cairan dievaluasi setiap

    24 jam, parasetamol tablet 3 x 500 mg/hari

    jika demam, ranitidin 2 x 50 mg/hari intravena,

    ondansetron 2 x 8 mg intravena untuk

    mengurangi mual serta muntah dan transfusi

    packed red cell 500 mL/hari selama 4 hariuntuk mengatasi anemia. Selain itu, diberikan

    dexametasone 3 x 5 mg/hari intravena selama

    12 hari, tapering off. Untuk mengatasi asites

    abdomen dan edema ekstremitas diberikan

    spironolactone 1 x 50 mg dan HCT 1 x 6,25

    mg, serta captopril 12,5 mg 2 x 1/2 tablet

    sebagai renal protector. Hepamax sebagai

    hepatoprotektor dan transfusi albumin

    sebanyak 400 mL, diet ekstra putih telur

    untuk mengatasi hipoalbuminemia, serta

    perawatan luka dengan kompres NaCl

    0,9%.

    Pada hari perawatan ke-14, pasien meng-

    alami perbaikan, edema ekstremitas

    berkurang, luka berangsur pulih, dan pada

    hari perawatan ke-30, pasien diperbolehkan

    pulang dan disarankan kontrol ke poliklinik.

    Pasien tidak lagi merasakan nyeri ulu hati,

    demam, ataupun lemas. Pada pemeriksaan

    fisik, tanda vital dalam batas normal, ter-

    dapat makula eritematosa-hiperpigmentosa

    diseminata ukuran numular-plakat dengan

    batas tegas, ulkus (+) dengan jaringan

    granulasi.

    DISKUSI

    Sindrom dapson pertama kali dikemukakan

    oleh Allday, Lowe, dan Barnes sebagai

    reaksi hipersensitivitas vasculitis syndrome.

    Insiden DHS berkisar antara 0.5-3%,3,4 reaksi

    hipersensitivitas dapat terjadi dalam 6minggu pertamahingga selambat-lambatnya

    6 bulan.3,5 Penyakit ini memiliki nama

    lain yaitu fth week dapsone dermatitis.7

    Pasien mengalami reaksi awal berupa kulit

    mengelupas setelah pemakaian dapson

    selama 3 bulan.

    Trias klasik DHS terdiri dari demam,

    keterlibatan organ dalam (hati, ginjal, sistem

    hematologi, dan sebagainya), dan erupsi

    kulit.3 Pada pasien ini terdapat keterlibatan

    organ hati yang ditandai dengan mual,

    ikterik, peningkatan SGOT/SGPT, pada sistemhematologi ditandai dengan lemas dan

    anemia, dan pada ginjal ditandai dengan

    meningkatnya kadar ureum darah.

    Gambaran hepatitis, dermatitis exfoliativa,

    limfadenopati, anemia hemolitik, cholangitis

    dapat bervariasi. Erupsi kulit merupakan

    salah satu manifestasi utama, dapat berupa

    makulopapular, ekskoriasi, vesikel serta ulkus,

    dapat timbul secara difus pada tubuh.7 Lesi

    kulit dapat berupa papul eritematosa, pustul,

    dan gambaran seperti dermatitis hingga plak

    Tabel 1.Manifestasi Klinis pada DHS

    Sistemik

    Demam*1.

    Pneumonitis2.

    Limfadenopati3.

    Hepatitis*4.

    Anemia*5.

    Karditis6.

    Dermatologik

    Dermatitis exfoliativa*1.

    Erupsi makulopapular/2. eczematous*

    Erosi oral3.

    Vesikel dan bula4.

    Fotosensitivitas5.

    Laboratorium

    Hemolisis1.

    Anemi*2.

    Eosinofilia3.

    Limfositosis4. atypical

    Transaminitis/Peningkatan bilirubin/alkali fosfatase*5.

    Hypogammaglobulinemia6.

    * Manifestasi klinis yang ada pada k asus

  • 7/25/2019 1. Sindrom Dapson Pada Pasien Morbus Hansen (Kalbemed)

    3/4

    125

    LAPORAN KASUS

    CDK-225/ vol. 42 no. 2, th. 2015

    eritematosa dengan lesi mengelupas seperti

    yang terjadi pada pasien. Tingkat keparahan

    lesi kulit tidak berhubungan dengan

    keparahan keterlibatan organ dalam, yangdapat asimptomatik hingga mengancam

    nyawa. Kelainan kulit umumnya membaik

    setelah 2 minggu terapi dapson dihentikan.

    Pada kasus berat, malnutrisi dan kehilangan

    protein dapat memperburuk prognosis,

    sehingga harus dipantau ketat. Pada DHS,

    antibiotik memiliki peranan sangat kecil,

    kecuali terdapat infeksi seperti selulitis atau

    sepsis.

    Pada DHS terdapat beragam manifestasi

    klinis, maka didiagnosis banding dengan

    berbagai penyakit lain, seperti reaksi lepra,

    sindrom drug reaction with eosinophilia and

    systemic symptom, Steven Johnson syndrome

    (SJS), penyakit Stills, penyakit hematologi

    seperti leukemia dan limfoma, pneumonia

    interstitial, kelainan paraneoplastik, dan

    kelainan jaringan ikat tertentu. Manifestasi

    klinis DHS dapat lebih serius dibandingkan

    SJS maupun toxic epidermal necrolysis. Pada

    DHS dapat timbul lesi kulit baru dengan

    edema, bukan di lesi kulit sebelumnya.

    Demam terus-menerus disertai disfungsi hati

    dapat membantu menyingkirkan diagnosis

    reaksi reversal pada lepra.7

    Patogenesis DHS belum diketahui jelas,

    beberapa penelitian menyatakan perbedaan

    metabolisme produksi (peningkatan

    aktivitas atau kuantitas enzim polimorfik

    sitokrom P450) dan detoksifikasi metabolit

    reaktif (defisiensi glutathione synthetase)

    memainkan peranan penting dalam reaksi

    hipersensitivitas sulfonamide . Produksi

    metabolit toksis (hydroxylamine) akibat

    ketidakseimbangan metabolisme dapson

    dapat merupakan faktor risiko anemia

    hemolitik.

    Pengaruh penyakit tertentu atas kerentanan

    terhadap reaksi hipersensitivitas adalah faktor

    potensial lain, seperti defisiensi imunitas

    seluler pada pasien kusta tipe lepramatous

    dan riwayat alergi. Tes stimulasi limfosit

    positif dan predominasi aktivitas sel T

    sitotoksik dalam dermis pasien DHS dengan

    keterlibatan kulit juga lebih mengarah kepada

    alergi daripada reaksi idiosinkrasi. Pasien

    ini alergi udang, tetapi tidak ada riwayat

    konsumsi udang, pada hasil laboratorium

    tidak terdapat peningkatan eosinofilia.6

    Diagnosis banding pasien ini adalah

    sindrom Steven Johnson (SSJ), karena

    penyebab utama ialah obat. Pada penelitian

    Djuanda selama 5 tahun (1998-2002), SSJyang diduga alergi obat tersering pada

    analgetik/antipiretik (45%), carbamazepine

    (20%) dan jamu (13.3%) - sebagian besar jamu

    dibubuhi obat. Penyebab lain ialah amoxicillin,

    cotrimoxazole, dilantin, klorokuin, ceftriaxone,

    dan zat adiktif. Pada anamnesis, pasien

    mengonsumsi parasetamol; tetapi pada

    pemeriksaan tidak ditemukan trias SSJ, yaitu

    kelainan selaput lendir oricium dan kelainan

    mata, hanya ditemukan kelainan kulit saja.10

    Pada pemeriksaan pasien tampak ikterik

    kedua mata, dengan SGOT SGPT yang

    meningkat. Untuk diagnosis banding hepatitis

    A dan hepatitis B, pasien menyangkal riwayat

    makanan tidak bersih, kontak dengan

    penderita hepatitis, pemakaian jarum suntik,

    hemodialisis maupun transfusi darah.11

    Tidak ditemukan fase dan gejala lain yang

    menunjang. Pemeriksaan serologi tidak di-

    lakukan.

    Drug induced liver injury atau kerusakan hepar

    akibat obat juga dapat menjadi diagnosis

    banding, merupakan gangguan fungsi hati

    yang disebabkan oleh terpajan obat maupun

    agen non-infeksius lain.12Obat-obat yang di-laporkan dapat menyebabkan drug induced

    liver injury (DILI) antara lain parasetamol,

    NSAID seperti diklofenak, ibuprofen, dan

    naproxen; antibiotik seperti amoxicilin/

    clavulanate, eritromisin, ciprooxacine, obat

    antituberkulosis, dan juga obat antiviral.

    Azathioprine, cyclophosphamid, amiodarone,

    fenitoin, asam valproat, carbamazepine,

    chlorpromazine, dan paroxetine juga di-

    laporkan dapat menimbulkan DILI.13 Pasien

    mengonsumsi parasetamol, berjenis kelamin

    wanita, dan berusia dewasa, serta gambaran

    klinis demam, malaise, dan ikterus. Hal inimerupakan faktor penguat diagnosis DILI.

    Akan tetapi, pada DILI tidak ditemukan

    kelainan kulit serta anemia. Pada pasien ini

    tidak dilakukan pemeriksaan dengan skala

    diagnostik CIOMS/RUCAM.

    Penatalaksanaan umum mencakup peng-

    hentian dapson sebagai obat yang diduga

    menjadi pemicu, steroid sistemik prednison

    oral 1mg/kg/hari atau metilprednisolon

    dosis ekuivalen, dan terapi suportif serta

    meminimalkan penggunaan obat lain.6,8

    Tapering off prednisolon (lebih dari satu bulan)

    dianjurkan mengingat dapson dapat berada

    dalam tubuh selama 35 hari melalui ikatan

    dengan protein.6,8,9

    Kortikosteroid mengurangigejala DHS secara bermakna, walaupun

    tidak ada studi kontrol yang menunjukan

    efektivitasnya.6 Dexametasone diberikan

    dalam bentuk injeksi, karena lebih praktis

    dan bekerja lebih cepat. Pada hari pertama

    hingga hari ke-12 pemberian dexamethasone

    sebesar 3 x 5 mg; setelah menunjukkan

    tanda-tanda pemulihan dan masa kritis

    telah terlewati, dilakukan tapering off. Terapi

    suportif lain seperti spironolakton, HCT,

    parasetamol, captopril, ondansetron, ranitidin,

    Hepamax, transfusi PRC dan albumin, diet

    putih telur, perawatan luka, diberikan sesuai

    indikasi.

    Case fatality rate DHS adalah 9,9%,

    keterlibatan mukosa, bercak kulit,

    hepatitis, usia lanjut, lepra sebagai

    indikasi pemakaian dapson, kejadian

    penyakit lepra di negara miskin dikaitkan

    dengan risiko tinggi kejadian fatal.

    Hubungan usia dengan kejadian fatal reaksi

    hipersensitivitas terhadap dapson tidak

    signifikan. Frekuensi reaksi hipersensitivitas

    dapat saja dipengaruhi oleh kondisi umum

    dan imunologis pasien lepra. Keterlibatan

    mukosa merupakan faktor risiko tinggikejadian fatal. Tanda-tanda klinis akut di-

    perkirakan berkaitan dengan risiko tinggi

    prognosis buruk, akan tetapi dibutuhkan

    penelitian lebih lanjut.8 Mortalitas sebesar

    12-23% telah dilaporkan pada kasus DHS

    berat. Kecermatan dalam menegakkan

    diagnosis sedini mungkin, diikuti terapi

    adekuat sangat penting untuk mencegah

    komplikasi lanjut dan kematian.8

    SIMPULAN

    Telah dilaporkan satu kasus DHS pada wanita

    52 tahun yang menderita morbus hansen tipeborderline lepramatosa, dengan gejala ascites,

    edema tungkai dan hipoalbuminemia. Pasien

    dirawat di rumah sakit selama 30 hari dan

    membaik.

    Klinisi harus waspada terhadap potensi

    fatal DHS pada pemberian dapson untuk

    kasus apapun, yang dapat muncul berupa

    demam, bercak dan keterlibatan multiorgan,

    agar dapat cepat menegakkan diagnosis

    dan memberi terapi, sehingga pasien dapat

    tertangani dengan baik.

  • 7/25/2019 1. Sindrom Dapson Pada Pasien Morbus Hansen (Kalbemed)

    4/4