1--PUSLITBANGNAK
-
Upload
imapet-usu -
Category
Documents
-
view
26 -
download
0
description
Transcript of 1--PUSLITBANGNAK
Seroprevalensi dinamika leptospirosis pada daerah
pengembangan sapi perah
15 Agustus 2013 00:00
Leptospirosis merupakan penyakit infeksius yang
disebabkan oleh beberapa serovar bakteri Leptospira
interrogans. Penyakit tersebut tersebar luas di
berbagai wilayah di dunia terutama pada daerah
tropis termasuk di Indonesia dan bersifat zoonosis.
Bakteri ini kebanyakan menginfeksi baik hewan
ternak, liar maupun manusia. Hewan yang terinfeksi
termasuk tikus, tupai, hewan domestik seperti sapi,
domba, kambing, unta, babi, anjing, kucing, dan
beberapa hewan liar seperti anjing hutan, monyet, rubah, serigala, dan sigung
Leptospirosis pada ternak dapat menyebabkan kerugian ekonomi pada industri
peternakan sapi dan babi akibat gangguan reproduksi yang ditimbulkannya.
Gejala klinis leptospirosis pada sapi dapat bervariasi mulai dari yang
ringan, infeksi yang tidak tampak, sampai infeksi akut yang dapat menyebabkan
kematian. Pada ternak sapi yang bunting, gejala abortus, pedet lahir mati
atau lemah sering muncul pada kasus leptospirosis. Infeksi akut paling
sering terjadi pada pedet/sapi muda.
Infeksi pada sapi perah dapat terjadi demam sementara disertai dengan
penurunan produksi susu yang berlangsung selama 2-10 hari. Berat ringannya
gejala klinis tergantung dari serovar Leptospira yang menginfeksi dan imunitas
hewan yang terinfeksi. Leptospirosis pada sapi umumnya disebabkan oleh
infeksi L. interrogans serovar hardjo. Serovar ini dihubungkan dengan aborsi,
lahir mati, lahir lemah, mastitis, penurunan produksi susu dan infertilitas pada
ternak. L. interrogans serovar pomona pada sapi menyebabkan demam, depresi,
anemia akut, haemorrhagis, dan redwater. Diagnosa dilakukan berdasarkan
sejarah penyakit, gejala klinis, isolasi agen penyebab, dan hasil uji serologi.
Isolasi Leptospira sp dari hewan tersangka seringkali sulit dilakukan, untuk
konfirmasi diagnosis penyakit dilakukan secara serologis di laboratorium
dengan Microscopic Agglutination Test (MAT) untuk menentukan
seroprevalensi. Uji ini digunakan pada pemeriksaan serologik leptospirosis pada
sapi . Penularan leptospirosis dapat terjadi secara horizontal, baik secara
kontak langsung dengan hewan tertular atau lingkungan yang tercemar
leptospira. Bakteri Leptospira yang dikeluarkan melalui urin hewan terinfeksi
dapat mencemari lingkungan dan menjadi sumber penularan untuk hewan lain
dan juga manusia. Infeksi Leptospira pada hewan bunting menyebabkan aborsi,
lahir mati dan kegagalan reproduksi pada sapi dan babi pada khususnya dan
meningkatkan penyebaran dan prevalensi leptospirosis pada manusia yang
dihasilkan dari kontak dengan ternak yang terinfeksi. Seringkali sapi-sapi bibit,
yang termasuk sapi-sapi pilihan dan sangat berharga itu, yang juga peka
terhadap leptospirosis, akan membantu menyebarkan infeksi secara luas dian
tara ternak Indonesia bila mereka ternyata terinfeksi. Di Indonesia infeksi
leptospirosis sudah pernah dilaporkan sebelumnya yaitu bahwa ada kelompok
sapi di Jawa Barat, yang mengandung banyak reactor terhadap L. hardjo
(hampir 50%) adalah kelompok sapi yang mempunyai sapi impor. Mereka
juga menemukan bahwa paling sedikit 20% dari sapi potong di Jawa
Tengah dan Jawa Timur positif terhadap serovar hardjo dan 37% sapi
perah dari Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sumatera
Utara positif terhadap serovar hardjo dan tarassovi.
Untuk mengetahui seroprevalensi dinamik reaktor positif leptospirosis
pada sapi perah dan sapi potong berdasarkan pada pengujian sampel serum
sapi yang diterima di laboratorium Bakteriologi Balai Besar Penelitian
Veteriner disimpulkan Seroprevalensi leptospirosis rata–rata 18,38% selama
kurun waktu 5 tahun (2003–2007) dengan seroprevalensi paling tinggi adalah
serovar Hardjo (60,54%). Seroprevalensi leptospirosis pada musim kemarau
(16,38%) yang lebih rendah daripada musim penghujan (19,20%), menunjukkan
terjadi peningkatan infeksi pada musim penghujan
Pengembangan Struktur Kemitraan Industri Susu
Usaha Kecil Menengah Menuju Masyarakat
ASEAN 2015
Selasa, 13 Agustus 2013 09:41
Susu merupakan komoditas strategis dalam
memenuhi kebutuhan pangan bergizi bagi
masyarakat . Rantai tataniaga meliputi susu segar
yang dihasilkan peternak, dikirim ke tempat
pengumpulan susu, menuju koperasi dan sampai ke
industri susu untuk diolah lebih lanjut. Pelaksanaan
pola kemitraan yang bersifat parsial maupun
komprehensif masih mengalami beberapa
kendala, utamanya terkait dengan insentif harga.
Penentuan harga susu yang atraktif perlu mendapatkan perhatian,
sehingga jaminan usaha bagi peternak dan usaha kecil menengah yang
menguntungkan secara ekonomi dapat dicapai. Hal ini dapat menjadi
tantangan dalam menghadapi pasar tunggal terintegrasi menuju Masyarakat
Ekonomi ASEAN 2015 .
Usaha sapi perah di Indonesia sebagian besar didominasi oleh peternakan
rakyat, dimana Pulau Jawa masih terus menjadi wilayah utama usaha sapi perah
yang mencakup 99% dari produksi susu nasional pada tahun 2012. Di luar
Pulau Jawa, jumlah populasi sapi perah yang terbanyak berada di wilayah
Sulawesi Selatan (Kabupaten Enrekang, Sinjai dan Sidrap), diikuti oleh
Sumatera Utara (Medan, Deli Serdang, Langkat, Karo dan Simalungun) serta
Sumatera Barat(Padangpanjang dan Pariaman). Pengembangan usaha sapi perah
diluar Pulau Jawa harus terus didorong, seiring dengan promosi konsumsi
berbasis susu segar melalui program pendidikan bagi anak usia sekolah.
Sehubungan dengan hal tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan menugaskan
Tim Kajian Antisipatif dan Responsif Kebijakan Strategis Peternakan dan
Veteriner untuk menyelenggarakan roundtable discussion yang bertemakan
'Pengembangan Struktur Kemitraan Industri Susu Usaha Kecil Menengah
Menuju Masyarakat ASEAN 2015'. Diskusi ini berlangsung pada tanggal 2 Mei
2013 di Bogor dengan melibatkan para pakar, praktisi dan pemangku
kepentingan di tingkat pusat dan daerah serta stakeholders terkait di
bidang industri persusuan nasional .Hasil diskusi dirangkum dalam booklet
ini agar dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak terkait dengan saran dan
rekomendasi tindak lanjutnya yang perlu dilakukan oleh berbagai pihak.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah terlibat secara langsung maupun tidak
langsung sehingga acara ini terselenggara dengan baik. Semoga buku ini
bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Dr. Ir. Haryono, MS
Lolitkambing Potong Bentuk Model Kampung
Ternak Boerka
Rabu, 14 Agustus 2013 00:00
Pada Tahun 2013 Lolitkambing Potong Sei Putih
telah membentuk “Kampung Ternak Boerka”
pada 2 lokasi yaitu di Kabupaten Asahan,
Sumatera Utara dan Kabupaten Tanah Datar
di Sumatera Barat. Kegiatan ini merupakan salah
satu cara untuk menyebarluaskan hasil penelitian
yang secara langsung melibatkan masyarakat
pengguna dan sekaligus sebagai langkah pengujian
inovasi teknologi yang telah dihasilkan.
Model “Kampung Ternak Boerka” dirancang
dalam suatu kawasan desa, dimana sebagian besar
masyarakatnya diarahkan untuk usaha ternak
kambing dengan pola agribisnis, target yang hendak dicapai terciptanya
kawasan peternak penghasil bibit kambing Boerka (village breeding center
Boerka). Hasil Penelitian Lolitkambing Sei Putih menunjukkan bahwa
Kambing Boerka Hasil persilangan kambing Boer dan Kacang mempunyai
prospek sebagai sumber bibit kambing potong di Indonesia.
Kegiatan Kampung Boerka ini direncanakan selama 4 tahun sampai terciptanya
sumber bibit kambing Boerka. Kegiatan yang dilaksanakan meliputi: Seleksi,
pengaturan perkawinan, pemberdayaan kelembagaan kelompok ternak,
penanaman hijauan/legum pakan ternak, pembinaan petani peternak dan
pembentukan sistem agribisnis dan kelembagaan lainnya seperti keuangan,
pemasaran dan penyediaan sapronak.
Untuk merangsang kemauan dan semangat peternak dilakukan
pelatihan manajemen perkandangan, kesehatan, nutrisi, breeding dan
kelembagaan. Dilakukan juga penanaman hijauan pakan ternak sebagai
sumber bibit dan pakan ternak kambing sehingga terpenuhi kebutuhan
hijauan yang berkualitas dan berkecukupaN
Peternak Ayam Kampung, Peternak yang
“MERDEKA”
Senin, 12 Agustus 2013 00:00
Bisnis usaha ayam kampung masih
terbuka lebar. Pasalnya, stok atau
pasokan dibanding permintaan tidak
seimbang. Dengan permintaan yang
luar biasa maka, peluang untuk menjadi
produsen ayam kampung cukup
menjanjikan. Dengan waktu 55 hari,
kurang dari dua bulan Anda sudah bisa
merasakan manisnya hasil dari bisnis
ini.
“Peternak ayam kampung, adalah
peternak yang “Merdeka”. Sumber
pakannya begitu mudah kita peroleh dan bahkan bisa meramu sendiri.
Bahannya ada disekitar kita, dengan memanfaatkan sumberdaya lokal. Kalau
ayam ras itu, kita tergantung pada para kapitalis. Artinya, sebagian besar
dalam rantai budidayanya tergantung pada pakan pabrikan,” papar Ir.
Suprio Guntoro, sebagai narasumber pada pelatihan kelompok tani ternak di
Tampaksiring, Gianyar, beliau merupakan salah satu Peneliti terbaik
Kementerian Pertanian yang berasal dari BPTP Bali.
Pelatihan yang digagas Dinas Peternakan Kabupaten Gianyar ini, melibatkan
Kelompok Tani Ternak Merta Sari, Banjar Basangambu, Desa Manukaya,
Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Pelatihan dengan topik
Budidaya Ayam Buras kali ini, mengundang narasumber dari BPTP Bali. Dari
persoalan teknis pemeliharaan, pakan, dan strategi pemasaran dibedah tuntas
oleh Ir. Suprio Guntoro.
Dikatakan, selain teknis budidaya yang harus dikuasai, kelembagaan kelompok
tani juga merupakan hal penting yang tidak bisa diabaikaan. Antar anggota
kelompok harus ada arus informasi. Belajar bekerjasama, saling tukar informasi
dan mampu memupuk kemandirian dalam berusaha.
Pelatihan yang dihadiri 30 orang anggota kelompok ini, begitu serius mengikuti
pelatihaan. Bahkan, mereka tampak sumringah kala, Guntoro mengungkap
ramuan pakan berbasis pemanfaatan sumberdaya lokal. "Tidak itu saja, ada
beberapa hasil penelitian saya, silangan ayam arab dengan ayam bali mampu
meningkatkan produksi 30% – 40 %", pungkasnya. (widianta)
Pelatihan analisis DIOXINS dan FURANS
Jumat, 02 Agustus 2013 00:00
DIOXINS dan FURANS merupakan
golongan Persistant Organic Pollutans
(POP) yaitu zat kimia yang dapat
bertahan di lingkungan serta dapat
berakumulasi didalam tubuh
organisme. Sumber dioxins dapat
berasal dari industri kimia yang
memakai klorin, insinerasi,
krematorium, pembakaran kayu,
sampah dan lain-lain. Dioxins dapat
terakumulasi dalam jaringan lemak
hewan dan manusia serta dapat
menyebabkan gangguan reproduksi,
gangguan sistem imun dan dapat menyebabkan kanker. WHO menyatakan
bahwa 90% manusia terekspos dioxins melalui makanan, sehingga perlu
diwaspadai adanya kontaminasi pada pakan hewan dan pangan untuk
manusia.
Pelatihan tentang Dioxins dan Furans yang telah diselenggarakan oleh Balai Besar Penelitian
Veteriner (Bbalitvet) bekerjasama dengan PT. Alphasains Dinamika pada tanggal 25-26 Juni
2013 di Bbalivet, Bogor dengan narasumber Hans Joachim Huebschmann, Ph. D
yang berasal dari Jerman yang merupakan teknikal direktur GC-MS, selain itu
sebagai instrukstur di Laboratorium Biotek Bbalitvet adalah Rahmat
Firmansyah S.Si dan Adi Purwanto S.Si. Peserta yang hadir berasal dari
internal Bbalitvet (Laboratorium Toksikologi), BPOM, BB Pasca Panen, Balai
Uji Standarisasi Karantina Pertanian, Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta
dan juga dari Laboratorium swasta.
Dijelaskan mengenai dioxins dan analisis dioxins menggunakan Gas
Cromatography Mass Spectrometry (GC-MS/MS) yang memiliki sensitifitas
tinggi untuk mendeteksi dioxins. Para peserta mendapat penjelasan langsung
tata cara preparasi, ekstraksi, clean up, analisis dioxins pada sampel pangan
menggunakan GC-MS/MS, serta analisis data dengan menggunakan Target
Quant Software
Sistem kandang kelompok tingkatkan produktivitas
sapi PO
Rabu, 14 Agustus 2013 09:43
Sapi potong lokal merupakan aset nasional yang
berpotensi untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai plasma nutfah Indonesia. Salah satu jenis/
bangsa sapi potong lokal yang secara genetik
memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap
lingkungan tropis adalah sapi Peranakan Ongole
(PO) dan hasil persilangannya. Pasokan daging
sampai dengan 78-85% berasal dari sapi potong
lokal sehingga pemotongan tak terkendali dapat mengakibatkan pengurasan
sapi potong
Upaya perbaikan produktivitas sapi potong lokal dapat dilakukan dengan
perbaikan pola pemeliharaan. Pola pemeliharaan secara efektif (individu atau
kelompok) dapat meningkatkan Berat Badan Harian pemeliharaan secara
kelompok dapat dilakukan apabila areal yang tersedia untuk pemeliharan cukup
luas. Pemeliharaan secara individu dapat dilakukan apabila areal yang tersedia
terbatas. Hasil penelitian Komarudin-Ma'sum dkk(1992) menunjukkan bahwa
pola pemeliharaan dengan. menggunakan kandang (individu atau kelompok)
dengan bahan atap genteng lebih nyaman untuk mencapai produksi (berat
badan, ukuran Hnier tubuh) yang optimal
Berdasarkan hasil beberapa penelitian pertumbuhan sapi PO di
peternakan rakyat Sumatera Barat, berat lahir PO murni hanya 19,8 kg. Umur
satu tahun rata-rata berat badan sapi induk PO di peternak bisa mencapai 162,9
kg - 180,2 kg. Sedangkan pada satu setengah tahun dapat mencapai berat
rata-rata antara 192,7 kg - 225,0 kg. Dengan Average Daily Gain (ADG)
0,240 kg/hari. Hal ini menunjukkan bahwa secara genetik sapi potong lokal
yang ada memiliki keragaman yang cukup luas, dengan demikian cukup
memiliki potensi genetik yang unggul.
Upaya memperbaiki perkembangan sapi potong ini, perlu diimbangi
dengan tindakan awal melalui seleksi yang ketat sampai membentuk keturunan
yang mantap tampilan fenotipiknya dan menjadi sapi potong yang
produktivitasnya tinggi dan ekonomis. Potensi biologik meliputi kemampuan
reproduksi dan laju pertumbuhan. Potensi biologik sapi potong ini dapat
dikembangkan secara optimal apabila sapi potong yang dipelihara mendapatkan
ransum yang baik untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan.
Selain itu, faktor genetik juga sangat mempengaruhi pertumbuhannya. Apabila
sapi yang dipelihara mempunyai tetua yang baik, dalam artian sesuai dengan
fungsinya sebagai sapi potong, maka pertumbuhan yang dihasilkan juga akan
baik.
Untuk mengetahui perbedaan pola pemeliharan sapi induk Peranakan Ongole
(PO) secara individu dan kelompok terhadap pertambahan berat badan harian
dalam upaya menyediakan sapi potong konsumsi yang memiliki produktivitas
tinggi. Penelitian yang telah dilakukan menyimpulkan :
Laju pertumbuhan (PBBH) sapi induk di foundation stock dengan
pemeliharaan kelompok lebih baik dari pada pemeliharaan individu.
Pengelolaan di foundation stock secara individu dan kelompok dengan
manajemen perbaikan pakan yang berasal dari limbah agroindustri
pertanian (tumpi plus, tumpi, dedak dan rumput gajah) untuk sapi induk
kelompok PBBHnya lebih tinggi dibandingan dengan sapi induk individu
Sumber: Lolit sapi Potong
Penyapihan pedet pada peternakan lahan kering
Senin, 12 Agustus 2013 00:00
Info Teknologi
Usaha ternak sapi potong rakyat masih
mengalami beberapa permasalahan, antara lain
terjadinya penurunan populasi ternak maupun
produktivitasnya. Salah satu faktor penyebab
penurunan tersebut adalah manajemen dan
pola perkawinan yang kurang tepat
sehingga berdampak terhadap rendahnya
angka konsepsi (kurang dari 50%) dan
panjangnyajarak beranak (lebih dari 15
bulan). Oleh karena itu, diperlukan suatu
teknologi altematif, di antaranya melalui
perbaikan manajemen penyapihan pedet dan
penyediaan gizi pakan yang pada akhirnya
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi
reproduksinya. Salah satu faktor penyebab panjangnya jarak beranak adalah
rendahnya nutrisi dan penyusuan tanpa pembatasan. Pada umumnya,
penyapihan pada pedet sapi potong di petemakan rakyat dilakukan antara umur
4-6 bulan. Pedet pedet tersebut berkumpul dengan induknya selama 24 jam. Hal
itu akan berpengaruh terhadap aktivitas ovarium pascaberanak maupun
timbulnya anestrus post partus (APP). Penyusuan merangsang sekresi prolaktin
(Luteotropic Hormone) oleh kelenjar susu. Kondisi prolaktin yang tinggi
menyebabkan suasana progesteron meningkat sehingga estrogen menjadi rendah
yang pada akhimya berpengaruh terhadap aktualisasi estrus. Terlambatnya
estrus menyebabkan periode anoestrus post partus (APP) semakin panjang. Pada
umumnya penyapihan pedet dari induk sapi di usaha ternak rakyat Desa Sudimulyo
Kecamatan Nguling dilakukan pada umur tiga bulan sehingga akan memperpendek
periode APP dan calving interval menjadi 384 hari. Masa laktasi sapi induk akan
mempengaruhi kebutuhan nutrisi sehingga periode penyusuan pedet akan berdampak
terhadap konsumsi pakan dan waktu penyapihan berhubungan dengan strategi
suplementasi yang memengaruhi berat badan sapi dan kondisi selama masa kering.
Secara berangsur kebutuhan nutrisi pascapartus akan meningkat seiring
dengan peningkatan produksi susu dan terjadinya proses pemulihan organ
reproduksi. Pada umumnya, pemenuhan kebutuhan pakan pada masa laktasi lebih
rendahdari kebutuhannya sehingga teIjadi keseimbangan energi negatif. Secara
fisiologis, induk dalam kondisi keseimbangan energi yang negatif akan menyebabkan
gangguan keseimbangan hormonal sehingga proses folikulogenesis, estrus, dan
ovulasi menjadi terhambat karena nutrisi merupakan prekursor dan energi yang
harus tersedia untuk menjamin kecukupan produksi hormon serta mengantarkan
hormon menuju sel target.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk primipara mengalami.
keterlambatan ovulasi pascapartus lebih besar (21%) dibandingkan pada pluripara
(9%). Begitu pula dengan estrus kedua pascapartus yang merupakan days to first
breeding postpartum pada primipara membutuhkan waktu yang lebih lama (78,5±2,42
hari) dibandingkan multipara (72,9±1,12 hari). Hal ini disebabkan pada saat partus
kondisi primipara baru mencapai kematangan fisik sekitar 82-90% dari bobot tubuh
pluripara sehingga menyebabkan ketidakmampuan hipotalamus dalam merangsang
LH, menurunnya folikulogenesis serta produksi estrogen.
Untuk mengetahui pengaruh umur penyapihan pedet terhadap performans
reproduksi induk sapi potong dan pertumbuhan pedet pada kondisi peternakan
lahan kering. Penyapihan pedet umur 12 minggu pada peternakan lahan kering
menunjukkan tingkat anoestrus post partus dan calving interval lebih pendek
dibandingkan dengan penyapihan pedet pada umur 16 minggu. Disarankan untuk
penyapihan pedet di peternak pada umur 12 minggu