1. Pemerintahan Hindia Belanda

43
MAKALAH MATA KULIAH SEJARAH KOLONIAL PEMERINTAHAN BELANDA DI HINDIA-BELANDA (INDONESIA) Kelompok I: Monica Krisna Ayunda 13406241039 Atika Zuhdi Safitri 13406241040 Fahrizal Manan 13406241052 Dimas Aldi Pangestu 13406241064 Robi Nuzulul Huda 13406244004 Panji Saputra 13406244006 M. Harjuna Kalpikasmara 13406244012 PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL i

description

Pemerintahan Hindia Belanda

Transcript of 1. Pemerintahan Hindia Belanda

MAKALAH

MATA KULIAH SEJARAH KOLONIAL

PEMERINTAHAN BELANDA DI HINDIA-BELANDA (INDONESIA)

Kelompok I:

Monica Krisna Ayunda

13406241039Atika Zuhdi Safitri

13406241040Fahrizal Manan

13406241052Dimas Aldi Pangestu

13406241064Robi Nuzulul Huda

13406244004

Panji Saputra

13406244006M. Harjuna Kalpikasmara 13406244012PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas kolonial yang berjudul Pemerintahan Belanda di Hindia-Belanda (Indonesia) yang disusun untuk memenuhi tugas kuliah strata satu di Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta. Penulisan tugas kuliah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dosen pembimbing.

2. Orang tua, keluarga dan teman-teman yang selalu memberikan dukungan kepada kami.

3. Semua pihak yang telah membantu hingga selesainya penulisan karya ini yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu.

Dalam karya ini, kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.

Yogyakarta, 24 Februari 2014

PenulisDAFTAR ISI

COVER............................................................i

KATA PENGANTAR............................................................ii

DAFTAR ISI............................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan PenelitianD. Manfaat Penelitian................................................................................................................................................................................................................................................12

2

2

BAB II PEMBAHASAN

A. Masuknya Pemerintah Belanda ke Hindia-BelandaB. Sistem Pemerintahan Hindia-Belanda

C. Hukum yang Berlaku di Hindia Belanda

D. Sistem Ekonomi pada Masa Pemerintahan Hindia-Belanda...............................................................................................................................................................................................................................................4

5

12

18

BAB III PENUTUP

Kesimpulan............................................................21

DAFTAR PUSATAKA............................................................22

BAB I

PENDAHULUANA. Latar BelakangVOC yang mengalami kebangkrutan, resmi dibubarkan pada tahun 1799. Keadaan menjadikan pemerintah Belanda mengambil alih kedudukan VOC di Hindia-Belanda. Datangnya Pemerintah Belanda ke Hindia-Belanda membuat perubahan pemerintah secara total. VOC yang fokus dalam perdagangan dinusantara sangat kesulitan dalam menjalankan pemerintahan. Banyaknya kasus-kasus yang menjadikan banyak masalah menjadikan kongsi dagang tersebut gulung tikar dan dinyatakan bangkrut. Selain itu saingan dari kongsi dagang negara lain seperti EIC (East India Company) membuat VOC semakin tertekan.

Faktor lain yang berpengaruh adalah Pemerintah Kerajaan Belanda yang dijadikan pemerintah boneka oleh Perancis di bawah Naoleon Bonaparte. Awalnya pemerintahan boneka tersebut menyelidiki eksistensi VOC di Indonesia. Dan hasil dari penyelidikan tersebut menghasilkan bahwa VOC salah urus dan banyak sekali kasus didalamnya. Pemerintahan Belanda yang sangat bergantung kepada VOC dalam ujung tombak penghasilan dana, membuat beban tersendiri bagi VOC. Belum selesai urusan di Indonesia sebagai jajahan harus mengurusi pula negeri induknya. Maka dari itu kita lihat bagaimana peralihan dan pemerintahan Belanda di Indonesia pasca VOC yang berkuasa di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana peralihan dari VOC ke Pemerintahan Belanda?

2. Bagaimana sistem pemerintahan Hindia-Belanda?

3. Bagaimana Hukum yang berlaku di Hindia-Belanda?

4. Bagaimana sistem Ekonomi yang berlaku pada masa pemerintahan Hindia-Belanda?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui peralihan dari VOC ke Pemerintahan Belanda.

2. Untuk mengetahui sistem pemerintahan Hindai-Belanda.

3. Untuk mengetahui Hukum yang berlaku di Hindia-Belanda.

4. Untuk mengetahui sistem Ekonomi yang berlaku pada masa pemerintahan Hindia-Belanda.

D. Manfaat

Pelaksanaan penelitian diharapkan dapat memberikan kegunaa baik secara teoritis maupun praktis yaitu sebagai berikut:

1. Kegunaan Secara Teoritis

Dapat berguna bagi penelitian-penelitian dengan tema yang sama atau relevan sehingga dapat memeberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu sosial dan sejarah sebagai ilmu multi disipliner dan inter disipliner.

2. Keguanaan Secara Parktis

a. Bagi Mahasiswa

Hasil penelitian ini berguna bagi memenuhi tugas mata kuliah kolonialisasi.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber kuliah yang didapatkan dari bangku kuliah kedalam pembelajaran sejarah. Selain itu, penelitian ini dapat bermanfaat bagi almamater sebagai refrensi kajian untuk pengembangan penelitian selanjutnya yang relevan.

c. Bagi masyarakat

Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran terkait sejarah kolonial dalam pemebelajaran sejarah pada mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah.

d. Bagi universitas dan lembaga pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan pengetahuan sosial bagi para akademisi, dalam pembelajaran kuliah di prodi Pendidikan Sejarah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Masuknya Pemerintah Belanda ke Hindia-Belanda

VOC yang berdiri pada 1602 sudah hampir gulung tikar. Selama perang Inggris IV (1780-84), VOC di Indonesia semakin terpisah dari negeri Belanda. VOC bukan hanya harus meminjam 2.300 prajurit dari Surakarta dan Yogyakarta guna mempertahankan Batavia dari serangan yang diduga akan dilancarkan oleh pihak Inggris (tidak pernah terjadi, tetapi juga meminta bantuan keuangan kepada pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai penyelidikan terhadap kondisi VOC dan berhasil mengungkapkan kebangkrutan, skandal, dan salah urus di segala sisi. Dalam kurun waktu Desember 1794 sampai Januari 1795, Perancis menyerbu Belanda dengan penuh sukses dan membentuk pemerintahan boneka di negeri Belanda. Pada tahun 1976 Hereen XVII dibubarkan dan digantikan dengan komite baru. Sesudah itu pada 31 Desember 1799 VOC secara resmi dibubarkan. Wilayah yang kini akan menjadi miliknya kini menjadi milik pemerintah Belanda. Akan tetapi hanya perubahan kecil yag terjadi di Indonesia, karena para pemegang jabatan masih tetap orang-orang lama dan tetap pula cara lama yang dilakukan oleh mereka (M.C. Ricklefs, 2008: 242).

Pada tahun 1808 mulai berlangsung suatu zaman baru dalam hubungan Jawa-Eropa. Negeri Belanda telah berada di bawah kekuasaan Perancis dibawah kekuasaan Napoleon Bonaporte sejak 1795. Pada tahun 1806 Marsekal Herman willem Daendels ke Batavia untuk menjadi gubernur Jendral. Deandels ditunujuk untuk dengan tujuan utama mempertahankan Hindia-Belanda dari Inggris (M.C. Ricklefs, 2008: 242). B. Sistem Pemerintahan Hindia-BelandaHerman willem Daendels adalah seorang pemuja prinsip-prinsip pemerintahan yang revolusioner. Dia membawa ke Jawa suatu perpaduan antara semangat pembaruan dan metode-metode kediktaktoran, yang sebenarnya hanya menuai sedikit hasil dan justru banyak perlawanan. Dia berusaha memberantass ketidakefisienan, penyelewengan, dan korupsi yang menyelimuti administrasi Eropa, tetapi banyak dari langkah-langkah pembaruannya tak begitu berhasil. Dia memiliki perasaan tidak suka, yang muncul dari naluri-naluri anti-feodalnya, terhadap para penguasa Jawa (Bupati) di daerah-daerah yang dikuasai Belanda. Bagi Daendels, mereka bukan penguasa atau pemimpin atas masyarakat mereka melainkan pegawai administrasi Eropa. Dia pun mengurangi wewenang dan penghasilan mereka (M.C. Ricklefs, 2008: 245).

Daendels memperlakukan para penguasa Jawa tengah seolah-olah mereka merupakan vasal-vasal Batavia. Menurut hukum, tindakannya itu betul, karena perjanjian tahun 1749 telah menyerahkan kedaulatan kepada VOC. Akan tetapi, Batavia sesungguhnya tidak pernah berusaha melaksanakan kekuasaannya di wilayah pedalaman. Para residen di istana-istana kini dinamakan Minister bukan Residen. Mereka dipandang bukan sebagai duta dari sekutu yang satu untuk sekutu yang lain, melainkan sebagai wakil-wakil lokal dari kekuasaan pemerintahan Eropa, yang diwakili di Batavia oleh gubernur-jenderal. Dalam semua urusan protokol, mereka mulai sederajat dengan raja-raja Jawa. Ini merupakan suatu pelanggaran langsung terhadapa hubungan yang sudah terjalin sejak tahun 1750-an (M.C. Ricklefs, 2008: 245).Pada bulan Mei 1811 kedudukan Deandels sebagai Gubernur Jendral digantikan oleh Jan Willem Janssens, yang telah menderita penghinaan akibat menyerahkan Tanjug Harapan kepada pihak Inggris pada tahun 1806. Dia mampu bertahan cukup lama di Jawa hanya untuk melakukan hal yang sama. Pada tanggal 4 Agustus 1811, 60 kapal Ingris muncul di depan Batavia dan pada 26 Agustus kota tersebut berikut daerah-daerah sekitarnya jatuh ke tangan Inggris. Janssens mundur ke Semarang dmana legiun Mangkunegaraan dan prajurit-prajurit dari Yogyakarta dan Surakarta bergabung. Pihak Inggris berhasil memukul mundur mereka dan pada 18 September Janssens menyerah di dekat Salatiga (M.C. Ricklefs, 2008: 248).

Dari tahun 1812 sampai 1825 perasaan tidak senang semakin meningkat di Jawa karena belum terselesaikannya beberapa persoalan. Orang-orang Eropa masih melakukan campur tangan terhadap urusan-urusan istana pada umumnya dan khususnya dalam pergantian raja di Yogyakarta. Korupsi dan persengkokolan makin merajalela di istana orang-orang eropa di Cina menyewa tanah di Jawa Tengah dan semakin luas untuk dijadikan perkebunan tebu, kopi, nila dan lada terutama dari kalangan bangsawan yang membutuhkan uang. Di perkebunan tersebut penduduk perdesaan Jawa dan adat dipandang rendah para perani semakin terpaksa untuk membayar pajaknya dalam bentuk kontan, dan semakin mendorong mereka untuk meminjam uang dari para lintah darat, kebanyakan adalah orang cina. Penguasa-penguasa cina dan penyewa pajak cina memainkan peran yang semakin menonjol dalam masyrakat pedesaan jawa ini semua meningkatkan ketegangan etnis dengan rakyat Jawa. Pada tahun 1823, gubernur-gubernur. G.A.G.Ph. van der Capellen (1819-1826) mengambil keputusan untuk mengakhiri penyelewangan-penyelewangan seputar penyewaan tanah swasta di Jawa tengah. Dai memerintahkan agar sewa menyewa semacam itu dihapuskan. Para bangsawan yang telah menyewakan tanah mereka, kini tidak hanya kehilangan sumber pendapatan, tetapi juga harus mengembalikan uang muka yang telah dibayarkan oleh penyewaa Cina dan Eropa (yang umumnya sudah habis di belanjakan) dan membayra ganti rugi kepda mereka atas berbagai perbaikan yang telah mereka lakukan ditanah-tanah tersebut (yang kebanyakan tidak berharga bagi para bangsawan, yang tidak berkeinginan mengolah tanah-tanah apanage mereka menjadi perkebunan). Inilah langkah terakhir yang telah mendorong banyak bangsawan melancarkan banyak pemberontakan (M.C. Ricklefs, 2008: 252-254).Pemikiran van den Bosch (1780-1844) pemikiran mengenai cultur stelsel tersebut tidak pernah drumuskan secara eksplisit, tetapi tampaknya sistem itu didasarkan pada suatu prinsip umum yang sederhana. Desa-desa Jawa berhutang pajak tanah (land rent) kepada pemerintah yang iasanya diperhitungkan sebsar 40% dari hasil panen utama desa itu (biasanya beras). Struktur administrasi cultur stelsel sesuai dengan konservatisme kebijkan Belanda yang baru setelah tahun 1830. Percobana-percobaan terdahulu dalam hubungan langsung dengan petani di tinggalkan, dan desa menjadi unit dasar pemerintahan. Kepala desa merupakan mata rantai antara petani dan pejabat-pejabat bangsa Indonesia yang lebih tinggi tingkatannya yang mencapai puncaknya pada bupati (yang disebut regent oleh Belanda), yaitu seorang bangsawan yang mengepalai kabupaten Bupati bertanggungjawab kepada pemerintahan bangsa Eropa, tetapi para pejabat bangsa Eropa juga terlibat pada tingkatan yang lebih rendah. Untuk pertama kalinya kehadiran para pejabat, berkebdangsaan Eropa ditninggkat desa menunjukan kepada rakyat Jawa biasa bahwa hidup mereka dikendalikan oleh pemerintah kolonial. Para pejabat, baik yang berkebangsaan Belanda maupun Indonesia yang ditugaskan melaksanakan sekema baru tersebut dibayar berdasarkan persentase dari komoditi pertanian yang diserahkan. Ini yang merupakan sumber korupsi yang subur dan perangsang munculnya tuntutan-tuntutan yang bersifat memeras desa-desa. Hasil-hasil bumi ditaksir terlalu kecil perdagangan swasta dibidang komoditi pertanian semakin pertanian dan transaksi-transaksi yang curang berkembang dikalangan pejabat-pejabat pribumi, orang-orang Belanda, dan para penguasa Cina (M.C. Ricklefs, 2008: 260-262).Undang-Undang Agraria tahun 1870 membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan bagi para penguasa dijamin. Hanya orang-orang Indonesialah yang dapat memiliki tanah, tetapi orang-orang asing diperkenankan menyewa dari pemerintah sampai selama 75 tahun atau dari para pemilik pribumi untuk masa paling lama antara lima dan dua puluh tahun (tergantung pada persyaratan hak pemilikan tanah) perkebunan swasta kini dapat berkembang di Jawa maupaun Luar Jawa. Periode Liberal (sekitar 1870-1900) merupakan zaman semakin hebat ekspolitasi sumber-sumber pertanian jawa maupun pertanian luar Jawa. Dampak periode liberal setelah sekitar 1870 terhadap rakyat Jawa secara umun dapat dikatan bahwa harapan-harapan para pembaharu liberal gagal terwujud bila yang dijadikan ukuran adalah anggapan mereka bahwa pengaturan ekonomi baru dapat menguntungakan rakyat pribumi dan sekaligus melanjutkan penyerapan surplus pertanian Jawa untuk keuntungan ekonomi negeri Belanda dan para pedagang swasta. Pada zaman liberal ini pemerintah tidak hanya bertindak menghapuskan lambang-lambang feodal kaum elit bangsawan tetapi juga berusaha menanamkan semangat baru kepada generasi mudanya. Hoofdenscolen (sekolah untuk para kepala) didirikan mulai tahuan 1878 untuk anak-naak kalangan elit atas. Mulai sekitar tahun 1893 sekolah-sekolah ini mulai bersifat kejuruan dengan mata pelajaran dibidang hukum, tata buku, pengukuran tanah, dan lain-lain. Kan tetapi kalangan keluarga Bupati sudah kehilangan semangat sedemikian rupa sehingga anak mereka tidak ingin menggantikan keududukan sang ayah, lama kelamaan, pemerintah harus mengisi jabatan-jabatan tinggi pemerintahan dengan anak-anak pejabat yang lebih rendah tingkatannya atau bahkan dari luar kalangan bangsawan pribumi (M.C. Ricklefs, 2008: 269-279). Terhadap politik kolonial liberal yang kurang memeperhatikan kesejahteraan pribumi menuai banyak kritik, diantara kritik-kritik itu yang terpenting berasal dari C. Th. Van Deventer yang termuat dalam majalah de Gids pada 1899. Karangannya yang memuat kritik itu berjudul Een Eereschuled (suatu hutang budi). Dalam karangannya itu dikemukakan bahwa kemakmuran negeri Belanda diperoleh dari kerja dan jasa orang Indonesia, maka dari itu Belanda berhutang budi pada rakyat Indonesia. Bangsa Belanda haruslah membayar dengar menyelenggarakan Trias; Irigasi, emigrasi dan Edukasi. Nampaknya Van Deventer memang bermaksud baik. Gagasan pembaharuan seperti tercermin dalam pidato Ratu yang berjudul Ethische Richting atau Nieuw Keurs (Haluan Baru), yang dikemukakan oleh Ratu Wihelmina (1890-1948) pada 1901 (Mudjanto, 1974: 21).Politik kolonial Ethika itu sering disebut Politik Paternalistis, yaitu politik pemerintah yang ingin mengurus kepentingan anak negeri tanpa mengikutsertakan anak negeri. Tujuan politik kolonial Ethika, yaitu eksploitasi kekayaan Indonesia bagi penjajah,dengan politik itu rakyat Indonesia hendak dininabobokan. Jadi, politik itu pada hakikatnya ibarat memebri hadiah dengan tangan kanan dan mencabutnya dnegan tangan kiri. Trias Van Deventer dilaksanakan meskipun dengan tujuan-tujuan yang tetap kolonialistis dan imperialis (Mudjanto, 1974: 22):1. Kemakmuran yang lumayan, kemampuan membeli hasil industri Belanda, misalnya tekstil.

2. Perbaikan kesehatan lebih mudah memperoleh tenaga yang sehat.

3. Pengajaran yang dilaksanakan hanyakah pengajaran tingkat rendah, yang tujuannya memenuhi kebutuhan pegawai rendah.

4. Irigasi hanya dibangun didaerah perkebunan yang memepunyai hak utama dalam penggunaan.

5. Pembangunan jalan, dan jalan kereta api.

6. Transmigrasi keluar Jawa, yang dimaksudkan untuk mempermudah pengusaha-pengusaha di luar jawa dalam memeroleh tenaga kerja.

7. Dalam mengatasi masalah kependudukan harusnya mengembangkan industri. Dalam kenyataannya, Belanda tidak melakukannya. Karena takut kelas buruh akan bangkit secara besar-besaran di Indonesia.

Perlu ditambahkan bahwa pelaksanaan dari politik etis oleh gubernur jenderal J. B. Van Heutsz dengan penasehatnya Prof. C. Snouck Hurgronje bersemboyankan Univikasi Indonesia Belanda bangsa Indonesia hendak di Belandakan sehingga ikatan Indonesia Belanda bisa abadi. Politik etis bermanfaat bagi bangsa Indonesia, karena mereka menjadi makin kenal akan beragai ide barat: liberalis, demokrasi, HAM, dan kebebasan sipil bagi umumnya. Makin banyak kaum terpelajar Indonesia, yang menghasilkan pergerakan: Wahindin Sudirohusodo, Kartini, Dewi Sartika, Maria Walanda-Maramis, dll (Mudjanto, 1974: 24).Perlu dikemukakan disini bahwa J.B. van Heutsz dikenal sebagai pencipta Pax Nerlandica yang berintikan Univication and Pasification. Kesatauan Indonesia yang lama telah diusahakan oleh penguasa-penguasa Indonesia dijaman dulu tanpa hasil, akhirnya dapat dilaksanakan oleh pemerintah Belanda pada awal abad ini. Dalam persemaian yang demikian itulah, kemudian tumbuh nasionalisme yang diwujudkan dalam berbagi pergerakan nasional yang modern (Mudjanto, 1974: 24).C. Hukum yang berlaku di Hindia-Belanda

Pada awal berdirinya VOC, di Nusantara masih menerapkan hukum adat sebagai hukum tertinggi yang mengikat setiap rakyat. Hukum tersebut di masing-masing wilayah berbeda dan raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi berhak mengubah maupun menambah peraturan tersebut. Ketika VOC mulai mencampuri urusan dalam negeri kerajaan-kerajaan di Nusantara maka hukum adat yang sudah berlaku lama mulai dipinggirkan dan perundang-undangan dari Negeri Belanda (concordatie-beginsel) yang dijadikan acuan. VOC yang juga memiliki hak istimewa dari Pemerintah Belanda bertindak semakin menjadi-jadi dengan memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Belanda kepada penduduk pribumi yang sebagian besar merupakan hukum disiplin. Ketika VOC berakhir pada 31 Desember 1799, tata hukum yang berlaku pada waktu itu terdiri atas aturan-aturan yang berasal dari negeri Belanda dan aturan-aturan yang diciptakan oleh gubernur jendral yang berkuasa di daerah kekuasaan VOC. Serta aturan-aturan tidak tertulis maupun tertulis yang berlaku bagi orang-orang pribumi , yaitu hukum adatnya masing masing.

Sistem hukum di Hindia Belanda memasuki babak baru. Ketika itu Hindia Belanda yang dipimpin oleh Daendles (1808 1811) menerapkan aturan bahwa hukum adat boleh berlaku di Indonesia dengan catatan: (1) hukum adat tidak bertentangan dengan kepentingan umum, (2) hukum adat tidak boleh bertentangan dengan asas keadilan dan kepatutan sesuai hukum yang dianut (hukum barat), (3) hukum adat dapat menjamin keamanan umum. Meskipun Daendles menganggap bahwa hukum adat dilekati beberapa kelemahan (terutama mengenai hukum pidana), namun ia merasa segan mengganti hukum adat itu sekaligus dengan hukum Eropa (Iman Sudiyat, 2010: 79).Angin segar baru muncul ketika Hindia Belanda mulai dikuasai oleh Raffles (1811 1816). Ketika itu, dia mempelajari hukum-hukum yang dulunya berlaku di Hindia Belanda sejak VOC berkuasa hingga masa kepemimpinan Daendles. Dari data-data maupun bukti yang dia miliki, Raffles berkesimpulan bahwa hukum di Hindia Belanda harus dirubah dan disederhanakan. Raffles menggunakan cara berpolitik yang humanis dan bermurah hati kepada golongan pribumi untuk menarik simpati.

Pada masaRaffles sistem hukum di Belanda dikenal dengan nama Besluiten Regerings(1814 1855). Disini, raja berkuasa mutlak atas daerah jajahannya termasuk mutlak terhadap harta milik negara bagian lainnya. Kekuasaan mutlak raja tersebut diterapkan pula dalam membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum yang dikenal dengan istilahAlgemene Verordeningatau peraturan pusat. Peraturan pusat berupa keputusan raja dinamakankoninklijk besluit. Pengundangannya lewat selebaran yang dilakukan oleh gubernur jendral.Adadua macam keputusan raja sesuai dengan kebutuhannya.1. Ketetapan raja yaitubesluitsebagai tindakan eksekutif raja misalnya ketetapan pengangkatan gubernur jendral.2. Ketetapan raja sebagai tindakan legislatif, misalnya berbentukAlgemene Verordening atauAlgemene maatregel van bestuurdi negeri Belanda.Saat itu, raja mengangkat para komisaris jendral yang ditugasi melaksanakan pemerintahan diHindia Belanda. Mereka yang diangkat ialah Elout Buyskes dan Van der Capellen.Parakomisaris jendral itu tidak membuat peraturan baru untuk mengatur pemerintahannya. Mereka tetep memberlakukan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris berkuasa di Indonesia, yaitu mengenaiLandretedan susunan pengadilan buatan Raffles.

Pada tahun 1830 pemerintah Belanda berhasil mengkodifikasikan hukum perdata.Pada tanggal 15 Agustus 1839, menteri jajahan di Belanda mengangkat komisi undang-undang bagi Hindia Belanda yang terdiri dari Mr. Scholten van Out Haarlem (ketua) dan Mr. J. Schneither serta Mr.J.F.H. van Nes sebagai anggota. Mereka diberi tugas untuk mengkodifikasi beberapa peraturan perundang-undangan di Hindia Belanda. Beberapa perundang-undangan yang berhasil dikodifikasi adalah: (1) Reglement op de Rechterlijke Organisatie(RO) atau Peraturan Organisasi Peradilan. (2)Algemene Bepelingen van Wetgeving(AB) atau ketentuan-ketentuan umum tentang perundang-undangan. (3) Burgerlijk Wetboek(BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (4) Wetboek van Kooponhandel(WvK) atau KUHD. (5) Reglement of de Burgerlijke Rechtsvordering(RV) atau Peraturan Tentang Acara Perdata. Tata hukum Hindia Belanda pada saat itu terdiri dari : 1. Peraturan-peraturan tertulisyang dikodifikasikan, 2. Peraturan-peratauran tertulis yang tidak dikodifikasikan, 3.Peraturan-peraturan tidak tertulis (hukum adat) yang khusus berlaku bagi orang bukan golongan Eropa.

Pada tahun 1848 terjadi perubahanGrond Wet(UUD) di negeri Belanda. Perubahan UUD negeri Belanda ini mengakibatkan terjadinya pengurangan terhadap kekuasaan raja, karenaStaten Generaal(Perlemen) juga turut campur tangan dalam pemerintahan dan perundang-undangan jajahan Belanda di Indonesia. Sejak saat itu sistem pemerintahan Kerajaan Belanda berubah menjadi monarki konstitusional parlementer. Pada saat itu berlakulah Regerings Reglement(RR) dari tahun 1855 - 1926. Golongan penduduk dibagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Timur Asing,dan Pribumi. Pada masa berlakunya RR telah berhasil diundangkan kitab-kitab hukum, yaitu: (1) Kitab hukum pidana untuk golongan Eropa. (2) Algemene Politie Strafeglementsebagai tambahan kitab hukum pidana untuk golongan Eropa. (3) Kitab hukum pidana bagi orang bukan eropa. (4) Politie Strafelegmentbagi orang bukan Eropa. (5) Wetboek van Strafrechtyang berlaku bagi semua golongan penduduk. Pada tahun 1926 Regerings Reglement (RR) diperbarui dan diganti menjadi Indische Staasregeling(IS) dan berlaku tanggal 1 Januari 1926. Pembaruan RR menjadi IS disebabkan karena berubahnya pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahanGrond Wetnegeri Belanda pada 1922. Pada masa berlakunya IS ini bangsaIndonesiasudah turut membentuk undang-undang dan turut menentukan nasib bangsanya karena mereka turut serta dalamvolksraad. Pada pasal 131 IS dapat diketahui bahwa pemerintah Hindia Belanda membuka kemungkinan adanya usaha untuk unifikasi hukum bagi ketiga golongan penduduk Hindia Belanda pada waktu itu yang ditetapkan dalam pasal 163 IS. Tujuan pembagian golongan penduduk sebenarnya untuk menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan. Sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan adalah sebagai berikut:

1. Hukum yang berlaku bagi golongan Eropa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 131 IS adalah hukum perdata, hukum pidana material, dan hukum acara.2. Hukum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa adalahBurgerlijk WetboekdanWetboek van Koophandeldengan asas konkordansi.3. Hukum pidana material yang berlaku bagi golongan Eropa ialahWetboek vanStrafrecht.4. Hukum acara yang digunakan ialah Reglement op de Burgerlijk RechtsvorderingdanReglement op de Strafvodering.

Hukum yang berlaku bagi golongan pribumi adalah hukum adat dalam bentuk tidak tertulis. Namun jika pemerintah Hindia Belanda menghendaki lain, hukum dapat diganti dengan ordonansi yang dikeluarkan olehnya. Dengan demikian berlakunya hukum adat tidak mutlak. Keadaan demikian telah dibuktikan dengan dikeluarkannya berbagai ordonansi yang diberlakukan bagi semua golongan.

Untuk hukum yang berlaku bagi golongan Timur Asing adalah: (1) Hukum perdata dan Hukum pidana adat mereka menurut ketentuan Pasal 11 AB. (2) Hukum perdata golongan Eropa hanya bagi golongan Timur Asing Cina untuk wilayah Hindia Belanda. (3) WvS yang berlaku sejak 1 Januari 1918, untuk hukum pidana material. (4) Lembaga pengadilannya meliputi Pengadilan Swapraja, Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer.D. Sistem Ekonomi pada masa Pemerintahan Hindia-Belanda

Sejak 1600an, VOC mempermasalahkan kebijakan untuk meningkatkan pendapatan negara dengan menerapkan peraturan verplichte leverentie (kewajiban untuk menyerahkan hasil alam ke VOC), contingenten (pajak produk agrikultur, pembatasan jumlah tanaman Lombok untuk meningkatkan harga) dan preangerstelsel (kewajiban untuk menanam pohon kopi). Pada Maret 1809, setelah menjual tanah Weltevedren, Pemerintahan Daendels memutuskan untuk membangun istana di tanah Waterlooplein. Istana ini direncanakan untuk menjadi pusat Pemerintahan dan digunakan untuk kepentingan Gubernur Jenderal, dalam rangka untuk menentukan kebijakan. Dalam tambahannya, gedung ini juga sebagai tempat penahanan (www.kemenkeu.go.id).

Pemerintahan Daendels berakhir dan digantikan oleh Pemerintahan Jensen. Gubernur Jensen tidak begitu peduli pada pembangunan bangunan, jadi pembangunan tidak mendapat kemajuan selama masa jabatannya. Setelah pemerintahan Jensen, Letkol J. C. Schultze, seorang petugas berpengalaman yang membangun gedung Societet Harmonie di Batavia, melanjutkan tahapan pembangunan. Akan tetapi, pembangunan ini tertunda karena perpindahan kekuasaan dari Hindia-Belanda ke Inggris (www.kemenkeu.go.id).

Kekuasaan Inggris dipimpin oleh Thomas Raffles (1811-1816) memunculkan kebijakan baru, Landrent (Pajak Tanah), dengan mengubah pola dari pajak tanah yang diterapkan oleh Belanda sebelumnya. Harapan Raffles dengan mengeluarkan kebijakan tersebut adalah untuk membuat orang-orang Hindia-Belanda mempunyai uang untuk membeli produk Inggris. Tujuannya adala untuk mengembangkan pasar untuk memproduksi produk dan membuat rakyat menggunakannya. Kebijakan Raffles gagal karena tidak terdapat dukungan dari penguasa lokal, bangsawan dan rakyat yang tidak mengerti tentang penghitungan uang dan pajak (www.kemenkeu.go.id).

Hindia-Belanda kemudian dipimpin kembali oleh orang Belanda setelah perjanjian Inggris-Belanda. Di masa ini, pemulihan ekonomi mulai dilakukan. Sebagai Gubernur Jenderal pada masa itu, Du Bus (1826) melanjutkan pengembangan dari istana dengan bantuan dari Ir. Tromp, dan selesai pada 1836. Bangunannya digunakan sebagai kantor Pemerintahan Hindia-Belanda, yang mana diresmikan oleh Du Bus. Pada tahun yang sama Du Bus juga membuat De Javasche Bank atas dasar kondisi ekonomi di Hindia-Belanda, dimana diduga untuk kebutuhan mengontrol dan pengaturan sistem pembayaran (www.kemenkeu.go.id).

Di 1836, Van den Bosch, berinisiatif memulai menerapkan culturstelsel (tanam paksa), dimana bertujuan untuk memproduksi berbagai macam komoditi yang diinginkan pasar dunia. Sistem ini merupakan pengganti pajak tanah, untuk mengenalkan ekonomi tunai di komunitas pinggiran. Ini dapat dilihat dari peningkatan aktivitas ekonomi. Dalam tambahannya, reformasi financial telah berulang kali dilakukan, tapi tidak memberikan pengaruh terhadap kekuatan ekonomi (www.kemenkeu.go.id).

Kebijakan selanjutnya Hindia-Belanda adalah laissez faire laissez passer, yang artinya ekonomi diberikan ke sector privat (kapitalis) kebijakan ini menimbulkan perhatian kelompok Humanis Belanda yang menginginkan peruntungan yang lebih baik untuk pribumi. Hukum pajak tanah yang baru, mengakibatkan penderitaan lebih. Departement van Financien didirikan dan berlokasi di istana Daendels karena pemerintahan pusat pindah. Bangunan ini digunakan untuk koordinasi penerapan pajak, pelatihan, dan menyediakan dukungan administrasi finasial di tempat lainnya (www.kemenkeu.go.id).

Kekurangan ahli financial membuat Pemerintahan Belanda mengadakan berbagai macam kursus untuk orang Belanda dan Pribumi yang dianggap mampu. Konsentrasi pada manajemen keuangan dimaksudkan untuk memudahkan kontrol pendapatan dan belanja negara. Pecahkanya Perang Dunia II di Eropa, yang berlanjut ke wilayah Asia Pasifik, dan kondisi yang buruk Pemerintahan Belanda dai invasi Jepang membuat posisi Indonesia sebagai koloni Belanda semakin sulit. Kedatangan Jepang di Jawa, Presiden dari DJB, Dr. GG van Buttingha Wichers sukses memindahkan semua cadangan emas ke Australia dan Afrika Selatan melalui pelabuhan Cilacap (www.kemenkeu.go.id). BAB III

PENUTUPKesimpulan

1. Pada tahun 1976 Hereen XVII dibubarkan dan digantikan dengan komite baru. Sesudah itu pada 31 Desember 1799 VOC secara resmi dibubarkan. Wilayah yang kini akan menjadi miliknya kini menjadi milik pemerintah Belanda. Akan tetapi hanya perubahan kecil yag terjadi di Indonesia, karena para pemegang jabatan masih tetap orang-orang lama dan tetap pula cara lama yang dilakukan oleh mereka.2. Pemerintahan Belanda di Hindia-Belanda pada masa Deandels menganut sitem Sentralistik. Sesudah itu Deandels diganti oleh Janssens dan pada masanya Hindia-Belanda jatuh ke tangan Inggris. Setelah Inggris menyerahkan Hindia-Belanda kembali ke tangan Belanda, Belanda mulai menguasai Penuh daerah Jawa, Sumatra dan Madura. Belanda juga tidak mengabaikan kekuasaan di luar daerah tersebut. Kalimantan, Sulawesi, Bali, Sunda Kecil, Maluku, dan Papua mulai dikuasai. Pemerintahan Belanda mulai memperbaiki sistem administrasi dan pembagian daerah di Hindia-Belanda. Sistem hukum di Hindia Belanda memasuki babak baru. 3. Ketika itu Hindia Belanda yang dipimpin oleh Daendles (1808 1811) menerapkan aturan bahwa hukum adat boleh berlaku di Indonesia dengan catatan: (1) hukum adat tidak bertentangan dengan kepentingan umum, (2) hukum adat tidak boleh bertentangan dengan asas keadilan dan kepatutan sesuai hukum yang dianut (hukum barat), (3) hukum adat dapat menjamin keamanan umum. Pada tahun 1830 pemerintah Belanda berhasil mengkodifikasikan hukum perdata.Pada tanggal 15 Agustus 1839, menteri jajahan di Belanda mengangkat komisi undang-undang bagi Hindia Belanda yang terdiri dari Mr. Scholten van Out Haarlem (ketua) dan Mr. J. Schneither serta Mr.J.F.H. van Nes sebagai anggota. Mereka diberi tugas untuk mengkodifikasi beberapa peraturan perundang-undangan di Hindia Belanda. Beberapa perundang-undangan yang berhasil dikodifikasi adalah: (1) Reglement op de Rechterlijke Organisatie(RO) atau Peraturan Organisasi Peradilan. (2)Algemene Bepelingen van Wetgeving(AB) atau ketentuan-ketentuan umum tentang perundang-undangan. (3) Burgerlijk Wetboek(BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (4) Wetboek van Kooponhandel(WvK) atau KUHD. (5) Reglement of de Burgerlijke Rechtsvordering(RV) atau Peraturan Tentang Acara Perdata. Tata hukum Hindia Belanda pada saat itu terdiri dari : 1. Peraturan-peraturan tertulisyang dikodifikasikan, 2. Peraturan-peratauran tertulis yang tidak dikodifikasikan, 3.Peraturan-peraturan tidak tertulis (hukum adat) yang khusus berlaku bagi orang bukan golongan Eropa. Pada tahun 1848 terjadi perubahanGrond Wet(UUD) di negeri Belanda. Perubahan UUD negeri Belanda ini mengakibatkan terjadinya pengurangan terhadap kekuasaan raja, karenaStaten Generaal(Perlemen) juga turut campur tangan dalam pemerintahan dan perundang-undangan jajahan Belanda di Indonesia. Sejak saat itu sistem pemerintahan Kerajaan Belanda berubah menjadi monarki konstitusional parlementer. Pada saat itu berlakulah Regerings Reglement(RR) dari tahun 1855 - 1926. Golongan penduduk dibagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Timur Asing,dan Pribumi. Pada masa berlakunya RR telah berhasil diundangkan kitab-kitab hukum, yaitu: (1) Kitab hukum pidana untuk golongan Eropa. (2) Algemene Politie Strafeglementsebagai tambahan kitab hukum pidana untuk golongan Eropa. (3) Kitab hukum pidana bagi orang bukan eropa. (4) Politie Strafelegmentbagi orang bukan Eropa. (5) Wetboek van Strafrechtyang berlaku bagi semua golongan penduduk. 4. Sejak 1600an, VOC mempermasalahkan kebijakan untuk meningkatkan pendapatan negara dengan menerapkan peraturan verplichte leverentie (kewajiban untuk menyerahkan hasil alam ke VOC), contingenten (pajak produk agrikultur, pembatasan jumlah tanaman Lombok untuk meningkatkan harga) dan preangerstelsel (kewajiban untuk menanam pohon kopi). Kekurangan ahli financial membuat Pemerintahan Belanda mengadakan berbagai macam kursus untuk orang Belanda dan Pribumi yang dianggap mampu. Konsentrasi pada manajemen keuangan dimaksudkan untuk memudahkan kontrol pendapatan dan belanja negara. Pemerintahan Daendels berakhir dan digantikan oleh Pemerintahan Jensen. Gubernur Jensen tidak begitu peduli pada pembangunan bangunan, jadi pembangunan tidak mendapat kemajuan selama masa jabatannya. Setelah pemerintahan Jensen, Letkol J. C. Schultze, seorang petugas berpengalaman yang membangun gedung Societet Harmonie di Batavia, melanjutkan tahapan pembangunan. Hindia-Belanda kemudian dipimpin kembali oleh orang Belanda setelah perjanjian Inggris-Belanda. Di masa ini, pemulihan ekonomi mulai dilakukan. Sebagai Gubernur Jenderal pada masa itu, Du Bus (1826) melanjutkan pengembangan dari istana dengan bantuan dari Ir. Tromp, dan selesai pada 1836.DAFTAR PUSTAKA

Imam Sudiyat. 2010. Asas-asas Hukum Adat: Bekal Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

M.C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-1998. Jakarta: Kompas Gramedia. Moedjanto. 1974. Indonesia Abad Ke-20 Jilid I. Yogyakarta: Kanisius.____.____.Sejarah Ekonomi pada Zaman Hindia-Belanda. Diakses dari www.kemenkeu.go.id pada 23 Maret 2015 pukul 11.00 WIB.iiv