1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

58
62 TAHUN BPK RI Bekerjasama Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII MAJALAH DWIWULANAN BPK RI - ISSN 0216-8154 MAJALAH DWIWULANAN BPK RI - ISSN 0216-8154 NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

Transcript of 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

Page 1: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

62 TAHUN BPK RIBekerjasama Mendorong

Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara

NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIIIMAJALAH DWIWULANAN BPK RI - ISSN 0216-8154MAJALAH DWIWULANAN BPK RI - ISSN 0216-8154 NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

Page 2: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

2 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

2

DAFTAR ISI116edisi

M A J A L A H P E M E R I K S A

SAIs are expected to audit climate change because of the greenhouse effect, solar influ-ences and a number of other sources. The first source of climate change is caused by the emissions of carbon dioxide into the atmosphere, which in turn depends on population, economic growth, technology, energy and lifestyle.

AUDITING CLIMATE CHANGE: THE INDONESIAN PERSPECTIVE

Beyond The Call of Duty,Good Governance Bukanlah Mimpi Belaka

Pengertian dan Aspek Tanggung jawab Keuangan Daerah Sebagai auditor di BPK kita sering sekali mendengar, mengucapkan dan bahkan mem-bicarakan tentang pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara (termasuk di dalamnya keuangan daerah).

Masih hangat terngiang karena belum lama tercetus sebuah gagasan yang dilontarkan Ketua BPK RI Prof. Dr. Anwar Nasution, berupa enam bentuk inisiatif untuk mendorong percepatan pembangunan sistem pem-bukuan dan manajemen keuangan negara.

LAPORAN UTAMA

TERKINI

Redaksi menerima kiriman artikel (disertai dengan softcopy dan foto penulis) sesuai dengan misi majalah PEMERIKSA. Redaksi berhak mengoreksi/mengubah naskah yang diterima sepanjang tidak mengubah isi naskah.

Isi majalah ini tidaklah berarti sama dengan pendirian Badan Pemeriksa Keuangan.

5

8

�4

�7

62 TAHUN BPK RIBekerjasama Mendorong

Transparansi dan AkuntabilitasKeuangan Negara

NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIIIMAJALAH DWIWULANAN BPK RI - ISSN 0216-8154MAJALAH DWIWULANAN BPK RI - ISSN 0216-8154 NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

PEMERIKSABebas dan Obyektif

Diterbitkan oleh Biro Humas dan Luar Negeri Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, STT No. 722/SK/Ditjen PPG/STT. Susunan Dewan Redaksi Majalah Pemeriksa: Pelindung Dharma Bakti Pemimpin Redaksi Cris Kuntadi Anggota Redaksi Yudhi Ramdhan, M. Yusuf Jhon, Ekowati Tyas Rahayu, Dian Desilia, Bestantia Indraswati, R. Edi Susila, Gunawan Wisaksono Staf Redaksi Nurmalasari, Barlis Baharuddin Desain Grafis Sutriono, Rianto Prawoto.

Alamat Redaksi dan Tata Usaha Gedung BPK-RI Jln. Gatot Subroto No.31 Jakarta Telp. (021)5704395-6 Pes.214/208 Fax.(021)57950285 situs www.bpk.go.id Email: [email protected]

Auditing The Management of Indonesian Natural Forests: Special Focus on Deforestation

Prof. Dr. Anwar Nasution Chairman of the Audit Board of the Republic of Indonesia

A slide presentation prepared for the 12th Meeting of the INTOSAI Working Group on Environmental Auditing (WGEA) Doha, Qatar,

25 – 29 January 2009

62 TAHUN BPK RIBekerjasama Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara

EDITORIAL 4

Page 3: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

�NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

RUBRIK

AGENDA

Pengarahan Sekretaris Jenderal BPK RI dalam rangka Monitoring dan Evaluasi kepada Karyasiswa BPK RI

Pos Penguasa Tunggal Era Lalu,KEBUTUHKAN MASA KINI

OPINI

MENINGKATKAN PROFESIONALISME MELALUI PENGEMBANGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL

SUMBER DAYA MANUSIA

AUDIT

AGAMA: Tawakal,Kunci Keberhasilan Seorang Muslim

KESEHATAN: Deteksi Dini Kanker Serviks

GENDIT: Jangan sampai gendit keboboolan

�9

2426

�0

4�

50

5962

58

Penghargaan Kepada Entitas

POTRET BPK

AGENDA�2REFORMASI BIROKRASI, REKAYASA ULANG PROSES BISNIS, DAN MAKSIMALISASI POTENSI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI�8Kurun waktu 62 tahun perjalanan BPK RI tentu bukan waktu yang singkat. Dari kurun waktu 62 tahun tersebut, perkembangan sepanjang empat tahun terakhir tentu yang paling signifikan. Mengapa? Selama kurun empat tahun terakhir, yang ditandai dengan lahirnya paket un-dang-undang di bidang keuangan negara,

Penyusunan dan Penetapan Pola Dasar Karier PNS Sebagai Bagian Reformasi Birokrasi pada BPK RI, Perlu atau Tidak?

SIARAN PERS

Pengelolaan Kas di Kas Daerah Menunggu Peran Inspektorat dalam Reviu Laporan Keuangan Daerah

8 Profil Pemimpin Sejati64KELUARGA: Mengenali dan Mengembangkan bakat anak67

62 Tahun BPK RI; Anwar Nasution: Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara Tak Bisa Ditawar Lagi

Page 4: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

4 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

4

Yang Khusus Yang Tidak Biasa

EDITOR AL

”Khusus” dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang istimewa atau tidak seperti biasa. Begitu juga untuk Majalah Pemeriksa kali ini yang menyebutnya sebagai Edisi Khusus 2008. Redaksi berharap, edisi MP kali ini juga dirasakan sebagai sesuatu yang istimewa atau minimal tidak seperti biasanya. Tentu, MP kali ini bisa dibaca “tidak seperti biasanya” karena ada yang berkomentar (atas draft MP Edisi Khusus) sebagai edisi gado-gado alias edisi tanpa tema.

Memang, dalam edisi ��6 ini, tidak ada tema khusus yang diusung sebagaimana edisi sebelumnya. Pem-baca tentu sepakat dengan hal ini. Akan tetapi, kami tetap berharap bahwa MP akan terus ada di hati para pembaca. Rangkaian Ulang Tahun BPK yang ke 6� menjadi fokus utama di samping kegiatan kantor Perwaki-lan. Akan tetapi, redaksi juga tetap mengetengahkan sajian artikel-artikel yang kami yakin sangat ditunggu-tunggu.

Hal tidak biasanya juga diakui atas keterlambatan penerbitan MP yang baru dapat dinikmati pada perten-gahan Maret ini. Untuk itu, seluruh redaksi memohon maaf atas keterlambatan ini. Semoga ke depan, tidak ada lagi edisi khusus yang bermakna keterlambatan penerbitan. Untuk itu, kami mengharap dukungan para pimpinan, pejabat dan teman-teman semua untuk dapat mengirimkan secara rutin tulisan, karikatur, pen-galaman dan lain-lain yang sesuai dengan misi MP.

Tanpa rasa ragu dan malu atas keterlambatan ini, segenap redaksi MP mengucapkan

SELAMAT ULANG TAHUN BPK KE 6�. EMOGA SEMAKIN INDEPENDEN, BERINTEGRITAS DAN PROFESIONAL.

Page 5: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

5NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

5

AUDITING CLIMATE CHANGE: THE INDONESIAN PERSPECTIVE

TERKINI

AUDITING CLIMATE CHANGE: THE INDONESIAN PERSPECTIVE�

Anwar Nasution�

�. What aspects of sustainability can we audit?

SAIs are expected to audit climate change because of the greenhouse effect, solar influences and a number of other sources. The first source of climate change is caused by the emissions of carbon dioxide into the atmosphere, which in turn depends on population, economic growth, technology, energy and lifestyle. The solar influence is caused by the balance between increasing solar radiation and outgoing thermal radiation. Other sources of the greenhouse effect include volcanic eruptions that emit a lot of sulfur into the atmosphere to cool the Earth. Emissions of carbon dioxide and other trace gases are almost irreversible as they remain in the atmosphere for a very long time. Meanwhile, as greenhouse gases travel around the world in a few days, the scale of the problem is global. Climate change affects the sustainability of natural resources and our economic productivity, comfort and health.

The Stern Report on global climate change of �007� is the most important study on the costs and risks of global climate change. As they are not incurred at market prices, some of the costs and benefits cannot be measured in financial terms. The Stern Report recommends taking prompt and strong action to substantially reduce carbon dioxide emissions today, at modest cost so as to avoid high risk and more expensive costs of global warning in the future.

The Stern Report, however, admits that in the absence of mitigation, the possible outcome of global warming is very bad, although the costs are still uncertain because of the uncertainty

� A note prepared for Discussion Panel on Sustainability in A Modern Audit Office at the ��th Meeting of the INTOSAI Working Group on Environmental Auditing (WGEA) in Doha, Qatar, Monday, �6 January �009.� Professor Anwar Nasution is the Chairman of the Supreme Audit Board of Indonesia and Professor of Economics at the University of Indonesia. � Nicholas Stern. �007. The Economics of Climate Change. The Stern Review. Cambridge, U.K.: Cambridge University Press.

Page 6: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

6 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

6

about when and where particular impacts will occur far in the future. Because of the uncertainty, the Bush Administration in the US took the position of postponing the costly efforts to reduce carbon dioxide emissions until we know more about the dangers of climate change.

SAI (BPK) of Indonesia is prioritizing the auditing of the rainforest. This is because Indonesia’s rainforest is the third largest in the world after Brazil and Congo. Deforestation and forest fires not only emit carbon dioxide into the atmosphere but have also caused river blindness, protracted droughts, floods, health problems, affect ecosystem, transportation problems and reduced productivity in agriculture, fisheries and forests. The adaptation costs to those who live in and near the forests are high, especially because they are highly dependent on food production using simple technology.

BPK audits compliance with the rules and regulations on forest policy, forest management and socio-economic financial aspects. The focus of BPK audits are property rights in forestry, allocation of logging permits, illegal logging, forest fires, biodiversity and government revenue generated from forest-based economic activity.

There is no private property right over forest land in Indonesia as they are owned by either state or traditional community. The Constitution says that all natural resources, including forests should be exploited sustainable and to maximum welfare of all. The state can issue rights to exploit the forest land either for logging, mining, agriculture or other commercial purposes. The logging concession and other permits are issued for relatively short period, 55 years.

There are three implications of not having private property rights and short period of concession for exploiting the forest land. First, there is no incentive for the permit holder to preserve the

forest land and to increase its value by investing and innovating or combining them with other resources. Second, the permit holders cannot use the forest land for more valuable purposes or as collateral. This, in turns, limits mobility of the forest as a factor of production and reduces its productivity. Third, the community incurs substantial costs in defending communal and nd satisfying the need for public property by letting up and operating informal organization that demand lot of investment of time and other resources.

Under the long rule of President Suharto’s from �966 to �998, the issuance of logging permits was centralized in the Ministry of Forestry. Logging permits at that time were mainly distributed to the cronies of the regime, while the trade export of wood-based products was directly controlled by a confidante of the President. Meanwhile, reforestation funds were used to develop the IPTN aerospace company and to subsidize pulp plantations.

2. Do financial auditors have a role to play?

Financial auditors have a mandate to audit the economic rents collected from the exploitation of natural resources as well as audit government outlays for rehabilitating environmental damage. Accordingly, financial auditors have the right to audit those who create greenhouse gas emissions that negatively affect the global climate, natural resources, ecological systems and vulnerable species. Some of the resources are renewable, such as water, air, forests, fisheries, and other biological resources. Some others are non-renewable and will continue to be depleted, such as minerals and fossil fuels.

Economists characterize man-made climate change as an externality and the global climate as a pure public good. There is zero marginal cost for additional individuals enjoying a non-

Page 7: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

7NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

7

polluted climate and it is technically difficult or impossible to exclude individuals from doing so. As a result, firms and consumers do not pay the full costs of production, particularly the cost of pollution to the global environment. Because of market failures, the government is the only provider of public goods as there is no incentive for the market to supply them. Government involvement in correcting market failures has fiscal implications. As climate change is a global problem, it demands global auditing and responses.

Arrow� identifies 5 policies for mitigation of the climate change, namely: (i) shifting to energy sources that produce lower carbon dioxide emissions per useful energy, (ii) developing technology for energy conservation or that use less energy per unit output, (iii) shifting demand to products with lower energy intensity, (iv) reforestation and reducing deforestation, (v) capturing and sequestering carbon dioxide from stationary plants and injecting it into underground repositories.

Schelling5 points out two important ways to induce or provide the necessary funds for the five policies for mitigating climate change. One is to use appropriate taxes, subsidies, rationing and quotas to affect the market price system. In addition to these economic tools, consumers can be convinced that non-renewable resources such as fossil fuels are going to be most costly in the future. The private sector is interested in producing hybrid cars and in energy conservation and in shifting demand to products with lower energy intensity. With proper policies and an incentives system, the private sector can be interested in reducing deforestation. Public funds, the other source of funds are needed to finance the activities that will not be undertaken by private sector. SAIs audit the effectiveness and efficiency of the tax, subsidy, rationing and quota systems as well as the use of public funds for mitigating climate change.

3. Do SAIs need special powers to audit government’s operational impacts?

Global warming is the result of the use of natural resources as regulated by the government. Auditing the impacts of government operations in managing resources can be, therefore, regarded as an integral parts of a financial and performance audits. For this reason, SAIs do not really need special powers to audit the operational impacts of government

4. What has worked well for SAIs in building capacity of sustainability?

� Kenneth J. Arrow. �008. “Global Climate Change: A Challenge to Policy”. In J. E. Stiglitz, Aaron S. Edlin and J. B. DeLong, eds., The Economists Voice. New York: Columbia University Press.. chapter �, pp. ��-��.5 Thomas C. Shelling. �008. “Climate Change: The Uncertainties, the Certainties, and What They Imply About Action”. In J. E. Stiglitz et. al. ibid. chapter �. pp. 5-��.

Auditing sustainability requires training for auditors not only in financial matters and on performance auditing but also in areas such as science, forestry, mining and fisheries. Such audits also require auditors from multidisciplinary backgrounds including both in-house and outside experts from universities and research institutions, as well as the use of modern technology, such as satellite images, GIS, GSP and remote sensing.

As pointed out in the Stern Report, auditing climate change requires global cooperation between SAIs, including joint audits as the problem is a global issue. On our part, we welcome the participation of other SAIs in jointly working with us to conduct joint audits on tropical forests in Indonesia. Global cooperation is also needed for practical training, exchanging of information, experiences and data.

5. What are the benefits and or risks from external reporting of SAIs operational impacts on the environment?

The first benefit is objectivity. As independent external auditors, SAIs are more reliable and objective in evaluating problems related to climate change. Secondly, SAI reports not only cover the financial and performance aspects of government operations, but also cover environmental and social aspects. Third, SAI reports have a broader impact in the form of creating public awareness and understanding about sustainability issues as the documents are not only officially transmitted to Parliaments and government but also made available to the general public. The risks surrounding SAI report primarily concerns the general perception that they are mainly financial auditors and have no expertise outside accountancy. This is particularly true in the case of Indonesia as environmental auditing is a new venture for the BPK and most of its staffs are accountants who have no deep understanding and knowledge outside accountancy. On environmental issues people, believe more on reports prepared by the technical ministries and by the Ministry for Environment.

6. What good practices have we identified among our audit clients that we should adopt ourselves?

An SAI as an audit institution can adopt the following approaches in order to reduce emissions:

�. SAIs can reduce paper consumption by recycling paper and moving to paperless auditing;

�. SAIs can reduce consumption of energy and water by building environmentally friendly buildings and reducing the use of air conditioners and heaters;

�. Implementing green procurement;�. Managing waste properly;5. Promoting the use of public transportation and shifting to

non-fossil modes of transportation.

Page 8: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

8 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

8

A slide presentation prepared for the 12th Meeting of the INTOSAI Working Group on Environmental Auditing (WGEA) Doha, Qatar, 25 – 29 January 2009

Introduction

Indonesia has the third largest areas of rainforest, after Brazil and Congo (Zaire) : 50% of the tropical forest in the Southeast Asia and �0% of the world’s area.

Tropical forest is rich in bio diversity and diverse flora and fauna with abundant nutrients and medicinal potential including Non-timber forest product (NTFP) such as rattan, medicine, fruits, animals and honey;

Forest absorbs more sunlight than the plains and deserts, and therefore has important role to mitigate global climate change;

Forests have played a pivotal role as source of the needed foreign exchange and government revenues, employment and income;

Landsat 7 EM + Satellite images of �00�-�00� show that ��� Million Ha of forest area in Indonesia only 6�% has good vegetation, �9 % in bad shape and incomplete data for the other 7%. The good vegetated forest zone is equivalent to 50% of land area of Indonesia and the bad vegetated forest account for ��% of total land area of �88 Million Ha.

♦ Indonesia’s rain forest has been overly exploited beyond its ability to regenerate, due to the following reasons:

A rapid growth of population in highly dense populated country,Over capacity in wood based manufacturing industry;Conversion of land use into palm oil plantation and mining as well as from strong international demand for timber and forest based products;Lack of coordination between central and local government in managing forest resources;Decentralization of government system since the fall of President Suharto in �998 gives the authority to local governments for managing forests in their local jurisdictions and the rights to issue permits for timber extraction and mining, and open plantation for commercial crops;A combination of natural calamities and slash burning agriculture practices both burn the forest. The slash burn clearing method is not only used by traditional farmers but also by the big planters to reduce costs.

Forest Policy♦ According to the 1945 Constitution, the state controls forest

land, and natural resources should be extracted sustainably for the maximum welfare of all.

♦ There is no private property rights over forest land in Indonesia.

The authorities issue permits for exploitation of forest, extraction of mining deposits and conversion of the forest into agricultural land. The logging concessions and other exploitation rights are issued for 55 years duration and can be renewed;

♦ There are three implications of not having private property rights and short period of concession for exploiting the forest land :

First, there is no incentive for the permit holder to preserve the forest land and to increase its value by investing and innovating or combining them with other resources;Second, the permit holders cannot use the forest land for more valuable purposes or as collateral. This, in turns, limits mobility of the forest as a factor of production and reduces its productivity;Third, the community incurs substantial costs in defending communal land and satisfying the need for public property

••

Auditing The Management of Indonesian Natural Forests: Special Focus on Deforestation

Prof. Dr. Anwar Nasution Chairman of the Audit Board of the Republic of Indonesia

Page 9: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

9NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

9

by letting up and operating informalorganization that demand lot of investment of time and other resources;

♦ Indonesia’s forest zone is set by combination of consensus (TGHK) and Spatial Planning (RTRWP);

♦ Ownership, management and the rights to exploit forests and natural resources in it are granted by :

National Land Bureau grants both land rights and their uses. As pointed out earlier there is no private property rights on forest land;Ministry of Forestry grant s forest utilization rights, defines the state forest zone, determines and manages forest zone;

♦ Government issues utilization permits for commercial exploitation of conservation forests (except in nature reserve, jungle zone, and nucleus zone within national park), protected forest and production forest areas;

♦ Utilization of production forest requires 6 types of permits, namely :

Permit for Area Utilization (IUPK), Permit for Environment Services Utilization (IUPJL), Permit for Timber Forest Product Utilization (IUPHHK), Permit for Non-Timber Forest Product Utilization (IUPHHBK), Permit for Timber Forest Product Retribution (IPHHK), and Permit for Non-Timber Forest Product Retribution (IPHHBK);

♦ During the long period of President Suharto administration, �966-�998, issuance of logging permits was centralized at the Ministry of Forestry and mainly distributed to the cronies of the regime. Export of wood-based products was exclusively controlled by confidant of President. The largest amount of rents collected through the reforestation funds used for building IPTN, airplane factory, and pulp and forest plantations;

♦ Decentralization of government system since the end of President Soeharto regime in �998 gives local governments right to issue permits to small operators to exploit the forest land for logging, mining and agriculture.

Challenges in Managing Natural Forest♦ Short-term profit oriented exploitation of rainforests has

resulted deforestation, damage in the ecosystem and other endangered species as well as water conservation system that will further result in flood and desiccation;

♦ Overcapacity of wood-based industries;♦ Deforestation: illegal logging, illegal use of land, and forest

fire;♦ The lack of forest area boundaries.

Auditing Strategy♦ The main purpose of BPK audit is to ensure compliance to

the regulation and other basic best practices (for example ITTO Guidelines) including the effectiveness of management system to sustain the forest exploitation.

♦ GIS and GPS Usage :The GIS (Geographical Information System) technology is used to assist in mapping the deforestation areas, overlapped areas and unauthorized use of forest lands.GIS technology is used for, among others, selecting audit samples and sampling locations, detecting deforestation spots caused by illegal logging and unauthorized use of forest lands and also to estimate the extent of destroyed areas.For ground checking, audit team uses GPS (Global Positioning System) tools to assist in their field work.

♦ Audit Methodology and Approach :Comprehensive Audit on Government Management on Forest is carried out using risks-based approach (in

No Type(s) Description(s)1 Land a. Customary rights (hak ulayat) : Common land where customary rights can be

recognized to have existed prior to the enactment of the land law.

b. State Lands : open for distribution to private entities

2 Forest Zone a. Private Zone Forests : private rights and land cover qualify as forestsb. State Zone Forests is classified into five groups :

a. Nature Reserve and Tourism forest;b. Protection Forest;c. Limited Production Forest;d. Convertible Production Forets;e. Permanently Production Forests.

Types of land and Forest Zone :

Page 10: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

�0 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

�0

particular risks of illegal logging, unauthorized use of lands, and economy risks), while audit methodology used in gathering data are observation, comparison and analysis, interviews and seeking confirmation as well as other audit procedures required in forest management.

Audit Findings♦ Permanent Forest Estatesϒ Indonesia doesn’t have certain and acceptable permanent forest estate that can be referred by any parties involving in the forest industry such as national and local government, licensed forest company, people surroundings the forest and others. As mentioned earlier, the lack of this permanent forest estate not only influences the effectiveness of sustainability of forest management, rehabilitation but also increase the possibility of conflict.

♦ National Land Use PolicyThe agricultural and mining company illegally converted forest area with the estimation area of �7.�95,70 Ha to agricultural (palm oil) and mining in South Kalimantan, Central Kalimantan and East Kalimantan.The local community has illegally occupied the production forest areas that have been rehabilitated with estimation area of 55.800,�8 Ha.

♦ Illegal loggingOne logging company in Central Kalimantan had cut the

Challenges in Managing Natural Forest

Page 11: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

��NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

��

tree exceeded the allowable limit as set by the authorities. To ensure the silviculture, the regulation limits the allowed number of three per every specie to be cut with a minimum 60 cm diameter.

♦ Rehabilitation of the forestThe rehabilitation of forest conducted by the Department of Forestry and local government could not achieve their intended target. This condition will tend to increase the risk of flood, landslide and other environmental damages;The government did not plan the rehabilitation activities based on the real condition and the need of the land and forest area.

♦ Preventing and Mitigating Forest and Land FiresGovernment organizations in preventing and mitigating forest and land fires need to be improved and integrated in order to make more effective;

Land Clearing activities in one of the biggest province in Indonesia (Riau) are still using traditional way, burning and firing. This methodology will increase the risks of

forest and land fire.The infrastructures for preventing and mitigating forest and land fires are not adequate. This insufficiency will decrease the ability to fight the fire;The lack of forest and land area’s ownership tend to increase the risk to have forest and land fire. The lack of ownership will make people confuse about their responsibility to protect and safe guard the forest and land area from the fire;

BPK Recommendations♦ Permanent Forest estates :

The Government together with the local government has to foster the process to determine the permanent forest area in order to minimize conflict and uncertainty condition.

♦ National land Use PolicyThe government together with local government terminates the license given to the agricultural and mining companies including other parties that has been proved illegally occupied and or converted the forest area.

♦ Illegal LoggingThe government together with the local government conducted survey to ensure the number of trees that have been illegally cut by the company and gave sanction according to the regulation.

♦ Preventing and Mitigating Forest and Land FiresThe government of the respective province to conduct forest

Auditing Strategy

Page 12: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

�2 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

�2

and land area inventory in order to clarify the ownership of those area.Provide authorities for stopping fires, bringing the offenders to law enforcement agencies.

♦ Rehabilitation of the forestThe government focus the use of the money on the rehabilitation of forest and land area that have the biggest risks and most important for maintaining the balance of nature;The government involves the community nearby the forest and land area that need to rehabilitated in the project of rehabilitation.

Conclusion and Lesson Learnt♦ Audit on government management on forest has to be

carried out comprehensively, to cover all aspects of forest exploitations. This holistic and systematic approach is important because a problem in one area will affect directly or indirectly the other aspects. Relevant audit finding will have impacts on all the three dimensions of forest exploitation, namely the economic, social and environmental aspects.

♦ Natural resources encompass multi-dimensional and complex

aspects, thus, auditors in charge for conducting audit on the management of natural resources should also come from multidiscipline backgrounds; hiring an expert, or consultant, is recommended if this condition is impossible to achieve.

♦ The application of technology such as GIS and GPS will benefit to increase the quality of audit and make the audit more efficient. As mentioned above, the GIS and GPS technology help the auditor to spot he deforestation area in certain area and formulate technological audit evidence.

♦ Audit evidence gathered from the application of GIS and GPS technology should be verified with statements from the authorities. For examples, audit evidence showing overlapped use of lands should be consulted and confirmed by the public officials or authorities in charge for the allocation of forests areas.

♦ Auditing the natural resources such as forest needs to consider not only the economy and environment but also social loss.

♦ THE END

No Audit Type of Audit Audit Objective Location(s) Audit coverage

1. Audit on forest estates

Year : 2008

Compliance Audit To ensure the government compliance to related rule and regulation in using Reforestation Fund

Central Kalimantan, East Kalimantan, South Kalimantan, and DKI Jakarta

2007-2008

2. State Revenue from Forest Collection

Year : 2007

Compliance Audit To ensure the government compliance to related rule and regulation in collecting, distributing and reporting the State Revenue From Forest.

Riau, West Kalimantan, Jambi, North Sumatera, DKI Jakarta

2005-2006

3. Preventing and Mitigating Forest and Land Fires

Year : 2008

Compliance Audit and Spot Check type of Audit (Riau).

To ensure the government and the related companies’ compliance to related rule and regulation in preventing and mitigating forest and land fires.

DKI Jakarta (central government), Riau, Jambi, South Sumatera, West Kalimantan, East Kalimantan, Central Kalimantan and South Kalimantan.

2006-2007

4. Rehabilitation of Forest and Land Area

Year : 2008

Performance Audit • To ensure the government compliance to related rule and regulation in rehabilitating the forest and land area.

• To examine the effectiveness and efficiency of the government’s activities in rehabilitating the forest and land area.

DKI Jakarta, West Java, East Java, Central Java, South Sulawesi, Central Kalimantan, West Kalimantan and Riau.

2006-2007

BPK’S AUDIT

Page 13: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

��NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

��

Page 14: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

�4 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

�4

Masih hangat terngiang karena belum lama ter-cetus sebuah gagasan yang dilontarkan Ketua BPK RI Prof. Dr. Anwar Nasution, berupa

enam bentuk inisiatif untuk mendorong percepatan pem-bangunan sistem pembukuan dan manajemen keuangan negara. Keenam bentuk inisiatif tersebut kemudian dikenal dengan nama yang akhir-akhir ini cukup beken disebut Be-yond The Call of Duty.

Bentuk inisiatif dari BPK RI tersebut yang pertama adalah mewajibkan semua auditee (pihak/entitas yang diperiksa) menyerahkan sebuah Management Representa-tion Letter (MRL) kepada BPK RI sebagai pernyataan dari seorang pimpinan tertinggi organisasi Pemerintahan bahwa laporan keuangan yang dibuatnya dan diserahkan kepada BPK RI tersebut telah disajikan secara wajar sesuai Stand-ar Akuntansi Pemerintah (SAP). Dengan begitu Laporan Keuangan Pemerintah baik pusat maupun daerah tanpa tol-eransi lagi sudah seharusnyalah sesuai prinsip yang berlaku umum serta berpedoman pada PP Nomor 24 tahun 2005 tentang SAP tersebut.

Kedua, mendorong Pemerintah Pusat dan Daerah segera mewujudkan sistem pembukuan keuangan negara yang ter-padu atau lebih biasa dikenal dengan sebutan treasury single account.

Ketiga, meminta seluruh auditee menyusun rencana aksi guna meningkatkan opini hasil pemeriksaan atas laporan keuangan oleh BPK RI yang terdiri atas:

(i) menuju sistem pembukuan akrual untuk mengung-kapkan hak dan kewajiban kontijensi serta perenca-naan jangka panjang berbasis kinerja;

(ii) sistem aplikasi teknologi komputer yang terintegra-si;

(iii) inventarisasi aset dan utang;(iv) memenuhi jadwal penyusunan laporan keuangan dan

pemeriksaan serta pertanggungjawaban sebagaimana diatur paket tiga UU di bidang Keuangan Negara Tahun 2003-2004;

(v) quality assurance oleh pengawas intern;(vi) perbaikan SDM terutama dalam bidang akuntansi

dan pengelolaan keuangan Negara.

BEYOND THE CALL OF DUTY, GOOD GOVERNANCE BUKANLAH MIMPI BELAKA

Oleh: Waskito Hadi, SE, Ak Staf Sub Auditorat NAD III, Seksi NAD IIIB

LAPORAN UTAMA

Page 15: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

�5NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

�5

Keempat, untuk mengimplementasikan rencana aksi tersebut BPK RI menyarankan kepada instansi pemerin-tah agar meminta tenaga BPKP untuk membangun sistem akuntansi pemerintahan di Indonesia. Hal ini memang su-dah menjadi tugas BPKP tentunya sesuai yang diamanatkan oleh PP Nomor 60 tahun 2008 pasal 59 ayat 2 bahwa BPKP harus melakukan pembinaan penyelenggaraan SPIP yang kemudian dapat menjadi cikal bakal pembangunan sistem akuntansi pemerintah. Ada rasa optimisme yang cukup besar tentunya hal ini segera bakalan terwujud mengingat slogan yang dimiliki BPKP saat ini sebagai 4C, yakni: Competence, Current issues, Clearing house dan Check and balance. Dalam hal ini Competence maksudnya BPKP mempunyai SDM yang profesional. Current issues berarti BPKP memberikan masukan pada Presiden dan Menteri terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat. Clearing house berarti BPKP memberikan masukan terhadap keragu-raguan pemerintah untuk dapat mengambil keputusan apakah suatu kasus ber-indikasi korupsi atau tidak. Sedangkan Check and balance dimaksudkan bahwa BPKP sebagai penyeimbang antara internal dan eksternal auditor dalam konteks pelurusan ter-hadap pelaksanaan tugas melalui kegiatan audit internal, advokasi, evaluasi, analisis dan public relation. Disamping itu dalam perkembangannya saat ini untuk mengimple-mentasikan SPIP sesuai amanat PP Nomor 60 tahun 2008 tersebut, BPKP telah membentuk Satgas SPIP yang bertu-gas melakukan perencanaan kerja, pembuatan pedoman, modul, dan peningkatan kompetensi SDM BPKP. Besar harapan kita tentunya terhadap BPKP untuk dapat segera mewujudkan inisiatif BPK RI yakni membangun sistem akuntansi pemerintahan yang kokoh di bumi Negara Kes-atuan Republik Indonesia ini.

Kelima, mendorong perombakan struktural BLU, BUMN dan BUMD serta yayasan maupun kegiatan bisnis yang terkait dengan TNI maupun Polri agar menjadi lebih mandiri dan korporatis.

Keenam, menyarankan kepada DPR RI, DPD RI, dan DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk memben-tuk Panitia Akuntabilitas Publik (PAP).

Telah menjadi salah satu agenda reformasi total di ne-gara kita tercinta Negara Kesatuan Republik Indonesia ini yakni terciptanya good governance. Jika sedikit menilik dari segi teoritis, oleh World Bank (Bank Dunia) didefinisikan-lah governance sebagai “the way state power is used in manag-ing economic and social resources for development of society”, dalam hal ini berarti lebih menekankan pada cara-cara yang baik dilakukan pemerintah dalam mengelola sumber daya sosial dan ekonomi yang dimilikinya untuk kepentingan pembangunan masyarakatnya. Di samping itu juga World Bank memberikan definisi tentang good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah aloka-si dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya ak-

tivitas usaha.Sedangkan menurut United Nation Development Pro-

gram (UNDP) mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative author-ity to manage a nation’s affair at all levels”, dimana lebih menekankan pada aspek politik, ekonomi, dan administratif dalam pengelolaan Negara yang baik. Aspek politik (political governance) berarti mengacu pada proses pembuatan kebi-jakannya (policy/strategy formulation). Aspek ekonomi (eco-nomic governance) berarti mengacu pada proses pembuatan keputusan di bidang ekonomi yang berimplikasi pada ma-salah pemerataan, penurunan kemiskinan, dan peningkatan kualitas hidup penduduknya menjadi bertambah lebih baik. Sedangkan aspek administratif (administrative governance) menurut UNDP, berarti cenderung mengacu pada sistem implementasi kebijakan pemerintah yang kokoh namun aplikatif. Dalam hal ini UNDP sendiri mendefinisikan good governance dengan memberikan sembilan karakteristik pelaksanaan yang harus dipenuhi, yakni antara lain sebagai berikut:

1. Participation Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspiras-inya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi, berorganisasi dan berbicara serta berpartisi-pasi secara konstruktif.2. Rule of law Penegakan kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu dan tebang pilih.3. Transparency Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkannya. 4. Responsiveness Lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam

melayani masyarakat selaku stakeholder. 5. Consensus orientation Berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.6. Equity Setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama un-tuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.7. Efficiency and Effectiveness Pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara ber-daya guna atau efisien dan berhasil guna atau efektif.8. Accountability Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan. 9. Strategic vision. Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan.Berdasar uraian yang telah tersebut di atas, merupakan

suatu keyakinan yang cukup besar rasanya negara kita da-pat mewujudkan good gavernance melalui tindak lanjut

Page 16: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

�6 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

�6

oleh pihak eksekutif didampingi pihak legeslatif tentunya terhadap enam inisiatif BPK RI dalam pemikiran Beyond The Call of Duty. Dalam hal ini pemerintah perlu bersung-guh-sungguh menjalankan manajemen keuangan publik, baik di tingkat pusat maupun daerah melalui cara-cara yang sesungguhnya mudah diucapkan namun perlu kerja keras dan komitmen kuat dari pelaksana dalam mengimplemen-tasikannya, yakni antara lain:

1. AkuntabilitasYang dimaksud akuntabilitas yaitu mensyaratkan bahwa

pengambil keputusan berperilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya. Perumusan kebijakan dilakukan ber-sama-sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horisontal dengan baik. Saat ini tuntutan akuntabilitas pub-lik oleh masyarakat luas maupun lembaga-lembaga publik, baik di pusat maupun daerah semakin menguat. Akuntabili-tas publik pada dasarnya merupakan pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja fin-ansial pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pemerintah pusat maupun daerah, harus bisa menjadi sub-yek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik/masyarakat, yaitu hak untuk tahu (right to know), hak untuk diberi informasi (right to be informed), dan hak untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be lis-tened to). Tentunya akuntansi sektor publik memiliki peran yang sangat vital dalam memberikan informasi dan disclosure atas aktivitas dan kinerja finansial pemerintah. Secara teori, Governmental Accounting Standards Board (GASB) dalam Concepts Statement No. 1 tentang Objectives of Financial Re-porting menyatakan bahwa akuntabilitas merupakan dasar dari pelaporan keuangan di pemerintahan. Akuntabilitas adalah tujuan tertinggi pelaporan keuangan pemerintah. GASB menjelaskan keterkaitan akuntabilitas dan pelaporan keuangan sebagai berikut:

… Accountability requires governments to answer to the citizenry to justify the raising of public resources and the pur-poses for which they are used. Governmental accountability is based on the belief that the citizenry has a “right to know,” a right to receive openly declared facts that may lead to public de-bate by the citizens and their elected representatives. Financial reporting plays a major role in fulfilling government’s duty to be publicly accountable in a democratic society. (par. 56)

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa akuntabilitas meliputi pemberian informasi keuangan kepada masyarakat dan pemakai lainnya sehingga memungkinkan bagi mereka untuk menilai pertanggungjawaban pemerintah atas semua aktivitas yang dilakukan, bukan hanya aktivitas finansial-nya saja. Concepts Statement No. 1 tersebut menekankan bahwa laporan keuangan pemerintah harus dapat memberi-kan informasi untuk membantu pemakai dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik. Tuntutan dilak-sanakannya akuntabilitas publik mengharuskan pemerintah memperbaiki sistem pencatatan dan pelaporan. Pemerintah dituntut untuk tidak sekedar melakukan vertical reporting, yaitu pelaporan kepada atasannya, misalnya kabupaten/kota

kepada provinsi atau provinsi kepada pemerintah pusat, akan tetapi juga melakukan horizontal reporting, yaitu pelaporan kinerja pemerintah kepada DPR untuk tingkat pusat dan DPRD untuk tingkat daerah, serta kepada masyarakat luas sebagai bentuk horizontal accountability.

2. Value for Money Konsep value for money merupakan jembatan untuk

menghantarkan pemerintah mencapai good governance. Value for money tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan dan anggaran baik di pusat maupun daerah. Dalam mendukung dilakukannya pengelolaan dana publik (public money) yang mendasarkan konsep value for money, maka diperlukan sistem akuntansi pemerintah yang baik dan kokoh.

3. Kejujuran dalam mengelola keuangan publik (pro-bity)

Pengelolaan keuangan negara harus dipercayakan kepada personil yang memiliki integritas dan kejujuran tinggi, seh-ingga tidak ada lagi kesempatan untuk berperilaku korup.

4. TransparansiTransparansi merupakan keterbukaan pemerintah dalam

membuat kebijakan-kebijakan keuangan sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh perwakilan rakyat dan masyar-akat secara umum. Transparansi pengelolaan keuangan nega-ra pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, serta responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.

5. PengendalianPenerimaan dan pengeluaran pemerintah harus seser-

ing mungkin dimonitor terutama oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), antara lain dengan dibanding-kannya antara yang anggaran dengan realisasi yang dicapai dan juga perlu dilakukan analisis varians (selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran agar dapat sedini mungkin di-cari penyebab timbulnya varians dan tindakan antisipasi ke depan tentunya untuk pengalokasian kepentingan publik.

Dengan demikian tak pelak lagi bisa hampir dipastikan jika semua pihak memegang komitmen dengan kuat baik pihak eksekutif, maupun legeslatif untuk secepat mungkin melaksanakan apa yang telah disarankan BPK RI melalui enam inisiatif dalam Beyond The Call of Duty maka akan segera terwujud pulalah salah satu cita-cita reformasi total negara kita ini berupa good governance. Suatu angan-angan yang sebelumnya dicibir banyak orang hanya sebatas mimpi akan menjadi kenyataan yang dapat kita buktikan bersama sebagai anak bangsa. Tentunya kemudian akan ditandai dengan opini hasil pemeriksaan BPK RI terhadap laporan keuangan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah-daerah dengan kualitas menjadi lebih baik, karena bagaimanapun laporan keuangan menjadi salah satu sarana yang digunakan banyak pihak terutama dalam rangka pen-gambilan keputusan, baik secara ekonomi, investasi, sosial maupun keputusan politik sekalipun.

Page 17: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

�7NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

�7

Sebagai auditor di BPK kita sering sekali mendengar, mengucapkan dan bahkan membicarakan tentang pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara

(termasuk di dalamnya keuangan daerah). Bagi para audi-tor di perwakilan, istilah pengelolaan dan tanggungjawab keuangan daerah seolah-olah sudah menjadi santapan se-hari-hari.

Jika kita bicara tentang BPK, tidak akan terlepas den-gan pembicaraan tentang tanggungjawab keuangan negara/daerah. Sebagai contoh, dalam pasal 23 E UUD 1945 dis-ebutkan :

(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu BPK yang bebas dan mandiri;

(2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepa-da DPR, DPD dan DPRD sesuai dengan kewenan-gannya;

(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindak-lanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.

Kemudian Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuan-gan Negara Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa “Pemerik-saan adalah proses identifikasi masalah, analisis dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.”

Namun, sampai sejauh manakah pengertian dan pema-haman kita, sebagai auditor tentang tanggung jawab keuan-gan negara (daerah)? Pengertian dan pemahaman kita ten-tang tanggung jawab keuangan negara (daerah) sangatlah diperlukan untuk menopang kita dalam menjalankan tugas pemeriksaan.

Pengertian tentang tanggung jawab keuangan negara (daerah) dapat dibaca pada Pasal 1 Butir 7 Undang-Un-dang Nomor 15 Tahun 2004 : “Tanggung jawab Keuan-gan Negara (termasuk Keuangan Daerah) adalah kewajiban Pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan Keuangan Negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undan-gan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan dengan mem-perhatikan rasa keadilan dan kepatutan”

Sedangkan pengertian umum dari tanggung jawab (akuntabilitas) adalah suatu kewajiban untuk memper-tanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawaban

yang dilaksanakan secara periodikDengan demikian prinsip dari tanggung jawab keuan-

gan negara adalah setiap orang yang diberikan kewenangan untuk mengelola keuangan negara/daerah wajib memper-tanggungjawabkan keuangan yang dikelolanya dan laporan pertanggungjawaban keuangan tersebut harus diaudit oleh lembaga audit yang independen.

Berdasarkan pengertian tersebut, bentuk tanggung ja-wab keuangan negara (daerah) dapat diwujudkan dalam tiga aspek pertanggungjawaban, yaitu aspek ketertiban adminis-trasi keuangan, aspek kinerja dan aspek hukum.

1. Aspek Administrasi Keuangan Tanggung jawab keuangan negara/daerah dalam ben-

tuk aspek administrasi keuangan secara eksplisit dijelaskan dalam Pasal 53 dan 54 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan, yang menentukan bahwa :

a. Bendahara Penerimaan/Pengeluaran bertanggung ja-wab secara fungsional atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya kepada BUD dalam bentuk LPJ;

b. BUD bertanggung jawab kepada kepala daerah dari segi hak dan ketaatan kepada peraturan atas pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran yang dilakukannya dalam bentuk Laporan Keuangan;

c. Pengguna Anggaran bertanggung jawab kepada KDh dari segi hak dan ketaatan pada peraturan atas pelaksanaan kebijakan anggaran yang berada dalam penguasaannya dan wajib menyampaikan Laporan Keuangan;

d. Kuasa Pengguna Anggaran bertanggung jawab secara formal dan material kepada Pengguna Anggaran atas pelak-sanaan kegiatan yang berada dalam penguasaannya.

Berdasarkan ketentuan di atas, Bendahara Penerimaan/Pengeluaran wajib (secara administratif ) menatausahakan dan menyusun laporan pertanggungjawaban (LPJ) atas uang yang dikelolanya dalam rangka pelaksanaan APBD. LPJ Bendahara menyajikan informasi tentang saldo awal, penambahan, penggunaan, dan saldo akhir uang persediaan pada suatu periode. LPJ Bendahara disampaikan kepada Kepala SKPD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

Pengguna Anggaran menyampaikan laporan realisasi semester I pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja SKPD disertai prognosis 6 bulan berikutnya kepada PPKD paling lambat 10 hari kerja setelah semester I berkenaan berakhir. SKPD menyampaikan LPJ Keuangan SKPD (ta-hunan) paling tidak meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan Keu-angan tersebut disampaikan kepada Satker Pengelola Keu-angan Daerah (SKPKD) paling lambat 2 bulan setelah ta-

Pengertian dan AspekTanggung Jawab Keuangan Daerah

Oleh: Wahyu Priyono, SE, MM, Kasie DIY-1, BPK RI Perwakilan Propinsi DIY

AUDIT

Page 18: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

�8 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

�8

hun anggaran berakhir.BUD (Bendahara Umum Daerah) menyampaikan lapo-

ran realisasi semester I pelaksanaan anggaran pendapatan, belanja dan pembiayaan disertai prognosis 6 bulan berikut-nya kepada Kepala Daerah melalui Sekda paling lambat minggu ke-3 bulan Juli tahun berkenaan. BUD menyu-sun LPJ Keuangan BUD (tahunan) yang meliputi Laporan Realisasi Anggaran Neraca Laporan Arus Kas Catatan atas Laporan Keuangan dan disampaikan kepada kepada daerah paling lambat 2 bulan setelah tahun anggaran berakhir.

Pemda menyusun Laporan Realisasi Semester I dan prog-nosis untuk 6 bulan berikutnya, disampaikan kepada DPRD (akhir Juli) untuk dibahas bersama. Di akhir tahun, Pemda wajib menyusun Laporan Keuangan Daerah (tahunan) yang terdiri dari Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, Catatan atas Laporan Keuangan dan Lampiran Ikhti-sar Laporan Keuangan BUMD. Laporan Keuangan Daerah tersebut disampaikan kepada BPK untuk diaudit paling lambat 3 bulan sesudah tahun anggaran berakhir (sebelum disampaikan kepada DPRD untuk dibahas bersama).

LK Tahunan Pemda/SKPD disertai dengan pernyataan tanggung jawab yang ditandatangani oleh Kepala Daerah/Kepala SKPD. Pernyataan tanggung jawab memuat perny-ataan bahwa pengelolaan APBD telah diselenggarakan ber-dasarkan SPI yang memadai dan akuntansi telah diseleng-garakan sesuai dengan SAP.

2. Aspek KinerjaTanggung jawab keuangan negara/daerah dari aspek

kinerja diwujudkan dalam bentuk Laporan Ikhtisar Real-isasi Kinerja (sesuai ketentuan UU NO. 1 Tahun 2004 dan PP No 8 Tahun 2006). Laporan Ikhtisar Realisasi Kinerja sebagai wujud pemenuhan kewajiban untuk mengelola keuangan daerah secara efisien, ekonomis dan efektif, ber-bentuk penjelasan ringkas, lengkap dan transparan tentang capaian kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBD dan berisi tentang perbandingan antara rencana dan realisasi keluaran/hasil dari kegiatan/program dengan kuantitas dan kualitas yang terukur.

Indikator kinerja yang digunakan dalam pengukuran kinerja pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah meliputi indikator masukan (input), keluaran (output), hasil (out-come), manfaat (benefit), dan dampak (impact).

3. Aspek HukumTanggung jawab Keuangan Negara/Daerah dalam aspek

hukum, maksudnya semua pejabat dan pegawai negeri yang melakukan penyimpangan terhadap asas-asas dan ketentuan pengelolaan keuangan daerah mempunyai tanggung jawab hukum, baik hukum administrasi, hukum pidana, maupun hukum perdata.

Tanggung jawab hukum secara administrasi meliputi ;a. Sanksi administratif bagi PNS sebagaimana diatur

dalam PP No 30 Tahun 1980;b. Sanksi administratif bagi pihak lain bukan PNS se-

bagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berk-enaan dengan pihak yang bersangkutan;

c. Tanggung jawab berkaitan dengan ganti kerugian daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UU No. 17 Ta-hun 2003, Pasal 59 UU No. 1 Tahun 2004, dan Pasal 136 PP No. 58 Tahun 2005.

1) Setiap bendahara bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian keuangan negara yang berada dalam pengurusannya (Pasal 33 UU No.17 Tahun 2003);

2) Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBD bertang-gung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud (Pasal 136 PP No. 58 Tahun 2005);

3) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan ne-gara, wajib mengganti kerugian tersebut (Pasal 59 UU No. 1 Tahun 2004 dan Pasal 136 PP No. 58 Tahun 2005).

Tanggung Jawab Keuangan Negara menurut hukum pidana, maksudnya semua pejabat dan pegawai negeri yang melakukan perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsur pidana yang berhubungan dengan penyalahgunaan jabatan yang dapat merugikan keuangan negara diancam sanksi pidana. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam pasal 34 ayat (1) dan (2) UU No. 17 Tahun 2003 yang menyat-akan bahwa :

a. Kepala Daerah yang terbukti melakukan penyim-pangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam Perda tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan UU;

b. Pimpinan SKPD yang terbukti melakukan peny-impangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam Perda tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan UU.

Secara hukum perdata, pejabat pengelola keuangan dae-rah dapat melakukan ikatan hukum dengan pihak ketiga yang bersifat keperdataan (kontrak pengadaan barang/jasa). Bila dalam hal tersebut pihak daerah (diwakili oleh Pejabat Pembuat Komitmen) karena kesalahannya mengakibatkan kerugian pihak ketiga (kelambatan pembayaran atas peny-erahan barang/jasa), maka pihak daerah wajib mengganti kerugian itu (denda berupa bunga).

Tanggung jawab menurut hukum perdata diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata (BW): Setiap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian orang lain, menyebab-kan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu, wajib mengganti kerugian tersebut

Demikianlah uraian secara singkat yang bisa penulis tu-angkan dalam artikel ini, mudah-mudahan bisa menambah wawasan kita tentang pengertian tanggung jawab keuan-gan daerah dan aspek-aspeknya, yang pada gilirannya nanti dapat membantu kita dalam melaksanakan tugas-tugas pemeriksaan. Wallahu a’lam bishshowab.

Page 19: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

�9NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

�9

AGENDA

Pengarahan Sekretaris Jenderal BPK RI dalam rangka Monitoring dan Evaluasi kepada Karyasiswa BPK RI

Beasiswa yang diberikan oleh BPK RI sejatinya berasal dari negara, yang berarti uang rakyat, karenanya harus diman-faatkan secara baik dan penuh tanggung jawab sehingga tidak menyia-nyiakan kepercayaan dan kesempatan yang

diberikan oleh rakyat. Demikian disampaikan Sekretaris Jendreral (Sekjen) BPK RI Dharma Bakti dalam acara “Pengarahan Sekretaris Jenderal BPK RI dalam rangka Monitoring dan Evaluasi kepada Karyasiswa BPK RI” di Bandung, hari Senin, 16 Februari 2009. Acara yang dilaksanakan di auditorium kantor BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat tersebut diikuti oleh sekitar 60 karyasiswa BPK RI. Enam puluh karyasiswa itu adalah pegawai BPK RI yang sedang mengikuti program Magister Akuntansi (Maksi) di Universitas Padjadjaran (Unpad) dengan beasiswa dari BPK RI.

Sekjen menjelaskan bahwa para karyasiswa BPK RI yang sedang kuliah di Maksi Unpad tidak akan diistimewakan. “Jangan karena mendapat beasiswa dari BPK RI lantas membuat anda merasa lebih dibanding para mahasiswa lain di Un-pad. Jangan berpikir anda pasti lulus hanya karena anda kulian di Maksi Unpad karena beasiswa. Berlakulah selayaknya mahasiswa yang baik dengan tetap mengikuti peraturan akademik yang berlaku di Unpad,” kata Sekjen.

Ungkapan bernada kekecewaan itu disampaikan Sekjen BPK RI menanggapi uraian Kepala Biro (Kabiro) Sumber Daya Manusia (SDM) BPK RI Fachry Alusi terkait adanya informasi tentang kurang disiplinnya beberapa karyasiswa selama mengikuti kuliah di Maksi Unpad.

Sebelumnya, Kabiro SDM BPK RI Fachry Alusi menjelaskan bahwa meski secara umum prestasi karyasiswa BPK RI di Maksi Unpad sudah baik, namun ada juga beberapa beberapa persoalaan yang perlu diperhatikan. Persoalan itu adalah kurang disiplinnya karyasiswa dari BPK RI. “Hal ini misalnya dapat dilihat dari adanya karyasiswa yang prosentase ke-hadirannya kurang dari 75% untuk beberapa mata kuliah, bahkan ada peserta yang ‘titip absen’ dalam perkuliahan,” kata Kabiro SDM BPK RI.

Persoalan lainnya adalah adanya tujuh karyasiswa yang nilai IPK-nya masih kurang dari tiga, salah satunya malah kurang dari 2,6. Padahal idealnya, IPK harus di atas 3,0. Bahkan menurut Sekretaris Bidang Akademik Maksi Unpad Ilya Avianti, Maksi Unpad sendiri sebenarnya berharap karyasiswa BPK RI yang kuliah di Maksi Unpad bisa lulus dengan IPK di atas 3,25 nantinya lebih mudah seandainya ingin melanjutkan ke S-3.

Kabiro SDM BPK RI berharap agar hasil evaluasi yang ada dapat ditindaklanjuti secara sungguh-sungguh.“Semoga monitoring dan evaluasi ini dapat memberi energi baru, sehingga semua dapat berjalan dengan hasil terbaik, sesuai harapan kita bersama,” katanya

Selain Sekjen BPK RI dan Kabiro SDM BPK RI Fachry Alusi, acara yang dilaksanakan di auditorium kantor BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat tersebut juga dihadiri oleh serta Kalan BPK RI Pewakilan Provinsi Jawa Barat Gunawan Sidauruk, Ketua Program Maksi Unpad Sumarno Zain dan Sekretaris Bidang Akademik Maksi Unpad - yang saat ini juga menjadi Staff Ahli Bidang BUMN/BUMD di BPK RI - Ilya Avianti.

Di akhir acara, saat sesi tanya jawab, Sekretaris Bidang Akademik Maksi Unpad Ilya Avianti mengatakan bahawa rata-rata nilai dan tingkat kedisiplinan karyasiswa BPK RI masih layak mendapat penghargaan. “Secara umum, bahwa terlepas dari berbagai masalah yang ada tadi, kelas kerja sama BPK RI adalah yang terbaik, baik dalam hal perolehan nilai IPK mau-pun disiplin, dibandingkan kelas kerja sama yang lain,” kata Ilya Avianti yang segera disambut tepuk tangan para peserta.

Page 20: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

20 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

20

“Bagaimanakah perlakuan terhadap SP2D yang sampai akhir periode belum dicairkan? Apakah SP2D tersebut termasuk outstanding check

atau “penyeberangan”? Apa sebenarnya yang dimaksud outstanding check dan “penyeberangan” itu? Lalu, bagaimana perlakuannya jika Bendahara baru mencatat Buku Kas Umum hanya sampai November sementara Desember belum dicatat sama sekali, apakah kita tetap langsung tutup kas atau kita beri tengat waktu?”

Itulah beberapa pertanyaan yang sempat diajukan peserta dalam acara In House Training Persiapan Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2008 yang diadakan oleh Sub Bagian SDM Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah, di Aula Perwakilan, pada 21-23 Januari 2009.

Hadir sebagai pembicara dalam In House Training yang diikuti oleh seluruh auditor di Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah, adalah KasubAud Sulteng I, Makmun Fuad, S.E., M.Sc., Ak., KasubAud Sulteng II, Muh. Yasir, S.E., M.M., Ak., Kasie Sulteng IA, Muh. Abidin, S.E., Ak., Kasie Sulteng IIB, I Kadek Suartama, S.E., M.Ak., Ak., dan Staf Seksi Sulteng IIA, Arjuna Sakir, S.E., Ak.

Kepala Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah, Dadang Gunawan, dalam sambutan pembukaan mengatakan, In House Training ini selain bertujuan memberi bekal ilmu kepada Auditor yang akan bertugas melakukan Pemeriksaan Pendahuluan atas LKPD Tahun Anggaran

2008 dan Pemantauan Kerugian Negara/Daerah, juga untuk mencari permasalahan-permasalahan yang terkadang muncul ketika pemeriksaan serta bagaimana solusi mengatasi masalah tersebut.

Acara yang berlangsung selama 3 hari dan dibagi menjadi beberapa sesi tersebut berjalan menarik dan tidak membosankan. Para pembicara secara aktif mengajak peserta untuk berdiskusi, bahkan mengenai hal yang paling mendasar, misalnya definisi outstanding check dan pendapatan yang ditangguhkan. Pembahasan yang sederhana ini justru bisa berkembang dan mampu memancing peserta untuk memberikan argumen meskipun terkadang berbeda pendapat. Karena keterbatasan waktu, beberapa hal yang belum terpecahkan rencananya akan dibahas di forum khusus.

In House Training ini merupakan sebuah rangkaian kegiatan. Sebelumnya, pada tanggal 19-20 Januari 2009, Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah juga telah mengadakan In House Training Sistem Manajemen Pemeriksaan (SMP) dan Data Base Entitas. Pembicara dalam sesi ini yaitu Yusuf Efendi Kusuma, S.E., Ak., M. Solikhudin, S.E., dan Ika Yuni Fitriana, S.E.

Rony Setyo Kurniawan, S.Sos.

Rangkaian In House Training Pemeriksaandi Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah

Page 21: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

2�NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

2�

RAPAT KERJA BUPATI/WALIKOTA SE-PROVINSI MALUKU

Pada 13 Januari 2009 bertempat di Gedung DPRD Provinsi Maluku telah dilaksanakan rapat kerja Bupati/Walikota se–Provinsi Maluku dengan tema “Melalui Rapat Kerja Bupati/Walikota Kita Mantapkan Agenda Politik Nasional dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Provinsi Maluku tahun 2009” yang dibuka oleh Sekretaris Jenderal Depdagri

atas nama Menteri Dalam Negeri.Peserta Raker tersebut selain Gubernur dan Wakil Gubernur serta pejabat pemerintah Provinsi Maluku juga dihadiri oleh

para Bupati/Walikota dan para pejabat pemerintah Kabupaten/Kota se-Provinsi Maluku dan Kepala BPK RI Kantor Perwakilan Provinmsi Maluku diundang untuk menjadi salah satu pembicaranya.

Dalam penyampaian materi, Plt. Kalan mengemukakan peran BPK RI dalam mendorong pengelolaan keuangan Negara yang akuntabel dan transparan. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa dalam upaya mendorong perbauikan dan penyempurnaan keuangan Negara, BPK RI akan memberikan penghargaan (award) kepada instansi pemerintah baik pusat maupun daerah yang berprestasi dalam bidang tata kelola keuangan yang baik. Penghargaan ini diharapkan dapat memacu inisiatif pemerintah (daerah) dalam mempercepat perwujudan transpasansi dan akuntabilitas keuangan Negara.

Peringatan HUT BPK RI ke 62Perwakilan Provinsi Maluku

HUT BPK RI ke-62 diperingati den-gan upacara bendera dan serangka-ian kegiatan perlombaan di BPK RI

Perwakilan Provinsi Maluku. Upacara bendera, yang bertempat di halaman kantor diikuti den-gan khidmat oleh seluruh pegawai PNS, CPNS maupun tenaga kontrak, 12 Januari 2009.

Bertindak sebagai Inspektur Upacara adalah Plt Kepala Perwakilan Provinsi Maluku, Andi K Lologau, dan Kasubbag Umum, Aminnulah, bertindak sebagai Komandan Upacara. Amanat inspektur upacara diisi dengan pembacaan pi-dato dari Ketua BPK RI, Anwar Nasution. Dalam upacara yang didukung dengan cuaca cerah ini juga dilantunkan Mars BPK RI yang dinyanyikan oleh seluruh peserta upacara serta pembacaan singkat sejarah berdirinya BPK RI.

Kegiatan selanjutnya dalam rangka memeri-ahkan HUT BPK RI ini adalah perlombaan yang mempertandingkan beberapa cabang olahraga diantaranya sepakbola, catur, tenis meja dan bulu tangkis. Sistem perlombaan dilakukan dengan cara beregu yang menghadapkan tim Lini (pegawai di unsur teknis) dan tim Staf (pegawai di unsur penunjang pendukung). Rangkaian perlombaan yang dilaku-kan selama 4 hari bertutut-turut ini akhirnya dimenangkan oleh tim staf dengan skor total 3-1. Diharapkan dengan rangkaian kegiatan ini juga dapat semakin meningkatkan rasa kebersamaan di antara para pegawai di BPK RI kantor perwakilan Provinsi Maluku.

Page 22: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

22 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

22

Perkembangan teknologi informasi (komputasi dan komunikasi) telah mengakibatkan perubahan-perubahan pada

sistem akuntansi, sistem pengendalian intern(SPI) dan auditing. Sistem akuntansi makin terpadu dengan terciptanya sistem otomatisasi dalam perhitungan, terkait dengan SPI, saat ini tidak cukup hanya dengan kontrol internal tradisional, bahkan juga tidak cukup dengan adanya general control dan application control, melainkan perlu pengendalian akses, authentification dan security sistem lainnya.

Saat ini, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Gorontalo telah menerapkan Sistem Manajemen Keuangan Daerah dengan berbasis teknologi informasi dalam menghasilkan laporan keuangan pemerintah daerah. Aplikasinya menggunakan MS SQL Server sebagai databasenya dengan Bahasa Pemrograman Delphi sebagai Interfacenya. Untuk membekali para Auditor BPK RI Perwakilan Provinsi Gorontalo dalam melakukan pemeriksaan maka sangat dipandang perlu untuk diadakan Workshop Audit Teknologi Informasi/Sistem Informasi(TI/SI). Demikian disampaikan Kepala Perwakilan Provinsi Gorontalo, Tri Heriadi, dalam pidatonya ketika membuka Diklat Audit Teknologi Informasi/ Sistem Informasi (TI/SI) pada 27 Januari 2009 yang lalu.

Bekerja sama dengan Pusdiklat BPK-RI, diklat ini diselenggarakan di New Rahmat Hotel Gorontalo

selama tiga hari mulai Selasa – Kamis, 27 – 29 Januari 2009 dengan jumlah peserta 47 orang, terdiri dari 32 orang pegawai Perwakilan Provinsi Gorontalo dan 15 peserta dari perwakilan wilayah timur lainnya.

Instruktur pada diklat ini adalah Pinky Dezar Zulkarnain dan Yusuf Ahmadi dari Biro TI pusat, serta Darmadi Aries Wibowo, Kepala Bidang Anggaran dan Pembinaan Keuangan Daerah pada BKD Pemerintah Provinsi Gorontalo yang membahas mengenai pengenalan konsep database, dilanjutkan dengan membedah pengolahan database yang diambil melalui Microsoft SQL server, dan mengolah database lebih lanjut dengan menggunakan software audit Arbutus Analyzer. Kemudian dengan pengenalan lebih lanjut pada aplikasi SIMDA Provinsi Gorontalo untuk mengetahui pengoperasian, flowchart dan kelemahan SPI pada implementasi pengolahan data transakasi di lapangan. Pada hari terakhir, para peserta diberikan studi kasus untuk membuat neraca saldo tandingan terhadap neraca saldo Pemerintah Provinsi Gorontalo TA 2008 untuk kemudian dibuat jurnal koreksinya. I*

.

DIKLAT AUDIT TEKNOLOGI INFORMASI/ SISTEM INFORMASI PADA PERWAKILAN PROVINSI GORONTALO

Page 23: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

2�NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

2�

Pembinaan dan Pengarahan Oleh Anggota Pembina Utama V BPK RI di BPK RI Kantor Perwakilan Provinsi DKI Jakarta

Jakarta, 2� Januari 2009, bertempat di BPK RI Perwaki-lan Provinsi DKI Jakarta dilangsungkan acara Pembinaan dan Pengarahan oleh Anggota Pembina Utama V BPK RI Hasan Bisri, SE, MM. Acara ini diadakan dalam rangka persiapan pelaksanaan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran 2008.

Dalam kesempatan ini Hasan Bisri mengingatkan kepada para pegawai BPK RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta men-genai pentingnya nilai Independensi, Profesionalisme dan Integritas untuk dimiliki oleh seorang auditor dalam pelak-sanaan pemeriksaan. Selain itu para auditor harus dapat meningkatkan kemampuannya mengingat tingginya harapan masyarakat terhadap kinerja BPK RI sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan di Indonesia. Pada kesempatan ini pula disampaikan bahwa ditargetkan kepada BPK RI Kan-tor Perwakilan Provinsi DKI Jakarta untuk dapat menindak-lanjuti temuan pemeriksaan secara hukum dengan cara pen-yampaian kepada lembaga penegak hukum untuk diproses dalam peradilan.

Pisah Sambut Kepala Perwakilan BPK RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta

Jakarta �5 Januari 2009, BPK RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta mengadakan acara Serah Terima Jabatan Kepala Perwakilan diikuti dengan pisah sambut beberapa pegawai. Kepala Perwakilan BPK RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta yang lama, I Gede Kastawa, SE. MM dimutasi menjadi Kepala Perwakilan BPK RI Perwakilan Provinsi Bali setelah menjabat kurang lebih � tahun � bulan, dan sebagai penggantinya ialah Sjafrudin Mosii, SE. MM yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Biro Sumber Daya Manusia.

Pegawai yang telah memasuki masa purnabakti yaitu Drs. Ary Soetedjo, MM yang terakhir menjabat sebagai Kepa-la Sekretariat BPK RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta. Ir.Martuama Saragih, MM yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Seksi DKI II.B dimutasi ke AKN IV, dan sebagai peng-gantinya adalah pegawai yang memperoleh promosi Ir. Heru Nugraha, MM. Selain itu terdapat pegawai yang masuk ke BPK RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta antara lain Saoma Nugraha, SE, Hadi Sucipto, SE dan sebelas CPNS.

Workshop Pengayaan Materi Hukum dalam menan-gani Masalah Hukum di BPK

Ditama Binbangkum pada tanggal 26 s.d. 27 Januari men-gadakan Workshop Pengayaan Materi Hukum Dalam Me-nangani Masalah Hukum di BPK. Workshop yang membahas beberapa materi utama perihal konsepsi keuangan negara dan permasalahan dalam implementasinya dihadiri oleh seluruh Kasubag Hukum Humas kantor perwakilan BPK. Workshop dilaksanakan di Hotel Papandayan Bandung. Pembukaan workshop dilakukan oleh Wakil Ketua BPK, Abdullah Zaini, dengan pengarahan oleh Anggota III BPK, Baharuddin Ari-tonang.

Pada sesi hari pertama, pembicara adalah Kepala Ditama Binbangkum, Hendar Ristriawan, Kepala Direktorat LABH, Koesnindar, dan Kepala Direktorat KHK, Hening Tyastan-to. Dilanjutkan pada hari kedua, pembahasan materi-materi workshop dipandu oleh para Kepala Sub Direktorat di ling-kungan Ditama Binbangkum.

Acara Workshop Pengayaan Materi Hukum Dalam Me-nangani Masalah Hukum di BPK ini selain membahas materi-materi utama yang telah ditetapkan, sekaligus dimanfaatkan untuk menyamakan persepsi seluruh unit kerja hukum di BPK dalam menangani berbagai persoalan serta permasalahan hukum di bidang pemeriksaan keuangan negara. Antusiasme para peserta begitu tinggi dalam menyampaikan berbagai per-soalan hukum yang dihadapi di masing-masing perwakilan se-hingga dirasa perlu oleh para kasubbag Hukum dan Humas di Perwakilan agar acara seperti ini dapat dilakukan secara rutin pada masa-masa mendatang, sehingga dapat terus dilakukan updating informasi serta saling tukar pengetahuan diantara unit-unit kerja hukum di BPK.

Peringatan HUT BPK RI ke 62 di Perwakilan Provinsi Jawa Timur

Dalam rangka memperingati HUT BPK RI ke-62, BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Timur mengadakan serangkaian ke-giatan mulai dari jalan sehat hingga upacara peringatan. Rang-kaian kegiatan tersebut dimulai pada hari Jumat, 9 Januari 2009 dengan acara jalan sehat mengelilingi kompleks kantor dan dilanjutkan dengan berbagai perlombaan seperti lomba tarik tambang, makan kerupuk, bakiak dan futsal. Pelaksanaan upacara peringatan HUT BPK RI ke 62 dilak-sanakan pada hari Senin, �2 Januari 2009 yang diikuti oleh seluruh pegawai BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Timur. Upacara yang dimulai pukul 08.00 ini dipimpin oleh Ke-pala Perwakilan BPK RI Provinsi Jawa Timur Drs. Zindar Kar Marbun, M.Si sebagai inspektur upacara. Pada upacara ini, inspektur upacara membacakan Pidato Ketua BPK RI pada Acara Ulang Tahun Ke 62 Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Setelah pelaksanaan selesai, acara dilan-jutkan dengan acara makan bersama Kepala Perwakilan, para Pejabat Struktural dan seluruh pegawai.

Page 24: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

24 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

24

0

Penganugerahan penghargaan BPK RI kepada insitusi pemerintahan �5 Januari 2009.

Ketua BPK RI Prof. Dr. anwar Nasution memberikan sambutan acara the �2th Meeting of the INTOSAI Working Group on Environmental Auditing (WGEA) Doha, Qatar, 25 – 29 January 2009.

Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad mendapat penghargaan BPK RI yang diserahkan oleh Ketua BPK RI, �2 Januari 2009.

Anggota BPK RI Hasan Bisri memberikan sambutan pada acara Me-dia Workshop BPK RI mendorong perbaikan tata kelola keuangan negara, �0 Januari 2009.

POTRET BPK

Gubernur Bank Indonesia Budiono pada acara pertemuan dengan Wakil Ketua BPK RI 29 Januari 2009.

Ketua BPK Dr. Anwar Nasution berfoto bersama setelah penyerahan Buku BPK memunaikan Amanat Konstitusi kepada para undangan dalam acara peringatan HUT BPK RI ke-62, �2 Januari 2009.

Page 25: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

25NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

25

0

Wakil Ketua BPK RI Abdullah Zainie meresmikan peluncuran situs baru BPK RI didampingi oleh Sekretaris Jenderal BPK RI dan Plt Kepa-la Biro Humas dan Luar Negeri, 2 Februari 2009.

Foto bersama pemenang perhargaan karya jurnalistik dan Wakil Ketua BPK RI dan Sekjen BPK RI, 2 Februari 2009.

Wakil Ketua BPK RI dan Sekjen BPK RI melakukan foto bersama pemenang penghargaan jurnalistik kategori editorial yaitu Koran Tempo, Media Indonesia dan Jurnal Nasional.

Auditor Utama III, Auditor Utama II dan Inspektur Utama BPK RI so-sialisasi Risk Area Pemeriksaan LKPP 2008, 08 Februari 2009

Anggota BPK RI Baharudin Aritonang menyayi bersama M. Si-manungkalit pada cara HUT BPK RI ke-62.

Pertemuan BPK RI dan Gubernur Bank Indonesia, 29 Januari 2009.

Page 26: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

26 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

26

Peresmian Gedung Kantor BPK RI

BPK Tuntaskan Pencapaian Reformasi Birokrasi Oleh: Biro Humas Dan Luar Negeri

SIARAN PERS

Jakarta, Rabu (21 Januari 2009) – Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia terus berupaya men-

ingkatkan kinerja pemeriksaan dan menuntaskan pencapa-ian mendasar di bidang kelembagaan, proses bisnis, per-sonil, serta sarana dan prasarana. Keempat bidang tersebut menjadi pilar utama Reformasi Birokrasi sekaligus sebagai fondasi yang kokoh bagi BPK RI untuk meningkatkan per-annya dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, transparan dan akuntabel. Demikian dite-gaskan oleh Ketua BPK, Anwar Nasution, ketika meresmi-kan Gedung Kantor BPK RI, Rabu (21/1) di Jakarta.

Menurut Anwar, amandemen UUD 1945, paket tiga UU di bidang keuangan negara, serta UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK RI, semakin memperkokoh keberadaan dan kedudukan BPK sebagai satu lembaga yang bebas dan mandiri. Saat ini, BPK berhasil melakukan berbagai pen-capaian di bidang pemeriksaan untuk mendorong trans-paransi dan akuntabilitas keuanga negara, meningkatkan penerimaan negara, serta menyelamatkan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umum, pemerintah, juga penegak hukum.

Pe n g a k u a n atas prestasi BPK juga ditunjukkan dengan men-ingkatnya tun-tutan, harapan, dan kepercayaan para stakehold-ers akan peran BPK. Harapan dan kepercayaan tersebut semakin nyata dengan terpilihnya BPK RI sebagai salah satu pilot project reformasi bi-rokrasi pemerin-tahan Indonesia. ”Anggaran yang diperoleh BPK dari DPR dan Pemerintah pun semakin mening-

kat. Pada tahun 2004, BPK RI memiliki anggaran Rp329 miliar dan pada tahun 2009, meningkat menjadi Rp1.725 miliar,” tambah Anwar.

Peningkatan tersebut juga diikuti dengan penataan or-ganisasi dan penambahan jumlah personil pegawai BPK RI, yang membutuhkan sarana dan prasarana kerja yang baik dan memadai. Dua gedung yang ada di kantor pusat BPK RI sudah tidak mampu menampung jumlah personil serta memenuhi kebutuhan ruang kerja yang memadai, sehing-ga dibangun gedung kantor baru yang pembangunannya dimulai sejak 8 Oktober 2007 dan selesai pada 6 November 2008.

Pembiayaan pembangunan gedung kantor BPK dilak-sanakan secara multi years, yaitu dibebankan pada DIPA BPK RI tahun 2007 dan 2008, dengan total biaya Rp39 miliar. Pelaksana pembangunan gedung adalah PT Pemban-gunan Perumahan (Persero) dan sebagai Konsultan Mana-jemen Konstruksinya adalah PT. Yodya Karya (Persero). Gedung baru ini terdiri dari 7 lantai dengan total luas ban-gunan 7.929,3 m2.

Page 27: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

27NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

27

62 Tahun BPK RIAnwar Nasution: Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara Tak Bisa Ditawar Lagi

Oleh: Biro Humas dan Luar negeri BPK RI

Jakarta, Senin (�2 Januari 2009) – Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, Anwar Nasution, mengin-

gatkan bahwa upaya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara merupakan harga yang tidak bisa ditawar lagi. “Bila tidak, kita akan jatuh dalam krisis seperti tahun �997-98 dulu,” ujarnya.

Peringatan ini disampaikan Anwar dalam acara peringatan Ulang Tahun BPK ke-62 bertempat di Au-ditorium Kantor Pusat BPK RI, Jakarta, pada Senin, �2 Januari 2009. Dalam pidatonya itu, Anwar berulangkali menegaskan bahwa cita-cita penegakan pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel masih masih memerlukan perjuangan panjang.

“Kelemahan sistem akuntansi dan sistem hukum sebagaimana yang terungkap dalam pemeriksaan BPK telah membuat negara kita menjadi salah satu negara terkorup di dunia,” kata Anwar. “Akibat ulah kita sendiri, kehidupan rakyat menjadi sengsara dan Indonesia di-anggap the sick man of Asia.”

Dalam lima tahun terakhir BPK memang mengung-kapkan banyak kasus yang menunjukkan buruknya pengelolaan keuangan negara. Kasus-kasus tersebut antara lain: kasus YPPI dan BI, tersebarnya rekening liar berjumlah puluhan triliun rupiah, penumpukan angga-ran di akhir tahun, dana perimbanag pusat dan daerah, pengelolaan minyak dan gas bumi, pengelolaan aset, pengelolaan pertambangan, serta juga kasus Bank In-dover.

Karena itulah, Anwar mengingatkan agar pemer-intah menunjukkan upaya serius untuk memperbaiki pengelolaan keuangan negara. “BPK tidak mau pen-galaman pahit di masa lalu terulang kembali,” katanya tegas

Perayaan HUT tahun ini memang tidak diniatkan un-tuk sekadar menjadi seremoni biasa. “Pada ulang tahun yang ke 62 ini BPK RI berupaya meningkatkan pemaha-man publik mengenai peran penting BPK-RI dalam men-dorong terciptanya pemerintahan yang bersih dan tata kelola keuangan negara yang baik”, ujar Dwita Pradana, Plt. Kepala Biro Humas dan Luar Negeri BPK.

Ulang tahun BPK sendiri sebenarnya jatuh pada

tanggal � Januari. Namun rangkaian kegiatan peringa-tan ulang tahun tersebut – dengan tema “Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara” -- di-selenggarakan melalui beberapa kegiatan.

Selain dengan upacara bendera, syukuran secara sederhana, acara kekeluargaan, serta aksi sosial lainnya, ulang tahun BPK tahun ini diperingati dengan berbagai kegiatan yang terkait dengan uapaya mendorong per-cepatan penegakan pemerintahan bersih dan tata ke-lola keuangan negara yang baik.Termasuk dalam rang-kaian kegiatan tersebut adalah peluncuran buku ”BPK Menunaikan Amanat Konstitusi”, pemberian hadiah bagi karya jurnalistik yang mendorong peran BPK da-lam penegakan pemerintahan yang bersih dan transpa-ran, seminar dan diskusi tentang tata kelola keuangan negara yang baik, media workshop tentang BPK, serta peluncuran video profile mengenai BPK.

Salah satu kegiatan terpenting dalam rangkaian HUT ini adalah pemberian penghargaan kepada instansi pemerintah pusat dan daerah yang memiliki prestasi di bidang tata kelola keuangan yang baik. Pemberian apre-siasi ini akan dilakukan pada �5 Januari 2009. BPK akan memberikan penghargaan untuk dua kategori yaitu: (�) kategori yang telah mencapai pelaporan keuangan dengan opini BPK ”Wajar Tanpa Pengecualian” dan (2) kategori upaya menuju pelaporan keuangan yang baik.

Ulang tahun kali ini memiliki makna tersendiri bagi para pimpinan BPK RI periode 2004-2009, karena me-rupakan tahun terakhir masa bhakti anggota BPK 2004-2009. ”Saya bahagia bahwa saya bisa mengatakan bahwa capaian BPK selama lima tahun terakhir telah mampu menunjukkan kemandirian dan kebebasan BPK sebagaimana diamanatkan konstitusi,” ujar Anwar.

”Selama lima tahun ini, BPK telah berhasil menyiap-kan fondasi dan rancang bagun yang kokoh bagi BPK maka kini dan mendatang untuk semakin meningkat-kan peran dan sumbangsihnya dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, baik dan akuntabel,” tambahnya pula.

Page 28: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

28 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

28

BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Barat mengadakan berbagai kegiatan dalam rangka merayakan HUT BPK RI yang ke-62. Seluruh rangkaian acara ini dilaksanakan mulai dari tanggal 18 Desember 2008 sampai dengan tanggal 22 Januari 2009. Rangkaian acara perayaan HUT BPK RI dimulai dengan kegiatan dari Dharma Wanita yang mengadakan acara seminar dengan tema Penyakit Kanker Yang Sering Menyerang Wanita. Menurut Prof. dr. Hj. Salmiah Agus, Sp,P.A yang merupakan Kepala Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas ini, kanker rahim (Cervix Cancer) dan kanker indung telur (Ovarian Cancer) perlu untuk diwaspadai oleh kaum hawa. Seminar ini juga diisi ceramah dari Ketua Dharma Wanita BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Barat Ibu drg. Trelia Boel Ginting.

Rangkaian acara selanjutnya mengambil tema olah raga. Acara dibuka oleh Kepala Perwakilan BPK RI Provinsi Sumatera Barat, Maulana Ginting, diawali dengan gerak jalan santai yang diikuti oleh seluruh pegawai yang ada di lingkungan BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Barat. Dalam kegiatan ini juga diberikan door prize untuk peserta yang beruntung. Kemudian acara diteruskan dengan pertandingan volley, futsal dan tenis lapangan.Donor darah untuk seluruh pegawai di lingkungan BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Barat merupakan kegiatan bertema sosial juga dilaksanakan pada perayaan HUT BPK RI kali ini. Kegiatan ini merupakan wujud kepedulian BPK RI sebagai bagian dari masyarakat selain tugas utama BPK sebagai instansi yang menjadi pilar utama dan suri teladan (leading by example) bagi seluruh instansi/lembaga dalam hal tansparansi dan akuntabilitas. Pelaksanaan donor darah ini bekerja sama dengan PMI Kota Padang.

RANGKAIAN KEGIATAN HUT BPK RI KE-62 DI BPK RI PERWAKILAN PROVINSI SUMATERA BARAT

Page 29: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

29NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

29

Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat (Jabar) atas Pertanggungjawaban

Keuangan Penyelenggaraan Pilkada Langsung (Pilkadasung) pada KPUD dan Panwas Provinsi Jabar, di temukan 13 (tiga belas) masalah senilai Rp4,37 miliar. Hal itu disampaikan Kepala Perwakilan (Kalan) BPK RI Perwakilan Provinsi Jabar Gunawan Sidauruk dalam acara “Penyerahan Lapo-ran Hasil Pemeriksaan (LHP) Pertanggungjawaban Keuan-gan Penyelenggaraan Pilkadasung pada KPUD dan Panwas Provinsi Jawa Barat”. Penyerahan LHP oleh Kalan BPK RI Perwakilan Provinsi Jabar kepada Ketua KPUD Provinsi Jabar Ferry Kurnia Rizkiyansyah tersebut dilaksanakan pada hari Jumat, 13 Februari 2009.

Acara yang dilaksanakan di Kantor KPUD Provinsi Jabar tersebut diikuti oleh beberapa anggota KPUD Provinsi Jabar dan Sekretaris KPUD Provinsi Jabar. Sedangkan dari BPK RI Perwakilan Provinsi Jabar sendiri, selain Kalan, hadir pula Kasubaud Jabar I Hesti Sunaryono, Kasubaud Jabar II Yuyung Mulya Sungkawa, dan Kasubaud Jabar III Suharto. Di samping itu, turut serta dalam acara tersebut Kasi Jabar I Ali Sadli dan Kasubag Umum BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat Drs. Sutisna.

Penyerahan LHP kepada DPRD Provinsi Jabar dan KPUD Provinsi Jabar ini dilaksanakan untuk memenuhi amanat UU No. 15 Tahun 2004 yang antara lain menya-takan bahwa “Laporan Hasil Pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada DPRD sesuai kewenangan-nya dan juga kepada pejabat yang bertanggung jawab atas pengawasan keuangan tersebut”. Sehari sebelumnya (Kamis, 12 Februari 2009) LHP yang sama juga telah disampaikan kepada DPRD Provinsi Jabar.

Dalam pidato sambutannya, Kalan BPK RI Perwaki-lan Provinsi Jabar menguraikan rincian dari temuan BPK RI senilai Rp4,37 miliar tersebut adalah, indikasi kerugian daerah senilai Rp72,01 juta, kekurangan penerimaan dae-rah/negara sebesar Rp79,06 juta, pengeluaran yang kurang dapat dipertanggungjawabkan sebesar Rp1,47 miliar, keti-dakhematan sebesar Rp 89,81 juta, dan tidak efektif sebesar Rp2,68 miliar.

Beberapa dari temuan pemeriksaan dimaksud, antara lain, (1) Menyangkut pengadaan Buku Petunjuk Teknis Kebutuhan Pemilihan Gubernur Jabar TA 2008 yang tidak sesuai dengan kontrak sebesar Rp53,47 juta yang berindi-kasi kerugian daerah; (2) Pengadaan formulir A-KWK se-nilai Rp162,25 juta tidak melalui pelelangan umum dan kelebihan pembayaran atas pengadaan perlengkapan tem-pat pemungutan suara pada KPU Kabupaten Ciamis; (3) Belum dipertanggungjawabkannya penggunaan dana hibah sebesar Rp267,58 juta oleh enam Panwas Kecamatan pada Kota Depok; (4) Belum dipertanggungjawabkannya Dana Panwas Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, sebesar

Rp133,79 juta dan di antaranya sebesar Rp20,22 juta digu-nakan untuk kepentingan pribadi.

Kalan juga menerangkan bahwa berdasarkan semua ma-salah dan temuan tadi, BPK RI telah membuat 17 (tujuh belas) rekomendasi. Merujuk pada pasal 20 UU No. 15 Ta-hun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, rekomendasi ini wajib ditindak-lanjuti oleh pejabat atau pimpinan KPUD selambat-lam-batnya 60 hari setelah LHP diterima. “Namanya juga wajib, jadi bila tidak dilaksanakan tentunya akan membuahkan sanksi,” kata Kalan yang segera disambut senyum semua pe-serta acara.

Di akhir pidato sambutannya, Kalan mengharapkan bahwa LHP yang diserahkan oleh BPK RI dapat bermanfaat sebagai pendorong terwujudnya akuntabilitas dan transpar-ansi dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dan daerah. “Sehingga tercapai cita-cita kita semua, yakni pemerintahan yang bersih dan transparan demi ke-makmuran rakyat,” tutur Kalan.

Pemeriksaan atas Pertanggungjawaban Keuangan Penye-lenggaraan Pilkadasung TA 2008 pada KPUD dan Panwas Provinsi Jawa Barat itu sendiri dilaksanakan pada Semester II TA 2008. Menurut sifatnya, Pemeriksaan atas Pertang-gungjawaban Keuangan Penyelenggaraan Pilkadasung TA 2008 ini termasuk Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT).

Sebelumnya, dalam pidato sambutannya, Ketua KUPD Provinsi Jawa Barat Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengung-kapkan bahwa kerja KPU sekarang ini seperti ikan dalam akuarium. Semua orang bisa melihat, semua aspek yang ada dalam organisasi dan kinerja institusi mendapat sorotan masyarakat. Ini dapat dijadikan indikasi akan semakin cer-das dan semakin pedulinya masyarakat.

Menyikapi animo masyarakat tersebut, Ketua KPU san-gat mengharapkan adanya kerja sama yang baik dengan BPK RI. BPK RI diharapkan senantiasa berperan akrif dalam mengawal proses-proses yang ada sehingga semua dapat berjalan secara lebih baik dan akuntabel. “KPUD Provinsi Jabar ingin benar-benar bekerja secara profesional, transparan dan akuntabel. Karenanya KPU ingin agar BPK RI dapat mengawal kerja kami, menunjukkan mekanisme yang benar, serta mengawasi setiap proses yang ada sehingga semua berjalan secara tertata , transparan dan dapat diper-tanggungjawabkan,” kata Ketua KPUD.

Acara Acara Penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Pertanggungjawaban Keuangan Penyelenggaraan Pilkadasung pada KPUD dan Panwas Provinsi Jawa Barat tersebut diakhiri dengan pemberian kenang-kenangan oleh Ketua KPUD Provinsi Jabar kepada Kalan BPK RI Perwaki-lan Provinsi Jabar.

BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat Serahkan LHP Pertanggungjawaban Keuangan Penyelenggaraan Pilkadasung

Page 30: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

�0 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

�0

Pos Penguasa Tunggal Era Lalu,

KEBUTUHKAN MASA KINI

OPINI

Oleh: Nurdin Nainggolan Itjen Departemen Dalam Negeri

Sebagaimana dimaklumi Pasangan Kepala Daerah adalah pejabat tertinggi di suatu Daerah. Era lalu disebutkan sebagai administrator

Pemerintahan, Pembangunan dan kemasyarakatan. Namun di era reformasi, segala sesuatu yang berbau era Orde Baru perlu digusur. Padahal rezim Orde Baru adalah perpanjangan tangan rezim sebelumnya. Begitu juga kita harus menerima rezim reformasi, adalah lanjutan episode rezim Orde Baru itu.

Sudah menjadi penyakit anak negeri ini, mengalergikan segala sesuatu yang bernuansa dan beraroma lama. Tanpa mempertimbangkan sesuatu

yang lama itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari yang baru. Bukankah sistem yang baru, tidak serta merta mesti melindas sistem yang lama ?.

Di dalam APBD di masa lalu, disediakan pos anggaran untuk Kepala Daerah Namanya Pos �.�.�: Pos Penguasa Tunggal. Di dalam pos ini disediakan kredit anggaran untuk keperluan Kepala Daerah, yang tidak tertampung dalam Pos-pos anggaran satuan Perangkat Daerah lainnya. Mata anggaran ini dapat digunakan oleh Kepala Daerah dalam menunjang tugas dan fungsinya sebagai orang Nomor satu di Daerah itu.

Contoh penggunaan mata anggaran tersebut misal digunakan untuk menjamu para anggota Muspida, dalam kerangka membangun kerja sama di antara mereka di

Page 31: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

��NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

��

Daerah itu. Mata anggaran ini boleh juga digunakan oleh Kepala Daerah untuk membantu Lembaga dan Organisasi Sosial yang menurut KDH perlu dilakukan. Boleh juga misalnya dari dana itu digunakan oleh sang KDH untuk membantu seorang mantan Kepala Daerah, atau pejabat senior di Daerah itu, yang mungkin berobat lanjut ke kota lain di hari tuanya. Boleh juga digunakan oleh Kepala Daerah, untuk membantu dan memberi dana stimulan untuk Pembangunan Rumah Ibadah. Juga boleh diberikan oleh pak Bupati kepada Panglima atau Kapolda sesuatu yang bernilai dari dana itu, seperti souvenir untuk kenang-kenangan. Memberian itu boleh jadi berasal dari rekomendasi dan pertimbangan Komandan Kodim atau Kapolres, yang menjadi mitra setia KDH. Dalam menjaga keamanan dan ketentranan Daerah itu, pada saat Pejabat tingkat Propinsi itu melakukan kunjungan kerja di Daerah itu. Lebih gamblangnya lagi, dari dana itu boleh digunakan untuk menjamu makan bersama, sejumlah petinggi dari Jakarta yang berkunjung ke Daerah. Bahkan dimungkinkan dana Penguasa Tunggal itu diberikan untuk bantuan tiket untuk rekan-rekan wartawan lokal. Mereka yang tergabung dalam PWI. Pada saat mengikuti Musyawarah Regional di Ibukota Propinsi dan Nasional di Jakarta atau kota lain. Begitu juga disisihkan sejumlah jutaan rupiah untuk membantu organisasi masyarakat lainnya seperti PMI, Organisasi Pensiunan Guru dan Pramuka.

Apakah tidak pantas seorang Gubernur dalam kapasitas selaku orang tua dan pemimpin, memberi tambahan uang saku dari kewenangannya untuk para teladan yang terpilih ikut merayakan �7 Agustus di Istana Negara Jakarta. Pokoknya sangat luwes penggunaan dana itu. Lalu pertanggungjawaban itu tidak perlu diutak atik oleh aparat pengawasan ketika itu. Yang terpenting dana itu digunakan oleh Kepala Daerah dalam rangka menunjang tugas dan fungsinya sebagai orang nomor satu di teritorinya.

Namun sejalan dengan era reformasi dan transparansi dewasa ini, keran itu ditutup dan dilarang sesuai dengan era serba terbuka ini. Pertanyaannya apakah era reformasi sudah meninggalkan tuntutan kebutuhan seperti itu, khususnya bagi Kepala Daerah masa kini. Itulah yang menjadi pertanyaan kita dewasa ini. Apakah di era kini seorang rakyat, tidak bisa lagi meminta bantuan langsung dari tangan Pimpinan Daerahnya. Apakah tidak pantas kalau seorang mantan Pendidik yang tua renta dibantu oleh Kepala Daerah masa kini. Masih bolehkah Bupati memberi dan membantu sejumlah uang kepada Tokoh Masyarakat seperti mantan Ketua MUI dimasa lalu, untuk

berobat lanjut ke kota lain.

Semua pertanyaan ini menurut saya masih relevan dengan posisi dan kondisi masyarakat kita masa kini. Boleh juga pertanyaannya dirubah, apakah otomatis masyarakat di Daerah tidak boleh lagi minta dikasihani oleh Kepala Daerah masa kini. Apakah budaya tolong menolong sudah diharamkan di era transparansi ini. Lebih ekstrim lagi apakah era kini, sudah otomatis membuat masyarakat kita jadi kaya raya, sehingga tidak perlu dibantu oleh Kepala Daerah dalam tugasnya selaku adminstrator kemasyarakatan. Bukankah menjadi pertanyaan kita, mencari kehidupan masa lalu, justru lebih mudah dari masa kini. Bukankah angka statistik menunjukkan prosentasi masyarakat miskin kini lebih tinggi, dibandingkan era Orba �� tahun itu.

Tentu semua pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab oleh sistem ketatanegaraan kita. Seorang mantan Bupati era lalu mengatakan ke saya begini, apakah sistem pemilihan langsung KDH atau sistem perwakilan, atau Kepala Daerah berasal dari Partai atau independen. Dapat dipastikan bahwa segala pertanyaan yang berhubungan dengan sistem ketatanegaraan kita akan bertemu dengan persoalan� kemasyarakatan, seperti yang kami alami era lalu.

Cobalah anda tanyakan pasangan Gubernur, Bupati dan Walikota yang lagi berkuasa kini. Apakah dana Operasional seperti yang kami peroleh di masa lalu tidak mereka butuhkan lagi masa kini, di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya mengayomi rakyatnya. Jawabnya tentu Kepala Daerah sekaranglah yang harus menjawab dari hati nuraninya. Bukankah bagian dari Dana Penguasa tunggal itu, diwujudnyatakan sebagai bagian pemenuhan janji� kampanye, sebelum naik tahta. Pertanyaan besarnya, siapa yang pantas menjawabnya ? Menurut saya bukan pengamat, bukan juga akademisi, apalagi oposan dan para Tukang Demo bayaran dan amatiran yang suka menghujat itu. Tentu para Kepala Daerah sekaranglah yang menjawabnya. Terlepas pasangan itu berasal dari Partainya yang dikatakan paling bersih sekali pun, pastilah dia akan menghadapi dinamika masyarakat yang sama. Mungkin hanya modus operandinya saja yang berbeda, tetapi hakekatnya sama saja. Mereka itu adalah pasangan Gubernur, Pasangan Bupati dan pasangan Walikota yang saat ini sedang bertahta. Sukses untuk anda. (Nurdin. Nainggolan)

Page 32: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

�2 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

�2 Paradigma di era reformasi banyak tertuju pada kata profesionalisme. Hal ini mengandung makna ba-hwa untuk mengejar ketertinggalan dari negara-

negara lain maka dituntut setiap orang untuk menjadi seo-rang yang profesional.

Tuntutan untuk menjadi seorang profesional, menurut pakar hukum Satjipto Rahardjo biasanya apabila kita bicara tentang profesionalisme, kita hanya menyinggung aspeknya yang lebih bersifat teknis. Memang profesionalisme men-urutnya mengandung banyak muatan teknis, keahlian khu-sus, keterampilan dan seterusnya. Tetapi, profesionalisme seperti itu hanya akan menjadi alat yang mati apabila ti-dak disertai atau dilengkapi dengan dimensi yang bersifat moral. Lebih lanjut menurut pakar hukum tersebut, yang dimaksud moral di sini adalah rasa empati, kepedulian, ko-mitmen, dedikasi, tekad dan keberanian dalam menangani suatu masalah. Untuk mencapai hal tersebut tidak dapat diukur melalui pendekatan akademik. Rasanya tidak ber-lebihan jika dikatakan bahwa kecerdasan intelektual men-ghasilkan ilmu pengetahuan melalui pendidikan umum dan dapat diukur melalui kecerdasan akademik dan hasilnya pun mampu membuat rencana dan aturan yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi tidak otomatis mampu membangun sikap dan perilaku yang konsisten dan disiplin dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasan intelek-tual, piawai dalam hal membangun konsep dan teori, tetapi kurang memiliki energizer yang berfungsi sebagai kekuatan pembangkit sikap dari perilaku manusia.

Pendekatan yang digunakan seorang profesional bia-sanya lebih banyak menggunakan kecerdasan intelektual yang bersumber dari dunia pendidikan, seperti Perguruan Tinggi baik dalam negeri maupun luar negeri dengan pre-dikat akademik yang mempunyai kemampuan membuat rencana, aturan yang baik, hanya saja sering tidak konsisten dan tidak disiplin dan kelemahan seperti ini bersifat indifi-dual dan tidak merata, tetapi karena sudah berjalan cukup lama, sehingga berkembang dalam bentuk yang lebih mem-prihatinkan serta cenderung membudaya yang merasuki kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika kita kembali men-engok ke belakang di era kepemimpinan Soeharto orientasi pembangunan fisik hasil tangan-tangan profesional yang bersifat teknis mejadi andalan.

Hamid Awaludin mantan Menteri Kehakiman dan HAM mengatakan, bahwa kebijakan Soeharto untuk mengukur suatu keberhasilan harus dilihat dari angka kuantitas. Para-digma hidup pun serta merta mengalami perubahan men-dasar, pola hidup hedomistik seakan menjadi keharusan. Tiap orang terasa baru sah sebagai warga Negara jika dalam

kehidupannya terdapat sederatan kepemilikan yang secara kuantitas terbilang besar. Harga diri tiap orang lebih banyak diukur dari apa yang dipunyai, sehingga status sosial seorang tampak sekali ditakar dengan standar apa yang dimilikinya. Ini adalah konsekuensi logis dari orientasi pembangunan yang mengandalkan standar kesuksesan dengan takaran jumlah, misalnya berapa gedung yang berhasil dibangun, berapa kilometer jalan yang dibangun.

Jika demikian ukurannya maka tidak mengherankan di era kepemimpinan Soeharto saya kira kita mengakui bahwa keberhasilan pembangunan di bidang fisik cukup menon-jol, dimana gedung-gedung perkantoran bertingkat berdiri disetiap jalan protokol, pembangunan gedung-gedung per-sekolahan, tempat peribadatan dan lain-lainnya termasuk keberhasilan di dunia pendidikan begitu banyaknya orang yang memiliki gelar kesarjanaan mulai dari S1, S2 dan S3, namun kesemuanya ini belum menjamin keberhasilan pembangunan manusia seutuhnya.

Semenjak negara kita ditimpa musibah berupa krisis moneter pada tahun 1977 nampaknya sampai dengan seka-rang belum dapat bangkit, dan menurut penelitian para pakar ada tanda-tanda akan terjadi krisis moneter babak kedua. Tentu hal ini akan terjadi jika para pengambil ke-bijakan salah memutuskan, khususnya di bidang Sumber Daya Manusia (SDM) dengan menempatkan orang pada posisi-posisi yang vital hanya menggunakan pendekatan kecerdasan intelektual semata, tanpa diimbangi dengan kec-erdasan lainnya.

Jika melihat kondisi yang terjadi sekarang, dimana den-gan terungkapnya satu demi satu kasus-kasus korupsi yang dilakukan para Pejabat Pemerintahan, baik itu Pejabat

MENINGKATKAN PROFESIONALISME MELALUIPENGEMBANGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL

MANAJEMEN

Oleh: La Ode Abadi Rere

Page 33: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

��NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

��

daerah maupun Pejabat pusat, seperti kasus aliran dana BI yang melibatkan para Pejabat Negara, kasus beberapa Kepala Daerah dan Anggota DPRD yang menyalahgunakan APBD, menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan untuk menjalankan tugas yang dibebankan oleh Negara nampaknya belum cukup hanya mendapat dukungan dari kecerdasan intelektual, mengingat kecerdasan ini tidak mengajarkan kepada manusia tentang integritas, kejujuran, ketahanan mental, keadilan dan prinsip kepercayaan. Lain dengan kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang hal tersebut di atas.

Menurut Golmen seorang pakar di bidang psikologi dalam bukunya Emotional Intelligence dikutip Ary Gi-nanjar Agustian di samping manusia memiliki kecerdasan intelektual juga memiliki kecerdasan emosional yaitu ke-mampuan mengelola, mengendalikan, menetralisir potensi emosi dalam hati manusia sehingga sisi positifnya selalu be-rada dipermukaan dan sisi negatipnya selalu terkendali dan dinetralisir. Dan kehebatan kecerdasan emosi menurut Gol-men disimpulkan bahwa untuk mencapai sukses dibidang bisnis dan kepemimpinan, kontribusi kecerdasan emosi (EQ) mencapai 80% sedangkan kontribusi kecerdasan in-telektual (IQ) maksimum hanya 20%. Untuk membangun kecerdasan emosi yang ideal, dibutuhkan kecerdasan spir-itual yang dapat menghadirkan energi ilahiyah dalam hati manusia agar kekuatan emosi yang ada dalam hati manu-sia dapat bersenyewa dengan nilai-nilai spiritual sehingga mampu melahirkan kekuatan moral yang bersumber dari suara hati nurani.

Kecerdasan spiritual diungkapkan oleh pakar Neuropsy-hology yaitu Danah Zohar dan Iian Marshal pasangan sua-mi istri, dalam bukunya berjudul “Spritual Quotient” (SQ), mengacu pada hasil penelitian Michael Persinger dan VS Ramchandran dikutip Ary Ginanjar Agustian dalam bukun-ya Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ yang menjelaskan, bahwa dalam otak manusia terdapat sebuah area yang selalu bersinar apabila merenungkan atau mendiskusikan hal-hal yang bersifat spiritual yang terletak disekitar lobus temporal otak.

Kecerdasan spiritual sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia, karena manusia adalah makhluk spiritual di samp-ing makhluk biologis. Secara spiritual manusia mengemban tanggung jawab moral yang cukup besar dalam mengelola seluruh sisi kehidupan antara lain: tanggung jawab sebagai hamba Allah, tanggung jawab sebagai makhluk sosial, tang-gung jawab sebagai individu, tanggung jawab sebagai warga Negara, dan tanggung jawab pada ekosistem

Dalam UUD Tahun 1945 dengan jelas mengamanatkan bahwa, Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencer-daskan kehidupan bangsa.

Untuk mewujudkan amanat dimaksud di atas, DPR bersama-sama Pemerintah telah mensahkan Undang-un-dang Republik Indonensia No.20 Tahun 2003 tentang Sis-

tem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dengan tujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manu-sia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,kreatif,mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertang-gung jawab.

Berdasarkan rumusan tujuan pendidikan nasional terse-but, nampak dengan jelas bahwa iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan akhlak mulia/budi pekerti luhur sangat diutamakan dalam tujuan pendidikan nasional.

Iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan akhlak mulia/budi pekerti luhur berbentuk sikap dan peri-laku seseorang yang didorong oleh energi positip yang ber-sumber dari emosional spiritual quotient dalam upaya mem-bangun hubungan vertical dengan Tuhan Yang Maha Esa dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (Interaksi Sosial).

Namun yang disayangkan adalah dunia pendidikan yang ada di Republik yang tercinta ini dimana kurikulumnya leb-ih fokus pada pengembangan kualitas/kecerdasan intelektu-al sementara kecerdasan emosi dan spiritual masih kurang disentuh dan bahkan hampir tidak tersentuh sama sekali, akibatnya pertumbuhan iman dan taqwa dan akhlak yang mulia menjadi sangat kerdil yang berdampak pada rendah-nya moral bangsa dimata dunia.

Langkah yang perlu dilakukan Pemerintah dalam upaya meningkatkan profesionalisme aparat pemerintahan yang dilandasi moral idealnya dimulai pembenahan dilingkun-gan unit kerja yang membidangi SDM dan Pusat Pendidikan Pelatihan (Pusdiklat) yang ada di setiap Instansi Pemerintah mengingat penempatan SDM dan kurikulum pendidikan nasional dewasa ini, lebih fokus pada pengembangan kuali-tas/kecerdasan intelektual.

Melalui unit kerja SDM/Pusdiklat perlu memperhatikan yang terkait dengan budaya kerja para aparat birokrasi, seh-ingga tercipta jiwa pengabdian terhadap kepentingan bangsa dan negara. Hal ini sesuai dengan arahan Presiden Republik Indonesia dalam Pidato kenegaraan di depan rapat paripur-na DPR tanggal 16 Agustus 2006, menegaskan bahwa refor-masi birokrasi dilakukan secara menyeluruh, yakni meliputi kelembagaan, manajemen, organisasi dan SDM.

Dalam konteks SDM menurut Presiden fokus perhatian jangan hanya menyoal kualitas, akan tetapi yang juga san-gat penting adalah “budaya kerja” para aparat birokrasi itu sendiri. Buruknya citra birokrasi dimata publik selama ini sesungguhnya lebih banyak diakibatkan persolan tersebut. Lebih lanjut menurut Presiden, salah satu hal yang paling banyak mendapat sorotan publik sejak orde baru hingga kini adalah budaya kerja tadi yang memengaruhi kualitas pelayanan kepada publik. Persoalan seperti kerja yang tidak mengikuti aturan dan sistem, kerja yang lamban, berbelit-belit, tertutup dan terutama adanya pungutan atau biaya siluman, seolah sudah sedemikian melekat dengan dunia birokrasi kita.

Mengenai hal di atas sudah pernah diperingatkan oleh Kwiek Kian Gie, bahwa indikasi kegagalan reformasi bi-

Page 34: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

�4 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

�4

rokrasi tercermin dari masih tinggingya penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk merebaknya tindak pidana korupsi,kolusi dan nepotisme (KKN).

Sinyalemen dari Kwiek tersebut jika dikaitkan dengan peningkatan SDM dilingkungan PNS sebenarnya tidak perlu terjadi karena dalam Undang-undang tentang Pokok-pokok Kepegawaian yang mengatur tentang SDM dilingkungan pemerintah dan aturan pelaksanaannya sudah cukup banyak mengatur mengenai yang terkait dengan profesional, jujur, adil, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan Negara. Namun kelihatannya semangat/jiwa yang dimiliki ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU kepegawa-ian belum dapat membawa hasil yang diharapkan sampai sekarang dan hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan intele-ktual atau kecerdasan akademik belum dapat menciptakan SDM yang benar-benar berprestasi secara nyata dapat mem-perbaiki sistem pengelolaan kelembagaan, manajemen dan orgaisasi/SDM dilingkungan pemerintahan. Demikian pula peranan Diklat yang berada di setiap instansi belum dapat memperbaiki citra aparatur yang bersih dari KKN

Hal ini bisa terjadi karena pada umumnya kebijakan yang diambil sering tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan juga lebih terfokus pada penggunaan hukum yang berlandaskan sistem hukum di Indonesia yang masih berpegang pada aliran positivisme dengan hanya mengan-dalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik-posi-tivistis yang hanya berbasis pada peraturan tertulis belaka. Padahal menurut Achmad Ali dalam bukunya keterpuru-kan hukum di Indonesia menjelaskan bahwa orang-orang Amerika yang berpikir sekuler saja, kini telah berteriak: “ kembalikan hukum ke akar moralitas, kultural, dan religius-nya. Orang-orang Amerika yang berpikir “the critical legal studies movement”, mengecam formalisme dan prosedural yang ditonjolkan selama ini dalam law enforcement.

Lebih lanjut menurutnya, orang Amerika sekarang se-dang berjuang agar hukum dapat dikembalikan pada akar moralitasnya, akar kulturalnya, dan akar religiusnya. Sebab, hanya itu cocok dengan nilai-nilai intrinsic yang mereka anut. Sepanjang aturan hukum yang ada tidak sesuai dengan nilai-nilai intrinsic warga masyarakat, maka ketaatan hu-kum yang muncul hanyalah sekedar ketaatan yang bersifat compliance (taat hanya karena takut sanksi) dan bukan ke-taatan yang bersifat internalization (taat karena benar-benar menganggap aturan hukum itu cocok dengan nilai intrinsic yang dianutnya).

Untuk mewujudkan seperti apa yang dikehendaki Presi-den Republik Indonesia dan orang-orang Amerika tersebut, bagi rakyat Indonesia sebenarnya bukan suatu hal yang harus dipersoalkan mengingat landasan hukum Negara kita sudah mencerminkan hukum kita pada agama dan mo-ral, yakni sebagaimana yang terdapat pada setiap Undang-undang wajib hukumnya didahului dengan penyebutan “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa“ Presiden dengan persetujuan DPR memutuskan, menetapkan UU. Penyebu-tan dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa dalam setiap UU jangan dimaknai hanya merupakan persyaratan formal,

namun kandungannya mewajibakan kepada pembentukan UU, Pelaksana UU dan pengguna UU untuk menggunakan UU dimaksud dengan pendekatan mata hati sebagai radar agar tercipta rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatannya atas kehadiran UU dimaksud dan hal ini hanya terdapat dalam dunia kecerdasan spiritual.

Mata hati sebagai radar atau pengendali terhadap tan-tangan yang terdapat dalam diri manusia, yaitu tantangan yang bersumber dari gaya-gaya atau tabiat yang dimiliki manusia karena pengaruh setan dan gaya-gaya atau tabiat yang dimiliki manusia karena pengaruh yang bersumber dari Illahi yang merupakan fitrah. Kedua gaya atau tabiat tersebut selalu bergejola sepanjang kehidupan manusia, dan pada saat-saat kita manusia menghadapi suatu persoalan atau pada saat untuk memutuskan sesuatu jalannya piki-ran yang timbul sehubungan dengan tuntutan dalam ling-kungan kehidupan, tanpa disadari bahwa keputusan yang diambil sebenanrnya sangat dipengaruhi oleh kedua gaya atau tabiat dimaksud, sehingga tidak mengherankan bila pengaruh dari gaya atau tabiat yang bersumber dari setan lebih mendominasi dalam pengambilan keputusan maka dapat dipastikan hasilnya merugikan diri sendiri atau orang lain, atau dengan kata lain tidak sesuai dengan tuntutan moral, agama dan ketentuan pemerintah. Sebaliknya jika pengambilan keputusan didasarkan atas pengaruh dari gaya atau tabiat yang dimilki manusia karena pengaruh Illahi (fitrah) maka dipastikan hasilnya membawa pengaruh pada tatanam kehidupan yang dicita-citakan bangsa indonesia yaitu kemakmuran, kesejahteraan dalam keadilan.

Permasalahanya adalah kapan diketahui adanya penga-ruh dari kedua gaya atau tabiat dimaksud terhadap kondisi diri pribadi manusia.

Mata hati merupakan radar atau pengendali dalam setiap kita melakukan aktivitas dan hal ini dapat dirasakan mana-kala kita dalam keadaan mawas diri atau intropeksi diri ter-hadap suatu peristiwa atau tindakan yang terjadi pada diri kita sendiri, karena dalam diri selalu dipengaruhi oleh dua gaya atau tabiat dimaksud yang bergerak secara terus mene-rus sepanjang dalam kehidupan manusia dan kedua kekua-tan ini sangat mempengaruhi aktivitas kehidupan manusia dimuka bumi ini, sehingga apa yang kita lihat semua keja-dian baik yang membawa manfaat buat umat manusia atau yang mengakibatkan kesengsaraan umat manusia dimuka bumi ini tidak lain karena pengaruh dari gesekan dua ke-kuatan di atas. Jika pada saat tertentu kita dihadapkan suatu dilema kehidupan yaitu pemenuhan tuntutan kebutuhan materi untuk memperkaya keluarga disatu pihak, namun dipihak lain cara pemenuhan kebutuhan dimaksud berten-tangan dengan ketentuan alam maupun ketentuan sosial, maka dalam kondisi yang demikian akan terjadi peperangan dalam diri kita antara jiwa yang dipengaruhi oleh sifat/gaya/tabiat yang dipengaruhi setan dan sifat/gaya/tabiat asli yang fitrah bersumber dari Allah. Dan peperangan yang terjadi dalam diri manusia dimaksud lebih banyak manusia tidak menyadari akan kejadiannya, dan tidak heran keputusan yang diambil lebih dominan untuk berbuat atas pengaruh

Page 35: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

�5NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

�5

dari gaya yang bersumber dari setan, sehingga tindakan un-tuk memperkaya keluarga dengan melanggar aturan tidak dapat dielakan.

Menghadapi kondisi yang demikian bagi umat manusia, khususnya umat yang beragama Islam patut selalu dituntut untuk kembali kepada enam prinsip yang terdapat dalam Rukun Iman dan lima penetapan misi yang terdapat Rukun Islam sebagaimana dijelaskan Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya yang sangat terkenal (best seller) dengan judul Ra-hasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritual berdasarkan Rukun Iman dan Rukun Islam.

Adapun Rukun Iman mengandung 6 prinsip yaitu per-tama Iman kepada Allah mengandung prinsip melahirkan kepercayaan diri, integritas, kebijaksanaan dan motivasi, kedua Iman kepada Malaikat mengandung prinsip bahwa seseorang memiliki tingkat loyalitas tinggi, komitmen yang kuat, memiliki kebiasaan untuk mengawali dan memberi, suka menolong dan memiliki sikap, ketiga Iman kepada Nabi dan Rasul mengandung prinsip kepemimpinan sejati berlandaskan hati yang fitrah, yaitu seorang yang selalu men-cintai dan memberi perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai. Memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten serta selalu membimbing dan mengajari pengikutnya, keempat Iman kepada Alquran mengandung prinsip pembelajaran, yaitu memiliki kebiasaan membaca buku, membaca situasi dengan cermat, selalu berfikir kritis dan mendalam, selalu mengevaluasi pemikirannya kembali, bersikap terbuka untuk mengadakan penyempurnaan, memiliki pedoman yang kuat dalam belajar, yaitu berpegang hanya kepada Allah SWT, kelima Iman kepada Hari Kemudian mengandung prinsip masa depan, yaitu selalu berorientasi pada tujuan akhir da-lam setiap langkah yang dibuat, melakukan setiap langkah secara optimal dan sungguh-sungguh, memiliki kendali diri dan sosial, karena telah memiliki kesadaran akan adanya ”Hari Pembalasan”, keenam Iman kepada ketentuan Allah mengandung prinsip keteraturan, yaitu memiliki kesadaran, ketenangan dan keyakinan dalam berusaha, karena pengeta-huan akan kepastian hukum alam dan hukum sosial, selalu berorientasi pada pembentukan sistem dan selalu berupaya menjaga sistem yang telah terbentuk.

Dan selanjutnya dalam Rukun Islam mempunyai 5 (misi) yaitu pertama misi Syahadat akan membangun suatu keyakinan dalam berusaha, akan menciptakan suatu daya dorong dalam upaya mencapai suatu tujuan, akan membangkitkan keberanian dan optimisme, sekaligus men-ciptakan ketenangan batiniah dan menjalankan misi hidup, kedua misi Shalat merupakan pembangunan karakter, yaitu suatu metode relaksasi untuk menjaga kesadaran diri agar tetap memiliki cara berfikir yang fitrah, sebagai metode yang dapat meningkatkan kecerdasan emosi dan spritual secara terus menerus, untuk terus mengasah dan mempertajam ESQ yang diperoleh dari Rukun Iman, ketiga misi Puasa merupakan pengedalian diri, yaitu suatu metode pelatihan untuk pengendalian diri, untuk meraih kemerdekaan sejati, dan pembebasan diri dari belengu nafsu yang tak terken-dali. Disamping itu puasa bertujuan untuk mengendalikan

suasana hati, keempat misi Zakat adalah langkah nyata membangun suatu landasan yang kokoh guna membangun sebuah sinergi yang kuat, yaitu berlandaskan sikap empati, kepercayaan, sikap koperatif, keterbukaan dan kredibilitas, kelima misi Haji merupakan aplikasi total, yaitu suatu trans-formasi prinsip dan langkah secara total (Thawaf ) konsisten dan presistensi perjuangan (Sa i), evaluasi dari prinsip dan langkah yang telah dibuat, dan visualisasi masa depan mela-lui prinsip berfikir dan cara melangkah yang fitra (Wukuf ), dan haji adalah persiapan fisik serta mental dalam men-ghadapi berbagai tantangan masa depan (lontar jumrah)

Keenam prinsip yang terdapat dalam Rukun Iman dan lima misi yang terdapat dalam Rukun Islam pada prinsip-nya sangat didambahkan bagi umat manusia dimuka bumi ini, tentu tidak diperoleh melalui pendekatan kecerdasan Intelektual, akan tetapi hanya terdapat melalui pendeka-tan kecerdasan emosional dan spritual. Namun kecerdasan spritual dapat berfungsi optimal bila bersenyawa dengan seluruh jenis kecerdasan yaitu: Kecerdasan Intelektual(IQ), Kecerdasan Emosi (EQ) dan menurut pendapat sebagian Pakar, di sinilah letak kebenaran slogan yang berbunyi ” Ilmu tanpa Iman Lumpuh dan Iman tanpa Ilmu Buta”.

Selama ini penilaian kita terhadap SDM hanya di-pusatkan pada kecerdasan intelektual atau kecerdasan akademik, tetapi fakta telah membuktikan sebagaimana tersebut di atas, bahwa kecerdasan intelektual atau kecerdas-an akademik belum menjamin keberhasilan pembangunan manusia seutuhnya

Sehubungan dengan uraian di atas, maka dibutuhkan sebuah model pengembangan kualitas SDM yang profe-sional yang memadukan seluruh jenis kecerdasan yang ada pada diri manusia. Pengembangan seluruh potensi kecer-dasan tersebut diharapkan dapat menghasilkan SDM yang profesioanal dan insyaallah menjadi panutan di masyarakat untuk membangun tatanan sosial yang aman dan sejahtera yang diridhai Allah SWT

Masalahnya selama ini menurut Kadir Gani, Direktur SDM pada Badan Kerja Sama Pembangunan Regional Su-lawesi (BKPRS) , dakwah Islam seringkali lebih bersifat rit-ual oriented dan cenderung mengabaikan spritual oriented karena kebanyakan penceramah kurang mampu mendalami dimensi spritual dan hal ini mengakibatkan kedangkalan spritual dalam kehidupan beragama

Selanjutnya menurut Kadir Gani, bahwa kelemahan ini harus segera diatasi dengan jalan memancarkan nilai-nilai spritual dalam wahana ritualitas dan spritualitas menjadi se-buah sinergi yang islami. Sehubungan dengan itu, perlu diu-payakan untuk membangun jiwa profesional yang bersumber dari kecerdasan emosi dan spritual melalui kerja sama den-gan lembaga-lembaga keagamaan karena kecerdasan emosi dan spritual merupakan ruh dari pada ritualitas keagamaan. Sinergi antara spritualitas dan ritualitas bagaikan perpaduan jiwa dan raga manusia yang harus dipelihara terus menerus dalam upaya menggapai ridha Allah SWT.I*

Page 36: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

�6 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

�6

Jakarta, Senin (2 Februari 2009) – Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia meluncurkan tampilan web-site BPK yang baru dan memberikan penghargaan bagi karya jurnalistik para jurnalis media cetak. Dua kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan untuk memperingati usia BPK RI yang ke-62. Rangkaian ini telah dimulai den-gan upacara dan syukuran secara sederhana, pemberian penghargaan kepada institusi pemerintah pusat dan daerah atas prestasi tata kelola keuangan negara, peluncuran buku ”BPK Menunaikan Amanat Konstitusi”, dilanjutkan den-gan acara kekeluargaan, seminar dan diskusi tentang tata kelola keuangan negara yang baik, serta media workshop Reformasi Birokrasi pada Januari lalu.

Peringatan 62 tahun BPK dimanfaatkan sebagai momen-tum untuk meningkatkan upaya bersama untuk terus men-dorong terciptanya transparansi dan akuntabilitas pengelo-laan keuangan negara. Peluncuran tampilan website baru BPK dan penghargaan bagi karya jurnalistik menjadi bagian dalam peran BPK dalam mendorong terciptanya pemerinta-han yang bersih dan transparan.

Website BPK yang baru tampil dengan layanan navigasi yang lebih mudah dan lebih lengkap untuk diakses oleh publik. Website dapat diakses pada alamat www.bpk.go.id. ”BPK telah beberapa tahun ini memiliki dan mengelola website yang digunakan untuk menyajikan semua informasi kegiatan dan hasil pemeriksaan BPK secara transparan. Di-harapkan, informasi yang telah disajikan dalam website da-pat diketahui masyarakat dan stakeholders secara cepat dan akurat,” ujar Wakil Ketua BPK, Abdullah Zainie.

Website edisi baru ini menyajikan berbagai data dan informasi yang lebih mudah diakses oleh berbagai pihak dan pengguna. Komentar, kritik, saran maupun pengaduan dimungkinkan oleh fitur yang ada dalam website ini. Data dan informasi yang dapat diakses antara lain struktur organ-isasi, Kantor Perwakilan, Kasus Aktual, Siaran Pers, Produk Hukum BPK, Pengumuman, hasil peer review, berita-berita kegiatan yang diselenggarakan oleh BPK serta capaian yang diperoleh dari berbagai kegiatan tersebut dan lain sebagain-ya.

Peluncuran website dilanjutkan dengan pengumuman pemenang penghargaan karya jurnalistik BPK. Lomba yang mulai diumumkan pada akhir November 2008 melalui website BPK RI ini terdiri atas dua ketagori, yaitu kategori editorial dan kategori pemberitaan. BPK RI menerima 141 karya jurnalistik dari jurnalis media cetak. Tulisan yang dilombakan adalah karya jurnalistik mengenai BPK dalam kurun waktu 1 Januari s.d. 15 Desember 2008.

Bertindak sebagai dewan juri adalah Ade Armando (Satu Comm), Farid Gaban (Yayasan Pena Indonesia/Jurnalis), dan B. Dwita Pradana (BPK RI). Setelah melalui proses penila-ian, maka diputuskan pemenang penghargaan dari kategori editorial adalah: Juara I, Koran Tempo dengan judul artikel Repotnya mengaudit Mahkamah Agung (28 April 2008); Juara II, Media Indonesia dengan judul artikel Mengikis Ruang Gelap Keuangan Negara (7 Juli 2008); Juara III, Jurnal Nasional dengan judul artikel Bersama Membenahi Kualitas Laporan keuangan

Sedangkan pemenang pengghargaan dari kategori pem-beritaan adalah: Juara I, Suhartono dari Harian KOMPAS (Biaya Perkara: Pangkal “Perang” BPK Vs MA). Juara II,

Peluncuran Website BPK dan

Pemberian Penghargaan Karya Jurnalistik 2009

”BPK Tegakkan Pemerintahan yang Bersih dan Transparan”

Page 37: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

�7NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

�7

Rahmat Wibisono dari Harian SOLO POS (Menyoroti LHP BPK 2008 (Bagian I-III)). Juara III, Nasrul Azwar dari Tab-loid METRO-Bangka Belitung (Laporan Tabloid METRO Bangka Belitung Edisi XXXII/Tahun I/Minggu I/Mei 2008: Temuan BPK tentang Posisi Aset Bangka Tengah). Juara Harapan I, Jaini dari RADAR SURABAYA (BPK, Kekua-tan Baru Penegakan Hukum di Indonesia). Juara Harapan II, Prayogo P. Harto dari HARIAN EKONOMI NERACA (Rehabilitasi BPK (Semoga) Bukan Basa Basi). Juara Hara-pan III, Deddy Rachmawan dari Jambi Independen (Suka-Duka Auditor BPK ketika Menjalankan Tugas: Sering Di-gerutui Pegawai Pemda Ketika Minta Data).

KRITERIA PENILAIAN

Komponen-komponen tulisan yang dinilai:

Substansi· Karya jurnalistik tersebut secara baik menyam-

paikan isu-isu tentang peran BPK dalam upaya membangun penegakan transparansi dan akunta-bilitas pengelolaan keuangan negara secara baik dan benar.

· Karya tersebut tidak sekadar menampilkan infor-masi secara sepotong-sepotong, parsial, kasuistik

namun informasi tersebut disajikan secara men-dalam dan ditempatkan dalam konteks transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara se-cara luas.

Akurasi· Karya jurnalistik tersebut ditulis secara akurat dan

tidak mengandung istilah-istilah yang salah, data yang salah, atau bahkan logika yang salah.

· Karya tersebut tidak mengandung kesalahan-ke-salahan elementer, seperti salah ketik, salah tanda baca, dan semacamnya.

Cara Penulisan· Karya jurnalistik tersebut ditulis dengan gaya pe-

nulisan yang enak dibaca, tidak rumit, simpel, tan-pa mengabaikan kedalaman substansi.

· Karya jurnalistik tersebut tidak hanya mengand-alkan satu sumber informasi saja (misalnya siaran pers), namun beragam sumber untuk menjaga ke-berimbangan.

· Karya jurnalistik tersebut memenuhi prinsip ‘fair dan objective’.

BERITA DUKATelah Berpulang ke Rahmatullah :

Ibu Nunijati Syarif Thayeb (78 Tahun)Ibu Mertua Prof. Dr. Anwar Nasution

Pada hari Rabu, tanggal 18 Februari 2009 pukul 14.00 WIB di Rumah Duka Jl. Jenggala II No. 6 B, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Jenazah telah dimakamkan pada hari Kamis, tanggal 19 Februari 2009 pukul 10.00 WIB di TPU Karet Bivak Pejompongan, Jakarta.

Kami atas nama keluarga besar Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia mengucapkan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Semoga almarhumah mendapat tempat yang mulia di sisi Allah SWT, dan kepada keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan dan ketabahan iman. Amin.

Demikian untuk diketahui.

Page 38: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

�8 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

�8

Kurun waktu 62 tahun perjalanan BPK RI tentu bukan waktu yang singkat. Dari kurun waktu 62 tahun tersebut, perkembangan sepanjang em-

pat tahun terakhir tentu yang paling signifikan. Mengapa? Selama kurun empat tahun terakhir, yang ditandai dengan lahirnya paket undang-undang di bidang keuangan negara, BPK RI berkembang menjadi organisasi yang besar dan dengan kewenangan dan tanggung jawab yang besar pula. Hal ini tentu tidak lepas dari tuntutan masyarakat akan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good gov-ernment governance). Tuntutan ini pula yang menggulirkan bola reformasi birokrasi.

Bersama lima instansi pemerintah lainnya, BPK RI men-jalankan program reformasi birokrasi. Program reformasi bi-rokrasi menuntut perubahan berbagai aspek kinerja. Sejalan dengan program reformasi birokrasi tersebut, BPK RI telah memiliki rencana strategis (renstra) mulai dari Tahun Ang-garan 2006-2010. Renstra tersebut antara lain berisikan visi, misi, dan sasaran-sasaran strategis yang ingin dicapai oleh BPK RI dalam kurun waktu empat tahun tersebut. Sebagai implementasi dari renstra tersebut maka pada tahun 2008 dicanangkan sistem manajemen kinerja (SIMAK) dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard.

Secara umum, pencapaian kinerja menurut balanced scorecard dapat didekati melalui empat perspektif: (1) keuan-gan (financial); (2) pelanggan (customer); (3) proses bisnis internal (internal business process); dan (4) pembelajaran dan pertumbuhan (learning and growth).

Sementara itu, karakter yang berbeda antara sektor pub-lik dan swasta mungkin yang menjadikan peta strategis di BPK RI dibagi menjadi tiga perspektif:

1) memenuhi harapan pemangku kepentingan (fulfiling stakeholder’s expectation);

2) penggerak strategis (strategic drivers); dan3) sumber daya dan aset tidak nyata (intangible assets

and resources). Meskipun demikian, apabila ditinjau secara sek-

sama maka keempat perspektif sebagaimana telah disebutkan sebelumnya (keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan) melekat pada peta strategis tersebut.

Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak para pem-baca sekalian untuk mencermati proses bisnis internal di BPK RI pasca implementasi SIMAK selama satu tahun ini. Mengapa hal ini menjadi penting? Bagaim-

REFORMASI BIROKRASI, REKAYASA ULANG PROSES BISNIS,

DAN MAKSIMALISASI POTENSI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

OPINI

Oleh: Yusuf Setiawan Syukur

anapun juga bola reformasi birokrasi akan semakin bergulir kencang. Pada tahun 2009 ini, kita akan men-yambut lahirnya UU Administrasi Pemerintahan1. UU ini merupakan konkretisasi asas-asas penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang baik ke dalam norma hukum yang mengikat2. Lebih jauh, UU ini diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nep-otisme melalui upaya penataan birokrasi yang baik, transparan, dan efisien. Oleh karena itu, apabila BPK RI ingin tetap konsisten dengan slogannya: New BPK RI: Leading by Example, atau dengan kata lain, menjadi suri teladan bagi instansi pemerintahan lainnya (lead-ing by example) maka perbaikan proses bisnis internal menjadi penting.

Mengkaji Kembali Proses Bisnis dan Maksimal-isasi Potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi

Apa kira-kira tanggapan masyarakat ketika ditan-yakan pengalamannya pada saat berurusan dengan aparat pemerintahan atau birokrasi? Sudah dapat dite-bak, pasti jawabannya antara lain tidak memuaskan, prosedurnya berbelit-belit, banyak pungutan liar di sana-sini, lama alias lambat. Itulah stigma yang melekat pada masyarakat tentang administrasi pemerintahan kita. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi?

Hal di atas terjadi antara lain karena banyak aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah (non-value added activities) pada mata rantai proses bisnis penyelengga-raan pemerintahan kita. Aktivitas yang tidak memberi-kan nilai tambah itu antara lain aktivitas yang sifatnya pemindahtanganan (hand-offs), penelahaan (review), dan pengerjaan ulang (rework). Lebih jauh, banyak proses bisnis pada instansi pemerintahan kita berakar � Selain UU tentang Administrasi Pemerintahan, masih ada tujuh UU lagi untuk mengawal reformasi birokrasi. Ketujuh UU itu adalah UU tentang Pelayanan Publik, UU tentang Etika Penyelenggaraan Negara, UU tentang Kepegawaian Negara, UU tentang Tata Hubungan Pusat dan Daerah, UU tentang Pengawasan Nasional, UU Kementerian dan Kementerian Negara, UU tentang Pelayanan Nirlaba.2 Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik menurut RUU ini adalah asas kepastian hukum, keseimbangan, kesamaan, kecermatan, motivasi, tidak melampaui dan atau mencampuradukkan kewenangan, bertindak yang wajar, keadilan, kewajaran dan kepatutan, menanggapi pengharapan yang wa-jar atau asas menepati janji, meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal atau dibatalkan, perlindungan atas pandangan hidup dan/atau kehidupan pribadi, tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, kepentingan umum, efisiensi, dan efektifitas.

Page 39: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

�9NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

�9

dari masa lampau di mana pada saat proses tersebut dirancang belum mempertimbangkan kemampuan dan potensi teknologi informasi dan komunikasi pada masa kini. Sementara itu, perkembangan teknologi in-formasi dan komunikasi hingga mencapai bentuknya pada saat ini dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan proses bisnis yang lebih efisien.

Terlepas dari kemampuan teknologi informasi dan komunikasi dalam menghadirkan proses bisnis yang lebih efisien, perlu dicatat dalam benak kita bahwa in-vestasi atau akuisisi teknologi informasi dan komuni-kasi tanpa melakukan kajian terlebih dahulu mengenai proses bisnis yang terbaik (dengan mempertimbangkan maksimisasi potensi teknologi informasi dan komuni-kasi) adalah keputusan investasi yang buruk3. Menga-pa? Sederhana saja, mengotomasi (automating) proses yang tidak efisien hanya akan memberikan perubahan yang kurang berarti dalam peningkatan kinerja. Se-cara keseluruhan, Peraga 1 memperlihatkan hubungan antara misi organisasi dengan teknologi informasi dan komunikasi. Pada peraga tersebut juga terlihat bagaim-ana peran teknologi informasi dan komunikasi dalam mendukung misi organisasi.

Peraga 1. Hubungan antara misi dan proses kerja terha-dap teknologi informasi.

� Masalah investasi atau akuisisi atas teknologi informasi dan komunikasi pada instansi pemerintahan juga sudah diidentifikasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. ��/PER/MEN.KOMINFO/��/�007 tentang Panduan Umum Tata Kelola Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional. Sementara di Amerika Serikat, Clinger-Cohen Act mengharuskan setiap instansi pemer-intahan untuk mengkaji terlebih dahulu proses bisnis yang terbaik sebelum keputusan investasi atas teknologi informasi dan komunikasi dalam jumlah yang signifikan diambil.

Salah satu pendekatan yang digunakan dalam rangka memperoleh proses bisnis yang terbaik adalah dengan melakukan rekayasa ulang proses bisnis (business process reengineering) secara menyeluruh pada organisasi yang ber-sangkutan. Kegiatan ini dimulai dari tingkat yang paling atas, yaitu dengan melakukan kajian terhadap misi organ-isasi, sasaran-sasaran strategis, dan kebutuhan pelanggan. Pertanyaan-pertanyaan dasar seperti “Apakah misi kita perlu didefinisikan ulang? Apakah sasaran-sasaran strategis kita sejalan dengan misi kita? Siapa pelanggan kita?” mungkin perlu diajukan kembali.

Setelah memperoleh apa yang seharusnya dilakukan oleh organisasi maka selanjutnya adalah memikirkan bagaimana cara terbaik untuk melakukan hal tersebut. Sampai pada ta-hap ini, rekayasa ulang memfokuskan pada proses bisnis or-ganisasi, yaitu langkah-langkah dan prosedur-prosedur yang mengatur bagaimana sumber daya digunakan untuk men-ciptakan produk dan jasa yang memenuhi kebutuhan pe-langgan4. Sebagai suatu susunan yang terstruktur mengenai langkah-langkah kerja lintas waktu dan tempat, suatu proses bisnis dapat diuraikan menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih spesifik, diukur, dimodelkan, dan diperbaiki. Proses bisnis tersebut dapat dirancang ulang sepenuhnya atau dihilang-kan semuanya.

Rekayasa ulang mengidentifikasi, menganalisis, dan merancang ulang proses bisnis suatu organisasi dengan tu-juan untuk memperoleh peningkatan yang dramatis dalam ukuran kinerja yang utama, seperti biaya, kualitas, layanan, dan kecepatan. Meskipun demikian, ada kalanya perbaikan atau optimisasi fungsi adalah metode yang dipilih mengin-gat proses tersebut pada dasarnya sudah baik atau bisa pula karena organisasi tersebut tidak siap untuk menjalankan pe-rubahan yang dramatis.

Proses Komunikasi Melalui Nota Dinas: Suatu Studi Kasus

Saya ingin mengambil suatu studi kasus mengenai pros-es komunikasi secara tertulis melalui nota dinas di antara pejabat (satuan kerja) eselon dua untuk kita cermati bersa-ma. Meskipun demikian, proses ini mungkin bisa bervariasi bergantung pada kebijakan masing-masing pemegang jaba-tan. Peraga 2 memperlihatkan proses komunikasi tersebut. Pada peraga tersebut, proses diawali dari inisiatif pejabat eselon tiga pada satuan kerja A. Pejabat eselon tiga tersebut meminta stafnya untuk membuat konsep nota dinas dari satuan kerja A ke satuan kerja B.

Pada Peraga 2 dapat kita lihat bahwa keseluruhan proses mulai dari pembuatan nota dinas hingga nota dinas jawa-ban tersebut diperoleh terdiri atas 22 langkah atau aktivitas. Secara rinci, proses pembuatan nota dinas sampai dengan nota dinas tersebut dikirim dari satuan kerja A terdiri atas 8 aktivitas dengan perkiraan waktu penyelesaian (lead time) 29 menit. Sementara itu, proses penerimaan nota dinas dari satuan kerja A sampai dengan nota dinas jawaban tersebut � Langkah-langkah yang lebih sistematis mengenai kajian untuk kemungkinan rekayasa ulang proses bisnis dapat dilihat pada publikasi GAO yang berjudul “Business Process Reengineering Assessment Guide”.

Melaksanakan

Mempertimbangkan

Menggunakan Memproses

Mendukung

Mengarahkan

Merampungkan Merumuskan

Misi

Proses Kerja

Keputusan

Informasi

Teknologi

Page 40: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

40 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

40

dikirim dari satuan kerja B terdiri atas 14 aktivitas dengan perkiraan waktu penyelesaian 67 menit.

Dari ke-22 aktivitas tersebut, sebenarnya hanya 2 ak-tivitas yang memiliki nilai tambah, yaitu aktivitas ke-2 dan ke-16. Sementara itu, 20 aktivitas lainnya hanya merupa-kan aktivitas pemindahtanganan, pemeriksaan (inspeksi), dan pengerjaan ulang, sehingga tidak memiliki nilai tam-bah. Dalam jangka panjang, aktivitas-aktivitas yang tidak memiliki nilai tambah harus dihilangkan karena aktivitas semacam ini merupakan pemborosan sumber daya. Misal-kan secara rata-rata, setiap konsep nota dinas yang dibuat memerlukan dua kali naik cetak hingga konsep tersebut disetujui. Apabila dalam sebulan ada 100 kali surat keluar maka dalam bulan tersebut ada: 1) 100 lembar kertas (den-gan asumsi 1 surat keluar adalah 1 halaman) yang dibuang ke tempat sampah; 2) 100 kali aktivitas pengerjaan ulang; dan 3) 100 kali aktivitas inspeksi.

Selain dikirim atau diantar langsung, nota dinas juga dikirim melalui faksimile. Sekarang mari kita andaikan ada nota dinas dengan lampiran sebanyak 5 halaman harus diki-rimkan ke 33 kantor perwakilan. Bisakah Anda bayangkan berapa kali pekerjaan ulang yang harus kita lakukan? Hal ini diperparah lagi apabila pada saat melakukan pekerjaan tersebut kita menemui gangguan (error) pada mesin faksim-ile tersebut sehingga pekerjaan tersebut harus dimulai dari awal kembali. Selain itu, hasil dari faksimile seringkali sulit dibaca.

Tentu saja uraian masalah di atas didasarkan pada perhi-tungan hipotetis dan penggunaan beberapa asumsi. Namun, Peraga 3 memperlihatkan hasil pengolahan data dari admin-istrasi surat masuk pada Bagian Perencanaan Pusdiklat pada tahun 2008. Sementara itu, bulan yang dipilih adalah bu-lan Mei. Alasan pemilihan bulan tersebut antara lain karena frekuensi surat masuk pada bulan tersebut termasuk cukup tinggi di antara bulan lainnya, yaitu sebanyak 65 surat masuk. Kolom-kolom pada Peraga 3 memperlihatkan kesenjangan (lag) antara tanggal pengiriman dari unit kerja yang bersang-kutan dengan tanggal penerimaan pada Bagian Perencanaan Pusdiklat. Dari 65 surat yang masuk ke Pusdiklat hanya 15 (23,07%) surat yang diterima pada hari yang sama saat surat tersebut dikirim dari unit kerja yang bersangkutan.

LAG (HARI) JUMLAH (%)

0 15 (23,07%)

1 - 3 25 (38,46%)

4 - 5 5 (7,69%)

6 - 7 3 (4,61%)

> 7 13 (20%)

N.A. 4 (6,15%)

TOTAL 65 (100%)

Peraga 3. Kesenjangan (lag) antara tanggal pengiriman dari unit kerja yang bersangkutan dengan tanggal pener-

imaan pada Bagian Perencanaan Pusdiklat.

Mungkinkah masalah-masalah di atas terkait dengan proses komunikasi saat ini diatasi? Kemampuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini sangat memungkinkan sekali untuk mengefisienkan proses komunikasi di atas. Selain itu, otomasi aktivitas kerja yang berbasis kertas (pa-perwork) menjadi tanpa kertas (paperless) sudah menjadi suatu keharusan di banyak perusahaan swasta terkemuka. Sementara di Amerika Serikat, setiap instansi federal juga diamanatkan untuk mengurangi aktivitas yang berbasis ker-tas melalui Paperwork Reduction Act (1995).

PenutupBeberapa angka dan fakta saya hadirkan di sini agar men-

jadi pertimbangan bagi para pengambil keputusan terkait dengan perbaikan proses bisnis internal. Selain itu, tulisan ini juga diharapkan dapat menjadi pemicu bagi rekan-rekan di unit kerja lain untuk menganalisis proses bisnisnya dan kemudian menghadirkan proses bisnis yang lebih efisien. Lebih jauh, investasi yang masif di bidang teknologi infor-masi dan komunikasi juga menjadi sangat krusial dalam rangka mendukung proses bisnis yang efisien tersebut.

ReferensiAccounting and Information Division. 1997. Business

Process Reengineering Assessment Guide. United States Gov-ernment Accounting Office.

Gasperz, Vincent. 2007. Organizational Excellence: Mod-el Strategik Menuju World Class Quality Company. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Rancangan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan.

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 41/PER/MEN.KOMINFO/11/2007 tentang Panduan Umum Tata Kelola Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional.

Prosedur Operasi Standar dan Fitur-fitur Utama Sistem Manajemen Kinerja.Keterangan: VA = Value Add-ed Activity

Peraga 2. Proses komunikasi secara tertulis melalui nota dinas di antara pejabat eselon dua.

Page 41: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

42 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

42

Manajemen Perubahan dalam suatu Organisasi yang Dinamis

OPINI

Oleh: Anies Pramudya W, SE, BPK RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Utara

Perubahan organisasi merupakan suatu hal yang tidak da-pat dihindari dalam situasi yang dinamis dewasa ini. Keadaan ekonomi, situasi politik, kehidupan kemasyarakatan yang terus berkembang mengakibatkan diperlukannya perubahan sebagai suatu penyesuaian atas keadaan tersebut.

Suatu organisasi berubah karena menyadari bahwa peruba-han perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan menjaga eksistensi (keberadaan). Selain itu, kondisi yang terus berubah juga memaksa suatu organisasi untuk melakukan perubahan bila tidak mau tergilas oleh perubahan kondisi yang terjadi.

Perubahan tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tergesa-gesa. Suatu organisasi perlu menetapkan dan meng-etahui secara pasti tujuan yang ingin dicapai atau dengan kata lain visi dan misi organisasi harus cukup jelas dan kuat, baru ke-mudian penyesuaian terhadap kondisi sekitar dilakukan. Pada akhirnya perubahan suatu organisasi akan berpengaruh terha-dap semua pihak baik internal maupun eksternal organisasi.

Sebagai contoh perubahan sebuah organisasi adalah beru-bahnya struktur organisasi Badan Pemeriksa Keuangan Re-publik Indonesia (BPK RI) yang kita banggakan. BPK RI dalam usianya yang menginjak 63 tahun, sangat sensitif terhadap perubahan yang terjadi di negara ini. Salah satunya adalah pe-rubahan struktur organisasi dengan diterbitkannya Keputusan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 34/K/I-VII.3/6/2007 tentang Struktur Organisasi BPK RI dan Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 39/K/I-VII.3/7/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.

Selain itu, dalam era yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas seperti saat ini, BPK RI terus melakukan peru-bahan dalam hal pemeriksaaan yang merupakan core busines, untuk mengantisipasi perubahan peraturan perundang-un-dangan, cakupan pemeriksaan, pertambahan entitas dan lain sebagainya. Sebagai contoh lain, perubahan dalam hal sumber daya manusia adalah telah diterapkannya sistem remunerasi, assesment, mutasi, rolling pegawai dan lain sebagainya.

Suatu perubahan yang bertujuan untuk suatu pencapaian yang positif tidak selalu berjalan mulus tanpa hambatan. Salah satu permasalahan yang hampir selalu terjadi adalah peno-lakan atas perubahan yang dilakukan (resistance to change). Resistance to Change tidak selalu berarti negatif, karena den-gan adanya penolakan maka suatu perubahan harus direnca-nakan secara matang dan tidak sembarangan dilakukan.

Penolakan atas suatu perubahan atau resistensi dapat di-dasari oleh permasalahan kebutuhan dan persepsi. Perma-salahan kebutuhan misalnya adalah kebiasaan (kenyamanan) dan rasa aman, adapun contoh penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. KenyamananBila suatu individu terbiasa untuk menjalankan suatu rutin-

itas dan merasa nyaman dengan hal tersebut, maka penolakan atas suatu perubahan atas kebiasaan tersebut akan sangat tinggi. Contoh mudahnya adalah bila jam kerja pegawai diu-bah menjadi jam 05.00-15.00, maka penolakan atas perubahan tersebut akan sangat tinggi karena pegawai telah merasakan kenyamanan dengan jam kerja sebelumnya.

b. Rasa AmanPerubahan atas sistem rolling yang rencananya akan dilaku-

kan secara periodik juga memunculkan pro dan kontra. Bila rolling dilakukan terlalu cepat akan menimbulkan perasaan tidak aman karena sewaktu-waktu dapat ditempatkan ke unit kerja lain. Hal tersebut disebabkan kemampuan beradaptasi dan proses penyesuaian pegawai terhadap unit kerja baru ber-beda-beda.

Sementara itu, persepsi atas suatu perubahan juga menim-bulkan penolakan. Hasil dari suatu perubahan yang tidak dapat diprediksi atau tidak pasti menimbulkan keraguan, sehingga pegawai akan memilih kondisi saat ini dan menolak peruba-han.

Menurut Coch dan French Jr (Hasan Mustofa 2001) ada 6 taktik untuk mengatasi resistensi perubahan yaitu:

1. Komunikasi dan pendidikanPenjelasan mengenai sebab, akibat dan tujuan perubahan

hasus dikomunikasikan secara jelas.2. PartisipasiPerlu melibatkan semua pihak yang kompeten baik pem-

buat keputusan maupun pelaksana dalam perumusan peru-bahan.

3. Kemudahan dan DukunganPelatihan-pelatihan perlu diselenggarakan apabila pegawai

cemas akan hasil suatu perubahan sehingga penolakan akan berkurang.

4. NegosiasiTaktik ini dilakukan jika yang melakukan penilakan mempu-

nyai kekuatan yang tidak kecil (mempunyai masa pendukung). Dalam hal ini perlu beberapa tawaran alternatif.

5. Manipulasi dan KooptasiManipulasi adalah menutupi kondisi yang sesungguhnya,

misalnya menyampaikan fakta agar tampak lebih menarik dan tidak mengutarakan hal negatif. Kooptasi adalah memberikan kedudukan penting pada pemimpin penolakan perubahan dalam mengambil keputusan

6. PaksaanTaktik terakhit adalah paksaan. Sanksi dan hukuman diberi-

kan pada yang menentang perubahan tersebut.Dikutip dari Filsuf Yunani Aristoteles (Aristotle Quotes)

“Change in all things is sweet”, diharapkan perubahan yang terjadi pada Lembaga Tinggi yang kita naungi yaitu Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dapat meningkatkan kualitas organisasi secara keseluruhan. Namun, perubahan tersebut harus didukung oleh semua elemen dalam organ-isasi tersebut. Kita semua berharap yang terbaik bagi Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.

Disadur dari berbagai sumber (Referensi):

1. www.pembelajar.com

2. www.brainyquote.com

3. Manajemen Perubahan, Hasan Mustafa, 2001

Page 42: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

4�NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

4�

Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974

tentang Pokok-pokok Kepegawaian dan sebagaimana te-lah diubah dengan UU Nomor 43 Tahun 1999, antara lain menyebutkan bahwa jabatan karier adalah jabatan struktural dan fungsional dan hanya dapat diduduki Pegawai Negeri Sipil (PNS) setelah memenuhi syarat yang ditentukan, dan oleh karenanya perlu di-manage dengan baik.

Manajemen PNS menurut UU Nommor 43 Tahun 1999 adalah keseluruhan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan derajat profesionalisme penyeleng-garaan tugas, fungsi, hak dan kewajiban kepegawaian, yang meliputi perencanaan, pengadaan, penempatan dalam jaba-tan, penyusunan pola karier pegawai, pengelolaan kinerja pegawai, pengembangan kualitas pegawai, penerapan disip-lin pegawai, renumerasi, pemberhentian/pemensiunan.

Terkait dengan hal itu maka Kebijaksanaan manajemen PNS mencakup penetapan norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan, pengembangan kualitas sumber daya PNS, pe-mindahan, gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak, kewajiban, dan kedudukan hukum.

Sebagai impelementasi atas kebijaksanaan manajemen pegawai maka sangat diperlukan “Sistem Pembinaan Kar-ier Pegawai” yaitu untuk menjamin terselenggaranya tugas dan fungsi lembaga secara berdaya guna dan berhasil guna, sesuai dengan misi tiap satuan organisasi dan sebagai imple-mentasi dari rencana strategis yang telah ditetapkan organ-isasi dan sekaligus memberikan keseimbangan terjaminnya “hak dan kewajiban Pegawai Negeri Sipil” secara objektif dan adil.

“Sistem Pembinaan Karier Pegawai“ adalah suatu upaya yang sistematik, terencana mencakup struktur dan proses yang menghasilkan keselarasan kompentensi pegawai dengan kebutuhan organisasi. Komponen yang terkait den-gan Sistem Pembinaan Karier antara lain meliputi:

1. Misi, Sasaran dan Prosedur Organisasi, yang merupa-kan indikator umum kinerja, kebutuhan prasarana dan sarana termasuk kebutuhan kualitatif dan kuanti-tatif sumber daya manusia yang mengawakinya;

Oleh: Mohd. Rizal Rambe, SE,MM Mantan Kasubbag Kepegawaian Perwakilan BPK.RI Medan

PENYUSUNAN DAN PENETAPAN POLA

DASAR KARIER PNS

SEBAGAI BAGIAN

REFORMASI BIROKRASI PADA BPK RI,

PERLU ATAU TIDAK?

2. Peta jabatan, yang merupakan refleksi komposisi jaba-tan, yang secara vertikal menggambarkan struktur ke-wenangan tugas dan tanggung jawab jabatan dan se-cara horizontal menggambarkan pengelompokan jenis dan spesifikasi tugas dan organisasi;

3. Standard Kompetensi yaitu tingkat kebolehan lingkup tugas dan syarat jabatan yang harus dipenuhi untuk menduduki suatu jabatan agar dapat tercapai sasaran organisasi yang menjadi tugas, hak, kewajiban dan tanggung jawab dari pemangku jabatan;

4. Alur Karier, yaitu pola alternatif lintasan perkemban-gan dan kemajuan pegawai negeri sepanjang pengab-diannya dalam organisasi, sesuai dengan filosofi bahwa perkembangan karier pegawai harus mendorong pen-ingkatan prestasi pegawai dengan kata lain bahwa pola gerakan posisi pegawai baik secara horizontal maupun vertikal selalu mengarah pada tingkat posisi yang lebih tinggi melalui tahapan sebagai berikut: a.Standar penilaian kinerja pegawai, yaitu instru-

men untuk mengukur tingkat kinerja pegawai

SUMBER DAYA MANUSIA

Page 43: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

44 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

44

dibandingkan dengan standar kompetensi jaba-tan yang sedang dan akan diduduki pegawai yang bersangkutan;

b.Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, yaitu upaya menyelaraskan kinerja pegawai dan atau orang dari luar organisasi yang akan menduduki suatu jabatan dengan standar kompetensi yang ditetapkan, upaya ini dilakukan melalui jalur pendidikan, prajab, dan atau pelatihan dalam jabatan;

c.Rencana Suksesi (succetion plan), yaitu rencana mutasi jabatan yang disusun berdasarkan tingkat potensi pegawai, dikaitkan dengan pola jabatan dan standar kompetensi. Rencana suksesi disu-sun dengan memperhatikan perkiraan kebutu-han organisasi mendatang dikaitkan dengan per-encanaan pegawai dan hasil pengkajian potensi pegawai.

Berdasarkan “Rencana Strategis Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) Tahun 2006-2010” antara lain menye-butkan bahwa sasaran strategis di bidang Sumber Daya Manusia yaitu :

1. Mengoptimalkan kinerja seluruh staf di BPK;2. Menjadi pilihan utama bagi para profesional dalam

membuka karier;3. Menyediakan lingkungan kerja yang aman dan nya-

man bagi semua pegawai;4. Membangun sistem promosi yang “transparan dan

efektif” yang dapat mendorong peningkatan profe-sionalisme.

PermasalahanEmpat tahun silam, penulis menjabat sebagai Kepala

Sub Bagian Kepegawaian sempat menanyakan kepada Ketua BPK RI, Anwar Nasution, tentang apresiasi beliau mengenai Pola Dasar Karier Pegawai BPK RI ke depan, dan jawaban beliau sedang disusun dan “tidak mungkin seorang kopral bisa jadi jenderal”. Pada saat itu Ketua BPK berkunjung ke Perwakilan BPK RI Sumatera Utara (Medan) sekaligus perkenalan sebagai Ketua BPK yang baru.

Realitas yang ada hingga empat tahun masa jabatan Badan ternyata yang ditunggu-tunggu yaitu “Pola Dasar Karier Pegawai Negeri Sipil” belum disusun dan ditetap-kan, sementara diketahui beberapa lembaga/institusi/depar-temen telah melakukan/melaksanakan “Reformasi Birokra-si” yaitu dengan menetapkan dan menerbitkan peraturan Menteri/Kepala Badan atau Lembaga tentang Pola Dasar Karier PNS pada jajarannya, sebagai penjabaran atau dalam rangka mentaati Petunjuk Pelaksanaan dari UU Nomor 43 Tahun 1999, yaitu “Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000”, tentang Pengangkatan PNS Dalam Jabatan Struktural (Pasal 1 butir 9,Pasal 5,Pasal 6 dan Pasal 8, Pasal 12 ayat (2) ), antara lain menyebutkan:

1. Pola Karier adalah pola pembinaan PNS yang meng-gambarkan alur pengembangan karier yang menun-

jukkan keterkaitan dan keserasian antara jabatan, pan-gkat, pendidikan dan pelatihan jabatan, kompetensi serta masa jabatan seorang PNS sejak pengangkatan pertama dalam jabatan tertentu sampai dengan pen-siun.

2. Berstatus Pegawai Negeri Sipil;3. Pengangkatan untuk jabatan serendah-rendahnya

menduduki pangkat 1 tingkat di bawah jenjang pang-kat yang ditentukan;

4. Memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan;

5. Semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurang-nya bernilai baik dalam 2 tahun terakhir;

6. Memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan; 7. Sehat jasmani dan rohani; 8. Perlu memperhatikan faktor senioritas dalam kepang-

katan, pendidikan, usia, pendidikan dan latihan, dan pengalaman yang dimiliki;

9. PNS yang menduduki jabatan struktural tidak dapat menduduki jabatan rangkap, baik dengan jabatan struktural maupun dengan jabatan fungsional;

10. Setiap pimpinan instansi menetapkan pola karier PNS di lingkungannya berdasarkan Pola Dasar Karier PNS.

Fenomena yang ada masih terdapat pengangkatan PNS

dalam jabatan padahal belum memenuhi kepangkatan, pen-didikan, masa kerja dan usia sementara masih ada PNS yang memenuhi standard dan pangkatnya malah melebihi jaba-tannya akan tetapi jabatannya belum disetarakan, padahal PNS tersebut belum pernah mendapatkan ankum (pen-genaan hukuman) secara tertulis.

Selain itu PNS tersebut sudah mengembangkan diri dengan mengikuti dan melewati pendidikan formal mau-pun pendidikan informal, sehingga tidak diketahui alasan kenapa yang bersangkutan tidak disetarakan jabatannya sesuai kepangkatannya, pendidikan dan masa kerja padahal kompetensi yang lain belum ditetapkan. Selain itu masih terdapat rangkap jabatan dimana jabatan struktural pada jabatan fungsional dan hal ini terjadi karena tidak adanya kesetaraan jabatan antara jabatan struktural dengan jabatan fungsional, misal; Kepala Seksi (eselon IV) setingkat atau sama dengan Ketua Tim Junior/Senior, dan hal ini menun-jukkan belum ditetapkannya “Rumpun Jabatan” padahal dengan adanya rumpun jabatan yang jelas maka akan mem-permudah untuk melakukan mutasi atau promosi sesuai dengan kebutuhan organisasi sehingga tidak terjadi stagnan, dimana terdapat penempatan pegawai pada suatu jabatan dengan merangkap sebagai pelaksana tugas pada jabatan diatasnya yang otomatis menutup peluang bagi pegawai lain yang nota bene memenuhi pangkat untuk jabatan tersebut, kemudian terdapat penempatan pegawai untuk jabatan pa-dahal di tempat tersebut masih ada pegawai yang nota bene pangkat, masa kerja dan kompetensi lain masih lebih tinggi dari pejabat yang baru diangkat.

Apakah karena suka atau tidak suka? Rasanya tidak

Page 44: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

45NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

45

mungkin karena pimpinan BPK.RI sangat menjunjung In-dependensi, Integritas dan Profesional.

Tujuan Penyusunan dan Penetapan Pola Dasar Karier PNS

Kedudukan dan peranan PNS bagi suatu organisasi adalah sangat penting dalam rangka mewujudkan terlak-sananya “Reformasi Birokrasi” pada lembaga Legislatif, Yudikatif maupun Eksekutif dalam pencapaian visi dan misi organisasi agar berhasil guna dan berdaya guna dan oleh karena itu perlu diberdayakan dengan cara yang adil dan beradab sebagaimana tercermin pada “Pembukaan UUD 1945” dan sesuai amanat “Pancasila” yaitu sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan, rasa aman dan nyaman, tidak diskriminatif kemudian akan dapat memotivasi PNS untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai Warga Negara, Aparatur Negara maupun dalam memberi-kan pelayanan pada Masyarakat.

Reformasi birokrasi dihadapkan pada upaya mengatasi inefisiensi, inefektivitas, tidak professional, diskriminatif, tid-ak disiplin, tidak patuh pada aturan, belum ada perubahan mindset, transparan, partisipatif dan kredibel.

Reformasi Birokrasi Aparatur Negara harus diwu-judkan dalam wujud perubahan secara signifikan (evo-lusi yang di percepat) melalui tindakan atau rangkaian kegiatan pembaharuan secara konsepsional, sistematis dan berkelanjutan dengan melakukan upaya penataan, peninjauan, penertiban, perbaikan, penyempurnaan dan perubahan system serta perbaikan akhlak-moral sesuai tuntutan lingkungan, memantapkan komitmen dan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undan-gan.

Terkait dengan hal tersebut di atas maka tujuan penyu-sunan dan penetapan “Pola Dasar Karier Pegawai Negeri Sipil” sangat penting untuk menjamin terciptanya kondisi objektif yang dapat mendorong peningkatan prestasi pega-wai dan sebagai sistem pembinaan karier sehingga perlu dirancang sesuai dengan misi organisasi, budaya organisasi dan kondisi perangkat pendukung sistem kepegawaian yang berlaku pada organisasi, sesuai dengan peraturan perun-dang-undangan tentang pegawai negeri sipil yang berlaku.

Pola Karier Pegawai Negeri Sipil adalah pola pem-binaan Pegawai Negeri Sipil yang menggambarkan alur pengembangan karier yang menunjukkan keterkaitan dan keserasian antara jabatan, pangkat, pendidikan dan pelatihan jabatan, kompetensi, serta masa jabatan ses-eorang Pegawai Negeri Sipil sejak pengangkatan perta-ma dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun (PP Nomor 100 Tahun 2000 Jo PP Nomor 13 Tahun 2002)

Berdasarkan pengertian pola karier tersebut, maka sepa-ntasnya disusun untuk kepentingan pegawai, walaupun ha-rus tetap diarahkan agar pola karier tersebut dititikberatkan pada optimalisasi kontribusi pegawai kepada organisasi dan artinya bahwa ditetapkannya pola karier mempunyai be-berapa tujuan dibawah ini :

1. Untuk lebih mendayagunakan setiap jenis kemam-puan profesional yang disesuaikan dengan kedudukan yang dibutuhkan dalam setiap unit organisasi;

2. Pemanfaatan seoptimal mungkin sumber daya manu-sia pada setiap satuan organisasi sesuai dengan kompe-tensinya dan terarah pada misi organisasi;

3. Membina kemampuan, kecakapan, keterampilan se-cara efesien dan rasional sehingga potensi, energi, bakat dan motivasi pegawai tersalur secara objektif ke arah tercapainya tujuan organisasi;

4. Dengan spesifikasi tugas yang jelas dan tegas serta tanggung jawab, hak dan wewenang yang telah terd-istribusikan secara seimbang dari seluruh jenjang or-ganisasi, diharapkan setiap pemangku jabatan dapat mencapai tingkat maksimal;

5. Dengan tersusunnya pola karier pegawai dan telah teraturnya pengembangan karier, maka setiap pegawai mendapatkan gambaran mengenai jabatan-jabatan, kedudukan dan jalur yang mungkin dapat dicapai, serta persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi guna mencapai jabatan dimaksud, dengan tersusun-nya pola karier pegawai setiap pegawai akan dapat diperhatikan perkembangannya demikian pula bagi mereka dimungkinkan peningkatan jabatan mulai dari jabatan yang paling rendah sampai ke tingkat yang lebih tinggi secara objektif dan adil;

6. Pola karier pegawai merupakan dasar bagi setiap pimpi-nan organisasi dalam rangka pengambilan keputusan yang berkait dengan sistem manajemen kepegawaian, sehingga menghasilkan kebijakan yang tidak diskrim-inatif sehingga berakibat pegawai merasa terzalimin padahal bisa saja karena tidak lengkapnya rekam jejak dari pegawai dan terbatasnya informasi dari pegelola SDM untuk menyampaikan sistem dan aturan main kepada pimpinan.

7. Bila terdapat perpaduan yang serasi antara kemam-puan, kecakapan/keterampilan dan motivasi dengan jenjang penugasan, maka jabatan yang tersedia akan menghasilkan manfaat dan kapasitas kerja yang op-timal. Dengan demikian PNS pada setiap satuan organisasi diharapkan dapat lebih profesional dalam mengantisipasi tantangan yang dihadapi saat ini dan kedepan.

Berdasarkan tujuan Pola Karier tersebut maka tahapan pembinaan karier sesuai Keputusan Kepala Badan Kepega-waian Negara Nomor 13 Tahun 2002 sebagai ketentuan pe-tunjuk pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Ta-hun 2000 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 adalah sebagai berikut:

1. Perpindahan dari jabatan struktural ke jabatan fung-sional maupun dari jabatan fungsional ke jabatan struktural baik secara horizontal, vertikal maupun di-agonal serta perpindahan wilayah kerja;

2. Perpindahan jabatan secara horizontal adalah perpin-dahan jabatan pada tingkat eselon dan pangkat jaba-

Page 45: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

46 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

46

tan yang sama atau setara;3. Perpindahan jabatan secara vertikal adalah perpinda-

han yang bersifat kenaikan jabatan (promosi)4. Perpindahan jabatan secara diagonal adalah perpinda-

han jabatan dari jabatan struktural ke fungsional dan sebaliknya.

Dengan mempertimbangkan dan memperhatikan pada peraturan perundang-undangan kepegawaian yang ada, maka Pola Karier bagi Pegawai Negeri Sipil, dapat dijelaskan dengan tahapan sebagai berikut.

a. Pengadaan pegawai merupakan usaha mendapatkan pegawai dari pasar kerja melalui sistem seleksi yang di-dasarkan atas persyaratan jabatan sesuai dengan forma-si yang ditentukan sehingga akan paralel dengan Nota persetujuan yang akan diterbitkan oleh Badan Kepe-gawaian Negara dan merupakan dasar karier pegawai hingga berkembang sampai pada pangkat maksimum dan jabatan maksimum.

b. Orientasi dilaksanakan merupakan usaha pelatihan dengan cara memberikan tugas khusus yang terpro-gram dalam waktu tertentu sehingga pegawai:

1. Mendapatkan gambaran secara umum tentang kegiatan organisasi;

2. Mendapatkan gambaran tentang upaya yang harus dilaksanakan untuk pengembangan ke-mampuan dasarnya menjelang tugas yang akan dipangkunya.

Dalam tahap ini, tugas dan tanggung jawab pengelola SDM wajib melakukan monitoring bakat, minat dan po-tensi pegawai tersebut guna penetapan jabatan yang akan dipangku pegawai secara tepat sehingga berdaya guna dan berhasil guna.

c. Pelatihan Pra Tugas merupakan suatu catatan mengenai prestasi kerja dan potensi pegawai yang bersangkutan selanjunya diidentifikasi pendidikan dan pelatihan tehnis yang dibutuhkan, yang diikuti dengan penila-ian dan seleksi guna penetapan pegawai yang sejauh mungkin sesuai dengan bakat dan minatnya.

d. Penetapan dalam rangka Pengembangan Profesi merupakan pengamatan bakat dan minat pegawai tersebut, pegawai diarahkan untuk ditugaskan dalam jabatan-jabatan yang memerlukan syarat kualifikasi teknis dan kemampuan pengenalan kegiatan mana-jemen. Penugasan pada tahap ini diatur sedemikian rupa, sehingga pegawai yang bersangkutan memper-oleh serangkaian pembekalan melalui kursus dan pen-galaman baik teknis operasional maupun manajerial.

e. Penugasan dalam rangka Pemantapan Profesi ditinjau secara selektif bagi pegawai yang ditugasi sebagai:

1. Pejabat Struktural sesuai dengan kemampuannya guna mendapatkan kemampuan manajerial yang bersang-kutan agar dapat meniti jenjang jabatan yang lebih tinggi, atau;

2. Pejabat Fungsional untuk dapat menerapkan dan mengembangkan kemampuan sesuai bidang keahl-

iannya.f. Pematangan Profesi dilaksanakan secara selektif pada

pegawai yang ditugaskan pada jabatan yang lebih ting-gi dengan spesifikasi sebagai berikut:

1. Pejabat Struktural yang mempunyai kemampuan untuk mengarahkan dan menetapkan kebijakan dibidang tugas masing-masing, sejalan dengan misi organisasi dan arah kebijaksanaan pimpinan organisasi;

2. Untuk Pejabat Fungsional yang mempunyai ting-kat pengetahuan, kemampuan menalar, menilai dan memecahkan masalah yang dihadapi secara ilmiah.

Kesimpulan dan SaranManajemen Pegawai Negeri Sipil adalah keseluruhan

upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi, hak dan kewajiban kepegawaian, yang meliputi perencanaan, pengadaan, penempatan dalam jabatan, penyusunan pola karier pegawai, pengelolaan kinerja pegawai, pengembangan kualitas pegawai, penerapan disiplin pegawai, renumerasi, pemberhentian/pemensiunan.

Badan Pemeriksa Keuangan RI sebagai Lembaga Tinggi Negara di bidang pemeriksaan keuangan Negara sudah saat-nya melakukan manajemen SDM yang efesien, efektif, ber-daya guna dan berhasil guna sesuai rencana strategis yang dimiliki dan oleh karenanya perlu menetapkan suatu Sistem Pola Dasar Karier PNS sebagai suatu kebijakan/peraturan tentang Pola Dasar Karier PNS BPK RI.

Diharapkan dengan adanya keputusan tentang Pola Dasar Karier PNS BPK RI dan didukung dengan Rumpun Jabatan dan Kompetensi, sehingga pengangkatan PNS dalam suatu Jabatan diharapkan pasti akan lebih Transparan dan jauh dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang pada akhirnya akan menciptakan rasa adil dan beradab.

Reformasi Birokrasi pada BPK RI dapat diwujudkan dalam wujud perubahan secara signifikan (evolusi yang di-percepat) melalui tindakan atau rangkaian kegiatan pem-baharuan secara konsepsional, sistematis dan berkelanjutan dengan melakukan upaya penataan, peninjauan, penertiban, perbaikan, penyempurnaan dan perubahan sistem serta per-baikan akhlak-moral sesuai tuntutan lingkungan, meman-tapkan komitmen dan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan. l*

Page 46: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

47NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

47

OPINI

Latar BelakangLahirnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Ta-

hun 2008 tanggal 17 Januari 2008 tentang Pedoman Pelak-sanaan Reviu atas Laporan Keuangan Pemda merupakan suatu langkah kongkrit Pemerintah sebagai kelanjutan dari Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelapo-ran keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. PP Nomor 8 Tahun 2006 Pasal 33 ayat 3 menjelaskan bahwa Aparat pengawasan intern pemerintah pada Kementerian Negara / Lembaga / Pemerintah Daerah melakukan review atas Laporan Keuangan dan Kinerja dalam rangka meyakinkan keandalan informasi yang disajikan sebelum disampaikan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/Bupati/Wa-likota kepada pihak-pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 11. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 33 ayat 3 disampaikan hal berikut :

Reviu oleh aparat pengawasan intern pemerintah pada Kementerian Negara / Lembaga / Pemerintah Daerah se-bagaimana dimaksud pada ayat ini tidak membatasi tugas pemeriksaan / pengawasan oleh lembaga pemeriksa/penga-was lainnya sesuai dengan kewenangannya.

Pengertian ReviuPengertian Reviu/Review atas Laporan Keuangan

Pemerintah Daerah dipaparkan lebih lanjut pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 Pasal 1 butir 9 yaitu prosedur penelusuran angka-angka, permintaan ket-erangan dan analitis yang harus menjadi dasar memadai bagi Inspektorat untuk memberi keyakinan terbatas atas laporan

Esensi Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008

tentang Reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah

keuangan bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas laporan keuangan agar laporan keuangan tersebut disajikan berdasarkan Sistem Pengendalian Intern (SPI) yang memadai dan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).

Tujuan ReviuSedangkan Tujuan Reviu disampaikan dalam Pasal 4

yaitu memberikan keyakinan terbatas bahwa laporan keuan-gan pemerintah daerah disusun berdasarkan sistem pen-gendalian intern yang memadai dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.

Objek Pemeriksaan (Laporan Keuangan yang akan di-periksa)

Selanjutnya pada Pasal 11 berikut dijelaskan mengenai kewajiban daerah untuk menyusun laporan keuangan dan menyerahkan laporan keuangan tersebut kepada BPK untuk dilakukan audit.

Pasal 11(1) Pejabat Pengelola Keuangan Daerah menyusun

Laporan Keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimak-sud dalam Pasal 5 ayat (1) untuk disampaikan kepada guber-nur/bupati/walikota untuk memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

(2) Laporan Keuangan pemerintah daerah sebagaim-ana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan Laporan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah serta laporan pertanggungjawaban pengelolaan perbendaharaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

(3) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh gubernur/bupati/walikota kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang akan dis-erahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan merupakan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang telah melewati proses reviu / review oleh Inspektorat Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota. Hal ini dinyatakan secara jelas dalam Pasal 18 ayat 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 yaitu Laporan Keuangan Pemerintah Dae-rah yang disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dilampiri dengan Pernyataan Tanggungjawab dan Pernyat-aan telah direviu. Kewajiban untuk menyertakan hasil reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dipertegas lagi

Page 47: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

48 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

48

dalam Pasal 19 ayat (1) Laporan Hasil Reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah wajib disertai dengan perny-ataan telah direviu.

Pelaksanaan ReviuAdapun reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Dae-

rah dilakukan oleh Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota (Pasal 12). Pelaksana reviu di tingkat Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pejabat Pen-gawas Pemerintah di Lingkungan Departemen Dalam Neg-eri, pada Pasal 10 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2008 dinyatakan bahwa Pegawai Negeri Si-pil pada Inspektorat Jenderal, Inspektorat Provinsi dan In-spektorat Kabupaten/Kota yang pada daat ditetapkan Per-aturan ini telah melaksanakan tugas di bidang pengawasan diangkat dalam jabatan Pejabat Pengawas Pemerintah. Dan pada ayat 2, Pegawai Negeri Sipil pada Inspektorat Jende-ral, Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota yang pada saat ditetapkan Peraturan ini diangkat dalam ja-batan Pejabat Pengawas Pemerintah dengan ketentuan telah mengikuti pendidikan dan pelatihan di bidang pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensi dari peraturan ini ialah bahwa adanya pendidikan dan pelatihan untuk se-tiap Pejabat Pengawas Pemerintah. Dengan demikian, untuk Pejabat Pengawas Pemerintah yang melakukan tugas penga-wasan (dalam hal ini APIP) harus mendapatkan pendidikan dan pelatihan di bidang pengawasan penyelenggaraan peme-rintahan (yang mungkin masih dalam persiapan materi oleh Inspektorat Jenderal dan Badan Pendidikan dan Pelatihan yang selanjutnya akan diatur dalam suatu Peraturan Menteri Dalam Negeri).

Adapun Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang di-maksud tersebut / Inspektorat Wilayah Provinsi/Kabupa-ten/Kota yang melakukan reviu atas Laporan Keuangan Pemda haruslah memahami mengenai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dan Sistem serta Prosedur Akuntansi yang (masih dalam kemungkinan) diterapkan oleh Pemda (sesuai dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No-mor 900/316/BAKD Tahun 2007 tentang Pedoman Sis-tem dan Prosedur Penataan dan Akuntansi, Pelaporan, dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah) yang semuanya ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem pengendalian intern yang baik. Kualitas Laporan Keuangan tidak hanya dilihat dari kesesuaian dengan Standar Akuntasi Pemerintahan namun tetap dilihat dari keseluruhan Sistem Pengendalian Intern yang memadai untuk menghasilkan suatu Laporan Keuangan yang baik.

Tantangan Pelaksanaan ReviuPelaksanaan Reviu atas Laporan Keuangan Pemerin-

tah Daerah tentunya akan mengalami tantangan atau ham-batan. Adapun tantangan atau hambatan diuraikan sebagai berikut:

a. Belum semua daerah memiliki APIP yang kompeten dalam melakukan reviu.

Bahkan APIP belum mendapat pendidikan dan pelati-han yang cukup mengenai Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) dan Sistem serta Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah tersebut.

b. Kegiatan-kegiatan pokok reviu memerlukan waktu yang cukup banyak.

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Ta-hun 2008, diuraikan dalam 3 kegiatan pokok sebagai berikut:

a. Perencanaan Reviu (Pasal 6, 7, 8, 9 dan 10 serta lebih lanjut dipaparkan dalam Lampiran I).

b. Pelaksanaan Reviu (Pasal 12, 13, 14 dan 15 serta lebih lanjut dipaparkan dalam Lampiran II).

c. Pelaporan Reviu (Pasal 17, 18, dan 20, serta lebih lanjut dipaparkan dalam Lampiran III).

Kegiatan-kegiatan pokok dalam Reviu memerlukan waktu yang cukup banyak. Kegiatan Reviu tersebut jika dilakukan setelah proses penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah atau dilakukan secara berurutan den-gan penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, pasti akan memperlambat/menunda penyampaian Laporan Keuangan tersebut kepada BPK.

c. Adanya Peraturan baru yang belum diikuti dengan la-hirnya peraturan pelaksanaannya.

Adanya Peraturan baru yang berkaitan dengan reviu Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yaitu PP Nomor 60 Tahun 2008 Tanggal 28 Agustus 2008 tentang Sistem Pen-gendalian Intern Pemerintah, mencakup mengenai kegiatan penilaian terhadap Sistem Pengendalian Intern Pemerin-tah berdasarkan sistem COSO. Dalam Pasal 57 ayat (5) PP Nomor 60 Tahun 2008 ini menyebutkan bahwa Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menetapkan standar reviu atas laporan keuangan sebagaimana di-maksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) untuk digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan reviu atas laporan keuangan oleh aparat pengawasan intern pemerin-tah. Namun kehadiran Peraturan Pemerintah ini belum ditin-daklanjuti dengan lahirnya suatu Peraturan Pelaksanaan dari Menteri Keuangan di tingkat Pemerintah Daerah, tidak sep-erti di tingkat Pemerintah Pusat yang telah memiliki aturan mengenai reviu Laporan Keuangan dalam Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor 44/PB/2006 yang mensyaratkan pelaksanaan reviu atas Laporan Keuangan di tingkat Pemer-intah Pusat, yang menjadi dokumen pendukung penyusunan Statement Of Responsibility oleh Menteri / Pimpinan Lembaga (Pasal 4 ayat 1).

Belum adanya suatu Peraturan Pelaksana atas Peraturan Pemerintah tersebut mengakibatkan reviu yang dilakukan APIP yang paling memungkinkan dilakukan untuk Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun Anggaran 2008 ialah reviu berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Neg-eri Nomor 4 Tahun 2008 yang memuat penilaian SPI suatu Pemerintah Daerah yang dijalankan dan dituangkan dalam suatu Sistem dan Prosedur Keuangan Daerah dan juga ke-wajaran penyajian angka Laporan keuangan pemerintah Daerah sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP).

Page 48: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

49NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

49

Sedangkan pelaksanaan reviu Laporan Keuangan dengan penilaian SPI yang menggunakan pendekatan COSO sesuai PP Nomor 60 Tahun 2008 belum sepenuhnya dapat dikerja-kan, karena peraturan pelaksanaan PP tersebut dari Menteri Keuangan sesuai Pasal 57 ayat (5) tersebut belum dikeluar-kan. Atau dengan kata lain, reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah hanya mengacu pada Pedoman Pelak-sanaan Reviu sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008, sambil menunggu adanya peraturan pelaksanaan dari PP Nomor 60 Tahun 2008.

Usulan Solusi atas Tantangan Pelaksanaan ReviuDengan adanya beberapa tantangan pelaksanaan reviu

tersebut di atas, diupayakan untuk mencari solusi atas tan-tangan tersebut antara lain sebagai berikut:

1. APIP yang belum siap untuk melakukan reviu didamp-ingi oleh APIP lainnya.

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, ketidaksi-apan APIP (keterbatasan pemahaman akan SAP dan SPI) akan menjadi kendala keberhasilan pelaksanaan suatu reviu atas Laporan Keuangan. Hal ini dapat diatasi oleh Pemerin-tah Daerah melalui usulan dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 melalui Pasal 14 ayat (4) yang menyebutkan bahwa Apabila diperlukan, Inspektorat Pro-vinsi/Kabupaten/Kota dapat bekerja sama dengan Aparat Pengawas Intern Pemerintah Lainnya untuk melakukan re-viu atas laporan keuangan pemerintah daerah. Salah satu contohnya ialah dengan APIP lainnya (BPKP).

2. Jadwal Reviu dilakukan secara paralel dengan peny-usunan Laporan Keuangan

Berkaitan dengan banyaknya kegiatan-kegiatan pokok dalam reviu yang memerlukan waktu yang panjang dalam pelaksanaan serta untuk menghindari penundaan penyam-paian Laporan Keuangan , maka jadwal pelaksanaan reviu tersebut disampaikan dalam Pasal 13 yang menyatakan jad-wal Reviu terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dilaksanakan paling lambat 2 (dua) bulan setelah tahun ang-garan berakhir dan dapat dilakukan secara paralel dengan penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.

Manfaat Pelaksanaan ReviuAdapun reviu yang dilaksanakan secara memadai akan

memberikan manfaat, baik bagi Pemerintah Daerah (enti-tas) maupun bagi auditor (pemeriksa), disampaikan sebagai berikut:

a. Peningkatan kualitas Laporan Keuangan dari Pemer-intah Daerah

Adanya reviu yang dilakukan dengan memadai oleh APIP akan meningkatkan kualitas dari Laporan Keuangan itu sendiri. Seperti contoh pada Pasal 17 ayat (6) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 mengenai pelaporan reviu, disampaikan bahwa Pernyataan tanpa Paragraf Penjelas adalah pernyataan yang dibuat dalam hal entitas pelaporan melakukan koreksi seperti yang direko-mendasikan oleh Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota dan / teknik reviu dapat dilaksanakan. Hal ini menggambar-

kan jika ditemukan angka-angka yang disajikan di Laporan Keuangan yang memerlukan koreksi (pengungkapan sesuai SAP) maka dimungkinkan untuk diberikan usulan-usulan koreksi oleh APIP terhadap Laporan Keuangan sebelum disampaikan kepada BPK. Hal inilah yang menjadi salah satu contoh peningkatan kualitas Laporan Keuangan yang diperoleh melalui kegiatan reviu.

b. Kemudahan pengujian kehandalan SPI dan kewa-jaran penyajian Laporan Keuangan sesuai SAP.

Dengan adanya reviu Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, auditor tentunya akan lebih mudah untuk menguji kehandalan SPI dan kewajaran penyajian Laporan Keuangan sesuai dengan SAP, sehingga waktu pemeriksaan di lapan-gan menjadi lebih singkat. Namun hal tersebut hanya men-jadi asumsi yang harus diikuti dengan keberhasilan asumsi-asumsi lainnya (Reviu yang dilaksanakan oleh orang-orang yang kompeten, Hasil Reviu dapat diandalkan serta Laporan Hasil Reviu dan Laporan Keuangan setelah Reviu bisa dise-rahkan tepat waktu serta tingkat pemahaman auditor dalam menyikapi adanya Laporan Hasil Reviu dan Laporan Keu-angan setelah Reviu).

Yang menjadi kekhawatiran kita bersama, Laporan Keuangan TA 2008 yang sama sekali tidak melalui proses reviu (yang mungkin disebabkan ketidakmengertian APIP untuk melakukan reviu) namun Laporan tersebut tetap dis-erahkan kepada BPK. Lalu yang menjadi pertanyaan selan-jutnya untuk kita, apakah kita sudah siap mengambil resiko dengan menerima Laporan Keuangan yang tidak didukung oleh Pernyataan Telah Direviu yang merupakan dokumen pendukung ditandatanganinya Pernyataan Tanggungja-wab oleh Kepala Daerah? Pernyataan Tanggungjawab oleh Kepala Daerah ini hampir sama dengan Statement of Re-sponsibility (SOR) dalam lingkup Pemerintah Pusat dalam Reviu di tingkat Kementrian Negara / Lembaga Negara. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah TA 2008 yang diser-ahkan kepada BPK mungkin belum direviu tetapi kita perlu menyikapinya dengan persiapan pelaksanaan Audit yang lebih matang (Audit Interim yang lebih memadai khusus-nya untuk Pendalaman Pemahaman akan SPI yang tercipta dalam lingkup Pemerintahan Daerah).

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa adanya Reviu ter-hadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang dia-manatkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 Tanggal 17 Januari 2008 yang dilakukan oleh personil APIP / Pejabat Pengawas Pemerintah jika dilak-sanakan dengan baik dan memadai pastilah meningkatkan kualitas Laporan Keuangan itu sendiri, kemungkinan salah saji dari Laporan Keuangan bisa dikurangi dengan adanya kegiatan reviu. Laporan hasil reviu yang memadai tentunya juga akan membantu para auditor sebelum melakukan pros-es audit yang lebih mendalam terhadap Laporan Keuangan yang telah direviu (yang tentunya telah dikoreksi sesuai den-gan usulan pada saat reviu).l*

Page 49: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

50 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

50

Seiring dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Reviu atas Laporan Keuan-

gan Pemda tanggal 17 Januari 2008 merupakan suatu bentuk tangungjawab Menteri Dalam Negeri menata sistem pengawasan pengelolaan keuangan daerah. Peratu-ran Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 ini merupakan penjabaran pasal 33 ayat 3 Peraturan Pemerin-tah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah yang bermuara pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Ta-hun 2008 dinyatakan bahwa tugas reviu didelegasikan ke-pada Inspektorat/ Bawasda Provinsi/ Kabupaten/ Kota yang bertanggungjawab langsung kepada Kepala Dae-rah. Adapun yang menjadi objek pemeriksaan adalah entitas pelaporan dimana reviu terhadap Sistem Pengendal-ian Intern (SPI) dan Kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) menjadi fokus reviu.

Entitas pelaporan wajib menyajikan laporan keuangan yang terdiri atas:

1. Laporan Realisasi Keuangan2. Neraca3. Laporan Arus Kas4. Catatan atas Laporan KeuanganTujuan reviu ini adalah untuk meyakini keandalan SPI

dan Kesesuaian dengan SAP atas asersi-asersi yang terdapat dalam penyusunan Laporan Keuangan Pemerinta Daerah (LKPD).

Dalam pelaksanaannya, reviu dikoordinasikan dengan Inspektorat Jendral Departemen Dalam Negeri/ Inspektorat Provinsi.

Sistem Pengendalian InternSeperti gayung bersambut, di tahun 2008 ditetap-

kan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 ten-tang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah tanggal 28 Agustus 2008. Dalam lingkup sistem pengendalian intern pemerintah tersebut terdapat beberapa bentuk pengawasan itern yaitu audit, reviu, evaluasi dan pemantauan, dimana tingkat keyakinan atas bentuk–bentuk pengawasan tersebut berbeda.

Sesuai dengan Undang-undang Dasar Republik Indone-sia Pasal 23 E ayat 1 dijelaskan bahwa dalam hal pemerik-saan/audit laporan keuangan Pemerintah dan daerah, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) merupakan satu-satunya Badan yang diamanatkan Negara Untuk memeriksa Laporan Keuangan Pemerintah sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan. Ini merupakan benang merah dari audit laporan keuangan. Pembagian tugas dari lembaga-lembaga pengawasan yang ada seperti BPKP, Inspektorat Jendral, Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota jelas untuk membangun sistem pengen-dalian dan pengawasan yang efektif agar tercipta kes-elarasan fungsi sebagaimana lembaga-lembaga pengawasan intern dibentuk, tidak bangga atas ketidakbenaran dalam Pelaporan LKPD.

Hasil audit BPK-RI dari tahun 2005 s.d. 2007 men-unjukkan bahwa belum ada perbaikan dari pengelolaan keuangan negara/ daerah dalam proses pelaksanaannya sehingga tercipata laporan. Dari hasil pemeriksaan (siaran

AUDIT

MENUNGGU PERAN INSPEKTORAT DALAM REVIU LAPORAN KEUANGAN DAERAH

Oleh: Dicky Arnes, SE. Ak, Auditor SubAud NAD IA Kantor Perwakilan BPK-RI di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 50: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

5�NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

5�

AGENDA

pers BPK-RI tanggal 15 Januari 2009) diketahui terdapat 4 daerah yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yaitu Provinsi Gorontalo, Kota Tangerang, Kota Banjar dan Kabupaten Aceh Tengah.

Beberapa kelemahan Pemerintah daerah dalam menyu-sun Laporan Keuangan yaitu:

1. Visi dan Misi DaerahFungsi sistem pengendalian intern yang baik menghasil-

kan tata kelola keuangan yang sesuai dengan visi dan misi daerah, kemakmuran rakyat. Pengelolaan keuangan merupakan salah satu elemen yang mendukung visi tersebut. Dengan misi yang terukur dalam pencapaian visi kedepan didukung dengan pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel. Hal ini dapat dimulai den-gan penyusunan anggaran pendapatan dan belanja dae-rah.

2. Sumber Daya ManusiaPola rekrutmen dalam pemenuhan kebutuhan person-

il di lingkungan pemerintah daerah sangat tidak men-dukung dalam mengisi kekurangan tenaga-tenaga yang terampil. Pemerintah daerah sering terjebak dalam situasi pemenuhan formasi yang bersifat klerikal dan pemisahan fungsi kerja. Personil yang bersifat ahli dan kompeten dalam teknis dan kekuatan manajerial kurang diperkuat. Tenaga akuntan dan sistem informasi mutlak diperlukan.

3. Pembangunan Sistem terkomputerisasiProses pelaporan dengan jumah beban kerja yang

begitu besar sudah tentu memerlukan suatu alat bantu yang didesain dengan baik sesuai dengan kebutuhan. Sis-tem pencatatan, pengklasifikasian, pemindahbukuan, peng-hapusan dan pelaporan yang terintegrasi secara komputer-isasi perlu dikembangkan.

4. Komunikasi antar lembaga pemerintahInteraksi yang saling memenuhi mengikuti peraturan

perundang-undangan antar lembaga pemerintah menjadi sangat penting. Peran lembaga pemerintah yang bertu-gas sebagai pengawas harus membina pemerintah daerah bagaimana membuat suatu laporan yang terselusuri dan efektif. Perbaikan sistem yang “tailormade” tercipta den-gan intensifnya interaksi denga lembaga independen mau-paun pengawas intern pemerintah sebagai lembaga ekseku-tif, menuju perbaikan sistem pengendalian intern. Artinya kegagalan pemerintah daerah dalam membangun sistem merupakan kegagalan lembaga-lembaga pengawas tentunya.

5. Action PlanKomitmen dalam membangun pengelolaan keuangan

daerah diprioritaskan dalam menuju Laporan Keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. Pembentukan lingkungan kerja yang kondusif dari segi dalam, untuk itu perlu dipertimbangakan dengan menja-lin kerja sama dengan lembaga donor dan pihak ketiga selain lembaga pengawas intern pemerintah seperti BPKP. Target pencapaian ditentukan dengan menetapkan target jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Perlunya penetapan target ini agar ada keseriusan dalam memban-gun suatu sistem yang terintegrasi. Dari visi, misi, sumber

daya manusia, sistem komputerisasi, dan interaksi antar lembaga pengawas intern agar tercipta suatu sistem yang mengakomodasi bentuk peraturan dengan kebutuhan akan keterukuran dalam sistem itu sendiri.

Untuk meminimalisasi penyimpangan dalam pelapo-ran laporan keuangan dalam evaluasinya dilakukan pe-nilaian apakah pegendalian intern atas kegiatan tran-saksi akuntansi telah terlaksana. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 yang mengadopsi PSA 69 – SA seksi 319 (konsep COSO) dimana terdapat lima ketegori pengendalian intern yaitu:

1. Lingkungan Pengendalian (Control Environtment)Dalam Lingkungan pengendalian faktor utama dari

pengendaliannya adalah faktor manusia dimana diperlukan komitmen dari Kepala Daerah dengan jajarannya. Faktor etika dan ketaatan terhadap prosedur dalam pengeluaran dan penerimaan aset (kas) misalnya sering terjadi pen-yalahgunaan. Penyalahgunaan yang sering ditemukan dalam pengelolaannya adalah keterlambatan pertanggung-jawaban uang muka sampai kas yang tidak dapat dipertang-gungjawabkan.

2. Penilaian Resiko (Risk Assessment)Secara umum pemeriksaan laporan keuangan yang san-

gat mempunyai resiko dalam pengelolaannya adalah kas di kas daerah. Namun dalam prosesnya dapat dilihat dari sisi belanja (pengeluaran) dan pendapatan (penerimaan). Pengeluaran belanja sangat rentan di salahgunakan. Pos-pos pengeluaran yang sering digunakan seperti bantuan keuan-gan, biaya makan minum, biaya perjalanan dinas sampai dengan mark-up pengadaan barang dan jasa. Dari sisi penerimaan sering digunakan karena sistem yang tidak berjalan dari proses penetapan wajib pajak, penagihan sampai dengan praktek pungli oleh aparat di lokasi.

3. Kegiatan Pengendalian (Control Activities)Pembuatan sistem dan prosedur yang dapat memini-

malisasi kemungkinan terjadinya(resiko) pengendalian. Sistem yang terkomputerisasi jauh

lebih baik daripada sistem yang serba manual. Proses pem-buatan dokumen transaksi dari setiap persetujuan atasan langsung, verifikasi oleh bagian atau sub-bagian, rekonsiliasi setiap penutupan kas bulanan dan tahunan oleh atasan

Page 51: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

52 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

52

langsung atau inspektorat dan pemisahan/ pembatasan tugas atas akses prosedur penerimaan dan pengeluaran aset.

4. Informasi dan Komunikasi (Information and Com-munication)

Seperti pepatah “garbage in, garbage out”, benar adanya bila Laporan Keuangan tidak direviu oleh bawasda/ in-spektorat/ inspektorat jendaral. Simpul-simpul rekonsiliasi Laporan Keuangan dapat terdeteksi dengan adanya kewajiaban SKPD untuk membuat Laporan Keuangan-nya sendiri. Tiap anggaran yang digunakan mempunyai konsekwensi jurnal yang dapat ditelusuri dari pos anggaran pendapatan dan belanja. Selain dari itu informasi ekster-nal yang berpengaruh terhadap aset dan hutang ten-tunya menjadi perhatian reviu, apakah sudah tercatat dan dibukukan dengan nilai yang wajar. Informasi yang mem-pengaruhi sangat material terhadap Laporan Keuangan apakah telah terakomodir dalam jurnal ataupun sebagai catatan atas laporan keuangan. Semuanya itu tentunya perlu suatu job discription, panduan manual akuntansi yang tepat, kebijakan akuntansi dan sistem/prosedur serta pembangunan kapasitas sumber daya manusia.

5. Pemantauan Pengendalian Intern (Monitoring)Pemantauan terhadap sistem pengendalian intern da-

pat dilakukan secara paralel seiring dengan proses pelak-sanaan APBD. Bagaimana penyerapan anggaran, proses

penerimaan pendapatan dan pencairan dana sampai den-gan mencatatnya ke dalam Laporan Keuangan. Namun pemantauan dapat juga dilakukan setelah terbentuknya Laporan Keuangan. Hal ini tidak mendeteksi secara cepat tetapi lebih melihat apakah efektif Pengendalian Intern suatu entitas. Karena pemantauan sistem pengendalian

dalam penyusunan Laporan Keuangan tidak paralel da-pat mengakibatkan hal-hal seperti kolusi pengguna ang-garan dengan jajarannya dan manipulasi data realisasi anggaran dan pendapatan tidak terdeteksi.

Standar Akuntansi Pemerintah (SAP)Menurut definisi SAP adalah serangkaian prosedur

manual maupun terkomputerisasi mulai dari pengumpu-lan data, pencatatan, pengikhtissaran, dan pelaporan posisi keuangan serta operasi keuangan pemerintah daerah. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan reviu yang dilaku-kan akan lebih baik bila dilakukan secara paralel. Penyusunan laporan keuangan akan lebih efektif dan jika terdapat dalamnya suatu guide line dalam penyusunan lapo-ran keuangan.

Sesuai dengan Permendagri Nomor 13 tahun 2006, telah dipisahkan (desentralisasi) pelaporan keuangan. Penyusunan yang dulunya terpusat di Sub Bagian Keuan-gan di Sekretariat daerah telah didesentralisasi sesuai tang-gung jawab penggunaan anggaran di setiap Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD). Setaip SKPD wajib membuat Laporan Keuangan yang terdiri dari Neraca, Laporan Realisasi Anggaran dan Catatan Atas Laporan Keuan-gan.

Namun dalam pelaksanaannya Pemerintah daerah be-lum melihat kebutuhan yang sangat penting dalam penyu-sunan laporan keuangan yaitu Kebijakan Akuntansi.

Sesuai dengan Standar Akuntansi Pemrintahan dalam penyususnan Laporan Keuangan wajib membuat suatu kebijakan akuntansi yang digunakan sebagai dasar untuk mencatat sebagai contoh aset. Sesuai defininya aset merupa-

Page 52: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

5�NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

5�

kan harta yang dapat segera digunakan pemerintah dalam upaya penyelengaraan pemerintahan. Tetapi dari penelu-suran selama ini terdapat kelemahan dalam menbukukannya yaitu:

1. Aset Lancar (Kas)Dalam prakteknya, standar akuntansi pemerintahan telah

disusun dengan memperhatikan mekanisme penerimaan dan pengeluaran kas. Namun dalam proses pelaksanaannya terjadi distorsi-distorsi yang membuat dalam pencata-tan dan penyajiannya pada Laporan Keuangan mengala-mi kendala. Kendala yang sering terjadi adalah pengakuan kas bon yang berlarut-larut belum dipertanggungjawabkan. Hasil audit yang telah dilakukan reviu dalam penya-jian di laporan keuangan memposisikan kas bon sebagai kas. Selain dari itu adakalanya diposisikan sebagai piu-tang lain-lain. Latar belakang dari posisi kas bon tersebut tentunya mempunyai pertimbangan yang sangat hati-hati dari pengakuannya. Kas bon diposisikan sebagai kas sangat dipertimbangkan dengan itikad baik dari pemerintah daerah untuk mempertanggungjawabkan setelah Tahun Anggaran berakhir. Sedangkan kas bon yang berlarut-larut (belum) dipertanggungjawabkan lebih dari satu (1) tahun anggran diposisikan ke dalam piutang lain-lain merupakan pertimbangan yang sangat hati-ahti oleh Pemerintah Daerah untuk mengakuinya agar posisi kas tidak menjadi bias dalam perhitungan anggaran di tahun berikutnya, karena kas bon bukan kas yang senyatanya ada di kas di kas daerah.

Dari semua penyajian tersebut tentunya menjadi per-hatian setiap Pemda bahwa praktek-praktek pengeluaran yang belum dipertanggungjawabkan seperti kas bon ten-tunya merupakan ganjalan kewajaran Laporan Keuangan.

2. Aset Tetapa) Pengklasifikasian aset tetap yang salah;Aset Tetap dibagi menjadi lima (5) yaitu Tanah, Per-

alatan dan Mesin, Gedung dan Bangunan, Jalan/Irigasi/Jaringan, Aset Tetap Lainnya, Konstruksi dalam Penger-jaan. Dalam prakteknya acap kali dijumpai konstruksi dalam pengerjaan diklasifikasikan sebagai aset tetap yang telah jadi dan siap digunakan, sehingga belanja barang maupun modal yang sampai dengan berakhirnya anggaran belum selesai dikategorikan sebagai aset tetap yang telah jadi dan siap digunakan. Hal ini sering terjadi pada belanja Modal yang sampai dengan Tahun Angaran berakhir belum 100% selesai, sehingga sisa anggaran diluncurkan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ke tahun berikutnya.

b) Pembuatan daftar aset tetap tidak terkendali;Karena banyaknya belanja modal, belanja barang dan

jasa di lingkungan Pemda(SKPD), bagaimana membuat daftar aset tetap yang

dilaporkan dalam Laporan keuangan menjadi bias antara Aset Tetap dengan daftar yang sering disebut Inventaris. Untuk membedakannya perlu dibuat daftar aset yang menurut aturan Pemda bahwa ada daftar aset tetap dari sisi umur ekonomis lebih dari satu tahun anggaran dan daftar inventaris yang merupakan pengadaan barang ber-

dasarkan kebijakan Pemda sebagai aset yang secara nilai tidak signifikan dalam pengadaannya dan habis disusutkan dalam satu (1) tahun anggaran (intakomtable- ekstrakomtable). Dalam hal ini kebijakan penyusutan aset tetap harus tetap diakui agar dalam penagkuannya tidak overstated dan penyusutan akan memudahkan penilaian aset tetap yang sewajarnya sehingga penilaian oleh ap-praisal tidak berulang.

c) Pengakuan dan penghapusan aset tetap yang tidak teratur.

Aset tetap dapat diakuai selain dari umur ekonomisnya lebih dari satu tahun tetapi juga secara fisik telah selesai 100% dan siap digunakan. Terhadap pengahapusan aset yang telah ada seumur Pemda selama ini perlu dilakukan inventarisasi dan penilaian oleh lembaga appraisal. Untuk aset tetap Pemda yang telah usang dan rusak, hilang di-lakukan penghapusan sesuai dengan aturan penghapusan aset negara. Namun sering terjadi Pemda cepat membuat Surat Keputusan penghapusan aset yang konsum-tif seperti kendaraan dari pada mengurus aset-aset yang te-lah rusak (tidak dapat digunakan) untuk dihapuskan dari daftar aset Pemda itu sendiri. Kapitalisasi aset tetap juga yang menjadi hal yang jarang sekali mendapat perhatian. Aset tetap hanya diakui sebesar belanja modal yang dikeluarkan dari kas daerah sedangkan biaya-biaya yang dapat diatribusikan sebagai biaya untuk mendapatakan aset tetap itu siap digunakan belum dikapitalisasi.

Terhadap masalah kas dan aset tetap dapat dilaku-kan suatu upaya yaitu penerapan pengelolaan kas yang hati-hati dan ketat dalam prosedur pencairannya, pembua-tan sistem pengeloalan aset tetap yang terkendali, penetapan kebijakan akuntansi yang tepat seperti penyusutan dan ka-pitalisasi aset tetap.

Semoga dengan dilakukannya reviu atas laporan keuan-gan oleh inspektorat, Pemerintah Daerah dapat men-ingkatkan kualitas Laporan Keuangannya dan tercipta pengelolaan keuangan daerah yang baik.

Referensi- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Reviu atas Laporan Keuangan Pemda- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah- Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan- “Auditing : A Risk Analysis Approach”, Larry F. Konrath, Fifth Editions- Standar Profesional Akuntan Publik, 1 Januari 2001- Siaran Pers BPK-RI tanggal 15 Januari 2009, Penghargaan oleh BPK-RI Kepada Institusi Pemerintah/ Lembaga: “Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara Tidak Bisa Ditawar Lagi”

Page 53: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

54 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

54

AUDIT

Oleh: Dicky Arnes, SE. Ak, Auditor SubAud NAD IA Kantor Perwakilan BPK-RI di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

PENGELOLAAN KAS DI KAS DAERAH

Dalam pemeriksaan Laporan Keungan Pemer-intah Daerah (LKPD) pemeriksaan kas di Buku Kas Umum (BKU) sangat krusial dalam

pengerjaannya. Kas merupakan akun yang sangat likuid se-hingga kemungkinan kesalahan sangat mungkin terjadi oleh pengguna anggaran atau entitas, baik kesalahan pen-catatan dan perhitungan serta kecurangan. Tidak jarang pemeriksaan kas di BKU menghabiskan sekitar 50% dari waktu pemeriksaan.

Kas di Kas DaerahKas mencerminkan daya beli yang dapat dialihkan

segera dalam suatu pertukaran ekonomi kepada suatu individu atau organisasi untuk memenuhi kebutuhan owner dalam memperoleh barang dan jasa, asset dan mo-dal kerja. Kas merupakan aset yang sangat likuid sehingga dalam penempatan di aktiva yang lazim terlikuid ditem-patkan paling atas dari semua aset yang dimiliki oleh suatu entitas. Kas digunakan sebagai alat pembayaran yang paling disukai oleh pelaku ekonomi termasuk entitas pemerin-tah. Kas juga digunakan sebagai alat investasi seperti SBI, SUN, Obligasi, Saham, atau konversi mata uang asing dalam rangka pembayaran.

Berdasarkan definisi kas daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 yaitu:

“Kas adalah uang tunai dan saldo simpanan di Bank yang setiap saat sapat digunakan untuk membiayai kegia-tan pemerintahan”. Sedangkan Kas Daerah didefinisikan sebagai berikut: “Kas Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh Gubernur/ Bupati/ Walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah”. Artinya se-mua penerimaan yang ada di kas daerah menjadi hak dae-rah dan merupakan tanggungjawab kepala daerah untuk menyimpan dan mengeluarkannya untuk kepentingan dan kemakmuran daerah.

Buku Kas Umum DaerahDalam praktek pemerintahan daerah pencatatan keluar

masuk kas menggunakan buku kas yang disebut Buku Kas Umum (BKU) sebagai pencatatan seluruh pener-imaan/debit dan pengeluaran/kredit (cash basis) dimana mengutamakan Sisa Perhitungan Anggaran sebagai kas se-benarnya di kas Bendaharawan Umum Daerah (BUD). Se-

luruh penerimaan kas dicatat sebagai penambah kas begitu pula sebaliknya pengeluaran. Penerimaan selain kas tidak dicatat dalam buku kas umum.

BKU dicatat secara bruto atas seluruh penerimaan kas baik yang penerimaan anggaran seperti telah dimaksudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun non anggaran seperti diantaranya Pajak Negara PPh 21, 22, 23, PPN, Perhitungan Fihak Ketiga Ta-perum dan Iuran Wajib Pegawai. Penggunaan BKU hakikatnya sebagai catatan bila kita mengambil substansi dari pencatatannya. Saat ini, seluruh laporan keuangan yang merupakan output dari sistem yang digunakan oleh bagian pembukuan entitas pelaporan. Bila pembukuan dari sistem telah baik menurut ketentuan yang ada yaitu double entry maka sepatutnya pencatatan di BKU dan sistem yang dilakukan oleh bagian pembukuan khususnya kas haruslah menampilkan saldo yang sama. Tapi selama ini hampir semua entitas di daerah tidak aware akan pentingnya hal ini, bahwa dengan taatnya pencatatan BKU selaras dengan rekening bank memudahkan kontrol atas saldo kas di BUD. Hal ini dapat terjadi karena ketidakteraturan pembukuan maupun kesengajaan. Tidak seperti pencatatan buku kas dan buku bank yang lazimnya dicatat terpisah pada privat sector, pada public sector di daerah seluruh penerimaan dan pengeluaran dicatat dalam satu BKU dikarenakan ses-uai Peraturan Pemerintah ditentukan bahwa saldo BKU harus sama dengan saldo bank. Tetapi pada kenyataannya terasa sulit sekali bagi entitas pelaporan pemerintah di daerah untuk melakukan hal tersebut. Mungkin ini dikare-nakan oleh alasan yang beragam, dari kerumitan pemind-ahbukuan sampai dengan kurangnya forcasting kebutuhan dana yang tidak teratur. Seyogyanya di BUD tidak ada Kas yang jumlahnya terlalu besar atau tidak sesuai ketentuan yang ditetapkan kepala daerah. Ada batas batas saldo yang diperbolehkan setiap bulannya.

Dari asersi yang ada tentang kas yaitu :1. Keberadaan dan keterjadianSaldo kas benar-benar ada dan milik entitas2. KelengkapanSeluruh transaksi penerimaan kas (Bank) telah dicatat.3. Penilaian dan AlokasiSeluruh transaksi penerimaan dan pengeluaran kas te-

lah diperhitungkan dengan nilai yang semestinya.4. Hak & Kewajiban

Page 54: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

55NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

55

Penerimaan dan pengeluaran kas relevan dengan Tahun Anggaran yang diperiksa.

5. PengungkapanRealisasi penerimaan dan pengeluaran kas telah diungka-

pkan secara memadai dalam Laporan Keuangan sesuai den-gan Standar Akuntansi Pemerintahan.

Rekonsiliasi Kas di Kas DaerahDari pemeriksaan selama ini secara sistem akuntansi

dari format alternatif yang ada tidak mengakomodir prak-tek-praktek akuntansi khususnya keuangan yang sering di-lakukan oleh entitas di daerah. Seperti outstanding cek kerap kali muncul sebagai akibat tidak taatnya daerah mematuhi anggaran dimana sebagaimana kita tahu bahwa per 31 Desember tidak boleh ada pencairan yang me-lewati Tahun Anggaran. Tetapi ada alternatif untuk setiap perlakuan akuntansi yang tentunya setiap daerah mempun-yai keunikannya sendiri. Segala peraturan punya kelemahan dalam penerapannya karena apa yang terjadi di prak-teknya tidak sebaik ketentuan yang ditetapkan. Dari penetapan APBD yang kerap kali terlambat sampai dengan keterlambatan pelaksanaan pekerjaan fisik. Sam-pai dengan tahun anggaran 2006 sepertinya hal ini dapat ditolerir, tetapi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 (Permendagri No. 13 Th. 2006), hal ini tidak diperbolehkan lagi. Masa transisi antara Kepu-tusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 tahun 2002 ke Permendagri No. 13 Th. 2006 sepertinya masih terdapat outstanding cek tersebut, dimana pengeluaran daerah masih menggunakan cek atas dasar Surat Perintah Membayar (SPM) sebagai dasar pengeluaran kas daerah. Dengan Permendagri No. 13 Th. 2006 penggunaan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) dimana dana ditarnsfer langsung ke pihak ketiga tanpa melalui cek. Ini diharap-kan dapat terlaksana atas perjanjian kerjasama Pemerintah Daerah (Pemda) dengan Bank Persepsi.

Mengenai alernatif perlakuan sebagaimana kejadian di-atas atas outstanding cek sering timbul atau pencairannya setelah tahun anggaran sebaiknya dilakukan pencatatan sebagai Pengeluaran Pembiayaan, tetapi bila tidak dimung-kinkan dari definisi pembiayaan maka perlu pengungkapan yang cukup dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Ini dikarenakan untuk memberikan informasi peng-guna laporan dan juga kepentingan pemeriksaan atas laporan keuangan berikutnya agar aware atas outstanding cek tersebut. Maksud dari pencatatan tersebut agar tidak terjadi double perhitungan dari SiLPA tahun lalu dengan ta-hun berikutnya.

SiLPA 31 Desember terdiri dari :1. Kas Tunai (Bank) Di BUD2. Kas di Bendahara Pengeluaran3. Kas di Bendahara Penerimaan

Dari gambar diatas merupakan batas cut-off rekonsiliasi Kas (Bank) per 31 Desember dimana:

1. A merupakan Batas Tahun Anggaran (TA) I, ter-dapat Sisa Pengisian Kas (Bendahara Pengeluaran) 1 (Arsir). SiLPA TA I terdiri dari Perhitungan TA I termasuk Sisa Pengisian Kas di bendahara pengelu-aran I dan kas di bendahara penerimaan yang belum disetor per 31 Desember.

2. B merupakan Batas TA II, terdapat Sisa Pengisian Kas di Pemegang Kas (Bendahara Pengeluaran) 2 (Arsir). SiLPA TA II terdiri dari Perhitungan TA II termasuk Sisa Pengisian Kas di bendahara pengelu-aran 2 dan kas di bendahara penerimaan yang belum disetor per 31 Desember. Sering terjadi karena ketidakteraturan pembukuan dan tidak termas-uk Sisa Pengisian Kas yang ternyata tidak terdeteksi dalam pemeriksaan. Sehingga sisa pengisian kas terse-but merupakan pendapatan lain-lain yang merupakan bagian SiLPA TA III.

Dari penentuan cut-off di awal pemeriksaan, pengelu-aran dan pendapatan tahun anggaran yang berjalan akan ditelusuri dari SP2D/ UP/ GU/ TU/ LS yang merupakan dasar pengeluaran dari apa yang telah ditentukan dalam penjabaran APBD. Sedangkan kelengkapan atas penda-patan dilakukan pemerikasaan laporan penerimaan dengan instansi/ divisi/ satker yang berkaitan (cross section).

Dalam hal pendapatan dari Dinas terkait atau bendahara penerimaan dari hasil penerimaan yang belum disetor sampai dengan pemeriksaan kas, maka hal ini dicatat sebagai kas di pemegang kas (bendahara penerimaan) se-bagai kas dan setara kas tetapi tidak sebagai perhitungan realisasi anggaran. Sebagai kontra kas di bendahara pe-nerimaan tersebut di neraca dicatat sebagai pendapatan yang ditangguhkan. Penerimaan kas tersebut menurut PP 24 akan diperhitungkan sebagai penerimaan lain-lain tahun berikutnya.

Secara normatif pencatatan nomor register STS dan penerimaan pendapatan dicatat dengan berurutan (sequen-tial), walaupun tidak mutlak selama dapat dijelaskan dan da-pat diperhitungkan.

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA)Dalam perhitungan anggaran yang menghasilkan

SiLPA tahun berjalan berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan (PP 24/2005) penerimaan entitas selain kas dicatat sebesar nilai taksiran atau nilai pasar yang wajar tetapi penerimaan tersebut dimana langsung di off-set dengan con-tra belanja penerimaan tersebut seperti penerimaan sum-bangan aktiva tetap, sehingga hasil penerimaan kas tersebut

Page 55: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

56 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

56

menambah jumlah perhitungan penerimaan tetapi tidak merubah SiLPA tahun berjalan. SiLPA juga tidak termasuk di dalamnya PFK yang merupakan kewajiban kepada Pihak Ketiga sehingga SiLPA merupakan kas yang sesungguhnya ada secara fisik untuk anggaran tahun berikutnya. Sedang-kan PFK (kewajiban) bukan dasar perhitungan pengang-garan tahun anggaran berikutnya.

Bentuk Kas Dalam Penjelasan CALK yang DitemukanDalam pemeriksaan Laporan Keuangan ada beberapa

penjelasan atas pos kas yaitu sebagai berikut:1. Kas di Kas Daerah(1) Kas TunaiKas Tunai merupakan kas yang berada di BUD yang

menjadi hak daerah.(2) Kas di BankKas di bank merupakan kas yang berada di bank atas

nama pemerintah daerah/ pusat yang dalam ketentuannya harus dilaporkan kepada DPRD.

(3) Kas BonKas Bon merupakan pengeluaran oleh BUD tanpa

melalui mekanisme SPM. Ada beberapa pengeluaran yang dapat diiklasifikasikan sebagai kas bon diantaranya secara garis besar ada 2 jenis yaitu:

a. Kas bon tanpa acuan anggaran.Merupakan kas yang dikeluarkan dari kas daerah

dengan/tanpa acuan DPA atau APBD.b. Kas bon dengan acuan anggaranMerupakan kas yang dikeluarkan dari kas daerah

sebelum penetapan Anggaran (APBD). Ada yang menye-butnya uang muka kerja. Tetapi definisi uang muka kerja ini bukan merupakan definisi uang muka kerja yang ada pada definisi PP 24 mengenai PSAP 08 tentang kon-struksi dalam pengerjaan dimana uang muka kerja adalah jumlah yang diterima oleh kontraktor sebelum pekerjaan dilakukan dalam rangka kontrak konstruksi.

(4) Kas Non-BudgeterKas Non-Budgeter merupakan kas yang tidak menjadi

hak daerah. Kas ini merupakan kas titipan sementara karena suatu ketentuan atau perundang-undangan negara/ daerah harus mengamankan penerimaan negara sehingga pener-imaannya sementara dititipkan di daerah atau iuran yang diwajibkan dari pemotongan penerimaan pegawai untuk tujuan tertentu.. Contoh dari kas non budgeter adalah hasil Perhitungan Pihak Ketiga (PFK), iuran wajib pegawai dan Taperum.

2. Kas di Bendahara PenerimaanKas Bendahara Penerimaan merupakan sisa pener-

imaan kas yang belum disetor oleh pemegang kas.3. Kas di Bendahara PengeluaranKas Bendahara Penerimaan merupakan sisa pengisian

kas yang belum dipertanggungjawabkan oleh pemegang kas.

Dalam pengelolaan kas sesuai dengan Permendagri No. 13 tahun 2006 dibentuk suatu Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) yang bertugas mengelola keuangan daerah

dimana sesuai dengan fungsi perbendaharaan (treasury) dan juga sebagai financial manager dimana diberi kelelu-asaan mengelola kas daerah agar tercipta tatakelola yang baik dan juga bagaimana meningkatkan penerimaan daerah dari hasil pengelolaan kas daerah tersebut. Penempatan pada investasi-investasi yang dapat meningkatkan pener-imaan daerah tanpa mengganggu cash flow atas penge-luaran daerah. Tentunya kita sepakat akan pengelolaan yang baik atas kas daerah, tetapi penempatan investasi yang bagaimana yang sebaiknya dalam pengelolaaan terse-but yaitu investasi dengan resiko yang hampir 0%. Sampai saat ini Sertifikat Bank Indonesia merupakan instrumen investasi yang banyak dipilih.

Penempatan pada investasi tentunya merupakan hal yang legal administratif dalam kerangka APBD. Karena investasi adalah sesuatu bentuk pengalihan kas ke produk-produk perbankanataupun pasar modal haruslah men-dapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD). Persetujuan ini tentunya merupakan legalisasi pengelo-laan kas daerah sehingga tidak ada pertanyaan keabsahan pengelolaan kas tersebut.

Saat ini banyak produk-produk perbankan yang memudahkan daerah meningkatkan penerimaan pengelo-laan kas. Produk perbankan tersebut secara legal dijalankan untuk mengamankan kreditur besar dalam hal ini pemerintah daerah (pemda) oleh Bank dalam

menempatkan kas daerah. Dalam pengelolaan kas ini Pemda banyak menempatkan kas daerah pada bank mi-lik pemerintah daerah seperti Bank Pembangunan Daerah (BPD). Hampir seluruh penerimaan daerah seperti Penda-patan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) ditempatkan pada rekening di BPD. Sayangnya, penempatan kas dae-rah tersebut dalam bentuk giro yang berbunga rendah. Padahal banyak produk-produk perbankan yang lebih me-narik dalam usaha peningkatan pendapatan asli daerah sep-erti Deposito. Deposito merupakan bentuk investasi yang relatif lebih tinggi dalam penerimaan bunganya. Seperti menerima durian jatuh, BPD setiap tahunnya menerima DAU, DAK, Dana Bagi Hasil. Seiring dengan itu, deposito mengalami perkembangan yang dimana ter-dapat depsito yang berbunga lebih tinggi tetapi dapat dita-rik oleh pemda sewaktu-waktu tanpa konsekwensi apa-apa. Mungkin hal ini yang menyebabkan BPD mengeluar-kan deposito jenis tersebut untuk mengamankan kreditur besarnya. Menurut jangka waktu deposito diklasifikasikan sebagai investasi jangka pendek yang berjangka waktu tiga sampai dengan duabelas bulan.

Produk deposito tersebut menjadi sumir dalam arti pengakuan pemda terhadap asetnya. Apakah merupakan investasi atau setara kas? Selama tidak melebihi 3 bulan yang tidak melekat pada investasi jangka pendek. Artinya bila dikategorikan sebagai investasi tentunya jangka waktu deposito tersebut berjangka waktu lebih dari 3 bu-lan dan secara legalisasi harus mendapat persetujuan DPRD yang tertuang dalam APBD. Seandainya penempa-

Page 56: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

57NO ��6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

57

tan deposito melebihi lebih dari 3 bulan dikategorikan sebagai investasi jangka pendek dan bila tidak merupakan amanat APBD merupakan pelanggaran kepatuhan terhadap pengelolaan kas daerah.

TanggungjawabSemua penerimaan dan pengeluaran kas daerah harus

dikelola oleh BUD dengan kehati-hatian. Berdasarkan Un-dang-Undang Perbendaharaan Negara No. 1 Tahun 2004 , atas tagihan pembayaran BUD wajib meneliti keleng-kapan, menguji kebenaran, menguji ketersediaan, me-merintahkan pencairan dan menolak pencairan dana yang diajukan Pengguna Anggaran yang menjadi beban APBD. Khusus Bendahara Pengeluaran bertanggungjawab secara pribadi atas pembayaran yang dilaksanakannya.

Referensi:- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor �� Tahun �006 tentang

Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah- Peraturan Pemerintah Nomor �� Tahun �005 tentang Standar Akuntansi

Pemerintahan- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor � Tahun �00� tentang

Perbendaharaan Negara- “Teori Akuntansi”, Eldon S. Hendriksen, Michael F. Van Breda, Edisi

Kelima- “Auditing : A Risk Analysis Approach”, Larry F. Konrath, Fifth Edi-

tions

Sosialisasi Kebijakan Audit Perwakilan BPK RI Provinsi Bali Tahun 2009

Oleh: Subbah Hukum & Humas BPK RI Perwakilan Provinsi Bali

Sesuai dengan amanat UUD �945 pasal 2� huruf E,Fdan G tentang Badan Pemeriksa Keuangan, salah satu tugas dan fungsi Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia adalah untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara dan juga untuk melaksanakan visi dan misi BPK RI. Berkaitan dengan hal tersebut Kepala Perwakilan BPK RI Provinsi Bali memandang perlu untuk melaksanakan sosialisasi kepada auditee tentang ke-BPK-an dan paket undang-undang keuangan negara serta langkah-langkah kebijakan BPK RI Perwakilan Provinsi Bali terkait pemeriksaan pada tahun 2009.

Pada hari Jumat tanggal 28 Januari 2009, bertempat di Aula Kantor Perwakilan BPK RI Provinsi Bali dilaksanakan sosialisasi tentang ke-BPK-an dan paket undang-undang keuangan negara serta kebijakan pemeriksaan BPK RI Perwakilan Provinsi Bali tahun 2009. Hadir dalam acara tersebut, Sekretaris Daerah Provinsi Bali, Drs. I Nyoman Yasa, M.Si. serta seluruh jajaran SKPD dan BUMD di Provinsi Bali.

Sosialisasi tersebut langsung disampaikan oleh Kepala Perwakilan Provinsi Bali, I Gede Kastawa, S.E., M.M.. dalam penjelasan beliau, sosialisasi ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mendorong terciptanya transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah Provinsi Bali. Hal tersebut dilakukan untuk mendorong pemda untuk

mempercepat pencapaian opini pemeriksaan BPK RI wajar tanpa pengecualian.

Kepala Perwakilan Provinsi Bali juga menjelaskan tentang paket undang-undang keuangan negara serta peran dan fungsi BPK RI pada paket undang-undang tersebut. Di samping itu, diungkapkan pula tentang profil hasil pemeriksaan atas pengelolaan keuangan daerah Provinsi Bali dari tahun 2004 sampai tahun 2008, yang dilanjutkan dengan sesi tanya jawab

Selain sosialisasi ke jajaran pemerintah Provinsi Bali, Kepala Perwakilan juga melakukan sosialisasi di kota dan kabupaten lain di Bali. Pada tanggal 2� Januari 2009 dilakukan sosialisasi di Kabupaten Badung yang dihadiri oleh Bupati Badung, A.A. Gede Agung, yang sekaligus sebagai moderator dalam acara tersebut. Tanggal 29 Januari 2009 di Kota Denpasar dilakukan kegiatan serupa yang juga dihadiri oleh Walikota Denpasar, I.B. Rai Dharmawijaya Mantra. Rencana ke depan kegiatan ini akan dilakukan di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Bali.

Page 57: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

58 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

58

JANGAN SAMPAI GENDIT KEBOBOLAN

GENDIT

Oleh: Cris Kuntadi, MM, CPA

“Mas, nanti balik lagi.” Kata Gendit ketika diminta karcis parkir oleh Satpam saat keluar dari komplek perkantoran BPK.

Seketika, Mas Satpam, sebut saja Ronald yang masih bujangan, mempersilakan Gendit keluar dengan mobilnya tanpa meminta karcis parkir.

Rupanya, tidak meminta karcis parkir untuk setiap kendaraan yang keluar dari komplek perkantoran BPK sudah menjadi kebiasaan, terutama untuk pengendara yang mengatakan akan kembali lagi ke BPK. Hal inilah salah satu kebiasaan yang diprotes si tukang insinyur Pak Sudib yang mobilnya kebobolan maling belum lama ini. Kaca belakang mobilnya dijebol maling tanpa satupun Satpam yang mengetahui. Alhasil, satu buah tas yang berisi seperangkat alat sholat bablas digondol maling.

”Semoga maling tersebut insyaf setelah memaling seperangkat alat sholat saya.” Pak Sudib menyatakan hal tersebut kepada Gendit. Memang, Pak Sudib sejak pindah dari Aceh ke Jakarta menjadi semakin rajin sholat dalam kondisi dan keadaan apapun. Makanya, seperangkat alat sholat selalu mendampinginya dalam setiap perjalanan, meskipun hanya ke kantor. Untuk berjaga-jaga kalau sewaktu-waktu masuk waktu sholat dalam perjalanan pulang ke rumah, kata Pak Sudib beralasan.

”Tapi, sebetulnya ikhlas gak sih Pak, kemalingan?” selidik Gendit.

”Kalau kemalingan alat sholat sih saya sangat ikhlas, apalagi kalau alat sholat tersebut dipakai. Pahala mengalir terus ke saya. Ya, kan, Ndit? Yang bikin saya kesel adalah kaca mobil belakang saya yang dijebol. Harganya tidak sebanding dengan nilai selembar sajadah.” Jawab Pak Sudib.

”Jadi, tidak ikhlas dong pak.” Selidik Gendit lagi.”Kaca dipecah membuat saya kesal. Tapi yang membuat

saya kecewa berat dan tidak habis pikir adalah.... kenapa keamanan kantor sebegini besarnya kok sedemikian rawan. Pengendalian internal kantor ini sangat lemah.” Pak Sudib mulai menampakkan watak aslinya, sebagai auditor yang biasa mengevaluasi sistem pengendalian intern.

“Lho, Satpam kan tidak bisa memelototin mobil satu per satu selama �� jam. Mereka kan juga manusia, yang ada khilaf dan salah.” Gendit berusaha menenangkan.

”Ya, tapi ini bukan yang pertama kali kejadian seperti ini. Setahu saya, kaca dijebol sudah lebih dari tiga kali, begitu juga pintu dibuka oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Teman wanita saya di AKN VII juga pernah dibongkar mobilnya dan lenyap laptopnya.” Pak Sudib memberikan alasan kekecewaannya.

”Lho wong parkir gak bayar aja kok sewot sih pak. Yang

membayar saja dan bilang secure parking tidak menjamin keamanan mobil beserta isinya.” Gendit tetap berusaha menyeimbangkan kondisi.

”Ya tapi mereka telah melakukan pengendalian internal yang cukup memadai. Dengan pengendalian intern yang baik, kemungkinan kesalahan semakin kecil.” Pak Sudib berteori.

”Coba saja lihat, kendaraan keluar kantor tanpa diminta tanda parkir hanya dengan mengatakan ”akan kembali lagi”. Ya kalau mereka benar akan kembali. Kalau mereka ternyata maling?” Lanjut Pak Sudib menyampaikan hasil pengujian pengendalian sistem keamanan di BPK.

”Jadi? Apa saran Bapak atas sistem pengendalian keamanan BPK yang lemah ini?” Gendit meminta rekomendasi auditor BPK.

”Bangun sistem operasi dan prosedur (SOP) keamanan yang memadai dan minta para petugas mematuhi pengendalian internal yang dibangun tersebut. Perlu dibuat laporan kinerja keamanan. Yang melanggar dan tidak patuh terhadap SOP harus diberikan sanksi. Tapi, jika mereka berprestasi, misalnya setahun tanpa kehilangan mobil, beri mereka penghargaan.” Pak Sudib memberikan rekomendasi.

”Untuk yang kehilangan, apa rekomendasi Pak Sudib?” Tanya Gendit lagi.

Ditanya seperti itu, Pak Sudib menarik nafas dalam-dalam dan mengatakan ”Banyak-banyaklah ber-istighfar, mohon ampun kepada Allah. Mungkin mereka suka lupa kewajiban infaq, shodaqoh, dan zakat sehingga Allah mengingatkan. Mereka harus banyak memperhatikan nasib orang-orang yang kurang beruntung. Di antaranya ya para satpam itulah..”

”Lho tidak ada saran untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang kehilangan?” Tanya Gendit lebih lanjut.

”Lho, yang maha pemberi itu Allah, bukan Pak Purnomo atau Pak Cipto. Banyak-banyaklah sholat Dhuha. Insya Allah akan diganti oleh Allah dengan yang lebih baik dan lebih banyak. Percayalah.” Pak Sudib terus mengungkapkan ajakan yang menyejukkan.

”Kalau begitu Pak Sudib, nenek Yullyan makan sirih, cukup sekian dan terima kasih.” Gendit mengakhiri pembicaraannya.

Page 58: 1. Majalah Pemeriksa Edisi 116 No.XXVIII

68 NO ��6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII

68