1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka ...

41
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka membantu kelangsungan usaha masyarakat kecil, dimana modal menjadi masalah yang sulit, pemerintah melalui Perusahaan Umum (untuk selanjutnya disebut Perum) Pegadaian berusaha menyalurkan uang pinjaman (kredit) untuk lebih meningkatkan usaha dan taraf hidup mereka atas dasar hukum gadai dengan harapan mereka tidak terjerat oleh gadai gelap, praktek riba dan pinjaman tidak wajar lainnya. Pemberian pinjaman uang oleh Perum Pegadaian prosedurnya sangat sederhana, tidak berbelit–belit, dan dalam waktu singkat kurang lebih lima belas menit saja nasabah sudah dapat memperoleh uang pinjamannya dengan syarat menyerahkan harta geraknya sebagai jaminan. Perum Pegadaian mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus memupuk keuntungan melalui pemberian pinjaman skala mikro, kecil, dan menengah serta melaksanakan usaha lainnya berdasarkan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan tujuan tersebut, Pegadaian menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai berikut: 1. Pemberian pinjaman atas dasar hukum gadai 2. Pemberian pinjaman atas dasar hukum yang menerapkan prinsip-prinsip fidusia; 1 Universitas Sumatera Utara

Transcript of 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam rangka membantu kelangsungan usaha masyarakat kecil, dimana

modal menjadi masalah yang sulit, pemerintah melalui Perusahaan Umum (untuk

selanjutnya disebut Perum) Pegadaian berusaha menyalurkan uang pinjaman (kredit)

untuk lebih meningkatkan usaha dan taraf hidup mereka atas dasar hukum gadai

dengan harapan mereka tidak terjerat oleh gadai gelap, praktek riba dan pinjaman

tidak wajar lainnya. Pemberian pinjaman uang oleh Perum Pegadaian prosedurnya

sangat sederhana, tidak berbelit–belit, dan dalam waktu singkat kurang lebih lima

belas menit saja nasabah sudah dapat memperoleh uang pinjamannya dengan syarat

menyerahkan harta geraknya sebagai jaminan.

Perum Pegadaian mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat sekaligus memupuk keuntungan melalui pemberian pinjaman skala

mikro, kecil, dan menengah serta melaksanakan usaha lainnya berdasarkan ketentuan

dan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan tujuan tersebut, Pegadaian

menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai berikut:

1. Pemberian pinjaman atas dasar hukum gadai

2. Pemberian pinjaman atas dasar hukum yang menerapkan prinsip-prinsip

fidusia;

1

Universitas Sumatera Utara

2

3. Menjalankan usaha lainnya yang menunjang terwujudnya misi dan visi

perusahaan.1

Pemerintah melalui Perum Pegadaian berupaya menyalurkan uang pinjaman

(kredit) bagi masyarakat terutama pada mereka golongan ekonomi lemah. Perluasan

fasilitas kredit memang sangat diperlukan, karena hal ini akan memberikan

kemungkinan perusahaan-perusahaan kecil dan perusahaan-perusahaan pada

umumnya dapat terdorong untuk maju sehingga dapat mempunyai pengaruh

menaikan taraf hidup perekonomian masyarakat. Kebijakan yang longgar dalam

perkreditan juga sangat diperlukan demi perlindungan terhadap pihak masyarakat

ekonomi lemah yaitu para petani kecil, pegawai kecil.

Peran Perum Pegadaian dioptimalisasikan terus menerus bagi kehidupan

masyarakat yang ditunjukan dengan berbagai perubahan kebijaksanaan, merupakan

contoh konkrit lahirnya kebijakan-kebijakan baru dengan membenahi secara lebih

fungsional pranata yang sudah ada sebelumnya. Kenyataan ini paling tidak

menunjukan bahwa Perum Pegadaian dipandang oleh pemerintah sebagai institusi

yang amat fungsional untuk menunjang perekonomian nasional dan pencapaian

tujuan program pembangunan dalam pembangunan jangka panjang kedua.

Mekanisme gadai terbentuk antara kreditur atau Perum Pegadaian dengan

debitur atau nasabah. Hubungan hukum dimulai pada saat seorang debitur atau

nasabah yang membutuhkan suatu dana guna kepentingan usaha atau kepentingan

1 Wikipedia Indonesia.com https//www.pegadaian.co.id/k.visimisi diakses tanggal 10 mei2010

Universitas Sumatera Utara

3

pribadi lainnya yang karena kebutuhan tersebut menyerahkan benda bergeraknya

sebagai jaminan kepada Perum Pegadaian.

Perum Pegadaian sudah ada lebih dari 100 (seratus) tahun di kancah keuangan

Indonesia. Perum Pegadaian hadir sebagai institusi penyedia pembiayaan jangka

pendek dengan syarat mudah dan tidak bertele-tele. Cukup membawa agunan,

seseorang bisa mendapat pinjaman sesuai dengan nilai taksiran barang tersebut.

Agunan itu bisa berbentuk apa saja asalkan berupa benda bergerak dan bernilai

ekonomis. Di samping itu, pemohon juga perlu menyerahkan surat kepemilikan dan

identitas diri.

Kreditur atau Perum Pegadaian menerima barang bergerak milik debitur,

dimana benda bergerak tersebut sebagai jaminan atas pinjaman yang dimohon oleh

debitur ditaksir dan diberikan nilai taksiran yang selanjutnya diberikan kelayakan

pinjaman. Prosedur diatas dilanjutkan dengan pernyataan lisan dari debitur tentang

berapa besar nilai hutang yang dikehendaki dari jumlah besar nilai kelayakan

pinjaman yang didasarkan pada nilai jual dari obyek pinjaman dengan harga

sekarang. Besaran jumlah pinjaman diberikan setelah dikurangi biaya asuransi

terhadap obyek jaminan. Biaya asuransi yang dikenakan juga variatif berdasarkan

golongan dari benda atau obyek yang dijaminkan. Kegunaan dari pembebanan biaya

asuransi adalah sebagai proteksi terhadap keamanan dan jaminan ganti rugi atau ganti

kembali dari benda atau obyek jaminan apabila musnah atau rusak.

Kebijakan penggantian dari asuransi merupakan kebijakan yang dibentuk

antara Perum Pegadaian dengan pihak asuransi yang selanjutnya diajukan kepada

Universitas Sumatera Utara

4

nasabah dalam bentuk format baku pada suatu klausula dari perjanjian kredit dengan

jaminan barang bergerak yang tercantum pada halaman belakang dari Surat Bukti

Kredit yang akan dipegang oleh nasabah atau debitur.

Besar jumlah penggantian asuransi yang disepakati antara Perum Pegadaian

dan Perusahaan Asuransi adalah 125% dari nilai taksiran, tetapi Perum Pegadaian

dalam hal ini tidak bertanggung jawab atas kerugian apabila terjadi force majeure,

antara lain bencana alam, huru hara dan perang, dalam konteks yang demikian berarti

terdapat konsekuensi bahwa nasabah karena sebab–sebab force majeure yang

menyebabkan benda jaminannya rusak atau hilang tidak akan mendapatkan

penggantian dari Pegadaian.2

Nasabah dari Perum Pegadaian secara umum adalah masyarakat yang selama

ini tidak pernah mengetahui bagaimana aspek hukum perlindungan terhadap obyek

jaminannya dari kemungkinan rusak atau hilang. Walaupun sebenarnya saat nasabah

datang ke Perum Pegadaian untuk menggadaikan barangnya oleh petugas Perum

Pegadaian dilihat dan dicatat model dan bentuk dari barang gadai tersebut, sehingga

pada saat nasabah telah melunasi pinjamannya maka nasabah akan tetap mendapatkan

barangnya seperti semula.

Batas–batas perlindungan terhadap debitur dalam suatu perjanjian gadai

selama ini tidak banyak dimengerti masyarakat karena tanggung jawab yang

diberikan Perum Pegadaian selalu didasarkan pada isi perjanjian kredit dengan

jaminan barang bergerak yang tercantum dalam surat bukti kredit, padahal banyak

2 Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Barang Bergerak Butir 4, pada Surat Bukti Kredit

Universitas Sumatera Utara

5

hak-hak debitur yang belum dilaksanakan dalam perjanjian tersebut misalnya

pemberitahuan secara person sebelum terjadinya lelang.

Selain hal–hal tersebut diatas, sering juga dijumpai barang yang digadaikan

adalah barang curian atau barang sewaan. Hal ini dikarenakan pihak Perum

Pegadaian tidak pernah menanyakan kepada nasabah asal barang tersebut. Karena

pihak Perum Pegadaian beranggapan bahwa barang yang dibawa oleh nasabah ke

Perum Pegadaian untuk digadaikan adalah barang milik nasabah itu sendiri. Padahal

bisa saja barang tersebut adalah milik orang lain yang disewa atau dicuri oleh nasabah

yang kemudian digadaikan di Perum Pegadaian. Hal ini kerap terjadi disebabkan

adanya anggapan bahwa barang yang akan digadai tersebut akan ditaksir oleh petugas

biasanya 70-80 persen dari harga pasar dan setelah ketemu nominalnya mereka akan

mendapat uang.

Hal-hal semacam itulah yang dikemudian hari akan menimbulkan persoalan

baru. Apabila pemilik barang semula mengetahui bahwa barang miliknya baik yang

disewakan ataupun dicuri oleh orang lain yang kemudian digadaikan oleh orang

tersebut di Perum Pegadaian, maka persoalan ini dapat berlanjut menjadi persoalan

hukum yang akan membawa aparat penegak hukum untuk menyelesaikannya.

Berdasarkan dari latar belakang tersebut, menarik untuk diketahui dan diteliti

lebih jauh yang akan dituangkan dalam tesis yang berjudul : “Tanggung jawab

kreditur pemegang gadai dalam perjanjian gadai di Perum Pegadaian wilayah II

Pekanbaru”.

Universitas Sumatera Utara

6

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah perjanjian gadai antara kreditur dan debitur di Perum Pegadaian

Pekanbaru ?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum kreditur dan debitur dalam pelaksanaan

gadai di Perum Pegadaian Pekanbaru ?

3. Bagaimanakah tanggung jawab Perum Pegadaian sebagai kreditur pemegang

gadai dalam pejanjian gadai di Perum Pegadaian Pekanbaru ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk

lebih mendalami segala aspek kehidupan, disamping itu juga merupakan sarana untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis dan praktis.3 Berdasarkan

rumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan yang hendak dicapai adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisa perjanjian gadai yang tercantum dalam surat

bukti kredit di Perum Pegadaian Pekanbaru.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa perlindungan hukum kreditur dan debitur

dalam pelaksanaan gadai di Perum Pegadaian Pekanbaru.

3. Untuk mengetahui tanggung jawab Perum Pegadaian sebagai kreditur pemegang

gadai dalam perjanjian gadai di Perum Pegadaian Pekanbaru

3 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1998. hal 3.

Universitas Sumatera Utara

7

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini kegunaan utama dari penelitian ini diharapkan tercapai,

yaitu :

1. Kegunaan secara praktis

Hasil dan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah

pengetahuan dibidang hukum perdata, khususnya mengenai perjanjian gadai di

Perum Pegadaian.

2. Kegunaan secara teoritis

Selain itu diharapkan juga hasil dari penelitian ini secara teoritis dapat berguna

sebagai bahan referensi tambahan penelitian sejenis pada program studi Magister

Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik

berdasarkan penelitian sebelumnya, khususnya pada Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara, dan sejauh yang telah diketahui penulis bahwa belum

ditemui adanya penelitian yang berkaitan dengan judul tesis ini, yaitu “Tanggung

jawab kreditur pemegang gadai dalam perjanjian gadai di Perum Pegadaian cabang

Nangka Pekanbaru”. Sebelumnya ada beberapa penelitian dikantor Perum Pegadaian,

antara lain sebagai berikut :

1. Herly Gusti Meliana Siagian, Magister Kenotariatan, tahun 2009 melakukan

penelitian tentang “Peranan Notaris dalam Perjanjian Kredit angsuran sistem

Universitas Sumatera Utara

8

fidusia pada Perum Pegadaian (Studi di Kantor Perum Pegadaian Cabang

Medan Utama). Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah :

Bagaimanakah kewenangan notaris dalam pembuatan perjanjian kredit

angsuran sistem fidusia pada Perum Pegadaian Cabang Medan Utama,

bagaimanakah kedudukan benda jaminan dalam perjanjian kredit angsuran

sistem fidisia pada Perum Pegadaian Cabang Medan Utama, bagaimanakah

peran notaris dalam pelaksanaan perjanjian kredit angsuran sistem fidusia

pada Perum Pegadaian Cabang Medan Utama.

2. Toto Edward Hutagalung, Magister Kenotariatan, tahun 2008, melakukan

penelitian tentang “Pelelangan atas barang jaminan gadai di Perusahaan

Umum Pegadaian Cabang Medan”. Permasalahan yang dibahas dalam

penelitian ini adalah : bagaimana prosedur pemberian dan pelunasan benda

jaminan gadai pada lembaga pegadaian, bagaimana pelaksanaaan pelelangan

di Indonesia pada umumnya, dan bagaimana pelaksanaan pelelangan atas

barang jaminan gadai di Perusahaan Umum Pegadaian Cabang Medan.

Berdasarkan Kenyataan yang diperoleh keyakinan bahwa keaslian penelitian

ini cukup diyakini keberadaannya, maka judul yang diajukan ini belum pernah diteliti

dan dibahas sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat

dipertanggungjawabkan keasliannya karena belum ada yang melakukan penelitian

yang sama dengan judul penelitian yang dilakukan ini.

Universitas Sumatera Utara

9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Menurut Soerjono Soekanto, teori adalah suatu sistem yang berisikan

proposisi-proposisi yang telah diuji kebenarannya untuk menjelaskan aneka macam

gejala sosial yang dihadapinya dan memberikan pengarahan pada aktifitas penelitian

yang dijalankan serta memberikan taraf pemahaman tertentu.4

Fred N. Kerlinger dalam bukunya Fondation of Behavioral Research

menjelaskan teori5 : “Suatu teori adalah seperangkat konsep, batasan dan proposisi

yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci

hubungan antar variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala

tersebut.”

Teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori keadilan

berbasis perjanjian (John Rawls) yang menyebutkan keadilan yang memadai harus

dibentuk dengan pendekatan perjanjian, dimana azas-azas keadilan yang dipilih

bersama benar-benar merupakan kesepakatan para pihak, bebas, rasional dan

sederajat.6

Melalui pendekatan perjanjian dari sebuah teori keadilan yang berbasis

perjanjian (John Rawls) yang menyebutkan keadilan yang memadai harus dibentuk

4 Ibid, hal. 6.5 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif

dan Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal. 133.6 Agus yudha hernoko,2008,hukum perjanjian azas proposionalitas dalam kontrak

komersial,laksbang mediatama, Yogyakarta

Universitas Sumatera Utara

10

dengan pendekatan perjanjian, dimana azas-azas keadilan yang dipilih bersama para

pihak, bebas, rasional dan sederajat.

Melalui pendekatan perjanjian dari sebuah teori keadilan mampu untuk

menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi

semua orang. Oleh karenanya suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat

kontraktual, konsekuensinya setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual

haruslah dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri.

Hukum Perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata menganut sistem

terbuka, artinya memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada siapa saja untuk

mengadakan perjanjian yang berupa dan berisi apa saja asalkan tidak bertentangan

dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Definisi yang diberikan oleh Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi: “Suatu

perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Dengan adanya pengertian tentang

perjanjian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara pihak yang

mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang.

Pengertian mengenai perjanjian seperti tersebut di atas apabila dilihat secara

mendalam, akan terlihat bahwa pengertian tersebut ternyata mempunyai arti yang luas

dan umum sekali sifatnya, selain itu juga tanpa menyebutkan untuk apa perjanjian

tersebut dibuat. Hal tersebut terjadi karena di dalam pengertian perjanjian menurut

konsepsi Pasal 1313 KUHPerdata, hanya menyebutkan tentang pihak yang satu atau

Universitas Sumatera Utara

11

lebih mengikatkan dirinya pada pihak lainnya dan sama sekali tidak menentukan

untuk tujuan apa suatu perjanjian tersebut dibuat.

Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa walaupun definisi perjanjian

tersebut sudah otentik namun rumusannya disatu sisi adalah tidak lengkap karena

hanya menekankan pada perjanjian sepihak saja dan di sisi lain terlalu luas karena

dapat mengenai hal-hal yang berhubungan dengan janji kawin yaitu sebagai

perbuatan yang terdapat dalam bidang hukum keluarga7

Akibat daripada tidak lengkap dan terlalu luasnya rumusan perjanjian yang

diberikan oleh pembentuk Undang-undang tersebut di atas akibatnya timbul berbagai

pandangan sebagai doktrin tentang definisi yang diberikan oleh para ahli hukum

Subekti berpendapat bahwa suatu perjanjian atau persetujuan itu adalah suatu

peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu

saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal8

Tim penyusun ketrampilan perancangan hukum berpendapat bahwa perjanjian

itu adalah kesepakatan yang timbal balik di antara dua pihal atau lebih yang memuat

persyaratan-persyaratan tertentu mengenai objek tertentu yang melahirkan

persetujuan di antara para pihak.9

Disamping beberapa definisi di atas yang menekankan perjanjian sebagai

melahirkan kewajiban secara timbal balik yang belum nampak aspek hukumnya ada

7 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Edisi I, Cetakan I,Alumni,Bandung,2004,hal.18.

8 R.Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Cetakan; XVIII, Jakarta,2001,hal.1.9 Laborotorium Hukum FH UNPAR, Keterampilan Perancangan Hukum, PT

CitraAdityaBakti, Cetakan ke 1, Bandung,1997,hal.143.

Universitas Sumatera Utara

12

juga yang memberikan definisi lebih luas bahwa perjanjian itu adalah suatu

kesepakatan yang diperjanjikan di antara dua orang atau lebih pihak yang dapat

menimbulkan,memodifikasi atau menghilangkan hubungan hukum10

Definisi dari berbagai pendapat tersebut di atas bahwa perjanjian adalah

perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya

dengan satu orang atau lebih yang bertujuan untuk melahirkan, memodifikasi atau

mengakhiri hubungan hukum yang terletak di bidang harta kekayaan.

Oleh karena itu suatu perjanjian akan lebih luas dan tegas artinya jika

pengertian mengenai perjanjian tersebut diartikan sebagai suatu persetujuan di mana

dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam

lapangan harta kekayaan.11

Selanjutnya dalam suatu perjanjian, pasal-pasal yang mengatur tentang

perjanjian tersebut biasa dinamakan dengan optional law, karena ketentuan dari

pasal-pasal yang mengaturnya boleh dikesampingkan oleh pihak yang membuat suatu

perjanjian.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas dalam Pasal 1313 KUH Perdata

dikatakan “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih

mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih” sehingga dari rumusan pasal

tersebut dapat dikemukakan unsur-unsur perjanjian adalah sebagai berikut:12

10Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti,Bandung,1994,halaman.4

11 R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 1312 Hasanudin Rahman, Legal Drafting, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 5

Universitas Sumatera Utara

13

a. Ada pihak-pihak

Sedikitnya dua orang pihak ini disebut subyek perjanjian dapat manusia maupun

badan hukum dan mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum seperti

yang ditetapkan undang-undang.

b. Ada persetujuan antara pihak-pihak

Persetujuan antara pihak-pihak tersebut sifatnya tetap bukan merupakan suatu

perundingan. Dalam perundingan umumnya dibicarakan mengenai syarat-syarat

dan obyek perjanjian maka timbulah persetujuan.

c. Ada tujuan yang akan dicapai

Mengenai tujuan para pihak hendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban

umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh undang-undang.

d. Ada prestasi yang dilaksanakan

Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan

syarat-syarat perjanjian, misalnya pembeli berkewajiban untuk membayar harga

barang dan penjual berkewajiban menyerahkan barang.

e. Ada bentuk tertentu lisan atau tertulis

Perlunya bentuk tertentu karena ada ketentuan Undang-undang yang

menyebutkan bahwa dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai

kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.

f. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian

Universitas Sumatera Utara

14

Dari syarat-syarat tertentu dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak. Syarat-

syarat ini terdiri dari syarat pokok yang menimbulkan hak dan kewajiban pokok.

Suatu perjanjian dinyatakan sah dan mempunyai akibat hukum yang mengikat

para pihak, apabila perjanjian tersebut memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan

dalam undang-undang. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesewenangan,

penyalahgunaan keadaan dan ketidaktentuan.

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus

memenuhi 4 (empat) unsur yaitu:13

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu dan;

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama dan kedua mengenai subyeknya atau pihak-pihak dalam

perjanjian sehingga disebut syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat

disebut syarat obyektif karena mengenai obyeknya suatu perjanjian.

Harus dibedakan antara syarat subyektif dengan syarat obyektif, dalam hal

syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari

semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu

13 Ibid, hal 6.

Universitas Sumatera Utara

15

perikatan hukum adalah gagal, dengan demikian maka tiada dasar untuk saling

menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan null and void.14

Dalam hal syarat subyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya bukan batal

demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya

perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak

yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Jadi,

perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga selama tidak dibatalkan (oleh hakim)

atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Nasib suatu perjanjian

seperti di atas tidaklah pasti dan bergantung pada kesediaan suatu pihak untuk

menaatinya. Perjanjian yang demikian dinamakan voidable (bahasa Inggris) atau

vernietigbaar (bahasa Belanda) ia selalu diancam dengan bahaya pembatalan.15

Asas-asas umum dalam perjanjian meliputi:

1. Asas konsensualisme (concsensualism)

Setiap perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi

para pembuatnya. Rumusan ini dapat ditemukan dalam Pasal 1338 Ayat (1)

KUHPer, selanjutnya dipertegas kembali dengan ketentuan Ayat (2) nya yang

menyatakan bahwa perjanjian yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik

kembali secara sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tanpa

adanya persetujuan dari lawan pihaknya dalam perjanjian atau dalam hal-hal di

mana oleh Undang-undang dinyatakan cukup adanya alasan untuk itu.

14 Ibid.15Ibid, hal 9.

Universitas Sumatera Utara

16

2. Asas kebebasan berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak untuk membuat

perjanjian baik mengenai bentuk maupun isinya. Asas ini disebut juga asas

otonom yaitu adanya kewenangan mengadakan hubungan hukum yang mereka

pilih di antara mereka.Asas kebebasan berkontrak ini berhubungan dengan isi

perjanjian16 Asas kebebasan berkontrak, menurut Subekti adalah bahwa setiap

orang pada dasarnya bebas membuat perjanjian yang berisi dan macam apa saja,

asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban

umum. Dengan pengertian lain asas kebebasan berkontrak memberikan

kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian

yang berisi apa saja dan dalam bentuk apa saja sepanjang tidak bertentangan

dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.17

3. Asas kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus dapat

menumbuhkan kepercayaan diantara kedua pihak bahwa satu sama lain akan

memenuhi prestasinya di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan, maka

perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak, dengan kepercayaan

ini kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai

kekuatan mengikat sebagai undang-undang.18

4. Asas kekuatan mengikat

16 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum,Liberty, Jogjakarta,1998,hal.9717 R.Subekti, Hukum Perjanjian,PT Intermasa, Jakarta,1987I, hal. 8218 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hal. 42

Universitas Sumatera Utara

17

Di dalam suatu perjanjian terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan dan

juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan

kepatuhan dan kebiasaan akan mengikat para pihak.

5. Asas persamaan hak

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada

perbedaan walaupun ada perbedaan warna kulit bangsa, kepercayaan, kekuasaan,

jabatan, dan lain-lain, masing- masing pihak wajib melihara adanya persamaan

ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai

manusia ciptaan Tuhan.19asas keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan

perjanjian itu, asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan,

kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut pelunasan prestasi melalui

kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan

perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur

yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik,

sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

6. Asas moral

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari

seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari

pihak debitur. Juga hal ini terlihat di dalam zaakwaarneming, dimana seseorang

yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan

19 Ibid, hal 43.

Universitas Sumatera Utara

18

mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan

perbuatannya, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata.

7. Asas kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata, asas kepatutan di sini

berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.

8. Asas kebiasaan

Asas ini diatur dalam Pasal 1339 juncto Pasal 1347 KUHPerdata, yang

dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat

untuk hal-hal yang diatur secara tegas, tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan

dan kebiasaan yang diikuti.asas kepastian hukum.

Perjanjian sebagai suatu figure hukum harus mengandung kepastian hukum.

Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai

undang-undang bagi para pihak.20

Pada umumnya ada beberapa cara untuk mengadakan pembedaan jenis-jenis

perjanjian antara lain:

1. Perjanjian timbal balik, yaitu perjanjian dimana kedua belah pihak timbul

kewajiban pokok, seperti jual beli, sewa menyewa, penjual harus

menyerahkan barang yang dijual sedangkan pembeli membayar harga dari

barang itu,yang menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan dari

20 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

19

barang yang disewakan, penyewa membayar harga sewanya. Prestasi kedua

belah pihak kira-kira adalah seimbang.

2. Perjanjian timbal balik tidak sempurna (Perjanjian dua pihak secara

kebetulan) di mana salah satu pihak timbul prestasi pokok sedangkan pihak

lain ada kemungkinan untuk kewajiban sesuatu tanpa dapat dikatakan dengan

pasti bahwa kedua prestasi itu adalah seimbang.

3. Perjanjian sepihak yaitu perjanjian yang hanya salah satu pihak saja yang

mempunyai kewajiban pokok.21 Perjanjian yang dibuat secara sepihak dan

pihak lainnya hanya mempunyai pilihan untuk menerima atau menolak

perjanjian tersebut tanpa diberi kesempatan untuk merundingkan isinya22

4. Perjanjian bernama dan tak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian

yang sudah mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai

perjanjian-perjanjian khusus dan jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa

menyewa, tukar-menukar, pertanggungan, pengangkutan, melakukan

pekerjaan. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai

nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.

5. Perjanjian konsensuil dan riil. Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang

terjadinya itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja bagi

pihak-pihak. Tujuan perjanjian baru tercapai apabila ada tindakan realisasi

21 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung,1994,hal.48.22 Suharmoko, Hukum Pwerjanjian,Teori dan Analisa Kasus Kencana Prenada Media

Group,2004,hal.124.

Universitas Sumatera Utara

20

hak dan kewajiban tersebut. Perjanjian real adalah perjanjian yang terjadinya

itu sekaligus realisasi tujuan perjanjian, yaitu pemindahan hak.23

6. Perjanjian obligator dan perjanjian kebendaan. Perjanjian obligator adalah

perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban, misalnya dalam jual beli,

sejak terjadi konsensus mengenai benda dan harga, penjual wajib

menyerahkan benda dan pembeli wajib membayar harga, penjual berhak atas

pembayaran harga, pembeli berhak atas benda yang dibeli. Perjanjian

kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam jual beli,

hibah,tukar-menukar. Sedangkan dalam perjanjian lainnya hanya

memindahkan penguasaan atas benda (bezit), misalnya dalam menyewa,

pinjam pakai, gadai.

Dalam KUHPerdata dikenal adanya hak kebendaan yang bersifat memberi

kenikmatan dan hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan. Hak kebendaan

yang bersifat memberikan jaminan senantiasa tertuju kepada benda milik orang lain,

benda milik orang lain dapat berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak.

Untuk benda jaminan milik orang lain yang berupa benda bergerak maka hak

kebendaan tersebut adalah hak gadai, sedangkan benda jaminan milik orang lain yang

berupa benda tidak bergerak maka hak kebendaan tersebut adalah hipotik (sekarang

hak tanggungan).

23Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,Bandung,2000,hal.227.

Universitas Sumatera Utara

21

Objek gadai adalah benda bergerak. Benda bergerak ini dibagi atas dua jenis,

yaitu benda bergerak berwujud dan tidak berwujud. Benda bergerak berwujud adalah

benda yang dapat berpindah atau dipindahkan. Yang termasuk dalam benda

berwujud, seperti emas, arloji, sepeda motor, dan lain-lain. Sedangkan benda

bergerak yang tidak berwujud seperti, piutang atas bawah, piutang atas tunjuk, hak

memungut hasil atas benda dan atas piutang.24

Gadai merupakan jaminan dengan menguasai bendanya, sedangkan hipotik

merupakan jaminan dengan tanpa menguasai bendanya. Gadai di Indonesia dalam

praktek perbankan sedikit sekali dipergunakan, kadang-kadang hanya sebagai

jaminan tambahan dari jaminan pokok yang lain. Hal demikian terjadi karena

terbentur pada syarat inbezitstelling pada gadai, padahal si debitor masih

membutuhkan benda jaminan tersebut.25

Penguasaan benda gadai oleh kreditur merupakan syarat esensial bagi lahirnya

gadai. Selain itu ketentuan tentang bentuk perjanjian gadai dapat dilihat dalam Pasal

1151 KUHPerdata yang berbunyi “Perjanjian gadai harus dibuktikan dengan alat

yang diperkenankan untuk membuktikan perjanjian pokoknya”.

Gadai merupakan pemberian berupa benda bergerak untuk dijadikan sebagai

jaminan utang. Dalam hal jaminan yang mudah dijadikan uang untuk dapat menutup

pinjaman apabila tidak dapat dilunasi oleh si peminjam atau debitur.26 Jaminan

24 Ibid.25 Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Semarang, 2000, hal. 1226 Ibid, Hal. 78.

Universitas Sumatera Utara

22

dengan menguasai bendanya pada gadai tertuju pada benda bergerak yang

memberikan hak preferensi (droit de preference) dan hak yang senantiasa mengikuti

bendanya (droit de suit). Pemegang gadai juga mendapat perlindungan terhadap pihak

ketiga ia sebagai pemiliknya sendiri dari benda tersebut. Ia mendapat perlindungan

jika menerima benda tersebut dengan iktikad baik, yaitu mengira bahwa si debitur

tersebut adalah pemilik yang sesungguhnya dari benda itu.27

Dalam rangka mengamankan piutang kreditor, maka secara khusus oleh

debitur kepada kreditur diserahkan suatu kebendaan bergerak sebagai jaminan

pelunasan utang debitur, yang menimbulkan hak bagi kreditur untuk menahan

kebendaan bergerak yang digadaikan tersebut sampai dengan pelunasan utang

debitur.28

Masalah gadai ini diatur dalam Buku II Titel 20 Pasal 1150 sampai dengan

Pasal 1161 KUHPerdata. Menurut Pasal 1150 KUHPerdata pengertian dari gadai

adalah “Suatu hak yang diperoleh seorang kreditor atas suatu barang bergerak yang

bertubuh maupun tidak bertubuh yang diberikan kepadanya oleh debitor atau orang

lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang, dan yang memberikan kewenangan

kepada kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu

daripada kreditor-kreditor lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang

tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya

mana harus didahulukan.”

27 Ibid.28 Ibid

Universitas Sumatera Utara

23

Dari definisi gadai tersebut terkandung adanya beberapa unsur pokok, yaitu:29

1. Gadai lahir karena perjanjian penyerahan kekuasaan atas barang gadai kepada

kreditor pemegang gadai;

2. Penyerahan itu dapat dilakukan oleh debitor atau orang lain atas nama debitor;

3. Barang yang menjadi obyek gadai hanya barang bergerak, baik bertubuh

maupun tidak bertubuh;

4. Kreditor pemegang gadai berhak untuk mengambil pelunasan dari barang

gadai lebih dahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia gadai berarti:

1. Suatu pinjam-meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan

menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai batas waktunya

tidak ditebus, barang menjadi hak yang memberi pinjaman.

2. Barang yang diserahkan sebagai tanggungan hutang.

3. Kredit jangka pendek dengan jaminan sekuritas yang berlaku tiga bulan dan

setiap kali dapat diperpanjang apabila tidak dihentikan oleh salah satu pihak

yang bersangkutan.30

Beberapa ahli juga memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai gadai,

menurut Wiryono Projodikoro gadai adalah sebagai sesuatu hak yang didapatkan si

berpiutang atau orang lain atas namanya untuk menjamin pembayaran hutang dan

memberi hak kepada si berpiutang untuk dibayar lebih dahulu dari siberpiutang lain

29 Ibid hal 1330 Alex Ma, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal.126.

Universitas Sumatera Utara

24

dari uang pendapatan penjualan barang itu.31 Sedangkan Subekti mengatakan

pandrecht adalah : “suatu hak kebendaan atas suatu benda yang bergerak kepunyaan

orang lain, yang semata-mata diperjanjikan dengan menyerahkan bezit atas benda

tersebut, dengan tujuan untuk mengambil pelunasan suatu utang dari pendapatan

penjualan benda itu, lebih dahulu dari penagih-penagih lainnya”.32

Pendapat Ter Haar menerangkan : “Di kalangan masyarakat Batak gadai itu

disebut tahan, dikalangan masyarakat Jawa dipergunakan istilah tanggungan dan

jonggolan, dan dikalangan masyarakat Bali dikenal istilah makantah”.33

Gadai berasal dari terjemahan dari kata pand atau vuistpand (bahasa Belanda),

atau pledge atau pawn (bahasa Inggris), pfand atau faustpfand (bahasa Jerman),

sedangkan dalam hukum adat istilah gadai ini disebut dengan cekelan.34

Dalam hukum adat, gadai juga dikenal dengan istilah “Jual Gadai” yaitu

menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai dengan

ketentuan si penjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan

menebusnya kembali.35 Dalam jual gadai penerima gadai (kreditur) berhak untuk

mengerjakan dan menikmati manfaat yang melekat pada tanah itu. Transaksi jual

gadai ini biasanya disertai dengan perjanjian tambahan seperti :

31 Wiryono Projowikoro, Hukum Perdata Tentang Hak-Hak Atas Benda, Cetakan ke- V, PT.Intermasa, Jakarta, 1986, hal. 153.

32 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke- XVI, Intermasa, Jakarta, 1982, hal. 79.33

B. Ter Haar Bzn, Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, Asas-Asas Dan SusunanHukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980, hal. 131.

34Ibid, hal. 103.35 Muhammad Yamin, Op. cit., hal. 26.

Universitas Sumatera Utara

25

1. Kalau tidak ditebus dalam masa yang dijanjikan maka tanah menjadi milik yang

membeli gadai.

2. Tanah tidak boleh ditebus selama satu, dua atau beberapa tahun dalam tangan

pembeli gadai.36

Dari beberapa pengertian diatas, maka ada beberapa unsur yang terkait dalam

gadai yaitu:

1. Adanya subjek gadai, yaitu kreditur (penerima gadai) dan debitur (pemberi

gadai).

2. Adanya objek gadai, yaitu barang bergerak, baik yang berwujud maupun tidak

berwujud.

3. Adanya kewenangan debitur.37

Subjek gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan

penerima gadai (pandnemer). Pemberi gadai (pandgever) yaitu orang atau badan

hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada

penerima gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga.

Unsur-unsur pemberi gadai yaitu:

1. Orang atau badan hukum;

2. Memberikan jaminan berupa benda bergerak;

3. Kepada penerima gadai;

36 Setelah keluar UU. No 5 Tahun 1960 atau yang dikenal dengan UUPA maka peraturan initidak berlaku lagi, dan gadai tanah tidak diperbolehkan lagi, akan tetapi pada prakteknya dalammasyarakat adat gadai tanah masih tetap berlangsung, walaupun telah diberlakukan Hukum Nasional,akan tetapi Hukum Nasional ini disingkirkan oleh Hukum Adat yang masih hidup.

37 Ibid, hal. 35.

Universitas Sumatera Utara

26

4. Adanya pinjaman uang;

Untuk terjadinya gadai harus dipenuhi persyaratan-persyaratan yang

ditentukan sesuai dengan jenis benda yang digadaikan. Adapun cara-cara terjadinya

gadai adalah sebagai berikut:38

1. Cara terjadinya gadai pada benda bergerak

a. Perjanjian gadai

Dalam hal ini antara debitor dengan kreditor mengadakan perjanjian pinjam

uang (kredit) dengan janji sanggup memberikan benda bergerak sebagai

jaminan gadai atau perjanjian untuk memberikan hak gadai (perjanjian gadai).

Perjanjian ini bersifat konsensual dan obligatoir.

Dalam pasal 1151 KUHPerdata disebutkan bahwa: “Perjanjian gadai dapat

dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian perjanjian

pokok” Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa bentuk perjanjian gadai

tidak terikat pada formalitas tertentu (bentuknya bebas), sehingga dapat dibuat

secara tertulis maupun lisan.39

b. Penyerahan benda gadai

Dalam pasal 1152 Ayat (2) KUHPerdata disebutkan: “Tidak ada hak gadai

atas benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan si debitor ataupun yang

kembali dalam kekuasaan debitor atas kemauan kreditor”. Dengan demikian

hak gadai terjadi dengan dibawanya barang gadai keluar dari kekuasaan si

38 Purwahid Patrik dan Kashadi, Op.Cit., hal. 18-2239 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Pokok Hukum Jaminan di Indonesia Pokokpokok

Hukum Jaminan dan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hal 74-75.

Universitas Sumatera Utara

27

debitor pemberi gadai. Syarat bahwa barang gadai harus dibawa keluar dari

kekuasaan si pemberi gadai ini merupakan syarat inbezitstelling yang

merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam gadai.

Barang dikatakan dibawa ke luar dan kekuasaan pemberi gadai jika barang

gadai diserahkan oleh pemberi gadai kepada kreditor atau pihak ketiga

(sebagai pemegang gadai) yang disetujui oleh kreditor. Mengingat benda

gadai harus dibawa keluar dari kekuasan pemberi gadai maka diperlukan

suatu penyerahan. Penyerahan benda gadai dapat dilakukan secara nyata,

simbolis, traditto brevt manu ataupun traditio longa manu. Panyerahan secara

constitutum possessorium tidak menimbulkan hak gadai karena tidak

memenuhi syarat inbezitstelling.

2. Cara terjadinya gadai pada piutang atas bawa (atas tunjuk atau aantoonder)

a. Perjanjian gadai

Antara debitor dengan kreditor dibuat perjanjian untuk memberikan hak

gadai. Perjanjian ini bersifat konsensual, obligatoir dan bentuknya bebas.

b. Penyerahan surat buktinya

Pasal 1152 Ayat (1) KUHPerdata mengatakan bahwa: “Gadai surat atas bawa

terjadi dengan menyerahkan surat itu ke dalam tangan pemegang gadai atau

pihak ketiga yang disetujui kedua belah pihak.” Perlu diketahui bahwa piutang

atas bawa (atas tunjuk) selalu ada surat buktinya, dimana surat bukti ini

mewakili piutang.

3. Cara terjadinya gadai pada piutang atas order (aanorder)

Universitas Sumatera Utara

28

a. Perjanjian gadai

Antara kreditor dan debitor membuat perjanjian gadai yang bersifat

konsensual, obligatoir dan bentuknya bebas.

b. Adanya endosemen yang diikuti dengan penyerahan surat

Pasal 1152 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Untuk mengadakan hak gadai

piutang atas tunjuk, diperlukan adanya endosemen pada surat hutangnya dan

diserahkannya surat hutang kepada pemegang gadai.”

Piutang atas tunjuk ini juga selalu ada surat buktinya, dimana surat bukti ini

mewakili piutang. Endosemen adalah pernyataan penyerahan piutang yang

ditandatangani kreditor (endosen) yang bertindak sebagai pemberi gadai dan

harus memuat nama pemegang gadai (geendosseerde). Bentuk gadai piutang

atas order misalnya wesel. Wesel adalah surat yang mengandung perintah dari

penerbit (trekker) kepada tersangkut (betrakken) untuk membayar sejumlah

uang kepada pemegang (houder).

Hak yang timbul dari wesel itu, oleh pemegang wesel dapat diletakkan

sebagai jaminan kredit kepada pemberi kredit.

4. Cara terjadinya gadai pada piutang atas nama (opnaam)

a. Perjanjian gadai

Debitor dengan kreditor membuat perjanjian gadai yang bersifat konsensual,

obligatoir dan bentuknya bebas.

b. Adanya pemberitahuan kepada debitor dari piutang yang digadaikan

Universitas Sumatera Utara

29

Pasal 1153 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Hak gadai piutang atas nama

diadakan dengan memberitahukan akan penggadaiannya (perjanjian gadainya)

kepada debitor.”

Dalam memberitahukan ini debitor dapat meminta bukti tertulis perihal

penggadaiannya dan persetujuan dari pemberi gadai. Setelah itu debitor hanya

dapat membayar hutangnya kepada pemegang gadai. Bentuk pemberitahuan

ini dapat dilakukan baik secara tertentu maupun secara lisan. Pemberitahuan

dengan perantaraan jurusita perlu dilakukan apabila si debitor tidak bersedia

memberikan keterangan tertulis tentang persetujuan pemberian gadai itu.

Dalam gadai piutang atas nama tersangkut tiga pihak seperti penyerahan

piutang atas nama (cessie). Gadai piutang atas nama juga dinamakan cessie,

karena di sini yang digadaikan adalah piutang atas nama, sedang penyerahan

piutang atas nama dilakukan dengan cessie.40

Adapun sifat-sifat dari gadai secara umum adalah:41

1. Gadai adalah hak kebendaan

Dalam Pasal 1150 KUH Perdata tidak disebutkan sifat ini, namun demikian

sifat kebendaan ini dapat diketahui dari Pasal 1152 Ayat (3) KUHPerdata yang

mengatakan bahwa: “Pemegang gadai mempunyai hak revindikasi dari Pasal

1977 Ayat (2) KUHPerdata apabila barang gadai hilang atau dicuri” oleh karena

40 Purwahid Patrik dan Kashadi, Op. Cit , hal. 20-2141 Ibid hal 13-15

Universitas Sumatera Utara

30

hak gadai mengadung hak revindikasi, maka hak gadai merupakan hak

kebendaan sebab revindikasi merupakan ciri khas dari hak kebendaan.42

2. Hak gadai bersifat accessoir

Hak gadai hanya merupakan tambahan saja dari perjanjian pokoknya, yang

berupa perjanjian pinjam uang. Sehingga boleh dikatakan bahwa seseorang akan

mempunyai hak gadai apabila ia mempunyai, dan tidak mungkin seseorang dapat

mempunyai hak gadai tanpa mempunyai piutang. Jadi hak gadai merupakan hak

tambahan atau accessoir, yang ada dan tidaknya tergantung dari ada dan tidaknya

piutang yang merupakan perjanjian pokoknya. Dengan demikian hak gadai akan

hapus jika perjanjian pokoknya hapus.

3. Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi

Karena hak gadai tidak dapat dibagi-bagi, maka dengan dibayarnya sebagian

hutang tidak akan membebaskan sebagian dari benda gadai. Hak gadai tetap

membebani benda gadai secara keseluruhan.

Dalam Pasal 1160 KUHPerdata disebutkan bahwa: “Tak dapatnya hak gadai

dibagi-bagi dalam hal kreditor atau debitor meninggal dunia dengan

meninggalkan beberapa ahli waris”.

4. Hak gadai adalah hak yang didahulukan

Hak gadai adalah hak yang didahulukan, ini dapat diketahui dari ketentuan

Pasal 1133 dan Pasal 1150 KUHPerdata. Karena piutang dengan hak gadai

42 Mariam Darus Badrulzaman, Bab – Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fidusia,Alumni, Bandung, 1978, hal. 57

Universitas Sumatera Utara

31

mempunyai hak untuk didahulukan daripada piutang-piutang lainnya, maka

kreditor pemegang gadai mempunyai hak mendahulu (droit de preference).

5. Benda yang menjadi obyek gadai adalah benda bergerak, baik yang bertubuh

maupun tidak bertubuh.

6. Hak gadai adalah hak yang kuat dan mudah penyitaannya.43

Secara umum gadai dapat diartikan sebagai suatu hak yang diperoleh

seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak. Gadai diperjanjikan dengan maksud

untuk memberikan jaminan atas suatu kewajiban prestasi tertentu, yang pada

umumnya tidak selalu merupakan perjanjian utang piutang dan karenanya dikatakan,

bahwa perjanjian gadai mengabdi kepada perjanjian pokoknya atau merupakan

perjanjian yang bersifat accessoir. Pada prinsipnya (barang) gadai dapat dipakai

untuk menjamin setiap prestasi tertentu.44 Dalam hal perjanjian pokok yang menjadi

dasar pemberian gadai adalah suatu perjanjian yang tidak memerlukan suatu bentuk

formalitas bagi sahnya perjanjian pokok tersebut, maka berarti gadai juga dapat

diberikan dengan cara yang sama, yaitu menurut ketentuan yang berlaku bagi sahnya

perjanjian pokok tersebut. Dengan demikian berarti sahnya suatu pemberian gadai

atau perjanjian gadai harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian secara umum

sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

43 P.J. Soepratiknya, Pokok – Pokok Hukum Perdata, Hukum Benda Jilid 2, Seksi HukumPerdata, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1983, hal. 54

44 J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung,2002, hal. 100.

Universitas Sumatera Utara

32

Selain itu juga, bahwa perjanjian gadai pada dasarnya sama dengan perjanjian

pada umumnya yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, hanya saja perbedaannya disini terdapat

pada adanya barang jaminan dalam perjanjian gadai, yang digunakan sebagai jaminan

bahwa debitur akan melunasi hutangnya kepada kreditur. Perjanjian gadai dapat

diartikan sebagai perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang yang

dijamin pelunasannya dengan kebendaan bergerak, baik kebendaan bergerak yang

berwujud maupun kebendaan bergerak yang tidak berwujud.45

Perjanjian gadai pada dasarnya akan terjadi bila barang-barang yang

digadaikan berada di bawah penguasaan kreditur (pemegang gadai) atau atas

kesepakatan bersama ditunjuk seorang pihak ketiga untuk mewakilinya.

Kata sepakat dalam suatu perjanjian merupakan suatu keadaan yang

menunjukkan kedua belah pihak sama-sama tidak menolak apa yang diinginkan pihak

lawannya. Dengan adanya kata sepakat, maka perjanjian itu telah ada, mengikat

kedua belah pihak dan dapat dilaksanakan. Untuk mengetahui kapan terjadinya kata

sepakat, KUHPerdata sendiri tidak mengaturnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan

terdapat beberapa teori yang mencoba memberikan penyelesaian persoalan sebagai

berikut:

a. Teori kehendak (wilstheorie)

Dalam teori terjadi jika para pihak menyatakan kehendaknya untuk mengadakan

suatu perjanjian.

45 R. Surbekti, Loc.cit., hal. 106.

Universitas Sumatera Utara

33

b. Teori kepercayaan (vetrouwenstheorie)

Berdasarkan teori kepercayaan, kata sepakat dalam perjanjian dianggap telah

terjadi pada saat pernyataan salah satu pihak dapat dipercaya secara obyektif oleh

pihak yang lainnya.

c. Teori ucapan (uitingstherie)

Dalam teori ini yang dilihat adalah ucapan (jawaban) debitur. Kata sepakat

dianggap telah terjadi pada saat debitur mengucapkan persetujuannya terhadap

penawaran yang dilakukan kreditur.

d. Teori pengiriman (verzenuingstheorie)

Dalam teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitur

mengirimkan surat jawaban kepada kreditur. Jika pengiriman dilakukan lewat

pos, maka kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat surat jawaban tersebut

distempel oleh kantor pos.

e. Teori penerimaan (ontvangstheorie)

Menurut teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat kreditur menerima

kemudian membaca surat jawaban dari debitur, karena saat itu dia mengetahui

kehendak dari debitur.

f. Teori pengetahuan (vernemingstheorie)

Menurut teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitur

mengetahui bahwa debitur telah menyatakan menerima tawarannya.46

46 R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 25-26.

Universitas Sumatera Utara

34

2. Konsepsional

Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain, seperti

asas dan standard. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan

salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu

konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan

dalam pikiran penelitian untuk keperluan analistis.47

Kerangka konsep mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan

dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.48

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi

dalam penelitian (karya ilmiah) ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara

abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi

yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut Operational

definition.49

Pentingnya difinisi operasional adalah untuk menghindari perbedaan

pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Kegunaan

dari adanya konsepsi agar supaya ada pegangan dalam melakukan penelitian atau

penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain untuk

memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan.

47 Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 397.48 Soerjono Soekanto dan Sri mamuji, 1995, Penelitian Hukum Noramtif Sesuatu Tinjauan

Singkat, PT. Grafindo Persada, Jakarta, hal. 7.49 Satjipto Raharjo, Op.Cit., hal. 10.

Universitas Sumatera Utara

35

Dalam hal ini seolah-olah ia tidak berbeda dari suatu teori, tetapi

perbedaaannya terletak pada latar belakangnya. Konsep merupakan alat yang dipakai

oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Untuk menjawab

permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar

secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan yang

telah ditentukan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsep

sebagai berikut :

1. Suatu perjanjian akan lebih luas dan jelas artinya, jika batasan mengenai

perjanjian tersebut diartikan sebagai suatu persetujuan dimana dua orang atau

lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta

kekayaan.

2. Dalam perjanjian dikenal adanya asas kebebasan berkontrak atau Freedom Of

Contrac. Maksud dari asas tersebut adalah bahwa setiap orang pada dasarnya

bebas untuk membuat perjanjian dengan berbagai isi dan jenisnya, asal tidak

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

3. Perum Pegadaian merupakan suatu lembaga yang ikut meningkatkan

perekonomian dengan cara memberikan uang pinjaman berdasarkan hukum

gadai kepada masyarakat, agar terhindar dari praktek pinjaman uang dengan

bunga yang tidak wajar ditegaskan dalam keputusan Menteri Keuangan

No.Kep.39/MK/6/1/1971 tanggal 20 Januari 1970.

Universitas Sumatera Utara

36

G. Metode Penelitian

Metodologi penelitian berasal dari kata “Metode dan logos”, metode yang

artinya adalah cara yang tepat untuk melakukan sesuatu, dan logos yang artinya ilmu

atau pengetahuan. Jadi metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan

menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan.

Sedangkan “Penelitian” adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat,

merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporannya.50

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu

atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya kecuali itu juga

diadakan pelaksanaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian

mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di

dalam gejala yang bersangkutan.51

Penelitian sebagai suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran

secara sistematis, metodologis dan konsisten, karena melalui proses penelitian

tersebut diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan

diolah.52

1. Sifat dan Jenis Penelitian

50 Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian. PT. Bumi Aksara, Jakarta,2002. hal. 1

51 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal 43.52 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan Singkat.

Rajawali Pres, Jakarta, 1985, hal. 1

Universitas Sumatera Utara

37

Spesifikasi penelitian dalam proposal ini merupakan penelitian deskriptif.

Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data awal yang seteliti mungkin

tentang manusia, keadaan atau gejala–gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama

untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu didalam memperkuat

teori-teori lama atau didalam kerangka menyusun teori baru.53

Metode deskriptif ini dipergunakan untuk melaporkan atau menggambarkan

hasil suatu penelitian dengan cara mengumpulkan data, menyusun data,

mengklasifikasikannya, menganalisa dan menginterpretasikan data yang ada.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah

menggunakan metode penelitian yang bersifat yuridis normative yang didukung oleh

empiris. Menurut metode ini, berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dan

didukung dengan penelitian di lapangan. Metode ini memberikan kerangka

pembuktian atau kerangka pengujian untuk memastikan kebenaran.54

Pendekatan ini dimaksudkan untuk mendapat penjelasan atas masalah yang

diteliti dengan hasil penelitian yang diperoleh, dalam hubungannya dengan aspek–

aspek hukum.

2. Sumber Data

Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau

seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti.55 Oleh karena itu populasi

53 Soerjono Soekanto, Op Cit, hal. 1054 Rony Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1998, hal. 3655 Ibid, hal. 51

Universitas Sumatera Utara

38

meliputi seluruh aspek yang akan diteliti. Sedangkan sampel adalah sebagian dari

jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel diperlukan apabila

peneliti tidak mungkin untuk mempelajari semua yang ada pada populasi. Hal ini

dikarenakan adanya keterbatasan waktu, biaya dan tenaga.

Sebagai subyek didalam penelitian ini adalah tanggung jawab dari kreditur

dalam perjanjian gadai apabila barang yang digadai hilang atau rusak atau benda

gadai adalah barang milik orang lain bukan milik debitur serta perlindungan hukum

terhadap debitur. Sedangkan obyeknya adalah Perum Pegadaian cabang Nangka

Pekanbaru.

Teknik sampling adalah salah satu cara untuk menentukan sampel, jumlahnya

sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber data sebenarnya, dengan

memperhatikan sifat–sifat dan penyebaran populasi agar dapat diperoleh sampel yang

mewakili (representative).56

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

representative, yaitu nasabah Perum Pegadaian yang ditemui saat dilakukannya

penelitian yang mempunyai hubungan erat dengan permasalahan yang diteliti.

Adapun responden sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah :

1. Manager Operasional dan Kepala Cabang Perum Pegadaian Pekanbaru

2. 5 (lima) orang nasabah yang melakukan perjanjian gadai di Perum Pegadaian

Pekanbaru.

56 Ibid, hal. 152

Universitas Sumatera Utara

39

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti,

dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif, maka teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian

kepustakaan (Library Research) dan Penelitian Lapangan (Field Research).

a. Penelitian Kepustakaan

Yaitu untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau

pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan

objek penelitian, dapat berupa buku-buku kepustakaan, peraturan perundang-

undangan dan karya ilmiah lainnya.

b. Penelitian Lapangan

Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung penelitian

lapangan (Field Research) untuk mendapatkan data primer guna akurasi

terhadap hasil yang dipaparkan, yang dapat berupa pendapat dari nasabah,

responden, laporan-laporan perusahaan dan lain-lain yang relevan dengan

objek yang diteliti.Selain itu peneliti juga melakukan observasi langsung ke

Perum.Pegadaian Pekanbaru.

4. Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan hal yang sangat erat hubungannya dengan

sumber data, karena melalui pengumpulan data ini akan diperoleh data yang

Universitas Sumatera Utara

40

diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan yang diharapkan. Berkaitan

dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini data yang dikumpulkan meliputi data

primer dan data sekunder.

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan dalam

penelitian ini digunakan teknik wawancara. Wawancara yaitu cara memperoleh

informasi dengan bertanya langsung pada pihak-pihak yang diwawancarai terutama

orang-orang yang berwenang mengetahui dan terkait dengan perjanjian gadai,

khususnya di Perum Pegadaian cabang Nangka Pekanbaru.

Sistem wawancara yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah wawancara

bebas terpimpin, artinya terlebih dahulu dipersiapkan daftar pertanyaan sebagai

pedoman tetapi masih dimungkinkan adanya variasi pertanyaan yang disesuaikan

dengan situasi pada saat wawancara dilakukan.57

Sedangkan data sekunder diperoleh dengan cara menelusuri dan melakukan

analisis terhadap berbagai dokumen yang dapat berupa buku–buku, tulisan–tulisan

serta berbagai peraturan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

5. Analisis Data

Setelah data terkumpul baik primer maupun sekunder, kemudian dianalisis

secara kualitatif mengingat data yang terkumpul bersifat deskriptif. Sehubungan

dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan di atas, maka analisis kualitatif ini

berusaha untuk menghubungkan fakta yang ada dengan berbagai peraturan yang

57 Soetrisno Hadi, Metodologi Research Jilid II, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM,Yogyakarta, 1985, hal. 26

Universitas Sumatera Utara

41

berlaku yang mengatur tentang Perum Pegadaian dan aturan hukum mengenai

tanggung jawab Perum Pegadaian terhadap benda jaminan apabila rusak atau hilang

ataupun barang yang digadai adalah hasil curian dan juga aspek–aspek sosiologisnya

yang dapat mempengaruhi pelaksanaan dari berbagai ketentuan tersebut.

Selanjutnya hasil analisis tersebut akan dituangkan dalam bentuk deskriptif

yang ringkas dan jelas. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika

berpikir induktif-deduktif dimana dari yang bersifat khusus ke yang bersifat umum,

guna kepentingan para pihak yang membutuhkan baik dari nasabah, Perum Pegadaian

maupun masyarakat luas.

Universitas Sumatera Utara