1 Bab I Berkenalan dengan Cina Benteng dan Tradisinyalib.ui.ac.id/file?file=digital/128997-T...
Transcript of 1 Bab I Berkenalan dengan Cina Benteng dan Tradisinyalib.ui.ac.id/file?file=digital/128997-T...
Universitas Indonesia
1
Bab I
Berkenalan dengan Cina Benteng dan Tradisinya
Memaknai kata ‘Rumah Kawin’ sepintas merujuk pada gedung resepsi
pernikahan yang banyak terdapat di Jakarta. Persepsi terhadap Rumah Kawin
menjadi berbeda manakala kita mengaitkannya dengan tradisi pernikahan Cina
Benteng Udik. Ritual yang panjang - yang dilakukan dalam tiga bahkan lima hari -
merupakan tuntutan yang terikat dalam sebuah tradisi perkawinan Cina Benteng
Udik.
Untuk memahami Rumah Kawin Cina Benteng Udik, terlebih dahulu harus
memahami ritual yang biasa dilakukan mereka dalam perkawinan. Sam Kay
merupakan ritual sembahyang hari pertama di Rumah Kawin, ritual Sam kay
merupakan permohonan doa bagi Tuhan Allah (Kong Ti Kong)1 agar memberkati
acara perkawinan bagi pengantin dan keluarganya. Untuk keperluan ini Rumah
Kawin telah mempersiapkan meja sembahyang untuk Sam Kay. Hari kedua
merupakan pelaksanaan ritual Cio Tao, Rumah Kawin memiliki kamar pengantin,
meja Hio Lou (meja abu hio), altar Dewa Dapur, dan meja makan tambahan untuk
kepentingan Cio Tao.
Ritual lain yang dijalankan sepanjang persiapan dan penyeleng-garaan
pesta adalah doa Pedaringan, yaitu pemberian sesaji dan doa secara Kejawen untuk
makanan yang cukup, tamu cepat kenyang, dan keselamatan serta berkah dalam
penyelenggaraan pesta.
Sore harinya adalah penyelenggaraan pesta Malam Rasul2. Sebelum pesta
diselenggarakan, pihak Rumah Kawin mempersiapkan hidangan sesaji bagi para
Rasul berupa ayam goreng, kue tujuh rupa dan minuman kopi pahit, dilengkapi
dengan pembakaran kemenyan. Sesaji ini merupakan ‘permohonan ijin’ kepada
para Rasul dan ‘permohonan perlindungan’. Doa-doa dilakukan secara Kejawen
oleh pendoa yang biasa menjalankan ritual ini. Selesai ritual, ayam sesaji dipotong- 1 Onghokham (2008,118-119) meyakini bahwa penguasa tunggal sebagai ‘Tuhan’ dalam pemahaman Cina Peranakan masih diragukan, sebab ribuan dewa dan dewi yang mereka sembah sehingga konsep-konsep akan Tuhan dan Surga masih samara-samar. 2 Sebelum perang Pasifik, perayaan pernikahan Cina peranakan umumnya dilakukan dua hari, hari pertama - yaitu sehari sebelum hari pernikahan - disebut ‘hari potong ayam’ dan hari kedua yaitu hari pernikahannya disebut ‘hari kawin’ (Lan 1961:178), Malam Rasul merupakan bentuk akulturasi Budaya Cina Benteng Udik terhadap budaya setempat.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
2
potong dan harus dimakan oleh setiap anggota keluarga supaya tidak terkena
‘serangan’ dari pihak-pihak yang ‘memasang’. ‘Serangan’ dan ‘pemasangan’
seperti itu diyakini mereka sebagai tindakan seseorang untuk menggagalkan acara
dan menimbulkan bencana melalui kekuatan magis, penyebab serangan ini adalah
adanya permusuhan atau rasa tidak senang terhadap pihak penyelenggara pesta.
Acara pesta Malam Rasul dimulai pukul 20.00. Pesta menjadi meriah
karena penyelenggara pesta menghadirkan organ tunggal atau gambang keromong
sebagai hiburan, suasana pesta lebih meriah lagi karena beberapa tamu ikut
menyanyi dan berdansa, pesta ini berakhir hingga larut malam. Hari ketiga, pesta
dimulai pagi hari pukul 09.00 hingga puncak pesta menjelang tengah malam.
Demikian gambaran umum bagi pesta pernikahan Cina Benteng Udik,
lamanya penyelenggaraan pesta bergantung kebutuhan pihak pengantin dan hari
baik yang dipilih oleh orang ‘pandai’ dari Tepékong - yaitu kelenteng di Pasar-
Lama - Tangerang. Upaya melibatkan orang yang pandai menghitung hari selaras
dengan sikap masyarakat Cina Benteng Udik yang memercayai angka dan aksara
bagi kehidupan mereka, seperti menghindari pernikahan pada bulan keempat (Si-
gwee) dan bulan keenam (Lak-gwee) kalender lunar masyarakat Cina, juga
memercayai perpantangan (Ciong) berkaitan dengan kelahiran dan kematian.
I.1. Sekelumit kisah terkait Cina Benteng Udik
Cina Benteng Udik adalah Cina Benteng yang menetap di ujung utara
Tangerang, yaitu daerah Sewan, Kampung Melayu, Tanjung Pasir, Tanjung
Burung, Kosambi dan sekitarnya. Terminologi udik semula merujuk pada letak
daerah yang jauh dan sukar dicapai hingga tahun sebelum 1980. Berbeda dengan
Cina Benteng ‘kota’ - yang menetap di kota Tangerang dan menikmati modernisasi
sejak tumbuhnya industri-industri besar awal tahun 1970-an - Cina Benteng Udik
adalah sebagian masyarakat yang baru menikmati fasilitas jalan raya dan listrik
semenjak Bandar Udara Soekarno-Hatta dibuat tahun 1982.
Kehadiran imigran Cina di daerah Tangerang tidak dapat dipisahkan dari
sejarah terbentuknya kota Jakarta. Semenjak VOC hadir di Batavia, masyarakat
Batavia abad ke-17 dan 18 merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari beragam
etnis dan secara sosial terbagi dalam hierarki yang dibentuk berdasarkan
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
3
kepentingan ekonomi dan politik Belanda di Asia (lihat Castles, Hoetink, Blusse).
Hubungan perdagangan antara VOC dengan saudagar Cina Peranakan yang
menetap di Tangerang pada awalnya berjalan dengan baik, Souw Beng Kong
adalah saudagar yang membantu mengerahkan komunitas Cina di Tangerang untuk
bekerja sebagai kuli kontrak VOC di dalam tembok benteng Batavia, atas
peranannya Souw diangkat sebagai Kapitan Cina pertama oleh pemerintah
Belanda. Sejak saat itulah terjadi eksodus besar masyarakat Cina ke Batavia, VOC
juga melakukan tindakan seperti ‘bedol desa’ terhadap masyarakat Cina di Yunnan
- daratan Cina - untuk dipekerjakan sebagai kuli kontrak di Batavia.
Kedatangan masyarakat Cina daratan juga menyertakan kesenian mereka
yaitu cikal-bakal musik Gambang, perkembangan lebih lanjut musik gambang
berakulturasi dengan musik Sunda dan Jawa, alat musik kromong, gong dan
kendang mulai digunakan untuk memainkan musik-musik selendro.
Pada saat pembantaian Cina Batavia dalam kasus Angke tahun 1740,
Kapitan Nie Hoe Kong ditangkap VOC dan masyarakat Cina melarikan diri keluar
dari Batavia menuju Tangerang, Bogor, Kerawang dan Bekasi. Hingga saat ini
kesenian Gambang Keromong masih dimainkan oleh masyarakat di daerah-daerah
tersebut.
Penamaan Benteng pada komunitas Cina di Tangerang ada yang
mengaitkan dengan asal mereka di Batavia yaitu Cina yang bermukim di dalam
tembok kota Batavia, sementara pemerintah daerah Tangerang menyebutkan
bahwa Benteng adalah nama lain dari Tangerang. Berdasarkan sensus tahun 2005,
masyarakat Kampung Melayu terdri dari penduduk lelaki sebanyak 9.579 orang
dan penduduk perempuan sebanyak 9.567 orang. Jumlah keluarga sebanyak
4.896 keluarga.
Permasalahan kewarganegaraan masyarakat Kampung Melayu sering
menjadi sorotan masyarakat, namun hingga tahun 2005 masyarakat Cina Benteng
di Kampung Melayu yang telah menjadi WNI sebanyak 16.064 orang dan masih
WNA sebanyak 2.982 orang.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
4
I.2. Tradisi dan Relasi dalam Perkawinan Cina Benteng Udik
Tradisi perkawinan yang dilaksanakan Cina Benteng Udik merupakan
tradisi turun-temurun yang dialami, dihayati dan direproduksi oleh aktor-aktor
untuk kepentingan yang sama - yaitu pencapaian tertinggi dalam keberhasilan
perkawinan - demikian pendapat nyonya Tan Perias yang berprofesi sebagai
perias3. Cio Tao sebagai titik-balik dimana anak menjadi ‘manusia’ saat masuk
dunia baru yang dilambangkan dengan melangkah masuk dan menginjak tampah4,
merupakan tindakan spiritual yang dihayati ikatan dan resikonya.
“Waktu saya kawin dulu, masih jaman rusuh, Cio Tao tuh berat sekali, saya lupa
puasa dulu apa engga’ ya, pokoknya beda sama sekarang, riasan sih masih sama
tuh pake perak asli jaman masih lima belasan (rupiah) segram, coretan jidat
(noktah merah yang dilem pada dahi) dulu masih beras merah, bener lho kalo
perawan nempel terus engga jatoh sampe (ritual Cio Tao) selesai, sekarang susah
deh… kalo jatuh malu, jadi diganti kain merah (supaya) lebih kuatan” demikian
cerita nyonya Tan Perias.
Coretan merupakan ‘jaminan’ secara spiritual bahwa mempelai perempuan
akan memberikan yang terbaik bagi mempelai lelaki. Demikian juga dengan istilah
‘kain isi’ dan ‘kain kosong’ sebagai pembuktian kegadisan pengantin perempuan,
merupakan bentuk superioritas lelaki terhadap perempuan. Semenjak awal tahun
1980-an – selaras dengan modernitas yang diterima masyarakat melalui interaksi
dengan pendatang dan media informasi elektronik – mereka meninggalkan sistim
perjodohan karena tidak sesuai dengan pola pergaulan yang lebih bebas, beberapa
tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan modernitas berangsur-angsur
ditinggalkan oleh tradisi Cina Benteng Udik.
Cina Benteng Udik adalah masyarakat patrilineal. Dalam hal perkawinan,
peran dan tanggung jawab ayah sangat dominan saat menikahkan anaknya -
setidaknya itu yang saya amati dari Pak Pandan - Ayah adalah penentu dalam
pernikahan, sehingga ayah bukan sekedar pemberi restu tetapi pihak yang
3 Istilah perias atau tukang rias sebelumnya adalah Sangk’em (dalam bahasa Hokkian). Sampai tahun1970 istilah ini masih digunakan oleh tukang rias di daerah Cirebon. 4 Tampah terbuat dari anyaman bambu dalam bentuk bundar dengan diameter 70 cm, pada sisi lingkarannya dijepit dengan bilah bambu yang juga melingkar. Tampah umumnya digunakan untuk menampah beras. Untuk keperluan Cio Tao, di tengah tampah ini dibuat gambar lambang Im-Yang (prinsip dinamika keseimbangan) berwarna merah dengan diameter 20 cm.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
5
mengijinkan anaknya diikat dalam ritual Cio Tao; Ayah juga sebagai aktor yang
menentukan pesta pernikahan anak menjadi ramai, yaitu dengan mengonstruksi
relasi dalam masyarakat sehingga mereka yang ‘keutangan’5 harus menghadiri
pesta pernikahan anaknya; Ayah juga yang menetapkan ‘strategi’ penyelenggaraan
pernikahan sehingga resiko pengeluaran biaya dapat diatasi. Pada akhirnya ayah
adalah pihak yang memberi ‘nilai’ dalam perkawinan anak-anaknya.
Dalam upaya mencapai tujuan di atas, seorang ayah secara sadar harus
nyampur6 dalam lingkungan sosial tertentu, Pak Pandan adalah contoh seorang
ayah yang secara konsisten hidup dalam lingkungan penggemar gambang
kromong, relasi yang dibentuk bukan sekedar dengan masyarakat Tangerang tetapi
merengkuh komunitas gambang di Jakarta, Bekasi dan Kerawang. Inisiatifnya
untuk menyelenggarakan pesta gambang bertepatan dengan hari raya Imlek adalah
contohnya, halaman depan rumah Pak Pandan yang tidak besar beberapa kali
dijadikan arena pesta gambang saat perayaan Imlek. Setelah melalui pesta
gambang yang terbatas tersebut, komunitas kecil itu membentuk kesepakatan
untuk menyelenggarakan pesta gambang yang lebih besar, “Di situ dah… luga-
lagu sampe adu jurus sepuasnya” demikian prinsip Pak Pandan. Rasa bersatu yang
terbentuk melalui komunitas ini terus berlanjut sebagai solidaritas kelompok yang
kuat, wujud strategi Pak Pandan bagi komunitas yang dibentuknya.
Bagaimana dengan Ibu Nuning istri Pak Pandan? - meski tidak tampak
dominan - Ibu Nuning sangat aktif dalam kegiatan Vihara, ketekunan dan baktinya
terhadap Vihara menjadi prestasi khusus sehingga Ibu Nuning diangkat jemaat
Vihara sebagai Rahmani pandita7, selain itu Ibu Nuning merupakan salah satu
tokoh dalam gerakan sosial mewakili Vihara, Ibu Nuning juga cukup dikenal
masyarakat Kampung Melayu. Pekerjaannya sebagai juru masak pada Rumah
Kawin memungkinkan dia memiliki relasi pada dua titik tersebut. Itulah sebabnya
perkawinan anak mereka merupakan perpaduan antara komunitas penggemar
5 Keutangan adalah kondisi berhutang karena ‘bantuan’ pihak satu pada pesta pihak lain, sehingga pihak lain harus membayar ‘bantuan’ pada pihak satu kelak secara sepadan. Bantuan itu bisa berupa uang, barang atau tenaga. Dalam bahasan selanjutnya akan diuraikan bahwa sistem keutangan yang dikonstruksi masyarakat Cina Benteng adalah sistem yang unik. 6 Istilah lokal untuk upaya menyatu dalam komunitas tertentu secara aktif dan intensif. 7 Rahmani pandita adalah istilah bagi Romo perempuan, yaitu tetua bagi jemaat dan pembantu Bante di Vihara.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
6
gambang, komunitas Vihara dan lingkungan kekerabatan yang dibentuk di Rumah
Kawin.
I.3 Agama dan Kepercayaan Cina Benteng Udik
Sebelum terbitnya SK Menteri dalam Negeri tahun 1974 tentang pengisian
kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk yang hanya menyatakan lima agama
yaitu: Islam, Katholik, Protestan, Budha dan Hindu; Cina Benteng Udik Kampung
Melayu adalah pemeluk agama Konghucu dan Taoisme8
Kelenteng - yang semula didominasi dewa-dewa dan tokoh-tokoh
kebajikan yang didewakan masyarakat Cina - setelah tahun 1974 berubah secara
drastis. Nama kelenteng menjadi Vihara, untuk menjadikannya sebagai agama
Budha mereka menggunakan Budha Mahayana yang bersumber dari Cina sebagai
dasarnya, tempat dewa-dewa kepercayaan Konghucu dan Taoisme diletakkan
dalam satu ruang kecil, mereka menyebutnya sebagai ruang Tridharma (Samkao).
Perubahan nama Kelenteng menjadi Vihara pada dasarnya tidak berdampak
besar dalam kehidupan masyarakat Cina Benteng Udik, tetapi berkaitan dengan
terbitnya larangan terhadap ekspresi budaya Cina dan aksara Cina menyebabkan
mereka mulai gamang, sebagian masyarakat merasa mereka belum beragama atau
tempat ibadah mereka tidak diakui dari sudut pandang agama.
Tanggal 21 Juni 1981, Cina Benteng Kampung Melayu mendirikan Vihara
pertama yang beraliran Terawadha, yaitu Tri Maha Dharma. Pak Tan adalah tokoh
yang menggagas bentuk serta struktur Vihara karena dia berpengalaman terlibat
dalam pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Meskipun ditentang oleh
tokoh-tokoh Cina Benteng setempat, Pak Tan tetap meneruskan pembangunan
gedung ini dengan alasan masyarakat setempat harus memiliki agama yang diakui
pemerintah Indonesia.
Hadirnya Vihara Tri Maha Dharma tidak berpengaruh banyak terhadap
masyarakat setempat, Pak Pandan yang mengaku beragama Budha jarang sekali
8 Konghucu dan Taoisme adalah ajaran kebajikan yang dikembangkan 535 tahun SM pada akhir dinasti Chou di Cina daratan (Creel, 1989; Liem, 2000), dalam perkembangannya di Indonesia ajaran kebajikan ini disertai dengan penyembahan terhadap tokoh-tokoh yang dimitoskan; menyerupai agama.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
7
hadir di Vihara, atau Pak Geyong yang beragama Kristen tetap menjalankan
sembahyang terhadap abu leluhur dan tradisi Cina Benteng lainnya.
Masyarakat Cina Benteng Udik memelihara abu leluhur sebagai kewajiban
mereka, tindakan ini sesuai dengan kepercayaan Konghucu yang mengutamakan
bakti terhadap orang tua dan Taoisme yang mempercayai adanya kekuatan besar
leluhur yang mempengaruhi hidup mereka. Abu leluhur adalah abu hio (batang
dupa) yang tertampung dalam bejana kuningan di altar meja abu, abu itu tidak
dibuang dari generasi ke generasi berikutnya, anggota keluarga - yaitu lelaki tertua
- bertugas memelihara abu leluhur di Rumah Tua.
Istilah Rumah Tua tidak berkaitan dengan bentuk rumah yang sudah tua,
Rumah Tua adalah rumah orang yang dituakan dalam marga, Rumah Tua sebagai
harta waris yang selalu jatuh pada anak lelaki tertua, abu leluhur tidak boleh
berpindah rumah dan harus dipelihara anak lelaki tertua dari marga mereka. Pada
hari sembahyang yang bertepatan dengan perayaan-perayaan besar Cina, seluruh
anggota keluarga marga mereka harus berkumpul di bawah pengarahan anak lelaki
tertua.
Agama Katholik dan Kristen mulai berkembang sejak tahun 1995, Cina
Benteng Udik yang memeluk agama Katholik atau Kristen mulai meninggalkan
tradisi yang bersentuhan langsung dengan Samkao. Kondisi ini sangat terasa bagi
generasi muda Cina Benteng Udik usia remaja.
Salah satu alasan bagi Cina Benteng Udik memeluk agama Islam adalah
akibat perkawinan dengan pasangannya yang beragama Islam. Dalam kondisi
tertentu, mereka masih mengikuti tradisi Cina Benteng Udik terkait dengan ikatan
kekeluargaan.
Budha Terawadha dan Kristen hingga saat ini mengambil jarak terhadap
sikap masyarakat yang masih terikat dengan kepercayaan terhadap leluhur,
termasuk ritual-ritualnya. Kepercayaan lama masyarakat Cina Benteng Udik
dianggap sebagai tradisi yang boleh dijalankan bersama-sama dengan ritual-ritual
Budha Terawadha.
Sikap Vihara Tri Maha Dharma yang toleran terhadap tradisi Masyarakat
Cina Benteng Udik mengakibatkan timbulnya sikap yang sama terhadap aliran
Terawadha dan Mahayana, masyarakat tidak memahami perbedaan Vihara dan
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
8
Kelenteng, mereka tidak peduli dengan ajaran Budha yang ‘berbeda’ tersebut,
mereka dapat berganti-ganti sembahyang ke Vihara atau Kelenteng sekehendak
mereka, dan mereka tetap menjalankan tradisi dalam ritual-ritual kepercayaan
mereka.
Berdasarkan perhitungan tahun 2005, jumlah masyarakat Kampung Melayu
yang beragama Islam sebanyak 16.113 orang; beragama Kristen 1.026 orang;
beragama Katholik 421 orang; beragama Hindu 33 orang; dan beragama Budha
1.553 orang
I.4 Cokek, Minuman Keras, Judi dalam Pesta Kawin
Kehadiran gambang dalam pesta perkawinan di Rumah Kawin merupakan
pelengkap acara. Pesta tanpa gambang menjadi hambar bahkan menjadi bahan
pertanyaan orang, namun kehadiran cokek yang tidak pernah diundang sering
menjadi cibiran orang.
“Awal tahun enampuluhan ya, cokek itu pelayan lho, dia pake kebaya sopan sekali,
dia yang ngawasin makanan di meja (hidangan), kalo habis dia tuh yang atur
tukang anter makanan dari dapur untuk nambah makanan, dia yang ngasih piring
ajak (mengarahkan) tamu (untuk) makan, dia engga’ sembarangan joget tarik
tangan laki orang, pokoknya dia bantu sekali” demikian penuturan Pak Tan.
Sebelum tahun 1962, pesta perkawinan Cina Benteng Udik diselenggarakan di
halaman rumah, pemasangan plangpang (tenda) disesuaikan dengan keterbatasan
lahan yang mereka miliki. Pesta yang diselenggarakan selama dua hingga tiga hari,
dan tamu yang datang dan pergi dalam waktu dan jumlah yang tidak menentu
menjadi penyebab dibutuhkannya tenaga tambahan untuk melayani tamu. Cokek
sebagai bagian dari pesta melakukan peran membantu tuan rumah menyambut
tamu.
Berbeda kondisinya dengan saat ini, semenjak Gambang Kromong
mengadopsi musik dangdut akhir tahun tujuhpuluhan, cokek tidak lagi membantu
tuan rumah pesta, mereka adalah pasangan dansa bagi lelaki penggemar dangdut
dan gambang, mereka berkelompok di satu sudut dan dikomandoi beberapa mak
cukin sebagi induk semangnya, mak cukin bertransaksi dengan lelaki penggemar
gambang, menawarkan para cokeknya sebagai pasangan mereka. Lelaki
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
9
penggemar gambang membutuhkan cokek sebagai pasangannya saat ngibing9, para
cokek membutuhkan imbalan uang dari peranannya mendampingi ngibing.
Tindakan saling membutuhkan tersebut tidak dalam posisi yang seimbang karena
perlakuan lelaki terhadap cokek justru menjadi pembuka tuduhan buruk terhadap
reputasi cokek, lelaki dianggap ‘memiliki hak’ setelah membayar pasangan
ngibingnya.
“Sebetulnya mereka engga nakal, kita harus bedain cokek sama pelacur” demikian
pembelaan Pak Jamin juragan orkes gambang dan beberapa lelaki penggemar
gambang. Pak Oleng, pria pendatang dari Jakarta menganggap cokek dan pelacur
sama saja,
“Ngerusak rumah tangga orang tuh, tukang porot semua (menghabiskan uang)”.
Pak Pandan memberi ilustrasi lain terkait strategi cokek untuk membedakan
dirinya dari pelacur,
“Ada cokek yang ogah dibawa … padahal dijanjiin sejuta, tuh cewe bilang ‘udah
engga usah repot-repot, yu.. ke kampung saya aja, kita nikah’, nah kalo udah tikah
(menikah) pensiun tuh cokek”. Demikian tawaran yang sering dilakukan dan
dialami lelaki Cina Benteng Udik dari cokek, namun ikatan perkawinan dengan
cokek berakibat pada kewajiban untuk terus-menerus memenuhi kebutuhan hidup
keluarga cokek.
Pesta perkawinan Cina Benteng Udik tidak lepas dari minuman keras. Pada
awal tahun 60-an, acara ngibing dilakukan berurutan secara tertib dan teratur,
mulai dari tokoh yang paling terpandang, mereka ditangkap oleh cokek dengan
cara pengalungan cukin ke leher tokoh tersebut. Sebelum tokoh tersebut ngibing
para lelaki yang hadir memberi hormat dengan cara bersulang minum arak Nori
masing-masing satu sloki, berurutan para tokoh itu ‘ditangkap’ oleh cokek dan
berkali-kali minuman alkohol itu diisi. Pak Tan menyebut acara itu sebagai ritual
pembuka, semakin banyak tokoh yang hadir maka semakin banyak minuman yang
ditenggak dan semakin banyak tamu yang mabuk. Perkembangannya saat ini,
minuman keras di jual oleh seseorang yang bertindak sebagai penjual, tamu
membeli pada penjual dan tamu yang senang berbagi kerap mengedarkan minuman
9 Ngibing adalah istilah Betawi untuk menari/ joget yang diiringi musik gambang.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
10
miliknya pada sesama peminum, juga pada penari atau pemain musik, upaya untuk
gembira bersama-sama.
Kegiatan judi sesungguhnya tidak terbatas ruang dan waktu, lelaki dan
perempuan penggemar judi melakukan aktivitasnya di tempat pesta pernikahan,
tempat kematian bahkan disela-sela kesibukan hariannya. Komunitas tersembunyi
ini tetap ada dan melakukan kegiatannya meski-pun diawasi dan ditangkap oleh
aparat kepolisian. Apabila jaminan keamanan diberikan oleh penyelenggara pesta,
maka para penjudi akan menggerakkan komunitasnya untuk mendatangi pesta
perkawinan tersebut, “dimainin engga’..?”, pertanyaan standar ini yang selalu
diajukan kalau ada pesta pernikahan, pesta ulang tahun atau kematian.
Keramaian yang hadir bersama cokek dan gambangnya, serta perjudian
yang menekankan sit-an10 sebagai kewajiban memberi untuk penyelenggara pesta,
keduanya - cokek dan penjudi - sering ‘dirangkul’ oleh penyelenggara pesta
perkawinan untuk menutup pengeluaran pesta.
Melalui fenomena di atas, memandang Rumah Kawin adalah memandang
dunia kiasan, dunia yang dilakoni dengan kesungguhan sebagaimana spirit Cio Tao
dipegang teguh pada satu tangan dan di tangan lain adalah dunia kasat mata yang
penuh dengan cobaan hidup yang tampak dari relasi dalam pesta, sehingga nyata
bahwa realitas Rumah Kawin adalah harmoni antara dunia sakral dan dunia profan.
1.5 Masalah Penelitian
Rumah Kawin tertua di Kampung Melayu adalah Rumah Kawin Song Kim
Keh, didirikan tahun 1962 dengan luas bangunan 1.100 m2, hingga saat ini Rumah
Kawin Song tidak mengalami perubahan, lantai terbuat dari flur semen, tanpa
langit-langit dan pencahayaannya terbatas. Satu kilometer jauhnya dari Rumah
Kawin Song terdapat Rumah Kawin Teng Kim Lin (Melati) dengan luas bangunan
600 m2 dan didirikan tahun 1964, pada tahun 2004 Rumah Kawin Teng direnovasi
sehingga berpenampilan modern meskipun konsep penataan ruangnya masih 10 Sit-an adalah sejumlah uang yang harus disisipkan di bawah taplak meja judi, pemberi Sit-an adalah mereka yang menang judi pada setiap putaran permainan, besarnya sekitar satu hingga lima persen dari tarikan uang. Penghasilan dari Sit-an bergantung dari berapa meja judi yang dibuka tuan rumah perkawinan, dan berapa lama pesta diselenggrakan. Dalam kondisi tertentu, penghasilan dari uang Sit-an dapat digunakan untuk menutup biaya sewa Rumah Kawin. Sejak pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, judi di Tangerang diawasi secara ketat terutama menjelang pemilu 2009.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
11
model lama (sama seperti Rumah Kawin Song) Lima puluh meter jaraknya dari
Rumah Kawin Song terdapat gedung serbaguna Lautan. Lautan merupakan gedung
dengan penampilan moderen, interiornya luas dan langit-langitnya tinggi,
pencahayaan diperoleh dari cahaya alami dan lampu TL 40 watt, terdapat balkon di
bagian sisi belakang ruangnya.
Melakukan studi komparasi terhadap tiga Rumah Kawin ini bukanlah
perkara mudah, namun yang lebih menarik adalah fakta bahwa Rumah Kawin
Song memenangkan persaingan terhadap dua rumah kawin yang lainnya.
Fenomena inilah yang mengarahkan saya pada pertanyaan: Mengapa Rumah
Kawin Song lebih banyak digunakan oleh masyarakat Cina Benteng Udik hingga
akhir tahun 2009?.
1.6 Tujuan Penelitian
Dalam kaitannya antara Rumah Kawin Song dengan masyarakat Kampung
Melayu – Teluknaga, mengarahkan saya pada perhatian tentang: kemampuan,
keinginan dan pertimbangan timbal-balik11. Ketiga butir ini saling mempengaruhi
dan membatasi, yaitu (1) Kemampuan terkait dengan kemampuan ekonomi yang
membatasi pilihan-pilihan termasuk pilihan Rumah Kawin; (2) Keinginan
berkaitan dengan ekspresi individu dalam komunitasnya untuk menyikapi tradisi
masyarakat, misalnya Pak Pandan adalah penggemar gambang, maka dia akan
memberi peluang untuk menghadirkan gambang dalam kesempatan pesta yang dia
miliki; (3) Pertimbangan timbal-balik sebagai kesadaran pada nilai-nilai di antara
kemampuan mereka dengan keinginan mereka, Pertimbangan timbal-balik bersifat
ambigu dengan posisi: kemampuan akan menimbulkan keinginan, dan keinginan
mendorong kemampuan.
Apabila kemampuan selaras dengan keinginan maka terjadi kesuksesan,
sebaliknya apabila keinginan lebih besar dari kemampuan maka akan terjadi
kegagalan, sadar pada resiko buruk yang akan terjadi dari pilihan tersebut, individu
berupaya meningkatkan kemampuan ekonomi sebesar-besarnya dengan strategi:
(a) mengonstruksi ikatan terhadap masyarakatnya untuk meningkatkan
11 Saya mengembangkan tiga kategori ini berdasar ide normatif asimetri Raymond Firth (1951) yaitu: ideals, expectations, and actions (Parkin 1976:164)
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
12
kemampuan ekonominya, ikatan itu disebut ‘keutangan’ yang harus dibalas dengan
‘membayar keutangan’, ikatan ‘keutangan’ tersebut tampak dipertukarkan aktor-
aktor terhadap masyarakatnya dan (b) Upaya terus-menerus untuk memberi
kekuatan terhadap ikatan ‘keutangan’ tersebut melalui pola-pola yang saling
menguntungkan.
Dari kedua butir di atas, tampak pertimbangan ‘keutangan’ yang
dipertukarkan tampil sebagai bentuk resiprokal, tampil sebagai jawaban dari dialog
antara kemampuan untuk memberi dan keinginan untuk mendapatkan. Jika
resiprositas digunakan sebagai kunci maka tujuan penelitian saya adalah: Apakah
resiprositas dalam bentuk ‘keutangan’ dapat digunakan untuk membuka misteri
relasi antara pengantin dengan orang tuanya, orang tua pengantin dengan tamunya,
cokek dengan pasangan lelakinya, penjudi dengan orang tua pengantin, pemilik
Rumah Kawin dengan peminum dan sebagainya?. Melalui penelusuran ini juga
saya hendak menemukan relasi Rumah Kawin dengan kehidupan masyarakat Cina
Benteng Udik, masa lalu dan masa kini.
I.7 Kerangka Konsep
Memahami Cina Benteng Udik di Kampung Melayu, Teluknaga adalah
memahami kehidupan mereka sehari-hari, dinamika kehidupan masyarakat yang
mengalami percepatan semenjak Teluknaga ‘terbuka’ menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan yang dapat terlihat semenjak awal tahun 1980-an.
Kemudahan akses, fasilitas listrik yang memungkinkan informasi secara terus-
menerus disebarkan, kehadiran pendatang - khususnya pegawai bandara - yang
memiliki ketrampilan menengah hingga tinggi, juga pendatang lain dari desa-desa
yang tergusur mega proyek Bandara Soekarno-Hatta.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, perubahan lingkungan fisik sangat
terasa disepanjang jalan raya Kampung Melayu, lalu bagaimana dengan tradisinya,
khususnya tradisi perkawinannya?. Kemajuan kampung Melayu hanya menyentuh
Rumah Kawin Melati (Teng Kim Lin) dan ruang serbaguna Lautan sebagai sarana
penunjang perkawinan, Rumah Kawin Song Kim Keh dengan segala permasalahan
di dalamnya masih tetap berwajah lama (tidak ada perubahan yang signifikan),
kehadiran Vihara Tri Maha Dharma yang beraliran Therawadha semenjak 21 Juni
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
13
1981 jelas tidak mendukung aktivitas tradisi perkawinan Cina Benteng secara
langsung, pembangunan Gereja Bethel Indonesia di kampung Kali Mati juga tidak
mendukung kehadiran tradisi perkawinan dan Rumah Kawin.
Meskipun menemui hambatan-hambatan, masyarakat Cina Benteng Udik
sampai saat ini masih mempertahankan tradisi perkawinan dan senantiasa
melakukan perubahan-perubahan dalam dirinya, ketahanan tradisi itu jelas
menunjukkan kekuatan yang tersembunyi di dalamnya, menurut Sahlins.
(1994:389);
Bagaimana upaya masyarakat menanggapi perubahan-perubahan yang akan memengaruhi mereka?, mereka melakukan siasat-siasat terhadap budaya warisan mereka. ‘Tradisi’ berfungsi sebagai tolak-ukur dimana masyarakat dapat memerkirakan kemampuan dirinya untuk berubah, …. Kelestarian kultural akan berlangsung dengan cara perubahan kultural. Pembaharuan berlangsung secara logis walaupun tidak secara spontan - untuk perubahan yang tampak tidak berarti - dari masyarakat yang sudah memiliki prinsip. Tradisionalisme tanpa kekolotan. Menilik pendapat Sahlins, tampak perubahan merupakan keniscayaan yang
senantiasa dilakukan sebagai upaya masyarakat untuk melestarikan budaya
mereka, masyarakat secara sadar melakukan perubahan untuk kepentingan mereka,
perubahan yang mengutamakan keseimbangan antara budaya yang konstan pada
‘detik’ itu terhadap tuntutan perubahan pada ‘detik’ berikutnya, keseimbangan
yang berwajah harmoni.
Perubahan-perubahan terhadap tradisi telah dilakukan Cina Benteng Udik,
akulturasi budaya dengan mengadopsi unsur budaya Sunda, Betawi dan Jawa
merupakan strategi mereka dengan cara ‘menyesuaikan-diri’ untuk menciptakan
harmoni terhadap tuntutan perubahan itu, ‘penyesuaian-diri’ bahkan menciptakan
perubahan-perubahan baru dalam kepercayaan, ritual pernikahan, dan tatanan
sosial kehidupan mereka.
Penyesuaian diri lebih jauh mengarahkan mereka untuk mengabaikan
fungsi praktis sesuatu dan menjadikannya sebagai fungsi simbolik, sesuatu yang
simbolik dianggap memiliki kekuatan terhadap kehidupan mereka, contohnya:
tempelan aksara Cina yang digunakan pada dinding Rumah Kawin adalah
informasi putra dari marga tertentu menikah dengan putri dari marga yang lain.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
14
Meskipun saat ini mereka tidak memahami maknanya secara harafiah, aksara itu
tetap digunakan karena diyakini maknanya sebagai bagian dari kekuatan ritual Cio
Tao; nyonya Tan perias memaknai buku primbon tahunan Thung Xu sebagai buku
Lak Jit, yaitu wangsit yang terus digunakannya selama belasan tahun ritual Cio
Tao, penyerapan unsur Kejawen dalam ritual perkawinan menjadi pelindung yang
kuat bagi mereka.
Penyerapan unsur Jawa dan Sunda dalam kesenian khususnya gambang
kromong lokal dan menampilkan tembang gambang, lagu cina bahkan lagu
dangdut menunjukkan - sekali lagi - strategi masyarakat untuk mempertahankan
kepentingannya dengan menciptakan harmoni terhadap lingkungannya. Institusi-
institusi yang menentang bukan dihindari, siasat mencari peluang untuk menyusup
dan tetap menghadirkan tradisi yang mereka anggap penting terus dilakukan,
sehingga mereka selalu siap menyerap norma-norma baru untuk selalu disesuaikan
terhadap budaya mereka, demi kekuatan budaya mereka (Locher1978,101-117).
Keterbelakangan dan kemiskinan merupakan kondisi yang masih terasa
dalam lingkungan masyarakat Kampung Melayu, khususnya kemiskinan, kondisi
ini menjadi mencolok manakala dikaitkan dengan pesta pernikahan yang meriah.
Masyarakat Kampung Melayu sendiri merasakan ‘tantangan’ ini, namun mereka
telah mengonstruksi perangkat untuk menyiasati permasalahan tersebut, yaitu:
• Perangkat pertama adalah sistem keutangan model Cina Benteng Udik.
Sistem keutangan merupakan upaya untuk mendapatkan ‘sumbangan’ dari
kerabat atau teman yang sebelumnya ‘berhutang’ pada dia, sumbangan itu
bisa berupa dana, barang, maupun jasa, dan sumbangan tersebut akan
‘dikembalikan’ kelak apabila pemberi sumbangan melakukan kegiatan
serupa (bersifat resiprokal), lingkaran keutangan ini akan terus dibentuk
hingga mengikat komunitas para pelaku dalam masyarakat. Untuk aktivitas
seperti ini Levi-Strauss (1963:296) menggunakan istilah-istilah
“maximizing … to advantage” dan “play, move, choice, and strategy”
dalam bahasannya tentang transaksional. pemahaman seperti itulah yang
digunakan oleh masyarakat Cina Benteng Udik untuk me’rekacipta’
keutangan demi keuntungannya saat mengadakan pesta pernikahan.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
15
• Perangkat kedua adalah perjudian, melalui sistim Sit-an (sebagai uang
komisi dari pemenang untuk tuan rumah pesta). Uang sit-an merupakan
penghasilan yang diandalkan untuk membayar sewa gedung.
• Perangkat ketiga adalah gambang keromong, sebagai daya tarik bagi
masyarakat yang membutuhkan hiburan, keramaian suara dan suasana yang
ditimbulkan gambang keromong beserta cokeknya merupakan ajang
‘plesir’ bagi kaum lelaki dan perempuan dalam pesta pernikahan.
• Perangkat keempat adalah perangkat yang paling unik, undangan
perkawinan yang disebarkan tanpa nama dan mencantumkan banyak pihak
yang turut mengundang sebagai strategi lain untuk meramaikan pesta.
• Perangkat kelima yang tidak berpengaruh secara langsung terhadap strategi
penyelenggaraan pesta adalah memfasilitasi tuntutan penggemar minuman
keras, suasana yang ‘panas’ membangkitkan suasana pesta, pesta yang
meriah menguntungkan tuan rumah penyelenggara pesta.
Perangkat-perangkat di atas merupakan kondisi timbal-balik yang
menguntungkan masyarakat, dan kondisi ini tetap dijaga ketat sebagai kebutuhan
resiprositas dalam masyarakat, kondisi ini akan berperan maksimal apabila
diselenggarakan secara serempak dalam sarana yang memadai, penyelenggara
pesta yang memiliki relasi yang luas tentunya akan mengumpulkan banyak tamu.
Rumah Kawin sebagai penentu keberhasilan rangkaian acara dalam pesta ini
adalah Rumah Kawin yang memenuhi semua perangkat beroperasi dengan
sempurna, yaitu wadah yang memaksimalkan strategi penyelenggaraan pesta
tersebut.
Dari semuanya ini, tampak Harmoni, strategi dan kontinuitas hadir
sebagai kerangka konsep yang mendasari bahasan tentang Rumah Kawin dan relasi
yang ada di dalamnya, namun apakah sistim ‘keutangan’ sebagai bentuk
resiprositas dan strategi menciptakan ‘keutangan’ juga termasuk dalam konsep
social capital? Lawang (2005:89) mengungkapkan :
Nilai kapital dari kapital sosial itu terletak pada hubungan antara orang atau kelompok dengan struktur sosial itu, baik yang diciptakan oleh orang-orang melalui interaksi sosial, maupun yang diterimanya begitu saja dari
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
16
masyarakat. Hubungan ini hampir pasti diukur dengan konsep-konsep ekonomi yang rasional, efektif, efisien, berkesinambungan, sesuai dengan sifat kapital yang terdapat dalam konsep kapital sosial itu. Resiprositas dalam konteks kapital sosial lebih tepat ditujukan bagi
kegiatan yang terstruktur rapi, arisan merupakan contoh kapital sosial yang paling
mengena, individu-individu terikat secara jelas, perhitungan ekonomi sangat
rasional, kesempatan mendapatkan dana dari komunitas arisan ini yang bersifat
resiprokal dapat dinikmati oleh anggota-anggotanya (lihat Ife & Tesoriero, 2008:
35-36). Kapital sosial tampak bukan konsep yang tepat bagi resiprositas model
Cina Benteng Udik. Goffman (1971:62-94) melalui Supportive Interchanges
menekankan supportive rituals yang dilakukan oleh individu-individu terhadap
komunitasnya, ritual bertujuan untuk membentuk ikatan kekerabatan yang kuat.
Resiprokal yang terbentuk juga bukan model yang tepat bagi resiprositas Cina
Benteng Udik karena ikatan kekerabatan bukan sebagai tujuan tetapi sebagai
akibat.
Parkin (1976:163) memberi referensi yang dapat mempertajam gambaran
pertukaran dalam nuansa resiprositas menurut kacamata antropologi:
Konsep pertukaran memiliki dua referensi dalam antropologi: Pertama, referensi ini ditujukan bagi prinsip universal dan fundamental dimana masyarakat dan kebudayaan sudah terorganisir. Prinsip tersebut tampak sebagai identifikasi Malinowski tentang ikatan kewajiban resiprositas, juga gagasan Mauss dalam karyanya Gift, dan karya Lévi-Strauss yang sangat komprehensif yaitu sistem-sistem budaya pertukaran yang mempertukarkan perempuan (dan harus ditambahkan, lelaki), barang-barang dan jasa-jasa serta pesan-pesan, juga pendapat Strauss tentang aturan-aturan dasar yang menata hubungan sistem-sistem pertukaran. Kedua, konsep pertukaran sosial mengerucut pada sebuah proses yang dilakukan oleh tindakan individu, dan menjadi bagian dari tuntutan normatif, tuntutan yang ditentukan oleh persepsi-persepsi mereka bagi kepentingan pergaulan mereka, agar tujuan dalam pergaulan dapat tercapai.
Berdasarkan referensi di atas, dapat ditarik tiga prinsip yang penting dalam
pertukaran, yaitu: (1) prinsip universal dan fundamental dimana masyarakat dan
kebudayaan sudah terorganisir secara harmonis, (2) kondisi seperti ini akan
tercapai apabila masyarakat senantiasa menghayati dan memegang teguh
kebudayaannya sehingga kelestarian budaya dapat terjaga, (3) prinsip tindakan
individu yang mengonstruksi keuntungan timbal-balik sebagai tuntutan normatif.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
17
Lebih jauh lagi, Parkin juga memberikan asumsi metodologis dari analisis
transaksional dengan mengangkat tiga issu yang terkait, yaitu: (1) konsep dan
rasionalitas. Mengutip pendapat Kapferer, "Keadaan sekitar yang mengarahkan
individu untuk memberi nilai pada aktivitasnya dimana mereka menggunakannya
untuk kwalitas aktivitas itu sendiri, lebih dari sekedar keuntungan yang umumnya
diberikan”. (2) keleluasaan yang dimiliki individu untuk melakukan tindakan di
luar dan di dalam institusi yang lebih besar, Kapferer juga berpendapat “kondisi-
kondisilah yang menentukan individu atau kelompok individu untuk menampilkan
sebuah pilihan rasionalitas yang lebih baik dari yang lain”. (3) batasan-batasan
normatif dalam masyarakat, pengembangannya dilakukan oleh individu-individu
hingga dapat memanipulasi relasi sosial yang bebas dari norma dan tekanan
institusi. Sesuatu yang kompleks.
Melalui asumsi metodologis terkait issu konsep dan Rasionalitas,
keleluasaan, dan batasan-batasan normatif dalam masyarakat diharap dapat
menelusuri pemahaman akan Rumah Kawin Cina Benteng Udik dan relasi-relasi di
dalamnya, sehingga langkah-langah penelitian perlu dilakukan dengan cara
menelusuri lebih jauh tindakan-tindakan manusia yang memaknai Rumah Kawin
bukan hanya dalam konteks fungsi praktisnya, tetapi menembus pada fungsi
simbolik yang diyakini menyimpan jawaban yang dicari.
Blumer (1969:2) mengajukan tiga premis sederhana untuk memahami
dasar-dasar tindakan manusia dalam konteks interaksi dalam masyarakat. (1)
Manusia melakukan tindakan terhadap ‘sesuatu’ berdasarkan makna-makna yang
dia tangkap dari ‘sesuatu’ tersebut. (2) Makna itu diterima atau timbul dari
interaksi sosial yang dilakukan terhadap orang lain. (3) Makna ini dipahami dan
dimodifikasi melalui proses interpretasi yang digunakan seseorang dalam
berhubungan dengan ‘sesuatu’ yang dia hadapi. Melalui premis sederhana ini
terbuka jalan untuk mengetahui bagaimana individu-individu berelasi satu terhadap
lainnya, bagaimana ‘kesepakatan’ dalam pemaknaan itu dibentuk di antara mereka
sehingga mereka merasakannya sebagai etika, norma dan tatanan hidup mereka,
mereka bertindak berdasarkan makna yang telah dikonstruksi bersama demi
keuntungan mereka, dan mereka melakukan respon berupa tindakan yang akan
ditangkap oleh pihak lain sebagai timbal-balik yang harus dipahami bersama,
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
18
interaksi antara individu-individu inilah yang kemudian memberi ‘makna
mendalam’ selaras dengan pendapat Geertz (1973: 404-405)
Makna tidak terdapat di dalam objek-objek, tindakan-tindakan, proses-
proses, dan lainnya, tetapi - seperti yang ditekankan Durkheim, Weber, dan
ahli-ahli lain - makna terdapat di atasnya, sehingga penjelasan tentang
makna dapat ditelusuri dari pembentuknya, yaitu manusia yang berada di
dalam masyarakat.
Studi tentang pemikiran manusia adalah - meminjam kata-kata dari Joseph
Levenson - studi tentang manusia-manusia yang berpikir, dan mereka
berpikir tidak dalam tempat khusus mereka, melainkan di tempat yang
sama - dunia sosial - tempat melakukan segalanya bersama, hakekat
integrasi kultural, perubahan kultural, atau konflik kultural dapat dilihat di
sana: di dalam pengalaman individu dan kelompok individu di bawah
pengarahan simbol-simbol, yang mereka tangkap, yang dirasakan, ada
nalar, ada nilai dan ada tindakan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka pembahasan Rumah Kawin dan
relasinya harus dimulai dari individu yang berinteraksi dengan Rumah Kawin
tersebut, Rumah kawin sebagai teks yang menyimpan makna-makna intrinsik,
ritual-ritual dan simbol-simbol yang dikonstruksi masyarakat untuk kepentingan
aktivitas di dalamnya12, dan bagaimana relasi yang dibangun secara resiprokal
antara individu di dalam Rumah Kawin dan individu di luar Rumah Kawin.
Namun sejauh ini permasalahan utama masih belum terpecahkan, yaitu:
fakta yang menunjukkan bahwa Rumah Kawin Song Kim Keh sebagai fokus
penelitian tidak mengalami perubahan yang berarti semenjak tahun 1962 namun
12 Bandingkan dengan penelusuran Mary Douglas (1975: 9-25) memahami makna- makna dari ritual melalui penelusuran pada kehidupan sehari-hari masyarakat Lele di luar ritual, Buhonyi dan Hama adalah konsep simbolik yang menjadi tatanan masyarakat Lele yang tampak dari situasi keseharian hidup mereka. Peneliti lain, Janet Hoskins(1993:173-175) lebih jauh lagi menekankan aspek waktu dalam kaitannya dengan masa lalu dan masa mendatang terkait dengan pertukaran-pertukaran yang terjadi dalam masyarakat Sumba, “I examine the importance of temporal intervals in individual and collective strategies of exchange in marriage, feasting, and funerals, …. Two sorts of time must be considered in constituting exchange value: biographical time, the time span of an individual life; and intergenerational time, which includes the relations of ancestors and descendants”.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
19
lebih sering digunakan dari pada Rumah Kawin lainnya. Pada akhirnya hanya
dengan upaya pemahaman (Verstehen) yang harus dilakukan terus-menerus dan
ditumbuh-kembangkan sebagai upaya terakhir untuk mencapai puncak pemaknaan
akan Rumah Kawin Cina Benteng Udik ini.
I.8 Metode Penelitian
Penelitian yang saya lakukan dimulai bulan Juli 2008 di Dusun Tiga, Kampung
Melayu Teluknaga. Pengamatan yang dilakukan bersama tim Pengabdian
Masyarakat dari Universitas Pelita Harapan mengarah pada pengamatan terhadap
kehidupan masyarakat, kesulitan yang dihadapi masyarakat, potensi yang dapat
digali dan peranan perguruan tinggi dalam meningkatkan harkat hidup masyarakat.
Dua bulan kemudian, pengamatan saya fokuskan ke Kampung Melayu
karena kehadiran Rumah Kawin Song Kim Keh yang tertua dan masih digunakan
oleh masyarakat Cina setempat. Upaya membangun rapport dimulai dari
lingkungan terdekat Rumah Kawin Song. Setelah mendapatkan jaringan yang lebih
luas melalui teknik snow-bowling, maka saya menetapkan sepasang informan Pak
Jangkung dan istri merupakan narasumber Cina pendatang yang telah menetap di
Kampung Melayu semenjak 1982, diskusi intensif tentang karakter Cina Benteng
mengarahkan saya pada kesimpulan bahwa tahun 1980 adalah awal perubahan
Teluknaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakatnya. informan yang lain
adalah Pak Tan, penggagas dan arsitek pembangunan Vihara Tri Maha Dharma,
juga sebagai menantu tertua Song Kim Keh warga asli Cina Benteng. Putra sulung
Pak Tan, Panjul pecandu alkohol, saya mendapatkan banyak informasi tentang
Rumah Kawin Song dan pergeseran tradisi perkawinan lama dengan tradisi baru,
dari mereka juga diketahui kebiasaan mabuk pada generasi muda. Selain itu Pak
Leo dari Vihara Tri Maha Dharma dan Pak Irawan dari Cetya Kampung Melayu,
berbagi informasi tentang sikap Vihara terhadap fenomena Rumah Kawin yang
dianggap tradisi dan terlepas dari agama Budha, Teng Sulung putra Teng Kim Lin
memberi informasi untuk komparasi Rumah Kawin Teng dengan Song juga
kebiasaan judi yang dia lakukan: Pak Jeba sang To Kong13 juga sebagai ketua RT
13 To Kong adalah orang yang ahli dalam ritual pemandian mayat, sembahyang kematian dan penguburan. To Kong merupakan keahlian yang diwariskan pada anak lelaki tertua.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Universitas Indonesia
20
memberi gambaran tentang masyarakat Kampung Melayu, tradisi kematian dan
ritual kematian yang sejalan dengan Cio Tao, Pak Pandan penggemar gambang
beserta Ibu Nuning memberi gambaran nyata tentang cokek, poligami, kekuatan
Cio Tao dan makna bekerja untuk menghukum diri, Pak Geyong memberi
gambaran tentang pindah agama dan prinsip orang tua di dalam Cio Tao, Pak
Canda yang melihat adanya kejenuhan masyarakat terhadap gambang lokal, Pak
Jamin pemilik gambang adalah pihak yang menampik tudingan miring tentang
cokek dan poligami, Revinna mahasiswi Universitas Pelita Harapan yang sering
bertanya ulang pada kakek dan neneknya untuk menjawab pertanyaan saya tentang
Benteng Udik, nyonya Tan Perias yang menjelaskan langkah-langkah Cio Tao,
makna-makna simbolis dalam Cio Tao, dan kesulitan mempertahankan tradisi
‘asli’ Cio Tao Tangerang; lalu Tan Sulung putra nyonya Tan Perias yang
menjelaskan kesulitan-kesulitan Cina Benteng Udik saat berurusan dengan aparat
pemerintah termasuk pengurusan surat-surat penting terkait masyarakat miskin
Cina Benteng udik.
Pengamatan yang dilengkapi dokumentasi foto dan video saya gunakan
untuk mengabadikan obyek artefak, prosesi ritual dan suasana pesta kawin.
Melalui dokumentasi tersebut, saya menganalisis ulang momentum-momentum
dengan lebih teliti. Perekaman suara dengan MP3 yang tersembunyi saat interview
memberi kenyamanan berbicara bagi informan, hasil perekaman senantiasa diputar
ulang untuk menangkap kata-kata penting yang terlewat, melalui pencatatan itu
saya sering mempertanyakan ulang pada informan dan pihak ketiga (triangulasi)
untuk mendapatkan penjelasan yang utuh. Perekaman gambar video dilakukan
untuk mengabadikan ritual-ritual panjang dan bertahap, melalui perekaman ini
saya dapat menggambarkan struktur liturgi dalam ritual perkawinan maupun
keagamaan. Hasil dokumentasi ini dijadikan kajian untuk menangkap fenomena
yang hadir, juga mencari makna-makna terkait yang tersembunyi dalam kehidupan
masyarakat Cina Benteng Udik.
Pengumpulan data dari media informasi dan bukti-bukti fisik berupa
undangan pernikahan memberi manfaat dalam memperkuat penyusunan hipotesa-
hipotesa saya, termasuk hipotesa yang berkaitan dengan sistim ‘keutangan’ model
Cina Benteng Udik.
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009
Filename: Bab 1 Directory: C:\DOCUME~1\TOMY~1\MYDOCU~1\KUNTAR~1 Template: C:\Documents and Settings\T o m y\Application
Data\Microsoft\Templates\Normal.dotm Title: Subject: Author: Kuntara Keywords: Comments: Creation Date: 1/6/2010 11:54:00 AM Change Number: 12 Last Saved On: 1/7/2010 8:34:00 AM Last Saved By: Kuntara Total Editing Time: 18 Minutes Last Printed On: 1/9/2010 10:39:00 AM As of Last Complete Printing Number of Pages: 21 Number of Words: 6,158 (approx.) Number of Characters: 35,104 (approx.)
Rumah kawin..., Kuntara Wiradinata, FISIP UI, 2009