1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I...

93
AGRIMETA AGRIMETA JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR DI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta..................................................................... 1 2. UPAYA MENINGKATKAN POTENSI KESUBURAN TANAH LAHAN MARGINAL DI KAWASAN BALI TIMUR MELALUI BIOTEKNOLOGI BIOFERTILISASI ANTARA MIKORIZA DENGAN PUPUK KANDANG DAN KASCING I Ketut Widnyana............................................................................................... 20 3. ELASTISITAS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN KEDELAI DI TINGKAT INDUSTRI I Ketut Arnawa................................................................................................... 32 4. INSTITUTIONAL FRAMEWORK FOR STRENGTHENING SOCIAL CAPITAL: An Empirical Approach at Different Communities in Bali Province Nyoman Utari Vipriyanti.................................................................................. 39 5. PERBAIKAN PERTUMBUHAN BIBIT SOKA (Ixora coccinea l.) DENGAN PERENDAMAN SETEK DALAM URINE SAPI I Made Sukerta................................................................................................... 62 6. REVITALIZATION OF METAPHYSICAL AGRICULTURE FOR PROMOTING SUSTAINABLE FARMING AND COMMUNITY-BASED TOURISM Cening Kardi.......................................................................................................70 7. ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN SENTRA PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN DI DESA KUSAMBA KABUPATEN KLUNGKUNG: Ditinjau dari Perspektif Bisnis dan Lingkungan Ni Made Muriati dan Wayan Guwet Hadiwijaya...............................................78 Daftar Isi (Content) AGRIMETA Vol. 01 No. 01 Hal. 1 -101 Denpasar Oktober 2011 ISSN 2088-2521 SELAMATKAN BUMI PERTANIAN MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN SELAMATKAN BUMI PERTANIAN MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN

Transcript of 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I...

Page 1: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

AGRIMETAAGRIMETAAGRIMETAJURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEMJURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM

PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR DI

KARANGASEM, BALI

I Made Tamba dan I Wayan Cipta..................................................................... 1

2. UPAYA MENINGKATKAN POTENSI KESUBURAN TANAH LAHAN

MARGINAL DI KAWASAN BALI TIMUR MELALUI BIOTEKNOLOGI

BIOFERTILISASI ANTARA MIKORIZA DENGAN PUPUK KANDANG

DAN KASCING

I Ketut Widnyana............................................................................................... 20

3. ELASTISITAS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PENAWARAN KEDELAI DI TINGKAT INDUSTRI

I Ketut Arnawa................................................................................................... 32

4. INSTITUTIONAL FRAMEWORK FOR STRENGTHENING SOCIAL

CAPITAL: An Empirical Approach at Different Communities in Bali

Province

Nyoman Utari Vipriyanti.................................................................................. 39

5. PERBAIKAN PERTUMBUHAN BIBIT SOKA (Ixora coccinea l.)

DENGAN PERENDAMAN SETEK DALAM URINE SAPI

I Made Sukerta................................................................................................... 62

6. REVITALIZATION OF METAPHYSICAL AGRICULTURE FOR

PROMOTING SUSTAINABLE FARMING AND COMMUNITY-BASED

TOURISM

Cening Kardi.......................................................................................................70

7. ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN SENTRA PENGOLAHAN

HASIL PERIKANAN DI DESA KUSAMBA KABUPATEN

KLUNGKUNG: Ditinjau dari Perspektif Bisnis dan Lingkungan

Ni Made Muriati dan Wayan Guwet Hadiwijaya...............................................78

Daftar Isi (Content)

AGRIMETA Vol. 01 No. 01 Hal. 1 -101Denpasar

Oktober 2011ISSN

2088-2521

SELAMATKANBUMI PERTANIAN MELALUI PENERAPAN

TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN

SELAMATKANBUMI PERTANIAN MELALUI PENERAPAN

TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN

Page 2: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

AGRIMETA

Suatu jurnal ilmiah bidang pertanian dalam arti luas yang mempublikasikan hasil penelitian atau kajian

review pada semua aspek agroekoteknologi, agribisnis, sosial dan budaya pertanian (baik yang menyangkut

fisik maupun metafisik), baik secara alami maupun terkontrol dengan memanfaatkan teknologi yang ramah

lingkungan /organik.

Pemimpin Redaksi

Ir. Cening Kardi, MMA

Sekretaris Redaksi

Ir. Made Budiasa, MAgb

Mitra Bebestari (Dewan Redaksi)

1. Prof. Dr. Ir. I Nyoman Wijaya, MS

Program Magister Bioteknologi Pertanian, Universitas Udayana

2. Prof. Ir. Ratya Anindita, MS, P.hD

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Brawijaya

3. Dr. Ir. Ni Luh Kartini, MS

Program Magister Pertanian Lahan Kering, Universitas Udayana

Redaksi Pelaksana

1. Ir. I Dewa Nyoman Raka, MP

2. Prof Dr. Ir. IGN Alit Wiswasta, MP

3. Ir. Ketut Widnyana, MSi

4. Ir. I Made Tamba, MP

5. Drs. I Gusti Gede Jelantik Arya

Agrimeta adalah jurnal ilmiah bidang pertanian yang berbasis keseimbangan ekosistem yang diterbitkan

oleh Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati Denpasar. Jurnal diterbitkan 2 kali dalam setahun

(April, Oktober) dengan 1 volume dan 2 nomor penerbitan.

Makalah dapat ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Makalah yang dikirimkan oleh penulis

kepada redaksi akan dievaluasi awal untuk subyek materi dan kualitas teknik penulisan secara umum oleh

pemimpin redaksi, selanjutnya akan dikirimkan kepada minimal 1 mitra bebestari di bidangnya untuk

evaluasi substansi materi sedangkan tahap akhir akan ada saran penyempurnaan dari pelaksana redaksi.

Makalah yang dinyatakan diterima serta telah diperbaiki sesuai saran redaksi akan diterbitkan dalam Jurnal

Agrimeta.

Petunjuk Format Penulisan Makalah terlampir di halaman terakhir dari jurnal ini.

Redaksi Agrimeta

Sekretariat Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati Denpasar

Jln . Kamboja No. 11 A Telp. (0361) 265322 Denpasar-Bali e-mail:[email protected]

? VOLUME 1 ? NOMOR 2 ? OKTOBER ? 2011 AGRIMETAISSN 2088-2521

PETUNJUK PENULISAN NASKAH

Agrimeta adalah jurnal suntingan ilmiah yang secara spesifik difokuskan pada publikasi karya-karya inovatif dari

penelitian murni atau terapan yang berhubungan dengan pertanian dalam arti luas , review dan analisis tentang semua aspek

agroekoteknologi, agribisnis, sosial dan budaya pertanian (baik yang menyangkut fisik dan metafisik), baik secara alami

maupun terkontrol dengan memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan/organik.

Penyerahan naskah

Naskah yang tidak sedang dalam pertimbangan untuk dipublikasikan di redaksi lain dapat diserahkan rangkap 2 (1

asli dan 1 copy) kepada:

REDAKSI AGRIMETASekretariat Fakultas Pertanian UNMAS Jln . Kamboja No. 11 A Telp. (0361) 265322 Denpasar-Bali e-mail: [email protected]

Naskah yang dinyatakan diterima untuk dipublikasikan, pada penyerahan draft koreksi akhir harus disertakan

sebuah disket 3,5”(bebas virus) yang berisi file naskah akhir yang sesuai denga cetakan naskah asli. Naskah diketik dengan

menggunakan Microsoft Word for Windows dalam doc format sementara grafik disimpan dalam Microsoft Excel.

Surat pernyataan yang ditandatangani oleh penulis utama, yang menyatakan bahwa naskah artikel yang

diserahkan belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dalam pertimbangan untuk diterbitkan di redaksi lain harus

disertakan pada penyerahan naskah. Hak cetak bagi naskah yang diterima dan semua bahan terbitan lainnya menjadi hak

milik redaksi.

Kebijakan Redaksi

Makalah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Naskah yang diserahkan pada awalnya

akan dinilai berdasarkan kesesuaian materi ruang lingkup jurnal dan mutu tulisan secara umum oleh pemimpin redaksi.

Makalah yang ditulis dengan jelas dan disusun rapi dan baik sesuai dengan pedoman redaksi lebih dipertimbangkan.

Naskah yang dipandang tidak tepat dapat dikembalikan kepada penulis tanpa pengkoreksian lebih lanjut. Bagi penulis

naskah berbahasa Inggris sangat dianjurkan untuk memintak bantuan kepada seseorang yang mahir dalam penyusunan

naskah bahasa Inggris dengan gaya dan tatabahasa yang baik. Redaksi tidak menerima naskah yang dikirim lewat email.

Persiapan Nasakah

Naskah berupa ketikan asli (halaman judul hingga lampiran diharapkan tidak melebihi 17 halaman), spasi ganda,

batas bingkai penulisan 3 cm dari sisi tepi kertas ukuran A4 dan dengan huruf Times Roman 11 (Program MS Word for

Windows). Halam pertama naskah memuat judul artikel, nama dan alamat penulis. Absrak yang ditulis pada lembar ke-2

berisi ringkasan hasil penelitian dan kesimpulan (maksimum 250 kata dan spasi tunggal) dengan diberi maksimum 5 kata

kunci. Abstrak harus ditulis dalam dua versi bahasa Inggris dan Indonesia. Isi naskah dimulai pada lembar ke-3 dengan

“Pendahuluan” yang berisi latar belakang masalah dan tujuan studi yang hendak dicapai. Bagian naskah berikutnya adalah

“Metode”, “Hasil dan Pembahasan”, “Simpulan dan Saran” dan “Daftar Pustaka”. Tabel dan Gambar ditempatkan pada

lembaran terpisah dari teks dan berada pada halaman terakhir. Naskah harus diberi nomor halaman secara berurutan.

Penggunaan penulisan dengan sistem satuan S1 (misal ml, l, g, kg, mg/l bukan ppm dsb).

Penulisan Sumber Pustaka

Sitiran sumber pustaka dalam teks dapat ditulis: Panda (2005) atau (Panda, 2005), mensitir 2 penulis sebagai

Sujana dan Panda (2005), sedangkan mensitir 3 atau lebih penulis yang ditulis hanya penulis utama ditambah dengan “et

al”. Dalam penulisan daftar pustaka, diurutkan berdasar alfabet, jika nama penulis sama diurut berdasarkan tahun

penerbitan. Nama /judul jurnal harus ditulis lengkap. Menghindari sitiran pustaka dari jurnal tanpa dewan penyunting,

laporan proyek, dan artiklel majalah popular.

Page 3: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

1

ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM

PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR

DI KARANGASEM, BALI

I Made Tamba dan I Wayan Cipta

Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar

Abstract

National program on community self-relience empowerement or PNPM has been

introduced by central government as national policy to reduce poverty as well as

to achieve MDGs goals. Nevertheless, assessment on effectiveness such a

program is lacking. This research is aimed to assess PNPM program on coastal

communities in Kubu district Karangasem regency, Bali. Using census and snow

ball methods, the community participation was chosen as assessment indicater

along with other socio-econoic variables. The results show that PNPM-MKP is

performing well judging from community participation with average response of

medium level participation, while monitoring and evaluation show higher scores.

Overall total score of participation is relatively high. Some factors which

correlate with community participation are group of age, education level, number

of family members, number of fishing tools owned, and income

Keywords: coastal community, empowerment, PNPM-MKP model, community

participation.

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Program-program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan telah

banyak dilakukan, seperti: Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Bantuan

Langsung Tunai (BLT) dan program-program bergulir lainnya. Namun, sebagian

besar program tersebut bersifat top-down. Disamping itu, ada beberapa program

yang tidak tepat sasaran. Hal ini disebabkan karena penentuan sasaran secara

langsung tanpa melalui proses perencanaan dan tidak melihat kondisi langsung di

masyarakat. Beberapa program memiliki prosedur yang sangat rumit sehingga

tidak tepat waktu, tidak efektif dan tidak efesien.

Usman (1998) menyatakan perlunya pendekatan khusus dalam upaya

penguatan perekonomian masyarakat terutama kelompok nelayan kecil seperti: 1)

pendekatan teknokratis yaitu pendekatan yang diawali dengan terlebih dahulu

menetapkan program-program dan kelompok-kelompok sasaran (target),

kemudian dilanjutkan dengan membakukan sistem penyaluran (delivery system)

bagi kelompok-kelompok sasaran, mengeluarkan petunjuk pelaksanaan dan

petunjuk teknis, serta mengeluarkan anggaran pendukung pelaksanaan teknis, 2)

pendekatan partisipatif yaitu dengan memperkuat kemandirian (community self-

reliance). Masyarakat dibantu, didampingi dan difasilitasi untuk melakukan

analisis terhadap masalah keuangan yang dihadapi, diberikan peluang

memutuskan yang dikehendaki dan inisiatif mereka menjadi basis kegiatan. Peran

Page 4: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

2

pemerintah sebagai fasilitator dan memberikan dukungan inisiatif kepada

masyarakat.

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) adalah

program nasional yang menjadi kerangka kebijakan dan acuan pelaksanaan

berbagai program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pada pemberdayaan

masyarakat. Program PNPM Mandiri adalah program untuk mencapai salah satu

sasaran dalam Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 yaitu

untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan.

Kerangka pemikiran PNPM Mandiri adalah: 1) penanggulangan

kemiskinan hanya akan efektif bila dilakukan secara mandiri dan berkelanjutan

melalui sinergi dan kemitraan masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok

peduli (LSM, swasta, dan lain-lain); 2) kemandirian yang berkelanjutan akan

diwujudkan dalam tiga pilar yaitu masyarakat dengan tingkat keberdayaan dan

kemandirian yang tinggi, pemerintah dan legislatif yang pro poor, dan dunia

usaha dan organisasi masyarakat yang peduli (the caring society); 3) PNPM

Mandiri bukan proyek ”bagi-bagi uang”, namun harus dilandasi dengan

pembinaan karakter masyarakat yang baik dan beradab seperti: mempunyai cita-

cita dan impian (the power of dream), mempunyai perilaku memberi daripada

meminta (the power to give), mempunyai kemantapan mental berpikir positif,

selalu mengutamakan dialog dan menghindari kekerasan (democracy at the grass

root), dan selalu berusaha dan bekerja bersama kelompok (kegotongroyongan

sosial, ekonomi dan budaya).

Program Program ProgramProgram ProgramProgram

ProgramProgram

????

???? ???? ????

?

PENYALURAN PROGRAMPENYALURAN PROGRAM--PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINANPROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN

PRA PNPM MANDIRI PRA PNPM MANDIRI

TUMPANG TINDIH TUMPANG TINDIH

DNG PROG LAINDNG PROG LAIN

TERLUPAKAN?

PROSEDUR

YG. RIBET KEBANYAKAN

MEDIATOR

TATARAN

MASY.

KOORDINASI

LAPANGAN

TATARAN

PENGELOLA

PROGRAM

BANTUAN SALAH

SASARAN

Gambar 1. Program-Program Pengentasan Kemiskinan Sebelum Pola PNPM

Mandiri (Sumber: Royat, 2009)

Kabupaten Karangasem merupakan satu-satunya kabupaten di Bali yang

termasuk dalam kategori kabupaten tertinggal atau kabupaten miskin. Salah satu

kecamatan yang mewilayahi pesisir dan tergolong miskin adalah kecamatan

Kubu. Kecamatan Kubu yang memiliki luas wilayah 234,72 km2, terbagi dalam 9

desa yaitu Ban, Dukuh, Kubu, Tulamben, Baturinggit, Sukadana, Tianyar Timur,

Tianyar Tengah dan Tianyar Barat. Dari 9 desa tersebut, 7 desa diantaranya

(kecuali Ban dan Dukuh) merupakan desa pantai dengan panjang pantai sekitar

24,4 km. Jumlah penduduk di kecamatan Kubu tercatat 67.559 jiwa dengan

rincian penduduk laki-laki 33.731 jiwa dan perempuan 33.828 jiwa. Dari jumlah

penduduk tersebut kecamatan Kubu memiliki jumlah Rumah Tangga Miskin

Page 5: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

3

(RTM) sebesar 7.833 KK atau 27.762 jiwa. Jumlah RTM di kabupaten

Karangasem kalau dilihat dari tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh

kepala rumah tangganya adalah SD/MI, dan kecamatan Kubu menempati

peringkat paling tinggi yaitu sebesar 7.646 RTM (20,71%).

Disamping faktor internal yang menjadi penyebab kemiskinan pada

masyarakat pesisir, faktor ekternal juga sangat berpengaruh. Selama lebih dari 3

dekade perhatian pemerintah relatif kurang terhadap pembangunan sektor

kelautan dan perikanan. Masyarakat di bidang kelautan dan perikanan sering kali

termajinalkan karena kurangnya keberpihakan kebijakan pemerintah dalam upaya

pengentasan kemiskinan dan pembangunan secara menyeluruh bagi masyarakat di

wilayah tersebut. Permasalahan dan pemanfaatan potensi yang belum optimal

pada nelayan meliputi aspek penangkapan, budidaya, pengolahan dan pemasaran,

pengawasan serta sumber daya manusia. Hal ini akan menambah kondisi

masyarakat kelautan dan perikanan yang cenderung miskin dan terbelakang.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan permasalahan dalam penelitian ini ini adalah: 1) bagaimanakah

pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-MKP di

Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?; 2) bagaimanakah dukungan

masyarakat pesisir terhadap model pemberdayaan masyarakat dengan Pola

PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?; dan 3) faktor-faktor

apakah yang berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan

PNPM- MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji model pemberdayaan

masyarakat pesisir dengan pola PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan, sehingga

nantinya dapat dijadikan model perbaikan pelaksanaan program bagi pemerintah

pusat dan perbaikan-perbaikan yang mesti dilakukan oleh Pemda Kabupaten

Karangasem khusunya Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten

Karangasem, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1)untuk

mengetahui pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-

MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem; 2) untuk mengetahui

dukungan masyarakat pesisir terhadap model pemberdayaan masyarakat dengan

Pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem; dan 3) untuk

mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat

terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis yang diharapkan adalah sebagai bahan masukan bagi

akademisi dan stake holder di dalam memperkaya teori-teori mengenai

pemberdayaan masyarakat, khususnya pemberdayaan masyarakat pesisir,

sedangkan manfaat praktisnya adalah untuk dipakai model/acuan untuk proses

pemberdayaan oleh pemerintah, dan stake holder yang bergerak pada bidang

pemberdayaan masyarakat pesisir di dalam menentukan arah dan kebijakannya

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Page 6: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

4

2. LANDASAN TEORI

2.1. Analisis Model

Analisis Model adalah identifikasi bagian-bagian dalam gambaran suatu

sistem yang bertujuan untuk menjelaskan apa yang diinginkan, membangun dasar

untuk model baru, dan menetapkan persyaratan dari model yang akan dibangun.

Analisis Model membantu mengindentifikasi hal-hal perbaikan penting

yang akan dilakukan, serta memberikan strategi positif untuk mengevaluasi diri

untuk memahami struktur dan efektifitas dari suatu sistem. Lebih lanjut

dijelaskan bahwa analisis model dapat dipakai sebagai alat untuk pembinaan

peningkatan pembangunan.1

2.2. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

2.2.1. Pengertian dan Karakteristik Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat dan

laut, ke arah darat meliputi bagian tanah baik kering maupun yang terendam air

laut, dan masih dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik laut seperti pasang surut, ombak,

dan gelombang serta perembesan laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian

perairan laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti

sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai maupun yang disebabkan oleh

kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan, pembuangan limbah,

perluasan pemukiman serta intensifikasi pertanian.2

Wilayah pesisir memiliki beberapa karakteristik, yaitu : 1) wilayah

pertemuan antara berbagai aspek kehidupan yang ada di darat, laut dan darat,

sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan hasil keseimbangan dinamis dari

proses pelapukan (weathering) dan pembangunan ketiga aspek di atas; 2)

berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan unggas untuk

tempat pembesaran, pemijahan dan mencari ikan; 3) wilayahnya sempit, tetapi

memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat organik penting dalam

rantai makanan dan kehidupan darat dan laut; 4) memiliki gradien perubahan sifat

ekologi yang tajam dan pada kawasan yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi

yang berlainan; dan 5) tempat bertemunya berbagai kepentingan pembangunan,

baik pembangunan sektoral maupun regional serta mempunyai dimensi

internasional.3

2.2.2.. Permasalahan Masyarakat Pesisir

Saad (2006) mengatakan bahwa isu dan permasalahan pokok pengelolaan

wilayah pesisir adalah kemiskinan masyarakat pesisir, konflik pemanfaatan ruang

di wilayah pesisir dan laut, penurunan kualitas sumber daya alam dan lingkungan,

potensi sumberdaya pulau-pulau kecil belum dimanfaatkan secara optimal,

pengelolaan konservasi laut belum optimal, kepastian hukum belum terjamin serta

1 Alistair Cockburn. OO Analisis Model. (Online) http:/training.fws.gov/deo/pdfs/The%20

Interpretive% 20Development%20Model.pdf).diakses 30 Mei 2010 2 Dahuri, dkk. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta.

Pradnya Paramita, 2001 3 Soedarma, D. Karakateristik Ekosistem Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta

Pemanfaataanya. Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan Peningkatan Peranserta Lembaga

Keagamaan/Adat oleh Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Durjen KP3K DKP di

Cipayung Bogor, 22-25 Agustus 2006

Page 7: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

5

belum maksimalnya peranan lembaga kemasyarakatan di dalam pengelolaan dan

pemanfaatan pesisir dan laut. Lebih lanjut dijelaskan penyebab kemiskinan

masyarakat pesisir adalah lemahnya akses kepada lembaga keuangan resmi

(terlilit utang dengan rentenir), belum adanya keberpihakan lembaga keuangan

(persyaratan ketat dan tingkat kepercayaan rendah), lemahnya sistem dan

manajemen usaha, dan lemahnya akses informasi iptek dan pasar.

2.2.3.. Pengertian dan Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

Pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai upaya untuk membantu

masyarakat dalam mengembangkan kemampuan sendiri sehingga bebas dan

mampu untuk mengatasi masalah dan mengambil keputusan secara mandiri.

Definisi pemberdayaan (empower) menurut Merriam Webster and Oxford English

Dictionary mengandung dua arti. Pengertian pertama adalah to give power or

authority atau sebagai memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau

mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Pengertian kedua, to give ability to or

enable, diartikan sebagai upaya memberikan kemampuan atau keberdayaan.4

Kurniawan, (2006) mengatakan pemberdayaan adalah suatu proses

perubahan dengan menempatkan kata kreatif dan prakarsa masyarakat yang sadar

diri dan terbina sebagai titik tolak. Lebih lanjut dikatakan pemberdayaan

mengandung dua unsur pokok yaitu kemandirian dan partisipasi. Kemandirian

adalah proses kebangkitan kembali dan pengembangan kekuatan pada diri

manusia yang mungkin sudah hilang karena ketergantungan, eksploitasi dan sub

ordinasi yang mencakup kemandirian material, intelektual dan manajemen.

Sedangkan partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh masyarakat

sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme)

dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara selektif. Partisipasi masyarakat

dapat berupa partisipasi pasif, yaitu masyarakat dilibatkan dalam tindakan dalam

kegiatan yang telah dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain, serta

partisipasi aktif, yaitu proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah

mereka sendiri dengan cara merefleksikan atas tindakan mereka sebagai subjek

yang sadar untuk mengambil keputusan untuk bertindak sendiri.

Upaya untuk mengentaskan kemiskinan yang diharapkan mampu untuk

mengangkat kesejahteraan masyarakat miskin tentunya perlu dikaji dengan

mempertimbangkan berbagai aspek seperti pelibatan aktif masyarakat sebagai

penerima kebijakan dalam suatu kerangka participatory rural apparaisal (PRA).

Penumbuhan partisipasi ini sangat penting mengingat masyarakatlah yang secara

langsung melaksanakan dan merasakan hasil program yang digulirkan. Partisipasi

ini dapat dikembangkan melalui berbagai institusi lokal yang kuat dan benar-

benar mampu mewakili kepentingan masyarakat desa. 5

Pembangunan di Indonesia semestinya dituntaskan dengan pemberdayaan

masyarakat karena, 1) demokratisasi proses pembangunan (dengan melibatkan

setiap warga negara dalam proses pembangunan, mulai dari perencanaan,

pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi); 2) penguatan peran organisasi masyarakat

lokal; 3) penguatan modal sosial; 4) penguatan kapasitas birokrasi lokal; dan 5)

4 Sunartiningsih, A. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Jogjakarta. Aditya Media. 2004 5 Soetrisno, R. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebasan Kemiskinan. Yogyakarta.

Pholosophy Press. 2001

Page 8: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

6

mempercepat penanggulangan kemiskinan yang dapat memberikan peluang

pekerjaan yang dapat menambah/memberikan penghasilan.6

Refleksi kemiskinan:• Identifikasi kemiskinan• Merumuskan persoalan

kemiskinan yang dihadapi• Merumuskan penyebabnya• Identifikasi potensi untuk

menanggulanginya

Pertemuan Masyarakat:• Tahap belajar awal

menggali kebersamaan• Berdemokrasi• Kesadaran akan eksistensidiri

Sosialisasidi Masyarakat:• Pemetaan sosial

• Sosialisasiprogram

Penyusunan Rencana:• Identifikasi dan Prioritisasi• Penyusunan Rencana/

Program PenanggulanganKemiskinan

Pengorganisasian Masyarakat:• Lembaga masyarakat dibentuk/ditetapkan, dimiliki, dan dikelolauntuk memenuhi kebutuhan bersama

Pelaksanaan Kegiatan:• Pembentukan/Penetapankelompok swadayamasyarakat pelaksanakegiatan

•Media bersama untukmenyelesaikan masalahsecara mandiri

Pemetaan Swadaya:• Merumuskan kebutuhan dan

potensi yang ada.• Memecahkan persoalan dengan

potensi yg dimiliki

Penerima Manfaat:• Kelompok swadaya masyarakat

dan masyarakat miskin lainnya

Fasilitator

(Sumber : Tim Design PNPM Mandiri Bappenas, 2009)

Gambar 2. Proses Pemberdayaan Masyarakat

Tujuan pemberdayaan masyarakat pesisir adalah: 1) tersedianya dan

terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari sandang, pangan, papan,

kesehatan dan pendidikan; 2) tersedianya prasarana dan sarana produksi secara

lokal yang memungkinkan masyarakat dapat memperolehnya dengan harga murah

dan kualitas baik; 3) meningkatnya peran kelembagaan masyarakat sebagai wadah

aksi kolektif; dan 4) terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif di daerah

yang memiliki ciri-ciri berbasis sumberdaya lokal (resources based), memiliki

pasar yang jelas (markert based), dilakukan dengan cara berkelanjutan dengan

memperhatikan kapasitas sumberdaya (environmental based), dimiliki dan

dilaksanakan serta berdampak bagi masyarakat (local social based), dan dengan

menggunakan teknologi maju tepat guna yang berasal dari proses pengkajian dan

penelitian (scientific based).7

2.3. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan

Perikanan (PNPM-MKP)

Kegiatan-kegiatan yang dirancang dalam PNPM-MKP bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat kelautan dan

perikanan miskin. Seluruh tahapan pelaksanaan PNPM-MKP berbasis

pemberdayaan masyarakat untuk menciptakan dan meningkatkan kapasitas

masyarakat dalam melaksanakan proses pembangunan dari, oleh dan untuk

masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek bukan sebagai

obyek pembangunan.8

Tujuan Program PNPM-MKP adalah untuk mendukung pengembangan

usaha kelautan dan perikanan serta membangun infrastruktur pembentuk struktur

ruang di wilayah desa dan pengurangan degradasi lingkungan.

6 Wrihatnolo, Randy R dan Dwidjowinoto, Riant Nugroho. Manajemen Pemberdayaan, Sebuah

Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Elex Media Komputindo.

2007. hlm. 37-41. 7 Pratikno, Widi Agus, op cit. hlm. 9 8 Departemen Kelautan dan Perikanan. Pedoman Teknis Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat Kelautan dan Perikanan Tahun 2009. Jakarta.Dirjen KP3K. 2009

Page 9: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

7

Sasaran Program PNPM-MKP adalah nelayan, pembudidaya ikan,

pengolah, pemasar serta masyarakat pesisir lainnya yang terkait dengan tujuan

PNPM-MKP dan tergabung dalam kelompok masyarakat, seperti Kelompok

Pembudidaya Ikan (Pokdakan), Kelompok Usaha Bersama (KUB), Kelompok

Pengolah dan/atau Pemasar Hasil Perikanan (KP2HP), Kelompok Masyarakat

Pengawas (Pokmaswas), dan Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP).

3. METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan

Pendekatan penelitian ini didasarkan pada evaluasi kebijakan tentang

PNPM kelautan dan perikanan. Kebijakan ini kemudian di kontraskan dengan

kondisi masyarakat atau realitas. Dengan kata lain dilakukan gap analysis

sehingga dapat diketahui masalah yang terjadi. Hasil ini kemudian menjadi bahan

kajian deskriptif kualitatif yang kemudian di uji melalui kajian non-parametrik

dengan uji beda nyata. Secara keseluruhan alur pendekatan ini dapat dilihat pada

Gambar 3 berikut ini.

Gambar 3. Bagan Alir Penelitian

Fakta :

keterbela

kangan

dan kemis-

kinan

Permasalahan 1).Bagaimana

pelaksanaan PNPM-MKP.

2).Bagaimana

dukungan

masyarakat

pesisir thd

PNPM-MKP

3) Faktor apa

yang berhu-

bungan dgn

PNPM-MKP

Pengkajian ter-hadap pember-dayaan masya- rakat pesisir pola PNPM-MKP :

1) Pelaksanaan program 2) Dukungan masyarakat pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan,

dan monev program 3) Faktor-faktor yang ber- hubungan dgn PNPM- MKP

K

E

B

I

J

A

K

A

N

PNPM-

MKP me-

wujudkan masyara-

kat pesisir

yang se-

jahtera

MASYA-

RAKAT

PESISIR

M

A

S

A L

A

H

P

E

M

E

R

I

N

T

A

H

INFORMASI

Pendekatan

Deskriptif Kualitatif

Teori Kebijakan,

Pemberdayaan &

Partisipasi

Penyem purnaan

pola PNPM-

MKP

Page 10: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

8

3.2. Populasi dan Sampel

Penelitian ini dilaksanakan pada anggota kelompok nelayan penerima

PNPM-MKP Tahun 2009 di 3 (tiga) desa yang kelompok nelayannya ditetapkan

sebagai penerima PNPM-MKP yaitu : Desa Tianyar Timur, Baturinggit, dan Kubu

di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem selama 2 (dua) bulan kalender yaitu

pada bulan Mei sampai dengan Juni 2010.

Populasinya adalah anggota dari 10 kelompok nelayan penerima PNPM-

MKP (99 orang) menggunakan metode sensus. Untuk mengetahui pelaksanaan

PNPM-MKP dari pihak eksternal diambil informan dengan metode snow ball.

3.3. Instrumen Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah: 1) pelaksanaan PNPM-MKP; 2)

tingkat dukungan masyarakat pesisir; dan 3) faktor-faktor yang berhubungan

dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, sedangkan

indikator tingkat dukungan masyarakat meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan,

pemanfaatan dan monev program.

Variabel pelaksanaan program PNPM-MKP akan diuraikan dengan

deskriptif kualitatif. Sedangkan variabel-variabel tingkat dukungan masyarakat

dan faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat akan diukur

dengan kuisioner.

Instrumen yang digunakan untuk mengukur pelaksanaan program, dan

tingkat dukungan masyarakat berbentuk kuisioner dan pedoman wawancara,

dengan menggunakan Skala Likert yang terdiri dari lima pilihan jawaban yang

bergradasi (5 kategori) dan diberi skor 1-5 (satu sampai lima).

3.4. Jenis dan Bentuk Data

Data kualitatif mencakup deskripsi pelaksanaan PNPM-MKP, persepsi

masyarakat terhadap PNPM-MKP, dukungan masyarakat pesisir terhadap PNPM-

MKP, dan faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masayarakat

terhadap PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, sedangkan

data kuantitatif berupa jumlah kelompok nelayan yang ada di Kecamatan Kubu,

jumlah penduduk miskin/RTM di masing masing desa kelompok penerima

PNPM, jumlah pendapatan per anggota kelompok, penilaian responden tentang

pemberdayaan masyarakat pesisir dengan PNPM-MKP.

Data primer bersumber dari hasil observasi langsung peneliti ke kelompok

penerima PNPM-MKP di Desa Kubu, Baturinggit dan Tianyar Timur, dan hasil

sensus dari kelompok nelayan penerima PNPM-MK, sedangkan data sekunder

bersumber dari Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten

Karangasem tentang jumlah kelompok nelayan di Kecamatan Kubu dengan

jumlah anggotanya, jumlah dana PNPM-MKP yang disalurkan kepada kelompok

penerima, jumlah dan jenis barang yang dibelanjakan dari BLM PNPM-MKP,

serta data monografi dari masing-masing desa tempat kelompok penerima.

Teknik pengumpulan data menggunakan menggunakan metode observasi

(pengamatan langsung ke lapangan), kuesioner (dengan daftar pertanyaan dan

pedoman wawancara) dan dokumentasi (arsip data, foto-foto, dsb).

Page 11: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

9

3.5. Analisis Data

Pelaksanaan program PNPM MKP dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Sedang tingkat dukungan masyarakat dianalisis dengan menggunakan analisis

kuantitatif dengan memberikan skor menggunakan Skala Likert (5 kategori)

sebagaimana disajikan pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Skala Likert untuk evaluasi PNPM-MKP

No Rentang Skor Kategori dukungan masyarakat terhadap

program PNPM-MKP

1 20% - 36% Sangat Rendah

2 >36%- 52% Rendah

3 >52% - 68% Sedang

4 >68% - 84% Tinggi

5 >84% - 100% Sangat Tinggi

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan

masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM- MKP dianalisis dengan Chi-Square,

dengan persyaratan jika X² hitung X² (1- ) (1) , terima H0 dan jika X² hitung

X² (1- ) (1), tolak H0

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dengan Pola PNPM-

MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.

Pelaksanaan program PNPM-MKP di Kecamaan Kubu pada tahun 2009

dilaksanakan melalui beberapa tahapan. Tahapan-tahapan pelaksanaan kegiatan

tersebut adalah adalah: 1) Sosialisasi Program; 2) Penentuan Lokasi Sasaran; 3)

Perencanaan Pembangunan Wilayah; 4) Peningkatan kapasitas dan sumber daya

masyarakat; 5) Peningkatan kapasitas aparatur daerah; 6) Peningkatan akses kredit

mikro; 7) Pendampingan masyarakat; 8) Publikasi kegiatan; 9) Proses pencairan

Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) kepada kelompok masyarakat; 10)

Lokakarya PNPM-MKP; 11) Monitoring dan Evaluasi; 12) Realisasi Anggaran;

dan 13) Pelaporan

Dari jawaban masyarakat penerima BLM dan pendapat pihak eksternal

(konsultan dan tenaga pendamping) dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mendukung pelaksanaan PNPM-MKP di Kabupaten Karangasem Tahun 2009

adalah:1)kemampuan pengelolaan program yang dilakukan oleh satuan kerja; 2)

kondisi dan kemampuan kelompok penerima; 3)kondisi wilayah, sosial dan

ekonomi dari desa tempat kelompok penerima; 4)tim teknis dan tim pendamping

program; 5)proses pencairan dana dan penggunaan dana; dan 6)pelaksanaan,

pemanfaatan dan monev program melibatkan kelompok penerima. Sedangkan

faktor-faktor yang dianggap menghambat pelaksanaan program adalah: 1)lokasi

sasaran yang menyasar hanya 1 kecamatan 3 desa; dan 2)menu dari barang-barang

yang boleh diadakan sangat mengikat sesuai dengan petunjuk teknis yang ada.

Page 12: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

10

4.2. Dukungan Masyarakat Pesisir Terhadap Model Pemberdayaan

Masyarakat dengan Pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu

a. Karakteristik Responden

Dari hasil tabulasi data menujukkan semua responden (100%) berjenis

kelamin laki-laki, dengan karakteristik responden sebagai berikut :1) Umur

Responden, menujukkan bahwa 44,45% berumur 21-37 tahun, 42,42% berumur

38-54 tahun, dan 13,13% berumur 55-70 tahun (sasarannya adalah usia muda

produktif); 2) Status Perkawinan menunjukkan bahwa 15,15 % lajang (belum

kawin), 80,81% kawin dan 4,04 % bersatus duda; 3) Tingkat Pendidikan

menunjukkan bahwa 5,05% buta huruf, 32,32% tidak tamat SD, 27,27% tamat

SD, 19,19% tamat SMP, 13,13% tamat SMA, dan 3,03 % tamat Perguruan

Tinggi. Dengan demikian hampir 64,64% sasaran PNPM-MKP di kecamatan

Kubu hanya berpendidikan dasar, 32,32% berpendidikan menengah dan hanya

3,03% berpendidikan tinggi; 4) Pekerjaan Sampingan Responden,

menunjukkan 18,18% tidak memiliki pekerjaan sampingan; 51,52% petani; 6,06%

peternak, 13,13% buruh (karyawan pariwisata, tukang bangunan dan sopir);

11,11% pekerjaan lainnya (PNS, pegawai asuransi, dan sebagainya); 5)

Tanggungan Keluarga Responden, menunjukkan bahwa 39,39 % memiliki

tanggungan 0-2 orang, 54,55% memiliki tanggungan 3-4 orang, dan 6,06%

memiliki tanggungan 5-6 orang; 6) Penguasaan Tanah, menunjukkan bahwa

untuk penguasaan tanah tegalan; 84,85% memiliki tanah 0-50 are, 12,12 %

memiliki tanah 51-100 are, 0% memiliki tanah 101-150 are, dan 3,03% memiliki

tanah 151-200 are. Untuk penguasaan tanah pekarangan; 65,66% memiliki 0-3

are, 31,31% memiliki 4-7 are, dan 3,03% memiliki 8-10 are. Sedangkan untuk

status hak tanah tegalan: 50,51% tidak memiliki tanah tegalan, 43,43% merupakan

hak milik, dan 6,06% merupakan sebagai penggarap (nyakap); 7) Sarana Usaha

Nelayan, menunjukkan bahwa untuk kepemilikan jukung : 2,02% tidak memiliki

jukung, 90,91% memiliki jukung 1 unit, 5,05% memiliki jukung 2 unit dan 2,02%

memiliki jukung sebanyak 3 unit. Untuk kepemilikan mesin (mesin motor tempel

maupun mesin ketinting) menunjukkan bahwa 2,02% tidak memiliki, 84,85%

memiliki mesin sebanyak 1 unit, 11,11% memiliki mesin sebanyak 2 unit dan

2,02% memiliki mesin sebanyak 3 unit. Sedangkan untuk kepemilikan sarana alat

tangkap seperti jaring, pancing dan sebagainya: 72,73% memiliki 0-2 set, 17,17%

memiliki 3-4 set, dan 10,10 % memiliki 5-6 set; 8) Pendapatan Nelayan,

menunjukkan bahwa pendapatan nelayan dari pekerjaan utama (sebagai nelayan)

menunjukkan bahwa 12,12% pendapatannya 200.000 – 900.000 per bulan,

44.44% pendapatannya 901.000-1.600.000 per bulan, 28,28% pendapatannya

1.601.000-2.300.000 per bulan, 6,06% pendapatannya 2.301.000-3.000.000 per

bulan. Sedangkan pendapatan dari pekerjaan sampingan menunjukkan 75,76%

pendapatan sampingannya 0-500.000 per bulan, 19,19% pendapatan

sampingannya 501.000-1.000.000 per bulan, 1,01% pendapatan sampingannya

1.001.000-1.500.000 per bulan, dan 4,04% pendapatan sampingannya 1.501.000–

2.000.000 per bulan. Dengan demikian jumlah pendapatan nelayan secara

keseluruhan menunjukkan bahwa 55,56% pendapatannya 800.000-1.850.000 per

bulan, 35,35% pendapatannya 1.851.000 – 2.900.000 per bulan, 8,08%

pendapatnnya 2.901.000 – 3.950.000 per bulan, dan 1,01% pendapatannya

Page 13: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

11

3.951.000-5.000.000 per bulan; 9) Pengeluaran Nelayan, menujukkan bahwa

pngeluaran nelayan untuk memenuhi kebutuhan pokok (konsumsi) per bulannya,

13,13% pengeluarannya 200.000-450.000, 39,39% pendapatannya 451.000-

700.000, 26,26% pengeluarannya 701.000-950.000, 21,21% pengeluarannya

951.000-1.200.000. Untuk pengeluaran non konsumsi (per bulannya)

menunjukkan bahwa 95,96% pengeluarannya 100.000-825.000, 3,03%

pengeluarannya 826.000-1.550.000, 0% pengeluarannya 1.551.000-2.275.000,

dan 1,01% pengeluarannya 2.276.000-3.000.000, untuk pengeluaran operasional

usaha nelayan (per bulannya) menunjukkan bahwa 52,53% pengeluarannya

100.000-450.000, 42,42% pengeluarannya 451.000-800.000, 2,02%

pengeluarannya 801.000-1.150.000, dan 3,03% pengeluarannya 1.151.000-

1.500.000. Dengan demikian kalau dilihat secara keseluruhannya, total

pengeluaran nelayan (dalam rupiah per bulan) menunjukkan bahwa 50,55% total

pengeluarannya 800.000-1.725.000, 43,43% pengeluarannya 1.726.000-

2.650.000, 5,05% pengeluarannya 2.651.000-3.575.000, dan 1,01%

pengeluarannya 3.576.000-4.500.000; 10) Kepemilikan Rumah Nelayan,

menunjukkan 74,75% milik sendiri, 24,24% milik orang tua, dan 1,01% dengan

menyewa. Sedangkan jenis rumah yang dimiliki menunjukkan 32,32% rumah

permanen, 68,68 % rumah semi permanen; 11) Kepemilikan Tabungan,

menunjukkan bahwa 77,78% tidak memiliki tabungan, sedangkan 32,32%

memiliki tabungan; 12) Organisasi yang Diikuti dan Kedudukan Dalam

Organisasi, menunjukkan bahwa 62,63% ikut dalam 1-3 organisasi, 28,28% ikut

dalam 4-5 organisasi, dan 9,09% ikut dalam 6-7 organisasi, sedangkan

kedudukannya dalam organisasi menunjukkan 37,37% sebagai pengurus, 61,62 %

sebagai anggota, dan 1,01% sebagai keanggotaan lainnya (penasehat); dan 13)

Partisipasi Terhadap Kegiatan Kelompok, menunjukkan, 0,0% tidak pernah

hadir, 2,02% kadang-kadang hadir, 15,15% sering dan 82,83% menyatakan selalu

hadir.

b. Tingkat Dukungan Masyarakat terhadap Pelaksanaan PNPM-MKP.

1) Aspek Perencanaan Program, menunjukkan bahwa 12,12 % dukungannya

rendah, 67,68% dukungannya sedang, 16,16% dukungannya tinggi dan 4,04%

dukungannya sangat tinggi. Tingkat dukungan masyarakat terhadap aspek

perencanaan dalam kategori sedang, disebabkan karena masyarakat di dalam

merencanakan suatu program masih perlu dituntun oleh pembina (pengelola

program) atau program bersifat luncuran dari pemerintah (top-bottom), sehingga

peranan masyarakat di dalam merencanakan kegiatan PNPM-MKP perlu

ditingkatkan.

Gambar 4. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya

Page 14: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

12

Terhadap PNPM-MKP pada Aspek Perencanaan Program

2) Aspek Pelaksanaan Program, menunjukkan bahwa 1,01 % dukungannya

rendah, 52,53% dukungannya sedang, 40,40% dukungannya tinggi dan 6,06%

dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat pada aspek

pelaksanaan program disebabkan karena masyarakat penerima PNPM-MKP)

benar-benar dapat melaksanakan kegiatan tersebut. Pelaksanaan program dapat

berjalan dengan baik juga disebabkan karena responden mengikuti arahan dari

pembina teknis di lapangan.

Gambar 5. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap

PNPM-MKP pada Aspek Pelaksanaan Program

3) Aspek Pemanfaatan Program, menunjukkan bahwa 2,02 % dukungannya

rendah, 53,54% dukungannya sedang, 40,40% dukungannya tinggi dan 4,04%

dukungannya sangat tinggi. Sumbangan pemikiran dan tenaga pada aspek ini

sudah lumayan tinggi, tetapi dukungan berupa sumbangan materi terhadap

pelaksanaaan program masih sedang. Tingginya dukungan pada aspek

pemanfaatan program menunjukkan bahwa ada kecendrungan bahwa program

tersebut benar-benar bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok,

dan program tersebut mudah untuk diadaptasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

Gambar 6. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap

PNPM-MKP pada Apek Pemanfaatan Program

4) Aspek Monitoring dan Evaluasi Program, menunjukkan bahwa 2,02 %

dukungannya rendah, 43,43% dukungannya sedang, 46,47% dukungannya tinggi

dan 8,08% dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat pada

aspek monev program disebabkan karena masyarakat penerima PNPM-MKP

melakukan pengawasan secara ketat, dengan aturan dalam awig-awig kelompok

(Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga). Pengawasan secara internal

kelompok dan pihak antar kelompok dalam wadah Kelompok Pengawas

Masyarakat (Pokmaswas) Bayu Segara yang ada di Kecamatan Kubu.

Page 15: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

13

Gambar 7. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap

PNPM-MKP pada Aspek Monev Program

5). Aspek Dukungan Masyarakat Secara Kumulatif, menunjukkan bahwa 3,03

% dukungannya rendah, 40,40% dukungannya sedang, 55,56% dukungannya

tinggi, dan 1,01% dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat

secara kumulatif menunjukkan bahwa PNPM-MKP di Kabupaten Karangasem

Tahun 2009 mendapat respon dan dukungan yang tinggi oleh kelompok

masyarakat. Masyarakat penerima program sudah mampu untuk melakukan

perencanaan, melaksanakan, memanfaatkan, dan melakukan monitoring dan

evaluasi program secara baik. Tingginya dukungan secara kumulatif ini juga

disebabkan karena modal sosial (terutama tingkat kepercayaan dan partisipasi)

pada kelompok-kelompok nelayan di kecamatan Kubu relatif masih tinggi.

Gambar 8. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap

PNPM-MKP pada Aspek Secara Kumulatif

Page 16: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

14

Secara keseluruhan respon masyarakat terhadap beberapa aspek di atas dapat

dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 9 berikut ini.

Tabel 2. Respon masyarakat terhadap aspek penilaian.

Respon (%)

Aspek rendah sedang tinggi

sangat

tinggi

Perencanaan 12,12 67,68 16,16 4,04

Pelaksanaan 1,01 52,53 40,4 6,06

Pemanfaatan 2,02 53,54 40,4 4,04

Monev 2,02 43,43 46,47 8,08

Kumulatif 3,03 40,4 55,56 1,01

Gambar 9. Respon Masyarakat terhadap PNPM

4.3. Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Dukungan

Masyarakat Terhadap Pelaksanaan PNPM - MKP

di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.

Faktor-faktor yang diduga memiliki hubungan dengan dukungan

masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP yaitu kelompok umur, tingkat

pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan dari pekerjaan utama dan

jumlah kepemilikan alat tangkap.

Page 17: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

15

Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Analisis Khi Kuadrat Terhadap Faktor-Faktor yang

Ada Hubungan dengan Dukungan Masyarakat Terhadap Pelaksanaan

PNPM-MKP di Kec. Kubu, Kabupaten Karangasem Tahun 2009

No Jenis Faktor X2-hitung X

2-tabel (α=5%)

1. Kelompok Umur 60,48* 9,49 2. Tingkat Pendidikan 42,46* 9,49 3. Jumlah Tanggungan Keluarga 33,88* 9,49 4. Pendapatan dari Pekerjaan Utama 40,53* 9,49 5. Jumlah Kepemilikan Alat Tangkap 23,86* 9,49

Keterangan : ns) = non signifikan, *) = siginifikan

Sumber : Data Primer (diolah).

4.3.1 Kelompok umur

Kelompok umur dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kelompok umur 21-37

tahun, 38-54 tahun, dan 55-70 tahun. Kelompok umur mempunyai hubungan

yang signifikan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di

Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa ada

suatu kecenderungan responden pada kelompok umur yang lebih muda memiliki

dukungan yang lebih tinggi atau responden yang ada pada kelompok umur yang

lebih tua memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap

pelaksanaan PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada

kecenderungan semakin muda responden semakin tinggi dukungannnya terhadap

pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena faktor umur mempengaruhi

kemampuan sesorang untuk beraktivitas dan berproduktivitas.

4.3.2 Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan dibagi menjadi tiga kategori yaitu pendidikan tinggi,

pendidikan menengah dan pendidikan dasar. Tingkat pendidikan mempunyai

hubungan yang signifikan dengan dukungan responden terhadap pelaksanaan

PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan

bahwa ada suatu kecenderungan responden pada tingkat pendidikan yang lebih

tinggi memiliki dukungan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP

atau responden yang ada pada pada tingkat pendidikan yang lebih rendah

memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan

PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada kecenderungan semakin

tinggi tingkat pendidikan responden semakin tinggi dukungannya terhadap

pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena faktor pendidikan mempengaruhi

kemampuan seseorang untuk bertindak berdasarkan logika dan bertindak lebih

rasional;

4.3.3 Jumlah tanggungan keluarga Jumlah tanggungan keluarga dibagi menjadi tiga kategori yaitu 5-6

anggota keluarga, 3-4 anggota keluarga, dan 0-2 anggota keluarga. Jumlah

tanggungan keluarga mempunyai hubungan yang signifikan dengan dukungannya

terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.

Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan responden yang memiliki

tanggungan keluarga yang lebih banyak memiliki dukungan yang lebih tinggi

terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang memiliki jumlah

Page 18: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

16

tanggungan keluarga lebih sedikit memiliki kecenderungan dukungan yang lebih

rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena anggota keluarga

dikerahkan secara optimal untuk mendukung dan melaksanakan PNPM-MKP.

4.3.4. Pendapatan dari pekerjaan utama

Pendapatan dari pekerjaan utama dibagi menjadi tiga kategori yaitu Rp.

2.300.000-3.000.000 per bulan, Rp. 1.600.000-<2.300.000 per bulan dan Rp.

<1.600.000 per bulan. Pendapatan dari pekerjaan utama mempunyai hubungan

yang signifikan dengan dukunganya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di

Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa

responden yang memiliki pendapatan yang lebih tinggi memiliki kecendrungan

dukungan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden

yang memiliki pendapatan yang lebih rendah memiliki kecenderungan dukungan

yang lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi

makna bahwa ada kecenderungan semakin tinggi tingkat pendapatan responden

semakin tinggi dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi

karena tingkat pendapatan akan mempengaruhi jumlah pengeluaran yang dapat

dibiayai di dalam meningkatkan taraf hidupnya nelayan. Pendapatan juga akan

berpengaruh terhadap kemampuan nelayan untuk lebih berpartisipasi di dalam

memberikan sumbangan dalam bentuk material (dana) terhadap suatu program;

dan

4.3.5. Kepemilikan alat tangkap

Kepemilikan alat tangkap dibagi menjadi tiga kategori yaitu kepemilikan

alat tangkap 5-6 set, 3-4 set, dan 0-2 set. Kepemilikan alat tangkap mempunyai

hubungan yang signifikan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-

MKP di Kecamatan Kubu. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan

responden yang memiliki alat tangkap yang lebih banyak memiliki dukungan

yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang

memiliki alat tangkap yang lebih sedikit memiliki kecenderungan dukungan yang

lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP. Jadi ada kecenderungan bahwa

semakin banyak kepemilikan alat tangkap semakin tinggi dukungannya terhadap

pelaksanaan PNPM-MKP. Hal ini terjadi karena kepemilikan alat tangkap akan

berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan nelayan yang nantinya akan

berpengaruh dengan tingkat pendapatan nelayan yang merupakan faktor

pendukung dalam pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten

Karangasem.

5. KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI

5.1. Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1) Pelaksanaan

pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu,

Kabupaten Karangasem Tahun 2009 sudah berjalan sesuai dengan pedoman teknis

dan prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat (bottom up); 2) Tingkat dukungan

masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP pada aspek perencanaan program

masuk kategori sedang, pada aspek pelaksanaan program masuk kategori sedang,

Page 19: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

17

pada aspek pemanfaatan program masuk dalam kategori sedang, pada aspek

monitoring dan evaluasi program masuk kategori tinggi, dan dukungan secara

kumulatif masuk dalam kategori tinggi; dan 3) Faktor-faktor yang berhubungan

dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan

Kubu, Kabupaten Karangasem adalah kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah

tanggungan keluarga, jumlah kepemilikan alat tangkap, dan tingkat pendapatan

dari pekerjaan utama.

5.2. Saran

Dari hasil dan pembahasan dapat diberikan saran sebagai berikut : 1)

program PNPM-MKP tetap dapat dilanjutkan oleh pemerintah; 2) Pemerintah

hendaknya lebih melibatkan masyarakat baik dalam tahap perencanaan,

pelaksanaan, pemanfaatan dan monitoring program sehingga program tersebut

benar-benar sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat (bottom up). Dalam

pedoman teknis PNPM-MKP semestinya tidak ada pembatasan desa/kecamatan

calon penerima dan pembatasan menu dari barang-barang yang boleh dibiayai dari

program tersebut; dan 3) Untuk meningkatkan tingkat dukungan masyarakat dari

kategori sedang ke kategori yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP

baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan monitoring dan

evaluasi program, hendaknya memperhatikan faktor-faktor yang berhubungan

dengan dukungan masyarakat seperti kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah

tanggungan keluarga, jumlah kepemilikan alat tangkap dan jumlah pendapatan

dari pekerjaan utama dari calon penerima program.

5.3. Implikasi

Peningkatan dukungan terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir dengan

pola PNPM-MKP dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat pada kelompok

umur muda (usia produktif), meningkatkan pendidikan peserta, meningkatkan

pendapatan masyarakat, serta mengupayakan peningkatan kepemilikan alat

tangkap nelayan.

Oleh karena program PNPM-MKP benar-benar dapat dilaksanakan dan

bermanfaat bagi masyarakat, maka pemerintah maupun stake holder terkait dapat

menggunakan program tersebut untuk dipakai sebagai salah satu model program

pemberdayaan masyarakat pesisir di dalam mengentaskan kemiskinan di

Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, dan Cepi Safrudin Abdul Jabar. 2007. Evaluasi Program

Pendidikan, Pedoman Teoritis Praktis Bagi Praktisi Pendidikan, Jakarta :

Bumi Aksara.

Alistair, Cockburn. 2000. OO Analysis Model (Online).(http://training.fws.gov/

deo/pdfs/The%20Interpretive%20Development%20Model.pdf). Diakses 28

Maret 2010.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2009. Proses Pemberdayaan

Masyarakat Pesisir. Jakarta: Tim Design.

Page 20: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

18

Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem. 2008. Karangasem Dalam Angka.

Amlapura:BPS

Candiasa. 2004. Statistik Multivariat, Singaraja : Unit Penerbitan IKIP Negeri

Singaraja.

Dahuri R. J. Rais , S.P. Ginting, dan M.J Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya

Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Petunjuk Operasional Kegiatan

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan

Tahun 2009. Jakarta :Dirjen KP3K

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Pedoman Teknis Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan Tahun 2009. Jakarta :

Dirjen KP3K

Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2008. Potensi

Pesisir Kabupaten Karangasem Tahun 2008 : Karangasem.

Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2007.

Statistik Perikanan Kabupaten Karangasem . Amlapura : DPKP.

Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.

Statistik Perikanan Kabupaten Karangasem . Amlapura : DPKP.

Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.

Laporan Akhir PNPM-MKP Tahun 2009 . Amlapura : DPKP.

Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.

Laporan Tim Pendamping PNPM-MKP Tahun 2009 . Amlapura : DPKP.

Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.

Laporan Akhir RTRW Pesisir Kabupaten Karangasem. Amlapura : DPKP.

Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.

Laporan Akhir Konsultan Perencanaan Wilayah PNPM-MKP Kabupaten

Karangasem. Amlapura : DPKP.

Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.

Laporan Tahunan Sistem Akuntansi Instansi (SAK-SIMAK BMN) Tugas

Pembantuan Lingkup KP3K Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun

2009. Amlapura : DPKP.

Dinas Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Karangasem.

2007. Laporan Pelaksanaan Pemutakhiran Data Rumah Tangga Miskin

Kabupaten Karangasem. Kerjasama dengan Badan Pusat Statistik

Kabupaten Karangasem.

Fernandes. 1984. Evaluation of Education Programs. Jakarta: Educational and

Curriculum Development.

Gregory, Robert J. 2000. Psichologycal Testing History, Principles, and

Applications. Boston : Allyn and Bacon.

Kay R and Alder J. 1999. Coastal Planning and Management. London: E &FN

Spon an imprint of Roulledge.

Kurniawan, A. 2006. Pemberdayaan Masyarakat. Makalah yang disampaikan

dalam Pelatihan Peningkatan Peranserta Lembaga Keagamaan/Adat oleh

Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Dirjen KP3K DKP di

Cipayung-Bogor: 22-25 Agustus.

Lestari P. 2009. Sosialisasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat.

Mandiri Kelautan dan Perikanan, Makalah disampaikan dalam Sosialisasi

Program PNPM-MKP di Yogyakarta, 17 Maret

Page 21: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

19

Martasuganda, S., R. Drajat., Nelwan D., Christianto D.S., Daulay, HG.,

Nugroho, A.S., Setyaningsih, N., 2006. Teknologi Untuk Masyarakat Pesisir

Seri Alat Tangkap. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.

Meriam-Webster. 2010. Meriam Webster Dictionairy (Online). (http://www.

merim-webster.com/ictionairy/analysis). Diakses 30 Maret 2010

Moleong J, Lexi. 2004. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Nien-Lien Hsueh. 2002. Analysis Model. (Online). (http://publib.boulder.

ibm.com/infocenter/rsmhelp/v7r0m0/topic/analysis model.html). Diakses 30

Maret 2010.

Pratikto, W.A. 2006 Arah dan Kebijakan Pembangunan Sumberdaya Kelautan,

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan

Peningkatan Peran Serta Lembaga Keagamaan/Adat oleh Direktorat

Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Dirjen KP3K DKP di Cipayung-Bogor

22-25 Agustus.

Royat. S. 2009. Penanggulangan Kemiskinan dan Pengurangan Pengangguran

Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-

Mandiri). Makalah yang disampaikan oleh Deputi Menko Kesra Bidang

Penanggulangan Kemiskinan/Ketua Tim Pelaksana Pengendali PNPM

Mandiri pada Launching Program PNPM-MKP di Yogyakarta, 17 Maret

Saad, S. 2006. Peran Lembaga Keagamaan/Adat dalam Pemberdayaan

Masyarakat Pesisir. Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan

Peningkatan Peranserta Lembaga Keagamaan/Adat oleh Direktorat

Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Dirjen KP3K DKP di Cipayung-Bogor

22-25 Agustus.

Soetrisno R. 2001. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebebasan

Kemiskinan, Yogyakarta: Philosophy Press.

Sudrajat Sutawijaya. 1999. Statistik Non Parametrik. Bandung: Program Pasca

Sarjana Unpad.

Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Tarsito.

Suharsimi, Arikunto dan Cepri Safrudin Abdul Jalal. Evaluasi Program

Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Sunartiningsih, A. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Jogjakarta : Aditya

Media.

Tasrif, Muhammad. 2005. Analisis Kebijakan Menggunakan Model System

Dynamic. Bandung : Program Magister Studi Pembangunan. Institut

Teknologi Bandung.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4437)

Usman, S. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Pustaka

Pelajar.

Page 22: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

20

UPAYA MENINGKATKAN POTENSI KESUBURAN TANAH

LAHAN MARGINAL DI KAWASAN BALI TIMUR

MELALUI BIOTEKNOLOGI BIOFERTILISASI ANTARA MIKORIZA

DENGAN PUPUK KANDANG DAN KASCING

I Ketut Widnyana

Email : [email protected]

Jurusan Agroteknologi Universitas Mahasaraswati Denpasar

1. PENDAHULUAN

Kabupaten Karangasem dengan luas wilayah 83.954 Ha. Hanya memiliki

lahan sawah beririgasi teknis seluas 7.059 Ha. (8,41 %) dan lahan kering paling

luas di daerah Bali bagian timur yaitu seluas 76.868 Ha. (91,56 %). Kabupaten

Karangasem terdiri dari 8 kecamatan dan dari 8 kecamatan yang ada tersebut,

kecamatan Kubu dan kecamatan Abang memiliki lahan kering terluas yaitu

masing-masing seluas 23.472 Ha. dan 12.658 Ha., selanjutnya disusul dengan

kecamatan Rendang seluas 9.987 Ha., kecamatan Karangasem seluas 7.817 Ha.,

kecamatan Selat seluas 7.200 Ha., kecamatan Bebandem seluas 7.127 Ha.,

kecamatan Manggis seluas 6.395 Ha., dan kecamatan Sidemen seluas 2.2123 Ha.

Lahan kering bermasalah (marginal) dari segi kesuburan dan curah hujan yang

rendah sebagian besar ditemukan di kecamatan Kubu, Abang, dan Karangasem

(Bappeda Karangasem dan Puslit Teknologi dan Seni UNUD, 2003). Secara

agroekosistem lahan kering mempunyai karakter lebih labil dibandingkan lahan

sawah. Secara umum beberapa karakteristik lahan kering adalah topografi

umumnya tidak datar, rentan terhadap erosi, system usahatani beragam sehingga

agak sulit dalam pengelolaan lahan, ketergantungan terhadap iklim sangat besar,

unsure hara terbatas.

Sumber daya alam di lahan kering dapat pulih dengan beberapa teknologi

dan teknik pengelolaan yang benar dan konsisten dari pengelolanya, walaupun

memang memerlukan waktu yang relatif agak lama. Disamping itu kondisi

penduduk terutama petani yang relatif miskin harus digarap juga dengan cara

memberikan pembinaan dan bimbingan secara terus menerus untuk mengelola

lahannya dengan baik agar dapat memberikan menfaat yang lebih untuk

kehidupan mereka.

Salah satu usaha yang dapat dilaksanakan adalah peningkatan kesuburan

tanah dengan pemberian pupuk yang mudah tersedia dan berkadar tinggi Akan

tetapi pemberian pupuk kimia atau anorganik untuk mempercepat proses

peningkatan kesuburan tanah hanya akan meningkatkan kesuburan kimia tanah

saja, sedangkan kesuburan fisik tanah akan tetap rendah dan bahkan kesuburan

biologi tanah akan tertekan atau aktivitas mikroorganisme tanah yang membantu

peningkatan kesuburan tanah akan terhenti dengan adanya pupuk kimia

(anorganik) yang tinggi (Food and Fertilizer Technology Center, 2003). Seperti

diketahui bahwa lahan marginal adalah lahan yang rendah potensi dan

produktivitasnya dari semua segi kesuburan tanahnya baik dari segi kimia,fisik

maupun biologi tanah dan disamping itu juga pada keterbatasan tersedianya air

Page 23: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

21

(Suprapto, dkk, 2000), sehingga untuk menangani kesuburan lahan marginal agar

potensi kesuburannya meningkat, maka perlu diambil langkah – langkah yang

bijak untuk mengatasi kendala kendala yang ada. Langkah – langkah yang bijak

untuk mengatasi ketiga kendala aspek kesuburan tanah lahan marginal tersebut

adalah dengan pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang dan kascing serta

pupuk hayati mikoriza

Paket rekayasa bioteknologi biofertilisasi antara mikoriza dengan pupuk

kandang dan kascing untuk meningkatkan potensi kesuburan tanah lahan marginal

cukup ideal dapat dilaksanakan karena akan mendukung ketiga aspek kesuburan

tanah yaitu kesuburan kimia, fisik dan biologi tanah. Aplikasi miko-riza, pupuk

kandang dan kascing ke dalam tanah lahan marginal akan berpengaruh terhadap

(Parr et al., 2003; Herman dan Goenadi, 2003; Pujiyanto, 2001; Wiswasta, 2001):

1. Aspek fisik tanah yang meliputi struktur dan tekstur tanah, tanah akan

menjadi gembur. Adanya bahan organik yang cukup dari pupuk

kandang dan kascing maka pada tanah yang berkadar pasir tinggi. Air

tidak akan mudah hilang meresap karena ditahan oleh bahan organik

tersebut dan pada tanah berkadar liat tinggi, air tidak mudah

tergenang karena tanah menjadi penuh dengan adanya bahan organik

tersebut. Mikoriza juga mempunyai sifat menyimpan air pada musim

kemarau.

2. Aspek biologi tanah, tersedianya bahan organik yang cukup di dalam

tanah akan meningkatkan aktivitas dan perkembangbiakan

mikroorganisme tanah yang menguntungkan yang membantu

meningkatkan kesuburan tanah.

3. Aspek kimia tanah, aktivitas dan perkembangbiakan mikroorganisme

akan membantu mendegradasi molekul – molekul bahan organik

menjadi unsur – unsur yang dapat meningkatkan kesuburan tanah

sehingga tersedia bagi tanaman.

Paket bioteknologi biofertilisasi ini telah banyak diteliti dan dicoba baik di

luar maupun di dalam negeri untuk mengembalikan kesuburan tanah lahan kering

(marginal) seperti lahan lahan transmigrasi yang telah lama terbuka agar berdaya

guna dan berhasil guna. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperbaiki atau

meningkatkan kesuburan tanah lahan marginal yang selanjutnya akan

meningkatkan pendapatan petani dengan pemanfaatan limbah peternakan (

kotoran ternak ) atau kascing ( hasil degradasi sampah bahan organik oleh cacing

tanah ) dan dengan inokulasi mikoriza melalui penerapan paket bioteknologi

biofertilisasi

2. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas lahan kering di

Kubu, Karangasem. Setelah diketahui tingkat kesuburan, potensi dan

produktivitas lahan kemudian dilakukan perlakuan pemupukan pupuk organik

dikombinasi dengan mikoriza untuk meningkatkan kesuburan tanah lahan

marginal sehingga potensi dan produktivitas lahan tersebut meningkat. Dari

penelitian ini juga diharapkan diperoleh peningkatan potensi kesuburan tanah

lahan marginal yang memperoleh perlakuan bioteknologi biofertilisasi mikoriza

dengan pupuk kandang dan kascing. Dengan diketahuinya potensi tanah lahan

marginal melalui studi rekayasa bioteknologi biofertilisasi tersebut maka dapat

Page 24: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

22

diperoleh informasi dalam penyediaan bahan organik/pupuk kandang dan kascing

baik jenis maupun jumlah (dosis) pupuk organik tersebut yang dikombinasi

dengan pupuk hayati mikoriza. Hal ini akan dapat meningkatkan efisiensi

penggunaan bahan organik (pupuk kandang) baik jenis maupun jumlahnya. Dari

segi jenis mudah diperoleh, dari segi jumlah ( dosis ) diperoleh dosis yang tepat,

sehingga akan mampu meningkatkan produksi secara signifikan. Keadaan ini akan

dapat meningkatkan pendapatan petani, selanjutnya meningkatkan taraf hidup

petani.

Sesuai data dan informasi (Badan Pusat Statistik/BPS Propinsi Bali, 2005),

di Pulau Bali terdapat lebih kurang 2.181.19 Ha lahan kering yang sebagian besar

kurang produktif yang dikatagorikan sebagai lahan marginal karena keterbatasan

dari segi kesuburan dan ketersediaan air yang memerlukan penanganan dengan

baik dan bijak untuk ditingkatkan potensi dan produktivitasnya. Sumberdaya

lahan kering merupakan sumber daya alam yang dapat pulih, tetapi proses

pemulihannya memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup besar.

Dari karakteristik lahan kering , maka arah pengelolaan lahan kering unutk bidang

pertanian adalah pengelolaan secara berkelanjutan (sustainable management)

yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara berkelanjutan,

tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lahan.

Pengelolaan lahan kering berkelanjutan pada intinya diarahkan pada

beberapa maksud yaitu 1) meningkatkan produktivitas lahan kering, 2)

mengurangi resiko kegagalan, 3) melindungi sumber daya alam, menekan

terjadinya gradasi tanah dan air, 4) meningkatkan pendapatan petani, 5)

memenuhi kebutuhan sosial.

3. METODE PENELITIAN

Percobaan pot (rumah kaca)

Percobaan pot (rumah kaca) dilakukan untuk mengetahui perubahan

tingkat kesuburan tanah lahan marginal yang diberi berbagai perlakuan sehingga

potensi dan produktivitas lahan tersebut meningkat. Percobaan berpola faktorial

dengan Rancangan Acak Kelompok /RAK (Gomez and Gomez, 1995). Adapun

faktor – faktor perlakuan yang dicoba adalah sebagai berkut :

(1) Faktor I Inokulasi mikoriza ( M ).

m0 = tanpa inokulan mikoriza

m1 = dengan inokulan mikoriza

(2) Faktor II pupuk kandang dan kascing ( P )

p0 = Tanpa pupuk

p1 = pupuk kandang sapi

p2 = pupuk kandang ayam

p3 = pupuk kandang babi

p4 = pupuk kascing

(3) Faktor III dosis pupuk kandang dan kascing ( D )

d0 = 0 ton per ha

d1 = 4 ton per ha

d2 = 8 ton per ha

d3 = 12 ton per ha

d4 = 16 ton per ha

Page 25: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

23

Berdasarkan ketiga faktor perlakuan tersebut akan diperoleh 32 kombinasi

perlakuan yang diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 96 pot percobaan.

Tanaman yang ditanam untuk menguji perlakuan tersebut adalah tanaman jagung

dan kacang tanah , sehingga jumlah keseluruhan pot yang diperlukan untuk

percobaan ini adalah 192 pot .

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Percobaan Pot Kacang Tanah

Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa pengaruh kombinasi

perlakuan mikoriza, dosis pupuk dan jenis pupukterhadap beberapa parameter

hasil seperti jumlah biji, berat kering oven (BKO), pada tanaman kacang tanah

menunjukkan perbedaan yang nyata, akan tetapi semua perlakuan masih belum

menunjukkan adanya interaksi. Hal ini dapat dilihat dari grafik kecenderungan

hasil yang masih linier. Beberapa perlakuan tunggal (pupuk dan mikoriza)

menunjukkankan kecenderungan yang meningkat walaupun masih linier. Hal ini

dapat dilihat pada Tabel dan Grafik berikut:

Tabel 4. Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan Pemupukan Organik terhadap

Jumlah Biji Kacang Tanah Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2

JBJKCTP1 LIN ,198 8 1,97 ,198 34,8000 -1,0375

JBJKCTP1 QUA ,229 7 1,04 ,402 32,0143 ,3554 -,0871

JBJKCTP2 LIN ,000 8 3,0E-03 ,957 27,1000 ,0250

JBJKCTP2 QUA ,183 7 ,79 ,492 30,8143 -1,8321 ,1161

JBJKCTP3 LIN ,321 8 3,79 ,088 21,9000 1,2625

JBJKCTP3 QUA ,629 7 5,94 ,031 13,5429 5,4411 -,2612

JBJKCTP4 LIN ,047 8 ,39 ,549 24,2000 ,3625

JBJKCTP4 QUA ,067 7 ,25 ,783 25,8429 -,4589 ,0513

Dari Tabel 4 – Tabel 7 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan mikoriza dengan

pupuk organik terhadap parameter jumlah biji dan berat kering oven biji kacang

tanah menunjukkan pengaruh tidak nyata Hal ini juga dipertegas dengan

kecenderungan Grafik 1 sampai dengan Grafik 4, dimana pada kedua parameter

kecenderungan masih linier. Walaupun pada perlakuan tunggal baik pupuk

maupun mikoriza ada beberapa yang menunjukkan pengaruh nyata. Misalnya

seperti perlakuan pupuk kandang babi (P3) dan mikoriza menunjukkan pengaruh

yang nyata (Tabel 4).

JBJKCTP3

DOSISPPK

20100-10

50

40

30

20

10

0

Observed

Linear

Quadratic

Grafik 1. Trend Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan Pemupukan Organik terhadap

Jumlah Biji Kacang Tanah

Page 26: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

24

Pada Tabel 5 terlihat bahwa tanpa perlakuan mikoriza maka pemberian pupuk

kascing menunjukkan pengaruh yang nyata, walaupun kecenderungannya masih

linier.

Tabel 5. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik terhadap Jumlah Biji Kacang Tanah Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2

JBJKCTP1 LIN ,320 8 3,76 ,089 47,3000 -1,5250

JBJKCTP1 QUA ,382 7 2,17 ,185 42,7286 ,7607 -,1429

JBJKCTP2 LIN ,527 8 8,92 ,017 39,7000 -1,8125

JBJKCTP2 QUA ,564 7 4,52 ,055 36,4857 -,2054 -,1004

JBJKCTP3 LIN ,029 8 ,24 ,641 34,6000 -,3750

JBJKCTP3 QUA ,029 7 ,10 ,903 34,4571 -,3036 -,0045

JBJKCTP4 LIN ,002 8 ,02 ,903 28,6000 ,0625

JBJKCTP4 QUA ,022 7 ,08 ,924 27,2429 ,7411 -,0424

JBJKCTP2

DOSISPPK

20100-10

50

40

30

20

10

0

Observed

Linear

Quadratic

Grafik 2. Trend Pengaruh Pemberian Pupuk Organik terhadap Jumlah

Biji Kacang Tanah

Tabel 6. Pengaruh Perlakuan Pupuk Organik terhadap Berat Kering Oven Biji

Kacang Tanah Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2

BKOBJKP1 LIN ,224 8 2,31 ,167 17,5800 -,3912

BKOBJKP1 QUA ,322 7 1,66 ,256 15,8300 ,4837 -,0547

BKOBJKP2 LIN ,324 8 3,83 ,086 17,1000 -,5175

BKOBJKP2 QUA ,428 7 2,62 ,141 15,1143 ,4754 -,0621

BKOBJKP3 LIN ,114 8 1,03 ,340 16,7100 -,3137

BKOBJKP3 QUA ,148 7 ,61 ,572 15,5600 ,2612 -,0359

BKOBJKP4 LIN ,007 8 ,06 ,813 13,9400 -,0487

BKOBJKP4 QUA ,171 7 ,72 ,520 12,3900 ,7262 -,0484

Page 27: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

25

BKOBJKP2

DOSISPPK

20100-10

20

18

16

14

12

10

8

6

4

Observed

Linear

Quadratic

Grafik 3. Trend Pengaruh Perlakuan Pupuk Organik terhadap Berat

Kering Oven Biji Kacang Tanah

Tabel 7. Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat

Kering Oven Biji Kacang Tanah Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2

BKOBJKP1 LIN ,240 8 2,53 ,150 16,4100 -,3512

BKOBJKP1 QUA ,256 7 1,20 ,355 15,8029 -,0477 -,0190

BKOBJKP2 LIN ,006 8 ,05 ,836 12,8400 ,0625

BKOBJKP2 QUA ,195 7 ,85 ,468 15,2829 -1,1589 ,0763

BKOBJKP3 LIN ,134 8 1,24 ,298 14,0600 ,3713

BKOBJKP3 QUA ,512 7 3,67 ,081 9,8529 2,4748 -,1315

BKOBJKP4 LIN ,049 8 ,41 ,539 17,4800 -,3338

BKOBJKP4 QUA ,239 7 1,10 ,384 13,0300 1,8912 -,1391

BKOBJKP3

DOSISPPK

20100-10

30

20

10

0

Observed

Linear

Quadratic

Grafik 4. Trend Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap

Berat Kering Oven Biji Kacang Tanah

Demikian juga apabila dilihat dari parameter berat kering oven biji kacang tanah

maka perlakuan mikoriza dan pupuk kandang ayam (P2) menunjukkan pengaruh

Page 28: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

26

yang nyata, tetapi perlakuan tanpa mikoriza menunjukkan pengaruh nyata pada

perlakuan kascing (P4). Interaksi tidak menunjukkan pengaruh nyata, dapat

dilihat pada grafik kecenderungan yang masih linier (Grafik 3 dan 4).

Tabel 8. Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan pupuk Organik terhadap Jumlah Biji

Jagung Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2

JMBJJGP1 LIN ,480 8 7,38 ,026 98,0000 12,3375

JMBJJGP1 QUA ,548 7 4,23 ,062 66,6429 28,0161 -,9799

JMBJJGP2 LIN ,003 8 ,03 ,877 250,700 -,8625

JMBJJGP2 QUA ,067 7 ,25 ,784 224,629 12,1732 -,8147

JMBJJGP3 LIN ,031 8 ,26 ,626 211,300 3,4625

JMBJJGP3 QUA ,047 7 ,17 ,845 227,943 -4,8589 ,5201

JMBJJGP4 LIN ,060 8 ,51 ,496 307,100 -3,7625

JMBJJGP4 QUA ,221 7 ,99 ,417 348,886 -24,655 1,3058

4.2 Hasil Percobaan Pot Jagung

Interaksi perlakuan mikoriza dan pupuk pada parameter jumlah biji, berat

pipilan kering, berat kering oven jagung menunjukkan pengaruh yang tidak nyata.

Pengaruh pupuk kandang sapi (P1) menunjukkan pengaruh nyata, walaupun

masih menunjukkan kecenderungan yang linier.(Tabel 8 dan Grafik 5). Pada

parameter berat biji pipilan kering perlakuan pupuk kandang sapi (P1)

menunjukkan pengaruh yang nyata, tetapi tidak menunjukkan adanya

kecenderungan kuadratik (Tabel 9 dan Grafik 6). Pada parameter berat kering

oven biji jagung maka pengaruh nyata ditunjukkan oleh perlakuan pupuk kandang

sapi (P1), tetapi kecenderungan masih linier (Tabel 10 dan Grafik 7).

JMBJJGP1

DOSISPPK

20100-10

400

300

200

100

0

Observed

Linear

Quadratic

Grafik 5. Trend Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan pupuk Organik terhadap

Jumlah Biji Jagung

Tabel 9. Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat

Pipilan Kering Jagung Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2

BPKBJP1 LIN ,259 8 2,79 ,133 24,8700 1,6713

BPKBJP1 QUA ,323 7 1,67 ,256 19,2629 4,4748 -,1752

BPKBJP2 LIN ,021 8 ,17 ,687 45,6700 -,3575

BPKBJP2 QUA ,047 7 ,17 ,846 43,0271 ,9639 -,0826

BPKBJP3 LIN ,008 8 ,06 ,809 45,4500 ,2725

BPKBJP3 QUA ,085 7 ,32 ,733 51,2500 -2,6275 ,1812

BPKBJP4 LIN ,029 8 ,24 ,636 53,4000 -,4075

BPKBJP4 QUA ,175 7 ,74 ,510 59,5429 -3,4789 ,1920

Page 29: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

27

BPKBJP1

DOSISPPK

20100-10

70

60

50

40

30

20

10

Observed

Linear

Quadratic

Grafik 6. Trend Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat

Pipilan Kering Jagung

Tabel 10. Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat

Kering Oven Jagung Dependent Mth Rsq d.f. F Sigf b0 b1 b2

BKOBJP1 LIN ,462 8 6,87 ,031 10,2000 1,7225

BKOBJP1 QUA ,490 7 3,36 ,095 7,3429 3,1511 -,0893

BKOBJP2 LIN ,026 8 ,21 ,657 35,6900 -,3687

BKOBJP2 QUA ,027 7 ,10 ,908 35,1257 -,0866 -,0176

BKOBJP3 LIN ,000 8 1,2E-03 ,974 35,5100 ,0300

BKOBJP3 QUA ,086 7 ,33 ,731 40,4529 -2,4414 ,1545

BKOBJP4 LIN ,021 8 ,17 ,689 33,5900 ,2550

BKOBJP4 QUA ,021 7 ,08 ,928 33,6471 ,2264 ,0018

BKOBJP1

DOSISPPK

20100-10

50

40

30

20

10

0

Observed

Linear

Quadratic

Grafik 7. Trend Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik

terhadap Berat Kering Oven Jagung

Dari hasil analisis terhadap parameter vegetatif, hanya terhadap panjang akar dan

berat kering oven akar terjadi pengaruh yang signifikan, (lihat Tabel 8 dan 9).

Panjang akar tertinggi diperoleh pada perlakuan M1P4D4 (84 cm), dan berat

kering oven akar tertinggi diperoleh pada perlakuan M1P4D4 (35,5 g).

Page 30: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

28

Tabel 11. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Basah Akar Tanaman Jagung (cm)

Perlakuan P1 P2 P3 P4

D1 81 76 72 64

D2 63 68 69 56

D3 78 61 74 73

D4 77 70 79 84

Keterangan:

D = perlakuan dosis pupuk

P = perlakuan jenis pupuk

Tabel 12. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Kering Oven Akar (g

Perlakuan P1 P2 P3 P4

D1 23,7 27 22,1 21,2

D2 16,7 23,1 14,5 18,4

D3 21,1 24,2 25,6 20,1

D4 24,9 27,7 21,5 35,5

Keterangan:

D = perlakuan dosis pupuk

P = perlakuan jenis pupuk

4.3 Pembahasan

Tabel 13. Signifikansi Pengaruh perlakuan Mikoriza (M), Dosis (D) dan Jenis

pupuk (P) terhadap parameter yang diamati

No Parameter

M D P MxDx P

1 Jumlah biji kacang tanah * ns * ns

2 Berat Kering Oven Biji Kacang tanah * ns * ns

3 Jumlah biji jagung * ns * ns

4 Berat pipilan kering jagung * ns * ns

5 Berat kering oven jagung * ns * ns

6 Berat basah akar kacang tanah * ns * ns

7 Berat kering oven akar kacang tanah * ns * ns

8 Berat basah akar jagung * ns * ns

9 Berat kering oven akar jagung * ns * ns

Keterangan:

* = berpengaruh nyata

ns = non significant (tidak berpengaruh)

Dari data signifikansi dapat dilihat bahwa pengaruh perlakuan mikoriza

dan pupuk berjalan sendiri-sendiri, baik pada tanaman jagung maupun pada

tanaman kacang tanah. Pada perlakuan tunggal mikoriza maka semua parameter

yang diamati menunjukkan perbedaan yang nyata, walaupun masih menunjukkan

kecenderungan linier, yang berarti bahwa pemberian mikoriza untuk selanjutnya

bisa ditingkatkan dari dosis yang digunakan saat ini. Pada perlakuan pupuk

terlihat dari Tabel 4 – Tabel 10 ternyata jenis pupuk menunjukkan pengaruh yang

berbeda pada masing-masing parameter, hal ini diduga disebabkan karena pupuk

Page 31: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

29

organik memang ketersediaannya dalam jangka waktu panjang, sehingga pada

percobaan ini pengaruh pupuk masih belum nyata. Dari nilai rata-rata parameter

hasil yaitu jumlah biji, berat pipilan kering dan berat kering oven biji jagung maka

hasil tertinggi diperoleh berturut-turut pada pelakuan M1D4P3, M1D4P4, dan

M1D3P4

Dari data panjang akar dan berat kering oven akar tanaman jagung

perlakuan M1D4P4 menunjukkan hasil tetinggi, hal ini disebabkan karena

perlakuan mikoriza menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap panjang akar dan

berat kering oven akar baik kacang tanah maupun jagung. Hal ini sesuai dengan

fungsi mikoriza yaitu meningkatkan permukaan serapan terhadap hara sehingga

tanaman dapat lebih banyak menyerap unsur hara yang tersedia dalam tanah.

Pendapat (Guissou et al., 1998; Cuenca et al. 1998 dan Matsubara et al.,2000)

bahwa mikoriza dapat memperbesar penyerapan P dan unsur-unsur hara lainnya

walaupun dalam jumlah yang lebih kecil seperti N,K,S,Ca,Mg,Cu dan Zn melalui

perpanjangan micelia yang berkembang sangat luas di luar struktur akar tanaman.

Lebih lanjut dinyatakan oleh Yadi setiadi (2000) bahwa adanya hubungan

simiosis mutualisme antara tanaman inang dengan mikoriza sangat membantu

dalam penyerapan P. Hifa dari mikoriza yang berperan sebagai sistem perakaran

tanaman sehingga jangkauan penyerapan dapat mencapai + 80 mm dibandingkan

dengan tanpa mikoriza jangkauan hanya 1-2 mm. Hasil penelitian Setiawati dkk.

(2000) juga mendapatkan bahwa inokulasi cendawan mikoriza pada tanaman

kacang tanah meningkatkan serapan P tanaman secara nyata 57,14 %

dibandingkan tanapa mikoriza. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dengan

diperbaikinya status nutrisi tanaman terutama P maka dapat meningkatkan

pertumbuhan di bawah tanah (terutama akar), apalagi kalau diakitkan dengan

kondisi tanah di lahan kering, maka perkembangan akar harus semaksimal

mungkin agar dapat menyerap kara pada kedalaman tanah yang lebih dalam

(Ahiabor dan Hirata, 1995).

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1) Pengaruh interaksi antara perlakuan mikoriza (M), Dosis (D) dan jenis

pupuk (P) pada semua parameter yang diamati tidak berpengaruh nyata.

2) Pada semua parameter yang diamati, pengaruh perlakuan mikoriza nyata

tetapi masih menunjukkan kecenderungan yang linier.

3) Pengaruh dosis dan jenis pupuk kandang menunjukkan pengaruh nyata

tetapi kecenderungan masih linier.

5.2 Saran

Beberapa hal dapat disarankan:

1). Karena percobaan masih dilakukan di pot maka akan dilakukan percobaan

lapangan dengan menggunakan kombinasi terbaik dari hasil penelitian

ini, sehingga di lapangan akan diperoleh data yang lebih akurat untuk

memperoleh rekomendasi perlakuan terbaik.

2) Untuk mikoriza yang digunakan sebaiknya digunakan mikoriza lokal,

karena masing-masing mikoriza sebenarnya bersifat khas untuk masing-

Page 32: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

30

masing daerah. Dengan menginokulasi sendiri dari sumber di daerah

penelitian maka keefektifan fungsi mikoriza lebih akurat.

3) Perlu dilakukan analisis serapan unsur P oleh tanaman dan analisis P-

tersedia dalam tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Ahiabor, B.D and H.Hirata. 1995. Influence of Growth Stage on The Assocation

Between Some Tropical Legumes and Two variant species of Glomus in

an Andosol. Sil Sci. Plant Nurt. 41 (3): 481-496.

Astiari, A. 2003. Efek Dosis Inokulan Mikoriza terhadap Pertumbuhan dan Hasil

Beberapa Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) di lahan Kering

Desa Kubu, Karangasem. Thesi Magister Pertanian Lahan Kering.

Universitas Udayana Denpasar.

Badan Pusat Statistik Propinsi Bali, 2003. Bali Dalam Angka. Badan Pusat

Statistik Propinsi Bali

Bappeda Kabupaten Karangasem dan Pusat Penelitian Teknologi dan Seni, 2003.

Kajian Teknis Potensi dan Pemanfaatan Lahan Kering Di Kabupaten

Karangasem. Bappeda Kabupaten Karangasem.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Prov. Bali. 2007. . Makalah disampaikan pada

Semi Loka nasional Model produksi Beras di Bali. Sindhu Beach Hotel,

21 Nopember 2007

Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. 2002.

Panduan Pelaksanaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.

Edisi VI. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Jakarta.

Food and Fertilizer Technology Center, 2003. Microbial and Organic Fertilizers in

Asia. An International Information Center for Farmers in the Asia

Pasific Region. http://www.agnet.org/library/html 1/17/03.

Gemma, J.N. and R.E. Koske, 2003. Use of Mycorrhizae in Restoration of

Hawaiian Habitats. Departement of Biological Sciences, University of

Rhode Island, Kingston. http://www.hawaii.edu/scb/scinativ_mycor.html

1/22/03.

Gomez, K.A., A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika Untuk Penelitian Pertanian.

Terjemahan. E. Samsuddin dan J.S. Baharsyah. UI press, Jakarta.

Herman dan D.H. Goenadi, 2003. Manfaat dan Prospek Pengembangan Industri

Pupuk Hayati Di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. http://pustaka.bogor.net/publ/jp3/html/jp183993.html 1/8/03.

Kasno, A. 2003. Profil dan Perkembangan Teknik Produksi Kacang Tanah di

Indonesia. Seminar Rutin Puslitbang Tanaman pangan, Bogor, 26 Mei

2003

Muin, A., 2003. Penggunaan Mikoriza untuk Menunjang Pembangunan Hutan

pada Lahan Kritis atau Marginal. Mutualisme antara Cendawan dan

Tanaman. http://www.hayati-

ipb.com/users/rudyct/PPs702/ABDURRANI.htm 1/3/03.

Munir, M., 2001. Tanah-Tanah Utama Indonesia : Karakteristik, Klasifikasi, dan

Pemanfaatannya. Pustaka Jaya, Jakarta.

Page 33: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

31

Parr, J.F., S.B. Hornick, and D.D. Kaufman, 2003. Use of Microbial Inoculants

and Organic Fertilizers in Agricultural Production. An International

Information Center for Farmers in Asia Pasific Region . Food and

Fertilizer Technology Center.

http://www.agnet.org/library/article/eb394.html 1/29/03.

Pujiyanto, 2003. Pemanfaatan Jasad Mikro Jamur Mikoriza dan Bakteri dalam

Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia : Tinjauan dari Perpektif

Falsafah Sains. Program Pascasarjana IPB. http://www.hayati-

ipb.com/users/rudyct/ indiv2001/pujiyanto.htm 1/28/03.

Setiawati, M.R.,B.N. Fitratin dan P. Suryatmana. 2000. Pengaruh Mikoriza dan

Pupuk Fosfat terhadap Derajat Infeksi Mikoriza dan Komponen

Pertumbuhan Tanaman Kacang Tanah. Prosiding Seminar Nasional

Mikoriza I. Bekerjasama dengan AMI dan PAU Bioteknologi IPB. Hal

92 – 99.

Suarna, I W., 2001. Pengaruh Pupuk Organik Kascing terhadap Pertumbuhan,

Hasil, dan Kualitas Hijauan dalam Sistem Asosiasi Rumput–Legum serta

Dampak-nya terhadap Prestasi Kambing Peranakan Etawah Jantan.

Disertasi Program Pascasarjana UNPAD., Bandung.

Suprapto, I N. Adijaya, I K. Mahaputra, dan I M. RaiYasa, 2000. Penelitian

Sistem Usahatani Diversifikasi Lahan Marginal. Instalasi Penelitian dan

Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Wiswasta, I G.N.A., 2001. Pertumbuhan dan Hasil Hijauan Tanaman Rumput

Setaria (Setaria splendida Stapf.) yang Dipengaruhi Nitrogen, Fosfor,

Mikoriza, dan Azospirillum. Disertasi Program Pascasarjana UNPAD.,

Bandung.

Yadi Setiadi. 2000. Status Penelitian dan Pemanfaatan Cendawan Mikoriza

Arbuskular dan Rhizobium untuk Merehabilitasi Lahan Terdegradasi.

Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I. Bekerjasama dengan AMI dan

PAU Bioteknologi IPB, Bogor. Hal 11-23.

Page 34: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

32

ELASTISITAS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PENAWARAN KEDELAI DI TINGKAT INDUSTRI

I Ketut Arnawa

Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRACT

The main objective of this study was to determine the elasticity and the

factors that affect soybean supply in the industry. Study determined the location of

sampling porpusive in East Java province. The data used are time series data

(1989-2008). The study found the price elasticity of soybean supply is inelastic in

the industry, offering soy at the industry level is strongly influenced by the price

of soybeans, and time trends. Policy implications that can be recommended in

order to support self-sufficiency in soybean prices is the need to establish

policies that favor soybean farmers by improving its marketing.

Key words: Soybean, markets, elasticity

1. PENDAHULUAN

Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang penting bagi

masyarakat. Pertumbuhan permintaan kedelai cukup pesat selama beberapa tahun

terakhir, terutama untuk konsumsi, bahan baku industri, seperti industri tahu,

tempe, kecap, tauco, dan susu, serta meningkatnya permintaan terhadap pakan

ternak sebagai akibat berkembangnya industri perunggasan. Walaupun selama dua

warsa terakhir telah terjadi peningkatan produksi dalam negeri, namun belum

mampu memenuhi permintaannya. Kebutuhan nasional kedelai dewasa ini

telah mencapai 2,3 juta ton tahun-1

, sementara produksi kedelai dalam

negeri baru mampu memenuhi kebutuhan 35-40 persen sehingga

kekurangannya dipenuhi dari impor.

Harga kedelai impor yang lebih murah dibandingkan dengan harga kedelai

lokal sangat merugikan petani. Karena biaya produksi tidak seimbang dengan nilai

hasil yang didapatkan, sehingga minat petani menanam kedelai hanya sekedar

melanjutkan kebiasaan pola tanam saja. Hal ini diperparah lagi dengan situasi

pemasaran kedelai yang kurang menguntungkan petani, pemasaran kedelai

dikuasai oleh pedagang besar dan industri (Sudaryanto,dkk.,1992;

Zulham,dkk.1993; Zulham dan Yumm,1996). Berdasarkan data statisitik

Kementrian Pertanian, (2010) harga kedelai di tingkat petani pada Desember

2009 Rp 4.900 kg-1

, dan harga di tingkat konsumen Rp 6.500 kg-1

. Ini

berarti ada perbedaan harga atau marjin pemasaran sebesar Rp 1.600/kg

atau 32,65 persen

Oleh karena itu pemerintah memprogramkan dan menetapkan jajaran

areal tanam yang diharapkan mempunyai produksi yang dapat mencukupi

kebutuhan pangan, namun kenyataannya kepastian tersebut selalu mendapat

tantangan dari kondisi alam, kondisi praktis seperti penerapan teknologi, dari

pelaksana/petani dan hambatan lain seperti perlakuan pasar, kebijakan

pemerintah, sehingga pencapaian produksi atau penawaran kedelai sulit

diperkirakan secara pasti.

Page 35: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

33

Menyadari bahwa kedelai merupakan komoditas pangan penting bagi

masyarakat, maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan penawaran

kedelai khususnya yang berasal produksi kedelai petani, dengan mengambil

berbagai kebijakan baik di bidang produksi, stabilitas harga maupun investasi,

penelitian, penyuluhan dan teknologi. Berdasarkan urain di atas dapat dirumuskan

permasalahan dalam penelitian ini adalah seberapa besar elastisitas dan faktor-

faktor yang mempengaruhi penawaran komoditas kedelai, sehingga tujuan utama

penelitian ini adalah untuk mengetahui elastisitas dan faktor-faktor yang

mempengaruhi penawaran komoditas kedelai.

2. KERANGKA TEORI

Fungsi Penawaran Kedelai

Penawaran kedelai adalah jumlah kedelai yang ditawarkan

penjual/produsen ke pasar pada berbagai tingkat harga, penawaran kedelai dapat

juga dijelaskan dengan daftar, grafik atau persamaan yang menunjukkan

komoditas kedelai dimana produsen/petani ingin dapat menjual pada berbagai

tingkat harga dalam suatu pasar, pada periode waktu tertentu, cateris paribus.

Sedangkan yang dimaksud dengan fungsi penawaran kedelai adalah

hubungan antara jumlah produksi atau jumlah kedelai yang dijual disesuaikan

dengan perubahan harga. Sehingga untuk membuat persamaan dari fungsi

penawaran kedelai dapat dituliskan sebagai berikut :

Qs = f(P) …………………………………………………………… ..(1)

Dimana :

Qs = jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan

P = Harga dari komoditas kedelai yang ditawarkan

Harga dari komoditas kedelai yang ditawarkan bukanlah satu-satunya yang

berpengaruh terhadap jumlah kedelai yang ditawarkan. Selain harga dari kedelai

yang ditawarkan, juga dipengaruhi oleh teknologi, harga komoditas alternatifnya,

pajak dan subsidi, iklim, dan lain-lainnya yang selanjutnya disebut sebagai supply

relation dan dapat dituliskan sebagai berikut :

Qs = f(P,T,Pi,Pa,Tx,I)………………………………………………...(2)

Dimana :

Qs = Jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan

P = Harga komoditas kedelai yang ditawarkan

T = Teknologi

Pi = Harga input

Pa = Harga komoditas alternatifnya

Tx = Pajak dan subsidi

I = Iklim

Salah satu karakteristik yang penting di dalam kurva penawaran adalah

derajat kepekaan jumlah penawaran terhadap perubahan salah satu factor yang

mempengaruhinya. Derajat kepekaan tersebut adalah elastisitas penawaran,

dimana sangat berguna untuk pengetahuan respon penawaran terhadap perubahan

harga. Koefisien elastisitas harga dari penawaran (ɛs) mengukur persentase

perubahan jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan per unit waktu (Q/Q)

sebagai akibat adanya persentase perubahan harga komoditas kedelai (P/P)

(Salvatore, 1994). Untuk mengetahui tingkat koefisien elastisitas penawaran

komoditas kedelai dapat dihitung sebagai berikut :

Page 36: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

34

Q

P

P

Qs

PP

QQ.

/

/

Dimana : ɛs = Elastisitas penawaran komoditas kedelai

P = Harga komoditas kedelai

Q = Jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan

∂Q = Q2 – Q1 (Q1 dan Q2 adalah komoditas kedelai yang ditawarkan pada

periode 1 dan 2)

Elastisitas penawaran kedelai dapat bersifat; elastisitas sempurna, elastis,

elastis uniter, tidak elastis dan tidak elastis sempurna. Dikatakan elastis sempurna

apabila para penjual/produsen hanya mau menjual semua kedelainya pada suatu

harga tertentu, dan kurve penawaran kedelai sejajar dengan sumbu horizontal (So).

Tidak elastis sempurna apabila penjual sama sekali tidak dapat menambah

penawaran kedelai walaupun harga bertambah, dan kurve penawarannya sejajar

dengan sumbu vertical (S1) sebagai mana ditunjukkan pada Gambar 1a.

Sedangkan kurve penawaran yang tidak elastis, elastis uniter dan elastis

ditunjukkan pada Gambar 1b. Elastis uniter ditunjukkan oleh garis penawaran

(S3) yang membentuk sudut 45o .Kurve penawaran tidak elastis (S2) adalah setiap

perubahan harga kedelai menimbulkan perubahan jumlah komoditas kedelai yang

ditawarkan lebih kecil, dan kurve elastis (S4) apabila terjadi perubahan harga

kedelai menyebabkan perubahan yang lebih besar terhadap jumlah komoditas

kedelai yang ditawarkan

3. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi penelitian

Lokasi penelitian ditentukan secara porpusive sampling di provinsi Jawa

Timur dengan dasar pertimbangan Jawa Timur merupakan daerah penghasil

utama kedelai nasional. Data yang digunakan adalah data statistik Time series

(1989-2008) yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Kementrian Pertanian dan

instansi terkait. Data diestimasi dengan menggunakan OLS (Ordinary Least

Square). Sebelum data diestimasi, setiap variabel diuji kondisi stationary-nya

dengan menggunakan Uji ADF (Augmented Dickey-Fuller Test).

3.2 Analisis Data

Penawaran kedelai responsif terhadap harga. Harga pertanian lain juga

mempengaruhi penawaran kedelai pada level petani. Pada level pedagang besar,

penawaran pasar ini merespon pada tingkat harga pedagang besar.

P

O Q

S1

S2

P

O

S2 S3

S4

Q (a) (b) Gambar 1. Jenis-Jenis Elastisitas Penawaran Kedelai

(Diadaptasi dari Sukirno, 2002)

……………………………………………….(3)

Page 37: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

35

Logikanya, jumlah impor kedelai meningkatkan penawaran yang tersedia

bagi perusahaan. Karena data untuk kedelai yang digunakan oleh industri

termasuk kedelai impor, maka perusahaan adalah penentu juga dalam penawaran

kedelai. Fungsi penawaran kedelai yang dihadapi oleh industri pengolahan kedelai

dapat dinyatakan pada(4) :

R = f(Wr, Rimp, Pf .F,T.e) ................................................... (4)

dimana :

R = penawaran kedelai di tingkat industri

Wr = harga kedelai grosiran

Rimp = jumlah kedelai yang diimpor

Pf = harga eceran pupuk Urea.

F = jumlah curah hujan tahunan

T = tren waktu

e = error term

Bentuk suplai fungsional yang terkenal dengan elastisitas harga konstan

adalah tipe Cobb-Douglas. Penelitian ini mengadopsi bentuk fungsional ini untuk

kaitan fungsi penawaran. Persamaan (5) secara eksplisit menunjukkan penawaran

pasar biji kedelai di tingkat industri.

65432

1

1 ...... eTFPRwaR fmprr

Dimana:

ar = konstanta

α1 = parameter yang terkait dengan penentu penawaran

Untuk memudahkan dalam analisis persamaan (5) dimodifikasi menjadi

persamaan (6)

In(R) = In(ar) + α1.In(Wr) + α2.In(R1mp) + α3In(pf) + α4.In(F) + α5.In (T+e)+e... (6)

Hipotesis parameter dugaan: α1, α2, α4, α5 > 0; α3 < 0

Elastisitas harga penawaran diperoleh dengan mengalikan bentukan (6) yang

berkaitan dengan harga kedelai (Wr) dengan harga itu sendiri. Persamaan (7)

menunjukkan elastisitas harga penawaran kedelai di tingkat industri

er = α1 ……………………………………………………………….………………………………(7)

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Elastisitas harga terhadap penawaran kedelai diestimasi dari fungsi

penawaran kedelai. Hasil estimasi memperoleh F-hitung 15,6871 berbeda nyata

pada taraf nyata 1 persen. Koefisien determinasi R-squared 0,8485, berarti 84,85

persen penawaran kedelai dapat dijelaskan oleh model yang dibangun, dan sisanya

dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ada dalam model.

Tabel 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Kedelai (R)

Variabel Koefisien Prob (t-statistik)

Konstanta 1291,2880 0,0016

Harga kedelai grosiran (LnWr) 0,4333 0,0758

Jumlah impor kedelai (LnRimp) -0,0899 0,1231

Harga eceran pupuk urea (LnPf) 0,1259 0,5808

Jumlah curah hujan tahunan (LnF) -0,1595 0,2726

Tren waktu (T) -168,7059 0,0018

………………………………(5)

Page 38: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

36

Penawaran kedelai di tingkat industri sangat dipengaruhi oleh harga

kedelai, dan tren waktu, sedangkan jumlah kedelai impor, harga eceran pupuk

urea dan jumlah curah hujan tidak menunjukan pengaruh yang nyata. Variabel

harga kedelai berpengaruh nyata terhadap penawaran kedelai, hal ini menunjukan

bahwa petani kedelai responsif terhadap kenaikan harga kedelai. Koefisien regresi

atau elastisitas harga terhadap penawaran kedelai bertanda positif 0,4333 artinya

bahwa peningkatan harga kedelai sebesar Rp 100 akan meningkatkan rataan total

penawaran kedelai 0,43 ton. Dengan demikian kebijakan peningkatan harga

kedelai diharapkan dapat memberikan dampak positif pada peningkatan

penawaran kedelai. Koefisien elastisitas harga terhadap penawaran kedelai

mempunyai tanda positif e1 = α1 = 0,4333 < 1 bersifat inelastis, artinya persentase

perubahan jumlah yang ditawarkan lebih kecil dari persentase perubahan harga.

Elastistas harga penawaran kedelai yang inelastis, menunjukkan kekuatan pasar

industri mempunyai pengaruh cukup besar terhadap harga kedelai di pasar.

Appelbaum – Schroter, (1982) menjelaskan bahwa, elastisitas harga terhadap

penawaran berbanding terbalik dengan kekuatan pasar industri dalam

menentukan harga, semakin kecil elastisitas harga semakin besar kekuatan pasar

industri dalam mempengaruhi harga.

Variabel jumlah impor kedelai tidak berpengaruh nyata terhadap

penawaran kedelai, tetapi koefisien bertanda negatif, hal ini menunjukkan ada

kecendrungan impor berdampak terhadap penurunan penawaran kedelai, ini ada

hubungannya dengan produksi kedelai lokal, kalau pemerintah tidak melakukan

pembatasan impor, petani kedelai di dalam negeri tidak termotivasi meningkatkan

produksinya, harga kedelai impor lebih murah sehingga cendrung menurunkan

harga kedelai di dalam negeri, dampaknya usaha pemerintah untuk meningkatkan

produksi kedelai di dalam negeri akan sulit dicapai.

Harga eceran pupuk urea tidak memberikan pengaruh nyata terhadap

penawaran kedelai. Sebagai tanaman alternatif yang dipilih petani pada musim

kemarau dan pada daerah-daerah tegalan dengan pengairan terbatas, pemberian

pupuk diduga bukan merupakan prioritas bagi petani kedelai, tidak seperti

pemupukan pada tanaman padi. Memperkuat pendapatnya Megel dkk., (1978),

meskipun kedelai menunjukkan respon terhadap pemupukan dan tanah subur,

namum pemupukan pada kedelai belum diterima secara luas.

Jumlah curah hujan tahunan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap

penawaran kedelai, koefisien regresi bertanda negatif, hal ini menunjukkan ada

kecendrungan semakin tinggi curah hujan produksi kedelai menurun sehingga

penawaran kedelai juga menurun. Tanaman kedelai sering dihadapkan pada

lingkungan yang berdrainase buruk, sehingga pada curah hujan yang tinggi,

pertanaman kedelai tergenang dengan air, berdampak pada pertumbuhan tanaman

kerdil dan produktivitas rendah. Pembuatan saluran drainase pada lahan sawah

dianjurkan sebagai komponen teknologi (Manwan dkk.,1996). Pembuatan saluran

drainase juga penting pada kedelai dalam musim kemarau (Juli-Oktober) yang

berfungsi untuk merembeskan air irigasi ke petakan tanaman sehingga

pemanfaatan air irigasi menjadi lebih efisien.

Variabel tren waktu memberikan pengaruh nyata terhadap penawaran

kedelai, koefisien regresi bertanda negatif tidak sesuai dengan parameter dugaan.

Penawaran kedelai dari tahun ketahun menurun, produksi kedelai terus menurun

lebih besar dibandingkan dengan jumlah kenaikan impor kedelai yang dilakukan

Page 39: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

37

pemerintah. Permintaan kedelai terus meningkat, sehingga sering menimbulkan

gejolak kelangkaan kedelai, harga kedelai mahal merugikan industri kedelai.

Pemerintah sudah selayaknya berupaya untuk meningkatkan produksi kedelai.

Beberapa hasil penelitian tentang kedelai telah menghasilkan berbagai pilihan

teknologi produksi yang dapat meningkatkan produksi kedelai pada

agroekosistem tertentu. Berbagai komponen teknologi dan sistem usahatani

kedelai yang dimaksud meliputi varietas unggul, budidaya, pengendalian hama,

penyakit dan gulma, pemupukan dan pengelolaan hara, pengairan dan pengelolaan

air, pasca panen dan penyedian benih serta distribusi.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Elastisitas harga penawaran kedelai di tingkat industri bersifat inelastis,

dengan nilai elastisitas sebesar 0,4333. Penawaran kedelai di tingkat industri

sangat dipengaruhi oleh harga kedelai, dan tren waktu. Untuk meningkatkan

produksi atau penawaran kedelai, maka implikasi kebijakan yang dapat

disarankan dalam rangka mendukung swasembada kedelai adalah perlu

menetapkan kebijakan harga yang berpihak kepada petani kedelai dengan

melakukan perbaikan pemasarannya.

DAFTAR PUETAKA

Amang, B dan Sawit. H. 1996. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Dalam Ekonomi

Kedelai di Indonesia Disunting oleh Amang, B, Sawit. H dan M R. Anas.

IPB Press

Appelbaum, E. 1982. The Estimate of the degree of oligopoly Power. Journal of

Econometrics,19: 287-299

Bain, J.S. 1968. Industrial Organization 2nd

Edition, John Wiley & Sons Inc.

New York

BPS. 1996. Keragaan Impor Biji Kedelai di Indonesia, BPS, Jakarta

BPS. 2006. Keragaan Impor Biji Kedelai di Indonesia, BPS, Jakarta

BPS. 2006. Perkembangan Luas Penen, Produktivitas dan Produksi Kedelei di

Indonesia (1992-2005), BPS, Jakarta

Carlton, DW dan Perloff, JM. 2000. Modern Industrial Organization. Third

Edition. Addison-Wesley Publishing Company

Gujarati, DN. 1998. Basic Economitrics. McGraw Hill Inc. Third Edition

Henderson, James M. and Richard E Quant. 1980. Microeconomic Theory, A

Mathematical Approach. McGraw Hil International Book Company,

Singapore

Koutsoyianis, A. 1982. Theory of Econometrics, McGraw-Hil, Singapore

Kasryno, Faisal, Delima H. Darmawan, I Wayan Rusastra, Erwidodo, dan Charil

A Rasahan. Pemasaran Kedelai di Indonesia. Kedelai, Penyunting:

Sadikin Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, Mahyuddin Syam, S.O.

Manurung Yuswadi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat

Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor

Megel, B.B., William Segars, and George W.Rehn. 1978. Soil Fertility and

Liming Soybean. Wilcox J.R. (Ed.), American Society of Agronomi, M

Anindita, Ratya. 2005. Pemasaran Hasil Pertanian, Penerbit Papyrus

Surabaya

Page 40: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

38

Miller, Roger Le Roy dan Roger E Meiners. 1993. Teori Ekonomi Mikro

Intermediate. Penterjemah Haris Munandar, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta

Manwan, I, Sumarno, A.S. Karama, dan A.M. Fagi. 1996. Teknologi Peningkatan

Produksi Kedelai di Indonesia. Laporan Khusus Pus/02/89, Pusat

Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Maddala, GS. 2001. Introduction to Economitrics. Jhon Wiley & Sons. Ltd

Purwoko, A dan Sayaka, B. 1992. Ekonomi Kedelai di Sulawesi Selatan. Pusat

Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor

Rogers, G. 1986. Penetapan Harga Hasil Pertanian. (Penyunting Makaliwe)

Gramedia. Jakarta

Schroeter, Jhon R. 1988. Estimating the Degree of Market Power in the Beef

Packing Industry. The Review of Economics and Statistics. 70 (1): 158-

162.

Salvatore, D., 1989. Ekonomi Internasional. Gelora Aksara. Jakarta.

Sudaryanto, T., 1992. Gambaran Agegat Ekonomi Kedelai di Indonesia.

Agribisnis Kedelai (Buku I). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,

Bogor.

Schroeter, Jhon R and Azzam, A. 1991.Marketing Margin, Market Power And

Price Uncertainty. American Journal of Agricultural Economics.73 (4):

990-999

Sukirno, Sadono.,2002. Pengantar Teori Mikro Ekonomi Edisi Ketiga. PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta.

Statistik Kementrian Pertanian Indonesia, 2010. Perkembangan Harga Kedelai di

Sentra Produksi Kedelai di Indonesia.

Zulham,A.,Syafa’at, Y Marisa, B. Hutabarat, dan T.B. Purwantini, 1993. Pola

Perdagangan Wilayah Komoditas Kedelai di Indonesia. Pusat Penelitian

Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Zulham, A dan Yumm, M. 1996. Pemasaran dan Pembentukan Harga. Ekonomi

Kedelai di Indonesia. Dalam Ekonomi kedelai di Indonesia disunting oleh

Amang, B; Sawit. H dan MR. Anas. IPB Press. Bogor

Page 41: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

39

INSTITUTIONAL FRAMEWORK

FOR STRENGTHENING SOCIAL CAPITAL :

An Empirical Approach at Different Communities in Bali Province

Nyoman Utari Vipriyanti

Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar

Abstract

The basic premise of this research is that social capital is a productive

factor, which impact the regional development, economic growth and poverty

differently depend on individual and community characteristics. The aims of this

research are (1) generating social capital data especially on dominant component

such as trust, network density and collecctive norm of traditional agriculture

(subak) community, tourism (HPI, Asita and PHRI) community and desa

pakraman community. (2) How to make social capital indicator more strengthen

in diferent region and communities. The data is analyzed with Structural

Equation Model (SEM). Research shows that norm is the most important

indicator to build social capital in underdeveloped region. The other side, the most

important indicator for social capital in developed region is trust. Network density

is the most important endogenous variable that gives the most contribution to

subak’s and desa pakraman's social capital but not in tourism community.

Keywords: Economic Development, Social capital, Trust, Norm, Network.

1. INTRODUCTION

Social capital concept stated that there is a close relationship between

social capital and human resources. Social capital will be established if every

person in the group have own contribution. The relationship between social

capital and human resources is not a simple one (Glaeser, Laibson and Sacerdote,

2001). Social capital is similar with knowledge that always develops to be

productive if used intensively. Therefore the capital should be keep productively.

Without spend a lot of time, energy and others resources on the social capital,

relationship among individual tend to reduce by the time.

Social capital is resulted from changing on relationship among individual

that facilitate an action. Therefore, social capital is intangible, different with

physical capital. However, together with human capital and physical capital,

social capital facilitates productive activities.

From the last 20 century to the beginning of 21 century, a large body of

social capital research has been carried out particularly in relationship with

economic growth of a region. The first research on relationship between social

capital and regional economic performance was conducted by Putnam (1993). He

suggests that social capital is not only found at micro level, in the form of

personal relationship among individual, but also at macro level. He also stated that

level of community welfare in north Italy is higher than south Italy due to

different social structure. In North Italy, there is a horizontal structure while the

south is hierarchy. Putnam measure social capital based on newspaper readership,

availability of sport and culture association, institution performance and citizen

Page 42: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

40

satisfaction. The social capital size is used to explain distinction economic growth

for the two regions while difference from others variable is assumed not large

enough. Furthermore, Helliwell and Putnam (2000) also shows that social capital

will facilitate local government ability to achieve higher economic growth. The

research showed that convergence is faster and income equality will be happened

on higher level that is in regions with stronger social capital.

Even a positive correlation between social capital and growth is proved,

social capital’s key components has not identified yet. Different social capital

research has used different social capital indicator that meet with researcher’s

definition. As so far, there is no agreement on social capital determinant although

some theories suggest that trust is moral basis for the establishment of social

capital. This paper is trying to analyze dominant social capital component in a

community, particularly community in Bali. The objectives is to describe in detail

concerning about dominant social capital component to make effective

establishment of social capital in a community by considering the dominant

component.

2. SUOURCE OF SOCIAL CAPITAL

Trust

Whole human relationship based on trust as moral aspect where the social

capital is established. Morality gives a direction for social cooperation and

coordination. Trust building is an integral part of caring process that established

since the beginning of a family. Trust each other in family relationship, will

develop reciprocity and exchange.

Trust reduces transaction cost that is cost as result of exchange process

including contact, contract and control cost. The existing sense of trust each other

will reduce cost for monitoring activities on other person behavior therefore they

have behavior as expected. Trust means that ready to take risk and uncertainty.

Casson and Godley (2000) have defined trust as accepting and ignoring any

possibility that something will not true. Trust will simplify cooperation. More

trust to other person will make strong cooperation among person.

Trust each other can be established or destroyed. Sustainable trust, can not

build without truth. Trust can be build by the existence of repeated personal

interaction (personalized trust), knowledge on population or accepted incentive

(generalized trust). Bounded human rationality will effect on efforts to build the

trust each other. Therefore, human rationality boundaries should be extended by

communication and information that trustable. Many researches show that trust

has significant and positive relationship with success achievement of economic

growth indicator by more efficient of production process. In other hand,

government success to realize better economic development will strengthen social

trust on community.

Norms (Share Value) Traditional theory on group stated that organization and group are

characterized by ubiquitous that resulting from human tendency to joint and build

association. Mosca in Olson (1977) stated that human has felling to herding

Page 43: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

41

together and fighting with other herds. The feeling will increase in certain

community by means of moral reason.

As so far, there is a general conception that individual group with

collective interest, at least including economic goals, will trying to develop

collective goals. Individual group is expected tend to stand on the collective

interest than individual interest. The opinion is assumed that individual in a group

will act beyond the personal interest. In fact, individual in a group will trying to

achieve collective goals only if the individual also get benefit, in other words, act

to achieve the collective goals is not voluntary. Norms is needed to manage

individual in a group therefore benefit for the members is proportional with the

efforts in the group.

Norms is share values that regulate individual behavior in a community or

group. Fukuyama (1999) stated that social capital is instant informal norms that

able to develop cooperation among two individual or more. Norm is social capital

that constructed from reciprocity among person. Social norms that determine

collective behavior in an individual group is known as equity principles that

directed the actor to have behavior belonging the own interest.

Network Dasgupta (2002) assumed that any person have ability to interact with the

others without opportunites to chosen. However in fact, everybody have certain

interaction pattern, have an opportunity to select the person with whom to interact

and with certain reason. Initially, network is system of communication channel to

protect and develop interpersonal relationship. There is a cost to build the

communication channel that known as transaction cost. Desire to join with other

person, partly is caused by share values. Network is also play to build coalition

and coordination. In general, decision to make investment in certain channel is

caused by the channel contribution on individual economic welfare.

Network is emphasizing on importance of vertical and horizontal

organization among people and the intra-organization. Granovetter (1973) stated

that strong ties among community are needed to give identity on family,

community and collective goals. The idea is also suggest that without community

ties (weak ties) that connecting among social organization, the horizontal strong

ties will be basis to realize bounded group desire.

Social capital is a condition where are the individuals using the

membership on a group to obtaining benefit. Social capital is can not evaluated

without knowledge about where the individual exist, because social interaction is

depends on network and community structures. Coleman (1988) is having notion

that Social network density will increase efficiency to strengthen cooperation

behavior in an organization. According to him, social capital is sums of

"relational capital” of some individual and established on reciprocity norms

basis. Social relationship that established in a closure social structure is not only

important to build effective norms but also to build trust because the network

closure will produce positive economic externality by means facilitation process

on collective action. Woolcock (2001) make clear distinction between bonding,

bridging and linking social capital. According to him, generally bonding social

capital is come from family relationship, neighbor living and friend. Members of

the group generally have intensive interaction, face-to-face and support each

Page 44: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

42

others. Bridging social capital is build from interaction among group in a region

with relative lower frequency, such as religion group, ethnic, or certain income

level. In general, linking social capital is build from formal relationship between

many parties such as bank, health clinic, school, farming, tourism, etc.

The previous research is believed that strong social capital is one of

supporting factor to achieve higher welfare and reduce gap among area or group

in a region (Putnam, 1993; Christoforu, 2003; Grootaert 2001). Measurement of

social capital is carried out with differently methods and proxy with variable that

meet with the research’s goals, however in general including one of trust, network

community and reciprocity norms component. Strong social capital will be

reflected by a condition where is a region having high security level, high

organization activities and adequate public facilities.

This research is trying to test social capital components that has been

conducted for others region. Generally, the objective is to study existing

difference between social capital level and the component that has largest

contribution on social capital in Bali’s community. In detail, the aim of the

research are : (1) to study level of trust, network density and community norms in

developed region, underdeveloped region and community organization such as

subak, banjar/desa pakraman and tourism, (2) to study social capital component

in individual level (micro) and group (medium) and finally (3) to analyze each

component contribution on establishment of social capital.

Measurement of social capital index in Bali is based on regional

development and micro, medium and macro level. Social capital at micro and

medium level is measured by individual network, helping each other norms and

trust where as for macro level is measured by regional network and availability of

public facilities.

Measurement unit for social capital index in Bali is differentiated on social

capital at individual, group and region level. Individual social capital is

established from network, norms and trust. Social capital of community group is

measured using network group, individual trust on certain group, cooperation

activities and benefit that accepted by the group member. Finally, region social

capital is measured by availability of public school facilities, community health

centre (puskesmas) and number of organization.

3. SOCIAL CAPITAL IN DIFFERENT COMMUNITY IN BALI Individual social capital is measured by means trust to person, each

individual network and norms that setting cooperation among the individual.

Trust, readiness to make network and obeying the existing norms are responding

on conditioned social stimulate. Most of social capital component is person or

group attitude on people or certain object such as trust; help each other, courtesy

to friend, secure feeling, and network. Therefore, measurement of individual and

group social capital is following human attitude measurement method. A

measurement method for attitude is carried out by means structured direct

interview. For the purpose, many items have drawn up therefore each answer of a

question will strengthen other answer in the same social capital component. Two

others closure methods for attitude are behavior observation and direct closure

particularly to strengthen general answer.

Page 45: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

43

Measurement of individual social capital is divided into two groups. The

first group is individual that living in underdeveloped region (Jembrana and

Karangasem Regency) and developed region (Badung and Gianyar regency), The

second group is individual community having livelihood in agriculture sector and

tourism sector and also traditional community of banjar pakraman. Individual

with agriculture sector livelihood is member of subak organization while

individual from tourism sector is member of tourism organization. The

differentiation is carried out to sharpen analysis on former component of social

capital in relationship with efforts to improve welfare for individual level.

Table 1 Manifest Variable (Indicator) and Latent Variable of Social Capital

at Micro Level

Latent

Variable

Definition Notation

Trust Trust to other

people or public

and private

institution

Aware (carefulness behavior)

GN Trust (General trust)

DT (Dynamic of trust)

TAE (Thick Trust or trust to Balinese)

TBE (Thin Trust or trust to non Balinese)

PEMKAB (Trust to regency government)

PEMPROP (Trust to provincial government)

POLISI (Trust to police institution or security

officer )

GURU (Trust to teaching and learning

institution)

Network Network density in

formal an informal,

local and regional

organization

DN (Kepadatan jaringan kerja)

SEXP(Pengeluaran sosial)

EMPL (Jumlah anggota keluarga yang

bekerja)

FRIEND (Jumlah teman)

Norm Altruism behaviour HN (Kesediaan saling Bantu)

BNTFSK (Bantuan Fisik)

CC (Kemudahan menitipkan anak)

CHL (Jumlah anak yang sekolah)

FR (Jumlah free rider)

Agriculture community represent resident of rural side which have long

living so have neighbor and family (extended family) which tighter to be

compared to community that living in tourism sector which most of them

represent new comer group in town. The juxtaposition theoretically have potency

to push awaking up of strong trust (strong bonds of trust) and large responsibility

among them to keep the living and environment. On the contrary with urban, not

existing strong social network will lessen even negate trust as well as social

capital (Coleman, 1990). Other factor that affect on forming of social capital are

Page 46: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

44

culture and religion. As stated by Line (2001), social group, culture and religion

influence broadness of network and trust level to people.

Table 2 Manifest Variable (Indicator) and Latent Variable of Social Capital

at Mezo Level

Variabel Definition Notation

Trust Trust to other organization

Trust to their leader

DN

LEADSHP

Network Relationship with similar organization in

the region

Relationship with similar organization in

different region

Relationship with different organization in

the region

Relationship with different organization in

different region

Bonding1

Bonding2

Bridg1

Bridg2

Norm Willingness to pay the monthly

organization’s fee

Willingness to pay for the first

organization’s fee

DANAKEL

DANAWL

Agriculture community represent resident of rural side which have long

living so have neighbor and family (extended family) which tighter to be

compared to community that living in tourism sector which most of them

represent new comer group in town. The juxtaposition theoretically have potency

to push awaking up of strong trust (strong bonds of trust) and large responsibility

among them to keep the living and environment. On the contrary with urban, not

existing strong social network will lessen even negate trust as well as social

capital (Coleman, 1990). Other factor that affect on forming of social capital are

culture and religion. As stated by Line (2001), social group, culture and religion

influence broadness of network and trust level to people.

Level of community trust is divided into thick trust and thin trust or that

widely known as bonding and bridging. The first category is related to trust on

known people that established by existing interaction. The second is trust to

unknown people which in this research stated as question "how much as person

trust to other person from the same ethnic (thick trust) and different ethnics (thin

trust). Some researchers have classified this as racial trust as lyer S, Kitson M,

and Toh B (2005).

The result shows that there is a significant negative relation between thick

trust and thin trust where individual thick trust is is higher than thin trust. High

thick trust that followed by low thin trust for community in Bali is tends to be

caused by culture and institution. In Bali there is a custom institution with

significant role to maintain Bali culture and strong ties the member by means

Page 47: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

45

apply moral sanction. The existence of custom institution (desa adat and banjar

adat) is sustain concerning the function has close relationship with religion

activities. The higher frequency activities, the higher interaction intensity among

individual from the same ethic ad lower interaction intensity among individual

from other ethnic. Azwar (2005) confirm this result by statement that personal

attitude has close relationship with many factors such as interaction intensity,

culture, experience and institution. Independent two sample difference test shows

that thick trust in underdevelop region is stronger than developed region.

However, thin trust is show not significant difference.

However, low trust of community on other ethnic (thin trust) should be

taken alert due to the impact on reconciliation among ethnic, group and class that

heterogeneous progressively in Bali. As tourist destination that widely known in

foreign countries, Bali is also to be migration target for people that searching for

better job opportunity. Low thin trust of community will affect on interaction

between local community group with migrant community group (both tourist and

job seeker) that resulting from high suspicion feeling and finally will reduce

openness behavior even though openness community is one of important

component in underdevelop Bali’s tourism.

The significant difference also showed by trust on regency government

and security officer. Individual that settled in developed region have higher trust

on residential government performance but lower for security officer performance

than in underdevelop region.

Figure 1. Relationship between individual trust from the same (Thick trust) and

different ethnic (Thin trust) in Bali, 2007

Generally, community respond on question about carefulness attitude is

strengthen the previous analysis where is 83.62 percent of community stated that

they should taking a care on other people or in other words they can not trust all of

people in their living activities. The attitude statement is not only showed by

community in developed region (Badung and Gianyar) but also in underdevelop

region (Jembrana and Karangasem). Carefulness attitude is showed by some

activities that aimed to strengthen monitoring on new comer (migrant) and as

result is increasing monitoring cost.

Page 48: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

46

Table 3 Community Trust (Social Trust) in Bali

Trust* (%) Total

Trustable Always take care

Region Developed 8.91 42.53 51.44

underdevelop 7.47 41.09 48.56

Total 16.38 83.62 100.00

Source : Primary Data, 2007

* Percent of respondent that answer "most people can be trusted" for

question" in general, do most people can be trusted or you need not

too taking a care to others.?"'

Basically, trust is built by repeated positive interaction. In underdevelop

region, the frequency of interaction with stranger people more lower than people

in develope region. So that weakneses of trust. Generally individual-individual

who settled in developed region has higher trust for every one. One alternative for

this situation is the kind of individual activities. In developed region such as

Regency of Badung and Gianyar as two tourism center area in Bali, is very

depended on tourist arrival and intensively interacted with the tourist. Therefore,

the attitude on other people is more openness. However, indication of reducing

interaction is indicated by lower density of organization.

Trust is resulting from some factors including norm, experiences, and

interaction intensity. Since the last five years, community in Bali confessing has

experiences individual trust dynamics. About 59.41 percent of community in

developed region stated that trust has changing with detail 30 percent stated

changing to better condition and 29.41 percent feel that trust among the

community is progressively weaken. Contrary with underdevelop region, most of

community (63.01 percent) stated that trust is not changing among community;

19.18 percent stated that the trust is changing to better direction and the rest

(17.81 percent) stated that trust is worse. Large number of community in

developed region that feel trust changing is related to their experiences. Generally,

socio-economic activities in developed region is relative larger therefore give

more experiences. This experience affect on trust that has established in the past.

Beside the past experiences, difference of trust between developed region

and underdevelop region happened because in developed region there is high

interaction intensity between the communities with other ethnics. This interaction

intensity give positive or negative impact on trust that has been developed in the

past. According to Artadi (1993), Bali’s community is a tolerant community, easy

to adapt and having openness system therefore interaction intensity among

community is easy to change. Interview result shows that changing tendency is

not the same among community. This is supported by data that indicate number of

community that feeling trust changing is equal with number of community that

feel weakness of trust.

In underdevelop region, collective norms are still strongly bound and act

as shield for new values which do not desire. Different with community in

developed region, generally, in Bali, it is known menyamabraya concept that

deeply rooted in community living. The concept implies that family is not only

Page 49: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

47

extended family (batih family) but also neighbor and other banjar members.

Menyamabraya means help each other in face of problem of having the character

of material and also non material..

The norm’s power should be based on trust attitude and reciprocally. Trust

is not only keep sustainability of norms that contain wisdom value but also as

basis for individual decision to joint into a group or loose from group which has

been followed previously. Therefore, trust has critical effect on organization

density in a region.

It can be said that a group or community whom the member has high trust

level is rich with social capital. Sociologist, anthropologist and politician stated

that trust has significant role for implementation of collective action. Strong

(weakness) of social capital in a community is measured by high (low) trust level

among community which indicated by participation of each member in collective

activities and the activities intensity. Therefore, it can be said that trust or social

capital is a public good, each member has opportunity to take benefit but often

feel having no responsibility to maintain. One effort to keep the social capital is

through help each other attitude among community member. On trust community

category basis in Bali, it can be stated that community which has high trust is

ready to help however only 23.53 percent that always help, 29.11 percent stated

usually help and the rest stated almost help. The same situation will occur in

community with low trust or community group with carefulness attitude. Most of

person stated ready to help and only a few of them (2.26 percent) that stated even

not helping other people. This is show that efforts to maintain social capital still

performed by each individual in Bali. The carefulness attitude is not reducing help

each other attitude or in other words help each other attitude for Bali’s community

is tend to altruism than reciprocal. Any support that giving to other individual or

group is caused by trust on karma law.

Besides the trust, social capital also indicates by community organization

density. Grootaert (1999) has defined organization density as number of existing

organization in a community where someone involves in it. The highest average

of community organization density is in Regency of Gianyar while the lowest in

Regency of Jembrana. At least 2 organizations that followed by community in

Regency of Jembrana and Karangasem (banjar adat and subak) while in Regency

of Badung and Gianyar there are some member of community which only

following in one organization namely banjar adat.

Trust community is not shows the same tendency on level community

organization density in Bali. Community decision to be organized is not result of

owned social trust but from other factors. On research’s result basis, it was shows

that the most important organization for most community is banjar adat. The two

results is support each other because banjar adat is a organization that should be

followed by whole community in Bali as Hindu follower. This imply that

readiness to organize is not needed trust establishment however by sanction that

should be accounted if not involved in banjar adat.

According to the result, trust is not shows relationship with community

participation level in decision making on the most dominant organization.

Community which has low or high trust level is still participating on every

decision making that related to the group. This is shown by number of community

that actively participates in every group activities, weather on low trust level or

Page 50: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

48

high. Adherences at norms going into effect in banjar adat organization push

every member to give contribution according to agreed decision. Norms having

the character of reciprocal become other reason which pushes community to

participate in every activity of banjar adat.

Any expenses for social activities are one social capital indicator that used

in this research. There is a significant correlation between social cost with

organization density, participation and number of free rider. In underdevelop

region, higher social cost is positive correlated with organization density, negative

with participation and number of free rider. The logics are the higher organization

density of an individual the higher cost should be paid. In the underdevelop

region, generally much of community member is inactive because having job or

house in developed region therefore they should pay more social expenses.

However participation both in activities and decision making is very low. The

Individuals is known as free rider.

In developed region, social expenditure also have significant correlation

with organization density, free rider and participation but the correlation have

positive sign for participation, negative for rider free and density organization.

The two result indicate that there is a understanding difference between

underdevelop region and developed region in participation. Physical Participation

more emphasized at underdevelop region while developed region tend to

esteeming nominal participation.

Generally it can be stated that each indicator and variable of latent trust

have positive correlation. This matter indicates that the stronger social trust will

strengthen thick trust, trust to organizer of governance, organizer of security and

education. Indicators of latent norm variable are readiness to help and readiness

takes care of child by neighbor, and also the amount of child which go to school.

Most of network indicator is showed negativity except the organization density. It

means that better network with the lower amount of individual which behave as

free rider, smaller expenditure required for social activity and lower amount of

person who work in family. Goodness of model indicator (Gof) indicate that the

established model have value of AGFI above 0.8 that is 0.897 although has

significant value of chi-square but the RMSE smaller than 0.08. The two

indicators of goodness is sufficient to indicate that the model is valid.

On aggregate, the analysis result concerning about effect of trust

endogenous variable, network and norms on social capital show that only trust

that have significant and positive impact, it means that the higher trust, the

stronger social capital in Bali.

4. SOCIAL CAPITAL COMPONENT: Individual Social capital in

developed region and Underdeveloped region

As stated earlier, the province of Bali is grouped on regency basis that is

Developed Region and underdeveloped region. Indicator that used to differentiate

are level growth of PDRB, PAD and also income per capita. According to the

indicator, it can be stated that regency of Badung, Gianyar and Denpasar City are

classify as developed region while other regency is underdevelop region. In this

research, selected purposively, Regency of Badung, Gianyar and also Regency of

Page 51: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

49

Jembrana Karangasem as 2 developed regencies (WM) and two regencies as

underdeveloped (WBB).

Social capital indicator is used to measure latent variable of trust,

carefulness attitude, custom trust, dynamics of trust, and participation. Latent

variable of norm is consisted of possibility indicator to entrust child at neighbor,

existing individual free rider, and also giving physical aid. Norm defined as

readiness to share, to do collective action with and without intending to take

benefit from others. Network Indicator is consisted of closeness of network,

expenditure for social activity and amount of friend bellying ache. Reason in

using latent variable indicator that different with general social capital analysis is

significance of each indicator with residence location.

Determination of social capital component for each region and also in each

community is conducted by using analysis of structural equation model that

available in Lisrel program. The analysis is carried out in two phases that is

indicator determination phase that determine latent trust variable, norm and

network; following determine latent variable which have largest contribution to

strengthening social capital.

4.1 Individual social capital in underdeveloped region Criterion for underdeveloped region in this research is more emphasized at

economics growth indicator such as lowering of PDRB, PDRB per capita, and

also PAD level. Other Indicator which also becomes consideration is the amount

of poor household but do not include income distribution. Generally,

underdeveloped region reside in location which relative far from governance

center as Regency of Jembrana Karangasem. The two regencies located in tip of

west and east of Bali province.

Result of research also shows that there is significant and positive

correlation between amount of friend and organization density; it means that more

organization followed, more and more friend invited to discuss any matters.

Significant and positive correlation also showed between variable of organization

density with trust to others (general trust). Thereby, in other words, the higher

personal interaction intensity that showed by amount of friend variable, the higher

organization density and finally improving trust to others.

Differ from Grootaert ( 2001), result of this analysis indicate that there is

no significant correlation between personal density organization, trust, and norm

to the income level. Income level has significant correlation with social

expenditure and individual participation in organization. The higher income, the

larger social expenditure but the lower participation in individual decision

making.

This research also show tendency that carefulness attitude of community

have positive and significant relation with amount of individual free rider and

physical aid readying to be given but do not relate to participation and network on

organization. According to correlation analysis, it is also indicated that carefulness

attitude have correlation with social cost that should be paid.

Result of SEM analysis indicate that latent trust variable can be measured

by indicator of trust [common/ public], dynamics of trust, and participation . the

Highest contribution for trust latent variable is come from participation. It means

that the higher trust, the higher individual participation in organization. Negative

Page 52: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

50

sign of trust dynamics indicator and participation is caused by applying inversed

scale at expected answer. Reason to entering participation on latent trust variable

is refer to Azwar (2005) expressing that research concerning attitude is better

carried out by direct asking and behavior observation. This research assumes

participation as strengthen behavior of a person trust statement. Individual which

have high trust should have active participation. Result of analysis give

implication that high trust level in underdevelop region is shown by trust to any

people (general trust) and high participation. Indicator of latent norm variable is

amount of free rider (-), taking care a child by neighbor and readiness to give

physical aid and for latent network variable is network density, expenditure for

social activities and amount of friend.

SC1.000

TRUST

NORMA

NETWORK

A WA RE 0.993

GN TRUST 0.946

DT 0.969

PA RTSP 0.452

CC 0.841

FR 0.859

BN TFSK 0.930

NW 0.913

SEXP 0.931

FRI EN D 0.907

Chi-Square=38.26, df=29, P-value=0.11671, RMSEA=0.044

-0.081

0.233

-0.176

-0.741

0.399

-0.376

0.264

0.295

0.263

0.306

0.402

0.454

0.431

SC1.000

TRUST 0.839

NORMA 0.794

NETWORK 0.815

Chi-Square=38.26, df=29, P-value=0.11671, RMSEA=0.044

0.402

0.454

0.431

0.426

1.209

0.180

Figure 2 Diagram Path of Social capital structural model for underdevelop region

in Bali

There are various indicators to determine goodness fit of a model, among

others Goodness of Fit (GoF) values, Chi-Square, RMSE, AGFI and others. The

obtained model is fulfill all indicator Goodness fit of model as well as AGFI value

Page 53: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

51

(0.821) that larger than 0.8 therefore the model is assumed sufficient fit to figure

relationship between latent variable and observed variable indicator. P-Value is

0.11671 larger than 0.05 RMSE and smaller than 0.08.

The three latent variables give significant – positive contribution on

establishment of capital social in underdeveloped region. The result indicate that

to develop, build or strengthen capital social specially in underdeveloped region

cannot be conducted only by improve one of component because the three

variable shows equal significant and large contribution. Development and

reinforcement of capital social can be carried out by improving trust ,

participation, reducing opportunity of individual to behave as free rider, maintain

norm to reciprocate physical aid, extending network (organization living)

Table 4 Latent Variable and Significance of each Indicator on latent Variable of

Social capital in underdeveloped region in Bali

Latent

Variable

Indicator Coefficient t-hit

Trust* (0.402) 1. Aware to carefulness -0.081 -1.128

2. General trust 0.2330 3.015*

3. Dynamic of trust -0.176 -2.371*

4. Participation -0.741 -3.640*

Norm* (0.454) 1. Entrusting child 0.399 3.018*

2. Amount of free rider -0.376 -2.497*

3. Physical aid 0.264 3.353*

Network*

(0.431)

1 . Organization density 0.295 2.918*

2. Social expenditure 0.263 2.295*

3. Amount of friend 0.306 3.353*

Source : Analysis result of primary data

4.2 Social capital in developed region

Definition of developed region in this research is a region with high

PDRB, PAD and relative large of income gap. According to the definition, in

province of Bali that classify as developed region are Regency of Badung and

Gianyar. There is a significant difference of general trust, participation and thick

trust among individual that settled in underdeveloped region and developed

region.

Correlation analysis of spearman indicates that there are no significant

correlation between organization density (network) with carefulness attitude and

also general trust. This is contrary with amount of friend variable invited to belly

ache. Trust and helping each other norm show significant relationship especially

between carefulness attitude with observation of child by neighbor or between

general trust with individual that behave as free rider.

The significant correlation is also showed by social expenditure variable as

proxy of income with network, trust, carefulness attitude, amount of friend and

number of free rider. The higher social expenditure has positive correlation with

trust and amount of owned friend, having negative correlation with carefulness

attitude, Number of free rider and organization density.

Result of structural equation analysis with Lisrel indicate that trust is

figured by carefulness indicator, general trust, dynamics of trust, and

Page 54: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

52

participation. The trust indicator shows the largest contribution. Variable of

latent network is shown by closeness network indicator, social expenditure and

amount of friend with largest contribution and social expenditure while norm

variable is indicated by number of free rider indicator and physical aid.

SC1.000

TRUST

NORMA

NETWORK

A WA RE 0.800

GN TRUST 0.772

DT 0.940

PA RTSP 0.936

CC 0.999

FR 0.699

BN TFSK 0.462

NW 0.868

SEXP 0.717

FRI EN D 0.935

Chi-Square=17.81, df=29, P-value=0.94797, RMSEA=0.000

0.448

0.477

0.245

-0.253

0.027

-0.549

0.733

0.363

-0.532

-0.254

0.453

0.104

-0.101

SC1.000

TRUST 1.000

NORMA 1.000

NETWORK 1.000

Chi-Square=17.81, df=29, P-value=0.94797, RMSEA=0.000

0.508

0.104

-0.101

-0.287

0.914

-0.901

Figure 3 Diagram Path of Social capital structural model in developed region in

Bali

Result of SEM analysis show that model can be accepted because fulfilling

goodness of fit indicator that is RMSE value smaller than 0.08 and p-value larger

than 0.05. In other hand, AGFI value 0.942 is larger than 0.8 thereby the obtained

structural equation model have high validity.

Differ to underdeveloped region, to develop social capital or strengthen are

not must be done by strengthening the three components of social capital because

only trust variable which have significant contribution on social capital. Because

of general trust indicator has the largest contribution on trust therefore to develop

or strengthen social capital can be conducted by activities which can improve

individual trust to other individual.

Page 55: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

53

Table 5 Latent variable and significance of each indicator on latent variable of

Social capital in developed region in Bali

Latent Variable Indicator Coefficient t-hit

Trust*

(0.453)

1. Aware to act carefulness 0.448 4.383*

2. General trust 0.477 4.509*

3. Dynamics of trust 0.245 3.024*

4. Participation -0.253 -2.997*

Norm 1 . Entrust Child 0.027 0.403

(0.104) 2. Number of free rider -0.549 -7.238*

3. Physical aid 0.733 6.248*

Network 1 . Organization density 0.363 5.160*

(-0.101) 2. social expenditure -0.532 -5.409*

3. Amount of friend -0.254 -4.001*

Sources : Analysis result of primary data

5. SOCIAL CAPITAL IN TRADITIONAL AND MODERN

ORGANIZATION

For social capital at group level, it is known bridging social capital tern.

On management system basis, community organization that developed in Bali is

divided into traditional organization and modern while on establishment process

classify as formal and informal organization. Generally, informal organization is

established by relationship among family and extended family. On contrary with

formal organization, generally membership of formal organization is consisted of

specific profession on livelihood basis.

In Bali, social organization which coordinates all public administrative

activities is recognized by the name of banjar. Especially for Hindu follower have

social organization which coordinate all activities related to religious activities

that known as banjar adat. Each community which believes in Hindu have the

same obligation in banjar adat. Rural Community in Bali, tied in formal

traditional organization and also informal like sekaa, dadia, village and subak /

banjar adat. Dadia and Sekaa represent informal traditional organization because

do not have written awig-awig while subak and banjar adat are formal traditional

organization which have written and unwritten awig-awig. Generally, member of

Sekaa characterized by temporal membership and have strong consanguinity and

formed in line with its activity like sekaa manyi, sekaa nandur, sekaa gong, sekaa

suling and others. Dadia is extended family that owning patrilineal relation.

Amount of sekaa member is smaller than dadia and village or subak/banjar adat.

The established bound among member of subak, sekaa and dadia is based on

togetherness feeling and reciprocity. Each member in traditional group will not

have hesitating attitude to give aid for other member because existing trust that at

the time needed, other member surely will raise a hand to assist them (karma law).

As so far, mutually assisting norm that aimed to finish collective activities

is still fasten each member of existing traditional social organization. The Norm

can be maintained because sanction that applied to each collision member is not in

the form of physical sanction and nominal money but in the form of moral like

Page 56: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

54

excommunication of someone and prohibition order to use public facilities include

praying place (Pura) and grave. It is differ from modern formal organization that

not knowing moral sanction. Establishment process of modern formal

organization is caused by pressure demand of economic factor. Because of

economic oriented, modern organization often unable to tied the member

emotionally but more individual interest.

5.1 Social capital in Subak

Community structure of Bali experienced drastic change. Agrarian

community has changing and migrates to urban area to be tourism community.

Ethnic composition of resident also become to change, caste of and the resident to

be appliance to reach political target. The changes reduce social function of

traditional institution. Cooperation and security as product of traditional

institution become scarce goods and need high cost to obtain.

Tourism sector is weakening because of internal and external factor,

Community start to consider again role of agricultural sector. However,

development bias during this time tend to side tourism sector that cause land

function conversion for large area and automatically negate subak organization

which the existence interconnected with availability of agriculture farm.

Subak is agriculture irrigation organizer that has been established since a

long time ago and until now still play important role in efficacy of agriculture

effort in] Bali. During the time, there is no formal contract system which

conducted by each member of subak. Division of water carried out based on

attitude of trust among member of subak as according to regulation as agreed. The

specified norms is recognized by the name of awig-awig, agreed and adhered by

all members. The Awig-awig is in the form of written and unwritten order. Even

though, the two forms have equal power. Membership of Subak is not based on

residence location but rice field location. Therefore, oftentimes member of subak

is not neighborhood each other or reside in one administrative rural region and

also desa adat.

The result indicate that different residence location is not causing the

subak member having low trust on others. Thick trust of the subak’s member on

other is higher than the thin trust. General trust has positive relation with

participation on organization. This implies that improvement of subak’s member

participation can be conducted by improving trust among individual in the

organization. Dynamics of participation of the subak’s member shows that there is

a significant relationship between participation dynamics and thick trust of the

member.

At lower trust level (80%), it can be concluded that there is negative and

significant relation between trust and amount of free rider. It means that higher

amount of member behaving as free rider, the lower trust among member. In other

side, high trust level (99%) indicated that there is significant and negative relation

between amount of member behaving as free rider free with readiness of member

ti give physical aid on others ; it means that the higher amount of rider free, the

smaller member that readying to give physical aid.

Social capital of subak group is described by observed variable including

organization density, leadership, relationship with other organization which have

the ] same goal in one region and other region, relationship with other

Page 57: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

55

organization which have different goal in a region and other region, appreciation

to funding group and also initial fund. The latent variable is consisted of trust

variable, network (norm and network)

According to goodness fit of model (AGFI value), the social capital model

of subak community can be used to figure relationship between latent variable and

observed variable due to AGFI value 0.914 is higher that Segars and Grover

(1993) criterion although the chi-square values is significant and RMSE higher

than 0.08. Result of SEM analysis shows that indicator for latent trust variable has

positive sign, indicate that the higher organization density and more democracy

process to choose group leader, the larger community trust. The large contribution

of leadership indicator means that efforts to build trust in subak community can be

initiated by democratic decision making process to choose group leader or

decision making that affected whole member.

SC1.000

TRUST

NETWORK

NORMA

DN 0.943

LEA DERSH 0.523

BONDING1 0.987

BONDING2 -5.352

BRIDG1 0.991

BRIDG2 0.998

DA NA K EL 0.679

DA NA A W -0.177

Chi-Square=21.64, df=14, P-value=0.08630, RMSEA=0.083

0.239

0.691

-0.113

-2.520

-0.094

0.046

0.567

-1.085

0.078

0.580

0.216

SC1.000

TRUST 0.994

NETWORK 0.663

NORMA 0.953

Chi-Square=21.64, df=14, P-value=0.08630, RMSEA=0.083

0.078

0.580

0.216

-0.037

-0.764

-0.094

Figure 4 Diagram Path of Social Capital Structural Model for Subak inBali

On the contrary, most of network indicator has negative sign except for

subak organization linkage indicator with other organization which have different

goal in other region. Network in this research is defined as binding that facilitate

cooperation among subak. The research’s results indicate that subak network will

strengthen when interaction with subak or other organization in one region

progressively lower however interaction with other organization in different

Page 58: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

56

region is higher. Result of this research represents logical consequence on reason

that agriculture production process does not need delay. Delay of each phase will

affect on quality of yielded agriculture product. Because of limited time for

farmer, high interaction frequency with other organization will lessen cooperation

tying in the subak. Other fact is strong moral sanction in banjar adat organization

that causing farmer sacrifices activities in farm.

In this case, a norm is defined as readiness of group member to share

burden of group donation. Result of analysis indicates that norm indicator that

consisted of readiness to pay fund for group activities have positive sign, different

with initial fund indicator. Subak is an organization that has been established since

Majapahit monarchic era. The Organization do not economic oriented however on

collective basis. The stronger norms binding the member, more and more

activities that should be done related to upakara to keep safety and efficacy of

agriculture effort. This is will increase expense for member. However, member

conducted by voluntary basis. Differ from initial funding that in they perspectives

should be subsidized by government.

In community of subak, effort to build social capital can be conducted by

norm and network strengthening because of the latent variable has significant

contribution while network has larger value. Development of social capital in

subak group can be carried out by improving sense of belonging of subak member

as expressed by increasing member contribution in every activity. Larger

government interference especially in every activity will lessen member sense of

belonging, finally limiting social control of subak member to the existence of

subak.

Table 6 Latent Variable and Significance of each Indicator on Latent Variable in

Subak Community in Bali

Latent Variable Indicator Coefficient t-hit

Trust 1. Organization density (DN) 0.346 4.534*

2. Leadership 0.893 7.768*

Network* 1. Bonding (1) -0. 109 -4.162*

2. Bonding(2) -3.881 -44.596*

3. Bridging(l) -0.075 -2.861*

4. Bridging (2) 0.044 1.705

Norm I . Group donation 0.827 8.430*

2. Initial funding -1.187 -8.871*

Source : Analysis Result of primary data

Result of this analysis is possible to explain why agriculture in Regency of

Badung (developed region) do not expanding though have available potential

market in region of South Badung. High regional income (PAD) pushes the

government to give aid in large number for farmer by agriculture program. This

condition will weaken effort to overcome or avoid failure risk because the crop

failure do not cause unprofitable for farmer. The subsidize that given to farmer

should do not cause farmer losing of sense of belonging.

5.2 Social capital in Tourism Organization

Tourism community consist of some group that differentiated on work

field basis that is pramuwisata group (HPI), hotel and restaurant owner (PHRI)

and owner of bureau tourism journey (Asita). But the three groups have the

Page 59: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

57

similar characteristic that represent modern organization with formally character.

All its member works in tourism sector as human resources with relative higher

quality than subak.

Correlation analysis of spearman indicates that there are significant

correlation between thin trust and thick trust. The correlation have positive sign,

its means the higher trust to known person the higher trust to unknown person.

The result is assuring result of previous research that trust is specific component

to expanding tourism activity.

Mutually assisting norm and readiness to give physical aid have negative

and significant relation with amount of rider free. The higher individual which

behave as free rider the weaken norm mutually assisting that lessen individual

readiness give physical aid to other individual.

Income has significant and positive correlation on social expenditure and

carefulness attitude, negative correlation to thin and thick trust. The stronger

carefulness attitude will progressively lower thin and thick trust with the larger

income. The result seems irrational but the reason that income in tourism sector is

having business character with trust capital therefore more careful of a person, the

higher income will obtain.

Pursuant to goodness fit of model criterion, capital social structural model

for the tourism community represent valid model because most of goodness

criterion fulfill by not significant for Chi-square value (P>0.05), AGFI 0.804and

RMSE < 0.08 although AGFI 0.68 (< 0.8). Differ to community of subak, almost

all of indicator for capital social of tourism community have positive sign except

initial fund for the latent variable of norm. Latent trust variable only consisting of

organization density because leadership is not significant. Indicator of network

latent variable of consisted of linkage with other existing organization in one

region and other and also has linkage with organization with the same goal but on

other region.

Density Organization is the single indicator giving significant contribution

to trust latent variable while variable that significant for latent network and giving

largest contribution is interaction indicator among organization with different goal

but reside in the same region. Interaction among the same organization in the

same region is not significant because Bali only have one organization which

centering in Denpasar City. There is no indicator that significantly describe latent

norm.

According to two phase’s analysis, social capital is influenced significantly

by trust variable but norm and network is not significant. Therefore, in order to

underdevelop or strengthening capital social in tourism community is only can be

carried out by improving trust among individual and group that involved in

tourism activities. Furthermore to develop trust is only carried out by improving

organization density for each member. Through higher organization density, it

was expected that trusting each other or eliminate suspect feeling will be

developed.

Page 60: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

58

SC1.000

TRUST

NETWORK

NORMA

DN -6.140

LEA DSHP 0.993

BONDING1 0.975

BONDING2 0.747

BRIDG1 0.160

BRIDG2 0.930

DA NA K EL 0.808

DA NA WL 0.966

Chi-Square=10.63, df=14, P-value=0.71446, RMSEA=0.000

2.672

0.081

0.158

0.503

0.917

0.265

0.438

-0.183

0.522

0.291

0.479

SC1.000

TRUST 0.727

NETWORK 0.915

NORMA 0.770

Chi-Square=10.63, df=14, P-value=0.71446, RMSEA=0.000

0.522

0.291

0.479

-0.178

-0.390

1.099

Figure 5 Diagram Path of Social capital structural model for tourism in Bali

Table 7 Latent variable and significance of each Indicator on latent variable of

social capital in tourism community in Bali

Latent variable Indicator Coefficient t-hit

Trust* 1. Organization density

(DN)

2.672 12.732*

2. Leadership 0.081 1.369

Network 1. Bonding (1) 0.158 1.215

2. Bonding(2) 0.503 3.026*

3. Bridging(l) 0.917 3.398*

4. Bridging (2) 0.265 1 .992*

Norm 1 . Group Funding 0.438 1.250

2. Initial Funding -0.183 -1.183

Sources: analysis result of primary data

5.3 Social capital in Banjar/ Desa Pakraman

Process modernization has happened everywhere except in Bali. But in

this rapid modernization streams, Bali’s community remain have strong religion

faith although living and traditional values in progressively changing. Bali’s

community is more and more heterogeneous, not only in the case of traditional

trust system but also in religion and cultural which have an effect on way of

thinking and the behavior (Surata, 1990). Bali, as destination target of

Page 61: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

59

international tourism, facing various challenge and temptation, internally and

externally, represents logical consequence of expanding tourism and global

process. One of effort to face external threat is by empowering desa adat.

Desa adat or pakraman village are village institution in social filed,

culture and religion. It is very difficult to differentiate between culture and

religious activities in Bali because have integrated like cloth with the motifs. Jean

Couteau ( 1995) stated that rural community in Bali that integrated in course of

modernization will experience of threat in social solidarity and sustainability of

custom institution as result of moneterization.

SC1.000

TRUST

NETWORK

NORMA

DN -0.212

LEA DERSH 0.947

BONDING1 0.249

BONDING2 0.929

BRIDG1 0.640

BRIDG2 0.913

DA NA K EL 0.946

DA NA A W 0.485

Chi-Square=4.24, df=14, P-value=0.99383, RMSEA=0.000

1.101

0.230

0.867

0.267

0.600

0.294

0.232

-0.717

0.380

0.391

0.073

SC1.000

TRUST 0.856

NETWORK 0.847

NORMA 0.995

Chi-Square=4.24, df=14, P-value=0.99383, RMSEA=0.000

0.380

0.391

0.073

0.172

-0.348

-0.545

Figure 6 Diagram Path of Social capital structural model for Desa Pakraman in

Bali

Result of SEM analysis indicates that indicator of latent trust variable is

leadership and organization density, but the two indicators is not significant.

Latent network variable consist of interaction indicator between desa adat in one

region (bonding 1) and also other region (bonding 2) and also interaction between

different goal organization in the same region (bridging 1) and the difference one

(bridging 2). Indicator of norm variable has significant effect on confidence level

90 %.

Result of two phases analysis shows that social capital is significantly

affected by variable of trust and network. For the reason, trust should be

developed by means improving organization density and building interaction with

various organization but interaction with adat village in one region is effort that

Page 62: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

60

should be prioritized because giving the largest contribution. Structural equation

model of capital social in adat village community have some criterion of goodness

fit of model that is chi-square value is not significant (>0.5), RMSE lower than

0.08 and AGFI value higher than 0.8.

Table 8 Latent Variable and significance of each Indicator on latent Variable of

Social capital in Banjar/Desa Pakraman community in Bali

Variable laten

Indicator

Coefisien

t-hit

Trust*

1 . Organization density (DN)

1.101

1.586

2. Leadership

0.230

1.368

Network*

1. Bonding (1) 0.867

4.233*

2. Bonding(2) 0.267 2.608*

3. Bridging(l) 0.600 3.492*

4. Bridging (2)

0.294

2.454*

Norm

1 . Group Funding

0.232

1.745*

2. Initial Funding

-0.717

-1.794*

Sources: Analysis result of primary data

6. CONCLUSION

Result of quantitatively and qualitatively data processing shows that :

1. Thick trust (trust to the same ethnics) is higher than thin trust (trust on

other ethnics thin trust). The two trust tend to have negative linkage.

2. Strengthening of social capital in developing region can be implemented

by strengthening three component of social capital because give significant

and positive contribution. Strengthening of social capital in developed

region could be implemented just by improving trust.

3. Strengthening of social capital in subak community could be implemented

by means extended group network and norm, strengthening of social

capital in banjar could be carried out by trust and network while for

tourism community is by improving trust only.

7. RECOMMENDATION

Component of capital social builder is different each other pursuant to the

type of organization or regional development level. Therefore, effort to conduct

revitalization cannot be formulated generally but should be adapted with regional

and/or group characteristic.

REFERENCES

Artadi IK. 1993. Manusia Bali. Bali Post Press. Denpasar.

Casson M, A Godley. 2000. Cultural Factors in Economic Growth. Germany.

Springer-Verlag Berlin – Heidelberg.

Coleman J S. 1990. Foundations of social theory. Cambridge MA : Belknap.

Page 63: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

61

Collier P. 1998. Social capital and poverty. World Bank SCI Working Paper no

4, November. (www.iris.umd.edu/adass/proj/soccap.asp).

Cristoforou A. 2003. Social Capital and Economic Growth: The Case of Greece.

London School of Economic : Paper for The 1st PhD Symposium on

Social Science Research in Greece of the Hellenic Observatory.

European Institute. [email protected].

Dasgupta P, Serageldin I. 2002. Social Capital: A Multi Faceted Perspective.

World Bank, Washington, DC.

Dasgupta P. 2005. A Measured Approach: Special Issue. September 2005.

ISSN 0036-8733. Scientific American, Inc, 415 Madison Avenue, New

York.

Fukuyama F. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity.

The Free Press, New York.

Fukuyama F. 1999. Social Capital and Civil Society. The Institute of Public

Policy. George Mason University. International Monetary Fund.

Granovetter MS. 1973. The Strength of Weak Ties. American Journal of

Sociology, 78, 1360 – 80.

Grootaert C. 1999. Social Capital, Household Welfare and Poverty in Indonesia.

World Bank Working Paper, unpublished.

Grootaert C. 2001. Does Social Capital Help the Poor? A Synthesis of Findings

from the Local Level Institutions Studies in Bolivia, Burkina Faso and

Indonesia. Local Level Institutions Working Paper No. 10, Social

Development Department, World Bank, Washington, D.C.

Grootaert C, T van Bastelaer. 2001. Understanding and Measuring Social

Capital. A Multidisciplinary tool for practitioners. The World Bank

Washington, D.C.

Iyer S, M Kitson, B Toh. 2005. Social Capital, Economic Growth and Rgional

Development. Regional Studies, Vol 39.8, pp.1011040, November

2005.

Olson M. 1982. The Rise and Decline of Nation. New Haven. Yale University

Press.

Putnam R D. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy.

Princeton: Princeton University Press.

Putnam R D. 2000. Bowling alone: The Collapse and Revival of American

Community. Simon and Schuster, New York, NY.

Page 64: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

62

PERBAIKAN PERTUMBUHAN BIBIT SOKA (Ixora coccinea l.) DENGAN

PERENDAMAN SETEK DALAM URINE SAPI

I Made Sukerta

Jurusan Agreteknologi Universitas Maharaswati Denpasar

ABSTRACT

The cow urine concentration and soaking duration of the growth of cutting

Soka (Ixora coccinea L.)" aims to find out the influence of the concentration of

cow urine and soaking duration and the interaction of the growth of Soka slip.

Concentration of cow urine treatment and soaking time and the interaction effect

is significantly for most of the parameters observed, except for cutting the

percentage of fresh, the number and percentage of shoot bud and roots.

Concentration of cow urine treatment and duration soaking together signifinatly

effect on the oven dry weight of shoots per cutting. Oven dry weight of shoots is

the highest of 0.715 g per cutting obtained in the treatment of concentration 10%

cow urine and soaking time 15 minutes (P1U4), an increase of 81.01% compared

with treatment without the concentration of cow urine with soaking time 60

minutes (P4U0) which weighed 0.395 g per cutting. Based on the regression

equation can be suspected: Y = 0.35532539 + 0.07064362 + U P 0.00083333 -

0.00301326 U2 - 0.00082267 UP, with determination coefficients (R2) = 99%

obtained by the oven dry weight of shoot a maximum of 0.65 g per cutting in the

concentration of cow urine with a 9.67% long soaking 15 minutes

Key word : Soka (Ixora coccinea l.), cow urine, soaking

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Desa Petiga yang berada di Kecamatan Marga, Tabanan, merupakan

penghasil tanaman hias, seperti puring, soka, rumput-rumputan dan pucuk. Warga

tani di desa ini dulunya menanam rambutan, cengkeh dan vanili. Namun panen

tak pernah lebih dari dua kali setahun. Ahkirnya banyak warga tani yang memilih

menekuni tanaman hias. Sebagian besar warga mempunyai usaha tanaman hias,

ini merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan selain bidang

pertanian tanaman pangan. Bahkan ada warga yang memanfaatkan sawahnya

untuk lahan tanaman hias karena air yang mengairi sawah sudah berkurang.

Soka (Ixora coccinea L.) merupakan salah satu tanaman hias yang

berbatang perdu dengan percabangan yang banyak. Sebagai tanaman hias, soka

memang mempunyai keistimewaan yaitu bunganya yang elok dan warnanyapun

ada yang bermacam-macam seperti merah, kuning, kuning pucat, orange, merah

jambu, merah muda, putih dan salem (Anon., 1992).

Soka sebenarnya mempunyai nilai estetika yang cukup tinggi, ini terlihat

dari peranannya yang cukup menonjol sebagai tanaman hias pagar pada gedung-

gedung perkantoran, menghiasi taman pada hotel-hotel, menghiasi pertamanan

kota. Soka yang ditanam di tanah atau ditanam di dalam pot dapat direkayasa

menjadi soka bonsai dan soka kombi. Baik soka bonsai dan soka kombi dapat

Page 65: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

63

dimanfaatkan sebagai bunga potong, yang banyak diminati orang, sehingga

prospek ekonominya cukup cerah (Anon., 1992).

Soka dapat dikembangbiakkan secara generatif maupun vegetatif.

Perbanyakan soka secara generatif menggunakan bijinya, namun cara ini jarang

dilakukan dan hanya terbatas untuk keperluan pemuliaan. Perbanyakan secara

vegetatif yaitu dengan menggunakan setek batang atau cabang, tanaman yang

dihasilkan dari setek biasanya mempunyai persamaan dalam umur, ukuran tinggi,

ketahanan terhadap hama dan penyakit, dan tanaman yang diperoleh akan

sempurna yaitu telah mempunyai akar, batang dan daun dalam waktu yang

relative singkat.

Pembiakan tanaman dengan setek sering dihadang kendala yaitu sukar

terbentuknya perakaran pada tanaman. Apabila hal ini bisa diatasi, maka

perbanyakan dengan cara setek merupakan perbanyakan yang paling baik, praktis

dan ekonomi. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk merangsang

pertumbuhan dan pembentukan akar pada setek adalah dengan pemakaian zat

pengatur tumbuh.

Zat pengatur tumbuh yang digunakan dapat berupa zat pengatur tumbuh

sintetis maupun zat pengatur tumbuh alami. Untuk mempercepat perakaran setek

dapat menggunakan zat tumbuh Rootone F. Begitu pula berbagai jenis zat tumbuh

buatan seperti IBA, NAA, IAA dan sejenisnya telah diketahui pengaruhnya

sebagai perangsang perakaran setek tanaman. Terlepas dari zat pengatur tumbuh

buatan perangsang perakaran, ternyata salah satu zat tumbuh alami yang banyak

terdapat di sekitar kita yaitu urine sapi telah pula dicoba pemanfaatannya untuk

merangsang perakaran setek tanaman. Prayuginingsih (1986) mengatakan bahwa

urine sapi merupakan zat tumbuh alternative yang murah dan mudah diperoleh.

Urine sapi mengandung auksin a dan auksin b serta IAA. Sebagai herbivora, sapi

memakan jaringan tumbuhan yang banyak mengandung auksin. Auksin yang

termakan tidak dapat dicerna dalam tubuh sapi sehingga terbuang bersama urine.

BPP Jember telah membuktikan bahwa urine sapi 5% sebagai zat pengatur

tumbuh mempunyai pengaruh yang sama dengan IBA 3000 ppm dalam

merangsang pembentukan akar pada setek kopi (Suprijadji, 1985 dalam

Tjokrosudarmo, 1989).

1.2 Rumusan Masalah

Masalah utama yang sering muncul pada pembiakan dengan setek adalah

sukar terbentuknya perakaran pada tanaman. Apabila masalah ini bisa diatasi,

maka perbanyakan dengan cara setek merupakan perbanyakan yang paling baik,

praktis dan ekonomis, salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk merangsang

pertumbuhan dan pembentukan akar pada setek adalah dengan pemakaian zat

pengatur tumbuh.

Urine sapi merupakan salah satu zat perangsang tumbuh alternative yang

murah dan mudah diperoleh serta ramah lingkungan. Dengan demikian urine sapi

yang dulunya terbuang begitu saja akan dapat bermanfaat atau mempunyai nilai

ekonomis khususnya bagi usaha pengembangbiakan tanaman dengan cara setek.

1.3 Tujuan Penelitian

1.Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi urine sapi dan lama

perendaman serta interaksinya terhadap pertumbuhan setek soka.

Page 66: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

64

2. Untuk memperoleh konsentrasi urine sapi dan lama perendaman

optimum bagi pertumbuhan setek soka.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan

khususnya dalam bidang budidaya tanaman hias bahwa dengan

teknologi pemanfaatan urine sapi sebagai zat perangsang tumbuh

mampu meningkatkan keberhasilan setek tanaman hias soka.

2. Petani mampu menyediakan bibit secara berkesinambungan sehingga

masyarakat tani dapat meningkatkan pendapatan khususnya di desa

Petiga, Marga, Tabanan.

2. METODE PENELITIAN

Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan

susunan faktorial. Terdiri dari dua faktor yaitu faktor pertama perendaman dalam

larutan urine sapi (P) dan faktor ke dua konsentrasi urine sapi (U), dengan ulangan

dua kali. Adapun perlakuan-perlakuan yang diberikan dalam percobaan ini adalah:

1. Faktor lama perendaman setek dalam larutan urine sapi (P) yang terdiri dari 4

taraf yaitu :

P1 = direndam selama 15 menit

P2 = direndam selama 30 menit

P3 = direndam selama 45 menit

P4 = direndam selama 60 menit

2. Faktor konsentrasi urine sapi (U) yang terdiri dari 5 taraf yaitu :

U0 = tanpa konsentrasi urine sapi

U1 = konsentrasi urine sapi 2,5%

U2 = konsentrasi urine 5,0%

U3 = konsentrasi urine 7,5%

U4 = konsentrasi urine sapi 10,0%

Jumlah perlakuan kombinasi yaitu 20 perlakuan sebagai berikut : P1U0,

P1U1, P1U2, P1U3, P1U4, P2U0, P2U1, P2U2, P2U3, P2U4, P3U0, P3U1, P3U2, P3U3,

P3U4, P4U0, P4U1, P4U2, P4U3, P4U4.

Masing-masing kombinasi diulang 2 kali, sehingga terdapat 40 satuan

percobaan dan setiap satuan percobaan digunakan 10 setek. Percobaan dilakukan

di Desa Petiga, Marga Tabanan dari bulan Juni sampai bulan September 2009.

Pengamatan dimulai setelah setek berumur 4 minggu dan dilakukan setiap

1 minggu sampai tanaman berumur 12 minggu. Untuk pengamatan ditentukan

tanaman contoh sebanyak 6 setek. Peubah yang diamati meliputi :

(1) persentase setek segar (%), (2) saat tumbuh tunas (hst), (3) jumlah tunas

(buah), (4) panjang tunas (cm), (5) jumlah daun tunas (helai), (6) jumlah akar

primer (buah), (7) panjang akar primer (cm), (8) persentase setek bertunas dan

berakar (%), (9) berat basah akar per setek (g), (10) berat kering oven akar per

setek (g), (11) berat basah tunas per setek (g), (12) berat kering oven tunas per

setek (g).

Pengamatan jumlah dan panjang akar primer, persentase setek bertunas dan

berakar, berat basah akar dan tunas, berat kering oven akar dan tunas dilakukan

pada akhir percobaan, dengan jumlah setek setiap peubah sebanyak 3 setek.

Page 67: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

65

Data yang dikumpulkan dianalisis dengan analisis varian (sidik ragam) sesuai

dengan rancangan yang digunakan. Apabila terdapat pengaruh interaksi yang

nyata terdapat variabel yang diamati maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda

Duncan 5% dan jika hanya pengaruh faktor tunggal, dilanjutkan dengan uji BNT

5%. Untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi urine sapi dengan lama

perendaman terhadap berat kering oven tunas per setek dilakukan dengan analisis

regresi (Gomez dan Gomez, 1995).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi urine

sapi dan lama perendaman serta interaksinya berpengaruh nyata sampai sangat

nyata (p <0,01) terhadap hampir semua parameter yang diamati kecuali terhadap

persentase setek hidup, jumlah tunas dan persentase setek bertunas dan berakar

(Tabel 1).

Perlakuan konsentrasi urine sapi dan lama perendaman secara bersama-

sama berpengaruh sangat nyata dapat meningkatkan berat kering oven tunas setek

tanaman soka. Rata-rata berat kering oven tunas tertinggi diperoleh pada

perlakuan konsentrasi urine sapi 10% dengan lama perendaman 15 menit (P1U4)

yaitu sebesar 0,715 g per setek, berarti terjadi peningkatakan sebesar 81,01% bila

dibandingkan dengan perlakuan tanpa urine sapi dengan lama perendaman 60

menit (P4U0) yang menghasilkan berat kering oven tunas terendah yaitu sebesar

0,395 g per setek (Tabel 14). Berdasarkan hasil analisis regresi didapatkan bahwa

antara konsentrasi urine sapi dengan lama perendaman memberikan pengaruh

secara bersama-sama terhadap berat kering oven tunas dengan persamaan garis

regresi : Y = 0,35532539 + 0,070643426U + 0,00083333P – 0,00301326U2 –

0,00082267 UP , dengan koefisien determinasi (R2) = 90%. Maka dari persamaan

tersebut dapat diduga berat kering oven tunas maksimum sebesar 0,65 g per setek,

diperoleh pada konsentrasi urine sapi 9,67% dengan lama perendaman 15 menit.

Tabel 1. Signifikansi pengaruh konsentrasi urine sapi (U) dan lama

perendaman (P) terhadap parameter yang diamati dalam

pembibitan setek soka

No.

Parameter yang diamati Perlakuan

U P U x P

1. Persentase setek segar (%) ns * ns

2. Saat tumbuh tunas (hst) ** * *

3. Jumlah tunas (buah) ns ns ns

4. Panjang tunas (cm) ** ** **

5. Jumlah daun tunas ( (helai) ** ** **

6. Jumlah akar primer (buah) ** ** **

7. Panjang akar primer (cm) ** ** **

8. Persentase setek bertunas dan berakar (%) ns ns ns

9. Berat basah akar per setek (g) ** ** **

10. BKO akar per setek (g) ** ** **

11. Berat basah tunas per setek (g) ** ** **

12. BKO tunas per setek (g) ** ** **

Keterangan :

Page 68: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

66

ns = tidak berbeda nyata pada taraf 5%

* = berbeda nyata pada taraf 5%

** = berbeda sangat nyata pada taraf 1%

Meningkatnya berat kering oven tunas disebabkan karena meningkatnya

pertumbuhan tunas seperti meningkatnya berat basah tunas, panjang tunas dan

jumlah daun tunas. Hal tersebut didukung oleh adanya hubungan yang nyata

antara berat kering oven tunas dengan berat basah tunas, panjang tunas dan jumlah

daun tunas dengan nilai r masing-masing sebesar +0,9668**, +0,8483**, dan

+0,7113**.

Tingginya berat kering oven akar setek soka disebabkan karena pada

perlakuan konsentrasi urine sapi 10% dan lama perendaman 15 menit (P1U4)

menghasilkan berat basah akar yang tinggi, jumlah akar primer yang banyak dan

mempunyai akar primer yang panjang. Hal tersebut juga tercermin oleh adanya

hubungan yang nyata antara berat kering oven akar dengan berat basah akar,

jumlah akar primer dan panjang akar primer dengan nilai r masing-mmasing :

+0,8917**, +0,9092** dan +0,9498** (Tabel 15).

Dengan terbentuknya sistim perakaran yang lebih baik akan menjamin

pertumbuhan tanaman yang lebih baik pula, karena akar mempunyai fungsi yang

sangat penting yaitu selain sebagai penyerap air dan mineral dalam tanah, juga

sebagai alat untuk bernafas bagi tanaman (Audus, 1963). Dimana air, unsur hara

atau mineral merupakan bahan baku dalam pembentukan fotosintat.

Untuk memacu pertumbuhan akar tanaman pada pembiakan setek, dapat

dibantu dengan pemberian zat tumbuh dalam jumlah tertentu (Rochiman dan

Harjadi, 1973). Berdasarkan hasil percobaan menunjukkan bahwa pemberian

konsentrasi urine sapi berpengaruh baik terhadap pertumbuhan akar setek tanaman

soka. Hal ini terlihat dari data jumlah akar primer, panjang akar primer, berat

basah akar dan berat kering oven akar per setek (Tabel 2, 8, 9, 11 dan 12). Hal

tersebut diduga karena adanya auksin yang terkandung di dalam urine sapi

mempunyai efek fisiologis terhadap tanaman, yaitu mendorong pertumbuhan akar.

Hasil penyelidikan Kogl et al., (1931 dalam Dwidjoseputro, 1989) menyatakan

bahwa urine manusia maupun hewan terutama sehabis makan zat-zat yang berasal

dari tumbuhan mengandung auksin a, aksin b dan heteroauksin. Auksin ini

sebagian tidak dapat dicerna oleh tubuh sapi sehingga terbuang bersama urine.

Lebih lanjut lagi Hartmann dan Kester (1983 dalam Suparman et al., 1990)

mengemukakan pendapat para ahli terdahulu yang menyatakan adanya suatu zat

spesifik yang bersifat merangsang perakaran yang dihasilkan di daun. Zat yang

menyerupai hormon ini mereka sebut ”rhizocaline”. Rhizocaline yang terkandung

di dalam daun-daunan yang dimakan sapi juga dapat terbawa bersama urine.

Perendaman setek dalam konsentrasi urine sapi 10% dengan lama

perendaman 15 menit (P1U4) memberikan pengaruh paling baik terhadap

pertumbuhan akar, daripada perlakuan konsentrasi yang lebih rendah pada

perendaman 15 menit (P1U1, P1U2 danP1U3). Sebaliknya ditingkatkannya waktu

perendaman (P2, P3 dan P4) pada perlakuan urine sapi ternyata menurunkan

pertumbuhan akar (baik jumlah akar primer, panjang akar primer, berat basah akar

dan berat kering oven akar per setek) (Tabel 8, 9, 11 dan 12). Hal ini sesuai

dengan pendapat Rochiman dan Harjadi (1973) bahwa zat tumbuh yang diberikan

terlalu sedikit kurang efektif untuk memacu pertumbuhan tanaman namun

sebaliknya apabila zat tumbuh yang diperlukan maka akan dapat merusak dasar

Page 69: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

67

setek, karena pembelahan sel dan kalus berlebihan sehingga dapat menghambat

tumbuhnya tunas dan akar. Lamanya setek direndam dalam larutan urine sapi

menyebabkan serapan zat tumbuh oleh sel tanaman melebihi jumlah optimum

sehingga dapat menghambat pertumbuhan setek soka.

Meningkatnya pemberian konsentrasi urine sapi pada lama perendaman 15

menit (P1) menyebabkan makin meningkatnya berat kering oven tunas setek. Dan

apabila waktu perendaman ditingkatkan sampai 60 menit (P4) sesuai perlakuan

ternyata terjadi penurunan hasil berat kering oven tunas per setek (Gambar 4). Hal

tersebut diduga karena makin lama setek direndam dalam larutan urine sapi, setek

akan mengabsobsi zat tumbuh maupun unsur-unsur yang terkandung dalam

larutan urine itu telah melebihi jumlah optimum yang dibutuhkan setek untuk

pertmbuhan akar dan tunas. Sehingga sifat zat tumbuh yang mendorong

pertumbuhan tanaman berubah menghambat pertumbuhan tanaman. Disamping

itu pula unsur-unsur yang terkandung dalam urine sapi (Lampiran 13) dalam

jumlah yang relatif banyak diserap oleh setek dapat berbahaya atau meracuni

tanaman yang sudah tentu menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Hal

ini ditegaskan oleh Prawiranata (1981 dalam Tjokrosudarmo, 1989) amoniak

bebas (NH3) dan urea dalam jumlah yang banyak dapat bersifat racun (toksin)

untuk kebanyakan tumbuhan. Hanya tumbuhan yang mempunyai cairan vakuola

bersifat asam dapat menyimpan ion amoniak sebagai garam amonium dalam

jumlah yang relatif besar tanpa menimbulkan gangguan pada tumbuhan.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan dapat ditarik simpulan

sebagai berikut :

1. Perlakuan konsentrasi urine sapi dan lama perendaman secara bersama-

sama berpengaruh nyata terhadap segian besar parameter yang diamati

kecuali terhadap persentase setek segar, jumlah tunas, dan persentase setek

bertunas dan berakar.

2. Perlakuan konsentrasi urine sapi dan lama perendaman memberikan

pengaruh secara bersama-sama terhadap berat kering oven tunas per setek

dengan persamaan regresi : Y = 0,35532539 + 0,07064326U +

0,00083333P – 0,00301326U2 – 0,00082267UP, dengan koefisien

determinasi (R2) = 99%. Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh berat

kering oven tunas per setek maksimum sebesar 0,65 g per setek, pada

konsentrasi urine sapi 9,67% dengan lama perendaman 15 menit.

4.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan, untuk mendapatkan

pertumbuhan setek tanaman soka yang baik pada pembibitan disarankan

menggunakan zat tumbuh alami yaitu urine sapi dengan konsentrasi 9,67% (10%)

dengan lama perendaman setek dalam larutan sapi tersebut 15 menit.

Page 70: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

68

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus (1992). Budidaya Tanaman Soka. Liptan. Balai Informasi Pertanian

Bali.

Rochiman, K. dan S.S. Harjadi (1973). Pembiakan Vegetatif. Departemen

Pertanian. IPB. Bogor.

Prayuginingsih, H. (1986). Urine Sapi dan Air Kelapa sebagai Zat Tumbuh

Alternatif Untuk Merangsang Perakaran Setek Stevia (Stevia rebaudiana

Bortani M.) Laporan Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Tjokrosudarmo, C. (1989) Pengaruh posisi ruas bahan setek dan urine sapi

terhadap pertumbuhan setek kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex

Froehner). Laporan Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor

Sastrapradja, S., Nasution R.E., Idris S., Imelda M., Roedjito A., Soerohaloko S.,

dan Suroyo L., (1980) Tanaman Hias Penting di Indonesia. Balali Pustaka.

Jakarta.

Francisca R. (1991). Pengaruh Populasi Tanaman Soka Jepang (Ixora chinensis

var. aurantiaca) dengan Berbagai Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan dan

Perkembangan Sebagai Tanaman Massal. Jurusan Budidaya Pertanian.

IPB. Bogor

Adriance, G.O. and F.R. Brison, (1955). Propagation of horticultura Plant. Mc.

Graw Hill Book Co. Inc., New York.

Rismunandar, 1988 Hormon tanaman dan ternak. Penebar Swadaya. Jakarta.

Adriance, G.O. and F.R. Brison (1955).Propagation of horticultural plant. Mc.

Graw Hill Book Co. Inc., New York. 289 p.

Audus, L. J. (1963). Plant Growth Substance. Interscience Publisher. Inc., New

York. 553 p.

Crockett, J.U. (1978). Plowering House Plants. Time Hill Books. 160 p.

Dwidjoseputro, D. (1989). Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia.Jakarta.

225 hal.

Ida Dwiwarni (1990). Pemanfaatan Urine Sapi pada Setek Lada. Bull. Tan.

Industri. Sub Balai Penelitian Tanaman Rempah danObat Natar (5) : 19 –

10 hal.

Leopold, A.C. (1963). Auksin and Plant Growth. Univ. California Press. Barkley

and Los Angeles. 354 p.

Mahlstede, J.P. and E.S. Haber (1957). Plant Propagation John Wiley & Sons Inc.

New York. 413 p.

Nurhayati Hakim, Nyakpa M.Y., Lubis A.M., Nugroho S.Gh., Soul M.R., Diha

M.A., Hong G.B., dan Bailey H.H. (1986). Dasar-dasar Ilmu Tanah.

Universitas Lampung. 488 hal.

Prayuginingsih, H. (1986). Urine Sapi dan Air Kelapa Sebagai Zat Tumbuh

Alternatif Untuk Merangsang Perakaran Setek Stevia (Stevia rebaudiana

Bortani M.) Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas

Pertanian IPB.Bogor (tidak dipublikasikan). 68 hal.

Rencana. K. (1988). Pengaruh Panjang Setek dan Konsentrasi Zat Pengatur

Tumbuh IBA terhadap Pertumbuhan Bibit Anggur (Vitis vinivera).

Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya Pertnian Fakultas Pertanian Univ.

Mahasaraswati Denpasar. 53 hal.

Page 71: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

69

Rismunandar (1988). Hormon Tanaman dan Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta,

58 hal.

Rochiman, K. Dan S.S. Harjadi (1973). Pembiakan Vegetatif. Departemen

Pertanian. IPB. 70 hal.

Sastrapradja, S., Nasution R.E., Idris S., Imelda M., Roedjito A., Soerohaloko S.,

dan Suroyo L., (1980). Tanaman Hias Penting di Indonesia. PN. Balai

Pustaka. Jakarta.

Stoutemyer, V.T. (1954). Enccuragement of Roots Plant Regulators in : Plant

Regulators in Agriculture. H.B. Tukey. Editor. John Wiley and Sons Inc.

New York. 245 p.

Sukerta (1989). Pengaruh Dosis Pupuk NPK 15.15.15 dan Dosis Dekamon 22,43

L terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabe Besar (Capsicum

annuum L.). Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya Pertnian Fakultas

Pertanian Univ. Mahasaraswati Denpasar. 111 hal.

Suparmanm Sunaryo dan Sumarko, (1990) Kemungkinan Penggunaan Kemih

Sapi Untuk Merangsang Perakaran Setek Lada (Piper ningrum L.) Bul,

Litro Vol. V No.1. Sub Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Natar.

23 – 26 hal.

Steenis, C.G.G.J. (1981). Flora. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. 400 hal.

Syarief, B.S. (1985). Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana.

Bandung. 182 hal.

Timan, K.V. (1969). Auxin in : Fisiologi Tanaman. M.B. Wilkins (ed). (edisi

bahasa Indonesia). PT. Bina Aksara, Jakarta. 454 hal.

Tjokrosudarmo, C. (1989). Pengaruh Posisi Ruas Bahan Setek dan Urine Sapi

terhadap Pertumbuhna Setek Kopi Robusta (Coffea canephora Pierre ex

Froehner) Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya IPB. Bogor. 62 hal.

Widianto (1988). Membuat Setek, Cangkok dan Okulasi. PT. Penebar Swadaya.

Jakarta. 68 hal.

Page 72: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

70

REVITALIZATION OF METAPHYSICAL AGRICULTURE

FOR PROMOTING SUSTAINABLE FARMING

AND COMMUNITY-BASED TOURISM

Cening Kardi

Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRACT

The embodiment of metaphysical agriculture in Bali is agricultural ritual and practicing

agriculture based on local genius of Rwa Bhineda. It is carried out by subak (institution

for water-control-system in Bali). In this case using organic inputs towards sustainable

farming is very appropriately to the philosophy of Rwa Bhineda. The values of tradition-religion-aspiration-culture in subaks were weakened and rather meaningless as the

impacts of: neglect to metaphysical agriculture; and capital based tourism development.

Actually the good practices of metaphysical agriculture were able to enrich and to beautify objects of tourism in villages, likewise their income generating for the

population. Subaks were rather not powerful and not authoritative in performing

agricultural ritual effectively and meaningfuly, neither in signifying organic techniques in farming. Therefore, a study on revitalization of metaphysical agriculture should be

conducted, with aims: (1) to determine the level of success of metaphysical agriculture;

and (2) to analyze factors of subaks which affecting the success of metaphysical

agriculture. A survey method through questionnaire was used to collect data from 42 subaks in 42 different desa adats (customary villages) which were selected using

purposive sampling. The all questionnaires used Likert scale. Percentage the total score of

a variable that achieved on a subak from its maximum score then indicated the level of the variable on that subak. Regression analysis was used to estimate the effect of factors

of subaks to the success of metaphysical agriculture. Result of the research indicated that

the level of success of metaphysical agriculture was medium. The factors Authority of subak to determine their own life; Effectiveness of awig-awig (subak’s customary rule);

and Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering) were strongly affected the

success of methaphysical agriculture. The factor Social relation of subak to desa adat was

quitely affected, but Intensity of discussion Weda script in subak was not so significantly affected the success of metaphysical agriculture.

Based on the findings in this research, it could be suggested as follows. It needs an

assistance process at subaks to revitalize metaphysical agriculture by counseling and demonstrating plots of organic farming with sophisticated technology. First before this

program, disseminating explanation regarding: implementation of meaningful agricultural

rituals and perfectly understanding to agricultural based on Rwa Bhineda. More adroitly

to decipher sangkepan and awig-awig, and more aggressively to execute punishment to transgressors of awig-awig. It requires pilot project activity, namely by performing

assistance for the formation of farmer cooperative at some subaks.

Key words : metaphysical, subak, revitalization, Rwa Bhineda.

1. INTRODUCTION

Transformation and dynamism are very essential characteristic of

community and culture. It is irrefutable fact that ”transformation” denotes

phenomenon which always features the passage of community and its culture.

There isn’t a statics community in absolutly. Every community always gains

Page 73: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

71

transformation on time function, so there isn’t a community has same portraits on

different periods, neither ”traditional” nor modern community, although they

change with varied rapidity (Haferkamp dan Smelser, 1992).

The communities with their cultures in Bali are not exception in this case.

In other words, Bali always changes from age to age and even from day to day.

Something has been worried ” isn’t Bali spoiled?” due to the effect of global

population dynamism that has caused intensive and extensive capital-based tourism

development as the policy and program for economic improvement of the

government, to catch the trend of the world.

The capital-based tourism development brought about great batterer

energy that caused very structural changes in Baliness society and culture.

Tourism in Bali much changed from cultural-based tourism (in the era before

1975) to be competitive and commercial tourism. Unfortunately, these

competitive and commercial attitudes and behaviours spreaded to the nearly all of

social-traditional-religious institutions in Bali, especially Subaks (institutions for

agricultural water-control-system in Bali) and desa adats (customary villages).

Actually, subak denotes a technology developing and synergizing with

community culture. On that account, subak is known as an institution having

socio-cultural characteristic. It is reflected by the activities of subak predominated

by mutual assistance and ritual ceremonies (Windia et al., 2010). So much local

genius and local wisdoms as the part of subak’s and desa adat’s sermons which

they are neglected, mainly in the concepts and implementations of metaphysical

agriculture. Finaly the values of tradition-religion-aspiration-culture in subaks are

weakened and rather becoming meaningless, whereas tourism sector apparently

has been taking benefits from the assets which rooted in tradition-religion-

aspiration-culture of subaks and desa adats.

The agricultural activities in Bali are not only in physical study but also in

metaphysical. The embodiment of metaphysical agriculture in Bali is as follows.

1. Agricultural ritual and customary ceremonies. There are two biggest ritual:

Nyapah which take place in center village temple (Bale Agung temple)

twice in every year; and Usaba in a hill temple of subak (Bedugul temple).

These two rituals are very facilitated by desa adat. Various medium and

small rituals which are arranged by members (krama) of subak in each

their farm fields.

2. Practicing agriculture based on local genius of Rwa Bhineda. These

activities of agriculture concern to keep on the balance of ecosystem in

farming land. In this case using organic inputs towards sustainable

farming is very appropriately to the philosophy of Rwa Bhineda.

The rituals were established and developed as the corollary of sincere

characteristics of farmers in subak to possess devotion and sacred deed/karma

through giving sacred offering to Goddess Sri (the omnipresent Deity in farming

area), after they got crops and exploited some resources for plants farming. it was

karma of take and give (Namayudha 1999).

Actually the good practices of metaphysical agriculture were able to enrich

and to beautify objects of tourism in the villages of Bali, likewise their income

generating for population in the villages. But nowadays subaks and desa adats

are rather not powerful and not authoritative in performing rituals agriculture

effectively and meaningfuly, neither in signifying techniques for organic farming.

Page 74: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

72

Concerning with the weakness owned by subaks, a study on revitalization of

metaphysical agriculture should be conducted. The aims of this study were: (1) to

determine the level of success of metaphysical agriculture; and (2) to analyze

factors of subaks which affecting the success of metaphysical agriculture. These

factors were: authority of subak to determine their own life; effectiveness of awig-

awig (subak’s customary rule); effectiveness of sangkepan (social-religious

gathering); social relation of subak to desa adat; and intensity of discussion Weda

script in subak.

2. RESEARCH METHODS

2.1 Theoretical Frame of Metaphysical Agriculture Urgency

Popper, 1983 explained that every form is natural objective, and every idea

is subjective. There is objective truth that unrestricted by space and time, it is in

the higher level than both objective forms and subjective ideas and it has

metaphysical quality.

Orderliness of the cosmos is objective and metaphysical truth, it is in

transcendent level and ordered by the God as creator. The steadiness of universe,

like there are: noon vs night, prey vs predator; natality vs mortality, and

plentifully others are coming into sight the omnipotence of the God. These pairs

of two qualities in one (dichotomies) which appear in contrary are some

exsamples of Rwa Bhineda. The forms of Rwa Bhineda must be controled to be

stable and balance in anyhow, anyplace and particularly in agricultural activities

(producing food) which have kept on population to be alive.

The universe is pervading by conciousness. The conciousness can be

classified to be partial/limited conciousness and super conciousness. When the

conciousness takes embodiment through a birth, it becomes partial/limited

conciousness. Since the conciousness to be restricted by its body. Sadness,

happiness, anger, love, etc., are some impressions/feelings emerged by body. The

super conciousness standing firmly and never be dissolved in feeling is named

Paramaatma. Paramaatma denotes source of Atma, this Atma dwells within

body. The merging of Atma to body performs soul, the efforts of soul continuesly

to achieve Paramaatma makes happen metaphysical activities, while

Paramaatma permanently in transcendent level (Sri Sathya Narayana, 1996).

Tattwamasi (you are essentially me), and Advesta Sarwa Bhutanam (love

all creatures) were some sacred directions of Weda script. They were strong

believed and done by farmers of subak. Because of revolution on agriculture

latter, introduced pesticides that were adopted by farmers. Actually, pesticides

gave more dangers to all creatures, those were poison residue in food, damaged

ecosystem, resistance and resurgence of plant pests and diseases. Therefore,

Tattwamasi and Advesta Sarwa Bhutanam denoted metaphysical practicality

should be believed and done. For the present days, practicing organic farming is

indicator for metaphysical practicality in agriculture (Geriya et al., 2006).

2.2 Data and Analytical Methods

A survey method through questionnaire was used to collect data from 42

subaks in 42 different desa adats (customary villages), which were selected using

purposive sampling (in the year 2010). In the region of south Bali were selected

20 desa adats, and the rest 22 desa adats were selected in the region of north

Page 75: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

73

Bali. In every desa adat was taken respondents which consist of 5 men from the

board of desa adat, 10 men from the board of subak, 25 men members of subak

and 10 men members of desa adat but not members of subak.

The variables those were examined can be described briefly as presented

in Table 1. The strength of every element of variables was scored as very low (1),

low (2), medium (3), high (4) and very high (5). Percentage the total score of a

variable that achieved on a subak from its maximum score then indicated the level

of the variable on that subak. So, the interval scale of variable could be

categorized: 20-36% was very low; 37-52 % was low; 53-68% was medium; 69-

84% was high; and 85-100% was very high. Regression analysis was used to

estimate the effect of factors of subaks to the success of metaphysical agriculture.

Table 1. Variables description

No Variable Descripton

(1) (2) (3)

1 The success of

metaphysical

agriculture

On ritual aspect (Seven elements): 1)

understanding to the viewpoint (tattwa) of the

ritual; 2) coordination in ritual implementation; 3)

solidarity among the followers of ritual; 4) freedom

in partaking ritual; 5) orderliness of ritual

processing; 6) completeness of facilities for ritual;

and 7) creativity in achieving ritual.

On the aspect of practicing agriculture based on

local genius of Rwa Bhineda (seven elements): 1)

intensity of pesticide treatment; 2) intensity of

chemical fertilizer treatment; 3) wholeness to follow

the planting season; 4) intensity of plant rotation; 5)

intensity to process waste of livestocks and harvest

to be fine compost; 6) intensity to plant greeneries

with high level Nitrogen for fertilizer; and 7) quality

of integrated crop-livestock system.

2 Authority of

subak to

determine their

own life

Four elements: 1) percentage of land conversion from

agricultural to non agricultural; 2) intensity of watter

sources for irrigation were changed to be non

agricultural purpose; 3) Intensity of blockading subak’s

groud athway and watter canal by outer force of

subak; and 4) intensity of conflict between subak and

industry/government.

3 Effectiveness of

awig-awig

(subak’s

customary rule)

Four elements: 1) clearness of awig-awig; 2)

democratic system in establishing awig-awig; 3) awig-

awig socialization; and 4) firmness in executing

punishment to transgressors of awig-awig.

4 Effectiveness of

sangkepan (social-

religious

gathering)

Six elements: 1) Sangkepan routine; 2) follow-up of

sangkepan’s decisions; 3) atmosphere in sangkepan; 4)

percentage of members of subak to attend sangkepan;

5) sovereignty for giving comments in sangkepan; and

6) sanction for members of subak who absent in

sangkepan.

5 Social relation of Three elements: 1) coordination between the board of

Page 76: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

74

subak to desa adat desa adat and subak in holding ritual; 2) participation

of seke-seke (small grups for special duty in desa adat)

in ritual; and participation of desa adat members but

not members of subak to attend agricultural ritual.

3. RESULTS AND DISCUSSION

3.1 The Level of Success of Metaphysical Agriculture

The level of success of metaphysical agriculture was assessd from two

aspects, ritual aspect and aspect of practicing agriculture based on local genius of

Rwa Bhineda. From the ritual aspect, the result was decribed as follows.

The understanding to the viewpoint (tattwa) of the ritual was low, since most of

the people especially in traditional institutions (like subak and desa adat) had no

interest to read or to learn manuscripts regarding tattwa of the ritual or religion.

They prefered to follow the expressions of tattwa like to make some complicated

offerings/sacrifices. Grup dynamism in the most of subaks were becoming weak

due to the decreasing productivity and profitability of rice farming, hence

coordinations in ritual implementation were not good and subaks had no enough

funding to complete facilities and to be creative in achieving ritual. Finally, The

level of success of metaphysical agriculture from ritual aspect became low.

The success of of metaphysical agriculture from aspect practicing

agriculture based on local genius of Rwa Bhineda was as follows. The level of its

success was categorized as medium, it implied that the farmers and their subaks

had adopted slightly organic farming methods. Chemical fertilizers (like UREA,

TSP, KCl, Ponska, NPK) were still very intensively to be applicated by the

farmers and even they were very dependently on these chemical fertilizers, on the

other hand, they were lack of treatments towards producing fine compost from

waste of livestocks and harvest. The farmers of subaks were very averse to follow

the planting season in the area of subak. It was very potentially to cause pests and

diseases continuesly spreaded and attacked the growing plants everywhere, and

difficultly to be cut down. All of these poured in decreasing productivity and

profitability of rice farming. From the all of these explanations, it could be

assessed that the success of metaphysical agriculture was in medium level.

Table 2. Description for the elements of ritual aspect

Element Min

(%)

Max

(%)

Average

(%)

Category level

of success

1) Understanding to the

viewpoint (tattwa) of the ritual 21.6 70.4 41.6 Low

2) Coordination in ritual

implementation 47.2 88.8 49.6 Low

3) Solidarity among the followers

of ritual 52.0 87.2 56.0 medium

4) Freedom in partaking ritual 54.4 97.6 87.2 very high

5) Orderliness of ritual processing 49.6 91.2 80.8 High

6) Completeness of facilities for

ritual 24.0 73.6 51.2 Low

7) Creativity in achieving ritual 23.2 72.0 56.8 medium

Average 60.4 medium

Page 77: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

75

Table 3. Description for the elements of practicing agriculture based

on local genius of Rwa Bhineda

Element Min

(%)

Max

(%)

Average

(%)

Category level

of success

1) intensity of pesticide treatment 34.5 90.0 56.0 medium

2) intensity of chemical fertilizer

treatment 23.5 93.0 44.0 Low

3) wholeness to follow the planting

season in the area of subak 27.0 77.0 46.5 Low

4) intensity of plant rotation 42.0 91.5 72.0 High

5) intensity to process waste of

livestocks and harvest to be fine

compost 29.0 91.5 54.0 medium

6) intensity to plant greeneries with

high level Nitrogen for fertilizer 30.0 84.0 61.0 medium

7) quality of integrated crop-

livestock system 47.0 88.5 58.0 medium

Average 55.9 medium

3.2 Factors of Subak Affecting The Success of Metaphysical Agriculture

The level of factors: Authority of subak to determine their own life;

Effectiveness of awig-awig (subak’s customary rule); and Intensity of discussion

Weda script in subak were medium. The level of factors: Social relation of subak

to desa adat; and Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering) were

rather high. The result of regression analysis on the factors of subak affecting the

success of metaphysical agriculture was as follows (Table 4). The factors

Authority of subak to determine their own life; Effectiveness of awig-awig; and

Effectiveness of sangkepan were strongly affected the success of methaphysical

agriculture. The factor Social relation of subak to desa adat was quitely affected the

success of metaphysical agriculture, but Intensity of discussion Weda script in subak

was not so significantly affected the success of metaphysical agriculture.

As an institution having socio-cultural characteristics, subak has a power

or wisdom and weakness. Some of those indigenous wisdoms are organization

having good governance, flexibility, having capability of absorbing or adopting

tecgnology developing around them and having capability of absorbing the culture

developing in surrouding community. If the all of factors of subak are vigorous

and effectively, actually the force in subak can be an indigenous wisdom and

social asset that can shore up some government programs, especially the food

security program and community-based tourism development. Meanwhile, the

weakness of subak as an institution having socio-cultural characteristic is that it

could not resist the intervention from external parties. This incapability is

reflected in the large number of land undergoing transfer of function to sectors

beyond agriculture like to building for hotel and building for hausing complex. In

addition, there is relatively a large amount of withdrawing of irrigation water and

blockading subak’s groud pathawy by other sectors such as Municipal Waterwork,

hotels and other tourism components.

Page 78: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

76

Table 4. The result of regression analysis on factors of subak affecting

the success of metaphysical agriculture

No Factor of Subak Coeficient t-ratio Sig.

1 Constant -8.039 -7.731 0.000*

2 Authority of subak to determine their own life 0.297 6.074 0.000* 3 Effectiveness of awig-awig (subak’s customary rule) 0.335 4.632 0.000*

4 Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering) 0.227 3.731 0.001*

5 Social relation of subak to desa adat 0.106 2.240 0.031* 6 Intensity of discussion Weda script in subak 0.131 1.480 0.147

ns

R Square = 0.9938 F = 1201.5* Informations: * = significantly; ns = non significantly

4. CLOSURE

4.1 Conclusions

Based on the previous descriptions, it could be concluded as follows.

1. The level of success of metaphysical agriculture was categorized into

medium.

2. The factors Authority of subak to determine their own life; Effectiveness

of awig-awig; and Effectiveness of sangkepan were strongly affected the

success of methaphysical agriculture. The factor Social relation of subak to

desa adat was quitely affected the success of metaphysical agriculture, but

Intensity of discussion Weda script in subak was not so significantly affected the

success of metaphysical agriculture.

4.2 POLICY IMPLICATION

Based on the findings in this research, it could be formulated policy

implications as follows.

1. It needs an assistance process at subak to revitalize metaphysical

agriculture by counseling and demonstrating plots of organic farming with

sophisticated technology. First before this program, disseminating

explanation regarding: implementation of meaningful ritual for agriculture

and perfectly understanding to agricultural based on Rwa Bhineda.

2. More adroitly to decipher sangkepan and awig-awig, and more

aggressively to execute punishment to transgressors of awig-awig.

3. It requires pilot project activity, namely by performing assistance for the

formation of farmer cooperative at some subaks.

REFERENCES

Geriya, W., Yudha Triguna, dan I Nyoman Dhana, 2006. Pola Kehidupan

Petani Subak Di Bali. Javanologi: Denpasar.

Haferkamp, H. and Neil J. Smelser. 1992. Social Change and Modernity.

The University of California Press: Berkeley.

Namayudha, I.B., 1999. Upacara Ngusaba Nini. Parisada Hindu: Denpasar.

Narayana, S.S. 1996. Discourses on Bhagawad Gita. Sri sathya Sai Book and

Publication Trust: Bangalore-India.

Page 79: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

77

Popper, K.R. 1983. Realism and The Aim of Science. Rowman and Littlefied:

New Jersey.

Windia, W., Ketut Suamba and Wayan Sudarta. 2010. The Development of

Food Security Model Based on Subak System In Bali. Jurnal SOCA.

Vol. 10. No.1. Februari 2010: 8-14.

Page 80: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

78

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN SENTRA PENGOLAHAN

HASIL PERIKANAN DI DESA KUSAMBA KABUPATEN

KLUNGKUNG: Ditinjau dari Perspektif Bisnis dan Lingkungan

Ni Made Muriati1)

dan Wayan Guwet Hadiwijaya2)

1)

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali

2)

Jurusan Agroteknologi Universitas mahasaraswati Denpasar

Abstrak

Tujuan penelitian yaitu: (1) mengetahui kondisi faktor-faktor internal yang

menentukan kelangsungan hidup sentra pengolahan hasil perikanan di Desa

Kusamba; (2) mengetahui kondisi lingkungan yang merupakan faktor-faktor

eksternal yang mempengaruhi perkembangan sentra pengolahan hasil perikanan;

dan (3) merumuskan strategi pengembangan usaha yang paling sesuai bagi sentra

pengolahan hasil perikanan dalam merespon persaingan pasar dan dampak

terhadap lingkungan. Responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang (50

orang dari unsur pemilik usaha dan 50 orang dari unsur pekerja). Analisis data

yang digunakan adalah pendekatan konsep manajemen strategis yang dilakukan

secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk uraian. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa posisi internal perusahaan cukup kuat di mana perusahaan cukup mampu

memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan yang ada. Posisi

ekternal perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan sentra pengolahan hasil

perikanan masih cukup kuat dalam usahanya melaksanakan strategi-strategi untuk

memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi ancaman yang dihadapi.

Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan sebaiknya menerapkan strategi

pertahankan dan pelihara. Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan harus

menjaga dan mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi yang cukup baik

serta melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang menyangkut bidang

produksi, pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan lingkungan demi

tercapainya kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan kelangsungan hidup

(sustainable) sentra pengolahan hasil perikanan serta memiliki keunggulan

kompetitif dalam pengembangan produk.

Kata kunci: Hasil perikanan, Pindang, Strategi, Internal dan Eksternal

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kabupaten Klungkung mempunyai luas wilayah 315 km² yang terletak di

antara 115º21’28” - 115º37’43”BT dan 8º 49’00” LS, dengan panjang pantai

keseluruhan ± 144 km. Potensi perikanan laut di Kabupaten Klungkung cukup

tinggi terutama perikanan tangkap. Potensi tersebut diperkirakan sebesar 4.140,7

ton per tahun yang terdiri atas ikan pelagis 2.898,2 ton dan ikan demersal 1.242,5

ton.

Program pembangunan perikanan laut di Kabupaten Klungkung terutama

diprioritaskan untuk meningkatkan produktivitas melalui pemberdayaan SDM

Page 81: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

79

nelayan, pembudidaya pengolah, masyarakat pesisir lainnya, peningkatan nilai

tambah dan mutu produk serta pemasaran, menciptakan iklim usaha yang

kondusif, peningkatan dan pengembangan kemitraan usaha dan peningkatan

kapasitas kelembagaan, meningkatkan dan daya dukung serta kualitas lingkungan

perairan. Produk hasil perikanan merupakan sumber protein hewani yang

bermutu dan sangat bermanfaat bagi tubuh manusia dan merupakan komoditas

ekspor hasil perikanan yang telah menyumbangkan devisa. Namun di pihak lain

kerugian atau kerusakan produk hasil perikanan (losses) mencapai 20 % akibat

penanganan yang kurang baik. Penanganan ikan segar merupakan salah satu

bagian penting dari mata rantai industri perikanan karena dapat mempengaruhi

mutu yang dihasilkan.

Pada sektor kelautan dan perikanan usaha pengolahan hasil perikanan pada

umumnya masih didominasi oleh pengolahan ikan berskala usaha mikro, kecil dan

menengah. Usaha pengolahan perikanan umumnya masih bersifat tradisional,

cendrung dikelola oleh anggota turun-temurun dengan kapasitas produksi yang

terbatas, dengan kegiatan usaha bersifat rutinitas. Usaha pengolahan hasil

perikanan berskala miro kecil biasanya lemah dalam berbagai dimensinya, lemah

dalam aspek permodalan, teknologi dan informasi, lemah dalam manjemen dan

pemasaran, umumnya tersebar parsial, sehingga pada umumnya belum memenuhi

standar sesuai ketentuan, sehingga hasilnya belum mampu bersaing dengan

produk lainya. Mereka juga dihadapkan pada kesulitan melakukan penguatan

internal, seperti peningkatan produktivitas, riset pengembangan produk, pelatihan

dan bimbingan SDM serta promosi usaha.

Dalam upaya mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi, yaitu

meningkatkan kapasitas usaha bersekala ekonomi dengan kelembagaan yang kuat

serta dikelola secara profesional dengan akses dan penetrasi pasar yang kuat dan

berdaya saing, serta mampu berproduksi lebih efisien dalam kawasan

pengembangan, dan dalam rangka meningkatkan percepatan pemberdayaan dan

pembinaan unit-unit pengolahan ikan (UPI) dan revitalisasi industri pengolahan,

maka diperlukan penerapan konsep pengembangan sentra pengolahan hasil

perikanan melalui pendekatan pengembangan sentra-sentra pengolahan dan

strukturisasi UKM Pengolahan Hasil Perikanan. Upaya ini dilakukan dengan

memberikan dukungan kebijakan dan program penyediaan lembaga layanan

pengembangan bisnis yang dilakukan secara terpadu di lokasi kawasan produksi

perikanan.

Salah satu usaha pengolahan ikan yang sudah berkembang di kabupaten

Klungkung adalah pengolahan pindang. Usaha pengolahan pindang tersebut

berada di Desa Kusamba yang terletak di wilayah Kecamatan Dawan. Usaha ini

sudah ada sejak lama dan merupakan salah satu bentuk aktivitas ekonomi

masyarakat Desa Kusamba yang berbasis rumah tangga. Pada awalnya kegiatan

pengolahan pindang dilakukan di rumah-rumah penduduk, bahan baku hanya

diperoleh dari hasil tangkapan para nelayan setempat, proses pengolahan masih

dilakukan secara tradisional. Hal ini menimbulkan beberapa permasalahan, karena

tercampurnya aktivitas rumah tangga dan aktivitas produksi sehingga lingkungan

di rumah menjadi kumuh, kotor dan berbau, produksinya terbatas karena

kekurangan bahan baku dan mutu produk belum terjamin.

Untuk memudahkan dalam pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan

pengolahan pindang di Desa Kusamba, maka pada tahun 1998 pemerintah

Page 82: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

80

membangun bangsal pemindangan dengan tujuan untuk penataan kegiatan

pengolahan pindang dari lingkungan perumahan ke lokasi khusus pemindangan

dan menjadikan lokasi tersebut sebagai Sentra Pemindangan .

Pada tahun 2007, berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan

Republik Indonesia Nomor: KEP.01/MEN/2007, tentang Lokasi Pengembangan

Sentra Pengolahan Hasil Perikanan, Sentra Pengolahan Pindang di Desa

Kusamba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung ditetapkan sebagai lokasi

Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan. Akan tetapi dalam

perkembangannya, fasilitas yang disediakan meliputi penyediaan sarana prasarana

yang ada tidak berfungsi sesuai dengan harapan, misalnya proses pengolahan ikan

belum dilakukan dengan baik, drainase yang penuh dengan sampah dan sisa-sisa

pengolahan yang menyebabkan aliran air tidak lancar sehingga menimbulkan bau.

Di samping itu konstruksi bangunan belum memenuhi standar karena dari segi

sanitasi dan hygienitas kurang memenuhi syarat, sehingga berdampak pada

kualitas dan mutu produk.

Melihat permasalahan tersebut, maka diperlukan suatu strategi untuk

mengembangkan sentra pemindangan di Desa Kusamba. Upaya tersebut

bertujuan menjadikan sentra pengolahan hasil perikanan yang memenuhi

persyaratan kelayakan unit pengolahan dan kelayakan pengolahan sehingga

menghasilkan produk yang bermutu dan aman untuk di konsumsi seta sehat dan

nyaman bagi para pelaku usaha.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan melihat uraian latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan

beberapa permasalahan, yaitu.

1. bagaimanakah kondisi faktor-faktor internal yang menentukan kelangsungan

hidup sentra pengolahan hasil perikanan di Desa Kusamba?

2. bagaimanakah kondisi lingkungan yang merupakan faktor-faktor eksternal

yang mempengaruhi perkembangan sentra pengolahan hasil perikanan di

Desa Kusamba?

3. bagaimana strategi pengembangan usaha yang paling sesuai bagi sentra

pengolahan hasil perikanan dalam merespon persaingan pasar dan dampak

terhadap lingkungan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan umum penelitian ini

adalah untuk mengembangkan sentra pengolahan pindang di Desa Kusamba

menjadi sentra pengolahan hasil perikanan yang memenuhi persyaratan unit

pengolahan dan dapat menghasilkan produk yang bermutu dan aman untuk

dikonsumsi serta menguasai pasar. Sedangakan tujuan khususnya adalah sebagai

berikut.

1. Mengetahui kondisi faktor-faktor internal yang menentukan kelangsungan

hidup sentra pengolahan hasil perikanan di Desa Kusamba.

2. Mengetahui kondisi lingkungan yang merupakan faktor-faktor eksternal yang

mempengaruhi perkembangan sentra pengolahan hasil perikanan di Desa

Kusamba.

Page 83: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

81

3. Merumuskan strategi pengembangan usaha yang paling sesuai bagi sentra

pengolahan hasil perikanan dalam merespon persaingan pasar dan dampak

terhadap lingkungan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut;

1. Memberikan informasi dan masukan pada bidang kajian perencanaan dan

pengembangan wilayah khususnya yang berkaitan dengan pembangunan atau

pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan

2. Memberikan masukan kepada Pemerintah atau pengambil kebijakan, sebagai

kebijakan dalam upaya pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan

2. METODE PENELITIAN

2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Sentra Pengolahan Pemindangan Desa Kusamba

Kabupaten Klungkung dengan pertimbangan Sentra Pengolahan Pemindangan

Desa Kusamba Kabupaten Klungkung merupakan salah satu pengembangan

sentra pengolahan hasil perikanan di Provinsi Bali. Penelitian dilakukan pada

bulan Desember 2011

2.2 Penentuan Responden

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pelaku usaha pengolah hasil

perikanan di Sentra Pengolahan Pemindangan Desa Kusamba, Kabupaten

Klungkung yang berjumlah 50 unit usaha. Pada setiap unit usaha diambil masing-

masing satu orang responden dari unsur pemilik, dan satu orang dari unsur

pekerja. Sehinga seluruh responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang.

Khusus untuk pemberian rating atau peringkat untuk masing-masing faktor

internal maupun eksternal, diajukan kepada beberapa responden yang

berkompeten dalam hal pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan, yaitu:

para pemilik usaha pemindangan yang paling maju (10 rang), Kepala Dinas

Peternakan dan Perikanan Kabupaten Klungkung, dan dua orang pakar agribisnis

perikanan di Bali.

2.3 Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dibutuhkan untuk mendukung penelitian adalah data

kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang berwujud kuantitas

atau angka yang merupakan hasil membilang atau mengukur, seperti luas lahan

usaha, kapasitas produksi, jumlah produksi, biaya produksi dan besarnya

pendapatan usaha. Data kualitatif yaitu berupa keterangan atau uraian yang

berkaitan dengan objek penelitian dan tidak dapat dihitung atau tidak berupa

angka melainkan keterangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut.

1) Wawancara, yaitu pengumpulan data dengan cara meminta keterangan

langsung kepada responden melalui daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan

sebelumnya.

Page 84: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

82

2) Wawancara mendalam, yaitu pengumpulan data dengan cara meminta

keterangan langsung kepada para informan melalui pedoman wawancara yang

telah dipersiapkan sebelumnya.

3) Observasi, yaitu suatu pengumpulan data dengan pengamatan langsung di

lapangan untuk menguji dan melengkapi data lainnya.

4) Dokumentasi, yaitu pengumpulan data dan informasi yang telah tercatat pada

berbagai dokumen tentang berbagai hal yang diperlukan dalam penelitian.

2.4 Metode Analisis Data

Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah pendekatan

konsep manajemen strategis. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan

disajikan dalam bentuk uraian.

2.4.1 Analisis lingkungan internal dan eksternal

Langkah ringkas untuk mengidentifikasi faktor internal adalah dengan

menggunakan matriks IFE (Internal Faktor Evaluation) yang meringkas dan

mengevaluasi faktor internal yakni kekuatan dan kelemahan perusahaan di

bidang-bidang fungsional (David, 2001). Tujuan dari penilaian faktor eksternal

adalah mengembangkan daftar terbatas peluang yang dapat dimanfaatkan

perusahaan dan ancaman yang harus dihindari. Langkah yang ringkas dalam

melakukan penilaian faktor eksternal adalah dengan menggunakan matriks EFE

(Eksternal Faktor Evaluation). Matriks ini mengarahkan perumus strategi untuk

mengevaluasi informasi dari luar perusahaan.

Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap varibel

terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus (Kinnear,

1996) :

Dimana: αi = bobot variabel ke-i

Xi = nilai variabel ke-i

i = 1,2,3…n

n = jumlah variabel

Penilaian setiap variabel baik yang merupakan faktor internal maupun eksternal

perusahaan menggunakan skor skala empat, di mana kekuatan masing-masing

variabel tersebut dinilai sebagai sangat lemah (skor 1), lemah (skor 2), kuat (skor

3) dan sangat kuat (skor 4).

Berikan rating atau peringkat (dalam kolom 4) untuk masing-masing

faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1

(poor), berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan

yang bersangkutan (seperti contoh matriks evaluasi faktor internal pada Tabel 1).

Pemberian nilai rating kekuatan pada matriks IFE dengan skala yang digunakan,

yaitu: 1 = sangat lemah; 2 = lemah; 3 = kuat; dan 4 = sangat kuat. Sedangkan

faktor yang menjadi kelemahan pemberian nilai rating dilakukan sebaliknya.

Selanjutnya kalikan setiap bobot (kolom 3) dengan rating (kolom 4) untuk

memperoleh faktor pembobotan atau skor (kolom 5). Hasilnya berupa skor

Xi

αi = n

∑ Xi

1

Page 85: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

83

pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi, mulai dari 4,0

(outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).

Tabel 1. Contoh Matriks evaluasi faktor internal

No Kekuatan Bobot Rating Skor

1

2

…..

…..

…..

…..

…..

SDM yang terampil, disiplin dan ulet

Sistem agribisnis perikanan yang cukup baik

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

Kelemahan

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

Tidak aktif dalam kelompok usaha yang ada

Tidak melakukan promosi

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

Pemberian nilai rating peluang pada matriks EFE dengan skala yang digunakan,

yaitu: 1 = rendah (respon kurang); 2 = sedang (respon sama dengan rata-rata); 3 =

tinggi (respon di atas rata-rata); dan 4 = sangat tinggi (respon jauh di atas rata-

rata). Sedangkan untuk faktor yang menjadi ancaman pemberian nilai rating

dilakukan sebaliknya (seperti contoh matriks evaluasi faktor eksternal pada Tabel

2). Selanjutnya kalikan setiap bobot (kolom 3) dengan rating (kolom 4) untuk

memperoleh faktor pembobotan atau skor (kolom 5). Hasilnya berupa skor

pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi, mulai dari 4,0

(outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).

Tabel 2. Contoh Matriks evaluasi faktor eksternal

No Peluang Bobot Rating Skor

1

2

…..

…..

…..

…..

…..

Permintaan terhadap pindang yang tinggi

Kepercayaan dari pihak Bank

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

Ancaman

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

Mahalnya harga ikan dan bahan bakar

Banyaknya pesaing

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

…..

Page 86: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

84

2.4.2 Matriks i-e (internal-eksternal)

Sumbu horizontal pada matriks IE menunjukkan skor total IFE, sedangkan

pada sumbu vertical menunjukkan skor total EFE. Pada sumbu horizontal skor

antara 1,00 – 1,99 menunjukkan posisi internal lemah. Skor 2,00 – 2,99

menunjukkan posisi internal rata-rata, dan skor 3,00 – 4,00 menunjukkan posisi

internal kuat. Begitu pula pada sumbu vertikal yang menunjukkan pengaruh

eksternal (lihat Gambar 1)

I II III

IV V VI

VII VIII IX

Gambar 1. Matriks Internal-Eksternal (IE)

Diagram tersebut dapat mengidentifikasikan sembilan strategi pengembangan

perusahaan, tetapi pada prinsipnya kesembilan sel tersebut dapat dikelompokkan

menjadi tiga strategi utama, yaitu

a. Sel I, II dan IV disebut strategi tumbuh dan bina. Strategi yang cocok

adalah strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar dan

pengembangan produk) atau strategi integratif (integrasi ke belakang,

kedepan dan horizontal).

b. Sel III, V dan VII disebut strategi pertahankan dan pelihara. Penetrasi

pasar dan pengembangan produk merupakan dua strategi yang banyak

dilakukan apabila perusahaan berada di dalam sel ini.

c. Sel VI, VII dan IX disebut strategi panen dan diversifikasi.

3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan serta Peluang dan Ancaman

Sentra Pengolahan Hasil Perikanan

Faktor-faktor yang digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan,

kelemahan serta peluang dan ancaman perusahaan pada Sentra Pengolahan Hasil

Perikanan berasal dari identifikasi terhadap faktor internal dan eksternal yang

telah digunakan di atas. Hasil identifikasi ini kemudian digunakan untuk

menyusun matriks IFE dan EFE .

1. Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan Sentra Pengolahan Hasil

Perikanan

Identifikasi faktor internal dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan

kelemahan yang diperoleh dari hasil diskusi dengan responden. Hasil ringkasan

faktor strategis internal disajikan pada Tabel 3

Tinggi Rata-rata Lemah

4,0 3,0 2,0 1,0

1,0

2,0

3,0

4,0 Tinggi

Sedang

Rendah

Page 87: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

85

Tabel 3. Faktor Strategis Internal Sentra pengolahan hasil perikanan

No Kode Kekuatan

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

A

B

C

D

E

F

G

H

SDM yang terampil, disiplin dan ulet

Sistem agribisnis perikanan yang cukup baik

Teknologi pemindangan yang mudah dikuasai

Dekat dengan tempat pendaratan ikan

Memiliki mobil operasional

Sistem pemasaran (jalur distribusi) yang jelas

Modal cukup besar

Lahan usaha yang cukup luas

Kelemahan

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

I

J

K

L

M

N

O

Pengetahuan dan sikap terhadap pengelolaan limbah usaha

pemindangan masih rendah

Letak sentra pengolahan hasil perikanan dekat dengan

pemukiman penduduk

Tata letak bangunan dan jalan/gang antar unit pengolahan

Produk mudah rusak/tidak tahan lama

Masih menggunakan modal pribadi

Kelembagaan kelompok pengolahan perikanan kurang aktif

Tidak melakukan promosi

2. Identifikasi Peluang dan Ancaman Sentra Pengolahan Hasil Perikanan

Sejumlah peluang dan ancaman yang dihadapi oleh perusahaan pada sentra

pengolahan hasil perikanan yang diperoleh dari hasil diskusi dengan responden

masyarakat pengolah pindang, perangkat desa dan tokoh masyarakat. Hasil

ringkasan faktor strategis eksternal disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Fakator Strategis Eksternal Sentra pengolahan hasil perikanan

No Kode Peluang

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

A

B

C

D

E

F

G

Permintaan terhadap pindang ikan yang cukup tinggi

Kepercayaan dari pihak Bank

Infrastruktur jalan yang baik

Dukungan pemerintah karena usaha pengolahan perikanan

merupaka sector unggulan Kabupaten Klungkung

Pangsa pasar untuk Bali cukup prospektif

Kondisi ekonomi masyarakat Bali yang sangat baik

Perkembangan ilmu dan teknologi pengelolaan limbah yang

cukup tinggi dan mumpuni

Ancaman

8.

9.

10.

11.

12.

H

I

J

K

L

Cuaca yang tidak menentu sehingga dapat mengurangi

ketersedian bahan baku

Mahalnya harga ikan dan bahan bakar

Banyaknya pesaing

Gangguan kesehatan para pengolah

Keamanan lingkungan dari gangguan luar

Page 88: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

86

3. Tahap Masukan Skala Besar dan Kecil

1) Matriks Evaluasi Faktor Internal

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap faktor-faktor internal,

selanjutnya dilakukan pembobotan untuk melihat derajat kepentingan atau

pengaruh dari masing-masing faktor tersebut terhadap perusahaan sentra

pengolahan hasil perikanan serta pemberian rating untuk mengetahui kemampuan

perusahaan menjalankan usahanya.

Hasil perhitungan matriks IFE untuk perusahaan sentra pengolahan hasil

perikanan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa yang menjadi faktor kekuatan utama

bagi perusahaan, yaitu:

a) SDM yang terampil, disiplin dan ulet

b) Memiliki mobil operasional

c) Lahan usaha yang cukup luas

Sedangakan faktor internal yang menjadi kelemahan utama bagi perusahaan sentra

pengolahan hasil perikanan, yaitu:

a) Sanitasi yang buruk

b) Pengetahuan dan sikap terhadap pengelolaan limbah usaha

pemindangan masih rendah

c) Kelayakan unit pengolahan hasil perikanan

d) Kelembagaan kelompok pengolahan perikanan kurang aktif

e) Tidak melakukan promosi

Jumlah skor 2,67 menunjukkan bahwa sentra pengolahan hasil perikanan

berada sedikit di atas rata-rata (2,50) dalam kekuatan internal keseluruhannya.

Hal ini menunjukkan posisi internal perusahaan cukup kuat di mana perusahaan

cukup mampu memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan

yang ada.

Tabel 5. Matriks Evaluasi Faktor Internal Sentra Pengolahan Hasil Perikanan

No Kode Bobot Rating Skor

1. A 0.08 4 0.33

2. B 0.06 3 0.17

3. C 0.06 3 0.17

4. D 0.08 4 0.33

5. E 0.05 4 0.20

6. F 0.06 4 0.23

7. G 0.08 4 0.32

8. H 0.08 2 0.16

9. I 0.08 2 0.15

10. J 0.05 1 0.05

11. K 0.08 2 0.16

12. L 0.05 1 0.05

13. M 0.05 1 0.05

14. N 0.07 2 0.15

15. O 0.08 2 0.15

Total 2.67

2) Matriks Evaluasi Faktor Eksternal

Hasil analisis yang ditunjukkan pada Tabel 6 diperoleh total skor 2,58

(sedikit di atas rata-rata 2,50). Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan sentra

Page 89: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

87

pengolahan hasil perikanan masih cukup kuat dalam usahanya melaksanakan

strategi-strategi untuk memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi

ancaman yang dihadapi.

Beberapa faktor eksternal yang menjadi peluang terpenting dan

berpengaruh terhadap perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan, yaitu:

a) Permintaan terhadap pindang ikan yang cukup tinggi

b) Dukungan pemerintah karena usaha pengolahan perikanan

merupaka sector unggulan Kabupaten Klungkung

c) Perkembangan ilmu dan teknologi pengelolaan limbah yang cukup

tinggi dan mumpuni.

Sedangkan faktor eksternal yang menjadi ancaman yang paling

berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan sentra pengolahan hasil

perikanan, yaitu:

a) Mahalnya harga ikan dan bahan bakar

b) Gangguan kesehatan para pengolah

c) Keamanan lingkungan dari gangguan luar.

Tabel 6. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal Sentra Pengolahan Hasil

Perikanan

No Kode Bobot Rating Skor

1. A 0.10 4 0.40

2. B 0.06 2 0.13

3. C 0.07 3 0.20

4. D 0.10 4 0.40

5. E 0.10 3 0.31

6. F 0.07 3 0.21

7. G 0.09 3 0.26

8. H 0.07 1 0.07

9. I 0.09 2 0.17

10. J 0.08 1 0.08

11. K 0.09 2 0.18

12. L 0.09 2 0.17

Total 2.58

3.2 Strategi Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan

Setelah proses pengumpulan informasi internal dan eksternal yang

dimasukkan dalam matriks IFE dan EFE, selanjutnya informasi-informasi ini

menjadi input untuk perumusan strategi pengembangan yang dapat diwujudkan

dalam bentuk matriks I-E dari analisis SWOT. Dalam tahap perumusan strategi

pengembangan ini, perencana strategi dapat melakukan perpaduan antara

sumberdaya dan keterampilan internal dengan peluang dan ancaman yang

diciptakan oleh faktor-faktor eksternal.

Beberapa alternatif strategi yang dapat dilakukan para pelaku usaha pada

sentra pengolahan hasil perikanan secara umum dapat dilakukan seperti berikut.

1. Biaya input ikan hasil tangkapan dan bahan bakar yang mahal

sementara harga jual pindang itu rendah, maka diimbangi dengan

meningkatkan efisiensi produksi. Lebih mengaktifkan dan

meningkatkan efektifitas kelembagaan kelompok pengolahan hasil

Page 90: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

88

perikanan dalam menetapkan harga produk serta penanganan input dan

promosi produk.

2. Diperlukan perencanaan usaha dengan pertimbangan faktor waktu

mengingat sifat produk yang tidak tahan lama, termsuk dibutuhkannya

teknologi preservasi.

3. Diperlukan kerja sama antar unit usaha pengolahan perikanan berskala

besar dan kecil untuk bersama-sama maju dan berkembang, misalnya

untuk memenuhi tingginya permintaan akan produk hasil pengolahan

perikanan.

4. Lebih membangun sistem agribisnis perikanan yang secara terintegrasi

dari hulu sampai hilir dan membangun jaringan distribusi yang mantap

serta meningkatkan kualitas produk pengolahan perikanan untuk

menghadapi persaingan dengan produk pengolahan perikanan dari

daerah lain atau luar Bali.

5. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap para pelaku usaha

pengolahan perikanan dalam mengelola limbah hasil kegiatan produksi

yang kini terlihat masih sangat lemah dan kurang. Termasuk

didalamnya mengenakan sanksi-sanksi yang tegas kepada unit-unit

usaha pengolahan perikanan yang mengabaikan upaya pengelolaan

limbah yang dapat mencemari lingkungan.

6. Menetapkan standar kelayakan unit pengolahan hasil perikanan yang

tepat yang dapat memperbaiki sanitasi, kenyamanan kerja serta

mencegah mewabahnya penyakit yang mengancam kesehatan para

pengolah hasil perikanan.

7. Meningkatkan dukungan Bank dan atau lembaga keuangan lainnya

dalam memberikan kredit ringan untuk meningkatkan produksi dan

kualitas pengelolaan limbah, yang dilakukan baik secara sendiri-

sendiri maupun bersama-sama. Termasuk dukungan pemerintah

daerah dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk

pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan.

Focus strategi yang tepat untuk pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan

dengan menggunakan matriks I-E dapat dijelaskan seperti pada uraian berikut ini.

1. Matriks I-E Sentra Pengolahan Hasil Perikanan

Matriks I-E digunakan untuk melihat strategi mana yang tepat diterapkan

untuk pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan. Matriks I-E melibatkan

semua komponen unit-unit usaha dalam sentra pengolahan hasil perikanan ke

dalam diagram skematis sehingga disebut matriks portofolio. Setelah

mendapatkan nilai total skor bobot dari faktor internal (IFE) dan faktor eksternal

(EFE) sentra pengolahan hasil perikanan, nilai-nilai tersebut kemudian

dimasukkan ke dalam matriks Internal-Eksternal (I-E).

Berdasarkan hasil analisis faktor internal menggunakan IFE diperoleh skor

2,67 dan hasil analisis faktor eksternal menggunakan EFE diperoleh skor 2,58

yang menempatkan perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan pada sel V

(lihat Gambar 2). Posisi ini menggambarkan bahwa perusahaan sentra

pengolahan hasil perikanan memiliki kondisi internal pada level rata-rata dan

kondisi eksternal pada level sedang, sehingga sebaiknya menerapkan strategi

pertahankan dan pelihara. Artinya perusahaan sentra pengolahan hasil

Page 91: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

89

perikanan harus menjaga dan mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi

yang cukup baik serta melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang

menyangkut bidang produksi, pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan

lingkungan demi tercapainya kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan

kelangsungan hidup (sustainable) sentra pengolahan hasil perikanan serta

memiliki keunggulan kompetitif dalam pengembangan produk.

Gambar 2. Matriks I-E Sentra Pengolahan Hasil Perikanan

Berdasarkan posisi sel V, maka tipe strategi utama yang dapat diterapkan adalah

strategi intensif dalam bentuk penetrasi pasar, pengembangan produk dan pasar,

perbaikan kelayakan unit pengolahan serta peningkatan kapasitas kelembagaan

dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan.

Penetrasi pasar atau pertumbuhan terkosentrasi dapat dilakukan dengan:

1. Menambah tingkat penggunaan pelanggan lama melalui: menambah

jumlah pembelian, mengiklankan penggunaan lain, dan memberi

insentif harga untuk penggunaan lebih banyak.

2. Memikat pelanggan pesaing melalui mempertajam diferensiasi merk,

meningkatkan promosi dan menurunkan harga.

3. Memikat bukan pengguna untuk membeli produk melalui: merangsang

keinginan mencoba produk contoh (sampling), insentif harga dan

mengiklankan penggunaan baru.

Strategi pengembangan pasar yang dapat dilakukan yakni dengan

menambah daerah pasar sasaran. Selama ini produk sentra pengolahan ikan di

Kusamba hanya dipasarkan di wilayah Klungkung, Denpasar dan Badung. Perlu

dilakukan ekspansi pasar dengan menembus seluruh wilayah Bali serta Lombok

Barat.

Strategi pengembangan produk berkaitan erat dengan pencitraan produk.

Tidak sulit bagi perusahaan sentra pengolahan perikanan untuk melakukan

pengembangan produk dalam bentuk selain pindang, seperti pepes, otak-otak atau

produk setengah jadi untuk dipasarkan ke restoran dan super market. Selain itu

yang harus dipertahankan adalah adanya perlakuan sebelum produk dipasarkan,

yaitu dengan seleksi, standarisasi atau grading. Sehingga didapatkan produk

pengolahan ikan yang berkualitas tinggi. Penggunaan merk yang selama ini tidak

dilakukan, sebaiknya dibrikan merk untuk membangun citra produk dan

memudahkan pelanggan untuk mengingat produk sentra pengolahan perikanan

yang telah beredar.

Perbaikan kelayakan unit pengolahan dapat dilakukan dengan membangun

layout/tata letak bangunan unit pengolahan sedemikian rupa agar efisien, murah,

praktis, memudahkan dalam bekerja, memudahkan dalam pengelolaan limbah dan

tampak indah. Peningkatan kapasitas kelembagaan dapat dicapai dengan

pemberdayaan kelompok pekerja dan pelaku usaha pengolahan ikan, yaitu melalui

restrukturisasi kepengurusan, penguatan modal kelompok serta pola pembinaan

Tinggi

Sedang

Rendah

I II III

IV VI

VII VIII IX

4,0 3,0 2,0 1,0

3,0

2,0 1,0

Tinggi Rata-rata

Lemah

V

Page 92: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

90

dan pengembangan dapat dilakukan dengan kombinasi Pola Empu dan Pola

Pemasaran Bapak Angkat. Hal ini dapat diupayakan dengan membuat

kesepakatan dan kerja sama dengan pihak terkait berdasar MoU. Pola Empu

dimaksudkan untuk melakukan pembinaan dengan menempatkan seorang pakar,

di mana secara berencana dan berkesinambungan melaksanakan pembinaan dan

membantu pengembangan. Pola Bapak Angkat lebih ditekankan pada bantuan

modal kerja dan penjaminan resiko usaha serta membantu dalam pendekatan

akses pasar untuk menjual produk dalam hal ini dilakukan dengan mengundang

pengusaha mitra, badan atau LSM.

Peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan adalah melalui

memberi bantuan dana pembangunan IPAL dan bahan penetralisir limbah.

Pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah terhadap unit-unit usaha pengolahan

ikan pada sentra pengolahan perikanan dalam hal pengelolaan lingkungan masih

sangat perlu ditingkatkan. Di antaranya dengan menjadi agensia teknologi dan

fasilitas pengelolaan limbah cair hasil kegiatan pengolahan ikan, serta dengan

memberikan kontrol, pengawasan dan sanksi yang lebih ketat terhadap pelaku

usaha yang melakukan pencemaran lingkungan.

4. SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan:

1) Hasil perhitungan matriks IFE untuk perusahaan sentra pengolahan hasil

perikanan menunjukkan bahwa yang menjadi faktor kekuatan utama bagi

perusahaan, yaitu: (1) SDM yang terampil, disiplin dan ulet; (2) Memiliki

mobil operasional; dan (3) Lahan usaha yang cukup luas. Sedangakan faktor

internal yang menjadi kelemahan utama bagi perusahaan sentra pengolahan

hasil perikanan, yaitu: (1) Sanitasi yang buruk; (2) Pengetahuan dan sikap

terhadap pengelolaan limbah usaha pemindangan masih rendah; (3) Kelayakan

unit pengolahan hasil perikanan; (4) Kelembagaan kelompok pengolahan

perikanan kurang aktif; dan (5) Tidak melakukan promosi. Posisi internal

perusahaan cukup kuat di mana perusahaan cukup mampu memanfaatkan

kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan yang ada.

2) Posisi ekternal perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan sentra pengolahan

hasil perikanan masih cukup kuat dalam usahanya melaksanakan strategi-

strategi untuk memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi ancaman yang

dihadapi. Beberapa faktor eksternal yang menjadi peluang terpenting dan

berpengaruh terhadap perusahaan, yaitu: (1) Permintaan terhadap pindang ikan

yang cukup tinggi; (2) Dukungan pemerintah karena usaha pengolahan

perikanan merupaka sector unggulan Kabupaten Klungkung; (3)

Perkembangan ilmu dan teknologi pengelolaan limbah yang cukup tinggi dan

mumpuni. Sedangkan faktor eksternal yang menjadi ancaman yang paling

berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan, yaitu: (1) Mahalnya

harga ikan dan bahan bakar; (2) Gangguan kesehatan para pengolah; dan (3)

Keamanan lingkungan dari gangguan luar.

3) Matriks I-E menempatkan perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan pada

sel V. Posisi ini menggambarkan bahwa perusahaan sentra pengolahan hasil

perikanan sebaiknya menerapkan strategi pertahankan dan pelihara.

Page 93: 1. ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM  · PDF fileDI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

91

4.2 Saran

Berdasarkan beberapa temuan dalam penelitian ini dapat disarankan

sebagai berikut. Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan harus menjaga dan

mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi yang cukup baik serta

melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang menyangkut bidang produksi,

pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan lingkungan demi tercapainya

kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan kelangsungan hidup (sustainable)

sentra pengolahan hasil perikanan serta memiliki keunggulan kompetitif dalam

pengembangan produk.

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri, 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan untuk

Kesejahteraan Rakyat. Penerbit LISPI, Jakarta.

David, FR., 2001. Manajemen Strategik. Prenhallindo, Jakarta.

Downey, W.D. dan S.P. Erickson, 1992. Manajemen Agribisnis. Diterjemahkan

oleh Ganda S. dan A. Sirait dari Agribusiness Management.

Erlangga, Jakarta.

Hadiwiyoto,S., 1993. Teknik pengolahan Hasil Perikanan. Liberty, Yogyakarta.

Kinnear, TL. dan Taylor, 1996. Marketing Research An Aplied Approach

5th

Edition. Mc Graw Hill, New York.

Kotler, P., 1991. Prinsip Pemasaran. Edisi Bahasa Indonesia. Terjemahan

Jaka Warsana. Airlangga, Jakarta.

Rangkuti, F., 2000. Analisis SWOT TehNPK Membedah Kasus Bisnis.

PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Resssohadiprojo, S., 1992. Manajemen Strategik . BPFE UGM, Yoyakarta.

Rustam, 2002. Pendapatan Menurut Standar Akutansi Keuangan. Digilib Usu,

Medan.

Suparta, N., 2005. Pendekatan Holistik Membangun Agribisnis. CV Bali Media

Adhikarsa, Denpasar.

Suwarsono, M., 2005. Manajemen Strategik. UPP AMP YKPN, Yogyakarta.