1. ABSTRAK DISERTASI

download 1.  ABSTRAK DISERTASI

of 4

description

abstrak disertasi program doktor ilmu linguistik program pascasarjana universitas sebelas maret surakarta TINDAK TUTUR EKSPRESIF DAN DIREKTIFDALAMDIALOG ADEGAN PATHET SANGA DAN PATHET MANYURAPADA PERTUNJUKANWAYANG KULIT GAYA SURAKARTADALANG NARTASABDA DAN PURBO ASMORO

Transcript of 1. ABSTRAK DISERTASI

  • i

    ABSTRAK

    Sri Hesti Heriwati. T 131008005. 2013. Tindak Tutur Ekspresif dan Direktif Dialog dalam

    Adegan Pathet Sanga dan Manyura pada Pertunjukan Wayang Kulit Gaya Surakarta Dalang

    Nartasabda dan Purbo Asmoro. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

    Surakarta. Pembimbing: Prof. Dr. H.D. Edi Subroto (Promotor) dan Prof. Dr. Sumarlam, M.S.

    (Co-promotor)

    Penelitian ini mengkaji tindak tutur ekspresif dan direktif dalam pertunjukan wayang

    kulit lakon Karna Tandhing, Dewaruci (Nartasabda) dan Brubuh Ngalengka, Rama Gandrung

    (Purbo Asmoro), dalam pathet sanga dan manyura. Penelitian ini juga mengkaji perbedaan dan

    persamaan tindak tutur ekspresif dan direktif dalam pathet sanga dan manyura oleh kedua

    dalang yakni Nartasabda dan Purbo Asmoro, serta strategi dalam penyampaian TTE dan TTD

    pada keempat lakon.

    Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis- jenis tindak tutur ekspresif dan

    direktif pada keempat lakon serta menjelaskan perbedaan strategi tindak tutur yang dilakukan

    oleh Nartasabda dan Purbo Asmoro. Di samping itu ingin memperoleh gambaran mengenai

    relevansi tindak tutur ekspresif dan direktif kaitannya dengan pendidikan karakter, serta

    tanggapan penonton terhadap sajian kedua dalang. Pembahasan masalah yang diangkat

    digunakan pendekatan linguistik utamanya kajian pragmatik, dengan teori tindak tutur Kreidler

    (1998:183) yang dipadu dengan pendekatan budaya Jawa karena wayang merupakan unsur

    budaya Jawa. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Strategi

    yang digunakan adalah studi kasus tunggal karena penelitian terarah pada satu karakteristik

    dalam seni pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Pendekatan menggunakan kritik holistik

    dengan mengkaji tiga faktor utama, yakni faktor genetik, faktor objektif, dan faktor afektif.

    Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukan bahwa berdasarkan konteks tuturan dan

    penanda lingual, masing-masing tindak tutur ekspresif dan direktif memiliki subtindak tutur yang

    jumlahnya tidak sama. Tindak tutur ekspresif pada sajian lakon oleh dalang Nartasabda yakni

    lakon Karna Tandhing yang dominan mengucapkan maaf dan dalam lakon Dewaruci tindak

    tutur ekspresif yang dominan menolak, dan dalam lakon Brubuh Ngalengka, tindak tutur

    ekspresif yang dominan menolak, dalam lakon Rama Gandrung yang dominan mengucapkan

    maaf. Tindak tutur direktif yang dominan pada Karna Tandhing memerintah, pada Dewaruci

    memerintah. Tindak tutur direktif pada Brubuh Ngalengka yang dominan melarang dan pada

    Rama Gandrung adalah memerintah. Tuturan yang disampaikan kedua dalang pada hakikatnya

    mencerminkan tuturan yang komunikatif, indah bermutu serta menarik perhatian penonton, dan

    mengandung unsur tuntunan, tontonan dan tatanan. Strategi kedua dalang yang terungkap dalam

    tuturan ekspresif maupun direktif terdapat perbedaan oleh karena kedua dalang berlatar belakang

    sosio budaya yang berlainan serta pengaruh masyarakat pendukung wayang yang berbeda.

    Persamaan sajian kedua dalang bahwa keduanya masih taat dan setia terhadap kaidah- kaidah

    pedalangan semalam suntuk, sedangkan perbedaannya bahwa Nartasabda lebih kuat dalam

    penyampaian wejangan- wejangan bila dibandingkan dengan sajian Purbo Asmoro. Implikatur

    yang terkandung pada keempat lakon terdapat nilai- nilai yang berupa pesan-pesan seperti pesan

    moral, spiritual, pendidikan, penerangan dan sebagainya, sehingga dapat berfungsi sebagai

    wahana pendidikan karakter, penghayatan estetis dan pelestarian budaya.

  • ii

    Dengan demikian nilai-nilai yang terungkap dalam tuturan ekspresif dan direktif dalam

    keempat lakon sangat relevan dengan kehidupan sekarang, serta dapat memberikan kontribusi

    dalam pembentukan manusia yang berkarakter serta berkepribadian dan penguatan jati diri

    bangsa. Nilai- nilai atau kearifan lokal yang terkandung dalam tindak tutur ekspresif dan direktif

    dapat dijadikan rujukan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tanggapan masyarakat

    atau penonton terhadap sajian keempat lakon pada hakikatnya masing-masing dalang memiliki

    kekhasan dan keunggulan serta pakelirannya menarik dan selalu kontekstual.

    Kata kunci: tindak tutur ekspresif, direktif, pertunjukan wayang kulit gaya Surakarta.

  • iii

    Sri Hesti Heriwati: NIM: T 131008005. 2013. Expressive and Directive Speech Acts in the Dialogue of Scenes in Pathet Sanga and Manyura in Surakarta Style Shadow Puppet

    Theatre Performances by Puppeteers Nartasabda dan Purbo Asmoro. Dissertation. Postgraduate Program Sebelas Maret University Surakarta. Supervisors: Prof. Dr. H.D. Edi

    Subroto (Promoter) and Prof. Dr. Sumarlam, M.S. (Co-Promoter)

    ABSTRACT

    The research studies the expressive and directive speech acts in shadow puppet

    performances of the stories Karna Tanding and Dewaruci by Nartasabda, and Brubuh Ngalengka

    and Rama Gandrung by Purbo Asmoro, in pathet sanga and manyura. In addition, it studies the

    differences and similarities of the expressive and directive speech acts in pathet sanga and

    manyura in performances by the two dalangs, Nartasabda and Purbo Asmoro, as well as the

    strategies and differences appearing in all four performances.

    This research aims to describe the types of expressive and directive speech acts in the

    four stories and also explain the differences in the strategies of the speech acts used by

    Nartasabda and Purbo Asmoro. In addition, the study endeavours to gain an idea of the

    relevance of expressive and directive speech acts in relation to character building, as well as the

    response of the audience to the performances by the two puppeteers, or dalangs. The problems

    are addressed using a linguistic approach and a primarily pragmatic study, combining Kriedlers theory of speech acts (1998:183) with a Javanese cultural approach, since shadow puppet theatre,

    or wayang, is an element of Javanese culture. The research is a qualitative study using a

    descriptive research method. The strategy used is a single case study since the research focuses

    on one particular characteristic of all-night performances of the art of shadow puppet theatre. A

    critical holistic approach is used to study the three main factors, namely the genetic factors,

    objective factors, and affective factors.

    The results of the research show that based on the context of speech and lingual signs,

    each type of expressive and directive speech act has a different number of sub-speech acts. The

    most dominant type of expressive speech act in Nartasabdas performance of Karna Tandhing is apologizing and in Dewaruci the most dominant type is refusing. In Brubuh Ngalengka, the most

    dominant type of expressive speech act is refusing and in Rama Gandrung the most dominant

    type is apologizing. The most dominant type of directive speech act in Karna Tandhing is

    commanding and in Dewaruci the most dominant type is also commanding. The most dominant

    type of directive speech act in Brubuh Ngalengka is forbidding and in Rama Gandrung the most

    dominant type is commanding. The speech presented by both dalangs is essentially

    communicative, attractive, of a high quality, and able to captivate the audience, as well as

    including elements of tuntunan (guidance), tontonan (spectacle), and tatanan (structure). The

    strategies of the two dalangs, as revealed through their use of expressive and directive speech

    acts, show a number of differences, due to their different social and cultural backgrounds and the

    influence of the different audiences. The similarity in the performances of the two dalangs is that

    they are both loyal to the rules and norms of all-night shadow puppet theatre performances,

    although Nartasabda is stronger in his conveying of messages or advice when compared to the

    performances of Purbo Asmoro. The implicature in the four stories contains various meanings

    and messages, such as moral, spiritual, and educational messages which can function as a vehicle

    for character building, aesthetical appreciation, and cultural preservation.

  • iv

    Hence, the values revealed in the expressive and directive speech acts in the four stories

    are highly relevant to life at this time and can contribute to the development or formation of a

    society with a strong character and personality and also strengthen the identity of the nation. The

    values of local wisdom contained in the expressive and directive speech acts can be used as a

    point of reference for the way people behave in society and in the nation. The response of the

    audience to the two dalangs in their performance of the four different stories essentially indicates

    the unique and special nature of each story, as an attractive and contextual performance.

    Keywords: expressive and directive speech acts, Surakarta style shadow puppet theatre

    performance.