09E02465
-
Upload
sdfswd-gdsfgre -
Category
Documents
-
view
12 -
download
0
description
Transcript of 09E02465
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
STUDI KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI ALIRAN SUNGAI PADANG KOTA TEBING TINGGI
SKRIPSI
DAHLIA ROSMELINA SIMAMORA
040805050
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
STUDI KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS
DI ALIRAN SUNGAI PADANG KOTA TEBING TINGGI
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
DAHLIA ROSMELINA SIMAMORA
040805050
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
PERSETUJUAN Judul : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos di Aliran
Sungai Padang Kota Tebing Tinggi
Kategori : Skripsi Nama : Dahlia Rosmelina Simamora Nomor Induk : 040805050 Program Studi : Sarjana (S1) Biologi Departemen : Biologi Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA)
Universitas Sumatera Utara
Diluluskan di Medan,
Komisi Pembimbing :
Pembimbing II Pembimbing I
Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus M.Sc Mayang Sari Yeanny S.Si, M.Si
NIP. 131 695 907 NIP. 132 206 571
Diketahui/Disetujui oleh
Departeman Matematika FMIPA USU
Ketua,
Dr. Dwi Suryanto, M.Sc.
NIP.132 089 421
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
PERNYATAAN
STUDI KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI ALIRAN SUNGAI PADANG KOTA TEBING TINGGI
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa
kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, Juni 2009
Dahlia Rosmelina Simamora
040805050
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
PENGHARGAAN
Puji dan syukur Penulis Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan karunia-Nya lah Penulis dimampukan menyelesaikan Hasil penelitian ini yang berjudul Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Biologi di Program studi Biologi Fakultas matematika dan Ilmu Pengetahuan alam Universitas Sumatera Utara Medan. Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si, M.Si, dan Bapak. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, MSc sebagai Dosen Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan dan arahan, waktu serta perhatiannya yang besar terutama saat penulis memulai penulisan hingga penyusunan hasil penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Retno Whidiastuti MS. dan Bapak Drs. Nursal M.Si selaku Dosen Penguji I dan Dosen Penguji II yang banyak memberikan saran dan masukan dalam penyusunan hasil penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Etti Sartina Siregar S.Si, M.Si selaku dosen Pembimbing Akademik saya dan juga kepada Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc sebagai Ketua Departemen Biologi - FMIPA USU dan Ibu Dra. Nunuk Priyani, M.Sc sebagai Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU. Ungkapan terima kasih yang tak ternilai juga penulis ucapkan kepada Ayah dan Ibu tercinta : B.Simamora & R. Hutabarat yang memberikan doa, harapan, nasehat, serta kasih sayangnya sehingga penulis bisa menyelesaikan hasil penelitian ini yang begitu berarti bagi penulis, juga kepada keluarga, abang, kakak dan adik serta keponakan tersayang Natasya Aurelia Benedikta, terima kasih buat dukungan doa dan semangat yang telah diberikan kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga saya ucapkan kepada team lapangan penelitian: Misran, valentina, Rudi, Andri, Toberni. Serta kepada teman perkuliahan : Lusiana, Mestika, Dewi, Resi, dan Bang David dan kepada sahabat - sahabat ku, Sry Sayrani Sinaga, Siska Febriani Sihombing, dan Reny Lela Manurung, serta semua teman-teman stambuk 2004 dan adik-adik junior stambuk 2006 terima kasih buat senyum dan canda kalian kepadaku. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, untuk itu Penulis mengharapkan kritik, saran, dan masukan yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi Penulis dan bagi pembaca, sebelum dan sesudahnya Penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Juni 2009 Penulis
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
ABSTRAK
Penelitian tentang Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Padang Kota Tebing Tinggi telah dikukan pada tanggal 12-14 Februari 2009 sampel diambil dari 4 stasiun penelitian dan dilakukan 9 kali perulangan pada setiap stasiun. Titik pengambilan sampel ditentukan dengan metode Purposive Random Sampling. Sampel diambil dengan menggunalan Surber net kemudian di identifikasi di Laboratorium PSDAL Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan.
Dari hasil penelitian didapatkan sebanyak 3 kelas yaitu Insecta, Chaetopoda, dan Gastropoda yang terdiri dari 17 genera makrozoobentos seperti Prgomphus sp, Allpcapnia sp, Belostoma sp, Hyrophillus sp, Macrovelia sp, Ranatra sp, Tubifex sp, Goniobasis sp, Pleurocora sp, Apella sp, Macrobrachium sp, Viviparus sp, Thiara sp, Lydores sp, Paludestrina sp, Pomatiopsis sp, Sphaerium sp. Nilai kepadatan tertinggi didapatkan dari genera Tubifex sp sebesar 30,86 ind/ m2 yang ditemukan pada stasiun IV (pabrik kayu) dan terendah dari genera Allocapnia sp sebesar 2,43 ind/m2 yang ditemukan pada stasiun III (pengerukan pasir). Nilai Keanekaragaman (H) makrozoobentos tertinggi didapati pada stasiun II (aktivitas masyarakat) sebesar 1,991 dan terendah pada stasiun III.(pengerukan pasir). sebesar 1,188. dari hasil analisis menunjukkan bahwa penetrasi cahaya, DO, kadar organik sustrat berkorelasi searah sedangkan Ph, temperatur, COD, kecepatan arus dan BOD5 berkorelasi berlawanan. Kata kunci: Keanekaragaman, Makrozoobentos, Sungai Padang
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
ABSTRACT The research have been done in April 12-14th 2008 and from this research we want to know about the Diversity Of Macrozoobenthic in lau Kawar Lakes. Sampel were collected from four stations by Purposive Random Sampling method. Surber nets was used to taken the sampel. Samples were identified in Laboratory PSDAL, Department of Biology, Faculty of Mathematic and Natural Sciences of North Sumatera University.
The result showed that there were found four classes (Insecta, Crustaceae, Turbelaria, and Gastropode) within 17 genera of Macrozoobenthic. Tubifex sp has the highest density index with 30,86 ind/m2 that was founded in Fourth station, and Allocapnia sp in thrid station has the lowest density index with 2,43 ind/m2. The Index Diversity (H) of all station with value between 1,188-1,952 and according to the analysis of Pearson Correlatin, Penetration, Dissolved Oxygen and Organic Substrat has the direct correlated to the Diversity of Macrozoobenthic, while pH, Chemical Oxygen demand, Biology Oxygen Demand saturation has the opposite correlated to the Diversity of Macrozoobenthic, thus Light Penetration and Temperature have constant variables.
Key words: Diversity, Macrozoobenthic, Padang River.
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
DAFTAR ISI
halaman
Persetujuan i Pernyataan ii Penghargaan iii Abstrak iv Abstract v Daftar Isi vi Daftar Tabel vii Daftar Lampiran viii Daftar Gambar x Bab.1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang 1 1.2. Permasalahan 2 1.3. Tujuan 2 1.4. Hipotesis 2 1.5. Manfaat 2
Bab. 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Ekosistem Sungai 3
2.2. Pengaruh Pencemaran Sungai 4 terhadap Ekosistem 2.3. Benthos 5 2.4. Makrozoobenthos Sebagai Indikator Pencemaran 6 2.5. Faktor-faktor Abiotik Yang Mempengaruhi Makrozoobenthos 7
Bab. 3. Bahan dan Metode 12
3.1. Metode Penelitian 12 3.2. Deskripsi Area 12 3.3. Pengambilan Sampel 13 3.4. Pengukuran Faktor fisik dan Kimia Perairan 14 3.4.1.Temperatur 14
3.4.2.Penetrasi Cahaya 14 3.4.3.pH (Derajat Keasaman) 14
3.4.4. DO(Dissolved Oxygen) 14 3.4.5.BOD5 (Biochemical Oxygen Demand) 14 3.4.6.COD (Chemical Oxygen Demand) 15 3.4.7.Kecepatan Arus 15 3.4.8.Kandungan Organik Substrat 15
3.5. Analisis Data 16
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Bab4. Hasil dan Pembahasan 18 4.1.Klasifikasi Makrozoobenthos 18 4.2. Parameter Fisik Kimia Perairan 33 4.3. Nilai Analisis Korelasi Pearson dengan program SPSS Ver 37 1200 Bab 5. Kesimpulan dan Saran 39 5.1. Kesimpulan 39 5.2. Saran 39 Daftar Pustaka 40
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan Dalam Pengukuran Faktor 16
Fisik-Kimia Perairan.
2 Klasifikasi Makrozoobenthos yang Didaptkan pada Setiap Stasiun 18
Penelitian di Beberapa Lokasi di Sungai Tebing Tinggi.
3 Nilai Kepadatan Populasi (ind./ m2), Kepadatan relatif (%) dan 28
Frekuensi Kehadiran Makrozoobenthos (%) pada setiap Stasiun
Penelitian di Sungai padangTebing Tinggi.
4 Nilai Indeks Keanekaragaman (H) dan Keseragaman (E) 31
Makrozoobenthos pada Masing masing Stasiun Penelitian.
5 Rata Rata nilai faktor fisik-kimia perairan yang diperoleh pada 33
Setiap stasiun penelitian di sungai padang tebing tinggi.
6 Nilai analisis korelasi pearson (r) antara faktor fisik-kimia perairan 37
Dengan indeks keanekaragaman makrozoobenthos.
7 Interval korelasi dan tingkat hubungan antar faktor. 38
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran A. Bagan kerja Metode Winkler untuk mengukur kelarutan oksigen(DO)43
Lampiran B. Bagan kerja Metode Winkler untuk mengukur BOD5 44
Lampiran C. Bagan kerja pengukuran COD dengan metode Refluks 45
Lampiran D. Bagan kerja pengukuran kadar organik substrat 46
Lampiran E. Peta Sungai Padang Kotamadya Tebing Tinggi 47
Lampiran F. Photo Surber net 48
Lampiran G. Photo Lokasi Penelitian 49
Lampiran H. Nilai kandungan organik 51
Lampiran I. Jumlah rata-rata makrozoobenthos 52
Lampiran J. Contoh perhitungan 54
Lampiran K. Nilai H 55
Lampiran L. Analisa Korelasi 56
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sungai merupakan suatu ekosistem air tawar ditandai dengan adanya aliran yang
diakibatkan karena adanya arus. Arus adalah aliran air yang terjadi karena adanya
perubahan vertikal per satuan panjang. Sungai juga ditandai dengan adanya anak
sungai yang menampung dan menyimpan serta mengalirkan air hujan ke laut melalui
sungai utama (Naughoton & Wolf,1990, hlm : 34 ).
Sungai Padang merupakan salah satu sungai yang terdapat di Kotamadya
Tebing Tinggi. Aliran sungai ini melewati kawasan pemukiman masyarakat, pabrik
kayu dan pengerukan pasir. Dengan adanya aktivitas tersebut limbah langsung
dibuang ke badan perairan, sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas
perairannya. Pemanfaatan sungai sebagai tempat pembuangan air limbah merupakan
dampak dari aktivitas masyarakat terhadap lingkungan yang dapat menyebabkan
perubahan faktor lingkungan sehingga akan berakibat buruk bagi kehidupan
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
organisme air. Menurut Suriawira, ( 1999, hlm 1-5), berubahnya kualitas suatu
perairan sangat mempengaruhi kehidupan biota yang hidup di dasar perairan.
Salah satu biota air yang sebagian besar atau seluruh hidupnya berada di dasar
perairan, hidup secara sesil, merayap atau menggali lubang adalah makrozoobenthos
(Payne, 1996, hlm: 73-74). Makrozoobenthos pada umumnya tidak dapat bergerak
dengan cepat, ukurannya besar sehingga mudah untuk diidentifikasi dan habitatnya di
dalam dan di dasar parairan (Odum, 1994, hlm: 383). Dengan sifat yang demikian,
perubahan kualitas air perubahan kualitas air substrat hidupnya sangatlah
mempengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman makrozoobenthos. Kelimpahan dan
keanekaragaman ini sangat bergantung pada toleransi dan aktivitas dan sensivitas
terhadap perubahan lingkungan. Kisaran toleransi dari makrozoobenthos terhadap
lingkungan adalah berbeda-beda (Wilhm, 1975 dalam Marsaulina 1994, hlm : 2-7).
Oleh karena itu maka perlu dilakukan penelitian tentang keanekaragaman
makrozoobenthos di sungai Padang.
1.2 Permasalahan
Sungai Padang dipergunakan untuk berbagai aktivitas seperti pemukiman
masyarakat, pengerukan pasir dan pabrik kayu. Adanya aktivitas masyarakat Tebing
Tinggi akan mempengaruhi faktor fisik dan kimia perairan sehingga secara tidak
langsung akan mempengaruhi keanekaragaman makrozoobenthos di perairan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut permasalahan dalam penelitian ini, adalah bagaimanakah
keanekaragaman makrozoobenthos di sungai Padang.
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keanekaragaman makrozobenthos di
aliran Sungai Padang yang dihubungkan dengan faktor fisik dan kimia perairan.
1.4 Hipotesis
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Terdapat perbedaan indeks keanekaragaman makrozobenthos pada beberapa lokasi
penelitian di Sungai Padang Kotamadya Tebing Tinggi.
1.5 Manfaat
1. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman makrozobenthos di Sungai
Padang Tebing Tinggi.
2. Memberikan informasi yang berguna bagi berbagai pihak yang membutuhkan
data mengenai kondisi lingkungan perairan di Sungai Padang Kotamadya
Tebing Tinggi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Sungai
Ekosistem perairan yang terdapat di daratan dibagi atas dua kelompok yaitu
perairan letik (perairan tenang) misalnya danau dan perairan lotik (peraiiran berarus
deras) misalnya sungai (Payne, 1996, hlm : 73). Perbedaan utama antara perairan lotik
dan lentik adalah kecepatan arus air. Perairan lentik mempuyai kecepatan arus yang
lambat serta terjadi akumulasi massa air dalam periode waktu yang lama, sedangkan
perairan lotik umumnya mempuyai kecepatan arus yang tinggi disertai perpindahan air
yang berlangsung dengan cepat (Barus, 2004, hlm :33-35).
Sungai sebagai salah satu perairan lotik mempuyai zonasi longitudinal dimana
aliran air dapat dijumpai tingkat yang lebih tinggi dari hulu kehilir (Odum, 1994, hlm
:373). Perubahan lebih terlihat pada bagian atas atau hulu dari aliran air karena
kemiringan, volume aliran dan komponen kimia berubah dengan cepat. Komunitas
biologi di sepanjang aliran sungai dapat dipengaruhi oleh aliran komposisi substrat
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
dan kecepatan arus serta faktor-faktor lingkungan laninnya (Whitten et al, 1987, hlm :
192).
Dipandang dari sudut hidrologi, sungai berperan sebagai jalur transportasi
terhadap aliran permukaan yang mampu mengangkut berbagai jenis bahan dan zat.
Sungai merupakan habitat bagi berbagai jenis organisme akuatik yang memberikan
gambaran kualitas dan kuantitas dari hubungan ekologis yang terdapat didalamnya
termasuk terhadap perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia
(Barus, 2004, hlm : 85).
Ekosistem sungai terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling
berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur dan tidak ada satu komponenpun
yang dapat berdiri sendiri melainkan mempunyai keterikatan dengan komponen lain
langsung atau tidak langsung, besar atau kecil. Aktivitas suatu komponen selalu
memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain (Asdak, 2002, hlm : 11).
Pengaruh Aktivitas Masyarakat Terhadap Ekosistem Sungai
Aktivitas suatu komponen ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen
ekosistem yang lain. Manusia adalah salah satu komponen yang penting. Sebagai
komponen yang dinamis, manusia seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu
komponen lingkungan yang mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan (Asdak,
2002 , hlm: 10).
Menurut Soegianto (2005, hlm: 97 ), pencemaran air yang dapat menyebabkan
pengaruh berbahaya bagi organisme, populasi, komunitas, dan ekosistem. Tingkatan
pengaruh pencemaran air terhadap manusia dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kelas 1: Ganguan estetika (bau, rasa, pemandangan).
2. Kelas 2: Gangguan atau kerusakan terhadap harta benda.
3. Kelas 3: Gangguan terhadap kehidupan hewan dan tumbuhan.
4. Kelas 4: Gangguan terhadap kesehatan manusia.
5. Kelas 5: Gangguan pada sistem reproduksi dan genetik manusia
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
6. Kelas 6: Gangguan ekosistem utama.
Aktivitas suatu ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem
yang lain. Manusia adalah salah satu komponen yang penting, sebagai komponen
yang dinamis, manusia seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen
lingkungan yang mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan (Asdak, 2002, hlm:
11).
Menurut Wardhana (2001, hlm : 74), indikator atau tanda bahwa air lingkungan
telah tercemar adalah adanya perubahan atau tanda yang dapat diamati melalui:
a. adanya perubahan suhu air
b. adanya perubahan pH atau konsentrasi ion hidrologi
c. adanya endapan perubahan warna, bau, kolodial, dan rasa air
d. timbulnya endapan, kolodial, bahan terlarut
e. adanya mikroorganisme
Benthos
Benthos adalah organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal di dalam atau
pada sedimen dasar perairan. Bedasarkan sifat fisiknya, benthos dibedakan menjadi
dua kelompok diantaranya fitobenthos yaitu benthos yang bersifat tumbuhan dan
zoobenthos yaitu organisme benthos yang bersifat hewan (Barus, 2004, hlm : 33).
Menurut habitatnya makrozobenthos dapat dikelompokkan menjadi infauna
dan epifauna. Infauna adalah makrozoobenthos yang hidupnya terpendam didalam
substrat perairan dengan cara menggali lubang, sebagian besar hewan tersebut hidup
sesil dan tinggal di suatu tempat. Kelompok infauna sering mendominasi komunitas
substrat yang lunak dan melimpah di daerah subtidal, sedangkan epifauna adalah
makrozoobenthos yang hidup di permukaan dasar perairan yang bergerak dengan
lambat di atas permukan dari sedimen yang lunak atau menempel pada substrat yang
keras dan melimpah di daerah intertidal (Nybakkken, 1992, hlm : 45).
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Menurut Laili & Parsons (1993, hlm : 187) hewan benthos dapat
dikelompokkan bedasarkan ukuran tubuh yang bisa melewati lubang saring yang
dipakai untuk memisahkan hewan dari sedimennya. Bedasarkan katagori tersebut
benthos dapat dibagi atas :
a. Makrobenthos, kelompok hewan yang lebih besar dari 1,0 mm. Kelompok ini
adalah hewan benthos yang terbesar.
b. Mesobenthos, kelompok benthos yang berukuran antara 0,1 mm 1,0 mm.
Kelompok ini adalah hewan kecil yang dapat ditemukan di pasir atau lumpur.
Hewan yang termasuk kelompok ini adalah moluska kecil, cacing kecil dan
crustacea kecil.
c. Mikrobenthos, kelompok benthos yang berukuran lebih kecil dari 0,1 mm.
Kelompok ini merupakan hewan yang terkecil. Hewan yang termasuk
kedalamnya adalah protozoa khususnya ciliata.
Lalli & Parsons (1993, hlm : 188), menyatakan bahwa kelompok infauna
sering mendominasi komunitas substrat yang lunak dan melimpah di daerah subtidal,
sedangkan kelompok hewan epifauna dapat ditemukan pada semua jenis substrat,
tetapi lebih berkembang pada substrat yang keras dan melimpah di daerah intertidal.
Selanjutnya Odum (1994, hlm : 375) menyatakan makrozoobenthos dapat dimasukkan
kedalam jenis hewan makroinvetebrata. Taksa utama dari kelompok ini umumnya
adalah insekta, moluska, chaetopoda, crustaceae dan nematoda. Umumnya benthos
yang sering dijumpai di suatu perairan adalah dari taksa crustaceae, moluska, insecta,
chaetopoda. Benthos tidak saja berperan sebagai komunitas perairan (Barus, 2004,
hlm : 35).
Makrozoobenthos Sebagai Indikator Pencemaran
Makrozobenthos umumnya sangat peka terhadap perubahan lingkungan perairan yang
ditempatinya, karena itulah makrozobenthos ini sering dijadikan sebagai indikator
biologis di suatu perairan karena cara hidupnya, ukuran tubuh, dan perbedaan kisaran
toleransi diantara spesies didalam lingkungan perairan. Alasan pemilihan
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
makrozobenthos sebagai indikator biologis menurut Wilhm (1978) dan Oey et al,
1980) dalam Wargadinata 1995, hlm : 34-36) adalah sebagai berikut :
a. Mobilitas terbatas sehingga memudahkan dalam pengambilan sampel.
b. Ukuran tubuh relatif lebih besar sehingga memudahkan untuk diidentifikasi.
c. Hidup didasar perairan, relatif diam sehingga secara terus-menerus terdedah
(exposed) oleh air sekitarnya.
d. Pendedahan yang terus-menerus mengakibatkan makrozoobenthos dipengaruhi
oleh keadaan lingkungan.
e. Perubahan mempengaruhi keanekaragaman makrozoobenthos.
Dalam penilaian kualitas perairan, pengukuran keanekaragaman jenis
organisme sering lebih baik dari pada pengukuran bahan-bahan organik secara
langsung. Makrozoobenthos sering dipakai untuk menduga ketidakseimbangan
lingkungan fisik, kimia dan biologi perairan. Perairan yang tercemar akan
mempengaruhi kelangsungan hidup organisme makrozoobenthos karena
makrozoobenthos merupakan biota air yang mudah terpengaruh oleh adanya bahan
pencemar, baik bahan pencemar kimia maupun fisik (Odum, 1994, hlm : 373, 397).
Hal ini disebabkan makrozoobenthos pada umumnya tidak dapat bergerak dengan
cepat dan habitatnya di dasar yang umumnya tempat bahan tercemar. Menurut
(Wilhm, 1975 dalam Marsaulina 1994, hlm : 2, 6-10) perubahan sifat substrat dan
penambahan pencemaran akan berpengaruh terhadap kelimpahan dan
keanekaragamannya.
Menurut Patrick (1949 dalam Odum 1994, hlm : 385) bahwa suatu perairan
yang sehat (belum tercemar) akan menunjukkan jumlah individu yang seimbang dari
hampir jumlah spesies yang ada. Sebaliknya suatu perairan tercemar, penyebaran
jumlah individu tidak merata dan cenderung ada spesies yang mendominasi.
Faktor-Faktor Abiotik yang Mempengaruhi Makrozoobenthos
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Menurut Nybakken (1992, hlm : 45-48) sifat fisik kimia perairan sangat penting dalam
ekologi. Oleh kerena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, seperti
makrozoobenthos, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik fisik-kimia
perairan karena antara faktor abiotik saling berinteraksi. Faktor abiotik (fisik-kimia)
perairan yang menpengaruhi kehidupan makrozoobenthos di antaranya adalah :
a.Temperatur
Dalam setiap penelitian pada ekosistem akuatik, pengukuran temperatur air
merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai
jenis gas didalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologi didalam ekosistem
akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut hukum Vant Hoffs kenaikan
temperatur sebesar 10 0 C (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan
meningkat aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali
lipat. Pola temperatur ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya
dan juga oleh kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh ditepi
(Brehm & Meijiring, 1990 dalam Barus, 1996, hlm : 1, 4-6).
Temperatur merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan hewan benthos.
Batas toleransi terhadap temperatur tergantung spesiesnya. Umumnya temperatur
diatas 30oC dapat menekan pertumbuhan populasi hewan benthos (James & Evison,
1979, hlm : 153)
b.Warna dan kekeruhan
Air dalam keadaan normal dan tidak akan berwarna, sehingga tampak bening dan
jernih (Wardhana, 2001, hlm : 73). Warna air dapat ditimbulkan atau dipengaruhi oleh
kehadiran organisme, bahan-bahan tersuspensi yang bewarna dan oleh ekstrak
senyawa-senyawa organik, serta tumbuh-tumbuhan (Barus, 2005, hlm : 129) dan
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Suriawiria (1996, hlm : 5) mengatakan bahwa warna air akan berubah tergantung pada
buangan yang memasuki badan air tersebut.
Kekeruhan air terjadi disebabkan oleh adanya zat-zat koloid, yaitu zat yang
terapung serta zat yang terurai secara halus sekali, jasad-jasad renik, lumpur, tanah liat
dan zat-zat koloid yang dapat dihubungkan dengan kemungkinan hadirnya
pencemaran melalui buangan (Suriawiria, 1996, hlm : 6).
Menurut Koesbiono (1979, hlm : 25) pengaruh utama dari kekeruhan adalah
penurunan penetrasi cahaya secara mencolok (drastis), sehingga menurunkan aktivitas
fotosintesis fitoplankton dan alga yang akan mengakibatkan menurunnya
produktivitas perairan.
Kekeruhan air terjadi disebabkan oleh adanya zat-zat koloid, yaitu zat yang
terapung serta zat yang terurai secara halus sekali, jasad-jasad renik, lumpur, tanah liat
dan zat-zat koloid yang tidak mengendap dengan segera (Mahadi, 1993, hlm : 35-37).
c.Oksigen Terlarut (DO)
Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan.
Oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan,
terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme-
organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh faktor
temperatur. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat pada temperatur 00 C,
yaitu sebesar 14,16 m\l O2. Dengan terjadinya peningkatan temperatur akan
menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin
rendah akan meningkat konsentrasi oksigen terlarut. Oksigen terlarut di dalam air
bersumber terutama dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan dari
proses fotosintesis. Selanjutnya air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari
permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi dari organisme akuatik. Kisaran
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
toleransi makrozoobenthos terhadap oksigen terlarut berbeda-beda (Barus, 2004, hlm
: 57).
Menurut Sastrawijaya (1991, hlm 86), kehidupan air dapat bertahan jika ada
oksigen terlarut minimum sebanyak 5 mg/l serta selebihnya tergantung pada
ketahanan organisme, derajat keaktifan, kehadiran pencemaran, temperatur dan
sebaliknya.
d. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Nilai BOD (Boichemical Oxygen Demand) menyatakan jumlah oksigen yang
diperlukan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik
yang diukur pada temperatur 20 0 C (Forstner, 1990 dalm barus, 2004). Dari hasil
penelitian misalnya diketahui bahwa untuk menguraikan senyawa organik yang
terdapat didalam limbah rumah tangga secara sempurna, mikroorganisme
membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20
hari dianggap terlalu lama dalam proses pengukuran ini, sementara dari hasil
penelitian diketahui bahwa setelah pengukuran dilakukan selama 5 hari jumlah
senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70 %, maka
pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari (BOD5). Semakin
tinggi nilai BOD menunjukkan semakin banyak jumlah oksigen yang dibutuhkan
mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik yang mengindikasikan
banyaknya limbah atau senyawa organik yang terdapat pada badan air. BOD yang
tinggi akan menurunkan kandungan kandungan oksigen terlarut dalam badan perairan,
karena akan dipakai oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa
organik. Hal ini akan mengakibatkan kehidupan makrozoobenthos di dasar perairan
akan terganggu, karena oksigen terlarut yang harus digunakan oleh makrozoobenthos
terpakai untuk proses penguraian.
Nilai konsentrasi BOD menunjukkan suatu kualitas perairan yang masih
tergolong baik dimana apabila konsumsi O2 selama periode 5 hari berkisar sampai 5
ml /l O 2 maka perairan tersebut tersebut tergolong baik apabila konsumsi O2 berkisar
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
10 ml/l 20 mg/l O2 akan menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik yang
tinggi dan untuk air limbah nilai BOD umumnya lebih dari 100 mg/l (Brower et.al,
1990, hlm : 52).
e. pH (Derajat Keasaman)
Kehidupan organisme akuatik sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai pH. Pada
umumnya organisme akuatik toleran pada kisaran nilai pH yang netral. pH yang ideal
bagi organisme akuatik pada umumnya terdapat antar 7 8,5. kondisi perairan yang
bersifat sangat asam maupun sangat basa akan menyebabkan kelangsungan hidup
organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi
(Odum, 1994, hlm : 369).
Setiap spesies memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap pH. pH yang
ideal bagi kehidupan organisme akuatik termasuk makrozoobenthos pada umumnya
mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang
tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme antara amonium dan
amoniak dalam air akan terganggu, dimana kenaikan pH diatas netral akan meningkat
konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2004,
hlm 61-62).
f. Substrat Dasar
Susunan substrat dasar penting bagi organisme yang hidup di zona dasar perairan
seperti benthos, baik pada air diam maupun pada air yang mengalir (Michael, 1984,
hlm : 140). Substrat dasar merupakan faktor utama yang mempengaruhi kehidupan,
perkembangan dan keanekaragaman makrozoobenthos (Hynes, 1976, hlm : 8).
Disamping adanya senyawa organik substrat dasar yang berupa batu-batu pipih
dan batu kerikil merupakan lingkungan hidup yang baik bagi makrozoobenthos
sehingga mempuyai kepadatan dan keanekaragaman yang besar (Odum, 1994, hlm :
385). Selanjutnya Koesbiono (1979, hlm : 26) mengatakan bahwa dasar perairan
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
berupa pasir dan sedimen halus merupakan lingkungan hidup yang kurang baik untuk
hewan benthos.
Menurut Seki (1982, hlm : 57-58), komponen organik utama yang terdapat
didalam air adalah asam amino, protein, karbohidrat, vitamin, dan hormon juga
ditemukan di perairan. Hanya 10 % dari meterial organik tersebut yang mengendap
sebagai substrat ke dasar perairan.
g. Arus
Arus merupakan faktor pembatas utama pada aliran yang deras, tetapi dasar
yang berbatu dapat menyediakan permukaan yang cocok untuk organisme menempel
dan melekat. Di dasar air tenang yang lunak dan terus- menerus berubah umumnya
membatasi organisme bentik yang lebih kecil samapi kebentuk penggali, tetapi apabila
kedalaman lebih besar lagi, dimana gerakan air lebih lambat lagi, lebih sesuai untuk
plankton, nekton dan neuston. Komposisi jenis dari komunitas air deras sewajarnya
100% berbeda dengan zona perairan tenang seperti danau dan kolam (Odum, 1998,
dalam Onrizal 2005, hlm: 4). Walaupun tidak nyata kecepatan angin bertambah dari
hulu ke hilir. Volume air yang melewati suatu titik persatuan waktu juga menambah
sebagai hasil kali dari luas penampang melintang sungai. Hal ini disebabkan karena
jumlah air bertambah melalui anak-anak sungai dan hambatan berkurang (Whitten et
al, 1987, hlm: 218).
BAB 3
BAHAN DAN METODA
3.1 Metode Penelitian
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 12-14 Februari 2009, di Sungai Padang
Kotamadya Tebing Tinggi. Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling
untuk pengambilan sampel makrozoobentos adalah Purposive Random Sampling
pada 4 stasiun pengamatan. Pada masing-masing stasiun dilakukan 9 (Sembilan) kali
ulangan.
3.2 Deskripsi Area
Lokasi penelitian berada di Sungai Padang Kotamadya Tebing Tinggi Sumatera Utara
(Peta lokasi pada lampiran E). Di Sungai ini terdapat berbagai aktivitas masyarakat,
seperti mencuci, pengerukan pasir, dan aktivitas pabrik kayu.
a. Stasiun I
Stasiun ini merupakan daerah tanpa aktivitas, yang secara geografis terletak pada
32018,2 LU dan 99838,7 BT. Substrat dasar pada lokasi ini adalah lumpur
berpasir dengan vegetasi di sekitarnya berupa Malvaceae, Poaceae, Musaceae, dan
Aracaceae.
b. Stasiun II
Stasiun ini berjarak sekitar 500 meter dari stasiun I terletak di Kotamadya Tebing
Tinggi, yang merupakan daerah aktivitas masyarakat yang secara geografis terletak
pada 32001,7 LU dan 99841,6 BT. Substrat dasar pada lokasi ini adalah tanah
berlumpur dan berpasir dengan vegetasi di sekitarnya berupa Bambuceae,
Musaceae,Aracaeae
c. Stasiun III
Stasiun ini merupakan daerah pengerukan pasir yang terletak sekitar 500 meter
dari stasiun II, terletak di Kotamadya Tebing Tinggi secara geografis terletak pada
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
32013,9 LU dan 990932,2 BT. Substrat dasar pada lokasi ini adalah berpasir
dengan vegetasi di sekitarnya berupa, Aracaceae dan Poaceae.
d. Stasiun IV
Stasiun ini merupakan daerah pabrik kayu berjarak sekitar 500 meter dari
stasiun III, terletak di Kotamadya Tebing Tinggi, secara geografis terletak pada
32027,4 LU dan 981012,4 dan 0982325,8 BT. Substrat dasar pada lokasi ini
adalah berlumpur dengan vegetasi di sekitarnya berupa Poaceae dan Musaceae
3.3 Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan Surber
net yang dilakukan dengan mengambil substrat pada dasar perairan dengan
mengeruknya dengan alat surber net dengan 9 kali ulangan. Sampel yang didapat
disortir dengan menggunakan Hand Sortir Metoda selanjutnya dibersihkan dengan air
dan direndam dengan formalin 4% selama 1 hari, kemudian dicuci dengan akuades
dan dikering anginkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi
alkohol 70% sebagai pengawet lalu diberi label. Kemudian sampel dibawa ke
Laboratorium PSDAL Departemen Biologi FMIPA USU untuk diidentifikasi dengan
menggunakan buku identifikasi Edmonson (1963), Dharma (1998), dan Pennak
(1978), Patrick (1983), Payne (1996), Hutchinson (1993).
3.4 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan
Faktor fisik dan kimia perairan yang diukur mencakup :
3.4.1 Temperatur
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Air diambil, kemudian dituang ke dalam erlenmeyer dan diukur dengan
menggunakan termometer air raksa yang dimasukkan ke dalam air selama 10 menit
kemudian di baca skalanya.
3.4.2 Penetrasi Cahaya
Diukur dengan menggunakan keping sechii yang dimasukkan ke dalam badan
air sampai keping sechii antara terlihat dengan tidak, kemudian diukur panjang talinya
yang masuk ke dalam air.
3.4.3 pH (Derajat Keasaman)
pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter
ke dalam sampel air yang diambil dari dasar perairan sampai pada pembacaan pada
alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.
3.4.4 Disolved Oxygen (DO)
Disolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan DO meter. Sampel air
diambil dari permukaan air tanpa gelembung dan dimasukkan ke dalam botol winkler,
setelah 5 menit dibaca skalanya (lampiran A).
3.4.5 Biochemical Oxygen Demand (BOD5)
Pengukuran BOD5 dilakukan dengan DO meter. Sampel air yang diambil dari
dalam air dimasukkan ke dalam botol dan diinkubasi dalam inkubator pada suhu 20 0C, lalu diukur oksigen terlarutnya dengan menggunakan DO meter. Nilai BOD5 yaitu
DO yang diukur saat hari pertama dikurangi dengan nilai DO setelah hari kelima
(Lampiran B)
3.4.6 COD (Chemical Oxygen Demand)
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
%100=A
BAKO
Pengukuran COD dilakukan dengan Metoda Refluks di Laboratorium Kimia
Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan (Lampiran C).
3.4.7 Kecepatan Arus
Diukur dengan menggunakan gabus, yang dimasukkan kedalam permukaan,
kemudian dengan menggunakan stopwatch di tentukaan kecepatan hingga mencapai
titik tertentu.
3.4.8 Kandungan Organik Substrat
Pengukuran kandungan organik substrat dilakukan dengan metoda analisa abu,
dengan cara substrat diambil, ditimbang sebanyak 100 gr dan dimasukkan ke dalam
oven dengan temperatur 450C sampai beratnya konstan (2-3 hari), substrat yang kering
di gerus di lumpang dan dimasukkan kembali kedalam oven dan dibiarkan selama 1
jam pada temperatur 450C agar substrat benar-benar kering. Kemudian ditimbang 25
gr dan diabukan dalam tanur dengan temperatur 7000C selama 3,5 jam (Lampiran D) .
Kemudian substrat yang tertinggal ditimbang berat akhirnya, dan dihitung kandungan
organik substrat dengan rumus :
dengan :
KO = Kandungan Organik A = Berat Konstan Substrat B = Berat Abu
(Widle, 1972 dalam Adianto, 1993, hlm : 17)
Analisis kandungan organik substrat dilakukan di Laboratorium Sentral Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera
Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia beserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Tabel 1. Alat dan Satuan yang dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik - Kimia Perairan.
No Parameter Fisik-Kimia
Satuan Alat Tempat Pengukuran
1 Temparatur Air 0C Termometer Air Raksa In situ 2 Kecepatan arus m/s Stop watch Insitu 3 Penetrasi Cahaya cm Keping Sechii In situ 4 pH Air - pH meter In situ 5 DO (Oksigen Terlarut) mg/l Metode winkler In situ 6 BOD5 mg/l Metode winkler Laboratorium 7 COD mg/l Metoda Refluks Laboratorium 8 Kandungan Organik
Substrat % Oven dan Tanur Laboratorium
3.5 Analisis Data
Data makrozoobentos yang diperoleh dihitung indeks kepadatan populasi, kepadatan
relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Weinner, indeks ekuitabilitas
dan analisis korelasi dengan persamaan sebagai berikut :
a. Kepadatan populasi (K)
Jumlah individu suatu jenis K = ulangan/ luas surber net (Michael, 1984, hlm : 161).
b. Kepadatan Relatif (KR) KR = Kepadatan suatu jenis x 100 %
seluruh jenis
(Brower et. al, 1990, hlm : 88).
c. Frekuensi Kehadiran (FK)
FK= %100xPlotTotalJumlah
jenissuatuditempatiyangPlotJumlah
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
dimana nilai FK : 0 25% = sangat jarang 25 50% = jarang 50 75% = sering > 75% = sangat sering
(Krebs, 1985, hlm : 521).
d. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H)
H = pipi ln dimana :
H = indeks diversitas Shannon Wiener ln = logaritma Nature pi = Nni / (Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan
keseluruhan jenis)
(Krebs, 1985, hlm : 522)
e. Indeks Equitabilitas/Indeks Keseragaman (E)
(E) = max
'H
H
dimana :
H = indeks diversitas Shannon Wienner H max = keanekaragaman spesies maximum = ln S (dimana S banyaknya spesies) (Krebs, 1985, hlm : 522).
f. Analisis Korelasi
Analisis korelasi menurut Pearson di gunakan untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor fisik kimia dengan indeks keanekaragaman.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
4.1. Klasifikasi Makrozoobentos
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh klasifikasi makrozoobentos yang didapatkan
pada lokasi penelitian sebagai berikut :
Tabel 2. Klasifikasi Makrozoobentos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian di Sungai Padang Kota Tebing Tingi
Filum Kelas Ordo Famili Genus
Arthropoda Insecta
Odonata Gamphidae Progomphus sp
Plecoptera Chloroperlidae Allocapnia sp Himiptera
Belostomitadae Belostoma sp Hyroptilidae Hyrophillus sp Macrovlidae Macrovelia sp Nipidae Ranatra sp
Anelida Chaetopoda Oligochaeta Tubicidae Tubifex sp
Molusca
Gastropoda
Mesogastropoda Heterodonta
Pleuroceridae Thiaridae Bulimidae Sphaeridae
Goniobasis sp Pleurocora sp Apella sp Macrobrachium sp Viviparus sp Thiara sp Lyrodes sp Paludestrina sp Pomatiopsis sp Sphaerium sp
Dari Tabel 2, dapat dilihat bahwa makrozoobentos yang ditemukan adalah dari 3
filum, 3 kelas, 6 ordo, 11 famili dan 17 genus.
4.1.1. Tanda -Tanda Khusus (Morfologi)
a. Genus Progomphus sp
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Genus ini memiliki panjang tubuh 2-4 cm, jumlah kaki ada 2 pasang,
memiliki mata majemuk, terdapat garis pada tubuhnya. Tubuhnya bewarna coklat, tipe
mulut menguyah, terdapat ekor yang disebut cerci.(Patrick, 1983) (Gambar 1)
Gambar 1. Genus Progomphus sp
b. Genus Allocapnia sp
Genus ini memiliki panjang tubuh 2-3 cm, jumlah kaki ada 3 pasang, sepasang
antena, sepasang cercus. Terdapat bintik hitam pada seluruh tubuh, warna tubuh
coklat, metamorfosis tidak sempurna dan nimfa ini di akuatik (Patrick, 1983)
(Gambar 2).
Gambar 2. Genus Allocapnia sp
c. Genus Belestoma sp
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Bentuk tubuh oval, pipih, ukuran 2,5 5 cm, umumnya berwarna hitam. Kaki
depan untuk menangkap mangsa, kaki belakang pipih untuk berenang. Antena lebih
pendek dari kepala, sring meninggalkan air karena tertarik oleh cahaya. Beberapa
jenis induknya meletakkan telur-telur di punggungnya dan membawanya sampai
menetas, jenis yang lain telur menetas di tanaman air. Predator serangga dan binatang
air lainnya (Patrick, 1983) (Gambar 3).
Gambar 3. Genus Belestoma sp
d. Genus Hydrophillus sp Genus ini memilki bentuk tubuh bulat, dan bewarna hitam, permukaan tubuh
memliki kulit yang keras. Memiliki sepasang kaki serta memiliki mata yang mejemuk
(Patrick, 1983) (Gambar 4).
Gambar 4. Genus Hydrophillus sp
e. Genus Macrovelia sp
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Genus ini ukuran tubuh berkisar 3-4 cm, berwarna coklat, memiliki sepasang
antena, memiliki 2 pasang kaki, dengan tidak sama panjang, memiliki mata majemuk,
dan bentuk tubuhnya oval( Patrick, 1983) (Gambar 5).
Gambar 5. Genus Macrovelia sp f. GenusRanatra sp Genus ini memiliki panjang tubuh 5-6 cm, jumlah kaki ada 2 pasang, sapasang
antena, memiliki sepasang antena, mata majemuk, warna tubuh coklat kehitaman,
dengan bentuk tubuh panjang memipih, dengan ekor yang meruncing (Patrick, 1983)
(Gambar 6).
Gambar 6. Genus Ranatra sp g. Genus Tubifex sp
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Cacing air ini memiliki bentuk tubuh bilateral simetris, memanjang, dengan
panjang tubuh berkisar antara 1-3 cm yang terdiri dari 76-85 segmen/cincin dengan
diameter tubuh berkisar antara 1-2 mm, pada segmen tubuh terdapat setae bersifat
hermafrodit, reproduksi secara seksual. cacing ini hidup di dasar perairan dengan
membuat tabung ( Edmonson, 1963 ) (Gambar 7)
Gambar 7. Genus Tubifex sp h. Genus Goniobasis sp
Ukuran tubuh antara berkisar antara 2-3 cm, tipe cangkang memanjang,
bewarna coklat dengan garis-garis coklat, cangkang kecil, bagian permukaan
cangkang bergelombang, memiliki 5 garis pertautan. Celah mulut sempit dengan tipe
apeks tumpul(Edmonson, 1963) (Gambar 8).
Gambar 8 .Genus Goniobasis sp
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
i. Genus Pleurocora sp
Ukuran tubuh berkisar antara 3-3,5 cm, tipe cangkang memanjang, memiliki 8
garis pertautan. Cangkangnya bewarna hitam, tebal dan pada bagian permukaan
bergelombang. Bagian apeks meruncing Celah mulut lebar dengan tipe apeks tumpul
(Pennak, 1978) (Gambar 9).
Gambar 9. Genus Pleurocora sp
j. Genus Apella sp
Genus ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-6 cm, tipe cangkang
memanjang, bagian permukaan cangkang lebih bergelombang dengan apeks tumpul
dengan celah mulut yang kecil, serta memiliki 5 garis pertautan, serta pada cangkang
memiliki garis pertautan ( Payne, 1996) (Gambar 10).
Gambar 10. Genus Apella sp
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
k. Genus Macrobrachium sp
Genus ini memiliki tubuh yang bewarna kekuningan dan terdapat garis-garis
kuning di permukaan tubuhnya, karapaks memutupi seluruh bagian tubuh, rostrum
bergerigi, memiliki caput yang berbeda panjangnya (Pennak, 1978) (Gambar 11).
Gambar 11. Genus Macrobrachium sp
l.Genus Viviparus sp
Genus ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-5 cm, tipe cangkang
berbentuk dextral (cangkang berlekuk kanan, yang hanya pada cangkang siput
gastropoda), memiliki 3 garis pertautan. Celah mulut lebar dengan tipe apeks tumpul,
serta tubuh bewarna hitam kecoklatan ( Payne, 1996) (Gambar 12).
Gambar 12. Genus Viviparus sp
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
m. Genus Thiara sp
Genus ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 1,5-3 cm, tipe cangkang
memanjang, dan kasar yang berduri, bewarna hitam kekuning-kuningan degan garis-
garis coklat pada bagian dorsal celah mulut menyempit.genus ini memiliki operkulum
(penutup insang untuk menutup cangkang saat hewan masuk kedalam cangkang) tipis
dan tidak berkapur. Bagian apeksnya meruncing (Pennak, 1978) (Gambar 13).
Gambar 13. Genus Thiara sp
n. Genus Lydores sp
Genus ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-5 cm, tipe cangkang
berukuran sedang, bagian permukaan cangkang lebih bergelombang dengan apeks
tumpul dengan celah mulut yang kecil dan memiliki tubuh bewarna coklat.
(Hutchinson, 1993) (Gambar 14).
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Gambar 14. Genus L ydores sp
o.Genus Paludestrina sp
Genus ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 3-5 cm, tipe cangkang
memanjang dan berukuran sedang, bagian permukaan cangkang terdapat garis
pertautan yang menyelimuti seluruh cangkang dengan apeks tumpul dengan celah
mulut yang kecil (Payne, 1996)(Gambar 15).
Gambar 15. Genus Paludestrina sp
p. Genus Pomatiopsis sp
Genus ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-6 cm, tipe cangkang
memanjang dan berukuran sedang, bagian permukaan cangkang lebih bergelombang
dengan apeks tumpul dengan celah mulut yang kecil, pada bagian apeks atas memiliki
warna yang lebih gelap, serta memilki 4 garis pertautan (Payne, 1996)(Gambar 16).
Gambar 16. Genus Pomatiopsis sp
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Q .Genus Sphaerium sp
Genus ini kebanyakan hidup dilaut dan beberapa hidup di air tawar ini,
memiliki ukuran tubuh berkisar antara 1- 2,5 cm, memiliki cangkang yang terdiri dari
2 keping atau 2 valve, cangkang pipih, simetri bilatral, bewarna kuning dengan
bercak-bercak hitam. ( Pennak, 1978)(Gambar 17).
Gambar 17. Genus Sphaerium sp
4.1.2. Kepadatan Bentos (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran
(FK) Pada Setiap Stasiun Penelitian.
Berdasarkan data jumlah makrozoobentos yang diperoleh pada setiap stasiun
penelitian, maka didapatkan indeks kepadatan populasi, kepadatan relatif dan
frekuensi kehadiran seperti tertera pada tabel berikut ini.
Tabel 3. Nilai Kepadatan Populasi ( ind./ m2), Kepadatan relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran Makrozoobentos (%) pada Setiap Stasiun Penelitian di Sungai Padang Kota Tebing Tinggi.
No Taksa Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun
I II III IV K KR FK K KR FK K KR FK K KR FK
1. Progomphus sp - - - 12,34 15,38 44,44 - - - 7,40 12,75 44,44 2. Allocapnia sp 4,93 7,99 33,33 - - - 2,46 3,83 11,11 - - - 3. Belestoma sp 6,17 100,00 44,44 - - - - - - - - - 4. Hydrophillus sp - - - - - - 3,70 5,76 33,33 - - -
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
5. Macrovelia sp - - - - - - - - - 6,17 10,63 44,44 6. Ranatra sp - - - - - - 4,93 7,68 22,22 8,64 14,89 44,44 7. Tubifex sp - - - 7,40 9,22 55,55 - - - 30.86 53.20 88,88 8 Goniobasis sp 8,64 14,00 44,44 4,93 6,14 33,33 7,40 11,53 33,33 - - - 9 Pleurocera sp 7,40 11,99 44,44 - - - 12,34 19,23 55,55 - - - 10 Apella sp - - - 9,87 12,30 44,44 8,64 13,46 44,44 - - -
11 Macrobrachium sp - - - 8,64 10,77 44,44 - - - - - -
12 Viviparus sp - - - 7,40 9,22 44,44 - - - - - - 13 Thiara sp 18,51 30,02 66,66 - - - - - - - - - 14 Lyrodes sp 6,17 10,00 44,44 11,11 13,85 44,44 - - - - - - 15 Paludestrina sp - - - 18,51 23,15 66,66 - - - - - - 16 Pomatiopsis sp 9,87 16,01 55,55 - - - - - - 4,93 8,5 33,33 17 Sphaerium sp - - - - - - 24,69 38,48 77,77 - - - Jumlah 76,5 100 333,33 80,2 100 377,74 64,16 99,97 277,75 58 99,97 633,27 taksa 7 8 7 5
Ket :
Stasiun I : Tanpa aktivitas
Stasiun II : Aktivitas masyarakat
Stasiun III : Pengerukan pasir
Stasiun IV : Pabrik kayu
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa pada stasiun I nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif
yang tertinggi didapatkan pada genus Thiara sp dari kelas Gastropoda sebesar 18,51
ind./m2 dan 30,02%, sedangkan untuk Frekuensi Kehadiran sebesar 66,66%. Pada
stasiun I genus yang dapat hidup dan berkembang baik adalah Thiara sp, hal ini
disebabkan stasiun I memiliki kondisi fisik kimia perairan yang paling sesuai dengan
habitatnya, selain itu disertai juga dengan kondisi substrat dasar berupa tanah yang
berpasir sangat cocok bagi kehidupan genus ini (Tabel 5). Hal ini didukung oleh
Hynes (1976) dalam Wargadinata (1995), menyatakan bahwa Thiara sp adalah hewan
yang menyukai habitat dasar lumpur berpasir.
Nilai kepadatan terendah yang didapatkan pada stasiun I yaitu dari genus
Allocapnia sp dengan nilai Kepadatan Populasi 4,93 ind./m2,Kepadatan Relatif 7,99%
dan Frekuensi Kehadiran 33,33%. Sedikitnya jumlah genus Allocapnia sp pada stasiun
I dikarenakan kondisi perairan yang kurang mendukung bagi genus ini. Pengaruh DO
serta kondisi substrat dasar berupa pasir yang agak berlumpur (tabel 5), dapat
menghambat kepadatan pertumbuhan populasi dari spesies ini. Menurut Pennak
(1978, hlm : 461), genus ini menyukai tempat dengan substrat dasar berupa pasir dan
berbatu.
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Nilai kepadatan tertinggi didapatkan pada stasiun II dari genus Paludestrina
dengan nilai kepadatan populasi 18,51 ind/m2, kepadatan relatif 23,15% dan frekuensi
kehadiran 66,66%. Hal ini karena kondisi lingkungan perairan tersebut sesuai dengan
kehidupannya yaitu substrat dasar perairan yang berupa pasir berlumpur dan pH
perairan yang sesuai bagi kehidupan genus tersebut. Hutchinson (1993) menyatakan
bahwa Paludestrina dapat bertahan hidup pada kisaran pH 7-8. Hal tersebut sesuai
dengan faktor fisik kimia perairan yang didapatkan, dengan pH sebesar 6,4 serta
substrat berupa pasir berlumpur. Selanjutnya Wargadinata (1995), menyatakan
beberapa genus bentos ada yang dapat mentolerir perubahan faktor lingkungan yang
besar dan drastis atau dapat mentolerir faktor lingkungan yang sangat ekstrim.
Nilai kepadatan terendah pada stasiun II adalah dari genus Goniobasis dengan
nilai kepadatan populasi 4,93ind/m2, nilai kepadatan relatif 6,14 %, dan nilai frekuensi
kehadiran 33,33 %. Rendahnya jumlah kepadatan Goniobasis pada stasiun ini karena
kondisi perairan yang kurang mendukung bagi kehidupan hewan ini. Tingginya
jumlah kandungan organik pada stasiun ini yakni sebesar 0,21 % yang berpengaruh
terhadap tingkat penetrasi cahaya yang rendah yang hanya berkisar 36 cm sehingga
akan mempengaruhi jumlah kelarutan oksigen pada perairan tersebut. Selain itu
kondisi substrat perairan yang berupa lumpur tidak sesuai untuk mendukung
kehidupan genus ini. Hutchinson (1993), menyatakan bahwa Goniobasis melimpah
pada perairan dengan substrat dasar yang berbatu dan berpasir.
Pada stasiun III genus dengan nilai kepadatan tertinggi adalah dari genus
Sphaerium dengan nilai kepadatan populasi 24,69ind/m2, kepadatan relatif 38,48%
dan nilai frekuensi kehadiran 77,77%. Kehadiran jenis Sphaerium yang mendominasi
pada stasiun III karena kondisi perairan yang mendukung bagi kehidupan hewan ini.
Kondisi perairan yang dangkal dengan substrat dasar berpasir sangat cocok bagi
kehidupan genus ini. Selain itu kondisi pH air sebesar 7,1 masih dapat mendukung
kehidupan hewan ini. Pennak (1978, hlm : 137), menyatakan bahwa Sphaerium
didapatkan pada hampir semua substrat dasar, terutama substrat berpasir. Umumnya
jumlah Sphaerium akan melimpah pada tempat yang dangkal serta pada perairan
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
dengan pH = 6, akan tetapi genus Sphaerium juga memiliki kemampuan adaptasi yang
tinggi terhadap pH sehingga dapat hidup pada perairan dengan pH > 6.
Nilai kepadatan terendah yang didapatkan pada stasiun III yaitu dari genus
Allocapnia sp dengan nilai Kepadatan Populasi 2,46 ind./m2,Kepadatan Relatif 3,83%
dan Frekuensi Kehadiran 11,11%. Sedikitnya jumlah genus Allocapnia sp pada stasiun
III dikarenakan kondisi perairan yang kurang mendukung bagi genus ini. Pengaruh
DO serta kondisi substrat dasar berupa pasir yang agak berlumpur (tabel 5), dapat
menghambat kepadatan pertumbuhan populasi dari spesis ini. Menurut Pennak (1978,
hlm : 461), genus ini menyukai tempat dengan substrat dasar berupa pasir dan berbatu.
Pada stasiun IV genus dengan nilai kepadatan tertinggi adalah dari genus Tubifex
dengan nilai kepadatan populasi 30,86ind/m2, nilai kepadatan relatif 53,20%, dan nilai
frekuensi kehadiran 88,88 %. Kehadiran Tubifex dengan nilai yang tinggi pada stasiun
ini karena kondisi substrat perairan yang berupa lumpur serta tingginya kandungan
organik terlarut pada badan perairan sangat mendukung bagi kehidupan genus ini.
Pennak (1978), menyatakan bahwa hewan jenis Chaetopoda suka hidup pada substrat
yang berlumpur. Menurut Oey et. al., (1980) dalam Wargadinata (1995), kehadiran
kelas Chaetopoda pada perairan menunjukkan bahwa perairan telah mengalami
pencemaran bahan organik. Hal ini juga didukung oleh Barnes (1987), yang
menyatakan bahwa famili Tubificidae terdistribusi luas pada perairan yang miskin
akan oksigen dan telah tercemar oleh bahan organik.
Nilai terendah didapat pada stasiun IV dari genus Pomatiopsis sp dengan nilai
kepadatan 4,93ind/m2, kepadatan relatif 8,5 % dan frekuensi kehadiran 33,33 %.
Sedikitnya jumlah genus pomatiopsis pada stasiun ini di karenakan pada kondisi
perairan dengan pH lebih dari 5 dan suhu yang cukup tinggi. Hal tersebut sesuai
dengan faktor fisik kimia perairan yang di dapatkan yaitu 7 dan suhu yang relatif
tinggi yaitu 26o C.
4.1.3. Indeks Keanekaragaman (H) dan Keseragaman (E) Makrozoobentos.
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Berdasarkan analisis data didapatkan nilai Keanekaragaman (H) dan Keseragaman
(E) makrozoobentos pada masing-masing stasiun seperti terlihat pada Tabel 4 berikut :
Tabel 4. Nilai Keanekaragaman (H) dan Keseragaman (E) Makrozoobentos pada Masing - Masing Stasiun Penelitian.
INDEKS STASIUN
I II III IV
Keanekaragaman (H) 1,873 1,952 1,188 1,473
Keseragaman (E) 0,267 0,244 0,169 0,294
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai keanekaragaman (H) yang didapatkan pada
keempat stasiun penelitian berkisar antara 1,188-1,952. Indeks keanekaragaman (H)
tertinggi terdapat pada stasiun II (aktivitas masyarakat) yakni sebesar 1,952. Hal ini
disebabkan keanekaragaman spesies pada suatu komunitas yang di tempati masing-
masing individu sehingga indeks keanekaragaman pada setiap stasiun berbeda-beda.
Brower et.al (1990, hlm : 52) menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan
mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies
dengan jumlah individu masing-masing spesies relatif merata. Dengan kata lain bahwa
apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu
yang tidak merata, maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang
rendah.
Indeks Diversitas Shannon-Wienner (H) yang terendah terdapat pada stasiun
III (aktivitas penerukan pasir) yakni sebesar 1,188. Rendahnya indeks
keanekaragaman ini disebabkan melimpahnya jumlah dari genus Sphaerium sp,
sehingga menyebabkan penyebaran jumlah dari individu pada setiap spesiesnya tidak
merata. Odum (1994, hlm : 376), menyatakan keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh
pembagian atau penyebaran individu dalam tiap jenisnya, karena suatu komunitas
walaupun banyak jenisnya tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka
keanekaragaman jenis dinilai rendah. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H)
adalah suatu indeks keanekaragaman biota pada suatu daerah, bila nilainya semakin
tinggi, maka semakin tinggi tingkat keanekaragamannya dan begitu juga sebaliknya.
Keanekaragaman makrozoobentos pada setiap stasiun berkaitan dengan faktor
lingkungan yang ada pada stasiun tersebut. Dari tabel yang didapatkan Indeks
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Keanekaragaman (H) tertinggi pada stasiun II yaitu sebesar 1,952 yang merupakan
lokasi aktivitas masyarakat, sedangkan Indeks Keanekaragaman terendah pada stasiun
III yaitu sebesar 1,188 yang merupakan lokasi pengerukan pasir. Menurut
Sastrawijaya (1991, hlm : 127) bahwa klasifikasi derajat pencemaran air berdasarkan
indeks diversitas dapat digolongkan sebagai berikut :
H< 1,0 : Tercemar Berat H = 1,0 1,6 : Tercemar Sedang H = 1,6 2,0 : Tercemar Ringan H > 2,0 : Tidak Tercemar
Berdasarkan pengelompokan tersebut, maka berdasarkan data yang diperoleh
stasiun I (tanpa aktivitas) dan stasiun II ( aktivitas masyarakat) termasuk kedalam
kelompok perairan yang tercemar ringan bedasarkan pada indeks deversitasnya yakni
1,873 dan 1,952, sedangkan stasiun III (aktivitas pengerukan pasir) dan stasiun IV
(aktivitas pabrik kayu) tergolong perairan tercemar sedand dengan indeks
deversitasnya yakni 1, 188 dan 1, 473.
Indeks Keseragaman (E) yang diperoleh dari keempat stasiun penelitian
berkisar antara 0,169-0,294. Indeks Keseragaman yang tertinggi terdapat pada stasiun
IV (aktivitas pabrik kayu), sebesar 0,294 dan terendah pada stasiun I (tanpa ativitas),
sebesar 0,169. Pada stasiun I (tanpa ativitas), jumlah spesies dari masing-masing
genus yang diperoleh tidak ada yang mendominasi, sedangkan pada stasiun IV
(aktivitas pabrik kayu) terdapat genus yang jumlahnya sedikit dan terdapat spesies
yang jumlahnya mendominasi yaitu Tubifex sp. Menurut Krebs (1985, hlm :186)
indeks Keseragaman (E) berkisar antara 01. Jika indeks keseragaman mendekati 0
berarti keseragamannya rendah karena ada jenis yang mendominasi. Bila nilai
mendekati 1, maka keseragaman tinggi dan menggambarkan tidak ada jenis yang
mendominasi sehingga pembagian jumlah individu pada masing-masing jenis sangat
seragam atau merata.
Nilai Indeks Keseragaman (E) yang diperoleh dari keempat stasiun penelitian
berkisar 0,169-0,294. Indeks Ekuitabilitas yang tertinggi terdapat pada stasiun IV
sebesar 0,294 dan terendah pada stasiun III sebesar 0,169.
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
4.2. Parameter Fisik Kimia Perairan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Sungai Padang Kota Tebing Tinggi
diperoleh nilai rata-rata faktor fisik-kimia pada setiap stasiun, seperti tertera pada tabel
5 berikut ini
Tabel 5. Rata Rata nilai Faktor Fisik Kimia Perairan yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian di Sungai Padang. No.
Parameter
Satuan
Stasiun
I II III IV 1. Temperatur oC 23 24 25 26 2. Kecepatan Arus m/s 0,6 0,3 0,5 0,5 3. Penetrasi Cahaya cm 25 36 23 20 4. Ph Air - 7,2 6,4 7,1 7,5 5. DO (Oksigen Terlarut) mg/l 7,3 6,2 6,1 5,5 6. BOD5 mg/l 0,5 1,5 1,2 2,1 7. COD mg/l 7,9 9,54 11,92 12,43 8. Kandungan Substrat
Organik % 1,21 0,21 0,38 0,48
Ket :
Stasiun I : Tanpa aktivitas
Stasiun II : Aktivitas masyarakat
Stasiun III : Pengerukan pasir
Stasiun IV : Pabrik kayu
Dari Tabel 5 dapat kita lihat bahwa temperatur air pada keempat stasiun penelitian
berkisar 23 26C, dengan temperatur tertinggi terdapat pada stasiun IV (Lokasi
pabrik kayu) sebesar 26C dan terendah pada stasiun I (Lokasi tanpa aktivitas)
sebesar 23C. Perbedaan temperatur pada keempat stasiun penelitian karena
perbedaan waktu pengukuran serta kondisi cuaca saat pengukuran dilakukan, juga
sebagai akibat dari perbedaan aktivitas pada masing-masing stasiun. Menurut Brehm
& Meijering (1990) dalam Barus (2004) pola temperatur ekosistem perairan
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas matahari, pertukaran panas antara
air dengan udara disekelilinginya dan juga faktor kanopi (pertupan oleh vegetasi) dari
pepohonan yang tumbuhan di tepi.
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Nilai arus sungai pada keempat stasiun penelitian berkisar 0,3 0,6 m/det.
Kecepatan arus yang lebih tinggi adalah stasiun I (tanpa aktivitas) sedangkan paling
rendah adalah stasiun II (aktivitas masyarakat). Perbedaan arus sungai ini disebabkan
karena sungai tersebut memiliki kemiringan ataupun ketinggian yang berbeda dimana
stasiun I (tanpa aktivitas) itu merupakan daerah hulu yang lebih tinggi dibandingkan
dengan ketiga stasiun lainnya sedangkan stasiun II (aktivitas masyarakat) memiliki
kedalaman yang lebih rendah sehingga air mengalir lebih cepat dibandingkan dengan
ketiga stasiun lainnya.
Nilai penetrasi cahaya pada keempat stasiun berbeda.Penetrasi cahaya yang
paling tinggi terdapat pada stasiun II (aktivitas masyarakat) yakni 36 cm. Hal ini
disebabkan karena adanya berbagai faktor seperti adanya bahan-bahan terlarut dan
suspensi padatan yang tinggi, serta bahan organik yang tinggi, sehingga matahari sulit
untuk menembus badan perairan. sedangkan penetrasi yang terendah pada stasiun IV
(aktivitas pabrik kayu) yakni 20 cm. Rendahnya penetrasi cahaya pada stasiun ini
disebabkan oleh berbagai faktor seperti adanya bahan-bahan terlarut kondisi vegetasi
pada daerah tepi sungai yang terbatas juga adanya aktivitas manusia yang cukup tinggi
pada stasiun ini. Rendahnya nilai penetrasi pada semua stasiun tersebut disebabkan
banyaknya partikel terlarut sehingga menyebabkan kekeruhan yang tinggi (Abdunnur,
2002, hlm : 12).
Nilai pH pada keempat stasiun penelitian berkisar antara 6,4- 7,5. Nilai pH
tertinggi terdapat pada stasiun IV (aktivitas pabrik kayu) sebesar 7,5 dan terendah
pada stasiun II (aktivitas masyarakat) sebesar 6,4. Hal ini disebabkan adanya
penambahan atau kehilangan CO2 melalui proses fotosintesis yang akan menyebabkan
perubahan pH di dalam air. Secara keseluruhan, nilai pH yang didapatkan dari
keempat stasiun penelitian masih mendukung kehidupan dan perkembangan
makrozoobenthos. Menurut Barus (2004) kehidupan dalam air masih dapat bertahan
apabila perairan mempunyai kisaran pH 7-8,5.
Nilai oksigen terlarut (DO) yang diperoleh dari keempat stasiun penelitian
berkisar antara 5,5-7,3 mg/l, dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun I (tanpa
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
aktivitas) sebesar 7,3 mg/l dan yang terendah pada stasiun IV (aktivitas pabrik kayu).
Tingginya nilai oksigen terlarut pada stasiun I (tanpa aktvitas) karena rendahnya
kandungan organik akibat tidak adanya aktivitas di kawasan ini sehingga cahaya
matahari dapat menembus hingga ke badan perairan yang lebih dalam, sedangkan
rendahnya nilai oksigen terlarut pada stasiun IV (aktivitas pabrik kayu) menunjukkan
bahwa terdapat banyak senyawa organik yang masuk ke badan perairan tersebut yang
berasal dari limbah pabrik dan berbagai aktivitas masyarakat disekitar aliran sungai
tersebut, dimana kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses
penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme yang akan berlangsung secara aerob
(memerlukan oksigen). Schwoerbel (1987) dalam Barus (2004) menyatakan nilai
oksigen terlarut pada suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman,
yang sangat dipengaruhi oleh perubahan temperatur dan aktivitas fotosintesis
tumbuhan yang menghasilkan oksigen.
Nilai BOD5 pada keempat stasiun penelitian berkisar antara 0,5-2,1mg/l,
dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun IV dan terendah pada stasiun I sebesar
0,5 mg/l. Adanya perbedaan nilai BOD5 di setiap stasiun penelitian disebabkan jumlah
bahan organik yang berbeda pada masing-masing stasiun, yang berhubungan dengan
defisit oksigen karena oksigen tersebut digunakan oleh mikroorganisme dalam proses
penguraian bahan organik sehingga mengakibatkan nilai BOD5 meningkat. Menurut
Manahan (1984) dalam Wargadinata (1995, hlm: 36), nilai BOD5 menunjukkan
bahwa terjadi pencemaran organik di dalam suatu perairan.
Nilai COD yang didapatkan dari keempat stasiun pengamatan berkisar 7,9-
12,43 mg/l, dengan nilai tertinggi pada stasiun IV (aktivitas pabrik kayu) sebesar
12,43 mg/l dan terendah pada stasiun I tanpa aktivitas) sebesar 7,95 mg/l. Tingginya
nilai COD pada stasiun IV (aktivitas pabrik kayu) disebabkan tingginya nilai
kandungan organik pada stasiun ini, sehingga oksigen yang dibutuhkan untuk
menguraikan buangan organik secara kimia akan semakin tinggi pula.
Nilai kandungan organik substrat yang didapatkan pada keempat stasiun
pengamatan berkisar antara 0,21-1,21%. Kandungan organik substrat tertinggi
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
didapatkan pada stasiun I (tanpa aktivitas) sebesar 1,21%, sedangkan terendah pada
stasiun II (aktivitas masyarakat) sebesar 0,21%. Secara keseluruhan nilai kandungan
organik substrat yang didapatkan dari keempat stasiun penelitian di Sungai Padang ini
tergolong sangat rendah dan rendah. Menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam
Djaenuddin et. al., (1994, hlm : 64) kriteria tinggi rendahnya kandungan organik
substrat atau tanah berdasarkan persentase adalah sebagai berikut :
< 1 % = sangat rendah 1% - 2% = rendah 2,01% - 3% = sedang 3% - 5% = tinggi >5,01% = sangat tinggi
Substrat dasar suatu perairan merupakan faktor yang penting bagi kehidupan hewan
makrozoobentos yaitu sebagai habitat hewan tersebut. Masing-masing spesies
mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap substrat dan kandungan
bahan organik sustrat (Barnes & Mann, 1994, hlm : 14). Dan dengan adanya
perbedaan jenis substrat dasar juga menyebabkan perbedaan jenis makrozoobentos
yang didapatkan pada masing-masing stasiun penelitian. Kehadiran spesies dalam
suatu komunitas zoobentos didukung oleh kandungan organik yang tinggi, akan tetapi
belum tentu menjamin kelimpahan zoobentos tersebut, karena tipe substratpun ikut
menentukan (Welch, 1952; Santos dan Umaly, 1989 dalam Izmiarti, 1990, hlm : 31).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Nybakken (1992, hlm : 213) bahwa adanya
substrat dasar yang berbeda-beda menyebabkan perbedaan fauna atau struktur
komunitas makrozoobentos. Selain itu adanya perbedaan ukuran partikel sedimen
memiliki hubungan dengan kandungan bahan organik, dimana perairan dengan
sedimen yang halus memiliki persentase bahan organik yang tinggi karena kondisi
lingkungan yang tenang yang memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang
diikuti oleh akumulasi bahan-bahan organik dasar perairan, sedangkan sedimen yang
kasar memiliki kandungan bahan organik yang lebih rendah karena partikel yang lebih
halus tidak dapat mengendap.
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
4.3 Analisis Korelasi Pearson (r) Antara Faktor Fisik Kimia Dengan Indeks
Keanekaragaman Makrozoobentos.
Berdasarkan pengukuran faktor fisik kimia perairan yang telah dilakukan pada setiap
stasiun penelitian, dan dikorelasikan dengan indeks Keanekaragaman (Diversitas
Shannon-Wiener) maka diperoleh indeks Korelasi seperti terlihat pada tabel berikut :
Tabel 6. Nilai Analisis Korelasi Pearson (r) Antara Faktor Fisik Kimia Dengan Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos
Korelasi Pearson
Tempe ratur
Penetrasi cahaya
DO BOD5 COD pH Kecepatan Kandungan organik
H -0,658 0,765 0,455 -0.215 -0.777 -0.606 -0.414 0,176
Keterangan :
Nilai + = Arah Korelasi Searah Nilai - = Arah Korelasi Berlawanan Dari tabel 6 dapat dilihat bahwa hasil uji analisis korelasi Pearson antara beberapa
faktor fisik kimia perairan berbeda tingkat korelasi dan arah korelasinya dengan
indeks diversitas. Nilai (+) menunjukkan hubungan yang searah antara nilai faktor
fisik kimia maka nilai keanekaragaman akan semakin besar pula, sedangkan nilai
negatif (-) menunjukan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai faktor fisik
kimia perairan dengan nilai keanekaragaman (H), artinya semakin besar nilai faktor
fisik kimia perairan maka nilai H akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya, jika
semakin kecil nilai faktor fisik kimia maka nilai H akan semakin besar. Dari hasil uji
korelasi Pearson antara faktor fisik kimia perairan dengan keanekaragaman
makrozoobentos dapat dilihat bahwa penetrasi cahaya, DO, dan Substrat organik
berkorelasi searah.
Dari hasil uji korelasi diperoleh bahwa parameter penetrasi cahaya, DO, dan
Substrat organik berkorelasi searah dengan (H). Berdasarkan Interval Koefisien
Korelasi menurut (Sugiyono, 2005) seperti tertera pada tabel Interval Korelasi dan
Tingkat Hubungan antar Faktor, sebagai berikut:
Tabel 7. Interval Korelasi dan Tingkat Hubungan antar Faktor
No Interval Koefisien Tingkat Hubungan 1. 0,00 0,199 Sangat rendah
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
2. 0,20 - 0,399 Rendah 3. 0,40 - 0,599 Sedang 4. 0,60 0,799 Kuat 5. 0,80 1,000 Sangat kuat Maka hubungan korelasi antara parameter dengan indeks keanekaragaman (H).
sebagai berikut :
Temperatur dengan indeks keanekaragaman (H) sebesar -0,658 dinyatakan memiliki
tingkat hubungan kuat (0,60 0,799).
Penetrasi cahaya dengam indeks keanekaragaman (H) sebesar 0,765 dinyatakan
memiliki tingkat hubungan kuat (0,60 0,799).
DO (oksigen terlarut) dengam indeks keanekaragaman (H) sebesar 0,455 dinyatakan
memiliki tingkat hubungan sedang (0,40 - 0,599).
BOD5 (biologi oxygen demand) dengam indeks keanekaragaman (H) sebesar -0,215
dinyatakan memiliki tingkat hubungan rendah (0,20 - 0,399).
COD (chemical oxygen demand) dengam indeks keanekaragaman (H) sebesar -
0,777 dinyatakan memiliki tingkat hubungan kuat (0,60 0,799).
pH dengam indeks keanekaragaman (H) sebesar -0,606 dinyatakan memiliki tingkat
hubungan kuat (0,60 0,799).
Kecepatan arus dengam indeks keanekaragaman (H) sebesar -0,414 dinyatakan
memiliki tingkat hubungan sedang (0,40 - 0,599).
Kandungan organik dengam indeks keanekaragaman (H) sebesar 0,176 dinyatakan
memiliki tingkat hubungan rendah ((0,20 - 0,399).
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Dari penelitian yang telah dilakukan untuk melihat keanekaragaman makrozoobentos
di Sungai Padang Kota Tebing Tinggi dapat kesimpulan sebagai berikut :
a. Jumlah makrozoobentos yang didapatkan secara keseluruhan sebanyak 17 genus
yang terdiri dari 3 phylum, yaitu Arthropoda, Molusca dan Anelida.
b. Kepadatan makrozoobentos yang tertinggi pada genus Tubifex sp sebesar 30.86
ind./m2 ditemukan pada stasiun IV (aktivitas pabrik kayu) sedangkan yang
terendah pada genus Allocapnia sp sebesar 2.46 ind./m2 pada stasiun III
(aktivitas pngerukan pasir)
c. Indeks keanekaragaman (H) makrozoobentos pada keempat stasiun pengamatan
berkisar antara 1.188-1.952 tergolong tercemar ringan.
d. Berdasarkan indeks keanekaragaman, stasiun I (tanpa kativitas) & II (aktivitas
masyarakat) tergolong perairan yang tercemar ringan sedangkan stasiun III &
IV (aktivitas pabrik kayu) tergolong perairan tercemar sedang.
e. Berdasarkan hasil uji analisis korelasi Pearson diperoleh hubungan faktor fisik-
kimia perairan terhadap keanekaragaman makrozoobentos, antara lain hubungan
antara faktor penetrasi cahaya, DO dan kadar organik substrat berkorelasi searah
terhadap keanekaragaman, sedangkan parameter seperti temperatur, pH, BOD5,
COD, dan kecepatan arus berkorelasi berlawanan terhadap keanekaragaman
makrozoobentos
5.2 Saran
Diharapkan agar peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian yang lebih
spesifik terhadap pengaruh pembungan limbah pabrik kayu, baik limbah padat
maupun cair dengan tingkat keanekaragaman makrozoobenthos di Sungai Padang
Kota Tebing Tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Adianto. 1993. Ekologi Pertanian. Edisi Kedua. Jakarta.
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Abdunnur. 2002. Analisis Komunitas Makrozoobentos dalam Jurnal Ilmiah
Mahakam.Vol, I. No.2.
Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengolahan Daerah Aliran Sungai. Cetakan ke 2,
Penerbit UGM Press. Yogyakarta.
Barus, T.A. 1996. Metode Ekologis Untuk Menilai Kualitas Suatu Perairan Lotik.
Program Studi Biologi. Medan: Fakultas MIPA USU.
2001. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Sungai dan
Danau.Program Studi Biologi. ,Medan: Fakultas MIPA USU.
2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Sungai dan
Danau.Program Studi Biologi. Medan: Fakultas MIPA USU.
Brower, J.E H. Z. Jerrold Car. I.N. Von Ende. 1990. Field and Labotatory Methods for General Ecology. Thrid Edition. USA, Wm.C.Brown Publisher. New York.
Barnes, K. S. K & K. H. Mann. 1994. Fundamental of Aquatic Ecology. Blackwell
Scientific Publications Oxford.
Djaenuddin, D., Basuni, S, H. Subagyo. 1994. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Pertanian dan Kehutanan. Euroconsult. Bogor.
Dharma, P. 1998. Siput dan kerang Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta. Edmonson, W. T. 1963. Fresh Water Biology. Second Edition. Jhon Willey & Sons,
inc. New York. Hutchinson, W .T. 1993. A Treatise on Lymnology. Edited by Yuette. Jhon Willey & Sons, Inc. New York. Pp.1-6.
Hynes, H. B. N. 1976. The Ecology With Of Running Water. Lipverpool University
Press, England. James, A & L. Evison. 1979. Biological Indication Of Water Quality. John. Wiley &
Sons. Chrichester. New York. Koesbiono, 1979. Dasar-Dasar Ekologi Umum. Bagian IV (Ekologi Perairan).
Sekolah Pasca Sarjana Program Studi Lingkungan. IPB. Bogor. Krebs, C. J. 1985. Experimental Analysis of Distribution of Abudance. Third Edition.
Harper & Row Publisher. New York. Lowe, S., and B. Thompson. 1997. Identifying Benthic Indicators for San Francisco
Bay. http://www.sfei.org/rmp/1997C0403.htm (diakses tanggal 20 Desember 2008
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Lalli, C. M & T. R. Parsons. 1993. Biological Oceanographi: An Introction.
Pergamon Press. New York. Mahadi, U. N. 1993. Pencemaran air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Edisi IV.
PT. Rajawali Grafindo Persada. Jakarta. Marsaulina, L. 1994. Keberadaan dan Keanekaragaman Makrozoobenthos di Sungai
Semayang Kecamatan Sunggal. Karyatulis. Lembaga Penelitian USU. Medan.
Michael, P. 1984. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. UI
Press. Jakarta. McCaffety, W.Patrick, 1983, Aquatic Entomology, Publisher, inc, Boston: Jones and
bartletT Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Pt. Gramedia.
Jakarta. Naughton, S. J. & Larry, L. 1990. Ekologi Umum. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. Odum, E. P. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Pess.
Yogyakarta. Onrizal, 2005, Ekosistem Sungai dan Bantaran Sungai, diakses pada tanggal 1 April
2007. USU Reporsitor 2005, Medan Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta. Payne, A. I. 1996. The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. John Wilay & Sons,.
New YORK.
Pennak, R. 1978. Fresh Water Invertebrates of The United States Protozoa To Mollusca. Colorado : University of Colorado, Boulder.
Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.
Sinambela, M. 1994. Keanekaragaman Makrozoobenthos Sebagai Indikator Kualitas
Sungai Babura Tesis (tidak Dipublikasikan). Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Suin, N. M. 2002. Metode Ekologi. Universitas Andalas. Padang Suriawira, U. 1996. Air dalam Kehidupan dan Lingungan yang sehat. Edisi I. Alumni.
Bandung.
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Soegianto. A. 2005. Ilmu Lingkungan. Cetakan pertama, Penerbit Universitas Airlangga, Surabaya.
Sugiyono, 2005. Analisa Statistik Korelasi Linier Sederhana. 06 Mei 2009. Seki, H. 1982. Organik Material in Aquatic Ecosystem. CRC Press. Inc, Florida. Wargadinata, E. L. 1995. Makrozoobentos Sebagai Indikator di Sungai Percut.
Tesisi(Tidak Dipublikasikan). Program Pasca Sarjana Ilmu Pengetahuan Sumber Daya Alam dan Lingungan USU. Medan.
Warhdana, A. W. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Edisi Revisi. Andi.
Yogyakarta. Whitten, A. J. N. Hisyam, J. Anwar & S.J. Damanik. 1987. The Ecology of Sumatera.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Welch, C. 1980. Limnology. McGraw-Hill Book Company Inc. New York
Lampiran A. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur DO
Sampel Dengan
Sampel
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
1 ml MnSO4 1 ml KOH KI Dikocok Didiamkan 5 ml
1 ml H2SO4 Dikocok Didiamkan Diambil sebanyak 100 ml Ditetesi Na2S2O3 0,0125 N
D
Ditambahkan 5 tetes amilum Di
Dititrasi dengan Na2S2O3 0,00125 N
Dihitung volume Na2S2O3 yang
terpakai (= nilai DO akhir)
(Michael, 1984 ; Suin, 2002. hlm : 60).
Lampiran B. Bagan kerja metode Winkler untuk mengukur BOD5
-
Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.
Diinkubasi selama 5 hari pada Dihitung