08_DiagnosisPenyakitParuKerja

download 08_DiagnosisPenyakitParuKerja

of 7

Transcript of 08_DiagnosisPenyakitParuKerja

Diagnosis Penyakit Paru KerjaFaisal Yunus Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Unit Paru RS Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN Penyakit saluran napas bawah masih menduduki peringkat 10 besar dalam hal jumlah angka kesakitan dan penyebab kematian di Indonesia. Termasuk dalam penyakit ini ialah penyakit bronkitis, asma, radang saluran napas bagian bawah dan tuberkulosis(1). Dengan berkembangnya sistem pelayanan kesehatan, antibiotika yang lebih ampuh, diharapkan kasus penyakit infeksi paru akan berkurang. Tetapi di pihak lain, kelainan yang sebabkan oleh iritasi zatzat seperti asap rokok dan polusi yaitu penyakit paru obstruksi menahun (PPOM) dan penyakit paru kerja jumlahnya akan meningkat. Berkembangnya berbagai industri di Indonsia menimbulkan berbagai dampak positif seperti terbukanya lapangan kerja, bertambah baiknya transportasi dan komunikasi antar daerah, serta meningkatkan taraf kehidupan social dan ekonomi masyarakat. Tetapi di samping itu timbul pula dampak negatif akibat perkembangan industri tersebut. Asap pabrik mencemari udara, pembuangan limbah industri mencemari sungai dan sumber air, asap kendaraan bermotor juga menimbulkan polusi udara lingkungan. Di samping itu para pekerja di tempattempat industri terkena paparan zat-zat yang diolah atau oleh asap dan gas yang timbul pada saat proses pengolahan bahan industri itu. Semua keadaan ini akan menimbulkan pengaruh terhadap kesehatan masyarakat. Penyakit dan kelainan yang timbul akibat paparan zat-zat tersebut sangat bcrvariasi tergantung pada organ yang terkena dan tingkat paparan yang tcrjadi. Gangguan pada organ tubuh dapat mcnimbulkan kelainan kulit, ganguan intestinal, kelainan mata serta penyakit-penyakit saluran pemapasan yaitu penyakit paru kerja. Penyakit paru kerja temyata merupakan penyebab utama ketidakmampuan atau kecacatan, kehilangan hari kcrja dan kematian pada para pekerja(2). Untuk menentukan apakah penyakit paru yang terjadi berhubungan dengan pekerjaan, harus dilakukan anamncsis yang teliti meliputi riwayat pekerjaan,

riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis yang tepat. PENYAKIT PARU KERJA Penyakit paru kerja adalah penyakit atau kerusakan paru disebabkan oleh debit/asap/gas berbahaya yang terhisap oleh para pekerja di tempat pekerjaan mereka(3,4) . Berbagai penyakit paru dapat terjadi akibat paparan zat'seperti debu, serat dan gas yang timbul path proses industrialisasi. Jenis penyakit paru yang timbul tergantung path jenis zat paparan. Namun, manifestasi klinis penyakit paru kerja mirip dengan penyakit paru lain yang tidak berhubungan dengan pekerjaan(5). Pembagian penyakit paru kerja dihubungkan dengan etiologinya dapat dilihat pada Tabel 1.Tabel 1. Pembagian Penyakit Paru Kerja(5) Penyakit paru interstitial: asbestosis, pnemokoniosis batubara, silikosis, bcrylliosis dan pnemonitis hipersensitif Edema paru: inhalasi asap gas toksik akut (NO2, khlorin) Penyakit pleura: penebalan dan efusi yang berhubungan dengan asbes, mesotclioma Bronkitis: debu tepung, debu berat (pekerja tambang batubara) Asma: toluen diisosianat, garam platina, tepung fonnalin, debu kapas, western red cedar Karsinoma bronkus: uranium, asbes, kromnikel, Idormetil eter Penyakit infeksi: anthrax (penyortir kayu, kulit import) Coccidioidomycosis (pekerja bangunan, arkeologis) Penyakit mikobakterl (silikosis) Psitakosis (pemilik toko binatang) Echinococcus (pengembala biri-biri dan anjing) Q fever (penyamak dan pemelihara biri-biri)

DIAGNOSIS Riwayat pekerjaan yang akurat dan terinci merupakan kunci panting dalam mcnegakkan diagnosis penyakit yang berhubung-

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 74, 1992

an dengan pekerjaan. Penderita mungkin sering berganti pekerjaan, di samping itu mungkin terdapat waktu yang lama antara terjadinya paparan dan timbulnya penyakit, terutama pada penyakit kanker paru(3,5). Dalam menegakkan diagnosis, riwayat pekerjaan yang berhubungan dengan zat paparan serta lama paparan hendaklah diketahui secara lengkap(6). Berbagai faktor yang berhubungan dengant pekerjaan clan lingkungan dapat dilihat pada Tabel 2.Tabel 2. Faktor Kunci Riwayat Pekerjaan dan Lingkungan(7) Penyakit sekarang : gejala-gejala yang berhubungan dengan pekerjaan. pekerjaan lain yang terkena gejala serupa. paparan saat ini terhadap debu, gas bahan kimia dan biologi yang berbahaya. laporan terdahulu tentang kecelakaan kerja. Riwayat pekerjaan meliputi catatan tentang semua pekcrjaan terdahulu, hari kerja yang khusus, proses pertukaran pekerjaan. Tempat kerja: ventilasi, higiene indusri dan kesehatan, pemeriksaan pekerja, pengukuran proteksi. Serikat kesehatan dan keamanan, cahaya, hari-hari kerja yang hilang tahun sebelumnya, penyebabnya, santunan kompensasi pekerja sebelumnya. Riwayat penyakit dahulu: Riwayat lingkungan: paparan terhadap kebisingan, getaran, radiasi, zat-zat kimia, asbes.

klinis hampir tidak ada gejala, simple CWP tidak akan memburuk apabila tidak ada paparan lebih lanjut. Hal yang paling penting pada simple CWP ialah penyakit ini dapat berkembang menjadi complicated CWP (3,8) . Gambaran radiologis Untuk menilai kelainan radiologis pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar menurut ILO(10). Perselubungan pada pneumokoniosis dibagi dua golongan, yaitu perselubungan halus dan kasar. A. Perselubungan halus (small opacities) Perlu diketahui empat sifat perselubungan untuk mengetahui penggolongan ini, yaitu bentuk, ukuran, banyak dan luasnya perselubungan. Menurut bentuknya dikenal perselubungan halus bentuk lingkar dan bentuk iregular. Ukuran perselubungan dibagi dalam 3 kategori untuk masingmasing bentuk. Bentuk perselubungan lingkar dibagi berdasarkan diameternya, yaitu : p = bentuk lingkar dengan diameter sampai 1,5 mm q = bentuk lingkar dengan diameter antara 1,5 - 3 mm r = bentuk lingkar dengan diameter 3 - 10 mm Bentuk iregular dibagi berdasarkan lebarnya, yaitu : s = perselubungan halus sampai lebar 1,5 mm t = perselubungan sedang dengan lebar antara 1,5 - 3 mm u = perselubungan kasar dengan lebar antara 3 - 10 mm Untuk menuliskan ukuran dan bentuk harus digunakan 2 huruf. Huruf pertama menunjukkan kelainan yang lebih dominan. q/t = perselubungan dengan bentuk q yang dominan, tetapi ada bentuk perselubungan iregular berbentuk t tapi kurang banyak dibandingkan dengan bentuk q. Kerapatan (profusion) didasarkan pada konsentrasi atau jumlah perselubungan lingkar per satuan area. Dibagi atas kategori 0 sampai 3, dengan rincian sebagai berikut : Kategori 0 = tidak ada perselubungan atau kerapatan kurang dari 1. Kategori 1 = ada peselubungan tetapi tidak banyak jumlahnya. Kategori 2 = perselubungan banyak, tetapi corakan paru masih kelihatan. Kategori 3 = perselubungan sangat banyak sehingga corakan paru sebagian atau seluruhnya menjadi kabur. Pada pembacaan foto toraks pneumokoniosis ada 12 kategori, yaitu : 0/0/0 0/1 1/0 1/1 1/2 2/1 2/2 2/3 3/2 3/3 3/+ Angka pertama menunjukkan kerapatan yang lebih dominan daripada angka di belakangnya. Pada penentuan klasifikasi pneumokoniosis menurut gambaran foto toraks diperlukan perbandingan dengan film standar. Menurut distribusi perselubungan, lapangan paru dibagi atas 6 area. Tiap lobus mempunyai 3 area yaitu lobus atas, lobus tengah dan lobus bawah. Kerapatan merupakan petunjuk penting menenuukan derajat beratnya penyakit.

rumah dan lokasi tempat kerja sekarang dan sebelumnya. pekerjaan lain yang bermakna. sampah/limbah yang berbahaya. polusi udara. hobi: mencat, memahat, mematri, pekerjaan yang berhubungan dengan kayu. alat pemanas rumah. zat-zat pembersih rumah dan tempat kerja. paparan pestisida. sabuk pengaman. alai pemadam kebakaran di rumah atau di tempat kcrja. Tinjauan semua sistem organ. Perhatian khusus: perubahan waktu kerja, kebosanan, riwayat reproduksi.

PNEUMOKONIOSIS PEKERJA TAMBANG BATUBARA (PPTB) Penyakit ini disebabkan oleh paparan debu batubara dalam jangka waktu lama. Ada faktor kerentanan individual dan debu tertentu lebih berbahaya dari yang lainnya. Penyakit ini bisa didapatkan pada pekerja setelah mereka bekerja lebih dari 10 tahun(3,4,8). Definisi PPTB adalah penyakit akibat penumpukan debu batubara di paru dan menimbulkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Penyakit ini dibagi atas bentuk simple dan complicated berdasarkan gambaran foto rontgen toraks(3,8,9). Simple Coal Workers Pneumoconiosis (Simple CWP)Gambaran Klinis

Kelainan ini terjadi karena inhalasi debu batubara saja. Secara

Cermin Dunia Kedokteran No. 70, 1991

19

B. Perselubungan kasar (large opacities) Perselubungan ini dibagi atas 3 kategori, yaitu A, B dan C. Kategori A : Satu perselubungan dengan diameter antara 1 5 cm atau beberapa perselubungan dengan diameter masing-masing lebih dari 1 cm, tetapi bila diameter tiap perselubungan dijumlahkan maka tidak melebihi 5 cm. Kategori B : Sam atau beberapa perselubungan yang lebih besar atau lebih banyak dibandingkan kategori A dengan jumlah luas perselubungan tidak melebihi luas lapangan paru kanan atas. . Kategori C : Satu atau beberapa perselubungan yang jumlah luasnya melebihi luas lapangan paru kanan atas atau sepertiga lapangan paru kanan. Pada simple CWP dan kelainan radiologis berupa perselubungan halus bentuk lingkar, perselubungan tersebut dapat ditemukan di mana saja pada lapangan paru, tetapi yang paling sering di lobus atase(4,8). Perselubungan halus bentuk p dan q lebih sering ditemukan pada CWP,sedangkan bentuk nodul atau bentuk r lebih sering pada silikosis.Tetapi pada kebanyakan kasus, secara radiologis CWP dan silikosis sukar dibedakan, kecuali bila terdapat kalsifikasi parenchymal opacities atau egg-shell calcification yang khas unti k silikosis(8). Beratnya gejala penyakit tidak mempunyai korelasi dengan gambaran radiologis. Demikian jugabesarnyakelainan faalparu juga tidak berkorelasi dengan perubahan gambaran radiologis(3,8). Pemeriksaan faal paru Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasitas vital paksa (KVP) merupakan pemeriksaan faal paru yang paling sederhana, dapat diulang dan digunakan secara luas(5,11) Pemeriksaan ini cukup sensitif untuk mendeteksi kelainan dan mengidentifikasi penderita dengan penyakit yang progresif. Pemeriksaan sebelum bekerja dan pemeriksaan berkala setelah bekerja dapat mengidentifikasi penyakit dan perkembangan kelainan pada orang-orang yang tidak mempunyai gejala(5). Pemeriksaan flow-volume curve dan volume of isoflow merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif untuk mendeteksi kelainan pada jalan napas kecil. Pengukuran kapasitas difusi (DLCO) sangat sensitif mendeteksi kelainan interstitial, tetapi semua pemeriksaan ini tidak dianjurkan dilakukan secara rutin. Secara umum, mereka yang pada awal pekerjaan telah menunjukkan kelainan, penyakitnya akan berlanjut. Mereka hendaknya diberitahu tentang kelainan ini dan dianjurkan untuk menukar pekerjaan(5). Faal paru pada simple CWP biasanya tidak menunjukkan kelainan. VEP1 akan menurun sedikit bila seseorang telah bekerja di dalam tambang selama 30 tahun, pemeriksaan kapasitas difusi biasanya normal(5). Complicated Coal Workers Pneumoconiosis atau Fibrosis Masif Progresif (FMP) Complicated CWP ditandai oleh timbulnya fibrosis yang luas dan hampir selalu terdapat di lobus atas(3). Fibrosis masif progresif didefinisikan sebagai lesi dengan diameter melebihi 3 cm, terjadi oleh karena satu atau lebih faktor berikut, yaitu(5) :

Terdapat silika dalam debu batubara. Konsentrasi . debu batubara yang sangat tinggi. Infeksi mikobakteria tipikal atau atipik. Faktor imunologi penderita yang buruk. Setiap bayangan dengan diameter lebih besar dari 1 cm terlihat pada foto toraks pekerja tambangbatubara dengan simple CWP dianggap sebagai fibrosis masif progresif, kecuali bila terbukti ada penyakit lain seperti taberkulosiso). Gambaran Klinis Pada stadium awal penyakit, gejala dan tanda kalaupun ada, hanya sedikit. Batuk dan sputum menjadi lebih sering, sputum berwarna hitam (melanoptisis). Bila penyakit berlanjut terjadi kolaps lobus, biasanya lobus was. dan sering terjadi deviasi trakea. Selanjutnya timbul gejala sesak pada waktu melakukan aktivitas, dan berkembang menjadi gagal napas akibat obstruksi dan restriksi paru, korpulmonale, hipertensi pulmonal dan gagal ventrikel kanan(5,8). SILIKOSIS Silikosis ialah penyakit parenldm paru akibat inhalasi dan retensi debu yang mengandung kristalin silikon dioksida atau silika (Si02)(3,5,12,13). Penyakit ini dapat terjadi pada para pekerja dengan berbagai bidang pekerjaan yang berhubungan dengan silika, yaitu(3-5,12,13).

1) 2) 3) 4)

1) Pekerja tambang logam dan batubara.2) Penggali terowongan pada pembuatan jalan. 3) Pemotong batu misalnya untuk nisan, patung. 4) Pembuat keramik clan batubara. 5) Penuangan besi dan baja. 6) Industri lain yang menggunakan silika sebagai bahan seperti pabrik amplas dan galas. 7) Pembuat gigi enamel. 8) Pabrik semen. Penderita silikosis mempunyai insidens penyakit tuberkulosis yang tinggi dibandingkan populasiumum. Diagnosis dini silikosis sangat penting oleh karena penyakit dapat terus berlanjut walaupun paparan terhadap debu selanjutnya telah dihindari(3). Gambaran Klinis Silikosis secara klinis mempunyai 3 bentuk, yaitu silikosis kronik, silikosis terakselerasi dan silikosis akut5,12,13). Silikosis Kronik Bentuk ini merupakan kelainan yang paling sering ditemukan setelah 20 sampai 45 tahun terpapar oleh kadar debu yang relatif rendah. Penyakit ini mirip dengan pneumokoniosis pekerja tambang batubara, yaitu terdapat nodul sederhana biasanya lebih menonjol di lobus atas. Path stadium simpel ini nodul biasanya kecil, tanpagejalaataukelainan pemeriksaanfisiksertagangguan faal paru minimal sekali. Tetapi gambaran radiologis sederhana ini kadang-kadang menjadi progresif walaupun tidak ada lagi paparan, dan kadang-kadang terjadi fibrosis masif progresif(12,13). Apabila terjadi fibrosis masif progresif penderita menunjukkan gejala-gejala akibat pengurangan volume paru, distorsi

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 74, 1992

bronkus, clan gejala yang lebih jarang dibandingkan dengan pneumokoniosis pekerja tambang batubara yaitu emfisema kompensasi dan emfisema bulosa. Gejala utama adalah sesak napas, biasa juga disertai batuk dan produksi sputum. Terjadi gangguan faal paru berupa restriksi, obstruksi dan bentuk campuran. Kapasitas vital, kapasitas difusi dan komplians paru menurun. Pada mulanya hipoksemi terjadi pada waktu aktivitas, kemudian pada waktu istirahat. Sesak napas menjadi progresif dan membatasi kegiatan fisik. Pada tahap akhir terjadi gagal kardiorespirasi(5,12). Pada silikosis sederhana gambaran radiologis menunjukkan nodul terutama di lobus atas dan mungkin menjadi kalsifikasi. Pada silikosis yang lanjut terjadi massa yang besar yang mungkin nampak seperti sebuah sayap malaikat (Angel's wing). Bila fibrosis terbentuk dan lesi. menciut, maka daerah sekitar lebih mengembang dan tampak sebagai daerah radiolusen. Sering terjadi reaksi pleura pada lesi besar yang padat. Kelenjar hilus umumnya membesar dan membentuk gambaran khas yaitu eggshell calcification (5) .

Silikosis Terakselerasi Kelainan serupa dengan silikosis kronik, tapi berkembang lebih cepat dan umumnya menjadi fibrosis masif. Sering disertai infeksi mikobakteria tipikal dan atipikal. Gejalanya lebih menahun, tetapi perubahan klinis dan radiologis lebih cepat, menimbulkan fibrosis yang lebih difus dan iregular. Gagal napas karena hipoksemia sering terjadi setelah paparan berlangsung 10 thun(5,12). Silikosis Akut Subjek yang terpapar oleh silika dengan konsentrasi sangat tinggi selama beberapa minggu dapat menderita silikosis akut. Riwayat penyakit sangat khas itu sesak napas yang progresif, demam, batuk dan penurunan berat badan sesudah paparan oleh silika konsentrasi tinggi dalam masa yang relatif singkat. Waktu paparan bervariasi antara beberapa minggu sampai 4 atau 5 tahun(12,13). Gambaran radiologis berbeda dengan nodul fibrosis yang terlihat pada bentuk kronik, pada bentuk akut ini ditemukan fibrosis interstitial yang difus. Fibrosis masif berkembang dan terdapat pada lobus tengah dan bawah berbentuk diffuse groundglass appearance mirip edema paru. Pada silikosis akut kelainan faal paru yang terjadi adalah restriksi berat dengan hipoksemia arterial serta penurunan kapasitas difusi(12,13). ASBESTOSIS Merupakan pneumokoniosis yang disebabkan oleh inhalasi serat asbes, secara khas ditandai dengan fibrosis interstitial difus parenkim paru(3,5,14,15). Kelainan sering diikuti oleh penebalan pleura viseralis dan kadang-kadang kalsifikasi pleura(15).Gambaran Klinis

rus memburuk walaupun penderita dijauhkan dari paparan terhadap asbes, biasanya terjadi kor pulmonal dan kematian terjadi dalam 15 tahun sesudah permulaan penyakit. Path stadium lanjut batuk, produksi sputum dan penurunan berat badan sering ditemukan dan penderita sering terkena infeksi saluran napas. Komplikasi dengarr keganasan bronkus, gastrointestinal dan pleura sering menjadi penyebab kematian. Berbeda dengan silikosis dan pneumokoniosis pekerja tambang batubara, para penderita dapat mempunyai gejala sesak napas tanpa ada kelainan foto toraks(5,14,15). Pemeriksaan fisis biasanya tidak jelas menunjukkan kelainan terutama pada stadium awal. Pada kebanyakan kasus tanda pertama dan sering merupakan satu-satunya petunjuk ialah ronki basah di basal paru, umumnya paling jelas terdengr di daerah anterior dan lateral pada akhir inspirasi. Pada stadium lanjut dapat ditemukan jari tabuh (clubbing)(3,5,14,15). Pada foto toraks tampak perselubungan halus yang ireguler, umumnya tersebar di bagian tengah dan basal paru. Kerapatan bayangan tergantung pada derajat dan lama paparan terhadap asbes.Manifestasi lanjut menimbulkan diafragma yang tidak rata, mengaburnya batas jantung dan pleura akibat penebalan pleura. Bila proses berlanjut dapat mengenal seluruh paru dan terlihat gambaran sarang tawon di lobus bawah(5,14,15). Pada pemeriksaan faal paru didapatkan restriksi, kelainan yang khas pada fibrosis. Semua aspek volume paru, kapasitas difusi dan komplians paru menurun. Pada keadaan lanjut dapat terjadi kelainan obstruksi dan hipoksemia arterial(5,14,15). BRONKITIS INDUSTRI Paparan yang lama terhadap kadar debu yang tinggi di tempat kerja dapat menimbulkan bronkitis industri. Dua kelompok pekerja yang sering terkena ialah pekerja tambang batubara dan pekerja tepung. Pada pekerja tambang batubara, debu dengan partikel besar 5 -10 U menumpuk di epitel jalan napes proksimal dan menimbulkan gejalaklinis. Bilapaparan menghilang, gejala dapat menghilang. Pada pekerja yang berhubungan dengan tepung, keadaannya lebih kompleks. Berbagai komponen debu padipadian (antigen padi-padian, antigen jamur, kumbang padi, tungau, antigen binatang, endotoksin bakteri dan debu inert) mempunyai andil dalam menimbulkan(5,16). Berbagai zat di tempat kerja dapat menimbulkan bronkitis. Dari berbagai penelitian, ada zat-zat yang sudah dipastikan; kemungkinan besar atau diduga sebagai penyebab bronkiiis (Tabel 3). Penyakit ini disebabkan pengendapan partikel yang mempunyai diameter lebih besar dibandingkan partikel fraksi respirasi biasa. Dampak paparan yang lama menyebabkan paralisis silia, hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus dan menimbulkan gejala batuk produktif menahun(16,17). Pemeriksaan foto toraks dapat normal atau ada peningkatan corakan bronkopulmoner terutama di lobus bawah(3,17). Pemeriksaan faal paru pada fase awal dapat normal, selanjutnya terjadi perlambatan aliran udara yaitu pengurangan VEP1 yang kemudian menjadi ireversibel(16,17). Pada penyakit bronkitis kronik ini pemeriksaan faal paru

Gejala awal asbestosis ialah sesak napas pada waktu aktivitas, sering diikuti oleh batuk kering. Gejala ini setelah beberapa tahun berkembang menjadi fibrosis paru yang progresif. Sesak napas

Cermin Dunia Kedokteran No. 70, 1991

21

berguna untuk membantu menegakkan diagnosis, menilai manfaat pengobatan, melihat laju perjalanan penyakit serta meramalkan prognosis penderita(18).Tabel 3. Daftar Zat Penyebab Bronkitis Kronik(17). Dipastikan Kenungkinan besar Diduga

Aldehid (akrolein fonnaldehid) Ammonia Debu batubara Kalium (emfisema) Khlorin Khlormetil eter Khrorn Debu tambang batubara (bronkitis, emfisema) Kobak Pembakaran arang bate Debu kapas Gas diesel Endotoksin Debu tepung (gandum, barley) NO2 Paraquat Fosgen Polikhlorinat bifenil Debu keramik NaOH Toluen diisosianat Tungsten karbid Vanadium Vinil khlorida monomer Western red cedar Debu wol

+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +

oleh karena gambaran klinisnya serupa(19,20). Pada penderita yang dicurigai menderita asma kerja dapat dilakukan uji provokasi. Indikasi utama uji provokasi bronkus adalah(19,20) : 1) Bila dicurigai asma kerja tetapi tidak diketahui zat yang menyebabkan timbul serangan. 2) Bila pekerja terpapar oleh lebih dari satu zat yang dapat menimbulkan serangan. 3) Apabila konfirmasi diagnosis diperlukan. Berbagai zat di tempat kerja dapat menimbulkan serangan, (Tabel 4).Tabel 4. Zat-zat Penyebab Asma Kerja(19) Zat Tumbuh-tumbuhan Tepung gandum Debu kayu Buah jarak Kopi Getah akasia Tragacanth Colophony Binatang Binatang pengerat Kuda, anjing, kucing, belalang Tempayak Kumbang, padi-padian Kutu gandum Ulat sutra Kerang Enzim Bacillus subtilis Tripsin Papain Zat Kimia Isosianat Epoksi resin Etanolamin Garam platina Khrom Nikel Vanadium Aluminium Obat-obatan Salbutamol intermediate Piperazin Spiramisin Penisilin sintetis Tetrasiklin Khloramin T Busa, cat, pemis Pelapis permulaan, km Tukang cat, tukang patri Penyulinngan Plat, semen Plat Pembersih ketel Pekerja patroom Produksi deterjen Plastik Teknologi makanan, laboratorium Laboratorium Hewan, pengelola stable Pemancing Penggilingan, laboratorium Petard Panbiakan ulat sutra Pengelola kerang-kerangan Perkebunan, pembakaran, penggilingan Penggergajian, tukang kayu Minyak, produksi pupuk Produksi kopi Percetakan, farmasi Pembuatan manisan Pematri, elektronik Pekerjaan

ASMA KERJA Asma kerja adalah penyakit obstruksi saluran napas yang reversibel, disebabkan oleh rangsangan berbagai zat di lingkungan pekerjaan. Karakteristik penyakit ini ialah hanya mengenai sebagian dari mereka yang terpapar terhadap zat penyebab, penyakit muncul seringkali sesudah masa bebas gejala yang berlangsung antara beberapabulan sampai beberapa tahun. Keadaan ini bervariasi pada tiap individu(19). Keluhan utama ialah mengi (wheezing) yang berhubungan dengan kerja. Keadaan ini sangat khas pada individu yang atopik setelah bekerja 4 atau 5 tahun. Pada individu non atopik asma muncul beberapa tahun lebih lama dibandingkan yang atopik. Asma dapat muncul lebih awal bahkan beberapa minggu sesudah mulai bekerja terutama pada tempat yang mengandung zat paparan kuat seperti isosianat atau colophony(19). Gejala bervariasi tiap individu, kebanyakan penderita menunjukkan perbaikan pada akhir pekan dan waktu libur. Riwayat penyakit merupakan prosedur penting untuk menegakkan diagnosis(19,20). Faal paru menunj ukkan tanda obstruksi yaitu penurunan VEP1 tetapi bersifat reversibel setelah pemberian bronkodilator. Foto toraks biasanya normal atau ada tanda over inflasi. Foto toraks berguna untuk membedakan dengan pneumonitis hipersensitif

Produksi

BISINOSIS Bisinosis ialah penyakit jalan napas akut dan kronik pada pekerja kapas, kain lena (linen) dan serat rami, Reaksi akut terhadap paparan debu ditandai oleh perasaan dada tertekan, mengi dart sesak napas waktu kembali bekerja(3,4,21,22) . Gejala

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 74, 1992

tersebut timbul haripertama kerja setelah libur akhir pekan atau liburan lain, yaitu pada hari Senin sehingga disebut monday chest tightness atau monday feve(3,22). Pada kebanyakan kasus gejala berkurang atau menghilang pada hari kerja ke dua. Bila paparan berlanjut maka gejala akan makin berat. Pada perokok gejala umumnya lebih hebat dan lebih sering. Kadang-kadang bila rokok dihentikan rasa dada tertekan pada hari Senin dapat menghilang(22). Dua cara untuk menilai prevalensi dan berat penyakit yaitu dengan kuesioner yang standar dan pemeriksaan kapasitas ventilasi. Dari kuesioner gejala respirasi dikelompokkan menurut beratnya sebagai berikut(4,21). Derajat 0 : Tidak ada gejala bisinosis. Derajat 1/2 : Kadang-kadang rasa dada tertekan pada hari perta ma minggu kerja. Derajat 1 : Perasaan dada tertekan pada setiap hari pertama minggu kerja. Derajat 2 : Perasaan dada tertekan terjadi pada hari pertama dan hari-hari selanjutnya. Derajat 3 : Gejala pada derajat 2 ditambah dengan berkurangnya toleransi terhadap aktivitas secara menetap dan atau pengurangan kapasitas ventilasi. Pemeriksaan foto toraks normal, hal ini berbeda dengan bentuk penumokoniosis lain yang kelainan radiologisnya terjadi bertahun-tahun sebelum munculnya gangguan fungsional(3,4). Pemeriksaan faal paru dapat menunjukkan kelainan yaitu penurunan VEP1 pada permulaan hari kerja. Ganguan faal paru dibagi atas 4 kelompok berdasarkan perubahan kapasitas ventilasi yaitu derajatFO sampai derajatF3. Kapasitas difusi biasanya tidak berubah(3,4,21). PNEUMONITIS HIPERSENSITIF Pneumonitis hipersensitif adalah kumpulan penyakit paru alergi akibat sensitisasi dan paparan yang berulang terhadap debu organik. Kelainannya difus, terutama inflamasi mononuklear parenkim paru di bronkiolus terminalis dan alveoli(23,24). Tidak ada gambaran klinis yang sama atau uji laboratorium yang tertentu pada penyakit ini. Diagnosis ditegakkan dari pemeriksaan kombinasi antara gejala-gejala yang khas, pemeriksaan fisis, kelainan foto toraks, pemeriksaan faal paru dan uji imunologis. Bila didapatkan presipitasi antibodi terhadap inhalasi antigen yang dicurigai sangat membantu prosedur diagnostik. Penyakit ini hendaknya dicurigai pada penderita yang terpapar terhadap salah satu zat dan dapat menimbulkan penyakit dengan gejala influenza mirip pneumonitis yang berulang atau gejala penyakit paru interstitial yang aktif. Walaupun kelainan klinis dan laboratorium cenderung menghilang apabila paparan dihindari, paparan yang berlanjut dapat menimbulkan kerusakan paru yang permanen(24). Pneumonitis hipersensitif dapat terjadi setelah inhalasi dan sensitisasiberulang berbagai antigen zat organik. Zat tersebut dapat berupa bakteri (thermophilic, Actinomycetes), jamur (Alternatia, Asper gillus), protein serum (protein burung), zat kimia (anhidrid) atau zat-zat yang belum dapat diidcntifikasi (debu kopi)(24). Pemeriksaan fisis tidak spesifik. Serangan akut ditandai oleh

ronki basah difus pada kedua basal paru; demam dan lekositosis juga ditemukan pada fase akut dan menghilang pada tahap penyembuhan. Kelainan faal paru tidak khas, pada episode akut terdapat gangguan restriksi sementara dan gangguan difusi. Ella kelainan menetap dapat terjadi obstruksi yangureversibel atau restriksi berat dan ganguan difusi. Kelainan foto toraks pada penyakit ini bervariasi, dari tanpa kelainan sampai fibrosis interstitial difus. Gambaran yang umum adalah infiltrat nodular difus dan corakan bronkovaskuler kasar yang menghilang bila paparan dihindari. Pembesaran kelenjar hilus jarang ditemukan(24). KANKER PARU AKIBAT KERJA Mineral dan zat-zat kimia tertentu dihubungkan dengan kejadian kanker paru yang tinggi. Perlu waktu yang lama, yaitu antara 15 sampai 25 tahun antara waktu terpapar dengan timbulnya gejala kanker pare). Pekerjaan-pekerjaan yang diketahui mempunyai hubungan dengan terjadinya kanker saluran napas dapat dilihat pada Tabel 5. Pada beberapa kasus bahan karsinogen tidak dapat diidentifikasi meskipun tempat kerja tersebut diketahui mempunyai risiko untuk terjadi kanker paru('S). Berbagai zat bersifat karsinogen dan dapat menimbulkan kanker paru antara lain ialah : asbes, arsen, khlor metil eter, pembakaran arang, aluminium, khrom, nikel, gas mustard, kalsium fluorida, zat radio aktif clan tar batubarats~ .'>.Tabel 5. Jenis Pekerjaan yang Dapat MenimbulkanKanker Saluran Napas Zar Penyebab Asbes Radio aktif Gas mustard Arsen Nikel Khrom Halo eter . 7 ? Jenis Pekerjaan Tambang, menenun penggunaan Tambang uranium, logam, hematite, fluorspair Pabrik Penyulingan logam Penyulingan Ekstraksi, produksi dan pigmen Industri kimia Karbonisasi batubara Percetakan Jenis Kanker Kanker paru, mesoteliorna serosa Kanker paru Kanker paru Kanker paru Kanker paru, sinus Kanker paru Kanker paru Kanker paru Kanker paru

Keterangan : dikutip dari (25)

PENUTUP Berbagai penyakit dan gangguan pernapasan terjadi akibat paparan berbagai zat di tempat kerja. Diagnosis penyakit paru kerja ditegakkan berdasarkan anamnesis yang teliti meliputi riwayat pekerjaan, gejala klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan foto toraks, pemeriksaan faal paru dan pemeriksaan laboratorium Kadang-kadang sulit menentukan hubungan antara penyakit dengan jenis pekerjaan, karena pada penyakit tertentu perlu waktu yang lama antara terjadinya paparan dan timbulnya penyakit. Diagnosis juga kadang-kadang sulit ditegakkan karena beberapa penyakit mempunyai gejala, kelainan foto toraks dan pemeriksaan faal paru yang mirip. Manifestasi penyakitparu akibatkerja, sama dengan penyakit paru yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Hendaklah selalu dipikirkan penyakit paru kerja pada penderita-penderita

Cermin Dunia Kedokteran No. 70, 1991

23

yang memberikan keluhan pernapasan dan mempunyai pekerjaan yang potensial dapat menimbulkan penyakit atau kelainan paru.KEPUSTAKAAN 1. Survai Kesehatan Rumah Tangga, Badan Penelitian dan Pengt>mbangan Kesehatan. Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan. Departemen Kesehatan, Jakarta 1986: 56. American Thoracic Society. Surveillance for respiratory hazards in the occupational setting. Am Rev Respir Dis, 1982; 126 : 952-6. Crompton GK. Occupational lung diseases. In: Diagnosis and management of respiratory diseases. Oxford: Blackwell Scientific Publications, 1980: hal. 16484. Crofton J, Douglas A. Occupatonal lung diseases. In:Respiratory diseases. Oxford; Blackwell Scientific Publicatons, 1984: hal. 575-630. Mason RJ. Occupational lung diseases. In: Wyngaarden JB, 'Smith LH (eds). Cecil's Textbook of Medicine, Philadelphia; WB Saunders 1985: 227987. Seaton C. Clinical approach. In: Morgan EKC, Seaton A (eds). Occupational Lung Diseases, Philadelphia; WB Saunders 1984: 917. Becker CE. Principles of occupational medicine. In: Wyngaarden JB, Smith LH (eds). Cecil Textbook of Medicine, Philadelphia; WB Saunders Co 1985: 22779. Morgan WKC. Coal worker's pneumoconiosis. In: Morgan WKC, Seaton A (eds). Occupatonal lung diseases, Philadelphia; WB Saunders 1984: 377-448. Merchant JA, Taylor G, Hodous TK. Coal workers' pneumoconiosis and exposure to other carbonaceous dusts. In: Merchant JA, Boehlecke BA, Taylor G, PicckeuHamer M eds: Occupational respiratory diseases. Washington DC, US Department of Health and Human Services, 1986: 32984. ILO 1980. International classification of radiographs of the pneumoconiosis. In: Guidelines for the use of ILO International classification of radiographs of pneumoconiosis. Geneva: International Labour Office, 1980: 120. Yeung MC, Lam S, Enarson D. Pulmonary function measurement in the industrial setting. Chest 1985; 88:270-4. Seaton A. Silicosis. In: Morgan WKC and Seaton A (eds). Occupational lung diseases, Philadelphia; WB Saunders 1984: 250-94. Peters SM. Silicosis. In: Merchant JA, Boehlecke BA, Taylor G, PickettHamer M (eds). Occupational respiratory diseases, Washington

2. 3.

4. 5.

6. 7.

8.

9.

10.

11. 12. 13.

DC: US Department of Health and Human Services, 1986: 219-37. 14. Seaton A. Asbestosrelated diseases. In: Morgan WKC, Seaton A (eds). Occupational lung diseases, Philadelphia; WB Saunders Co 1984: 323-76. 15. Dement JM, Merchant JA, Green FHY. Asbestosis. In: Merchant JA, Boehlecke BA, Taylor G, PickettHamer M (eds). Occupational respiratory diseases, Washington DC, US Department of Health and Human Services, 1986: 287327. 16. Morgan WKC. Industrial bronchitis and other non-spesific conditions affected the airways. In: Morgan WKC, Seaton A (ads). Occupational lung diseases, Philadelphia: WB Saunders Co 1984: 521-40. 17. Kilburn KH.Chronicbronchitisandemphysema.In:MerchantJA,Boehledce BA, Taylor G, PickettHamer M (eds). Occupational respiratory diseases, US Department of Health and Human Services, Washington DC, 1986: 50329. 18. Faisal Yunus. Peranan faal paru pads penyakit pare obstuktif menahun. Dalam: Penyakit pare obstuktif menahun. Balai Penerbit FKUI, 1989: 33-44. 19. Seaton A. Occupational asthma. In: Morgan WKC, Seaton A (eds). Occupational lung diseases, Philadelphia: WB Saunders Co 1984: 498-520. 20. Salvaggio JE, Taylor G, Weil H. Occupational asthma and rhinitis. In: Merchant JA, Boehlecke BA, Taylor G, PickettHamer M (eds). Occupational respiratory diseases. US Department of Health and Human Services, Washington DC, 1986: 46177. 21. Morgan WKC. Byssinosis and related condition. In: Morgan WKC, Seaton A (eds). Occupational lung diseases, Philadelphia: WB Saunders Co 1984: 541-63. 22. MerchantJA. Byssinosis. In: Merchant JA, Boehlecke BA, Taylor G, PickettHamer M (eds). Occupational respiratory diseases. US Department of Health and Human Services, Washington DC, 1986: 533-68. 23. Seaton A, Morgan WKC. Hypersensitivity pneumonitis. In: Morgan WKC, Seaton A (eds). Occupational lung diseases. Philadelphia: WB Saunders Co 1984: 563-608. 24. Fink J. Hypersensitivity -pneumonitis. In: Merchant JA, Boehlecke BA, Taylor G, PickettHamer M (eds). Occupational respiratory diseases, US Department of Health and Human Services, Wshington DC, 1986: 481500. 25. Seaton A, Occupational pulmonary neoplasms. In: Morgan WKC, Seaton A (eds). Occupational lung diseases, Philadelphia: WB Saunders Co 1984: 65775. 26. Lemen RA. Occupational induced lung cancer epidemiology. In: Merchant JA, Boehlecke BA, Taylor G, PicketHamer M (eds). Occupational respiratory diseases, US Department of Health and Human Services, Washington DC, 1986: 533, 62956.

prako sa hadiwijaya, sri widodo, m. soekirno, madsuki, drg. Shinta, agus s., abdul jalil, koko bae, sujarwo, icup ikerta, dewis

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 74, 1992