082

31
ANALISIS NILAI KULTUR INDIVIDUALIS-KOLEKTIVIS TERHADAP GAYA RESOLUSI KONFLIK AUDITOR Ahmad Dahlan Universitas Gajayana Malang Abstrak Penelitian ini dilakukan dalam upaya mengeksplorasi lebih jauh penelitian Goodwin dan Fletcher et al. dengan menguji preferensi pemilihan conflict- handling style auditor dalam setting kultur tertentu. Kultur yang dimaksud adalah sebuah nilai atau norma yang diyakini oleh anggota sebuah kelompok, misalkan dalam sebuah negara atau organisasi. Responden yang diambil dalam penelitian: auditor dan staf auditor yang bekerja di KAP di tiga kota: Jakarta, Surabaya dan Malang. Responden diminta melengkapi kuisioner INDCOL dan Thomas-Kilmann MODE. Kemudian dihitung skor rata-rata untuk setiap item yang terbukti valid. Dari hasil ini juga dilakukan analisis tabulasi silang (crosstabulation), uji chi square (χ2) dan pemetaan dengan correspondence analysis. Hasil yang diperoleh penelitian ini menunjukkan bahwa auditor cenderung bersifat kolektivis, dan resolusi konflik yang cenderung dipilih berturut- turut adalah kolaborasi, bersaing, kompromi, menghindar, dan akomodasi. Terdapat preferensi kuat dari auditor untuk tidak memilih gaya konflik akomodasi dan menghindar hasil ini mendukung temuan Goodwin. Berdasarkan analisis Chi Square ditemukan kultur yang dimiliki oleh auditor berpengaruh sangat nyata terhadap resolusi konflik yang diambil oleh auditor. Di kelompok auditor yang individualis, dari 96 auditor di kelompok ini, sebagian besar memilih bersaing dan menghindar. Kultur individualis nampaknya sangat menghindari resolusi konflik dengan akomodasi, Resolusi lainnya yang dipilih adalah kolaborasi dan kompromi. Karakter yang berbeda ada pada kelompok auditor yang kolektivis, dari 211 auditor di kelompok ini, sebagian besar memilih kolaborasi 56,9% dan bersaing 24,2%. Kultur kolektivis nampaknya sangat menghindari resolusi konflik dengan menghindar, resolusi lainnya yang dipilih adalah kompromi 11,4% dan akomodasi 5,7%. Hasil pemetaan kultur individualis-kolektivis dan resolusi konflik menunjukkan kedekatan kultur individualis dengan resolusi menghindar dibanding kultur kolektivis; dan kultur kolektivis lebih dekat kepada resolusi kolaborasi dibanding individualis. Temuan ini menunjukkan kecenderungan individualis–kolektivis terhadap resolusi konflik yang secara ekstrim bisa dipakai untuk membedakan keduanya. Kata Kunci: auditor, kultur individualis-kolektivis, resolusi konflik. SNA 17 Mataram, Lombok Universitas Mataram 24-27 Sept 2014 1 File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

description

Artikel Simposium Nasional Akuntansi 17

Transcript of 082

  • ANALISIS NILAI KULTUR INDIVIDUALIS-KOLEKTIVIS TERHADAP GAYA RESOLUSI KONFLIK AUDITOR

    Ahmad Dahlan

    Universitas Gajayana Malang

    Abstrak Penelitian ini dilakukan dalam upaya mengeksplorasi lebih jauh penelitian Goodwin dan Fletcher et al. dengan menguji preferensi pemilihan conflict-handling style auditor dalam setting kultur tertentu. Kultur yang dimaksud adalah sebuah nilai atau norma yang diyakini oleh anggota sebuah kelompok, misalkan dalam sebuah negara atau organisasi. Responden yang diambil dalam penelitian: auditor dan staf auditor yang bekerja di KAP di tiga kota: Jakarta, Surabaya dan Malang. Responden diminta melengkapi kuisioner INDCOL dan Thomas-Kilmann MODE. Kemudian dihitung skor rata-rata untuk setiap item yang terbukti valid. Dari hasil ini juga dilakukan analisis tabulasi silang (crosstabulation), uji chi square (2) dan pemetaan dengan correspondence analysis. Hasil yang diperoleh penelitian ini menunjukkan bahwa auditor cenderung bersifat kolektivis, dan resolusi konflik yang cenderung dipilih berturut-turut adalah kolaborasi, bersaing, kompromi, menghindar, dan akomodasi. Terdapat preferensi kuat dari auditor untuk tidak memilih gaya konflik akomodasi dan menghindar hasil ini mendukung temuan Goodwin. Berdasarkan analisis Chi Square ditemukan kultur yang dimiliki oleh auditor berpengaruh sangat nyata terhadap resolusi konflik yang diambil oleh auditor. Di kelompok auditor yang individualis, dari 96 auditor di kelompok ini, sebagian besar memilih bersaing dan menghindar. Kultur individualis nampaknya sangat menghindari resolusi konflik dengan akomodasi, Resolusi lainnya yang dipilih adalah kolaborasi dan kompromi. Karakter yang berbeda ada pada kelompok auditor yang kolektivis, dari 211 auditor di kelompok ini, sebagian besar memilih kolaborasi 56,9% dan bersaing 24,2%. Kultur kolektivis nampaknya sangat menghindari resolusi konflik dengan menghindar, resolusi lainnya yang dipilih adalah kompromi 11,4% dan akomodasi 5,7%. Hasil pemetaan kultur individualis-kolektivis dan resolusi konflik menunjukkan kedekatan kultur individualis dengan resolusi menghindar dibanding kultur kolektivis; dan kultur kolektivis lebih dekat kepada resolusi kolaborasi dibanding individualis. Temuan ini menunjukkan kecenderungan individualiskolektivis terhadap resolusi konflik yang secara ekstrim bisa dipakai untuk membedakan keduanya. Kata Kunci: auditor, kultur individualis-kolektivis, resolusi konflik.

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    1

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Resolusi konflik yang ditinjau berdasarkan sisi budaya telah lama menarik

    minat, tidak hanya bagi para psikolog dan antropolog, namun juga bagi para peneliti di

    bidang diplomasi dan bisnis internasional serta bidang akuntansi. Bidang-bidang

    tersebut melibatkan interaksi dan transfer manusia antarbatas-batas negara dan budaya,

    sehingga penghargaan terhadap pentingnya perbedaan budaya menjadi prioritas tinggi.

    Penelitian terhadap variasi lintas budaya ini telah menemukan bahwa masyarakat dari

    budaya berbeda secara signifikan menggunakan strategi resolusi konflik yang berbeda.

    (lihat misalnya Fletcher, et al. 2000; Tse et al., 1994;).

    Konflik adalah keniscayaan, yang muncul ketika individu atau kelompok merasa

    kepentingan, harapan atau tujuannya tidak terpenuhi dan direaksi secara negatif oleh

    kepentingan individu atau kelompok lain (DiPaola dan Hoy, 2001). Salah satu profesi

    yang akan selalu berhadapan dengan sebuah kepentingan adalah auditor. Profesi auditor

    (akuntan publik) seringkali dihadapkan pada dua kepentingan yang berbeda, di satu sisi

    harus mempertahankan kredibilitas dan etika profesi, tetapi di sisi lain harus

    menghadapi tekanan untuk memenuhi kepentingan klien. Kepentingan-kepentingan

    tersebut akhirnya akan memicu kemunculan konflik yang oleh Bazerman et al. (1991)

    disebut sebagai konflik antara tanggung jawab kepada pengguna laporan audit dengan

    keuntungan finansial untuk memuaskan klien.

    Kontribusi audit adalah untuk menyajikan akuntabilitas, apakah laporan

    keuangan suatu entitas atau organisasi menyajikan hasil operasi yang wajar dan apakah

    informasi keuangan tersebut disajikan dalam bentuk yang sesuai dengan kriteria atau

    aturan-aturan yang telah ditetapkan. Peran itulah yang dilakukan oleh para auditor.

    Laporan keuangan auditan sebenarnya merupakan hasil dari konflik antara auditor

    dan klien (Antle dan Nalebuff, 1991). Proses audit melibatkan negosiasi antara dua

    pihak dalam menyelesaikan isu-isu yang menjadi perselisihan yang berpusat pada

    kebutuhan untuk membuat penyesuaian pada laporan keuangan dari penyimpangan

    terhadap prinsip-prinsip akuntansi dan kecukupan pengungkapan. Sikap auditor

    terhadap konflik semacam ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap audit

    independence serta kredibilitas laporan keuangan (Goodwin, 2000).

    Ketika auditor terjebak dalam situasi konflik dia akan menghadapinya dengan

    beberapa kemungkinan gaya (style). Gaya auditor dalam meng-handle konflik

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    2

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • diidentifikasikan dengan mempertimbangkan lima alternatif gaya yaitu : kolaborasi

    (collaborating/integrating), kompromi (compromising), bersaing (competing/

    dominating), menghindar (avoiding), dan akomodasi (accommodating/obliging)

    (Goodwin, 2000, Rahim, 1995). Studi Goodwin (2000) tentang resolusi konflik auditor

    menghasilkan simpulan bahwa auditor cenderung (sering) mengambil integrating (atau

    collaborating) dalam menghadapi konflik. Dominating (competing) dan compromising

    digunakan pada level yang lebih rendah sedang obliging (accommodating) dan avoiding

    jarang sekali digunakan.

    Hasil studi Goodwin (2000) tentang preferensi gaya auditor dalam situasi konflik

    ini sangat menarik untuk dikaji dan dilakukan penelitian lebih lanjut. Penelitian-

    penelitian tentang budaya (kultur) yang dimiliki auditor yang dihubungkan dengan

    resolusi konflik relatif jarang, sementara itu beberapa penelitian yang menganalisis

    bagaimana kultur mempengaruhi gaya konflik menunjukkan bahwa kultur

    mempengaruhi resolusi konflik (Doo, 1973, Goh, 1996, March, 1988).

    Penelitian ini dilakukan dalam upaya mengeksplorasi lebih jauh penelitian

    Goodwin (2000) dan Fletcher et al. (2000) dengan menguji preferensi pemilihan

    conflict-handling style auditor dalam setting kultur tertentu. Kultur yang dimaksud

    adalah sebuah nilai atau norma yang diyakini oleh anggota sebuah kelompok, misalkan

    dalam sebuah negara atau organisasi. (Hofstede, 1994).

    Hofstede (1997) menemukan bahwa pada dimensi kolektivis-individualis,

    masyarakat yang berada di Amerika Serikat, Australia, Inggris, Kanada, Belanda, dan

    Selandia Baru cenderung mempunyai kultur individualis, sedangkan masyarakat yang

    berada di Asia seperti Korea, Singapura, Hongkong, Taiwan, dan juga di Indonesia

    lebih cenderung mempunyai kultur kolektivis. Orientasi individualis menyatakan bahwa

    individu merupakan unsur terpenting atau utama dalam setiap kegiatan masyarakat

    (sosial) tanpa melihat ukuran unit sosial tersebut dan keunikan dari setiap individu

    adalah merupakan nilai terpenting. Tujuan individu menjadi prioritas utama melampui

    kepetingan grup atau kelompok termasuk dalam keluarga atau sebuah organisasi.

    Orientasi kolektivis lebih mengarah kepada kerjasama kelompok untuk saling bantu

    antara satu dengan lainnya. Kepentingan kelompok menjadi unsur utama dalam kultur

    kolektivis (Hofstede, 1997).

    Hasil studi Fletcher, et al. (2000) tentang resolusi konflik ditemukan, bahwa

    dalam penyelesaian konflik orang Asia lebih memilih kompromi dan menghindar

    daripada kolaborasi dan akomodasi, sedangkan orang Australia lebih memilih bersaing.

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    3

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Orang Asia dan Australia menunjukkan preferensi yang sama terhadap kompromi,

    namun orang Asia menunjukkan preferensi yang lebih kuat terhadap kompromi dan

    menghindar daripada orang Australia untuk segala strategi. Hal tersebut menunjukkan

    bahwa berkompromi dan berkolaborasi secara fungsional ekuivalen untuk orang

    Australia, berkompromi dan menghindar secara fungsional ekuivalen untuk orang Asia.

    Individualis lebih memilih menghindar dan berkompromi untuk akomodasi, sebaliknya

    kolektivis lebih menyukai semua strategi untuk bersaing. Sebagai tambahan, kolektivis

    menunjukkan preferensi yang lebih kuat untuk berkolabirasi, berkompromi dan

    akomodatif daripada individualis. Fletcher et al. (2000) juga menemukan pengaruh

    individualism-kolektivisme terhadap gaya resolusi konflik.

    Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang muncul dalam riset ini adalah:

    1. Kultur auditor yang bagaimanakah yang ada di Indonesia?

    2. Gaya konflik apa yang cenderung digunakan oleh auditor dalam merespon konflik

    dengan klien ?

    3. Apakah kultur tersebut berpengaruh terhadap kegiatan profesinya (sebagai auditor)

    dalam merespon konflik dengan klien?

    TINJAUAN TEORI

    KKoonnfflliikk AAuuddiittoorr ddaann KKlliieenn

    Tujuan akuntansi adalah memberikan informasi yang berguna sebagai dasar

    pengambilan keputusan stakeholder. Untuk mencapai tujuan ini, akuntansi harus

    memberikan informasi finansial yang layak. Masyarakat memberikan otoritas kepada

    akuntan dan auditor untuk memberikan jaminan secara terbatas atas laporan keuangan

    suatu perusahaan. Dalam konteks ini, auditor sering disebut sebagai watchdog of

    capitalism. Berkaitan sebagai tugas yang diamanatkan oleh masyarakat dan external

    stakeholder, auditor diharapkan dapat menjalankan fungsi sosialnya dengan baik.

    Artinya, bagaimana auditor dapat memuaskan masyarakat melalui pelaksanaan tugas

    monitoring yang independen.

    Sementara itu De Ruyter dan Wetzels (1999) menyatakan bahwa, konstruk dari

    komitmen telah diketahui memiliki peranan yang sentral dalam hubungan bisnis. Mereka

    telah meneliti, faktor apa sajakah yang memotivasi para klien untuk melanjutkan

    hubungan mereka dengan suatu kantor akuntan. Dan mereka menemukan bahwa ada

    anteseden dan konsekuensi (antecedents and consequences) dari komitmen dalam

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    4

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • hubungan antara auditor dengan kliennya. Serta bahwa dalam hubungan tertentu,

    komitmen yang bersifat afektif memainkan peranan yang penting.

    Menurut mereka, perubahan relasional adalah suatu fenomena yang banyak

    menarik perhatian para akademisi maupun praktisi, sebagaimana yang disarankan oleh

    Dwyer et al. (1987) dalam De Ruyter dan Wetzels, (1999), bahwa komitmen merupakan

    konstruk sentral dalam hubungan pemasaran. De Ruyter dan Wetzels (1999)

    menemukan bahwa ada dukungan terhadap hubungan positif antara anteseden dengan

    komitmen afektif. Mutu jasa yang diberikan, sebagaimana juga kepercayaan, memiliki

    dampak yang positif terhadap komitmen afektif dalam hubungan auditor-klien. Tingkat

    hubungan auditor-klien ini berkaitan erat dengan salah satu karakteristik utama yang

    diharapkan dari seorang auditor, yakni independensi. Riset dari Bernardi (1994) yang

    direspon dan diberikan komentar berturut-turut oleh Davidson (1994) dan Pincus (1994)

    pun menegaskan hal tersebut dalam studinya tentang deteksi terhadap kecurangan

    (fraud) dengan memasukkan independensi ini sebagai salah satu aspek cognitive style

    dalam hipotesisnya. Dari sisi yang lain, konflik dalam hubungan auditor-klien dapat

    dilihat dan dikaitkan pula dengan pendekatan honor (audit fee); lihat misalnya OKeefe

    et al. (1994); Sanders et al. (1995); Walo (1995); Francis dan Simon (1987) serta Simon

    dan Francis (1988); Trompeter (1994), dan Simunic dan Stein (1996)].

    Mautz dan Sharaf (1993) mengajukan sebuah tentative postulates of auditing

    dalam upayanya memperjuangkan auditing sebagai sebuah teori sebagaimana

    accounting theory. Postulat kedua yang dibuat menyatakan: There is no necessary

    conflict of interest between the auditor and the management of the enterprise under

    audit. Lebih lanjut dijelaskan bahwa manajemen berkepentingan terhadap kemajuan

    dan kemakmuran perusahaannya, sedangkan auditor menyediakan jasa untuk

    memberikan suatu jaminan bahwa data keuangan perusahaan tersebut layak (reliable)

    bagi berbagai keputusan penting. Pemberian jasa ini diharapkan dapat memberikan

    keuntungan kepada berbagai pihak termasuk di dalamnya manajemen. Dalam berbagai

    hal (misalnya, upaya untuk memperoleh kredit, mencari tambahan modal baru, dan

    sebagainya), manajemen membutuhkan laporan keuangan yang sudah diverifikasi oleh

    auditor independen. Atas dasar inilah perlunya postulat bahwa tidak terdapat konflik

    kepentingan antara auditor dan manajemen. Apabila terdapat konflik kepentingan,

    tentunya auditor akan sangat sulit untuk menjalankan tugasnya.

    Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam jangka pendek masih

    terdapat konflik antara auditor dan klien. Dalam kondisi tertentu, manajemen bisa jadi

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    5

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • merasa perlu untuk sedikit mencurangi auditor dengan maksud agar tujuan jangka

    pendek mereka terpenuhi. Misalnya, ketika manajemen dihadapkan pada peluang kredit

    yang bagus, atau peluang untuk meningkatkan bonus yang terkait dengan angka-angka

    laporan keuangan, ia cenderung membuat dan menuntut laporan keuangan yang cantik

    agar proses pemberian kredit ataupun peningkatan bonus diperoleh secara mudah dan

    cepat. Di sisi lain, auditor secara normatif dan legal menjalankan tugasnya untuk

    memverifikasi kewajaran laporan keuangan yang disiapkan oleh manajemen. Dalam

    kondisi seperti ini memungkinkan timbul konflik kepentingan antara auditor dan klien.

    Konflik antara Auditor dan klien baru muncul saat Auditor sebagaimana ketentuan

    profesi harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada stakeholders yang bisa

    jadi berbeda dengan kepentingan manajemen. Auditor independen tentunya sudah harus

    menyadari kemungkinan ini. Oleh karena itu, postulat yang dirancang oleh Mautz dan

    Sharaf (1993) ini berbunyi no necessary conflict dan bukan the impossibility of

    conflict.

    Lebih jauh lagi, ketika melaksanakan tugasnya auditor menghadapi konflik secara

    nyata dengan pihak manajemen klien. Konflik ini terjadi ketika dalam proses review

    laporan keuangan terdapat beberapa item yang memerlukan pertimbangan. Dalam

    kondisi ini, kecenderungan yang terjadi adalah manajemen berupaya memaksakan

    keinginannya kepada auditor, yaitu berupaya mempengaruhi auditor agar memuaskan

    tujuan manajemen klien. Hal ini menimbulkan suatu konflik mengingat auditor terikat

    pada etika profesi yang harus mempertahankan obyektivitas dan independensinya, dan

    di pihak lain, auditor juga harus memuaskan perusahaan klien.

    Tujuan pemuasan klien ini terkait erat dengan mekanisme insentif (yaitu fee)

    auditor yang tergantung pada klien (manajemen perusahaan). Hal inilah yang

    mendorong munculnya conflict of interest yang dihadapi auditor. Di satu sisi auditor

    harus memuaskan masyarakat, di sisi lain ia harus memuaskan kliennya yang juga

    merupakan fungsi dari welfare auditor.

    Opini yang beredar di masyarakat dan pengamat adalah bahwa financial rewards

    merupakan faktor yang sangat dipertimbangkan dan dipertaruhkan dalam hubungan

    auditor dan kliennya. Secara umum, auditor menginginkan untuk dikontrak kembali

    oleh kliennya guna menjaga kontinuitas income, dan laporan auditan yang kurang (atau

    tidak) berkenan dengan keinginan manajermen klien mendorong munculnya perubahan

    dan pengalihan auditor dari auditor lama ke baru (Levinthal dan Fichman, 1988 dalam

    Moore et al., 2001). Kondisi ini diperburuk dengan pemberian jasa konsultasi yang

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    6

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • diberikan oleh kantor akuntan publik yang seringkali menghasilkan profit yang jauh

    lebih besar dibandingkan jasa audit. Faktor finansial yang dimiliki auditor dalam proses

    mempertahankan hubungan yang baik dengan klien memberikan prima facie evidence

    untuk conflict of interest (Bazerman, et al.1991).

    Keseluruhan konflik yang dihadapi oleh auditor tersebut bersumber dari adanya

    accounting uncertainty dalam standar akuntansi keuangan (SAK) yang menuntut

    perusahaan dan auditor memilih suatu prosedur akuntansi yang justifiable. Mayhew et

    al. (2001) menemukan bukti yang kuat bahwa accounting uncertainty mempengaruhi

    perilaku auditor. Ketika tidak terdapat accounting uncertainty, auditor melaksanakan

    tugas audit secara obyektif. Ketika terdapat accounting uncertainty, auditor harus

    mengkaji secara mendalam apakah prosedur akuntansi dan disclosure yang dipilih

    manajer klien sesuai dengan prinsip akuntansi dan SAK, serta bisa dijustifikasi. Dalam

    kondisi ini muncul pertentangan dan masalah yang harus dipecahkan oleh auditor.

    Dalam proses resolusi, klien cenderung berupaya mempengaruhi (mempersuasi) auditor

    untuk menerima posisi klien. Conflict of interest yang dihadapi auditor mendorong ia

    untuk bernegosiasi dengan klien. Ketika melakukan negosiasi, auditor dihadapkan pada

    incentive to cooperate dan incentive to compete (Murninghan dan Bazerman, 1990),

    dan ketika terdapat accounting uncertainty, derajat obyektivitas auditor

    menurun dengan mendukung disclosure manajemen yang mungkin berbeda dari

    informasi obyektif auditor (Mayhew, et al., 2001).

    Pada dasarnya, laporan keuangan dan laporan auditor merupakan joint product

    (Antle dan Nelebuff, 1991) dan merupakan hasil dari proses negosiasi. Salah satu faktor

    utama yang mempengaruhi negosiasi adalah bargaining strategy yang diterapkan

    masing-masing pihak yang terlibat (dalam hal ini adalah auditor dan klien), dan

    bargaining strategy terkait erat dengan pilihan gaya manajemen konflik.

    KKuullttuurr Definisi awal culture adalah sesuatu yang komplek meliputi pemahaman,

    pengetahuan, kepercayaan, moral, seni, hukum/norma, kebiasaan, dan setiap

    kemampuan lainnya yang diperoleh setiap orang sebagai anggota kelompok sosial

    (Kroeber dan Kluckhohn, 1952). Culture dapat dipelajari, diperoleh, dan direfleksikan

    sebagai pola berfikir dan bertindak.

    Dalam kerangka yang dikembangkan Hofstede, Culture memiliki empat dimensi

    (Hofstede 1994), yaitu dimensi Individualism-collectivism, Masculinity-Masculinity,

    Power Distance dan Strong-weakness Uncertainty Avoidance.

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    7

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Individualism dan Collectivsim. Kultur Individualism lebih mengarah atau

    cenderung mengedepankan kepentingan individu daripada kelompok. Tujuan individu

    menjadi tujuan utama dibandingkan dengan tujuan kelompok, sedangkan kultur

    Collectivism cenderung untuk lebih mengutamakan kepentingan atau tujuan

    grup/kelompok. Keterikatan dalam grup menjadi hal utama dalam kultur Collectivism.

    Konsep utama dimensi ini adalah pernyataaan seseorang, yaitu saya atau kita.

    Masculinity dan Femininity, Konsep Masculinity cenderung mengarah pada

    heroisme/kepahlawanan/keperkasaan, ketegasan, dan sukses secara materi/fisik.

    Femininity merupakan kebalikan Masculinity, yang lebih mengarah/cenderung kepada

    modesty, kualitas hidup. Pernyataan utama dalam dimensi ini adalah kecenderungan

    melihat kelompok berdasarkan peran jenis kelamin yaitu sifat pria atau sifat wanita.

    Strong dan Weak Uncertainty Avoidance. Konsep Strong dan Weak Uncertainty

    Avoidance adalah dimensi budaya yang menunjukkan derajat tentang seberapa jauh

    suatu anggota kelompok sosial mampu bertahan dalam ketidakpastian.

    PPEENNEELLIITTIIAANN TTEERRDDAAHHUULLUU Conflict-handling strategy terkait erat dengan proses negosiasi antar pihak-pihak

    yang terlibat dalam perselisihan. Penelitian tentang negosiasi di bidang akuntansi dan

    auditing relatif sedikit. Murningham dan Bazerman (1990) mengajukan suatu proposisi

    bahwa interaksi yang terjadi di akuntansi dan auditing dapat dipandang sebagai suatu

    sistem negosiasi besar. Pengertian negosiasi ini tidak dalam arti sempit seperti halnya

    negosiasi kontrak, pembelian rumah/mobil, dan sejenisnya. Murninghan dan Bazerman

    (1990) mendefinisikan negosiasi sebagai dua pihak atau lebih yang memiliki preferensi

    berbeda membuat keputusan secara bersama-sama yang dapat mempengaruhi welfare

    kedua belah pihak.

    Antle dan Nalebuff (1991) menggunakan game theory untuk menguji peran

    negosiasi auditor-klien dalam menghasilkan laporan keuangan klien. Model negosiasi

    dalam akuntansi telah dikembangkan oleh Gibbins et al. (2000) yang memuat beberapa

    fitur dasar semua sistem negosiasi. Model Gibbins terdiri dari 3 elemen, yaitu masalah

    (issue), proses auditor-klien dan outcome akuntansi. Salah satu bagian penting dari

    proses elemen dalam negosiasi untuk memecahkan perselisihan adalah strategi

    bargaining yang diadopsi oleh pihak-pihak yang terlibat (Gibbins, et al., 2000).

    Penelitian yang mencoba menyelidiki pemecahan konflik dengan

    mempertimbangkan faktor negosiasi dan strategi bargaining adalah penelitiannya

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    8

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Goodwin (2000). Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi negosiasi dan resolusi konflik

    dari perspektif perilaku (behavioral) dengan memfokuskan perselisihan dengan klien

    terkait dengan masalah-masalah laporan keuangan. Goodwin (2000) menggunakan gaya

    manajemen konflik sebagaimana yang digambarkan oleh Rahim (1995). Hasilnya

    menunjukkan bahwa auditor cenderung (sering) menggunakan gaya kolaborasi untuk

    memecahkan perselisihan. Bersaing dan kompromi digunakan pada tingkat yang lebih

    rendah, sedangkan akomodasi dan menghindar jarang sekali digunakan.

    Penelitian yang dilakukan oleh sarjana-sarjana akuntansi, telah menemukan

    pengaruh budaya terhadap pengembangan sistem dan praktik akuntansi di negara-

    negara yang berbeda di seluruh dunia. Mueller, et al. (1992) dalam Goowin (2000)

    mengikutsertakan daftar variabel-variabel lingkungan dan menjelaskan perbedaan-

    perbedaan dalam praktik-praktik akuntansi. Radebaugh dan Sydney (1997) dalam

    Goowin (2000) memperluasnya dan membuat sebuah framework yang menyeluruh

    (komprehensif) dalam usahanya menyatukan model lingkungan bisnis menjadi sebuah

    model akuntansi preliminari (preliminary accounting model).

    Gray (1988) dalam Goodwin (2000) membuat suatu usaha yang signifikan untuk

    mengembangkan sebuah model dengan mengidentifikasi mekanisme di mana nilai-nilai

    strata sosial terkait dengan sub budaya akuntansi, yang secara langsung mempengaruhi

    praktik-praktik akuntansi. Gray menggunakan dimensi-dimensi nilai sosial yang

    berdasarkan budaya Hofstede sebagai dasar analisisnya. Dia juga mengidentifikasi

    empat dimensi nilai sub-budaya akuntansi, yang juga terkait dengan nilai-nilai sosial,

    yaitu : professionalism, unifomity, conservatism dan secrecy.

    Salah satu dari perkembangan yang paling signifikan dalam kajian dan analisis

    terhadap sistem dan praktik akuntansi di berbagai negara yang berbeda adalah

    tumbuhnya kesadaran yang kian tinggi akan pentingnya faktor-faktor budaya dalam

    membentuk sistem dan praktik akuntansi di suatu negara. Hal ini mendorong usaha-

    usaha untuk mengidentifikasi faktor-faktor budaya yang relevan dan bagaimana faktor-

    faktor tersebut mempengaruhi dan membentuk sistem dan praktik akuntansi.

    Penelitian yang membandingkan preferensi resolusi konflik sampel kolektivis

    (orang Asia) dan individualis (orang Australia) telah dilakukan Fletcher, et al. (2000).

    Responden dari negara-negara Asia dan Australia telah melengkapi daftar pertanyaan

    Thomas-Kilmann MODE dan Triandis INDCOL. Analisis pendahuluan menunjukkan

    tidak adanya perbedaan skor individualisme dan kolektivisme dari sampel negara-

    negara Asia, yang kemudian dalam penelitian ini dikelompokkan bersama-sama. Hasil

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    9

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • analisis menunjukkan bahwa orang Asia lebih memilih kompromi dan menghindar

    daripada kolaborasi dan akomodasi, sebaliknya orang australia lebih memilih bersaing.

    Orang Asia dan Australia menunjukkan preferensi yang sama terhadap kompromi,

    namun orang Asia menunjukkan preferensi yang lebih kuat terhadap kompromi dan

    menghindar daripada orang Australia untuk segala strategi. Sedang pada dimensi kultur

    individuali-kolektivis ditemukan, Individualis lebih memilih menghindar dan

    berkompromi untuk akomodasi, sebaliknya kolektifis lebih menyukai semua strategi

    untuk bersaing. Sebagai tambahan, kolektivis menunjukkan preferensi yang lebih kuat

    untuk berkolabirasi, berkompromi dan akomodatif daripada individualis. Fletcher juga

    menemukan pengaruh individualise-kolektivisme terhadap gaya resolusi konflik.

    Hasil penelitian Michael W. Morris dan Ho-Ying Fu (2000) menyatakan bahwa

    para psikolog telah menggunakan beberapa pendekatan untuk memodelkan bagaimana

    budaya mempengaruhi cara para individualis melakukan negosiasi konflik

    interpersonal. Sebagian besar mendekati melalui pencarian sifat-sifat budaya, umum,

    orientasi nilai stabil yang memprediksi suatu keanekaragaman perilaku penyelesaian

    konflik menurut budaya tertentu.

    KKEERRAANNGGKKAA KKOONNSSEEPPTTUUAALL Dalam konteks organisasi, Hofstede (1994) menyebut kultur sebagai ...

    collective mental programming: it is that part of our conditioning that we share with

    other members of our nation, region, or group but not with members of other nations,

    regions, or groups. Definisi kultur ini menguatkan pendapat bahwa dimensi konflik

    auditor-klien bisa dilihat dari setting kultur (culture) tertentu. Lebih lanjut menurut

    Hofstede (1994), kultur bisa dikaji dari dimensi individualis-kolektivis. Individualisme

    dan kolektivisme ini bersangkut-paut dengan cara bagaimana anggota kelompok

    menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan kelompok.

    Hofstede (1994) menyatakan masyarakat di Asia mempunyai kecenderungan

    budaya kolektivisme, sedangkan masyarakat di Australia mempunyai kecenderungan

    budaya individualisme, Orang-orang Indonesia mempunyai index individualism pada

    urutan 47/48 dengan IDV Score 14, Orang-orang Australia mempunyai index

    individualism pada urutan 2 dengan IDV Score 90.

    Para individualis sering menempatkan sasaran personal di atas sasaran kelompok

    dan membuat konsesi (berkompromi) hanya jika diperlukan untuk memperoleh

    kesepakatan (Carnevale et al., 1996). Faktor ini menunjukkan karakterisitik individualis

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    10

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • dalam merespon konflik dengan cenderung lebih berkompetisi (competing), sejalan

    dengan pemikiran ini Rahim (1995) menemukan bahwa individualis lebih mungkin

    mengadopsi gaya resolusi konflik berkompetisi atau dominasi.

    Penelitian Goodwin (2000) yang dilakukan di Australia dan Selandia Baru

    dimana IDV scorenya menunjukkan kecenderungan individualis mendapatkan hasil

    bahwa auditor cenderung mengambil integrating (atau collaborating) dalam

    menghadapi konflik. Gaya ini disebutnya bersifat assertive sekaligus cooperative.

    Compromising dan dominating digunakan pada tingkat yang lebih rendah, sedangkan

    obliging dan avoiding jarang sekali digunakan.

    Penelitian Fletcher, et al., (2000) yang menganalisis resolusi konflik berdasarkan

    aspek budaya yang dimiliki menghasilkan: Orang-orang Australia secara fungsional

    cenderung berkompromi dan berkolaborasi, sedangkan, berkompromi dan menghindar

    secara fungsional ekuivalen untuk orang Asia. Kolektivis lebih memilih menghindar

    dan berkompromi daripada accommodating, sebaliknya responden yang cenderung

    berkultur Individualis lebih menyukai semua strategi untuk bersaing. Kolektivis

    menunjukkan preferensi yang lebih kuat untuk berkolabirasi, berkompromi dan

    akomodatif daripada individualis yang memilih akomodatif (Fletcher, et al., 2000).

    Berpijak dari konsep dan hasil penelitian Hofstede (1994), Goodwin (2000) serta

    pendapat dari (Fletcher, et al., 2000) di atas, maka penelitian ini mencoba melihat

    hubungan budaya dan preferensi resolusi konflik individu, yaitu dengan

    mempertimbangkan perbedaan antara preferensi resolusi konflik auditor yang

    cenderung individualis dengan auditor yang cenderung kolektivis. Untuk memberikan

    gambaran yang lebih jelas tentang uraian di atas, maka dibuatlah suatu kerangka

    konseptual yang bertujuan untuk memudahkan pemahaman tentang konsep yang

    digunakan dalam penelitian ini. Kerangka konseptual digambarkan dalam Lampiran.1.

    Hofstede (1994) yang membagi kultur menjadi 4 aspek budaya yaitu :

    individualism/collectivism, Large/Small Power Distance, Strong/Weak Uncertainty

    Avoidance dan Masculinity/Femininity, dalam penelitian ini akan diambil salah satu

    aspek saja yaitu individualism/collectivism dengan subyek penelitian adalah para auditor

    Dimana aspek budaya individualism/collectivism Hofstede (1994) akan dikaji lebih

    mendalam untuk mengetahui pengaruh budaya tersebut dalam resolusi konflik yang

    diambil para auditor. Resolusi konflik yang diambil didasarkan atas lima resolusi

    konflik yang diajukan oleh Thomas dan Kilmann (2001), yaitu menghindar, bersaing,

    kompromi, kolaborasi dan akomodasi,

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    11

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • PPEENNGGEEMMBBAANNGGAANN HHIIPPOOTTEESSIISS

    Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yaitu Hofstede (1994) ditemukan bahwa

    masyarakat di Australia mempunyai kecenderungan budaya individualis, sedangkan

    masyarakat di Asia termasuk Indonesia mempunyai kecenderungan kuat mempunyai

    kultur kolektivis.

    Penelitian Goodwin (2000) yang dilakukan di Australia dan Selandia Baru

    mendapatkan hasil bahwa auditor cenderung mengambil gaya resolusi konflik dengan

    gaya resolusi konflik kolaborasidan bersaing. Berdasarkan kedua penelitian tersebut

    dapat ditarik hipothesis alternatif

    H1 : Auditor yang individualis di tiga kota besar Indonesia (Malang, Surabaya

    dan Jakarta) akan cenderung memilih gaya resolusi konflik kolaborasi dan

    bersaing. Penelitian Fletcher, et al., (2000) yang menganalisis resolusi konflik berdasarkan

    aspek budaya yang dimiliki menghasilkan: Orang-orang Australia secara fungsional

    cenderung berkompromi dan berkolaborasi, sedangkan, berkompromi dan menghindar

    secara fungsional ekuivalen untuk orang Asia. Kolektivis lebih memilih menghindar

    dan berkompromi daripada akomodasi, sebaliknya responden yang cenderung berkultur

    Individualis lebih menyukai semua strategi untuk bersaing. Collectivism menunjukkan

    preferensi yang lebih kuat untuk berkolaborasi, berkompromi dan akomodatif daripada

    individualis yang memilih akomodatif (Fletcher, et al., 2000). Berdasarkan penelitian

    Fletcher, et al., (2000) tersebut dapat ditarik hipothesis alternatif

    H2: Auditor yang collectivism tiga kota besar Indonesia (Malang, Surabaya dan

    Jakarta) akan cenderung memilih gaya resolusi konflik kompromi dan

    Menghindar Penelitian yang membandingkan preferensi resolusi konflik sampel kolektivis

    (orang Asia) dan individualis (orang Australia) telah dilakukan Fletcher, et al. (2000).

    Responden dari negara-negara Asia dan Australia telah melengkapi daftar pertanyaan

    Thomas-Kilmann MODE dan Triandis INDCOL, dari hasil penelitian diperoleh pada

    dimensi kultur individuali-kolektivis ditemukan, individualis lebih memilih menghindar

    dan berkompromi untuk akomodasi, sebaliknya kolektivis lebih menyukai semua

    strategi untuk bersaing. Sebagai tambahan, kolektivis menunjukkan preferensi yang

    lebih kuat untuk berkolaborasi, berkompromi dan akomodatif daripada individualis.

    Fletcher, et al. (2000) juga menemukan pengaruh individualise-kolektivisme terhadap

    gaya resolusi konflik. Dari hasil penelitian tersebut dapat ditarik hipothesis alternatif

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    12

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • H3: Kecenderungan budaya (culture) Individualis-kolektivis yang dimiliki

    Auditor akan berpengaruh terhadap resolusi konflik yang diambil. Dimana aspek budaya individualism/collectivism Hofstede (1994) akan dikaji lebih

    mendalam untuk mengetahui pengaruh budaya tersebut dalam resolusi konflik yang

    diambil para auditor. Resolusi konflik yang diambil didasarkan atas lima resolusi

    konflik yang diajukan oleh Thomas dan Kilmann (2001), yaitu menghindar, bersaing,

    kompromi, kolaborasi dan akomodasi.

    METODE PENELITIAN

    Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah Akuntan yang bekerja di kantor akuntan

    publik sebagai auditor. Pemilihan sampel menggunakan kriteria sebagai berikut:

    Manajer, partner, atau supervisor audit yang telah menangani jasa audit minimal selama

    2 (dua) tahun. Kriteria tersebut untuk memastikan bahwa para auditor yang akan

    menjadi responden benar-benar kredibel dan telah memiliki pengalaman dalam

    melakukan proses audit yang besar kemungkinannya telah mengalami situasi konflik

    dengan klien. Domisili auditor dipilih 3 diantara kota besar di Indonesia, yaitu kota

    Malang, Surabaya dan Jakarta.

    Model pengambilan sampel yang digunakan adalah sampel secara acak, dimana

    setiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih menjadi anggota

    sampel. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode kluster (cluster sampling),

    sub populasi mewakili anggota sampel di setiap kota. Untuk menentukan jumlah sampel

    yang diambil digunakan rumus Slovin (Sugiyono, 1999), yang menyatakan jumlah

    minimal sampel yang dibutuhkan jika jumlah populasi diketahui :

    21 eNNn +=

    dimana, n = jumlah sampel, N = ukuran populasi, e = kelonggaran ketelitian karena

    kesalahan pengambilan sampel yang dapat ditolerir.

    Berdasarkan Direktori Anggota IAI Kompartemen Akuntan Publik, jumlah KAP

    yang ada di 3 kota : Malang, Surabaya dan Jakarta sebanyak 576. Jumlah sebaran

    auditor yang dijadikan populasi dalam penelitian ini ditunjukkan pada Tabel1.

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    13

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Tabel 1

    Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian

    No Kota KAP TOTAL

    POPULASI

    1 Malang 12 60

    2 Surabaya 83 415

    3

    Jakarta dan

    sekitarnya 451 2300

    TOTAL 576 2775

    Sumber : Directory IAI - KAP

    Dari rumus Slovin di atas dengan tingkat kelonggaran ketelitian sebesar 0.05 atau

    5%, didapatkan sejumlah 350 auditor sebagai sampel.

    Instrumen Penelitian

    Instrumen penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian

    ini adalah : (1) Kuisioner, merupakan seperangkat pertanyaan yang disusun untuk

    diajukan pada responden. Kuisioner ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi

    secara tertulis dari responden berkaitan dengan kultur yang dimiliki oleh auditor dan

    gaya resolusi konflik yang diambil auditor (2) Observasi, yaitu mengamati aktivitas

    auditor secara langsung dalam melaksanakan tugasnya. (3) Wawancara, yaitu

    melakukan diskusi/wawancara langsung dengan auditor.(4) Studi literatur, yaitu

    mempelajari dan mengumpulkan informasi dari buku-buku atau hasil-hasil penelitian

    yang berhubungan dengan kultur individualis dan kolektivis serta literatur tentang gaya

    resolusi konflik auditor.

    Variabel Penelitian Variabel bebas penelitian ini adalah : Merupakan adopsi dari instrumen Triandis

    INDCOL (Triandis et al., 1995) yaitu: Kultur Auditor yang terdiri dari individualise dan

    kolektivisme. Sedangkan variabel terikat : Merupakan adopsi dari instrument Thomas-

    Kilmann MODE (Goodwin, 2000) yaitu: Gaya resolusi konflik yang terdiri dari :

    menghindar, akomodasi, kolaborasi, kompromi, dan bersaing.

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    14

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Pengukuran Instrumen

    Instrumen yang menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data dengan

    memberikan sejumlah pertanyaan tertulis digunakan untuk memperoleh informasi yang

    diperlukan dari responden. Penelitian ini menggunakan skala likert.

    Uji Validitas dan Reliabilitas Uji validitas untuk mengetahui tingkat kevalidan dari instrumen kuisioner yang

    digunakan dalam pengumpulan data. Cara yang dilakukan adalah dengan analisa item,

    di mana setiap nilai total seluruh butir pertanyaan untuk suatu variabel dengan

    menggunakan rumus korelasi product moment (Sugiyono, 1999). Biasanya syarat

    minimum untuk dianggap memenuhi syarat adalah dengan r 0,3. Jadi apabila korelasi antara butir-butir dengan skor total kurang dari 0,3 maka butir dalam instrumen tersebut

    dinyatakan tidak valid.

    Jika alat ukur dinyatakan valid, selanjutnya reliabilitas alat ukur tersebut diuji.

    Reliabilitas adalah suatu nilai yang menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di

    dalam mengukur gejala yang sama. Untuk mengukur tingkat reliabilitas digunakan

    teknik dari Cronbach (Umar, 1997), karena instrumen pengukurannya merupakan

    rentangan antara beberapa nilai. Rumusan teknik Cronbach:

    )1(1 2

    2

    11t

    b

    kkr

    = dimana : r11 = reliabilitas instrumen, k = banyak butir pertanyaan

    t2 = varians total b2 = jumlah varian butir.

    Tarif signifikan digunakan 5%. Jika r hitung (r alpha) > r tabel, maka instrumen

    tersebut dinyatakan reliabel. Sebaliknya jika r alpha positif dan r alpha < r tabel maka

    buitr atau variabel tersebut tidak reliabel. Sugiyono (1999) menyebutkan bila r hitung (r

    alpha) > 0,600, maka instrumen tersebut dinyatakan reliabel. Arikunto (1989), tingkat

    reliabelitas instrumen bisa dilihat dari r hitung (r alpha))

    Teknik Analisis Data

    Sesuai dengan hipotesis yang diajukan, maka langkah dalam pengolahan data

    sebagai berikut :

    Pertama mengkategorikan kultur auditor ke dalam kecenderungan individualis atau

    kolektivis, dengan meminta responden melengkapi kuisioner INDCOL (Triandis, et al.,

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    15

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • 1995), Pada setiap variabel akan dihitung skor rata-rata berdasarkan item-item yang

    terbukti valid. Klasifikasi seorang auditor tergolong berkultur individualis atau

    kolektivis dilakukan dengan membandingkan rata-rata kedua skor. Seorang auditor

    diklasifikasikan berkultur individualis jika skor rata-rata individualis adalah lebih tinggi

    dari skor rata-rata kolektivis. Dan sebaliknya seorang auditor diklasifikasikan berkultur

    kolektivis jika skor rata-rata kolektivis adalah lebih tinggi dari skor rata-rata

    individualis.

    Kedua mengkategorikan gaya resolusi konflik auditor ke dalam kecenderungan:

    kolaborasi, kompromi, bersaing, menghindar dan akomodasi. Responden diminta

    melengkapi kuisioner Thomas-Kilmann MODE (Goodwin, 2000). Kemudian dihitung

    skor rata-rata untuk setiap item yang terbukti valid. Klasifikasi resolusi konflik

    dilakukan berdasarkan skor maksimal yang bisa dicapai pada setiap solusi, yaitu

    klasifikasi = maks {bersaing, kolaborasi, kompromi, menghindar, akomodasi)

    Ketiga, melakukan analisis tabulasi silang (crosstabulation) antara kultur dengan

    resolusi konflik dan penarikan kesimpulan dengan menggunakan uji chi square (2). Keempat, melakukan pemetaan hubungan dengan corresponden analysis

    Uji Chi Square (2)

    Uji chi square dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan antara dua

    variabel yang bersifat kategori. sm.

    Hipotesis statistik yang berhubungan dengan uji chi square ini adalah :

    H0 : Tidak ada hubungan antara kultur dengan resolusi konflik

    Ha : Ada hubungan antara kultur dengan resolusi konflik

    Statistik uji chi square adalah :

    ( )25 221 1

    ij ijhitung

    i j ij

    O EE

    = =

    = dengan

    Oij = jumlah frekuensi pada baris ke-i dan kolom ke-j

    Eij = nilai harapan pada baris ke-i dan kolom ke-j

    = ( )( )bi kjN N

    N

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    16

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Nilai 2hitung berdistribusi 2(;(baris-1)(kolom-1)) = 2tabel, H0 akan ditolak jika 2hitung > 2tabel,

    Correspondence Analysis Analisis ini merupakan pengembangan teknik analisis interdependensi yang

    menyediakan fasilitas pengurangan dimensi dan pemetaan. Hal ini bisa diklasifikasikan

    menjadi perceptual map yang didasarkan pada hubungan antara obyek dengan

    sekumpulan karakteristik atau attribut (Hair, 1995). Analisis correspondence ini

    dijalankan dengan menggunakan software SPSS untuk memetakan hubungan kultur

    dengan resolusi konflik.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Hasil Uji Kelayakan Instrumen

    Meskipun instrumen dalam peneletian ini sudah sering digunakan dan telah diuji

    validitas dan reliabilititasnya namun untuk keyakinan peneliti, dilakukan uji ulang

    kelayakan instrumen. Hasil uji korelasi untuk semua instrumen baik variabel kultur

    maupun variabel resolusi konflik menunjukkan r > 0,3 ini menujukkan hubungan

    instrumen dengan variabel yang diukur tinggi dan instrumen valid untuk digunakan.

    Hasil uji reliabilitas baik pada item-item untuk kultur auditor maupun resolusi

    konflik memiliki nilai lebih dari 0,6. Kehandalan instrumen pada kultur auditor berkisar

    antara 0,6014 0,7349 sedangkan pada resolusi konflik dapat dicapai hingga 0,6584.

    Sehingga tingkat kehandalan instrumen yang ada adalah dapat diterima.

    Kultur Auditor Kultur auditor terbagi atas dua kelompok yaitu individualis dan kolektivis. Pada

    12 item kultur auditor individualis yang ada pada kuisioner, hanya 11 item yang dapat

    digunakan untuk menghitung skor kultur individualis. Rata-rata skor yang diperoleh

    adalah 3,69 dengan rentang skor antara 2,64 4,09. Sedangkan pada 14 item kultur

    auditor kolektivis yang ada pada kuisioner, seluruhnya dapat digunakan untuk

    menghitung skor kultur kolektivis. Rata-rata skor yang diperoleh adalah 3,69 dengan

    rentang skor antara 2,64 4,09.

    Secara deskiptif nilai rata-rata kultur individualis adalah lebih tinggi dari

    kolektivis. Hasil perbandingan kedua skor diperoleh ada 96 auditor dengan skor

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    17

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • individualis lebih tinggi dari kolektivis, sedangkan 211 auditor lainnya memiliki skor

    kolektivis yang lebih tinggi dari individualis. Sehingga dapat diperoleh bahwa 31,3%

    auditor dari Malang, Surabaya dan Jakata yang diteliti berkultur individualis dan 68,7%

    lainnya berkultur kolektivis.

    Resolusi Konflik

    Resolusi konflik terbagi atas lima pilihan yaitu kolaborasi, kompromi, bersaing,

    akomodasi dan menghindar. Pada 7 item resolusi konflik kolaborasi yang ada pada

    kuisioner, seluruhnya dapat digunakan untuk menghitung skor resolusi konflik

    kolaborasi. Rata-rata skor yang diperoleh adalah 4,28 dengan rentang skor antara 3,14

    4,71. Pada resolusi konflik kompromi 4 item yang ada pada kuisioner, seluruhnya dapat

    digunakan untuk menghitung skor resolusi konflik kompromi. Rata-rata skor yang

    diperoleh adalah 3,83 dengan rentang skor antara 2,75 5,00. Pada resolusi konflik

    bersaing hanya 4 item pada kuisioner yang dapat digunakan untuk menghitung skor

    resolusi konflik bersaing. Rata-rata skor yang diperoleh adalah 3,82 dengan rentang

    skor antara 2,50 4,75. Resolusi konflik akomodasi diukur dengan 4 item dengan rata-

    rata skor adalah 3,56 dengan rentang antara 2,20 4,80. Sedangkan pada resolusi

    konflik menhindar yang diukur dengan 6 item dipeoleh rata-rata skor sebesar 3,51

    dengan rentang antara 2,17 4,50.

    Secara deskiptif nilai rata-rata dari tertinggi hingga terendah adalah resolusi

    kolaborasi, bersaing, kompromi, akomodasi dan menghindar. Klasifikasi resolusi

    konflik yang dipilih oleh seorang auditor didasarkan pada skor maksimal yang ada pada

    kelima resolusi kohnflik. Selanjutnya diperoleh hasil bahwa 43,3% auditor dari Malang,

    Surabaya dan Jakata yang diteliti lebih banyak memilih resolusi konflik kolaborasi,

    28,3% bersaing, 13,4% kompromi, 10,4% menghindar dan 4,6% akomodasi.

    Hubungan Kultur dengan Resolusi Konflik Berdasarkan hasil klasifikasi yang dilakukan terhadap kultur dan resolusi

    konflik, selanjutnya dibuat tabulasi silang. Di kelompok auditor yang individualis

    seluruh resolusi dipilih untuk menyelesaikan konflik. Dari 96 audiotor di kelompok ini,

    sebagian besar memilih bersaing (37,5%) dan menghindar (29,2%). Kultur individualis

    nampaknya sangat menghindari resolusi konflik dengan akomodasi, hal ini nampak

    jelas karena hanya ada 2,1% auditor individualis yang memilih akomodasi. Resolusi

    lainnya yang dipilih adalah kolaborasi (13,5%) dan kompromi (17,7%).

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    18

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Karakter yang berbeda ada pada kelompok auditor yang kolektivis. Dari 211

    audiotor di kelompok ini, sebagian besar memilih kolaborasi (56,9%) dan bersaing

    (24,2%). Kultur kolektivis nampaknya sangat menghindari resolusi konflik dengan

    menghindar, hal ini nampak jelas karena hanya ada 1,9% auditor kolektivis yang

    memilih menghindar. Resolusi lainnya yang dipilih adalah kompromi (11,4%) dan

    akomodasi (5,7%).

    Hasil uji 2 (pada lampiran 1) dengan nilai sebesar 83,669 dan p-value 0,000 telah menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kultur auditor dengan

    resolusi konflik. Di kelompok individualis kecenderungan kuat untuk memilih bersaing,

    sedangkan kelompok kolektivis lebih memilih kolaborasi. Tingkat korelasi antara

    kultur auditor dengan resolusi konflik dihitung dengan koefisien korelasi phi dan

    menghasilkan nilai sebesar 0,522.

    Eksplorasi hubungan kultur auditor dengan resolusi konflik dipetakan dengan

    menggunakan correspondence analysis. Gambar menunjukkan perceptual mapping

    berdimensi 2. Pemetaan yang dihasilkan oleh correspondence analysis adalah tidak jauh

    berbeda dengan hasil tabulasi silang yang ada pada lampiran 2. Dalam peta ini kultur

    individualis sangat dekat dengan resolusi konflik menghindar, sedangkan pada kultur

    kolektivis lebih memilih kolaborasi.

    Beberapa resolusi konflik dipilih oleh kedua kultur auditor seperti akomodasi,

    bersaing dan kompromi. Dari perceptual mapping resolusi akomodasi lebih dekat

    dengan kultur kolektivis, sedangkan kompromi dan bersaing lebih dekat dengan kultur

    individualis.

    PEMBAHASAN

    Kultur Auditor Kultur merujuk pada sekumpulan nilai, norma, dan keyakinan yang dibagi

    bersama dalam sebuah kelompok atau organisasi. Berdasarkan tingkat kohesivitasnya,

    kultur dibagi menjadi dua orientasi, yaitu: individualis dan kolektivis. Perbedaan atas

    dimensi kultur individualis-kolektivis berhubungan dengan faktor-faktor lingkungan

    geografi, ekonomi, demografi, dan variabel sejarah (Hofstede, 1994).

    Indonesia beserta sebagian besar negara-negara di Asia mempunyai

    kecenderungan bersikap kolektivia, sebagaimana juga dihasilkan dalam penelitian ini,

    pada Tabel 4.5, responden yang berprofesi sebagai auditor juga mempunyai

    kecenderungan bersikap kolektivias. Kecenderungan ini melebihi kecenderungan

    responden dalam memilih kultur individualis. Rata-rata nilai pilihan kolektivis adalah

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    19

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • 4,06 sedangkan rata-rata nilai pilihan individualis adalah 3,69. Temuan di atas konsisten

    dengan apa yang dipetakan oleh Hofstede (1994) dan Fletcher (2000) di mana orang

    Asia, termasuk Indonesia, mempunyai kecenderungan kolektivis.

    Budaya kolektivis di Indonesia dapat dipandang dari cara menyelesaikan atau

    memecahkan sesuatu permasalahan, yaitu dengan musyawarah. Dalam kehidupan

    sehari-hari masyarakat di Indonesia mempunyai ciri-ciri yaitu terbiasa untuk hidup

    dalam harmoni. Masyarakat Indonesia tidak terbiasa untuk mengatakan tidak. Jika

    diperintahkan untuk mengerjakan sesuatu selalu mengatakan Ya. Hal tersebut

    menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia cenderung untuk menghindari terjadinya

    konfrontasi.

    Kolektivis adalah individu yang mendefinisikan dirinya sebagai bagian yang tidak

    terpisah dari kelompok atau individu lainnya. Individualis adalah individu yang

    mendefinisikan dirinya sebagai bagian yang terpisah dari kelompok atau individu

    lainnya. Seorang individualis sangat menghargai kebutuhan dan kepentingan individu di

    atas kepentingan kelompok. Kultur ini berupaya mendiferensiasi dirinya dari yang lain

    dan menempatkan tujuan individu sebagai segala-galanya.

    Dimensi Kultur Kolektivis-Individualis dan Gaya Resolusi Konflik Auditor

    Dalam penelitiannya tentang konflik peranan (role conflict) yang dialami oleh

    para auditor di Korea, Chi dan Ho (1999) menemukan bahwa para auditor di Korea

    menghadapi suatu situasi konflik peranan yang substansial. Konflik tersebut muncul

    karena para auditor ini mencoba untuk tetap menjaga norma-norma profesional mereka,

    namun pada saat yang bersamaan juga tetap memperhatikan keinginan para manajer

    dari perusahaan milik klien mereka.

    Chi dan Ho (1999) menyatakan bahwa, konflik peranan ini terjadi ketika peran

    yang saling bertentangan diminta untuk dijalankan oleh satu individu dalam sebuah

    organisasi. Dengan dihadapkan pada ekspektasi yang mutually exclusive, maka individu

    yang bersangkutan akan mengalami suatu konflik peranan dan tidak dapat membuat

    suatu judgment yang layak tentang peranan mana yang harus ia puaskan. Dalam konteks

    auditor, konflik peranan ini terjadi karena auditor harus memuaskan kebutuhan sosial

    dari pihak ketiga di samping kebutuhan dari perusahaan (Chi dan Ho, 1999; mengutip

    Rizzo et al., 1970 serta Sorenson dan Sorenson, 1974). Jika salah satu pihak terpenuhi

    keinginannya, maka pihak yang lain akan tertinggalkan. Ketika pihak ketiga

    mengharapkan auditor untuk dapat menemukan dan melaporkan kecurangan dalam

    penyajian laporan keuangan serta untuk memonitor para manajer, maka sebaliknya

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    20

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • manajer menginginkan bahwa para auditor membiarkan saja manipulasi yang mereka

    temukan dalam laporan keuangan. Keinginan kedua belah pihak yang saling

    bertentangan ini tidak dapat dipenuhi secara bersama-sama, sehingga di sini para auditor

    harus menentukan pilihan.

    Riset ini dilakukan untuk memperoleh bukti empiris, bagaimana para auditor di

    tiga kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Malang) memposisikan diri mereka,

    serta resolusi konflik apakah yang mereka pilih ketika dihadapkan pada kondisi

    ekspektasi yang oleh Chi dan Ho (1999) disebut sebagai mutually exclusive seperti

    tersebut di atas. Hasil yang diperoleh dan disajikan pada subbagian Hasil, ternyata

    melaporkan bahwa auditor di tiga kota besar di Indonesia cenderung meresolusi konflik

    dengan gaya kolaborasi dan bersaing, diikuti oleh kompromi dengan tingkat

    kecenderungan yang lebih rendah. Hasil ini konsisten dengan temuan Goodwin (2000)

    yang melaporkan bahwa auditor di New Zealand dan Australia (yang dipetakan oleh

    Hofstede (1994) sebagai individualis) cenderung memilih strategi resolusi konflik

    kolaborasi, dengan bersaing, namun berbeda dengan perolehan Fletcher et al.(2000)

    yang melaporkan bahwa kelompok kolektivis (umumnya orang-orang Asia, termasuk

    Indonesia) cenderung meresolusi konflik dengan gaya kompromi dan akomodasi.

    Temuan yang berbeda dengan Fletcher et al.(2000) ini dapat dijelaskan, secara

    spekulatif, bahwa kelompok profesi auditor memiliki preferensi yang berbeda dengan

    umumnya kelompok di luar profesi auditor. Fletcher et al.(2000) melakukan studi

    terhadap kelompok mahasiswa S1, sedangkan Goodwin (2000), sebagaimana riset ini,

    melakukan studi secara spesifik terhadap kelompok profesi auditor. Chi dan Ho (1999)

    menyatakan bahwa auditor memiliki konflik peranan yang tidak ditemukan pada

    kelompok profesi lainnya. Situasi demikian memaksa auditor untuk memilih resolusi

    yang bisa memuaskan kedua belah pihak (kolaborasi); dan jika berada pada situasi yang

    tidak memungkinkan untuk memuaskan kedua belah pihak tersebut, maka dipilih

    resolusi yang akan memberikan pengorbanan (cost) paling kecil sebagaimana

    diimplikasikan oleh teori transaction costs economics dari Williamson (Morrill dan

    Morrill, 2003; Pitelis dan Pseiridis, 1999; Covaleski et al., 2003; Martinez dan Dacin,

    1999; Hobbs, 1996). Teori tersebut menyatakan bahwa suatu pihak akan cenderung

    memilih transaksi yang memberikan konsekuensi biaya paling rendah. Dengan

    demikian adalah logis jika auditor mengambil pilihan resolusi bersaing dalam

    konfliknya dengan klien, ketika kondisi kolaborasi tidak dapat dicapai. Ini mudah

    dipahami jika kita mengasumsikan bahwa auditor menganggap sanksi yang akan

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    21

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • diperolehnya dari asosiasi profesi serta konsekuensi hukum yang akan dihadapinya

    merupakan biaya yang terlalu tinggi jika dibandingkan dengan suatu kondisi ekstrim

    yang mengharuskan mereka kehilangan satu klien.

    Analisis lebih lanjut dengan memilah auditor berdasarkan kecenderungan kultur

    kolektivis-individualis, memperoleh hasil yang menyatakan bahwa auditor dengan

    kultur individualis cenderung meresolusi konflik mereka dengan gaya bersaing dan

    menghindar, diikuti oleh kompromi dan memiliki kecenderungan yang kecil terhadap

    akomodasi. Temuan ini tidak sejalan dengan Hipotesis 1 bahwa auditor dengan kultur

    individualis akan cenderung memilih gaya konflik kolaborasi dan kompetisi. Auditor

    dengan kultur kolektivis, dilaporkan cenderung meresolusi konflik mereka dengan gaya

    kolaborasi dan bersaing, diikuti pada urutan selanjutnya oleh kecenderungan gaya

    kompromi. Perolehan ini juga tidak sejalan dengan Hipotesis 2 bahwa auditor yang

    kolektivis akan cenderung memilih gaya resolusi konflik compromising dan

    accommodating.

    Hasil-hasil tersebut di atas memang berbeda dengan perolehan Fletcher et al.

    (2000) yang melaporkan bahwa kelompok individualis cenderung bergaya resolusi

    compromising dan avoiding, disusul dengan competing; sedangkan kelompok kolektivis

    lebih berpreferensi terhadap compromising dan accommodating yang diikuti oleh

    avoiding. Namun hasil yang diperoleh dalam riset ini justru konsisten dengan premis

    dari kerangka yang dikembangkan oleh Hofstede (Hofstede dan Bond, 1979), bahwa

    kultur individualist lebih mengarah atau cenderung mengedepankan kepentingan

    individu daripada kelompok. Tujuan individu menjadi tujuan utama dibandingkan

    dengan tujuan kelompok, sedangkan kultur collectivist cenderung untuk lebih

    mengutamakan kepentingan atau tujuan grup/kelompok. Keterikatan dalam grup

    menjadi hal utama dalam kultur collectivist. Kerangka pemahaman seperti ini dapat

    menjelaskan, mengapa para auditor dengan kultur individualis cenderung memilih gaya

    resolusi konflik yang competing sebagai perwujudan perwatakan egosentrisme dalam

    kultur individualis; sedangkan kecenderungan kedua untuk avoiding dapat dipahami

    sebagai sebuah pilihan oleh auditor dalam bentuk pengunduran diri dari penugasan audit

    ketika berhadapan dengan kondisi konflik karena tidak dapat menegakkan independensi

    (misalnya) sebagai auditor.

    Temuan pada kelompok auditor dengan kultur kolektivissebagai jumlah

    mayoritas dalam populasi responden (211 orang dari 307 responden)telah selaras

    dengan temuan Goodwin (2000). Sedikit catatan adalah Goodwin (2000) tidak membuat

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    22

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • pembedaan kultur atas gaya resolusi konflik auditor yang distudinya di New Zealand

    dan Australia tersebut. Secara umum temuan ini mengindikasikan bahwa kelompok

    profesi auditor memang menghadapi situasi konflik peranan yang membuatnya berbeda

    dalam meresolusi konfliknya dibandingkan dengan kelompok (profesi/masyarakat)

    lainnya sebagaimana telah didiskusikan di atas.

    Hasil analisis korespondensi (correspondence analysis) meskipun tidak jauh

    berbeda dengan hasil cross tabulation yang sudah dibahas di atas, tetapi bisa digunakan

    untuk menjelaskan persamaan hasil penelitian ini dengan temuan Fletcher et al. (2000).

    Dari pemetaan kultur individualis-kolektivis dan resolusi konflik menunjukkan

    kedekatan kultur individualis dengan resolusi avoiding dibanding kultur kolektivis dan

    kultur kolektivis lebih dekat dengan collaborating dibanding individualis, temuan ini

    menunjukkan karakter kecenderungan individualiskolektivis terhadap resolusi konflik

    yang secara ektrim bisa dipakai untuk membedakan keduanya. Hal ini bisa juga dilihat

    dari temuan Fletcher et al. (2000) yang menyimpulkan individualis lebih memilih

    avoiding dan berkompromi untuk accommodating dan kolektivis menunjukkan

    preferensi yang lebih kuat untuk collaborating dari pada individualis.

    Pengaruh Dimensi Kultur Kolektivis-Individualis terhadap Gaya Resolusi Konflik

    Auditor.

    Hasil uji Chi-Square yang menunjukkan nilai sebesar 83,669 dan p- value 0,000

    merupakan bukti adanya pengaruh yang signifikan antara kelompok auditor yang

    cenderung individualis dengan auditor yang kolektivis dalam meresolusi konfliknya.

    Hasil ini mendukung Hipotesis 3 bahwa kecenderungan budaya (kultur) individualis-

    kolektivis yang dimiliki auditor akan berpengaruh terhadap resolusi konflik yang

    diambil.

    Hasil di atas meskipun tidak menunjukkan kultur individualis-kolektivis

    merupakan variabel utama yang mempengaruhi resolusi konflik, dan masih ada variabel

    lain yang saling berinteraksi dalam mempengaruhi resolusi konflik, seperti yang telah

    dibahas di point 4.2.3, namun temuan ini konsisten dengan temuan-temuan sebelumnya

    yang menunjukkan adanya pengaruh kultur dengan resolusi konflik seperti Doo (1973),

    Goh (1996), March (1988), dan Fletcher et al. (2000). Secara keseluruhan temuan-

    temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan individualis-kolektivis

    dapat mencakup salah satu dari beberapa perbedaan budaya terhadap gaya resolusi

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    23

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • konflik, dimana budaya menjalankan suatu pengaruh terpisah dan unik terhadap

    preferensi resolusi konflik (Fletcher et al., 2000).

    PENUTUP

    Simpulan

    Sepanjang pengetahuan Peneliti tidak banyak studi yang dilakukan oleh para

    peneliti di Indonesiadi bidang audit dan akuntansi pada umumnyayang

    mengaitkannya dengan budaya. Dengan demikianmeskipun tidak besarriset ini

    diharapkan dapat memberikan kontribusinya dalam mengeksplorasi preferensi auditor

    sehubungan dengan gaya resolusi konflik mereka berdasarkan kultur yang

    melingkupinya.

    Konflik dalam organisasi dapat menimbulkan masalah serius. Konflik yang tidak

    ditangani dengan baik dapat menciptakan keresahan yang pada tingkat paling parah

    menimbulkan terganggunya mekanisme kerja dalam organisasi. Namun di sisi lain,

    konflik juga dapat memberikan dampak positif, seperti meningkatnya gairah kerja

    akibat adanya persaingan kerja, termasuk meningkatkan keefektifan kerja kelompok

    (Esquivel dan Kleiner, 1996). Konflik antara auditor dan klien baru muncul saat auditor

    sebagaimana ketentuan profesi harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada

    stakeholders yang bisa jadi berbeda dengan kepentingan manajemen yang diaudit

    (auditee).

    Hasil yang diperoleh penelitian ini menunjukkan bahwa auditor di 3 kota besar

    Malang, Surabaya dan Jakarta, cenderung bersifat collectivist, yang dipilih oleh sekitar

    68,7% responden dan 31,3% cenderung bersikap individualis. Hasil ini memperkuat

    temuan Fletcher et al. (2000) dan Hofstede (1994) bahwa umumnya orang-orang Asia,

    termasuk Indonesia, cenderung bersikap kolektivis.

    Hasil eksplorasi terhadap gaya resolusi konflik yang dipilih oleh auditor juga

    konsisten dengan perolehan Goodwin (2000). Sebagian besar (43,3%) auditor dari

    Malang, Surabaya dan Jakarta yang diteliti lebih banyak memilih resolusi konflik

    kolaborasi, sedangkan 28,3% cenderung memilih sikap bersaing, 13,4% lebih memilih

    kompromi, 10,4% bersikap menghindar, dan 4,6% akomodasi. Terdapat preferensi kuat

    dari auditor untuk tidak memilih gaya konflik akomodasi dan menghindar.

    Kultur yang dimiliki oleh auditor berpengaruh sangat nyata terhadap resolusi

    konflik yang diambil oleh auditor. Di kelompok auditor yang individualis, dari 96

    auditor di kelompok ini, sebagian besar memilih bersaing (37,5%) dan menghindar

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    24

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • (29,2%). Kultur individulis nampaknya sangat menghindari resolusi konflik dengan

    akomodasi, hal ini nampak jelas karena hanya ada 2,1% auditor individualis yang

    memilih akomodasi. Resolusi lainnya yang dipilih adalah kolaborasi (13,5%) dan

    kompromi (17,7%).

    Karakter yang berbeda ada pada kelompok auditor yang kolektivis. Dari 211

    auditor di kelompok ini, sebagian besar memilih kolaborasi (56,9%) dan bersaing

    (24,2%). Kultur kolektivis nampaknya sangat menghindari resolusi konflik dengan

    menghindar, hal ini nampak jelas karena hanya ada 1,9% auditor kolektivis yang

    memilih menghindar. Resolusi lainnya yang dipilih adalah kompromi (11,4%) dan

    akomodasi (5,7%).

    Hasil temuan riset ini sekilas berbeda dengan Fletcher et al.(2000) yang

    melaporkan bahwa kelompok kolektivis cenderung meresolusi konflik dengan gaya

    kompromi dan akomodasi, namun pada sisi yang lain, hasil analisis korespondensi

    (correspondence analysis) pada Gambar 4.1 meskipun tidak jauh berbeda dengan hasil

    cross tabulation (tabel 4.7) dapat digunakan untuk menjelaskan persamaan hasil

    penelitian ini dengan temuan Fletcher et al. (2000). Dari pemetaan kultur individualis-

    kolektivis dan resolusi konflik menunjukkan kedekatan kultur individualis dengan

    resolusi menghindar dibanding kultur kolektivis; dan kultur kolektivis lebih dekat

    kepada resolusi kolaborasi dibanding individualis. Temuan ini menunjukkan

    kecenderungan individualiskolektivis terhadap resolusi konflik yang secara ekstrim

    bisa dipakai untuk membedakan keduanya. Hal ini bisa juga dilihat dari temuan

    Fletcher et al. (2000) yang menyimpulkan bahwa individualis lebih memilih

    menghindar dan berkompromi untuk akomodasi sedangkan kolektivis menunjukkan

    preferensi yang lebih kuat untuk kolaborasi ketimbang para individualis.

    Implikasi Hasil yang diperoleh penelitian ini, dengan tetap memperhatikan keterbatasan-

    keterbatasannya, menampilkan pemetaan preferensi auditor dalam meresolusi

    konfliknya dengan klien berdasarkan pendekatan kultural. Ia menunjukkan bahwa ada

    kecenderungan terhadap strategi resolusi tertentu yang melatarbelakangi keputusan

    seorang auditor dalam mengani konfliknya dengan auditee. Namun di luar itu para

    auditor ini diharapkan tetap mampu memberikan keyakinan dan jaminan (assurance)

    kepada para pengguna laporan keuangan bahwa mereka telah menggunakan seluruh

    prosedur yang diperlukan untuk sampai kepada opini yang mereka nyatakantermasuk

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    25

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • untuk memberikan judgment secara profesional dan tidak mendasarkan keputusan

    judgment pada hal-hal di luar profesionalisme auditorberkaitan dengan konflik yang

    ditemui dalam setiap penugasan audit.

    Dukungan asosiasi profesionalmisalnya IAI-KAPjuga amat dibutuhkan

    dalam upaya untuk mengikis konflik atau pun kesenjangan ekspektasi antara auditor

    dengan para pengguna laporan keuangantermasuk manajemen auditeedalam

    penugasan audit pada umumnya. Untuk itu agaknya harus ada gerakan saling mendekat

    dari dua pihak. Asosiasi tidak boleh segan untuk meminta masukan dari para akuntan

    pendidik dan periset untuk melakukan riset-riset yang mendukung pemahaman yang

    lebih baik serta pengembangan mutu standar, teknik, maupun disiplin akuntansi dan

    audit itu sendiri; serta mendorong para akuntan praktisi anggota asosiasi untuk lebih

    berperan aktif dalam mendukung riset-riset yang dilakukan oleh akuntan

    pendidik/peneliti di mana akuntan praktisi dilibatkan sebagai partisipan atau responden.

    Dari sisi yang lain, akuntan pendidik/peneliti hendaknya juga tidak berlaku eksklusif

    dengan lebih banyak menghasilkan riset dan studi yang aplikatif dan (bahasa) yang

    mudah dipahami oleh komunitas akuntan di luar mereka.

    Keterbatasan Beberapa keterbatasan harus menjadi perhatian untuk menafsirkan hasil penelitian

    ini. Pertama, penelitian ini bisa jadi mengandung bias akibat penetapan responden

    (auditor) yang berpartisipasi dalam riset dengan beragam posisi pada KAP masing-

    masing, mekipun posisi terbesar dari mereka adalah staf audit. Hal ini sebagai

    konsekuensi dari metode sampling yang purposive sekaligus convenience yang

    diterapkan dalam riset ini. Peneliti memang memberikan batasan bahwa partisipan

    harus telah menjalankan profesi sebagai auditor lebih dari dua tahun pada KAP. Namun

    berkaitan dengan masalah yang diriset (konflik auditor dengan auditee), agaknya akan

    lebih sesuai jika para responden penelitian ini adalah para akuntan yang berposisi

    sebagai partner atau mereka yang berhak mengambil keputusan berkait dengan konflik

    antara KAP dengan kliennya, bahkan tanpa memperhatikan lamanya pengalaman

    sebagai auditor.

    Kedua, partisipan atau responden dalam riset ini diharapkan orang-orang yang

    benar-benar mengetahui dan dapat menghayati permasalahannya. Oleh karena itu

    penentuan calon responden tidak dilakukan secara sepenuhnya acak, melainkan dengan

    cara disengaja (purposive), dalam hal ini auditor dengan masa kerja di atas dua tahun.

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    26

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Ketiga, perolehan data dengan menggunakan metode mail survey tidak

    memungkinkan adanya konfirmasi atas jawaban beberapa responden yang dianggap

    ambigu. Terutama kepada partisipan yang tidak menuliskan nama diri atau identitas

    organisasinya secara lengkap karena alasan kerahasiaan.

    Keempat, penelitian ini membatasi hanya pada pengaruh salah satu dimensi kultur

    yaitu dimensi individualis dan kolektivis terhadap gaya resolusi konflik auditor,

    meskipun bisa jadi dimensi kultur yang lain (masculinity-femininity, power distance dan

    strong-weakness uncertainty avoidance) bahkan mungkin variabel lain di luar kultur

    seperti law enforcement, fee audit juga mempunyai pengaruh terhadap gaya resolusi

    konflik auditor.

    Kelima, dalam proses analisa data dilakukan pengkatagorian auditor dalam

    katagori kultur individualis-kolektivis, serta gaya resolusi konflik yang diambil kedalam

    katagori kolaborasi, bersaing, kompromi, akomodasi dan menghindar. Proses tersebut

    dilakukan dengan menurunkan skala pengukuran data dari interval ke katagori. Akibat

    penurunan skala ini tentunya mengakibatkan hasil analisanya menjadi kurang kuat

    (kurang robust)

    Saran Penelitian ini menganalisis preferensi auditor dalam resolusi konflik dengan

    responden yang terdiri dari auditor dengan beragam posisi di KAP masing-masing saat

    mereka diminta mengisi kuesionernya. Ada ekspektasi bahwa konfigurasi yang

    demikian akan dapat memperkaya nuansa judgment yang diberikan oleh para auditor

    partisipan, namun sesungguhnya yang ingin ditangkap dalam studi ini adalah judgment

    yang diberikan oleh auditor berkaitan dengan resolusi atas konflik natara KAP/auditor

    dengan pihak klien. Dengan demikian, mungkin akan diperoleh hasil yang berbeda jika

    dilakukan penelitian dengan partisipan yang murni terdiri dari auditor yang benar-benar

    berposisi sebagai partner atau decision maker di KAP.

    Masalah dalam riset ini pun akan menarik jika didekati dengan metodologi riset

    yang non-mainstream. Oleh karena masalah budaya dalam topik riset ini akan dapat

    dikaji lebih mendalam dan mungkin lebih sesuai jika dibedah dengan alat-alat analisis

    dari genre non-mainstream. Dengan demikian, para peneliti di bidang audit dan

    akuntansi pada umumnya didorong untuk mengaplikasikannya dalam riset dengan

    kajian masalah budaya ini.

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    27

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Studi lain yang dapat direkomendasikan ialah dengan mengkaji lebih jauh aspek

    individualism-collectivism dari Hofstede (1994) dengan menambahkan kajian terhadap

    pengaruh dari tiga dimensi lainnya, yaitu Masculinity-Femininity, Power Distance dan

    Strong-weakness Uncertainty Avoidance.

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    28

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • DAFTAR PUSTAKA Antle, R, dan B. Nalebuff, 1991, Conservatism and Auditor-Client Negotiations,

    Journal of Accounting Research 29 (Supplement): 3154. Bazerman, M., K. Morgan, dan G. Loewenstein, 1991, The Impossibility of Auditor

    Independence, Sloan Management Review (Summer): 8994. Bernardi, Richard A. 1994. Fraud Detection: The Effect of Client Integrity and

    Competence and Auditor Cognitive Style. Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol.13, Supplement.

    Bernardi, Richard A. 1994. Reply: Fraud Detection: The Effect of Client Integrity and Competence and Auditor Cognitive Style. Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol.13, Supplement.

    Burhan, N., Gunawan, Marzuki, Statistik Terapan Untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002.

    Chi, Mo Koo dan Ho Seog Sim. 1999. On The Role Conflict of Auditors in Korea. Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 12 No. 2, hal. 206-219.

    Cohen, R. (1991). Negotiation across cultures. Washington, D.C.: U.S. Institute of Peace.

    Covaleski, M.N, Dirsmith, M.W, Samuel, Sajay, 2003, Change in the institucional environment and the institutions of governance: extending the contributions of transaction cost economicc within the management control literatura, Accounting, Organizations and Society : 28 (2003), 417-441.

    Davidson, A. Scott. 1994. Discussion of: Fraud Detection: The Effect of Client Integrity and Competence and Auditor Cognitive Style. Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol.13, Supplement.

    De Cieri, H & Dowling, PJ. 1997. Strategic international human resource management: aAn Asia-Pasific perspective Management International Review, 37 (1) (Special Issue): 21-42.

    De Ruyter, Ko, dan Martin Wetzels. 1999. Commitment in Auditor-Client Relationships: Antecedents and Consequences. Accounting, Organizations and Society, Vol. 24, Issue 1, Januari, hal. 57-75

    DiPaola, M. dan W. Hoy, 2001, Conflict and Change: Five Dimensions on School Leadership, AERA Presentation, April

    Doo, L. (1973). Dispute settlement in Chinatown. Cambridge, Mass: Harvard Law Esquivel, M. A., dan B. H. Kleiner, 1996, The Importance of Conflict in Workteam

    Effectiveness, Empowerment in Organizations, Vol. 4, No. 4: 10-15. Falk, H., B. Lynn, S. Mestelman, dan M. Shehata, 1999, Auditor Independence, Self-

    Interested Behavior and Ethics: Some Experimental Evidence, Journal of Accounting and Public Policy 18: 395428.

    Fletcher, L., M. Olekalns, dan H. DeCieri, 2000, Cultural Differences in Conflict Resolution: Individualism and Collectivism in the Asia-Pasific Region, Working Paper in OS, The University of Melbourne. http://www.ecom.unimelb.edu.au/

    Francis, Jere R., dan Daniel T. Simon. 1987. A Test of Audit Pricing in the Small-Client Segment of the U.S. Audit Market. The Accounting Review, Vol.LXII, No.1, Januari.

    Geertz, C., 1973, Interpretation of Cultures. New York: Basic Books Gelfand, M.J., and Dyer, N. (2000). A cultural perspective on negotiation: Progress,

    pitfalls, and prospects. Applied Psychology: An International Review, 49(1), 62-99.

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    29

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • Gibbins, M., S. Salterio, dan A. Webb, 2000, Evidence about AuditorClient Management Negotiation Concerning Clients Financial Reporting, Journal of Accounting Research 2001 (forthcoming).

    Goh, B.C. (1996). Negotiating with the Chinese. Brookfield, VT: Dartmouth Publishing.

    Goodwin, J., 2000, Resolving AuditorClient Conflicts Concerning Financial Statement Issues, Working Paper, http://www.ssrn.com/

    Hair, J. F., R. E. Anderson, R. L. Tatham, dan W. C. Black, 1992, Multivariate Data Analysis With Readings. New York: Macmillan Publishing Company.

    Hobbs Jill, E., 1996, A transaction cost approach to suplly chain management, Supply Chain Management, Vol. 1, No 2, 15 2, MCB University Press.

    Hofstede, G, 1991, Cultures and Organization, McGraw-Hill book Company, UK Hofstede, G., 1994, Cultures and Organizations: Software of the Mind, London:

    HarperCollinsPublisher. Husein Umar, Riset Sumberdaya Manusia Dalam Organisasi, Gramedia, Jakarta., 1997 Jordan, C. E. dan J. G. Johnston, Auditors Independence: A Proposal to the Profession

    and the Public, The Woman CPA, 49, Juli 1987, 3-9. Knapp, M. C., 1985, Audit Conflict: an Empirical Study of the Perceived Ability of

    Auditors to Resist Management Pressure, Accounting Review 60(2): 202211. Khomsiyah dan Nur Indriantoro, 1998, Pengaruh Orientasi Etika terhadap Komitmen

    dan Sensitivitas Etika Auditor Pemerintah di DKI Jakarta. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol I No. 1

    Koo, Chi Mo, dan Ho Seog Sim, 1999, On the Role Conflict of Auditors in Korea, Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol 12 No. 2: 206219.

    Levinthal, D. S., dan M. Fichman, 1988, Dynamics of Interorganizational Attachments: AuditorClient Relationships, Administrative Science Quarterly, 33(3): 345369.

    March, R.M. (1988). The Japanese negotiator: Subtlety and strategy beyond Western logic. New York, NY: Kodansha International.

    Martinez, R.I., Dacin M.Tina, 1999, Efficiency Motives and Normative Forces: Cobining Transactions Cost and Institutional Logic, Journal of Management, Vol.25 No.1, 75 96.

    Mautz dan H. A. Sharaf, 1993, The Philosophy of Auditing, American Accounting Association, SarasotaFlorida.

    Mayhew, B., J. Schatzberg, dan G. R. Sevcik, 2001, Effect of Accounting Uncertainty and Auditor Reputation on Auditor Objectivity, disajikan dalam 2000 AAA Mid-year Audit Conference.

    Mendenhall, W. dan R. J. Beaver, 1992, A Course in Business Statistics, Boston: PWS-KENT Publishing.

    Michael W. Morris dan Ho-Ying Fu 2000, How Does Culture Influence Conflict Resolution? A Dynamic Constructivist Analysis, Research Paper Series, Graduate School of Business Stanford University.

    Morrill Cameron, Morrill Janet, 2003, Internal auditors and the external audit: a transaction cost perspective, Managerial Auditing Journal 18/6/7, 490 504.

    Moore, D. A., G. Loewenstein, M. H. Bazerman, 2001, Auditor Independence, Conflict of Interest, and the Unconscious Intrusion of Bias, Harvard NOM Research Paper, http://www.ssrn.com.

    Murninghan, K., dan M. H. Bazerman, 1990, A Perspective on Negotiation Research in Accounting and Auditing, Accounting Review 65(3): 642657.

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    30

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

  • OKeefe, Terrence B., Raymond D. King, dan Kenneth M. Gaver. 1994. Audit Fees, Industry Specialization, and Compliance with GAAS reporting Standards. Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol. 13 No. 2. Fall.

    Pincus, Karen V. 1994. Discussion of: Fraud Detection: The Effect of Client Integrity and Competence and Auditor Cognitive Style. Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol.13, Supplement.

    Pitelis Christons, N., Pseiridis Anastasia, N., 1999, Transaction cost versus resource value?, Journal of Economic Studies, 26,3.

    Pitt, H. L., dan D. F. Birenbaum, 1997, ISB Principles and Illustrative Guidelines, dalam Independence Standard Board (ISB) Working Paper, 1991, Serving the Public Interest: A New Conceptual Framework for Auditor Independence.

    Rahim, M. A., 1995, A Measure of Styles of Handling Interpresonal Conflict, Academy of Management Journal 26: 368376.

    Robbins, Stephen R. 2001, Organizational Behavior, ninth edition, Prentice Hall, New Jersey.

    Sanders, George, Arthur Allen, dan Leon Korte. 1995. Municipal Audit Fees: Has Increased Competition Made a difference? Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol. 14 No. 1. Spring.

    Sekaran, Uma 1995, Research Methods for Business : A Skill-Building Approach, 2nd Edition, John Wiley & Sons, Inc. NY.

    Simon, Daniel T., dan Jere R. Francis. 1988. The Effects of Auditor Change on Audit Fees: Tests of Price Cutting and Price Recovery. The Accounting Review, Vol. LXIII, No. 2, April.

    Simunic, Dan A., dan Michael T. Stein. 1996. The Impact of Litigation Risk on Audit Pricing: A Review of the Economics and the Evidence. Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol. 15, Supplement.

    Subroto, B. 2001, Kode Etik Akuntan dan Kepatuhan Akuntan terhadap Kode Etik, Jurnal Ekonomi dan Manajemen , 1/2 Desember, 165-171.

    Sudibyo, Bambang, 1995, Reduksi Norma Evidencial Matter Menjadi Norma Evidence serta Dampaknya pada Kualitas Audit dan Pembukuan di Indonesia. Jurnal Keuangan dan Moneter, vol.2 No. 2.

    Sugiyono, 1999, Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung, Thomas, K. W. dan R. H. Kilmann, 2001, Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument,

    Consulting Psychologists Press, Inc. Triandis, H. C., 1994, Culture and Social Behavior, New York: McGraw-Hill, Inc. Triandis, H. C., dan M. Gelfand, 1998, Convergent Measurement of Horizontal and

    Vertical Individualism and Collectivism, Journal of Personality and Social Psychology 74: 118128.

    Trompeter, Greg. 1994. The Effect of Partner Compensation Schemes and Generally Accepted Accounting Principles on Audit Partner Judgment. Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol. 13 No. 2. Fall.

    Tse, D.K., Francis J. dan Walls, J. 1994. Cultural differences ini conducting intra- and inter-cultural negotiations: a Sino Canadia comparation. Journal of International Business Studies, 25:537-555.

    Veeger, K. J., 1990, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia.

    Walo, Judith C. 1995. The Effects of Client Characteristics on Audit Scope. Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol. 14 No. 1. Spring.

    Wolfe, A. & Yang, H. (1996). Anthropological contributions to conflict Resolution. Athens: University of Georgia Press.

    SNA 17 Mataram, LombokUniversitas Mataram24-27 Sept 2014

    31

    File ini diunduh dari:www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id