07E00001

91
DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI DI DEPARTEMEN THT-KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS Oleh PATAR L. H. LUMBANRAJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER MEDAN 2007 Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Transcript of 07E00001

Page 1: 07E00001

DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI DI DEPARTEMEN THT-KL FK USU /

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh

PATAR L. H. LUMBANRAJA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG

TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

MEDAN 2007

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 2: 07E00001

DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI DI DEPARTEMEN THT-KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Untuk Mencapai Keahlian Dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Bedah Kepala Leher Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

PATAR L. H. LUMBANRAJA

Sebuah Karya Cipta Dilarang Mengutip Bagian Dari Tesis Ini Tanpa Izin Penulis

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER MEDAN

DESEMBER 2007

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 3: 07E00001

HALAMAN PENGESAHAN

Medan, Desember 2007

Tesis dengan judul

DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI DI DEPARTEMEN THT-KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Diketahui oleh

Ketua Departemen Ketua Program Studi

Prof. Dr. Abdul Rachman, SpTHT-KL(K) Prof. Dr. Askaroellah Aboet, SpTHT-KL(K)

Telah disetujui dan diterima baik oleh Pembimbing:

Ketua

Dr.Mangain Hasibuan, SpTHT-KL

Anggota I Anggota II

Dr. Rizalina A. Asnir, SpTHT-KL Dr. Ida Sjailandrawati H., SpTHT-KL

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 4: 07E00001

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, saya panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karuniaNya, saya dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh spesialisasi dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala dan Leher pada Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan potong lintang (cross sectional) dengan judul DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI DI DEPARTEMEN THT- KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN. Saya menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasanya, namun demikian saya berharap tulisan ini dapat menambah perbendaharaan bacaan dalam bidang alergi imunologi. Dengan telah berakhirnya masa pendidikan, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan sebesar – besarnya kepada :

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen THT – KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,

yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

Medan, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja di lingkungan RSUP H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat Prof. Dr. Abdul Rachman Saragih, SpTHT-KL (K) sebagai Ketua

Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan dan nasihat serta petunjuk yang sangat berguna selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat Prof. Dr. Askaroellah Aboet, SpTHT-KL (K), selaku Ketua

Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak memberikan dorongan semangat kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan program pendidikan ini.

Yang Terhormat Dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL sebagai Ketua Pembimbing Tesis, Dr. Rizalina A. Asnir, SpTHT-KL dan Dr. Ida Sjailandrawati H., SpTHT-KL

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 5: 07E00001

sebagai anggota pembimbing tesis yang telah begitu banyak meluangkan waktu, memberikan petunjuk, serta bimbingan dan dorongan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi – tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada saya selama penyelesaian penulisan tesis ini.

Yang terhormat Prof. Dr. Ramsi Lutan, SpTHT-KL (K) sebagi Ketua Program

Studi THT-KL FK USU / RSUP. H Adam Malik Medan pada saat saya memulai pendidikan di Departemen THT-KL FK USU / RSUP. H Adam Malik Medan, atas bimbingan dan dorongan semangat yang diberikan dalam mengikuti pendidikan sehingga menimbulkan rasa percaya diri terutama dalam bidang keahlian.

Yang terhormat guru saya dijajaran Departemen THT – KL FK USU / RSUP H.

Adam Malik Medan, Dr. Asroel Aboet, SpTHT-KL (K), Dr. Yuritna Haryono, SpTHT-KL (K), Dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL (K), Dr. T. Sofia Hanum, SpTHT-KL (K), Dr. Linda Adenin, SpTHT-KL, Dr. Hafni, SpTHT-KL (K), DR. Dr Delfitri Munir, SpTHT-KL (K), Dr. Adlin Adnan, SpTHT-KL, Dr. Ainul Mardhiah, SpTHT-KL, Dr. Siti Nursiah, SpTHT-KL, Dr. Andrina Y.M. Rambe, SpTHT-KL, Dr. Harry A. Asroel, SpTHT-KL, Dr. Farhat, SpTHT-KL, Dr. Siti Hajar Haryuna, SpTHT-KL, yang telah banyak memberikan bimbingan dalam ilmu pengetahuan di bidang THT-KL kepada saya, baik secara teori maupun keterampilan, yang kiranya sangat bermanfaat bagi kami di kemudian hari.

Yang terhormat Bapak Ketua Departemen / Staf Radiologi FK USU / RSUP H.

Adam Malik Medan, Kepala Bagian / Staf Radiologi RS. Elizabeth Medan, Ketua Departemen / Staf Anestesi dan Reanimasi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, Ketua Departemen / Staf Patologi Anatomi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah banyak memberikan bimbingan kepada saya selama menjalani masa asisten di bagian tersebut, saya mengucapkan terima kasih.

Yang terhormat Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan, Direktur RSU Lubuk Pakam,

Direktur RS Tembakau Deli Medan dan Direktur RS Tentara Putri Hijau Medan beserta staf yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk belajar dan menjalani stase asisten di keempat rumah sakit tersebut.

Yang terhormat Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M. Kes selaku konsultan statistik yang

telah banyak membantu saya di bidang statistik dan pengolahan data penelitian ini. Yang mulia Ayahanda Drs. L. Lumbanraja dan Ibunda Alm. L. br. Pakpahan

segala upaya dan daya telah mengasuh, membesarkan dan membimbing saya dengan penuh kasih sayang sejak kecil hingga dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, agama dan negara. Terima kasih juga saya tujukan kepada keluarga Kakak, Abang dan Adik yang telah banyak memberikan dorongan semangat, baik material dan moril kepada saya selama masa pendidikan dari awal hingga akhir pendidikan ini.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 6: 07E00001

Yang tercinta teman – teman sejawat peserta pendidikan keahlian ilmu kesehatan THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah bersama – sama baik dalam suka dan duka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat.

Yang terhormat paramedis dan pegawai Departemen THT-KL FK USU / RSUP

H. Adam Malik Medan yang telah banyak membantu dan bekerja sama selama saya menjalani pendidikan ini.

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya sebutkan satu

persatu yang telah memberikan bantuan, saya ucapkan terima kasih. Kepada seluruh pasien yang telah bersedia membantu saya selama menjalani

pendidikan di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, terutama pasien yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini, saya ucapkan banyak terima kasih.

Akhirnya izinkan saya mohon maaf yang sebesar – besarnya atas kesalahan dan

kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini. Semoga segala bantuan, dorongan, dan petunjuk kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapatkan berkat berlipat ganda dari Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang.

Medan, Desember 2007

Patar L.H. Lumbanraja

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 7: 07E00001

ABSTRAK

DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI

DI DEPARTEMEN THT- KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Patar L. H. Lumbanraja, Mangain Hasibuan, Rizalina A. Asnir, Ida Sjailandrawati H.

Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan

Tujuan: Untuk mengetahui distribusi alergen pada penderita rinitis alergi di Departemen

THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Metode: Desain penelitian bersifat deskriptif dengan pendekatan potong lintang (cross

sectional). Sampel sebanyak 62 penderita rinitis alergi. Pada sampel dilakukan tes kulit

cukit (skin prick test) menggunakan satu set alergen inhalan yang terdiri dari empat belas

macam alergen, termasuk di dalamnya kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif

(buffer). Hasil positif pada tes kulit cukit adalah setiap diameter bintul pada +3 dan +4

yang terjadi pada setiap alergen. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan

bantuan program Window SPSS (Statistical Package for Social Science)

Hasil: Distribusi kelompok umur penderita rinitis alergi paling banyak adalah kelompok

umur 21 – 30 tahun sebanyak 22 penderita (35,5%), distribusi jenis kelamin pada

penderita rinitis alergi paling banyak adalah perempuan sebanyak 54 penderita (87,1%),

dengan keluhan paling banyak adalah bersin-bersin pada 59 penderita (95,2%), serta

alergen paling banyak adalah tungau debu rumah sebanyak 27 penderita (43,5%).

Distribusi alergen paling banyak pada laki-laki adalah kecoa sebanyak 5 penderita

(8,06%), sedangkan pada perempuan adalah tungau debu rumah sebanyak 24 penderita

(38,67%), dan alergen paling banyak pada kelompok umur 21-30 tahun adalah kecoa

sebanyak 14 penderita (22,58%).

Kesimpulan: Distribusi alergen paling banyak ialah tungau debu rumah yang dijumpai

pada 27 penderita (43,5%)

Kata kunci: rinitis alergi, tes kulit cukit, alergen.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 8: 07E00001

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

ABSTRAK iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR GAMBAR, TABEL, SKEMA, DAN DIAGRAM x

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan Penelitian 3

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Manfaat Penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Anatomi Hidung 4

2.1.1. Hidung luar 4

2.1.2. Rongga hidung 5

2.2. Perdarahan Hidung 6

2.3. Persarafan Hidung 7

2.4. Mukosa Hidung 8

2.5. Fisiologi Hidung 9

2.5.1 Jalan nafas 10

2.5.2 Pengatur kondisi udara (air conditioner) 10

2.5.3 Penyaring dan Pelindung 10

2.5.4 Indra penghidu 11

2.5.5 Resonasi suara 11

2.5.6 Proses bicara 11

2.5.7 Refeks nasal 11

2.6. Definisi 11

2.6.1. Reaksi hipersensitivitas 12

2.6.2. Reaktivitas silang antigen 13

2.6.3. Pengukuran reaktivitas silang 13

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 9: 07E00001

2.6.4. Rekativitas alergen inhalan dan makanan 14

2.6.5. Klasifikasi rinitis alergi 15

2.7. Kekerapan 15

2.7.1. Penyebab penyakit alergi THT 16

2.7.2. Gejala 19

2.8. Patofisiologi 20

2.8.1. Fase sensitasi 20

2.8.2. Patogenesis rinitis alergi 24

2.8.3. Fase elisitasi 23

2.8.1 Tahap aktifasi 23

2.8.2 Tahap efektor 28

2.8.3 Peran mediator-mediator implamasi dalam

manifestasi gejala klinis alergi 25

2.8.4 Peran sitokin pada rinits alergi 27

2.9 Antigen 30

2.10 Diagnosis 31

2.10.1 Anamnesis 31

2.10.2 Riwayat penyakit 32

2.10.3 Pemeriksaan fisik 33

2.10.4 Pemeriksaan penunjang 34

2.10.4.1 Pemeriksaan in vitro 34

2.10.4.2 Pemeriksaan IgE total serum 34

2.10.4.3 Pemeriksaan IgE spesifiks serum ( dengan

metode RAST / Radioallresorbent test) 35

2.10.5 Pemeriksaan lain 35

2.10.6 Tes kulit 36

2.11 Diagnosis Banding 38

2.12 Terapi Rinitis Alergi 38

2.12.1 Farmakoterapi pada rinitis alergi 41

2.12.1.1 Antihistamin 42

2.12.1.2 Dekongestan 43

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 10: 07E00001

2.12.1.3 Kortikosteroid 44

2.12.1.4 Antagonis leukkotrien 45

2.12.2 Imunoterapi spesifik 47

2.12.3 Pembedahan 48

2.13 Komplikasi 49

2.14 Prognosis 50

BAB 3 METODE PENELITIAN 51

3.1. Rancangan Penelitian 51

3.2. Tempat Dan Waktu Penelitian 51

3.3. Populasi Dan Sampel 51

3.4. Kerangka Konsepsional 53

3.5. Batasan Operasional 53

3.6. Bahan Dan Alat Yang Dipakai 55

3.6.1. Bahan yang dipakai 55

3.6.2. Alat yang dipakai 55

3.7 Persiapan 55

3.8 Cara Kerja 55

3.9 Kerangka Kerja 56

3.10. Analisa Data 56

BAB 4 HASIL PENELITIAN 57

BAB 5 PEMBAHASAN 62

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 66

6.1 Kesimpulan 66

6.2 Saran 66

DAFTAR PUSTAKA 67

LAMPIRAN

1. Persetujuan Untuk Calon Peserta Penelitian (Informed Consent) 73

2. Pernyataan Persetujuan 75

3. Status Penelitian 76

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 11: 07E00001

4. Skin Prick Test (Tes Alergi) 79

5. Daftar Data Sampel Penelitian Rinitis Alergi

di Departemen THT-KL FK USU RSUP H. Adam Malik Medan 80

6. Surat Persetujuan Komite Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian 82

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 12: 07E00001

DAFTAR GAMBAR, TABEL, SKEMA, DAN DIAGRAM

Halaman

GAMBAR

Gambar 2.1. Perdarahan Hidung 7

Gambar 2.2. Persarafan Hidung 8

Gambar 2.3. Patofisiologi Rinitis Alergi 22

TABEL

Tabel 2.1. Perbedaan Rinitis Alergi

tipe Sneezers and Runners dengan Blockers 33

Tabel 2.2. Terapi Farmakologis Rinitis Alergi 41

Tabel 4.1. Distribusi Kelompok Umur Penderita Rinitis Alergi 57

Tabel 4.2. Distribusi Jenis Kelamin Penderita Rinitis Alergi 57

Tabel 4.3. Distribusi Keluhan Penderita Rinitis Alergi 58

Tabel 4.4. Distribusi Alergen Berdasarkan

Tes Kulit Cukit Penderita Rinitis Alergi 58

Tabel 4.5.1. Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Berdasarkan Jenis Kelamin 60

Tabel 4.5.2. Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Berdasarkan Kelompok Umur 61

SKEMA

Skema 2.1. Patogenesis Rinitis Alergi 21

Skema 2.2. Pengobatan Rinitis Alergi (ARIA, 2000) 40

Skema 2.3. Sintesa Leukotrien 46

DIAGRAM

Diagram 1. Distribusi Alergen Berdasarkan Uji Kulit Cukit Penderita Rinitis Alergi 59

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 13: 07E00001

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang paling sering ditemukan.

Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar antara

10-20% dan secara konstan meningkat dalam dekade terakhir (Ciprandi et al, 2005).

Rinitis alergi adalah suatu penyakit yang sering ditemukan. Merupakan suatu

penyakit atopik yang prevalensinya berkisar antara 10% di Jepang, 20% di Thailand,

10-15% di Eropa. 10-20% di Amerika Utara dan di Korea, 25% di New Zealand

(Zainuddin, 1999).

Rinitis alergi bukanlah penyakit yang fatal, tetapi gejalanya dapat berpengaruh

pada kesehatan seseorang dan menurunkan kualitas hidup yang bermakna pada

penderitanya (Suprihati, 2005). Penyakit ini mengganggu kehidupan sehari-hari,

selain penyembuhannya berbiaya relatif mahal juga bersifat rekuren, kronis,

progresif, reversibel pada tahap awalnya, serta ireversibel pada tahap lanjut. Lebih

lanjut lagi, penyakit ini tidak saja akan merugikan penderita secara pribadi, namun

juga akan merugikan individu sebagai bagian sumber daya manusia (SDM),

sedangkan peningkatan kualitas SDM tersebut menjadi fokus perhatian saat ini karena

sangat dibutuhkan dalam mempercepat laju pembangunan nasional (Prijanto, 1996).

Penyakit rinitis alergi banyak dijumpai pada praktek sehari-hari dokter THT,

namun insidensi dan prevalensinya di Indonesia belum diketahui secara pasti,

sedangkan di negara-negara maju belum ditetapkan secara tepat (Prijanto, 1996).

Baratawidjaja et al (1990) pada penelitian di suatu daerah di Jakarta mendapatkan

prevalensi sebesar 23,47%, sedangkan Madiadipoera et al (1991) di Bandung

memperoleh insidensi sebesar 1,5%, seperti yang dikutip Rusmono (1993).

Biasanya rinitis alergi timbul pada usia muda (remaja dan dewasa muda).

Pada usia remaja/ dewasa, prevalensi rinitis alergi adalah sama banyak antara laki-

laki dan perempuan. Keluarga atopi mempunyai prevalensi lebih besar daripada

nonatopi (Karjadi, 2001).

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 14: 07E00001

Dalam sebuah penelitian retrospektif terhadap 12.946 orang pasien berumur 5-

62 tahun yang datang ke poliklinik sub bagian Alergi Imunologi bagian THT

FKUI/RSCM selama tahun 1992, ditemui penderita rinitis alergi sejumlah 147 orang,

atau berkisar 1,14%. Gejala yang paling banyak adalah bersin-bersin/gatal hidung

(89,80%), rinore (87,07%) dan obstruksi hidung (76,19%). Kelompok umur 1-10

tahun berjumlah paling sedikit (3,40%) kemudian meningkat dengan bertambahnya

umur, dan selanjutnya menurun setelah berumur 40 tahun, dengan frekwensi

terbanyak pada kelompok umur 21-30 tahun (37,41%). Dari tes kulit cukit, alergen-

alergen yang memberikan hasil positif bermakna berturut- turut terbanyak adalah

tungau debu rumah (91,16%), debu rumah (73,47%), serpih epitel/bulu binatang

(63,95%) (Rusmono, 1993).

Penelitian Zainuddin di Palembang menemukan hasil tes kulit cukit yang

diperoleh dari 23 penderita rinitis alergi adalah sebagai berikut: penderita terbanyak

reaksi positif terdapat alergen D. Pteronysinus pada 20 penderita (86,95%) diikuti

terhadap House dust dan lobster pada masing – masing 19 penderita (82,60%),

terhadap kepiting pada 18 penderita (78,26%), terhadap bulu kucing dan udang

masing-masing pada 16 penderita (69,56%), terhadap cokelat pada 13 penderita

(56,52%), terhadap bulu kelinci dan ikan masing- masing pada 12 penderita

(52,17%). Yang paling sedikit adalah terhadap alergen Aspergilus pada 1 penderita

(4,35%). Seorang penderita dapat bereaksi positif lebih dari satu alergen (Zainuddin,

1999).

Penyakit alergi THT terutama rinitis alergi umumnya diterapi dengan cara

menghindari alergen penyebab untuk itu diperlukan pemeriksaan untuk mengetahui

alergen penyebab tersebut, imunoterapi, mencegah degranulasi sel mastosit,

menetralisir mediator amine vasoaktif (terutama mediator histamin) dan

menghilangkan gejala-gejala pada organ target (pilek dan buntu hidung) (Prijanto,

1993), tetapi cara yang paling efektif untuk mengontrol penyakit-penyakit alergi

adalah dengan menghindari paparan alergen penyebabnya (Danandjaja, 2001).

Sehubungan dengan pernyataan dan alasan yang dikemukakan diatas yang

mendorong penulis untuk melakukan penelitian untuk mengetahui distribusi alergen

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 15: 07E00001

pada penderita rinitis alergi di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam

Malik Medan

1.2. Permasalahan Penelitian

Bagaimana distribusi alergen pada penderita rinitis alergi di Departemen

THT- KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum :

Mengetahui distribusi alergen pada penderita rinitis alergi di Departemen

THT- KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Tujuan Khusus :

a. Mengetahui distribusi kelompok umur pada penderita rinitis alergi.

b. Mengetahui distribusi jenis kelamin pada penderita rinitis alergi.

c. Mengetahui distribusi keluhan yang ditemukan pada penderita rinitis alergi.

d. Mengetahui distribusi alergen yang dijumpai berdasarkan tes kulit cukit.

e. Untuk mengetahui distribusi jenis alergen pada kelompok umur dan jenis

kelamin.

1.4. Manfaat Penelitian

a. Mendapatkan angka distribusi alergen pada penderita rinitis alergi di Departemen

THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai pembanding dan

referensi untuk penelitian lebih lanjut.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 16: 07E00001

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1.Anatomi Hidung

Hidung terdiri dari hidung luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan

perdarahan serta persarafannya (Ballenger, 1994; Soetjipto, Mangunkusumo, 2002).

2.1.1 Hidung luar

Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak ke atas dan ke belakang dari

apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai ke pangkal hidung dan

menyatu dengan dahi. Kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu di posterior bagian

tengah bibir dan terletak di sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan

kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas

membentuk cekungan dangkal dengan memanjang dari atas ke bawah, disebut filtrum.

Sebelah-menyebelah kolumela adalah nares anterior atau nostril (lubang hidung) kanan

dan kiri, di sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan di sebelah inferior oleh dasar

hidung.

Rangka hidung bagian luar terdiri dari dua os nasal, prosesus frontal os maksila,

kartilago lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago alar mayor) dan

tepi ventral (anterior) kartilago septum nasi. Kerangka utama adalah keempat tulang yang

disebut diatas. Tepi medial kartilago lateralis superior menyatu dengan kartilago septum

nasi dan tepi kranial melekat erat dengan permukaan bawah os nasal serta prosesus

frontal os maksila.

Tepi bawah (kaudal) kartilago lateralis superior terletak di bawah tepi atas

(kranial) kartilago lateralis inferior. Bila kartilago lateralis inferior diangkat dengan

retraktor barulah akan terlihat batas bawah kartilago lateralis superior ini atau yang

disebut limen nasi. Ada kalanya kedua tepi kartilago lateralis superior dan inferior tidak

melekat dengan erat di bagian medial, sehingga menyebabkan kerangka hidung luar

kurang kuat. Di sebelah lateral, antara kartilago lateralis superior dan inferior terdapat

beberapa kartilago sesamoid. Kartilago lateralis inferior berbentuk ladam. Krus lateralnya

lebar dan kuat, merupakan kerangka ala nasi. Bagian medialnya lemah, sebagian meluas

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 17: 07E00001

sepanjang tepi kaudal kartilago septum nasi yang bebas dan sebagian lagi ada di dalam

kolumela membranosa.

Pada tulang tengkorak lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut apertura

piriformis. Tepi latero-superior dibentuk oleh kedua os nasal dan prosesus frontal os

maksila. Dasarnya dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Di garis tengah ada

penonjolan (prominentia) yang disebut spina nasalis anterior.

Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok dilator yang terdiri

dari m.dilator nares (anterior dan posterior), m.proserus, kaput angulare m.kuadratus

labii superior dan kelompok konstriktor yang terdiri dari m.nasalis dan m.depresor spetil

(Ballenger, 1994).

2.1.2 Rongga hidung

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,

dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.

Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang

belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan

nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang

nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai

banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,

inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh

tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah :

1. Lamina perpendikularis os etmoid.

2. Vomer.

3. Krista nasalis os maksila

4. Krista nasalis os palatina

Bagian tulang rawan adalah :

1. Kartilago septum (lamina kuadrangularis)

2. Kolumela

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 18: 07E00001

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian

tulang, sedangkan di luarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.

Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di

belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling

bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi

ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini

biasanya rudimenter.

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan

labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari

labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang

disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu : meatus inferior,

medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung

dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus

nasolakrimalis.

Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung.

Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan

infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung

dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.

Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka

media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila

dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh

lamina kribriformis ,yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.

2.2 Perdarahan Hidung

Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris

interna, diantaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari

foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang

ujung posterior konka media.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 19: 07E00001

Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada

bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid

anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (little

area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga

sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan

dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika

yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup,

sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke

intrakranial.

Gambar 1. Perdarahan Hidung

2.3 Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

n.etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris yang berasal dari

n.oftalmikus (N.V-1).

Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari

n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 20: 07E00001

Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga

memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini

menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (n.V-2), serabut parasimpatis dari

n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.

Ganglion sfenopalatinum teretak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka

media.

Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah

bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa

olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Gambar 2. Persarafan Hidung

2.4 Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi

atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).

Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaan

permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar

epithelium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.

Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang –

kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 21: 07E00001

Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena

diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaanya. Palut lendir ini dihasilkan

oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.

Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke

arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya

sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan

menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh

pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan.

Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh

darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol

terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan

longitudinal. Arteriol ini memberikan perdarahan pada anyaman kapiler periglanduler

dan sub-epitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka rongga sinusoid vena

yang besar dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya

sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya

ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa

hidung menyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang

dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf

otonom.

Pada bagian bawah, mukosa melekat erat pada periostium atau perikodrium

(Ballenger, 1994; Soetjipto, Mangunkusumo, 2002).

2.5 Fisiologi Hidung

Fungsi hidung ialah untuk :

• Jalan nafas

• Pengatur kondisi udara (air conditioning)

• Penyaring udara

• Indra penghidu

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 22: 07E00001

• Resonansi suara

• Turut membantu proses suara

• Refleks nasal (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002; Dhingra, 2007)

2.5.1 Jalan nafas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi

konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini

berbentuk lengkungan atau arkus (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002).

Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang

sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi, di bagian depan aliran udara memecah,

sebagian akan melalui nares anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk

pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002;

Dhingra, 2007).

2.5.2 Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara

yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur

kelembaban udara dan mengatur suhu.

Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir (mucous

blanket). Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini

sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebaliknya.

Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di

bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga dapat

berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang

lebih 37o Celcius (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002; Dhingra, 2007).

2.5.3 Penyaring dan pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan

dilakukan oleh :

a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

b. Silia

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 23: 07E00001

c. Palut lendir (mukous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir

dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut

lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.

d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri yang disebut lysozyme

(Soetjipto, Mangunkusumo, 2002; Dhingra, 2007).

2.5.4 Indra penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius

pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau

dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas

dengan kuat (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002; Dhingra, 2007).

2.5.5 Resonansi suara

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan

menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,

sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).

2.5.6 Proses bicara

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata-kata dibentuk oleh lidah,

bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut

tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.

2.5.7 Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran

cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan

refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar

liur, lambung dan pankreas.

2.6 Definisi

Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung, terjadi

setelah pajanan alergen melalui inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE dengan

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 24: 07E00001

gejala rinorea, obstruksi hidung, hidung gatal, bersin-bersin yang dapat sembuh spontan

atau dengan pengobatan (Bosquet et al, 2001).

Dikatakan juga bahwa rinitis alergi merupakan suatu penyakit hipersensitivitas

tipe I (Gell & Coomb) yang diperantarai IgE dengan mukosa hidung sebagai organ

sasaran utama (Sumarman, 2001).

2.6.1 Reaksi hipersensitivitas

Gell & Coomb membuat klasifikasi perbedaan tipe reaksi imun ke dalam 4

klasifikasi. Yaitu :

1. Tipe 1 ( Reaksi hipersensitivitas tipe cepat)

• Pada pemaparan suatu antigen, IgE akan terikat dengan sel mast sehingga terjadi

hubungan silang, degranulasi dan pelepasan mediator.

• Gejala mulai timbul dalam hitungan detik hingga beberapa menit setelah terpapar

oleh antigen tetapi selalu proses reaksinya berlangsung sampai beberapa jam.

• Respon fisiologis permulaan terhadap histamin dan mediator-mediator lain

termasuk vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler, stimulasi kelenjar

mukus dan kontraksi otot polos.

• Respon fase lambat di stimulasi dengan pelepasan sintesis mediator baru seperti

leukotrien termasuk infiltrasi sel radang dan oedem kronik jaringan.

• Secara klinis, reaksi tipe 1 akan menghasilkan rinitis angiooedem, diare, asma, dan

dapat berlanjut ke anafilaksis.

• Pertama kali tersensitisasi pada banyak pasien, reaksi alergi ini akan menetap untuk

beberapa tahun dan sering sampai seumur hidup.

• Walaupun reaksi tipe 1 terhadap makanan tidak sering terjadi, biasanya sangat

mudah terinfeksi karena akan menghasilkan gejala yang segera.

• Reaksi ini biasanya berat dan dirawat seumur hidup dan dapat juga melibatkan satu

organ atau lebih.

• Reaksi tipe 1 terhadap antigen makanan diduga memiliki prevalensi hampir 5%

dari populasi umum.

• Reaksi tipe 1 yang ditimbulkan oleh makanan dapat diidentifiksai secara mudah

dengan mengukur IgE darah secara invitro.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 25: 07E00001

2. Tipe 2 (Reaksi sitotoksik)

• Terjadi apabila antibodi terikat dengan antigen sendiri atau antigen asing.

• Kemudian menghasilkan fagositosis aktivitas sel killer atau complement-lysis

mediated.

• Contoh klinis : anemia hemolitik, sindrom good pasture, reaksi transfusi.

3. Tipe 3 ( Reaksi kompleks imun)

• Melibatkan kompleks antigen-antibodi dengan kerusakan jaringan yang terlibat.

• Molekul antibodi terutama IgG terikat pada antigen sirkulasi menghasilkan

kompleks makromolekul yang dapat berpresipitasi dalam kapiler, mengikat dan

mengaktivasi komplemen untuk menyebabkan peradangan jaringan.

4. Tipe 4 ( Reaksi hipersensitivitas tipe lambat)

• Respon antara 24-28 jam sesudah kontak.

• Diduga dalam perkembangan kondisi dari alergi kronik.

• Reseptor sel T bereaksi dengan antigen spesifik yang sifatnya serupa dengan sel B.

• Kemudian IgE menghasilkan sel B pada tipe 1, dimana sensitisasi sebelumnya

diperlukan untuk mencetuskan kondisi utama dari permukaan sel T.

• Sebagai dasar dari tes tuberkulin (Trevino, Gordon, Veling, 2002).

2.6.2 Reaktivitas silang antigen

Alergen-alergen yang bereaksi silang merupakan substansi antigenik yang

berbeda yang dapat bekerja seakan-akan substansi yang sama dengan substansi lain yang

dapat membangkitkan respon alergi. Reaksi silang terjadi saat terbentuknya antibodi

terhadap suatu antigen, di mana antibodi tersebut berespon terhadap 1 atau lebih antigen

lain. Bagian dari antigen yang dikenali antibodi sehingga dapat membangkitkan respon

alergen disebut epitop (Krouse, 2002).

2.6.3 Pengukuran reaktivitas silang

Sebelum perkembangan pemeriksaan imunoglobulin E (IgE), semua studi

mengenai reaksi silang dilakukan dengan menggunakan hubungan klinis. Reaktivitas

silang ditemukan pada abad 20 ketika para ahli alergi mengenali bahwa pengobatan

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 26: 07E00001

dengan satu antigen spesifik mampu mendesensitisasi pasien terhadap antigen lain juga.

Observasi ini secara khusus ditujukan di antara rumput-rumput karena pasien yang positif

tehadap satu rumput biasanya positif terhadap semua rumput yang diujikan. Juga

pengobatan dengan menggunakan satu rumput, biasanya sama efektif dengan

menggunakan beberapa rumput sebagai pengobatan dan kecil kemungkinan untuk

menyebabkan reaksi yang berat (Krouse, 2002).

Saat ini, studi reaktivitas silang paling umum dilakukan dengan menggunakan

teknik yang dikenal penghambat radioallergosorbent test (RAST). Dalam percobaan

invitro, antigen kedua yang bervariasi dalam hal konsentrasi, ditempatkan dalam seri

tabung-tabung pemeriksaan yang mengandung sejumlah antigen acuan yang identik.

Ketika jumlah yang meningkat dari antigen kedua ditambahkan, tingkat dimana ikatan

terhadap antigen acuan yang spesifik terhadap IgE yang dihambat dan diukur. Semakin

besar reaktivitas antara dua zat, semakin antigen acuan yang dipindahkan (Krouse, 2002).

2.6.4 Reaktivitas alergen inhalan dan makanan

Reaktivitas silang antara alergen inhalan dan makanan telah diamati selama

beberapa tahun. Reaktivitas silang ini sering disebut concomitant food sensitivity. Hal ini

terlihat jelas seperti pada serbuk tepung gandum dan serbuk sari gandum. Beberapa

hubungan zat-zat inhalan yang berasal dari bahan makanan, bagaimanapun tidak begitu

jelas. Empat reaksi silang zat-zat inhalasi yang berasal dari bahan makan telah dipelajari

dan telah didokumentasikan. Salah satu interaksinya adalah sindroma alergi oral yang

diamati antara serbuk sari birch dengan buah-buahan dan kacang-kacangan. Birch

dikenal bereaksi silang dengan hazelnuts, kentang, apel, wortel, dan seledri.

1. Lebih dari 90 % dengan alergi terhadap birch yang terbukti secara invitro juga

positif terhadap apel.

2. Pada reaksi silang ini, serbuk sari birch yang mengandung epitop buah dimana

buah tidak memiliki epitop birch.

3. Sebuah reaksi silang yang sama diketahui di antara serbuk sari rumput timothy

dan apel, wortel dan seledri. Serbuk sari mugwort diketahui bereaksi silang

sebagian dengan seledri,coriander dan teh bunga chamomile.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 27: 07E00001

4. Reaksi silang yang penting di antara epitop alergen pada rumput liar dan pada

cantaloupe, semangka dan pisang.

Beberapa reaksi silang dari zat-zat inhalan yang berasal dari bahan makanan

yang lain telah dicurigai dari observasi klinis, tetapi belum dikonfirmasikan dengan studi

laboratorium.(Krouse, 2002).

2.6.5 Klasifikasi rinitis alergi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya

yaitu :

1. Rinitis alergi musiman ( seasonal, hay fever, polinosis)

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial).

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya

(Irawati, Kasekeyan, Rusmono, 2001).

WHO merekomendasikan pembagian rinitis alergi kedalam dua klasifikasi,

intermittents (kadang-kadang) dan persistent (menetap), sedangkan berdasarkan tingkat

beratnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi ringan (mild) dan sedang – berat (moderate-

severe) (Bosquet et al, 2001).

Intermittens (kadang-kadang) berarti bahwa gejala yang ditemukan kurang dari 4

hari per minggu dan atau kurang dari 4 minggu.

Persistent (menetap) berarti bahwa gejala-gejala yang ditemukan lebih dari 4 hari

setiap minggunya dan lebih dari 4 minggu.

Pada kelompok gejala ringan (mild), pasien ditemui dengan tidur normal, aktivitas

sehari-hari, saat olah raga dan saat santai normal, bekerja dan sekolah normal, dan tidak

ada keluhan mengganggu.

Pada kelompok sedang-berat (moderate-severe) berarti ditemukan satu atau lebih

gejala berikut: tidur terganggu (tidak normal), aktivitas sehari-hari, saat olah raga, dan

saat santai terganggu, masalah saat bekerja dan sekolah, ada keluhan yang menggangu

(Bosquet et al, 2001).

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 28: 07E00001

2.7 Kekerapan

Populasi penderita rinitis alergi di dunia terus menerus meningkat dari waktu ke

waktu. Di seluruh dunia populasi penderita rinitis alergi mencapai 10-25%, sehingga

sampai saat ini masih merupakan penyakit yang mendapat perhatian khusus para

penyelenggara kesehatan termasuk di negara tropis seperti Indonesia (Mulyarjo, 2006).

Penelitian epidemiologis yang dilakukan WHO tahun 2000 di Amerika Utara dan

Eropa Barat,menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi

penyakit rinitis alergi dari 13-16% menjadi 23-28%. Di Eropa Barat, menunjukkan pada

anak usia sekolah, prevalensi rinitis alergi meningkat dua kali lipat. Di USA, prevalensi

rinitis alergi musiman dan perenial mencapai 14,2%, tertinggi pada usia 18-34 tahun dan

35-49 tahun, seperti yang dikutip Nugraha (2005). Rinitis alergi merupakan penyakit

yang sering dan mempengaruhi sampai 40 % penduduk Australia dan New Zealand

(ASCIA, 2004).

Di Indonesia, angka kejadian rinitis alergi yang pasti belum diketahui karena

sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter (Mulyarjo, 2006).

Prevalensi rinitis alergi perenial di Jakarta besarnya sekitar 20 %, sedangkan menurut

Sumarman dan Haryanto tahun 1999, di daerah padat penduduk kota Bandung

menunjukkan 6,98 %, di mana prevalensi pada usia 12-39 tahun seperti yang dikutip

Nugraha ( 2005). Berdasarkan survei dari ISAAC (International Study of Asthma and

Allergies in Childhood), pada siswa SMP umur 13-14 tahun di Semarang tahun 2001-

2002, prevalensi rinitis alergi sebesar 18% (Suprihati, 2005).

2.7.1 Penyebab penyakit alergi THT

Penyebab penyakit alergi THT dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :Spesifik

dan Non Spesifik,

1. Penyebab Spesifik

Yang paling berperan adalah alergen hirupan (inhalan).

Alergen inhalan merupakan alergen yang sering ditemukan dan sangat penting

dalam kelompok alergen (Colman, 1992).

Alergen inhalan biasanya dibagi ke dalam 2 jenis berdasarkan kemampuan

hidup dalam lingkungannya, yaitu perenial dan seasonal (Krouse, 2002).

1. Alergen perenial

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 29: 07E00001

Ada sepanjang tahun dan sulit dihindari.

Contoh :

A. Debu rumah

1. Alergen gabungan yang terdiri dari tungau, kecoa, partikel kapas,

serpih kulit manusia dan lain-lain.

2. Alergen udara >10 µm dan mengendap dengan cepat yang berasal dari

seprei dan sarung furniture.

3. Sering pada ruang tertutup.

B. Tungau debu rumah

1. Komponen alergi tersering adalah kotoran tungau debu rumah

D.pteronyssimus dan D. farinae.

2. Hidup dari serpihan kulit manusia.

3. Lebih suka pada suhu 21,1-26,6 0C.

4. Tidak ada pada ketinggian lebih dari 5000 kaki.

C. Serpihan kulit binatang

1. Serpihan kulit kucing

Antigen Fel D1 diproduksi pada kelenjar sebasea kulit dan terdapat

pada serpihan kulit kucing.

2. Serpihan kulit anjing

• Secara umum serpihan kulit anjing kurang kuat menyebabkan alergi

dibandingkan dengan serpihan kulit kucing.

• Antigen serpihan kulit anjing lebih bervariasi dibandingkan serpihan

kulit kucing.

3. Serpihan kulit binatang lainnya.

Alergi terhadap serpihan kulit binatang lainnya bisa terjadi ketika

manusia terpapar dengan hewan mamalia lainnya atau unggas pada

keadaan normal.

Sebagai contoh : alergi terhadap serpihan kulit kuda atau ternak sapi

lebih sering terjadi pada orang yang tinggal di kawasan pertanian

dan peternakan.

D. Jamur

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 30: 07E00001

1. Di dalam dan di luar ruangan.

2. Berkembang dengan baik pada daerah yang lembab di atas barang

yang busuk, ruang bawah tanah, tumpukan koran yang lama, debu

kayu, tanaman di dalam ruangan.

3. Penyebab tersering Alternaria, Aspergillus, Pullularia,

Hormodendrum, Penicillium dan Cephalosphorium.

E. Kecoa

1. Beberapa dekade terakhir peran kecoa terhadap sumber alergen

inhalan sangat penting.

2. Alergi terhadap kecoa berhubungan dengan asma terutama terhadap

anak-anak.

3. Alergen berasal dari sekresi serangga, terdapat pada badan dan

sayap.

4. Sulit dihilangkan .

5. Sering terdapat pada rumah yang kotor (Krouse, 2002; Lee, 2003).

2. Alergen seasonal

a. Biasanya dari serbuk sari tanaman.

b. Postulat Thommen menyatakan alergen yang efektif, serbuk sari

harus :

1. Dapat diterbangkan angin.

2. Ringan, dapat terbawa sampai jarak jauh (umumnya diameter lebih

kecil dari 38 µm )

3. Terdistribusi luas

4. Bersifat alergenik.

c. Tipe dari alergen seasonal adalah :

1. Pohon : pada musim dingin dan musim semi ; Februari sampai Mei

2. Rumput : pada musim semi,musim panas dan musim gugur ; April

sampai Desember.

3. Rumput liar : pada musim panas, dan musim gugur ; Juli sampai

Desember (Krouse, 2002; Lee, 2003).

3. Penyebab nonspesifik

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 31: 07E00001

a. Iklim

Udara lembab, perubahan suhu, angin.

Iklim ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap penyebaran debu

rumah dan tepung sari bunga, disamping memberi suasana yang baik

untuk tumbuhnya berbagai macam jamur.

b. Hormonal

Wanita yang mempunyai bakat alergi dapat kambuh gejala alerginya

kalau sedang hamil karena minum pil KB atau menderita Hipertiroid.

c. Psikis

Meningkatnya emosi dan ketegangan jiwa pada orang yang berbakat

alergi memudahkan kambuhnya manifestasi alergi.

d. Infeksi

Infeksi memudahkan kambuhnya alergi demikian juga sebaliknya.

e. Iritasi

Rangsangan dapat pula menyebabkan kambuhnya alergi misalnya : asap

rokok, bahan-bahan polusi.

f. Genetik

Tak diragukan lagi besarnya faktor genetik terhadap penyakit alergi,

karena banyak penderita berasal dari keluarga yang juga menderita

penyakit alergi. Risiko untuk menderita penyakit alergi adalah sebayak

30 % bila satu orang tua yang atopi dan lebih dari 30 % bila kedua

orang tua atopi. Demikian pula ibu yang atopi berperan lebih besar

secara bermakna daripada ayah yang atopi (Harmadji, 1993; Rusmono,

1993).

2.7.2 Gejala

Rinitis alergi ditandai dengan trias gejala yaitu beringus, bersin-bersin, dan

hidung tersumbat disertai gejala tambahan berupa gatal atau rasa perih pada hidung.

Gatal pada mata, urtikaria, rasa sumbatan pada telinga, gatal pada palatum, gatal pada

tenggorok serta asma dapat menyertainya apabila reaksi alergi terjadi juga pada organ-

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 32: 07E00001

organ lain. Gejala-gejala tersebut dapat sembuh spontan atau membaik oleh obat

(Sumarman, 2001; Chanda et al, 2002).

Gambaran klinis pada rinitis alergi disebabkan oleh terpaparnya mukosa hidung

setelah terhirup zat alergen dimana individu tersebut telah tersensitisasi. Gejala yang

ditimbulkan dapat berupa bersin-bersin, iritasi hidung, hidung beringus dan hidung

tersumbat. Intensitas dari gejala rinitis alergi ini tergantung oleh kombinasi pejamu dan

antigen faktor seperti derajat sensitisasi individu dan alergen ( Katalaris, 1997).

2.8 Patofisiologi

Dalam patogenesis penyakit alergi termasuk rinitis alergi, dapat dibedakan ke

dalam fase sensitisasi dan elisistasi yang dapat dibedakan atas tahap aktifasi dan tahap

efektor (Suprihati, 2006).

2.8.1 Fase sensitisasi

Semua mukosa hidung manusia terpapar oleh berbagai partikel seperti tepung

sari, debu, serpih kulit binatang dan protein lain yang terhirup bersama inhalasi udara

napas. Alergen/ antigen yang terdeposit pada mukosa hidung tersebut kemudian diproses

oleh makrofag / sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (APC)

menjadi peptida pendek yang terdiri dari atas 7-14 asam amino yang berikatan dengan

tempat pengenalan antigen dari komplek MHC klas II. Sel APC ini akan mengalami

migrasi ke adenoid, tonsil atau limfonodi. Pada penderita atopik, reseptor sel T (TCR)

pada limposit Tho bersama molekul CD4 dapat mengenali peptida yang disajikan oleh sel

penyaji antigen tersebut. Kontak simultan yang terjadi antara reseftor sel T (TCR)

bersama molekul CD4 dengan MHC klas II , CD28 dan B7 serta molekul asesori pada

sel T dengan ligand pada sel penyaji antigen memicu terjadinya rangkaian aktifitas pada

membran sel, sitoplasma maupun nukleus sel T yang hasil akhirnya berupa produksi

sitokin (Suprihati, 2006 ).

Paparan alergen dosis rendah yang terus-menerus pada seorang penderita yang

mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel-sel penyaji antigen

(APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 memacu sel B untuk

memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada bebas

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 33: 07E00001

dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan reseptornya (FCE-RI) dengan

afinitas tinggi dipermukaan sel basofil dan sel mast. Sel mast kemudian masuk ke venula

postkapiler di mukosa yang kemudian keluar dari sirkulasi dan berada dalam jaringan

termasuk di mukosa dan sub-mukosa hidung. Dalam keadaan ini maka seseorang

dikatakan dalam keadaan sensitif atau sudah tersensitisasi. Dalam fase ini seseorang

dapat belum mempunyai gejala rinitis alergi atau penyakit yang lain, tetapi jika dilakukan

tes kulit dapat memberikan hasil yang positif.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 34: 07E00001

2.8.2. Patogenesis rinitis alergi

Skema 1. Patogenesis Rinitis Alergi

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 35: 07E00001

Gambar 3. Patofisiologi Rinits Alergi

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 36: 07E00001

2.8.3 Fase elisitasi

2.8.1 Tahap aktifasi

Pada seorang atopik yang sudah sensitif/ tersensitisasi jika terjadi paparan ulang

dengan alergen yang serupa dengan paparan alergen sebelumnya pada mukosa hidung

dapat terjadi ikatan/ bridging antara dua molekul IgE yang berdekatan pada permukaan

sel mast/ basofil dengan alergen yang polivalen tersebut (cross-linking) (Suprihati, 2006).

Interaksi antara IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau basofil dengan

alergen yang sama tersebut memacu aktifasi guanosine triphospate (GTP) binding (G)

protein yang mengaktifkan enzim phospolipase C untuk mengkatalisis phosphatidyl

inositol biphosphat (PIP2) menjadi inositol triphosphate (IP3) dan diacyl glycerol (DAG)

pada membran PIP2. Inositol triphosphate menyebabkan pelepasan ion kalsium intrasel

(Ca++) dari reticulum endoplasma. Ion Ca++ dalam sitoplasma langsung mengaktifkan

beberapa enzim seperti phospolipase-A dan komplek Ca++-calmodulin yang

engak

eflek

arasimpatis mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar yang menyebabkan gejala

itu histamin juga menyebabkan gejala hidung tersumbat karena

enyeb

m tifkan enzim myosin light chain kinase. Selanjutnya Ca++ dan DAG bersama-sama

dengan membran phospolipid mengaktifkan protein kinase C. Sebagai hasil akhir aktifasi

ini adalah terbentuknya mediator lipid yang tergolong dalam newly formed mediators

seperti prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien C4 (LTC-4), platelet activating factors

(PAF) dan exositosis granula sel mast yang berisi mediator kimia yang disebut pula

sebagai preformed mediator seperti histamin, tryptase dan bradikinin (Suprihati, 2006).

Histamin merupakan mediator kimia penting yang dilepaskan sel mast karena

histamin dapat menyebabkan lebih dari 50% gejala reaksi alergi hidung ( bersin, rinore,

hidung gatal dan hidung tersumbat ). Histamin mempunyai efek langsung pada endotel

yaitu meningkatkan permeaibilitas kapiler yang menyebabkan proses transudasi yang

memperberat gejala rinore. Ikatan histamin pada reseptor saraf nocicetif tipe C pada

mukosa hidung yang berasal dari N-V menyebabkan rasa gatal di hidung dan merangsang

timbulnya serangan bersin. Efek histamin pada kelenjar karena aktifasi r

p

rinore yang seros. Selain

m abkan vasodilatasi pembuluh darah mukosa hidung terutama konka. Gejala yang

segera timbul setelah paparan alergen disebut reaksi fase cepat atau reaksi fase segera

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 37: 07E00001

(RFS). Histamin yang sudah dibebaskan dari sel mast akan dimetabolisme oleh histamin

N-methyl transferase (HMT) pada sel epitel maupun pada endotel (Suprihati, 2006).

2.8.2 Tahap efektor

Apabila mediator kimia yang menyebabkan reaksi fase segera telah mengalami

metabolisme dan bersih dari mukosa gejala-gejala klinik akan berkurang. Setelah reaksi

fase segera dengan adanya pelepasan sitokin dan aktifasi endotel mengakibatkan

terjadinya reaksi fase lambat. Reaksi fase lambat terjadi pada sebagian penderita (30-

35%) RA yang terjadi antara 4-6 jam setelah paparan alergen dan menetap selama 24-48

jam. Gambaran khas RAFL adalah tertariknya berbagai macam sel inflamasi khususnya

eosinofil ke lokasi reaksi alergi yang merupakan sel efektor mayor pada reaksi alergi

kronik seperti RA dan asma bronkhial. Eosinofil dalam perjalanannya dari sirkulasi

darah sampai ke jaringan/ lokasi alergi melalui beberapa tahap seperti migrasi

(perpindahan) eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh darah dan mulai berikatan

secara reversibel dengan endotel yang mengalami inflamasi (rolling) yang diikuti

perlekatan pada dinding pembuluh darah yang diperantarai oleh interaksi molekul adesi

nderita

rinitis alergi. Dalam darah tepi eosinofil merupakan sebagian kecil sel darah (1%) dan

eosinofil berperan penting pada perubahan patofisiologis RA karena mengandung

endotel seperti ICAM-1 ( inter cell adhesi molecul-1) dan VCAM-1 (vascular cell adhesi

molekul-1) yang bersifat spesifik terhadap perlekatan sel eosinofil karena sel eosinofil

mengekspresikan VLA-4 yang akan berikatan dengan VCAM-1. ICAM-1 juga

diekspresikan oleh sel epitel mukosa hidung penderita RA yang mendapatkan paparan

alergen spesifik terus-menerus dan menjadi dasar konsep adanya minimal persistent

inflamation (MPI) yang terlihat pada rinitas alergi terhadap tungau debu rumah (TDR)

dalam keadaan bebas gejala (Suprihati, 2006).

Eosinofil pertama kali dilukiskan oleh Paul Erlich 1879 berdasarkan perilaku

spesifik terhadap pengecatan. Sekarang eosinofil dengan peran pro-inflamasi dan peran

pentingnya pada penyakit alergi kronik semakin jelas dikenal dan merupakan subyek

penelitian dasar dan terapi. Eosinofil berasal dari sumsum tulang berupa progenitor,

kemudian berada dalam darah tepi dan juga ditemukan di mukosa hidung pe

mempunyai half-life yang pendek (8-18 jam). Pada mukosa hidung penderita RA sel

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 38: 07E00001

berbagai mediator kimia seperti mayor basic protein (MBP), eosinophiel cationic protein

(ECP), eosinophiel derived neurotoxin (EDN) dan eosinophiel peroxidase (EPO) yang

mempunyai efek menyebabkan desagregasi dan deskuamasi epitel, kematian sel,

2.8.3

Reaksi

ditandai oleh gejala bersin, beringus,

tersebut diakibatkan kinerja histam

g)

pidermis atau mukosa, yang

disalurkan secara lambat sepanjang

neuron sensoris yang kecil di dalam ner

s

alergi secara khas m

histam

dapat terjadi langsung pasca provokasi

berperan namun hanya kec

Beringus didefinisikan sebagai pengeluaran sekresi kelenjar membran

mukosa hidung yang berlebihan, dimulai dalam tiga menit pasca acuan alergen

dan berakhir pada sekitar 20-30 menit kemudian. Beringus merupakan gejala

inaktifasi saraf mukosa dan kerusakan sel karena radikal bebas (Suprihati, 2006).

Peran mediator-mediator inflamasi dalam manifestasi gejala klinis rinitis

alergi

alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) pada rinitis alergi

gatal hidung, dan buntu hidung. Gejala-gejala

in dan berbagai mediator lain (Sumarman, 2001).

1. Bersin-bersin (sneezin

Histamin merupakan mediator utama terjadinya bersin. Bersin umumnya

merupakan gejala RAFC, berlangsung selama 1-2 menit pasca terkena pacuan

alergen dihubungkan dengan degranulasi mastosit (terlepasnya histamin), dan

hanya kadang-kadang terjadi pada RAFL. Bersin disebabkan stimulasi reseptor

H1 pada ujung saraf vidianus (C fiber nerve ending). Peptida endotelin-1 yang

dioleskan pada mukosa hidung menyebabkan bersin (Sumarman, 2001).

2. Gatal-gatal (pruritus)

Gatal-gatal merupakan kondisi yang mekanismenya tidak sepenuhnya

diketahui dengan baik. Diduga berbagai mediator bekerja pada serabut saraf halus

C tak bermyelin (unmyelinated) dekat bagian basal,e

dapat menimbulkan rasa gatal khusus, yang

vus spinalis ke talamus dan korteks

ensoris. Gatal-gatal berlangsung terutama sepanjang RAFC dan pada rinitis

enimbulkan gatal palatum. Gatal-gatal terjadi pada saat

in berikatan dengan reseptor-H1, pada ujung serabut saraf trigeminal dan

histamin.Mungkin juga prostaglandin

il saja (Sumarman, 2001).

3. Beringus (rhinorrhea)

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 39: 07E00001

domi

molekul-molekul protein besar melewati dinding kapiler

pemb

or H1.

atropin pre-

treatm

trien dan bradikinin juga menyebabkan

berin

rer akibat kongesti sementara yang bersifat

vasod

nan sepanjang RAFC tetapi juga dapat sepanjang RAFL. Sekresi kelenjar

tersebut merupakan akibat terangsangnya saraf parasimpatis dan mengalirnya

cairan plasma dan

uluh darah hidung.

Histamin yang dilepas mastosit penyebab utama beringus, yang diduga

karena histamin meningkatkan permeabilitas vaskuler melalui reaksi langsung

pada resept

Dalam berespon terhadap pacuan alergen, beringus dapat terjadi pada

hidung kontralateral. Hal ini disebabkan terjadinya refleks nasonasal dan

sepertinya diperantarai asetilkholin karena dapat dihambat oleh

ent.

Jadi, beringus hasil induksi alergen merupakan akibat kombinasi proses

penurunan permeabilitas vaskuler, hipersekresi kelenjar mukosa hidung

ipsilateral, dan akibat refleks kelenjar mukosa hidung kontralateral.

Pacuan hidung dengan leuko

gus melalui mekanisme peningkatan permeabilitas vaskuler dan

hipersekresi kelenjar. Mediator lain yang juga berperan pada proses

beringus(ECP,PAF,LTC4,Substance P dan VIP) (Sumarman, 2001).

4. Buntu hidung (nasal congestion)

Buntu hidung pada rinitis alergi merupakan kemacetan aliran udara yang

tidak menetap, tetapi terjadi tempo

ilatasi vaskuler. Mekanisme vasodilatasi ini diperantarai reseptor-H1, yang

berakibat pelebaran cavernous venous sinusoid dalam mukosa konka, sehingga

terjadi peningkatan tahanan udara dalam hidung. Timbunan sekret dalam hidung

juga menambah sumbatan hidung.

Peningkatan aktivitas parasimpatis juga menyebabkan vasodilatasi dengan

akibat buntu hidung, namun pengaruhnya kecil saja. Vasodilatasi vaskuler

hidung lebih dipengaruhi oleh sejumlah mediator antara lain histamin,

bradikinin, PGD2, LTC4, LTD4, PAF.

Buntu hidung akibat histamin sepanjang RAFC berlangsung singkat saja,

tidak lebih dari 30 menit setelah bersin-bersin. Sepanjang RAFL, peran histamin

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 40: 07E00001

terhadap vasodilatasi vaskuler juga kecil saja, namun peran leukotrien (LTC4,

LTD4) pada vasodilatasi adalah sepuluh kali lebih kuat dibanding histamin.

Provokasi hidung dengan LTD4 menyebabkan peningkatan tahanan udara

hidung, tanpa rasa gatal, tanpa bersin-bersin dan tanpa beringus. PGD2 dan

bradikinin juga jauh lebih kuat dalam menimbulkan buntu hidung. Demikian

tonin-gene related dapat menimbulkan

infeksi intra-sel dihasilkan satu set sitokin yang disebut sitokin tipe 1

yang dip

agai sitokin tipe 2, antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, IL-13 dan

GMCF

diproduksi oleh

sel Th2, sel mast dan sel basofil. Produksi IL-4 cepat dan bersifat transien, dapat dideteksi

juga neuropeptida substance P dan calci

vasodilatasi dan karenanya turut dalam terjadinya buntu hidung (Sumarman,

2001).

2.8.4 Peran sitokin pada rinitis alergi

Peran sitokin pada penyakit alergi mendapat perhatian para ahli setelah

ditemukan oleh Mosmann et al (1986). Dilaporkan bahwa sel Th (CD4+) cenderung

memproduksi dua jenis sitokin yang berbeda.

Berdasarkan jenis produk sitokinnya, pada awalnya sel Th dibedakan menjadi

sel Th1 dan sel Th2. Perubahan/polarisasi sel Th0 menjadi sel Th1 atau Th2 dipengaruhi

oleh jenis antigen yang merangsang, dosis antigen, tipe sel penyaji antigen yang terlibat,

lingkungan mikro sitokin yang ada dan sinyal kostimulator yang diterima sel T serta

faktor genetik. Pada

roduksi antara lain oleh sel Th1 yaitu IFN-∂ dan IL-2. Penelitian lebih lanjut

ditemukan berbagai sitokin lain seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13 yang diproduksi oleh

sel Th2. Sitokin IFN-∂ dianggap sebagai prototipe sitokin Th1 sedangkan IL-4 merupakan

protipe sitokin Th2.

Pada individu yang atopik, sel T CD4+ (Th0) cenderung akan mengalami

polarisasi menjadi sel Th2 yang akan melepaskan kombinasi khas berbagai sitokin yang

disebut pula seb

yang sifatnya mempertahankan lingkungan proatopik yaitu menginduksi sel

limfosit B untuk memproduksi IgE. Pada infeksi intra-sel dihasilkan satu set sitokin yang

disebut sitokin tipe 1 yang diproduksi antara lain yang diproduksi oleh sel Th1, yaitu:

IFN-∂ dan IL-2.

Sitokin IL-4 pada manusia merupakan suatu glycoprotein yang

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 41: 07E00001

dalam w

IL-

12 dan I

sdusikan oleh toll-like-

receptor

aktu 1-5 jam dan ekspresinya hilang setelah 24-48 jam. Efek sitokin IL-4 selain

pada perkembangan Th2 adalah mengarahkan sel B untuk memproduksi IgE dan IgG4.

Seperti diketahui IgE merupakan kunci untuk terjadinya penyakit atopi.

Sitokin IFN-∂ selain diproduksi oleh sel Th1 yang teraktifasi juga oleh sel NK

dan sel T cytotoxic karena itu sering disebut sitokin tipe 1. Dilaporkan bahwa sebagai

pemicu aktifasi sel Th1 adalah reaksi silang kompleks reseptor sel T, sedangkan sel NK

sebagai pemicunya adalah sitokin yang dihasilkan oleh makrofag berupa TNF-a dan

FN-∂ sendiri. Dalam respon primernya terhadap rangsangan antigen, aktifasi sel

Th0 ditentukan oleh pengaruh lingkungan mikrositokin yang ada. Secara bersamaan IFN-∂

dan IL-12 terlibat dalam menentukan diferensiasi sel Th0 untuk menjadi fenotipe Th1.

Sitokin IL-12, merupakan bioaktif yang yang diproduksi oleh monosit-makrofag

yang teraktifasi dan sel-sel penyaji antigen (APC) yang lain. Yang merupakan sumber

utamanya adalah sel-sel dendrit yang memproses dan menyajikan antigen terlarut

(soluble) pada sel T. Sel dendrit merupakan sel penyaji antigen kunci yang mengaktifkan

sel T naive dan dapat dikatakan sel dendrit merupakan pengatur diferensiasi sel Th1.

Peran tersebut terutama setelah dendrit mengalami maturasi akibat paparan mikroba atau

sinyal bahaya kuat yang lain . Sel dendrit yang sudah matur berkurang kemampuan

endositosisnya, sedangkan kemampuan presentasi antigennya meningkat dengan

mengubah ekspresi reseptor, berada di limfonodi regional dan meningkatkan produksi

sitokin imunoregulator termasuk IL-12. Sinyal bahaya ditran

(TLR) yang diekspresikan pada sel dendrit dan sistem imun lain. Sinyal bahaya

ini cenderung memacu respon imun Th1 dengan memacu sel dendrit untuk memproduksi

sejumlah besar IL-12 dan meningkatkan sitokin tipe 1 yang lain.

Produksi sitokin IL-12 sangat dipengaruhi oleh mediator sitokin lingkungan

yang terdapat selama berlangsungnya respon imun. Mediator yang meningkatkan

produksi IL-12 adalah IFN-∂ dan TNF-ß, sedangkan yang menghambat produksinya adalah

IL-4, IL-13, TGF-B dan IL-10. Di antara mediator-mediator tersebut IFN-∂ merupakan

stimulator produksi IL-12 yang paling kuat. Sementara itu diketahui IL-12 mempunyai

efek memicu produksi IFN-∂, meskipun secara invitro untuk mendapatkan kadar IL-12

yang terukur diperlukan IFN-∂. Produksi IL-12 oleh makrofag dan neutrofil dapat dipicu

secara langsung oleh lipopolisakarida (LPS) dan produk lain dari mikroorganisme

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 42: 07E00001

patogen. Dengan demikian sitokin IL-12 terbukti merupakan salah satu pengatur sentral

imunitas seluler yang mengaktifkan sel NK, juga merupakan mediator esensial utama

untuk diferensiasi sel Th0 (naive) ke Th1 dan secara langsung memacu sekresi IFN-∂ oleh

sel Th1 dan sel NK. Sementara itu IL-12 secara aktif terpicu di dalam makrofag dan

monosit oleh IFN-∂ sehingga respon Th1 distabilkan oleh suatu jalur feedback positif.

Ganggua

onosit, tetapi pre-

inkubasi

cu IFN-∂ yang poten. Suatu penemuan yang menunjukkan bahwa profil

sitokin d

respon imun Th1 telah didemonstrasikan baik secara in vitro maupun in vivo . Secara in-

n kerja sitokin IL-12 mengakibatkan tidak ada respon Th1 yang persisten,

sementara itu produksi IL-12 oleh monosit dapat ditekan oleh sitokin lain termasuk IL-4

dan IL-10 yang merupakan produksi sel Th2.

Sitokin Th2 diduga merupakan inhibitor IL-12, tetapi hubungan antara sitokin

Th2 dengan IL-12 sebenarnya lebih kompleks. Misalnya IL-4 dan IL-13 akan menekan

produksi IL-12 bila kedua sitokin tersebut ditambahkan saat stimulasi m

yang lama dengan kedua sitokin tersebut (IL-4 dan IL-13) akan memicu

produksi IL-12 yang tinggi. Mediator lain yang penting pada penyakit alergi, yaitu PGE2

dan histamin, ternyata juga mempunyai efek menekan produksi IL-12.

Heterogenitas sel Th (Th1 dan Th2) sekarang dapat diterima secara luas karena

perbedaan tersebut menjelaskan penyimpangan imunitas yaitu hubungan timbal balik

antara imunitas humoral dan seluler dan menjelaskan terjadinya penyakit alergi sebagai

akibat produksi berlebihan oleh sel Th2. Sementara itu diketahui bahwa sitokin Th1 (IFN-

∂) dapat menghambat produksi sitokin Th2 (IL-4) dan sebaliknya, sitokin Th2 (IL-4) dapat

menghambat produksi sitokin Th1 (IFN-∂). Dilaporkan bahwa sel Th0 (CD4+) yang sudah

mengalami diferensiasi penuh menjadi sel efektor Th1 atau Th2 akan memproduksi sitokin

yang relatif tetap, demikian juga sel Th memori yang sudah mengalami polarisasi. Akan

tetapi sel Th memori yang belum mengalami polarisasi (sel Th resting) profil sitokinnya

dapat diubah sesuai dengan lingkungan mikro-sitokin yang ada, dengan demikian sel

memori Th2 menghasilkan sitokin Th1 jika diaktifkan bersamaan dengan IL-12 yang

merupakan pemi

ari populasi sel memori relatif fleksibel dan dapat dirubah (reprogrammed)

merupakan suatu konsep penting dan mempunyai arti yang bermakna untuk pengobatan

penyakit alergi.

Kemampuan sitokin IL-12 untuk merubah kembali respon imun Th2 menjadi

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 43: 07E00001

vitro diperlihatkan bahwa IL-12 mengahambat produksi IL-4 dalam suatu kultur darah

tepi penderita alergi dan menekan produksi IgE oleh monosit darah tepi. Penelitian lain

menunju bahwa IL-12 menekan sintesis IL-4 dan IL-10 secara spesifik dan

si IFN-∂ pada sel T CD4+ pada penderita rinitis alergi.

ginya kadar IgE spesifik . Secara umum paparan ulang trhadap antigen

tertentu

gambar

n, misalnya debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan

asuknya antigen asing ke dalam tubuh, terjadi reaksi yang secara

garis be

1.

. Reaksi ini bersifat non

esifik dan dapat berakhir sampai di sini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya

ihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

kkan

meningkatkan produk

2.9 Antigen

Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas tipe segera disebut alergen.

Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas adalah protein atau zat kimia yang

terikat protein terhadap mana individu atopi bersangkutan terpapar secara kronik.

Pemaparan antigen sebelumnya secara alami merupakan faktor penting yang akan

menentukan ting

diperlukan untuk menghasilkan reaksi atopi terhadap antigen bersangkutan

(Kresno, 2001).

Belum diketahui mengapa antigen tertentu menimbulkan reaksi alergi kuat dan

antigen lain tidak. Ada kemungkinan bahwa alergen tidak sering disertai adjuvan alami,

karena itu gagal merangsang respon imun bawaan yang kuat yang seharusnya dapat

meningkatkan aktivasi makrofag dan sekresi sitokin penginduksi sel Th1, yaitu IL-12 dan

IL-8. Sifat alergenik diduga terletak pada antigen itu sendiri, mungkin dalam epitop yang

dikenal oleh sel tertentu. Walaupun tidak ada struktur protein khusus yang dapat

digunakan untuk memprediksi secara tepat bahwa protein itu alergenik, ada beberapa

an khas pada alergen yang sering dijumpai. Gambaran itu menyangkut berat

molekul kemudian glikosilasi, dan sifat kelarutannya dalam cairan tubuh (Kresno, 2001).

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga

memberi gejala campura

rinitis alergi. Dengan m

sar terdiri dari:

Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag)

sp

d

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 44: 07E00001

Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah

sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag

berhasil dieliminasi pa

2.

da tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau

ada defek dari sitem imunologi, maka reaksi berlanjut menjadi

3.

yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat

bersifat sementara atau menetap tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh

).

dan

ngkap mengenai riwayat penyakit, dan diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan

anamne dan pemeriksaan penunjang diagnostik (Irawati, 2002).

ifik meliputi gejala hidung, termasuk keterangan

me gejala rinitis

alerg

ngan)

ak

telinga

r dan kemerahan

t nasal drip atau batuk kronik

memang sudah

respons tertier.

Respon tertier

Reaksi imunologi

(Irawati, 2001

2.10 Diagnosis

Pengenalan terhadap rinitis alergi dimulai dengan anamnesis yang cermat

le

sis, pemeriksaan fisik

2.10.1 Anamnesis

Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan

dengan pertanyaan yang lebih spes

ngenai tempat tinggal, tempat kerja dan pekerjaan penderita. Gejala-

i yang perlu ditanyakan adalah:

1. Adanya bersin-bersin lebih dari 5 kali (setiap kali sera

2. Rinore (ingus bening, encer) dan bany

3. Gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau

4. Gatal di mata, berai

5. Hidung tersumbat (menetap/berganti-ganti)

6. Hiposmia/anosmia

7. Sekret belakang hidung /pos

8. Adakah variasi diurnal (memburuk pada pagi hari-siang hari dan

membaik saat malam hari)

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 45: 07E00001

9. Penyakit penyerta : sakit kepala berhubungan dengan tekanan pada

hidung dan sinus akibat sumbatan yang berat, kelelahan, penurunan

akit,

nore dan kadang-kadang hidung tersumbat, sedang pada reaksi alergi fase lambat

gejala

arga serta manifestasi penyakit alergi lain

sebelum

ta memperberat gejala rinitis. Riwayat pengobatan yang

pernah dilakukan dan hasil dari pengobatan serta kepatuhan berobat juga perlu

ipertanyakan (Irawati, 2002).

konsentrasi, gejala radang tenggorok, mendengkur, gejala sinusitis, gejala

sesak nafas / asma.

10. Frekuensi serangan, lama sakit (intermiten/persisten), beratnya peny

efeknya pada kualitas hidup seperti adakah gangguan pada pekerjaan,

sekolah, berolah raga, bersantai dan melakukan aktivitas sehari-hari.

Pada reaksi alergi fase cepat, gejala klinik yang menonjol adalah bersin-bersin,

gatal, ri

yang dominan adalah hidung tersumbat, post nasal drip dan hiposmia (Irawati,

2002).

Perlu ditanyakan riwayat atopi di kelu

atau bersamaan dengan rinitis seperti asma brokial, dermatitis atopi, urtikaria

dan alergi terhadap makanan (Irawati, 2002).

Sumber penting alergen di lingkungan pasien juga dipertanyakan sebagaimana

kualitas udara dan sistem ventilasi di rumah maupun di lingkungan kerja,adanya binatag

peliharaan, tipe lantai, keadaan kamar mandi dan ruang bawah tanah sebagai gudang (bila

ada). Faktor pemicu timbulnya gejala juga perlu dipertanyakan seperti lingkungan di

rumah, kamar tidur, tempat kerja, sekolah, kegemaran atau hobi yang dapat memicu

terjadinya gejala. Bila pasien alergi terhadap debu rumah, gejala memburuk di dalam

rumah dan membaik di luar rumah. Gejala juga dipicu bila pasien membersihkan rumah,

biasanya memburuk 30 menit sebelum tidur malam. Bila alergi terhadap jamur , gejala

dapat terjadi sepanjang tahun, memburuk pada lingkungan dengan kelembaban tinggi dan

pada sore hari. Adanya keadaan hiperreaktivitas hidung terhadap iritan non spesifik

seperti asap rokok, udara dingin, bau merangsang seperti bau parfum, masakan dan

polutan juga dapat memicu ser

d

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 46: 07E00001

2.10.2 R

. WHO initiative ARIA (2000) membedakan

kedua tip rsebut sebagai berikut :

iwayat Penyakit

Riwayat klinis penyakit masih merupakan alat esensial bagi akuratnya diagnosa

rinitis alergi, pengukuran tingkat beratnya penyakit, dan respon pengobatan. Pasien rinitis

sering juga dibagi menjadi tipe “sneezers and runners” dan tipe “blockers”. Pasien rinitis

alergi biasanya tipe “sneezers and runners”

e rinitis te

T

abel 1. Perbedaan Rinitis Alergi tipe Sneezers and Runners dengan Blockers

an adanya krusta dan

kulit yang kasar di daerah nostril / lubang hidung (Irawati, 2002).

2.10.3 Pemeriksaan Fisik

Gejala spesifik pada anak adalah adanya bayangan gelap di kelopak mata bawah

akibat sumbatan vena di daerah orbita, hidung dan sinus yang biasanya menetap akibat

bocornya hemosiderin (Allergic shiners), Dennie-Morgan lines adalah garis pada kulit

di kelopak mata bawah, Allergic salute adalah kebiasaan anak menggosok-gosok hidung

karena gatal dengan telapak tangan kearah atas yang akan mengakibatkan timbulnya garis

melintang di dorsum nasi sepertiga bawah (Allergic crease). Pada anak dengan sumbatan

hidung kronik dapat menimbulkan facies adenoid karena sering bernafas lewat mulut.

Hal ini akan menyebabkan lengkung palatum yang tinggi dan gangguan pertumbuhan

gigi sehingga terjadi penonjolan ke depan dari gigi seri atas. Pasien sering mengerak-

gerak mulut dan gigi saat tidur terutama pada anak untuk mengatasi masalah gejala rasa

penuh di telinga akibat sumbatan tuba. Kadang-kadang ditemuk

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 47: 07E00001

Pada mata dapat ditemukan kemerahan dengan hiperlakrimasi. Pada pemeriksaan

rinoskopi anterior ditemukan mukosa konka inferior atau media pucat/livid, diliputi

sekret hidung seromukoid, udem (boggy) atau hipertrofi. Perhatikan juga daerah septum

nasi (lurus, deviasi, spina/krista) serta adakah polip nasi. Bila fasilitas tersedia dapat

dilakukan nasoendoskopi, apakah ada gambaran konka bulosa atau polip kecil di daerah

meatus medius serta keadaan kompleks osteomeatal (Irawati, 2002).

Pada pemeriksaan tenggorok mungkin didapatkan bentuk geographic tongue

(permukaan lidah sebagian licin dan sebagian kasar) yang bisanya akibat alergi makanan,

adenoiod yang membesar, permukaan dinding faring posterior kasar (Cobble stone

appereance) dan penebalan lateral pharyngeal bands akibat sekret mengalir ke

tenggorok yang kronik (Irawati, 2002)

.

2.10.4 Pemeriksaan Penunjang

2.10.4.1 Pemeriksaan in vitro

Pemeriksaan in vitro merupakan pemeriksaan diagnostik secara laboratorium

untuk mendeteksi dan mengidentifikasi penyebab. Kelebihan pemeriksaan ini

dibandingkan tes kulit adalah aman dan nyaman bagi penderita sehingga dapat dilakukan

pada bayi dan anak kecil serta dapat dilakukan pada pasien dimana tes kulit tidak dapat

dilakukan yaitu penderita tidak dapat bebas dari antihistamin, antidepresan trisiklik atau

penderita dengan kelainan kulit (dermatografisme dan dermatitis atopi berat) (Irawati,

2002).

2.10.4.2 Pemeriksaan IgE total serum

Secara umum, kadar IgE total serum rendah pada orang normal dan meningkat

pada penderita atopi, tetapi kadar IgE normal tidak menyingkirkan adanya rinitis alergi.

Pada orang normal, kadar IgE meningkat dari lahir (0-1 KU/L) sampai pubertas dan

menurun secara bertahap dan menetap setelah usia 20-30 tahun. Pada orang dewasa kadar

>100-150 KU/L dianggap normal. Kadar meningkat hanya dijumpai pada 60% penderita

rinitis alergi dan 75% penderita asma. Terdapat berbagai keadaan dimana kadar IgE

meningkat yaitu infeksi parasit, penyakit kulit (dermatitis kronik, penyakit pemfigoid

bulosa) dan kadar menurun pada imunodefisiensi serta multipel mielom. Kadar IgE

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 48: 07E00001

dipengaruhi juga oleh ras dan umur, sehingga pelaporan hasil harus melampirkan nilai

batas normal sesuai golongan usia. Pemeriksaan ini masih dapat dipakai sebagai

pemeriksaan penyaring, tetapi tidak digunakan lagi untuk menegakkan diagnostik

(Irawati, 2002).

2.10.4.3 Pemeriksaan IgE spesifik serum (dengan metode

RAST/Radioallergosorbent test)

Pemeriksaan ini untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap suatu alergen.

Pemeriksaan ini cukup sensitif dan spesifik (>85%), akurat dapat diulang dan bersifat

kuantitatif. Studi penelitian membuktikan adanya korelasi yang baik antara IgE spesifik

dengan tes kulit, gejala klinik, dan tes provokasi hidung bila menggunakan alergen

terstandarisasi. Hasil baru bermakna bila ada korelasi dengan gejala klinik, seperti pada

tes kulit. Cara lain adalah Modified RAST dengan sistem scoring (Irawati, 2002).

2.10.5 Pemeriksaan lain

Pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan pertama untuk menegakkan

diagnosis, tetapi dapat dipakai sebagai pemeriksaan penunjang atau untuk mencari

penyebab lain yang mempengaruhi timbulnya gejala klinik (Irawati, 2002).

1. Hitung jenis sel darah tepi

Pemeriksaan ini dipergunakan bila fasilitas lain tidak tersedia. Jumlah sel

eosinofil darah tepi kadang meningkat jumlahnya pada penderita rinitis alergi,

tetapi kurang bermakna secara klinik.

2. Pemeriksaan sitologi sekret dan mukosa hidung

Bahan pemeriksaan diperoleh dari sekret hidung secara langsung (usapan),

kerokan, bilasan dan biopsi mukosa. Pengambilan sediaan untuk pemeriksaan ini

sebaiknya dilakukan pada puncak RAFL pasca pacuan alergen atau saat bergejala

berat dan biasanya hanya untuk keperluan penelitian dan harus dikerjakan oleh

tenaga terlatih.

3. Tes provokasi hidung / nasal challenge test (bila fasilitas tersedia).

Pemeriksaan ini dilakukan bila tidak terdapat kesesuaian antara hasil pemeriksaan

diagnostik primer (tes kulit) dengan gejala klinik. Secara umum tes ini lebih sulit

untuk diulang dibandingkan dengan tes kulit dan pemeriksaan IgE spesifik. Tes

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 49: 07E00001

provokasi menempatkan penderita pada situasi beresiko untuk terjadinya reaksi

anafilaksis.

4. Tes fungsi mukosillier (menilai gerakan silia).

Pemeriksaan ini untuk kepentingan penelitian.

5. Pemeriksaan aliran udara hidung

Derajat obstruksi hidung diukur secara kuantitatif dengan alat rinomanometri

(anterior atau posterior) atau rinomanometri akustik, misalnya pasca tes provokasi

hidung. Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan.

6. Pemeriksaan radiologik

Pemeriksaan foto polos sinus paranasal, CT Scan maupun MRI ( bila fasilitas

tersedia) tidak dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis rinitis alergi, tetapi

untuk menyingkirkan adanya kelainan patologik atau komplikasi rinitis alergi

terutama bila respon pengobatan tidak memuaskan. Pada pemeriksaan foto polos

dapat ditemukan penebalan mukosa sinus (gambaran khas sinusitis akibat alergi),

perselubungan homogen serta gambaran batas udara cairan di sinus maksila.

7. Pemeriksaan lain yaitu: fungsi penghidu dan pengukuran kadar NO (nitric oxide)

(Irawati, 2002).

2.10.6 Tes kulit

Tes kulit dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: tes gores, tes kulit cukit,tes

suntik intradermal dan skin endpoint titration (SET). Untuk menjamin akurasinya, tes

kulit harus dilaksanakan setelah terlampaui masa ’wash out’ antihistamin. Masa ini

berkisar antara 2-4 hari pada antihistamin sedatif dan satu minggu pada antihistamin non

sedatif, kecuali asetamizol 6-8 minggu, sedangkan masa wash out untuk kortikosteroid

berkisar antara 2-3 bulan (Sumarman, 2001).

Tes kulit sebagai salah satu tes alergi dengan menggunakan ekstrak alergen

merupakan alat diagnostik yang jitu yang membuktikan telah terjadinya fase sensitisasi

oleh alergen tertentu pada seorang individu. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya

reaksi hipersensitivitas yang segera pada individu tersebut, atau dengan kata lain pada

epikutan individu tersebut terdapat komplek Ig E-sel mast (Sumarman, 2001) .

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 50: 07E00001

Tes kulit telah digunakan secara luas sebagai salah satu alat utuk menegakkan

dignosis alergi terhadap alergen dan merupakan indikator yang aman, mudah dilakukan,

hasil cepat didapat, biaya yang relatif murah dengan sensitifitas tinggi serta dapat dipakai

sebagai pemeriksaan penyaring. Tes kulit cukit dapat mendiagnosis rinitis alergi akibat

alergen inhalan berderajat sedang sampai berat, tetapi pada penderita dengan sensitifitas

rendah, kemungkinan tidak terdeteksi walaupun terdapat korelasi dengan gejala klinik.

Bila pada anamnesis terdapat kecurigaan adanya alergi, sedangkan tes kulit negatif,

tindakan yang perlu dilakukan adalah :

1. Periksa obat-obatan yang dapat mempengaruhi hasil tes

2. Periksa adakah penyebab hasil negatif palsu

3. Observasi pasien selama adanya paparan alergen yang tinggi

4. Lakukan tes provokasi atau tes intradermal (bila fasilitas tersedia) (Irawati,

2002)

Tes kulit cukit (skin prick test) memiliki sensitifitas dan spesifitas tinggi. Puluhan

alergen dapat dikerjakan pada satu kali tes. Tes dilakukan pada bagian volar lengan

bawah dengan penusukan sedalam epikutan sehingga tidak melewati membran basalis

yang dapat menimbulkan pendarahan yang bisa menyebabkan hasil tes menjadi tidak

akurat. Tes ini menggunakan jarum tuberkulin no 26G, atau 26Gx1/2’’. Tes kulit cukit ini

hampir tidak menimbulkan rasa sakit, sehingga lebih disukai pasien. Hasil tes dapat

dievaluasi dalam waktu singkat (10-15 menit), serentak untuk 25 – 30 alergen. Alergen

yang digunakan terdiri atas satu seri alergen hirup, satu seri alergen makanan, larutan

histamin sebagai kontrol positif, serta larutan saline atau buffer phosfat sebagai kontrol

negatif. Jumlah alergen sebaiknya terbatas sampai sekitar enam alergen utama saja

(housedust mite 2-3 spesies, pollen, mold dan binatang peliharaan). Tes kulit untuk

alergen hirup lebih memiliki nilai klinis yang berharga daripada makanan (King, 1998;

Sumarman, 2001).

Beberapa metode yang dilakukan untuk menginterpretasikan hasil tes kulit cukit:

1. Mengukur diameter bintul (wheal) yang terjadi dengan menggunakan planimeter.

Respon positif dinyatakan apabila ditemukan setiap adanya wheal yang

mempunyai ukuran diameter ≥ 9 mm di atas kontrol negatif (saline) (Jackola et al,

2003).

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 51: 07E00001

2. Membandingkan bintul yang terjadi pada masing – masing ekstrak alergen yang

diberikan dengan kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (saline). Metode

ini disebut metode Pepys dengan penilaian sebagai berikut : (Madiadipoera, 1996;

Sumarman, 2001).

• - (negatif) : apabila sama dengan kontrol negatif.

• + 1 (ringan) : apabila bintul (wheal) lebih besar dari kontrol negatif

dan atau terdapat daerah eritema.

• +2 (sedang) : apabila bintul lebih kecil dari kontrol positif tetapi

2 mm lebih besar dari kontrol negatif.

• +3 (kuat) : apabila bintul sama besar dengan kontrol positif

• +4 (sangat kuat) :apabila bintul lebih besar dari kontrol positif

3. Menurut GLORIA (Global Resources in Allergy), 2003, bintul (wheal) yang

terjadi dengan diameter > 3mm menunjukkan bahwa pasien menghasilkan anti

bodi IgE terhadap alergen yang spesifik (Kaplan et al, 2003).

Tes intradermal memiliki sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes

kulit cukit, walaupun reaksi positif palsu dan reaksi anafilaksis lebih sering terjadi.

Sebaiknya yang dilakukan tes intradermal hanya yang memberikan hasil negatif pada tes

kulit cukit.

SET (Skin End Point Titration) merupakan pengembangan tes intradermal larutan

tunggal (disebut juga pengenceran larutan berganda) dilakukan untuk alergen inhalan

dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui

alergen penyebab, dapat juga menentukan derajat alergi serta dosis awal untuk

imunoterapi (Irawati, 2002).

2.11 Diagnosis Banding.

Rinitis alergi perlu dibedakan dari rinitis vasomotor ataupun idiopatik, rinitis

infeksiosa, rinitis sekunder dari obat-obatan baik lokal (Neo-Synephrine dan kokain)

maupun sistemik (beta bloker, aspirin, reserpin, morfin), rinitis sekunder dari faktor

mekanis, tumor hidung, polip hidung, rinore serebrospinal, iritan kimia, faktor psikologis

dan mastositosis hidung. Disamping alergi, penderita polip hidung perlu dievaluasi

terhadap sinusitis infeksiosa dan pada anak fibrosis kistik. Sinusitis dengan etiologi

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 52: 07E00001

nonalergi, misalnya trauma, zat kimia, imunodefisiensi, fibrosis kistik, sindrom

Kartagener, penyakit granulomatosa kronik dan infeksi perlu dipertimbangkan dalam

diagnosis banding (Blumenthal, 1997).

2.12 Terapi Rinitis Alergi

Pedoman terapi rinitis alergi (RA) yang selama ini dipakai adalah yang

direkomendasikan oleh The Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA), suatu

workshop yang diselenggarakan oleh panel pakar yang bekerja sama dengan WHO. Dari

workshop tersebut dihasilkan pedoman penanganan RA berdasarkan data dari berbagai

randomized controlled trial. Penanganan yang direkomendasikan termasuk menghindari

alergen, terapi farmakologi, imunoterapi spesifik, edukasi dan pembedahan. Di samping

itu juga direkomendasikan agar penanganan dilakukan dengan pendekatan bertahap,

berdasarkan pada berat ringan penyakit (Mulyarjo, 2006).

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 53: 07E00001

Skema 2. Pengobatan Rinitis Alergi (ARIA, 2000)

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 54: 07E00001

2.12.1 Farmakoterapi pada rinitis alergi

Meskipun allergen avoidance merupakan upaya utama dalam penanganan RA,

tetapi dalam praktek tidak mudah untuk dilaksanakan sehingga terapi yang populer

adalah farmakoterapi, yakni pengobatan dengan menggunakan medikamentosa.

Medikamentosa yang sangat dibutuhkan penderita adalah medikamentosa yang dapat

mengurangi gejala (terapi simtomatik) dan bekerja cepat. Obat – obat yang dapat

menghilangkan atau mengurangi gejala bersin, rinore serta buntu hidung banyak

digunakan dan laku keras karena dalam waktu singkat untuk sementara dapat mengatasi

masalah penderita. Beberapa jenis obat telah digunakan pada terapi RA seperti

antihistamin, dekongestan, kortikosteroid, stabilisator mastosit dan obat antikolinergik,

dengan pengaruhnya masing – masing terhadap gejala RA.

Pemilihan obat perlu mengacu pada simtom yang dirasakan oleh penderita,

sehingga dapat dipilih obat yang sesuai dengan kebutuhan, baik berupa obat tunggal

maupun kombinasi.

TABEL 2. Terapi Farmakologis Rinitis Alergi

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 55: 07E00001

2.12.1.1. Antihistamin

Antihistamin adalah antagonis reseptor H1 yang akan menghalangi bersatunya

histamin dengan reseptor H1 yang terdapat di ujung saraf dan epitel kelenjar pada

mukosa hidung. Akhir-akhir ini antihistamin didefenisikan sebagai inverse H1-receptor

agonists yang menstabilkan reseptor H1 yang inaktif sehingga aktifasi oleh histamin

dapat dicegah. Dengan demikian obat ini efektif untuk menghilangkan gejala rinore dan

bersin sebagai akibat dilepaskannnya histamin pada RA (Mulyarjo, 2006).

Antihistamin lama (generasi pertama) sudah terbukti secara klinis sangat efektif

mengurangi gejala bersin dan rinorea akan tetapi mempunyai efek samping yang kurang

menguntungkan yaitu menyebabkan efek mengantuk karena obat tersebut masuk ke

peredaran darah otak. Oleh karena itu penderita yang menggunakan obat ini dianjurkan

untuk tidak mengendarai mobil atau mengoperasikan mesin karena dapat membahayakan.

Secara klinis antihistamin generasi ini sangat efektif menghilangkan rinore karena

mempunyai efek antikolinergik. Efek ini terjadi karena kapasitas ikatan obat terhadap

reseptor yang tidak selektif sehingga obat terikat juga pada reseptor kolinergik.

Kekurangan lain dari antihistamin generasi pertama adalah ikatannya yang tidak stabil

dengan reseptor H1, sehingga daya kerjanya pendek. Efek samping yang lain adalah :

mulut kering, peningkatan nafsu makan dan retensi urin. Sampai sekarang antihistamin

golongan ini masih banyak digunakan karena masih efektif dan murah. Beberapa contoh

antihistamin generasi lama yang sampai kini masih popular adalah : klorfeniramin,

difenhidramin dan triprolidin (Mulyarjo, 2006).

Munculnya antihistamin generasi baru dapat menutup kelemahan antihistamin

lama. Karena tidak menembus sawar otak, antihistamin baru bersifat non-sedatif,

sehingga penderita yang menggunakan obat ini dapat aman dan tidak terhambat dalam

melakukan aktifitasnya. Kelebihan lain antihistamin baru adalah mempunyai masa kerja

yang panjang sehingga penggunaannya lebih praktis karena cukup diberikan sekali

sehari. Antihistamin baru tersebut adalah : astemizol, loratadin, setirizin, terfenadin.

Beberapa antihistamin baru kemudian dilaporkan menyebabkan gangguan jantung pada

pemakaian jangka panjang (astemizol, terfenadin), sehingga dibeberapa negara obat –

obat tersebut tidak digunakan lagi. Antihistamin yang unggul adalah yang bekerja cepat

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 56: 07E00001

dengan waktu kerja yang panjang, yang tidak ada efek sedatif dan tidak ada toksik

terhadap jantung (Mulyarjo, 2006).

Penemuan obat baru ditujukan untuk meningkatkan kerja obat dalam mencegah

dilepaskannya mediator inflamasi pada RA serta untuk meningkatkan keamanan obat.

Akhir – akhir ini beberapa antihistamin generasi baru dilaporkan mempunyai aktivitas

mencegah lepasnya mediator inflamasi dari basofil dan mastosit. Aktifitas ini berbeda

ragamnya antara satu obat dengan yang lainnya. Beberapa antihistamin dapat mencegah

terlepasnya mediator lain seperti platelet activating factor (PAF), prostaglandin serta

mencegah migrasi eosinofil, basofil dan netrofil. Pada Rinitis Alergi Persisten (RAP)

buntu hidung merupakan gejala yang paling menonjol terutama karena banyaknya

infiltrasi sel radang pada mukosa rongga hidung sehingga antihistamin generasi baru

inilah yang dapat memenuhi kebutuhan pengobatan. Antihistamin baru yang dipasarkan

akhir-akhir ini adalah feksofenadin sebagai turunan terfenadin, desloratadin sebagai

turunan loratadin dan levosetirizin sebagai stereoisomer setirizin.

Desloratadin adalah antihistamin baru yang merupakan antagonis reseptor H1

yang efektif baik untuk rinitis alergi maupun urtikaria. Ia merupakan satu dari sejumlah

metabolit aktif dari loratadin. Desloratadin bekerja cepat dan mempunyai masa kerja

yang lama sampai 24 jam penuh, karena waktu paruhnya yang panjang. Dilaporkan juga

bahwa desloratadin mempunyai efek menghambat kerja sel inflamasi dalam melepaskan

mediator-mediator seperti sitokin, kemokin dan molekul adesi yang merupakan

komponen pengatur respon alergi inflamasi akibat paparan alergen. Di dalam penelitian

klinik dilaporkan bahwa desloratadin mempunyai efikasi yang sangat baik pada

pengobatan rinits alergi persisten (RAP) dan rinitis alergi intermiten (RAI) serta

keamanan yang setara dengan antihistamin lainnya. Dilaporkan pula bahwa obat ini juga

mempunyai khasiat mengurangi buntu hidung (Mulyarjo, 2006).

2.12.1.2 Dekongestan

Mukosa konka nasi inferior mempunyai vaskularisasi yang sangat komplek.

Pembuluh darah submukosa membentuk anyaman sinusoid yang terdiri dari pembuluh

darah kapasitan dan resistan yang bertugas mengatur luas rongga hidung. Tugas ini

berada dalam kontrol saraf otonom. Noradrenalin yang dilepaskan di dalam mukosa

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 57: 07E00001

hidung merangsang reseptor α-adrenergik sehingga terjadi vasokontriksi pembuluh darah,

menyebabkan penyusutan konka sehingga rongga hidung menjadi lapang. Peristiwa ini

terjadi karena aktivitas simpatik. Sebaliknya yang terjadi pada aktivitas parasimpatik

akan terjadi buntu hidung. Pada rinitis alergi pengaruh berbagai mediator akan

menyebabkan timbulnya buntu hidung, karena vasodilatasi pembuluh darah.

Dekongestan merupakan vasokonstriktor, yakni obat yang bersifat agonis α-

adrenergik sehingga dapat berikatan dengan reseptor α-adrenergik yang ada di dalam

mukosa rongga hidung dan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah konka,

akibatnya dapat mengurangi / menghilangkan buntu hidung (Mulyarjo, 2006).

Dalam praktek dekongestan dapat digunakan secara sistemik (oral), yakni efedrin,

fenil propanolamin dan pseudo-efedrin atau secara topikal dalam bentuk tetes hidung

maupun semprot hidung yakni fenileprin, efedrin dan semua derivat imidazolin.

Penggunaan secara topikal lebih cepat dalam mengatasi buntu hidung dibandingkan

dengan penggunaan sistemik.

Tetes hidung sangat efektif untuk mengatasi buntu hidung pada rinitis alergi, akan

tetapi pemakaian jangka panjang (> 7 hari) tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan

rinitis medikamentosa. Ini terjadi karena pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan

reseptor adrenergik dalam mukosa hidung menjadi tidak peka lagi terhadap dekongestan.

Pada rinitis medikamentosa penderita akan mengeluh hidung buntu berkepanjangan dan

tidak responsif terhadap pemberian dekongestan.

Pemberian dekongestan oral tidak dianjurkan untuk jangka panjang, terutama

karena mempunyai efek samping stimulan Susunan Saraf Pusat (SSP), menyebabkan

peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Obat ini tidak boleh diberikan pada

penderita hipertensi, penyakit jantung koroner, hipertiroid dan hipertropi prostat.

Dekongestan oral pada umumnya terdapat dalam bentuk kombinasi dengan

antihistamin atau dengan obat lain seperti antipiretik dan antitusif yang banyak dijual

sebagai obat bebas (Mulyarjo, 2006).

2.12.1.3 Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat antiinflamasi yang kuat dan berperan penting dalam

pengobatan RA. Penggunaan secara sistemik dapat dengan cepat mengatasi inflamasi

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 58: 07E00001

yang akut sehingga dianjurkan hanya untuk penggunaan jangka pendek yakni pada gejala

buntu hidung yang berat. Gejala buntu hidung merupakan gejala utama yang paling

sering mengganggu penderita RA yang berat. Pada kondisi akut kortikosteroid oral

diberikan dalam jangka pendek 7-14 hari dengan tapering off, tergantung dari respon

pengobatan.

Kortikosteroid meskipun mempunyai khasiat anti inflamasi yang tinggi, namun

juga mempunyai efek sistemik yang tidak menguntungkan. Pemakaian intranasal akan

memaksimalkan efek topikal pada mukosa hidung dan mengurangi efek sistemik.

Berbagai produk kortikosteroid intranasal telah dipasarkan dengan menggunakan

berbagai karakteristik. Produk yang memenuhi kebutuhan adalah yang efektif dan aman

serta praktis pemakainnya. Untuk meningkatkan keamanan kortikosteroid intranasal

digunakan obat yang mempunyai efek topikal yang kuat dan efek sistemik yang rendah.

Produk mempunyai kelebihan dalam meminimalkan efek sistemik tersebut. Kepraktisan

dalam pemakaian, rasa serta bau obat akan mempengaruhi kepatuhan penderita dalam

menggunakan obat jangka panjang. Dosis sekali sehari lebih disukai dari pada dua kali

sehari karena lebih praktis sehingga meningkatkan kepatuhan. Beberapa kortikosteroid

intranasal yang banyak digunakan diantaranya adalah beklometason, flutikason,

mometason dan triamsinolon. Keempat obat tersebut mempunyai efektifitas dan

keamanan yang tidak berbeda (Mulyarjo, 2006).

Berkaitan dengan kelebihan dan kekurangan dari antihistamin dan kortikosteroid

intranasal untuk pengobatan rinitis alergi. Weiner et al, melakukan suatu meta-analisis

terhadap sejumlah penelitian yang sudah dilakukan untuk membandingkan efikasi

antihistamin dengan kortikosteroid intranasal pada pengobatan RA dan menyimpulkan

bahwa efektifitas kortikosteroid intranasal secara bermakna lebih disukai dari pada

antihistamin untuk pengobatan rinitis alergi (Mulyarjo, 2006).

2.12.1.4 Antagonis leukotrien

Leukotrien adalah asam lemak tak jenuh yang mengandung karbon yang

dilepaskan selama proses inflamasi. Leukotrien LTA4, LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE4

dimetabolisasi melalui jalur 5-lipoxigenase sebagai respon terhadap paparan alergen dan

dapat menyebabkan inflamasi, kenaikan produksi mukus dan bronko-konstriksi.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 59: 07E00001

Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan merupakan bagian dari grup asam lemak yang

disebut eikosanoid. Senyawa ini diturunkan melalui aktivasi berbagai tipe sel oleh

lipoksigenasi asam arakhidonat yang dibebaskan oleh fosfolipase A2 di membran

perinuklear yang memisahkan nukleus dari sitoplasma. Asam arakidonat sendiri

merupakan subsrat dari siklo-oksigenase yang aktivitasnya menghasilkan prostaglandin

dan tromboksan (Mulyarjo, 2006).

Sintesis leukotrien oleh aktifitas enzim 5-lipoksigenase terhadap asam arakidonat.

Enzim tersebut tidak dapat memetabolisme asam arakidonat bebas, tetapi harus berikatan

dulu dengan protein membran yang disebut FLAP (5-lipoksigenase activating protein).

Interaksi asam arakidonat dengan FLAP dan 5-lipoksigenase menghasilkan komposisi 5-

hydroxyperoxy-eiocosatetraenoic acid (5-HPETE) yang tidak stabil. Selanjutnya

komposisi tersebut akan berkurang atau berubah menjadi leukotrien A4 (LTA4). Karena

pengaruh hidrolase LTA4 diubah menjadi LTB4, sedangkan enzim sintase (glutathione-

S-trasferase) mengubahnya menjadi LTC4. Selanjutnya enzim transpeptidase mengubah

LTC4 menjadi LTD4 dan LTD4 diubah menjadi LTE4 oleh enzim dipeptidase. Ketiga

leukotrien terakhir inilah yang berpengaruh pada inflamasi, spasmus bronkus dan

hyperresponsivness. Dengan demikian leukotrien juga merupakan mediator penting

terjadinya buntu hidung pada rinitis alergi.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 60: 07E00001

Skema 3. Sintesa Leukotrien

Dalam upaya pengobatan RA belakangan ini berkembang obat antileukotrien

yang dinilai cukup besar manfaatnya bagi pengobatan RA. Ada dua macam antileukotrien

yakni inhibitor sintesis leukotrien dan antagonis reseptor leukotrien. Yang terbaru dapat

satu inhibitor sintesis leukotrien dan tiga antagonis reseptor leukotrien, yakni CysLT1

dan CysLT2. Yang pertama merupakan reseptor yang sensitif terhadap antagonis

leukotrien yang dipakai pada pengobatan RA.

Pada dasarnya antileokutrien bertujuan untuk menghambat kerja leukotrien

sebagai mediator inflamasi yakni dengan cara memblokade reseptor leukotrien atau

menghambat sintesis leukotrien. Dengan demikian diharapkan gejala akibat proses

inflamasi pada RA maupun asma dapat ditekan. Tiga obat antileukotrien yang pernah

dilaporkan penggunaannya yakni dua antagonis reseptor (zafirlukast dan montelukast),

serta satu inhibitor lipoksigenase (zileuton). Laporan hasil penggunaan obat-obat tersebut

pada RA belum secara luas dipublikasikan sehingga efektifitasnya belum banyak

diketahui (Mulyarjo, 2006).

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 61: 07E00001

2.12.2 Imunoterapi spesifik

Secara umum indikasi imunoterapi adalah penderita RAP dengan gejala menetap

yang tidak responsif terhadap terapi konvensional. Rute pemberian imunoterapi yang

predominan adalah subkutan (Subcutaneus Immunoterapi/SIT). Imunoterapi subkutan

sudah secara luas dilakukan termasuk di Indonesia dengan hasil yang memuaskan dalam

mengurangi gejala RA dalam jangka panjang. Imunoterapi dikemukakan sebagai upaya

yang efektif untuk mencegah timbulnya serangan asma pada penderita rinitis. Meskipun

SIT terbukti banyak manfaatnya akan tetapi teknik ini mempunyai kelemahan karena

sifatnya yang invasif, dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada beberapa kasus, serta

tidak menyenangkan terutama bagi anak.

Rute sublingual (Sublingual Immunotherapy/ SLIT) akhir-akhir ini mulai

dilakukan terutama pada kasus rinitis dan asma. Sub Lingual Immunotherapy (SLIT)

pertama kali diteliti secara buta ganda dengan kontrol pada tahun 1966 dan semenjak itu

mulai banyak dilakukan karena cukup aman dan efektif serta cukup menyenangkan

terutama untuk anak. Dalam berbagai penelitian SLIT dilaporkan cukup efektif untuk

mengurangi gejala rinokonjungtivitis dan mencegah serangan asma. Salah satu hasil

penelitian melaporkan bahwa SLIT dapat menurunkan IgE spesifik terhadap tungau debu

rumah serta menurunkan eosinofil darah sedangkan secara klinis menurunkan konsumsi

obat secara bermakna. Namun demikian dari suatu review terhadap berbagai penelitian

yang membandingkan SIT dengan SLIT pada penanganan rino-konjungtivitis dan asma

disimpulkan bahwa efektifitas SLIT terhadap rino-konjungtivitis dinilai masih rendah

atau sedang dan SLIT saat ini belum dapat direkomendasikan sebagai alternatif pengganti

SIT.

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, sebelum imunoterapi dilakukan

sensitivitas penderita terhadap alergen yang spesifik harus ditentukan dengan cermat

melalui tes kulit cukit maupun dengan RAST agar dapat dirancang terapi dengan tepat

pada penderita secara individual. Disamping itu dipersyaratkan agar imunoterapi

dilakukan oleh tenaga yang sudah terlatih (Mulyarjo, 2006).

2.12.3 Pembedahan

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 62: 07E00001

Terapi pembedahan khususnya dilakukan pada penderita RA dengan buntu

hidung yang berat yang tidak responsif pada pengobatan farmakologi. Disamping itu

pembedahan juga dilakukan bila terjadi penyulit seperti rinosinusitis kronik. Bila ada

kelainan anatomis pada penderita RA seperti deviasi septum, pembedahan mungkin akan

bermanfaat untuk mengurangi keluhan buntu hidung. Pada penderita RAP yang sudah

lama dan parah, akan terjadi resistensi terhadap medikamentosa yang sering digunakan.

Di samping itu terjadi perubahan pada mukosa hidung diantaranya terjadi peningkatan

struktur kelenjar di konka inferior. Kedua kondisi tersebut menyebabkan buntu hidung

yang menetap sehingga diperlukan terapi yang lebih agresif yakni pembedahan.

Turbinektomi inferior merupakan tindakan pembedahan yang bertujuan untuk

mengecilkan konka inferior merupakan tindakan yang diperkirakan efektif mengurangi

keluhan buntu hidung dan rinore pada RAP (Mulyarjo, 2006).

Berbagai teknik turbinektomi telah dilaporkan dengan berbagai kelebihan dan

kekurangannya. Teknik turbinektomi yang dilaporkan antara lain adalah : reseksi

sebagian konkka, kauter laser, kauter listrik, cryosurgery, reseksi submukosa dan reseksi

submukosa dengan lateral displacement. Talmon et al, melaporkan dalam penelitiannya

terhadap 357 penderita bahwa turbinektomi inferior total bilateral yang dilakukan

merupakan pembedahan yang relatif aman dan efektif. Akan tetapi laporan lain dari

sebuah penelitian random yang dilakukan oleh Passali et al terhadap 382 penderita yang

dilakukan turbinektomi dengan berbagai teknik, dalam evaluasi selama 6 tahun pasca

bedah menghasilkan temuan bahwa hanya reseksi submukosa yang menghasilkan

perubahan optimal jangka panjang terhadap patensi rongga hidung, restorasi klirens

mukosilier dan kadar IgA mukosa. Meskipun demikian dilaporkan juga bahwa

komplikasi perdarahan dapat terjadi pada reseksi, baik sebagian konka maupun

submukosa.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa turbonektomi dapat menjadi alternatif

solusi untuk mengatasi buntu hidung yang berat pada RAP. Perlu dipilih teknik

pembedahan yang tepat serta dilakukan oleh tenaga yang terlatih agar didapatkan hasil

yang efektif (Mulyarjo, 2006).

2.13 Komplikasi

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 63: 07E00001

Rinitis alergi adalah penyakit alergi yang sering dijumpai di seluruh dunia. Rinitis

alergi bukan hanya menyebabkan keadaan yang menyusahkan, tetapi juga memberi

kontribusi variasi komplikasi seperti sinusitis, otitis media dan asma (Klaewsongkram et

al, 2003). Telah diketahui, bahwa alergi memberikan kontribusi terhadap otitis media.

Tetapi bukti yang ada bertentangan. Beberapa studi tidak menerangkan prevalensi yang

lebih besar pada penderita atopi dan alergi pada otitis media dibandingkan dengan subjek

kontrol yang normal sehingga hal tersebut mungkin bisa terjadi bahwa perubahan

patologis yang berhubungan dengan rinitis dapat mengakibatkan obstruksi di tuba

Eustachius dengan disfungi dan efusi telinga tengah. Hal ini terlihat bahwa otitis media

serosa bukan suatu penyakit alergi tetapi sering merupakan komplikasi dari alergi hidung,

khususnya pada anak-anak. Hubungan antara alergi dan sinusutis ada dua. Yang pertama,

alergi mungkin memberikan konstribusi terhadap obstruksi pada ostium sinus, dalam hal

ini mewakili faktor predisposisi. Yang kedua, rinitis alergi perenial memiliki beberapa

bentuk sinusitis kronis, khususnya sekret hidung dan obstruksi. Rinitis alergi dan asma

bronkial sering terjadi bersamaan, sebagai contoh, pasien yang menderita RA musiman

berat biasanya akan menimbulkan gejala mengi musiman yang memuncak dan rasa

terikat di dada. Hal ini penting untuk terapinya yang berhubungan dengan asma. Lebih

dari itu, pengobatan rinitis dengan perbaikan jalan nafas pada hidung juga dapat

memperbaiki gejala asma (Durham, 1997; Dhingra, 2007).

2.14 Prognosis

Secara umum baik. Penyakit rinitis alergi ini secara menyeluruh berkurang

dengan bertambahnya usia, tetapi kemungkinan menderita asma bronkial meningkat

(Becker, 1994) .Remisi spontan dapat terjadi sebanyak 15-25% selama jangka waktu 5-7

tahun, remisi untuk rinitis alergi musiman lebih besar frekuensinya dibandingkan dengan

rinitis alergi perenial (Rusmono, 1993).

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 64: 07E00001

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan potong lintang (cross

sectional).

3.2. Tempat Dan Waktu Penelitian

Pengambilan sampel dan pengerjaan tes kulit cukit dilakukan di Departemen

THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian dilakukan sejak bulan Mei

2007.

3.3. Populasi Dan Sampel Penelitian

3.3.1. Populasi penelitian adalah semua penderita yang disangka menderita rinitis

alergi yang datang berobat ke poliklinik Departemen THT-KL FK USU/RSUP

H. Adam Malik Medan.

3.3.2. Sampel penelitian adalah bagian dari populasi penelitian yang memenuhi

kriteria inklusi.

Kriteria Inklusi:

a. Penderita mempunyai gejala rinitis alergi

b. Usia 15 tahun ke atas

c. Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani formulir persetujuan

setelah mendapat penjelasan (informed concent).

d. Bersedia dilakukan pemeriksaan tes kulit cukit

e. Bebas obat anti alergi selama 5 hari

f. Tes kulit cukit positif adalah setiap diameter bintul +3 dan +4 yang terjadi

pada setiap alergen.

Kriteria eksklusi

a. Wanita hamil/ menyusui

b. Tes kulit cukit negatif, diameter bintul +1 dan +2 yang terjadi pada setiap

alergen.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 65: 07E00001

3.3.3. Teknik pengambilan sampel dengan cara berurutan (concecutive sampling),

menurut Cummings and Hulley (1988) seperti yang dikutip Nugraha (2005)

merupakan salah satu cara yang terbaik yaitu : setiap pasien yang memenuhi

kriteria inklusi yang datang ke poliklinik Departemen THT-KL FK USU/RSUP

H. Adam Malik Medan secara berurutan dijadikan sampel sampai tercapai

jumlahnya.

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus (Budiarto, 2002) :

n = Zα2.p(1-p) = 1,962.0,20(1-0,20) = 61,46 = 62 kasus

d2 0,12

dimana:

n = Besarnya sampel

Zα = Simpangan rata-rata distribusi normal standar pada derajat

kemaknaan α (1,96)

p = Proporsi penderita rinitis alergi (20%) (Ciprandi et al, 2005)

d = Kesalahan sampling yang masih dapat ditoleransi (0,1)

3.4.Kerangka Konsepsional

Alergen Rinitis Alergi

- Umur - Jenis Kelamin - Keluhan

Skin PrickTest

Jenis Alergen

3.5. Batasan Operasional

3.5.1. Rinitis alergi secara klinis didefenisikan sebagai gangguan fungsi hidung,

terjadi setelah pajanan alergen melalui inflamasi mukosa hidung yang

diperantarai IgE dengan gejala rinorea, obstruksi hidung, hidung gatal, bersin-

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 66: 07E00001

bersin yang dapat sembuh spontan atau dengan pengobatan (Bosquet et al,

2001).

Diagnosa rinitis alergi didapatkan melalui anamnese yang cermat, pemeriksaan

rinoskopi anterior serta tes kulit cukit

Anamnesis meliputi gejala berupa gatal pada hidung, bersin, beringus, hidung

tersumbat, gangguan penghidu.

Pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan edema dari konka inferior / media,

sekret bening encer (mukoid), mukosa pucat, kadang-kadang terdapat konka

hipertropi.

Pemeriksaan tes kulit cukit positif terhadap satu atau beberapa alergen inhalan.

3.5.2. Alergen adalah substansi antigenik yang dapat menyebabkan hipersensitivitas

yang cepat (alergi). Pada penelitian ini dipakai satu set alergen inhalan yang

terdiri dari 14 macam alergen termasuk kontrol positif (histamin) dan kontrol

negatif (buffer).

3.5.3. Tes kulit cukit adalah merupakan suatu tes alergi dengan menggunakan ekstrak

alergen, respon positif dapat berarti suatu keadaan hipersensitifitas yang sangat

tinggi, nilai tes ini memiliki sensitifitas dan spesitifitas yang baik terhadap IgE

RAST (Madiadipoera, 1996; Sumarman, 2001).

• - (negatif) : apabila sama dengan kontrol negatif.

• + 1 (ringan) : apabila bintul (wheal) lebih besar dari kontrol negatif

dan atau terdapat daerah eritema.

• +2 (sedang) : apabila bintul lebih kecil dari kontrol positif tetapi

2 mm lebih besar dari kontrol negatif.

• +3 (kuat) : apabila bintul sama besar dengan kontrol positif

• +4 (sangat kuat) :apabila bintul lebih besar dari kontrol positif

Dalam penelitian ini, hasil positif pada tes kulit cukit adalah setiap diameter

bintul +3 dan +4 yang terjadi pada setiap alergen

3.5.4. Umur dihitung dalam tahun menurut ulang tahun terakhir. Perhitungannya

berdasarkan kalender Masehi

3.5.5. Jenis kelamin yaitu laki – laki atau perempuan

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 67: 07E00001

3.5.6. Keluhan adalah keadaan atau kondisi yang menyebabkan penderita datang

berobat

3.6. Bahan Dan Alat Yang Dipakai

3.6.1. Bahan yang dipakai

a. Ekstrak alergen inhalan Dr. Indrajana. Lembaga Alergen Pertama

Indonesia (LAPI) Jakarta.

b. 1 set alergen inhalan terdiri dari 14 macam alergen termasuk di dalamnya

kontrol positif ( histamin ) dan kontrol negatif (buffer)

3.6.2. Alat yang dipakai

a. Alat pemeriksa THT rutin

b. Jarum suntik No. 26 G (Terumo)

c. Alkohol 70%

d. Kapas dan kasa

3.7. Persiapan

3.7.1. Menyusun status penelitian

3.7.2. Membuat informed consent (penjelasan untuk calon peserta penelitian)

3.7.3. Mengurus izin persetujuan komite etik tentang pelaksanaan penelitian bidang

kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.8. Cara Kerja

Terhadap setiap penderita yang memenuhi kriteria inklusi, dilakukan :

3.8.1. Anamnesis yang berhubungan dengan keluhan pasien

3.8.2. Pemeriksaan THT rutin

3.8.3. Tes kulit cukit :

a. Lengan bawah bagian volar dibersihkan dengan alkohol 70% kemudian

dibiarkan sampai kering.

b. Dibuat marker tempat penetesan alergen.

c. Lalu teteskan zat-zat alergen

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 68: 07E00001

d. Melalui tetesan tersebut kulit dicukit dengan jarum suntik steril No.26 G

(Terumo) dengan sudut 450 sedalam epidermis dan diangkat sedikit ke

permukaan dan jangan sampai mengeluarkan darah. Setiap jarum hanya

dipakai satu kali untuk satu jenis alergen

e. Setelah 15 menit dilakukan penilaian

f. Bagi penderita pada daerah yang dicukit akan timbul reaksi bintul (wheal)

dan atau kemerahan (flare). Sebagai kontrol positif adalah larutan histamin

yang pada semua individu akan timbul reaksi “wheal dan flare”. Sebagai

kontrol negatif adalah larutan buffer yang umumnya tidak menimbulkan

reaksi. Pembacaan hasil dilakukan menurut Metode Pepys.

3.9. Kerangka Kerja

Pasien THT • Anamnesis • Pemeriksaan THT

Test kulit cukit (-)

Test kulit cukit (+)

Tes kulit cukit

Sangkaan rinitis alergi

Jenis alergen

3.10.Analisa Data

Semua data yang terkumpul diolah dan disusun dalam bentuk tabel. Data yang

diperoleh dianalisis secara statistik dengan bantuan program Window SPSS (Statistical

Package for Social science).

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 69: 07E00001

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik

Medan. Penelitian dilakukan sejak bulan Mei 2007. Terdapat 62 penderita rinitis alergi

yang sesuai dengan kriteria sampel penelitian.

Tabel 4.1. Distribusi Kelompok Umur Penderita Rinitis Alergi

Umur Jumlah % 11 - 20 5 8,1

21 - 30 22 35,5

31 - 40 20 32,2

41 - 50 14 22,6

51 – 60 1 1,6

Jumlah 62 100

Dari tabel 4.1 didapat penderita rinitis alergi paling banyak dijumpai pada kelompok

umur 21 – 30 tahun sebanyak 22 penderita (35,5 %), yang paling sedikit dijumpai pada

kelompok umur 51 – 60 tahun sebanyak 1 penderita (1,6%).

Tabel 4.2. Distribusi Jenis Kelamin Penderita Rinitis Alergi

Jenis Kelamin Jumlah % Laki-laki 8 12,9

Perempuan 54 87,1

Jumlah 62 100

Dari Tabel 4.2. didapat sampel penelitian penderita rinitis alergi paling banyak jenis

kelamin perempuan sebanyak 54 penderita (87,1%)

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 70: 07E00001

Tabel 4.3. Distribusi Keluhan Penderita Rinitis Alergi

Keluhan Jumlah % - Rasa gatal dihidung 50 80,6

- Bersin-bersin 59 95,2

- Hidung tersumbat 53 85,5

- Keluar cairan hidung 52 83,9

- Penciuman berkurang 27 43,5

- Mata gatal 32 51,6

Dari Tabel 4.3. didapat keluhan paling banyak dijumpai adalah bersin-bersin sebanyak 59

penderita (95,2 %) dan yang paling sedikit adalah penciuman berkurang sebanyak 27

penderita (43,5 %).

Tabel 4.4. Distribusi Alergen Berdasarkan Tes Kulit Cukit Penderita Rinitis Alergi. Alergen Jumlah Penderita % - Serpih kulit ayam 1 1,6

- Serpi kulit kuda 9 14,5

- Serpih kulit kucing 7 11,3

- Serpih kulit anjing 10 16,1

- Kecoa 26 41,9

- Jamur campuran 17 27,4

- Serbuk sari jagung 5 8,1

- Serbuk sari padi 12 19,4

- Serbuk sari rumput 4 6,5

- Serpih kulit manusia 9 14,5

- Tungau 27 43,5

- Debu rumah 26 41,9

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 71: 07E00001

Dari Tabel 4.4. didapat alergen paling banyak adalah tungau debu rumah sebanyak 27

penderita (43,5 %) dan yang paling sedikit adalah serpih kulit ayam sebanyal 1 penderita

(1,6%).

Diagram 1. Distribusi Alergen Berdasarkan Uji Kulit Cukit Penderita Rinitis Alergi

14,50%

1,60%

43,50% 41,90%

19,40%14,50%

11,30%

16,10%

41,90%

27,40%

6,50%8,10%

0,00%5,00%

10,00%15,00%20,00%25,00%30,00%35,00%40,00%45,00%50,00%

Serp ih ku lit ayam

Serp ih ku lit kuda

Serp ih ku lit kucing

Serp ih ku lit an jing

kecoajamur cam puran

Serbuk sa ri jagung

Serbuk sa ri pad i

Serbuk sa ri rum put

Serp ih ku lit m anusia

Tungau debu rumah

Debu rum ah

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 72: 07E00001

Tabel 4.5.1. Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Alergen Laki-laki % Perempuan % - Serpih kulit ayam 0 0 1 1,60 - Serpi kulit kuda 2 3,22 7 11,28 - Serpih kulit kucing 1 1,61 6 9,69 - Serpih kulit anjing 2 3,22 8 12,88 - Kecoa 5 8,06 21 33,84 - Jamur campuran 1 1,61 16 25,69 - Serbuk sari jagung 1 1,62 4 6,48 - Serbuk sari padi 1 1,61 11 17,79 - Serbuk sari rumput 0 0 4 6,50 - Serpih kulit manusia 0 0 9 14,50 - Tungau 3 4,83 24 38,67 - Debu rumah 4 6,44 22 35,46

Dari tabel 4.5.1 didapat pada sampel penelitian alergen paling banyak pada penderita

rinitis alergi laki-laki adalah kecoa, sebanyak 5 penderita ( 8,06%) dan alergen paling

banyak pada perempuan adalah tungau debu rumah, sebanyak 24 penderita (38,67%).

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 73: 07E00001

Tabel 4.5.2. Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Berdasarkan Kelompok

Umur

Kelompok Umur

Alergen

< 20 21 – 30 31 – 40 41 – 50 51- 60

- Serpih kulit ayam 0 1 0 0 0

- Serpi kulit kuda 0 7 0 2 0

- Serpih kulit kucing 1 6 0 0 0

- Serpih kulit anjing 0 7 3 0 0

- Kecoa 2 14 7 3 0

- Jamur campuran 3 4 7 3 0

- Serbuk sari padi 1 6 3 2 0

- Serbuk sari jagung 1 2 1 1 0

- Serbuk sari rumput 2 0 1 1 0

- Serpih kulit manusia 1 2 4 2 0

- Tungau 5 11 7 4 0

- Debu rumah 3 6 9 7 1

Dari tabel 4.5.2. didapat alergen paling banyak pada kelompok umur 21 – 30 tahun

adalah kecoa sebanyak 14 penderita (22,58%).

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 74: 07E00001

BAB 5

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi alergen pada penderita rinitis

alergi di Departemen THT-KL FK-USU/RSUP H.Adam Malik Medan. Penelitian ini

dilakukan sejak bulan Mei 2007 dan didapatkan 62 orang penderita rinitis alergi yang

memenuhi kriteria sampel penelitian yang terdiri dari 8 laki-laki dan 54 perempuan.

Pemilihan kriteria umur pada setiap peneliti berbeda-beda, peneliti sendiri memilih

kriteria umur diatas 15 tahun, karena pada umur tersebut telah dianggap dewasa dan

kooperatif untuk dilakukan anamnese dan tes kulit cukit.

Pada tabel 4.1 terlihat kelompok umur penderita terbanyak adalah 21-30 tahun,

sebanyak 22 penderita (35,5%). Hanum (1989) pada penelitiannya di Medan

mendapatkan penderita terbanyak pada kelompok umur 20-29 tahun, sebanyak 13

penderita (41,94%). Rusmono (1992) pada penelitiannya di Jakarta mendapatkan

penderita terbanyak pada kelompok umur 21-30 tahun, sebanyak 33 penderita (22,44%).

Zainuddin (1999) pada penelitiannya di Palembang mendapatkan terbanyak pada

kelompok umur 21-25 tahun sebanyak 52 penderita (20,08%). Soewito (2006) pada

penelitiannya di Makassar mendapatkan kelompok umur terbanyak di bawah 30 tahun.

Yuen et al (2007) di Hongkong pada penelitiannya mendapatkan usia rata-rata 34 tahun.

Rinitis alergi cenderung timbul pada usia muda, menetap sampai dewasa, kemudian

menurun pada usia lanjut, walaupun Burr (1979) seperti yang dikutip oleh Rusmono

mendapatan prevalensi sebanyak 7,49% pada kelompok umur lebih dari 70 tahun.

Hasil yang didapat peneliti terlihat umur terbanyak hampir sama dengan yang

didapatkan oleh Hanum, Rusmono, dan Zainuddin serta tidak berbeda jauh dengan

peneliti-peneliti lainnya. Perbedaan umur oleh masing-masing peneliti lebih didasari oleh

pengelompokan umur.

Pada tabel 4.2, terlihat penderita terbanyak adalah perempuan sebanyak 54

penderita (87,1%) dan laki-laki 8 penderita (12,9%). Hanum (1989) pada penelitiannya di

Medan mendapatkan dari 31 penderita rinitis alergi, ditemukan perempuan lebih banyak

dari laki-laki dengan perbandingan 1.58 : 1. Avery (1988) dalam penelitiannya di New

Zealand seperti yang dikutip Zainuddin mendapatkan perempuan lebih banyak dari laki-

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 75: 07E00001

laki. Zainuddin (1999) di Palembang mendapatkan dari 259 penderita rinitis alergi

didapatkan 122 laki-laki dan 137 perempuan. Soewito (2006) di Makassar pada 152

orang penderita rinitis alergi didapatkan 76 laki-laki dan 76 perempuan. Budiwan (2007)

di Semarang pada penelitiannya dengan 80 penderita rinitis alergi mendapatkan laki-laki

37,5% dan perempuan 62,5%. Yuen et al (2007) pada penelitiannya di Hongkong

mendapatkan penderita rinitis kronik laki-laki 445 (46%) dan perempuan 532 (54%).

Mygind dan Tennenbaum seperti yang dikutip Zainuddin mengatakan bahwa rinitis alergi

pada anak-anak ditemukan lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak perempuan,

sedangkan pada usia dewasa keadaannya terbalik, sehingga secara keseluruhan tidak ada

perbedaan antara jumlah penderita laki-laki dan perempuan.

Hasil yang didapat peneliti berdasarkan jenis kelamin hampir sama dengan yang

didapat oleh Hanum, Zainuddin, Budiwan dan tidak jauh berbeda dengan peneliti lainnya.

Lebih banyaknya penderita rinitis alergi pada perempuan dalam penelitian ini

dimungkinkan karena yang datang berobat lebih banyak perempuan dan pada umumnya

perempuan lebih perduli dengan kesehatannya.

Pada tabel 4.3 terlihat keluhan terbanyak adalah bersin-bersin 59 penderita

(95,2%), hidung tersumbat 53 penderita (85,5%), dan keluar cairan dari hidung 52

penderita (83,9%). Hanum (1989) pada penelitiannya di Medan mendapatkan keluhan

yang sering dijumpai berupa bersin-bersin (96,77%) diikuti obstruksi hidung (80,64%).

Zainuddin (1999) di Palembang mendapatkan keluhan yang terbanyak adalah ingus encer

(95,65%), diikuti oleh bersin-bersin (86,96%). Budiwan (2007) di Semarang

mendapatkan keluhan adalah bersin-bersin (46,3%), hidung berair (27,5%), hidung

tersumbat (17,5%).

Hasil yang didapat peneliti keluhan terbanyak hampir sama dengan yang didapat

oleh Hanum, Zainuddin, Budiwan. Perbedaan jumlah keluhan penderita rinitis alergi

kemungkinan disebabkan jumlah sampel yang berbeda.

Pada tabel 4.4 terlihat tungau debu rumah (43,5%), debu rumah (41,9%), dan

kecoa (41,9%) merupakan alergen terbanyak yang dijumpai berdasarkan hasil

pemeriksaan tes kulit cukit. Hanum (1989) pada penelitiannya di Medan mengemukakan

hasil tes kulit cukit dari berbagai jenis alergen pada penderita rinitis alergi mendapatkan

tungau debu rumah dan debu rumah menempati urutan terbanyak masing-masing 100%.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 76: 07E00001

Sumarman (1998) yang dikutip oleh Kosasih (2004) di Bandung mengemukakan hasil tes

kulit cukit dari berbagai jenis alergen hirup dalam rumah pada penderita rinitis alergi

mendapatkan tungau debu rumah dan debu rumah adalah alergen yang terbanyak

dijumpai (100%). Cora (2002) pada penelitiannya di Medan mendapatkan jenis alergen

yang terbanyak dijumpai pada penderita sinusitis maksila kronis adalah debu rumah

(56,09%) dan tungau debu rumah (48,78%). Soewito (2006) mendapatkan alergen

terbanyak pada penderita rinitis alergi adalah tungau debu rumah (75,6%) dan kecoa

(53,2%). Amalia (2007) pada penelitiannya di Medan mendapatkan jenis alergen

terbanyak pada penderita otitis media akut adalah tungau debu rumah (82,61%), debu

rumah (76,10%) dan kecoa (76,10%). Yuen et al (2007) di Hongkong pada penelitiannya

mendapatkan jenis alergen terbanyak pada penderita rinitis kronik adalah tungau debu

rumah (63%), kecoa (23%), dan serpih kulit kucing (14%). Hasil penelitian ini sesuai

dengan penelitian di beberapa tempat lain. Kanthawatana et al, (1997), pada

penelitiannya di Thailand mengemukakan bahwa spesies Dermatophagoides

pterynosinus adalah tungau debu rumah yang paling sering ditemukan dan tungau debu

rumah merupakan salah satu alergen inhalan yang paling sering dijumpai di dunia

(Kanthawatana et el.1997). Tungau spesies ini banyak ditemukan di tempat tidur dan

termasuk alergen hirup dalam rumah yang selalu terdapat pada lingkungan hidup manusia

dan biasanya menempel pada partikel-partikel debu rumah, sehingga kontak dengan

alergen ini sulit dihindari. Debu rumah mengandung bermacam-macam bahan organik

dan anorganik. Bahan organik debu rumah ada yang bersifat alergenik, di antaranya feses

dan partikel tubuh atau kulit tungau debu rumah dari berbagai spesies, serpih kulit

binatang, kecoa, dan berbagai spora jamur (Kosasih, 2004).

Hasil tes kulit cukit positip mengindikasikan bahwa di dalam tubuh penderita

sudah dihasilkan antibodi IgE terhadap alergen spesifik yang berarti sudah terjadi proses

pengenalan antara antigen spesifik dengan antibodi (sudah terjadi proses sensitisasi).

Hasil tes kulit cukit yang negatip pada penelitian ini selain menunjukkan belum terjadi

proses sensitisasi pada tubuh penderita, tetapi juga menunjukkan kemungkinan alergen

yang tersentisisasi pada tubuh penderita bukanlah alergen yang berasal dari 12 jenis

alergen yang digunakan pada tes kulit cukit dalam penelitian ini.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 77: 07E00001

Pada tabel 4.5.1 diketahui pada sampel penelitian alergen terbanyak pada

penderita rinitis alergi laki-laki adalah kecoa, sebanyak 5 penderita (8,06%) dan alergen

terbanyak pada perempuan adalah tungau debu rumah sebanyak 24 penderita (38,67%).

Peneliti belum mendapatkan literatur penelitian-penelitian terdahulu sebagai pembanding.

Pada tabel 4.5.2. diketahui sampel penelitian rinitis alergi dijumpai alergen

terbanyak pada kelompok umur 21-30 tahun adalah kecoa sebanyak 14 penderita

(22,58%).

Peneliti belum mendapatkan literatur penelitian-penelitian terdahulu sebagai

pembanding.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 78: 07E00001

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Distribusi kelompok umur penderita rinitis alergi paling banyak adalah kelompok

umur 21 – 30 sebanyak 22 penderita (35,5%).

2. Distribusi jenis kelamin pada penderita rinitis alergi paling banyak adalah

perempuan sebanyak 54 penderita (87,1%).

3. Distribusi keluhan paling banyak adalah bersin-bersin 59 penderita (95,2%).

4. Distribusi alergen paling banyak adalah tungau debu rumah sebanyak 27

penderita (43,5%).

5. Distribusi alergen paling banyak pada laki-laki adalah kecoa, 5 penderita (8,06%),

sedangkan pada perempuan adalah tungau debu rumah, 24 penderita (38,67%).

6. Distribusi alergen paling banyak pada kelompok umur 21-30 tahun adalah kecoa

sebanyak 14 penderita (22,58%).

6.2 Saran

1. Mengoptimalkan cara pemeriksaan invivo (tes kulit, tes provokasi hidung) dan

invitro (pemeriksaan morfologi, pemeriksaan IgE, pemeriksaan IgE spesifik /

RAST, modifikasi dari RAST) untuk menegakkan diagnosa rinitis alergi.

2. Diperlukan penelitian lanjutan dengan sampel lebih banyak sebagai dasar

pembuatan prosedur tetap (Protap) diagnosa dan penatalaksanaan rinitis alergi.

3. Diperlukan penelitian untuk standarisasi alergen yang khas di Indonesia.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 79: 07E00001

DAFTAR PUSTAKA

ASCIA,2004, Management of Alergic Rhinitis, In : ASCIA Education Resources

Information for Health Professionals, Australia

Ballenger JJ, 1994, Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal,

Dalam : Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Kepala, dan Leher, Alih Bahasa :

Staf Pengajar FK-UI RSCM, Bina Rupa Aksara, Jakarta, pp.1-27

Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR, 1994, Clinical Aspects of Diseases of the Nose,

Sinuses, and Faces, In : Buckingham RA, ed, Ear, Nose, and Throat Diseases, A

pocket Reference, Second revised edition , Thieme Medical Publishers Inc, New

York, pp.208-10

Blumenthal MN, 1989, Allergic Conditions in Otolaryngology Patiens, In : Boies

Fundamentals of Otolaryngology, Sixth Edition, WB, Saunders Company,

Philadelphia,pp.196-8

Bosquet et al ,2000, Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma In :World Health

Organization Initiative Management of Allergic Rhinitis and its Impact on

Asthma (ARIA), WHO, pp.3-7

Budiarto E, 2004, Penelitian Deskriptif, Dalam : Metodologi Penelitian Kedokteran,

Sebuah Pengantar, Cetakan 1, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta ,pp.48,

Budiwan A dan Suprihati,2007,Hubungan Hasil Test Kulit Terhadap Dermatopagoides

pada Penderita Rinitis Alergi dengan Riwayat Atopi Di RSUP DR,Kariadi

Semarang, Dalam : Kumpulan Abstrak KONAS Perhimpunan Dokter Spesialis

THT-KL Indonesia, Surabaya,pp.13

Ciprandi, Vissaccaro, Cirillo, Tosca, Massolo,2005, Nasal Eosinophils Display the Best

Correlation with Symptoms, Pulmonary Function and Inflammation in Allergic

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 80: 07E00001

Rhinitis, In : International Archives of Allergy and Immunology, Available at:

http:/www,proquest,com/ent/allergy immunology

Colman BH,1992, Diseases of the Nasal Cavity (II), In : Hall & Colman’s Diseases of

the Nose, Throat and Ear, and Head and Neck, Fourteenth Edition, ELBS with

Churchill Livingstone, pp. 29-34

Cora Z, 2002, Korelasi tes kulit cukit dengan kejadian sinusitis maksila kronis di bagian

THT FK USU/ RSUP,H,Adam Malik Medan tahun 2001, Tesis, FK Universitas

Sumatera Utara, Medan

Danandjaja S, 2001, Nasacort : What Makes the Difference, A Pharmacological Review

Dalam : Kumpulan makalah Symposium “Current and Future Approach in

Treatment of Allergic Rhinitis” kerjasama PERHATI Jaya – Bagian THT FK

UI/RSCM, Jakarta,pp.1 – 5

Dhingra PL,2007, Allergic Rhinitis, In : Diseases of Ear, Nose and Throat, Fourth

Edition,Elsevier,New Delhi India,pp.159

Dhingra PL,2007, Fisiology of Nose, In : Diseases of Ear, Nose and Throat, Fourth

Edition,Elsevier,New Delhi India,pp.133-5

Dorlan dan Newman W,A,1994, Dorland’s Ilustrated Medical Dictionary, WB,Saunders

Company, Philadelphia 20th Edition,pp.47

Durham SR, 2006, Mechanism and Treatment of Allergic Rhinitis, In : Kerr AG, ed,

Scott- Browns Otolaryngology, Sixth Edition, Vol,4, Butterworth-Heinemann,

London,pp. 4/6/1-14

Hanum TS,1989,Hubungan Rinitis Alergi dengan Jumlah Eosinofil Sekret Hidung di

Lab,THT FK USU/Rs,Pirngadi Medan,Tesis FK Universitas Sumatera Utara,

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 81: 07E00001

Harmadji S, 1993, Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT, Dalam : Kumpulan

Makalah Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT, Bukit Tinggi

Irawati N, 2002, Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulamn

Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy and Clinical Immunology”,

Divisi Alergi-Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta

Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N, 2001, Alergi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Edisi kelima, Balai Penerbit

FK UI, Jakarta, pp.101 – 6

Jackola DR, Mullany LP, Blumenthal MN, et al 2003, ‘Allergen Skin Test Reaction

Patterns in Children (≤ 10 years old) from Atopic Families Suggest Age –

Dependent Changes in Allergen – IgE Binding in Early Life’, International

Archives of Allergy and Immunology, Vol.132, No.4,pp. 354 – 371

Kanthawatana S, Maturim W, Fooanan S, et al, 1997, Skin Prick Reaction and Nasal

Provocation Response in Diagnosis of Nasal Allergyto the House Dust Mite,

Annals of Allergy, Asthma, and Imunology,Vol.79,No.5,pp.428

Kaplan AP dan Cauwenberge PV,2003, Allergic Rhinitis In : GLORIA Global

Resources in Allergy Allergic Rhinitis and Allergic Conjunctivitis, Revised

Guidelines, Milwaukee, USA,P, 12

Karjadi T,H,2001, Rinitis Alergi Dalam : Kumpulan Makalah Update Allergen and

Clinical Immunology, Bogor,,pp.63-7

Katalaris C,H, 1997, Pathophysiology of Allergic Rhinitis In : ASEAN Rhinological

Practice of Otolaryngology Faculty of Medicine Siriraj Hospital, Mahidol

University, Siriyod, Bangkok,pp.1 – 11

King HC, Mabry RL, Mabry CS,1998, Testing Methods for Inhalant Allergy, In :

Allergy in ENT Practice A basic Cruide, Thieme, New York,pp.110-15,

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 82: 07E00001

Klaewsongkram J, Ruxrungtham K, Wannakrairot P, Ruangvejvorachai P, Phanupak P,

2003, Eosinophil Count In Mucosa is more Suitable than the Number of ICAM-1-

Positive Nasal Epithelial Cells to Evaluate the Severity of House Dust Mite-

Sensitive Alergic Rhinitis, A Clinical Corelation Study, Int, Arch Allergy

Immunol,pp.68-75

Kosasih YS,2004, Pengaruh Gradasi Klinis Rinitis Alergi dan Gradasi Septum Deviasi

terhadap Gradasi Rinosinusitis Maksilaris Kronis, Tesis, Fakultas Kedokteran

Universitas Padjajaran Bandung

Kresno SB, 2001, Reaksi Hipersensitivitas, Dalam : Imunologi: Diagnosis dan Prosedur

Laboratorium, Edisi keempat, Balai Penerbit FK UI , Jakarta,pp136-60

Krouse JH, Gordon BR , Parker MJ,2002, Inhalant Allergy, In : Allergy and

Immunology An Otolaryngc Approach, Lippincott Williams & Wilkins,

Philadelphia,pp.35-49

Krouse,J,H,2006 Allergic and Non allergic Rhinitis, In : Bailey Ed, Head and Neck

Surgery- Otolaryngology, Fourth Edition , Vol. one, Lippincott-Raven Publisher

USA,pp. 351-63

Lee KJ,2003, Immunology and Aleergy, In : Essentian Otolaryngology Head & Neck

Surgery, Eightth Edition, McGraw Hill, New York,pp.279-80

Madiadipoera T, 1996, Diagnosis Rinitis Alergi,Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah

Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung

Tenggorok Indonesia (PERHATI), Batu, Malang, pp.79

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 83: 07E00001

Mira A, 2007, Perbandingan Kejadian Otitis Media Akut Pada Individu Atopi dan Non

Atopi di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H,Adam Malik Medan, Tesis

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara , Medan

Mulyarjo,2006, Penganganan Rinitis Alergi : Pendekatan Berorientasi pada Simtom,

Dalam : Kumpulan Naskah Simposium Nasional Perkembangan Terkini

Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta Rinitis Alergi dan Kursus Demo

Rinotomi Lateral, Maksilektomi dan Septorinoplasti,Malang,pp. 10,2,1-18

Nugraha BW,2005, Validitas Pemeriksaan Sitologi Eosinofil Mukosa Hidung Metode

Sikatan untuk Diagnosis Rinitis Alergi, Tesis,Bagian Ilmu Penyakit Telinga,

Hidung, dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah

Mada,Yogyakarta

Prijanto S, 1993, Terapi Medikamentosa Penyakit Alergi THT ,Dalam : Kumpulan

Makalah Kursus Penyegaran Alergi Imunologi di Bidang THT, PIT PERHATI,

Bukit Tinggi, pp.41 – 5

Prijanto S, 1996, Epidemiologi, Keterbatasan, dan Alternatif Penanganan Penyakit

Alergi THT, Dalam: Kumpulan Naskah PIT PERHATI, Immanuel Press, Malang,

pp. 51-8.

Rusmono N, 1993,Epidemiologi dan Insidensi Penyakit Alergi di Bidang Telinga,

Hidung dan Tenggorok,Dalam : Kumpulan Makalah Kursus Penyegaran Alergi

Imunologi di Bidang THT, PIT PERHATI, Bukit Tinggi,,pp.1-5

Soetjipto D dan Mangunkusumo E,2001, Hidung, Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala,dan Leher edisi Kelima, Balai Penerbit FK

UI, Jakarta,pp.101-6

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 84: 07E00001

Soewito MY dan Azis M,2007,Gambaran Umum Penderita Suspek Rinitis Alergi Yang

dilakukan Tes Cukit Kulit Alergen Inhalan di Poli Alergi Imunologi RSWS tahun

2005-2006, Dalam : Kumpulan Abstrak KONAS Perhimpunan Dokter Spesialis

THT-KL Indonesia, Surabaya,pp.13

Sumarman I, 2001,Patofisiologi dan Prosedur Diagnostic Rinitis Alergi Dalam :

Kumpulan Makalah Simposium “Current and Future Approach in Treatment of

Allergic Rhinitis” kerjasama PERHATI Jaya - Bagian THT FK UI / RSCM,

Jakarta,pp.14-18

Suprihati W, 2005, Peran Immunoterapi Spesifik pada Pengobatan Rinitis Alergi (The

Role of Spesific Immunotherapy in Allergic Rhinitis Treatment) Dalam :

Makalah Simposium Satelit I “Rhinitis Allergic kongres nasional V, Perhimpunan

Alergi Imunologi Indonesia (Peralmuni), Jakarta,pp.1-21

Suprihati,2005, The Prevalence of Allergic Rhinitis and Its Relation to some Risk

Factors among 13-14 years old students in Semarang, Indonesia, In : Indonesian

Journal of Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery, Vol,XXXV, no 1,

Jakarta,pp.64-70

Suprihati,2006, Patofisiologi Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulan Naskah Simposium

Nasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta

Rinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral, Maksilektomi dan

Septorinoplasti,Malang,pp.10,1,1-15

Trevino RJ, Gordon BR, Veling MC, 2002, Food Allergy and Hypersensitivity, In:

Allergy and Immunology an Otolaryngic Approach, Lippincolt Willaims &

Wilkins, Philadelphia, pp. 53-4.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 85: 07E00001

Yuen APW, Cheung S, Tang KC, et al 2007, The Skin Prick Test Results of 977 Patients

Suffering from Chronic Rhinitis in Hongkong, Hongkong Med J, vol. 13, pp. 131-

6

Zainuddin H, 1999,Permasalahan Sekitar Rinitis Alergika Dalam : Kumpulan Naskah

Ilmiah KONAS XII PERHATI, Semarang,pp.648-74

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 86: 07E00001

Lampiran 1

PERSETUJUAN UNTUK CALON PERSERTA PENELITIAN

(INFORMED CONSENT)

Apakah tujuan penelitian ini ?

Saya mengikutsertakan Anda dalam penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui

distribusi alergen (bahan/zat pemicu reaksi alergi) pada penderita rinitis alergi (penyakit

alergi pada hidung yang ditandai dengan gejala bersin-bersin,beringus, hidung tersumbat)

di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan

Apa saja yang akan anda lakukan pada penelitian ini ?

Pada hari pemeriksaan, saya akan mencatat indentitas anda (No. Urut Penelitian, Tgl

berobat, No. Rekam Medik, Nama, Umur, Jenis kelamin, Suku, Pekerjaan, Pendidikan,

Alamat, No. Telepon,) gejala dan tanda penyakit yang anda derita pada lembaran

penelitian. Selanjutnya saya akan melakukan suatu pemeriksaan test kulit cukit pada anda

1 set alergen inhalan terdiri dari 14 macam alergen inhalan termasuk kontrol positif

(histamin) dan kontrol negatif (buffer) yang biasa dijumpai di lingkungan anda sehari –

hari dengan menggunakan jarum kecil berurukuran 26G (Terumo) pada lengan bawah

anda dan akan menginterprestasi hasil yang diperoleh setelah 15 menit. Dengan adanya

hasil interprestasi dari test kulit cukit ini anda akan mengetahui bahan (alergen) yang

dapat menimbulkan reaksi alergi pada diri anda sehingga anda dapat menghindari alergen

tersebut. Dalam megikuti penelitian ini, anda tidak akan dikenakan biaya apa-apa.

Bagaimana jika tidak ingin berpartisipasi ?

Partisipasi anda pada penelitian ini bersifat sukarela. Tidak akan terjadi perubahan mutu

pelayanan dari dokter anda bila anda tidak bersedia mengikuti penelitian ini. Anda tetap

akan mendapatkan pelayanan kesehatan standar rutin sesuai dengan standar prosedur

pelayanan.

Bagaimana kerahasiaan hasil dari penelitian ini ?

Pada penelitian ini identitas anda akan disamarkan. Hanya dokter peneliti, anggota

peneliti dan anggota komisi etik yang bisa melihat data anda. Kerahasiaan data anda

sepenuhnya akan dijamin. Bila data anda dipublikasikan kerahasiaan akan tetap dijaga.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 87: 07E00001

Lampiran 2

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap dan memahaminya, maka dengan

sepenuh kesadaran dan tanpa paksaan saya menandatangani dan menyatakan besedia

berpartisipasi pada penelitian ini. Bila saya ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut,

saya akan bisa mendapatkannya dari dokter peneliti.

Dokter Peneliti, Medan, 2007 Peserta Penelitian,

dr. Patar L.H.Lumbanraja Nama :

Dep. THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan,

Telp : 0812 650 3907

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 88: 07E00001

Lampiran 3

Status Penelitian

I.Identitas Penderita

No. Urut Penelitian :

Tanggal berobat :

No. MR :

Nama :

Umur :

Jenis kelamin :

Suku :

Pekerjaan :

Pendidikan :

Alamat :

Telp/HP :

II. Anamnesis (The Allergy Quiz)

1. Apakah anda mempunyai problem pada HIDUNG?

Ya Tidak

Ya Tidak

2. Beri tanda gejala yang paling mengganggu :

- rasa gatal…………………………….

- bersin- bersin ……………………….

- hidung tersumbat…………………....

- keluar cairan dari hidung …………...

- penciuman berkurang……………….

3. Pada umur berapa anda mendapat keluhan pada hidung ?.......................

4. Apakah mata anda gatal ?..........................................................................

5. Apakah anda bersin - bersin lebih dari 5 kali dalam satu serangan ?......

6. Dalam 1 hari berapa kali anda mendapat serangan ?................................

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 89: 07E00001

7. Apakah hidung ada keluhan :

- di dalam ruangan…………………….

- di luar ruangan………………………

- pagi hari (pukul 05.00-11.00 Wib)

- siang hari (pukul 11.00-14.00 Wib)

- sore hari (pukul 14.00- 18.00 Wib)

- malam hari (Pukul 18.00-05.00 Wib)

- sepanjang hari

8. Apakah pernah anda kontak erat sehingga faktor tersebut sebagai faktor pencetus

jika “ya” jelaskan :

rumput ……………………………..

Bunga………………………………

Pohon……………………………….

binatang : anjing …………………..

kucing……………………..

lain – lain (jelaskan)………..

debu…………………………………..

lain – lain (jelaskan) …………………..

9. Apakah ada riwayat penyakit alergi pada keluarga ........................................

III. Pemeriksaan THT Rutin

Telinga Kanan Kiri

- daun telinga : Normal/abnormal Normal/abnormal

- liang telinga : Normal/abnormal Normal/abnormal

- membran timpani : Utuh/Perforasi :........ Utuh/Perforasi :......

Bulging Bulging

Hiperemis Hiperemis

Hidung Kanan Kiri

Rinoskopi Anterior

- Kavum nasi : Lapang/sempit Lapang/sempit

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 90: 07E00001

Mukosa :........... Mukosa :...........

- Konka inferior : Normal/edema/hipertropi Normal/edema/hipertropi

Mukosa :.......... Mukosa :...........

- Septum nasi : Normal/deviasi Normal/deviasi

Orofaring : Kanan Kiri

- Tonsil : T – 1/T – 2/T – 3 T – 1/T – 2/T - 3

Tenang /hiperemis tenang / hiperemis

- Faring : tenang / Hiperemis

Granul

Diagnosa : ..........................................................................................................

V. UJI KULIT CUKIT (SKIN PRICK TEST)

Hasil : Positif / Negatif

Positif pada alergen : 1. .....................................................

2. .....................................................

3. .....................................................

4. .....................................................

5. .....................................................

6. .....................................................

VI. KESIMPULAN

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Page 91: 07E00001

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP…, 2007 USU e-Repository © 2008

Lampiran 4

SKIN PRICK TEST (TEST ALERGI)

Nama :

Umur :

Hari / Tgl :

1. Histamin 8. Jamur Campuran

2. Kontrol Buffer 9. Serbuk Sari Jagung

3. Serpih Kulit Ayam 10. Serbuk Sari Padi

4. Serpih Kulit Kuda 11. Serbuk Sari Rumput

5. Serpih Kulit Kucing 12. Serpih Kulit Manusia

6. Serpih Kulit Anjing 13. Tungau Debu Rumah

7. Kecoa 14. Debu Rumah

Medan, 2007

Dep. THT-KL FK USU /

RSUP. H.Adam Malik Medan

(Dr )