061 puryanto 5205220017 badan penyelesaian sengketa konsumen (bpsk) sebagai alternatif upaya...
Click here to load reader
-
Upload
alen-pepa -
Category
Automotive
-
view
1.821 -
download
1
Transcript of 061 puryanto 5205220017 badan penyelesaian sengketa konsumen (bpsk) sebagai alternatif upaya...
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI
ALTERNATIF UPAYA PENEGAKAN HAK KONSUMEN DI INDONESIA
Oleh : Puryanto NPM : 5205220017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengertian Konsumen menurut UUPK adalah setiap orang pemakai barang
dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.1
Perlindungan konsumen merupakan hal yang cukup baru dalam dunia
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Perlindungan konsumen telah
meletakkan konsumen dalam posisi terendah dalam menghadapi para pelaku
usaha. Pada umumnya pelaku usaha berlindung di balik perjanjian baku yang
ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Tidak adanya alternatif yang diambil oleh
konsumen telah menjadi satu rahasia umum dalam dunia industri usaha di
Indonesia.2
Dalam situasi dan kondisi yang demikian diperlukan landasan hukum yang
kuat bagi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya perlindungan dan
pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Berdasarkan kondisi tersebut perlu diupayakan pemberdayaan konsumen dan
pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen yang
dapat diterapkan dalam masyarakat. Piranti hukum dimaksudkan untuk
mendorong iklim usaha yang sehat melalui pelayanan dan penyediaan barang dan
atau jasa yang berkualitas. Sikap keprihatinan kepada konsumen juga
dimaksudkan sebagai wujud kepedulian yang tinggi terhadap konsumen.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang dikemukaan di atas, masalah
konsumen tidak akan terlepas dari masyarakat sebagai pengguna akhir. Sebab
risiko kerugian konsumen dengan sistem industri dan perdagangan yang
demikian telah menimpa beberapa konsumen, dan beban untuk membuktikan
haknya tidak mudah, karena konsumen pada umumnya memiliki keterbatasan
kemampuan dalam membuktikan kesalahan produsen3. Maka masalah pokok
penelitian ini adalah Bagaimanakah Penyelesaian Sengketa Konsumen Antara
Pelaku Usaha dan Konsumen di BPSK Jakarta Barat?
Permasalahan tersebut diatas adalah sangat mendasar, karena menyangkut
kepastian hukum, keadilan hukum, dan tidak hanya bagi konsumen tetapi pelaku
usahapun terlindungi oleh hukum. Dikatakan mendasar karena konsumen adalah
dalam posisi yang lemah.
Maka kehadiran Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menjadi tonggak sejarah perkembangan perlindungan konsumen.
1 Shidarta, Hukum Peerlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia Widiasarana Indonesia, Revisi
2006, hal.2. 2 Gunawan Wijaya Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen. (Bandung:
PT.Gramedia Pustaka Utama, 2000). Hal.3 3 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab
Mutlak, FH UI.2004. hal.18.
2
Undang-undang ini mengatur tentang kebijakan perlindungan konsumen4, baik
materiil, maupun hukum formil mengenai penyelesaian sengketa konsumen5.
Berdasarkan Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, apakah hukum itu dapat melindungi serta telah memberikan rasa
keadilan, dan dapat memberikan kepastian hukum bagi konsumen. Untuk
mewujudkan hal tersebut diatas diperlukan lembaga-lembaga penegak hukum
beserta aparatur maupun pencari keadilan berdasarkan Undang-undang No.8
Tahun 1999.
4 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 19.
5 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 45
3
BAB II
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENURUT UNDANG-
UNDANG PERLINDUNGAN KNSUMEN NO.8 TAHUN 1999
A. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan
Musibah yang menimpa konsumen Indonesia tidaklah jarang terjadi.
Selama beberapa dasawarsa sejumlah peristiwa penting yang menyangkut
keamanan dan keselamatan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa
mencuat ke permukaan sebagai keprihatinan nasional yang tidak kunjung
mendapat perhatian dari sisi hukum bagi para konsumen. Padahal, saat ini
lebih dari 200 juta penduduk Indonesia tidak akan mungkin dapat
menanggalkan predikat “konsumen”. Abdul Hakim GN mengemukakan
keheranannya mengapa masalah perlindungan konsumen yang jelas
menyangkut hajat hidup orang banyak kurang mendapatkan perhatian.6
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen pada 20 April 1999 oleh Pemerintahan
Transisi (Kabinet Reformasi Pembangunan) Presiden B.J. Habibie dengan
harapan terwujudnya wacana baru hubungan konsumen dengan pelaku usaha
(produsen, distributor, pengecer, pengusaha/perusahaan dan sebagainya) yang
harmonis dan saling menghargai.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(UUPK), konsumen dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingan
hukumnya dengan memanfaatkan instrumen-instrumen hukum pokok yang
ada, meskipun secara empirik tidak begitu meningkatkan martabat konsumen
apalagi mengayomi konsumen. Konsumen masih tetap berada pada posis
tawar (bargaining position) yang lemah. Akan tetapi itu tidak berarti
konsumen tidak dilindungi sama sekali, betapa pun lemahnya instrumen-
instrumen hukum pokok.7
Berikut ini adalah beberapa gugatan konsumen terhadap produsen di
Indonesia yang dilakukan melalui peradilan umum :
1. Gugatan Individual.
Dalam gugatan individual dapat dilihat dalam kasus Anny R.
Gultom dan Hontas Tambunan vs PT. Securindo Packatama Indonesia
(secure Parking)8.
2. Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action).
Class Action merupakan suatu mekanisme atau prosedur gugatan
dimana pihak wakil kelompok bertindak tidak hanya untuk dirinya sendiri
tetapi juga sekaligus mewakili wakil kelompok yang jumlahnya banyak
dengan menderita kerugian yang sama.9
6 Abdul Hakim GN, Politik Hukum Indonesia, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia,1988, hal. 41 7 Setiawan, Produsen atau Konsumen: Siapa Dilindungi Hukum, makalah pada seminar
“Damai Pemasaran antara Pengusaha dan Konsumen, diselenggarakan Asosiasi Manajer Indonesia
bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Ilmu Kepolisian Indonesia (ISIK), di Jakarta, 27 Juni 1992.
Pada uraiannya, Setiawan sepertinya ingin mengatakan bahwa konsumen dapat dilindungi dengan
instrumen hukum pokok, dalam hal ini instrumen hukum perdata betapa pun minimnya. 8 Lihat, Putusan Pengadilan No. 551/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Ps.
9 Andy A. Azhar, dalam situs internet http://hukumonline.com/
4
Peraturan yang mengatur tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok diatur dalam PERMA No. 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok.
Peraturan-peraturan yang ada class action dalam hukum Indonesia
terdapat dalam :
1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3) UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
4) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
5) PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok.
Gugatan class action di Indonesia dapat dilihat pada contoh kasus
berikut ini. Gugatan 15 warga DKI Jakarta vs Presiden Megawati
Soekarnoputri, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dan Gubernur Jabar R
Nuriana atas peristiwa banjir yang terjadi pada akhir Januari hingga awal
Februari 2002 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 13 Maret
200210
.
3. Gugatan Legal Standing.
Pada prinsipnya istilah standing dapat diartikan secara luas yaitu
akses orang perorangan atau kelompok/organisasi di pengadilan sebagai
pihak penggugat.11
Legal standing, Standing tu Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat
diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk
tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata
(Civil Proceding) disederhanakan sebagai “hak gugat”.12
Berikut ini adalah contoh gugatan legal standing, yaitu dalam kasus
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Menanggulangi
Masalah Merokok, Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Wanita Indonesia
Tanpa Tembakau, Yayasan Kanker Indonesia vs PT. Djarum Kudus Tbk.,
PT. HM. Sampoerna Tbk., PT. Perada Swara Production, PT. Citra Lintas
Indonesia, PT. Metro Perdana Indonesia Advertising, PT. Rajawali Citra
Televisi Indonesia (RCTI), PT. Surya Citra Televisi (SCTV), PT.
Jurnalindo Aksara Grafika, PT. Era Media Informasi13
.
4. Gugatan Pemerintah.
Sejauh ini gugatan Pemerintah sebagai konsumen terhadap pihak
produsen belum pernah terjadi.
B. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Perlindungan konsumen adalah upaya yang terorganisir yang didalamnya
terdapat unsur-unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha yang jujur dan
bertanggung jawab untuk meningkatkan hak-hak konsumen. Dalam Undang-
10
Lihat Putusan Perkara No.83/PDT.G/2002.PN.JKT.PST 11
Mas Achmad Santosa, dkk., Petunjuk Pelaksanaan Gugatan Perwakilan, Jakarta, ICEL,
1997, hal. 53. 12
Proyek Pembinaan Teknis Yustisial MARI, 1998, hal. 75. 13
Lihat, Putusan Pengadilan No. 278/Pdt.G/2002/PN.Jak.Sel.
5
Undang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa perlindungan konsumen
adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan hukum kepada konsumen”.
Konsumen dalam terminologi konsumen akhir inilah yang dilindungi
dalam undang-undang perlindungan konsumen. Sedangkan konsumen antara
adalah dipersamakan dengan pelaku usaha.
Dengan telah disyahkan dan diberlakukannya Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tidak serta merta secara langsung
dapat menjamin terwujudnya penyelenggaraan perlindungan konsumen, karena
dalam pelaksanaan di lapangan penerapan beberapa pasal dari Undang-undang ini
diperlukan adanya dukungan pembentukan kelembagaan antara lain Badan
Pernyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang berkedudukan di Ibu Kota
Kabupaten atau Daerah Kota yang berfungsi menangani dan menyelesaikan
sengketa antara konsumen dan pelaku usaha di luar pengadilan melalui cara
Konsiliasi, Mediasi dan Arbitrase. Pembentukan BPSK ini dimaksudkan untuk
membantu penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha diluar
pengadilan.
Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diharapkan
mampu memberikan konsultasi perlindungan konsumen, menjembatani terhadap
setiap sengketa konsumen didaerahnya serta dapat malaksanakan tugas-tugas lain
yang telah menjadi kewenangannya dalam menerima pengaduan dan
menyelesaikan sengketa konsumen baik secara Konsiliasi, Mediasi maupun
Arbitrase. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa penyelesaian
sengketa konsumen diselesaikan melalui pengadilan, Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) ataupun penyelesaian sendiri melalui
jalan damai antara konsumen dan pelaku usaha.
Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-
hak konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen ternyata memiliki kekhasan
tersendiri. Sejak semula, para pihak yaang berselisih, khususnya dari pihak
konsumen, dimungkinkan menyelesaikan sengketa tersebut mengikuti beberapa
lingkungan peradilan, misalnya peradilan umum atau konsumen memilih jalan
penyelesaian di luar pengadilan (secara damai).
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau
di luar pengadilan (secara damai) berdasarkan pilihan sukarela diantara pihak
yang bersengketa.14
Setiap sengketa konsumen pada umumnya dapat diselesaikan
setidak-tidaknya melalui dua cara penyelesaian tersebut. Kedua kelompok cara
penyelesaian itu terdiri dari :
1. Penyelesaian sengketa secara damai.
Dengan penyelesaian sengketa secara damai dimaksudkan
penyelesaian sengketa antara para pihak atau dengan atau tanpa kuasa atau
pendamping bagi masing-masing pihak melalui cara damai. Perundingan
secara musyawarah mufakat antara para pihak yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah
penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa
(pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan
penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan undang-
undang.
14
http://digilib.usu.ac.id/
6
Penyelesaian sengketa dengan cara ini disebut cara kekeluargaan.
Dengan cara penyelesaian sengketa secara damai sesungguhnya yang
paling diinginkan.diusahakan bentuk penyelesaian sengketa yang mudah
dan relatif lebih cepat.
Berdasarkan UUPK, penyelesaian sengketa konsumen dapat
diselesaikan secara sukarela melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan
sesuai pilihan para pihak yang bersengketa (Pasal 45 ayat (2). Khususnya
untuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dimaksudkan untuk
mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau
tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak
akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen (UU No. 8 Tahun
1999 Pasal 47).
2. Penyelesaian melalui peradilan atau instansi yang berwenang.
Penyelesaian sengketa ini melalui peradilan umum atau melalui
lembaga yang khusus dibentuk undang-undang, yaitu Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK). Badan ini dibentuk di setiap Daerah Tingkat
II (Pasal 49) dan badan ini mempunyai anggota-anggota dari unsur
pemerintah, konsumen dan pelaku usaha.
Setiap unsur berjumlah tiga orang atau sebanyak-banyaknya lima
orang, untuk konsumen diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
(Perindustrian dan Perdagangan). Keanggotaannya terdiri dari ketua
merangkap anggota, wakil ketua merangkap anggota dan anggota dibantu
oleh sebuah sekretariat.
Dalam penyelesaian sengketa konsumen dibentuk majelis yang
terdiri dari sedikitnya tiga orang dan dibantu oleh seorang panitera (Pasal
54 ayat (1) dan (2)). Putusan yang dijatuhkan majelis BPSK bersifat final
dan mengikat (Pasal 54 ayat (3)). BPSK wajib menjatuhkan putusan
selama-lamanya 21 hari sejak gugatan diterima (Pasal 55). Keputusan
BPSK wajib dilaksanakan pelaku usaha dalam jangka waktu 7 hari setelah
putusan diterima, atau apabila ada keberatan maka mengajukan gugatan
kepada Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 14 hari. Pengadilan Negeri
yang menerima keberatan penuntut umum memutuskan perkara tersebut
(Pasal 58).
7
BAB III
PENYELESAIAN SENGKETA OLEH
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)
A. Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
BPSK dibentuk untuk menindaklanjuti terbitnya UU no 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen yang berlaku efektif sejak tanggal 21 April
2000. BPSK berada di bawah naungan Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, sedangkan operasionalnya dibantu oleh pemerintah daerah
setempat. Pengusulan pembentukan BPSK di kabupaten/kota kepada
pemerintah berkoordinasi dengan provinsi dan fasilitasi operasional BPSK.15
Adapun tata cara pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen adalah sebagai berikut :
1. Proses Pembentukan Kelembagaan BPSK.
a. Adanya kesanggupan Kabupaten atau Kotamadya untuk pendanaan
pembentukan BPSK, mulai dari perekrutan sampai dengan operasional
BPSK16
yang disampaikan oleh Bupati atau Walikota setempat kepada
Menteri Perdagangan dan Perindustrian c.q. Ditjen Perdagangan
Dalam Negeri.
b. Usulan pembentukan BPSK yang disampaikan oleh Bupati atau
Walikota diproses lebih lanjut di Direktorat Perlindungan Konsumen
Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Depperindag, untuk disusun
Keppres tentang pembentukan BPSK bagi daerah Kabupaten atau Kota
yang telah menyanggupi pembentukan BPSK.
c. Draft Keppres tentang pembentukan BPSK disampaikan Depperindag
kepada Sekretaris Negara untuk disyahkan Presiden.
d. Keppres tentang pembentukan BPSK yang telah disyahkan Presiden
disampaikan Depperindag kepada Bupati atau Walikota berikut
permintaan calon anggota dan sekretariat BPSK yang akan diusulkan
oleh Bupati atau Walikota daerah setempat.
2. Urutan Pemilihan dan Pengangkatan Anggota BPSK.
a. Bupati atau Walikota membentuk Tim Pemilihan Anggota BPSK
dengan Surat Keputusan Bupati (SKB) atau Walikota
b. Anggota Tim Pemilihan dilarang untuk diusulkan menjadi anggota
BPSK.
c. Tim Pemilihan.
d. Bupati atau Walikota mengajukan nama calon anggota BPSK yang
berasal dari daftar calon anggota yang telah dinyatakan lulus oleh Tim
Pemilih Calon Anggota BPSK Daerah kepada Menteri c.q. Direktur
Jenderal Perdagangan Dalam Negeri disertai dengan persyaratan
administrasi, dokumen penunjang dan berita acara pemilihan calon
anggota BPSK.
15
www.bappenas.go.id/ 16
Menurut As’ad Nugroho, Direktur Program Lembaga Kosnumen Jakarta, beberapa BPSK yang
sudah dibentuk diberbagai kota tidak atau belum berbuat apa-apa karena kelemahan mekanisme
pembentukan BPSK tersebut. Agar BPSK dapat berperan aktif, As’ad Nugroho menyarankan
beberapa hal diantaranya, (1) menggalang komitmen dan dukungan Pemda pada pembentukan
BPSK, baik dukungan fasilitas maupun politis, (2) lebih transparan dan demokratis, (3) melakukan
saringan anggota BPSK yang lebih kompetitif dan jujur.
8
e. Nama calon anggota BPSK yang diajukan tersebut sekurang-
kurangnya 18 (delapan belas) orang dan sebanyak-banyaknya 30 (tiga
puluh) orang dengan ketentuan seurang-kurangnya 1/3 (sepertiga) dari
jumlah calon anggota tersebut berpengalaman dan berpendidikan di
bidang hukum.
f. Menteri menetapkan dan mengangkat anggota BPSK dari calon
anggota BPSK yang diajukan, dengan memperhatikan beban kerja dan
keseimbangan dari setiap unsur yang diwakilinya.
g. Dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak diterimanya usulan
nama calon anggota BPSK secara lengkap dan benar, Menteri
menetapkan nama-nama anggota BPSK dengan Surat Keputusan.
3. Susunan dan Kedudukan BPSK.
Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, dinyatakan bahwa pemerintah membentuk Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) di tingkat II untuk penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan. Dengan demikian, di setiap daerah tingkat II
(kabupaten atau kotamadya) di Indonesia nantinya akan dibentuk dan
didirikan BPSK, guna menyelesaikan sengketa konsumen di samping
badan peradilan.
Oleh karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK)
diundangkan terlebih dahulu mendahului Undang-Undang Pemerintah
Daerah (UU Pemda)17
maka dalam kerangka sistem hukum nasional sesuai
asas les pasietori derograt legi priori (ketentuan yang berlaku kemudian
menghapus ketentuan terdahulu), maka penyebutan Daerah Tingkat II
pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diubah menjadi
Daerah Kota atau Daerah Kabupaten.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas dan wewenang meliputi
bidang perdagangan. Sedangkan mengenai anggaran untuk pelaksanaan
kegiatan BPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara serta sumber-sumber lainnya yang sesuai dengan peraturan-
peraturan yang berlaku. Adapun susunan anggota Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50
UUPK, terdiri atas :
a. Ketua merangkap anggota.
b. Wakil ketua merangkap anggota.
c. Anggota.
Menurut Pasal 49 ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK), keanggotan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) terdiri dari tiga unsur :18
a. Unsur pemerintahan (3 orang – 5 orang).
b. Unsur konsumen (3 orang – 5 orang).
c. Unsur pelaku usaha (3 orang – 5 orang).
17
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diundangkan tanggal 20 April 1999 dan
mulai berlaku efektif 1 tahun kemudian (20 April 2000), sedangkan Undang-Undang Pemerintah
Daerah (UU Pemda) diundangkan dan mulai berlaku efektif 7 Mei 1999 (pada tanggal
diundangkannya). 18
Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menerut UUPK (Teori dan Praktek
Penegakan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 29.
9
a. Pengangkatan dan pemberhentian anggota Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) ditetapkan oleh Menteri Perindustrian
dan Perdagangan (Deperindag). Untuk dapat diangkat sebagai anggota
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) harus dipenuhi
peryaratan sesuai dengan (Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen)
B. Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Dalam melaksanakan fungsinya untuk menjamin dan menegakkan hak-
hak konsumen, BPSK diberi tugas dan wewenang sesuai dengan Pasal 19 ayat
(2) dan ayat (3) serta pasal 20, 25 dan Pasal 26, jadi tidak secara keseluruhan
pasal-pasal dalam UUPK No. 8 Tahun 1999 yang dilanggar oleh pelaku usaha
dapat dikenakan sanksi administratif.
Tugas-tugas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada
Pasal 52 butir (e), butir (f), butir (g), butir (h), butir (i), butir (j), butir (k), dan
butir (m) dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK)
sebenarnya telah diserap dalam fungsi utama Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK).
Dengan membandingkan bobot tugas dan wewenang yang demikian
luas, serta syarat-syarat untuk menjadi anggota BPSK patut dipertanyakan
apakah ada orang-orang yang berkompeten untuk itu di setiap wilayah
Kabupaten/Kota. Terlebih-lebih lagi untuk anggota yang berasal dari unsur
konsumen, harus dilakukan seleksi yang benar-benar matang.
Jika pemerintah diberikan kewenangan untuk mengangkat dan
memberhentikan wakil-wakil konsumen dalam keanggotan BPSK,
dikhawatirkan ada kecenderungan untuk tidak lagi mempercayai objektifitas
mereka dalam memperjuangkan kepentingan konsumen tatkala bersengketa di
BPSK.
Kewenangan BPSK sendiri sangat terbatas. Lingkup sengketa yang
berhak ditanganinya mencakup pelanggaran Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, Pasal
25 dan Pasal 26. pengertian sanksi administratif disini telah mendapat
pengaruh dari sistem common law, sehingga dapat berupa penetapan ganti rugi
(lihat Pasal 60 UUPK). Pelanggaran terhadap pasal-pasal lainnya yang
bernuansa pidana, sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan. Termasuk
kategori ini adalah pelanggaran terhadap pencantuman klausula baku (Pasal 18
UUPK), sekalipun pengawasan terhadap pencantuman klausula baku adalah
bagian tugas BPSK (Pasal 15 UUPK).
C. Ketentuan Berproses di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK).
Sesungguhnya kesederajatan untuk mendapatkan akses dalam
perlakuan hukum bagi konsumen telah diatur secara umum di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam kitab tersebut pada intinya dikatakan
bahwa siapa saja yang melakukan perbuatan melawan hukum dan
menimbulkan kerugian maka wajib memberikan ganti kerugian. Namun
khusus bagi kosumen yang dirugikan dirasakan belum cukup, maka dengan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) ini, konsumen
mendapatkan perlindungan yang komprehensif di dalam tatanan hukum
Indonesia.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat
kesadaran konsumen akan hak dan kewajiban yang masih rendah. Hal ini
disebabkan antara lain tingkat pendidikan konsumen yang belum memadai,
10
sikap atau kebudayaan konsumen yang lebih suka menghindari konflik
(pasrah) yang sudah lama terpatri. Sehingga apabila konsumen dirugikan oleh
pelaku usaha, sebagian konsumen enggan memperkarakannya ke pengadilan,
karena memakan waktu, biaya yang mahal dan kompleks. Namun melalui
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), budaya atau kebiasaan
itulah yang secara perlahan-lahan akan berubah.
1. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
a. Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa konsumen kepada BPSK baik secara tertulis
maupun tidak tertulis atau lisan melalui sekretariat BPSK. Permohonan
penyelesaian sengketa konsumen dapat juga diajukan ahli waris atau
kuasanya, apabila konsumen yang bersangkutan dalam hal :
1) Meninggal dunia.
2) Sakit atau berusia lanjut (manula).
3) Belum dewasa.
4) Orang asing (Warga Negara Asing).
b. Permohonan penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan secara
tertulis diberikan bukti tanda terima kepada pemohon oleh sekretariat
BPSK. Sedangkan permohonan penyelesaian sengketa konsumen yang
diajukan secara tidak tertulis atau lisan oleh sekretariat BPSK dicatat
dalam format yang disediakan untuk itu dan dibubuhi tanda tangan
atau cap jempol oleh konsumen yang bersangkutan atau ahli warisnya
atau kuasanya dan kepada pemohon diberikan bukti tanda terima.
c. Berkas permohonan penyelesaian sengketa konsumen baik yang
diajukan secara tertulis maupun tidak tertulis atau lisan dicatat oleh
sekretariat BPSK dan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi.
Secara teknis peradilan semu, permohonan penyelesaian
sengketa konsumen (PSK) diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal
17 SK Memperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.
2. Persyaratan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK pada prinsipnya
merupakan penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen
akhir tanpa melibatkan pihak lain.19
Namun demikian penyelesaian sengketa konsumen20
harus
diajukan secara tertulis dengan melampirkan dokumen mengenai :21
a. Nama dan alamat lengkap dokumen atau ahli warisnya atau kuasanya
yang disertai dengan bukti diri,
19
Dsampaikan pada Temu Wicara Nasional Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen di Hotel
Cempaka Jakarta pada tanggal 15 Desember 2003 oleh Drs. H. Suherdi Sukandi (Ketua BPSK
Kota Bandung). 20
Lihat Ketentuan Pasal 46 UUPK, pihak yang dapat mengajukan gugatan : (a) seorang konsumen
yang dirugikan atau ahli warisnya (non litigation melalui BPSK atau litigation melalui peradilan),
(b) sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama, (c) Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), (d) pemerintah atau instansi terkait (ketiganya melalui
litigation). 21
Isi permohonan penyelesaian sengketa konsumen (PSK)memuat secara benar dan lengkap (Pasal
16 SK Menperindag 350/MPP/Kep/12/2001) : identitas konsumen, ahli waris atau kuasanya
disertai bukti diri, nama dan alamat pelaku usaha, barang atau jasa yang diadukan, bukti perolehan,
keterangan tempat, waktu dan tanggal perolehan barang dan jasa yang diadukan, saksi-saksi yang
mengetahui perolehan barang atau jasa.
11
b. Nama dan alamat lengkap pelaku usaha,
c. Barang dan/atau jasa yang diadukan,
d. Bukti perolehan (bon, faktur, kwitansi, dan dokumen bukti lain) bila
ada,
e. Keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang dan/atau jasa
tersebut.
f. Saksi yang mengetahui barang dan/atau jasa tersebut diperoleh.
g. Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa (bila ada).
3. Praktek Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK.
Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK dibagi dalam 2 bagian,
yaitu :
a. Persidangan.
1) Ketua BPSK melalui Panitera22
memanggil pelaku usaha secara
tertulis setelah pengaduan konsumen dinyatakan benar dan lengkap
dengan melampirkan copy salinan permohonan penyelesaian
sengketa konsumen yang telah memenuhi persyaratan Pasal 16 SK
Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 secara formal. Dalam
surat panggilan tersebut dicantumkan :
- hari, tanggal, waktu dan tempat persidangan dengan jelas.
- kewajiban pelaku usaha untuk memberikan jawaban terhadap
permohonan penyelesaian sengketa konsumen.
2) Para pihak menghadap Ketua BPSK untuk diberikan penjelasan
tentang penyelesaian sengketa berdasarkan pilihan sukarela (Pasal
46 ayat (2).
3) Setelah para pihak sepakat, penyelesaian sengketa konsumen
ditempuh melalui BPSK, maka Ketua BPSK menjelaskan tentang
tata cara persidangan (arbitrase, konsiliasi, mediasi) untuk dipilih
dan disepakati.
4) Apabila para pihak memilih konsiliasi atau mediasi, Ketua BPSK
membentuk majelis dan mempersiapkan waktu persidangan. Bila
arbitrase yang dipilih, maka para pihak dipersilahkan untuk
memilih arbitor dari anggota BPSK (unsur pelaku usaha dan/atau
konsumen). Setelah arbitor terpilih oleh para pihak, arbitor terpilih
meminta Ketua BPSK menetapkan majelis.
5) Dan apabila para pihak bersengketa tidak ada kesepakatan dalam
memilih cara atau metode persidangan, hal ini belum ada peraturan
yang mengatur. Namun demikian untuk kasus semacam ini di
beberapa kota, Ketua BPSK akan memprioritaskan pada pilihan
dari konsumen.
b. Persidangan Mejelis.
Pada prinsip persidangan sesuai dengan petunjuk yang
tercantum pada SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. hanya
22
Lihat Yusuf Shofie dalam bukunya Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK:
Teori dan Praktek Penegakan Hukum, Panitera BPSK berasal dari anggota dan ditetapkan
dengan Surat Penetapan Ketua BPSK (Pasal 54 ayat (2) UUPK jo. Pasal 1 ayat (1) SK
Menperindag 350/MPP/Kep/12/2001). Tugas Panitera meliputi : a) mencatat jalannya proses
penyelesaian sengketa, b) menyimpan berkas laporan, c) menjaga barang bukti, d) membantu
majelis menyusun putusan, e) membantu menyampaikan putusan kepada konsumen dan pelaku
usaha, f) membuat berita acara persidangan, h) membantu majelis dalam tugas-tugas penyelesaian
sengketa konsumen.
12
dalam ruang sidang tata letak tempat duduk penggugat, tergugat,
panitera, majelis dan sistimatika persidangan diatur dengan Surat
Keputusan Ka. BPSK tentang Tata Cara Persidangan.
Isi putusan Majelis BPSK tidak berupa penjatuhan sanksi
administratif (Pasal 37 ayat (3) SK Menperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001). Jika ternyata hasil penyelesaian sengketa
konsumen baik dengan cara konsiliasi atau mediasi telah dibuat dalam
perjanjian tersebut dan dikuatkan dengan keputusan Majelis BPSK
yang ditandatangani oleh Ketua dan Anggota Majelis (Pasal 37 ayat
(1) dan (2) SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001).
Jika ternyata hasil penyelesaian sengketa konsumen dicapai
melalui arbitrase, maka hasilnya dituangkan dalam bentuk Putusan
Majelis BPSK yang ditandatangani oleh Ketua dan Anggota Majelis
BPSK dimana didalamnya diperkenankan penjatuhan sanksi
administratif (Pasal 37 ayat (4), dan (5) SK Menperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001).
4. Tata Cara Persidangan di BPSK.
BPSK sebagai instrumen penyelesaian sengketa di luar pengadilan
adalah:23
a. Pemanggilan pelaku usaha untuk hadir di persidangan BPSK dalam
waktu 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan penyelesaian sengketa
diterima secara benar dan lengkap dan telah memenuhi persyaratan.
(Pasal 16 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001)
b. Jawaban disampaikan selambat-lambatnya pada persidangan pertama,
yaitu hari ke-7 (tujuh) terhitung sejak diterimanya permohonan
penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK.
5. Alat Bukti dan Pembuktian.
Pasal 21 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 mengenai
alat-alat bukti yang digunakan24
oleh BPSK, yaitu :
a. Barang dan/atau jasa.
b. Keterangan para pihak.
c. Keterangan saksi dan/atau saksi ahli.
d. Surat dan/atau dokumen.
e. Bukti-bukti lain yang mendukung.
Sistem pembuktian25
yang digunakan dalam gugatan ganti rugi
yaitu dengan menggunakan pendekatan sistem Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK), maka sistem pembuktian yang
digunakan di BPSK juga sistem pembuktian terbalik.26
Di dalam melakukan pemeriksaan dan penelitian sengketa
konsumen terdapat 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan Majelis BPSK,
yaitu :
23
Ibid, hal. 35. 24
Pembuktian dalam proses penyelesaian sengketa konsumen merupakan beban dan tanggung
jawab pelaku usaha atau disebut pembuktian terbalik. 25
Alat bukti dalam perkara perdata menurut Pasal 164 HIR/Herziens Indonesisch Reglement
(Pasal 283 RBg/Reglement Buitengewesten), yaitu a) bukti tertulis, b) bukti dengan saksi-saksi, c)
persangkaan-persangkaan, d) pengakuan, e) sumpah. 26
Lihat Pasal 52 butir f jo pasal 3 butis f dan Pasal 10 SK Menperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001
13
a. Penelitian dan pemeriksaan terhadap bukti surat, dokumen, bukti
barang, hasil uji instrumen, dan alat bukti lain yang diajukan, baik oleh
konsumen maupun oleh pelaku usaha.
b. Pemeriksaan terhadap konsumen, pelaku usaha, saksi dan saksi ahli
terhadap orang lain yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap
ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK)
6. Putusan BPSK.
Menurut UUPK isi putusan Majelis BPSK bersifat final dan
mengikat. Kata final adalah bahwa tidak ada upaya hukum banding dan
kasasi atas putusan Majelis BPSK.27
Proses dikeluarkannya putusan BPSK dilakukan dengan tahap,
yaitu Pasal 39 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 :
a. Didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat.
b. Maksimal jika hal itu telah diusahakan (dengan sungguh-sungguh),
ternyata tidak tercapai mufakat maka putusan dilakukan dengan cara
voting atau suara terbanyak.
Amar putusan BPSK terbatas pada 3 (tiga) alternatif, yaitu (Pasal
40 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001) :
a. Perdamaian.
b. Gugatan ditolak.
c. Gugatan dikabulkan.
Jika gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan
kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, dapat berupa sebagai
berikut :
a. Ganti rugi atas kerusakan pencemaran dan/atau kerugian konsumen
akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa yang dapat
berupa :28
1) Pengembalian uang.
2) Pengganti barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya.
3) Perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan (Pasal 10 ayat
(1) dan (2) UUPK, SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001).
b. Sanksi administrasi berupa penetapan ganti rugi maksimal Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta Rupiah) (Pasal 60 ayat (2) UUPK jo
Pasal 3 huruf l, dan Pasal 40 ayat (3) butir b SK Menperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001).
UUPK tidak mengatur dalam waktu beberapa lama putusan BPSK
diberitahukan kepada para pihak29
(bila disepakatinya tidak diatur), hal itu
27
Aman Sinaga, Apakah Putusan BPSK Dapat Dibanding?, Media Indonesia, 29 Agustus 2004.
Kesulitan menafsirkan pengertian pengajajuan keberatan putusan BPSK, ternyata dialami oleh
hakin pada Pengadilan Medan. Hakim pada pengadilan negeri tersebut berpendapat bahwa
pengajuan keberatan ditafsirkan sebagai gugatan baru. Jika penafsiran ini dianut, maka
konsekuensi hukumnya BPSK sebagai suatu institusi atau lembaga menjadi tergugat di pengadilan
negeri. Tetapi hakim pada pengadilan negeri lain tempat dimana ada pengajuan keberatan atas
putusan BPSK berpendapat bahwa pengajuan keberatan adalah upaya hokum banding, jika
pendapat ini dianut maka konsukuensinya BPSK sebagai suatu lembaga tidak menjadi tergugat di
pengadilan, melainkan putusan BPSK yang diperiksa di pengadilan. 28
Yusuf Shofie dan Soni Awan, op. cit, hal. 26. BPSK tidak mengenal ganti rugi yang bersifat
hilangnya kesempatan untuk medapatkan keuntungan, kenikmatan, nama baik dan sebagainya.
Namun BPSK diberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif berupa penetapan
ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku usaha untuk dibayarkan kepada konsumen.
14
karena menyangkut salah satu ketentuan teknis lebih lanjut tentang
pelaksanaan tugas majelis, maka Pasal 54 ayat (4) UUPK30
memberi
kewenangan Menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk mengeluarkan
surat keputusan menteri.
7. Upaya Hukum.
Pada penjelasan Pasal 54 ayat (4) UUPK ditegaskan bahwa tata
cara bersifat final31
berarti tidak ada upaya banding dan kasasi. Namun
kenyataannya UUPK mengenal pengajuan keberatan kepada Pengadilan
Negeri32
dalam waktu 14 (empatbelas) hari kerja setelah pihak
berkepentingan menerima pemberitahuan putusan tersebut.33
Untuk mengatasi masalah dalam pelaksanaan tugas Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), akan disusun sebuah Peraturan
Mahkamah Agung (Perma). Aturan tersebut mengatur tata cara pengajuan
keberatan terhadap putusan BPSK dan tata cara permohonan eksekusi.
Tim perumus Perma sendiri akan segera dibentuk.34
Penerbitan Perma tersebut dirasa mendesak karena selama ini
terdapat pasal yang saling bertentangan dalam UU No.8/1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Antara lain Pasal 54 ayat (3) yang menyatakan
putusan BPSK bersifat final dan mengikat, sementara Pasal 56 ayat (2)
yang menyatakan para pihak dapat mengajukan keberatan paling lambat
14 hari setelah putusan diterima.
8. Eksekusi Putusan.
Jika pelaku usaha tidak menggunakan keberatan, maka putusan
BPSK menjadi berkekuatan tetap. Tidak dilaksanakan hukuman tersebut,
apalagi setelah diajukan eksekusi berdasarkan Pasal 57 UUPK merupakan
tindakan pidana di bidang perlindungan konsumen.
29
Pasal 41 ayat (1) SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 menentukan : “Ketua Badan
Penyelesaian Sengketa (BPSK) memberitahukan putusan majelis secara tertulis kepada alamat
konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa selambat-lambatnya dalam 7 (tujuh) hari kerja sejak
putusan dibacakan.” 30
Pasal 54 ayat (4) UUPK berbunyi :”Ketentuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas
majelis diatur dalam surat kepeutusan menteri.” 31
Aman Sinaga, putusan yang bersifat final dan mengikat, adalah putusan yang menurut
pengertian Doktrin Hukum yang diajarkan di perguran tinggi, maupun menurut pengertian yang
baku di Badan Peradilan Umum, adalah putusan yang terhadapnya tidak dapat dilakukan upaya
hokum apapun, sehinggaperlu ada pengkajian dan evaluasi terhadap UUPK. 32
Aman Sinaga, ibid, sebutan pengajuan keberatan hanya dikenal dalam UUPK dan tidak dikenal
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di pengadilan umum, sehingga hakim dalam
pengadilan negeri tempat dimana ada pengajuan keberatan atas keputusan BPSK memperoleh
kesulitan untuk penafsiran apakah pengajuan keberatan tersebut semacam banding atau ditafsirkan
sebagai gugatan, karena dalam hal ini belum ada ketentuan yang mengatur lebih lanjut mengenai
apa dan bagaimana yang dimaksud dengan pengajuan keberatan atas putusan BPSK di pengadilan
negeri. 33
Yusuf Shofie, ibid, hal. 48. 34
http://hukumonline.com/, diakses tanggal 18 April 2008.
15
BAB IV
PRAKTEK PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI BADAN
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DKI JAKARTA
A. BPSK Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Sejumlah masalah yang bersifat teoritik dari eksistensi BPSK dalam
penyelesaian sengketa konsumen belum semuanya teridentifikasi dalam masa
sosialisasi dan masa transisi pemberlakuan UUPK.
Konsumen lebih mengenal YLKI daripada BPSK. Hal ini tentunya
dapat dimaklumi, ketidak populeran BPSK akibat dari kurangnya sosialisasi
oleh pemerintah. BPSK yang sudah terbentuk sangat sulit bergerak karena
keterbatasan dana yang dialokasikan dari masing-masing pemerintah
kabupaten atau kota.
BPSK Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki anggota yang terdiri
dari 3 (tiga) unsur, yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku
usaha. Dasar penyusunan anggota BPSK menganut azas keseimbangan,
sehingga anggota berjumlah sama dari setiap unsur yang ada dengan harapan
badan ini dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara adil dan obyektif.
Pengangkatan Anggota BPSK Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
berdasarkan pada Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor
589/M-DAG/KEP/7/2006 tanggal 4 Juli 2006. Para Anggota BPSK
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dilantik oleh Gubernur DKI Jakarta. Adapun
susunan anggota BPSK Provinsi DKI Jakarta adalah :35
1. Unsur Pemerintah terdiri dari 3 orang yaitu ketua merangkap anggota.
2. Unsur Konsumen terdiri dari 3 orang yaitu wakil ketua merangkap
anggota.
3. Unsur Pelaku Usaha Konsumen terdiri dari 3 orang yaitu sebagai anggota.
Sekretariat BPSK adalah bagian dari susunan organisasi BPSK yang
berstatus sebagai pembantu tugas yang bekerja penuh pada Sekretariat BPSK
dan berfungsi untuk membantu kelancaran tugas BPSK. Anggota Sekretariat
adalah bukan Anggota BPSK.
Sedangkan untuk pengangkatan Kepada Sekretariat dan Anggota
Sekretariat BPSK Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dilantik dan disumpah
oleh Ketua BPSK berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 86/M-DAG/KEP/3/2007 tanggal 26 Maret 2007
dan dipertegas oleh surat dari Direktorat Jendral Perdagangan Dalam Negeri
Departemen Perdagangan Republik Indonesia Nomor 88/PDN 4.5/3/2007
tertanggal 29 Maret 2007. Adapun susunan anggota sekretariat BPSK Provinsi
DKI Jakarta terdiri dari :
1. Kepala Sekretariat.
2. Sekretariat Bidang Tata Usaha.
3. Sekretariat Bidang Pelayanan Pengaduan.
4. Sekretariat Bidang Penyajian dan Pengolahan Data.
5. Sekretariat Bidang Konsultasi.
35
www.bpsk-jakarta.blogspot.com
16
6. Sekretariat Kepaniteraan.
B. Prosedur dan Tahapan Penyelesaian Sengketa di BPSK Provinsi DKI
Jakarta
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak secara
terperinci mengatur tentang prosedur atau mekanisme penyelesaian sengketa
konsumen melalui BPSK. Hanya beberapa ketentuan pokok yang dianggap
penting atau mendasar saja yang dijelaskan dalam undang-undang tersebut.
Salah satu ketentuan pokok tersebut adalah ketentuan yang tercantum dalam
Pasal 52 huruf a Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang
pada intinya menyatakan bahwa BPSK melaksanakan penanganan dan
penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi, konsiliasi dan
arbitrase. Penjelasan selanjutnya tentang penyelesaian sengketa dengan cara
mediasi, konsiliasi dan arbitrase (lebih dikenal dengan istilah alternatif
penyelesaian sengketa) tidak ditemukan dalam undang-undang. Hanya dalam
Pasal 53 dan Pasal 54 ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(UUPK), dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
tugas dan wewenang BPSK serta Majelis BPSK akan diatur dalam Surat
Keputusan Menteri terkait.
1. Penyelesaian sengketa dengan cara Konsiliasi.
BPSK adalah badan yang bertugas menyelesaikan sengketa
konsumen di luar pengadilan. Prinsip dalam menyelesaikan sengketa di
badan ini adalah mudah, murah, cepat dan sederhana.
Konsiliasi adalan proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan dengan perantara BPSK untuk mempertemukan para pihak
yang bersengketa dan penyelesaiannya kepada para pihak. Persidangan
secara konsiliasi dilakukan secara sendiri oleh pihak yang bersengketa
didampingi oleh majelis yang bertindak pasif sebagai konsiliator.36
Dari kedua ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa konsiliasi
sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
dilakukan di BPSK atas kesepakatan para pihak yang bersengketa37
dalam
proses dengan dibantu konsiliator38
sebagai penengah dan bersifat pasif.
1. Konsiliasi (penyelesaian sengketa secara kekeluargaan dan kompromi)
adalah penyelesaian sengketa melalui jalan tengah cenderung lebih
36
Munir Fuady, Arbitrase Nasional; Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung : PT.
Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 52. Menurutnya, konsiliator hanya melakukan tindakan-tindaan
seperti mengatur watu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subjek pembicaraan,
membawa pesan dari satu pihak ke pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan
langsung atau tidak mau bertemu muka langsung, dan lain-lain. 37
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Seri Bisnis; Hukum Arbirase, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2001, hal 37. Berbeda dengan konsiliasi menurut pengertian Black’s Law
Dictionary, yang merupakan langkah awal erdamaian sebelum sidang peradilan (litigasi)
dilaksanakan dan ketentuan mengenai perdamaian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang tidak hanya dapat dilakukan dengan konsiliasi. 38
Bandingkan dengan kewenangan mediator, dimana mediator berwenang untuk mengusulkan
solusi penyelesaian sengketa atau menyarankan jalan keluar atas proposal penyelesaian sengketa
yang bersangkutan. Akan tetapi kedua-duanya tidak berwenang memutuskan perkaram keputusan
dan persetujuan terhadap keputusan perkaran tetap terletak penuh di tangan para pihak yang
bersengketa itu sendiri.
17
ditekankan pada satuan masyarakat yang kecil-kecil yang didalamnya
hubungan tatap muka lebih menonjol.39
Dalam upaya penyelesaian sengketa melalui konsiliasi dapat dilihat
pada kasus Linni Nurliana ( Konsumen ) selaku PEMOHON vs Koperasi
Karyawan (KOPKAR) BII ( Pengurus ) ( Pelaku Usaha ) selaku
TERMOHON dalam kasus Gugatan Standar Mutu Bangunan Rumah.40
2. Penyelesaian sengketa dengan cara Mediasi.
Mediasi adalan proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan dengan perantara BPSK sebagai penasehat (mediator)41
dan
penyelesaiannya diserahkan kepada kedua belah pihak. Persidangan
mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan
didampingi oleh majelis yang bertindak aktif sebagai mediator.42
1) Dari kedua ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa mediasi sebagai
salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
dilakukan oleh BPSK atas kesepakatan para pihak yang bersengketa
sebagai mediator.43
Pada dasarnya mediasi adalah suatu proses dimana pihak ketiga,
suatu pihak luar yang netral terhadap sengketa,44
mengajak pihak yang
39
Konsiliasi dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagai bentuk alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar
pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakannya proses litigasi (peradilan), melainkan juga dalam
setiap tingkat peradilan yang sering berlangsung, baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan
pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. 40
Lihat Putusan BPSK Provinsi DKI Jakarta No. 094/BPSK-DKI/SK/VII/08 tanggal 14 Juli 2008. 41
Bandingkan Munir Fuady, Ibid, hal. 47. Pihak mediator tidak mempunyai kewenangan untuk
memberikan putusan terhadap sengketa para pihak yang dimediatori, melainkan hanya berfungsi
untuk membantu dan menemukan solusi terhadap para pihak yang bersengketa tersebut.
Menurutnya kemampuan dan integritas dari pihak mediator diharapkan dapat mengefektifkan
proses negosiasi diantara para pihak yang bersengketa. 42
AAI, Mediasi di Pengadilan Hanya Basa Basi, Koran Media Indonesia, 17 Juli 2004, hal. 1.
Mediasi di pengadilan terkesan basa basi dan belum maksimal, mediator kurang berani
memberikan dukungan kontributif dan memberikan masukan bersifat teknis maupun argumentasi
hukum dalam penyelesaian suatu sengketa, apalagi menyangkut perkara bisnis. 43
Bandingkan proses penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi oleh YLKI, Warta
Konsumen, Mei, 2003, hampir serupa dengan mediasi pada BPSK. Pada YLKI proses mediasi
dimulai dengan, 1) YLKI sebagai mediator menanyakan para pihak yang berperkara (baik
identitas, alamat, dll), 2) khusus pelaku usaha, YLKI menanyakan berkapasitas atau tidak
perwakilan dari pelaku usaha untuk mengambil keputusan terhadap kasus tersebut, 3) YLKI
memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak untuk menjelaskan duduk perkara yang
sebenarnya tanpa boleh dipotong oleh pihak lain sebelum pihak pertama selesai memberikan
penjelasan dan seterusnya, 4)YLKI memberikan waktu untuk klarifikasi dan koreksi tentang apa
yang disampaikan masing-masing pihak, 5) setelah permasalahan diketahui, masing-masing pihak
menyampaikan opsi atau tuntutan yang dinginkan sekaligus melakukan negosiasi untuk mencapai
kesepakatan, 6) apabila telah tercapai kesepakatan, maka isi kesepakatan tersebut seanjutnya
dituangkan dalam berita acara ksepakatan, tahap akhir dari proses mediasi adalah
mengimplementasikan hasil kesepakatan. 44
Munir Fuady, Ibid, hal. 47. Jika pihak ketiga yang netral (mediator) tidak ikut dilibatkan, maka
diantara pihak akan terjadi saling mencurigai, salah pengertian, salah persepsi, kurang komunikasi,
bersikap emosi, bersikap menang – kalah, dan lain-lain. Oleh karena itu, mediator yang dipilih
oleh para pihak yang bersengketa haruslah orang atau lembaga yang netral yang mampu
menjembatani kinginan para pihak. Karena peran mediator sangat penting, maka mediator haruslah
18
bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang disepakati.45
Sesuai
dengan batasan ini, mediator berada di tengah-tengah dan tidak memihak
pada salah satu pihak.46
Sesuai dengan sifatnya, mediasi tidak dapat
diwajibkan tetapi hanya dapat terjadi apabila kedua belah pihak secara
sukarela berpartisipasi. Peran utama mediator adalah menetapkan garis-
garis komunikasi diantara kedua belah pihak yang akan mengantarkan
pemahaman bersama yang lebih benar.47
Pada akhirnya, suatu kesepakatan
akan tercipta tanpa cara-cara merugikan setidaknya hubungan baik tanpa
adanya konflik.48
Dalam upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi dapat dilihat
pada kasus Drs. Nurul Huda, M.Ag selaku PEMOHON vs PT. Swadaya
Ridatama ( Ir. Budi Setiawan ) ( Pelaku Usaha ) selaku TERMOHON
dalam kasus gugatan serah terima rumah.49
3. Penyelesaian sengketa dengan cara Arbitrase.
Arbitrase adalah suatu proses penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan, yang dalam hal ini para pihak yang bersengeta
menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada Badan
Penyelesaian Sengeta Konsumen (BPSK). Persidangan secara arbitrase
dilakukan sepenuhnya dan diputuskan oleh majelis yang bertindak sebagai
arbiter.50
Dari kedua keputusan tersebut dapat diartikan bahwa arbitrase
sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
dilakukan sepenuhnya oleh BPSK atas kesepakatan para pihak yang
bersengketa. BPSK sendiri akan membentuk majelis sebagai sarana
penyelesaian sengketa selaku proses dalam penyelesaian sengketa,51
mempunyai keahlian dibidangnya masing-masing dan harus mendapatkan pelatihan dari suatu
lembaga yang khusus untuk mempersiapkan tenaga ahli sebagai mediator. 45
Sularsi, Mengupas Proses Penyelesaian Pengaduan Konsumen, Warta Konsumen, YLKI,
Mei 2003, hal. 26. Menurutnya dalam melakukan penyelesaian kasus secara mediasi ada 2 (dua)
kemungkinan yang bisa terjadi yaitu 1) kesepakatan tercapai artinya selesai, 2) tidak terjadi
kesepakatan artinya deadlock, artinya kasus selesai dalam tingkat non litigasi. 46
Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Upaya Mengurangi Penumpukan Perkara, dikutip
oleh Yusuf Shofie dan Somi Awan. Dalam melaksanakan fungsinya, mediator wajib menaati kode
etik mediator. Juga tidak diperbolehkan seorang mediator merangkap sebagai hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Ketentuan ini dapat disimpulkan dari pasal yang
menyatakan bahwa hakim memeriksa suatu perkara, baik sebagai ketua majelis atau anggota
majelis dilarang bertindak sebagai mediator bagi perkara yang bersangkutan. 47
Berbagai peran mediator dalam proses mediasi adalah 1) mengontrol proses dan menegaskan
aturan dasar, 2) mempertahankan struktur dan momentum dalam negosiasi, 3) menumbuhkan dan
mempertahankan kepercayaan diantara para pihak, 4) menerangkan proses dan mendidik para
pihak dalam hal komunikasi yang baik, 5) menguatkan suasana komunikasi, 6) membantu para
pihak untuk menghadapi situasi dan kenyataan, 7) memfasilitasi creative problem solving diantara
para pihak, 8) mengakhiri proses bilamana sudah tidak produktif lagi. 48
Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) Teori dan Praktek Penegakkan Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, 2003, hal. 23. 49
Lihat BPSK DKI Surat Perjanjian Perdamaian Dengan Cara Mediasi No. 049/BPSK-
DKI/PPM/VI/08 tanggal 25 Juni 2008. 50
Lihat Pasal 12 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 51
Lihat Ketentuan Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
19
Arbitrase merupakan institusi penyelesaian sengketa alternatif yang
paling populer dan paling luas digunakan dibandingkan dengan institusi
penyelesaian sengketa alternatif lainnya. Hal ini disebabkan banyaknya
kelebihan yang dimiliki oleh institusi ini.52
Dalam upaya penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilihat
pada kasus R.P. Soebagyo Tjondronegoro ( Konsumen ) selaku
PEMOHON vs PT. Teh Sosro ( Bapak Suwanto selaku Direksi ) selaku
TERMOHON dalam kasus gugatan minuman botol.
C. Analisa Eksekusi Putusan BPSK Oleh Pengadilan Negeri
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tidak mencantumkan siapa
yang meminta penetapan eksekusi, apakah konsumen sebagai pihak yang
dirugikan dan memenangkan sengketa dan pihak lain.53
Ternyata Pasal 42 ayat
(2) KepMen No. 350/MPP/Kep/12/2001 menentukan bahwa terhadap putusan
BPSK sebagaimana dimaksud ayat (1) putusan BPSK merupakan putusan
final dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dimintakan eksekusi oleh
BPSK kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen dirugikan.54
Ketentuan ini merupakan suatu hal yang tidak lazim dalam suatu
proses penyelesaian sengketa oleh suatu badan yang bertugas menyelesaikan
sengketa dan ketentuan ini meminimalisir fungsi dan kedudukan BPSK
sebagai suatu badan yang memeriksa dan memutuskan suatu sengketa sebagai
peradilan semu (quasi yudikatif) dan putusannya telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dan final. Jika terhadap putusan BPSK tidak diajukan keberatan
dan tidak pula dilaksanakan, maka yang seharusnya meminta eksekusi ke
pengadilan negeri adalah pihak yang telah menang dalam sengketa yang
diperiksa oleh BPSK yaitu konsumen sebagaimana yang berlaku pada
penyelesaian sengketa pada pengadilan negeri dimana pihak yang menang dan
putusan perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap mengajukan
permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri karena tergugat kalah tidak
mau memenuhi bunyi putusan tersebut secara sukarela.
52
Jika dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain untuk menyelesaikan sengketa, maka
institusi arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang paling mirip dengan
pengadilan, terutama jika ditinjau dari prosedur yang berlaku, kekuatan putusannya, keterkaitan
dengan hukum yang berlaku atau dengan aturan main yang ada. 53
Lihat Ketentuan Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 59 UU No. 8 Tahun 1999. 54
Suparno, Kesiapan Badan Peradilan Umum dalam Melaksanakan Penetapan Eksekusi
Putusan BPSK serta Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan
BPSK, Direktur Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, h. 3.