06 GABRIEL VISHNU ----SENGKETA PENAMBANG PASIR MEKANIK SUNGAI BRANTAS.pdf

20
Gabriel Vishnu Anindita Siregar, “Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri ,” hal. 179-198. BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 179 Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri Gabriel Vishnu Anindita Siregar (Alumni Antropologi FISIP Unair 2006; [email protected]) Abstract The river becomes the object vital to the public because it serves as a support of life. Sand contained in the river is a natural resource that has economic value. Brantas river basin to be the location for the miners sand. One area that once contained the mechanical sand mining activitiesis in Jongbiru, sub-district Gampengrejo, Kediri district. Research issues that are the presence of the mechanical sand mining activities result in ecological damage and public infrastructure arising from the dispute. The objective research is to find out background and form of dispute and its resolution. In the end to find out how the legal culture of the local community to resolve the dispute in the region. This study use the dispute cases method, which used to obtain information from parties who have an involvement and interest of the emergence. Then analyze the laws of the Jongbiru community. Data was collected through participant observation and interviews. The result showed that the disputing parties in it, which between the mechanical sand miners, Jongbiru citizens, Jabon citizens, the manual sand miners, local government, Jasa Tirta and Balai Besar Wilayah Sungai Brantas. Dispute issues for Jongbiru villagers as they hold the legal culture is an attempt settlement amicably through consultation with Kamituwo. Keywords: mechanical sand miners, form relationships and dispute resolution, legal culture. Abstrak Sungai menjadi objek penting bagi masyarakat karena dapat berfungsi sebagai pendukung kehidupan. Pasir yang terkandung di sungai merupakan sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi. Lembah sungai Brantas telah menjadi lokasi bagi penambang pasir. Salah satu daerah pertambangan pasir mekanik terdapat di Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri. Issu penelitian berkaitan dengan sengketa akibat kegiatan pertambangan pasir mekanis yang dapat mengakibatkan kerusakan ekologi dan infrastruktur publik. Penelitian bertujuan mengetahui latar belakang dan bentuk sengketa serta resolusinya. Akhirnya bertujuan mengetahui budaya masyarakat setempat dalam menyelesaikan sengketa di wilayah hukum. Studi ini menggunakan metode kasus sengketa, yang digunakan untuk mendapatkan informasi dari pihak-pihak yang terlibat dan berkepentingan. Kemudian menganalisis hukum masyarakat Jongbiru. Data yang dikumpul-kan melalui pengamatan peserta dan wawancara. Hasilnya menunjukkan bahwa pihak-pihak yang sedang bermasalah terdiri atas para penambang pasir mekanis, warga Jongbiru, warga Jabon, penambang pasir manual, pemerintah lokal, Jasa Tirta dan Balai Besar Wilayah Sungai Brantas. Masalah sengketa penduduk desa Jongbiru diselesaikan dengan budaya hukum mereka melalui upaya penyelesaian secara damai berkonsultasi dengan Kamituwo. Kata Kunci: penambang pasir mekanis, penyelesaian sengketa, budaya hukum, Sungai Brantas wal munculnya spesialisasi an- tropologi budaya di berbagai ne- gara terjadi sebelum perang dunia dua dan menjelang akhir perang dunia dua terutama setelahnya. Salah satu spesialisasi dari antropologi budaya A

Transcript of 06 GABRIEL VISHNU ----SENGKETA PENAMBANG PASIR MEKANIK SUNGAI BRANTAS.pdf

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 179

    Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas:

    Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri

    Gabriel Vishnu Anindita Siregar (Alumni Antropologi FISIP Unair 2006; [email protected])

    Abstract The river becomes the object vital to the public because it serves as a support of life. Sand contained in the river is a natural resource that has economic value. Brantas river basin to be the location for the miners sand. One area that once contained the mechanical sand mining activitiesis in Jongbiru, sub-district Gampengrejo, Kediri district. Research issues that are the presence of the mechanical sand mining activities result in ecological damage and public infrastructure arising from the dispute. The objective research is to find out background and form of dispute and its resolution. In the end to find out how the legal culture of the local community to resolve the dispute in the region. This study use the dispute cases method, which used to obtain information from parties who have an involvement and interest of the emergence. Then analyze the laws of the Jongbiru community. Data was collected through participant observation and interviews. The result showed that the disputing parties in it, which between the mechanical sand miners, Jongbiru citizens, Jabon citizens, the manual sand miners, local government, Jasa Tirta and Balai Besar Wilayah Sungai Brantas. Dispute issues for Jongbiru villagers as they hold the legal culture is an attempt settlement amicably through consultation with Kamituwo. Keywords: mechanical sand miners, form relationships and dispute resolution, legal culture.

    Abstrak Sungai menjadi objek penting bagi masyarakat karena dapat berfungsi sebagai pendukung kehidupan. Pasir yang terkandung di sungai merupakan sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi. Lembah sungai Brantas telah menjadi lokasi bagi penambang pasir. Salah satu daerah pertambangan pasir mekanik terdapat di Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri. Issu penelitian berkaitan dengan sengketa akibat kegiatan pertambangan pasir mekanis yang dapat mengakibatkan kerusakan ekologi dan infrastruktur publik. Penelitian bertujuan mengetahui latar belakang dan bentuk sengketa serta resolusinya. Akhirnya bertujuan mengetahui budaya masyarakat setempat dalam menyelesaikan sengketa di wilayah hukum. Studi ini menggunakan metode kasus sengketa, yang digunakan untuk mendapatkan informasi dari pihak-pihak yang terlibat dan berkepentingan. Kemudian menganalisis hukum masyarakat Jongbiru. Data yang dikumpul-kan melalui pengamatan peserta dan wawancara. Hasilnya menunjukkan bahwa pihak-pihak yang sedang bermasalah terdiri atas para penambang pasir mekanis, warga Jongbiru, warga Jabon, penambang pasir manual, pemerintah lokal, Jasa Tirta dan Balai Besar Wilayah Sungai Brantas. Masalah sengketa penduduk desa Jongbiru diselesaikan dengan budaya hukum mereka melalui upaya penyelesaian secara damai berkonsultasi dengan Kamituwo. Kata Kunci: penambang pasir mekanis, penyelesaian sengketa, budaya hukum, Sungai Brantas

    wal munculnya spesialisasi an-

    tropologi budaya di berbagai ne-

    gara terjadi sebelum perang

    dunia dua dan menjelang akhir perang

    dunia dua terutama setelahnya. Salah

    satu spesialisasi dari antropologi budaya A

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 180

    adalah antropologi hukum. Hukum men-

    jadi perhatian dalam kajian antropologi

    karena merupakan bagian dari kebudaya-

    an. Pendekatan Antropologi terhadap hu-

    kum dilakukan secara holistik mengenai

    segala sesuatu yang melatar belakangi

    budaya hukum. Budaya hukum yang

    dimaksud adalah segala bentuk perilaku

    budaya manusia yang mempengaruhi

    atau yang berkaitan dengan masalah

    hukum.

    Masalah hukum dalam antropo-

    logi hukum bukan hanya hukum perun-

    dangan (normatif) atau hukum adat me-

    lainkan budaya manusia menyikapi suatu

    masalah hukum. Faktor-faktor budaya

    yang melatar belakangi masalah hukum

    dapat dilihat dari cara penyelesaian ma-

    salah perselisihan dalam budaya masya-

    rakat di berbagai daerah yang terdapat

    perbedaan antara satu dengan lainnya

    (Hadikusuma, 1992: 2-5).

    Masalah hukum di Indonesia ba-

    nyak mendapat perhatian dengan adanya

    tulis-an-tulisan mengenai kasus sengketa

    yang terjadi di berbagai daerah. Mengi-

    ngat lokasi penelitian bertempat di Jawa

    maka contoh yang cukup dekat yaitu di

    daerah Jawa Tengah. Mulyo Putro (dalam

    Hadi-kusuma, 1992: 188-191) melalui

    tesisnya yang berjudul Penyelesaian per-

    kara secara tradisional tentang masalah

    perikanan di lingkungan petani tambak di

    wilayah karesidenan Jepara-Rembang

    mengemukakan bahwa pendekatan kebu-

    dayaan terhadap hukum berusaha meng-

    kaji titik pandang masyarakat pribumi

    terhadap hukum. Hadikusuma memapar-

    kan lebih jauh mengenai perbedaan bu-

    daya dalam karesidenan Jepara-Rembang.

    Penduduk wilayah Muria banyak menda-

    pat pengaruh kebudayaan Jawa bagian

    dalam. Ungkapan pati karyo, pati wismo,

    pati margo digunakan sebagai pedoman

    penyelesaian perkara di bidang perikanan

    bagi para petani tambak.

    Arti ungkapan tersebut menunjuk-

    an bahwa pekerjaan merupakan esensi

    dalam kehidupan. Hal-hal yang menye-

    babkan hilangnya pekerjaan karena tin-

    dakan kriminal harus mendapatkan

    hukuman seberat-beratnya. Sebagian wi-

    layah tersebut yaitu Rembang penduduk-

    nya berasal dari Madura. Pedoman penye-

    lesaian perkara di bidang perikanan pada

    wilayah tersebut menggunakan ungkapan

    utang pati nyaur pati, utang wirang nyaur

    wirang, utang bondo nyaur bondo.

    Arti ungkapan tersebut menunjuk-

    kan bahwa apa yang hilang harus kembali

    dalam wujud yang sama. Jika terjadi tin-

    dakan kriminal maka barang yang hilang

    harus dikembalikan pada pemiliknya

    sesuai dengan nilai guna barang tersebut.

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 181

    Ungkapan yang digunakan oleh penduduk

    Muria dan Rembang dalam menyelesai-

    kan perkara merupakan hasil karya bu-

    daya secara turun-temurun untuk me-

    nanggulangi kejahatan yang sesuai deng-

    an situasi dan kondisi masyarakat

    setempat.

    Adapun pedoman lain yaitu hukum

    pemerintah yang menjadi pedoman pe-

    nyelesaian perkara secara umum untuk

    memberikan sanksi. Ungkapan penduduk

    Muria, Rembang dan hukum pemerintah

    menjadi alternatif bagi para penegak

    hukum. Para penegak hukum sebagai

    pelayan hukum kepada masyarakat harus

    dapat memisahkan pedoman hukum yang

    ada sesuai dengan permasa-lahan yang

    dihadapi.

    Awal mula aktivitas penambangan

    pasir, para penambang melakukan akti-

    vitasnya secara tradisional yaitu dengan

    menyelam ke dasar sungai dan mengam-

    bil pasir yang berada di dasar sungai

    mengunakan cikrak sebagai alat yang di-

    gunakan. Aktivitas penambangan pasir

    tradisional di kabupaten Kediri telah

    dilakukan oleh warga setempat sejak

    turun temurun mulai jaman penjajahan

    Belanda.

    Aktivitas penambangan pasir

    ketika itu dilakukan pada saat Belanda

    memberlakukan sistem kerja rodi. Kerja

    rodi yang diberlakukan oleh Belanda

    melibatkan sebagian besar rakyat Indo-

    nesia. Kerja rodi diberlakukan oleh Belan-

    da terhadap rakyat Indonesia untuk

    pembangunan infrastruktur penjajahan.

    Dalam perkembangannya, aktivi-

    tas penambangan pasir secara tradisional

    tidak lagi diminati dan penambangan

    pasir bergeser yang dilakukan secara me-

    kanik yaitu aktivitas penambangan pasir

    yang dilakukan dengan menggunakan

    mesin penyedot pasir (sandpump) dan

    mesin disel, aktivitas tersebut menimbul-

    kan beberapa masalah baik terhadap

    pemukiman warga, lingkungan, infra-

    struktur bangunan.

    Salah satu daerah yang pernah ter-

    dapat aktivitas penambangan pasir meka-

    nik yaitu di desa Jongbiru, kecamatan

    Gampengrejo, kabupaten Kediri. Peneliti

    memperoleh informasi melalui media

    internet berupa unduhan (download) vi-

    deo liputan 6 SCTV yang memberitakan

    mengenai pembakaran perahu penam-

    bang pasir mekanik yang dilakukan oleh

    warga masyarakat desa Jongbiru yang

    terjadi pada tanggal 14 Oktober 2009

    (http://www.youtube.com/watch?v=XkDZ

    dXa5dn8, situs diakses pada tanggal 20

    September tahun 2010 pukul 22.15 WIB).

    Berdasarkan berita di atas maka

    peneliti mengindikasikan gambaran ada-

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 182

    nya sengketa. Fokus yang menjadi per-

    hatian peneliti adalah studi kasus seng-

    keta mengenai keberadaan penambangan

    pasir mekanik di desa Jongbiru, kabupa-

    ten Kediri.

    Tulisan ini bermaksud untuk me-

    ngetahui latar belakang terjadinya seng-

    keta yang terjadi terkait keberadaan pe-

    nambangan pasir mekanik di desa Jong-

    biru, kecamatan Gampengrejo, Kabupaten

    Kediri. Kemudian mengetahui bentuk

    sengketa dan penyelesaiannya sengketa

    di wilayah tersebut. Selanjutnya untuk

    mengetahui budaya hukum masyarakat

    setempat dapat menyelesaikan masalah

    sengketa di wilayahnya.

    Dari latar belakang diatas sebagai

    arah dalam merumuskan masalah dapat

    dirumuskan masalah penelitian ini adalah

    sengketa keberadaan aktivitas penam-

    bangan pasir mekanik sungai Brantas di

    desa Jongbiru kecamatan Gampengrejo

    kabupaten Kediri. Untuk menjawab masa-

    lah penelitian tersebut perlu dirumuskan

    pertanyaan penelitian sebagai berikut:

    (1) bagaimana latar belakang terjadinya

    sengketa yang terjadi terkait keberadaan

    penambangan pasir mekanik di desa

    Jongbiru, kecamatan Gampengrejo, Kabu-

    paten Kediri? (2) bagaimana bentuk seng-

    keta dan penyelesaiannya sengketa di

    wilayah tersebut? (3) bagaimana budaya

    hukum masyarakat setempat dapat me-

    nyelesaikan sengketa di wilayahnya?

    Sengketa

    Orang yang bersengketa memiliki bebe-

    rapa motivasi sebagaimana yang diiden-

    tifikasi oleh Nader dan Todd (1978: 37

    dalam Irianto, 2005: 289): to gain power,

    to obtain scarce resource, to gain justice, to

    compensate for a wrong.

    Identifikasi beberapa motivasi

    orang bersengketa yang dikemukakan

    Nader dan Todd dapat dikategorikan

    menjadi empat motivasi. Pertama, hasrat

    untuk menguasai sumber daya kekuasa-

    an. Kedua, untuk mendapatkan sumber

    daya yang menjadi langka yang dibutuh-

    kan oleh banyak orang. Ketiga, kebutuhan

    memperoleh rasa keadilan. Keempat,

    memperoleh keringanan atas kesalahan

    sehingga mengurangi akibat terburuk.

    Nader dan Todd memaparkan lebih jauh

    mengenai motivasi sengketa yang utama

    adalah keterkaitannya dengan perhitung-

    an terhadap pihak lawan dan perebutan

    sumber daya ekonomi.

    Pengertian dan pemahaman ter-

    hadap sengketa berperan penting untuk

    mengetahui proses sengketa (disputing

    process) yang ada dalam masyarakat.

    Nader dan Todd (1978: 4 dalam Ihromi,

    2001: 209) mengindentifikasi adanya tiga

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 183

    tahap dalam proses sengketa yaitu tahap

    pra-konflik (keluhan), tahap konflik dan

    tahap sengketa.

    Tahap pra-konflik merupakan kea-

    daan di mana seseorang atau kelompok

    merasakan bahwa haknya telah dilanggar

    atau telah diperlakukan dengan salah

    oleh pihak lain. Pelanggaran terhadap hak

    ataupun diperlakukan dengan salah me-

    nunjukkan bahwa telah terjadi adanya

    ketidakadilan. Pelanggaran terhadap rasa

    keadilan dapat bersifat nyata atau ima-

    ginasi sesuai dengan persepsi atau ke-

    lompok.

    Dalam tahap pra-konflik terjadi

    keadaan di mana pihak yang melanggar

    belum menyadari bahwa tindakkannya

    telah merugikan pihak lain. Perasaan

    tidak adil yang berupa keluhan berpoten-

    si untuk menjadi konflik atau justru

    mengendor. Perasaan diperlakukan tidak

    adil dapat lebih memuncak karena kon-

    frontasi atau justru sebaliknya, eskalasi

    menjadi terelakkan karena sengaja meng-

    hindari kontak dengan pihak kedua atau

    bisa jadi pihak kedua tidak memberi

    reaksi terhadap tantangan yang diajukan.

    Nader dan Todd (1978:14 dalam Ihromi,

    2005: 209) memberikan istilah untuk

    mencirikan tahap pra-konflik sebagai ciri

    monadik.

    Tahap konflik merupakan keadaan

    di mana pihak yang merasa haknya telah

    dilanggar, memilih jalan konfrontasi de-

    ngan cara melemparkan tuduhan atau

    memberitahukan keluhannya kepada

    pihak lawan. Dalam tahap konflik terjadi

    keadaan dimana pihak yang dilanggar

    haknya dan pihak yang melanggar hak

    telah menyadari adanya perselisihan. Ta-

    hap konflik dicirikan sebagai ciri diadik.

    Tahap sengketa (dispute) merupa-

    kan keadaan di mana konflik mengalami

    eskalasi karena telah dikemukakan secara

    umum. Gulliver (dalam Nader dan Todd,

    1978: 15 dalam Ihromi. 2001: 210) me-

    nyatakan bahwa suatu sengketa terjadi

    bila pihak yang mempunyai keluhan

    (claim) yang awalnya hanya berselisih

    pendapat berupa perdebatan diadik (dua

    pihak) kemudian melanjutkan perselisih-

    annya memasuki bidang publik.

    Peningkatan memasuki bidang

    publik dilakukan secara sengaja dan aktif

    dengan maksud supaya ada suatu tindak-

    kan sehubungan dengan tuntutan yang

    diinginkan. Tahap sengketa yang meli-

    batkan tiga pihak sehingga memunculkan

    adanya pihak ketiga disebut sebagai ciri

    triadik.

    Nader dan Todd (dalam Ihromi,

    2001: 210) memaparkan lebih lanjut tiga

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 184

    kemungkinan mengenai tahapan proses

    sengketa yang tidak harus terjadi secara

    berurutan. Pertama, seseorang yang me-

    rasa terhina langsung mengajukan per-

    kara ke pengadilan tanpa terlebih dahulu

    mengkomunikasikannya kepada pihak

    yang dianggap merugikan. Kedua, terjadi

    proses deskalasi di mana secara tiba-tiba

    salah satu pihak mengundurkan diri.

    Ketiga, tahapan proses sengketa bisa

    berlangsung secara melompat-lompat.

    Penyelesaian Sengketa

    Perhatian terhadap kajian lintas budaya,

    menunjukkan bahwa dalam setiap masya-

    rakat telah berkembang berbagai tradisi

    mengenai berbagai cara keluhan-keluhan

    dapat tertampung dan penanganan ter-

    jadinya sengketa. Berbagai sengketa tidak

    hanya dapat diselesaikan dengan meng-

    ajukan ke forum pengadilan tapi juga

    terdapat beragam lembaga atau pranata

    di mana sengketa dapat diatasi.

    Nader dan Todd (dalam Ihromi,

    2001: 210) memberikan tujuh rincian

    mengenai ber-bagai cara yang berkem-

    bang dalam kebudayaan-kebudayaan ma-

    nusia untuk menampung, mengatasi,

    menyelesaikan keluhan-keluhan, perasa-

    an tidak diber-lakukan secara adil, dan

    sengketa-sengketa yang dialami yaitu

    lumping it, avoidance, coercion, negotia-

    tion, media-tion, arbitration, adjudication.

    Lumping it (membiarkan saja)

    menurut pengertian Felstiner (dalam

    Nader dan Todd, 1978: 9 dalam Ihromi,

    2001: 210) adalah kegagalan yang dirasa-

    kan oleh pihak yang merasa diperlakukan

    tidak adil dalam upaya untuk menekan-

    kan tuntutan. Pihak yang diberlakukan

    tidak adil mengambil keputusan untuk

    mengabaikan saja masalah atau isu yang

    dialami dengan pihak lain.

    Kedua belah pihak tetap menerus-

    kan hubungan-hubungannya karena

    berbagai kemungkinan, misalnya tidak

    mengetahui cara pengajuan keluhan ke

    peradilan, kurangnya akses ke lembaga

    peradilan atau sengaja tidak diproses ke

    peradilan karena perkiraan kerugian

    yang lebih besar berupa materiil maupun

    kejiwaan (Galanter dalam Nader dan

    Todd, 1978: 9 dalam Ihromi, 2001: 211).

    Avoidance (mengelak) adalah cara

    penyelesaian di mana pihak yang merasa

    dirugikan memilih untuk mengurangi

    hubungan-hubungan dengan pihak yang

    merugikan atau memilih untuk menghen-

    tikan hubungan. Berbeda dengan lumping

    it yang masih berhubungan tanpa adanya

    pengurangan, sedangkan pada avoidance

    hubungan dikurangi sebagian atau semua.

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 185

    Coercion (paksaan) adalah cara

    penyelesaian di mana satu pihak mem-

    beri paksaan terhadap pihak lain. Tin-

    dakan paksaan ini bersifat unilateral.

    Tindakan yang bersifat memaksa dapat

    berupa ancaman untuk menggunakan ke-

    kerasan. Penyelesaian dengan tindakan

    paksaan pada umumnya memiliki ke-

    mungkinan kecil untuk menuju penyele-

    saian secara damai.

    Negotiation (perundingan) adalah

    cara penyelesaian di mana kedua belah

    pihak telah menyepakati pengambilan

    keputusan tanpa adanya pihak ketiga.

    Kedua belah pihak berusaha untuk saling

    meyakinkan. Usaha saling meyakinkan

    kemudian menghasilkan aturan diantara

    kedua belah pihak. Usaha penyelesaian

    dengan cara tidak bertitik tolak dengan

    aturan-aturan yang ada yang telah di-

    tentukan oleh kedua belah pihak (Gulliver

    dalam Nader dan Todd, 1978: 10 dalam

    Ihromi, 2001: 211). Menurut Irianto

    (2005: 291) negotiation dapat diharapkan

    menghasilkan win-win solution.

    Mediation adalah cara penyelesai-

    an dengan melibatkan pihak ketiga seba-

    gai perantara untuk membantu kedua

    belah pihak yang berselisih pendapat

    guna menemukan kesepakatan. Penen-

    tuan pihak ketiga ditentukan oleh kedua

    belah pihak atau ditunjukkan oleh pihak

    yang berwenang (berkuasa). Kedua belak

    pihak harus menyetujui bahwa jasa-jasa

    dari mediator akan digunakan dalam upa-

    ya mencari penyelesaian. Seorang media-

    tor dalam masyarakat-masyarakat kecil

    (paguyuban) dapat berupa tokoh-tokoh

    masyarakat. Menurut Irianto (2005: 291)

    mediation dapat diharapkan menghasil-

    kan win-win solution.

    Arbitration (arbitrasi) adalah cara

    penyelesaian di mana kedua belah pihak

    sepakat untuk meminta perantara pihak

    ketiga yaitu arbitrator. Sejak semula ke-

    dua belah pihak telah menyetujui bahwa

    mereka akan menerima keputusan dari

    arbitrator. Seorang arbitrator dalam ma-

    syarakat-masyarakat kecil (paguyuban)

    dapat berupa tokoh-tokoh masyarakat.

    Adjudication (peradilan) adalah ca-

    ra penyelesaian di mana pihak ketiga

    mempunyai wewenang untuk mencam-

    puri pemecahan masalah yang terlepas

    dari keinginan para pihak yang berseng-

    keta. Pihak ketiga juga memiliki hak

    untuk membuat keputusan dan menegak-

    kan keputusan. Penegakkan keputusan

    merupakan upaya agar keputusan dapat

    dilaksanakan.

    Pendefinisian terhadap kebudaya-

    an berperan penting untuk dipergunakan

    dan dioperasikan terhadap identifikasi

    dan pemecahan dalam berbagai masalah.

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 186

    Suparlan (1981: 76-91 dalam Setiawan,

    1998: 5) mendefinisikan kebudayaan

    adalah pengetahuan manusia yang me-

    nyeluruh dalam kehidupannya sebagai

    makhluk sosial guna menginterpretasi

    dan memahami lingkungannya yang ter-

    wujud nyata dalam bentuk perilaku.

    Pengetahuan berada dalam pikiran manu-

    sia yang bersifat abstrak berupa ide. Peri-

    laku yang merupakan cerminan (refleksi)

    dari ide-ide manusia juga termasuk dalam

    budaya hukum.

    Bertitik tolak dari pemahaman ter-

    hadap budaya hukum yang nyata dan

    hidup dalam masyarakat maka dapat

    diketahui bagian dari kekuatan-kekuatan

    sosial. Menurut Irianto (2005: 287) buda-

    ya hukum adalah bagian dari kekuatan-

    kekuatan sosial dalam masyarakat yang

    secara terus-menerus dapat memberi

    pengaruh terhadap sikap untuk mentaati

    atau tidak mentaati sistem hukum yang

    berlaku dalam negara.

    Kajian holistik menempatkan bu-

    daya hukum menjadi bagian dari kompo-

    nen-komponen hukum. Kajian holistik

    terhadap hukum dalam lapangan empiris

    harus dilihat sebagai sistem yang terdiri

    dari tiga komponen (Friedman, 1975: 15

    dalam Irianto, 2005: 42-43). Komponen

    pertama adalah substansi hukum (legal

    substance) yang meliputi aturan-aturan

    dan norma-norma yang digunakan oleh

    institusi. Komponen kedua adalah struk-

    tur hukum (legal structure) yaitu institusi

    atau penegak hukum seperti polisi, jaksa,

    hakim dan pengacara. Komponen ketiga

    adalah budaya hukum (legal culture) yang

    meliputi. ide-ide, sikap-sikap, kepercaya-

    an, harapan dan pandangan tentang

    hukum.

    Prinsip budaya hukum (legal

    culture) menurut Friedman meliputi ide-

    ide, sikap-sikap, kepercayaan, harapan

    dan pandangan tentang hukum (1975: 7

    dalam Irianto, 2005: 42). Friedman me-

    maparkan lebih lanjut mengenai adanya

    sub budaya hukum (sub legal culture)

    yang berarti kepentingan. Adanya kepen-

    tingan berkaitan erat dengan kasus yang

    terjadi.

    Lokasi penelitian berada di desa

    Jongbiru, kecamatan Gampengrejo, kabu-

    paten Kediri. Penentuan lokasi penelitian

    didasarkan atas pengalaman dan penge-

    tahuan peneliti karena pernah berkun-

    jung ke kabupaten Kediri. Peneliti kemu-

    dian memperoleh informasi dari berita

    Liputan 6 SCTV bahwa di desa Jongbiru

    pernah terjadi pembakaran perahu pe-

    nambang pasir mekanik oleh warga ma-

    syarakat setempat. Aksi warga yang

    membakar perahu penambang pasir me-

    kanik mengindikasikan adanya kasus

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 187

    sengketa. Alasan pendukung lainnya ada-

    lah masih minimnya penelitian mengenai

    permasalahan akibat aktivitas penam-

    bangan pasir mekanik ditinjau dari sudut

    pandang budaya. Umumnya penelitian

    yang dilakukan hanya sebatas kerusakan

    ekologis. Oleh karena itu peneliti ber-

    maksud menggunakan studi kasus seng-

    keta sebagai ciri khas dari disiplin Antro-

    pologi yang memfokuskan perhatiannya

    dalam lingkup sosial-budaya.

    Tahap awal sebelum memfokus-

    kan penelitian ini ialah melakukan peng-

    amatan yang bersifat penjajakan obyek

    lapangan secara umum (grand tour obser-

    vation). Istilah grand tour mengacu pada

    Spradley (1997: 110) yaitu pengalaman

    yang diperoleh peneliti ketika pertama

    kali mulai mempelajari suatu lingkup

    budaya. Penjajakan dalam obyek peneli-

    tian digunakan untuk memperhatikan

    unsur-unsur utama dari konteks sosial

    yaitu suasana budaya masyarakat. Pende-

    katan ini berfungsi untuk mengetahui

    bermacam-macam informasi berupa

    gambaran awal mengenai keberadaan

    penambangan pasir sungai Brantas kabu-

    paten Kediri khususnya penambang pasir

    mekanik. Gambaran yang diperoleh ter-

    sebut kemudian digunakan sebagai

    asumsi awal dalam penelitian. Hasil ter-

    sebut selanjutnya digunakan untuk me-

    nentukan metode yang tepat sesuai

    dengan fokus penelitian.

    Metode yang digunakan dalam

    penelitian ini adalah metode kasus seng-

    keta (trouble case method) klasik yang

    diajukan Hoebel (1983 dalam Irianto,

    2005: 27-28). Metode kasus sengketa

    digunakan untuk memperoleh keterangan

    kemudian menganalisis mengenai hukum

    yang senyatanya dianut oleh masyarakat.

    Pemikiran yang melandasi metode kasus

    sengketa bahwa kasus sengketa yang

    secara normatif berlaku (substansi hu-

    kum) dalam lapangan kenyataan dan

    sungguh-sungguh dijalankan oleh masya-

    rakat. Penelitian ini bertujuan untuk

    mengetahui apakah peraturan-peraturan

    yang dibuat oleh pemerintah telah di-

    laksanakan dan diterapkan dalam Kenya-

    taan kehidupan sehari-hari, serta meng-

    hasilkan temuan yang berupa hukum

    yang hidup atau yang sesungguhnya ber-

    laku di masyarakat. Temuan tersebut me-

    rupakan hasil kajian berdasarkan peng-

    amatan terhadap kasus-kasus sengketa.

    Metode kasus digunakan untuk menemu-

    kan bagaimana proses suatu sengketa

    berlangsung dengan mencari sebab-sebab

    perselisihan, siapa-siapa saja yang ter-

    libat, penelusuran sejarah tentang kasus-

    kasus sengketa, dan yang terakhir adalah

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 188

    dampak penyelesaian sengketa bagi ma-

    syarakat yang bersangkutan.

    Teknik pengumpulan data yang di-

    gunakan dalam penelitian ini adalah

    pengamatan (observation) dan wawan-

    cara (interview). Pengamatan yang cermat

    dapat dikatakan sebagai salah satu cara

    penelitian yang paling sesuai terkait

    dengan kebutuhan akan biaya penelitian

    yang sedikit (Bachtiar, 1997: 108). Data

    yang dihasilkan dari pengamatan adalah

    catatan lapangan. Wawancara bertujuan

    untuk mendapatkan keterangan atau pen-

    dirian secara lisan dari seorang informan

    dengan bercakap-cakap berhadapan mu-

    ka (Koentjaraningrat, 1997, 129). Data

    yang diperoleh dari wawancara adalah

    jawaban-jawaban dari informan atas per-

    tanyaan yang diajukan oleh peneliti.

    Proses analisis data dimulai deng-

    an menelaah seluruh data yang tersedia

    dari sumber yang telah dikumpulkan

    (Moleong, 1990: 190). Teknik analisa da-

    lam penelitian ini dilakukan dengan cara

    mengumpulkan data yang berasal dari

    pengamatan, wawancara mendalam, do-

    kumentasi foto dan kepustakaan. Hasil

    pengamatan menghasilkan data berupa

    catatan lapangan yang diperoleh peneliti

    selama mengunjungi wilayah yang ter-

    dapat aktivitas penambangan pasir yaitu

    kecamatan Mojo, kecamatan Ngadiluwih

    dan kecamatan papar serta lokasi obyek

    penelitian yaitu desa Jongbiru. Hasil wa-

    wancara mendalam menghasilkan data

    berupa jawaban-jawaban dari pertanyaan

    yang diajukan peneliti kepada informan.

    Hasil dokumentasi berupa data dalam

    bentuk berkas ilegal mining (penambang-

    an pasir ilegal) di sepanjang aliran sungai

    Brantas yang diperoleh dari Satuan

    Resort Kriminal Khusus (Satreskrimsus)

    Polres kabupaten Kediri. Kemudian doku-

    mentasi berupa foto kejadian aksi massa

    pembakaran peralatan penambangan pa-

    sir mekanik yang diperoleh dari Satuan

    Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kabu-

    paten Kediri. Selanjutnya dokumentasi

    berupa foto lokasi, obyek penelitian yaitu

    penambang pasir sungai Brantas yang

    diperoleh dari hasil dokumentasi peneliti.

    Dokumentasi tersebut digunakan

    untuk mengetahui aktivitas atau keadaan

    di lapangan yang nantinya akan dimasuk-

    kan pada lampiran. Hasil dari kepustaka-

    an berupa informasi tambahan untuk

    menjelaskan dan menguatkan pengetahu-

    an peneliti terhadap data penelitian.

    Data yang terkumpul kemudian di-

    klasifikasikan dan diidentifikasikan ke-

    mudian di kategorisasikan berdasarkan

    kerangka teori yaitu mengenai proses

    terjadinya sengketa, selanjutnya bentuk-

    bentuk penyelesaian sengketa dan pada

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 189

    akhirnya budaya hukum yang terdiri dari

    kepentingan masing-masing pihak yang

    bersengketa. Pihak-pihak yang berkepen-

    tingan antara lain: penambang pasir

    mekanik, warga desa Jongbiru, warga

    desa Jabon, penambang pasir manual,

    Pemerintah Daerah, Perum Jasa Tirta I,

    Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS)

    Brantas. Data yang terkumpul berdasar-

    kan kerangka teori selanjutnya digunakan

    sebagai pedoman untuk memasukkan

    data lapangan dalam bentuk sub-sub bab.

    Suasana Lokasi

    Penambang pasir di sungai Brantas kabu-

    paten Kediri telah ada sejak jaman penja-

    jahan Belanda hingga Indonesia merdeka

    dengan menggunakan alat yang masih

    tradisional. Indikasi tersebut dapat di-

    ketahui dari silsilah jembatan Mritjan dan

    sistem kerja Rodi yang dilaksanakan oleh

    pemerintah penjajahan Belanda. Penam-

    bangan yang dilakukan menggunakan

    peralatan berupa cikrak atau cungkro.

    Istilah masyarakat lokal untuk menyebut

    aktivitas penambangan menggunakan

    peralatan cikrak atau cungkro adalah

    nyikraki pasir. Kegiatan tersebut dilaku-

    kan oleh warga masyarakat yang ber-

    tempat tinggal di pinggiran sungai. Warga

    yang ingin melakukan kegiatan tersebut

    dapat langsung menuju ke pinggiran

    sungai dengan membawa peralatan

    cikrak untuk memperoleh pasir. Kegiatan

    tersebut mereka lakukan setiap hari se-

    bagai mata pencaharian. Hasil yang di-

    peroleh dari aktivitas nyikrak berupa

    pasir dimanfaatkan untuk kebutuhan

    lingkungan masyarakat setempat dan

    kebutuhan pribadi. Penambang pasir

    tradisional tidak menentukan nominal

    pasir yang dijual kepada lingkungan ma-

    syarakat setempat.

    Penambangan pasir yang dilaku-

    kan oleh masyarakat secara bertahap

    mengalami perkembangan. Wujud per-

    kembangan penambangan pasir dapat di-

    lihat dari peralatan dan proses memper-

    oleh pasir. perkembangan penambangan

    pasir diawali dengan penambangan yang

    dilakukan secara tradisional, manual,

    konveyor, kemudian secara mekanik. Per-

    kembangan penambangan pasir yang per-

    tama kali dilakukan yaitu secara manual.

    Tidak diketahui secara pasti awal mula

    perkembangan penambangan pasir ma-

    nual. Informasi data menjelaskan bahwa

    perkembangan penambangan pasir seca-

    ra manual di wilayah sungai Brantas ka-

    bupaten Kediri telah dilakukan lebih lama

    dari tahun 1969. Penambangan pasir

    manual merupakan aktivitas penambang-

    an yang dilakukan menpergunakan pera-

    hu sebagai alat bantu. Perahu digunakan

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 190

    oleh penambang pasir menuju ke tengah

    sungai sebagai tempat untuk mengambil

    pasir. Pasir yang diperoleh didapatkan

    dari pekerja penambang pasir yang me-

    nyelam ke dasar sungai. Istilah masya-

    rakat lokal untuk menyebut pekerja pe-

    nambang pasir yang menyelam adalah

    kuli bojong. Perahu yang telah terisi oleh

    pasir kemudian dibawa kepinggir sungai

    untuk dipindahkan ke tanah lapang oleh

    pekerja penambang pasir. pekerja penam-

    bang pasir memindahkan pasir meng-

    gunakan alat berupa dunak yang ditaruh

    di atas kepala menuju ke tanah lapang

    Istilah masyarakat lokal untuk menyebut

    pekerja penambang pasir yang memin-

    dahkan pasir dari perahu menuju tanah

    lapang adalah kuli ndunak. Penambang

    pasir yang bekerja di penambangan pasir

    manual membutuhkan tenaga kurang le-

    bih sekitar 17-20 orang tiap perahu.

    Perkembangan penambangan pa-

    sir yang kedua adalah penambangan pasir

    konveyor. penambangan pasir konveyor

    dalam pelaksanaannya dilakukan secara

    manual. Perbedaan dengan penambangan

    pasir manual yaitu penambangan pasir

    konveyor mempergunakan mesin konve-

    yor. Alat tersebut berupa karet berjalan

    yang terhubung pada dua atau lebih

    katrol yang berputar. Alat tersebut bukan

    digunakan sebagai alat untuk mencari pa-

    sir, tapi digunakan sebagai alat bantu

    dalam proses penambangan. Alat bantu

    tersebut digunakan sebagai alat untuk

    menyalurkan pasir dari perahu menuju

    ke atas yang kemudian mengalir menuju

    ke dalam bak truk. Informasi data men-

    jelaskan perkembangan penambangan

    pasir mempergunakan alat bantu berupa

    konveyor telah dilakukan sejak tahun

    2002. Penambangan pasir konveyor

    mempekerjakan tenaga sebagai kuli

    bojong dan kuli cutat. Kuli cutat meru-

    pakan istilah masyarakat lokal untuk

    menyebut pekerja penambang pasir yang

    memindahkan pasir dari perahu ke alat

    bantu konveyor. Penambang pasir yang

    bekerja di penambangan pasir manual

    membutuhkan tenaga kurang lebih se-

    kitar 9-10 orang tiap perahu.

    Perkembangan penambangan pa-

    sir yang ketiga adalah penambangan pasir

    mekanik. Istilah masyarakat lokal untuk

    menyebut penambangan pasir mekanik

    adalah sedotan. Penambangan pasir me-

    kanik adalah penambangan yang dilaku-

    kan mempergunakan mesin disel. Peralat-

    an tersebut dipasang di atas perahu

    ponton. Mesin disel dan perahu yang te-

    lah dirakit memanjang hingga berada ke

    tengah sungai dengan barang berupa

    bambu dan tong. Penambangan pasir

    mekanik yang berada di desa Jongbiru

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 191

    kecamatan Gampengrejo kabupaten Ke-

    diri telah dilakukan sejak tahun 1991.

    Awal mula mereka mereka menambang

    secara mekanik melihat dari proses pe-

    nambangan pasir mekanik beroperasi di

    wilayah Mojokerto. Berawal dari proses

    melihat kemudian mereka mulai mencoba

    untuk membuat. Penambang pasir yang

    bekerja pada penambangan pasir meka-

    nik terdiri dari operator stik sungkro dan

    kuli cutat. Operator stik sungkro merupa-

    kan istilah yang digunakan penambang

    pasir mekanik untuk menyebut pengen-

    dali stik. Sedangkan kuli cutat merupakan

    pekerja dalam penambangan pasir meka-

    nik yang memindahkan pasir dari tanah

    lapang ke dalam bak truk muatan pasir.

    Penambang pasir yang bekerja di penam-

    bangan pasir mekanik membutuhkan te-

    naga kurang lebih sekitar 5-8 orang.

    Pekerjaan sebagai penambang pa-

    sir telah membudaya dalam masyarakat

    Jongbiru. Istilah masyarakat lokal untuk

    menyebut para penambang pasir adalah

    tiyang pasiran. Pekerjaan tiyang pasiran

    diwariskan secara turun temurun. Peker-

    jaan yang mereka lakukan sejak men-

    jalani pendidikan formal. Mereka mela-

    kukan pekerjaan tersebut sebagai bentuk

    usaha untuk menambah uang saku. Mere-

    ka bekerja sebagai kuli dengan menyelam

    ke dasar sungai. Mereka yang telah me-

    nyelesaikan pendidikan formal, ada yang

    tetap melanjutkan pekerjaan sebagai pe-

    nambang pasir. Mereka yang telah men-

    dapatkan pekerjaan di luar penambangan

    pasir, terdorong untuk kembali bekerja

    sebagai penambang pasir. Identitas me-

    reka sebagai tiyang pasiran telah menjadi

    kebiasaan mereka untuk menjadi seorang

    penambang pasir. Mereka yang kembali

    bekerja sebagai penambang pasir ber-

    usaha untuk memperoleh cara untuk me-

    ngembangkan penambangan melalui per-

    alatan yang digunakan. Penghasilan yang

    telah mereka simpan selama bekerja di-

    luar penambangan pasir digunakan untuk

    membeli perahu maupun mesin disel.

    Kontribusi yang diperoleh dari pe-

    nambangan pasir disalurkan kepada kas

    desa. Kas desa diperoleh berupa uang

    yang didapatkan dari sumbangan portal.

    Aktivitas yang dilakukan oleh warga atau

    masyarakat dengan memanfaatkan ba-

    ngunan portal biasa disebut leges. Bagi

    warga desa Jongbiru leges selain diguna-

    kan untuk menarik sumbangan portal

    juga digunakan sebagai alat pembatas lalu

    lintas kendaraan muatan yang masuk me-

    lalui jalan desa menuju ke galangan pasir.

    hasil yang diperoleh dari sumbangan

    leges ditentukan berdasarkan jenis ken-

    daraan muatan yang akan masuk di desa

    Jongbiru. jenis kendaraan muatan truk

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 192

    engkel dikenakan biaya sumbangan leges

    sebesar Rp. 3000 tiap truk. Untuk jenis

    kendaraan muatan truk ban dobel dikena-

    kan biaya sumbangan leges sebesar

    Rp.5000 tiap truk. Sedangkan untuk jenis

    kendaraan muatan truk fuso dikenakan

    biaya Rp. 10.000 tiap truk.

    Jembatan Mritjan merupakan ba-

    ngunan yang memiliki peranan penting

    sebagai prasarana yang menghubungkan

    antara kelurahan Mrican kecamatan Mo-

    joroto kotamadya Kediri-desa Jabon

    Kecamatan Banyakkan dengan desa Jong-

    biru, kecamatan Gampengrejo, kabupaten

    Kediri. Jembatan digunakan sebagai salah

    satu fasilitas penunjang lalu lintas tujuan

    aktivitas masyarakat dan warga yang

    melintasinya. Mereka yang memanfaat-

    kan jembatan sebagai jalur alternatif

    terdekat daripada harus memutar dari-

    pada harus memutar dari jembatan

    Semampir yang berada di kecamatan kota

    Kediri.

    Permasalahan yang dialami warga

    kabupaten/kota Kediri terkait keberada-

    an aktivitas penambangan pasir mekanik

    berujung pada aksi massa yang mela-

    kukan pembakaran peralatan penam-

    bangan pasir mekanik di desa Jongbiru

    kecamatan Gampengrejo kabupaten Ke-

    diri. Permasalahan tersebut dialami oleh

    warga yang bertempat tinggal di sepan-

    jang bantaran sungai Brantas khususnya

    akibat keberadaan penambang pasir yang

    mempergunakan mesin disel sebagai per-

    alatan penambangan menimbulkan ke-

    rusakan.

    Kejadian setelah pembakaran ta-

    hun 2009, pemilik galangan dan pekerja

    penambangan pasir mekanik yang berasal

    dari desa Jongbiru ada yang memilih

    bekerja secara serabutan dan bekerja di

    luar daerah. Warga yang menjadi tiyang

    pasiran memilih untuk tetap bertempat

    tinggal di desa Jongbiru dengan bekerja di

    lahan pertanian dan melakukan pekerja-

    an sampingan lainnya. Sedangkan mereka

    yang bekerja diluar daerah memilih untuk

    menjadi pekerja di bidang bangunan dan

    di bidang media transportasi darat ang-

    kutan umum.

    Penyebab robohnya jembatan

    Mritjan dikarenakan usianya yang sudah

    tua, peristiwa alam dan penambangan pa-

    sir mekanik. Warga desa Jongbiru melalui

    kepala dusun menilai salah satu faktor

    penyebab robohnya jembatan Mritjan di-

    karenakan faktor usia. Jembatan Mritjan

    merupakan salah satu prasarana yang

    telah dibangun sejak jaman Belanda. Se-

    hingga jembatan Mritjan sudah waktunya

    untuk dilakukan renovasi.

    Penyebab robohnya jembatan

    Mritjan dikarenakan faktor alam berawal

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 193

    dari keadaan cuaca di wilayah sekitar

    jembatan Mritjan yang sedang hujan

    lebat. Keadaan tersebut menyebabkan

    permukaan air sungai sungai Brantas

    meluap. Bersamaan dengan keadaan ter-

    sebut, aktivitas penambangan pasir me-

    kanik yang beroperasi di desa Jongbiru

    sedang berlangsung. Keadaan sungai

    Brantas yang demikian selain mengha-

    nyutkan beberapa perahu milik penam-

    bang pasir juga pepohohonan yang ber-

    ada di tepian sungai. Kemudian perahu

    bersama pepohonan yang hanyut mena-

    brak secara bergantian bagian tiang pe-

    nyangga dan patok yang mengakibatkan

    robohnya jembatan.

    Penyebab robohnya jembatan

    Mritjan dikarenakan faktor keberadaan

    penambangan pasir mekanik. Warga desa

    Jabon beranggapan bahwa aktivitas pe-

    nambangan yang dilakukan terlalu dekat

    dengan bangunan jembatan Mritjan dapat

    berpengaruh terhadap tiang penyangga

    yang menjadi pondasi jembatan. Aktivitas

    penambangan pasir yang dilakukan

    menggunakan peralatan mesin disel

    mempengaruhi kedalaman sungai men-

    jadi semakin dalam. Keadaan tersebut

    mengakibatkan tiang penyangga yang di-

    gunakan sebagai pondasi jembatan meng-

    gantung atau tidak menancap pada dasar

    sungai.

    Pemetaan sengketa penambangan

    pasir di desa Jongbiru dapat diketahui

    berdasarkan kepentingan pihak-pihak

    yang terlibat sengketa. Selanjutnya

    mengetahui tahapan sengketa yang

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 194

    dialami melalui pihak yang terlibat dalam

    sengketa, dan penentuan jenis penyele-

    saian sengketa. Pihak yang memiliki

    kepentingan dalam sengketa yang terjadi

    antara lain: penambang pasir mekanik,

    warga desa Jongbiru (tiyang pasiran),

    warga desa Jongbiru Umum, warga desa

    Jabon (upaya penyelamatan jembatan

    Mritjan), penambang pasir manual, warga

    desa Jongbiru (pemasukan warga dan kas

    desa), warga desa Jabon (kontrol sosial),

    Pemerintah Daerah, Perum Jasa Tirta I,

    Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS)

    Brantas.

    Pertama, penambang pasir meka-

    nik yang berkepentingan mencari ke-

    untungan ekonomi yang sebesar-besar-

    nya dengan warga desa Jongbiru yang

    berkepentingan terhadap pemberdayaan

    tenaga dan suasana tenang. Tahapan

    sengketa yang dilakukan mencapai ting-

    katan konflik. Penyelesaian yang diambil

    oleh kedua belah pihak ialah tindakan

    mengabaikan.

    Kedua, warga desa Jongbiru umum

    yang berkepentingan untuk melakukan

    perlindungan terhadap wilayah sungai

    dan perlindungan terhadap prasarana ja-

    lan di daerahnya dengan warga Jongbiru

    (tiyang pasiran) yang berkepentingan

    menjual tanah bantaran sungai Jongbiru

    kepada warga desa lain. Tahapan seng-

    keta yang dilakukan mencapai tingkatan

    sengketa. Penyelesaian yang diambil oleh

    kedua belah pihak ialah tindakan mediasi.

    Ketiga, penambang pasir mekanik

    yang berkepentingan untuk mencari ke-

    untungan ekonomi yang sebesar-besar-

    nya dengan warga desa Jabon yang ber-

    kepentingan melakukan upaya penyela-

    matan jembatan Mritjan. Tahapan seng-

    keta yang dilakukan mencapai tingkatan

    sengketa. Penyelesaian yang diambil oleh

    kedua belah pihak ialah tindakan per-

    adilan hukum

    Keempat, penambang pasir meka-

    nik yang berkepentingan untuk mencari

    keuntungan ekonomi yang sebesar-besar-

    nya dengan penambang pasir manual

    yang berkepentingan untuk penyerapa

    tenaga kerja. Tahapan sengketa yang di-

    lakukan mencapai tingkatan prakonflik.

    Penyelesaian yang diambil oleh kedua

    belah pihak ialah tindakan mengabaikan.

    Kelima, warga desa Jongbiru me-

    lalui aparatur pemerintahan desa yang

    berkepentingan memanfaatkan keberada-

    an penambang pasir mekanik dan pe-

    nambang pasir manual sebagai alat pema-

    sukan bagi kas desa dengan warga desa

    Jabon. Tahapan sengketa yang dilakukan

    mencapai tingkatan prakonflik. Penyele-

    saian yang diambil oleh kedua belah

    pihak ialah tindakan mengabaikan.

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 195

    Keenam, penambang pasir meka-

    nik yang berkepentingan untuk mencari

    keuntungan ekonomi yang sebesar-besar-

    nya dengan pemerintah daerah kabupa-

    ten Kediri yang berkepentingan untuk

    menertibkan dan menindak penambang-

    an pasir mekanik melalui ketentuan

    peraturan daerah. Tahapan sengketa yang

    dilakukan mencapai tingkatan sengketa.

    Penyelesaian yang diambil oleh kedua

    belah pihak ialah tindakan peradilan

    hukum.

    Ketujuh, penambang pasir meka-

    nik yang berkepentingan untuk mencari

    keuntungan ekonomi yang sebesar-besar-

    nya dengan Perum Jasa Tirta I yang me-

    miliki kepentingan dalam pemanfaatan

    air untuk kepentingan umum pada sungai

    Brantas. Tahapan sengketa yang dila-

    kukan mencapai tingkatan sengketa. Pe-

    nyelesaian yang diambil oleh kedua belah

    pihak ialah tindakan peradilan hukum.

    Penambang pasir mekanik yang

    berkepentingan untuk mencari keuntung-

    an ekonomi yang sebesar-besarnya de-

    ngan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS)

    Brantas yang memiliki kepentingan ter-

    hadap perlindungan dan perawatan pra-

    sarana umum wilayah sungai Brantas.

    Tahapan sengketa yang dilakukan men-

    capai tingkatan sengketa. Penyelesaian

    yang diambil oleh kedua belah pihak ialah

    tindakan peradilan hukum.

    Penutup

    Pekerjaan penambang pasir merupakan

    mata pencaharian yang telah membudaya

    bagi masyarakat yang bertempat tinggal

    di sekitar daerah aliran sungai Brantas

    khususnya warga desa Jongbiru.

    Perkembangan penambangan pa-

    sir di wilayah sungai Brantas diawali

    dengan teknik menambang secara tra-

    disional, manual, konveyor, dan mekanik.

    Penambangan pasir secara mekanik

    menggunakan mesin disel yang meng-

    akibatkan kerusakan ekologis dan fasi-

    litas umum yang terdapat di sekitar wi-

    layah sungai. Kerusakan tersebut memun-

    culkan pihak-pihak yang bersengketa

    sesuai dengan pandangan kepentingan-

    nya masing-masing.

    Pemetaan bentuk dan penyelesai-

    an sengketa menunjukan bahwa terdapat

    delapan bentuk hubungan, tahap, dan pe-

    nyelesaian sengketa yaitu Penambang pa-

    sir mekanik (keuntungan ekonomi yang

    sebesar-besarnya) dengan Warga Jong-

    biru (pemberdayaan tenaga kerja dan

    suasana tenang) tahapan konflik-penye-

    lesaian lumping it, Warga Jongbiru Umum

    (berkepentingan untuk melakukan per-

    lindungan terhadap wilayah sungai dan

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 196

    prasarana jalan) dengan Warga Jongbiru

    (tiyang pasiran menjual tanah bantaran

    sungai) tahapan sengketa-penyelesaian

    mediation, Penambang pasir mekanik

    (keuntungan ekonomi yang sebesar-

    besarnya) dengan Warga Jabon (upaya

    penyelamatan jembatan Mritjan) tahapan

    sengketa-penyelesaian adjudication,

    Penambang pasir mekanik (keun-

    tungan ekonomi yang sebesar-besarnya)

    dengan penambang pasir manual (penye-

    rapan tenaga kerja) tahapan prakonflik-

    penye-lesaian lumping it, Warga Jongbiru

    (aparatur pemerintahan desa) (pemasuk-

    an kas desa dari penambang pasir meka-

    nik dan manual) dengan Warga Jabon

    (kontrol sosial) (Indikasi pemanfaatan

    aparatur pemerintahan desa Jongbiru ke-

    tidakperdulian aparatur desa Jongbiru

    terhadap kondisi jembatan Mritjan) ta-

    hapan prakonflik-penyelesaian lumping it.

    Penambang pasir mekanik (umum)

    (keuntungan ekonomi yang sebesar-

    besarnya) dengan Pemerintah Daerah

    (Pemkab-Perda) (pemanfaatan sumber

    daya alam untuk kepentingan daerah) ta-

    hap sengketa-penyelesaian adjudication.

    Penambang pasir mekanik (keun-

    tungan ekonomi yang sebesar-besarnya)

    dengan Perum Jasa Tirta (prasarana)

    (pemanfaatan air untuk kepentingan

    umum) tahapan sengketa-penyelesaian

    adjudication.

    Penambang pasir mekanik (keun-

    tungan ekonomi yang sebesar-besarnya)

    dengan Balai Besar Wilayah Sungai

    (BBWS) Brantas (prasarana) (perlindung-

    an dan perawatan prasarana umum w-

    ilayah sungai Brantas) tahapan sengketa-

    penyelesaian adjudication.

    Pemerintah diharapkan lebih peduli

    terhadap keadaan penambang pasir tra-

    disional dan manual di mana pekerjaan

    tersebut telah menjadi budaya yang telah

    diwariskan secara turun-temurun. Peme-

    rintah yang memiliki otoritas, sebagai

    langkah dalam proses penerapan per-

    aturan perundangan yang diberlakukan

    terhadap penambangan pasir di wilayah

    sungai Brantas hendaknya melibatkan

    warga masyarakat yang bermatapenca-

    harian sebagai penambang pasir.

    Apabila aparatur pemerintah desa

    sebagai kepanjangan tangan dari pe-

    merintah daerah tidak mampu menjem-

    batani aspirasi warga masyarakat yang

    bermata-pencaharian sebagai penambang

    pasir, hendaknya menciptakan ruang

    sebagai sarana diskusi yang melibatkan

    pemerintah pusat, propinsi, daerah,

    aparat penegak hukum, badan dan

    instansi serta warga masyarakat bantaran

    sungai Brantas khususnya di desa

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 197

    Jongbiru terkait keberadaan penambang-

    an pasir mekanik.

    Apabila harus diadakan larangan

    terhadap keberadaan penambangan pasir

    tradisional dan manual, maka pemerintah

    harus menyediakan alternatif pekerjaan

    lain, pelatihan, dan pendampingan, agar

    pekerjaan yang diberikan tersebut dapat

    menjadi mata pencaharian pengganti.

    Aparatur penegak hukum diharap-

    kan lebih tegas dalam menindak penam-

    bang pasir mekanik yang berakibat

    kerusakan ekologis dan mendesak keber-

    adaan penambang pasir tradisional dan

    manual namun bukan melalui tindakan

    represif melainkan melalui usaha-usaha

    dialog yang melibatkan aparatur peme-

    rintahan desa/kelurahan, warga masya-

    rakat dan penambang pasir terkait.

    Pemerintah kabupaten Kediri me-

    lalui kordinasi terhadap instansi (Perum

    Jasa Tirta I) dan badan (Balai Besar

    Wilayah Sungai Brantas) terkait penge-

    lolaan sumber daya air dan pemeliharaan

    prasarana sungai, hendaknya segera

    memperbaiki dan membangun kembali

    pra-sarana yang rusak akibat penam-

    bangan pasir mekanik. Dalam proses

    perbaikan dan pembangunan tersebut di-

    upayakan untuk melibatkan warga desa

    setempat dalam proses perbaikan dan

    pembangunannya, agar tercipta kesadar-

    an warga masyarakat.

    Daftar Pustaka

    Bachtiar, Harsja W. (1997) Pengamatan sebagai suatu Metode Penelitian, Metode-metode Penelitian Masyara-kat Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 108-128.

    Hadikusuma, H. Hilman (1992) Pengantar Antropologi Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

    Ihromi, T. O. (2001) Beberapa Catatan mengenai Metode Kasus Sengketa yang Digunakan dalam Antropologi Hukum, dalam Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Ya-yasan Obor Indonesia, 194-213.

    Irianto, Sulistyowati (2005) Perempuan Di Antara Berbagai Pilihan Hukum: Studi mengenai Strategi Perempuan Batak Toba untuk Mendapatkan Akses kepada Harta Waris melalui Proses Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Ya-yasan Obor Indonesia

    Koentjaraningrat (1997) Metode Wa-wancara, dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 129-172.

    Koentjaraningrat (2002) Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta.

    Liputan6 SCTV. http://www.youtube.com/ watch?v=XkDZdXa5dn8, diakses 20 September tahun 2010 pukul 22.15 WIB).

    Moleong, L. J. (1990) Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda-karya.

    Setiawan, Budi (1998) Perubahan Ke-budayaan dalam Proses Pembang-unan Nasional, Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik, XI(1): 5-1.

  • Gabriel Vishnu Anindita Siregar, Sengketa Penambang Pasir Mekanik Sungai Brantas: Studi Kasus Sengketa Aktivitas Penambangan Pasir Mekanik di Desa Jongbiru, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, hal. 179-198.

    BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2112, hal. 198

    Spradley, James P. (1997) Metode Etno-grafi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.