05.2-bab-292 Tugas

download 05.2-bab-292 Tugas

of 35

description

Tugas Jurusan Epidemiologi

Transcript of 05.2-bab-292 Tugas

  • BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Stres Kerja

    1. Pengertian Stres

    Konsep stres sangatlah kompleks. Demikian kompleksnya hingga pada

    kenyataannya para peneliti tidak dapat setuju dengan satu definisi saja. Hal ini

    disebabkan oleh beragamnya reaksi dan perasaan terhadap stres (Kahn dan

    Boysiere, dalam Beehr, 1995)

    Pelopor penggunaan istilah ini adalah Hans Selye pada tahun 1936, ketika

    ia menyatakan bahwa dalam lingkungan ini ada unsur yang disebut "stresor".

    Reaksi spesifik dari individu ketika berhadapan dengan stresor inilah yang

    dinamakan stres (Kusein, dalam Izzati 1996).

    Menurut bidang ilmu fisik, stres diartikan sebagai suatu kekuatan yang

    menyebabkan tubuh mengalami ketegangan. Dalam ilmu biologi, stres

    didefinisikan sebagai perubahan dalam fungsi fisiologis. Berikutnya dalam bidang

    ilmu psikologi, stres merupakan bagian dari hasil interaksi organisme dengan

    lingkungannya. Bila ditinjau dari segi psiko-fisiologis, stres diartikan sebagai

    stimulus yang memperdaya dan menimbulkan ketegangan, sehingga tidak mudah

    diakomodasi oleh tubuh. Stres ini akan muncul dalam bentuk gangguan kesehatan

    (Pestonjee, 1992)

    Ivancevich dan Mateson (dalam Luthans, 1995) menyatakan bahwa stres

    adalah konsekuensi wajar dari interaksi tersebut, tetapi respon fisik dan psikologis

    yang muncul merupakan respon yang menyimpang dari keadaan normal individu,

    yang dapat menimbulkan akibat psikologis yang negatif seperti kecemasan,

  • ketegangan atau sebaliknya yang positif seperti penyesuaian diri yang konsumtif.

    Bermacam-macam definisi tentang stres dikemukakan oleh banyak ahli.

    Berdasarkan banyak pendapat tersebut, dapat disimpulkan adanya 3 pendekatan

    tentang definisi stres, yaitu:

    a. Pendekatan stres sebagai stimulus, memandang stres sebagai suatu variabel

    "sebab". Dengan kata lain, stres adalah suatu stimulus yang berasal dari

    lingkungan eksternal individu. Lingkungan tersebut mengangkat lingkungan

    fisik maupun sosial. Stres dipandang sebagai suatu situasi atau peristiwa yang

    menimbulkan tuntutan untuk bereaksi, untuk kemampuan individu dianggap

    tidak mencukupi sebagai sumber kebutuhannya. Stres dianggap sebagai

    stimulus yang menyebabkan munculnya berbagai macam reaksi dan

    perasaan; meningkatkan ketegangan;menimbulkan respon atau tuntutan

    fisiologis dan atau psikologis; serta mengganggu keseimbangan fisiologis dan

    emosional. Situasi yang menyebabkan stres ini bisa juga disebut stresor,

    misalnya ujian akhir, keadaan keuangan yang buruk, kesulitan hubungan

    dengan atasan, polusi bau bahan kimia, kebisingan, beban kerja berlebihan,

    atau bahkan promosi jabatan, perkawinan, kehamilan dan liburan (Gibson,

    dkk,1994)

    b. Pendekatan stres sebagai respon, memandang stres sebagai variabel "akibat".

    Stres dipandang sebagai suatu respon yang timbul dari dalam diri individu.

    Stres didefinisikan sebagai suatu konsekuensi atau respon adaptif dan respon

    perilaku (Gibson, dkk, 1994); tanggapan tubuh yang non-spesifik (Selye,

    dalam Rachmaningrum, 1999);ketidakseimbangan antara tuntutan lingkungan

    dan kemampuan individu yang menyebabkan respon dalam bentuk fisiologis

  • dan atau perilaku (Krantz, dalam Luthans, 1995); serta pengalaman yang

    tidakseimbang tersebut (Cox dan Mackay, dalam Frese, 1985), yang semua

    itu dipengaruhi oleh karakteristik individual (Gibson, dkk, 1994). Respon

    terhadap stres ini juga disebut dengan "Strain "

    Menurut Duffy dan Wong (dalam Rachamningrum, 1999), respon terhadap

    stresor dibagi menjadi dua, yaitu :

    a. Respon fisiologis

    Mengacu pada konsep dr. Hans Selye tentang General Adaptation

    Syndrome (GAS), tahap pertama dari GAS ini disebut "Alarm stage" atau

    peringatan. Tahap ini ditandai dengan diaktifkannya sistem saraf simpatis

    oleh munculnya situasi yang menekan, yang menyebabkan detak jantung

    makin cepat, berkeringat, serta peningkatan kekuatan otot dan respon

    fisiologis lainnya, sehingga tubuh akan siap melakukan tindakan yang

    diperlukan untuk mengatasi situasi. Tahap kedua disebut dengan

    "Resistance stage" atau perlawanan. Beberapa bagian atau organ tubuh

    tertentu yang dibutuhkan pada tahap ini mulai diaktifkan untuk

    menghadapi stresor, baik untuk melawan/menarik diri. Besarnya

    penolakan terhadap suatu stresor lain yang tidak saling berhubungan

    berbeda. Meskipun secara fisik tampak baik-baik saja, pertahanan tubuh

    individu sebenarnya terkikis. Inilah sebabnya individu yang mengalami

    ketegangan emosi menjadi lemah terhadap penyakit fisik atau gangguan

    lain. Akhirnya apabila ketegangan yang harus dihadapi sangat besar atau

    berlangsung dalam jangka waktu lama, maka individu akan mengalami

    tahap terakhir yang di sebut dengan "Exhaustion ' atau kelelahan. Tahap

  • ini karena tubuh tidak sempat memperbaiki kondisinya. Hal ini dapat

    mengakibatkan kematian.

    b. Respon psikologis

    Respon psikologis terhadap stres sangat bervariasi. Reaksi individu

    terhadap stres dapat berupa penurunan kesehatan psikologis (bahkan

    psikopatologis), pengembangan diri pribadi melalui strategy coping yang

    efektif, atau dengan tanpa adanya perubahan psikologis yang berarti.

    Menurut Napoli (dalam Rachamningrum, 1999) respon tersebut dapat juga

    berupa pemikiran yang tidak logis dan tidak koheren (Illogical and non-

    coheren thinking), misalnya mudah lupa, sulit berkonsentrasi, mimpi

    buruk, atau penurunan kemampuan memecahkan masalah; atau berupa

    emosi negatif (negative emotion), misalnya marah, cemas, perasaan

    bersalah, mudah tersinggung atau depresif. Masih terdapat satu respon lain

    yaitu respon perilakuan, yang biasanya tampak sebagai perilaku yang

    berlebihan dan kompulsif (excessive and compulsive behaviour), seperti

    lebih banyak merokok, mengkonsumsi minuman beralkohol, terlalu

    banyak makan, menggigit kuku atau bahkan diam sama sekali.

    Pendekatan interaksional/transaksional, menyatakan bahwa stres akan terjadi

    bila ada tuntutan dari lingkungan terhadap diri individu yang melebihi

    kemampuan penyesuaiannya. Stres merupakan gejala yang terjadi di dalam

    proses interaksi antara faktor-faktor lingkungan dengan individu (Lazarus,

    dalam Rachmaningrum, 1999). Lingkungan dapat mempengaruhi individu.

    Sebaliknya, individu mampu mempengaruhi lingkungan dan mengendalikan

    tingkftt stres yang ditimbulkan, misalnya dengan mengurangi jumlah terpaan

  • stimulus atau mengubah suasana mencekam menjadi lebih menyenangkan

    (Schuler, dalam Rachmaningrum, 1999)

    Stresor menimbulkan berbagai macam respon atau tanggapan yang

    berbeda-beda. Cara individu berespon terhadap stresor dapat juga menjadi

    penyebab munculnya stres yang lain, atau bahkan memperberat stres yang sudah

    ada (Duffy dan Wong, dalam Rachmaningrum, 1999). Beberapa orang lebih

    mampu mengatasi stres dapat menyesuaikan perilakunya dengan stresor. Mampu

    tidaknya individu menyesuaikan diri dengan stres juga tergantung dari persepsi

    mengenai rangsangan yang mengancam (Gibson, dkk, 1994). Interaksi antara

    lingkungan dan individu ini menimbulkan dinamika psikologis yang unik. Ada

    proses internal individu yang mempengaruhi persepsi terhadap stresor (Schuler,

    dalam Jex, dkk, 1992). Hal ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa

    satu hal terpenting dalam menghadapi stresor ialah faktor persepsi atau

    interpretasi individu yang bersangkutan (Riggio, 1996)

    Persepsi sangat penting artinya untuk menentukan seberapa besar kejadian

    dalam lingkungan individu diartikan stres. Penilaian individu tentang peristiwa

    atau keadaan tersebut dipengaruhi beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin,

    inteligensi, motivasi, kebutuhan, status soaial, latar belakang budaya,

    keperibadian, serta pengalaman individu dalam menghadapi masalah. (Maramis,

    1990)

    Secara umum, stres didefinisikan sebagai kondisi yang mengancam,

    menekan, dan tidak menyenangkan bagi individu. Lebih spesifik lagi, stres

    merupakan reaksi fisik dan psikis terhadap perubahan-perubahan yang dialami

    oleh individu. Bentuk reaksi fisik itu antara lain, detak jantung semakin cepat,

  • tekanan darab meningkat, dan timbul penyakit psikosomatis seperti tukak

    lambung. Reaksi psikis dapat berupa sikap penarikan diri dan terbentuknya

    mekanisme pertahanan ego. Perubahan-perubahan tersebut merupakan salah satu

    bentuk adaptasi individu untuk berinteraksi dengan lingkungan (Tyrer, 1984)

    Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa stres merupakan kondisi yang

    berhubungan reaksi fisik maupun psikis terhadap perubahan-perubahan yang

    dialami individu yang disertai stresor.

    2. Sumber-sumber Stres

    Menurut Sue & Sue (1986), ada tiga faktor yang menyebabkan timbulnya

    stres, yaitu :

    a. Faktor biologis

    Yaitu adanya kerusakan atau gangguan fisik maupun organ tubuh individu itu

    sendiri, misalnya infeksi, serangan berbagai macam penyakit, kurangnya gizi,

    kelelahan dan cacat tubuh.

    b. Faktor psikologis

    Berhubungan dengan keadaaan psikis individu. Individu yang secara psikis

    mengalami hambatan, misalnya berpola pikir irasional, cenderung lebih mudah

    terkena stres daripada individu yang berpola pikir rasional. Ditambahkan oleh

    Maramis (1990) bahwa sumber-sumber stres psikologis dapat berupa :

    a. Frustasi, timbul bila ada kesenjangan antara keinginan dengan maksud

    atau tujuan individu. Ada frustasi yang datang dari luar, seperti bencana

    alam, kecelakaan, kematian orang yang dicintai, serta norma atau adat

    istiadat. Sebaliknya, ada frustasi yang berasal dari dalam diri individu ,

    seperti cacat tubuh, kegagalan dalam usaha dan moral sehingga

  • penilaian diri menjadi tidak menyenangkan. Semua itu merupakan

    frustasi yang berhubungan dengan kebutuhan rasa harga diri.

    b. Konflik, teijadi bila tidak dapat memilih salah satu dari dua macam

    kebutuhan atau lebih, misalnya memilih mengurus rumah tangga atau

    aktif dalam kegiatan kantor.

    c. Tekanan, yaitu sesuatu yang dirasakan menjadi beban bagi individu.

    Tekanan dari dalam dapat teijadi bila individu mempunyai harapan yang

    sangat tinggi terhadap dirinya. Namun, tidak disesuaikan dengan

    kemampuannya sendiri. Tekanan dari luar misalnya, atasan di kantor

    menuntut pekerjaan cepat diselesaikan dalam waktu yang sangat

    terbatas.

    d. Krisis, teijadi bila keseimbangan yang ada terganggu secara tiba-tiba.

    Sehingga menimbulkan stres berat. Hal ini dapat disebabkan oleh

    kecelakaan, kegagalan usaha, maupun kematian.

    c. Faktor sosial

    Berkaitan dengan lingkungan sekitar, seperti kesesakan (crowding),

    kebisingan (noise), dan tekanan ekonomi.

    3. Pengertian Stres Kerja

    Setiap hari, tenaga keija berinteraksi dengan lingkungan keijanya. Tenaga

    keija berinteraksi dengan pekeijaannya, para tenaga keija lainnya, dan organisasi

    serta kelompok perusahannya. Dari sini muncul konflik, yang pada akhirnya akan

    memicu teijadinya stres kerja (Munandar, 1983)

    Menurut Jex, dkk (1992) pengertian stres keija dapat dibagi menjadi tiga

    pendekatan, yaitu :

  • 1. Stres kerja sebagai stimulus, mengacu pada stresor pekerjaan, yaitu semua

    keadaan lingkungan di tempat keija yang menuntut adanya suatu tipe

    respon adaptif tertentu. Menurut Shendab dan Radmacher (dalam

    Rachmaninrum, 1999) ada 3 faktor penyebab stres keija yaitu, yang

    berkaitan dengan lingkungan, organisasi dan individu, yang diuraikan

    sebagai berikut:

    a. Faktor lingkungan, yaitu keadaan lingkungan secara global,

    meskipun individu tidak terlibat langsung tetapi pengaruhnya dapat

    dirasakan melalui organisasi.

    b. Faktor organisasional, yaitu kondisi organisasi yang langsung

    mempengaruhi kineija individu. Misalnya tuntutan keija, beban

    keija, kondisi keija dan tanggung jawab atas orang lain.

    c. Faktor individual, yaitu semua hal yang terdapat dalam kehidupan

    pribadi individu diluar pekerjaan, seperti masalah keuangan dan

    ekonomi, masalah pribadi yang teijadi diluar jam keija sering

    dibawa ke tempat keija. Akibatnya konsistensi keija terganggu,

    kineija kurang memuaskan dan individu tidak dapat memenuhi

    tuntutan pekerjaan.

    2. Stres kerja sebagai respon, dipandang sebagai suatu reaksi individu atau

    respon adaptif yang menimbulkan penyimpangan, baik fisiologis,

    psikologis dan atau perilaku pada lingkungan organisasi yang disebabkan

    oleh interaksi individu dengan lingkungan kerja. Menurut Arsenault dan

    Dolan (1983), stres kerja merupakan suatu kondisi psikologis yang tidak

    menyenangkan, yang timbul karena merasa terancam dalam bekerja.

  • kelelahan fisik, gangguan tidur, mudah marah, sering melakukan kesalahan dalam

    pekerjaan, timbulnya sikap apatis pada individu.

    Menurut Davis dan Newstroom (1993), stres dapat bermanfaat tetapi juga

    dapat merugikan bagi prestasi karyawan. Bila tidak ada stres maka tidak ada

    tantangan terhadap pekerjaan, sehingga prestasi cenderung rendah. Sebaliknya,

    bila stres terlalu tinggi maka individu akan mengalami kelelahan, sehingga

    prestasi kerja menurun. Apabila berada pada tingkat tertentu yang masih dapat

    ditolerir oleh individu, stres akan menjadi suatu tantangan yang dapat

    meningkatkan motivasi, sehingga prestasi juga meningkat.

    Kineija individu yang optimal akan dapat tercapai apabila ada

    keseimbangan antara tuntutan pekeijaan dengan kemampuan individu untuk

    memenuhi tuntutan tersebut (Northcraft dan Neale,1990).

    Menurut Munandar (2001) hubungan antara stres dan kineija di

    gambarkan sebagai bentuk U-terbalik. Hubungan ini secara umum dapat

    dijelaskan bahwa stres yang terlalu kecil akan dapat menimbulkan kerugian yang

    sama besar dengan stres yang terlalu besar. Dapat dilihat pada gambar 1.

    Gambar 1.1. Hubungan Antara Stres dan Kinerja Sumber : Munandar,200 l.PIO. Halaman 375

  • Stres yang meningkat sampai unjuk-keija mencapai titik optimalnya

    merupakan stres yang baik, yang menyenangkan, eustress. Dekat, sebelum

    mencapai titik optimalnya, peristiwa atau situasi yang dialami sebagai tantangan

    yang merangsang. Melewati titik optimal stres menjadi distress, peristiwa atau

    situasi yang dialami sebagai ancaman yang mencemaskan. Agar tetap berada

    dalam kesehatan yang baik dan bekeija pada tingkat puncak, kita harus mampu

    mengenali titik optimal kita dan mampu menggunakan teknik-teknik mengatasi

    stres.

    Cox (dalam Gibson,dkk,1994) menguraikan dampak dari stres kerja yang

    merugikan, merusak, serta berbahaya bagi individu dan organisasi, sebagai berikut

    a. Akibat subjektif, seperti gelisah, kelesuan, kebosanan, kemuraman,

    kelelahan, kekecewaan, kehilangan kesabaran, dan perasaan terasing.

    b. Akibat perilaku, seperti ledakan emosi, mudah mengalami kecelakaan

    keija, penyalahgunaan obat, makan berlebihan, minum minuman keras,

    lebih banyak merokok, berperilaku impulsif, dan tertawa gelisah.

    c. Akibat kognitif, yaitu sangat peka terhadap kritik serta mengalami

    hambatan secara mental.

    d. Akibat fisiologis, seperti tingkat gula darah menigkat, denyut jantung atau

    tekanan darah menigkat, berkeringat.

    e. Akibat keorganisasian, yaitu produktivitas keija rendah, kemangkiran, dan

    mengasingkan diri dari rekan sekerja. Ditambahkan oleh Dipboye, dkk,

    (1994) bahwa dampak keorganisasian ini biasanya meliputi ketidakpuasan

    kerja, menurunnya loyalitas, rendahnya keterlibatan kerja, meningkatnya

  • absensi, serta adanya kecenderungan untuk mencari pekerjaan di

    perusahaan lain.

    5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Stres Ker ja

    1. Faktor usia

    Salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya stres keija adalah faktor

    usia. Individu yang lebih tua cenderung lebih mudah mengalami stres daripada

    individu yang lebih muda. Hal itu antara lain disebabkan oleh faktor fisiologis

    yang telah mengalami kemunduran visual, kemampuan berpikir, mengingat, dan

    mendengar (Frese, 1985 )

    2. Pengalaman kerja

    Pengalaman ketja juga mempengaruhi munculnya stres keija. Individu

    yang memiliki pengalaman keija lebih besar cenderung lebih tahan terhadap

    tekanan-tekanan dalam pekerjaan, daripada individu dengan sedikit pengalaman

    (Koch,dkk, 1982).

    3. Lama perkawinan

    Menurut hasil penelitian Setyawati (1996), lama perkawinan juga

    mempengaruhi tingkat stres individu. Semakin lama individu menjalani suatu

    perkawinan maka tingkat stresnya akan semakin rendah. Individu memandang

    perkawinan sebagai proses penyesuaian yang tiada henti, sehingga waktu yang u

    dijalani dalam menempuh sebuah perkawinan dipandang sebagai wahana untuk

    melakukan penyesuaian yang dilandasi sikap menerima, penuh kasih sayang, dan

    prestasi.

  • 4. Jenis kelamin

    Jenis kelamin juga berperan dalam kemunculan stres keija. Wanita

    cenderung lebih rentan terhadap stres kerja daripada pria karena secara fisiologis

    wanita memiliki kondisi yang unik yang dapat memicu timbulnya stres. Secara

    fisiologis, wanita mengalami perubahan hormon setiap bulan pada saat mengalami

    menstruasi; kemudian selama sembilan bulan saat mengandung, dilanjutkan

    dengan menyusui; dan pada masa-masa menjelang serta selama mengalami

    menopause. Tekanan yang dialami pada masa-masa tersebut akan memudahkan

    timbulnya stres. (Shreve dan Lone, 1986)

    5. Tingkat pendidikan

    Betz dan Fitzgerald (dalam Rachmaningrum, 1999 menyatakan bahwa

    tingkat pendidikan seseorang juga mempengaruhi respon fisiologis yang muncul

    dari stres. Tingkat pendidikan yang tinggi cenderung menyebabkan pola berpikir

    dan pandangan hidup bagi kebanyakan individu. Individu dengan tingkat

    pendidikan tinggi akan mengalami perubahan pola berpikir dari tradisional kearah

    yang lebih maju, sehingga dalam memandang persoalan tidak hanya dari satu sisi

    saja melainkan dapat dari berbagai sudut pandang. Hal ini tentu saja lebih

    menguntungkan dalam menghadapi masalah dalam pekerjaannya.

    6. Tipe kepribadian

    Tipe kepribadian juga mempengaruhi munculnya stres keija. Individu

    yang bertipe kepribadian A cenderung lebih mudah mengalami stres kerja dari

    pada individu bertipe kepribadian B. Karakteristik tipe kepribadian A adalah

    cenderung ambisius, suka berkompetisi, sering tergesa-gesa, tidak mudah puas

    dengan hasil pekerjaan, mudah tersinggung, responsif, banyak mengharapkan

  • penghargaan dari orang lain, dan tidak dapat tinggal lama pada suatu keadaan

    yang sama; sehingga tipe A dikatakan dapat menciptakan sendiri stresor internal

    dalam dirinya dan menambah stres yang sudah ada. Tipe kepribadian B

    menunjukkan karakteristik tidak mudah tergesa-gesa, tidak terlalu suka

    berkompetisi, cenderung lamban dalam bertindak, serta mudah puas pada hasil

    kerjanya, sehingga tipe B cenderung tidak mudah mengalami stres (Northcraft dan

    Neale, 1990)

    Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat

    mempengaruhi kemunculan stres kerja adalah: faktor usia, faktor psikologis,

    pengalaman kerja, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan tipe kepribadian tertentu.

    6. Stres Kerja pada Wanita Berperan Ganda

    Mempelajari topik stres keija tidak dapat dilepaskan dari konteks stres

    yang bersumber dari luar tempat kerja. Stres yang demikian ini biasanya dialami

    oleh wanita yang berperan ganda (Beehr, 1995)

    Menurut Barnadib (dalam Izzati, 1996), wanita berperan ganda adalah

    wanita yang memiliki dua peran. Pertama, wanita menjadi pelaku proses

    kemanusiaan yang sesuai dengan kodratnya, yaitu sebagai seorang istri dan ibu

    lewat keluarga. Kedua, wanita menjadi partisipan aktif dalam pembangunan lewat

    masyarakat. Peran ganda ini merupakan satu kesatuan utuh karena tidak dapat

    dipisahkan. Hal ini sesuai dengan anjuran pemerintah tentang prinsip peran ganda,

    yaitu adanya keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara peranan wanita

    dalam keluarga dan sebagai pelaku pembangunan. Konsekuensi dari peran ganda

    tersebut adalah wanita njenghadapi adanya tugas ganda, disamping bekerja

    mencari nafkah di luar rumah, tanggung jawab urusan rumah tangga tetap harus

  • dilaksanakan oleh individu. Akibatnya, dapat dibayangkan betapa berat beban

    yang harus ditanggung, yaitu berasal dari tempat keija dan dari rumah. Hal ini

    dapat menimbulkan konflik peran dan beban peran (Abbot dan Sanpsford, dalam

    Suhapti, 1995)

    Shaevitz (1991) berpendapat bahwa faktor penyebab timbulnya masalah

    pada peran ganda wanita biasanya bersumber dari diri individu itu sendiri.

    Individu biasanya menuntut dirinya sendiri untuk menjalankan semua perannya

    dengan sempurna. Jika kurang mengenal diri sendiri, maka individu cenderung

    memaksakan diri untuk melakukan sesuatu di luar batas-batas kemampuannya.

    Hal inilah yang memicu timbulnya ketegangan.

    Selama ini, wanita dianggap sebagai "pekerja" utama dalam rumah tangga.

    Peningkatan keterlibatan wanita dalam profesi dan dunia keija itu menuntut

    keterlibatan, dedikasi, dan komitmen yang tinggi. Hal ini cenderung menimbulkan

    konflik antar peran yang lebih besar dari pada kaum pria. Hal tersebut dianggap

    wajar, karena semakin banyak peran yang dimiliki seseorang, maka akan semakin

    besar kemungkinan terjadinya konflik antar peran yang berbeda (Beehr, 1995)

    Penelitian yang di lakukan Cooke dan Rousseau (1984) membuktikan

    bahwa semakin besar harapan yang diberikan, baik di tempat kerja maupun di

    rumah, pada karyawan wanita yang mempunyai anak, maka kemungkinan

    timbulnya konflik antar peran akan semakin besar pula. Penelitian tersebut juga

    membuktikan adanya hubungan antar stresor. Konflik dan beban yang berlebihan,

    dengan kepuasan kerja dan munculnya simpton stres secara fisik. Bahkan menurut

    Cooper (dalam Cooke dan Rousseau, 1984) stres dari keluarga dan peran di

    tempat kerja pada wanita jumlahnya lebih besar daripada pria.

  • Menurut Wolfman (1992), ketegangan atau stres itu muncul karena adanya

    rasa bersalah tentang peran-peran yang bertentangan, adanya tekanan dari luar

    seperti pendapat orang lain tentang sifat pekerjaannya, merasa tidak yakin pada

    pilihan prioritasnya, atau tidak yakin pada kemampuan diri sendiri untuk

    melaksanakan beberapa peran tersebut.

    Selain itu, stres tersebut dapat timbul karena adanya kecemasan akan

    terjadinya efek negatif terhadap keluarga seperti berkurangnya kesempatan dan

    atau kemampuan untuk membina rumah tangga yang ideal (Sedyono, dalam

    Gardiner, dkk, 1996); adanya kecemasan terhadap pengasuhan anak balita yang

    diserahkan kepada babysitter atau pembantu, serta terhadap perkembangan anak

    remaja (Ihromi, 1990). Selain itu, dapat juga berupa ketidakpuasan hidup (Moore

    house, 1991); serta dilema psikologis atau moral yang harus dihadapi ketika

    terbentuk pada dua peran tersebut (Puspitasari, dalam Izzati, 1996). Di tambahkan

    oleh Bisman (dalam Izzati, 1996) bahwa secara kodrati wanita telah diciptakan

    untuk mengalami proses menstruasi, kehamilan dan menopause. Ketiga proses itu

    dapat menjadi sumber stres juga pada wanita.

    Menurut Dipboye, dkk (1994) manifestasi stres keija pada wanita biasanya

    berupa respon psikologis, seperti gangguan depresi dan gangguan fatigue,

    sedangkan pria cenderung menunjukkan respon fisik atau fisiologis seperti

    peningkatan tekanan darah Manifestasi stres yang biasa dialami oleh wanita yang

    berperan ganda misalnya konflik peran, ketidakjelasan peran maupun

    ketidakjelasan tugas, beban yang berlebihan yang menyangkut pekerjaan maupun

    tugas di rumah, peningkatan absensi, serta kemangkiran. Individu biasanya juga

    mengalami penyakit psikosomatis yang ringan, seperti kelelahan, kecemasan, dan

  • cenderung lebih peka terhadap kritik dan saran. Manifestasi stres yang ekstrim

    yang dialami oleh wanita adalah penyalahgunaan obat sampai dengan

    kecenderungan melakukan bunuh diri.

    Hubungan konflik peran ganda dengan stres kerja dijelaskan oleh Lewis &

    Cooper (dalam Gutek, dkk, 1988) bahwa konflik peran ganda merupakan salah

    satu sumber stres pada gangguan hubungan pekerjaan dan keluarga. Akibatnya

    akan dapat mempengaruhi rendahnya kesehatan mental, gangguan kondisi fisik,

    ketidak puasan kerja dan akhirnya dapat menyebabkan ketidakpuasan hidup.

    Rendahnya kesehatan mental diteliti oleh Sekaran (dalam Gutek dkk,1988) pada

    166 pasangan berkarir dengan anak dibawah usia 18 tahun. Ternyata stres yang

    disebabkan karena peran ganda berhubungan dengan ketidakpuasan kerja dan

    ketidakpuasan hidup pada pria dan wanita. Namun efek negatif secara langsung

    pada kesehatan mental hanya pada wanita. Beberapa sumber stres dalam

    hubungan pekerjaan dan keluarga serta faktor-faktor individual yang mendukung

    timbulnya stres. Kepribadian tipe A, komitemen kerja, peran jenis tradisional &

    locus of control merupakan faktor internal yang berperan terhadap timbulnya r

    stres. Sedangkan faktor ekstemalnya terdiri dari sikap pasangan dalam komitmen

    kerja, gaji, status, gaya hidup, usia dan jumlah anak.

    Dalam penelitian Sekaran (1983) stres peran ganda pada pasangan suami

    istri yang berkarir, mengemukakan bahwa stres peran ganda terdiri dari dua puluh

    aspek yaitu: perawatan, bantuan pekerjaan rumah tangga, mengatasi penyakit pada

    anggota keluarga yang sudah dewasa, membantu kegiatan anak-anak,

    meningkatkan komunikasi, kurangnya waktu untuk berdua, kurangnya waktu

    untuk pribadi, tekanan karir, menghadapi situasi baru, kenyataan yang

  • individu mempunyai bermacam-macam peranan yang berasal dari pola-pola

    pergaulan hidupnya. Ini sekaligus berarti bahwa peranan tersebut menentukan

    perbuatannya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh

    masyarakat kepadanya. Dikatakan pula oleh Soekanto (1987) tentang pentingnya

    peranan yang berfungsi mengatur perilaku seseorang. Peranan juga menyebabkan

    seseorang pada batas-batas tertentu dapat memprediksikan perbuatan-perbuatan

    orang lain, sehingga individu tersebut akan dapat menyesuaikan perilakuannya

    sendiri dengan perikelakuan orang-orang sekelompoknya.

    Fuhrman (1990) berpendapat bahwa peran adalah suatu kategori tingkah

    laku yang disediakan untuk suatu kelompok individu. Misalnya seorang ibu yang

    mempunyai peranan sebagai ibijf dilain sisi juga dapat berperan sebagai dosen.

    Perilaku yang diharapkan sebagai seorang ibu adalah memperhatikan kebutuhan

    fisik dan emosional anak. Sedangkan perilaku yang dilakukan oleh seorang dosen

    antara lain menyiapkan materi pelajaran dan mengajar para mahasiswa.

    Ketentuan-ketentuan suatu peran menurut Newcomb dkk (1965) adalah

    penggambaran normatif mengenai cara-cara melaksanakan fungsi-fungsi dimana

    terdapat posisi-posisi, cara-cara yang umumnya disetujui bersama dalam

    kelompok mana saja yang mengakui suatu posisi tertentu. Dikatakan pula oleh

    Soekanto (1987) peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi-fungsi, penyesuaian

    diri dan sebagai proses. Oleh karena itu suatu peranan dapat mencakup paling

    sedikit 3 hal, yaitu:

    1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau

    tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan

  • rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing dalam kehidupan

    masyarakat

    2. Peranan adalah suatu konsep yang dilakukan oleh individu dalam

    masyarakat sebagai organisasi

    3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perikelakuan individu yang penting

    bagi struktur sosial masyarakat

    Setiap peranan bertujuan agar antara individu pelaksana peran dengan orang-

    orang disekitarnya yang ada hubungannya dengan peranan tersebut terdapat

    hubungan yang diatur oleh nilai-nilai sosial yang diterima dan ditaati kedua belah

    pihak.

    Dari berbagai pandangan dan pendapat yang dikutip diatas maka dapat

    disimpulkan bahwa peran pada prinsipnya adalah posisi yang diharapkan dari

    seseorang ketika individu berinteraksi dengan orang lain.

    Menurut Barnadib (dalam Izzati,1996), wanita berperan ganda adalah wanita

    yang memiliki dua peran. Pertama, wanita menjadi pelaku proses kemanusiaan

    yang sesuai dengan kodratnya, yaitu sebagai seorang istri dan ibu lewat keluarga.

    Kedua, wanita menjadi partisipan aktif dalam pembangunan lewat masyarakat.

    Peran ganda ini merupakan satu kesatuan utuh karena tidak dapat dipisahkan.

    Dalam pandangan tradisional, fungsi utama wanita dalam keluarga adalah

    membesarkan dan mendidik anak (Suprapto,1985). Sementara itu pria berperan

    mencari nafkah. Banyak gerakan wanita di barat dalam menuntut persamaan hak

    memandang bahwa pembagian tanggung jawab demikian dianggap timpang dan

    tidak memberikan kesempatan bagi wanita untuk bekerja. Oleh karena itu, dengan

  • meningkatnya partisipasi wanita dalam dunia keija mereka dituntut berperan

    sebagai ibu dan sekaligus sebagai wanita bekerja.

    Van Dusen & Sheldon (dalam Jersild dan Sawrey, 1975) menyatakan

    wanita tidak lagi menggunakan sebagain besar kehidupan masa dewasa mereka

    semata-mata untuk urusan keluarga dan rumah tangga saja, tetapi juga

    memikirkan pekeijaan sebagai unsur penting dalam kehidupan mereka. Seperti

    dijelaskan oleh Nye (dalam Hoffman, 1974) tujuan wanita bekeija antara lain :

    1. Untuk membantu penghasilan suami

    2. Untuk prestasi diri sebagai sarana mengembangkan bakat karir sesuai

    dengan pendidikan yang telah diperoleh

    3. Untuk mengisi waktu luang, karena merasa jenuh di rumah, agar dapat

    berkumpul dengan teman-teman serta mendapat pengakuan masyarakat

    Tidak dapat disangkal masih adanya sikap mendua pada pria dan wanita

    tentang peranan yang tepat bagi wanita khususnya di Indonesia. Disatu pihak

    masih tetap berlaku ideal budaya (cultural ideal) mengenai wanita sebagai istri,

    ibu dan pengelola rumah tangga dan keluarga (Suprapto,1985). Dilain sisi wanita

    dianggap sebagai sumber daya manusia. Ini berarti bahwa wanita sama dengan

    pria. Untuk mendapat kesempatan optimal dalam mengembangkan bakatnya dan

    menerapkan pengetahuan serta kemampuannya diluar keluarga dan rumah tangga.

    Hal inilah yang mendukung munculnya konsep, peran ganda dengan segala

    permasalahannya. Kini peran ganda bagi wanita Indonesia dianggap suatu

    tuntutan pembangunan (Muryani,dalam Arinta, 1993).

  • Peran ganda bagi wanita dapat dikatakan memiliki konsep dualisme kultural,

    yakni adanya domestic sphare (lingkungan domestik) dan public sphare

    (lingkungan publik). Lingkungan domestik adalah lingkungan yang tidak pernah

    lepas dari kodratnya sebagai wanita yaitu sebagai ibu yang melahirkan, meyusui,

    membimbing anak, mendidik, mengasuh dan mendampingi suami. Lingkungan

    publik adalah lingkungan pekeijaan diluar rumah yang diakui secara formal di

    masyarakat seperti kedudukan, prestise, kepuasan, gaji dan status sosial (Rahayu

    dalam Jawa pos , 4 oktober,1992).

    Berdasarkan berbagai penelitian dan dasar teori yang dikemukakan di atas

    dapat disimpulkan bahwa istilah peran ganda wanita dimiliki oleh ibu yang

    bekerja diluar rumah sehubungan dengan partisipasinya dalam dunia kerja. Peran

    ganda tersebut terdiri dari 2 peran yaitu peran domestik dan peran publik.

    Individu yang sama dapat menjalankan peran yang berbeda-beda. Hal ini

    dapat mengakibatkan tuntutan yang berbeda pula dari masing-masing peran.

    Diferensiasi dalam beberapa peran itu dapat menumbuhkan kompetisi dalam

    penggunaan waktu, energi, perhatian dan komitmen. Hal ini dapat menimbulkan

    konflik peran ganda. Jadi konflik peran ganda dapat timbul bila individu pada saat

    yang sama melakukan peran yang berbeda-beda (Snock, dalam Allen dkk, 1980).

    Konflik peran didefinisikan oleh Katz&Kahn (1996) sebagai suatu kejadian

    sehari-hari dari dua atau lebih peran dimana pemenuhan salah satu peran dapat

    menghasilkan kesulitan dalam pemenuhan peran lain bagi seseorang. Kesulitan

    dalam pemenuhan inilah yang dapat menimbulkan stres pada individu, seperti

    yang dikemukakan oleh Katz&Kahn (1996), konflik peran ganda telah terbukti

    secara signifikan dapat menghasilkan stres.

  • 8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Wanita Berperan Ganda

    1. Pengasuhan anak

    Berdasarkan kajian yang diungkapkan para ahli ternyata anak-anak

    menjadi teman yang memberi kekuatan sekaligus merupakan tanggung jawab

    yang dapat menyebabakan tekanan bagi wanita (Wolfman, 1992). Bagi ibu yang

    bekerja, mengasuh anak dapat merupakan sumber kesulitan. Khususnya bagi ibu

    bekeija yang memiliki anak yang pra sekolah. Salah satu fungsi mendasar yang

    dijalankan tiap wanita adalah mengasuh dan merawat. Inilah satu segi dimana

    terdapat peluang besar sekali untuk timbulnya rasa bersalah (Shaevitz, 1991)

    Kecemasan dan kegelisahan atas kesehatan jasmani dan emosi anak-anak

    menguras tenaga dan kecakapan para ibu bekerja. Contohnya: banyak wanita

    sudah kehabisan tenaga pada awal hari kerja sebab mereka telah menyiapkan

    makan pagi, sambil memperhatikan keluarga, memberi nasehat-nasehat,

    mengawasi cara-cara berpakaian dan mengantarkan anak-anak. Penelitian oleh

    Valdez & Gutek (Gutek, dkk, 1988) menemukan bahwa wanita dengan jabatan

    profesional atau manajerial ternyata memiliki anak yang relatif lebih sedikit

    dibandingkan dengan wanita tingkat jabatan yang lebih rendah. Oleh karena itu

    membatasi jumlah anak dapat merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi

    kemungkinan menghadapi konflik peran ganda yang tinggi (Gerson, dalam Gutek

    dkk, 1988).

    2. Waktu

    Satu keluhan umum dari wanita bekeija adalah masalah kekurangan

    waktu. Hal itu disebabkan karena harus menangani dua macam kegiatan dalam

  • waktu yang sama dan berharap dapat menyelesaikannya sekaligus. Apabila salah

    satu kegiatan tidak dapat terselesaikan, timbullah perasaan bersalah kepada salah

    satu peran. Kekurangan waktu untuk anak dan suami seringkali menimbulkan

    perasaan bersalah kepada keluarga. Hal ini yang akan menimbulkan konflik

    Shaerita & Pleck (dalam Arinta, 1993). Selain itu problem waktu dan jadwal kerja

    menjadi aspek utama dalam konflik peran ganda pada wanita (Pleck, dalam

    Arinta, 1993).

    3. Banluan pekerjaan rumah tangga

    Dalam lingkungan keluarga, dapat dijumpai bahwa beban pekeijaan rumah

    tangga sebanyak 95 persen banyak menjadi tugas ibu (Shaevitz, 1991), sedangkan

    suami dan anak-anak memiliki keterlibatan yang teramat kecil. Robinson (dalam

    Shaevitz, 1991) mengemukakan bahwa jumlah waktu yang dihabiskan suami V

    untuk pekerjaan rumah tangga dan merawat anak ternyata tidak ada kaitannya

    dengan status keija istri. Hal ini membuktikan bahwa ternyata sangat sedikit

    suami terlibat dalam urusan pekeijaan rumah tangga. Umumnya suami cenderung

    mau membantu dalam urusan pengasuhan anak. Banyak dijumpai situasi yang

    begitu timpang dimana ibu terperas energinya mengurus pekerjaan rumah tangga.

    Stycos dan Weler (dalam Hagul, 1984) mengemukakan bahwa konflik atau

    ketidakserasian antara peranan wanita sebagai istri dan ibu dengan peranannya

    sebagai karyawan dapat berkurang bila sistem kekeluargaan dan kondisi sosial

    ekonomi masyarakat memungkinkan bagi keluarga untuk dapat mendapatkan

    bantuan tenaga keluarga atau pembantu rumah tangga dengan mudah dan relatif

    murah.

  • 4. Menentukan prioritas

    Dikatakan oleh Sekaran (1986) bahwa kesulitan yang dapat menimbulkan

    konflik peran ganda wanita bekerja adalah menentukan prioritas. Kecenderungan

    ini merupakan akibat adanya sifat pada wanita yang kurang asertif (Shaevitz,

    1991) contoh yang sering menghambat kemajuan wanita adalah sulit mengatakan

    tidak dan sulit meminta tolong. Hal itulah yang justru menyulitkan diri wanita

    bekerja bila harus memilih antara dua kegiatan yang dirasa sama pentingnya.

    5. Komunikasi & interaksi dengan anak dan suami >

    Komunikasi merupakan unsur yang penting bagi terciptanya hubungan

    yang harmonis dalam keluarga. (Shaevitz, 1991) mengemukakan bahwa

    komunikasi yang baik adalah kemampuan mengutarakan kebutuhan dan perasaan

    kepada pasangan disatu sisi, dan kesediaan mendengarkan kebutuhan dan

    perasaan pasangan disisi lain. Wanita pada dasarnya membutuhkan komunikasi

    pada pasangannya untuk rasa aman, baik emosional maupun fmansial, tanggung

    jawab, martabat, kejujuran, kesamaan derajat, kepekaan, kelembutan, keramahan,

    rasa disayangi, rasa diperhatikan, dukungan, tempat bergantung, pengertian,

    persahabatan, penerimaan, rasa aman akan mengurangi rasa bersalah dan

    ketegangan yang teijadi pada diri wanita.

    6. Tekanan karir dan tekanan pekerjaan

    Wanita yang telah berumah tangga dan bekeija dituntut untuk berhasil

    dalam dua peran yang bertentangan. Dirumah dituntut untuk selalu siap

    memberikan bantuan pada keluarganya, sedangkan di tempat kerja mereka

    diharapkan menjadi seorang yang agresif (Rowatt & Rowatt, 1990). Birnbaum

  • (dalam Hoffman, 1974) melaporkan bahwa satu dari enam wanita prof mengalami

    konflik dalam mengkombinasikan karir dan rumah tangga. Hal tersebut membuat

    karyawan wanita merasa tidak adekuat sebagai orang tua (Feld, dalam Hoffman,

    1974)

    Banyak karyawan wanita yang menunjukkan kecemasan dan perasaan

    bersalah terhadap peran sebagai ibu rumah tangga. Walaupun karyawan wanita

    bekeija full time lebih merasa bahagia dalam pekeijaan kantor daripada sebagai

    ibu rumah tangga, tetapi pada saat yang sama merasakan bersalah karena merasa

    tidak adekuat dalam peran rumah tangga (Kligler dalam Hoffman, 1974)

    Hoffman (1974) mengemukakan bahwa wanita bekeija mengalami konflik

    karena kekhawatiran mereka terhadap akibat buruk bekerja bagi anak-anak

    sehingga mereka sering merasa bersalah.

    Dikatakan oleh Dunnete (1976) bahwa konflik peran bersifat psikologis

    dengan gejala yang terlihat antara lain rasa bersalah, kegelisahan,

    ketergantungan, dan frustasi.

    7. Pandangan suami terhadap peran ganda wanita

    Dewasa ini, banyak suami yang mulai menunjukkan sikap positif terhadap

    istri yang bekeija. Selama pekeijaan istri tidak mempengaruhi kehidupan

    perkawinan umumnya suami puas dengan situasi tersebut. Namun ternyata

    kesuksesan istri yang berkarir dapat dirasakan oleh suami sebagai kegagalan diri

    dalam menyeimbangkan karimya dengan karir istrinya. Khususnya bila

    kesuksesan istri mengakibatkan keterlibatan yang lebih besar terhadap pekerjaan,

    sehingga makin kurang waktu untuk keluarga. Ini akan mengakibatkan suami

  • pengendalian. Menurut Ranupandojo (1987) manajemen merupakan ilmu

    pengetahuan yang dapat dijadikan upaya untuk memperbaiki tata kerja dalam

    mencapai tujuan. Menurut Terry (1986) manajemen berhubungan dengan usaha

    untuk mencapai sasaran-sasaran tertentu, dengan jalan mempergunakan sumber-

    sumber yang tersedia sebaik mungkin. Apabila tujuan tertentu ingin dicapai, maka

    senantiasa terdapat adanya penyatuan pikiran, tenaga, bahan-bahan, alat-alat,

    waktu serta ruangan guna melaksanakannya. Manajemen terdiri dari fungsi-fungsi

    dasar atau aktivitas yang berhubungan satu sama lain. Aktivitas-aktivitas tersebut

    merupakan proses yang disebut proses manajemen. Proses manajemen memiliki 4

    hal, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengaktualisasian atau menggerakkan

    dan pengawasan atau pengendalian.

    Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian manajemen adalah

    ilmu perencanaan, pengorganisasian, penyusunan, pengarahan, dan pengawasan

    dari sumber daya manusia untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan terlebih

    dahulu.

    2. Pengertian Waktu

    Waktu adalah penting bagi seseorang. Pepatah barat mengatakan "Time is

    money " yang berarti bahwa mereka sangat menghargai waktu. Hal tersebut terasa

    sekali di negara-negara industri maju dimana penduduknya terlihat selalu dalam

    keadaan tergesa-gesa dan tidak pernah melewatkan waktunya dengan berdiam

    diri. Haynes (1991) mengatakan waktu adalah sumber daya yang unik yang tidak

    dapat dihentikan atau dijalankan. Waktu adalah sesuatu yang paling berharga.

    Barang yang hancur, orang yang lari, uang yang hilang dapat dicari atau diganti

    tetapi waktu yang sudah hilang akan hilang selamanya (Winarno,1987). Waktu

  • adalah suatu komoditas yang paling bernilai dan merupakan suatu jenis sumber

    daya yang tidak dapat diperbaharui (Taylor, 1990). Waktu adalah hidup. Hidup

    adalah waktu. Jika membuang waktu maka membuang kehidupan dan bila

    mengendalikan waktu berarti mengendalikan hidup. Waktu adalah bahan yang

    digunakan untuk membuat hidup, sedangkan menurut Winarno (1987) waktu

    merupakan sumber daya yang perlu dikelola, karena waktu merupakan sumber

    daya yang terbatas dan tidak terperbaharukan.

    3. Pengertian Manajemen Waktu

    Semua individu pada dasarnya mempunyai waktu yang sama, yaitu 24 Jam

    sehari semalam. Namun penggunaan waktu pada setiap manusia berbeda sesuai

    keadaan masing-masing. Sikap mental dalam menghargai waktu yang tersedia

    sesuai dengan kebutuhan adalah unsur disiplin yang esensial. Orang yang tidak

    bisa memanfaatkan waktu adalah orang yang merugi. Maka orang perlu

    memanfaatkan waktu secara efektif . Hal ini dinamakan manajemen waktu

    (Kate,1995). Menurut Schuler (dalam Yuniarti, 2000) manajemen waktu adalah

    proses tentang bagaimana seseorang dapat menyelesaikan pekeijaan dan target

    yang dilakukan secara efektif. Menurut Haynes (1991), manajemen waktu

    merupakan proses tentang bagaimana seseorang dapat menyelesaikan pekerjaan

    dan target yang dilakukan secara efektif Manajemen waktu merupakan proses

    pribadi dan harus sesuai dengan gaya dan lingkungan individu masing-masing.

    Taylor (1990) berpendapat manajemen waktu adalah pencapaian sasaran utama

    kehidupan dengan cara mengesampingkan kegiatan-kegiatan yang tidak penting.

    Dalam penelitian ini manajemen waktu diarahkan pada individu-individu

    sehingga sering disebut manajemen waktu untuk diri sendiri. Dengan demikian

  • manajemen waktu diartikan sebagai suatu usaha merencanakan,

    mengorganisasikan, mengaktualisasikan dan mengontrol atau mengendalikan

    kegiatan diri sendiri dalam menyelesaikan tugas, baik tugas yang diarahkan untuk

    keperluan diri sendiri maupun tugas yang diarahkan untuk keperluan orang lain,

    secara efektif dan efisien dan serta bagaimana memanfaatkan waktu yang baik.

    4. Proses dan Fungsi Manajemen Waktu

    Pengelolaan waktu menurut Labowitz dan Baird (1991) tidak lain adalah

    menerapkan prinsip-prinsip manajemen pada diri sendiri. Berbicara mengenai

    pengelolaan waktu perlu meninjau kembali secara mendasar mengenai proses

    manajemen itu sendiri. Tidak jadi masalah apakah mengelola orang yang besar,

    satu kelompok ataupun diri sendiri, pada dasarnya proses manajemen itu terbentuk

    dari 4 langkah, yaitu ;

    a. Berusaha mengerti apa yang hendak dicapai

    b. Mengorganisasikan kegiatan

    c. Mencapai hasil

    d. Mengkaji apa yang teijadi

    Mempelajari manajemen dari segi proses berarti mempelajari fungsi-fungsi

    manajemen (Nitisemito,1983). Fungsi manajemen menurut Albert terdiri dari

    perencanaan, pengorganisasian, pergerakan dan pengawasan (Kartono, dalam

    Yuniarti, 2000). Dalam menjelaskan proses manajemen Terry (1986)

    mengemukakan bahwa proses manajemen itu terdiri dari perencanaan,

    pengorganisasian, penilaian dan pengendalian. Sedangkan Atmosudirjo (dalam

    Manullang,1981) menyatakan bahwa fungsi manajemen terdiri dari perencanaan,

    pengorganisasian dan pengawasan. Dalam pengelolaan waktu itu sendiri

  • merupakan proses yang terdiri dari fungsi perencanaan, pengorganisasian dan

    pengendalian. Mengelola waktu seseorang memerlukan perencanaan dan

    pengorganisasian untuk pemanfaatan waktu secara efektif dan efisien dalam

    penggunaannya. Walaupun sampai saat ini masih belum ada kesepakatan baik

    secara praktisi maupun teoritis tentang fungsi manajemen, namun pada dasarnya

    fungsi manajemen terdiri dari 4 hal, yaitu perencanaan, pengorganisasian,

    pengaktualisasian dan pengawasan.

    a. Perencanaan

    Proses perencanaan berfungsi sebagai penentu serangkaian tindakan untuk

    mencapai sesuatu hasil yang diinginkan. Menurut Lee dan Adcock (1991)

    merencanakan penggunaan waktu seseorang pertama kali harus menemukan

    dahulu bagaimana seharusnya digunakan, memutuskan bagaimana seharusnya

    digunakan, dan merencanakan yang efektif akan mengurangi penggunaan waktu.

    Apabila dapat mengatur waktu dengan baik dapat memanfaatkan waktu dengan

    cara menyusun rencana secara menyeluruh (Lakein,1997). Perencanaan yang baik

    mencakup: menetapkan sasaran, menurut cara dan sumber daya yang diperlukan,

    menyusun langkah-langkah tindakan, menjadwalkan langkah-langkah tindakan,

    memilih tanggal mulai yang meyakinkan pencapaian sasaran sesuai tanggal yang

    diinginkan, menyiapkan titik-titik pengukuran hasil dan peninjauan kemudian

    (Haynes,1991). Perencanaan mempunyai fungsi sebagai alat pengawasan

    pelaksanaan kegiatan dengan cara memilih dan menentukan beberapa prioritas

    dari beberapa pilihan atau alternatif. Lebih lanjut Taylor (1990) mengemukakan

    syarat perencanaan yang baik adalah berdasarkan pada alternatif, harus realistis,

    dan luwes (fleksibel).

  • b. Pengorganisasian

    Proses organisasi berhubungan dengan bagaimana seseorang

    mengorganisasikan pekerjaan dan lingkungannya agar menjadi lebih efisien dalam

    pemanfaatan waktunya. (Lee dan Adcock, 1991). Proses organisasi berfungsi

    untuk mendelegasikan semua item pekerjaan dengan pembatasan pekerjaan.

    Dalam penggunaan waktu, penetapan prioritas merupakan proses dua tahap yaitu

    membuat hal-hal yang harus dilakukan dan menentukan prioritas masing-masing.

    Dalam menentukan prioritas tentu saja berdasarkan kriteria sebagai pedoman

    tersebut yaitu penilaian tentang mana yang sebaiknya dikerjakan terlebih dahulu,

    relativitas yaitu pada saat ini yang paling cocok mengerjakan tugas yang mana

    dan batas waktunya dalam hal ini berapa lama batas waktunya.

    c. Pengaktualisasian

    Proses pengaktualisasian berfungsi untuk menggerakkan sesuai dengan

    apa yang diinginkan agar tujuan dapat dicapai secara efektif dan efisien

    (Nitisemito,1983). Kalau dalam suatu organisasi yang digerakkan adalah orang

    lain atau bawahan maka dalam manajemen waktu untuk diri sendiri yang

    digerakkan adalah diri sendiri. Dalam hal ini yang dimaksud adalah

    menggerakkan diri sendiri untuk segera melaksanakan tugas atau pekerjaan yang

    menjadi tanggung jawabnya. Hal ini berarti berkaitan dengan penundaan.

    Sedangkan menurut pendapat Mishra dan Misra (1991) semua perencanaan

    mungkin dapat dikeijakan. Pernyataan sasaran dan prioritas dapat ditulis, analisis

    mengenai penggunaan waktu sekarang dan pemantapan program untuk

    memperbaiki kekurangan dapat diterapkan akan tetapi semua ini tidak akan

    berguna jika tidak dilakukan.

  • Ada tiga sebab yang mengarah pada penundaan yaitu tidak

    menyenangkan, pekerjaan yang sulit dan keraguan.

    d. Pengawasan dan pengendalian

    Pengawasan adalah tindakan atau proses kegiatan untuk mengetahui hasil

    pelaksanaan kesalahan. Kegagalan untuk kemudian dilakukan perbaikan dan

    mencegah terulangnya kembali kesalahan-kesalahan. Pengawasan juga berfungsi

    untuk menjaga agar pelaksanaan tidak berbeda dengan rencana yang diterapkan.

    Namun demikian sebaik apapun rencana yang telah ditetapkan juga merupakan

    pengawasan. Proses pengawasan atau pengendalian mempunyai fungsi untuk

    mencegah rencana yang telah ditetapkan Lee dan Adcock (1991) mengemukakan

    bahwa pengendalian tidak dapat dilaksanakan kecuali ada standar atau rencana

    untuk membandingkan hasil aktual yang diharapkan. Oleh sebab itu antara

    rencana dan pengawasan mempunyai hubungan yang erat. Kcanta dan O'Dannel

    (dalam Yuniarti, 2000) menyatakan bahwa antara perencanaan dan pengawasan

    ibaratnya seperti kedua sisi dari mata uang yang sama. Bila pengawasan dilakukan

    adalah untuk membuat segenap kegiatan manajemen menjadi dinamis serta

    berhasil secara efektif dan efisien. Fungsi pengawasan yang lain adalah untuk

    memperbaiki kesalahan yang terjadi.

    Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa proses manajemen

    meliputi 4 hal yaitu: perencanaan, pengorganisasian, pengaktualisasian dan

    pengawasan atau pengendalian.

    5. Faktor-faktor Pendorong Manajemen Waktu

    Didalam setiap aktivitas individu tentu didasari oleh beberapa hal. Begitu juga

    dengan manajemen waktu seseorang, ada faktor-faktor yang mempengaruhinya.

  • Menurut Labowitz dan Baird (1991) faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang

    dalam mengelola waktunya adalah adanya halangan baik itu halangan internal

    maupun eksternal. Halangan internal adalah sesuatu yang berasal dari diri sendiri.

    Halangan internal berupa penghalang psikologis yaitu yang meliputi ego yaitu

    pertimbangan yang menyatakan bahwa tidak ada orang lain yang mampu

    melaksanakan pekeijaan tersebut, adanya keinginan untuk selalu ada ditempat dan

    berusaha menjadi pribadi yang baik. Sedangkan halangan eksternal adalah hal

    yang disebabkan orang lain. Apabila frekuensi hal eksternal sering maka bisa

    dipastikan individu tidak akan dapat berkonsentrasi pada prioritas pekeijaan yang

    telah diterapkan. Hal yang tidak terkendali akan mengalihkan perhatian dari

    tujuan semula memperlambat momentum yang telah direncanakan.

    Faktor-faktor yang dapat mendorong seseorang untuk mengelola waktu antara

    lain :

    a. Pengalaman

    Orang yang memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan akibat

    kelemahan dalam mengatur waktunya, akan berusaha agar pengalaman yang tidak

    menyenangkan tersebut tidak terulang kembali.

    b.Tipe kepribadian

    Tipe kepribadian ada 2 macam yaitu kepribadian tipe A yang memiliki adalah

    keberanian menanggung resiko, enegik, dorongan untuk bersaing kuat, tidak

    sabar, kebutuhan yang tinggi untuk berprestasi, senang merangkap tugas dan lebih

    mementingkan waktu. Tipe kepribadian yang kedua yaitu kepribadian B untuk

    memiliki ciri yang berlawanan dengan orang berkepribadian tipe A (Fakri, 1994)

  • c. Kemampuan khusus

    Seseorang memiliki kemampuan khusus akan dapat menyelesaikan

    tugasnya dengan baik, tugas yang diberikan sesuai dengan kemampuannya dan

    orang tersebut akan menyelesaikan tugasnya sesuai dengan waktu yang telah

    ditetapkan (Suryabrata,1984).

    d.Tanggung jawab

    Orang yang memiliki tanggung jawab yang baik akan selalu berusaha

    untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik, dan akan berusaha untuk mengatur

    dirinya dan orang lain agar tugas dan pekeijaannya dapat terselesaikan dengan

    baik (Schuler dalam Yuniarti, 2000).

    6. Dampak dari Pengaturan Waktu

    Orang yang memiliki keyakinan bahwa pengaturan waktu yang baik akan

    memberi dampak positif bagi dirinya akan cenderung untuk meningkatkan

    manajemen waktu (Taylor, 1990). Staub (dalam Yuniarti, 2000) berpendapat

    bahwa faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan yang

    mencerminkan manajemen waktu adalah sebagai berikut;

    a. Personal values dan Norms

    Nilai-nilai pribadi dan nilai-nilai sosial yang diinternalisasikan oleh

    individu dalam proses sosialisasi. Norma personal adalah harapan

    seseorang bahwa dirinya akan berperilaku dengan cara tertentu, yang

    sesuai dengan keyakinan pribadinya.

    b. Self-gain

    Seseorang merencanakan sesuatu, mewujudkan rencana dan mengontrol

    rencana waktunya dengan baik karena adanya harapan untuk memperoleh

  • atau menghindari sesuatu. Manajemen waktu diterapkan dengan harapan

    untuk menghindari kemungkinan mengerjakan sesuatu yang tidak sesuai

    dengan target, penundaan keputusan serta kelambatan dan ketidakpuasan.

    Berdasarkan uraian diatas dapat dirangkum bahwa faktor yang mendorong

    seseorang untuk melakukan tindakan yang mencerminkan manajemen waktu,

    yakni pengalaman, lipe kerpibadian, kemampuan khusus, langgung jawab,

    dampak dari pengaturan waktu, personal values dan norm serta self gam.

    B. Hubungati Manajemen Waktu dan Stres Kerja pada Wanita

    Berperan Ganda

    Menurut Lanoil (1986), wanita yang berperan ganda cenderung mengalami

    stres lebih besar daripada wanita yang berperan tunggal. Wanita berperan ganda

    dituntut untuk dapat melaksanakan tugas di rumah dan di kantor dengan

    seimbang. Wanita berperan ganda biasanya mengalami stres dengan cara yang

    berbeda dengan yang dialami pria bekeija atau wanita yang berperan tunggal.

    Wanita berperan ganda sering hidup dalam pertentangan yang tajam antara peran

    di rumah dan di luar rumah. Keluhan yang biasa dilaporkan adalah perasaan tidak

    puas dalam masing-masing perannya. Jika sedang di kanlor, teringat anak di

    rumah. Sebaliknya jika sudah di rumah masih memikirkan pekerjaan di kantor.

    Selain itu, wanita yang bekerja penuh waktu biasanya merasa bersalah karena

    sepanjang hari meninggalkan rumah. Sampai di rumah wanita berperan ganda

    akan mulai berkompetisi, dengan lebih memperhatikan anak dan suami, serta

    mengurus rumah dengan sebaik-baiknya. Akibatnya wanita yang berperan ganda

    bukan benstirahat di rumah, melainkan menambah kegiatan, seolah-olah seharian

  • di kantor sebelumnya hanya bermain-main. Hal-hal tersebut diatas diperparah

    dengan keadaan di tempat kerja. Tuntutan tugas yang berat, hubungan dengan

    rekan kerja atau atasan yang kurang harmonis, pelecehan seksual, diskriminasi,

    dan lain sebagainya, dapat memicu timbulnya stres kerja bagi individu.

    Menurut Shreve dan Lone (1986), stres kerja yang dialami oleh partisipan

    organisasi biasanya menghasilkan lebih banyak kerugian daripada keuntungan,

    sehingga harus segera diatasi. Wanita berperan ganda lebih rentan terhadap stres

    kerja daripada pria ataupun wanita yang menjalani peran tunggal.

    Banyak penelitian yang ingin membuktikan bahwa dengan pengelolaan

    waktu yang baik adalah salah satu penangkal stres. Karena dengan memanajemen

    waktu diri sendiri secara langsung telah menerapkan prinsip-prinsip manajemen

    waktu untuk diri sendiri. Manajemen waktu yang tentunya melewati langkah-

    langkah untuk mencapainya sebagai fasilitator bagi perubahan konstruktif yang

    dibuat dalam pemecahan masalah. Sebagaimana dikemukakan dalam hasil

    penelitian Kate (1995) bahwa harus adanya keinginan untuk memanfaatkan waktu

    secara lebih baik Karena jika mengatur waktu dengan serius dan mencoba

    beberapa ide yang telah dianjurkan, pasti bisa merasakan berkurangnya stres, dan

    mempunyai lebih banyak waktu. Menurut Kate (1995) mengatur waktu secara

    lebih baik biasanya bisa dicapai dengan terlebih dahulu memikirkan hal dan

    tindakan yang mungkin dilakukan dan bukannya langsung mengambil tindakan

    secara gegabah.

    Dengan demikian bahwa manajemen waktu sebagai suatu usaha

    merencanakan, mengorganisasikan, mengaktualisasikan dan mengontrol atau

    mengendalikan kegiatan din sendiri dalam menyelesaikan tugas, baik tugas yang

  • diarahkan untuk keperluan diri sendiri maupun tugas yang diarahkan untuk

    keperluan orang lain, secara efektif dan efisien serta bagaimana memanfaatkan

    waktu yang baik, baik di luar kegiatan rumah maupun sebaliknya.

    Mengacu pada teori dan hasil penelitian yang dikemukakan para ahli,

    diasumsikan bahwa ada hubungan manajemen waktu dan stres kerja pada wanita

    yang berperan ganda. Apabila manajemen waktu yang dilakukan baik maka stres

    kerja akan rendah. Demikian pula sebaliknya, jika manajemen waktu yang kurang

    baik , maka stres ketja akan tinggi.

    D. Hipotesis

    Ada hubungan negatif antara manajemen waktu dengan stres kerja pada

    wanita yang berperan ganda. Semakin tinggi manajemen waktu wanita berperan

    ganda maka semakin rendah stres kerja, sedangkan jika semakin tinggi stres kerja

    maka semakin rendah manajemen waktu wanita berperan ganda.