05 - Pola Penyesuaian Perkawinan Pada Periode Awal

download 05 - Pola Penyesuaian Perkawinan Pada Periode Awal

of 13

Transcript of 05 - Pola Penyesuaian Perkawinan Pada Periode Awal

  • 198INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006

    berasal dari keluarga, sifat, kebiasaan danbudaya yang berbeda. Perkawinan jugamemerlukan penyesuaian secara terus-menerus. Setiap perkawinan, selain cinta jugadiperlukan saling pengertian yang mendalam,kesediaan untuk saling menerima pasanganmasing-masing dengan latar belakang yang

    Pola Penyesuaian Perkawinanpada Periode Awal

    Cinde AnjaniSuryanto

    Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

    ABSTRACT

    The research aims a) to describe of pattern of marriage adjustment among couples at earlyperiod, b) to look for the factors supporting marriage adjustment, and c) to look for factorspursuing process of marriage adjustment. This research was a descriptive research and usedcase study as its study method. Data and information obtained by interview and observationto accurate subject. These subjects of research were all its marriage age couple less than 10year. Data analyses conducted by categorize result of themes interview and reconciled withresult of observation at the family. This categorization, then, described and narrated accord-ing to research problems. Conclusions obtained from this research indicate that: a) pattern ofmarriage adjustment conducted step by step. At phase of honeymoon, couple still experiencesthe life fully happy, because constituted by the love of early marriage. At phase of factrecognition, couple know the characteristic and habit which in fact from couple. At phase ofmarriage crisis, process adjustment happened. If the couples, success in accepting fact hence willbe continued successfully phase accept the fact. If the couple successfully overcome the problemsin the family by adaptation and make the order and agreement in domestic hence, so the realbliss phase will obtain; b) Supplementary factor of efficacy process the located couple marriageadjustment in the case of reciprocating and accepting love, expression of affection, respectingeach other and esteeming, each other being opened between wife and husband; and c) the resistorfactors that process the marriage adjustment that is one of the couple cannot accept thedenaturing and habit in early nuptials, husband and also initiative wife does not finish theproblem, cultural difference and religion among husband and wife.

    Keywords:pattern of marriage adjustment, earlyperiod

    Perkawinan merupakan ikatan lahirbatin dan persatuan antara 2 pribadi yang

    INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006

    2006, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

  • 199INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006

    Cinde Anjani & Suryanto

    2006, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

    merupakan bagian dari kepribadiannya. Halini berarti mereka juga harus bersediamenerima dan memasuki lingkungan sosialbudaya pasangannya, dan karenanyadiperlukan keterbukaan dan toleransi yangsangat tinggi, serta saling penyesuaian diriyang harmonis. Orang menikah bukan hanyamempersatukan diri, tetapi seluruh keluargabesarnya juga ikut. Wismanto (2005)menyatakan bahwa proses pengenalan antarpasangan itu berlangsung hingga salah satupasangan mati, dan dalam perkawinan terjadiproses pengembangan yang didasari olehLOVE yaitu Listen, Observe, Value danEmphaty.

    Peran penting dalam perkawinandimainkan oleh hubungan interpersonalyang tentunya jauh lebih rumit biladibandingkan dengan hubunganpersahabatan atau bisnis. Makin banyakpengalaman dalam hubungan interpersonalantara pria dan wanita yang dimilikiseseorang, makin besar pengertian wawasansosial yang telah mereka kembangkan, dansemakin besar kemauan mereka untukbekerja sama dengan sesamanya, sertasemakin baik mereka menyesuaikan dirisatu sama lain dalam perkawinan.

    Lamanya masa pacaran sebelummenikah, tidak menentukan sukses tidaknyahubungan antar personal antara pasangansuami-istri. Ada pasangan yang hanya 3bulan pacaran tetapi perkawinan merekalanggeng. Ada pula pasangan yang bertahun-tahun pacaran tetapi perkawinannya hanyabertahan beberapa bulan saja.

    Tantangan di periode awal perkawinanadalah masa-masa perjuangan untukmemperoleh kebahagiaan dan kemapananhidup. Antara suami dan istri sama-sama

    bekerja keras untuk bisa memenuhi tuntutanhidup. Ini sangat bisa mengurangi kualitaskebersamaan sehingga akhirnya salah satupihak merasa terabaikan (Hassan, 2004).

    Ketika suami dan istri berikrar untukmenikah, berarti masing-masingmengikatkan diri pada pasangan hidup.Kebebasan sebagai individu dikorbankan.Perkawinan bukan sebuah titik akhir, tetapisebuah perjalanan panjang untuk mencapaitujuan yang disepakati berdua. Tiappasangan harus terus belajar mengenaikehidupan bersama. Tiap pasangan jugaharus kian menyiapkan mental untukmenerima kelebihan sekaligus kekuranganpasangannya dengan kontrol diri yang baik.

    Pentingnya penyesuaian dan tanggungjawab sebagai suami atau istri dalam sebuahperkawinan akan berdampak padakeberhasilan hidup berumah tangga.Keberhasilan dalam hal ini mempunyaipengaruh yang kuat terhadap adanyakepuasan hidup perkawinan, mencegahkekecewaan dan perasaan-perasaanbingung, sehingga memudahkan seseoranguntuk menyesuaikan diri dalamkedudukannya sebagai suami atau istri dankehidupan lain di luar rumah tangga(Hurlock, 2002).

    Kenyataannya, seringkali dijumpaibagaimana impian dan harapan untukmewujudkan sebuah perkawinan yangbahagia dan sejahtera itu tidak tercapai,bagaimana sebuah perkawinan mengalamikegagalan dalam mewujudkan impian danharapan bersama, serta bagaimana suatupermasalahan dapat timbul dalamkehidupan perkawinan, dan pada gilirannyadapat menjadi benih yang dapat mengancamkehidupan perkawinan serta mengakibatkan

  • 200INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006

    keretakan atau perceraian.Perceraian tidak dialami oleh para artis

    saja. Di kalangan orang biasapun perceraian kerap terjadi. Berita yangdimuat di Tabloid Hawa (KetikaPerkawinan Dilanda Kemelut, 2001)menyebutkan, hanya sedikit pasangan yangdapat mencapai keintiman atau ikatanpersahabatan, berusaha mewujudkankomitmen dan saling pengertian yangmendalam antar pasangan.

    Munas BP4 (Badan Penasihat,Pembina dan Pelestarian Perkawinan) ke-12 mengungkapkan bahwa pada tahun2001, angka perselisihan perkawinan di In-donesia mencapai hampir 14% dan angkaperceraian mencapai hampir 15% darijumlah perkawinan yang terjadi di Indone-sia. Masalah-masalah atau konflikperkawinan yang tidak selesai biasanyaberakhir dengan perceraian. Tingkatperceraian di Jawa Timur pun cukup tinggi.Harian Kompas (Perceraian di Jember,2001) memberitakan di Kabupaten Jemberpada tahun 2000 kasus perceraian yangterjadi mencapai 2897 angka. Angka inimenempati urutan ketiga setelah KabupatenMalang dan Banyuwangi.

    Propinsi Jawa Barat dengan angkakasus perceraian tertinggi di Indramayumeningkat sejak tahun 1999, dari 581 kasusmenjadi 786 kasus pada tahun 2000, dan781 pada tahun 2002. Di daerah Bogor jugamengalami peningkatan sejak tahun 2000jumlah kasus perceraian di PengadilanAgama tercatat 510 perkara (KesulitanEkonomi, 2003). Di Rembang, tiga tahunterakhir terdapat 3595 pasangan suami istrimemilih cerai (Inisiatif Cerai, 2002).

    Angka-angka tersebut menunjukkan

    bahwa hanya sedikit pasangan yang dapatmencapai keintiman, berusaha mewujudkankomitmen dan pengertian mendalamantarpasangan, dan bahkan banyak pasanganyang tetap menjalani perkawinan namundengan menunjukkan sikap dingin sehinggakeharmonisan dalam rumah tangga tidakdicapai. Beberapa pasanganmempertahankan rumah tangganya hanyademi kepentingan anak-anaknya, namunperkawinan tetap terasa hambar.

    Tahun-tahun pertama perkawinanmerupakan masa rawan, bahkan dapatdisebut sebagai era kritis karena pengalamanbersama belum banyak. Menurut Clinebell& Clinebell (2005), periode awalperkawinan merupakan masa penyesuaiandiri, dan krisis muncul saat pertama kalimemasuki jenjang pernikahan. Pasangansuami istri harus banyak belajar tentangpasangan masing-masing dan diri sendiriyang mulai dihadapkan dengan berbagaimasalah. Dua kepribadian (suami maupunistri) saling menempa untuk dapat sesuai satusama lain, dapat memberi dan menerima.

    Berdasarkan hasil wawancara penelititerhadap orang-orang sekitar penelitiditemukan alasan mengapa pada periodeawal perkawinan merupakan masapenyesuaian. Awal perkawinan merupakanmasa-masa yang penuh dengan kejutan,yang di dalamnya terdapat banyak krisis ataumasalah-masalah yang dihadapi, perubahan-perubahan sikap atau perilaku masing-masing pasangan pun mulai tampak.

    Ada juga yang mengatakan bahwamasa-masa awal perkawinan pengalamanbersama belum banyak. Para pasanganmenganggap bahwa pada masa ini banyakmuncul hal-hal yang tidak sesuai dengan

    Pola Penyesuaian Perkawinan pada Periode Awal

  • 201INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006

    harapan seperti pada saat masa pacaran.Umumnya para pasangan berharap, denganberjalannya waktu akan membuat pasangansaling mengerti dan memahami satu samalain dan lebih mengetahui apa yangdiharapkan dari perkawinan yang dijalani.

    Kehadiran buah hati menjadi alasanberikutnya. Pasangan suami istri dituntutmenjalani peran baru. Pasangan harus siapdengan semua tugas rumah tangga dandengan segala kegiatan untuk mengasuhanak.

    Uraian di atas menunjukkan bahwapada perode awal perkawinan, penyesuaiandiri merupakan masalah yang harus dihadapidan diselesaikan oleh pasangan suam istri.Bila bisa melalui dengan baik, makapasangan tidak akan putus dan sebaliknyabila tidak bisa menyelesaikannya, makaperkawinan akan putus ditengah jalan.Umumnya, setiap pasangan memimpikanbahwa mereka mampu menyesuaikan diriterhadap tantangan dan tekanan danmembangun kerangka hubungan bersamasekuat mungkin.

    Dari latar belakang masalah di atas,rumusan masalah pada penelitian ini adalah:1. Bagaimana pola penyesuaian

    perkawinan antara pasangan suami istripada periode awal?

    2. Faktor apa saja yang mendukungpenyesuaian perkawinan?

    3. Faktor apa saja yang menghambatpenyesuaian perkawinan?

    METODE PENELITIAN

    Tipe PenelitianBerdasarkan tujuannya, penelitian ini

    termasuk tipe penelitian deskriptif, yang

    bertujuan untuk mendeskripsikan tema yangdianggap penting. Penelitian ini terfokuspada penyelidikan yang mendalam padasejumlah kecil kasus yang sesuai dengan temayang ingin dideskripsikan tersebut. Olehkarena itu, studi kasus sangat bermanfaatketika peneliti merasa perlu memahamisuatu kasus spesifik, orang-orang tertentu,kelompok dengan karakteristik tertentu,ataupun situasi unik secara mendalam.Sejumlah kecil kasus tersebut dapatmemberikan contoh yang tepat mengenaifenomena yang dipelajari (Poerwandari,2001).

    Studi kasus merupakan strategi yangcocok dalam suatu penelitian kualitatifapabila: a) pokok pertanyaan penelitianberkenaan dengan mengapa dan bagaimana;b) peneliti hanya memiliki sedikit peluanguntuk perilaku yang akan diselidiki; dan c)fokus penelitiannya terletak pada fenomenakontemporer (masa kini) di dalam kontekskehidupan nyata (Yin, 2002)

    Subjek PenelitianSubjek dalam penelitian ini adalah

    keluarga, yaitu pasangan suami istri yang usiaperkawinannya tidak lebih dari 10 tahun.Pertimbangannya, usia perkawinan dibawah 10 tahun merupakan periode awaldalam perkawinan dan subjek dianggaptepat untuk dapat mewakili sertamemberikan gambaran tentang penelitianpenyesuaian perkawinan ini.

    Subjek pada penelitian ini dipilihberdasarkan pendekatan maximum variationsampling. Pendekatan ini dipilih karenaindividu yang terlibat dalam fenomenamenampilkan banyak variasi dalam

    Cinde Anjani & Suryanto

  • 202INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006

    menangkap aspek-aspek fenomena yangada selain itu penelitian ini bertujuan untukmenjelaskan tema-tema sentral yangmenampilkan sebagai akibat dari keluasanvariasi partisipan penelitian. Keterwakilansemua variasi penting, dan pendekatan maxi-mum variation sampling justru mencobamemanfaatkan adanya perbedaan-perbedaan yang ada untuk menampilkankekayaan data (Poerwandari, 2001).

    Pengumpulan DataMetode pengumpulan data yang

    digunakan dalam penelitian ini adalahwawancara dan observasi. Pertimbanganpenggunaan metode ini karena keduametode tersebut merupakan metode dasardalam penelitian kualitatif yang dianggappaling efektif digunakan untukmendeskripsikan tentang tema dari penelitianini.

    Analisis DataData dalam penelitian ini diperoleh

    dari hasil wawancara dan observasi peneliti.Dari hasil wawancara akan diperoleh data-data yang digunakan untuk mendeskripsikantentang tema dari penelitian ini. Sedangkandata observasi digunakan untukmendeskripsikan setting yang dipelajari,aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, danmakna dari kejadian dilihat dari perspektifmereka yang terlibat dalam kejadian yangdiamati tersebut.

    Analisis data dalam penelitian inidilakukan dengan analisis tematik.Penggunaan analisis tematik memungkinkanpeneliti menemukan pola yang pihak lain

    tidak melihatnya secara jelas. Pola atau tematersebut tampil seolah secara acak dalamtumpukan informasi yang tersedia. Setelahmenemukan pola (seeing), peneliti akanmengklasifikasi atau mengencode polatersebut (seeing as) dengan memberi label,definisi atau deskripsi (Boyatziz, 1998, dalamPoerwandari 2001).

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. Pola Penyesuaian PerkawinanPasangan Suami Istri pada PeriodeAwal

    Antar pasangan memang tidak samapersis dalam penyesuaian perkawinannya.Sebagai gambarannya berikut polapenyesuaian yang bisa dilukiskan dari parapasangan dalam studi ini. Masing-masingpasangan menunjukkan bagaimanaberadaptasi terhadap perbedaan yang terjadiyang melewati beberapa fase seperti berikut.

    1. Fase bulan maduMerupakan fase yang paling indah

    karena masing-masing pihak berupayamembahagiakan pasangannya. Pada fase inipara pasangan tidak berupaya untukmenonjolkan perbedaan yang terjadi,melainkan saling menutupi kelemahanmasing-masing dan mengabaikan adanyakekurangan pasangannya.

    2. Fase pengenalan kenyataanHal-hal yang memerlukan adaptasi

    dalam fase ini antara lain dalam halkebiasaan pasangan. Kebiasaan pasangansuami istri yang paling sering muncul dalampenelitian ini adalah: a) pasangan, baik suami

    Pola Penyesuaian Perkawinan pada Periode Awal

  • 203INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006

    maupun istri terkejut atau kaget denganperubahan sikap yang terjadi padapasangannya; b) pasangan suami istri belumterbiasa dengan perubahan sikap yang terjadipada pasangannya di awal pernikahan; c)salah satu pasangan ingin merubah kebiasaanpasangannya; d) salah satu pasanganmenginginkan pasangannya tersebut masukdalam kehidupannya; e) salah satu pasanganmenginginkan agar pasangannya lebih dapatmenerima kebiasaan-kebiasaan sertamenerima keadaan dirinya apa adanya.

    3. Fase Kritis PerkawinanFase ini adalah fase paling rawan yang

    mungkin akan mengancam kehidupanrumah tangga setelah mengenal kenyataanyang sebenarnya. Tingginya pendidikanbukanlah jaminan bahwa pasangan ini bisaberadaptasi dengan baik dan dapatmenyelesaikan permasalahannya. Masalahseksual juga bisa menjadi salah satu sumbermasalah terutama bila pasangan tidakterbuka dalam masalah seksual. Fase kritisakan semakin meruncing ketika adaketerlibatan keluarga salah satu pasangan.Hal itu berdampak karena salah satupasangan dihadapkan pada kebimbangandan kedekatan emosional antara keluargaatau suami/istrinya.

    4. Fase menerima kenyataanSuami istri menjalankan perkawinannya

    dengan cara-caranya sendiri atau terdapataturan yang harus disepakati kedua belahpihak. Semua berpulang pada diri masing-masing dan tahu kapasitasnya dalam rumahtangga. Sehingga kehidupan rumah tanggadapat berjalan dengan baik walaupun

    perbedaan di tengah-tengah mereka. Keduapasangan ini banyak belajar dan berkacapada orang-orang yang sudahberpengalaman.

    5. Fase kebahagiaan sejatiKebahagiaan merupakan salah satu

    tujuan perkawinan. Perbedaan bukanlahpenghalang bagi pasangan untuk menititujuan jangka panjang dalam perkawinandan mendapatkan kebahagiaan. Tetapi adajuga keluarga yang menjalani hidup rumahtangga apa adanya, artinya tidak menetapkankebahagiaan sebagai tujuan rumahtangga.Pasangan ini melihat rumah tangga sebagaiamanah, sehingga dijalaninya apa adanya,Karena itu keluarga yang demikian ini tidakmemuat aturan-aturan yang ketat dalamrumahtangga. Apabila kebahagiaan gagaldicapai, anak seringkali dijadikan sebagaialasan untuk mendapatkan kebahagiaan.Walau terjadi perceraian, anak seringkalidijadikan tujuan, karena menurutnya anakadalah masa depan yang harus dijaga.

    B. Faktor-faktor yang MendukungPenyesuaian Perkawinan

    Terdapat berbagai macam faktor yangmendukung keberhasilan pasangan suamiistri melakukan penyesuaian perkawinan.Dari sekian banyak faktor pendukung itu,diantaranya adalah: 1) mereka menginginkankebahagiaan suami istri dalam perkawinanserta menjaga hubungan baik dalamkeluarga terutama anak-anak mereka; 2)kesediaan masing-masing pasangan untuksaling memberi dan menerima cinta denganmemberikan perhatian-perhatian kecil,berusaha meluangkan waktu untuk

    Cinde Anjani & Suryanto

  • 204INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006

    menikmati kebersamaan dengan keluarga;3) cara mengekspresikan afeksinya padapasangan, entah itu mengungkapkan rasasayang secara verbal, mempunyai panggilankhusus pada pasangan atau lewat tindakanseperti membantu mengerjakan tugas rumahtangga. Menurutnya, ekspresi afeksi iniberbeda ketika masa pacaran. Ketikapacaran, masing-masing pasangan sama-sama tertutup dan segan untuk terbukamengenai perasaannya, tetapi setelahmenikah mereka lebih terbuka untukmengungkapkan perasaan; 4) pasangan lebihmenanamkan rasa toleransi, kerukunan,menghormati, menghargai serta memahamipada masing-masing pasangan. Perbedaanagama dalam pernikahan tidak menjadikanmereka terlibat dalam konflik yangberkepanjangan. Masing-masing pasanganmenyadari kapasitas dan peran yang harusdijalankan dalam rumah tangga serta tidakmemaksakan kehendak masing-masing; 5)pasangan menerapkan sikap saling terbukadiantara mereka mengenai hal sekecil apapunterutama menyangkut anak-anak. Bahkansaling kerja sama dalam rumah tanggamereka tanamkan, menjaga kualitaskebersamaan dengan anak-anaknya; 6) selalumenanamkan rasa cinta. Tidak terpikir olehpihak istri saat itu bahwa calon suaminyamempunyai istri selain dirinya. Pasangan initetap melangsungkan pernikahan karenadidasari rasa cinta yang dalam.

    C. Faktor-faktor yang MenghambatPenyesuaian Perkawinan

    Beberapa faktor penghambat dalampenyesuaian perkawinan terjadi itudiantaranya: 1) tidak bisa menerima

    perubahan sifat dan kebiasaan pasangansejak awal pernikahan; 2) begitu juga denganmasalah yang terjadi diantara mereka. Salahsatu pasangan merasa pasangannya tidakmampu menyelesaikan masalah dan tidakada inisiatif untuk menyelesaikannya; 3)Pembagian tugas dalam rumah tangga yangtidak salaing menerima tugas tersebut.Pembagian tugas itu bisa berhubungandengan kepengurusan anak, pengaturankeuangandan kadan campur tangankeluaraga pasangan; 4) adanya campurtangga keluarga yang sangat kuat dalamperkawinan; 5) kembalinya pasangan salingmengukuhkan pendapat dan pemikirannyaseperti sebelum menikah misalanya dalamhal keyakinan agama.

    Penyesuaian pada pasangan suami istrimerupakan hal yang penting dalamperkawinan. Penyesuaian dalam perkawinanakan berjalan terus sejalan dengan perubahanyang terjadi, baik dalam keluarga maupundalam lingkungan. Oleh karena itu, perluusaha untuk mengabadikan perkawinanterutama dalam pembinaan keluarga sehat.Keluarga yang sehat akan mampumenghadapi tantangan yang tidak adahentinya, baik tantangan positif maupunnegatif. Upaya mengabadikan perkawinanini bisa berkembang dengan baik jika diikutidengan kemampuan komunikasi yang sehatdalam keluarga, baik antara suami-istri,maupun anak-anak.

    Mengurus sebuah keluarga tidaklahsemudah mengejapkan mata ataumembalikkan telapak tangan. Perluketekunan, kesetiaan, dan bahkanperjuangan. Perlu pengertian yang besar dari

    Pola Penyesuaian Perkawinan pada Periode Awal

  • 205INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006

    masing-masing pihak yang terlibat. Perlu hatiyang sabar untuk menampung sertamenghadapi setiap persoalan yang datang.Namun kadang banyak keluarga yangsedang dilanda keresahan dan perpisahan.Tampaknya mereka berkumpul dan tinggaldalam satu rumah, namun sesungguhnyamasing-masing dalam rumah itu sedangberjalan sendiri-sendiri.

    Berdasarkan data yang diperoleh,masing-masing pasangan baik suamimaupun istri kaget dengan perubahan sikapyang terjadi pada pasangannya, terutama diawal pernikahan. Rini (2002) menyebutkanbahwa faktor yang mempengaruhipenyesuaian perkawinan adalah persatuandua pribadi yang berbeda, yang di dalamnyaakan banyak terdapat perbedaan yangmuncul. Proses pacaran adalah mekanismeuntuk mempelajari, menganalisis kepribadiandan belajar saling menyesuaikan diri denganperbedaan. Apakah perbedaan tersebutmasih dapat ditolerir atau tidak. Namun,selama masa pacaran orang seringmengabaikan realita sehingga kurang pekaterhadap perbedaan yang ada, bahkan seringberharap bahwa semua itu akan berubahsetelah menikah. Persamaannya darimayoritas subjek disini adalah, subjekmengatakan belum terbiasa menerimaperubahan sikap, sifat maupun perbedaanyang muncul dengan pasangannya di awalpernikahan.

    Kondisi tersebut juga dipengaruhi olehlatar belakang masing-masing pasangan,terutama menyangkut hal yang mendasaripasangan suami istri untuk menikah.Kesamaan latar belakang pernikahan yangterjadi dari masing-masing subjek karena

    kedua belah pihak telah saling mengenal,mengetahui satu sama lain. Perbedaannyaadalah dasar setiap subjek memutuskanuntuk menikah sangat berbeda, entah itukarena desakan orangtua, hanya inginmelegalkan hubungan saja, atau rasa salingcinta diantara keduanya. Hal ini merupakanfaktor penting yang kelak mempengaruhikualitas perkawinan seseorang,mempengaruhi pola interaksi dankomunikasi suami istri, orangtua-anak,mempengaruhi persepsi dan sikap terhadappasangan maupun terhadap perannya (Rini,2002).

    Sehingga kedepannya, baik suamimaupun istri mempunyai pandanganberbeda dalam menyelesaikan masalah yangterjadi, inisiatif penyelesaian masalah,maupun pengambilan keputusan dalamrumah tangga mereka. Perbedaan yangmencolok diantara suami istri, sepertiperbedaan agama, keyakinan, pun turutberpengaruh terhadap perselisihan,pertengkaran yang terjadi maupunpenyelesaian masalah. Masing-masingberpegang teguh pada ajaran yangdipegangnya dan merasa yakin bahwa apayang diyakininya adalah benar. Tetapi, adajuga beberapa pasangan yang menempatkanperbedaan agama dalam perkawinansebagai sesuatu yang harus untuk dihormati,dihargai yang dapat memunculkankerukunan serta rasa toleransi yang tinggi.Sehingga mereka tidak kesulitan dalammenyatukan perbedaan yang ada. StudiBurgess & Cotrell (1939, dalam Dyer 1983)menyatakan bahwa meskipun perselisihanagama hanya memainkan peran kecil dalammembangun rumah tangga, tetapi terdapat

    Cinde Anjani & Suryanto

  • 206INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006

    hubungan positif antara kesamaan agamadan kebahagiaan perkawinan.

    Begitu juga dengan ekspresi afeksimasing-masing pasangan. Mayoritas subjekmengatakan, afeksi tidak selalu ditunjukkandengan ucapan verbal atau sentuhan fisik,tetapi lewat perhatian dan kualitas pasangansuami istri menjaga hubunganperkawinannya. Pada masing-masing subjek,salah satu pasangannya lebih terbuka dalammengekspresikan afeksi. Namun, tidaksemua pasangan memahami dan mengertiketika pasangannya berusaha menunjukkanperhatiannya. Suami istri yang sudah terbiasauntuk tidak menampakkan afeksi akanmengalami kesulitan dalam membangunhubungan yang hangat dan intim, sebabmasing-masing mengartikan perilakupasangannya sebagai indikasi bahwa ia tidakacuh (Hurlock, 2002). Hal ini berpengaruhpada kualitas hubungan pasangan suami istriitu sendiri. Kesamaannya adalah masing-masing pasangan berusaha salingmemberikan perhatian dan kasih sayangnya,tetapi tidak semua pasangan bisa menerimabentuk penghargaan tersebut. Hal yang jauhlebih penting lagi dalam penyesuaianperkawinan yang baik adalah kesanggupandan kemampuan suami istri untukberhubungan mesra, saling memberi danmenerima cinta (Hurlock, 2002).

    Hal tersebut berkaitan erat denganpenyesuaian seksual pada pasangan suamiistri. Masalah penyesuaian seksualmerupakan suatu masalah yang paling sulitdalam perkawinan, karena masalah inimenjadi salah satu penyebab daripertengkaran atau ketidakbahagiaanperkawinan (Hurlock, 2002). Meskipun

    setiap subjek mengakui tidak memilikimasalah dalam kehidupan seksualnya,namun ini bisa saja terjadi. Seperti kehadiranseorang anak. Mungkin ini berpengaruhkecil, tetapi seringkali pasangan suami istriyang telah memiliki anak lebih mencurahkankasih sayangnya kepada anak sehingga tidaklagi memiliki waktu untuk bersama denganpasangan. Kecemasan tentang anak akanmembelokkan perhatian istri dari seksmungkin karena kelelahan dan kekuranganwaktu bersama (Beardsley & Sanford,1994).

    Kebanyakan istri lebih banyak memilikiwaktu untuk anak, sedangkan suami lebihbanyak beraktivitas di luar rumah danberkutat dengan pekerjaannya, sehingga anakpun lebih dekat secara emosional kepadaibunya. Memang, setiap orangtua pasti inginmemberi yang terbaik untuk anaknya danmasing-masing memiliki persepsi yangberbeda pula dalam mengasuh anak.Hampir dalam semalam saja, istri dapatberubah menjadi sangat dewasa.Kedatangan seseorang yang bergantungkepadanya membawa keluar semuakedewasaan yang terpendam. Sayangnya,pengaruhnya tidak sama terhadap suaminya.Bagi pria, memang perannya tidak berubahsecara radikal, namun banyak diantaramereka yang meremehkan peran sebagaiorangtua akibatnya mereka menjadi tidakresponsif secara seksual terhadap istrinya.

    Keuangan pun berpengaruh kuatterhadap penyesuaian perkawinan. Beberapasubjek mengatakan, dalam hal keuanganbiasanya suami lebih menyerahkan semuahal keuangan kepada istrinya dan merasakewajibannya hanyalah mencari uang saja.

    Pola Penyesuaian Perkawinan pada Periode Awal

  • 207INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006

    Banyak suami yang merasa sulit untukmenyesuaikan diri dengan keuangan. Darisini, percekcokan mungkin berkembang bilaistri berharap bahwa suaminya dapatmenangani sebagian tugasnya. Namun di lainhal, suami tidak mampu memenuhi semuakebutuhan rumah tangga dan mengerjakansemua tugasnya. Selanjutnya, bila suami tidakmampu menyediakan barang-barangkeperluan keluarga, maka bisa menimbulkanperasaan tersinggung yang dapatberkembang ke arah pertengkaran (Hurlock,2002)

    Hoffman & Nye (1974) menyorotipenyesuaian perkawinan berdasarkanpembagian tugas rumah tangga antara suamiistri. Wanita biasanya ditugaskan untukmengurus rumah tangga, mengasuh danmerawat anak karena dianggap cocok bagikondisi psikologis dan fisiologis. Laki-lakisebagai pemberi nafkah utama dan kepalakeluarga yang harus dilayani dan dihormatioleh istri. Setiap suami maupun istri tentunyamemiliki beberapa tugas yang sesuai dengankapasitasnya. Namun, subjek dalampenelitian ini mengatakan, tidak semuapasangan mampu melakukan tugas tersebutdengan baik. Alasannya adalah karenadirinya terlalu sibuk dengan kegiatan atauaktivitas di luar rumah, seperti pekerjaanyang menumpuk, kegiatan rutin di luarrumah dan sebagainya. Sehingga, bilamereka tiba di rumah maka masing-masingakan menyerahkan semua tugas dantanggung jawabnya kepada salah satupasangannya. Begitu pula sebaliknya, istriyang seharian berada di rumah merasakeberatan dengan sikap suaminya. Istrimerasa sudah seharian penuh mengurus

    rumah tangga dan sebagai suami seharusnyawajib membantu mengurus rumah tangga.Dari perbedaan pandangan dan pola pikirinilah yang menyebabkan munculnyaperselisihan dan pertengkaran diantaramereka. Menurut Gunarsa (1982) setiappasangan suami istri harus saling ikut sertadalam setiap perubahan yang terjadi melaluipenyelesaian masalah demi masalah,khususnya perubahan dan perkembangansuasana rumah.

    Pendidikan pun turut mempengaruhipola penyesuaian perkawinan padapasangan suami istri. Dyer (1983)menunjukkan, bahwa semakin tinggi tingkatpendidikan pasangan suami istri, makamempunyai kemungkinan lebih besar untukmelakukan penyesuaian perkawinan dansedikit terjadinya perceraian. Hal itu tidaksepenuhnya benar. Mayoritas subjekmemang memiliki tingkat pendidikan tinggi,yaitu S1 dan mereka mampu memegangpembelajaran mengenai pentingnyakebahagiaan hidup berumah tangga, namunada pula beberapa subjek yang tingkatpendidikannya tinggi tetapi perceraian tetapsaja terjadi dalam rumah tangga mereka.yang lebih penting lagi dalam faktor iniadalah kesamaan pendidikan antara suamidan istri, tanpa memandang gradasipendidikan tersebut.

    Keluarga masing-masing pasanganpun memiliki peran dalam kehidupan rumahtangga masing-masing subjek. Setiap subjekjuga memiliki cara yang dijalankan sendiri-sendiri dalam menjaga hubungan dengankeluarga pasangan. Ada yang dapat menjagahubungan baik dengan keluarga pasanganada pula yang tidak mampu menjaga

    Cinde Anjani & Suryanto

  • 208INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006

    hubungan tersebut. Tidak dapat dipungkiri,pengaruh keluarga ini bisa menimbulkanmasalah karena ikatan keluarga besar setiaporangtua yang masih merasa mempunyai hakatas anaknya yang telah menikah. Mertuaataupun orangtua merasa bahwa hak-hakatas anaknya direbut oleh menantunya dansering terjadi perebutan cinta kasih antaramertua dan menantu. Persaingan ini bisameruncing dan bisa menimbulkanpercekcokan (Gunarsa, 1982).

    SIMPULAN DAN SARAN

    Kesimpulan yang dapat ditarik darihasil penelitian ini adalah:1. Pola penyesuaian perkawinan dilakukan

    secara bertahap. Pada fase bulan madupasangan masih menjalani hidup denganpenuh kebahagian, dan hal itu karenadidasari rasa cinta diawal perkawinan.Pada fase pengenalan kenyataan,pasangan mengetahui karakteristik dankebiasaan yang sebenarnya daripasangan. Pada fase krisis perkawinanterjadi proses penyesuaian akan adanyaperbedaan yang terjadi. Apabila suksesdalam menerima kenyataan maka akandilanjutkan dengan suksesnya fasemenerima kenyataan. Apabila pasangansukses mengatasi problema keluargadengan berapatasi dan membuat aturandan kesepakatan dalam rumah tanggamaka fase kebahagiaan sejati akandiperolehnya.

    2. Faktor pendukung keberhasilanpenyesuaian perkawinan mayoritassubjek terletak dalam hal saling memberidan menerima cinta, ekspresi afeksi,

    saling menghormati dan menghargai,saling terbuka antara suami istri. Haltersebut tercermin pada bagaimanapasangan suami istri menjaga kualitashubungan antar pribadi dan pola-polaperilaku yang dimainkan oleh suamimaupun istri, serta kemampuanmenghadapi dan menyikapi perbedaanyang muncul, sehingga kebahagiaandalam hidup berumah tangga akantercapai.

    3. Faktor penghambat yang mempersulitpenyesuaian perkawinan mayoritassubjek terletak dalam hal baik suamimaupun istri tidak bisa menerimaperubahan sifat dan kebiasaan di awalpernikahan, suami maupun istri tidakberinisiatif menyelesaikan masalah,perbedaan budaya dan agama diantarasuami dan istri, suami maupun istri tidaktahu peran dan tugasnya dalam rumahtangga. Hal tersebut tercermin padabagaimana pasangan suami istrimenyikapi perubahan, perbedaan, polapenyesuaian yang dimainkan danmunculnya hal-hal baru dalamperkawinan, yang kesemuanya itu dirasakurang membawa kebahagiaan hidupberumah tangga, sehingga masing-masing pasangan gagal dalammenyesuaikan diri satu sama lain.

    Peneliti menyadari banyak kekuranganyang terdapat dalam penelitian ini. Untukitu, saran yang ingin disampaikan penelitisehubungan dengan penelitian ini adalah:1. Untuk dapat memperoleh gambaran

    yang lebih kompleks bagi peneliti lainyang mungkin tertarik untuk meneliti

    Pola Penyesuaian Perkawinan pada Periode Awal

  • 209INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006

    masalah yang sama dapatmengikutsertakan aspek lainnya, sepertigender, pola komunikasi gunamembedakan secara jelas pandangan,sikap dan perilaku antara suami dan istridalam perkawinan.

    2. Selain itu, tidak lupa bagi penelitiselanjutnya supaya lebih mengamatibeberapa keterbatasan penelitian yangtelah dicantumkan dalam pembahasanpada bab sebelumnya dan yangdilakukan oleh peneliti pendahulunya,supaya dapat dijadikan pedoman danalasan untuk mengembangkan penelitianselanjutnya dengan lebih baik. Mengingatcukup banyak kelemahan danketerbatasan yang dialami oleh penelitipada saat penelitian ini dijalankan.

    3. Interview mendalam juga perludilakukan dalam jangka waktu yanglama, sehingga terbentuk rapport yanglebih baik dan observasi terhadapperilaku subjek di dalam maupun diluarkehidupan rumah tangganya dengantujuan untuk mendapatkan gambaranyang lebih nyata dan lebih lengkapmengenai pola penyesuaian perkawinanpada pasangan suami istri.

    4. Penelitian mengenai penyesuaianperkawinan ini diharapkan dapatmenjadi sebuah wacana dalamkehidupan perkawinan. Bagi beberapapasangan suami istri yang kehidupanrumah tangganya kurang harmonis,dapat menggunakan hasil penelitian inisebagai bahan pertimbangan bahwakeadaan rumah tangga yang kurangharmonis tersebut mungkin berkaitandengan masalah penyesuaian dalam

    perkawinan, sehingga konflik berat yangmengakibatkan perceraian tidak sampaiterjadi dan konflik ringan dapat diatasitanpa kendala berarti.

    5. Hasil penelitian ini dapat dijadikansumber informasi bagi pasangan suamiistri mengenai bagaimana caramelakukan penyesuaian perkawinan,pentingnya penyesuaian dan keikhlasanberumah tangga dan diharapkanpasangan suami istri dapat melakukanpenyesuaian perkawinan yang baikdengan pasangannya

    DAFTAR PUSTAKA

    Hurlock, E.B. (2002). Psikologi Perkembangan5th edition. Erlangga: Jakarta.

    Beardsley, W & Sanford, C. (1994). MembinaHubungan Yang Harmonis (terjemahan).Jakarta: Arcan.

    Clinebell, H.J. & Clinebell, C.H. (2005). TheIntimate Marriage (online). Diakses 28Pebruari 2006 dari http://w w w. i n d o m e d i a . c o m / b p o s t /032005/8/ragam/art-1.htm.

    Dyer, E.D,. (1983). Courtship, Marriage, andFamily: American Style. Illionis: TheDorsey Press.

    Gunarsa, S.D. (1982). Psikologi UntukKeluarga. Jakarta: PT. BPK GunungMulia.

    Hassan, R. (2004, 19 Juni). Usia Lima TahunPerkawinan Rawan? Diakses 28 Pebruari2006 dari http://www.republika.

    Cinde Anjani & Suryanto

  • 210INSAN Vol. 8 No. 3, Desember 2006

    co.id/koran detail. asp?id =194604&kat.id = 311&kat_id1 =&kat_id2 = .

    Hoffman, L.W & Nye, I. (1974). Housband-Wife Relationship dalam Working Mother.California: Boss inc.

    Inisiatif Cerai Banyak Dari Istri (2002, 15Mei). Suara Merdeka. (online). Diakses28 Pebruari 2006 dari http://www.kompas.com.

    Ketika Perkawinan Dilanda Kemelut(2001, 30 Juli). Tabloid Hawa. (online).Diakses 28 Pebruari 2006 dari http://www.wanita.com.

    Kesulitan Ekonomi, Perceraian di BogorMeningkat (2003, 15 Juli). Kompas.(online). Diakses 28 Pebruari 2006 darihttp://www.kompas.com.

    Poerwandari, K. (2001). Pendekatan KualitatifUntuk Penelitian Perilaku Manusia.Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi Uni-versitas Indonesia.

    Perceraian di Jember Terbanyak Ketiga Se-Jawa Timur (2001, 11 April).Kompas. (online). Diakses 28 Pebruari2006 dari http://www.kompas.com.

    Rini, J.F. (2002, 15 Mei). Suara Merdeka.(online). Diakses 28 Pebruari 2006 darihttp://www.kompas.com.

    Wismanto, B. (2005, 22 Agustus). KepuasanPerkawinan Diperoleh Dari KomitmenPerkawinan. Diakses 28 Pebruari 2006dari http://www.unika.ac.id/warta/22082005.htm.

    Yin, R.K. (2002). Studi Kasus (Desain danMetode). Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada.

    Pola Penyesuaian Perkawinan pada Periode Awal