05 BAB III

30
40 BAB TIGA PERSPEKTIF YUSUF QARDHAWI TENTANG BANK ASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN RADHA’AH A. Pandangan Ulama Kontemporer tentang Bank ASI 1. Pendapat Ulama Kontemporer yang Tidak Membenarkan Bank ASI Diantara ulama kontemporer yang tidak membenarkan adanya bank air susu adalah Dr. Wahbah Az-Zuhaily dan juga Majma’ Fiqih Islami. Dalam kitab Fatawa Mua`sirah, beliau menyebutkan bahwa mewujudkan institusi bank susu tidak dibolehkan dari segi syari’ah. Demikian juga dengan Majma’ Fiqih Islami melalui Badan Muktamar Islam yang diadakan di Jeddah pada tanggal 22-28 Desember 1985/10-16 Rabiul Akhir 1406 H. Lembaga ini dalam keputusannya menentang keberadaan bank air susu ibu di seluruh negara Islam serta mengharamkan pengambilan susu dari bank tersebut berdasarkan disiplin ilmu Fikih dan perbincangan mendalam yang berlangsung dalam 2 sesi dengan tiga alasan sebagaimana yang telah disebutkan pada BAB SATU sebelumnya. 1 Bahkan beberapa pendapat dari Dosen Universitas Al-Azhar Cairo juga tidak membenarkan adanya Bank ASI. Alasan mereka itu lebih condong kepada pendapat yang menyatakan tidak boleh karena air susu tersebut merupakan bagian dari pada 1 Syaikh ‘Abdul ‘Azis Ibn Fauzan, Bunuk al-Hillib, di akses pada tanggal 12 Juni 2010 dari http://www.islammessage.com/articles.aspx?cid=1&acid=141&aid=1494

Transcript of 05 BAB III

Page 1: 05 BAB III

40

BAB TIGA

PERSPEKTIF YUSUF QARDHAWI TENTANG BANK ASI DAN

HUBUNGANNYA DENGAN RADHA’AH

A. Pandangan Ulama Kontemporer tentang Bank ASI

1. Pendapat Ulama Kontemporer yang Tidak Membenarkan Bank ASI

Diantara ulama kontemporer yang tidak membenarkan adanya bank air susu

adalah Dr. Wahbah Az-Zuhaily dan juga Majma’ Fiqih Islami. Dalam kitab Fatawa

Mua`sirah, beliau menyebutkan bahwa mewujudkan institusi bank susu tidak

dibolehkan dari segi syari’ah. Demikian juga dengan Majma’ Fiqih Islami melalui

Badan Muktamar Islam yang diadakan di Jeddah pada tanggal 22-28 Desember

1985/10-16 Rabiul Akhir 1406 H. Lembaga ini dalam keputusannya menentang

keberadaan bank air susu ibu di seluruh negara Islam serta mengharamkan

pengambilan susu dari bank tersebut berdasarkan disiplin ilmu Fikih dan

perbincangan mendalam yang berlangsung dalam 2 sesi dengan tiga alasan

sebagaimana yang telah disebutkan pada BAB SATU sebelumnya.1

Bahkan beberapa pendapat dari Dosen Universitas Al-Azhar Cairo juga tidak

membenarkan adanya Bank ASI. Alasan mereka itu lebih condong kepada pendapat

yang menyatakan tidak boleh karena air susu tersebut merupakan bagian dari pada

1 Syaikh ‘Abdul ‘Azis Ibn Fauzan, Bunuk al-Hillib, di akses pada tanggal 12 Juni 2010 dari

http://www.islammessage.com/articles.aspx?cid=1&acid=141&aid=1494

Page 2: 05 BAB III

41

manusia dan manusia itu dimuliakan seluruh anggota badannya dan bukanlah suatu

hal yang mulia melakukan penjualan dan pembelian air susu manusia walaupun

agama telah membolehkan untuk menyewa seorang penyusu dan mengambil upah

kepadanya. Hal ini disebabkan karena menjaga itu adalah dasar pada bolehnya

menyewa penyusu sedangkan susu itu tabi’ dan bukan asal. Bukankah telah kita

ketahui bersama bahwa hubungan susuan itu haram nikah? Dan dengan menjual susu

manusia itu akan membuka jalan kerusakan yang besar karena kita tidak bisa

membatasi penjual dan pembeli sehingga yang terjadi kita tidak mengenal penyusu

dan yang menyusu maka terjadilah kerusakan dalam pernikahan diantara orang Islam,

sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan. Selain itu, Hukum Syara’ menyatakan

bahwa menolak kerusakan lebih didahului daripada mencari kemaslahatan.2

2. Pendapat Ulama Kontemporer yang Membenarkan Adanya Bank ASI

Menurut Yusuf Qardhawi, Bank ASI didukung oleh Islam karena mempunyai

tujuan yang baik untuk membantu orang lemah, terlebih pada bayi yang prematur

bahkan bila perlu susu dibeli jika sang donatur tidak berkenan memberikan susunya.

Memberikan pertolongan tersebut menurut Yusuf Qardhawi sesuai dengan nilai-nilai

Islam, karena sangat membantu para bayi yang terlahir dan kurang beruntung dengan

tidak mendapatkan ASI.3

2 Lajnah Min Asatizihi Qismi al-Fiqh al-Maqarin, Qadhaya …, hlm. 241 3 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Islam Kontemporer, Jilid II, terj. Abdul Hayi al-Kattani dkk

(Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 783

Page 3: 05 BAB III

42

Dalam pendapatnya, Yusuf Qardhawi mengemukakan beberapa poin, antara

lain:

1. Para ulama fiqih yang berbeda pendapat dalam masalah radha’ah terbagi menjadi

dua golongan, yaitu:

a) Kelompok ulama yang memperluas pengharaman, yaitu mereka yang lebih

berpijak pada kehati-hatian dalam menghukumi hukum haram. Ulama ini

berpendapat dalam beberapa hal, di antaranya:

1) Sedikit maupun banyaknya susuan menimbulkan hukum mahram;

2) Persusuan terjadi tanpa mengenal umur meski dalam usia 40 tahun;

3) Persusuan tidak harus dilakukan dengan menetek;

4) Hukum mahram tetap ada, meskipun susu berasal dari wanita yang telah

mati;

5) Terdapat ulama yang mengatakan bahwa dua anak yang menyusu air susu

kambing yang sama, tetap saja menimbulkan hukum mahram.

b) Kelompok ulama yang mempersempit pengharaman, yaitu pendapat yang telah

disampaikan oleh Imam Lais bin Sa’id yang mengambil riwayat dari Ahmad

yang merupakan pendapat Mazhab Ibnu Hazm bahwa persususan hanya dapat

terjadi dengan menetek langsung dari puting sang ibu. Hal itu dilihat dari

kejelasan arti pada lafadz radha’ah, ardha'athu-turdhi'uhu-irdha'an. Kelompok

ulama ini tidak setuju dengan kelompok pertama karena sifat ‘ummumah tidak

Page 4: 05 BAB III

43

bisa timbul antara manusia dan hewan yang merupakan makanan dan

tumpangan mereka.4

2. Kadar susuan yang menjadikan haramnya perkawinan

a) Persusuan tidak harus terjadi dalam hal penumbuhan daging dan tulang;

Yusuf Qardhawi tidak sependapat dengan hadis yang digunakan Ibnu

Qudamah untuk menguatkan pendapat-pendapat jumhur bahwa persusuan yang

dianggap menyusu adalah persusuan yang menumbuhkan daging dan

menguatkan tulang. Berdasarkan hadis Ibnu Mas’ud:

�� وأ��� ا������ إ�� �� �د �ل � ر��ع إ� �� � ا�� )5 روا! أ� داود(

Artinya: “Dari Ibn Mas’ud berkata: “Bahwa tiada susuan kecuali susuan

yang dapat menguatkan tulang dan menumbuhkan daging” (HR.

Abi Daud)

Menurutnya, jika ‘illat susuan terletak pada menumbuhkan daging dan

menguatkan tulang dengan cara apa pun maka sama seperti halnya tranfusi

darah yang dilakukan oleh seorang wanita pada seorang anak akan timbul

hukum mahram karena darah lebih cepat dibandingkan dengan ASI dalam hal

menumbuhkan daging dan menguatkan tulang.6

4 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa…, hlm. 418-419 5 Al-Hafiz Abi Daud Sulaiman Ibn al-Asy’as as-Sajastaniy, Sunan Abi Daud, Juz II, (Beirut:

Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), hlm. 88

6 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa…, hlm. 785-786

Page 5: 05 BAB III

44

b) Wajur dan sa’ut tidak menimbulkan kemahraman;

Hukum mahram dapat timbul akibat penyusuan dengan menuangkan air

susu melalui hidung (sa’ut) yang menurut jumhur ulama merupakan jalan yang

membatalkan puasa, jadi menuangkan air susu ke tenggorokan melalui mulut

(wajur) sama halnya dengan menyusu. Menurut Yusuf Qardhawi tidak

demikian, karena proses sa’ut sama saja dengan memasukkan susu melalui luka

pada tubuh, hal itu sejalan dengan pendapat Abu Bakar, Mazhab Daud, dan

perkataan Ata' al-Khurasaniy sehingga hal ini bukan disebut penyusuan.7

Menurut Yusuf Qardhawi, wajur tidaklah menimbulkan hukum mahram

dan tidak pula mengharamkan perkawinan jika si anak diberi minum air susu si

perempuan yang dicampur dengan obat karena yang demikian itu bukan

penyusuan sebab penyusuan itu ialah yang dihisap melalui payudara. Hal ini

sesuai dengan pendapat Lais bin Sa’id, Abu Sulaiman yakni Daud, Imam Ahli

Zahir dan para Ahli Zahir.

Selain Yusuf Qardhawi, yang menghalalkan bank susu adalah Al-Ustadz

Asy-Syeikh Ahmad Ash-Shirbasi, ulama besar Al-Azhar Mesir. Beliau

menyatakan bahwa hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu

harus melibatkan saksi dua orang laki-laki, atau satu orang laki-laki dan dua

orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki. Bila tidak ada saksi

7 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa…, hlm. 785

Page 6: 05 BAB III

45

atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan

kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut.8

Pendapat Yusuf Qardhawi dalam hal ini senada dengan pendapat Ibnu

Hazm yang tidak menerima qiyas jumhur ulama. Menurut Ibnu Hazm, qiyas

yang dipakai jumhur ulama adalah qiyas yang batal. Meskipun qiyas tersebut

dianggap benar, maka tetap mengandung unsur batal. Dilihat dari arti

penyusuan, pada dasarnya dapat dipahami bahwa persusuan yang dilakukan dari

air susu kambing yang sama, serupa juga dengan persusuan yang dilakukan

pada air susu seorang wanita, karena kedua model penyusuan tersebut

mencakup dalam hal penyusuan dengan penyuntikan, melalui hidung dan

melalui telinga. Sedangkan dalam hal ini, jumhur ulama tidak menghukumi

timbulnya hukum mahram terhadap persusuan pada selain wanita, sehingga

terlihat kontradiksi qiyas tersebut.9

Menurut Ibnu Hazm, pendapat ulama yang mengatakan bahwa hujjah

timbulnya hukum mahram adalah karena hilangnya rasa lapar yang dapat

terpenuhi dengan cara pemberian minuman dan makanan yang didasarkan pada

hadis:

8 Syaikh ‘Abdul ‘Azis Ibn Fauzan, Bunuk al-Hillib, di akses pada tanggal 12 Juni 2010 dari

http://www.islammessage.com/articles.aspx?cid=1&acid=141&aid=1494

9 Ibnu Hazm, al-Muhalla bi al-Asar, Juz X, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1984) hlm. 185-186

Page 7: 05 BAB III

46

روا! (��� ',�ل ا��%ن إ*�()� �� ا�%���" '&�$� ا�%���" �� ا�$#��"

����(10

Artinya: Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Perhatikan

saudara laki-laki kalian, karena saudara persusuan itu akibat

kenyangnya menyusu” (HR. Muslim)

Hal tersebut tidak dapat dijadikan hujjah berdasarkan dua hal, yaitu:

1. Makna hilangnya rasa lapar tidak terjadi dalam penyusuan melalui mulut

karena bentuk penyusuan ini tidak dapat menghilangkan rasa lapar.

2. Hadis tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah menghukumi mahram dalam

persusuan yang dilakukan hanya karena adanya rasa lapar. Rasulullah tidak

mengharamkan (perkawinan) dengan selain ini, sehingga tidak ada

pengharaman karena cara-cara lain untuk menghilangkan rasa lapar seperti

misalnya makan, minum, persusuan melalui mulut, dan lain sebagainya.

Melainkan hanya disebut radha’ah saja.11

c) Sifat keibuan (ummumah) merupakan ‘illat hukum mahram pada susuan.

Menurut Yusuf Qardhawi ‘illat dari timbulnya hukum mahram

persusuan terletak pada sifat ummumah (keibuan) yang dalam bentuk verbal

hanya terjadi dengan menghisap puting secara langsung. Keibuan yang

10 Abi Husain Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qusairy an-Nisaburiy, Sahih Muslim, Juz IX, (Beirut:

Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994) hlm. 29 11 Ibnu Hazm, al-Muhalla…, hlm. 187

Page 8: 05 BAB III

47

ditegaskan dalam surah an-Nisa': 23 tidak terbentuk semata-mata karena

diambilkan air susunya, tetapi karena menghisap payudaranya dan selalu lekat

padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak.

Dari keibuan ini muncullah persaudaraan sepersusuan. Keibuan disini

merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain itu mengikutinya. Pendapat

Yusuf Qardhawi sejalan dengan Ibnu Hazm yang menganggap bahwa

persususan hanya dapat terjadi dengan menetek langsung dari puting sang ibu.

Hal itu dilihat dari kejelasan arti pada lafaz radha’ah: ardha'athu-turdhi'uhu-

irdha'an, yang berarti menyusui. Tidaklah dinamakan radha'ah dan radha' atau

ridha’ (menyusu) kecuali jika anak yang menyusu itu mengambil langsung

payudara wanita yang menyusuinya dengan mulutnya.

d) Hukum meragukan (syak) dalam radha’ah

Menurut Yusuf Qardhawi, pendapat jumhur yang mensyaratkan

beberapa hal dalam penyusuan dan pengisapan seperti ketentuan wanita yang

menyusui menyebabkan wanita yang disusui oleh anak tersebut tidak diketahui.

Berapa kadar air susunya yang diminum oleh anak tersebut? Apakah lima kali

susuan? Apakah sebanyak yang dapat mengenyangkan? Dan apakah air susu

yang sudah dicampur dengan bermacam-macam air susu lain hukumnya sama

dengan air susu murni? Manakah yang lebih dominan? Semua itu menimbulkan

keraguan dalam hal persusuan sehingga tidak menyebabkan hukum mahram.12

12 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa…, hlm. 790

Page 9: 05 BAB III

48

B. Metode Istinbat Hukum Yusuf Qardhawi tentang Bank ASI terhadap

Hukum Radha’ah

Dalam memberikan putusan hukum, Yusuf Qardhawi memakai dua metode

ijtihad, yaitu:

1. Metode Ijtihad Tarjih Intiqa’i (selektif), yaitu memilih satu pendapat dari

beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fiqih Islam yang penuh

dengan fatwa dan keputusan hukum dengan tidak membatasi satu mazhab,

melainkan beberapa mazhab, sehingga dapat dipilih pendapat yang terkuat, dalil,

dan alasannya serta kesesuaiannya dengan kaidah tarjih, diantaranya:

a) Hendaknya pendapat relevan dengan kehidupan zaman sekarang;

b) Hendaknya mempunyai sifat lemah lembut dan kasih sayang kepada umat

manusia;

c) Hendaknya lebih mendekati kemudahan oleh hukum Islam;

d) Hendaknya lebih memprioritaskan untuk merealisasikan maksud-maksud

syara’, kemaslahatan manusia dan menolak bahaya bagi mereka.13

Adapun faktor lain yang memengaruhi Ijtihad Tarjih Intiqa’i (selektif)

menurut Yusuf Qardhawi adalah desakan zaman dan kebutuhannya, sehingga

wajib untuk memerhatikan realita, kemudahan, dan keringanan dalam hukum

islam yang bersifat cabang (furu’) dan praktis. Dituntut juga agar selalu

13 Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, (Jakarta: Restu Ilahi, 2004), hlm. 23-24

Page 10: 05 BAB III

49

memerhatikan darurat halangan dan kondisi-kondisi pengecualian hukum14

sebagai pengamalan dari petunjuk al-Qur’an:

� ا. �)� ا�/%/ %� )١٨٥:ا��,%ة(�0%و� /%/� �)� ا�

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki

kesukaran bagimu”(al-Baqarah:185)

Sunnah Rasul:

�; ر� ا. �:7 �� ا�:� 8�9 ا. ��70 و��6 �ل /�%وا و�( �%وا و�� أ

15)�?>< ��70(%وا و�=%وا و� (:>

Artinya: “Dari Anas ra. dari Nabi Saw bersabda, “Permudahkanlah mereka,

jangan engkau persulit dan berilah mereka kabar gembira serta

jangan engkau buat lari” (Muttafaqu ‘alaih)

2. Metode Ijtihad Ibda’i Insya’i, yaitu pengambilan konklusi hukum baru dari suatu

permasalahan yang belum pernah dibahas ulama dahulu baik persoalan lama atau

baru. Hal ini meliputi kasus lama yang juga dibahas oleh fuqaha, namun perlu

pendapat baru disamping pendapat yang sudah ada, jadi bukan baru sama sekali.

Dalam ijtihad kontemporer, Yusuf Qardhawi menentukan beberapa aturan

pokok di antaranya:

14 Yusuf Qardhawi, Ijtihad…, hlm. 42 15 Imam Abu Husein Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi an-Nisaburi, Tarjamah Shahih…, hlm.

29-30

Page 11: 05 BAB III

50

1. Tidak ada ijtihad tanpa mencurahkan kemampuan. Pencurahan tersebut adalah

mencurahkan segenap potensi dan kemampuan dalam mendapatkan hukum-

hukum Islam dengan cara Istinbat (pengambilan kesimpulan hukum) dalam

meneliti dalil zanni dan menjelaskan kedudukan dalil tersebut, lalu

membandingkannya apabila terjadi pertentangan dengan menggunakan kaidah

ta’addul dan tarjih.

2. Tidak ada ijtihad dalam masalah-masalah yang qat’i. Menurutnya, tidak boleh

berijtihad dalam masalah-masalah qat‘i, seperti kewajiban menunaikan puasa

atau haramnya minuman keras. Jangan sampai terjebak mengubah ayat yang

muhkam (jelas) menjadi mutasyabbih (samar), mengubah qat’i ke zanni, sebab

dalil zanni nantinya akan kembali ke qat’i;

3. Tidak menjadikan zanni ke qat‘i, hukum yang qat’i harus dipertahankan

keqat’iannya dan yang zanni dipertahankan kezanniannya;

4. Menghubungkan antara fiqih dan hadis. Perlu diadakan usaha untuk menyatukan

antara fiqih dan hadis agar lebih diperhatikan untuk melihat dan menganalisa

‘illat hukum, kaidah dan tujuan Islam sebagai akar pokok yang lama dalam

khazanah keislaman;

5. Waspada agar tidak tergelincir oleh tekanan realita. Ijtihad bukan merupakan

upaya yang memberi legitimasi terhadap realita yang ada, yang kemudian

menarik nash-nash keluar dari lingkup pengertian nash yang sebenarnya untuk

mendukung realita tersebut;

Page 12: 05 BAB III

51

6. Mengantisipasi pembaharuan yang bermanfaat, yaitu dapat memilah mana hal-hal

usul (pokok) dan mana yang furu’ (cabang) dan membedakan mana yang masih

global (kulli) dan parsial (juz’i), mana yang tujuan dan mana yang instrumen.

Atas dasar inilah boleh mengambil sistem produk Timur atau Barat selama sistem

tersebut dapat merealisasikan kemaslahatan dan tidak bertentangan akidah Islam

yang seharusnya tidak boleh dilanggar;

7. Tidak mengabaikan semangat zaman dan kebutuhannya, sebab fatwa dapat

berubah menurut zaman, tempat, adat istiadat, dan kondisi. Hal itu sebagaimana

Syafi’i mengatakan dalam qaul qadim dan jadidnya;

8. Adanya transformasi menuju ijitihad kolektif (jama’i), ijtihad individu dianggap

tidak cukup, akan tetapi hendaknya dilakukan transformasi dari ijtihad individu

ke ijtihad kolektif sebagaimana yang dilakukan para sahabat. Apabila terjadi

perbedaan pendapat maka pendapat mayoritas yang lebih kuat harus dipegang

selama tidak ada dalil lain yang menguatkan.

9. Bersikap lapang dada terhadap kekeliruan mujtahid.16

Dalam permasalahan Bank ASI, Yusuf Qardhawi tidak memilih pendapat

empat mazhab dan lebih memilih pendapat Lais bin Sa’id dan Daud bin Ali serta

pengikut dari golongan Zahiriyyah yaitu Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa

penyusuan yang dianggap benar adalah dengan cara menghisap puting secara

langsung sekaligus menyusu, bukan dengan cara memasukkan air susu langsung ke

16 Yusuf Qardhawi, Ijtihad…, hlm. 131-141

Page 13: 05 BAB III

52

tenggorokan atau lewat telinga dan sebagainya. Dengan alasan bahwa cara seperti itu

tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dalam

kata ar-radha’, ar-radha’ah dan al-irdha’ yang menyebabkan keharaman. Selain itu,

terdapat alasan yang melemahkan pendapat yang mengharamkan Bank ASI

sebagaimana yang termuat dalam buku-buku mazhab Hanafi diantaranya keraguan

dalam hal identitas pemberi ASI, intensitas penyusuan, dan percampuran air susu.17

Selain itu, dalam mendukung pendirian Bank ASI, Yusuf Qardhawi

mempergunakan metode pertengahan dan seimbang antara golongan yang berbeda

pendapat, sebagaimana yang dikatakan Yusuf Qardhawi:

“Manhaj (metode) yang kami pilih dalam masalah-masalah ini ialah pertengahan

dan seimbang antara golongan yang memberat-beratkan dan yang melonggar-

longgarkan”

�:�آ� أ�" و6@� B C�D١٤٣:ا��,%ة(وآ(

Artinya: "Dan demikian pula Kami jadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan."

(al-Baqarah: 143)

Allah memfirmankan kebenaran dan Dia-lah yang memberi petunjuk ke jalan yang

lurus.18

Maksud pertengahan (wasatiyyah) dan seimbang (tawazun) tersebut adalah

sikap pertengahan dan sikap seimbang antara dua pendapat yang berlawanan dan

17 Yusuf Qardhawi, Ijtihad…, hlm. 24 18 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa…., hlm. 792

Page 14: 05 BAB III

53

bertentangan dimana eksistensi kedua pendapat tersebut masih dipakai tanpa

melanggar dan mendzalimi salah satu atau kedua pendapat tersebut. Masing-masing

pendapat kemudian diberikan hak dan tempat sesuai porsinya secara adil dengan

timbangan yang lurus (tanpa mengurangi atau melebihi).19

Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa pendapat yang sesuai dalam

permasalahan Bank ASI adalah pendapat Ibnu Hazm yaitu pendapat yang sejalan

dengan zahir nash yang menyandarkan semua hukum kepada irdha' (menyusui) dan

radha' atau ridha' (menyusu). Hal ini sejalan dengan hikmah pengharaman karena

penyusuan itu, yaitu adanya rasa keibuan yang menyerupai rasa keibuan karena

nasab, yang menumbuhkan rasa kekanakan (sebagai anak), persaudaraan (sesusuan),

dan kekerabatan-kekerabatan lainnya. Yusuf Qardhawi menganggap bahwa tidak ada

proses penyusuan melalui Bank ASI. Yang melalui Bank ASI itu hanyalah melalui

cara wajar seperti makan, minum, suntikan dan sebutan lainnya.20

Dapat dipahami bahwa alasan Yusuf Qardhawi mendukung didirikannya

Bank ASI dikarenakan beberapa hal:

1. Tidak terdapat alasan yang melarang diadakannya Bank ASI selama hal itu

ditujukan untuk kemaslahatan manusia;

2. Mendahulukan kemaslahatan umum terlebih dahulu (dalam hal ini adalah

adanya maslahah dalam pendirian Bank ASI bagi masyarakat umum), karena

19 Yusuf Qardhawi, Sistem Pengetahuan Islam, (Jakarta: Restu Ilahi, 2004), hlm. 249-250

20 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa …,hlm. 789

Page 15: 05 BAB III

54

terkadang sifat kehati-hatian dalam pengambilan hukum ihtiyat menjadikan

hukum agama sebagai himpunan “kehati-hatian” yang jauh dari ruh

kemudahan serta kelapangan yang menjadi tempat berpijaknya agama Islam.

Akhirnya, pendapat Ibnu Hazm dipilih sebagai pendapat yang tepat karena

mempunyai nilai kemudahan bagi umat manusia.

C. Implikasi Teori Dan Analisa Pandangan Yusuf Qardhawi tentang Bank ASI

terhadap Hukum Radha’ah

Yusuf Qardhawi tidak memilih pendapat empat mazhab dan lebih memilih

pendapat Lais bin Sa’id dan Daud bin Ali serta pengikut dari golongan Zahiriyyah

yaitu Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa penyusuan yang dianggap benar adalah

dengan cara menghisap puting secara langsung sekaligus menyusu, bukan dengan

cara memasukkan air susu langsung ke tenggorokan atau lewat telinga dan

sebagainya. Dengan alasan bahwa cara seperti itu tidak sesuai dengan apa yang

dimasudkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dalam kata ar-radha’, ar-radha’ah dan

al-irdha’ yang menyebabkan keharaman.

Hal ini sejalan dengan hikmah pengharaman karena penyusuan itu, yaitu

adanya rasa keibuan yang menyerupai rasa keibuan karena nasab, yang

menumbuhkan rasa kekanakan (sebagai anak), persaudaraan (sesusuan), dan

kekerabatan-kekerabatan lainnya. Sehingga tidak ada proses penyusuan yang

menimbulkan hukum mahram antara bayi dan wanita yang menyumbang air susunya

Page 16: 05 BAB III

55

melalui Bank ASI karena yang melalui Bank ASI itu hanyalah melalui cara wajar

seperti makan, minum, suntikan, dan sebutan lainnya.21

Yusuf Qardhawi menunjukkan bahwa dasar keharaman yang diletakkan

agama bagi penyusuan adalah ibu yang menyusukan (timbulnya sifat ummumah),

karena sifat keibuan tidak terbentuk semata-mata karena diambilkan air susunya,

tetapi karena menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan kasih

sayang ibu dan ketergantungan anak. Keibuan merupakan asal (pokok), sedangkan

yang lain itu mengikutinya.

Menurut Yusuf Qardhawi, adalah merupakan suatu keharusan untuk merujuk

pada lafaz yang digunakan al-Qur’an. Makna yang digunakan telah jelas dan tegas

yaitu bermakna menghisap dari payudara dan menelan secara perlahan air susunya,

bukan sekedar meminum dengan cara apapun walau atas pertimbangan manfaat.22

)٢٣:ا�:��ء(وأ��H()� ا�G( أر� :)� وأ*�ا()� �� ا�%���"

Artinya: Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan

(an-Nisa’: 23)

Menurut Yusuf Qardhawi, dalam ayat ini Allah dan Rasul-Nya tidak

mengharamkan nikah kecuali karena irdha' (menyusui), yaitu kecuali jika wanita itu

meletakkan susunya ke dalam mulut bayi yang menyusu. Dalam qiyas ishtilahi lafaz

ardha'athu-turdhi'uhu-irdha'an berarti menyusui. Tidaklah dinamakan radha'ah dan

21 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa …., hlm. 789 22 Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. II, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 375

Page 17: 05 BAB III

56

radha' atau ridha’ (menyusu) kecuali jika anak yang menyusu itu mengambil

langsung payudara wanita yang menyusuinya dengan mulutnya, lalu menghisapnya.

Pendapat Yusuf Qardhawi dalam hal ini senada dengan pendapat Ibnu Hazm

yang tidak menerima qiyas jumhur ulama. Menurut Ibnu Hazm, qiyas yang dipakai

jumhur ulama merupakan qiyas yang batal. Dilihat dari arti penyusuan, pada dasarnya

dapat dipahami bahwa persusuan yang dilakukan dari air susu kambing yang sama,

serupa juga dengan persusuan yang dilakukan pada air susu seorang wanita, karena

kedua model penyusuan tersebut mencakup dalam hal penyusuan dengan

penyuntikan, melalui hidung dan melalui telinga. Sedangkan dalam hal ini, jumhur

ulama tidak menghukumi timbulnya hukum mahram terhadap persusuan pada selain

wanita, sehingga terlihat kontradiksi qiyas tersebut.23

Menurut Ibnu Hazm, pendapat ulama yang mengatakan bahwa hujjah

timbulnya hukum mahram adalah hilangnya rasa lapar yang dapat terpenuhi dengan

pemberian minum dan makan yang didasarkan pada hadis:

24 )روا! ����(� ا�%���" '&�$� ا�%���" �� ا�$#��" ��� ',�ل ا��%ن إ*�()� �

Artinya: “Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Perhatikan

saudara laki-laki kalian, karena saudara persusuan itu akibat

kenyangnya menyusu” (HR. Muslim)

23 Ibnu Hazm, al-Muhalla …, hlm. 185-186

24 Abi Husain Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qusairy an-Nisaburiy, Sahih Muslim, Juz IX, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994) hlm. 29

Page 18: 05 BAB III

57

Menurutnya, hal tersebut tidak dapat dijadikan hujjah berdasarkan dua hal,

yaitu:

1. Makna hilangnya rasa lapar tidak terjadi dalam penyusuan melalui mulut

karena bentuk penyusuan ini tidak dapat menghilangkan rasa lapar.

2. Hadis tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah menghukumi mahram dalam

persusuan yang dilakukan hanya karena adanya rasa lapar. Rasulullah tidak

mengharamkan (perkawinan) dengan selain ini, sehingga tidak ada

pengharaman karena cara-cara lain untuk menghilangkan rasa lapar seperti

misalnya makan, minum, persusuan melalui mulut, dan lain sebagainya.

Melainkan hanya disebut radha’ah saja.25

Yusuf Qardhawi menilai hadis yang digunakan Ibnu Qudamah yaitu hadis

yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud:

�� وأ��� ا����: ( ا�:� 8�9 ا. ��70 و��6 �� روا! ) (� ر��ع إ� �� أ�=K ا�

26) داودأ��

Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud ra. dari Nabi Saw: “(Tidak ada penyusuan kecuali

yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging” (HR. Abi Daud)

Yusuf Qardhawi beranggapan bahwa jika ‘illat susuan terletak pada

menumbuhkan daging dan menguatkan tulang dengan cara apapun, maka tranfusi

25 Ibnu Hazm, al-Muhalla …,hlm. 187 26 Al-Hafiz Abi Daud Sulaiman Ibn al-Asy’as as-Sajastaniy, Sunan Abi Daud, Juz II, (Beirut:

Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996) hlm. 88

Page 19: 05 BAB III

58

darah yang dilakukan oleh seorang wanita pada seorang anak akan menimbulkan

hukum mahram. Hal ini dikarenakan darah lebih cepat dibandingkan ASI dalam

menumbuhkan daging dan menguatkan tulang, sehingga masih menimbulkan

keraguan, sedangkan hukum tidak dapat dipastikan dengan dugaan-dugaan karena

persangkaan adalah sedusta-dustanya perkataan dan persangkaan tidak berguna

sedikitpun untuk mencapai kebenaran.27

Akan tetapi, menurut al-Kasaniy, makna ridha’ (persusuan) lebih luas dari apa

yang telah disebutkan tadi, makna menyusui adalah meminum ASI bagaimanapun

caranya. Kata ridha’ tidak terbatas pada menyusui melalui payudara saja, bahkan

orang Arab berkata “yatimun radhi’un” seorang anak yatim meminum susu.

Walaupun yang diminum itu adalah susu sapi atau kambing.28

Di sisi lain, dalam menilai dapatkah hikmah dijadikan sebagai ‘illat hukum,

para ulama berbeda pendapat:

1) Boleh secara mutlak, pendapat ini diperkuat oleh Imam ar-Razi, al-Baidawi, dan

Ibn al-Hajib;

2) Tidak boleh secara mutlak, dan ini merupakan pendapat yang menjadi pegangan

mayoritas ulama;

3) Terdapat perincian (tafsili), apabila hikmah dari hukum tersebut berupa sifat yang

jelas, dan bisa dibatasi, maka boleh menjadikannya sebagai ‘illat . Sedangkan jika

27 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa…, hlm. 786 28 Abi Bakar Ibnu Mas’ud al-Kasaniy, Badai’ as-Sanai’, Juz.IV, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm.

11-12

Page 20: 05 BAB III

59

hikmah tersebut samar, tidak jelas, dan tidak bisa dibatasi, maka hikmah tersebut

tidak dapat dipakai sebagai ‘illat . Pendapat ini dianut oleh al-Amidi. Contohnya

adalah kesulitan (masyaqqah) yang merupakan hikmah diperbolehkannya

melakukan qashar shalat bagi yang bepergian.29

Dilihat dari pendapat-pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa pendapat yang

banyak dipakai adalah tidak boleh menggunakan hikmah secara mutlak untuk

dijadikan ‘illat hukum. Bila dilihat dari hal ini, maka adanya hikmah yang terkandung

dalam sifat ummumah yang dijadikan ‘illat dalam persusuan tidak dapat dijadikan

‘illat hukum, karena merupakan hikmah dari persusuan.

Selain itu, hadis mempunyai fungsi terhadap nash al-Quran. Hadis

memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang masih samar dalam al-Qur’an.

Terkadang sunnah datang mentakhsis ayat-ayat al-Qur’an, yaitu menjelaskan bahwa

yang dimaksud Allah adalah sebagian dari cakupan lafaz umum itu, bukan

seluruhnya. Sunnah juga berfungsi sebagai taqyid (membatasi) lafaz mutlak dalam al-

Qur’an. Sunnah bahkan dapat memperluas maksud dari sesuatu yang terdapat dalam

al-Qur’an dengan membuat aturan yang bersifat teknis atas suatu kewajiban.30

Yang dalam hal ini jumhur ulama’ berpendapat bahwa petunjuk nash hadis

yang menunjukkan bahwa persusuan timbul karena hilangnya rasa lapar dan hadis

yang menunjukkan bahwa persusuan yang menimbulkan hukum mahram adalah

29 Al-Amidi, al-Ihkam fi usul al-Ahkam,Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 12 30 Firdaus, Ushul Fiqih Metode Mengkaji Hukum Islam Secara Komprehensif, Jakarta: Zikrul

Hakim, 2004), hlm. 41

Page 21: 05 BAB III

60

persusuan yang menghilangkan rasa lapar, menumbuhkan daging, dan menguatkan

tulang menjadi muqayyad pada persusuan dalam kemutlaqan nash dalam surah an-

Nisa’ ayat 23. Oleh karena itu, menurut ulama mazhab empat terjadinya radha’ah

tidak harus melalui penyedotan pada puting susu, namun pada sampainya air susu

pada lambung bayi yang dapat menumbuhkan tulang dan daging.

Selain itu, penyusuan yang dilakukan melalui mulut (wajur) bersifat

mengenyangkan sebagaimana persusuan melalui hidung (sa’ut) karena adanya sifat

memberi makan, sehingga sampainya susu pada lambung dianggap cukup untuk

menimbulkan hukum mahram. Ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah

mengatakan bahwa apabila susu itu dialirkan melalui alat injeksi, bukan mulut atau

hidung, maka tidak menimbulkan kemahraman. Sedangkan menurut ulama

Malikiyyah, meskipun dengan cara ini tetap haram.31 Maka dapat dipahami bahwa

tidak ada perbedaan antara cara bayi meminum susu meski dengan cara apapun.

Sedangkan hadis yang dipakai Ibnu Qudamah untuk mendukung pendapat

jumhur ulama mengenai hukum yang terkandung dalam radha’ah, menurut Abu

‘Ubaid ketika seorang bayi merasa lapar, maka ASI yang mengenyangkan akan

menjadi makanan dan akan menjadi ‘illat dalam hukum penyusuan. Adapun

penyusuan yang menimbulkan hukum mahram adalah seorang bayi yang menyusu

kemudian rasa laparnya hilang karena ASI karena sempitnya lambung seorang bayi

yang dicukupi ASI dianggap dapat menumbuhkan daging, dan daging tersebut

31 Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Ad’illatuhu,(Beirut: Dar al-Fikr al-Ma’asir, 1998) hlm. 7284

Page 22: 05 BAB III

61

merupakan bagian dari wanita yang menyusui dan pada akhirnya menimbulkan

hukum mahram. Artinya, tidak disebut dengan radha’ah kecuali dengan adanya rasa

kenyang dan pemberian makan karena rasa lapar. Hal itu didasarkan atas dasar

pengertian dari hadis Ibnu Mas’ud:

�� و أ��� ا���� � ا�� 32)روا! أ� داود(�� إ�� �� �د �ل � ر��ع إ� ��

Artinya: Dari Ibn Mas’ud berkata, “Bahwa tiada susuan kecuali susuan yang

dapat menguatkan tulang dan menumbuhkan daging” (HR. Abi Daud)

Dan hadis Ummi Salamah:

�ء: أ� ه%/%ة أ�7 �ل���M�33/�%م �� ا�%���" إ� �� '?< ا

Artinya: Abu Hurairah beriwayat padaku bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tidak

menjadi hukum mahram pada penyusuan kecuali yang memecah usus.”

Oleh karena itu, jumhur ulama berpendapat bahwa mengenyangkan akibat

ASI menimbulkan hukum mahram meskipun dilakukan dengan cara minum, wajur

atau sa’uth atau disuntikkan sehingga menghilangkan rasa lapar.34

Bila dilihat dari sisi ‘illat hukum, maka menurut ketentuan umum, syarat ‘illat

yang digunakan sebagai acuan dasar penetapan hukum harus memenuhi sejumlah

32 Al-Hafiz Abi Daud Sulaiman Ibn al-Asy’as as-Sajastaniy, Sunan Abi Daud, Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), hlm. 88

33 Abi Bakr Ahmad Ibn al-Husain al-Baihaqiy, Kitab as-Sunan as-Sagir, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), hlm. 137, al-Hafiz ‘Ali Ibn ‘Umar ad-Daruqutniy, Sunan ad-Daruqutniy, Juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hlm. 102

34 Muhammad Ibn ‘Ismail al-Kahilaniy, Subul as-Salam, Juz III, (Bandung: Dakhlan, tt),

hlm. 214

Page 23: 05 BAB III

62

persyaratan diantaranya adalah berupa sifat yang bisa dibatasi dengan akal.

Maksudnya, sifat tersebut dapat ditangkap oleh akal secara langsung dan tidak

mengalami perubahan seiring perbedaan kondisi, situasi serta masing-masing

individu. Seperti sifat yang melekat pada khamr yang dijadikan ‘illat keharaman

mengonsumsinya.

Sifat tersebut sudah menjadi watak dasar dari khamr, tanpa memandang siapa

yang mengkonsumsinya, karena dalam kenyataannya, bisa jadi seseorang

mengonsumsinya, tetapi tidak sampai membuatnya mabuk. Seperti misalnya khamr

tersebut dikonsumsi saat cuaca dingin yang berakibat kadar memabukkannya

berkurang. Dalam permasalahan ini, yang menjadi alasan keharaman khamr adalah

sifat potensial memabukkan yang melekat padanya, bukan efek faktualnya.35

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu

Mas’ud dan Ummi Salamah menurut jumhur ulama bermakna bahwa yang

menjadikan hukum mahram dalam penyusuan adalah potensial ASI dalam

menumbuhkan daging. Hal ini dikarenakan hukum itu tergantung dari ada dan

tidaknya illat, sebagaimana kaidah fiqih:

36ا��)� /�ور �O ��?7 وB�دا و��ا��

Artinya: “Hukum berkisar bersama ‘illatnya, baik ada atau tidak adanya”

35 Muhammad Abu Zahrah,Usul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hlm. 239 36 Wahbah Zuhaily, Usul al-Fiqh al-Islam, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr al-Ma’asir, 1998), hlm.

651

Page 24: 05 BAB III

63

Di sisi lain Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa jumhur ulama’ yang

mensyaratkan beberapa hal dalam penyusuan dan pengisapan menimbulkan

keraguan, seperti ketentuan wanita yang menyusui sehingga tidak diketahui siapakah

wanita yang disusu oleh seorang anak? Berapa kadar air susu yang diminum oleh

anak tersebut, apakah lima kali susuan? Apakah sebanyak yang dapat

mengenyangkan? Dan apakah air susu yang sudah dicampur dengan bermacam-

macam air susu lainnya hukumnya sama dengan air susu murni, atau manakah yang

lebih dominan? sehingga karena semua hal itu hukum menjadi tidak jelas karena

menimbulkan keraguan (syak), sedangkan keraguan dalam penyusuan tidak

mengakibatkan hukum mahram. Selain itu, terdapat alasan yang melemahkan

pendapat yang mengharamkan Bank ASI sebagaimana yang termuat dalam buku-

buku mazhab Hanafi, diantaranya keraguan dalam hal identitas pemberi ASI,

intensitas penyusuan, dan percampuran air susu.37

Jumhur ulama, sebagaimana menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali,

menyatakan bahwa penyusuan harus dilakukan dengan adanya keyakinan. Apabila

timbul keraguan (syak) dalam persusuan, maka harus dibangun adanya keyakinan

dalam penyusuan tersebut karena dalam hal itu asalnya adalah tidak adanya

persusuan yang menimbulkan mahram. Dalam hal ini, meninggalkan keraguan lebih

diutamakan karena syak merupakan hal yang samar.

Hal tersebut sesuai dengan kaidah fiqih:

37 Yusuf Qardhawi, Ijtihad …, hlm. 29-30

Page 25: 05 BAB III

64

C=��� الK/ � �0,0٣٨ ا�

Artinya: “Keyakinan tidak hilang karena keraguan”

Oleh karena itu, Syafi’i berpendapat bahwa persusuan harus dilakukan lima

kali dan dengan cara terpisah. Hal ini didukung dengan beberapa hadis dan alasan

yang dijadikan pedoman dalam pemberlakukan bahwa ‘illat yang terkandung dalam

keharaman radha’ah adalah syubhat juz’iyyah, yaitu yang menjadi illat adalah susu

yang menumbuhkan daging dan tulang, dan hal itu tidak terjadi dalam susuan yang

sedikit. Oleh karena itu persusuan yang sedikit tidak mengharamkan, yang

mengharamkan adalah seperti yang tersebut dalam hadis, yaitu lima kali susuan.

Setelah melihat dalil yang diajukan oleh beberapa ulama di atas, maka dapat

ditimbang pendapat mana yang lebih kuat argumentasinya. Menyusui tidak hanya

diteliti melalui bahasa saja sebagaimana yang dikemukakan oleh Kasaniy, namun

juga melalui adanya dalil-dalil nash yang menjadi qayyid (pembatas) bagi nash yang

mutlaq. Hal tersebut didasarkan dengan adanya hadis-hadis yang membatasi arti

persusuan yang terkandung dalam nash al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 23 sehingga

timbul kesimpulan bahwa yang menjadi penyebab ASI itu haram bukan pada cara

menyusuinya namun pada hasil dari menyusui tersebut, yaitu pertumbuhan pada sang

bayi.

Sedangkan apabila dilihat dari beberapa ulama yang berpendapat bahwa

susuan itu dilihat dari kadar ASI, maka sangatlah sulit untuk meneliti hal tersebut

38 Muhammad Abu Zahrah,Usul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hlm. 138

Page 26: 05 BAB III

65

dalam Bank ASI, karena dalam mekanisme Bank ASI, terjadi percampuran ASI

beberapa wanita yang tidak diketahui berapa persentase masing-masingnya, maka

tidak ada pembatasan susuan pada masalah ini. Oleh karena itu, Majma' Fiqih al-

Islami melarang pendirian Bank ASI karena dikhawatirkan terjadinya percampuran

nasab yang dilarang oleh Islam.

Dukungan Yusuf Qardhawi dalam pendirian Bank ASI didasarkan atas

beberapa hal, yaitu:

1. Cara mempermudah (taiysir) yaitu dengan menggunakan pemakaian jalan

pertengahan (wasatiyyah) dan seimbang (tawazun)

Dengan alasan adanya tujuan untuk memberikan kemudahan bagi kaum awam

khususnya bagi banyak wanita yang tidak dapat menyusukan anaknya terlebih pada

bayi yang lahir prematur serta bayi yang ditinggal mati oleh ibunya, maka Yusuf

Qardhawi lebih memilih memperketat hukum pokok daripada hukum cabang dengan

ketentuan tidak berbenturan dengan nash-nash yang bermakna jelas dan terang, dan

juga adanya kemudahan yang sejalan dengan nash-nash, kaidah, dan jiwa Islam. Oleh

karena itu, ia lebih memilih kelompok ulama yang mempersempit pengharaman,

yaitu pendapat yang telah disampaikan oleh Imam Lais bin Sa’id yang mengambil

riwayat dari Ahmad yang merupakan pendapat Mazhab Ibnu Hazm bahwa persususan

hanya dapat terjadi dengan menghisap langsung dari putting payudara sang ibu. Ia

tidak memilih pendapat kelompok ulama yang memperluas pengharaman, yaitu

mereka yang lebih berpijak pada kehati-hatian dalam menghukumi hukum haram

(perkawinan).

Page 27: 05 BAB III

66

2. Mewujudkan Bank ASI sesuai dengan tujuan maslahah syar'iyyah

Yusuf Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa tidak ada alasan untuk melarang

diadakannya Bank ASI. Pendirian Bank ASI dapat dilakukan karena bertujuan untuk

mewujudkan maslahah syar'iyyah yang kuat dan untuk memenuhi keperluan yang

wajib dipenuhi.

Bantuan pemberian ASI dari Bank ASI bagi anak yang prematur atau yang

ditinggal mati oleh ibunya adalah perbuatan yang baik dimana dalam hal ini terdapat

tujuan yang baik yaitu pemeliharaan terhadap jiwa manusia (hifdhu an-nafs), namun

di sisi lain terdapat kepentingan yang tidak kalah pentingnya yaitu keharusan adanya

pemeliharaan terhadap keturunan (hifdhu an-nasab), sehingga Islam sangat melarang

terjadinya percampuran nasab.

Apabila dilihat dari mekanisme yang ada dalam Bank ASI, maka adalah

sangat mungkin terjadi percampuran ASI dari beberapa ibu. Apabila hal ini ditinjau

dari pendapat Yusuf Qardhawi, maka hal tersebut tidak mempunyai dampak terhadap

bayi dan ibu dalam hubungan persusuan yang mengharamkan.

Para ulama berbeda pendapat mengenai terjadinya percampuran ASI. Menurut

ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, susu yang dicampur dengan cairan lain itu pun

dianggap sama saja hukumnya dengan susu murni dan tetap mengharamkan nikah

apabila susu itu dicampur dengan susu wanita lain. Menurut Abu Hanifah dan Imam

Page 28: 05 BAB III

67

Abu Yusuf yang haram dinikahi adalah wanita yang air susunya lebih banyak dalam

campuran itu.39

Namun, dari perbedaan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa para ulama

tetap mengakui adanya hukum mahram terhadap percampuran ASI. Pendapat ulama

tersebut berawal dari adanya kehati-hatian untuk menjaga agar tidak muncul

terjadinya percampuran nasab.

Apabila dilihat dari pendapat ulama di atas, baik yang tidak menghukumi

maupun menghukumi hukum mahram pada persusuan dalam Bank ASI, maka

terdapat dua pertentangan yang ada dalam hal pemeliharaan terhadap jiwa manusia

(hifdhu an-nafs) dan pemeliharaan terhadap keturunan (hifdhu an-nasab). Pemberian

ASI terhadap bayi yang prematur dan yang ditinggal mati oleh ibunya merupakan

kebutuhan yang bisa ditanggulangi dengan hal lain selain ASI dari Bank ASI, baik

dengan susu formula maupun menyusukan dengan wanita lain.

Berbeda apabila dilihat penyusuan dalam Bank ASI yang mencampur aduk

susu dari beberapa wanita, tentu pada nantinya akan sulit menentukan persentase

kadar dominasi ASI, sehingga akan rentan terjadi percampuran nasab yang

membingungkan. Oleh karena itu, pemeliharaan terhadap keturunan (hifdhu an-

nasab) lebih patut untuk didahulukan. Hal tersebut sesuai dengan kaidah fiqih:

�$H<*را ��ر()�ب أ%� �$H$� إذا ( �ر�� �>��(�ن رو� أ�

39 Wahbah Zuhaily, al-Fiqh …, 7284-7285

Page 29: 05 BAB III

68

Artinya: “Bila dua mafsadah berkumpul, maka yang dihindari adalah bahaya yang

lebih besar dengan mengerjakan yang lebih ringan bahayanya”

Argumentasi yang patut diberlakukan adalah pendapat menurut Wahbah al-

Zuhaily bahwa mewujudkan institusi bank susu adalah tidak dibolehkan dari segi

syara’ karena mengandung unsur-unsur kerusakan (mafsadah) dari segi percampuran

keturunan dan tidak jelasnya ibu susuan meskipun Bank ASI dikatakan mempunyai

nilai-nilai kemanusiaan terhadap bayi-bayi yang mengidap penyakit-penyakit

tertentu. Bank ASI juga memunculkan keraguan hukum antara keharusan dan

pengharaman karena seseorang itu menjadi mahram melalui penyusuan sebagaimana

menjadi mahram disebabkan keturunan. Ia tidak setuju terhadap pandangan Ibnu

Hazm yang menyatakan bahwa meminum susu dengan perantaraan botol, gelas dan

sebagainya tidak dianggap penyusuan (radha’).

Dalam hal ini, perantaraan untuk meneguk susu tidak diambil karena pada

pandangan jumhur ulama, ‘illat hukum ini terdapat pada sampainya susu ke dalam

perut bayi walau dengan cara apapun. Sehingga meminum susu dari Bank ASI tidak

dibolehkan karena ia membawa kepada percampuran nasab yang tidak sesuai dengan

ajaran Islam. Oleh karena itu, Wahbah Zuhaily mendukung Majma' Fiqih al-Islami.

Akan tetapi, menurut beliau, pengunaan ASI dalam Bank ASI dapat dilakukan

dengan catatan diharuskan adanya beberapa syarat yang harus dipatuhi yaitu:

1) Hendaklah susu itu diberikan kepada anak-anak oleh seorang wanita saja dan tidak

bercampur aduk agar tidak bercampur nasab apabila ia memberikan susu lebih dari

lima kali yang mengenyangkan.

Page 30: 05 BAB III

69

2) Hendaklah pihak pengurus Bank susu mengeluarkan catatan “Ibu Susuan” agar

bayi yang menyusu kelak mengetahui ibu susuan dan saudara susuannya.

Sementara itu, wanita yang tidak menikah tetapi berkeinginan mengambil

anak angkat untuk dijadikan anak susuan harus mematuhi kaidah dan hukum

tersebut.40

Selain itu, kehati-hatian terhadap percampuran nasab karena radha’ah

mendapat perhatian dari Sayyid Sabiq yang berpendapat bahwa banyak dari manusia

menganggap mudah dalam hal persusuan. Mereka pun menyusukan anaknya pada

seorang atau beberapa wanita, dan tidak ada petunjuk untuk mengetahui anak-anak

dan saudara wanita yang menyusui, begitu juga anak-anak suaminya dari selain

wanita tersebut. Hal tersebut ditujukan untuk mengetahui akibat hukum yang timbul,

seperti hukum mahram dan hak-hak kekerabatan baru yang telah dijadikan oleh as-

Syari’ seperti keturunan. Akibatnya, rentan terjadi perkawinan yang dilakukan oleh

seorang lelaki dengan saudara perempuan maupun bibi dari ibu dan ayah dari

hubungan sepersusuan, sedangkan lelaki tersebut tidak mengetahuinya. Oleh karena

itu, diwajibkan adanya sikap kehati-hatian yang tinggi dalam masalah ini sehingga

manusia tidak akan terjatuh dalam hal-hal yang dilarang.41

40 Ummi Saed, Ibu susuan, di akses pada tanggal 12 Juni 2010 dari

http://www.susuibu.com/modules/newbb/viewtopic.php?topic_id=4300&forum=4&posti=173939 41 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 195-196