04410014 Zaki Firmansyah

49
11 BAB II KAJIAN TEORI A. Religiusitas 1. Pengertian Religiusitas Kata religi berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya adalah religere yang berarti mengikat (Gazalba, 1985). Matdarwan (1986), mengemukakan bahwa religere berarati melaksanakan dengan sangat teliti atau dapat pula dirartikan menyatukan diri. Disamping istilah religi sering pula dalam masyarakat digunakan istilah lain, seperti agama (Bahasa Indonesia), dien (Bahasa Arab) atau religion (Bahasa Inggris). Meskipun masing-masing mempunyai termonologis sendiri-sendiri akan tetapi dalam arti terminologis dan teknis yang berbeda akan tetapi semua istilah tersebut berartikan makna yang sama. Sulaiman (1984), merumuskan secara sederhana pengertian dari religi atau religion yaitu : 1) 2) Percaya pada kekuatan gaib yang mengikuti alam semesta dan bersifat suci. Bersikap terhadap kekuatan gaib itu untuk menerima kebaikan- kebaikan dan mencari keselamatan.

description

article

Transcript of 04410014 Zaki Firmansyah

Page 1: 04410014 Zaki Firmansyah

11

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Religiusitas

1. Pengertian Religiusitas

Kata religi berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya adalah

religere yang berarti mengikat (Gazalba, 1985). Matdarwan (1986),

mengemukakan bahwa religere berarati melaksanakan dengan sangat teliti atau

dapat pula dirartikan menyatukan diri. Disamping istilah religi sering pula

dalam masyarakat digunakan istilah lain, seperti agama (Bahasa Indonesia),

dien (Bahasa Arab) atau religion (Bahasa Inggris). Meskipun masing-masing

mempunyai termonologis sendiri-sendiri akan tetapi dalam arti terminologis

dan teknis yang berbeda akan tetapi semua istilah tersebut berartikan makna

yang sama.

Sulaiman (1984), merumuskan secara sederhana pengertian dari religi atau

religion yaitu :

1)

2)

Percaya pada kekuatan gaib yang mengikuti alam semesta dan

bersifat suci.

Bersikap terhadap kekuatan gaib itu untuk menerima kebaikan-

kebaikan dan mencari keselamatan.

Page 2: 04410014 Zaki Firmansyah

12

3) Membentuk pribadi dalam kehidupan karena kepercayaan itu (pada

masing-masing kelompok).

Mangunwijaya (Anggarasari, 1997), membedakan antara istilah religi atau

agama dengan istilah religiusitas. Agama atau religi menunjuk pada aspek

formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban,

sedangkan religiusitas menunjuk pada aspek yang dihayati oleh individu. Hal

ini selaras dengan pendapat Dister (Anggasari, 1997: 8), yang mengartikan

religiusitas sebagai keberagaman, yang berarti adanya unsur internalisasi

agama itu dalam diri individu.

Sitanggang (2003:4), menyatakan bahwa manusia religius adalah manusia

yang mempunyai hati nurani serius, taat, saleh dan teliti menurut norma atau

ajaran agama Islam. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa

religiusitas adalah internalisasi nilai-nilai agama dalam diri seseorang.

Internalisasi di sini berkaitan dengan kepercayaan terhadap ajaran-ajaran

agama baik di dalam hati maupun dalam ucapan. Kepercayaan ini kemudian

diaktualisasikan dalam perbuatan dan tingkah laku sehari-hari.

Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia.

Religiusitas merupakan perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung

kepada nash (Abdullah, dkk, 1989: 89). Definisi lain diungkapkan oleh

Vorgote, ia berpendapat bahwa religiusitas diartikan sebagai perilaku yang tahu

dan mau secara pribadi menerima dan menyetujui gambaran-gambaran yang

diwariskan kepadanya oleh masyarakat dan yang dijadikan miliknya sendiri,

Page 3: 04410014 Zaki Firmansyah

13

keyakinannya yang pribadi, iman, kepercayaan batiniah yang diwujudkan

dalam perilaku sehari-hari (Dister, 1989: 10).

Robert H. Thoules mendefinisikan religiusitas lebih terpusat pada

seperangkat kepercayaan dan keyakinan terhadap adanya tuhan atau dewa-

dewa yang disembah sebagai pembeda dimana ciri-ciri personal diingkari

sebagai ciri-ciri ketuhanan sebagaimana terdapat dalam bentuk advita pada

agama Hindu (Thoules, 2000: 20).

Sementara itu Ahyadi (2001: 53), mendefinisikan religiusitas sebagai

tanggapan, pengamatan, pemikiran, perasaan dan sikap akan ketaatan yang

diwarnai oleh rasa keagamaan. Selanjutnya religiusitas juga dapat dikatakan

sebagai kesadaran akan hidup yang lebih baik berdasarkan pada nilai-nilai yang

terkandung didalam ajaran agamanya (Nafis, 1996: XXIII). Skinner

menjelaskan religiusitas sebagai ungkapan bagaimana manusia dengan

pengkondisian peran belajar hidup didunia yang dikuasai oleh hukum ganjaran

dan hukuman (Ancok, dkk, 2001: 73).

Jalaluddin (2000: 212), mendefinisikan religiusitas sebagai suatu keadaan

yang ada dalam diri individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai

dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Selanjutnya Moh. Wijanarko

mendefinisikan religiusitas sebagai keadaan yang ada di dalam diri manusia

dalam merasakan dan mengakui adanya kekuasan tertinggi yang menaungi

kehidupan manusia dengan cara melaksanakan semua perintah Tuhan sesuai

dengan kemampuannya dan meninggalkan semua larangan-Nya, sehingga hal

Page 4: 04410014 Zaki Firmansyah

14

ini akan membawa ketenteraman dan ketenangan pada dirinya (Wijanarko,

1997: 48).

Sementara itu Saidah (2001: 17), mendefinisikan religiusitas sebagai cara

pandang dan sikap perasaan yang disertai kecenderungan untuk melakukan

tingkah laku, berfikir, bersikap dan bertindak terhadap obyek tertentu secara

langsung ataupun tidak langsung berdasarkan pada nash.

Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa

religiusitas dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang ada di dalam diri

seseorang yang mendorongnya bertingkah laku, bersikap dan bertindak sesuai

dengan ajaran agamanya.

2. Aspek-Aspek Religiusitas

Jalaluddin (2000:212), menyebutkan bahwa religiusitas merupakan

konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur konatif, perasaan

terhadap agama sebagai unsur afektif dan perilaku agama sebagai unsur

kognitif. Jadi aspek keberagamaannya merupakan integrasi dari pengetahuan,

perasaan dan perilaku keagamaan dalam diri manusia.

Hal senada juga dikemukakan oleh Ahyadi (1991:37), ia menyebutkan

bahwa struktur keberagamaan manusia meliputi struktur aktif, konatif, kognitif

dan motorik. Fungsi aktif dan konatif terlihat dalam pengalaman ketuhanan,

rasa keagamaan dan kerinduan terhadap tuhan, aspek motorik tampak dalam

perbuatan dan gerak tingkah laku keagamaan, sedangkan aspek kognitifnya

tercermin dalam sistem kepercayaan ketuhanannya. Dalam kehidupan sehari-

Page 5: 04410014 Zaki Firmansyah

15

hari aspek-aspek tersebut tidak dapat dipisahkan karena merupakan sistem

keberagamaan yang utuh dalam diri seseorang.

Jamaluddin (1995:98), membagi dimensi religiusitas menjadi lima aspek

dengan mengacu kepada rumusan religiusitas Islam dari Kementrian

Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Kelima aspek tersebut adalah ;

a.

b.

Aqidah (Ideologi)

Dimensi Aqidah yaitu dimensi yang mengungkap sejauh mana hubungan

manusia dengan keyakinannya terhadap rukun iman, yang diantaranya

yaitu iaman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada nabi dan

rasul, iman kepada kitab suci, iman kepada hari akhir, iman kepada qadha

dan qadhar. Jadi inti dari dimensi aqidah (keyakinan) dalam ajaran Islam

adalah tauhid atau peng-Esaan Tuhan.

Ibadah (Ritual)

Ibadah atau ritual merupakan dimensi yang berhubungan dengan sejauh

mana tingkat kepatuhan seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan

ritual sebagai mana yang disuruhkan ajaran agamanya. Dimensi ini

berkaitan dengan tingkat frekuensi intensitas dan pelaksanaan ibadah

seseorang. Ibadah mahdlah (ibadah khusus) diapahami sebagai ibadah

yang aturan dan tata caranya, syarat, rukunnya telah diatur secara pasti

oleh ajaran Islam, yang termasuk dalam dimensi ibadah adalah shalat,

puasa, zakat, haji, do’a, dzikir, membaca al-Quar’an dan sebagainya.

c. Ihsan (penghayatan)

Page 6: 04410014 Zaki Firmansyah

16

Ihsan atau penghayatan merupakan dimensi yang berhubungan dengan

masalah seberapa jauh seseorang merasa dekat dan dilihat oleh Tuhan

dalan kehidupan sehari-hari. Dimensi ini mencakup pengalaman-

pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan dalam kehidupan,

sehingga dalam hatinya timbul perasaan-perasaan tenang dan tentram

dalam hidupnya, takut melanggar larangan Tuhan, keyakinan menerima

pembalasan, perasaan dekat dengan Tuahan dan dorongan untuk

melaksanakan perintah agama.

Dimensi ihsan dalam religius Islam mencakup perasaan-perasaan dekat

dengan Allah, merasa nikmat dalam menjalankan ibadah, merasa

diselamatkan Allah, merasa bersyukur atas nikmat Allah dan merasa

tenang hatinya saat mendengat asma Allah.

d. Ilmu (pengetahuan)

Ilmu atau pengetahuan merupakan dimensi yang berkaitan dengan

pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran agamanya, terama

dalam kitab suci. Seseorang yang beragama harus mengetahui hal-hal yang

pokok mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus serta kitab lainnya.

Dimensi ini dalam Islam menyangkut pengetahuan tentang isi al-Qur’an,

diantanya pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan.

e. Amal dan Akhlak

Amal dan Akhlak merupakan dimensi yang berkaitan dengan keharusan

seseorang pemeluk agama untuk merelIsasikan ajaran-ajaran agama yang

dianutnya dalam kehidupan sehari-hari dengan bukti sikap dan

Page 7: 04410014 Zaki Firmansyah

17

tindakannya yang berlandaskan pada etika dan spiritualitas agama.

Dimensi ini menyangkut hubungan manusia satu dengan hubungan

manusia dengan lingkungannya. Manifestasi ini dalam Islam antara lain

meliputi : menghormati dan menghargai orang lain, menjunjung tinggi

etika Islam, menolong sesama, berkata jujur, bertanggung jawab, dan

dapat dipercaya serta menjaga dan memelihara lingkungan.

Glok dan Stark (Robertson, 1983:295); (Ancok, dkk, 2001:77) dan

(Abdullah, 1989:93) mengatakan bahwa terdapat 5 aspek dalam religiusitas,

yaitu :

1) Religious Belief (The Ideological Dimension)

Religious belief (the idiological dimension) atau disebut juga dimensi

keyakinan adalah tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang

dogmatik dalam agamanya, misalnya kepercayaan kepada Tuhan,

malaikat, surga dan neraka. Meskipun harus diakui setiap agama tentu

memiliki seperangkat kepercayaan yang secara doktriner berbeda dengan

agama lainnya, bahkan untuk agamanya saja terkadang muncul paham

yang berbeda dan tidak jarang berlawanan.

Pada dasarnya setiap agama juga minginginkan adanya unsur ketaatan bagi

setiap pengikutnya. Dalam begitu adapun agama yang dianut oleh

seseorang, makna yang terpenting adalah kemauan untuk mematuhi aturan

yang berlaku dalam ajaran agama yang dianutnya. Jadi dimensi keyakinan

lebih bersifat doktriner yang harus ditaati oleh penganut agama.

Page 8: 04410014 Zaki Firmansyah

18

Dimensi keyakinan dalam agama Islam diwujudkan dalam pengakuan

(syahadat) yang diwujudkan dengan membaca dua kalimat syahadat,

Bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad itu utusan

Allah. Dengan sendirinya dimensi keyakinan ini menuntut dilakukannya

praktek-praktek peribadatan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam (Ancok

dan Suroso, 1995).

2) Religious Practice (The Ritual Dimension)

Religious practice (the ritual dimension) yaitu tingkatan sejauh mana

seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya.

Unsur yang ada dalam dimensi ini mencakup pemujaan, kultur serta hal-

hal yang lebih menunjukkan komitmen seseorang dalam agama yang

dianutnya.

Wujud dari dimensi ini adalah prilaku masyarakat pengikut agama tertentu

dalam menjalankan ritus-ritus yang berkaitan dengan agama. Dimensi

praktek dalam agama Islam dapat dilakukan dengan menjalankan ibadah

shalat, puasa, zakat, haji ataupun praktek muamalah lainnya (Ancok dan

Suroso, 1995)

3) Religious Feeling (The Experiental Dimension)

Religious Feeling (The Experiental Dimension) atau bisa disebut dimensi

pengalaman, adalah perasaan-perasaan atau pengalaman yang pernah

dialami dan dirasakan. Misalnya merasa dekat dengan Tuhan, merasa takut

berbuat dosa, merasa doanya dikabulkan, diselamatkan oleh Tuhan, dan

sebagainya. Ancok dan Suroso (1995), mengatakan kalau dalam Islam

Page 9: 04410014 Zaki Firmansyah

19

dimensi ini dapat terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah,

perasaan bertawakal (pasrah diri dalam hal yang positif) kepada Allah.

Perasaan khusyuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan

tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al Qur’an, perasaan

bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan

dari Allah.

4) Religious Knowledge (The Intellectual Dimension)

Religious Knowledge (The Intellectual Dimension) atau dimensi

pengetahuan agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa jauh

seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada

di dalam kitab suci manapun yang lainnya. Paling tidak seseorang yang

beragama harus mengetahui hal-hal pokok mengenai dasar-dasar

keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.

Dimensi ini dalam Islam menunjuk kepada seberapa tingkat pengetahuan

dan pemahaman muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya terutama

mengenai ajaran pokok agamanya, sebagaimana yang termuat di dalam

kitab sucinya (Ancok dan Suroso, 1995)

5) Religious Effect (The Consequential Dimension)

Religious effect (the consequential dimension) yaitu dimensi yang

mengukur sejauh mana prilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran-ajaran

agamanya dalam kehidupan sosial, misalnya apakah ia mengunjungi

tetangganya sakit, menolong orang yang kesulitan, mendermakan

hartanya, dan sebagainya.

Page 10: 04410014 Zaki Firmansyah

20

Berdasarkan konsep religiusitas versi Glock dan Stark, Ancok dan Suroso

(1995: 80-82), mengatakan konsep tersebut mencoba melihat keberagaman

seseorang bukan hanya dari satu atau dua dimensi, tapi mencoba

memperhatikan segala dimensi, tapi mencoba memperhatikan segala dimensi.

Keberagaman dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah

ritual saja, tapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai suatu sistem

yang menyeluruh, Islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara

menyeluruh pula. Karena itu, hanya konsep yang mampu memberi penjelasan

tentang kemenyeluruhan yang mampu memahami keberagaman umat Islam.

Untuk memahami Islam dan umat Islam, konsep yang tepat adalah konsep

yang mampu memahami adanya beragam dimensi dalam Islam. Menurut

Ancok dan Suroso, rumusan Glock dan Stark yang membagi keberagaman

menjadi lima dimensi dalam tingkat tertentu mempunyai kesesuaian dalam

Islam.

Walaupun tak sepenuhnya sama, dimensi keyakinan dapat disejajarkan

dengan akidah, dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah dan

dimensi pengalaman disejajarkan dengan akhlak.

Berdasarkan hal ini, Ancok dan Suroso merumuskan dimensi agama Islam

sebagai berikut:

1) Dimensi keyakinan atau akidah Islam (The Ideological Dimension)

Dimensi keyakinan atau akidah Islam menunjuk pada seberapa tingkat

keyakinan Muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya,

terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan

Page 11: 04410014 Zaki Firmansyah

21

dogmatik. Di dalam keberislaman, isi dimensi keimanan menyangkut

keyakinan tentang Allah, para malaikat, Nabi/Rasul, kitab-kitab Allah,

surga dan neraka, serta qadha dan qadar.

2) Dimensi peribadatan atau syariah (Religious Practice)

Dimensi peribadatan atau syariah menunjuk pada seberapa tingkat

kepatuhan Muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual

sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam

keberislaman, dimensi peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat,

puasa, zakat, haji, membaca al-Qur`an, doa, zikir, ibadah kurban, iktikaf

di masjid di bulan puasa, dan sebagainya.

3) Dimensi pengalaman atau akhlak (Religious Feeling)

Dimensi pengalaman atau akhlak menunjuk pada seberapa tingkatan

Muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu

bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan

manusia lain. Dalam keberislaman, dimensi ini meliputi perilaku suka

menolong, bekerjasama, berderma, menyejahterakan dan

menumbuhkembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan

kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup,

menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak

berjudi, tidak meminum minuman yang memabukkan, mematuhi

norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup

sukses menurut ukuran Islam, dan sebagainya.

4) Dimensi pengetahuan atau ilmu (Religious Knowledge)

Page 12: 04410014 Zaki Firmansyah

22

Dimensi pengetahuan atau ilmu menunjuk pada seberapa tingkat

pengeathuan dan pemahaman Muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya,

terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya, sebagaimana

termuat dalam kitab sucinya. Dalam keberislaman, dimensi ini

menyangkut pengetahuan tentang isi al-Qur`an, pokok-pokok ajaran

yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Islam dan rukun Iman),

hukum-hukum Islam, sejarah Islam, dan sebagainya.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas

Religiusitas timbul bukan karena dorongan alami/asasi, melainkan

dorongan yang tercipta karena tuntutan perilaku. Menurut Freud, religiusitas

seseorang timbul karena reaksi manusia atas ketakutannya sendiri (Ancok, dkk,

2001:71). Lebih lanjut ia menegaskan bahwa orang mempunyai sikap

keberagamaan semata-mata karena didorong oleh keinginan untuk menghindari

keadaan yang berbahaya yang akan menimpanya dan memberi rasa aman bagi

dirinya sendiri.

Sedangkan Rakhmat (2000:31), berpandangan bahwa religiusitas

seseorang terbentuk melalui dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal

individu.Faktor internal didasarkan pada pengaruh dari dalam diri manusia itu

sendiri, yang pada dasarnya dalam diri manusia terdapat potensi untuk

beragama, asumsi ini didasarkan karena manusia merupakan makhluk homo

religius. Potensi tersebut termuat dalam aspek kejiwaan manusia seperti naluri,

akal, perasaan maupun kehendak dan lain sebagainya. Sedangkan faktor

eksternal timbul dari luar diri individu itu sendiri, seperti karena adanya rasa

Page 13: 04410014 Zaki Firmansyah

23

takut, rasa ketergantungan ataupun rasa bersalah (sense of quilt) (Jalaluddin,

2000: 222).

Religiusitas yang ada pada masa kanak-kanak berbeda dengan religiusitas

masa remaja. Dalam hal ini religiusitas remaja bukan lagi bersifat pinjaman

semata, melainkan sebagai penyadaran keimanan yang telah menjadi identitas

dan milik pribadinya (Jalaluddin, 2000: 108). Religiusitas berkembang bukan

secara langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara turun temurun,

akan tetapi terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan (afektif, kognitif, konatif).

Thouless (2000: 34) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi

perkembangan sikap religius, yaitu :

1)

2)

3)

Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial

Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan

keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi

sosial, tekanan dari lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri

dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan

itu.

Faktor pengalaman

Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk sikap

keagamaan. Terutama pengalaman mengenai keindahan, konflik

moral dan pengalaman emosional keagamaan.

Faktor kehidupan

Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat menjadi empat,

yaitu : (a). kebutuhan akan keamanan atau keselamatan, (b).

Page 14: 04410014 Zaki Firmansyah

24

kebutuhan akan cinta kasih, (c). kebutuhan untuk memperoleh harga

diri, dan (d). kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman

kematian.

4) Faktor intelektual

Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau

rasionalisasi. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulan bahwa

setiap individu berbeda-beda tingkat religiusitasnya dan dipengaruhi

oleh dua macam faktor secara garis besarnya yaitu internal dan

eksternal. Faktor internal yang dapat mempengaruhi religiusitas

seperti adanya pengalaman-pengalaman emosional keagamaan,

kebutuhan individu yang mendesak untuk dipenuhi seperti

kebutuhan akan rasa aman, harga diri, cinta kasih dan sebagainya.

Sedangkan pengaruh eksternalnya seperti pendidikan formal,

pendidikan agama dalam keluarga, tradisi-tradisi sosial yang

berlandaskan nilai-nilai keagamaan, tekanan-tekanan lingkungan

sosial dalam kehidupan individu.

4. Religiusitas dalam Islam

Salah satu kenyataan yang terjadi dalam sepanjang sejarah perjalanan umat

manusia adalah fenomena keberagamaan (religiousity). Sepanjang itu pula,

bermunculan beberapa konsep religiusitas. Namun demikian, para ahli sepakat

bahwa bahwa agama berpengaruh kuat terhadap tabiat personal dan sosial

manusia.

Page 15: 04410014 Zaki Firmansyah

25

Secara bahasa, kata religiusitas adalah kata kerja yang berasal dari kata

benda religion. Religi itu sendiri berasal dari kata re dan ligare artinya

menghubungkan kembali yang telah putus, yaitu menghubungkan kembali tali

hubungan antara Tuhan dan manusia yang telah terputus oleh dosa-dosanya

(Arifin, 1995).

Menurut Gazalba (1985), kata religi berasal dari bahasa latin religio yang

berasal dari akar kata religare yang berarti mengikat. Maksudnya adalah ikatan

manusia dengan suatu tenaga yaitu tenaga gaib yang kudus. Religi adalah

kecenderungan rohani manusia untuk berhubungan dengan alam semesta, nilai

yang meliputi segalanya, makna yang terakhir, dan hakekat dari semuanya.

Menurut Daradjat (1989), ada dua istilah yang dikenal dalam agama yaitu

kesadaran beragama (religious conciousness) dan pengalaman beragama

(religious experience). Kesadaran beragama adalah segi agama yang terasa

dalam fikiran dan dapat diuji melalui introspeksi atau dapat dikatakan sebagai

aspek mental dari aktivitas agama. Sedangkan pengalaman beragama adalah

unsur perasaan dalam kesadaran beragama yaitu perasaan yang membawa

kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan.

Untuk mengukur religiusitas tersebut, kita mengenal tiga dimensi dalam

Islam yaitu aspek akidah (keyakinan), syariah (praktik agama, ritual formal)

dan akhlak (pengamalan dari akidah dan syariah). Sebagaimana kita ketahui

bahwa keberagamaan dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk

ibadah ritual saja, tapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai sistem

yang menyeluruh, Islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara

Page 16: 04410014 Zaki Firmansyah

26

menyeluruh; baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak, harus didasarkan

pada prinsip penyerahan diri dan pengabdian secara total kepada Allah, kapan,

dimana dan dalam keadaan bagaimanapun. Hal ini sebagaimana dijelaskan

dalam (QS. Al-Bayyinah,98: 5) “Tidaklah kalian diperintah melainkan untuk

beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan kepasrahan kepada-

Nya”. Serta ditegaskan kembali dalam Surat Al-Baqoroh: 208 sebagai konsep

yang memberi penjelasan dalam memahami Islam secara keseluruhan.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam

keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.

Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqoroh:

208)

Dalam memeluk agama Islam, kita diwajibkan memasukinya secara kaffah

(sempurna), yaitu menaati apa yang telah menjadi kewajiban yang

diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah, meninggalkan segala sesuatu yang

dilarang, dan menjauhi apa saja yang menjadi keinginan setan, yaitu setiap

perbuatan yang bertentangan dengan kebenaran serta ketaatan dan tiap-tiap

pekerjaan yang dilakukan atas dasar hawa nafsu. Sebabnya, hawa nafsu adalah

sarana bagi setan untuk membujuk manusia. Sungguh, setan telah ditetapkan

sebagai musuh untuk selamanya di dalam kehidupan dunia bagi orang-orang

yang beriman. (The Miracle 15 in 1, 61).

Page 17: 04410014 Zaki Firmansyah

27

Nawawi (2008: 42), menjelaskan hukum perintah dan larangan tentang

perbuatan manusia di atas merupakan syari`at yang diambil berdasarkan

berbagai sumber diantaranya, yaitu: al-Qur`an, al-Hadis, ijma, dan qiyas atau

sumber lainnya seperti yang diungkapkan para imam mahzab. Dalam al-Qur`an

perintah dan larangan disebutkan dalam (QS. Al-Jasiyah,45: 18) dan (QS, Al-

Hasyr,: 7)

“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan)

dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti

hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui.” (QS. Al-Jasiyah,45: 18)

“Apa-apa yang dibawa oleh Rasul itu, hendaklah kalian terima dan apa-

apa yang dilarangnya, hendaklah kalian jauhi” (QS, Al-Hasyr,: 7)

Islam mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia; dari pribadi,

keluarga, masyarakat, hingga negara; dari sosial, ekonomi, politik, hukum,

keamanan, lingkungan, pendidikan hingga kebudayaan; dari etnis Arab Parsi

Page 18: 04410014 Zaki Firmansyah

28

hingga seluruh etnis manusia, dari kepercayaan, sistem hingga akhlak; dari

Adam hingga manusia terakhir; dari sejak kita bangun tidur hingga kita tidur

kembali; dari kehidupan dunia hingga kehidupan akhirat. Jadi kemencakupan

Islam dapat kita lihat dari beberapa dimensi yaitu dimensi waktu, dimensi

demografis, dimensi geografis, dan dimensi kehidupan.

Dimensi waktu artinya bahwa Islam telah diturunkan Allah Swt. Sejak

Nabi Adam hingga mata rantai kenabian ditutup pada masa Rasulullah

Muhammad Saw. Dan Islam bukan agama yang hanya diturunkan untuk masa

hidup Rasulullah Saw., melainkan untuk masa hidup untuk seluruh umat

manusia dimuka bumi (QS. Ali `Imran,3: 144).

Dimensi demografis adalah bahwa Islam diturunkan untuk seluruh umat

manusia dengan seluruh etnisnya, dan bahwa mereka semua sama dimata Allah

Swt., sebagai ciptaan-Nya dan dibedakan satu sama lain karena asas

ketakwaan. (QS. Al-Hujurat,49: 13, 34: 28).

Dimensi geografis adalah bahwa ajaran Islam diturunkan untuk diterapkan

di seluruh penjuru bumi. Maka Islam tidak dapat diidentikkan dengan kawasan

Arab (Arabisme), karena itu hanya tempat lahirnya. Islam tidak mengenal

sekat-sekat tanah air, sama seperti ia tidak mengenal batasan-batasan etnis.

(QS. Al-Baqarah,2: 30, QS. Al-Anbiya`,21: 107, dan QS. At-Takwir,81: 27-28)

Dimensi kehidupan adalah bahwa Islam membawa ajaran-ajaran yang

terkait dengan seluruh dimensi kehidupan manusia. Itulah sebabnya Allah Swt

menyuruh berislam secara kaffah, atau berislam dalam semua dimensi

kehidupan kita. (QS. Al-Baqarah,2: 208). Ini pula yang dimaksud Allah Swt.,

Page 19: 04410014 Zaki Firmansyah

29

bahwa Ia telah menyempurnakan agama ini dan karena itu meridhainya sebagai

agama terbaik bagi umat manusia (QS. Al-Ma`idah,5: 3), (The Miracle 15 in 1,

82).

Sehubungan dengan hal ini, Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin

menjelaskan, Islam adalah agama yang mencakup semua aspek kehidupan

(baik masalah dunia, maupun masalah akhirat), relevan untuk setiap masa,

tempat dan umat, serta mencakup seluruh kemaslahatan yang dikandung oleh

agama-agama terdahulu (Al-Utsaimin, 2003:5).

Selanjuutnya Al-Utsaimin, (2003:91-94), menjelaskan tentang tujuan

akidah Islam, yaitu:

1.

2.

3.

4.

Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah hanya kepada Allah s.w.t.

Karena Dia adalah pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, maka

tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan hanya kepada-Nya.

Memebebaskan akal dan pikiran dari kekacauan yang timbul dari

kosongnya hati dari akidah.

Ketenangan jiwa dan pikiran, tidak cemas dalam jiwa dan dan tidak

goncang dalam pikiran. Karena akidah ini akan menghubungkan

orang mukmin dengan Penciptanya lalu rela bahwa Dia sebagai Tuhan

yang mengatur. Hakim yang Membuat tasyri`. Oleh karena itu hatinya

menerima takdir, dadanya lapang untuk menyerah lalu tidak mencari

pengganti yang lain.

Meluruskan tujuan dan perbuatan dari penyelewengan dalam

beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan orang lain. Karena

Page 20: 04410014 Zaki Firmansyah

30

di antara dasar akidah ini adalah mengimani para Rasul serta

mengikuti mereka dalam tujuan dan perbuatan.

5. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak

menghilangkan kesempatan beramal baik kecuali digunakannya

dengan mengharap pahala serta tidak melihat tempat dosa kecuali

menjauhinya dengan rasa takut dari siksa. Karena di antara dasar

akidah ini adalah mengimani kebangkitan serta balasan terhadap

seluruh perbuatan.

“Dan masing-masing orang yang memperoleh derajat-derajat

(sesuai) dengan yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari

apa yang mereka kerjakan.” (Al-An`am: 132)

Serta ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad s.a.w.

“Orang Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah

daripada orang mukmin yang lemah. Dan pada masing-masing

terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap sesuatu yang berguna

bagimu serta mohonlah pertolongan dari Allah dan jangan lemah.

Jika engkau ditimpa sesuatu, maka janganlah engkau katakan:

Seandainya aku kerjakan begini dan begitu. Akan tetapi katakanlah:

Itu takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki Dia lakukan.

Sesungguhnya mengandai-andai itu membuka perbuatan setan.”

(Muslim).

6. Mencintai umat yang kuat yang mengerahkan segala yang mahal

maupun yang murah untuk menegakkan agamanya serta memperkuat

Page 21: 04410014 Zaki Firmansyah

31

tiang penyanggahnya tanpa perduli apa yang akan terjadi untuk

menempuh jalan itu.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang

yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak

ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada

jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. ” (Al-Hujurat:

15).

7. Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memperbaiki individu-

individu maupun kelompok serta meraih pahala dan kemuliaan.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal baik, baik lelaki maupun

wanita dalam keadaan beriman, maka sesunggunya akan Kami beri

balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang

mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)

Dalam iman, pembenaran terutama terkait dengan masalah hati. Hati

sangat berperan dalam mewujudkan iman dalam diri seseorang.

Dalam dangkalnya, tebal-tipisnya, teguh-tidaknya iman sangat

bergantung pada hati manusia yang sifatnya berubah-ubah. Meskipun

begitu, Allah sesungguhnya telah memberikan potensi pada setiap

manusia untuk bertuhan dan mengabdi hanya kepada Allah, yang

disebut fitrah tauhid.

B. Kepercayaan Diri

1. Pengertian Kepercayaan Diri

Page 22: 04410014 Zaki Firmansyah

32

Rasa percaya diri berasal dari bahasa Inggris yaitu “self confidence” yang

berarti percaya pada kemampuan, kekuatan, dan penilaian pada diri sendiri.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, percaya diri adalah keyakinan akan

kemampuan atau kelebihan seseorang atau sesuatu (bahwa akan bisa

memenuhi harapannya) (Maulita, 2008: 9).

Rasa percaya diri (self confidence) adalah dimensi evaluatif yang

menyeluruh dari diri. Rasa percaya diri juga disebut sebagai harga diri atau

gambaran diri (Santrock, 2003:336). Kepercayaan diri merupakan suatu sikap

atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri sehingga orang yang

bersangkutan tidak terlalu cemas, tidak takut dalam segala hal, tidak ada

keraguan dalam bertindak serta mampu menguasai pikiran sehingga merasa

bebas melakukan hal-hal yang sesuai dengan keyakinan dan mampu mengenali

diri sendiri baik kekurangan maupun kelebihannya (Douglas, dalam Maulita,

2008:9).

Kepercayaan diri menurut Rini adalah sikap positif seorang individu yang

memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap

diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya (Rini,

2001). Gunarsa (2004:127), menyatakan bahwa kepercayaan diri menjadi

dasar penting untuk bersikap dan bertingkah laku, namun kepercayaan diri

seseorang tidak menjadi dasar untuk berbuat semaunya.

Lauster (Sujanto, 2001:160), menyatakan bahwa kepercayaan diri

merupakan suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri

sehingga orang bersangkutan tidak terlalu cemas dalam tindakan-tindakannya,

Page 23: 04410014 Zaki Firmansyah

33

merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang sesuai dengan keinginannya dan

tanggung jawab atas perbuatannya, hangat dan sopan dalam berinteraksi

dengan orang lain, memiliki dorongan berprestasi serta dapat mengenal

kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri.

Franz (Sujanto, 1999:157) menyebutkan bahwa self confidence

berkembang melalui self understanding dan berhubungan dengan bagaimana

seseorang belajar menyelesaikan tugas di sekelilingnya, terbuka terhadap

pengalaman-pengalaman dan suka menghadapi tantangan. Lugo (1979,

Setyowati, 2003:35) berpendapat bahwa kepercayaan diri merupakan ciri dari

orang yang kreatif dan biasanya orang tersebut yakin akan kemampuan diri

sendiri. Menurut Brenneche & Amich (Koeswara, 1991:124) rasa percaya diri

diartikan sebagai suatu perasaan atau sikap tidak membandingkan diri dengan

orang lain, karena telah merasa cukup aman dan tahu terhadap apa yang

dibutuhkan dalam kehidupan individu tersebut.

Sedangkan menurut Waterman (Sujanto, 1999:86), menjelaskan bahwa

orang mempunyai rasa percaya diri adalah orang yang mampu bekerja secara

efektif, mampu melaksanakan tugas-tugas dengan baik dan secara relative

bertanggung jawab serta melaksanakan masa depan. Bandura (Khotimah,

2005: 5), memberikan batasan tentang kepercayaan diri sebagai suatu

keyakinan akan kemampuan dan kondisi yang ada pada individu itu sendiri.

Kepercayaan diri merujuk pada perilaku yang terbatas seseorang dalam

sejumlah situasi. Ini diperlukan dalam menghadapi sejumlah situasi dengan

tenang dan terarah sehingga tekanan psikologis dapat diatasi.

Page 24: 04410014 Zaki Firmansyah

34

Orang yang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi akan cenderung

bebas mengutarakan pilihannya dengan tenaganya dan melibatkan berbagai

alternatif pikiran yaitu: aktif mendekati tujuan dan dapat membedakan antara

pengetahuan dengan perasaan serta dapat memberi putusan yang

mempengaruhi inteleknya, juga mampu secara independent menganalisa dan

mengontrol pikirannya dalam hubungan yang tepat.

2. Ciri-ciri Seseorang yang Mempunyai Kepercayaan Diri

Kepercayaan diri seseorang dapat diketahui dari ciri-ciri utama yang khas

yang dimilikinya. Ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa seseorang atau

individu itu mempunyai kepercayaan diri.

Daradjat (1990:19), menjelaskan bahwa ciri-ciri seseorang yang

mempunyai kepercayaan diri adalah tidak memiliki keraguan dan perasaan

rendah diri, tidak takut memulai suatu hubungan baru dengan orang lain, tidak

suka mengkritik dan aktif dalam pergaulan dan pekerjaan, tidak mudah

tersinggung, berani mengemukakan pendapat, berani bertindak, dapat

mempercayai orang lain dan selalu optimis.

Misiak dan Sexton dalam Walgito (1993:7), menyatakan bahwa

kepercayaan diri berkembang melalui interaksi individu dengan

lingkungannya, khususnya lingkungan sosialnya. Lingkungan yang kondusif

dapat memberikan kesempatan bagi individu untuk mengekspresikan ide-ide

dan perasaannya, menerima dan memberikan dukungan dan bantuan untuk

orang lain, serta menerima dan memberikan umpan balik akan menumbuhkan

Page 25: 04410014 Zaki Firmansyah

35

rasa berarti bagi dirinya sehingga ia memiliki konsep diri yang positif. Individu

yangmemiliki konsep diri yang positif akan dapat menghargai dirinya, atau

dengan kata lain memiliki harga diri yang tinggi. Apabila individu mempunyai

harga diri yang positif, maka ia akan mempunyai kepercayaan diri yang positif

pula.

Selanjutnya menurut Misiak dan Sexton dalam Walgito (1993:8), ciri-ciri

individu yang mempunyai kepercayaan diri adalah :

1)

2)

3)

4)

Merasa optimis, yaitu selalu memandang masa depan dengan

harapan yang baik.

Bertanggung jawab, yaitu berani mengambil resiko atas keputusan

atau tindakan yang menurutnya benar.

Bersikap tenang, yaitu yakin akan kemampuan dirinya, tidak cemas

atau gugup dalam menghadapi situasi tertentu.

Mandiri, tidak suka meminta bantuan atau dukungan kepada pihak

lain dalam melakukan sesuatu kegiatan dan tidak tergantung kepada

orang lain.

Waterman dalam Kumara (1988:19), memberi ciri-ciri orang yang

mempunyai kepercayaan diri sebagai orang yang mampu bekerja secara efektif,

mampu melaksanakan tugas-tugas dengan baik dan secara relatif bertanggung

jawab serta mempunyai rencana terhadap masa depannya.

Menurut Hurlock (1993:214), ciri-ciri individu yang memiliki kepercayaan

diri adalah mempunyai sikap yang tenang dan seimbang dalam situasi

Page 26: 04410014 Zaki Firmansyah

36

sosialnya. Selanjutnya Breneche dan Amich dalam Kumara (1988:21),

berpendapat bahwa orang yang mempunyai kepercayaan diri adalah :

1)

2)

3)

4)

Berani mencoba atau melakukan hal-hal baru di dalam situasi baru

Tidak merasa perlu membandingkan dirinya dengan orang lain

Merasa cukup aman dan tenang

Mempunyai ukuran sendiri mengenai kegagalan atau kesuksesannya

Pendapat lain dari Coleman (1980:43-44), melalui evaluasi diri seseorang

dapat memahami diri sendiri dan akan tahu siapa dirinya yang kemudian akan

berkembang menjadi kepercayaan diri.

Menurut Lauster (2002:8), seseorang yang mempunyai kepercayaan diri

memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1)

2)

3)

Kehati-hatian, merupakan kemampuan individu untuk menilai dan

merespon diri dan lingkungan secara pasti, mampu menilai

kemampuan sendiri secara objektif, mempunyai sikap optimis

terhadap kehidupan dan merencanakan masa depan.

Kebebasan untuk kemandirian, adalah melakukan sesuatu atas dasar

minat dan keinginan sendiri, tidak mudah terpengaruh oleh harapan

dan keinginan orang lain, memiliki pandangan yang tidak kaku

terhadap aturan konvensional.

Tidak mementingkan diri sendiri, adalah kesediaan bertindak untuk

kebaikan diri sendiri maupun orang lain, bertanggung jawab,

menaruh simpati terhadap masalah orang lain, ingin membantu dan

bersedia berkorban.

Page 27: 04410014 Zaki Firmansyah

37

4)

5)

Toleransi, adalah dapat mengerti dan memahami perbedaan orang

lain dan dirinya, bebas dari prasangka, mencoba melihat hokum dan

norma kehidupan masyarakat dari segi relevansinya, dan terbuka

pada situasi baru.

Ambisi, adalah dorongan untuk berprestasi, meningkatkan harga diri

dan memperkuat kesadaran diri.

3. Proses Terbentuknya Kepercayaan Diri

Menurut Hakim (2002:60), proses terbentuknya percaya diri secara garis besar

adalah sebagai berikut:

1) Terbentuknya kepribadian yang baik sesuai dengan proses

perkembangan yang melahirkan kelebihan-kelebihan tertentu.

2) Pemahaman seseorang terhadap kelebihan-kelebihan yang dimilikinya

dan melahirkan keyakinan kuat untuk bisa berbuat segala sesuatu

dengan memanfaatkan kelebihan-kelebihannya.

3) Pemahaman dan reaksi positif seseorang terhadap kelemahan-

kelemahan yang dimilikinya agar tidak menimbulkan rasa rendah diri

atau rasa sulit untuk menyesuaikan diri.

4) Pengalaman di dalam menjalani berbagai aspek kehidupan dengan

menggunakan segala kelebihan yang ada pada dirinya.

Rasa percaya diri tidak muncul begitu saja pada diri seseorang. Ada proses

tertentu di dalam pribadi seseorang sehingga terjadilah pembentukan rasa

percaya diri. Menurut rasa percaya diri bukan merupakan sifat yang diturunkan

Page 28: 04410014 Zaki Firmansyah

38

(bawaan) melainkan diperoleh dari pengalaman hidup serta dapat diajarkan dan

ditanamkan melalui pendidikan guna membentuk dan meningkatkan rasa

percaya diri dan kepercayaan diri terbentuk melalui proses belajar di dalam

interaksi seseorang dengan lingkungannya (Lauster, 2002:2).

Terbentuknya kepercayaan diri seseorang tidak dapat lepas dari

perkembangan manusia pada umumnya, khususnya perkembangan

kepribadiannya. Kepercayaan diri sebagai salah satu aspek kepribadian,

terbentuk dalam interaksi dengan lingkungannya, khususnya lingkungan

sosialnya, termasuk lingkungan keluarga. (Walgito, 1993:8)

Rasa percaya diri lahir dari kesadaran pada diri sendiri dan tekad untuk

melakukan segala sesuatu sampai tujuan yang diinginkan tercapai.

Kepercayaan diri bersumber dari hati nurani dan terbina dari keyakinan diri

sendiri. Untuk mendapatkan rasa percaya diri seseorang memerlukan sebuah proses

dan kepercayaan diri itu tidak dapat muncul dengan tiba-tiba. (Angelis 1997:10-16)

Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa proses terbentuknya

kepercayaan diri lahir dari kesadaran pada diri sendiri yang bersumber dari hati

nurani yang terbentuk melalui proses belajar dan interaksi dengan

lingkungannya yang meliputi lingkungan sekolah, lingkungan sosial dan

lingkungan keluarga.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepercayaan Diri

Salah satu aspek pribadi yang berpengaruh dalam membentuk kepribadian

seseorang adalah aspek kepercayaan diri. Setiap individu sangat memerlukan

Page 29: 04410014 Zaki Firmansyah

39

kepercayaan diri untuk mengembangkan potensipotensi yang dimilikinya, dan

kepercayaan diri seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Menurut Hakim (2002:65), faktor yang mempengaruhi percaya diri

meliputi:

1) Lingkungan keluarga

Keadaan keluarga merupakan lingkungan hidup yang pertama dan

utama, dalam kehidupan setiap orang sangat mempengaruhi

pembentukan percaya diri pada seseorang. Rasa percaya diri baru bisa

tumbuh dan berkembang baik sejak kecil jika individu tersebut berada

dalam lingkungan keluarga yang baik. Pendidikan keluarga

merupakan pendidikan yang pertama dan utama yang menentukan

baik buruknya kepribadian seseorang.

2) Pendidikan formal

Sekolah dan perguruan tinggi bisa dikatakan sebagai lingkungan yang

paling berperan untuk bisa mengembangkan rasa percaya diri remaja

setelah lingkungan keluarga. Ditinjau dari segi sosialisasi mungkin

dapat dikatakan bahwa sekolah memegang peranan lebih penting jika

dibanding dengan lingkungan keluarga, yang jumlah individunya lebih

terbatas.

3) Pendidikan non formal

Rasa percaya diri akan lebih mantap jika seseorang memiliki suatu

kelebihan yang membuat orang lain merasa kagum. Kemampuan atau

ketrampilan dalam bidang tertentu bisa didapatkan melalui pendidikan

Page 30: 04410014 Zaki Firmansyah

40

non formal, misalnya: mengikuti kursus bahas asing, mengikuti kursus

jurnalistik, kursus bermain alat musik, seni vokal, mengikuti

ketrampilan untuk memasuki dunia kerja, pendidikan keagamaan, dan

lain-lain.

4) Lingkungan kerja

Lingkungan kerja bagi sebagian besar orang menjadi lingkungan

hidup kedua setelah rumah. Dalam lingkungan kerja tercipta suasana

kerja yang sangat kompleks, seperti: berat ringannya pekerjaan,

tingkat kesejahteraan karyawan, persaingan kerja, hubungan antara

karyawan dengan pemimpin, serta berbagai masalah lain yang

berkaitan dengan pekerjaan semua akan berpengaruh terhadap kondisi

mental karyawan dan dengan rasa percaya diri.

Sedangkan menurut Santrock (2003:336-339), faktor-faktor yang

mempengaruhi kepercayaan diri adalah :

1) Penampilan fisik

Seseorang yang memiliki anggota badan yang lengkap dan tidak

memiliki cacat/kelainan fisik tertentu akan cenderung memiliki rasa

percaya diri yang kuat dari pada seseorang yang memiliki

cacat/kelainan fisik tertentu.

2) Penerimaan sosial atau penilaian teman sebaya

Seseorang yang mendapatkan dukungan sosial dari teman sebaya

secara positif maka akan lebih percaya diri dalam melakukan sesuatu,

karena penerimaan social atau penilaian teman sebaya yang positif

Page 31: 04410014 Zaki Firmansyah

41

akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu obyek secara

positif.

3) Faktor orang tua dan keluarga

Dukungan orang tua seperti rasa kasih sayang, penerimaan dan

memberikan kebebasan kepada anak-anaknya dengan batasan tertentu

serta keadaan keluarga yang baik sangat mempengaruhi pembentukan

rasa percaya diri seseorang.

4) Prestasi

Seseorang yang memiliki kecerdasan dan wawasan yang tinggi akan

menghasilkan suatu prestasi yang baik dan meningkat sehingga

kemudian juga meningkatkan rasa percaya dirinya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri menurut Bandura

dalam Tomlinson dan Keasey (1985:637) ada empat yaitu :

1) Pengalaman dengan orang-orang yang berpengaruh dalam lingkungan.

Ini adalah faktor yang paling banyak berpengaruh dalam tumbuhnya

kepercayaan diri. Orang-orang yang berpengaruh dalam lingkungan

ini adalah orang-orang yang biasanya disukai dan disegani atau

bahkan orang yang paling ditakuti dan yang mampu memberikan

pengaruh di lingkungan tersebut. Seseorang yang pernah bersama-

sama dengan orang tersebut biasanya akan semakin tumbuh rasa

percaya dirinya.

2) Pengalaman yang dialami sendiri yaitu melihat banyak orang (model)

yang memiliki kompetensi dalam memberikan dorongan sehingga ia

Page 32: 04410014 Zaki Firmansyah

42

dapat berfikir “aku juga dapat melakukannya”. Melihat seseorang

yang dibanggakan (model) juga dapat mengajari seseorang tersebut

bagaimana menghadapi situasi yang menarik, menantang atau bahkan

situasi yang mengancam atau menakutkan.

3) Terlibat kontak langsung dengan orang lain seperti orang tua, teman-

teman, guru maupun orang lain yang belum dikenal, karena orang tua,

guru, dan teman-teman dapat mempengaruhi individu. Pengaruh yang

baik dan positif seperti individu memilikikemampuan untuk menjadi

orang yang sukses akan dapat membuat individu merasa lebih percaya

diri, namun sebaliknya jika pengaruh yang diberikan tersebut buruk

dan negatif maka individu dapat menjadi orang yang minder dan

seperti tidak mempunyai harga diri.

4) Keadaan psikologis. Bandura menekankan bahwa kepercayaan diri

juga dapat dipengaruhi oleh keadaan psikologis seseorang. Selama

seseorang mengalami situasi yang penuh dengan tekanan dan stress,

maka hal ini dapat mengurangi kompetensi perasaan seseorang atau

dapat membuat perasaan seseorang menjadi tidak nyaman dan tidak

bagus sehingga rasa percaya seseorang tersebut dapat menurun.

5. Kepercayaan Diri dalam Islam

Najiati (2002: ix), menyebutkan bahwa al-Qur'an berbicara kepada akal

dan perasaaan manusia; mengajar mereka tentang aqidah tauhid;

membersihkan jiwa mereka dengan berbagai praktek ibadah; memberi mereka

Page 33: 04410014 Zaki Firmansyah

43

petunjuk untuk kebaikan dan kepentingannya, baik dalam kehidupan individu

maupun sosial; menunjukkan kepada mereka jalan terbaik, guna mewujudkan

jati dirinya, mengembangkan kepribadiannya dan meningkatkan dirinya

menuju kesempurnaan insani, sehingga mampu mewujudkan kebahagiaan bagi

dirinya, di dunia dan akhirat.

Al-Qur'an sebagai rujukan pertama juga menegaskan tentang percaya diri

dengan jelas dalam beberapa ayat-ayat yang mengindikasikan percaya diri

seperti:

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih

hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika

kamu orang-orang yang beriman.” (Al-Imran: 139).

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah

Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan

turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan

janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah

dijanjikan Allah kepadamu".

Page 34: 04410014 Zaki Firmansyah

44

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,

hanyalah ulama.” (QS. Fatir,35: 28)

Ayat-ayat di atas dapat dikategorikan dengan ayat yang berbicara tentang

persoalan percaya diri karena berkaitan dengan sifat dan sikap seorang

Mukmin yang memiliki nilai positif terhadap dirinya dan memiliki keyakinan

yang kuat. Dari ayat di atas nampak bahwa orang yang percaya diri dalam al-

Qur'an di sebut sebagai orang yang tidak takut dan sedih serta mengalami

kegelisahan adalah orang orang yang beriman dan orang-orang yang istiqomah.

“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran

terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. Yunus,10: 62)

Para kekasih Allah, wali-wali Allah, adalah orang-orang yang bertakwa

kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Mereka adalah orang-orang yang

yakin dengan kekuasaan Allah dan kebenaran ayat-Nya. Mereka adalah orang-

orang yang selalu mencurahkan jiwa, raga, dan harta benda untuk kepentingan

di jalan Allah demi meraih keridhaan Allah semata. Niscaya, Allah

melimpahkan anugrah yang banyak pada kepada mereka sehingga tidak ada

perasaan khawatir di dalam hati pada setiap perbuatannya dan tidak pula ada

perasaan takut kepada selain-Nya. Hati mereka dipenuhi perasaan bahagia

dalam kehidupan di dunia dan terlebih pada kehidupan akhirat kelak. Sungguh,

Page 35: 04410014 Zaki Firmansyah

45

ketetapan Allah yang dijanjikan ini tidak pernah berubah. Sungguh, Allah

Maha Menepati janji-Nya. (The Miracle 15 in 1: 429)

Banyaknya ayat-ayat lain yang menggambarkan tentang keistimewaan

kedudukan manusia di muka bumi dan juga bahkan tentang keistimewaan umat

Islam, yang menurut peneliti merupakan ayat-ayat yang dapat dipergunakan

untuk meningkatkan rasa percaya diri.

Ma'rifatunnafsi atau mengenal diri sendiri terkenal dengan ungkapan

"Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya", Dapat

disejajarkan dengan konsep diri, self concept yaitu bagaimana seseorang

memandang dirinya sendiri. Khusnudzon atau prasangka yang baik juga dapat

disejajarkan dengan berpikir positif. Kata-kata yang terus beriringan dalam al-

Quran yaitu iman dan amal merupakan penegasan dari harus adanya keyakinan

dan tindakan. Untuk menyikapi semua tindakan-tindakan dan hasil yang

diperoleh atas semua usahanya Islam memberikan konsep lain seperti tawakal,

syukr dan muhasabah yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Al-Qur`an menamakan kualitas hidup yang semacam itu dengan al-hayat

al-thayyibah dan cara mencapainya dirumuskan dengan “amal saleh”: Barang

siapa yang melakukan amal saleh baik pria maupun wanita dalam keadaan ia

beriman, maka pasti akan kami hidupkan ia dengan al-hayat al-thayyibah

(hidup yang berkualitas tinggi) (QS. An-Nahl,16: 97 ), (Shihab, 1992: 281)

Akumulasi konsep-konsep tersebut jika diteliti secara berkesinambungan

akan menimbulkan dan mengisyaratkan adanya konsep percaya diri yang

terungkap dalam al-Qur'an, dan tercermin dalam sikap junjungan Nabi Besar

Page 36: 04410014 Zaki Firmansyah

46

Muhammad S.a.w., yang menggambarkan pribadi Muslim yang memiliki

kepercayaan diri sebagai pemimpin yang memiliki keberanian (courage) untuk

mengambil tanggung jawab sebagai bagian atau konsekuensi dari tindakannya

untuk melaksanakan visi yang telah diyakininya.

“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang

baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab,33:

21)

Rasulullah Muhammad adalah orang yang paling utama di antara orang-

orang yang beriman. Beliau utusan Allah yang terakhir, sebagai penutup para

Nabi dan Rasul, sekaligus penyempurna risalah Allah yang telah dibawa oleh

para utusan sebelumnya. Beliau menerima wahyu al-Qur`an sebagai petunjuk

bagi umat manusia secara keseluruhan. Allah menganugrahkan kepadanya

akhlak yang terpuji serta perilaku yang sangat mulia. Maka, diserukan kepada

orang yang menginginkan kebahagian hidup di dunia dan akhirat serta berharap

rida Allah, agar mengambil contoh teladan dari diri Rasulullah yang selalu

mendapatkan tuntunan dari Allah. (The Miracle 15 in 1: 837)

Al-Qur`an memerintahkan kepada umatnya untuk percaya kepada diri

sendiri. Namun, kepercayaan tersebut dikaitkannya dengan kekuasaan dan

Page 37: 04410014 Zaki Firmansyah

47

kemurahan Tuhan. Karena itu, digarisbawahinya bahwa Bila engkau telah

bertekad maka berserah dirilah kepada Allah (QS 3:159). Kepada Muhammad,

al-Qur`an menegaskan Berjuanglah di jalan Allah (dengan penuh kepercayaan

pada diri sendiri), jangan membebani sesesorang dan anjurkanlah pengikutmu

untuk berjuang bersama kamu (QS 4:84), (Shihab, 1992: 306)

Tasmara (2002:196-199), menjelaskan bahwa setiap pribadi muslim

menyadari sepenuhnya bahwa dirinya terlahir sebagai pemimpin, sebagaimana

diriwayatkan dalam hadis yang sangat populer, Rasulullah bersabda, “Setiap

kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya atas

kepemimpinannya.” Hal ini sesuai dengan tujuan penciptaan Adam a.s (al-

Baqarah:30). Dengan demikian, memainkan peran sebagai pemimpin

merupakan citra diri yang melekat pada manusia, utamanya mereka yang telah

mengaku sebagai seorang muslim. Manusia hanya dapat memanusiakan dirinya

dengan memainkan peran kepemimpinannya.

Dalam kaitannya dengan visi yang menempatkan dirinya sebagai hamba

yang merindu cinta Ilahi Rabbi, seluruh tindakannya akan menunjukkan jiwa

seorang pemimpin tersebut. Dia sadar bahwa pemimpin memilki arti sebagai

kemampuan untuk mempengaruhi dirinya sendiri dan orang lain melalui

keteladanan, nilai-nilai serta prinsip yang akan membawa kebahagiaan dunia

akhirat. Muslim yang mendapat amanah sebagai eksekutif akan menunjukkan

nilai-nilai moral tersebut, sehingga mereka akan memimpin berdasarkan

prinsip (principle centered leadership). Memimpin bukan hanya

mempengaruhi agar orang lain mengikuti apa yang diinginkannya. Bagi

Page 38: 04410014 Zaki Firmansyah

48

seorang muslim, memimpin berarti memberikan arah atau visi berdasarkan

nilai-nilai ruhaniah. Mereka menampilkan diri sebagai teladan dan memberikan

inspirasi kepada bawahannya untuk melaksanakan tugas sebagai

keterpanggilan Ilahi. Sehingga, mereka memimpin berdasarkan visi atau

mampu melihat dan menjangkau ke masa depan.

Kepemimpinan visioner mampu melihat sesuatu di balik yang tampak.

Seakan-akan, mereka itu mermpunyai kacamata batin yang mampu melihat

gambaran dirinya di masa depan. Penuh dengan daya imajinasi, bertindak atas

dasar nilai-nilai (value), dan adanya semacam nyala api yang terus membakar

semangat dirinya (vitality). Mereka mempelajari nilai-nilai yang ada di

lingkungannya. Mereka mencari informasi lebih banyak tentang orang lain atau

bawahannya untuk mengetahui nilai-nilai yang menjadi pegangan mereka.

Kepercayaan diri inilah, yang terlahir dari prinsip keperibadian diri muslim

yang amanah memegang tanggung jawabnya sebagai hamba yang

berkewajiban untuk berusaha untuk menjaga keyakinannya, serta tidak pernah

merasa ragu apalagi terpuruk di dalam sikap melankolis, penuh duka cita yang

akan melemahkan vitalitas dirinya sebagai seorang pemimpin.

“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali

kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. Al-Baqarah: 147)

Page 39: 04410014 Zaki Firmansyah

49

Dengan demikian, kesadaran dirinya sebagai khalifah fil ardhi bukanlah

hanya simbol, tetapi di dalamnya terkandung nilai-nilai keperibadian

(character) yang ingin menempatkan dirinya sebagai sebagai al-insanul-kamil,

sosok manusia yang terus-menerus menuju kepada kebaikan.

Inilah tanggung jawab dan tugas setiap pribadi muslim untuk

memperhatikannya dengan mempelajari dan mengajarkan, dengan berpikir dan

beritikad agar dapat mendirikan dienullah di atas dasar yang benar, serta untuk

menenangkan jiwa dan mendapatkan kebahagiaan sebagai buah dan hasilnya

(Al-Utsaimin, 2003:2). Dan sebagai generasi Ulul Albab, prinsip dasar

keimanan inilah yang menjadi tujuan dari program pendidikan sebagai hasil

dari kajian 16 ayat al-Qur`an guna menyiapkan calon-calon lulusan yang

memiliki kekokohan akidah dan kedalaman spiritual, keagungan akhlak,

keluasan ilmu, dan kematangan profesional, (Pedoman Pendidikan UIN Maliki

Malang, 2007: 9)

Keilmuan berdasarkan prinsip keimananan inilah yang sekaligus menjadi

pembeda antara para sarjana umum lainnya, yang mana hal ini dijelaskan oleh

Daradjat (1975:23), betapapun tinggi melangitnya ilmu pengetahuan seseorang,

apabila ia tidak beragama, maka pengetahuannya itu akan digunakan untuk

mencari kesenangan dan keuntungan sendiri tanpa memperhatikan kepentingan

orang lain. Karena semakin pandai dia, semakin pintar pula ia mengelabui atau

menipu orang. Sedang kendali jiwa yang menahan dan pengontrolan tindakan

dan perbuatannya tidak ada, yaitu kepercayaan kepada Tuhan dan

ketekunannya dalam mengindahkan ajaran-ajaran agamanya. Di sinilah letak

Page 40: 04410014 Zaki Firmansyah

50

tragisnya pengetahuan yang tidak disertai oleh jiwa taqwa kepada Tuhan.

Sedangkan dalam sisi lain Al-Amir Arselan (Tasmara, 2000:13), mengatakan

“Umat Islam mundur dikarenakan meninggalkan kitabnya, dan selain Islam

maju dikarenakan meninggalkan kitabnya.”

Islam melalui rukun Islam dan rukun iman, merupakan proses pendidikan

Tuhan kepada manusia yang diajarkan melalui para Nabi dan Rasul dan

terangkum dalam al-Qur`an dan al-Hadis, “Dan sungguh, telah kami mudahkan

Al-Qur`an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil

pelajaran?” (QS. Al-Qamar,54: 17). Inilah keyakinan mendasar yang

membentuk pribadi Muslim yang penuh kepercayaan diri positif dalam

memahami diri dan dunia ini sebagai sosok pribadi yang optimis dalam

mencapai berbagai macam tujuan dalam hidupnya dengan menggantungkan

semua harapan Pada-Nya.

Tasmara (2002:53), menjelaskan bahwa keyakinan adalah sarana dalam

mencapai keberhasilan. Tidak ada yang bisa diperbuat tanpa harapan dan

percaya diri. Seseorang yang bermental pemenang, ia memiliki rasa percaya

diri dan optimisme yang sangat besar. Dia berusaha dengan sungguh-sungguh

dan yakin akan usahanya tersebut. Inilah sisi lain dari makna tawakal (berasal

dari kata tawakul ‘tempat bersandar’). Setiap kali jiwanya mulai meredup, dia

segera melakukan zikir untuk menumbuhkan dorongan semangat pada dirinya

sendiri. Setiap kali diterpa badai tantangan, segeralah dia memperbaiki dan

membenahi diri, melakukan evaluasi lahir batin”.

Page 41: 04410014 Zaki Firmansyah

51

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur`an (QS. Az Zumar,39: 53)

dan ditegaskan kembali dalam (QS. Yusuf,12: 87)

“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap

diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.

Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah

yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Az Zumar,39: 53)

“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada

berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir". (QS. Yusuf,12:

87).

Inilah tugas dan kewajiban manusia, yakni menghambakan diri dan

beramal saleh dalam rangka mewujudkan maqaman mahmuda (posisi mulia

dan terhormat di hadapan Allah) sesuai dengan fitrah kemanusiaannya, dan

apapun di muka bumi ini hidup berdasarkan fitrahnya, sebagaimana fitrah api

yang tetap membakar, biji mangga menjadi pohon mangga, dan manusia

dengan fitrahnya akan tumbuh menjadi diri yang sejati sebagai manusia yang

merindukan kebenaran dan kebaikan. “Setiap benda di dunia ini punya

Page 42: 04410014 Zaki Firmansyah

52

dorongan untuk tumbuh dan menjadi sesuatu sesuai dengan tujuan yang sudah

terkandung dalam benda itu sendiri.” Aristoteles (dalam Thoha, 2007: 147-

148)

“Banyak dorongan yang mengakar dalam diri manusia dan masing-masing memegang peranan penting dalam kesinambungan danperkembangannya. Kekuatan terbesar yang menggerakkan roda kehidupandan memotivasi manusia berasal dari dorongan yang sumbernya berasaldari dalam diri manusia itu sendiri. Akal merupakan salah satu karuniaterbesar yang dianugrahkan Allah kepada manusia dan dengan akal pulamanusia mendapat kehormatan sebagai mahluk yang memiliki kemuliaandibandingkan mahluk Tuhan lainnya.

Perbendaharaan manusia yang paling berharga ialah akalnya. Ketikamanusia jatuh hina, ia memuliakannya, ketika manusia terjatuh, iamengangkatnya, dan ketika manusia tersesat, ia memberinya petunjuk danketika manusia berbicara, ia mengukuhkannya” Imam Ali a.s (dalamMusawi, 1997: 58)

Sejarah dalam Islam telah membuktikan bahwa peradaban manusia

ditentukan oleh manusia yang sangat kuat dalam keyakinannya dalam

mengamalkan setiap ayat-ayat al-Qur`an dalam diri dan kehidupan yang nyata

sekaligus sebagai sosok yang terbaik (khairul ummah).

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,

menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman

kepada Allah. (QS. Ali Imran,3: 110)”

Page 43: 04410014 Zaki Firmansyah

53

C. Hubungan antara Religiusitas dengan Kepercayaan Diri

Tinggi-rendahnya religiusitas seseorang mempunyai peran penting dalam

mencegah hambatan penyesuaian diri. Seseorang yang memiliki religiusitas

tinggi adalah orang senantiasa menggunakan agama sebagai referensi semua

perilakunya, termasuk juga dalam menghadapi segala persoalan ataupun dalam

usahanya memenuhi dorongan dari dalam dirinya dan menyesuaikan diri

dengan lingkungannya.

Mahasiswa yang tingkat religiusitasnya tinggi adalah mereka yang

memiliki kepribadian yang terikat erat dengan agama yang diyakininya. Agama

mengajarkan bahwa setiap manusia yang mengaku beriman pasti akan diuji

keimanannya. Lewat ujian ini pahala dan dosa manusia akan ditentukan apakah

mereka yang tetap di jalan Tuhan baik dalam ujian yang berupa kesenangan

maupun ujian yang berupa penderitaan, merekalah orang-orang yang kelak

bahagia di Surga, sedangkan mereka yang memilih jalan pintas untuk

memenuhi kebutuhannya tanpa memperdulikan ajaran agama maka nerakalah

tempatnya.

Dengan pemahaman dan keyakinan ini manusia akan bersikap positif

terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi. Sikap positif ini mampu

memberikan kekuatan pada manusia dalam melakukan penyesuaian diri.

Dengan demikian, agama dapat memberikan rasa percaya diri, rasa optimis

yang membuat manusia lebih tahan menghadapi cobaan dan tidak mudah putus

asa. Hal ini akan sangat mendukung proses penyesuaian diri seseorang

Page 44: 04410014 Zaki Firmansyah

54

sehingga ia terhindar dari gangguan perilaku yang dapat menghambat

produktivitasnya.

Banyak penelitian yang mengungkapkan tentang peran religiusitas

terhadap kesehatan mental. Subandi (1988), menemukan bahwa religiusitas

berkorelasi negative dengan kecemasan. Dwiatmoko (1993), menyebutkan

bahwa religiusitas berkorelasi negatif dengan kesepian. Hidayah (1992),

mengungkapkan bahwa religiusitas berkorelasi negatif dengan sikap terhadap

hubungan seksual pranikah. Sedangkan Khisbiyah (1992), menemukan bahwa

religiusitas berkorelasi positif dengan kebermaknaan hidup.

Uraian di atas mengindikasikan bahwa seseorang yang memiliki

religiusitas yang tinggi dapat meningkatkan kepercayaan diri. Mahasiswa

termasuk dalam kriteria orang yang telah mencapai kematangan keberagamaan

sehingga religiusitasnya diharapkan mampu mengatasi persoalan-persoalan

yang dihadapi dalam hidupnya, termasuk dalam kegiatan-kegiatan

akademiknya.

D. Hipotesis

Adapun hepotesis dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan positif yang

signifikan antara religiusitas dengan kepercayaan diri mahasiswa Fakultas

Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang,

atau 1 diterima dan 0 ditolak, dimana 1 berarti ada hubungan antara dua

variabel dan 0 yang berarti tidak ada hubungan antara kedua variabel.