04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

44
1 | Page Best Practices Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) di China dan Beberapa Negara ASEAN serta ADB Oleh: Erik Teguh Primiantoro 1 A. Pendahuluan: Konsep Penyusunan Best Practices Sistem KDL Kebijakan perlindungan (Safeguard policies) secara umum dipahami sebagai kebijakan operasional untuk menghindari, mengurangi dan memitigasi dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial. Satu dari safeguard policies adalah safeguard policies di bidang perlindungan lingkungan (environment safeguard). Environmental Impact Assessment atau dikenal dengan nama Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) merupakan instrumen perlindungan lingkungan (environmental safeguard) Indonesia yang telah dibangun, dikembangkan dan diimplementasikan serta disempurnakan selama lebih kurang 28 tahun. Dalam rangka pengembangan Amdal ke depan, maka diperlukan data dan informasi terkait dengan pengalaman berbagai negara dan lembaga-lembaga internasional dalam mengembangkan dan menerapkan sistem Amdal di negaranya masing-masing. Disamping itu juga agar sistem Amdal dapat diterapkan dalam konteks yang lebih luas seperti lembaga keuangan, maka juga perlu digali pengalaman dari berbagai negara dan lembaga terkait dengan penggunaan sistem Amdal dalam transaksi-transaksi keuangan. Berdasarkan pengalaman tersebut kita dapat membandingkan sistem Amdal Indonesia dengan sistem Amdal di beberapa negara dan international best practices. Perbandingan sistem Amdal Indonesia dengan internasional best practices juga diperlukan dalam rangka pelaksanaan hasil Deklarasi 1 Kabid Pengendalian Sistem Kajian Dampak Lingkungan pada Asisten Deputi Kajian Dampak Lingkungan, Deputi Bidang Tata Lingkungan, KLH-2014

description

AMDAL

Transcript of 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

Page 1: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

1 | P a g e

Best Practices

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) di

China dan Beberapa Negara ASEAN serta ADB

Oleh:

Erik Teguh Primiantoro1

A. Pendahuluan: Konsep Penyusunan Best Practices

Sistem KDL

Kebijakan perlindungan (Safeguard policies) secara umum dipahami

sebagai kebijakan operasional untuk menghindari, mengurangi dan

memitigasi dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial. Satu

dari safeguard policies adalah safeguard policies di bidang

perlindungan lingkungan (environment safeguard). Environmental

Impact Assessment atau dikenal dengan nama Analisis Mengenai

Dampak Lingkungan (Amdal) merupakan instrumen perlindungan

lingkungan (environmental safeguard) Indonesia yang telah dibangun,

dikembangkan dan diimplementasikan serta disempurnakan selama

lebih kurang 28 tahun.

Dalam rangka pengembangan Amdal ke depan, maka diperlukan

data dan informasi terkait dengan pengalaman berbagai negara dan

lembaga-lembaga internasional dalam mengembangkan dan

menerapkan sistem Amdal di negaranya masing-masing. Disamping

itu juga agar sistem Amdal dapat diterapkan dalam konteks yang

lebih luas seperti lembaga keuangan, maka juga perlu digali

pengalaman dari berbagai negara dan lembaga terkait dengan

penggunaan sistem Amdal dalam transaksi-transaksi keuangan.

Berdasarkan pengalaman tersebut kita dapat membandingkan

sistem Amdal Indonesia dengan sistem Amdal di beberapa negara

dan international best practices.

Perbandingan sistem Amdal Indonesia dengan internasional best

practices juga diperlukan dalam rangka pelaksanaan hasil Deklarasi

1 Kabid Pengendalian Sistem Kajian Dampak Lingkungan pada Asisten Deputi Kajian

Dampak Lingkungan, Deputi Bidang Tata Lingkungan, KLH-2014

Page 2: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

2 | P a g e

Paris yang mendorong penggunaan country safeguard systems

(CSS)untuk berbagai proyek yang didanai oleh pendanaan

internasional. Sejalan dengan Deklarasi Paris ini, penggunaan

penggunaan CSS akan menyederhanakan siklus proyek ADB

sehingga lebih efektif dan efisien (menghemat biaya, waktu dan

energi. Disamping itu juga penggunaan CSS akan mencegah terhadi

kebinggungan dalam implementasi EMP dan penaatan (pengawasan

dan penegakan hukum) serta proses pengembailana keputusan yang

dilakukan oleh Indonesia dan ADB dilakukan berdasarkan informasi

yang memliki tingkat kedalaman dan kerincian yang sama.

Disamping itu juga pengalaman dari berbagai negara dan lembaga

tersebut juga dapat digunakan untuk mengembangan penarapan

sistem Amdal di Indonesia dalam terkait dengan lembaga keuangan

dan perbankan. Kemitraan dengan dunia perbankan dalam rangka

penerapan sistem Amdal sebagai instrumen perlindungan

lingkungan (environmental safeguard) sangat penting. Hal ini

mengingat bahwa sektor perbankan adalah satau sumber utama

pembiayaan investasi untuk berbagai proyek komersial yang

merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting untuk

menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sektor perbankan

dapat memainkan peranan penting dalam mewujudkan invetasi yang

ramah lingkungan dan bertanggung jawab secara sosial

(environmentally sustainable and socially responsible investment -

SRI);

Berdasarkan dasar pemikiran tersebut di atas, maka best practices

penerapan sistem Amdal yang akan disusun mencakup tiga bidang

atau aspek, yaitu:

1) Penerapan sistem Amdal di beberapa negara;

2) Kesetaraan (equivalancy) sistem Amdal Indonesia dan sistem

Amdal lembaga internasional (international Best Practices);

3) Penerapan sistem Amdal dalam lembaga keuangan dan

perbankan;

Berdasarkan ruang lingkup atau cakupan best practices yang akan

disusun, maka strategi dan metode yang digunakan untuk

penyusunan best practices tersebut adalah melalui:

1) pertemuan dan diskusi internal untuk mentukan ruang lingkup

best practices sistem Amdal;

Page 3: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

3 | P a g e

2) Pertemuan dan diskusi dengan berbagai pakar dan praktisi Amdal

dari berbagai negara dan lembaga. Strategi ini dilakukan melalui

keikutsertaan dalam beberapa workshop Internasional di China

dan Manila;

3) Perumusan akhir konsep best parctices Amdal yang mencakup:

a. Penerapan Sistem Amdal di berbagai negara;

b. Kesetaraan sistem Amdal Indonesia dengan internasional

best practices;

c. Penerapan Sistem Amdal dalam lembaga keuangan dan

perbankan;

B. Pelaksanaan Pembahasan Konsep Best Practices

Pelaksanaan penyusunan konsep best parctices dilakukan melalui:

1) Keikutsertaan dalam China-ASEAN Workshop on Environmental

Impact Assessment yang diselenggarakan oleh China-ASEAN

Environmental Cooperation Center (CAECC) Ministry of

Environmental Protection P.R. China pada tanggal 12-17 Mei 2014

di Yixing, Jiangsu Province, P.R. China. Dalam workshop ini

dibahas berbagai isu terkait dengan Amdal di China dan Beberapa

Negara ASEAN antara pakar dan prakstisi Amdal dari Kemnetrian

LH China dan pakar dan praktisi Amdal dari Kementerian

Lingkungan Hidup dari negara-negara ASEAN. Topik yang

menjadi pembahasan, yaitu:

a. Pengembangan legislasi dan Sistem EIA di China;

b. Prosedur EIA untuk proyek konstruksi di China;

c. Persetujuan Administrasi lingkungan untuk proyek

konstruksi di China;

d. Sistem EIA di Brunai Darusalam, Kamboja, Indonesia dan

Laos;

e. Teknologi dan standar EIA;

f. Sistem EIA Malaysia, Myanmar, dan Filipina;

g. Studi Kasus SEA (KLHS)dan Proyek Konstruksi;

h. EIA untuk Proyek Limbah B3;

i. Sistem EIA di Singapura, Thailand dan Vietnam;

j. Kunjungan ke kawasan industri untuk Perlindungan

Lingkungan;

k. Seminar Kerjasama Industri Lingkungan antara China dan

ASEAN;

2) Keikutsertaan dalam Second Regional Workshop on Strengthening

Country Safeguard Systems: Toword Coomon Approaches for Better

Page 4: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

4 | P a g e

Result yang diselenggarakan oleh ADB di Manila pada tanggal 7-9

Oktober 2014 di Kantor Pusat ADB Manila. Peserta yang hadir

dalam pembahasan ini adalah wakil-wakil dari Kementerian

Lingkungan Hidup di negara-negara ASEAN dan Asia Selatan

serta beberapa lembaga donor yang terkait dengan EIA atau

Country Safeguard systems (CSS). Topik-topik yang menjadi

agenda pembahasan antara lain adalah:

a. Tantangan-tangangan kunci yang sedang dihadapi negara-

negara Asia Pasifik. Beberapa pakar berbagai pengalaman

dan juga memberikan arahan ke depan apa yang harus

dilakukan dengan mengkritisi status qua, saran-saran

terkait dengan berbagai kemungkinan untuk meningkatkan

penggunaan CSS dan juga pendekatan dan benchmarking

yang ada saat ini;

b. Berbagai pengalaman praktis negara-negara berkembang

dalam penerapan CSS termasuk mengali berbagai peluang

untuk mengevaluasi pelaksanaaan CSS dan merumuskan

langka ke depan untuk memperkuat pengunaan CSS. 4

isu utama terkait dengan EIA yang dibahas, yaitu:

i. Proses EIA secara umum;

ii. Bagaimana menilai dokumen EIA;

iii. Implementasi EMP;

iv. Proses konsultasi publik dan keterbukaan informasi;

c. Proses integrasi dimensi lingkungan dan sosial ke dalam

proses pembangunan saat ini merupakan sesuatu yang

sudah terbangun dengan baik, dimana negara-negara

berkembang di Asia dan Pasifik telah membangun dan

membuat berbagai kemajuan dalam peningkatan CSS.

Disamping itu studi kasus juga dibahas oleh para pakar

dari berbagai negara antara lain bagaimana KLHS (SEA)

menjadi bagian dari proses perencanaan regional di China,

mengapa Indonesia memutuskan untuk menggunakan CSS

dalam proyek-proyek yang akan didanai oleh ADB dan

bagaimana Indonesia akan melakukannya, Bagaimana

Srilangka melakukan formalisasi kebijakan pengadaan

lahan dan pemukiman kembali (land acquisition and

resettlement policy), dan bagaimana China mengelola proses

pemukiman kembali dalam skala besar untuk

pembangunan waduk;

d. Peningkatan kerjasama dan koordinasi dalam penerapan

CSS yang koheren yang dapat mendukung terwujudnya

Page 5: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

5 | P a g e

pembangunan berkelanjutan. Berbagai kemitraan yang

telah dibangun selama beberapa tahun untuk

meningkatkan CSS, berbagai alasan keberhasilan dan

kegagalan serta bagaimana kemitaraan ini akan

berkembang di masa depan;

e. Pengalaman kerjasma antar negara yang dapat membawa

manfaat bersama yang mencakup pengaturan CSS dengan

international best practices di antara negara-negara

berkembang dan AECEN;

f. Pengalaman Organisasi masyarakat madani atau the civil

society organizations (CSO) di negara-negara berkembang

dalam memberikan kontribusi yang signifikat terhadap

proses perkembangan CSS;

g. Pengalaman berbagai badan usaha milik negara bermitra

dengan berabagi sektor swasta dan lembaga keuangan

swasta dalam mengintegrasikan resiko lingkungan ke dalam

risko pengelolaan keuangan yang komplek dari perspektif

CSS;

h. Pelatihan terkait dengan perlindungan lingkungan:

pedoman teknis penilaian dokumen lingkungan dengan

fokus pada pada proyek pembangunan di bidang energi,

Implementasi sistem perlindungan lingkungan: Pengalaman

negara-negara Asia Selatan dalam konteks CSS dan

Pengelolaan kontraktor (Contractor Management).

C. Perumusan Hasil Pembahasan Best Practices

Berdasarkan hasil presentasi dan diskusi dengan berbagai pakar dan

praktisi Amdal dari beberapa negara dan lembaga serta beberapa

referensi yang diperoleh selama mengikuti workshop Amdal

Internasional di China dan Manila, maka dapat dirumuskan:

1) Best practices Amdal di beberapa negara;

2) Analisis equivalency sistem Amdal Indonesia dengan internasional

best practices;

3) Best practices penerapan sistem Amdal dalam lembaga keuangan

dan perbankan

Best practices Amdal di Beberapa Negara

1. Amdal di China

Page 6: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

6 | P a g e

a. Proses manajemen proyek konstruksi di China terdiri dari:

i. Sebelum kontruksi – EIA;

ii. Selama konstruksi – Pengawasan lingkungan

(Environmental Supervision)

iii. Sebelum proses produksi dan penggunaan secara resmi –

“Three simultanousness;

iv. Penyelesaian (completion) – Post assessment Amdal;

b. Prinsip-prinsip penelitian dan persetujuan

i. Terbuka (open), fair dan adil (justice);

ii. Masukan dokumen untuk persetujuan: Pemrakarsa

kegiatan konstruksi wajib menyampaikan dokumen Amdal

untuk persetujuan sebelum kegiatan konstruksi.

Pemrakarsa yang melakukan kegiatan konstruksi sebelum

dokumen Amdal disetujui dianggap sebagai kegiatan ilegal;

c. Muatan Peenilaian Dokumen (Kriteria Kelayakan Lingkungan

Hidup)

i. Kesesuain dengan PUU terkait perlindungan lingkungan;

ii. Kesesuaian lokasi, rute dan lay-out dengan perencanaan

(tata ruang);

iii. Kegiatan yang berlangsung di kawasan konservasi, cagar

budaya, lokasi pencadangan sumber air minum atau area

sensitif lainnya, peryaratan perlindungan lingkungan

terpenuhi;

iv. Persyaratan kebijakan industri nasional dan produksi

bersih terpenuhi;

v. Setelah konstruksi, kualitas lingkungan di area dimana

proyek berlokasi sesuai dengan standar kualitas lingkungan

yang berlaku (environmental function zoning standard);

vi. Berbagai upaya pencegahan pencemaran lingkungan yang

akan dilakukan dapat memastikan bahwa efluent dan

emisis dapat memenusi baku mutu lingkungan nasional

dan daerah;

vii. Berbagai upaya perlindungan ekologis dapat secara efektif

mencegah dan mengendalikan kerusakan ekologis;

viii. Keteresdian berbagai upaya pencegahan risiko lingkungan

dan rencana tanggap darurat terkait dengan insiden

pencemaran lingkungan yang lengkap dan terpercaya;

ix. Keterlibatan masyarakat sesuai dengan persyaratan yang

berlaku;

d. Dokumen Amdal tidak akan disetujui untuk:

Page 7: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

7 | P a g e

i. Berbagai proyek yang secara resmi dilarang oleh negara dan

tidak dapat memenuhi atau mengikuti kebijakan industri

nasional;

ii. Berbagai proyek yang berlokasi di areal yang dicadangkan

sebagai sumber air minum, kawasan konservasi, scenic

spot, area yang bernilai penting dan sensitif secara ekologi

dan memberikan dampak lingkungan secara ekologis dan

menyebakan terjadinya pencemaran;

iii. Berbagai proyek yang tidak dapat memenuhi perencanaan

umum perkotaan da perecanaan perlindungan lingkungan;

iv. Berbagai proyek yang berlokasi di area zona inti dan buffer

kawasan konservasi;

v. Berbagai proyek konstruksi yang menempati kawasan

konservasi untuk kepentingan penelitian (natural reserve

experimental areas) dan menyebakan kerusakan ekologis

atau berbagai proyek yang terletak di luar kawasan

konservasi tetapi menimbulkan kualitas kerusakan dan

fungsi ekologi kawasan konservasi;

vi. Berbagai proyek dengan efluent dan emisi (pollution

discharges) dari fasilitas eksisting yang tidak dapat

memenuhi baku mutu lingkungan nasional dan lokal;

vii. Berbagai proyek yang tidak dapat mengurangi beban

pencemaran melalui berbagai upaya alternatif seperti

keseimbangan regional di dalam area yang kualitas

lingkungannya tidak sesuai dengan persyaratan dari fungsi

lingkungan yang telah ditetapkan;

e. Prosedur penilaian dan persetujuan dokumen Amdal

i. Pemrakarsa di bidang konstruksi menyampaikan dokumen

Amdal dan bahan-bahan lainnya kepada Kementerian

Perlindundan Lingkungan (The Ministry of Environmental

Protection - MEP);

ii. Jika ditolak, MEP akan mengembalikan dokumen Amdal

kepada pemrakarsa dan meminta perbaikan dokumen dan

bahan-bahan tambahan;

iii. Jika diterima, MEP akan menyampaikan dokumen Amdal

tersebut kepada pihak-pihak terkait untuk direview, yaitu:

dokumen akan dinilai oleh departemen terkait (review

by relevant department);

mempercayakan kepada lembaga penilaian untuk

melakukan penilaian secara teknis (technical review):

Page 8: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

8 | P a g e

1. penilaian muatan dokumen Amdal, penilaian

standarisasi dokumen Amdal, Penilaian

kelayakan lingkungan hidup dari proyek

konstruksi;

2. Metode penilaian secara teknis (technical

Review) dampak lingkungan: investigasi

lapangan, konsultasi dengan pakar, analisis

komparatif, investigasi khusus dan penelitian,

perhitungan simulasi;

3. Spesifikasi teknis penilaian: kebijakan industri

dan kondisi akses, lokasi, lay-out, perencanaan

perkotaan, perencanaan penggunaan lahan,

analisis teknis, upay-upaya pencegahan

pencemaran, tingkat pelaksanaan produksi

bersih, status kualitas LH, prediksi dampak LH

dan perlindungan LH, jumlah total pollutioan

discharges, risiko lingkungan;

Review awal (preliminary review) oleh Departmen

Perlindungan Lingkungan Propinsi;

iv. MEP menilai proyek konstruksi;

v. Pengumuman proyek yang diusulkan (7 hari)

vi. MEP melaksanakan prosedur penilaian dan persetujuan;

vii. Total waktu yang dibutuhkan adalah 90 hari kerja.

viii. Gambaran keseluruhan proses Amdal di China dapat dilihat

pada gambar dibawah ini.

Page 9: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

9 | P a g e

Gambar 1. Proses penilaian dan persetujuan dokumen Amdal di

China

f. Sistem Standar dan Metode Teknis Amdal di China

i. Konsep umum Amdal:

Design;

Konstruksi;

Percobaan operasi (trial operation);

Operation;

Close;

ii. Design terdiri dari:

Proposal proyek;

Feasibility studies, termasuk Amdal;

Design awal (preliminary design);

Detailed design;

Construction drawing design;

iii. Muatan dokumen Amdal harus dapat menjawab:

Keseusauan dengan PUU industri dan perlindungan

lingkungan;

Page 10: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

10 | P a g e

Kesesuian dengan zonasi fungsional daerah dan

wilayah sungai (basin), perencanaan perlindungan

ekologis, perencanaan umum perkotaan;

Kesesuaian dengan prinsip-prinsip produksi bersih;

Kesuaian dengan PUU terkait dengan perlindungan

ekologis i.e. tumbuhan dan satwa langkah dan

biodiversity;

Kesesuian dan PUU penggunaan Sumberdaya;

Kesesuaian dengan PUU penggunaan lahan;

Kesesuaian dengan pollution cap control (nasional dan

lokal);

Kesesuian dengan persyaratan baku mutu

lingkungan;

Dapat secara tepat mengidentifikasi dampak

lingkungan;

Memilih secara tepat metode untuk melakukan

prediksi dampak lingkungan dan analisisnya;

Dapat secara efektif melindungi obyek-obyek

lingkungan yang sensitif dan mengurani dampak

negatif terhadap lingkungan;

Berbagai upaya perlindungan lingkungan dan skema

alternatif secara teknis dan ekonomis layak

(memungkingkan);

iv. Kesimpulan penilaian Amdal pada umumnya mencakup:

Overview proyek konstruksi;

Status lingkungan dan masalah lingkungan utama;

Prediksi dampak lingkungan dan kesimpulan kajian

(asessment conclusion);

Kelayakan lingkungan proyek konstruksi: kesesuaian

dengan PUU dan perencanaan, tingkat produksi

bersih dan pencemaran lingkungah, tingkat

kepercayaan dan rasionalisasi upaya perlindungan

lingkungan, pemenuhan baku mutu lingkungan serta

penerimaan masyarakat (publik);

Kesimpulan dan saran

Page 11: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

11 | P a g e

2. Amdal Thailand

a. Kajian dampak lingkungan di Thailand terbagi menjadi:

i. Environmental Impact Assessment (EIA) untuk proyek yang

berdampak penting;

ii. Environmental Health Impact Assessment (EHIA) untuk

proyek atau kegiatan yang secara serious berdampak

kepada masyarakat;

iii. Initial Environmental Examination (IEE) untuk proyek skala

kecil yang berdampak lebih kecil;

b. Menteri SDA dan LH (Minister of Natural Resources and

Environment – MONRE) dengan persetujuan dari National

Environmental Board (NEB) memiliki kewenangan untuk

menerbitkan notifikasi yang menetapkan/menentukan kategori

dan besaran proyek atau kegiatan pemerintah, badan usaha milik

pemerintah, badan usaha swasta yang wajib menyampaikan EIA

kepada Office of Natural Resources and Environmental Policy and

Planning (ONEP) dan the Expert Review Committe (ERC) untuk

pertimbangan dan persetujuan;

c. Jenis dan skala proyek atau kegiatan yang wajib menyusun

Amdal terbagi menjadi empat;

d. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses Amdal di Thailand:

i. Pemrakarsa: pemerintah, BUMN atau swasta yang memiliki

proyek atau kegiatan wajib Amdal;

ii. Lembaga Perizinan (the permitting agency): Pengambil

keputusan akhir adalah kabinetr jika pemrakarsanya

adalah pemerintah atau BUMN;

iii. the Expert Review Committe (ERC): Dokumen Amdal harus

disampaikan kepada ONEP untuk penilaian awal

(preliminary review) sebelum keputusan akhir dilakukan

oleh ERC. Environmental Impact Evaluation Bureau (EIEB)

dari ONEP bertanggung jawab untuk melakukan

melakukan pemeriksaan dokumen Amdal dan dokumen-

dokumen yang terkait dan juga penilaian awal. Dokumen

Amdal beserta hasil penilaian awal disampaikan kepada

ERC untuk memberikan pertimbangan akhir. ERC terdiri

dari: para pakar dari berbagai bidang keahlian atau disiplin

ilmu dan berbagi pihak terkait yang akan memberikan izin.

ERC akan menyetujui atau tidak menyetujui atau meminta

oerbaikan dokumen atau informasi tambahan;

Page 12: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

12 | P a g e

iv. Konsultan: Sesuai dengan Peraturan Menteri yang mulai

berlaku efektif sejak tahun 1984, Konsultan penyusun EIS

di Thailand harus teregistrasi di ONEP. Sampai dengan

April 2012 jumlah perusahaan konsultan Amdal yang

teregistrasi adalah 62 konsultan;

e. Proses Penilaian dan Persetujuan EIA (Amdal) terbagi menjadi 4

kategori, yaitu:

i. Proses penilaian dan persetujuan untuk proyek atau

kegiatan yang dipersyaratkan oleh PUU atau

proyek/kegiatan yang tidak membutuhkan persetujuan

kabinet;

ii. Proses penilaian dan persetujuan untuk proyek atau

kegiatan yang membutuhkan persetujuan kabinet;

iii. Proses penilaian dan persetujuan untuk proyek atau

kegiatan yang secara serius berdampak kepada masyarakat

yang terkait dengan lingkungan, SDA dan kesehatan atau

yang membutuhkan perizinan berdasarkan PUU atau

proyek/kegiatan yang tidak memerlukan persetujuan

kabinet;

iv. Proses penilaian dan persetujuan untuk proyek atau

kegiatan yang secara serius berdampak kepada masyarakat

dan memerlukan persetujuan kabinet

f. Untuk kategori pertama, proses penilaian dan persetujuannya

sebagai berikut:

i. ONEP setelah menerima dokumen EIA akan melakukan

pemeriksaan dokumen dalam waktu 15 hari. Jika Dokumen

ini tidak lengkap atau tidak benar, ONEP akan

mengembalikan dokumen tersebut kepada pemrakarsa;

ii. Jika dokumen tersebut benar atau tepat, ONEP akan

melakukan penilaian awal dan komentar (preliminary review

and comments) dalam waltu 15 hari;

iii. Dokumen EIA bersama-sama dengan hasil penilaian awal

disampaikan kepada the Expert Review Committe (ERC).

ERC akan menilai dokumen EIA dalamw aktu 45 hari. Jika

dokumen EIA ini disetujuai, Institusi perizinan (the

permitting agency) akan menerbitkan izin dengan

persyaratan terkait dengan upaya mitigasi dan

pemantauan. Jika dokumen tidak disetujui, pemrakarsa

harus menyampaikan kembali dokumen EIA yang sudah

diperbaiki ke ERC. ERC akan menilai dokumen yang sudah

diperbaiki dalam waktu 30 hari;

Page 13: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

13 | P a g e

iv. Ilustrai proses penilaian dan persetujuan untuk kategori

pertama ini tercantum dalam gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2. Proses penilaian dan persetujuan dokumen Amdal untuk

proyek secara umum di Thailand

3. Amdal di Malaysia

a. Pertimbangan yang harus dilakukan sebelum menyusun EIA:

i. Pemrakarsa harus memastikan bahwa rencana usaha

dan/atau kegiatan yang akan dilakukan tidak bertentangan

dengan rencana pembangunan, kebijakan dan berbagai

keputusan dari Pemerintah Malaysia sebelum melakukan

penyusunan dokumen EIA;

ii. Pemilihan site (site selection): Kriteria untuk pemilihan site

mencakup aspek teknis, lingkungan dan ekonomi.

Pemrakarsa diminta untuk tidak memilih site di dalam atau

berbatasan dengan area yang sensitif secara lingkungan

(Environmentally senstive areas-ESA). EIA

Page 14: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

14 | P a g e

mendokumentasikan proses pemilihan site (site selection

process);

b. Di Malaysis, EIA diperlukan untuk prescribed activities, yaitu

berbagai kegiatan yang ditetapkan oleh Menteri SDA dan LH

Malaysia sebaga kegiatan memiliki dampak penting terhadap

lingkungan (significant environmental impact);

c. Pemrakarsa harus menyampaikan dokumen EIA ke Dirjen

Kualitas Lingkungan sebelum persetujuan rencana usaha

dan/atau kegiatan diberikan oleh lembaga yang berwewenang

(relevant approving authority);

d. Kegiatan yang wajib EIA ditetetpkan oleh Environmental Quality

(Prescribed Activities) (Environmental Impact Assessment) Order

1987;

e. Penyusun dokumen EIA: Dokumen EIA harus disusun oleh

penyusun yang kompeten yang teregistrasi di Departemen

Lingkungan dalam skema registrasi konsultan EIA;

f. Penyusunan dokumen EIA: dalam penyusunan dokumen EIA,

pemrakarsa mengacu pada pedoman penyusunan EIA (a

Handbook of EIA Guideline edisi ke 4 tahun 2007) dan pedoman

EIA untuk jenis rencana usaha dan/atau kegiatan tertentu yang

diterbitkan oleh Departemen Lingkungan dan lembaga lainnya;

g. Penilaian dokumen EIA: Semua prescribed activities perlu

mendapatkan persetujuan EIA dari Dirjen Lingkungan sebelum

mendapat izin dari lembaga pemerintah federal atau negara

bagian yang berwenang;

h. Prosedur EIA: ada dua jenis prosedur EIA yang diadopsi di

Malaysia, yaitu:

i. Preliminary EIA (PEIA):

Kajian dampak yang disebabakan oleh kegiatan-

kegiatan yang telah ditetantukan/tetapkan.

PEIA dinilai oleh komite teknis (technical committe)

yang terdiri dari Departemen Lingkungan dan

lembaga pemerintah yang terkait;

Jangka waktu penilaian PEIA adalah 5 minggu (35

hari);

ii. Detail EIA:

prosedur yang dilakukan untuk kegiatan-kegiatan

yang berdampak penting terhadap lingkungan.

DEIA wajib melibatkan masyarakat dan masyarakat

memiliki hak untuk memberikan saran, pendapat dan

tanggapan;

Page 15: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

15 | P a g e

TOR: Pemrakarsa wajib menyampaikan TOR-EIA

untuk DEIA;

Dokumen DEIA dinilai oleh Panel Review Ad hoc yang

ditetapkan oleh Dirjen dan dipimpin oleh Dirjen;

Jangka waktu untuk penilaian DEIA adalah 12

minggu (84 hari);

Page 16: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

16 | P a g e

Gambar 3. Prosedur untuk Preliminary EIA di Malaysia

Page 17: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

17 | P a g e

Gambar 4. Prosedur untuk Detailed Environmental Impact

Assessment (DEIA) di Malaysia

Page 18: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

18 | P a g e

4. Amdal di Filipina

a. Sistem Kajian Dampak Lingkungan Filipina menjadi dasar

kerangka legal dan prosedural untuk pelaksanaan EIA untuk

berbagai proyak yang berdampak penting terhadap lingkungan;

b. Sistem KDL dirancang untuk berfungsi sebagai perlindungan

(safeguard) LH dan SDA Filipina di era pertumbuhan

industrailisasi dan urbanisasi;

c. Sistem KDL menpersyaratkan EIA dan penyusunan dokumen EIS

untuk:

i. Environmentally critical project (ECP):

Berbagai Industri berat: non-ferrous metal industries,

industri besi dan baja, smelter, petroleum dan

petrokimia, migas;

Industri ekstraksi SDA: i.e. tambang, kegiatan

kehutanan;

Berbagai proyek infrastrukrtur i.e. bendungan, jalan

dan jembatan, pembangkit listrik, reklamasi;

Lapangan golf dan resort dengan lapangan golf (golf

resorts);

Lain-lain: resort dan hotel, bandara, pelabuhan

ii. Proyek yang berlokasi di Environmentally Critical Area (ECP);

Taman nasional, cagar alam, perlindungan DAS dan

suaka margasatwa yang ditetapkan oleh PUU;

Area yang ditetapkan senbagai daerah potensi wisata;

Habitat species langkah dan terancam yang khas

dimiliki Filipina;

Area dengan keunikan sejarah, arkeologi dan

kepentingan ilmu pengetahuan;

Area masyarajat hukum adat;

Area yang rawan bencana alam;

Area dengan kemiringan yang terjal;

Area yang diklasifikasikan sebagai lahan pertanian

utama;

Area imbuhan air tanah;

Badan air yang digunakan untuk pasokan domestik

dan mendukung perikanan dan satwa liar;

Area mangrove yang memliki fungsi ekologis penting

atau dimana masyarakat sangat bergantung untuk

kehidupannya;

Page 19: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

19 | P a g e

Area terumbu karang yang memiliki fungsi ekologis

penting;

d. Department of Environment and Natural Resources (DENR)

menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut

apakah termasuk ECP atau akan dilakukan di ECA. Jika salah

satu atau kedua kondisi tersebut berlaku, maka rencana usaha

dan/atau kegiatan tersbeut wajib memperoleh environmental

compliance certificate (ECC);

e. Untuk ECP, sistem KDL mempersyaratkan penyusunan EIS

karena proyek-proyek ini kemungkinan besar memiliki risiko atau

dampak negatif terhadap lingkungan. ECP mencakup berbagai

proyek ekstraksi SDA utama, infrastruktur utama, pengembangan

tambak untuk budidaya ikan, pengembangan resort dengan

lapangan golf dan proyek-proyek pengambangan industri

besar/berat;

f. ECA adalah areal-areal yang secara ekologi, sosial dan lingkungan

sensitif. Banyak kawasan habitat pesisir seperti mangrove,

terumbu karang dan perairan perkotaan diklasifikasikans sebagai

ECA. Untuk proyek yang berlokasi di ECA, sistem KDL

mempersyaratan penyusunan Initial Environmental Examination

(IEE) yang mencakup deskrisi rencana proyek dan mungkin juga

mempersyaratkan EIS. Setelah melalui proses penilaian terhadap

rencana proyek dan dokumen EIA disampaikan oleh pemrakarsa,

proyek tersebut akan diterbitkan ECC oleh DENR;

g. Berbagai proyek yang tidak termasuk ke dalam sistem KDL

mencakup:

i. Proyek-proyek yang tidak termasuk ECP dan berlokasi di

ECA;

ii. Proyek yang telah beroperasi atau ada sejak tahun 1982

walaupun proyek tersebut termasuk ECP atau berlokasi di

ECA. Tetapi, perluasan/pengembangan areal proyek dan

peningkatan kapasitas produksi mempersyaratkan ECC;

h. Jika kedua persyaratan tersebut terpenuhi, Departement of

Environment and Natural Resources – Environmental

Management Bureau (DENR-EMB) atau Kantor Regional dapat

menerbitkan Certificate of Non-Coverage (CNC) atau sertifikat

pengecualian bahwa proyek tidak memberikan dampak penting

terhadap lingkungan. DENR memberikan arahan dan penilaian

sistem KDL dan menerbitkan ECC. EMB bertanggung jawab

dalam penilaian dan penerbitan ECC. EMB bertanggung jawab

terhadap penilaian dan penerbitan seluruh ECC untuk ECP.

Page 20: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

20 | P a g e

Kantor Regional DENR menilai dan menerbitkan ECC untuk

proyek-proyek yang berlokasi di ECA;

i. Gambaran umum sistem KDL Filipina dapat dilihat pada gambar

dibawah ini.

Gambar 5. Gambaran umum sistem KDL Filipina

j. Proses penilaian untuk ECP: Pemrakarsa proyek yang

diklasifikasikan sebagai ECP wajib melakukan studi EIA dan

menyampaikan dokumen EIS kepada DENR-EMB. Berikut ini

adalah tahapan-tahapan proses EIA untuk ECP

Page 21: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

21 | P a g e

Gambar 6. Tahapan-tahapan proses EIA untuk ECP

k. Proses penilaian proyek yang berlokasi di ECA: Prosedur penilaian

lingkungan agak berbeda untuk rencana proyek yang mungkin

berlokasi di ECA. Proses penilaian dilakukan oleh kantor regional

DENR dan terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:

Page 22: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

22 | P a g e

Gambar 7. Proses penilaian proyek yang berlokasi di ECA

Analisis Equivalensi Sistem Amdal Indonesia dengan

Internasional Best Practives (SPS 2009 ADB-

Environmental Safequard)

Salah satu isu penting yang mengemuka selama woorkshop di

Manila adalah penggunaan country safeguard systems (CSS) sebagai

tindak lanjut dari Deklarasi Paris yang menghendaki lembaga-

lembaga donor untuk memperkuat dan menerapkan CSS terkait

dengan proyek-proyek yang didanai oleh lembaga internasional. CSS

pada dasarnya adalah kerangka kelembagaan dan legal dari suatu

negara yang terdiri dari kelembagaan di tingkat nasional dan

subnational serta sektoral dan berbagai hukum dan regulasi, aturan

serta prosedur yang terkait dengan area kebijakan perlindungan

Page 23: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

23 | P a g e

(safeguard policy): Environment, Involuntary Resettlement and

Indigenous People.

Terkait dengan CSS ini, Indonesia melalui Bappenas telah mengirim

surat No. 4347/Dt.8.407/2013 tanggal 23 Juli 2013 kepada Country

Director ADB di Jakarta perihal pengunaan Indonesian Country

Safeguard Systems untuk proyek-proyek yang didanai oleh ADB.

Terkait dengan usulan penggunaan CSS ini, pada workhshop ADB

ini Indonesia juga mempresentasikan terkait dengan dasar pemikiran

mengapa Indonesia akan menggunakan CSS dan langkah ke depan

yang akan dilakukan, sebagaimana disebutkan dibawah ini.

1) Mengapa Indonesia memutuskaa untuk mengunnakan CSS

adalah: a. Indonesia telah membanguan, mengembangan,

mengimplemehtasikan serta meningkatan CSS (Amdal dan

UKL-UPL) selama lebih dari 28 tahun; b. Penggunaan CSS akan menyederhanakan siklus proyek

ADB sehingga lebih efektif dan efisien (menghemat biaya,

waktu dan energi) c. Pengunaan CSS akan mencegah terhadi kebinggungan

dalam implementasi EMP dan penaatan (pengawasan dan penegakan hukum) serta proses pengembailana keputusan yang dilakukan oleh Indonesia dan ADB dilakukan

berdasarkan informasi yang memliki tingkat kedalaman dan kerincian yang sama;

2) Untuk dapat menggunakaan CSS, Indonesia akan:

a. Memperkuat sistem kajian dampak lingkungan dan izin lingkungan sehingga sama atau sesuai dengan standar

lembaga internasional (equivalent) dan dapat diterima oleh lembaga indtrenational (ADB) (acceptability);

b. Mengintegrasikan EIA dan Izin Lingkungan dalam siklus

proyek di beberapa sektor prioritas; c. Memperkuat sistem sertifikasi dan peningkatan kapasitas

penyusun Amdal; d. Memperkuat kapasitas teknis penilaian Amdal; e. Mengembangan sistem informasi;

Terkait dengan penggunaan CSS tersebut, sebelum Indonesian CSS

dapat diterapkan sepenuhnya oleh Indonesia untuk proyek-proyek

yang didanai oleh ADB, ada dua peryaratan yang harus dipenuhi,

yaitu:

1) persyaratan kesetaraan (equivalent) antaran Indonesian CSS

dengan ADB SPS 2009 yang dilakukan melalui kajian kesetaraan

(equivalence assessment);

Page 24: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

24 | P a g e

2) Persyaratan acceptability yang dilakukan melalui aceptability

assessment: implementasi di lapangan, rekam jejak, kapasitas

dan komitment untuk menerapkan semua PUU dan prosedur

terkait Indonesian Safeguard Policies.

Tabel di bawah ini merupakan kajian awal terkait dengan

equivalency antara Indonesia CSS terkait dengan lingkungan

(Environmental Safequard – Sistem Amdal Indonesia) dengan SPS

ADB 2009.

Tabel 1. Kajian awal terkait dengan equivalency antara Indonesia

CSS terkait dengan lingkungan (Environmental Safequard

atau Sistem Amdal Indonesia) dengan SPS ADB 2009.

No Environmental

Safeguards – ADB SPS 2009

Sistem Kajian Dampak Lingkungan di Indonesia

Keterangan

1. Tujuan: Untuk memastikan bahwa proyek dilakukan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan dan untuk mengintegrasikan pertimbangan lingkungan ke dalam proses pengambilan keputusan terhadap proyek.

PUU di Indonesia telah mengatur bahwa proyek dilakukan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan dan pertimbangan lingkungan telah diintegrasikan dalam proses pengambilan keputusan, seperti yang dinyatakan dalam: a. Pasal 33 ayat 4 UUD 1945:

“Perekonomian nasional

diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;

b. Pasal 1 angka 11 dan angka 12 dan Pasal 14 huruf e dan huruf f UU No. 32 Tahun 2009 yang pada dasarnya menyatakan bahwa Amdal dan UKL-UPL merupakan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaran

usaha dan/atau kegiatan (proyek)

Equivalence antara

Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia

2. Scope dan Trigger: Environmental safeguard

dipersyaratkan untuk proyek-proyek yang berpotensi menimbulkan risiko dan dampak lingkungan

Amdal dan UKL-UPL merupakan environmental safeguard di Indonesia. Sesuai dengan ketentuanPasal 1 angka

11 dan angka 12 dan Pasan 22 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (2)UU No. 32 Tahun 2009 pada dasarnya menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan wajib memliki Amdal. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal wajib memiliki

Equivalence antara

Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia

Page 25: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

25 | P a g e

No Environmental

Safeguards – ADB SPS 2009

Sistem Kajian Dampak Lingkungan di

Indonesia

Keterangan

UKL-UPL.

3. Prinsip-Prinsip Kebijakan

a. Penggunaan proses penapisan untuk setiap proyek seawal mungkin untuk menentukan luas dan jenis kajian lingkungan yang tepat

ADB membagi kategorisasi proyek menjadi Tipe A, Tipe B, Tipe C dan F1, sedangkan Indonesia membagi tipe proyek menjadi wajib Amdal, UKL-UPL dan SPPL. Tipe A dan B setara dengan wajib Amdal, sedangkan tipe C setara dengan wajib UKL-UPL. Proses awal dari pelaksanaan sistem kajian dampak di Indonesia adalah proses penapisan (screening process) yang diatur dalam Peraturan MENLH No. 05 Tahun

2012 tentang Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal. Proses penapisan diatur dalam pasal 2 dan pasal 3. Diagram proses penapisan diatur dalam Lampiran II. Esensi dasar dari penapisan di Indonesia adalah untuk menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan: a. Dapat dilakukan di lokasi tertentu

(kesesuaian dengan rencana tata

ruang dan PUU); b. Wajib memiliki Amdal atau tidak; c. Pendekatan studi amdal yang akan

dilakukan; dan d. Kewenangan penilaian Amdal.

Equivalence antara

Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia.

b. Pelaksanan kajian dampaklingkungan untuk setiap rencana usaha dan/atau kegiatan dalam rangka untuk mengidentifikasi risiko dan dampak (langsung, tidak langsung, kumulatif dan induced) terkait dengan aspek fisik, biologi dan sosial ekonomi (mencakup dampak

terhadap penghidupan masyarakat melalui media lingkungan,

kesehatan dan keselamatan, kelompok-kelompok rentan dan isu gender), dan cagar budaya dalam batas wilayah studi. Pelaksanaan kajian tehadap dampak

Penjelasan umum PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menegaskan bahwa Amdal tidak hanya mencakup kajian terhadap aspek biogeofisik dan kimia saja tetapi juga aspek sosial-ekonomi, sosial budaya dan kesehatan masyarakat. Pelaksanaan kajian dampak lingkungan untuk setiap rencana usaha dan/atau kegiatan telah diatur dalam Peraturan MENLH No. 16 tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan (KA, Andal, RKL-RPL, UKL-UPL dan SPPL). Aspek yang dikaji mencakup: a. Biogeofisik-kimia: i.e. hidro-

oceanografi, hidrologi, batimetri, topografi, geomorfologi, dan/atau geoteknik, kualitas air;

b. Sosekbud: i.e. demografi, akses

publik, dan potensi relokasi c. Kesehatan masyarakat: prevalensi

penyakit, perubahan kesmas; Pelaksanaan kajian Amdal juga harus mengacu pada PUU PPLH dan PSDA. Karena itu Aspek Biogeofisik-kimia mengacu pada PUU antara terkait dengan

Equivalence antara

Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia.

Page 26: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

26 | P a g e

No Environmental

Safeguards – ADB SPS 2009

Sistem Kajian Dampak Lingkungan di

Indonesia

Keterangan

lintas batas (transboundary) dan global yang mencakup perubahan iklim. Penggunaan KLHS (SEA) jika

dimungkinkan.

pengendalian pencemara dan kerusakan lingkungan, baik yang diterbitkan oleh KLHK atau sektor lainnya. Kajian dampak sosial juga telah diarur dalam Keputusan Kepala Bapedal No. 299 tahun 1996 tentang Pedoman Teknis Aspek Sosial dalam Penyusunan Amdal. Komponen sosial yang dikaji mencakup:

a. Demografi: Struktur penduduk, Proses Penduduk dan Tenaga Kerja;

b. Ekonomi: Ekonomi rumah tangga, Ekonomi SDA dan Perekonomian lokal & Regional

c. Budaya: Kebudayaan, Proses Sosial,

Pranata Sosial/ Kelembagaan Masyarakat, Warisan Budaya, Pelapisan Sosial, Kekuasaan dan kewenangan, Sikap dan Persepsi Masyarakat serta Adaptasi Ekologis

Terkait dengan cagar budaya, kajian dampak lingkungan dan pelaksanaan proyek juga harus mengacu pada UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pembagian kelompok masyarakat tidak diatur secara spesisfik, tetapi ditentukan berdasarkan keputusan di dalam pelaksanaan kajian, termasuk isu gender. Jika relevan hal tersebut dapat dilakukan. Demikian juga dengan isu perubahan iklim. Sudah ada PUU yang mengatur terkait dengan aspek ini. Kajian Amdal dan pelaksanaan kegiatan juga harus mengacu dan mentaatai PUU

PPLH dan PSDA. Kajian dampak kesehatan masyarakat juga telah diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal No. 124 tahun 1997 tentang Panduan Kajias Aspek Kesehatan Masyarakat dalam Penyusunan Amdal dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 876/Menkes/SK/VIII/2001 Tentang Pedoman Teknis Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan. KLHS bersama-sama dengan Amdal dan UKL-UPL juga merupakan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan (environmental safeguard). Di Indonesia KLHS diterapkan untuk Penyusunan Rencana Tata Ruang dan Penyusunan Rencana Pembangunan serta penyusunan Kebijakan, Rencana dan Program yang berpotensi menimbulkan dampak dan risiko lingkungan hidup. Ketentuan tentang

pelaksanaan KLHS telah diatur dalam

Page 27: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

27 | P a g e

No Environmental

Safeguards – ADB SPS 2009

Sistem Kajian Dampak Lingkungan di

Indonesia

Keterangan

Pasal 15-18 UU No. 32 Tahun 2009, PP 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Tata Ruang, serta Peraturan MENLH No. 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum KLHS

c. Pelaksanaan kajian alternatif terhadap lokasi proyek, design, teknologi dan komponen-komponennya dan potensi dampak LH dan sosialnya serta

pendokumentasian dasar pemikiaran pemilihan alterntif tertnentu. Juga dipertimbangkan alternatif tanpa proyek

Pelaksanaan kajian dampak lingkungan untuk setiap rencana usaha dan/atau kegiatan telah diatur dalam Peraturan MENLH No. 16 tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan (KA, Andal, RKL-RPL, UKL-UPL dan SPPL). Dalam Peraturan MENLH tersebut juga mengatur tentang kajian

alternatif seperti lokasi, penggunaan alaat-alat produksi, kapasitas, spesifikasi teknik, sarana usaha dan/atau kegiatan, tata letak bangunan, waktu, durasi operasi dan alternatif lainnya, termasuk pertimbangan pemelihan alternatif.

Equivalence antara

Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia

d. Hindari, jika memungkinakan, minimalisasi, mitigasi dan/atau offsett dampak

negatif dan meningkatkan dampak positif melalui pengelolaan dan perencanaan lingkungan. Menyusunan rencana pengelolaan lingkungan (EMP) yang mencakup rencana mitigasi, pemantauan lingkungan dan persyaratan pelaporan, pengaturan kelembagaan, upaya peningkatan kapasitas dan pelatihan, jadwal implementasi, estimasi biaya dan indikator kinerja.

Pertimbangan utama penyusunan EMP mencakup

mitigasi dampak negatif ke tingkatan yang tidak membahayakan bagi berbagai pihak dan prinsip

Pasal 25 huruf f UU No. 32 Tahun 2009 dan Pasal 5 anyat (2) huruf c PP No. 27 Tahun 2012 menyebutkan bahwa salah satu muatan dokumen Amdal adalah pengelolaan dan pemantauan lingkungan

hidup (RKL-RPL). Ketentuan tersebut secara lebih detail diterjemahkan di dalam Lampiran III Peraturan MENLH No. 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan. Peraturan MENLH No. 16 tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan dan Lampiran III menjelaskan bahwa pengelolaan LH mencakup: a. Menghindari atau mencegah dampak

negatif; b. Menanggulangi, meminimalisasi atau

mengendalikan dampak negatif; c. Meningkatkan dampak positif; Dalam lampiran trsebut dijelaskan bahwa Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) harus memuat: a. Dampak LH yang terjadi; b. Sumber dampak; c. Indikator keberhasilan PLH; d. Bentuk pengelolaamn LH (pendekatan

teknologi, pendekatan sosial ekonomi dan pendekatan institusi);

e. Lokasi pengelolaan LH;

f. Periode pengelolaan LH g. Institusi PLH (pelaksana, pengawas

dan pelaporan) Sedangkan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) memuat:

Equivalence antara

Environmental Safeguards –

ADB SPS 2009 dengan Indonesia

Page 28: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

28 | P a g e

No Environmental

Safeguards – ADB SPS 2009

Sistem Kajian Dampak Lingkungan di

Indonesia

Keterangan

pencemar membayar;

a. Dampak yang dipantau: jenis dampak LH, indikotor atau parameter pemantuan, sumber dampak;

b. Bentuk pemantauan LH: metode pengumpulan dan analisis data, lokasi dan waktu serta frekuensi pemantauan;

c. Institusi pemantau LH: Pelaksana, pengawas pemanatuan LH dan

pelaporan hasil pemantauan; Peningkatan kapasitas dan pelatihan di bidang PPLH menjadi bagian pernyataan kebijakan LH dari pemrakarsa yang dibuat dalam Bab Pendahuluan RKL-RPL

sesuai dengan ketentuan Lampiran III Peraturan MENLH No. 16 Tahun 2012,. Jadwal implementasi, dan estimasi biaya tidak secara explisit disebutkan dalam pedoman penyusunan RKL-RPL yang tercantum di dalam lampiran Peraturan MENLH No. 16 Tahun 2012. Tetapi informasi tersebut harus dapat ditunjukan oleh pemrakarsa pada saat menilai kelayakan rencana usaha dan/atau kegiatan terkait dengan kemampuan (kapasitas) pemrakarsa dalam menanggulangi dampak negatif yang akan ditimbulkan melalui pendekatan teknologi, sosial dan kelembagaan sebagai bagian dari bentuk pengelolaan LH. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 huruf j UU No. 32 Tahun 2009, salah satu asa

PPLH adalah asa pencemar membayar (polluters pay) yang artinya adalah setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan LH wajib menanggung biaya pemulihan LH.

e. Melakukan konsultasi publik dengan pihak atau masyarakat terkena dampak dan memberikan informasi kepada masyarakat terkait

dengan rencana proyek. Pastikan keterlibatan kaum perempuan dalam konsultasi publik.

Libatkan berbagai pihak terkait yang mencakup masyarakat terkena

Pasal 26 ayat (1)-ayat (3) UU No. 32 Tahun 2009 menjadi dasar bagi pelaksanaan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan dokumen Amdal yang dilakukan oleh pemrakarsa. Ketentuan dalam pasal tersebut pada dasarnya menyebutkan bahwa: a. Dokumen Amdal disusun oleh

pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat. Proses pelibatan masyarakat ini dilakukan melalui pengumuman dan konsultasi publik dalam rangka menjaring saran dan

tanggapan; b. Pelibatan masyarakat harus

dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan

Equivalence antara

Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia

Page 29: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

29 | P a g e

No Environmental

Safeguards – ADB SPS 2009

Sistem Kajian Dampak Lingkungan di

Indonesia

Keterangan

dampak, para pemerhati lingkungan (LSM), sejak awal proses persiapan proyek dan pastikan bahwa pandangan dan kepedulian mereka semua

diperhatikan dan dipahami serta dipertimbangkan oleh para pengambil keputusan.

Melakukan konsultasi dengan masyarakat sepanjang pelaksanaan proyek yang diperlukan untuk menjawab berbagai isu terkait dengan hasil kajian lingkungan. Buat mekanisme penanganan keluhan dan memfasilitasi resolusi terhadap kepentingan dan keluahan masyarakat terkena dampak terkait dengan kinerja lingkungan dari

proyek;

dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan;

c. Masyarakat yang dlibatkan dalam penyusunan dokumen Amdal mencakup masyarakat terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup dan/atau masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal.

Pasal 2 huruf k UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa salah satu asas PPLH adalah asas partisipatif. Ini berarti bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam

proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan PPLH, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sejalan dengan ketentuan-ketentuan tersebut, Pasal 65 ayat (2)-ayat (5) UU No. 32 Tahun 2009 menegaskan bahwa setiap orang berhak: a. mendapatkan akses informasi dan

akses partisipati dalam memenuhi hak atas LH yang baik dan sehat;

b. mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup;

c. berperan dalam PPPLH sesuai dengan PUU;

d. Melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;

Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 juga mengatur bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sma dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam PPLH. Peran serta masyarakat tersebut dilakukan dalam bentuk pengawasan sosial, pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan, dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan. Disamping itu pasal 68 huruf a UU No. 32 Tahun 2009 menegaskan bahwa setiap orang yang akan melakukan usaha

dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang terkait dengan PPLH secara benar, akurat, terbuka dan tepat waktu. Disamping itu juga pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan

Page 30: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

30 | P a g e

No Environmental

Safeguards – ADB SPS 2009

Sistem Kajian Dampak Lingkungan di

Indonesia

Keterangan

kewenangannya wajib mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan. Pengumuman tersebut dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat. Sesuai dengan ketentuan PP No. 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, Izin lingkungan telah diintegrasikan dalam

proses Amdal dan Ukl-UPL, sehingga dengan demikian proses keterlibatan masyarakat dalam proses Amdal dan Izin Lingkungan pada dasarnya ada 4 kali dilihat dari tahapan proses Amdal dan Izin Lingkungan yang ditaur secara detail

dalam Peraturan MENLH No. 17 Tahun 2012 tentang Pelibatan Masyarakat dalam Proses Amdal dan Izin Lingkungan. Berdasarkan Peraturan MENLH ini, keterlibatan masyarakat dalam proses Amdal dan Izin Lingkungan dilakukan melalui: a. Pengumuman dan konsultasi publik

yang dilakukan sebelum penyusunan dokumen Keranga Acuan;

b. Pengumuman permohonan izin lingkungan termasuk pengumuman dan akses terhadap dokumen KA, draft dokumen Andal dan RKL-RPL;

c. Keterlibatan wakil masyarakat terkena dampak dan LSM dalam proses penilaian Andal dan RKL-RPL;

d. Pengumuman izin lingkungan yang telah diterbitkan;

Berdasarkan Peraturan MENLH No. 17 Tahun 2012 ini, Tujuan dilibatkannya

masyarakat dalam proses amdal dan izin lingkungan agar: a. Masyarakat mendapatkan informasi

mengenai rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan;

b. Masyarakat dapat menyampaikan saran, pendapat dan/atau tanggapan atas rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan;

c. Masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan rekomendasi

kelayakan atau ketidaklayakan atas rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan;

d. Masyarakat dapat menyampaikan saran, pendapat dan/atau tanggapan atas proses izin lingkungan

Sesuai dengan ketentuan di dalam

Page 31: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

31 | P a g e

No Environmental

Safeguards – ADB SPS 2009

Sistem Kajian Dampak Lingkungan di

Indonesia

Keterangan

Peraturan MENLH No. 17 Tahun 2012: a. Hasil pelibatan masyarakat melalui

pengumuman dan konsultasi publik menjadi salah satu dasar dan wajib dimuat dalam penyusunan dokumen Kerangka Acuan serta pertimbangan dalam proses penilaian KA dan penerbitan persetujuan KA.

b. Saran, pendapat, dan tanggapan

masyarakat terhadap pengumuman permohonan izin lingkungan menjadi salah satu pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan kelayakan lingkungan atau persetujuan teknis serta

penerbitan izin lingkungan; Sesuai dengan ketentuan Peraturan MENLH No. 17 Tahun 2012, baik Pemerintah (Menteri, gubernur atau bupati/walikota) dan pemrakarsa wajib mendokumentasikan dan mengolah saran, pendapat, dan tanggapan masyarakat. Terkait dengan penagangan keluhan dan pengaduan masyarakat, Menteri LH telah menerbitkan Peraturan MENLH No. 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Penanganan Pengaduan Akibat Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup. Pemrakarsa juga dapat membuat mekanisme penanganan pengaduan

masyarakat sebagai bagian dari bentuk pengelolaan lingkungan hidupnya yang diatur dalam Lampiran III Peraturan MENLH No. 16 Tahun 2012

f. Melakukan pengumuman terkait dengan draft hasil kajian dampak lingkungan termasuk EMP secara tepat waktu, sebelum pesertujuan proyek di lokasi-lokasi

yang mudah terjangkau dan dalam bahasa yang mudah dipahami oleh berbagai pihak termasuk masyarakat terkena

dampak. Melakukan

Sesuai dengan ketentuan PP No. 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, Izin lingkungan telah diintegrasikan dalam proses Amdal dan Ukl-UPL, sehingga dengan demikian proses keterlibatan masyarakat dalam proses Amdal dan Izin Lingkungan pada dasarnya ada 4 kali dilihat dari tahapan proses Amdal dan Izin Lingkungan yang ditaur secara detail dalam Peraturan MENLH No. 17 Tahun

2012 tentang Pelibatan Masyarakat dalam Proses Amdal dan Izin Lingkungan. Berdasarkan Peraturan MENLH ini, keterlibatan masyarakat dalam proses Amdal dan Izin Lingkungan dilakukan melalui: a. Pengumuman dan konsultasi publik

yang dilakukan sebelum penyusunan dokumen Keranga Acuan;

Equivalence antara

Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia

Page 32: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

32 | P a g e

No Environmental

Safeguards – ADB SPS 2009

Sistem Kajian Dampak Lingkungan di

Indonesia

Keterangan

pengumuman hasil kajian akhir dan perbaharui jika ada kepada berbagai pihak terkait termasuk masyarakat terkena dampak

b. Pengumuman permohonan izin lingkungan termasuk pengumuman dan akses terhadap dokumen KA, draft dokumen Andal dan RKL-RPL;

c. Keterlibatan wakil masyarakat terkena dampak dan LSM dalam proses penilaian Andal dan RKL-RPL;

d. Pengumuman izin lingkungan yang telah diterbitkan;

Dalam Peraturan MENLH No. 17 Tahun 2012 tersebut, terkait dengan pengumuman permohonzn izin lingkungan disebutkan bahwa dalam

melakukan pengumuman permohonan izin lingkungan untuk rencana usaha dan/atau kegiatan wajib Amdal, Menteri, gubernur , atau bupati/walikota, menyampaikan informasi antara lain mengenai cara mendapatkan dokumen Amdal (KA yang telah diberikan persetujuan, draft Andal dan RKL-RPL) yang berupa: a. informasi perihal tempat dimana

masyarakat dapat memperoleh dokumen amdal (KA yang telah diberikan persetujuan, draft Andal, dan RKL-RPL) yang akandiajukan untuk dilakukan penilaian atas permohonan izin lingkungannya; dan/atau

b. tautan (link) dokumen Amdal (KA

yang telah diberikan persetujuan, draft Andal, dan RKL-RPL) yang dapat diunduh (download) oleh masyarakat

Hal yang sama juga berlaku untuk rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki UKL-UPL. Pengumuman tersebut disampaikan melalui: a. multimedia yang secara efektif dan

efisien dapat menjangkau masyarakat, antara lain website; dan

b. papan pengumuman di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan yang mudah dijangkau oleh masyarakat terkena dampak.

Semua bentuk pengumuman yang disampaikan harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, disampaikan dengan jelas dan mudah dimengerti oleh seluruh lapisan

masyarakat. Dalam pengumuman tersebut dapat juga dituliskan terjemahannya dalam bahasa daerah atau

Page 33: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

33 | P a g e

No Environmental

Safeguards – ADB SPS 2009

Sistem Kajian Dampak Lingkungan di

Indonesia

Keterangan

lokal yang sesuai dengan lokasi dimana pengumuman tersebut akan dilakukan

g. Melakukan

pelaksanaan dan pemantauan EMP. Dokumentasi hasil pemantauan, termasuk pengembangannya dan perbaikannya pelaksanaan EMP dan mengumuman laporan pelaksanaan EMP;

Sesuai dengan ketentuan PUU PPLH,

pemrakarsa wajib melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup dan wajib melakukan pemantauan lingkungan hidup. Disamping itu juga Menteri, gubernur atau bupati/walikota wajib melakukan pengawasan terhadap Izin Lingkungan (pelaksanaan RKL-RPL). Beberapa ketentuan dalam PUU PPLH ini menjelaskan mengenai hal tersebut. Pasal 37 ayat (2) huruf c UU No. 32

Tahun 2009 menyebutkan bahwa izin lingkungan dapat dibatalkan apabila kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penaggung jawab usaha dan/atau kegiatan; Pasal 68 UU No. 32 Tahun 2009 menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a. Memberikan informasi yang terkait

dengan PPLH secara benar, akurat, terbuka dan tepat waktu;

b. Menjaga keberlanjutan fungsi LH; c. Menaatai ketentuan tentang BML

dan/atau KBKL; Pasal 72 UU No. 32 Tahun 2009 juga menegaskan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenanganya wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan. Pasal 53 PP No. 27 Tahun 2012 telah mengatur kewajiban pemegang izin lingkungan dalam menaatai persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam izin lingkungan dan izin PPLH, membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan izin lingkungan kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota. Persyaratan dan kewajiban di dalam izin lingkungan sesuai dengan ketentuan

pasal 17 dan pasal 28 Peraturan MENLH No. 8 Tahun 2013 antara lain juga mencakup persyaratan yang tercantum dalam RKL-RPL atau UKL-UPL, sedangkan kewajibannya antara lain adalah: a. memenuhi persyaratan, standar, dan

baku mutu lingkungan dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan

Equivalence antara

Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia

Page 34: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

34 | P a g e

No Environmental

Safeguards – ADB SPS 2009

Sistem Kajian Dampak Lingkungan di

Indonesia

Keterangan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

b. menyampaikan laporan pelaksanaan persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam Izin Lingkungan selama 6 (enam) bulan sekali;

c. mengajukan permohonan perubahan Izin Lingkungan apabila direncanakan untuk melakukan

perubahan terhadap lingkup deskripsi rencana usaha dan/atau kegiatannya; dan

d. kewajiban lain yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan

kewenangannya berdasarkan kepentingan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hi

Didalam Lampiran III Peraturan MENLH No. 16 Tahun 2012, disebutkan bahwa muatan RKL-RPL di bagian Pendahuluan antara lain menjelaskan komitmen pemrakarsa untuk memenuhi (melaksanakan) ketentuan PUU di bidang LH yang relevan, serta komitmen untuk melakukan penyempurnaan pengelolaan dan pemantauan LH secara berkelanjutan dalam bentuk mencegah, menanggulangi dan mengendalikan yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatannya. Disamping itu juga Lampiran Keputusan MENLH No. 45 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Laporan Pelaksanaan RKL-RPL menyebutkan bahwa salah satu tujuan penyusunan pedoman ini adalah

untuk mendorong pemrakarsa memanfaatkan data-data hasil pemantauan LH dalam menerapan sistem PLH berdasarkan prinsip-prinisp perbaikan secara terus menerus (continual improvement). Tata cara penyampaikan laporan pelaksanaan Izin Lingkungan (pelaksanaan RKL-RPL) diatur di dalam Keputusan MENLH No. 45 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Laporan RKL-RPL, sedangkan tatacara pengawasan lingkungan hidup diatur dalam:

a. KepMenLH No.07 Th 2001 tentang PPLH dan PPLHD

b. KepMenLH No.56 Th 2002 tentang Pedoman Umum Pengawasan LH

c. KepMenLH No.57 Th 2002 tentang Tata Kerja PPLH

d. KepMenLH No.58 Th 2002 tentang Tata Kerja PPLHD

Page 35: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

35 | P a g e

No Environmental

Safeguards – ADB SPS 2009

Sistem Kajian Dampak Lingkungan di

Indonesia

Keterangan

h. Tidak melaksanakan kegiatan proyek di area-area yang termasuk critical habitat, kecuali (i) tidak ada dampak negatif yang dapat menganggu

kelestarian fungsi lingkungan critical habitat, (ii) tidak menyebabkan terjadinya penurunan

populasi terhadap spesies yang terancam punah atau kritis, (iii) berbagai dampak dapat dimitigasi. Jika proyek berlokasi di dalam kawasan lindung, proyek wajib melaksanakan program untuk meningkatan dan menjaga kawasan lindung. Di kawasan habita yang masih alami, kegiatan proyek tidak boleh melakukan konversi atau

menimbulkan kerusakan lingkungan, kecuali (i) alternatif tidak tersedia, (ii) manfaat proyek lebih besar dari biaya lingkungan, (iii) berbagai konversi dan kerusakan lingkungan dapat dimitigasi secara tepat. Menggunakan

pendekatan kehati-hatian dalam penggunaan, pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui.

PUU PPLH dan PSDA telah mengatur jenis-jenis kegiatan tertentu yang dapat dilakukan di dalam kawasan lindung seta kawasan-kawasan tertentu yang masih alami; a. PP No. 26 Tahun 2008 tentang

RTRWN (Pasal 99-Pasal 106); b. UU No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan Pasal 38 mengatur terkait

penggunaan kawasan hutan produksi dan hutan lindung untuk kegiatan-kegiatan tertentu yang bersifat strategis. Pengaturan lebih detail di ataur PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Ada 12

jenis kegiatan strategis yang dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2011 terkait dengan pengaturan kegiatan pertambangan di bawah tanah di dalam hutan lindung;

c. PP No. 28 Tahun 2011 tentang KPA dan KSA yang mengatur jenis-jenis kegiatan yang dapat dilakukan di dalam kawasan konservasi;

d. Intruksi Presiden No. 6 Tahun 2013 tentang PIPIB yang melarang penerbitan izin baru di hutan alam primer baik di dalam maupun dilaur kawasan hutan serta lahan gambut, kecuali untuk kegiatan-kegiatan tertentu.

Equivalence antara

Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia

Page 36: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

36 | P a g e

No Environmental

Safeguards – ADB SPS 2009

Sistem Kajian Dampak Lingkungan di

Indonesia

Keterangan

i. Menerapakan teknologi dan praktek pencegahan dan pengendalian pencemaran lingkungan sesuai dengan

international good practice sebagai mana tercermin dalam standard international yang diakui seperti pedoman

lingkungan, kesehatan dan keselamatan World Bank. Melakukan praktek produksi bersih dan efisiensi energi. Hindari melakukan pencemaran lingkungan, jika tidak dapat dihindari, minimalisasi dan kendalikan intensitas dan

beban pencemaran (emisi dan effluent), mencakup GRK, limbah dan LB3 dari kegiatan produksi, transportasi, penanangan dan penyimpanan. Hindari penggunaan B3 yang dilarang dan dihapuskan oleh dunia internasional. Pembelian, penggunakan dan pengelolaan pestida dilakukan berdasarkan pendekatan

Integrated Pest Management dan pengurangan pestisida kimia

sintetik;

Pasal 13 UU 32 tahun 2009 pada dasarnya menegaskan bahwa pemerintah dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengendalian pencemaran (pencegahan, penanggulangan dan pemulihan) sesuai dengan kewenangan, peran dan tanggung jawabnya masing-masing.

Pasal 68 huruf c UU No. 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban menaatai ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup (BML) dan/atau kriteria baku kerusakan

lingkungan hidup (KBKL). BML sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU No 32 Tahun 2009 mencakup: a. Baku mutu air; b. Baku mutu air limbah; c. Baku mutu air laut; d. Baku mutu udara ambien e. Baku mutu emisi; f. Baku mutu gangguan (kebisingan,

getaran dan kebauan); g. Baku mutu lain sesuai dengan

perkembangan iptek. KBKL untuk Kriteria Baku Kerusakan Ekosistem sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2009 terdiri dari: a. KBK tanah untuk produksi biomassa; b. KBK terumbu karang; c. KBKLH yang terkait dengan

kebakaran hutan dan/atau lahan; d. KBK mangrove; e. KBK padang lamum; f. KBK gambut; g. KBK karst; dan/atau h. KBK ekosistem lainnya sesuai dengan

perkembangan iptek; Pemerintah telah mengeluarkan PP dan Peraturan MENLH terkait dengan pengaturanpengendalian pencemaran lingkungan dan pengendalian kerusakan lingkungan.

Equivalence antara

Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia

j. Menyediakan area kerja yang aman dan sehat serta mencegah

Pelaksanaan usaha danatau kegiatan disamping harus mentaati PUU di bidang PPLH juga harus mentaati PUU PSDA dan sektor lainnya. Terkait dengan K3, PUU

Equivalence antara

Environmental Safeguards –

Page 37: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

37 | P a g e

No Environmental

Safeguards – ADB SPS 2009

Sistem Kajian Dampak Lingkungan di

Indonesia

Keterangan

terjadinya kecelakaan, luka dan penyakit. Buat upaya pencegahan dan tanggap darurat untuk menghindari, atau jika upaya penghindaran tidak

dapat dilakukan, untuk meminimalisasi dampak dan resiko yang membahayakan

terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat lokal;

yang menjadi acuan adalah UU No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan serta PP No. 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Ksehatan Kerja (K3). Lampiran I PP No. 50 Tahun 2012 memuat ketentuan-ketentuan terkait dengan Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K3 mulai dari penetapan

kebijakan K3, perencanaan K3, pelaksanaan rencana K3, pemantauan dan evaluasi kinerja K3 dan peninjauan dan peningkatan kinerja SMK3. Sedangkan Lampiran II PP No. 50 Tahun 2012 mengatur mengenai pedoman

penilaian penerapan SMK3: kriteria Audit SMK3, penetapan kriteria audit tiap tingkat pencapaian penerapan SMK3; dan ketentuan penilaian hasil Audit SMK3

ADB SPS 2009 dengan Indonesia

k. Melakukan konservasi dan pencegahan kerusakan terhadap cagar budaya dengan cara menggunakan pakar yang terlatih dan berpengalaman pada saat

melakukan survey lapangan untuk studi/kajian dampak lingkungan. Upaya-upaya tertentu untuk melakukan pendekatan konservasi dan pengelolaan terhadap material cagar budaya yang ditemukan selama pelaksanaan proyek.

UU No. 11 Tahun 2010 mengatur

tentang Cagar Budaya di Indonesia.

Ketentuan-ketentuan terkait dengan

keterlibatan pakat yang berpengalaman dan profesional

dalam membantu identifikasi dan

perlindungan cagar budatya adalah

sebagai berikut:

a. Pasal 1 angka 22 dan pasal 4:

Konservasi cagar budaya pada dasarnya mencakup

perlindungan, pengembangan dan

penggunaan cagar budaya yang

berada di daratan dan perairan;

b. Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2): Konservasi cagar budaya

dilakukan berdasarkan studi

kelayakan yang secara sainstifik,

teknis dan administrasi dapat

dipertanggungjawabkan.

Kegiatan konservasi ini harus dilakukan dan dikoordinasikan

oleh pakar atau profesional yang

kompeten;

c. Pasal 45: setiap orang berhak

memperoleh bantuan teknis dan keahlian dari pemerintah dalam

melakukan konservasi cagar

budaya; d. Pasal 59: Cagar Budaya yang

terancam rusak, hancur, atau musnah dapat dipindahkan ke tempat lain yang aman. Pemindahan Cagar Budaya dilakukan dengan tata cara yang menjamin keutuhan dan keselamatannya di bawah koodinasi

Equivalence antara

Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia

Page 38: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

38 | P a g e

No Environmental

Safeguards – ADB SPS 2009

Sistem Kajian Dampak Lingkungan di

Indonesia

Keterangan

Tenaga Ahli Pelestarian. e. Pasal 61: Pengamanan dilakukan

untuk menjaga dan mencegah Cagar Budaya agar tidak hilang, rusak, hancur, atau musnah;

f. Pasal 66: Setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya, baikseluruh maupun bagian bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari

letak asal. g. Pasal 67: Setiap orang dilarang

memindahkan dan mimisahkan Cagar Buday baik seluruh maupun bagian-bagiannya, kecuali dengan izin Menteri, gubernur, atau

bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pemrakarsa yang rencana usaha dan/atau kegiatannya memberikan dampak terhadap cagar budaya bertanggung jawab untuk melakukan perlindungan terhadap cagar budaya. Dalam melakukan hal tersbeut, pemrakarsa wajib melibatkan pakar atau

profesional yang kompeten.

Best Practices Penerapan Amdal dalam Lembaga

Keuangan dan Perbankan

a. Pada Sesi Partnership with Private Sector dalam Workshop

ADB di Manila dibahas dan didiskusikan salah satu studi kasus

pengembangan kemitraan dengan pihak swasta adalah penerapan

green banking di Bank Bangladesh:

i. Sesuai dengan kebijakan Bank Bangladesh, Bank

menerapkan green banking melalui tiga fase yaitu:

Fase 1:Bank mengembangkan kebijakan green

banking dan menunjukan komitmen terhadap

lingkungan melalui kinerja di dunia perbankan

sendiri;

Fase 2: Sistem pengelolaan lingkungan telah ada di

setiap bank;

Fase 3: Bank diharapkan dapat menjawab melalui

keseluruhan ekosistem melalui pengembangan

Page 39: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

39 | P a g e

berbagai inisiatif ramah lingkungan dan

memperkenalkan produk-produk yang inovatif;

ii. BRAC Bank menerapkan filosofi 3P: People, Planet dan

Pofit dan tiga filosofi ini telah menjadi ‘DNA’ usaha

perbankan BRAC Bank; Melengkapi filosofi, Unit Green

Banking telah dibangun dan BRACK Bank beroperasi dalam

ruang lingkung sebagai berikut:

Perumusan Kebijakan dan Tata kelola: Pedoman

Kebijakan dan prosedur Environment and Social Risk

Management (ESRM), Kebijakan green banking, Daftar

Pengecualian, kriteria kelayakan terkait dengan

lingkungan dan sosial, perangkar Analisis sosial dan

lingkungan;

Mengintegrasikan risiko lingkungan ke dalam

Pengelolaan Risiko Kredit: peringkat risiko lingkungan

(Environmental Risk Rating (EnvRR) merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dalam penilaian kredit

(i.e. Checklist uji tuntas lingkungan (EDD) secara

umum dan spesifik sektor;

Pengelolaan Lingkungan di perkantoran dan

lingkungan perbankan;

Pelatihan, kesadaran nasavah dan Green Event;

Keuangan berkelanjutan (Green Finance);

Perbankan Online;

Keterbukaan (Disclosure) dan Pelaporan.

Perumusan kebijakan lingkungan terkait sektor-

sektor yang spesifik;

b. Disamping itu juga pada Sesi Partnership with Private Sector

Dalam Workshop ADB Dibahas Pengalaman India Infrastructure

Finance Company LTD. (IIFCL) (A Govt. of India Enterprise) dalam

menerapakan sistem Amdal dalam kegiatan perbankan (green

banking):

i. Peranan Perbankan dan Financial Innitiative dalam

Pembangunan Berkelanjutan: Secara umum sektor

perbankan dipandang sebagai kegiatan yang ramah

lingkungan, tetapi dampak lingkungan dari kegiatan operasi

eksternal perbankan sangat besar, dimana Bank

merupakan salah satu pengerak utama kegiatan ekonomi;

ii. Respon IIFCL terhadap sistem perlindungan lingkungan dan

sosial (Environmental & Social Safeguards): IIFCL

mengadopsi praktek-praktek pengelolaan risiko lingkungan

Page 40: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

40 | P a g e

dan sosial dalam pembiayan proyek-proyek infrastruktur

melalui:

Adopsi kebijakan lingkungan dan sosial (ESP);

Implementasi ESP melalui pengembangan kerangka

perlindungan lingkungan dan sosial (Environment and

Social Safeguard Framework – ESSF);

Pelaksaan E&S Due Dilegence untuk memastikan

berbagai subproyek yang dibiayi mentaati persyaratan

ESSP selama daur proyek;

iii. Element utama ESSF:

Focus pada proses Amdal India;

Penapisan awal proyek terkait dengan Environmental

& Social Safeguard terkait dengan clearence dan

kewajiban;

Alokasi tanggung jawab kepada seluruh pihak dalam

proses;

Audit LH dan sosial tahunan terhadap proyek;

Kebijakan keterbukaan informasi (disclosure);

Pembinaan kepada bank-bank, debitur dan pihak

terkait lainnya.

iv. Langkah ke depan:

Secara berkala melakukan pembinaan dan

pendidikan kepada para pihak terkait dengan proyek

i.e. lender, pengembang, pemerintah dll terkai dengan

pentinganya penaatan Environmental & Social

Safeguard selama pengembangan proyek;

Penyiapan proyek yang memadai sebelum pelaksanan

proyek i,e, penilaian, dokumentasi yang tepat,

evaluasi proyek terkait dengan dimensi lingkungan

dan sosial rencana dan anggaran pengelolaan

safeguard yang tepat dan memadai;

Konsultasi publik yang memadai dan keterbukaan

informasi terkait dengan proyek;

Pemilihan proyek yang memiliki dampak yang

minimum;

Integrasi CSR dan inisiatif perlindungan lainnya;

c. Berdasarkan presentasi dan diskusi terkait dengan studi kasus

tersebut serta referensi dari berbagai sumber, maka point-point

dibawah ini merupakan konsep perumusan best practices terkait

dengan integrasi risiko lingkungan dalam kegiatan perbankan;

Page 41: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

41 | P a g e

d. Perbankan Berkelanjutan (Sustainable Banking) dapat

diterjemahkan sebagai proses dimana dunia perbankan

mempertimbangkan dampak lingkungan dari operasi kegiatan

perbankan, produk dan jasa terhadap kemampuan generasi saat

ini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhannya.

e. Dunia perbankan memiliki dampak langsung dan tidak langsung

terhadap lingkungan hidup;

i. Dampak langsung: Operasi kegiatan perbankan sehari-hari

mempengaruhi secara langsung kualitas lingkungan seperti

efisiensi energi dan daur ulang limbah;

ii. Dampak tidak langsung: Produk dan jasa yang disediakan

perbankan menyebabkan terjadinya pencemaran dan

kerusakan lingkungan. Dampak ini terjadi dari kegiatan

usaha yang dibiayai oleh perbankan;

f. Keuangan berkelanjutan (Sustainable Finance) di Indonesia

didefinisikan sebagai dukungan menyeluruh dari industri jasa

keuangan (termasuk Perbankan) untuk:

i. Pertumbuhan berkelanjutan;

ii. Yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan:

ekonomi,

Sosial; dan

lingkungan

g. Risiko Lingkungan (Environmental risk) = Risiko terhadap

lembaga keuangan dan transaksinya yang disebabkan oleh

kondisi yang berkaitan dengan Lingkungan Hidup. Tingkat

Resiko:

i. Risiko Kredit

ii. Risiko Hukum

iii. Risiko Reputasi

h. Risko Finansial mencakup:

i. Hilanganya investasi karena terlibat dalam sektor yang

rentan terhadap lingkungan;

ii. Hilanganya nilai investasi karena publisitas negatif atau

usaha dan produknya diasosiakan sebagai kegiatan yang

merusak lingkungan;

iii. Peningkatan biaya proyek karena adanya biaya clean-up

dan keterlambatan proyek akibat kesalahan prosedur;

i. Risiko hukum: Potensi terkena kewajiban lingkungan

(environmental liabities) dalam kasus bahwa investasinya

ditemukan terkontaminasi atau penjadi penyebab kerusakan

lingkungan;

Page 42: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

42 | P a g e

j. Risiko Reputasi: Citra yang buruk karena diasosiakan dengan

kegiatan-kegiatan yang merusak lingkungan

k. Sumber Risiko Lingkungan:

i. Peraturan Perundang-undangan: BML dan KBK dan Upaya

penaatan lingkungan: denda dan ganti rugi, pencabutan

izin, sanksi administrasi dan perintah pemulihan

pencameran dan kerusakan lingkungan;

ii. Oposisi dari publik: Oposisi publik terhadap usaha

dan/atau kegiatan yang dianggap menimbulkan

pencemaran dan kerusakan lingkungan dan aturan

keterbukaan informasi dan keterlibatan masyarakat.

Kegagalan untuk melakukan hal ini dapat terkena sanksi

hukum ;

iii. Standard Perdangangan/Preferensi Pelangani.e.

ISPO/RSPO, SVLK

iv. Permintaan dan preferensi produk ramah lingkungan.

l. Disamping itu, dalam penerapan proses ini di Bank, terdapat 4

(empat) sumber risiko lingkungan yang dipertimbangkan, yaitu:

i. Dampak lingkungan (environmental impacts): risiko

berasal dari karakteristik dan dampak dari proyek itu

sendiri. Hal tersebut mencakup sebagai contoh lokasi

pembuangan limbah berpotensi mencemari air tanah atau

penggunaan B3 dalam kegiatan penrtambangan tanpa

penanganan dan penyimpanan yang memadai akan

berptensi menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan

(toxic runoff);

ii. Persyaratan yang tercantum dalam PUU (legal

requiments): persyaratan yang tercantum dalam PUU yang

diberlakukan terhadap proyek atau usaha dan.atau

kegiatan yang sedang dipertimbangkan proses pinjaman

atau kreditnya merupakan sumber risiko, khususnya

terkait dengan isu penaatan;

iii. Kapasitas pelaku usaha (institutional capacity):

Kemampuan pelaku usaha selaku debitur dalam

mengimplementasikan semua persyaratan lingkungan

selama daur atau tahapan kegiatan proyek;

iv. Kepedulian masyarakat dan politik (public and political

concerns): terkait dengan isu-isu lingkungan. Selalu

terhadap potensi risiko reputasi;

m. Pengelolaan Risiko Lingkungan atau Environmental Risk

Management (ERM): proses dimana lembaga keuangan

Page 43: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

43 | P a g e

melakukan identifikasi, penilaian, pengendalian, transfer dan

pemantauan risiko lingkungan;

n. ERM dapat diterapkan pada transaksi kredit.

i. ERM akan mengurangi risiko terhadap paparan risiko

lingkungan sementara pada saat yang sama memberikan

proteksi yang memadai terhadap risiko lingkungan.

ii. Penerapan ERM yang tepat membantu meningktan kinerja

lembaga keuangan;

o. ERM menuntut lembaga keuangan untuk mengembangkan skill

dan praktek kerja yang baru. Terkait dengan environmental due

diligence, keahlian yang memadai terkait dengan lingkungan

menuntut lembaga keuangan untuk mencari bantuan teknis dari

konsultan eksternal;

p. Prinsip dasar dalam menganalisi kredit adalah 6C: Character,

Capacity, Capital, Collateral, Condition of economic and

constraint;

i. Character: watak dan sifat dari debitur;

ii. Capacity: kemampuan yang dimiliki oleh calon debitur

dalam menjalankan usahanya guna memperoleh laba yang

diharapkan i.e. mengelola faktor-faktor produksi seperti

bahan baku, peralatan/mesin;

iii. Collateral: jenis dan lokasi

iv. Condition of Economy: PUU

q. Generic ESG Risk Process Flow Chart

i. Pada saat proses aplikasi permohonan kredit telah diterima

oleh pihak perbankan, proses Penilaian risiko lingkungan

dan sosial dapat dilakukan. Proses tersebut pada dasarnya

terdiri dari 4 phase/tahapan, yaitu:

Phase 1: Desktop reviews;

Phase 2: In-depth interviews;

Phase 3: Detailed investigations;

Phase 4: On going monitoring

ii. Phase 1: Desktop reviews: AO melakukan review dengan

menggunakan daftar jenis-jenis usaha dan/atau kegiatan

serta katagori risikonya yang telah dikembangkan oleh

pihak perbankan. Berdasarkan penilaian singkat ini tingkat

risiko lingkungan dari suatu proyek dapat ditentukan. Jika

tidak ada risiko atau risiko rendah AO dapat memberikan

catatan pada file client dan memproses aplikasi kredit lebih

lanjut. Jika ada risiko, lanjut ke phase kedua. Beberapa

pertanyaan yang dapat digunakan antara lain adalah:

Page 44: 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB

44 | P a g e

Apakah proyek termasuk dalam kategori jenis

kegiatan yang dikecualikan dari kebijakan kredit

perbankan;

Apakah proyek termasuk dalam kategori sektor yang

berisiko tinggi atau lokasi geografi yang berisiko

tinggi;

Apakah proyek melibatkan atau terkait dengan

sektor-sektor yang berisiko tinggi

iii. Phase 2: In-depth interviews: Review antara lain dapat

dilakukan dengan menggunakan dokumen lingkungan i.e.

Amdal atau UKL-UPL. Review dilakukan terhadap:

Teknologi yang digunakan;

Rincian terhadap proses mitigasi;

Sejarah pelaku usaha dan lokasi kegiatan;

Jenis kontaminasi;

Sistem manajemen lingkungan yang digunakaan;

Penaatan lingkungan;

Jenis standar yang digunakan

Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan

yang terdapat dalam dokumen lingkungan dapat

dimasukan ke dalam covenant

iv. Phase 3: Detailed investigations:

Uji tuntas rinci (Detailed due diligence) atau

environmental and social impact assessment;

Pengembangan covent yang tepat terkai dengan isu-

isu lingkungan dan sosial;

Pengembangan rencana decommissioning;

Mengunakan pakar teknis;

v. Phase 4: On going monitoring: Clinet menyampaikan

laporan secara berkala kepada AO terkait dengan

pelaksanaan EMP