04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB
-
Upload
ipunk-schatzi -
Category
Documents
-
view
78 -
download
9
description
Transcript of 04-Best Practices Amdal Di China Dan ASEAN-ADB
1 | P a g e
Best Practices
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) di
China dan Beberapa Negara ASEAN serta ADB
Oleh:
Erik Teguh Primiantoro1
A. Pendahuluan: Konsep Penyusunan Best Practices
Sistem KDL
Kebijakan perlindungan (Safeguard policies) secara umum dipahami
sebagai kebijakan operasional untuk menghindari, mengurangi dan
memitigasi dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial. Satu
dari safeguard policies adalah safeguard policies di bidang
perlindungan lingkungan (environment safeguard). Environmental
Impact Assessment atau dikenal dengan nama Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (Amdal) merupakan instrumen perlindungan
lingkungan (environmental safeguard) Indonesia yang telah dibangun,
dikembangkan dan diimplementasikan serta disempurnakan selama
lebih kurang 28 tahun.
Dalam rangka pengembangan Amdal ke depan, maka diperlukan
data dan informasi terkait dengan pengalaman berbagai negara dan
lembaga-lembaga internasional dalam mengembangkan dan
menerapkan sistem Amdal di negaranya masing-masing. Disamping
itu juga agar sistem Amdal dapat diterapkan dalam konteks yang
lebih luas seperti lembaga keuangan, maka juga perlu digali
pengalaman dari berbagai negara dan lembaga terkait dengan
penggunaan sistem Amdal dalam transaksi-transaksi keuangan.
Berdasarkan pengalaman tersebut kita dapat membandingkan
sistem Amdal Indonesia dengan sistem Amdal di beberapa negara
dan international best practices.
Perbandingan sistem Amdal Indonesia dengan internasional best
practices juga diperlukan dalam rangka pelaksanaan hasil Deklarasi
1 Kabid Pengendalian Sistem Kajian Dampak Lingkungan pada Asisten Deputi Kajian
Dampak Lingkungan, Deputi Bidang Tata Lingkungan, KLH-2014
2 | P a g e
Paris yang mendorong penggunaan country safeguard systems
(CSS)untuk berbagai proyek yang didanai oleh pendanaan
internasional. Sejalan dengan Deklarasi Paris ini, penggunaan
penggunaan CSS akan menyederhanakan siklus proyek ADB
sehingga lebih efektif dan efisien (menghemat biaya, waktu dan
energi. Disamping itu juga penggunaan CSS akan mencegah terhadi
kebinggungan dalam implementasi EMP dan penaatan (pengawasan
dan penegakan hukum) serta proses pengembailana keputusan yang
dilakukan oleh Indonesia dan ADB dilakukan berdasarkan informasi
yang memliki tingkat kedalaman dan kerincian yang sama.
Disamping itu juga pengalaman dari berbagai negara dan lembaga
tersebut juga dapat digunakan untuk mengembangan penarapan
sistem Amdal di Indonesia dalam terkait dengan lembaga keuangan
dan perbankan. Kemitraan dengan dunia perbankan dalam rangka
penerapan sistem Amdal sebagai instrumen perlindungan
lingkungan (environmental safeguard) sangat penting. Hal ini
mengingat bahwa sektor perbankan adalah satau sumber utama
pembiayaan investasi untuk berbagai proyek komersial yang
merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting untuk
menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sektor perbankan
dapat memainkan peranan penting dalam mewujudkan invetasi yang
ramah lingkungan dan bertanggung jawab secara sosial
(environmentally sustainable and socially responsible investment -
SRI);
Berdasarkan dasar pemikiran tersebut di atas, maka best practices
penerapan sistem Amdal yang akan disusun mencakup tiga bidang
atau aspek, yaitu:
1) Penerapan sistem Amdal di beberapa negara;
2) Kesetaraan (equivalancy) sistem Amdal Indonesia dan sistem
Amdal lembaga internasional (international Best Practices);
3) Penerapan sistem Amdal dalam lembaga keuangan dan
perbankan;
Berdasarkan ruang lingkup atau cakupan best practices yang akan
disusun, maka strategi dan metode yang digunakan untuk
penyusunan best practices tersebut adalah melalui:
1) pertemuan dan diskusi internal untuk mentukan ruang lingkup
best practices sistem Amdal;
3 | P a g e
2) Pertemuan dan diskusi dengan berbagai pakar dan praktisi Amdal
dari berbagai negara dan lembaga. Strategi ini dilakukan melalui
keikutsertaan dalam beberapa workshop Internasional di China
dan Manila;
3) Perumusan akhir konsep best parctices Amdal yang mencakup:
a. Penerapan Sistem Amdal di berbagai negara;
b. Kesetaraan sistem Amdal Indonesia dengan internasional
best practices;
c. Penerapan Sistem Amdal dalam lembaga keuangan dan
perbankan;
B. Pelaksanaan Pembahasan Konsep Best Practices
Pelaksanaan penyusunan konsep best parctices dilakukan melalui:
1) Keikutsertaan dalam China-ASEAN Workshop on Environmental
Impact Assessment yang diselenggarakan oleh China-ASEAN
Environmental Cooperation Center (CAECC) Ministry of
Environmental Protection P.R. China pada tanggal 12-17 Mei 2014
di Yixing, Jiangsu Province, P.R. China. Dalam workshop ini
dibahas berbagai isu terkait dengan Amdal di China dan Beberapa
Negara ASEAN antara pakar dan prakstisi Amdal dari Kemnetrian
LH China dan pakar dan praktisi Amdal dari Kementerian
Lingkungan Hidup dari negara-negara ASEAN. Topik yang
menjadi pembahasan, yaitu:
a. Pengembangan legislasi dan Sistem EIA di China;
b. Prosedur EIA untuk proyek konstruksi di China;
c. Persetujuan Administrasi lingkungan untuk proyek
konstruksi di China;
d. Sistem EIA di Brunai Darusalam, Kamboja, Indonesia dan
Laos;
e. Teknologi dan standar EIA;
f. Sistem EIA Malaysia, Myanmar, dan Filipina;
g. Studi Kasus SEA (KLHS)dan Proyek Konstruksi;
h. EIA untuk Proyek Limbah B3;
i. Sistem EIA di Singapura, Thailand dan Vietnam;
j. Kunjungan ke kawasan industri untuk Perlindungan
Lingkungan;
k. Seminar Kerjasama Industri Lingkungan antara China dan
ASEAN;
2) Keikutsertaan dalam Second Regional Workshop on Strengthening
Country Safeguard Systems: Toword Coomon Approaches for Better
4 | P a g e
Result yang diselenggarakan oleh ADB di Manila pada tanggal 7-9
Oktober 2014 di Kantor Pusat ADB Manila. Peserta yang hadir
dalam pembahasan ini adalah wakil-wakil dari Kementerian
Lingkungan Hidup di negara-negara ASEAN dan Asia Selatan
serta beberapa lembaga donor yang terkait dengan EIA atau
Country Safeguard systems (CSS). Topik-topik yang menjadi
agenda pembahasan antara lain adalah:
a. Tantangan-tangangan kunci yang sedang dihadapi negara-
negara Asia Pasifik. Beberapa pakar berbagai pengalaman
dan juga memberikan arahan ke depan apa yang harus
dilakukan dengan mengkritisi status qua, saran-saran
terkait dengan berbagai kemungkinan untuk meningkatkan
penggunaan CSS dan juga pendekatan dan benchmarking
yang ada saat ini;
b. Berbagai pengalaman praktis negara-negara berkembang
dalam penerapan CSS termasuk mengali berbagai peluang
untuk mengevaluasi pelaksanaaan CSS dan merumuskan
langka ke depan untuk memperkuat pengunaan CSS. 4
isu utama terkait dengan EIA yang dibahas, yaitu:
i. Proses EIA secara umum;
ii. Bagaimana menilai dokumen EIA;
iii. Implementasi EMP;
iv. Proses konsultasi publik dan keterbukaan informasi;
c. Proses integrasi dimensi lingkungan dan sosial ke dalam
proses pembangunan saat ini merupakan sesuatu yang
sudah terbangun dengan baik, dimana negara-negara
berkembang di Asia dan Pasifik telah membangun dan
membuat berbagai kemajuan dalam peningkatan CSS.
Disamping itu studi kasus juga dibahas oleh para pakar
dari berbagai negara antara lain bagaimana KLHS (SEA)
menjadi bagian dari proses perencanaan regional di China,
mengapa Indonesia memutuskan untuk menggunakan CSS
dalam proyek-proyek yang akan didanai oleh ADB dan
bagaimana Indonesia akan melakukannya, Bagaimana
Srilangka melakukan formalisasi kebijakan pengadaan
lahan dan pemukiman kembali (land acquisition and
resettlement policy), dan bagaimana China mengelola proses
pemukiman kembali dalam skala besar untuk
pembangunan waduk;
d. Peningkatan kerjasama dan koordinasi dalam penerapan
CSS yang koheren yang dapat mendukung terwujudnya
5 | P a g e
pembangunan berkelanjutan. Berbagai kemitraan yang
telah dibangun selama beberapa tahun untuk
meningkatkan CSS, berbagai alasan keberhasilan dan
kegagalan serta bagaimana kemitaraan ini akan
berkembang di masa depan;
e. Pengalaman kerjasma antar negara yang dapat membawa
manfaat bersama yang mencakup pengaturan CSS dengan
international best practices di antara negara-negara
berkembang dan AECEN;
f. Pengalaman Organisasi masyarakat madani atau the civil
society organizations (CSO) di negara-negara berkembang
dalam memberikan kontribusi yang signifikat terhadap
proses perkembangan CSS;
g. Pengalaman berbagai badan usaha milik negara bermitra
dengan berabagi sektor swasta dan lembaga keuangan
swasta dalam mengintegrasikan resiko lingkungan ke dalam
risko pengelolaan keuangan yang komplek dari perspektif
CSS;
h. Pelatihan terkait dengan perlindungan lingkungan:
pedoman teknis penilaian dokumen lingkungan dengan
fokus pada pada proyek pembangunan di bidang energi,
Implementasi sistem perlindungan lingkungan: Pengalaman
negara-negara Asia Selatan dalam konteks CSS dan
Pengelolaan kontraktor (Contractor Management).
C. Perumusan Hasil Pembahasan Best Practices
Berdasarkan hasil presentasi dan diskusi dengan berbagai pakar dan
praktisi Amdal dari beberapa negara dan lembaga serta beberapa
referensi yang diperoleh selama mengikuti workshop Amdal
Internasional di China dan Manila, maka dapat dirumuskan:
1) Best practices Amdal di beberapa negara;
2) Analisis equivalency sistem Amdal Indonesia dengan internasional
best practices;
3) Best practices penerapan sistem Amdal dalam lembaga keuangan
dan perbankan
Best practices Amdal di Beberapa Negara
1. Amdal di China
6 | P a g e
a. Proses manajemen proyek konstruksi di China terdiri dari:
i. Sebelum kontruksi – EIA;
ii. Selama konstruksi – Pengawasan lingkungan
(Environmental Supervision)
iii. Sebelum proses produksi dan penggunaan secara resmi –
“Three simultanousness;
iv. Penyelesaian (completion) – Post assessment Amdal;
b. Prinsip-prinsip penelitian dan persetujuan
i. Terbuka (open), fair dan adil (justice);
ii. Masukan dokumen untuk persetujuan: Pemrakarsa
kegiatan konstruksi wajib menyampaikan dokumen Amdal
untuk persetujuan sebelum kegiatan konstruksi.
Pemrakarsa yang melakukan kegiatan konstruksi sebelum
dokumen Amdal disetujui dianggap sebagai kegiatan ilegal;
c. Muatan Peenilaian Dokumen (Kriteria Kelayakan Lingkungan
Hidup)
i. Kesesuain dengan PUU terkait perlindungan lingkungan;
ii. Kesesuaian lokasi, rute dan lay-out dengan perencanaan
(tata ruang);
iii. Kegiatan yang berlangsung di kawasan konservasi, cagar
budaya, lokasi pencadangan sumber air minum atau area
sensitif lainnya, peryaratan perlindungan lingkungan
terpenuhi;
iv. Persyaratan kebijakan industri nasional dan produksi
bersih terpenuhi;
v. Setelah konstruksi, kualitas lingkungan di area dimana
proyek berlokasi sesuai dengan standar kualitas lingkungan
yang berlaku (environmental function zoning standard);
vi. Berbagai upaya pencegahan pencemaran lingkungan yang
akan dilakukan dapat memastikan bahwa efluent dan
emisis dapat memenusi baku mutu lingkungan nasional
dan daerah;
vii. Berbagai upaya perlindungan ekologis dapat secara efektif
mencegah dan mengendalikan kerusakan ekologis;
viii. Keteresdian berbagai upaya pencegahan risiko lingkungan
dan rencana tanggap darurat terkait dengan insiden
pencemaran lingkungan yang lengkap dan terpercaya;
ix. Keterlibatan masyarakat sesuai dengan persyaratan yang
berlaku;
d. Dokumen Amdal tidak akan disetujui untuk:
7 | P a g e
i. Berbagai proyek yang secara resmi dilarang oleh negara dan
tidak dapat memenuhi atau mengikuti kebijakan industri
nasional;
ii. Berbagai proyek yang berlokasi di areal yang dicadangkan
sebagai sumber air minum, kawasan konservasi, scenic
spot, area yang bernilai penting dan sensitif secara ekologi
dan memberikan dampak lingkungan secara ekologis dan
menyebakan terjadinya pencemaran;
iii. Berbagai proyek yang tidak dapat memenuhi perencanaan
umum perkotaan da perecanaan perlindungan lingkungan;
iv. Berbagai proyek yang berlokasi di area zona inti dan buffer
kawasan konservasi;
v. Berbagai proyek konstruksi yang menempati kawasan
konservasi untuk kepentingan penelitian (natural reserve
experimental areas) dan menyebakan kerusakan ekologis
atau berbagai proyek yang terletak di luar kawasan
konservasi tetapi menimbulkan kualitas kerusakan dan
fungsi ekologi kawasan konservasi;
vi. Berbagai proyek dengan efluent dan emisi (pollution
discharges) dari fasilitas eksisting yang tidak dapat
memenuhi baku mutu lingkungan nasional dan lokal;
vii. Berbagai proyek yang tidak dapat mengurangi beban
pencemaran melalui berbagai upaya alternatif seperti
keseimbangan regional di dalam area yang kualitas
lingkungannya tidak sesuai dengan persyaratan dari fungsi
lingkungan yang telah ditetapkan;
e. Prosedur penilaian dan persetujuan dokumen Amdal
i. Pemrakarsa di bidang konstruksi menyampaikan dokumen
Amdal dan bahan-bahan lainnya kepada Kementerian
Perlindundan Lingkungan (The Ministry of Environmental
Protection - MEP);
ii. Jika ditolak, MEP akan mengembalikan dokumen Amdal
kepada pemrakarsa dan meminta perbaikan dokumen dan
bahan-bahan tambahan;
iii. Jika diterima, MEP akan menyampaikan dokumen Amdal
tersebut kepada pihak-pihak terkait untuk direview, yaitu:
dokumen akan dinilai oleh departemen terkait (review
by relevant department);
mempercayakan kepada lembaga penilaian untuk
melakukan penilaian secara teknis (technical review):
8 | P a g e
1. penilaian muatan dokumen Amdal, penilaian
standarisasi dokumen Amdal, Penilaian
kelayakan lingkungan hidup dari proyek
konstruksi;
2. Metode penilaian secara teknis (technical
Review) dampak lingkungan: investigasi
lapangan, konsultasi dengan pakar, analisis
komparatif, investigasi khusus dan penelitian,
perhitungan simulasi;
3. Spesifikasi teknis penilaian: kebijakan industri
dan kondisi akses, lokasi, lay-out, perencanaan
perkotaan, perencanaan penggunaan lahan,
analisis teknis, upay-upaya pencegahan
pencemaran, tingkat pelaksanaan produksi
bersih, status kualitas LH, prediksi dampak LH
dan perlindungan LH, jumlah total pollutioan
discharges, risiko lingkungan;
Review awal (preliminary review) oleh Departmen
Perlindungan Lingkungan Propinsi;
iv. MEP menilai proyek konstruksi;
v. Pengumuman proyek yang diusulkan (7 hari)
vi. MEP melaksanakan prosedur penilaian dan persetujuan;
vii. Total waktu yang dibutuhkan adalah 90 hari kerja.
viii. Gambaran keseluruhan proses Amdal di China dapat dilihat
pada gambar dibawah ini.
9 | P a g e
Gambar 1. Proses penilaian dan persetujuan dokumen Amdal di
China
f. Sistem Standar dan Metode Teknis Amdal di China
i. Konsep umum Amdal:
Design;
Konstruksi;
Percobaan operasi (trial operation);
Operation;
Close;
ii. Design terdiri dari:
Proposal proyek;
Feasibility studies, termasuk Amdal;
Design awal (preliminary design);
Detailed design;
Construction drawing design;
iii. Muatan dokumen Amdal harus dapat menjawab:
Keseusauan dengan PUU industri dan perlindungan
lingkungan;
10 | P a g e
Kesesuian dengan zonasi fungsional daerah dan
wilayah sungai (basin), perencanaan perlindungan
ekologis, perencanaan umum perkotaan;
Kesesuaian dengan prinsip-prinsip produksi bersih;
Kesuaian dengan PUU terkait dengan perlindungan
ekologis i.e. tumbuhan dan satwa langkah dan
biodiversity;
Kesesuian dan PUU penggunaan Sumberdaya;
Kesesuaian dengan PUU penggunaan lahan;
Kesesuaian dengan pollution cap control (nasional dan
lokal);
Kesesuian dengan persyaratan baku mutu
lingkungan;
Dapat secara tepat mengidentifikasi dampak
lingkungan;
Memilih secara tepat metode untuk melakukan
prediksi dampak lingkungan dan analisisnya;
Dapat secara efektif melindungi obyek-obyek
lingkungan yang sensitif dan mengurani dampak
negatif terhadap lingkungan;
Berbagai upaya perlindungan lingkungan dan skema
alternatif secara teknis dan ekonomis layak
(memungkingkan);
iv. Kesimpulan penilaian Amdal pada umumnya mencakup:
Overview proyek konstruksi;
Status lingkungan dan masalah lingkungan utama;
Prediksi dampak lingkungan dan kesimpulan kajian
(asessment conclusion);
Kelayakan lingkungan proyek konstruksi: kesesuaian
dengan PUU dan perencanaan, tingkat produksi
bersih dan pencemaran lingkungah, tingkat
kepercayaan dan rasionalisasi upaya perlindungan
lingkungan, pemenuhan baku mutu lingkungan serta
penerimaan masyarakat (publik);
Kesimpulan dan saran
11 | P a g e
2. Amdal Thailand
a. Kajian dampak lingkungan di Thailand terbagi menjadi:
i. Environmental Impact Assessment (EIA) untuk proyek yang
berdampak penting;
ii. Environmental Health Impact Assessment (EHIA) untuk
proyek atau kegiatan yang secara serious berdampak
kepada masyarakat;
iii. Initial Environmental Examination (IEE) untuk proyek skala
kecil yang berdampak lebih kecil;
b. Menteri SDA dan LH (Minister of Natural Resources and
Environment – MONRE) dengan persetujuan dari National
Environmental Board (NEB) memiliki kewenangan untuk
menerbitkan notifikasi yang menetapkan/menentukan kategori
dan besaran proyek atau kegiatan pemerintah, badan usaha milik
pemerintah, badan usaha swasta yang wajib menyampaikan EIA
kepada Office of Natural Resources and Environmental Policy and
Planning (ONEP) dan the Expert Review Committe (ERC) untuk
pertimbangan dan persetujuan;
c. Jenis dan skala proyek atau kegiatan yang wajib menyusun
Amdal terbagi menjadi empat;
d. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses Amdal di Thailand:
i. Pemrakarsa: pemerintah, BUMN atau swasta yang memiliki
proyek atau kegiatan wajib Amdal;
ii. Lembaga Perizinan (the permitting agency): Pengambil
keputusan akhir adalah kabinetr jika pemrakarsanya
adalah pemerintah atau BUMN;
iii. the Expert Review Committe (ERC): Dokumen Amdal harus
disampaikan kepada ONEP untuk penilaian awal
(preliminary review) sebelum keputusan akhir dilakukan
oleh ERC. Environmental Impact Evaluation Bureau (EIEB)
dari ONEP bertanggung jawab untuk melakukan
melakukan pemeriksaan dokumen Amdal dan dokumen-
dokumen yang terkait dan juga penilaian awal. Dokumen
Amdal beserta hasil penilaian awal disampaikan kepada
ERC untuk memberikan pertimbangan akhir. ERC terdiri
dari: para pakar dari berbagai bidang keahlian atau disiplin
ilmu dan berbagi pihak terkait yang akan memberikan izin.
ERC akan menyetujui atau tidak menyetujui atau meminta
oerbaikan dokumen atau informasi tambahan;
12 | P a g e
iv. Konsultan: Sesuai dengan Peraturan Menteri yang mulai
berlaku efektif sejak tahun 1984, Konsultan penyusun EIS
di Thailand harus teregistrasi di ONEP. Sampai dengan
April 2012 jumlah perusahaan konsultan Amdal yang
teregistrasi adalah 62 konsultan;
e. Proses Penilaian dan Persetujuan EIA (Amdal) terbagi menjadi 4
kategori, yaitu:
i. Proses penilaian dan persetujuan untuk proyek atau
kegiatan yang dipersyaratkan oleh PUU atau
proyek/kegiatan yang tidak membutuhkan persetujuan
kabinet;
ii. Proses penilaian dan persetujuan untuk proyek atau
kegiatan yang membutuhkan persetujuan kabinet;
iii. Proses penilaian dan persetujuan untuk proyek atau
kegiatan yang secara serius berdampak kepada masyarakat
yang terkait dengan lingkungan, SDA dan kesehatan atau
yang membutuhkan perizinan berdasarkan PUU atau
proyek/kegiatan yang tidak memerlukan persetujuan
kabinet;
iv. Proses penilaian dan persetujuan untuk proyek atau
kegiatan yang secara serius berdampak kepada masyarakat
dan memerlukan persetujuan kabinet
f. Untuk kategori pertama, proses penilaian dan persetujuannya
sebagai berikut:
i. ONEP setelah menerima dokumen EIA akan melakukan
pemeriksaan dokumen dalam waktu 15 hari. Jika Dokumen
ini tidak lengkap atau tidak benar, ONEP akan
mengembalikan dokumen tersebut kepada pemrakarsa;
ii. Jika dokumen tersebut benar atau tepat, ONEP akan
melakukan penilaian awal dan komentar (preliminary review
and comments) dalam waltu 15 hari;
iii. Dokumen EIA bersama-sama dengan hasil penilaian awal
disampaikan kepada the Expert Review Committe (ERC).
ERC akan menilai dokumen EIA dalamw aktu 45 hari. Jika
dokumen EIA ini disetujuai, Institusi perizinan (the
permitting agency) akan menerbitkan izin dengan
persyaratan terkait dengan upaya mitigasi dan
pemantauan. Jika dokumen tidak disetujui, pemrakarsa
harus menyampaikan kembali dokumen EIA yang sudah
diperbaiki ke ERC. ERC akan menilai dokumen yang sudah
diperbaiki dalam waktu 30 hari;
13 | P a g e
iv. Ilustrai proses penilaian dan persetujuan untuk kategori
pertama ini tercantum dalam gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Proses penilaian dan persetujuan dokumen Amdal untuk
proyek secara umum di Thailand
3. Amdal di Malaysia
a. Pertimbangan yang harus dilakukan sebelum menyusun EIA:
i. Pemrakarsa harus memastikan bahwa rencana usaha
dan/atau kegiatan yang akan dilakukan tidak bertentangan
dengan rencana pembangunan, kebijakan dan berbagai
keputusan dari Pemerintah Malaysia sebelum melakukan
penyusunan dokumen EIA;
ii. Pemilihan site (site selection): Kriteria untuk pemilihan site
mencakup aspek teknis, lingkungan dan ekonomi.
Pemrakarsa diminta untuk tidak memilih site di dalam atau
berbatasan dengan area yang sensitif secara lingkungan
(Environmentally senstive areas-ESA). EIA
14 | P a g e
mendokumentasikan proses pemilihan site (site selection
process);
b. Di Malaysis, EIA diperlukan untuk prescribed activities, yaitu
berbagai kegiatan yang ditetapkan oleh Menteri SDA dan LH
Malaysia sebaga kegiatan memiliki dampak penting terhadap
lingkungan (significant environmental impact);
c. Pemrakarsa harus menyampaikan dokumen EIA ke Dirjen
Kualitas Lingkungan sebelum persetujuan rencana usaha
dan/atau kegiatan diberikan oleh lembaga yang berwewenang
(relevant approving authority);
d. Kegiatan yang wajib EIA ditetetpkan oleh Environmental Quality
(Prescribed Activities) (Environmental Impact Assessment) Order
1987;
e. Penyusun dokumen EIA: Dokumen EIA harus disusun oleh
penyusun yang kompeten yang teregistrasi di Departemen
Lingkungan dalam skema registrasi konsultan EIA;
f. Penyusunan dokumen EIA: dalam penyusunan dokumen EIA,
pemrakarsa mengacu pada pedoman penyusunan EIA (a
Handbook of EIA Guideline edisi ke 4 tahun 2007) dan pedoman
EIA untuk jenis rencana usaha dan/atau kegiatan tertentu yang
diterbitkan oleh Departemen Lingkungan dan lembaga lainnya;
g. Penilaian dokumen EIA: Semua prescribed activities perlu
mendapatkan persetujuan EIA dari Dirjen Lingkungan sebelum
mendapat izin dari lembaga pemerintah federal atau negara
bagian yang berwenang;
h. Prosedur EIA: ada dua jenis prosedur EIA yang diadopsi di
Malaysia, yaitu:
i. Preliminary EIA (PEIA):
Kajian dampak yang disebabakan oleh kegiatan-
kegiatan yang telah ditetantukan/tetapkan.
PEIA dinilai oleh komite teknis (technical committe)
yang terdiri dari Departemen Lingkungan dan
lembaga pemerintah yang terkait;
Jangka waktu penilaian PEIA adalah 5 minggu (35
hari);
ii. Detail EIA:
prosedur yang dilakukan untuk kegiatan-kegiatan
yang berdampak penting terhadap lingkungan.
DEIA wajib melibatkan masyarakat dan masyarakat
memiliki hak untuk memberikan saran, pendapat dan
tanggapan;
15 | P a g e
TOR: Pemrakarsa wajib menyampaikan TOR-EIA
untuk DEIA;
Dokumen DEIA dinilai oleh Panel Review Ad hoc yang
ditetapkan oleh Dirjen dan dipimpin oleh Dirjen;
Jangka waktu untuk penilaian DEIA adalah 12
minggu (84 hari);
16 | P a g e
Gambar 3. Prosedur untuk Preliminary EIA di Malaysia
17 | P a g e
Gambar 4. Prosedur untuk Detailed Environmental Impact
Assessment (DEIA) di Malaysia
18 | P a g e
4. Amdal di Filipina
a. Sistem Kajian Dampak Lingkungan Filipina menjadi dasar
kerangka legal dan prosedural untuk pelaksanaan EIA untuk
berbagai proyak yang berdampak penting terhadap lingkungan;
b. Sistem KDL dirancang untuk berfungsi sebagai perlindungan
(safeguard) LH dan SDA Filipina di era pertumbuhan
industrailisasi dan urbanisasi;
c. Sistem KDL menpersyaratkan EIA dan penyusunan dokumen EIS
untuk:
i. Environmentally critical project (ECP):
Berbagai Industri berat: non-ferrous metal industries,
industri besi dan baja, smelter, petroleum dan
petrokimia, migas;
Industri ekstraksi SDA: i.e. tambang, kegiatan
kehutanan;
Berbagai proyek infrastrukrtur i.e. bendungan, jalan
dan jembatan, pembangkit listrik, reklamasi;
Lapangan golf dan resort dengan lapangan golf (golf
resorts);
Lain-lain: resort dan hotel, bandara, pelabuhan
ii. Proyek yang berlokasi di Environmentally Critical Area (ECP);
Taman nasional, cagar alam, perlindungan DAS dan
suaka margasatwa yang ditetapkan oleh PUU;
Area yang ditetapkan senbagai daerah potensi wisata;
Habitat species langkah dan terancam yang khas
dimiliki Filipina;
Area dengan keunikan sejarah, arkeologi dan
kepentingan ilmu pengetahuan;
Area masyarajat hukum adat;
Area yang rawan bencana alam;
Area dengan kemiringan yang terjal;
Area yang diklasifikasikan sebagai lahan pertanian
utama;
Area imbuhan air tanah;
Badan air yang digunakan untuk pasokan domestik
dan mendukung perikanan dan satwa liar;
Area mangrove yang memliki fungsi ekologis penting
atau dimana masyarakat sangat bergantung untuk
kehidupannya;
19 | P a g e
Area terumbu karang yang memiliki fungsi ekologis
penting;
d. Department of Environment and Natural Resources (DENR)
menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut
apakah termasuk ECP atau akan dilakukan di ECA. Jika salah
satu atau kedua kondisi tersebut berlaku, maka rencana usaha
dan/atau kegiatan tersbeut wajib memperoleh environmental
compliance certificate (ECC);
e. Untuk ECP, sistem KDL mempersyaratkan penyusunan EIS
karena proyek-proyek ini kemungkinan besar memiliki risiko atau
dampak negatif terhadap lingkungan. ECP mencakup berbagai
proyek ekstraksi SDA utama, infrastruktur utama, pengembangan
tambak untuk budidaya ikan, pengembangan resort dengan
lapangan golf dan proyek-proyek pengambangan industri
besar/berat;
f. ECA adalah areal-areal yang secara ekologi, sosial dan lingkungan
sensitif. Banyak kawasan habitat pesisir seperti mangrove,
terumbu karang dan perairan perkotaan diklasifikasikans sebagai
ECA. Untuk proyek yang berlokasi di ECA, sistem KDL
mempersyaratan penyusunan Initial Environmental Examination
(IEE) yang mencakup deskrisi rencana proyek dan mungkin juga
mempersyaratkan EIS. Setelah melalui proses penilaian terhadap
rencana proyek dan dokumen EIA disampaikan oleh pemrakarsa,
proyek tersebut akan diterbitkan ECC oleh DENR;
g. Berbagai proyek yang tidak termasuk ke dalam sistem KDL
mencakup:
i. Proyek-proyek yang tidak termasuk ECP dan berlokasi di
ECA;
ii. Proyek yang telah beroperasi atau ada sejak tahun 1982
walaupun proyek tersebut termasuk ECP atau berlokasi di
ECA. Tetapi, perluasan/pengembangan areal proyek dan
peningkatan kapasitas produksi mempersyaratkan ECC;
h. Jika kedua persyaratan tersebut terpenuhi, Departement of
Environment and Natural Resources – Environmental
Management Bureau (DENR-EMB) atau Kantor Regional dapat
menerbitkan Certificate of Non-Coverage (CNC) atau sertifikat
pengecualian bahwa proyek tidak memberikan dampak penting
terhadap lingkungan. DENR memberikan arahan dan penilaian
sistem KDL dan menerbitkan ECC. EMB bertanggung jawab
dalam penilaian dan penerbitan ECC. EMB bertanggung jawab
terhadap penilaian dan penerbitan seluruh ECC untuk ECP.
20 | P a g e
Kantor Regional DENR menilai dan menerbitkan ECC untuk
proyek-proyek yang berlokasi di ECA;
i. Gambaran umum sistem KDL Filipina dapat dilihat pada gambar
dibawah ini.
Gambar 5. Gambaran umum sistem KDL Filipina
j. Proses penilaian untuk ECP: Pemrakarsa proyek yang
diklasifikasikan sebagai ECP wajib melakukan studi EIA dan
menyampaikan dokumen EIS kepada DENR-EMB. Berikut ini
adalah tahapan-tahapan proses EIA untuk ECP
21 | P a g e
Gambar 6. Tahapan-tahapan proses EIA untuk ECP
k. Proses penilaian proyek yang berlokasi di ECA: Prosedur penilaian
lingkungan agak berbeda untuk rencana proyek yang mungkin
berlokasi di ECA. Proses penilaian dilakukan oleh kantor regional
DENR dan terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
22 | P a g e
Gambar 7. Proses penilaian proyek yang berlokasi di ECA
Analisis Equivalensi Sistem Amdal Indonesia dengan
Internasional Best Practives (SPS 2009 ADB-
Environmental Safequard)
Salah satu isu penting yang mengemuka selama woorkshop di
Manila adalah penggunaan country safeguard systems (CSS) sebagai
tindak lanjut dari Deklarasi Paris yang menghendaki lembaga-
lembaga donor untuk memperkuat dan menerapkan CSS terkait
dengan proyek-proyek yang didanai oleh lembaga internasional. CSS
pada dasarnya adalah kerangka kelembagaan dan legal dari suatu
negara yang terdiri dari kelembagaan di tingkat nasional dan
subnational serta sektoral dan berbagai hukum dan regulasi, aturan
serta prosedur yang terkait dengan area kebijakan perlindungan
23 | P a g e
(safeguard policy): Environment, Involuntary Resettlement and
Indigenous People.
Terkait dengan CSS ini, Indonesia melalui Bappenas telah mengirim
surat No. 4347/Dt.8.407/2013 tanggal 23 Juli 2013 kepada Country
Director ADB di Jakarta perihal pengunaan Indonesian Country
Safeguard Systems untuk proyek-proyek yang didanai oleh ADB.
Terkait dengan usulan penggunaan CSS ini, pada workhshop ADB
ini Indonesia juga mempresentasikan terkait dengan dasar pemikiran
mengapa Indonesia akan menggunakan CSS dan langkah ke depan
yang akan dilakukan, sebagaimana disebutkan dibawah ini.
1) Mengapa Indonesia memutuskaa untuk mengunnakan CSS
adalah: a. Indonesia telah membanguan, mengembangan,
mengimplemehtasikan serta meningkatan CSS (Amdal dan
UKL-UPL) selama lebih dari 28 tahun; b. Penggunaan CSS akan menyederhanakan siklus proyek
ADB sehingga lebih efektif dan efisien (menghemat biaya,
waktu dan energi) c. Pengunaan CSS akan mencegah terhadi kebinggungan
dalam implementasi EMP dan penaatan (pengawasan dan penegakan hukum) serta proses pengembailana keputusan yang dilakukan oleh Indonesia dan ADB dilakukan
berdasarkan informasi yang memliki tingkat kedalaman dan kerincian yang sama;
2) Untuk dapat menggunakaan CSS, Indonesia akan:
a. Memperkuat sistem kajian dampak lingkungan dan izin lingkungan sehingga sama atau sesuai dengan standar
lembaga internasional (equivalent) dan dapat diterima oleh lembaga indtrenational (ADB) (acceptability);
b. Mengintegrasikan EIA dan Izin Lingkungan dalam siklus
proyek di beberapa sektor prioritas; c. Memperkuat sistem sertifikasi dan peningkatan kapasitas
penyusun Amdal; d. Memperkuat kapasitas teknis penilaian Amdal; e. Mengembangan sistem informasi;
Terkait dengan penggunaan CSS tersebut, sebelum Indonesian CSS
dapat diterapkan sepenuhnya oleh Indonesia untuk proyek-proyek
yang didanai oleh ADB, ada dua peryaratan yang harus dipenuhi,
yaitu:
1) persyaratan kesetaraan (equivalent) antaran Indonesian CSS
dengan ADB SPS 2009 yang dilakukan melalui kajian kesetaraan
(equivalence assessment);
24 | P a g e
2) Persyaratan acceptability yang dilakukan melalui aceptability
assessment: implementasi di lapangan, rekam jejak, kapasitas
dan komitment untuk menerapkan semua PUU dan prosedur
terkait Indonesian Safeguard Policies.
Tabel di bawah ini merupakan kajian awal terkait dengan
equivalency antara Indonesia CSS terkait dengan lingkungan
(Environmental Safequard – Sistem Amdal Indonesia) dengan SPS
ADB 2009.
Tabel 1. Kajian awal terkait dengan equivalency antara Indonesia
CSS terkait dengan lingkungan (Environmental Safequard
atau Sistem Amdal Indonesia) dengan SPS ADB 2009.
No Environmental
Safeguards – ADB SPS 2009
Sistem Kajian Dampak Lingkungan di Indonesia
Keterangan
1. Tujuan: Untuk memastikan bahwa proyek dilakukan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan dan untuk mengintegrasikan pertimbangan lingkungan ke dalam proses pengambilan keputusan terhadap proyek.
PUU di Indonesia telah mengatur bahwa proyek dilakukan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan dan pertimbangan lingkungan telah diintegrasikan dalam proses pengambilan keputusan, seperti yang dinyatakan dalam: a. Pasal 33 ayat 4 UUD 1945:
“Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
b. Pasal 1 angka 11 dan angka 12 dan Pasal 14 huruf e dan huruf f UU No. 32 Tahun 2009 yang pada dasarnya menyatakan bahwa Amdal dan UKL-UPL merupakan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaran
usaha dan/atau kegiatan (proyek)
Equivalence antara
Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia
2. Scope dan Trigger: Environmental safeguard
dipersyaratkan untuk proyek-proyek yang berpotensi menimbulkan risiko dan dampak lingkungan
Amdal dan UKL-UPL merupakan environmental safeguard di Indonesia. Sesuai dengan ketentuanPasal 1 angka
11 dan angka 12 dan Pasan 22 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (2)UU No. 32 Tahun 2009 pada dasarnya menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan wajib memliki Amdal. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal wajib memiliki
Equivalence antara
Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia
25 | P a g e
No Environmental
Safeguards – ADB SPS 2009
Sistem Kajian Dampak Lingkungan di
Indonesia
Keterangan
UKL-UPL.
3. Prinsip-Prinsip Kebijakan
a. Penggunaan proses penapisan untuk setiap proyek seawal mungkin untuk menentukan luas dan jenis kajian lingkungan yang tepat
ADB membagi kategorisasi proyek menjadi Tipe A, Tipe B, Tipe C dan F1, sedangkan Indonesia membagi tipe proyek menjadi wajib Amdal, UKL-UPL dan SPPL. Tipe A dan B setara dengan wajib Amdal, sedangkan tipe C setara dengan wajib UKL-UPL. Proses awal dari pelaksanaan sistem kajian dampak di Indonesia adalah proses penapisan (screening process) yang diatur dalam Peraturan MENLH No. 05 Tahun
2012 tentang Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal. Proses penapisan diatur dalam pasal 2 dan pasal 3. Diagram proses penapisan diatur dalam Lampiran II. Esensi dasar dari penapisan di Indonesia adalah untuk menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan: a. Dapat dilakukan di lokasi tertentu
(kesesuaian dengan rencana tata
ruang dan PUU); b. Wajib memiliki Amdal atau tidak; c. Pendekatan studi amdal yang akan
dilakukan; dan d. Kewenangan penilaian Amdal.
Equivalence antara
Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia.
b. Pelaksanan kajian dampaklingkungan untuk setiap rencana usaha dan/atau kegiatan dalam rangka untuk mengidentifikasi risiko dan dampak (langsung, tidak langsung, kumulatif dan induced) terkait dengan aspek fisik, biologi dan sosial ekonomi (mencakup dampak
terhadap penghidupan masyarakat melalui media lingkungan,
kesehatan dan keselamatan, kelompok-kelompok rentan dan isu gender), dan cagar budaya dalam batas wilayah studi. Pelaksanaan kajian tehadap dampak
Penjelasan umum PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menegaskan bahwa Amdal tidak hanya mencakup kajian terhadap aspek biogeofisik dan kimia saja tetapi juga aspek sosial-ekonomi, sosial budaya dan kesehatan masyarakat. Pelaksanaan kajian dampak lingkungan untuk setiap rencana usaha dan/atau kegiatan telah diatur dalam Peraturan MENLH No. 16 tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan (KA, Andal, RKL-RPL, UKL-UPL dan SPPL). Aspek yang dikaji mencakup: a. Biogeofisik-kimia: i.e. hidro-
oceanografi, hidrologi, batimetri, topografi, geomorfologi, dan/atau geoteknik, kualitas air;
b. Sosekbud: i.e. demografi, akses
publik, dan potensi relokasi c. Kesehatan masyarakat: prevalensi
penyakit, perubahan kesmas; Pelaksanaan kajian Amdal juga harus mengacu pada PUU PPLH dan PSDA. Karena itu Aspek Biogeofisik-kimia mengacu pada PUU antara terkait dengan
Equivalence antara
Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia.
26 | P a g e
No Environmental
Safeguards – ADB SPS 2009
Sistem Kajian Dampak Lingkungan di
Indonesia
Keterangan
lintas batas (transboundary) dan global yang mencakup perubahan iklim. Penggunaan KLHS (SEA) jika
dimungkinkan.
pengendalian pencemara dan kerusakan lingkungan, baik yang diterbitkan oleh KLHK atau sektor lainnya. Kajian dampak sosial juga telah diarur dalam Keputusan Kepala Bapedal No. 299 tahun 1996 tentang Pedoman Teknis Aspek Sosial dalam Penyusunan Amdal. Komponen sosial yang dikaji mencakup:
a. Demografi: Struktur penduduk, Proses Penduduk dan Tenaga Kerja;
b. Ekonomi: Ekonomi rumah tangga, Ekonomi SDA dan Perekonomian lokal & Regional
c. Budaya: Kebudayaan, Proses Sosial,
Pranata Sosial/ Kelembagaan Masyarakat, Warisan Budaya, Pelapisan Sosial, Kekuasaan dan kewenangan, Sikap dan Persepsi Masyarakat serta Adaptasi Ekologis
Terkait dengan cagar budaya, kajian dampak lingkungan dan pelaksanaan proyek juga harus mengacu pada UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pembagian kelompok masyarakat tidak diatur secara spesisfik, tetapi ditentukan berdasarkan keputusan di dalam pelaksanaan kajian, termasuk isu gender. Jika relevan hal tersebut dapat dilakukan. Demikian juga dengan isu perubahan iklim. Sudah ada PUU yang mengatur terkait dengan aspek ini. Kajian Amdal dan pelaksanaan kegiatan juga harus mengacu dan mentaatai PUU
PPLH dan PSDA. Kajian dampak kesehatan masyarakat juga telah diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal No. 124 tahun 1997 tentang Panduan Kajias Aspek Kesehatan Masyarakat dalam Penyusunan Amdal dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 876/Menkes/SK/VIII/2001 Tentang Pedoman Teknis Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan. KLHS bersama-sama dengan Amdal dan UKL-UPL juga merupakan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan (environmental safeguard). Di Indonesia KLHS diterapkan untuk Penyusunan Rencana Tata Ruang dan Penyusunan Rencana Pembangunan serta penyusunan Kebijakan, Rencana dan Program yang berpotensi menimbulkan dampak dan risiko lingkungan hidup. Ketentuan tentang
pelaksanaan KLHS telah diatur dalam
27 | P a g e
No Environmental
Safeguards – ADB SPS 2009
Sistem Kajian Dampak Lingkungan di
Indonesia
Keterangan
Pasal 15-18 UU No. 32 Tahun 2009, PP 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Tata Ruang, serta Peraturan MENLH No. 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum KLHS
c. Pelaksanaan kajian alternatif terhadap lokasi proyek, design, teknologi dan komponen-komponennya dan potensi dampak LH dan sosialnya serta
pendokumentasian dasar pemikiaran pemilihan alterntif tertnentu. Juga dipertimbangkan alternatif tanpa proyek
Pelaksanaan kajian dampak lingkungan untuk setiap rencana usaha dan/atau kegiatan telah diatur dalam Peraturan MENLH No. 16 tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan (KA, Andal, RKL-RPL, UKL-UPL dan SPPL). Dalam Peraturan MENLH tersebut juga mengatur tentang kajian
alternatif seperti lokasi, penggunaan alaat-alat produksi, kapasitas, spesifikasi teknik, sarana usaha dan/atau kegiatan, tata letak bangunan, waktu, durasi operasi dan alternatif lainnya, termasuk pertimbangan pemelihan alternatif.
Equivalence antara
Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia
d. Hindari, jika memungkinakan, minimalisasi, mitigasi dan/atau offsett dampak
negatif dan meningkatkan dampak positif melalui pengelolaan dan perencanaan lingkungan. Menyusunan rencana pengelolaan lingkungan (EMP) yang mencakup rencana mitigasi, pemantauan lingkungan dan persyaratan pelaporan, pengaturan kelembagaan, upaya peningkatan kapasitas dan pelatihan, jadwal implementasi, estimasi biaya dan indikator kinerja.
Pertimbangan utama penyusunan EMP mencakup
mitigasi dampak negatif ke tingkatan yang tidak membahayakan bagi berbagai pihak dan prinsip
Pasal 25 huruf f UU No. 32 Tahun 2009 dan Pasal 5 anyat (2) huruf c PP No. 27 Tahun 2012 menyebutkan bahwa salah satu muatan dokumen Amdal adalah pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup (RKL-RPL). Ketentuan tersebut secara lebih detail diterjemahkan di dalam Lampiran III Peraturan MENLH No. 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan. Peraturan MENLH No. 16 tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan dan Lampiran III menjelaskan bahwa pengelolaan LH mencakup: a. Menghindari atau mencegah dampak
negatif; b. Menanggulangi, meminimalisasi atau
mengendalikan dampak negatif; c. Meningkatkan dampak positif; Dalam lampiran trsebut dijelaskan bahwa Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) harus memuat: a. Dampak LH yang terjadi; b. Sumber dampak; c. Indikator keberhasilan PLH; d. Bentuk pengelolaamn LH (pendekatan
teknologi, pendekatan sosial ekonomi dan pendekatan institusi);
e. Lokasi pengelolaan LH;
f. Periode pengelolaan LH g. Institusi PLH (pelaksana, pengawas
dan pelaporan) Sedangkan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) memuat:
Equivalence antara
Environmental Safeguards –
ADB SPS 2009 dengan Indonesia
28 | P a g e
No Environmental
Safeguards – ADB SPS 2009
Sistem Kajian Dampak Lingkungan di
Indonesia
Keterangan
pencemar membayar;
a. Dampak yang dipantau: jenis dampak LH, indikotor atau parameter pemantuan, sumber dampak;
b. Bentuk pemantauan LH: metode pengumpulan dan analisis data, lokasi dan waktu serta frekuensi pemantauan;
c. Institusi pemantau LH: Pelaksana, pengawas pemanatuan LH dan
pelaporan hasil pemantauan; Peningkatan kapasitas dan pelatihan di bidang PPLH menjadi bagian pernyataan kebijakan LH dari pemrakarsa yang dibuat dalam Bab Pendahuluan RKL-RPL
sesuai dengan ketentuan Lampiran III Peraturan MENLH No. 16 Tahun 2012,. Jadwal implementasi, dan estimasi biaya tidak secara explisit disebutkan dalam pedoman penyusunan RKL-RPL yang tercantum di dalam lampiran Peraturan MENLH No. 16 Tahun 2012. Tetapi informasi tersebut harus dapat ditunjukan oleh pemrakarsa pada saat menilai kelayakan rencana usaha dan/atau kegiatan terkait dengan kemampuan (kapasitas) pemrakarsa dalam menanggulangi dampak negatif yang akan ditimbulkan melalui pendekatan teknologi, sosial dan kelembagaan sebagai bagian dari bentuk pengelolaan LH. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 huruf j UU No. 32 Tahun 2009, salah satu asa
PPLH adalah asa pencemar membayar (polluters pay) yang artinya adalah setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan LH wajib menanggung biaya pemulihan LH.
e. Melakukan konsultasi publik dengan pihak atau masyarakat terkena dampak dan memberikan informasi kepada masyarakat terkait
dengan rencana proyek. Pastikan keterlibatan kaum perempuan dalam konsultasi publik.
Libatkan berbagai pihak terkait yang mencakup masyarakat terkena
Pasal 26 ayat (1)-ayat (3) UU No. 32 Tahun 2009 menjadi dasar bagi pelaksanaan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan dokumen Amdal yang dilakukan oleh pemrakarsa. Ketentuan dalam pasal tersebut pada dasarnya menyebutkan bahwa: a. Dokumen Amdal disusun oleh
pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat. Proses pelibatan masyarakat ini dilakukan melalui pengumuman dan konsultasi publik dalam rangka menjaring saran dan
tanggapan; b. Pelibatan masyarakat harus
dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan
Equivalence antara
Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia
29 | P a g e
No Environmental
Safeguards – ADB SPS 2009
Sistem Kajian Dampak Lingkungan di
Indonesia
Keterangan
dampak, para pemerhati lingkungan (LSM), sejak awal proses persiapan proyek dan pastikan bahwa pandangan dan kepedulian mereka semua
diperhatikan dan dipahami serta dipertimbangkan oleh para pengambil keputusan.
Melakukan konsultasi dengan masyarakat sepanjang pelaksanaan proyek yang diperlukan untuk menjawab berbagai isu terkait dengan hasil kajian lingkungan. Buat mekanisme penanganan keluhan dan memfasilitasi resolusi terhadap kepentingan dan keluahan masyarakat terkena dampak terkait dengan kinerja lingkungan dari
proyek;
dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan;
c. Masyarakat yang dlibatkan dalam penyusunan dokumen Amdal mencakup masyarakat terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup dan/atau masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal.
Pasal 2 huruf k UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa salah satu asas PPLH adalah asas partisipatif. Ini berarti bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam
proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan PPLH, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sejalan dengan ketentuan-ketentuan tersebut, Pasal 65 ayat (2)-ayat (5) UU No. 32 Tahun 2009 menegaskan bahwa setiap orang berhak: a. mendapatkan akses informasi dan
akses partisipati dalam memenuhi hak atas LH yang baik dan sehat;
b. mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup;
c. berperan dalam PPPLH sesuai dengan PUU;
d. Melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 juga mengatur bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sma dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam PPLH. Peran serta masyarakat tersebut dilakukan dalam bentuk pengawasan sosial, pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan, dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan. Disamping itu pasal 68 huruf a UU No. 32 Tahun 2009 menegaskan bahwa setiap orang yang akan melakukan usaha
dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang terkait dengan PPLH secara benar, akurat, terbuka dan tepat waktu. Disamping itu juga pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
30 | P a g e
No Environmental
Safeguards – ADB SPS 2009
Sistem Kajian Dampak Lingkungan di
Indonesia
Keterangan
kewenangannya wajib mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan. Pengumuman tersebut dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat. Sesuai dengan ketentuan PP No. 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, Izin lingkungan telah diintegrasikan dalam
proses Amdal dan Ukl-UPL, sehingga dengan demikian proses keterlibatan masyarakat dalam proses Amdal dan Izin Lingkungan pada dasarnya ada 4 kali dilihat dari tahapan proses Amdal dan Izin Lingkungan yang ditaur secara detail
dalam Peraturan MENLH No. 17 Tahun 2012 tentang Pelibatan Masyarakat dalam Proses Amdal dan Izin Lingkungan. Berdasarkan Peraturan MENLH ini, keterlibatan masyarakat dalam proses Amdal dan Izin Lingkungan dilakukan melalui: a. Pengumuman dan konsultasi publik
yang dilakukan sebelum penyusunan dokumen Keranga Acuan;
b. Pengumuman permohonan izin lingkungan termasuk pengumuman dan akses terhadap dokumen KA, draft dokumen Andal dan RKL-RPL;
c. Keterlibatan wakil masyarakat terkena dampak dan LSM dalam proses penilaian Andal dan RKL-RPL;
d. Pengumuman izin lingkungan yang telah diterbitkan;
Berdasarkan Peraturan MENLH No. 17 Tahun 2012 ini, Tujuan dilibatkannya
masyarakat dalam proses amdal dan izin lingkungan agar: a. Masyarakat mendapatkan informasi
mengenai rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan;
b. Masyarakat dapat menyampaikan saran, pendapat dan/atau tanggapan atas rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan;
c. Masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan rekomendasi
kelayakan atau ketidaklayakan atas rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan;
d. Masyarakat dapat menyampaikan saran, pendapat dan/atau tanggapan atas proses izin lingkungan
Sesuai dengan ketentuan di dalam
31 | P a g e
No Environmental
Safeguards – ADB SPS 2009
Sistem Kajian Dampak Lingkungan di
Indonesia
Keterangan
Peraturan MENLH No. 17 Tahun 2012: a. Hasil pelibatan masyarakat melalui
pengumuman dan konsultasi publik menjadi salah satu dasar dan wajib dimuat dalam penyusunan dokumen Kerangka Acuan serta pertimbangan dalam proses penilaian KA dan penerbitan persetujuan KA.
b. Saran, pendapat, dan tanggapan
masyarakat terhadap pengumuman permohonan izin lingkungan menjadi salah satu pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan kelayakan lingkungan atau persetujuan teknis serta
penerbitan izin lingkungan; Sesuai dengan ketentuan Peraturan MENLH No. 17 Tahun 2012, baik Pemerintah (Menteri, gubernur atau bupati/walikota) dan pemrakarsa wajib mendokumentasikan dan mengolah saran, pendapat, dan tanggapan masyarakat. Terkait dengan penagangan keluhan dan pengaduan masyarakat, Menteri LH telah menerbitkan Peraturan MENLH No. 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Penanganan Pengaduan Akibat Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup. Pemrakarsa juga dapat membuat mekanisme penanganan pengaduan
masyarakat sebagai bagian dari bentuk pengelolaan lingkungan hidupnya yang diatur dalam Lampiran III Peraturan MENLH No. 16 Tahun 2012
f. Melakukan pengumuman terkait dengan draft hasil kajian dampak lingkungan termasuk EMP secara tepat waktu, sebelum pesertujuan proyek di lokasi-lokasi
yang mudah terjangkau dan dalam bahasa yang mudah dipahami oleh berbagai pihak termasuk masyarakat terkena
dampak. Melakukan
Sesuai dengan ketentuan PP No. 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, Izin lingkungan telah diintegrasikan dalam proses Amdal dan Ukl-UPL, sehingga dengan demikian proses keterlibatan masyarakat dalam proses Amdal dan Izin Lingkungan pada dasarnya ada 4 kali dilihat dari tahapan proses Amdal dan Izin Lingkungan yang ditaur secara detail dalam Peraturan MENLH No. 17 Tahun
2012 tentang Pelibatan Masyarakat dalam Proses Amdal dan Izin Lingkungan. Berdasarkan Peraturan MENLH ini, keterlibatan masyarakat dalam proses Amdal dan Izin Lingkungan dilakukan melalui: a. Pengumuman dan konsultasi publik
yang dilakukan sebelum penyusunan dokumen Keranga Acuan;
Equivalence antara
Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia
32 | P a g e
No Environmental
Safeguards – ADB SPS 2009
Sistem Kajian Dampak Lingkungan di
Indonesia
Keterangan
pengumuman hasil kajian akhir dan perbaharui jika ada kepada berbagai pihak terkait termasuk masyarakat terkena dampak
b. Pengumuman permohonan izin lingkungan termasuk pengumuman dan akses terhadap dokumen KA, draft dokumen Andal dan RKL-RPL;
c. Keterlibatan wakil masyarakat terkena dampak dan LSM dalam proses penilaian Andal dan RKL-RPL;
d. Pengumuman izin lingkungan yang telah diterbitkan;
Dalam Peraturan MENLH No. 17 Tahun 2012 tersebut, terkait dengan pengumuman permohonzn izin lingkungan disebutkan bahwa dalam
melakukan pengumuman permohonan izin lingkungan untuk rencana usaha dan/atau kegiatan wajib Amdal, Menteri, gubernur , atau bupati/walikota, menyampaikan informasi antara lain mengenai cara mendapatkan dokumen Amdal (KA yang telah diberikan persetujuan, draft Andal dan RKL-RPL) yang berupa: a. informasi perihal tempat dimana
masyarakat dapat memperoleh dokumen amdal (KA yang telah diberikan persetujuan, draft Andal, dan RKL-RPL) yang akandiajukan untuk dilakukan penilaian atas permohonan izin lingkungannya; dan/atau
b. tautan (link) dokumen Amdal (KA
yang telah diberikan persetujuan, draft Andal, dan RKL-RPL) yang dapat diunduh (download) oleh masyarakat
Hal yang sama juga berlaku untuk rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki UKL-UPL. Pengumuman tersebut disampaikan melalui: a. multimedia yang secara efektif dan
efisien dapat menjangkau masyarakat, antara lain website; dan
b. papan pengumuman di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan yang mudah dijangkau oleh masyarakat terkena dampak.
Semua bentuk pengumuman yang disampaikan harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, disampaikan dengan jelas dan mudah dimengerti oleh seluruh lapisan
masyarakat. Dalam pengumuman tersebut dapat juga dituliskan terjemahannya dalam bahasa daerah atau
33 | P a g e
No Environmental
Safeguards – ADB SPS 2009
Sistem Kajian Dampak Lingkungan di
Indonesia
Keterangan
lokal yang sesuai dengan lokasi dimana pengumuman tersebut akan dilakukan
g. Melakukan
pelaksanaan dan pemantauan EMP. Dokumentasi hasil pemantauan, termasuk pengembangannya dan perbaikannya pelaksanaan EMP dan mengumuman laporan pelaksanaan EMP;
Sesuai dengan ketentuan PUU PPLH,
pemrakarsa wajib melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup dan wajib melakukan pemantauan lingkungan hidup. Disamping itu juga Menteri, gubernur atau bupati/walikota wajib melakukan pengawasan terhadap Izin Lingkungan (pelaksanaan RKL-RPL). Beberapa ketentuan dalam PUU PPLH ini menjelaskan mengenai hal tersebut. Pasal 37 ayat (2) huruf c UU No. 32
Tahun 2009 menyebutkan bahwa izin lingkungan dapat dibatalkan apabila kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penaggung jawab usaha dan/atau kegiatan; Pasal 68 UU No. 32 Tahun 2009 menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a. Memberikan informasi yang terkait
dengan PPLH secara benar, akurat, terbuka dan tepat waktu;
b. Menjaga keberlanjutan fungsi LH; c. Menaatai ketentuan tentang BML
dan/atau KBKL; Pasal 72 UU No. 32 Tahun 2009 juga menegaskan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenanganya wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan. Pasal 53 PP No. 27 Tahun 2012 telah mengatur kewajiban pemegang izin lingkungan dalam menaatai persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam izin lingkungan dan izin PPLH, membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan izin lingkungan kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota. Persyaratan dan kewajiban di dalam izin lingkungan sesuai dengan ketentuan
pasal 17 dan pasal 28 Peraturan MENLH No. 8 Tahun 2013 antara lain juga mencakup persyaratan yang tercantum dalam RKL-RPL atau UKL-UPL, sedangkan kewajibannya antara lain adalah: a. memenuhi persyaratan, standar, dan
baku mutu lingkungan dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan
Equivalence antara
Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia
34 | P a g e
No Environmental
Safeguards – ADB SPS 2009
Sistem Kajian Dampak Lingkungan di
Indonesia
Keterangan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. menyampaikan laporan pelaksanaan persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam Izin Lingkungan selama 6 (enam) bulan sekali;
c. mengajukan permohonan perubahan Izin Lingkungan apabila direncanakan untuk melakukan
perubahan terhadap lingkup deskripsi rencana usaha dan/atau kegiatannya; dan
d. kewajiban lain yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan kepentingan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hi
Didalam Lampiran III Peraturan MENLH No. 16 Tahun 2012, disebutkan bahwa muatan RKL-RPL di bagian Pendahuluan antara lain menjelaskan komitmen pemrakarsa untuk memenuhi (melaksanakan) ketentuan PUU di bidang LH yang relevan, serta komitmen untuk melakukan penyempurnaan pengelolaan dan pemantauan LH secara berkelanjutan dalam bentuk mencegah, menanggulangi dan mengendalikan yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatannya. Disamping itu juga Lampiran Keputusan MENLH No. 45 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Laporan Pelaksanaan RKL-RPL menyebutkan bahwa salah satu tujuan penyusunan pedoman ini adalah
untuk mendorong pemrakarsa memanfaatkan data-data hasil pemantauan LH dalam menerapan sistem PLH berdasarkan prinsip-prinisp perbaikan secara terus menerus (continual improvement). Tata cara penyampaikan laporan pelaksanaan Izin Lingkungan (pelaksanaan RKL-RPL) diatur di dalam Keputusan MENLH No. 45 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Laporan RKL-RPL, sedangkan tatacara pengawasan lingkungan hidup diatur dalam:
a. KepMenLH No.07 Th 2001 tentang PPLH dan PPLHD
b. KepMenLH No.56 Th 2002 tentang Pedoman Umum Pengawasan LH
c. KepMenLH No.57 Th 2002 tentang Tata Kerja PPLH
d. KepMenLH No.58 Th 2002 tentang Tata Kerja PPLHD
35 | P a g e
No Environmental
Safeguards – ADB SPS 2009
Sistem Kajian Dampak Lingkungan di
Indonesia
Keterangan
h. Tidak melaksanakan kegiatan proyek di area-area yang termasuk critical habitat, kecuali (i) tidak ada dampak negatif yang dapat menganggu
kelestarian fungsi lingkungan critical habitat, (ii) tidak menyebabkan terjadinya penurunan
populasi terhadap spesies yang terancam punah atau kritis, (iii) berbagai dampak dapat dimitigasi. Jika proyek berlokasi di dalam kawasan lindung, proyek wajib melaksanakan program untuk meningkatan dan menjaga kawasan lindung. Di kawasan habita yang masih alami, kegiatan proyek tidak boleh melakukan konversi atau
menimbulkan kerusakan lingkungan, kecuali (i) alternatif tidak tersedia, (ii) manfaat proyek lebih besar dari biaya lingkungan, (iii) berbagai konversi dan kerusakan lingkungan dapat dimitigasi secara tepat. Menggunakan
pendekatan kehati-hatian dalam penggunaan, pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui.
PUU PPLH dan PSDA telah mengatur jenis-jenis kegiatan tertentu yang dapat dilakukan di dalam kawasan lindung seta kawasan-kawasan tertentu yang masih alami; a. PP No. 26 Tahun 2008 tentang
RTRWN (Pasal 99-Pasal 106); b. UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Pasal 38 mengatur terkait
penggunaan kawasan hutan produksi dan hutan lindung untuk kegiatan-kegiatan tertentu yang bersifat strategis. Pengaturan lebih detail di ataur PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Ada 12
jenis kegiatan strategis yang dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2011 terkait dengan pengaturan kegiatan pertambangan di bawah tanah di dalam hutan lindung;
c. PP No. 28 Tahun 2011 tentang KPA dan KSA yang mengatur jenis-jenis kegiatan yang dapat dilakukan di dalam kawasan konservasi;
d. Intruksi Presiden No. 6 Tahun 2013 tentang PIPIB yang melarang penerbitan izin baru di hutan alam primer baik di dalam maupun dilaur kawasan hutan serta lahan gambut, kecuali untuk kegiatan-kegiatan tertentu.
Equivalence antara
Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia
36 | P a g e
No Environmental
Safeguards – ADB SPS 2009
Sistem Kajian Dampak Lingkungan di
Indonesia
Keterangan
i. Menerapakan teknologi dan praktek pencegahan dan pengendalian pencemaran lingkungan sesuai dengan
international good practice sebagai mana tercermin dalam standard international yang diakui seperti pedoman
lingkungan, kesehatan dan keselamatan World Bank. Melakukan praktek produksi bersih dan efisiensi energi. Hindari melakukan pencemaran lingkungan, jika tidak dapat dihindari, minimalisasi dan kendalikan intensitas dan
beban pencemaran (emisi dan effluent), mencakup GRK, limbah dan LB3 dari kegiatan produksi, transportasi, penanangan dan penyimpanan. Hindari penggunaan B3 yang dilarang dan dihapuskan oleh dunia internasional. Pembelian, penggunakan dan pengelolaan pestida dilakukan berdasarkan pendekatan
Integrated Pest Management dan pengurangan pestisida kimia
sintetik;
Pasal 13 UU 32 tahun 2009 pada dasarnya menegaskan bahwa pemerintah dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengendalian pencemaran (pencegahan, penanggulangan dan pemulihan) sesuai dengan kewenangan, peran dan tanggung jawabnya masing-masing.
Pasal 68 huruf c UU No. 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban menaatai ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup (BML) dan/atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup (KBKL). BML sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU No 32 Tahun 2009 mencakup: a. Baku mutu air; b. Baku mutu air limbah; c. Baku mutu air laut; d. Baku mutu udara ambien e. Baku mutu emisi; f. Baku mutu gangguan (kebisingan,
getaran dan kebauan); g. Baku mutu lain sesuai dengan
perkembangan iptek. KBKL untuk Kriteria Baku Kerusakan Ekosistem sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2009 terdiri dari: a. KBK tanah untuk produksi biomassa; b. KBK terumbu karang; c. KBKLH yang terkait dengan
kebakaran hutan dan/atau lahan; d. KBK mangrove; e. KBK padang lamum; f. KBK gambut; g. KBK karst; dan/atau h. KBK ekosistem lainnya sesuai dengan
perkembangan iptek; Pemerintah telah mengeluarkan PP dan Peraturan MENLH terkait dengan pengaturanpengendalian pencemaran lingkungan dan pengendalian kerusakan lingkungan.
Equivalence antara
Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia
j. Menyediakan area kerja yang aman dan sehat serta mencegah
Pelaksanaan usaha danatau kegiatan disamping harus mentaati PUU di bidang PPLH juga harus mentaati PUU PSDA dan sektor lainnya. Terkait dengan K3, PUU
Equivalence antara
Environmental Safeguards –
37 | P a g e
No Environmental
Safeguards – ADB SPS 2009
Sistem Kajian Dampak Lingkungan di
Indonesia
Keterangan
terjadinya kecelakaan, luka dan penyakit. Buat upaya pencegahan dan tanggap darurat untuk menghindari, atau jika upaya penghindaran tidak
dapat dilakukan, untuk meminimalisasi dampak dan resiko yang membahayakan
terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat lokal;
yang menjadi acuan adalah UU No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan serta PP No. 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Ksehatan Kerja (K3). Lampiran I PP No. 50 Tahun 2012 memuat ketentuan-ketentuan terkait dengan Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K3 mulai dari penetapan
kebijakan K3, perencanaan K3, pelaksanaan rencana K3, pemantauan dan evaluasi kinerja K3 dan peninjauan dan peningkatan kinerja SMK3. Sedangkan Lampiran II PP No. 50 Tahun 2012 mengatur mengenai pedoman
penilaian penerapan SMK3: kriteria Audit SMK3, penetapan kriteria audit tiap tingkat pencapaian penerapan SMK3; dan ketentuan penilaian hasil Audit SMK3
ADB SPS 2009 dengan Indonesia
k. Melakukan konservasi dan pencegahan kerusakan terhadap cagar budaya dengan cara menggunakan pakar yang terlatih dan berpengalaman pada saat
melakukan survey lapangan untuk studi/kajian dampak lingkungan. Upaya-upaya tertentu untuk melakukan pendekatan konservasi dan pengelolaan terhadap material cagar budaya yang ditemukan selama pelaksanaan proyek.
UU No. 11 Tahun 2010 mengatur
tentang Cagar Budaya di Indonesia.
Ketentuan-ketentuan terkait dengan
keterlibatan pakat yang berpengalaman dan profesional
dalam membantu identifikasi dan
perlindungan cagar budatya adalah
sebagai berikut:
a. Pasal 1 angka 22 dan pasal 4:
Konservasi cagar budaya pada dasarnya mencakup
perlindungan, pengembangan dan
penggunaan cagar budaya yang
berada di daratan dan perairan;
b. Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2): Konservasi cagar budaya
dilakukan berdasarkan studi
kelayakan yang secara sainstifik,
teknis dan administrasi dapat
dipertanggungjawabkan.
Kegiatan konservasi ini harus dilakukan dan dikoordinasikan
oleh pakar atau profesional yang
kompeten;
c. Pasal 45: setiap orang berhak
memperoleh bantuan teknis dan keahlian dari pemerintah dalam
melakukan konservasi cagar
budaya; d. Pasal 59: Cagar Budaya yang
terancam rusak, hancur, atau musnah dapat dipindahkan ke tempat lain yang aman. Pemindahan Cagar Budaya dilakukan dengan tata cara yang menjamin keutuhan dan keselamatannya di bawah koodinasi
Equivalence antara
Environmental Safeguards – ADB SPS 2009 dengan Indonesia
38 | P a g e
No Environmental
Safeguards – ADB SPS 2009
Sistem Kajian Dampak Lingkungan di
Indonesia
Keterangan
Tenaga Ahli Pelestarian. e. Pasal 61: Pengamanan dilakukan
untuk menjaga dan mencegah Cagar Budaya agar tidak hilang, rusak, hancur, atau musnah;
f. Pasal 66: Setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya, baikseluruh maupun bagian bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari
letak asal. g. Pasal 67: Setiap orang dilarang
memindahkan dan mimisahkan Cagar Buday baik seluruh maupun bagian-bagiannya, kecuali dengan izin Menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pemrakarsa yang rencana usaha dan/atau kegiatannya memberikan dampak terhadap cagar budaya bertanggung jawab untuk melakukan perlindungan terhadap cagar budaya. Dalam melakukan hal tersbeut, pemrakarsa wajib melibatkan pakar atau
profesional yang kompeten.
Best Practices Penerapan Amdal dalam Lembaga
Keuangan dan Perbankan
a. Pada Sesi Partnership with Private Sector dalam Workshop
ADB di Manila dibahas dan didiskusikan salah satu studi kasus
pengembangan kemitraan dengan pihak swasta adalah penerapan
green banking di Bank Bangladesh:
i. Sesuai dengan kebijakan Bank Bangladesh, Bank
menerapkan green banking melalui tiga fase yaitu:
Fase 1:Bank mengembangkan kebijakan green
banking dan menunjukan komitmen terhadap
lingkungan melalui kinerja di dunia perbankan
sendiri;
Fase 2: Sistem pengelolaan lingkungan telah ada di
setiap bank;
Fase 3: Bank diharapkan dapat menjawab melalui
keseluruhan ekosistem melalui pengembangan
39 | P a g e
berbagai inisiatif ramah lingkungan dan
memperkenalkan produk-produk yang inovatif;
ii. BRAC Bank menerapkan filosofi 3P: People, Planet dan
Pofit dan tiga filosofi ini telah menjadi ‘DNA’ usaha
perbankan BRAC Bank; Melengkapi filosofi, Unit Green
Banking telah dibangun dan BRACK Bank beroperasi dalam
ruang lingkung sebagai berikut:
Perumusan Kebijakan dan Tata kelola: Pedoman
Kebijakan dan prosedur Environment and Social Risk
Management (ESRM), Kebijakan green banking, Daftar
Pengecualian, kriteria kelayakan terkait dengan
lingkungan dan sosial, perangkar Analisis sosial dan
lingkungan;
Mengintegrasikan risiko lingkungan ke dalam
Pengelolaan Risiko Kredit: peringkat risiko lingkungan
(Environmental Risk Rating (EnvRR) merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dalam penilaian kredit
(i.e. Checklist uji tuntas lingkungan (EDD) secara
umum dan spesifik sektor;
Pengelolaan Lingkungan di perkantoran dan
lingkungan perbankan;
Pelatihan, kesadaran nasavah dan Green Event;
Keuangan berkelanjutan (Green Finance);
Perbankan Online;
Keterbukaan (Disclosure) dan Pelaporan.
Perumusan kebijakan lingkungan terkait sektor-
sektor yang spesifik;
b. Disamping itu juga pada Sesi Partnership with Private Sector
Dalam Workshop ADB Dibahas Pengalaman India Infrastructure
Finance Company LTD. (IIFCL) (A Govt. of India Enterprise) dalam
menerapakan sistem Amdal dalam kegiatan perbankan (green
banking):
i. Peranan Perbankan dan Financial Innitiative dalam
Pembangunan Berkelanjutan: Secara umum sektor
perbankan dipandang sebagai kegiatan yang ramah
lingkungan, tetapi dampak lingkungan dari kegiatan operasi
eksternal perbankan sangat besar, dimana Bank
merupakan salah satu pengerak utama kegiatan ekonomi;
ii. Respon IIFCL terhadap sistem perlindungan lingkungan dan
sosial (Environmental & Social Safeguards): IIFCL
mengadopsi praktek-praktek pengelolaan risiko lingkungan
40 | P a g e
dan sosial dalam pembiayan proyek-proyek infrastruktur
melalui:
Adopsi kebijakan lingkungan dan sosial (ESP);
Implementasi ESP melalui pengembangan kerangka
perlindungan lingkungan dan sosial (Environment and
Social Safeguard Framework – ESSF);
Pelaksaan E&S Due Dilegence untuk memastikan
berbagai subproyek yang dibiayi mentaati persyaratan
ESSP selama daur proyek;
iii. Element utama ESSF:
Focus pada proses Amdal India;
Penapisan awal proyek terkait dengan Environmental
& Social Safeguard terkait dengan clearence dan
kewajiban;
Alokasi tanggung jawab kepada seluruh pihak dalam
proses;
Audit LH dan sosial tahunan terhadap proyek;
Kebijakan keterbukaan informasi (disclosure);
Pembinaan kepada bank-bank, debitur dan pihak
terkait lainnya.
iv. Langkah ke depan:
Secara berkala melakukan pembinaan dan
pendidikan kepada para pihak terkait dengan proyek
i.e. lender, pengembang, pemerintah dll terkai dengan
pentinganya penaatan Environmental & Social
Safeguard selama pengembangan proyek;
Penyiapan proyek yang memadai sebelum pelaksanan
proyek i,e, penilaian, dokumentasi yang tepat,
evaluasi proyek terkait dengan dimensi lingkungan
dan sosial rencana dan anggaran pengelolaan
safeguard yang tepat dan memadai;
Konsultasi publik yang memadai dan keterbukaan
informasi terkait dengan proyek;
Pemilihan proyek yang memiliki dampak yang
minimum;
Integrasi CSR dan inisiatif perlindungan lainnya;
c. Berdasarkan presentasi dan diskusi terkait dengan studi kasus
tersebut serta referensi dari berbagai sumber, maka point-point
dibawah ini merupakan konsep perumusan best practices terkait
dengan integrasi risiko lingkungan dalam kegiatan perbankan;
41 | P a g e
d. Perbankan Berkelanjutan (Sustainable Banking) dapat
diterjemahkan sebagai proses dimana dunia perbankan
mempertimbangkan dampak lingkungan dari operasi kegiatan
perbankan, produk dan jasa terhadap kemampuan generasi saat
ini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhannya.
e. Dunia perbankan memiliki dampak langsung dan tidak langsung
terhadap lingkungan hidup;
i. Dampak langsung: Operasi kegiatan perbankan sehari-hari
mempengaruhi secara langsung kualitas lingkungan seperti
efisiensi energi dan daur ulang limbah;
ii. Dampak tidak langsung: Produk dan jasa yang disediakan
perbankan menyebabkan terjadinya pencemaran dan
kerusakan lingkungan. Dampak ini terjadi dari kegiatan
usaha yang dibiayai oleh perbankan;
f. Keuangan berkelanjutan (Sustainable Finance) di Indonesia
didefinisikan sebagai dukungan menyeluruh dari industri jasa
keuangan (termasuk Perbankan) untuk:
i. Pertumbuhan berkelanjutan;
ii. Yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan:
ekonomi,
Sosial; dan
lingkungan
g. Risiko Lingkungan (Environmental risk) = Risiko terhadap
lembaga keuangan dan transaksinya yang disebabkan oleh
kondisi yang berkaitan dengan Lingkungan Hidup. Tingkat
Resiko:
i. Risiko Kredit
ii. Risiko Hukum
iii. Risiko Reputasi
h. Risko Finansial mencakup:
i. Hilanganya investasi karena terlibat dalam sektor yang
rentan terhadap lingkungan;
ii. Hilanganya nilai investasi karena publisitas negatif atau
usaha dan produknya diasosiakan sebagai kegiatan yang
merusak lingkungan;
iii. Peningkatan biaya proyek karena adanya biaya clean-up
dan keterlambatan proyek akibat kesalahan prosedur;
i. Risiko hukum: Potensi terkena kewajiban lingkungan
(environmental liabities) dalam kasus bahwa investasinya
ditemukan terkontaminasi atau penjadi penyebab kerusakan
lingkungan;
42 | P a g e
j. Risiko Reputasi: Citra yang buruk karena diasosiakan dengan
kegiatan-kegiatan yang merusak lingkungan
k. Sumber Risiko Lingkungan:
i. Peraturan Perundang-undangan: BML dan KBK dan Upaya
penaatan lingkungan: denda dan ganti rugi, pencabutan
izin, sanksi administrasi dan perintah pemulihan
pencameran dan kerusakan lingkungan;
ii. Oposisi dari publik: Oposisi publik terhadap usaha
dan/atau kegiatan yang dianggap menimbulkan
pencemaran dan kerusakan lingkungan dan aturan
keterbukaan informasi dan keterlibatan masyarakat.
Kegagalan untuk melakukan hal ini dapat terkena sanksi
hukum ;
iii. Standard Perdangangan/Preferensi Pelangani.e.
ISPO/RSPO, SVLK
iv. Permintaan dan preferensi produk ramah lingkungan.
l. Disamping itu, dalam penerapan proses ini di Bank, terdapat 4
(empat) sumber risiko lingkungan yang dipertimbangkan, yaitu:
i. Dampak lingkungan (environmental impacts): risiko
berasal dari karakteristik dan dampak dari proyek itu
sendiri. Hal tersebut mencakup sebagai contoh lokasi
pembuangan limbah berpotensi mencemari air tanah atau
penggunaan B3 dalam kegiatan penrtambangan tanpa
penanganan dan penyimpanan yang memadai akan
berptensi menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan
(toxic runoff);
ii. Persyaratan yang tercantum dalam PUU (legal
requiments): persyaratan yang tercantum dalam PUU yang
diberlakukan terhadap proyek atau usaha dan.atau
kegiatan yang sedang dipertimbangkan proses pinjaman
atau kreditnya merupakan sumber risiko, khususnya
terkait dengan isu penaatan;
iii. Kapasitas pelaku usaha (institutional capacity):
Kemampuan pelaku usaha selaku debitur dalam
mengimplementasikan semua persyaratan lingkungan
selama daur atau tahapan kegiatan proyek;
iv. Kepedulian masyarakat dan politik (public and political
concerns): terkait dengan isu-isu lingkungan. Selalu
terhadap potensi risiko reputasi;
m. Pengelolaan Risiko Lingkungan atau Environmental Risk
Management (ERM): proses dimana lembaga keuangan
43 | P a g e
melakukan identifikasi, penilaian, pengendalian, transfer dan
pemantauan risiko lingkungan;
n. ERM dapat diterapkan pada transaksi kredit.
i. ERM akan mengurangi risiko terhadap paparan risiko
lingkungan sementara pada saat yang sama memberikan
proteksi yang memadai terhadap risiko lingkungan.
ii. Penerapan ERM yang tepat membantu meningktan kinerja
lembaga keuangan;
o. ERM menuntut lembaga keuangan untuk mengembangkan skill
dan praktek kerja yang baru. Terkait dengan environmental due
diligence, keahlian yang memadai terkait dengan lingkungan
menuntut lembaga keuangan untuk mencari bantuan teknis dari
konsultan eksternal;
p. Prinsip dasar dalam menganalisi kredit adalah 6C: Character,
Capacity, Capital, Collateral, Condition of economic and
constraint;
i. Character: watak dan sifat dari debitur;
ii. Capacity: kemampuan yang dimiliki oleh calon debitur
dalam menjalankan usahanya guna memperoleh laba yang
diharapkan i.e. mengelola faktor-faktor produksi seperti
bahan baku, peralatan/mesin;
iii. Collateral: jenis dan lokasi
iv. Condition of Economy: PUU
q. Generic ESG Risk Process Flow Chart
i. Pada saat proses aplikasi permohonan kredit telah diterima
oleh pihak perbankan, proses Penilaian risiko lingkungan
dan sosial dapat dilakukan. Proses tersebut pada dasarnya
terdiri dari 4 phase/tahapan, yaitu:
Phase 1: Desktop reviews;
Phase 2: In-depth interviews;
Phase 3: Detailed investigations;
Phase 4: On going monitoring
ii. Phase 1: Desktop reviews: AO melakukan review dengan
menggunakan daftar jenis-jenis usaha dan/atau kegiatan
serta katagori risikonya yang telah dikembangkan oleh
pihak perbankan. Berdasarkan penilaian singkat ini tingkat
risiko lingkungan dari suatu proyek dapat ditentukan. Jika
tidak ada risiko atau risiko rendah AO dapat memberikan
catatan pada file client dan memproses aplikasi kredit lebih
lanjut. Jika ada risiko, lanjut ke phase kedua. Beberapa
pertanyaan yang dapat digunakan antara lain adalah:
44 | P a g e
Apakah proyek termasuk dalam kategori jenis
kegiatan yang dikecualikan dari kebijakan kredit
perbankan;
Apakah proyek termasuk dalam kategori sektor yang
berisiko tinggi atau lokasi geografi yang berisiko
tinggi;
Apakah proyek melibatkan atau terkait dengan
sektor-sektor yang berisiko tinggi
iii. Phase 2: In-depth interviews: Review antara lain dapat
dilakukan dengan menggunakan dokumen lingkungan i.e.
Amdal atau UKL-UPL. Review dilakukan terhadap:
Teknologi yang digunakan;
Rincian terhadap proses mitigasi;
Sejarah pelaku usaha dan lokasi kegiatan;
Jenis kontaminasi;
Sistem manajemen lingkungan yang digunakaan;
Penaatan lingkungan;
Jenis standar yang digunakan
Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan
yang terdapat dalam dokumen lingkungan dapat
dimasukan ke dalam covenant
iv. Phase 3: Detailed investigations:
Uji tuntas rinci (Detailed due diligence) atau
environmental and social impact assessment;
Pengembangan covent yang tepat terkai dengan isu-
isu lingkungan dan sosial;
Pengembangan rencana decommissioning;
Mengunakan pakar teknis;
v. Phase 4: On going monitoring: Clinet menyampaikan
laporan secara berkala kepada AO terkait dengan
pelaksanaan EMP