04 bab2 szn

33
6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Puskesmas Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 128/MENKES/SK/II/2004 Tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat dapat diuraikan sebagai berikut: 2.1.1 Pengertian Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. 1. Unit Pelaksana Teknis Sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (UPTD), puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia. 2. Pembangunan Keseh atan Pembangunan Kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar t erwujud derajat kesehatan yang optimal. 3. Penanggung jawab Penyelenggaraan Penanggung jawab utama penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan kesehatan di wilayah kesehatan Kabupaten/Kota adalah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sedangkan puskesmas bertanggungjawab hanya sebagian upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sesuain dengan kemampuannya. 4. Wilayah Kerja Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa/kelurahan atau RW). Masing- masing puskesmas tersebut secara operasional bertanggung jawab langsung kepada Dinas Kesehatan/Kota.

description

Tinjauan pustaka TB anak

Transcript of 04 bab2 szn

  • 6

    BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Konsep Dasar Puskesmas Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 128/MENKES/SK/II/2004 Tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat

    dapat diuraikan sebagai berikut:

    2.1.1 Pengertian Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan

    Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan

    kesehatan di suatu wilayah kerja.

    1. Unit Pelaksana Teknis

    Sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (UPTD),

    puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis

    operasional Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan merupakan unit pelaksana

    tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia.

    2. Pembangunan Kesehatan

    Pembangunan Kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh

    bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan

    hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal.

    3. Penanggung jawab Penyelenggaraan

    Penanggung jawab utama penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan

    kesehatan di wilayah kesehatan Kabupaten/Kota adalah Dinas Kesehatan

    Kabupaten/Kota, sedangkan puskesmas bertanggungjawab hanya sebagian

    upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh Dinas Kesehatan

    Kabupaten/Kota sesuain dengan kemampuannya.

    4. Wilayah Kerja

    Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan,

    tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu puskesmas, maka

    tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar puskesmas, dengan

    memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa/kelurahan atau RW). Masing-

    masing puskesmas tersebut secara operasional bertanggung jawab langsung

    kepada Dinas Kesehatan/Kota.

  • 7

    2.1.2 Visi Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas

    adalah tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat.

    Kecamatan Sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan masa depan

    yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan yakni masyarakat yang

    hidup dalam lingkungan dan berperilaku sehat, memiliki kemampuan untuk

    menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta

    memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

    Indikator Kecamatan Sehat yang ingin dicapi mencakup 4 indikator

    utama yakni:

    a. Lingkungan sehat

    b. Perilaku sehat

    c. Cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu

    d. Derajat kesehatan penduduk kecamatan

    Rumusan visi untuk masing-masing puskesmas harus mengacu pada

    visi pembangunan kesehatan puskesmas di atas yakni terwujudnya

    Kecamatan Sehat, yang harus sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat

    serta wilayah kecamatan setempat.

    2.1.3 Misi

    Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas

    adalah mendunkung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional

    Misi tersebut adalah:

    1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya.

    2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah

    kerjanya.

    3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan

    pelayanan kesehatan yang diselenggarakan.

    4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan

    masyarakat beserta lingkungannya.

    2.1.4 Tujuan puskesmas Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh

    puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan

    nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup

    sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas

  • 8

    agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam rangka

    mewujudkan Indonesia Sehat 2015.

    2.1.5 Fungsi puskesmas

    1. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan.

    Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau

    penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan

    dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung

    pembangunan kesehatan. Di samping itu puskesmas aktif memantau dan

    melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap program

    pembangunan di wilayah kerjanya. Khusus untuk pembangunan kesehatan,

    upaya yang dilakukan puskesmas adalah mengutamakan pemeliharaan

    kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan

    penyakit dan pemulihan kesehatan.

    2. Pusat pemberdayaan masyarakat.

    Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka

    masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki

    kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat

    untuk hidup sehat, berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan

    kesehatan termasuk pembiayaannya, serta ikut menetapkan,

    menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan.

    Pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan

    dengan memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya sosial budaya

    masyarakat setempat.

    3. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama

    Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan

    kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan

    berkesinambungan. Pelayanan kesehjatan tingkat pertama yang menjadi

    tanggung jawab puskesmas meliputi:

    a. Pelayanan kesehatan perorangan

    Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat

    pribadi (private goods) dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit

    dan pemulihan kesehatan perorangan, tanpa mengabaikan pemeliharaan

    kesehatan dan pencegahan penyakit. Pelayanan perorangan tersebut

  • 9

    adalah rawat jalan dan untuk puskesmas tertentu ditambah dengan rawat

    inap.

    b. Pelayanan kesehatan masyarakat

    Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat

    publik (public goods) dengan tujuan utama memelihara meningkatkan

    kesehatan serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan

    penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat

    tersebut antara lain promosi kesehatan, pemberantasan penyakit,

    penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga,

    keluarga berencana, kesehatan jiwa serta berbagai program kesehatan

    masyarakat lainnya.

    2.2 Upaya Kesehatan Puskesmas Di dalam puskesmas terdapat upaya-upaya yang dilakukan, baik dengan

    sasaran individu maupun kelompok masyarakat, upaya-upaya kesehatan

    puskesmas dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

    1. Upaya kesehatan wajib

    Upaya kesehatan wajib adalah upaya yang ditetapkan

    berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta yang

    mempunyai daya ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan

    masyarakat. Upaya kesehatan wajib ini harus diselenggarakan oleh setiap

    puskesmas yang ada di wilayah Indonesia, yang termasuk di dalam upaya

    kesehatan wajib diantaranya adalah:

    a. Upaya promosi kesehatan

    b. Upaya kesehatan lingkungan

    c. Upaya kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana

    d. Upaya perbaikan gizi masyarakat

    e. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular

    f. Upaya pengobatan

    2. Upaya kesehatan pengembangan

    Upaya kesehatan pengembangan adalah upaya yang ditetapkan

    berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat

  • 10

    serta yang disesuaikan dengan kemampuan puskesmas. Upaya

    kesehatan pengembangan dipilih dari upaya kesehatan pokok puskesmas

    yang telah ada, yaitu:

    a. Upaya kesehatan sekolah

    b. Upaya kesehatan olahraga

    c. Upaya keperawatan kesehatan masyarakat

    d. Upaya kesehatan kerja

    e. Upaya kesehatan gigi dan mulut

    f. Upaya kesehatan jiwa

    g. Upaya kesehatan mata

    h. Upaya kesehatan usia lanjut

    i. Upaya pembinaan pengobatan tradisional

    2.2.1 Upaya keperawatan kesehatan masyarakat

    Upaya keperawatan kesehatan masyarakat (Perkesmas) yang saat

    ini lebih dikenal sebagai community health nursing (CHN) merupakan salah

    satu upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas sejak konsep

    puskesmas diperkenalkan di dalam kebijakan dasar puskesmas (Depkes,

    2004), di dalam surat keputusan menteri kesehatan ditetapkan bahwa:

    a. Upaya perkesmas sebagai bagian integral upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembangan.

    Dimaksudkan upaya perkesmas dilaksanakan secara terpadu baik

    upaya kesehatan perorangan maupun kesehatan masyarakat dalam enam

    upaya kesehatan wajib puskesmas maupun upaya pengembangan yang wajib

    dilaksanakan di daerah tertentu. Keterpaduan tersebut dalam sasaran,

    kegiatan, tenaga, biaya, atau sumber daya lainnya. Dengan terintegrasinya

    upaya perkesmas ke dalam upaya kesehatan wajib maupun pengembangan,

    diharapkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dapat lebih bermutu

    karena diberikan secara holistik, komprehensif pada semua tingkat

    pencegahan terpadu, dan berkesinambungan. Sasaran prioritas perkesmas

    adalah sasaran yang telah ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

    sesuai kesepakatan daerah, dengan tetap menfokuskan pada keluarga rawan

    kesehatan. Pencapaian target tersebut diharapkan mampu mendukung

    tercapainya target pelayanan kesehatan bermutu.

  • 11

    b. Upaya perkesmas sebagai upaya kesehatan pengembangan

    Bila didalam wilayah kerja puskesmas, terdapat masalah kesehatan

    yang spesifik dan memerlukan asuhan keperawatan secara terprogram, maka

    dapat dilaksanakan upaya perkesmas sebagai upaya kesehatan

    pengembangan. Upaya perkesmas, dimulai dengan tahap pengkajian

    keperawatan masyarakat di suatu daerah dengan masalah spesifik (misal :

    tingginya penderita TB, DBD, Malaria, dll) untuk dapat dirumuskan masalah

    dan penyebabnya, sehingga dapat direncanakan intervensi apa yang akan

    dilakukan.

    c. Deskripsi upaya keperawatan kesehatan masyarakat Keperawatan kesehatan masyarakat adalah suatu bidang dalam

    keperawatan kesehatan yang merupakan perpaduan antara keperawatan dan

    kesehatan masyarakat dengan dukungan peran serta aktif masyarakat, serta

    mengutamakan pelayanan keuratif dan rehabilitatif secara menyeluruh dan

    terpadu, ditujukan kepada individu, keluarga kelompok dan masyarakat

    sebagai suatu kesatuan yang utuh, melalui proses keperawatan untuk

    meningkatkan fungsi kehidupan manusia secara optimal sehingga mandiri

    dalam upaya kesehatannya.

    d. Kegiatan perkesmas Kegiatan keperawatan kesehatan masyarakat, meliputi kegiatan

    didalam maupun diluar gedung puskesmas baik upaya kesehatan perorangan

    (UKP) maupun upaya kesehatan masyarakat (UKM).

    a. Kegiatan didalam gedung

    1. Penemuan kasus baru (deteksi dini) pada pasien rawat jalan

    2. Pelaksanaan anamnesa pemeriksaan tertentu

    3. Penyuluhan/pendidikan kesehatan

    4. Pemantauan kerteraturan berobat

    5. Rujukan kasus/masalah kesehatan kepada tenaga kesehatan lain

    6. Pemberian nasehat (konseling) keperawatan

    7. Kegiatan yang merupakan tugas limpah sesuai pelimpahan

    kewenangan yang diberikan dan atau prosedur yang telah ditetapkan

    (misal: pengobatan, penanggulangan kasus gawat darurat, dll)

  • 12

    8. Menciptakan lingkunganterpeutik dalam pelayanan kesehatan di

    gedung

    9. Pertemuan berkala staf keperawatan setiap bulan untuk mendiskusikan

    hal-hal yang berkaitan dengan penyediaan pelayanan keperawatan.

    Hail pertemuan dicatat dan disimpan dengan baik

    10. Pemeriksaan kelengkapan peralatan yang akan digunakan, obat-

    obatan, kartu dan formulir yang diperlukan

    b. Kegiatan diluar gedung

    Melakukan kunjungan keluarga/ kelompok/ masyarakat untuk

    melakukan asuhan keperawatan di keluarga/ kelompok/ masyarakat

    1. Asuhan keperawatan kasus yang memerlukan tindak lanjut di rumah

    (individu dalam konteks keluarga). Merupakan asuhan keperawatan

    individu di rumah dengan melibatkan peran serta aktif anggota

    keluarga. Kegiatan yang dilakukan antara lain:

    a. Penemuan suspek/kasus kontak serumah

    b. Penyuluhan/pendidikan kesehatan pada individu dan keluarganya

    c. Pemantauan keteraturan berobat sesuai program pengobatan

    d. Kunjungan rumah (home visit/home health nursing) sesuai rencana

    e. Pelayanan keperawatan dasar langsung (direct care) maupun tidak

    langsung (indirect care)

    f. Pemberian nasehat (konseling) kesehatan /keperawatan

    g. Pencatatan dan pelaporan seperti kartu keluarga dan posyandu

    2. Asuhan keperawatan keluarga rawan dan miskin

    Merupakan asuhan keperawatan dengan sasaran pada

    keluarga rawan kesehatan/keluarga miskin yang mempunyai masalah

    kesehatan yang ditemukan di masyarakat dan dilakukan di rumah

    keluarga. Pengertian keluarga rawan adalah keluarga yang rentan atau

    mempunyai resiko tinggi terhadap timbulnya masalah kesehatan yang

    dibina, dilayani, dan diobati di wilayah kerjanya pada kurun waktu

    tertentu. Pelayanan keperawatan keluarga mengoptimalkan fungsi

    keluarga dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam menangani

    masalah kesehatan dan mempertahankan status kesehatan

    anggotanya. Pelayanan yang diberikan kepada keluarga rawan

    diarahkan pada keluarga dengan jumlah keluarga yang tidak seimbang

  • 13

    dengan jumlah perawat yang ada dalam wilayah kerja, pada keadaan

    ini harus diprioritaskan keluarga yang benar-benar membutuhkan

    kesehatan serta asuhan keperawatan. Dapat dijelaskan bahwa

    keluarga rawan yang membutuhkan asuhan keperawatan adalah:

    a. Keluarga dengan status ekonomi rendah dan mempunyai

    masalah kesehatan serta memiliki resiko tinggi terserang

    penyakit

    b. Keluarga yang rentan terhadap masalah kesehatan dan belum

    terjangkau pelayanan kesehatan

    c. Keluarga yang mempunyai anggota keluarga sakit dan

    memerlukan bantuan asuhan keperawatan

    d. Keluarga yang menghadapi masalah kesehatan/masalah

    lainnya yang terkait yang dapat dibantu oleh tenaga

    keperawatan.

    Asuhan keperawatan yang dilakukan didalam CHN ditujukan

    kepada keluarga yang telah disebutkan diatas, kegiatan asuhan

    keperawatan dalam CHN disesuaikan dengan prioritas masalah yang

    dihadapi di dalam keluarga rawan tersebut, seperti:

    Asuhan keperawatan ibu hamil

    Asuhan keperawatan ibu belum KB

    Asuhan keperawatan bayi belum imunisasi

    Asuhan keperawatan pada keluarga dengan asma

    Asuhan keperawatan pada BBLR

    Asuhan keperawatan pada preeklamsi

    Asuhan keperawatan pada hipertensi

    Asuhan keperawatan pada TB paru

    Asuhan keperawatan pada diare

    Asuhan keperawatan pada stroke

    Asuhan keperawatan pada DM

    Asuhan keperawatan pada keluarga dengan kurang gizi

    Asuhan keperawatan .pada DBD

    Asuhan kepaerawatan pada keluarga dengan anemia

    Adapun kegiatan yang dilakukan pada asuhan keperawatan

    keluarga rawan meliputi:

  • 14

    a. Identifikasi keluarga rawan kesehatan/keluarga miskin dengan

    masalah kesehatan masyarakat

    b. Penemuan dini suspek/kasus kontak serumah

    c. Pendidikan/penyuluhan kesehatan terhadap keluarga

    d. Kunjungan rumah sesuai rencana

    e. Pelayanan kesehatan dasar langsung maupun tidak langsung

    f. Pelayanan kesehatan sesuai rencana (misal: pemantauan

    keteraturan berobat, dll)

    g. Pemberian nasehat (konseling) kesehatan/keperawatan

    h. Pencatatan dan pelaporan.

    2.3 Sekilas Profil Puskesmas Aloon-Aloon Tahun 2012 2.3.1 Geografis dan demografi

    Puskesmas Aloon-Aloon merupakan salah satu dari tiga Puskesmas

    yang ada di wilayah kota. Sebagaian wilayah Puskesmas Aloon-Aloon

    merupakan daerah pesisir/pantai yang berbatasan dengan selat Madura,

    daerah pesisir tersebut juga merupakan daerah industri, karena disitu terdapat

    beberapa pabrik antara lain: Pertamina (Pabrik Aspal), Pembangkitan Jawa

    Bali, Codeco Company, Prima Marina Shyyard, yang terletak di dua desa yaitu

    Pulo Pancikan dan Sidorukun.

    Luas wilayah kerja Puskesmas Alon-alon : 1, 61 Km2

    Batas-batas wilayah kerjanya terdiri dari :

    - Sebelah Utara : Selat Madura

    - Sebelah Timur : Selat Madura

    - Sebelah Selatan : Kecamatan Kebomas

    - Sebelah Barat : Kecamatan Manyar.

    Wilayah Puskesmas Alon-Alon meliputi 11 desa/Kelurahan:

    1. Kroman

    2. Kemuteran

    3. Kebungson

    4. Pekelingan

    5. Bedilan

    6. Pekauman

    7. Tlogobendung

  • 15

    8. Gapuro Sukolilo

    9. Pulo Pancikan

    10. Sidorukun

    11. Kramat inggil

    Jumlah penduduk riil tahun 2011 : 33.852

    - Laki-laki : 16.657

    - Perempuan : 17.195

    Mata Pencaharian penduduk wilayah kerja Puskesmas Aloon-Aloon adalah

    sbb:

    1. Tani : 0

    2. Pedagang : 857

    3. PNS : 704

    4. TNI / POLRI : 117

    5. Swasta : 8.748

    6. Wira swasta : 23.426

    Sebagian besar (69,2 %) penduduk diwilayah kerja Puskesmas Aloon-Aloon bekerja

    di home industri.

    2.4 Visi, Misi, Tujuan Dan Sasaran pengendalian Tuberkolosis di Indonesia

    2.4.1 Visi Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan.

    2.4.2 Misi 1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan

    masyarakat madani dalam pengendalian TB.

    2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata,

    bermutu,dan berkeadilan.

    3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB.

    4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.

    2.4.3 Tujuan Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka

    pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat

    kesehatan masyarakat.

  • 16

    2.4.4 Sasaran Seluruh lapisan masyarakat terutama keluarga rawan dengan resiko

    tinggi yang memiliki anggota keluarga tuberkulosis positif mulai dari balita

    sampai dengan lanjut usia.

    2.5 Strategi Nasional dan Kebijakan Operasional Pemerintahan dalam Pengendalian Tuberkolosis di Indonesia

    2.5.1 Strategi

    Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi:

    1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.

    2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan

    masyarakat miskin serta rentan lainnya.

    3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela),

    perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public-Private Mix dan menjamin

    kepatuhan terhadap International Standards for TB Care.

    4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.

    5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen

    program pengendalian TB

    6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB

    7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.

    2.5.2 Kebijakan operasional 1. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas

    desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan Kabupaten/Kota sebagai titik

    berat manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan

    monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana,

    tenaga, sarana dan prasarana).

    2. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS dan

    memperhatikan strategi Global Stop TB partnership

    3. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah

    terhadap program pengendalian TB.

    4. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap

    peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan

  • 17

    pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah

    terjadinya MDR-TB.

    5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan

    oleh seluruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes), meliputi

    Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah Balai/Klinik Pengobatan, Dokter

    Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas kesehatan lainnya.

    6. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan

    kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta

    danmasyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB

    (Gerdunas TB).

    7. Peningkatan kemampuan laboratorium di berbagai tingkat pelayanan

    ditujukan untuk peningkatan mutu dan akses layanan.

    8. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-

    cuma dan dikelola dengan manajemen logistik yang efektif demi menjamin

    ketersediaannya.

    9. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk

    meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.

    10. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok

    rentan lainnya terhadap TB.

    11. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.

    12. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam MDGs.

    2.6 Organisasi Pelaksanaan

    2.6.1 Aspek manajemen program a. Tingkat Pusat

    Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional

    Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum kemitraan

    lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan Replubik

    Indonesia sebagai penanggung jawab teknis upaya pengendalian TB.

    Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan

    oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,

    Sub Direktorat Tuberkulosis.

  • 18

    b. Tingkat Propinsi Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari

    Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan

    dengan kebutuhan daerah.

    Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan

    Dinas Kesehatan Propinsi.

    c. Tingkat Kabupaten/Kota

    Di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten/kota

    yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi

    disesuaikan dengan kebutuhan Kabupaten/Kota. Dalam pelaksanaan

    program TB di tingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan

    kabupaten/kota.

    2.6.2 Aspek tatalaksana pasien TB Dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/Klinik dan Dokter

    Praktek Swasta.

    a. Puskesmas Dalam pelaksanaan di Puskesmas, dibentuk kelompok Puskesmas

    Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM),

    dengan dikelilingi oleh kurang lebih 5 (lima) Puskesmas Satelit (PS). Pada

    keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas Pelaksana

    Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan sputum

    BTA.

    b. Rumah Sakit

    Rumah Sakit Umum, Balai/Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat

    (B/BKPM), dan klinik lannya dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana

    pasien TB.

    c. Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas layanan lainnya.

    Secara umum konsep pelayanan di Balai Pengobatan dan DPS sama

    dengan pelaksanaan pada rumah sakit dan Balai Penobatan (klinik).

    2.7 Tinjauan tentang Penyakit Tuberkulosis

    2.7.1 Infeksi tuberkulosis pada Anak Infeksi tuberkulosis primer pada anak sering tidak menunjukkan tanda

    dan gejala sehingga biasanya terabaikan (Grange & Zumla, 2008).

  • 19

    Gejala klinis pada infeksi primer tuberkulosis tidak spesifik. Biasanya

    berupa Berat Badan kurang atau penurunan Berat Badan, Kurang Energi,

    batuk atau sesak menetap dan demam yang tidak jelas lebih dari satu

    minggu. Pemeriksaan tuberkulin biasanya positif dengan atau tanpa

    gambaran foto thoraks spesifik. Penyebaran endobronkial biasanya

    menimbulkan gejala batuk dan sesak serta gambaran radiologis seperti

    pembesaran kelenjar getah bening, hiperinflasi, konsolidasi, kolaps atau

    pergeseran mediastinum (Grange & Zumla, 2008).

    Infeksi primer tuberkulosis pada anak kadang-kadang dapat

    menimbulkan reaksi hipersensitifitas seperti konjungtivitis fliktenular dan

    eritema nodosum (Grange & Zumla, 2008).

    Tabel 1. Bentuk Klinis Infeksi Tuberkulosis Sesuai Perjalanan Waktu

    (diadaptasi dari Wallgreen dan Ustvedt pada Grange & Zumla, 2008)

    Stadium Lama Ciri

    1 3-8

    minggu

    Terbentuk kompleks primer. Reaksi tuberkulin

    positif

    2 Sekitar 3

    bulan

    Bentuk penyakit yang mengancam jiwa karena

    penyebaran hematogen mis: meningitis TB dan TB

    milier

    3 3-4 bulan Tuberkulosis pleuritis karena penyebaran

    hematogen atau penyebaran langsung dari

    kompleks primer yang membesar

    4 Sampai

    dengan3

    tahun

    Stadium ini berlangsung sampai kompleks primer

    mengalami resolusi.

    Dapat terjadi lesi ekstrapulmoner yang

    berkembang lebih lambat misalnya pada tulang

    dan persendian

    5 Sampai

    dengan 12

    tahun

    Dapat timbul tuberkulosis genitourinaria (misalnya

    ginjal) sebagai manifestasi tuberkulosis primer

    yang lambat

  • 20

    2.7.2 Perjalanan infeksi tuberkulosis

    Dalam perkembangan infeksi M.tb, lesi berupa granuloma dengan inti

    nekrosis kaseosa disebut juga dengan fokus primer atau Gohn focus dan bila

    disertai penyebaran di kelenjar getah bening regional disebut kompleks primer

    yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun (Grange&Zumla, 2008; Todar,

    2012). Granuloma kronik ini disebut juga dengan tuberkel (Todar, 2012).

    Granuloma dapat pecah menuju lumen bronkus sehingga isinya dapat

    keluar melalui lumen kemudian secara langsung menginfeksi bagian paru yang

    lain (Todar, 2012; Brooks et al, 2010). Makrofag yang lolos dari granuloma dan

    berisi basil yang tidak bereplikasi ini kemudian menuju bagian lain parenkim

    paru akibat aliran udara inspirasi di dalam bronkus. Kebanyakan akan terjebak

    pada lobus atas dan mempunyai kesempatan membentuk kavitas karena di

    lobus atas tersedia tekanan oksigen yang tinggi yang menunjang untuk

    pertumbuhan ekstraseluler sehingga konsentrasi basil makin meningkat

    (Ahmad, 2010).

    Selain itu penyebaran M.tb juga dapat melalui aliran limfe menuju

    kelenjar limfe regional/limfogen atau melalui aliran darah menuju seluruh organ

    tubuh/hematogen. Penyebaran secara hematogen ini dapat menimbulkan

    tuberkulosis ekstra pulmoner yang disebut tuberkulosis milier. Lesi sekunder

    akibat tuberkulosis milier tergantung lokasi organ yang terkena, biasanya

    berada di sistem genitourinaria, tulang, persendian, kelenjar getah bening dan

    peritoneum. Tipe lesi dapat berupa lesi eksudatif/soft tubercle dan lesi produktif

    atau granulomatus /hard tubercle (Todar, 2012; Brooks et al, 2010).

    Pada keadaan tertentu nekrosis kaseosa dalam tuberkel dalam

    perkembangannya dapat mengalami likuifikasi sehingga menjadi kondusif

    untuk perkembangan M. tb. Bakteri kemudian bermultiplikasi dengan cepat di

    ekstraseluler. Perkembangan dengan cepat ini menyebabkan dinding bronkus

    di dekat lesi menjadi nekrosis dan ruptur sehingga membentuk kavitas dan

    selanjutnya M.tb dengan cepat akan menyebar dan menginfeksi bagian lain

    dari paru (Todar, 2012). Adanya kavitas dan hubungan dengan bronkus ini juga

    menyebabkan M.tb berada dalam sputum dan keluar bersama batuk sehingga

    sputum menjadi sangat infeksius (Grange&Zumla, 2008).

  • 21

    Secara klinis pada umumnya terdapat dua bentuk tuberkulosis yaitu

    tuberkulosis primer dan tuberkulosis post primer. Kebanyakan infeksi primer

    tidak memberikan gejala dan tidak menjadi perhatian. Sedangkan tuberkulosis

    post primer merupakan reaktivasi secara endogenus dari lesi primer yang

    laten atau dorman (TB Laten), akan tetapi pada beberapa kasus terutama

    individu dengan keadaan imunosupresi menunjukkan adanya reinfeksi

    eksogenus (Grange&Zumla, 2008).

    Gambar 1. Perjalanan Infeksi Tuberkulosis (Grange&Zumla, 2008)

    Meskipun demikian, tanpa terapi, hanya sekitar 5-10% individu yang

    terinfeksi oleh tuberkulosis yang akan berkembang menjadi penyakit (Schuck,

    2009).

    Setelah terjadinya paparan dengan penderita tuberkulosis yang

    infeksius, seseorang dapat terinfeksi tergantung banyaknya jumlah bakteri

    Infeksi primer (Paru, tonsil, saluran cerna atau

    kulit)

    Paru Fokus primer/Ghons focus

    Limfangitis Limfadenitis

    = Kompleks primer

    Lesi KGB dan atau paru yang menetap

    Terjadi resolusi / penyembuhan

    Reaktivasi penyakit karena: HIV, penuaan, diabetes, sitotoksik,

    steroid, stress, malnutrisi, keganasan, penyakit hati dan ginjal

    kronis

    Penyebaran hematogen

    Penyebaran lokal

    TB Paru ekstensif TB milier TB organ

    Obstruksi bronkus

    Ruptur ke dalam bronkus

    Lobus kolaps TB bronkopnemonia

  • 22

    yang masuk, bentuk dan ukuran aerosol, lamanya paparan serta ada tidaknya

    ventilasi. 90% individu yang terinfeksi sembuh sempurna karena mekanisme

    pertahanan tubuh dan hanya 10% saja yang akan berkembang menjadi

    penyakit selama hidupnya dimana sekitar setengahnya berkembang dalam 2

    tahun pertama setelah infeksi (Konstantinos, 2010).

    Gambar 2. Riwayat Alamiah Pada Kontak Baru Tuberkulosis (Konstantinos, 2010)

    2.7.3 Diagnosis TB Anak Pada anak, diagnosis pasti dengan ditemukannya kuman

    langsung/secara mikroskopis sulit dilakukan karena kesulitan pengambilan

    spesimen maupun jumlah kuman yang lebih sedikit dari orang dewasa.

    Sehingga diagnosis dilakukan dengan Sistem Skoring TB sesuai kesepakatan

    dalam Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak/PNTA.

    Tdk ada infeksi

    90% tidak pernah berkembang menjadi penyakit aktif

    5-8% menjadi penyakit dalam 5-7 thn (terbanyak 1-2 thn)

    Kontak dengan penderita tuberkulosis infeksious

    Ada infeksi

    10% berkembang menjadi penyakit selama hidupnya Risiko kecil setelah 7

    tahun karena sistem kekebalan tubuh

    Jumlah bakteri Bentuk aerosol Intensitas dan lamanya paparan

    ventilasi

    Pertahanan alamiah

    Respon imun seluler

    Malnutrisi

  • 23

    Tabel 2. Sistem Skoring Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB Anak

    (Depkes-IDAI, 2008; Depkes RI, 2008)

    Parameter 0 1 2 3

    Kontak TB Tidak jelas Laporan keluarga,

    BTA (-),

    tidak tahu

    atau tidak

    jelas

    BTA (+)

    Uji

    Tuberkulin

    Negatif Positif 10 mm

    atau 5 mm pada

    keadaan

    imunosupresi

    Berat Badan/keadaan gizi

    Bawah Garis

    Merah atau

    BB/U < 80%

    Klinis gizi

    buruk atau

    BB/U < 60%

    Demam

    tanpa sebab jelas

    2 minggu

    Batuk 3 minggu

    Pembesaran kelenjar limfe koli,

    aksila, inguinal

    1cm,

    jumlah >1,

    tidak nyeri

    Pembengkakan tulang /

    sendi panggul, lutut, falang

    Ada

    pembengkak

    an

  • 24

    Foto rontgen toraks

    Normal/

    tidak jelas

    Kesan TB

    Pada tabel tampak bahwa kontak dengan penderita BTA positif dan

    hasil uji tuberkulin positif mempunyai bobot skor yang paling tinggi.

    Penderita dengan skor 6 ditatalaksana sebagai pasien TB dengan

    pemberian OAT selama 2 bulan. Bila ada respon pengobatan dengan adanya

    perbaikan klinis dari sebelumnya maka terapi TB diteruskan sampai 6 bulan.

    Sedangkan bila tidak ada respon perbaikan klinis terhadap pengobatan, maka

    terapi TB diteruskan sambil mencari penyebab atau untuk Rumah Sakit

    dengan fasilitas terbatas dilakukan rujukan ke RS dengan fasilitas lebih

    lengkap (Depkes-IDAI, 2008; Depkes RI, 2008).

    2.7.4 Uji tuberkulin Bentuk tuberkulin yang biasa digunakan untuk keperluan diagnostik

    adalah Purified Protein Derivative of Tuberculin (PPD) yang kekuatannya

    dinyatakan dengan satuan International Unit (IU) (Grange & Zumla, 2008).

    Uji Tuberkulin mengukur hasil imunitas seluler yaitu pembentukan

    DTH (Delayed-Type Hypersensitivity) sebagai respon terhadap PPD (Purified

    Protein Derivative) (Mack et al, 2009; Ahmad, 2010; Abbas et al, 2007). PPD

    terdiri dari campuran antigen M.tuberculosis, M.bovis, M.bovis BCG dan

    beberapa spesies mycobacterium lingkungan (Mack et al, 2009).

    Uji Tuberkulin dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD secara

    intrakutan, pada bayi dengan dosis 0,05 ml. Lokasi suntikan adalah pada sisi

    dalam lengan bawah bagian atas (Grange & Zumla, 2008).

    Setelah 48-72 jam di tempat suntikan dilakukan pengukuran diameter

    transversal dari indurasi yang dapat diraba, bukan pada eritemanya, dan

    hasilnya dinyatakan dalam milimeter. Kriteria reaksi dinyatakan positif dengan

    cut-off point yang ditentukan oleh program TB nasional berdasarkan tipe dan

    konsentrasi PPD yang digunakan serta derajat sensitisasi oleh Mycobacteria

    di lingkungan (Grange & Zumla, 2008; Kenyorini et al, 2006).

    Cut-off point yang direkomendasikan dalam interpretasi uji tuberkulin

    tampak seperti dalam tabel berikut:

  • 25

    Tabel 3. Cut-off Point Interpretasi Hasil Uji Tuberkulin (Kenyorini et al, 2006)

    Indurasi 5 mm Indurasi 10 mm Indurasi 15 mm

    - Kontak erat dengan individu yang diketahui/

    suspek TB dalam waktu 2 tahun

    - Suspek TB aktif

    dengan bukti klinis dan radiologis

    - Terinfeksi HIV

    - Individu dengan perubahan radiologis fibrotik/ tanda

    TB - Individu dengan

    transplantasi organ atau

    immunocompromised

    - Datang dari

    daerah dengan

    prevalensi tinggi

    TB

    - Individu dengan

    HIV negatif

    tetapi pengguna

    Napza

    - Konversi uji

    tuberkulin

    menjadi 10 mm

    dalam 2 tahun

    - Individu dengan

    kondisi klinis

    yang

    merupakan

    risiko tinggi TB

    (DM,

    malabsorbsi,

    GGK, tumor,

    leukemia,

    limfoma,

    penurunan BB >

    10%, silikosis)

    Bukan risiko tinggi

    tertular TB

    Konversi uji tuberkulin

    menjadi >15 mm setelah

    2 tahun

    Uji tuberkulin akan dilakukan pada anak yang berkunjung ke

    Fasyankes terpilih selama waktu operasional trial dengan kriteria inklusi dan

    eksklusi sebagai berikut: (Kemenkes, 2012)

    a. Kriteria inklusi:

    Umur 0-14 tahun

    Mempunyai salah satu dari kondisi atau gejala TB berikut :

  • 26

    1. Demam lama ( 2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas

    (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria dan lain-lain), yang

    dapat disertai dengan keringat malam. Demam umumnya tidak tinggi.

    Keringat malam saja, tanpa disertai kenaikan suhu tubuh bukan

    merupakan gejala yang abnormal pada anak.

    2. Batuk lama 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau

    intensitas makin lama makin berat) dan sebab lain batuk telah disingkirkan.

    3. Berat badan turun atau tidak naik daam 2-3 bulan berturut-turut meskipun

    telah diberikan penanganan gizi yang adekuat minimal 1 bulan.

    Jika tidak diketahui data berat badan sebelumnya, tentukan status gizi saat

    itu berdasarkan kurva CDC-NCHS 2000. Apabila BB/U >60% atau BB/TB

    1bulan.

    6. Kontak erat (tinggal serumah atau sering kontak) dengan penderita TB

    Paru baik BTA (+) maupun BTA (-) dalam 2 tahun terakhir.

    7. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare

    8. Pembesaran kelenjar limfe coli, leher atau inguinal >1cm, multiple, tidak

    nyeri

    b. Kriteria eksklusi :

    Pernah dilakukan uji tuberculin dengan hasil positif (didukung dengan

    data tertulis)

    Pelaksanaan uji tuberkulin dan penemuan kasus TB anak dilakukan pada:

    i. Semua anak berumur 0-14 tahun yang berobat ke Fasyankes di cek oleh

    petugas (perawat/bidan/dokter). Apakah memenuhi kriteria inklusi dan tidak

    mempunyai kriteria eksklusi.

    ii. Anak yang memenuhi kriteria tersebut selanjutnya dilakukan:

    1. Hari ke 1:

    - Pengukuran berat badan dan tinggi badan

    - Anamnesis untuk melengkapi kuesioner

  • 27

    - Pemeriksaan fisik oleh dokter

    - Uji tuberkulin

    - Diberikan surat pengantar Rontgen posisi AP dan lateral

    - Pemeriksaan Rontgen dada posisi AP dan lateral

    - Induksi sputum, bila anak mempunyai gejala TB dan fasilitas untuk

    induksi sputum tersedia di Fasyankes

    2. Hari ke 4:

    - Anak datang kembali ke Fasyankes dengan membawa hasil rontgen

    dada

    - Dilakukan pembacaan hasil uji tuberculin

    - Dokter menentukan diagnosis anak (sakit TB, infeksi laten TB atau

    tidak ada bukti sakit/infeksi TB)

    - Anak diberi terapi sesuai dengan diagnosisnya

    Vaksinasi BCG sebelumnya dapat menimbulkan reaksi false positif

    pada uji tuberkulin (Konstantinos, 2010; Kenyorini et al, 2006). Uji tuberkulin

    tidak dapat membedakan infeksi karena M. tuberculosis, vaksinasi

    sebelumnya dengan BCG yang berisi M. bovis ataukah infeksi dari

    mikobakteria lingkungan (Ahmad, 2010). Tetapi di negara dengan prevalensi

    tinggi, vaksinasi BCG bukan penyebab penting false positif kecuali pada

    daerah dengan prevalensi TB aktif yang rendah (Araujo, 2008). Uji tuberkulin

    yang dilakukan pada anak yang sudah menerima vaksin BCG didapatkan

    diameter yang lebih besar dibandingkan dengan yang tanpa vaksin (Yildirim,

    2009) sehingga cut off point untuk menentukan reaksi positif tuberkulin

    ditentukan oleh program nasional (WHO-FIND, 2010).

    Keuntungan uji tuberkulin adalah hasil yang positif dapat mendukung

    diagnosis infeksi dan penyakit TB pada anak serta berperan untuk memantau

    infeksi lampau pada kelompok risiko tinggi (WHO-FIND, 2010).

    Sedangkan keterbatasan dari uji tuberkulin adalah sensitivitas dan

    spesifisitas yang bervariasi tergantung populasi dan cut-off dari reaksi,

    memerlukan kunjungan ulangan setelah 48-72 jam, dapat dikacaukan oleh

    HIV, BCG dan bentuk lain mikobakteria, false-negatif sampai 50% dapat

    terjadi pada infeksi HIV dan sekitar 25% penderita dengan TB aktif

    memberikan hasil negatif (WHO-FIND, 2010).

  • 28

    Tabel 4. Penyebab Terjadinya Reaksi False-Positif dan False Negatif pada Uji

    Tuberkulin (WHO-FIND, 2010)

    Reaksi False-Positif Reaksi False-Negatif

    Vaksinasi BCG Infeksi dengan

    mikobakteria non

    tuberkulosis (tumpang tindih protein dengan bakteri tahan asam lainnya)

    Faktor tekhnis (kualitas sediaan,

    penyimpanan dan administrasi yang

    kurang baik)

    Keadaan immunicompromised

    - Umur (bayi, usila >65 th)

    - Kanker

    - Penggunaan obat

    imunosupresan

    - Infeksi bakteri, jamur dan

    virus

    - Infeksi HIV

    - TB aktif

    Efek samping penyuntikan tuberkulin sangat jarang menimbulkan

    efek samping, tapi tetap terdapat kemungkinan terjadi. Pada saat

    pembacaan hasil uji tuberkulin, jangan lupa untuk mengecek efek samping

    yang mungkin terjadi. Efek samping yang mungkin terjadi: rasa gatal di

    tempat penyuntikkan, timbul bullae atau kulit melepuh di tempat suntikkan,

    atau bisa juga terjadi reaksi anafilaktik (WHO-FIND, 2010).

    2.8 Faktor risiko infeksi tuberkulosis pada anak 2.8.1 Jenis kelamin dan umur

    Risiko infeksi TB pada anak yang kontak dengan penderita TB tidak

    berhubungan dengan jenis kelamin dan umur anak (Tornee et al, 2004)

    dimana faktor umur dan jenis kelamin tidak mempengaruhi hasil uji tuberkulin

    positif atau negatif (Gofama & Mohammed, 2011).

    Tetapi untuk proporsi penderita TB anak, hasil penelitian case control

    di Bangladesh menunjukkan 2 kali lebih banyak anak perempuan dibanding

    anak laki-laki (Karim et al, 2012).

  • 29

    2.8.2 Status imunisasi Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin) merupakan vaksin hidup yang

    dilemahkan yang dikembangkan dari strain M. bovis dan diberikan secara

    suntikan intradermal pada awal kelahiran. Vaksinasi BCG menyebabkan

    timbulnya papula di tempat suntikan yang kadang-kadang berupa ulkus

    dangkal satu minggu setelah suntikan. Dalam waktu 6-12 minggu terjadi

    penyembuhan dan meninggalkan jaringan parut/scar (Grange & Zumla,

    2008).

    Vaksin BCG dapat memproteksi penyebaran TB secara luas dan

    meningitis TB meskipun tidak mencegah dari infeksi TB (Grange & Zumla,

    2008; WHO, 1999). Sebanyak 48% anak yang memiliki parut BCG yang

    kontak dengan penderita TB menunjukkan terinfeksi TB dan hanya 25% yang

    menderita TB (Sinfield et al, 2006).

    Prevalensi tuberkulosis berhubungan dengan faktor risiko tanpa

    vaksinasi BCG (Doocy et al, 2008), tetapi adanya kontak memberikan risiko

    yang tinggi infeksi TB meskipun anak telah mendapatkan vaksin BCG

    (Tipayamongkholgul et al, 2005). Proporsi hasil uji tuberkulin positif tidak

    berbeda antara yang mendapatkan vaksin atau yang tanpa vaksin (Nguyen et

    al, 2009; Lestari et al, 2011; Gofama et al, 2011).

    2.8.3 Hubungan dengan kontak Kontak dengan penderita TB dewasa pada banyak studi sangat

    signifikan berhubungan dengan infeksi TB pada anak. Sebanyak 26,7% anak

    yang diketahui positif terinfeksi TB melaporkan riwayat kontak dengan

    penderita TB dimana 31% nya adalah kontak serumah (Soborg et al, 2011).

    Sedangkan pada anak yang kontak serumah dengan penderita TB 31-49%

    nya terinfeksi TB (Tornee et al, 2004; Nguyen et al, 2009; Sinfield et al, 2006;

    Lestari et al, 2011).

    Kontak yang erat berhubungan kuat dengan infeksi TB pada anak dan

    meningkatkan risiko 8 kali untuk terinfeksi (Tipayamongkholgul et al, 2005;

    Tornee et al, 2004). Anak yang sumber kontaknya adalah tetangga berisiko

    5,26 kali lebih rendah dibanding kontak dengan keluarga (Karim et al, 2012).

    Hubungan keluarga yang paling banyak adalah ibu atau ayah (orang tua)

    (Tornee et al, 2004; Sinfield et al, 2006; Lestari et al, 2011). Anak yang

  • 30

    terpapar dengan ibu 15 kali berisiko terinfeksi sedangkan anak yang terpapar

    dengan ayah berisiko 3 kali terinfeksi TB (Tornee et al, 2004).

    Makin lama kontak per hari dengan penderita risiko infeksi makin

    tinggi. Anak-anak yang terpapar/kontak 9-16 jam per hari berisiko 9 kali

    terinfeksi, sedangkan anak yang terpapar 17-24 jam sehari berisiko 10 kali

    terinfeksi (Tornee et al, 2004).

    Hasil pemeriksaan sputum penderita yang kontak juga berhubungan

    dengan infeksi TB pada anak dimana pada penderita dengan derajat BTA 3+

    sebanyak 58-77% anak terinfeksi TB (Sinfield et al, 2006; Tornee et al, 2004).

    Prevalensi TB meningkat pada anak yang kontak dengan penderita wanita

    termasuk ibu dengan BTA 2+ atau 3+ (Sinfield et al, 2006). Tetapi ada juga

    yang justru pada kontak dengan derajat BTA 1+ (51%), anak yang terinfeksi

    lebih tinggi dari kontak dengan derajat BTA 3+ (Lestari et al, 2011).

    2.8.4 Status gizi Penentuan status gizi anak dapat dilakukan dengan pengukuran

    antropometri dan pemeriksaan secara klinis. Pengukuran antopometri dapat

    dilakukan dengan mengukur Berat Badan dan Panjang Badan/Tinggi Badan.

    Kategori status gizi pada anak dapat dilakukan dengan

    membandingkan Berat Badan menurut Umur (BB/U), Panjang Badan/Tinggi

    Badan menurut Umur (PB/U atau TB/U), Berat Badan menurut Panjang

    Badan atau Tinggi Badan (BB/PB atau BB/TB) serta Indeks Masa Tubuh

    menurut Umur (IMT/U). Kategori ditentukan dengan cara dibandingkan

    dengan standar yang membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan

    (Kemenkes RI, 2011).

  • 31

    Tabel untuk kategori dan ambang batas status gizi anak sebagai berikut:

    Tabel 5. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks

    BB/U dan IMT/U (Kemenkes RI, 2011)

    INDEKS KATEGORI

    STATUS GIZI

    AMBANG BATAS

    (Z-SCORE)

    Gizi Buruk < -3 SD

    Gizi Kurang -3SD s/d < -2SD

    Gizi Baik -2 SD s/d 2 SD

    Berat Badan menurut Umur (BB/U) anak umur 0-60 bulan

    Gizi Lebih > 2 SD

    Sangat Kurus < -3 SD

    Kurus -3SD s/d < -2SD

    Normal -2 SD s/d 2 SD

    Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U)

    Anak umur 0-60 bulan Gemuk > 2 SD

    Sangat Kurus < -3 SD

    Kurus -3SD s/d < -2SD

    Normal -2 SD s/d 1 SD

    Gemuk > 1 SD s/d 2 SD

    Indeks Masa Tubuh menurut

    Umur (IMT/U) Anak umur 5-18 tahun

    Obesitas > 2 SD

    Status gizi berdasarkan indeks PB/U atau TB/U dibedakan menjadi

    Sangat Pendek, Pendek, Normal dan Tinggi. Status gizi berdasarkan indeks

    BB/PB atau BB/TB dibedakan menjadi Sangat Kurus, Kurus, Normal dan

    Gemuk (Kemenkes RI, 2011).

    Indeks Masa Tubuh (IMT) merupakan indeks berat badan dibanding

    tinggi badan. IMT didapatkan dengan cara membagi Berat Badan dalam

    kilogram(kg) dengan kuadrat Tinggi Badan dalam meter sehingga didapatkan

    rumus sebagai berikut (WHO, 2012):

    IMT = Berat Badan (kg)

    Tinggi Badan (m2)

    Interpretasi hasil perhitungan IMT kemudian dibandingkan dengan

    Standar IMT/U (Kemenkes RI, 2011).

  • 32

    Keadaan malnutrisi merupakan prediktor bagi penyakit tuberkulosis

    dan berhubungan dengan memberatnya penyakit tersebut. Penurunan berat

    badan merupakan presentasi klinis pada 41,5% anak dengan penyakit

    tuberkulosis (Shrestha et al, 2011).

    Meskipun berhubungan dengan keadaan klinis penyakit tuberkulosis

    tetapi pada beberapa studi, status gizi yang dinilai dengan pengukuran

    antopometri tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan risiko infeksi TB

    pada anak yang kontak dengan penderita TB (Tipayamongkholgul et al, 2005;

    Sinfield et al, 2006). Tetapi hasil uji tuberkulin pada anak dengan status gizi

    normal memberikan hasil positif yang lebih besar dibandingkan dengan anak

    dengan malnutrisi yang berarti anak dengan malnutrisi cenderung memberi

    hasil uji tuberkulin negatif (Gofama et al, 2011).

    2.8.5 Sosial ekonomi Faktor sosial ekonomi berupa tingkat pendidikan dan pekerjaan kedua

    orangtua tidak berhubungan dengan risiko infeksi TB pada anak (Tornee et al,

    2004). Tetapi pada bila dilihat secara terpisah, pendidikan dan pekerjaan ibu

    berhubungan dengan risiko penyakit TB pada anak, sedangkan pada bapak

    tidak (Karim et al, 2012).

    Badan Pusat Statistik dalam menentukan kriteria kemiskinan

    berdasarkan pendapatan menggunakan konsep kemampuan memenuhi

    kebutuhan dasar yaitu kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.

    Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran

    perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan perbulan

    perkapita pada tahun 2006 menurut BPS adalah sebesar Rp 151.997,- (BPS,

    2012).

    Sedangkan pendidikan formal menurut BPS adalah jalur pendidikan

    yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan

    menengah dan pendidikan tinggi meliputi SD/MI/sederajat,

    SMP/MTs/sederajat, SM/MA/sederajat dan PT. Tamat sekolah adalah

    menyelesaikan pelajaran pada kelas/tingkat terakhir suatu jenjang pendidikan

    di sekolah negeri maupun swasta dengan mendapatkan tanda tamat/ijazah

    (BPS, 2012).

  • 33

    2.8.5.1 Lingkungan Banyak studi yang mengaitkan faktor lingkungan di dalam rumah

    dengan risiko infeksi TB pada anak. Faktor lingkungan rumah tersebut

    meliputi keadaan fisik rumah, kepadatan penghuni dan paparan terhadap

    asap rokok.

    Kesehatan perumahan sesuai dengan Kemenkes 829 Tahun 1999

    tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, meliputi: 1) Lingkungan

    perumahan yang terdiri dari lokasi, kualitas udara, kebisingan dan getaran,

    kualitas tanah, kualitas air tanah, sarana dan prasarana lingkungan, binatang

    penular penyakit dan pengijauan; 2) Rumah tinggal yang terdiri dari bahan

    bangunan, komponen dan penataan ruang rumah, pencahayaan, kualitas

    udara, ventilasi, binatang penular penyakit, air, makanan, limbah dan

    kepadatan hunian ruang tidur.

    Sedangkan persyaratan kesehatan rumah tinggal menurut

    Kepmenkes tersebut sebagaimana tabel berikut:

    Tabel 6. Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal (Kepmenkes 829/1999;

    Keman, 2005)

    Kriteria Syarat

    Bahan bangunan Tidak terbuat dari bahan yang dapat

    melepaskan bahan yang dapat

    membahayakan kesehatan, antara lain:

    debu total

  • 34

    Kriteria Syarat

    penangkal petir

    Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan

    peruntukannya

    Dapur harus memiliki sarana pembuangan

    asap

    Pencahayaan Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat

    menerangi seluruh ruangan dengan

    intensitas penerangan maksimal 60 lux dan

    tidak menyilaukan mata

    Kualitas udara Suhu udara nyaman antara 18-30 C,

    kelembaban udara 40-70%, gas SO2 < 0,10

    ppm/24 jam, pertukaran udara 5

    kaki3/menit/penghuni, gas CO2 < 100 ppm/8

    jam, gas formaldehid < 120 mg/m3

    Ventilasi Luas lubang ventilasi alamiah yang

    permanen minimal 10% luas lantai

    Vektor penyakit Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah

    Penyediaan air Tersedia sarana penyediaan air bersih

    dengan kapasitas minimal 60

    liter/orang/hari

    Kualitas air harus memenuhi persyaratan

    kesehatan air bersih dan/atau air minum

    menurut Permenkes 416/1990 dan

    Kepmenkes 907/2002

    Sarana penyimpanan makanan

    Tersedia sarana penyimpanan makanan

    yang aman

    Pembuangan limbah Limbah cair yang berasal dari rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak

    menimbulkan bau, dan tidak mencemari

    permukaan tanah

  • 35

    Kriteria Syarat

    Limbah padat harus dikelola dengan baik

    agar tidak menimbulkan bau, tidak

    mencemari tanah dan air tanah

    Kepadatan hunian Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak lebih untuk 2 orang tidur

    Kepadatan penghuni rumah berhubungan dengan risiko infeksi TB

    pada anak terutama pada tingkat okupansi kamar.

    Risiko timbulnya penyakit TB pada anak terjadi pada jumlah penghuni

    5 orang per kamar meskipun tanpa ada penderita TB dalam keluarga

    (Tipayamongkholgul et al, 2005). Sedangkan risiko pada anak yang kontak

    dengan penderita TB meningkat seiring dengan meningkatnya kepadatan

    penghuni rumah dimana pada kondisi > 3 orang per kamar, anak-anak 6 kali

    lebih berisiko mendapatkan hasil uji tuberkulin positif (Tornee et al, 2004).

    Rumah dengan ventilasi yang baik menurunkan risiko anak menderita

    penyakit TB sebesar 4,35 kali (Karim et al, 2012), sedangkan anak yang

    kontak dengan penderita TB dan tinggal di dalam rumah dengan kelembaban

    > 75% berisiko 2 kali lebih tinggi mendapatkan hasil uji tuberkulin positif

    (Lestari et al, 2011).

    Paparan asap rokok terutama dari orang dekat yang menyebabkan

    anak menjadi perokok pasif berhubungan dengan risiko penyakit TB

    (Tipayamongkholgul et al, 2005) dan berkembang menjadi TB paru aktif (Altet

    et al, 1996). Risiko paparan rokok tidak tergantung apakah dilakukan rumah

    ataukah di dalam rumah dan berhubungan dengan dosis, dimana makin

    banyak jumlah batang yang dihisap per harinya makin meningkatkan risiko

    penyakit TB pada anak yang terpapar (Altet et al, 1996).

  • 36

    2.9 Tatalaksana pasien TB anak Tatalaksana pasien anak dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: (Kemenkes, 2012)

    1. Anak yang sakit TB diberikan terapi OAT kategori anak

    2. Anak dengan infeksi laten TB

    Tabel 7. Tatalaksana Infeksi Laten TB Anak

    Umur

    HIV

    Kontak erat dengan

    pasien TB paru dewasa

    Tatalaksana

    Balita (+)/(-) Ya INH profilaksis

    Balita (+)/(-) Tidak Observasi

    >5 tahun (-) Ya Observasi

    >5 tahun (+) Ya INH profilaksis

    >5 tahun (-) Tidak Observasi

    >5 tahun (+) Tidak Observasi

    Catatan : INH profilaksis dosis 10mg/kgBB/hari selama 6 bulan

    3. Anak bukan TB (uji tuberkulin negatif dan tidak ada bukti sakit TB) Tabel 8. Talaksana Bukan TB Anak

    Umur

    HIV

    Kontak erat

    dengan pasien

    TB paru dewasa

    Tatalaksana

    Balita (+)/(-) Ya INH profilaksis

    Balita (+)/(-) Tidak Pikirkan diagnosis lain,

    bila perlu dirujuk

    >5 tahun (-) Ya Observasi

    >5 tahun (+) Ya INH profilaksis

    >5 tahun (-) Tidak Pikirkan diagnosis lain,

    bila perlu dirujuk

    >5 tahun (+) Tidak Pikirkan diagnosis lain,

    bila perlu dirujuk

  • 37

    2.10 Pemicuan Pemicuan adalah Suatu pendekatan untuk mengubah perilaku masyarakat

    melalui pemberdayaan masyarakat sehingga dapat menumbuhkan kesadaran

    masyarakat dan perubahan perilaku.

    Tabel 9. Perbedaan antara konseling, penyuluhan dan pemicuan

    Perbedaan Konseling Penyuluhan Pemicuan

    Suasana Private Formal Informal

    Tempat

    Ruangan private,

    nyaman, tenang

    dan terang, disertai

    brosur

    Ruangan yang

    formal, sudah

    disiapkan, disertai

    alat peraga

    Ruangan tidak harus

    formal, menggunakan

    sumber daya yang ada

    Komunikasi Dua arah Satu Arah Dua Arah

    Pola

    Merubah cara

    pandang dan

    perilaku seseorang

    terhadap suatu

    masalah

    Memberikan

    informasi

    Mencari akar

    permasalahan dan

    solusinya

    Jumlah

    peserta yang

    ideal

    Konsultant dan

    Konsulee Puluhan 5-10 orang

    Target waktu Tidak ada Tidak ada Ada

    Tindak lanjut Tidak ada Tidak ada Ada

    Monitoring

    dan evaluasi Tidak ada Tidak ada Ada

    Hasil Akhir

    Perubahan cara

    pandang dan

    perilaku

    Peningkatan

    wawasan

    Timbulnya kesadaran

    dari masyarakat diikuti

    perilaku baru yang

    diharapkan

  • 38