04 bab2 szn
description
Transcript of 04 bab2 szn
-
6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Puskesmas Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 128/MENKES/SK/II/2004 Tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat
dapat diuraikan sebagai berikut:
2.1.1 Pengertian Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan
kesehatan di suatu wilayah kerja.
1. Unit Pelaksana Teknis
Sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (UPTD),
puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis
operasional Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan merupakan unit pelaksana
tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia.
2. Pembangunan Kesehatan
Pembangunan Kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh
bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal.
3. Penanggung jawab Penyelenggaraan
Penanggung jawab utama penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan
kesehatan di wilayah kesehatan Kabupaten/Kota adalah Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, sedangkan puskesmas bertanggungjawab hanya sebagian
upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota sesuain dengan kemampuannya.
4. Wilayah Kerja
Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan,
tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu puskesmas, maka
tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar puskesmas, dengan
memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa/kelurahan atau RW). Masing-
masing puskesmas tersebut secara operasional bertanggung jawab langsung
kepada Dinas Kesehatan/Kota.
-
7
2.1.2 Visi Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas
adalah tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat.
Kecamatan Sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan masa depan
yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan yakni masyarakat yang
hidup dalam lingkungan dan berperilaku sehat, memiliki kemampuan untuk
menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta
memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Indikator Kecamatan Sehat yang ingin dicapi mencakup 4 indikator
utama yakni:
a. Lingkungan sehat
b. Perilaku sehat
c. Cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu
d. Derajat kesehatan penduduk kecamatan
Rumusan visi untuk masing-masing puskesmas harus mengacu pada
visi pembangunan kesehatan puskesmas di atas yakni terwujudnya
Kecamatan Sehat, yang harus sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat
serta wilayah kecamatan setempat.
2.1.3 Misi
Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas
adalah mendunkung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional
Misi tersebut adalah:
1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya.
2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah
kerjanya.
3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan.
4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan
masyarakat beserta lingkungannya.
2.1.4 Tujuan puskesmas Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh
puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan
nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas
-
8
agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam rangka
mewujudkan Indonesia Sehat 2015.
2.1.5 Fungsi puskesmas
1. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan.
Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau
penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan
dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung
pembangunan kesehatan. Di samping itu puskesmas aktif memantau dan
melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap program
pembangunan di wilayah kerjanya. Khusus untuk pembangunan kesehatan,
upaya yang dilakukan puskesmas adalah mengutamakan pemeliharaan
kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan.
2. Pusat pemberdayaan masyarakat.
Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka
masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki
kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat
untuk hidup sehat, berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan
kesehatan termasuk pembiayaannya, serta ikut menetapkan,
menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan.
Pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan
dengan memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya sosial budaya
masyarakat setempat.
3. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama
Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan
kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan. Pelayanan kesehjatan tingkat pertama yang menjadi
tanggung jawab puskesmas meliputi:
a. Pelayanan kesehatan perorangan
Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat
pribadi (private goods) dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit
dan pemulihan kesehatan perorangan, tanpa mengabaikan pemeliharaan
kesehatan dan pencegahan penyakit. Pelayanan perorangan tersebut
-
9
adalah rawat jalan dan untuk puskesmas tertentu ditambah dengan rawat
inap.
b. Pelayanan kesehatan masyarakat
Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat
publik (public goods) dengan tujuan utama memelihara meningkatkan
kesehatan serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat
tersebut antara lain promosi kesehatan, pemberantasan penyakit,
penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga,
keluarga berencana, kesehatan jiwa serta berbagai program kesehatan
masyarakat lainnya.
2.2 Upaya Kesehatan Puskesmas Di dalam puskesmas terdapat upaya-upaya yang dilakukan, baik dengan
sasaran individu maupun kelompok masyarakat, upaya-upaya kesehatan
puskesmas dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Upaya kesehatan wajib
Upaya kesehatan wajib adalah upaya yang ditetapkan
berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta yang
mempunyai daya ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan
masyarakat. Upaya kesehatan wajib ini harus diselenggarakan oleh setiap
puskesmas yang ada di wilayah Indonesia, yang termasuk di dalam upaya
kesehatan wajib diantaranya adalah:
a. Upaya promosi kesehatan
b. Upaya kesehatan lingkungan
c. Upaya kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana
d. Upaya perbaikan gizi masyarakat
e. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
f. Upaya pengobatan
2. Upaya kesehatan pengembangan
Upaya kesehatan pengembangan adalah upaya yang ditetapkan
berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat
-
10
serta yang disesuaikan dengan kemampuan puskesmas. Upaya
kesehatan pengembangan dipilih dari upaya kesehatan pokok puskesmas
yang telah ada, yaitu:
a. Upaya kesehatan sekolah
b. Upaya kesehatan olahraga
c. Upaya keperawatan kesehatan masyarakat
d. Upaya kesehatan kerja
e. Upaya kesehatan gigi dan mulut
f. Upaya kesehatan jiwa
g. Upaya kesehatan mata
h. Upaya kesehatan usia lanjut
i. Upaya pembinaan pengobatan tradisional
2.2.1 Upaya keperawatan kesehatan masyarakat
Upaya keperawatan kesehatan masyarakat (Perkesmas) yang saat
ini lebih dikenal sebagai community health nursing (CHN) merupakan salah
satu upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas sejak konsep
puskesmas diperkenalkan di dalam kebijakan dasar puskesmas (Depkes,
2004), di dalam surat keputusan menteri kesehatan ditetapkan bahwa:
a. Upaya perkesmas sebagai bagian integral upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembangan.
Dimaksudkan upaya perkesmas dilaksanakan secara terpadu baik
upaya kesehatan perorangan maupun kesehatan masyarakat dalam enam
upaya kesehatan wajib puskesmas maupun upaya pengembangan yang wajib
dilaksanakan di daerah tertentu. Keterpaduan tersebut dalam sasaran,
kegiatan, tenaga, biaya, atau sumber daya lainnya. Dengan terintegrasinya
upaya perkesmas ke dalam upaya kesehatan wajib maupun pengembangan,
diharapkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dapat lebih bermutu
karena diberikan secara holistik, komprehensif pada semua tingkat
pencegahan terpadu, dan berkesinambungan. Sasaran prioritas perkesmas
adalah sasaran yang telah ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
sesuai kesepakatan daerah, dengan tetap menfokuskan pada keluarga rawan
kesehatan. Pencapaian target tersebut diharapkan mampu mendukung
tercapainya target pelayanan kesehatan bermutu.
-
11
b. Upaya perkesmas sebagai upaya kesehatan pengembangan
Bila didalam wilayah kerja puskesmas, terdapat masalah kesehatan
yang spesifik dan memerlukan asuhan keperawatan secara terprogram, maka
dapat dilaksanakan upaya perkesmas sebagai upaya kesehatan
pengembangan. Upaya perkesmas, dimulai dengan tahap pengkajian
keperawatan masyarakat di suatu daerah dengan masalah spesifik (misal :
tingginya penderita TB, DBD, Malaria, dll) untuk dapat dirumuskan masalah
dan penyebabnya, sehingga dapat direncanakan intervensi apa yang akan
dilakukan.
c. Deskripsi upaya keperawatan kesehatan masyarakat Keperawatan kesehatan masyarakat adalah suatu bidang dalam
keperawatan kesehatan yang merupakan perpaduan antara keperawatan dan
kesehatan masyarakat dengan dukungan peran serta aktif masyarakat, serta
mengutamakan pelayanan keuratif dan rehabilitatif secara menyeluruh dan
terpadu, ditujukan kepada individu, keluarga kelompok dan masyarakat
sebagai suatu kesatuan yang utuh, melalui proses keperawatan untuk
meningkatkan fungsi kehidupan manusia secara optimal sehingga mandiri
dalam upaya kesehatannya.
d. Kegiatan perkesmas Kegiatan keperawatan kesehatan masyarakat, meliputi kegiatan
didalam maupun diluar gedung puskesmas baik upaya kesehatan perorangan
(UKP) maupun upaya kesehatan masyarakat (UKM).
a. Kegiatan didalam gedung
1. Penemuan kasus baru (deteksi dini) pada pasien rawat jalan
2. Pelaksanaan anamnesa pemeriksaan tertentu
3. Penyuluhan/pendidikan kesehatan
4. Pemantauan kerteraturan berobat
5. Rujukan kasus/masalah kesehatan kepada tenaga kesehatan lain
6. Pemberian nasehat (konseling) keperawatan
7. Kegiatan yang merupakan tugas limpah sesuai pelimpahan
kewenangan yang diberikan dan atau prosedur yang telah ditetapkan
(misal: pengobatan, penanggulangan kasus gawat darurat, dll)
-
12
8. Menciptakan lingkunganterpeutik dalam pelayanan kesehatan di
gedung
9. Pertemuan berkala staf keperawatan setiap bulan untuk mendiskusikan
hal-hal yang berkaitan dengan penyediaan pelayanan keperawatan.
Hail pertemuan dicatat dan disimpan dengan baik
10. Pemeriksaan kelengkapan peralatan yang akan digunakan, obat-
obatan, kartu dan formulir yang diperlukan
b. Kegiatan diluar gedung
Melakukan kunjungan keluarga/ kelompok/ masyarakat untuk
melakukan asuhan keperawatan di keluarga/ kelompok/ masyarakat
1. Asuhan keperawatan kasus yang memerlukan tindak lanjut di rumah
(individu dalam konteks keluarga). Merupakan asuhan keperawatan
individu di rumah dengan melibatkan peran serta aktif anggota
keluarga. Kegiatan yang dilakukan antara lain:
a. Penemuan suspek/kasus kontak serumah
b. Penyuluhan/pendidikan kesehatan pada individu dan keluarganya
c. Pemantauan keteraturan berobat sesuai program pengobatan
d. Kunjungan rumah (home visit/home health nursing) sesuai rencana
e. Pelayanan keperawatan dasar langsung (direct care) maupun tidak
langsung (indirect care)
f. Pemberian nasehat (konseling) kesehatan /keperawatan
g. Pencatatan dan pelaporan seperti kartu keluarga dan posyandu
2. Asuhan keperawatan keluarga rawan dan miskin
Merupakan asuhan keperawatan dengan sasaran pada
keluarga rawan kesehatan/keluarga miskin yang mempunyai masalah
kesehatan yang ditemukan di masyarakat dan dilakukan di rumah
keluarga. Pengertian keluarga rawan adalah keluarga yang rentan atau
mempunyai resiko tinggi terhadap timbulnya masalah kesehatan yang
dibina, dilayani, dan diobati di wilayah kerjanya pada kurun waktu
tertentu. Pelayanan keperawatan keluarga mengoptimalkan fungsi
keluarga dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam menangani
masalah kesehatan dan mempertahankan status kesehatan
anggotanya. Pelayanan yang diberikan kepada keluarga rawan
diarahkan pada keluarga dengan jumlah keluarga yang tidak seimbang
-
13
dengan jumlah perawat yang ada dalam wilayah kerja, pada keadaan
ini harus diprioritaskan keluarga yang benar-benar membutuhkan
kesehatan serta asuhan keperawatan. Dapat dijelaskan bahwa
keluarga rawan yang membutuhkan asuhan keperawatan adalah:
a. Keluarga dengan status ekonomi rendah dan mempunyai
masalah kesehatan serta memiliki resiko tinggi terserang
penyakit
b. Keluarga yang rentan terhadap masalah kesehatan dan belum
terjangkau pelayanan kesehatan
c. Keluarga yang mempunyai anggota keluarga sakit dan
memerlukan bantuan asuhan keperawatan
d. Keluarga yang menghadapi masalah kesehatan/masalah
lainnya yang terkait yang dapat dibantu oleh tenaga
keperawatan.
Asuhan keperawatan yang dilakukan didalam CHN ditujukan
kepada keluarga yang telah disebutkan diatas, kegiatan asuhan
keperawatan dalam CHN disesuaikan dengan prioritas masalah yang
dihadapi di dalam keluarga rawan tersebut, seperti:
Asuhan keperawatan ibu hamil
Asuhan keperawatan ibu belum KB
Asuhan keperawatan bayi belum imunisasi
Asuhan keperawatan pada keluarga dengan asma
Asuhan keperawatan pada BBLR
Asuhan keperawatan pada preeklamsi
Asuhan keperawatan pada hipertensi
Asuhan keperawatan pada TB paru
Asuhan keperawatan pada diare
Asuhan keperawatan pada stroke
Asuhan keperawatan pada DM
Asuhan keperawatan pada keluarga dengan kurang gizi
Asuhan keperawatan .pada DBD
Asuhan kepaerawatan pada keluarga dengan anemia
Adapun kegiatan yang dilakukan pada asuhan keperawatan
keluarga rawan meliputi:
-
14
a. Identifikasi keluarga rawan kesehatan/keluarga miskin dengan
masalah kesehatan masyarakat
b. Penemuan dini suspek/kasus kontak serumah
c. Pendidikan/penyuluhan kesehatan terhadap keluarga
d. Kunjungan rumah sesuai rencana
e. Pelayanan kesehatan dasar langsung maupun tidak langsung
f. Pelayanan kesehatan sesuai rencana (misal: pemantauan
keteraturan berobat, dll)
g. Pemberian nasehat (konseling) kesehatan/keperawatan
h. Pencatatan dan pelaporan.
2.3 Sekilas Profil Puskesmas Aloon-Aloon Tahun 2012 2.3.1 Geografis dan demografi
Puskesmas Aloon-Aloon merupakan salah satu dari tiga Puskesmas
yang ada di wilayah kota. Sebagaian wilayah Puskesmas Aloon-Aloon
merupakan daerah pesisir/pantai yang berbatasan dengan selat Madura,
daerah pesisir tersebut juga merupakan daerah industri, karena disitu terdapat
beberapa pabrik antara lain: Pertamina (Pabrik Aspal), Pembangkitan Jawa
Bali, Codeco Company, Prima Marina Shyyard, yang terletak di dua desa yaitu
Pulo Pancikan dan Sidorukun.
Luas wilayah kerja Puskesmas Alon-alon : 1, 61 Km2
Batas-batas wilayah kerjanya terdiri dari :
- Sebelah Utara : Selat Madura
- Sebelah Timur : Selat Madura
- Sebelah Selatan : Kecamatan Kebomas
- Sebelah Barat : Kecamatan Manyar.
Wilayah Puskesmas Alon-Alon meliputi 11 desa/Kelurahan:
1. Kroman
2. Kemuteran
3. Kebungson
4. Pekelingan
5. Bedilan
6. Pekauman
7. Tlogobendung
-
15
8. Gapuro Sukolilo
9. Pulo Pancikan
10. Sidorukun
11. Kramat inggil
Jumlah penduduk riil tahun 2011 : 33.852
- Laki-laki : 16.657
- Perempuan : 17.195
Mata Pencaharian penduduk wilayah kerja Puskesmas Aloon-Aloon adalah
sbb:
1. Tani : 0
2. Pedagang : 857
3. PNS : 704
4. TNI / POLRI : 117
5. Swasta : 8.748
6. Wira swasta : 23.426
Sebagian besar (69,2 %) penduduk diwilayah kerja Puskesmas Aloon-Aloon bekerja
di home industri.
2.4 Visi, Misi, Tujuan Dan Sasaran pengendalian Tuberkolosis di Indonesia
2.4.1 Visi Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan.
2.4.2 Misi 1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan
masyarakat madani dalam pengendalian TB.
2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata,
bermutu,dan berkeadilan.
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB.
4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.
2.4.3 Tujuan Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka
pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.
-
16
2.4.4 Sasaran Seluruh lapisan masyarakat terutama keluarga rawan dengan resiko
tinggi yang memiliki anggota keluarga tuberkulosis positif mulai dari balita
sampai dengan lanjut usia.
2.5 Strategi Nasional dan Kebijakan Operasional Pemerintahan dalam Pengendalian Tuberkolosis di Indonesia
2.5.1 Strategi
Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi:
1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.
2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan
masyarakat miskin serta rentan lainnya.
3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela),
perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public-Private Mix dan menjamin
kepatuhan terhadap International Standards for TB Care.
4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen
program pengendalian TB
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB
7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.
2.5.2 Kebijakan operasional 1. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas
desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan Kabupaten/Kota sebagai titik
berat manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan
monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana,
tenaga, sarana dan prasarana).
2. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS dan
memperhatikan strategi Global Stop TB partnership
3. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah
terhadap program pengendalian TB.
4. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap
peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan
-
17
pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya MDR-TB.
5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan
oleh seluruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes), meliputi
Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah Balai/Klinik Pengobatan, Dokter
Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas kesehatan lainnya.
6. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan
kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta
danmasyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB
(Gerdunas TB).
7. Peningkatan kemampuan laboratorium di berbagai tingkat pelayanan
ditujukan untuk peningkatan mutu dan akses layanan.
8. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-
cuma dan dikelola dengan manajemen logistik yang efektif demi menjamin
ketersediaannya.
9. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk
meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
10. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok
rentan lainnya terhadap TB.
11. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
12. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam MDGs.
2.6 Organisasi Pelaksanaan
2.6.1 Aspek manajemen program a. Tingkat Pusat
Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional
Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum kemitraan
lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan Replubik
Indonesia sebagai penanggung jawab teknis upaya pengendalian TB.
Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan
oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
Sub Direktorat Tuberkulosis.
-
18
b. Tingkat Propinsi Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari
Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan
dengan kebutuhan daerah.
Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan
Dinas Kesehatan Propinsi.
c. Tingkat Kabupaten/Kota
Di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten/kota
yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi
disesuaikan dengan kebutuhan Kabupaten/Kota. Dalam pelaksanaan
program TB di tingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan
kabupaten/kota.
2.6.2 Aspek tatalaksana pasien TB Dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/Klinik dan Dokter
Praktek Swasta.
a. Puskesmas Dalam pelaksanaan di Puskesmas, dibentuk kelompok Puskesmas
Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM),
dengan dikelilingi oleh kurang lebih 5 (lima) Puskesmas Satelit (PS). Pada
keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas Pelaksana
Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan sputum
BTA.
b. Rumah Sakit
Rumah Sakit Umum, Balai/Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
(B/BKPM), dan klinik lannya dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana
pasien TB.
c. Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas layanan lainnya.
Secara umum konsep pelayanan di Balai Pengobatan dan DPS sama
dengan pelaksanaan pada rumah sakit dan Balai Penobatan (klinik).
2.7 Tinjauan tentang Penyakit Tuberkulosis
2.7.1 Infeksi tuberkulosis pada Anak Infeksi tuberkulosis primer pada anak sering tidak menunjukkan tanda
dan gejala sehingga biasanya terabaikan (Grange & Zumla, 2008).
-
19
Gejala klinis pada infeksi primer tuberkulosis tidak spesifik. Biasanya
berupa Berat Badan kurang atau penurunan Berat Badan, Kurang Energi,
batuk atau sesak menetap dan demam yang tidak jelas lebih dari satu
minggu. Pemeriksaan tuberkulin biasanya positif dengan atau tanpa
gambaran foto thoraks spesifik. Penyebaran endobronkial biasanya
menimbulkan gejala batuk dan sesak serta gambaran radiologis seperti
pembesaran kelenjar getah bening, hiperinflasi, konsolidasi, kolaps atau
pergeseran mediastinum (Grange & Zumla, 2008).
Infeksi primer tuberkulosis pada anak kadang-kadang dapat
menimbulkan reaksi hipersensitifitas seperti konjungtivitis fliktenular dan
eritema nodosum (Grange & Zumla, 2008).
Tabel 1. Bentuk Klinis Infeksi Tuberkulosis Sesuai Perjalanan Waktu
(diadaptasi dari Wallgreen dan Ustvedt pada Grange & Zumla, 2008)
Stadium Lama Ciri
1 3-8
minggu
Terbentuk kompleks primer. Reaksi tuberkulin
positif
2 Sekitar 3
bulan
Bentuk penyakit yang mengancam jiwa karena
penyebaran hematogen mis: meningitis TB dan TB
milier
3 3-4 bulan Tuberkulosis pleuritis karena penyebaran
hematogen atau penyebaran langsung dari
kompleks primer yang membesar
4 Sampai
dengan3
tahun
Stadium ini berlangsung sampai kompleks primer
mengalami resolusi.
Dapat terjadi lesi ekstrapulmoner yang
berkembang lebih lambat misalnya pada tulang
dan persendian
5 Sampai
dengan 12
tahun
Dapat timbul tuberkulosis genitourinaria (misalnya
ginjal) sebagai manifestasi tuberkulosis primer
yang lambat
-
20
2.7.2 Perjalanan infeksi tuberkulosis
Dalam perkembangan infeksi M.tb, lesi berupa granuloma dengan inti
nekrosis kaseosa disebut juga dengan fokus primer atau Gohn focus dan bila
disertai penyebaran di kelenjar getah bening regional disebut kompleks primer
yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun (Grange&Zumla, 2008; Todar,
2012). Granuloma kronik ini disebut juga dengan tuberkel (Todar, 2012).
Granuloma dapat pecah menuju lumen bronkus sehingga isinya dapat
keluar melalui lumen kemudian secara langsung menginfeksi bagian paru yang
lain (Todar, 2012; Brooks et al, 2010). Makrofag yang lolos dari granuloma dan
berisi basil yang tidak bereplikasi ini kemudian menuju bagian lain parenkim
paru akibat aliran udara inspirasi di dalam bronkus. Kebanyakan akan terjebak
pada lobus atas dan mempunyai kesempatan membentuk kavitas karena di
lobus atas tersedia tekanan oksigen yang tinggi yang menunjang untuk
pertumbuhan ekstraseluler sehingga konsentrasi basil makin meningkat
(Ahmad, 2010).
Selain itu penyebaran M.tb juga dapat melalui aliran limfe menuju
kelenjar limfe regional/limfogen atau melalui aliran darah menuju seluruh organ
tubuh/hematogen. Penyebaran secara hematogen ini dapat menimbulkan
tuberkulosis ekstra pulmoner yang disebut tuberkulosis milier. Lesi sekunder
akibat tuberkulosis milier tergantung lokasi organ yang terkena, biasanya
berada di sistem genitourinaria, tulang, persendian, kelenjar getah bening dan
peritoneum. Tipe lesi dapat berupa lesi eksudatif/soft tubercle dan lesi produktif
atau granulomatus /hard tubercle (Todar, 2012; Brooks et al, 2010).
Pada keadaan tertentu nekrosis kaseosa dalam tuberkel dalam
perkembangannya dapat mengalami likuifikasi sehingga menjadi kondusif
untuk perkembangan M. tb. Bakteri kemudian bermultiplikasi dengan cepat di
ekstraseluler. Perkembangan dengan cepat ini menyebabkan dinding bronkus
di dekat lesi menjadi nekrosis dan ruptur sehingga membentuk kavitas dan
selanjutnya M.tb dengan cepat akan menyebar dan menginfeksi bagian lain
dari paru (Todar, 2012). Adanya kavitas dan hubungan dengan bronkus ini juga
menyebabkan M.tb berada dalam sputum dan keluar bersama batuk sehingga
sputum menjadi sangat infeksius (Grange&Zumla, 2008).
-
21
Secara klinis pada umumnya terdapat dua bentuk tuberkulosis yaitu
tuberkulosis primer dan tuberkulosis post primer. Kebanyakan infeksi primer
tidak memberikan gejala dan tidak menjadi perhatian. Sedangkan tuberkulosis
post primer merupakan reaktivasi secara endogenus dari lesi primer yang
laten atau dorman (TB Laten), akan tetapi pada beberapa kasus terutama
individu dengan keadaan imunosupresi menunjukkan adanya reinfeksi
eksogenus (Grange&Zumla, 2008).
Gambar 1. Perjalanan Infeksi Tuberkulosis (Grange&Zumla, 2008)
Meskipun demikian, tanpa terapi, hanya sekitar 5-10% individu yang
terinfeksi oleh tuberkulosis yang akan berkembang menjadi penyakit (Schuck,
2009).
Setelah terjadinya paparan dengan penderita tuberkulosis yang
infeksius, seseorang dapat terinfeksi tergantung banyaknya jumlah bakteri
Infeksi primer (Paru, tonsil, saluran cerna atau
kulit)
Paru Fokus primer/Ghons focus
Limfangitis Limfadenitis
= Kompleks primer
Lesi KGB dan atau paru yang menetap
Terjadi resolusi / penyembuhan
Reaktivasi penyakit karena: HIV, penuaan, diabetes, sitotoksik,
steroid, stress, malnutrisi, keganasan, penyakit hati dan ginjal
kronis
Penyebaran hematogen
Penyebaran lokal
TB Paru ekstensif TB milier TB organ
Obstruksi bronkus
Ruptur ke dalam bronkus
Lobus kolaps TB bronkopnemonia
-
22
yang masuk, bentuk dan ukuran aerosol, lamanya paparan serta ada tidaknya
ventilasi. 90% individu yang terinfeksi sembuh sempurna karena mekanisme
pertahanan tubuh dan hanya 10% saja yang akan berkembang menjadi
penyakit selama hidupnya dimana sekitar setengahnya berkembang dalam 2
tahun pertama setelah infeksi (Konstantinos, 2010).
Gambar 2. Riwayat Alamiah Pada Kontak Baru Tuberkulosis (Konstantinos, 2010)
2.7.3 Diagnosis TB Anak Pada anak, diagnosis pasti dengan ditemukannya kuman
langsung/secara mikroskopis sulit dilakukan karena kesulitan pengambilan
spesimen maupun jumlah kuman yang lebih sedikit dari orang dewasa.
Sehingga diagnosis dilakukan dengan Sistem Skoring TB sesuai kesepakatan
dalam Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak/PNTA.
Tdk ada infeksi
90% tidak pernah berkembang menjadi penyakit aktif
5-8% menjadi penyakit dalam 5-7 thn (terbanyak 1-2 thn)
Kontak dengan penderita tuberkulosis infeksious
Ada infeksi
10% berkembang menjadi penyakit selama hidupnya Risiko kecil setelah 7
tahun karena sistem kekebalan tubuh
Jumlah bakteri Bentuk aerosol Intensitas dan lamanya paparan
ventilasi
Pertahanan alamiah
Respon imun seluler
Malnutrisi
-
23
Tabel 2. Sistem Skoring Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB Anak
(Depkes-IDAI, 2008; Depkes RI, 2008)
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas Laporan keluarga,
BTA (-),
tidak tahu
atau tidak
jelas
BTA (+)
Uji
Tuberkulin
Negatif Positif 10 mm
atau 5 mm pada
keadaan
imunosupresi
Berat Badan/keadaan gizi
Bawah Garis
Merah atau
BB/U < 80%
Klinis gizi
buruk atau
BB/U < 60%
Demam
tanpa sebab jelas
2 minggu
Batuk 3 minggu
Pembesaran kelenjar limfe koli,
aksila, inguinal
1cm,
jumlah >1,
tidak nyeri
Pembengkakan tulang /
sendi panggul, lutut, falang
Ada
pembengkak
an
-
24
Foto rontgen toraks
Normal/
tidak jelas
Kesan TB
Pada tabel tampak bahwa kontak dengan penderita BTA positif dan
hasil uji tuberkulin positif mempunyai bobot skor yang paling tinggi.
Penderita dengan skor 6 ditatalaksana sebagai pasien TB dengan
pemberian OAT selama 2 bulan. Bila ada respon pengobatan dengan adanya
perbaikan klinis dari sebelumnya maka terapi TB diteruskan sampai 6 bulan.
Sedangkan bila tidak ada respon perbaikan klinis terhadap pengobatan, maka
terapi TB diteruskan sambil mencari penyebab atau untuk Rumah Sakit
dengan fasilitas terbatas dilakukan rujukan ke RS dengan fasilitas lebih
lengkap (Depkes-IDAI, 2008; Depkes RI, 2008).
2.7.4 Uji tuberkulin Bentuk tuberkulin yang biasa digunakan untuk keperluan diagnostik
adalah Purified Protein Derivative of Tuberculin (PPD) yang kekuatannya
dinyatakan dengan satuan International Unit (IU) (Grange & Zumla, 2008).
Uji Tuberkulin mengukur hasil imunitas seluler yaitu pembentukan
DTH (Delayed-Type Hypersensitivity) sebagai respon terhadap PPD (Purified
Protein Derivative) (Mack et al, 2009; Ahmad, 2010; Abbas et al, 2007). PPD
terdiri dari campuran antigen M.tuberculosis, M.bovis, M.bovis BCG dan
beberapa spesies mycobacterium lingkungan (Mack et al, 2009).
Uji Tuberkulin dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD secara
intrakutan, pada bayi dengan dosis 0,05 ml. Lokasi suntikan adalah pada sisi
dalam lengan bawah bagian atas (Grange & Zumla, 2008).
Setelah 48-72 jam di tempat suntikan dilakukan pengukuran diameter
transversal dari indurasi yang dapat diraba, bukan pada eritemanya, dan
hasilnya dinyatakan dalam milimeter. Kriteria reaksi dinyatakan positif dengan
cut-off point yang ditentukan oleh program TB nasional berdasarkan tipe dan
konsentrasi PPD yang digunakan serta derajat sensitisasi oleh Mycobacteria
di lingkungan (Grange & Zumla, 2008; Kenyorini et al, 2006).
Cut-off point yang direkomendasikan dalam interpretasi uji tuberkulin
tampak seperti dalam tabel berikut:
-
25
Tabel 3. Cut-off Point Interpretasi Hasil Uji Tuberkulin (Kenyorini et al, 2006)
Indurasi 5 mm Indurasi 10 mm Indurasi 15 mm
- Kontak erat dengan individu yang diketahui/
suspek TB dalam waktu 2 tahun
- Suspek TB aktif
dengan bukti klinis dan radiologis
- Terinfeksi HIV
- Individu dengan perubahan radiologis fibrotik/ tanda
TB - Individu dengan
transplantasi organ atau
immunocompromised
- Datang dari
daerah dengan
prevalensi tinggi
TB
- Individu dengan
HIV negatif
tetapi pengguna
Napza
- Konversi uji
tuberkulin
menjadi 10 mm
dalam 2 tahun
- Individu dengan
kondisi klinis
yang
merupakan
risiko tinggi TB
(DM,
malabsorbsi,
GGK, tumor,
leukemia,
limfoma,
penurunan BB >
10%, silikosis)
Bukan risiko tinggi
tertular TB
Konversi uji tuberkulin
menjadi >15 mm setelah
2 tahun
Uji tuberkulin akan dilakukan pada anak yang berkunjung ke
Fasyankes terpilih selama waktu operasional trial dengan kriteria inklusi dan
eksklusi sebagai berikut: (Kemenkes, 2012)
a. Kriteria inklusi:
Umur 0-14 tahun
Mempunyai salah satu dari kondisi atau gejala TB berikut :
-
26
1. Demam lama ( 2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria dan lain-lain), yang
dapat disertai dengan keringat malam. Demam umumnya tidak tinggi.
Keringat malam saja, tanpa disertai kenaikan suhu tubuh bukan
merupakan gejala yang abnormal pada anak.
2. Batuk lama 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas makin lama makin berat) dan sebab lain batuk telah disingkirkan.
3. Berat badan turun atau tidak naik daam 2-3 bulan berturut-turut meskipun
telah diberikan penanganan gizi yang adekuat minimal 1 bulan.
Jika tidak diketahui data berat badan sebelumnya, tentukan status gizi saat
itu berdasarkan kurva CDC-NCHS 2000. Apabila BB/U >60% atau BB/TB
1bulan.
6. Kontak erat (tinggal serumah atau sering kontak) dengan penderita TB
Paru baik BTA (+) maupun BTA (-) dalam 2 tahun terakhir.
7. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare
8. Pembesaran kelenjar limfe coli, leher atau inguinal >1cm, multiple, tidak
nyeri
b. Kriteria eksklusi :
Pernah dilakukan uji tuberculin dengan hasil positif (didukung dengan
data tertulis)
Pelaksanaan uji tuberkulin dan penemuan kasus TB anak dilakukan pada:
i. Semua anak berumur 0-14 tahun yang berobat ke Fasyankes di cek oleh
petugas (perawat/bidan/dokter). Apakah memenuhi kriteria inklusi dan tidak
mempunyai kriteria eksklusi.
ii. Anak yang memenuhi kriteria tersebut selanjutnya dilakukan:
1. Hari ke 1:
- Pengukuran berat badan dan tinggi badan
- Anamnesis untuk melengkapi kuesioner
-
27
- Pemeriksaan fisik oleh dokter
- Uji tuberkulin
- Diberikan surat pengantar Rontgen posisi AP dan lateral
- Pemeriksaan Rontgen dada posisi AP dan lateral
- Induksi sputum, bila anak mempunyai gejala TB dan fasilitas untuk
induksi sputum tersedia di Fasyankes
2. Hari ke 4:
- Anak datang kembali ke Fasyankes dengan membawa hasil rontgen
dada
- Dilakukan pembacaan hasil uji tuberculin
- Dokter menentukan diagnosis anak (sakit TB, infeksi laten TB atau
tidak ada bukti sakit/infeksi TB)
- Anak diberi terapi sesuai dengan diagnosisnya
Vaksinasi BCG sebelumnya dapat menimbulkan reaksi false positif
pada uji tuberkulin (Konstantinos, 2010; Kenyorini et al, 2006). Uji tuberkulin
tidak dapat membedakan infeksi karena M. tuberculosis, vaksinasi
sebelumnya dengan BCG yang berisi M. bovis ataukah infeksi dari
mikobakteria lingkungan (Ahmad, 2010). Tetapi di negara dengan prevalensi
tinggi, vaksinasi BCG bukan penyebab penting false positif kecuali pada
daerah dengan prevalensi TB aktif yang rendah (Araujo, 2008). Uji tuberkulin
yang dilakukan pada anak yang sudah menerima vaksin BCG didapatkan
diameter yang lebih besar dibandingkan dengan yang tanpa vaksin (Yildirim,
2009) sehingga cut off point untuk menentukan reaksi positif tuberkulin
ditentukan oleh program nasional (WHO-FIND, 2010).
Keuntungan uji tuberkulin adalah hasil yang positif dapat mendukung
diagnosis infeksi dan penyakit TB pada anak serta berperan untuk memantau
infeksi lampau pada kelompok risiko tinggi (WHO-FIND, 2010).
Sedangkan keterbatasan dari uji tuberkulin adalah sensitivitas dan
spesifisitas yang bervariasi tergantung populasi dan cut-off dari reaksi,
memerlukan kunjungan ulangan setelah 48-72 jam, dapat dikacaukan oleh
HIV, BCG dan bentuk lain mikobakteria, false-negatif sampai 50% dapat
terjadi pada infeksi HIV dan sekitar 25% penderita dengan TB aktif
memberikan hasil negatif (WHO-FIND, 2010).
-
28
Tabel 4. Penyebab Terjadinya Reaksi False-Positif dan False Negatif pada Uji
Tuberkulin (WHO-FIND, 2010)
Reaksi False-Positif Reaksi False-Negatif
Vaksinasi BCG Infeksi dengan
mikobakteria non
tuberkulosis (tumpang tindih protein dengan bakteri tahan asam lainnya)
Faktor tekhnis (kualitas sediaan,
penyimpanan dan administrasi yang
kurang baik)
Keadaan immunicompromised
- Umur (bayi, usila >65 th)
- Kanker
- Penggunaan obat
imunosupresan
- Infeksi bakteri, jamur dan
virus
- Infeksi HIV
- TB aktif
Efek samping penyuntikan tuberkulin sangat jarang menimbulkan
efek samping, tapi tetap terdapat kemungkinan terjadi. Pada saat
pembacaan hasil uji tuberkulin, jangan lupa untuk mengecek efek samping
yang mungkin terjadi. Efek samping yang mungkin terjadi: rasa gatal di
tempat penyuntikkan, timbul bullae atau kulit melepuh di tempat suntikkan,
atau bisa juga terjadi reaksi anafilaktik (WHO-FIND, 2010).
2.8 Faktor risiko infeksi tuberkulosis pada anak 2.8.1 Jenis kelamin dan umur
Risiko infeksi TB pada anak yang kontak dengan penderita TB tidak
berhubungan dengan jenis kelamin dan umur anak (Tornee et al, 2004)
dimana faktor umur dan jenis kelamin tidak mempengaruhi hasil uji tuberkulin
positif atau negatif (Gofama & Mohammed, 2011).
Tetapi untuk proporsi penderita TB anak, hasil penelitian case control
di Bangladesh menunjukkan 2 kali lebih banyak anak perempuan dibanding
anak laki-laki (Karim et al, 2012).
-
29
2.8.2 Status imunisasi Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin) merupakan vaksin hidup yang
dilemahkan yang dikembangkan dari strain M. bovis dan diberikan secara
suntikan intradermal pada awal kelahiran. Vaksinasi BCG menyebabkan
timbulnya papula di tempat suntikan yang kadang-kadang berupa ulkus
dangkal satu minggu setelah suntikan. Dalam waktu 6-12 minggu terjadi
penyembuhan dan meninggalkan jaringan parut/scar (Grange & Zumla,
2008).
Vaksin BCG dapat memproteksi penyebaran TB secara luas dan
meningitis TB meskipun tidak mencegah dari infeksi TB (Grange & Zumla,
2008; WHO, 1999). Sebanyak 48% anak yang memiliki parut BCG yang
kontak dengan penderita TB menunjukkan terinfeksi TB dan hanya 25% yang
menderita TB (Sinfield et al, 2006).
Prevalensi tuberkulosis berhubungan dengan faktor risiko tanpa
vaksinasi BCG (Doocy et al, 2008), tetapi adanya kontak memberikan risiko
yang tinggi infeksi TB meskipun anak telah mendapatkan vaksin BCG
(Tipayamongkholgul et al, 2005). Proporsi hasil uji tuberkulin positif tidak
berbeda antara yang mendapatkan vaksin atau yang tanpa vaksin (Nguyen et
al, 2009; Lestari et al, 2011; Gofama et al, 2011).
2.8.3 Hubungan dengan kontak Kontak dengan penderita TB dewasa pada banyak studi sangat
signifikan berhubungan dengan infeksi TB pada anak. Sebanyak 26,7% anak
yang diketahui positif terinfeksi TB melaporkan riwayat kontak dengan
penderita TB dimana 31% nya adalah kontak serumah (Soborg et al, 2011).
Sedangkan pada anak yang kontak serumah dengan penderita TB 31-49%
nya terinfeksi TB (Tornee et al, 2004; Nguyen et al, 2009; Sinfield et al, 2006;
Lestari et al, 2011).
Kontak yang erat berhubungan kuat dengan infeksi TB pada anak dan
meningkatkan risiko 8 kali untuk terinfeksi (Tipayamongkholgul et al, 2005;
Tornee et al, 2004). Anak yang sumber kontaknya adalah tetangga berisiko
5,26 kali lebih rendah dibanding kontak dengan keluarga (Karim et al, 2012).
Hubungan keluarga yang paling banyak adalah ibu atau ayah (orang tua)
(Tornee et al, 2004; Sinfield et al, 2006; Lestari et al, 2011). Anak yang
-
30
terpapar dengan ibu 15 kali berisiko terinfeksi sedangkan anak yang terpapar
dengan ayah berisiko 3 kali terinfeksi TB (Tornee et al, 2004).
Makin lama kontak per hari dengan penderita risiko infeksi makin
tinggi. Anak-anak yang terpapar/kontak 9-16 jam per hari berisiko 9 kali
terinfeksi, sedangkan anak yang terpapar 17-24 jam sehari berisiko 10 kali
terinfeksi (Tornee et al, 2004).
Hasil pemeriksaan sputum penderita yang kontak juga berhubungan
dengan infeksi TB pada anak dimana pada penderita dengan derajat BTA 3+
sebanyak 58-77% anak terinfeksi TB (Sinfield et al, 2006; Tornee et al, 2004).
Prevalensi TB meningkat pada anak yang kontak dengan penderita wanita
termasuk ibu dengan BTA 2+ atau 3+ (Sinfield et al, 2006). Tetapi ada juga
yang justru pada kontak dengan derajat BTA 1+ (51%), anak yang terinfeksi
lebih tinggi dari kontak dengan derajat BTA 3+ (Lestari et al, 2011).
2.8.4 Status gizi Penentuan status gizi anak dapat dilakukan dengan pengukuran
antropometri dan pemeriksaan secara klinis. Pengukuran antopometri dapat
dilakukan dengan mengukur Berat Badan dan Panjang Badan/Tinggi Badan.
Kategori status gizi pada anak dapat dilakukan dengan
membandingkan Berat Badan menurut Umur (BB/U), Panjang Badan/Tinggi
Badan menurut Umur (PB/U atau TB/U), Berat Badan menurut Panjang
Badan atau Tinggi Badan (BB/PB atau BB/TB) serta Indeks Masa Tubuh
menurut Umur (IMT/U). Kategori ditentukan dengan cara dibandingkan
dengan standar yang membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan
(Kemenkes RI, 2011).
-
31
Tabel untuk kategori dan ambang batas status gizi anak sebagai berikut:
Tabel 5. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
BB/U dan IMT/U (Kemenkes RI, 2011)
INDEKS KATEGORI
STATUS GIZI
AMBANG BATAS
(Z-SCORE)
Gizi Buruk < -3 SD
Gizi Kurang -3SD s/d < -2SD
Gizi Baik -2 SD s/d 2 SD
Berat Badan menurut Umur (BB/U) anak umur 0-60 bulan
Gizi Lebih > 2 SD
Sangat Kurus < -3 SD
Kurus -3SD s/d < -2SD
Normal -2 SD s/d 2 SD
Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U)
Anak umur 0-60 bulan Gemuk > 2 SD
Sangat Kurus < -3 SD
Kurus -3SD s/d < -2SD
Normal -2 SD s/d 1 SD
Gemuk > 1 SD s/d 2 SD
Indeks Masa Tubuh menurut
Umur (IMT/U) Anak umur 5-18 tahun
Obesitas > 2 SD
Status gizi berdasarkan indeks PB/U atau TB/U dibedakan menjadi
Sangat Pendek, Pendek, Normal dan Tinggi. Status gizi berdasarkan indeks
BB/PB atau BB/TB dibedakan menjadi Sangat Kurus, Kurus, Normal dan
Gemuk (Kemenkes RI, 2011).
Indeks Masa Tubuh (IMT) merupakan indeks berat badan dibanding
tinggi badan. IMT didapatkan dengan cara membagi Berat Badan dalam
kilogram(kg) dengan kuadrat Tinggi Badan dalam meter sehingga didapatkan
rumus sebagai berikut (WHO, 2012):
IMT = Berat Badan (kg)
Tinggi Badan (m2)
Interpretasi hasil perhitungan IMT kemudian dibandingkan dengan
Standar IMT/U (Kemenkes RI, 2011).
-
32
Keadaan malnutrisi merupakan prediktor bagi penyakit tuberkulosis
dan berhubungan dengan memberatnya penyakit tersebut. Penurunan berat
badan merupakan presentasi klinis pada 41,5% anak dengan penyakit
tuberkulosis (Shrestha et al, 2011).
Meskipun berhubungan dengan keadaan klinis penyakit tuberkulosis
tetapi pada beberapa studi, status gizi yang dinilai dengan pengukuran
antopometri tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan risiko infeksi TB
pada anak yang kontak dengan penderita TB (Tipayamongkholgul et al, 2005;
Sinfield et al, 2006). Tetapi hasil uji tuberkulin pada anak dengan status gizi
normal memberikan hasil positif yang lebih besar dibandingkan dengan anak
dengan malnutrisi yang berarti anak dengan malnutrisi cenderung memberi
hasil uji tuberkulin negatif (Gofama et al, 2011).
2.8.5 Sosial ekonomi Faktor sosial ekonomi berupa tingkat pendidikan dan pekerjaan kedua
orangtua tidak berhubungan dengan risiko infeksi TB pada anak (Tornee et al,
2004). Tetapi pada bila dilihat secara terpisah, pendidikan dan pekerjaan ibu
berhubungan dengan risiko penyakit TB pada anak, sedangkan pada bapak
tidak (Karim et al, 2012).
Badan Pusat Statistik dalam menentukan kriteria kemiskinan
berdasarkan pendapatan menggunakan konsep kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar yaitu kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.
Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran
perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan perbulan
perkapita pada tahun 2006 menurut BPS adalah sebesar Rp 151.997,- (BPS,
2012).
Sedangkan pendidikan formal menurut BPS adalah jalur pendidikan
yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi meliputi SD/MI/sederajat,
SMP/MTs/sederajat, SM/MA/sederajat dan PT. Tamat sekolah adalah
menyelesaikan pelajaran pada kelas/tingkat terakhir suatu jenjang pendidikan
di sekolah negeri maupun swasta dengan mendapatkan tanda tamat/ijazah
(BPS, 2012).
-
33
2.8.5.1 Lingkungan Banyak studi yang mengaitkan faktor lingkungan di dalam rumah
dengan risiko infeksi TB pada anak. Faktor lingkungan rumah tersebut
meliputi keadaan fisik rumah, kepadatan penghuni dan paparan terhadap
asap rokok.
Kesehatan perumahan sesuai dengan Kemenkes 829 Tahun 1999
tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, meliputi: 1) Lingkungan
perumahan yang terdiri dari lokasi, kualitas udara, kebisingan dan getaran,
kualitas tanah, kualitas air tanah, sarana dan prasarana lingkungan, binatang
penular penyakit dan pengijauan; 2) Rumah tinggal yang terdiri dari bahan
bangunan, komponen dan penataan ruang rumah, pencahayaan, kualitas
udara, ventilasi, binatang penular penyakit, air, makanan, limbah dan
kepadatan hunian ruang tidur.
Sedangkan persyaratan kesehatan rumah tinggal menurut
Kepmenkes tersebut sebagaimana tabel berikut:
Tabel 6. Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal (Kepmenkes 829/1999;
Keman, 2005)
Kriteria Syarat
Bahan bangunan Tidak terbuat dari bahan yang dapat
melepaskan bahan yang dapat
membahayakan kesehatan, antara lain:
debu total
-
34
Kriteria Syarat
penangkal petir
Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan
peruntukannya
Dapur harus memiliki sarana pembuangan
asap
Pencahayaan Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat
menerangi seluruh ruangan dengan
intensitas penerangan maksimal 60 lux dan
tidak menyilaukan mata
Kualitas udara Suhu udara nyaman antara 18-30 C,
kelembaban udara 40-70%, gas SO2 < 0,10
ppm/24 jam, pertukaran udara 5
kaki3/menit/penghuni, gas CO2 < 100 ppm/8
jam, gas formaldehid < 120 mg/m3
Ventilasi Luas lubang ventilasi alamiah yang
permanen minimal 10% luas lantai
Vektor penyakit Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah
Penyediaan air Tersedia sarana penyediaan air bersih
dengan kapasitas minimal 60
liter/orang/hari
Kualitas air harus memenuhi persyaratan
kesehatan air bersih dan/atau air minum
menurut Permenkes 416/1990 dan
Kepmenkes 907/2002
Sarana penyimpanan makanan
Tersedia sarana penyimpanan makanan
yang aman
Pembuangan limbah Limbah cair yang berasal dari rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak
menimbulkan bau, dan tidak mencemari
permukaan tanah
-
35
Kriteria Syarat
Limbah padat harus dikelola dengan baik
agar tidak menimbulkan bau, tidak
mencemari tanah dan air tanah
Kepadatan hunian Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak lebih untuk 2 orang tidur
Kepadatan penghuni rumah berhubungan dengan risiko infeksi TB
pada anak terutama pada tingkat okupansi kamar.
Risiko timbulnya penyakit TB pada anak terjadi pada jumlah penghuni
5 orang per kamar meskipun tanpa ada penderita TB dalam keluarga
(Tipayamongkholgul et al, 2005). Sedangkan risiko pada anak yang kontak
dengan penderita TB meningkat seiring dengan meningkatnya kepadatan
penghuni rumah dimana pada kondisi > 3 orang per kamar, anak-anak 6 kali
lebih berisiko mendapatkan hasil uji tuberkulin positif (Tornee et al, 2004).
Rumah dengan ventilasi yang baik menurunkan risiko anak menderita
penyakit TB sebesar 4,35 kali (Karim et al, 2012), sedangkan anak yang
kontak dengan penderita TB dan tinggal di dalam rumah dengan kelembaban
> 75% berisiko 2 kali lebih tinggi mendapatkan hasil uji tuberkulin positif
(Lestari et al, 2011).
Paparan asap rokok terutama dari orang dekat yang menyebabkan
anak menjadi perokok pasif berhubungan dengan risiko penyakit TB
(Tipayamongkholgul et al, 2005) dan berkembang menjadi TB paru aktif (Altet
et al, 1996). Risiko paparan rokok tidak tergantung apakah dilakukan rumah
ataukah di dalam rumah dan berhubungan dengan dosis, dimana makin
banyak jumlah batang yang dihisap per harinya makin meningkatkan risiko
penyakit TB pada anak yang terpapar (Altet et al, 1996).
-
36
2.9 Tatalaksana pasien TB anak Tatalaksana pasien anak dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: (Kemenkes, 2012)
1. Anak yang sakit TB diberikan terapi OAT kategori anak
2. Anak dengan infeksi laten TB
Tabel 7. Tatalaksana Infeksi Laten TB Anak
Umur
HIV
Kontak erat dengan
pasien TB paru dewasa
Tatalaksana
Balita (+)/(-) Ya INH profilaksis
Balita (+)/(-) Tidak Observasi
>5 tahun (-) Ya Observasi
>5 tahun (+) Ya INH profilaksis
>5 tahun (-) Tidak Observasi
>5 tahun (+) Tidak Observasi
Catatan : INH profilaksis dosis 10mg/kgBB/hari selama 6 bulan
3. Anak bukan TB (uji tuberkulin negatif dan tidak ada bukti sakit TB) Tabel 8. Talaksana Bukan TB Anak
Umur
HIV
Kontak erat
dengan pasien
TB paru dewasa
Tatalaksana
Balita (+)/(-) Ya INH profilaksis
Balita (+)/(-) Tidak Pikirkan diagnosis lain,
bila perlu dirujuk
>5 tahun (-) Ya Observasi
>5 tahun (+) Ya INH profilaksis
>5 tahun (-) Tidak Pikirkan diagnosis lain,
bila perlu dirujuk
>5 tahun (+) Tidak Pikirkan diagnosis lain,
bila perlu dirujuk
-
37
2.10 Pemicuan Pemicuan adalah Suatu pendekatan untuk mengubah perilaku masyarakat
melalui pemberdayaan masyarakat sehingga dapat menumbuhkan kesadaran
masyarakat dan perubahan perilaku.
Tabel 9. Perbedaan antara konseling, penyuluhan dan pemicuan
Perbedaan Konseling Penyuluhan Pemicuan
Suasana Private Formal Informal
Tempat
Ruangan private,
nyaman, tenang
dan terang, disertai
brosur
Ruangan yang
formal, sudah
disiapkan, disertai
alat peraga
Ruangan tidak harus
formal, menggunakan
sumber daya yang ada
Komunikasi Dua arah Satu Arah Dua Arah
Pola
Merubah cara
pandang dan
perilaku seseorang
terhadap suatu
masalah
Memberikan
informasi
Mencari akar
permasalahan dan
solusinya
Jumlah
peserta yang
ideal
Konsultant dan
Konsulee Puluhan 5-10 orang
Target waktu Tidak ada Tidak ada Ada
Tindak lanjut Tidak ada Tidak ada Ada
Monitoring
dan evaluasi Tidak ada Tidak ada Ada
Hasil Akhir
Perubahan cara
pandang dan
perilaku
Peningkatan
wawasan
Timbulnya kesadaran
dari masyarakat diikuti
perilaku baru yang
diharapkan
-
38