03.11-DIKTAT SENI TEMBANG II.pdf

89
1 Diktat SENI TEMBANG II DR. PURWADI, M.HUM PENDIDIKAN BAHASA DAERAH FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Maret 2011

Transcript of 03.11-DIKTAT SENI TEMBANG II.pdf

1

Diktat

SENI

TEMBANG II

DR. PURWADI, M.HUM

PENDIDIKAN BAHASA DAERAH

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

Maret 2011

2

KATA PENGANTAR

Diktat ini disusun untuk memperlancar proses belajar mengajar Mata

Kulian Seni Tembang II di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Bahasa

dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

Materi perkuliahan meliputi tembang macapat, tembang tengahan dan

tembang gedhe. Dengan demikian perkuliahan Seni Tembang II ini merupakan

kelanjutan dari perkuliahan Seni Tembang I. Untuk pendalaman proses belajar

mengajar dilengkapi pula uraian tentang seluk beluk seni tembang.

Mudah-mudahan penyusunan diktat ini dapat memenuhi harapan, sehingga

seni tembang dapat berkembang. Diktat seni tembang yang sederhana ini memang

diperlukan sebagai sarana pembelajaran.

Yogyakarta, 10 Maret 2011

Dr. Purwadi, M.Hum

3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENGAJARAN SENI TEMBANG

BAB II TATA WIRAMA TEMBANG

BAB III SIMBOLISME DALAM TEMBANG

BAB IV TEMBANG DHANDHANGGULA

BAB V TEMBANG ASMARADANA

BAB VI TEMBANG SINOM

BAB VII TEMBANG KINANTHI

BAB VIII TEMBANG DURMA

BAB IX TEMBANG TENGAHAN

BAB X TEMBANG GEDHE

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN 1. SILABUS

LAMPIRAN 2. RPP

PENYUSUN

4

BAB I

PENGAJARAN SENI TEMBANG

Fungsi Tembang

Seni tembang dalam budaya Jawa mengandung unsur estetis, etis dan

historis. Untuk unsur estetis atau keindahan seni tembang sesuai dengan prinsip-

prinsip dasar kesenian pada umumnya, yaitu dulce et utile yang berarti

menyenangkan dan berguna. Fungsi rekreatif tembang mampu menghibur hati

yang sedang sedih, pikiran yang kalut dan suasana yang tegang. Fungsi utilitaris

tembang yang berkaitan dengan aspek kegunaan dapat dilihat dari praktek ritual

dalam masyarakat Jawa.

Adanya acara rutin macapatan, panembrama, ura-ura, gegendhingan,

sesendhonan dan kehidupan menunjukkan bahwa seni tembang tetap diuri-uri

murih lestari. Masyarakat Jawa dalam pergaulan sangat memperhatikan unsur etis

atau kesusilaan. Istilah kesusilaan ini sering disebut dengan tata krama, unggah-

unggah, budi pekerti, wulangan, wejangan, wedharan, sopan santun, pernatan

dan duga prayoga. Begitu pentingnya unsur etis atau susila ini banyak sekali

kitab-kitab Jawa yang mengulas secara jelas, tuntas dan tegas. Misalnya Serat

Wulangreh, Serat Whedhatama, Serat Tripama, Serat Sanasunu, Serat

Panitisastra, Serat Kalatidha dan Serat Sabdajati. Karya para Pujangga ini

disebut sastra piwulang yang ditulis dalam bentuk tembang.

Unsur historis tembang terdapat dalam sastra babad. Penulisan sejarah

dalam bentuk sastra babad ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa sangat

5

apresiatif terhadap kehidupan masa lampau. Kesadaran sejarah ini dilandasi oleh

pemikiran bahwa masa lampau, masa kini dan masa depan merupakan satu

kesinambungan yang tak terpisahkan. Sastra babad yang diungkapkan dalam

bentuk tembang itu bisa dijadikan referensi bagi generasi penerus sebagai kaca

benggala atau cermin kehidupan.

Pengajaran gendhing itu tidak saja perlu untuk memperoleh pengetahuan

dan kepandaian hal gendhing, namun perlu juga bagi tumbuhnya rasa kebatinan,

karena selalu menuntun ke arah rasa kewiramaan (perasaan ritmis), seperti: rasa

runtut, patut, titi, pratitis, tetep, tatag, antep, mantep, harmonis, patut, teliti, tepat,

tetap tak gentar, bersungguh-sungguh, setia dan sebagainya, begitu pula

menghidup-hidupkan rasa keindahan (perasaan estetis), seperti rasa edi, peni,

resik, endah, alus, luhur, bening, sangat baik, berharga, bersih, indah, halus,

luhur, jernih dan sebagainya; selain itu juga menguatkan serta memurnikan rasa

kesusilaan, seperti: perasaan alus, suci, lebet, santosa, jejer, gadah prabawa,

mandiri, budi pekerti, raos gesang bebrajan (Marwoto, 1981). Halus, suci, dalam,

sentosa, teguh, berwibawa, dapat berdiri sendiri, budi pekerti, hidup bersama dan

sebagainya.

Di Jawa para pendeta dan wali sama memperhatikan kesenian gendhing,

bahkan banyak yang turut memperbaharui bentuk gendhing serta kidung seperti

Sunan Kali Jaga, Sunan Giri, Sri Sultan Agung, dan sebagainya. Demikian pula di

dunia Barat para pemimpin agama serta para paus dan pendeta semuanya

mempergunakan daya pengaruh gendhing untuk pembuka rasa kebatinan dan

keagamaan, pun juga sebagai pengasah budi atau pembentukan watak yang

berdasarkan tajamnya cipta, halusnya rasa serta kuatnya karsa (Dewantara, 1968).

6

Pada jaman sekarang para ahli kebudayaan perlu sekali memperhatikan

pengajaran gendhing bagi pemuda, tidak saja karena hal tersebut di muka, tetapi

juga karena sifatnya gendhing Jawa itu sungguh indah serta luhur, patut jadi

kekayaan bangsa yang tiada taranya. Kecuali demikian, rasa memiliki kebudayaan

indah–luhur itu dapat menimbulkan kebanggaan serta kemurnian rasa kebangsaan.

Oleh karena itu piranti-piranti seni perlu juga diketahui.

Wirama Gendhing

Wirama gendhing terjadi karena suara tuntunan kendang, dalam tarian

menurut tuntunan keprak seperti tersebut di bawah: Lambat cepatnya laku

disebabkan oleh lambat atau mendesaknya pukulan kendang; Dalam dangkalnya

suara disebabkan oleh suara dang atau dung. Tertib serta teraturnya getar dan

gerak selalu mengikuti suara kendang yang berbunyi tek.

Jadi bunyi kendang itu, selain dapat lambat atau cepat, ada 5 macam:

dang, dung, pak, tong serta tek; yang lain-lain hanya merupakan prenlian belaka

delang, delung, sut, gembleb, dan sebagainya. Tertib serta teraturnya laku dijaga

pula oleh pukulan saron, ketuk, kempul, kenong serta gong, yang masing-masing

dapat diumpamakan titik lampah, titik pedotan, titik pada lingsa, titik pada dirga

serta titik pada, seperti halnya dalam menulis sekar (lagu). Selain itu bunyi

kempul menimbulkan rasa naik, ringan, dangkal, sehingga membawa

kegembiraan; adapun bunyi kenong menimbulkan rasa menurun, dalam, berisi,

hingga mendatangkan rasa tenteram atau tidak tergesa-gesa bunyi gong jelas

menimbulkan rasa puas, lega, sempurna (Sri Widodo, 2000). Laku atau jalannya

7

gendhing itu dijelaskan oleh pukulan saron, serta terbagi dalam 2 bagian pokok:

lampah lamba = pukulan yang memperdengarkan bunyi gendhing yang pokok;

lampah dados (ngracik) = melipatgandakan lampah lamba, yang menyebabkan

bunyi lagu terdengar jelas.

Dalam lampah lamba tiap satu kenong mengandung 8 pukulan saron

untuk gendhing alit (gendhing kecil) dan gendhing madya (gendhing tengahan);

adapun gendhing ageng (gendhing besar) berisi 16 pukulan (dalam gendhing

ketuk 4) atau 32 pukulan (dalam gendhing ketuk 8). Adapun dalam lampah dados

jumlah pukulan saron tadi lalu lipat dua.

Dalam satu gongan biasa disebut satu wilet, gendhing itu dapat berisi 2

kenongan, dapat pula berisi 4 kenongan. Tiap satu kenongan dalam gendhing alit

berisi kempul, jatuh pada bilangan pukulan saron yang ke-4, gendhing madya dan

besar tidak memakai kempul. Pukulan ketuk jatuh pada bilangan 2 dan 6 pada

gendhing alit atau madya yang berwirama lama (8 pukulan); dalam wirama dados

(16 pukulan) ketuk jatuh pada bilangan 4 dan 12.

Parikan punika : lagon kalih gatra, molung wanda. Saben sagatra

kapedhot: 4 – 4. Gatra ingkang kapisan boten wonten tegesipun. Gatra ingkang

kaping kalih wonten tegesipun. Panatanipun: Wanda pungkasaning pedhotanipun

gatra ingkang kapisan, kecapipun kedah sami kaliyan wanda ingkang

pungkasanipun/pedhotanipun gatra ingkang kaping kalih, kados ta :

1. Manuk glathik dibubuti,

slendhang bathik, manas ati.

2. Emping mlinjo gepeng-gepeng,

stagen ijo mentheng-mentheng.

3. Jurung jugrug, pinggir kali,

wani nglurug, wedi mati.

8

4. Ijo-ijo godhong jati,

Arep tinjo, dioncati.

5. Cao wutah, mowat-mawut,

botoh kalah, anjalebut.

Terkadhang gatra kalih wau dipun rangkepi malih sagatra wolung wanda

kadosta :

Awan nglinting, bengi nglinting, sing dilinting rokok dika,

Awan gonjing, bengi gonjing, gonjing mikir upajiwa.

Parikan punika ingkang kathah namung prenesan (kangge njemoni).

Mila suraosipun kathah ingkang saru-saru utawi lekoh-lekoh. Ingkang kerep

ngangge parikan punika limrahipun tiyang-tiyang ingkang sami njambut damel

bau-suku (awrat, kasar), kadosta: tiyang nggrobag, tiyang nggered slender,

keseran lan sapiturutipun (Sudibyo Aris, 1982). Prelunipun kangge slamuran. Yen

kangge wonten ing gendhing, dipunangge tembangipun tledek, saur-sauran

kaliyan badut, upami : ijo-ijo, grompol lan sapiturutipun.

Senggakan

Adapun pada gendhing ageng yang berisi ketuk 4, pukulan ketuk jatuh

pada bilangan 2-6-10 dan 14 bila wiramanya lamba (16 pukulan); dalam wirama

dados (32 pukulan), jatuh pada bilangan 4-12-20-28. Pada gendhing ageng ketuk

8, ketuk tadi jatuh pada bilangan 2-6-10-14-18-22-26-30 dalam wirama lamba,

dan bila wiramanya dados jatuh pada bilangan 4-12-20-28-36-44-52 dan 60.

Berdasarkan wiramanya, seperti tersebut pada di atas, gendhing itu dibagi

dalam 3 jenis, yaitu: Gendhing alit, 8 pukulan lamba atau 16 kalau ngracik

(berlipat) dalam tiap satu kenong, dengan kempul; gendhing alit terbagi atas:

9

ketawang, ladrang, gangsaran, sabrangan, tropongan, bibaran dan sebagainya.

Ketawang berisi 2 kenongan, sedang lainnya 4 kenongan; kempul yang pertama

dalam wirama lamba (yang seseg atau cepat) tidak dipukul (wela), kecuali

“ketawang” (karena ketawang itu wiramanya lambat).

Ada lagi gendhing-gendhing yang termasuk gendhing alit, seperti: sampak

(playon, srepegan), yang mempunyai aturan (tidak tetap) mengenai jatuhnya

ketuk, kempul, kenong dan gong, deikian pula halnya dengan dolanan, prenesan

dan sebagainya. Gendhing madya (tengahan) dalam tiap satu kenongnya berisi 16

pukulan seperti gendhing alit yang ngracik, hanya saja antara 2 ketuk tidak ada

kempulnya; apalagi wiramanya lebih antal (lambat) daripada gendhing alit dan

biasanya disebut gendhing ketuk kalih (gendhing ketuk dua). Adapun gendhing

madya seperti halnya dengan gendhing ageng mempunyai bagian muka, yang

disebut gendhingnya (di Surakarta disebut merong), sedang bagian belakang

dipukul sebagai pengganti gendhing, disebut ndawuh (di Surakarta minggah).

Adapun dawahing gendhing lalu rangkap wiramanya; gendhing ketuk kalih lalu

menjadi ketuk sekawan (ketuk empat) atau kadang-kadang dapat juga menjadi

gendhing ladrangan dengan kempul.

Gendhing ketuk kalih (tengahan, madya) ialah misalnya: candra,

gandrung-gandrung, sarayuda, lahela dan sebagainya. Gendhing ageng: tiap satu

kenong, berisi ketuk 4 atau ketuk 8 (yaitu 16 atau 32 pukulan lamba serta 32 atau

64 pukulan dados); bila sudah ndawah lalu menjadi gendhing ketuk 8 atau ketuk

16 (pukulan 64 atau 128). Gendhing ageng, ialah misalnya: gendhing mawar,

jangga, semang dan sebagainya. Mengenai ndawah tidak selamanya ndawah

10

tetep akan tetapi dapat pula ndawah menjadi gendhing alit lainnya menurut

kehendak penuntunnya; yang demikian itulah termasuk tanduk prenes. Untuk

menentukan wirama gendhing cukuplah dengan menyebutkan jumlah ketuk atau

kendangnnya; misalnya: gendhing ketuk kalih kendangan candra, demikian lalu

jelaslah wiramanya (Waridi, 2004).

Senggakan memper parikan. Wilanganipun boten temtu, namung pados

mathukipun kaliyan gendhing ingkang dipun gerongi. Kanggenipun namung

kangge nyenggaki gendhing, inggih punika selanan ingkang atawisipun gerongan

utawi pada bakuning gendhing. Prelunipun namung kangge samben sadangunipun

ngentosi gerongan candhakipun. Wilanganipun wonten ingkang 12, kapedhot : 4 –

8, kadosta :

1. Klenthing miring, krambil bolong sisa bajing,

milang-miling, golek tandhing lencir kuning.

2. Kanthong sutra, kumlewer neng sabuk wala,

Sun dudute, manawa condhong karepe.

3. Putra-putri putrane Petruk patrolan,

Gareng mati, matine tiban bedudan.

Ingkang wilanganipun sanes malih, kadosta :

1. Ri, ri, ri, Purwosari keh sepure,

2. Emoh konjak emoh anggur, takpilih sing gede duwur.

3. Empek-empek andhong-andhong, mbukak dengkek kleru plompong.

4. Babal bunder manglung kali.

5. Duwa lo lo lowe

Pandhapukanipun namung kaotak-atik murih sagedipun ceples kaliyan

gendhingipun. Ingkang prelu dipun engeti namung kecapipun ingkang sami.

11

Pedhotan

Salah satu piranti dalam tembang macapat adalah pedhotan. Menurut

Wiryah Sastrowiryono (1988), pedhotan dijelaskan sebagai berikut: Pangetokipun

gatra dados kalih perangan, tigang perangan utawi langkung, inggih punika

ingkang nedahaken andheging napas. Dhawahing pedhotan kedah trep

tembungipun, dados sampun ngantos wonten tembung kapedhot dados kalih,

sepalih tumut ngajeng, sepalihipun tumut wingking. Makaten ugi ukara inggih

boten piyoga kapedhot, yen : sapalih tumut sekar inginggil, sepalihipun tumut

sekar ing andhap. Dene waton pamedhotipun wau makaten : yen cacahing wanda

ing dalem sagatra wonten :

5, pamedhotipun : 3 – 2, utawi : 2 – 3 .

6, pamedhotipun : 4 – 2, utawi : 2 – 4 utawi : 3 – 3

7, pamedhotipun : 4 – 3, utawi : 3 – 4 utawi : 2 – 3 – 2 .

8, pamedhotipun : 4 – 4, utawi : 3 – 2 – 2 utawi : 3 – 2 – 3 .

9, pamedhotipun : 4, salangkungipun mirid ingkang 5 wanda.

Langkungipun saking 9 wanda : 4, salajengipun mirid tirahanipun.

Tumrapipun sandi asma, pamedhotipun ajeg :

6 wanda, kapedhot : 2 – 4.

7 wanda, kapedhot : 3 – 4.

8 wanda, kapedhot : 4 – 4.

Langkungipun saking 8 wanda, kapedhot 4, salajengipun mirid tirahanipun.

Tiyang nyekaraken, bilih saged anglenggahi dateng patokan kalih prakawis,

gurulagu tuwin guruwicalan, nama sampun saged tumindak. Nanging manawi

ukaranipun dereng manut ing pedotan, sekaranipun nama taksih kirang sakeca,

awit pedotan punika ingkang nedahaken andeging napas. Dados saupami

kendeling napas ngantos medot tembung, sanadyan boten lepat ukaranipun,

12

nanging kital ing pamaos, mila raosing sekaran lajeng kirang sakeca (Nanang

Windradi, 2002).

Sayektosipun manawi dipun petani, sanadyan sekaranipun para

linangkung inggih wonten ingkang boten netepi patokaning pedotan. Bok manawi

ingkang makaten wau namung caking boten anggalih dateng patokan kemawon,

nanging sampun kulina tuwin keraos dateng gregeting sekaran, mila sekaranipun

inggih sae kemawon. Namung menggah tiyang nyekaraken, salugunipun manawi

ngantos katah, asring wonten ingkang cewet.

Ananging menggah ing tiyang ingkang sampun kulina, sadawah-dawahing

sekaranipun tamtu katali ingkang nglenggahi pedotan, awit pandameling ukara ing

sekar sampun atul, ewa samanten menggah ing pedotanipun, punika manawi

namung dipun waos kangge maos serat, cakipun sakeca kemawon, kajawi manawi

kangge anggerong, punika tamtu keraos kital, awit sakecaning gerongan punika

manawi pedotanipun manut kados caraning pedotan ing sandiasma. Dene

peranganing pedotan wau kados ingandap punika:

Padalingsa ingkang cacahing wanda 5, kenging kapedot 3.2 utawi 2.3

Padalingsa ingkang cacahing wanda 6, kenging kapedot 4.2 utawi 3.3

utawi 2.4. Padalingsa ingkang cacahing wanda 7, kenging kapedot 4.3 utawi 3.4

utawi 2.3.2. Padalingsa ingkang cacahing wanda 8, kenging kapedot 4.4 utawi

3.3.2 utawi 3.2.3. Padalingsa ingkang cacahing wanda 9, kenging kapedot 4,

salajengipun kenging mirit kados ing pedotan wanda 5. Langkungipun saking 9,

sasampunipun dipun pedot 4 rumiyin, salajengipun inggih dipun pedot miturut

tirahanipun. Sarehning patokaning pamedot wau boten namung sawarni, dados

13

tumrap tiyang ingkang bade nyekaraken saged milih ing sasakecanipun, tuwin

menggah cacahing wanda inggih boten angangelaken ukara.

Namung tumrap sekar ingkang mawi sandiasma, pamedotipun ragi geseh,

kedah ajeg, manawi: Padalingsa ingkang cacahing wanda 6, pedotanipun 2.4.

Ingkang cacahing wanda 7, pedotanipun 3.4. Ingkang cacahing wanda 8,

pedotanipun 4.4. Langkungipun saking 8, pamedotipun 4 rumijn, salajengipun

kados inginggil.

Mirit kawontenanipun serat-serat kina, anggitanipun para pujangga utawi

para saged, kiranging sregipun pedotan namung sakedik sanget, dados sadaya

sampun meh anglenggahi patokan. Mila tumrap ingkang sami (bade sinau

nyekaraken, sanadyan dereng nama saged, tamtu inggih lajeng mangertos utawi

saged neniteni tuwin salajengipun saged angewahi kados pundi menggah leresing

pedoten, pepiritanipun mendet saking patokan ingkang kasebut inginggil

(Purwadi, 1995).

Sarehning patokan nyekaraken ing bab pedotan punika saweg pinanggih

wonten ing jaman sapunika, dados sampun sami anggalih bilih serat-serat kina

ingkang sinawung ing sekar punika awon, awit awon saening sekaran ingkang

netepi pedotan punika pancen dereng kamanah, dados panitikipun namung wonten

ing awon saening ukara. Awon saening ukara wan caged nitik saking enem

sepuhing serat. Dene pepiritanipun kados ingandap punika: Bebukanipun serat

Panji Angreni ingkang sampun umur 150 taun langkung. Kinanti. Dan

purwakaning angapus, mwang anreh gita tan saking, pratameng Kawi grendaka,

ya maka pangaksamaning, para sujana jumena, patapning jamaka gendhing.

14

Sekaran inginggil punika ukaranipun kaken, Kawinipun boten kulina

kesrambah, pedotanipan boten netepii patokan, dados ingkang kecakup namung

gurulagu tuwin guruwicalanipun. Tumrapipun ing jaman sapunika sampun boten

wonten pepilihanipun. Nanging titiking serat kina katingal sanget. Punika

nandakaken hilih kawontenanipun kala jaman samanten inggih beda sanget

kaliyan jaman sapunika, mila wileting ukara, peprenesan tuwin sanes-sanesipun

tumraping jaman sapunika inggih boten amranani. Bebukanipun serat Wulangreh,

anggitandalem Ingkang Sinuhun Paku Buwana kaping IV. Dhandhanggula.

Pamedare wasitaning ati, cumantaka aniru pujangga, dahat muda ing batine,

nanging peksa ginunggung, datan weruh akeh ngesemi, ameksa angrumpaka, basa

kang kelantur, tutur kang ketula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih

padanging sasmita.

Sekaran punika prasadja sanget, meh boten wonten Kawinipun,

pedotanipun sampun leres sadaya. Mirit sekaran punika, dados menggah ing

tiyang nyekaraken, sanadyan namung ngangge ukara limrah ugi sakeca, angger

netepi ing pedotanipun. Bebukanipun serat Lokapala, karanganipun Raden

Ngabei Sindusastra.

Dhandhanggula

Rebo Epon panitraning manis,

Jumadilawal jimmawal warsa,

enjang ping wolulikure,

kaneming Julungpudjut,

Sri tumurun anuju Dadi,

Paningron Sang Hyang Yama,

Ijrah Nabi Sewu,

rongatus wandasa gangsal,

sinangkalan: Wiku misik swara tunggil,

neng barisan Pijenan.

15

Sekaran inginggil punika sampim ngangge iketan ukara Jawi ing jaman

sapunika, pedotanipun namung lepat satunggal, ing padalingsa kaping kalih.

Ukaranipun sarwa prasaja, tuwin salajengipun ingkang kawrat ing serat Lokapala

wau sae, greget-sautipun anenangi manah. Dene lepatipun pedotan wan namung

jalaran kepeksa ngangge tembung ingkang gangsal wanda. Bebukanipun serat

Rama, karanganipun R.Ng. Yasadipura.

Dhandhanggula

Tabuh sapta nudjwa Buda Manis,

wulan Sura leaping tigangdasa,

ing mangsa kapat wukune :

Kurantil Jekang taun,

Sirneng tata pandita siwi,

sangkala duk manurat,

agnya Maha nurun,

mangun langening carita.,

caritane Betara Rama ing Kawi,

jinarwakken ing krama.

Sekaran inginggil punika larasipun sami kaliyan serat Lokapala.

Bebukanipun serat Cemporet, karanganipun Raden Ngabei Ranggawarsita.

Dhandhanggula

Song-song gora candraning artati,

lir winedyan saraseng parasdya,

ringa-ringa pangriptane,

tan darbe labdeng kawruh,

angruruhi wenganing budi,

kang mirong ruhareng tyas,

jaga angkara nung,

minta luwaring duhkita,

ajwa kongsi kewran lukiteng kinteki,

kang kata ginupita.

Sekaran inginggil punika sampun boten wonten kuciwanipun, luwesing

ukara tuwin sakecaning panganggenipun Kawi pantes dados tetuladan.

16

Keadaan pengetahuan gendhing Jawa dewasa ini belum sesuai dengan

keadaan jaman serta alam kesarjanaan: cara-cara pengajaran berdasarkan patokan

yang ilmiah. Pendapat-pendapat serta cara-cara pengajaran tadi kadang-kadang

saling bertentangan, sebab masing-masing memakai dasar sendiri-sendiri yang

hanya bersandarkan rasa serta perkiraan belaka, lagi sering berpegang pada

ketakhayulan (Soerasa, 1983). Hal demikian itu membingungkan mereka yang

hendak belajar, hingga akhirnya menyebabkan mundurnya kesenian gendhing

Jawa.

Pengetahuan gendhing yang berdasarkan kesarjanaan, tidak saja akan

menggampangkan pengajaran, namun juga akan dapat mengokohkan kedudukan

gendhing Jawa serta menghidupkannya, sebab akan dapat melenyapkan sebarang

ikatan yang serta membelit dan merintangi langkah (kebiasaan yang berulang-

ulang seperti mesin, kebekuan); kemerdekaan gendhing Jawa akhirnya akan dapat

memperbaiki, memajukan serta menambah keluhuran kebudayaan bangsa.

Segala cara serta jalannya pengajaran (sistem dan metode) harus bersifat

benar dan gampang (praktis). Untuk melengkapkan susunan pengetahuan serta

pengajaran gendhing Jawa, terlebih dahulu harus diketahui adanya tiga hal:

Betapa dalam serta luasnya kesenian gening Jawa; Isi dan bagian-bagiannya

gendhing Jawa, serta bagaimana hubungannya segala bagian tadi; Bagaimana cara

menyusun pelajaran, agar dapat mempersatukan bagian-bagian tadi sehingga

merupakan benda yang utuh kembali (Dewantara, 1968).

Traping ukara wonten ing sekar kaangkaha : Kados pandhapukipun

(pandamelipun) ukara gancaran. Sapada sekar kadamela saukara. Sekar sepada

17

kabage dados sawatawis andheg, kangge unjal ambegan. Saben andheg wonten

ingkang langkung saking sagatra, utawi saukara. Pedhotan = dados peranganing

ukara ing sagatra-gatranipun. Andheg = dados ukara utawi dados peranganing

ukara ing sapada-padanipun = dados peranganing pedhotan ageng.

18

BAB II

TATA WIRAMA TEMBANG

Jenis Wirama

Gendhing ialah wirama dalam bentuk suara atau wirama yang dapat

didengar. Wirama disini jatuh di atas, karena kedudukannya ialah sebagai jiwanya

gendhing; dalam pada itu, suara itu buka lain daripada raganya (badannya)

gendhing. Dalam segala jenis gendhing selalu dapat dibuktikan, bahwa buruk-

baiknya gendhing itu pada umumnya tergantung daripada buruk-baiknya wirama.

Gendhing Gangsaran, Kodok ngorek, Munggang dan sebagainya,

sekalipun hanya berwujud satu -, dua- dan tiga suara, namun dapat menimbulkan

perasaan yang mengesan serta kenikmatan karena wiramanya. Oleh bangsa asing

gendhing Jawa itu sering dikatakan eentoning, membosankan, karena mereka

tidak dapat turut merasakan wiramanya.

Wirama iti ialah segala getaran dan gerak yang teratur serta harmonis,

cepat lambatnya laku, dalam dangkalnya ungkapan suara, berat ringannya greget

(kegairahan) dan graita (pengertian), yang semuanya selalu silih berganti, hingga

akhirnya menjadikan hidupnya suasana, lagipula menimbulkan rasa yang

mengesan. Urutan tertib daripada tekanan berat dan ringan dengan pengaruh yang

menjiwai.

Wirama adalah tanda dari segala yang hidup; teraturnya kodrat alam,

pergantian siang dan malam, perputaran dunia, jalannya matahari, bintang dan

bulan, kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, semuanya tadi memakai

19

wirama yang jelas, ialah teratur, tertib, harmonis, patut dan sebagainya

(ketertiban, simetri). Suara gendhing ada dua macamnya, yaitu dapat diwujudkan

dengan suara manusia, lalu disebut sekar (tembang, lagu), dapat juga disuarakan

dengan alat yang dinamakan gangsa (gamelan), yang biasa lalu disebut gendhing.

Kedua-duanya tetap dinamakan lagu (Soetrisno, 2004).

Di dalam gendhing Jawa wirama itu terbagi atas beberapa macam, yang

dapat diringkaskan dalam 3 bagian: a. gendhing ageng (gendhing besar), b.

gendhing madya (gendhing tengahan), c. gendhing alit (gendhing kecil); jadi sama

dengan pembagian gendhing suara (vokal); sekar ageng (kawi), sekar madya

(tengahan, dagelan) dan sekar alit (macapat). Ketiga macam gendhing dan sekar

tadi memiliki watak sendiri-sendiri: a. lebet, antep, kendo (dalam, berat, lambat),

b. cekapan (sedang), c. enteng, cetek lan kenceng (ringan, dangkal, cepat).

Lagu suara (gendhing vokal) itu dalam kesenian Jawa selalu

mempergunakan irama bebas (tidak senantiasa tetap lakunya); akan tetapi

gendhing gangsa (gendhing instrumental) itu hampir semuanya memakai irama

tetap (kecuali lagon) dan ada-ada, karena gamelan harus mengikuti suara ki

dalang). Sekar gendhing itu ialah gendhing suara yang harus diperdengarkan

berbarengan dengan gamelan; maka dipakailah irama tetap. Sekar gendhing itu

ialah gendhing yang digubah menjadi tembang (nyanyian), seperti: kinanti-kinanti

puspawarna, subakastawa, tarupala, dan sebagainya atau tembang yang dilagukan

dengan irama tetap serta dijadikan gendhing, seperti: gendhing pocung, megatruh,

mijil, bremara wilasita, manggalagita, serta gendhing-gendhing ladrang, ketawang

dan lain-lain yang memakai nama sekar macapat, sekar tengahan, atau sekar

ageng.

20

Titi Laras

Laras atau pathet itu keduanya merupakan tali pengikat suara gendhing

atau sekar yang dapat menyebabkan teraturnya, apalagi pantas serta tidak kakunya

segala lagu. Laras adalah urut-urutan suara mulai yang paling rendah sampai yang

tertinggi, yang tetap serta teratur swarantaranya (jarak antara satu-satunya suara).

“Laras” itu dipergunakan pula untuk menamakan satu-satunya suara, yang sudah

termasuk dalam urut-urutan suara yang telah teratur tadi. Umpamanya: laras

selendro dan pelog; laras salendro itu berisi laras barang, laras jangga, laras dada

(tengah), laras gangsal serta laras enem.

Pathet itu rakitan suara, yang merupakan bagian (pepetan atau pitetan) dari

satu-satunya laras sebagai daerah bergeraknya lagu agar enak didengar, tidak

terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, hingga akhirnya dapat berkesan serta

menimbulkan perasaan tertentu, gembira, sedih, marah, tenteram, dan sebagainya.

Yen ngrakit sekar Macapat, pangrakitipun basa/basa kawi :

Yen krama, krama kemawon.

Yen ngoko, ngoko kemawon.

Ugi kenging : krama sumela ing ngoko, utawi ngoko sumela ing krama.

Nanging kedah angengeti dateng unggah-ungguhing basa. Srananipun

kedah njajah utawi kerep maos buku-buku sekar.

Panganggenipun basa Ngamanca kenging dipun-wetahaken kemawon,

kenging nrajang pedhotan, sampun ngantos pedhot wonten ing pada.

Kenging ngringkes utawi ngulur tembung, upami :

sru, dados : asru wruh, dados : weruh

mring, dados : maring di, dados : adi

21

sing, dados : saking pama, dados : upama

prang, dados : perang kula, dados : kawula

de, dados : dene tandha, dados : pratandha

tan, dados : datan

jwa, dados : aywa, lan sapiturutipun.

Panganggenipun basa kawi : prayoginipun mawi basa Kawi ingkang

limrah, inggih punika basa Kawi ingkang kerep kangge ing serat-serat waosan.

Basa Kawi kaangkaha namung sumela kemawon, sampun ngantos kekatahen.

Laras, laras menika swara ingkang ajeg kedheripun lan tetep inggilpun (Sri

Widodo, 1995).

Menurut Sardjijo (1991), irama, Wirama atau Birama itu selalu terjalin

dalam lagu, gending dan tembang. Di muka telah disebutkan bahwa lagu itu

terdiri dari unsur-unsur: nada, harmoni dan w irama. Yang termasuk dalam nada

ialah: 1) melodi, besar kecil nada; 2) ritme panjang pendek nada; 3) keras lunak

nada (suara); 4) warna nada; Harmoni adalah keserasian paduan suara bersama.

Sedangkan irama (wirama) yang tidak lepas dari nada dan suara tersebut

mempunyai unsur-unsur; 1) ritme, 2) metrum, 3) gerak nada dan 4) tempo.

Seni Suara Jawa mempunyai dua jenis irama ialah: Irama bebas, dalam

bahasa Jawa disebut wirama mardika; Irama teratur, dalam bahasa Jawa disebut

wirama tumata; Irama Bebas atau Wirama Mardika. Banyak tembang dan lagu

Jawa yang dinyanyikan dengan irama bebas. Walaupun dikatakan dilagukan

dengan irama bebas, mesti terdengar dan terasa adanya keterlibatan langsung

adanya: panjang pendek suara, keras lunak suara, besar kecil nada, cepat lambat

waktu (tempo), liukan suara atau alunan suara dan lain sebagainya. Lagu-lagu

dan tembang yang termasuk dalam kawasan irama bebas ialah: Tembang Macapat

22

(Sekar Alit), Sekar Tengahan (Tembang Dhagel), Sekar Ageng (Tembang Gedhe),

Lagon Sulukan, Sindhenan dan sebagainya.

Irama Teratur atau Wirama Tumata. Variasi panjang pendek suara (nada),

keras lunak suara, cepat lambat suara dan sebagainya itu diatur dalam tata irama

dan digambarkan dengan titik irama beserta tanda-tanda kelengkapannya, seperti

garis ritme, garis matra, tanda respirasi, lengkung ligatura dan sebagainya.

Gangsa

Gangsa (gamelan) ialah alat pemukul guna memperdengarkan gendhing;

bagian-bagiannya bermacam-macam serta dapat dibagi menjadi 4 jenis, ialah alat-

alat:

a. pencipta wirama: kendang serta keprak;

b. pencipta suara: rebab, gender (barung dan penerus), gambang, suling,

clempung serta saron peking;

c. pemelihara wirama: ketuk, kempul, kenong, gong kempyong, ketipung,

kecer, kemanak, bende, dan beri;

d. pemelihara suara: bonang penembung, gender penembung (slentem), saron

demung serta saron biasa.

Guritan punika :

a. Gatra (ukara) sawatawis ingkang kecaping wandanipun wekasan sami.

Sami swaranipun sarta sami sesigegipun, utawi ingkang sami namung

swaranipun kemawon.

b. Cacahing wanda ing sagatra-gatranipun boten ajeg, wonten ingkang

ngenem, wonten ingkang molu.

c. Wonten ingkang namung waton sami kecapipun kemawon.

d. Wonten ingkang sami kecapipun ngalih.

Guritan punika ingkang limrah kangge dolanan lare. Wonten ugi

ingkang kangge njenggaki geronganing gendhing.

Tuladha-tuladha guritan :

23

1. Kembang jambu karUK………............. (6 uk)

Tangan ngatung njalUK…………......... (6 uk)

Pentil asem calUK………………........... (6 uk)

Wadah ujah emplUK………….………...(6 uk)

2. Kembang terong, kembang terong……....(8 ong)

Wong epek disirik uwong.........................(8 ong)

Mring duweke eman kalong.....................(8 ong)

Marang tangga tansah ngesong.................(8 ong)

3. Cabawa, camiling,

milang-miling golek tandhing lencir kuning.

4. Kembang terong,

ati bengkong oleh oncong.

mbang srigading, mekar ngambar bangun enjing.

mbang sridenta, mekar ngambar wayah rina.

5. Orang-aring, orang-aring,

kodok ijo mlebu jaring.

Wonten malih ingkang sami kecapipun ngalih, kadosta :

6. Cohung, ora gombak ora kuncung,

anggepe kaya tumenggung,

ora jogan ora longan,

anggepe kaya pangeran.

7. Dhempo talu tameng,

Nalajaya numbak celeng,

keris bengkung tumbak bengkung,

Nalajaya ditelikung,

ciyet-ciyet,

Nalajaya dibebencet.

8. Sluku-sluku bathok,

bathoke ela-elo,

si rama menyang Sala,

leh-olehe payung motha,

pak jenthit lo lo lobang,

lombok ijo lombok abang.

Wangsalan

Wangsalan punik memper cangkriman, nanging batanganipun

(tebusanipun) dipunciriyosaken pisan. Limrahipun, pandhapukipun punika dados

4 gatra a 6 wanda

4 gatra a 8 wanda

24

kalih gatra, ngalih welas wanda. Gatra kapisan amot cangkriman (wangsalan)

kalih. Jawabippun kawrat wonten ing gatra kaping kalih, awujud tembung wetah

utawi wancahanipun kemawon. Wangsalan punika suraosipun ingkang limrah

wedharing piwulang utawi wedharing raos gandrung.

Tuladha :

Ancur kaca, peksi langking mangsa sawa.

Rasakena, yen lagi nandang deduka.

Katrangan : Ing gatra kapisan cangkrimanipun kalih, inggih punika :

a. Ancur kaca = raos (toja raos).

b. Peksi langking mangsa sewu = dhandhang.

Tembung rasa kaliyan dhandhang (utawi wancahanipun) kawrat wonten ing gatra

ingkang kaping kalih.

Gatra kaping kalih ingriku mungal :

“Rasakena, yen lagi nandang deduka.

Rasakena mendet tembung rasa.

Nandang, saking tembung dhandhang dipun wancah : ndang.

1. Kasut kayu wulu cumbuning Pandawa, (gamparan)

Paran baja, prije margane kapangja. (Semar)

2. Kolik priya, priyagung anjani putra, (tuhu; Anoman)

Satuhune, wong anom betah ing lapa.

3. Uler kambang kang sela panglawed ganda; (lintah-pipisan)

Betahena tumekan pati pisan.

Sekar ingkang mawi wangsalan kadosta : Pangkur :

Jirak pindha mungwing wana,

Sayeng kaga we rekta kang muroni,

Sinambi kalane ngganggur,

Wastra tumrap mastaka,

25

Pangikete wangsalan kang sekar pangkur,

Baon sabin ing nawala,

Kinarya langen pribadi.

Wangsalan ingkang sampun limrah kangge ing serat-serat sanesipun

serat sekar utawi kangge gineman, jawabipun sampun boten susah dipun-

criosaken, margi sampun dipun anggep dados paribasan utawi ungel-ungelan

ingkang sampun kaprah kangge, kadosta :

1. Ngebun-ebun enjing njejawah sonten. = nglamar.

Jerenganipun : ebun enjing = awun-awun

jawah sonten = rarabi.

jawabipun : nyuwun rabi.

2. Nek terus ora ana udan, lah rak kebombang temenan tandurku, = kapiran.

Kebombang punika wangsalanipun tiyang tani : kebo abang-sapi.

3. Lo, Mas, njanur gunung, esuk-esuk kok wis mrene !

Janur gunung = januring klapa gunung –januring aren- kadingaren.

Terkadhang wangsalan ingkang sampun kangge gineman punika

jawabipun inggih dipun criosaken pisan, kadosta:

Kalung parut, apa kuwat?

Balung pakel, alok-alok hose.

Rehning aku wis rumangsa luput, ija jenang sela apuranen.

Kawis pita wis begjane.

Roning mlinjo, sampun sayah nyuwun ngaso.

Dhalang yen sasmita dateng niyaga, aken ngungalaken gendhing,

namung dipun srampat ngangge wangsalan kemawon, kadosta :

1. Ngantu antu ngentosi praptanira punakawan, sinambi yudakenaka.

Katrangan : yuda kenaka : peranganing kuku, kukur-kukur; nedha

gendhing Pangkur.

2. Solahing danawa, pinda jangkrik mambu kili.

Nedha gendhing : Jangkrik genggong

26

3. Piyak ngarsa tangkeb ing wuri.

Nedha gendhing : Ayak-ayak

4. Tansah mangu-mangu denira arsa mungga ing satinggil.

Neda gendhing : Ladrang mangu.

5. Kaya gadhung pepuletan wedale putri kekalih.

Nedha gendhing : Sekar gadhung.

Ing serat-serat sekar, ukara sasmita wiwiting sekar, utawi santuning

sekar, ingkang kathah inggih asring dipun srampad ngangge wangsalan, kadosta :

1. Sumping sekar roning kamal

Roning kamal = godhong asem, sinom; sekar sinom.

2. Mrih sarkara kang makirtya nguni.

Sarkara =gendis; sekar dhandhanggula

3. Lir mas kentiring ranu.

Kentiring ranu = keli, kumambang; sekar; maskumambang.

4. Kadya gegandhengan asta.

Kanten asta; sekar kinanthi.

5. Ing wuri tan winirasa.

Wuri = pungkur; sekar; pangkur.

27

BAB III

SIMBOLISME DALAM TEMBANG

Purwakanthi

Dalam seni tembang banyak sekali ditemukan jenis-jenis purwakanthi.

Kesusastraan yang padat berisi dan diolah dengan bahasa indah disebut geguritan

atau puisi (Jati Rahayu, 2002). Keindahan bahasa puisi Jawa terletak pada tiga

macam yaitu: Wilet yaitu kelak-kelok suara agar ajeg, beruntun dan memiliki

makna yang tinggi. Wirama yaitu panjang pendek, keras liat dan tinggi rendah

jatuhnya suara. Yang tidak kalah penting yaitu Purwakanti atau dhong dhinging

suara. Adapun purwakanti itu dibagi menjadi tiga macam, yaitu: Purwakanti Guru

Swara Yaitu runtutnya suara. Cara memberi gambaran tentang sifatnya gendhing

dengan jalan menyebut kendangannya serta jumlah ketuk, begitu pula laras serta

pathetnya, boleh dikata sudah tepat sekali, sebab sungguh dapat menggampangkan

gambaran kita serta sekaligus menetapkan kebenaran daripada keternagan, bahwa

gendhing itu ialah sifatnya wirama dalam bentuk suara. Contohnya: Pandelori

(sebetulnya Bandil-ori), ketuk kalih, kendangan gandrung-gandrung kendang

kalih laras pelog pathet barang; demikian sifatnya gendhing Bandil-ori menjadi

jelas dengan sendirinya.

Ingkang dipun wastani Purwakanthi punika : ungel-ungelan utawi ukara

(wujud) tembung sawatawis ingkang kecapipun, utawi swaranipun sami.

Purwakanthi punika namung kangge rerengganing tembung, supados sakeca

28

swaranipun. Kanggenipun ingkang kathah wonten ing serat-serat sekar. Ing

pagineman ugi wonten, limrahipun ingkang suraos pitutur.

Purwakanthi punila wonten warni tiga :

Purwakanthi guru sastra : inggih punika purwakanthi ingkang

pangrakitipun awewaton aksara pejah. Upami : Tindakipun mandheg-

mangu, yen ngandika tatas-titis. Contoh :

Pucung

Nora uwus kareme anguwus uwus,

Uwose tan ana,

Mung janjine muring muring,

Kaya buta buteng betah nganiaya.

Sakeh luput ing angga tansah linimput,

Linimpet ing sabda,

Narka tan ana udani,

Lumuh ala ardane ginawa gada.

Durung punjul ing kawruh kaselak jujul,

Kaseselan hawa,

Cupet kapepetan pamrih,

Tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa.

(Serat Wedhatama)

Purwakanthi guru swara: inggih punika purwakanthi ingkang

pangrakitipin awewaton aksar swara (aksara gesang). Upami :

Yogyanira dhuh pra mudha,

den santosa ing wardaya,

madhep mantep kang sinedya,

aywa pasah ing panggodha,

rubedaning atinira,

wegah marang ing rekasa,

dhimen enggal kawistara,

wohing gegayuhanira.

Aja dhemen memada sameng dumadi.

29

Bobot, bibit, bebet.

Janji jujur jajahane mesthi makmur.

Ketula-tula ketali.

Laras, lurus, leres, liris bakal laris.

Lila lamun kelangan nora gegetun.

Pak Kerta tuku kertu liwat kretek Kertasana.

Petruk patroli kalih putrane kalih putra-putri.

Sapa tekun golek teken bakal tekan.

Kang salah bakal seleh.

Sluman-slumun slamet.

Tata, titi, tentrem, kerta raharja.

Tatag, teteg, bakal tutug.

Watak wantuning wanita utama yaiku wani nata lan kudu tata, titi,

titis, tatas, tlaten, tumemen lan bekti ngati-ati.

Purwakanthi laku (lampah): inggih punika purwakanthi ingkang

wujudipun saking ukara camboran, wiwitanipun ukara kaping kalih sami

kaliyan pungkasanipun ukara kapisan.

Upami :

Kulik priya, priya-gung anjani putra.

Aja wani marang wong tuwa, wong tuwa ala-ala malati.

Asung bekti, bektine kawula marang gusti.

Bayem arda, ardane ngrasuk busana.

Blitar Tulungagung, yen ora ketulungan dadi wong bambung.

Lungguh dhingklik, dhingklike wong cilik-cilik.

Mangan ati, atine kang kelara-lara.

Nandhang lara, larane wong lara lapa.

Nganjuk Trenggalekwulan, wulane prawan kumencar.

Raja putra, putrane ratu Jenggala.

Remuk rempu, rempune dadi awu.

Saking tresna, tresnane mung samudana.

Wadining wong wadon, wang sinawang ora rumangsa.

Witing tresna, tresnane mung sawetara.

Purwakanthi ingkang sami kecapipun, upami :

diothak athik, mathuk (aksara : th)

garing-garing anggere garang. (aksara g, r)

30

Purwakanthi ingkang sami swaranipun, upami :

Ati bengkong oleh oncong. (swara ong)

Meneng-meneng ngandut jreneng. (swara : eng)

Ora gombak ora kuncung, anggepe kaya tumenggung. (swara : ung)

Lambe satumang, kari samerang. (swara : ang)

Ungel-ungelane utawi paribasan ingkang ngangge purwakanthi, upami :

Wong mono kudu sing gemi, nastiti, ngati-ati.

Wong milih jodo iku kudu ngelingi : bibit, bebet, bobot.

Sing teteg bae ngger atimu, sapa was, tiwas.

Garing-garing anggere garang.

Tinimbang kalah uwong anggur kalah uwang.

kendel ngringkel, jirih ijih.

Sapa salah, seleh.

Slaman, slumun, slamet.

Para kadang kadeyan, para wandu wandawa.

Opor bebek mentas awake dhewek.

Tembung-tembung ingkang suraos sanget, katranganing tembung

kawontenan inggih kathah ingkang ngangge purwakanthi, kadosta : Ajur-mumur;

abang mbranang; kuning mbiring; kuning njengkining; ireng tunteng; cilik

mentik; cilik ongkak-angkik; padang njingglang; remuk bubuk; mung loro selo;

mung telu selu. Parikan utawi guritan punika sadaja mesti mawi purwakanthi.

Wonten malih purwakanthi: basa utawi purwakanthi wewilutan, inggih punika:

tembung pungkasaning gatra, sairib kaljan wiwitaning gatra candhakipun,

terkadhang namung sami aksaranipun satunggal upami :

Aywa mematuh nalutuh,

tanpa tuwas tanpa kasil,

kasalibuk ing srabeda,

31

marma dipun ngati-ati,

urip keh rencananira,

sambekala den kalingling.

Upamane wong lumaku,

marga gawat den liwati,

lamun kurang ing pangarah,

sayekti karendet ing ri,

apese kesandhung padhas,

babak bundhas anemahi.

Meloke yen arsa muluk,

muluk ujare lir wali,

wola-wali nora nyata,

anggepe pandhita luwih,

kaluwihane tan ana,

kabeh tandha-tandha sepi.

Kawruh mung ana ing wuwus,

wuwuse gumaib-gaib,

kasliring titik tan kena,

mencereng alise gatik,

apa pandhita antiga,

kang mengkono iku kaki.

Mangka ta kang aran laku,

lakune ngelmu sajati,

tan dahwan pati openan,

tan panasten nora jail,

tan njurungi ing kahardan,

amung eneng marang ening.

Sasmitaning Tembang

Sasmita tembang adalah simbol-simbol yang digunakan untuk merujuk

pada nama tembang tertentu. Misalnya:

Manis-arum sinawung langenri

Sru kawuryan pamujaning raras

Kang mulya pangreh sarehe

Lir manik nandaya gung

Bremingrat wus winayang ing sih

Sih wigunaning karya

32

Akarya wulangun

Wulanguning tama-harja

Harjeng deya sinemangkara sukmuji

Pangesti maweng sastra

Adapun menurut Sardjijo (1991), sasmita tembang adalah sebagai berikut:

Buku-buku karangan para pujangga banyak yang memuat isyarat atau sasmita

berupa kata (perkataan) atau kelompok kata yang menunjukkan nama tembang

dalam pupuh itu atau nama tembang pupuh berikutnya secara tersamar. Pada

umumnya isyarat atau sasmita tembang itu berada pada awal pada (bait) pupuh I

dan pada gatra akhir pupuh-akhir sebagai petunjuk nama tembang pupuh

berikutnya. Contoh:

(1) Ana crita surasane becik, memanise kena kanggo wulang, tur carita

satemene; ....... (Sapu Ilang Suhe, Hardjowirogo), dalam pupuh I, pada I,

gatra ke 2; nama pupuh itu tembang Dhandhanggula.

(2) Karsanipun ngantia meng prajaningsun, sami anenedha, ing Dewa amrih

basuki, sutanira kang karya rarasing driya. (Panji jayeng tilam

ranggawarsitan). Pupuh berikutnya adalah pupuh tembang mijil. (rarasing

driya = rarasati).

Perkataan yang biasanya digunakan sebagai isyarat nama tembang itu

adalah sebagai berikut:

Pucung : pinucung, mucung, kluwak atau kata yang bersuku kata

akhir ”cung”.

Maskumambang : kambang, kentir, imbul ing ranu, kumambang.

Gambuh : tambuh, tumambuh, embuh, jumbuh, kambuh.

Megatruh : pegat, megat, duduk, truh, dudukwuluh

Wirangrong: wirang, mirong, dsb.

Balabak : klelep, kabalabak, dsb.

Kinanthi : kanthi, kekanthen, gandheng, dsb.

Mijil : wijiling, wiyos, wiraos, wetu, rarasati.

Pangkur : mingkur, mungkur, kukur-kukur, yuda kenake, dsb.

Asmaradana : brangta, branta, kingkin, asmara, sedhih, dsb.

Durma : udur, mundur, durcara, duraka, dsb.

Jurudemung : mas juru, mung, jurudemung.

33

Girisa : miris, giris.

Sinom : anom, taruna, srinata, roning kamal, pangrawit, weni,

logondhang, dsb.

Dhangdhanggula : manis, legi, sarkara, hartati, madu, dhandhang, gula-drawa,

kilang dsb.

Candrasengkala

Dalam tembang juga sering digunakan sengkalan untuk menandai angka

tahun. Masing-masing angka ditandai dengan kata-kata khusus. Misalnya dalam

tembang Dhandhanggula berikut ini:

1. Tunggal gusti sujanma semedi, badan nabi maha buda, nijata luwih pamase; wong buweng rat lek iku, surya candra kartika bumi; wiji urip ron eka, prabu kenja nekung, raja putra sasadara, paksi dara tyas wungkul sudira budi, wani hyang jagad nata.

2. Asta kalih ro nembah ngabekti, netra kembar myat mandheg najana, swiwi lar sikara banteng; peksa apasang sungu, ati-ati talingan dresti; carana tangan karna, bau suku caksuh; mata paningal locana, amanebah karana ngrengga panganten dwi, kanthi buja-bujana.

3. Bahni tiga ujwa lan kaeksi, katon murub dahana pajudan, katingalan kaya benter; nala uninga kawruh, lir wrin weda naut-nauti; teken siking pawaka, kukus api apju, brama rana rananggana, utawaka uta ujel kobar hagni, wignja guna trijata.

4. Catur warna wahana pat warih, wau dadi dadya keblat papat, toya suci hudaka we, who nadi jladri sindu, joga gawe tlega her wening; udan bun tirta marta, karya sumber sumur; masuh marna karti karta, jalanidi samodra udaya tasik, tawa segara wedang.

5. Pandhawa lima wisikan gati, indri-indriya warastra wrayang, astra lungit sara sare; guling raksasa diyu, buta galak wil yaksa yaksi, saya wisaya bana; jemparing cakra hru; tata nata bayu bajra, samirana pawana maruta angin, panca marga margana.

6. Rasa nenem rinaras hartati, lona tikna madu sarkara, amla kayasa karaseng; hoyag obah nem kayu, wreksa glinggang prabatang ojig; sad anggas-anggang-anggang, mangsa naya retu, wayang winayang anggana, ilat kilat lidhah lindhu carem manis, tahen osik karengnya.

7. Sapta prawata acala giri, hardi gora prabata imawan, pandhita pitu kaswareng; resi sagota wiku, yogi swara dwija suyati; wulang-weling wasita, tunggang turangga gung; swa aswa titihan kudha, ajar arga sabda nabda angsa munio, suka biksu biksuka.

8. Asta basu anggusti basuki, slira murti bujangga manggala, taksaka menyawak tekek; dwipa dwipangga bajul, gajah liman dwirada hesthi; esta matengga brahma, brahmana wewolu; baya bebaya kunjara, tanu sarpa samaya madya mangesthi, panagan ula naga.

34

9. Bolong nawa dwara pintu kori, bedah lawang wiwara gapura, song wilasita angleng; trusta trusti trus butul, dewa sanga jawata manjing; arum ganda kusuma, muka rudra masuk; rago angrong guwa menga, babahan leng ambuka gatra anggangsir, nanda wangi wadane.

10. Boma musna nis das mlethik, langit sirna ilang kumbul awang-awang, mesat muluk gegana ngles; tumenga nenga luhur, suwung sunya muksa doh tebih; swarga tanpa barakan, tan rusak brastha swuh; walang kos pejah akasa, tawang wijat oncat windu widik-widik, nir wuk sat surut sempal.

35

BAB IV

TEMBANG DHANDHANGGULA

Dbandhanggula yang berasal dari kata dhandhang dan gula yang berarti

pengharapan akan yang manis. Adapun guru lagu dan guru wilangan tembang

dhandhanggula adalah sebagai berikut:

Dhandhanggula Lik Suling

Wardiningkang wasita jinarwi, (10 i)

Wruh ing kukum iku watekira, (10 a)

Adoh marang kanistane. (8 e)

Pamicara puniku, (7 u)

weh resepe ingkang mijarsi. (9 i)

Tatakrama punika, (7 a)

ngedohken pajendu. (6 u)

Kagunan iku kinarya, (8 a)

ngupa boga; dene kalakuan becik, (12 i)

weh rahayuning raga. (7 a)

Dhandhanggula Dhedhep Tidhem

Dhedhep tidhem prabawaning ratri,

sasadara wus manjer kawuryan,

tan kuciwa memanise,

menggep srinateng dalu,

siniwaka sanggyaning dasih,

aglar neng cakra wala,

winulat ngelangut,

prandene kabeh kebekan,

saking kehing taranggana kang sumiwi,

warata tanpa sela.

Kinalangan kekuwung awengi,

lir wewengkon bale mandhakiya,

pasewakaning pamase,

jroning kalang kadulu,

kang sumewa marek neng ngarsi,

mung punggawa sajuga,

36

karya panjer surup,

pra mukyaning taranggana,

kang sawega rumeksa pringganing ratri,

ngayomi ayuning rad.

Tan petungan panjrah ing wadya lit,

arahane mawor mawurahan,

ngapit narmada prenahe,

jro petenging sarayu,

angragancang Sang Bimasekti,

nyuwak tutuking naga,

kang sikareng laku,

yeku mangka pralampita,

mrih mengeta kang mantep teteping budi,

widada kang sinedya.

Dhandhanggula Palaran

. . . .

5 5 . 6 1 . 2 . 1 . 6 . 1 . 6 5 . 0

Sun ma- ngi- dung

. . . . . . . .

1 1 1 2 1 . 6 5 . 6 1 . 6 . 1 2 . 0

U- mas- ta- weng wi- di,

. . . .

1 2 6 2 . 1 6 6 6 6 5 . 3 2 3 5 . 3 . 56 . 0

Gu- na war- na- ning kang se- se- kar- an

. . . . . . . .

2 2 2 2 . 1 5 . 6 1 2 6 1 . 6 5 . 0

Cengger menges me- nger me- nger

. . . . . . .

1 1 1 1 2 1 . 6 5 . 6 1 . 6 1 2 . 0

Se-kar tlutur tu- mun- tur

.

5 2 . 5 . 6 . 1 . 65 . 2 5 . 3 . 21 . 1 12 1 . 65 . 6 1 . 612 . 0

Man- da- ka- ki ki- nar- ya jam- pi

. . .

6 1 2 . 1 . 5 5 . 32 5 6 . 5 . 3 2 . 0

37

Pu- dak a- mrik su- mer- bak

2 2 1 6 1 . 2 . 6 1 6 . 1 6 5 . 0

Kongas se- kar ga- dung

Selingan: //: 5 5 . / 5 1 6 5 / . : //

Utawi: lagon Dolanan Jamuran.

2 2 2 2 2 2 2 3 . 2 . 3 5 . 0

Weh jebad mbang ganda- pu- ra

. . . . .

1 2 . 3 . 21 . 5 2 . 3 . 21 1 1 1 1 1 2 1 . 65 6 1 . 612 .

0

Mbang Sri- ga- ding megar ngambar ba- ngun enjing

.

5 6 6 6 1 5 1 2 . 1 . 6 5 . 0

Ma-nut sur- ja mbang pur-ba

38

Dhandhanggula Tlutur

. . . . . . .

6 6 6 6 . 6 1 2 2 2 . 2 . 3 2 . 0

Wongsal-wangsul pe rang- e ka- lin- dih

.

1 6 5 6 . 6 6 6 6 . 6 5 5 . 6 . 0

Lah pu- ni- ka Su- ba- li Su- gri- wa

2 2 2 1 6 . 6 6 . 6 1 . 2 . 0

Ke- ka- lih ka- dang yek- ti- ne

.

5 6 6 6 6 . 6 . 1 6 . 0

Su- ba- li ing- kang se- puh

5 3 2 3 . 5 . 2 2 2 . 5 3 . 2 1 . 6 . 0

Mar-ma ku- la ki- nengken mri- ki

3 3 3 3 3 . 3 2 3 . 5 . 0

Nga-turi ndjeng pan- du- ka

2 1 1 1 . 1 6 6 . 1 . 0

Ki- nen mbengkas sa- tru

. . . . . . . . .

1 1 1 1 1 1 . 1 . 2 1 . 0

Yen Su- ba- li sa- ged pe- djah

. . . . . . . . .

6 5 . 53 5 . 5 61 2 2 2 2 . 21 2 . 3 . 0

Ra- tu hamba nyaosaken pa- ti u- rip

5 5 3 2 . 2 2 2 3 . 5 . 0

Inggih ne- dya ma- nem- bah

39

Dhandhanggula Rencasih

40

Dhandhanggula Majasih

41

Dhandhanggula Baranglaya

42

Dhandhanggula Banjet

43

Dhandhanggula Turu Lare

44

Dhandhanggula Padhasih

45

Dhandhanggula Kentar

46

Dhandhanggula Sang Kusuma

47

BAB V

TEMBANG ASMARADANA

Kata Asmaradana yang berasal dari: asmara + dana dan berarti cinta +

memberi = senang membeni. Adapun guru wilangan dan guru lagunya adalah

sebagai berikut:

Asmaradana Wayah Bengi

Dhek samana wayah bengi, (8 i)

Petenge kamoran udan, (8 a)

Baledheke tansah dhar-dher, (8 e)

Atiku ora kepenak, (8 a)

Amung tansah trataban, (7 a)

Kowe pijer kagum-kagum, (8 u)

Menengmu mung yen takemban, (8 a)

Asmaradana Serat Damarawulan

Anjasmara ari mami

Mas mirah kulaka warta

Dasihmu tan wurung layon

Aneng kutha Prabalingga

Prang tandhing lan Wuru Bhisma

Kariyamukti wong Ayu

Pun Kakang pamit palastra

Wus bejane awak mami

Tan tulus pangestuning tyas

Dhasar gembeng wong acingeng

Aja gawe wirang Bisma

Mara age patenana

Eman-eman dhuh Wong Bagus

Yen mengko nganti palastra

48

Asmaradana Bawaraga

2 2 2 2 2 2 . 3 5 . 3 . 2 . 0

Ka- tu- ran kang pa- na- kra- mi

. . . . . . .

1 1 1 1 . 6 1 2 . 6 . 1 . 6 5 2 . 1 . 6 . 0

Ing sa- ra- wuh jeng ngan- di- ka

2 2 2 2 . 3 5 . 2 3 2 . 1 . 6 . 0

Won-ten ma- li- awan de- pok

. . . . . . .

1 1 1 1 . 6 1 2 . 6 . 1 . 6 5 2 . 1 . 6 . 0

De- wa- ji mu- gi leng- gah- a

.

5 5 5 . 6 1 5 . 3 2 . 3 . 1 . 32 . 1 6 . 5 . 0

Wonten dham- par ka- wu- la

2 2 2 2 . 3 5 . 2 2 . 1 . 6 . 0

Ja ba- nget ta- ri- ma- ningsun

5 5 5 5 . 3 2 5 . 3 . 2 1 6 . 5 . 0

Ra- den Leksma- na leng- gah- a

Asmaradana Bala Lumaris

/ . 3 . 3 / . 5 . 6t / . 3 . 2 / . 3 . lp /

…………………………………………………………….

.

/ . 3 . 5 / . 3 . 2t / . 1 . 2 / . 1 . 6n /

. .

/ 0 0 0 0 / 6 6 1 2 / . 0 23 1 / . 12 1 6 /

Su-mrek kang ba- la lu- ma- ris

.

49

/ . . . 6 / . 1 . 2t / . 6 . 3 / . 2 . 1p /

. . . . .

/ . . . 0 / 6 6 62 1 / 61 2 16 3 / . 1 3 2 1 /

Bu-dal-e sa- king Se- ma- rang

/ . 3 . 5 / . 3 . 2t / . 1 . 2 / 1 . 6n /

/ . . . 0 / 3 3 35 2 / . 0 35 3 / . 2 12 1 6 /

A-sri ti-non ge-ga- man- e

/ . . . 6 / . 1 . 2t / . 6 . 5 / . 6 . lp /

. . . . . . .

/ . . . 0 / 6 6 1 2 / 12 3 26 5 / . 3 3 56 1 /

A-keh war-na- ne kang ba- la

/ . 3 . 5 / . 3 . 2t / . 1 . 6 / . 5 . 6n /

. . . . . . . .

/ . . . . / 0 6 1 2 / . 0 23 1 / . 12 1 6 /

Wong sa-brang lan wong Ja- wa

/ . 3 . 5 / . 6 . 5t / . 3 . 2 / . 3 . 2p /

. . . . .

/ . . . 0 / 6 6 62 1 / 61 2 16 3 / . 35 3 2 /

Swa-ra-ne a- sri gu- mu - ruh

/ . 5 . 6 / . 5 . 3t / . 2 . 1 / . 2 . 6n.g / /

.

/ . 0 5 6 / . 1 65 3 / . 0 2 3 / . 2 12 1 6 /

Ka-dya om- bak- ing sa- mo- dra.

50

Asmaradana Kedhaton

51

Asmaradana Slobog

52

BAB VI

TEMBANG SINOM

Kata sinom atau pupus berarti daun muda. Hal ini melambangkan seorang

anak yang sudah mulai berkembang. Dapat diupamakan sebagai daun yang

bersemi. Tembang Sinom, guru lagu dan guru wilangannya adalah sebagai

berikut:

Sinom Kalokeng Jana

Kang sampun kalokeng jana, (8 a)

Jaya-jayaning ngaurip, (8 i)

Amiguna ingaguna, (8 a)

Pan inggih amung satunggil, (8 i)

Pangeran Mangkubumi, (7 i)

Tanggon lamun magut pupuh, (8 u)

Tansah ngajomi wadya, (7 a)

Mundur lon lamun kalindhih, (8 i)

Boten purun cidreng prang atarung dhadha. (12 a)

Sinom Ngeksiganda

Nulada laku utama,

Tumrape wong Tanah Jawi,

Wong agung ing Ngeksiganda,

Panembahan Senapati,

Kepati amarsudi,

Sudane hawa lan nepsu,

Pinesu tapa brata,

Tanapi ing siyang ratri,

Amamangun karyenak tyasing sasama.

Samangsane pasamuwan,

Mamangun marta martani,

Sinambi ing saben mangsa,

Kala kalaning asepi,

Lelana teka-teki,

Nggayuh geyonganing kayun,

Kayungyun eninging tyas,

53

Sanityasa pinrihatin,

Puguh panggah cegah dhahar lawan nendra.

Saben mendra saking wisma,

Lelana laladan sepi,

Ngingsep sepuhing supana,

Mrih pana pranaweng kapti,

Tis tising tyas marsudi,

Mardawaning budya tulus,

Mesu reh kasudarman,

Neng tepining jala nidhi,

Sruning brata kataman wahyu dyatmika.

Wikan mengkoning samodra,

Kederan wus den ideri,

Kinemat kamot hing driya,

Rinegan segegem dadi,

Dumadya angratoni,

Nenggih kangjeng Ratu Kidul,

Ndedel nggayuh nggegana,

Umara marak maripih,

Sor prabawa lan wong agung Ngeksiganda.

Sinom Kentar

. . . . . . . . . .

3 3 3 3 3 3 . 2 1 1 . 2 . 0

A – wang – a – wang gi – nu - pi - ta,

. . . . . . .

2 2 2 2 . 1 6 . 6 1 6 . 1 . 6 5 . 0

Ko – capa Sri Na- ra- pa- ti,

. . . . . . . . .

1 2 2 2 . 1 1 . 1 2 1 . 6 . 0

Wusnya na- pak ju – man- ta- ra,

6 6 6 6 6 6 5 5 . 3 2 1 . 6 . 0

a- wor me- ga pin- dha ta- tit,

54

. . . . . . . .

1 1 1 . 2 3 . 1 2 . 1 6 . 0

Tansah a- mi- ling- mi- ling,

. . . . . . . . . .

3 3 3 3 . 2 1 3 . 1 . 2 . 1 6 3 . 2 . 0

Mi- der- mi- der ka- di yang- kung,

. . . . . . . .

2 2 2 2 2 . 1 2 . 1 6 . 0

Ma- was ke- blat se- ka- wan,

6 6 6 6 6 6 5 5 . 3 2 1 . 6 . 0

Nrawang tan- a- na ka- ek- si,

3 5 5 5 . 5 6 6 6 6 6 . 3 5 3 . 2 .

0

Mung Sri Kresna mangeksi Sang Pad- ma- na- ba.

Sinom Wenikenna

. . . . . . . . .

2 2 2 2 . 1 1 2 6 . 5 1 1 . 0

Yo-gah n- ya ngambah le- mah,

. . . .

1 1 1 1 6 5 . 5 6 5 . 6 . 5 3 . 0

Ngambaha sa- ri- ning ga- dhing,

. . . . . . .

1 2 . 3 2 . 1 1 . 6 6 . 5 1 . 6 . 5 . 0

Ga- dhing u- ling en- ta- en- ta,

5 5 . 3 2 3 . 5 . 1 2 . 2 . 32 1 . 6 . 0

u- sum- e ja- ra- wa- lan- di,

55

. . .

6 6 6 . 1 2 . 6 1 . 6 5 . 0

Pendhok mas pa- ri ran – ting,

. . . . . . . .

2 2 2 2 . 1 6 2 . 1 6 . 1 . 65 . 2 5 . 3 . 21 . 0

U - sum –e pri- ja- ji a – gung ,

.

5 5 5 5 5 . 6 1 . 65 . 0

Pu – na- ka- wan kang dan – dan,

5 5 . 3 2 3 . 235. 1 2 . 2 . 3 . 21 . 6 . 0

Pu - ra nya. I a – ngla - den - I,

. . .

1 2 . 6 1 . 65 . 0

ci – ci go – ci,

. . . . . . . .

2 2 2 2 . 1 6 2 . 1 6 . 1 6 5 . 2 5 . 3 21 . 0

Wa–lang sa-ngit mal- beng bra-ma.

Sinom Palaran

. . . . . . . . . . . .

1 2 2 2 2 2 . 2 3 2 . 3 . 21 . 0

Le sok de- men a- me- mu- lang,

. . . . . .

1 1 1 1 1 1 . 5 6 5 . 6 . 5 3 . 0

Ka- ya wong we- ruh ing ga ib,

. . . . . . .

6 1 1 1 1 1 . 6 1 . 6 . 5 . 0

Lan ta a- ya ta a- ya- a,

5 5 5 5 . 3 2 3 . 5 1 6 . 5 . 0

Ke-nyer- ke-nyer per- nah ka- ki,

56

. . .

6 6 6 . 1 2 . 6 1 6 . 5 . 0

Tak-re – met si- da ma- ti,

. . . . . .

5 6 1 1 . 1 6 1 . 2 . 6 . 1 . 65 2 . 1 . 0

Mung tuju- ne ba- e du- rung,

. . . . . .

1 1 1 1 1 . 6 1 6 . 5 . 0

Ka – ka Pra- bu ra- wa- na,

5 5 5 5 5 53 3 . 21 6 . 5 . 0

Pe-pun- den-ing ka- ri ku- wi,

. . .

1 2 . 6 1 . 6 5 . 5 5 5 5 5 5 . 23 2 . 3 . 21 . 0

Si meng- ko – nok onggrok nganggo me- lu mu-lang.

Sinom Ginonjing

. . . . . . . . . .

1 2 2 2 2 2 . 2 1 2 . 3 . 0

Ka- ka Prabu kadang ku- la,

. . . . . . . . .

1 1 1 1 . 2 3 . 1 . 2 1 6 . 5 . 0

Pa- ran da- ru- naning ga- lih

. . . . . . .

1 2 3 3 . 2 1 1 . 6 5 . 6 . 5 3 2 . 1 . 0

Jeng e- yang ngan- tos tu- me- dak,

6 1 1 1 1 1 . 2 3 1 . 2 . 1 6 . 0

Lir cocak den- i- ra pe- ling,

57

1 2 2 2 2 . 2 1 2 . 3 . 0

Te- ka da- tan gi- na- lih,

1 1 1 1 1 1 . 1 . 2 3 2 . 0

Ka- dos pun-di ka- ka- Pra- bu,

3 5 5 5 5 . 6 . 5 3 2 . 1 . 0

Ing karsa jengan- di- ka,

6 1 1 1 1 1 . 2 3 1 . 2 . 1 6 . 0

E - yang Be- ga- wan Su- ma- li,

2 3 3 3 . 2 2 2 2 2 2 3 1 6 1 . 2 . 0

Pra- mi – la- nya dha-wuh- a- ken pa- ngan- di- ka.

Sinom Grandhil

. . . . . . . .

7 2 2 2 2 2 . 2 7 2 . 3 . 2 7 . 0

Sa – yek- ti ing ki- na- ki- na

. . . . . . .

7 2 2 2 2 2 . 3 . 2 7 . 6 . 0

Wonten pra-lam-bang nar- pa- ti,

. .

6 7 2 7 2 . 3 . 6 7 . 2 7 2 . 3 . 27 . 0

Lampaning pa- ra- na- ren- dra,

5 6 6 6 . 6 7 5 . 6 . 2 7 2 . 7 . 6 . 0

I a- dos pa - du- ka ka- ka ji

58

2 3 3 3 3 . 2 7 2 . 3 . 0

Yen ma- ka- ten Sang de- wi,

5 6 6 6 . 6 5 3 . 5 6 7 . 5 . 76 . 5 3 . 2 . 0

Yo – gya ji- na- os na wang- sul,

6 7 2 . 3 6 3 . 5 6 7 . 2 7 2 . 3 . 2 7 . 0

Dhu –ma teng Pra-bu Ra- ma,

6 6 6 6 . 6 7 5 . 6 . 2 . 3 2 7 . 6 . 0

I- ki ba- ji mi- tu- tur- I,

2 3 3 3 . 3 5 6 6 . 65 3.567. 5.65 3.2.0

A- ja ngucap mun-dak njejem- ber- I ja- gad.

Sinom Sarjana Martapi

59

Sinom Logondhang

60

Sinom Grandhel

61

Sinom Panggawe Becik

62

BAB VII

TEMBANG KINANTHI

Kata kinanthi yang berasal dari kanthi diberi sisipan ini, menjadi kinanthi,

artinya : dikanthi, digandheng, disertai, ditemani. Adapun guru lagu dan guru

wilangannya adalah sebagai berikut:

Kinanthi Surya Candra

Surya, candra lawan daru, (8 u)

Myang kartika iku sami, (8 i)

Gung kaliwat padangira, (8 a)

Datan ana kang madani, (8 i)

Nanging isih kalah padang, (8 a)

Yen katandhing ninging ati. (8 i)

Kinanthi Serat Rama

Nalikane rohing dalu

Wong agung mangsah semedi

Sirep kang bala wanara

Sedaya wus sami guling

Nadyan ari sudarsana

Wus dangu nggenira duling

Kukusing dupa kumelun

Ngeningken tyas sang apekik

Kang kawengku sagung jajahan

Nanging sanget angikibi

Sang Resi Kanekaputra

Kang anjok saking wiyati

Teka ndadak melu-melu

Kaya budine wong ceplik

Lali lamun kalokengrat

Tri bawana amurwani

Mustikaning jagad raya

Dhemen lalen sangga runggi

63

Kinanti Kukusing Dupa

Kinanti Dadya Tapa

64

Kinanti Sekargadhung

65

BAB VIII

TEMBANG DURMA

Tembang durma umumnya digunakan untuk situasi yang sedang tegang,

sereng, dan berani. Adapun guru lagu dan guru wilangannya sebagai berikut:

Durma Reksasapati

Dyan anarik candrasa Prabu Rawana, (12 a)

Pinrang Jatayu keni, (7 i)

Suwiwine sempal, (6 a)

Tiba Sang peksi raja, (7 a)

Sinta manglayang sira glis, (8 i)

Cinandhak kena, (5 a)

Mring Sang reksasapati. (7 i)

Lumayua lan arimu dipun enggal,

sang retna anahuri,

bibi eman-eman,

kembange akeh megar,

dupeh sarpa gigi lani,

lah ngarah apa,

ni randha duk miarsi.

Kontrangkantring,

saking marase kalintang,

dhuh adhuh anak mami,

age lumayua,

yata kang kawuwusa,

wonten gegaman geng prapti,

jawining taman,

ingkang hadarbebaris.

Nateng Siyem kalawan nateng Manila,

prapta tunggiling kardi,

harsa amisesa,

marang randha Dhadhapan,

yata risang sarpa uning,

yen praptanira

risang narpati kalih.

66

Durma Dhendha Rangsang

Durma Swara Gora

67

Durma Gelap Sayuta

68

BAB IX

TEMBANG TENGAHAN

Tembang tengahan mempunyai metrum dan konvensi yang khusus,

sehingga penggunaannya pun pada situasi tertentu pula. Sebenarnya menurut

Sardjijo (1991), sampai sekarang belum ada kesepakatan bersama apakah

sebenarnya Tembang Tengahan itu. Yang jelas bersamaan dengan timbulnya

bahasa Jawa Tengahan, timbul pula tembang baru yang berbeda dengan aturan

Kakawin, yang disebut Tembang Tengahan. Syair Tembang Tengahan tatkala itu

tentunya dengan bahasa Jawa Tengahan. Dilihat dari aturan-aturan bentuk

tembangnya tidak berbeda sama sekali dengan aturan bentuk Tembang

Alit/Macapat. Oleh karena itu, Poerbatjaraka mengatakan bahwa sekar tengahan

punika sajatosipun boten wonten (Poerbatjaraka, 1952). Konvensi tembang

Tengahan meliputi tembang Balabak, Jurudemung, Girisa, Wirangrong. Contoh :

Wirangrong

Den samnya marsudeng budi

Weweka dipun waspaos

Aja dumeh, dumeh bisa muwus

Yen tan pantes ugi sanadyan mung sakecap

Yen tan pantes prenahira

Jurudemung

Sang Wiku mesem lingira

Mungguh sarupaningsun

Layang candrageni itu

Kang ambabar katrangannya

Ing candrasangkala wau

Kang mawa kakawin tembang

Kusumawicitra linuhung.

69

Padmosoekotjo mengatakan bahwa tembang Kawi (Gedhe) mawa

paugeran guru laku lan guru wilangan; tembang Tengahan lan tembang Macapat

mawa paugeran guru gatra, guru wilangan lan guru lagu. Dadi paugerane tembang

Tengahan karo Macapat padha bae, mung bae tembang Tengahan tuwuh luwih

dhisik.

Jalaran saka iku sok ditembungake mangkene: tembang tengahan iku

tembang Macapat kang luwih dhisik, tembang Macapat iku tembang Tengahan

kan uwih kari (Harsono Kodrat, 1982). Tembang Tengahan yang banyak terdapat

dalam pustaka Jawa dan telah digolongkan dalam tembang Macapat ialah:

Balabak, Wirangrong, Jurudemung, Dhudhukwuluh dan Gambuh. Yang jarang di

temui dalam buku-buku Jawa antara lain: Puthutgelut, Lonthang, Kenya Kedhiri,

Palugon dan lain-lainnya. Lagu Tembang Tengahan pun menggunakan laras

Slendro dan Pelog beserta pathet-pathetnya sejumlah nama tembang yang ada.

Balabak

70

Jurudemung

Logondhang

71

Kusuma Wirangrong

Tebu Kasol

72

Palugongsa

73

BAB X

TEMBANG GEDHE

Tembang Gedhe, contohnya : Citramengeng, Mintajiwa, Kusumastuti,

Pamularsih, Sikarini, Madayanti. Bentuk tembang gedhe atau ”sekar ageng”

hampir mirip dengan kakawin. Ciri-cirinya yaitu : Jumlah suku kata tiap satu baris

tetap. Tiap bait ada empat larik. Nama-nama tembang gedhe :

1. Basanta 6. Madayanti

2. Lebdajiwa 7. Meraknguwuh

3. Manggalagita 8. Kusumastuti

4. Sikarini 9. Sarapada

5. Nagabanda 10. Banjaransari

Contoh :

Sikarini

Laku : 12 (5-7)

Langen pradangga, ngesti lebdeng pra siswa

Mardi mardawa kagunan karkarena

Mung haywa kemba miwah mengeng ing karna

Antep ing sedya lir parta mangsah yuda.

Madayanti

Laku : 9 (4-5)

Anjrah ingkang puspita arum

Katiyub ing samirana mrik

Sekar adas kongas gandanya

Maweh raras renaning driya.

74

Sekar ageng/Kawi punika cacahipun langkung kathah sanget tinimbang sekar

Macapat. Kanggenipun ingkang kerep namung kangge mbukani, mbawani

gendhing. Pandhapukipun:

Boten ngengeti dhawahing swara.

Wonten 4 (sekawan) pada pala.

Sapada-padanipun terkadhang taksih dipun pedhot-pedhot dados

sawatawis gatra.

Cacahing wandanipun ing sapada-padanipun sami. Cacahing wanda

punika dipun wastani Lampah.

Dados umpami sekar ageng Banjaran sari, lampah 19 pedhotan (6, 6, 7) x

4; tegesipun: sedaja wonten 4 pada. Saben sapada wonten 3 gatra. Sagatra-

gatranipun isi: 6 wanda, 6 wanda, 7 wanda. Gunggung 76 wanda. 4 wanda wau,

guru wilanganipun sapada-padanipun sami. Dene dhawahing swara (guru lagu)

boten dipun engeti (Kodiron, 1976). Guru wilangan utawi lampahipun wonten

ingkang : 6-8-9-10-11-12-13-14-15-16-17-18-19-20-21-22-23-24-27 sarta 28.

75

Pademung Lagu Maos

Wohingrat

76

77

Palugon

78

Bangsa Patra

79

Sasra Kusuma

80

Citra Mengeng

81

Pamularsih

82

DAFTAR PUSTAKA

Diyono, 1996. Kempalan Gendhing-gendhing Pahargyan. Surakarta :

Cendrawasih.

______, 1992. Tuntunan Sekar Macapat. Solo : Cendrawasih.

Hardjasoebrata, 1985. Pedhotan Tembang Macapat, Javanologi, Yogyakarta.

Hardjowirogo, 1958. Pathokaning Nyekaraken. Jakarta : Balai Pustaka.

Harsono Kodrat, 1982. Gendhing-gendhing Karawitan Jawa. Jakarta : Balai

Pustaka.

Ki Hadjar Dewantara, 1968. Dasar Pengetahuan Gendhing Jawa, Taman Siswa,

Yogyakarta

Kodiron, 1976. Marsudi Karawitan Jawi. Pelajar : Surakarta.

Marwoto, 1981. Turunan Karawitan. Solo : Putrajaya.

Nanang Windradi, 2002. Suluk Kawruh Pedhalangan lan Macapat. Solo :

Cendrawasih.

Padmosoekotjo, 1960. Ngengrengan Kasusastran Jawa. Yogyakarta : Hien Hoo

Bing.

Purwadi, 1995. Sekar Mekar. Solo : Cendrawasih.

Sardjijo, 1991. Apresiasi Seni Tembang. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta.

Soekiman, 1984. Gamelan Dramatari dan Komedi Jawa. Jakarta : Depdikbud.

Soerasa, 1983. Gamelan. Jakarta : Depdikud.

Soetrisno, 2004. Syair Tembang dalam Wayang Purwa. Yogyakarta : Aditya

Presindo.

Sri Widodo, 1995. Gendhing-gendhing Dolanan. Solo : Cendrawasih.

_________, 2000. Lelagon Langgam, Kroncong, Dhangdhut. Solo : Cendrawasih.

Subalidinata, 1974. Kesusastraan Jawa. Yogyakarta : Nusatama.

Sudibyo Aris, 1982. Mengenal Kesenian Tradisional. Jakarta : Depdikbud.

Waridi, 2004. Seni Pertunjukan Wayang. Solo : Einika.

Warih Jati Rahayu, 2002. Puspa Sumekar. Yogyakarta : Grafika Indah.

Wasista Suryadiningrat, 1971. Gamelan Dance and Wayang in Jogjakarta.

Yogyakarta : Gamapress.

Wiryah Sastrowiryono, 1988. Bawa Sekar. Yogyakarta : SMKI.

83

LAMPIRAN 1.

SILABUS

SILABUS

MATA KULIAH : SENI TEMBANG II

SIL/FBS-PBD/240 Revisi : 00 10 Maret 2011 Hal

1. Fakultas / Program Studi : FBS / Pendidikan Bahasa Jawa

2. Mata Kuliah & Kode : Kode : PBD 240

3. Jumlah SKS : Teori : - SKS Praktik : 2 SKS

: Sem : Ganjil (l) Waktu : 16 pertemuan

4. Mata kuliah Prasyarat & Kode : .......................................

5. Dosen : Dr. Purwadi

I. DESKRIPSI MATA KULIAH

Mahasiswa memiliki kemampuan dan ketrampilan yang lebih baik tentang jenis-

jenis tembang Jawa yang meliputi : penggunaan olah vokal, sebagian tembang

macapat, tembang tengahan dan tembang gedhe. Pengetahuan tentang seluk beluk

seni tembang Jawa ini akan memberi bekal mahasiswa menjadi ahli secara teoritis

dan trampil secara praktis, sebagai pelaku dan pengembang budaya Jawa.

II. STANDARISASI KOMPETENSI MATA KULIAH

Mahasiswa mampu dan terampil melagukan sebagian tembang macapat, tembang

tengahan dan tembang gedhe. Dengan penguasaan dasar-dasar lagu tersebut maka

mahasiswa akan menjadi pecinta dan pengembang seni tembang dalam kehidupan

sehari-hari.

III. POKOK BAHASAN DAN RINCIAN POKOK BAHASAN

Minggu ke Pokok Bahasan Rincian Pokok Bahasan Waktu

I Pengenalan jenis-

jenis tembang

Macapat, tembang

tengahan dan

tembang gedhe

Mengetahui dan memahami jenis-

jenis tembang Macapat, tembang

tengahan dan tembang gedhe

100’

II Latihan tembang

Dhandhanggula

Praktek olah vokal secara kolektif

dengan tembang Dhandhanggula

200’

84

III Latihan tembang

Asmaradana

Praktek melagukan tembang secara

kolektif dengan tembang

Asmaradana

200’

IV Latihan melagukan

tembang Durma

Praktek melagukan tembang

Durma secara kolektif

200’

V Latihan melagukan

tembang Kinanthi

Praktek melagukan tembang

Kinanthi secara kolektif.

200’

VI Latihan melagukan

tembang Sinom

Praktek melagukan tembang Sinom

secara kolektif.

300’

VII Latihan melagukan

tembang tengahan

dan gedhe

Praktek melagukan tembang

tengahan dan gedhe

300’

VIII Ujian akhir 100’

IV. REFERENSI/ SUMBER BAHAN

A. Wajib:

Biman Putra, 2002. Suka-suka Campursari. Surakarta : Cendrawasih.

Diyono, 1996. Kempalan Gendhing-gendhing Pahargyan. Surakarta:

Cendrawasih.

______, 1992. Tuntunan Sekar Macapat. Solo : Cendrawasih.

Hardjasoebrata, 1985. Pedhotan Tembang Macapat, Javanologi, Yogyakarta.

Hardjowirogo, 1958. Pathokaning Nyekaraken. Jakarta : Balai Pustaka.

Harsono Kodrat, 1982. Gendhing-gendhing Karawitan Jawa. Jakarta: Balai

Pustaka.

Ki Hadjar Dewantara, 1968. Dasar Pengetahuan Gendhing Jawa, Taman Siswa,

Yogyakarta

Kodiron, 1976. Marsudi Karawitan Jawi. Pelajar : Surakarta.

Marwoto, 1981. Turunan Karawitan. Solo : Putrajaya.

Nanang Windradi, 2002. Suluk Kawruh Pedhalangan lan Macapat. Solo:

Cendrawasih.

Sardjijo, 1991. Apresiasi Seni Tembang. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta.

Soekiman, 1984. Gamelan Dramatari dan Komedi Jawa. Jakarta : Depdikbud.

Soerasa, 1983. Gamelan. Jakarta : Depdikud.

B. Anjuran :

Soetrisno, 2004. Syair Tembang dalam Wayang Purwa. Yogyakarta : Aditya

Presindo.

85

Sri Widodo, 1995. Gendhing-gendhing Dolanan. Solo : Cendrawasih.

_________, 2000. Lelagon Langgam, Kroncong, Dhangdhut. Solo :

Cendrawasih.

Sudibyo Aris, 1982. Mengenal Kesenian Tradisional. Jakarta : Depdikbud.

Waridi, 2004. Seni Pertunjukan Wayang. Solo : Einika.

Warih Jati Rahayu, 2002. Puspa Sumekar. Yogyakarta : Grafika Indah.

Wasista Suryadiningrat, 1971. Gamelan Dance and Wayang in Jogjakarta.

Yogyakarta : Gamapress.

Wiryah Sastrowiryono, 1988. Bawa Sekar. Yogyakarta : SMKI.

V. EVALUASI

No Komponen Evaluasi Bobot (%)

- Teknik yang dipakai dalam evaluasi berupa ujian

tulis. Nilai akhir diperoleh dari perhitungan

sebagai berikut.

NA = T + S + 2A

4

100 %

Jumlah 100%

Yogyakarta, 10 Maret 2011

Dosen

Dr. Purwadi

86

LAMPIRAN 2.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) MATA KULIAH : SENI TEMBANG II

RPP/FBS-PBD/240 Revisi : 00 10 Maret 2011 Hal.

1. Fakultas / Program Studi : FBS / Pendidikan Bahasa Jawa

2. Mata Kuliah & Kode : Seni Tembang II Kode : PBD 240

3. Jumlah SKS : Teori : - SKS Praktik : 2 SKS

: Sem : Gasal () Waktu : 16 pertemuan

4. Standar Kompetensi : Mahasiswa diharapkan akan lebih mampu dan

terampil melagukan jenis-jenis tembang

macapat, tembang tengahan dan gedhe. Dengan

penguasaan seluk beluk lagu tersebut maka

mahasiswa akan menjadi pecinta dan

pengembang seni tembang.

5. Kompetensi Dasar : a. Mahasiswa akan lebih mengetahui

pengetahuan dasar seni tembang Jawa.

b. Pengetahuan itu akan memberi bekal pada

mahasiswa untuk menjadi ahli tembang Jawa

secara teoritis dan trampil secara praktis.

6. Indikator Ketercapaian : Setelah mengikuti program perkuliahan ini

mahasiswa mampu mengetahui jenis-jenis

tembang macapat, tengahan dan gedhe.

7. Materi Pokok/Penggalan Materi : musik gender beserta dengan buku petunjuk

bermain seni karawitan

8. Kegiatan Perkuliahan :

Tatap Muka

Komponen Langkah

Uraian Kegiatan Estimasi

Waktu

Metode Media Sumber

Bahan/

Referensi

PENDAHULUAN Memberi deskripsi seni

dasar tembang macapat,

tengahan dan gedhe

1 x tatap

muka

atau 100

menit

Ceramah,

demonstrasi

OHP

gender

A dan B

LATIHAN OLAH

VOKAL

Latihan dasar olah vokal

dengan disertai contoh

tembang macapat,

tengahan dan gedhe

4

pertemu

an x 100

menit

Teori dan

praktek olah

vokal

OHP

gender

A dan B

87

LATIHAN

GOLONGAN

LAGU DOLANAN

Praktek olah vokal secara

kolektif dengan tembang

macapat, tengahan dan

gedhe.

4

pertemu

an x 100

menit

Teori dan

praktek

tembang macapat,

tengahan

dan gedhe

OHP

gender

A dan B

LATIHAN

MELAGUKAN

TEMBANG

MACAPAT

Praktek melagukan

tembang dhandhanggula,

asmaradana, durma,

kinanthi dan sinom

4

pertemu

an x 100

menit

Teori dan

praktek

tembang

tembang

dhandhang

gula,

asmaradana,

durma,

kinanthi dan

sinom

OHP

Gender

A dan B

PEMANTAPAN

LATIHAN

Memberi pemantapan

dengan cara

mempertinggi ketrampilan

olah vokal serta

melagukan tembang

tengahan dan gedhe.

1 x tatap

muka

atau 100

menit

Ceramah,

demonstrasi

dalam

melagukan

tembang

tengahan dan

gedhe

OHP

gender

A dan B

TANYA JAWAB

AKHIR

PERKULIAHAN

Memberi kesempatan

kepada peserta kuliah

untuk menanyakan seluk-

beluk bahan perkuliahan

seni tembang.

1 x tatap

muka

atau 100

menit

Ceramah,

demonstrasi

dan diskusi

OHP

gender

A dan B

DAFTAR PUSTAKA

Biman Putra, 2002. Suka-suka Campursari. Surakarta : Cendrawasih.

Diyono, 1996. Kempalan Gendhing-gendhing Pahargyan. Surakarta :

Cendrawasih.

______, 1992. Tuntunan Sekar Macapat. Solo : Cendrawasih.

Hardjasoebrata, 1985. Pedhotan Tembang Macapat, Javanologi, Yogyakarta.

Hardjowirogo, 1958. Pathokaning Nyekaraken. Jakarta : Balai Pustaka.

Harsono Kodrat, 1982. Gendhing-gendhing Karawitan Jawa. Jakarta : Balai

Pustaka.

Ki Hadjar Dewantara, 1968. Dasar Pengetahuan Gendhing Jawa, Taman Siswa,

Yogyakarta

Kodiron, 1976. Marsudi Karawitan Jawi. Pelajar : Surakarta.

Marwoto, 1981. Turunan Karawitan. Solo : Putrajaya.

88

Nanang Windradi, 2002. Suluk Kawruh Pedhalangan lan Macapat. Solo :

Cendrawasih.

Sardjijo, 1991. Apresiasi Seni Tembang. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta.

Soekiman, 1984. Gamelan Dramatari dan Komedi Jawa. Jakarta : Depdikbud.

Soerasa, 1983. Gamelan. Jakarta : Depdikud.

Soetrisno, 2004. Syair Tembang dalam Wayang Purwa. Yogyakarta : Aditya

Presindo.

Sri Widodo, 1995. Gendhing-gendhing Dolanan. Solo : Cendrawasih.

_________, 2000. Lelagon Langgam, Kroncong, Dhangdhut. Solo : Cendrawasih.

Sudibyo Aris, 1982. Mengenal Kesenian Tradisional. Jakarta : Depdikbud.

Waridi, 2004. Seni Pertunjukan Wayang. Solo : Einika.

Warih Jati Rahayu, 2002. Puspa Sumekar. Yogyakarta : Grafika Indah.

Wasista Suryadiningrat, 1971. Gamelan Dance and Wayang in Jogjakarta.

Yogyakarta : Gamapress.

Wiryah Sastrowiryono, 1988. Bawa Sekar. Yogyakarta : SMKI.

Yogyakarta, 10 Maret 2011

Dosen

Dr. Purwadi

89

PENYUSUN

DR. PURWADI, M.HUM lahir di Grogol, Mojorembun, Rejoso, Nganjuk,

Jawa Timur pada tanggal 16 September 1971. Pendidikan SD sampai SMA

diselesaikan di tanah kelahirannya. Gelar sarjana diperoleh di Fakultas Sastra

UGM yang ditempuh tahun 1990-1995. Kemudian melanjutkan studi pada

Program Pascasarjana UGM tahun 1996-1998. Gelar Doktor di UGM diperoleh

pada tahun 2001.

Kini bertugas sebagai Dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas

Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Tinggal di Jl. Kakap Raya 36

Minomartani Yogyakarta 55581. Telp 0274-881020.