03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB...

43
27 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAAN Bab ini mengelaborasi dan mendiskusikan agama dalam perspektif sosiologis dan gerakan keagamaan sebagai tipe gerakan sosial. Ada tiga pemikiran klasik yang dijadikan rujukan tentang konsepsi agama, yaitu pemikiran Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber. Asumsi yang ada di balik pemilihan ketiga sosiolog klasik ini adalah karena pemikiran mereka menjadi dasar pemikiran bagi semua abstraksi tentang agama dalam sosiologi modern dan kontemporer. Segmen kedua dalam bab ini adalah konsepsi gerakan keagamaan sebagai salah satu tipe khas gerakan sosial. Elaborasi dan diskusi teori berpusat pada tiga konsep besar, yaitu tindakan sosial, perilaku kolektif, dan gerakan sosial berorientasi nilai. 1. Agama dalam Perspektif Sosiologis Pada dasarnya sosiologi adalah studi tentang kehidupan sosial manusia, baik dalam kelompok-kelompok maupun di dalam komunitas-komunitas. Disiplin ini muncul seiring terjadinya perubahan sosial yang sangat signifikan di Eropa pada abad ke-18. Sosiologi hendak menjelaskan secara objektif dan deskriptif tindakan manusia dalam dunia sosial. Mengapa orang-orang bertindak dan beraksi dengan cara-cara tertentu menjadi persoalan utama dalam sosiologi. Demi menjelaskan tindakan-tindakan manusia dalam dunia sosial maka dibedakan tiga jenis eksplanasi sosiologis, yaitu eksplanasi kualitas personal, eksplanasi relasi-relasi sosial, dan eksplanasi sistem-sistem sosial. 1 1 Inger Furseth, An Introduction to the Sociology of Religion (Burlington USA: Ashgate Publishing Limited, 2006), 1.

Transcript of 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB...

Page 1: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

27

BAB II

SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAAN

Bab ini mengelaborasi dan mendiskusikan agama dalam

perspektif sosiologis dan gerakan keagamaan sebagai tipe

gerakan sosial. Ada tiga pemikiran klasik yang dijadikan

rujukan tentang konsepsi agama, yaitu pemikiran Karl Marx,

Emile Durkheim, dan Max Weber. Asumsi yang ada di balik

pemilihan ketiga sosiolog klasik ini adalah karena pemikiran

mereka menjadi dasar pemikiran bagi semua abstraksi tentang

agama dalam sosiologi modern dan kontemporer. Segmen

kedua dalam bab ini adalah konsepsi gerakan keagamaan

sebagai salah satu tipe khas gerakan sosial. Elaborasi dan

diskusi teori berpusat pada tiga konsep besar, yaitu tindakan

sosial, perilaku kolektif, dan gerakan sosial berorientasi nilai.

1. Agama dalam Perspektif Sosiologis

Pada dasarnya sosiologi adalah studi tentang

kehidupan sosial manusia, baik dalam kelompok-kelompok

maupun di dalam komunitas-komunitas. Disiplin ini muncul

seiring terjadinya perubahan sosial yang sangat signifikan di

Eropa pada abad ke-18. Sosiologi hendak menjelaskan secara

objektif dan deskriptif tindakan manusia dalam dunia sosial.

Mengapa orang-orang bertindak dan beraksi dengan cara-cara

tertentu menjadi persoalan utama dalam sosiologi. Demi

menjelaskan tindakan-tindakan manusia dalam dunia sosial

maka dibedakan tiga jenis eksplanasi sosiologis, yaitu

eksplanasi kualitas personal, eksplanasi relasi-relasi sosial,

dan eksplanasi sistem-sistem sosial.1

1 Inger Furseth, An Introduction to the Sociology of Religion (Burlington USA:

Ashgate Publishing Limited, 2006), 1.

Page 2: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

28 Redefinisi Tindakan Sosial …

Eksplanasi kualitas personal menyatakan bahwa

sebuah peristiwa terjadi karena adanya kualitas-kualitas

individual yang dipandang stabil.2 Eksplanasi ini sering juga

disebut eksplanasi dari dalam. Ketika seorang individu

menunjukan perilaku keagamaan yang radikal maka

eksplanasi dari dalam menyatakan bahwa individu tersebut

memiliki personalitas keagamaan yang mendalam. Eksplanasi

kualitas personal ini cenderung mengandung elemen pujian

atau sebaliknya pengapkiran moral. Oleh sebab itu ekspalanasi

jenis ini sering menunjuk pada karakteristik-karakteristik

kelompok-kelompok atau kategori-kategori secara

keseluruhan. Eksplanasi relasi-relasi sosial memperdalam

pertanyaan eksplanasi kualitas personal dengan

mempersoalkan mengapa individu memiliki personalitas

keagamaan yang mendalam. Dalam menjawab pertanyaan ini,

eksplanasi relasi sosial bersandar pada prinsip pemikiran

bahwa sebuah fakta atau peristiwa sosial harus dipahami

melalui relasi-relasi sosial di mana orang-orang terlibat. Kata

relasi-relasi menandakan sebuah modicum permanen tertentu

dalam pertalian-pertalian personal. Relasi-relasi sosial bisa

terjadi secara langsung maupun secara tidak langsung melalui

media massa. Eksplanasi struktural biasa disebut juga

eksplanasi sistem. Bentuk eksplanasi seperti ini dapat

ditemukan dalam kehidupan sehari-hari seperti misalnya

ketika orang berbicara tentang pembangunan masyarakat

sebagai kekuatan formatif yang mempengaruhi hidup orang-

orang.3

Kendatipun terdapat nuansa ekplanasi tersebut di atas

tetapi fokus utama dari sosiologi adalah mempelajari

interaksi-interaksi sosial dan format-format sosial masyarakat.

2 Ibid., 2 3 Ibid.,3

Page 3: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 29

Istilah format sosial mengandung pengertian yang luas yang

mencakup struktur-struktur sosial dan patron-patron

dinamika relasi-relasi sosial yang secara mutual

mempengaruhi satu sama lain. Pada satu sisi individu-individu

memiliki kemampuan untuk merubah format-format

kemasyarakatan, khususnya ketika mereka bertindak dalam

sebuah organisasi yang berorientasi tujuan dan terkordinasi.

Pada sisi lain, individu-individu juga dilahirkan dalam sebuah

masyarakat dan mereka dipengaruhi oleh masyarakat di mana

mereka lahir dalam ragam cara. Peter Berger menyebut proses

ini sebagai proses dialektika fundamental yang terdiri dari tiga

tahapan, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.

Melalui eksternalisasi individu-individu menciptakan

masyarakat. Melalui objektivasi mayarakat menjadi suatu

realitas sui generis. Dan melalui internalisasi masyarakat

menciptakan individu-individu.4

Sosiologi mempelajari agama sebagai bagian dari

struktur sosial dan yang mempengaruhi interaksi-interaksi

sosial. Oleh sebab itu para sosiolog yang tertarik untuk

mengkaji agama berkepentingan untuk melihat bagaimana

agama mempengaruhi masyarakat dan sebaliknya bagaimana

masyarakat mempengaruhi kehidupan keagamaan. Berikut

beberapa pandangan sosiolog klasik tentang agama.

1.1. Karl Marx: Agama sebagai Proyeksi dan Ilusi

Di dalam karya-karya Marx memang tidak ditemukan

pemikiran yang sistematis tentang agama, tetapi di dalam

teori-teori sosialnya, khususnya teori alienasi manusia kita

dapat melihat pandangannya tentang agama. Marx

menunjukan bagaimana di dalam masyarakat kapitalis para

4 Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of

Religion (New York: Anchor Books, 1967), 4.

Page 4: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

30 Redefinisi Tindakan Sosial …

pekerja diperlakukan sebagai komoditi atau objek. Ia

menunjukan fakta ekonomi yang aktual, yaitu bahwa semakin

buruh bekerja menghasilkan barang maka semakin miskin

keadaannya, semakin banyak hasil pekerjaannya, maka

sebagai sebuah komoditi, harga buruh menjadi sangat murah.

Artinya peningkatan nilai barang ada dalam proporsi langsung

dengan devaluasi nilai manusia. Ia menegaskan, “The object

which labour produces… confronts it as something alien, as a

power independent of the producer. The product of labour is

labour which has been congealed in an object, which has become

material: it is the objectification of labour.”5 Berangkat dari

asumsi tersebut Marx membangun lebih lengkap teori

alienasinya. Ia mengatakan bahwa hasil pekerjaan buruh

berada di luar dirinya sendiri secara tidak bergantung, sebagai

sesuatu yang asing baginya dan menjadi sebuah kekuasaan

yang menentang dirinya. Karl Marx berkata, “The life which he

has conferred on the objects confronts him as something hostile

and alien.”6

Pandangan ini dipengaruhi oleh konsep alienasi

Ludwigh Feuerbach yang mendasarkan agama di dalam

eksistensi duniawi manusia dan percaya bahwa di dalam

agama, manusia mengekspresikan mimpinya tentang sebuah

dunia yang berbeda dan lebih baik. Bukan Tuhan yang telah

menciptakan manusia, seperti yang diajarkan agama, tetapi

manusialah yang telah menciptakan Tuhan. Manusia telah

mengobjektifkan keberadaanya sendiri pada Tuhan dan

kemudian menyediakan kreasinya dengan sebuah kekuatan

kreatif dari yang dipunyainya. Dengan cara ini, sang objek,

konsep tentang Tuhan yang diciptakan oleh manusia, telah

menjadi subjek, dan subjek yang sesungguhnya, manusia, telah

5 Karl Marx, “The Economic and Philosophic Manuscripts” dalam Robert C.

Tucker (Ed.),The Marx-Engels Reader (London: W.W. Norton & Company, 1978), 71 6Ibid.,72.

Page 5: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 31

membuat dirinya sendiri menjadi objek. Manusia telah

menjadi asing atau teralienasi dari dirinya sendiri dan agama

mengekspresikan alienasi manusia dari dirinya sendiri.

Dengan kata lain manusia sebagai subjek telah menciptakan

sebuah objek yang, oleh sebuah pembalikan dialektis, menjadi

subjek, sehingga manusia membuat dirinya sendiri sebagai

sang objek. Akan tetapi berbeda dengan Feuerbach yang

menghubungkan proses alienasi ini dengan agama, Karl Marx

percaya bahwa alienasi ini adalah perkara basis eksistensi

manusia di dalam dunia perburuhan.7

Aspek kedua dari alienasi adalah keterasingan buruh

dari tindakan atau aksi produksinya sendiri. Ia menghadapi

pekerjaannya sebagai orang asing. Hal ini terjadi karena di

dalam melakukan pekerjaannya, buruh menyangkali dirinya

sendiri dan tidak memiliki keberadaan esensialnya. Buruh

bekerja bukan atas dasar kebebasan dan kesukarelaan, tetapi

karena keterpaksaan dan tekanan. Marx mengatakan, “As a

result, therefore, the worker no longer feels himself to be freely

active in any but his animal functions – eating, drinking,

procreating, or at most in his dwelling and in dressing-up, etc;

and in his human functions he no longer feels himself to be

anything but animal. What is animal becomes human and what

is human becomes animal.”8

Selain memperhatikan kedua aspek tersebut, Marx

juga menyoroti keberadaan buruh sebagai manusia yang

memiliki kebebasan yang selayaknya memperlakukan dirinya

sendiri secara aktual, universal, dan kreatif. Manusia berbeda

dengan binatang karena manusia melihat tindakan dan

pekerjaannya sebagai objek dari kehendak bebas, kreatifitas,

dan kesadarannya. Manusia bergerak atas dasar aktivitas

7 Per Manson, “Karl Marx” dalam Heine Andersen & Lars Bo Kasperen (Ed.),

Classical and Modern Social Theory (Oxford: Blackwell Publishers Ltd, 2000), 20. 8Karl Marx, dalam Tucker (Ed.),The Marx-Engels Reader…, 74.

Page 6: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

32 Redefinisi Tindakan Sosial …

kehidupan yang sadar. Ini yang membedakan tindakan

manusia dengan tindakan hewan. Akan tetapi dengan

objektifikasi maka buruh teralienasi dari dimensi natural dan

spiritual kemanusiaannya. Akhirnya, oleh ketiga aspek alienasi

di atas, yakni alienasi dari hasil pekerjaannya, alienasi dari

aksi pekerjaannya, dan alienasi dari spesiesnya sebagai

manusia, maka lahirlah aspek alienasi keempat, yaitu alienasi

sosial, yaitu keterasingan buruh dengan lingkungan sosialnya.9

Dengan demikian alienasi berhubungan dengan hilangnya

kontrol terhadap perkembangan manusia oleh kondisi-kondisi

material di dalam masyarakat. Pada gilirannya manusia

kehilangan eksistensi dan identitasnya, lalu ia berpaling ke

agama untuk memperoleh sebuah pemahaman tentang dunia

dan mendapatkan pengharapan di tengah keterasingannya.10

Dalam hal inilah agama memberikan gambaran yang keliru

tentang realitas. Oleh sebab itu bagi Marx agama adalah

sebuah proyeksi dan ilusi.

Marx cenderung membedakan antara agama sebagai

superstruktur dan agama sebagai ideologi. Dalam karyanya

German ideology, Marx menguraikan struktur dasar

masyarakat yang terdiri dari kekuatan-kekuatan produksi dan

relasi-relasi produksi. Di atas struktur dasar inilah terbangun

struktur politik, moralitas, perundang-undangan, hukum, dan

agama.11 Di dalam masyarakat dengan struktur kelas-kelas

sosial, ide-ide yang memerintahadalah ide-ide dari kelas yang

memerintah. Ide-ide ini menjadi alat manipulasi dan opresi

terhadap kelas-kelas yang rendah dalam masyarakat. Ide-ide

yang lazim, termasuk agama, memberi legitimasi terhadap

kepentingan kelas dominan.12

9Ibid.,75-77. 10 Furseth, An Introduction to the Sociology of Religion…, 30. 11 Karl Marx, dalam Tucker (Ed.),The Marx-Engels Reader …, 146-154. 12Furseth, An Introduction to the Sociology…, 30-33.

Page 7: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 33

Di dalam karyanya Contribution to the Critique of

Hegel’s Philosphy of Right, Marx mengatakan bahwa manusia

menciptakan agama dan bahwa agama memberi gambaran

yang keliru tentang realitas.13 Untuk itu, perjuangan terhadap

agama secara tidak langsung adalah perjuangan melawan

dunia yang dilukiskan oleh agama itu sendiri. Agama secara

simultan adalah instrumen ketidakadilan yang dipaksakan dan

pada saat yang sama adalah juga sikap protes terhadap

ketidakadilan. Agama adalah reaksi populer terhadap opresi.

Karena itu kritik terhadap agama adalah kritik bagi mereka

yang membutuhkan agama.

Marx memiliki pengaruh besar terhadap

perkembangan sosiologi agama. Idenya adalah bahwa agama

memenuhi kebutuhan-kebutuhan bagi mereka yang berada

pada level terbawah dalam stratifikasi sosial, dan bahwa

mereka berkompensasi dengan mencari tujuan-tujuan

alternatif di dalam agama. Inilah yang disebut sebagi teori

deprivasi.14 Teori ini memiliki pengaruh besar pada studi-studi

tentang agama kelas pekerja dan analisis tentang gerakan

keagamaan. Teori Marx dapat dipakai dalam studi-studi

tentang bagaimana kelompok-kelompok sosial menggunakan

agama untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan mereka

dan di dalam analisis-analisis agama yang digunakan sebagai

kekuatan yang mendukung kelompok-kelompok tertentu.

1.2. Emile Durkheim: Agama sebagai Integrasi

Kontribusi teori Durkheim terletak pada perhatiannya

terhadap basis normatif integrasi sosial, bahaya-bahaya

individualisme dan anomi, serta signifikansi kolektivitas.

Durkheim berada dalam tradisi sosiologis Perancis yang punya

13Karl Marx, dalam Tucker (Ed.),The Marx-Engels Reader …, 54-55 14Furseth, An Introduction to the Sociology…, 34.

Page 8: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

34 Redefinisi Tindakan Sosial …

perhatian khusus terhadap persoalan disintegrasi sosial dan

unitas sosial. Pemahaman bahwa masyarakat membentuk

sebuah unitas yang terintegrasi cukup menonjol di Jerman dan

Perancis menjelang akhir abad kesembilan belas dan mencapai

signifikansinya pada pemikiran Durkheim. Di dalam tradisi ini,

masyarakat dipandang sebagai sebuah unitas yang terintegrasi

yang dalam beberapa hal bersesuaian dengan suatu organisme

hidup. Suatu organisme biologis ditentukan oleh suatu relasi

material, sementara masyarakat dipersatukan oleh ikatan-

ikatan ide-ide dan unitas sosial. Tradisi ini menunjuk dua tema

kunci di dalam tulisan-tulisan Durkheim, yaitu moralitas dan

solidaritas sosial.

Selain dari pada faktor-faktor struktural, faktor-faktor

moral, seperti agama juga berkontribusi terhadap solidaritas

sosial. Inilah yang membawa Durkheim ke ranah sosiologi

agama. Dalam bukunya Suicide,15 Durkheim menunjukan

keterhubungan statistik antara angka bunuh diri dengan

denominasi keagamaan di beberapa negara Eropa Barat.

Negara-negara Protestan di Eropa Barat memiliki angka bunuh

diri yang lebih tinggi ketimbang negara-negara Katolik oleh

karena gereja-gereja Protestan kurang terintegrasi

dibandingkan dengan gereja Katolik. Gereja-gereja Protestan

kurang memberikan proteksi terhadap tipe-tipe bunuh diri

yang disebabkan oleh suatu level integrasi yang rendah

15Durkheim memilih topik ‘suicide’ karena bagi Durkheim ‘suicide’ belum

terdefinisi dengan baik di dalam masyarakat dan merupakan salah satu pokok yang

kalau dipelajari dengan baik maka ia akan menunjukan hukum-hukum sosial yang

dengannya akan terlihat posibilitas sosiologi yang lebih baik dibandingkan dengan

argumen-argumen dialektis dalam menjelaskan fenomena sosial. Durkheim

mengingatkan juga bahwa di dalam karyanya ini akan ditemukan problem-problem

metodologis. Namun Durkheim mengingatkan kembali bahwa metode sosiologis

bersandar pada prinsip dasar, yaitu bahwa fakta-fakta sosial harus dipelajari sebagai

benda-benda (things), yaitu sebagai realitas-realitas eksternal bagi individu. Durkheim

juga mengingatkan bahwa di dalam karyanya ini akan ada kesan yang kuat bahwa

individu didominasi oleh realitas moral yang lebih besar dari dirinya sendiri, yaitu

realitas kolektif. Lih. Emile Durkheim, Suicide, translated by John A. Spaulding and

George Simpson (London & New York: Routledge, 2002), xl.

Page 9: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 35

(egoistic suicide) dibanding yang dilakukan oleh gereja Katolik

terhadap umatnya.16

Untuk mempelajari agama secara lebih dekat, ia

mengkaji agama yang paling primitif dan paling sederhana

yang dapat dikenal, dengan perkiraan bahwa agama itu akan

mewakili bentuk paling mendasar dari semua agama. The

Elementary Forms of the religious Life didasarkan pada studi-

studi yang sudah ada tentang kehidupan keagamaan penduduk

pribumi Australia. Agama primitif memperlihatkan aspek

kemanusiaan yang paling fundamental dan permanen dan

dapat menjelaskan hakikat religius manusia.17 Di dasar semua

sistem kepercayaan dan pemujaan Durkheim meyakini adanya

sejumlah representasi fundamental dan pola perilaku ritual

yang punya makna objektif dan fungsi yang sama di mana dan

kapanpun, lepas dari keragaman bentuknya masing-masing.

Elemen inilah yang membentuk sesuatu yang abadi dan

manusiawi dalam agama.18

Apa yang dimaksud dengan agama? Untuk menjawab

pertanyaan ini Durkheim mencatat dua hal. Pertama adalah

bahwa upaya mendefinisikan agama harus dimulai dengan

membebaskan pikiran dari ide-ide prapemahaman. Artinya,

agama-agama harus dipandang dalam kenyataan konkritnya.

Kedua adalah bahwa ciri-ciri umum agama harus menjadi

pusat perhatian.19 Semua kepercayaan religius

memperlihatkan satu ciri yang umum, yaitu klasifikasi akan

yang profan dengan yang sakral. Durkheim memasukan pada

yang sakral itu misalnya kepercayaan, mitos, dogma, legenda.

Apa yang menjadi karakteristik yang sakral itu sehingga bisa

dibedakan dengan yang profan adalah bahwa yang sakral

16 Ibid., 123-125. 17 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life (New York &

London: The Free Press, 1915), 13. 18 Ibid., 20 19Ibid.,37-38.

Page 10: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

36 Redefinisi Tindakan Sosial …

cenderung memiliki martabat dan kekuatan yang superior

ketimbang yang profan dan memiliki sifat absolut.20

Kepercayaan religius pada hakekatnya adalah

representasi-representasi yang mengekspresikan keadaan hal-

hal yang sakral dan hubungannya dengan hal-hal yang sakral

lainnya atau dengan hal-hal yang profan. Kesimpulannya

adalah bahwa agama terbentuk ketika sejumlah hal yang

sakral memiliki relasi pengawasan dan subordinasi satu

dengan yang lainnya dan terbentuk semacam sistem koherensi

yang tidak dimiliki oleh sistem lain, maka pada saat itu secara

bersama kepercayaan dan ritus-ritus membentuk sebuah

agama.21

Dalam hubungan dengan definisi tentang agama,

Durkheim menyinggung konsep magis. Dalam beberapa hal

magi mempunyai kesamaan dengan agama, misalnya magis

juga berisi kepercayaan, ritus, dogma, dan mitos. Akan tetapi

Durkheim juga mengingatkan bahwa sering kali agama

bermusuhan dengan magis. Lalu bagaimana Durkheim

membedakan secara tegas antara agama dengan magis?

Jawabnya adalah bahwa agama memiliki kelompok sosial dan

komunitas moral tertentu, sedangkan magis tidak, ia lebih

bersifat individual. Dengan ini maka secara implisit Durkheim

tidak menerima adanya agama personal yang bersifat

individual. Durkheim mendefinisikan agama sebagai “a unified

system of beliefs and practices relative to sacred things, that is

to say, things set apart and forbidden – beliefs and practices

which unite into one single moral community called a Church, all

those who adhere to them.”22

20Ibid.,52-53. 21Ibid., 55. 22Ibid.,62.

Page 11: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 37

1.3. Max Weber: Agama sebagai Legitimasi

Weber memperhatikan tindakan-tindakan keagamaan

sebagai sebuah tipe khusus tindakan sosial. Untuk meraih

sebuah pemahaman tentang tindakan sosial, ia

memandangnya dari sudut pandang makna yang dimiliki oleh

tindakan itu. Oleh karena itu tindakan keagamaan terorientasi

ke tujuan-tujuan yang masuk akal. Ia menginterpretasi

tindakan keagamaan dengan memahami motif-motif sang

aktor dari sudut pandang subjektif.23

Dalam karyanya The Sociology of Religion Weber

menggambarkan agama sebagai suatu sistem sosial yang

berakar pada abstraksi dan rasionalisasi pemahaman-

pemahaman keagamaan. Peta pemikirannya tentang agama

dimulai dari persoalan bagaimana agama itu mengambil

tempat di dalam struktur sosial. Dalam hal ini terdapat dua

issu penting, yakni abstraksi dan rasionalisasi. Proses

abstraksi terjadi di dalam instansi-instansi perilaku kegamaan

yang paling primitif, yaitu ketika mulai terbentuk pemahaman

bahwa di belakang aktivitas objek-objek natural, artifak-

artifak, binatang-binatang, dan orang-orang terdapat sesuatu

yang tidak dapat ditentukan, tidak dapat dilihat, bersifat non

personal, tetapi memiliki pengaruh yang kuat terhadap

kenyataan. Sesuatu ini dapat masuk ke dalam sebuah objek

yang konkrit sehingga objek tersebut memiliki kualitas

tertentu. Sesuatu itu disebutnya spirit dan kualitas tertentu itu

disebutnya charisma.24 Jadi agama muncul sebagai hasil

abstraksi dan rasionalisasi manusia terhadap pengalaman-

pengalaman hidupnya.

Tema yang konsisten di dalam karya-karya Weber

adalah untuk mendefinisikan dan menjelaskan ciri-ciri

23Furseth, An Introduction to the Sociology…, 36. 24 Max Weber, The Sociology of Religion, translated by Ephraim Fischoff

(Boston: Beacon Press, 1992), 3.

Page 12: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

38 Redefinisi Tindakan Sosial …

istimewa peradaban Barat. The Protestant Ethic dapat

dianggap sebagai pengantar untuk tema ini. Di dalam karya ini

Weber menentukan suatu interelasi ide-ide keagamaan

dengan tingkah laku ekonomi. Tesisnya adalah bahwa ide-ide

Puritan mempengaruhi perkembangan kapitalisme.25

Kontras dengan Durkheim, yang memandang agama

sebagai sebuah ekspresi kesadaran dari keseluruhan

masyarakat, Weber berpikir bahwa ide-ide dapat memiliki

fungsi-fungsi integratif bagi sebuah kelompok. Namun

demikian, ia membuat pokok yang sama dengan Marx tentang

hal itu ketika menegaskan bahwa ada sebuah keterhubungan

antara konten dari suatu ideologi dengan posisi sosial dari

kelompok yang mengusungnya. Tetapi keterhubungan ini

tidak bersifat deterministik. Kontras dengan Marx, Weber

berpikir bahwa satu ideologi tidak selalu terbatas terhadap

anggota-anggota dari satu stratum sosial saja. Juga, semua

anggota dari satu stratum sosial tidak akan menjadi anggota

dari satu agama yang sama.

2. Gerakan Keagamaan sebagai Tipe Gerakan Sosial

Para sosiolog klasik tersebut di atas memandang

agama sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat.

Pemikiran mereka membawa pada pemahaman bahwa

dinamika keagamaan adalah bagian dari fenomena sosial. Oleh

sebab itu gerakan-gerakan keagamaan dapat dipandang

sebagai tipe khusus gerakan-gerakan sosial.

Penelitian tentang gerakan-gerakan keagamaan tidak

hanya signifikan secara normatif, tetapi juga yang tidak kalah

pentingnya adalah meneliti kebutuhan-kebutuhan sosialnya,

gaya-gaya dan tingkat kesadaran sosialnya, konsekwensi-

25 Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, translated by

Talcott Parsons (New York: Charles Scribner’s Sons, 1958), 155.

Page 13: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 39

konsekwensi disrupsi sosial dan patron-patron responsif

terhadapnya. Itu berarti gerakan-gerakan keagamaan harus

dianggap sebagai sebuah pola aksi sosial yang terstimulasi

oleh interpretasi-interpretasi keagamaan terhadap proses-

proses perubahan sosial kontemporer.26 Teori-teori terkini

tentang gerakan-gerakan keagamaan didasarkan pada konsep-

konsep tindakan sosial, perilaku kolektif dan gerakan sosial.

Para sosiolog yang tertarik dengan gerakan-gerakan

keagamaan memikirkan persoalan bagaimana gagasan-

gagasan, individu-individu, kejadian-kejadian, dan organisasi-

organisasi telah terhubung satu sama lain dalam sebuah

proses tindakan kolektif. Isu-isu utama yang diperhatikan

adalah hubungan antara perubahan-perubahan struktural dan

transformasi dalam patron-patron konflik sosial, peran

representasi kultural dalam konflik sosial, proses yang di

dalamnya nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan gagasan-

gagasan berkembang menjadi tindakan kolektif, dan konteks

sosial, politik, kultural yang memfasilitasi keberhasilan

gerakan-gerakan keagamaan baru.27

Dengan meluasnya issu yang diusung oleh gerakan-

gerakan keagamaan, dari isu konflik antara kelas dalam

masyarakat kapitalis hingga isu kesetaraan gender, hak-hak

sipil bagi kelompok minoritas, kebebasan beragama, isue

rasial, dan lingkungan hidup, maka dirasakan pendekatan

terhadap gerakan-gerakan kegamaan tidak cukup hanya

dengan mengandalkan model Marxist dan model struktural-

fungsionalis.28 Model ini mengandaikan suatu hubungan

kausal yang linier di mana ketegangan-ketegangan struktural

26 Bryan Wilson, Magic and the Millenium: A Sociological Study of Religious

Movements (New York : Harper & Row Publisher, 1973), 1. 27 Bryan Wilson & Jamie Cresswell (Ed.), New Religious Movements:

Challenge and Response (London & New York: Routledge, 1999), 1-12. 28 Donatella Della Porta dan Mario Diani, Social Movements: An Introduction

(Malden MA: Blackwell Publishing, 2006), 6.

Page 14: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

40 Redefinisi Tindakan Sosial …

akan dapat menghasilkan ketidaknyamanan psikologis yang

pada gilirannya menghasilkan tindakan kolektif. Ragam

ketegangan dalam kehidupan sosial memunculkan tingkat

ambiquitas normatif dan sosial tentang bagaimana harusnya

menanggapi keadaan dan kondisi sosial yang berubah.29 Dalam

hal ini gerakan-gerakan keagamaan dapat dilihat sebagai

mekanisme pelarian diri dari orang-orang yang merasa

terasing dan tidak berdaya menghadapi berbagai perubahan

sosial dan yang melaluinya individu-individu merasa berdaya

dan bersatu kembali. Singkatnya, gerakan-gerakan keagamaan

tidak lain dari pada mekanisme-mekanisme untuk mengatasi

ketidaknyamanan psikologis yang diakibatkan oleh

ketegangan-ketegangan struktural.

Pendekatan struktural-fungionalis ini kemudian

dilengkapi oleh pendekatan teori mobilisasi sumber daya yang

memandang gerakan-gerakan keagamaan sebagai tindakan

rasional dan manifestasi tindakan kolektif yang terorganisasi.

Dengan pendekatan ini sumber daya dan struktur-struktur

mobilisasi, seperti organisasi-organisasi gerakan yang normal

dipandang perlu untuk menciptakan ketidakpuasan kolektif.30

Gerakan-gerakan keagamaan sebagai tipe yang khas dari

gerakan sosial kemudian dipandang sebagai suatu pernyataan

yang terorganisasi dan terstruktur melalui mekanisme-

mekanisme mobilisasi sumber daya strategis bagi tindakan

kolektif yang berlanjut. Berdasarkan nuansa ini maka

perspektif teoritis yang hendak menjadi sorotan di sini adalah

bagaimana melihat komponen-komponen utama gerakan-

gerakan keagamaan sebagai salah satu tipe khas dari gerakan-

gerakan sosial.

29Quintan Wiktorowicz, Gerakan Sosial Islam, diterjemahkan oleh Tim

Penterjemah Paramadina (Yogyakarta: Gading Publishing dan Paramadina, 2012), 43. 30Ibid., 47.

Page 15: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 41

2.1. Tindakan Sosial sebagai Komponen Perilaku Kolektif

Menurut Talcott Parsons, secara logis sebuah tindakan

melibatkan seorang agen atau aktor, sebuah tujuan ke mana

tindakan itu diarahkan, sebuah situasi yang mencakup

ketentuan dan sarana untuk tindakan, serta seperangkat

norma yang mengarahkan tindakan tersebut.31 Pemikiran ini

mensyaratkan sebuah proses tindakan, pilihan-pilihan aktor

yang berkenaan dengan tujuan dan cara pencapaian,

subjektifitas, dan situasi. Konsepsi ini bersumber dari

pemikiran Max Weber tentang tindakan sosial. Menurut

Weber tindakan sosial dapat berorientasi ke masa lalu, masa

kini, dan masa depan. Suatu tindakan bersifat sosial apabila

tindakan itu diarahkan kepada perilaku orang lain. Maka

berdasarkan orientasinya Weber mencirikan empat tipe

tindakan sosial. Pertama adalah tindakan sosial yang secara

instrumental berorientasi rasional yang ditentukan oleh

ekspektasi-ekspektasi yang digunakan sebagai kondisi-kondisi

atau cara-cara untuk meraih tujuan akhir yang telah

diperhitungkan sebelumnya oleh sang aktor. Kedua adalah

tindakan sosial yang berorientasi nilai yang ditentukan oleh

keyakinan yang sadar tehadap nilai etika, keindahan, dan

agama. Ketiga adalah tindakan sosial yang berorientasi afektif

emosional yang ditentukan oleh kondisi perasaan aktor.

Keempat adalah tindakan sosial tradisional yang ditentukan

oleh kebiasaan.32

Neil Smelser di dalam bangunan teorinya tentang

perilaku kolektif mengembangkan konsep tindakan sosial dari

Max Weber dan Talcott Parsons. Smelser sepaham bahwa teori

tindakan sosial memandang perilaku organisme hidup sebagai

31 Talcott Parsons, The Structure of Social Action (Illinois: The Free Press,

1949), 44 – 47. 32 Max Weber, Economy and Society (Berkeley: Univ. of California Press,

1968), 22-23.

Page 16: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

42 Redefinisi Tindakan Sosial …

tindakan yang berorientasi pada pencapaian harapan dan

tujuan dengan cara mengeluarkan tenaga yang secara normatif

diregulasi. Ia juga menyebut empat hal yang berkaitan dengan

tindakan sosial, yaitu bahwa tindakan sosial selalu diarahkan

pada pencapaian tujuan atau harapan, terjadi di dalam situasi

sosial, bersifat normatif – regulatif, dan melibatkan upaya dan

motivasi.33 Akan tetapi menurut Smelser konsepsi Weber dan

Parson didasarkan pada sudut pandang aktor, sehingga pada

level abstraksi, individu-individu diperlakukan sebagai suatu

sistem utama dan penting. Menurutnya, konseptualisasi

dengan perspektif ini tidak dapat dipakai untuk memahami

perilaku kolektif. Oleh sebab itu ia menerapkan konsepsi

tindakan sosial terhadap sistem tindakan sosial yang

melibatkan dua aktor atau lebih. Smelser menggiring analisis

tindakan sosial pada level interaksi antara aktor dalam sebuah

sistem sosial.34 Ia kemudian memperhatikan peran-peran dan

organisasi-organisasi sosial lalu menyatakan bahwa kalau

tindakan sosial hendak dikaji secara sosiologis, maka level

sistem sosial merupakan sebuah keniscayaan.

Berdasarkan perspektif ini, Smelser menyebut empat

komponen utama tindakan sosial. Komponen pertama adalah

nilai-nilai (values) yang akan memberikan panduan terhadap

perilaku sosial yang disengaja. Nilai-nilai ini adalah komponen

yang paling umum dari tindakan sosial dan dapat ditemukan

dalam sebuah sistem nilai dengan terma-terma umum yang

menyatakan tujuan akhir atau kondisi akhir yang diharapkan.

Komponen kedua adalah aturan-aturan regulatif (norms) yang

mengatur pencapaian tujuan-tujuan perilaku sosial. Norma-

norma adalah aturan yang mewakili penegasan penerapan

nilai-nilai umum. Ia dapat ditemukan di dalam struktur

33 Neil Smelser, Theory of Collective Behavior (New York: The Free Press,

1962), 23. 34Ibid., 24.

Page 17: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 43

institusional yang resmi. Norma-norma bersifat lebih spesifik

ketimbang nilai-nilai, karena norma menentukan prinsip-

prinsip regulatif yang perlu jika akan mewujudkan nilai-nilai

yang ada. Norma-norma adalah cara di mana pola nilai budaya

dari sebuah sistem sosial diintegrasikan ke dalam aksi atau

tindakan yang konkrit dari unit-unitnya dalam interaksi

mereka satu sama lain. Komponen ketiga adalah mobilisasi

individu untuk meraih nilai-nilai sebagai tujuan tindakan

sosial berdasarkan norma-norma atau aturan-aturan regulatif.

Komponen ini berkaitan dengan persoalan siapa yang akan

menjadi agen di dalam mencapai atau mewujudkan tujuan

akhir atau nilai-hilai yang diharapkan, bagaimana tindakan

dari agen-agen ini akan disusun ke dalam peran-peran yang

terstruktur dan terorganisir, dan bagaimana mereka dihargai

atas partisipasinya di dalam peran dan organisasinya. Para

sosiolog menyebut peran ini sebagai peran organisasi sosial

atau struktur sosial. Komponen yang keempat adalah

ketersediaan fasilitas situasional yang dipakai oleh aktor

sebagai cara untuk ketiga hal di atas, yang mencakup

pengetahuan akan lingkungan, kemampuan memperkirakan

akibat dari tindakan, dan alat-alat serta ketrampilan.

Komponen ini melibatkan cara-cara dan halangan-halangan

yang memfasilitasi atau menghalangi pencapaian tujuan-

tujuan konkrit di dalam konteks peran dan konteks organisasi.

Komponen ini merujuk pada pengetahuan aktor akan

kesempatan dan keterbatasan yang ada di lingkungannya dan

dalam beberapa hal pengetahuan aktor akan kemampuannya

sendiri untuk mempengaruhi lingkungannya.35

Berdasarkan perspektif konseptual tersebut, maka

pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam setiap analisis

terhadap instansi tindakan sosial dalam gerakan keagamaan

35Ibid.,25.

Page 18: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

44 Redefinisi Tindakan Sosial …

adalah apa yang menjadi nilai-nilai yang melegitimasi tindakan

sosial tersebut pada level yang paling umum, oleh jenis norma-

norma apa tindakan sosial itu terkordinasikan, di dalam cara

apa tindakan sosial itu tersusun ke dalam peran-peran dan

organisasi-organisasi, dan jenis fasilitas situasional apa yang

tersedia bagi ketiga komponen sebelumnya. Pertanyaan-

pertanyaan ini kemudian ditempatkan dalam kerangka

berpikir “when strain is exerted on one or more of these

components, and when established ways of relieving the strain

are not available, various kinds of collective outbursts and

movements tend to arise.”36 Hubungan antara komponen-

komponen tindakan sosial harus dipahami secara hirarkis.

Artinya, perubahan nilai akan membawa perubahan pada

norma, organisasi, dan fasilitas. Perubahan norma akan

mengakibatkan perubahan pada definisi organisasi dan

fasilitas. Perubahan organisasi akan mengakibatkan

perubahan pada definisi fasilitas.37 Itu berarti perubahan

bersifat top down, bukan bottom up. Artinya, apabila

ketegangan muncul maka komponen-komponen tindakan

sosial akan menjadi out of order dan memerlukan perbaikan.

Pertanyaannya adalah bagaimana ketegangan itu diatasi dan

bagaimana tindakan sosial diperbaiki. Sehubungan dengan

persoalan ini maka prinsip umum untuk menyusun kembali

tindakan sosial adalah bila ketegangan muncul maka perhatian

harus digeser ke level tindakan sosial yang lebih tinggi untuk

mencari sumber daya dalam mengatasi suatu ketegangan.

Dengan kata lain, ketika ketegangan muncul, yang terjadi pada

tindakan sosial adalah bahwa upaya-upaya dibuat untuk

bergerak ke komponen pada level yang lebih tinggi,

menyusunnya kembali, kemudian menggabungkan kembali

36Ibid.,28. 37Ibid., 33.

Page 19: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 45

prinsip-prinsip yang baru tersebut ke level tindakan sosial

yang lebih konkrit dan operatif. Inilah prinsip dekonstruksi

dan rekonstruksi tindakan sosial.38

Komponen-komponen tindakan sosial menyediakan

kerangka teoritis yang umum untuk memahami isu-isu elusif

dari perilaku kolektif, misalnya apa jenis ketegangan

struktural yang memunculkan adanya perbedaan tipe perilaku

kolektif, di jalur mana respon perilaku kolektif terhadap

ketegangan struktural ini mengalir, apa tipe-tipe utama

perilaku kolektif dan bagaimana mereka terhubung satu sama

lain, serta bagaimana kontrol sosial mempengaruhi

perkembangan perilaku kolektif.39 Dengan demikian dalam

pandangan Smelser gerakan sosial dapat muncul apabila ada

ketegangan-ketegangan struktural di dalam masyarakat yang

berkaitan dengan nilai atau norma dan ketegangan-

ketegangan tersebut tidak dapat diatasi oleh struktur sosial

yang ada. Dalam hal inilah pada umumnya gerakan-gerakan

sosial berorientasi pada perubahan sosial.

2.2. Perilaku Kolektif sebagai Komponen Gerakan Sosial

Sosiologi pada umumnya menghubungkan perilaku

kolektif atau tindakan kolektif dengan respon-respon massif

yang terwujud di dalam ragam gerakan sosial untuk sebuah

perubahan sosial. Menurut Nicholas Abercrombie konsep

perilaku kolektif pertama kali muncul dalam teori kerumunan

dari G. Le Bon di tahun 1895. Pemikirannya yang utama adalah

bahwa ketika terjadi gejolak sosial maka masyarakat akan

terancam oleh aturan kerumunan. Pada saat itu mentalitas

individual akan dikuasai oleh mentalitas kolektif sehingga

38Ibid., 67-70. 39Ibid.,45-46.

Page 20: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

46 Redefinisi Tindakan Sosial …

secara radikal perilaku individual akan ditransformasi menjadi

perilaku kolektif.40

Konsepsi awal perilaku kolektif sebagai tindakan

rasional tersebut kemudian dikembangkan dengan lengkap

oleh Neil Smelser. Ia mendefinisikan perilaku kolektif sebagai

suatu mobilisasi sosial yang berbasiskan kepercayaan dalam

rangka mengartikan kembali tindakan sosial.41 Itu berarti

perilaku kolektif bersangkutan dengan redefinisi kolektif

terhadap suatu keadaan yang tidak terstruktur. Ia berbeda

dengan perilaku konfensional sebab perilaku konfensional

merupakan hasil dari harapan-harapan yang sudah mapan.42

Berdasarkan definisi ini Smelser menyebutkan bahwa perilaku

kolektif dipandu oleh ragam jenis kepercayaan, pengkajian

terhadap situasi, harapan-harapan, dan keinginan-keinginan.

Kepercayaan-kepercayaan yang dimaksudkan oleh Smelser

mencakup kepercayaan akan eksistensi kekuatan-kekuatan

luar biasa (extraordinary forces).

Teori perilaku kolektif Smelser dibangun di atas dua

konstruksi, yaitu konstruksi komponen-komponen tindakan

sosial dan konstruksi proses pertambahan nilai. Yang pertama

adalah bahasa yang dipakai Smelser untuk menggambarkan

dan mengelompokan tindakan sosial, sedangkan yang kedua

adalah cara untuk mengatur faktor-faktor penentu di dalam

model-model eskplanasi.

Smelser mengatakan bahwa menurut logika

pendekatan pertambahan nilai, peristiwa atau situasi apapun

demi menjadi sebuah faktor penentu dari suatu episode

kolektif, maka ia harus terjadi di dalam batas-batas yang

dibuat oleh faktor-faktor penentu yang lain. Dalam bentuknya

40 Nicholas Abercrombie (et.al.), Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2010), 92. 41 Smelser, Theory of Collective Behavior…, 6. 42 Ibid.,23.

Page 21: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 47

yang paling sederhana pendekatan ini melibatkan klaim

bahwa terdapat keseragaman rangkaian empiris tertentu di

dalam perkembangan sebuah episode perilaku kolektif. Di

dalam proses pertambahan nilai ini ia membedakan antara

occurrence atau existence dari suatu peristiwa atau situasi

dengan activation dari peristiwa atau situasi itu sebagai satu

faktor penentu. Logika pertambahan nilai menyatakan secara

tidak langsung suatu rangkaian aktivasi temporal dari faktor-

faktor yang menentukan. Akan tetapi semua faktor penentu ini

mungkin telah ada selama suatu periode yang tidak tentu

sebelum terjadinya aktivasi. Logika inilah yang menentukan

penjelasan dari sebuah episode perilaku kolektif. Singkatnya,

logika pertambahan nilai menempatkan sebuah rangkaian

tertentu bagi aktivasi faktor-faktor penentu, tetapi tidak

menempatkan sebuah rangkaian tertentu bagi pembentukan

secara empirik peristiwa-peristiwa atau situasi-situasi.

Menurut Smelser, peristiwa atau situasi empiris tertentu

mungkin menjadi penting sebagi faktor penentu perilaku

kolektif. Krisis finansial yang hebat misalnya akan

menciptakan deprivasi ekonomi yang meluas dan ketegangan

struktural sehingga dapat mencetuskan satu letupan sosial.

Perpecahan keagamaan yang berlangsung lama, akan

membuat frustrasi setiap kelompok. Di bawah kondisi-kondisi

ketegangan struktural seperti ini, faktor-faktor penentu laten

dapat diaktifkan untuk memberi kontribusi bagi sebuah

ledakan kolektif.43

Pemikiran Smelser yang relevan di sini adalah bahwa

perilaku kolektif dapat dikelompokkan dan dianalisis di bawah

kerangka konseptual yang sama dengan semua perilaku sosial,

dan bahwa bentuk-bentuk perilaku kolektif merupakan

sebuah serial yang bertingkat mulai dari yang sederhana

43Ibid.,19-20..

Page 22: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

48 Redefinisi Tindakan Sosial …

sampai yang kompleks. Bentuk-bentuk yang lebih kompleks

akan mencakup lebih banyak komponen ketimbang bentuk-

bentuk yang lebih sederhana.

Orang-orang yang berada di bawah situasi atau kondisi

ketegangan dapat memobilisir sumber daya mereka untuk

menyusun kembali tata sosial atas nama sebuah keyakinan

umum.44 Artinya, gerakan-gerakan sosial menjadi jalan

rasional yang diambil oleh sekelompok orang yang

menginginkan terjadinya perubahan sosial. Memang proposisi

ini sangat umum dan tidak cukup menolong untuk

menafsirkan data-data aktual ragam perilaku kolektif dalam

gerakan-gerakan sosial. Maka untuk membuatnya lebih

spesifik perlu diidentifikasi sejumlah keyakinan umum yang

berbeda dan kemudian dipertanyakan di bawah kondisi apa

orang akan mengembangkan keyakinan itu dan bertindak di

atasnya. Misalnya gerakan keagaman berorientasi nilai, di

bawah kondisi kondusifitas apa orang-orang akan

mengembangkan nilai-nilai agama dan bertindak di atasnya?

Pertanyaan inilah yang membuat proposisi utama Smelser

dapat diimplikasikan secara metodologis untuk memahami

tipe-tipe, level-level, dan kualitas-kualitas perilaku kolektif di

dalam masyarakat.

Perilaku kolektif memiliki empat komponen utama,

yaitu nilai-nilai (values) sebagai sumber daya umum bagi

legitimasi tindakan sosial, norma-norma (norms) sebagai

patokan regulatif (regulatory standard) dalam berinteraksi,

pengerahan (mobilization) motivasi individu untuk tindakan

yang terorganisir di dalam peran-peran dan kolektifitas-

kolektifitas, fasilitas-fasilitas situasional (situational facilities)

seperti informasi atau pengetahuan, ketrampilan, peralatan,

dan hambatan-hambatan dalam mencapai tujuan yang

44 Ibid., 385.

Page 23: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 49

konkret.45 Berdasarkan keempat komponen ini dapat

dibedakan empat tipologi perilaku kolektif dan gerakan sosial.

Tipologi pertama adalah gerakan berorientasi nilai (the value-

oriented movement) sebagai tindakan kolektif yang dimobilisir

atas nama sebuah keyakinan yang digeneralisasi (generalized

belief) dalam rangka menyusun kembali kembali nilai-nilai

dalam tindakan sosial. Kedua adalah gerakan berorientasi

norma (the norm-oriented movement) sebagai tindakan

kolektif yang dikerahkan untuk menyusun kembali norma-

norma dalam tindakan sosial. Ketiga adalah ledakan tindakan

permusuhan (the hostile outburst) sebagai tindakan kolektif

yang dikerahkan untuk meminta tanggung jawab para aktor

sosial atas keadaan yang tidak diinginkan. Yang keempat

adalah panik (the craze and panic) sebagai bentuk-bentuk

perilaku kolektif yang didasarkan pada redefinisi fasilitas

situasional bersama.46 Gerakan keagamaan adalah fenomena

perilaku kolektif berorientasi nilai yang berupaya untuk

merestorasi, memproteksi, memodifikasi, atau menciptakan

nilai-nilai demi sebuah keyakinan yang digeneralisir.

Keyakinan seperti itu melibatkan semua komponen tindakan

sosial dan mengharapkan rekonstitusi nilai-nilai, redefinisi

norma-norma, reorganisasi motivasi-motivasi individual, dan

redefinisi fasilitas-fasilitas situasional.47

Perilaku kolektif merupakan sebuah mobilisasi

tindakan sosial yang terinstitusionalisasi demi memodifikasi

ketegangan-ketegangan struktural berdasarkan suatu

generalized constitution dari sebuah komponen tindakan

sosial. Secara historis perilaku kolektif sering diasosiasikan

dengan proses reorganisasi struktural komponen-komponen

tindakan sosial. Episode perilaku kolektif sering merupakan

45 Ibid., 25-28. 46 Ibid., 9 47 Ibid., 313.

Page 24: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

50 Redefinisi Tindakan Sosial …

tahap awal dari perubahan sosial yang terjadi ketika kondisi-

kondisi ketegangan telah muncul, sementara sumber daya

sosial belum dimobilisir untuk pemecahan atau penanganan

yang efektif terhadap sumber-sumber ketegangan tersebut.

Di dalam konteks transformasi kebudayaan sebagai

akibat proses globalisasi, Alberto Melluci mengembangkan

juga konsep dan teori perilaku kolektif yang disebutnya

sebagai tindakan kolektif (collective action).48 Berbeda dengan

Smelser yang membangun teori perilaku kolektif di atas dua

konstruksi dasar yaitu konstruksi tindakan sosial dan

konstruksi pertambahan nilai, Melluci lebih memperhatikan

konstruksi identitas kolektif di tengah transformasi budaya

yang sangat luar biasa dalam masyarakat kontemporer.

Perkembangan yang impresif di bidang teknologi komunikasi

telah menciptakan sebuah sistem media sedunia. Salah satu

akibatnya adalah terjadinya konfrontasi resiprokal yang

massif pada kebudayaan-kebudayaan manusia. Di sinilah

dimensi-dimensi kebudayaan tindakan manusia menjadi

sumber daya inti untuk produksi dan konsumsi.

Melluci melihat studi gerakan-gerakan sosial selalu

terbagi oleh warisan dualistik analisis struktural, yaitu analisis

pra kondisi untuk tindakan kolektif dan analisis motivasi-

motivasi individual. Akan tetapi eksplanasi-eksplanasinya

tidak pernah dapat mengatasi kesenjangan antara perilaku

dan makna, antara kondisi-kondisi objektif dengan motif-motif

subjektif dan orientasi-orientasi. Eksplanasi-eksplanasi dari

analisis struktural tidak pernah dapat menjawab persoalan

tentang bagaimana aktor-aktor sosial membentuk sebuah

kolektivitas dan mengakui bahwa diri mereka sendiri adalah

bagian dari kolektivitas itu; bagaimana mereka merawat diri

48 Alberto Melluci, Challenging Codes, Collective Action in the Information

Age (New York: Cambridge Univ. Press, 1996), 13-15.

Page 25: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 51

mereka sendiri dari waktu ke waktu; bagaimana tindakan

bersama dapat dimengerti oleh para partisipan di dalam

sebuah gerakan sosial; atau bagaimana makna tindakan

kolektif datang dari prakondisi-prakondisi struktural atau dari

puncak motif-motif individual.49

Kecenderungan baru gerakan sosial dalam masyarakat

dewasa ini adalah terjadinya pergeseran fokus dari issu kelas

dan ras ke issu-issu kebudayaan. Konflik-konflik sosial dan

aksi-aksi protes yang muncul di dalam masyarakat tidak

terekspresi melalui aksi politik saja, melainkan juga dalam

bentuk tantangan-tantangan kultural terhadap bahasa-bahasa

dominan, terhadap kode-kode yang mengatur informasi dan

membentuk praktek sosial. Dimensi-dimensi krusial

kehidupan sehari-hari, seperti waktu, ruang, relasi

interpersonal, identitas individu dan kelompok, terseret di

dalam konflik-konflik masyarakat. Sementara itu aktor-aktor

baru telah mengklaim otonomi mereka dalam memahami

kehidupan mereka.50 Di sinilah issu identitas dan tindakan

kolektif muncul dalam bentuk gerakan-gerakan sosial dan

kebudayaan.

Melluci menggambarkan masyarakat-masyarakat

kontemporer sebagai sistem-sistem yang sangat

terdiferensiasi, yang menginvestasi penciptaan pusat-pusat

tindakan swatantra individual dan pada saat yang sama

menuntut integrasi yang lebih dekat dan perluasan kontrol

atas motif-motif tindakan manusia. Dalam pandangannya,

gerakan-gerakan sosial mencoba menentang campur tangan

otoritas mapan di dalam kehidupan sosial. Baginya, gerakan-

gerakan sosial memberi kesempatan kepada orang-orang

49Alberto Melluci, “The Process of Collective Identity” dalam Hank Johnston

and Bert Klandermans (Ed.), Social Movements and Culture (Minnesota: The Univ.

Minnesota Press, 1995), 42. 50Ibid.,43.

Page 26: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

52 Redefinisi Tindakan Sosial …

untuk memperoleh kembali hak-hak individual dalam

mendefinisikan identitas mereka dan menentukan kehidupan

pribadi sehingga manipulasi sistem yang omnipresent dan

komprehensif dapat dihindari.51 Oleh karena itu gerakan-

gerakan sosial kontemporer tidak membatasi diri mereka

hanya untuk memperoleh hal-hal yang material, tetapi

menantang pemahaman-pemahaman politik yang difusif di

dalam masyarakat. Aktor-aktor tidak mengharapkan

intervensi otoritas mapan untuk menjamin keamanan dan

kesejahteraan, tetapi bertahan terhadap ekspansi intervensi

ideologis di dalam kehidupan sehari-hari dan

mempertahankan otonomi personal.

Melluci memahami tindakan kolektif sebagai hasil dari

sesuatu yang memiliki tujuan, sumber daya, dan keterbatasan;

sebagai sebuah orientasi yang memiliki maksud tertentu dan

yang dikonstruksi oleh cara-cara relasi-relasi sosial di dalam

sebuah sistem oportunitas dan ketidakleluasaan. Itulah

sebabnya tindakan kolektif tidak dapat dipandang hanya

sebagai efek prakondisi-prakondisi struktural ataupun

ekspresi nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Individu-

individu yang bertindak secara kolektif mengkonstruksi

tindakan mereka berdasarkan investasi-investasi yang

terorganisir, atau dalam terma-terma kognitif, mereka

menentukan the field of possibilities dan ketidakleluasaan yang

mereka rasakan, sementara pada saat yang sama mereka

mengaktifkan relasi-relasi mereka sehingga memberi arti

terhadap keberadaan bersama mereka dan untuk tujuan-

tujuan yang mereka kejar.52

Dalam hal inilah menurut Melluci, unitas sebuah

gerakan sosial atau gerakan keagamaan harus dipandang

51 Porta, Social Movements…,9. 52 Melluci, The Process of Collective Identity…, 43.

Page 27: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 53

sebagai sebuah hasil ketimbang sebuah titik berangkat, sebuah

fakta yang perlu dijelaskan ketimbang sebuah evidence.

Peristiwa-peristiwa di mana sejumlah individu bertindak

secara kolektif mengkombinasikan perbedaan orientasi-

orientasi yang melibatkan aktor-aktor dari banyak bagian dan

melibatkan sebuah sistem opportunitas serta kendala yang

membentuk relasi-relasi mereka. Aktor-aktor memproduksi

tindakan kolektif karena mereka dapat mendefinisikan diri

mereka sendiri dan hubungan-hubungan mereka dengan suatu

lingkungan. Definisi yang dikonstruksi oleh aktor-aktor ini

tidak bersifat linear tetapi diproduksi oleh interaksi, negosiasi,

dan oposisi dari orientasi-orientasi yang berbeda.

Individu-individu atau sub-sub kelompok

berkontribusi pada formasi kekitaan dengan memberikan tiga

aturan orientasi umum, yakni hal-hal yang berhubungan

dengan akhir tindakan, hal-hal yang berhubungan dengan

cara-cara, upaya, atau sarana, posibilitas dan batasan-batasan

tindakan, dan hal-hal yang berhubungan dengan relasi-relasi

dengan lingkungan atau bidang di mana tindakan terjadi.

Melluci menyebut identitas kolektif ini sebagai proses

konstruksi sistem tindakan.53 Dengan demikian identitas

kolektif adalah sebuah definisi interaktif dan bersama yang

dibuat oleh beberapa individu atau kelompok dan dengan

memperhatikan orientasi-orientasi tindakan dan bidang

oportunitas dan ketegangan di mana suatu tindakan terjadi.

Sehubungan dengan itu Melluci menekankan beberapa

hal. Pertama, identitas kolektif sebagai sebuah proses sangat

terkait dengan definisi-definisi kognitif mengenai tujuan-

tujuan, cara-cara, dan bidang tindakan. Elemen-elemen

tindakan kolektif yang berbeda ini didefinisikan dalam sebuah

bahasa yang dimiliki bersama oleh sebagian atau keseluruhan

53Ibid.,44.

Page 28: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

54 Redefinisi Tindakan Sosial …

masyarakat atau yang spesisfik bagi sebuah kelompok. Mereka

tergabung dalam sekumpulan ritual, praktek hidup, artefak-

artefak kultural. Kedua, identitas kolektif sebagai sebuah

proses menunjuk pada jejaring (network) relasi-relasi yang

aktif antara aktor-aktor yang berinteraksi, berkomunikasi,

memengaruhi satu sama lain, bernegosiasi, dan membuat

keputusan-keputusan bersama. Bentuk-bentuk organisasi,

model-model kepemimpinan, saluran-saluran komunikatif,

dan teknologi komunikasi merupakan bagian-bagian

konstitutif dari jejaring relasi-relasi ini. Ketiga, diperlukannya

sebuah derajat investasi emosional, yang memampukan

individu-individu untuk merasa seperti bagian dari suatu

kesatuan umum di dalam konseptualiasi identitas kolektif.

Terma identitas secara umum digunakan oleh Melluci untuk

menunjuk pada kelanggengan sebuah subjek tindakan dari

waktu ke waktu dan yang tidak dipengaruhi oleh perubahan-

perubahan lingkungannya. Identitas menyatakan secara tidak

langsung pemahaman akan kesatuan dengan batas-batas yang

tetap dari sebuah subjek. Identitas menyatakan sebuah relasi

antara dua aktor yang memungkinkan rekognisi mutual

mereka. Dengan demikian pemahaman tentang identitas selalu

menunjuk pada tiga elemen, yaitu kontinuitas sebuah subjek

terhadap berbagai variasi dan adaptasinya dengan lingkungan,

delimitasi subjek tersebut berkenaan dengan yang lain, dan

kemampuan subjek untuk mengenal dan dikenal. Oleh karena

itu identitas kolektif mengandaikan atau mensyaratkan tiga

hal. Pertama adalah kemampuan refleksi diri (self-reflective

ability) dari aktor-aktor sosial. Tindakan kolektif bukan hanya

sebuah reaksi terhadap kendala-kendala sosial dan

lingkungan, ia juga memproduksi orientasi-orientasi dan

makna-makna simbolik yang dapat dikenali oleh aktor. Kedua,

identitas kolektif memerlukan sebuah pemahaman kausalitas

Page 29: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 55

dan rasa memiliki, yang dengannya aktor-aktor dapat

menghubungkan efek-efek tindakan-tindakan mereka

terhadap mereka sendiri. Ketiga, identitas kolektif

memerlukan kemampuan aktor untuk melihat atau

mempersepsikan durasi yang memampukan aktor-aktor untuk

membuat relasi antara masa lalu dan masa datang serta untuk

mengikat tindakan pada efek-efeknya.54

Tindakan kolektif adalah sebuah proses belajar menuju

formasi dan pemeliharaan aktor-aktor empiris yang disatukan.

Inilah esensi gerakan sosial dalam pemahaman Melluci. Saat

melewati berbagai tingkat, aktor-aktor kolektif

mengembangkan sebuah kapasitas untuk memecahkan

masalah-masalah yang datang dari lingkungannya dan secara

meningkat menjadi aksi yang indipenden dan otonom. Oleh

karena itu menurut Melluci proses tindakan kolektif adalah

juga kemampuan untuk menghasilkan definisi baru dengan

mengintegrasikan masa lalu dan memunculkan elemen-

elemen dari masa sekarang ke dalam satu unitas dan

kontinuitas aktor kolektif.55

Kerangka teori Melluci dengan konsepsi identitas dan

tindakan kolektif dalam konteks transformasi budaya menjadi

penting untuk melengkapi konstruksi teori Smelser dengan

pendekatan struktur sosialnya. Kolaborasi ini relevan seiring

terjadinya pergeseran ke arah persoalan-persoalan baru

tentang bagaimana orang memahami dunia mereka,

bagaimana orang menghubungkan diri dengan teks-teks,

praktek-praktek, dan artefak-artefak sehingga produk-produk

kultural memiliki makna yang relevan dan aktual.

Arah pemikiran ini memunculkan pengakuan bahwa

pendekatan-pendekatan terhadap studi gerakan-gerakan

54 Ibid., 45-46. 55Ibid.,49.

Page 30: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

56 Redefinisi Tindakan Sosial …

keagamaan telah memodifikasi posisi metodologisnya. Pusat

perhatian tidak saja diberikan pada ketegangan-ketegangan

struktural yang ada di dalam masyarakat, tetapi pada saat

yang sama diberikan juga pada aktor-aktor. Karakteristik

inovatif dari gerakan-gerakan sosial tidak saja terletak pada

redefinisi diri dalam hubungan dengan sistem produksi tetapi

juga pada redefinisi diri dalam hubungan dengan identitas

kultural.

2.3. Gerakan Keagamaan sebagai Gerakan Sosial

Berorientasi Nilai

Dengan pendekatan struktural fungsionalis yang

berakar pada tradisi Marxist, seperti yang dilakukan oleh

Smelser dan pendekatan budaya seperti yang dilakukan oleh

Melluci, gerakan-gerakan sosial dapat dilihat sekaligus sebagai

side-effects dari ketegangan-ketegangan struktural dan

transformasi sosial yang sangat cepat. Di dalam sebuah sistem

yang dibuat dari subsistem-subsistem yang seimbang, perilaku

kolektif sebagai komponen utama gerakan sosial menyatakan

ketegangan-ketegangan yang tidak dapat diabsorsi oleh

mekanisme keseimbangan relasi dan struktur sosial dalam

jangka waktu singkat. Di saat terjadinya transformasi-

transformasi yang berskala besar dan cepat, kemunculan

gerakan-gerakan sosial memiliki makna ganda. Pada satu sisi

gerakan-gerakan sosial merefleksikan ketidakmampuan

lembaga-lembaga dan mekanisme kontrol sosial untuk

mereproduksi kohesi sosial. Di pihak lain gerakan-gerakan

sosial menjadi upaya masyarakat untuk menanggapi situasi-

situasi krisis dengan jalan mengembangkan kepercayaan

bersama sebagai dasar-dasar solidaritas.56 Oleh karena itu

gerakan sosial dapat didefinisikan sebagai sebagai tindakan-

56 Porta, Social Movements…, 7.

Page 31: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 57

tindakan kolektif yang rasional, bertujuan, dan terorganisasi.

Tindakan kolektif yang menjadi komponen dasar suatu

gerakan sosial datang dari sebuah kalkulasi untung rugi yang

dipengaruhi oleh adanya sumber-sumber daya, khususnya

oleh organisasi dan oleh interaksi-interaksi yang strategis.

Dalam suatu situasi historis di mana perasaan-perasaan

gelisah, perbedaan opini, konflik kepentingan, dan ideologi

yang bertentangan selalu hadir, munculnya tindakan kolektif

tidak dapat dijelaskan secara sederhana sebagai yang

disebabkan oleh elemen-elemen psikologis. Kita juga harus

mempelajari kondisi-kondisi sosial dan kebudayaan yang

memampukan perasaan tidak senang tertransformasi ke

dalam mobilisasi.

Menurut Sztompka tindakan atau perilaku kolektif

sebagai komponen utama di dalam konsep atau definisi

gerakan sosial bertujuan untuk terjadinya perubahan di dalam

masyarakat.57 Berdasarkan hal tersebut gerakan sosial dapat

diartikan sebagai tindakan kolektif yang diorganisir secara

longgar, tanpa cara terlembaga untuk menghasilkan

perubahan dalam masyarakat mereka.58 Definisi ini sejalan

dengan konsepsi-konsepsi tindakan sosial dan perilaku

kolektif dalam konteks struktur sosial dan transformasi

kebudayaan. Itu berarti gerakan-gerakan sosial menekankan

ciri-ciri yang sama, yaitu selalu melibatkan perilaku kolektif

dan adanya keterkaitan dengan perubahan sosial.

Untuk dapat menghasilkan perubahan sosial, gerakan

sosial perlu mendapat dukungan dari faktor-faktor lain.

Gerakan sosial tidak muncul dalam kevakuman, tetapi muncul

di dalam waktu historis tertentu, terkait dengan proses sosial

dan berupaya memengaruhi jalannya sejarah. Berkaitan

57 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, diterjemahkan oleh

Alimandan (Jakarta: Prenada, 1993), 323. 58Ibid., 325.

Page 32: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

58 Redefinisi Tindakan Sosial …

dengan tempat terjadinya perubahan sosial yang diakibatkan

oleh gerakan sosial, Sztompka mengatakan bahwa sebagian

besar perubahan yang dihasilkan oleh gerakan sosial adalah

adalah perubahan internal dan eksternal. Perubahan internal

menyangkut proses asal usul gerakan sosial, mobilisasi

tindakan, dan pengembangan struktur gerakan. Sedangkan

perubahan eksternal menyangkut pengaruh gerakan terhadap

struktur sosial dan kultural masyarakatnya.59

Gerakan-gerakan sosial akan sangat menonjol di saat

dan di dalam masyarakat yang mengalami perubahan sosial

dan transformasi budaya yang cepat. Berdasarkan

pemahaman ini Sztompka menyebut gerakan sosial sebagai

bagian sentral dari modernitas. Modernisasi dengan

urbanisasi dan industrialisasinya telah mengakibatkan

kepadatan penduduk di sebuah kawasan sempit dan

menimbulkan kepadatan moral penduduk yang besar.

Modernitas mengakibatkan atomisasi dan isolasi individu

dalam relasi-relasi yang bersifat impersonal. Orang-orang

yang mengalami keterasingan, kesepian dan

penjungkirbalikan nilai kemudian mendambakan komunitas,

solidaritas, dan kebersamaan. Hal ini ditemukan dalam

keanggotaan pada sebuah gerakan sosial. Modernitas

melahirkan ketimpangan sosial dan menimbulkan pengalaman

eksploitasi, penindasan, dan ketidakadilan, yang semuanya

menjadi bibit-bibit permusuhan dan konflik antar kelompok.

Modernitas dengan transformasi demokratisnya membuka

peluang bagi tindakan kolektif massa rakyat.60 Jadi, perubahan

struktur sosial dan kultural yang diakibatkan oleh modernisasi

menjadi faktor-faktor pendukung bagi munculnya ragam

gerakan sosial di dalam masyarakat modern. Pemikiran ini

59 Ibid., 326-328. 60 Ibid.,330-331.

Page 33: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 59

merangkul konsepsi Smelser tentang perilaku kolektif yang

terkondisikan oleh ketegangan-ketegangan struktural yang

ada dalam masyarakat dan konsepsi Melluci tentang

transformasi budaya yang mengakibatkan resistensi identitas

kultural.

Dalam konsepsi Smelser tentang perilaku kolektif

terdapat dua tipe gerakan sosial, yaitu gerakan gerakan

berorientasi norma dan gerakan berorientasi nilai. Pembedaan

ini didasarkan pada komponen-komponen dasar tindakan

sosial dan perilaku kolektif. Gerakan berorientasi Norma (the

Norm-oriented Movement) bertujuan untuk merestorasi,

memproteksi, memodifikasi, atau menciptakan norma-norma

sosial. Ia menuntut sebuah peraturan, hukum, agen regulasi

yang disusun untuk mengawasi perilaku individu-individu

yang tidak efektif, tidak memadai, dan tidak bertanggung

jawab.61 Sementara gerakan berorientasi nilai (the Value-

oriented Movement) mengharapkan terjadinya modifikasi

konseptual tentang alam, tempat manusia di dalamnya, relasi

manusia dengan sesamanya, dan relasi manusia dengan

lingkungan alamnya. Tidak jarang ia terasosiasi dengan

pembentukan kultus yang memisahkan diri dari induk

organisasi keagamaan atau politik. Oleh sebab itu pada

umumnya gerakan-gerakan keagamaan baru masuk dalam tipe

gerakan ini. Berdasarkan sifat-sifat itu maka karakter utama

dari gerakan berorientasi nilai adalah mobilisasi tindakan

demi mewujudkan sebuah regenerasi diri dan masyarakat

yang menduduki sebuah tempat di dalam struktur

kepercayaan internal. 62 Kedua tipe ini berangkat dari

komponen tindakan sosial dan perilaku kolektif yang berbeda,

tetapi keduanya melibatkan kepercayaan yang memiliki

61 Smelser, Theory of Colletive Behavior..., 109. 62 Ibid., 121-122.

Page 34: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

60 Redefinisi Tindakan Sosial …

hubungan erat satu sama lain dan dapat dilihat sebagai upaya

untuk menyusun kembali komponen-komponen tindakan

sosial.

Gerakan berorientasi nilai adalah sebuah upaya

kolektif untuk merestorasi, memproteksi, memodifikasi, atau

menciptakan nilai-nilai demi sebuah kepercayaan umum.63

Kepercayaan seperti itu perlu melibatkan semua komponen

tindakan, yaitu rekonstitusi nilai-nilai, redefinisi norma,

reorganisasi motivasi individu, dan redefinisi fasilitas

situasional.

Kepercayaan-kepercayaan berorientasi nilai dapat

terbentuk oleh item-item kultural pribumi, atau item-item

yang diimport dari luar budaya, atau yang paling sering adalah

terbentuk oleh sinkretisme. Kepercayaan-kepercayaan seperti

itu melibatkan restorasi nilai-nilai masa lampau, pelestarian

nilai-nilai terkini, penciptaan nilai-nilai baru untuk masa

depan, atau percampuran dari hal-hal yang disebutkan tadi.64

Gerakan berorientasi nilai keagamaan menekankan beberapa

klasifikasi, seperti gerakan keagamaan pesimistik, gerakan

keagamaan perfeksionis, gerakan keagamaan legalistik,

gerakan keagamaan egosentrik, dan gerakan keagamaan

esoterik.

Berdasarkan kontruksi pertambahan nilai, mekanisme

munculnya gerakan-gerakan keagamaan akan dimulai ketika

agama menjadi kepentingan dominan. Ini adalah pernyataan

yang sederhana tetapi kuat tegas tentang dimensi utama

kondusifitas struktural, yaitu suatu jenjang di mana sebuah

sistem nilai terdeferensiasi dari komponen-komponen

tindakan yang lain. Ketika nilai tidak terdeferensiasi dari

norma, maka melanggar norma berarti melibatkan

63 Ibid.,313. 64 Ibid.,314.

Page 35: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 61

penyimpangan terhadap nilai umum. Oleh hal ini

ketidakpuasan-ketidakpuasan yang spesifik dengan

aransemen-aransemen sosial apapun pada akhirnya akan

menjadi protes keagamaan, atau secara lebih umum, protes

terhadap nilai-nilai.65 Di dalam sebuah seting teokratis

misalnya, keberatan terhadap gaya-gaya artistik dan arsitektur

menjadi persoalan moral dan teologis, ketimbang persoalan

cita rasa semata. Di bawah kondisi seperti itu kritisisme

estetik tidak terdiferensiasi dari penghinaan moral. Oleh sebab

itu harus ada sebuah diferensiasi antara agama dan ideology,

antara nilai-nilai ultimate dan cara-cara yang diusulkan di

mana nilai-nilai itu dapat diaktifkan. Di dalam masyarakat

tradisional tidak ada diskriminasi seperti ini. Perbedaan opini

tentang kebijakan sosial dipandang sebagai perbedaan dalam

komitmen keagamaan. Inovator-inovator sosial dipandang

sebagai heresy keagamaan. Akan tetapi dalam masyarakat

modern ada sebuah diferensiasi antara level agama dan level

ideology sosial yang melahirkan fleksibilitas yang lebih luas

bagi kedua level itu. Oleh karena itu ketika suatu pandangan

dunia bersifat keagamaan, maka protes terhadap dunia selalu

menjadi terdefinisi di dalam terma-terma keagamaan.

Jika sebuah situasi sosial didefinisikan seluruhnya di

dalam terma-terma orientasi nilai, maka setiap protes niscaya

adalah orientasi nilai. Namun demikian jenis kondusifitas ini

tidak pernah ada dalam bentuk yang murni. Kondisi-kondisi

kondusivitas lain menentukan juga mengapa sebuah gerakan

berorientasi nilai muncul, dan bukan tipe ledakan sosial yang

lain. Di antara yang paling penting dari kondisi-kondisi ini

adalah ketersediaan cara untuk mengekspresikan protes atau

permusuhan di antara sebuah populasi yang menderita oleh

karena suatu ketegangan. Banyak gerakan keagamaan muncul

65 Ibid.,320.

Page 36: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

62 Redefinisi Tindakan Sosial …

dari kelas-kelas sosial yang rendah yang telah dicegah masuk

ke dalam proses sosialisasi.

Gerakan-gerakan sosial berorientasi nilai akan muncul

ketika cara-cara alternatif untuk menyusun kembali situasi

sosial dilihat dan dirasakan tidak tersedia. Ketidaktersediaan

ini memiliki tiga aspek utama. Pertama, suatu kelompok yang

merasa diperlakukan kurang adil (aggrieved) tidak memiliki

fasilitas untuk dapat menyusun kembali suatu situasi sosial.

Kelompok seperti itu menduduki kesejahteraan, kekuasaan,

dan harga diri yang rendah, atau ketiadaan akses terhadap

alat-alat komunikasi. Kedua, suatu kelompok yang merasa

diperlakukan kurang adil dilarang atau dicegah untuk

mengekspresikan rasa dan sikap ketidakpuasan mereka

terhadap orang-orang atau kelompok yang dianggap

bertanggung jawab terhadap suatu gangguan keadaan. Ketiga,

kelompok yang merasa diperlakukan kurang adil tidak dapat

memodifikasi struktur normatif dan tidak dapat

mempengaruhi mereka yang memiliki kuasa untuk melakukan

hal itu.66

Persoalan selanjutnya yang menjadi perhatian adalah

adanya sekumpulan kepercayaan berorientasi nilai yang di

dalamnya semua fokus ketegangan dapat ditafsirkan dan

adanya seorang pemimpin yang muncul untuk menjadi simbol

kumpulan kepercayaan itu. Jika kepercayaan berorientasi nilai

tidak mengkristal, maka respon terhadap ketegangan tidak

akan bersifat kolektif, sebab kelompok yang merasa dirugikan

tidak memiliki sebuah definisi umum bersama akan suatu

situasi. Ketiadaan suatu keyakinan umum hanya akan

melahirkan aksi protes yang segmentis, bukan sebuah gerakan

berorientasi nilai yang terkordinasi dan kolektif.67

66 Ibid.,325. 67 Ibid.,380.

Page 37: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 63

Setelah melihat konsepsi gerakan sosial dari perspektif

struktur sosial, perlu dilihat juga konsepsi gerakan sosial

dalam perspektif analisis kultural yang secara implisit

terdapat dalam karya Manuel Castells, The Power of Identity.

Castells berangkat dari konsep tentang identitas dan lebih

fokus pada identitas kolektif ketimbang identitas individual.

Berdasarkan konsep itu Castells melihat gerakan-gerakan

keagamaan sebagai komune-komune yang berbasis pada apa

yang disebutnya resistance identity yang bereaksi terhadap

proses perubahan sosial dari masyarakat industri ke

masyarakat jejaring (network society).68 Castells membuat

analisis korelatif tentang Globalisasi, informasionalisasi, dan

gerakan-gerakan sosial dengan mengedepankan tiga catatan

metodologis yang dianggapnya penting. Pertama, gerakan-

gerakan sosial harus dipahami di dalam terma-terma mereka

sendiri, sebab praktek-praktek mereka adalah definisi diri

mereka juga. Dalam hal ini menurutnya adalah penting untuk

membuat hubungan antara gerakan-gerakan, sebagaimana

yang terdefinisikan oleh praktek mereka sendiri, nilai-nilai

mereka, wacana-wacana mereka, dan proses-proses sosial

yang dengannya mereka terasosiasi, contohnya globalisasi,

informasionaliasi, krisis demokrasi representatif, dan

dominasi politik simbolik dalam ruang media. Dalam

analisisnya, Castells mencoba membuat tiga operasi, yaitu

pertama, karakterisasi dari setiap gerakan yang berkenaan

dengan dinamika spesifiknya sendiri dan interaksinya dengan

proses-proses yang lebih luas yang menimbulkan

eksistensinya. Kedua, gerakan-gerakan sosial secara sosial

dapat bersifat konservatif atau revolusioner, atau keduanya,

atau tidak keduanya. Dari perspektif analitikal, tidak ada

68 Manuel Castells, The Power of Identity (Malden MA: Blackwell Publishing,

2003), 7.

Page 38: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

64 Redefinisi Tindakan Sosial …

gerakan-gerakan sosial yang buruk dan baik, semuanya

merupakan symptom masyarakat kontemporer dan semuanya

berdampak pada struktur sosial dengan intensitas dan hasil

yang bervarian yang harus ditetapkan melalui penelitian.

Gerakan-gerakan sosial itu dapat dipandang sebagai tanda-

tanda adanya konflik-konflik sosial baru dan munculnya

embrio-embrio resitensi sosial. Ketiga, gerakan-gerakan sosial

keagamaan dalam masyarakat kontemporer seharusnya

dikategorikan berkenaan dengan tipologi klasik dari Allan

Touraine yang mendefinsikan gerakan sosial dengan tiga

prinsip, yaitu identitas gerakan, musuh gerakan, visi gerakan

atau model sosial gerakan atau societal goal dalam istilah

Castells sendiri. Menurutnya identitas menunjuk pada definisi

diri suatu gerakan tentang siapa dia dan atas nama siapa ia

berbicara. Musuh gerakan menunjuk pada musuh-musuh

utama gerakan, sebagaimana secara tegas diidentifikasi oleh

gerakan itu sendiri. Visi gerakan menunjuk pada jenis tatanan

sosial atau organisasi sosial yang ingin diraihnya lewat

tindakan kolektifnya di dalam horison sejarah.69

Mengkaji gerakan-gerakan sosial berarti berarti

memusatkan perhatian terutama pada persoalan bagaimana

ide-ide, individu-individu, event-event, dan organisasi-

organisasi terhubung satu sama lain di dalam proses-proses

tindakan kolektif.70 Persoalan utama dalam kajian itu adalah

bagaimana ide-ide, individu-individu, kejadian-kejadian, dan

organisasi-organisasi terhubung satu sama lain di dalam

proses-proses aksi kolektif yang lebih besar. Oleh sebab itu

ada empat rumpun persoalan yang harus dijelaskan. Pertama,

persoalan-persoalan yang berkenaan dengan hubungan antara

perubahan struktural dengan transformasi-transformasi di

69Ibid.,74. 70 Porta, Social Movements…, 5.

Page 39: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 65

dalam patron-patron konflik sosial. Pertanyaan-

pertanyaannya adalah dapatkah kita melihat gerakan-gerakan

sosial sebagai ekspresi-ekspresi konflik? Apakah telah ada

perubahan-perubahan di dalam konflik-konflik utama yang

ditangani oleh gerakan-gerakan sosial? Pertanyaan ini sejalan

dengan pendekatan fungsional struktural Smelser. Kedua,

persoalan-persoalan yang terkait dengan peran representasi-

representasi kultural di dalam konflik sosial. Pertanyaan-

pertanyaannya adalah bagaimana problem-problem sosial

teridentifikasi sebagai objek-objek potensial dari aksi kolektif?

Bagaimana aktor-aktor sosial tertentu dapat mengembangkan

perasaan komunalitas dan mengidentifikasikan diri dengan

kolektivitas subjektif yang sama? Bagaimana peristiwa-

peristiwa protes yang spesifik dapat dirasakan sebagai bagian

dari suatu konflik yang sama? Dari manakah budaya-budaya

dan nilai-nilai gerakan sosial berasal? Pertanyaan-pertanyaan

ini sejalan dengan pendekatan identitas kolektif Alberto

Melluci. Ketiga, persoalan-persoalan yang berkenaan dengan

proses yang olehnya nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan

ide-ide beralih menjadi aksi kolektif. Pertanyaan-

pertanyaannya adalah bagaimana mungkin untuk

mengerahkan dan menghadapi resiko-resiko dan kerugian-

kerugian dari aktifitas protes? Apa peranan identitas-identitas,

simbol-simbol, emosi-emosi, organisasi-organisasi dan

jaringan-jaringan dalam menjelaskan titik awal dan persistensi

aksi kolektif? Bentuk-bentuk apa yang diambil oleh organisasi-

organisasi di dalam upaya mereka untuk memaksimalkan

kekuatan tantangan-tantangan kolektif dan hasil-hasilnya?

Keempat, persoalan-persoalan yang berkenaan dengan

bagaimana konteks sosial, politik dan kultural tertentu

Page 40: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

66 Redefinisi Tindakan Sosial …

mempengaruhi kesempatan-kesempatan keberhasilan

gerakan-gerakan sosial dan format-format yang diambilnya.71

Akibat dari proses-proses konfergensi dalam

masyarakat global ini, identitas-identitas lokal terkuras habis.

Apa yang kelihatan sekarang adalah munculnya resistensi

identitas yang kuat, yang mempertahankan diri dan

kehidupannya di dalam komune-komune kultural yang sering

dianggap sebagai daerah yang paling aman dan yang menolak

untuk dibilas bersih oleh arus-arus global dan individualisme

radikal. Orang-orang membangun komune-komune mereka di

sekitar nilai-nilai tradisional tentang Tuhan, bangsa, dan

keluarga, serta mencari tempat yang aman di balik lambang-

lambang etnis dan defensif teritorial.72 Dalam hal munculnya

ragam gerakan sosial keagamaan di dalam masyarakat

kontemporer, apa yang menjadi isu kunci adalah bubarnya

legitimizing identity, menguatnya resistance identity dan

dimulainya project identity. Apabila proses ini bergerak secara

melingkar atau spiral, maka projek identity itu sendiri akan

menjadi legitimizing identity yang baru di dalam masyarakat

sipil yang baru. Dalam hal ini Castells tidak menjadi preskriptif

atau profetis, tetapi ia mencoba mengelaborasi hasil-hasil

sementara dari observasinya tentang gerakan-gerakan sosial

dan proses-proses politik. Itu berarti, project identities tidak

muncul dari identitas-identitas sebelumnya dari masyarakat

sipil di era industry, tetapi hasil perkembangan resistance

identity. Pertanyaannya kemudian, bagaimana projects identity

dapat muncul dari resistence identity? Dalam beberapa kasus

sebuah gerakan sosial yang dibangun di sekitar identitas

resistensial keagamaan dan kultural tidak berarti bahwa ia

akan selalu berkembang ke arah bangunan project identity.

71Ibid.,6. 72 Castells, The Power of Identity…, 421.

Page 41: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 67

Mungkin saja ia tetap menjadi sebuah komune defensif atau

menjadi sebuah kelompok kepentingan. Namun dalam kasus

lain, identitas resistensial dapat berkembang menjadi project

identities, yang tujuannya adalah untuk melakukan

tranformasi masyarakat secara keseluruhan.73 Itu berarti

komune-komune keagamaan atau gerakan-gerakan

keagamaan mungkin saja berkembang menjadi gerakan-

gerakan fundamentalis agama yang ditujukan untuk

revitalisasi nilai-nilai moral, etika dan spiritual masyarakat

dalam satu komunitas orang beragama yang baru. Artinya,

mendirikan sebuah masyarakat agama yang baru.

3. Kesimpulan

Dalam perspektif sosiologis, agama adalah bagian dari

struktur sosial dan yang mempengaruhi interaksi-interaksi

sosial. Pokok-pokok kepercayaan dan pola-pola perilaku

keagamaan terkonstruksi secara sosial melalui hubungan-

hubungan yang ada di dalam masyarakat. Oleh sebab itu

agama sebagai sebuah fenomena sosial dapat dideskripsikan

dan dianalisis dengan memakai konsepsi-konsepsi sosiologis.

Gerakan-gerakan keagamaan yang sering kali muncul

di dalam sebuah masyarakat yang mengalami akselerasi

perubahan sosial secara signifikan adalah bagian dari

fenomena sosial. Perubahan-perubahan interaksi dan struktur

sosial sebuah masyarakat dapat memicu munculnya ragam

gerakan sosial yang melibatkan elemen-elemen keagamaan

seperti kepercayaan-kepercayaan fundamental dan nilai-nilai

serta norma-norma kehidupan. Oleh sebab itu konsepsi-

konsepsi gerakan-gerakan sosial dapat dipakai sebagai

kerangka analisis untuk memahami gerakan-gerakan

keagamaan. Ada tiga konsepsi utama yang penting untuk

73Ibid., 422.

Page 42: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

68 Redefinisi Tindakan Sosial …

dijadikan kerangka teori dan analisis bagi kemunculan dan

perkembangan gerakan-gerakan keagamaan, yaitu konsepsi

tindakan sosial, perilaku kolektif, dan gerakan sosial

berorientasi nilai. Konsepsi tindakan sosial mengasumsikan

bahwa tindakan keagamaan adalah tipe khusus dari tindakan

sosial. Oleh sebab itu tindakan keagamaan selalu bersifat

rasional, normatif, dan situasional. Pada tataran kolektif,

tindakan keagamaan dapat dimobilisasi menjadi pola-pola

perilaku kolektif berdasarkan kepercayaan-kepercayaan

fundamental yang dimiliki secara bersama. Mobilisasi perilaku

kolektif yang berbasis pada tindakan-tindakan sosial dengan

berdasarkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan seringkali

berhubungan dengan perubahan-perubahan sosial yang

menyentuh pada aspek nilai-nilai dasar kehidupan sosial.

Itulah sebabnya gerakan-gerakan keagamaan seringkali

merupakan gerakan-gerakan sosial yang berorientasi nilai

yang ditujukan untuk menentang perubahan sosial yang

mengancam nilai-nilai dasar kehidupan atau sebaliknya

ditujukan untuk melakukan perubahan sosial demi

memperbaiki tatanan nilai dalam kehidupan sebuah

masyarakat. Secara antropologis gerakan-gerakan keagamaan

adalah bagian dari mekanisme konstruksi identitas dari

sebuah kelompok masyarakat di tengah perubahan sosial.

Ruang-ruang sosial yang semakin terbuka bagi interaksi lintas

budaya memicu komunitas-komunitas lokal untuk

mengkonstruksi identitas mereka sehingga item-item kultural

termasuk agama tetap memilki makna dalam kehidupan

mereka.

Dengan kerangka berpikir di atas maka gerakan-

gerakan keagamaan tidak dapat dipahami hanya sebagai

gerakan sekte atau bidat yang muncul sebagai reaksi terhadap

ajaran-ajaran dan praktek-praktek keagamaan itu sendiri.

Page 43: 03 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/2/D_762010701_BAB II.pdfSosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian

Sosiologi Gerakan Keagamaan 69

Gerakan-gerakan keagamaan bukan juga sebuah fenomena

perilaku individual yang dikondisikan oleh emosi-emosi dan

kondisi-kondisi mental yang patologis. Sebaliknya gerakan-

gerakan keagamaan lebih baik dipahami sebagai salah satu

tipologi gerakan sosial yang melibatkan komponen-komponen

utama kehidupan sosial.

---