02.BABI Vsdafsafsadfa kk

56
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Lansia adalah seseorang yang mencapai umur 60 tahun ke atas (Nugroho, 2000 dikutip dari Undang-Undang No. 13 Tahun 1998). Secara individu, pada usia diatas 55 tahun terjadi proses penuaan secara alamiah (Nugroho, 2000). Untuk mendukung stabilitas kesehatan pada lansia dapat diupayakan antara lain dengan nutrisi, olahraga, istirahat, lingkungan yang aman dan nyaman. Sehingga dari dukungan tersebut, diharapkan Umur Harapan Hidup lansia akan meningkat. Pada tahun 2000 diperkirakan jumlah lanjut usia meningkat menjadi 9,99 % dari seluruh penduduk Indonesia (22.277.700 jiwa) dengan umur harapan hidup 65 – 67 tahun, dan pada tahun 2020 akan meningkat menjadi 11,09 % atau 29.120.000 jiwa lebih dengan umur harapan hidup mencapai 70 sampai 75 tahun (Nugroho, 2000). Jumlah lansia di Jawa Tengah hasil sensus penduduk mencapai 2.863.994 jiwa (BPS, 2000). Dari data yang peneliti dapat di Panti Wredha Pucang Gading Semarang pada bulan Januari 2007, dari 115 penghuni Panti sebanyak 30 lansia atau 43,47 % mengalami jatuh. Memang tidak dapat dibantah, bila seseorang bertambah tua, kemampuan fisik dan mental hidupnya pun akan perlahan-lahan pasti menurun. Semua perubahan tersebut khususnya pada perubahan fisik misalnya perubahan pada sistem penglihatan, persarafan, dan muskuloskeletal. Dampak dari perubahan

description

kk

Transcript of 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

Page 1: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Lansia adalah seseorang yang mencapai umur 60 tahun ke atas (Nugroho,

2000 dikutip dari Undang-Undang No. 13 Tahun 1998). Secara individu, pada

usia diatas 55 tahun terjadi proses penuaan secara alamiah (Nugroho, 2000).

Untuk mendukung stabilitas kesehatan pada lansia dapat diupayakan antara lain

dengan nutrisi, olahraga, istirahat, lingkungan yang aman dan nyaman. Sehingga

dari dukungan tersebut, diharapkan Umur Harapan Hidup lansia akan meningkat.

Pada tahun 2000 diperkirakan jumlah lanjut usia meningkat menjadi 9,99

% dari seluruh penduduk Indonesia (22.277.700 jiwa) dengan umur harapan

hidup 65 – 67 tahun, dan pada tahun 2020 akan meningkat menjadi 11,09 % atau

29.120.000 jiwa lebih dengan umur harapan hidup mencapai 70 sampai 75 tahun

(Nugroho, 2000). Jumlah lansia di Jawa Tengah hasil sensus penduduk mencapai

2.863.994 jiwa (BPS, 2000). Dari data yang peneliti dapat di Panti Wredha

Pucang Gading Semarang pada bulan Januari 2007, dari 115 penghuni Panti

sebanyak 30 lansia atau 43,47 % mengalami jatuh.

Memang tidak dapat dibantah, bila seseorang bertambah tua, kemampuan

fisik dan mental hidupnya pun akan perlahan-lahan pasti menurun. Semua

perubahan tersebut khususnya pada perubahan fisik misalnya perubahan pada

sistem penglihatan, persarafan, dan muskuloskeletal. Dampak dari perubahan

Page 2: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

tersebut, lansia akan mengakibatkan aktifitas lansia menjadi menurun. Perubahan

tersebut mengakibatkan kelambanan bergerak, langkah pendek-pendek,

penurunan irama, kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung gampang

terpeleset atau tersandung sehingga lansia mudah terjatuh (Nugroho, 2000).

Jatuh dan kecelakaan pada lansia merupakan penyebab kecacatan yang

utama (Gallo, Reuchell & Andersen, 1998). Jatuh secara singkat bisa diartikan

sebagai “ a person coming to rest on the ground or another lower level “ atau

dengan kata lain suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata, yang

melibatkan suatu kejadian yang menyebabkan seseorang mendadak terbaring atau

terduduk dilantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan

kesadaran atau luka (Reuben, 1996). Menurut Probosuseno (2006), roboh (falls)

merupakan suatu masalah yang sering terjadi pada lanjut usia.

Insiden jatuh di masyarakat Amerika Serikat pada umur lebih dari 65

tahun berkisar 1/3 populasi lansia setiap tahun, dengan rata-rata jatuh 0,6/orang

(Reuben, 1996) Berdasarkan survei masyarakat Amerika Serikat, terdapat sekitar

30 % lansia berumur lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya. Separuh dari

angka tersebut mengalami jatuh berulang (Tinetti, 1992). Angka kejadian jatuh

pada fasilitas perawatan di Amerika Serikat berkisar 40 % dari penghuninya

pernah jatuh (Leueckenotte, 2000 dikutip dari Teideksaar, 1998).

Kejadian jatuh pada lansia dapat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan

ekstrinsik (Darmojo, 2004 dikutip dari Kane, 1994). Adapun faktor intrinsik

antara lain sistem syaraf pusat, demensia, gangguan sistem sensorik, gangguan

2

Page 3: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

sistem kardiovaskuler, gangguan metabolisme, dan gangguan gaya berjalan.

Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi lingkungan, aktifitas, dan obat-obatan.

Salah satu dari faktor-faktor tersebut diatas, juga ditemukan pada lansia

yang tinggal di Panti Wredha Pucang Gading. Hal tersebut dapat diketahui dari

studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, bahwa 10 lansia dari 50 lansia

mengalami jatuh di kamar mandi. Menurut hasil penelitian Yulaikha (2006)

bahwa 70,9 % lansia di Panti Wredha Pucang Gading memiliki sikap yang negatif

terhadap pencegahan cedera, artinya ada kecerendungan dengan sikap yang

negatif diikuti dengan praktik yang kurang baik.

Peningkatan jumlah lansia yang terjadi di Indonesia pada umumnya dan di

Jawa Tengah pada khususnya menyebabkan berbagai masalah yang terjadi pada

lansia itu sendiri. Jatuh merupakan masalah yang sering terjadi pada lansia. Hal

tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Mengungkap

fenomena mengapa lansia mudah jatuh yang dapat menyebabkan komplikasi dari

patah tulang sampai terjadinya kematian. Sehingga untuk mencegah terjadinya

jatuh dan komplikasi yang menyertainya, serta ditemukannya salah satu faktor

yang mempengaruhi kejadian jatuh pada lansia di Pucang Gading Semarang,

maka penulis mengangkat penelitian dengan judul “.Faktor-faktor yang

mempengaruhi kejadian jatuh/falls pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading

Semarang “.

B.Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah

3

Page 4: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

penelitian yaitu tentang “ Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

jatuh/falls pada lansia di Panti Wredha di Pucang Gading Semarang “.

C.Tujuan Penelitian

1.Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian jatuh/falls pada lansia di Panti Wredha Pucang

Gading Semarang

2.Tujuan Khusus

Adapun tujuan khususnya adalah agar dapat:

a.Mendiskripsikan kejadian jatuh pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading

Semarang

b.Mendiskripsikan gangguan gaya berjalan pada lansia di Panti Wredha

Pucang Gading Semarang

c.Mendiskripsikan demensia pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading

Semarang.

d.Mendiskripsikan lingkungan pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading

Semarang.

e.Mendiskripsikan obat-obatan pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading

Semarang.

f.Mengetahui hubungan gangguan gaya berjalan dengan kejadian jatuh pada

lansia di Panti Wredha Pucang Gading Semarang

g.Mengetahui hubungan demensia dengan kejadian jatuh pada lansia di Panti

4

Page 5: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

Wredha Pucang Gading Semarang

h.Mengetahui hubungan lingkungan dengan kejadian jatuh pada lansia di

Panti Wredha Pucang Gading Semarang.

i.Mengetahui hubungan obat-obatan dengan kejadian jatuh pada lansia di

Panti Wredha Pucang Gading Semarang.

D.Manfaat Penelitian

1.Bagi Petugas Panti Wredha Pucang Gading Semarang

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan

bagi petugas untuk menentukan strategi pencegahan jatuh pada lansia,

sehingga kejadian jatuh dapat dikurangi seminimal mungkin.

2.Bagi Lansia

Dari hasil penelitian ini diharapkan lansia terhindar dari jatuh dan

dapat meningkatkan status kesehatannya.

3.Bagi Peneliti

Dari hasil penelitian ini peneliti berharap dapat bermanfaat untuk

memberikan saran, masukan, serta tambahan informasi bagi petugas maupun

lansia dalam pemecahan masalah dan atau mencari solusi untuk menurunkan

insidensi jatuh/falls.

E.Bidang Ilmu

Lingkup penelitian ini adalah penelitian bidang ilmu keperawatan dan

kesehatan khususnya bidang keperawatan Gerontik dengan penekanan pada

faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian jatuh pada lansia.

5

Page 6: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

a.Konsep Lansia

2.Batasan Lanjut Usia

Ada beberapa pendapat mengenai batasan umur lanjut usia, mengutip

pernyataan :

a.Organisasi Kesehatan Dunia

Lanjut usia meliputi usia pertengahan yakni kelompok usia 45

sampai 59 tahun, lanjut usia (Elderly) yakni antara usia 60 sampai 74

tahun, usia lanjut tua (Old) yaitu antara usia 75 sampai 90 tahun, dan usia

sangat tua (very old) yaitu usia diatas 90 tahun.

b.Undang – undang nomor 13 tahun 1998

Menjelaskan tentang kesejahteraan lanjut usia yang termaktub

dalam BAB I pasal 1 ayat 2 yaitu bahwa “ lanjut usia adalah seseorang

yang mencapai usia 60 tahun keatas “.

c.Koesoemato Setyonegoro

Pengelompokan lanjut usia meliputi:

Usia dewasa muda (elderly adulthood) yaitu usia 18 atau 20-25

tahun, usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas yaitu usia 25-60

atau 65 tahun, lanjut usia (geriatric age) yaitu usia lebih dari 65 atau 70

tahun, usia 70 – 75 tahun (young old), usia 75 – 80 tahun (old), dan lebih

6

Page 7: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

dari 80 tahun (very old) dalam Nugroho, 2000).

3.Proses Penuaan

Penuaan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari oleh

setiap manusia. Walaupun proses penuaan merupakan sesuatu yang normal,

akan tetapi pada kenyataannya proses ini lebih menjadi beban. Hal ini secara

keseluruhan tidak bisa dipungkiri oleh beberapa orang yang merasa lebih

menderita karena pengaruh penuaan ini. Proses penuaan ini mempunyai

konsekuensi terhadap aspek biologis, psikologis, dan sosial (Watson, 2003).

4.Perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia

a.Perubahan-perubahan fisik

1)Sel menjadi lebih sedikit jumlahnya dan lebih besar ukurannya

2)Sistem persyarafan terjadi perubahan berat otak menurun 10 – 20, lambat

dalam respon dan waktu untuk bereaksi dan mengecilnya saraf panca indera

yang menyebabkan berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran,

menurunnya sensasi perasa dan penciuman.

3)Sistem pendengaran terjadi perubahan hilangnya kemampuan daya

pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi atau suara nada

tinggi.

4)Sistem penglihatan terjadi perubahan hilangnya respon terhadap sinar, kornea

lebih berbentuk sferis, serta hilangnya daya akomodasi.

5)Sistem kardiovaskuler terjadi perubahan elastisitas dinding aorta menurun,

kemampuan jantung memompa darah menurun dan kehilangan elastisitas

7

Page 8: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

pembuluh darah.

6)Sistem respirasi terjadi perubahan pada otot – otot pernafasan kehilangan

kekuatan dan menjadi kaku, paru – paru kehilangan elastisitas.

7)Sistem Gastrointestinal terjadi perubahan kehilangan gigi, indra pengecap

menurun, rasa lapar menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul

konstipasi.

8)Sistem genitourinaria terjadi perubahan nefron menjadi atrofi, aliran darah ke

ginjal menurun, dan otot – otot vesika urinaria lemah.

9)Sistem endokrin terjadi perubahan produksi hampir semua hormon menurun

seperti Adrenokortikotropin hormon (ACTH), Follicle-stimulating hormon

(FSH), Thyroid-stimulsitng hormon (TSH) dan Luteinizing hormon (LH)

( Brunner & Suddarth, 2002).

10)Sistem integumen terjadi perubahan elastisitas sehingga menjadi keriput,

permukaan kulit bersisik dan kasar.

11)Sistem muskuloskeletal terjadi perubahan berupa tulang makin rapuh, terjadi

kifosis, persendian kaku dan atrofi serabut otot.

b.Perubahan – perubahan mental meliputi perubahan dalam memori dan

intellegentia quantion (IQ).

c.Perubahan – perubahan psikososial meliputi pensiun, merasakan atau sadar

akan kematian, perubahan dalam cara hidup dan sebagainya.

Perubahan yang terjadi pada lansia, dapat menimbulkan berbagai

masalah. Adapun utama pada lansia (Geriatrik Giant) Setianto (2005) yaitu:

8

Page 9: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

a.Gangguan otak besar (Sindroma serebral) adalah kumpulan gejala yang

terjadi akibat perubahan dari aliran darah otak. Pada lansia, terjadi

pengecilan otak besar yang dalam batas tertentu masih dianggap normal.

Aliran darah otak orang dewasa kurang lebih 50 cc/100 grm/menit.

Apabila aliran kurang dari separuhnya, maka akan menimbulkan gejala-

gejala gangguan otak besar. Ganguan sirkulasi ini dapat disebabkan

karena hipertensi/darah tinggi, mengerasnya pembuluh darah,

penyempitan akibat proses pengerasan pembuluh yang dipercepat dengan

tingginya kolesterol darah (atheroskerosis), kencing manis, merokok dan

darah tinggi.

b.Bingung (Konfius) adalah suatu akibat gangguan menyeluruh pada fungsi

pangertian (kognisi) meliputi derajat kesadaran, kewaspadaan dan

terganggunya proses berfikir. Bingung tersebut meliputi bingung waktu,

tempat dan orang yang merupakan istilah lain gagal otak akut. Gangguan

memori dapat berupa gangguan jangka pendek, maupun jangka panjang.

Ada gangguan angan-angan misalnya melihat sesuatu yang tidak ada

(halusinasi) atau salah penglihatan. Ada enam ciri dari konfius antara lain

derajat kesadaran yang menurun, gangguan cipta (persepsi), terganggunya

siklus bangun tidur yaitu sulit tidur (insomnia); Aktifitas fisik bisa

meningkat atau menurun, bingung, gangguan memori, tidak mampu

belajar materi baru.

9

Page 10: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

c.Gangguan saraf mandiri pada lanjut usia yang perlu diperhatikan adalah

terjadinya perubahan aliran listrik saraf ke pusat mandiri yang

mengakibatkan tekanan darah rendah (hipotensi) pada posisi tegak,

gangguan-gangguan pengaturan seperti pada pengaturan suhu, gerak

kandung kemih, saluran makanan di leher dan usus besar.

d.Inkontinentia urin yaitu, sering berkemih tanpa disadari oleh lansia.

Inkontinentia akut antara lain disebabkan oleh DRIP (D: delirium,

kesadaran kurang; R: retriksi mobilitas, retensi; I: infeksi, inflamasi,

impaksi feces; P: pharmasi/obat-obatan, poliuri). Inkontinensia alvi,

sering buang air besar/defekasi tanpa disadari. Peristiwa ini tidak

menyenangkan, tetapi tidak terelakkan. Diantara penderita inkontinensia

urin 35% menderita inkontinensia alvi sehingga mekanismenya dianggap

sama. Feses bisa berupa cair atau belum berbentuk bahkan dapat

merembes dipakaian atau tempat tidur. Keluarnya feses yang sudah

berbentuk dapat terjadi sekali atau dua kali per hari. Hal ini dapat

disebabkan hilangnya refleks anal/anus dan disertai lemahnya otot-otot

seran lintang yang melingkari anus. Sering ini merupakan gejala awal

penyakit saluran cerna bawah, bahkan sangat mungkin disembuhkan

apabila diobati pada waktu dini.

e.Jatuh yaitu suatu kejadian yang menyebabkan seseorang mendadak

terbaring atau terduduk dilantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau

10

Page 11: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

tanpa kehilangan kesadaran atau luka dan merupakan salah satu masalah

utama lansia (Reuben, 1996).

f.Penyakit tulang dan patah tulang menjadi salah satu sindroma geriatrik,

dalam arti angka kejadian dan akibatnya pada lansia cukup bermakna. Hal

ini sejalan dengan bertambahnya usia, maka terjadi peningkatan hilangnya

massa tulang deengan kejadian patah tulang berbanding lurus/linier.

Tingkat hilang tulang ini sekitar 0,5-1% per tahun dari berat tulang pada

wanita paska menopause dan pria > 80 tahun. Sepanjang hidup tulang

mengalami perusakan (dilaksanakan oleh sel-sel osteoklas) dan

pembentukan (dilaksanakan oleh sel-sel osteoblas) yang berjalan bersama-

sama, sehingga tulang dapat membentuk modelnya sesuai dengan

pertumbuhan badan (proses remodelling). Oleh karena itu dapat

dimengerti bahwa proses remodelling ini akan sangat cepat pada usia

remaja (growth sport).

g.Dekubitus dapat terjadi pada setiap umur hal tersebut merupakan masalah

khusus pada lanjut usia dan erat kaitannya dengan imobilitas. Dekubitus

adalah kerusakan atau kematian kulit sampai jaringan dibawahnya, bahkan

menembus otot sampai mengenai tulang, akibat adanya penekanan pada

suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan

sirkulasi darah setempat. Seseorang yang tidak imobil atau bisa alih posisi

dapat berbaring berminggu-minggu tanpa terjadi dekubitus karena dapat

11

Page 12: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

berganti posisi beberapa kali dalam satu jam. Pergantian posisi ini

walaupun hanya bergeser, sudah cukup untuk mengganti bagian tubuh

yang kontak dengan alas tempat tidur.

b.Faktor – faktor yang Mempengaruhi Jatuh pada Lanjut Usia

Kejadian jatuh dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti usia, jenis kelamin,

penyakit, dan stabilitas badan. Stabilitas badan dapat dipengaruhi oleh beberapa

hal (Darmojo, 2004) yaitu:

1. Sistem Sensorik

Sistem sensorik yang berperan adalah visus (tajam penglihatan),

sedangkan sistem pendengaran yang terkait adalah fungsi vestibuler dan

propioseptif. Semua gangguan atau perubahan pada mata akan menimbulkan

gangguan penglihatan. Begitu juga dengan semua penyakit telinga akan

menimbulkan gangguan pendengaran, misalnya Vertigo tipe perifer sering

terjadi pada lansia yang diduga karena adanya perubahan fungsi vestibuler

akibat proses menua. Neuropati perifer dan penyakit degeneratif leher akan

mengganggu fungsi propioseptif (Tinetti, 1992).

2. Sistem Saraf Pusat (SSP)

Sistem Syaraf Pusat akan memberikan respon motorik untuk

mengantisipasi input sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, parkinson, dan

normotensif hidrocephalus sering diderita oleh lansia dan menyebabkan

gangguan fungsi SSP sehingga berespon tidak baik terhadap input sensorik

12

Page 13: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

(Tinetti, 1992).

3. Sistem Muskuloskeletal

Faktor ini disebutkan oleh beberapa peneliti merupakan faktor yang

benar-benar murni milik lansia yang berperan besar terhadap terjadinya jatuh.

Gangguan sistem muskuloskeletal menyebabkan gangguan berjalan dan ini

berhubungan dengan proses menua yang fisiologis maupun penyakit tertentu.

Faktor penyebab jatuh pada lansia dapat dibagi dalam 2 golongan besar

(Darmojo, 2004 dikutip dari Kane, 1994), yaitu:

a.Faktor Intrinsik

1)Sistem Saraf Pusat (SSP)

Stroke adalah sindrome klinis yang awal tiimbulnya mendadak,

cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang berlangsung 24

jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian , dan disebabkan

oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (Kapita Selekta

Kedokteran, 2000). Stroke dan Trancient Iskemia Attack (TIA) yang

mengakibatkan hemiparese sering menyebabkan jatuh pada lansia.

Insufisiensi arteri vertebral juga menyebabkan syncope dan jatuh.

Syncope adalah suatu keadaan dimana terdapat kelemahan

menyeluruh pada otot-otot tubuh sehingga tidak mampu memprtahankan

sikap tegak dan disertai hilangnya kesadaran (Buku Ajar Kardiologi,

2000). Syncope dan jatuh pada insufisiensi arteri vertebral terjadi ketika

lansia melihat ke atas dan ke salah satu sisi atau mengambil suatu benda

13

Page 14: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

yang lebih tinggi. Kondisi ini cenderung terjadi pada lansia dengan

servikal spondilosis.

Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya

gejala-gejala yang datang dalam serangan berulang-ulang yang disebabkan

lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel syaraf otak yang bersifat

reversibel dengan berbagai sebab (Kapita Selekta Kedokteran, 2000).

Epilepsi merupakan kasus yang jarang menyebabkan jatuh pada lansia,

tetapi epilepsi juga merupakan salah satu faktor penyebab jatuh, maka

kemungkinan jatuh akibat epilepsi harus diperhatikan.

Jatuh merupakan hal yang umum pada lansia yang menderita

penyakit parkinson. Penyakit parkinson adalah penyakit neurologis kronis

yang mengenai ganglia basalis akibat penurunan atau tidak adanya

pengiriman dopamin dari substansia nigra ke globus pallidus.

Gejala khas penyakit Parkinson antara lain tremor sewaktu

istirahat (resting tremor), rigiditas, bradikinesia atau kelambanan

pergerakan, instabilitas postural.

Gejala lain yang mungkin ditemukan adalah suara atau cara

berbicara menjadi monoton, volumenya rendah dan terputus-putus;

sekresi air liur yang berlebihan (sialorrhea), disfungsi otonom seperti

berkeringat berlebihan, inkontinensia, hipotensi ortostatik, hal ini

mungkin disebabkan oleh menghilangnya secara progresif neuron di

ganglia simpatik; tulisan tangan menjadi kecil dan rapat, tanda Meyerson

14

Page 15: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

positif yaitu kedua mata berkedip-kedip bila dilakukan pengetukan di atas

pangkal hidung.

Normotensif hidrocephalus menyebabkan ataxia yang dini dan

tampak dalam trias khusus yaitu gangguan berjalan, demensia dan

inkotinensia. Gangguan berjalan dalam bentuk berjalan magnetik dengan

langkah pendek-pendek, kurangnya kontrol keseimbangan dan kesulitan

untuk berputar. Kondisi di atas dapat menyebabkan jatuh pada lansia.

2)Demensia

Demensia adalah suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya

fungsi intelektual dan ingatan atau memori sedemikian berat sehingga

menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari (Darmojo, 2004).

Prevalensi demensia meningkat pada populasi lansia dengan umur

65 tahun ke atas dan meningkat tajam setelah umur 75 tahun. Lansia

dengan demensia menunjukkan persepsi yang salah terhadap bahaya

lingkungan, terganggunya keseimbangan tubuh dan apraxia sehingga

insiden jatuh meningkat. Depresi atau keadaan pseudodemensia juga

umum terdapat pada lansia dengan prevalensi 10 % pada lansia di kota

besar. Peningkatan insiden jatuh pada lansia dengan depresi disebabkan

kurangnya kewaspadaan terhadap faktor lingkungan, keinginan untuk

melukai diri dan gangguan kesehatan secara umum.

Hasil penelitian Friskawati (2005), didapatkan bahwa dari 85

lansia di desa Pelem Kabupaten Boyolali 92,5% mengalami demensia

15

Page 16: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

mempunyai peluang terjadi gangguan pola tidur. Hasil uji kai kuadrat

dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara demensia

dengan pola tidur pada lansia, dengan nilai p = 0.016. Dengan adanya

gangguan pola tidur pada lansia maka akan berdampak pada kesehatan

lansia yang secara tidak langsung akan mempegaruhi keseimbangan tubuh

pada lansia.

3)Gangguan Sistem Sensorik

Gangguan sistem sensorik bisa mengenai sensori, rasa nyeri, dan

sensasi. Gangguan sernsori dapat berupa katarak, glaukoma, degenerasi

makular, gangguan visus pasca stroke dan retinopati diabetika meningkat

sesuai dengan umur. Entropion, ektropion atau epifora yang menyebabkan

gangguan penglihatan juga meningkatkan insiden jatuh. Walaupun

gangguan penglihatan meningkatkan insiden jatuh tetapi kebutaan tidak

meningkatkan insiden tersebut.

Gangguan sensasi keseimbangan berupa vertigo, sering ditemukan

pada lansia tetapi tidak sering menyebabkan jatuh pada lansia. Vertigo

sering terjadi bersamaan dengan nistagmus. Berdasarkan etiologinya

vertigo dibagi menjadi vertigo tipe perifer dan vertigo tipe sentral.

Vertigo tipe perifer terjadi akibat gangguan pada sistem vestibuler atau

auditorius seperti pada penyakit positional vertigo, labyrintitis dan

Meniere’s disease. Vertigo tipe sentral dihubungkan dengan gangguan

pada otak, untuk mengetahui vertigo tipe sentral diperlukan CT-Scan

16

Page 17: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

kepala untuk diagnosa pasti.

4)Gangguan Sistem Kardiovaskuler

Insiden gagal jantung kongestif dan infark miokard meningkat

sesuai dengan umur. Hipertensi dan kardia aritmia juga sering ditemukan

pada lansia. Gangguan sistem kardiovaskuler akan menyebabkan syncope.

Syncope –lah yang sering menyebabkan jatuh pada lansia. Menurut

penelitian (Gordon et.al 1998 dalam Nugroho, 2000), 12 dari 37 lansia

yang menderita kardia aritmia mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk

jatuh. Postural hypotension yang harus dicurigai ketika lansia pusing bila

melakukan perubahan posisi secara mendadak seperti mendadak bangun

dari tempat tidur atau kursi. Postprandial syncope yang berhubungan

dengan transient hypotension, sering dijumpai lansia setelah makan atau

buang air besar. Dalam hal ini meningkatkan risiko jatuh lansia di kamar

mandi.

5)Gangguan Metabolisme

Gangguan metabolisme sering mengakibatkan kejadian jatuh.

Gangguan ini terutama pada gangguan regulasi cairan berupa dehidrasi.

Dehidrasi bisa disebabkan oleh diare, demam, asupan cairan yang kurang

atau penggunaan diuretik yang berlebihan. Manifestasi klinis yang tampak

adalah syncope atau postural hypotension walaupun kadang drop attacks

dan vertigo dapat terjadi.

17

Page 18: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

6Gangguan Gaya Berjalan (gait disorder)

Salah satu bentuk aplikasi fungsional dari gerak tubuh adalah pola

jalan. Keseimbangan, kekuatan dan fleksibilitas diperlukan untuk

mempertahankan postur tubuh yang baik. Ketiga elemen itu merupakan

dasar untuk mewujudkan pola jalan yang baik setiap individu.

Gangguan gaya berjalan dapat disebabkan oleh gangguan muskuloskeletal

dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mencapai pergerakan

normal yaitu:

a.Penyokong anti gravitasi pada posisi tegak, kontrol keseimbangan dan

pergerakan melangkah ke depan.

b.Posis tegak karena pusat gravitasi berada di vertebra sakral 2

anterosuperior

c.Posisi tegak membutuhkan sedikit energi untuk menjaga keseimbangan

saat berdiri. Stabilitas mekanik dipertahankan sepanjang jalur gravitasi

yang melewati dasar penyangga di antara kedua kaki.

Selain pergerakan normal, juga harus diperhatikan terkait dengan

mekanisme pergerakan maju (Darmojo, 2004) yaitu :

a.Berhubungan dengan fiksasi dan elevasi dari pelvis oleh otot abduktor

paha.

b.Badan dimiringkan ke depan.

c.Kaki yang berayun dan fleksi serta panggul sedikit berputar keluar, lutut

18

Page 19: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

fleksi dan kaki dorso fleksi.

d.Tumit menyentuh lantai.

e.Rotasi eksternal dan dorsofleksi tungkai yang bergeser ke pusat gravitasi

di depan.

f.Rotasi lengan dan bahu berguna untuk keseimbangan gerakan pelvis dan

ekstremitas bawah.

Dampak dari pergerakan maju akan menghasilkan pola jalan. Pada lansia

ada beberapa perubahan yang mungkin terjadi, diantaranya sebagai

berikut:

a. Kecepatan berjalan tetap stabil sampai umur 70 tahun, kemudian dalam

tiap dekade menurun kecepatannya menurun 15% untuk kecepatan

berjalan biasa dan 20% untuk kecepatan berjalan maksimal. Uniknya,

dari penelitian tidak didapati adanya perubahan cadence (ritme

berjalan) walaupun menurun kecepatan iramanya.

b. Peningkatan waktu fase berdiri dengan dua kaki (double stance phase)

sehingga menurunkan momentum pada fase mengayun kaki dan

berakibat langkah menjadi lebih pendek.

c. Berjalan dengan ibu jari kaki deviasi ke arah lateral sekitar 5%.

Merupakan adaptasi tubuh agar didapati keseimbangan lateral atau

dicurigai adanya kelemahan pada otot panggul yang bertugas

melakukan rotasi interna

d. Pergerakan sendi berubah seiring dengan umur, contohnya Ankle

19

Page 20: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

plantar fleksor yang menurun walaupun kemampuan maksimal dari

ankle plantar dorsofleksi tidak berubah.

e. Panjang langkah berkurang pada orang tua, mungkin otot betis pada

lansia yang berkurang kekuatannya dan tidak bisa menghasilkan

plantar fleksi yang optimal, bisa juga disebabkan karena berkurangnya

keseimbangan dan kontrol tubuh yang jelek pada fase single stance.

Bisa juga karena rasa aman yang didapat ketika berjalan dengan

langkah pendek.

f. Sedikit adanya rigiditas pada anggota gerak, terutama anggota gerak

atas lebih dari anggota gerak bawah. Rigiditas akan hilang apabila

tubuh bergerak.

g. Gerakan otomatis menurun, amplitude dan kecepatan berkurang,

seperti hilangnya ayunan tangan saat berjalan.

h. Penurunan rotasi badan, terjadi karena efek sekunder kekakuan sendi.

i. Penurunan ayunan tungkai saat fase mengayun.

j. Penurunan sudut antara tumit dan lantai, itu mungkin disebabkan

lemahnya fleksibilitas plantar fleksor.

Selain pergerakan normal, bisa juga ditemukan gangguan gaya

berjalan yang terjadi akibat proses menua dapat disebabkan oleh beberapa

hal yaitu kekakuan jaringan penghubung, berkurangnya massa otot,

perlambatan konduksi saraf, penurunan visus atau lapang pandang,

kerusakan propioseptif. Disamping itu biasanya juga dijumpai pada

20

Page 21: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

lansia, yaitu kelemahan otot quadriceps femoris, stenosis spinal, stroke,

neuropati perifer, osteoartritis, osteoporosis, penyakit Parkinson dan

keadaan patologi dari sendi panggul.

Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak,

langkah yang pendek dan penurunan irama. Kaki tidak dapat menapak

dengan kuat dan lebih cenderung gampang goyah (postural sway).

Perlambatan reaksi mengakibatkan lansia susah atau terlambat

mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpeleset, tersandung,

kejadian tiba-tiba sehingga memudahkan jatuh.

Ada beberapa gangguan gaya berjalan yang sering ditemukan pada lansia,

(Darmojo, 2004) antara lain :

a.Gangguan gaya berjalan hemiplegik (Hemiplegic Gait)

Pada hemiplegik terdapat kelemahan dan spastisitas ekstremitas

unilateral dengan fleksi pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah

dalam keadaan ekstensi. Ekstremitas bawah dalam keadaan ekstensi

sehingga mengakibatkan kaki “memanjang”. Pasien harus

mengayunkan sambil memutar kakinya untuk melangkah ke depan.

Jenis gangguan berjalan ini ditemukan pada lesi tipe Upper Motor

Neuron (UMN).

b.Gangguan gaya berjalan diplegik (Diplegic Gait)

Terdapat spastisitas ekstremitas bawah lebih berat dibanding

ekstremitas atas. Pangkal paha dan lutut dalam keadaan fleksi dan

21

Page 22: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

adduksi dengan pergelangan kaki dalam keadaan ekstensi dan rotasi

interna. Jika lansia berjalan kedua ekstremitas bawah dalam keadaan

melingkar. Jenis gangguan berjalan ini biasanya dijumpai pada lesi

periventrikular bilateral. Ekstremitas bawah lebih lumpuh dibanding

dengan ekstremitas atas karena akson traktus kortikospinalis yang

mempersarafi ekstremitas bawah letaknya lebih dekat dengan ventrikel

otak.

c.Gangguan gaya berjalan neuropathy (Neuropathic Gait)

Gangguan gaya berjalan jenis ini biasanya ditemukan pada penyakit

saraf perifer dimana ekstremitas bawah bagian distal lebih sering

diserang. Karena terjadi kelemahan dalam dorsofleksi kaki, maka

pasien harus mengangkat kakinya lebih tinggi untuk menghindari

pergeseran ujung jari kaki dengan lantai.

d.Gangguan gaya berjalan miopathy (Myopathic Gait)

Dengan adanya kelainan otot, otot-otot proksimal pelvic girdle (tulang

pelvis yang menyokong pergerakan ekstremitas bawah) menjadi

lemah. Oleh karena itu, terjadi ketidakseimbangan pelvis bila

melangkah ke depan, sehingga pelvis miring ke kaki sebelahnya,

akibatnya terjadi goyangan dalam berjalan.

e.Gangguan gaya berjalan Parkinsonian (Parkinsonian Gait)

Terjadi rigiditas dan bradikinesia dalam berjalan akibat gangguan di

ganglia basalis. Tubuh membungkuk ke depan, langkah memendek,

22

Page 23: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

lamban dan terseret disertai dengan ekspresi wajah seperti topeng.

f.Gangguan gaya berjalan khoreoform (Choreiform Gait)

Merupakan gangguan gaya berjalan dengan hiperkinesia akibat

gangguan ganglia basalis tipe tertentu. Terdapat pergerakan yang

ireguler seperti ular dan involunter baik pada ekstremitas bawah

maupun atas.

g.Gangguan gaya berjalan ataxia (Ataxic Gait)

Langkah berjalan menjadi lebar, tidak stabil dan mendadak, akibatnya

badan memutar ke samping dan jika berat pasien akan jatuh. Jenis

gangguan berjalan ini dijumpai pada gangguan cerebellum.

Menurut penelitian Sitompul (2000), dari 33 lansia di Panti

Wredha Wening Werdaya Ungaran diperoleh hasil bahwa ada

hubungan antara kecepatan berjalan dengan keseimbangan berdiri

walaupun dalam derajat amat rendah (r = 0.0839), artinya dengan

kecepatan berjalan yang teratur maka keseimbangan berdiri akan

stabil, begitu juga sebaliknya jika kecepatan berjalan tidak teratur

maka keseimbangan berdiri akan terganggu sehingga dapat

menyebabkan lansia jatuh.

bFaktor Ekstrinsik

1Faktor Lingkungan

Lingkungan merupakan suatu keadaan atau kondisi baik bersifat

mendukung atau berbahaya yang dapat mempengaruhi jatuh pada lansia.

23

Page 24: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

Faktor lingkungan yang belum dikenal mempunyai risiko terhadap roboh

sebesar 22 % (Probosuseno, 2006).

Lingkungan yang sering dihubungkan dengan jatuh pada lansia

antara lain alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua atau

tergeletak di bawah, tempat tidur tidak stabil atau kamar mandi yang

rendah dan licin, tempat berpegangan yang tidak kuat atau tidak mudah

dipegang,; lantai tidak datar, licin atau menurun; karpet yang tidak dilem

dengan baik, keset yang tebal/menekuk pinggirnya, dan benda-benda alas

lantai yang licin atau mudah tergeser; lantai licin atau basah, penerangan

yang tidak baik (kurang atau menyilaukan); alat bantu jalan yang tidak

tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya.

Kejadian jatuh pada lansia sekitar 10 % terjadi ditangga dengan

kejadian jatuh saat turun tangga lebih banyak dibanding saat naik, yang

lainnya terjadi karena tersandung atau menabrak benda perlengkapan

rumah tangga, lantai yang licin atau tidak rata dan penerangan ruang yang

kurang.

2Faktor Aktifitas

Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktifitas

biasa seperti berjalan, naik atau turun tangga dan mengganti posisi. Hanya

sedikit sekali jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktifitas berbahaya

seperti mendaki gunung atau olahraga berat. Jatuh juga sering terjadi pada

lansia dengan banyak kegiatan dan olahraga, mungkin disebabkan oleh

24

Page 25: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

kelelahan atau terpapar bahaya yang lebih banyak. Jatuh juga sering

terjadi pada lansia yang immobile (jarang bergerak) ketika tiba-tiba ingin

pindah tempat atau mengambil sesuatu tanpa pertolongan.

3Obat-obatan

Obat merupakan zat kimia yang dikonsumsi oleh tubuh. Kelompok

dewasa berusia diatas 65 tahun merupakan pengguna obat-obatan yang

terbanyak, terhitung hampir 40 % dari semua obat yang diresepkan

(Perry&Potter, 2001 dikutip dari Hosstel, 1992). Obat-obatan juga

meningkatkan insiden jatuh terutama obat-obatan yang menyebabkan

somnolen (obat hipnotik), postural hypotension (diuretik, nitrat, obat

antihipertensi dan antidepresan trisiklik) dan kebingungan (simetidine dan

digitalis). Adapun efek samping obat anti hipertensi antara lain adalah

vertigo dan sakit kepala (Katzung, 1994).

Kadar obat dalam serum tidak stabil karena perubahan

farmakokinetik akibat proses menua dan penyakit juga sering

menyebabkan intoksikasi obat pada lansia. Disamping itu, obat yang

diresepkan dapat menyebabkan konfusi, pusing, mengantuk yang dapat

mempengaruhi keseimbangan dan mobilitas (Perry dan Potter, 2001).

25

Page 26: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

C.Kerangka Teori

Geriatrik Giant

Gambar 3.1 Skema Kerangka Teori

Sumber: (Darmojo, 2004 dikutip dari Kane, 1994)

26

Perubahan fisik, mental dan sosial

Gangguan Otak Besar

Gangguan Syaraf Mandiri

Bingung ( konfius )

Inkontinensia

Jatuh

Kelainan Tulang dan Patah

Dekubitus

Sistem syaraf pusat, Demensia

Gangguan sistem sensorik dan system kardiovaskuler

Gangguan metabolisme dan gaya berjalan

Obat-obatan yang diminum

Aktifitas

Linkungan yang tidak mendukung atau

berbahaya

Lansia

Page 27: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

D.Kerangka Konsep

Variabel bebas Variabel terikat

Gambar 3.2 Skema Kerangka Konsep

E.Variabel Penelitian

1.Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat

dari variabel bebas (Alimul, 2003). Variabel terikat yang akan diteliti adalah

kejadian jatuh pada lansia.

2.Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya atau

berubahnya variabel terikat (Sugiyono, 2003). Variabel bebas yang akan

diteliti yaitu gangguan gaya berjalan, demensia, lingkungan, dan obat-obatan.

27

Gangguan gaya berjalan

Demensia

Lingkungan

Obat-obatan

Jatuh pada lansia

Page 28: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

F.Hipotesa

Adapun hipotesis penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah :

1.Ada hubungan ganguan gaya berjalan dengan kejadian jatuh pada lansia.

2.Ada hubungan demensia dengan kejadian jatuh pada lansia.

3.Ada hubungan lingkungan dengan kejadian jatuh pada lansia.

4.Ada hubungan obat - obatan dengan kejadian jatuh pada lansia.

28

Page 29: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

BAB III

METODA PENELITIAN

1.Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain diskriptif analitik yaitu

mendiskripsikan variabel bebas dan terikat, kemudian melakukan analisis

korelasi antara kedua variabel tersebut sehingga dapat diketahui seberapa jauh

kontribusi variabel terikat terhadap adanya variabel bebas. Desain ini

menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu pengukuran variabel bebas

dan variabel terikat hanya satu kali pada satu saat (Notoatmodjo, 2002).

B.Populasi dan Sampel

1.Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti. Objek tersebut dapat berupa manusia atau yang lain termasuk

gejala yang ada di masyarakat (Notoatmodjo, 2002). Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh lansia di Panti Wredha Pucang Gading

Semarang sebanyak 115 lansia. Dari seluruh lansia yang berada di panti,

50 lansia pernah mengalami jatuh pada 2 tahun terakhir.

2. Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi terjangkau yang dapat

dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam,

2003). Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random

29

Page 30: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

sampling karena dilakukan secara acak dan tanpa memperhatikan adanya

strata. Dalam penelitian ini jumlah sampel yang di gunakan sejumlah 30,

hal ini terkait dengan adanya kriteria inklusi dan eklusi yang peneliti

tetapkan, dengan jumlah sampel terendah adalah 30 (Arikunto, 2002).

Adapun ketentuan atau ktiteria sampel tersebut layak atau tidak

untuk digunakan agar sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu:

1)Kriteria Inklusi

a)Lanjut usia yang berusia 60 tahun ke atas

b)Lanjut usia yang pernah mengalami jatuh dan tinggal di Panti Wredha

Pucang Gading Semarang

c)Lanjut usia yang tidak mengalami tuna rungu maupun tuna wicara

karena insrumen yang digunakan adalah kuesioner wawancara

sehingga apabila lansia mengalami masalah tersebut maka

dimungkinkan jawaban akan menjadi bias.

d)Bersedia menjadi sampel atau responden penelitian yang dibuktikan

dengan tanda persetujuan.

2)Kriteria Eksklusi

a)Pada pelaksanaan penelitian responden pindah atau keluar dari Panti Wredha

Pucang Gading Semarang

b)Saat penelitian responden sakit dan dirawat di rumah sakit.

c)Pada pelaksanaan penelitian responden meninggal dunia.

d)Lanjut usia yang tidak bersedia menjadi responden penelitian.

30

Page 31: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

C.Definisi Operasional, Variabel dan skala penelitian

Variabel Definisi Operasional

Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Jatuh

Gangguan gaya

berjalan

Demensia

Lingkungan

Suatu kejadian yang menyebabkan seseorang mendadak terbaring atau terduduk dilantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kesadaran atau luka, selama dipanti dalam kurun waktu 1bulan terakhir. Gangguan yang berhubungan dengan perubahan pada massa tulang, otot, dan sistem syaraf sehingga terjadi ganguan dalam berjalan.

suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan ingatan atau memori sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari.suatu kondisi yang bersifat mendukung atau

Kuesioner yang terdiri dari 3 pertanyaan dengan kriteria skor Tidak ( 1 ) dan ya ( 2 )

Observasi terdiri dari 5 pernyataan dengan kriteria skor Tidak ( 1 ) dan Ya ( 2 )

Kuesioner yang terdiri dari 10 pertanyaan dengan kriteria skor Benar ( 2 ) dan Salah ( 1 )

Observasi terdiri dari 7 pernyataan

ya : 5-6tidak : 3-4

Ada gangguan : 8-10

Tidak ada gangguan : 5-7

Tidak Demensia : 16-20

Demensia : 10-15

Mendukung : 11-14

Tidak mendukung :

Ordinal

Ordinal

Ordinal

Ordinal

31

Page 32: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

Obat

berbahaya antara lain penerangan yang kurang, benda-benda di lantai Reaksi atau efek obat dapat menyebabkan konfusi, pusing, sakit kepala, mengantuk .

dengan kriteria skorTidak ( 1 ) dan Ya ( 2 )

Kuesioner terdiri dari 4 pertanyaan dengan kriteria skorTidak ( 1 ) dan Ya ( 2 )

7-10

Obat berefek : 6-8Obat tidak berefek

: 4-5

Ordinal

2)Metode Pengumpulan Data

1.Alat pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang yang digunakan adalah kuesioner dan

obsrevasi. Menurut Nursalam (2003), kuesioner merupakan alat

pengumpulan data kepada subjek untuk menjawab pertanyaan secara

tertulis. Jenis kuesioner yang digunakan adalah kuesioner wawancara,

dimana pertanyaan dapat diajukan secara langsung kepada subjek atau

disampaikan secara lisan oleh peneliti dari pertanyaan yang sudah tertulis.

Sedangkan jenis observasi yang digunakan adalah observasi sistematis,

yang dilakukan oleh pengamat dengan menggunakan pedoman sebagai

instrumen pengamatan (Arikunto, 2002). Hal ini dilakukan khususnya

kepada lansia, sehingga ini sesuai dengan subjek yang akan diteliti oleh

peneliti.

Kuesioner dan pedoman observasi yang digunakan dalam penelitian

32

Page 33: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

ini dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan literatur yang ada.

Dalam penelitian ini kuesioner dibagi menjadi lima bagian. Kuesioner A

digunakan untuk mengumpulkan data demografi lansia yang meliputi

nama, jenis kelamin, dan umur. Kuesioner B digunakan untuk variabel

dependen yaitu jatuh yang menggunakan skala Guttman (Alimul, 2003),

dengan penilaian 2 jika ya dan 1 jika tidak dan digunakan untuk

pertanyaan nomor 1-3. Kuesioner C, D, E dan F untuk variabel dependen.

Observasi untuk variabel gangguan gaya berjalan, yang terdiri dari 5

pernyataan. Kuesioner D untuk variabel demensia menggunakan

pemeriksaan portabel untuk status mental (PPSM) dari folstein and

folstein, 1990 dalam Darmojo, 2004) yang terdiri dari 10 pertanyaan.

Observasi untuk variabel lingkungan yang terdiri dari 7 pernyataan.

Kuesioner F untuk variabel obat-obatan yang terdiri dari 4 pertanyaan.

2.Uji Validitas

Validitas adalah sautu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan

atau kesahihan suatu instrumen (Arikunto, 2002). Instrumen dikatakan

valid jika mampu mengukur apa yang hendak kita ukur. Oleh karena itu

dilakukan uji validitas instrument (Kuesioner dan Observasi) dengan uji

ekspert yaitu dengan cara instrumen dikonsulkan kepada ahli dalam hal ini

terdiri dari 3 orang, kemudian ahli memberikan penilaian pada tiap-tiap

item. Hasil dari uji ekspert tersebut kemudian instrumen diperbaiki dan

selanjutnya dilakukan uji validitas eksternal dengan cara diujikan kepada

33

Page 34: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

10 responden lain di Panti Wredha Pucang Gading Semarang. Data

tersebut kemudian diolah dengan mengguankan rumus korelasi Product

Moment dari Pearson, dengan menggunakan program SPSS 11.5 for

windows (Arikunto, 2002). Adapun ketentuan pengujiannya adalah

apabila nilai r hasil lebih besar dari r tabel, maka item pertanyaan tersebut

dinyatakan valid. Untuk nilai r tabel dimana N=10, maka paraf sigifikansi

5% adalah 0,66.

Dari hasil uji validitas terhadap instrumen (kuesioner B tentang

jatuh) dengan 3 item pertanyaan, diperoleh nilai r hitung lebih besar dari r

tabel (0,66) yakni berkisar 0,810 – 0,836, maka kuesioner B dinyatakan

valid.

Kuesioner D tentang demensia, terdiri dari 10 pertanyaan diperoleh

nilai r hitung lebih besar dari nilai r tabel yaitu berkisar antara 0,662 –

0,892, sehingga kuesioner D dinyatakan valid. Kuesioner F tentang obat,

terdiri dari 4 pertanyaan diperoleh nilai r hitung lebih besar dari r tabel

yakni berkisar antara 0,740 – 0,900, maka kuesioner F dinyatakan valid.

Untuk instrumen observasi tidak dilakukan uji validitas maupun

reliabilitas karena jawaban yang didapatkan sesuai dengan yang ada di

lapangan.

3.Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat sejauh mana suatu instrumen

cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data

34

Page 35: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

(Arikunto, 2002). Untuk menguji reliabilitas instrumen digunakan rumus

KR.20 (Kuder Richardson) karena skor yang digunakan dalam instrumen

ini menghasilkan skor dikotomi (Sugiyono, 2003).

Adapun ketentuan pengujiannya adalah jika r hasil (alpha) lebih

besar dari tabel, maka instrument tersebut dikatakan reliabel. Menurut

Sugiyono (2003), instrumen penelitian dikatakan reliabel bila α = 0,60.

Dari hasil uji reliabilitas kuesioner B tentang jatuh diperoleh nilai r hasil

(α) = 0,907, untuk kuesioner D tentang demensia diperoleh nilai r hasil

(α) = 0,809, dan untuk kuesioner F tentang obat diperoleh nilai r hasil (α)

= 0,940. Dengan demikian r hasil (α) dari kuesioner B, D, dan F tersebut

lebih besar dari r tabel (0,60) sehingga dari ketiga kuesioner tersebut

dikatakan reliabel.

4.Cara Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian di Panti Wredha

Pucang Gading Semarang, sebagai berikut :

a.Peneliti pertama – tama menentukan lokasi untuk penelitian, setelah

didapatkan ijin dari fakultas dan tempat penelitian maka peneliti

pendekatan kepada calon responden untuk memberikan memberikan

penjelasan tentang tujuan peneltian dan cara pengisian kuesioner dan

lembar observasi, bila bersedia menjadi responden maka dipersilahkan

untuk mengisi atau menandatangani lembar persetujuan bila setuju

35

Page 36: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

berpartisipasi dalam penelitian ini.

b.Pengambilan instrumen penelitian dilakukan dalam satu bulan. Dalam

rentang waktu satu bulan tersebut, peneliti mengintensifkan pengambilan

data dalam kurun waktu tiga hari.

c.Pembagian kuesioner dilaksanakan pada hari saat dilaksanakan penelitian.

d.Responden yang bisa membaca dan menulis diminta mengisi kuesioner,

dan peneliti berada didekat responden agar apabila ada pertanyaan dari

responden peneliti langsung bisa menjelaskan. Responden diingatkan agar

semua pertanyaan diisi dengan lengkap, sedangkan untuk pengisian

lembar observasi dilakukan oleh peneliti.

e. Responden yang tidak bisa membaca dan menulis, maka peneliti

membacakan kuesioner dan responden diminta agar menjawab

pertanyaan, kemudian peneliti menuliskan jawaban dari responden ke

dalam lembar kuesioner yang telah tersedia.

f.Jika kuesiner sudah diisi, kemudian langsung dikembalikan kepada

peneliti

g.Metode Pengolahan dan Analisa Data

1.Pengolahan Data

a. Pemeriksaan Data (Editing)

Kuesioner yang telah dikembalikan oleh responden diperiksa

kebenaran dan kelengkapannya. Jika ada yang belum lengkap maka

responden diminta untuk melengkapinya.

36

Page 37: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

b. Pemberian Kode (Coding)

Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data

berbentuk angka atau bilangan. Variabel jatuh, bila terjawab ya diberi

kode 2 dan tidak diberi kode 1. Variabel gangguan gaya berjalan, bila

ada gangguan diberi kode 2 dan tidak ada gangguan diberi kode 1.

Variabel demensia diberi kode 2 bila benar dan salah diberi kode 1.

Variabel lingkungan jika mendukung jatuh diberi kode 2 dan tidak

mendukung jatuh diberi kode 1. Variabel obat bila berefek diberi kode

2 dan tidak berefek diberi kode 1.

c. Processing

Merupakan kegiatan memproses data yang didapat dari kuesioner

kemudian dianalisis dengan cara memasukkan data tersebut ke paket

program SPSS 11.5 for window.

d. Tabulating

Merupakan kegiatan peneliti dalam memasukkan data-data hasil

penelitian ke dalam tabel-tabel sesuai kriteria yang telah ditentukan

berdasarkan kuesioner yang telah ditentukan skornya.

2.Analisa Data

a.Analisis Univariat

Analisa ini menggambarkan tiap – tiap variabel bebas dan terikat serta

karakteristik responden dengan menggunakan distribusi frekuensi dan

proporsi.

37

Page 38: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

b.Analisis Bivariat

Analisis data dilakukan dengan Chi-Square melalui program SPSS

11.5 for windows. Menurut Sugiyono (2003), bila data yang diambil

dari kedua variabel (Variabel bebas dan terikat) adalah kategorik,

maka uji statistik yang digunakan adalah Chi-Square untuk

membuktikan hipotesis. Dengan ketentuan : bila X² hitung sama atau

lebih besar dari X² tabel maka Ho ditolak, atau Ho ditolak apabila ρ

value ≤ 0,05.

F.Etika Penelitian

Dalam penelitian ini penulis berusaha untuk memperhatikan etika yang

harus dipatuhi dalam pelaksanaanya, mengingat bahwa penelitian

keperawatan akan berhubungan langsung dengan manusia. Adapun etika

dalam penelitian ini meliputi :

1)Inform Concent atau lembar persetujuan

Merupakan lembar persetujuan yang memuat penjelasan – penjelasan

tentang maksud dan tujuan penelitian, dampak yang mungkin terjadi

selama penelitian. Apabila responden telah mengerti dan bersedia maka

responden diminta menandatangani surat persetujuan menjadi responden.

Namun apabila responden menolak, maka peneliti tidak akan memaksa.

2)Anonimity atau tanpa nama

Lembar persetujuan maupun lembar kuesioner tidak mencantumkan nama

38

Page 39: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

responden, akan tetapi hanya menulis dengan simbol.

3)Confidentiality atau kerahasiaan

Informasi yang diberikan oleh responden serta semua data yang terkumpul

akan disimpan, dijamin kerahasiaanya dan hanya menjadi koleksi peneliti.

Informasi yang diberikan oleh responden tidak akan disebarkan atau

diberikan kepada orang lain tanpa seijin responden.

39

Page 40: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

a.Hasil Penelitian

2.Usia dan Jenis Kelamin

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden (N=30) Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin di Panti Wredha Pucang Gading Semarang pada bulan juli 2007.

No Karakteristik Responden

Frekuensi (n) Persentase (%)

1 Usia60-6566-7071-75<76

810 4 8

26,733,313,326,7

2 Jenis kelaminLaki-lakiPerempuan

1713

56,743,3

Berdasarkan tabel 4.1 diatas terlihat bahwa sebagian besar responden

berumur 66-70 tahun yaitu sebanyak 10 orang (33,3%) dan paling sedikit

berumur antara 71-75 tahun sebanyak 4 orang (13,3%). Untuk responden laki-

laki lebih dominan yaitu sebesar 17 orang (56,7%), dan responden perempuan

sebanyak 13 orang (43,3%).

40

Page 41: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

3.Frekuensi Faktor-faktor yang berhubungan dengan jatuh

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden (N=30) Frekuensi Faktor-faktor yang berhubungan dengan jatuh pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading Semarang pada bulan juli 2007.

No Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)1 Jatuh

JatuhTidak jatuh

26 4

86,713,3

2

3

4

5

Gangguan gaya berjalanAda gangguanTidak ada

DemensiaDemensiaTidak demensia

LingkunganBerbahayaTidak berbahaya

ObatBerefekTidak berefek

22 8

1020

24 6

1911

73,326,7

33,366,7

8020

63,336,7

Distribusi frekuensi tentang variabel penelitian terlihat bahwa lansia

yang mengalami jatuh jauh lebih banyak dibandingkan lansia yang tidak

mengalami jatuh, masing-masing sebanyak 26 orang (86,7%) dan 14 orang

(13,3%). Untuk variabel gangguan gaya berjalan dibagi dalam 2 kategorik

yaitu ada gangguan gaya berjalan dan tidak ada gangguan gaya berjalan. Hasil

penelitian menunjukkan hampir tiga kali lipat lansia mengalami gangguan

gaya berjalan yakni sebanyak 22 orang (73,3%), sedangkan lansia yang tidak

41

Page 42: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

mengalami gangguan sebanyak 8 orang (26,7%).

Selanjutnya didapatkan hasil bahwa responden yang tidak mengalami

demensia lebih banyak dari responden yang mengalami demensia, yakni

sebesar 20 orang (66,7%), sedangkan yang mengalami demensia yakni

sebesar 10 orang (33,3%). Untuk variabel lingkungan sebagian besar

responden menyatakan bahwa lingkungan di sekitar responden berbahaya

sebanyak 24 orang (80%), dan hanya 6 orang (20%) yang menyatakan

lingkungan tidak berbahaya. Variabel obat dalam penelitian ini dibagi menjadi

2 kategorik yaitu obat berefek dan obat tidak berefek. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa obat yang berefek pada responden lebih besar daripada

obat yang tidak berefek, yakni sebesar 19 orang (63,3%), sedangkan obat

yang tidak berefek yakni 11 orang (36,7%).

4.Hubungan antara gangguan gaya berjalan dengan kejadian jatuh pada lansia

Tabel 4.3 Distribusi Responden (N=30) menurut Gangguan gaya berjalan dan Kejadian Jatuh

Gangguan gaya

berjalanKejadian jatuh P value

Tidak jatuh Jatuh Total X2

n N nTidak Ada gangguan

3(37,5%)

5(62,5%)

8(100%)

5,5 0,048

Ada gangguan

1(4,5%)

21(95,5%)

22(100%)

Distribusi responden menurut gangguan gaya berjalan dan kejadian

jatuh, terlihat bahwa 22 orang yang mengalami gangguan gaya berjalan, 21

42

Page 43: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

orang (95,5%) diantaranya mengalami jatuh, dan hanya 1 orang (4,5%) tidak

mengalami jatuh. Sedangkan dari 8 orang yang tidak mengalami gangguan

gaya berjalan, sebanyak 5 orang (62,5%) yang mengalami jatuh, dan 3 orang

tidak mengalami jatuh.

Hasil uji statistik dengan kai kuadrat dijumpai nilai E (harapan) kurang

dari 5 maka uji yang digunakan adalah Fisher Exact. Dari uji tersebut,

didapatkan nilai X2 sebesar 5,5 dengan p=0,048 berarti lebih kecil dari =5%α

maka dapat disimpulkan ada hubungan antara gangguan gaya berjalan dengan

kejadian jatuh.

5.Hubungan antara demensia dengan jatuh pada lansia

Tabel 4.4 Distribusi Responden (N=30) menurut Demensia dan Kejadian Jatuh

Demensia Kejadian jatuh P valueTidak jatuh Jatuh Total X2

n n nTidak demensia

3 (15%)

17 (85%)

20 (100%)

0,144 0,593

Demensia 1 (10%)

9 (90%)

10 (100%)

Lansia yang mengalami demensia sebanyak 10 orang, 9 orang (90%)

mrngalami jatuh dan 1 orang (10%) tidak mengalami jatuh. Sedangkan dari 20

orang yang tidak mengalami demensia, 17 orang (85%) mengalami jatuh, dan

3 orang (15%) tidak mengalami jatuh. Hasil uji kai kuadrat dapat disimpulkan

bahwa tidak ada hubungan antara demensia dengan kejadian jatuh (p=0,584).

43

Page 44: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

6.Hubungan antara lingkungan dengan jatuh pada lansia

Tabel 4.5 Distribusi Responden (N=30) menurut Lingkungan dan Kejadian Jatuh

Lingkungn Kejadian jatuh P value

Tidak jatuh Jatuh Total X2

n n nTidak berbahaya

3 (50%)

3 (50%)

6(100%)

8,7 0,018

Berbahaya 1 (4,2%)

23(95,8%)

24(100%)

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa 24 responden menyatakan

bahwa lingkungan yang berbahaya, 23 responden (95,8%) diantaranya

mengalami jatuh, dan hanya 1 responden (4,2%) tidak mengalami jatuh.

Sedangkan dari 6 responden yang menyatakan lingkungan yang tidak

berbahaya, sebanyak 3 responden (50%) mengalami jatuh, dan 3 responden

(50%) tidak mengalami jatuh. Hasil uji statistik diperoleh nilai X2 sebesar 8,7

dengan nilai p=0,018 maka dapat disimpulkan ada hubungan antara

lingkungan dengan kejadian jatuh.

44

Page 45: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

7.Hubungan antara obat dengan jatuh pada lansia

Tabel 4.6 Distribusi Responden (N=30) menurut Obat dan Kejadian Jatuh

Obat Kejadian jatuh P valueTidak jatuh Jatuh Total X2

n n nTidak

berefek2

(18,2%) 9

(81,8%)11

(100%)0,35 0,61

Ada efek obat

2 (10,5%)

17(89,5%)

19 (100%)

Distribusi responden menurut obat dan kejadian jatuh didapatkan

bahwa 19 responden mengalami efek samping obat, sebanyak 17 orang

(89,5%) diantaranya mengalami jatuh, dan 2 orang (10,5%) tidak mengalami

jatuh. Sedangkan 11 responden yang tidak mengalami efek obat, sebanyak 9

responden (81,8%) mengalami jatuh, dan 2 responden (18,2%) tidak

mengalami jatuh. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,61 maka dapat

disimpulkan tidak ada hubungan antara obat dengan kejadian jatuh.

a.Pembahasan

1.Gambaran Kejadian Jatuh pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading Semarang

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden

yaitu sebanyak 26 orang (86,7%) mengalami jatuh. Sedangkan responden

yang tidak mengalami jatuh jauh lebih sedikit yaitu sekitar 4 orang (23,3%),.

Responden dalam penelitian ini berumur antara 60 tahun sampai 85 tahun.

Proporsi umur tertinggi berumur 66-70 tahun sebanyak 10 orang (33,3%).

45

Page 46: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

Secara normal dengan bertambahnya usia maka akan terjadi perubahan di

seluruh sistem tubuh yang dalam hal ini adalah sistem muskuloskeletal yang

akan menyebabkan gangguan keseimbangan pada saat berjalan, dan berakibat

meningkatkan kemungkinan lansia untuk jatuh.

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dikutip dari (Alexander, 1997

dalam Leuckenotte, 2000) yang menyatakan bahwa sekitar 5,3% lansia yang

berumur 65 tahun keatas sering mengalami jatuh dan dirawat di rumah sakit.

Jatuh merupakan salah satu masalah utama pada lansia. Disamping

jatuh berhubungan dengan proses penuaan, jatuh juga berhubungan dengan

faktor-faktor lain diantaranya adalah gangguan gaya berjalan, demensia,

lingkungan dan obat (Kane, 1994 dalam Darmojo, 2004).

2.Gambaran Gangguan Gaya Berjalan pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading Semarang

Berdasarkan analisa data menunjukkan bahwa responden yang

mengalami gangguan gaya berjalan lebih banyak yaitu 22 responden (73,3%).

Sedangkan yang tidak mengalami gangguan gaya berjalan sebanyak 8

responden (26,7%). Gangguan gaya berjalan merupakan akibat dari gangguan

sistem muskuloskeletal dan hal tersebut berhubungan dengan proses penuaan

(Darmojo, 2004). Hal tersebut juga dapat disebabkan oleh menurunnya

aktivitas tubuh, menurunnya hormon estrogen, vitamin D, dan adanya

penyakit (Lueckenotte, 2000).

Penyakit yang dapat menyebabkan gangguan gaya berjalan antara lain

46

Page 47: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

adalah parkinson dan penyakit yang menyerang sistem syaraf. Menurut hasil

observasi yang peneliti dapatkan bahwa lansia yang mengalami gangguan

gaya berjalan menunjukkan gerakan goyah saat berjalan, menyeret kaki. Hal

ini sesuai dengan pendapat Darmojo (2004) yang menyatakan bahwa lansia

yang mengalami gangguan gaya berjalan akan menunjukkan beberapa tanda

yang khas antara lain terjadi goyah saat berjalan, langkah kaki menjadi lebar,

serta menyeret kaki saat berjalan.

3.Gambaran Demensia pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading Semarang

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil sebagai berikut, hanya 10

orang (33,3%) yang mengalami demensia dan 20 orang (66,7) yang tidak

mengalami demensia. Hal tersebut tidak sesuai dengan pendapat Darmojo

(2004) yang menyatakan bahwa pada lansia sering terjadi penyakit demensia.

Demensia merupakan suatu kondisi terjadinya perubahan fungsi

neurologi dan kognitif yang disebabkan oleh terjadinya degeneratif sel otak.

Kemunduran fungsi alat tubuh dapat dihambat atau diperlambat dengan

aktivitas fisik (Nugroho, 2000).

Aktifitas fisik yang dilakukan oleh lansia akan mempengaruhi tingkat

kejadian demensia. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa dua per tiga

dari jumlah responden tidak mengalami demensia. Demensia pada Lansia di

Panti wredha Pucang Gading dapat ditekan sedemikian kecil karena lansia

tersebut sering melakukan aktifitas fisik antara lain setiap pagi dilakukan

47

Page 48: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

senam dan juga setiap jumat pagi dilakukan pengajian yang didalamnya para

lansia harus menampilkan salah satu kesenian yaitu rebana.

4.Gambaran Lingkungan pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading Semarang

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 24

responden (80%) menyatakan bahwa lingkungan di panti berbahaya, dan

sebesar 6 responden (20%) menyatakan lingkungan di panti tidak berbahaya.

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan

seseorang. Lingkungan yang aman adalah salah satu kebutuhan dasar yang

harus dipenuhi dan hal tersebut dapat mempengaruhi kelangsungan hidup

seseorang (Perry dan Potter, 2001).

Lansia yang bertempat tinggal di lingkungan yang tidak aman,

mempunyai resiko mengalami cedera lebih besar (Perry dan Potter, 2001).

Dari hasil observasi didapatkan bahwa lansia yang menyatakan kamar

mandi di Panti licin sebesar 56,5%, dan yang menyatakan penerangan kurang

atau terlalu terang sebesar 60% (lihat lampiran 4). Hal tersebut sesuai dengan

pendapat Lueckenotte (2000) yang menyatakan bahwa lingkungan yang

berbahaya dapat ditunjukkan dengan lantai yang licin, penerangan yang

terlalu gelap atau terlalu redup dan sebagainya.

5.Gambaran Obat pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading Semarang

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa obat yang berefek

pada responden lebih besar daripada obat yang tidak berefek, yakni sebesar 19

48

Page 49: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

(63,3%), sedangkan obat yang tidak berefek yakni 11 (36,7%).

Pada lansia sering terjadi penyakit kardiovaskuler dan penyakit yang

menyerang persendian. Penyakit kardiovaskuler yang sering menyerang lansia

adalah hipertensi. Adapun obat-obatan yang sering dikonsumsi untuk

mengontrol hipertensi antara lain diuretik, nitrat, obat antihipertensi.

Sedangkan efek samping dari obat-obatan anti hipertensi adalah vertigo dan

sakit kepala (Katzung, 1994). Dari data yang diperoleh bahwa sebagian besar

lansia mengalami sakit kepala dan mengantuk setelah minum obat.

Efek samping obat pada setiap individu berbeda-beda. Pada lansia,

efek samping obat yang ditimbulkan akan meningkat. Hal tersebut

dikarenakan pada lansia terjadi perubahan farmakokinetik dan

farmakodinamik, juga penurunan dari berbagai organ. Tetapi dengan

memberikan obat secara tepat yang meliputi : tepat indikasi, tepat pasien,

tepat obat, tepat dosis (cara dan lama pemberian) akan meminimalkan efek

samping obat (ESO) ( Darmojo, 2004)

6.Hubungan antara gangguan gaya berjalan dengan kejadian jatuh

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa ada hubungan

yang bermakna antara gangguan gaya berjalan dengan kejadian jatuh. Hal ini

sesuai dengan hasil penelitian Sitompul (2000), dari 33 lansia di Panti Wredha

Wening Werdaya Ungaran diperoleh hasil bahwa ada hubungan antara

kecepatan berjalan dengan keseimbangan berdiri walaupun dalam derajat

amat rendah (r=0.0839), artinya dengan kecepatan berjalan yang teratur maka

49

Page 50: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

keseimbangan berdiri akan stabil, begitu juga sebaliknya jika kecepatan

berjalan tidak teratur maka keseimbangan berdiri akan terganggu sehingga

dapat menyebabkan lansia jatuh. Hal ini juga di dukung oleh pendapat

Darmojo (2004), yang mengatakan bahwa gangguan gaya berjalan merupakan

faktor yang benar-benar murni milik lansia yang berperan besar terhadap

jatuh. Begitu juga dengan pendapat Lueckenotte (2000) bahwa gangguan gaya

berjalan merupakan faktor intrinsik yang sangat besar peranannya terhadap

jatuh pada lansia.

Dari 22 resonden yang mengalami gangguan gaya berjalan, sebanyak

21 lansia mengalami jatuh dan hanya 1 orang yang tidak mengalami jatuh.

Hal itu dikarenakan lansia tersebut hanya berbaring ditempat tidur dan jarang

melakukan aktivitas. Untuk resonden yang tidak mengalami gangguan gaya

berjalan tetapi mengalami jatuh sebanyak 5 orang . Hal itu diakibatkan bahwa

jatuh pada lansia tidak hanya disebabkan oleh adanya gangguan gaya berjalan

tetapi jatuh juga dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya lingkungan,

demensia, dan obat (Darmojo, 2004).

7.Hubungan antara demensia dengan kejadian jatuh

Berdasarkan uji statistik dengan chi square diperoleh hasil bahwa

tidak ada hubungan antara demensia dengan kejadian jatuh. Hasil penelitian

ini berbeda dengan pendapat (Darmojo, 2004), yang menyatakan lansia yang

mengalami demensia mempunyai resiko untuk jatuh relatif lebih besar

daripada lansia yang tidak demensia.

50

Page 51: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

Dari 20 lansia yang tidak mengalami demensia, sebanyak 17 lansia

(85%) yang mengalami jatuh. Hal ini dapat disebabkan bahwa lansia yang

mengalami jatuh tidak hanya dikarenakan oleh lansia tersebut mengalami

demensia atau tidak. Tetapi ada banyak faktor yang dapat menyebabkan lansia

tersebut jatuh diantaranya yaitu gangguan gaya berjalan dan lingkungan.

Sedangkan dari 10 lansia yang mengalami demensia, sebanyak 1 lansia yang

tidak mengalami jatuh, hal tersebut menurut observasi yang peneliti dapatkan

bahwa untuk penatalaksanaan pada penderita demensia di panti, pihak panti

membuat peraturan bahwa lansia yang mengalami gangguan fungsi memori

ditempatkan pada ruangan C. Dalam ruangan tersebut, dilakukan berbagai

upaya untuk mengoptimalkan fungsi memori antara lain dengan menggunakan

alat bantu memori dimana mungkin.

8.Hubungan antara lingkungan dengan kejadian jatuh

Berdasarkan uji statistik dengan chi square diperoleh hasil bahwa ada

hubungan antara lingkungan dengan kejadian jatuh pada lansia. Hal tersebut

sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Lueckenotte (2000) bahwa

lingkungan merupakan merupakan faktor ekstrinsik utama yang dapat

menyebabkan jatuh pada lansia dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa

sekitar 33 lansia (30%) dari 97 lansia jatuh karena disebabkan oleh

lingkungan yang berbahaya (Warde, 1997 dalam Lueckenotte, 2000). Hal ini

juga didukung oleh pendapat Perry dan Potter (2001) yang menyatakan

bahwa lingkungan fisik yang tidak aman di dalam suatu komunitas dan tempat

51

Page 52: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

pelayanan kesehatan dapat menyebabkan seseorang mengalami cedera.

Lingkungan merupakan salah satu faktor ekstrinsik yang sangat besar

peranannya terhadap kejadian jatuh pada lansia. Berdasarkan hasil penelitian

didapatkan bahwa dari 24 lansia yang menyatakan lingkungan di panti dan

sekitarnya berbahaya, sebanyak 23 orang mengalami jatuh. Dan hanya 1

lansia yang tidak mengalami jatuh. Dari hasil observasi yang peneliti lakukan

terhadap lansia yang tidak mengalami jatuh dikarenakan lansia tersebut sakit,

sehingga semua aktivitas fisik dilakukan diatas tempat tidur.

9.Hubungan antara obat dengan kejadian jatuh

Berdasarkan uji statistik dengan kai kuadrat diperoleh hasil bahwa

tidak ada hubungan antara obat dengan kejadian jatuh. Hasil penelitian

tersebut berbeda dengan pendapat Darmojo (2004), yang menyatakan bahwa

efek samping dari obat-obat yang diminum antara lain obat hipertensi,

dierutika, hipnotika, sedativa dan vasodilator akan mengakibatkan

menurunnya stabilitas postural yang akan meningkatkan kemungkinan jatuh.

Lansia yang sering mengkonsumsi obat, maka efek yang akan ditimbulkan

juga semakin besar. Sehingga hal tersebut akan menyebabkan jatuh pada

lansia. Hal ini berbeda dari hasil penelitian, yang menunjukkan tidak ada

pengaruh antara kejadian jatuh dengan obat yang dikonsumsi oleh lansia.

Hasil penelitian yang menunjukkan tidak adanya pengaruh antara obat

dengan kejadian jatuh, kemungkinan karena jatuh pada lansia tidak hanya

dipengaruhi oleh obat. Akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain yang

52

Page 53: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

masih berkaitan dengan obat, misalnya diagnosis dan patofisiologis penyakit,

kondisi dan konstitusi tubuh atau organ, dan farmakologi obat. (WHO, 1995

dalam Darmojo, 2004).

Dari 19 lansia yang mempunyai efek samping obat, sebanyak 2 orang

tidak mengalami jatuh. Dari hasil observasi, diketahui bahwa setelah

mengambil obat dan meminumnya, sebagian besar responden tidak

melakukan aktifitas dan menghabiskan waktu ditempat tidur. Sehingga

walaupun ada efek samping dari obat yang mereka minum, hal tersebut tidak

berpengaruh besar terhadap kemungkinan jatuh.

B.Keterbatasan Penelitian

Ada beberapa kelemahan dan hambatan yang dihadapi peneliti dalam melakukan

penelitian, antara lain:

1.Penelitian ini hanya dilakukan pada satu tempat yaitu di Panti, sehingga hasil

penelitian tidak dapat digunakan sebagai acuan untuk mengeneralisasi

mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian jatuh pada lansia.

2.Tiga dari lima alat ukur penelitian yang digunakan adalah kuesioner dengan

pedoman wawancara, tetapi pernyataan bersifat terstruktur sehingga

memungkinkan responden memberi jawaban yang tidak sesuai dengan yang

dialami.

3.Jumlah sampel yang digunakan merupakan sampel kecil (n=30), sehingga hal

tersebut akan memengaruhi normalitas data yang diperoleh.

53

Page 54: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan

1.Dari hasil penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

jatuh di Panti Wredha Pucang Gading Semarang dengan jumlah sampel

sebanyak 30 lansia dapat di simpulkan bahwa sebanyak 26 lansia ( 86,7%)

mengalami jatuh. Dengan bertambahnya usia, maka akan terjadi penurunan

fungsi di seluruh tubuh diantaranya adalah sistem muskuloskeletal. Hal

tersebut dapat mengakibatkan jatuh, jatuh merupakan salah satu masalah

utama pada lansia. Disamping karena proses penuaan, jatuh juga dapat di

sebabkan oleh faktor-faktor lain diantaranya gangguan gaya berjalan,

demensia, lingkungan dan obat.

2.Lansia yang mengalami gangguan gaya berjalan lebih banyak yakni 22 lansia

(73,3%). gangguan gaya berjalan dapat disebabkan oleh adanya gangguan

pada sistem muskuloskeletal yang sering dihubungkan dengan proses

penuaan. Selain karena gangguan pada sistem muskuloskeletal, gangguan

gaya berjalan juga dapat disebabkan oleh adanya penyakit parkinson dan

penyakit yang menyerang sistem syaraf.

3.Lansia yang mengalami demensia yakni 10 lansia (33,3%). angka kejadian

demnsia di Panti Wredha Pucang Gading relatif kecil, hal ini dikarenakan

lansia yang menghuni panti sering melakukan aktivitas fisik antara lain senam

yang telah terjadwal oleh pihak panti. Dengan aktivitas fisik yang teratur

54

Page 55: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

dapat memperlambat kemunduran organ tubuh yang dalam hal ini adalah otak.

4.Lansia yang menyatakan bahwa lingkungan di panti berbahaya lebih banyak

yakni 24 lansia (80%). Adapun lingkungan tersebut dikatakan berbahaya

didasarkan pada lantai yang licin, penerangan yang terlalu gelap atau terlalu

terang dan sebagainya.

5.Lansia yang mengalami efek samping obat yakni 19 responden (63,3%).

Sebagian besar lansia mengalami efek samping obat, antara lain sakit kepala

dan rasa kantuk. Efek samping obat pada lansia berbeda-beda, hal ini

disamping dikarenakan proses menua, juga disebabkan oleh terjadinya

perubahan farmakokinetik dan farmakokinetik

6.Dari keempat faktor yang diteliti, didapatkan hasil bahwa ada dua faktor yang

berhubungan terhadap kejadian jatuh yaitu gangguan gaya berjalan, dan

lingkungan, sedangkan demensia dan obat tidak mempunyai hubungan yang

signifikan dengan kejadian jatuh pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading

Semarang.

B.Saran

1.Bagi Petugas Panti

Berdasarkan hasil penelitian terdapat dua faktor yang mempengaruhi

jatuh yaitu, gangguan gaya berjalan dan lingkungan. Dari kedua faktor

tersebut, hendaknya petugas panti dapat melakukan berbagai upaya untuk

mengatasi kedua faktor tersebut. Untuk gangguan gaya berjalan, diupayakan

dengan memberikan program gait training, latihan strengthening dan

55

Page 56: 02.BABI Vsdafsafsadfa kk

pemberian alat bantu berjalan. Adapun pemberian alat bantu berjalan dapat

diupayakan dengan pemberian pegangan pada tembok dan sebagainya. untuk

lingkungan yang berbahaya, diupayakan dengan penerangan yang cukup

tetapi tidak menyilaukan, kamar mandi dibuat tidak licin.

Adapun peran perawat lansia adalah dengan meningkatkan pengawasan

terhadap lansia yang mengalami gangguan gaya berjalan dan juga selalu

memberikan informasi jika berjalan di kamar mandi untuk selalu berpegangan

pada tembok. Sedangkan unutk petugas kebersihan, diharapkan selau

membersihkan kamar mandi dan juga memberikan informasi kepada lansia

sebelum mengepel lantai sehingga lansia tidak mudah terpeleset.

2.Bagi peneliti

Penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

jatuh pada lansia hanya di satu instansi, akan lebih baik jika penelitian ini

dilakukan diseluruh instansi Panti di Semarang sehingga hasil penelitian

tersebut dapat di jadikan tolok ukur mengenai faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian jatuh pada lansia. Untuk instrumen yang di gunakan dalam

penelitian sebaiknya adalah observasi sehingga data yang diperoleh bersifat

objektif.

56