02.BABI Vsdafsafsadfa kk
-
Upload
dimas-wisnu-wardhana -
Category
Documents
-
view
14 -
download
0
description
Transcript of 02.BABI Vsdafsafsadfa kk
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Lansia adalah seseorang yang mencapai umur 60 tahun ke atas (Nugroho,
2000 dikutip dari Undang-Undang No. 13 Tahun 1998). Secara individu, pada
usia diatas 55 tahun terjadi proses penuaan secara alamiah (Nugroho, 2000).
Untuk mendukung stabilitas kesehatan pada lansia dapat diupayakan antara lain
dengan nutrisi, olahraga, istirahat, lingkungan yang aman dan nyaman. Sehingga
dari dukungan tersebut, diharapkan Umur Harapan Hidup lansia akan meningkat.
Pada tahun 2000 diperkirakan jumlah lanjut usia meningkat menjadi 9,99
% dari seluruh penduduk Indonesia (22.277.700 jiwa) dengan umur harapan
hidup 65 – 67 tahun, dan pada tahun 2020 akan meningkat menjadi 11,09 % atau
29.120.000 jiwa lebih dengan umur harapan hidup mencapai 70 sampai 75 tahun
(Nugroho, 2000). Jumlah lansia di Jawa Tengah hasil sensus penduduk mencapai
2.863.994 jiwa (BPS, 2000). Dari data yang peneliti dapat di Panti Wredha
Pucang Gading Semarang pada bulan Januari 2007, dari 115 penghuni Panti
sebanyak 30 lansia atau 43,47 % mengalami jatuh.
Memang tidak dapat dibantah, bila seseorang bertambah tua, kemampuan
fisik dan mental hidupnya pun akan perlahan-lahan pasti menurun. Semua
perubahan tersebut khususnya pada perubahan fisik misalnya perubahan pada
sistem penglihatan, persarafan, dan muskuloskeletal. Dampak dari perubahan
tersebut, lansia akan mengakibatkan aktifitas lansia menjadi menurun. Perubahan
tersebut mengakibatkan kelambanan bergerak, langkah pendek-pendek,
penurunan irama, kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung gampang
terpeleset atau tersandung sehingga lansia mudah terjatuh (Nugroho, 2000).
Jatuh dan kecelakaan pada lansia merupakan penyebab kecacatan yang
utama (Gallo, Reuchell & Andersen, 1998). Jatuh secara singkat bisa diartikan
sebagai “ a person coming to rest on the ground or another lower level “ atau
dengan kata lain suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata, yang
melibatkan suatu kejadian yang menyebabkan seseorang mendadak terbaring atau
terduduk dilantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran atau luka (Reuben, 1996). Menurut Probosuseno (2006), roboh (falls)
merupakan suatu masalah yang sering terjadi pada lanjut usia.
Insiden jatuh di masyarakat Amerika Serikat pada umur lebih dari 65
tahun berkisar 1/3 populasi lansia setiap tahun, dengan rata-rata jatuh 0,6/orang
(Reuben, 1996) Berdasarkan survei masyarakat Amerika Serikat, terdapat sekitar
30 % lansia berumur lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya. Separuh dari
angka tersebut mengalami jatuh berulang (Tinetti, 1992). Angka kejadian jatuh
pada fasilitas perawatan di Amerika Serikat berkisar 40 % dari penghuninya
pernah jatuh (Leueckenotte, 2000 dikutip dari Teideksaar, 1998).
Kejadian jatuh pada lansia dapat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan
ekstrinsik (Darmojo, 2004 dikutip dari Kane, 1994). Adapun faktor intrinsik
antara lain sistem syaraf pusat, demensia, gangguan sistem sensorik, gangguan
2
sistem kardiovaskuler, gangguan metabolisme, dan gangguan gaya berjalan.
Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi lingkungan, aktifitas, dan obat-obatan.
Salah satu dari faktor-faktor tersebut diatas, juga ditemukan pada lansia
yang tinggal di Panti Wredha Pucang Gading. Hal tersebut dapat diketahui dari
studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, bahwa 10 lansia dari 50 lansia
mengalami jatuh di kamar mandi. Menurut hasil penelitian Yulaikha (2006)
bahwa 70,9 % lansia di Panti Wredha Pucang Gading memiliki sikap yang negatif
terhadap pencegahan cedera, artinya ada kecerendungan dengan sikap yang
negatif diikuti dengan praktik yang kurang baik.
Peningkatan jumlah lansia yang terjadi di Indonesia pada umumnya dan di
Jawa Tengah pada khususnya menyebabkan berbagai masalah yang terjadi pada
lansia itu sendiri. Jatuh merupakan masalah yang sering terjadi pada lansia. Hal
tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Mengungkap
fenomena mengapa lansia mudah jatuh yang dapat menyebabkan komplikasi dari
patah tulang sampai terjadinya kematian. Sehingga untuk mencegah terjadinya
jatuh dan komplikasi yang menyertainya, serta ditemukannya salah satu faktor
yang mempengaruhi kejadian jatuh pada lansia di Pucang Gading Semarang,
maka penulis mengangkat penelitian dengan judul “.Faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian jatuh/falls pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading
Semarang “.
B.Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah
3
penelitian yaitu tentang “ Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
jatuh/falls pada lansia di Panti Wredha di Pucang Gading Semarang “.
C.Tujuan Penelitian
1.Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian jatuh/falls pada lansia di Panti Wredha Pucang
Gading Semarang
2.Tujuan Khusus
Adapun tujuan khususnya adalah agar dapat:
a.Mendiskripsikan kejadian jatuh pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading
Semarang
b.Mendiskripsikan gangguan gaya berjalan pada lansia di Panti Wredha
Pucang Gading Semarang
c.Mendiskripsikan demensia pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading
Semarang.
d.Mendiskripsikan lingkungan pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading
Semarang.
e.Mendiskripsikan obat-obatan pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading
Semarang.
f.Mengetahui hubungan gangguan gaya berjalan dengan kejadian jatuh pada
lansia di Panti Wredha Pucang Gading Semarang
g.Mengetahui hubungan demensia dengan kejadian jatuh pada lansia di Panti
4
Wredha Pucang Gading Semarang
h.Mengetahui hubungan lingkungan dengan kejadian jatuh pada lansia di
Panti Wredha Pucang Gading Semarang.
i.Mengetahui hubungan obat-obatan dengan kejadian jatuh pada lansia di
Panti Wredha Pucang Gading Semarang.
D.Manfaat Penelitian
1.Bagi Petugas Panti Wredha Pucang Gading Semarang
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan
bagi petugas untuk menentukan strategi pencegahan jatuh pada lansia,
sehingga kejadian jatuh dapat dikurangi seminimal mungkin.
2.Bagi Lansia
Dari hasil penelitian ini diharapkan lansia terhindar dari jatuh dan
dapat meningkatkan status kesehatannya.
3.Bagi Peneliti
Dari hasil penelitian ini peneliti berharap dapat bermanfaat untuk
memberikan saran, masukan, serta tambahan informasi bagi petugas maupun
lansia dalam pemecahan masalah dan atau mencari solusi untuk menurunkan
insidensi jatuh/falls.
E.Bidang Ilmu
Lingkup penelitian ini adalah penelitian bidang ilmu keperawatan dan
kesehatan khususnya bidang keperawatan Gerontik dengan penekanan pada
faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian jatuh pada lansia.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a.Konsep Lansia
2.Batasan Lanjut Usia
Ada beberapa pendapat mengenai batasan umur lanjut usia, mengutip
pernyataan :
a.Organisasi Kesehatan Dunia
Lanjut usia meliputi usia pertengahan yakni kelompok usia 45
sampai 59 tahun, lanjut usia (Elderly) yakni antara usia 60 sampai 74
tahun, usia lanjut tua (Old) yaitu antara usia 75 sampai 90 tahun, dan usia
sangat tua (very old) yaitu usia diatas 90 tahun.
b.Undang – undang nomor 13 tahun 1998
Menjelaskan tentang kesejahteraan lanjut usia yang termaktub
dalam BAB I pasal 1 ayat 2 yaitu bahwa “ lanjut usia adalah seseorang
yang mencapai usia 60 tahun keatas “.
c.Koesoemato Setyonegoro
Pengelompokan lanjut usia meliputi:
Usia dewasa muda (elderly adulthood) yaitu usia 18 atau 20-25
tahun, usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas yaitu usia 25-60
atau 65 tahun, lanjut usia (geriatric age) yaitu usia lebih dari 65 atau 70
tahun, usia 70 – 75 tahun (young old), usia 75 – 80 tahun (old), dan lebih
6
dari 80 tahun (very old) dalam Nugroho, 2000).
3.Proses Penuaan
Penuaan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari oleh
setiap manusia. Walaupun proses penuaan merupakan sesuatu yang normal,
akan tetapi pada kenyataannya proses ini lebih menjadi beban. Hal ini secara
keseluruhan tidak bisa dipungkiri oleh beberapa orang yang merasa lebih
menderita karena pengaruh penuaan ini. Proses penuaan ini mempunyai
konsekuensi terhadap aspek biologis, psikologis, dan sosial (Watson, 2003).
4.Perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia
a.Perubahan-perubahan fisik
1)Sel menjadi lebih sedikit jumlahnya dan lebih besar ukurannya
2)Sistem persyarafan terjadi perubahan berat otak menurun 10 – 20, lambat
dalam respon dan waktu untuk bereaksi dan mengecilnya saraf panca indera
yang menyebabkan berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran,
menurunnya sensasi perasa dan penciuman.
3)Sistem pendengaran terjadi perubahan hilangnya kemampuan daya
pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi atau suara nada
tinggi.
4)Sistem penglihatan terjadi perubahan hilangnya respon terhadap sinar, kornea
lebih berbentuk sferis, serta hilangnya daya akomodasi.
5)Sistem kardiovaskuler terjadi perubahan elastisitas dinding aorta menurun,
kemampuan jantung memompa darah menurun dan kehilangan elastisitas
7
pembuluh darah.
6)Sistem respirasi terjadi perubahan pada otot – otot pernafasan kehilangan
kekuatan dan menjadi kaku, paru – paru kehilangan elastisitas.
7)Sistem Gastrointestinal terjadi perubahan kehilangan gigi, indra pengecap
menurun, rasa lapar menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul
konstipasi.
8)Sistem genitourinaria terjadi perubahan nefron menjadi atrofi, aliran darah ke
ginjal menurun, dan otot – otot vesika urinaria lemah.
9)Sistem endokrin terjadi perubahan produksi hampir semua hormon menurun
seperti Adrenokortikotropin hormon (ACTH), Follicle-stimulating hormon
(FSH), Thyroid-stimulsitng hormon (TSH) dan Luteinizing hormon (LH)
( Brunner & Suddarth, 2002).
10)Sistem integumen terjadi perubahan elastisitas sehingga menjadi keriput,
permukaan kulit bersisik dan kasar.
11)Sistem muskuloskeletal terjadi perubahan berupa tulang makin rapuh, terjadi
kifosis, persendian kaku dan atrofi serabut otot.
b.Perubahan – perubahan mental meliputi perubahan dalam memori dan
intellegentia quantion (IQ).
c.Perubahan – perubahan psikososial meliputi pensiun, merasakan atau sadar
akan kematian, perubahan dalam cara hidup dan sebagainya.
Perubahan yang terjadi pada lansia, dapat menimbulkan berbagai
masalah. Adapun utama pada lansia (Geriatrik Giant) Setianto (2005) yaitu:
8
a.Gangguan otak besar (Sindroma serebral) adalah kumpulan gejala yang
terjadi akibat perubahan dari aliran darah otak. Pada lansia, terjadi
pengecilan otak besar yang dalam batas tertentu masih dianggap normal.
Aliran darah otak orang dewasa kurang lebih 50 cc/100 grm/menit.
Apabila aliran kurang dari separuhnya, maka akan menimbulkan gejala-
gejala gangguan otak besar. Ganguan sirkulasi ini dapat disebabkan
karena hipertensi/darah tinggi, mengerasnya pembuluh darah,
penyempitan akibat proses pengerasan pembuluh yang dipercepat dengan
tingginya kolesterol darah (atheroskerosis), kencing manis, merokok dan
darah tinggi.
b.Bingung (Konfius) adalah suatu akibat gangguan menyeluruh pada fungsi
pangertian (kognisi) meliputi derajat kesadaran, kewaspadaan dan
terganggunya proses berfikir. Bingung tersebut meliputi bingung waktu,
tempat dan orang yang merupakan istilah lain gagal otak akut. Gangguan
memori dapat berupa gangguan jangka pendek, maupun jangka panjang.
Ada gangguan angan-angan misalnya melihat sesuatu yang tidak ada
(halusinasi) atau salah penglihatan. Ada enam ciri dari konfius antara lain
derajat kesadaran yang menurun, gangguan cipta (persepsi), terganggunya
siklus bangun tidur yaitu sulit tidur (insomnia); Aktifitas fisik bisa
meningkat atau menurun, bingung, gangguan memori, tidak mampu
belajar materi baru.
9
c.Gangguan saraf mandiri pada lanjut usia yang perlu diperhatikan adalah
terjadinya perubahan aliran listrik saraf ke pusat mandiri yang
mengakibatkan tekanan darah rendah (hipotensi) pada posisi tegak,
gangguan-gangguan pengaturan seperti pada pengaturan suhu, gerak
kandung kemih, saluran makanan di leher dan usus besar.
d.Inkontinentia urin yaitu, sering berkemih tanpa disadari oleh lansia.
Inkontinentia akut antara lain disebabkan oleh DRIP (D: delirium,
kesadaran kurang; R: retriksi mobilitas, retensi; I: infeksi, inflamasi,
impaksi feces; P: pharmasi/obat-obatan, poliuri). Inkontinensia alvi,
sering buang air besar/defekasi tanpa disadari. Peristiwa ini tidak
menyenangkan, tetapi tidak terelakkan. Diantara penderita inkontinensia
urin 35% menderita inkontinensia alvi sehingga mekanismenya dianggap
sama. Feses bisa berupa cair atau belum berbentuk bahkan dapat
merembes dipakaian atau tempat tidur. Keluarnya feses yang sudah
berbentuk dapat terjadi sekali atau dua kali per hari. Hal ini dapat
disebabkan hilangnya refleks anal/anus dan disertai lemahnya otot-otot
seran lintang yang melingkari anus. Sering ini merupakan gejala awal
penyakit saluran cerna bawah, bahkan sangat mungkin disembuhkan
apabila diobati pada waktu dini.
e.Jatuh yaitu suatu kejadian yang menyebabkan seseorang mendadak
terbaring atau terduduk dilantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau
10
tanpa kehilangan kesadaran atau luka dan merupakan salah satu masalah
utama lansia (Reuben, 1996).
f.Penyakit tulang dan patah tulang menjadi salah satu sindroma geriatrik,
dalam arti angka kejadian dan akibatnya pada lansia cukup bermakna. Hal
ini sejalan dengan bertambahnya usia, maka terjadi peningkatan hilangnya
massa tulang deengan kejadian patah tulang berbanding lurus/linier.
Tingkat hilang tulang ini sekitar 0,5-1% per tahun dari berat tulang pada
wanita paska menopause dan pria > 80 tahun. Sepanjang hidup tulang
mengalami perusakan (dilaksanakan oleh sel-sel osteoklas) dan
pembentukan (dilaksanakan oleh sel-sel osteoblas) yang berjalan bersama-
sama, sehingga tulang dapat membentuk modelnya sesuai dengan
pertumbuhan badan (proses remodelling). Oleh karena itu dapat
dimengerti bahwa proses remodelling ini akan sangat cepat pada usia
remaja (growth sport).
g.Dekubitus dapat terjadi pada setiap umur hal tersebut merupakan masalah
khusus pada lanjut usia dan erat kaitannya dengan imobilitas. Dekubitus
adalah kerusakan atau kematian kulit sampai jaringan dibawahnya, bahkan
menembus otot sampai mengenai tulang, akibat adanya penekanan pada
suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan
sirkulasi darah setempat. Seseorang yang tidak imobil atau bisa alih posisi
dapat berbaring berminggu-minggu tanpa terjadi dekubitus karena dapat
11
berganti posisi beberapa kali dalam satu jam. Pergantian posisi ini
walaupun hanya bergeser, sudah cukup untuk mengganti bagian tubuh
yang kontak dengan alas tempat tidur.
b.Faktor – faktor yang Mempengaruhi Jatuh pada Lanjut Usia
Kejadian jatuh dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti usia, jenis kelamin,
penyakit, dan stabilitas badan. Stabilitas badan dapat dipengaruhi oleh beberapa
hal (Darmojo, 2004) yaitu:
1. Sistem Sensorik
Sistem sensorik yang berperan adalah visus (tajam penglihatan),
sedangkan sistem pendengaran yang terkait adalah fungsi vestibuler dan
propioseptif. Semua gangguan atau perubahan pada mata akan menimbulkan
gangguan penglihatan. Begitu juga dengan semua penyakit telinga akan
menimbulkan gangguan pendengaran, misalnya Vertigo tipe perifer sering
terjadi pada lansia yang diduga karena adanya perubahan fungsi vestibuler
akibat proses menua. Neuropati perifer dan penyakit degeneratif leher akan
mengganggu fungsi propioseptif (Tinetti, 1992).
2. Sistem Saraf Pusat (SSP)
Sistem Syaraf Pusat akan memberikan respon motorik untuk
mengantisipasi input sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, parkinson, dan
normotensif hidrocephalus sering diderita oleh lansia dan menyebabkan
gangguan fungsi SSP sehingga berespon tidak baik terhadap input sensorik
12
(Tinetti, 1992).
3. Sistem Muskuloskeletal
Faktor ini disebutkan oleh beberapa peneliti merupakan faktor yang
benar-benar murni milik lansia yang berperan besar terhadap terjadinya jatuh.
Gangguan sistem muskuloskeletal menyebabkan gangguan berjalan dan ini
berhubungan dengan proses menua yang fisiologis maupun penyakit tertentu.
Faktor penyebab jatuh pada lansia dapat dibagi dalam 2 golongan besar
(Darmojo, 2004 dikutip dari Kane, 1994), yaitu:
a.Faktor Intrinsik
1)Sistem Saraf Pusat (SSP)
Stroke adalah sindrome klinis yang awal tiimbulnya mendadak,
cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang berlangsung 24
jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian , dan disebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (Kapita Selekta
Kedokteran, 2000). Stroke dan Trancient Iskemia Attack (TIA) yang
mengakibatkan hemiparese sering menyebabkan jatuh pada lansia.
Insufisiensi arteri vertebral juga menyebabkan syncope dan jatuh.
Syncope adalah suatu keadaan dimana terdapat kelemahan
menyeluruh pada otot-otot tubuh sehingga tidak mampu memprtahankan
sikap tegak dan disertai hilangnya kesadaran (Buku Ajar Kardiologi,
2000). Syncope dan jatuh pada insufisiensi arteri vertebral terjadi ketika
lansia melihat ke atas dan ke salah satu sisi atau mengambil suatu benda
13
yang lebih tinggi. Kondisi ini cenderung terjadi pada lansia dengan
servikal spondilosis.
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya
gejala-gejala yang datang dalam serangan berulang-ulang yang disebabkan
lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel syaraf otak yang bersifat
reversibel dengan berbagai sebab (Kapita Selekta Kedokteran, 2000).
Epilepsi merupakan kasus yang jarang menyebabkan jatuh pada lansia,
tetapi epilepsi juga merupakan salah satu faktor penyebab jatuh, maka
kemungkinan jatuh akibat epilepsi harus diperhatikan.
Jatuh merupakan hal yang umum pada lansia yang menderita
penyakit parkinson. Penyakit parkinson adalah penyakit neurologis kronis
yang mengenai ganglia basalis akibat penurunan atau tidak adanya
pengiriman dopamin dari substansia nigra ke globus pallidus.
Gejala khas penyakit Parkinson antara lain tremor sewaktu
istirahat (resting tremor), rigiditas, bradikinesia atau kelambanan
pergerakan, instabilitas postural.
Gejala lain yang mungkin ditemukan adalah suara atau cara
berbicara menjadi monoton, volumenya rendah dan terputus-putus;
sekresi air liur yang berlebihan (sialorrhea), disfungsi otonom seperti
berkeringat berlebihan, inkontinensia, hipotensi ortostatik, hal ini
mungkin disebabkan oleh menghilangnya secara progresif neuron di
ganglia simpatik; tulisan tangan menjadi kecil dan rapat, tanda Meyerson
14
positif yaitu kedua mata berkedip-kedip bila dilakukan pengetukan di atas
pangkal hidung.
Normotensif hidrocephalus menyebabkan ataxia yang dini dan
tampak dalam trias khusus yaitu gangguan berjalan, demensia dan
inkotinensia. Gangguan berjalan dalam bentuk berjalan magnetik dengan
langkah pendek-pendek, kurangnya kontrol keseimbangan dan kesulitan
untuk berputar. Kondisi di atas dapat menyebabkan jatuh pada lansia.
2)Demensia
Demensia adalah suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya
fungsi intelektual dan ingatan atau memori sedemikian berat sehingga
menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari (Darmojo, 2004).
Prevalensi demensia meningkat pada populasi lansia dengan umur
65 tahun ke atas dan meningkat tajam setelah umur 75 tahun. Lansia
dengan demensia menunjukkan persepsi yang salah terhadap bahaya
lingkungan, terganggunya keseimbangan tubuh dan apraxia sehingga
insiden jatuh meningkat. Depresi atau keadaan pseudodemensia juga
umum terdapat pada lansia dengan prevalensi 10 % pada lansia di kota
besar. Peningkatan insiden jatuh pada lansia dengan depresi disebabkan
kurangnya kewaspadaan terhadap faktor lingkungan, keinginan untuk
melukai diri dan gangguan kesehatan secara umum.
Hasil penelitian Friskawati (2005), didapatkan bahwa dari 85
lansia di desa Pelem Kabupaten Boyolali 92,5% mengalami demensia
15
mempunyai peluang terjadi gangguan pola tidur. Hasil uji kai kuadrat
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara demensia
dengan pola tidur pada lansia, dengan nilai p = 0.016. Dengan adanya
gangguan pola tidur pada lansia maka akan berdampak pada kesehatan
lansia yang secara tidak langsung akan mempegaruhi keseimbangan tubuh
pada lansia.
3)Gangguan Sistem Sensorik
Gangguan sistem sensorik bisa mengenai sensori, rasa nyeri, dan
sensasi. Gangguan sernsori dapat berupa katarak, glaukoma, degenerasi
makular, gangguan visus pasca stroke dan retinopati diabetika meningkat
sesuai dengan umur. Entropion, ektropion atau epifora yang menyebabkan
gangguan penglihatan juga meningkatkan insiden jatuh. Walaupun
gangguan penglihatan meningkatkan insiden jatuh tetapi kebutaan tidak
meningkatkan insiden tersebut.
Gangguan sensasi keseimbangan berupa vertigo, sering ditemukan
pada lansia tetapi tidak sering menyebabkan jatuh pada lansia. Vertigo
sering terjadi bersamaan dengan nistagmus. Berdasarkan etiologinya
vertigo dibagi menjadi vertigo tipe perifer dan vertigo tipe sentral.
Vertigo tipe perifer terjadi akibat gangguan pada sistem vestibuler atau
auditorius seperti pada penyakit positional vertigo, labyrintitis dan
Meniere’s disease. Vertigo tipe sentral dihubungkan dengan gangguan
pada otak, untuk mengetahui vertigo tipe sentral diperlukan CT-Scan
16
kepala untuk diagnosa pasti.
4)Gangguan Sistem Kardiovaskuler
Insiden gagal jantung kongestif dan infark miokard meningkat
sesuai dengan umur. Hipertensi dan kardia aritmia juga sering ditemukan
pada lansia. Gangguan sistem kardiovaskuler akan menyebabkan syncope.
Syncope –lah yang sering menyebabkan jatuh pada lansia. Menurut
penelitian (Gordon et.al 1998 dalam Nugroho, 2000), 12 dari 37 lansia
yang menderita kardia aritmia mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk
jatuh. Postural hypotension yang harus dicurigai ketika lansia pusing bila
melakukan perubahan posisi secara mendadak seperti mendadak bangun
dari tempat tidur atau kursi. Postprandial syncope yang berhubungan
dengan transient hypotension, sering dijumpai lansia setelah makan atau
buang air besar. Dalam hal ini meningkatkan risiko jatuh lansia di kamar
mandi.
5)Gangguan Metabolisme
Gangguan metabolisme sering mengakibatkan kejadian jatuh.
Gangguan ini terutama pada gangguan regulasi cairan berupa dehidrasi.
Dehidrasi bisa disebabkan oleh diare, demam, asupan cairan yang kurang
atau penggunaan diuretik yang berlebihan. Manifestasi klinis yang tampak
adalah syncope atau postural hypotension walaupun kadang drop attacks
dan vertigo dapat terjadi.
17
6Gangguan Gaya Berjalan (gait disorder)
Salah satu bentuk aplikasi fungsional dari gerak tubuh adalah pola
jalan. Keseimbangan, kekuatan dan fleksibilitas diperlukan untuk
mempertahankan postur tubuh yang baik. Ketiga elemen itu merupakan
dasar untuk mewujudkan pola jalan yang baik setiap individu.
Gangguan gaya berjalan dapat disebabkan oleh gangguan muskuloskeletal
dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mencapai pergerakan
normal yaitu:
a.Penyokong anti gravitasi pada posisi tegak, kontrol keseimbangan dan
pergerakan melangkah ke depan.
b.Posis tegak karena pusat gravitasi berada di vertebra sakral 2
anterosuperior
c.Posisi tegak membutuhkan sedikit energi untuk menjaga keseimbangan
saat berdiri. Stabilitas mekanik dipertahankan sepanjang jalur gravitasi
yang melewati dasar penyangga di antara kedua kaki.
Selain pergerakan normal, juga harus diperhatikan terkait dengan
mekanisme pergerakan maju (Darmojo, 2004) yaitu :
a.Berhubungan dengan fiksasi dan elevasi dari pelvis oleh otot abduktor
paha.
b.Badan dimiringkan ke depan.
c.Kaki yang berayun dan fleksi serta panggul sedikit berputar keluar, lutut
18
fleksi dan kaki dorso fleksi.
d.Tumit menyentuh lantai.
e.Rotasi eksternal dan dorsofleksi tungkai yang bergeser ke pusat gravitasi
di depan.
f.Rotasi lengan dan bahu berguna untuk keseimbangan gerakan pelvis dan
ekstremitas bawah.
Dampak dari pergerakan maju akan menghasilkan pola jalan. Pada lansia
ada beberapa perubahan yang mungkin terjadi, diantaranya sebagai
berikut:
a. Kecepatan berjalan tetap stabil sampai umur 70 tahun, kemudian dalam
tiap dekade menurun kecepatannya menurun 15% untuk kecepatan
berjalan biasa dan 20% untuk kecepatan berjalan maksimal. Uniknya,
dari penelitian tidak didapati adanya perubahan cadence (ritme
berjalan) walaupun menurun kecepatan iramanya.
b. Peningkatan waktu fase berdiri dengan dua kaki (double stance phase)
sehingga menurunkan momentum pada fase mengayun kaki dan
berakibat langkah menjadi lebih pendek.
c. Berjalan dengan ibu jari kaki deviasi ke arah lateral sekitar 5%.
Merupakan adaptasi tubuh agar didapati keseimbangan lateral atau
dicurigai adanya kelemahan pada otot panggul yang bertugas
melakukan rotasi interna
d. Pergerakan sendi berubah seiring dengan umur, contohnya Ankle
19
plantar fleksor yang menurun walaupun kemampuan maksimal dari
ankle plantar dorsofleksi tidak berubah.
e. Panjang langkah berkurang pada orang tua, mungkin otot betis pada
lansia yang berkurang kekuatannya dan tidak bisa menghasilkan
plantar fleksi yang optimal, bisa juga disebabkan karena berkurangnya
keseimbangan dan kontrol tubuh yang jelek pada fase single stance.
Bisa juga karena rasa aman yang didapat ketika berjalan dengan
langkah pendek.
f. Sedikit adanya rigiditas pada anggota gerak, terutama anggota gerak
atas lebih dari anggota gerak bawah. Rigiditas akan hilang apabila
tubuh bergerak.
g. Gerakan otomatis menurun, amplitude dan kecepatan berkurang,
seperti hilangnya ayunan tangan saat berjalan.
h. Penurunan rotasi badan, terjadi karena efek sekunder kekakuan sendi.
i. Penurunan ayunan tungkai saat fase mengayun.
j. Penurunan sudut antara tumit dan lantai, itu mungkin disebabkan
lemahnya fleksibilitas plantar fleksor.
Selain pergerakan normal, bisa juga ditemukan gangguan gaya
berjalan yang terjadi akibat proses menua dapat disebabkan oleh beberapa
hal yaitu kekakuan jaringan penghubung, berkurangnya massa otot,
perlambatan konduksi saraf, penurunan visus atau lapang pandang,
kerusakan propioseptif. Disamping itu biasanya juga dijumpai pada
20
lansia, yaitu kelemahan otot quadriceps femoris, stenosis spinal, stroke,
neuropati perifer, osteoartritis, osteoporosis, penyakit Parkinson dan
keadaan patologi dari sendi panggul.
Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak,
langkah yang pendek dan penurunan irama. Kaki tidak dapat menapak
dengan kuat dan lebih cenderung gampang goyah (postural sway).
Perlambatan reaksi mengakibatkan lansia susah atau terlambat
mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpeleset, tersandung,
kejadian tiba-tiba sehingga memudahkan jatuh.
Ada beberapa gangguan gaya berjalan yang sering ditemukan pada lansia,
(Darmojo, 2004) antara lain :
a.Gangguan gaya berjalan hemiplegik (Hemiplegic Gait)
Pada hemiplegik terdapat kelemahan dan spastisitas ekstremitas
unilateral dengan fleksi pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah
dalam keadaan ekstensi. Ekstremitas bawah dalam keadaan ekstensi
sehingga mengakibatkan kaki “memanjang”. Pasien harus
mengayunkan sambil memutar kakinya untuk melangkah ke depan.
Jenis gangguan berjalan ini ditemukan pada lesi tipe Upper Motor
Neuron (UMN).
b.Gangguan gaya berjalan diplegik (Diplegic Gait)
Terdapat spastisitas ekstremitas bawah lebih berat dibanding
ekstremitas atas. Pangkal paha dan lutut dalam keadaan fleksi dan
21
adduksi dengan pergelangan kaki dalam keadaan ekstensi dan rotasi
interna. Jika lansia berjalan kedua ekstremitas bawah dalam keadaan
melingkar. Jenis gangguan berjalan ini biasanya dijumpai pada lesi
periventrikular bilateral. Ekstremitas bawah lebih lumpuh dibanding
dengan ekstremitas atas karena akson traktus kortikospinalis yang
mempersarafi ekstremitas bawah letaknya lebih dekat dengan ventrikel
otak.
c.Gangguan gaya berjalan neuropathy (Neuropathic Gait)
Gangguan gaya berjalan jenis ini biasanya ditemukan pada penyakit
saraf perifer dimana ekstremitas bawah bagian distal lebih sering
diserang. Karena terjadi kelemahan dalam dorsofleksi kaki, maka
pasien harus mengangkat kakinya lebih tinggi untuk menghindari
pergeseran ujung jari kaki dengan lantai.
d.Gangguan gaya berjalan miopathy (Myopathic Gait)
Dengan adanya kelainan otot, otot-otot proksimal pelvic girdle (tulang
pelvis yang menyokong pergerakan ekstremitas bawah) menjadi
lemah. Oleh karena itu, terjadi ketidakseimbangan pelvis bila
melangkah ke depan, sehingga pelvis miring ke kaki sebelahnya,
akibatnya terjadi goyangan dalam berjalan.
e.Gangguan gaya berjalan Parkinsonian (Parkinsonian Gait)
Terjadi rigiditas dan bradikinesia dalam berjalan akibat gangguan di
ganglia basalis. Tubuh membungkuk ke depan, langkah memendek,
22
lamban dan terseret disertai dengan ekspresi wajah seperti topeng.
f.Gangguan gaya berjalan khoreoform (Choreiform Gait)
Merupakan gangguan gaya berjalan dengan hiperkinesia akibat
gangguan ganglia basalis tipe tertentu. Terdapat pergerakan yang
ireguler seperti ular dan involunter baik pada ekstremitas bawah
maupun atas.
g.Gangguan gaya berjalan ataxia (Ataxic Gait)
Langkah berjalan menjadi lebar, tidak stabil dan mendadak, akibatnya
badan memutar ke samping dan jika berat pasien akan jatuh. Jenis
gangguan berjalan ini dijumpai pada gangguan cerebellum.
Menurut penelitian Sitompul (2000), dari 33 lansia di Panti
Wredha Wening Werdaya Ungaran diperoleh hasil bahwa ada
hubungan antara kecepatan berjalan dengan keseimbangan berdiri
walaupun dalam derajat amat rendah (r = 0.0839), artinya dengan
kecepatan berjalan yang teratur maka keseimbangan berdiri akan
stabil, begitu juga sebaliknya jika kecepatan berjalan tidak teratur
maka keseimbangan berdiri akan terganggu sehingga dapat
menyebabkan lansia jatuh.
bFaktor Ekstrinsik
1Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan suatu keadaan atau kondisi baik bersifat
mendukung atau berbahaya yang dapat mempengaruhi jatuh pada lansia.
23
Faktor lingkungan yang belum dikenal mempunyai risiko terhadap roboh
sebesar 22 % (Probosuseno, 2006).
Lingkungan yang sering dihubungkan dengan jatuh pada lansia
antara lain alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua atau
tergeletak di bawah, tempat tidur tidak stabil atau kamar mandi yang
rendah dan licin, tempat berpegangan yang tidak kuat atau tidak mudah
dipegang,; lantai tidak datar, licin atau menurun; karpet yang tidak dilem
dengan baik, keset yang tebal/menekuk pinggirnya, dan benda-benda alas
lantai yang licin atau mudah tergeser; lantai licin atau basah, penerangan
yang tidak baik (kurang atau menyilaukan); alat bantu jalan yang tidak
tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya.
Kejadian jatuh pada lansia sekitar 10 % terjadi ditangga dengan
kejadian jatuh saat turun tangga lebih banyak dibanding saat naik, yang
lainnya terjadi karena tersandung atau menabrak benda perlengkapan
rumah tangga, lantai yang licin atau tidak rata dan penerangan ruang yang
kurang.
2Faktor Aktifitas
Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktifitas
biasa seperti berjalan, naik atau turun tangga dan mengganti posisi. Hanya
sedikit sekali jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktifitas berbahaya
seperti mendaki gunung atau olahraga berat. Jatuh juga sering terjadi pada
lansia dengan banyak kegiatan dan olahraga, mungkin disebabkan oleh
24
kelelahan atau terpapar bahaya yang lebih banyak. Jatuh juga sering
terjadi pada lansia yang immobile (jarang bergerak) ketika tiba-tiba ingin
pindah tempat atau mengambil sesuatu tanpa pertolongan.
3Obat-obatan
Obat merupakan zat kimia yang dikonsumsi oleh tubuh. Kelompok
dewasa berusia diatas 65 tahun merupakan pengguna obat-obatan yang
terbanyak, terhitung hampir 40 % dari semua obat yang diresepkan
(Perry&Potter, 2001 dikutip dari Hosstel, 1992). Obat-obatan juga
meningkatkan insiden jatuh terutama obat-obatan yang menyebabkan
somnolen (obat hipnotik), postural hypotension (diuretik, nitrat, obat
antihipertensi dan antidepresan trisiklik) dan kebingungan (simetidine dan
digitalis). Adapun efek samping obat anti hipertensi antara lain adalah
vertigo dan sakit kepala (Katzung, 1994).
Kadar obat dalam serum tidak stabil karena perubahan
farmakokinetik akibat proses menua dan penyakit juga sering
menyebabkan intoksikasi obat pada lansia. Disamping itu, obat yang
diresepkan dapat menyebabkan konfusi, pusing, mengantuk yang dapat
mempengaruhi keseimbangan dan mobilitas (Perry dan Potter, 2001).
25
C.Kerangka Teori
Geriatrik Giant
Gambar 3.1 Skema Kerangka Teori
Sumber: (Darmojo, 2004 dikutip dari Kane, 1994)
26
Perubahan fisik, mental dan sosial
Gangguan Otak Besar
Gangguan Syaraf Mandiri
Bingung ( konfius )
Inkontinensia
Jatuh
Kelainan Tulang dan Patah
Dekubitus
Sistem syaraf pusat, Demensia
Gangguan sistem sensorik dan system kardiovaskuler
Gangguan metabolisme dan gaya berjalan
Obat-obatan yang diminum
Aktifitas
Linkungan yang tidak mendukung atau
berbahaya
Lansia
D.Kerangka Konsep
Variabel bebas Variabel terikat
Gambar 3.2 Skema Kerangka Konsep
E.Variabel Penelitian
1.Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat
dari variabel bebas (Alimul, 2003). Variabel terikat yang akan diteliti adalah
kejadian jatuh pada lansia.
2.Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya atau
berubahnya variabel terikat (Sugiyono, 2003). Variabel bebas yang akan
diteliti yaitu gangguan gaya berjalan, demensia, lingkungan, dan obat-obatan.
27
Gangguan gaya berjalan
Demensia
Lingkungan
Obat-obatan
Jatuh pada lansia
F.Hipotesa
Adapun hipotesis penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah :
1.Ada hubungan ganguan gaya berjalan dengan kejadian jatuh pada lansia.
2.Ada hubungan demensia dengan kejadian jatuh pada lansia.
3.Ada hubungan lingkungan dengan kejadian jatuh pada lansia.
4.Ada hubungan obat - obatan dengan kejadian jatuh pada lansia.
28
BAB III
METODA PENELITIAN
1.Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain diskriptif analitik yaitu
mendiskripsikan variabel bebas dan terikat, kemudian melakukan analisis
korelasi antara kedua variabel tersebut sehingga dapat diketahui seberapa jauh
kontribusi variabel terikat terhadap adanya variabel bebas. Desain ini
menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu pengukuran variabel bebas
dan variabel terikat hanya satu kali pada satu saat (Notoatmodjo, 2002).
B.Populasi dan Sampel
1.Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti. Objek tersebut dapat berupa manusia atau yang lain termasuk
gejala yang ada di masyarakat (Notoatmodjo, 2002). Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh lansia di Panti Wredha Pucang Gading
Semarang sebanyak 115 lansia. Dari seluruh lansia yang berada di panti,
50 lansia pernah mengalami jatuh pada 2 tahun terakhir.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi terjangkau yang dapat
dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam,
2003). Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random
29
sampling karena dilakukan secara acak dan tanpa memperhatikan adanya
strata. Dalam penelitian ini jumlah sampel yang di gunakan sejumlah 30,
hal ini terkait dengan adanya kriteria inklusi dan eklusi yang peneliti
tetapkan, dengan jumlah sampel terendah adalah 30 (Arikunto, 2002).
Adapun ketentuan atau ktiteria sampel tersebut layak atau tidak
untuk digunakan agar sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu:
1)Kriteria Inklusi
a)Lanjut usia yang berusia 60 tahun ke atas
b)Lanjut usia yang pernah mengalami jatuh dan tinggal di Panti Wredha
Pucang Gading Semarang
c)Lanjut usia yang tidak mengalami tuna rungu maupun tuna wicara
karena insrumen yang digunakan adalah kuesioner wawancara
sehingga apabila lansia mengalami masalah tersebut maka
dimungkinkan jawaban akan menjadi bias.
d)Bersedia menjadi sampel atau responden penelitian yang dibuktikan
dengan tanda persetujuan.
2)Kriteria Eksklusi
a)Pada pelaksanaan penelitian responden pindah atau keluar dari Panti Wredha
Pucang Gading Semarang
b)Saat penelitian responden sakit dan dirawat di rumah sakit.
c)Pada pelaksanaan penelitian responden meninggal dunia.
d)Lanjut usia yang tidak bersedia menjadi responden penelitian.
30
C.Definisi Operasional, Variabel dan skala penelitian
Variabel Definisi Operasional
Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Jatuh
Gangguan gaya
berjalan
Demensia
Lingkungan
Suatu kejadian yang menyebabkan seseorang mendadak terbaring atau terduduk dilantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kesadaran atau luka, selama dipanti dalam kurun waktu 1bulan terakhir. Gangguan yang berhubungan dengan perubahan pada massa tulang, otot, dan sistem syaraf sehingga terjadi ganguan dalam berjalan.
suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan ingatan atau memori sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari.suatu kondisi yang bersifat mendukung atau
Kuesioner yang terdiri dari 3 pertanyaan dengan kriteria skor Tidak ( 1 ) dan ya ( 2 )
Observasi terdiri dari 5 pernyataan dengan kriteria skor Tidak ( 1 ) dan Ya ( 2 )
Kuesioner yang terdiri dari 10 pertanyaan dengan kriteria skor Benar ( 2 ) dan Salah ( 1 )
Observasi terdiri dari 7 pernyataan
ya : 5-6tidak : 3-4
Ada gangguan : 8-10
Tidak ada gangguan : 5-7
Tidak Demensia : 16-20
Demensia : 10-15
Mendukung : 11-14
Tidak mendukung :
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
31
Obat
berbahaya antara lain penerangan yang kurang, benda-benda di lantai Reaksi atau efek obat dapat menyebabkan konfusi, pusing, sakit kepala, mengantuk .
dengan kriteria skorTidak ( 1 ) dan Ya ( 2 )
Kuesioner terdiri dari 4 pertanyaan dengan kriteria skorTidak ( 1 ) dan Ya ( 2 )
7-10
Obat berefek : 6-8Obat tidak berefek
: 4-5
Ordinal
2)Metode Pengumpulan Data
1.Alat pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang yang digunakan adalah kuesioner dan
obsrevasi. Menurut Nursalam (2003), kuesioner merupakan alat
pengumpulan data kepada subjek untuk menjawab pertanyaan secara
tertulis. Jenis kuesioner yang digunakan adalah kuesioner wawancara,
dimana pertanyaan dapat diajukan secara langsung kepada subjek atau
disampaikan secara lisan oleh peneliti dari pertanyaan yang sudah tertulis.
Sedangkan jenis observasi yang digunakan adalah observasi sistematis,
yang dilakukan oleh pengamat dengan menggunakan pedoman sebagai
instrumen pengamatan (Arikunto, 2002). Hal ini dilakukan khususnya
kepada lansia, sehingga ini sesuai dengan subjek yang akan diteliti oleh
peneliti.
Kuesioner dan pedoman observasi yang digunakan dalam penelitian
32
ini dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan literatur yang ada.
Dalam penelitian ini kuesioner dibagi menjadi lima bagian. Kuesioner A
digunakan untuk mengumpulkan data demografi lansia yang meliputi
nama, jenis kelamin, dan umur. Kuesioner B digunakan untuk variabel
dependen yaitu jatuh yang menggunakan skala Guttman (Alimul, 2003),
dengan penilaian 2 jika ya dan 1 jika tidak dan digunakan untuk
pertanyaan nomor 1-3. Kuesioner C, D, E dan F untuk variabel dependen.
Observasi untuk variabel gangguan gaya berjalan, yang terdiri dari 5
pernyataan. Kuesioner D untuk variabel demensia menggunakan
pemeriksaan portabel untuk status mental (PPSM) dari folstein and
folstein, 1990 dalam Darmojo, 2004) yang terdiri dari 10 pertanyaan.
Observasi untuk variabel lingkungan yang terdiri dari 7 pernyataan.
Kuesioner F untuk variabel obat-obatan yang terdiri dari 4 pertanyaan.
2.Uji Validitas
Validitas adalah sautu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan
atau kesahihan suatu instrumen (Arikunto, 2002). Instrumen dikatakan
valid jika mampu mengukur apa yang hendak kita ukur. Oleh karena itu
dilakukan uji validitas instrument (Kuesioner dan Observasi) dengan uji
ekspert yaitu dengan cara instrumen dikonsulkan kepada ahli dalam hal ini
terdiri dari 3 orang, kemudian ahli memberikan penilaian pada tiap-tiap
item. Hasil dari uji ekspert tersebut kemudian instrumen diperbaiki dan
selanjutnya dilakukan uji validitas eksternal dengan cara diujikan kepada
33
10 responden lain di Panti Wredha Pucang Gading Semarang. Data
tersebut kemudian diolah dengan mengguankan rumus korelasi Product
Moment dari Pearson, dengan menggunakan program SPSS 11.5 for
windows (Arikunto, 2002). Adapun ketentuan pengujiannya adalah
apabila nilai r hasil lebih besar dari r tabel, maka item pertanyaan tersebut
dinyatakan valid. Untuk nilai r tabel dimana N=10, maka paraf sigifikansi
5% adalah 0,66.
Dari hasil uji validitas terhadap instrumen (kuesioner B tentang
jatuh) dengan 3 item pertanyaan, diperoleh nilai r hitung lebih besar dari r
tabel (0,66) yakni berkisar 0,810 – 0,836, maka kuesioner B dinyatakan
valid.
Kuesioner D tentang demensia, terdiri dari 10 pertanyaan diperoleh
nilai r hitung lebih besar dari nilai r tabel yaitu berkisar antara 0,662 –
0,892, sehingga kuesioner D dinyatakan valid. Kuesioner F tentang obat,
terdiri dari 4 pertanyaan diperoleh nilai r hitung lebih besar dari r tabel
yakni berkisar antara 0,740 – 0,900, maka kuesioner F dinyatakan valid.
Untuk instrumen observasi tidak dilakukan uji validitas maupun
reliabilitas karena jawaban yang didapatkan sesuai dengan yang ada di
lapangan.
3.Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat sejauh mana suatu instrumen
cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data
34
(Arikunto, 2002). Untuk menguji reliabilitas instrumen digunakan rumus
KR.20 (Kuder Richardson) karena skor yang digunakan dalam instrumen
ini menghasilkan skor dikotomi (Sugiyono, 2003).
Adapun ketentuan pengujiannya adalah jika r hasil (alpha) lebih
besar dari tabel, maka instrument tersebut dikatakan reliabel. Menurut
Sugiyono (2003), instrumen penelitian dikatakan reliabel bila α = 0,60.
Dari hasil uji reliabilitas kuesioner B tentang jatuh diperoleh nilai r hasil
(α) = 0,907, untuk kuesioner D tentang demensia diperoleh nilai r hasil
(α) = 0,809, dan untuk kuesioner F tentang obat diperoleh nilai r hasil (α)
= 0,940. Dengan demikian r hasil (α) dari kuesioner B, D, dan F tersebut
lebih besar dari r tabel (0,60) sehingga dari ketiga kuesioner tersebut
dikatakan reliabel.
4.Cara Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian di Panti Wredha
Pucang Gading Semarang, sebagai berikut :
a.Peneliti pertama – tama menentukan lokasi untuk penelitian, setelah
didapatkan ijin dari fakultas dan tempat penelitian maka peneliti
pendekatan kepada calon responden untuk memberikan memberikan
penjelasan tentang tujuan peneltian dan cara pengisian kuesioner dan
lembar observasi, bila bersedia menjadi responden maka dipersilahkan
untuk mengisi atau menandatangani lembar persetujuan bila setuju
35
berpartisipasi dalam penelitian ini.
b.Pengambilan instrumen penelitian dilakukan dalam satu bulan. Dalam
rentang waktu satu bulan tersebut, peneliti mengintensifkan pengambilan
data dalam kurun waktu tiga hari.
c.Pembagian kuesioner dilaksanakan pada hari saat dilaksanakan penelitian.
d.Responden yang bisa membaca dan menulis diminta mengisi kuesioner,
dan peneliti berada didekat responden agar apabila ada pertanyaan dari
responden peneliti langsung bisa menjelaskan. Responden diingatkan agar
semua pertanyaan diisi dengan lengkap, sedangkan untuk pengisian
lembar observasi dilakukan oleh peneliti.
e. Responden yang tidak bisa membaca dan menulis, maka peneliti
membacakan kuesioner dan responden diminta agar menjawab
pertanyaan, kemudian peneliti menuliskan jawaban dari responden ke
dalam lembar kuesioner yang telah tersedia.
f.Jika kuesiner sudah diisi, kemudian langsung dikembalikan kepada
peneliti
g.Metode Pengolahan dan Analisa Data
1.Pengolahan Data
a. Pemeriksaan Data (Editing)
Kuesioner yang telah dikembalikan oleh responden diperiksa
kebenaran dan kelengkapannya. Jika ada yang belum lengkap maka
responden diminta untuk melengkapinya.
36
b. Pemberian Kode (Coding)
Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data
berbentuk angka atau bilangan. Variabel jatuh, bila terjawab ya diberi
kode 2 dan tidak diberi kode 1. Variabel gangguan gaya berjalan, bila
ada gangguan diberi kode 2 dan tidak ada gangguan diberi kode 1.
Variabel demensia diberi kode 2 bila benar dan salah diberi kode 1.
Variabel lingkungan jika mendukung jatuh diberi kode 2 dan tidak
mendukung jatuh diberi kode 1. Variabel obat bila berefek diberi kode
2 dan tidak berefek diberi kode 1.
c. Processing
Merupakan kegiatan memproses data yang didapat dari kuesioner
kemudian dianalisis dengan cara memasukkan data tersebut ke paket
program SPSS 11.5 for window.
d. Tabulating
Merupakan kegiatan peneliti dalam memasukkan data-data hasil
penelitian ke dalam tabel-tabel sesuai kriteria yang telah ditentukan
berdasarkan kuesioner yang telah ditentukan skornya.
2.Analisa Data
a.Analisis Univariat
Analisa ini menggambarkan tiap – tiap variabel bebas dan terikat serta
karakteristik responden dengan menggunakan distribusi frekuensi dan
proporsi.
37
b.Analisis Bivariat
Analisis data dilakukan dengan Chi-Square melalui program SPSS
11.5 for windows. Menurut Sugiyono (2003), bila data yang diambil
dari kedua variabel (Variabel bebas dan terikat) adalah kategorik,
maka uji statistik yang digunakan adalah Chi-Square untuk
membuktikan hipotesis. Dengan ketentuan : bila X² hitung sama atau
lebih besar dari X² tabel maka Ho ditolak, atau Ho ditolak apabila ρ
value ≤ 0,05.
F.Etika Penelitian
Dalam penelitian ini penulis berusaha untuk memperhatikan etika yang
harus dipatuhi dalam pelaksanaanya, mengingat bahwa penelitian
keperawatan akan berhubungan langsung dengan manusia. Adapun etika
dalam penelitian ini meliputi :
1)Inform Concent atau lembar persetujuan
Merupakan lembar persetujuan yang memuat penjelasan – penjelasan
tentang maksud dan tujuan penelitian, dampak yang mungkin terjadi
selama penelitian. Apabila responden telah mengerti dan bersedia maka
responden diminta menandatangani surat persetujuan menjadi responden.
Namun apabila responden menolak, maka peneliti tidak akan memaksa.
2)Anonimity atau tanpa nama
Lembar persetujuan maupun lembar kuesioner tidak mencantumkan nama
38
responden, akan tetapi hanya menulis dengan simbol.
3)Confidentiality atau kerahasiaan
Informasi yang diberikan oleh responden serta semua data yang terkumpul
akan disimpan, dijamin kerahasiaanya dan hanya menjadi koleksi peneliti.
Informasi yang diberikan oleh responden tidak akan disebarkan atau
diberikan kepada orang lain tanpa seijin responden.
39
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
a.Hasil Penelitian
2.Usia dan Jenis Kelamin
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden (N=30) Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin di Panti Wredha Pucang Gading Semarang pada bulan juli 2007.
No Karakteristik Responden
Frekuensi (n) Persentase (%)
1 Usia60-6566-7071-75<76
810 4 8
26,733,313,326,7
2 Jenis kelaminLaki-lakiPerempuan
1713
56,743,3
Berdasarkan tabel 4.1 diatas terlihat bahwa sebagian besar responden
berumur 66-70 tahun yaitu sebanyak 10 orang (33,3%) dan paling sedikit
berumur antara 71-75 tahun sebanyak 4 orang (13,3%). Untuk responden laki-
laki lebih dominan yaitu sebesar 17 orang (56,7%), dan responden perempuan
sebanyak 13 orang (43,3%).
40
3.Frekuensi Faktor-faktor yang berhubungan dengan jatuh
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden (N=30) Frekuensi Faktor-faktor yang berhubungan dengan jatuh pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading Semarang pada bulan juli 2007.
No Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)1 Jatuh
JatuhTidak jatuh
26 4
86,713,3
2
3
4
5
Gangguan gaya berjalanAda gangguanTidak ada
DemensiaDemensiaTidak demensia
LingkunganBerbahayaTidak berbahaya
ObatBerefekTidak berefek
22 8
1020
24 6
1911
73,326,7
33,366,7
8020
63,336,7
Distribusi frekuensi tentang variabel penelitian terlihat bahwa lansia
yang mengalami jatuh jauh lebih banyak dibandingkan lansia yang tidak
mengalami jatuh, masing-masing sebanyak 26 orang (86,7%) dan 14 orang
(13,3%). Untuk variabel gangguan gaya berjalan dibagi dalam 2 kategorik
yaitu ada gangguan gaya berjalan dan tidak ada gangguan gaya berjalan. Hasil
penelitian menunjukkan hampir tiga kali lipat lansia mengalami gangguan
gaya berjalan yakni sebanyak 22 orang (73,3%), sedangkan lansia yang tidak
41
mengalami gangguan sebanyak 8 orang (26,7%).
Selanjutnya didapatkan hasil bahwa responden yang tidak mengalami
demensia lebih banyak dari responden yang mengalami demensia, yakni
sebesar 20 orang (66,7%), sedangkan yang mengalami demensia yakni
sebesar 10 orang (33,3%). Untuk variabel lingkungan sebagian besar
responden menyatakan bahwa lingkungan di sekitar responden berbahaya
sebanyak 24 orang (80%), dan hanya 6 orang (20%) yang menyatakan
lingkungan tidak berbahaya. Variabel obat dalam penelitian ini dibagi menjadi
2 kategorik yaitu obat berefek dan obat tidak berefek. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa obat yang berefek pada responden lebih besar daripada
obat yang tidak berefek, yakni sebesar 19 orang (63,3%), sedangkan obat
yang tidak berefek yakni 11 orang (36,7%).
4.Hubungan antara gangguan gaya berjalan dengan kejadian jatuh pada lansia
Tabel 4.3 Distribusi Responden (N=30) menurut Gangguan gaya berjalan dan Kejadian Jatuh
Gangguan gaya
berjalanKejadian jatuh P value
Tidak jatuh Jatuh Total X2
n N nTidak Ada gangguan
3(37,5%)
5(62,5%)
8(100%)
5,5 0,048
Ada gangguan
1(4,5%)
21(95,5%)
22(100%)
Distribusi responden menurut gangguan gaya berjalan dan kejadian
jatuh, terlihat bahwa 22 orang yang mengalami gangguan gaya berjalan, 21
42
orang (95,5%) diantaranya mengalami jatuh, dan hanya 1 orang (4,5%) tidak
mengalami jatuh. Sedangkan dari 8 orang yang tidak mengalami gangguan
gaya berjalan, sebanyak 5 orang (62,5%) yang mengalami jatuh, dan 3 orang
tidak mengalami jatuh.
Hasil uji statistik dengan kai kuadrat dijumpai nilai E (harapan) kurang
dari 5 maka uji yang digunakan adalah Fisher Exact. Dari uji tersebut,
didapatkan nilai X2 sebesar 5,5 dengan p=0,048 berarti lebih kecil dari =5%α
maka dapat disimpulkan ada hubungan antara gangguan gaya berjalan dengan
kejadian jatuh.
5.Hubungan antara demensia dengan jatuh pada lansia
Tabel 4.4 Distribusi Responden (N=30) menurut Demensia dan Kejadian Jatuh
Demensia Kejadian jatuh P valueTidak jatuh Jatuh Total X2
n n nTidak demensia
3 (15%)
17 (85%)
20 (100%)
0,144 0,593
Demensia 1 (10%)
9 (90%)
10 (100%)
Lansia yang mengalami demensia sebanyak 10 orang, 9 orang (90%)
mrngalami jatuh dan 1 orang (10%) tidak mengalami jatuh. Sedangkan dari 20
orang yang tidak mengalami demensia, 17 orang (85%) mengalami jatuh, dan
3 orang (15%) tidak mengalami jatuh. Hasil uji kai kuadrat dapat disimpulkan
bahwa tidak ada hubungan antara demensia dengan kejadian jatuh (p=0,584).
43
6.Hubungan antara lingkungan dengan jatuh pada lansia
Tabel 4.5 Distribusi Responden (N=30) menurut Lingkungan dan Kejadian Jatuh
Lingkungn Kejadian jatuh P value
Tidak jatuh Jatuh Total X2
n n nTidak berbahaya
3 (50%)
3 (50%)
6(100%)
8,7 0,018
Berbahaya 1 (4,2%)
23(95,8%)
24(100%)
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa 24 responden menyatakan
bahwa lingkungan yang berbahaya, 23 responden (95,8%) diantaranya
mengalami jatuh, dan hanya 1 responden (4,2%) tidak mengalami jatuh.
Sedangkan dari 6 responden yang menyatakan lingkungan yang tidak
berbahaya, sebanyak 3 responden (50%) mengalami jatuh, dan 3 responden
(50%) tidak mengalami jatuh. Hasil uji statistik diperoleh nilai X2 sebesar 8,7
dengan nilai p=0,018 maka dapat disimpulkan ada hubungan antara
lingkungan dengan kejadian jatuh.
44
7.Hubungan antara obat dengan jatuh pada lansia
Tabel 4.6 Distribusi Responden (N=30) menurut Obat dan Kejadian Jatuh
Obat Kejadian jatuh P valueTidak jatuh Jatuh Total X2
n n nTidak
berefek2
(18,2%) 9
(81,8%)11
(100%)0,35 0,61
Ada efek obat
2 (10,5%)
17(89,5%)
19 (100%)
Distribusi responden menurut obat dan kejadian jatuh didapatkan
bahwa 19 responden mengalami efek samping obat, sebanyak 17 orang
(89,5%) diantaranya mengalami jatuh, dan 2 orang (10,5%) tidak mengalami
jatuh. Sedangkan 11 responden yang tidak mengalami efek obat, sebanyak 9
responden (81,8%) mengalami jatuh, dan 2 responden (18,2%) tidak
mengalami jatuh. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,61 maka dapat
disimpulkan tidak ada hubungan antara obat dengan kejadian jatuh.
a.Pembahasan
1.Gambaran Kejadian Jatuh pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading Semarang
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden
yaitu sebanyak 26 orang (86,7%) mengalami jatuh. Sedangkan responden
yang tidak mengalami jatuh jauh lebih sedikit yaitu sekitar 4 orang (23,3%),.
Responden dalam penelitian ini berumur antara 60 tahun sampai 85 tahun.
Proporsi umur tertinggi berumur 66-70 tahun sebanyak 10 orang (33,3%).
45
Secara normal dengan bertambahnya usia maka akan terjadi perubahan di
seluruh sistem tubuh yang dalam hal ini adalah sistem muskuloskeletal yang
akan menyebabkan gangguan keseimbangan pada saat berjalan, dan berakibat
meningkatkan kemungkinan lansia untuk jatuh.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dikutip dari (Alexander, 1997
dalam Leuckenotte, 2000) yang menyatakan bahwa sekitar 5,3% lansia yang
berumur 65 tahun keatas sering mengalami jatuh dan dirawat di rumah sakit.
Jatuh merupakan salah satu masalah utama pada lansia. Disamping
jatuh berhubungan dengan proses penuaan, jatuh juga berhubungan dengan
faktor-faktor lain diantaranya adalah gangguan gaya berjalan, demensia,
lingkungan dan obat (Kane, 1994 dalam Darmojo, 2004).
2.Gambaran Gangguan Gaya Berjalan pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading Semarang
Berdasarkan analisa data menunjukkan bahwa responden yang
mengalami gangguan gaya berjalan lebih banyak yaitu 22 responden (73,3%).
Sedangkan yang tidak mengalami gangguan gaya berjalan sebanyak 8
responden (26,7%). Gangguan gaya berjalan merupakan akibat dari gangguan
sistem muskuloskeletal dan hal tersebut berhubungan dengan proses penuaan
(Darmojo, 2004). Hal tersebut juga dapat disebabkan oleh menurunnya
aktivitas tubuh, menurunnya hormon estrogen, vitamin D, dan adanya
penyakit (Lueckenotte, 2000).
Penyakit yang dapat menyebabkan gangguan gaya berjalan antara lain
46
adalah parkinson dan penyakit yang menyerang sistem syaraf. Menurut hasil
observasi yang peneliti dapatkan bahwa lansia yang mengalami gangguan
gaya berjalan menunjukkan gerakan goyah saat berjalan, menyeret kaki. Hal
ini sesuai dengan pendapat Darmojo (2004) yang menyatakan bahwa lansia
yang mengalami gangguan gaya berjalan akan menunjukkan beberapa tanda
yang khas antara lain terjadi goyah saat berjalan, langkah kaki menjadi lebar,
serta menyeret kaki saat berjalan.
3.Gambaran Demensia pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading Semarang
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil sebagai berikut, hanya 10
orang (33,3%) yang mengalami demensia dan 20 orang (66,7) yang tidak
mengalami demensia. Hal tersebut tidak sesuai dengan pendapat Darmojo
(2004) yang menyatakan bahwa pada lansia sering terjadi penyakit demensia.
Demensia merupakan suatu kondisi terjadinya perubahan fungsi
neurologi dan kognitif yang disebabkan oleh terjadinya degeneratif sel otak.
Kemunduran fungsi alat tubuh dapat dihambat atau diperlambat dengan
aktivitas fisik (Nugroho, 2000).
Aktifitas fisik yang dilakukan oleh lansia akan mempengaruhi tingkat
kejadian demensia. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa dua per tiga
dari jumlah responden tidak mengalami demensia. Demensia pada Lansia di
Panti wredha Pucang Gading dapat ditekan sedemikian kecil karena lansia
tersebut sering melakukan aktifitas fisik antara lain setiap pagi dilakukan
47
senam dan juga setiap jumat pagi dilakukan pengajian yang didalamnya para
lansia harus menampilkan salah satu kesenian yaitu rebana.
4.Gambaran Lingkungan pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading Semarang
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 24
responden (80%) menyatakan bahwa lingkungan di panti berbahaya, dan
sebesar 6 responden (20%) menyatakan lingkungan di panti tidak berbahaya.
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan
seseorang. Lingkungan yang aman adalah salah satu kebutuhan dasar yang
harus dipenuhi dan hal tersebut dapat mempengaruhi kelangsungan hidup
seseorang (Perry dan Potter, 2001).
Lansia yang bertempat tinggal di lingkungan yang tidak aman,
mempunyai resiko mengalami cedera lebih besar (Perry dan Potter, 2001).
Dari hasil observasi didapatkan bahwa lansia yang menyatakan kamar
mandi di Panti licin sebesar 56,5%, dan yang menyatakan penerangan kurang
atau terlalu terang sebesar 60% (lihat lampiran 4). Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Lueckenotte (2000) yang menyatakan bahwa lingkungan yang
berbahaya dapat ditunjukkan dengan lantai yang licin, penerangan yang
terlalu gelap atau terlalu redup dan sebagainya.
5.Gambaran Obat pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading Semarang
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa obat yang berefek
pada responden lebih besar daripada obat yang tidak berefek, yakni sebesar 19
48
(63,3%), sedangkan obat yang tidak berefek yakni 11 (36,7%).
Pada lansia sering terjadi penyakit kardiovaskuler dan penyakit yang
menyerang persendian. Penyakit kardiovaskuler yang sering menyerang lansia
adalah hipertensi. Adapun obat-obatan yang sering dikonsumsi untuk
mengontrol hipertensi antara lain diuretik, nitrat, obat antihipertensi.
Sedangkan efek samping dari obat-obatan anti hipertensi adalah vertigo dan
sakit kepala (Katzung, 1994). Dari data yang diperoleh bahwa sebagian besar
lansia mengalami sakit kepala dan mengantuk setelah minum obat.
Efek samping obat pada setiap individu berbeda-beda. Pada lansia,
efek samping obat yang ditimbulkan akan meningkat. Hal tersebut
dikarenakan pada lansia terjadi perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik, juga penurunan dari berbagai organ. Tetapi dengan
memberikan obat secara tepat yang meliputi : tepat indikasi, tepat pasien,
tepat obat, tepat dosis (cara dan lama pemberian) akan meminimalkan efek
samping obat (ESO) ( Darmojo, 2004)
6.Hubungan antara gangguan gaya berjalan dengan kejadian jatuh
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa ada hubungan
yang bermakna antara gangguan gaya berjalan dengan kejadian jatuh. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Sitompul (2000), dari 33 lansia di Panti Wredha
Wening Werdaya Ungaran diperoleh hasil bahwa ada hubungan antara
kecepatan berjalan dengan keseimbangan berdiri walaupun dalam derajat
amat rendah (r=0.0839), artinya dengan kecepatan berjalan yang teratur maka
49
keseimbangan berdiri akan stabil, begitu juga sebaliknya jika kecepatan
berjalan tidak teratur maka keseimbangan berdiri akan terganggu sehingga
dapat menyebabkan lansia jatuh. Hal ini juga di dukung oleh pendapat
Darmojo (2004), yang mengatakan bahwa gangguan gaya berjalan merupakan
faktor yang benar-benar murni milik lansia yang berperan besar terhadap
jatuh. Begitu juga dengan pendapat Lueckenotte (2000) bahwa gangguan gaya
berjalan merupakan faktor intrinsik yang sangat besar peranannya terhadap
jatuh pada lansia.
Dari 22 resonden yang mengalami gangguan gaya berjalan, sebanyak
21 lansia mengalami jatuh dan hanya 1 orang yang tidak mengalami jatuh.
Hal itu dikarenakan lansia tersebut hanya berbaring ditempat tidur dan jarang
melakukan aktivitas. Untuk resonden yang tidak mengalami gangguan gaya
berjalan tetapi mengalami jatuh sebanyak 5 orang . Hal itu diakibatkan bahwa
jatuh pada lansia tidak hanya disebabkan oleh adanya gangguan gaya berjalan
tetapi jatuh juga dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya lingkungan,
demensia, dan obat (Darmojo, 2004).
7.Hubungan antara demensia dengan kejadian jatuh
Berdasarkan uji statistik dengan chi square diperoleh hasil bahwa
tidak ada hubungan antara demensia dengan kejadian jatuh. Hasil penelitian
ini berbeda dengan pendapat (Darmojo, 2004), yang menyatakan lansia yang
mengalami demensia mempunyai resiko untuk jatuh relatif lebih besar
daripada lansia yang tidak demensia.
50
Dari 20 lansia yang tidak mengalami demensia, sebanyak 17 lansia
(85%) yang mengalami jatuh. Hal ini dapat disebabkan bahwa lansia yang
mengalami jatuh tidak hanya dikarenakan oleh lansia tersebut mengalami
demensia atau tidak. Tetapi ada banyak faktor yang dapat menyebabkan lansia
tersebut jatuh diantaranya yaitu gangguan gaya berjalan dan lingkungan.
Sedangkan dari 10 lansia yang mengalami demensia, sebanyak 1 lansia yang
tidak mengalami jatuh, hal tersebut menurut observasi yang peneliti dapatkan
bahwa untuk penatalaksanaan pada penderita demensia di panti, pihak panti
membuat peraturan bahwa lansia yang mengalami gangguan fungsi memori
ditempatkan pada ruangan C. Dalam ruangan tersebut, dilakukan berbagai
upaya untuk mengoptimalkan fungsi memori antara lain dengan menggunakan
alat bantu memori dimana mungkin.
8.Hubungan antara lingkungan dengan kejadian jatuh
Berdasarkan uji statistik dengan chi square diperoleh hasil bahwa ada
hubungan antara lingkungan dengan kejadian jatuh pada lansia. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Lueckenotte (2000) bahwa
lingkungan merupakan merupakan faktor ekstrinsik utama yang dapat
menyebabkan jatuh pada lansia dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa
sekitar 33 lansia (30%) dari 97 lansia jatuh karena disebabkan oleh
lingkungan yang berbahaya (Warde, 1997 dalam Lueckenotte, 2000). Hal ini
juga didukung oleh pendapat Perry dan Potter (2001) yang menyatakan
bahwa lingkungan fisik yang tidak aman di dalam suatu komunitas dan tempat
51
pelayanan kesehatan dapat menyebabkan seseorang mengalami cedera.
Lingkungan merupakan salah satu faktor ekstrinsik yang sangat besar
peranannya terhadap kejadian jatuh pada lansia. Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan bahwa dari 24 lansia yang menyatakan lingkungan di panti dan
sekitarnya berbahaya, sebanyak 23 orang mengalami jatuh. Dan hanya 1
lansia yang tidak mengalami jatuh. Dari hasil observasi yang peneliti lakukan
terhadap lansia yang tidak mengalami jatuh dikarenakan lansia tersebut sakit,
sehingga semua aktivitas fisik dilakukan diatas tempat tidur.
9.Hubungan antara obat dengan kejadian jatuh
Berdasarkan uji statistik dengan kai kuadrat diperoleh hasil bahwa
tidak ada hubungan antara obat dengan kejadian jatuh. Hasil penelitian
tersebut berbeda dengan pendapat Darmojo (2004), yang menyatakan bahwa
efek samping dari obat-obat yang diminum antara lain obat hipertensi,
dierutika, hipnotika, sedativa dan vasodilator akan mengakibatkan
menurunnya stabilitas postural yang akan meningkatkan kemungkinan jatuh.
Lansia yang sering mengkonsumsi obat, maka efek yang akan ditimbulkan
juga semakin besar. Sehingga hal tersebut akan menyebabkan jatuh pada
lansia. Hal ini berbeda dari hasil penelitian, yang menunjukkan tidak ada
pengaruh antara kejadian jatuh dengan obat yang dikonsumsi oleh lansia.
Hasil penelitian yang menunjukkan tidak adanya pengaruh antara obat
dengan kejadian jatuh, kemungkinan karena jatuh pada lansia tidak hanya
dipengaruhi oleh obat. Akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain yang
52
masih berkaitan dengan obat, misalnya diagnosis dan patofisiologis penyakit,
kondisi dan konstitusi tubuh atau organ, dan farmakologi obat. (WHO, 1995
dalam Darmojo, 2004).
Dari 19 lansia yang mempunyai efek samping obat, sebanyak 2 orang
tidak mengalami jatuh. Dari hasil observasi, diketahui bahwa setelah
mengambil obat dan meminumnya, sebagian besar responden tidak
melakukan aktifitas dan menghabiskan waktu ditempat tidur. Sehingga
walaupun ada efek samping dari obat yang mereka minum, hal tersebut tidak
berpengaruh besar terhadap kemungkinan jatuh.
B.Keterbatasan Penelitian
Ada beberapa kelemahan dan hambatan yang dihadapi peneliti dalam melakukan
penelitian, antara lain:
1.Penelitian ini hanya dilakukan pada satu tempat yaitu di Panti, sehingga hasil
penelitian tidak dapat digunakan sebagai acuan untuk mengeneralisasi
mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian jatuh pada lansia.
2.Tiga dari lima alat ukur penelitian yang digunakan adalah kuesioner dengan
pedoman wawancara, tetapi pernyataan bersifat terstruktur sehingga
memungkinkan responden memberi jawaban yang tidak sesuai dengan yang
dialami.
3.Jumlah sampel yang digunakan merupakan sampel kecil (n=30), sehingga hal
tersebut akan memengaruhi normalitas data yang diperoleh.
53
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A.Simpulan
1.Dari hasil penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
jatuh di Panti Wredha Pucang Gading Semarang dengan jumlah sampel
sebanyak 30 lansia dapat di simpulkan bahwa sebanyak 26 lansia ( 86,7%)
mengalami jatuh. Dengan bertambahnya usia, maka akan terjadi penurunan
fungsi di seluruh tubuh diantaranya adalah sistem muskuloskeletal. Hal
tersebut dapat mengakibatkan jatuh, jatuh merupakan salah satu masalah
utama pada lansia. Disamping karena proses penuaan, jatuh juga dapat di
sebabkan oleh faktor-faktor lain diantaranya gangguan gaya berjalan,
demensia, lingkungan dan obat.
2.Lansia yang mengalami gangguan gaya berjalan lebih banyak yakni 22 lansia
(73,3%). gangguan gaya berjalan dapat disebabkan oleh adanya gangguan
pada sistem muskuloskeletal yang sering dihubungkan dengan proses
penuaan. Selain karena gangguan pada sistem muskuloskeletal, gangguan
gaya berjalan juga dapat disebabkan oleh adanya penyakit parkinson dan
penyakit yang menyerang sistem syaraf.
3.Lansia yang mengalami demensia yakni 10 lansia (33,3%). angka kejadian
demnsia di Panti Wredha Pucang Gading relatif kecil, hal ini dikarenakan
lansia yang menghuni panti sering melakukan aktivitas fisik antara lain senam
yang telah terjadwal oleh pihak panti. Dengan aktivitas fisik yang teratur
54
dapat memperlambat kemunduran organ tubuh yang dalam hal ini adalah otak.
4.Lansia yang menyatakan bahwa lingkungan di panti berbahaya lebih banyak
yakni 24 lansia (80%). Adapun lingkungan tersebut dikatakan berbahaya
didasarkan pada lantai yang licin, penerangan yang terlalu gelap atau terlalu
terang dan sebagainya.
5.Lansia yang mengalami efek samping obat yakni 19 responden (63,3%).
Sebagian besar lansia mengalami efek samping obat, antara lain sakit kepala
dan rasa kantuk. Efek samping obat pada lansia berbeda-beda, hal ini
disamping dikarenakan proses menua, juga disebabkan oleh terjadinya
perubahan farmakokinetik dan farmakokinetik
6.Dari keempat faktor yang diteliti, didapatkan hasil bahwa ada dua faktor yang
berhubungan terhadap kejadian jatuh yaitu gangguan gaya berjalan, dan
lingkungan, sedangkan demensia dan obat tidak mempunyai hubungan yang
signifikan dengan kejadian jatuh pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading
Semarang.
B.Saran
1.Bagi Petugas Panti
Berdasarkan hasil penelitian terdapat dua faktor yang mempengaruhi
jatuh yaitu, gangguan gaya berjalan dan lingkungan. Dari kedua faktor
tersebut, hendaknya petugas panti dapat melakukan berbagai upaya untuk
mengatasi kedua faktor tersebut. Untuk gangguan gaya berjalan, diupayakan
dengan memberikan program gait training, latihan strengthening dan
55
pemberian alat bantu berjalan. Adapun pemberian alat bantu berjalan dapat
diupayakan dengan pemberian pegangan pada tembok dan sebagainya. untuk
lingkungan yang berbahaya, diupayakan dengan penerangan yang cukup
tetapi tidak menyilaukan, kamar mandi dibuat tidak licin.
Adapun peran perawat lansia adalah dengan meningkatkan pengawasan
terhadap lansia yang mengalami gangguan gaya berjalan dan juga selalu
memberikan informasi jika berjalan di kamar mandi untuk selalu berpegangan
pada tembok. Sedangkan unutk petugas kebersihan, diharapkan selau
membersihkan kamar mandi dan juga memberikan informasi kepada lansia
sebelum mengepel lantai sehingga lansia tidak mudah terpeleset.
2.Bagi peneliti
Penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
jatuh pada lansia hanya di satu instansi, akan lebih baik jika penelitian ini
dilakukan diseluruh instansi Panti di Semarang sehingga hasil penelitian
tersebut dapat di jadikan tolok ukur mengenai faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian jatuh pada lansia. Untuk instrumen yang di gunakan dalam
penelitian sebaiknya adalah observasi sehingga data yang diperoleh bersifat
objektif.
56