02 Makalah Naskah Akademis Abrasi

5
Prosiding Seminar Nasional Riset Kebencanaan, Mataram, 8-10 Oktober 2013 Penanganan Abrasi Pantai di Indonesia A Hakam, B Istijono, FA Ismail, Zaidir, Fauzan, Dalrino, Revalin 1) Pusat Studi Bencana, Universitas Andalas, Kampus Unand L Manis, Padang 25162 Abstrak. Abrasi pantai dan gelombang ekstrim merupakan salah satu bencana alam yang perlu ditangani secara komprehensif . Penyebab terjadinya abrasi di pantai sebagian besar (diperkirakan lebih dari 90%) diakibatkan oleh adanya campur tangan manusia. Pengaruh alam yang turut menjadi penyebab bencana gelombang ekstrim dan abrasi adalah perubahan iklim dan cuaca. Mengingat hal utama yang menyebabkannya, maka penanganan abrasi dan gelombang esktrim dilakukan dengan menangani faktor manusianya. Tindakan yang perlu diupayakan untuk mengurangi risiko bencana abrasi dan gelombang ekstrim adalah dengan mengkaji dan mengurangi penyebab, menurunkan kerentanan serta meningkatkan kapasitas. Pengurangan penyebab bahaya abrasi dapat dilakukan dengan cara membuat regulasi dan bangunan untuk melindungi daerah pantai. Bangunan pelindung pantai dapat berupa pelindung alami dan bangunan buatan. Bangunan buatan yang berupa ‘soft dan hard structures’ terutama diperlukan untuk pantai-pantai yang telah rusak karena abrasi. Regulasi yang diperlukan terutama adalah untuk melindungi pantai terutama yang diakibatkan oleh aktifitas manusia. Regulasi harus diikuti dengan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kapasitas sumber daya manusia untuk mengurangi risiko terhadap bencana abrasi dan gelombang ekstrim. Penanganan bencana terutama abrasi dan gelombang ekstrim harus dinilai sebagai investasi yang imbasnya dapat dirasakan sebagai peningkatan taraf hidup manusia yang terancam bencana tersebut. Key words: Abrasi, Gelombang ekstrim, Penanganan. Pendahuluan Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas wilayah perairan laut lebih dari 75% (sekitar 5.8 juta kilometer persegi) dengan 17.500 pulau dan garis pantai sekitar 81.000 km. Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Daerah pantai merupakan daerah yang spesifik, karena berada di antara dua pengaruh yaitu pengaruh daratan dan pengaruh lautan (Yuwono N, 2000). Kawasan pantai merupakan kawasan yang sangat dinamis dengan berbagai ekosistem hidup yang saling mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain. Perubahan garis pantai merupakan salah satu bentuk dinamisasi kawasan pantai yang terjadi secara terus menerus. Perubahan garis pantai yang terjadi di kawasan pantai berupa pengikisan badan pantai (abrasi) dan penambahan badan pantai (sedimentasi atau akresi). Proses abrasi disebabkan oleh beberapa faktor yang secara umum dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu akibat faktor alam seperti perubahan cuaca atau iklim dan akibat aktivitas manusia yang mengakibatkan hilangnya perlindungan alami pantai serta berubahnya pola aliran dan transport disepanjang pantai. Kondisi kawasan pantai di berbagai lokasi di Indonesia sangat mengkhawatirkan yang diakibatkan oleh adanya kejadian abrasi atau erosi. Sekitar 100 lokasi di 17 Propinsi dengan panjang pantai kurang lebih 400 km telah mengalami erosi pantai yang mengkhawatikan. (Diposaptono, 2011). Jumlah catatan kejadian bencana abrasi di Indonesia mulai dari 1815 sampai dengan 2013 adalah sebanyak 192 kali. Daerah-daerah di Indonesia dengan ancaman bencana abrasi dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1: Zona Abrasi Di Indonesia (RenNas PB). Abrasi merupakan proses pengikisan pantai yang disebabkan oleh erosi arus dan hantaman gelombang laut dan/atau pasang surut laut yang bersifat merusak di sekitarnya. Daerah-daerah yang menghadapi resiko tinggi bencana abrasi antara lain adalah Aceh Selatan dan Kota Banda Aceh di Provinsi Aceh, Kota Medan, Kota Padang dan Kabupaten Agam di Sumatra Barat, Kota Jakarta Utara, Kabupaten Rembang di Jawa Tengah, Bali, Kabupaten Sikka di Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Selayar di Sulawesi Selatan. Indonesia juga semakin sering menghadapi ancaman gelombang ekstrim yang pada umumnya ditimbulkan oleh siklon tropis. Untuk wilayah di

Transcript of 02 Makalah Naskah Akademis Abrasi

Page 1: 02 Makalah Naskah Akademis Abrasi

Prosiding Seminar Nasional Riset Kebencanaan, Mataram, 8-10 Oktober 2013

Penanganan Abrasi Pantai di Indonesia

A Hakam, B Istijono, FA Ismail, Zaidir, Fauzan, Dalrino, Revalin

1) Pusat Studi Bencana, Universitas Andalas, Kampus Unand L Manis, Padang 25162

Abstrak. Abrasi pantai dan gelombang ekstrim merupakan salah satu bencana alam yang perlu ditangani secara komprehensif . Penyebab terjadinya abrasi di pantai sebagian besar (diperkirakan lebih dari 90%) diakibatkan oleh adanya campur tangan manusia. Pengaruh alam yang turut menjadi penyebab bencana gelombang ekstrim dan abrasi adalah perubahan iklim dan cuaca. Mengingat hal utama yang menyebabkannya, maka penanganan abrasi dan gelombang esktrim dilakukan dengan menangani faktor manusianya. Tindakan yang perlu diupayakan untuk mengurangi risiko bencana abrasi dan gelombang ekstrim adalah dengan mengkaji dan mengurangi penyebab, menurunkan kerentanan serta meningkatkan kapasitas. Pengurangan penyebab bahaya abrasi dapat dilakukan dengan cara membuat regulasi dan bangunan untuk melindungi daerah pantai. Bangunan pelindung pantai dapat berupa pelindung alami dan bangunan buatan. Bangunan buatan yang berupa ‘soft dan hard structures’ terutama diperlukan untuk pantai-pantai yang telah rusak karena abrasi. Regulasi yang diperlukan terutama adalah untuk melindungi pantai terutama yang diakibatkan oleh aktifitas manusia. Regulasi harus diikuti dengan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kapasitas sumber daya manusia untuk mengurangi risiko terhadap bencana abrasi dan gelombang ekstrim. Penanganan bencana terutama abrasi dan gelombang ekstrim harus dinilai sebagai investasi yang imbasnya dapat dirasakan sebagai peningkatan taraf hidup manusia yang terancam bencana tersebut. Key words: Abrasi, Gelombang ekstrim, Penanganan. Pendahuluan Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas wilayah perairan laut lebih dari 75% (sekitar 5.8 juta kilometer persegi) dengan 17.500 pulau dan garis pantai sekitar 81.000 km. Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.

Daerah pantai merupakan daerah yang spesifik, karena berada di antara dua pengaruh yaitu pengaruh daratan dan pengaruh lautan (Yuwono N, 2000). Kawasan pantai merupakan kawasan yang sangat dinamis dengan berbagai ekosistem hidup yang saling mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain.

Perubahan garis pantai merupakan salah satu bentuk dinamisasi kawasan pantai yang terjadi secara terus menerus. Perubahan garis pantai yang terjadi di kawasan pantai berupa pengikisan badan pantai (abrasi) dan penambahan badan pantai (sedimentasi atau akresi). Proses abrasi disebabkan oleh beberapa faktor yang secara umum dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu akibat faktor alam seperti perubahan cuaca atau iklim dan akibat aktivitas manusia yang mengakibatkan hilangnya perlindungan alami pantai serta berubahnya pola aliran dan transport disepanjang pantai.

Kondisi kawasan pantai di berbagai lokasi di Indonesia sangat mengkhawatirkan yang diakibatkan oleh adanya kejadian abrasi atau erosi. Sekitar 100 lokasi di 17 Propinsi dengan panjang

pantai kurang lebih 400 km telah mengalami erosi pantai yang mengkhawatikan. (Diposaptono, 2011). Jumlah catatan kejadian bencana abrasi di Indonesia mulai dari 1815 sampai dengan 2013 adalah sebanyak 192 kali. Daerah-daerah di Indonesia dengan ancaman bencana abrasi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1: Zona Abrasi Di Indonesia (RenNas PB).

Abrasi merupakan proses pengikisan pantai yang

disebabkan oleh erosi arus dan hantaman gelombang laut dan/atau pasang surut laut yang bersifat merusak di sekitarnya. Daerah-daerah yang menghadapi resiko tinggi bencana abrasi antara lain adalah Aceh Selatan dan Kota Banda Aceh di Provinsi Aceh, Kota Medan, Kota Padang dan Kabupaten Agam di Sumatra Barat, Kota Jakarta Utara, Kabupaten Rembang di Jawa Tengah, Bali, Kabupaten Sikka di Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Selayar di Sulawesi Selatan.

Indonesia juga semakin sering menghadapi ancaman gelombang ekstrim yang pada umumnya ditimbulkan oleh siklon tropis. Untuk wilayah di

Page 2: 02 Makalah Naskah Akademis Abrasi

sebelah selatan khatulistiwa, daerah yang memiliki potensi tinggi terkena gelombang ekstrim adalah wilayah pantai utara Pulau Jawa, Sumatra, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Untuk wilayah di sebelah utara khatulistiwa daerah yang berpotensi terkena gelombang ekstrim adalah Pantai Sulawesi Utara, Maluku dan Irian Jaya seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2: Perkiraan Tinggi Gelombang Maksimum di Perairan Indonesia pada 9 September 2013 (http://maritim.bmkg.go.id)

Risiko Abrasi dan Gelombang ekstrim Kajian risiko bencana menjadi landasan untuk memilih strategi dalam mengurangi risiko bencana. Kajian risiko harus mampu menjadi dasar yang memadai bagi daerah untuk menyusun kebijakan penanggulangan bencana. Nilai risiko merupakan formalasi dari besarnya ancaman, kerentanan dan kapasitas.

Tingkatan ancaman abrasi pada suatu daerah dilakukan dengan melakukan identifikasi, klasifikasi dan evaluasi melalui beberapa faktor, yaitu : 1. Rendah (tinggi gelombang kurang dari 1 meter,

kekuatan arus (current) kurang dari 0,2 m/dt, tutupan lahan/vegetasi pesisir lebih dari 80 persen dan bentuk garis pantai berteluk)

2. Sedang (tinggi gelombang antara 1-2,5 meter, kekuatan arus (current) antara 0,2-0,4 m/dt, tutupan lahan/vegetasi pesisir antara 40-80 persen dan bentuk garis pantai lurus-berteluk)

3. Tinggi (tinggi gelombang lebih dari 2,5 meter, kekuatan arus (current) lebih dari 0,4 m/dt), tutupan lahan/vegetasi pesisir lebih kurang dari 40 persen dan bentuk garis pantai lurus )

Wilayah Indonesia termasuk kedalam area

monsoon yang ditandai dengan sistem angin musim yang secara periodik berganti arah dari timur ke barat dan barat ke timur setiap enam bulan sekali. Musim monsoon dan kompleksitas wilayah Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dengan beragam ukuran dan bentuk menyebabkan adanya variasi spasial dan temporal arah dan kecepatan angin yang berpengaruh terhadap dinamika laut Indonesia. Atmosfer di Indonesia yang kompleks tersebut menyebabkan seringnya terjadi gelombang tinggi yang juga merupakan salah satu penyebab

terjadinya proses abrasi di pantai. Gelombang ekstrim yang melanda Indonesia umumnya berada pada wilayah-wilayah yang berdekatan dengan posisi siklon tropis.

Selain faktor-faktor alam, proses abrasi dapat terjadi akibat faktor antropogenik, seperti aktivitas manusia di sekitar pantai. Meningkatnya usaha pengembangan daerah pantai untuk daerah pemukiman, wisata, perikanan, industri, wisata dan sebagianya telah mengakibatkan berbagai tekanan terhadap kualitas lingkungan pantai. Berbagai upaya manusia dalam modifikasi daerah pantai untuk keperluan tersebut di atas sering tidak diimbangi dengan pemahaman yang benar terhadap perilaku dinamika pantai, sehingga menimbulkan dampak yang cenderung merusak lingkungan pantai.

Survey membuktikan setidaknya ada 5 penyebab abrasi yang disebabkan oleh manusia, yaitu (Diposaptono, 2011): 1. Terperangkapnya angkutan sedimen sejajar

pantai akibat bangunan buatan seperti groin, jetty, breakwater pelabuhan dan reklamasi yang sejajar garis pantai.

2. Timbulnya perubahan arus akibat adanya bangunan di pantai / maritime.

3. Berkurangnya suplai sedimen dari sungai akibat penambangan pasir, dibangunnya dam di sebelah hulu sungai dan sudetan (pemindahan arus sungai).

4. Penambangan terumbu karang dan pasir pantai. 5. Penebangan dan Penggundulan hutan mangrove.

Kajian terhadap kerentanan dapat dilakukan

dengan menganalisa kondisi dan karakteristik suatu masyarakat dan lokasi penghidupannya terkait dengan faktor-faktor yang dapat mengurangi kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana. Kerentanan dapat ditentukan dengan mengkaji aspek keamanan lokasi penghidupan mereka atau kondisi-kondisi yang diakibatkan oleh faktor-faktor fisik, sosial ekonomi dan lingkungan hidup.

Kapasitas mengindikasikan status kemampuan individu, masyarakat, lembaga pemerintah atau non pemerintah dan aktor lain dalam menangani ancaman dengan sumber daya yang tersedia. Kapasitas terkait dengan kemampuan untuk melakukan tindakan pencegahan, mitigasi dan mempersiapkan penanganan darurat serta menangani kerentanan yang ada.

Permasalahan, tantangan dan peluang Permasalahan yang dihadapi saat ini dalam penanganan bencana abrasi diantaranya adalah: a. Belum tersedianya peta resiko bencana dalam

skala kecil yang diperlukan untuk penanganan masalah abrasi. Meskipun peta abrasi telah dibuat dalam skala nasional, namun sayangnya

Page 3: 02 Makalah Naskah Akademis Abrasi

masih belum tersedia peta dalam skala kecil (1:500).

b. Kinerja penanggulangan bencana yang belum optimal dan belum terpadu.

c. Orientasi kelembagaan kebencanaan sebelum ini banyak berorientasi pada penanganan kedaruratan, belum pada aspek pencegahan serta pengurangan risiko bencana. Tampaknya pemahaman dan kesadaran bahwa risiko bencana dapat dikurangi melalui intervensi-intervensi pembangunan masih minim. Undang undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana memang telah merubah paradigma penanggulangan bencana dari responsive (terpusat pada tanggap darurat dan pemulihan) ke preventif (pengurangan risiko dan kesiapsiagaan), tetapi dalam pelaksanaannya masih belum terlihat pada program-program pengurangan risiko bencana.

d. Rendahnya ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana. Bencana alam yang terjadi dapat menghancurkan hasil-hasil pembangunan selama bertahun-tahun oleh kelompok masyarakat. Hal ini tentunya merupakan sebuah pukulan berat bagi masyarakat yang terkena bencana tersebut. Oleh karenanya isu ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana merupakan hal penting untuk diperhatikan dalam kajian ini.

e. Penerapan teknologi di bidang mitigasi bencana belum optimal. Kurangnya pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengurangi risiko bencana abrasi memerlukan adanya kolaborasi dengan lembaga riset dan perguruan tinggi untuk mengembangkan penelitian-penelitian, ilmu dan teknologi kebencanaan.

Hal – hal yang menjadi tantangan dalam upaya penanggulangan bencana abrasi dan gelombang ekstrim ini adalah diantaranya : a. Sosialisi perubahan pola penanggulangan

bencana. Perubahan paradigma penanggulangan bencana dari responsif ke preventif yang terkandung dalam Undang-undang No. 24 tahun 2007 perlu dijelmakan menjadi kebijakan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur tetap (protap) kebencanaan sampai ke tingkat pemerintahan yang paling rendah. Perlunya perpaduan pengurangan risiko bencana ke dalam program-program pembangunandemi terbangun mekanisme penanggulangan bencana yang terpadu, efektif, efisien dan handal.

b. Perlunya penanganan yang mengacu pada tata ruang dan wilayah agar dampak abrasi tidak semakin meluas. Kawasan pesisir memerlukan pola perencanaan tata ruang pesisir yang dipengaruhi oleh pembagian zona-zona perlindungan yang sangat ketat. Hal ini disebabkan karakter pesisir yang sangat dinamis tetapi rentan terhadap perubahan yang terjadi.

Kondisi dinamis inilah yang menyebabkan perlunya dicari model pendekatan yang sesuai untuk penataan ruang wilayah pesisir.

c. Perlunya pengembangan kapasitas dalam penanggulangan bencana yang melibatkan masyarakat sebagai subjek. Masyarakat bukan hanya diposisi sebagai objek melainkan juga sebagai pelaku yang harus berperan aktif untuk melindungi diri sendiri jika terjadi bencana (NAR, 2013).

d. Besarnya kebutuhan pengembangan kapasitas dalam penanggulangan bencana. Jumlah penduduk yang besar tinggal di daerah rawan bahaya, akan melibatkan banyak komunitas yang perlu menerima gladi, simulasi dan pelatihan kebencanaan. Banyak tim siaga bencana komunitas yang perlu dibentuk dan diberi sumber daya yang memadai. Selain itu, di pihak pemerintah sendiri masih banyak daerah yang perlu ditingkatkan dalam hal kelembagaan penanggulangan bencana dan kelengkapannya, masih banyak aparat pemerintah yang perlu diberi pendidikan dan pelatihan kebencanaan agar dapat melaksanakan pembangunan yang berperspektif pengurangan risiko dan menyelenggarakan tanggap serta pemulihan bencana dengan baik.

e. Perlunya sinkronisasi regulasi dan kewenangan penanganan bencana pada saat pra, selama, dan pasca bencana.

f. Perlu peningkatan komitmen pemerintah daerah sebagaimana tertuang dalam porsi APBD untuk penanggulangan bencana yang saat ini masih tergolong kecil. Disamping itu baru sedikit daerah yang menjadikan bencana sebagai prioritas pembangunan, baik pra, saat, maupun pasca bencana (NAR 2013).

g. Perlunya meninjau parameter penentuan bahaya dan resiko bencana abrasi. Besaran beberapa parameter (misal, kecepatan arus, gelombnag ekstrim) masih perlu diteliti dengan melibatkan peran akademisi.

h. Tantangan terberat dalam penanggulangan bencana abrasi adalah menjadikan penanggulangan bencana sebagai investasi dimasa depan. Dimana bila saat ini tidak dilakukan penanggulangan, maka kerugian yang diderita akan timbul dimasa yang akan datang. Hal ini dapat digambarkan dari penanganan abrasi di Bali yang mana dapat meningkatkan pendapatan dan taraf kehidupan dari bidang pariwisata. Saat ini pendapatan dari pariwisata Pulau Dewata melebihi nilai 17 trilliun rupiah yaitu sekitar dua kali lipat sebelum penanganan abrasi dilakukan. Setengah dari penghasilan tersebut diperkirakan tidak akan diperoleh bila tidak dilakukan penanganan abrasi pada beberapa tahun sebelumnya (Gambar 3).

Page 4: 02 Makalah Naskah Akademis Abrasi

Gambar 3: Perkembangan wisatawan ke Bali dari tahun 2000 s/d 2012 (BPS Bali, 2013), Penanganan Abrasi (http://bulletin.penataanruang.net) dan trend perkembangan jumlah wisatawan.

Beberapa poin yang menjadi peluang dalam

upaya penanggulangan bencana abrasi dan gelombang ekstrim ini adalah: a. Keputusan Pemerintah untuk mendorong

agenda pengurangan risiko bencana gelombang ekstrim dan abrasi adalah dikeluarkannya UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam undang-undang tersebut menetapkan sasaran pembangunan yang lebih berkelanjutan melalui pencapaian keseimbangan antara: Pembangunan ekonomi , pemanfaatan wilayah pesisir, perlindungan dan pelestarian wilayah pesisir, minimalisasi kerugian kehidupan manusia dan harta benda dan akses publik di zona pesisir. Selain itu Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan reklamasi hutan, juga mendukung penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan melalui tahapan perencanaan dan pelaksanaan. (Kementrian Kehutanan, 2012).

b. Semakin banyaknya provinsi dan kabupaten/kota yang membentuk BPBD. Pembentukan badan-badan penanggulangan bencana independen di berbagai tingkat pemerintahan ini akan lebih menjamin

tertanganinya isu penanggulangan bencana dan isu terkait lainnya dengan baik.

c. Tumbuhnya Perhatian Dunia pada isu pengurangan risiko bencana, terutama terkait dengan kecenderungan perubahan iklim global yang dampaknya kian memburuk. Komitmen antar negara, sebagai contoh dalam koridor negara Asia Tenggara (ASEAN) dengan membentuk AHA Center dan latihan bersama penanggulangan bencana yang dikenal dengan ARDEX sebagai implementasi AADMER (ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response).

Program penanganan abrasi Konsep dasar penanganan masalah abrasi pantai dan gelombang ekstrim dapat digambarkan dalam bentuk diagram alir seperti pada Gambar 4. Dalam pelaksanaannya, penanganan masalah abrasi pantai dan gelombang ekstrim dapat melibatkan berbagai kepentingan, nilai serta pemahaman pola penanganannya (Seperti kasus Pantai Kuta dalam Handoko, 2007). Untuk itu diperlukan kerjasama seluruh pemangku kepentingan dengan melibatkan pertimbangan biaya, operasional dan pemeliharaan.

15/10/2002

1/10/2005

Page 5: 02 Makalah Naskah Akademis Abrasi

Gambar 4. Konsep Dasar Penanganan Abrasi Pantai dan Gelombang Ekstrim (Yuwono, N., 2000)

Selain kerjasama, pembagian kewenangan

penanganan abrasi dan gelombang ekstrim di daerah pantai juga harus jelas. Sebagai contoh untuk penaganan yang terkait dengan bidang usaha yang mendatangkan devisa, umat beragama, pertahanan dan keamanan, jalan negara, bandar udara dan pelabuhan, pulau-pulau terluar maka kewenangannya diberikan pada tingkat Nasional.

Untuk itu pemerintah mempunyai wewenang membuat dan melaksanakan regulasi-regulasi dalam pengurangan resiko abrasi dan gelombang ekstrim. Regulasi yang diperlukan terutama adalah untuk melindungi pantai akibat aktifitas manusia. Regulasi harus diikuti dengan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kapasitas sumber daya manusia untuk mengurangi risiko terhadap bencana abrasi dan gelombang ekstrim. Kesimpulan Penanganan bencana abrasi pantai dan gelombang ekstrim perlu dilakukan secara komprehensif dan melibatkan para pemangku kepentingan. Penyebab abrasi di pantai yang sebagian besar (90%) diakibatkan oleh aktivitas manusia memerlukan upaya untuk mengurangi risiko bencana dengan mengurangi ancaman, menurunkan kerentanan serta meningkatkan kapasitas. Pengurangan penyebab bahaya abrasi dapat dilakukan dengan cara membuat regulasi dan bangunan untuk melindungi pantai berupa pelindung alami dan bangunan buatan.

Regulasi harus diikuti dengan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kapasitas sumber daya manusia untuk mengurangi risiko terhadap bencana abrasi dan gelombang ekstrim serta dapat meningkatkan manfaat paantai terhadap kehidupan. Penanganan bencana abrasi dan gelombang ekstrim harus dinilai sebagai investasi yang imbasnya dapat dirasakan sebagai peningkatan pendapatan manusia yang terancam bencana tersebut. Acknowledgement Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepadan Prof. Dr. Ir. Nur Yuwono, serta Dr. Chairul Paotonan dan Dr. Haryo Dwito Armono yang telah sangat berperan dalam menyelesaikan kajian ini..

References Diposaptono, S., 2011, “Mitigasi Bencana dan Adaptasi

Perubahan Iklim”. Kementrian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Kelautan dan Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil. Jakarta

Putut Handoko, 2007, Mediasi Konflik Penanganan Kerusakan Pantai (Studi Kasus Penanganan Abrasi Pantai Kuta Bali), Tesis Magister PPs Undip, Semarang.

Roni K, Najib H, Donaldi (2012) Kajian Daerah Rawan Gelombang Tinggi di Perairan Indonesia, Jurnal Meteorologi dan Geofisika-BMKG Vol 13 Nomor 3-2012

Syamsul Maarif, 2013, Disaster Management in Indonesia, International Seminar Indonesia-French, Padang

National Assessment Report (Draft), 2013 Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Yuwono, N., 2000, Pidato Pengukuhan Guru Besar, UGM Jogjakarya

UU 23 / 1997, UU 41 / 1999, UU 7 / 2004, UU 24/ 2007, UU 26/2007 , UU 27/ 2007, UU 2 / 2013