01 Besaran Dan Vektor
-
Author
ipoul-saifullah -
Category
Documents
-
view
166 -
download
5
Embed Size (px)
Transcript of 01 Besaran Dan Vektor

1
SSIISSTTEEMM PPEENNGGUUKKUURRAANN
NNOOTTAASSII IILLMMIIAAHH
OOPPEERRAASSII--MMAATTEEMMAATTIIKKAA VVEEKKTTOORR
BBAABB II FFiissiikkaa DDaassaarr II

2
I. SISTEM PENGUKURAN
1.1 Definisi Besaran dan Satuan
Fisika pada dasarnya selalu berhubungan dengan pengukuran, baik pengukuran secara
langsung seperti mengukur waktu, panjang, massa dll, ataupun secara tidak langsung
seperti mengukur energi, gaya, kecepatan dll. Dalam Fisika, pengukuran saja tidak
cukup, pada tahap selanjutnya pengukuran tersebut haruslah menghasilkan angka-
angka yang dapat dihitung dan akhirnya diinterpretasikan (ditafsirkan). Semua hal
yang bisa diukur dan dinyatakan dalam angka dalam ilmu Fisika disebut dengan istilah
quantity atau BESARAN (Besaran Fisika).
Fisika seperti halnya Matematika merupakan disiplin ilmu yang banyak melibatkan
angka dan perhitungan, perbedaannya adalah, di dalam Fisika angka dan perhitungan
pada umumnya diperoleh dari hasil pengukuran dan percobaan (secara langsung
ataupun tidak dan percobaan ril ataupun dalam fikiran), sedangkan dalam Matematika
kita tidak harus melakukan pengukuran dan percobaan. Dapatlah kita katakan bahwa
matematika merupakan suatu “alat” yang digunakan Fisika.
Sistem, cara atau aturan untuk menyatakan sebuah besaran fisika ke dalam angka
dinamakan sistem satuan. Sistem satuan juga menunjukkan bagaimana sebuah besaran
diukur atau dibandingkan dengan besaran sejenis lain. Contoh sederhana misalnya,
ketika kita mengukur panjang sebuah meja dengan menjengkalnya, kita peroleh bahwa
panjangnya 20 jengkal, artinya cara mengukur panjang meja adalah dengan cara
membandingkannya dengan jengkal tangan kita, dan hasilnya panjang meja sebanding
dengan 20 jengkal kita. Jika kita lakukan menggunakan hasta, misalkan kita dapatkan
hasil 4 hasta, artinya kita mengukur meja dengan cara membandingkannya terhadap
hasta tangan kita dan hasilnya panjang meja sebanding dengan 4 hasta tangan kita.
Namun demikian, tidaklah akurat mengukur dengan jengkal atau hasta, sebab jengkal
dan hasta masing-masing manusia tidaklah sama dan mungin berubah menurut usia.
Untuk itu perlu dibuat alat pembanding yang standar dan berlaku secara internasional
relatif tetap menurut waktu. Salah satu badan internasional yang mengatur sistem
satuan ini adalah International Bureau of Weights and Measures di Paris. Badan ini
membuat standardisasi untuk panjang (meter), waktu (detik) dan massa (kilogram),
seluruh dunia mengacu pada standar ini sehingga disebut juga dengan sistem
internasional (SI atau MKS).

3
Gb 1.2 Batang meter dan kilogram standar terbuat dari
platina-iridium
Gb 1.1 Jarak dari kutub utara ke katulistiwa melalui kota Paris pernah dijadikan acuan untuk
panjang 1 meter
Untuk satuan panjang, satuan meter disepakati
sebagai satuan standar internasional. Meter berasal
dari bahasa Yunani metron yang berarti ukuran. Pada
awalnya yang digunakan sebagai patokan 1 meter
adalah panjang tali dalam pendulum yang memiliki
perioda ½ detik, kemudian pada tahun 1791 acuan ini
diubah, sebagai patokan panjang satu meter adalah
diperoleh dari jarak antar kutub utara ke khatulistiwa
melalui kota Paris ditetapkan berjarak 107 meter,
sehingga satu meter adalah jarak tersebut dibagi
dengan 107. Namun ternyata cara seperti ini selain
tidak praktis juga berubah karena jarak ini
dipengaruhi oleh faktor gravitasi yang mengubah
permukaan bumi. Pada tahun 1927 setelah melalui
berbagai perubahan, International Bureau of
Weights and Measures membuat sebuah batang besi
terbuat dari logam platina–iridium sebagai patokan
1 meter dan 1 kilogram. Pada tahun 1960
standardisasi ini diubah agar lebih teliti dengan mengacu pada 1,650,763.73 kali
panjang gelombang dari cahaya dalam vakum, dan akhirnya versi terakhir yang lebih
akurat adalah mengacu pada kecepatan cahaya, 1 meter adalah jarak yang ditempuh
cahaya selama 1/299 792 458 detik.
Di samping itu dikenal pula sistem satuan lain yang
dikenal dengan singkatan cgs (centimeter, gram dan
sekon/detik) atau fps (feet, pound dan sekon). Dalam
beberpa hal satuan khusus diperlukan untuk
mempermudah perhitungan, misalnya dalam Astronomi
dikenal satuan khusus tahun-cahaya yakni jarak yang
ditempuh kecepatan cahaya dalam satu tahun yaitu 1
tahun (365x24x60x60 detik) dikalikan dengan kecepatan
cahaya kira-kira 3 x 108 m/s hasilnya 9.460.800.000.000.000
meter, mengingat jarak dalam dunia Astronomi sangatlah jauh satuan khusus semacam
Gambar 1.3 Panjang diameter galaksi
Bimasakti sekitar 100.000 tahun cahaya

4
ini sangat diperlukan, jika dalam dunia Astronomi digunakan satuan meter maka
betapa tidak praktisnya untuk menyatakan diameter dari galaksi Bima Sakti yang
jaraknya 100.000 tahun-cahaya yaitu 900.460.800.000.000.000.000 meter !!
Sebaliknya dalam dunia Kristalografi yang berurusan dengan hal-hal yang sangat kecil,
satuan yang lebih kecil diperlukan yaitu Angstrom (oA), di mana 1 OA adalah
0,00000000001 meter, sehingga untuk menyatakan panjang ikatan tunggal carbon
sepanjang 0, 0,0000000000154 cukup ditulis dengan 1,54 oA.
1.2 Konversi Satuan dan Faktor konversi
Kita bisa saja mengonversi hasil pangukuran kita dalam sistem satuan yang berbeda,
misalnya dari meter ke centimeter, contoh sederhana tinggi seroang mahasiswa 1,7
meter adalah 170 centimeter. Nampaknya sangat sederhana, namun kadang untuk
satuan yang lebih kompleks harus berhati-hati, misalnya dari 4 km/jam ke satuan SI
m/s, maka :
ikdet
m11,1
detik
m
18
54
ikdet3600
m10004
jam
km4 ≈⋅==
atau contoh lain :
Konversikan 5 kg�m/s2 ke g�cm/s2, maka :
2
5
22 s
cmg10x5
s
)cm100)(g1000(5
s
mkg5
⋅==
⋅
angka 5/18 dan 105 pada kedua kasus di atas dikenal sebagai “faktor konversi”
2. NOTASI ILMIAH dan ATURAN PEMBULATAN
Aturan notasi ilmiah diperlukan karena pada kenyataanya kita akan berhadapan
dengan angka-angaka yang sangat besar atau sangat kecil, untuk tujuan inilah notasi
ilmiah diperkenalkan. Dalam notasi ilmiah sebuah angka harus dinyatakan dalam
satuan (angka 1 hingga 10) dikalikan dengan 10 pangkat bilangan bulat. Misalnya
1100000 ditulis dalam notai ilmiah sebagai 1,1 x 106. Bilangan 6 pada pangkat 10
dinamakan eksponen. Contoh lain 0,000124 dapat ditulis dengan 1,24 x 10-4 saja.
Contoh :
Tuliskan dalam notasi ilmiah hasil kali dari 4,55 x 107 dengan 2,77 x 105.
Jawab :
(4,55 x 107)x(2,77 x 105) = (4,55x2,77)( 107x105) = (12,6035)x1012 = 1,26035 x 1013

5
Karena ilmu Fisika seringkali berhubungan dengan angka hasil pengukuran, dan pada
umumnya data hasil pengukuran tidak dalam bentuk bilangan bulat, bahkan bilangan
desimal dengan digit yang sangat banyak, maka diperlukan sebuah aturan pembulatan
untuk menyingkat laporan pengukuran hingga digit yang diperlukan saja. Misalnya jika
kita peroleh panjang meja 2,7435 meter, bukankah cukup melaporkannya hingga satu
digit di belakang koma saja menjadi 2,7 meter ?
Aturan pembulatan terkadang sangat penting ketika kit berhadapan dengan angka-
angka pecahan dengan jumlah desimal yang banyak. Ada tiga aturan pembulatan :
Aturan I :
Jika angka dibelakang angka terakhir yang ingin dituliskan kurang dari 5, maka
hilangkan angka tersebut dan semua angka dibelakangnya. Misalnya kita ingin
membulatkan 5,3467 menjadi 1 angka dibelakang koma, karena angka terakhir setelah
angka 3 adalah 4, dan 4 kurang dari 5, maka kita hilangkan seluruh angka dibelakang 3
tersebut menjadi 5.3.
Contoh :
Bulatkanlah 4,3423 menjadi sampai dua digit di belakang koma
Jawab :
Hasil pembulatannya 4,34 karena setelah digit kedua bernilai di bawah 5 (yakni 2)
Aturan I :
Namun jika angka dibelakang angka terakhir yang ingin dituliskan lebih dari 5, maka
tambahkan digit terakhir dengan 1. Misalnya kita ingin membulatkan 5,3867 menjadi 1
angka dibelakang koma, karena angka terakhir setelah angka 3 adalah 8, dan 8 lebih
dari 5, maka kita hilangkan seluruh angka dibelakang 3 tersebut dan tambahkan 3
dengan 1, sehingga 5,4
Contoh :
Bulatkanlah 4,3473 menjadi sampai dua digit di belakang koma
Jawab :
Hasil pembulatannya 4,35 karena setelah digit kedua bernilai di atas 5 (yakni 7)

6
Aturan III :
Jika angka dibelakang angka terakhir yang ingin dituliskan sama dengan 5, maka
jadikanlah digit terakhir menjadi bilangan genap terdekat. Misal jika kita bulatkan
angka 5,3567 menjadi 1 digit di belakang koma maka karena di belakang 3 adalah 5, da
3 adalah bilangan ganjil maka genapkanlah menjadi 4 (bukan 2, karena 4 lebih dekat)
menjadi 5,4. Atau jika kita bulatkan angka 5,6567 menjadi 1 digit di belakang koma
maka karena di belakang 6 adalah 5, dan 6 adalah bilangan genap maka genapkanlah
menjadi 6 (bukan 8 atau 4, karena 6 lebih dekat) menjadi 5,6.
Contoh :
Tulislah dalam otasi ilmiah dan bulatkanlah menjadi 1 digit di belakang koma hasil pengukuran
berikut : 0,0000016534.
Jawab :
1,6534x10-6 dibulatkan menjadi 1,6x10-6.
3. BESARAN SKALAR DAN VEKTOR
Besaran dibagi dalam dua kategori, pertama, besaran
skalar yaitu besaran yang hanya mempunyai nilai/besar
saja. Kedua, adalah besaran vektor, yaitu besaran Fisika
yang selain memiliki nilai, juga bergantung pada arah.
Definisi vektor seperti ini sudah kita kenal sejak SMU.
Definisi ini sebetulnya tidaklah cukup, karena arus listrik
misalnya, memiliki nilai dan juga arah, akan tetapi kuat-
arus bukanlah besaran vektor. Dengan demikian
diperlukan definisi yang lebih lengkap untuk vektor sebagai berikut : “Besaran vektor
adalah besaran yang memiliki nilai dan arah serta dapat memenuhi aturan-aturan operasi
matematika vektor”. Aturan-aturan operasi Matematika untuk vektor akan dijelaskan
dalam bagian berikutnya.
Gb.1.4 Kapasitas Memori Disket Anda 1,44 MB. Skalar atau vektor ?

7
Dalam kehidupan sehari-hari volume air, massa benda, temperatur, jumlah mahasiswa,
waktu, temperatur dll merupakan contoh-contoh besaran skalar yang tidak bergantung
arah dan hanya memiliki nilai/besar
(magnitude), artinya dari arah
manapun kita mengukurnya nilainya
tetap sama, sedangkan hal-hal seperti
kecepatan aliran sungai, gaya
gravitasi, medan listrik adalah
beberapa besaran yang tidak hanya
mempunyai nilai tapi juga
bergantung arah, maksud dari
bergantung pada arah adalah bahwa
nilai dari besaran tadi dapat berubah
pada arah yang berbeda. Arah, dalam
operasi vektor didefinisikan lebih
khusus adalah sudut yang dibentuk terhadap sumbu x positif atau arah timur dengan
arah putaran berlawanan jarum jam (Counter Clock Wise /CCW), seperti gambar
berikut ini :
Pengategorian besaran ke dalam dua jenis ini tidak semata-mata untuk tujuan
klasifikasi, akan tetapi nantinya sangat berguna dalam perhitungan dan operasi
matematika, dan juga bermanfaat dalam menjelaskan sifat-sifat sebuah besaran fisika.
Dibandingkan dengan besaran skalar, besaran vektor memiliki banyak keunikan dan
kompleksitas dalam sifatnya, sehingga memerlukan pembahasan tersendiri yang
(biasanya) terangkum dalam suatu kajian ANALISIS VEKTOR. Untuk tujuan itulah
dalam awal kuliah Fisika Dasar, akan diberikan pengantar singkat analisis vektor.
4. SIFAT VEKTOR DAN CARA MENYATAKANNYA
Sebuah vektor dilukiskan sebagai sebuah anak
panah, yang pangkalnya disebut titik tangkap
vektor, dan ujung lainnya (mata panah)
menunjukan arah vektor. Panjang dari anak panah
tersebut mewakili nilai (magnitude) dari besaran
Fisika yang dimaksud, artinya jika sebuah vektor
Gb 1.6 Penggambaran vektor
Titik tangkap
B
A
Gambar 1.5 Sudut nol dimulai dari +x dan berlawanan arah jarum jam
x 30°°°°
135°°°°
330°°°°
Vektor A
Vektor B
Vektor C
y

8
memiliki panjang anak panah lebih besar dari yang lain maka hal tersebut menunjukan
vektor tersebut lebih besar. Sebuah vektor dapat disebut "sama" jika : berjenis sama,
berarah sama dan nilainya sama, walaupun letaknya berpindah.
Maksud dari berjenis sama adalah kedua vektor yang besar dan arahnya sama tidak
dikatakan sama jika memiliki dimensi atau satuan yang berbeda, misal vektor gaya yang
besar dan arahnya 2 N dan 45° berbeda dengan vektor kecepatan yang besarnya 2 m/s
dan arahnya 45°.
Sebuah vektor dapat dituliskan dengan salah satu cara berikut :
• Huruf bercetak tebal, misalnya : F, r
• Huruf dengan tanda panah, misalnya : Fr
• Dua huruf yang mewakili pangkal dan ujung vektor, misal : →
AB
• Diuraikan dalam komponen-komponen basisnya, seperti : j5i2 −
Komponen basis atau vektor i dan j basis adalah vektor –vektor yang arahnya
sesuai dengan arah sumbu koordinat dan nilainya 1, tanda topi (^) di atas huruf i
dan j menujukan bahwa vektor tersebut adalah vektor basis. Namun untuk
kemudahan penulisan, dalam buku ini vektor basis dituliskan dengan menggunakan
hrurf i, j dan k bercetak tebal (i, j, k) dan vektornya tidak ditulis menggunakan
panah di atasnya naum dengan cetak tebal, misalnya F, v, x
Perhatikan sebuah vektor gaya 3 dimensi yang diuraikan dalam vektor-vektor
basisnya :
Gambar 1.7 Sebuah vektor dikatakan sama jika arah dan besarnya sama, meskipun posisinya berpindah

9
Cara penulisan vektor pada umumnya dituliskan dalam komponen basisnya, misalnya
vektor kecepatan : v = 2i +3j. Besar dari vektor v tersebut dapat diketahui dari
hubungan Phytagoras :
2
y
2
x vvv += , maka :
5)3(2v 22 =+=
Jika kita ingin mengetahui arah dari vektor tersebut, maka dapat ditentukan melalui :
x
y1
v
vtan −=θ , dengan θ merupakan sudut vektor terhadap sumbu x positif, sehingga :
o1 3,562
3tan ≈=θ −
F = 3i+2j+4k
i
k
j 3
5
2
x
z
y
Gambar 1.8 Vektor gaya F yang diuraikan dalam komponen-komponennya
x
y
v
θθθθ
vx
vy
Gambar 1.9 Besar dan Arah Resultan Gaya

10
5. OPERASI MATEMATIK DASAR PADA VEKTOR
4.1 Penjumlahan Vektor
Penjumlahan vektor biasanya dilakukan antar besaran yang sejenis, misalnya
panjang dengan lebar (untuk menghitung keliling), gaya dengan gaya, dll.
Ada beberapa metoda yang bisa dilakukan dalam menjumlahkan vektor :
a. Metoda Jajaran Genjang
Dalam metoda jajarang genjang, dua vektor yang akan dijumlahkan diimpitkan
antar titik pangkalnya, sehingga nilai penjumlahannya diperoleh melalui
persamaan :
θ++= cosAB2BAC 22
dengan :
C = besar vektor hasil penjumlahan
A = besar vektor pertama yang akan dijumlah
B = besar vektor kedua yang akan dijumlah
θ = sudut terkecil antara vektor A dan B
contoh soal :
Diketahui dua buah vektor yang besarnya masing-masing A = 3 dan B = 4 serta
keduanya mengapit sudut sebesar 60°. Berapakah hasil penjumlahan kedua
vektor tersebut :
Besarnya vektor hasil penjumlahan C adalah :
37
2
1 4 3 2 4 3
60 cos AB 2 B A C
2 2
2 2
=
⋅ ⋅ ⋅ + + =
+ + = o
A
B
C
60°°°°
Gambar 1.10 Penjumlahan vektor A dan B
(1)

11
Gambar 1.11 Metoda Poligon
Arahnya dapat kita tentukan melalui hubungan sinus :
Dari hubungan sinus
C
120sin
B
sin
A
sin o
=α
=θ
atau :
o
o
28,25
427,037
32
1
3
C
120sinAsin
≈θ
≈=
=θ
arah dari vektor C adalah 25,28o terhadap sumbu x+
Cara menjumlahkan dengan metoda jajaran genjang kurang praktis jika kita
berhadapan dengan penjumlahan lebih dari dua vektor, sebab dalam metoda ini
kita hanya bisa menjumlahkan dua vektor. Untuk menjumlahkan vektor
misalnya, kita harus melakukannya dua kali penjumlahan. Dan itu tidaklah
praktis.
b. Metoda Poligon
Metoda poligon (poli=banyak,
gon=bentuk/sisi) dilakukan dengan cara
menghubungkan ujung suatu dengan
pangkal vektor yang lain. Dan hasil
akhirnya (vektor resultan) adalah dengan
menarik garis (anak panah) dari titik
pangkal vektor pertama dengan ujung
vektor terakhir.
Gambar di samping ini adalah sebuah
contoh penjumlahan dari tiga vektor yang
masing-masing besarnya 20 m,
A
B
C
θθθθ 120°°°°
αααα

12
25 m, dan 15 m, dengan arah terhadap sumbu x positif seperti terlihat dalam
gambar. Hasil dari penjumlahan adalah
vektor yang menghubungkan pangkal vektor pertama dengan ujung vektor
ketiga. Cara seperti ini tentu saja kurang praktis ketika berhadapan dengan
persoalan vektor 3 dimensi, di mana vektor harus digambarkan dalam suatu
ruang dan cukup sulit ketika harus menghitung resultannya.
c. Metoda Analitik (2 dimensi)
Metoda analitik dilakukan dengan
menguraikan vektor dalam komponen-
komponen arahnya. Sebuah vektor dapat
diuraikan dalam komponen-komponennya
menurut sistem koordinat yang
dipergunakan, misalnya pada sistem
koordinat kartesius 2-D yang umumnya kita
kenal, suatu vektor A, dapat diuraikan
dalam komponen x (searah sumbu x) yaitu Ax dan komponen yang searah
sumbu y, Ay.
Jika beberapa vektor hendak dijumlahkan secara analitik maka vekor-vektor
tersebut diuraikan dalam komponen-komponennya,. Misalkan untuk komponen
x, jumlahnya Rx dan arah y hasil penjumlahannya Ry, kemudian jumlahkan
komponen-komponen yang searah, lalu besar vektor resultannya dihitung
melalui :
2y
2x RRR +=
dengan :
R = besar vektor resultan
Rx = Jumlah total vektor dalam arah x
Ry = Jumlah vektor dalam arah y
dan arahnya :
x
y1
R
Rtan −=θ
θ = sudut yang dibentuk antara sumbu x dengan vektor resultan
y
Ay
A
Ax x
Gb. 1.12 Vektor A diuraikan dalamkomponen-komponennya
(2)
(3)

13
Sebuah contoh soal akan memberikan gambaran lebih jelas :
Diketahui tiga vektor A, B, dan C yang besarnya 2, 3 dan 5 dalam koordinat
kartesius yang arahnya seperti pada gambar di bawah. Dengan menggunakan
metoda analitik, tentukanlah vektor resultan (R) nya , baik besar maupun arahnya:
Jawab :
Langkah pertama adalah menggambarkan vektor dan uraian komponennya dalam
sebuah koordinat kertesius sebagai berikut :
Kemudian kita uraikan masing-masing dalam komponen x dan y (dengan
pembulatan) :
Ax = A cos 60° = 2 (0,5) = 1
Ay = A sin 60° = 2 (0,866) = 1.732
Bx = B cos 135° = 3 (0,707) = 2.121
By = B sin 135° = 3 (-0,707) = -2.121
Cx = C cos 270° = 0
Cy = C sin 270° = 5 (1) = 5
Langkah kedua, jumlahkan komponen-komponen yang sejenis :
Komponen x : Rx = Ax +Bx + Cx = 1 + 2.121 + 0 = 3.212
Komponen y : Ry = Ay +By + Cy = 1.732 - 2.121 + 5 = 4.611
untuk menghitung besarnya vektor resultan :
60°
135°
270°
A
B
C
Ax Bx
Ay
By
x
y
Gambar 1.13 Penjumlahan vektor dengan menguraikan dalam komponennya

14
( ) ( )
619,5
)611,4()212,3(
RRR
22
2y
2x
=
+=
+=
arah dari vektor resultan :
4.2 Perkalian skalar dengan vektor
Jika sebuah vektor A = Axi +Ayj +Azk dikalikan dengan suatu skalar b maka hasilnya
adalah sebuah vektor baru C yang dengan :
C = bAxi +bAyj +bAzk
Contoh : A = 2i +3j -5k dan b = - 2
Maka C = (-2)( 2i +3j -5k) = -4i -6j +10k
4.3 Perkalian Antara Dua Vektor
Ada dua jenis perkalian antar vektor :
a. Perkalian titik antara dua vektor (dot product), dilambangkan dengan •
Pada perkalian vektor ada ketentuan :
• Komponen vektor yang sejenis (searah), misal i dengan i, j dengan j dan k
dengan k menghasilkan nilai 1
• Komponen yang tidak sejenis (tegak lurus), misal j dengan k menghasilkan
nilai 0
contoh :
Diketahui dua vektor gaya :
F1 = 2i +4j - 3k
F2 = -i +2j -2k
Berapakah perkalian titik antara kedua vektor gaya di atas ?
Jawab :
F1 • F2 = (2i +4j - 3k) • (-i +2j -2k)
o14,55
212,3
61,4
xR
yR
tan
≈θ
=
=θ

15
= -2 + 8 + 6
= 12
b. Pekalian silang (cross product), dilambangkan dengan x
Pada perkalian silang, terdapat ketentuan :
i x j = k j x i = -k
j x k = i k x j = -i
k x i = j i x k = -i
contoh :
diketahui dua buah vektor:
V1 = 2i + 4j - 2k
V2 = i + 2j + 5k
Berapakah perkalian silang dari kedua vektor di atas (V3) ?
V3 = ( 2i + 4j - 2k ) x ( i + 2j + 5k )
= (2i x i) + (2i x 2j) + (2i x 5k) + (4j x i ) + (4j x 2j) + (4j x 5k)
(-2k x i) + (-2k x 2j) + (-2k x 5k)
menurut aturan perkalian silang di atas maka akan dihasilkan :
= 4k - 10i - 4k + 20i - 2j + 4i
= 14i - 2j
Anda tidak harus mengingat-ingat aturan perkalian silang ini. Untuk mendapatkan
hasil perkalian metoda ini dapat digunakan :
Perkalian dengan urutan seuai siklus i-j-k hasilnya vector satuan berikutnya dan bernilai
positif, contoh :
i x j = k (sesuai urutan i-j-k)
j x k = i (sesuai siklus i-j-k kembali ke i)
k x i = j (seuai siklus i-j-k-i-j) dan sebagainya.
Jika urutan perkalian berlawanan dengan siklus maka hasilnya negatif :
j x i = -k (berlawanan dengan siklus i-j-k)
k x j = -i (berlawanan dengan siklus i-j-k)
i x k = -j (berlawanan dengan siklus i-j-k)

16
6 PEMAKAIAN VEKTOR : PERSOALAN KECEPATAN RELATIF
Persoalan klasik tentang penjumlahan
vektor adalah kasus river boat yang
menyebrangi sungai sebagai berikut :
Sebuah river boat hendak menyebrangi
sungai selebar 10 m dengan kecepatan
relatif terhadap bumi 8 m/s. Laju aliran
sungai relatif terhadap bumi 6 m/s.
Berapakah kelajuan river boat relatif
terhadap sungai ? Pemecahan dari kasus
seperti ini tentu saja harus menggunakan aturan operasi matematika vektor, karena kita
tahu bahwa kecepatan merupakan besaran vektor. Jika kita sederhanakan gambar di
atas menjadi vektor-vektor kecepatan dengan vp = kecepatan perahu terhadap bumi, vs
= kecepatan arus sungai terhadap bumi dan vp’ = kecepatan perahu terhadap arus
sungai. Maka didapatkan bahwa vp’ bisa didapatkan dengan menjumlahkan vp secara
vektor dengan vs dengan menggunakan metoda jajaran genjang :
( )
m/s 10100643686
270cosvv2vvv
22
osp
2s
2p
'p
==+=+=
⋅⋅⋅++=
arahnya dapat dihitung dengan θ =tan-1(vs/vp) = tan-1(6/8) ≈ 38,87°
8 m/s
6 m/s ???
Gb. 1.12 Aliran arus menyebabkan arah boat membelok
vp
vs
270°°°° vp
vs vp’
38,87°°°°

17
SOAL-SOAL
1. Carilah jumlah (resultan) dari dua vektor gaya berikut dengan menggunakan
metoda jajaran-genjang : 30 N arah 30° dan 20 N pada 140°
2. Dua gaya masing-masing sebesar 100 N dan 80 N membetuk sudut 60o menarik
sebuah objek, hitunglah :
a. Gaya resultan (baik besar dan arahnya)
b. Gaya ketiga agar benda diam
3. Sebuah truk diparkir dalam sebuah
galangan kapal dengan kemiringan θ,
berapakah gaya penahan minimum
yang harus dimiliki landasan galangan
agar tidak ambruk
4. Lima orang anak masing-masing menarik sebuah objek dengan menggunakan
seutas tali dengan arah yang berbeda. Jika digambarkan pada suatu bidang kartesius
hailnya seperti gambar di bawah. Ke manakah objek tersebut akan begerak dan
berapa besar gaya yang menggerakkannya ?
5. Sebuah perahu bermotor menyebrangi lebar sungai selebar 60 meter dengan
kecepatan 0,5 m/s. Jika arus sungai konstan sebesar 0,3 m/s, hitunglah :
a. Berpakah sudut arah kapal dengan arah tegak lurus lebar sungai
b. Berapa waktu yang diperlukan untuk menyebrangi sungai
Anak 1
Anak 2
Anak 3
Anak 4 Anak 5
3N
2N
4N 4N
3N 30°°°°
30°°°°
45°°°°
45°°°°
θθθθ

18
6. Hitunglah vektor resultan dari diagram berikut dengan besar vektor A = 5 N, B =2
N, C = 3 N dan D 4 N :
7. Sebuah pesawat terbang ringan dengan laju 600 km/jam bergerak ke arah barat
sementara angin bergerak ke arah utara dengan kecepaan 100 km/jam. Ke manakah
pesawat akan bergerak karena tiupan angin ini ?
8. Diketahui beberapa vektor berikut :
A = 4i – 2j + k
B = -3i + 2j
C = -i + j – 3k
Hitunglah operasi berikut ini :
a. D = A + C d. B ⋅ A
b. E = B – C e. A x C
c. A ⋅ B f. C x A
30o
45o
A B
C
30o
D
x
y