01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai...

44
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Popularitas Ubud sebagai salah satu destinasi wisata budaya dunia sudah tidak diragukan lagi. Sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, Ubud mampu menarik perhatian wisatawan; seniman, komponis dan sarjana Barat datang mencipta dan mengadakan riset sambil menikmati hidup di Ubud. Miguel Covarrubias, Walter Spies, Antonio Blanco adalah beberapa diantara mereka yang menghabiskan hidupnya di Ubud. Ubud kemudian dikenal sebagai International Arts Village dengan banyaknya museum dan aktivitas seni budaya yang kental dari masyarakatnya. Sebagai destinasi budaya, Ubud juga mendapatkan berbagai gelar kehormatan. Pada tahun 2013 misalnya, Ubud dinobatkan sebagai salah satu kota terbaik di Asia oleh Conde Nast (CNN Traveler, 2013). Ubud meraih skor tertinggi 82,5 berdasarkan beberapa indikator, termasuk atmosfer, seni dan budaya, penginapan, restoran, situs, keramahan penduduk setempat, dan fasilitas belanja (Jakarta Post. 2010). Salah satu elemen yang mendukung Ubud sebagai pemenang adalah pada kriteria restoran dan warung makan. Nilai Ubud (72,5) bahkan diatas kompetitornya seperti Bangkok (71,3), Luang Prabang (69,8) dan Siem Reap (63,8). Hal ini menunjukkan Ubud memiliki potensi besar pada kuliner.

Transcript of 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai...

Page 1: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Popularitas Ubud sebagai salah satu destinasi wisata budaya dunia sudah

tidak diragukan lagi. Sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, Ubud mampu

menarik perhatian wisatawan; seniman, komponis dan sarjana Barat datang

mencipta dan mengadakan riset sambil menikmati hidup di Ubud. Miguel

Covarrubias, Walter Spies, Antonio Blanco adalah beberapa diantara mereka yang

menghabiskan hidupnya di Ubud. Ubud kemudian dikenal sebagai International

Arts Village dengan banyaknya museum dan aktivitas seni budaya yang kental

dari masyarakatnya.

Sebagai destinasi budaya, Ubud juga mendapatkan berbagai gelar

kehormatan. Pada tahun 2013 misalnya, Ubud dinobatkan sebagai salah satu kota

terbaik di Asia oleh Conde Nast (CNN Traveler, 2013). Ubud meraih skor

tertinggi 82,5 berdasarkan beberapa indikator, termasuk atmosfer, seni dan

budaya, penginapan, restoran, situs, keramahan penduduk setempat, dan fasilitas

belanja (Jakarta Post. 2010). Salah satu elemen yang mendukung Ubud sebagai

pemenang adalah pada kriteria restoran dan warung makan. Nilai Ubud (72,5)

bahkan diatas kompetitornya seperti Bangkok (71,3), Luang Prabang (69,8) dan

Siem Reap (63,8). Hal ini menunjukkan Ubud memiliki potensi besar pada

kuliner.

Page 2: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

2

Pada tahun 2015 lalu, Ubud juga menjadi salah satu destinasi terbaik dunia

menurut TripAdvisor melalui “Travellers 'Choice 2015” dengan ranking yang

mengalahkan destinasi lain di dunia seperti Cusco, Budapest dan Kathmandu.

Untuk tingkat Asia, Ubud bahkan menduduki posisi ketiga setelah Siem Rap

Kamboja dan Hanoi Vietnam (TripAdvisor, 2015). Peringkat Ubud mengalahkan

kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul.

Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya

museum dan puri yang melakukan pagelaran seni dan budaya hampir setiap

malam. Dunbar (2003) menyebutkan bahwa melalui pariwisata, musik dan tarian

menjadi penanda identitas Ubud sebagai destinasi budaya. Lebih lanjut lagi

disebutkan bahwa signifikansi inilah yang mendukung dan memberi garansi posisi

Ubud sebagai sebuah destinasi budaya yang sukses.

Wisatawan mengunjungi Ubud karena budayanya yang kental. Keinginan

untuk untuk belajar mengenai seni, budaya, tradisi dan way of life mayarakat

lokal, serta untuk mengetahui seni, sejarah dan budaya merupakan motivasi utama

wisatawan mengunjungi Ubud. Hal inilah yang menyebabkan pariwisata budaya

di Ubud mampu menggabungkan unsur waktu pendidikan, hiburan dan belanja.

Seperti yang disebutkan Kesner (2005) wisata budaya sering dihubungkan dengan

kunjungan dengan tujuan budaya (museum, galeri, monumen bersejarah, museum

rakyat atau pameran tertentu lanskap budaya dan tempat-tempat menarik lainnya)

di mana tujuan mempelajari budaya tersebut mendominasi keinginan untuk

berwisata.

Page 3: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

3

Perkembangan Ubud sebagai destinasi budaya juga membawa Ubud

memiliki atribut baru, yaitu sebagai destinasi wisata wellness dan tujuan wisata

kuliner di Bali. Masakan lokal dengan ciri khas Bali juga sangat mudah untuk

ditemui di Ubud. Sebut saja Ibu Oka, Ibu Mangku, Bebek Tepi Sawah, dan

sebagainya. Rumah-rumah makan lokal tersebut telah mampu manciptakan brand

image Ubud sebagai destinasi kuliner. Sayang sekali sampai saat ini masih belum

ada publikasi ilmiah yang mengkaji mengenai perkembangan Ubud sebagai

destinasi kuliner. Kuliner seolah luput dari penelitian para peneliti lokal maupun

internasional yang melakukan riset di Ubud.

Popularitas Ubud sebagai destinasi wisata kuliner tidak terlepas dari

pesatnya perkembangan teknologi. Setiap wisatawan memiliki kemampuan untuk

berbagi pengalaman kulinernya di Ubud ke dunia digital. Melalui media sosial,

wisatawan dapat berbagai pengalaman dengan upload foto sebelum makan. Hal

inilah yang kemudian mendorong teman maupun kolega wisatawan tersebut untuk

datang dan ikut mencicipi kuliner lokal dari destinasi tersebut.

Di salah satu portal traveler online seperti TripAdvisor misalnya, terdapat

lebih dari 70 ribu review dari 550 tempat makan yang terdaftar pada situs tersebut.

Popularitas Ubud sebagai destinasi kuliner juga terlihat dari banyaknya posting di

sosial media seperti Instagram. Hastag seperti #ubudfoodfestival #kulinerubud

#ubudrestaurants begitu populer dan memiliki posting sampai dengan 3 ribu-an.

Dalam hashtag #ubud dan #ubudbali yang jumlahnya lebih dari 700 ribu post,

atribut Ubud sebagai destinasi kuliner diperkuat dengan banyaknya posting

mengenai makanan dan kuliner lokal. Dalam situs video online YouTube,

Page 4: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

4

terdapat lebih dari 29 ribu posting dengan kata kunci “Ubud Food” dimana

jumlah viewers untuk masing-masing video tidak kurang dari 300 view. Salah satu

video yang diposting kurang dari 1 minggu, bahkan sudah memiliki lebih dari 16

ribu viewers.

Fenomena yang terjadi diatas semakin mengkonfirmasi penelitian-

penelitian terdahulu bahwa kuliner merupakan bagian yang sangat penting dari

budaya suatu daerah. Namun sayang, kajian Ubud cenderung terfokus pada Ubud

sebagai destinasi budaya bukan Ubud sebagai destinasi kuliner. Padahal kuliner

merupakan hasil sebuah destinasi yang memadukan lanskap, lingkungan, budaya

dan warisan (Beer et al., 2002). Dari sudut pandang ekonomi, kuliner adalah

kebutuhan fisiologis sehingga hampir 100% dari wisatawan menghabiskan uang

untuk makanan di mana mereka pergi untuk liburan atau perjalanan (Shenoy,

2005).

Kuliner sebagai bagian dari pariwisata budaya dan bentuk penting dari

konsumsi wisata, sebagian besar telah diabaikan dalam literatur pariwisata dan

hospitaliti (Cohen dan Avieli, 2004). Mengabaikan hal ini disebabkan karena

gagasan tradisional bahwa kuliner adalah 'sumber daya pendukung' (Godfrey dan

Clarke, 2000) yang melengkapi daya tarik tujuan untuk wisatawan, dan juga

dengan pandangan konvensional bahwa makan saat bepergian adalah 'mendukung

pengalaman konsumen' (Quan dan Wang, 2004), yang sebagian besar merupakan

perpanjangan dari rutinitas sehari-hari wisatawan. Namun dalam beberapa tahun

terakhir, terdapat peningkatan jumlah literatur mengenai kuliner dan destinasi

tujuan wisata yang menjadi salah satu aspek yang paling penting dari ekspresi

Page 5: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

5

budaya (Handszuh, 2000; Rand et al, 2003; Cohen dan Avieli, 2004; Selwood,

2003; Brownlie et al, 2005; Rand dan Heath, 2006). Pentingnya kuliner dan

wisata kuliner bagi wisatawan didukung oleh banyak peneliti (Telfer dan Wall,

2000; Hjalager dan Richards 2002; Hall dan Sharples 2003; Kivela dan Crotts,

2006; Okumus et al, 2007; Sims 2009). Minat ini didorong oleh peningkatan

jumlah destinasi yang memanfaatkan sumber daya kuliner mereka di dalam

mempromosikan dan membedakan destinasinya dengan destinasi pesaing,

misalnya, Australia, Selandia Baru, Italia, dan Singapura (Chang et al, 2010; Hall

dan Mitchell, 2002; Scarpato 2002).

Telfer dan Wall (2000) mengemukakan bahwa pengeluaran untuk makan

selama liburan sekitar sepertiga dari total pengeluaran wisata. Selain itu, Enteleca

Research and Consulting (2000) dalam sebuah studinya di Inggris juga

melaporkan bahwa sekitar 72% dari orang yang mengunjungi sebuah destinasi

tertarik pada kuliner lokal selama liburan mereka, dan salah satu indikator

kepuasan mereka terletak pada pengalaman mereka mencicipi makanan lokal.

Dengan kata lain, tren pariwisata saat ini adalah semakin banyak orang bepergian

untuk mencari pengalaman gastronomi baru atau bersedia untuk mencicipi

makanan lokal di tujuan di mana mereka pergi untuk liburan (Horng dan Tsai,

2010). Mengingat angka ini, bisa dikatakan bahwa konsumsi makanan lokal

dalam tujuan wisata mungkin menjadi kontribusi utama untuk ekonomi lokal

(Kivela dan Crotts, 2006; Telfer dan Wall, 2000).

Dalam perspektif Ubud, perkembangan kuliner lokal juga tidak terlepas

dari partisipasi masyarakat yang ikut mengambil andil dan terlibat di dalamnya.

Page 6: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

6

Bagaimanapun juga master chef untuk masakan Bali adalah orang Bali, sehingga

peran serta masyarkat di dalam membentuk atribut baru pariwisata budaya

menjadi sangat kuat. Tokoh-tokoh kuliner ini juga berkontribusi terhadap

pembangunan ekonomi lokal, baik dari penyerapan tenaga kerja, peningkatan

kesejahteraan masyarakat sekaligus menciptakan competitive advantage baru

untuk Ubud. Sayang sekali peran tokoh kuliner di Ubud jarang diekspos peneliti

lokal maupun internasional. Ubud hanya dikenal dari tokoh-tokoh budaya-nya

saja, bukan dari tokoh kuliner yang menjaga warisan budaya tak benda tersebut.

Globalisasi juga membawa transformasi besar dalam produksi kuliner

untuk konsumsi wisatawan (Oosterveer, 2006; Wilhelmina et al, 2010). Sejumlah

studi menunjukkan bahwa kuliner dalam pariwisata juga tunduk pada pengaruh

makro globalisasi (Hall dan Mitchell, 2002a; Richards, 2002; Symons, 1993;

Torres, 2002). Misalnya, ada kekhawatiran bahwa imperialisme budaya

(Tomlinson, 1991) dan McDonaldisation (Ritzer, 1995) dapat menyebabkan

homogenisasi yang dapat menghasilkan “global palate” serta masakan global

(Richards, 2002; Ritzer, 1995; Symons, 1993). Kekuatan homogenisasi

globalisasi demikian biasanya dilihat sebagai ancaman bagi hubungan yang erat

antara kuliner dengan sebuah destinasi, atau seperti yang disampaikan oleh

Trubek (2008) “taste of place” atau “terroir”. Oleh karena itu, globalisasi secara

signifikan dapat mempengaruhi identitas gastronomi lokal dan image dari lanskap

gastronomi destinasi (Fox, 2007; Harrington, 2005), dan dapat mengakibatkan

perampasan dari “taste of place” bagi penduduk setempat dan wisatawan

(Richards, 2002). Hasil seperti itu akan mengancam tujuan yang memanfaatkan

Page 7: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

7

kuliner lokal dan produk gastronomi sebagai sumber daya tarik wisata atau

sebagai pembeda utama.

Sementara persepsi umum menyebutkan bahwa globalisasi menimbulkan

ancaman bagi identitas dan image dari kuliner lokal, Ubud memberikan fenomena

lain. Image Ubud sebagai destinasi wisata kuliner lokal merupakan atribut baru

yang menjadikan budaya kuliner Ubud semakin kuat akibat pariwisata. Tidak

hanya kuliner gaya barat, pengembangan wisata kuliner di Ubud, dapat dilihat

dari banyaknya restoran lokal yang menyajikan kuliner khas Bali. Justru dengan

adanya pariwisata budaya kuliner dapat “dijual” sehingga menghasilkan profit

bagi pedagang dan benefit bagi masyarakat.

Kuliner lokal adalah komponen fundamental dari atribut sebuah destinasi,

menambah berbagai atraksi dan keseluruhan pengalaman wisata (Symons, 1999).

Yurseven dan Kaya (2011) juga menyebutkan bahwa kuliner lokal merupakan

cara terbaik untuk melihat warisan budaya tak benda sebuah destinasi melalui

konsumsi. Selain itu, wisata kuliner di satu sisi mendukung produsen, dan

masyarakat lokal untuk memberikan hasil budi daya lokal untuk menghasilkan

makanan berkualitas untuk wisatawan (Long, 2004). Ini menunjukkan bahwa

pengembangan wisata kuliner di sebuah destinasi wisata dapat menghasilkan

manfaat bagi masyarakat lokal dan wisatawan yang berkunjung ke destinasi

tersebut (Nummedal dan Hall, 2006; Okumus et al, 2007; Sims, 2009). Secara

lebih mengkhusus jenis kuliner dan minuman lokal yang ditawarkan untuk

wisatawan dapat dilihat sebagai sumber potensial yang secara signifikan mampu

berkontribusi untuk memberikan keberlanjutan ekonomi, budaya dan lingkungan

Page 8: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

8

di sebuah destinasi wisata. Kuliner juga dapat menjadi media besar untuk

membedakan sebuah destinasi dengan destinasi lainnya.

Lebih lanjut Hjalager (2003) menyatakan bahwa tren wisatawan saat ini

adalah mencari kombinasi kuliner dan minuman lokal serta pengalaman makan

yang mendorong pembelajaran. Untuk wisatawan dengan tipelogi ini, makanan di

sebuah destinasi tidak hanya berfungsi untuk memuaskan rasa lapar tetapi,

penting bagi mereka untuk mendapatkan pengetahuan yang mendalam tentang

masakan lokal dan budaya di destinasi tersebut. Kuliner lokal sebagai produk

pariwisata yang ditawarkan kepada wisatawan dapat berupa pembelian langsung

dari sebuah agro wisata dan di restoran, yang memungkinkan produk lokal ada

dalam menu mereka. Oleh karena itu petani sebagai produsen bahan pangan lokal

untuk wisata kuliner berkontribusi besar keberlanjutan sebuah destinasi wisata

(Nummedal dan Hall, 2006). Manfaat ekonomis yang diterima oleh petani melalui

pariwisata secarang langsung akan berkontribusi terhadap peningkatan

kesejahteraan petani sekaligus mengurangi dampak negatif sektor pariwisata

terhadap sektor pertanian. Dalam kaitannya dengan Ubud, alih fungsi lahan untuk

perumahan maupun hotel tidak seperti di Badung dan Denpasar.

Di bidang pariwisata dan hospitaliti, telah ada berbagai upaya untuk

menentukan dan meneliti faktor yang mempengaruhi wisatawan di dalam

mengkonsumsi kuliner lokal di daerah tujuan wisata (Ryu dan Jang, 2006; Sparks,

2007; Kim et al, 2009). Sayang sekali sampai saat ini studi mengenai wisata

kuliner menjadi atribut baru di dalam pengembangan pariwisata budaya di sebuah

destinasi masih sangat minim. Selain Putra (2014), belum ada penelitian yang

Page 9: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

9

mengkaji mengenai tokoh-tokoh kuliner di Ubud termasuk penelitian mengenai

factor-faktor yang mendukung kuliner lokal di Ubud. Untuk mengisi kekurangan

dalam literatur pariwisata serta untuk memberikan bukti-bukti yang lebih

komprehensif, maka topik dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan

bagaimana proses Ubud mendapatkan atribut baru sebagai destinasi wisata

kuliner, siapa tokoh yang berperan serta apa manfaat pengembangan kuliner bagi

atribut pariwisata budaya di Ubud.

1.2 Perumusan Masalah

Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah perkembangan dan siapakah tokoh kuliner Bali di destinasi

wisata Ubud?

2. Faktor-faktor apakah yang mendukung kuliner Bali dapat berkembang di

Ubud?

3. Apa manfaat pengembangan kuliner bagi atribut pengembangan wisata

budaya di Ubud?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memberikan kontribusi

terhadap pengembangan pariwisata budaya di Ubud melalui wisata

kuliner.

Page 10: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

10

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini yaitu :

1. Mengetahui perkembangan kuliner Bali serta faktor-faktor yang

mendukung kuliner Bali dapat berkembang di Ubud

2. Mengetahui peran tokoh kuliner Bali serta usaha mereka di dalam

mengangkat kuliner Bali di Ubud

3. Mengetahui manfaat pengembangan kuliner bagi atribut pengembangan

pariwisata budaya di Ubud

1.4 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut:

1.4.1 Manfaat akademis

Menemukan dan menerapkan konsep pengembangan wisata kuliner Bali

sebagai bentuk revitalisasi warisan budaya sehingga dapat menjadi acuan

bagi penelitian-penelitian terkait.

1.4.2 Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis kepada:

1. Masyarakat Ubud

Sebagai bahan referensi bagi masyarakat Ubud untuk memajukan

pariwisata dan sekaligus mengembangkan kuliner Bali. Hasil

penelitian ini juga diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan

pertimbangan bagi masyarakat untuk mengembangkan program-

program kepariwisataan berbasiskan budaya.

Page 11: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

11

2. Institusi dan pihak lain yang berkepentingan

Sebagai titik tolak dan bahan pertimbangan bagi pemerintah

Kabupaten Gianyar di dalam penyusunan kebijakan pengembangan

wisata kuliner Bali

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah mengkaji bagaimana wisata kuliner

mengembangkan budaya di Ubud, serta implikasinya terhadap masyarakat lokal.

Warisan budaya kuliner akan direpresentasikan oleh masyarakat lokal maupun

rumah makan yang menjadikan kuliner khas Bali sebagai menu utama dalam

rumah makan tersebut

Page 12: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KAJIAN TEORI DAN MODEL

PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Kajian Kuliner

Perkembangan pariwisata secara tidak langsung tidak dapat lepas dari

kuliner. Kajian mengenai kuliner saat ini menjadi cukup populer untuk para

peneliti lokal maupun internasional dalam perspektif yang berbeda. Budaya

kuliner di Ubud justru menjadi kuat akibat pariwisata. Hal ini tidak lepas dari

munculnya peneliti-peneliti yang mulai fokus terhadap kajian kuliner atau

gastronomi, seperti Putra (2014), Rumadana (2013), Elistyawati (2012), Trisna

(2012), Ardika (2011), Pinatih (2011), deNeefe (2010) dan Reynolds (1998).

Putra (2014) membahas mengenai perjalanan empat srikandi kuliner Bali

di dalam peranannya membangunan pariwisata berkelanjutan. Beberapa restoran

seperti Babi Guling Ibu Oka, Bebek Bengil, Bebek Tepi Sawah dan Nasi Ayam

Kedewatan memperkuat citra Ubud sebagai destinasi wisata budaya. Popularitas

Ubud sebagai destinasi seni pertunjukan dan seni rupa diperkuat oleh warisan

budaya kuliner. Putra juga menyebutkan bahwa pariwisata Bali menunjukkan

gejala yang baik untuk hal ini. Semangat mempertahankan dan mengembangkan

budaya daerah semakin kuat sejalan dengan timbulnya pemahaman bahwa

pariwisata dapat memberikan dampak negatif dalam kehidupan kebudayaan lokal.

Konsep dan kredo pariwisata budaya, yakni mengembangkan kepariwisataan

Page 13: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

13

dengan menjadikan budaya sebagai daya tarik sekaligus sebagai tujuan akhir

untuk pengembangan dan pelestariannya, sangat relevan dalam membangun

semangat glokal, atau semangat mengglobalkan yang lokal.

Serupa dengan kajian kuliner oleh Putra (2014), Rumadana (2013) secara

spesifik juga membahas bagaimana sebuah tradisi Ulihan di Desa Belimbing juga

dapat menjadi sebuah potensi daya tarik wisata gastronomi. Elistyawati (2012)

dalam tesisnya mengkaji kuliner bebek sebagai menu dan daya tarik pariwisata di

Ubud. Trisna (2012) juga menyatakan bahwa meskipun keunggulan suatu

destinasi bukan terletak pada kuliner, namun potensi budaya yang unik terutama

yang terkait dengan pertanian dan budaya lainnya perlu mendapat perhatian di

dalam pengembangan destinasi sebagai daerah pariwisata. Seni kuliner Bali

sebagai salah satu aspek kebudayaan Bali diadaptasi sehingga dapat menjadi

wisata boga (wisata kuliner). Adaptasi tersebut dari segi bentuk, tujuan dan makna

yang meliputi adaptasi bahan makanan, rasa, pengolahan, penataan/penyajian dan

cara makan. Seni kuliner Bali sebagai penunjang pariwisata berdampak budaya,

sosial, rasa bangga serta pemenuhan kebutuhan harga diri.

Dalam perspektif yang sedikit berbeda, Pinatih (2011) menyebutkan

bahwa kandungan antioksidan yang tinggi pada base genep (bumbu lengkap),

base wangen (bumbu perasa), dan base penyangluh (bumbu pengharum)

membuat kadar kolesterol Babi Guling menjadi sangat rendah sehingga menjadi

keunggulan kompetitif tersendiri bagi kuliner khas Bali ini. Penelitian Ardika

(2011) juga melihat bagaimana kekayaan kuliner nusantara sangat potensial untuk

dikembangkan sebagai daya tarik wisata sekaligus memperkuat citra destinasi

Page 14: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

14

tersebut. DeNeefe (2010) pun melihat potensi yang sangat luar biasa pada kuliner

Bali tersebut apalagi setelah ditambahkan elemen “experience” melalui Balinese

cooking class di mana wisatawan diberikan kesempatan mulai dari berbelanja ke

pasar sampai mengelola masakan Bali dengan cara tradisional.

Kajian kuliner Bali dalam penelitian Reynolds (1993: 48) menyebutkan

bahwa kuliner merupakan salah satu otensitas budaya yang dapat dinikmati

wisatawan saat berkunjung ke sebuah destinasi dengan harga terjangkau.

Wisatawan menginginkan otentisitas kuliner dari sebuah destinasi namun

cenderung takut untuk keluar dari “tourist buble”-nya. Sangat jarang wisatawan

yang berani mencicipi keeksotisan siput laut dari Kanton atau bahkan mencicipi

Tom Yam pedas khas Thailand. Akibatnya, wisatawan cenderung mengeksplorasi

masakan yang ditawarkan hotel ditempatnya menginap. Sayangnya, tidak semua

hotel menyajikan masakan otentik destinasi tersebut.

Dalam studinya, Reynolds menyebutkan bahwa kuliner Bali sangat jarang

ditemui di hotel dan restoran yang menjual makanan khas Indonesia. Dari tahun

ke tahun persentase masakan Bali yang dihidangkan mengalami penurunan baik

dari segi kuantias masupun kualitas. Pada tahun 1992, terhitung hanya 16%

restaurant di Sanur yang menyajikan masakan Bali yang otentik Bali. Makanan

nasional (nasi goreng, mie goreng, gado-gado dan sate) lebih popular di menu list

dibandingkan masakan Bali. Kalaupun ada maka rasa masakan tersebut sudah

sangat kebaratan. Reynolds mempertanyakan eksistensi masakan Bali yang

terancam punah tidak hanya bagi wisatawan namun juga bagi masyarakat lokal.

Page 15: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

15

Melalui beberapa penelitian yang sudah disebutkan diatas tampak bahwa

kuliner merupakan salah satu bentuk budaya otentik sebuah destinasi yang dapat

dimanfatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun dalam

penelitian terdahulu, masih belum tampak bahwa sebenarnya kuliner juga

merupakan bagian dari warisan budaya yang keberadaan dapat dilestarikan

melalui pariwisata. Oleh sebab itu maka kajian kuliner dalam penelitian ini

difokuskan kepada wisata kuliner sebagai atribut baru pariwisata budaya di Ubud.

2.1.2 Kajian Pariwisata Warisan Budaya

Diskusi dan penelitian mengenai pariwisata dan budaya telah dilakukan

banyak peneliti. The Tourist karya MacCannell pada tahun 1976 misalnya

mengeksplorasi mengenai dampak-dampak sosio-kultural pariwisata terhadap

sebuh destinasi. MacCannel menyebutkan bahwa komodifikasi dianggap sebagai

bentuk penghancur otentisitas dari budaya lokal dengan mempertunjukan budaya

atau sering disebut sebagai “budaya palsu” yang dibuat secara khusus untuk

konsumen eksternal (wisatawan).

Lebih lanjut Cohen (1988) dalam perspektif yang sama juga menyatakan

bahwa saat pariwisata dianggap sebagai suatu aktifitas ekonomi maka saat itu juga

komodifikasi budaya sangat mungkin terjadi. Objek dan atraksi yang dulunya

diperuntukkan bagi konsumsi lokal, kemudian diarahkan ke pasar pariwisata dan

oleh sebab itu menjadi tereksploitasi bahkan direndahkan dan diremehkan.

Smith (1978), Picard (1996), Cohen (2001) dan Cole (2005), bahkan

menyatakan secara eksplisit bahwa keramahtamahan, pertunjukan, atraksi dan

Page 16: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

16

kesenian merupakan budaya masyarakat lokal, yang menjadi terkomodifikasi atau

setidaknya “berorientasi” kepada wisatawan. Picard secara tegas menyebutkan

bahwa meskipun akan mendatangkan keuntungan, pariwisata layaknya gelombang

pasang dan penyakit yang menular serta merupakan bentuk pemerkosaan terhadap

nilai-nilai budaya masyarakat

Melihat pendapat para peneliti tersebut, tentu saja perkembangan

pariwisata di Bali yang bernafaskan budaya, menjadi sebuah paradoks. Dengan

semakin banyaknya wisatawan yang datang maka prediksi-prediksi degradasi

budaya semakin didengungkan para peneliti yang khawatir akan punahnya budaya

Bali. Secara kontradiktif terdapat juga pendapat-pendapat optimis yang

menyatakan bahwa budaya Bali begitu elastis dan fleksibel sehingga budaya Bali

akan tetap bertahan dalam jangka waktu yang lama.

Antropologis Philip McKean (1978) misalnya memiliki pandangan bahwa

budaya Bali yang kaya namun secara ekonomi tidak sejahtera bertemu dengan

wisatawan yang miskin budaya namun secara ekonomi sejahtera, dapat

menciptakan sinergitas diantara keduanya. Nilai-nilai budaya Bali dapat “ditukar”

menjadi nilai ekonomis sehingga masyarakat Bali yang dulunya miskin dapat

lebih sejahtera karena pariwisata. Lebih lanjut menurut McKean, pertukaran ini

tidak berimplikasi negatif kepada masyarakat Bali karena tidak ada perubahan

yang signifikan terhadap budaya.

Shaw dan William (1997) kemudian menyebutkan bahwa dalam kegiatan

pariwisata terdapat sepuluh elemen budaya yang menjadi daya tarik wisata yakni:

1) kerajinan, 2) tradisi, 3) sejarah dari suatu tempat/daerah, 4) arsitektur, 5)

Page 17: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

17

makanan lokal/tradisional, 6) seni dan musik, 7) cara hidup suatu masyarakat, 8)

agama, 9) bahasa, 10) pakaian lokal/tradisional; di mana nantinya elemen budaya

ini dapat dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Gambar 2.1

Elemen Budaya sebagai Daya Tarik Wisata Sumber: Shaw dan William (1997)

Pendapat Shaw dan William ini kemudian dipertegas oleh Fyall (2005),

Swarbrooke (2006) dan Hakim (2009) yang menyebutkan bahwa alam dan sosial

budaya merupakan jantung dari setiap destinasi wisata yang harus memberikan

kontribusi positif terhadap lingkungan dan masyarakat itu sendiri.

Lebih lanjut Fyall (2005) serta Swarbrooke (2006) menyatakan bahwa

elemen-elemen budaya inilah yang nantinya akan menciptakan otentisitas sebuah

destinasi di mana nantinya dapat menciptakan pengalaman wisatawan yang

Page 18: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

18

otentik. Hal ini kemudian yang menjadi kekuatan dalam suatu destinasi, karena

saat budaya menjadi fokus utama wisatawan datang, maka destinasi tersebut tidak

akan mudah direplikasi; tidak seperti atraksi buatan manusia yang sangat mudah

dibuat di destinasi lain. Karenanya kekuatan sebuah destinasi sesungguhnya tidak

lepas dari partisipasi masyarakatnya di dalam menciptakan otentisitas destinasi

tersebut, Yeoman (2007).

Dalam perspektif Bali, penelitian Ardika (2003) disebutkan bahwa

persepsi wisatawan terhadap sepuluh komponen budaya Bali sangat bervariasi.

Hasil survei yang terhadap sepuluh komponen budaya Bali pada beberapa

kawasan wisata di Bali menunjukkan bahwa di kawasan Tanah Lot, makanan

tradisional dan tradisi masyarakat Bali sangat menarik wisatawan. Kawasan

Ubud, tradisi dan cara hidup orang Bali menjadi hal yang paling menarik

wisatawan, sedangkan kawasan Sanur dan Kintamani yang paling menarik

wisatawan adalah tradisi. Kawasan Kuta dan Nusa Dua ternyata tradisi dan

makanan lokal merupakan komponen budaya Bali yang paling menarik

wisatawan.

Budaya dan warisan budaya menjadi sangat penting di era cultural

homogenization ini karena berkaitan erat dengan identitas, harga diri, dan

martabat suatu negara. Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO, 1997) bahkan

memprediksi bahwa pariwisata budaya akan menjadi salah satu dari lima segmen

pasar pariwisata utama di masa depan, dan mencatat bahwa pertumbuhan di

daerah ini akan menyajikan tantangan yang meningkat dalam hal pengelolaan

pengunjung mengalir ke situs budaya.

Page 19: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

19

Pariwisata warisan budaya dipandang sebagai perjalanan dengan tujuan

untuk memahami lingkungan budaya, termasuk lanskap, seni visual dan

pertunjukan, gaya hidup, nilai-nilai, tradisi dan acara. Sangat penting untuk

menekankan bahwa pariwisata warisan budaya tidak hanya melibatkan warisan

berwujud atau terlihat (tangible heritage) seperti situs dan pola pemukiman, tetapi

juga warisan budaya tak benda (intangible heritage) seperti struktur sosial, tradisi,

nilai-nilai, dan agama.

Layton (1989), Hodder (1991), Cleere (1990) dan Little (2002)

menyatakan bahwa warisan budaya tidak hanya memiliki publik yang tunggal

tetapi jamak. Masing-masing pihak merasa punya kepentingan dan ingin

mengambil manfaat dari warisan budaya. Hal ini tentu saja wajar, karena warisan

budaya memang dapat memiliki nilai penting yang berbeda bagi setiap pihak. Ada

yang menilai pentingnya suatu warisan budaya dari segi ilmu pengetahuan (untuk

pengajian dan pengujian akademik), etnik (jatidiri dan latar kehidupan suatu

bangsa tertentu), estetik (bukti hasil seni yang adiluhung), maupun publik

(kepentingan masyarakat secara umum) termasuk untuk pendidikan masyarakat,

daya tarik wisata, serta keuntungan ekonomis, Schiffer dan Gumerman (1977).

Dengan acuan berbagai penelitian tersebut diatas, maka penelitian ini turut

mengkaji bagaimana pariwisata dapat dapat berkontribusi secara positif terhadap

pengembangan kuliner sebagai warisan budaya tak benda (intangible) yang

dimiliki oleh masyarakat Ubud di Bali. Selain itu penelitian akan mengkaji

mengenai bagaimana perkembangan kuliner Bali terjadi di Ubud serta faktor-

faktor yang mendukung perkembangan tersebut

Page 20: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

20

2.1.3 Kajian Keberlanjutan Budaya

Perkembangan pariwisata pada suatu daerah seringkali mengakibatkan

komersialisasi dan komodifikasi budaya. Smith (1978) disebutkan bahwa antara

pariwisata dan budaya merupakan bentuk hubungan satu arah yang memberikan

dampak negatif bagi budaya masyarakat setempat namun budaya lokal sama

sekali tidak mempengaruhi pariwisata. Hal ini dipertegas dengan banyaknya

literatur yang menyatakan bahwa budaya dan masyarakat lokal merupakan obyek

pasif yang sama sekali tidak mampu untuk membentengi diri dari pengaruh

langsung pariwisata. Pemikiran-pemikiran tersebut merupakan hal yang sangat

dominan sejak pariwisata berkembang di Bali sampai saat ini. Degradasi budaya

masyarakat Bali merupakan dampak negatif pariwisata yang terus menerus

ditunjukkan dalam berbagai penelitian, jurnal maupun publikasi ilmiah lainnya.

Secara teoritis Cohen (1988, dalam Pitana (2003) menyatakan bahwa

dampak sosial budaya akibat pariwisata dikelompokan menjadi (1) dampak

terhadap keterkaitan dan keterlibatan masyarakat dengan masyarakat yang lebih

luas; (2) dampak terhadap impersonal antara anggota masyarakat; (3) dampak

terhadap dasar-dasar organisasi sosial; (4) dampak terhadap migrasi dari dan

kedaerah pariwisata; (5) dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat (6)

dampak terhadap pola pembagian kerja; (7) dampak terhadap stratifikasi dan

mobilisasi sosial; (8) dampak terhadap distribusi pengaruh kekuasaan; (9) dampak

tehadap penyimpangan-penyimpangan sosial dan (10) dampak terhadap bidang

kesenian dan adat istiadat.

Page 21: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

21

Dalam pemaparan Cohen tersebut, dampak kesenian, adat istiadat dan

agama merupakan aspek-aspek yang selalu menarik untuk dikaji karena

pariwisata yang berkembang di Bali adalah pariwisata budaya. Pariwisata dan

budaya di Bali justru berada di dalam rantai mutualisme dinamis dan saling

berkaitan satu sama lain yang kemudian divisualisasikan dengan analogi pohon,

Hassal (1992). Konsep tree analogy, merupakan jawaban mengapa budaya Bali di

Ubud sampai saat ini tetap ada meskipun telah diintrusi pariwisata bahkan sejak

tahun 1930-an

Gambar 2.2

Visualisasi tree analogy dari ide Pitana (2006), Picard (1996), Geriya (1991), McKean (1978)

Dalam analogi pohon sebagai ekspansi dari konsep pariwisata budaya di

Bali, yang menjadi akar dari pohon tersebut adalah Agama Hindu. Batangnya

yang kuat adalah budaya secara umum, baik berwujud (tangible) maupun tidak

berwujud (intangible). Daunnya yang lebat dan indah adalah kesenian Bali baik

yang berupa kesenian visual (visual arts) maupun kesenian atraksi (performing

Page 22: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

22

arts). Pariwisata adalah bunga dan buah yang dapat “dipanen” sehingga nantinya

dapat diperuntukan bagi kesejahteraan masyarakatnya. Hasil dari pohon yang

berupa bunga dan buah inilah yang dapat “dijual”, namun pendapatan yang

dihasilkan dari penjualan tersebut harus diinvestasikan kembali ke pohon tersebut.

Saat akar dan batang pohon tersebut kuat maka analoginya akan mampu

menghasilkan daun yang sehat serta buah dan bunga yang manis.

Dalam konsep keberlanjutan budaya melalui analogi pohon seperti yang

tampak diatas, tampak bahwa sebenarnya budaya yang dianalogikan sebagai

batang pohon tidak mungkin dijual untuk kebutuhan pariwisata. Padahal yang

menjadi daya tarik utama dalam pengembangan pariwisata Bali adalah budaya.

Jadi secara implisit, budaya-lah yang menjadi “komoditas” dari pengembangan

pariwisata di Bali. Maka tak salah jika banyak antropolog yang menyatakan

bahwa pariwisata-lah penyebab komodifikasi dan komersialisasi budaya. Oleh

sebab itu maka penelitian ini mengkaji manfaat pengembangan kuliner bagi

atribut pengembangan pariwisata budaya di Ubud

2.2 Konsep

Terdapat dua konsep yang perlu diperjelas di dalam penelitian ini yaitu

destination competitiveness dan wisata kuliner. Masing-masing konsep akan

dipaparkan secara singkat berikut ini.

2.2.1 Destination Competitiveness

Atribut wisata merupakan sesuatu yang esensial bagi sebuah destinasi.

Masing-masing destinasi memiliki atribut wisatanya masing-masing yang

Page 23: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

23

nantinya menjadi keunggulan kompetitif dari destinasi tersebut. Atribut yang

dimiliki sebuah destinasi akan menciptakan image atau branding tertentu di benak

wisatawan. Oleh sebab itu atribut wisata pada sebuah desinasi merupakan pull

factor yang membuat wisatawan datang ke suatu destinasi.

Destination competitiveness dapat diukur melalui persepsi wisatawan

terhadap atribut wisata destinasi tersebut; bagaimana sebuah destinasi dapat

memfasilitasi kebutuhan dari pasar wisatawan yang dituju. Etchner dan Ritchie

(1993) menyimpulkan dalam penelitian mereka bahwa setiap tujuan memiliki

kombinasi atribut fungsional atau tangible dan atribut psikologis atau intangible.

Beberapa penulis (Goodrich, 1977; Holloway, 1986; Shih, 1986; Van Raaij, 1986)

juga melihat ke dalam atribut destinasi wisata. Alasannya adalah bahwa

wisatawan umumnya memiliki pengetahuan yang terbatas tentang destinasi yang

belum pernah dikunjungi dan oleh sebab itu, wisatawan sering memilih

berdasarkan informasi simbolis yang diperoleh baik dari media atau dari

kelompok sosial (Mok dan Armstrong, 1996). Ada beberapa studi (Baker dan

Crompton, 2000; Kozak, 2002; Yoon dan Uysal, 2005; Alegre dan Garau 2010;

dan sebagainya) dalam literatur pariwisata menunjukkan bahwa kepuasan

wisatawan ditentukan oleh bagaimana para wisatawan mengevaluasi atribut-

atribut yang berkaitan dengan destinasi tujuan wisata.

Correia et al (2007) menyatakan, faktor yang menarik wisatawan untuk

datang ke sebuah destinasi adalah; core attractions berupa kondisi lingkungan

sosial, tempat belanja, dan aktivitas wisatawan yang bisa dilakukan, landscape

features berupa kondisi alam dan budayanya, serta facilities seperti fasilitas dan

Page 24: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

24

pelayanan umum yang tersedia bagi para wisatawan. Citra sebuah destinasi

wisata, dapat dibentuk melalui komponen variabel yang dapat mewakili destinasi

tersebut ke dalam empat bagian, yaitu; places of interest and culture, resort

atmosphere, outdoor activities, scenery, adventure and beach (Ibrahim, 2005).

Weaver et al (2007) mengeksplorasi dampak dari variabel pengalaman dan

perjalanan terkait sebelumnya pada evaluasi destinasi, meneliti hubungan antara

dua set variabel: set pertama terdiri dari lima variabel yang disebut sebagai

pengalaman perjalanan sebelumnya (jumlah negara yang dikunjungi, jumlah dari

negara yang dikunjungi untuk kesenangan) dan karakteristik perjalanan (lama

menginap, jumlah orang yang berpergian, dan modus perjalanan); set kedua

variabel disebut sebagai variabel evaluasi destinasi (kepuasan, kualitas layanan,

nilai, dan kemungkinan untuk kembali). Secara umum, wisatawan "menciptakan"

image mereka sendiri terhadap destinasi melalui pengetahuan dan perasaan

mereka, atau dari pengaruh eksternal, seperti teman-teman dan kerabat, iklan,

perantara, dan pengalaman masa lalu mereka sendiri. Dengan cara ini, image

yang diproyeksikan oleh destinasi wisata melalui kegiatan promosi serta semua

sumber informasi yang dipergnakan wisatwan didalm pencarian sebuah destinasi.

Perbandingan antara image yang diproyeksikan destinasi dan image yang dialami

langsung oleh wisatawan haruslah sesuai (Andreu, et al., 2000).

Liem (2009) menjabarkan atribut-atribut yang menjadi destination

competitiveness sebagai berikut; (1) kondisi alam dan kegiatan luar ruangan

(nature dan outdoor activities, (2) seni dan budaya (arts and culture), (3) musik

dan kehidupan malam (music and night life), (4) makanan dan minuman (food and

Page 25: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

25

drink), (5) kondisi sosial (social and dating scene), (6) biaya hidup (living cost),

(7) pendidikan (education), (8) kesehatan (health), (9) akomodasi

(accommodation), dan (10) kepedulian terhadap lingkungan hidup (environmental

awarennes). Kesepuluh hal tersebutlah yang dipakai untuk wisatawan untuk

menilai dan membandingkan sebuah destinasi dengan destinasi lainnya.

Konsep destination competitiveness atau keunggulan kompetitif sebuah

destinasi inilah yang akan dipergunakan sebagai konsep untuk melandasi

penelitian ini. Bagaimanapun juga atribut baru yang dimiliki Ubud sebagai

destinasi wisata kuliner di Bali dapat menjadi bagian itegral yang memperkuat

keunggulan Ubud sebagai destinasi wisata budaya.

2.2.2 Wisata Kuliner

Pariwisata gastronomi atau wisata kuliner adalah jenis kunjungan atau

perjalanan yang didorong oleh minat makanan dan minuman lokal. Orang

melakukan perjalanan karena ingin memiliki pengalaman dalam mencicipi produk

kuliner yang dapat memberikan kesan dalam hidup mereka; dengan demikian,

identitas kuliner yang unik dan mengesankan adalah aset penting bagi kesuksesan

setiap tujuan wisata kuliner (Karim 2010; Zakarian 2010 dan Fox 2007). Dalam

hal ini, wisatawan bepergian untuk secara sengaja untuk mengeksplorasi dan

menikmati masakan khas yang identik dengan destinasi yang dikunjunginya.

Wisata kuliner didefinisikan oleh Hall dan Mitchell (2005: 74) dikutip

dalam Tikkanen (2007: 725) sebagai "kunjungan ke produsen primer dan

sekunder, festival makanan, restoran dan lokasi tertentu untuk mencicipi makanan

Page 26: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

26

dan / atau merasakan sendiri atribut dari destinasi tersebut yang menjadi

pendorong utama wisatawan melakukan perjalanan. Kuliner lokal bisa menjadi

daya tarik wisata (Hjalager dan Richards, 2002). Kuliner adalah daya tarik,

komponen produk, pengalaman, dan merupakan fenomena budaya (Tikkanen,

2007).

Menurut National Restaurant Association (NRA), lebih dari enam dari

sepuluh wisatawan (63 persen) dan 85 persen dari wisatawan kuliner menikmati

dan mencoba restoran baru hampir setiap malam selama perjalanan (NRA, 2007:

dikutip dalam Stewart, Bramble, dan Ziraldo, 2008:304). Kebiasaan makan

membantu wisatawan untuk memahami perbedaan antara budaya mereka sendiri

dan budaya destinasi tujuan (Hegarty dan O'Mahoney, 2001). Reynolds (1993)

juga menyebutkan bahwa mempelajari makanan dan minuman dari sekelompok

orang dapat membantu mereka untuk memahami gaya hidup sosial dan ekonomi

dari destinasi tujuan wisata. Wisatawan selalu mencari sesuatu yang berbeda dan

otentik pada setiap kegiatan perjalannya.

Disebutkan oleh Ontario Culinary Tourism Allience (2015), kuliner

membentuk hubungan dan membangun masyarakat. Wisata kuliner tidak hanya

menawarkan wisatawan rasa makanan yang otentik dari sebuah destinasi namun

juga berkontribusi terhadap perekonomian dunia yang berkelanjutan.

Food serves to connect us with the land, our heritage, and the people around us. It is a diverse and dynamic channel for sharing stories, forming relation- ships and building communities. By combining local food and drink with travel, food tourism offers both locals and tourists alike an authentic taste of place while contributing to a sustainable world economy.

Ontario Culinary Tourism Allience (2015)

Page 27: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

27

Kuliner lokal yang otentik secara langsung atau tidak langsung

berkontribusi terhadap berbagai elemen keberlanjutan di sebuah destinasi di

antaranya merangsang dan mendukung kegiatan pertanian dan produksi pangan,

mencegah eksploitasi otentisitas budaya, meningkatkan daya tarik destinasi,

pemberdayaan masyarakat, menghasilkan rasa kebanggaan, khususnya mengenai

makanan, serta memperkuat identitas destinasi dengan fokus pada pengalaman

kuliner (Telfer dan Dinding, 1996). Pengembangan wisata kuliner dengan fokus

terhadap kuliner lokal memiliki potensi besar untuk berkontribusi terhadap

keberlanjutan di bidang pariwisata, antara lain, memperluas dan meningkatkan

basis sumber daya pariwisata lokal, menambahkan nilai keaslian destinasi,

memperkuat ekonomi lokal (baik dari pariwisata dan perspektif pertanian), dan

menyediakan infrastruktur yang ramah lingkungan (Barrera dan Alvarado, 2008;

Bessiere, 1998; Boyne, Williams, dan Hall, 2001; Handszuh, 2000; Nummedal

dan Hall, 2006; Pratt, 2007).

Gastronomi atau kuliner adalah kekuatan pendorong penting dari budaya

dan merupakan kunci untuk mempertahankan dan mengembangkan pariwisata.

Dalam mengkonsumsi makanan yang diproduksi secara lokal kegiatan pariwisata

menjadi satu dengan masyarakat lokal. Minat wisatawan untuk menikmati

makanan lokal yang otentik oleh wisatawan mempromosikan praktek pertanian

lokal. Hubungan antara pariwisata dan produksi pangan telah dianggap sebagai

mekanisme untuk mendukung praktek pertanian berkelanjutan (Nummedal dan

Hall, 2006). Oleh karena itu wisata kuliner dapat dianggap sebagai salah satu

Page 28: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

28

bentuk pariwisata berkelanjutan yang mempertahankan budaya dan identitas

mayarakat lokal (Butler dan Hall, 1998; Miele dan Murdoch, 2002)

2.3 Landasan Teori

Terdapat dua atau teori yang akan dipergunakan dalam peneltiian ini yaitu

teori pariwisata budaya dan teori pariwisata berkelanjutan. Kedua teori tersebut

dan penggunaannya dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut.

2.3.1 Teori Pariwisata Budaya

Borley (1996 dalam Ardika (2007) mendefinisikan pariwisata budaya

merupakan aktivitas yang memungkinkan wisatawan untuk mengetahui dan

memperoleh pengalaman tentang perbedaan cara hidup orang lain, merefleksikan

adat dan istiadatnya, tradisi religiusnya dan ide-ide intelektual yang terkandung

dalam warisan budaya yang belum dikenalnya. Pendapat tersebut menjadi dasar

pemikiran Astina (2009) yang mengemukakan bahwa simbiosis dapat terjadi

antara pariwisata dan budaya, dengan 1) mendorong pendayagunaan produksi

daerah dan nasional; 2) mempertahankan nilai-nilai budaya, norma, adat istiadat

dan agama; 3) berwawasan lingkungan hidup, baik lingkungan alam maupun

lingkungan sosial

Dalam konteks budaya dan pariwisata, elemen “profitable” bukan berarti

penciptaan budaya pariwisata (touristic culture) untuk wisatawan namun

penciptaan garis tegas terbentuk antara budaya pariwisata dengan pariwisata

budaya. Yang melatarbelakangi kuliner adalah cultural heritage yang bersifat

Page 29: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

29

renewable sources, maka penempatan sebagai basis pariwisata budaya tidak

semata-mata dirancang untuk meningkatkan keuntungan ekonomi, tetapi juga

yang berwawasan perlindungan dan pelestarian, bersifat dinamis dengan

memberikan ruang bagi budaya untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan.

Geertz (1997: 19) juga menyebutkan bahwa budaya merupakan sebuah proses

yang dinamis dan secara konstan selalu berkembang, dibangun, serta diciptakan

kembali untuk menjawab tantangan zaman dan perkembangan kebutuhan. Begitu

juga dengan pariwisata budaya yang terus akan mengalami perkembangan dan

penciptaan kembali untuk menjawab kebutuhan dan tuntutan zaman.

Selain mempertimbangkan faktor ekonomi dan konservasi, pariwisata

budaya berbasis kuliner juga mengandung konsep pariwisata berbasis rakyat.

Dalam model pengembangan pariwisata budaya, kuliner merupakan warisan

budaya masyarakat, sehingga keberadaan dan keberlanjutannya tidak dapat

dilepaskan dari peran aktif masyarakat sebagai pemilik kuliner dan budaya yang

melatarbelakanginya. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa pariwisata berbasis

masyarakat mempunyai peluang yang besar untuk mengembangkan event-event

pariwisata berskala kecil yang dapat dikelola sendiri oleh kelompok-kelompok

masyarakat, termasuk pengusaha lokal. Karena dikelola sendiri, maka masyarakat

dapat terlibat langsung di dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk

menentukan mana yang boleh untuk konsumsi wisatawan dan mana yang tidak

boleh adalah keputusan kelompok yang memiliki budaya tersebut.

Apabila kondisi semacam itu dapat dipertahankan, maka kegiatan

pariwisata dapat menekan dampak sosial dan kultural yang ditimbulkan, sehingga

Page 30: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

30

ke depannya tetap dapat diterima masyarakat. Oleh sebab itu pariwisata berbasis

masyarakat mempunyai peluang berumur panjang, dan menjadi sustainable

(Fandeli, 2000:27).

Dalam perspektif degradasi budaya akibat pariwisata, Bali sudah bisa

memelihara lingkungan sosial, budaya dan agama. Masyarakat Bali telah teruji

mampu mengatasi semua kemungkinan, dan membalikkan banyak ramalan

mengenainya. Mead (1977) dalam dalam surat pertamanya dari Bali mengatakan

bahwa “Kelihatannya Bali sudah belajar ribuan tahun tentang pengaruh asing,

tentang bagaimana cara menggunakan dan bagaimana cara untuk mengabaikan

pengaruh itu. Terbiasa kepada kaum bangsawan asing, terbiasa mengikuti

gelombang dari Hinduism, Buddhism, dan semacamnya, mereka membiarkan

apapun yang asing bagi mereka mengalir melewati kepala mereka”. LEbih lanjut

disampaikan oleh Picard, barang-barang konsumen terbaru yang tersedia tidak

menghilangkan ongkos seremonial sebagai seorang sumber gengsi dan tanda

status. Uang yang dihasilkan dari pariwisata digunakan menyelenggarakan

kompetisi untuk status yang diungkapkan dengan mengadakan upacara yang lebih

mewah dan menakjubkan – lebih kepada kepuasan wisatawan.” (Picard, 1996).

Picard juga mengutip Gubernur Bali Soekarmen pada seminar tahun 1971

menguraikan rumusan pariwisata budaya

Pariwisata sebagai genus proximinum serta budaya sebagai differentia specifia membawa konsekwensi yang berat karena predikat budaya membatasi pengertian pariwisata. Segala sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai seni dan budaya tidak boleh dilaksanakan. Demikian pula industri-industri pariwisata kita haruslah industri pariwisata budaya, suatu industri yang bahan bakunya dan yang “dijual” adalah kebudayaan itu sendiri, dengan batas-batas bahwa pengembangan kepariwisataan itu tidak boleh berakibat merosotnya nilai-nilai kebudayaan kita yang

Page 31: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

31

merupakan daya tarik pokok bagi seorang wisatawan untuk berkunjung ke Bali.

Penyelenggaraan pariwisata di Bali yang berlandaskan pada konsep

pariwisata budaya tersebut telah menyebabkan perkembangan pariwisata di Bali

menjadi semakin pesat dan semakin menjanjikan untuk dijadikan sektor andalan

Bali. Oleh sebab itu, sektor ini harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi

masyarakat lokal tidak hanya dari aspek ekonomi dan lingkunan namun juga

keberlanjutan aspek sosial buadayanya.

Teori pariwisata budaya akan dipergunakan untuk mengkaji bagaimana

pariwisata dapat mengembangkan budaya kuliner di Ubud. Teori ini juga akan

berkontribusi terhadap analisis manfaat pariwisata terhadap pengembangan wisata

kuliner bagi masyarakat Ubud. Teori ini akan digunakan secara bersamaan dengan

teori pariwisata berkelanjutan yang akan diuraikan dalam sub bab berikut.

2.3.2 Teori Pariwisata Berkelanjutan

The three elements of sustainability (World Commission on Environment

and Development, 1987; Holmberg, 1992; Reed, 1997; Harris et al., 2001)

melalui pendekatan pertumbuhan ekonomi (economic growth), peningkatan taraf

hidup masyarakat (social progress) serta kepedulian kepada lingkungan

(environmental stewardship).

Page 32: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

32

Gambar 2.3. Tiga Elemen Keberlanjutan (The Three Elements of Sustainability). Sumber: United Nation 2014; Harris, 2003

Dalam konsep dan prinsip-prinsip keberlanjutan tersebut tampak bahwa

hubungan antara aspek ekonomis dan sosial akan menghasilkan keberlanjutan

dalam aspek sosio-ekonomis di mana termasuk di antaranya adalah pembukaan

lapangan pekerjaan baru serta investasi sosial.

Pendekatan ekonomis dan lingkungan akan menghasilkan eko-efisiensi di

mana diharapkan akan tercipta efisiensi di dalam penggunaan sumber daya,

kepedulian terhadap produk serta analisis daur hidup produk. Selanjutnya

pendekatan sosial dan lingkungan akan menghasilkan sosio-lingkungan di mana

salah satu elemen terpentingnya adalah analisis mengenai dampak lingkungan

masyarakat sekitar. Ketiga elemen tersebut merupakan elemen keberlanjutan

yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kesatuan yang harmonis ini akan

menciptakan keberlanjutan pariwisata budaya.

Page 33: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

33

Strategi pengembangan pariwisata dalam prespektif berkelanjutan pada

dasarnya merupakan keterpaduan antara manfaat secara ekonomis, humanis, dan

ekologis. Oleh sebab itu industri pariwisata berkelanjutan dapat dilihat dari

pengaruh ekonomi, sosial dan lingkungan bagi masyarakat setempat yang

berlandaskan pada enam prinsip yang dikembangkan oleh Robertson (1978), de

Romana (1989) serta Ross dan Usher (1986). Asumsi yang dikembangkan adalah

ekonomi merupakan salah satu komponen dari pengambangan pariwisata yang

berkelanjutan. Jika pariwisata yang ada tidak berdampak secara berkelanjutan

terhadap masyarakat maka industri pariwisata itu sendiri tidak akan

berkelanjutan.

Keenam prinsip tersebut adalah: (1) memajukan perekonomian secara

seimbang antara sektor pasar dan non-pasar dalam hal ini pemilik, pekerja, dan

pendidikan; (2) mendorong mencari alternatif bentuk jenis pekerjaan yang

mandiri, personal dan kontrol lokal, kemampuan umum, tujuan intrnsik, bersifat

informal, dan keseimbangan antara pekerja wanita dan laki-laki; (3) memajukan

pembangunan yang berdasarkan sumber asli seperti sistempengetahuan lokal dan

tradisional, bentuk organisasi lokal seperti LPD, sekaa truna-truni, dan keahlian

lokal; (4) memajukan perdagangan antar daerah dan menjamin terpenuhinya

kebutuhan sendiri; (5) menjaga keanekaragaman budaya atau masyarakat; dan (6)

menjaga jarak sosial di luar masyarakat industri modern yang tidak termasuk ke

dalam kategori ekonomis.

Page 34: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

34

2.4 Model Penelitian

Penelitian ini merupakan riset kualitataif dengan alur kerja yang

digambarkan dalam model dengan deskripsi sebagai berikut. Tahap awal akan

dilaksanakan tahap perencanaan untuk mempertajam fokus serta merumuskan

masalah penelitian. Tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan peneltiian di

mana observasi, interview secara mendalam kepada narasumber serta studi

dokumentasi akan dilaksanakan. Setelah data diperoleh maka tahapan selanjutnya

adalah analisis serta pengecekan keabsahan data melalui referensi-referensi terkait

dengan kajian kuliner dan pengembangan budaya melalui pariwisata. Hasil

analisis akan mendapatkan temuan penelitian yang nantinya akan dipergunakan

sebagai landasan untuk membuat simpulan hasil penelitian.

Data dan temuan dari hasil wawancara dan observasi selanjutnya akan

dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan mempergunakan metode trianggulasi

dan reduksi untuk kemudian mengetahui apakah memang benar wisata kuliner

memberikan kontribusi terhadap pengembangan warisan budaya di Ubud. Secara

ringkas, model penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut ini

Page 35: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

35

Gambar 2.4 Model Penelitian

Pariwisata Budaya

di Ubud

Wisata Kuliner di Ubud

Perkembangan kuliner lokal serta faktor-

faktor apakah yang mendukung kuliner

lokal dapat berkembang di Ubud

Konsep 1.  Destination

Competitiveness 2.  Wisata Kuliner

Teori 1.  Pariwisata

Budaya 2.  Pariwisata

Berkelanjutan

Analisis Kualitatif - Triangulasi -  Reduksi

Hasil Penelitian

Simpulan dan Rekomendasi

Perkembangan wisata kuliner sebagai atribut

baru Ubud

Tokoh kuliner lokal dan

perjuangan mereka didalam mengangkat

kuliner Ubud

Manfaat pengembangan kuliner

bagi atribut pengembangan

pariwisata budaya di Ubud?

Page 36: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

36

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Ciri dari metode

kualitatif adalah data yang disajikan dalam bentuk deskripsi yang berupa teks

naratif, kata-kata, ungkapan, pendapat, gagasan yang dikumpulkan oleh peneliti

dari beberapa sumber sesuai dengan teknik atau cara pengumpulan data.

Kemudian data dikelompokkan berdasarkan kebutuhan dengan pendekatan

interpretatif terhadap subjek selanjutnya dianalisis (Denzin dan Lincoln, 2009: 2).

Dalam penelitian ini diuraikan hal-hal untuk memahami sikap stakeholder

terkait di dalam pelaksanaan pengembangan budaya kuliner elalui pariwisata.

Dengan demikian, mekanisme analisisnya seperti deskripsi fenomena realitas

yang terjadi dalam hubungan pariwisata dengan budaya, kemudian dihubungkan

dengan komunitas sosial lingkungannnya. Analisis tersebut akan mengarah pada

pemaparan yang lebih konkret tentang pelaksanaan pengembangan pariwisata

sekaligus memperkuat budaya kuliner yang aplikatif dan bermanfaat untuk

diterapkan secara progresif khususnya di Ubud.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah kawasan pariwisata Ubud sebagai destinasi

wisata budaya di Kabupaten Gianyar. Pemilihan lokasi berdasarkan pertimbangan

fenomena yaitu dengan sengaja memilih Ubud sebagai tempat penelitian dengan

Page 37: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

37

beberapa pertimbangan yaitu, 1) Ubud merupakan daerah tujuan wisata budaya

yang cukup banyak diminati oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara;

2) Ubud merupakan destinasi berkembangnya culture based tourism yang

menonjolkan kuliner dalam bentuk culinary tourism; 3) hubungan wisatawan dan

masyarakat tuan rumah di Ubud sudah semakin kompleks dengan struktur

masyarakat yang heterogen; 4) penelitian mengenai wisata kuliner sebagai

destination competitiveness di Ubud masih sangat terbatas. 5) adanya paradigma

bahwa Ubud menjadi pilihan bagi wisatawan mancanegara yang ingin melihat

kekentalan budaya tradisional setempat. Berdasarkan pertimbangan ini maka

akhirnya ditetapkan pilihan Ubud sebagai lokasi penelitian.

Sejak berkembangnya kegiatan kepariwisataan Ubud pada tahun 1930-an,

Ubud merupakan salah satu destinasi yang mampu menyelaraskan kegiatan

pariwisata dengan tradisi dan budayanya. Potensi pengembangan pariwisata yang

menyatu dengan tradisi dan budaya merupakan karakter kuat dari masyarakat

Ubud. Keindahan panorama alam, seni budaya, adat istiadat dan masyarakat Ubud

yang religius menjadikan Ubud memiliki daya tarik dan banyak dikunjungi

wisatawan dari berbagai Negara di dunia.

Sampai saat ini pun pesona Ubud memang mendunia. Seperti yang tampak

pada gambar berikut ini, saat menulis keyword “Ubud” atau “Ubud Bali” di

google images, maka akan tampak bagaimana pesona keindahan alam Ubud

menjadi satu dengan nuansa budayanya. Ubud, pariwisata dan budaya memang

seolah-olah tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Page 38: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

38

Gambar 3.1

Representasi Ubud melalui Google. Sumber: Google image 2015

Pembangunan pariwisata di Ubud dilakukan dengan cara melestarikan

kebudayaan sebagai dasar menunjang pariwisata serta didasarkan pada norma –

norma yang berlaku di masyarakat yang bernafaskan seni dan budaya yang dijiwai

oleh agama Hindu. Secara disadari atau tidak, hal inilah yang membuat Ubud

tetap menjadi destinasi yang sustainable di mata wisatawan. Wisatawan yang

datang ke Ubud pun adalah wisatawan yang memang untuk menikmati seni dan

budaya Ubud.

3.3 Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini di bedakan atas data primer dan sekunder

seperti di bawah ini :

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari narasumber yang

telah ditentukan sebelumnya melalui wawancara langsung. Daftar

pertanyaan akan difokuskan terhadap pendapat narasumber mengenai

Page 39: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

39

pariwisata dan pengembangan budaya kuliner. Data ini juga berasal

dari hasil pengamatan dan observasi langsung peneliti di lokasi.

2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber- sumber yang

menunjang penelitian ini yang bukan merupakan pihak pertama seperti

kunjungan wissatawan, profil Ubud dan teori- teori dari berbagai

pustaka yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini.

3.4 Instrumen Penelitian

Dalam kegiatan penelitian, peneliti menggunakan pedoman wawancara,

yaitu berupa daftar pertanyaan terbuka (open questions). Seperti dikatakan

Nasution (1990), instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penulis sendiri sebagai instrumen utama, didukung pedoman wawancara dan

catatan kecil observasi (field notes). Pedoman wawancara sebagai pertanyaan

terbuka dikembangkan dan diperdalam di lapangan untuk cross check.

Pengambilan gambar dan suara dalam kegiatan wawancara dibutuhkan kamera

untuk pemotretan dan tape recorder sebagai alat perekam

Agar penelitian mendapatkan hasil yang lebih valid maka juga akan

dilakukan observasi, yakni dengan menemui sejumlah pengusaha dan pengelola

yang sukses menjalankan usaha kuliner Bali. Di samping itu, peneliti juga

melakukan pengkajian-pengkajian terhadap konsep revitalisai dan pengembangan

budaya, yang diperoleh dari studi dokumentasi secara offline maupun online.

Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan

menggunakan wawancara semi terstruktur (semi structured interview) seperti

Page 40: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

40

yang tampak pada paduan wawancara terlampir (lampiran 1). Wawancara semi

terstruktur dilakukan untuk mendapatkan data yang mendalam dari narasumber

yang tidak mungkin didapatkan dari wawancara terstruktur. Wawancara ini

memberikan kesempatan kepada narasumber untuk menjawab pertanyaan secara

bebas sesuai dengan kata-kata mereka sehingga akan didapatkan jawaban yang

variatif. Wawancara tidak terstruktur ini digunakan untuk melengkapi data

pengembangan budaya kuliner melalui pariwisata.

Terdapat tiga variabel pertanyaan mendalam mengenai wisata kuliner

sebagai upaya pengembangan warisan budaya di Ubud. Pertanyaan disesuaikan

dengan pengelompokan narasumber yang dibagi menjadi kelompok

pemerintah/akademisi dan representative asosiasi, pemilik langsung/investor lokal

usaha kuliner serta pengelola / manajemen usaha kuliner di Ubud. Daftar

pertanyaan ini dapat dilihat pada pedoman wawancara pada lampiran 1

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal ini ada beberapa teknik yang digunakan, yaitu observasi,

wawancara, dan studi dokumentasi untuk memahami dan mengerti bagaimana

wisata kuliner di Ubud dapat mengembangkan warisan budaya tersebut.

a) Observasi

Observasi sebagai suatu cara untuk memproleh data, dalam hal ini

penulis terjun langsung ke lokasi objek penelitian, yakni melihat

bagaimana proses pengembangan warisan budaya kuliner melalui

pariwisata. Observasi langsung akan dilakukan untuk melihat keterlibatan

Page 41: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

41

tokoh-tokoh yang telah ikut membangun wisata kuliner Bali sebagai

atribut baru pariwisata budaya di Ubud. Pengamatan tidak hanya

dilakukan pada warung dan restoran yang sudah memiliki nama besar,

namun juga warung-warung kecil di kawasan pariwisata Ubud

b) Wawancara

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam kepada

narasumber terkait. Pengumpulan data yang sesuai dengan permasalahan

penelitian, dilakukan dengan cara berdialog dengan narasumber terkait

(interaktif). Wawancara mendalam dilakukan terhadap kelompok

narasumber sehingga penulis mendapatkan gambaran yang lebih jelas

mengenai 1) perkembangan kuliner Bali serta faktor-faktor yang

mendukung kuliner Bali dapat berkembang di Ubud; 2) tokoh dan

perjuangan mereka didalam mengangkat kuliner Ubud dan 3) Manfaat

pengembangan kuliner bagi atribut pengembangan pariwisata budaya di

Ubud

Purposive sampling dilakukan pada stakeholder tekait yang secara

aktif melaksanakan pengembangan budaya kuliner melalui pariwisata.

Pengambilan narasumber yang dijadikan sampel diambil dengan metode

purposive sampling dengan membagi ke dalam beberapa kelompok yaitu

1) pemerintah; 2) asosiasi; 3) pengelola dan 4) masyarakat lokal. Perincian

profil narasumber dapat dilihat pada lampiran 2.

Sebelum melakukan wawancara di lapangan, penulis

mempersiapkan daftar pertanyaan yang terkait dengan permasalahan.

Page 42: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

42

Kemudian, penulis menemui, para stakeholder yang terkait untuk mencari

informasi bagaimana tanggapan dan keterkaitan dengan kegiatan dan

tantangan pengembangan budaya, khususnya manfaat yang diterima.

c) Studi Dokumen

Dalam penelitian ini selain data diperoleh dari hasil wawancara, dan

observasi, juga digunakan teknik studi dekumen. Teknik ini diterapkan

dengan analisis pengkajian dokumentasi berupa teks. Metode

pengumpulan data secara dokumentasi dilakukan untuk menelusuri

dokumen- dokumen dan laporan - laporan yang terkait dengan persepsi

wisatawan. Disamping itu juga studi dokumentasi dilakukan melalui

pengambilan gambar- gambar, serta merekam hasil wawancara yang

dipandang perlu yang dapat mendukung penelitian mengenai

pengembangan budaya kuliner di Ubud.

3.6 Teknik Pemrosesan dan Analisis Data

Pemrosesan data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Analisis data

melalui teknik ini dilakukan dengan cara mengatur secara sistematis pedoman

wawancara, data kepustakaan, kemudian memformulasikan secara deskriptif.

Proses analisis data dilakukan dengan tahapan reduksi data, menyajikan data, dan

menyimpulkan. Dalam penelitian ini, data yang telah terkumpul akan diolah dan

pengolahan data dilakukan dengan teknik triangulasi dan reduksi.

Page 43: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

43

1. Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data sebagai pembanding

terhadap data tersebut. Terdapat tiga macam triangulasi yaitu

triangulasi dengan sumber, triangulasi dengan teknik, dan triangulasi

waktu. Pada penelitian ini penulis menggunakan triangulasi dengan

menggunakan sumber yaitu dengan cara mengecek data yang diperoleh

melalui beberapa sumber. Pada penelitian ini, untuk menguji

kredibilitas data pemanfaatan koleksi e-book, maka data yang

diperoleh diujikan kepada pemustaka yang merupakan subyek dari

penelitian serta disesuaikan dengan teori – teori yang ada.

2. Reduksi

Reduksi yaitu merangkum, momotong data-data yang tidak relevan,

memilih hal – hal pokok, dan memfokuskan pada hal – hal penting.

Dengan begitu, data yang direduksi akan memberikan gambaran yang

lebih jelas. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada

pemanfaatan koleksi e-book yang dilakukan oleh pemustaka

Analisis data dimulai dengan melakukan wawancara mendalam dengan

informan. Oleh sebab itu narasumber yang dipilih sangat selektif untuk

mendapatkan hasil analisis yang lebih valid dan terfokus. Setelah melakukan

wawancara, peneliti akan membuat transkip hasil wawancara dengan cara

memutar kembali rekaman wawancara kemudian menuliskan kata- kata yang

Page 44: 01 BAB I PENDAHULUAN...kota-kota terbaik Asia seperti Pattaya, Hanoi dan Seoul. Atribut Ubud sebagai destinasi budaya didukung dengan banyaknya museum dan puri yang melakukan pagelaran

44

sesuai dengan apa yang ada direkaman tersebut. Setelah peneliti menulis hasil

wawancara ke dalam transkip, selanjutnya peneliti membuat reduksi data dengan

cara abstraksi, yaitu mengambil data yang sesuai dengan konteks penelitian dan

mengabaikan data yang tidak diperlukan.

3.7 Penyajian Hasil Analisis Data

Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu

suatu metode yang di gunakan untuk memperoleh gambaran dari tujuan penelitian

dengan jalan memaparkan data yang telah diperoleh di lapangan. Data yang telah

terkumpul dari hasil penelitian di lapangan berwujud kata-kata lisan maupun

tertulis. Ide ungkapan dan pandangan yang ditemukan dilapangan diklasifikasikan

untuk bagaimana pengembangan budaya kuliner dilaksanakan di Ubud melalui

pariwisata. Langkah selanjutnya adalah melakukan interpretasi terhadap data yang

telah terspesifikasi dan menghubungkan antara satu dengan yang lainnya melalui

studi dokumentasi dengan penelitian-penelitian terkait baik yang dilakukan oleh

peneliti lokal maupun internasional. Penelitian ini membandingkan dan

mendeskripsikan antara teori dengan realita lapangan sehingga mendapatkan

jawaban dan analisis yang tepat atas pokok permasalahan.