002-Sistematika Perundang-undangan Dan Kebijakan

16
RUMAH SAKIT ANNISA CIKARANG UNDANG-UNDANG DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH TERKAIT MANAJEMEN FASILITAS DAN KESELAMATAN

description

perlengkapan administrasi akreditasi rumah sakit

Transcript of 002-Sistematika Perundang-undangan Dan Kebijakan

Page 1: 002-Sistematika Perundang-undangan Dan Kebijakan

RUMAH SAKIT ANNISA CIKARANG

UNDANG-UNDANG DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH TERKAIT

MANAJEMEN FASILITAS DAN KESELAMATAN

CIKARANG UTARA15 JUNI 2014

Page 2: 002-Sistematika Perundang-undangan Dan Kebijakan

BAGIAN IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangRumah Sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaran pelayanan kesehatan di Rumah Sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang sangat kompleks. Berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuannya masing-masing berinteraksi satu sama lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat pesat yang harus diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan yang bermutu, membuat semakin kompleksnya permasalahan dalam Rumah Sakit.Pada hakekatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Dari aspek pembiayaan bahwa Rumah Sakit memerlukan biaya operasional dan investasi yang besar dalam pelaksanaan kegiatannya, sehingga perlu didukung dengan ketersediaan pendanaan yang cukup dan berkesinambungan. Antisipasi dampak globalisasi perlu didukung dengan peraturan perundang-undangan yang memadai. Peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar penyelenggaraan Rumah Sakit saat ini masih pada tingkat Peraturan Menteri yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan. Dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberikan dasar bagi pengelolaan Rumah Sakit diperlukan suatu perangkat hukum yang mengatur Rumah Sakit secara menyeluruh dalam bentuk Undang-Undang. Disampaing itu, seperti kita ketahui bahwa rumah sakit merupakan institusi yang sangat kompleks sehingga dalam menetapkan perturan, standard an lain sebagainya juga sangat bervariasi seperti misalnya ada undang-undang tentang kesehatan, tentang rumah sakit, bangunan gedungnya serta peraturan pemerintah lainnya seperti tentang analisa dampak lingkungan ada peraturan dan surat keputusan menteri terkait sampai peraturan daerah baik gubernur maupun bupati.Untuk lebih jelas dan dan terperincinya informasi maka perlu lebih sistematis dalam penyajiannya sehingga mudah di mengerti maupun dipahami.

B. Maksud dan Tujuan1. MaksudUntuk melengkapi persyaratan administrasi dalam pengelolaan/manajement fasilitas dan keselamatan (MFK) Rumah Sakit.2. Tujuan

a. Sebagai acuan dan pedoman dalam mengelola fasilitas, sarana prasarana di Rumah Sakit Annisa Cikarang.

b. Standarisasi sarana prasarana pada unit-unit pelayanan.

Page 3: 002-Sistematika Perundang-undangan Dan Kebijakan

BAGIAN II

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERKAITDENGAN FASILITAS RUMAH SAKIT

A. Landasan Perundang-undangan Secara Umum1. Undang-undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

a. Pasal 5 ayat 2 : Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.

b. Pasal 15 : Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun social bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

c. Pasal 19 : Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien dan terjangkau.

d. Pasal 98 ayat 1 : Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu dan terjangkau.

2. Undang-undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakita. Pasal 7 ayat 1 : Rumah Sakit harus memnuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana,

sumberdaya manusia, kefarmasian dan Peralatan.b. Pasal 8 : tentang Lokasic. Pasal 9 : tentang Bangunand. Pasal 11 : tentang Prasaranae. Pasal 16 : tentang Peralatanf. Pasal 17 : Rumah Sakit yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 14 dan Pasal 16 tidak diberikan izin mendirikan, dicabut atau tidak diperpanjang izin operasional rumah sakit.

3. Permenkes No. 147 Tahun 2010 tentang Perizinan Rumah SakitTersedianya dan berfungsinya sarana dan prasarana pada rawat jalan, rawat inap, gawat darurat, operasi/bedah, tenaga kesehatan, radiologi, ruang laboratorium, ruang sterilisasi, ruang farmasi, ruang pendidikan dan latihan, ruang kantordan ruang administrasi, ruang ibadah, ruang tunggu, ruang penyuluhan kesehatan masyarakat, ruang menyusui, ruang mekanik, ruang dapur, laundry, kamar jenazah, taman, pengolahan sampah dan pelataran parkir yang mencukupi sesuai denganjenis dan klasifikasinya.

4. Permenkes No. 340 tahun 2010 tentang Klasifikasi Rumah SakitPasal 5 : Klasifikasi Rumah Sakit Umum ditetapkan berdasarkan :a. Pelayananb. Sumber Daya Manusiac. Peralatand. Sarana dan Prasaranae. Administrasi dan Manajemen

Page 4: 002-Sistematika Perundang-undangan Dan Kebijakan

B. Landasan Perundang-undangan Tentang Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan

Dan Pengelolaan Lingkungan Hidupa. Pasal 22 ayat 1 : Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap

lingkungan hidup wajib memiliki amdal.b. Pasal 34 ayat 1 : Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria

wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKLUPL.c. Pasal 59 ayat 1 : Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan

pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.d. Pasal 59 ayat 4 : Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur,

atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.e. Pasal 69 butir f : Setiap orang dilarang membuang B3 dan limbah B3 ke media

lingkungan hidup.

2. PP No 18 1999 Tentang pengeloaan limbah B3a. Pasal 9 sd 26 : Pelaku pengelolaan limbah B3 (Penghasil, Pengumpul, Pengangkut, pemanfaat,

Pengolah dan atau penimbun limbah B3) wajib melakukan pengelolaan limbah B3 sesuai ketentuan yang berlaku.

b. Pasal 40 ayat 1 point a dan b : Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan :1) penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan

limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab.

2) pengangkut limbah B3 wajib memi1iki izin pengangkutan dari Menteri Perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari Kepa1a instansi yang bertanggung jawab.

3) pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib memiliki izin pemanfaatan dari instansi yang berwenang memberikan izin pemanfaatan setelah mendapat rekomendasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab

c. pasal 43 ayat 1 : Untuk kegiatan pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib dibuatkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

d. Pasal 43 ayat 2 : Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup diajukan bersama dengan permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) kepada instansi yang bertanggung jawab.

e. Pasal 45 ayat 1 : Kegiatan baru yang menghasilkan limbah B3 yang melakukan pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 yang lokasinya sama dengan kegiatan utamanya, maka analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk kegiatan pengolahan limbah B3 dibuat secara terintegrasi dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk kegiatan utamanya

f. Pasal 45 Ayat 2 : Apabila pengolahan limbah B3 dilakukan oleh penghasil dan pemanfaat limbah B3 di lokasi kegiatan utamanya, maka hanya rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang telah disetujui yang diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab bersama dengan permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasa 140.

3. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 18 tahun 2009 Tentang Cara perizinan pengelolaan Limbah B3

Page 5: 002-Sistematika Perundang-undangan Dan Kebijakan

a. Pasal 6 ayat 1 : usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan produk dan/atau produk antara yang dihasilkan dari suatu usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan limbah B3 tidak di wajibkan memiliki izin

b. Produk dan/atau produk antara sebagaimana dimaksud diatas harus telah memenhi standar nasional atau standar lain yang telah di akui oleh nasiona maupun internasional.Keterangan :Usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan produk dan/atau produk antara yang dihasilkan dari usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan limbah B3 tetap diwajibkan memiliki izin apabila produk antara tersebut belum atau tidak memenuhi standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar lain yang diakui oleh nasional maupun internasional.

4. Keputusan Kepala Bapedal No. 2 tahun 1995 tentang Dokumen limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)

a. Pasal 2Dokumen Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)Dokumen limbah B3 merupakan dokumen yang senantiasa dibawa daritempat asal pengangkutan limbah B3 ke tempat tujuan. Dokumen diberikan pada waktu penyerahan limbah B3. Dokumen limbah B3 tersebut meliputi juga dokumen muatan.Dokumen limbah B3 terdiri dari 7 (tujuh) rangkap apabila pengangkutan hanya satu kali dan apabila pengangkutan lebih dari satu kali (antar muda), maka dokumen terdiri dari 11 (sebelas) rangkap dengan perincian sebagai berikut:1) lembar asli (pertama) disimpan oleh pengangkut limbah B3 setelah ditandatangani

oleh penghasil, pengumpul, dan pengolah limbah B3 (warna putih);2) lembar kedua yang sudah ditandatangani pengangkut limbah B3, oleh penghasil

limbah B3 atau pengumpul dikirim kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (warna kuning);

3) lembar ketiga yang sudah ditandatangani oleh pengangkut limbah B3 disimpan oleh penghasil atau pengumpul limbah B3 yang menyerahkan limbah B3 untuk diangkut oleh pengangkut limbah B3 (warna hijau);

4) lembar keempat setelah ditandatangani oleh pengumpul atau pengolah limbah B3 oleh pengangkut diserahkan kepada pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah B3 yang menerima limbah B3 dari pengangkut limbah B3 (warna merah muda);

5) lembar kelima dikirim kepada Badan Penngendalian Dampak Lingkungan setelah ditandatangani oleh pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah B3 (warna biru);

6) lembar keenam dikirim oleh pengangkut kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan, setelah ditandatangani oleh pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah B3 (warna krem);

7) lembar ketujuh dikirim oleh pengangkut kepada penghasil limbah B3 oleh pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah B3, setelah ditandatangani oleh pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah B3 (warna ungu);

8) lembar kedelapan s/d lembar kesebelas dikirim oleh pengangkut kepada penghasil atau pengumpul setelah ditandatangani oleh pengangkut terdahulu dan diserahkan kepada pengangkut berikutnya

5. Prosedur perizinan pengelolaan limbah B3Persyaratan pengajuan izin pengelolaan limbah B3 adalah sebagai berikut

Page 6: 002-Sistematika Perundang-undangan Dan Kebijakan

a. Pemohon untuk mengajukan izin pengumpulan limbah B3 skala nasional pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan limbah B3 mengajukan permohonan dengan mengisi formulir sesuai dengan lampiran Peraturan Mentei Lingkungan Hidup Nomor 18 tahun 2009 tentang Tata cara perizinan pengelolaan limbah B3.

b. Pemohon untuk mengajukan izin penyimpanan sementara limbah B3, izin pengumpulan limbah B3 skala provinsi dan kabupaten/kota, dan rekomendasi pengumpullan skala nasional mengisi formulir sesuai dengan lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 2009 tentang tata laksana perizinan dan pengawasan limbah B3 serta pengawasan pemulihan akibat pencemaran limbah

C. Peraturan Perundang-Undangan tentang Kesiapan Menghadapi Bencana

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencanaa. Pasal 1 Ayat 1 : Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis

b. pasal 1 ayat 2 : Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

c. Pasal 1 ayat 3 : Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

d. Pasal 1 ayat 4: Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.

e. Pasal 1 Ayat 5: Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

f. Pasal 1 ayat 10 : Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.

g. Pasal 4Penanggulangan bencana bertujuan untuk:1) memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana;2) menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;3) menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,

terkoordinasi, dan menyeluruh;4) menghargai budaya lokal;5) membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;

Page 7: 002-Sistematika Perundang-undangan Dan Kebijakan

6) mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan; dan menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

h. Pasal 35 Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a meliputi:1) perencanaan penanggulangan bencana;2) pengurangan risiko bencana;3) pencegahan;4) pemaduan dalam perencanaan pembangunan;5) persyaratan analisis risiko bencana; 6) penegakan rencana tata ruang;7) pendidikan dan pelatihan; dan8) persyaratan standar teknis penanggulangan bencana

i. pasal 48 Pasal 48Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b meliputi:1) pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya;2) penentuan status keadaan darurat bencana;3) penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana4) pemenuhan kebutuhan dasar;5) perlindungan terhadap kelompok rentan; dan6) pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencanaa. Pasal 5 ayat 1 : Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi

bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi:1) perencanaan penanggulangan bencana;2) pengurangan risiko bencana;3) pencegahan; pemaduan dalam perencanaan pembangunan;4) persyaratan analisis risiko bencana;5) pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;6) pendidikan dan pelatihan; dan7) persyaratan standar teknis penanggulangan bencana

b. Pasal 7 ayat 1 : Pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b merupakan kegiatan untuk mengurangi ancaman dan kerentanan serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana.

c. Pasal 7 ayat 2 : Pengurangan risiko bencana dilakukan melalui kegiatan:1) pengenalan dan pemantauan risiko bencana;2) perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;3) pengembangan budaya sadar bencana;4) peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana; dan5) penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana

d. Pasal 14 ayat 1 : Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf g ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian, kemampuan, dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Page 8: 002-Sistematika Perundang-undangan Dan Kebijakan

e. Pasal 14 Ayat 2 : Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dalam bentuk pendidikan formal, nonformal, dan informal yang berupa pelatihan dasar, lanjutan, teknis, simulasi, dan gladi

f. pasal 21 ayat 1 : Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi: pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber daya;1) penentuan status keadaan darurat bencana;2) penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;3) pemenuhan kebutuhan dasar;4) perlindungan terhadap kelompok rentan; dan5) pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital

3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor per.05/men/1996 Tentang sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja a. Pasal 1 ayat 1

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disebut Sistem Manajemen K3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yangmeliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumberdaya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif;

b. Pasal 2Tujuan dan sasaran Sistem Manajemen K3 adalah menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.

c. Pasal 3Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan Sistem Manajemen K3.Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh Pengurus, Pengusaha dan seluruh tenaga kerja sebagai satu kesatuan

D. Peraturan Perundang-Undangan tentang Penanggulangan kebakaran

1. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan umum Nomor: 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan teknis pengamanan terhadap bahaya kebakaran Pada bangunan gedung dan lingkungana. Pasal 1 ayat 1

Pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan adalah segala upaya yang menyangkut ketentuan dan persyaratan teknis yang diperlukan dalam mengatur dan mengendalikan penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung, termasuk dalam rangka proses perizinan, pelaksanaan dan pemanfaatan/pemeliharaan

Page 9: 002-Sistematika Perundang-undangan Dan Kebijakan

bangunan gedung, serta pemeriksaan kelaikan dan keandalan bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran

b. Pasal 2 ayat 1Pengaturan pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan dimaksudkan untuk mewujudkan penyelenggaraan bangunan gedung yang aman terhadap bahaya kebakaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan pembangunan sampai pada tahap pemanfaatan sehingga bangunan gedung senantiasa andal dan berkualitas sesuai dengan fungsinya

c. Pasal 3 ayat 1 Pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan meliputi: Perencanaan tapak untuk proteksi kebakaran, 1) Sarana penyelamatan, 2) Sistem proteksi pasif, 3) Sistem proteksi aktif,4) Pengawasan dan pengendalian

2. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 11/Kpts/2000 Tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran Di Perkotaan

a. Pasal 1 Ayat 1 : Manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan adalah segala upaya yang menyangkut sistem organisasi, personel, sarana dan prasarana, serta tata laksana untuk mencegah, mengeliminasi serta meminimasi dampak kebakaran di bangunan, lingkungan dan kota.

b. Pasal 1 ayat 2 : Bangunan gedung adalah bangunan yang didirikan dan atau diletakkan dalam suatu lingkungan sebagian atau seluruhnya pada, di atas, atau di dalam tanah dan/atau perairan secara tetap yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya.

c. Pasal 2 ayat 1 : Pengaturan manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan dimaksudkan untuk mewujudkan bangunan gedung, lingkungan, dan kota yang aman terhadap bahaya kebakaran melalui penerapan manajemen penanggulangan bahaya kebakaran yang efektif dan efisien.

d. Pasal 2 Ayat 2 : Pengaturan manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk terwujudnya kesiapan, kesigapan dan keberdayaan masyarakat, pengelola bangunan, serta dinas terkait dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran

3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I No.kep.186/men/1999 tentang Unit penanggulangan kebakaran Ditempat kerjaa. Pasal 1 ayat 3

Penanggulangan kebakaran ialah segala upaya untuk mencegah timbulnya kebakaran dengan berbagai upaya pengendalian setiap perwujudan energi, pengadaan sarana proteksi kebakaran dan sarana penyelamatan serta pembentukan organisasi tanggap darurat untuk memberantas kebakaran

b. Pasal 2 ayat 2Kewajiban mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran di tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:1) Pengendalian setiap bentuk energi;2) penyediaan sarana deteksi, alarm, memadamkan kebakaran dan sarana evakuasi;

Page 10: 002-Sistematika Perundang-undangan Dan Kebijakan

3) pengendalian penyebaran asap, panas dan gas;4) pembentukan unit penanggulanan kebakaran di tempat kerja5) penyelenggaraan latihan dan gladi penanggulangan kebakaran secara berkala;6) memilki buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran, bagi tempat kerja

yang mempekerjakan lebih dari 50 (lima puluh) orang tenaga kerja dan atau tempat yang berpotensi bahaya kebakaran sedang dan berat.

c. Pasal 4 1) Klasifikasi tingkat potensi bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 3

terdiri (a)klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran ringan;(b)klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sedang I(c)klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sedang II(d)klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sedang III dan;(e)klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran berat.

2) Jenis tempat kerja menurut klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud ayat (1) seperti tercantum dalam Lampiran I Keputusan Menteri ini.

3) Jenis tempat kerja yang belum termasuk dalam klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sendiri oleh Menteri atau pejabat yang di tunjuk

d. Pasal 5Unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari:1) Petugas peran kebakaran;2) Regu penanggulangan kebakaran;3) Koordinator unit penanggulangan kebakaran;4) Ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran sebagai penanggung jawab teknis.

Page 11: 002-Sistematika Perundang-undangan Dan Kebijakan

BAGIAN III

SISTEMATIKA PERUNDANG-UNDANGAN DAN KEBIJAKANPEMERINTAH BIDANG SARANA DAN PRASARANA