· Web viewyaitu campuran antara lagu vokal dan instrumental diberi judul Bhakti Swari. Kata...
Transcript of · Web viewyaitu campuran antara lagu vokal dan instrumental diberi judul Bhakti Swari. Kata...
GENDING SANDYAGITA DALAM UPACARA ODALANDI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Oleh:
Dr. I Nyoman Cau Arsana, S. Sn., M. Hum.(Etnomusikologi FSP ISI Yogyakarta)
ABSTRAK
Satu fenomena menarik terjadi dalam pelaksanaan upacara odalan di Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu penyajian musik vokal (gita) tertutupi oleh penyajian gamelan Bali (gong kebyar) yang sangat keras, sehingga penyajian bunyi-bunyian antara gita dan gamelan dalam upacara tersebut tidak seimbang. Hal ini penting untuk diantisipasi, salah satunya dengan penciptaan gending sandyagita. Penciptaan gending ini dilandasi oleh konsep estetika Hindu yaitu satyam (kebenaran), siwam (kesucian), dan sundaram (keindahan). Sumber penciptaan adalah karya seni, pustaka, dan idea. Metode/proses penciptaan yang digunakan mengacu pada metode penciptaan karawitan (Bali) yang terdiri dari tiga tahap, ngrencana (perencanaan), ngwangun (pembentukan), dan ngebah (penyajian). Hasil penciptaan ini adalah gending ritual keagamaan Hindu berbentuk sandyagita, yaitu campuran antara lagu vokal dan instrumental diberi judul Bhakti Swari.
Kata kunci: sandyagita, odalan
A. PENDAHULUAN
Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian Hibah Bersaing yang
dilakukan bersama I Wayan Senen tahun 2015 berjudul “Bunyi-bunyian
Sandyagita dalam Upacara Keagamaan Hindu di Daerah Istimewa Yogyakarta”.
I Made Bandem dalam buku berjudul Gamelan Bali di Atas Panggung
Sejarah mengatakan bahwa, hampir tak ada satu pun upacara keagamaan [Hindu]
2
di Bali yang sempurna tanpa ikut sertanya gamelan Bali (I Made Bandem, 2013:
15). Hal itu menunjukkan bahwa secara konseptual, kesenian termasuk bunyi-
bunyian wajib disajikan dalam upacara keagamaan Hindu di Indonesia,
meskipun bentuknya dapat berbeda-beda antara yang terdapat di satu daerah
dengan daerah lainnya (I Ketut Donder, 2005: 121-127). Di Bali misalnya, bentuk
penyajian berbagai jenis bunyi-bunyian dalam upacara keagamaan Hindu
dilakukan secara simultan, tampil sendiri-sendiri seperti tidak ada hubungan
harmonis antara satu dengan lainnya. Biasa terjadi dalam upacara odalan atau
upacara lainnya bahwa sajian gending instrumental Tabuh Pat Semarandana
(berlaras pelog) dilaksanakan bersamaan dengan sajian vokal kidung (gita)
Wargasari berlaras slendro yang mulai dan berhentinya sering tidak bersamaan.
Bagi masyarakat Bali, hal itu tidak apa-apa karena memang sejak kecil mereka
sudah sangat terbiasa mendengarkan penyajian bunyi-bunyian yang demikian.
Agak berbeda dengan hal itu, umat Hindu asal Jawa di Daerah Istimewa
Yogyakarta sejak kecil telah terbiasa mendengarkan bahkan sering melaksanakan
penyajian lagu vokal Jawa (sekar) dan gending (gamelan) Jawa yang disajikan
secara bersamaan dan saling berkaitan secara harmonis. Sementara umat Hindu
asal Bali yang tinggal di Yogyakarta sering menyajikan sajian bunyi-bunyian
seperti di Bali yaitu penyajian lagu vokal (kidung/gita) dan instrumental
(gamelan) selalu dilaksanakan secara bersamaan dan simultan. Penyajian gita
Bali/Jawa sering tertutup/terganggu oleh sajian gamelan Bali (gong kebyar) yang
keras sehingga orang Jawa tidak bisa menikmati sajian cara Bali yang demikian
itu (Wawancara Senen dengan Yudayat pada 9 Juli 2000).
3
Berdasarkan fenomena tersebut di atas, maka diciptakan gending
sandyagita, campuran harmonis antara lagu vokal dan instrumental. Berkaitan
dengan permasalahan tentang penyajian gita dan gamelan yang simultan, ide
sentral dari penciptaan gending ini adalah membuat gending sandyagita baru
bernuansa religius Hindu Bali Jawa yang tidak saling menutupi/mengganggu
antara gita dengan gamelan. Dengan pola penyajian yang demikian, diharapkan
penyajian bunyi-bunyian dalam upacara keagamaan Hindu di Yogyakarta dapat
dinikmati dengan nyaman oleh para peserta upacara, baik yang berasal dari Bali
maupun dari Jawa. Idenya adalah bagaimana cara mencipta/menggarap gending
sandyagita ritual yang harmonis dan seimbang antara gita dan gamelan
(tatanguran) dengan nuansa religius Hindu Bali Jawa. Untuk itu sebagian besar
lirik yang digunakan diadopsi dari mantra kitab suci Weda karena keorizinalan
elemen mantra seperti bunyi huruf, suku kata, kata dan kalimat mantra diyakini
memiliki energi unik tertentu yang pada gilirannya dapat memberikan pengaruh
positif kepada para pelaku, para penikmat dan masyarakat sekitarnya (I Made
Titib, 2003: 437-441). Sementara penggarapan melodi vokal dan lagu
instrumentalnya sebagian besar bersumber dari karawitan Bali dan karawitan
Jawa.
B. LANDASAN DAN SUMBER PENCIPTAAN
1. Landasan Penciptaan
Penciptaan kesenian Bali, termasuk karawitan Bali, dilandasi oleh konsep
satyam (kebenaran), siwam (kesucian) dan sundaram (keindahan) (Dibia, dalam
Yudha Triguna, 2003: 96-100). Hampir semua pencipta (pangripta) kesenian Bali
--termasuk gending Bhakti Swari-- mendasarkan ciptaannya pada kebenaran
ajaran Weda (satyam); dalam proses perancangannya diawali dengan laku
meditasi dan hati yang tulus (siwam); dan proses pembentukan karya ciptaannya
dilandasi dengan konsep estetika seni budaya Bali (sundaram) seperti kesatuan,
keseimbangan, kekontrasan, kesederhanaan, kerumitan, kejelasan, katakson dan
lain-lain (I Made Bandem, 2013: 102-105).
4
Selain itu penciptaanan gending Bhakti Swari dilandasi pula dengan konsep
karawitan Bali seperti konsep saih (laras), patutan (patet), tabuh (bentuk), jajar
pageh (komposisi), kembangan (garap), wadya (orkestrasi), konsep payasan
(ornamentasi/figurasi), dan konsep lainnya. Konsep-konsep karawitan Bali itu
telah dibahas dalam lontar Prakempa, lontar Aji Gurnita, Music in Bali (Colin
McPhee), Gamelan Bali di Panggung Sejarah (I Made Bandem), dan lain-lain.
2. Sumber Penciptaan
Ada tiga hal yang dijadikan sumber penciptaan gending sandyagita Bhakti
Swari yaitu karya seni, pustaka, dan idea. Karya seni yang dipilih sebagai sumber
perancangan gending Bhakti Swari adalah karawitan Bali dan karawitan Jawa.
Karawitan Bali yang dijadikan sumber perancangan adalah melodi pokok vokal
macapat Ginada Eman-eman sebagai sumber perancangan pola golakan dalam
bagian pangawit, melodi pokok vokal Sloka yang biasa disajikan dalam upacara
keagamaan Hindu di Bali dijadikan sumber perancangan melodi pokok Mantram
Guru dan Mahamrtyunjaya, pola tabuhan golakan (interlocking) dalam gong
kebyar dijadikan sumber perancangan pola golakan pada bagian pangawit, dan
bentuk gilak dipakai dalam bagian gilakan dan pangawak. Sementara karawitan
Jawa yang dijadikan sumber perancangan adalah bentuk sampak (Jawa) dan
5
melodi vokal macapat Pangkur (Jawa) digunakan sebagai sumber perancangan
bagian gilakan gending Bhakti Swari, dan melodi pokok vokal Panjang Ilang
(Jawa) yang sudah biasa disajikan dalam upacara kematian Hindu di Yogyakarta
dijadikan sumber perancangan sebagian melodi pokok bagian pangisep.
Pola tabuhan rangrangan terompong dalam gending lelambatan
pagongan (gong gede) dijadikan sumber perancangan pola tabuhan rangrangan
dan sekaligus sebagai melodi vokal Mantram Guru pada bagian rangrangan. Pola
tabuhan kendangan gong luwang (ka pak . dug . . dug jir) sebagai sumber pola
kendangan bagian pangawak. Pola tabuhan instrumen gamelan semar pagulingan
berlaras pelog sapta nada (noret, agal) sebagai sumber pola tabuhan gangsa
dalam pangisep yang berlaras pelog sapta nada. Pola tabuhan gamelan sekaten
(Jawa: balung; Bali: kakenyongan) dijadikan sumber perancangan iringan vokal
Mahamrtyunjaya pada bagian pangawak dengan menggunakan pola kakenyongan.
Pola tabuhan kakebyaran (angsel, ngebyar) dan imbal demung (Jawa) digunakan
sebagai sumber perancangan bagian pangecet. Pola tabuhan kakebyaran yang
6
dipakai sebagai sumber perancangan lebih banyak mengenai pola ritme yang
bersifat sinkopasi dan pola dinamika yang menekankan pada konsep keras lirih,
cepat lambat, tinggi rendah, dan lain-lain. Melodi kakebyaran yang dijadikan
salah satu sumber penggarapan bagian pangecet Bhakti Swari adalah gending
Oleg Tambulilingan bagian pangipuk (Senen dan Cau, 2015: 4-9).
Pustaka yang dipakai sebagai sumber perancangan karya seni ini antara lain
sebagai berikut. Lontar “Aji Gurnita” yang telah diterjemahkan oleh I Gusti
Bagus Sugriwa. Dalam lontar itu disebutkan bahwa setiap nada dalam gamelan
memiliki sinar kekuatan yang disebut dev (sinar). Lebih lanjut dikedepankan
bahwa dalam laras pelog, nada dang (Jawa: 6) yang bertempat di timur memiliki
kekuatan (deva) Iswara, deng (3) di selatan Brahma, dong (2) barat Mahadewa,
dung (5) di utara Wisnu, dan ding (1) di tengah diyakini memiliki sinar kekuatan
Siwa (I Gusti Bagus Sugriwa, dalam I W. M. Aryasa, 1976/1977: 1). Pustaka lain
yang juga dipakai sumber perancangan --terutama tentang sumber syair/lirik--
yaitu buku Agnihotra (1999: 125): Mantram Guru, kitab Brhadaranyaka
Upanisad dikutip I Wayan Maswinara dalam buku Trisandya (2004: 15): mantra
Gamaya, kitab suci Reg Weda (VII. 59. 12): mantra Mahamrtyunjaya, buku
Trisandya Sembahyang dan Berdoa (2003: 94 dan 99): Pancaksara Siwa dan
mantra Sarwe Bhawantu Sukhinah.
Sementara sumber idea menunjuk kepada sumber yang muncul sebagai hasil
dari proses pemikiran, olah rasa, perenungan, imajinasi, impian dan meditasi.
Selain sumber karya seni dan pustaka seperti tersebut di atas, karya Bhakti Swari
7
juga menggunakan sumber idea. Pemikiran dan perenungan tentang perancangan
gending Bhakti Swari baik secara keseluruhan maupun parsial -- tema gending,
bentuk gending, struktur gending, dinamika, dan lain-lain-- sering dilakukan.
C. METODE/PROSES PENCIPTAAN
Ada beberapa metode/proses perancangan seni. Beberapa di antaranya
adalah sebagai berikut. Metode/proses perancangan seni yang ditawarkan oleh
Konsursium Seni meliputi 1) persiapan, berupa pengamatan, pengumpulan
informasi, dan gagasan; 2) elaborasi, untuk menetapkan gagasan pokok melalui
analisis, integrasi, abstraksi, generalisasi, dan transmutasi; 3) sintesis, untuk
mewujudkan konsepsi karya seni; 4) realisasi konsep ke dalam berbagai media
seni; dan 5) penyelesaian ke dalam bentuk akhir karya seni (Tim Penyusun Edisi
ke IV, 2013: 15). Dalam “Pedoman Penulisan Tesis Program Magister
Perancangan dan Pengkajian Seni” Institut Seni Indonesia Yogyakarta disebutkan
bahwa metode/proses perancangan seni meliputi tahap ide, perancangan, dan
pewujudan hingga konsep penyajian/pameran (Tim Penyusun Edisi ke IV, 2013:
4).
Dalam bidang tari, Alma M. Hawkins mengedepankan metode penciptaan
seni tari yang terdiri dari 1) eksplorasi: berfikir, berimajinasi, merasakan,
menanggapi, menetapkan tema, ide, dan judul karya; 2)
improvisasi/eksperimentasi: memilih, membedakan, mempertimbangkan,
menciptakan harmonisasi, menciptakan kontras-kontras tertentu, menemukan
integritas dan kesatuan melalui berbagai percobaan; 3) pembentukan/pewujudan:
menentukan bentuk ciptaan dengan menggabungkan simbol-simbol yang
dihasilkan dari berbagai percobaan yang telah dilakukan, menentukan kesatuan
dan parameter yang lain (iringan, kostum, dan yang lain), dan pemberian bobot --
8
bobot seni, bobot dramatisasi, dan bobot spiritual (Dikutip oleh Tim Penyusun
Edisi ke IV, 2013: 14; Alma M. Hawkins, Terj. Y. Sumandiyo Hadi, 2003: 24).
Menurut I Made Kredek, I Wayan Geria, dan Cokorda Oka Tublen sebagai
pencipta tari Barong Kuntiseraya (Barong and Keris Dance) yang sangat populer
hingga sekarang, dikatakan bahwa tahap perancangan tari Barong Kuntiseraya
berintikan prinsip ngrencana, makalin, nelesin, dan ngebah. Ngrencana adalah
proses penjelajahan dan renungan yang instens; makalin, membuat dasar, mencari
pelaku, membagi tugas, dan proses menggabungkan unsur-unsur seni lama
dengan penemuan baru; nelesin, menyempurnakan dan mewujudkan bentuk akhir,
dan ngebah adalah pementasan perdana dari hasil transformasi itu termasuk
evaluasi (I Made Bandem, 2015: 13).
Mengacu pada beberapa teori dan proposisi tentang perancangan seni atau
penelitian seni tersebut di atas dan memperhatikan pula metode perancangan
karawitan yang telah dipakai oleh para pencipta (pangripta) gending,
dikedepankan bahwa perancangan gending sandyagita Bhakti Swari
menggunakan metode perancangan yang mencakup tiga tahapan pokok yaitu
ngrencana (perencanaan), ngwangun (pembentukan), dan ngebah (penyajian).
1. Ngrencana
Ngrencana (perencanaan) merupakan tahap awal yang menyangkut
perencanaan tentang hal-hal yang berkaitan dengan perancangan gending. Dalam
9
perancangan gending Bhakti Swari, kegiatan ngrencana meliputi rangsang awal,
perenungan dan penetapan tema, pengamatan dan penjelajahan tentang tema,
penetapan judul karya, penetapan media ungkap, dan pertimbangan konsep iksa
sakti desa kala tatwa.
Rangsang awal menunjuk kepada segala sesuatu yang dapat memberikan
rangsangan di awal suatu kegiatan. Jika dilihat dari sumbernya rangsang awal itu
dapat dibedakan menjadi dua: rangsang eksternal dan rangsang interternal.
Rangsang eksternal adalah rangsang yang muncul dari luar diri manusia seperti
dari suatu kejadian (alam, sosial, budaya), pengaruh budaya luar, pesanan, tugas,
dan insentif. Sementara rangsang internal merupakan rangsangan yang datang dari
dalam diri manusia, misalnya dari kepuasan berkarya, motif berprestasi (n Ach),
keinginan untuk mengadaptasi, kesadaran untuk membuat sejarah, dan keinginan
untuk menyumbangkan sesuatu kepada masyarakat (I Wayan Senen, 2002: 57-
79). Dilihat dari proposisi itu, hal yang merangsang terciptanya gending Bhakti
Swari yaitu rangsang eksternal dan rangsang internal. Rangsang eksternal yaitu
10
kejadian sosial. Kejadian sosial yang mendorong terciptanya gending sandyagita
itu yaitu tertutupinya penyajian gita/kidung Jawa/Bali oleh gamelan Bali (gong
kebyar) dalam upacara keagamaan Hindu (odalan) di Yogyakarta. Rangsang
internal meliputi kepuasan berkarya dan keinginan untuk menyumbangkan
sesuatu kepada masyarakat.
Setelah adanya dorongan berupa rangsang eksternal dan rangsang internal
itu, penulis melaksanakan perenungan terutama tentang tema dan bentuk gending
yang akan ditetapkan. Setelah melalui pemikiran, imajinasi, dan perenungan
akhirnya ditemukan dan ditetapkan bahwa tema gending yang akan dibuat itu
adalah ‘ritual keagamaan Hindu’. Dengan tema itu diharapkan bahwa
karakter/suasana gending yang akan dibuat itu dapat mendukung suasana religius
magis upacara keagamaaan Hindu. Sementara bentuk gendingnya ditetapkan
sandyagita, campuran antara gita (lagu vokal) dan tatanguran (lagu instrumental).
Setelah itu penulis mengadakan pengamatan dan penjelajahan terhadap tema
gending --‘ritual keagamaan Hindu’-- dan aspek-asperk yang berkaitan dengan
11
tema tersebut. Misalnya mengadakan pengamatan dan penjelajahan tentang ciri-
ciri kegiatan ritual agama Hindu, syair-syair mantra yang digunakan dalam
upacara keagamaan Hindu, bunyi-bunyian ritual yang digunakan dalam upacara
keagamaan dan adat budaya Hindu, proses pelaksanaan upacara keagamaan
Hindu, dan lain-lain. Selain itu pada tahap ini dilakukan pula pengumpulan
informasi/data tentang tema dan sumber perancangan melalui teknik pustaka;
pengalaman langsung di lapangan sebagai partisipan aktif dalam upacara dan
sebagai penabuh gamelan; wawancara dengan para tokoh agama, seniman, dan
budayawan; dan rekaman audio visual. Tahap ini membutuhkan waktu cukup
panjang karena sangat kompleks.
Langkah selanjutnya adalah penetapan judul garapan gending yaitu Bhakti
Swari (Penetapan judul dapat pula dilakukan setelah gending sudah terwujud).
Kata bhakti menunjuk kepada kesetiaan, pelayanan, persembahan, penghormatan,
pengabdian. Sementara kata swari yang berasal dari kata Sanskerta svara berarti
suara (I Made Surada, 2007: 240-305). Dengan demikian Bhakti Swari
12
dimaksudkan sebagai persembahan (bhakti) kepada Tuhan dalam wujud bunyi-
bunyian (swari).
Tahap berikutnya yaitu penetapan instrumen/gamelan yang digunakan
sebagai media ugkap. Agar dapat menampung ide garapan gending yang
bernuansa religius magis dan enak didengar maka ditetapkan bahwa gamelan yang
digunakan untuk menyajikan (ngebah) gending Bhakti Swari adalah gamelan
semaradana, gamelan Bali pelog sapta nada milik KPB Pura Yogyakarta.
Proses lain dalam tahap ngrencana gending ini adalah pertimbangan
konsep budaya Jawa Kuno dan Bali: iksa, (tujuan), sakti (kemampuan), desa
(tempat), kala (waktu), dan tatwa (hakekat) (G. Pudja dan Tjok Rai Sudharta,
2003: 355, I Ketut Wiana, 2004: 39-42). Iksa berarti perancangan gending
disesuaikan dengan tujuan perancangan atau dalam rangka apa gending itu dibuat.
Dalam hal ini gending Bhakti Swari dicipta untuk keperluan (dalam rangka)
upacara agama Hindu (odalan). Sakti, perancangan gending disesuaikan dengan
kemampuan --termasuk kemampuan pemain yang sangat menentukan berhasil
13
tidaknya suatu penyajian gending. Desa, perancangan gending disesuaikan dengan
keadaan lingkungan sosial budaya setempat. Kala, perancangan gending sesuai
dengan keadaan jiwa zamannya. Sementara tatwa, perancangan gending Bhakti
Swari sebagai gending ritual keagamaan Hindu disesuaikan dengan konsep atau
ajaran agama Hindu.
2. Ngwangun
Sebelum melangkah ke tahap ngwangun, terlebih dahulu penulis melakukan
kegiatan matur piuning (mohon doa restu) kepada Sang Hyang Taksu, Tuhan
sebagai kekuatan atau energi khusus yang dapat mengubah sesuatu yang biasa
menjadi luar biasa, mengubah manusia menjadi mahluk super, dan membuat
benda sehari-hari menjadi benda-benda khusus (I Wayan Dibia, 2012: 24).
Penulis melakukan hal ini dengan menggunakan sarana sesaji (banten) di sanggah
taksu, tempat untuk memuja Sang Hyang Taksu, dengan permohonan semoga
gending Bhakti Swari dapat terwujud dengan selamat dan lancar.
14
Ngwangun berarti membangun, membentuk, mewujudkan (Panitia
Penyusun Kamus Bali-Indonesia, 1993: 791). Dalam perancangan gending Bhakti
Swari, ngwangun dimaksudkan sebagai proses pembentukan atau pewujudan
unsur-unsur atau komponen gending. Dalam perancangan gending Bhakti Swari,
kegiatan yang dilakukan pada tahap ngwangun meliputi ngarap, nyimpen,
ngurukang, dan nelesin. Ngarap dimaksudkan sebagai sebuah proses
penggarapan atau pengolahan elemen/bagian gending dengan menggunakan
teknik karawitanologi sebagai berikut.
Bantang gending vokal Ginada Eman-eman ditransformasikan dengan
teknik nyuti rupa (transformasi) ke dalam instrumen terompong dan diolah
dengan menggunakan teknik ngisinin (mengisi/isian) dan ngubah (perombakan)
sehingga menjadi pola tabuhan golakan yang dibawakan dengan instrumen
reyong. Hasil akhir dari pengolahan ini menjadi satu pola gending golakan yang
dalam komposisi gending Bhakti Swari ditempatkan sebagai bagian pangawit
(awal) gending.
15
Sumber melodi vokal sloka diolah dengan teknik ngisinin (mengisi) dan
ngubah (merombak) sehingga menjadi melodi rangrangan dan melodi vokal
Mantram Guru. Sumber sampak (Jawa) yang biasa dibawakan dengan gamelan
ageng (Jawa) ditransformasi (nyuti rupa) ke dalam gamelan semaradana (Bali).
Untuk pengolahan tabuhan instrumen jajar (kolotomi) dan kendang
menggunakan teknik nuutang (imitasi) dari pola gilak pada gong gede (Bali).
Melodi vokal itu dijadikan pula sebagai sumber melodi lagu (instrumental
dan vokal) bagian pangawak. Pengolahannya menggunakan teknik ngisinin dan
ngubah. Sementara pola tabuhan gamelan sekaten diolah dengan teknik nuutang
(imitasi) dengan menggunakan instrumen bilah --gangsa, jublag, jegogan-- dan
cengceng kopyak (cengceng besar).
Penggarapan lagu vokal (Sarwe Bhawantu Sukhinah) di bagian pangisep
menggunakan teknik ngulang (pengulangan) dan ngubah (perombakan) seperti
dalam contoh berikut.
Panjang Ilang sebagai sumber
16
4 4 j4j j 2 1 . . 2 3 . juj 1 juj kyk u y
Diolah menjadi
4 4 j4j j 2 1 . . 2 4 . j2j 4 5 4
Penggarapan bagian pangecet menggunakan teknik pengolahan sebagai berikut.
Sumber yang digunakan untuk membuat kalimat lagu pertama pada pangecet
Bhakti Swari berasal dari gending Oleg Tambulilingan bagian pangipuk yang
berbunyi seperti berikut.
_ . y . p2 . y . nt . w . pe . y . gt _
Bantang gending itu diolah menjadi seperti di bawah ini.
_ . 1 . p2 . 3 . n5 . 3 . p2 . y . gt _
Teknik pengolahannya adalah sebagai berikut. Pola melodi pada lingsa (Jawa:
gatra) pertama pada sumber ( . 6 . 2 ) diolah menjadi . 1 . 2 (lingsa pertama pada
pangecet) dengan teknik ngubah, nada nem (Bali: dang) diubah menjadi nada siji
(Bali: ding). Untuk lingsa kedua teknik pengolahnnya sama dengan yang pertama.
Untuk penggarapan lingsa ketiga digunakan teknik malik (pembalikan), sementara
pengolahan lingsa keempat menggunakan teknik ulangan (pengulangan).
17
Pola berikutnya sangat dominan diilhami oleh pola garapan pakebyaran
sehingga hasilnya kebanyakan bernafas pakebyaran, lincah, dinamis, agresif, dan
lain sejenisnya. Proses pengolahannya menggunakan teknik nyes pleng melalui
perenungan dan imajinasi kemudian muncul pola-pola baru dalam berbagai
elemen gending sehingga muncul bentuk gending seperti pada bagian pangecet.
Selain itu pada tahap ngarap dilakukan pula pembobotan seni berdasarkan
konsep estetika karawitan seperti kesatuan, keseimbangan, kekontrasan,
kesederhanaan, kerumitan, kejelasan, variasi, pengaturan energi dalam tubuh
pemain (ngunda bayu), kosong dan katakson yaitu hidup berjiwa (Bandem, 2013:
102-105; Dibia, dalam Yudha Triguna, 2003: 96-105). Keseimbangan sebagai
salah satu kualita estetis dimaksudkan adalah selain keseimbangan antara elemen
gending, juga keseimbangan dan keharmonisan antara komposisi gending (jajar
pageh), pemain (juru gambel / juru tembang), dan gamelan (tatanguran).
Nyimpen adalah tahap penggarapan dengan melakukan kegiatan menyimpan
gending yang sudah selesai dibuat (dalam pikiran) untuk nantinya dituangkan atau
18
diajarkan kepada para penabuh (juru gambel) dan vokalis (juru gita / juru
tembang). Ada dua tempat untuk menyimpan gending yang telah selesai dibuat
yaitu pikiram dan media rekam (buku/kertas dan media elektronik). Untuk
gending Bhakti Swari, semua pola garapan instrumental disimpan dalam pikiran
pencipta, sementara garapan melodi dan lirik vokal disimpan/ditulis dalam kertas.
Ngurukang adalah langkah penuangan gending dari yang tersimpan dalam
pikiran dan dalam kertas kemudian dituangkan/diajarkan kepada para penabuh
dan vokalis. Dalam gamelan Bali, juga dalam gending Bhakti Swari, proses
ngurukang (pelatihan) ini dilakukan dengan metode ningalin (memperhatikan),
nguping (mendengarkan), nuutang (menirukan), dan ngetut (mengikuti).
Nelesin merupakan tahap penyelesaian atau penghalusan suatu gending.
Aspek-aspek yang dihaluskan pada umumnya menyangkut sikap menabuh (sila),
teknik tabuhan instrumen (gagebug) --padet, tekes, gilik, resik, incep, teknik
menyanyi (reng, onek-onekan, dan lain-lain), ekspresi dalam menabuh, penyajian
elemen gending, dan penjiwaan gending.
19
3. Ngebah
Tahap terakhir dari proses perancangan gending Bhakti Swari yaitu ngebah,
tahap penampilan atau pergelaran perdana bentuk karya seni secara keseluruhan.
Ada tiga tahapan yang berkaitan dengan ngebah gending Bhakti Swari, yaitu
purwa (sebelum pentas), madia (saat pentas), dan wasana (setelah pentas).
Purwa (awal) yaitu kegiatan yang diselenggarakan sebelum pementasan
dilakukan, misalnya melakukan pengecekan tentang aspek-aspek pertunjukan
seperti tempat, lampu, sound system, instrumen gamelan, pemain, kostum pemain,
waktu, dan hal lain yang terkait dengan pementasan. Setelah siap semuanya,
seluruh pemain dibersihkan secara spiritual dengan sarana pemercikan air suci
(tirtha), kemudian dilanjutkan sembahyang dan berdoa di belakang panggung
dengan harapan semoga pementasan Bhakti Swari selamat, lancar, dan sukses.
Madia (tengah) di sini dimaksudkan adalah kegiatan pentas gending Bhakti
Swari yang dimulai dari bagian pangawit sampai bagian pangecet, kemudian
20
ditutup dengan panyuwud. Dalam tahap penyajian ini, dilakukan pula evaluasi
tentang garapan gending secara keseluruhan terutama mengenai keseimbangan
antara kualitas garapan gending, pemain, dan media ungkap (instrumen gamelan
dan suara vokal).
Wasana (akhir) dalam Bhakti Swari merupakan kegiatan yang dilakukan
setelah pementasan gending selesai. Dalam pertunjukan pada upacara odalan di
pura-pura, tahap wasana ini diisi dengan acara kicen paica (pemberian berkah)
berwujud ajengan (makanan) kepada seluruh pemain, termasuk anggota
kontingen yang lain, dan pemberian sasari (uang sekedarnya) kepada sekaa gong
(organisasi gamelan) sebagai ungkapan rasa syukur atas kesuksesan pentas yang
telah dicapai.
D. GENDING SANDYAGITA BHAKTI SWARI
Hasil yang dicapai dalam perancangan seni ini adalah gending Bhakti Swari
berbentuk sandyagita, campuran yang harmonis antara lagu vokal (gita) dan
21
instrumental (tatanguran). Gending tersebut terdiri dari enam bagian yaitu
pangawit, rangrangan, gilakan, pangawak, pangisep, dan pangecet.
1. Pangawit
Pangawit (Jawa: buka) adalah bagian pembukaan (introduksi) suatu
gending, sebagai tanda (sasmita) dari karakter gending (keseluruhan) yang akan
disajikan. Pada gending lelambatan pagongan --tabuh pat, tabuh nem dan tabuh
kutus-- bagian ini dimulai oleh terompong dengan pola ngembat. Namun dalam
gending Bhakti Swari, bagian ini dimulai dengan reyong dengan pola golakan
(interlocking) dan terompong sebagai pembawa bantang gending yang bernuansa
religius magis. Maksud penyajian bagian ini bahwa gending yang akan disajikan
secara keseluruhan adalah gending ritual keagamaan yang bernuansa religius
magis.
2. Rangrangan
22
Rangrangan menunjuk kepada bagian gending yang dalam gending
pagongan klasik disajikan sebelum pangawit (introduksi) dimulai dan
dibawakan oleh terompong dengan tujuan untuk memberi tanda bahwa sajian
gending segera akan dimulai. Dalam perkembangannya pola rangrangan pendek
ini berkembang mejadi pola yang lebih panjang dan kompleks seperti pathetan di
Jawa. Maksudnya juga sebagai tanda, gending apa yang akan dimainkan.
Dalam gending Bhakti Swari, rangrangan ini dibawakan oleh vokal yang
diiringi tabuhan terompong, suling, jegogan, dan gong. Bagian ini terdiri dari dua
sub bagian: Mantram Guru, mantra Gamaya, Loka Samasta, dan Purnam
Bhawantu. Mantram Guru merupakan seni suara vokal yang disajikan secara
solo. Mantra Gamaya, Loka Samasta, dan Purnam Bhawantu merupakan vokal
gerongan yang dibawakan secara berurutan oleh seluruh vokalis.
3. Gilakan
23
Gilakan adalah bagian gending berukuran pendek. Istilah ini bersumber dari
kata Bali ‘gilak’ yang berarti bentuk gending alit yang ditandai dengan pola
tabuhan instrumen kolotomik gilak (. . . G P . P G) dan pola tabuhan kendang
gilak. Pada gending Bhakti Swari istilah gilakan dipakai untuk menyebut bagian
gending berpola gilak (gagilak) yang disajikan sebelum bagian pangawak. Pada
akhir penyajian bagian ini dilanjutkan dengan pola panyalit yang berfungsi
sebagai penghubung dari bagian gilakan menuju pangawak seperti dalam notasi
instrumen gangsa dan instrumen jajar (kolotomi) seperti berikut.
Tabuhan Gangsa, Kempur, dan Gong
_ j1j 2 j1j 2 j1j 2 jg1j 6 pj5j 6 j5j 6 pj5j 6 gj5j 6 j5j 6 j5j 6 j5j 6
gj5j 3
jp2j 3 j2j 3 pj2j 3 jg2j 5 j3j 5 j3j 5 j3j 5 jg3j 2 pj1j 2 j1j 2 pj1j 2
gj1j 2 _
. . . . g1
Variasi Tabuhan Gangsa
_ . j.j 1 j.j 1 . 5 . . j5j 5 . j.j 2 j3j 5 . 2 . . j2j 3
24
j.j 1 j.j 3 . 3 1 . . gj1j 1 _
Vokal Pangkur
3 5 5 5 3 3 3 3
Om Hyang Wi - dhi Ma - ha Kwa - sa,
3 5 5 6 1 1 1 2 3 2 1
de - wa - de - wi lan bha- ta - ra - bha - ta - ri,
5 6 ! ! ! ! @ @
la - lu - hur ing - kang si - nung - sung,
! 6 5 5 4 5 6 5
ka - u - la nga - tu - rang sem - bah,
3 5 5 6 1 1 1 1 1 2 3 3
ma-sa - ra - na ca- nang su - ci gong lan ki - dung,
y 1 1 1 3 2 1 1
mu - gi Pa - du - ka su - e - ca,
2 3 5 3 2 1 2 1
kar - sa ngak - si ha - tur ma - mi.
Arti lirik tersebut di atas seperti berikut.
Om Hyang Widhi (Tuhan) yang Maha Kuasa,
dewa-dewi dan bhatara-bhatari,
leluhur yang terhormat,
25
hamba menghaturkan pemujaan,
menggunakan sarana sesaji gamelan dan nyanyian,
semoga Paduka murah hati,
berkenan menerima haturan kami.
Lirik Pangkur itu merupakan pujaan dan doa yang ditujukan kepada Tuhan, dewa
dan leluhur yang sangat dimuliakan dengan harapan semoga ketiga roh suci itu
berkenan menerima doa yang dilantunkan oleh para pemuja.
Panyalit
t /t t 1 t /t t p1 t y 1 2 5 3 5 n1
. j.j 3 j2j 1 jyj 1 j2j 3 j1j 2 j1j y pt
jtj kek t jkykj j1j 2 k.k jtj kyk 1 kn2k j3j 2 k.k j3j k3k 5
pjk3kj j5j k.k 6
k.k j2j k.k 3 g1
4. Pangawak
Pangawak merupakan bagian pokok gending yang pada umumnya terdiri
dari satu pada (Jawa: ulihan) atau lebih. Dalam gending Bhakti Swari, bagian
yang terdiri dari satu pada ini merupakan sebuah campuran (saduran) antara
26
vokal mantra Mahamrtyunjaya dengan gending pengiringnya. Mantra asli dari
Weda ini diberi melodi nyaloka (seperti sloka), sementara tabuhan instrumennya
menggunakan pola gagilak (Bali), tabuhan sekaten (Jawa), kendangan gong
luwang (Bali) dan pola tabuhan tatorotan (reyong) gong gede (Bali).
5. Pangisep
Pangisep merupakan bagian gending yang dalam gending lelambatan
pagongan --tabuh pat, tabuh nem, tabuh kutus-- memiliki ukuran sama panjang
dengan pangawak dengan pola melodi lebih tinggi dan tempo lebih cepat dari
pangawak. Dalam gending Bhakti Swari, bagian ini disajikan lebih lambat dari
pada pangawak karena kebutuhan dinamika. Bagian pangawak disajikan secara
keras seperti tabuhan gamelan sekaten (Jawa), sementara bagian pangisep
disajikan lembut seperti tabuhan gamelan semar pagulingan (Bali). Lirik yang
digunakan mengandung maksud: semoga semuanya memperoleh kebahagiaan,
kedamaian, kebajikan dan terbebas dari penderitaan.
27
6. Pangecet
Pangecet menunjuk kepada bagian akhir suatu gending. Pada umumnya
bagian ini merupakan klimaks dari sebuah gending. Dalam Bhakti Swari bagian
ini lebih menonjolkan pola garapan yang ritmis dinamis dengan vokal
Pancaksara Siwa (hormat kepada Tuhan Siwa) yang diulang-ulang sebagai japa
(Islam: zikir). Bagian pangecet ini ditutup dengan pola panyuwud yang disertai
vokal parama santih yang bermakna ‘atas karunia Tuhan, semoga semuanya
damai di hati, damai di dunia dan damai di akhirat’. Sebagai contoh dikemukakan
notasi melodi pokok pangecet gending Bhakti Swari yang dibawakan dengan
instrumen jublag, jegogan, gong, dan vokal sebagai berikut.
_ . 4 . p5 . 6 . n! . y . p5 . 2 . g1
. 4 . p5 . 6 . n! . y . p5 1 2 4 g5
5 5 5 p5 1 2 4 n5 1 6 5 p4 1 2 4 g5
. 5 . p6 . 4 . n4 . 1 . p5 . 6 . g1
_: . 1 . p1 . 3 . n1 . 6 . p3 . 6 . g1
. 1 . p1 . 3 . n1 . 6 . p3 . 1 . g5
28
. 2 . p5 . 2 . n5 . 6 . p4 . 1 . g5
. 5 . p6 . 4 . n4 . 1 . p5 . 6 . g1 :_ _
Panyuwud
. 1 . p1 . 1 1 g1 . 5 . p2 . 5 . n1
. 2 . p3 . 5 . g6
Vokal Pancaksara Siwa
_: . ! . ! ! # @ ! . z6xx x c5 3 5 6 zj!xj c6 !
Om na - ma Si - wa- ya, Om na - ma Si - wa - ya,
. ! . ! ! # @ ! . z6xx x c5 3 jz5xj c6 ! 6 5
Om na - ma Si - wa- ya, Om na - ma Si - wa - ya,
. j2j 3 j5j 6 5 . j5j 6 j!j 6 5 . 6 5 4 jz5xj c6 ! 6 5
na-ma Si-wa-ya na-ma Si-wa-ya A - um na - ma Si - wa - ya,
.... . 4 2 j4j 5 j4j 2 1 . jjztxj cy j1j 2 j.j 3 j5j 6 ! :_
A - um na-ma Si-wa- ya A - um na - ma Si-wa - ya.
jztxj cy j1j 2 j.j 5 j3j 2 1 _
A - um na - ma Si-wa - ya.
Parama Santih
. 1 . 1 . 1 1 1 y t e zwx xce ztx x cy z1x xx2xx c3 . . . 6
Om Om Om Om Om san- tih san- tih san - tih Om.
E. KESIMPULAN
29
Proses perancangan gending Bhakti Swari seperti terurai di atas merupakan
sebuah contoh metode perancangan gending ritual keagamaan Hindu yang
bersumber dari karya seni, pustaka, dan idea. Karya seni yang dipilih sebagai
sumber perancangan gending Bhakti Swari adalah karawitan Bali dan karawitan
Jawa. Pustaka yang dipakai sebagai sumber perancangan karya seni ini antara lain
berbentuk lontar (“Aji Gurnita”, “Prakempa”), buku (Reg Weda, Agnihotra,
Trisandya Sembahyang dan Berdoa, dan lain-lain). Sementara sumber idea banyak
digunakan untuk mengolah elemen gending seperti bentuk gending, melodi
pokok, bun gending, dinamika, dan tempo.
Perancangan gending Bhakti Swari dilandasi dengan konsep estetika Hindu
--satyam (kebenaran), siwam (kebaikan), dan sundaram (keindahan). Metode/
proses perancangan yang digunakan adalah metode karawitanologi yang meliputi
tahap ngrencana (perencanaan), ngwangun (pembentukan), dan ngebah
(penyajian). Dalam perancangan gending Bhakti Swari kegiatan ngrencana
meliputi rangsang awal, perenungan dan penetapan tema, pengamatan dan
penjelajahan tentang tema, penetapan judul karya, penetapan media ungkap, dan
pertimbangan konsep iksa sakti desa kala tatwa. Kegiatan ngwangun meliputi
ngarap, nyimpen, ngurukang, dan nelesin. Sementara pada tahap ngebah
(penyajian) dilakukan kegiatan yang dilaksanakan pada waktu purwa (sebelum
30
pementasan), madia (pementasan sedang berjalan), dan wasana (setelah
pementasan).
Hasil yang dicapai adalah sebuah bentuk gending sandyagita berjudul
Bhakti Swari yang terdiri dari enam bagian: pangawit (pembukaan), rangrangan
(Jawa: pathetan), gilakan (penaikan), pangawak (lagu pokok pertama), pangisep
(lagu pokok kedua), dan pangecet (bagian klimaks). Sandyagita tersebut
diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah sajian seni
(karawitan) dalam pelaksanaan ritual odalan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang
umatnya sebagian besar berasal dari Jawa dan Bali yang memiliki latar belakang
budaya yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Bandem, I Made. 1986. “Prakempa Sebuah Lontar Gambelan Bali”. Laporan
Penelitian. Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia Denpasar.
__________. 2013. Gamelan Bali di Atas Panggung Sejarah. Denpasar: BP STIKOM Bali.
31
__________. 2015. “Karawitanologi sebagai Disiplin Ilmu Karawitan”. Makalah yang disampaikan dalam Simposium Karawitanologi Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Dibia, I Wayan. 2003. “Nilai-nilai Estetika Hindu dalam Kesenian Bali”, dalam Ida Bagus Gde Yudha Triguna, ed. Estetika Hindu dan Pembangunan Bali. Denpasar: Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia Bekerja Sama dengan Penerbit Widya Dharma.
__________. 2012. Taksu dalam Seni dan Kehidupan Bali. Denpasar: Bali Mangsi.
Donder, I Ketut. 2005. Esensi Bunyi Gamelan dalam Prosesi Ritual Hindu: Perspektif Filosofis-Teologis, Psikologis, Sosiologis dan Sains. Surabaya: Paramita.
Hadi, Y. Sumandiyo. Terj. 2003. Mencipta Lewat Tari. Yogyakarta: Manthili.
Jendra, I Wayan. 1999. Agnihotra Raja Upacara, Multi Fungsi, dan Efektif. Surabaya: Paramita.
Maswinara, I Wayan. 2004. Gayatri Sadhana Maha Mantra Menurut Weda. Surabaya: Paramita.
__________, Terj. 2008. Veda Sruti Rg Veda Samhita Mandala I, II, III. Surabaya: Paramita.
McPhee, Colin. 1966. Music in Bali A Study in Form and Instrumental Organization in Balinese Orchestral Music. New Haven and London: Yale University Press.
Panitia Penyusun Kamus Bali-Indonesia 1993 “Kamus Bali-Indonesia”. Laporan Penelitian. Denpasar: Dinas Pengajaran Daerah Tingkat I Bali.
Pudja, Gde dan Tjokorda Rai Sudharta. Terj. 1973. Manawa Dharmasastra (Weda Smrti). Jakarta: Lembaga Penterjemah Kitab Suci Weda.
Senen, I Wayan. 2002. Wayan Beratha Pembaharu Gamelan Kebyar di Bali. Yogyakarta: Tarawang Press.
Senen, I Wayan dan I Nyoman Cau Arsana. 2015. “Bunyi-bunyian Sandyagita dalam Upacara Keagamaan Hindu di Daerah Istimewa Yogyakarta”. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Yogyakarta: Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta.
32
Sugriwa, I Gusti Bagus. Terj. Lontar “Aji Gurnita”, dalam I W. M. Aryasa.
1976/1977. “Perkembangan Seni Karawitan Bali”. Laporan Penelitian.
Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali.
Surada, I Made. 2006. Dharma Gita Kidung Panca Yajna, Beberapa Wirama, Sloka, Phalawakya, dan Macepat. Surabaya: Paramita.
__________. 2007. Kamus Sanskerta Indonesia. Denpasar: Widya Dharma.
Tim Penyusun Edisi Ke IV. 2013. “Pedoman Penulisan Tesis Program Magister Perancangan dan Pengkajian Seni”. Buku Pedoman. Yogyakarta: Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Titib, I Made. 2003. Tri Sandhya Sembahyang dan Berdoa. Surabaya: Paramita.
__________. 2003. Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.