bappenas.go.id · Web viewUUDS 1950 menganut sistem pemerintahan demokrasi barat dengan sistem...

82
HUKUM

Transcript of bappenas.go.id · Web viewUUDS 1950 menganut sistem pemerintahan demokrasi barat dengan sistem...

HUKUM

BAB XX

H U K U M

A. PENDAHULUAN

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat), dan pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Penegasan ini mengandung makna bahwa di dalam negara Republik Indonesia, penyelenggaraan negara tidak boleh dan tidak akan dilakukan berdasarkan atas kekuasaan belaka.

Seluruh penyelenggaraan pemerintahan dan hukum harus dilaksanakan berdasarkan konstitusi yang berlaku. Pada awal kemerdekaan, penyelenggaraan pemerintahan dan hukum dilakukan dengan sistem presidentil sebagaimana diatur dalam UUD 1945. UUD 1945 ternyata telah mampu berfungsi sebagai hukum dasar tertulis selama berlangsungnya perjuangan fisik. Namun demikian, untuk

XX/3

kepentingan perjuangan/diplomasi pada masa perjuangan menegakkan kemerdekaan, maka dalam perkembangannya kemudian telah diambil kebijaksanaan yang cukup mendasar dalam sistem pemerintahan, yaitu merubah sistem pemerintahan presidentil menjadi sistem parlementer, di mana para menteri bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berfungsi sebagai badan perwakilan rakyat berdasarkan pasal IV Aturan Peralihan, tanpa merubah UUD 1945 itu sendiri.

Masa perjuangan fisik berakhir dengan pengakuan kedaulatan pada tahun 1949. Namun sebagai basil perundingan Konperensi Meja Bundar (KMB), bentuk dan susunan negara republik terpaksa berubah, yaitu dari negara kesatuan Republik Indonesia menjadi negara federal Republik Indonesia Serikat, dan UUD 1945 digantikan dengan UUD RIS.

Bagi para pejuang, diterimanya RIS dan UUD-RIS ini merupakan taktik belaka, oleh karena itu negara RIS tidak berumur panjang yaitu kurang dari satu tahun.

Atas kesepakatan antara negara-negara bagian lain dengan negara bagian RI yang beribu kota di Yogyakarta, pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan Republik Indonesia, dan UUD RIS menjadi Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 (UUDS-1950).

UUDS 1950 menganut sistem pemerintahan demokrasi barat dengan sistem kabinet parlementer. Ternyata sistem ini tidak dapat memberikan stabilitas politik dan pemerintahan. Kabinet cepat berganti sehingga program-program pembangunan tidak dapat dijalankan, dan tidak ada kesinambungan dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Perbedaan ideologi juga mengakibatkan

XX/4

pertentangan-pertentangan politik yang tajam antara partai-partai politik. Akibatnya keadaan ekonomi dan sosial masyarakat tidak ada perbaikan. Sementara itu beberapa daerah bergolak karena ada usaha separatisme dan kuatnya rasa kedaerahan.

Dalam UUDS 1950 ditentukan adanya konstituante yang bertugas membuat undang-undang dasar RI yang tetap. Konstituante dibentuk melalui pemilihan umum pada tahun 1955 yang juga memilih anggota DPR. Dalam mengemban tugasnya, konstituante ternyata gagal melaksanakan tugasnya walaupun telah melakukan persidangan selama lebih dari 2 tahun. Mempertimbangkan ketidakberhasilan konstituante dalam membuat undang-undang dasar yang tetap, sementara keadaan politik dan keamanan semakin mengancam keutuhan negara dan persatuan serta kesatuan bangsa, maka pada tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkanlah Dekrit Presiden yang menetapkan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan kembalinya negara Indonesia kepada UUD 1945 maka berlakulah kembali sistem pemerintahan presidentil. Lembaga-lembaga yang ditetapkan oleh UUD 1945 juga dibentuk.

Namun berlakunya kembali UUD 1945 ternyata tidak dengan sendirinya membawa perbaikan pada kehidupan negara, bangsa dan masyarakat. Pelaksanaan UUD 1945 pada kurun waktu 1959-1965, diterapkan dalam "demokrasi terpimpin" di mana kekuasaan menjadi terpusat. Pimpinan lembaga-lembaga legislatif dan yudikatif menjadi anggota kabinet, dan dengan demikian berada di bawah kedudukan Presiden. Bahkan ketua MPR(S) juga menjadi anggota kabinet. Penyimpangan-penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan UUD 1945, serta gerakan-gerakan yang dilakukan oleh. PKI untuk memperkuat kedudukannya, telah menyebabkan situasi politik dan pemerintahan menjadi tidak mantap dan banyak gejolak. Keadaan ini mencapai puncaknya dengan terjadinya pemberontakan G-30-S/PKI. Pemberontakan ini dapat segera diatasi, dan peristiwa itu telah

XX/5

membangkitkan semangat persatuan, kesadaran dan tekad bangsa Indonesia untuk mengadakan koreksi terhadap penyimpangan pelaksanaan UUD 1945 dengan membangun tatanan negara dan masyarakat yang melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Lahirlah Orde Baru yang bertekad untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang konstitusional, demokratis dan berdasarkan hukum.

Di bidang hukum sejak tahun 1945 hingga tahun 1966, selain telah dihasilkan UUD 1945, UUD RIS, dan UUDS 1950, telah pula dihasilkan sejumlah peraturan perundang-undangan, di antaranya 133 buah undang-undang selama tahun 1945-1950; 8 buah undang-undang dan 30 buah undang-undang darurat dalam kurun waktu berlakunya UUD RIS; 167 buah undang-undang antara tahun 1950-1959; dan 123 buah undang-undang pada kurun waktu 1959-1966.

Dalam masa demokrasi liberal menurut sistem parlementer, patut dicatat digunakannya hak inisiatif DPR dalam pembuatan hukum, yaitu dari 167 buah undang-undang yang dihasilkan pada periode tersebut, 9 buah di antaranya merupakan inisiatif DPR.

Sementara itu dalam masa demokrasi terpimpin patut dicatat pula, adanya bentuk peraturan perundang-undangan yang muatannya adalah materi undang-undang namun berbentuk penetapan presiden. Pada waktu itu dikembangkan ajaran revolusi sebagai sumber hukum dan karena Presiden adalah Pemimpin Besar Revolusi, maka Penetapan Presiden memiliki kekuatan hukum seperti undang-undang. Semenjak itu dikenal bentuk-bentuk baru peraturan negara di samping bentuk peraturan negara yang sudah ada menurut UUD 1945. Peraturan baru tersebut adalah : (1) Penetapan Presiden, (2) Peraturan Presiden; (3) Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan

XX/6

Peraturan Presiden; (4) Keputusan Presiden; dan (5) Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri.

Orde Baru sejak awal berusaha untuk menata kembali kehidupan dengan sungguh-sungguh dan hanya berlandaskan ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945. Melalui sidang-sidang MPRS tahun 1966, upaya penataan hukum dilakukan dengan antara lain Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/66 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. Dalam ketetapan tersebut dinyatakan bahwa sumber tertib hukum Republik Indonesia adalah Pancasila, sedangkan tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah : (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Ketetapan MPR; (3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; (4) Peraturan Pemerintah; (5) Keputusan Presiden; (6) Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lainnya.

Berdasarkan UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Namun pada awal kemerdekaan hingga lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964, sistem peradilan di Indonesia, berdasarkan pasal II Aturan Peralihan, masih tetap mengikuti sistem peradilan di masa penjajahan Belanda yang mengenal lebih dari satu tatanan peradilan. Hal penting yang patut mendapat perhatian dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 adalah dihapuskannya peradilan di luar peradilan negara, seperti peradilan swapraja dan peradilan adat, sehingga hanya ada satu sistem peradilan negara di seluruh wilayah Indonesia. Namun pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang apabila ada kepentingan negara dan bangsa yang lebih besar.

XX/7

Pada masa pemerintahan orde baru dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diadakan koreksi terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964, yang menetapkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dikenal adanya empat lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Sebagai penjabarannya ditetapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Landasan hukum bagi kejaksaan pada saat terbentuknya Republik Indonesia adalah pasal II aturan peralihan UUD 1945 yang kemudian diatur lagi pada pasal 1 PP Nomor 2 Tahun 1945. Dengan demikian seluruh tugas dan wewenang kejaksaan pada waktu itu masih berdasarkan peraturan yang diciptakan oleh pemerintah bala tentara Jepang dan pemerintahan kolonial Belanda. Semula status kejaksaan berada di lingkungan Departemen Kehakiman dan barulah pada tahun 1960 menjadi lembaga yang berdiri sendiri yang diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1961 tentang Ketentuan Pokok Kejaksaan RI. Undang-undang itu pada masa Orde Baru diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991.

Salah satu produk hukum pokok yang sangat penting artinya bagi proses penegakan hukum dan bagi perlindungan hak asasi manusia adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. KUHAP ini menggantikan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR). Berdasarkan undang-undang ini masalah penyidikan

XX/8

dan penahanan dalam perkara tindak pidana umum menjadi kewenangan pihak kepolisian. Dalam perkara tindak pidana khusus, kejaksaan tetap memiliki kewenangan untuk melaksanakan pengawasan terhadap penyidik di samping melakukan penyidikan dan penahanan sendiri.

Di bidang pemasyarakatan, pada awal kemerdekaan pembinaan pemasyarakatan masih dilakukan dengan sistem perlakuan terhadap narapidana yang didasarkan pada Gestichten Reglement Tahun 1917 (Staatsblad 1917 No. 708) yang diberlakukan melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Sistem perlakuan terhadap narapidana ini masih didasarkan kepada pandangan individualis dan liberalis dengan konsep pemidanaan yang meliputi pembalasan, penjeraan, penutupan, rehabilitasi atau reformasi dan perlindungan terhadap masyarakat yang wujudnya adalah penderitaan dan pembalasan terhadap terpidana dengan tujuan agar bekas narapidana tidak akan melakukan pelanggaran hukum lagi.

Berdasarkan PP Nomor 60 Tahun 1948 serta melalui beberapa surat keputusan/edaran Menteri Kehakiman telah dilakukan perbaikan sistem perlakuan terhadap terpidana yang dititikberatkan pada perikemanusiaan, misalnya memberikan perhatian terhadap kesehatan, memberikan pekerjaan yang sesuai dan memperhatikan lamanya jam kerja, memberikan pendidikan jasmani/rohani, perbaikan makanan dan pemberantasan buta huruf bagi narapidana dewasa/anak.

Hal yang patut dicatat adalah bahwa mulai tahun 1951 secara berangsur-angsur sistem kepenjaraan beralih ke sistem pemasyara-katan. Perlakuan terhadap narapidana ditujukan kepada reedukasi dan resosialisasi yang bertujuan memberikan pekerjaan kepada narapidana. Pada tahun 1964 diperkenalkan sistem pemasyarakatan yang didasarkan pada ide pengayoman sebagai lambang hukum di

XX/9

Indonesia. Tugas hukum adalah memberi pengayoman agar cita-cita luhur bangsa tercapai dan terpelihara. Masyarakat diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat.

Selama PJP I sistem perlakuan terhadap narapidana dan anak didik secara bertahap makin disempurnakan, baik mengenai sistemnya sendiri maupun sarana dan prasarana pendukungnya sehingga lebih mencerminkan penerapan nilai-nilai Pancasila di dalam sistem perlakuan terhadap narapidana.

Dasar hukum pelaksanaan tugas keimigrasian pada masa sebelum kemerdekaan dilandasi oleh berbagai peraturan perundang-undangan kolonial, antara lain Toelating-besluit 1916 (Staatsblad 1916 No. 47). Politik keimigrasian yang diterapkan adalah opendeur politiek atau politik pintu terbuka yang bertujuan untuk membuka pintu selebar-lebarnya bagi orang asing untuk masuk dan menetap di wilayah Indonesia guna kepentingan pemerintah kolonial. Berdasarkan Staatsblad 1949 No. 330, dilakukan perubahan mengenai ketentuan-ketentuan dalam penentuan izin masuk sebagaimana telah diatur dalam Staatsblad 1916 No. 47. Pada tahun yang sama diberlakukan pula peraturan perundang-undangan baru di bidang perizinan masuk dan tinggal, yaitu Toelatings-ordonantie 1949 No. 331.

Peraturan perundang-undangan lama yang masih diberlakukan setahap demi setahap digantikan oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang barn, yaitu : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi; dan Undang-Undang Nomor 14 Drt Tahun 1959 tentang Surat Perjalanan Republik Indonesia. Menjelang akhir PJP I telah diundangkan undang-undang keimigrasian yang baru

XX/10

dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian beserta peraturan pelaksananya.

Perhatian yang lebih besar juga diberikan terhadap pengawasan dan pengamatan keimigrasian, terutama atas lalu lintas orang asing, dengan tujuan menekan arus imigran gelap dan penyalahgunaan izin keimigrasian. Untuk lebih meningkatkan penegakan hukum di bidang keimigrasian, sehubungan dengan arus keluar masuknya orang Indonesia dan orang asing dari dan ke wilayah Indonesia, dilakukan pelacakan dan penindakan terhadap orang-orang asing yang tidak menaati ketentuan. Dengan pelacakan dan penindakan ini telah berhasil digagalkan usaha untuk menjadikan Indonesia sebagai tempat transit bagi orang asing yang akan menuju negara lain secara ilegal. Pengawasan terhadap pengeluaran paspor Republik Indonesia juga telah diperketat untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan.

Pembangunan hukum dalam PJP I telah berhasil meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi terwujudnya Indonesia sebagai negara hukum. Hukum telah makin tampil kewibawaannya, sehingga telah dapat berfungsi sebagai sarana untuk mendatangkan ketertiban dan kesejahteraan serta untuk membangun kehidupan bangsa Indonesia yang berkeadilan.

Upaya yang telah dilakukan dalam PJP I dilanjutkan dan ditingkatkan dalam PJP II yang diawali dengan Repelita VI.

B. SASARAN, KEBIJAKSANAAN DAN PROGRAM REPELITA VI

Sasaran pembangunan hukum dalam Repelita VI adalah penataan hukum nasional dengan meletakkan pola pikir yang mendasari

XX/11

penyusunan sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945; penyusunan kerangka sistem hukum nasional serta penginventarisasian dan penyesuaian unsur tatanan hukum dalam rangka pembaharuan hukum nasional; peningkatan penegakan hukum dan pembinaan aparatur hukum; serta peningkatan sarana dan prasarana hukum.

Untuk mencapai sasaran tersebut dalam Repelita VI ditempuh berbagai kebijaksanaan dalam pembangunan bidang hukum yang pokok-pokoknya adalah meningkatkan penataan hukum nasional; meningkatkan pembinaan peradilan; meningkatkan penerapan hukum dan penegakan hukum; meningkatkan penyuluhan hukum; memantapkan kelembagaan aparatur hukum dan meningkatkan kemampuan profesional aparatnya; dan meningkatkan sarana dan prasarana hukum.

Pelaksanaan berbagai kebijaksanaan tersebut di atas dituangkan dalam tujuh program pokok, yaitu : Program Perencanaan dan Pembentukan Hukum; Program Pengembangan Sistem Hukum Nasional; Program Pembinaan Peradilan; Program Penerapan dan Penegakan Hukum; Program Penyuluhan Hukum; Program Pelayanan dan Bantuan Hukum; serta Program Sarana dan Prasarana Hukum; serta satu program penunjang, yaitu Program Pendidikan dan Pelatihan di Bidang Hukum.

C. PELAKSANAAN DAN HASIL, PEMBANGUNAN TAHUN PERTAMA REPELITA VI

Pembangunan hukum dalam tahun pertama Repelita VI adalah melanjutkan upaya untuk melaksanakan penataan dan pembaharuan hukum nasional untuk mendorong terbentuknya dan berfungsinya

XX/12

sistem hukum nasional yang mantap yang bersumber kepada Pancasila dan UUD 1945, mendukung kedudukan dan peranan kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan peradilan yang berkualitas dan bertanggung jawab, meningkatkan penerapan hukum dan penegakan hukum, mendorong tercapainya kemantapan kadar kesadaran hukum masyarakat, meningkatkan kualitas dan kemampuan aparatur serta peningkatan sarana dan prasarana hukum sebagai dukungan untuk menjamin kelancaran dan kelangsungan berperannya hukum sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat dan berfungsi sebagai pengayom masyarakat. Upaya tersebut dilaksanakan melalui tujuh program pokok dan satu program penunjang yang ikhtisarnya adalah sebagai berikut :

1. Program Pokok

a. Program Perencanaan dan Pembentukan Hukum

Program perencanaan dan pembentukan hukum bertujuan untuk meningkatkan kegiatan pembaharuan dan pembentukan perangkat hukum nasional yang mengayomi masyarakat, menjamin kelestarian dan integritas bangsa serta memberi patokan, pengarahan dan dorongan dalam perubahan sosial ke arah terwujudnya tatanan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pada tahun 1994/95, dalam rangka menunjang pembaharuan hukum nasional telah dilaksanakan upaya penggantian 73 buah produk hukum kolonial dan nasional yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Di samping itu dilaksanakan pula kegiatan perencanaan materi hukum dan perundang-undangan yang dituangkan dalam program legislasi nasional sesuai dengan urutan prioritas kebutuhan perundang-undangan yang diperlukan.

XX/13

Kegiatan pembentukan hukum melalui peradilan dilaksanakan melalui pembinaan yurisprudensi yang dilaksanakan dengan mendorong putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk menjadi sumber hukum yang dapat dipergunakan baik oleh para hakim dalam mengambil putusan atas perkara yang dihadapinya maupun oleh aparat penegak hukum lainnya, kalangan perguruan tinggi dan masyarakat umum lainnya. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan upaya pengolahan dan penyusunan yurisprudensi serta pencetakannya sebanyak 12.500 buku yang akan disebarkan kepada masyarakat luas.

Pada tahun 1994/95, rancangan undang-undang yang telah ditetapkan menjadi undang-undang (UU) berjumlah 13 buah. Selanjutnya juga telah ditetapkan 45 buah peraturan pemerintah (PP), 81 buah keputusan presiden (Keppres), serta .7 buah instruksi presiden (Inpres). Perbandingannya dengan tahun sebelumnya dapat dilihat pada Tabel XX-1.

Adapun rancangan perundang-undangan yang ditetapkan dalam tahun 1994/95, adalah :

1) Undang - Undang

Rancangan undang-undang yang disahkan menjadi undang-undang dalam tahun 1994/95 berjumlah 13 buah, yaitu : (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1994 tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 1993/94; (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1994 tentang Perhitungan Anggaran Negara Tahun Anggaran 1991/92; (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1994 tentang Pembentukan Kotamadya Dati II Palu; (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 .tentang Pengesahan United

XX/14

Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati); (5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 Pengesahan United Framework Nations Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Perubahan Iklim); (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization; (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara RI dan Australia; (8) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991; (10) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; (11) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan; (12) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; dan (13) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1995 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1995/96.

2) Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah yang diterbitkan pada tahun 1994/95 berjumlah 45 buah, antara lain : (1) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1994 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil; (3) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1994 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan

XX/15

Struktural; (4) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan fungsional Pegawai Negeri Sipil; (5) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1994 tentang Pembubaran koperasi oleh Pemerintah; (6) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun; (7) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing; (8) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera; (9) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1994 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor; (10) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1994 tentang Tanda Kehormatan Satya Lancana Karya Satya; (11) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1994 tentang Pemindahan Sisa Kredit Anggaran Pembangunan Tahun Anggaran 1993/94 ke Tahun Anggaran 1994/95; (12) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1994 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan; (13) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1994 ten-tang Pengawasan Orang Asing dan Tindakan Keimigrasian; (14) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk, dan Izin Keimigrasian; (15) Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1994 tentang Peraturan Gaji Hakim; (16) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1994 tentang Fasilitas Perpajakan atau Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah tertentu; (17) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi; (18) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1994 tentang Surat Perjalanan Republik Indonesia; (19) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara; (20) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atau Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek; (21) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas Hadiah Undian; (22) Peraturan Pemerintah

XX/16

Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghunian Rumah oleh Bukan Pemilik; (23) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota ABRI, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah; (24) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan bagi Orang Pribadi yang Bertolak ke Luar Negeri; (25) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan; (26) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Penghasilan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; (27) Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994; (28) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia; (29) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1995 Pajak Penghasilan atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan Usahanya; dan (30) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman.

3) Keputusan Presiden

Keputusan Presiden yang ditetapkan pada tahun 1994/95 berjumlah 81 buah, di antaranya (1) Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1994 tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara di Bandar Lampung, Samarinda dan Denpasar; (2) Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1994 tentang Koordinasi Penyelenggaraan Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan; (3) Keputusan

XX/17

Presiden Nomor 26 Tahun 1994 tentang Tim Koordinasi Segitiga Pertumbuhan Indonesia - Malaysia - Thailand; (4) Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1994 tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 120 Tahun 1993 tentang Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia; (5) Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 1994 tentang Tim Koordinasi Wilayah Pertumbuhan Brunei Darussalam - Indonesia - Malaysia - Philipina; (6) Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1994 tentang Pengesahan Statute of the Centre for Science and Technology of the Movement of the Non-Aligned Countries and Other Developing Countries; (7) Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Malaysia mengenai Peningkatan dan Perlindungan atas Penanaman Modal, beserta Protokolnya; (8) Keputusan. Presiden Nomor 36 Tahun 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS; (9) Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1994 tentang Badan Kebijaksanaan dan Pengen- dalian Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Nasional; (10) Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1994 tentang Bantuan Pinjaman kepada Perusahaan Perseroan (Persero) PT Industri Pesawat Terbang Nusantara; (11) Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pelaksanaan Pembangunan Wilayah Perbatasan di Kalimantan; (12) Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 1993 tentang Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil; (13) Keputusan Presiden nomor 47 Tahun 1994 tentang Badan Pertimbangan Jabatan Tingkat Nasional; (14) Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1994 tentang Pendirian Sekolah Tinggi Hukum Militer "AHM PTHM"; (15) Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1994 tentang Pembentukan Panitia Penyelenggara Pertemuan Para Pemimpin Kerjasama Ekonomi Asia - Pasifik; (16) Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1994 tentang Perincian Anggaran Belanja Rutin Tahun Anggaran 1994/95; (17) Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1994 tentang Perincian Anggaran Belanja Pembangunan Tahun Anggaran 1994/95; (18)

XX/ 18

Keputusan Presiden Nomor 54 Tahun 1994 tentang Lembaga Sandi Negara; (19) Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement between the Government of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland on Copyright Protection; (20) Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1994 tentang Constitution of the Asia - Pacific Telecommunity; (21) Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 1994 tentang Pengesahan Anggaran Dasar Korps Pegawai RI (KORPRI); (22) Keputusan Presiden Nomor 67 Tahun 1994 tentang Penetapan Harga Jual dan Golongan Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara; (23) Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1994 tentang Penetapan Harga Jual Tenaga Listrik yang Disediakan oleh Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan; (24) Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan garam beriodium; (25) Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; (26) Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 1994 tentang Tim Tarif dan Fiskal; (27) Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Pengesahan Agreement to Establish the South Centre (Persetujuan Pembentukan Pusat Selatan); (28) Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1995 tentang Pengesahan International Coffee Agreement 1994 (Perjanjian Kopi Internasional 1994); (29) Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1995 tentang International Tropical Timber Agreement 1994 (Persetujuan Kayu Tropis Internasional 1994); (30) Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1995 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik Rakyat China mengenai Peningkatan dan Perlindungan atas Penanaman Modal Beserta Protokol; (31) Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 1995 tentang Tim Evaluasi Pengadaan; (32) Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1995 Tunjangan Hakim; (33) Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1995 tentang Tunjangan Panitera; (34) Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak

XX/19

Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan dalam rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Dana Pinjaman Luar Negeri; dan (35) Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 1995 tentang Pengembangan Proyek Natuna.

4) Instruksi Presiden

Instruksi Presiden yang ditetapkan dalam tahun 1994/95, adalah : (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar; (2) Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1994 tentang Peningkatan Penetapan Pedoman Penghayatan dan Pancasila; (3) Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1994 tentang Pameran Kebaharian Indonesia 1996; (4) Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1994 tentang Sensus Ekonomi 1996; (5) Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pameran Produksi Indonesia 1995; (6) Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1994 tentang Penetapan Harga Dasar Gabah; dan (7) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada Masyarakat.

b. Program Pengembangan Sistem Hukum Nasional

Program ini mencakup kegiatan pengkajian hukum, penelitian hukum, serta penyusunan naskah akademis peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk menunjang kegiatan perancangan peraturan perundang-undangan. Di samping itu telah dilaksanakan pula kegiatan penulisan karya ilmiah di bidang hukum, serta pertemuan ilmiah hukum yang menyajikan hasil pengkajian dan atau penelitian hukum.

XX/20

Pengkajian dan penelitian hukum dilakukan terhadap permasalahan hukum dan permasalahan kemasyarakatan yang berinterelasi dan berinteraksi dengan hukum. Pengkajian hukum bertujuan untuk menentukan ruang lingkup persoalan yang dihadapi dan menentukan jangkauan arah pengaturannya. Sedangkan penelitian hukum diarahkan untuk menemukenali permasalahan, melakukan penilaian serta memperoleh kesimpulan dari berbagai data dan informasi hukum yang ada. Pertemuan ilmiah hukum dimaksudkan untuk menghimpun pendapat dan pemikiran para pakar hukum, praktisi hukum dan kalangan profesi hukum lainnya terhadap berbagai temuan yang didapat dari pengkajian dan penelitian hukum.

Dalam tahun 1994/95 melalui program ini telah dilaksanakan sebanyak 17 pengkajian hukum yang meliputi berbagai topik, antara lain tentang aspek hukum di bidang lisensi merek; aspek hukum hubungan kerja antara rumah sakit dan tenaga kesehatan; masalah hukum tentang cara penyelidikan oleh DPRD menurut pasal 29 (1,g) UU Nomor 5 Tahun 1974; aspek hukum masalah pemogokan kerja dan penutupan perusahaan; pengaruh Trade Related Intellectual Property (TRIP-GATT) terhadap hak cipta, paten dan merek; masalah hukum pembangunan, pengoperasian dan penggunaan pulau buatan, instalasi dan bangunan di luar teritorial Indonesia; perlindungan hak adat dalam membuka tanah adat dan memungut hasil hutan; aspek hukum perjanjian sepihak; aspek hukum komersialisasi dan privatisasi kegiatan satelit ruang angkasa; dan aspek hukum masalah perlindungan industri dalam negeri.

Sementara itu dalam rangka menunjang pembangunan hukum nasional, program pengembangan sistem hukum nasional juga dilaksanakan oleh sektor-sektor lainnya. Misalnya dalam rangka menunjang pembangunan daerah telah dilaksanakan kegiatan pengkajian dan penelitian hukum tentang pendaftaran penduduk dan

XX/21

catatan sipil; perlindungan masyarakat; penyerahan dan penambahan atau penarikan urusan tugas pembantuan; dan tata cara pembinaan terhadap Daerah Tingkat II. Di sektor kesehatan telah dilaksanakan kegiatan pengkajian hukum kesehatan untuk meningkatkan peranan hukum agar penyelenggaraan program kesehatan dapat berjalan dengan baik. Di sektor pariwisata, pos dan telekomunikasi telah dilaksanakan kegiatan pengkajian hukum dalam rangka penyelenggaraan telekomunikasi antara lain yang menyangkut pembinaan telekomunikasi untuk umum, telekomunikasi khusus dan telekomunikasi pertahanan dan keamanan.

Dari 25 kegiatan penelitian hukum yang telah dilaksanakan, pada tahun 1994/95 diantaranya adalah mengenai perjanjian Build, Operate and Transfer; aspek hukum tentang merger, konsolidasi dan akuisisi dalam usaha perbankan; wanita sebagai pelaku dan sebagai korban kejahatan; perkembangan anjak piutang yang dilakukan oleh fac-toring; aspek hukum penyelesaian kredit macet; penerapan nilai-nilai filosofis, sosiologis dan yuridis dalam proses pembentukan hukum nasional; fungsi dan peranan organisasi hukum, lembaga hukum, profesi hukum dan badan peradilan dalam pembentukan hukum; proses peradilan yang sederhana, cepat, dan tepat dengan biaya yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat; peranan kejaksaan dalam menyelamatkan aset negara melalui instrumen perdata; peranan kejaksaan dalam pelaksanaan peradilan tata usaha negara; peningkatan operasi intelijen yustisial dalam rangka pengamanan pembangunan dan hasil-hasilnya; serta penanggulangan kegagalan jaksa dalam penuntutan tindak pidana.

Sebagai tindaklanjut dari kegiatan pengkajian dan penelitian hukum, telah dilaksanakan sebanyak 9 kali pertemuan ilmiah hukum, yang menyajikan hasil penelitian dan pengkajian hukum dalam berbagai topik, antara lain tentang aspek hukum masalah jaminan

XX/22

kredit; aspek hukum dalam penyelesaian piutang-piutang negara; tanggungjawab hank dalam pemenuhan syarat-syarat perkreditan; kedudukan dan peranan biro-biro hukum departemen/lembaga pemerintah non departemen dalam pembangunan hukum/peraturan perundang-undangan; faktor-faktor yang mendukung timbulnya keja-hatan oleh pelaku usia muda dewasa; peningkatan operasi intelijen yustisial dalam rangka pengamanan pembangunan dan hash-hasilnya; pelaksanaan jabatan fungsional dan struktural di lingkungan kejaksaan dikaitkan dengan angka kredit jabatan jaksa; kesaksian dalam tindak pidana korupsi dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; dan alternatif penyelesaian perkara perdata dan tata usaha negara oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Pada bulan Juli 1994 telah diselenggarakan Seminar Hukum Nasional VI yang bertemakan Pembangunan Sistem Hukum Nasional Dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap II, yang dihadiri oleh para pakar hukum, para praktisi dan kalangan akademis serta para pengamat perkembangan hukum.

Kegiatan lain yang telah dilaksanakan dalam tahun 1994/95 meliputi penyusunan 24 buah naskah akademis peraturan per- undang-undangan (Tabel XX-1), yang menyangkut berbagai topik antara lain tentang tanah absentee dalam pembangunan; perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Berlakunya Undang-Undang Kerja Nomor 12 Tahun 1948 (Perlindungan Tenaga Kerja Wanita, Anak dan Orang Muda); penyelesaian piutang negara; pertanggungan jawab produsen pesawat udara; persyaratan penggunaan tenaga asing; usaha waralaba (franchise); perlindungan rekayasa genetika (protection bio technology); perlindungan rangkaian terpadu (protection integrated circuit) ; perlindungan rahasia dagang (protection undisclosed information); dan pengobatan tradisional.

XX/23

Selanjutnya dilaksanakan juga penulisan karya ilmiah hukum sebanyak 9 judul, yang meliputi topik antara lain : delik kesusilaan; hukum perwalian Islam atas anak yang lahir di luar nikah; Wawasan Nusantara sebagai modal dasar dalam mewujudkan sistem hukum nasional; masalah pemutihan uang (money laundering) di Indonesia; rental right pemegang hak cipta; dan aspek hukum siaran langsung dari satelit.

Selanjutnya dilanjutkan penyusunan kompilasi bidang hukum, penyusunan kompendium bidang hukum, perumusan harmonisasi hukum, penyelenggaraan forum kerjasama bidang hukum, pengem-bangan teknis perpustakaan/dokumentasi hukum, pengembangan serta pemantapan sistem jaringan informasi• dan dokumentasi hukum, pengkajian dan pengembangan fasilitas pelayanan hukum.

c. Program Pembinaan Peradilan

Salah satu tujuan pokok program ini adalah terselenggaranya proses peradilan yang lebih sederhana, cepat, dan dengan biaya yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dan memenuhi rasa keadilan bagi semua warga masyarakat.

Sampai dengan awal Repelita VI kebutuhan prasarana gedung pengadilan umum di daerah tingkat I dan daerah tingkat II sebagian besar telah terpenuhi. Secara bertahap sarananyapun telah ditingkatkan. Sarana pengadilan yang telah ada dari semua lingkungan peradilan, meliputi 16 pengadilan tata usaha negara, 4 pengadilan tinggi tata usaha negara, 295 pengadilan negeri, 26 pengadilan tinggi, 305 pengadilan agama, 21 pengadilan tinggi agama, 19 mahkamah militer, 3 mahkamah militer tinggi, dan 1 mahkamah militer agung.

XX/24

Peningkatan kualitas dan kemampuan profesional para hakim di semua lingkungan peradilan (peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama, dan peradilan militer) telah pula dilak-sanakan melalui berbagai penataran teknis yustisial. Pada tahun 1994/1995 telah dilaksanakan penataran dan pelatihan teknis yustisial bagi 944 orang hakim, yang terdiri dari 564 orang di lingkungan peradilan agama, 60 orang di lingkungan peradilan militer, 80 orang di lingkungan peradilan tata usaha negara, dan 200 orang hakim di lingkungan peradilan umum. Dalam upaya menambah jumlah panitera untuk memenuhi kebutuhan, khususnya panitera untuk peradilan tata usaha negara, pada tahun 1994/95 telah dilakukan pelatihan calon panitera peradilan tata usaha negara sebanyak 60 orang (Tabel XX-10).

Dengan makin meningkatnya sarana dan prasarana peradilan, dan didukung pula dengan makin meningkatnya profesionalisme hakim dan tenaga peradilan lainnya, maka proses penyelesaian perkara pada peradilan umum tingkat pertama telah semakin lancar dan mantap. Tingkat penyelesaian perkara pada awal PJP I tercatat sebanyak 63,9 persen dan pada akhir PJP I, yaitu tahun 1993/94, telah meningkat menjadi 98,7 persen. Pada tahun 1994/95 tingkat penyelesaian perkara mencapai 99,2 persen dari 1.627,5 ribu perkara yang masuk. Penyelesaian perkara pada peradilan tata usaha negara telah menunjukkan peningkatan pula, yaitu 59,9 persen dari 807 perkara yang masuk, apabila dibandingkan dengan tingkat penyelesaian perkara pada tahun 1993/94 yaitu 53 persen (Tabel XX-2).

Kemampuan peradilan tingkat banding dalam menyelesaikan perkara juga meningkat. Apabila pada awal PJP I pengadilan tinggi hanya dapat menyelesaikan 10,8 persen dari perkara yang masuk, maka pada akhir PJP I telah meningkat menjadi 76,2 persen. Pada tahun 1994/95 jumlah perkara yang dapat diselesaikan te lah

XX/25

meningkat lagi menjadi 80,3 persen, yaitu penyelesaian lebih dari 7.000 perkara dari kurang lebih 9.000 perkara yang ada. Pada pengadilan tata usaha negara tingkat banding pada tahun 1994/95 telah dapat diselesaikan 38,4 persen yaitu 217 perkara dari 565 perkara yang masuk atau 38,4 persen (Tabel XX-2).

Jumlah perkara yang masuk ke Mahkamah Agung baik perkara kasasi maupun peninjauan kembali terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sampai dengan akhir PJP I jumlah perkara yang ada di Mahkamah Agung adalah 25,7 ribu (termasuk tunggakan perkara) dan diantaranya telah dapat diselesaikan lebih dari 8.000 perkara atau sebesar 31,6 persen. Pada tahun 1994/95 jumlah perkara yang dapat diselesaikan 37,2 persen dari 25,8 ribu perkara yang ada (Tabel XX-2). Peningkatan penyelesaian perkara ini didorong pula oleh kegiatan crash program penyelesaian tunggakan perkara, yang telah dimulai sejak tahun 1993/94.

Untuk menjamin objektivitas dan pembinaan karier hakim dan memperluas pengalaman serta wawasan dalam rangka pembinaan personil peradilan setiap, tahunnya telah pula dilakukan pemutasian para hakim baik secara regional maupun nasional.

Untuk mengikuti perkembangan dan pemekaran wilayah, pada tahun 1994/95 telah dirintis upaya pembentukan pengadilan negeri kabupaten Bogor, Blitar, Lampung Barat, dan Malang serta kota administratif Bitung.

Penghimpunan statistik perkara yang merupakan bahan masukan dalam rangka pembinaan tenaga teknis peradilan dan sarana peng- adilan terus dilanjutkan. Di samping itu telah pula dilanjutkan penyusunan inventarisasi putusan pengadilan.

XX/26

d. Program Penerapan dan Penegakan H u k u m

Kegiatan penegakan hukum ditujukan untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat sehingga masyarakat merasa mendapatkan pengayoman dan perlindungan akan hak-haknya, sekaligus juga mengamankan pembangunan dan hasil-hasilnya.

Penegakan hukum menggunakan metode analisis yuridis yang komprehensif untuk memecahkan permasalahan hukum, kasus dan perkara. Analisis ini menggunakan pendekatan yuridis, sebagai pendekatan pertama dan utama, yang ditunjang dan dilengkapi dengan pendekatan non yustisial, yaitu pendekatan sosial politik yang mengacu kepada stabilitas politik, keamanan dan ketertiban; pendekatan sosial ekonomi yang mengacu kepada aspek kesejahteraan; dan pendekatan sosio kultural yang mengacu kepada pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Kegiatan penegakan dan penerapan hukum, mencakup antara lain pengamanan penyelamatan keuangan negara dan penanggulangan perbuatan hukum yang merugikan negara.

Penanganan perkara korupsi dilanjutkan dan ditingkatkan dengan mengungkapkan mata rantai korupsi. Upaya pengembalian keuangan negara dilakukan melalui operasi wibawa, gugatan perdata serta pengungkapan jaringan penyelundupan dan aktor intelektualnya yang dilaksanakan melalui operasi jaring.

Pada tahun 1994/95 perkara korupsi yang ditangani oleh kejaksaan mencakup 323 perkara dengan jumlah kerugian negara yang berhasil dieksekusi hampir mendekati Rp4 miliar. Telah pula

XX/27

diupayakan untuk memberikan pengamanan barang cetakan, pe- larangan sejumlah barang cetakan, kaset dan video yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban serta merusak mental masyarakat. Di bidang hukum perdata dan tata usaha negara, se- panjang tugas dan kewenangan yang diberikan kepada kejaksaan, telah diberikan bantuan hukum dan pertimbangan hukum, baik melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan, di tingkat pusat dan daerah. Dalam kaitan ini perkara yang ditangani meliputi 78 buah perkara perdata, 47 buah perkara tata usaha negara, dan 119 buah perkara Pemulihan dan Perlindungan Hak (PPH).

Operasi yustisi terhadap pelanggaran/pencemaran lingkungan, pemalsuan hak merek dan hak cipta serta tindak pidana lainnya yang mengganggu keamanan negara dan meresahkan masyarakat telah ditingkatkan.

Pada tahun pertama Repelita VI jumlah perkara yang masuk pada kejaksaan mencapai lebih dari 1,3 juta perkara. Peningkatan jumlah perkara tersebut antara lain sebagai akibat telah diberlakukannya secara efektif UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dari 1,3 juta perkara tersebut telah berhasil diselesaikan 99,9 persennya (TabelXX-3).

Di bidang pemasyarakatan, pembinaan terhadap narapidana dan anak didik dilanjutkan untuk mempersiapkan pelaksanaan reintegrasi mereka ke dalam masyarakat, agar setelah selesai menjalani pidananya mereka dapat kembali menjadi warga masyarakat yang produktif, taat pada hukum dan menghormati norma-norma pergaulan hidup bermasyarakat. Kepada anak didik dan narapidana usia muda, diberikan pembinaan kehidupan beragama, pembinaan kepramukaan dan pembinaan keterampilan.

XX/28

Pembinaan narapidana dan anak didik di samping dilaksanakan di dalam lembaga pemasyarakatan, juga dilaksanakan di luar lembaga pemasyarakatan. Tujuannya adalah untuk membimbing narapidana yang memperoleh pembebasan bersyarat dan bekas narapidana untuk kembali hidup bermasyarakat. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan melalui Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA).

Bagi para tahanan juga diberikan kegiatan untuk mengisi waktu selama mereka berada dalam tahanan, diberi kesempatan untuk melakukan kegiatan olah raga dan kegiatan keterampilan.

Dalam tahun 1994/95 jumlah narapidana dan tahanan di 375 lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan negara/cabang rumah tahanan negara di seluruh Indonesia mencapai 43,6 ribu orang. Jumlah narapidana dan tahanan terbanyak berturut-turut, adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, DKI Jakarta dan Jawa Tengah (Tabel XX-4).

Di bidang keimigrasian, perhatian yang lebih besar diberikan kepada upaya pengawasan dan pengamatan keimigrasian dengan tujuan antara lain untuk menghambat masuknya imigran gelap. Dalam tahun 1994/95 kedatangan orang dari luar negeri mencapai jumlah lebih dari 5,8 juta orang atau meningkat 45 persen dari tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut lebih kurang 4,3 juta orang atau 74 persen diantaranya adalah orang asing. Jumlah warga negara Indo-nesia yang berangkat ke luar negeri telah meningkat pula, dari lebih kurang 1,2 juta orang pada tahun 1993/94 menjadi lebih dari 1,7 juta orang pada tahun 1994/95 atau meningkat 48 persen (Tabel XX-5).

Pengeluaran paspor Republik Indonesia semakin diperketat dalam rangka mencegah terjadinya penyalahgunaan. Upaya peningkatan

XX/29

pengawasan dan pengamatan keimigrasian meliputi pelacakan dan penindakan terhadap orang-orang asing yang tidak menaati ketentuan yang berlaku. Pelacakan dan penindakan ini antara lain dilancarkan terhadap orang-orang asing yang melakukan kegiatan atau usaha yang tidak sah di wilayah Republik Indonesia.

e. Program Penyuluhan Hukum

Dalam Repelita VI upaya peningkatan kesadaran hukum masyarakat dilanjutkan melalui kegiatan penyuluhan hukum, baik penyuluhan hukum langsung, tidak langsung maupun melalui berbagai pola penyuluhan hukum lainnya. Kegiatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kadar kesadaran hukum masyarakat sehingga masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

1) Penyuluhan Hukum Langsung dan Tidak Langsung

Penyuluhan hukum dilaksanakan melalui kegiatan penyuluhan hukum langsung antara lain melalui ceramah, pameran, pentas panggung, tatap muka serta temu wicara. Pada tahun pertama Repelita VI telah dilakukan kegiatan penyuluhan hukum langsung berupa 1.290 kali ceramah hukum, 60 kali pameran hukum dan 998 kali pentas panggung. Penyuluhan hukum tidak langsung telah dilaksanakan melalui kegiatan wawancara di Radio Republik Indonesia (RRI) sebanyak 1.456 kali, fragmen/sandiwara RRI sebanyak 1.148 kali, fragmen/sandiwara Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebanyak 80 kali dan sinetron TVRI sebanyak 5 kali, serta pemasangan spanduk yang berisikan pesan hukum di berbagai tempat yang strategis (label XX-6).

XX/30

2) Penyuluhan Keluarga Sadar Hukum

Penyuluhan Keluarga Sadar Hukum (Kadarkum) dilakukan melalui kegiatan temu sadar hukum yang bertujuan agar masyarakat dapat secara mandiri menghadapi suatu masalah hukum dan mengerti cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan sesuai hukum. Kegiatan temu sadar hukum dilaksanakan dengan cara sambung rasa, simulasi bidang hukum, tebak tepat dan lomba Kadarkum. Materi yang diprioritaskan untuk disuluhkan antara lain meliputi masalah narkotika, hak cipta, acara pidana, pengelolaan lingkungan hidup, pertanahan, pemerintahan desa serta perkawinan. Pada tahun 1994/95 telah dibentuk sebanyak 2.102 kelompok Kadarkum dengan melibatkan kurang lebih 210.000 orang.

3) Jaksa dalam Tertib Hukum di Perdesaan dan Jaksa dalam Tertib Hukum di Laut

Penyuluhan hukum dilaksanakan pula melalui kegiatan Jaksa dalam Tertib Hukum di Perdesaan dengan sasaran utama masyarakat perdesaan. Kegiatan ini kemudian dikembangkan dengan kegiatan penerangan hukum kepada masyarakat perkotaan. Pada tahun terakhir Repelita V kegiatan Jaksa dalam Tertib Hukum di Perdesaan mencakup 956 desa dan pada tahun 1994/95 telah meningkat dan dilaksanakan di 1.154 desa. Kegiatan Jaksa dalam Tertib Hukum di Laut bertujuan untuk meningkatkan pengamanan, keselamatan dan penegkan hukum di perairan Indonesia. Pada tahun terakhir Repelita V kegiatan ini dilaksanakan di 7 propinsi sebanyak 42 kegiatan dan pada tahun 1994/95 dilanjutkan dan diperluas cakupannya menjadi 13 propinsi, sebanyak 54 kegiatan yaitu Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya. Sasaran kegiatan ini adalah

XX/31

para nakhoda dan anak buah kapal patroli TNI Angkatan Laut serta aparat penegak hukum yang bertugas di laut, antara lain petugas patroli Bea dan Cukai serta polisi perairan.

Selain dilaksanakan oleh instansi yang mempunyai tugas pokok di bidang hukum, kegiatan penyuluhan hukum juga dilaksanakan oleh berbagai instansi di luar sektor hukum. Pada tahun 1994/95 di bidang agama, kegiatan penyuluhan dilaksanakan melalui pendidikan mengenai hukum Islam bagi 613 orang calon hakim agama dan 15 orang juru sita. Penyuluhan hukum telah diberikan pula bagi 310 aparat di pusat dan daerah. Di bidang penataan ruang dan pertanahan telah diberikan penyuluhan hukum bagi lebih kurang 33.000 orang aparat pemerintah dan masyarakat.

f. Program Pelayanan dan Bantuan Hukum

Program ini ditujukan untuk memberikan kepastian hukum dan bantuan mencari keadilan kepada masyarakat, mendukung pembangunan ekonomi, perkembangan sosial, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

Pembinaan pelayanan hukum dilaksanakan dengan memper-hatikan segala aspek yang menyangkut segi-segi ketepatan materi dan kecepatan penanganan pelayanan dengan tujuan meningkatkan efisiensi pelayanan hukum. Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat, diupayakan pula penyederhanaan tata laksana pelayanan hukum.

Pelayanan hukum kepada masyarakat di berbagai bidang telah ditingkatkan, antara lain dalam pemberian kewarganegaraan, Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), perizinan dan pengesahan badan hukum, grasi, pengesahan perubahan nama keluarga, serta pelayanan bidang hak cipta, paten dan merek.

XX/32

Pada tahun 1994/95 telah diselesaikan pemberian kewarga-negaraan kepada 5.497 orang, pemberian SBKRI sebanyak 14.061 buah, serta pengesahan badan hukum sebanyak 17.457 buah. Untuk permohonan hak cipta telah diselesaikan sebanyak 2.272 buah dari 3.806 buah permohonan, untuk hak paten telah diselesaikan sebanyak 120 buah dari 2.267 buah permohonan, dan penyelesaian pendaftaran merek sebanyak 18.225 buah dari 22.213 buah permohonan (Tabel XX-7 dan Tabel XX-8).

Selain kegiatan di atas, di bidang hak milik intelektual, telah dilaksanakan serangkaian pertemuan dan diskusi untuk lebih memasyarakatkan peraturan perundang-undangan mengenai hak milik intelektual untuk meningkatkan pengertian, pemahaman serta persepsi masyarakat dan Para penegak hukum tentang hak cipta, paten dan merek. Dalam tahun 1994/95 kegiatan tersebut dilaksanakan di Bandar Lampung, Yogyakarta, Banjarmasin dan Ambon.

Dalam rangka memeratakan kesempatan memperoleh keadilan, mulai Repelita VI kegiatan pemberian bantuan hukum, selain dilaksanakan melalui pengadilan negeri di 27 propinsi diberikan langsung kepada masyarakat pencari keadilan melalui lembaga bantuan hukum, sebagai proyek rintisan. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pemberian bantuan hukum sebanyak 1.920 perkara melalui pengadilan negeri dan 10.000 perkara melalui proyek rintisan yang diberikan melalui lembaga bantuan hukum swasta.

g. Pembinaan Sarana dan Prasarana Hukum

Pembangunan sarana dan prasarana hukum bertujuan untuk mendukung upaya pembangunan hukum secara optimal. Kegiatan pembinaan sarana dan prasarana hukum meliputi pembangunan,

XX/33

penyempurnaan, rehabilitasi, perluasan berbagai prasarana pelayanan hukum seperti pengadilan, kejaksaan, lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, cabang rumah tahanan negara, balai bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak, kantor imigrasi, serta pos imigrasi. Di samping itu tercakup pula kegiatan dokumentasi hukum, penataan dan pengolahan bahan dokumentasi hukum, pengoptimalan fungsi perpustakaan hukum guna mempercepat penemuan kembali bahan yang diperlukan, serta peningkatan pelayanan dan penyebarluasan bahan informasi hukum. Dalam rangka ini Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi (SJDI) hukum telah dimantapkan, demikian pula keterpaduan antarinstansi dalam SJDI hukum, antara lain dengan menerapkan pola baku organisasi dan metode satuan kerja, membina keterampilan tenaga teknis, meningkatkan sarana dan peralatan teknis serta meningkatkan sistem pelayanan informasi hukum antarinstansi.

Peningkatan sarana dan prasarana peradilan dilanjutkan untuk mendukung penyelenggaraan peradilan yang berkualitas. Dalam tahun anggaran 1994/95 telah dilaksanakan rehabilitasi/perluasan sarana dan prasarana peradilan sebanyak 57 buah yang meliputi 55 buah pengadilan negeri dan 2 buah pengadilan tinggi, serta rehabilitasi terhadap 13 tempat sidang tetap. Telah pula dilaksanakan rehabilitasi/perluasan sarana pengadilan agama sebanyak 37 buah yang meliputi 29 buah pengadilan agama dan 8 buah pengadilan tinggi agama.

Pada tahun 1994/95 pembangunan gedung perpustakaan Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah diselesaikan, di samping rehabilitasi dan perluasan 48 gedung kejaksaan tinggi/kejaksaan negeri/cabang kejaksaan negeri. Selanjutnya telah dilaksanakan pula pengadaan 57 unit kendaraan angkutan tahanan.

XX/34

Di bidang pemasyarakatan, kegiatan pembinaan sarana dan prasarana hukum dilakukan melalui rehabilitasi lembaga pemasyara-katan/rumah tahanan negara/cabang rumah tahanan negara yang keadaan fisiknya memprihatinkan. Dalam tahun 1994/95 telah dilaksanakan rehabilitasi sejumlah 41 buah lembaga pemasyarakatan, 39 buah rumah tahanan negara/cabang rumah tahanan negara, dan 4 buah Balai Bispa (Tabel XX-9). Di samping itu telah dilaksanakan pula pengadaan 37 buah. kendaraan angkutan tahanan dan perleng-kapan keamanan lainnya bagi lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan negara/cabang rumah tahanan negara. Selanjutnya dalam rangka peningkatan pembinaan warga binaan, khususnya pembinaan kemandirian/keterampilan di dalam lembaga pemasyarakatan, telah pula dilaksanakan pengadaan berbagai peralatan bengkel kerja serta tambahan pengadaan bahan baku untuk pelatihan keterampilan dan kegiatan produksi bagi warga binaan.

Di bidang keimigrasian, telah dilaksanakan pembangunan kantor imigrasi di Tanjung Uban serta rehabilitasi dan perluasan 10 buah kantor imigrasi/karantina imigrasi di berbagai daerah.

2. Program Penunjang

a. Program Pendidikan dan Pelatihan di Bidang Hukum

Pembinaan aparatur penegak hukum merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan aparat dalam melaksanakan fungsi dan wewenangnya sehingga menjadi aparat yang efisien, efektif, bersih, dan berwibawa. Peningkatan kualitas dan kemampuan aparat hukum dilaksanakan melalui berbagai pendidikan dan pelatihan teknis fungsional hukum dan pendidikan penjenjangan.

XX/35

Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan penataran dan pelatihan bagi 60 calon hakim di lingkungan peradilan tata usaha negara, penataran dan pelatihan panitera dan juru sita sebanyak 190 orang, penataran tenaga pemasyarakatan 390 orang, penataran tenaga keimigrasian 110 orang, serta penataran teknis hukum lainnya seperti teknis perencana hukum, pustakawan, dokumentasi hukum, serta pemeriksa paten dan merek yang keseluruhannya berjumlah 270 orang. Untuk meningkatkan kemampuan para jaksa juga telah dilakukan penataran jaksa khusus yang diikuti oleh 90 orang, di samping pendidikan pembentukan jaksa baru sebanyak 200 orang.

Pada tahun 1994/95 diselenggarakan pula pendidikan penjen-jangan (SESPA, SEPADYA, , SEPALA, SEPADA) bagi aparatur hukum di lingkungan Departemen Kehakiman dan Kejaksaan yang diikuti oleh 610 orang (Tabel XX - 10).

Pembaharuan pendidikan tinggi hukum yang bertujuan untuk menyempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan hukum, agar makin sesuai dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat dan tantangan pembangunan, antara lain telah menghasilkan perubahan kurikulum bagi fakultas hukum yang berlaku secara nasional yang mulai diterapkan pada tahun 1993. Dengan kurikulum baru, diharapkan para lulusan telah mempunyai kemahiran yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas sarjana hukum di masyarakat. Selain dari pada itu pengembangan staf pengajar terus dilakukan sebagai tuntutan yang tidak terelakkan.

XX/36

TABEL XX — 1PELAKSANAAN KEGIATAN PEMBINAAN

1968, 1989/90 — 1993/94, 1994/95

No. U r a i a nAwalPJP — I(1968).

Repelita V Repelita V

1994/951989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94

1. Rancangan Undang—Undang (RUU)Undang—Undang (UU) 27 5 12 15 18 5 13

2. Rancangan Peraturan—Pemerintah(RPP) yang telah disahkan sebagaiPeraturan Pemerintah (PP) 48 18 82 66 87 43 45

3. Penetapan Keputusan Presiden 276 52 73 62 77 116 81

4. Penetapan Instruksi Presiden 41 5 8 5 5 5 7

5. Penelitian Hukum 1) - 6 11 17 17 23 25

6. Pertemuan Ilmiah 1) - 5 5 7 7 8 9

7. Pengkajian Hukum - 12 13 14 15 13 17

8. Penyusunan Naskah Akademis - 8 7 7 8 15 24

1) Dilaksanakan oleh Departemen Kehakiman dan Kejaksaan Agung.

GRAFIK XX - 1PELAKSANAAN KEGIATAN PEMBINAAN HUKUM

1968, 1989/90 - 1993/94, 1994/95

XX/38

XX

/39

GRAFIK XX - 2PENYELESAIAN PERKARA PADA BADAN PERADILAN

1968, 1989/90 - 1993/94, 1994/95

XX/40

TABEL XX — 3PENYELESAIAN PERKARA PADA KEJAKSAAN

1968,1989/90 — 1993/94,1994/95Awal Repelita V Repelita VI

No. Uraian PJP—I(1968) 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 1) 1994/95

1. Jumlah perkara yang ada/masuk - 1.089320 1.266.848 1.495.136 1.473.894 787.868 1354.296

2. Jumlah perkara yang diselesaikan-

1.086363 1.265375 1.493.369 1.472.862 787.080 1352.853

3. Persentase 2 terhadap 1 - 99,8 99,9 99,9 99,9 99,9 99,9

1) Angka sementara

XX

/41

TABEL XX — 5KEDATANGAN DAN KEBERANGKATAN DARI DAN/ATAU KE LUAR NEGERI

1968, 1989/90— 1993/94,1994/95

Awal Repelita V

Repelita VINo. Uraian PJP—I

(1968) 1989/90 1990/91 1991192

1992/93 1993/94 1994/95

1. Datang dari Luar Negeri : 108.918 2.127.338 3.320.8893.234507 4.063.08 5.877.624— Orang Indonesia 49.774 468.785 776.180 781.648 868.363 1.169.64

61.543.354

— Orang Asing 59.144 1.658.553 2.544.709

2.452.859

2.232.922

2.893.438

4.334.270

2. Berangkat ke Luar Negeri : 118.169 2.198.677 3.464.27 3.216.30 4.250.87 5.985.419— Orang Indonesia 56.55 549.207 822.095 833.510 918.734 1.184.60 1.747.490— Orang Asing 61.616 1.649.470 2.642.18

32.382.792

2.225.9443.066.265

4.237.929

XX

/43