library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web viewSeseorang...

23
Bab 2 Landasan Teori 2.1 Konsep Persahabatan Secara Umum Ada pepatah dalam bahasa Inggris berbunyi, “A friend in need is a friend indeed”, yang mengandung makna bahwa seorang sahabat akan hadir di saat-saat yang dibutuhkan untuk saling membantu dan berbagi satu sama lain. Seorang sahabat juga akan memberikan pujian dan penghargaan atas keberhasilan sahabatnya dan saling menguatkan serta saling menyemangati di setiap kegagalan yang dihadapi sahabatnya. Seorang sahabat senantiasa mencurahkan isi hati dan pemikirannya serta akan selalu setia berdiri di pihak sahabatnya (Berndt, 2002, hal.7). Sudo (2011, hal.88) mengutip definisi sahabat dari tiga kamus besar bahasa Jepang berikut ini. Secara umum, sahabat menunjuk pada teman akrab yang dapat dipercaya; teman yang berhubungan baik dengan diri kita (menurut kamus Jepang Kojien), teman yang saling memaafkan; teman yang paling akrab (menurut kamus Jepang Daijisen), teman 11

Transcript of library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web viewSeseorang...

Bab 2

Landasan Teori

2.1 Konsep Persahabatan Secara Umum

Ada pepatah dalam bahasa Inggris berbunyi, “A friend in need is a friend

indeed”, yang mengandung makna bahwa seorang sahabat akan hadir di saat-saat

yang dibutuhkan untuk saling membantu dan berbagi satu sama lain. Seorang sahabat

juga akan memberikan pujian dan penghargaan atas keberhasilan sahabatnya dan

saling menguatkan serta saling menyemangati di setiap kegagalan yang dihadapi

sahabatnya. Seorang sahabat senantiasa mencurahkan isi hati dan pemikirannya serta

akan selalu setia berdiri di pihak sahabatnya (Berndt, 2002, hal.7).

Sudo (2011, hal.88) mengutip definisi sahabat dari tiga kamus besar bahasa

Jepang berikut ini. Secara umum, sahabat menunjuk pada teman akrab yang dapat

dipercaya; teman yang berhubungan baik dengan diri kita (menurut kamus Jepang

Kojien), teman yang saling memaafkan; teman yang paling akrab (menurut kamus

Jepang Daijisen), teman yang saling mempercayai; teman yang berhubungan paling

baik dengan diri kita (menurut kamus Jepang Daijirin).

Menurut Sudo (2011, hal.88), berdasarkan ketiga definisi di atas, sahabat

menunjuk pada teman yang secara khusus bergaul secara akrab dengan diri kita di

antara teman-teman lain yang kita miliki dan dipahami sebagai suatu sosok yang

hadir untuk dapat dipercayai secara mendalam dan menyeluruh serta saling

memaafkan satu sama lain. Dengan adanya kehadiran seorang sahabat, manusia

dapat mengetahui kegembiraan dari sikap saling pengertian dengan orang lain dan

dapat melepaskan diri dari perasaan kesepian.

11

Menurut Desmita (2009, hal.227), salah satu karakteristik dari pola hubungan

anak usia sekolah dengan teman sebayanya adalah munculnya keinginan untuk

menjalin hubungan pertemanan yang lebih akrab atau yang dalam kajian psikologi

pertemanan disebut dengan istilah friendship (persahabatan). Jadi, persahabatan lebih

dari sekedar pertemanan biasa.

Menurut Santrock (2008), “di awal masa remaja, para remaja umumnya lebih

memilih untuk memiliki persahabatan dalam jumlah lebih sedikit yang lebih

mendalam dan lebih akrab daripada anak-anak di usia yang lebih muda” (hal.434).

Menurut Dariyo (2004, hal.127-128), persahabatan merupakan hubungan

emosional antara dua individu atau lebih, baik antara sejenis maupun berbeda jenis

kelamin, yang didasari saling pengertian, menghargai, mempercayai antara satu dan

yang lainnya. Hal yang membuat mereka mengadakan hubungan yang akrab adalah

unsur komitmen, yaitu tekad untuk mempertahankan ikatan emosional itu.

Menurut Craighead & Nemeroff (2004, hal.381), persahabatan adalah hubungan

yang penting dalam semua kebudayaan dan sepanjang rentang kehidupan yang

memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) hubungan dyadic; (2) adanya unsur

perhatian dan kepedulian (afeksi) yang saling berbalasan (hubungan timbal-balik);

(3) bersifat sukarela; (4) bersifat egalitarian; (5) sebagai kawan dalam melakukan

kegiatan bersama-sama. Persahabatan memiliki fungsi antara lain: menyediakan

sumber dukungan dan kesempatan bagi individu untuk penyingkapan diri dan

keakraban.

Menurut Gea, dkk (2005, hal.194), hubungan kedekatan satu sama lain tentu jauh

lebih terasa lagi dalam hubungan yang disebut persahabatan. Seorang sahabat adalah

mitra untuk mengerjakan sesuatu dan menghabiskan waktu bersama-sama, juga

12

tempat berpaling di saat kita membutuhkan bantuan dan kepada siapa kita ingin

berbagi beban dan kesuksesan. Seorang sahabat adalah seseorang yang tertawa dan

menangis bersama kita, kadang juga menjadi tempat minta nasehat dan dukungan

fisik, serta sebagai curahan isi hati. Semuanya itu terjadi karena kepercayaan satu

sama lain sudah tumbuh dan berkembang sedemikian rupa. Perasaan menyatu atau

senasib sepenanggungan dengan sahabat karib, hubungan keakraban yang

sedemikian mengental antara mereka, tidak jarang melebihi kedekatan hubungan

antara saudara kandung sendiri. Tidak jarang seorang sahabat rela mengorbankan apa

saja, bahkan dirinya sendiri, demi sahabatnya. Persahabatan memang memiliki

tempat tersendiri dalam kehidupan manusia.

“Dalam persahabatan, seorang sahabat akan memperlakukan sahabatnya sama

pentingnya dengan dirinya sendiri” (Sudo, 2012, hal.144).

Kita membutuhkan kehadiran teman-teman yang cukup dekat dengan kita, yang

mau membantu dan mendukung kemajuan kita. Persahabatan merupakan tempat

yang aman bagi kita, tempat bernaungnya segala rahasia terdalam dan kelemahan

terparah kita, yang tidak akan pernah digunakan untuk menyerang kita. Kehadiran

sahabat kita rasakan, baik dalam suka maupun duka, maupun kehadiran yang jauh

lebih berarti adalah ketika kita sedang mengalami kesulitan. Sahabat menjadi orang

pertama tempat kita berbagi beban, orang kepada siapa kita dapat berharap sesuatu

yang kita perlukan. Sahabat tidak akan mengecewakan kita sebagaimana kita juga

tak akan mengecewakan sahabat. Persahabatan di masa remaja jauh lebih berarti

daripada yang terjalin pada tahapan usia lainnya. Para sahabat akan mendampingi

kita melewati begitu banyak peristiwa penting dalam hidup kita. Sahabat adalah

bagian dari hidup kita (Gea, dkk., 2005, hal.197).

13

Apabila persahabatan yang dibangun sejak masa remaja dapat dipertahankan

sampai mereka mencapai dewasa, persahabatan akan membuat kedekatan emosional

antar individu menganggap temannya bukan lagi sebagai sahabat, melainkan saudara

sendiri. Hubungan ini berarti makin mendalam, lebih dari sekedar teman (Dariyo,

2004, hal.130).

Lebih lanjut, Damon (dalam Dariyo, 2004, hal.128-130), membagi tiga tahap

perkembangan persahabatan sebagai berikut.

a. Persahabatan sebagai Teman dalam Kegiatan Bermain (Friendship as Handy

Playmate)

Anak-anak awal (early childhood) usia 4-7 tahun, biasanya memerlukan

teman untuk melakukan kegiatan bermain. Di sini persahabatan terjadi karena

adanya persamaan kepentingan (kebutuhan) bahwa masing-masing individu

memerlukan teman bermain. Masing-masing individu dapat bertemu dan

saling bertukar atau meminjamkan alat permainan, lalu mereka bermain

bersama atau bermain sendiri-sendiri dalam waktu yang sama. Jenis

persahabatan ini tidak dapat dipertahankan dalam waktu yang lama

(temporer) apabila masing-masing anak tidak dapat memenuhi kebutuhan

temannya atau terjadi konflik karena adanya kecurangan yang dilakukan

seorang anak, misalnya mengambil dan memiliki barang mainan dari

temannya.

b. Persahabatan sebagai Upaya untuk Saling Membantu dan Saling

Mempercayai antara Satu dan yang Lain (Friendship as Mutual Trust and

Assistance)

14

Anak-anak tengah (middle childhood) usia 8-10 tahun mempunyai konsep

persahabatan yang lebih mendalam dibandingkan dengan anak-anak awal

(anak prasekolah). Mereka mengatakan bahwa persahabatan terjadi karena

masing-masing anak memiliki rasa percaya dan dapat memberi bantuan

kepada anak yang membutuhkannya.

c. Persahabatan sebagai Suatu Kehidupan Relasi yang Diwarnai dengan

Keakraban dan Kesetiaan (Friendship as Intimacy and Loyalty)

Menurut Damon, jenis persahabatan ini berlangsung pada individu yang

berusia antara 11-15 tahun. Anak remaja beranggapan bahwa unsur

keakraban ataupun kesetiaan merupakan hal yang sangat penting guna

membangun dan mempertahankan persahabatan. Seorang remaja yang

bersahabat dengan remaja lain, biasanya memperlihatkan keakraban, hangat,

terbuka, dan komunikatif. Mereka bersedia mencurahkan perasaan,

pengalaman, atau pemikiran kepada yang lainnya karena masing-masing

percaya bahwa temannya dapat menyimpan rahasia pengalaman tersebut dan

tidak mungkin melakukan pengkhianatan terhadap yang lain.

Kail & Cavanaugh (2004, hal.278) menyatakan bahwa teman tidak hanya

berperan sebagai kawan bermain; mereka adalah sumber informasi penting di mana

anak-anak belajar dari teman-teman mereka dan dapat beralih pada mereka untuk

meminta dukungan pada saat-saat sulit dan stres. Persahabatan adalah salah satu cara

penting di mana teman-teman sebaya mempengaruhi perkembangan anak-anak.

Sullivan (dalam Santrock, 2003, hal.230) beranggapan bahwa peran yang

dimainkan oleh hubungan persahabatan pada proses sosialisasi kemampuan sosial

15

adalah sebagai sumber dukungan yang penting. Sullivan menggambarkan bagaimana

teman remaja saling mendukung harga diri masing-masing. Seseorang dapat

mengungkapkan rasa ketidakamanan dan ketakutan mereka kepada temannya tanpa

merasa malu. Teman juga bertindak sebagai orang kepercayaan yang penting yang

menolong remaja melewati berbagai situasi yang menjengkelkan (seperti kesulitan

dengan orang tua atau putus pada hubungan romantis) dengan menyediakan baik

dukungan emosi dan nasihat yang memberikan informasi (Savin-Williams & Berndt,

1990). Sebagai tambahan, teman dapat menjadi rekan kerja yang aktif dalam

membangun kesadaran atas identitasnya. Dalam berbagai percakapan yang tak

terbilang, teman bertindak sebagai papan pengeras suara pada saat remaja menggali

masalah-masalah mulai dari rencana masa depan hingga sikap seseorang terhadap

berbagai masalah.

Santrock (2003, hal.230) menyatakan bahwa, dalam konteks persahabatan,

keakraban dapat diartikan secara luas meliputi segala sesuatu dalam persahabatan

yang membuat hubungan terlihat lebih dekat atau mendalam. Keakraban dalam

persahabatan (intimacy in friendship) secara sempit diartikan sebagai pengungkapan

diri atau membagi pemikiran-pemikiran pribadi. Pengetahuan yang mendalam dan

pribadi tentang teman juga digunakan sebagai ukuran keakraban (Selman, 1980;

Sullivan, 1953).

Keakraban ini menjadi dasar bagi relasi anak dengan sahabat. Karena kedekatan

ini, anak mau menghabiskan waktunya dengan sahabat dan mengekspresikan afek

yang lebih positif terhadap sahabat dibandingkan dengan yang bukan sahabat dan

bersedia mengungkapkan dirinya secara terbuka. (Desmita, 2009, hal.227)

16

“Timbulnya keakraban dalam hubungan persahabatan remaja berarti bahwa teman

juga hadir sebagai sumber dukungan sosial dan emosional” (Kail & Cavanaugh,

2004, hal.276).

Ketika para remaja muda ditanyakan apa yang mereka inginkan dari seorang

teman atau bagaimana mereka dapat mengetahui seseorang merupakan sahabat

mereka, mereka sering mengatakan bahwa sahabat akan membagi masalah dengan

mereka, memahami mereka, dan mendengarkan mereka pada saat mereka berbicara

tentang pemikiran dan perasaan mereka sendiri (Santrock, 2003, hal.230).

“Karena para remaja berbagi mengenai pemikiran dan perasaan pribadi mereka,

teman dapat menyediakan dukungan selama masa-masa sulit dan stress” (Kail &

Cavanaugh, 2004, hal.277).

2.2 Teori Persahabatan Menurut Okada Tsutomu

Okada (2010, hal.90-92) menyatakan pemikirannya mengenai teori hubungan

persahabatan khususnya persahabatan pada masa remaja.

Persahabatan mengalami perkembangan pada masa remaja, seperti tampak pada

kutipan di bawah ini.

Kutipan:

青年期には友人間での親密さが増大し、個人的な悩みを打ち明けるなどの、深い友人関係が求められるようになる(詫摩ほか、1989)。

Terjemahan:

Pada masa remaja, dituntut hubungan persahabatan yang mendalam, ditandai dengan meningkatnya keakraban (intimacy) di antara teman dan dapat berbagi keluh kesah atau menceritakan masalah-masalahnya yang bersifat pribadi (Takuma, dkk., 1989).

17

Selain keakraban (intimacy), persahabatan pada masa remaja memiliki unsur lain

seperti, rasa percaya (mutual trust) dan rasa simpati (sympathy), seperti tampak pada

kutipan berikut ini.

Kutipan:

ビューラー(Buhler、1921、1967)も、青年期においては、友人に対して特別な感情をもった相互信頼に基づいた感情をもつようになると述べている。またシュプランガー(Spranger、1924)も、青年期においては同姓のなかに青年自身が望む理想的性質を見出し、相手に対して絶対的な同情(sympathy)を求め、友人を実際以上に理想化してみるとしている。

Terjemahan:

Buhler (1921, 1967) juga menyatakan bahwa pada masa remaja, mereka memiliki perasaan saling percaya satu sama lain (mutual trust). Spranger (1924) pun menyatakan bahwa pada masa remaja, di tengah persahabatan dengan sesama jenis, seseorang menuntut rasa simpati (sympathy) dan mencoba menjadikan orang lain untuk memiliki sifat yang diharapkan olehnya (agar orang lain dapat menjadi seperti yang diharapkannya).

2.3 Fungsi Persahabatan

Menurut Gottman dan Parker (1987) yang dikutip Santrock (dalam Dariyo, 2004,

hal.130-131) menyatakan bahwa ada enam fungsi persahabatan berikut ini.

a. Pertemanan (companionship). Persahabatan akan memberikan kesempatan

kepada seseorang untuk menjalankan fungsi sebagai teman bagi individu lain

ketika sama-sama melakukan suatu aktivitas. Sebagai teman, berarti seseorang

harus menyediakan dan mengorbankan diri dari segi waktu, tenaga, dan mungkin

biaya secara sukarela demi kebaikan bersama.

b. Stimulasi kompetensi (stimulation). Pada dasarnya, persahabatan akan

memberikan rangsangan seseorang untuk mengembangkan potensi dirinya karena

18

memperoleh kesempatan dalam situasi sosial. Artinya, melalui persahabatan,

seseorang memperoleh informasi yang menarik, penting, dan memacu potensi,

bakat ataupun minat agar berkembang dengan baik.

c. Dukungan fisik (physical support). Dengan kehadiran fisik seseorang atau

beberapa teman, akan menumbuhkan perasaan berarti (berharga) bagi seseorang

yang sedang menghadapi suatu masalah. Kehadiran secara fisik menunjukkan

kerelaan untuk menyediakan waktu, tenaga ataupun pertolongan yang dapat

membangkitkan semangat hidup. Itulah sebabnya orang yang sakit memerlukan

perhatian dan kasih sayang dari teman atau sahabat walaupun sudah ditunggui

atau dijenguk sanak saudaranya.

d. Dukungan ego (ego support). Walaupun dianggap sebagai seorang ahli,

adakalanya seseorang akan merasa stres, down, atau tidak bersemangat ketika

sedang menghadapi suatu permasalahan yang cukup berat. Seolah-olah

keahliannya tidak berarti apa-apa ketika menghadapi masalah tersebut. Oleh

karena itu, persahabatan menyediakan perhatian dan dukungan ego bagi

seseorang. Apa yang dihadapi seseorang juga dirasakan, dipikirkan, dan

ditanggung oleh orang lain (sahabatnya). Dengan perhatian tersebut, akhirnya

dan biasanya, seseorang memiliki kekuatan moral dan semangat hidup untuk

dapat mengatasi masalahnya dengan sebaik-baiknya. Bahkan ada pula, dengan

perhatian sedikit, seseorang menjadi giat dan termotivasi untuk segera

menuntaskan masalah tersebut.

e. Perbandingan sosial (social comparison). Persahabatan menyediakan kesempatan

secara terbuka untuk mengungkapkan ekspresi kapasitas, kompetensi, minat,

bakat, dan keahlian seseorang. Dalam konteks interaksi sosial persahabatan,

19

seseorang ingin diterima, dihargai, diakui, dan dipercayai sebagai seseorang yang

kompeten. Akan tetapi, dalam persahabatan tersebut, masing-masing juga tidak

akan mencela kelemahan-kelemahan orang lain. Justru dengan demikian,

seseorang akan membandingkan dirinya dengan orang lain. Artinya, orang lain

sebagai cermin bagi seseorang, apakah dirinya memiliki kemampuan yang lebih

atau kurang kalau dibandingkan dengan orang lain. Bila seseorang menyadari

kekurangan, ia akan dapat belajar dan meningkatkan diri supaya menyamai atau

lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain. Dengan demikian, persahabatan

memberi stimulasi yang positif bagi pengembangan pribadi seseorang.

f. Intimasi/afeksi (intimacy/affection). Tanda persahabatan yang sejati adalah

adanya ketulusan, kehangatan, dan keakraban antara satu dan yang lain. Masing-

masing individu, tidak ada maksud ataupun niat untuk mengkhianati orang lain

karena mereka saling percaya, menghargai, dan menghormati keberadaan orang

lain. Baik ketika bersama maupun ketika sendiri, masing-masing individu yang

bersahabat merasakan kedekatan, kepercayaan, dan penerimaan dalam kelompok

sosial. Walaupun ada perbedaan-perbedaan pemikiran, sikap ataupun perilaku,

perbedaan itu menjadi dasar untuk merasa saling membutuhkan dukungan

emosional dan dukungan sosial supaya tetap terjalin keakraban, kehangatan, dan

keintiman.

2.4 Teori Penokohan

Nurgiyantoro (2002, hal.164) membedakan istilah tokoh dan penokohan, watak

dan perwatakan, karakter dan karakterisasi dalam sebuah fiksi.

20

Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan

karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh

pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Karakterisasi sering

disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan

tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti

dikatakan oleh Jones (1968, hal.33), penokohan adalah pelukisan gambaran yang

jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2002,

hal.165).

Istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan”

sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan

bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup

memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran

pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita

(Nurgiyantoro, 2002, hal.166).

Menurut Siswanto (2008, hal.142-145), tokoh adalah pelaku yang mengemban

peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan

cara sastrawan menampilkan tokoh tersebut disebut penokohan (Aminuddin, 1984,

hal.85). Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau

watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan

disebut perwatakan.

Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan,

amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca

(Nurgiyantoro, 2002, hal.167).

21

Siswanto (2008, hal.143) menyatakan bahwa, ditinjau dari peranan dan

keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas (a) tokoh (utama), (b) tokoh

sekunder (tokoh bawahan), (c) tokoh komplementer (tambahan) (Sudjiman, 1988,

hal.17-20; Sukada, 1987, hal.160; Aminuddin, 1984, hal.85-87).

Sementara Nurgiyantoro (2002, hal.176-177) menyatakan bahwa, dilihat dari segi

peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong

penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar

cerita, dan sebaliknya, ada tokoh-tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau

beberapa kali dalam cerita, dan itupun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif

pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita (central character,

main character), sedang yang kedua adalah tokoh tambahan (peripheral character).

Boulton (dalam Aminuddin, 1984, hal.85) mengungkapkan bahwa cara sastrawan

menggambarkan atau memunculkan tokohnya dapat menempuh berbagai cara.

Tokoh-tokoh cerita sebagaimana dikemukakan di atas, tak akan begitu saja serta-

merta hadir kepada pembaca. Mereka memerlukan “sarana” yang memungkinkan

kehadirannya. Masalah penokohan dalam sebuah karya tak semata-mata hanya

berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan para tokoh cerita saja,

melainkan juga bagaimana melukiskan kehadiran dan penghadirannya secara tepat

sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik karya yang

bersangkutan.

Nurgiyantoro (2002, hal.195-211) menjelaskan pula mengenai teknik pelukisan

tokoh, sebagai berikut.

a. Teknik Cakapan

22

Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan

untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Percakapan yang baik,

efektif, lebih fungsional adalah percakapan yang menunjukkan perkembangan plot

dan sekaligus mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya.

b. Teknik Tingkah Laku

Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang

berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang

bersifat nonverbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan

tingkah laku dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan

sikap yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.

c. Teknik Pikiran dan Perasaan

Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam

pikiran dan perasaan, serta apa yang sering dipikir dan dirasakan oleh tokoh, dalam

banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya juga.

d. Teknik Arus Kesadaran

Teknik arus kesadaran (stream of consciousness) berkaitan erat dengan teknik

pikiran dan perasaan. Keduanya tak dapat dibedakan, bahkan mungkin dianggap

sama karena memang sama-sama menggambarkan tingkah laku batin tokoh.

e. Teknik Reaksi Tokoh

Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian,

masalah, keadaan, kata, dan sikap atau tingkah laku orang lain, dan sebagainya yang

berupa “rangsang” dari luar diri tokoh yang bersangkutan. Bagaimana reaksi tokoh

terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu bentuk penampilan yang

mencerminkan sifat-sifat kediriannya.

23

f. Teknik Reaksi Tokoh Lain

Reaksi tokoh-tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh

lain terhadap tokoh utama atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa

pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Pendek kata: penilaian kedirian

tokoh (utama) cerita oleh tokoh-tokoh cerita yang lain dalam sebuah karya.

g. Teknik Pelukisan Latar

Suasana latar sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan kediriannya.

Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh.

h. Teknik Pelukisan Fisik

Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau

paling tidak, pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan

itu.

Siswanto (2008, hal.145) juga menyatakan, ada beberapa cara memahami watak

tokoh. Cara itu adalah melalui (1) tuturan pengarang terhadap karakteristik

pelakunya, (2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan

kehidupannya maupun cara berpakaian, (3) menunjukkan bagaimana perilakunya, (4)

melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, (5) memahami

bagaimana jalan pikirannya, (6) melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya,

(7) melihat tokoh lain berbincang dengannya, (8) melihat bagaimanakah tokoh-tokoh

yang lain itu memberi reaksi terhadapnya, (9) melihat bagaimana tokoh itu dalam

mereaksi tokoh yang lain (Aminuddin, 1984, hal.87-88).

2.5 Teknik Montase

24

Menurut Humprey (1954), metode paling mendasar dalam sinema adalah teknik

montase. Istilah montase berasal dari perfilman yang berarti memilah-milah,

memotong-memotong, serta menyambung-nyambung (pengambilan) gambar

sehingga menjadi satu keutuhan (Minderop, 2005, hal.162).

Teknik montase di bidang perfilman mengacu pada kelompok unsur yang

digunakan untuk memperlihatkan antar hubungan atau asosiasi gagasan, misalnya

pengalihan gambar yang mendadak atau gambar yang tumpang tindih satu dan

lainnya (Minderop, 2005, hal.151).

Teknik ini kerap digunakan untuk menciptakan suasana melalui serangkaian

impresi dan observasi yang diatur secara tepat. Teknik montase dapat pula

menyajikan kesibukan latar (misalnya hiruk pikuk kota besar) atau suatu kekalutan

(misalnya kekalutan pikiran) atau aneka tugas seorang tokoh (secara simultan dan

dinamis). Melalui teknik ini dapat direkam sikap kaotis (kekacauan) yang menguasai

kehidupan kota besar yang dirasakan oleh penghuninya (Minderop, 2005, hal.152-

153).

25