yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh :...

45
MATERI WORKSHOP SEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. 1

Transcript of yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh :...

Page 1: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

MATERI WORKSHOPSEKOLAH INKLUSI

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF

Oleh :Drs. R. Indianto, M.Pd.

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA2013

1

Page 2: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

BAB IPENDIDIKAN INKLUSIF

A. Konsep Pendidikan Inklusif1. Pengertian

Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang

mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah

terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-

Shevin dalam O’Neil, 1994) Sekolah inklusif adalah sekolah yang

menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini

menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi

disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun

bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar

anak-anak berhasil (Stainback,1980)

Berdasarkan batasan tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan

sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak

berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di

sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat

penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan

atau akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk

memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan

individu peserta didik tanpa diskriminasi.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah

melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana parasarana

pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan

kebutuhan individu peserta didik. Untuk itu proses identifikasi dan

asesmen yang akurat perlu dilakukan oleh tenaga yang terlatih

dan/atau profesional di bidangnya untuk dapat menyusun program

pendidikan yang sesuai dan obyektif.

2

Page 3: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2. Pendidikan Segregasi, Pendidikan Terpadu dan Pendidikan Inklusif Pendidikan inklusif hanya merupakan salah satu model

penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Model

yang lain diantaranya adalah sekolah segregasi dan pendidikan

terpadu. Perbedaan ketiga model tersebut dapat diringkas sebagai

berikut.

a. Sekolah segregasi

Sekolah segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak

berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di

Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan

khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan

peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk

anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk

anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain.

Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB,

SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka

sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem

pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan

kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran

dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain

aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena

lingkungan pergaulan yang terbatas.

b. Sekolah terpadu

Sekolah terpadu adalah sekolah yang memberikan kesempatan

kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti

pendidikan di sekolah reguler tanpa adanya perlakuan khusus yang

disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Sekolah tetap

menggunakan kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan

kependidikan, serta sistem pembelajaran reguler untuk semua

peserta didik. Jika ada peserta didik tertentu mengalami kesulitan

dalam mengikuti pendidikan, maka konsekuensinya peserta didik

3

Page 4: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

itu sendiri yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dituntut di

sekolah reguler. Dengan kata lain pendidikan terpadu menuntut

anak yang harus menyesuaikan dengan sistem yang

dipersyaratkan sekolah reguler. Kelemahan dari pendidikan melalui

sekolah terpadu ini antara lain, anak berkebutuhan khusus tidak

mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan individual anak.

Sedangkan keuntungannya adalah anak berkebutuhan khusus

dapat bergaul di lingkungan sosial yang luas dan wajar.

c. Sekolah inklusif

Sekolah inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan

terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan

kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara

optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau

penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga

pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada

sistem penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan inklusif

mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan

tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang

menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Keuntungan dari

pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa

dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan

kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya

dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing. Konsekuensi

penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut

melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap,

sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan

individual tanpa diskriminasi.

3. Implikasi manajerial pendidikan inklusifSekolah reguler yang menerapkan program pendidikan inklusif akan

berimplikasi secara manajerial di sekolah tersebut. Diantaranya

adalah:

4

Page 5: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

a. Sekolah reguler menyediakan kondisi kelas yang

hangat, ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai

perbedaan.

b. Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang

heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang

bersifat individual.

c. Guru di kelas reguler harus menerapkan pembelajaran

yang interaktif.

d. Guru pada sekolah inklusif dituntut melakukan

kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

e. Guru pada sekolah inklusif dituntut melibatkan orangtua

secara bermakna dalam proses pendidikan.

4. Pro dan kontra pendidikan inklusif Meskipun pendidikan inklusif telah diakui di seluruh dunia sebagai

salah satu uapaya mempercepat pemenuhan hak pendidikan bagi

setiap anak, namun perkembangan pendidikan inklusif mengalami

kemajuan yang berbeda-beda di setiap negara. Sebagai inovasi baru,

pro dan kontra pendidikan inklusif masih terjadi dengan alasan masing-

masing. Sebagai negara yang ikut dalam berbagai konvensi dunia,

Indonesia harus merespon secara proaktif terhadap kecenderungan

perkembangan pendidikan inklusif. Salah satunya adalah dengan cara

memahami secara kritis tentang pro dan kontra pendidikan inklusif.

a. Pro Pendidikan Inklusif

(1) Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB

merupakan satu-satunya sistem terbaik untuk pendidikan anak

berkebutuhan khusus.

(2) Beaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal

dibanding dengan dengan sekolah regular.

(3) Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di

daerah-daerah tidak dapat bersekolah di SLB karena jauh

dan/atau biaya yang tidak terjangkau.

5

Page 6: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(4) SLB (terutama yang berasrama) merupakan

sekolah yang memisahkan anak dari kehidupan sosial yang

nyata. Sedangkan sekolah inklusif lebih ‘menyatukan’ anak

dengan kehidupan nyata.

(5) Banyak bukti di sekolah reguler terdapat anak

berkebutuhan khusus yang tidak mendapatkan layanan yang

sesuai.

(6) Penyelenggaraan SLB berimplikasi adanya

labelisasi anak ‘cacat’ yang dapat menimbulkan stigma

sepanjang hayat. Orangtua tidak mau ke SLB.

(7) Melalui pendidikan inklusif akan terjadi proses

edukasi kepada masyarakat agar menghargai adanya

perbedaan.

b. Kontra Pendidikan Inklusif

(1) Peraturan perundangan memberikan kesempatan

pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus.

(2) Hasil penelitian masih menghendaki berbagai

alternatif pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.

(3) Banyak orangtua yang anaknya tidak ingin

bersekolah di sekolah reguler.

(4) Banyak sekolah reguler yang belum siap

menyelenggarakan pendidikan inklusif karena menyangkut

sumberdaya yang terbatas.

(5) Sekolah khusus/SLB dianggap lebih efektif karena

diikuti anak yang sejenis.

c. Pendidikan Inklusif yang Moderat

Jalan keluar untuk mengatasi pro dan kontra tentang pendidikan

inklusif, maka dapat diterapkan pendidikan inklusif yang moderat.

Pendidikan inklusif yang moderat dimaksud adalah :

(1) Pendidikan inklusif yang memadukan antara

terpadu dan Inklusi penuh.

6

Page 7: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2) Model moderat dikenal dengan model

‘Meanstreaming’.

(3) Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam

prakteknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai

alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan

kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus fleksibel pindah dari

satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti :

- bentuk kelas reguler penuh

- bentuk kelas reguler dengan cluster

- bentuk kelas reguler dengan ’pull

out’

- bentuk kelas reguler dengan

‘cluster dan pull out’

- bentuk kelas khusus dengan

berbagai pengintegrasian.

- bentuk kelas khusus penuh di

sekolah reguler

B. Sejarah Perkembangan Pendidikan InklusifSejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya

diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark,

Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden

Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke

Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive

environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat.

Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan

adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran

model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke

integratif.

Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata

terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada

tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di

Bangkok yang menghasilkan deklarasi ’education for all’. Implikasi dari

statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak

7

Page 8: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan

layanana pendidikan secara memadai.

Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994

diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang

mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal

dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”.

Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang

pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan

konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan

komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif.

Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada

tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan

menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain

menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif

sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar

memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.

Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut,

maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000

mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan

kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah

diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang

berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan

mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan

inklusif.

C. Tujuan Pendidikan InklusifPendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan :

1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua

anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan

yang layak sesuai dengan kebutuhannya.

2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan

dasar

3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah

dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah

8

Page 9: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

4. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai

keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap

pembelajaran

5. Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps.

32 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara negara berhak

mendapat pendidikan’, dan ayat 2 yang berbunyi ’setiap warga negara

wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib

membiayainya’. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

khususnya Ps. 5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara

mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang

bermutu’. UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Ps.

51 yang berbunyi ’anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental

diberikana kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk

memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

D. Landasan Pendidikan Inklusif1. Landasan Filosofis

Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan

sebagai berikut :

a. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya

dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti ’bhineka

tunggal ika’. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat,

keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang

tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

b. Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain

ditegaskan bahwa : (1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci, (2)

kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik

tetapi taqwanya, (3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum

kecuali kaum itu sendiri (4) manusia diciptakan berbeda-beda untuk

saling silaturahmi (‘inklusif’).

9

Page 10: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

c. Pandangan universal Hak azasi manusia, menyatakan

bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak

pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan.

2. Landasan Yuridisa. UUD 1945 (Amandemen) Ps. 31 : (1) berbunyi ‘Setiap

warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) ’Setiaap

warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah

wajib membiayainya’.

b. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Ps.

48 ‘Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal

9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Ps. 49 ’Negara, Pemerintah,

Keluarga, dan Orangtua wajib memberikan kesempatan yang

seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan’.

c. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional. Ps. 5 ayat (1) ‘Setiap warga negara mempunyai hak yang

sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. Ayat (2) :

Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,

intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

Ayat (3) ‘Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta

masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan

layanan khusus’. Ayat (4) ‘Warga negara yang memiliki potensi

kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan

khusus’. Pasal 11 ayat (1) dan (2) ‘Pemerintah dan pemerintah

daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin

terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga

negara tanpa diskriminasi’. ‘Pemerintah dan pemerintah daerah

wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya

pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai

dengan lima belas tahun’. Pasal 12 ayat (1) ‘Setiap peserta didik

pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan

pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya (1.b).

Setiap peserta didik berhak pindah ke program pendidikan pada

jalur dan satuan pendidikan lain yang setara (1.e).Pasal 32 ayat (1 )

10

Page 11: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

‘Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang

memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran

karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki

potensi kecerdasan dan bakat istimewa’. Ayat (2) ‘Pendidikan

layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah

terpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan/atau

mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari

segi ekonomi.’ Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir

dijelaskan bahwa ‘Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan

pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik

yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara

inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat

pendidikan dasar dan menengah’. Pasal 45 ayat (1) ‘Setiap satuan

pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan

prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan

pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan

intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik’.

d. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang

Stándar Nasional Pendidikan. Pasal 2 ayat (1) Lingkungan Stándar

Nasional Pendidikan meliputi Estándar isi, estándar proses,

estándar kompetensi lulusan, estándar pendidik dan kependidikan,

estándar sarana prasarana, estándar pengelolaan, estándar

pembiayaan, dan estándar penilaian pendidikan. Dalam PP No.

19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus

terdiri atas : SDLB, SMPLB dan SMALB.

e. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.

380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan

Inklusi : menyeelenggarakan dan mengembangkan di setiap

Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri

dari : SD, SMP, SMA, dan SMK.

3. Landasan Empirisa. Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948 (Declaration of Human

Rights),

11

Page 12: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

b. Konvensi Hak Anak, 1989 (Convention on the Rights of the

Child),

c. Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990

(World Conference on Education for All),

d. Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan

Kesempatan bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the

equalization of opportunities for persons with disabilities)

e. Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi, 1994 (The

Salamanca Statement on Inclusive Education),

f. Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua, 2000

(The Dakar Commitment on Education for All), dan

g. Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju

pendidikan inklusif”,

h. Rekomendasi Bukittinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif

dan ramah terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai:

(1) Sebuah pendekatan terhadap peningkatankualitas sekolah

secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi

nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-benar

untuk semua;

(2) Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh

pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam

komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari program-

program untuk perkembangan usia dini anak, pra sekolah,

pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada

saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh

pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap

marginalisasi dan eksklusi; dan

(3) Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang

menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga

negara.

12

Page 13: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Disamping itu juga menyepakati rekomendasi berikut ini untuk lebih

meningkatkan kualitas sistem pendidikan di Asia dan benua-benua

lainnya:

(1) Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip

fundamental yang mendasari semua kebijakan nasional

(2) Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan

nasional, emosi dan fisik, maupun pencapaian akademik lainnya

(3) Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar

sesuai dengan prinsip-prinsip non-diskriminasi dan inklusi serta

konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas

(4) Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati

semua anak, tanpa memandang perbedaan karakteristik

maupun keadaan individu, serta seharusnya pula

memperhatikan pandangan mereka

(5) Semua kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk

mengembangkan strategi bersama menuju inklusi

(6) Demi menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka

sekolah yang ramah terhadap anak (SRA), maka masalah non-

diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua dimensi SRA,

dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-

lembaga pemerintah dan non-pemerintah, donor, masyarakat,

berbagai kelompok local, orang tua, anak maupun sektor swasta

(7) Semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi

non-pemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi

dalam setiap upaya untuk mencapai keberlangsungan

pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah

terhadap pembelajaran bagi semua anak

(8) Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial

maupun ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh

karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus

mencakup semua anak usia sekolah

13

Page 14: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(9) Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam

jabatan guru seyogyanya direvisi guna mendukung

pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra-

sekolah hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada

pemahaman secara holistik tentang perkembangan dan belajar

anak termasuk pada intervensi dini

(10) Pemerintah (pusat, propinsi, dan local) dan sekolah

seyogyanya membangun dan memelihara dialog dengan

masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem

pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif

14

Page 15: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

BAB IIPENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

A. Peserta Didik1. Sasaran

Sasaran pendidikan inklusif secara umum adalah semua peserta didik

yang ada di sekolah reguler. Tidak hanya mereka yang sering disebut

sebagai anak berkebutuhan khusus, tetapi juga mereka yang termasuk

anak ‘normal’. Mereka secara keseluruhan harus memahami dan

menerima keanekaragaman dan perbedaan individual. Secara

khusus, sasaran pendidikan inklusif adalah anak berkebutuhan khusus,

baik yang sudah terdaftar di sekolah reguler, maupun yang belum dan

berada di lingkungan sekolah reguler. Untuk itu perlu dilakukan

identifikasi secara khusus agar dapat diberikan program yang sesuai.

2. Identifikasi Anak Berkebutuhan Khususa. Identifikasi

Hakekat

Istilah identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan,

sedangkan assesment dimaknai sebagai penyaringan. Identifikasi

anak dimaksudkan sebagai suatu upaya seseorang (orang tua,

guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk melakukan

proses penjaringan terhadap anak yang mengalami

kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, social,

emosional/tingkah laku) dalam rangka pemberian layanan

pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah

ditemukannya anak-anak berkebutuhan khusus yang perlu

mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui program inklusi.

15

Page 16: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Tujuan

Identifikasi anak berkebutuhan khusus dilakukan untuk lima

keperluan,yaitu:

(1) Penjaringan (screning),

(2) Pengalihtanganan (referal),

(3) Klasifikasi,

(4) Perencanaan pembelajaran, dan

(5) Pemantauan kemajuan belajar.

b. Asesmen

Pengertian

Asesmen merupakan proses pengumpulan informasi sebelum

disusun program pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus.

Asesmen ini dimaksudkan untuk memahami keunggulan dan

hambatan belajar siswa, sehingga diharapkan program yang

disusun benar-benar sesuai dengan kebutuhan belajarnya.

Fungsi

Fungsi screening / penyaringan, pada tahap ini asesmen

diuntukkan untuk keperluan screening/penyaringan. Screening ini

dilakukan untuk mengidentifikasi siswa yang mungkin mempunyai

problem belajar Fungsi pengalihtanganan/referal, adalah sebagai

alat untuk pengalihtanganan kasus dari kasus pendidikan menjadi

kasus kesehatan, kejiwaan ataupun kasus sosial ekonomi. Ada

bagian yang tidak mungkin ditangani oleh guru sendiri, sehingga

memerlukan keterlibatan profesional lain.

Fungsi perencanaan pembelajaran individual (PPI), dengan

berbekal data yang diperoleh dalam kegiatan asesmen, maka akan

tergambar berbagai potensi maupun hambatan yang dialami anak.

Misalnya keterbelakangan mental, gangguan motorik, persepsi,

memori, komunikasi, adaptasi sosial,

Fungsi monitoring kemajuan belajar, adalah untuk memonitor

kemajuan belajar yang dicapai siswa.

16

Page 17: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Fungsi evaluasi program, adalah untuk mengevaluasi program

pembelajaran yang telah dilaksanakan.

Sasaran

(1) Anak berkebutuhan khusus yang sudah bersekolah di Sekolah

Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;

(2) Anak berkebutuhan khusus yang akan masuk ke Sekolah

Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;

(3) Anak berkebutuhan khusus yang belum/tidak bersekolah

(4) Anak berkebutuhan khusus yang akan mengikuti program

pendidikan non formal atau informal.

B. Kurikulum1. Jenis Kurikulum

Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif

pada dasarnya menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di

sekolah umum. Namun demikian karena ragam hambatan yang

dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi, mulai

dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam

implementasinya, kurikulum reguler perlu dilakukan modifikasi

(penyelarasan) sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan

peserta didik.

Modifikasi (penyelarasan) kurikulum dilakukan oleh tim pengembang

kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri dari:

kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pembimbing

khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait.

2. Tujuan Pengembangan Kurikuluma. Membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi dan

mengatasi hambatan belajar yang dialami siswa semaksimal

mungkin dalam setting sekolah inklusi

b. Membantu guru dan orangtua dalam mengembangkan program

pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus baik yang

diselenggarakan di sekolah, di luar sekolah maupun di rumah.

17

Page 18: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

c. Menjadi pedoman bagi sekolah, dan masyarakat dalam

mengembangkan, menilai dan menyempurnakan program

pendidikan inklusi.

3. Model Pengembangan Kurikuluma. Model kurikulum reguler penuh

Pada model kurikulum ini peserta didik yang berkebutuhan khusus

mengikuti kurikulum reguler sama seperti kawan-kawan lainnya di

dalam kelas yang sama. Program layanan khususnya lebih

diarahkan kepada proses pembimbingan belajar, motivasi dan

ketekunan belajarnya.

b. Model kurikulum reguler dengan modifikasi

Pada model kurikulum ini guru melakukan modifikasi pada strategiPada model kurikulum ini guru melakukan modifikasi pada strategi

pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahanpembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan

lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan siswa (anaklainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan siswa (anak

berkebutuhan khusus). Di dalam model ini bisa terdapat siswaberkebutuhan khusus). Di dalam model ini bisa terdapat siswa

berkebutuhan khusus yang memiliki program pembelajaranberkebutuhan khusus yang memiliki program pembelajaran

berdasarkan kurikulum reguler dan program pembelajaranberdasarkan kurikulum reguler dan program pembelajaran

individual (PPI). Misal seorang siswa berkebutuhan khusus yangindividual (PPI). Misal seorang siswa berkebutuhan khusus yang

mengikuti 3 mata pelajaran berdasarkan kurikulum regulermengikuti 3 mata pelajaran berdasarkan kurikulum reguler

sedangkan mata pelajaran lainnya berdasarkan PPI.sedangkan mata pelajaran lainnya berdasarkan PPI.

c. Model kurikulum PPI

Pada model kurikulum ini guru mempersiapkan program pendidikanPada model kurikulum ini guru mempersiapkan program pendidikan

individual (PPI) yang dikembangkan bersama tim pengembangindividual (PPI) yang dikembangkan bersama tim pengembang

yang melibatkan guru kelas, guru pembimbing khusus, kepalayang melibatkan guru kelas, guru pembimbing khusus, kepala

sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait. sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait.

Model ini diperuntukan pada siswa yang mempunyai hambatanModel ini diperuntukan pada siswa yang mempunyai hambatan

belajar yang tidak memungkinkan untuk mengikuti proses belajarbelajar yang tidak memungkinkan untuk mengikuti proses belajar

berdasarkan kurikulum reguler. Siswa berkebutuhan khusus sepertiberdasarkan kurikulum reguler. Siswa berkebutuhan khusus seperti

ini dapat dikembangkan potensi belajarnya dengan menggunakanini dapat dikembangkan potensi belajarnya dengan menggunakan

PPI dalam setiing kelas reguler, sehingga mereka bisa mengikutiPPI dalam setiing kelas reguler, sehingga mereka bisa mengikuti

proses belajar sesuai dengan fase perkembangan danproses belajar sesuai dengan fase perkembangan dan

kebutuhannya. kebutuhannya.

18

Page 19: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Penjelasan dan model PPI secara lebih lengkap dapat dilihat padaPenjelasan dan model PPI secara lebih lengkap dapat dilihat pada

Buku Pedoman Pengembangan PPI.Buku Pedoman Pengembangan PPI.

C. Tenaga Pendidik 1. Pengertian

Tenaga pendidik adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas

utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,

meninlai, dan mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan

tertentu yang melaksanakan program pendidikan inklusi. Tenaga

pendidik meliputi: guru kelas, guru mata pelajaran (Pendidikan Agama

serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), dan guru pembimbing

khusus (GPK).

2. Tugasa. Tugas Guru Kelas antara lain sebagai berikut :

(1) Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga anak-

anak merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.

(2) Menyusun dan melaksanakan asesmen pada semua anak

untuk mengetahui kemampuan dan kebutuhannya

(3) Menyusun program pembelajaran individual (PPI)

bersama-sama dengan guru pembimbing khusus (GPK).

(4) Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dan

mengadakan penilaian untuk semua mata pelajaran (kecuali

Pendidikan Agama dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan )

yang menjadi tanggung jawabnya.

(5) Memberikan program remedi pengajaran (remedial

teaching), pengayaan/percepatan bagi peserta didik yang

membutuhkan.

(6) Melaksanakan administrasi kelas sesuai dengan bidang

tugasnya.

b. Tugas guru mata pelajaran antara lain sebagai berikut:

(1) Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga anak-

anak merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.

19

Page 20: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2) Menyusun dan melaksanakan asesmen pada semua anak

untuk mengetahui kemampuan dan kebutuhannya

(3) Menyusun program pembelajaran individual (PPI)

bersama-sama dengan guru pembimbing khusus (GPK).

(4) Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dan

mengadakan penilaian kegiatan belajar mengajar untuk mata

pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.

(5) Memberikan program Perbaikan (remedial teaching),

pengayaan/percepatan bagi peserta didik yang membutuhkan.

c. Tugas Guru Pembimbng Khusus antara lain sebagai berikut

(1) Menyusun instrumen asesmen pendidikan bersama-sama

dengan guru kelas dan guru mata pelajaran

(2) Membangun system koordinasi antara guru, pihak sekolah

dan orang tua peserta didik.

(3) Melaksanakan pendampingan anak berkebutuhan khusus

pada kegiatan pembelajaran bersama-sama dengan guru

kelas/guru mata pelajaran/guru bidang studi.

(4) Memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak

berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan dalam

mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas umum, berupa remidi

ataupun pengayaan.

(5) Memberikan bimbingan secara berkesinambungan dan

membuat catatan khusus kepada anak-anak berkebutuhan

khusus selama mengikuti kegiatan pembelajaran, yang dapat

dipahami jika terjadi pergantian guru.

(6) Memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada guru

kelas dan/atau guru mata pelajaran agar mereka dapat

memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak

berkebutuhan khusus.

3. KedudukanGuru berkedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang

pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan pada usia dini

20

Page 21: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

pada jalur pendidikan formal yang dibuktikan dengan sertifikat

pendidik. Kedudukan untuk masing-masing guru secara rinci meliputi :

a. Guru Kelas berkedudukan di sekolah dasar yang di tetapkan

berdasarkan kualifikasi sesuai dengan persyaratan yang

ditetapkan oleh sekolah.

b. Guru mata pelajaran/bidang studi adalah guru yang mengajar

mata pelajaran tertetu sesuai kualifikasi yang dipersyaratkan di

sekolah.

c. Guru Pembimbing Khusus berdudukan sebagai guru pendamping

khusus. Secara administrasi status kepegawaian, ada beberapa

alternatif yang memungkinkan.

D. Kegiatan Pembelajaran1. Perencanaan

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang kegiatan

pembelajarann pada kelas inklusif antara lain seperti di bawah ini.

a. Merencanakan pengelolaan kelas

b. Merencanakan pengorganisasian bahan

c. Merencanakan strategi pendekatan kegiatan belajar mengajar

d. Merencanakan prosedur kegiatan belajar mengajar

e. Merencanakan penggunaan sumber dan media belajar

f. Merencanakan penilaian

2. Pelaksanaan a. Melasanakan apersepsi

b. Menyajikan materi/bahan pelajaran

c. Mengimplementasikan metode, sumber/media belajar, dan bahan

latihan yang sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik

siswa, serta sesuai dengan tujuan pembelajaran

d. Mendorong siswa untuk terlibat secara aktif

e. Mendemontrasikan penguasaan materi pelajaran dan

relevansinya dalam kehidupan

f. Membina hubungan antar pribadi, antara lain: (1) Bersikap

terbuka, toleran, dan simpati terhadap siswa; (2) Menampilkan

21

Page 22: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

kegairahan dan kesungguhan; (3) Mengelola interaksi antar

pribadi.

2. Prinsip-Prinsip Pembelajarana. Prinsip motivasi

Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar

tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti

kegiatan belajar-mengajar.

b. Prinsip latar/konteks

Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan

contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan

sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-

pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu

bagi anak.

c. Prinsip keterarahan

Setiap akan melakukan kegiatan pembalajaran, guru harus

merumuskan tujuan secara jelas, menyiapkan bahan dan alat yang

sesuai, serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat

d. Prinsip hubungan sosial

Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan

strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi

antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa

dan lingkungan, searta interaksi banyak arah.

e. Prinsip belajar sambil bekerja

Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi

kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau

percobaan, atau menemukan sesuatu melalui pengamatan,

penelitian, dan sebagainya.

f. Prinsip individulisasi

Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap

anak secara mendalam, baik dari seagi kemampuan maupun

ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan

maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga

22

Page 23: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak meandapat

perhatian dan paerlakuan yang sesuai.

g. Prinsip menemukan

Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu

memancing anak untuk terlibat seacara aktif, baik fisik, mental,

sosial, dan/atau emosional.

h. Prinsip pemecahan masalah

Guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/problem

yang ada di lingkungan sekitar, dan anak dilatih untuk

merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkannya

seasuai dengan kemampuannnya.

E. Penilaian dan Sertifikasi1. Penilaian

Penilaian dalam setting inklusi ini mengacu pada model

pengembangan kurikulum yang dipergunakan, yaitu:

a. Apabila menggunakan model kurikulum reguler penuh, maka

penialiannya menggunakan sistem penilaian berlaku pada sekolah

reguler.

b. Jika menggunakan model kurikulum reguler dengan modifikasi,

maka penilaiannya menggunakan sistem penilaian reguler yang

telah dimodifikasi sekolah disesuaikan dengan tingkat

perkembangan dan kebutuhan siswa.

c. Apabila menggunakan kurikulum PPI, maka penilaiannya bersifat

individu dan didasarkan pada kemampuan dasar (base line).

2. Sistem Kenaikan Kelas dan Laporan Hasil Belajara. Sistem Kenaikan kelas

(1) Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum reguler

penuh, sistem kenaikan kelasnya menggunakan acuan yang

berlaku pada sekolah reguler penuh yang sedang berlaku.

(2) Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum reguler yang

dimodifikasi, maka sistem kenaikan kelasnya dapat

menggunakan alternatif berikut: (1) menggunakan model

23

Page 24: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

kenaikan kelas yang didasarkan pada usia kronologis; (2)

menggunakan sistem kenaikan kelas reguler.

(3) Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum PPI, sistem

kenaikannya didasarkan pada usia kronologis.

b. Sistem Laporan Hasil Belajar

(1) Bagi siswa yang menggunakan kurikulum reguler penuh, maka

model laporan hasil belajarnya (raport) menggunakan model

raport reguler yang sedang berlaku.

(2) Bagi siswa yang menggunakan kurikulum reguler yang

dimodifikasi, model raport yang dipergunakan adalah raport

reguler yang dilengkapi dengan diskripsi (narasi) yang

menggambarkan kualitas kemajuan belajarnya.

(3) Bagi siswa yang menggunakan kurikulum PPI, maka

menggunakan model raport kuantitatif yang dilengkapi dengan

diskripsi (narasi). Penentuan nilai kuantitatif didasarkan pada

kemampuan dasar (base line anak).

3. SertifikasiSertifikasi adalah suatu bentuk penghargaan yang berupa surat

keterangan yang diberikan kepasi siswa yang telah berhasil mencapai

prestasi dalam bidang akademik maupun non akademik. Sertifikasi

bidang akademik adalah suatu bentuk penghargaan yang diberikan

kepada siswa yang telah berhasil mencapai kompetensi pembelajaran

pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan standar penilaian yang

berlaku. Sedangkan sertifikasi non akademik adalah suatu bentuk

penghargaan yang diberikan kepada siswa yang telah mampu

mencapai prestasi tertentu, seperti bidang, seni, budaya, olah raga,

mekanik, otomotif, dan jenis keterampilan lainnya.

F. Sarana dan Prasarana PendidikanSarana dan prasarana pendidikan inklusi adalah perangkat keras maupun

perangkat lunak yang dipergunakan untuk menunjang keberhasilan

pelaksanaan pendidikan inklusi pada satuan pendidikan tertentu.

24

Page 25: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Pada hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan

pendidikan tertentu itu dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan

pendidikan inklusi, tetapi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran

perlu dilengkapi asesibilitas bagi kelancaran mobilisasi anak berkebutuhan

khusus, serta media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak

berkebutuhan khusus.

G. Manajemen Sekolah1. Konsep Manajemen

Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah

administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan

berbeda. Pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada

manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi) kedua

melihat manajemen lebih luas daripada administrasi (administrasi

merupakan inti dari manajemen) dan ketiga yang menganggap bahwa

manajemen identik dengan administrasi.

Dalam buku ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah

administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk

mendayagunakan sumber – sumber, baik personal maupun material,

secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan

pendidikan di sekolah secara optimal.

2. FungsiFungsi manajemen pendidikan inklusif meliputi:

a. Perencanaan (Planning)

b. Pengorganisasian (organizing)

c. Pengarahan (directing)

d. Pengkoordinasian (coordinating)

e. Pengawasan (controlling), dan

f. Penilaian (evaluation)

25

Page 26: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

3. Ruang LingkupManajemen sekolah inklusi, memberikan kewenangan penuh kepada

pihak sekolah untuk merencanakan, mengorganisasikan,

mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi

komponen – komponen pendidikan sekolah inklusf yang bersangkutan.

Komponen – komponen tersebut meliputi :

a. Manajemen kesiswaan

b. Manajemen kurikulum

c. Manajemen pembelajaran

d. Manajemen penilaian

e. Manajemen ketenagaan

f. Manajemen sarana- prasarana

g. Manajemen pembiayaan

h. Manajemen sumberadaya lingkungan

4. Penghargaan dan sanksia. Penghargaan

Kepada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusi yang

berprestasi dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi diberikan

penghargaan. Penghargaan dimaksudkan untuk menjaga dan

meningkatkan mutu layanan pendidikan. Penghargaan dapat

berupa simbul, seperti sertifikat, piagam, dan dapat pula dalam

bentuk lain, seperti promosi, dana pembinaan, pelatihan, maupun

dalam bentuk lain yang relevan.

b. Sanksi

Kepada satuan pendidikan tertentu yang telah memperoleh surat

penetapan sebagai sekolah penyelenggaran pendidikan inklusi

dari Dinas Pendidikan Propinsi, apabila dinilai lalai dalam

melaksanakan kewajibannya dapat dikenakan sanksi. Berat

ringannya sanksi disesuaikan dengan tingkat kelalaiannya. Jenis-

jenis sanksi yang diberikan dapat berupa, teguran, peringatan tertulis, maupun dalam bentuk pembatalan surat ketetapan sebagai sekolah penyelenggara pendidikan inklusi.

26

Page 27: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

H. Pemberdayaan Masyarakat Pada hakekatnya pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama antara

sekolah, masyarakat dan pemerintah. Oleh sebab itu para pembina dan

pelaksana pendidikan di lapangan diharapkan mampu memberdayakan

masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi secara optimal.

Partisipasi dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan

inklusi antara lain dalam: (1) perencanaan; (2) penyediaan tenaga

ahli/profesional terkait; (3) pengambilan keputusan; (4) pelaksanaan

pembelajaran dan evaluasi;(5) pendanaan; (6) pengawasan; dan (7)

penyaluran lulusan.

Untuk mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan

inklusi dapat diakomodasikan melalui Wadah: (1) Komite sekolah, (2)

dewan pendidikan; (3) forum-forum pemerhati pendidikan inklusi.

27

Page 28: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

BAB IIIMEKANISME PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

A. Kriteria calon sekolah penyelenggara pendidikan Inklusifa. Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan inlusif

(kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua)

b. Terdapat anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah

c. Tersedia guru khusus/PLB (guru tetap sekolah atau guru yang

diperbantukan dari lembaga lain)

d. Komitmen terhadap penuntasan wajib belajar

e. Memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang relevan

f. Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh semua anak

g. Pihak sekolah telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan inklusi

h. Sekolah tersebut telah terakreditasi

i. Memenuhi prosedur administrasi yang ditentukan

B. Prosedur Pengusulan Sekolah Inklusif

1. PersiapanSekolah reguler, maupun lembaga swadaya masyararakat yang ingin

menyelenggarakan pendidikan inklusi perlu mempersiapkan diri

sebaik-baiknya. Kegiatan maupun hal-hal yang perlu dipersiapkan,

antara lain: (1) pembentukan tim, tujuan pembentukan tim adalah

untuk mempersiapkan hal-hal yang terkait dengan penyelenggaraan

pendidikan inklusi; (2) penyusunan proposal, proposal disusun oleh

tim yang telah terbentuk. Format dan isi proposal disusun secara

singkat dan jelas; (3) pengajuan perijinan, mekanisme pengajuan

perijinan mengikuti ketentuan yang berlaku dan ditetapkan Dinas

Pendidikan Propinsi setempat (rambu-rambu penulisan proposal

terlampir).

2. Pelaksanaana. Sekolah membuat proposal penyelenggaraan pendidikan inklusi

b. Proposal diajukan kepada Dinas Pendidikan Propinsi setelah

memperoleh rekomendasi dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

28

Page 29: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

c. Tim Verifikasi Dinas Pendidikan Propinsi mengkaji propsal yang

telah diajukan oleh fihak sekolah.

d. Tim Verifikasi Propinsi terdiri dari unsur, Dinas Pendidikan Propinsi,

Perguruan tinggi, Organisasi profesi.

e. Tim Verifikasi mengadakan studi kelayakan kepada sekolah yang

telah mengadakan permohonan,

f. Dinas Pendidikan Propinsi menerbitkan surat penetapan

penyelenggaraan pendidikan inklusi, bagi sekolah yang dinyatakan

memenuhi persyaratan yang telah ditatapkan oleh tim verifikasi.

DIAGRAM ALUR PENGUSULAN MENJADI SEKOLAH INKLUSIF

29

SEKOLAH(SD, SLTP, SMU,SMK)

KADIN PENDIDIKANKABUPATEN/KOTA

KADIN PENDIDIKAN PROPINSILPTK PLB

TIM VERIFIKASI

Page 30: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

D. Pembinaan dan Monitoring

1. Pembinaan Sekolah Inklusif

Agar penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat berjalan dengan baik

sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka perlu dilakukan

pembinaan oleh yang berwenang.

Yang berwenang melakukan pembinaan adalah Dinas Pendidikan

Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota sesuai dengana mekanisme

masing-masing daerah. Secara teknis operasional pembinaan sekolah

inklusif dilakukan oleh Pengawas Sekolah masing-masing daerah.

Pembinaan sekolah inklusif dapat dilakukan secara berkala maupun

insidental sesuai kebutuhan.

2. MonitoringKegiatan monitoring dimaksudkan untuk mengawal keterlaksanaan

penyelenggaraan program pendidikan inklusif. Hasil monitoring

dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam peningkatan mutu

layanan pendidikan inklusif. Materi monitoring meliputi aspek,

manajemen, proses pendidikan, dan pengembangan sekolah. Kegiatan

monitoring dilaksanakan secara berkala, minimal satu kali dalam satu

tahun.

Monitoring dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Luar

Biasa, Dinas Pendidikan Daerah Tingkat I dan atau Dinas Pendidikan

Daerah Tingkat II/Kota. Dalam menjalankan monitoring Direktorat

Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Dinas Pendidikan Propinsi dan/atau

Kabupaten/Kota dapat bekerjasama dengan LPTK PLB yang ada.

.

3. PelaporanSetiap penyelenggara pendidikan inklusif diwajibkan membuat laporan

tertulis tahunan kepada atasan langsung yang tembusannya dikirimkan

kepada Direktorat Pembinaan sekolah Luar Biasa.

Laporan tertulis tahunan sekurang-kurangnya memuat tentang: (a)

peserta didik; (2) kurikulum yang digunakan; (3) sarana prasarana; (4)

30

Page 31: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

tenaga pendidik dan kependidikan; (5) proses pembelajaran; (6) hasil

evaluasi, serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi.

Setiap sekolah penyelenggara pendidikan inklusi dapat

mengembangkan format laporan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku pada lingkungan lembaga setempat.

31

Page 32: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

DAFTAR PUSTAKA

Ashman,A.& Elkins,J.(194). Educating Children With Special Needs. New York:Prentice Hall.

Baker,E.T.(1994). Metaanalysis evidence for non-inclusive Educational practices.Disertasi, Temple University.

Baker,E.T.,Wang,M.C.& Walberg,H.J.(194/1995). The effects Of inclusion on learning. Educational Leadership. 52(4) 33-35.

Carlberg,C & Kavale,K (The efficacy of special class vs regular Class placement for exceptional children: a metaanalysis.The Journal of Special Education.14,295-305

Colley, Helen (2003) Mentoring for Social Inclusion,Kondon : Routledge Falmer

Fish,J (1985). Educational Opportunities for All. London: InnerLondon Education Authority.

Johnsen, Berit H dan Miriam D. Skjorten (2003) Pendidikan Kebutuhan Khusus; Sebuah Pengantar, Bandung : Unipub

Mulyono Abdulrahman (2003). Landasan Pendidikan Inklusif Dan Implikasinya dalam penyelenggaraan LPTK.Makalah disajikan dalam pelatihan penulisan buku ajar Bagi Dosen jurusan PLB yang diselenggarakan oleh Ditjen Dikti. Yogyakarta, 26 Agustus 2002.

O’Neil,j.(1994/1995).Can inclusion work? A ConversationWith James Kauffman and Mara Sapon-Shevin.Educational Leadership.52(4)7-11

Slee, Roger (2003), Inclusive Education,(International Jurnal vol. 7 no. 1)

Skidmare, David (2004) Inclusion the Dynamic of School DevelopmentNew York : Open University Press

Stainback,W. & Sianback,S.(1990). Support Networks for Inclusive Schooling:Independent Integrated Education.Baltimore: Paul H.Brooks.

Staub,D. & Peck,C.A.(1994/195). What are the outcomes for Nondisabled students? Educational Leadership.52 (4) 36-40.

Topping, Keith and Sheelagh Maloney (2005), The Routledge Falmer Reader In Inclusive Education

32

Page 33: yuswan62.files.wordpress.com · Web viewSEKOLAH INKLUSI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh : Drs. R. Indianto, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

New York : Routledge Falmer

Undang – Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

UNESCO (1994). The Salamanca Statement and Framework For Action on Special Needs Education. PARIS:Author.

Vaughn,S., Bos,C.S.& Schumn,J.S.(2000). Teaching Exceptional, Diverse, and at Risk Student in the General Educational Classroom,Boston:Allyn Bacon.

Warnock,H.M.(1978). Special Educational Needs:Report of The committee of Enquiry into the Education of Handicapped Young People. London: Her Majesty’sStationary Office.

33