rumahradhen.files.wordpress.com file · Web viewSebelum mengenal teologi Islam, kita terlebih...

51
BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Dalam menjalani kehidupan yang kita mantapkan adalah aqidah/kayakinan kepada Allah SWT. Rasanya aktivitas sehari- hari tak ada gunanya jika tidak di dasari dengan keimanan yang kuat. Dalam kajian ini, kita telah mengenal Teologi Islam yang membahas tentang pemikiran dan kepercayaan tentang ketuhanan. Teologi Islam ini sudah sepantasnya kita ketahui agar dalam menjalani kehidupan ini kita mengetahaui dan menjadi Idealnya orang Islam. Dalam kehidupan sehari-hari kita banyak menjumpai perbedaan-perbedaan pemikiran dan aqidah yang mengiringi, dan kita harus pandai dalam memilih dan memilahnya dengan berlandaskan Al-qur’an dan Al-hadist. Perlu kita mengingat apa yang pernah di katakan oleh Rasulullah bahwa “ umatku akan berpecah menjadi tujuh pulu tiga dan hanya satu yang benar.” Perbedaan pemikiran tersebut membuat mereka saling menyalahkan, antara lain yang kita ketahui adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah, Mu’tazilah Qodariyah dan lain lain. Yang semuanya memiliki pendapat masing-masing tentang Tauhid/keyakinan atau tentang hal ketuhanan. Dan kita sebagai orang yang memegang agama Allah harus mengetahui manakah pemikiran yang benar dan yang salah, dalam memandangnya kita harus berpegang teguh pada Al-qur’an dan Al-hadist. Hal ini merupakan hal penting yang harus di pelajari agar apa yang menjadi keyakinan kita tentang Allah tidak salah, dan seaandainya apabila keyakinan kita salah tentang-Nya maka kita bisa saja kita di anggap orang keluar agama Islam.

Transcript of rumahradhen.files.wordpress.com file · Web viewSebelum mengenal teologi Islam, kita terlebih...

BAB I

PENDAHULUAN

a.    Latar Belakang

Dalam menjalani kehidupan yang kita mantapkan adalah aqidah/kayakinan kepada

Allah SWT. Rasanya aktivitas sehari-hari tak ada gunanya jika tidak di dasari dengan

keimanan yang kuat. Dalam kajian ini, kita telah mengenal Teologi Islam yang membahas

tentang pemikiran dan kepercayaan tentang ketuhanan. Teologi Islam ini sudah sepantasnya

kita ketahui agar dalam menjalani kehidupan ini kita mengetahaui dan menjadi Idealnya

orang Islam. Dalam kehidupan sehari-hari kita banyak menjumpai perbedaan-perbedaan

pemikiran dan aqidah yang mengiringi, dan kita harus pandai dalam memilih dan

memilahnya dengan berlandaskan Al-qur’an dan Al-hadist. Perlu kita mengingat apa yang

pernah di katakan oleh Rasulullah bahwa “ umatku akan berpecah menjadi tujuh pulu tiga

dan hanya satu yang benar.”

Perbedaan pemikiran tersebut membuat mereka saling menyalahkan,  antara lain yang

kita ketahui adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah, Mu’tazilah Qodariyah dan lain lain. Yang

semuanya memiliki pendapat masing-masing tentang Tauhid/keyakinan atau tentang hal

ketuhanan. Dan kita sebagai orang yang memegang agama Allah harus mengetahui manakah

pemikiran yang benar dan yang salah, dalam memandangnya kita harus berpegang teguh

pada Al-qur’an dan Al-hadist. Hal ini merupakan hal penting yang harus di pelajari agar apa

yang menjadi keyakinan kita tentang Allah tidak salah, dan seaandainya apabila keyakinan

kita salah tentang-Nya maka kita bisa saja kita di anggap orang keluar agama Islam.

Sebelum mengenal teologi Islam, kita terlebih dahulu mengenal istilah atau ilmu

filsafat islam dan tasawuf. Dan kesemuanya itu memiliki hubungan khusus. Dalam makalah

ini akan dijelaskan secara ringkas mengenai studi teologi islam baik meliputi Pengertian

teologi islam, Ruang lingkup studi islam, Sumber-sumber Teologi Islam, dan lain lain.

 

b.      Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari teologi Islam ?

2. Apa ruang lingkup teologi Islam ?

3. Apa sumber-sumber pembahasan teologi Islam ?

4. Apa metode pembahasan studi teologi Islam ?

5. Apa hubungan ilmu teologi, filsafat Islam dan tasawuf ?

6. Apa manfaat studi teologi Islam ?

c.       Tujuan

1. Untuk mengetahui apa pengertian dari teologi Islam

2. Untuk mengetahui apa saja ruang lingkup dalam teologi Islam

3. Dapat mengetahui sumber-sumber pembahasan teologi Islam

4. Agar mengetahui metode pembahasan dalam studi teologi Islam

5. Mengetahui hubungan antara  ilmu teologi, filsafat Islam dan tasawuf

6. Dapat mengetahui manfaat dari studi teologi Islam

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

a. Pengertian Teologi Islam

Teologi dari segi etimologi berasal dari bahsa yunani yaitu theologia. Yang terdiri

dari kata theos yang berarti tuhan atau dewa, dan logos yang artinya ilmu. Sehingga teologi

adalah pengetahuan ketuhanan . menurut William L. Resse, Teologi berasal dari bahasa

Inggris yaitu theology yang artinya discourse or reason concerning god (diskursus atau

pemikiran tentang tuhan) dengan kata-kata ini Reese lebih jauh mengatakan, “teologi

merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat

dan ilmu pengetahuan. Gove mengatkan bahwa teologi merupakan penjelasan tentang

keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional[1]. Sedangkan menurut

Fergilius Ferm “the discipline which consern God (or yhe divine Reality)and God relation to

the word (pemikiran sistematis yang berhubungan dengan alam semesta). Dalam ensiklopedia

everyman’s di sebutkan tentang teologi sebagai science of religion, dealing therefore with

god, and man his relation to god  (pengetahuan tentang agama, yang karenanya

membicarakan tentang tuhan dan manusia dalam pertaliannya dengan tuhan). Disebutkan

dalam New English Dictionary, susunan Collins, the science treats of the facts and

phenomena  of religion and the relation between God and men (ilmu yang membahs fakta-

fakta dan gejala-gejala agama dan hubungan-hubungan antara tuhan dan manusia[2].

Sedangkan pengertian teologi islam secara terminologi terdapat berbagai perbedaan.

Menurut abdurrazak, Teologi islam adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala

sesuatu yang berkait dengan-NYA secara rasional. Muhammad Abduh :

وما به يوصف ان يجوز وما صفاته من له يثبت ان يجب وما الله وجود عن يبحث علم التوحيدوما اليهم ينسب ان يجوز ومما عليهم يكونوا ان رسالتهم الثبات الرسل وعن عنه ينفى ان يجب

بهم يلحق ان .يمتنع

“ tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat yang wajib tetap

pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat yang sma sekali wajib di

lenyapkan dari pada-Nya; juga membahas tentang Rasul-rasul Allah, meyakinkan keyakinan

mereka, meyakinkan apa yang ada pada diri mereka, apa yang boleh di hubungkan kepada

diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkanya kepada diri mereka”.[3]

Kalau melihat definisi pertama dapat di pahami bahwa Muhammad Abduh lebih

menekankan pada Ilmu Tauhid/Teologi yaitu pembahasan tentang Allah dengan segala sifat-

Nya, Rasul dan segala sifat-Nya, sedang yang kedua menekankan pada metode pembahsan,

yaitu dengan menggunakan dalil-dali yang meyakinkan.

Apakah maksud Teologi ?

Perkataan teologi adalah perkataan yang berasal daripada dua kalimah kata yang

berbeza daripada bahasa Greek iaitu ‘teo’ dan ‘logis’. Dari sudut bahasa, teo membawa

maksud Tuhan ataupun pencipta dan pemilik alam ini. Logis pula membawa maksud kata-

kata, cakap-cakap ataupun cerita-cerita. Dari sudut Istilah pula, kita dapat simpulkan bahawa

teologi adalah sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan kepada Tuhan .Teologi meliputi

segala sesuatu yangberhubungan kait dengan Tuhan. Dengan kata lain, teologi membawa

maksud perbincangan mengenai konsep ketuhanan.

Perbincangan mengenai teologi adalah perbincangan pokok bagi sesebuah agama

kerana dasar di dalam agama adalah beriman dan mempercayai tentang kewujudan tuhan

mereka. Oleh disebabkan itu,Islam tidak terlepas daripada perbincangan tentang teologi

kerana agama ini mengakui bahawa adanya tuhan yang maha Esa. Dengan adanya

perbincangan dan perbahasan mengenai soal ketuhanan, maka wujudlah perselisihan dan

perbezaan pendapat tentang aspek perbincangan dalam kalangan umat Islam itu sendiri.

Perbezaan ini telah dijadikan sempadan dan titik perbezaan antara kumpulan-kumpulan islam

(firqah) dalam agama Islam. Antara kumpulan Islam yang mempunyai perbezaan dalam

membahaskan aspek kertuhanan dalam agama Islam adalah Salafiyyah atau lebih dikenali

dengan nama golongan Wahabi.

Istilah Wahabiyah merujuk kepada suatu aliran atau fahaman yang dinisbahkan

kepada Muhammad Bin Abdul Wahab.Wahabi juga merujuk kepada pengikut dan pendokong

fahaman beliau.Kedua-dua istilah ini adalah sandaran kepada Muhammad Bin Abdul Wahab.

Sejarah Wahabi.

Fahaman atau golongan wahabi ini bermulanya diambil nama itu dari seorang tokoh

yang bernama Muhammad Bin Abdul wahab, lahir pada tahun 1699 masihi, yang mana

ulama berselisih pendapat tentang tarikh kelahiran dan kematian beliau namun pendapat yang

masyhur tentang kelahiran beliau adalah pada tahun 1115 hijriah atau bersamaan dengan

1703 masihi di kampung Huraimila, Najd, Arab Saudi. Wahabi diambil sempena nama ayah

beliau sebagai mana Imam As-Syafi’I, Imam Hanbali dan sebagainya. Golongan Ahli Sunnah

Wal Jamaah bersepakat untuk tidak menisbahkan nama golongan tersebut sempena nama

beliau sendiri sebagai muhammadi supaya masyarakat Islam tidak keliru dengan ajaran Islam

sebenar lantas menganggap fahaman beliau adalah ajaran Rasulullah SAW. Pada mulanya

beliau merupakan seorang peniaga atau dikira pedagang yang sering berpindah dari satu

negara ke satu negara yang lain, dan diantara negara yang beliau pernah singgah adalah

Baghdad, Iran, India, dan Syik.Beliau mengembara dan belajar dengan Mr Hampher atau

dikenali sebagai Syeikh Muhammad Al-Majmu’i di Basrah. . Pada 1710 masihi Mr. Hampher

dihantar oleh pihak British ke Mesir, Turki, Iran, Hijaz dan sekitarnya. Kemudian pada tahun

1125 hijriah bersamaan dengan 1713 masihi beliau telah terpengaruh oleh seorang orientalis

inggeris yang bernama Mr. Hampher yang merupakan agen Yahudi yang bekerja sebagai

mata-mata inggeris di Timur Tengah. Mr. Hampher merupakan seorang pakar ilmu Islam

yang pandai berbahasa Arab, Turki, Parsi dan telah lama memperlajari Islam di Turki dan

Iraq,Dia telah merasuah Ibnu Wahab dengan hadiah kahwin muta’ah dengan dua orang ejen

yahudi perempuan yang menyamar sebagai muslimah yang bernama Safian Isfahan dan

Asiahni Siraj . Sejak itulah beliau menjadi alat bagi inggeris untuk menyebarkan ajaran

barunya.Inggeris telah berhasil mendirikan golongan bahkan agama baru ditengah-tengah

umat Islam demi untuk menghancurkan Islam bahkan adanya ajaran-ajaran baru seperti

Ahmadiyah dan Qadiyani. Bakan Muhammad Bin Abdul Wahab juga termasuk dalam target

dalam program kerja kaum kolonial dengan alirannya Wahabi.

Kemudian, Ibnu Wahab pulang ke kampungnya, namun ditentang dan diusir oleh

bapanya, Syeikh Abdul Wahab seorang ulama’ sunnah yang baik. Begitu pula guru-

gurunya.Bapanya mengatakan bahawa Ibnu Wahab seorang yang lemah ingatan dan

gagap.Ibnu Wahab pada asalnya seorang pengikut mazhab Hanbali.Namun begitu, Ibnu

Wahab sangat terpengaruh dengan ajaran Ibnu Taimiyyah yang mengasaskan fahaman

mujassimah.

Namun sejak dari mulanya lagi, ayah dan guru-gurunya mempunyai firasat dan

pandangan yang kurang baik tentang diri beliau, bahkan beliau akan sesat dan menyebarkan

kesesatan. Oleh itu, mereka menyuruh orang ramai berhati-hati dengannya. Akhirnya ternyata

bahawasanya sangkaan dan ramalan itu benar.Setelah perkara itu didapati benar, ayahnya pun

memberi amaran yang keras dan menentangnya. Bahkan abang kandungya Sulaiman Bin

Abdul Wahab, seorang ulama besar dari mazhab Hanbali turut menulis buku bantahan

terhadap Muhammad Bin Abdul Wahab yang berjudul As-Sawa’iqul Ilahiyah Fi Radi ‘Ala

Wahabiyah. Tidak ketinggalan juga salah satu guru Ibnu Wahab di Madinah, Syaikh

Muhammad Bin Sulaiman Al-Kurdi As-Syafi’i, menulis surat berisi nasihat : “wahai Ibnu

Abdil Wahab, aku menasihatimu kerana Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum

muslim, jika kau mendengar seorang meyakini bahawa orang yang ditawassulkan boleh

memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalil

bahawa selain Allah tidak boleh memberi manfaat maupun kemudharatan, kalau dia

menentang bolehlah kau menganggapnya kafir, tetapi tidak mungkin kau mengkafirkan kaum

As-Sawadul A’dham (kaum majoriti) diantara kaum muslim, kerana engkau menjauhi dari

kelompok yang besar, orang yang menjauhi dari kelompok yang besar lebih dekat dengan

kekafiran, sebab dia tidak mengikuti kaum muslim.” Setelah diusir oleh bapanya, Ibnu

Wahab menyambung terus ajaran dan fahamannya itu di seluruh Najd.Perjuangannya itu

dipantau oleh Mr. Hampher dan disokong oleh British.Pada tahun 1747, Ibnu Wahab bertemu

dengan Muhammad Ibnu Saud yang berketurunan Yahudi yang mana menguasai kawasan

Durriyyah ketika itu.Ibnu Wahab meminta pertolongan dari Ibu Saud.Maka Ibnu Wahab

bergabung dan bekerjasama dengan keluarga Saud mengembangkan ajaran Wahabi lantas

membentuk kerajaan Arab Saudi.Ibnu Wahab telah mengumumkan penubuhan mazhab

wahabi pada tahun 1737 masihi. Diantara ajarannya barang sesiapa yang tidak mengikutinya

dianggap sesat, kafir, halal darah dan hartanya.Hadrat Abdullah bin Umar meriwayatkan dua

hadith yang menyebutkan “Mereka telah menyimpang dari ajaran yang benar. Mereka telah

menuduh umat Islam (menerusi pengertian) ayat-ayat yang sebenarnya diturunkan kepada

orang-orang kafir,” dan juga “Apa yang aku bimbang, terjadi ke atas umatku, perkara-

perkara yang paling menakutkan ialah tafsiran mereka terhadap ayat-ayat al-Quran menurut

akal mereka sendiri dan yang menyimpang dari maksud yang sebenar” . Muhammad Bin

Abdul Wahab meninggal pada 1795 Masihi.

Menurut Syeikh Nasiruddin al-Bani tahap penguasaan ilmu Muhammad Bin Abdul

Wahab hanya mengfokuskan kepada persoalan tauhid yang tulin sahaja dan tidak

menumpukan dalam konsep Islam yang lain. Ini menunjukan bahawa pembaharuan atau

tajdid yang dibawa oleh Muhammad Bin Abdul Wahab hanya menumpukan kepada

permasalahan akidah sahaja. Penekanan terhadap akidah sahaja menyebabkan beliau dan

pengikutnya menjadikan persoalan ibadat sama dan setara dengan persoalan akidah. Bukan

itu sahaja Muhammad Bin Abdul Wahab juga tidak mengambil berat mengenai penggunaan

hadith daif, hadith yang lemah dan penghujahan hujah hukum mengenai hadith daif. Begitu

juga beliau berpegang pada mazhab Hanbali.

Manakala menurut pandangan Syeikh Muhamad Abu Zuhrah , Muhammad Bin

Abdul Wahab menjadikan persoalan dan permasalahan ibadat sama dengan persoalan akidah

sehingga seseorang itu boleh menjadi kufur sebab masalah ibadahnya, sehinggakan ada

diantara orang awam menganggap sama perokok dengan orang musyrik. Bukan itu sahaja,

Muhammad Bin Abdul Wahab turut memikul senjata memerangai mereka yang bercanggah

pendapat dengan beliau dengan alasan memerangai amalan bidaah dan wajib melaksanakan

amar makruf dan nahi mungkar.Ibnu Wahab juga berpegang dengan perkara-perkara yang

kecil.Sebagai contoh walaupun sesuatu itu tiada kaitan dengan berhala namun dianggapnya

sebagai berhala seperti penggunaan fotografi dan gambar.Fahaman mereka itu juga

keterlampauan dalam memahami bida’ah sehinggakan dalam setiap perkara yang tiada kaitan

dengan ajaran agama dan ibadah juga dihukum dan dikira sebagai bida’ah seperti meletakkan

langsir di Raudhah Nabi. Pengikut Muhammad Bin Abdul Wahab yang terlampau taksub,

menganggap bahawa hanya pendapat mereka dan golongan mereka sahaja yang benar serta

tidak mungkin berlaku salah sementara pendapat orang lain adalah salah dan tidak mungkin

wujudnya kebenaran.

Para ulama’ Ahlu Sunnah Wal Jamaah menyimpulkan bahawa, mereka yang

berfahaman wahabi bahkan pengikut wahabi mempunyai ciri-ciri yang tertentu. Barang

sesiapa yang mempunyai banyak atau majoriti ciri-ciri, maka sahlah dia seorang wahabi, atau

berfahaman seperti wahabi mahupun pendokong fahaman Wahabi. Ini kerana, kita tidak

boleh dilabelkan atau melabelkan seseorang sebagai wahabi selagi mana mempunyai ciri-ciri

yang sedikit sahaja. Sebagai contoh, golongan wahabi ini beranggapan bahawa qunut dalam

solat subuh adalah bidaah. Namun kita tidak boleh menentukan hanya dengan tidak

melakukan qunut dikatakan sebagai wahabi kerana imam mazhab juga ada yang tidak

melakukan qunut ketika solat subuh. Adakah imam mazhab tersebut merupakan wahabi?

Sedangkan wahabi muncul kebelakangan ini, selepas kurun imam-imam mazhab empat. Oleh

itu, digariskan bebarapa ciri-ciri wahabi seperti berikut ;

Tiada bida’ah hasanah

Fahaman dan golongan wahabi ini berpegang bahawa setiap perkara yang baru dan

direka dalam agama adalah bidaah, dan segala yang bidaah adalah mungkar. Seperti mana

yang kita sendiri ketahui, bidaah itu terbahagi kepada dua iaitu bidaah hasanah dan bidaah

saiyiah, atau bidaah mahmudah dan bidaah mazmumah.Namun mereka menolak semua

bentuk bidaah walaupun sesuatu itu mempunyai maslahah tersendiri.

Terpengaruh dengan IbnuTamiyyah, Ibnu al-Qayyim , Abdul Aziz Ibnu Bazz,

Nasiruddin al-Albani, Sheikh Soleh Ibn Uthaimin, Sheikh Soleh Fawzan al-Fawzan.

Seperti mana yang telah dinyatakan sebelum ini, wahabi ini amat gemar membaca dan

menelaah karya-karya terutama sekali pandangan Ibnu Taimiyyah. Selain itu, mereka juga

suka menukilkan pandangan Ibnu Bazz, dan al-Bani disamping tokoh-tokoh mereka yang

lain.

Menggelar penentang mereka sebagai syi’ah, ahbash, khawarij

Golongan wahabi ini amat gemar menggelarkan penentang mereka dengan gelaran

seperti syi’ah, khawarij dan juga ahbash. Rentetan itu, barang sesiapa yang tidak setuju

dengan pandangan mereka atau tidak menyokong fahaman mereka, mereka dengan mudah

menggelarkannya dengan gelaran tersebut.

Menentang tasawwuf, kaum sufi dan jemaah tarekat

Wahabi amat sensitif dan terkesan dengan kaum-kaum sufi dan tarekat. Mereka

beranggapan bahwa kaum tersebut bukannya dating dari Rasulullah bahkan menyempang

jauh dari ajaran Islam.

Terpengaruh dengan ajaran yang lemah, samar dan salah dari Ibnu Taimiyyah

Ahlu Sunnah terima sebarang ajaran atau pandangan yang benar dari Aibnu

Taimiyyah. Yang menjadi permasalahannya sekarang, golongan-golongan wahabi ini amat

taksub dengan setiap ajaran Ibnu Taimiyyah meskipun ajaran tersebut bersifat lemah

mahupun salah dari kebenaran

Tidak suka keturunan Rasulullah

Mereka amat benci dengan keturunan rasulullah SAW. Ini kerana dia menganggap

keturunan rasulullah atau ahlu bait sebagai pengikut syiah yang taksub dengan saidina Ali

RA, serta mengkafirkan para sahabat baginda yang lain.

Menolak keberbagaian jemaah-jemaah

Golongan wahabi ini amat benci keberbagaian jemaah. Ini kerana mereka

beranggapan bahwa merekalah Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang sebenar seperti mana yang

dimaksudkan oleh rasulullah SAW. Oleh itu, barang sesiapa yang tidak menyokongnya, dan

tidak berbaiah dengan kepimpan mereka serta lari dari ketaatan, mereka seharusnya

dibunuh.Ini kerana halah darah dan harta mereka.

Mentajsimkan sifat-sifat Allah

Wahabi ini mentajsimkan sifat-sifat Allah apabila berhadapan dengan ayat-ayat

mutasyabihat.Ini kerana mereka mengambil serta memahami setiap nas-nas al-Quran secara

zahir sahaja.

Menolak sifat 20

Wahabi bukan sahaja menolak ajaran sifat 20 bahkan mereka amat menentang keras

ajaran tersebut.Ini kerana ajaran tersebut tidak diajar oleh rasulullah, malahan dicipta oleh

seorang tokoh mu’tazilah iaitu Imam Abu Hassan al-Asyaari.Mereka juga berpendapat

bahawa ajaran tersebut menyukarkan umat Islam untuk memahami aqidah Islam.

Mengambil nas secara literal

Golongan wahabi ini memahami setiap ayat-ayat al-Quran secara zahir atau literal

sahaja terutama sekali berhubung dengan ayat-ayat mutasyabihat iaitu ayat-ayat yang

berkaitan dengan zat dan sifat-sifat Allah. Mereka ini, amat menolak keras penta’wilan

kepada nas-nas baik dari segi ijmali mahupun tafsili.

Konsep Ketuhanan yang Dibawa Oleh Golongan Wahabi

Tauhid Tiga

1. Tauhid Rububiyyah

Ar-Rububiyyah berasal dari kalimah ar-Rabb. Ar-Rabb الرب) ) bermaksud yang

memiliki, yang menguasai dan yang mentadbir. Tauhid Rububiyyah bermaksud mengesakan

Allah sebagai ar-Rabb, iaitu meyakini bahawa Allahlah satu-satunya Tuhan yang mencipta

alam ini, yang memilikinya, yang mengatur perjalanannya, yang menghidup dan mematikan,

yang menurunkan rezki kepada makhluk, yang berkuasa mendatangkan manfaat dan

menimpakan mudharat, yang mengabulkan doa dan permintaan hamba tatkala mereka

terdesak, yang berkuasa melaksanakan apa yang dikehendakinya, yang memberi dan

menegah, di tanganNya segala kebaikan dan bagiNya penciptaan dan juga segala urusan

ن� ك�و ن� ؤ� ك ى � ن ن�� ن� � ك�‌ � ن ٱل � ن كل ك�و ن� نل ؤ� ك� ن� ن� ن� ؤ� � ن ك�� �ن ؤل ن�� �ن ٮ �� نل ن"“Dan jika kamu bertanyakan mereka tentang: Siapakah pencipta mereka? Nescaya mereka

menjawab: Allah.” (Az-Zukhruf: 87)

ل7عليم ل7عزيز خلقهن ليقولن ول7أرض م7وت لس خلق نسأل7تهممن $$$$$$$#ٱؤ$$$$$$$#ولٮ $$$$$$$%ٱؤ $$$$$$$#ؤ $$$$$$$�ٱٲٱؤ $$$$$$$#ؤ ؤ“Dan jika kamu bertanyakan mereka tentang: Siapakah pencipta langit dan bumi? Nescaya

mereka menjawab: Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa dan Yang Maha

Mengetahui.” (Az-Zukhruf: 9)

2. Tauhid Uluhiyyah

Al-Uluhiyyah pula berasal dari kalimah al-Ilah. Al-Ilah (اإلله)bermaksud yang berhak

disembah di mana kepadanya ditujukan segala ibadah (pengabdian diri). Jadi, Tauhid al-

Uluhiyyah bermaksud mengesakan Allah sebagai Ilah, iaitu meyakini bahawa Allahlah satu-

satunya Tuhan yang berhak disembah dan diqasadkan segala ibadah, tidak harus ditunaikan

ibadah melainkan kepadaNya sahaja dan tidak harus mensyirikkanNya dengan sesuatu

apapun di langit mahupun di bumi.

فعبدون ا أن إال إل7ه ال ه أن إلي7ه نوحى إال سول ر من قب77لك من اأرسل7نا $$$$$$$)ٱؤ$$$$$$$'وم $$$$$$$ۥ+ا $$$$$$$,ؤ $$$$$$$#ؤ $$$$$$$%ؤ ؤ“Dan Kami tidak mengutuskan seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan

kepadanya bahawasanya tiada tuhan melainkan Aku, maka kamu sekelian hendaklah

menyembah Aku.” (Al-Anbiya’: 25)

ن- ك.و ى$ / ن ٱل ا) ك1و ٮ2 �ن ؤ3 ن"ٱ ن� � ن ٱل ا) ك4" ك1 ؤ5 ٱ ٮ� ن�) ا6 ك�ول % ن 9: ة � ن ك�) ل> ك< ٮ� ن�2 ؤ? ن@ Aن ؤ4 ن� نل ن"“Dan sesungguhnya Kami telah utuskan pada setiap umat itu seorang rasul (untuk menyeru):

Sembahlah Allah dan jauhilah Taghut.” (An-Nahl: 36)

2. Tauhid dari sudut perspektif Ibnu Taimiyyah

Yang dimaksudkan dengan tauhid rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam

perbuatannya, iaitu mentauhidkan Allah yang mencipta, mentadbir, memiliki alam selaras

dengan makna rububiyyah itu sendiri.Manakala tauhid uluhiyyah pula adalah mentauhidkan

dan mengesakan Allah dalam perbuatan hamba, beriman dan percaya dengan Allah di

samping menunaikan segala kewajipan serta suruhan Allah. Tambahan beliau lagi,

tauhidrububiyyah tidak cukup dalam perkara keimanan sahaja, ini kerana orang musyrik juga

mengakui tauhid rububiyyah iaitu mengaku bahawa Allah yang meciptakan, mengatur alam

dan sebagainya. Dalam erti kata lain, melalui konsep tauhid rekaan Ibnu Taimiyyah ini, orang

musyrik atau orang yang tidak mengucapkan kalimah syahadah dianggap sebagai ahli tauhid

atau orang yang mengesakan Allah. Ini kerana, mereka percaya dan mengakui bahawa Allah

yang mencipta segala sesuatu dan mentadbir segala urusan alam ini, tetapi mereka tidak

bertauhid dengan tauhid uluhiah kerana menyekutukan Allah dalam sembahannya.

Mereka berpegang dengan nas :

ن� كBو ن� ؤ@ ن نل6 ؤ� Cك Dك ن? ؤ< ن�) ؤ> Aن � ٮ�‌ � ن ٮل ك4 Bؤ Fن ؤل ٱ ٮ> Gك � ك�‌ � ن ٱل � ن كل ك�و ن� نل Hن ؤ% ن�6 ؤل ن"ٱ ٮ- نوٲ ى$ Bن I ن ٱل Jن ن� ن� ؤ� � ن ك�� �ن ؤل ن�� �ن ٮ �� نل ن"

Dan sesungguhnya jika engkau (wahai Muhammad) bertanya kepada mereka (yang musyrik)

itu: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi, dan yang memudahkan matahari dan

bulan (untuk faedah makhluk-makhlukNya)?" Sudah tentu mereka akan menjawab: "Allah".

Maka bagaimana mereka tergamak dipalingkan (oleh hawa nafsunya daripada mengakui

keesaan Allah dan mematuhi perintahNya)?

Di sini terdapat kata-kata yang sering kita dengar berhubung permasalahan tauhid tiga

serangkai.

"Sesungguhnya orang-orang musyrik adalah ahli tauhid dengan tauhid rububiah. Mereka

tidak termasuk dari kalangan ahli tauhid uluhiah kerana telah mengambil sembahan-

sembahan yang lain untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT".

“Tauhid rububiah sahaja tidak menafikan kekufuran seseorang dan tidak mencukupi bagi

keimanan/keislaman seseorang”

3. Tauid Asma’ dan Sifat

Tauhid ini adalah beriman dengan nama-nama Allah yang baik dan sifat-sifatnya yang

suci dari kekurangan dan penyerupaan terhadap makhluk yang bersifat baharu sebagai mana

yang telah diterangkan dalam al-Quran dan hadith.Maksudnya di sini, kita beriman bahwa

Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang telah dinamakan

oleh Rasul-Nya.Dan beriman bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia

sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya. Allah memiliki nama-nama yang mulia

dan sifat yang tinggi

ن� ؤ" Kن Lؤ ك� �ن ۦ‌� ٮ� ٮ � ى$ ـ Bن �ؤ ن�) ـ ٮ� ن� ك4" Fٮ ؤ� ك ن� Oٮ ل ن ٱ ا) ك%" Pن ن" � ‌�Qن Aٮ Rك ك5و Sؤ ن�ٱ ى ن2 Iؤ Fك ؤل ٱ Uك ـ� Bن �ؤ ن�6 ؤل ٱ ٮ� � ن ٮل ن"ن� ك�و Bن ؤ@ ن ا) ك�و �Vن ��ن

"Dan Allah memiliki Asma'ul Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-

Nya dengan menyebut Asma'ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang

menyalahartikan nama-nama-Nya.Mereka kelak akan mendapatkan balasan terhadap apa

yang mereka kerjakan."( Al A'raf : 180)

وال بصالتك تجهر وال ل7حسنى‌777 ل7أسماء فله تدعوا ا م ا أي7777777 ‌ حم7ن777 لر دعوا أو ه لل دعوا ؤ$$$$$$$%قل W$$$$$$$ $$$$$$$�ؤ ‌X$$$$$$$ $$$$$$$Yى $$$$$$$#ؤ $$$$$$$Yٱؤ $$$$$$$#ؤ $$$$$$$Sٱؤ ا +ؤ $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ $$$$$$$�ة ‌�$$$$$$$ $$$$$$$Zن $$$$$$$Sٱؤ $$$$$$$Sٱٱؤ ٱؤا] ة ٮ�1ل �ن ن[ ٮل نPٲ ن� ؤ� Aن ٮ �ن Aؤ ن"ٱ �Qن Aٮ ؤ_ ٮ� � ن aك

Katakanlah (Muhammad), "Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang

mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama terbaik (Asma'ul

Husna) dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalat dan janganlah pula

merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu.”

(Al-Isra : 110)

Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai

dengan apa yang dimahukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya sedikitpun.

Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat

Allah sebagai berikut: “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah dan

sesuai dengan apa yang dimahukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa

yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimahukan oleh Rasulullah”

Permasalahan berkaitan Di mana Allah

Seperti mana yang kita ketahui bahawa, golongan wahabi beri’tiqad dan meyakini

bahawa tuhan di langit. Ini kerana, mereka amat berpegang kuat dengan hadith jariah.

“Telah datang seorang hamba perempuan kepada Rasulullah SAW, kemudian rasulullah

bertanya kepadanya “di manakah Allah”, jawab perempuan tersebut “di langit”, rasulullah

bertanya lagi, “siapakah aku”, dia menjawab lagi, “engkau rasulullah”, kemudian rasulullah

bersabda, “yakinilah bahawa sesungguhnya dia seorang perempuan yang beriman”

(Hadith riwayat Muslim)

Permasalahan berkaitan ayat mutayabihat terutama pada lafaz istiwa

Fahaman wahabi beserta pendokongnya, mereka mengimani bahawa Allah duduk

bersila di atas arasy tetapi duduknya tidak serupa dengan duduk makhluk. Kenyataan seperti

lebih cenderung kepada mujassimah kerana meletakkan Allah bertempat dan melakukan

perbuatan menyerupai makhluk. Mereka juga berpegang dengan hujah yang tidak benar yaitu

Berdasarkan riwayat Imam Malik RA :

بدعة عنه والسؤال واجب به وااليمان مجهول والكيف معلوم االستواء“Istiwa’ itu kita ketahui, dan caranya kita tidak ketahui, beriman dengannya wajib,

menanyakan tentangnya bida’ah.”.

Jawaban Ahlu Sunnah Wal Jamaah Terhadap Persoalan di mana Allah. Namun begitu,

ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah khususnya telah menjawab setiap persoalan dan keraguan

yang diajukan oleh golongan wahabi. Mereka berpendapat bahawa hadith yang dinyatakan

sebentar tadi bukannya merupakan hadith mutawatir.Maksudnya di sini, hanya segelintir

sahabat Nabi SAW sahaja yang meriwayatkannya, yang mana jumlahnya tidak ramai yang

tidak mencapai jumlah mutawatir. Hadith ini juga masyur digelarkan sebagai hadith jariah

(hamba perempuan).

Bukan itu sahaja, hadith tersebut difahami berhubung dengan situasi hadith itu

diucapkan, di mana jariyah tersebut adalah orang biasa yang kurang berpelajaran, maka

wajarlah Nabi SAW melayaninya menurut kemampuan akal fikirannya. Dalam riwayat

berkenaan beliau menjawab: “Di langit”, kerana inilah kefahaman semua orang biasa,

termasuk kaum Yahudi, Nasrani dan kaum musyrikin yang percaya kewujudan Tuhan dan

kekuasaannya. Apa yang membezakan dengan mereka di sini ialah pengakuannya terhadap

kerasulan Nabi SAW, lalu baginda menghukumkannya sebagai mukminah. Manakala dalam

satu riwayat lain, beliau hanya menunjuk ke arah atas, manakala yang berkata ‘ke langit’

ialah perawi hadith yang menceritakan situasi berkenaan

Namun begitu, ada sebahagian ulama Ahlus Sunnah seperti Imam Muhammad Zahid al-

Kawthari dan al-Hafiz ‘Abdullah al-Ghumari mengatakan bahawa hadith tersebut adalah

syaz, iaitu hadith yang sahih sanadnya, tetapi matannya berlawanan dengan hadith-hadith

sahih yang lain. Ini kerana kebanyakan dakwah Nabi SAW adalah dengan seruan supaya

mengucap syahadah ( الله إال إله ) ”?bukannya bertanya ; “Di mana Allah ,( ال الله Maka.(أين

hadith syaz tidak dapat dijadikan hujah.

Jawapan Ahlu Sunnah Wal Jamaah Terhadap Permasalahan Yang Wujud Pada Lafaz Istiwa

Jawapan Imam Malik RA terhadap ayat ini :

مرفوع عنه وكيف كيف عنه يقال وال نفسه وصف كما استوى“Beristiwa’ sebagaimana Dia menyifatkat zatNya, tidak dikatakan bagaimana, dan

persoalan bagaimana tidak layak bagi Allah” (Riwayat Imam Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir)

Menurut riwayat Imam al-Lalika’I pula :

المعقول غير والكيف كيف واليقال معلوم االستواء“Istiwa’ sudah diketahui,dan tidak boleh bertanya bagaimana caranya, dan bagaimana

caranya itu tidak boleh diterima akal”

Mengikut riwayat Imam Ahmad Bin Hanbal pula :

للبشر يخطر كما ال أخبر كما استوى“Allah beristiwa seperti mana disebutkan dalam al-Quran, bukannya seperti yang

terlintas dalam fikiran manusia”

Abu al-Qasim al-Ashfahani berpendapat bahawa :

االستيالء معناه كان بعلى عدي اذا االستواء ان“Sesungguhnya jika kalimah istiwa dita’addikan dengan kalimah ‘ala, maka akan menjadi

makna memerintah atau menguasai”

Imam al-Qusyairi berpandangan pula bahawa :

اليهود عقيدة هذه ألن العرش على جالس أنه اعتقاد يجوز وال وأبقى وقهر حفظ أي استوى“Istiwa beerti memelihara, menguasai, menetapkan. Tidak boleh meng’itikadkan bahawa

Allah duduk atau bersemanyam di atas Arasy, kerana keyakinan seperti ini adalah aqidah

orang yahudi”

Perbandingan Antara Manhaj As-Salafiyyah Al-Wahabiyyah dengan Manhaj ASWJ

( ASYAI’RAH )

Konsep KetuhananSalafiyyah al-Wahabiyyah

Sepertimana yang telah dibincangkan sebelum ini, konsep ketuhanan yang digunakan

oleh golongan Wahabi adalah berdasarkan kepada konsep Rububiyyah, Uluhiyyah dan

Asma’ wa sifat ataupun dikenali sebagai tauhid tiga. Selain mengenengahkan konsep tauhid

tiga ini, mereka juga menyeru supaya umat Islam meninggalkan perbahasan yang mendalam

dalam bab aqidah sepertimana yang dipelopori oleh golongan Asyai’rah dan Maturidiyyah.

Mereka menyatakan bahawa persoalan aqidah adalah persoalan yang sepatutnya dibahaskan

secara ringkas tanpa dimasukkan unsur-unsur falsafah ke dalamnya.Mereka juga telah

mendakwa bahawa diri mereka beraqidah dan berpegang dengan pegangan golongan salaf

dan para sahabat Nabi Muhammad S.A.W.

Langkah mereka dalam menyatakan pendirian mereka berkenaan dengan perkara

aqidah dan tentangan mereka terhadap golongan Asyai’rah menunjukkan bahawa mereka

tidak mengiktiraf penggunaan aqal dalam mengukuhkan pemahaman terhadap nas-nas al-

Quran.Mereka menafikan kemampuan aqal dalam memahami nas-nas al-Quran kerana bagi

mereka aqal manusia tidak mampu untuk memahami isi al-Quran. Natijahnya, mereka telah

berpegang dengan al-Quran secara total dan menerima keseluruhan ayat- al-Quran secara

literal. Metodologi ini digunakan kerana mereka mahu persoalan aqidah perlu dikembalikan

sepertimana pegangan hidup golongan ahli salaf. Mereka juga mendakwa bahawa

penggunaan aqal dalam mengisbatkan perkara-perkara berkenaan dengan aqidah adalah

perkara yang baharu yang mana perkara ini sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Nabi

Muhammad S.A.W dengan kata lain ia merupakan sesuatu bid’ah yang perlu dielakkan.

Jawapan daripada pendukung Asyai’rah

Sesesungguhnya, apa yang telah didakwa oleh golongan Wahabi adalah tidak benar.

Pertamanya mengenai dakwaan mereka tentang tauhid tiga. Sesungguhnya tiada perbezaan

antara tauhid Uluhiyyah dan tauhid Rububiyyah, sepertimana apa yang telah didakwa oleh

mereka. Perbezaan antara Uluhiyyah dan Rububiyyahadalah pada masalah bahasa sahaja.

Hakikatnya, ia membawa maksud yang sama. Ilah adalah Rab, dan Rab adalah Ilah. Firman

Allah S.W.T;

Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja

manusia.Sembahan manusia.Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi. Yang

membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia. Dari

(golongan) jin dan manusia.

Pengangan mereka ini jelas bertentangan dengan Surah an-Nas yang mana pada ayat

pertama surah ini, Allah telah menggunakan perkataan Rab dan diikuti dengan perkataan Ilah

pada ayat yang ketiga.Selain itu, dalam pembahagian tauhid Rububiyyah, terdapat pendapat

dalam kalangan mereka menyatakan bahawa orang-orang kafir turut beriman kepada Allah.

Selain itu, pendapat mereka dalam menolak kemampuan aqal bagi mengisbatkan dan

mengukuhkan aqidah amatlah janggal sekali kerana penggunaan aqal yang digunakan oleh

Asya’irah ada batasnya dimana penggunaan aqal adalah untuk berkhidmat kepada nas al-

Quran agar apa yang disampaikan oleh Allah kepada manusia dapat difahami dengan baik.

Bagi Ahlussunnah wal-Jamaah, penggunaan aqal yang sejahtera dalam mengukuhkan nas-nas

al-Quran mahupun al-Sunnah adalah dibenarkan kerana matlamat penggunaan aqal ini adalah

menambahkan keyakinan pada nas-nas al-Quran mahupun al-Sunnah.

Selain itu, Ulama Asyai’rah tidak setuju dengan pendekatan yang digunakan oleh

golongan Wahabi yang mana mudah untuk membid’ahkan satu-satu perkara baru.

Sesungguhnya, apabila terwujudnya perkara-perkara baru, perbahasan mengenai hukumnya

terletak pada neraca penilaian yang sebenar, bukan kerana tidak pernah dilakukan oleh Nabi

Muhammad S.A.W. Perbahasannya haruslah pada sekitar sama ada perkara baru itu wajib,

haram. Sunat, ataupun makruh.

Penta’wilan pada ayat-ayat Mutasyabih

a.Makna secara bahasa

Mutasyabih secara bahasa berasal dari kata syabaha, yakni bila salah satu dari dua hal

serupa dengan yang lain. Syubhah ialah keadaan di mana satu dari dua hal itu tidak dapat

dibezakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit atau

abstrak.

b. Makna secara Istilah

Nas-nas al-Quran atau al-Sunnah yang mengandungi makna yang tidak jelas

umpamanya nas yang mengenai sifat-sifat Allah dan huruf-huruf di awal surah.

Perbedaan dalam Pendekatan memahami ayat-ayat mutasyabih Salafiyyah al-Wahabiyyah

Golongan wahabi mendakwa diri mereka mengikut manhaj yang ditinggalkan oleh

golongan salaf dimana mereka tidak menta’wilkan ayat-ayat mutasyabih. Namun ketika

menukilkannya, mereka terperangkap dengan menghampiri kaedah yang digunakan oleh

golongan Mujassimah. Hal ini sama sekali tidak sealiran dengan manhaj yang digunakan oleh

golongan salaf yang terdahulu kerana golongan salaf mengambil pendekatan mentawfidkan

ayat-ayat ini. Antara contoh kesilapan mereka dalam menafsirka ayat-ayat mutasyabih ialah

Tuhan yang Maha Pemurah.yang bersemayam di atas 'Arsy.

Golongan Wahabi dalam menerangkan tentang pegangan mereka berkenaan dengan

ayat dengan menerima ayat ini secara literal.Mereka menyatakan bahawa Allah S.W.T

bersemayam di atas Arasy, namun bersemayamNya tidak seperti bersemayam makhluk.Ini

amat jelas bertentangan dengan golongan salaf yang mengembalikan ayat ini bulat-bulat

kepada Allah S.W.T.

Asyai’rah (Ahli as-Sunnah Wal Jama’ah), bagi manhaj yang dipelopori oleh golongan

Asya’irah, mereka bersama dengan pendekatan yang diguna pakai oleh golongan ahli

salaf.Namun begitu, terdapat keperluan untuk menta’wilkan ayat-ayat mtasyabih kerana

beberapa faktor. Antara faktornya ialah penguasaan bahasa arab oleh umat Islam mulai

menurun dan masuknya golongan bukan bangsa arab ke dalam agama Islam yang tidak

memahami sepenuhnya bahasa arab. Ta’wilan adalah bertujuan untuk menjaga aqidah umat

Islam supaya ayat-ayat ini tidak disalah tafsirkan maknanya.

Dalam mereka mena’wil ayat-ayat mutasyabih, mereka merujuk kepada ayat yang

muhkam yang mana maknanya telah jelas. Antara contoh pena’wilan yang dilakukan oleh

mereka ialah Tuhan yang Maha Pemurah.yang bersemayam (menguasai) di atas 'Arsy.

Golongan Asyai’rah telah mena’wilkan kalimah yang membawa maksud bersemayam

dengan menguasai. Hal ini kerana perkataan menguasai adalah salah satu maksud daripada

maksud ‘istiwa’ dan maksudnya adalah lebih sejahtera berbanding dengan maksud-maksud

yang lain.

Tawassul dan Tabarruk

Antara isu lain yang telah dimainkan oleh golongan Wahabi adalah isu tawassul dan

tabarruk.Perselisihan pendapat tentang masalah ini berlaku dan pendapat mereka teramatlah

jelas bertentangan dengan amalan-amalan yang pernah dilakukan oleh para sahabat dan

ulama-ulama yang mu’tabar.Mereka juga meletakkankedua-dua isu ini dikaitkan dengan

masalah aqidah umat Islam.

Makna Tawassul

Tawassul secara bahasa berasal dareipada perkataan ‘wasilah’bermaksud mengambil

perantaraan. Secara Istilah pula, ia membawa maksud perkara-perkara yang dapat

mendekatkan diri kepada Allah S.W.T denganmenggunakan wasilah yang mulia

(bukandaripada perkara-perkara yang maksiat). Antara contoh tawassul yang terdapat dalam

umat islam ialah seperti doa yang dipohon kepada Allah dan diperantarai dengan sesuatu

yang baik. Sebenarnya, kita sering kali bertawassul dalam kehidupan kita seharian, cuma kita

sahaja yang tidak menyedarinya, iaitu lafaz ‘Basmalah’ yang sering kita bacakan sewaktu

kita mahu memulakan sesuatu perkara.Dengan itu, ‘Basmalah’ adalah contoh terbaik bagi

kita memahami maksud tawassul. Apabila kita membaca ‘Basmalah’, kita akan mulakannya

dengan membaca kalimah ‘Bismillah’ yang membawa maksud ‘Dengan nama Allah’. Kita

memperantaraiNya dengan nama Allah S.W.T, bukan pada zatNya. Itulah antara contoh

terdekat dalam diri kita.

Pendapat Wahabi tentang Isu Tawassul

Dalam isu ini, mereka hanya menerima pakai pendapat yang telah dinyatakan oleh

ulama-ulama yang mana telah membahagikan tawassul yang dibenarkan pada tiga keadaan

iaitu

Pertama, bertawassul dengan nama-nama Allah S.W.T seperti mana firman Allah

S.W.T;

“Dan Allah mempunyai nama-nama Yang baik (yang mulia), maka serulah (dan berdoalah)

kepadanya Dengan menyebut nama-nama itu, dan pulaukanlah orang-orang Yang berpaling

dari kebenaran Dalam masa menggunakan nama-namaNya.mereka akan mendapat balasan

mengenai apa Yang mereka telah kerjakan.”

Kedua, bertawassul dengan amalan soleh yang telah kita kerjakan pada masa lalu

sepertimana yang telah diceritakan oleh Rasulullah S.A.W kepada para sahabat tentang tiga

orang hamba Allah yang telah terperangkap dalam sebuah gua, lalu mereka bertawassul

kepada Allah dengan perkara-perkara baik yang telah mereka kerjakan pada masa lalu, lalu

mereka telah dibebaskan daripada gua tersebut dengan izin Allah S.W.T. Dan tawassul yang

terakhir yang dibenarkan oleh mereka ialah bertawassul dengan orang-orang soleh yang

masih hidup sepertimana yang telah dilakukan para sahabat keatas Nabi serta keatas para

sahabat yang lain sewaktu mereka masih hidup. Hanya tiga keadaan ini sahaja yang diterima

dalam bertawassul, Adapun bertawassul selain daripada tiga perkara dianggap bid’ah.Mereka

menolak amalan tawassul dengan orang alim yang terdahulu yang telah mati termasuklah

Rasul, Nabi dan para Wali Allah. Mereka juga telah menghukum masalah tawassul ini adalah

masalah yang berkait rapat dengan masalah aqidah yang mana ia boleh mendatangkan syirik

kapada Allah S.W.T.

Pendapat Ulama-ulama Asyai’rah dalam menjawab Isu ini

Masalah bertawassul tidaklah dilihat menjadi salah satu masalah yang boleh

mendatangkan syirik kepada Allah S.W.T Selagi mana doa ditujukan dan dipohon kepada

Allah, dan tidak pula mensyirikkan Allah dengan sesuatu. Ianya tidak melibatkan persoalan

aqidah selagi mana Allah dijadikan tempat untuk memohon Bahkan, Ijma’ 4 mazhab telah

mengharuskan bertawassul dengan perkara-perkara yang dimuliakan termasuklah kepada

orang-orang yang telah mati.Banyak dalil menunjukkan para ulama yang mu’tabar menerima

tawassul, antaranya diceeritakan bahawa Imam Syafi’e bertawassul keatas Imam Abu

Hanifah yang mana telah meniggal dunia.Cerita ini telah dipetik di dalam buku‘al-Tarikh

Baghdad’ dimana apabila Imam Syafi’e mempunyai sesuatu hajat, beliau akan sembahyang

dua rakaat dan terus pergi ke kubur Imam Abu Hanifah untuk bertawassul, tidak lama

kemudian, hajatnya termakbul oleh Allah. Selain itu, Contoh lain dalam penerimaan tawassul

kepada orang yang telah meninggal dunia ialah Imam Berzanji dalam kitabNya ‘Maulid’

telah bertawassul kepada zat Nabi S.A.W begitu juga yang telah dilakukan oleh Imam Ramli

didalam kitabnya ‘Nihayah al-Muhtaj’.

Makna Tabarruk

Kalimat ‘Tabarruk’ berasal daripada perkataan ‘Barakah’ yang membawa maksud

kebahagiaan atau penambahan.Daripada sudut istilah pula, tabarruk adalah membawa

maksud pengharapan mendapat keberkatan daripada Allah S.W.T dengan sesuatu perkara

atau barang yang mulia.

Jika kita lihat, konsep yang dibawa antara tawassul dan tabarruk adalah hampir sama.

Namun, Ulama telah menfokuskan perbuatan bertabarruk adalah sesuatu yang diperantarai

oleh barang ataupun perkara tertentu manakalan tawassul adalah perkara yang diperantarai

dalam bentuk doa dan kata-kata. Antara contoh tabarruk yang boleh kita lihat dalam

masyarakat kita adalah seperti air Yasiin, air minuman orang alim, tempat ibadat orang alim,

dan lain-lain lagi.

Pendapat Wahabi tentang Isu Tabarruk

Menurut pendapat golongan Wahabi,Mengambil berkat atau tabarruk terbahagi kepada

dua bahagian iaitu bertabarruk secara Syar’idan bertabarruk secara tidak syar’i.Bertabarruk

secara syar’i adalah terbahagi kepada dua sahaja iaitu Mengambil berkat daripada al-Quran

dan al-Sunnah yakni melalui ilmu dan pengamalannya dan yang kedua, Mengambil berkat

daripada orang alim melalui asuhan dan tarbiyyahnya.Adapun amalan tabarruk selain

daripada dua perkara ini adalah tergolong dalam golongan amalan tabarruk yang tidak syar’i.

Antara contoh amalan tabarruk yang tidak syar’i ialah sepertiair Yasiin, air yang didoa oleh

orang alim, sisa makanan dan minuman orang-orang alim, melazimi tempat Ibadat orang

alim, ayat al-Quran atau al-Sunnah digantung didinding rumah dan lain-lain lagi.

Pendapat Ulama-ulama Asyai’rah dalam menjawab Isu ini

Kebanyakan Ulama termasuklah Ulama yang bermazhab Asyai’rah telah

mengharuskan perbuatan bertabarruk ini. Dalilnya adalah perkara-perkara yang telah

dilakukan oleh para sahabat keatas Nabi Muhammad S.A.W. Antara amalan-amalan yang

pernah dilakukan oleh para sahabat untuk bertabarruk keatas Nabi ialah para sahabat berebut

untuk mengambil bekas yang mempunyai lebihan air wuduk Nabi, para sahabat meminum air

daripada bekas minuman Nabi dan isteri Nabi telah mengumpulkan peluh nabi sewaktu nabi

sedang tidur. Kesemua peristiwa ini telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari didalam

Shahihnya.Terdapat juga seorang sahabat yang memohon Nabi supaya bersolat

dirumahnya.Terdapat juga kisah dimana Saidina Abu Bakar ditegur oleh A’isyah kerana

beliau amat gemar memakai satu baju yang lusuh. Apabila ditanya apakah sebabnya, Abu

Bakar telah menyatakan bahawasanya dia pernah memakai baju itu sewaktu solat bersama-

sama Nabi S.A.W. Selain itu, kisah Muawiyyah bin Abi Sufyan dalam kitab ‘Tarikh

Damsyiq’dan kisah Khalifah Umar Abdul Aziz yang dipetik daripada‘at-Tobaqat’pernah

memesan kepada waris mereka supaya mereka dikafankan dengan helaian rambut Nabi

Muhammad SAW.

Aliran Teologi dalam Islam

            Beberapa aliran yang membahas tentang teologi atau ilmu kalam dalam Islam sangat

banyak, diantara aliran – aliran tersebut adalah Khawarij, Jabbariyah, Qadariyah, Syi’ah,

Murji’ah, dan Mu’tazilah. Aliran Khawarij berpendapat bahwa mereka mensucikan Dzat

Ilahiayah dan menolak sifat – sifat Allah, maka dari itu mereka menyatakan bahwa sifat

merupakan Dzat itu sendiri.[4] Adapun aliran Jabbariyah berpandangan bahwa mereka

menolak sifat Kalam bagi Allah SWT, karena Kalam merupakan sifat dari makhluk.[5]

Selain dua aliran tersebut ada beberapa aliran yang lain dalam memandang masalah

ketuhanan dalam Islam atau ilmu kalam. Aliaran tersebut dalah aliran Mu’tazilah yang

didirikan oleh Wasil bin Atho’. Dalam masalah ketuhanan mereka mempunyai konsep

sendiri, konsep tersebut biasa disebut dengan Al-Usul Al-Khamsah yaitu Tauhid, Al-‘Adlu,

Al-Wa’du wa Al-Wa’id, Al-Manzil baina Manzilatain dan Al-Amru bil Ma’ruf wa An-Nahyu

‘An Al-Munkar. Dalam salah satu konsepnya yaitu Tauhid, mereka berbicara banyak tentang

ketuhanan. Diantara pendapatnya yaitu الذات عين artinya bahwa sifat Allah tidak :الصفات

terpisah dari dzat-Nya. Untuk mempertegas konsepnya ini, Mu’tazilah menjelaskan bahwa

هو هو بالعلم عالم artinya Allah Maha Mengetahui dengan ilmu-Nya, sifat ilmu adalah  الله

dzat-Nya.[6]

Banyak para ulama yang tidak setuju dengan pendapat yang dimilki oleh Mu’tazilah.

Al-Asy’ari membuat rumusan yang lain yaitu أزلية بالذات قائمة ال atau diringkaskan الصفاتغيره هي وال هو artinya bahwa sifat – sifat ilahiyah itu bukan dzat-Nya, dan bukan selain  هي

dzat-Nya.[7] Dari pernyataan tersebut timbul pertanyaan, apakah sifat – sifat ilahiyah itu ain

dzat, atau di luar dari dzat? Al-Syahrastani menjawab dengan menampilkan perkataan Al-

Asy’ari dengan konsepnya yaitu , , , غيره ال وال والهو وال غيره وال هو artinya sifat adalah  هي

dzat dan bukan yang lainnya, bukan bukan, Ia bukan yang lain.[8]

Aliran – Aliran Dalam Konsep Ketuhanana

Sebelum memasuki kedalam permasalahan tentang ketuhanan, ada baiknya kita

sedikit banyak membahasah tentang beberapa aliran dalam konsep ketuhanan yang telah

berkembang dari satu fase ke fase yang lain. Diantara aliran tersebut adalah Teisme, Tuhan

menurut aliran ini berada di alam atau immanent dan Dia juga jauh dari alam atau

transendent. Adapun ciri lain dari teisme adalah mereka menegaskan bahwasannya Tuhan

setelah proses penciptaan alam selesai, Dia tetap aktif dan selalu memelihara alam. Agama –

agama besar pada dasarnya penganut paham teusme, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam.[9]

Tokoh Kristen yang mengemukakan gagasan ini ialah St. Augustinus. Menurutnya, Tuhan

ada dengan sendirinya (self – existing), tidak diciptakan, tidak berubah, abadi, bersifat

personal yang terdiri dari tiga person, yaitu Bapak, Anak dan Roh kudus.[10] Konsep teisme

dalam Islam dijelaskan oleh Al-Ghazali. Menurutnya, Allah adalah Zat yang Esa dan

pencipta alam serta berperan aktif dalam mengendalikan alam. Yang dimaksud Esa

menurutnya adalah kembali kepada penetapan dzat-Nya.[11] Dalam Al-Qur’an banyak ayat

yang menjelaskan tentang Tuhan yang Esa, diantaranya QS 112: 1 yang artinya “Katakanlah

wahai Muhammad, Dia (Allah) adalah satu”. Adapun ayat yang menunjukkan bahwa Allah

bersifat transendent dan immanent adalah QS 10: 3 yang artinya “Sesungguhya Tuhan kamu

adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia

bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur semua urusan”

Aliran dalam konsep ketuhanan yang berikutnya adalah Deisme. Menurut paham

ini,Tuhan berada jauh di luar alam dan setelah menciptakan alam, Dia tidak memperhatikan

alam dan memeliharanya lagi. Alam berjalan sesuai dengan peraturan – peraturan yang telah

sempurna yang telah ditetapkan ketika proses penciptaan dan peraturan – peraturan tersebut

tidak berubah – ubah. Tokoh yang mempelopori munculnya aliran ini ialah Newton (1642-

1727). Menurutnya, Tuhan hanya pencipta alam dan apabila ada kerusakan, alam tidak

membutuhkan Tuhan untuk memperbaikinya karena alam sudah memiliki mekanisme sendiri

untuk menjaga keseimbangan.[12]  

Aliran yang selanjutnya adalah Panteisme. Aliran ini berpendapat bahwa seluruh alam

ini adalah Tuhan dan Tuhan adalah seluruh alam, termasuk benda –benda yang bisa

ditangkap oleh panca indra seperti manusia, binatang, tumbuh –tumbuhan, dan benda mati

adalah bagian dari Tuhan. Dalam agama Islam, paham ini biasa disebut dengan Wihdatut al-

wujud (kesatuan wujud) yang dikenalkan oleh Ibnu al-‘Arabi. Disamping  memiliki

persamaan, keduanya juga memiliki perbedaan, yaitu dalam panteisme alam adalah Tuhan

dan Tuhan adalah alam akan tetapi dalam wihdat al-wujud alam bukan Tuhan tetapi bagian

dari Tuhan. Bisa disimpulkan bahwa dalam wihdat al-wujud alam dan Tuhan tidak identik,

sedangkan dalam panteisme alam dan Tuhan identik.[13]

Keraguan Terhadap Eksistensi Tuhan

            Pada Zaman Pertengahan yaitu antara abad lima belas dan enam belas Masehi, agama

Kristen sangat mendominasi bangsa Barat. Dengan sangat otoriternya, mereka menindak para

ilmuwan yang berbeda pendapat dengan doktrin Gereja. Diantara para ilmuwan tersebut ialah

Nicolaus Copernicus (1473 – 1543) dengan teorinya tentang heliocentris. Dia mengatakan

bumi berputar pada porosnya, bahwa bulan berputar mengelilingi matahari dan bumi, serta

planet-planet lain semuanya berputar mengelilingi matahari.[14] Akan tetapi teori Copernicus

tersebut sangat bertentangan dengan doktrin yang ada dalam ajaran Gereja pada saat itu.

Gereja berpendapat bahwa pusat dari tata surya ini adalah bumi atau biasa disebut dengan

geocentris. Tepat pada tanggal 24 Mei 1543, Copernicus dijatuhi hukuman mati oleh Gereja

karena teorinya bertentangan dengan ajaran Gereja.[15]

            Setelah Zaman Pertengahan atau yang biasa disebut dengan Zaman Kegelapan (Dark

Ages), muncul periode Pencerahan (Renaissance). Pada periode ini, berbagai ilmu di Barat

banyak berkembang dan juga periode ini menandakan awal dari Zaman Modern. Adalah

David Hume (1711–1776) tokoh filsafat barat yang yang mengembangkan filsafat

Empirisme. Dia berpendapat bahwa manusia tidak perlu mengunyah tafsiran ilmiah tentang

realitas serta alasan filosofis untuk mempercayai sesuatu di luar jankauan indra dan Hume

membuang argumen yang berusaha membuktikan eksistensi Tuhan dari ketertataan alam,

dengan menyatakan bahwa hal itu didasarkan pada argumen analogis yang tidak konklusif.

[14] Dengan kata lain, Hume menolak hukum Kausalitas seperti adanya alam ini disebabkan

oleh adanya Tuhan.

            Selain Empirisme, filsafat Positivisme yang dikembangkan oleh August Comte

(1798–1857) pun mempunyai pengaruh besar di Zaman Modern. Menurut Comte, sejarah

perkembangan alam pikir manusia terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap teologik, tahap

metaphisik, dan tahap positif.[16] Dalam pandangannya tentang Tuhan, Comte mempunyai

pendapat bahwa agama atau Tuhan tidak bisa dilihat, diukur dan dibuktikan, maka Tuhan

tidak mempunyai arti dan faedah karena suatu pernyataan akan dianggap benar oleh

positivisme apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta.[17] Ludwig Andreas Feuerbach

(1804-1872) yang sepaham dengan Comte memiliki pandangan yang lebih positif tentang

manusia, ia ingin mencampakan Tuhan yang telah menyebabkan menyebarnya rasa putus asa

di masa silam.[18]

            Karl Heinrich Mark (1818–1883) tokoh Materialisme dan pencetus Komunisme,

memandang agama sebagai desahan makhluk yang tertekan dan candu masyarakat. Selain itu,

Mark menegaskan bahwa kepercayaan kepada Tuhan atau dewa – dewa adalah lambang

kekecewaan atas kekalahan dalam perjuangan kelas. Kepercayaan tersebut adalah sikap yang

memalukan yang harus dienyahkan, bahkan dengan cara paksaan.[19] Dia sendiri mengaku

sebagai seorang ateis yang radikal dengan mengatakan “saya membenci segala Tuhan”.[20]

Tokoh yang lebih ekstim dalam memandang Tuhan selain Mark adalah Friedrich Wilhelm

Nietzsche (1844–1900). Keyakinan yang mendasari Nietzsche adalah bahwa Tuhan telah

mati dan segala dewata sudah mati, hanya manusia ataslah yang masih hidup.[21] Dia

mengumumkan ini dalam tamsil tentang orang gila yang berlari ke pasar pada suatu pagi,

meneriakan, “aku mencari Tuhan!” ketika seorang penonton dengan pongah bertanya ke

mana menurutnya Tuhan pergi, apakah Dia melarikan diri atau mungkin pindah?, orang gila

itu menatap tajam kearah mereka. “‘Kemana Tuhan pergi?’ dia bertanya.’aku ingin

mengatakan kepada kalian, kita telah membunuhnya – aku dan kalian! Kita semua adalah

pembunuhnya!”.[22]

Kritik Einstein Atas Teologi Ketuhanan Plato

Sejak zaman Yunani Kuno, peradaban umat manusia telah mulai menemukan identitasnya. Proyek pencarian akan eksistensi Tuhan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perbincangan sehari-hari para ahli filsafat di negeri para dewa itu.

Pada awalnya orang Yunani Kuno secara mitodologi mengenal banyak dewa yang diyakini sebagai Tuhan yang mengatur alam semesta. Namun, bersamaan dengan semakin berkembangnya alam berpikir orang Yunani Kuno, mitos-mitos para dewa yang menjadi sebuah doktrin warisan turun temurun, mulai runtuh dan tergantikan oleh doktrin yang lebih rasional-empiris. Doktrin inilah yang diusung oleh para ahli filsafat di Yunani.

Buku “Einstein Mencari Tuhan” yang ditulis Winus Arya Wardhana mengungkap kembali persoalan filsafat yang disinggung oleh para ahli filsafat Yunani Kuno, di antaranya adalah Plato. Persoalan filsafat inilah yang kemudian juga menarik perhatian sosok manusia jenius di abad 20, yakni Albert Einstein.

Kedua sosok manusia ini adalah mereka yang dipercaya memiliki peran sangat penting dalam perjalanan sejarah umat manusia. Tak pelak, penulis menganggap perlu untuk membahas secara khusus kedua tokoh tersebut di dalam salah satu bab bukunya ini. Anggapan bahwa kedua tokoh ini (Plato dan Einstein), penting dikarenakan dari keduanya memang telah banyak lahir teori-teori baru yang turut membawa arus perubahan dalam peradaban manusia.

Adalah Plato, seorang filosof dari Athena di zaman Yunani Kuno, mulai mengenalkan alam berpikir baru tentang realitas kebenaran abadi. Bagi Plato, di alam semesta ini terdapat sesuatu yang kekal dan abadi. Dengan demikian, eksistensi para dewa dipertanyakan kembali. Apakah para dewa memiliki kekekalan dan keabadian sebagaimana yang dimaksud oleh Plato?. Untuk menjawab pertanyaan ini, Plato juga tidak dapat menggambarkan secara spesifik. Namun, ketika ia mulai mengalihkan perbincangan terkait dengan para dewa dengan menyebut entitas baru, yakni Tuhan.

Ia menggambarkan sosok Tuhan sebagai sosok yang niscaya tetap memiliki kekuatan untuk melakukan segala sesuatu. Dengan keadaan niscaya, Tuhan tidak dapat berbuat apapun selain dari yang ia lakukan.

Penjelasan tentang sosok Tuhan di atas yang masih rancu, terkesan amat sulit untuk dipahami oleh siapapun. Tentunya penjelasan Plato telah memantik reaksi yang beragam dari berbagai kalangan, tak terkecuali oleh Albert Einstein.

Dalam konteks inilah, Einstein, seorang pemikir, seorang ahli fisika, ahli matematika dan ahli astronomi mengkritisi pemikiran Plato. Bagaimanapun, secara implisit Plato telah dianggap membatasi kekekalan dan keabadian Tuhan dengan membatasi perbuatan-Nya.

Apalagi ketika Plato memiliki pemikiran bahwa bumi, matahari, bulan dan bintang tidak akan berubah, akan tetap seperti keadaan semula. Dengan kata lain, semua itu dianggap oleh Plato memiliki “keabadian”. Tak ayal, sebagai seorang ahli dalam bidang astronomi, fisika dan matematika, Einstein menolak secara tegas pemikiran-pemikiran yang demikian.

Menurutnya, berdasarkan pengamatannya terhadap alam semesta, utamanya terhadap bintang-bintang di angkasa raya ini, semuanya mengalami perubahan, tidak ada yang kekal dan abadi. Langit mengalami pengembangan, bintang yang semula bersinar seperti matahari, pada suatu saat akan padam (hal 56-57).

Dari penjelasan di atas, penemuan-penemuan Einstein jelas bertentangan dengan teori Plato yang mengatakan bahwa alam semesta itu kekal dan abadi. Adapun teori Plato tentang

entitas Tuhan, Einstein juga tidak dapat menerimanya, bahkan ia terkesan menentang teori itu. Bagi Einstein, pendapat Plato seringkali tidak sesuai dengan logika dan jalan pemikirannya.

Oleh karenanya, ketika Einstein tidak menemukan kebenaran pada filsafat Plato, ia mulai mencari jawabannya lewat penelitian dalam bidang sains. Di dunia sains inilah Einstein percaya bahwa kebenaran abadi akan terbuktikan secara ilmiah.

Einstein sebagai seorang ahli fisika dan matematik, memang selalu berpikir secara rasional terhadap segala masalah yang dihadapinya, termasuk masalah filsafat. Namun, persoalan yang masih belum dapat ditemukan jawabannya, adalah masalah terkait dengan sosok Tuhan.

Ketika menggambarkan sosok Tuhan, Einstein juga menemukan kesulitan yang sama sebagaimana dihadapi Plato. Tuhan memang tidak mungkin untuk dibuktikan secara kongkrit. Mengutip pendapat Karen Armstrong dalam bukunya “Sejarah Tuhan”, pada mulanya manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan Penyebab Pertama bagi segala sesuatu dan Penguasa langit dan bumi dan Dia tidak terwakili oleh gambaran apapun.

Dalam konteks inilah, jelas bagi kita bahwa Tuhan memang tidak mungkin digambarkan secara nyata. Oleh karenanya, tak salah jika Einstein pernah melontarkan kata-kata “Kini aku tahu, Tuhan berada di Surga”. Sementara Plato, ia tetaplah seorang filofof yang pola berpikirnya tidak mungkin terlepas dari mitos-mitos yang ada di masyarakat Yunani Kuno.

Pola berfikir yang berbeda di atas, baik berpikir ala Plato maupun Einstein, setidaknya dapat dipergunakan sebagai alat pembanding dalam mitodologi berpikir filsafat. Sebab bagaimanapun, Plato dan Einstein memiliki model berpikir filsafat yang relevan dengan konteks zaman dan bidang kajian keilmuan yang mereka tekuni masing-masing.

Dengan demikian, berfikir dan berfilsafat ala Plato dan Einstein tetaplah menarik untuk dikaji dan diperbincangkan sebagai sebuah landasan berfikir sebelum kita mengenal alam berpikir para filosof lainnya.

B. Ruang Lingkup Studi Teologi Islam

Aspek pokok dalam kajian ilmu Teologi Islam adalah keyakinan akan eksistensi Allah

yang maha sempurna, maha kuasa dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan lainnya. Karena itu

pula, ruang lingkup pembahasan yang pokok adalah:

1. Hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT atau yang sering disebut dengan

istilah Mabda. Dalam bagian ini termasuk Tuhan dan hubungannya dengan

alam semesta dan manusia.

2. Hal yang berhubungan dengan utusan Allah sebagai perantara antara manusia

dan Allah atau disebut pula wasilah meliputi: Malaikat, Nabi/Rosul, dan kitab-

kitab suci.

3. Hal-hal yang berhubungan dengan sam’iyyat (sesuatu yang diperoleh melalui

lewat sumber yang meyakinkan, yakni Al-Quran dan Hadits, misalnya tentang

alam kubur, azab kubur, bangkit di padang mahsyar, alam akhirat, arsh, lauhil

mahfud, dll).

Didalam sejarah perkembangannya, Teologi islam pada mulanya berkembang dari:

pertama, sebagai metodologi teologi. Sebagai sebuah metodologi teologi merupakan suatu

cara untuk memahami doktrin agama melalui pendekatan wahyu dan pemikiran rasionalnya.

Kedua, menjadi ilmu teologi. Sebagai sebuah ilmu, teologi merupakan ilmu yang membahas

masalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Dan ketiga, menjadi

teologi aksiologi. Sebagai sebuah aksiologi teologi, merupakan upaya memahami doktrin

agama secara mendalam untuk mengadvokasi berbagai permasalahan ketimpangan sosial.

Wilayah pembahasan teologi Islam secara ilmiyah, dapat diklasifikasikan menjadi dua

bagian, yaitu: pertama, teologi islam klasik teoritik. Disiplin ilmu ini, hanya membahas

secara teoritik aspek-aspek ketuhanan dan berbagai kaitan-Nya. Kedua, teologi islam

kontemporer praktik. Disiplin ilmu ini, secara praktik membahas ayat-ayat Tuhan dan

sunnah-sunnah Rasul-Nya yang nilai doktrinnya mengadvokasi berbagai ketimpangan sosial.

Teologi kedua ini dapat dikembangkan lagi menjadi tiga kategori: pertama, Teologi

Lingkungan; kedua, Teologi Pembebasan; dan ketiga, Teologi Sosial.

Ketiga teologi Islam ini, merupakan teologi-teologi yang membahas aspek-aspek

ketuhanan dan berbagai kaitan-Nya, untuk mengadvokasi obyek formal teologi itu. Seperti

teologi lingkungan maksudnya yaitu pembahasan secara mendalam doktrin-doktrin agama

islam dengan argumen rasionalnya yang nilainya berupaya mengadvokasi permasalahan alam

semesta. Disini dapat dikaji lebih luas lagi dengan menampilkan kajian seperti: teologi

pemelihara lingkungan, teologi sampah, teologi banjir, dan yang sebangsanya. Teologi

Transformatif. Maksudnya yaitu pembahasan secara mendalam doktrin-doktrin agama islam

dengan argumen rasionalnya yang nilainya berupaya mengadvokasi permasalahan perubahan.

Disini dapat dikaji lebih luas lagi dengan menampilkan kajian seperti: teologi pembebasan,

teologi pos modernisme, teologi sains, dan yang sebangsanya. Dan Teologi Sosial.

Maksudnya yaitu pembahasan secara mendalam doktrin-doktrin agama islam dengan

argumen rasionalnya yang nilainya berupaya mengadvokasi permasalahan kemasyarakatan.

Dalam mengembangkan kajian dalam bidang ilmu teologi Islam, maka berbagai

metodologi/pendekatan penelitiannya, dapat menggunakan beragam metodologi penelitian.

Hal ini disesuaikan dengan aspek teologi apa (aspek tokoh teologi,; karya-karya para teolog;

gagasan atau ide para teolog; sejarah perkembangan (tokoh-tokoh, karya-karya, dan gagasan

para teolog); pengaruh timbal balik antar tokoh, karya-karya, dan gagasan para teolog dengan

ipoleksosbudagama; perbandingan (tokoh, karya-karya, dan gagasan); dan selain hal yang

tersebut didepan) yang akan diteliti oleh para pengkajinya.

Teologi Islam dan Problem Ketuhanan di Zaman Modern

Masalah yang sedang dihadapi umat Islam pada zaman sekarang merupakan masalah

yang sangat serius. Disamping masalah pemikiran, problem tentang ketuhanan pun menjadi

tantangan yang harus di hadapi oleh umat Islam. masalah dan problem tersebut tidak lepas

dari peranan bangsa Barat yang sangat gencar mempengaruhi pemikiran umat Islam. berbagai

bidang ilmu pengetahhuan barat banyak dimasukan bahkan diaplikasikan dalam keilmuan

Islam, diantaranya tentang teologi.

Islam merupakan agama yang mempunyai peradaban ilmu paling maju dan banyak

memberikan kontribusi kepada perkembangan ilmu pengetahuan yang ada di Barat. Dalam

khazanah ilmu pengetahuan Islam sendiri, terdapat banyak macam bidang ilmu yang

merupakan produk asli agama Islam. diantara bidang – bidang ilmu tersebut adalah Ilmu

Kalam atau istilah lain adalah teologi dan para teolog Islam biasa disebut dengan

mutakallimin atau ahli kalam. Disebut Ilmu Kalam karena ilmu ini membahas tentang kalam

atau wahyu Tuhan.

 Adapun kata teologi, merupakan istilah yang diambil dari Yunani dan terdiri dari dua

kata yaitu theos yang berarti Tuhan dan logos yang berarti ilmu. Jadi, teologi merupakan ilmu

tentang Tuhan atau ilmu ketuhanan. Adapun pokok pembahasan yang ada dalam teologi

adalah Tuhan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya.[23]

C. Sumber-sumber Pembahasan Teologi Islam

Adapun sumber pembahasan yang digunakan untuk membangun Ilmu Teologi Islam

menggunakan beberapa sumber, yaitu:[ 24 ]

1.Sumber yang ideal

Yang dimaksud dengan sumber ideal adalah Qur’an dan Hadits yang didalamnya

dapat memuat data yang berkaitan dengan objek kajian dalam Ilmu Tauhid. Misalnya, telah

dimaklumi dalam ajaran agama, bahwa semua amal sholeh yang dilakukan oleh ketulusan

hanya akan diterima oleh Allah SWT apabila didasari dengan akidah islam yang benar.

Karena penyimpangan dari akidah yang benar berarti penyimpangan dari keimanan yang

murni dari Allah. Dan penyimpangan dari keimanan berarti kekufuran kepada Allah SWT.

Sedangkan Allah tidak akan menerima amal baik yang dilakukan oleh orang kafir, berapapun

banyaknya amal yang dia kerjakan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

“Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lau dia mati dalam kekafiran,

maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah

penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.” (QS. Al- Baqoroh : 217)

2.Sumber Historik

Sumber historis adalah perkembangan pemikiran yang berkaitan dengan objek kajian

ilmu tauhid, baik yang terdapat dalam kalangan internal umat islam maupun pemikiran

eksternal yang masuk kedalam rumah tangga islam. Sebab, setelah Rosulullah saw wafat,

islam menjadi tersebar, dan ini memungkinkan umat islam berkenalan dengan ajaran-ajaran,

atau pemikiran-pemikiran dari luar islam, misalnya dari Persia dan Yunani.

Pemikiran yang berkembang dalam kalangan internal umat islam, antara lain:

1. Pelaku dosa besar. Masalah yang muncul, apakah masih ddihukumi sebagai

mukmin atau tidak.

2. Al-Quran wahyu Allah. Apakah ia makhluk atau bukan, atau dengan kata lain,

apakah Al-Quran itu qadim atau hudus (baru).

3. Melihat Tuhan Allah. Apakah itu di dunia atau di akhirat, atau di akhirat saja,

dan apakah dengan mata kepala ataukah dengan hati saja.

4. Sifat-sifat Tuhan. Apakah Tuhan memiliki sifat-sifat zati dan sifat af’al

(menurut konsepsi al-sanusi,sifat-sifat ma’nawiyah), ataukah Dia tidak layak

diberi sifat-sifat tersebut.

5.  Kepemimpinan setelah  Rosulullah wafat, apakah ia harus dipegang oleh suku

Qurays saja , atau apakah nabi Muhammad saw meninggalkan wasiat bagi

seseorang dari  ahlul bait untuk memimpin umatnya ataukah tidak atau bahwa

pemimpin itu harus dipilih berdasar musyawaroh, atau menurut keputusan

ahlul hall wal aqdi.

6. Takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Apakah diperbolehkan mengadakan

takwil atau tidak. Misalnya:

“Janganlah kamu sembah disamping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. Tidak

ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali

Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS.

Al-Qashas : 88)

Pemikiran eksternal yang masuk kedalam rumah tangga Islam saat itu, dan

melahirkan persoalan teologi yang berkenaan dengan perbuatan baik dan buruk. Apakah

Tuhan Allah menciptakan baik dan yang terbaik saja (al-salah wa al aslah) untuk manusia?

Atau, Tuhan wajib menciptakan yang baik dan yang terbaik saja bagi manusia sebab jika

tidak demikian maka Dia tidak adil (dhalim), dan itu mustahil bagi-Nya. Pendapat diatas

diteruskan dengan pendapatnya, bahwa Tuhan tidak menciptakan yang jahat. Jahat dan buruk,

pada hakikatnya, ciptaan manusia sendiri dan dia harus bertanggung jawab atas kejahatan

yang dilakukannya. Seperti, pemikiran dari Zoroaster dan filsafat Yunani. Ini yang pada saat

itu nampaknya lebih domonan dibanding dari pemikiran-penikiran lainnya.

D. Metode Pembahasan Studi Teologi islam

Ada dua metode atau cara pembahasan Ilmu Tauhid, yakni:

1. Menggunakan dalil naqli

Pada dasarnya inti pokok ajara Al-Quran adalah tauhid, nabi Muhammad saw diutus

Allah kepada umat manusia adalah juga untuk mendengarkan ketauhidan tersebut, karena itu

ilmu tauhid yang terdapat didalam Al-Quran dipertegas dan diperjelas oleh Rosulullah saw

dalam haditsnya. Penegasan Allah dalam Al-Quran yang mengatakan bahwa Allah itu Maha

Esa antara lain:

“Katakanlah “Dia-lah Allah, yang Maha Esa; Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-

Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan diperanakkan. Dan tidak ada serangpun yang

setara dengan Dia”. (QS. Al-Ikhlas : 1-4)

Keesaan Allah SWT tidak hanya pada zat-nyatapi juga esa pada sifat dan af’al

(perbuatan)-Nya. Yang dimaksud Esa pada zat adalah Zat Allah itu tidak tersusun dari

beberapa bagian. Esa pada sifat berarti sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat yang lain dan

tak seorangpun mempunyai sifat sebagaimana sifat Allah SWT.

2.Menggunakan Dalil Aqli

Penggunaan metode rasional adalah salah satu usaha untuk menghindari keyakinan

yang didasarkan atas taklid saja. Seperti telah disebutkan dalam pembahasan terdahulu bahwa

iman yang diperoleh secara taklid mudah terkena sikap ragu-ragu dan mudah goyah apabila

berhadapan dengan hujjah yang lebih kuat dan lebih mapan. Karena itu ulama sepakat

melarang sikap taklid didalam beriman. Orang harus melakukan nalar dan penalaran baik

dengan memakai dalil aqli maupun dalil naqli. Didalam Al-Quran banyak ditemukan ayat

yang mengkritik sikap taklid ini, antara lain:

“apabila dikatakan kepada mereka, marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan

mengikuti Rosul-Nya. Mereka menjawab, cukuplah bagi kami apa yang kita dapatkan dari

bapak-bapak kami, meskipun bapak-bapak mereka tidakmengetahui apa-apa (tidak punya

hujjah yang kuat) dan tidak mendapat petunjuk”. (QS Al- Maidah : 104)

Ayat ini mengandung kritikan terhadap sikap yang hanya ikut-ikutan sedangkan

nenek moyang yang diikutinya tidak memiliki hujjah yang kuat bagi keyakinannya. Dalam

hukum akal dijelaskan, apabila kita menerima suatu keterangan, maka akal kita tentu akan

menerima dengan salah suatu pendapat atau keputusan hukum, seperti:

1. Membenarkan dan mempercayainya (wajib aqli)

2. Mengingkari dan tidak mempercayainya (muhal atau mustahil)

3. Memungkinkan (jaiz)

Adapun dalam hal keyakinan, teori keyakinan membagi tipe keyakinan ada tiga,

yaitu:

1. Keyakinan itu ada dua, sentral dan periferal,

2. Makin sentral sebuah keyakinan, ia makin dipertahankan untuk tidak berubah,

3. Jika terjadi perubahan pada keyakinan sentral, maka sistem keyakinan yang

lainnya akan ikut berubah.

E. Hubungan Ilmu Teologi, Filsafat Islam dan Tasawuf

Teologi Islam sebagai sebuah disiplin ilmu yang subjek matternya adalah ketuhanan,

berada satu rumpun dengan disiplin ilmu pemikiran dalam islam (Teologi Islam, Filsafat dan

Tasawuf), memiliki hubungan yang dapat di klasifikasikan dalam:

1. Dalam argumentasinya filasafat dibangun di atas dasar logika, sehingga hasil

kajianya spekulatif. Sedangkan ilmu Teologi sebagai ilmu yang menggunakan

logika di samping argumentasi naqliyah  berfungsi untuk mempertahankan

keyakinan-keyakinan agama yang sangat tampak nilai apologinya. Teologi

berisi keyakinan kebenaran agama yang di pertahankan melalui argumen-

argumen rasional. Ilmu Tasawuf adalahh ilmu yang lebih menekankan rasa,

intuisi, atau ilham dan inspirasi yang datang dari tuhan pada rasio sehingga

bersifat subyektif.

2. Di pandang dari obyek kajianya ilmu teologi adalah ketuhanan dan segala

sesuatu yang berkaitan denganya. Filsafat mengkaji masalah ketuhanan di

samping masalh alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara kajian

tasawuf adalah tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan pada-Nya. Di pandang

dari hal ini ketiga di siplin ilmu ini membahas maslah tentang ketuhanan.

3. Dalam masalah kebenaran, ilmu teologi dengan metodenya sendiri berusaha

mencari kebenaran tentang tuhan dan yang berkaitan denganya. Filsafat

dengan wataknya sendiri,berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam

maupun manusia atau tentang tuhan. Tasawuf dengan metodenya juga

berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spritual.

4. Di lihat dari aspek aksiologi, teologi berperan sebagai ilmu yang mengajak

orang yang baru untuk mengenal rasio sebagai upaya mengenal tuhan secara

rasional. Adapun filsafat, lebih berperan sebagai ilmu yang mengajak kepada

orang yang mempuyai rasio secara prima untuk mengenal tuhan secara lebih

bebas melalui pengamatan dan kajian alam dan ekosistemnya langsung.

Sedangkan tasawuf lebih berperan sebagai ilmu yang memberi kepuasan

kepada oarnga telah melepaskan rasionya secara bebas karena tidak

memperoleh apa yang di carinya, selain itu tasawuf berfungsi muatan rohaniah

terhadap teologi dan filsafat.

Tapi, sebagian orang memandang ketiganya memiliki jenjang tertentu. Pertam ilmu

teologi islam, kemudian filsafat dan tasawuf. Jadi merupaka kekeliruan jika dialektika

kefilsatan atau tasawuf teoretis diperkenalkan kepada masyarakat awam karena akan

berdampak pada terjadinya rational jaumping.

F. Manfaat Studi Teologi Islam

Teologi Islam merupakan salah satu dari tiga pondasi Islam dan pemahamanya harus

ada dalam diri seseorang  manusia yang beriman. Sedangkan iman itu di nyatakan  pertama

nutqun bil lisan (menyatakan keislam secaralisan) harus berlandaskan ilmu yang kuat yang di

antaranya adalah ilmu kalam ini. Kedua, a’malu bil arkan(melaksanakan keislaman secara

fisik) dengan berlandaskan ilmu yang hak di antaranya ilmu fiqh. Ketiga tashdiqu bil qolbi

(membenarkan islam dengan hatinya). Harus berpangkkal dengan ilmu batin yang benar dan

yang membenarkan adalah iomu tasawuf. Dari itu, mempelajari ilmu teologi sangat urgen

karena dapat memberikan landasan kuat bagi kebenaran kayakinan keberislaman atau

keberagamaan seseorang. Dalam hal ini menjadi kekuatan keimanan seseorang muslim.

Aspek lain, ketuhanan merambah dan mengisi pada berbagai organisasi tertentu

sehingga menyebabkan timbulnya konflik, dengan ilmu teologi ini mengkaji tentang

kebenaran tentang ketuhanan sehingga konflik tersebut dapat di atasi, dan tidak

mendiskriminasikan antara satu aliran dengan aliran yang lain.

Akhir-akhir ini, teologi islam sebagai sebuah aksiologi, telah banyak di tulis. Tulisan itu di

maksudkan mengadvokasi berbagai ketimpangan sosial baik aspek sosial keperempuan,

seperti teologi gender dll. Dengan teologi ini di harapkan ketimpangan sosial yang terjadi

dapat tereleminasi atau kalo mungkin teratasi secara baik dan benar.

 

BAB III

PENUTUP

 

a. Kesimpulan

Teologi islam adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu

yang berkait dengan-Nya

Ruang lingkupnya, Hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT atau yang

sering disebut dengan istilah Mabda, berkenaan dengan utusan Allah dan

sam’iyyat.

Teologi Islam berdasarkan Al-qur’an, Al-hadist dan sumber historis

(perkembangan pemikiran yang berkaitan dengan objek kajian ilmu tauhid)

Dengan mempelajari Teologi Islam ini di harapkan agar mengetahui

kebenaran-kebenaran yang menjadi dan kebenaran tentang ketuhanan  dan

ketimpangan sosial yang terjadi dapat tereleminasi atau kalau mungkin teratasi

secara baik dan benar.

b. Saran

Sudah sepantasnya kita sebagai orang Islam mengethui adanya aliran-aliran dalam

Islam, dan mungkin makalah sangat cocok bagi kita untuk di jadikan sebagai pegangan dalam

pembelajaran tentang ilmu kalam atau tentang ketuhanan, apalagi kita brada di ingkungan

bebas yang di situ banyak aliran-aliran dan pemikiran menyimpang.

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Abduh, Muhammad, Terj Risalah tauhid, Firdaus A.N, Bulan Bintang, jakarta 1979,

Hanafi Ahmad, Pengantar Teologi Islam, Pustaka Alhusna Baru, Jakarta 2003.

Majdid Fakhry, The History of Islsmic Philoshopy, Columbia university, press

Netwyor ,1983.

Rozak, Abdul. Anwar,Rosihan, Ilmu Kalam, CV Pustaka Setia, Bandung, 2006.

Sarkowi, Teologi Islam Klasik, ReSIST Literacy, Malang Cet I 2010. 

Related posts:

[1] Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu kalan, Pustaka Setia, bandung, 2006, Cet II, hlm.

14

[2] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Pustaka Alhusna Baru, Jakarta 2003 Cet VIII, hlm. 1

[3] Muhammad Abduh, Risalah tauhid, terj, Firdaus A.N, Bulan Bintang, jakarta, 1979, hlm

36

[4] Ibid, hlm 47-48

[5] Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama Titik Temu Akal dan Wahyu, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991) hal. 10

[6] Amal Fathullah Zarkasyi,  Ilmu Al- Kalam: Tarikhul Madzahib Al-Islamiyyah wa Qodloyaha Al-Kalamiyyah, (Ponorogo: Darussalam University Press, 2006) hal. 47

[7] Ibid., hal. 50

[8] Amal Fathullah Zarkasyi, Kuliah Tentang Konsep Tauhid Dalam Perspektif Filsafat, Ilmu Kalam dan Tasawwuf, (Ponorogo: Fakultas Ushuluddin ISID, 2006) hal. 7

[9] Ibid., hal. 12

[10] Ibid., hal. 13

[11] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wiasta Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009) hal. 81

[12] Norman L. Geisler dan Williams D. Watkins, perspectives Understandingand Evaluating Today’s World Views, (California: Here’s Life Peblisers, Inc, 1984) hal. 23. Lihat juga Ibid., hal. 84

[13] Amal Fathullah Zarkasyi, ‘Aqidah Al-Tauhd ‘Inda Al-Falasifah wa Al-Mutakallimin wa As-Sufiyah, (Ponorogo: Darussalam University Press, 2008) hal. 96

[14] Bakhtiar, Op.cit., hal. 89

[15] Bakhtiar, Op.cit., hal. 94

[16] Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj: H. Mahbub Djunaidi (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1982)

[17] Hart, Ibid hal.

[18] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Orang – Orang Yahudi, Kristen dan Islam, terj: Zaimul Am, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007) hal. 441

[19] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004) hal. 109

[20] Bakhtiar, Op.cit., hal. 116

[21] Amstrong, Op.cit., hal 451

[22] Daniel L. Pals, Dekonstruksi kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama, terj: Inyiak Ridwan Munir (Yogyakarta: IRCiSoD, 2005) hal. 201

[23] Bakhtiar, Op.cit., hal. 124 - 125

[24] Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 375

[25] Amstrong, Op.cit., hal. 458

Read more:

Teologi Islam dan Problem Ketuhanan di Zaman Modern | Theosopher Under Creative Commons License: Attribution Share Alike