uwityangyoyo.files.wordpress.com file · Web viewPENDAHULUAN. Laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil...
Transcript of uwityangyoyo.files.wordpress.com file · Web viewPENDAHULUAN. Laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil...
1
MITIGASI BENCANA WILAYAH PESISIRBERBASIS PENGELOLAAN EKOSISTEM
OlehAndrias Koko (NPM.E2A010010)
ABSTRAK
Kawasan pesisir merupakan daerah transisi antara darat dan laut yang rawan terjadi bencana dengan air laut sebagai agen yang bekerja (working agents) seperti: tsunami, gelombang tinggi, banjir pasang surut, sedimentasi dan erosi pantai. Kelemahan pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah tidak mensinergikan pengelolaan dampak bencana dan resiko terhadap ekosistem. Upaya yang paling mungkin dilakukan adalah dengan mengembangkan teknik mitigasi bencana. Aktifitas mitigasi bencana sesungguhnya adalah upaya untuk mengeliminasi atau mengurangi kemungkinan terjadinya bencana, atau mengurangi efek dari bencana yang tidak dapat dicegah kejadiannya. Pendekatan mitigasi bencana berbasis pengelolaan ekosistem dan sumberdaya di wilayah pesisir (misalnya mangrove dan terumbu karang) penting untuk dilakukan.
Kata kunci: mitigasi, pesisir,dan ekosistem
PENDAHULUAN
Laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil merupakan kawasan yang sangat
berpotensi terjadinya bencana. Bencana yang paling banyak kita temui didaerah
pesisir adalah kerusakan akibat gempa bumi, tsunami, banjir pasang surut,
sedimentasi, dan abrasi. Gempa bumi sering terjadi di kawasan pesisir dan sekitar
pulau-pulau kecil, bahkan episentrumnya seringkali berpusat di wilayah laut
(Kawaroe, 2004). Posisi Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng
tektonik dunia yaitu: Lempeng Australia di selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian
barat dan Lempeng Samudra Pasifik di bagian timur, menjadikan Indonesia rawan
terkena gempa bumi.
Secara umum kerusakan yang terjadi akibat bencana tidak sedikit.
Disamping kerusakan bangunan fisik, ekosistem pesisir pun menjadi rusak berat.
Masalah sedimentasi dan abrasi dirasakan sangat mengganggu aktivitas
pengembangan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Misalnya dengan adanya konversi
2
lahan hutan bakau menjadi tambak tanpa pertimbangan yang tepat pada gilirannya
akan memicu laju sedimentasi dan abrasi secara tidak terkendali. Besarnya potensi
bencana jika tidak disertai dengan tingkat kesiapsiagaan masyarakat pesisir dalam
mengantisipasi potensi bencana akan berakibat pada besarnya jumlah korban jiwa
dan kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir. Kurangnya perencanaan yang
berbasis mitigasi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut
(Anonim, 2008).
Kerusakan lingkungan pesisir akibat bencana dapat diminimalisasi dengan
berbagai cara. Salah satunya dengan melakukan upaya mitigasi bencana berbasis
pengelolaan ekosistem dan sumberdaya yang ada dikawasan lingkungan pesisir
yang dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk mengatasi degradasi lingkungan
pesisir yang terus berlangsung. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah
yang sistematis dan menyeluruh sebelum dilakukan pengembangan dan
pemanfaatan dalam skala yang lebih luas.
KONSEPSI BENCANA
Bencana mempunyai definisi yang bermacam-macam. Ongkosongo (2004)
mendefinisikan bencana sebagai sebuah dampak kegiatan yang memberikan efek
negatif terhadap manusia. UU No 27 Tahun 2007 menjelaskan secara umum
bencana pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau
karena perbuatan orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik
dan atau hayati pesisir yang mengakibatkan korban jiwa, harta,
dan kerusakan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berbagai bencana yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia dalam
beberapa kurun waktu terakhir ini telah melahirkan kebijakan baru dalam konteks
3
manajemen bencana. Dalam lingkaran manajemen bencana terdapat tiga komponen
besar yang dilakukan yaitu kegiatan prabencana, tanggap darurat saat terjadi
bencana dan kegiatan pasca bencana. Jika selama ini manajemen bencana lebih
menitikberatkan pada aspek penanganan tanggap darurat dan pasca bencana yang
ternyata terdapat banyak kelemahan, maka ke depannya manajemen bencana lebih
menitikberatkan kegiatan prabencana yaitu kegiatan mitigasi bencana dalam
kerangka mengurangi risiko dan dampak bencana (Zakaria, 2009).
Gambar 1. Siklus Manajemen Bencana
Beberapa bentuk kerusakan yang kemudian di kategorikan sebagai bencana
di wilayah pesisir menurut Mihardja (2004) adalah: pencemaran, kerusakan hutan
mangrove, kerusakan terumbu karang dan lamun, abrasi, perubahan tata guna
lahan, algae blooming, kematian ikan. Penyebab kerusakan tersebut adalah:
penebangan hutan mangrove, pengeboman ikan di sekitar karang, buangan limbah
di kawasan perairan, pembangunan yang menyebabkan degradasi lingkungan,
Bencana alam.
UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan bencana pasal 35d dan 39
mengamanatkan pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan
pembangunan. UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan ruang penjelasan pasal 5
ayat (2) menjelaskan penataan ruang harus memasukkan kawasan rawan bencana,
4
lebih lanjut UU No. 27 tahun 2007 pasal 7 ayat 3 mengamanatkan Pemerintah
Daerah wajib menyusun perencanaan zonasi wilayah pesisir yang berbasis mitigasi
bencana.
PRINSIP MITIGASI UNTUK WILAYAH PESISIR
Mitigasi bencana merupakan proses mengupayakan berbagai tindakan
preventif dalam penanggulangan bencana, karena kegiatan ini dilakukan sebelum
terjadinya bencana yang dimaksudkan agar dampak yang ditimbulkan dapat
dikurangi (Nurhasanah dan Aprizal, 2007). Masyarakat sangat besar perannya
dalam penanggulangan bencana sehingga perlu ditingkatkan kesadaran, kepedulian
dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan hidup serta kedisiplinannya
terhadap peraturan yang ada. Selain itu juga perlu dipikirkan penerapan
pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management) untuk mitigasi
bencana. Pendekatan ini ditujukan untuk memanfaatkan sumberdaya dan daya
dukung lingkungan suatu wilayah pesisir yang mencakup suatu kesatuan dalam
perencanaan, penggunaan lahan, pemeliharaan, kontrol, evaluasi, rehabilitasi,
pembangunan dan konservasi lingkungan pesisir (Pratikto, 2004).
Aktifitas mitigasi bencana sesungguhnya adalah upaya untuk
mengeliminasi kemungkinan terjadinya bencana, atau mengurangi efek dari
bencana yang tidak dapat dicegah kejadiannya (Warfield, tanpa tahun). Selanjutnya
disebutkan bahwa efektifitas tindakan mitigasi bencana tergantung pada
ketersediaan informasi tentang bencana, resiko keadaan darurat (emergency risks),
dan tindakan tanggapan (counter measures) yang diambil. Mitigasi bukanlah
sebuah strategi akhir, namun diperlukan agar resiko yang ada dapat diminimalisir.
5
Menurut Ongkosongo (2004) ternyata daerah pantai, pesisir dan pulau-
pulau kecil merupakan bagian yang dinamik, karena berhubungan dengan kondisi
lingkungan yang juga dinamik. Dinamika tersebut dapat terjadi karena gerakan
massa air, serta akibat bencana alam yang sering terjadi di wilayah lepas pantai
seperti gempa, banjir pasang, dan angin besar. Tahapan untuk melakukan deteksi,
mitigasi dan pencegahan degradasi akibat bencana dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan akar masalah penyebab degradasi, komponen utama yang
menjadi pokok pendeteksi, satuan upaya deteksi dan tindakan umum deteksi
bencana. Menurut Clarks (1996) prinsip mitigasi bencana di suatu wilayah
mencakup:
1. Peningkatan antisipasi kerusakan adalah bentuk mitigasi yang menunjukkan
‘peningkatan penanganan’ kerusakan sederhana dari sebuah ekosistem.
2. Mereduksi dampak adalah sebuah model dari mitigasi untuk mengurangi
dampak kegiatan pengerukan dan penambangan pasir demi melindungi habitat
pemijahan dan menghindari gangguan terhadap benih dan sumberdaya
3. Kompensasi juga salah satu bentuk dari mitigasi yang berimplikasi pada upaya
untuk melindungi agar tidak ada sumberdaya yang hilang. Seperti
perlindungan waduk.
4. Replacement sebagai sebuah bentuk melindungi sumberdaya dengan
memanfaatkan ruang yang ada kemudian melakukan relokasi keruang lainnya.
URGENSI MITIGASI EKOSISTEM
Secara nasional, kelestarian lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil
diupayakan terlindungi dari dampak negatif kegiatan pembangunan. Selain itu,
perbaikan kualitas ekosistem terus dilakukan seperti tertuang melalui Program
6
Mitra Bahari Indonesia (Sea Partnership Program). Terkait dengan upaya tersebut,
mitigasi kerusakan lingkungan pesisir merupakan salah satu aspek keseimbangan
yang harus dicapai. Hal ini penting karena kegiatan pemanfaatan sumberdaya dan
ekosistem wilayah pesisir akan rusak apabila tidak terdapat konsep dan langkah
untuk antisipasi terjadinya kerusakan.
kerusakan di wilayah pesisir dapat diakibatkan oleh alam (seperti tsunami,
gempa, abrasi, dan banjir) atau dampak aktivitas manusia. Kerusakan tersebut tentu
saja akan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit seperti investasi yang telah
ditanam, kegagalan budidaya, menurunnya produksi, perbaikan sarana-prasarana
produksi, dan pemulihan kerusakan sumberdaya pesisir. Hal ini semestinya dapat
diminimalisasikan seandainya semua pihak mempunyai pemahaman dan informasi
yang jelas tentang mitigasi kerusakan lingkungan di wilayah pesisir.
Dampak kerusakan lingkungan pesisir ini perlu disadari urgensinya. Hal ini
dikarenakan:
Sebagian besar dari kota-kota metropolitan di Indonesia terletak di wilayah
pesisir
Sumberdaya penting, khususnya hayati dan jasa lingkungan terletak di pesisir
Sebagian besar masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
relatif lebih terbelakang dalam hal ekonomi dan sarana-prasarana sosial
sehingga kerusakan lingkungan pesisir akan memperburuk kondisi tersebut.
UPAYA MITIGASI KERUSAKAN DI WILAYAH PESISIR
Upaya mitigasi kerusakan di wilayah pesisir dapat dilakukan melalui upaya
struktural dan non struktural:
7
a. Upaya Struktural.
Bentuknya berupa pembangunan infrastruktur seperti rumah, jalan, dan sarana
prasarana budidaya yang lebih terpadu dan bersifat antisipatif terhadap
kemungkinan bencana. Upaya mitigasi bencana tsunami, misalnya, secara
structural (upaya teknis yang bertujuan untuk meredam/mengurangi energi
gelombang tsunami yang menjalar ke kawasan pantai) dapat dibedakan menjadi
dua kelompok, yaitu (i) alami, seperti penanaman hutan mangrove di sepanjang
kawasan pantai dan perlindungan terumbu karang; (ii) buatan, seperti
pembangunan pemecah gelombang (seawall, breakwater, Groin) sejajar pantai
untuk menahan tsunami, memperkuat desain bangunan dan infrastruktur.
b. Upaya Non Struktural
Upaya mitigasi bencana nonstruktural dalam menangani bencana tsunami
adalah upaya nonteknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang
kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun
upaya lainnya: kebijakan tentang tata guna lahan kawasan pantai yang rawan
bencana; kebijaksanaan tentang standarisasi bangunan serta infrastruktur sarana
dan prasarana; kebijakan tentang eksplorasi dan kegiatan perekonomian masyarakat
kawasan pantai; pelatihan dan simulasi mitigasi bencana tsunami, misalnya;
penyuluhan dan sosialisasi upaya mitigasi bencana; pengembangan sistem
peringatan dini adanya bahaya bencana. Menurut Pratikto (2004), jika sistem
peringatan dini (early warning system) yang berupa informasi tsunami dan gempa
bumi pada sistem pengamatan dapat berjalan dengan baik maka dampak korban
jiwa dapat diminimalisasi.
8
Gambar 2. Sistem peringatan dini pada mitigasi bencana tsunami
Penerapan pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management)
untuk mitigasi bencana memerlukan keterpaduan dan dukungan baik dari aspek
kelembagaan maupun IPTEK yang berwawasan lingkungan. Mitigasi dan antisipasi
perlu dilakukan terkait dengan satuan manusianya. Misalnya, masyarakat yang
tinggal berdekatan dengan kawasan bencana perlu mengambil langkah berjaga-jaga
untuk menghadapi bencana tersebut. Rumah dan bangunan lainnya dibuat dengan
model tahan gempa. Penduduk di kawasan bencana juga perlu memiliki alat-alat
“darurat gempa” seperti lampu senter, obat-obatan, dan lain-lain. Mereka juga perlu
mengetahui apa yang harus diperbuat saat menghadapi bencana. Misalnya, saat
terjadi air surut sejauh 2 km maka jangan ke pantai. Sebab, hal ini salah satu tanda
tsunami.
MINIMALISASI DAMPAK BERBASIS EKOSISTEM
Upaya minimalisasi dan mitigasi bencana dapat dilakukan melalui
pendekatan terhadap ekosistem. Ekosistem yang erat kaitannya dan perannya dalam
mitigasi bencana di pesisir adalah terumbu karang, lamun dan mangrove. Terumbu
Karang terutama jenis soft koral yang termasuk sebagai biota pesisir dan laut
9
daerah dataran pantai mampu menahan laju air sebesar 0,041 m. Dengan
kemampuan ini, maka koral selain memiliki tingkat produktivitas yang tinggi juga
berpotensi sebagai media untuk menahan gerak dan lajunya gelombang (Weber,
1993). Fenomena tsunami, badai dan berbagai bentuk masukan dari darat juga
dapat di toleransi oleh terumbu karang secara baik.
Gambar 3. Mangrove Sebagai Pelindung Bagi Wilayah Pesisir
Model mitigasi lingkungan yang dapat diterapkan dalam rangka mengatasi
abrasi adalah dengan melalui penanaman kembali hutan mangrove dilokasi-lokasi
yang sesuai setelah mempertimbangkan kondisi lingkungan setempat. Namun,
secara umum model mitigasi dengan cara ini mengikuti tahapan sebagai berikut:
(1) Survei kondisi bio-fisik lingkungan dan penentuan lokasi percontohan
Kegiatan ini ditujukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang
mendukung maupun yang tak mendukung dilakukannya penanaman mangrove
dan gambaran kondisi bio-fisik lingkungan.
(2) Partisipasi masyarakat
Dengan pembentukan kelompok masyarakat peduli mangrove Pembentukan
kelompok ini dimaksudkan untuk lebih mengoptimalkan keterlibatan
masyarakat dalam program Mitigasi Lingkungan.
10
(3) Penanaman mangrove
Sebelum penanaman mangrove dilakukan maka dibuat terlebih dahulu alat
penahan ombak (APO) agar pertumbuhan mangrove terlindung dari hantaman
gelombang.
Gambar 4. Penanaman Kembali Pohon Mangrove
(4) Pemeliharaan Terumbu Karang.
Terumbu karang menjadi penting dalam antisipasi bencana akibat kerusakan
yang di timbulkan oleh gelombang pasang.
(5) Melakukan Pemugaran Daerah pantai.
Langkah mitigasi yang bersifat cepat, tapi tidak mampu bertahan lama adalah
dengan melakukan pemugaran di sekitar bagian pantai yang sangat beresiko.
Hutan mangrove juga menjadi salah satu komponen yang mampu
menghambat laju gelombang laut menuju darat. Beberapa daerah di timur sumatera
seperti di Lampung Timur, Sumatera Selatan, Riau mengalami tekanan gelombang
yang kuat saat musim timur. Namun berkat adanya mangrove lokasi tersebut relatif
tahan terhadap abrasi pantai. Makin tebal mangrove yang ada di kawasan tersebut,
maka makin tinggi juga kekuatan untuk menahan laju pergerakan gelombang, arus,
dan sedimen. Pratikto (2004) mengatakan, ekosistem mangrove juga dapat menjadi
pelindung secara alami dari bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di
Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan adanya ekosistem
11
mangrove telah mereduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi
gelombang sebesar (E) = 19635,26 joule. Kehadiran sistem pertahanan pantai
alamiah dapat mengurangi kekuatan gelombang tsunami yang melanda ke daratan,
sehingga dapat mempersempit luas areal yang terganggu. Pengamatan di Taman
Nasional Yala dan Bundala di Sri Lanka menunjukkan bahwa terumbu karang,
mangrove, bukit pasir dan berbagai ekosistem lain seperti rawa gambut dapat
memberikan perlindungan terhadap daratan pesisir dari gelombang tsunami dengan
mengurangi energi gelombang tsunami (Setyawan,2008) .
KESIMPULAN
Menghadapi bencana yang datang secara tiba-tiba diperlukan sikap waspada berupa
deteksi bencana dan mitigasi. Pengelolaan ekosistem amat penting untuk
mewujudkan kelestarian lingkungan, selain itu juga berguna untuk mitigasi
bencana. Mitigasi bencana ditujukan untuk meminimalkan dampak yang diterima
manusia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Prof. Ir. Urip Santoso, S.IKom, M.Sc,
Ph.D yang telah memberikan pengarahan atas penulisan karya ilmiah telaah
pustaka ini dan Yar Johan S.Pi, M.Si yang telah meberikan masukan dalam
pembuatan karya ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Mihardja, A., 2004. Mitigasi Bencana Tsunami. Diunduh dari http://geocity. com. [Akses: 20 Agustus 2010]
Anonim, 2008. Kerangka Acuan Lomba Penyusunan Zonasi (Tata Ruang) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Mitigasi Bencana Universitas Regional Se-Jawa, Bali dan Kalimantan. Diunduh dari
12
(http://pw.geo.ugm.ac.id/download/TorMitigasiBencanaUGM.doc.) [Akses: 20 agustus 2010]
Clarks, J. R. 1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publisher. 693 p
Kawaroe, M., Indra J., Mulia P., dan Kukuh N., 2004. Mitigasi Ekologi Wilayah Pesisir Lampung Timur. Makalah Pada Konas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut. Balikpapan.
Nurhasanah, A.,dan Aprizal, 2007. Mitigasi Bencana Kawasan Pesisir. Coastal Hazard - Indonesia. Diunduh dari http://radarlampung.co.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=4665&Itemid=31[Akses: 20 agustus 2010]
Ongkosongo, O., 2004. Perubahan Lingkungan di Wilayah Pesisir. Stuktur Fisik dan Dinamik Pesisir. Makalah Workshop: Deteksi, Mitigasi dan Pencegahan Degradasi Lingkungan Pesisir dan Laut Indonesia.
Pratikto, W. A., 2004. Mitigasi Bencana Tsunami, Artikel Republika, 31 Desember 2004.
Setyawan, W. B., 2008. Menghadapi Ancaman Bahaya Geologi di Wilayah Pesisir. Prosiding Seminar Nasional Ilmu Kebumian 2008, Jurusan Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta. Diunduh dari http://wahyuancol.wordpress.com20080603mitigasi-bahaya-geologi-wilayah-pesisir.html [Akses: 22 September 2010]
UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara RI
UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Lembaran Negara RI
UU No. 27 Tahun 2007. Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Lembaran Negara RI
Warfield, C., tanpa tahun, The Disaster Management Cycle. Diunduh dari http://www.grdc.org/uem/disaster/1-dm_cycle.html. [Akses: 22 September 2010]
Weber, P., 1993. Abandond Seas Reversing the Decline of The Oceans.
Zakaria, A., 2009. Laporan Pengabdian pada Masyarakat: Sosialisasi Renstra Mitigasi Bencana Kota Bandar Lampung di Kelurahan Susunan Baru. Universitas Lampung. 22 hal. Diunduh dariwww/http.blog.unila.ac.id.ahmadzakariafiles201001mitigasi.pdf [Akses: 20 agustus 2010]