· Web viewNaiknya impor tersebut terutama dipengaruhi oleh meningkatnya investasi di bidang...

82
NERACA PEMBAYARAN INTERNASIONAL DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI

Transcript of  · Web viewNaiknya impor tersebut terutama dipengaruhi oleh meningkatnya investasi di bidang...

NERACA PEMBAYARAN INTERNASIONAL DAN PERDAGANGAN

LUAR NEGERI

BAB III

NERACA PEMBAYARAN INTERNASIONAL DANPERDAGANGAN LUAR NEGERI

A. PENDAHULUAN

Tujuan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia seperti termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945 adalah melindungi sege-nap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencapai kemajuan di berbagai segi kehidupan rakyat, kondisi hubungan internasional dan hubungan antara perekonomian dalam negeri dan dunia internasional turut menentukan.

Dalam kurun waktu 50 tahun Indonesia merdeka perkembangan neraca pembayaran diwarnai oleh pasang surutnya situasi politik dan

III/3

ekonomi yang terjadi pada saat itu. Sebelum Perang Dunia Kedua Indonesia dikenal sebagai koloni Belanda yang kaya dan menduduki tempat pertama dalam ekspor komoditas seperti karet, gula, dan berbagai ekspor komoditas pertanian lainnya. Pada tahun-tahun awal kemerdekaan, perekonomian Indonesia menjadi terbengkalai karena seluruh perhatian dicurahkan pada perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan. Kemunduran drastis dalam volume ekspor tidak dapat dihindari. Dalam masa 1946-1949 volume ekspor hanya mencapai 25 persen dari volume ekspor yang pernah dicapai pada tahun 1938.

Dalam kondisi demikian, dalam masa 1945-1949 defisit neraca perdagangan, yang tidak pernah dialami sebelum perang, menjadi tidak terelakkan. Ekspor Indonesia merosot tajam dan bersifat sangat fluktuatif sebagai akibat dari situasi dalam negeri maupun akibat konjungtur internasional. Aliran modal ke luar negeri terjadi dalam jumlah yang cukup besar sehingga menguras cadangan emas dan devisa. Jika pada akhir tahun 1945 jumlah cadangan emas dan devisa tercatat sebesar US$458 juta maka pada akhir tahun 1949 telah menurun menjadi US$142 juta, bahkan cadangan devisa tanpa emas memperlihatkan posisi negatif.

Setelah penyerahan kedaulatan, perekonomian mulai ditata dan diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan ekonomi. Namun berbagai gejolak politik dan tidak adanya kesinambungan dalam kebijaksanaan ekonomi karena kabinet yang jatuh bangun dalam sistem demokrasi parlementer, telah menyebabkan kondisi perekonomian tidak banyak menunjukkan kemajuan. Bahkan per-ekonomian Indonesia ditandai oleh berbagai kemelut, pertumbuhan ekonomi sangat rendah, inflasi sangat tinggi, defisit keuangan negara dan defisit transaksi berjalan membesar. Ekspor berbagai komoditas m e n g a l a m i p e n u r u n a n s e b a g a i a k i b a t t e r s e n d a t n y a r o d a

III/4

perekonomian, terutama sektor produksi. Perolehan devisa ekspor merosot dan pemupukan cadangan devisa sangat terbatas. Kepercayaan dunia internasional juga rendah, sehingga arus modal masuk juga kecil. Situasi ini berlanjut dan mencapai puncaknya pada masa ekonomi terpimpin dimana pemerintah campur tangan secara langsung dalam hampir seluruh aktivitas ekonomi. Pada masa itu, mengingat rendahnya perolehan devisa, berbagai pembatasan terhadap perdagangan luar negeri seperti sistem kuota dan pengendalian lalu -lintas devisa melalui sistem kurs ganda d i lakukan. Hal itu menyebabkan keadaan ekonomi justru menjadi lebih buruk. Keadaan tersebut, terjadi dalam situasi politik yang penuh gejolak, yang mencapai puncaknya dengan pemberontakan G-30-S/PKI.

Dalam situasi yang demikian lahirlah Orde Baru yang segera menata kembali semua segi kehidupan, termasuk bidang ekonomi. Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan stabilisasi dan rehabi l i tas i untuk mempersiapkan upaya pembangunan yang berkesinambungan.

Kebijaksanaan yang ditempuh adalah secara bertahap meng-upayakan agar roda perekonomian berjalan kembali menurut prinsip-prinsip dasar ekonomi. Setelah keadaan menjadi lebih mantap, dilancarkan pembangunan nasional tahap demi tahap, Repelita demi Repelita.

Sejak awal PJP I, Indonesia telah menganut sistem devisa bebas. Kebijaksanaan mendasar tersebut telah meningkatkan kembali kepercayaan dunia internasional terhadap masa depan perekonomian Indonesia. Sistem kurs ganda secara bertahap dirubah ke dalam sistem kurs tunggal, dan Rupiah diakui secara resmi oleh Dana Moneter Internasional sebagai mata uang yang dapat dipertukarkan secara internasional.

III/5

Guna merangsang penanaman modal swasta, ditetapkan Undang-undang Penanaman Modal Asing pada tahun 1967 dan Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri pada tahun 1968. Mengingat kondisi perekonomian pada waktu itu, diupayakan untuk memperoleh penundaan pembayaran hutang-hutang luar negeri sekaligus dengan upaya memperoleh pinjaman luar negeri baru untuk mengatasi kekurangan dana pembangunan serta ketidakseimbangan neraca pembayaran. Dalam rangka itu terbentuk konsorsium negara-negara donor dan lembaga-lembaga internasional yang disebut Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI).

Dalam perkembangan selanjutnya, untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasaran luar negeri, nilai tukar Rupiah beberapa kali disesuaikan. Pada bulan Agustus 1971 dan bulan Nopember 1978 nilai tukar Rupiah terhadap valuta asing disesuaikan berturut-turut dari Rp378 per US$ menjadi Rp415 per US$, dan dari Rp415 per US$ menjadi Rp625 per US$.

Usaha-usaha untuk mendorong produksi dan ekspor berbagai komoditas baik tradisional, seperti barang-barang pertanian dan pertambangan, maupun barang hasil industri manufaktur terus di-lakukan. Pada bulan April 1976 dikeluarkan sebuah Paket Kebijak-sanaan Ekspor yang meliputi antara lain penghapusan atau penurunan pajak ekspor, penghapusan bea meterai dagang dan dana rehabilitasi, penangguhan pungutan cess, rasionalisasi biaya jasa pelabuhan, penetapan tarif angkutan barang ekspor yang wajar dan bersaing, penurunan suku bunga kredit dan provisi bank, serta penghapusan pungutan-pungutan daerah.

Selama periode 1973-1981, krisis minyak internasional telah menyebabkan harga minyak bumi di pasar internasional mengalami

III/6

kenaikan, dan keadaan ini telah memperkuat posisi neraca pembayaran Indonesia.

Memasuki dasawarsa 1980-an, harga minyak bumi mengalami kemerosotan tajam dan harga-harga komoditi primer lainnya juga melemah. Di dunia internasional masa ini pun diwarnai oleh berbagai gejolak seperti tingginya tingkat bunga, inflasi, pengangguran dan ketidakpastian nilai paritas antarmata uang utama. Keadaan itu mempengaruhi perkembangan neraca pembayaran Indonesia yang masih sangat tergantung pada ekspor komoditi primer, khususnya minyak dan gas bumi. Untuk mengamankan pembangunan dan neraca pembayaran, pada bulan Januari 1982 ditetapkan sebuah Paket Kebijaksanaan Ekspor yang antara lain terdiri dari langkah-langkah penyesuaian di bidang lalu lintas devisa, tata cara pembayaran, penyederhanaan prosedur, perkreditan dan jaminan kredit ekspor, perpajakan dan jasa-jasa angkutan. Selanjutnya pada bulan Maret 1983 nilai tukar Rupiah terhadap valuta asing disesuaikan kembali dari Rp700 menjadi Rp970 per US$. Juga diambil kebijaksanaan yang bersifat lebih terbatas berupa pengkaitan impor Pemerintah yang pembiayaannya bersumber pada APBN atau kredit ekspor dengan ekspor nonmigas (counter purchase). Untuk menghemat penggunaan devisa telah dilakukan penjadwalan kembali sejumlah proyek besar yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri dengan komponen impor tinggi.

Melemahnya harga minyak bumi dan harga komoditi ekspor primer lainnya secara berkelanjutan mengakibatkan neraca pembayaran terus mengalami tekanan. Dalam keadaan demikian dimulai langkah-langkah mendasar yang kemudian disebut paket-paket deregulasi. Kebijaksanaan yang erat kaitannya dengan upaya mengefisienkan arus perdagangan luar negeri tertuang dalam Inpres 4 Tahun 1985 yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi lalu lintas barang di

III/7

pelabuhan. Kebijaksanaan tersebut meliputi pengaturan kembali tatalaksana ekspor dan impor, pelayaran antarpulau, pengurusan barang dan dokumen, keagenan umum pelayaran dan tatalaksana operasional pelabuhan. Selanjutnya untuk meningkatkan daya saing ekspor, pada bulan Mei 1986 ditempuh kebijaksanaan pembebasan dan pengembalian bea masuk atas barang dan bahan baku impor yang digunakan untuk memproduksi barang-barang ekspor.

Pada tahun 1986 neraca pembayaran Indonesia kembali mengalami guncangan sebagai akibat merosotnya lagi harga minyak bumi di pasar internasional. Untuk mengamankan neraca pembayaran dan sekaligus meningkatkan daya saing ekspor, pada bulan September 1986 dilakukan penyesuaian nilai tukar Rupiah dari Rp1.134 menjadi Rp l .6 44 per US$. Sejak saat itu penetapan nilai tukar lebih ditekankan pada sistem mengambang terkendali sehingga secara bertahap makin mengikuti dinamika pasar.

Untuk meningkatkan daya saing barang-barang hasil produksi dalam negeri momentum deregulasi ditingkatkan. Paket Kebijaksanaan Oktober 1986 yang disusul dengan Paket Kebijaksanaan Januari 1987 merupakan upaya meningkatkan daya saing ekonomi dengan mengurangi hambatan-hambatan dalam kegiatan ekonomi. Kebijaksanaan tersebut mencakup pergeseran cara pemberian perlindungan untuk barang-barang produksi dalam negeri melalui tataniaga impor serta pembatasan kuantitatif kearah penggunaan bea masuk. Sebagai kelanjutannya pada bulan Desember 1987 diambil kebijaksanaan yang lebih menyeluruh dan meliputi bidang perdagangan luar negeri, industri, perhubungan, penanaman modal serta pariwisata dan menyangkut struktur bea masuk, tata niaga, perizinan, permodalan, perpajakan dan perkreditan. Berdasarkan kebijaksanaan tersebut dilakukan pembebasan pengaturan tata niaga untuk 106 jenis barang. Pada bulan Nopember 1988 kembali dike-

III/8

luarkan kebijaksanaan deregulasi di bidang perdagangan, perindus- trian, pertanian dan perhubungan laut. Melalui kebijaksanaan tersebut telah dihapuskan tata niaga impor bagi 301 jenis produk.

Kebijaksanaan untuk menyempurnakan administrasi impor juga dilakukan. Sejak bulan Januari 1989 sistem pengenaan bea masuk beralih dari klasifikasi barang berdasarkan Custom Cooperation Council Nomenclature (CCCN) ke klasifikasi barang berdasarkan Harmonized System (HS). Sementara itu, untuk meningkatkan kelancaran arus dokumen dan untuk memperoleh data impor yang lebih lengkap dan rinci, sistem pencatatan impor telah disempurnakan. Mulai bulan April 1990 sistem pencatatan impor melalui dokumen Pemberitahuan Pemasukan Barang Untuk Dipakai (PPUD) diganti dengan dokumen Pemberitahuan Impor Barang Untuk Dipakai (PIUD).

Sebagai kelanjutan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan sebelumnya, pada bulan Mei 1990 dikeluarkan lagi paket kebijaksanaan yang mencakup sektor industri, kesehatan, pertanian dan perdagangan. Dalam paket kebijaksanaan ini, perlindungan terhadap barang-barang produksi dalam negeri yang berbentuk nontarif semakin dikurangi dan dialihkan menjadi perlindungan melalui tarif bea masuk. Jumlah pos tarif makin disederhanakan dan tingkat bea masuk semakin diturunkan. Di samping itu, telah pula ditempuh kebijaksanaan untuk menghapus tata niaga komoditi ekspor tertentu.

Pada bulan Mei 1992 kembali dikeluarkan kebijaksanaan yang meliputi deregulasi tataniaga di bidang ekspor dan impor. Larangan ekspor beberapa komoditi telah diganti dengan pengenaan Pajak Ekspor dan atau Pajak Ekspor Tambahan. Di bidang impor, paket Juli 1992 menyederhanakan tata niaga impor mesin, peralatan dan barang modal bekas pakai.

III/9

Upaya untuk memperluas pasaran ekspor terus dilakukan, antara lain melalui pengiriman berbagai misi dagang, pameran dagang di luar negeri dan kegiatan promosi untuk menarik importir luar negeri. Disamping itu, sejalan dengan pesatnya proses globalisasi perekonomian dunia, hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara-negara lain, baik hubungan bilateral, regional maupun multilateral terus ditingkatkan. Indonesia secara aktif berperan dalam berbagai forum kerjasama ekonomi seperti Persetujuan Umum tentang Bea Masuk dan Perdagangan (GATT), pembentukan Tata Ekonomi Dunia Baru (TEDB), kerjasama antarnegara Gerakan Non-Blok (GNB), Kelompok 15 (G-15), kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) dan Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Indonesia telah pula berperan aktif dalam kerjasama perdagangan lainnya seperti dalam Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD), Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), Organisasi Karet Alam Internasional (INRO), Organisasi Kopi Internasional (ICO) dan Asosiasi Negara Produsen Timah (ATPC).

Di bidang jasa-jasa, sektor pariwisata telah berkembang menjadi sumber penerimaan devisa dan peranannya semakin penting.

Pembangunan yang meningkat membutuhkan sumber pembiayaan yang tidak sepenuhnya dapat diperoleh di dalam negeri. Sehubungan dengan itu, di samping pengerahan dana dalam negeri, dana luar negeri masih tetap diperlukan. Dana pinjaman luar negeri tersebut meliputi pinjaman luar negeri pemerintah, penanaman modal asing dan pinjaman luar negeri swasta. Pinjaman luar negeri Pemerintah tetap diupayakan dengan persyaratan lunak, penggunaannya sesuai dengan rencana dan program pembangunan, jumlahnya dalam batas-batas kemampuan untuk membayar kembali dan tidak ada ikatan politik. Pinjaman luar negeri dikoordinasikan dan dikendalikan

III/10

dengan ketat, terutama pinjaman yang tidak bersyarat lunak dibatasi penggunaannya. Untuk menjaga kredibilitas dan martabat bangsa di masyarakat internasional, ditempuh kebijaksanaan untuk membayar cicilan pokok dan bunga pinjaman luar negeri sesuai dengan per-janjian yang telah disepakati. Sikap tersebut, yang disertai dengan kebijaksanaan ekonomi makro yang berhati-hati, telah memungkinkan Indonesia tidak mengalami krisis hutang luar negeri seperti yang dialami oleh banyak negara berkembang lain.

Dalam rangka pengelolaan pinjaman luar negeri secara berhati-hati dan terarah ke kegiatan yang produktif, pada tahun 1991 telah dibentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri (Tim PKLN). Tugas tim ini adalah mengkoordinasikan pengelolaan pinjaman komersial luar negeri untuk menghindari kesimpangsiuran dalam memasuki pasar modal internasional untuk memperoleh pinjaman dan menjamin bahwa beban pembayaran pinjaman tersebut berada dalam batas kemampuan ekonomi Indonesia.

Dalam perkembangan selanjutnya, untuk menjamin bahwa pinjaman luar. negeri tidak dicampuri kepentingan politik maka Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang pertemuannya diselenggarakan di negeri Belanda di bubarkan pada tahun 1992, dan sebagai penggantinya dibentuk Consultative Group for Indonesia (CGI) yang pertemuan-pertemuannya sejak tahun 1992 diprakarsai oleh Bank Dunia dan diselenggarakan di Paris.

Modal swasta mempunyai peran penting dalam neraca pembaya-ran. Dalam rangka mendorong penanaman modal swasta, baik modal dalam negeri maupun modal asing, sejak tahun 1986 telah diambil serangkaian kebijaksanaan dan deregulasi di bidang prosedur perizinan, pemilikan saham peserta nasional dalam perusahaan PMA, jumlah investasi minimum bagi perusahaan PMA dan jangka waktu

III/11

izin PMA. Pada tahun 1989/90 dikeluarkan daftar yang lebih seder-hana, yaitu Daftar Negatif Investasi menggantikan Daftar Skala Prioritas (DSP). Daftar Negatif Investasi ini kembali disederhanakan pada bulan Juli 1992, dan Juni 1993.

Secara keseluruhan, meskipun harus melewati berbagai guncangan, baik yang bersumber dari luar maupun dalam negeri, perkembangan neraca pembayaran selama PJP I telah terkendali dengan baik. Di samping itu neraca pembayaran juga telah berkembang kearah struktur yang lebih seimbang. Peranan ekspor nonmigas semakin membesar, dan komoditas ekspor nonmigas makin beragam terutama hasil industri. Demikian pula pasaran ekspor Indonesia semakin luas. Arus modal masuk terus mengalami peningkatan dan Indonesia semakin menarik bagi investor luar negeri. Pemupukan cadangan devisa juga meningkat sehingga memperkuat posisi neraca pembayaran.

Berikut ini dibahas secara singkat perkembangan neraca pembayaran selama PJP I. Angka ekspor dan impor yang dibahas di sini diperoleh dari Bank Indonesia yang berbeda dengan angka dari Biro Pusat Statistik. Penjelasan perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel. yang bersangkutan.

Selama kurun waktu PJP I, nilai ekspor keseluruhan menunjukkan peningkatan pesat yaitu dari US$872 juta pada tahun 1968 menjadi US$36,5 miliar pada tahun 1993/94 atau meningkat menjadi 42 kali lipat. Peningkatan ini terutama berasal dari peningkatan ekspor nonmigas yang meningkat sekitar 48 kali lipat dari US$569 juta pada tahun 1968 menjadi US$27,2 miliar pada tahun 1993/94. Peningkatan yang sangat pesat dari ekspor nonmigas menyebabkan perubahan struktur penerimaan devisa ke arah yang lebih seimbang. Dalam dasawarsa 70-an, karena pengaruh dari peningkatan harga minyak bumi di pasar internasional, sumber penerimaan devisa utama berasal dari ekspor migas. Pada dasawarsa

III/12

80-an, terutama dalam tahun-tahun terakhir dasawarsa tersebut, ekspor nonmigas berkembang dengan pesat sehingga ekspor nonmigas menghasilkan devisa lebih besar dari ekspor migas dan ekspor nonmigas, terutama hasil industri, telah tampil sebagai penghasil devisa utama.

Impor secara keseluruhan juga mengalami peningkatan seirama dengan meningkatnya kegiatan industri dan investasi dalam negeri yang membutuhkan barang-barang impor khususnya bahan baku/penolong dan barang modal. Pada tahun terakhir PJP I, nilai impor secara keseluruhan berjumlah US$29,1 miliar atau meningkat rata-rata sebesar 15,1 persen per tahun dibandingkan tahun 1968 yang berjumlah US$831,0 juta. Dalam kurun waktu tersebut impor nonmigas meningkat rata-rata sebesar 15,0 persen per tahun, yaitu dari US$751 juta pada tahun 1968 menjadi US$25,3 miliar pada tahun 1993/94.

Pengeluaran devisa neto untuk jasa-jasa dalam PJP I mengalami peningkatan rata-rata sebesar 14,6 persen per tahun, dari US$328,0 juta pada tahun 1968 menjadi US$10,3 miliar pada tahun 1993/94. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran jasa-jasa nonmigas berupa pembayaran bunga pinjaman luar negeri, baik pemerintah maupun swasta, dan biaya angkutan barang impor.

Penerimaan jasa-jasa dari sektor pariwisata merupakan sumber penerimaan devisa yang semakin penting peranannya. Dalam Repelita V, penerimaan jasa-jasa dari sektor pariwisata meningkat rata-rata sebesar 23,7 persen per tahun dari US$1,6 miliar pada tahun 1989/90 menjadi US$ 3,8 miliar pada tahun 1993/94.

Seiring dengan perkembangan ekspor dan impor barang dan jasa, transaksi berjalan Indonesia masih selalu mengalami defisit, kecuali pada tahun 1979/1980 dan tahun 1980/81 yaitu pada waktu terjadi

III/13

peningkatan harga minyak bumi dan harga komoditi ekspor lainnya. Defisit transaksi berjalan bervariasi dari tahun ketahun, namun senantiasa dapat terkendali dengan pengelolaan ekonomi makro yang penuh kewaspadaan.

Arus modal yang masuk dari luar negeri selain terdiri dari pinjaman Pemerintah, juga pinjaman sektor swasta dan penanaman modal asing. Perkembangan arus modal swasta neto selama PJP I berfluktuasi. Walaupun demikian, sejalan dengan semakin membaiknya iklim usaha di Indonesia, pemasukan modal swasta meningkat dari US$65 juta pada tahun 1968 menjadi US$4.648 juta pada tahun 1993/94.

Dengan perkembangan transaksi berjalan dan sebagai hasil dari pemasukan modal di sektor pemerintah dan sektor swasta, maka cadangan devisa meningkat dari US$63 juta atau setara 21 hari impor nonmigas pada awal Repelita I menjadi US$12,7 miliar yang cukup untuk membiayai 5,4 bulan impor non migas pada akhir Repelita V.

B. SASARAN DAN KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN DALAM REPELITA VI

Sebagai tahap awal dari PJP II, sasaran pokok kebijaksanaan neraca pembayaran selama Repelita VI adalah terciptanya kemampuan perekonomian untuk meningkatkan perolehan devisa baik dari ekspor barang maupun jasa yang diperlukan bagi pembiayaan pembangunan sehingga makin terwujud kemampuan membangun dengan kekuatan sendiri.

Nilai ekspor selama Repelita VI diharapkan meningkat rata-rata sebesar 13,7 persen per tahun. Peningkatan ini berasal dari ekspor nonmigas yang diperkirakan meningkat dengan rata-rata 16,8 persen per tahun, dengan sumber peningkatan terbesar pada ekspor nonmigas

III/14

yang berasal dari hasil industri nonmigas. Sedangkan ekspor migas diperkirakan hanya meningkat rata-rata sebesar 0,8 persen per tahun. Peningkatan ekspor migas yang lambat ini disebabkan oleh relatif lemahnya harga di pasar internasional dan terbatasnya produksi di dalam negeri, sedangkan tingkat konsumsi dalam negeri terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, pendapatan masyarakat, dan kegiatan pembangunan di sektor lainnya.

Impor nonmigas selama Repelita VI diperkirakan meningkat dengan rata-rata 15 persen per tahun. Peningkatan ini sebagian besar disebabkan oleh impor bahan baku/penolong dan impor barang modal, yang digunakan untuk pengembangan industri dalam negeri, walaupun kemampuan produksi dari dalam negeri untuk menghasilkan kelompok barang-barang ini juga meningkat. Sebaliknya impor barang konsumsi makin menurun, sejalan dengan makin banyaknya barang konsumsi yang dihasilkan di dalam negeri, dan makin mendalam serta meluasnya kegiatan industri pengolahan di dalam negeri yang mampu bersaing dengan barang impor. Sementara itu impor migas diperkirakan meningkat dengan rata-rata 7,9 persen per tahun. Naiknya impor tersebut terutama dipengaruhi oleh meningkatnya investasi di bidang perminyakan serta volume impor minyak bumi mentah dan BBM yang diperlukan untuk konsumsi dalam negeri.

Pengeluaran devisa neto untuk jasa-jasa diperkirakan naik rata-rata sebesar 8,7 persen per tahun, yang terdiri dari kenaikan rata-rata sebesar 3,2 persen untuk jasa sektor migas, dan rata-rata sebesar 10,5 persen untuk jasa sektor nonmigas. Penerimaan devisa untuk jasa diharapkan meningkat pesat pada sektor pariwisata. Pada tahun 1993/94 penerimaan dari pariwisata adalah sebesar US$3,8 miliar, dan pada akhir Repelita VI diperkirakan mencapai US$8,9 miliar. Penerimaan jasa lainnya adalah dari transfer pendapatan tenaga kerja

III/15

di luar negeri yang diperkirakan meningkat dengan rata-rata 26,8 persen per tahun.

Defisit transaksi berjalan selama Repelita VI diupayakan dalam batas yang aman, yaitu di bawah 2 persen terhadap PDB. Pada tahun 1993/94 defisit transaksi berjalan adalah sebesar US$2,9 miliar atau 1,9 persen terhadap PDB dan pada tahun 1998/99 diperkirakan menjadi US$2,8 miliar atau 1,3 persen terhadap PDB.

Pinjaman pemerintah selama Repelita VI sebagian besar tetap dalam bentuk pinjaman bersyarat lunak, senantiasa tidak mempunyai kaitan politik, dan dalam batas kemampuan untuk membayarnya kembali. Peningkatan hasil devisa dari ekspor, terutama ekspor nonmigas, memungkinkan penurunan dalam perbandingan pelunasan hutang terhadap nilai ekspor (DSR). DSR pinjaman luar negeri pemerintah diperkirakan menurun dari 21,1 persen pada akhir Repelita V menjadi 13,0 persen pada akhir Repelita VI. Sementara itu, DSR sektor swasta diperkirakan menurun dari 9,4 persen pada akhir Repelita V menjadi 7,6 persen pada akhir Repelita VI.

Jumlah pinjaman pemerintah dan swasta pada akhir Repelita V sekitar US$83 miliar. Persentasenya terhadap PDB akan menurun dari sekitar 53 persen pada akhir Repelita V menjadi sekitar 46 persen pada akhir Repelita VI. DSR sektor pemerintah dan swasta secara keseluruhan akan menurun dari 30,5 persen pada akhir Repelita V menjadi 20,6 persen pada akhir Repelita VI.

Cadangan devisa selama Repelita VI diupayakan tetap pada tingkat yang aman setiap tahunnya, yaitu cukup untuk membiayai sekitar 5 bulan impor nonmigas (c&f). Dengan keadaan neraca pembayaran tersebut diatas, diperkirakan pada akhir Repelita VI perekonomian Indonesia akan lebih mandiri.

III/16

Kebijaksanaan neraca pembayaran dalam Repelita VI dilaksanakan terpadu dengan kebijaksanaan fiskal dan moneter dalam upaya mendukung pemerataan pembangunan dan hasilnya secara meluas, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis.

Kebijaksanaan neraca pembayaran diarahkan untuk terus mendorong ekspor barang dan jasa, meningkatkan dan sekaligus menghemat devisa, memanfaatkan modal dam pinjaman luar negeri, menciptakan iklim usaha yang menarik bagi penanaman modal, memelihara stabilitas nilai tukar rupiah, dan memupuk cadangan devisa yang memadai.

Sementara itu, berbagai gejolak perekonomian dan keuangan internasional harus dapat diantisipasi sedini mungkin, sehingga tidak mengganggu jalannya pembangunan nasional. Peningkatan kerjasama bilateral, multilateral, dan regional di berbagai forum internasional seperti UNCTAD, WTO, APEC, ASEAN, On gerakan Nonblok terus dimantapkan dalam rangka menjaga dan memperjuangkan kepentingan nasional.

Pokok kebijaksanaan di bidang ekspor dalam Repelita VI diarahkan untuk terus meningkatkan penghasilan devisa, memperluas basis ekspor baik dengan meningkatkan keragaman komoditas ekspor maupun memperluas pasar ekspor, dan meningkatkan daya saing komoditas ekspor baik tradisional maupun nontradisional di pasar internasional.

Kebijaksanaan di bidang impor dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan kebijaksanaan di bidang lain dalam rangka meningkatkan stabilitas ekonomi, terutama menjamin kesinambungan produksi dan kegiatan di sektor lainnya, serta mendorong penggunaan

III/17

devisa secara efisien dalam rangka menjaga keseimbangan neraca pembayaran.

Dalam upaya meningkatkan laju pembangunan nasional, selain terus meningkatkan sumber pembiayaan dalam negeri, sumber pembiayaan luar negeri baik pemerintah maupun swasta tetap diperlukan. Dalam menuju masyarakat yang maju dan, mandiri, secara relatif peranan sumber pembiayaan luar negeri diupayakan menurun.

Sumber pembiayaan luar negeri dari sektor swasta, baik dalam bentuk investasi langsung yaitu penanaman modal asing ataupun investasi portofolio, terus didorong untuk memacu pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, meningkatkan peran aktif masyarakat, memper luas kesempatan usaha dan lapangan kerja, dan meningkatkan ekspor.

Kebijaksanaan devisa diarahkan untuk menjaga kondisi perekonomian yang sehat, menjamin kelangsungan sistem devisa bebas, mendukung kestabilan pasar dan kurs valuta asing, dan menunjang kemampuan memenuhi semua kewajiban pembayaran internasional.

Melalui berbagai kebijaksanaan tersebut, kondisi neraca pembayaran diperkirakan menjadi semakin mantap, dan pada gilirannya akan mendorong arus perdagangan luar negeri, meningkatkan lalu-lintas modal luar negeri, serta mendukung pertumbuhan yang berlanjut dan makin mandiri.

III/18

C. PELAKSANAAN DAN HASIL-HASIL PEMBANGUNAN TAHUN PERTAMA REPELITA VI

Perkembangan neraca pembayaran dalam tahun pertama Repelita VI diwarnai oleh berbagai perkembangan yang terjadi baik dalam perekonomian, perdagangan, dan keuangan internasional maupun nasional.

Secara garis besar perkembangan di bidang neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri pada tahun pertama Repelita VI adalah sebagai berikut.

1. Perkembangan Internasional

Perkembangan situasi ekonomi, perdagangan, dan keuangan internasional secara langsung mempengaruhi posisi neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri.

Memasuki tahun 1994 perekonomian dunia menunjukkan tanda-tanda membaik. Produksi dunia mengalami peningkatan sebesar 3,1 persen dibandingkan dengan 2,3 persen, pada tahun 1993. Pertumbuhan ekonomi kelompok negara maju pada tahun 1994 mencapai 2,7 persen, sedangkan untuk kelompok negara berkembang mencapai 5,6 persen.

Sejalan dengan perkembangan produksi dunia, laju pertumbuhan volume perdagangan internasional juga mengalami peningkatan dari 4,0 persen pada tahun 1993 menjadi 7,2 persen pada tahun 1994. Volume ekspor untuk kelompok negara maju pada tahun 1994 meningkat dengan 6,0 persen, sedangkan untuk kelompok negara berkembang lebih tinggi yaitu 9,1 persen. Dalam pada itu, volume

III/19

impor untuk kelompok negara maju dan negara berkembang meningkat dengan 7,2 persen.

Peningkatan volume perdagangan tersebut diikuti oleh kenaikan harga-harga komoditi primer maupun industri di pasar internasional. Peningkatan harga yang cukup tinggi di tahun 1994 adalah untuk kelompok minuman yaitu sebesar 91,7 persen, untuk harga-harga kelompok makanan, bahan mentah pertanian, dan barang tambang masing-masing meningkat dengan 9,3 persen, 13,2 persen, dan 4,6 persen. Demikian pula untuk harga-harga kelompok barang industri pada tahun 1994 meningkat dengan 19,1 persen.

Surplus neraca transaksi berjalan negara-negara industri pada tahun 1994 sedikit menurun dari US$ 19,3 miliar pada tahun 1993 menjadi US$ 17,9 miliar pada tahun 1994, walaupun neraca transaksi berjalan negara Masyarakat Eropa (ME) dan Jepang membaik. Defisit yang terus menerus dalam neraca perdagangan antara Amerika Serikat dengan Jepang menyebabkan menguatnya nilai tukar Yen terhadap Dolar Amerika Serikat. Apresiasi Yen ini telah menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian negara berkembang, terutama bagi negara-negara yang sebagian besar hutangnya dalam bentuk Yen. Apresiasi Yen telah meningkatkan pembayaran cicilan pokok hutang beserta bunganya dari pinjaman yang berasal dari Jepang dan lembaga internasional. Selain itu kenaikan suku bunga dolar di pasar internasional sebagai akibat kebijaksanaan moneter yang diterapkan oleh Amerika Serikat, juga turut memberi tekanan terhadap perekonomian dunia.

Di tengah-tengah perubahan ekonomi dunia yang bergerak cepat, kerjasama di bidang ekonomi dan perdagangan semakin dirasakan sebagai suatu kebutuhan untuk menjembatani berbagai kepentingan yang berbeda di setiap negara sebagai upaya memecahkan masalah-

III/20

masalah ekonomi dan perdagangan yang bersifat global. Di bidang keuangan internasional, Dana Moneter Internasional sedang berupaya untuk mewujudkan suatu sistem moneter internasional baru yang dapat menunjang perdagangan dan pertumbuhan dunia.

Di bidang perdagangan internasional, dengan telah dibentuknya WTO yang bersifat permanen dan berkedudukan setara dengan IMF dan Bank Dunia, perdagangan dunia diharapkan meningkat dan pada gilirannya akan dapat mendorong pertumbuhan perekonomian dunia. Pelaksanaan perjanjian tersebut diperkirakan akan menyebabkan persaingan yang lebih ketat di bidang perdagangan internasional dengan semakin terbukanya perdagangan dunia dari hambatan-hambatan perdagangan.

Sejalan dengan itu, berbagai upaya terus dilakukan dalam rangka penyesuaian tujuan dan organisasi berbagai forum kerja sama internasional, antara lain, UNCTAD, Gerakan Non Blok, Masyarakat Eropa, NAFTA, APEC, dan ASEAN.

Di bidang kerjasama ekonomi dan perdagangan intra ASEAN (AFTA), Sidang Dewan Menteri ASEAN kelima pada bulan September 1994 telah sepakat untuk mempercepat periode pelaksanaan kawasan perdagangan bebas ASEAN dari 15 tahun menjadi 10 tahun. Selanjutnya, telah disepakati pula untuk membentuk unit AFTA dalam Sekretariat ASEAN yang ditujukan untuk mengkoordinasi dan mengelola AFTA secara lebih efektif. Di samping itu, pertemuan para pemimpin ekonomi APEC di Bogor pada bulan Nopember 1994 telah sepakat untuk segera mewujudkan perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka paling lambat tahun 2010 untuk negara-negara maju dan tahun 2020 bagi negara-negara berkembang di kawasan Asia Pasifik.

III/21

2. Perkembangan Neraca Pembayaran dan Perdagangan Luar Negeri

a. Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar Negeri

Kebijaksanaan perdagangan dan keuangan luar negeri diarahkan untuk mengamankan dan mendukung pelaksanaan pembangunan melalui peningkatan ekspor, penghematan dan peningkatan efisiensi penggunaan devisa, pemanfaatan modal dan pinjaman luar negeri untuk kegiatan yang efektif, pemeliharaan nilai tukar rill yang stabil guna menjaga daya saing ekspor serta penciptaan iklim yang semakin menarik bagi investasi.

Berbagai langkah deregulasi dan debirokratisasi terus dilaksanakan dalam rangka meningkatkan daya saing barang-barang hasil produksi dalam negeri yang didukung oleh kebijaksanaan nilai tukar rill yang stabil. Pada bulan Juni 1994, telah ditetapkan paket kebijaksanaan yang meliputi deregulasi di bidang tarif bea masuk, bea masuk tambahan, tata niaga impor, kawasan berikat dan entrepot produksi tujuan ekspor, pengkreditan pajak masukan, serta kemudahan bagi perluasan penanaman modal. Dalam kebijaksanaan tersebut, tarif bea masuk untuk beberapa produk industri, seperti mesin tekstil, mesin jahit, mesin bubut, bor dan kendaraan bermotor diturunkan menjadi 0 - 23 persen. Sedangkan bagi produk pertanian, bea masuknya diturunkan menjadi 5 persen, dan untuk produk-produk yang dikendalikan oleh Bulog, seperti kedelai, gandum, beras serta minyak kelapa sawit, bea masuknya menjadi 0 persen. Penurunan bea masuk tersebut diharapkan dapat menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok di dalam negeri. Dalam rangka menjamin penyediaan bahan baku dan meningkatkan daya saing perekonomian, pada bulan Oktober 1994 telah diambil langkah lanjutan yaitu menurunkan atau

III/22

menghapuskan bea masuk dan bea masuk tambahan untuk kertas dari berbagai jenis, asam semut dan stainless steel wire rod.

Dalam rangka memperlancar pelaksanaan ekspor komoditi yang terkena kuota ekspor seperti tekstil dan maniok, dilakukan penyempurnaan berbagai kebijaksanaan yang mengaturnya. Disamping itu untuk meningkatkan ekspor komoditi pertanian telah dilakukan pembebasan beberapa komoditi ekspor hasil pertanian yang sebelumnya diatur, diawasi dan dilarang ekspornya. Komoditi yang semula diatur ekspornya adalah lada, cassia vera, pala dan bunga pala, sayur mayur dan biji tengkawang. Sedangkan komoditi yang semula diawasi ekspornya adalah kopra, minyak kelapa sawit dan hasil ikutannya.

Untuk lebih memperluas pasar ekspor telah dilakukan berbagai upaya antara lain dengan mengirim berbagai misi dagang, pameran dagang di luar negeri dan kegiatan promosi untuk menarik importir luar negeri. Indonesia juga berperan aktif dalam berbagai kerjasama ekonomi antara lain dalam pertemuan Putaran Uruguay (GATT), AFTA dan APEC. Pada bulan April 1994 Indonesia telah menandatangani Final Act dari Putaran Uruguay tersebut bersama dengan 124 negara anggota GATT lainnya di Marakesh, Maroko. Dewan Menteri ASEAN telah memutuskan untuk mempercepat realisasi AFTA dari tahun 2008 menjadi tahun 2003. Dalam pertemuan Pemimpin Ekonomi APEC bulan Nopember 1994 telah dikeluarkan Deklarasi Bogor, yang bertujuan untuk menciptakan kawasan investasi dan perdagangan bebas di kawasan Asia Pasifik selambat-lambatnya tahun 2010 untuk negara maju dan tahun 2020 untuk negara berkembang. Disamping itu Indonesia juga terus berpartisipasi dalam berbagai kerjasama komoditi seperti Asosiasi Negara Produsen Timah (ATPC), Organisasi Kopi Internasional

III/23

(ICO), Organisasi Karet Alam Internasional (INRO), dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).

Dalam rangka menarik arus modal swasta telah ditata kembali tata cara penanaman modal dan pemanfaatan Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) oleh perusahaan PMA. Pada bulan Mei 1994 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1994 mengenai kebijaksanaan yang memungkinkan pemilikan saham 100 persen oleh pihak asing di semua bidang usaha yang terbuka untuk investasi di seluruh wilayah Indonesia. Pada bulan November 1994, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.34 tahun 1994 tentang paket insentif perpajakan atas penanaman modal di bidang-bidang usaha dan daerah tertentu.

Di sektor pariwisata kebijaksanaan bebas visa bagi wisatawan mancanegara telah diperluas sehingga sampai dengan bulan Maret 1995 ketentuan bebas visa telah mencapai 46 negara.

b. Perkembangan Neraca Pembayaran

Perkembangan neraca pembayaran Indonesia dalam tahun awal Repelita VI (1994/95) secara umum tetap terkendali dalam bulan yang aman.

Nilai ekspor keseluruhan meningkat dari US$36,5 miliar pada tahun 1993/94 menjadi US$42,2 miliar pada tahun 1994/95, atau naik sebesar 15,5 persen. Peningkatan ini terutama berasal dari ekspor nonmigas yang meningkat sebesar 16,7 persen menjadi US$31,7 miliar pada tahun 1994/95. Pada periode yang sama ekspor migas hanya meningkat sebesar 11,9 persen, yaitu dari US$9,3 miliar pada tahun 1993/94 menjadi US$10,4 miliar pada tahun 1994/95. Dalam.

III/24

tahun 1994/95 peranan ekspor nonmigas dalam nilai ekspor keselu-ruhan mencapai 75,2 persen (lihat Tabel III-1 dan Tabel III-2).

Pada tahun 1994/95 nilai impor meningkat pesat yaitu sebesar 17,1 persen menjadi US$34,1 miliar (lihat Tabel III-3). Peningkatan terutama terjadi pada impor nonmigas sebesar 20,4 persen menjadi US$ 30,5 miliar sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan bahan baku/penolong dan barang modal.

Sementara itu, pengeluaran devisa neto untuk jasa-jasa pada tahun awal Repelita VI sedikit meningkat. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran jasa-jasa nonmigas berupa pembayaran bunga pinjaman luar negeri, baik pemerintah maupun swasta, dan biaya angkutan barang impor. Pada tahun 1994/95, pengeluaran jasa-jasa neto meningkat menjadi US$11,5 miliar atau naik sebesar 11,7 persen dibanding tahun sebelumnya.

Salah satu pos penting dalam penerimaan jasa-jasa ini adalah penerimaan dari sektor pariwisata. Dalam Repelita V, penerimaan jasa-jasa dari sektor pariwisata meningkat rata-rata sebesar 23,7 persen per tahun dari US$1,6 miliar pada tahun 1989/90 menjadi US$3,8 miliar pada tahun 1993/94. Sejalan dengan meningkatnya jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia, penerimaan devisa dari sektor pariwisata pada tahun 1994/95 meningkat menjadi US$4,8 miliar.

Dengan perkembangan ekspor dan impor barang dan jasa seperti dikemukakan di atas maka transaksi berjalan pada tahun 1993/94 mengalami defisit sebesar US$2,9 miliar dan memasuki tahun 1994/95 defisit tersebut sedikit membesar menjadi US$3, 5 miliar.

III/25

Arus modal masuk dari luar negeri terdiri dari pinjaman Pemerintah, pinjaman sektor swasta dan penanaman modal asing. Pinjaman luar negeri Pemerintah menurun dari US$6,2 miliar di tahun 1993/94 menjadi US$5,7 miliar pada tahun 1994/95. Penurunan tersebut terjadi karena menurunnya pinjaman tunai, pinjaman proyek lainnya dan bantuan khusus dalam bentuk program yang segera dapat dicairkan. Dalam periode yang sama, pemasukan modal lain (neto) relatif sama yaitu sebesar US$ 4,6 miliar. Sementara itu, sejalan dengan membaiknya iklim usaha di Indonesia, penanaman modal asing mengalami peningkatan dari US$3,0 miliar pada tahun 1993/94 menjadi US$4,0 miliar pada tahun 1994/95.

Dengan perkembangan-perkembangan tersebut di atas maka cadangan devisa telah meningkat dari US$12,7 miliar pada tahun 1993/94 menjadi US$ 13,3 miliar pada tahun 1994/95, sehingga cukup membiayai 4,7 bulan impor nonmigas (c&f).

3. Ekspor

Pada tahun pertama Repelita VI (1994/95) nilai ekspor keseluruhan meningkat dengan cukup tajam yaitu sebesar 15,5 persen atau meningkat dari US$36,5 miliar pada tahun 1993/94 menjadi US$42,2 miliar. Peningkatan ini terutama berasal dari ekspor nonmigas yang meningkat sebesar 16,7 persen, yaitu dari US$27,2 miliar pada tahun 1993/94 menjadi US$31,7 miliar pada tahun 1994/95. Pada periode yang sama ekspor migas meningkat sebesar 11,9 persen, yaitu dari US$9,3 miliar pada tahun 1993/94 menjadi US$10,4 miliar pada tahun 1994/95. Dengan demikan pada tahun 1994/95 sebagai tahun awal Repelita VI, ekspor nonmigas tetap menjadi andalan dalam pemasukan devisa negara yaitu sebesar 75,2 persen dari total ekspor dibandingkan sebesar 74,4 persen pada tahun 1993/94. Khususnya ekspor nonmigas meningkat cukup tajam sejalan

III/26

dengan membaiknya harga komoditas tertentu dan memulihnya kondisi perekonomian negara-negara industri tujuan ekspor (lihat Tabel III-1).

Perkembangan lebih rinci beberapa komoditi ekspor nonmigas dapat dilihat pada Tabel III-4.

Sejak tahun 1991/92 ekspor tekstil dan pakaian jadi menduduki peringkat pertama dalam ekspor nonmigas Indonesia. Walaupun nilai ekspor komoditi ini pada tahun 1993/94 mengalami penurunan dari US$5.876 juta menjadi US$5.763 juta, pada tahun 1994/95 sedikit meningkat menjadi US$5.847 juta atau naik sebesar 1,5 persen. Melambatnya pertumbuhan ekspor tekstil. ini terutama disebabkan oleh menurunnya harga produk tekstil yang disebabkan oleh meningkatnya pasokan produk tekstil dunia.

Memasuki tahun pertama Repelita VI, nilai ekspor kayu lapis mengalami penurunan dari US$4.746 juta pada tahun 1993/94 menjadi US$3.607 juta. Penyebab utama turunnya nilai ekspor komoditi ini adalah turunnya permintaan negara-negara pasaran utama seperti Korea Selatan, Jepang dan Cina. Sedangkan nilai ekspor hasil tambang di luar timah dan alumunium meningkat pesat dari US$1.785 juta pada tahun 1993/94 menjadi US$2.359 juta pada tahun 1994/95 atau meningkat sebesar 32,2 persen.

Di kelompok hasil-hasil industri pengolahan muncul komoditi ekspor andalan baru yaitu alat listrik. Seiring dengan meningkatnya permintaan dari negara-negara di Asia Pasifik, nilai ekspor alat-alat listrik meningkat dari US$1.223 juta pada tahun 1993/94 menjadi US$1.855 juta pada tahun 1994/95 dan menduduki peringkat ke-empat dalam ekspor nonmigas Indonesia.

III/27

Ekspor udang, ikan dan hasil hewan lainnya, yang pada tahun 1993/94 nilainya adalah US$1.499 juta telah meningkat menjadi US$1.729 juta pada tahun 1994/95. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh meningkatnya permintaan ikan dan udang di pasaran internasional terutama Jepang.

Sementara itu, ekspor karet pada tahun 1994195 menduduki urutan ke-enam dengan nilai ekspor sebesar US$1.429 ju ta , sedangkan nilai ekspor kerajinan tangan berupa kain tenun/sulaman, barang kerajinan dari kayu dan anyam-anyaman mencapai nilai sebesar US$1.085 juta dan menduduki peringkat ke-tujuh. Nilai ekspor minyak sawit dan biji kelapa sawit menduduki peringkat ke -delapan dengan nilai sebesar US$1.047 juta.

Nilai ekspor kopi pada tahun 1994/95 tercatat sebesar US$947 juta atau meningkat 141,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan nilai ekspor ini terutama disebabkan oleh membaiknya harga kopi di pasaran dunia sebagai akibat kegagalan panen di Brasil sebagai negara pengekspor kopi utama dunia.

Salah satu komoditi penting dalam hasil-hasil ekspor lainnya, adalah alas kaki yang menunjukkan perkembangan cukup pesat. Jika pada tahun 1987/88 nilai ekspor alas kaki baru mencapai US$31 juta, pada tahun 1993/94 telah mencapai sekitar US$1,6 miliar dan meningkat lagi menjadi hampir US$2,0 miliar pada tahun 1994/95.

Selama Repelita V, perkembangan nilai ekspor migas berfluk-tuasi. Sehubungan dengan krisis Teluk, pada tahun 1990/91 harga minyak dan gas bumi di pasaran internasional kembali menguat. Namun setelah itu pasaran minyak bumi kembali lesu sebagai akibat melemahnya permintaan dan berlebihnya pasokan minyak bumi dunia. Perkembangan pasaran minyak bumi dunia tersebut berpengaruh

III/28

langsung pada harga rata-rata ekspor minyak bumi Indonesia. Pada tahun 1989/90 nilai ekspor minyak bumi adalah US$6,3 miliar, kemudian meningkat menjadi US$8,1 miliar pada tahun 1990/91 dan selanjutnya menurun menjadi US$5,5 miliar pada tahun 1993/94. Sementara itu memasuki tahun awal Repelita VI, nilai ekspor minyak bumi mengalami peningkatan kembali sebesar 14,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya menjadi US$6,3 miliar. Peningkatan ini sejalan dengan membaiknya harga di pasar internasional yang antara lain disebabkan meningkatnya permintaan di negara-negara maju dan terganggunya pasokan minyak dari negara-negara non-OPEC. Sementara itu nilai ekspor gas bumi (LNG dan LPG) pada tahun 1994/95 mencapai US$4.133 juta, atau meningkat sebesar 8,1 persen dibanding tahun sebelumnya.

4. Impor dan Jasa-jasa

Memasuki tahun 1994/95, nilai impor khususnya impor nonmigas terus mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya laju pembangunan. Pengembangan kapasitas produksi dalam negeri memerlukan impor barang-barang modal yang belum dapat diproduksikan di dalam negeri. Kapasitas produksi dalam negeri yang makin berkembang memerlukan pula bahan baku/penolong yang makin besar. Di samping itu, dengan meningkatnya pendapatan dan daya beli masyarakat, impor barang konsumsi juga mengalami peningkatan.

Selama Repelita V nilai impor secara keseluruhan meningkat dari US$17,4 miliar di tahun 1989/90 menjadi U$$29,1 miliar di tahun 1993/94, dan meningkat lagi menjadi US$34,1 miliar pada tahun 1994/95. Impor nonmigas meningkat dari US$14,8 miliar pada tahun 1989/90 menjadi US$25,3 miliar pada tahun 1993/94. Memasuki tahun pertama Repelita VI impor nonmigas kembali meningkat

III/29

menjadi US$30,5 miliar, atau meningkat 20,4 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya (lihat Tabel III-1).

Perkembangan beberapa komoditi impor nonmigas (c.i.f) menu-rut golongan barang ekonomi dapat dilihat pada Tabel III-6 dan Tabel III-7.

Impor bahan baku/penolong yang pada tahun 1993 sebesar US$17,9 miliar, meningkat 16,3 persen menjadi US$20,8 miliar tahun 1994. Peningkatan terbesar terjadi pada impor bahan baku industri pangan dan minuman (22 persen), sementara impor suku cadang dan perlengkapan serta impor bahan baku industri lainnya meningkat masing-masing 21 persen dan 13 persen.

Sementara itu, impor barang modal juga mengalami peningkatan dari US$7,1 miliar pada tahun 1993 menjadi US$7,4 miliar pada tahun 1994 atau naik sebesar 3,8 persen. Peningkatan terjadi terutama pada impor alat pengangkutan, serta mesin industri dan barang modal lainnya. Impor barang konsumsi juga mengalami peningkatan. Pada tahun 1994 impor barang konsumsi mencapai US$1,4 miliar atau naik sebesar 24,5 persen dibanding tahun sebelumnya.

Dilihat dari komposisinya (Tabel III-7), pangsa dari masing-masing kelompok barang mengalami sedikit pergeseran. Pada tahun 1994 pangsa impor barang konsumsi meningkat menjadi 4,6 persen dibandingkan tahun 1993 sebesar 4,2 persen. Sementara itu pangsa impor bahan baku/penolong cukup meningkat dari 68,5 persen pada tahun 1993 menjadi 70,3 persen pada tahun 1994, sedangkan pangsa impor barang modal sedikit menurun dari 27,3 persen menjadi 25,1 persen.

III/30

Pengeluaran devisa sektor jasa-jasa pada tahun 1994/95 meningkat hingga mencapai US$11,5 miliar dari sebesar US$10,3 miliar pada tahun 1993/94 (Tabel III-1). Kenaikan terbesar terjadi pada pengeluaran jasa-jasa nonmigas, yaitu dari US$7,3 miliar pada tahun 1993/94 menjadi US$8,5 miliar pada tahun 1994/95. Peningkatan yang cukup tinggi ini terutama disebabkan oleh meningkatnya pembayaran bunga pinjaman luar negeri, baik pemerintah maupun swasta, dan oleh meningkatnya biaya angkutan barang impor. Dalam tahun pertama Repelita VI, pengeluaran jasa-jasa migas sedikit meningkat dari US$2.984 juta di tahun 1993/94 menjadi US$3.012 juta.

Sektor pariwisata dan transfer penghasilan dari tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri merupakan sumber penerimaan devisa yang sangat penting. Pada tahun 1994/95 penerimaan devisa dari sektor pariwisata meningkat sebesar 27,2 persen menjadi US$4,8 miliar. Sementara itu penerimaan dari TKI juga mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 18,8 persen selama Repelita V, yaitu dari US$188 juta pada tahun 1989/90 hingga mencapai US$375 juta pada tahun 1993/94. Pada tahun 1994/95 meningkat lagi hingga menjadi US$480 juta atau meningkat dengan 28,0 persen. Naiknya penerimaan TKI ini antara lain disebabkan karena tenaga-tenaga kerja yang dikirim lebih terampil dan bekerja di sektor-sektor formal, seperti tenaga medis, konstruksi, dan elektronik.

5. Perkembangan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah

Pinjaman luar negeri Pemerintah sebagian besar dalam bentuk pinjaman lunak, yang terdiri dari bantuan khusus dan bantuan proyek, dan selebihnya merupakan pinjaman setengah lunak dan pinjaman tunai.

III/31

Perkembangan persetujuaan pinjaman luar negeri Pemerintah baik yang berasal dari IGGI/CGI maupun di luar IGGI/CGI, dapat dilihat pada Tabel III-8 dan Tabel 111-9.

Pada tahun 1994/95 persetujuan pinjaman pemerintah berjumlah US$8.301 juta, sedikit berkurang dari persetujuan pinjaman pada tahun 1993/94 sebesar US$8.303 juta. Bila dilihat dari komposisi pinjaman pemerintah, penurunan persetujuan ini disebabkan oleh menurunnya Bantuan Khusus (Fast Disbursing Assistance, FDA) dan Pinjaman Tunai. Bantuan Khusus (FDA) pada tahun 1993/94 adalah US$325,0 juta, sedangkan pada tahun 1994/95 adalah US$200 juta. Sementara itu pinjaman tunai, yang pada tahun 1993/94 berjumlah US$500 juta pada tahun 1994/95 tidak dilakukan. Kenaikan persetujuan pinjaman terjadi pada Bantuan Proyek dan Pinjaman Setengah Lunak dan Komersial. Bantuan Proyek meningkat dari US$4.786 juta pada tahun 1993/94 menjadi US$5.003 juta di tahun 1994/95, sedangkan Pinjaman Setengah Lunak dan Komersial meningkat dari US$2.692 juta di tahun 1993/94 menjadi US$3.099 juta di tahun 1994/95.

Jumlah pembayaran kembali hutang luar negeri juga meningkat. Pembayaran kembali hutang-hutang ditentukan oleh jadwal pemanfaatan untuk pembangunan proyek, masa tenggang waktu, dan faktor-faktor lainnya. Pada tahun 1993/94 pelunasan pokok pinjaman dan pembayaran bunga adalah US$7.975 juta, dan pada tahun 1994/95 berjumlah US$8.606 juta (Tabel III-10). Meningkatnya jumlah pelunasan pinjaman ini antara lain disebabkan oleh meningkatnya jumlah pinjaman yang jatuh tempo. Namun dengan meningkatnya ekspor, terutama ekspor nonmigas, Debt Service Ratio (DSR) pinjaman pemerintah mengalami penurunan dari 21,8 persen pada tahun 1993/94 menjadi 20,4 persen di tahun 1994/95.

III/32

TABEL III – 1NERACA PEMBAYARAN

1986,1989/90 – 1993/94, 1994/95(juta US dolar)

1) Angka diperbaiki2) Angka sementara 3) Angka ekspor berdasarkan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dan angka impor berdasarkan dokumen PPUD/PIUD

yang diolah oleh Bank Indonesia dengan menggunakan"open date system". Angka-angka ini berbeda dengan angka-angka Biro Pusat Statistik yang mengolah dokumen-dokumen PEB dan PPUD/PIUD dengan mengggunakan "cut-off date system".

4) Mulai tahun 1987/86 termasuk gas minyak bumi cair (LPG)5) Tahun 1988/89 - 1990/91 termasuk yang dibiayai melalui Bantuan Khusus;

Mulai tahun 1991/92 termasuk yang dibiayai melalui Fast Disbursing Assistance.6) Tahun 1988/89 - 1990/91 termasuk Bantuan Khusus yang tidak berupa Bantuan Program;

Mulai tahun 1991/92 termasuk Fast Disbursing Assistance yang tidak berupa Bantuan Program.7) Pokok pinjaman8) Termasuk DIGS

III/33

TABEL III — 2NILAI EKSPOR (F.O.B.) 1)

1968,1989190 — 1993/94, 1994/95(juta US dolar)

Repelita V Repelita VI

Jenis Komoditi 1968 1989/90 1990/91 1991192 1992193 1993/94 2) 1994195 3)Nilai Nilai (% Kenaikan/ Nilai (% Kenaikan/ Nilai (% Kenaikan/ Nilai (% Kenaikan/ Nilai (% Kenaikan/ Nilai (%Kenaikan/

Penurunan) 4) Penurunan) 4) Penurunan)4) Penurunan)4) Penurunan) 4) Penurunan) 4)

Di luar Minyak dan 569 14.493 (19,0) 15380 (6,1) 19.008 (23,6) 24.823 (30,6) 27.170 (9,5) 31.716 (16,7)Gas Bumi

Minyak Bumi dan 6.288 (25,6) 8.053 (28,1) 6.869 (—14,7) 6363 (—7,4) 5.512 (—13,4) 6312 (14,5)Hasil—hasilnya

Gas Alam Cair 5) 3.049 (15,8) 4.710 (54,5) 3.837 (—18,5) 4.117 (7,3) 3.822 (—7,2) 4.133 (8,1)

Jumlah 23.830 (20,2) 28.143 (18,1) 29.714 (5,6) 35.303 (18,8) 36.504 (3,4) 42.161 (15,5)

1) Angka ekspor berdasarkan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEE) yang diolah oleh Bank Indonesia dengan menggunakan "open date system". Angka—angka ini berbeda dengan angka—angka dari Biro Pusat Statistik yang mengolah dokumen PEB dengan menggunakan "cut—of date system".2) Angka diperbaiki3) Angka sementara4) Perubahan terhadap tahun sebelumnya5) Mulai tahun 1987/88 termasuk gas minyak bumi cair (LPG)

III/34

GRAFIK III - 1PERKEMBANGAN NILAI EKSPOR (F.O.B)

1968, 1989/90 - 1993/94, 1994/95

III/35

TABEL III 3NILAI IMPOR (F.O.B.) I)

1968,1989/98 – 1993/94, 1994/95(juta US dolar)

Repelita V Repelita VI

Jenis Komoditi 1968 1989/90 1990191 1991/92 1992/93 1993/94 (1994/95) 2)

Nilai Nilai (%Kenaikan/Penurunan)3)

Nilai (%Kenaikan/Penurunan)3)

Nilai (%Kenaikan/Penurunan)3))

Nilai (%Kenaikan/Penurunan)3))

Nilai (%Kenaikan/Penurunan)3))

Nilai (%Kenaikan/Penurunan)3)

Di luar Minyak dan 751 14.845 (21,3) 19.448 (31,0) 21.660 (11,4) 23.751 (9,7) 25.311 (6,6) 30.476 (20,4)Gas Bumi

Minyak Bumi dan 80 2.342 (22,5 ) 3.388 (44,7) 2.915 (-14,0) 3314 (13,7) 3.555 (7,3) 3.382 (-45)Hasil : hasilnya

Gas Alam Cair - 187 (16,9) 192 (2,7) 228 (18,8) 252 (10,5) 261 (3,6) 263 (0,8)

Jumlah 831 17374 (21,4) 23.028 (32,5) 24.803 (7,7) 27317 (10,1) 29.127 (6,6) 34.121 (17,1)

1) Angka impor berdasarkan dokumen PPUD/PIUD yang diolah oleh Bank Indonesia denganmenggunakan "open date system. Angka-angka ini berbeda dengan angka-angka Biro PusatStatistik yang mengolah dokumen PPUD/PIUD dengan menggunakan "cut-off date system".

2) Angka sementara3) Perubahan terhadap tahun sebelumnya

III/36

GRAFIK III - 2PERKEMBANGAN NILAI IMPOR (F.O.B)

1968, 1989/90 - 1993/94, 1994/95

III/37

TABEL III – 4NILAI BEBERAPA EKSPOR DILUAR MINYAK DAN GAS BUMI ¹)

1986, 1989/90 – 1993/94, 1994/95(Juta US dollar)

1) Angka ekspor berdasarkan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang diolah Bank Indonesia dengan menggunakan “open date system”Angka-angka ini berbeda dengan angka-angka dari Biro Pusat Statistik yang mengolah dokumen PEB dengan menggunakan “cut-off date system”Nomor dalam kurung adalah urutan besarnya nilai ekspor pada tahun bersangkutan

2) Angka diperbaiki3) Angka sementara4) Perubahan terhadap tahun sebelumnya5) Termasuk hasil lainnya.

III/38

TABEL III - 5HARGA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR 1)

1986, 1989/90 – 1993/94, 1994/95

1)Harga rata-rata2)Karet RSS III New York dalam USS sen/lb3)Kopi Robusta Lampung, New York dalam USS sen/lb4)Minyak Sawit ex Sumatera, Rotterdam dalam USS/ton5)Lada hitam : sampai dengan Desember 1988, New York dalam USS sen/lb;

mulai Januari 1989, Singapura dalam Sin.S/100 kg6) Kayu, US Lumber, Tokyo dalam 1.000 Y/meter kubik7)Plywood, Tokyo dalam Y/lbr8)Tea Plain, London dalam /kg9) Perubahan rata-rata per tahun.. = Data tidak tersedia

III/39

TABEL III - 6PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK

DAN GAS BUMI MENURUT GOLONGAN EKONOMI (C.I.F.) 1)1968, 1989 - 1993, 1994(juta US dolar)Repelita

VRepelita

VIGolongan Ekonomi 1968 1989 199

01991 199

21993 1994

A. Barang-barang Konsumsi 266,5 673,9 854,4 930,3 1.172, 1.098,6 1367,61. Pangan dan Minuman - 194,5 176,2 235,8 419,9 319,8 568,22. Barang Konsumsi Tahan Lama - 82,2 129,5 118,6 163,0 104,3 115,03. Barang Konsumsi

Setengah dan Tidak Tahan Lama-

195,9 271,5 345,2 404,6 465,3 536,94. Lain-lain - 201,3 277,2 230,7 185,4 209,2 147,5

B. Bahan Baku/Penolong 253,6 10.725,0 12 995,1

14.951,7 16.6249 17.911,8

20.82891. Bahan Baku Industri

Pangan dan Minuman-

789,4 684,1 837,9 970,1 987,2 1.205,32. Bahan Baku Industri Lainnya - 7329,4 8.926,5 9.883,6 11.014,9 11.657, 13.232,43. Suku Cadang dan Perlengkapan - 2.560,8 33 4.216,7 4.622,3 5.247,3 6.363,84. Lain-lain - 45,4 18,2 13,5 17,6 20,3 27,4

C. Barang Modal 189,6 3.765,5 6.067,0 7.676,6 7.366,7

7.146,9 1419,71. Mesin Pembangkit Listrik - 131,2 171,7 400,1 600,5 370;6 367,72. Alat Telekomunikasi - 298,4 463,2 605,4 841,9 979,5 741,23. Peralatan Listrik - 348,8 468,4 563,2 934,3 955,9 956,94. Alat Pengangkutan - 243,4 809,0 945,2 588,1 599,0 843,85. Mesin Industri dan

Barang Modal Lainnya - 2.743,7 4.154,7 5.162,7 4.401,9 4.241,9 4.510,1

Jumlah 709,7

15.164,4 19.916,5

23.558,6 25.164,5 26.157,3

29.616,2

1) Angka impor berdasarkan dokumen PPUD/PIUD yang diolah oleh Biro Pusat Statistik dengan menggunakan "cut-off date system". .. = Data tidak tersedia

III/40

TABEL III—7PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK

DAN GAS BUMI MENURUT GOLONGAN EKONOMI (C.I.F.) 1)1968, 1989 — 1993, 1994

(%)

Repelita V Repelita VIGolongan Ekonomi

1968 1989 1990 1991 1992 1993 1994

1. Barang Konsumsi 37,6 4,5 4,3 3,9 4,6 4,2 4,6

2. Bahan Baku/Penolong 35,7 70,7 65,2 63,5 66,1 68,5 70,3

3. Barang Modal 26,7 24,8 30,5 32,6 29,3 27,3 25,1

Jumlah 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,01) Angka impor berdasarkan dokumen PPUD/PIUD yang diolah oleh Biro Pusat Statistik

dengan menggunakan "cut—off date system".

III/41

GRAFIK III—3PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI

MENURUT GOLONGAN EKONOMI (C.LF)1989, 1989 -1993, 199

III/42

TABEL III- 8PERSETUJUAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH 1)

1968,1989/90 - 1993/94, 1994/95(juta US dolar)Repelita V Repelita VI

Jenis Bantuan / Pinjaman

1968

1989/90

1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 a) (1994/95) 3)

Nilai Nilai (% Kenalkan/

Penurunan)

Nilai (% Kenaikan/

Penurunan

Nilai (% Kenaikan/Nilai

Penurunan) 4)

(%Kenaikan/

Nilai

(%Kenaikan/

Penurunan

Nilai Kenaikan/Penurunan) 4)

1. Bantuan Program Murni 292,3

6,0 (-73,9) - - - - - - - - - -(pangan)

2. Bantuan Khusus/ 5)

_1.857,8 (-21,3) 1.277,

8(-31,2) 1.200,

0(-6,1) 1.355,

0(12,9) 325,0 (-76,0) 200,0 (-38,5)

Fast Disbursing Assistance

3. Bantuan Proyek71,0 2.835,5 (26,1) 3.473,6 (22,5) 4.055,

1(16,7) 4.093,

7(1,0) 4.785,

6(16,9) 5.002,

7(4,5)

4. Pinjaman Setengah Lunak

_ 1.198,8 (7,1) 1.115,7

(76,5) 3.466,3

(63,8) 1.520,1

(-56,1) 2.692,2 (77,1)

3.098,5

(15,1)dan Komersial (untuk Proyek)

- 855,1 (73,3) 400,0 (-53,2) 400,0

(0,0) 0,0 - 500,0 - 0,0 -5. Pinjaman Tunai 7)

Jumlah 363,3

6.753,2 (8,2) 7.267,1

(7,6) 9.121,4

(25,5) 6.968,8

(-23,6) 8.302,8

(19,1) 8301,2 (-0,02)

1) Pinjaman dan hibah IGGI alas dasar pledge dan pinjaman di luar IGGI alas dasar persetujuan sampai dengan tahun 1991/92; Mulai tahun 1992/93 pinjaman dan hibah CGI alas dasar pledge dan pinjaman di luar CGI alas dasar persetujuan.

2) Angka diperbaiki3) Angka sementara4) Perubahan terhadap tahun sebelumnya5) Berupa Bantuan Program, Dana Pendamping (Local Cost), Pinjaman Sektor (Sector

Loan) dan Two Step Loan. Termasuk kredit ekspor7) Berupa pinjaman obligasi dan pinjaman dari kelompok bank

III/43

TABLE III - 9PERSETUJUAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH 1)

1968,1989/90 - 1993/94,1994/95(Juta US dolar)

1) Pinjaman dan hibah IGGI atas dasar pledge dan pinjaman di luar IGGI alas dasar persetujuan sampai dengan tahun 1991/92; Mulai tahun 1992/93 pinjaman dan hibah CGI alas dasar pledge dan pinjaman di luar CGI atas dasar persetujuan.

2) Angka diperbaiki3) Angka sementara4) Termasuk Bantuan Khusus/Fast Disbursing Assistance5) Termasuk kredit ekspor6) Berupa pinjaman obligasi dan pinjaman dari kelompok bank

III/44

TABEL III — 10PELUNASAN PINJAMAN LUAR NEGERI

PEMERINTAH1968, 1989/90 — 1993/94, 1994/95

(juta US dolar)

T a h u n Pelunasan Nilai (% dari nilaiPinjaman 1) Ekspor 2) Ekspor)

1968 52 872 (6,0)

Repelita V1989/90 6.202 23.830 (26,0)

1990/91 6.721 28.143 (23,9)

1991/92 6.829 29.714 (23,0)

1992/93 7.535 35.303 (21,3)

1993/94 7.975 36.504 (21,8)

Repelita VI8.606 42.161 (20,4)1994/95 3)

1) Pokok dan bunga pinjaman Pemerintah2) Termasuk ekspor minyak bumi, gas alam cair (LNG)

dan gas minyak bumi cair (LPG) atas dasar bruto3) Angka sementara

III/45