unsuri.ac.idunsuri.ac.id/.../02/JURNAL-HUKUM-KEPANGKATAN-2-SUDJAI.docx · Web viewMelalui...

25
http://unsuri.ac.id/jurnal-fakultas-hukum-dan-sosial/ PERLINDUNGAN ATAS KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA ( HAM ) BERAT SUATU TINJAUAN HUKUM POSITIF DALAM MASALAH REPARASI PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI Oleh Sudja’i Fakultas Hukum UNSURI Surabaya Abstrak Tujuan penlitian mengetahui pengaturan Reparasi dalam pelanggaran HAM berat dalam kajian hukum positif di Indonesia dan mengetahui mekannisme yang harus dilakukan dalam pemberian kompensasi dan restitusi terhadap korban pelanggaran HAM berat. Penelitian ini mempergunakan pendekatan secara normative yuridis dan sosiologis. Sebab dengan memformulasikan serta mengeleminir kedua kriminologi tersebut, akan mendekati kebenaran ilmiah. Pengumpulan data diperoleh dari data primer berupa catatan dari beberapa peraturan perundang-undangan, literature, artikel dan lain-lainnya sebagai sumber hukum dalam rangka acuan dan rujukan terhadap berbagai rumusan permasalahan berkaitan dengan HAM. Sumber hukum lain adalah keseluruhan informasi yang diperoleh melalui kunjungan langsung ke lokasi berkaitan dengan permasalahan HAM. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengadilan HAM tidk memberikan upaya hukum yang efektif terhadap hak korban atas reparsi, pemberian kompensasi dan restitusi dari Negara, Keberadan komisi kebenaran dan rekonsiliasi ( KKR ) sebagai upaya hukum nonyudisial dalam rangka penyelesian pelanggaran HAM berat masa lalu masih belum merefleksikan tanggung gugat Negara atas pelanggaran HAM berat PENDAHULUAN .Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban

Transcript of unsuri.ac.idunsuri.ac.id/.../02/JURNAL-HUKUM-KEPANGKATAN-2-SUDJAI.docx · Web viewMelalui...

Page 1: unsuri.ac.idunsuri.ac.id/.../02/JURNAL-HUKUM-KEPANGKATAN-2-SUDJAI.docx · Web viewMelalui penelusuran berbagai literature, baik nasional maupun internasional, peneliti mencoba untuk

http://unsuri.ac.id/jurnal-fakultas-hukum-dan-sosial/

PERLINDUNGAN ATAS KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA ( HAM ) BERAT SUATU TINJAUAN HUKUM POSITIF DALAM MASALAH

REPARASI PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI

Oleh Sudja’i

Fakultas Hukum UNSURI Surabaya

Abstrak

Tujuan penlitian mengetahui pengaturan Reparasi dalam pelanggaran HAM berat dalam kajian hukum positif di Indonesia dan mengetahui mekannisme yang harus dilakukan dalam pemberian kompensasi dan restitusi terhadap korban pelanggaran HAM berat.Penelitian ini mempergunakan pendekatan secara normative yuridis dan sosiologis. Sebab dengan memformulasikan serta mengeleminir kedua kriminologi tersebut, akan mendekati kebenaran ilmiah.Pengumpulan data diperoleh dari data primer berupa catatan dari beberapa peraturan perundang-undangan, literature, artikel dan lain-lainnya sebagai sumber hukum dalam rangka acuan dan rujukan terhadap berbagai rumusan permasalahan berkaitan dengan HAM. Sumber hukum lain adalah keseluruhan informasi yang diperoleh melalui kunjungan langsung ke lokasi berkaitan dengan permasalahan HAM.Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengadilan HAM tidk memberikan upaya hukum yang efektif terhadap hak korban atas reparsi, pemberian kompensasi dan restitusi dari Negara, Keberadan komisi kebenaran dan rekonsiliasi ( KKR ) sebagai upaya hukum nonyudisial dalam rangka penyelesian pelanggaran HAM berat masa lalu masih belum merefleksikan tanggung gugat Negara atas pelanggaran HAM berat

PENDAHULUAN

.Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kehajatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah stu pengingkaran dari asas setiap warga Negara bersamaan kedudukanya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamatkan oleh undang-undang 1945, sebagai landasan konstitusional. Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan jatuhi pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar.

Melalui penelusuran berbagai literature, baik nasional maupun internasional, peneliti mencoba untuk melihat bagaimana seharusnya korban kejahatan memperoleh perlindungan hukum serta sebagaimana sistem hukum nasional selama ini mengatur perihal perlindungan kepada korban kejahatan.

Dalam beberapa perundang-undangan nasional permsalahan perlindungan korban kejahatan memang sudah diatur namun sifatnya parsial dan tidak berlaku secara umum untuk semua korban kejahatan.

Dengan adanya berbagai permasalahan mengenai jenis korban dalam kehidupan masyarakat, maka ini pulalah yang melatar belakangi lahirnya cabang ilmu baru yang

Page 2: unsuri.ac.idunsuri.ac.id/.../02/JURNAL-HUKUM-KEPANGKATAN-2-SUDJAI.docx · Web viewMelalui penelusuran berbagai literature, baik nasional maupun internasional, peneliti mencoba untuk

http://unsuri.ac.id/jurnal-fakultas-hukum-dan-sosial/

disebut “ viktimologi “. Viktimologi atau victimology ( istilah dalam bahasa inggris ) berasal dari istilah latin, yaitu victima yang berarti korban, sedangkan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Maka secara singkat, viktimologi adalah ilmu yang mempelajari korban dari berbagai aspek.

Pada waktu hukum pidana masih merupakan hukum perdata, setiap orang yang menderita kerugian atau menjadi korban sebagai akibat dari tindakan orang lain, mempunyai hak untuk melakukan atau menuntut balas atas kerugian / penderitaan yang dialaminya.

Pembalasan itu pada umumnya tidak hanya merupakan hak dari seseorang yang dirugikan atau yang terkena tindakan, melainkan meluas menjadi kewajiban dari seluruh keluarga famili, dan bahkan malam beberapa hal terjadi kewajiban dari anggota masyarakat.

Sementara itu tingkat pemikiran masyarakat semakin maju, sehingga masalah ganti rugi ini pun mengalami perubahan. Ganti rugi tersebut di hapuskan dan digantikan dengan hukuman publik, karena pada fase ini hukuman tidak lagi dijatuhkan ( ditentukan ) oleh perorangan yang menjadi korban, tetapi adalah oleh masyarakat ( Negara ). Demikian juga menurut S.R Sianturi “ pada mulanya jumlah ganti rugi ( denda ) ini lebih banyak bergantung pada keinginan dari pihak yang dirugikan, kemudian di kendalikan dan ditentukan oleh penguasa “.

Sehubungan dengan uraian di atas, dalam praktek penerapan hukum pidana, ternyata pada akhirnya gangguan terhadap keseimbangan ketertiban dalam masyarakat inilah yang telah diperhatikan, sehingga masyarakat ( Negara ) merasa sebagai satu-satunya yang berhak untuk menuntut “ balas “ atau ganti rugi dari pelaku. Korban sendiri dalam hal ini kehilangan haknya untuk melakukan tindakan. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Arif Gosita,3 secara berangsurangsur Negara mengambil alih tanggung jawab pelaksanaan hukum dari pihak korban. Ini berakibat pada sentralisasi dalam sistem hukum pidana. Negara bertindak sebagai “ wakil perdamaian “ dalam masyarakat dan pihak korban. Situasi kongkrit “ sebagai yang dirugikan “ dan keadaan “ perdamaian “ yang memberikan perlindungan terhdap kerugian ini, kemudian diabstrahir menjadi “ tertib hukum “ pengertian ini kemudian dijadikan uang utama. Suatu tindak pidana tidak lagi dilihat, terutama sebagai kerugian terhadap manusia yang terdiri atas jiwa dan raga,tetapi adalah sebagai “ pelanggaran terhadap suatu tertib hukum “. Dengan kata lain, bahwa suatu tindakan pidana bukanlah suatu perbuatan yang merugikan orang yang mempunyai darah daging dan perasaan, akan tetapi adalah sebagai sesuatu yang melawan hukum, yaitu bertentangan dengan sesuatu yang abstrak yang dinamakan ketertiban hukum.

Dalam kaitannya dengan masalah tuntutan ganti kerugian yang diajukan oleh korban, maka persoalan yang muncul kemudian adalah apabila kepentingan yang diprioritaskan oleh pihak penyidik dan atau penuntut umum dalam menangani kasus pidana tersebut tidak sesuai atau tidak seiring dengan kepentingan korban untuk memperoleh penggantian kerugian dari terdakwa / pelaku ( atau dari Negara ). Apalagi bila ditelaah lebih jauh, penyidik dan penuntut umum dalam menangani suatu perkara tidak hanya mempertibangkan kepentingan korban. Kepentingan korban hanyalah satu dari sekian banyak kepentingan yang mungkin dipertimbangkan.

Pemihakan pada “ kepentingan lain “ untuk ikut pula dipertimbangkan oleh penuntut umum maupun aparat Kepolisian memang dimungkinkan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku yaitu dengan diadakannya lembaga diskresi ( untuk aparat kepolisian ) dan lembaga opportunitas ( untuk penuntut umum).

Berdasarkan Pasal 2 ayat ( 1 ) Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditetapkan, bahwa “ Kejaksaan Republik Indonesia yang

Page 3: unsuri.ac.idunsuri.ac.id/.../02/JURNAL-HUKUM-KEPANGKATAN-2-SUDJAI.docx · Web viewMelalui penelusuran berbagai literature, baik nasional maupun internasional, peneliti mencoba untuk

http://unsuri.ac.id/jurnal-fakultas-hukum-dan-sosial/

selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang dilaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntuttan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang “. Dari ketentuan ini jelas, bahwa selain melakukan tugas di bidang peradilan, kejaksaan merupakan pula lembaga politik Negara. Hal ini membawa konsekuensi pada penambahan muatan bagi aparat kejaksaan untuk ikut pula mempertimbangkan unsur politik dalam proses penuntutan, disamping mempertimbangkan kepentingan korban seperti diuraikan di atas. Sehingga, jika pengacu pada pola pemikiran seperti ini, maka kepentingan

Ada beberapa peraturan di Indonesia yang mengatur pemberian kompensasi dan restitusi. Namun dalam kenyataannya aturan tersebut tidak implementatif. Pengaturan pemberian ganti rugi itu misalnya bisa di lihat pada KUHP ( Kitab Undang-undang Pidana ), KUHAP ( Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ), dan juga undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2002 tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap pelanggaran HAM yang berat. Namun berdasarkan pengamatan, sangat jarang ada korban tindak pidana yang mendapatkan ganti rugi. Kasus-kasus HAM yang mendapat kompensasi dan restitusi walaupun dalam amar putusan pengadilan korban untuk mendapatkan kompenssi dan restitusi.

Tidak diberikannya hak-hak korban yang secara tegas telah dinyatakan dalam ketentuan perundang-undangan dapat menimbulkan ketidak percayaan korban bahwa hak-hak mereka akan di lindungi bahkan diberikan ketika mereka berpartisipaasi dalam proses peradilan untuk mendukung penegakan hukum. Hal ini menunjukkan, bukan sja dapat dikatakan bahwa Negara gagal mewujudkan sistem peradilan yang kompeten dan adil, Negara gagal menjamin sistem kesejahteraan warga negaranya yang menjadi korban pelanggaran HAM, karena hak korban akan ganti rugi pada dasarnya merupakan bagian intergral dari hak asasi bidang kesejahteraan / jaminan social ( social security ), lebih jauh lagi bahwa Negara juga telah mengurangi hak-hak dari saksi dan korban yang telah diakui oleh dunia internasional.

Dengan demikian, kedudukan korban yang terabaikan ini, jelas merupakan suatu ketidak adilan, walaupun korban difungsikan dalam proses peradilan pidana, tidak lebih hanya sebagai pendukung penguasa dalam rangka “ penegakan ketertiban “, sementara itu “ nasibnya “ sendiri sebagai pihk yang dirugikan oleh suatu perbuatan pidana, terisolasi atau paling tidak, kurang mendapat perhatian, tercurahkan. Korban sebagai sarana pembuktian saja. Tidak terlihat adanya pelanggaran dari HAM berat. Berdasarka uraian diatas maka rumusan masalah yang akan dibahas sebagai beriku:

1. Bagaimana proses pemberian kompensasi dan Restitusi terhadap Korban Pelanggaran Ham Berat

2. Bagaimana peranan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi HAM di Indonesia.TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberi wawasn bagi penulis dan masyarakat luas penangganan terhadap pelanggarn Ham berat dan kompensasi yang bisa dituntut dan diterima korban sebagai bahan referensi bacaan bagi mahasiswa dan dosen dala kajian kasus pelanggaran Ham serta sebagai bagain dari tugas dosen melkukan penelitian sebagai penunjang kegiatan Tri darma Perguruan Tinggi.

METODE PENELITIANPenelitian ini mempergunakan pendekatan secara normative yuridis dan

sosiologis. Sebab dengan memformulasikan serta mengeleminir kedua kriminologi tersebut, akan mendekati kebenaran ilmiah.

Page 4: unsuri.ac.idunsuri.ac.id/.../02/JURNAL-HUKUM-KEPANGKATAN-2-SUDJAI.docx · Web viewMelalui penelusuran berbagai literature, baik nasional maupun internasional, peneliti mencoba untuk

http://unsuri.ac.id/jurnal-fakultas-hukum-dan-sosial/

Pengumpulan data diperoleh dari data primer berupa catatan dari beberapa peraturan perundang-undangan, literature, artikel dan lain-lainnya sebagai sumber hukum dalam rangka acuan dan rujukan terhadap berbagai rumusan permasalahan berkaitan dengan HAM. sumber hukum lain adalah keseluruhan informasi yang diperoleh melalui kunjungan langsung ke lokasi yang berkaitan dengan permasalahan HAM.

Berdasarkan pokok permasalahan, peneliti dapat menganalisa, bahwa perlindungan atas korban dalam pelanggaran hak asasi manusia ( HAM) berat dalam tinjauan hukum positif dalam masalah pemberian kompensasi dan restitusi, dari penelusuran berbagai literature, baik nasional maupun internasional, peneliti mencoba untuk melihat bagaimana seharusnya korban kejahatan memperoleh perlindungan hukum serta bagaimana sistem hukum nasional selama ini mengatur perihal perlindungan kepada korban kejahatan. Dalam beberapa perundang-undangan nasional permasalahan perlindungan korban kejahatan memang sudah di atur namun sifatnya masih persial dan tidak berlaku secara umum untuk semua korban kejahatan.

TINJAUAN PUSTAKAPengaturan Reparasi Dalam Korban Pelanggaran Ham Berat Dalam Kajian Hukum Positif di IndonesiaA. Pengertian Reparasi Dalam Korban Pelanggaran HAM Berat.

Reparasi adalah salah satu hak korban pelanggaran HAM yang tidak popular. Tidak hanya bagi komunitas korban, masyarakat umum pun banyak yang tidak mengenal keberadaan hak-hak korban, termasuk reparasi. Promosi HAM yang selama ini dilakukan memang masih sedikit dalam menjabarkan hak-hak korban pelanggaran HAM, terlebih reparasi.

Menurut Jimenez de Arechaga, mantan hakim the international court of justice, reparasi adalah istilah umum ( generic term ) yang menggambarkan berbagai cara yang tersedia bagi Negara untuk terbebas dari tanggung gugat atas suatu kerugian karena pelanggaran kewajiban internasional (Abdullah, H Rozali, dan Syamsir, 2002). Hak Asasi Manusia melahirkan tuntutan- tuntutan warga Negara selaku penyandang hak kepada Negara. Kewajiban uang utama Negara terhadap hak asasi manusia, yaitu :1. Untuk tidak melanggara.2. Untuk menjamin penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Hak asasi manusia dengan Negara hukum tidak dapat di pisahkan, justru berkaitan dengan hukum dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban dalam berwujud. Dengan demikian, pengakuan dan pengukuhan Negara hokum salah satu tujuannya melindungi hak asasi, berarti hak dan sekaligus kebebasan perseorangan diakui, dihormati dan dijunjung tinggi.2

Soal keadilan adalah mengenai proses peradilan bagi pelaku pelanggaran HAM. Sehingga perlu dilakukan investigasi dan kemudian penuntutan terhadap pelaku utama atau pimpinan yang paling bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Aturan ini sering disebut dengan istilah tanggungjawab komando. Dalam proses peradilannya, dapat dilakukan melalui empat jenis pengadilan, yaitu : pengadilan domestik / nasional, pengadilan internasional, pengadilan hibrida / campuran, dan Mahkamah Pidana Internasional.

Reparasi terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang mempertanyakan upaya hukum nasional dan upaya hukum internasional merupakan ide hukum. Setiap pelanggaran Hak Asasi manusia merupakan bentuk kewajiban hak asasi manusia yang kedua.

Hak asasi manusia adalah hak hukum maka harus ada upaya hukum, sehingga korban dapat menempuh upaya hokum berdasarkan pertimbangan yang

Page 5: unsuri.ac.idunsuri.ac.id/.../02/JURNAL-HUKUM-KEPANGKATAN-2-SUDJAI.docx · Web viewMelalui penelusuran berbagai literature, baik nasional maupun internasional, peneliti mencoba untuk

http://unsuri.ac.id/jurnal-fakultas-hukum-dan-sosial/

berdasarkan bentuk atau jenis pelanggarannya. Adapun berdasarkan hokum internasional, Negara yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia bertanggung gugat secara internasional. Penerapan sanksi internasional supaya Negara pelanggar hak asasi mnusia melakukan reparasi terhadap korban dapat menjadi alternatif.

Pemerintah Indonesia sendiri tampaknya sudah mengakui kewajiban untuk memberikan Reparsi tersebut dengan menetapkan peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2002 ( PP No. 13 / 2002 ) tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang berat.Namum masalahnya, prosedur pemberian reparasi dalam PP ini tidak dijabarkan secara rinci sehingga menimbulkan banyak pertanyaan tentang cara penerapannya. Alhasil, sampai sekarang tidak ada korban yang dapat mengakses Rehabilitasi, Restitusi dan Kompensasi seperti yang disebutkan dalam PP ini.

IKOHI ( Ikatan Korban Orang Hilang Indonesia ) sebagai wadah korban dan keluarga korban pelanggaran HAM melihat bahwa situasi ini perlu disikapi. Buku pegangan ini merupakan upaya yang di buat agar komunitas korban mengetahui dan mengenal hak mereka atas “ reprasi “ dan memeriksa apakah ada hal yang bisa dilakukan bersama di kalangan korban sebagai bentuk “ reparasi mendesak “.

Perlu dicatat bahwa bukan merupakan upaya untuk mengambil alih peranan pemerintah dalam memberikan reparasi karena sejatinya reparasi memang adalah tanggung jawab Negara kepada korban.

Implementasi bentuk tanggung jawab itu bersifat aktif, maksudnya menuntut Negara melakukan suatu kebijakan terhadap korban bencana. Oleh karena itu, bila Negara tidak melakukannya maka dapat dikatakan Negara lalai melaksanakan tanggung jawabnya.

B. Hak-hak Korban Pelanggaran HAM Berat.

Bagi para korban pelanggaran HAM berat telah ditetapkan suatu standar internasional mengenai apa saja yang menjadi hak-haknya. Standar internasional yang dibuat PBB merupakan suatu standar yang sudah disempurnakan dari tahun ke tahun dan bersumber dari hokum internasional dan kebiasaan di berbagai Negara. Salah satu hal yang unik dari hak-hak korban pelanggaran HAM berat adalah bahwa tindakan yang harus dipenuhi oleh pelanggar HAM, dalam hal ini Negara, tidak hanya meliputi kompensasi terhadap individu korban tersebut tetapi mencakup ke keseluruhan sistem hukum dalam Negara tersebut.Adapun hak-hak korban meliputi :1. Akses terhadap keadilan.

Hak korban terhadap akses keadilan meliputi seluruh yang tersedia dalam proses pengadilan,administrative atau proses publik lainnya yang tersedia dalam hukum nasional maupun internasional.Kewajiban yang timbul dari hukum internasional untuk menjamin hak individu atau kolektif untuk mendapat keadilan dan proses yang adil dan imparsial harus tersedia di dalam hukum nasional.

2. Reparasi untuk kerusakan yang diderita.Reparasi yang memadai, efektif dan tepat harus ditujukan untuk memberikan keadilan dengan memberikan ganti rugi atas pelanggaran HAM berat. Reparasi harus proporsional sesuai dengan tingkat pelanggaran dan kerugian yang ditimbulkannya. Sehubungan dengan hukum nasional dan kewajiban hukum internasional, Negara harus menyediakan reparasi terhadap para korban akibat tindakan atau pengabaian yang menimbulkan pelanggaran norma-norma hukum HAM internasional dan humaniter.

Page 6: unsuri.ac.idunsuri.ac.id/.../02/JURNAL-HUKUM-KEPANGKATAN-2-SUDJAI.docx · Web viewMelalui penelusuran berbagai literature, baik nasional maupun internasional, peneliti mencoba untuk

http://unsuri.ac.id/jurnal-fakultas-hukum-dan-sosial/

Dalam kasus dimana pelanggaran bukan oleh Negara pihak yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran tersebut harus menyediakan reparasi kepada korban atau kepada Negara apabila Negara sudah menyediakan reparasi kepada korban. Dalam keadaan bila pihak yang bertanggung jawab tersebut tidak mampu atau tidak mau melaksanakan kewajibannya, Negara harus berikhtiar untuk menyediakan reparasi terhadap korban yang mengalami luka fisik yang berlanjut atau gangguan phisik atau kesehatan mental akibat pelanggaran tersebut dan juga terhadap keluarga, khususnya tanggungan dari korban yang mati atau mengalami ketidakmampuan phisik atau mental akibat pelanggaran itu.Untuk tujuan tersebut, Negara harus berusha keras untuk mendirikan dana nasional untuk reparasi bagi korban dan mencari sumber-sumber dana lain sebagaimana diperlukan untuk melengkapi hal ini.

3. Jaminan untuk tidak terulang lagi.Tersedianya atau diberinya kepuasan dan jaminan bahwa perbuatan

serupa akan terulang lagi dimasa depan, mencakup :a) Penghentian pelanggaran yang sedang berlangsung.b) Verifikasi fakta-fakta dan pengungkapan tersebut tidak dan secara terbuka

sepanjang pengungkapan tersebut tidak mengakibatkan gangguan terhadap keamanan korban, saksi dan lainnya.

c) Pencarian jasad yang terbunuh, hilang dan pemberian bantuan untuk identifikasi dan penguburan kembali korban sesuai dengan agama dan tatacara keluarga dan masyarakat.

d) Pernyataan resmi atau keputusan hokum untuk memperbaiki martabat, reputasi dan hak-hak hokum dan social korban dan orang-orang yang berhubungan dekat dengan korban.

e) Permintaan maaf, termasuk pengakuan didepan umum mengenai fakta-fakta dan pengakuan pertanggung jawab.

f) Pemberian sangsi hokum dan administratif terhadap orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM.

g) Peringatan dan pemberian hormat kepada korban.h) Pemuatan catatan yang akurat mengenai pelanggaran HAM dan humaniter

tersebut dalam materi pendidikan di semua level.i) Pencegahan pengulangan pelanggaran.

C. Proses Pemenuhan Hak Korban Pelanggaran HAM.Pemulihan terdiri dari kompensasi ekonomi, restutusi, rehabilitasi, dan

jaminan non-repetisi. Pemenuhan hak atas pemulihan efektif sangat terkait dengan proses rekonsiliasi karena berhubungan dengan sikap penerimaan para korban atas kejadian yang menimpa dirinya dan kerelaan untuk melakukan “ ishlah “. Tidak adanya pertanggung jawaban individu atas pelaku menyulitkan penentuan pemberian pemulihan yang efektif pula bagi korban secara orang perseorangan.Dengan terbatasnya mekanisme hukum yang tersedia, langkah yang kemudian dapat ditempuh dalam pemulihan hak-hak kolektif korban adalah melalui tindakan politik pemerintah Indonesia. Sesuai rekomendasi laporan Akhir, penyampaian ekspresi penyesalan dan maaf serta jaminan untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali merupakan langkah pertama, tindakan mana memiliki preseden dari Negara-negara serupa yang mengalami masa konflik.

Langkah tersebut harus diiringi dengan komitmen yang hakiki untuk membantu proses pembangunan perdamaian ( puace – building ) atas dasar solidaritas politik dan moral, termasuk antara lain pelayanan psikososial dan

Page 7: unsuri.ac.idunsuri.ac.id/.../02/JURNAL-HUKUM-KEPANGKATAN-2-SUDJAI.docx · Web viewMelalui penelusuran berbagai literature, baik nasional maupun internasional, peneliti mencoba untuk

http://unsuri.ac.id/jurnal-fakultas-hukum-dan-sosial/

pembentukan komisi orang hilang, sebagaimana direkomendasikan oleh Laporan Akhir ( Kompas, 16 / 07 / 08 ). Realisasi dari komitmen ini tidak dapat diukur secara yuridis, namun “ dirasakan “ dari kesungguhan Pemerintah Indonesia dalam mempererat kemitraan (Adolf Haula, 2005).Dalam kondisi demikian, pemenuhan hak korban yang sebenarnya merupakan kewajiban dalam hukum internasional menjadi rawan untuk dipolitisasi. Namun sejarah membuktikan sulitnya menegakkan hukum internasional karena seringkali bersinggungan dengan kepentingan politik, baik penguasa maupun Negara. Faktanya, setiap konflik membutuhkan penyelesaian yang berbeda, bergantung pada situasi local masing-masing.

Adakalanya, prinsip internasioanl harus ditinjau ulang dan disesuaikan, entah atas nama kearifan lokal, pragmatisme, atau sekedar kompromi politik.

Pendekatan dan proses penanganan berbagai kasus pelanggaran HAM berat selama ini hanya berkuat pada penuntutan terhadap pelaku. Hal ini tentu bukan sesuatu yang ditentang. Namun hal yang sering luput di samping penuntutan terhadap pelaku adalah mengenai pemenuhan hak korban.

Reparasi merupakan upaya pemulihan hak dan kondisi korban yang berubah paska terjadinya HAM. Dengan dilakukannya reparasi kondisi korban diharapkan dapat kembali seperti semula sebelum terjadinya pelanggaran HAM.

D. Bentuk-bentuk Reparasi.

Menurut Boven, bentuk-bentuk reparasi kepada korban pelanggaran HAM meliputi :1. Restutusi, yaitu upaya mengembalikan situasi yang ada sebelum terjadinya

pelanggaran HAM, misalnya : pengembalian kebebasan, kehidupan keluarga, kewarganegaraan, tempat tinggal, pekerjaan, atau hak milik.

2. Kompensasi, yaitu ganti rugi terhadap semua kerugian ekonomis yang dapat dinilai akibat pelanggaran HAM, misalnya : kerugian fisik atau mental termasuk rasa sakit, penderitaan, dan tekanan emosional, kehilangan kesempatan termasuk pendidikan, kerugian materiil dan hilangnya pendapatan termasuk pendapatan potensial, rusaknya reputasi atau martabat, serta biaya yang diperlukan untuk memperoleh bantuan dari ahli hokum, pelayanan medis, dan obat-obatan.

3. Rehabilitasi ( rehabilitation ) yang meliputi perawatan medis dan psikologis.4. Satisfaksi dan jaminan nonrepetisi ( satisfaction and guarantees of non

repetition)E. Hambatan Untuk Mendapatkan Reparasi.

Meskipun pemerintah sudah mengesahkan undang-undang mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM, namun tetap saja proses untuk mendapatkan reparasi sendiri mengalami berbagai hambatan :1. Pelaku harus dinayatakan bersalah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan

atau genosida.Yang dimaksud dengan kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan

yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sitematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, yang berupa hal-hal berikut. (Kurnia Titon Slamet, 2005).a. Pembunuhan.b. Pemusnahan.c. Perbudakan.d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.

Page 8: unsuri.ac.idunsuri.ac.id/.../02/JURNAL-HUKUM-KEPANGKATAN-2-SUDJAI.docx · Web viewMelalui penelusuran berbagai literature, baik nasional maupun internasional, peneliti mencoba untuk

http://unsuri.ac.id/jurnal-fakultas-hukum-dan-sosial/

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas pokok hukum internasional.

f. Penyiksaan.g. Pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan

kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang di dasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alas an lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menuruit hukum internasional.

i. Penghilangan orang secara paksa.2. Kejahatan apartheid.3. Jaksa harus membuat permohonan untuk reparasi bagi korban sebagai bagian

dari tuntutannya. Apabila pelaku dinyatakan bersalah, maka ia harus membayar restitusi. Apabila pelaku tidak membayar restitusi ini, maka korban harus melaporkannya pada jaksa Agung yang kemudian akan meminta Departemen Keuangan Untuk membayar kompensasi.

Dalam kenyataannya, sampai saat ini belum ada satupun korban maupun keluarga pelanggaran HAM yang mendapatkan hak reparasinya yang sudah diatur dalam UU No. 26 tahun 2000 ini. Hal ini, semakin memperlihatkan ketidakseriusan pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi.

Walaupun pemerintah sudah mencoba mengeluarkan peraturan tentang reparasi untuk korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, namun tetap saja dalam prosesnya banyak sekali hambatan. Sehingga tidak memungkinkan bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan hak reparasinya.

F. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat.

Setiap terjadi kejahatan maka dapat dipastikan akan menimbulkan kerugian pada korbannya. Korban kejahatan harus menanggung kerugian karena kejahatan baik materiil maupun imateriil. Namun dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai.

Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dan merupakan hak dari seseorang yang menjadi korban tindak pidana adalah untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi.

Beberapa peraturan di Indonesia mengatur mengenai pemberian kompensasi dan restitusi, misalnya KUHAP, UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,PP No. 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap korban Pelanggaran HAM yang berat. Namun berdasarkan pengamatan, sangat jarang ada korban tindak pidana yang mendapatkan ganti rugi. Pengadilan HAM ad hoc untuk Kasus Timor-timur, Tanjung Priok dan Abepura pun belum dapat memprktekkan pemberian komperansi , restitusi dan rehabilitasi kepada korban pelanggaran HAM berat karena pengaturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tidak jelas.

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat Metodologi yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normative karena menggunakan data sekunder sebagai sumber utama.

Page 9: unsuri.ac.idunsuri.ac.id/.../02/JURNAL-HUKUM-KEPANGKATAN-2-SUDJAI.docx · Web viewMelalui penelusuran berbagai literature, baik nasional maupun internasional, peneliti mencoba untuk

http://unsuri.ac.id/jurnal-fakultas-hukum-dan-sosial/

Sedangkan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan data dan fakta sebagaimana adanya untuk kemudian dianalisis terhadap ketentuan hokum yang berlaku, khususnya terhadap UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban Hasil penelitian menyebutkan bahwa pengaturan mengenai kompensasi dan restitusi bagi korban pelanggaran HAM berat belum dapat dijalankan karena mekanisme pengaturannya belum diatur secara jelas dan belum memenuhi standardisasi internasional yang sesuai dengan pengaturan mengenai mekanisme kompensasi dan restitusi dalam Statuta Roma, yang dapat menjamin korban dalam mendapatkan penggantian kerugian secara materiil dan imateriil.

HASIL DAN PEMBAHSAN

Mekanisme Yang Harus Dilakukan Dalam Pemberian Kompensasi Dan Restitusi Terhadap Korban Pelanggaran Ham BeratA. Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban

Pelanggaran HAM Berat.Mekanisme pemberian kompensasi dan restitusi ( ganti rugi ) bagi korban

pelanggaran HAM terlalu berbelit-belit, sehingga makin menambah penderitaan korban. Hak korban digantungkan pada pelaku. Kalau pelaku dipidana, korban baru dapat kompensasi. Seharusnya, kompensasi serta merta diberikan terlepas apakah pelaku dinyatakan bersalah atau tidak.

Dikatakan dalam, PP Nomor 3 tahun 2002 tentang kompensasi Restitusi, dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat yang dijadikan rujukan dalam penyusunan RPP menyebutkan bahwa pengertian kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh Negara kepada korban karena pelaku tidak mampu memberikan ganti rugi sepenuhnya.

Pengertian itu, katanya, telah meringankan peran Negara dalam pemulihan kerugian korban pelanggaran HAM. Kompensasi harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip hukum HAM intersasional yang menyatakan kompensasi adalah kewajiban Negara. Jadi kompensasi diberikan kepada korban bukan karena pelaku tidak mampu,tetp sudah menjadi kewajiban Negara untuk memenuhinya yang juga anggota Tim Penyusun RUU Perlindungan Saksi versi Koalisi Perlindungan Saksi.

Menurut ketentuan Pasal 35 Undang-undang No. 26 tahun 2000, di nyatakan bahwa setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat memperoleh kompensasi,restitusi dan rehabilitasi,untuk diberikan kepada ahli waris korban,apabila korban meninggal dunia. Mengenai kompensasi,restitusi dan rehabilitasi ini harus dicantumkan dalam amar putusan pengadilan hak asasi manusia.

Peraturan pemerintah yang mengatur tentang pemberian kompensasi restitusi dan rehabiitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat adalah PP pemberian restitusi,kompensasi dan rehabilitasi setelah adanya putusan mengenai restitusi,kompensasi dan rehabilitasi setelah adanya putusan mengenai restitusi,kompensasi dan rehabilitasi dalam amar putusan.Sayangnya PP ini dikeluarkan hanya sebagai pelaksana dari ketentuan PAsal 35 UU No. 26 tahun 2000.tidak ada peraturan secara khusus bagaimana pengajuan tentang kompensasi,restitusi dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat dapat dimintakan ke pengadilan.Mengenai hal ini akan dibahas lebih lanjut dibagian berikutnya.

Page 10: unsuri.ac.idunsuri.ac.id/.../02/JURNAL-HUKUM-KEPANGKATAN-2-SUDJAI.docx · Web viewMelalui penelusuran berbagai literature, baik nasional maupun internasional, peneliti mencoba untuk

http://unsuri.ac.id/jurnal-fakultas-hukum-dan-sosial/

Korban pelanggaran HAM berat secara khusus mendapatkan perhatian dalam UU No. 26 tahun 2000.Pasal 35 ayat 1 UU No. 26 tahun 2000 menyatakan bahwa korban pelanggaran HAM yang berat dan atau ahli warisnya dapat memeproleh kompensasi restitusi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dlam ayat 1 dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.Ayat 3 menyatakan bahwa ketentuan mengenai kompensasi,restitusi dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Dalam penjelasan pasal tersebut kompensasi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh Negara,karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian yang sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.Restitusi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga dimana ganti rugi ini dapat berupa pengembalian harta milik,pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.Sedangkan yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah pemulihan korban pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lainnya.

Mekanisme penggabungan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi diatur dalam pasal 98 ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa jika perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua siding atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara ganti kerugian kepada perkara pidana itu. Cara untuk pemulihan kerugian korban dapat digabungkan dalam perkara pidana adalah dengan permintaan penuntut umum agar hakim dapat mencantumkan dalam dictum putusan pidana.Dalam pasal 98 ayat 2 KUHAP saksi korban dapat mengajukan “petitum “ tersendiri secara lisan maupun tulisan dalam persidangan sebelum hakim menjatuhkan putusannya.

Berdasarkan uraian diatas maka kita sebagai warga Negara kita dapat melakukan gugatan apabila kita atau saudara kita mempunyai masalah pelanggaran HAM dengan mengajukannya kepada kejaksaan dan pengadilan HAM Ad Hoc yang khusus menangani masalah pelanggaran HAM, Negara kita pun telah mempunyai beberapa produk hokum nasional yang penting mengenai hak asasi manusia diantaranya :

1. UUD Negara Republik Indonesia.2. Ketetapan MPR No. XVII / MPR / 1998 mengenai Hak Asasi Manusia.3. UU No. 5 tahun 1968 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.4. UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.5. UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.6. Berbgai UU dan Perpu lainnya yang terkait dengan Hak Asasi Manusia.7. Keputusan Presiden No. 129 tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak

Asasi Manusia tahun 1998 – 2003.8. Keputusan Presiden No. 31 tahun 2001 tentang pembentukan Pengadilan Hak

Asasi Manusia di Indonesia.9. Keputusan Presiden No. 5 tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak

Asasi Manusia Ad Hoc pada pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diubah dengan Keputusan Presiden No. 96 tahun 2001.

10. Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Walaupun Undang-undang No. 26 tahun 2000 tidak mengatur tentang susunan majelis pengadilan hak asasi manusia Ad Hoc, cara-cara dan syarat-syarat pengangkatan hakim dalam pelaksanaannya dapat mengacu pada ketentuan yang berlaku bagi majelis hakim pengadilan hak asasi manusia di tingkat kasasi. Akan

Page 11: unsuri.ac.idunsuri.ac.id/.../02/JURNAL-HUKUM-KEPANGKATAN-2-SUDJAI.docx · Web viewMelalui penelusuran berbagai literature, baik nasional maupun internasional, peneliti mencoba untuk

http://unsuri.ac.id/jurnal-fakultas-hukum-dan-sosial/

tetapi, untuk terjadinya kerancuan sebaiknya hal ini di atur secara sendiri dalam suatu peraturan perundang-undangan.Sedangkan menurut ketentuan undang-undang nomor 26 tahun 2000 hukum acara yang berlaku di pengaadilan hak asasi manusia sebagaimana di atur dalam undang-undang nomor 26 tahun 2000

Selama ini program rehabilitasi terhadap korban terfokus pada rehabilitasi secara medis, sedangkan rehabilitasi sosial sering diabaikan. Padahal rehabilitasi sosial memegang peranan yang sama pentingnya dengan rehabilitasi medis.Sekalipun rehabilitasi medis telah berhsil menghilangkan kecanduan seseorang terhadap psikotropika, jika tidak diikuti dengan rehabilitasi sosial, orang tersebut akan dengan mudah kembali ke tempat lingkungan lamanya, kemudian akan menjadi pecandu obat-obatan terlarang.

Perlu digagaskan pula bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia jika mempunyai hak terhadap ekonomi.Hak atas ekonomi ini menuntut perlunya perlindungan yang selayaknya. Antara hak asasi manusia dan hak atas ekonomi ini memiliki kaitan yang cukup erat. Sehingga ada yang mengatakan, seperti Booysen, menyebutkan kalau hak asasi manusia ini dalam kaitannya dengan hukum ekonomi internasional (Effendi, H. A MAsyhur, 1993).

Dengan demikian, dengan adanya pengaturan mengenai kompensasi restitusi, dan rehabilitasi hak-hak asasi manusia ( HAM ) yang merupakan hak dasar secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,dikurangi,atas dirampas oleh siapaun.Dalam hal ini terjadi pengabaian, pengurangan dan perampasan hak asasi manusia, terutama terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi, maka pihak korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya berhak memperoleh kompensasi,restitusi dan atau rehabilitasi secara tepat,cepat dan layak dalam arti bahwa pihak korbn atau ahli warisnya berhak memperoleh ganti kerugian atau pengembalian hak-hak dasarnya yang dilakukan sesuai dengan sasaran yakni korban dan penggantian kerygiannya, pelaksanaannya segera diwujudkan, dan pengembalian haknya harus patut sesuai dengan rasa keadilan.

B. Persyaratan Kompensasi dan Restitusi Masih Memberatkan Korban.Rancngan Peraturan Pemerintah tentang Pemberian Kompensasi dan

Restitusi kepada Saksi atau korban dianggap masih mengandung banyak kelemahan.Antara lain persyaratan yang memberatkan korban.RPP itu sangat tidak menguntungkan bagi korban, ujar Surastini Fitrasih.Staf pengajar hukum pidana Universitas Indonesia ini berpendapat materi RPP yang sedang disusun Pemerintah masih mengandung sejumlah kelmahan.

Semangat pemberian kompensasi dan restitusi sebenarnya berangkat dari upaya melindungi korban atau saksi suatu tindak pidana. Pasal 5 undang-undang No. 13 tahun 2006 tegas menyebutkan bahwa seorang saksi atau korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi,keluarga,dan harta bendanya,serta bebas dari ancaman.Melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ),seorang korban dapat mengajukan kompensasi dan restitusi ke pengadilan.

Namun, dari segi waktu tidak mudah untuk mendapatkan kompensasi atau restitusi.Dari segi hukum pidana,dasar pemberian kompensasi dan restitusi adalah pemindahan. Agar dapat meminta kompensasi dan restitusi terlebih dahulu harus ada putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat.Ini berbeda

Page 12: unsuri.ac.idunsuri.ac.id/.../02/JURNAL-HUKUM-KEPANGKATAN-2-SUDJAI.docx · Web viewMelalui penelusuran berbagai literature, baik nasional maupun internasional, peneliti mencoba untuk

http://unsuri.ac.id/jurnal-fakultas-hukum-dan-sosial/

dengan praktek antara lain di Amerika Serikt. Di Negara Paman Sam ini,bisa diberikan sebelum adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Kalau pemenuhan hak-hak korban dijalankan setelah putusan imkracht, adanya justeru tidak efektif.Misalnya bantuan kesehatan yang diakomodir dalam pasal 6 UU No. 13 / 22006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kalau pengobatan medis diberikan setelah putusan pengadilan, aturan itu justru kurang bermanfaat. Seharusnya pemberian kompensasi kepada korbn tidak tergantung sepenuhnya pada ada tidaknya pemidanaan.

Penentuan kompensasi pengadilan hak asasi manusia adalah sangat penting dan perlu dirumuskan dengan cermat,guna mencegah terjadinya tumpang tindih kewenangan antara pengadilan hak asasi manusia dengan pengadilan pidana.4

C. Mengungkap keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi HAM di Indonesia.

Pada era pemerintahan Abdurrahan Wahid,sebuah solusi ditawarkan berbagai pihak dengan menyampaikan alternative penyelesaian permsalahan HAM di Indonesia. Solusi yang ditawarkan berupa pembentukan Komisi Keberanan dan Rekonsiliasi ( KKR ) yang dimuat dalam RUU KKR.Akhirnya wacana,Ide ataupun usulan terbentuknya KKR secara formil dimulai dengan dikeluarkannya TAP MPR No. V / MPR / 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional yang kemudian dipertegas dengan UU tentang Pengadilan HAM.

Eksistensi KKR dalam UU Pengadilan HAM tersebut tercantum dalam Pasal 47 ayat ( 1 ) dan ( 2 ).Komisi yang akan dibentuk dengan UU tersendiri dimaksudkan sebagi lembaga ekstrayudisial yang ditetapkan dengan UU bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau,sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undang yang berlaku dan melaksanakan rekonsiliasi nasional dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.

Memang pembentukan KKR ini pastinya mengalami pro dan kontra, tetapi akhirnya pada tahun 2004 diundangkan Undang-undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rehabilitasi. Lahirnya UU No. 27 tahun 2004 ini memang cukup controversial.Terjadi pro dn kontra dari kalangan masyarakat korban yang akhirnya menjadi catatan dan sorotan publik.

Pembentukn komisi kebenaran dan rekonsiliasi tersebut mempunyai tujuan sebagai berikut :1. Mengungkapkan kebenaran tentang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi

sehubungan dengan faktor-faktor politik dan / atau pelaksanaan maupun respon terhadap kekuasaan otoriter.

2. Melaporkan temuan tentang pelanggaran hak asasi manusia tersebut,termasuk faktor-faktor penyebab,peristiwa-peristiwa sebelumnya yang melatarbelakangi, mativasi politik dan / atau ekonomi, praktek-praktek lembaga Negara maupun aktor-aktor non-negara,serta pertanggung jawaban individu maupun lembaga,dan nampak dari pelanggaran hak asasi manusia tersebut.

3. Membantu pemulihan korban pelanggaran hak asasi manusia,sesuai dengan standar universal berkaitan hak-hak korban.

Undang-undang tentang Komisi Kebenran dan Rekonsiliasi.Secara substansial berbeda dengan ketentuan tentang pelanggaran HAM yang diatur dalam Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.Undang-undang ini tidak mengatur tentnag proses penututan hukum,tetapi mengatur proses-proses sebagai berikut :

Page 13: unsuri.ac.idunsuri.ac.id/.../02/JURNAL-HUKUM-KEPANGKATAN-2-SUDJAI.docx · Web viewMelalui penelusuran berbagai literature, baik nasional maupun internasional, peneliti mencoba untuk

http://unsuri.ac.id/jurnal-fakultas-hukum-dan-sosial/

1. Pengungkapan kebenaran.2. Pemberian kompensasi,restitusi, dan / atau rehabilitasi kepada korban atau

keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.3. Pertimbangan amnesti, yang semua ini diharapkan membuka jalan bagi proses

rekonsiliasi dan persatuan nasional.Dengan melihat fakta-fakta yang ditemukan oleh komisi kebenaran dan

rehabilitasi dalam kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pihak yang harus bertanggung jawab harus diidentifikasi.Apabila pelaku mengakui kesalaha, mengakui kebenaran fakta-fakta menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat mengajukan permohonan amnesty kepada Presiden.Apabila permohonan amnesti tersebut beralasan, Presiden dapat menerima permohonan tersebut, dan kepada korban diberikan kompensasi dan / atau rehabilitasi.

Demikian pula sebaliknya, terhadap pelanggaran hak assi manusia yang berat sudah diberi putusan oleh pengadilan hak asasi manusia ad hoc maka komisi kebenaran dan rekonsiliasi tidak berwenang memutuskan. Dengan demikian putusan komisi kebenaran dan rekonsiliasi atau putusan pengadilan hak asasi manusia ad hoc bersifat final dan mengikat.

Dengan adanya pengadilan hak asasi manusia dan komisi kebenaran dan rekonsiliasi tersebut di harapkan upaya-upaya penegakan hak asasi manusia di Indonesia agar berjalan dengan baik.

D. Cara Penyelesaian Permohonan Kompensasi Restitusi, Rehabilitasi dan Amnesti.

Dalam komisi telah menrima pengaduan atau laporan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang disertai permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi atau amnesty Komisi wajib memberi keputusan dalam jangka waktu paling lambat sembilan puluh hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan berupa :1. Mengabulkan atas menolak untuk memberikan kompensasi,restitusi,dan / atau

rehabilitasi dengan mempertimbangkan saran yang disampaikan oleh masyarakat kepada Komisi.

2. Memberikan rekomendasi berupa pertimbangan hukum dalam hal permohonan amnesti yang mana dalam jangka waktu paling lambat tiga hari terhitung sejak tanggal keputusan sidang Komisi disampaikan kepada Presiden untuk mendapatkan keputusan.

Presiden wajib meminta pertimbangan amnesti kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam jangka waktu paling lambat tiga puluh ahri terhitung sejak tanggal rekomendasi diterima. Dewan Perwakilan Rakyat wajib memberikan pertimbangan Amnesti dalam jangka waktu paling lambat tiga puluh hari sejak tanggal permintaan pertimbangan Presiden diterima. Keputusan Presiden mengenai mengabulkan atau menolak permohonan amnesty wajin diberikan oleh Presiden dalam jangka waktu paling lambat tiga puluh hari terhitung sejak tanggal pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Keputusan Presiden tersebut disampaikan kembali kepada kami dalam jangka waktu paling lambat 3 ( tiga ) hari terhitung sejak tanggal diputuskan. Komisi menyampaikan keputusan Presiden kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya,dalam jangka waktu paling lambat 7 ( tujuah ) hari

Page 14: unsuri.ac.idunsuri.ac.id/.../02/JURNAL-HUKUM-KEPANGKATAN-2-SUDJAI.docx · Web viewMelalui penelusuran berbagai literature, baik nasional maupun internasional, peneliti mencoba untuk

http://unsuri.ac.id/jurnal-fakultas-hukum-dan-sosial/

terhitung sejak tanggal keputusan tersebut diterima oleh Komisi. Kompenssi dan rehabilitasi dapat diberikan apabila permohonan amnesty dikabulkan.

Pernyataan perdamaian ini wajib dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh kedua pihak dan ketua Komisi. Namun jika pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya maka pelaku pelanggaran hak asasi tidak bersedia perbuatannya maka pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut kehilangan hak mendapat amnesty dan diajukan ke pengadilan hak asasi manusia ad hoc.

E. Meknisme Penyelesaian Kasus Korban Pelanggaran HAM Berat.Bagi pemerhati HAM, ini tentu terjadi masalah penting dan mendesak di

tengah upaya penegakan hukum dan HAM,khususnya menyangkut apakah Komnas HAM telah benar-benar melampaui wewenang hukumnya atas apa yang dituduhkan itu, atau mekanisme apa seharusnya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dengan konteks hukum yang ada hari ini? Tulisan ini menjelskan bagaimana kontroversi kewenangan Komnas HAM dilihat dalam perspektif hokum HAM di Indonesia.

Kewengan itu bukan pula urut-urutan, dalam arti menjalankan fungsi pemantauan lebih dulu untuk memstikan dugaan pelanggan HAM berat, baru kemudian menjalankan fungsi penyelidikan bila ditemukan adanya dugaan pelanggaran HAM berat.

Mengintergrasikan kedua fungsi itu penting agar efektif dalam menjalankan wewenang hukum, utamanya untuk menghindari dupliksi pemeriksaan saksi,baik itu korban, pleku,maupun pihak lain yang terkait.

Dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat maasa lalu, sejak ada putusan Mahkamah Konstitusi ( MK ) No. 006 / PUU – IV / 2006 dan 020 / PUU – IV / 2006 yang membatalkan UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, kini peluang mekanisme hokum penyelesaiannya terbatas pda UU Pengadilan HAM.

Sebelum putusan MK No. 18 / PUU – V / 2007, kengaturan kasus-kasus kategori “ masa lalu “ harus ditempuh melalui DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan Presiden, khususnya atas “dugaan pelanggaran HAM yang berat”.

Kontrol kekuasaan nonyudisial yang terjadi di Indonesia saat itu bisa dipahami karena suasana transisi politik pascrezim otoritaan yang kekuatan politiknya masih terlampau kuat di eksekutif dan legislatif.Namun, setelah putusan itu, tak lagi memerlukan “persetujuan politik“ DPR dalam mengupayakan penyellidikan Komnas HAM maupun penyelidikan Kejaksaan Agung. “Persetujuan Politik” memang sudah seharusnya dihapus karena dinilai mencampuri kewenangan yudisial dalam mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dan tidak sesuai dengan upaya mendorong integrated justice sistem.

Dengan mekanisme hukum penyelesaian yang secara bertahap maju,posisi Komnas HAM adalah sangat menentukan sebagai ujung tombak penegakan HAM di Indonesia,khususnya dalam membuka kasus-kasus masa lalu yang selama ini sengaja dikubur dalam-dalam atas nama kepentingan nasional. Memang,menjalankan mandat mekanisme penyelesian ini tidak mudah karena jenisnya yang extra-ordinary crimes,yang memiliki hukum acara tersendiri. Dalam kontek demikian, kontroversi wewenang ini sesungguhnya bukan masalah dalam ranah yuridis, melainkan masalah politik kepentingan tertentu untuk melanggengkan sirkuit impunitas.

Terkait dengan tujuan di atas Komnas HAM mempunyai fungsi pemantauan dan mediasi tentang HAM. Pelaksanaan fungsi pemantauan memberikan kewenangan pada Komnas HAM untuk melakukan :

Page 15: unsuri.ac.idunsuri.ac.id/.../02/JURNAL-HUKUM-KEPANGKATAN-2-SUDJAI.docx · Web viewMelalui penelusuran berbagai literature, baik nasional maupun internasional, peneliti mencoba untuk

http://unsuri.ac.id/jurnal-fakultas-hukum-dan-sosial/

1. Pengamatan pelaksanaan HAM dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut.

2. Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul di masyarakat yang beradasarkan lingkupnya patut di duga terdapat pelanggaran HAM.

3. Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang di adukan untuk di minta dan di dengar keterangannya.

4. Pemanggilan saksi untuk di minta dan di dengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu di minta menyerahkan bukti yang di perlukan.

5. Peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dia anggap perlu.6. Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis

atau menyerahkan dokumen yang di perlukan sesuai dengan aslinya sesuai dengan persetujuan ketua pengadilan.

7. Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan,bangunan dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan ketua pengadilan.

8. Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan ketua pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan.6

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan.Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan sebagai

berikut :1. Upaya Hukum terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat.

Upaya hukum yudisial berdasarkan ketentuan Undang-undang HAM, yaitu pengadilan HAM kurang mencerminkan konsep dan norma tentang kewajiban reparasi,kompensasi dan restitusi oleh Negara. Upaya hukum tersebut masih belum berjalan dengan konsep korban, karena sangat terfokus pada proses peradilan pidana pelanggaran HAM. Sehingga dapat di simpulkan, bahwa pengadilan HAM tidk memberikan upaya hukum yang efektif terhadap hak korban atas reparsi, pemberian kompensasi dan restitusi dari Negara.

2. Alternatif Pemecahan Masalah Terhadap Korban Pelanggaran HAM.Keberadan komisi kebenaran dan rekonsiliasi ( KKR ) sebagai upaya hukum nonyudisial dalam rangka penyelesian pelanggaran HAM berat masa lalu masih belum merefleksikan tanggung gugat Negara atas pelanggaran HAM berat.

Saran. Berdsrkan kesimpulan di atas peneliti merekomendasikan supaya penegakan

HAM harus di tempuh dalam dua hal, yaitu peradilan pidana pelaku pelanggaran HAM dan reparasi, kompensasi,restitusi dan rehabilitaasi terhadap korban HAM harus di dahulukan sesuai dengan kewajiban Negara untuk menjamin penghormatan HAM.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, H Rozali, dan Syamsir, 2002.Perkembangan Hak Asasi Manusia danKeberadaan Peradilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Ghalia Indonesia,.

Adolf Haula, 2005. Hukum Ekonomi Internasional, ( Jakarta : PT. RAJA Grafindo Persada,.

Effendi, H. A MAsyhur, 1993. Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia,.

Page 16: unsuri.ac.idunsuri.ac.id/.../02/JURNAL-HUKUM-KEPANGKATAN-2-SUDJAI.docx · Web viewMelalui penelusuran berbagai literature, baik nasional maupun internasional, peneliti mencoba untuk

http://unsuri.ac.id/jurnal-fakultas-hukum-dan-sosial/

Gosita Arif, 1983. Masalah Korban Kejahatan, Kumpulan Karangan, Jakarta,.Kurnia Titon Slamet, 2005. Reparasi ( Reparation ) Terhadap Korban Pelanggaran

Ham di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti Bandung.Kompas, Pelayanan Psikososial Dan Pembentukan Komisi Orang Hilang

Edisi. 16 / 07 / 2008.Mattalanta Andi, 1987. Santunan Bagi Korban,J.E.Sahetapy,JakartaSianturi S.R, 1989. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya Jakarta,.Undaang-undang No. 26 tahun 2000,tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.Undangundanng No. 39 tahun 1999,Tentang Hak Assi Manusia.