karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian...

34
Paper Zoonosis SISTISERKOSIS DI INDONESIA Oleh: ENDANG SRI PERTIWI (B251100214) SITI KHADIJAH (B251100174) AMANATIN (B251100134) SEKOLAH PASCA SARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Transcript of karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian...

Page 1: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

Paper Zoonosis

SISTISERKOSIS DI INDONESIA

Oleh:

ENDANG SRI PERTIWI (B251100214)

SITI KHADIJAH (B251100174)

AMANATIN (B251100134)

SEKOLAH PASCA SARJANA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

Page 2: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

2

PENDAHULUAN

Sistiserkosis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh sistiserkus yang

terdapat pada otot maupun organ lainnya. Sedangkan keberadaan sistiserkus khusus

pada otak, disebut sebagai neurosistiserkosis. Sistiserkosis selalu berkaitan dengan

taeniasis karena sistiserkosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh stadium larva

atau fase metacestoda dari cacing pita, sedangkan taeniasis disebabkan oleh cacing

dewasa yang hidup di dalam usus halus manusia. Cacing dewasa yang terdapat dalam

usus manusia yaitu Taenia soleum dan Taenia saginata. Stadium larva dari T. soleum

yang terdapat banyak pada daging babi disebut Cysticercus sellulose sedang T.

saginata yang terdapat dalam daging sapi disebut Cysticercus bovis atau Cysticercus

innermis. Nama lain dari larva T. solium adalah metasestoda, cacing gelembung,

kista atau cysticercus cellucosae. Kepentingan kesehatan masyarakat veteriner dari

T. solium adalah bahwa orang dapat terinfkesi oleh telur cacing dan mendapatkan

sistiserkus pada jaringan tubuhnya, dan inilah beda antara T. saginata (Subahar dkk

2005).

Sistiserkosis merupakan salah satu penyakit zoonosis yang cara penularannya

termasuk dalam kelompok siklozoonosis. Cara penularan atau transmisi penyakit

dalam kelompok siklozoonosis membutuhkan lebih dari satu jenis vertebrata, tetapi

tidak melibatkan invertebrata untuk menyempurnakan siklus hidup agen penyebab

penyakit. Sistiserkosis pertama kali ditemukan pada babi oleh Aristophanes dan

Aristoteles pada abad ke-3 sebelum masehi. Kemudian ditemukan pada manusia oleh

Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008).

Kasus pertama sistiserkosis pada manusia di Indonesia dilaporkan oleh Bonne,

tahun 1940, kasus yang dialami oleh perempuan keturunan Cina dari Kalimantan

Timur. Kasus lain dilaporkan oleh Hausman tahun 1950. Di Jakarta, kasus

sistiserkosis serebral digambarkan oleh Lie pada tahun 1955 (Margono et al. 2001).

Saat ini diketahui sistiserkosis terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali, Irian

Jaya, dan Sumatera Utara. penyakit ini disebut juga dengan penyakit pork measles,

Page 3: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

3

beberasan di Bali, manis-manisan di Tapanuli, dan banasom di Toraja (Margono et al.

2001).

Sistiserkosis menjadi masalah kesehatan masyarakat utama terutama dinegara-

negara berkembang. Namun, sistiserkosis juga ditemukan di negara maju seperti di

Amerika Serikat. Di negara tersebut jumlah kasus neurosistiserkosis meningkat dan

diperkirakan lebih dari 1000 kasus terdiagnosis setiap tahun. Hal ini disebabkan

karena peningkatan jumlah imigran dari Meksiko dan negara berkembang lain yang

datang ke negara tersebut. Dilaporkan bahwa selama tahun 1986-1994 ditemukan 47

kasus neurosistiserkosis pada anak di rumah sakit Chicago (Subahar dkk 2005).

Manifestasi utama dari infestasi parasit ini adalah neurosistiserkosis (NCC)

yang menyerang susunan syaraf pusat dan menjadi penyebab tunggal yang paling

umum dari kejadian epilepsi dinegara berkembang. Tiga perempat dari 50 juta orang

dengan epilepsi ini hidup dinegara-negara miskin dan 94% tidak tersentuh oleh

pengobatan (Prasad et al. 2008).

Beberapa laporan pasien dengan sistiserkosis dari berbagai negara di Asia

seperti India, Cina, Indonesia, Thailand, Korea, Taiwan dan. Namun, jarang terdapat

data epidemiologis dari penelitian berbasis masyarakat dan hanya tersedia hanya

untuk beberapa negara di Asia (Rajshekhar et al. 2003).

Menurut Subahar, dkk (2005), bahwa taeniasis/ sistiserkosis adalah penyakit

yang disebut sebagai penyakit rumah tangga yaitu suatu penyakit dengan karakteristik

sebagai berikut: sering dijumpai lebih dari satu anggota keluarga di suatu rumah

tangga yang terinfeksi penyakit tersebut. Penderita dewasa T. solium merupakan

sumber utama penularan sistiserkosis pada manusia. Dilaporkan di Mexico bahwa

satu anggota keluarga menderita penyakit ini, seringkali anggota keluarga lainnya

didapatkan hasil seropositif terhadap antigen T. solium. Di Indonesia juga dilaporkan

bahwa dari 3 orang anggota keluarga pemilik babi yang tinggal di Kabupaten

Jayawijaya, Irian Jaya, anti-sistiserkosis antibodi ditemukan pada 2 orang anggota

keluarga tersebut. Anti-sistiserkosis antibodi merupakan indikator bahwa seseorang

menderita penyakit sistiserkosis.

Page 4: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

4

ETIOLOGI

Spesies dari Taenia yang penting dalam penyebaran sistiserkosis adalah T.

solium dan T. saginata. Taxonomi dari Taenia spp tersebut adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Platyhelminthes

Class : Cestoda

Orde : Cyclophyllidea

Famili : Taeniidae

Genus : Taenia

Spesies : Taenia sp

Taenia solium

Cacing ini disebut juga sebagai cacing pita daging babi karena babi bertindak

sebagai inang perantara yang mengandung larva. T. solium dan banyak ditemukan di

Amerika Latin, Asia Tenggara dan Afrika. Secara umum cacing ini banyak

ditemukan di daerah pedesaan, dimana babi dibiarkan berkeliaran dengan bebas

(CFSH 2005).

Sistiserkosis babi (porcine cysticercocis) disebabkan oleh stadium larva dari

cacing pita T. solium (Flisser et al. 2004).

Gambar 1. Scolex (A) dan Cacing pita dewasa (B) (Garcia et al. 2003)

Page 5: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

5

Gambar 2. Telur Cacing T. solium berisi larva

Taenia saginata

T. saginata telah menginfeksi manusia sejak sebelum masehi dimana manusia

bertindak sebagai induk semang definitif sedangkan sapi bertindak sebagai induk

semang antara. Cacing dewasa tinggal di usus manusia dan menyebabkan taeniasis

sedangkan metacestoda (sistiserkus) tinggal di jaringan sapi menyebabkan

sistiserkosis Selain mengganggu kesehatan cacing ini juga dapat menyebabkan

kerugian ekonomi yang besar, terutama pada industri daging dan breeding. Infeksi

terjadi secara kosmopolitan, dimana insidensi kejadian tinggi ditemukan di negara

yang mengkonsumsi daging sapi (Dharmawan dkk 2009).

SIKLUS HIDUP

Siklus hidup cacing T. solium terdiri dari stadium dewasa, telur dan larva.

Cacing dewasa hidup di usus manusia, dengan ukuran panjang beberapa meter dan

berupa proglotid. Proglotid terakhir yang mengandung sekitar 50.000 telur pada

masing-masing segmennya. Ketika babi memakan kotoran manusia yang

mengandung telur dan proglotid, telur dilepaskan menuju saluran pencernaan,

onkosfer (hexacant embrio) menetas dan aktif, melewati dinding usus dan berdiam

diri di otot, mata dan sistem syaraf pusat, yang merupakan tempat bertransformasi

menjadi sistiserkus (merupakan stadium larva atau metacestoda). Sistiserkus

merupakan gelembung yang diameternya berukuran satu sentimeter, keputihan,

semitransparan dan mempunyai spherical scolex yang menonjol ke dalam gelembung.

Page 6: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

6

Dinding gelembung sistiserkus yang muda masih sangat tipis. Semakin tua dinding

itu semakin tebal sehingga membentuk kista. Gelembung tersebut berisi cairan yang

terdiri dari air, protein, lemak dan garam-garam yang larut dalam cairan tersebut.

Pada manusia hanya disebabkan oleh larva dari T.solium. Jika seseorang memakan

daging babi mentah atau tidak matang sempurna yang berisi sistiserkus, scolex akan

menonjol keluar, menempel pada dinding intestinal dan 3-4 bulan kemudian, akan

menghasilkan cacing dewasa (Flisser and Lightowlers 2001).

Gambar 3. Siklus hidup Taenia spp (cacing pita sapi dan cacing pita babi) (CDC 2010)

Page 7: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

7

PATOGENESA

Hewan

Cacing pita dewasa (T. solium dan T. saginata) merupakan parasit di dalam

usus manusia sehingga telur yang mengandung proglotid keluar dari tubuh bersama

feses. Kemudian apabila telur cacing tersebut ikut tertelan oleh hewan yang serasi di

dalam lambung akan menetas dan embrio menembus dinding dan mengikuti aliran

darah ke tempat-tempat predileksi. Oleh karena itu pembuangan feses yang tidak

memenuhi persyaratan higienis dapat mencemari lingkungan (Carabin et al. 2006).

Manusia

Infeksi cacing pita pada manusia terjadi ketika kista (sistiserkus) tertelan akibat

konsumsi daging babi yang tidak masak. Larva tersebut melekat pada usus manusia

dan berkembang menjadi cacing pita dewasa. Cacing pita dewasa akan melepaskan

proglotid (mengandung untaian telur) bersama feses yang selanjutnya

mengkontaminasi sumber-sumber pakan babi. Telur yang tertelan oleh babi kemudian

berkembang menjadi stadium larva, melintas pada dinding intestinal kemudian.

masuk ke dalam aliran darah, berlokasi pada beberapa jaringan dan berkembang

menjadi kista. Ketika manusia menelan telur-telur tanpa sengaja akibat kontaminasi

fecal-oral atau autoinfeksi, maka akan menjadi titik akhir stadium larva dari parasit

dan berkembang menjadi sistiserkosis seperti halnya pada babi. Telur cacing masuk

ke dalam tubuh per oral melalui tangan yang tercemar. Selain itu kontaminasi fecal-

oral biasanya terjadi melalui penanganan makanan yang tidak higenis atau melalui

buah dan sayuran yang terkontaminasi feses manusia.

Autoinfeksi terjadi sebagai akibat gerakan retrogesi proglotid dari intestinum

menuju perut sehingga telur cacing atau proglotida ikut masuk ke lambung dan usus,

dan di dalam lambung embrio akan keluar dari telur. Selanjutnya embrio ini akan

menuju ke tempat predileksi melalui aliran darah dan menjadi kista, kista ini sebagian

besar berada di dalam jaringan sub kutan, kemudian juga di dalam otak, otot-otot

paha, jantung, paru-paru, hati dan mata. Pada tahun 1950 seorang ahli bedah di

Page 8: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

8

Mexico menunjukkan bahwa dari sejumlah orang yang diduga menderita kanker otak,

ternyata 25% karena sistiserkosis. Sementara itu 3-6% pasien rumah sakit umum

dinyatakan mengandung parasit diberbagai organ. Daging babi berkista yang tertelan

oleh manusia tidak secara langsung mengakibatkan sistiserkosis, namun akan

mengakibatkan infeksi intestinal oleh cacing pita dewasa dan menjadi carrier telur-

telur T. solium yang apabila tertelan oleh manusia lainnya maka akan menimbulkan

gejala sistiserkosis (Kraft 2007; Carabin et al. 2006 ).

GEJALA KLINIS

Hewan

Hewan yang terinfeksi pada umumnya tidak menunjukkan gejala yang nyata.

Apabila manifestasinya cukup berat dapat mengakibatkan gangguan terutama pada

organ yang ditempati parasit ini. Gejala lain yang pernah dilaporkan adalah adanya

hipersensitifitas dari moncong dan kelumpuhan lidah atau kekejangan (Kraft 2007).

Manusia

Gejala klinis pada manusia tergantung dari letak dan jumlah sistiserkus serta

reaksi dari induk semang. Gejala klinis yang utama adalah rasa nyeri pada otot yang

ditempati sistiserkus. Selain itu nyeri otot gejala lainnya adalah seizure epilepsi (66-

90%), sakit kepala, gejala saraf, gangguan penglihatan, hydrocephalus, meningitis

kronis, dan encephalitis serta nodul pada otot. Epilepsi akan muncul apabila

sistiserkus terdapat dalam jumlah yang cukup banyak dapat mencapai sistem saraf

pusat dan setelah mengalami pengapuran, sehingga kadang-kadang gejala baru

muncul 20 tahun setelah infeksi. Apabila larva ini di jumpai di otak, larva akan

menimbulkan gangguan fungsional yang hebat, sedangkan di miokardium akan

menyebabkan kegagalan jantung miokardial. Dampak pada masyarakat dari penyakit

ini berupa kecacatan, inkapasitasi dan penurunan produktivitas (Kraft 2007; Carabin

et al. 2006).

Page 9: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

9

Gambar 4. Sistiserkus pada otot babi (Willingham AL 2006)

Gambar 5. Sistiserkus pada lidah babi pada pemeriksaan fisik (Willingham AL 2006)

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi

Sistiserkosis merupakan zoonosis yang penting dan banyak ditemukan di

negara berkembang daerah tropis, termasuk Indonesia. Transmisi penularan melalui

telur cacing yang ditemukan di tanah karena kebiasaan buang air besar yang tidak

pada tempatnya akibat kurangnya fasilitas sanitasi. Kebiasaan makan dan perilaku

tidak higienis merupakan faktor yang dapat meningkatkan tingkat endemisitas di

suatu daerah. Di Indonesia, sistiserkosis merupakan penyakit pada penduduk yang

tinggal dibagian timur, meskipun diketahui penyakit ini juga ada di beberapa propinsi

Page 10: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

10

lain dengan laporan yang terbatas, terutama pada aspek epidemiologinya (Margono et

al. 2001).

Menurut Rajshekhar et al. (2003) prevalensi sistiserkosis yang tinggi ada di

Vietnam, Cina, Korea dan Indonesia (Bali), dengan rentang nilai 0,02-12,6%.

Sedangkan prevalensi taeniasis berdasarkan pemeriksaan feses untuk telur cacing

dilaporkan berkisar antara 0,1 dan 6 % di India, Vietnam, Cina dan Indonesia (Bali).

Prevalensi sebesar 50% dilaporkan terjadi di Nepal, yang dihuni oleh petani yang

beternak babi dengan sanitasi yang buruk dan standar higiene yang rendah, serta

kebiasaan mengkonsumsi daging babi mentah merupakan faktor tambahan yang

berkontribusi terhadap penyebaran penyakit dibeberapa wilayah Asia.

Tabel 1. Data Prevalensi taeniosis dan sistiserkosis di beberapa negara di Asia (Rajshekhar et al. 2003)

Negara Sisitiserkosis Manusia (%)

Taeniasis (%)

Porcine Sistiserkosis (%)

Cina 3,4 0,112 (0,06-19) 5,4 (0,8-4,0)Indonesia 1,7-13 0,8-23 0,02-2,63Vietnam 5-7 0,5-6 0,04-0,9India Tidak ada data 2 9,3Nepal Tidak ada data 10-50 32,5Korea 3 Tidak ada data Tidak ada data

Prevalensi taeniasis/ sistiserkosis di Indonesia pada tahun 1997 berada pada

rentang 1,0%-42,7%, dengan prevalensi tertinggi ditemukan di propinsi Irian Jaya

(tahun 1997) yaitu 42,7%. Propinsi Irian Jaya adalah salah satu propinsi di Indonesia

yang terletak paling timur. Sistiserkosis di propinsi Irian Jaya ditemukan pertama kali

di Kabupaten Paniai dan kemudian menyebar ke wilayah timur pegunungan

Jayawijaya sampai ke Lembah Baliem dan kabupaten lain, termasuk Kabupaten

Jayawijaya (Purba dkk 2003). Propinsi Irian Jaya merupakan daerah hiperendemis

sistiserkosis. Prevalensi sistiserkosis pada manusia pada tahun 2001 yang tinggal

didaerah pedesaan Kabupaten Jayawijaya sebesar 41,3%-66,7%. Prevalensi

sistiserkosis pada babi (porcine cysticercosis) berkisar antara 62,5-77,8% (Subahar

dkk 2005).

Page 11: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

11

Distribusi geografis

Irian Jaya

Kasus pertama dilaporkan sebanyak 13 kasus pasien menderita serangan

epilepsi. Hasil pemeriksaan feses sebanyak 170 pasien yang dirawat di rumah sakit,

sebanyak 9% dinyatakan positif adanya telur Taenia spp. Sebelum tahun 1973,

terdapat beberapa kasus luka bakar yang dirawat di Rumah Sakit Enarotali,

sedangkan selama tahun 1973 - 1976 jumlah kasus luka bakar meningkat menjadi 257

kasus. Luka bakar diduga terjadi karena terjatuh di api pada saat serangan epilepsi.

Nodul subkutan ditemukan sekitar 33,1% dan 16,6% dari jumlah sampel feses positif.

Pemeriksaan dengan ELISA ditemukan adanya titer antibodi terhadap sistiserkus T.

solium (Margono et al. 2001).

Pada tahun 1994 dan 1995, total 638 dan 945 kasus baru dilaporkan dari 20 unit

kesehatan lokal. Jumlah kematian sebanyak 6 dan 8 pada dua tahun tersebut. Tingkat

kejadian kejang selama tahun 1992-1995 adalah masing-masing 0,28, 0,43, 0,21, dan

0,83%. Kista didapatkan pada 14 orang laki-laki dan 1 babi didiagnosis sebagai

penyebar sistiserkus T. solium. Sebuah kuisioner diberikan kepada 30 responden di

Kecamatan Assologaima, menerangkan bahwa 83,9% adalah analphabetics (tidak

bisa membaca dan menulis), 93,6% petani dan mereka semua kadang-kadang makan

daging babi, karena tidak ada daging lainnya. Mereka memanggang daging di batu

panas. Penduduk yang menggunakan air sungai tanpa direbus sebagai sumber air

minum sebesar 93,3%, 64,5% tidak mencuci tangan sebelum makan dan 58,1%

setelah buang air besar. Sebanyak 64,5% responden buang air besar disekitar semak-

semak atau dihutan. Dilaporkan bahwa tidak ada satupun dari penduduk yang

memiliki fasilitas toilet kerenanya responden tersebut melakukan defekasi

disembarang tempat. Dilaporkan juga bahwa babi-babi berkeliaran disekitar rumah,

memasuki rumah, meskipun kadang-kadang babi tersebut ditempatkan dibalik pagar

(Margono et al. 2001)

Page 12: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

12

Salim et al. (2009), pada tahun 2007 (Agustus-Desember) melakukan penelitian

kembali dengan mengukur anti-sistiserkosis antibodi dan anti-taeniasis antibodi.

Hasilnya dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Prevalensi Sistiserkosis dan Taeniasis di 4 Kabupaten di Irian Jaya (Salim et al. 2009)

Penyakit Jayawijaya Paniai Pegunungan Bintang Puncak Jaya

Sistiserkosis (%) 20,8 29,2 2,6 2,0

Taeniasis (%) 7,0 9,6 10,7 1,7

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa prevalensi tertinggi terjadi di Kabupaten

Jayawijaya dan Paniai, sedangkan prevalensi rendah didapatkan pada Kabupaten

Pegunungan Bintang dan Puncak Jaya.

Gambar 6. Area Survei Sistiserkosis-Taeniasis di Papua (Salim et al. 2009)

Page 13: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

13

Bali

Pada tahun 1991-1993, dilaporkan 6 kasus sistiserkosis. 5 kasus pada laki-laki,

sedangkan 1 kasus pada perempuan, berusia antara 12-39 tahun. Salah satu pasien

laki-laki menderita kista multipel dengan kejang dan laki-laki yang lain menderita

kista tetapi tidak mengalami kejang. Dari 5 kasus tersebut hanya satu pasien yang

tidak mengalami kejang. setelah CT-scan diperkenalkan tahun 1991 disebuah rumah

sakit di Denpasar, Bali; neurosistiserkosis dapat lebih dideteksi. Selama tahun 1995-

1997, 25 pasien, 15 pria dan 10 wanita, berusai antara 23-65 tahun, dirawat karena

neurosistiserkosis. Diantara pasien tersebut, 68% mengalami serangan epilepsi, 24%

menderita cephalgia dan 8% mengalami penurunan kesadaran, disorientasi dan

penurunan memori yang progresif. Biopsi pada nodul subkutan menunjukkan adanya

sistiserkus pada pemeriksaan histopatologi. CT-scan menunjukkan satu atau

beberapa nodular kistik, kepadatan lesi rendah dengan peningkatan cincin dan

kalsifikasi. Variasi gejala klinis tergantung pada ukuran, jumlah, tipe lokasi, dan

tahan perkembangan kista. Diagnosis disini berdasarkan anamnesa, pemeriksaan

fisik dan CT-scan (Margono et al. 2001).

Tahun 1982, Le Coultre melaporkan bahwa 1,8-32% sisitiserkus babi dari Bali.

Laporan dari Unit Kehewanan, Denpasar pada tahun 1984-1988 disebutkan terdapat

positif sistiserkosis dengan rentang 0,01-1,06%. Dilaporkan juga bahwa ditemukan

4.884 babi dari rumah potong hewan di Denpasar, Bali; 7 positif (0,12%). 4 kasus

diantaranya berasal dari daerah Karangasem, 2 dari Gianyar dan 1 dari Badung. Dari

penelitian diamati bahwa dari 111 rumah tangga, 33 (29,7%) tidak mempunyai

fasilitas sanitasi dan 9 (8,1%) tidak memiliki keahlian beternak (Margono et al.

2001).

Sumatera Utara

Survei epidemiologi pada tahun 2003-2006 pada 371 orang (yang terdiri dari

285 keluarga) di Pulau Samosir, Sumatera Utara, menunjukkan 6 dari 240 (2,5%)

terinfeksi, 58 (3,4%) pada tahun 2004 dan 4 dari 182 (2,2%) di tahun 2005 (Wandra

et al. 2007).

Page 14: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

14

Jawa Timur

Penelitian dari 80.000 spesimen jaringan histopatologi mengungkapkan 9 kasus

sistiserkosis (tingkat kejadian 0,011%). Semua kasus berasal dari 2 kelompok etnis

yaitu Cina dan Bali. Kelompok ini terdiri dari lima laki-laki dan empat perempuan,

yang berusia antara 21-30 tahun. Nodul multipel ditemukan pada kasus tersebut. Pada

5 kasus, ditemukan kista yang tertanan dalam jaringan subkutan, sedangkan 4 kasus

lainnya pada otot rangka; sedangkan pemeriksaan radiologi tidak menunjukkan kista

di otak (Margono et al. 2001).

Jakarta dan propinsi lainnya

Kasus di Jakarta kadang-kadang dilaporkan, salah satunya adalah kasus

sistiserkosis serebral pada seorang perempuan Cina. Operasi menunjukkan banyak

kista di otak dan diagnosa diteguhkan dengan pemeriksaan histopatologi. Selama

tahun 1962-1970, 7 orang pasien ditemukan di Jakarta, 1 dari Bali, 1 dari Jawa

Timur, 2 dari Sumatera Utara, dan 3 dari Jakarta. Beberapa nodul subkutan

didiagnosis sebagai sistiserkus, ditemukan pada penderita lain, seorang perempuan

keturunan Cina, berusia 23 tahun. Pasien ini menderita sakit kepala, mual, parasthesia

dari wajah kiri. Setelah periode ini, kasus sistiserkosis jarang didokumentasikan di

wilayah Jakarta (Margono et al. 2001).

Gambar 7. Penderita Sistiserkosis dengan nodul-nodul ditubuhnya (Ridhawati 2000)

Page 15: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

15

Gambar 8. Peta Geografi Indonesia menunjukkan Area Endemik Sistiserkosis dan Taeniasis (Wandra et al. 2007)

DIAGNOSA

Untuk mendiagnosa sistiserkosis dilakukan pengujian terhadap adanya telur

dan cacing dewasa dalam feses penderita , akan tetapi biasanya sulit dideteksi.

Diagnosa yang paling baik adalah menemukan parasitnya. Parasit yang berbentuk

gelembung dengan satu scolex ini ditemukan dalam berbagai otot/organ terutama

yang memperoleh vaskularisasi. Pemeriksaan secara rontgenologik dapat dilakukan

dengan penambahan bubur barium sulfat. Pengujian laboratorium yang dapat

digunakan untuk mendeteksi sistiserkosis adalah menggunakan metode ELISA,

Immunoelektroforesis, haemaglutinasi tidak langsung (indirect), dan Complement

Fixation test/CFT. Tes haemaglutinasi tidak langsung pernah dilakukan dan

dievaluasi untuk melihat titer antibodi pada serum babi yang secara alami terinfeksi

oleh sistiserkus dari T. solium dengan sensitivitas 85.71% (Selvam et al. 2004)

Dari semua pemeriksaan yang dilakukan tidak mudah untuk membedakan

antara T. solium dan T. saginata. Identifikasi dari segmen gravid sangat susah karena

perbedaannya sangat kecil. Perbedaan yang bisa diandalkan adalah adanya sfinter

vagina pada T. saginata (Soejodono 2004). Diagnosa fisik yang paling sederhana

terhadap babi dapat dilakukan dengan palpasi lidah untuk mengetahui keberadan

Page 16: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

16

sistiserkus. Peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan teknik Western Blot (Flores

et al. 2001). Deteksi cacing T. solium dapat dilakukan secara mikroskopis, namun

deteksi coproantigen mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi. Teknik immunoblot

memberikan hasil yang lebih bagus daripada kedua teknik tersebut (DeGiorgio et al.

2005).

Kasus infeksi kandung kemih oleh sistiserkus, teknik Enzyme Immuno Transfer

Blot (EITB) dan Sodium Dodecyl Sulphate Poly Acrylamide Gel Electrophoresis

(SDS-PAGE) dapat diaplikasikan dengan sasaran (analyte) yang dideteksi adalah

Whole Cyst Antigen (WCA), Scolex Antigen (SA) dan Excretory-secretory Antigen

(ESA) (Dhanalakshmi et al. 2005). Penentuan neurosistiserkosis pada manusia dapat

dilakukan dengan pemeriksaan CT-scan dan Magnetic Resonance Image (MRI)

(Carabin et al. 2006). Pemeriksaan dengan menggunakan teknik ELISA pada kasus

ini tidak dianjurkan karena kedua teknik ini tidak mempunyai korelasi positif ketika

hasilnya dibandingkan (Dorny et al. 2003).

Gambar 9. Scan neurosistiserkosis (Kraft 2007)

Page 17: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

17

Gambar 10. Hasil MRI dari kasus neurosistiserkosis (Kraft 2007)

Teknik ELISA mempunyai sensitivitas yang tinggi yaitu 85%. Gold standar

untuk pemeriksaan sistiserkosis adalah dengan melakukan konfirmasi patologik

melalui biopsi kista atau otopsi, sedangkan teknik neuroimaging otak tidak bisa

digunakan sebagai gold standar karena kista bisa jadi tidak berada pada sistem saraf

pusat (Dorny et al. 2003). Otopsi pada babi dapat dilakukan dengan mudah dimana

penghitungan kista yang ditemukan dapat digunakan untuk memvalidasi tes

immunodiagnostik. Keuntungan teknik immunodiagnostik pada babi adalah :

a. Sebagai tes diagnosa pada hewan hidup

b. Lebih sensitif dibandingkan metode palpasi lidah

c. Tidak terlalu mahal dan mudah digunakan untuk sampel dalam jumlah yang

banyak

Kerugian teknik ini antara lain adalah :

a. Sensitifitas yang tinggi tidak konsisten

b. Pada saat pengukuran antibodi, ekspos terhadap antigen lebih tergambarkan

daripada infeksi yang sesungguhnya.

Page 18: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

18

c. Interpretasi seropositif pada anak babi dapat membingungkan karena antibodi

maternal masih dapat bertahan selama 7 bulan.

d. Respon antibody yang bersifat sementara

e. Cross-reaction

Hydatidosis dan Cysticercus coenurus, dapat dilihat dari bentuk dan

strukturnya. Coenurus biasanya besar dengan banyak scolex pada dinding.

Sedangkan pada Echinococcus, scolex yang banyak itu tidak langsung terbentuk pada

dinding gelembung, melainkan membentuk anak/cucu gelembung dulu, kemudian

dari anak/cucu gelembung itu akan terbentuk scolex-scolex. Jadi dari satu gelembung

sistiserkus hanya akan menjadi satu cacing dewasa dalam usus hospes definitif.

Sedang dari satu Coenurus akan menjadi banyak cacing, dan dari satu hydatida

menjadi lebih banyak lagi cacing dewasa, tergantung pada jumlah scolex dalam

masing-masing gelembung.

Menurut Dorny et al. (2003), penyakit sistiserkosis perlu dibedakan dengan

beberapa penyakit lain seperti echinococcosis, tumor otak dan tuberculosis.

Sistiserkosis dapat dibedakan dengan ketiga penyakit tersebut dengan menggunakan

tes serologik (ELISA). Selain itu, menurut Garcia el al. (2003) beberapa penyakit

yang dapat menjadi differensial diagnosa bagi sistiserkosis babi adalah hydatidosis,

kista arachnoid, porencephaly, kista astrocytoma, kista koloid, multiple metastasis,

tuberculosis, mikosis, toxoplasmosis, abses, glioma awal, metastasis, arteriovenus

malformasi, tuberous sclerosis dan infeksi Cytomegalovirus.

Jenis specimen untuk pemeriksaan serologik (ELISA) dapat berupa serum atau cairan

serebrospinal. Sampel dapat dikirimkan dalam keadaan segar dingin.

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN

Menurut Flores et al. (2001), prinsip utama untuk mencegah terjadinya kasus

sistiserkosis adalah dengan memutus rantai hidup cacing dengan tidak memberikan

Page 19: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

19

kemungkinan sama sekali bagi babi untuk terpapar dengan feses manusia. Beberapa

hal yang bisa dilakukan antara lain adalah dengan :

1. Babi harus dikandangkan, sehingga tidak berkeliaran

2. Setiap rumah tangga harus memiliki kakus. Masyarakat harus membuang

fesesnya di kakus.

3. Higiene personal dijaga, bahan pangan dimasak dan disajikan dengan benar.

4. Menghindari konsumsi babi yang terinfeksi sistiserkus.

5. Tukang daging/ jagal harus mengafkir babi yang akan dipotong bila kondisinya

sangat kurus dan kelihatan tidak sehat.

6. Menyadarkan masyarakat supaya tidak defekasi di luar (selain kakus) ataupun

pekarangan.

Vaksinasi pada babi dapat dilakukan dengan menggunakan antigen oncospheral

dari T. solium (Garcia et al. 2003).

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007), cara pencegahan

dari sistiserkosis adalah

1. Usaha untuk menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita

taeniasis

2. Pemakaian jamban keluarga sehingga feses manusia tidak dimakan oleh babi dan

tidak mencemari tanah atau rumput

3. Pemelihara sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau sapi

dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran

4. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan/mantri hewan di rumah potong hewan

(RPH), sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi

masyarakat(kerjasama lintas sektor dengan dinas peternakan)

5. Daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan.Masyarakat diberi

gambaran tentang bentuk kista tersebut dalam daging, hal ini penting dalam

daerah yang banyak memotong babi untuk upacara – upacara adat seperti di

Sumatra Utara,Bali, dan Irian Jaya

6. Menghilangkan kebiasaan makan makanan yang mengandung daging setengah

matang atau mentah.

Page 20: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

20

7. Memasak daging sampai matang (diatas 500 C) atau membekukan dibawah 100 C

selama lima hari. Pendekatan ini ada yang dapat diterima,tetapi dapat pula tidak

berjalan,karena perubahan yang bertentangan dengan adat istiadat setempat akan

mengalami hambatan.untuk itu kebijaksanaan yang diambil dapat disesuaikan

dengan situasi dan kondisi daerah tersebut.

Pengobatan hanya dapat dilakukan terhadap cacing pita dewasa dan belum ada

obat yang efektif untuk sistiserkosis. Pengobatan pada babi dapat dilakukan dengan

menggunakan benzimidazole atau oxfendazole dengan derajat efektivitas mencapai

95% dalam membunuh kista sistiserkus pada penggunaan dosis tunggal (30mg/kg)

(Garcia et al. 2003).

Neurosistiserkosis pada manusia dapat diobati dengan menggunakan albendazol

yang dikombinasikan dengan preparat steroid untuk mengurangi edema. Medikasi

antiepileptik seperti phenytoin (Dilantin) dan carbamazepine (Tegretol) selama 1

tahun dan diulang lagi apabila muncul gejala, dapat mengatasi gejala epilepsi yang

timbul kembali (Kraft 2007). Pengobatan dengan menggunakan preparat tunggal

niclosamid kurang efektif. Kombinasi treatment mengunakan larutan electrolyte-

polyethylene glycol secara oral 2 jam sebelum dan setelah pemberian 2000 mg akan

memberikan efek pengobatan yang lebih kuat (DeGiorgio et al. 2005). Pengobatan

tidak bisa hanya didasarkan pada hasil tes serologik saja, tapi harus dikonfirmasi

dengan CT-scan atau pemeriksaan MRI (Dorny et al. 2003).

Page 21: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

21

DAFTAR PUSTAKA

Carabin H et al. 2006. Estimation of The Cost of Taenia solium Cysticercosis in Eastern Cape Province, South Africa. Tropical Medicine and International Health. Vol.11: 906-916. http://www.blackwell-synergy.com/doi/ pdf/10. 1111 /j.1365-3156.2006.01627.x [Juni 2006].

[CDC] Center for Disease Control and Prevention. Departemen of Health and Human Service. 2010. Cysticercosis [terhubung berkala]. http://www.cdc.gov/parasites/cysticercosis/. [6 September 2011].

[CFSPH] Center for Food Security and Public Health. Departemen of Veterinary Medicine Iowa State. 2010. Taenia Infections [terhubung berkala]. http://www. cfsph.iastate.edu . [6 September 2011].

DeGiorgio C et al. 2005. Sero-prevalence of Taenia solium Cysticercosis and Taenia solium Taeniasis in California, USA. Acta Neurol Scand. Vol 111: 84-88. http://www.ph.ucla.edu/epi/faculty/publications/Sorvillo_ANS_2005.pdf. [04 April 2005].

[DepKes RI] Departemen kesehatan Republik Indonesia. 2007. Petunjuk Pemebrantasan Taeniasis/ Sisitiserkosis di Indonesia [terhubung berkala]. www.depkes.go.id. [6 September 2011].

Dorny P, Brandt J, Zoli A, Geerts S. 2003. Immunodiagnostic Tools for Human and Porcine Cysticercosis. Acta Tropica. Vol 87: 79-86. http://cnia. inta. gov. ar/helminto/A%20Cisticercosis/Immunodiagnostic%20tools%20for%20human%20and%20porcine%20cysticercosis.pdf

Dhanalakshmi H, Jagannath MS, D’Souza PE. 2005. Protein Profile and Serodiagnosis of Taenia solium Bladder Worm Infectious in Pigs. Vet. Arhiv 75: 505-512. http://www.vef.hr/vetarhiv/papers/2005-75-6-7.pdf.

Dharmawan dkk. 2009. Experimental Infection Of Taenia Saginata Eggs In Bali Cattle: Distribution And Density Of Cysticercus Bovis. Jurnal Veteriner. Vol 10 (4): 178-183.

Flisser A et al. 2004. Induction of Preotection against Porcine Cysticercosis by Vaccination with Recombinant Oncosphere Antigens. American Society for Microbiology 72: 5292-5297. http://www.pubmedcentral . nih.gov/ article render.fcgi?artid=517464 [3 Juni 2007].

Flisser A, Lighttowlers MW. 2001. Vaccination Against Taenia Solium Cysticercosis. Mem. Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro. Vol 96 (3): 353-356

Page 22: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

22

Flores V, Rodea GB, Flisser A, Schantz PM. 2001. Hygiene and Reastraint of Pigs is Associated with Absence of Taenia solium Cysticercosis in Rural Community of Mexico. Salud Publica Mex. Vol 43: 574-576. http://www.scielosp.org/pdf/spm/v43n6/7534.pdf. [6 Juni 2001].

Garcia HH, Gonzalez AE, Evans CAW, Gilman RH. 2003. Taenia solium Cysticercosis. The Lancet 362: 547-56. http://ftp.cdc . gov/pub/ NCIDPD / Garcia %20cysticercosis%20review.pdf. [16 Agustus 2003].

Kraft R. 2007. Cysticercosis : An Emerging Parasitic Disease. Am Fam Physician 75: 91-6. http://www.aafp.org/afp/20070701/91.pdf. [1 juli 2007].

Margono et al. 2001. Cysticercosis In Indonesia: Epidemiological Aspects. Southeast Asian J Trop Med Public Health. Vol 32 (Suppl 2).

Prasad KN et al. 2008. Human Cysticercosis and Indian Scenario: a review. J. Biosci 33: 571-582.

Purba WH dkk. 2003. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Sistiserkosis Pada Penduduk Kecamatan Waimena, Kabupaten Jayawijaya, Propinsi Papua Tahun 2002. Makara Kesehatan. Vol 7 (2).

Rajshekhar V, Joshi DD, Doanh NQ, Van De N, Xiaonong Z. 2003. Taenia solium taeniosis/cysticercosis in Asia: Epidemiology, Impact and Issue. Acta Tropica 87: 53-60 [terhubung berkala]. www.sciencedirect.com. [6 september 2011].

Ridhawati. 2000. Parasitology Laboratory Examination Parasite Causing Skin Disorder. Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Salim L, Ang A, Handali S, Tsang VCW. 2009. Seroepidemic Survey of Cysticercosis-Taeniasis in Four Central Highland Districts of Papua, Indonesia. Am. J. Trop. Med. Hyg. Vol 80 (3): 384-388.

Subahar R dkk. 2005. Taeniasis/Sistiserkosis Diantara Anggota Keluarga Dibeberapa Desa, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Makara Kesehatan. Vol 9 (1): 9-14

Selvam P, D’Souza PE, Jaganath MS. 2004. Serodiagnosis of Taenia solium Cysticercosis in Pigs by Indirect Haemaglutination Test. Vet. Arhiv 74: 453-458. http://www.vef.hr/vetarhiv/papers/2004-74-6-7.pdf. [8 November 2004].

Soejodono. 2004. Zoonosis. Kesehatan Masyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Page 23: karyatulisilmiah.comkaryatulisilmiah.com/.../04/SISTISERKOSIS-DI-INDONESIA.docx · Web viewKemudian ditemukan pada manusia oleh Parunoli tahun 1550 (Prasad et al. 2008). Kasus pertama

23

Wandra T et al. 2007. Current Situation of Taeniasis and Cysticercosis in Indonesia. Trop. Medicine and Health. Vol 35 (4): 323-328.

Willingham AL. 2006. Update on Efforts to Combat Cysticercosis : Improving Human Health and Livestock Production in Developing Countries. http://www.galvmed.org/assets/news_0605/Cysticercosis.15MAY2006.pdf