rosalia.mercubuana-yogya.ac.idrosalia.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2017/... · Web...

34
Lobbi dan Negosiasi Etika Bernegosiasi Oleh : Yulia Susanti – 14071010 Prihati Widianingsih – 14071032 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI & MULTIMEDIA

Transcript of rosalia.mercubuana-yogya.ac.idrosalia.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2017/... · Web...

Lobbi dan Negosiasi

Etika Bernegosiasi

Oleh :

Yulia Susanti – 14071010

Prihati Widianingsih – 14071032

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI & MULTIMEDIA

UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA

2017

A. Negosiasi

Setiap aktivitas yang dilakukan dengan menggunakan tata cara atau

menghormati etika yang berlaku, akan memberikan kesan yang positif bagi

orang lain yang terlibat. Sama halnya dengan negosiasi, para negosiator

diwajibkan untuk berperilaku sesuai dengan etika, sehingga proses negosiasi

yang berjalan dapat efektif serta terintegrasi. Etika secara luas digunakan

dalam standar sosial untuk menentukan apa yang benar dan salah dalam

situasi tertentu, atau proses untuk menetapkan standar-standar tersebut

(Lewicki 2012, 312).

Diawali dengan gaya persuasif yang digunakan oleh para negosiator

juga turut mempengaruhi negosiasi, karena gaya persuasi tersebut berkaitan

dengan bagaimana cara negosiator menyampaikan pesan. Singkatnya,

negosiator perlu berhati-hati dalammembangun pesan untuk mempengaruhi

pihak lain. Crano dan Prislin (2006) seperti yang dikutip oleh Lewicki (2012),

mengatakan dengan mengasumsikan bahwa target pengaruh termotivasi dan

mampu memperhatikan daya tarik persuasif, maka pesan-pesan yang

beralasan kuat, berdasarkan bukti dan logis akan mampu memberikan

pangaruh. Gaya penyampaian seorang negosiator berperan andil dalam

negosiasi, karena ialah kunci dari keberhasilan negosiasi dan merupakan

cerminan dari negara asal mana ia dikirimkan, apabila negosiasi yang

berlangsung standar internasional.

Faktor lainnya yang menjadi penentu etika negosiasi adalah peran

komunikasi. Berbagai saluran komunikasi, seperti kesempatan bagi kedua

pihak untuk berkomunikasi di luar negosiasi-negosiasi formal, akan

membantu negosiator mengklarifikasi komunikasi formal atau bertukar

informasi jika saluran-saluran formal terganggu (Lewicki 2012, 122). Setiap

negosiator diwajibkan pula untuk memahami komunikasi yang terjadi dalam

negosiasi, karena sering kali bagi anggota-anggota lain dalam tim negosiasi

mengenali keambiguan dan kemacetan dalam komunikasi. Keambiguan

komunikasi dalam negosiasi dalam mengirimkan pesan-pesan yang tidak jelas

selama negosiasi dapat membingungkan pihak lain, dan seburuk-burukya

mengancam pihak lain. oleh karena itu, peran komunikasi dalam etika

negosiasi sangat nutuh perhatian dan keahlian bagi masing-masing negosiator.

Informasi menjadi kumpulan data yang dibutuhkan dalam setiap

negosiasi, karenanya informasi yang dibutuhkan harus akurat dan dapat

dipertanggugjawabkan. Pertukaran informasi yang efektif mendorong

pengembangan solusi negosiasi yang baik. Supaya pertukaran informasi yang

diperlukan dapat terjadi, para negosiator harus bersedia untuk mengungkap

tujuan mereka sebenarnya dan mendengarkan satu sama lain secara saksama.

Bagi Lewicki (2012), menciptakan arus informasi yang bebas termasuk

membuat kedua belah pihak mengetahui berbagai alternatif yang diperlukan.

Negosiator yang tidak mengungkapkan adanya alternatif yang baik

mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri, tetapi para negosiator yang

berbagi informasi solusi alternatif mendapatkan keuntungan tambahan.

Tersedianya informasi dalam negosiasi tidak cukup untuk

mewujudkan negosiasi yang beretika, dimana bahasa juga menjadi

kemampuan lain yang wajib dimiliki bagi setiap negosiator. Bagi Lewicki

(2012) pertimbangan kejelasan dan intensitas bahasa sangat diperhatikan

dalam setiap negosiasi, karena dapat memberikan dampak besar terhadap

persuasinya. Bahasa yang digunakan dalam negosiasi haruslah mengunakan

bahasa yang resmi, sangat dilarang keras bagi para negosiator untuk

menggunakan bahasa sehari-hari dalam mencari keputusan negosiasi. Sebagai

contoh organisasi internasional PBB mengatur penggunaan bahasa resmi yang

digunakan untuk komunikasi bagi setiap anggota. Bahasa Inggris contohnya,

merupakan bahasa wajib bagi setiap sidang maupun konferesi yang dilakukan

setiap negara dalam PBB.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, etika adalah suatu standar

sosial yang menentukan benar atau salahnya suatu tindakan. Tujuan adanya

etika adalah untuk membedakan kriteria, atau standar, yang berbeda untuk

menilai dan mengevaluasi tindakan-tindakan negosiator dalam bernegosiasi

(Lewicki 2012, 312). Pelaksanaan negosiasi yang berjalan dengan benar dan

sesuai etika maka akan memperlancar proses negosiasi tersebut pada masa

yang akan datang apabila melakukannya dengan pihak yang sama. Sebagai

contoh mudah yang menjadi cerminan etika negosiasi yaitu, jenis pakaian

yang digunakan dalam negosiasi apakah baju tersebut termasuk baju resmi

atau tidak. Karena baju atau pakaian yang digunakan oleh para negosiator

maupun para pejabat tinggi, memiliki potensi penilaian bagi para negosiator

lain. Tidak hanya akredibilitas yang dimiliki oleh para negosiator saja, tetapi

etika berbusana juga menjadi etika lainnya yang dibutuhkan dalam

bernegosiasi.

Dalam bernegosiasi hendaknya kita harus memperhatikan aspek-

aspek etis di dalamnya, sehingga jangan hanya fokus pada keuntungan jangka

pendek yang terkadang membuat kita melewatkan aspek etis dalam negosiasi.

Etika memiliki potensi jangka panjang yang dihasilkan dalam negosiasi,

karena perilaku yang etis mempengaruhi reputasi seseorang atau negosiator,

serta meberikan dampak besar atau kecilnya peluang yang dihasilkan dalam

negosiasi.

B. Etika Negosiasi

Etika secara luas digunakan dalam standar sosial untuk menentukan

apa yang benar dan salah dalam situasi tertentu, atau proses yang menetapkan

standar-standar tersebut. Menurut Green, 1994;Hitt,1990; Hosmer, 2003, 4

(empat) standar evaluasi strategi dan taktik dalam bisnis serta negosiasi:

1. Pilih serangkaian tindakan berdasarkan hasil yang ingin dicapai

(misalnya, keuntungan investasi yang lebih besar).

2. Pilih serangkaian tindakan berdasarkan tugas untuk

mempertahankan aturan dan prinsip yang benar (misalnya,

hukum).

3. Pilih serangkaian tindakan berdasarkan norma, nilai,strategi

organisasi atau masyarakat (misalnya, hal yang biasa dilakukan

orang-orang di perusahaan kami).

4. Pilih serangkaian tindakan berdasarkan keyakinan (diri kita)

(misalnya, apa yang hati kecil kita katakana).

Pendekatan pertama disebutend-result ethics, dalam etika ini

kebenaran suatu tindakan ditentukan oleh penilaian pro dan kontra dari

akibatnya. Pendekatan kedua merupakan contoh dari apa yang disebutduty

ethics, dimana kebenaran dari suatu tindakan ditentukan oleh kewajiban

seseorang untukmenaati konsistensi prinsip, hukum, dan standar sosial yang

mendefnisikan apa yang benar dan apa yang salah serta batasan di antara

keduanya. Pendekatan ketiga mewakili bentuk social contract ethics, dimana

kebenaran suatu tindakan didasarkan pada kebiasaan dan norma masyarakat

tertentu. Pendekatn terakhir, disebut personalistic ethics, dimana kebenaran

suatu tindakan didasarkan pada suara hati dan standar moral seseorang.

Penerapan Etika dalam Negosiasi

Setiap pendekatan dapat digunakan untuk menganalisi lima situasi

hipotetikal di awal. Misalnya, dalam situasi pertama yang melibatkan penjualan

stereo dan pernyataan untuk pembeli prospektif mengenai keberadaan pembeli

potensial lainnya:

1. Jika sesorang percaya pada pendekatan end result ethics, maka individu

tersebut melakukan apapun yang ia perlukan untuk mendapatkan hasil terbaik.

(termasuk berbohong mengenai pembeli alternatif)

2. Jika seorang percaya pada pendekatan duty ethics, maka individu tersebut

mungkin memiliki kewajiban untuk tidak berhubungan dengan kelicikan, dan

menolak menggunakan taktik yang kotor.

3. Jika seorang percaya pada pendekatan social contract ethics, maka individu

tersebut akan mendasari pilihan perilaku pada pandangan mengenai norma

yang sesuai di masyarakat: jika yang lain akan berbohong, maka ia juga akan

melakukannya.

4. Jika seorang percaya pada pendekatan personalistic ethics, maka individu

tersebut akan mengikut kata hatinya dan memutuskan apakah ia akan

memenuhi kebutuhan uang tunai untuk perjalanannya dalam membenarkan

sikap yang menggunakan taktik tidak jujur.

Empat pendekatan ini merupakan dasar untuk melakukan praktik etika dalam

bernegosiasi.

Pertanyaan Perilaku Etika apa yang muncul dalam Negosiasi

Mengapa beberapa negosiator memilih menggunakan taktik yang tidak etis?

Ini disebabkan karena seorang negosiator menganggap lawannya yang menggunakan

taktik tidak berprinsip yang tidak etis, berorientasi pada keuntungan, atau akan

menggunakan taktik untukmendapatkan apa yang mereka inginkan. Sebaliknya,

ketika mencoba untuk menjelaskan mengapa anda sebagai seorang negosiator

menggunakan taktik sama, anda akan menjawab bahwa anda menjunjung tinggi

prinsip.

1. Taktik Etika Ambigu: Semua (kebanyakan) tentang kebenaran

Kebanyakan isu etika dalam bernegosiasi berhubungan dengan standar

dalam memberitahukan kebenaran seberapa jujur, tersembunyi, atau terbuka

seorang negosiatorseharusnya. Para individu harus menentukan ketika mereka harus

memberitahukan kebenaran (tidak ada sedikitpun kebohongan) seperti berlawanan

dengan perilaku yang menyatakan harus berbohong. Focus perhatian dibagian ini

lebih kepada apa yang negosiator katakan atau apa yang mereka lakukan dan bukan

pada apa yang sebenarnya akan mereka lakukan(walaupun seorang negosiator

mungkin akan bertindak tidak etis).

Beberapa negosiator mungkin berlaku curang seperti melanggar peraturan

formal atau informal, namun perhatian yang paling penting dalam etika negosiasi

selalu ada pada perilaku negosiator. Mengenai kewajiban legal untuk bersikap jujur.

Penipuan atau kecurangan dalam bernegosiasi dapat menjaadi penipuan atau

kecurangan daam bernegosiasi dapat menjadi penipuan yang masuk ke dalam ranah

hukum. Hukum mengenai hal-hal tersebut dangat rumitdan sering kali sulit untuk

diidentifikasi.

2. Mengidentifikasi penggunaan taktik dan perilaku yang ambigu secara etika

Taktik yang Ambigu secara etika adalah tipu daya dan dalih yang terjadi di

dalam negosiasi yang mungkin muncul dalam beberapa bentuk. Para peneliti telah

lama melakukan identifikasi atas taktik-taktik semacam ini, dan hasil dari

identifikasi tersebut, enam kategori yang jelas mengenai taktik muncul dan telah

ditegaskan oleh kumpulan analisis data (Robinson, Lewicki, dan Donahue, 2000;

Barry, Fulmer, dan Long, 2000). Berikut taktik-taktik tersebut dan contohnya,

a. Penawaran Kompetitif tradisional – tidak memberitahukan kemudahan anda,

membuat penawaran pembukaan yang berlebihan

b. Manipulasi emosi – Pura-pura marah, takut, kecewa, bahagia, puas

c. Penafsiran yang salah – Mendistorsikan informasi atau kejadian dalam

negosiasi ketika menjelaskannya pada orang lain

d. Penafsiran terhadap jaringan competitor – merusak reputasi competitor

dengan rekannya

e. Pengumpulan informasi yang keliru – penyuapan, infiltrasi, memata-matai,

dan lain-lain

f. Menindaklanjuti – janji yang tidak tulus atau ancaman

Taktik pertama (Penawaran Kompetitif Tradisional) sering disebut taktik

yang paling efektif walaupun sedikit tidak etis namun masih tetap dianggap sebagai

taktik yang biasa digunakan dan sesuai aturan. Sedangkan empat taktik terakhir

adalah taktik yang tidak etis dan tidak boleh digunakan dalam bernegosiasi.

Seorang peneliti (Volkema, 2001) memilih lima taktik spesifik dari

kelompok besar taktik tidak etis yang telah dipaparkan diatas. Taktik tersebut

adalah, Pura-pura tidak memerlukannya, menyembunyikan bottom line, menyajikan

informasi nyata yang keliru, dan membuat janji yang bohong. Volkema mengukur

setiap perilaku orang dalam penggunaan taktik-taktik ini secara umum dan

penguunaan taktik khusus, dan penggunaan taktik sebenarnya dalam perrmainan

tersebut. Penemuannya adalah sebagai berikut:

- Terdapat hubungan positif antara perilaku penggunaan setiap taktik dengan

tujuan penggunaanya

- Terdapat hubungan positif antara perilaku penggunaan taktik khusus dan

penggunaan nyata empat taktik dari lima taktik yang telah diteliti tadi

- Menyembunyikan bottom line adalah yang paling sering digunakan, paling

banyak kedua adalah dengan melebih-lebihkan penawaran awal, diikuti oleh

mengulur waktu dan menyajikan informasi yang salah. Membuat janji

kosong hanya digunakan sekitar 10 persen.

- Menyembunyikan bottom line membantu negosiator mengembangkan

permainan dalam kinerja bernegosiasi

Mengenai legalitas penggunaan taktik yang ambigu secara etika,

kesimpulan penelitian tersebut mengindikasi bahwa terdapat persetujuan tidak

tertulis mengenai peraturan dalam negosiasi. Peneliti menemukan bahwa ini dalah

pandangan orang barat, dimana individu menentukan apa yang diterima secara

etika, dalam beberapa kebudayaan lainnya (misalnya Asia), satu kelompok atau

organisasi akan menentukan apa yang dimaksud dengan etika, sementara di

beberapa kebudayaan lainnya, batasan etika dalam transaksi negosiasi dapat jadi

minimal atau sulit untuk ditentukan secara jelas, dan “membiarkan pembeli bersikap

waspada” sepanjang waktu

3. Tipu Daya dengan Kelalaian versus Tipu Daya oleh Komisi

Penelitian yang dilakukan yang dilakukan oleh O’Corner dan Carnevale

(1997) yang meneliti kecenderungan para negosiator untuk melakukan salah tafsir

terhadap ketertarikan mereka pada masalah nilai – masalah dimana kedua belah

pihak mencari hasil yang sama. Secara keseluruhan, 28 persen dari subjek penelitian

tersebut disimpulkan bahwa 28 persen subjek penelitian melakukan salah penafsiran

terhadap ketertarikan pada nilai yang sama sebagai usaha untuk mendapatkan

konsensi dari pihak lainnya. Peneliti menemukan bahwa para negosiator

menggunakan dua bentuk penipuan ketika berbohong mengenai minat mereka pada

niai yang sama: kesaahan penafsiran dengan kelalaian dan kesalahan penafsiran

dengan komisi.

Schweitzer (1997; Schweitzer dan Croson, 1998) juga meneliti faktor-

faktor yang mempengaruhi kecenderungan para negosiator untuk berbohong

mengenai fakta material. Hasilnya dalah lebih banyak mahasiswa berbohong dengan

cara lalai (tidak memberikan seluruh kebenaran) dibandingkan berbohong dengan

cara komisi (berbohong ketika diberi pertanyaan). Temuannya menunjukan

pandangan penting pada sifat manusiawi: banyak orang rela membiarkan orang lain

untuk terus bekerja dibawah premis yang salah, namun akan menghentikan mereka

membuat pernyataan yang bohong. Hal ini jelas mendorong normacaveat emptor

(konsumen harus berhati-hati), menyaatakan bahwa pihak-pihak terkait memiliki

kewenangan untuk menanyakan pertanyaan yang tepat dan bersikap skeptic ketika

menerima pertanyaan dari pihak lainnya.

Mengapa menggunakan taktik yang menipu? Motif dan Akibat

1. Motif kekuatan

Tujuan penggunaan taktik negosiasi yang ambigu secara etika adalah untuk

meningkatka kekuatan negosiator dalam posisi tawar-menawar. Informasi memiliki

kekuatan karena negosiasi dianggap sebagai kegiatan rasional yang melibatkan

pertkaran informasi dan penggunaan cara persuasive dari informasi tersebut.

Seringkali, siapapun yang memiliki informasi lebih baik, atau menggunakannya

secara lebih persuasive, akan “memenangkan” negosiasi.

Pandangan seperti itu mengasumsikan bahwa informasinya akurat dan

benar. Dengan mengasumsikan sebaliknya, bahwa informasi tersebut tidak benar

adalah dengan menanyakan asumsi pada komunikasi sehari-hari yang didasarkan

pada kejujuran dan integritas penyaji. Tentu saja dengan pertanyaan tersebut secara

tidak langsunh akan membuat orang lain merasa terhina dan mengurangi

kepercayaan nya kepada kita.

2. Motif lain untuk bersikap tidak etis

Motivasi negosiator dengan jelas dapat memengaruhi kecenderungan

mereka untuk melakukan teknik menipu. Negosiator kompetitif adalah mereka yang

yang mencari keuntungan maksimal, terlepas dari akibat yang diberikan pada pihak

lainnya, cenderung menggunakan penyajian yang keliru sebaagai strategi.

Perbedaan budaya juga mungkin menggambarkan pengaruh motivasi: Sims (2002)

Menggambarkan bahwa pada Negara yang masyarakatnya sangat individualis akan

memiliki kecenderungaan menggunakan taktik menipu untuk mendapat keuntungan

pribadi.

3. Akibat dari perilaku tidak Etis

Seorang Negosiator yang menggunakan taktik tidak etis akan

mendapatlkan beberapa akibat yang mungkin positif atau negative, berdasarkan tiga

aspek ini kan dibahas mengenai apakah taktik tersebut efektif, bagaimana subjek-

subjek lain mengevluasi taktik tersebut, dan bagaimana negosiator mengevaluasi

taktik yang dipakai.

a. Keefektifan

Keefektifan taktik akan memiliki akibat pada kenyataan apakah taktik

tersebut apakah akan digunakan lagi atau tidak. Jika menggunakan taktik terebut

memungkinkan negosiator untuk mendapat hasil yang lebih bagus dari perilaku

etis, dan tidak ada sanksi berarti ketika melakukan taktik tidak etis, frekuensi

penggunaan perilaku taktik tidak etis kemungkinan akan meningkat. Terlebih

jika terdapat tekanan yang kuat dalam subjek negosiasi untuk bersaing dengan

yang lainya juga dapat menambah kemungkinan naiknya frekuensi penggunaan

taktik tidak etis.

b. Reaksi pihak lain

Rangkaian akibat yang kedua datang dalam penilaian dan evaluasi dari orang

yang menjadi target taktik yang digunakan, dari konstituen, dan darii audiens

yang mengamati penggunaan taktik negosiator. Orang-orang yang mengetahui

bahwa dirinya telah ditipu atau dieksploitasi biasanya akan marah, selain marah

mereka akan merasa kalah dan merasa telah dibodohi. Orang tersebut tentu akan

melakukan suatu tindakan, entah melakukan balasan atau minimal tidak percaya

lagi kepada negosiator tersebut, dan memiliki anggapan yang general terhadap

peristiwa negosiasi yang lain. Pengalaman buruk saat negosiasi

akanmemperburuk perepsi korban terhadap konteks negosiasi pada masa yang

akan mendatang (Bies dan Moag, 1986; Werth dan Flannery, 1986)

Akibat-akibat negative ini tertulis dalam penelitian McCornack dan Levine

(1990) yang meneliti reaksi orang yang ditipu. Dalam banyak kasus,

ditemukannya kebohongan merupakan hal yang menjadi dasar dihapuskannya

hubungan dengan pihak lain, dan dalam kebanyakan kasus terjadi, penghapusan

hubungan diinisiasi oleh korban penipuan. Walapupun penggunaan taktik tidak

etis mungkin membuat keberhasilan jangka pendek bagi negosiator, hal tersebut

juga membuat lawan dalam negosiasi tidak mempercayainya, bahkan lebih

buruk, membalas anda

c. Reaksi pribadi

Dalam beberapa kondisi, seperti ketika pihak lainnya telah sangat

menderita, seorang negosiator mungkin merasakan ketidaknyamanan, stress,

merasa bersalah, atau menyesal, hal ini akan membuat negosiator mencari cara

untuk mengurangi ketidaknyamanan secara psikologis tersebut. Misalnya,

Aquino dan Becker (2005). Orang-orang yang telah berbohong pada partner

mereka selama simulasi negosiasi bisnis membuat dispensasi dalam organisasi

lainnya untuk mengganti kerugian partner nya tersebut.

d. Penjelasan dan justifikasi

Ketika negosiator telah menggunakan taktik yang ambigu secara etika yang

mungkin mendapatkan reaksi. Negosiator harus menyiapkan pembelaan

penggunaan taktik tersebut pada dirinya sendiri. Tujuan utama dari penjelasan

dan justifikasi inin adalah untuk memberikan dasar, menjelaskan, atau

membenarkan perilaku untuk mengatakan beberpa alasan yang bagus dan sah

mengenai mengapa alasan ini digunakan. Beberapa rasionalisasi dibawah ini

telah diadaptasi oleh Bok (1978) dan disertasiny yang sangat bagus mengenai:

- Taktik tersebut tidak terhindarkan. Para negosiator terus menjustifikasi

tindakan mereka dengan mengklaim bahwa situasi yang membuat mereka

harus melakukan hal tersebut.

- Taktik tersebut tidak berbahaya. Negosiator mungkin mengatakan sesuatu

yang telah ia lakukan adalah tidak penting dan tidak signifikan, orang-orang

berbohong setiap waktu. Namun, ingat bahwa justifikasi seperti ini

menginterpretasikan bahaya dari pihak pelaku; korban mungkin tidak setuju

dan mungkin akan kehilangan biaaya sebagai akibatnya.

- Taktik tersebut akan membantu anda terhindar dari akibat negative. Ketika

menggunakan justifikasi ini, Para negosiator mengatakan bahwa hasil akhir

membenarkan tindakanya. Dalam hal ini, justifikasi nya adalah melakukan

taktik untuk menghindari bahaya yang lebih besar.

- Taktik tersebut akan menghasilkan konsekuensi yang baik, atau taktik

tersebut tidak memotivasi suatu pihak. Kembali, hasil akhir

menjustfikasikan arti, namun dalam makna yang positif. Namun pada

kenyataannya banyak negosiator menggunakan taktik ynag menipu untuk

diri mereka sendiri bukan untuk orang banyak.

- Mereka mendapatkannya atau merekaa pantas mendapatkannya, atau saya

menapatkan hak saya. Kalimat-kalimat ini merupakan variasi dari tema

penggunaan kebohongan dan tipuan balik melawan individu yang mungkin

mendapatkan keuntungan dari anda di masa lalu atau melawan beberapa

pihak berwenang (system)

- Mereka juga akan melakukannya, jadi saya akan dahului. Terkadang

negosiator menghalalkan penggunaan teknik tersebut karena mereka

mengntisipasi perilaku yang sama yang akan dilakukan oleh pihak lain.

Pada saat yang sama, subjek negosiasi secara konsisten menganggap diri

merekaa lebih etis dari pihak lawan.

- Ia yang memulai. Ini adalah bentuk uungkapan yang merupakan justifikasi

antisipasi dari ungkapan yang telah dijelaskan sebelumnya

- Taktik yang digunakan sesuai atau pas dengan situasi yang ada.

Pendekatan ini menggunakan semacam relativisme moral (situasional)

sebagai dasar atau justifikasinya. Kebanyakan situasi social, termasuk

negosiasi, diatur oleh serangkaian peraturan mengenai perilaku dan sikap

baik yang dialami dengan baik oleh semua pihak.

Mengapa taktik-taktik tersebut menarik untuk digunakan dan akibat apa

yang muncul dari keterikatan itu. Akan dimulai dengan motif, dan motif tidak

terhindarkan dimulai dari kekuatan.

Motif Kekuatan

Tujuan penggunan taktik negosiasi yang ambigu secara etika adalah untuk

meningkatkan kekuatan negosiator dalam posisinya melakukan tawar-menawar.

Sebab informasi merupakan sumber kekuatan utama dalam negosiasi. Informasi

memiliki kekuatan karena negosiasi dianggap sebagai kegiatan rasional yang

melibatkan pertukaran informasi dan dengan cara penggunaan persuasif dari

informasi tersebut. Sehingga pihak yang memiliki informasi lebih baik dan

menggunakan cara persuasif, akan memenangkan negosiasi.

Pandangan tersebut mengasumsikan bahwa informasi benar dan akurat,

apabila mengasumsikan sebaliknya (informasi tidak benar) adalah dengan

menanyakan asumsi pada komunikasi sehari-hari yang didasarkan pada kejujuran dan

integritas penyaji informasi sama halnya dengan mengurangi rasa percaya pada pihak

penyaji.

Motif Lain untuk Bersikap Tidak Etis

Motivasi negosiator dapat mempengaruhi kecenderungan untuk

menggunakan taktik menipu. Bagaimana orientasi motivasi berpengaruh pada

negosiator, apakah negosiator termotivasi untuk bertindak kooperatif, kompetitif, atau

individualistis terhadap satu sama lain? Hal ini dapat mempengaruhi strategi dan

taktik yang akan digunakan.

Para negosiator sangat mungkin melihat taktik yang ambigu secara etika

tersebut sesuai, jika mereka mengetahui bahwa pihak lain akan melakukan persaingan

atau kerja sama

Akibat dari Perlaku Tidak Etis

Negosiator yang menggunakan tkti yang tidak etis akan mendapatkan

beberapa akibat yang positif atau bahkan negatif, sesuai tiga aspek situasi dibawah

ini:

1. Apakah taktik tersebut efektif

2. Bagaimana orang lain, konsituennya, dan audiensnya mengevaluasi taktik

tersebut

3. Bagaimana negosiator mengevaluasi taktik yang ia pakai

Keefektifan

Terlebih dulu untuk mempertimbangkan akibat-akibat yang muncul

berdasarkan tingkat keberhasilan taktik yang digunakan. Keefektifan taktik akan

memiliki beberapa akibat pada kenyataan apakah taktik tersebut akan memiliki

beberapa akibat, sehingga dapat menjadi dasar pertimangan, apakah taktik tersebut

akan digunakan kembali atau tidak. Akibat nyata dari hukuman atau imbalan yang

didapat dari penggunaan suatu taktik, tidak hanya mendorong perilaku negosiator

tetapi juga harus mempengaruhi kecenderungan mereka untuk menggunakan strategi

yang serupa dalam keadaan yang sama nantinya.

Reaksi Pihak Lain

Rangkaian akibat yang kedua datang dari dalam penilaian an evaluasi dari

pihak yang menjadi target taktik yang digunakan, dari konstituen, dan dari audiens

yang mengamati penggunaan taktik negosiator.

Reaksi Pribadi

Akibat yang ketiga dari taktik negosiasi yang digunakan : reaksi dari

negosiator itu sendiri terhadap penggunaan taktiknya. Negosiator yang tidak melihat

masalah dalam penggunaan taktik yang tidak etis dapat menolak penggunaan kembali

taktik tersebut dan mungkin melihat dan mempertimbangkan taktik yang lebih efektif.

Walaupun penggunaan taktik yang dipertanyakan etikanya mungkin memiliki akibat

yang lebih parah bagi reputasi dan tingkat kepercayaan negosiator, pihak-pihak

tersebut sepertinya mempertimbangkan akibat-akibat tersebut kedalam hasil jangka

pendek. Dan khususnya jika taktiknya berhasil, negosiator tersebut dapat membuat

rasionalisasi dan justifikasi penggunaan taktik yang digunakan.

Penjelasan dan Justifikasi

Ketika negosiator telah menggunakan taktik yang ambigu secara etika yang

mungkin mendapatakan reaksi, negosiator harus menyiapkan pembelaan penggunaan

taktik tersebut pada dirinya sendiri. Tujuan utama utama penjelasan dan justifikasi

adalah untuk memberikan dasar, menjelaskan, atau membenarkan perilaku.

Rasionalisasi sering didorong oleh keinginan untuk menghilangkan stres atau konflik

mengenai apa yaang seseorang baru saja lakukan (Aquino dan Becker, 2005).

Kebanyakan rasionalisasi berikut ini telah diadaptasi dari Bok (1978) dan disertasinya

mengenai :

Taktik tersebut tidak dapat dihindarkan

Taktik tersebut tidak berbahaya

Taktik tersebut akan membantu anda terhindar dari akibat yang negatif

Taktik tersebut akan menghasilkan konsekuensi yang baik, atau taktik tersebut

tidak memotivasi satu pihak

“Mereka mendapatkannya”, atau “mereka pantas mendapatkannya”, atau

“saya mendapatkan hak saya”

“Mereka juga akan melakukannya, jadi saya dahului.”

“Ia yang memulai”

Taktik yang digunakan sesuai atau pas dengan situasi yang ada

Penjelasan dan justifikasi juga dapat membantu orang-orang memberikan

dasar pemikiran suatu perilaku tertentu pada diri mereka. Namun akibatnya : semakin

sering negosiator terlibat dalam proses pelayanan diri sendiri, penilaian mereka

terhadap standar etika dan nilai akan semakin bias, menghilangkan kemampuan

mereka untuk melihat kebenaran yang nyata.

Faktor-faktor Apa yang Membentuk Kecenderungan Sikap Negosiator untuk

Menggunakan Taktik yang Tidak Etis?

Faktor yang dapat mempengaruhi rangkaian akibat yang digambarkan dalam

model :

Latar belakang dan karakteristik demografis negosiator

Kepribadian negosiator dan tingkat perkembangan moral negosiator

Elemen-elemen konteks sosial (situasi di mana negosiator berada)

yang mendorong atau tidak mendukung tindakan tidak etis

Bagaimana faktor-faktor ini mempengaruhi kecenderungan sikap untuk menggunakan

taktik yang dipertanyakan etikanya. Faktor-faktor tersebut dimasukkan dalam versi

model yang diperluas. Perdebatan fundamental adalah argumen “sifat alami melawan

dorongan dari luar” mengenai apa yang menyebabkan para individu bersikap seperti

itu. Banyak yang percaya bahwa membuat keputusan etis seluruhnya ditentukan oleh

standar moral perilaku; namun, yang lain percaya bahwa faktor situasional (norma,

kelompok dan organisasi, tekanan akuntabilitas, dan sistem pemberian hadiah) dapat

menyebabkan orang-orang yang menjunjung tinggi etika untuk berlaku tidak etis.

Faktor Demografis

Sejumlah penelitian berorientasi pada survei tentang perilaku etis telah

mencoba untuk menghubungkan perbedaan-perbedaan perilaku etis pada latar

belakang orang-orang, orientasi religi, usia, jenis kelamin, kewarganegaraan, dan

pendidikan yang berbeda. Beberapa penelitian telah meneliti hubungan antaara faktor

demografis dan penggunaan taktik tidak etis dalam negosiasi. Faktor demografis

memiliki kecenderungan nampak reliabel dan konsisten dalam sejumlah situasi

pilihan etis yang berbeda.

Jenis kelamin

Usia dan pengalaman

Orientasi profesional

Kewarganegaraan dan kebudayaan

Perbedaan Kepribadian

Para peneliti telah mencari identifikasi dimensi kepribadian yang akan

memprediksi secara benar kecenderungan seseorang untuk bertindak tidak etis.

Temuan terpilih digambarkan sebagai berikut.

Daya Saing versus Kerja Sama

Orientasi nilai sosial individu memengaruhi penggunaan taktik menipunya

dengan menggunakan permainan pengambilan keputusan dengan motif campuran

yang menyerupai permainan dilema tahanan. Orientasi nilai sosial merupakan

preferensi yang orang-orang miliki untuk bertindak kooperatif (orientasi “pro-

social”) atau bersaing (orientasi “pro-self”) dalam situasi tertentu.

Machiavellanisme

Machiavellanisme merupakan variabel dari kepribadian. Penganut

machiavellanisme mematuhi pandangan alami manusia yang pragmatis dan bijaksana

(cara terbaaik untuk menangani orang-orang adalah dengan memberitahu mereka apa

yang ingin mereka dengar). Sejumlah peneliti telah menunjukkan bahwa para

individu yang menganut machiavellanisme lebih mau dan mampu untuk

bersandiwara, lebih memiliki kecenderungan untuk berbohong jika mereka pikir

diperlukan, serta kebohongan yang lebih persuasif dan efektif (Christie dan Geis,

1970) 5. Maka dari itu, Machiavellanisme muncul sebagai prediktor perilaku yang

tidak etis.

Fokus Kendali

Setiap inividu berbeda dalam fokus kendali mereka masing-masing yaitu,

tingkat dimana mereka percaya bahwa hasil yang mereka dapaatkan kebanyakan hasil

dari kemampuan mereka sendiri dan usaha (kendali intenal) lawan, takdir,

kesempatan, atau keadaan (kendali eksternal). Fokus kendali muncul sebagai pemberi

kontribusi yang cukup kuat dalam pengambilan keputusan etis, walaupun masih perlu

diuji sebagai suatu faktor dalam pemilihan taktik bernegosiasi.

Perkembangan Moral dan Nilai Pribadi

Kohlberg (1969) mengajukan bahwa moral dan penelitian etis individu

merupakan akibat dari pencapaian tingkat atau tahapan perkembangan moral tertentu.

Kohlberg mengajukan enam tahapan perkembangan moral, dikelompokkan kedalam

tiga tingkatan :

1. Tingkat pre-konvensional (tahap 1 dan 2), dimana individu lebih fokus pada hasil

konkret yang sesuai dengan keperluan individu, khususnya hadiah dan hukuman

eksternal

2. Tingkat konvensional (tahap 3 dan 4), dimana sang individu menentukan apa

yang benar berdasarkan keadaan sosial dan lingkungan teman-teman atau apa

yang secara umum diinginkan

3. Tingkat prinsipiil (tahap 5 dan 6), dimana sang individu menentukan apa yang

benar berdasarkan nilai atau prinsip universal

Semakin tinggi tingkat yang dicapai seseorang maka, seharusnya semakin

rumit daya bernalar mereka dan semakin etis keputusan yang dibuat. Perkembangan

moral pada level-level tinggi lebih berhubungan dengan keputusan yang lebih etis,

kurangnya perilaku menyontek, perilaku membantu yang lebih menonjol, dan rasa

penolakan yang lebih besar terhadap para tokoh yang memiliki otoritas dan bertujuan

untuk memimpin secara tidak etis.

Pengaruh Konteks pada Perilaku yang Tidak Etis

Faktor terakhir yang memengaruhi keinginan seseorang negosiator untuk

bertindak secara tidak etis adalah faktor pengaruh konteks. Unsur-unsur dari suatu

konteks :

Pengalaman masa lalu

Peranan insentif

Sifat dasar pihak lain

Hubungan antara negosiator dan pihak lain

Kekuatan antara negosiator

Cara berkomunikasi

Bertindak sebagai agen versus mewakili cara pandang sendiri

Norma kelompok dan organisasi serta tekanan

Penelitian menunjukkan bahwa sejumlah kekuatan sosial dapat mendorong para

negosiator untuk menangguhkan standar mereka sendiri pribadi dan berkomitmen

pada tindakan etis yang dipertanyakan. Pengaruh ini meliputi :

Bertindak sebagai agen untuk orang lain dan menanggapi tekanan mereka untuk

suatu pencapaian

Melihat transaksi bisnis, seperti negosiasi sebagai sebuah permaian dan karena

itu dengan asumsi bahwa aturan permaian adalah hal-hal yang harus diterapkan

Menjai anggota sebuah kelompok, departemen, tim, atau unit organisasi yang

nilai-nilai keberhasilan dan menoleransi bahkan mendorong dan melanggar

aturan untuk mencapai keberhasilan

Menjadi begitu setia kepada kelompok atau organisasi dimana anda bersedia

melakukan sesuatu yang tidak akan lakukan sebagai individu, atau menyakinkan

diri sendiri bahwa hal tersebut dibolehkan untuk melanggar aturan agar dihargai

untuk kesaktian anda

Bersedia mengikuti perintah langsug atau tersirat dari pejabat senior dalam

organisasi yang memberitahu anda untuk mendapatkan pekerjaan yang dilakukan

dan tidak khawatir tentang bagaimana hal tersebut akan dilakukan

Setiap kekuatan tersebut cukup dibawah situasi yang tepat, untuk

memungkinkan individu untuk menangguhkan moral mereka dalam pelayanan

organisasi untuk melakukan apa yang dibutuhkan, diingnkan, atau diminta.

Kesimpulan

Proses negosiasi sering menimbulkan masalah etika dan kritis. Bekerja dari

model yang sederhana dari pembuatan keputusan secara etika, kami menganalisis

motif-motif untuk konsekuensi dari keterlibatan dalam perilaku negosiasi yang tidak

etis. Negosiasi sering mengabaikan fakta bahwa, walaupun taktik yang tidak etis atau

bijaksana membantu mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan cara

singkat, terdapat beberapa taktik serupa yang membawa kearah reputasi yang

tercoreng dan keefektifan yang berkurang dalam cara yang tak singkat.