library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewDalam rangka...
Transcript of library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2011-2... · Web viewDalam rangka...
Bab 2
Landasan Teori
Dalam rangka mengkaji suatu karya sastra biasanya ada dua unsur yang digunakan,
yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik, karena kedua unsur inilah yang sering banyak
disebut para kritikus dalam rangka mengkaji atau membicarakan karya sastra pada
umumnya (Nurgiyantoro, 2010, hal.23). Namun dalam penelitian ini, penulis hanya
menggunakan unsur ekstrinsik saja.
Menurut Nurgiyantoro (2010, hal.23), unsur intrinsik adalah unsur yang membangun
karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai
karya sastra, yang secara faktual akan dijumpai oleh pembaca karya sastra. Unsur
tersebut meliputi peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang
penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. Namun dalam penelitian ini, penulis
hanya menggunakan unsur penokohannya saja.
Wellek & Warren dalam Nurgiyantoro (2010, hal 23-24) menjelaskan bahwa unsur
ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, namun secara tidak
langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra, meskipun cukup
mempengaruhi. Unsur-unsur yang dimaksud antara lain adalah keadaan subjektivitas
individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang
kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi
pengarang akan turut mempengaruhi karya sastra yang dihasilkannya. Selain itu ada juga
unsur psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang, psikologi pembaca, maupun
7
penerapan prinsip psikologi dalam karya sastra. Dalam unsur ekstrinsik ini penulis
menitikberatkan mengenai penerapan prinsip psikologi, khususnya psikologi sosial,
dalam karya sastra saja.
2.1 Teori Psikologi Sosial
Psikologi sosial adalah salah satu cabang dari ilmu psikologi yang mempelajari
perilaku manusia khususnya dalam lingkungan sosial, yang mempelajari perilaku
individual, hubungan antar-pribadi, dan sikap beserta perubahannya (Ahmadi, 2007,
hal.v). Namun dalam penelitian ini, penulis hanya membahas tentang sikap serta
perubahan sikap.
2.1.1 Sikap
“Istilah sikap yang dalam bahasa Inggris disebut attitude pertama kali digunakan oleh
Herbert Spencer (1862), yang menggunakan kata ini untuk menunjuk suatu status mental
seseorang.” (Ahmadi, 1991, hal.148)
Allport dalam Hirobumi (2008) mendefinisikan sikap sebagai berikut:
アメリカの社会心理学者オルポートは、「態度とは、個人が物事や状況に反応したときに影響を及ぼすもので、その個人の経験によって形作られた準備状態である」と定義しています。つまり態度とは、行動を起こす前の準備状態で、その人特有のものだと言いたいわけです。(hal.28)
Terjemahan:
Psikolog sosial Amerika Allport mendefinisikan sikap adalah kesiapan individu untuk bereaksi dalam pengaruh segala situasi berdasarkan pengalaman si individu. Singkatnya, sikap adalah kondisi kesiapan individu sebelum melakukan tindakan yang spesifik
8
Hal ini juga ditambahkan oleh Gerungan (2004) yang mengatakan:
Pengertian attitude dapat kita terjemahkan dengan sikap terhadap objek tertentu yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap objek itu. Jadi, attitude bisa diterjemahkan dengan tepat sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal. Attitude senantiasa terarahkan kepada suatu hal, suatu objek. Tidak ada attitude tanpa ada objeknya. (hal.160-161)
Thursione dalam Gerungan (2004) juga berpendapat bahwa:
Sikap sebagai tindakan kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan objek psikologi. Objek psikologi disini meliputi: simbol, kata-kata, slogan , orang, lembaga, ide, dan sebagainya. Orang dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu objek psikologi apabila ia suka (like) atau memiliki sikap favorable, sebaliknya orang yang dikatakan memiliki sikap yang negatif terhadap suatu objek psikologi bila ia tidak suka (dislike) atau sikapnya unfavorable. (hal.150)
Selain definisi sikap yang sudah dijelaskan diatas, sikap juga memiliki aspek-aspek,
yaitu:
1. Aspek Kognitif : yang berhubungan dengan gejala mengenal pikiran. Berupa
pengetahuan, kepercayaan atau pikiran yang didasarkan kepada informasi yang
berhubungan dengan objek.
2. Aspek Afektif : berwujud proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu
seperti ketakutan, kebencian, simpati, antipasti, dan sebagainya yang ditujukan
kepada objek-objek tertentu.
3. Aspek Konatif (behavior) : berwujud proses tendensi/kecenderungan untuk
berbuat sesuatu kepada objek yang bersangkutan. (Ahmadi, 1991, hal. 149)
9
Attitude sendiri dapat dibedakan ke dalam attitude sosial dan attitude individual
(Gerungan, 2004, hal.161), namun dalam penelitian ini penulis memfokuskan kepada
attitude individual tokoh Uchiha Sasuke. Attitude individual dijelaskan oleh Gerungan
(2004) sebagai berikut:
Attitude invidual berbeda dengan attitude sosial, yaitu:
1. Attitude individual dimiliki oleh seorang demi seorang saja, misalnya kesukaan
terhadap
binatang-binatang tertentu.
2. Attitude individual berkenaan dengan objek-objek yang bukan merupakan objek
perhatian sosial. (hal.162)
Selain itu, menurut Gerungan (2004) sikap/attitude juga memiliki ciri-ciri, yaitu:
1. Attitude tidak dibawa orang sejak ia dilahirkan, tetapi dibentuk dan dipelajarinya
sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya.
2. Attitude dapat berubah-ubah.
3. Attitude tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mengandung relasi tertentu
terhadap suatu objek.
4. Objek attitude dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan
kumpulan dari hal-hal tersebut.
5. Attitude mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan.(hal.163-164)
Sikap tidak bisa disebut sikap, apabila seseorang hanya memiliki pengetahuan mengenai
suatu objek saja, tanpa adanya tindakan yang ditunjukkan kepada objek yang
bersangkutan. Misalnya, kita tahu bahwa vitamin C baik untuk sistem kekebalan tubuh.
10
Mengetahui bahwa vitamin C itu baik untuk tubuh, hanya sampai kepada kognisi /
pengetahuan saja. Namun apabila kita tahu mengenai hal itu, dan kita mengkonsumsi
vitamin C, maka itulah yang disebut sikap. Dalam hal ini, kita memiliki sikap yang
positif terhadap vitamin C. (Gerungan, 2004, hal 164)
Selain itu, dibawah ini juga dijelaskan mengenai fungsi sikap menurut Ahmadi
(1991, hal.165-167) :
1. Sikap berfungsi sebagai alat untuk menyesuaikan diri.
2. Sikap berfungsi sebagai alat pengukur tingkah laku/behavior.
3. Sikap berfungsi sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman.
4. Sikap berfungsi sebagai alat pernyataan kepribadian.
2.1.2 Perubahan Sikap
Dalam teori sebelumnya, Gerungan (2004, hal.166) mengatakan bahwa attitude
dapat berubah-ubah. Beliau juga menambahkan bahwa pembentukan attitude
baru/perubahan attitude, tidak terjadi dengan sendirinya atau dengan sembarangan saja.
Melainkan senantiasa berlangsung dalam interaksi antar manusia dan berkaitan dengan
objek tertentu. Interaksi sosial di dalam maupun di luar kelompok, dapat mengubah
attitude atau membentuk attitude yang baru.
Hal ini juga didukung oleh pendapat Ahmadi (1991, hal.156) yang mengatakan
bahwa sikap seseorang tidak selamanya tetap. Ia dapat berkembang manakala mendapat
pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar yang bersifat positif dan mengesankan.
11
Dalam proses perubahan sikap, ada dua faktor yang menjadi penyebabnya, yaitu:
1. Faktor intern : yaitu faktor yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri. Faktor ini
berupa selectivity atau daya pilih seseorang untuk menerima dan mengolah
pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Misalnya seperti kasus vitamin C yang
sebelumnya. Seseorang telah mengetahui mengenai manfaat vitamin C untuk tubuh.
Namun orang tersebut memiliki daya pilih dalam dirinya sendiri untuk mengambil
sikap positif, dengan mengkonsumsi vitamin C, atau mengambil sikap sebaliknya.
2. Faktor ekstern : yaitu faktor yang terdapat diluar pribadi manusia, yang berupa
interaksi sosial diluar kelompok. (Ahmadi, 1991, hal.157-158)
Menurut Gerungan (2004, hal.168), contoh dari faktor-faktor eksternal itu adalah:
a. Adanya interaksi kelompok, dimana terdapat hubungan timbal-balik yang
langsung antara manusia.
b. Karena komunikasi, dimana terdapat pengaruh-pengaruh (hubungan) langsung
dari satu pihak saja.
2.1.2.1 Pendekatan Perubahan Sikap Berdasarkan Teori-Teori dari Mar’at
Selain teori-teori di atas, penulis juga menggunakan teori pendekatan perubahan
sikap dari Mar’at dalam Handayani (2007, hal.15-17). Berikut ini adalah penjelasan dari
teori-teori Mar’at :
1. Teori Stimulus-Respons dan Reinforcement (penguatan)
Teori ini beranggapan bahwa tingkah laku sosial dapat dimengerti melalui
suatu analisa stimuli yang diberikan dan dapat mempengaruhi reaksi yang
spesifik yang didukung oleh hukuman maupun penghargaan sesuai reaksi yang
12
terjadi. Proses dari perubahan sikap ini, serupa dengan proses belajar. Ada tiga
variabel penting yang menunjang proses belajar tersebut:
a. Perhatian
b. Pengertian
c. Penerimaan
Dalam proses perubahan sikap ini, dapat dilihat bahwa perubahan sikap dapat
terjadi apabila rangsang yang diberikan melebihi rangsang semula. Adapun
faktor yang mendukung terjadinya perubahan sikap adalah adanya imbalan dan
hukuman, dimana individu mengasosiasikan tindakannya disertai dengan
imbalan atau hukuman, stimulus mengandung harapan bagi individu sehingga
dapat terjadi perubahan dalam sikap.
2. Teori Social-Judgement
Pada dasarnya setiap stimulus memiliki nilai kuantitatif dan mempunyai
dimensi tersendiri berdasarkan ketertarikan individu tersebut. Kesesuaian dari
ketertarikan akan menentukan tingkatan kepuasan yang akhirnya menentukan
suatu keputusan yang disebut social-judgement (pertimbangan sosial).
Perubahan sikap juga disebabkan oleh komunikator. Peran dari komunikator
adalah memindahkan ide, keinginannya, kepada pihak lain, dengan cara
membujuk dimana dalam pendekatannya, komunikator memanfaatkan emosi dari
individu. Dengan adanya kesesuaian keputusan antara komunikator dan individu,
maka perubahan sikap dapat terjadi.
13
3. Teori Fungsional
Dasar dari teori fungsional adalah bahwa perubahan sikap dari seseorang
tergantung dari kebutuhan. Pendekatan dari teori ini bersifat phenomenologist,
yang berarti bahwa stimulus yang diberikan dapat dimengerti sesuai konteks
kebutuhan individu.
Teori fungsi ini beranggapan bahwa sikap memiliki suatu fungsi untuk
menghadapi dunia luar agar individu senantiasa menyesuaikan dengan
lingkungan menurut kebutuhannya. Sehingga terus menerus terlihat perubahan
sikap dan tingkah laku.
Dalam perubahan sikap, ada tiga proses asas yang terlibat, yaitu: a. kepatuhan, b.
identifikasi, c. pembatinan. Dalam banyak perubahan sikap, proses pembatinan
merupakan kaedah yang dapat mengubah tingkah laku.
Semua teori membahas bahwa lingkungan sosial yang menentukan sikap tersebut.
Dalam hal ini, perhatian khususnya diarahkan kepada komunikasi sebagai determinan
dari perubahan sikap. Dalam pengertian ini telah menjadi konsep tradisional dari pada
pembahasan sikap dimana masalah komunikasi dan interaksi sosial merupakan faktor
penentu dari pada perubahan sikap.
Perubahan sikap merupakan hasil dari komunikasi sosial yang sebenarnya
merupakan proses dari informasi. Di dalam komunikasi sosial yang merupakan sumber
dari pesan tersebut adalah manusia. Sedangkan berita yang akan disampaikan
merupakan satu materi yang dinyatakan. Efek daripada berita tersebut terlihat dari
14
komponen-komponen sikap yang mengalami perubahan. Dengan sendirinya perlu diteliti
apakah berita yang disampaikan itu bersifat emosional atau rasional yang akhirnya
menentukan penerima berita tersebut.
2.1.2.2 Pandangan Terhadap Perubahan Sikap
Menurut Carl Hovland dan Irving Janis dalam Handayani (2007, hal.17-18),
menjelaskan bahwa mereka menciptakan model perubahan sikap yang sangat berguna.
Pada awalnya dengan adanya suatu stimulus yang disebut Hovland sebagai observable
persuasion. Dalam hal ini, harus ada seorang komunikator yang memiliki posisi khusus
dalam masalah-masalah tertentu dan mencoba untuk meyakinkan dan membujuk orang
lain untuk mengubah pendapatnya sesuai dengan pendapat komunikator, dan
beranggapan bahwa komunikator tersebut memiliki pendapat yang benar.
Dalam perubahan sikap, individu dengan keadaan yang mereka miliki dihadapkan
pada keadaan yang berbeda. Dengan adanya ketidaksesuaian antara sikap individu
dengan sikap yang dicerminkan oleh komunikator dalam komunikasinya menyebabkan
terjadinya stres. Stres ini disebut sebagai konflik yang tidak seimbang, dimana
ketidaksesuaian merupakan sumber dari timbulnya stres. Komunikator pada umumnya
menguasai topik daripada penerima berita. Sehingga sulit menolaknya hanya
berdasarkan hal-hal yang logis.
2.2 Teori Psikologi Remaja
15
Sarwono (2011, hal.81) mendefinisikan bahwa remaja adalah masa transisi dari
periode anak ke dewasa, berkisar antara usia 11-24 tahun, dimana terdapat ciri-ciri
psikologis tertentu pada seseorang. Ciri-ciri psikologis itu menurut Allport dalam
Sarwono (2011, hal.81-82) adalah sebagai berikut:
1. Adanya pemekaran diri sendiri (extension of the self), yang ditandai dengan
kemampuan seorang untuk menganggap orang/hal lain sebagai bagian dari dirinya
juga, atau kemampuan untuk mengasihi orang lain.
2. Adanya kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif (self objectivation),
yang ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri
(self insight).
3. Memiliki falsafah hidup tertentu (unifying philosophy of life). Individu tersebut tahu
kedudukannya dalam masyarakat, ia paham bagaimana seharusnya ia bertingkah
laku dalam kedudukan tersebut, dan ia berusaha mencari jalannya sendiri menuju
sasaran yang ia tetapkan sendiri. Orang seperti ini tidak lagi mudah terpengaruh dan
pendapat-pendapat serta sikap-sikapnya cukup jelas dan tegas.
2.3 Teori Penokohan
Dalam pembicaraaan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh
atau penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara
bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah tokoh menunjuk
pada orangnya, atau si pelaku cerita (Nurgiyantoro, 2010, hal.164-165). Nurgiyantoro
(2010) juga menambahkan :
Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh.
16
Penokohan dan karakterisasi-karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak(-watak) tertentu dalam sebuah cerita. (hal.165)
Jones dalam Nurgiyantoro (2010) mengatakan bahwa “penokohan adalah pelukisan
gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita” (hal.165).
Abrams dalam Nurgiyantoro (2010, hal.165) juga menambahkan: “tokoh cerita
(character) adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau
drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan.”
2.3.1 Pembedaan Tokoh
Berikut ini adalah pembedaan tokoh menurut Nurgiyantoro (2010, hal.176-194):
a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam suatu
karya sastra sedangkan tokoh tambahan tidak. Tokoh utama dalam suatu karya
sastra tidak selalu satu orang saja, bisa lebih, namun kadar ke-utamaannya
berbeda. Pembedaann antara tokoh utama dengan tokoh tambahan tidak dapat
dilakukan secara eksak, namun pembedaan itu lebih bersifat gradasi. Kadar
keutamaan tokoh-tokoh itu bertingkat: tokoh utama (yang) utama, utama
tambahan, tokoh tambahan utama, tokoh tambahan (yang memang) tambahan.
b. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang populer disebut hero.
Tokoh ini menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapan-
17
harapan kita sebagai pembaca. Sebuah fiksi harus mengandung konflik,
ketegangan, khususnya konflik dan ketegangan yang dialami oleh tokoh
protagonis. Tokoh penyebab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh
antagonis beroposisi dengan tokoh protagonis, baik secara langsung ataupun tak
langsung, bersifat fisik ataupun batin. Mengenai hal ini, Ishihara (2009, hal.42)
berpendapat:
ヒーロー」なんともいえずカッコいい響きを持つ言葉だ。もともとは英雄「という意 味なのだが、小説や戯曲、シナリオのことも、男性 ヒーロ「ー 女性は「ヒロイン」といったりする。もちろん、近代の小説にでてくる」「中心人物」は、すべてが「英雄」のように派手な行動をするわけではない。むしろそれとはまったく逆の「タイプ」が多い。
Terjemahan:
“Hero” bagaimanapun tidak bisa dikatakan berpenampilan menarik kecuali mempunyai perkataan yang bergaung dengan baik. Pada awalnya artinya adalah “eiyuu” (hero), tetapi dalam novel dan drama juga berarti “pemeran utama” dalam scenario. Bila lelaki disebut “hero”, bila perempuan disebut “heroine”. Tentunya bukan karena itu dalam novel sekarang ini yang dimunculkan sebagai pemeran utama semuanya seperti “eiyuu” (hero) yang berperilaku hebat. Agaknya hal itu bahkan (type) yang sebaliknya banyak.
c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat
Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi
tertentu, satu sifat watak tertentu saja, yang sifatnya datar, monoton, dan tidak
memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sebagai seorang tokoh manusia, tidak
diungkapkan mengenai berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Sedangkan
tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan
sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan kehidupannya. Ia dapat saja memiliki
18
watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat menampilkan
watak dan tingkah laku yang bermacam-macam, bahkan mungkin bertentangan
dan sulit diduga. Abrams dalam Nurgiyantoro (2010, hal.183) juga menyatakan
bahwa dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai
kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena memiliki berbagai kemungkinan
sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan kejutan.
d. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro (2010, hal.188) menjelaskan bahwa
tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan
atau perkembangan perwatakan. Tokoh statis memiliki sikap dan watak yang
relatif tetap, tidak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita.
Sebaliknya, tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami
perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan
(perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan. Ia secara aktif berinteraksi
dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, maupun yang lain, yang
kesemuanya itu akan memperngaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya. Tokoh
berkembang cenderung menjadi tokoh kompleks, hal ini dikarenakan adanya
berbagai perubahan dan perkembangan sikap, watak, dan tingkah lakunya, yang
mungkin mengungkapkan berbagai sisi kejiwaan / psikologis nya.
e. Tokoh Tipikal dan Netral
Alterbernd & Lewis dalam Nurgiantoro (2010, hal 190) Tokoh tipikal adalah
tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih
19
banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya, atau sesuatu yang
lain yang lebih bersifat mewakili. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang
bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupaka tokoh imajiner
yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Ia hadir (atau dihadirkan)
semata-mata demi cerita, atau bahkan dialah sebenarnya yang empunya cerita,
pelaku cerita, dan yang diceritakan.
2.3.2 Teknik Pelukisan Tokoh
Nurgiyantoro (2010, hal.194) mengatakan bahwa teknik pelukisan tokoh bertujuan
untuk melukiskan sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain yang
berhubungan dengan jati diri tokoh. Di dalam melukiskan tokoh, ada dua teknik yang
dapat digunakan, yaitu teknik ekspositori (penjelasan), dan teknik dramatik. Namun
dalam penelitian ini, penulis hanya menggunakan teknik dramatik saja.
2.3.2.1 Teknik Pelukisan Tokoh Secara Dramatik
Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik dilakukan dengan cara tidak
langsung, yang berarti pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat serta
tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan
kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat
kata-kata, maupun non verbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui
peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 2010, hal.198). Dalam melukiskan tokoh secara
dramatik, ada delapan teknik yang bisa digunakan yaitu, teknik cakapan, teknik tingkah
laku, teknik pikiran dan perasaan, teknik arus kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik
20
reaksi tokoh lain, teknik pelukisan latar, teknik pelukisan fisik. Namun penulis hanya
menggunakan empat teknik saja, yaitu:
1. Teknik Cakapan
Percakapan yang dilakukan oleh para tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan
untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan secara verbal.
2. Teknik Tingkah Laku
Teknik tingkah laku mengarah pada tindakan yang dilakukan tokoh yang bersifat
nonverbal atau fisik. Apa yang dilakukan tokoh dalam wujud tindakan dan tingkah
laku, dapat dipandang sebagai penunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang
mencerminkan kedirian tokoh tersebut.
3. Teknik Pikiran dan Perasaan
Pola pikir dan perasaan tokoh, apa yang melintas di dalam pikiran dan perasaannya,
dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya pula. Bahkan pada
hakikatnya, “tingkah laku” pikiran dan perasaanlah yang kemudian disalurkan
menjadi tingkah laku verbal dan nonverbal itu.
4. Teknik Reaksi Tokoh Lain
Reaksi tokoh-tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain
terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa
pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Pendek kata, penilaian
kedirian tokoh (utama) cerita oleh tokoh-tokoh cerita yang lain dalam sebuah karya.
Reaksi tokoh juga merupakan teknik penokohan untuk menginformasikan kedirian
tokoh kepada pembaca.
21