repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI...

111
PENGARUH PEMIKIRAN TAQIYUDDIN AN-NABHANI DALAM PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK ISLAM TERHADAP HIZBUT TAHRIR INDONESIA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) Oleh : Andi Saepudin NIM : 1111045200001 KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M / 1437 H

Transcript of repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI...

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

PENGARUH PEMIKIRAN TAQIYUDDIN AN-NABHANI

DALAM PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK ISLAM

TERHADAP HIZBUT TAHRIR INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu

Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh :

Andi Saepudin

NIM : 1111045200001

KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015 M / 1437 H

Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

iv

ABSTRAK

Andi Saepudin. NIM: 1111045200001 Pembentukan Partai Politik

Menurut Taqiyuddin an-Nabhani. Skripsi konsentrasi Ketatanegaraan Islam

Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2015 M/1437 H.

Penelitian ini disebabkan atas realitas kegagalan partai politik meraih

kebangkitan Islam. Kemudian penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan

pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani terkait pembentukan partai politik untuk

meraih kebangkitan dan pengaruhnya terhadap Hizbut Tahrir Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif-kualitatif dengan

desain penelitian menggunakan sumber data kepustakaan. Sumber data dimaksud

ada dua, sumber data primer yaitu at-Takattul al-Hizbiy, as-Syakhsiyah al-

Islâmiyah, Mâhim Hizb at-Tahrîr dan Nidzâm al-Islâm. Sumber data sekunder

yaitu buku-buku yang berkaitan dengan pemikiran partai politik Islam seperti

Diskursus Islam Politik dan Spiritual karya Hafidz Abdurahman, Islam dan Tata

Negara karya Munawir Sjadzali dan sebagainya.

Hasil penelitian ini menyimpulkan dua hal. Pertama menurut Taqiyuddin

an-Nabhani pembentukan partai politik yang ingin meraih kebangkitan harus

mengikuti metode Rasulullah Saw yaitu dengan adanya at-tatskîf (pembinaan) at-

Tafâ’ul ma al-Ummah (interaksi dengan masyarakat) dan thalab an-Nushrah

(meminta kekuasaan). Kedua pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani memiliki

pengaruh terhadap Hizbut Tahrir Indonesia yaitu terbukti dari keseragaman pola

pikir dan pola gerak sebagai aplikasi dari konsep tabanni hukum syara’.

Kata kunci:Taqiyuddin an-Nabhani, Hizbut Tahrir, Partai Politik, Khilafah,

Mabda, Tsakafah, Tabanni, Thalab an-Nusrhah, ahl-al-Quwwah, Halqah, Kutlah,

Hizbiyah, Kebangkitan.

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

v

KATA PENGANTAR

تهخطإل

Segala puji bagi Allah Swt raja semesta alam. Tiada tuhan selain-Nya dan

tiada sekutu bagi-Nya. Kekuatan berada dalam genggaman-Nya, Wujud, Qidam,

Baqa, Mukhalaf li al-Hawâdits adalah sebagian sifat yang melekat pada-Nya.

Oleh kare itu amat merugi bila insan menyembah selain-Nya dan tak tunduk patuh

pada perintah-Nya.

Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan atas junjungan kita baginda

Muhammad Saw. Manusia pilihan yang mengadu kelemahan diri dan sedikitnya

upaya tatkala penduduk Thaif menolak seruan dakwahnya. Manusia terindah yang

desainnya ada sebelum alam semesta. Cintanya terhadap umat begitu mendalam

dan agung. Wajar bila dikagumi kawan dan disegani lawan. wahai Muhammadku

engkau seumpama secuil cinta langit menetes di bumi.

Alhamdulillah setelah berlelah-lelah meramu tulisan akhir perkuliahan

jenjang strata satu, penulis –atas izin Allah- dapat menyelesaikannya. Tentu dalam

hal ini tidak terlepas pula dari konstribusi beberapa pihak. Oleh itu, penulis

menghaturkan terima kasih kepada,

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

vi

1. Prof. Dr. Dede Rosyada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Saefudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

3. Dra. Maskufa, MA, Ketua Program Studi Jinayah Siyasah yang dengan tulus

melayani keluhan mahasiswanya.

4. Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, SH, M.Ag sebagai Dosen Pembimbing Skripsi penulis.

Atas berkenan meluangkan waktu dan tenaganya, serta kesabaran dan

keteladanannya penulis haturkan terima kasih.

5. Prof. Masykuri Abdillah Pembimbing Akademik Program Studi Jinayah Siyasah.

Atas bimbingannya penulis berterima kasih.

6. Ir. H. Ismail Yusanto selaku Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia. Atas kesediaan

waktunya untuk diwawancarai, penulis ucapkan terima kasih.

7. Juga seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

bagian adiminstrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan

kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian prosedur kemahasiswaan,

serta pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, dan khususnya Perpustakaan FSH yang telah berkenan

meminjamkan buku-buku penunjang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini.

8. Terkhusus untuk kedua orangtuaku tercinta, Abah dan Ibu. Atas seluruh biaya,

rintihan doanya, tebaran cintanya dan siraman nasihatnya. Anakmu haturkan terima

kasih tak terkirakan. Juga kepada kaka, teteh, adik dan keluarga besar M. Oyo

Sunaryo atas hiburan dan tawaanya semakin menghiasi kesejukan dalam penatnya

penelitian. Maka penulis ucapkan terima kasih.

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

viii

Kupersembahkan karya ini untuk

Kedua orangtuaku tercinta.

Dan semoga skripsi ini membawa

Keberkahan untuk keduanya

Di dunia dan akhirat

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1

B. Perumusan Masalah .................................................................... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 8

D. Review Studi Terdahulu .............................................................. 9

E. Metode Penulisan ........................................................................ 10

F. Sistematikan Pembahasan ........................................................... 11

BAB II SISTEM KHILAFAH DAN PERAN JAMAAH ......................... 13

A. Pengertian Khilafah dan Pendapat Para Ulama ........................... 13

B. Hukum Eksistensi Khilafah Menurut Para Ulama Salaf dan

Kontemporer ................................................................................ 15

C. Cara Pengangkatan Khalifah dan Prinsip-Prinsip Negara

Khilafah........................................................................................ 22

D. Peran dan Tujuan Jamaah ............................................................ 28

E. Beberapa Upaya Jama’ah dalam Menegakan Khilafah ............... 32

BAB III BIOGRAFI TAQIYUDDIN AN-NABHANI ............................... 34

A. Silsilah Nasab .............................................................................. 34

B. Riwayat Pendidikan ..................................................................... 35

C. Karya Tulis dan Muridnya ........................................................... 37

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

x

D. Kiprah Pekerjaan .......................................................................... 39

E. Mendirikan Hizbut Tahrir ........................................................... 41

BAB IV PEMIKIRAN TAQIYUDDIN AN-NABHANI DALAM

PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK ISLAM .................... 42

A. Pandangan Taqiyuddin an-Nabhani Terkait Sistem

Ketatanegaraan Islam ................................................................... 47

B. Pandangan Taqiyuddin an-Nabhani Terkait Tata Cara dan

Metode Pengangkatan Khalifah ................................................... 48

C. Pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani dalam Pembentukan Partai

Politik Islam untuk Meraih Kebangkitan ..................................... 50

D. Pengaruh Pemikiran Taqiyuddin An-Nabhani dalam

Pembentukan Partai Politik Islam Terhadap Hizbut Tahrir

Indonesia ..................................................................................... 76

E. Analisis Pemikiran Taqiyuddin An-Nabhani .............................. 79

BAB V PENUTUP .......................................................................................... 90

A. Kesimpulan ................................................................................. 90

B. Saran ............................................................................................ 90

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 92

LAMPIRAN ................................................................................................... 96

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setelah berbagai upaya dilakukan para pemikir muslim untuk

mengembalikan Islam dari keterpurukan dan kejumudan ke kancah dunia

internasional, bahkan dengan berbagai gerakan yang mereka dirikan akhirnya

selalu menuai kegagalan. Bahkan, acapkali kegagalan tersebut diulang kembali

oleh para pengikutnya sehingga ibarat jatuh di lubang yang sama untuk kesekian

kalinya. Bukti kegagalan gerakan-gerakan tersebut ditunjukan oleh realitas Dunia

Islam kita pada saat ini yakni mengalami kemunduran hingga mencapai atau

nyaris menyentuh titik yang paling rendah.1

Upaya-upaya itu dilakukan sebagai respon atas realitas Barat yang dengan

berbagai pencapaiannya di bidang sains, politik dan organisasi telah menyilaukan

dunia Islam. Lalu, dengan kemajuan itu Barat mulai mengarahkan kebijakan

politiknya ke bentuk penjajahan negeri-negeri muslim hingga memiliki pengaruh

yang sangat besar2. Melihat kenyataan ini yakni kemajuan sains dan teknologi,

dan dalam hal merespon segala kemajuan itu, kaum muslimin terpecah menjadi

beberapa aliran yaitu Konservatif-Tradisionalis yang dipelopori Abul-A‟la al-

1 Muhamad Hawari, Politik Partai Meretas Jalan Baru Perjuangan Partai Politik Islam

(Bogor: Idea Pustaka Utama, 2003), h.2.

2 Menurut Montgomery awal mula pengaruh Barat yang paling dominan terhadap dunia

Islam terjadi pada abad ke 15 M yakni setelah perdagangan Eropa berekspansi melintas samudera

melalui jalur Tanjung Harapan di Afrika Selatan tahun 1498. (lihat Fundamentalisme Islam dan

Modernitas. Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997) h. 92.

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

2

Maududi3, Hasan al-Banna

4, Sayid Quthb dan Rasyid Ridha, integratif-modernis

yang dipelopori oleh M. Husein Haikal dan Nasionalis-Sekuler yang dipelopori

oleh Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein5. Adapun para pemikir yang bercorak

Konservatif-Tradisionalis dan Integratif-Modernis, mereka mendirikan berbagai

gerakan yang bertujuan membangkitkan Islam ke kancah kehidupan. Al-Maududi

misalnya mendirikan gerakan Jam’iyatul Islamiyah di anak benua India, Rasyid

Ridha dengan gagasan Pan-Islamismenya. Pemikir integratif-modernis juga

demikian, bahkan Moh. Natsir di Indonesia tak ketinggalan peran, Masyumi,

misalnya. Dikatakan integratif-modernis, sebab ia berpendapat bahwa kita boleh

meniru sistem kenegaraan dari barat selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai

dasar Islam.6

Kemunculan gerakan-gerakan ini yang tak lain sebagai respon dari

kemajuan barat seperti yang dijelaskan di atas, sejatinya muncul sejak abad 13

M/8 H, misalnya gerakan Salafiyah gagasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Gerakan ini menjadikan bid‟ah sebagai masalah utama kemorosotan kaum

muslimin, dan gerakan ini pula yang bertujuan reformisme Islam serta pemurnian

ajaran Islam, dicap Barat sebagai fundamentalisme Islam sebagaimana

fundamentalisme Kristen di Eropa. Begitu juga dengan gerakan Wahabi yang

3 Nama lengkapnya, Sayyid Abul A‟la al-Maududi (1904-1979), pada dasarnya beliau

seorang wartawan bukan ulama sekalipun terdidik dengan baik dalam disiplin-disiplin tradisional

Islam. Pada tahun 1941 beliau mendirikan Jam’iyatul Islamiyah di India.

4 Lahir bulan September 1906 M di Desa al-Mahmudiyah di wilayah al-Bahirah kawasan

pedalaman Mesir. Lihat Moh Iqbal dan Amin Husein, Pemikiran Politik Islam, 2010. h. 185

5 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI

Press, 1993. Cet. kelima), h. 1-2.

6 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis

(Magelang: IndonesiaTera, 2001), h. 70.

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

3

didirikan Mohammad Abdul Wahab abad ke XVIII M, tujuannya adalah

pemurnian ajaran Islam untuk meraih kebangkitan.7

Kemudian pada pertengahan abad ke XIX M, muncul Mujadid Jamal al-

Din al-Afghani yang disusul Muhamad Abduh dan Rasyid Ridho. Ketiga

pembaharu ini yang tak lain guru dan murid melanjutkan cita-cita al-Afghani

yakni pemurnian ajaran Islam demi kebangkitan umat dari keterpurukan. Bahkan

al-Afghani dan Abduh membentuk organisasi bernama Urwah al-Wutsqa dan

menerbitkan majalah yang senama dengan organisasi tersebut.8

Dari segi pemahaman, gerakan Salafiyah al-Afghani berbeda dengan

Salafiyah ala Ibnu Taimiyah. Salafiyah al-Afghani yang tak lain sebagai aliran

keagamaan berpendirian bahwa untuk memulihkan kejayaannya, umat Islam harus

kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan

oleh generasi pertama Islam, yang juga biasa disebut Salaf (pendahulu yang

shaleh)9, gerakan ini bertumpu pada tiga komponen utama, yakni :

1. Keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya

mungkin terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang

masih murni, dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya

al-Khulafaur ar-Rasyidun.

2. Perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik,

ekonomi maupun kebudayaan.

3. Pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam bidang ilmu dan

teknologi, dan karenanya umat Islam harus belajar dari Barat dalam

7 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI

Press, 1993, cet. Kelima), h. 125.

8 Ibid., h. 121. 9 Ibid., h. 124.

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

4

dua bidang tersebut yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali

apa yang dahulu disumbangkan oleh dunia Islam kepada Barat, dan

kemudian secera selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi

Barat itu untuk kejayaan kembali dunia Islam. 10

Adapun Salafiyah ala Ibnu Taimiyah hanya terdiri dari satu unsur saja

yakni unsur pada point pertama.

Menurut al-Afghani, dalam rangka pemurnian Islam untuk meraih

kebangkitan harus dibentuk suatu ikatan politik seluruh umat Islam. Ikatan ini

disebut Jam’iyatul Islamiyah atau Pan-Islamisme dalam bahasa asing. Lagi-lagi,

sekalipun ketiga pembaharu ini sepakat dengan ide gurunya, tetapi dalam aspek

keroganisasian selalu berbeda-beda satu sama lain bahkan tak satu pun dari

mereka yang berhasil membangkitkan umat, terlebih lagi kejayaan umat Islam.

Lalu di tahun 1924 M, yakni setelah institusi kekhalifahan dihapuskan

oleh Mustafa Kamal Ataturk11

, gerakan Islam semakin massif dalam upaya

mengembalikan kejayaan yang telah hilang. Misalnya gerakan Ikhwanul

Muslimin yang didirikan Imam Syahid Hasan al-Bana pada tahun 1928 M di

Mesir yang masih eksis dalam percaturan potitik saat itu. Rasyid Ridho sendiri

mengusulkan diadakan Muktamar Akbar Islami untuk menghidupkan kembali

institusi Khalifah. Namun sekalipun gagasan muktamar itu terwujud pada tahun

1926 di Mesir tetapi tidak membuahkan hasil.12

10

Ibid., h. 125.

11 Gelar “kemal” yang berarti yang sempurna karena kemampuannya yang luar biasa

dalam bidang matematika di sekolah tinggi Militer di Istanbul. Sementara gelar “Ataturk” berarti

bapak turki. Ini karena ia berjasa membawa turki menjadi bangsa modern. Muhammad Iqbal dan

Amien Husein Nasution, ( 2010 : 106)

12 Munawir Sjadzali, Islam dan Tatat Negara (Jakarta: UI Press, 1993, cet. Kelima), h.

136.

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

5

Hingga saat ini, berbagai gerakan yang telah didirikan itu masih ada dan

berperan dalam upaya kebangkitan Islam. Hanya saja, dari semua gerakan yang

ada itu, tak satu pun yang berhasil membangkitkan umat dan mengembalikan

Islam ke kancah kehidupan. Adapun kebangkitan yang dimaksud yaitu

kebangkitan dalam ketinggian tarap berfikir13

. Adapun tolak ukur ketinggian tarap

berfikir ini memiliki dua kriteria yakni „Umuuq14

(mendalam) dan Syumuul15

(menyeluruh) dan kembalinya Islam memegang tampuk pemerintahan serta

menjadi negara adidaya yang besar.

Dalam arena pergulatan politik di sistem demokrasi di dunia juga

demikian, Parpol Islam selalu mengalami kegagalan. Misalnya Partai Kebebasan

dan Keadilan yang berada di bawah naungan Ikhwanul Muslimin di Mesir, pada

pemilu 2012 atau pasca tumbangnya rezim Husni Mubarak, partai ini memperoleh

235 kursi dari 498 kursi di Parlemen. Namun, hanya berselang satu tahun partai

ini kembali gagal membangkitkan umat. Bahkan mereka dikudeta dan diadili

dengan sepihak pada tanggal 03 Juli 201316

. Hal yang sama juga terjadi dengan

partai Front Islamic Du Salut (FIS) di al-Azajair. Berdasarkan hasil pemilu tahun

2009, partai yang berideologi Islam ini meraih 54% suara atau sekitar 188 kursi di

parlemen. Namun sayang, mantan Presiden Benjenid menggalang kekuatan

bersama militer sehingga dapat membubarkan parlemen di bawah pimpinan Moh

13

Muhamad Hawari, Politik Partai Meretas ‘Jalan Baru’ Perjuangan Partai Politik

Islam, (Bogor: IDeA Pustaka Utama, 2003), h. 27.

14 Umuq maksudnya berfikir meliputi substansi suatu perkara sekaligus melingkupi dasar

struktur pembentukan dan sumbernya

15 Syumul yakni mencakup seluruh aspek atau bagian dari perkara yang menjadi obyek

pembahasannya.

16 “Pengalaman Buruk Demokrasi di Dunia Islam” berita diakses tanggal 2 Februari 2014,

dari www.hizbut-tahrir.orid

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

6

Roudiaf.17

. Tidak hanya itu, beberapa Parpol Islam diberbagai Negara juga

mengalami hal yang sama, seperti Hamas di Palestina, an-Nahdah di Tunisia,

Hizb al-„Adalah wa Tanmiya di Maroko yang masing-masing berideologi Islam

dan bertujuan menerapkan hukum Islam selalu menuai kegagalan.18

Perlu kita sampaikan pula, bahwa kegagalan-kegagalan gerakan dan

Parpol Islam juga dialami di Indonesia. Baik gerakan koperatif atau non-Koperatif

mengalami nasib yang sama. Misalnya Partai Sarekat Islam (PSI) yang berdiri

sejak sebelum kemerdekaan RI yang telah berupaya memperjuangkan

kebangkitan Islam. Menurut penuturan Solahudin, PSI sendiri tak sekadar berniat

mendirikan Negara Islam di Indonesia, tapi juga menganut paham Pan-Islamisme.

Sedangkan Pan-Islamisme adalah gagasan untuk menyatukan umat Islam sedunia

dalam satu sistem kekhalifahan.19

Bahkan PSI ini cukup serius memperjuangkan

ide tersebut. Misalnya setelah kejatuhan Khilafah Turki Utsmani tahun 1924, PSI

ikut membentuk komite khilafah, semacam komite untuk memperjuangkan

kembali khilafah, dan tokoh PSI Wondoamiseno menjadi ketuanya, namun

perjuangan ini meredup karena tidak mendapat perhatian dari negeri-negeri Islam

lainnya.20

Setelah kemerdekaan juga demikian, gerakan NII misalnya, pimpinan

Semarkadji Maridjan Kartosoewirjo ini bahkan memilih jalan non-koperatif

sekaligus bermetode militarianisme dalam memperjuangkan Islam. Tetapi, lagi-

17

“Pengalaman Pemilu di al-Jazair” berita diakses tanggal 25 Agustus 2009 dari

www.eramuslim.com

18 “Presiden Sementara Pasca Mursi Dikudeta” berita diakses pada tanggal 17 Juli 2014

dari www.republika.co.id

19 Solahudin, NII sampai JI Salafy Jihadisme di Indonesia (Depok: Komunitas Bambu,

2011), h. 58.

20 Ibid., h. 59.

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

7

lagi NII yang diproklamirkan 7 Agustus tahun 1949 di Cisampak kecamatan

Cilugagar, Kabupaten Tasikmalaya ini mengalami kegagalan. Sungguhpun

menggunakan kekerasan militer tetapi berhasil ditumpas TNI hingga SMK sendiri

berhasil ditangkap dan dihukum mati.21

Tidak hanya itu, jalan koperatif juga ditempuh dalam rangka

memperjuangkan Islam. Namun, baik sebelum kemerdekaan ataupun sesudahnya

selalu menuai kegagalan. Adapun indikasi kegagalan adalah terpecahnya sebuah

gerakan atau parpol menjadi beberapa kubu sebelum mencapai tujuannya, sebagai

contoh gerakan Salafiyah yang melahirkan banyak sempalan. Atau indikasi lain

sampai pada tujuan hanya saja tidak berjaya. Misalnya Partai Pembebasan dan

Keadilan yang meraih kemenangan dengan terpilihnya Presiden Mursi.

Dari latar belakang diatas, muncul sebuah pertanyaan besar, mengapa

upaya memperjuangkan kebangkitan Islam yang begitu mengucurkan keringat

sejak sekitar abad 18 M hingga sekarang belum berhasil? Apakah landasan

normatif setiap parpol keliru atau aspek lain yang memengaruhinya, serta

bagaimana pula pembentukan partai politik dalam Islam itu sendiri. Inilah

momentum bagi Taqiyudin an-Nabhani untuk mengkaji faktor-faktor kegagalan

berbagai gerakan tersebut dari aspek keorganisasiannya. Ulama ini memberikan

perspektif berbeda dan unik yang menarik penulis untuk melakukan penelitian

dengan judul, Pengaruh Pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani dalam

Pembentukan Partai Politik Islam Terhadap Hizbut Tahrir Indonesia.

21

Hiroko Horikoshi, The Darul Islam Movement in West Java (1948-62) : An Experience

in the Historical Process, Jurnal Indonesia, Cornel Modern Indonesia Project, 1975 hlm 59-86.

Dikutip oleh Solahudin, NII sampai JI Salafy Jihadisme di Indonesia, (Depok: Komunitas Bambu,

2011), hlm. 65. lihat pula Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, Usaha-Usaha Mendirikan Negara

Islam dan Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta: Penerbit CV Misaka Galiza, 2008), h.

106.

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

8

B. Perumusan Masalah

Dengan menguraikan latar belakang masalah di atas, penulis perlu

melakukan pembatasan masalah agar penelitian lebih terarah dan fokus. Penulis

membatasi masalah hanya pada pembentukan Partai Politik Islam. Sebab, menurut

penulis bila melihat aspek tsakafah, maka setiap parpol memiliki orang-orang

yang capability dalam hal agama Islam ditinjauh dari segi komprehensif. Dalam

hal ini juga penulis mencoba membatasi dan memberikan rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana pemikiran Taqiyudin an-Nabhani dalam pembentukan

Partai Politik Islam untuk Meraih Kebangkitan?

2. Apa pengaruh pemikiran Taqiyudin an-Nabhani dalam perkembangan

Hizbut Tahrir Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulisan skripsi ini

bertujuan,

a. Untuk mengetahui pemikiran Taqiyudin an-Nabhani dalam

pembentukan Partai Politik untuk meraih kebangkitan.

b. Untuk mengetahui pengaruh pemikiran Taqiyudin an-Nabhani

dalam perkembangan Partai Politik Hizbut Tahrir Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Setiap permasalahan membutuhkan telaah tuntas dan mendasar agar

diperoleh manfaat dari penelitian tersebut, yaitu :

a. Manfaat Akademis

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

9

1. Sebagai tambahan referensi atau perbandingan untuk

memperkaya literatur keislaman.

2. Sebagai pembuka wacana tema yang terkait untuk melakukan

penelitian lanjutan.

3. Secara akademis pula untuk mendapatkan jawaban atas

persoalan yang terkait dengan pembentukan Partai Politik

Islam.

b. Manfaat Praktis

Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan tsakafah

keislaman dalam bidang ilmu politik.

D. Review Studi Terdahulu

Ada beberapa penelitian tentang Syeikh Taqiyudin an-Nabhani seperti

skripsi yang ditulis oleh saudari Siti Rohanah Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Ketatanegaraan Islam tahun 2012 dengan judul Pandangan Tokoh Islam

Indonesia Tentang Konsep Khilafah Taqiyudin an-Nabhani, saudara Rudi

Mulyantoro Fakultas Ushuluddin jurusan Pemikiran Politik Islam tahun 2009

dengan judul Implementasi Syariat Islam dalam Perspektif Hizbut Tahrir

Indonesia, dan saudari Aat Yuliawati Fakultas Dakwah dan Komunikasi jurusan

Manajemen Dakwah dengan judul Peran Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia di

Lingkungan Mahasiswa Uin Syarif Hidayatullah Jakarta dan lain-lain. Hanya saja

penelitian-penelitian tersebut terlalu global membahas pemikiran Syeikh Taqiy

dan Hizbut Tahrir. Sementara sepengetahuan penulis, belum ada yang membahas

secara khusus salah satu topik bagaimana membentuk Partai Politik Islam untuk

meraih kebangkitan.

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

10

E. Metode Penulisan

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam menyusun skripsi ini adalah

penelitan kepustakaan (library research) dengan pendekatan deskriftif-kualitatif.

Yaitu Penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari objek yang diteliti penulis, atau penelitian yang bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleb subyek penelitian seperti

prilaku, persepsi, motivasi tindakan secara holistic dan dengan cara deskripsi

dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiyah dan

dengan manfaat berbagai metode alamiah. Adapun dari segi tujuan, penelitian ini

juga menggunakan pendekatan analitis yang bertujuan menggambarkan keadaan

sementara dengan memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari data-

data. 22

F. Sumber Data

Sumber data yang digunakan penulis terdiri dari dua macam yaitu sumber

data primer dan sekunder. Adapaun primer terdiri dari beberapa buku karya tulis

asli Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani seperti at-Takatul al-Hizbiy, Daulah al-

Islâmiyyah, Mafâhim Hizb at-Tahrîr, as-Syaksiyah al-Islamiyah Juz III,

Muqaddimah ad-Dustur aw al-asbâb al-Mûjibat Lahu Juz I, Nidzamu al-Hukmi fî

al-Islam, Mafâhim as-Siyâsiy Lihizb at-Tahrîr, dan lain-lain. Sedangkan data

sekunder didapat dari beberapa buku yang berkaitan dengan pemikiran Politik

Islam seperti al-Ahkâm as-Sultâniyah karya Imam al-Mawardi, Teori Politik Islam

karya Dyiauddin ar-Rais, Kekhilafahan dan Kerajaan karya Abul A‟la al-

22

Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta : Rajawali Press, 2003, cet.

Keempat belas), h. 75.

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

11

Maududi dan beberapa karya pemikir kontemporer serperti Islam dan Tata

Negara karya Munawir Sadjali, Pemikiran Politik Islam karya Moh Iqbal, Islam

dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia karya Prof. Dr. Masykuri Abdillah, Fiqh

Siyasah karya Dr. Mujar Ibnu Syarif dan Dr. Khamami Zada serta beberapa data

lain seperti jurnal al-Wa‟i, tabloid Media Umat, situs www.hizbut-tahrir.or.id, dan

sejenisnya yang berkaitan dengan fiqh siyasah termasuk tafsir-tafsir yang

membahas ayat-ayat politik.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk memberikan arah yang jelas terhadap penyusunan penelitian ini,

maka sistematikanya dapat disusun sebagai berikut:

Bab Pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu,

metode penelitian, sumber data dan sistematika pembahasan.

Bab Kedua berisikan pembahasan tentang pengertian khilafah, pandangan

para ulama tentang hukum eksistensi khilafah, bentuk pemerintahan Islam

menurut ulama kontemporer, prinsip-prinsip negara khilafah, cara pengangkatan

khalifah, peran dan tujuan jama‟ah dalam pemerintahan Islam, dan beberapa

upaya jama‟ah mendirikan khilafah.

Bab Ketiga berisikan tentang biografi Taqiyudin an-Nabhani yaitu silsilah

nasab, pendidikan, kiprah pekerjaan, mendirikan Hizbut Tahrir, karya tulis dan

wafatnya Taqiyuddin an-Nabhani.

Bab Keempat membahas pemikiran Taqiyudin an-Nabhani terkait bentuk

pemerintahan Islam, cara pengangkatan khalifah, dan bagaimana konsep

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

12

pembentukan Partai Politik yang tertuang dalam karya tulisnya at-Takatul al-

Hizbiy serta analisis terhadap pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani.

Adapun Bab Kelima, berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan

saran.

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

13

BAB II

SISTEM KHILAFAH DAN PERAN JAMA’AH

A. Pengertian Khilafah

Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fi‟il madhi

khalafa, yang berarti: menggantikan atau menempati tempatnya. Khilafah

menurut Ibrahim Mustafa adalah orang yang datang setelah orang lain lalu

menggantikan posisinya.1 Jadi, menurut bahasa, khalîfah adalah orang yang

mengantikan orang sebelumnya. Jamaknya, khalaa‟if atau khulafaa‟. Inilah makna

firman Allah Swt.:

Artinya: Berkata Musa kepada saudaranya, Harun, „Gantikanlah aku dalam

(memimpin) kaumku. (QS. al-A‟raf: 142).

Menurut Imam ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan

mengapa as-sulthan al-a‟zham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai

khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan

posisinya.2

Sedangkan secara istilah, dapat kita jumpai dalam beberapa hadits,

misalnya,

1 Ibrahim Mustafa, Mu‟jam al-Wasith, (Mishr : Dâr ad-Da‟wah, al-Maktabah-as-

Syamilah), h. 251.

2 Muhammad Ibnu Jarir at-Thobari, Jâmi al-Bayan „an Ta‟wil Ây al-Qur‟an, (Dâr al-

Hijah, 2001, Juz I, cet. Kesatu, al-Maktabah as-Syamilah), h. 476.

3 Lihat Musnad al-Bazzar hadits no 1282/IV/108 (al-Maktabah as-Syamilah)

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

14

Artinya: Sesungguhnya (urusan) agama kalian berawal dengan kenabian dan

rahmat, lalu akan ada khilafah dan rahmat, kemudian akan ada

kekuasaan yang tirani. (HR al-Bazzar).

Kata khilafah dalam hadis ini memiliki pengertian: sistem pemerintahan,

pewaris pemerintahan kenabian. Ini dikuatkan oleh sabda Rasul saw.:

Artinya: Dulu Bani Israel dipimpin/diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang

nabi wafat, nabi lain menggantikannya. Namun, tidak ada nabi

setelahku, dan yang akan ada adalah para khalifah, yang berjumlah

banyak. (HR. Muslim).

Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang

yang menggantikan Nabi saw. dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-

islamiyah). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam.

At-Taftazani mendefinisikan keimamahan sebagai kepemimpinan umum

dalam urusan agama dan dunia, sebagai khalifah atau wakil nabi saw.5 Adapun

Abu al-Hasan al-Mawardi mendefinisikan Keimamahan sebagai suatu nama bagi

pengganti kenabian untuk menjaga agama dan mengatur urusan dunia.6 Sementera

Ibnu Khaldun, berpendapat bahwa karakteristik sistem pemerintahan bergantung

pada undang-undang yang diberlakukannya. Menurutnya, ketika undang-undang

ada tiga macam, maka sistem pemerintahan pun ada tiga macam. Dengan

4 Lihat Shahîh al-Bukhari no 3455/IV/169, Shahîh Muslim no 44/III/1471, Sunan Ibnu

Mâjah hadits no 2871/II/958 (al-Maktabah as-Syamilah)

5 Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Penerjemah Abu Hayyie al-Kattani,

et.all (Jakarta : Gema Insani, 2001), h. 89.

6 Abu al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Muhammad Al-Mawardi, al-Ahkam as-

Shulthoniyah, (Mishr : Dâr al-Hadits(, h. 15.

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

15

demikian akan didapat kesimpulan tiga macam sistem pemerintahan yaitu al-Mulk

kerajaan yang natural, republik, dan keimamahan atau kekhilafahan.

Menurutnya, bila sistem ini berdasarkan hukum-hukum yang ditentukan

oleh Allah dengan perantaraan seorang Rasul, maka pemerintahan itu disebut

berdasarkan agama, dan pemerintahan agama ini sangat berguna baik untuk hidup

di dunia maupun kelak di akhirat. Sebab, manusia tidak dijadikan hanya untuk

dunia saja yang penuh dengan kehampaan dan kejahatan yang akhirnya mati dan

kesirnaan belaka, inilah yang dimaksud sistem kekhilafahan.7

B. Hukum Eksistensi Khilafah Menurut Ulama Salaf

Hukum mengangkat khalifah dalam pandangan para ulama salaf, tidak ada

ada perbedaan kecuali segelintir orang. Menurut Imam Abu Hasan al-Mawardi,

hukumnya wajib berdasarkan ijma, sekalipun Abu Bakar al-Asham dari pembesar

muktazilah menyelisihinya.8

Agar memberikan penjelasan yang komprehensif, berikut penulis

sampaikan berdasarkan pendapat ulama empat madzhab (madzhab Syafiiah,

Malikiyah, Hanabilah dan Hanafiyah) sebagai berikut,

1. Madzhab Syafi‟i

Dalam kitab Syarah Shahîh Muslim, Imam Abu Zakaria an-Nawawi

mengatakan bahwa hukum mengangkat khalifah wajib. Ia berkata sebagai berikut,

7 Ibnu Khaldun, Mukaddimah, Penerjemah Ahmadie Thoha (Jakarta : Pustaka Firdaus,

2011), h. 233 8 Abu al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Muhammad Al-Mawardi, al-Ahkam as-

Shulthoniyah (Mishr : Dâr al-Hadits(, h. 15.

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

16

Artinya: Para ulama sepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat

seorang khalifah. Kewajiban ini ditetapkan berdasarkan syariah, bukan

berdasarkan akal. Adapun apa yang hikayatkan dari al-Asham bahwa ia

berkata, “Tidak wajib,” juga selain Asham yang menyatakan bahwa

mengangkat seorang khalifah wajib namun berdasarkan akal, bukan

berdasarkan syariah, maka dua pendapat ini batil.

2. Madzhab Hanafi

Imam „Alauddin al-Kasani, seorang ulama besar dari mazhab Hanafi

menyatakan:

Artinya: Sebab, mengangkat Imam al-A‟zham (Khalifah) adalah fardhu, tidak ada

perbedaan pendapat di antara ahlul haq. Tidak bernilai sama sekali—

penyelisihan sebagian kelompok Qadariyah—karena adanya Ijmak

Sahabat ra. atas kewajiban itu; juga karena adanya kebutuhan terhadap

Khalifah, agar bisa terikat dengan hukum-hukum (syariah), membela

orang yang dizalimi dari orang yang zalim, memutus perselisihan yang

menjadi sebab kerusakan dan berbagai kemaslahatan lain yang tidak

mungkin bisa tegak tanpa adanya seorang imam (khalifah).

3. Madzhab Maliki

Imam al-Qurthubi, dalam tafsirnya, al-Jaami‟ Li Ahkaam al-Qur‟an,

menafsirkan surat al-Baqarah ayat 30 sebagai berikut,

9 Abu Zakaria an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim (Mishr : Daâr al-Hadits : 2001, Juz VI,

cet. Keempat), h. 446. 10

„Alâuddin al-Kasani, Badâiطu as-Shonâطi Fî Tartîb as-Syarâ‟I, (Dâr al-Kutub, 1986,

Juz VII cet. Kedelapan, al-Maktabah as-Syamilah), h.1.

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

17

11

Artinya: Ayat ini adalah dalil asal atas kewajiban mengangkat seorang imam

atau khalifah yang didengar dan ditaati, yang dengan itu kalimat

(persatuan umat) disatukan dan dengan itu dilaksanakan hukum-hukum

Khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban ini, baik

di kalangan umat maupun kalangan para ulama, kecuali yang

diriwayatkan dari al-Asham

4. Madzhab Hanbali

Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, seorang ulama mazhab Hanbali,

menyatakan:

Artinya: Ayat ini, -surat al-Baqoroh ayat 30- adalah dalil yang menunjukkan

kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang wajib didengar

dan ditaati, yang dengannya disatukan kalimat (persatuan umat), dan

dilaksanakan hukum-hukum Khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat

mengenai kewajiban itu antara para ulama kecuali yang diriwayatkan

dari al-Asham dan pengikutnya.

C. Hukum Eksistensi Khilafah Menurut Ulama Kontemporer

Berangkat dari pemahaman hubungan agama dengan negara dalam

konteks modern, Masykuri Abdillah dalam bukunya Islam dan Dinamika Sosial

Politik di Indonesia, membagi hal tersebut dalam tiga bentuk, yaitu Integrated

(penyatuan agama dengan negara), intersectional (persinggungan agama dengan

negara) dan sekuleristik (pemisahan agama dengan negara)13

. Perdebatan ini

muncul terutama sejak adanya interaksi antara masyarakat Islam dan Barat yang

11

Muhammad al-Qurtubi, al-Jâmi‟ li Ahkâm al-Qur‟an (Mishr : Dâr al-Kutub, 1964, Juz I,

cet. Kedelapan, al-Maktabah as-Syamilah), h. 264. 12

Sirâj ad-din Umar bin Ali, al-lubâb Fî Ulûm al-Kitâb (Beirut : Dâr al-Kutub: 1998, Juz

I, cet. Pertama, al-Maktabah as-Syamilah), h. 501.

13

Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia (Jakarta :

Gramedia, 2011), h. 8.

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

18

membawa sistem mereka bersamaan dengan penjajahan mereka di bagian besar

negara-negara Muslim. Pada umumnya pemikiran politik Islam kontemporer ini

merespons sistem politik Barat, seperti nasionalisme, nation state, demokrasi,

sosialisme dan sebagainya. Respon ini adakalanya menolak sepenuhnya,

mendukung sepenuhnya, atau menolak sebagian dan mendukung sebagian.

Kelompok pertama (konservatif) misalnya menolak sistem politik Barat,

kelompok kedua (modernis) mendukung sebagian secara selektif, sedangkan

kelompok ketiga (sekuler) mendukung sepenuhnya.14

, dan dari ketiga bentuk ini

menurut penulis, memengaruhi apakah wajib negara Islam (al-khilafah)

berdasarkan ismun wa musamma bihi, atau tidak wajib dalam artian legal-

formacy, tetapi selektif-subtantif (mengutamakan nilai-nilai universal ajaran

Islam), atau tidak wajib non selektif-subtantif dan non formatif.

Berikut beberapa pendapat pemikir kontemporer tentang hubungan agama

dengan negara,

1. Kelompok yang setuju dengan bentuk Integrated (penyatuan agama

dengan negara)

Kelompok ini memiliki pandangan bahwa agama dan politik adalah

menyatu, tak terpisahkan. Dalam pandangan kelompok ini negara tidak bisa

dipisahkan dari agama, karena tugas negara adalah menegakan agama sehingga

negara Islam atau Khilafah Islamiyah menjadi cita-cita bersama. Karena itulah,

syariat Islam menjadi hukum negara yang dipraktikkan untuk seluruh umat

Islam.15

Kelompok ini diwakili oleh,

14

Ibid., h. 7.

15

Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik

Islam (Jakarta : Erlangga, 2008), h. 39-40.

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

19

a. Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) yang menulis al-Khilâfah wa al-

Imâmah al-Uzhma (Kekhilafahan atau Kepemimpinan Agung) dan tafsir

al-Manar.

b. Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman al-Banna atau yang lebih dikenal

dengan nama Hasan al-Banna (1906-1949 M) pendiri gerakan Ikhwanul

Muslimin.

c. Abu al-A‟la al-Maududi (1903-1979 M) yang menulis al-Khilâfah wa al-

Mulk (Khilafah dan Kerajaan) dan Islamic Law and Constitution. Ia juga

pendiri Jama‟at Islami di Pakistan.

d. Sayyid Quthb (1906-1966 M) ideologi gerakan Ikhwanul Muslimin yang

menulis al‟Adâlah al-Ijtimâ‟iyah fî al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam)

dan Ma‟âlim at-Thâriq (petunjuk jalan).

e. Imam Khomeini (1900-1989 M) pemimpin Revolusi Islam Iran 1979 M

dan penggagas konsep wilâyat al-faqih yang menulis Hukûmat al-Islâmi

(Sistem Pemerintahan Islam).16

2. Kelompok yang setuju dengan bentuk Intersectional (persinggungan

agama dengan negara)

Sementara kelompok kedua, memiliki pandangan bahwa agama dengan

politik melakukan simbiosis atau hubungan timbal balik yang saling bergantung.

Agama membutuhkan negara untuk menegakkan aturan-aturan syariat. Sementara

negara membutuhkan agama untuk mendapatkan legitimasi. Para pemikir ini

menunjukan garis pemikiran politik yang moderat dengan tidak mengabaikan

pentingnya negara terhadap agama. Tokoh kelompok ini sebagai berikut,

16

Ibid., h. 40.

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

20

a. Muhammad Abduh (1849-1905 M) tokoh pembaharu Mesir.

b. Muhammad Iqbal (1873-1938 M) bapak pendiri negara Pakistan.

c. Muhammad Husain Haikal (1888-1945 M) yang menulis Hayâtu

Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad), Fî Manzil al-Wahyi (Kedudukan

Wahyu), dan al-Hukûmat al-Islâmiyat (Pemerintahan Islam).

d. Fazlur Rahman (1919-1988 M) bapak pembaharu Pakistan yang menulis

Islam, and Modernity, dan Major Themes of the Qur‟an.17

Menurut Husain Haikal -salah satu yang setuju dengan bentuk seperti ini-

karena dalam Islam tidak terdapat sistem pemerintahan yang baku (nizam

muqarrar atau nizam tsabit). Islam hanya meletakkan seperangkat tata nilai etika

yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku (suluk)

manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya.18

3. Kelompok yang setuju dengan bentuk Sekuleristik (pemisahan agama

dengan negara)

Kelompok ini memiliki pandangan bahwa agama harus dipisahkan dengan

negara dengan argumentasi Nabi Muhammad Saw tidak pernah memerintahkan

untuk mendirikan negara. Terbentuknya negara dalam masa awal Islam hanya

faktor alamiah dan historis dalam kehidupan masyarakat, sehingga tidak perlu

umat Islam mendirikan negara Islam atau Khilafah Islamiyah. Kelompok ini

diwakili oleh,

a. Ali Abd al-Raziq (1888-1966 M) yang menulis al-Islâm wa Usûl al-

Hukm: Ba‟ts fi al-Khilâfah wa al-Hukûmah fî al-Islâm (Islam dan

Pemerintahan: Kajian tentang Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam).

17

Ibid., h. 41.

18

Musdah Mulia, Negara Islam (Depok : KataKita, 2010), h. 229.

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

21

b. Thaha Husein (1889-1973 M) yang menulis Mustaqbal al-Tsaqôfah fî al-

Mishr (Masa Depan Kebudayaan Mesir)

c. Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938 M) pendiri Republik Turki Modern.19

Kelompok ini juga berkeyakinan, demikian tulisan Sukron Kamil, bahwa

Islam adalah agama murni bukan negara. Negara, karenanya, adalah persoalan

sekuler (duniawi) yang pertimbangannya adalah akal dan moralitas kemanusiaan

yang bersifat duniawi semata. Negara tidak harus diatur agama. Demikian juga

sebalikya, negara juga tidak boleh mengintervensi urusan agama, karena agama

adalah urusan pribadi dan keluarga. pemikir yang termasuk tipologi seperti ini,

seperti Ali bin Abd ar-Raziq, A. Lutfi Sayyid dan Soekarno di Indonesia.20

D. Bentuk Pemerintahan Islam Menurut Ulama Kontemporer

Ulama modern memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai sistem

pemerintahan Islam. Menurut Yusuf Qardawi, sistem pemerintahan Islam adalah

Negara Madani yang ditegakkan berdasarkan pemilihan, bai‟at dan musyawarah.

Kepala negara bertanggung jawab di hadapan rakyat. Setiap individu masyarakat

berhak untuk menasehati penguasa, menyuruhnya berbuat ma‟ruf dan

melarangnya berbuat mungkar. Bahkan Islam menganggap hal itu sebagai

kewajiban kolektif, atau kewajiban individual bagi yang sanggup ketika orang lain

tidak sanggup melakukannya.21

Adapun dengan Dhiauddin Rais, menurutnya pemerintahan Islam bukan

demokrasi dalam pengertian sempit, bukan juga kerajaan, bahkan menurutnya

19

Ibid., h. 42.

20

Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik (Jakarta : Kencana, 2013), h. 26.

21

Yusuf Qardhawi, Fiqh Negara, Penerjemah Syafril Halim, (Jakarta: Robbani Pres,

1999, cet. Kedua), h. 68.

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

22

tidak sama dengan pemerintahan apa pun. Sebab, dalam pemerintahan Islam

terdapat dua kedaulatan yaitu kedaulatan umat dan undang-undagn (syariat). Umat

dan syariat inilah yang memiliki kedaulatan secara bersamaan. Hanya saja, jika

pun ingin memberikan embel-emebel demokrasi dengan tetap memperhatikan

perbedaannya, maka dapat disatukan dalam pengungkapan yang simple dan

ringkas yaitu sebagai Demokrasi Islam.22

Sementara Abu A‟la al-Maududi, penejelasan kekhilafahan yang

dianugerahkan Allah kepada orang yang beriman merupakan kekhilafahan umum

dan bukan kekhilafahan terbatas. Tidak ada pengistimewaan untuk keluarga,

kelompok atau ras tertentu. Setiap mukmin adalah khalifah tuhan sesuai dengan

kemampuan individunya. Dengan demikian dia secara individu bertanggungjawab

kepada tuhan.23

Khalifah-khalifah Allah maksudnya kaum muslimin mengangkat seorang

khalifah sebagai wakil mereka untuk menerapkan aturan dari pencipta yang telah

diletakan ke pundak khalifah-khalifah tersebut. Karena kedaulatan adalah hak

Allah, sedangkan hak mengangkat khalifah di pundak kaum muslimin, maka

konsep semacam ini yang oleh al-Maududi disebut dengan istilah Teo-Demokrasi

atau Demokrasi Ilahi.24

E. Cara Pengangkatan Khalifah dan Prinsip Pemerintahan Islam

Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, dalam bukunya Fiqh Siyasah

mengatakan, baik al-Quran maupun Sunnah tidak pernah menetapkan suatu cara

22

Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Penerjemah Abu Hayyie al-Kattani,

et.all (Jakarta : Gema Insani, 2001), h. 312.

23

Abu A‟la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Penerjemah Muhammad al-Baqir,

(Bandung: Mizan, 2007, cet. Pertama), h.255. 24

Ibid., h. 171.

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

23

atau mekanisme tertentu memilih seorang kepala negara/presiden. Karena itu,

dalam pentas sejarah ketatanegaraan Islam muncul berbagai model atau cara

pengakatan kepala negara Islam, memulai dari yang dianggap demokratis dan

damai sampai kepada cara yang dianggap tidak demokratis dan didahului

peperangan atau revolusi berdarah-darah.25

Menurutnya pula, ia mengutip beberapa pendapat pemikir kontemporer,

ada beberapa cara yang pernah terjadi pada masa awal Islam, diantaranya dengan

metode penunjukan langsung oleh Allah, penunjukan oleh Allah dan Rasulnya,

pemilihan oleh ahl al-halli wa al-aqdi, penunjukan melalui wasiat, pemilihan oleh

tim formatur, revolusi atau kudeta, pemilihan langsung oleh rakyat, penunjukan

berdasarkan keturunan.26

Adapun Ibnu Taimiyah, yang dikutip Abdul Karim Zaidan dalam

karyanya, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, Imamah –yaitu

kepemimpinan negara- dikukuhkan melalui baiat bukan penunjukan

pendahulunya.27

Sementara Abu al-Hasan al-Mawardi, menurutnya terdapat dua

cara pemilihan khalifah yaitu dengan penunjukan orang sebelumnya dan dengan

pemilihan ahl al-hal wa al-aqd.28

Keduanya diperbolehkan. Adapun penunjukan

oleh orang sebelumnya, hal ini didasarkan pada dua argumentasi yaitu penunjukan

Abu Bakar terhadap umar dan kaum muslimin tidak menginkari

25

Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik

Islam (Jakarta : Erlangga, 2008), h. 124. 26

Ibid., 27

Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam (Jakarta :

Yayasan al-Amin, 1984), h. 18.

28

Abu al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Muhammad Al-Mawardi, al-Ahkam as-

Shulthoniyah (Mishr : Dâr al-Hadits(, h. 15.

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

24

kepemimpinannya, sementara yang kedua, karena umar menunjuk dewan

formatur untuk menentukan khalifah penggatinya.29

Beragamnya pendapat mengenai mekanisme pemilihan khalifah, tidak

terlepas dari beragamnya tatacara pemilihan khalifah yang empat dan tradisi

Khilafah Umayah hingga Turki Utsmani. al-Baghadadi yang dikutip Mujar Ibnu

Syarif mensinyalir tidak ada kesepakatan pendapat tentang tata cara pengisian

jabatan kepala negara, apakah melalui penunjukan atau pemilihan, banyak pemikir

politik muslim kontemporer semisal Muhammad Dhiya al-Din al-Rais,

Taqiyuddin an-Nabhani, dan Abd al-Rashid Moten, secara tegas menyatakan, di

masa kontemporer sekarang ini pengisian jabatan kepala negara mesti melalui

cara pemilihan.30

Alasannya karena sejak awal, menurut Abd al-Rashid Moten, Islam telah

memerintahkan agara kepala negara dipilih berdasarkan musyawarah. Perintah

tersebut, tegas dia, termaktub dalam ayat 38 surah as-Syura dan ayat 159 surat Ali

Imran yang sama-sama berisi perintah umat Islam untuk memilih kepala

negaranya berdasarkan musyawarah. Selain dengan kedua ayat tersebut, ia juga

mendukung dengan ucapan Umar ibn al-Khattab yang menyatakan, “Tidak ada

khalifah kecuali dengan musyawarah”31

Karena agama Islam tidak hanya merupakan sistem kepercayaan dan etika-

moral, tetapi juga mencakup sistem kemasyarakatan dan kenegaraan, sehingga ia

29

Ibid., h. 30-31. 30

Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik

Islam (Jakarta : Erlangga, 2008), h. 159.

31

Ibid.,

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

25

lebih tepat disebut sebagai way of life bagi pemeluknya,32

tetapi seperti menurut

sebagian pemikir politik Islam kontemporer, tidak juga mesti dilegalformalkan,

maka seperti dalam buku Makyuri Abdillah, Islam memiliki beberapa prinsip

dasar dalam kemasyarakatan diantaranya,

1. Keadilan (al-„adâlah)

Nilai ini antara lain terdapat dalam Q.S. Al-Maidah ayat 8 yang berbunyi,

Artinya: Hai orang-orang yang beriman,hendaklah kamu menjadi orang-orang

yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi

dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu

kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena

adil itu lebih dekat kepada takwa.

Pendapat para ulama masa lalu tentang adil masih relevan hingga kini

yakni menempatkan sesuatu secara proporsional. Dalam Islam, nilai keadilan ini

tidak hanya dipraktikan dalam konteks perundangan dan pemerintahan, tetapi juga

dalam kehidupan sehari-hari dan dalam wilayah yang paling kecil seperti

kehidupan rumah tangga.33

2. Kepercayaan dan akuntabilitas (al-Amânah)

Nilai ini antara lain terdapat dalam QS. An-Nisaa ayat 58 yang berbunyi,

32

Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia (Jakarta :

Gramedia, 2011), h. xii

33

Ibid., h. xv.

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

26

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat

kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum

hendaknya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi

pengajaran yang sebaiknya kepada kamu.

Konsep amanah yang awalnya hanya diartikan kepercayaan (trust) kini

pengertiannya berkembang menjadi pertanggungjawaban (akuntabilitas) dalam

melaksanakan kepercayaan (amanah atau mandate) baik kepada Allah maupun

kepada orang/lembaga yang memberikannya.

3. Persaudaraan (al-Ukhuwwah) dan kemajemukan (at-Ta‟addudiyah)

Kedua nilai ini antara lain terdapat dalam QS. Al-Hujurat ayat 10 yang berbunyi,

Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.

Adapun dalam hadits, yaitu Janganlah kamu saling membenci, jangan

saling dengki dan iri, dan jangan pula saling memusuhi, jadilah hamba Allah

yang bersaudara (HR. Bukhari) dengan pelaksanaan ijtihad kontemporer tentang

hubungan antarwarga negara pada saat ini yang mengalami perkembangan,

persaudaraan ini kemudian dikembangkan menjadi ukhuwah insaniyyah

(persaudaraan kemanusiaan), yang didukung oleh ayat QS. Al-Hujurat : 13 yakni,

Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki

dan seorang perempuan,dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-

suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di

antara kamu adalah yang paling beretakwa.34

4. Kesejahteraan

34

Ibid., h. xvi.

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

27

Prinsip kesejahteraan dalam nomokrasi Islam bertujuan mewujudkan

keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh anggota masyarakat. Tugas itu

dibebankan kepada penyelenggara negara dan masyarakat. Pengertian keadilan

sosial dalam nomokrasi Islam bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan materil

dan kebendaan saja, akan tetapi mencakup pula pemenuhan kebutuhan spiritual

dari seluruh rakyat. Negara berkewajiban memperhatikan dua macam kebutuhan

itu dan menyediakan jaminan sosial untuk mereka yang kurang atau tidak

mampu.35

5. Persamaan (al-Musâwah)

Nilai ini antara lain terdapat dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 di atas dan

sebuah hadits yang merupakan pidato perpisahan Nabi yakni,

Artinya: Sesungguhnya leluhurmu adalah satu yaitu adam. Karena itu tidak ada

perbedaan antara orang Arab dan non Arab, antara orang yang berkulit

merah dengan yang berkulit hitam, kecuali karena takwanya kepada

Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.

Secara operasional konsep persamaan ini mengandung perdebatan di

antara ulama dan intelektual muslim, terutama persamaan antara lelaki dengan

perempuan serta antara muslim dan non-muslim. Namun umumnya mereka telah

35

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya

Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini

(Jakarta: Prenada Media, 2003, cet. Pertama), h. 150.

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

28

berusaha untuk memahaminya secara progresif, tanpa menyalahi pemahaman

standar yang dikemukakan oleh mayoritas ulama.36

6. Permusyawaratan (as-Syûrâ)

Nilai ini terdapat dalam QS. Ali Imrân ayat 159 yaitu, …. وشاورهم في األمر

(Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu). Nilai ini mengandung

pengertian adanya partisipasi warga dalam pengambilan keputusan putusan

publik, penyelesaian masalah serta dalam monitoring atau control terhadap

pelaksanaan keputusan.37

7. Perdamaian (as-Silm)

Nilai ini terdapat dalam QS. Al-Anfâl ayat 61, yakni وإن جنحىا للسلم فاجنح لها

Jika mereka (musuh) condong ke perdamaian, maka) وتىكل على اهلل إنه هى السميع العليم

condonglah kepadanya dan bertawakal kepada Allah). Ayat ini turun ketika

hubungan antarkelompok dalamkondisi sosial pada saat itu didasarkan pada

prinsip konflik. Perdamaian di antara kelompok-kelompok sosial/suku pada waktu

itu hanya terjadi jika ada perjanjian („ahd) di antara mereka. Namun,kini

hubungan antarkelompok/negara didasarkan pada prinsip perdamaian sehingga

para ulama dan intelektual muslim kini menjadikan nilai perdamaian ini sebagai

nilai dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.38

F. Peran dan Tujuan Jamaah

Sesungguhnya organisasi kemasyarakatan (Ijtima‟ insani) umat manusia

adalah satu keharusan. Para filosof (ak-hukama) telah melahirkan kenyataan ini

36

Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia (Jakarta :

Gramedia, 2011), h. xvii 37

Ibid., 38

Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia (Jakarta :

Gramedia, 2011), h. xviii lihat juga Musdah Mulia, Negara Islam h. 133-196.

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

29

dengan perkataan mereka : “manusia adalah bersifat politis menurut tabiatnya”

(al-insanu madaniyyun biathabi‟). Ini berarti, ia memerlukan satu organisasi

kemasyarakatan, yang menurut para filosof dinamakan “kota”39

. Tidak hanya itu,

fenomena berkelompok juga disebabkan secara bawaan, manusia memiliki naluri

mempertahankan diri. Maksud naluri, adalah khasiat yang merupakan fitrah

penciptaannya supaya manusia bisa mempertahankan eksistensinya, keturunan

dan mencari petunjuk mengenai keberadaan Sang Pencipta.40

Kalimat Jama‟ah adalah masdar dari jama‟a yajma‟u jam‟an jama‟atan

yang berarti kelompok41

atau ummah. Meskipun ummah dimaknai secara umum

seperti Umat Islam atau Umat Muhammad, (Q.S. Ali Imron : 111), atau Jamâh,

wal Qaum min an-Nâs,42

tetapi terkadang kalimat ummah juga dimaknai

kelompok seperti dalam ayat,

. Pengertian ini terdapat dalam Tafsir at-Thobari, Jaamiul Bayan

„an Tawil Ayyi al-Qur‟an 43

Sebagian kewajiban yang dibebankan as-Syaari kepada mukallaf, ada

yang bersifat „ainiy (fardu „ain) dan ada juga yang bersifat kifaaiy (fardu kifayah).

39

Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011, cet.

Kesepuluh), h.71.

40

Hafidz Abdurahman, Diskursus Islam dan Politik (Bogor : Al-Azhar Press, 2011, cet.

Kedua), h. 51.

41

A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka

Progressif, 1997, cet. XIV), h. 209.

42 Husein bin Muhsin Bin Ali Jabir, Membentuk Jama‟atul Muslimin (TT), h. 39.

43

At-Thabari, Jâmi al-bayan „an Ta‟wil Ây al-Qur‟an (al-Maktabah as-Syaamilah), h. 90.

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

30

Adapun fardu „ain adalah kewajiban yang secara substantif, mesti dilakukan oleh

setiap mukallaf. Artinya, jika soerang Muslim meninggalkannya, status kewajiban

tersebut tidak lantas gugur karena dirinya, meskipun seluruh umat Islam yang lain

telah melaksanakannya. Sebaliknya, seandainya kewajiban tersebut hanya

dilaksanakan oleh dirinya sendiri, sementara seluruh umat Islam

meninggalkannya, maka kewajiban tersebut telah gugur dari dirnya, dan di

hadapan Allah SWT ia telah terbebas dari kewajiban itu. Sementara kewajiban

yang bersifat kifaaiy, adalah kewajiban yang dituntut agar terlaksana tanpa

memperhatikan siapa yang melaksanakannya dari kalangan umat Islam. 44

hanya

saja, bukan berarti bila fardu kifaayah, seperti kewajiban mengurus jenazah,

secara otomatis menggugurkan kewajiban Muslim yang lain. Sebab, maksudnya

gugur kewajiban tersebut bila telah ditunaikan secara sempurna. 45

Oleh karena itu, dalam buku al-Fikru al-Islamiy, oleh Muhamad Mahmud

Ismail, Fardu Kifaayah didefinisikan sebagai berikut,

وال يسقط اىفشض تحاه األحىاه حتى يقا تاىعو اىزي فشض ويستحك تاسك اىفشض اىعقاب

يقى ته وال فشق فى رىل تي فشض اىعي واىفشض عيى اىنفايح ويظو اثا حتى , عيى تشمه

46فنيها فشض عيى جيع اىسيي

Artinya: Sebuah kewajiban, dalam kondisi apa pun, tidaklah gugur sama sekali

sampai berhasil ditegakkan. Orang yang meninggalkan kewajiban layak

mendapatkan sanksi karena tindakannya itu dan tetap dipandang

berdosa sampai dia bisa melaksanaknnya. Dalam hal ini, tidak ada

perbedaan antara fardhu „ain dan fardhu kifaayah. Keduanya memiliki

konotasi yang sama yaitu wajib bagi segenap kaum muslimin.

44

Ahmad Mahmud, Dakwah Islam (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2009, cet. kedua),

h.35.

45 Ibid., h. 37.

46 Muhammad Mahmud Ismail, al-Fikru al-Islamiy (Beirut: al-Wa‟I, 1958), h. 16.

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

31

Pembagian sifat kewajiban ini juga karena ada pembagian taklif perintah

as-syaari yaitu : (1) taklif untuk individu seperti shalat, puasa, zakat dan

sebagainya, (2) taklif untuk masing-masing individu umat Islam tetapi boleh dan

bahkan wajib dilaksanakan imam jika yang bersangkutan tidak mampu seperti

memberi nafkah kepada pihak tertentu bila pihak yang bertanggungjawab

menafkahi tidak mampu menunaikannya, (3) taklif untuk kepala negara dan boleh

dilaksanakan oleh individu dalam beberapa kondisi. Contohnya melakukan jihad

tatkala musuh tiba-tiba masuk ke daerah kaum muslimin. Sekalipun belum ada

perintah jihad oleh khalifah, tetapi kaum muslimin boleh melakukan perlawanan,

(4) taklif untuk imam saja dan tidak boleh dilakukan pihak lain seperti

menerapkan pidana Islam, perjanjian damai dengan Negara lain dan sejenisnya,

(5) dan taklif untuk jama‟ah seperti Amar Makruf Nahi Munkar47

Dengan demikian, Amar Makruf Nahi Munkar menjadi sesuatu yang

sangat penting dalam rangka mewujudkan kewajiban kifaayah agar terlaksana

dengan sempurna. Sementara, bila belum tertunaikan dengan sempurna, maka

kaum Muslimin secara keseluruhan terkena dosa bila berpangku tangan. Hujjatul

Islam al-Ghazali rahimahullah bertutur dalam bukunya Ihyâ „Ulûm ad-Dîn –

penulis mengutip dari buku Ahmad Mahmud- sebagai beriktu,

فا األش تاىعشوف واىهى ع اىنش هى اىقطة األعظ فى اىذي وهى اىه اىزي : أا تعذ

وىى طىي تساطح وأهو عيه وعيه ىتعطيح اىثىج واضحيت , ىه اىثيي أجعياتتعث اهلل

و خشتت , واىتسع اىخشق, واستشش اىفساد, وشاعت اىجهاىح, اىذياح وعح اىفتشج وفشت اىضالىح

و هيل اىعثاد, اىثالد

47

Ahmad Mahmud, Dakwah Islam (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2009, cet. Kedua),

h. 52.

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

32

Artinya : „Amma ba‟d, sesungguhnya amar makruf nahi munkar merupakan

bagian paling agung dalam agama dan merupakan tugas yang untuknya

Allah mengutus para nabi seluruhnya. Seandainya amar makruf nahi

mungkar ini “dipetieskan”, sementara ilmu dan pengamalannya

diremehkan, maka tidak aka nada kenabian, agama akan rusak, masa

kevakuman (dari kenabian) tidak dapat dihindari, kesesatan akan segera

tersebar luas, kebodohan akan menjadi hal biasa, kerusakan akan

merajalela, pelanggaran akan semakin meluas, negeri-negeri akan

hancur dan manusia akan binasa. 48

Dengan demikian, tujuan keberadaan jama‟ah adalah menyeru kepada al-

khair seperti dalam Q.S. Ali Imran: 110 di atas, dan Amar Makruf Nahi Munkar.

Adapun maksud alkhair, sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Katsir dalam

tafsirnya, adalah mengikuti al-Qur‟an dan as-Sunnah49

sementara dalam tafsir at-

Thobari, al-Khair adalah al-Islam.50

. Sehingga, dengan demikian pula, dari amar

makruf nahil munkar menghasilkan kepada tujuan akhir semua Jamaah Islamiyah

yakni terwujudnya baldatun thayyibatun warabbun ghafur yaitu sebuah negara

yang terdiri atas masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera yang diridhai oleh

Allah SWT.51

G. Beberapa Upaya Jamaah dalam Menegakan Khilafah

Seperti yang penulis sampaikan pada bagian pendahuluan, sejak

keruntuhannya Kekhilafahan Islam 1924 M di Istambul, dan sejak Eropa bangkit

dengan demokrasinya, sebagian yang menolak konsep Demokrasi, telah berupaya

48

Muhammad Mahmud Ismail, al-Fikr al-Islamiy (Beirut: al-Wa‟I, 1958), h. 17.

49

Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-„Adzim (Dâr at-Tayyibah, 1999, al-Maktabah as-

Syaamilah), h. 91.

50

Muhammad Ibnu Jarir at-Thabari, Jâmi al-Bayan „an Ta‟wil Ây al-Qur‟an, (Dâr al-

Hijah, 2001, Juz I, cet. Kesatu, al-Maktabah as-Syamilah), h. 90.

51 Ridho al-Hamdi, Partai Politik Islam Teori dan Praktik di Indonesia

(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 10.

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

33

keras mendirikan kembali kekhilafahan. Tentu, dengan beragam metode. Hal ini

wajar, sebab sebelum kekhilafahan runtuh, tak ada satu pun ulama yang menulis

buku tentang bagaimana kaifiyat mendirikan khilafah jika suatu saat runtuh.

Sebagaimana saat ini tak ada satu pun politisi Barat yang menulis bagaimana

mendirikan kembali Kapitalisme jika suatu saat runtuh. Oleh sebab itu, wajar jika

terjadi perbedaan. Misalnya ada yang menggunakan jalur parlemen seperti al-

Ikhwan al-Muslimun,52

ada pula yang menggunakan jalur militer seperti al-Qaeda

termasuk ISIS, ada pula yang menggunakan jalur umat („an Tharîq al-Ummah)

seperti Hizbut Tahrir yang akan dibahas pada bab mendatang. Yang jelas, sampai

saat ini belum ada yang berhasil merealisasikannya.

52

Taufiq Yusuf, Pemikiran Politik Kontemporer al-Ikhwan al-Muslimun. Penerjemah

Wahid Ahmadi dan Arwani Amin (Solo: Era Intermedia, 2003), h. 147.

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

34

BAB III

BIOGRAFI TAQIYUDDIN AN-NABHANI

A. Silsilah Nasab

Seperti yang ditulis dalam terjemahan tesis Muhammad Muhsin Rodhi

dengan judul Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan Negara

Khilafah Islamiyah, nama lengkap Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah Abu

Ibrahim Taqiyuddin Muhammad bin Ibrahim bin Mushthofa bin Isma‟il bin Yusuf

bin Hasan bin Muhammad bin Nashiruddin an-Nabhani. Ia dilahirkan di Ijzim

pada tahun 1909 M. keluarga ia termasuk keluarga terhormat dalam bidang

keagamaan dan pengetahuan.

Nisbat beliau kepada keluarga besar (trah) an-Nabhani dari Kabilah al-

Hanajirah di Bi'r as-Sab'a. Banu (keturunan) Nabhan merupakan orang

kepercayaan Bani Samak dari keturunan Lakhm yang tersebar di wilayah-wilayah

Palestina. Sedang Lakhm adalah Malik bin Adiy. Mereka memiliki bangsa dan

suku yang banyak. Pada akhir abad ke-2 Masehi sekelompok dari Bani Lakhm

tiba di Palestina bagian selatan. Lakhm memiliki kebanggaan-kebanggaan yang

teragung, dan di antaranya yang terkenal adalah Tamin ad-Dariy ash-Shahabiy.1

Syaikh Taqiyuddin hidup dalam lingkungan keagamaan yang kuat.

Pertama pendidikan dari Ayahnya, Ibrahim an-Nabhani yang merupakan tenaga

pengajar ilmu-ilmu syariat di Kementrian Pendidikan Palestina, dan kedua dari

1 Muhammad Muhsin Rodhi, Tsakofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan

Negara Khilafah Islamiyah (Bogor: al-Izzah, 2008), h. 59.

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

35

kakeknya –jalur ibu- Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani2, tokoh besar pada

masa dinasti Utsmaniyah. 3

Pertumbuhan Syaikh Taqiyuddin dalam bimbingan kakeknya, memiliki

pengaruh besar dalam pembentukan kepribadiannya. Ia mengkhatamkan

menghafal al-Quran sebelum baligh –umur 13 tahun. Beliau juga diajari bahasa

arab, fiqh, ushul fiqh, syair, hadits dan ilmu-ilmu agama lainnya. Seiring dengan

pertumbuhannya, kakek beliau memasukannya dalam halqoh diskusi keagamaan

dan politik yang berada dalam asuhannya. Pada saat itu, Sang Kakek melihat

tanda-tanda kelebihan dan kejeniusan cucu. Kemudian, Sang Kakek menaruh

perhatian lebih dan sangat mencintainya. Lalu, beliau merekomendasikan kepada

ayah Syaikh Taqiyuddin untuk dikirim ke al-Azhar Cairo Mesir.

B. Pendidikan

Disamping beliau mendapatkan pendidikan langsung dari ayah dan

kakeknya, beliau juga sekolah dasar di madrasah negeri an-Nidzamiyah di ijzim,

kemudian melanjutkan ke sekolah menengah di Akka. Dan belum selesai di

sekolah ini, beliau –atas rekomendasi kakeknya- dipindahkan ke Al-Azhar Cairo

Mesir. Kemudian beliau melanjutkan sekolah menengah di Cairo ini pada tahun

1928 dan lulus dengan meraih Ijazah yang sangat memuaskan.

Setelah lulus, beliau melanjutkan ke Fakultas Dârul „Ulûm yang masih

merupakan cabang al-Azhar Cairo. Di samping itu, beliau juga aktif menghadiri

2 Syeikh Yusuf an-Nabhani (1265 H. - 1350 H./1849 M. - 1932 M.). Beliau adalah Asy-

Syeikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Ismail bin Hasan bin Muhammad an-Nabhani asy-Syafi'i.

julukannya Abul Mahasin. Beliau seorang penyair, sastrawan, sufi dan salah seorang qadhi yang

terkemuka. Nasabnya pada kabilah Bani Nabhan, satu kabilah Arab penghuni padang sahara di

Palestina. Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani juga termasuk salah satu guru Hadratus Syaikh

Hasim al-Asyari.

3 Muhammad Muhsin Rodhi, Tsakofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan

Negara Khilafah Islamiyah (Bogor: Al-Izzah, 2008), h. 60.

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

36

kelompok-kelompok kajian (halaqoh-halaqoh) ilmiyah di Al- Azhar, yang

diadakan oleh para Syeikh, seperti yang telah disarankan oleh kakeknya, di

antaranya, kelompok kajian yang diadakan Syeikh Muhammad al-Hidhir Husain.

Hal itu dimungkinkan karena sistem pengajaran yang lama di Al-Azhar

membolehkannya. Di mana para mahasiswa dapat memilih beberapa Syeikh Al-

Azhar dan menghadiri halaqoh-halaqoh mereka mengenai bahasa dan ilmu-ilmu

syariah, di antaranya fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu kalam), dan

yang sejenisnya. Syeikh Taqiyuddin selesai kuliahnya di Fakultas Darul Ulum

tahun 1932 M. Dan pada tahun yang sama, beliau juga selesai kuliahnya di Al-

Azhar sesuai dengan sistem yang lama. Meskipun, Syeikh Taqiyuddin

menghimpun sistem Al-Azhar yang lama dengan Darul Ulum, namun beliau tetap

menampakkan keunggulan dan keistimewaannya dalam hal kesunguhan dan

ketekunannya dalam belajar.4

Syeikh Taqiyuddin sangat menarik perhatian kawan-kawannya, para

dosennya karena kecermatannya dalam berpikir dan kuatnya pendapat, serta

kuatnya hujjah yang dilontarkan dalam perdebatan- perdebatan, dan diskusi-

diskusi pemikiran, baik yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga ilmu yang

ada saat itu di Kairo maupun di negeri-negeri Islam lainnya. Syeikh Taqiyuddin

juga dikenal keistimewaannya, karena beliau sangatlah bersungguh-sungguh,

tekun dan bersemangat dalam memanfaatkan waktunya untuk menimba ilmu dan

belajar.

Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani memperoleh banyak Ijazah, yaitu: Ijazah

dengan predikat sangat memuaskan dari sekolah tingkat menengah (ast-

4 “Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani Pendiri Hizbut Tahrir” artikel di akses tanggal 20 Mei

2007 dari www.hizbut-tahrir.orid

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

37

tsanawiyah) Al-Azhar, Diploma jurusan bahasa Arab dan sastranya dari Fakultas

Darul Ulum Kairo, dan Diploma dari al-Ma'had al-Ali li al- Qadha' asy-Syar'iy

filial Al-Azhar jurusan peradilan. Tahun 1932 beliau lulus dari Al-Azhar dengan

memperoleh asy-Syahadah al'Alamiyah (Ijazah setingkat Doktor) pada jurusan

syariah.5

C. Karya Tulis dan Muridnya

Karya tulis beliau sangat banyak baik yang berkaitan dengan pemikiran

politk, ekonomi, filsafat, ideologi, sosial bahkan termasuk metodeloginya semisal

Ushul Fiqh. Beliaulah yang menulis seluruh pemikiran dan pemahaman Hizbut

Tahrir, baik yang berkenaan dengan hukum-hukum syara‟, maupun yang lainnya.

Inilah yang mendorong sebagian peneliti untuk mengatakan bahwa Hizbut Tahrir

adalah Taqiyyuddin An-Nabhani.

Karya-karya Taqiyuddin, baik yang berkenaan dengan politik maupun

pemikiran, dicirikan dengan adanya kesadaran, kecermatan, dan kejelasan, serta

sangat sistematis, sehingga beliau dapat menampilkan Islam sebagai ideologi yang

sempurna dan komprehensif yang di-istimbath dari dalil-dalil syar‟i yang

terkandung dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Karya-karya beliau dapat dikatakan

sebagai buah usaha keras pertama yang disajikan oleh seorang pemikir muslim

pada era moderen ini di dalam jenisnya.

Karya-karya Taqiyuddin an-Nabhani yang paling terkenal, yang memuat

pemikiran dan ijtihad beliau antara lain :

1. Nizhâm al-Islâm.

2. At-Takattul Al Hizbi.

5 Muhammad Muhsin Rodhi, Tsakofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan

Negara Khilafah Islamiyah (Bogor: Al-Izzah, 2008), h. 62.

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

38

3. Mahâfim Hizb at-Tahrîr.

4. Nizhâm al-Iqthishâdi fî al-Islâm.

5. Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm.

6. Ad-Dustûr.

7. Muqaddimah ad-Dustûr.

8. Daulah al-Islâmiyah.

9. Asy-Syakhshiyah Al-Islâmiyah.,

10. Mafâhim Siyasiyah li Hizbit at-Tahrîr,.6

Semua ini belum termasuk ribuan selebaran-selebaran (nasyrah) mengenai

pemikiran, politik, dan ekonomi, serta beberapa kitab yang dikeluarkan atas nama

anggota Hizbut Tahrir –dengan maksud agar kitab-kitab itu mudah beliau

sebarluaskan– setelah adanya undang-undang yang melarang peredaran kitab-

kitab karya Syaikh Taqiyyuddin. Di antara kitab itu adalah: As-Siyâsah Al-

Iqthishâdiyah Al-Mutsla, Naqd al-Isytirâkiyah Al-Marksiyah, Kaifa Hudimat Al-

Khilâfah, Ahkâm al-Bayyinât, Nizhâm al-‘Uqûbat, Ahkâm as-Shalâh, Al-Fikru Al

Islami. Dan apabila karya-karya Syaikh Taqiyyuddin tersebut ditelaah dengan

seksama, terutama yang berkenaan dengan aspek hukum dan ilmu ushul, akan

nampak bahwa beliau sesungguhnya adalah seorang mujtahid yang mengikuti

metode para fuqaha dan mujtahidin terdahulu. Hanya saja, beliau tidak mengikuti

salah satu aliran dalam ijtihad yang dikenal di kalangan Ahlus Sunnah. Artinya,

beliau tidak mengikuti suatu madzhab tertentu di antara madzhab-madzhab fiqih

yang telah dikenal, akan tetapi beliau memilih dan menetapkan (men-tabanni)

ushul fiqih tersendiri yang khusus baginya, lalu atas dasar itu beliau meng-

6 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani Pendiri Hizbut Tahrir” artikel di akses tanggal 20 Mei

2007 dari www.hizbut-tahrir.orid

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

39

istimbath hukum-hukum syara‟. Namun perlu diingat di sini bahwa ushul fiqih

Taqiyuddin An-Nabhani tidaklah keluar dari metode fiqih Sunni, yang membatasi

dalil-dalil syar‟i pada al-Kitab, as-Sunnah, Ijma‟ Shahabat, dan Qiyas Syar’iy,

yakni Qiyas yang illat-nya terdapat dalam nash-nash syara‟ semata.7

Adapun murid-murid Taqiyuddin adalah mereka yang secara langsung

halqoh pada generasi pertama. Di antaranya, Abdul Qadim Zallum, Atha bin

Khalil, Daud Hamdan, Ghanim Abduh dan lain-lain. Mereka juga yang

berperanserta dalam proses pendirian Hizbut Tahrir. Pengaruh guru kepada

muridnya juga sangat besar. Misalnya Atha bin Khalil yang menulis kitab Taisîr

Wushûl ila al-Ushûl. Kitab ini bukan hanya terpengaruh pemikiran Taqiyuddin,

tetapi lebih dari itu yakni memberikan pembahasan yang belum tertulis dalam

kitab ushul fiqh Taqiyuddin yang berjudul as-Syaksiyah al-Islâmiyah. Begitu juga

Abdul Qadim Zallum yang menulis ad-Dimuqratiyah Harâmun Akhdzuhu Wa

Tatbiquhu Wa Hamluhu tidak terlepas dari pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani.

Bahkan dapat dikatakan, semua murid Taqiyuddin di seluruh dunia baik yang

berguru langsung atau berguru pada muridnya dan seterusnya, akan memiliki

corak pemikiran yang sama tentang politik, ekonomi dan ushul fiqh.

D. Kiprah Pekerjaan

Setelah selesai studinya, Taqiyuddin an-Nabhani kembali ke Palestina

untuk bekerja di Kementrian Pendidikan Palestina sebagai tenaga pengajar pada

sekolah menengah an- Nidzomiyah di Haifa, di samping beliau juga mengajar di

sekolah al-Islamiyah yang juga di Haifa, beliau berpindah-pindah lebih dari satu

kota dan sekolah sejak tahun 1932 M. hingga tahun 1938 M. Dimana beliau

7 “Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani Pendiri Hizbut Tahrir” artikel di akses tanggal 20 Mei

2007 dari www.hizbut-tahrir.orid

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

40

mengajukan permohonan untuk bekerja di Mahkamah Syariah. Tampaknya beliau

lebih suka bekerja di bidang peradilan (qadha'), sebab beliau menyaksikan bahwa

pengaruh penjajahan Barat di bidang pendidikan jauh lebih banyak daripada

pengaruhnya di bidang peradilan, khususnya, peradilan syariah. Oleh karena itu,

Taqiyuddin an-Nabhani lebih mengutamakan untuk menjauh dan meninggalkan

bidang pendidikan pada Kementrian Pendidikan. Beliau mulai mencari dan

mengkaji pekerjaan lain yang lebih sedikit mendapatkan pengaruh Barat. Beliau

tidak menemukan yang lebih baik dari Mahkamah Syariah. Sebab, Mahkamah

Syariah seperti yang beliau lihat masih menerapkan hukum-hukum syara'.

Berdasarkan hal itu, maka Taqiyuddin an-Nabhani lebih antusias dan lebih

senang bekerja di Mahkamah Syariah, di mana banyak di antara teman-teman

beliau yang dulu sama-sama belajar di al-Azhar asy-Syarif juga bekerja di sana.

Sehingga dengan bantuan mereka, Taqiyuddin an-Nabhani akhirnya diangkat

sebagai sekretaris di Mahkamah Syariah Beisan, lalu beliau dipindah ke Thabriya.

Namun demikian, cita-cita dan pengetahuan beliau di bidang peradilan

mendorongnya untuk mengajukan kepada al-Majlis al-Islamiy al-A'la (Dewan

Tertinggi Islam) sebuah nota permohonan yang isinya menuntut agar berlaku adil

kepadanya, dengan memberikan haknya. Di mana beliau percaya bahwa dirinya

punya kompetensi untuk menduduki jabatan peradilan. Setelah para pimpinan

peradilan memperhatikan nota permohonannya, mereka memutuskan untuk

memindahnya ke Haifa dengan jabatan sebagai Kepala Sekretaris (Basy Katib),

tepatnya di Mahkamah Syariah Haifa. Kemudian tahun 1940 beliau diangkat

sebagai Musyawir, yakni asisten qadhi. Beliau tetap dengan jabatan itu hingga

tahun 1945, di mana beliau dipindah ke Mahkamah Syariah di Ramallah, dan

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

41

beliau tetap di sana hingga tahun 1948. Setelah itu beliau pergi meninggalkan

Ramallah menuju Syam sebagai akibat dari jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi.

Pada tahun 1948 itu juga, sahabatnya al-Ustadz Anwar al-Khatib mengirim surat

kepada beliau yang isinya meminta beliau agar kembali ke Palestina untuk

dianggkat sebagai qadhi di Mahkamah Syariah al-Quds. Taqiyuddin an-Nabhani

mengabulkan permintaan sahabatnya itu. Dan beliau pun diangkat sebagai qadhi

di Mahkamah Syariah al-Quds.

Kemudian, Kepala Mahkamah Syariah dan Kepala Mahkamah Isti'naf

yang ketika itu dijabat oleh yang mulia al-Ustadz Abdul Hamid as-Sa'ih

memilihnya sebagai anggota di Mahkamah Isti'naf. Beliau tetap menduduki

jabatan itu hingga tahun 1950, di mana beliau mengajukan surat pengunduran diri,

akibat dari pencalonan diri beliau di Dewan Perwakilan. Kemudian, pada tahun

1951, Taqiyuddin an-Nabhani datang ke Amman, dan bekerja sebagai tenaga

pengajar di Fakultas al- Ilmiyah al-Islamiyah. Beliau rahimahullah dipilih untuk

mengajar materi tsakafah Islam bagi para mahasiawa tingkat dua di Fakultas

tersebut. Aktivitasnya ini terus berlangsung hingga awal tahun 1953, di mana

beliau mulai sibuk dengan aktivitas Hizbut Tahrir yang telah beliau rintis antara

tahun 1949 hingga tahun 1953.8

E. Mendirikan Hizbut Tahrir

Barangkali peristiwa yang paling menonjol dalam sejarah kehidupan

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullahu ta'ala adalah berdirinya Hizbut

Tahrir. Hizb ini didirikan setelah beliau melihat realitas usaha parpol dan harakah

lain gagal meraih kebangkitan Islam. Oleh itu, dengan upaya yang dalam dan

8 Ibid., h. 63.

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

42

penelaahan yang cemerlang, menurutnya hanya dengan kelompok yang

aktifitasnya politik saja yang bisa membangkitkan umat Islam. Maka setelah

berkarir di peradilan, beliau pun tergerak mendirikan hizb ini yang sifatnya global

dengan asas yang sama yaitu Islam.9

Taqiyuddin an-Nabhani mulai melakukan aktifitas untuk tujuan

membentuk sebuah partai di kota al-Quds tahun 1948 M. Pada waktu itu beliau

sedang bekerja pada Mahkamah al-Isti’naf asy-Syar’iyah. Dalam upayanya

beliau terus melakukan kontak dan diskusi hingga mampu meyakinkan

sekelompok di antara para ulama terpandang, para hakim terkemuka serta para

tokoh politik dan pemikir terkenal untuk mendirikan sebuah partai politik yang

berasaskan Islam. Di antaranya adalah Syaikh Ahmad ad-Da‟ur, Namr al-Mishri,

Dawud Hamdan, Syaikh Abdul Qadim Zallum, Adil an-Nablusi, Ghanim Abduh,

Munir Syaqir, Syaikh As‟ad, Bayudl at-Tamimi dan lain-lain.10

Kemudian beliau menyodorkan kepada mereka kerangka organisasi partai

dan pemikiran-pemikiran yang dapat digunakan sebagai bekal tsakafah bagi partai

yang hendak didirikannya. Ternyata, pemikiran-pemikiran beliau dapat diterima

dan disetujui oleh mereka. Dengan begitu, maka aktifitas beliau pun menjadi

semakin padat dengan terbentuknya Hizbut Tahrir. Penyebaran dan publikasinya

pun mulai tersebar luas bahkan melebihi kuantitas yang sebenarnya. Sebab,

pemikiran-pemikirannya merupakan pemikiran baru dan jelas mengenai batasan

seperti apa bentuk Negara Islam, dan bagaimana syariat Islam dapat diterapkan

secara utuh dalam gambaran yang jelas.

9 “Hujjatul Islam: Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Pendiri Hizbut Tahrir” artikel diakses

tanggal 27 Februari 2012 dari http://republika.ac.id

10

Muhammad Muhsin Rodhi, Tsakofah dan Metode dalam Mendirikan Negara Khilafah

Islamiyah. Penerjemah Muhammad Bajuri dan Romli Abu Wafa (Jakarta: al-Izzah, 2008), h. 92.

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

43

Pada tahun 1952 M Taqiyuddin mengajukan permohonan kepada

Departemen Dalam Negeri Yordania sesuai Undang-Undang Organisasi al-

Utsmani yang berlaku waktu itu. Surat permohonan itu dilengkapi dengan

penjelasan mengenai latar belakang berdirinya partai politik, namanya,

sekretariatnya, alamatnya, dan anggaran dasarnya. Dalam surat itu dilengkapi juga

dengan struktur kepengurusan Hizbut Tahrir dengan susunan sebagai berikut,

1. Taqiyuddin, sebagai ketua Hizbut Tahrir.

2. Dawud Hamdan, sebagai wakil ketua merangkap sekretaris.

3. Ghanim Abduh, sebagai bendahara.

4. Dr. Adil an-Nablusi, sebagai anggota.

5. Munir Syaqir, sebagai anggota.

Kemudian, setelah Hizbut Tahrir melengkapi prosedur-prosedur yang telah

ditetapkan oleh Undang-Undang Organisasi al-Utsmani dan mengirimkan

permohonan pendirian partai kepada pemerintah sesuai dengan anggaran dasarnya

dan mempublikasikan pendiriannya melalui harian as-Sharih edisi 176 tanggal 14

Maret 1453 M. Dengan demikian, Hizbut Tahrir punya otoritas melakukan

seluruh kegiatan kepartaian secara langsung, serta mempraktekan seluruh aktifitas

kepartaian yang ditetapkan dalam anggaran dasarnya. Untuk memperlancar semua

itu, Hizbut Tahrir menyewa tempat di kota al-Quds di depan pintu al-Amud serta

memasang papan nama Hizbut Tahrir.

Setelah publikasi pendirian Hizbut Tahrir di harian ash-Sharih,

Departemen Dalam Negeri mengirim surat kepada Hizbut Tahrir yang isinya

pelarangan orgganisasi Hizbut Tahrir.

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

44

Kemudian pemerintah memanggil kelima tokoh pendiri Hizbut Tahrir dan

setelah mereka memenuhi panggilan, empat di antaranya ditahan yaitu Syaikh

Taqiyuddin an-Nabhani, Dawud Hamdan, Munir Syaqir dan Ghanim Abduh. Pada

7 Rajab 1372 H/22 Maret 1953 M pemerintah mengeluarkan penjelasan yang

isinya bahwa Hizbut Tahrir ilegal dan para pendirinya dilarang melakukan

kegiatan kepartaian apapun bentuknya.

Pada waktu itu, Hizbut Tahrir berhasil meyakinkan sejumlah wakil rakyat

dan pejabat kabinet di Amman untuk membebaskan Taqiyuddin an-Nabhani dan

koleganya. Akhirnya sekelompok wakil rakyat, pengacara, pebisnis dan orang-

orang yang berpengaruh mengirimkan petisi yang menuntut lembaga berwenang

agar membebaskan Taqiyuddin an-Nabhani dan koleganya. Petisi tersebut

ditandatangani oleh 37 orang.

Adapun sebab kehadirannya Hizbut Tahrir dan pelarangannya dari

menjalankan kegiatan-kegitan kepartaian, maka hal itu terkait dengan dua aspek,

Pertama, terkait keberadaanya secara undang-undang. Pemerintah menilai

bahwa metode yang dijalankan Hizbut Tahrir tidak sesuai dengan undang-undang.

Kedua, terkait dengan ideologi yang menjadi landasan Hizbut Tahrir

pemerintah menilai bahwa ideologi Hizbut Tharir bertentangan dengan UUD

negara. Seperti meraih kekuasaan dengan jalan agama, tidak mengakui

nasionalisme Arab sebagai asas negara, bahkan harus menempatkan agama di

tempatnya. Lebih jauh bahwa sistem yang dijalankan di Yordania adalah sistem

kerajaan dan dijalankan secara warisan. Hal ini bertentangan dengan dakwah

Hizbut Tahrir yang beraktifitas mengembalikan kehidupan yang Islami dengan

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

45

mendirikan khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah yang dipilih dan dibai‟at

oleh rakyat berdasarkan kerelaan dan kemauan sendiri.11

A. Wafatnya

Taqiyuddin an-Nabhani selama hidupnya tak ingin berkarya hanya untuk

dibaca, diteliti atau koleksi perpustakaan. Baginya, karya tulis harus menjadi

penyadar masyarakat untuk meraih kebangkitan Islam, pembebas kaum terpelajar

dari penjajahan pengetahuan, dan memahami Islam satu-satunya solusi atas

kehidupan.

Taqiyuddin an-Nabhani menghabiskan dua dekade sisa kehidupannya

sebagai orang terasing, terusir dan buronan yang dijatuhi hukuman mati. Namun,

beliau terus berusaha keras dalam menyebarkan pemikiran Hizbut Tahrir serta

berbagai kegiatan yang dilakukan.

Di awal-awal dekade tujuh puluhan, Taqiyuddin an-Nabhani pergi ker

Irak. Beliau ditahan tidak lama setelah adanya kampanye besar-besaran

pengangkapan terhadap para anggota Hizbut Tahrir di Irak. Namun para penguasa

tidak mengetahui bahwa beliau adalah Taqiyuddin an-Nabhani pemimpin Hizbut

Tahrir. Beliau disiksa dengan siksaan yang keras hingga tak mampu berdiri karena

banyaknya siksaan. Bahkan beliau merupakan tahanan terakhir di antara tahanan

Hizbut Tahrir yang merek abantu untuk berdiri ketika dikembalikan ke penjara.

Beliau terus mendapat penyiksaan hingga lumpuh setengah badan. Lalu

dibebaskan dan segera ke Lebanon. Di Lebanon inilah beliau mengalami

kelumpuhan pada otak, kemudian dilarikan ke rumah sakit dengan nama samaran.

Dan di rumah sakit inilah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullahu wa

11 Ibid., h. 94.

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

46

ta’ala wafat pada tanggal 1 Muharam 1398/11 Desember 1977 M . Beliau

dikebumikan di pekuburan asy-Syuhada di Hirsy Beirut di bawah pengawasan

yang sangat ketat.12

12

Ibid., h. 81.

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

47

BAB IV

PEMIKIRAN TAQIYUDDIN AN-NABHANI DALAM PEMBENTUKAN

PARTAI POLITIK ISLAM

A. Pandangan Taqiyuddin an-Nabhani Terkait Sistem Pemerintahan

Islam

Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam

bersifat khas, tidak bisa disamakan dengan sistem pemerintahan mana pun di

dunia. Sistem itu adalah al-Khilafah.1 Adapun alasan tidak bisa disamakan dengan

sifat dan ciri negara mana pun, dapat dilihat dari pilar-pilar negara khilafah itu

sendiri. menurutnya, pilar-pilar tersebut ada empat, yaitu, 1) kedaulatan di tangan

syara‟, 2) kekuasaan di tangan umat, 3) mengangkat satu khalifah hukumnya

wajib bagi seluruh kaum muslimin, 4) hanya khalifah yang berhak men-tabanni

(adopsi) terhadap hukum-hukum syara‟.2

Seperti pada penjelasan terdahulu, terutama sebagian pendapat ulama

kontemporer ketika merespon sistem pemerintahan Barat, mereka berkesimpulan

bahwa Islam tidak menentukan satu bentuk apa pun terkait pemerintahan. Maka

bila menggunakan standar empat pilar di atas, menurut Sidiq al-Jawi, tidak ada

satu pun sistem pemerintahan yang cocok dengan pilar-pilar tersebut kecuali

khilafah. Misalnya, sistem demokrasi yang meletakan kedaulatan di tangan rakyat.

1 Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam : Doktrin, Sejarah, Empirik, (Jatim

: Al-Izzah Press, 1997), h. 31.

2 Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mûjibat lahu al-Qism

al-Awwal (Beirut: Dâr al-Ummah, 2009, cet. Kedua), h. 109.

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

48

Maka mana mungkin bisa dikatakan sistem demokrasi bisa sesuai atau tidak

bertentangan dengan syariat.3

Begitu juga sistem kerajaan, bagaimana mungkin bisa dikatakan bisa

sesuai dengan syariat padahal dalam sistem ini kekuasaan pemilihan kepala

negara tidak di tangan rakyat. Oleh karena itu, empat pilar tersebut hanya masuk

dalam sistem khilafah sebagaimana yang dipraktekan pada al-Khulafa ar-

Rasyidun. Dan sistem inilah yang diwajibkan syara‟, sebab khalifah hanya untuk

sistem khilafah.4

B. Pandangan Taqiyuddin an-Nabhani Terkait Tata Cara dan Metode

Pengangkatan Khalifah

Salah satu argumentasi sebagian pemikir politik Islam kontemporer,

berpendapat bahwa ketidakberagaman pemilihan khalifah pada masa al-khulâfa

ar-Râsyidûn menunjukan bahwa Islam tidak menentukan bentuk pemerintahan

yang baku. Maka, menurut Taqiyuddin an-Nabhani, itu bukan terletak pada

pengangkatan khalifah, melainkan terletak pada tata cara pemilihan khalifah.

Sementara pengangkatannya, tidak dijumpai perbedaan sejak Abu Bakar hingga

akhir kekhilafahan Turki Utsmani. Semuanya berjalan di atas satu metode yang

baku berdasarkan kitab, sunnah dan ijma‟ yaitu al-Bai‟at.5

Dikatakan Bai‟at ini sebagai metode baku untuk mengangkat khalifah,

menurut Taqiyuddin, karena nabi sendiri dibai‟at oleh kaum muslimin dan bai‟at

ini bukan pengakuan atas kenabian, melainkan atas pemerintahan. Sebab,

pengakuan kenabian bukan berdasarkan bai‟at tetapi berdasarkan ikrar syahadat.

3 Al-Jawi Siddiq, “Benarkah Islam Tidak Mengatur Bentuk Negara?” 20 April 2015, dari

http://htichanel.com 4 Ibid.,

5 Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syaksiyah al-Islamiyah al-Juz at-Tsaniy (Beirut : Dâr al-

Ummah, 2003, cet. Kelima), h. 42.

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

49

Disamping itu, nabi juga memerintahkan kaum muslimin untuk mem-bai‟at

seorang khalifah di antara mereka. 6

Baiat adalah kewajiban atas kaum muslimin, sebab dari segi pendalilannya

baiat sebagai hak katas kaum muslimin kepada khalifah, bukan khalifah kepada

kaum muslimin menunjukan hal itu. Sementara hak ini, ada di pundak kaum

muslimin. Bila tidak ada, maka terkena sifat dari hadits man mâta walaisa fî

„unûqihi bai‟at fa mâta mitatan jâhiliyatan. Oleh karena itu, karena bait ini dari

kaum muslimin terhadap khalifah, sementara saat ini tidak ada khalifah, maka

mewujudkan khalifah agar bai‟at ada di pundak kaum muslimin, hukumnya

wajib.7 Hanya saja, yang jadi perbedaan adalah berapa jumlah pembai‟at yang

merepresentasikan keabsahan seorang khalifah.

Maka menurut Taqiyuddin, perbedaan reprsentasi pembai‟at al-Khulafa ar-

Rasyidun yang mencerimkan keabsahan khalifah seperti Abu Bakar as-Siddiq dan

Umar bin Khatab yang hanya dibai‟at oleh ahl al-halli wa al-aqdi penduduk

Madinah saja tanpa pendukuk Makkah dan daerah sekitar, Utsman bin Affan oleh

Abdurahman bin Auf hanya diambil pendapat penduduk Madinah tanpa melalui

ahl al-hal wa al-aqd, sementara Ali bin Abi Thalib dibai‟at oleh penduk Madinah

dan Kufah, dapat diukur dari pihak yang merepresentasikan pendapat mayoritas

kaum muslimin. Dan menurutnya, ahl al-halli wa al-aqdi dan penduduk Madinah

saat itu adalah representasi dari pendapat mayoritas kaum muslimin dalam

pemerintahan.8

6 Ibid

7 Ibid., h. 28.

8 Ibid., h. 25

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

50

Adapun sifatnya, harus berdasarkan keridhoan dan pilihan umat. Sebab,

akad khalifah tidak akan terjadi kecuali hanya dengan itu. Dan bai‟at tidak sah

dengan paksaan. Hanya saja, bila sudah sempurna bai‟at dari pihak yang

merepresentasikan pilihan kaum muslimin, maka bila ada pihak yang tidak ber-

ber-bai‟at tetap tidak dipaksa ber-bai‟at tetapi dipaksa taat. Dan ini, bukan bai‟at

pengangkatan, melainkan baiat taat untuk patuh terhadapat hukum syara‟.9

C. Pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani Terkait Pembentukan Partai

Politik untuk Meraih Kebangkitan

1. Kegagalan Partai Politik Islam

a. Faktor Internal

Sejak abad 13 Hijriah atau 19 Masehi, telah berdiri berbagai gerakan yang

bertujuan untuk membangkitkan umat Islam. Upaya-upaya tersebut sejauh ini

belum meraih keberhasilan, sekalipun meninggalkan pengaruh yang cukup berarti

bagi generasi yang datang sesudahnya untuk mengulangi upayanya sekali lagi.10

Adapun faktor kegagalannya, bila ditinjau dari aspek keorganisasiaannya

dapat dikembalikan kepada empat faktor yaitu,

1) Gerakan-gerakan tersebut berdiri di atas dasar fikroh (pemikiran

yang masih umum tanpa batasan yang jelas, sehingga muncul

kekaburan dan pembiasan. Lebih dari itu, fikroh tersebut tidak

cemerlang, tidak jernih dan tidak murni. 11

9 Ibid., h. 23.

10 Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,

Labib, dkk (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 5. 11

Untuk menjaga kejernihan pemikiran Islam dari tsakafah dan kultur asing, Syaikh

Taqiyuddin mengemukakan konsep Hadlarah (sekumpulan konsep kehidupan yang berasal dari

ideology tertentu) dan Madaniy (bentuk-bentuk fisik hasil pemikiran manusia, ada yang khas dan

ada yang „aam). Adapun Hadlarah selain Islam, menurut beliau kaum muslimin tidak boleh

mengambilnya seperti kapitalisme, sosialisme, sekulerisme dll. Sementara Madaniy, bila bersifat

„aam yang merupakan hasil kemajuan teknologi maka mubah mengambil dan menggunakannya.

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

51

2) Gerakan-gerakan tersebut tidak mengetahui thariqoh (metode) bagi

penerapan fikroh-nya. Bahkan fikroh-nya diterapkan dengan cara-

cara yang menunjukan ketidaksiapan gerakan tersebut dan penuh

dengan kesimpangsiuran. Lebih dari itu, thariqoh gerakan-gerakan

tersebut telah diliputi kekaburan dan ketidakjelasan.

3) Gerakan-gerakan tersebut bertumpu kepada orang-orang yang

belum sepenuhnya mempunyai kesadaran yang benar. Bahkan

mereka hanyalah orang-orang yang berbekal keinginan dan

semangat belaka.

4) Orang-orang yang menjalankan tugas gerakan-gerakan tersebut

tidak mempunyai ikatan yang benar. Ikatan yang ada hanya

struktur organisasi itu sendiri, disertai dengan sejumlah deskripsi

mengenai tugas-tugas organisasi dan sejumlah slogan-slogan

organisasi.12

a) Kekaburan Memahami Fikroh dan Tharîqoh Partai Politik Islam

Mengenai aspek fikroh dan Tharîqoh yang menjadi sebab kegagalan

gerakan-gerakan tersebut, hal ini tampak jelas pada kekeliruan falsafah (ide dasar)

–kalau boleh dikatakan mereka memiliki falsafah- yang menjadi dasar keberadaan

gerakan-gerakan ini. Gerakan-gerakan tersebut ada yang berupa gerakan

nasionalisme (harakah al-qaumiyah), dan ada pula yang berupa gerakan Islam.13

Adapun gerakan nasionalisme, sebetulnya hasil dari upaya Barat

menghancurkan kekhilafahan Islam yang kemudian gerakan ini berdiri di atas asas

12 Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,

Labib, et. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 6.

13

Ibid., h. 7.

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

52

ini. Abdul Qadim Zallum14

dalam terjemahan karya tulisnya, Konspirasi Barat

Meruntuhkan Khilafah Islamiyah menggambarkan awal mula muncul gerakan

nasionalisme sengaja dibentuk dan dipusatkan di Arab; Beirut dan Turki;

Istambul, karena keberhasilan mereka –dengan metode ide nasionalisme-

memisahkan diri dari kekuasaan Islam di Eropa seperti Serbia, Hungaria, Bulgaria

dan Yunani.15

Tidak hanya itu, negara-negara Eropa juga memprovokasi bohong

tentang adanya genosida yang dilakukan Utsmani terhadap orang Kristen yang

kemudian menghasut daerah kekuasaan Utsmani di Eropa memberontak dan

memerdekakan diri. Salah satunya kemerdekaan Bulgaria dan memilih

pemimpinnya dari orang Kristen sendiri.16

Berikut kami menuturkan pendapat

Zallum tentang konspirasi menghancurkan Khilafah dengan ide nasionalisme,

“Adapun di Beirut, kaum kafir Barat memulai aktifitas politik mereka

setelah Ibrahim Pasha ditarik dari Syam. Pada tahun 1842, suatu komite dibentuk

untuk mendirikan asosiasi ilmiah dengan bantuan dana dan program kegiatan dari

The American Mission. Komite itu menjalankan programnya selama lima tahun,

hingga pada tahun 1847 mereka mendirikan suatu asosiasi yang dikenal sebagai

“the Science and Arts Association” (Asosiasi Ilmu Pengetahuan dan Seni).

Asosiasi ini dipimpin oleh dua orang Nasrani, yang dikenal sebagai kaki-tangan

Inggris yang paling berbahaya. Mereka adalah Butrus al-Bustani dan Nasif al-

Yaziji, didukung oleh colonel Churchill dari Inggris dan Eli Smith serta Cornios

Van Dick dari Amerika. Tujuan asosiasi ini pada mulanya tidak jelas, namun

memberikan kesan bahwa mereka bertujuan menyebarluaskan berbagai ilmu

pengetahuan kepada kalangan dewasa dan mendirikan sekolah bagi anak-anak,

dan memberikan motivasi kepada kalangan dewasa serta kalangan anak-anak,

membiasakan mereka dengan budaya Barat, mengajarkan pemikiran-pemikiran

Barat, serta mengarahkan mereka kepada tujuan tertentu. Namun sekalipun

mereka berusaha dengan keras, dalam jangka waktu dua tahun hanya 50 orang

anggota aktif dari seluruh Syam yang bergabung dengan asosiasi tersebut.

Semuanya beragama Nasrani dan kebanyakan berasal dari Beirut.

Pada tahun 1850 dan 1857 didirikan pula asosiasi lain yang mulai

membatasi anggotanya hanya berasal dari orang Arab saja. Orang selain Arabb

tidak diperkenankan menjadi anggota asosiasi ini. Para pendirinya juga

14

Amir kedua Hizbut Tahrir

15

Abdul Qadim Zallum, Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah (Bangil, Al-

Izzah, 2001), h. 13.

16

Ali Muhammad ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utmaniyah (Jakarta,

Pustaka al-Kutsar, 2003), h. 545.

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

53

berkebangsaan Arab dan anggotanya mencapai 150 orang. Beberapa tokoh duduk

dalam kepengurusan seperti Muhammad Arsalan dari kelompok Druze, Hussain

Bayham dari kalangan Islam,serta Ibrahim al-Yaziji dan anak Butrus al-Bustani

dari kalangan nasrani. Dua orang terakhir di atas yang merancang ide tersebut

berusaha keras mewujudkannya.

Pada tahun 1857 didirkan sebuah organisasi bernama “The Scret

Association” oleh lima orang pemuda yang merupakan lulusan dari Universitas

Protestan, Beirut. Kelima pemuda tersebut beragama Nasrani dan bermaksud

menggalang suatu organisasi. Kelompok tersebut memusatkan kegiatannya atas

dasar suatu ide politik. Maka, jadilah kelompok itu sebagai suatu partai politik

yang berdasar pada nasionalisme Arab. Kelompok ini dianggap sebagai partai

politik pertama yang berbasis nasionalisme Arab, Arabisme dan Nasionalisme.

Partai ini membangkitkan permusuhan kepada Daulah Utsmaniyah dan

menyebutnya sebagai “Negara Turki”, memperjuangkan pemisahan agama dari

Negara, menegakkan nasionalisme Arab sebagai dasar persatuan, mengubah

kesetiaan menjadi hanya untuk bangsa arab, menyebarkan leaflet yang berisi

tuduhan kepada Turki telah merampah khilafah dari tangan bangsa Arab,

melanggar kemuliaan Islam dan menyalahgunakan agama17

Sebagaimana markas kegiatan di Beirut, markas di Istanbul dimanfaatkan

oleh kaum kafir Barat untuk menyerang Negara Islam di pusat pemerintahan serta

menyerang pejabat-pejabatnya. Sementara itu, kaum kafir melakukan sejumlah

aksi. Aksi yang paling penting dan memberikan hasil yang paling hebat adalah

pendirian organisasi “Turki Muda” atau Union and Progress Committee18

(Komite Persatuan dan Kemajuan). Komite ini pertama kali didirikan di Paris

oleh pemuda-pemuda Turki yang benaknya telah dipenuhi dengan pemikiran

Prancis dan dididik secara kuat dengan konsep “Revolusi Prancis”. Sejak awal,

organisasi ini didirikan sebagai komite revolusi rahasia. Pemimpin kelompok ini

adalah Ahmad Ridha Beik. Dia adalah figure yang cukup terkenal di kalangan

masyarakat yang mempunyai gagasan untuk mengimpor kebudayaan Barat ke

negeri kelahirannya Turki”.19

Jadi, sebetulnya konsep ikatan nasionalisme ini yang digunakan untuk

kebangkitan Islam oleh para pengusungnya adalah hasil dari keberhasilan Barat

memisahkan negeri-negeri Islam dari pusatnya. Bahkan, menurut Ash-shalabi

dalam karya tulisnya, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, ketika Turki

Utsmani kalah Perang Dunai I, maka Inggris melakukan perjanjian dengan

daerah-daerah kekuasaan Turki yang padahal dalam aturan perjanjian

internasional pada saat itu, negera yang memenangkan peperangan hanya berhak

17

Abdul Qadim Zallum, Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah. Penerjemah

Abu Faiz (Bangil, Al-Izzah, 2001), h. 15. 18

Pemikiran yang berkembang pada gerakan ini adalah paham Thuraniyah yang

mengisyaratkan pada asal bangsa asli Turki. Paham ini menyerukan pada martabat Turki bahkan

Ashalabi menyebut sebagai akidah paganistik Turki. 19

Ibid., h. 16.

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

54

melakukan perjanjian dengan negara pusatnya, bukan daerah-daerah

kekuasaanya.20

Kemudian, setelah daerah-daerah kekuasaan Utsmani dikuasai penjajah,

maka muncul aneka perlawanan rakyat dengan slogan membela negeri, tanah air

dan sebagainya (patriotisme).

Sementara gerakan-gerakan Islam, mereka mendakwahkan Islam dalam

bentuk yang masih terlalu global atau umum. Mereka mencoba

menginterpretasikan Islam agar sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada saat

itu, atau menyesuaikan Islam agar cocok dengan peraturan-peraturan selain Islam

yang akan diambil, sehingga Islam seolah-olah sesuai dengan hal-hal tersebut.

Dengan demikian, penakwilan seperti itu akhirnya hanya menjadi legitimasi untuk

mempertahankan kondisi yang ada atau untuk mengambil peraturan selain

Islam.21

Adapun maksud seruan Gerakan Islam yang masih bersifat umum, Hawari

menjelaskan dengan contoh „untuk kejayaan umat Islam‟, „kembali kepada Allah‟,

„ukwah islamiyah‟, „pendidikan Islam‟ dan sejenisnya yang tidak memiliki

batasan dan tidak mengkristal.22

b) Gerakan-Gerakan Tersebut Tidak Mengetahui Tharîqoh untuk

Menerapkan Fikroh-nya.23

20

Ali Muhammad ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utmaniyah (Jakarta,

Pustaka al-Kutsar, 2003),

21

Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,

Labib, et. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 7. 22

Muhamad Hawari, Politik Partai Meretas Jalan Baru Perjuangan Partai Politik Islam

(Bogor: IDeA Pustaka Utama, 2003), h. 8. 23

Menurut Ahmad Athiyat dalam Jalan Baru Islam, penting membedakan fikrah

(pemikiran), mafaahim (persepsi) dan thariqoh. Fikroh hanyalah pengetahuan tentang sesuatu

yang belum berimplikasi pada tingkah laku terhadap sesuatu tersebut. Sementara mafahim

(persepsi) berimplikasi pada prilaku karena pemahaman yang dalam pada sesuatu itu. Adapun

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

55

An-Nabhani meyakini bahwa falsafah kebangkitan yang hakiki

sesungguhnya bermula dari adanya sebuah ideologi (mabda), yang

menggabungkan fikroh dan tharîqoh secara terpadu. Ideologi tersebut adalah

Islam. Sebab, Islam hakikatnya adalah sebuah akidah yang melahirkan peraturan

untuk mengatur seluruh urusan negara dan umat serta merupakan pemecahan

untuk seluruh masalah kehidupan.24

Menurut Athiyat, yang dimaksud mabda (ideologi), secara bahasa berasal

dari bada‟a (memulai) yabda‟u (sedang memulai) bad‟an (permulaan) dan

mabda‟an (titik permulaan). Sementara menurut istilah, Mabda adalah pemikiran

asasi yangn menjadi dasar berbagai pemikiran. 25

Adapun Tharîqoh (metode), untuk menerapkan pemikirannya, hampir

setiap gerakan kebangkitan kurang memahami hal ini. Terkadang mereka tidak

bisa membedakan Tharîqoh, Fikroh, Uslub dan Wasilah. Sehingga setiap upaya

yang mereka lakukan dalam rangka perjuangannya, dianggap Tharîqoh (metode).

Lebih dari itu, mereka tidak mampu membedakan Tharîqoh sebelum meraih

tujuan dan Tharîqoh setelah meraih tujuan. Padahal, mabda (ideology) senantiasa

memiliki keduanya (Fikroh dan Tharîqoh).

Pemikiran dalam sebuah ideology menurut Hawari terdiri dari,

1) Akidah („aqidah)

2) Pemecahan (mu‟alajah)

Thariqoh, adalah metode yang baku, yang dibawahnya terdapat uslub-uslub yang banyak yang

disesuaikan dengan zaman. 24

Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,

Labib, et. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 9 25

Ahmad Athiyat, Jalan Baru Islam Studi tentang Transformasi dan Kebangkitan Umat

(Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2004), h. 84.

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

56

3) Upaya pengembanan dakwah Islam (haml ad-da‟wah).26

Sementara Thariqoh (metode) untuk merealisasikan pemikiran (fikroh) dalam

sebuah ideology adalah mencakup,

1) Bagaimana cara (kayfiyah) menjaga akidah,

2) Bagaimana cara (kayfiyah) menerapkan pemecahan,

3) Bagaimana cara (kayfiyah) mengembang dakwah.27

Ini jika ditinjauh dari sisi ideology (mabda), jika ditinjau dari bagaimana cara

(kayfiyah) membumikan ideology dalam thariqoh, maka kajiannya adalah

terhadap,

1) Fase dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw sebagai sebuah gerakan

atau partai Islam di Makkah,

2) Hukum-hukum apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah saw,

3) Kesadaran untuk membedakan mana hukum serta mana sarana (wasilah)

atau teknik-strategi (uslub) untuk melaksanakannya.

Menyampaikan risalah Islam dengan terang-terangan adalah hukum

syariat, berdirinya Rasulullah saw di Shafa untuk menyeru masyarakat adalah

teknis (uslub), dan lisan yang beliau gunakan untuk menyeru masyarakat termasuk

sarana (wasilah). Menyampaikan hukum syariat atau mengungkap rencana-

rencana jahat kaum imprealis adalah hukum syariat, wasilahnya bisa dengan

menyebar selembaran, misalnya. Dan teknik (uslub-nya) adalah dengan

menyebarkan ke tengah-tengah masyarakat sebagai sebuah teknik-strategi

pergolakan (uslub kifahi).28

26

Muhamad Hawari, Politik Partai Meretas Jalan Baru Perjuangan Partai Politik Islam

(Bogor: Idea Pustaka Utama, 2003), h.13. 27

Ibid., h. 14. 28

Ibid., h. 15.

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

57

Hukum syariat adalah aktifitas yang wajib dilakukan, sementara wasilah

adalah alat-alat yang biasanya disesuaikan dengan zaman seperti media masa,

surat kabar dan lain-lain. Adapun uslub, adalah cara (kayfiyah) yang digunakan

dalam memanfaatkan berbagai wasilah yang ada sesuai dengan karakter aktifitas

yang dilakukan.

Dengan demikian, permasalahan metode (thariqah) bukan hanya

kaitannya dengan pemikiran (fikroh) saja, tetapi bagaimana sesuainya dengan

metode perjuangan Rasulullah saw dalam menyebarkannya di tengah-tengah

kehidupan. Ringkasnya, metode berjuangan Beliau adalah,

1) Berdiri di atas sebuah ideology (mabda) dengan pemikiran (fikroh) dan

metode (tharîqoh)-nya.

2) Memiliki pemimpin atau amir yakni Rasulullah.

3) Melakukan sejumlah aktifitas : 1. Melahirkan kader-kader yang percaya

terhadap partai; 2. Mewujudkan suatu umat ataupun bangsa yang mau

menerima atau mendukung partai; 3. Membentuk kekuatan yang

memungkinkan partai bisa menerapkan ideologinya di tengah-tengah

kehidupan.

4) Konsisten dengan hukum syariat yang berhubungan dengan cara

merealisasikannya tujuannya, misalnya : 1. Konsisten untuk hanya

melakukan dakwah melalui pemikiran (da‟wah fikriyah) saja dan

menjauhkan penggunaan fisik dan kekerasan (mengangkat senjata). 2.

Mengikatkan dan menaati dengan berbagai ketetapan yang telah

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

58

digariskan partai dan berbagai pemikiran yang telah diadopsi partai. 3.

Melaksanakan keputusan partai.29

c) Tidak Memiliki Individu-Individu yang Layak untuk Menjadi

Anggota Partai

An-Nabhani juga menegaskan, bahwa kegagalan seluruh kelompok-

kelompok Islam juga terjadi karena faktor manusia atau individunya. Sebab di

samping pembentukan kelompoknya bukan atas dasar pembentukan kelompok

yang benar –karena tidak adanya fikroh dan thariqoh, atau karena kesalahan

dalam metode pengikatan orang-orang kedalam kelompok-kelompok tersebut,

juga tidak didasarkan pada kelayakan individunya itu sendiri, melainkan

berdasarkan kedudukan orang tadi di masyarakat, serta dari peluang diperolehnya

manfaat secara cepat dengan keberadaannya dalam partai atau jam‟iyah.30

Kadangkala seseorang direkrut karena ia adalah pemimpin kaumnya atau

karena ia orang kaya di tengah masyarakatnya, atau karena ia seorang pengacara,

dokter, atau mempunyai kedudukan dan pengaruh tanpa mempertimbangkan

apakah ia layak menjadi anggota kelompok atau tidak. Karena itu, yang menonjol

dari kelompok-kelompok semacam ini adalah ketidakkompakan di antara

anggota-anggotanya atau persaingan untuk menduduki jabatan kepemimpinan.

Akibatnya, dalam hati anggota-anggota partai ini muncul semacam perasaam

bahwa mereka lebih utama atau berbeda dari anggota masyarakat yang lain, bukan

semata karena harta dan perannya sebagai pemuka masyarakat, melainkan juga

29

Ibid., h. 16. 30

Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,

Labib, et. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 29.

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

59

karena mereka adalah anggota partai atau jam‟iyah tersebut. Karenanya, mereka

sulit berinteraksi dan mengadakan pendekatan dengan masyarakat.31

Tidak hanya itu, para anggota partai yang ada juga hanyalah sekelompok

orang yang berbekal semangat belaka dan keinginan untuk melakukan perubahan

belaka. Keberadaan mereka semacam itu sekadar dipucu oleh kondisi yang terjadi

di negeri mereka dan oleh kesadaran mereka terhadap kerusakan masyarakatnya.

Kondisi-kondisi seperti ini mendorong semangat mereka untuk melakukan

perubahan tanpa disertai dengan adanya kehendak dan kesadaran yang benar. 32

d) Tidak Memiliki Ikatan yang Benar diantara Para Anggotanya

Ideologi itu sesungguhnya telah jelas dan upaya memahaminya untuk

membentuk sebuah kelompok telah menjai hal yang mudah. Maka dari itu, adalah

wajar jika suatu kelompok telah memahami ideology tersebut dengan jelas, maka

ia akan menjadi kelompok yang berpengaruh dan maju,layak untuk diikuti dan

didukung masyarakat, serta mampu melaksanakan tugas-tugasnya. Karena

kelompok tersebut telah memahami benar fikrahnya, mengetahui benar

thariqohnya, dan mengerti benar problem-problemnya.

Hanya saja,adanya pemahaman ideology ini saja tidak akan dapat

mengantarkan pada kebangkitan yang benar kecuali jika para aktifitsnya telah

cukup layak untuk memasuki kelompok tersebut, dan ikatan yang menyatukan

mereka dalam kelompok adalah ikatan yang benar dan produktif. Berdasarkan

ikatan dalam kelompok ini pula ditentukan kelayakan seseorang untuk memasuki

kelompok. Sebuah partai ideologis akan menjadikan keyakinan terhadap

akidahnya dan kematangan dalam tsakafah partainya sebagai ikatan dalam

31

Ibid., h. 30. 32

Muhamad Hawari, Politik Partai Meretas Jalan Baru Perjuangan Partai Politik Islam

(Bogor: Idea Pustaka Utama, 2003), h.13.

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

60

kelompoknya. Dengan demikian, apakah seseorang layak atau tidak, akan terjadi

seara alami, yaitu dengan meleburnya mereka kedalam partai ketika dakwah telah

bersentuhan dengannya. Jadi yang menentukan layak tidaknya adalah ikatan

tersebut, bukan lembaga partai. 33

b. Faktor Eksternal

1) Pengaruh Tsakafah Asing dan Penjajahan Sistem Pendidikan

Selain itu, pada abad ini (XX M), tsakofah asing telah menyerang negeri-

negeri Islam. Dengan tsakofah itu para penjajah mampu menarik ke pihak mereka

sekelompok kaum Muslim, serta mendorong mereka untuk mendirikan kelompok-

kelompok politik (takattulaat hizbiyah) di dalam wilayah Daulah Islam.

Kelompok-kelompok ini berdiri untuk memisahkan dan memerdekakan negeri

mereka dari Daulah Islam. Penjajah juga mampu, dengan cara tertentu menarik ke

pihak mereka sekelompok orang-orang Arab yang mereka kumpulkan di Paris

untuk membentuk suatu kelompok yang bertugas memerangi Daulah Utsmaniyah,

dengan selogan „Memerdekakan Arab‟ dari Daulah Islam. Mereka telah

dipersatukan oleh tsakafah asing serta perasaan nasionalisme dan patriotism yang

telah dihembuskan oleh penjajah kepada mereka. Mereka dipersatukan dalam satu

pemikiran yang mengantarkan mereka pada suatu tujuan, yaitu kemerdekaan

bangsa Arab. 34

Tsakafah asing mempunyai pengaruh besar terhadap menguatnya

kekufuran dan penjajahan, tidak berhasilnya kebangkitan umat dan gagalnya

gerakan-gerakan terorganisir baik gerakan sosial maupun gerakan politik. Sebab,

33

Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,

Labib, at. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 12. 34

Ibid., h. 13.

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

61

sebuah tsakofah memang berpengaruh besar terhadap pemikiran manusia yang

kemudian memengaruhi perjalanan hidupnya.

Tidak hanya itu, setelah mereka berhasil menguasai negeri-negeri Arab

dan menancapkan agen-agennya, mereka juga merancang sistem pendidikan dan

tsakafah atas dasar falsafah tertentu yang merupakan pandangan hidup mereka

yaitu pemisahan materi dari ruh dan pemisahan agama dari negara. Penjajah

menjadikan kepribadian mereka sebagai satu-satunya sumber tsakofah kita.

mereka juga menjadikan peradaban (hadharah), persepsi (mafâhim), unsur-unsur

sosial pembentuk negera mereka, serta sejarah dan lingkungan mereka sebagai

sumber asal bagi pemikiran yang mengisi akal kita. Tidak cukup sampai disitu,

mereka bahkan sengaja mendistorsikan berbagai persepsi dan fakta yang kita

ambil dari mereka. Mereka memutarbalikan gambaran mengenai penjajahan

sedemikian rupa dengan gambaran yang mulia sehingga layak diikuti seraya

menyembunyikan tampang penjajah yang sebenarnya dengan cara-cara yang

licik.35

Sebetulnya, pemikiran pendidikan dalam Islam memiliki metode yang

khas yaitu mempelajari pengetahuan Islam untuk diterapkan. Bukan sekedar

transformasi ilmu, sebagai filosofi dan sebagainya.36

Namun, akibat tsakafah

asing, kaum terpelajar terpengaruh dengan tsakafah mereka sehingga Islam

dipelajari sekedar teori yang banyak. Tidak hanya itu, mereka juga menjadi

terpisah antara pemikiran dan perasaannya. Sehingga, mereka terpisah pula

dengan perasaan masyarakat.

35

Ibid., h. 15. 36

Hafidz Abdurahman, Mafahim Islamiyah Syarah Kitab Mafahim Hizbut Tharir (Bogor:

al-Azhar Freshzone Publishing, 2014), h. 246.

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

62

Padahal para ulama telah merumuskan ilmu fiqih, misalnya, sebagai ilmu

yang membahas masalah-masalah syariat yang bersifat praktis dan digali dari

dalil-dalil yang rinci. Dengan metode seperti ini, kajian tentang Islam akan

menghasilkan ilmu bagi yang mempelajarinya dan amal perbuatan bagi

masyarakat baik negara maupun individu. 37

Penjajah juga terus memasukan tsakafah mereka ke detil-detil

permasalahan, sampai tak satu pun program yang keluar dari model (manhaj)

umum yang mereka rencanakan. Akibatnya, kita menjadi terdidik dengan tsakafah

yang rusak, kita telah belajar –secara alami- cara orang lain berfikir. Hal ini telah

membuat kita tidak mampu untuk belajar bagaimana seharusnya kita berfikir,

karena pemikiran kita tidak lagi berhubungan dengan lingkungan, kepribadian dan

sejarah kita serta tidak lagi bersandar pada ideology kita.

Karena itu, kaum terpelajar hasil tsakafah penjajah ini tak mungkin

melahirkan sebuah kelompok yang benar, kecuali lebih dahulu diselesaikan

masalah-masalahnya yakni dengan menyelaraskan pemikiran dan perasaannya,

dengan mendidiknya mulai dari awal dengan tsakafah ideologis.38

2) Kebergantungan Kepada Asing

Barat juga berusaha agar kiblat kegiatan para politikus atau orang yang

bergerak dalam bidang politik adalah meminta bantuan orang asing dan

menyerahkan segala urusan kepadanya. Karena itu, sebagian besar kelompok yang

ada –tanpa disadari- telah berusaha meminta bantuan kepada orang-orang asing.

Di berbagai negeri muncullah orang-orang yang meminta bantuan kepada negara-

37

Taqiyuddin an-Nabhani, Mafâhim Hizb at-Tahrîr, Penerjemah Abdullah, (Bogor: HTI

Press, 2011, cet. keenam), h. 14. 38

Ibid., h. 18.

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

63

negara asing, tanpa menyadari bahwa setiap permintaan bantuan kepada orang

asing dan mengandalkan kekuatan asing –apapun bentuknya- adalah racun dan

pengkhianatan bagi umat Islam, walaupun niatnya baik. Mereka tidak menyadari

bahwa mengikatkan masalah kita dengan orang selain kita adalah bunuh diri

politik. Karena itu, tidak mungkin merekaberhasil mendirikan suatu kelompok apa

pun jika pemikirannya telah diracuni dengan sikap penyerahan diri atau

menggantungkan diri kepada asing. 39

3) Adanya Kelompok yang Bergerak dalam Bidang Sosial

Di samping gerakan-gerakan seperti yang dijelaskan sebelumnya, berdiri

pula gerakan-gerakan atas dasar jama‟iyah (gerakan sosial kemasyarakatan). Di

berbagai negeri muncul organisasi lokal dan regional yang mengarah pada tujuan

sosial/kebajikan (khairiyah). Organisasi-organisasi ini kemudian mendirikan

sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, panti-panti asuhan dan membantu berbagai

aktifitas sosial. Masing-masing organisasi ini menonjolkan kelompoknya. Para

penjajah telah berhasil mendorong munculnya organisasi-organisasi semacam ini,

sehingga kegiatan sosialnya terlihat jelas oleh masyarakat. Sebagian besar

organisasi ini bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial, sangat jarang

bergerak dalam bidang politik. 40

2. Gerkan Partai Politik yang Dapat Membangkitkan Umat Islam

a. Mendapatkan Petunjuk Memahami Ideologi Islam

39

Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,

Labib, at. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. kelima), h.20. 40

Ibid., h. 24.

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

64

Seseorang yang mempunyai kemampuan berfikir yang tinggi dan perasaan

yang peka akan mendapat petunjuk untuk memahami ideologi. Kemudian ia akan

menggeluti dan mendalami ideology tersebut hingga menjadi sangat jelas baginya

dan mengkristal dalam dirinya. Pada saat itulah muncul sel pertama dari partai itu.

Tidak beberapa lama kemudian sel tersebut lambat laun akan semakin banyak.

Kemudian muncul orang-orang lain yang akan membentuk sel-sel yang satu sama

lain dihubungkan secara integral oleh ideologi itu. Maka pada saat itu

terbentuklah halqoh pertama (halqah ula) bagi kelompok kepartaian ini yang

sekaligus merupakan pimpinan partai (qiyadah hizb). Adapun jenis ideologi yang

dimaksud adalah ideologi yang bersumber pada wahyu, dan inilah ideologi yang

shahih sebab bersumber dari sang pencipta alam, manusia dan kehidupan. Dialah

Allah Swt.41

Anggota halqoh pertama ini biasanya berjumlah sedikit dan mulanya

bergerak lamban. Karena meskipun mereka mengungkapkan perasaan-perasaan

masyarakat, tetapi mengungkapkannya dengan bahasa-bahasa baru yang asing

didengar masyarakat.

Oleh itu, halqoh pertama tersebut seakan-akan terasing dari masyarakat.

Tidak akan bergabung kedalamnya kecuali orang-orang yang mempunyai nurani

yang kuat sampai batas tertentu dimana tercipta suatu daya tarik kepada magnet

ideology yang terinternalisasi ke dalam halqoh pertama.42

1) Mengaitkan Pemikiran dengan Perbuatan

Pemikiran halqoh pertama bertumpu pada suatu kaidah yang tetap, yaitu

bahwa pemikiran harus berkaitan dengan perbuatan. Dan bahwa pemikiran dan

41

Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzâm al-Islam (Beirut: Dâr al-Ummah, 2001), h.. 25. 42

Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,

Labib, at. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 44.

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

65

perbuatan harus mempunyai suatu tujuan tertentu yang hendak dicapai.43

. Maka

dari itu, dengan adanya internalisasi ideology dalam diri mereka dan dengan

bersandarnya mereka pada suatu kaidah yang tetap, terciptalah suatu suasana

keimanan yang mantap. Ini akan membantu mereka dalam menundukkan dan

mengubah keadaan. Sebab pemikiran mereka tidak terbentuk dari realitas yang

terjadi, tetapi justru yang membentuk realitas sesuai dengan ideologi mereka.44

Berlainan dengan masyarakat yang tengah merosot, mereka tidak

mempunyai suatu kaidah dalam berfikir, karena masyarakat seluruhnya tidak

mengetahui tujuan mereka berfikir dan berbuat. Tujuan-tujuan individu pada

masyarakat seperti ini hanya bersifat sementara dan sangat individualistis. Oleh

sebab itu, tidak ditemukan adanya suatu keimanan padanya. Mereka dikendalikan

oleh keadaan sehingga mereka menyesuaikan diri dengan keadaan itu.

Karena diantara kewajiban utama halqoh pertama mewujudkan suasana

keimanan yang mengharuskan merkea mengikuti metode berfikir tertentu. Mereka

juga harus bergerak cepat dari halqoh kepartaian (Halqoh Hizbiyah) menjadi

kelompok kepartaian (Kutlah Hizbiyah) untuk kemudian menjadi partai yahng

sempurna yang mewajibkan dirinya terjun dalam masyarakat dengan menjadi

subyek yang berpengaruh di masyarakat. Bukan yang tepengaruh.45

2) Memiliki Kader yang Bersih

43

Setiap perbuatan senantiasa memiliki nilai yang hendak diwujudkan. Nilai ini berbeda-

beda seperti nilai kemanusiaan, akhlak, materi dan ruhiyah. Perdagangan misalnya, tentu hendak

mewujudkan nilai materi berupa keuntungan. Menolong orang yang hendak tenggelam misalnya,

tentu nilainya berupa kemanusiaan semata, bukan materi. Hanya saja, seorang muslim hendaknya

mewujudkan nilai ini berdasarkan hukum syara‟ sehingga tujuan akhirnya meraih ridho Allah Swt. 44

Taqiyuddin an-Nabhani, Mafaahim Hizbut Tahrir, Penerjemah Abdullah, (Bogor: HTI

Press, 2011, cet. keenam), h. 7 45

Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,

Labib, et. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 46.

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

66

Akidah yang mendalam dan teguh serta tsakafah partai yang matang wajib

menjadi pengikat antara anggota partai, dan wajib menjadi undang-undang yang

mengendalikan jamaah partai, bukan undang-undang administrasi yang hanya

tertulis di atas kertas. Cara memperkuat akidah dan memperdalam tsakafah

dilakukan dengan cara belajar dan berfikir, agar terbentuk pola piker yang khas

dan terwujud pikiran yang berhubungan dengan perasaan. Suasana keimanan

haruslah tetap menyelimuti partai secara keseluruhan, sehingga pemersatu partai

adalah dua hal, yaitu hati dan akal. Oleh sebab itu, iman terhadap ideologi

haruslah ada sehingga pada mulanya hati menjadi pemersatu individu-individu

partai. Kemudian mereka harus mempelajari ideologi secara mendalam,

menghafalkan, mendiskusikan, dan memahaminya sehingga pemersatu kedua

adalah akal. Dengan demikian, partai telah mempersiapkan dirinya dengan benar

dan mempunyai ikatan kuat yang memungkinkannha selalu teguh menghadapi

segala macam tantangan. Mereka juga harus senantiasa menjaga diri dari perkara-

perkara yang melanggar hukum syara‟. Meninggalkan riba, ikhtilath, dan hal-hal

yang diharamkan oleh syara‟. 46

3) Tahapan (marhalah) Partai Ideologis Meraih Kebangkitan.

a) Tahap pengkajian dan belajar untuk mendapatkan tsakafah partai.

Tahap pertama ini merupakan tahapan pembentukan pondasi gerakan.

Tahapan ini ditempuh dengan suatu asumsi bahwa seluruh individu umat kosong

dari tsakafah apa pun. Pada tahapan ini pertain mulai membina orang-orang yang

bersedia menjadi anggotanya dengan tsakafahnya. Digunakan pula asumsi bahwa

masyarakat secara keseluruhan adalah sekolah bagi partai sehingga dalam waktu

46

Ibid., h. 47.

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

67

singkat partai mampu mencetak sekelompok orang yang mampu melangsungkan

kontak dengan masyarakat untuk berinteraksi dengannya.

Namun demikian perlu diketahui bahwa pembinaan ini bukanlah ta‟lim

dan bahwa ia berbeda sama sekali dengan sekolah. Oleh itu, pembinaan dalam

halqoh-halqoh tersebut haruslah berjalan dengan suatu asumsi bahwa ideologi

Islam adalah gurunya, bahwa ilmu dan tsakafah yang didapatkan dalam halqoh

hanya terbatas pada ideologi saja –beserta segala ilmu yang diperlukan untuk

mengarungi medan kehidpan dan bahwa tsakafah diambil untuk diamalkan secara

langsung dalam realitas kehidupan.

Maka dari itu, pembinaan haruslah bersifat „amaliah (praktis), yaitu bahwa

tsakafah dipelajari untuk diamalkan dalam kehidupan. Harus diletakkan dinding

tebal yang memisahkan otak dengan aspek ilmiah semata terhadap tsakafah,

sehingga pangkajian tsakafah dalam sekolah yang bersifat ilmiah belaka.47

Partai juga befungsi sebagai pengontrol pemikiran dan perasaan

masyarakat. Partailah yang berusaha menghalangi kemerosotan berfikir, mendidik

masyarakat dan mendorongnya untuk mengarungi medan kehidupan internasional.

Partailah tempat pengkaderan hakiki yang tidak bisa ditandingi sekolah mana pun.

Meskipun jumlah sekolah sangat banyak.

Terdapat perbedaan antara partai dan sekolah diantaranya :

1) bahwa sekolah sekalipun kurikulumnya benar, tidak bisa menjamin

kebangkitan umat tanpa adanya suatu partai di daerah itu yang berjuang di

tengah-tengah masyarakat, yang menganggap masyarakat sebagai

sekolahnya.

47

Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,

Labib, at. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 53.

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

68

2) Sekolah mempersiapkan individu untuk memengaruhi jama‟ah sementara

partai mempersiapkan jama‟ah untuk memengaruhi individu.

3) Sekolah bersifat rutin dan tidak mampu membentuk masyarakat,

sementara partai senantiasa berkembang dan dinamis.

4) Sekolah mendidik individu agar berpengaruh dalam jama‟ah sementara

partai mendidik jama‟ah agar memengaruhi individu.

5) Sekolah memepersiapkan perasaan secara parsial pada individu untuk

memengaruhi perasaan jama‟ah. Karenanya ia tak mampu memengaruhi

jama‟ah dan tak mampu merangsang perasaan jama‟ah. Sementara partai

mempersiapkan secara menyeluruh dalam jama‟ah untuk memengaruhi

perasaan indivdu-individunya. Karena itu ia akan mampu mempengaruhi

jama‟ah dan mampu pula merangsang pemikiran mereka secara

sempurna.48

b) Tahap Interaksi dengan Umat

Tahapan ini harus dibangeri dengan tujuan politik (kifah as-siyâsi). Sebab,

tahapan ini paling genting dan krusial. Bahkan bila tahapan ini tidak jalan, berarti

ada yang tidak beres yang harus segera diperbaiki. Tentu, tahapan ini juga

tergantung pada kesuksesan tahapan pertama, yakni pengkajian dan pembinaan.

Keberhasilan tahap pertama, harus diketahui oleh masyarakat, yaitu

mereka mengetahui bahwa ada aktifis dakwah Islam di tengah-tengah mereka.

Demikian pula ruh kejama‟ahan sudah terbentuk pada waktu pembinaan di

halqoh-halqoh. Anggota partai juga melakukan kontak langsung dengan

masyarakat dan berusaha memengaruhinya.

48

Ibid., h. 57.

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

69

Bila penguasaan tsakafah dalam pembinaan berhasil, maka akan terbentuk

pola piker dan pola sikap (as-syaksiyah al-islâmiyah) yang khas dimana pola jiwa

mereka sudah seirama dengan aqliyah (pola piker). Hal ini sesuai hadits nabi,

Artinya: Tidaklah sempurna iman seorang seorang mukmin sampai hawa

nafsunya tunduk kepada apa yang aku bawa ini (Islam). (HR. al-

Baihaqi)

Berpindahnya tahap pertama menuju tahap selanjutnya harus terjadi secara

alami. Artinya bila belum waktunya sulit terwujud sempurna. Oleh karena itu,

tahap pertama harus sukses sebagai wujud penyempurnaan nuqthatul ibtida (titik

awal dakwah). Kemudian agar dakwah mulai menjalani nuqthatul intilaq (titik

tolak dakwah), maka anggota partai harus menyeru masyarakat secara terus

terang.

Interaksi dengan umat sangat penting. Karena sekali pun anggota partai

banyak, maka tak berarti bila tidak berinteraksi dengan masyarakt. Oleh karena

itu, pengertian interaksi dengan umat bukanlah mengumpulkan masa di sekitar

mereka, tetapi memahamkan uamt akan ideologi partai supaya ia menjadi ideologi

umat. Karena ideologi tersebut –Islam- sebetulnya ideologi umat juga. Kaidah

pengungkapan perasaan umat tersebut –yaitu beraktifitas untuk suatu tujuan-

merupakan ungkapan hakiki dari ideology. Oleh sebab itu ideologi Islam

meruapakn perasaan umat yang paling mendalam dan partai adalah pengungkapan

perasaan tersebut. Jika perasaan ini diungkapkan dengan bahasa yang tepat, jelas,

umat akan memahami ideologi dengan cepat lalu berinteraksi dengan partai. umat

pun secara keseluruhan akan mengaggap dirinya adalah partai sedangkan

49

Lihat al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra al-Baihaqiy hadits no 209/I/188 (al-Maktabah

as-Syâmilah)

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

70

kelompok pilihan tersebut mengemban tugas memimpin gerakan dengan sebuah

kelompok yang bersifat partai (at-Takattul al-Hizbiy).50

c) Menerima Kekuasaan (istilâm al-hukm)

Partai meraih kekuasaan melalui umat dan melalui aktivitas thalb an-

nushrah, serta menerapkan ideologi secara sekaligus. Inilah yang disebut metode

revolusioner. Metode ini tidak membolehkan partai bergabung kedalam

pemerintahan yang menerapkan hukum Islam secara parsial. Partai harus

mengambil kekuasaan secara total dan menjadikannya sebagai metode untuk

menerapkan ideologi, bukan sebagai tujuan perjuangan. Metode ini mengharuskan

penerapan ideologi Islam secara revolusioner, tidak membolehkan penerapan

ideologi secara bertahap, bagaimana pun juga keadaannya.51

3. Tantangan Partai Meraih Kebangkitan

a. Pertentangan ideologi (Islam) dengan sistem (pranata kehidupan) yang

diterapkan di tengah-tengah masyarakat.

Ideologi partai adalah sebuah sistem kehidupan yang baru bagi masyarakat

sekarang. Ideologi ini bertentangan dengan sistem yang diterapkan atas

masyarakat, yang dengan sistem ini golongan penguasa memerintah rakyat. Oleh

itu, para penguasa tersebut akan menganggap ideologi tersebut merupakan

ancaman terhadap kelompok mereka dan institusi kekuasaan mereka. Mereka

pasti akan menghalangi dan memeranginya dengan berbagai macam cara, dengan

melancarkan propaganda untuk menentang ideologi itu, mengusir para pengemban

dakwahnya, atau dengan menggunakan kekuatan fisik. Maka dari itu, hendaklah

para pengemban ideologi ini pandai-pandai menjaga diri dari siksaan dengan

50

Ibid., 44. 51

Ibid., h. 78.

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

71

segenap kemampuan, menentang propaganda-propaganda sesat dengan

menjelaskan dakwah mereka dan bersiap sedia menanggung segala penderitaan di

jalan dakwah ini.52

b. Perbedaan Tsakafah

Dalam masyarakat, terdapat berbagai macam tsakafah dan tersebar

berbagai macam pemikiran yang berbeda-beda. Hanya saja mereka masih

mempunyai perasaan yang sama. Berbagai macam tsakafah tersebut, terutama

tsakafah para penjajah, merupakan ungkapan yang bertentangan dengan perasaan

masyarakat. Sementara tsakafah yang berasal dari ideologi partai (Tsakafah al-

Islamiyah) merupakan ungkapan yang benar dari perasaan-perasaan umat. Hanya

saja, tsakafah yang menjadi pendapat umum dalam masyarakat dan kurikulum

pendidikan di sekolah, universitas dan seluruh forum tsakafah, adalah tsakafah

yang sejalan dengan tsakafah asing. Misalnya, mereka mempelajari Islam dengan

metode yang bertentangan dengan metode Islam. Metode dalam Islam adalah

bawah hukum-hukum syara‟ dipelajari sebagai perkara yang bersifat praktis, agar

diterpkan oleh negara, dan oleh individu dalam urusan yang menyangkut

individu.53

Karena itu, dalam proses pembinaanya partai harus terjun ke dalam kancah

pergulatan menghadapi berbagai tsakafah dan pemikiran asing itu, sampai umat

mengetahui dengan jelas ungkapan yang benar dari nurani dan perasaan mereka,

sehingga kemudian umat berjalan bersama partai. Dari sinilah, dalam fase ini pasti

terjadi clash antara pemikiran partai dengan pemikiran lainnya. Dan benturan ini,

52

Ibid., h. 65. 53

Taqiyuddin an-Nabhani, Mafaahim Hizbut Tahrir, Penerjemah Abdullah, (Bogor: HTI

Press, 2011, cet. keenam), h. 9 5.

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

72

terjadi antara anak-anak umat Islam sendiri. Oleh itu, dalam hal ini partai tidak

boleh melakukan debat kusir tetapi harus berjalan di atas jalan lurus di sisi jalan

yang bengkok.54

c. Adanya orang-orang yang bersikap realistis/pragmatis (al-Wâqi‟în) di

tengah-tengah masyarakat.

Bercokolnya tsakafah asing dan racun-racun asing, serta merajalelanya

kebodohan, telah memunculkan dua macam kelompok orang-orang pragmatis di

tengah-tengah umat.

Kelompok pertama adalah kelompok orang-orang yang bersikap realistis

yang menyeru umat menerima realitas, untuk rela dengan realitas dan menyerah

pasrah kepada realitas, seakan-akan realitas adalah suatu keharusan yang tidak

bisa ditolak. Kelompok kedua adalah kelompok orang-orang zalim yang enggan

hidup dalam kebenaran, karena mereka terbiasa hidup enak dalam kegelapan,

terbiasa tidak peduli terhadap orang lain dan berpikir secara dangkal. Mereka ini

adalah orang-orang yang mengidap penyakit malas, baik malas secara fisik

maupun akal. Mereka berkeras kepala untuk terus memegang teguh peninggalan

nenek moyang mereka. Sebetulnya inilah kelompok pragmatis sebenarnya, karena

mereka termasuk dalam realitas itu sendiri. Meraka adalah orang-orang yang

berpikiran jumud (beku). Karena itu, untuk menyadarkan kelompok ini perlu

usaha lebih keras.55

a. Keterikatan manusia dengan kepentingan-kepentingannya

Hal ini terjadi karena manusia senantiasa terikat dengan kepentingan

pribadinya dan pekerjaan sehari-hari. Sementara pada saat yang sama, dia juga

54

Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,

Labib, at. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 66. 55

Ibid., h. 68.

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

73

harus terikat dengan ideologi. Bisa jadi suatu saat kepentingan-kepentingan

tersebut bertentangan dengan aktivitas dakwah kepadaideologi, sehingga dia

berusaha mengkompromikan keduanya. Untuk mengatasi kesulitan ini, setiap

orang yang meyakini ideologi ini (Islam) wajib menjadikan dakwah dan pratai

sebagai titik sentral bagi setiap kepentingan pribadinya. Ia tidak boleh sibuk

dengan pekerjaan-pekerjaan yang melupakan dan menghalanginya dari dakwah.

Dengan cara ini dia telah memindahkan posisi dakwah menjadi sumbu putar

tempat kepentingan-kepentingan pribadinya yang mengitarinya.56

b. Sulitnya mengorbankan kehidupan dunia (harga, perdagangan dan

sejenisnya) di jalan dakwah Islam.

Cara mengatasi kesulitan ini adalah dengan mengingatkan orang-orang

beriman, bahwa Allah telah membeli jiwa dan harta mereka dengan sura. Cukup

ia diberikan peringatan seperti itu kemudian diberikan pilihan tanpa memaksa

untuk berbuat sesuatu. Hadits Rasulullah ketika mengutus Abdullah bin Jahsiy

ketika memata-matai quraisy, “Janganlah sekali-kali engkau memaksa seseorang

dari sahabat-sahabatmu untuk berjalan bersamamu. Laksanakanlah perintahku

bersama-sama orang-orang yang bersedia mengikutimu”.

c. Dalam tahapan interaksi, partai juga menghadapi dua bahaya yaitu bahaya

kelas (khatr at-thabaqiy) dan bahaya ideologis (khatr mabdaiy).

Bahaya ideologi datang dari arus jama‟ah dan dari keinginan untuk

memenuhi tuntutan uamt yang bersifat sesaat dan mendesak. Bahasa itu juga

bersumber dari munculnya pendapat yang mendominasi jama‟ah bahwa pemikiran

partai telah gagal.

56

Ibid., h. 69.

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

74

Bahaya ini dapat muncul karena ketika partai mengarungi lapangan

kehidupan dalam masyarakat, dia melakukan kontak dengan massa (mayoritas

masyarakat) untuk berinteraksi dengannya dan untuk memimpin mereka. Pada

saat partai yang membekali diri dengan ideologi itu terjun di tengah massa,

didalamnya terdapat pemikiran-pemikiran kuno atau lama yang saling

bertentangan, warisan-warisan generasi masa lalu, pemikiran-pemikiran asing

yang berbahaya. Maka, partai harus membekali diri dengan pemikiran pendapat

partai seruta berusaha dengan sungguh-sungguh memperbaiki persepsi massa,

membangkitkan akidah Islam dalam diri mereka, dan menciptakan suasana yang

benar dan kebiasaan umum.

Adapun bila partai memimpin massa sebelum ia sempurna melakukan

interaksinya dengan massa dan sebelum tercipta kesadaran umum pada umat,

maka kepemimpinannya atas umat bukan berdasarkan hukum dan pemikiran dari

ideologi, melainkan dengan membangkitkan apa yang bergelora di dalam jiwa

umat, dengan menyentuh perasaannya dan dengan menggambarkan bahwa

tuntutan mereka akan terpenuhi dalam waktu dekat.

Pada saat itulah akan banyak tuntutan masyarakat kepada partai yang

bertentangan dengan ideologi partai. Maka pada saat ini juga partai dihadapkan

pada dua pilihan, pertama berhadapan dengan kemarahan dan kebencian umat

serta kehancuran pengaruhnya atas jamaah. Kedua, berhadapan dengan kondisi

lepasnya partai dari ideologi dan munculnya sikap meremehkan ideologi dan

munculnya sikap meremehkan ideologi. Kedua hal ini sangat berbahaya bagi

partai.

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

75

Karena itu, jika berhadapan dengan dua pilihan, hendaklah partai

berpegang teguh pada ideologi. Sekalipun ia harus menghadapi kebencian umat.

Karena kebencian itu sifatnya temporer. Keteguhan partai pada ideologi akan

mengembalikan kepercayaan umat kepadanya. Dalam hal ini hendaklah partai

berhati-hati agar tidak menyalahi ideologi walaupun hanya sehelai rambut. Sebab,

ideologi adalah kehidupan (nyawa) bagi partai.

Adapun bahaya kelas,57

ia dapat menimpa para aktivis dakwah, bukan

menimpa umat. Bahaya ini terjadi karena ketika partai menjadi wakil umat atau

mayoritas umat, ia akan mempunyai tempat terhormat, posisi yang mulia serta

mendapatkan penghormatan yang sempurna dari umat, khususnya dari masyarakat

umum. Ini kadangkala dapat menghembuskan tipu daya ke dalam jiwa para

aktivis partai sehingga mereka merasa bahwa mereka lebih tinggi dari umat,

bahwa menjadi tugas mereka adalah memimpin sedangkan tugas umat untuk

dipimpin.

Jika ini terjadi berulang-ulang, umat akan merasa bahwa partai adalah

suatu lapisan „kelas‟ yang lain. Demikian pula partai pun akan merasakan hal

yang sama. Munculnya perasaan ini adalah awal dari kehancuran partai. Karena ia

akan melemahkan semangat partai untuk memperayai orang-orang kebanyakan

dari masyarakt dan sebaliknya ia akan melemahkan kepercayaan masyarakat

banyak terhadap partai. Pada saat itulah, umat akan mulai berpaling dari partai.

Apabila umat berpaling dari partai, berarti partai telah hancur. Dan ini

membutuhkan usaha berlipat ganda untuk mengembalikan kepercayaan umat

terhadap partai. Karena itulah, hendaknya para aktivis partai bersikap seperti

57

Mencintai kepemimpinan adalah salah satu manifestasi naluri mempertahankan diri.

Bila tidak dikendalikan syara‟, akan berdampak pada merasa bangga pada diri sendiri dan

memandang rendah terhadap pihak lain.

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

76

individu-individu umat kebanyakan. Hendaklah mereka tidak mempunyai

perasaan terhadap diri mereka kecuali bahwa mereka adalah pelayan umat dan

bahwa tugas mereka sebagai partai adalah melayani umat. Mereka harus

berpandangan demikian, sebab ini akan memberi mereka kekuatan dan

keuntungan lainnya, bukan hanya terpelihara keercayaan mayoritas umat kepada

mereka, melainkan juga akan sangat bermanfaat bagi mereka pada tahapan ketiga

nanti, ketika partai menguasai pemerintahan untuk menerapkan ideologi. Karena

pada saat itu –sebagai penguasa- mereka sebenarnya tetap menjadi pelayan umat,

sehingga sikapnya tersebut akan memudahkan mereka dalam menerapkan

ideologi.58

D. Pengaruh Pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani dalam Pembentukan

Partai Politik Islam Terhadap Hizbut Tahrir Indonesia

Dalam pemahaman Taqiyuddin an-Nabhani, seseorang dikatakan memiliki

kepribadian Islam (as-Syaksiyah al-Islamiyah) adalah apabila pola pikir yang

berasaskan Islam selaras dengan pola sikapnya.59

Maka, termasuk dalam

pemikirannya tentang pembentukan partai politik yang tak lain tergali dari Islam,

harus menghujam di jiwa anggota-anggotanya. Hal ini yang menurut Islamil

Yusanto selaku Juru Bicara HTI, membuat para syabab-nya memiliki karakteristik

yang khas.60

58

Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,

Labib, at. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 76. 59

Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakshiyah al-Islâmiyah (Beirut: Dâr al-Ummah, 2003),

h.16. 60

Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 28

September 2015.

Page 88: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

77

Dalam perkembangan HTI sendiri juga tidak terlepas dari pedoman buku

at-Takattul al-Hizbiy tersebut yang menjadi bacaan wajib bagi anggota HTI.61

Bahkan tidak sedikit istilah-istilah khusus yang hanya dipahami anggotanya

seperti defini Politik Islam, Partai Politik, Nidzam, Mabda, Tsakafah, Isyraf dan

sebagainya. Sekalipun istilah itu dikenal oleh masyarakat tetapi HTI memiliki

definisi tersendiri.

Adapun pengaruh yang signifikan dari pemikiran Taqiyuddin terkait

pembentukan partai politik, menurut Ismail Yusanto, hingga kini –sekalipun ada

beberapa perubahan- HTI dan HT seluruh dunia masih berpedoman pada buku

tersebut dalam upaya meraih kebangkitan. Misalnya kegiatan Halqoh, Interaksi

dengan Masyarakat, Meminta Kekuasaan, masih dilakukan di seluruh dunia.

Hanya saja terkait Meminta Kekuasaan, menurut Jubir itu hanya dilakukan oleh

pimpinan tertinggi Hizbut Tahrir. 62

Dalam penatnya penelitian dan semakin besarnya rasa penasaran, terutama

keseragaman pemikiran dan pola gerak HT seperti hasil wawancara dengan Ismail

Yusanto, ternyata dalam pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani terdapat sebuah

konsep yang menyatukan hal tersebut. Konsep itu mereka namakan “Tabani”.

Secara etimologi, Tabani artinya adopsi anak kepada, 63

(تبنى فالنا) . Adapun

maksud Taqiyuddin adalah tabani (adopsi) hukum dari pendapat-pendapat yang

banyak yang kemudian menjadi pendapat partai yang mewajibkan seluruh

anggotanya terikat dengan pendapat tersebut sekalipun secara individu memiliki

61

Ibid.,

62

Ibid.,

63

Kamus elektronik Arab-Indonesia V3.0

Page 89: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

78

pendapat yang berbeda. Hal ini Taqiyuddin ambil dari praktik al-Khulâfa ar-

Râsyidûn yang biasa mentabani suatu hukum yang kemudian seluruh sahabat

mengikutinya sekalipun memiliki pendapat berbeda. Misalnya, Khalifah Abu

Bakar tidak membedakan pembagian harta terhadap orang yang lebih awal masuk

Islam dengan orang yang lebih akhir masuk Islam. Begitu juga terkait talak,

khalifah Abu Bakar RA menjatuhkan talak tiga dalam satu majelis sebagai talak

satu. Keputusan khalifah ini diikuti oleh seluruh gubernur dan hakim, kemudian

kaum muslimin mematuhinya. Sementara ketika masa khalifah Umar bin Khattab

RA, beliau mengambil keputusan yang berbeda dari Abu Bakar. Beliau

membagikan harga dengan membedakan orang yang lebih awal dan akhir masuk

Islam, beliau juga menjatuhkan talak tiga dalam satu majelis sebagai talak tiga,

dan keputusan ini diikuti oleh seluruh kaum muslimin. 64

Dari konsep tabani inilah menjadikan anggota seluruh HT dan HTI terikat

dengan pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani sebagaimana penuturan Ismail Yusanto

dalam wawancara pribadi penulis. Adapun pengaruh lain, misalnya dalam buku

tersebut dikatakan ketika ada pilihan antara keinginan masyarakat yang berbeda

dengan tuntunan ideologi maka harus tetap berpegang kepada ideologi.

Peristiwa seperti ini pernah terjadi sekitar tahun tahun 2007. Ketika itu M.

al-Khattat selaku ketua DPP HTI merangkap ketua FUI (Forum Umat Islam)

diminta untuk melepaskan jabatan FUI oleh Mandub65

. Namun al-Khattat

menolaknya yang kemudian ia sendiri diberikan „iqob dengan dekeluarkannya

dari HTI. Kemudian al-Khattat yang masih memiliki pengaruh besar tersebut

blusukan ke daerah-daerah untuk menggalang dukungan. Tetapi karena anggota

64

Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam al-Islâm (Beirut: Dâr al-Ummah, 2001), h.83.

65

Nama bagi pengawas HT setiap negara yang diutus langsung oleh Amir Hizbut Tahrir.

Page 90: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

79

HTI telah memahami benar tsakafahnya dan kepada siapa mereka harus taat,

maka orang sekelas al-Khatat pun –karena melanggar aturan- tak dihiraukan oleh

para anggotanya.

Dengan demikian secara normatif dan empirik, dengan adanya konsep

tabani sebagaimana yang penulis jelaskan di atas, memiliki pengaruh besar

terhadap perjuangan dakwah Hizbut Tahrir Indonesia.

E. Analisis Pemikiran Taqiyuddin An-Nabhani

1. Sistem Pemerintahan Khilafah

Pemahaman terhadap dalil, tergantung pada kaidah ushul fiqh yang

digunakan. Sebab ushul fiqh adalah metode untuk memahami dalil. Adapun

sebagian orang yang menghukumi dalil dengan kaidah selain ushul fiqh, misalnya

dengan metode Heurmenetika maka sekalipun hasilnya berbeda, hal ini tidak

termasuk ikhtilaf melainkan penyimpangan. Oleh karena itu, penting memahami

ushul fiqh yang digunakan seseorang untuk „memukul‟ dalil agar bisa mengetahui

buah pemikirannya.

Mayoritas ulama kontemporer tidak mewajibkan bentuk negara khilafah

karena didasarkan pada suatu kaidah ushul fiqh. Misalnya ketika memahami

hadits penyerbukan kurma sebagai berikut,

»

Artinya: Dari Anas ra. dituturkan bahwa Nabi saw. pernah melewati satu kaum

yang sedang melakukan penyerbukan kurma. Beliau lalu bersabda,

“Andai kalian tidak melakukan penyerbukan niscaya kurma itu menjadi

66

Lihat Shahih Muslim hadits no 141/IV/1836 (al-Maktabah as-Syâmilah)

Page 91: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

80

baik.” Anas berkata: Pohon kurma itu ternyata menghasilkan kurma yang

jelek. Lalu Nabi saw. suatu saat melewati lagi mereka dan bertanya,

“Apa yang terjadi pada kurma kalian?” Mereka berkata, “Anda pernah

berkata demikian dan demikian.” Beliau pun bersabda, “Kalian lebih tahu

tentang urusan dunia kalian.” (HR Muslim).

Memahami hadits ini, mayoritas ulama biasanya menggunakan kaidah

(yang menjadi pertimbangan adalah keumumam lafadz,

bukan kekhususan sebab). Sehingga, hadits di atas dapat dipahami keumumannya

yaitu urusan dunia diserahkan kepada teori manusia.

Adapun kaidah ushul fiqh lain yang berkaitan dengan muamalah misalnya,

hukum asal muamalah adalah) نتحريىعهى ا األصم فى انعايهت اال باحت حتى يدل اندنيم

mubah sampai ada dalil yang mengharamkan). Maka dengan kaidah ini, termasuk

bentuk pemerintahan –karena termasuk muamalah- hukumnya disesuaikan dengan

kebutuhan manusia.

Dari kaidah-kaidah ushul fiqh di atas kemudian muncul beragam pendapat

tentang bentuk pemerintahan. Al-Maududi misalnya menggunakan istilah Teo-

Demokrasi atau Khilafah-Demokratik,67

Diauddin Rais menggunakan istilah

Demokrasi Islam,68

Yusuf Qardawi menggunakan istilah Negara Madani,69

Abdul

Karim Soroush menggunakan istilah Demokrasi Religius70

dan Moh. Natsir

menggunakan istilah Demokrasi Teistik (Demokrasi Ketuhanan).71

67

Abu A‟la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Penerjemah Muhammad al-Baqir,

(Bandung: Mizan, 2007, cet. Pertama), h. 171.

68

Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Penerjemah Abu Hayyie al-Kattani, et. all (Jakarta

: Gema Insani, 2001), h. 312.

69

Yusuf Qardhawi, Fiqh Negara, Penerjemah Syafril Halim, (Jakarta: Robbani Pres,

1999, cet. Kedua), h. 68. 70

Idris Thaha, Demokrasi Religius (Jakarta: Teraju, 2005, cet. Pertama), h. 313. 71

Ibid., h. 312.

Page 92: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

81

Adapun Taqiyuddin an-Nabhani, mendasari pendapatnya dengan sebuah

kaidah ushul fiqh yang ia gali sendiri dari berbagai dalil. Bila kaidah ushul fiqh di

atas menjelaskan hukum asal muamalah adalah mubah, maka Taqiyuddin

mengeluarkan kaidah ushul fiqh sebaliknya yaitu,

(hukum asal setiap perbuatan senantiasa terikat dengan hukum-hukum syara‟).

Menurutnya, kaidah ini didasarkan pada praktik para sahabat yang senantiasa

menanyakan status hukum perbuatan yang akan dan telah mereka lakukan.

Misalnya, sahabat bertanya tentang hukum khamr, warisan, sedekah, jual beli, riba

dan sebagainya. Hal ini –menurutnya- menunjukan bahwa asal perbuatan

senantiasa terikat dengan hukum syara‟ sehingga ditemukan qarînah apakah

wajib, sunah, makruh, haram atau mubah.

Adapun keumuman lafadz sebagaimana kidah ushul fiqh di atas,

Taqiyuddin juga sependapat. Misalnya tentang hadits bangkai kambing milik

Maimunah, Rasul bersabda ketika melewatinya “Setiap kulit binatang yang

disamak, maka suci”. Dari peristiwa ini, menurut Taqiyuddin bukan hanya milik

Maimunah, tetapi setiap jenis kulit binatang milik siapa pun. Hanya saja,

Taqiyuddin menurunkan kaidah lain di bawahnya, yaitu فى خصوص انسبب عوو انفظ

keumuman lafadz pada suatu) هو عوو فى يوضوع انحادثت وانسوال ونيس عويا فى كم شيء

sebab adalah keumuman pada topik tertentu dan pertanyaan tertentu. Tidak umum

mencakup segala sesuatu). Maka dengan kaidah ini, maksud hadits “kalian lebih

tahu urusan dunia kalian” maksudnya bebas dalam perkara sejenis yaitu

pertanian dan sains saja.

Senada dengan hadits lain yang berkaitan dengan larangan kepemimpinan

wanita “tidak beruntung sebuah kaum yang di pimpin wanita”, bila dilihat

Page 93: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

82

kekhususan sebab, maka hal itu hanya berkaitan dengan putri Kisra. Pun bila yang

digunakan keumuman lafadnya, maka tidak menjalar kesegala hal. Maksud umum

adalah dalam kontek tertentu yaitu pemerintahan. Berarti tidak masuk semua hal

yang bukan pemerintahan (al-hukm), wanita diharamkan memimpin. Oleh karena

itu, Khalifah Umar bin Khatab semoga Allah meridhoinya, pernah menujuk

sahabiyah Sifa untuk mengatur urusan pasar. Dapat dipahami bahwa urusan pasar

bukan urusan al-Hukm melainkan urusan administrasi. Termasuk kepala sekolah,

yayasan dan sejenisnya tidak termasuk larangan untuk wanita memimpin.72

Begitu juga persoalan menerima realitas yang ada sebagai salah satu

alasan bolehnya membentuk pemerintah apa pun –asalkan substansinya Islam-,

tergantung pada kaidah ushul fiqh yang digunakan. Sebab, masing-masing

memiliki dalil baik berbentuk dalil Dzanniy Shahih atau Dzanniy Hasan.

Penting dicatat, benarkah khalifah harus satu, sebagaimana konsep

Taqiyuddin an-Nabhani? Tohir Bawazir dalam bukunya, Jalan Tengah

Demokrasi, mempertahanyakan hal demikian. Sebab, menurutnya dalam realitas

sejarah pun terjadi dualisme kekuasaan. Misalnya misalnya kekhilafahan

Abdurahman ad-Dakhil di Spanyol yang berbarengan dengan kekhilafahan

Abbasiyah di Baghdad, begitu juga kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan di

Syam yang berbarengan dengan kekhilafahan Abdullah bin Zubair di Hijaz. Dan

banyak hal lagi yang menurutnya dalam realitas sejarah pun terjadi dualisme

kekuasaan.73

72

Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syaksiyah al-Islamiyah al-Juz at-Tslits (Beirut : Dâr al-

Ummah, 2003, cet. Kelima), h. 91-99.

73

Tohir Bawazir, Jalan Tengah Demokrasi Antara Fundamentalisme dan Sekulerisme

(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015, cet. Pertama), h. 56.

Page 94: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

83

Adapun kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan, maka sebetulnya tidak

secara otomatis terjadi dualisme kekuasaan. Sebab, dalam buku Yusuf al-„Isy,

Dinasti Umawiyah Sebuah Perjalanan Lengkap Tentang Peristiwa-Peristiwa

yang Mengawali dan Mewarnai Perjalanan Dinasti Umawiyah, ketika Muawiyah

bin Yazid mengundurkan diri dari tampuk kekuasaan, pada saat itu terjadi

kekosongan kepemimpinan. Maka kemudian penduduk Hijaz membaiat Ibnu

Zubair bin Awam. Setelah beberapa waktu, penduduk Syam pun membait kembali

klan Umayah yaitu Abdul Malik bin Marwan. 74

Hanya saja penting juga dikritisi, apakah sejarah dualisme kekuasaan –

kalau dikatakan dualisme- dapat digunakan sebagai dalil untuk menolak wajibnya

membentuk kekhilafahan dengan mengangkat satu khalifah sebagaimana yang

terdapat pada banyak hadits.

Adapun realitas yang harus diterima, bahkan menjadi hukum sebagaimana

dalam kaidah ushul fiqh انعادة يحكت (kebiasaan bisa menjadi hukum), berbeda juga

dengan pandangan Taqiyuddin. Menurutnya bukan hukum syara‟ –karena khilafah

dalam pandangannya termasuk hukum syara‟- yang disesuaikan dengan realitas

tetapi realitaslah yang harus disesuaikan dengan hukum syara‟.

Sebegitu pun beragamnya pendapat terkait bentuk pemerintahan, menurut

penulis memiliki titik temu yaitu wajibnya mengamalkan perintah agama.

Terlepas yang dimaksud perintah agama bersifat legal-formal atau substansi.

A. Pengangkatan Kepala Negara

Taqiyuddin an-Nabhani membedakan antara metode pengangkatan

khalifah (Thorîq al-in‟iqod nasb al-Khalîfah) dengan metode pemilihan pemilihan

74

Yusuf al-„Isy, Dinasti Umawiyah Sebuah Perjalanan Lengkap Tentang Peristiwa-

Peristiwa yang Mengawali dan Mewarnai Perjalanan Dinasti Umawiyah, Penerjemah Iman

Nurhidayat dan Muhammad Khalil, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014 cet. Ketiga), h. 225-226.

Page 95: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

84

khalifah (thorîq al-intikhôb al-Khalîfah) . Menurutnya metode mengangkat

khalifah (nashb al-khalîfah) bersifat baku yaitu baiat. Sementara tata cara

pemilihan khalifah (intikhôb al-khalîfah) dapat berubah-ubah sesuai dengan

tuntutan jaman sehingga dapat dijumpai pada prosesi pemilihan al-Khulafa ar-

Rasyidun pun terjadi perbedaan. Tetapi berjalan pada satu metode pengangkatan

yang baku yaitu baiat. Tentu pendapat seperti ini berbeda dengan para pemikir

politik Islam kontemporer. Sebab menurut para pemikir modern, prosesi

pemilihan kepala negara yang dialami khalifah yang empat mengalami perbedaan

sebagai indikasi bahwa tata cara pemilihan kepala negara tidak ada yang baku.

Sebetulnya pendapat Taqiyuddin mungkin saja dapat diterima, hanya saja

sejauh pengetahuan penulis Taqiyuddin juga tidak menetapkan tata cara pemilihan

seperti apa yang menurutnya lebih baik. Sebab sekalipun membedakan antara

metode in‟iqhod dengan metode intikhob kepala negara, ia tidak memberikan

penjelasan tentang uslub intikhob-nya. Bahkan dalam salah satu karyanya, Ajhizah

Daulah al-Khilafah disebutkan,

“sebetulnya masih terdapat beberapa perkara penting lainnya yang tidak

Page 96: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

85

kami cantumkan di dalam buku ini, tetapi akan kami umumkan pada

waktunya nanti yakni pada saatnya nanti kami mengeluarkan undang-

undang yang berkaitan dengan perkara tersebut dalam suplemen buku ini,

atas izin Allah. Perkara-perkara tersebut adalah: tata cara pemilihan

khalifah, penentuan redaksi baiat, penentuan wewenang amir sementara

dalam kondisi khalifah berada dalam tawanan yang memiliki kemungkinan

bebas atau dalam kondisi tidak ada kemungkinan bebas, …”75

Belum dibahasnya perkara tersebut penulis khawatir terjadi penolakan dari

masyarakat di kemudian hari. Kecuali memang telah disosialisasikan kepada

khalayak metode pemilihan tertentu yang memungkinkan dapat diterima.

B. Pembentukan Partai Politik Islam

Dalil yang digunakan Taqiyuddin an-Nabhani terkait pembentukan Partai

Politik Islam untuk menegakan kembali khilafah (re-Establish the Khilafah)

adalah sirah nabawiyah. Yaitu pembinaan, interaksi dengan umat dan tholab an-

nushroh agar terjadi instilam al-hukmi (penyerahan kekuasaan) dari umat kepada

hizb.

Sebetulnya menjadikan sirah nabawiyah sebagai dalil perlu dikaji lebih

mendalam. Sebab, tidak sedikit ulama yang menolak sirah sebagai dalil. Bahkan

ulama hadits pun mendefiniskan hadits sebagai perkataan, perbuatan dan takrir

nabi yang berkaitan dengan hukum saja. Maka mereka tidak memasukan sirah

sebagai hadits.

Salah satu ulama yang berpandangan demikian misalnya Yusuf Qardawi,

dalam salah satu karyanya ia mengatakan,

75

Taqiyuddin an-Nabhani, Struktur Negara Khilafah Pemerintahan dan Administrasi,

Penerjemah Yahya Abdurahman, (Jakarta: HTI Press, 2005, cet. Kesatu), h. 12.

Page 97: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

86

“al-Quran adalah sumber utama dan pokok. Sedangkan sunnah berfungsi

sebagai penjelas dan keterangan. Tapi, kekeliruan terjadi bila sebagian

orang menempatkan sirah nabawiyah untuk mewajibkan dan mengharamkan

sesuatu, seperti mereka mengambil dari al-Quran dan sunnah”76

kemudian ketika mengomentari dalil Q.S. al-Ahzab : 21 “sungguh telah

ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik…” Yusuf Qardawi memberi

penjelasan, “ayat di atas menganjurkan kita kaum muslimin untuk meneladani

Rasulullah. Tetapi, meneladani sirah beliau hanya dalam hal yang berkaitan

dengan moral dan nilai-nilai umum saja, bukan pada hal-hal yang rinci”77

Menurut Taqiyuddin, tahapan pembentukan Parpol Islam untuk meraih

kebangkitan tersebut didasarkan pada sirah nabawiyah, karena dari segi perbuatan

nabi dapat dibedakan beberapa kriteria. Pertama, perbuatan jibîliyyah atau

perbuatan alami manusia seperti duduk, tidur, berkedip dan lain sebagainya. Pada

perbuatan ini tidak disunahkan mengikutinya melainkan mubah saja. Kedua,

perbuatan selain dalam kontek manusia biasa (ghair Jibîliyah), tetapi hanya

khusus untuk nabi dan tidak boleh diikuti oleh umatnya. Contohnya puasa wishal,

shalat tahajud dan witir wajib bagi nabi, menikah lebih dari empat dsb. Ketiga,

perbuatan nabi sebagai penjelas (al-bayan) dari al-Qur‟an seperti shalat

(perbuatan) sebagai penjelas dari “ وا انصالة ياق “ maka dalam hal ini umatnya

wajib mengikuti (tergantung al-mubayan, jika yang dijelaskan perkara wajib,

maka mengikutinya pun wajib, jika perkara sunnah atau mubah maka status

hukumnya juga demikian). Keempat, perbuatan yang bukan dari sisi manusia

biasa (al-Jibiliyah), bukan kekhususan dan bukan pula penjelas (al-bayan) dari al-

Qur‟an. Maka, menurutnya harus dilihat apakah dalam perbuatan tersebut ada

76

Yusuf Qardhawi, Fiqh Negara, Penerjemah Syafril Halim, (Jakarta: Robbani Pres,

1999, cet. Kedua), h. 104. 77

Ibid., h. 105.

Page 98: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

87

maksud taqarrub (Qashd al-Qurbah) atau tidak ada. Bila ada maksud taqarrub

(Qashd al-Qurbah) maka mengikutinya menjadi sunnah atau yang sering disebut

nafilah, seperti shalat dluha.78

Perkara yang menjadi catatan penulis adalah, apa qarinah bahwa sirah

nabawiyah sebagai penjelas bagi perkara wajib –seandainya dikatakan wajib.

Sebab dalam perkara shalat, yang menjadi mubayan-nya bersifat jelas yaitu wajib,

وا انصالة ياق sehingga mengikuti perbuatan nabi pun (sebagai al-bayan ayat ini)

menjadi wajib. Karena ada qarinah yang menunjukan hal itu yakni hadits

“Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat”. Adapun qarinah dari sirah,

sepengetahuan penulis, Taqiyuddin tidak menjelaskan secara mendalam.

Adapun penjelasan lain, justru dapat ditemukan pada karya Syabab79

Hizbut Tahrir Inggris, The Method to Re-Establish the Khilafah. Menurutnya Q.S.

al-Mudatsir : 1-3 “Wahai orang yang berselimut, bangunlah lalu berikanlah

peringatan, dan agungkanlah tuhanmu” adalah ayat yang dijelaskan dalam

perbuatan. Setelah ayat ini turun, rasul hanya melakukan dua hal yaitu menyeru

manusia kepada akidah Islam lalu melakukan pembinaan di rumah al-Arqam bin

Abi al-Arqam.80

Sementara pada tahap kedua, interaksi dengan masyarakat, sebagai

penjelas dari ayat yang status hukumnya wajib pula yaitu Q.S. al-Hijr: 94 “maka

sampaikanlah olehmu secara terang-terangan apa yang telah diperintahkan

(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik”. Ayat ini dijelaskan

78

Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syaksiyah al-Islamiyah al-Juz at-Tsâlits (Beirut : Dâr al-

Ummah, 2003, cet. Kelima), h. 91-99. 79

Sebutan untuk anggota resmi Hizbut Tahrir

80

Syabab HT, Bagaimana Membangung Kembali Negara Khilafah, Penerjemah

Ramadhan Adi, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008, cet. Kedua), h. 118.

Page 99: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

88

dalam bentuk perbuatan yaitu rasul berinteraksi dengan masyarakat, mengemban

Islam kepada masyarakat agar diterapkan melalui kekuasaan. Nabi juga

menentang kekuasaan Quraisy, menentang kesalahan-kesalahan mereka dalam

mengatur kemasyarakatan, menentang budaya-budaya seperti membunuh bayi

hidup-hidup dsb. 81

Adapun aktifitas tholab an-Nushrah, adalah penjelas dari Q.S.

an-An‟am ayat 34,

“Dan sungguh telah didustakan pula para rasul sebelum kamu, namun

mereka bersabar terhadap pendustaan dan penganiayaan terhadap merekea

hingga datanglah pertolongan kami kepada mereka. Tidak ada seorang pun

yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat (janji) Allah. Dan

sesungguhnya telah datang kepadamu sebgaian berita para rasul itu”,

Maka menurut Syabab HT Inggris, ayat ini dijelaskan dalam bentuk

perbuatan yaitu aktifitas nabi yang mendatangi berbagai kabilah seperi Bani

Sayiban bin Tsa‟labah, Bani Sha‟shaah dan beberapa bani lainnya sampai nusrah

itu didapat dari suku Aus dan Khadraj. Semua ayat-ayat di atas mengharuskan

mengetahui waktu turunnya. Sebab setiap kali ayat turun, maka rasul pun segera

melakukannya sesuai tahapan di atas82

Sementara indikasi lain wajibnya mengikuti perbuatan nabi dalam cara

mendirikan negara, ulama ushul fiqh seperti Atho bin Khalil adalah al-Istimrar

ma‟al masyaqah (konsisten dalam kesulitan). Maka meskipun nabi dalam

kesulitan tetapi beliau tetap melakukan aktifitas memperoleh nushroh.

Catatan penulis, penjelasan point ketiga masih menyimpan ketidakjelasan,

apakah tholab an-Nushroh (meminta pertolongan) kepada pihak yang memiliki

kekuatan di tengah masyarakat termasuk perintah jazim atau ghairu jazim, apa

indikasinya. Bisa jadi tholab an-Nushroh pada waktu itu disebabkan

81

Ibid., h. 122. 82

bid., h. 132.

Page 100: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

89

penganiayaan Quraisy misalnya, sehingga bila dikaitkan pada zaman sekarang –

menurut Yusuf Qardawi- tentu tidak relevan sebab dakwah pada saat ini tidak ada

penaniayaan yang berarti sebagaimana dulu.

Dari berbagai penjelasan dan analisa di atas telah nampak bahwa hal ini

termasuk wilayah dilalah ad-Dzan baik yang digali dari Qatiy at-Tsubût atau

Dzan at-Tsubût. Oleh karena dalam wilayah dilalah ad-dhan maka dapat

dipastikan terdapat perbedaan (al-Ikhtilaf). Dan perbedaan dalam perkara dhan

termasuk bentuk rahmat Allah Swt. Wa Allah „alam bil Murodhihi!

Page 101: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

90

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian sekripsi ini, dapat penulis simpulkaln sebagai berikut,

1. Pembentukan Partai Politik Islam untuk meraih kebangkitan, menurut

Taqiyuddin harus mengikuti metode Rasulullah Saw yaitu dengan adanya

at-Tatskif (pembinaan) at-Tafâ’ul ma’a al-Ummah (interaksi dengan

masyarakat) dan istilâm al-Hukm (penyerahan kekuasaan). Sebelum parpol

terbentuk, menurutnya harus ada seseorang yang tertunjuki kepada Mabda

Islam yang kemudian membentuk halqoh kecil, lalu membentuk kutlah-

dan kemudian secara alami terbentuk hizbiyah. Tidak hanya itu, parpol

juga harus bisa mengaitkan pemikiran dan perasaan sehingga memiliki

kader yang ikhlas yang siap mengarungi medan kehidupan. Maka secara

alami kebangkitan pun dapat terwujud di tengah-tengah masyarakat.

2. Pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani sangat besar pengaruhnya terhadap

Hizbut Tahrir Indonesia. Buktinya terdapat keseragaman pola pikir dan

pola gerak HTI dan tidak pernah terjadi perpecahan sebagaimana yang

sering terjadi pada beberapa pergerakan lain. Semua itu karena sebuah

konsep yang bernama Tabani Hukum.

B. Saran

Pada bagian ini, penulis memberikan saran baik secara praktik atau

akademik. Secara praktik, saran pertama ditujukan kepada Hizbut Tahrir

Page 102: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

91

Indonesia. Hendaknya HTI konsisten dalam pergerakannya hingga

mendapatkan kepercayaan masyarakt dan hendaknya HTI meningkatkan

pola gerak dari sekedar ormas menjadi partai politik sebagaimana parpol

lain sehingga memiliki pengaruh yang lebih besar. Adapun saran kedua,

penulis tujukan kepada pemerintah. Hendaknya tidak perlu memandang

bahaya kepada HTI, sebab dalam tataran praktisnya HTI tidak pernah

terlibat dalam kegiatan yang mengancam masyarakat seperti tindakan

kriminal. Tidak hanya itu, hendaknya pemerintah juga memberikan hak

yang sama kepada HTI terutama hak politik agar dapat berperanserta

memberikan masukan kepada pemerintah. Kemudian penulis juga

memberikan saran kepada masyarakat agar saling menghormati perbedaan

selama tidak menimbulkan cacatnya prinsip ajaran Islam. Sehingga dengan

begitu hidup rukun dapat terwujud.

Adapun saran secara akademik, hendaknya tidak menjadikan

skripsi ini satu-satunya referensi terkait diskursus pemikiran politik Islam.

Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan ini. Oleh karena

itu, sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan atau digunakan sebagai

pembanding dengan hasil penelitian lainnya. Dan penulis beharap semoga

tulisan ini membawa manfaat bagi akademisi khususnya dan masyarakat

umumnya.

Page 103: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

92

Daftar Pustaka

Abdillah, Masykuri. Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia. Jakarta:

Gramedia, 2011.

Abdurahman, Hafidz. Diskursus Islam dan Politik. Bogor: Al-Azhar Press, 2007.

Athiyat, Ahmad. Jalan Baru Islam Studi tentang Transformasi dan Kebangkitan

Umat. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2004.

Hamdi ar-Ridho. Partai Politik Islam Teori dan Praktik di Indonesia.

Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Hawari, Muhamad. Politik Partai Meretas Jalan Baru Perjuangan Partai Politik

Islam. Bogor: IDeA Pustaka Utama, 2003.

Husein bin Muhsin, Ali Jabir. Membentuk Jama’atul Muslimin (TT).

Iqbal, Muhamad dan Nasution Amien Husein. Pemikiran Politik Islam dari Masa

Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Prenada Media Group,

2010.

Isy, al-Yusuf. Dinasti Umawiyah Sebuah Perjalanan Lengkap Tentang Peristiwa-

Peristiwa yang Mengawali dan Mewarnai Perjalanan Dinasti Umawiyah.

Penerjemah Iman Nurhidayat dan Muhammad Khalil. Jakarta: Pustaka al-

Kautsar, 2014.

Ismail, Muhammad Mahmud. al-Fikru al-Islamiy. Beirut: al-Wa‟I, 1958.

Kamaruzzaman. Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamen-

Talis. Magelang: IndonesiaTera, 2001.

Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik. Jakarta: Kencana, 2013.

Kasani, al-„Alaudin. Bada’iu as-Shonâi Fî Tartîb as-Syarâ’I. Dâr al-Kutub,

1986 (al-Maktabah as-Syaamilah).

Karim, Zaidan. Abdul Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam. Jakarta :

Yayasan al-Amin, 1984.

Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzîm. Dâr-at-Tayyibah, 1999. (al-Maktabah

as-Syaamilah).

Page 104: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

93

Khaldun, Ibnu. Muqaddimah Ibn Khaldun. Penerjemah Ahmadie Thoha. Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2011.

Mahmud, Ahmad. Dakwah Islam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2009.

Mawardi, Abu al-Hasan. al-Ahkâm as-Shulthôniyah. Mesir : Dâr al-Hadits

Mulia, Musdah. Negara Islam. Depok : KataKita, 2010.

Munawwir, A.W. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya:

Pustaka Progressif, 1997.

Maududi, Abu al-„Ala. Kekhilafahan dan Kerajaan Konsep Pemerintahan Islam

serta Studi Kritis ‘Kerajaan’ Bani Umayyah dan Bani Abbasiah.

Penerjemah Muhammad al-Baqir Bandung: Mizan, 2007.

Mustafa, Ibrahim. Mu’jam al-Wasith. Mesir : Dâr ad-Da‟wah. (al-Maktabah as-

Syaamilah).

Nabhani, at-Taqiyuddin. At-Takatul al-Hizbiy. Beirut: Dâr al-Ummah, 2001.

------- Nidzam al-Islam. Beirut: Dâr al-Ummah, 2001.

------- Pembentukan Partai Politik Islam. Penerjemah Zakaria, Labib, et.all.

Bogor: HTI Press, 2011.

------- Muqaddimah Dustur au al-Asbaab al-Muwajibah lahu al-Juz al-Awal.

Beirut: Dâr al-Ummah, 2009.

------- as-Syaksiyah al-Islamiyah al-Juz al-awwal. Beirut: Dâr al-Ummah, 2005

------- as-Syaksiyah al-Islamiyah al-Juz at-Tsalists. Beirut: Dâr al-Ummah, 2005.

------- Mafâhim Hizb at-Tahrir. Beirut: Dâr al-Ummah, 2001.

------ Mafaahim Hizbut Tahrir. Penerjemah Abdullah. Bogor: HTI Press, 2011.

------- Struktur Negara Khilafah. Penerjemah Yahya Abdurahman. Bogor: HTI

Press, 2005.

Nawawi, Abu Zakaria. Syarh Shahih Muslim. Mesir : Dâr al-Hadîts, 2001.

Qardawi, Yusuf. Fiqh Negara. Penerjemah Syafril Halim. Jakarta: Robbani

Press,1999.

Qurtubi, Muhammad. al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an. Mesir: Dâr al-Kutub,

1964. (al-Maktabah as-Syaamilah).

Page 105: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

94

Rais, Muhammad Dhiauddin. Teori Politik Islam. Penerjemah Abu Hayyie al-

Kattani, et.all. Jakarta : Gema Insani, 2001.

Rodhi, Muhammad Muhsin. Tsakofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam

Mendirikan Negara Khilafah Islamiyah. Bogor: Al-Izzah, 2008.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.

Jakarta: UI Press, 1993.

Shalabi, al-Ali Muhammad. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utmaniyah.

Jakarta: Pustaka al-Kutsar, 2003.

Sitompul, Agussalim. Usaha-Usaha Mendirikan Negara Islam dan

Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia. Jakarta: Penerbit CV Misaka

Galiza, 2008.

Solahudin. NII sampai JI Salafy Jihadisme di Indonesia. Depok: Komunitas

Bambu, 2011.

Suryabrata Sumardi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press, 2003.

Syarif, Mujar Ibnu dan Zada Khamami. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran

Politik Islam. Jakarta: Erlangga, 2008.

Tahir Azhari, Muhammad. Negara Hukum Suatu Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari

Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan

Masa Kini. Jakarta: Prenada Media, 1992.

Thaha, Idris. Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan M.

Amien Rais. Jakarta: Teraju, 2005.

Thobari, al-Muhammad Ibnu Jarir. Jaami al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an. Dâr

al-Hijah, 2001. (al-Maktabah as-Syaamilah).

Tohir Bawazir. Jalan Tengah Demokrasi antara Fundamentalisme dan

Sekulerisme. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015.

Umar bin Ali, Siradz ad-Din. al-lubab Fii Ulum al-Kitab. Beirut: Dâr al-Kutub,

1998. (al-Maktabah as-Syaamilah).

Watt, Montgomery. Fundamentalisme Islam dan Modernitas. Jakarta: PT Raja

Grafindo, 1997.

Yusuf, Taufiq. Pemikiran Politik Kontemporer al-Ikhwan al-Muslimun. Solo: Era

Intermedia, 2003.

Page 106: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

95

Zallum, Abdul Qadim. Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah.

Penerjemah Abu Faiz. Bangil: al-Izzah, 2001.

“Pengalaman Buruk Demokrasi di Dunia Islam.” www.hizbut-tahrir.or.id. Diakses

tanggal 2 Februari 2014.

“Pengalaman Pemilu di al-Jazair.” www.eramuslim.com. berita diakses tanggal 25

Agustus 2009.

“Presiden Sementara Pasca Mursi Dikudeta.” www.republika.co.id. berita diakses

pada tanggal 17 Juli 2014.

Page 107: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 108: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 109: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 110: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

96

Hasil Wawancara

Narasumber : Ir. Ismail Yusanto (Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia)

Pewawancara : Andi Saepudin

Waktu : Senin, 28 September 2015 Pukul 10.30 WIB sd selesai

Tempat : Kantor DPP Hizbut Tahrir Indonesia

Pewawancara : Ust, apakah buku at-Takatul al-Hizbiy karya Taqiyuddin an-

Nabhani termasuk bacaan wajib anggota Hizbut Tahrir Indonesia?

Narasumber : Iya betul. Wajib dibaca oleh anggota HTI dalam halqoh-halqoh.

Pewawancara : Apa tujuan kitab tersebut untuk anggota HTI?

Narasumber : Agar anggota HTI memiliki pemahaman yang khas bagaimana

sebuah partai politik dibentuk, termasuk definisi politik itu

sendiri. Sebab, selama ini banyak juga yang memandang parpol

itu ya berarti ikut pemilu dan lain sebagainya.

Pewawancara : Kita mengetahui buku tersebut berisi bagaimana pembentukan

partai politik yang mampu membangkitkan umat, lalu apakah

dapat dijumpai buku sejenis dari penulis lain, bila ada, apa

persamaan dan perbedaannya?

Narasumber : Rasanya tidak ada, sebab buku tersebut memang khas dan konklusi

dari pemikiran HT tentang pembentukan sebuah parpol, ini khas.

Pewawancara : Salah satu topiK pembahasan dalam buku itu adalah thalab an-

Nushroh, atau meminta pertolongan kepada pihak pemiliki

kekuasaan rill di tengah masyarakat, apakah hal itu telah

dilakukan oleh anggota HTI dan apa contohnya?

Page 111: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44952/1/ANDI SAEPUDIN-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

97

Narasumber : Thalab an-Nusroh itu dilakukan oleh pimpinan tertinggi HT, tidak

dilakukan perorangan. Jadi yang dilakukan itu diawali dengan

memberikan pemahaman tentang Islam, Aqidah, Syariah, Dakwah

sampai mendukung kegiatan dakwah itu sendiri.

Pewawancara : Apa tujuan Tatskif (pembinaan) kader, Tafaaul ma’al ummah

(interaksi dengan masyarakat) dalam buku tersebut dan bagaimana

bentuk aktifitasnya?

Narasumber : Pembinaan ya ada dua, ada pembinaan pengkaderan seperti

halqoh, adapula pembinaan umum seperti durusul masaajid,

seminar, tabligh, khutbah dan sebagainya.

Pewawancara : Ust, adakah ada perbedaan aplikasi buku itu antara HTI dengan

HT lainnya di dunia?

Narasumber : Ya tidak ada. Sama di seluruh dunia, justru HT itu gerakan yang

mempunyai konsep yang sama sehingga satu tempat dengan

tempat yang lain tidak ada bedanya.

Pewawancara : Seberapa jauh pengaruh buku tersebut secara internal (terhadap

anggota HTI) dan eksternal (terhadap masyarakat)?

Narasumber : Pengaruh buku itu ya, ke internal. Dan sangat besar. Jadi yang ada

dalam buku itu dilaksanakan, makanya memiliki pengaruh besar.

Termasuk seberapa besar pemahaman anggota HTI terhadap

dakwah, itu mempengaruhi gerakan dakwah juga. Jadi sangat

besar!