-REFRAT-GANGGUAN-PENGHIDU 2

28
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fungsi penghidu dan pengecapan yang normal sangat berperan dalam nutrisi dan penting untuk mempertahankan gaya hidup yang sehat. Gangguan penciuman umumnya sukar didiagnosa dan sukar untuk diobati biasanya karena kurangnya pengetahuan pada individu. Gangguan penciuman bisa sekunder akibat proses perjalanan penyakit atau bisa juga sebagai keluhan primer. Daya menghidu yang hilang atau berkurang terjadi pada kira-kira 1% dari mereka yang berusia di bawah 60 tahun dan lebih dari 50 % pada mereka yang berusia lebih dari 60 tahun. Hilangnya fungsi pembauan dan/atau pengecapan dapat mengancam jiwa penderita karena penderita tak mampu mendeteksi asap saat kebakaran atau tidak dapat mengenali makanan yang telah basi. Karena sekitar 80% gangguan pengecapan merupakan kelainan pembauan yang sejati maka referat ini terutama difokuskan pada fungsi pembauan dan penurunannya. Indera penghidu yang merupakan fungsi nervus olfaktorius (N.I), sangat erat hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V), karena seringkali kedua sensoris ini bekerja bersama-sama, sehingga gangguan pada salah satu indera tersebut biasanya turut mengganggu fungsi indera yang satu lagi. Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius dihidung bagian sepertiga

Transcript of -REFRAT-GANGGUAN-PENGHIDU 2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fungsi penghidu dan pengecapan yang normal sangat berperan dalam nutrisi dan

penting untuk mempertahankan gaya hidup yang sehat. Gangguan penciuman umumnya

sukar didiagnosa dan sukar untuk diobati biasanya karena kurangnya pengetahuan pada

individu. Gangguan penciuman bisa sekunder akibat proses perjalanan penyakit atau bisa

juga sebagai keluhan primer. Daya menghidu yang hilang atau berkurang terjadi pada

kira-kira 1% dari mereka yang berusia di bawah 60 tahun dan lebih dari 50 % pada

mereka yang berusia lebih dari 60 tahun.

Hilangnya fungsi pembauan dan/atau pengecapan dapat mengancam jiwa penderita

karena penderita tak mampu mendeteksi asap saat kebakaran atau tidak dapat mengenali

makanan yang telah basi. Karena sekitar 80% gangguan pengecapan merupakan kelainan

pembauan yang sejati maka referat ini terutama difokuskan pada fungsi pembauan dan

penurunannya.

Indera penghidu yang merupakan fungsi nervus olfaktorius (N.I), sangat erat

hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V),

karena seringkali kedua sensoris ini bekerja bersama-sama, sehingga gangguan pada

salah satu indera tersebut biasanya turut mengganggu fungsi indera yang satu lagi.

Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius dihidung bagian sepertiga atas.

Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid

menuju bulbus olfaktorius didasar fossa kranii anterior.

Partikel bau dapat mencapai reseptor penghidu bila menarik napas dengan kuat atau

partikel tersebut larut dalam lendir yang terdapat di daerah olfaktorius. Gangguan

penghidu akan terjadi bila ada yang menghalangi sampainya partikel bau ke reseptor

saraf atau ada kelainan pada N.olfaktorius, mulai dari reseptor sampai pusat olfaktorius.

Hasil survei tahun 1994 menunjukkan bahwa 2,7 juta penduduk dewasa Amerika

menderita gangguan penghidu, sementara 1,1 juta dinyatakan menderita gangguan

pengecapan. Penelitian yang dilakukan sebelumnya menemukan bahwa 66% penduduk

merasakan bahwa mereka pernah mengalami penurunan ketajaman pembauan.

1.2 Tujuan Penulisan

Mengetahui anatomi hidung, fisiologi penciuman, etiologi, diagnosis,

penatalaksanaan, dan prognosis gangguan penghidu.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi

Gangguan penghidu adalah gangguan dari saraf olfaktorius, yang merupakan saraf

untuk menghidu. Gangguan penghidu disebut dengan osmia. Gangguan pembauan dapat

bersifat total (seluruh bau), parsial (hanya sejumlah bau), atau spesifik (hanya satu atau

sejumlah kecil bau).

2.2 Anatomi Hidung

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah adalah

pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, alar nasi, kolumela dan lubang

hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan

yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk

melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang

hidung (os nasalis), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal,

sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang

terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior,

sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar

mayor,  beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum.

Gambar 1 :Anatomi Hidung Luar

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,

dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.

Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang

3

belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan

nasofaring.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang

disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,

medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar

hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)

duktus nasolakrimalis.

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os

palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina

kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung.

Gambar 2: Kavum Nasi

2.2.1 Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis

anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dan n.oftalmikus

(N.V-1). Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah

bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada rnukosa

olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

4

Gambar 3: Nervus olfaktorius

2.2.2 Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas

mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).

Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya

dilapisi oleh epitel toraks berlapis semu (pseudostratified columnar epitelium) yang

mempunyai silia dan di antaranya terdapat sel-sel goblet.

  

Gambar 4 : Mukosa hidung

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius

pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau

dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik

napas dengan kuat. Mukosa olfaktorius terdapat pada atap rongga hidung, konka

superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa ini dilapisi oleh epitel torak berlapis

semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya

dibentuk oleh tiga macam sel yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu.

5

Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. Di antara sel-sel reseptor

(neuron) terdapat banyak kelenjar Bowman penghasil mukus (air, mukopolisakarida,

enzim, antibodi, garam-garam dan protein pengikat bau). Sejumlah besar kelenjar

Bowman terdapat dalam lamina propria pada region olfaktorius. Sel-sel reseptor bau

merupakan satu-satunya sistem saraf pusat yang dapat berganti secara regular (4-8

minggu).

Gambar 5: Mukosa penghidu

Sistem olfaktorius terdiri dari mukosa olfaktorius pada bagian atas kavum nasal, fila

olfaktoria, bulbus subkalosal pada sisi medial lobus orbitalis. Saraf ini merupakan saraf

sensorik murni yang serabut-serabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan

menembus area kribriformis dari tulang etmoidal untuk bersinaps di bulbus olfaktorius,

dari sini, traktus olfaktorius berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus

temporal bagian medial sisi yang sama. Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas

rongga hidung di dekat cribiform plate, septum nasi superior dan dinding nasal

superolateral. Struktur ini merupakan neuroepitelium pseudostratified khusus yang

didalamnya terdapat reseptor olfaktorius utama.

Variasi menghidu pada individu mencirikan struktur region penghidu, perbedaan ini

berhubungan dengan ketebalan mukosa (biasanya sekitar 60 mikron), ukuran sel dan

vesikel olfaktorius. Epitelium olfaktorius terdiri atas tiga lapisan sel yaitu saraf bipolar

olfaktorius, sel sustentakular penyokong yang besar jumlahnya dan sejumlah sel basal.

Sel-sel olfaktorius merupakan suatu neuron bipolar. Ujung distal sel ini merupakan

suatu dendrit yang telah mengalami modifikasi yang menonjol di atas permukaan epitel

membentuk vesikel olfaktorius. Silia berdiri di atas tonjolan mukosa yang dinamakan

vesikel olfaktorius dan masuk ke dalam lapisan sel-sel reseptor olfaktoria. Pada

permukaan vesikel terdapat 10 sampai 15 silia nonmotil. Ujung proksimal sel

membentuk akson, di mana akson ini bergabung dengan akson lainnya membentuk

neuron olfaktorius.

6

Neuron olfaktorius mempunyai akson yang tidak bermielin, akson dari sensosel

dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang melalui lamina kribrosa ke

dalam bulbus olfaktorius. Bulbus olfaktorius terletak di basal lobus frontalis. Bulbus

olfaktorius terdiri atas beberapa lapisan ( dari luar ke dalam bulbus), yaitu lapisan

gromerular, lapisan pleksiformis eksternalis, lapisan sel mitral, lapisan pleksiformis

internal dan lapisan sel granula. Di dalam bulbus olfaktorius terjadi sinaps dengan

dendrit neuron kedua. Akson-akson neuron kedua membentuk traktus olfaktorius, yang

berjalan ke otak untuk berhubungan dengan sejumlah nuklei, fasikuli dan traktus

lainnya.

 Gambar 6: Area olfaktorius

2.3 Fisiologi Penciuman

Sensasi penghidu diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh zat - zat

kimia yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul

yang terdapat dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang

cukup turbulen dan bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan

efektivitas stimulasi bau meliputi durasi, volume dan kecepatan menghirup. Tiap sel

reseptor olfaktorius merupakan neuron bipolar sensorik utama.

Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron

olfaktorius bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang

terletak dibawahnya. Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari. 

Pada inspirasi dalam, molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius

sehingga sensasi bau bisa tercium. Terdapat beberapa syarat zat-zat yang dapat

menyebabkan perangsangan penghidu yaitu zat-zat harus mudah menguap supaya mudah

7

masuk ke dalam kavum nasi, zat-zat harus sedikit larut dalam air supaya mudah melalui

mukus dan zat-zat harus mudah larut dalam lemak karena sel-sel rambut olfaktoria dan

ujung luar sel-sel olfaktoria terdiri dari zat lemak.

Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang berada

pada permukaan membran. Molekul bau yang larut dalam mukus akan terikat oleh

protein spesifik (G-PCR). G-protein ini akan terstimulasi dan mengaktivasi enzim

Adenyl Siklase. Aktivasi enzim Adenyl Siklase mempercepat konversi ATP kepada

cAMP. Aksi cAMP akan membuka saluran ion Ca++, sehingga ion Ca++ masuk ke dalam

silia menyebabkan membran semakin positif, terjadi depolarisasi hingga menghasilkan

aksi potensial. Aksi potensial pada akson-akson sel reseptor menghantar sinyal listrik ke

glomeruli (bulbus olfaktorius). Di dalam glomerulus, akson mengadakan kontak dengan

dendrit sel-sel mitral. Akson sel-sel mitral kemudiannya menghantar sinyal ke korteks

piriformis (area untuk mengidentifikasi bau), medial amigdala dan korteks enthoris

(berhubungan dengan memori).

Gambar 7 :Transduksi sinyal olfaktori

8

Transmisi Sensasi Bau

2.4. Gangguan Penghidu

Macam-macam kelainan penghidu :

Agnosia : tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderita

dapat mendeteksi bau.

Anosmia : tidak bisa mendeteksi bau. Anosmia dapat timbul akibat trauma di

daerah frontal atau oksipital, setelah infeksi oleh virus, tumor, proses

degenerasi pada orang tua.

Hiposmia : penurunan kemampuan dalam mendeteksi bau

Hiperosmia : peningkatan sensistivitas mendeteksi bau

Disosmia : distorsi identifikasi bau

Parosmia : perubahan persepsi pembauan meskipun terdapat sumber bau, biasanya

bau tidak enak, biasanya disebabkan oleh trauma.

Kakosmia : timbul pada epilepsi unsinatus, lobus temporalis, kelainan psikologik

atau kelainan psikiatri seperti depresi dan psikosis

Phantosmia : persepsi bau tanpa adanya sumber bau

Presbiosmia : penurunan atau kehilangan persepsi pembauan yang terjadi pada orang

tua

9

2.5 Etiologi dan Patogenesis

2.5.1 Disfungsi pembauan

Gangguan pembauan dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di sepanjang

jalur olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan pendengaran yaitu

berupa defek konduktif atau sensorineural. Pada defek konduktif (transport) terjadi

gangguan transmisi stimulus bau menuju neuroepitel olfaktorius. Pada defek

sensorineural prosesnya melibatkan struktur saraf yang lebih sentral. Secara

keseluruhan, penyebab defisit pembauan yang utama adalah penyakit pada rongga

hidung dan/atau sinus, sebelum terjadinya infeksi saluran nafas atas karena virus; dan

trauma kepala.

1. Defek konduktif

a. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan.

Kelainannya meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe,

termasuk rhinitis alergika, akut, atau toksik (misalnya pada pemakaian kokain).

Penyakit sinusitis kronik seringkali diikuti dengan penurunan fungsi pembauan

meski telah dilakukan intervensi medis, alergis dan pembedahan secara agresif.

b. Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi

aliran odorant ke epitel  olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling

sering), inverting papilloma, dan keganasan.

c. Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat

menyebabkan obstruksi.

d. Pasien pasca laringektomi atau trakeotomi dapat menderita hiposmia karena

berkurang atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak

dengan trakeotomi dan dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam

jangka waktu yang lama kadang tetap menderita gangguan pembauan meski

telah dilakukan dekanulasi. Hal ini terjadi karena tidak adanya stimulasi sistem

olfaktorius pada usia yang dini.

2. Defek sentral/sensorineural

a. Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada

transmisi sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel),

sarkoidosis (mempengaruhi stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan

sklerosis multipel.

10

b. Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman

syndrome ditandai oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur

olfakorius dan hipogonadisme hipogonadotropik.

c. Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada

fungsi pembauan.

d. Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat

menyebabkan regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus

dan mengakibatkan anosmia.

e. Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan

sistemik atau inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyak obat-obatan dan

senyawa yang dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin,

bahan terlarut organik, dan pengolesan garam zink secara langsung.

f. Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi

pembauan.

g. Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun.

Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena

berkurangnya sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi

proses kognitif di susunan saraf pusat.

h. Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer

disease, proses penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus

Alzheimer disease, hilangnya fungsi pembauan kadang merupakan gejala

pertama dari proses penyakitnya. Sejalan dengan proses penuaan, berkurangnya

fungsi pembauan lebih berat daripada fungsi pengecapan, dimana penurunannya

nampak paling menonjol selama usia dekade ketujuh.

2.6 Diagnosis

Tahapan pertama dalam mendiagnosis adalah melakukan anamnesis dan pemeriksaan

fisik secara menyeluruh. Berikan penekanan khusus pada riwayat ISPA, patologi hidung

atau sinus, riwayat trauma, masalah medis lainnya, dan obat-obatan yang diminum.

Lakukan CT scan jika dipandang perlu. Seringkali dianjurkan untuk melakukan

pemeriksaan MRI apabila riwayat penyakitnya tidak mendukung atau ditemukan gejala

dan tanda neurologis sekunder.

11

2.6.1 Tanda dan Gejala

Anosmia unilateral jarang menjadi keluhan. Anosmia hanya dapat dikenali dengan

menguji bau secara terpisah pada masing-masing lubang hidung. Anosmia bilateral, di

lain pihak, membuat pasien mencari pertolongan dokter. Pasien-pasien anosmik

biasanya mengeluhkan hilangnya kemampuan merasa meskipun ambang rasanya

mungkin berada pada kisaran normal. Pada kenyataannya, mereka mengeluhkan

hilangnya deteksi rasa, yang sebagian besar merupakan fungsi dari penciuman.

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara teliti dan menyeluruh yang meliputi

pemeriksaan telinga, hidung, kepala dan leher. Pemeriksaan tersebut berguna untuk

mengidentifikasi jenis dan asal kelainan.

a. Konduktif

Pemeriksaan ini untuk menilai ada atau tidaknya massa atau polip, perdarahan

dan bekuan darah, deviasi septum atau adanya fraktur pada tulang kribriformis yang

biasa dijumpai pada trauma kepala yang menghalangi aliran udara ke sel epitel

olfaktori. Adanya inflamasi atau iritasi mukosa hidung yang bisa disebabkan oleh

allergen, bakteri, virus ataupun bahan iritan juga bisa mengakibatkan gangguan

konduktif

Selain pemeriksaan hidung, pemeriksaan telinga juga bisa dilakukan untuk

memastikan otitis media serosa yang menandakan adanya massa atau inflamasi pada

nasofaring. Massa nasofaring yang menonjol ke rongga mulut atau drainase purulen

di orofaring dapat ditemukan pada pemeriksaan mulut. Leher harus dipalpasi untuk

mencari massa atau pembesaran tiroid.

b. Sensorineural

Pemeriksaan sensorik fungsi penciuman dibutuhkan untuk (1) memastikan

keluhan pasien, (2) mengevaluasi kemanjuran terapi, dan (3) menentukan derajat

gangguan permanen.

1. Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif. Langkah pertama dalam

pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat sejauh mana keberadaan

sensasi kualitatif. Beberapa metode sudah tersedia untuk pemeriksaan

penciuman diantaranya :

a) Tes Odor stix – Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol

yang menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6

12

inci dari hidung pasien untuk memeriksa persepsi bau oleh pasien secara

kasar.

b) Tes alkohol 12 inci – Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap

bau, tes alkohol 12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru

saja dibuka dan dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien.

c) Scratch and sniff card (Kartu gesek dan cium) – Tersedia scratch and sniff

card yang mengandung 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar.

The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT) – Tes

yang jauh lebih baik dibanding yang lain adalah UPSIT; ia sangat

dianjurkan untuk pemeriksaan pasien dengan gangguan penciuman. Tes ini

menggunakan 40 item pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch and

sniff berkapsul mikro. Sebagai contoh, salah satu itemnya berbunyi “Bau

ini paling mirip seperti bau (a) coklat, (b) pisang, (c) bawang putih, atau (d)

jus buah,” dan pasien diharuskan menjawab salah satu dari pilihan jawaban

yang ada. Tes ini sangat reliabel (reliabilitas tes-retes jangka pendek r =

0,95) dan sensitif terhadap perbedaan usia dan jenis kelamin. Tes ini

merupakan penentuan kuantitatif yang akurat untuk derajat relatif defisit

penciuman. Orang-orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya

akan mencapai skor pada kisaran 7-19 dari maksimal 40. Skor rata-rata

untuk pasien-pasien anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding yang

diperkirakan menurut peluang saja karena dimasukannya sejumlah bau-

bauan yang beraksi melalui rangsangan trigeminal.

2. Langkah ke-dua menentukan ambang deteksi. Setelah dokter menentukan

derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua pada

pemeriksaan sensorik adalah menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol

feniletil. Ambang ini ditetapkan menggunakan rangsangan bertingkat.

Sensitivitas untuk masing-masing lubang hidung ditentukan dengan ambang

deteksi untuk fenil-teil metil etil karbinol. Tahanan hidung juga dapat diukur

dengan rinomanometri anterior untuk masing-masing sisi hidung.Sebenarnya

pemeriksaan olfaktorius dapat juga terbagi menjadi 2 macam yaitu pemeriksaan

olfaktorius subjektif dan objektif. Pada pemeriksaan olfaktorius subjektif,

pelbagai bahan diletakkkan di depan hidung penderita secara terpisah antara

kedua lubang hidung sebelum dan setelah dekongesti dari mukosa hidung.

Beberapa jenis substansi digunakan, yaitu yang mempunyai bau yang akan

13

menstimulasi hanya nervus olfaktorius (kopi, coklat, vanilla, lavender),

substansi yang menstimulasi komponen trigeminal (menthol, asam asetat), serta

substansi yang turut mempunyai komponen pengecapan (kloroform piridine).

Pemeriksaan olfaktorius subjektif juga bisa dilakukan menggunakan alat test

yang siap pakai, misalnya Sniffin’ Sticks. Sniffin’ Sticks menggunakan

sejumlah stik n-butanol yang berbentuk seperti pen dan mengandung bau

dengan konsentrasi yang berbeda. Melalui penggunaan alat ini, kemampuan

mendeteksi bau, membedakan bau-bau yang berlainan serta kemampuan

mengidentifikasi bau dapat dinilai. Pasien yang dites akan ditutup matanya,

kemudian pemeriksa akan meminta pasien menghidu tiga stik, dimana antara

ketiga-tiga stik tersebut hanya satu stik yang mempunyai bau. Jika pasien tidak

bisa mendeteksi sembarang bau atau mengidentifikasi stik yang salah, maka

digunakan stik dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Konsentrasi stik yang

diberikan akan terus meningkat sehingga pasien dapat mengidentifikasi dengan

benar paling kurang dua kali. Setelah itu dinilai pada konsentrasi yang mana

pasien bisa mendeteksi bau tersebut dengan benar. Tes ini hanya memerlukan

waktu 10 menit dan mudah dilakukan. Pemeriksaan olfaktorius objektif jauh

lebih mahal dibanding pemeriksaan subjektif dan biasanya dilakukan di pusat-

pusat yang lebih besar. Bau murni serta stimulan nervus trigeminus diberikan

kepada pasien secara terpisah, kemudian respon yang terjadi diukur dan

dianalisis menggunakan komputer. Pemeriksaan laboratorium yang biasa

dilakukan adalah tes gula darah, tes reduksi urin dan lain- lain.

2.6.3 Temuan Laboratorium

Walau tidak dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium standar namun

dapat dilakukan pemeriksaan alergi, DM, fungsi tiroid, fungsi ginjal dan hepar, fungsi

endokrin, dan defisiensi gizi berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Telah

dikembangkan teknik-teknik untuk biopsi neuroepitelium olfaktorius. Namun, karena

degenerasi neuroepitelium olfaktorius yang luas dan interkalasi epitel pernapasan pada

daerah penciuman orang dewasa tanpa disfungsi penciuman yang jelas, material biopsi

harus diinterpretasikan dengan hati-hati.

Pencitraan

CT scan atau MRI kepala dibutuhkan untuk menyingkirkan neoplasma pada fossa

kranii anterior, fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga sebelumnya, sinusitis

14

paranasalis, dan neoplasma pada rongga hidung dan sinus paranasalis. Kelainan tulang

paling bagus dilihat melalui CT, sedangkan MRI bermanfaat untuk mengevaluasi

bulbus olfaktorius, ventrikel, dan jaringan-jaringan lunak lainnya di otak. CT koronal

paling baik untuk memeriksa anatomi dan penyakit pada lempeng kribiformis, fossa

kranii anterior, dan sinus.

2.7 Penatalaksanaan

Hiposmia yang hilang timbul dan bervariasi derajatnya dapat disebabkan oleh rhinitis

vasomotor, rhinitis alergi atau sinusitis. Keluhan ini dapat hilang bila penyebabnya

diobati. Pada polip nasi, tumor hidung rhinitis kronis spesifik (rhinitis atrofi, sifilis, lepra,

skleroma, tuberkulosis) terjadi hiposmia akibat dari sumbatan, yang akan hilang bila

penyakitnya diobati.

Rinitis medikamentosa akibat dari pemakaian obat tetes hidung menyebabkan

hiposmia atau anosmia yang akan sembuh bila pemakaian obat-obatan penyebabnya

dihentikan.Tumor n.olfaktorius bentuknya mirip polip nasi. Diagnosis pasti berdasarkan

pemeriksaaan histologi dan diterapi dengan pembedahan.

Faktor usia lanjut dapat menyebabkan berkurang atau hilangnya daya penghidu,

terutamanya tidak mampu menghidu zat yang berbentuk gas. Kelainan ini tidak dapat

diobati.

Trauma kepala ringan atau berat dapat menimbulkan anosmia. Trauma dapat

mengenai daerah oksipital atau frontal. Pada pascatrauma, dapat terjadi parosmia, yaitu

penciuman bau sangat berbeda dengan yang seharusnya dan biasanya tercium bau yang

tidak enak dan kadang-kadang sensasi bau ini timbul secara spontan. Kelainan penghidu

ini mungkin dapat sembuh, yang akan terjadi dalam beberapa minggu setelah trauma.

Bila setelah tiga bulan tidak membaik, berarti prognosisnya buruk.

Tumor intrakranial yang menekan n.olfaktorius mula-mula akan menaikkan ambang

penghidu dan mungkin akan menimbulkan masa kelelahan penghidu yang makin lama

makin memanjang. Osteomata atau meningiomata di dasar tengkorak atau sinus

paranasalis dapat menimbulkan anosmia unilateral. Tumor lobus frontal selain

menyebabkan gangguan penghidu sering juga disertai dengan gejala lain, yaitu gangguan

penglihatan, sakit kepala dan kadang-kadang kejang lokal.

Epilepsi lobus temporal dapat didahului oleh aura penghidu. Seringkali halusinasi bau

yang timbul adalah bau busuk atau bau sesuatu yang terbakar, jarang yang bau wangi.

Gejala ini tidak menetap.

15

Kelainan psikologik seperti rendah diri mungkin menyebabkan merasa bau badan atau

bau napas sendiri. Pasien setelah diperiksa, bila ternyata tidak ada kelainan perlu

diyakinkan dan dihilangkan gangguan psikologiknya. Kelainan psikiatrik seperti depresi,

skizofrenia atau demensia senilis dapat menimbulkan halusinasi bau. Kasus demikian

perlu dirujuk ke seorang psikiater. Kadang-kadang ada keluhan hilangnya penghidu pada

pasien hysteria atau berpura-pura (malingering) pascaoperasi hidung atau trauma. Bila

diperiksa biasanya pasien mengatakan tidak dapat mendeteksi ammonia.

Terapi

1. Hiposmia Konduktif

Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran akibat rinitis alergi,

rinitis dan sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan struktural pada

rongga hidung dapat dilakukan secara rasional dan dengan kemungkinan perbaikan

yang tinggi. Terapi berikut ini seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap

bau yaitu pengelolaan alergi, terapi antibiotik, terapi glukokortikoid sistemik dan

topikal dan operasi untuk polip nasal, deviasi septum nasal, dan sinusitis hiperplastik

kronik.

2. Hiposmia Sensorineural

Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi kurang penciuman

sensorineural. Untungnya, penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian dokter

menganjurkan terapi zink dan vitamin. Defisiensi zink yang mencolok tidak diragukan

lagi dapat menyebabkan kehilangan dan gangguan sensasi bau, namun bukan

merupakan masalah klinis kecuali di daerah-daerah geografik yang sangat

kekurangan. Terapi vitamin sebagian besar dalam bentuk vitamin A. Degenerasi epitel

akibat defisiensi vitamin A dapat menyebabkan anosmia, namun defisiensi vitamin A

bukanlah masalah klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat. Pajanan pada

rokok dan bahan-bahan kimia beracun di udara yang lain dapat menyebabkan

metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan spontan dapat terjadi bila faktor

pencetusnya dihilangkan; karenanya, konseling pasien sangat membantu pada kasus-

kasus ini.

2.8 Prognosis

Hasil akhir disfungsi penciuman sebagian besar bergantung pada etiologinya.

Disfungsi penciuman akibat sumbatan yang disebabkan oleh polip, neoplasma,

pembengkakan mukosa, atau deviasi septum dapat disembuhkan. Bila sumbatan tadi

16

dihilangkan, kemampuan penciuman semestinya kembali. Sebagian besar pasien yang

kehilangan indra penciumannya selama menderita infeksi saluran napas bagian atas

sembuh sempurna kemampuan penciumannya; namun, sebagian kecil pasien tak pernah

sembuh setelah gejala-gejala ISPA lainnya membaik. Karena alasan-alasan yang belum

jelas, pasien-pasien ini sebagian besar adalah wanita pada dekade keempat, kelima, dan

keenam kehidupannya. Prognosis penyembuhannya biasanya buruk. Kemampuan dan

ambang pengenalan bau secara progresif turun seiring bertambahnya usia. Trauma

kepala di daerah frontal paling sering menyebabkan kurang penciuman, meskipun

anosmia total lima kali lebih sering terjadi pada benturan terhadap oksipital.

Penyembuhan fungsi penciuman setelah cedera kepala traumatik hanyalah 10% dan

kualitas kemampuan penciuman setelah perbaikan biasanya buruk. Pajanan terhadap

racun-racun seperti rokok dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman.

Penyembuhan dapat terjadi dengan penghilangan bahan penyebabnya.

17

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Fungsi penghidu dan pengecapan yang normal sangat berperan dalam nutrisi dan

penting untuk mempertahankan gaya hidup yang sehat. Gangguan penciuman umumnya

sukar didiagnosa dan sukar untuk diobati biasanya karena kurangnya pengetahuan pada

individu.

Dalam menegakan diagnosis pasien dengan gangguan penghidu perlu dilakukan

anamnesis yang cermat untuk mencari lama keluhan, unilateral atau bilateral, riwayat

trauma, masalah medis lainnya, dan obat-obatan yang telah diminum. Pemeriksaan fisik

harus meliputi pemeriksaan lengkap pada telinga, saluran napas bagian atas, kepala, dan

leher.Kelainan pada masing-masing daerah kepala dan leher dapat menyebabkan

disfungsi penciuman. Pemeriksaan sensorik fungsi penciuman sangat penting guna

memastikan adanya keluhan gangguan penciuman sedangkan pencitraan lebih bersifat

penunjang untuk memastikan adanya gangguan anatomis atau keganasan. Semua

anamnesis dan pemeriksaan diatas dapat menolong kita dalam menyimpulkan penyebab

dari gangguan penghidu sehingga dapat ditatalaksana gangguan penghidu tersebut

berdasarkan penyebabnya.

18

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga – Hidung- Tenggorok –

Kepala leher, 2007, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.

2. Adams, Boeis, Higler, Buku Ajar Penyakit THT BOIES, Edisi ke – 6, 1997, Penerbit

Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

3. Sylvia AP, Lorraine MW, Patofisiologi Konsep Klinis Prses-Proses Penyakit, Edisi ke-

6,Volume-2, 2006, Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

4. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi kedokteran. Edisi ke-11.2010.

19