pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal...

116
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan ISSN 0216-9959 Volume 35 Nomor 3 2016 DAFTAR ISI Evaluasi Mutu Beras dalam Penentuan Pola Preferensi Konsumen terhadap Beras di Pulau Jawa ................................................................ 163 Zahara Mardiah, Ami Teja Rakhmi, S. Dewi Indrasari, dan Bram Kusbiantoro Preferensi Konsumen pada Beras Berlabel Jaminan Varietas untuk Hipa 8, Ciherang, dan Inpari 13 .............................................................. 173 Siti Dewi Indrasari, Purwaningsih, Erni Apriyati, dan Shinta Dewi Ardhiyanti Responses of Selected Indonesian Rice Varieties under Excess Iron Condition in Media Culture at Seedling Stage ..................................... 181 Yudhistira Nugraha, Indrastuti A. Rumanti, Agus Guswara, Sintho Wahyuning Ardie, Suwarno, Munif Ghulammahdi, Hajrial Aswidinnoor Seleksi Fenotipe Populasi Padi Gogo untuk Hasil Tinggi, Toleran Alumunium dan Tahan Blas di Tanah Masam ...................................... 191 Enung Sri Mulyaningsih, Ambar Yuswi Perdani , Sri Indrayani, dan Suwarno Keragaman Genetik dan Penampilan Jagung Hibrida Silang Puncak pada Kondisi Cekaman Kekeringan ..................................................... 199 Muhammad Azrai, Roy Efendi, Suwarti, dan R. Heru Praptana Analisis Keunggulan Kompetitif Ubi Kayu terhadap Jagung dan Kedelai di Kabupaten Lampung Tengah .............................................. 209 Robet Asnawi dan Made Jana Mejaya Perbedaan Kebutuhan Nitrogen untuk Produksi Kedelai di Tanah Mineral dan Mineral Bergambut dengan Budi Daya Jenuh Air 217 Bachtiar, Munif Ghulamahdi, Maya Melati, Dwi Guntoro, dan Atang Sutandi Kompatibilitas Fungi Mikoriza Arbuskular dengan Tanaman Kedelai pada Budi Daya Jenuh Air ...................................................................... 229 Ridwan Muis, Munif Ghulamahdi, Maya Melati, Purwono, and Irdika Mansur Pengaruh Interaksi Antara Dosis Pupuk dan Populasi Tanaman terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kacang Hijau pada Lahan Kering Beriklim Kering ........................................................................................ 239 Henny Kuntyastuti dan Sri Ayu Dwi Lestari Pengantar Varietas unggul padi yang diadopsi petani umumnya disukai banyak konsumen karena menyangkut harga dan kemudahan pemasaran. Dalam Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan (PP) ini terungkap preferensi konsumen beras di beberapa kota besar di Jawa dan tingkat kesukaan konsumen terhadap varietas unggul populer. Respon varietas padi pada kondisi keracunan besi dan seleksi populasi padi gogo toleran aluminium dan tahan blas telah terungkap pula melalui penelitian di laboratorium dan lapangan. Jagung hibrida yang berkembang di petani umumnya tidak toleran kekeringan. Jagung hibrida silang puncak menunjukkan toleransinya terhadap cekaman kekeringan. Di Lampung Tengah, usahatani ubi kayu memiliki keunggulan komparatif dibanding jagung dan kedelai. Topik tulisan hasil penelitian primer lainnya yang mengisi Jurnal PP kali ini adalah kebutuhan N dan peranan mikoriza arbuskular pada kedelai dengan budi daya jenuh air, dan pengaruh interaksi pupuk dan populasi tanaman terhadap hasil kacang hijau pada lahan kering beriklim kering. Redaksi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TANAMAN PANGAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN BOGOR, INDONESIA Akreditasi: 646/AU3/P2MI-LIPI/2015 Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan merupakan publikasi yang me- muat makalah ilmiah primer hasil peneliti- an tanaman pangan (padi dan palawija). Redaksi mengutamakan makalah dari peneliti lingkup Puslitbang Tanaman Pangan dan menerima makalah dari semua institusi penelitian tanaman pangan lainnya di Indonesia, termasuk perguruan tinggi, LIPI dan BATAN. Makalah yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan dari pimpinan instansi masing-masing. Ketentuan penulisan makalah untuk dapat dimuat di jurnal ini tertera dalam "Petunjuk bagi Penulis" di halaman terakhir.

Transcript of pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal...

Page 1: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

Penelitian PertanianTanaman Pangan ISSN 0216-9959

Volume 35 Nomor 3 2016

DAFTAR ISI

Evaluasi Mutu Beras dalam Penentuan Pola Preferensi Konsumenterhadap Beras di Pulau Jawa ................................................................ 163Zahara Mardiah, Ami Teja Rakhmi, S. Dewi Indrasari, dan BramKusbiantoro

Preferensi Konsumen pada Beras Berlabel Jaminan Varietas untukHipa 8, Ciherang, dan Inpari 13 .............................................................. 173Siti Dewi Indrasari, Purwaningsih, Erni Apriyati, dan Shinta DewiArdhiyanti

Responses of Selected Indonesian Rice Varieties under Excess IronCondition in Media Culture at Seedling Stage ..................................... 181Yudhistira Nugraha, Indrastuti A. Rumanti, Agus Guswara, SinthoWahyuning Ardie, Suwarno, Munif Ghulammahdi, HajrialAswidinnoor

Seleksi Fenotipe Populasi Padi Gogo untuk Hasil Tinggi, ToleranAlumunium dan Tahan Blas di Tanah Masam ...................................... 191Enung Sri Mulyaningsih, Ambar Yuswi Perdani , Sri Indrayani, danSuwarno

Keragaman Genetik dan Penampilan Jagung Hibrida Silang Puncakpada Kondisi Cekaman Kekeringan ..................................................... 199Muhammad Azrai, Roy Efendi, Suwarti, dan R. Heru Praptana

Analisis Keunggulan Kompetitif Ubi Kayu terhadap Jagung danKedelai di Kabupaten Lampung Tengah .............................................. 209Robet Asnawi dan Made Jana Mejaya

Perbedaan Kebutuhan Nitrogen untuk Produksi Kedelai diTanah Mineral dan Mineral Bergambut dengan Budi Daya Jenuh Air 217Bachtiar, Munif Ghulamahdi, Maya Melati, Dwi Guntoro, danAtang Sutandi

Kompatibilitas Fungi Mikoriza Arbuskular dengan Tanaman Kedelaipada Budi Daya Jenuh Air ...................................................................... 229Ridwan Muis, Munif Ghulamahdi, Maya Melati, Purwono, and IrdikaMansur

Pengaruh Interaksi Antara Dosis Pupuk dan Populasi Tanamanterhadap Pertumbuhan dan Hasil Kacang Hijau pada Lahan KeringBeriklim Kering ........................................................................................ 239Henny Kuntyastuti dan Sri Ayu Dwi Lestari

Pengantar

Varietas unggul padi yang diadopsi petaniumumnya disukai banyak konsumenkarena menyangkut harga dan kemudahanpemasaran. Dalam Jurnal PenelitianPertanian Tanaman Pangan (PP) initerungkap preferensi konsumen beras dibeberapa kota besar di Jawa dan tingkatkesukaan konsumen terhadap varietasunggul populer. Respon varietas padi padakondisi keracunan besi dan seleksi populasipadi gogo toleran aluminium dan tahan blastelah terungkap pula melalui penelitian dilaboratorium dan lapangan.

Jagung hibrida yang berkembang dipetani umumnya tidak toleran kekeringan.Jagung hibrida silang puncak menunjukkantoleransinya terhadap cekaman kekeringan.Di Lampung Tengah, usahatani ubi kayumemiliki keunggulan komparatif dibandingjagung dan kedelai.

Topik tulisan hasil penelitian primerlainnya yang mengisi Jurnal PP kali ini adalahkebutuhan N dan peranan mikorizaarbuskular pada kedelai dengan budi dayajenuh air, dan pengaruh interaksi pupuk danpopulasi tanaman terhadap hasil kacanghijau pada lahan kering beriklim kering.

Redaksi

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TANAMAN PANGANBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

BOGOR, INDONESIA

Akreditasi: 646/AU3/P2MI-LIPI/2015

Jurnal Penelitian Pertanian TanamanPangan merupakan publikasi yang me-muat makalah ilmiah primer hasil peneliti-an tanaman pangan (padi dan palawija).

Redaksi mengutamakan makalah daripeneliti lingkup Puslitbang Tanaman Pangandan menerima makalah dari semua institusipenelitian tanaman pangan lainnya diIndonesia, termasuk perguruan tinggi, LIPIdan BATAN. Makalah yang dikirimkanhendaknya sudah mendapat persetujuandari pimpinan instansi masing-masing.

Ketentuan penulisan makalah untukdapat dimuat di jurnal ini tertera dalam"Petunjuk bagi Penulis" di halaman terakhir.

Page 2: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id
Page 3: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

MARDIAH ET AL.: PREFERENSI KONSUMEN TERHADAP BERAS DI PULAU JAWA

163

Evaluasi Mutu Beras untuk Menentukan Pola Preferensi Konsumendi Pulau Jawa

Grain Quality Evaluation to Determine Consumer Preferences Pattern of Ricein Java Islands

Zahara Mardiah*, Ami Teja Rakhmi, S. Dewi Indrasari, dan Bram Kusbiantoro

Balai Besar Penelitian Tanaman PadiJl. Raya IX Sukamandi Subang, Jawa Barat, Indonesia

Telp. (0260) 520157 ; Fax 520158*Email: [email protected]

Naskah diterima 29 Januari 2016, direvisi 15 November 2016, disetujui 2 Desember 2016

ABSTRACT

Java is the most populated area as well as the highest consumersof rice in Indonesia. Until now, rice widely grown in Java is stilldominated by Ciherang. This research aimed to study the patternsof rice consumer preferences in Java to be used as one of mainconsiderations for dissemination and new varieties breedingprogram. Evaluation was done by conducting sensory andphysicochemical analysis on five most purchased rice brand ofeach province on Java. Hedonic and ranking test was assessedby 1000 panelists from all the five provinces in Java.Physicochemical analysis was carried out in the ProximateLaboratory in Indonesian Center for Rice Research (ICRR),Sukamandi. The results showed that, in general, consumerpreferences in each province have a similar pattern except in DIY.Consumers in West, East, and Central Java as well as in DKIJakarta prefer rice with intermediate amylase content, while thosein DIY prefer low amylase rice. Gelatinization temperature of riceis mostly high gelatinization temperature except those in DIY thatwere dominated by low gelatinization temperature rice. Moreover,rice color influences consumer preferences in Java except onconsumers in West Java who chose rice not based on the level ofrice color. Correlation analysis between consumer preferencesin general with all other variables showed that consumerpreferences in general were significantly affected only by theamylose content and was not influenced by other parameters.Whiteness degree of rice significantly related to consumerpreferences based on color and very significant correlation basedon rice translucency and taste.

Keywords: Grain quality, sensory test, rice preference.

ABSTRAK

Pulau Jawa merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbanyaksekaligus konsumen beras tertinggi di Indonesia. Sampai saat iniberas yang banyak dikonsumsi oleh penduduk di Pulau Jawadidominasi oleh varietas Ciherang. Penelitian ini bertujuan untukmempelajari pola preferensi konsumen di Pulau Jawa terhadap berassebagai salah satu pertimbangan untuk diseminasi dan perakitanvarietas unggul baru. Evaluasi dilakukan melalui uji sensori dan

fisikokimia pada lima merk beras yang paling banyak dibeli konsumendi tiap provinsi di Pulau Jawa. Uji sensori yang dilakukan adalah ujikesukaan dan uji ranking oleh 1.000 panelis pada lima provinsi diPulau Jawa. Analisis fisikokimia beras dilakukan di LaboratoriumProksimat Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Secara umumpreferensi konsumen memiliki pola yang mirip, kecuali di ProvinsiDIY. Konsumen umumnya lebih menyukai beras dengan kandunganamilosa sedang, kecuali di Provinsi DIY yang menyukai beras denganamilosa rendah. Karakter suhu gelatinisasi beras sebagian besartinggi, kecuali di Provinsi DIY yang didominasi oleh beras dengansuhu gelatinisasi rendah. Warna beras mempengaruhi preferensikonsumen, kecuali konsumen di Jawa Barat yang memilih berastidak berdasarkan warna putih. Preferensi konsumen denganterhadap beras secara umum nyata dipengaruhi oleh kandunganamilosa dan tidak dipengaruhi oleh parameter lainnya. Derajat putihberas nyata berhubungan dengan preferensi konsumenberdasarkan warna dan sangat nyata berdasarkan kilap dan rasanasi.

Kata kunci: Mutu beras, uji sensori, preferensi beras.

PENDAHULUAN

Kebutuhan beras di Indonesia meningkat setiap tahunsejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk yangmayoritas mengkonsumsi beras sebagai makananpokok. Wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak dansebagai konsumen beras terbesar di Indonesia adalahPulau Jawa. Sampai saat ini, beras yang banyakdikonsumsi penduduk di Pulau Jawa (Banten, JawaBarat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur)masih didominasi oleh varietas Ciherang. Penanamansatu jenis varietas dalam kurun waktu yang lamaberdampak terhadap penurunan keunggulan varietastersebut, misalnya mudah terserang hama dan penyakit.Oleh karena itu, perakitan varietas unggul baru yangdapat menggantikan varietas Ciherang terus dilakukan.

Page 4: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

164

Kualitas beras dipengaruhi oleh beberapa faktorseperti mutu fisik, mutu tanak (cooking quality), dan muturasa (eating quality) (Damardjati 1995). Mutu tanak danmutu rasa dipengaruhi oleh kandungan amilosa, suhugelatinisasi dan konsistensi gel (Normita and Cruz, 2002).Mutu rasa berbeda dengan aspek mutu lainnya. Mutufisik dan mutu tanak dinilai secara objektif menggunakaninstrumen, sedangkan mutu rasa ditentukan secaraobjektif dan subjektif. Penilaian subjektif dilakukanmelalui evaluasi sensori menggunakan sistempenginderaan oleh panelis, sedangkan penilaian objektifmelalui instrumen. Mutu rasa tidak selalu berkaitandengan mutu fisik maupun mutu tanak, karena muturasa lebih dipengaruhi oleh selera masing-masingkonsumen, kebiasaan, lingkungan, pendidikan,pekerjaan, dan tingkat pendapatan (Damardjati, 1995).Tingkat kesukaan dan penerimaan konsumen terhadapsuatu produk dapat diketahui melaui uji afeksi, sepertiuji hedonik. Uji afeksi bertujuan untuk mengukur sifatsubjektif konsumen terhadap produk berdasarkan sifat-sifat sensori, sedangkan urutan sifat dan intensitas atributsensori dapat diketahui melalui uji rangking(Setyaningsih et al. 2010).

Mutu rasa dan mutu tanak beras umumnyadipengaruhi oleh karakter pati biji beras. Kandunganamilosa dan konsistensi gel mempengaruhi mutu rasadan mutu tanak secara langsung (Bahmaniar andRanjbar 2007). Sifat fisik dan fisiko kimia berasmenentukan mutu rasa, namun karena adanyaperbedaan kesukaan personal, kebiasaan, danlingkungan menyebabkan perbedaan yang terlihatdengan analisis sensori. Analisis sensori adalah cara baruuntuk mengevaluasi beras dalam menentukan mutu rasa(Zhang et al. 2010). Di Jepang, penguji rasa (responden)banyak diterapkan untuk menentukan kualitas sensoriberas (Sun et al. 2008).

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kesukaankonsumen di Pulau Jawa terhadap beras. Karakter berasyang dievaluasi tidak hanya berdasarkan karakter fisikokimia tetapi juga berdasarkan uji sensori. Hasil evaluasidapat digunakan sebagai salah satu acuan dalammenentukan varietas padi yang akan dikembangkan danjuga sebagai acuan dalam perakitan varietas unggul yangsesuai dengan selera penduduk Pulau Jawa.

BAHAN DAN METODE

Sampel

Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2011 denganmenggunakan empat jenis/merk beras di ProvinsiBanten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, dan JawaTimur. Penarikan sampel dilakukan di pasar

tradisional pada masing-masing ibu kotaprovinsi. Jenis/merk beras yang dipilih hanyaberdasarkan yang banyak diminati dan dibelikonsumen tanpa memperhatikan harganya. Informasimengenai jenis/merk beras yang paling diminatididapatkan melalui survei dan wawancara kepadapedagang dan konsumen di pasar setempat. Setiapprovinsi memiliki jenis/merk beras yang berbeda,sehingga jenis/merk beras yang digunakan di tiapprovinsi juga berbeda. Pada saat pembelian beras,pedagang diminta untuk meberikan stok beras terbaru.Varietas Ciherang yang diperoleh dari Balai BesarPenelitian Tanaman Padi (BB Padi), digunakan sebagaikontrol.

Persiapan Sampel

Jumlah sampel beras yang digunakan 250 g. Masing-masing beras daerah dan varietas Ciherang sebagaipembanding dicuci dengan air bersih sebanyak dua kali,kemudian ditiriskan, dan ditambah air denganperbandingan 2:3. Pemasakan beras menggunakan ricecooker selama ± 20 menit, dan setelah matang dibiarkanterlebih dahulu selama 10 menit supaya matangsempurna. Nasi kemudian disajikan kepada panelismenggunakan piring kecil, masing-masing ± 15 g.

Uji Sensori

Persiapan panelis

Pada setiap provinsi digunakan 200 panelis yang berasaldari empat kecamatan yang berbeda. Setiap kecamatandiwakili oleh 50 panelis, sehingga jumlah keseluruhanpanelis di lima provinsi adalah 1.000 orang. Target panelisyang digunakan di masing-masing provinsi adalah iburumah tangga, baik yang bekerja di luar rumah atau tidak.Pemilihan ibu rumah tangga berdasarkan pertimbanganbahwa mayoritas keputusan rumah tangga, termasukpemilihan beras untuk dikonsumsi, berada ditangannya. Sebelum menguji sampel, panelis dimintamengisi kuesioner yang berisi beberapa pertanyaanuntuk mengetahui karakteristik masing-masing panelis.

Uji hedonik dan uji rangking

Sampel nasi disajikan kepada panelis, kemudian merekadiminta memberikan penilaian terhadap masing-masingsampel berdasarkan atribut sampel yang diuji, meliputiwarna, aroma, kilap, kepulenan, dan rasa nasi. Skalapenilaian untuk uji hedonik terdiri atas: 1 (sangat suka),2 (suka), 3 (sedang), 4 (tidak suka), dan 5 (sangat tidaksuka). Skala penilaian untuk uji rangking mulai dari

Page 5: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

MARDIAH ET AL.: PREFERENSI KONSUMEN TERHADAP BERAS DI PULAU JAWA

165

rangking 1 (memiliki karakter paling tinggi) sampairangking 5 (memiliki karakter paling rendah). Disediakanair putih bagi panelis untuk menetralkan lidah setelahselesai menguji satu sampel dan kemudian beralih kesampel yang lain. Pengolahan data sensori berdasarkanmodus atau angka yang paling sering muncul padapenilaian di tiap atribut uji. Hasil olahan data kemudiandisajikan secara deskriptif.

Analisa Fisik dan Fisikokimia

Derajat putih

Pengukuran derajat putih beras menggunakan alatSatake Milling Meter. Sampel tepung beras sebanyak ±20 g dimasukkan ke dalam alat, kemudian tunggu sampaialat memberikan hasil derajat putih sampel.

Kandungan amilosa

Sampel tepung beras (partikel >80 mesh) ditimbangsebanyak 100 mg, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur100 ml. Berturut-turut ke dalam labu ukur ditambahkan1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1N, dipanaskan dalamwater bath selama 10 menit, kemudian didinginkanselama satu jam. Larutan diencerkan denganmenambah akuades sampai volume 100 ml. Sebanyak5 ml larutan dipipet, dimasukan ke dalam labu ukur 100ml, kemudian ditambahkan 2 ml larutan Iod dan 1 mlasam asetat 0,5N. Larutan tersebut diencerkan lagidengan akuades. Absorbansi larutan diukurmenggunakan spektrofotometer pada panjanggelombang 620 nm. Hal yang sama dilakukan untuklarutan standar amilosa (potato amylose) yang dibuatdalam beberapa tingkat konsentrasi. Kadar amilosaberas selanjutnya dihitung dari perbandinganpengukuran absorbansi contoh dengan standar,dikalikan dengan faktor pengenceran.

Konsistensi gel dan suhu gelatinisasi

Sifat konsistensi gel ditetapkan dengan mengukurpanjang gel yang terbentuk dari proses pemasakan/pemanasan suspensi tepung beras dalam tabung reaksi.Tabung reaksi diletakkan pada posisi mendatar/horizontal di atas kertas millimeter selama 1 jam. Panjanggel yang terbentuk dalam tabung reaksi diukur dengansatuan mm.

Suhu gelatininisasi beras ditentukan dengan caramerendam enam butir utuh beras dalam larutan alkali(KOH) 1,7% selama 23 jam pada suhu kamar. Penilaiansuhu gelatinisasi didasarkan kepada skor atau nilaipengembangan (swelling) dan keretakan butiran beras.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sampel beras yang dipilih hanya berdasarkan preferensikonsumen tanpa mempertimbangkan harga. Setiapprovinsi memiliki jenis/merk beras populer yangberbeda, maka sampel beras di tiap provinsi jugaberbeda.

Beras merupakan serealia yang umumnyadikonsumsi dalam bentuk utuh atau whole kernel,karena itu mutu butir beras akan mempengaruhipreferensi konsumen. Mutu beras ditentukan olehgabungan karakter fisik, kimia, dan nutrisi. Namun, faktoryang dapat dinilai oleh konsumen secara langsung dandijadikan sebagai penentu dalam pemilihan berasadalah karakter fisik seperti warna, bentuk, aroma,persentase beras kepala, dan material pengotor.

Beras yang dijual di pasar biasanya melalui beberapaproses penggilingan, mulai dari pengelupasan kulit danlapisan lainnya hingga penyosohan. Parameter yangpaling penting dalam proses tersebut adalah rendemenberas kepala dan warna putih (whiteness). Keduaparameter tersebut digunakan untuk menentukanharga beras yang akan dijual. Harga sangat dipengaruhioleh ukuran dan bentuk, warna, dan kebersihan beras(Conway et al. 1991). Karena itu, salah satu komponenmutu fisik beras giling yang menentukan preferensikonsumen adalah warna. Pada umumnya, konsumenakan memberikan penilaian yang rendah pada berasgiling dengan warna kusam. Pada penelitian ini,pengukuran warna beras giling dilakukan denganmembandingkan warna sampel dengan dengan warnakristal BaSO4 menggunakan Satake Milling Meter.Preferensi konsumen di Pulau Jawa berdasarkan derajatputih beras dapat dilihat pada Gambar 1.

Preferensi konsumen di Provinsi Banten dan JawaTimur terhadap beras kebanyakan adalah warna varietasCiherang dengan nilai derajat putih 41,7. Sementara itukonsumen di Provinsi Jawa Barat relatif tidakmembedakan warna beras, terlihat dari distribusipreferensi terhadap warna yang tidak terlalu berbeda.Konsumen di Provinsi Jawa Tengah memilih beras yangberwarna lebih putih dari varietas Ciherang dengan nilaiderajat putih 42,7. Preferensi konsumen di Provinsi DIYdipengaruhi oleh warna beras, semakin putih warnaberas semakin tinggi nilai yang diberikan (Gambar 1).

Preferensi responden di masing-masing provinsiberdasarkan warna beras menunjukkan pola yangberbeda. Responden di Jawa Barat cenderung menyukaiwarna beras yang tidak terlalu putih. Hal ini terlihat darikisaran derajat putih dari jenis beras yang paling banyakdiminati lebih rendah dibandingkan dengan provinsilainnya, yaitu 39-42 dengan preferensi tertinggi diberikan

Page 6: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

166

Ket. : warna solid abu-abu adalah varietas Ciherang (standar)

Gambar 1. Preferensi responden beras di tiap provinsi di Pulau Jawa terhadap beberapa jenis beras berdasarkan warna.

 

kepada beras dengan nilai derajat putih 40. Preferensiresponden di Provinsi Banten dan Jawa Timurmenunjukkan kesukaan terhadap beras dengan derajatputih sekitar 42, hampir sama dengan derajat putihvarietas Ciherang (kontrol). Responden di Provinsi JawaTengah memilih beras yang berwarna lebih putih dariCiherang, dengan nilai derajat putih 43 dan preferensimendekati 55%. Preferensi tertinggi beras di Provinsi DIY

adalah beras dengan derajat putih 47, yaitu 56%.Preferensi responden di Provinsi DIY dipengaruhi olehwarna beras, semakin putih beras semakin tinggi nilaipreferensi yang diberikan

Faktor yang mempengaruhi warna putih pada berasadalah derajat sosoh dan kondisi penyimpanan (Wanget al. 2002). Semakin lama beras disosoh semakin putih

Page 7: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

MARDIAH ET AL.: PREFERENSI KONSUMEN TERHADAP BERAS DI PULAU JAWA

167

warnanya karena banyak lapisan aleuron yang hilang.Lapisan aleuron mengandung zat gizi yang terkandungpada beras. Semakin hilang lapisan aleuron semakinberkurang zat gizi beras. Konsumen umumnyaberpendapat bahwa beras yag putih menandakankualitas tinggi. Anggapan ini tidak sepenuhnya benarkarena semakin putih beras semakin sedikit lapisanaleuron.

Karakter utama lainnya yang digunakan olehkonsumen dalam menentukan preferensi adalahtekstur atau kepulenan nasi. Konsumen beras diIndonesia beragam. Sebagian konsumen suka nasi yangpera dan sebagian lainnya pulen. Tekstur nasi ditentukanoleh tiga faktor utama yaitu kandungan amilosa,konsistensi gel, dan suhu gelatinisasi. Mutu tanak dan

mutu rasa beras sebagian besar ditentukan oleh sifatpati yang membentuk 90% gabah giling. kadar amilosa.Konsistensi gel dan protein konten secara langsungmempengaruhi kualitas tanak beras giling (Bahmaniarand Ranjbar 2007). Kandungan amilosa dari beberapajenis beras yang diminati konsumen di Pulau Jawa dapatdilihat pada Gambar 2.

Beras yang populer di Pulau Jawa secara umumadalah yang mengandung amilosa sedang dan rendah.Beras di Jawa Timur dan Jawa Tengah sebagian besarberamilosa sedang, sedangkan di Banten sebagian besarberamilosa rendah. Kandungan amilosa beberapa jenisberas yang paling diminati berkisar antara 18–23% yangberarti rendah (< 20) dan sedang (20 -25%). Kandunganamilosa beras yang paling banyak dibeli konsumen Jawa

Gambar 2. Preferensi responden terhadap (a) kandungan amilosa beberapa beras yang populer di tiap provinsi di Pulau Jawa, (b)persentase preferensi responden beras di tiap provinsi di Pulau Jawa berdasarkan kandungan amilosa.Ket.: Ciherang memiliki kadar amilosa 23%

Klasifikasi Kandungan amilosa (%)

Rendah 10-19

Sedang 20-25

Tinggi > 25

(a) 

(b) 

Page 8: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

168

Barat adalah yang rendah (45%) dan sedang (55%).Penelitian serupa di Jawa Barat pernah dilakukanSuismono et al. (1988). Dalam penelitian tersebut, sekitar72% beras yang dibeli konsumen mengandung amilosasedang dan 28% lainnya beramilosa rendah. Konsumendi Jawa Barat masih memiliki preferensi beras yang samaselama 22 tahun, yaitu beras dengan amilosa rendahdan sedang meskipun persentasenya tidak sama.

Responden di Banten menyukai beras dengankandungan amilosa 18, 19, 20 dan 23% denganpersentase preferensi yang hampir sama. RespondenJawa Barat lebih menyukai beras dengan kandunganamilosa 18% dengan persentase preferensi 44%.Responden di Jawa Tengah dan Jawa Timur lebihmenyukai beras dengan kandungan amilosa 23%dengan persentase preferensi berturut-turut 72% dan52%. Responden di DIY lebih menyukai beras dengankandungan amilosa 20% dengan persentase preferensi59%. Sebagian besar responden di Jawa Barat lebihmenyukai beras dengan amilosa rendah, sedangkan diprovinsi lainnya lebih menyukai beras dengan amilosasedang. Secara umum terlihat bahwa kadar amilosa 23%diminati oleh responden di semua provinsi denganpersentase preferensi yang berbeda (Gambar 2a dan2b).

Kandungan amilosa mempengaruhi tekstur nasi.Beras dengan kandungan amilosa tinggi akanmenghasilkan nasi dengan volume pengembangan yangtinggi, tekstur yang keras dan kering. Beras dengankandungan amilosa rendah akan menghasilkan nasiyang lembut dan lengket. Semakin tinggi kadar amilosaberas semakin pera tekstur nasi dan semakin rendahamilosa beras semakin pulen tekstur nasi. Ramesh et al.(1999) menyatakan bahwa tekstur nasi ditentukan olehinteraksi komponen struktur pati seperti banyaknyarantai panjang, amilosa bebas, dan amilosa terikatdengan amilopektin. Karena itu, beras dengankandungan amilosa yang sama tidak berarti memilikitekstur yang persis sama, bergantung pada struktur patiberas tersebut.

Kandungan amilosa merupakan bagian konstituendari pati beras, dengan satuan struktur-anhidroglukosayang dihubungkan oleh α-1, 4 ikatan glikosidik, danikatan hidrogen pada intramolekul menyebabkan rantaispiral membentuk struktur sekrup berongga ataudikenal dengan double helix. Kandungan amilosamemiliki hubungan dekat dengan suhu gelatinisasi pati.Beras dengan kandungan amilosa tinggi, suhugelatinisasi tinggi, dan nilai alkali rendah akanmenyebabkan tekstur beras kering dan lembek sertaviskositas rendah, namun tidak mudah rusak dalamproses tanak. Sebaliknya, beras dengan amilosa rendah,suhu gelatinisasi rendah, dan nilai alkali tinggi

menyebabkan viskositas tinggi dan mudah rusak.Kandungan amilosa juga mempengaruhi penyerapanair dan tingkat ekspansi dalam proses tanak. Umumnya,beras dengan kandungan amilosa rendah dianggaplezat. Hal ini terkait dengan struktur pecular, karakteranti-bengkak (anti-swelling), daya rentang yang baik, dankarakter gel amilosa yang berdekatan (Qin et al. 2014).

Karakter lainnya yang menentukan tekstur nasiadalah konsistensi gel. Karakter konsistensi gel diketahuidengan cara mendidihkan tepung beras yang telahdilarutkan dengan cairan alkali, lalu didinginkan padasuhu ruang (Cagampang et al. 1973). Pada awalnyametode ini hanya bisa dipakai untuk beras denganamilosa tinggi. Namun modifikasi dari metode awal telahbanyak digunakan sehingga dapat digunakan untukmenentukan konsistensi gel beras amilosa rendah,sedang, dan tinggi (IRRI 1979). Preferensi konsumenberdasarkan konsistensi gel beberapa beras populer diPulau Jawa dapat dilihat pada Gambar 3a dan 3b.

Konsumen di Provinsi Jawa Timur dan sebagianbesar di Jawa Barat menyukai beras dengan konsistensigel sedang, di DIY sebagian besar menyukai berasdengan konsistensi gel sedang-keras. Di Jawa Tengah,sebagian besar responden menyukai beras dengankonsistensi gel keras, sedangkan di Banten memilihberas dengan konsistensi gel beragam, dari sedanghingga keras (Gambar 3a). Preferensi responden di JawaTimur dan Jawa Barat terhadap beras dengan karakterkonsistensi gel sedang berturut-turut 100 dan 89%.Preferensi responden di DIY terhadap beras dengankonsistensi gel sedikit keras 82%. Di Jawa Tengah,preferensi responden terhadap beras dengankonsistensi gel keras 68%. Sementara itu, preferensiresponden di Banten terhadap beras dengan konsistensigel sedang dan keras berturut-turut 44% dan 41%(Gambar 3b).

Konsistensi gel menunjukkan kecenderungantekstur nasi mengeras setelah dingin. Semakin keraskonsistensi gel cenderung lebih pera tekstur nasi.Konsistensi gel berkorelasi positif dengan penyerapanair dan pengembangan butir beras pada saat dimasak(Malini et al. 2011) dan tidak berkorelasi dengankandungan amilosa (Sowbhagya et al. 1987). Berasdengan kandungan amilosa yang sama tidak berartimemiliki konsistensi gel yang sama. Di Jawa Tengah,sebagian besar beras memiliki kandungan amilosa yangmirip, yaitu 22-23% (Gambar 2a), namun konsistensigelnya bervariasi dari sedang hingga keras (Gambar 3a).

Parameter yang digunakan dalam menduga waktutanak beras menjadi nasi adalah suhu gelatinisasisehingga turut mempengaruhi mutu tanak beras(Juliano and Perez 1983). Suhu gelatinisasi adalah suhudi mana beras menyerap air dan pati butiran

Page 9: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

MARDIAH ET AL.: PREFERENSI KONSUMEN TERHADAP BERAS DI PULAU JAWA

169

Gambar 3. Preferensi responden terhadap (a) konsistensi gel beberapa beras yang populer di tiap provinsi di Pulau Jawa, (b)persentase preferensi responden beras di tiap provinsi di Pulau Jawa berdasarkan konsistensi gel.Ket.: Ciherang memiliki karakter konsistensi gel sedang

membengkak secara irreversibel (Parker and Ring 2001).Alkali tes merupakan metode yang cepat dan efisiendalam menentukan suhu gelatinisasi. Karakter suhugelatinisasi dan preferensi konsumen berdasarkan suhugelatinisasi beberapa beras populer di Pulau Jawa dapatdilihat pada Gambar 4a dan 4b.

Konsumen di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan JawaTimur menyukai beras dengan suhu gelatinisasi tinggidan di Provinsi DIY memilih beras dengan suhugelatinisasi rendah. Di Provinsi Banten, sebagian

responden memilih beras dengan suhu gelatinisasi tinggidan sebagian lainnya rendah (Gambar 4a). Respondendi Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan JawaTimur memiliki kesamaan preferensi beras berdasarkansuhu gelatinisasi, yaitu beras dengan suhu gelatinisasitinggi, dengan preferensi berturut-turut 60%, 60%, 100%,dan 81%. Preferensi responden di Provinsi DIY berbedadengan provinsi lainnya, mereka lebih menyukai berasdengan suhu gelatinisasi rendah dengan persentasepreferensi 85% (Gambar 4b)

Klasifikasi

Suhu gelatinisasi

Suhu

(ºC)

Rendah < 70

Sedang 70 – 74

Tinggi > 74

(a) 

(b) 

Page 10: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

170

Gambar 4. Preferensi responden terhadap (a) suhu gelatinisasi beberapa beras yang populer di tiap provinsi di Pulau Jawa, (b) persentasepreferensi responden beras di tiap provinsi di Pulau Jawa berdasarkan suhu gelatinisasi.Ket.: Ciherang memiliki karakter suhu gelatinisasi tinggi

Penelitian Mestres et al. (2011) menunjukkan bahwasuhu gelatinisasi juga mempengaruhi tekstur nasiterutama di bagian tengah (core). Beras dengan suhugelatinisasi tinggi relatif lebih lambat masak pada bagiantengah nasi, sehingga mengakibatkan ketidak-seragaman tekstur (heterogen). Karena itu, berasdengan karakter suhu gelatinisasi tinggi akanmenyebabkan tekstur nasi tidak seragam. Suhu

gelatinisasi merupakan parameter yang menentukankesempurnaan struktur kristal pati. Struktur molekulamilopektin berhubungan dengan struktur kristalgranula pati. Polimer rantai pendek (DP/degree ofpolymerization < 10) pada amilopektin menyebabkanpenurunan stabilitas helix ganda, yang bisamenyebabkan suhu gelatinisasi lebih rendah (Chung etal. 2011).

Klasifikasi

konsistensi gel

Panjang gel

(mm)

Keras 27-35

Sedang-keras 36-40

Sedang 41-60

Lembut 61-100

(a) 

(b) 

Page 11: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

MARDIAH ET AL.: PREFERENSI KONSUMEN TERHADAP BERAS DI PULAU JAWA

171

Penentuan korelasi antarvariabel yang diamati dalampenelitian ini dilakukan dengan metode statistik analisiskorelasi. Preferensi konsumen terhadap semua variabelorganoleptik dan fisiko kimia secara umummenunjukkan bahwa preferensi nyata dipengaruhi olehkandungan amilosa. Variabel organoleptik sepertiwarna, kilap, kepulenan, rasa dan variabel fisiko kimiaseperti derajat putih, konsistensi gel dan suhu gelatinisasitidak menunjukkan berkorelasi dengan preferensikonsumen secara umum (Tabel 1). Hal tersebut berbeda

dengan penelitian Munarso dan Damardjati (1988) yangmenyatakan bahwa konsumen beras di DKI Jakartaumumnya memilih beras berdasarkan rasa, kepulenan,harga, dan aroma nasi. Perbedaan ini kemungkinandisebabkan oleh perubahan pola hidup, tingkatpendidikan, dan ekonomi konsumen.

Analisis korelasi antara variabel organoletik denganfisiko kimia beras menunjukkan bahwa nilai derajat putihnyata berhubungan dengan preferensi konsumenberdasarkan warna dan berkorelasi sangat nyata denganpreferensi konsumen berdasarkan kilap dan rasa.Berdasarkan angka dari koefisien korelasi dapatdiketahui bahwa semakin tinggi nilai derajat putihsemakin meningkat preferensi konsumen terhadapberas berdasarkan warna (berbanding lurus) namunsemakin rendah tingkat kesukaan terhadap kilap danrasa nasi (berbanding terbalik). Sementara itu preferensikonsumen berdasarkan kepulenan tidak menunjukkanhubungan dengan semua variabel fisiko kimia (Tabel 2).

Preferensi konsumen terhadap kepulenanmenunjukkan tidak berkorelasi dengan amilosa,konsistensi gel, dan suhu gelatinisasi. Hal inimenandakan preferensi konsumen terhadap tingkatkepulenan berbeda-beda dan tidak memiliki pola yangjelas. Preferensi konsumen ditentukan oleh pilihanpersonal, latar belakang, dan lingkungan. Selain itukepulenan tidak hanya disebabkan oleh amilosa namunberdasarkan kompleks ikatan amilosa dengan lipidseperti yang disebutkan Mestres et al. (2011) bahwakepulenan berkorelasi positif dengan tingkat kompleksantara amilosa/lipid.

Tabel 2. Analisis statistik korelasi antara variabel organoleptik dengan variabel fisikokimia.

Karakter fisikokimiaPreferensi organoleptik

Derajat putih Amilosa Konsistensi gel Suhu gelatinisasi

Warna Koef, 0,52 -0,03 0,06 -0,12p-value 0,015* 0,884 0,791 0,601

Kilap Koef, -0,61 0,28 -0,37 0,05p-value 0,003** 0,225 0,1 0,816

Rasa Koef, -0,58 0,25 -0,43 0,05p-value 0,006** 0,282 0,052 0,818

Kepulenan Koef, -0,24 0,4 -0,07 -0,03p-value 0,288 0,073 0,754 0,914

*Berbeda nyata (p-value < 0,05)**Berbeda sangat nyata (p-value < 0,01)Koef, (koefisien) menunjukkan keeratan hubungan, dimana nilai negatif menandakan hubungan terbalik.

Tabel 1. Analisis statistik korelasi antara preferensi konsumensecara umum dengan variabel organoleptik dan fisikokimiaberas.

Preferensi konsumen secara umumVariabel

Koefisien p-value

Organoleptikwarna -0,11 0,638kilap 0,05 0,819kepulenan -0,12 0,616rasa 0,04 0,847

FisikokimiaDerajat Putih 0,08 0,714Amilosa 0,45 0,040*Konsistensi gel 0,10 0,677Suhu gelatinisasi -0,32 0,157

*Berbeda nyata (p-value < 0,05)**Berbeda sangat nyata (p-value < 0,01)Koefisien menunjukkan keeratan hubungan, dimana nilai negatifmenandakan hubungan terbalik.

Page 12: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

172

KESIMPULAN

Secara umum preferensi konsumen di tiap provinsi diPulau Jawa memiliki pola yang mirip kecuali di ProvinsiDIY. Konsumen umumnya lebih menyukai beras dengankandungan amilosa sedang, kecuali di Provinsi DIY yangmenyukai beras dengan amilosa rendah. Warna berasmempengaruhi preferensi konsumen, kecuali di JawaBarat yang memilih beras tidak berdasarkan warna putih.Konsumen DIY memilih beras berdasarkan warna,semakin putih warna beras semakin tinggi tingkstpreferensi. Konsumen di Jawa Tengah memilih berasyang lebih putih dari Ciherang, sedangkan konsumendi Banten dan Jawa Timur memilih beras dengan warnayang sama dengan Ciherang. Konsistensi gel berasmemiliki karakter beragam, dari sedang, sedang-keras,dan keras. Karakter suhu gelatinisasi beras sebagianbesar tinggi, kecuali di Provinsi DIY yang didominasi olehsuhu gelatinisasi rendah.

Preferensi konsumen terhadap beras secara umumnyata dipengaruhi hanya oleh kandungan amilosa dantidak dipengaruhi oleh parameter lainnya. Derajat putihberas berhubungan nyata dengan preferensi konsumenberdasarkan warna dan sangat nyata berdasarkan kilapdan rasa. Semakin tinggi nilai derajat putih semakin tinggipreferensi konsumen terhadap beras berdasarkanwarna (berbanding lurus), namun semakin rendahtingkat kesukaan berdasarkan kilap dan rasa(berbanding terbalik).

DAFTAR PUSTAKA

Bahmaniar, M.A. and G.A. Ranjbar. 2007. Response of rice (Oryzasativa L.) cooking quality properties to nitrogen and potassiumapplication. Pakistan Journal of Biological Sciences 11:1880-1884.

Chung, Hyun-Jung, L. Qiang, L. Laurence, and W. Dongzhi. 2011.Relationship between the structure, physicochemicalproperties and in vitro digestibility of rice starches withdifferent amylose contents. Food Hydrocolloids 25:968-975.

Conway, J.A., M. Sidik, and H. Halid. 1991. Quality/valuerelationships in milled rice stored in conventionalwarehouses in Indonesia. In: Naewbanij, O.J., Manilay, A.A.(Eds.). Proceedings of the Fourteenth ASEAN Seminar on GrainPostharvest Technology, Manila, Philippines, 5-8 November,pp.55-82.

Damardjati, D.S. dan E.Y. Purwani. 1995. Mutu beras. Padi. Buku3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.Bogor.

Malini, N., T. Sundaram, and S.H. Ramakrishnan. 2011.Interrelations among grain quality characters in rice.Electronic Journal of Plant Breeding 2(3):397-399.

Mestres, C., F. Ribeyre, B. Pons, V. Fallet, and F. Matencio. 2011.Sensory texture of cooked rice is rather linked to chemicalthan to physical characteristics of raw grain. Journal of CerealScience 53:81-89.

Munarso, S.J. dan D.S. Damardjati. 1988. Kajian mutu dan pilihankonsumen beras di DKI Jakarta. Prosiding Seminar HasilPenelitian Pascapanen Pertanian II. pp.63-74.

Normita, M. and D. Cruz. 2002. Rice grain quality evaluationprocedures. C/O Graham R. AProposal for IRR1 to Establish aGrain Quality and Nutrition Research Center. IRRI DiscussionPaper Series No. 44. Los Banos (Philippines): InternationalRice Research Institute. P15. Official Journal of TurkishRepublic. 2002. September 23, No. 24885. p.32.

Parker, R. And S.G. Ring, S.G., 2001. Aspects of the physicalchemistry of starch. Journal of Cereal Science 34:1-17.

Qin, Ke-xin, L. Lin-lin, L. Tian-yi, C. Wen-hong, and S. Yan-guo.2014. Correlation between physicochemical properties andeating qualities of rice. Journal of Northeast AgriculturalUniversity 21(3):60-67.

Ramesh, M., S.A. Zakiuddin, and K.R. Bhattacharya. 1999. Structureof rice starch and its relation to cooked-rice texture.Carbohydrate Polymers 38:337-347.

Setyaningsih, Dwi., A. Apriyantono, dan M.P. Sari. 2010. Analisissnsori untuk industri pangan dan agro. IPB Press. Bogor.

Sowbhagya, C.M., B.S. Ramesh, and K.R. Bhattacharya. 1987. Therelationship between cooked-rice texture and thephysicochemical characteristics of rice. J. Cereal Sci. 5:287-297.

Suismono, N. Yuadina, S. Widowati, dan D.S. Damardjati. 1988.Karakteristik konsumen dan produsen serta sebaran mutuberas di Pedesaan Jawa Barat. Prosiding Seminar HasilPenelitian Pascapanen Pertanian II. pp.11-27.

Sun, J.P., C.Y. Hou, Q.H. Wang Q H. 2008. Discuss on feasibility ofevaluating the taste value of rice by taste analyzer. Grain &Oil Food Science and Technology 16(6):1-7.

Wang, Y., L. Wang, L., Shepard, D., Wang, F., and J. Patindol. 2002.Properties and structures of flours and starches from whole,broken, and yellowed rice kernels in a model study. CerealChemistry 79:383-386.

Zhang, X., L.L. Shi, D.L. Ding. 2010. Study on the correlation betweenphysicochemical properties and palatability qualities ofcooked rice. Chinese Agricultural Science Bulletin 26(12):45-47.

Page 13: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

INDRASARI ET AL.: PREFERENSI KONSUMEN PADA BERAS BERLABEL

173

Preferensi Konsumen pada Beras Berlabel Jaminan Varietasuntuk Hipa 8, Ciherang dan Inpari 13

The Consumers Preferences on Variety Assurance Rice Labelledfor Hipa 8, Ciherang and Inpari 13

Siti Dewi Indrasari1*, Purwaningsih1, Erni Apriyati1, dan Shinta Dewi Ardhiyanti2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian YogyakartaJl. Stadion Maguwoharjo No. 22 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta, Indonesia

*E-mail: [email protected] Besar Penelitian Tanaman Padi

Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat, Indonesia

Naskah diterima 8 Juni 2016, direvisi 23 November 2016, disetujui 7 Desember 2016

ABSTRACT

The objective of this research was to study the consumeracceptance to variety assurance rice labelled (VARL) which isproduced by “Kopkarlittan” of Indonesian Center for Rice Research(ICRR). The research was conducted on September to November2013. The respondents were asked to assess their preferenceson the rice and cooked rice presented. The assessment of ricebased on rank such as aroma, color, shape, wholeness andcleaness (1 = the most preferred; 6 = the most unpreferred) andgeneral acceptance were assessed by hedonic scale (1 = mostlike; 5 = most dislike). The preferences of cooked rice assessedsuch as aroma, color, texture, translucency, shape, taste andgeneral acceptance. The rice used were Hipa 8 variety which isrepresent aromatic rice and Ciherang and Inpari 23 represent nonaromatic rice. As controlled were used non variety assurancelabelled rice (NVARL) bought from two modern market in Jakarta.The data collected were presented in decriptive way and theorganoleptic data were analysed by Kruskal-Wallis test.Respondents stated that VARL products is better than other NVARLproducts in term of shape (55%), color (31%), aroma (44%),wholeness (68%), cleaness (68%), taste of cooked rice (54%),nutritional (87%) and functional quality (88%). Other respondentsstated that VARL products is the same with NVARL products interm of shape (45%), colour (52%), aroma (48%), wholeness (27%),cleaness (30%), taste of cooked rice (39%), nutritional (12%) andfunctional quality (11%). Based on general acceptance preferencethe most preferred is VARL aromatic rice Hipa 8 in Bandung citywith preferred level 1.93 (like) and mean ranking 57.67. Foraromatic rice, there is no preference difference of all sampeltested based on general acceptance. Based on general acceptancepreference, the most preferred non aromatic rice are Setra RamosBPS and VARL Inpari 13 with preference level and mean ranking of1.57 (like) and 60.07 and 1.74 (like) and 58.84 respectively inYogyakarta city. The general acceptance of VARL Ciherang withothers NVARL is relatively the same. The general acceptance ofVARL Ciherang and Inpari 13 with the other rice of VARL from twomodern markets in Jakarta is relatively the same. The mostpreferred non aromatic rice is Setra Ramos BPS with preferencelevel 1,77 (like) and mean rank 58,83 in Bandung City.

Keywords: Rice preferences, cooked rice preferences.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari penerimaan konsumenterhadap beras berlabel jaminan varietas (BBJV) yang diproduksioleh Kopkarlitan BB Padi. Penelitian dilaksanakan pada Septemberhingga November 2013. Responden diminta menilai kesukaannyaterhadap sampel beras dan nasi yang disajikan. Preferensi berasyang dinilai berdasarkan ranking, yaitu aroma, warna, bentuk/ukuran,keutuhan, kebersihan (1 = paling disukai; 6 = paling tidak disukai)dan penerimaan secara umum beras dinilai secara hedonik (1 =sangat suka; 5 = sangat tidak suka). Preferensi nasi yang dinilaiyaitu aroma, warna, tekstur, kilap, bentuk, rasa dan penerimaansecara umum. Beras yang digunakan adalah varietas Hipa 8mewakili beras aromatik dan varietas Ciherang serta Inpari 13mewakili beras nonaromatik. Sebagai pembanding digunakan berasberlabel nonjaminan varietas (BBNJV) aromatik dan nonaromatikyang dibeli pada dua pasar modern di Jakarta. Data yang diperolehdisajikan secara deskriptif dan data hasil uji organoleptik dianalisisdengan uji Kruskal-Wallis. Responden yang menyatakan produkBBJV lebih baik dibanding produk BBNJV berdasarkan bentuk beras55%, warna beras 31%, aroma beras 44%, keutuhan 68%,kebersihan 68%, rasa nasi 54%, mutu gizi 87%, dan mutu fungsional88%. Responden lainnya yang menyatakan produk BBJV samadengan BBNJV berdasarkan bentuk beras 45%, warna beras 52%,aroma beras 48%, keutuhan 27%, kebersihan 30%, rasa nasi 39%,mutu gizi 12% dan mutu fungsional 11%. Berdasarkan preferensipenerimaan umum, beras aromatik yang paling disukai adalah BBJVHipa 8 di Kota Bandung dengan tingkat kesukaan 1,93 (suka) danranking 57,67. Untuk beras aromatik, tidak ada perbedaan tingkatkesukaan dari semua sampel yang diuji berdasarkan preferensipenerimaan umum. Berdasarkan preferensi penerimaan umum, yangpaling disukai dari beras nonaromatik adalah beras Setra RamosBPS dan BBJV Inpari 13 masing-masing dengan tingkat kesukaandan ranking 1,57 (suka) dan 60,07 serta 1,74 (suka) dan 58,64 diKota Yogyakarta. Penerimaan secara umum BBJV Ciherang denganbeberapa BBNJV lainnya relatif sama. Tingkat kesukaan secaraumum antara beras nonaromatik BBJV Ciherang dan Inpari 13 denganberas nonaromatik BBNJV lain dari dua pasar modern di Jakartarelatif sama. Beras yang paling disukai secara umum adalah berasSetra Ramos BPS dengan tingkat kesukaan 1,77 (suka) dan ranking58,83 di Kota Bandung.

Kata kunci: Preferensi beras, jaminan varietas, konsumen.

Page 14: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

174

PENDAHULUAN

Upaya peningkatan produksi padi belum diimbangidengan upaya peningkatan mutu dan harga beras. Mutuberas di pasaran beragam karena adanya manipulasi ditingkat penggilingan padi dan pedagang beras. Adaempat cara yang sering dilakukan di tingkat penggilinganmaupun pedagang beras untuk memanipulasi mutuberas, yaitu: (a) pencampuran beras antarvarietasmaupun antarkualitas (pengoplosan); (b) reprosesingatau penyosohan ulang beras turun mutu; (c)penyemprotan senyawa aromatik/bahan pemutihdengan konsentrasi yang tidak terkontrol sehinggaberbahaya bagi kesehatan; dan (d) label kemasan yangtidak sesuai dengan isinya, seperti dalam merk yang samaberisi berbagai varietas dan beberapa kelas mutu beras(Suismono dan Darniadi 2010). Konsumenberpendapatan tinggi yang menyukai beras premium darivarietas lokal dapat mendorong harga dari jenis berastersebut, yang di pasaran hanya terdapat dalam jumlahkecil, sampai ke tingkat harga yang tidak realistis sehinggamendorong berbagai cara penipuan (Damardjati 1995).

Beras berlabel jaminan varietas bertujuan untukmemberi jaminan mutu dan harga kepada konsumen,serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usahaperberasan di Indonesia. Pemalsuan beras berlabelmerugikan konsumen rumah tangga dan rumah makan.Para pemulia tanaman padi kehilangan informasiidentitas varietas pada label kemasan beras sebagaisumber genetik dan beragamnya mutu beras di pasaranmenyebabkan tidak adanya jaminan mutu beras bagikonsumen.

Beras berlabel dihasilkan dari varietas yang jelas,benih berlabel, tidak tercampur dengan beras varietaslain, dan mempunyai mutu sesuai dengan karakteristikvarietasnya. Pelabelan beras dapat ditempuh dengansistem sertifikasi proses produksi, mulai dari pengadaanbenih, tanam, sampai tahap pengemasan. Proses inidapat berjalan apabila sistem pelabelan sudahdilaksanakan dengan tepat. Balai Besar PenelitianTanaman Padi (BB Padi) sebagai institusi yangmenangani penelitian tanaman padi di tingkat nasionaldiharapkan dapat mengembangkan Lembaga SertifikasiJaminan Varietas (LSJV) beras yang independen.

Lembaga Sertifikasi Jaminan Varietas (LSJV) berasyang independen yang dikembangkan BB Padi nantinyadiharapkan bertanggung jawab untuk sertifikasi berasyang telah diberi label tersebut diproduksi, diproses,disiapkan, ditangani, dan dikemas menurut pedomanyang telah ditetapkan. Sertifikasi atau pelabelan produkberas dilakukan berdasarkan rangkaian kegiataninspeksi, audit sistem mutu, dan pengujian produk akhir.Beberapa tahapan proses yang perlu dilakukan antara

lain penyusunan dokumen sistem manajemen mutuyang memenuhi persyaratan Pedoman BSN dan KANyang didampingi oleh Direktorat Mutu dan Standarisasi,Ditjen P2HP.

Label beras dapat dibedakan dengan logo danmencantumkan jaminan bahwa kemasan hanya berisisatu varietas atau campuran beberapa varietas, sesuaidengan pernyataan pada label. Pada label berascampuran dapat mencantumkan nama varietas yangdicampur beserta komposisinya. Label dapat jugamencantumkan varietas dan teknik produksi beras,misalnya beras organik. Apabila terjadi pemalsuan label,produsen dapat dituntut berdasarkan UU PerlindunganKonsumen.

Strategi pemasaran seperti branding/cap/merk,iklan, dan promosi telah dilaporkan oleh Hogg danKalafatis (1992) dan Opoku dan Akorli (2009). Menurutmereka, konsumen di Amerika Serikat, sebagai contoh,tanggap terhadap merek dagang dan pengemasanberas. Konsumen di Ghana menyukai beras impordibanding beras lokal. Tujuan penelitian ini adalah untukmempelajari penerimaan konsumen (preferensi)terhadap beras berlabel jaminan varietas (BBJV) yangdiproduksi oleh Kopkarlitan BB Padi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada bulan September hinggaNovember 2013 dengan melibatkan 100 responden yangbekerja sebagai PNS Badan Litbang Pertanian yangberdomisili di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.Responden diminta menjawab pertanyaan padakuesioner dan menilai kesukaannya terhadap sampelberas dan nasi yang disajikan. Sebagai pembandingdisajikan hasil survei serupa di Kendari, SulawesiTenggara (Syahrir et al. 2015).

Penilaian kesukaan berdasarkan ranking dilakukanterhadap masing-masing preferensi beras yaitu aroma,warna, bentuk/ukuran, keutuhan dan kebersihan beras(1 = paling disukai; 6 = paling tidak disukai ). Secaraumum dinilai secara hedonik (kesukaan) dengan skor1 = sangat suka; 2 = suka; 3 = sedang; 4 = tidak suka;5 = sangat tidak suka, dengan mempertimbangkanpreferensi aroma, warna, bentuk/ukuran, keutuhan dankebersihan beras (Larmond, 1982 dimodifikasi).

Penilaian kesukaan berdasarkan ranking dilakukanterhadap masing-masing preferensi nasi yaitu aroma,warna, kilap, kepulenan dan rasa (1 = paling disukai; 6= paling tidak disukai. Secara umum dinilai secarahedonik (kesukaan) dengan skor 1 = sangat suka; 2 =suka; 3 = sedang; 4 = tidak suka; 5 = sangat tidak suka.Responden dalam ranking 1 sampai 3 dikategorikansuka dan tidak suka bila ranking 4-6. Penerimaan umum

Page 15: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

INDRASARI ET AL.: PREFERENSI KONSUMEN PADA BERAS BERLABEL

175

dari ranking 1-3 dikategorikan suka dan tidak suka bilaranking 4-5 (Larmond 1982).

Beras yang digunakan adalah varietas Hipa 8mewakili beras aromatik dan varietas Ciherang sertaInpari 13 mewakili beras nonaromatik. Beras tersebutadalah produksi Kopkarlitan BB Padi. Sebagaipembanding digunakan beras berlabel nonjaminanvarietas aromatik dan nonaromatik yang dibeli daribeberapa pasar modern di Jakarta. Sampel beras yangdiperoleh yaitu beras aromatik dengan merk Save BerasPandanwangi LM dan CL Beras Super Pandanwangi,Beras Jasmin CF, CF Discount Beras Pandanwangi, danPandanwangi Weni Asih AM. Selain itu juga diperolehsampel beras nonaromatik dengan merk Beras CianjurSlip LM PT LM, Save Beras Setra Ramos LM, Save BerasRamos Cap Kembang LM, Save Beras Cianjur Slip LM),Beras Cianjur 365 SI, Setra Ramos BPS, CF Diskon BerasSetra Ramos, dan Beras Setra Ramos AM.

Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dandata hasil uji organoleptik dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identitas Responden

Survei dilaksanakan di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta.Responden sebanyak 100 orang terdiri dari 32 oranglaki-laki dan 68 orang perempuan dengan kisaran usiaantara 19-61 tahun. Pekerjaan responden adalah PNSdengan tingkat pendidikan tamat SMA 18%, tamatPerguruan Tinggi 50%, dan Pascasarjana 32%. Jumlahanggota keluarga responden berkisar antara 2-10 orang.Kisaran pendapatan responden adalah Rp 5-10 juta 86%,Rp 10-15 juta 9%, Rp 15-20 juta 3%, dan sisanya 2% lebihdari Rp 20 juta/bulan.

Pola Konsumsi Beras

Sebanyak 67% responden mengonsumsi nasi tiga kalisehari, 27% dua kali sehari, 5% sekali sehari, dan 1% atau1 orang responden mengonsumsi nasi empat kali sehari(Tabel 1). Responden memperoleh atau membeli berasdi pasar tradisional (40%), pasar modern (22%), minimarket (13%), petani, penggilingan, toko beras, koperasi(18%), dan sisanya (7%) dari hasil panen sendiri (Tabel2). Di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, konsumen lebihmenyukai membeli beras di tempat yang dekat dengantempat tinggalnya (Syahrir et al. 2015).

Sebanyak 78% responden membeli beras berlabel(nonjaminan varietas) dalam kemasan plastik denganbobot antara 5-25 kg, sisanya 22% membeli beras dalambentuk curah (Tabel 3). Alasan responden membeliberas berlabel (nonjaminan varietas) dalam kemasan

antara lain terjamin mutu/kualitas beras, ketersediaan,rasa enak, higienis, praktis dan lebih mudah dibawa.Sebanyak 20% responden membeli beras berlabelberdasarkan merk (Delanggu, Cap bunga, dll) dansisanya membeli beras berlabel (nonjaminan varietas)berdasarkan varietas seperti Pandanwangi, Rojolele,Ciherang, IR 64, C4, dll. Jumlah beras yang dibeli berkisarantara 5-50 kg/bulan.

Konsumen di Kendari, Sulawesi Tenggara,menyenangi beras berlabel dengan harga sedang,kemasan berukuran 25 kg, merk terkenal,mencantumkan SNI, butiran beras utuh, varietastertentu, warna beras bening, dan desain warnakemasan mencolok. Mereka tidak memerlukan panduanmemasak (Syahrir et al. 2015). Responden pemilikpenggilingan padi dan pedagang beras di Demak,Magelang, dan Kebumen, Jawa Tengah memiliki kriteriayang sama terhadap kualitas yang dianggap baik denganurutan berturut-turut bentuk beras, karakter fisik beras(derajat putih/sosoh, beras kepala, dan kadar air) sertakarakter fisikokimia beras (kepulenan nasi), danpenampilan fisik (Wibowo et al. 2007). Konsumenrumah tangga dan rumah makan di Subang, Jawa Barat,umumnya belum percaya pada beras berlabel(nonjaminan varietas). Sebanyak 25% respondenmenyatakan bersedia membeli bila ada jaminan mutuberas berlabel (Suismono et al. 2009).

Tabel 1. Frekuensi responden mengonsumsi nasi.

Frekuensi Persentase (%)

Satu kali sehari 5Dua kali sehari 27Tiga kali sehari 67Empat kali sehari 1

Tabel 2. Tempat responden membeli atau cara memperoleh beras.

Tempat/cara Persentase (%)

Pasar tradisional 40Pasat modern 22Mini market 13Petani, penggilingan, toko beras, koperasi 18Hasil panen sendiri 7

Tabel 3. Bentuk kemasan beras yang disukai responden

Bentuk kemasan Persentase (%)

Plastik 5 kg sampai 25 kg 78Curah 22

Page 16: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

176

Konsumen yang tinggal di perkotaan danmempunyai standar hidup yang tinggi, tingkatpendidikan dan pendapatan yang tinggi cenderungmembeli beras berkualitas baik berdasarkan kandungangizinya (Tomlins et al. 2005). Kassali et al. (2010)melaporkan bahwa tingkat pendapatan, dan usiakonsumen merupakan faktor yang berpengaruhterhadap konsumsi pangan rumah tangga. Konsumencenderung membeli beras di tingkat pengecer di dekattempat tinggalnya karena membuat mereka mudahmembeli beras dan beras yang dibeli adalah merk yangtersedia di pasar (Azabagaoglu and Gaytancioglu 2009).Konsumen di Brunei cenderung menyukai beras impordibanding beras lokal karena ketersediaan di pasar danfaktor kebiasaan yang diwariskan dari orang tuanya yangselalu mengonsumsi beras impor (Galawat and Yabe2010). Penduduk Nigeria menyukai beras impor yangbersih dan berbentuk panjang dan ramping. Mereka jugamenyenangi beras yang beramilosa sedang hingga tinggi(Adeye et al. 2010).

Konsumen di Malaysia mempertimbangkankarakteristik aroma, rasa, harga dan lokasi pembelianberas. Umumnya konsumen menyukai beras putih lokaldibanding beras impor. Faktor yang berpengaruhterhadap perilaku dalam membeli beras antara lainstatus perkawinan, jenis kelamin, status pekerjaan,kepala keluarga dan jumlah anggota keluarga (Musa etal. 2011). Sementara itu penduduk Ghana setuju bilapengemasan beras lokal yang buruk karena menjadisalah satu alasan untuk tidak lagi membeli beras tersebut(Danso-Abbeam et al. 2014).

Di Indonesia, pola konsumsi dan kesukaan terhadapberas sangat bervariasi karena kondisi alam yang terdiridari ribuan kepulauan (Toquero 1991). Konsumen diMedan dan Makassar menyukai nasi pera, sementara diJawa menyukai nasi yang lembut dan pulen. Masyarakatyang hidup di dataran tinggi mengonsumsi jagung, ubikayu dan ubi jalar sebagai makanan pokok, sementarapenduduk di dataran rendah lebih banyakmengonsumsi beras karena cukup tersedia (Rahmat etal. 2006). Damardjati dan Oka (1989) mengevaluasikesukaan konsumen terhadap beras di tiga kota besardi Indonesia yaitu Medan, Makassar dan Jakarta. Merekamenyimpulkan bahwa kesukaan konsumen terhadapkualitas beras sangat bervariasi. Hasil penelitian jugamenunjukkan fisikokimia beras mempengaruhi kualitasdan harganya.

Karakteristik Beras dan Nasi yang DisukaiResponden

Dalam pembelian beras (bila diranking), hanya 20%responden yang memilih warna beras sebagaipertimbangan pertama, sedangkan 42% dan 19%

responden memilih sebagai pertimbangan kedua danketiga. Aroma beras merupakan pertimbangan pertamayang dipilih 28% responden, diikuti oleh 21% dan 30%responden yang memilih aroma sebagai pertimbangankedua dan ketiga. Sebanyak 38% responden memilihbentuk beras sebagai pertimbangan kelima, 32% dan11% responden memilih bentuk beras sebagaipertimbangan keempat dan ketiga. Keutuhan berasdipilih oleh 31% responden sebagai pertimbangankeempat, 26% dan 24% responden memilih keutuhanberas sebagai pertimbangan kelima dan ketiga.Kebersihan beras dipilih oleh 36% responden sebagaipertimbangan pertama, diikuti oleh 19% responden yangmemilih kebersihan beras sebagai pertimbangan kelima,yang selanjutnya masing-masing diikuti oleh 15%responden yang memilih sebagai pertimbangan kedua,ketiga, dan keempat (Tabel 4).

Apabila beras tersebut dimasak menjadi nasi (biladiranking), warna nasi dipilih oleh 42% respondensebagai pertimbangan keempat, diikuti masing-masingoleh 16% dan 15% responden sebagai pertimbangankedua dan ketiga. Tekstur nasi (pulen atau pera) dipiliholeh 35% responden sebagai pertimbangan pertama,diikuti masing-masing oleh 28% dan 23% respondensebagai pertimbangan kedua dan ketiga. Sebanyak 35%responden memilih aroma nasi sebagai pertimbanganketiga, diikuti oleh 23% dan 20% responden yang memilihsebagai pertimbangan kedua dan pertama. Bentuk nasidipilih oleh 44% responden sebagai pertimbangankelima, diikuti oleh 20% dan 19% responden yangmemilih sebagai pertimbangan keenam dan keempat.Kilap nasi dipilih oleh 70% responden sebagipertimbangan keenam, diikuti oleh 13% dan 12%responden yang memilih kilap nasi sebagaipertimbangan keempat dan kelima. Rasa nasi dipilih oleh33% responden sebagai pertimbangan pertama, diikutioleh 23% dan 18% responden yang memilih rasa nasisebagai pertimbangan kedua dan ketiga (Tabel 5).

Indrasari dan Adnyana (2007) melaporkan bahwaresponden di Provinsi Sumut, Jabar, Jateng, Jatim, Bali,Sulsel , dan NTB) menyatakan rasa nasi beras merah

Tabel 4. Karakteristik beras yang disukai responden berdasarkanranking.

Ranking (%)Preferensiberas Pertama Kedua Ketiga Keempat Kelima

Warna 20 42 19 8 11Aroma 28 21 30 9 12Bentuk 10 9 11 32 38Keutuhan 7 12 24 31 26Kebersihan 36 15 15 15 19

Page 17: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

INDRASARI ET AL.: PREFERENSI KONSUMEN PADA BERAS BERLABEL

177

lebih baik atau sama saja dibanding rasa nasi yang biasadikonsumsi. Responden di desa umumnya lebihmenyukai rasa nasi beras merah dibanding respondenkota, kecuali responden di Provinsi Jatim dan Bali.

Tanggapan Responden terhadap Beras BerlabelJaminan Varietas (BBJV)

Sebanyak 84% responden belum pernah mendengarBBJV, dan 14% pernah mendengar BBJV dari penelitiBB Padi pada waktu pelatihan SLPTT tahun 2013, 1%dari internet, dan 1% dari tim UPBS pada tahun 2013(Tabel 6).

Sebanyak 90% responden bersedia membeli BBJVlebih mahal dibanding beras berlabel lainnya denganrincian sebanyak 59% bersedia membeli lebih mahalhingga Rp 1000, 22% responden bersedia membeli lebihmahal Rp 1.000-2.000, 6% responden bersedia membelilebih mahal Rp 2.000-3.000, dan 3% responden bersediamembeli lebih mahal (Rp 3.000). Alasan responden yangmau membeli beras dengan harga yang lebih tinggiantara lain karena produk lebih bersih, mutu lebihterjamin, keaslian varietasnya terjamin dan tidak pakaibahan pengawet. Alasan 10% responden yang tidak mau

membeli BBJV dengan harga yang lebih mahal antaralain karena tidak menyukai produk BBJV yang diberikansebagai sampel, kurang sosialisasi, takut penipuan, daningin ekonomis (Tabel 6).

Preferensi Relatif Konsumen terhadap BBJV

a. Preferensi terhadap beras berlabel lainnya

Preferensi responden terhadap BBJV dibanding berasberlabel lainnya dapat dilihat pada Tabel 1. Terlihat bahwa55% responden menyatakan produk BBJV lebih baikberdasarkan bentuk beras, 31% warna beras, 44% aromaberas, 68% keutuhan, 68% kebersihan, 54% rasa nasi,87% mutu gizi, dan 88% mutu fungsional. Respondenyang menyatakan BBJV sama saja dengan beras yangbiasa dikonsumsi berdasarkan bentuk beras 45%, warnaberas 52%, aroma beras 48%, keutuhan 27%, kebersihan30%, rasa nasi 39%, mutu gizi 12%, dan mutu fungsional11%. Responden yang menyatakan BBJV kurang baikdibanding beras yang biasa dikonsumsi berdasarkanbentuk beras tidak ada, warna beras 17%, aroma beras8%, keutuhan 5%, kebersihan 2%, rasa nasi 7%, mutu gizi1%, dan mutu fungsional 1% (Tabel 7).

Di Timur Tengah banyak konsumen yang menyukaiberas yang panjang dan disosoh sempurna denganaroma yang wangi dibanding konsumen di Eropa yangcenderung menyukai bentuk beras panjang tanpaaroma wangi. Di lain pihak, masyarakat Jepang lebihmenyukai beras sosoh sempurna dan baru disosoh,berbentuk pendek beras Japonica (Lancon et al. 2003,Galawat and Yabe 2010, Unnevehr et al. 1985,Suwannaporn and Linnamenn 2008). Sebaliknya,konsumen di Nigeria menyukai beras impor denganalasan bersih, mengembang, enak, tersedia dan bentukberas. Karakteristik beras impor ini juga disukai oleh

Tabel 7. Preferensi relatif responden terhadap produk BBJV di tigakota di Indonesia, 2013 (%).

Preferensi relatif terhadap produk beras yang biasaKarakteristik produk dibeli/dikonsumsi (%)

Lebih Kurang Samabaik baik saja

Bentuk beras (ramping, sedang, bulat) 55 0 45Warna beras (putih atau tidak) 31 17 52Aroma beras (wangi atau tidak) 44 8 48Keutuhan/ukuran beras (beras 68 5 27 kepala, beras patah, menir, dll)Kebersihan beras (ada kotoran tidak) 68 2 30Rasa nasi (pulen atau tidak) 54 7 39Mutu gizi (protein, mineral, vitamin) 87 1 12Mutu fungsional (IG rendah, antosianin) 88 1 11

Tabel 6. Tanggapan responden terhadap Beras Berlabel JaminanVarietas (BBJV).

Tanggapan Persentase(%)

Belum pernah mendengar tentang BBJV 84Sudah pernah mendengar tentang BBJV 14dari peneliti BB Padi pada waktu pelatihanSLPTT tahun 2013Bersedia membeli produk BBJV lebih mahal 90dibanding BBNJV• Bersedia membeli mahal Rp 1.000 per kg 59• Bersedia membeli mahal Rp 1.000 22

hingga Rp 2.000 per kg• Bersedia membeli mahal Rp 2.000 6

hingga Rp 3.000 per kg• Bersedia membeli mahal lebih dari Rp 3.000 per kg 3Tidak bersedia membeli produk BBJV lebih 10mahal dibanding BBNJV

Tabel 5. Karakteristik nasi yang disukai responden berdasarkanranking.

Ranking (%)Preferensinasi Pertama Kedua Ketiga Keempat Kelima Keenam

Warna 10 16 15 42 11 6Tekstur 35 28 23 8 6 0Aroma 20 23 35 12 9 1Bentuk 2 6 8 19 44 20Kilap 0 4 1 13 12 70Rasa 33 23 18 13 13 0

Page 18: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

178

rumah makan dan indusri cepat saji untuk digunakandalam bisnisnya (Akaeze 2010).

Kesukaan konsumen terhadap rasa nasi bervariasidi berbagai negara. Umumnya mereka memperhatikankualitas dan harga ketika membeli beras (Diako et al.2008). Konsumen di Amerika menyukai beras yangberhubungan dengan cara memasak dan karakteristikpengolahannya.

b. Preferensi terhadap preferensi beras aromatikdari pasar modern

Preferensi responden terhadap BBJV Hipa 8 dan berasaromatik lain (BBNJV) dari pasar modern dilaksanakandi kota Yogyakarta (35 responden), Jakarta (35responden) dan Bandung (30 responden). Berasaromatik lain yang diujikan kepada responden selainBBJV Hipa 8 adalah beras merk Pandanwangi LM,Jasmine CF, Pandanwangi Weni AF, CL Beras SuperPandanwangi dan CF Diskon Beras Pandanwangi.

Hasil analisis statistik menggunakan uji Kruskal Wallismenunjukkan tidak ada perbedaan kesukaan antaraaroma, warna, bentuk/ukuran, keutuhan dankebersihan BBJV Hipa 8, beras merk Pandanwangi LM,Jasmine CF, Pandanwangi Weni AF, CL Beras SuperPandanwangi dan CF Diskon Beras Pandanwangi.Demikian pula berdasarkan atribut penerimaan umum,tidak ada perbedaan tingkat kesukaan pada berasaromatik merk Pandanwangi LM, Pandanwangi WeniAF, dan CL Beras Super Pandanwangi, kecuali padaberas aromatik merk Jasmine CG, CF Diskon BerasPandanwangi dan BBJV Hipa 8. Penerimaan umum yangpaling disukai adalah BBJV Hipa 8 di Kota Bandungdengan tingkat kesukaan 1,93 (suka) dan ranking 57,67(Tabel 8). Ranking merupakan nilai bobot yangmenggambarkan tingkat kesukaan responden terhadapproduk yang dinilai, semakin besar nilai ranking semakinsuka responden terhadap produk BBJV Hipa 8.

c. Preferensi beras nonaromatik di pasar modern

Preferensi responden terhadap BBJV Ciherang dan Inpari13 serta beras nonaromatik lain (BBNJV) di pasar moderndilaksanakan di Kota Yogyakarta (35 responden), Jakarta(35 responden), dan Bandung (30 responden). Berasnonaromatik lain yang diujikan kepada responden selainBBJV Ciherang dan Inpari 13 adalah beras merk BerasCianjur Slyp LM PT LM, Save Beras Setra Ramos LM, BerasCianjur 365 SI, Setra Ramos BPS, Save Beras Ramos CapKembang LM, Setra Ramos AM, Save Beras Cianjur SlipLM, CF Diskon Beras Setra Ramos.

Hasil analisis statistik menggunakan uji Kruskal Wallismenunjukkan tidak ada perbedaan kesukaan antaraaroma, warna, bentuk/ukuran, keutuhan dankebersihan beras, kecuali BBJV Inpari 13 untuk atributbentuk/ukuran dan kebersihan (Tabel 3). Demikian pulaberdasarkan atribut penerimaan umum, tidak adaperbedaan tingkat kesukaan. Penerimaan umum yangpaling disukai adalah beras Setra Ramos BPS dan BBJVInpari 13 masing-masing dengan tingkat kesukaan danranking 1,57 (suka) dan 60,07 serta 1,74 (suka) dan 58,64di Kota Yogyakarta (Tabel 9). Ranking merupakan nilaibobot yang menggambarkan tingkat kesukaanresponden terhadap produk yang dinilai, semakin besarnilai ranking semakin suka responden terhadap berasSetra Ramos BPS dan BBJV Inpari 13. Penerimaan secaraumum terhadap BBJV Ciherang dan beberapa BBNJVlainnya relatif sama.

d. Preferensi nasi beras aromatik di pasar modern

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tingkatkesukaan responden terhadap aroma, warna, kilap,tekstur, bentuk, rasa dan penerimaan umum pada nasiBBJV Hipa 8, Pandanwangi LM, Jasmine CF, PandanwangiWeni AF, CL Beras Super Pandanwangi dan CF DiskonBeras Pandanwangi di kota Yogyakarta, Jakarta danBandung relatif sama.

Tabel 8. Preferensi relatif responden terhadap BBJV Hipa 8 (aromatik) dan BBNJV dari dua pasar modern di tiga kota di Indonesia, 2013.

Merk beras Preferensi Kota Rerata Rerata Chi-kesukaan*) ranking**) square***)

Jasmine CF Penerimaan Umum Yogyakarta 1,86 56,36 6,111Jakarta 1,60 43,50Bandung 1,77 51,83

BBJV Hipa 8 Penerimaan Umum Yogyakarta 1,86 53,86 12,159Jakarta 1,60 41,00Bandung 1,93 57,67

CF Diskon beras Penerimaan Umum Yogyakarta 1,14 55,14 9,677Pandanwangi Jakarta 1,00 48,00

Bandung 1,00 48,00

*) Nilai kesukaan masing-masing responden (1: sangat suka hingga 6: sangat tidak suka).**) Nilai bobot seberapa suka masing-masing responden.***) Chi-square hitung > Chi-square tabel (5,991) bermakna signifikan.

Page 19: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

INDRASARI ET AL.: PREFERENSI KONSUMEN PADA BERAS BERLABEL

179

e. Preferensi nasi beras nonaromatik di pasarmodern

Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaantingkat kesukaan responden terhadap aroma, warna,kilap, kepulenan dan rasa pada nasi BBJV Ciherang, BBJVInpari 13, beras merk Beras Cianjur Slyp LM PT LM, SaveBeras Setra Ramos LM, Beras Cianjur 365 SI, Setra RamosBPS, Save Beras Ramos Cap Kembang LM, Setra RamosAM, Save Beras Cianjur Slip LM, CF Diskon Beras SetraRamos, kecuali pada atribut kepulenan dan rasa nasiberas Cianjur Slip LM PT LM (Tabel 10). Demikian pulaberdasarkan atribut penerimaan umum, tidak adaperbedaan tingkat kesukaan pada nasi BBJV, kecualipada beras merk Setra Ramos BPS. Penerimaan umumnasi yang paling disukai adalah beras Setra Ramos BPS

dengan tingkat kesukaan 1,77 (suka) dan rerata ranking58,83 di kota Bandung (Tabel 10).

KESIMPULAN

Responden yang menyatakan produk BBJV lebih baikdibanding produk BBNJV berdasarkan bentuk beras55%, warna beras 31%, aroma beras 44%, keutuhan 68%,kebersihan 68%, rasa nasi (54%, mutu gizi 87%, dan mutufungsional 88%. Responden yang menyatakan produkBBJV sama dengan produkBBNJV lain berdasarkanbentuk beras 45%, warna beras 52%, aroma beras 48%,keutuhan 27%, kebersihan 30%, rasa nasi 39%, mutu gizi12%, dan mutu fungsional 11%.

Tabel 10. Preferensi relatif responden terhadap nasi beras nonaromatik merk beras Cianjur Slip LM PT LM dan Setra Ramos BPS dari duapasar modern di tiga kota, Indonesia, 2013.

Merk beras Preferensi Kota Rerata kesukaan*) Rerata ranking**) Chi-Square***)

Beras Cianjur Slip LM PT LM Kepulenan Yogyakarta 1,34 50,14 11,801Jakarta 1,54 60,14Bandung 1,13 39,67

Rasa Yogyakarta 1,43 51,43 6,410Jakarta 1,54 57,14Bandung 1,23 41,67

Setra Ramos BPS Penerimaan umum Yogyakarta 1,43 41,93 7,798Jakarta 1,63 51,93Bandung 1,77 58,83

*) Nilai kesukaan masing-masing responden (1: sangat suka hingga 6: sangat tidak suka)**) Nilai bobot seberapa suka masing-masing responden***) Chi-square hitung > Chi-square tabel (5,991) bermakna signifikan

Tabel 9. Preferensi relatif responden terhadap BBJV Inpari 13 dan BBNJV dari dua pasar modern di tiga kota di Indonesia, 2013.

Merk beras Preferensi Kota Rerata kesukaan*) Rerata ranking**) Chi-Square***)

BBJV Inpari 13 Bentuk/ukuran Yogyakarta 1,66 61,36 10,626Jakarta 1,29 42,79Bandung 1,37 46,83

Kebersihan Yogyakarta 1,51 58,71 6,683Jakarta 1,23 44,43Bandung 1,30 48,00

Penerimaan umum Yogyakarta 1,74 58,64 8,430Jakarta 1,40 41,50Bandung 1,60 51,50

Setra Ramos BPS Penerimaan umum Yogyakarta 1,57 60,07 11,838Jakarta 1,17 40,07Bandung 1,40 51,50

Save Beras Ramos Penerimaan umum Yogyakarta 1,49 56,79 8,418Cap Kembang LM Jakarta 1,17 41,07

Bandung 1,43 54,17CF Diskon Beras Penerimaan umum Yogyakarta 1,34 57,14 8,664 Setra Ramos Jakarta 1,06 42,86

Bandung 1,23 51,67

*) Nilai kesukaan masing-masing responden (1: sangat suka hingga 6: sangat tidak suka)**) Nilai bobot seberapa suka masing-masing responden***) Chi-square hitung > Chi-square tabel (5,991) bermakna signifikan

Page 20: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

180

Berdasarkan preferensi penerimaan umum, berasaromatik yang paling disukai konsumen adalah BBJVHipa 8 di kota Bandung dengan tingkat kesukaan 1,93(suka) dan ranking 57,67. Untuk beras aromatik, tidakada perbedaan tingkat kesukaan dari semua sampelyang diuji berdasarkan preferensi penerimaan umum.

Berdasarkan preferensi penerimaan umum, berasnonaromatik yang paling disukai konsumen adalahberas Setra Ramos BPS dan BBJV Inpari 13 masing-masing dengan tingkat kesukaan dan ranking 1,57 (suka)dan 60,07 serta 1,74 (suka) dan 58,64 di kota Yogyakarta.Penerimaan secara umum antara BBJV Ciherang denganbeberapa BBNJV lainnya relatif sama. Tingkat kesukaanpenerimaan umum antara beras nonaromatik BBJVCiherang dan Inpari 13 dengan nasi nonaromatik BBNJVlain pada dua pasar modern di Jakarta juga relatif sama.Penerimaan umum yang paling disukai adalah berasSetra Ramos BPS dengan tingkat kesukaan 1,77 (suka)dan ranking 58,83 di Kota Bandung.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Djoko SaidDamardjati, Prof. Dr. A. Karim Makarim dan Prof. Dr. IWayan Rusastra atas saran dan masukan dalampenyusunan karya tulis ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adeye, J.A., E.P. Navesero,O.J. Ariyo, and S.A. Adeye. 2010.Consumer Preference for Rice Consumption in Nigeria.Journal of Humanities, Social Sciences and Creative Arts5(1):26-36.

Akaeze, Q.O. 2010. Consumer preference for imported rice inNigeria – perceived quality differences or habit persistence?Unpublished Master Thesis. Michigan State University.

Azabagaoglu, M.O. dan O. Gaytancioglu. 2009. Analyzing consumerpreference to different rice varieties in Turkey. AgriculturaTropica Et Subtropica 42(3):118-125.

Damardjati, D.S. and M. Oka. 1989. Evaluation of consumerpreference for rice quality characteristics at urban area inIndonesia. Paper presented at the 12th ASEAN Seminar onGrain Postharvest Technology, Surabaya, Indonesia.

Damardjati, D.S. 1995. Karakterisasi sifat dan standardisasi mutuberas sebagai landasan pengembangan agri-bisnis dan agro-industri padi di Indonesia. Orasi Pengukuhan Ahli PenelitiUtama. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. 52p.

Danso-Abbeam, G., M. Armed, and F. Baidon. 2014. Determinantsof consumer preference for local rice in Tamale Metropolis,Ghana. International Journal of Education and Sosial Science1(2):114-122.

Diako, C., E. Sakyi-Dawson, B. Bediako-Amoa , F.K. Saalia, andJ.T. Manful. 2008. Consumer perceptions, knowledge andpreferences for aromatic rice types in Ghana. Nature andScience 8 (12): 12-19.

Galawat, F. and M. Yabe. 2010. Assesing consumer’s preferencesfor local rice in Brunei: An application of choice model. J.ISSAAS 16(2):104-115.

Hogg, A. and S. Kalafatis. 1992. Current trends in the UnitedKingdom market for rice. Proceedings of the Prospects forRice Consumption in Europe Symposium. Verona. Italy.

Indrasari, S.D. dan M.O. Adnyana. 2007. Preferensi konsumenterhadap beras merah sebagai pangan fungsional. IptekTanaman Pangan 2(2):227-241.

Kassali, R., R.O. Kareem, O. Oluwasola, and O.M. Ohaegbulam.2010. Analysis of demand for rice in Ile Ife, Osun State, Nigeria.Journal of Sustainable Development in Africa 12(2):263-278.

Lancon, F. O. Erenstein, S.O. Akande, S.O. Titilola, G. Akpokodje,and O.O. Ogundele. 2003. Imported rice, retailing andpurchasing in Nigeria: A survey. In the Nigerian Rice Economyin a Competitive World: Constraints, Opportunities and StrategicChoices. West Africa Rice Development Association (WARDA).

Larmond, E. 1982. Laboratory methods for sensory evaluation offood. Res. Dept. Agric. Pub. Ottawa, Canada.

Musa, M., N. Othman, and F.A. Fatah. 2011. Determinants ofconsumers purchasing behavior for rice in Malaysia.American International Journal of Contemporary Research1(3):159-167.

Opoku, R.A. and P.A.K. Akorli. 2009. The preference gap: Ghanaianconsumers’ attitudes toward local and imported products.African Journa; of Bussiness Management 3(8):350-357.

Rahmat, R., R. Thahir, and M. Gummert. 2006. The empiricalrelationship between price and quality of rice market levelin West Java. Indonesian Journal of Agricultural Science7:27-33.

Suismono dan Darniadi. 2010. Prospek beras berlabel SNI. Pangan19(1):30-39.

Suismono, Sudaryono, dan A. Ramli. 2009. Kajian beras berlabeldi kabupaten Subang. Prosiding Seminar Nasional Padi 2008.Buku 4. Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi PerubahanIklim Global Mendukung Ketahanan Pangan (Eds., A. Setyonoet al.). p.1715-1725.

Suwannaporn, P. and A. Linnamenn. 2008. Consumer preferencesand buying criteria in rice: a study to identify market strategyfor Thailand Jasmine Rice Export. Journal of Sensory Studies23:1-13.

Syahrir, S., A.A. Taridala, dan Bahari. 2015. Preferensi berasberlabel. Agriekonomika 4(1):10-21.

Tomlins, K.I., J.T. Manful, P. Larwer, and L. Hammond. 2005. Urbanconsumer preferences and sensory evaluation of locallyproduced and imported rice in West Africa.

Toquero, Z.F. 1991. Consumer demand for rice grain quality in ricegrain marketing and quality issues. Selected Paper from TheInternational Rice Reserach Conference, 27-31 August 1990,Seoul, Korea, IRRI. Manila. p.37-46.

Unnevehr, L.J. , B.O. Juliano, and C.M. Perez. 1985. Consumerdemand for rice grain quality in Southeast Asia. Paperspresented at the International Rice Research Conference.International Rice Research Institute (IRRI). Manila.Philippines.

Wibowo, P., S.D. Indrasari, dan D.D. Handoko. 2007. Preferensikonsumen terhadap karakteristik beras dan kesesuaiannyadengan standar mutu beras di Jawa Tengah. ProsidingSeminar Nasional Padi. Buku 2. Seminar Apresiasi HasilPenelitian Padi Menunjang P2BN. (Eds.: B. Suprihatno et al.).p.821-833.

Page 21: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

NUGRAHA ET AL.: RESPONSES OF SELECTED RICE VARIETIES UNDER EXCESS IRON CONDITION

181

Responses of Selected Indonesian Rice Varieties underExcess Iron Condition in Media Culture at Seedling Stage

Respon Varietas Indonesia Terpilih pada Kondisi Kelebihan BesiFase Bibit di Media Kultur

Yudhistira Nugraha1,2,*, Indrastuti A. Rumanti1, Agus Guswara1, Sintho Wahyuning Ardie2,Suwarno1, Munif Ghulammahdi2, Hajrial Aswidinnoor2

1Indonesian Center for Rice ResearchJl. Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat, Indonesia

*E-mail: [email protected] Agronomy and Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University (IPB)

Jl Meranti Kampus Darmaga Bogor, 16680, Indonesia

Naskah diterima 15 Maret 2016, direvisi 5 Desember 2016, disetujui 9 Desember 2016

ABSTRAK

Keracunan besi dapat membatasi hasil padi pada tanah masamdan rawa di beberapa negara tropis. Penggunaan varietas toleranterhadap keracunan besi menjadi strategi alternatif dalammeningkatkan hasil padi pada daerah-daerah tersebut. Penelitianbertujuan untuk mempelajari variasi fenotipik danmengkarakterisasi alur besi di dalam akar dan tajuk dari 24genotipe padi yang ditanam pada kondisi tercekam Fe tinggidengan konsentrasi 400 mg/l dan dalam kondisi normal. Hasilpenelitian menunjukkan terdapat variasi akumulasi biomasaselama perlakuan cekaman Fe, yaitu genotipe toleran yangberbobot kering tajuk besar dan genotipe toleran dengan bobotkering tajuk kecil. relatif bobot kering berkorelasi sangat nyatadengan skor bronzing daun (LBS) pada kondisi cekaman besi.Berdasarkan kategorisasi ini beberapa genotipe dipilih untukmempelajari keberadaan Fe di dalam akar dan tajuk menggunakanvisualisasi pewarnaan 2,2 bypiridine untuk mengetahuikeberadaan Fe di dalam akar dan tajuk. Hasil penelit ianmenunjukkan sejumlah genotipe dapat membentuk aerinkima didaerah akar dan tajuk akibat perlakuan cekaman besi.Kemampuan ini berhubungan dengan terbentuknya plak besi diakar dan kandungan besi di tajuk. Dengan demikian, genotipepadi dapat digolongkan menjadi tipe toleran includer (Inpara2)dan tipe toleran excluder (Mahsuri, Pokkali and Siam Saba).Informasi tentang strategi toleransi tanaman padi berguna untukpemulia dalam merancang program pemuliaan tanaman paditoleran terhadap keracunan besi berbasis fisiologi.

Kata kunci: Tipe excluder, tipe includer, ferric, aerenkima,biomassa.

ABSTRACT

Iron toxicity could limit rice productivity on irrigated lowland acidand swampy soil. The use of iron toxicity tolerant rice is an alternativestrategy to improve rice productivity in these areas. The researchstudied the phenotypic variation of twenty-four rice genotypesand characterized the fate of Fe2+ along its path between the rootsand shoot of rice plant. Twenty-four rice genotypes from differentagro-ecosystems were grown under agar nutrient solution

conditions with 400 mg/l iron stress and under normal condition.Results showed variation in the biomass accumulation of riceseedling during stress of iron, differentiated as high accumulatedbiomass tolerant type and low accumulated biomass tolerant type.The relative biomass weight was highly correlated with the leafbronzing scores (LBS) under excess iron. Based on thesecategorizations, six genotypes were chosen to observe the presentof Fe in root and shoot using in vivo-staining 2,2 bypiridine. Theresults indicated that some genotypes were able to develop rootand shoot aerenchym during iron stress. This was related to thedevelopment of root iron plaque and the iron content of the shoot ofthe rice seedling. In this present study, rice genotypes could beclassified as the includer tolerant type (Inpara 2) and some otherswere the excluder tolerant type (Mahsuri, Pokkali and Siam Saba).This information on crop tolerance strategies is important for ricebreeder to develop physiological-based breeding program of iron-toxicity tolerance in rice.

Keywords: Excluder-type, includer-type, ferrous iron,aerenchym, biomass.

INTRODUCTION

High concentration of ferrous iron (Fe2+) negativelyaffects the growth of rice plants. Since rice is cultivatedunder flooding condition, most iron ion is transportedby liquid mass flow from rhizosphere through theintercellular space of the root cortex to the Casparianstrip, and uploaded into the xylem vessels (Stephan etal. 2002). Along this long-distance transport elevated Fe2+

concentrations catalyze the formation of reactive oxygenspecies (ROS) and may result in an irreversible damageto the leaf, so called leaf-bronzing (Becana et al. 1998).This leaf injury is followed by stunted plant growth, lowtiller number, and poorly developed root system(Dobermann and Fairhurst 2000). The leaf-bronzingseverity depends on the intensity and the duration of

Page 22: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

182

the Fe stress and genotype-specific tolerancemechanisms (Becker and Asch 2005). In acute cases,eventually it causes the death of leaves or whole plantand contributed up 12 to 100% yield loss (Audebert andSahrawat 2000).

Some cultural practices can reduce the negativeimpact of iron excess, such as periodical drainage tooxidize the iron (Prasetyo et al. 2013); soil liming toincrease soil pH (Fageria et al. 2008); and applyingappropriate P, K and Zn fertilizers (Ramirez et al. 2002)or Si fertilizer (Dufey et al. 2014) to minimize the negativeeffect of excessive iron. However, farmers may find thatthese methods are often not practical and economical.They may prefer to plant iron toxicity tolerant variety.Although there had been number of iron toxicity tolerantvarieties released, the breeding program for iron-toxicitystill continue to meet farmer preferences and to improvecharacteristics the existing varieties (Ruskandar et al.2011). The program may be done through physiological-based breeding, which based on the phenotypical-tolerance appearance and the physiological aspect ofrice plant tolerance.

Screening for iron toxicity tolerance had been doneamong Indonesian rice germplasm pool (Suhartini 2004,Suhartini and Makarim 2009, Hanarida and Utami 2009,Utami and Hanarida 2014). Iron toxicity tolerantgenotypes were mostly local varieties which arecharacterized as tall plant type, photoperiod sensitiveand low yielded (Suhartini 2004). To adapt rice plants toFe toxic conditions, four types of tolerance mechanismshad been proposed. Type I referred to exclusion of Fe2+

at the root level, thus avoiding Fe2+ from entering theshoots tissue via rhizospheric oxidation (Wu et al. 2014,Engel et al. 2012a) or through increasing pH by OH- efflux(Suhartini and Makarim 2009). Type II referred toexclusion of Fe2+ and selectivity of root membrane viaprotein transporter regulation e.g. Iron regulatedtransporter (IRT) (Utami and Somantri 2014; Thomineand Vert 2013). Type III referred to inclusion andavoidance via internal compartmentation of Fe2+, e.g.utilization iron storage protein, Ferritin (Briat et al. 2010;Majerus et al. 2007b) or preferential storage in old leavesor photosynthetically less active leaf sheath tissue(Audebert and Sahrawat 2000). Type IV referred toinclusion via increased thresholds to elevated Fe2+ withinleaf cells, probably through enzymatic detoxification inthe symplast (Majerus et al. 2007a, Majerus et al. 2009).

Among the tolerance-typed to iron toxicity, it can besimplified into two categories namely, exclusion tolerance-type and inclusion tolerance-type. This identification canbe done simply by checking the presence of Fe2+ in theshoots and root of rice plant. However, up to now there isno clear information regarding the between leaf

symptoms and Fe concentration in the plant (Elec et al.2013, Engel et al. 2012a). It also had been demonstratedthat iron plaque deposition on the root surface couldexplain different levels in iron toxicity tolerance (Dufey etal. 2009, Wu et al. 2014). For oxidizing iron, the root needsto transfer oxygen from atmospheric to root zone, whichis facilitated by aerenchym (Harahap et al. 2014, Colmer2003). Hence, the reason for these differences could bedue to gas transport capacity among the cultivars and it isassumed due to anatomical differences of the riceaerenchym.

Little is known about the prevalence of differenttolerance-type based on the presence of Fe2+ in the rootsand in the shoot among the available rice germplasmpool. This knowledge is required to accelerate breedingefforts for iron-toxicity tolerance. Here, we study theidentification of phenotypic variations among twenty-four rice genotypes based on tolerance, biomassproduction and iron concentration in the shoot. We alsoobserve the fate of Fe2+ along its path between the rootsand shoot, in order to know the tolerance-type of riceseedling to iron toxicity stress.

MATERIALS AND METHODS

Plant Materials and Media Culture

The experiment was conducted in greenhouseexperimental station of Indonesian Center for RiceResearch, Bogor from May to June 2014. Twenty-fourrice genotypes of known tolerance degree of iron toxicitywere used in this study. Germinated seeds weretransferred to sheet-holed styrofoam, measuring 24 cmx 36 cm x 2 cm size that fitted to a 10-L plastic tray. Eachsheet consisted of 100 holes with 2 cm x 3 cm spacing;each hole was used for growing one seedling. The plastictrays were filled with pre-culture solution using 1 L of8×strength stock nutrient solution (Yoshida solution)added with 7 L of deionized water. After 14 days the pre-culture media solutions were replaced by new Yoshidasolution with addition of 400 mg L-1 of Fe2+ supplied asFeSO4 and a 0.2 % agar, to minimize oxidation of ferrousiron (Nugraha et al. 2016). The initial pH was adjusted at5.5 (±0.2). The nutrient solution of control was the sameto that of the first experiment. We did not replace nutrientsolution until 14 days for final leaf bronzing scored andsamples were harvested for further analysis. The leafbronzing score were determined by using scoringindexes 1 (no bronzing symptom on the leaf) to 7 (thewhole leaves were bronzing) (Table 1). Ten samples weretaken to observe the shoot and root length. The shootlength was measured from based of shoot to the highesttip of leaf, while the root length was measured from the

Page 23: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

NUGRAHA ET AL.: RESPONSES OF SELECTED RICE VARIETIES UNDER EXCESS IRON CONDITION

183

longest root tip of root to the root base. Afterward thesamples were oven dried at 70o C for 3 days then weighedfor root and shoot dry-weight. The relative value of shootand root dry weight was determined by (dw undernormal – dw under iron stress)/dw under normal.

Samples were harvested for measuring iron rootplaque and shoot iron content. The fresh root of entireroots was incubated in 2 M HCl in 50 mL plastic flask for60 minutes. The extract was filtered and transferred intonew flask for analysis. Afterward the samples were ovendried at 70o C for 3 days. The oven-dried shoot sampleswere ground and weighed 0.5 g into digestion tube. Thesamples were digested using 5 mL concentrate acid(HNO3:HClO4 =3:1). The following days, samples wereheated on digestion block at 120oC for 24 hours. Afterthe tube had cooled, the digest was transferred to 25mL flask with deionized water. Iron plaque and shootconcentration were measured by atomic absorptionspectrophotometry.

In Vivo Staining of Rice Seedling AfterExposed to Iron Toxicity

A total of six rice genotypes were chosen based ontolerance and biomass accumulation during plantgrowth under the same nutrient condition for screeningunder Fe-excess and normal condition. Four samplesfrom each genotype were taken for observation.Segments of the roots and shoot from four individualplants were sliced using a razor blade with 4 0.1 mmthickness and placed on a glass carrier plate. The rootsegments of main root were taken from main root at 10mm from the root apex. This cross section was viewedat 100-fold magnification using microscope Axiovert 70Zeuss. The segment of the shoot was taken from 20 mmabove the epicotyl and were viewed at a 40-foldmagnification. Staining were done by dropping 0.1 ml10 mM 2,2 bypiridine to the sample and allowed for 5

minutes to allow the iron in the sample diluted. Thistechnique was a modification from the stainingtechnique developed by Engel et al. (2012b), whichneeded an overnight iron rice seedling staining and usedlow concentration of bypiridine. The microscopicobservations were documented using a high-resolutioncamera Canon A85. The visualization and measurementof aerenchym area used software Zeuss Zen 12 (Zeuss,Germany).

Statistical analyses were performed using variance(ANOVA) after verifying that the residuals met thecriterion of normal distribution. Cate–Nelson analysis(Cate and Nelson 1976) was performed to divide thedata into two groups: sensitive and tolerance genotypes.Those data where a change in the x variable is likely tocorrespond to a response in the variable and those datawhere a change in x is unlikely to correspond to a changein y. The Sum of Squares was presented by PROC ANOVA.This procedure was required to compute the potentialcritical-x value interactively to each the data set, and theprocedure re-run each time, so that the critical-x valuewas maximizes. The critical-y value and the error wouldbe determined manually afterwards.

RESULTS AND DISCUSSION

Relationship of the Bronzing Severitywith Observed Characters

We did not find variation on leaf bronzing amonggenotypes after 5-d exposure with high ironconcentration, resulting insignificant correlationbetween the observed characters and leaf bronzing(Table 2). However, after 10-d, LBS correlated with traitsrelated to root and their relative comparison to normalcondition, indicating that excess iron inhibited thedevelopment of root system in sensitive genotypescompared to those in tolerant genotypes. However, theobservation of rice root system in media culture needsuprooting the plant and would be convicting the samplefor analysis. Therefore, this method would not beapplicable for selection criteria.

High susceptibility to iron toxicity resulted fromtreatment of 400 mg. L-1 was observed on IPB107-5-1-1and IR64, with bronzing scores 5.3 and 5.2, respectively.Whereas Siam Saba (2.8), Cilamaya Muncul (2.9) andPokkali (3.0) indicated the lowest bronzing scoresamong all tested genotypes (Fig 1). There was nosignificant correlation between LBS with shoot dryweight, however LBS was significantly correlated withthe weight of its relative to normal conditions(r=0.625**). This was because tolerant genotypes could

Table 1. Bronzing score classified into seven ranks according toinspection of leaf blades of rice (Shimizu et al. 2005)

Leaf order-Skor

2 3 4 5 6

1 N N N N N2 P N N N N3 W P N N N4 R W P N N5 R R W P N6 R R R W P7 R R R R W

N: normal, T: bronzing on the leaf tip, P: partly bronzing, W: wholeleaf bronzing, R: rolled or dead leaf.

Page 24: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

184

belong to high or low accumulated shoot biomass (Fig1). For example, the tolerance genotype Pokkali was themost vigorous seedling observed in this experiment (0.32g per plant), while other tolerant genotypes like SiamSaba was only 0.15 g per plant. High biomassaccumulation of Pokkali was also reported by otherresearchers (Engel et al. 2012a, Wu et al. 2014). In thispresent study, we found that the LBS also did notcorrelated with shoot iron content (r=0.392), indicatingthat some tolerant genotypes were able to store the ironin the shoot and the others tolerant excluded the ironfrom the leaves, left in the rhizosphere. Other researchersreported the total amount of Fe accumulated in theaboveground plant parts was not always related to theleaf-symptom scores (Engel et al. 2012b, Onaga et al.

Table 2. Simple correlation between leaf bronzing score (LBS) andeach observed characters of rice seedlings exposurewith 400 mg. L-1 of ferrous iron (N=24).

Characters LBS at 5-d LBS at 10-d

LBS at 10-d 0.476* -Root length -0.314 -0.515*Root dry weight 0.139 -0.419*Shoot length 0.050 -0.412Shoot weight 0.148 -0.362Relative root length+ 0.242 0.506*Relative root dry weight+ -0.081 0.525**Relative shoot length+ -0.059 0.010Relative shoot dry weight+ 0.380 0.625**Shoot iron content - 0.392

+ Relative value is determined by normal-iron stress, LBS, leafbronzing score

 

Fig 1. Shoot dry weight, relative shoot dry weight and relation with leaf bronzing scores of 24 rice genotypes under iron excess 400 mg.L-1 of FeSO

4. Error bar is standard error from three replications.

Page 25: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

NUGRAHA ET AL.: RESPONSES OF SELECTED RICE VARIETIES UNDER EXCESS IRON CONDITION

185

2013). An iron dilution may have occurred in vigorouslygrowing genotypes (i.e., Pokkali) and it may present anadditional mechanism to cope with high Fe2+ in solution.The dilution of iron in the biomass may play an importantrole in the resistance to Fe toxicity. Therefore, thismechanism was further investigated in the nextexperiment of this study.

Determination Tolerance Level Basedon Phenotypic Variation

Excess iron also inhibited growth and development ofroots and shoot compared to normal condition, whichwas indicated by greatly reduced on the sensitivegenotypes. For example, IR64 had only 75% and 48% ofnormal condition in shoot length and root length,respectively, comparing with tolerant genotype SiamSaba which had 82% and 68% (Table 3). All genotypesalso showed reduction in root dry weight, but was themost pronounced in IR64 by 30% of control condition.

The less reduction of root dry weight was found inB13144-1-MR-2 (77%).

Tolerance level could be determined based on visualappearance of leaf color changing from green toyellowish reddish or leaf bronzing, when rice plant wasexposed to excess iron in the field or in the green house.This system certainly could cause personal error evenfrom inherently skilled eyes in selection practices. Analternative method was proposed by determining thecritical value of a visual score (LBS) with phenotypicalperformance. However, the correlation between LBS anddirect phenotypical performance was weak (Table 2).We used the relative value to analyze the critical point ofseparation (Table 3). The separation follow the methoddeveloped by Cate and Nelson (1976) for phosphoruscalibrations that would indicate an increase in crop yieldor not.

The range of coefficient determination (R2) was 0.560to 0.845, the highest was relative shoot dry weight (0.845),

Table 3. LBS, Relative plant height, root length, shoot dry weight, and root dry weight of rice genotypes under 400 mg. L-1 of Fe2+ for 10 days.

Genotypes LBS RL RW SL SW RRL RRW RSL RSW(score) (cm) (g) (cm) (g)

Siam Saba 2.53 12.7 0.04 35.7 0.14 0.68 0.68 0.82 0.87Awan Kuning 2.73 14.8 0.06 40.8 0.18 0.65 0.51 0.81 0.79Pokkali 2.87 19.5 0.11 53.3 0.29 0.60 0.51 0.80 0.83Cilamaya M 2.90 16.8 0.07 36.8 0.22 0.58 0.73 0.88 0.86B13144-1-MR-2 2.96 16.2 0.06 39.2 0.21 0.56 0.77 0.86 0.84Margasari 2.97 10.8 0.04 36.3 0.14 0.68 0.57 0.82 0.87Inpara 3 3.11 15.2 0.05 38.8 0.21 0.51 0.47 0.83 0.79Mahsuri 3.11 14.5 0.06 40.2 0.20 0.62 0.51 0.80 0.82Inpara 2 3.13 12.3 0.04 40.2 0.16 0.66 0.61 0.78 0.84Mesir 3.16 16.3 0.04 38.0 0.18 0.62 0.53 0.81 0.80Kapuas 3.40 10.2 0.05 37.3 0.18 0.63 0.45 0.81 0.81Limboto 3.48 13.0 0.04 37.8 0.16 0.59 0.52 0.86 0.85IPB Dadahp 1R 3.53 11.5 0.05 38.8 0.16 0.54 0.41 0.79 0.75B13100-2-MR-2 3.67 13.7 0.04 34.5 0.14 0.51 0.42 0.77 0.69IPB Batola 5R 3.73 13.0 0.04 37.8 0.16 0.49 0.4 0.79 0.66Indragiri 3.77 11.5 0.05 34.8 0.17 0.53 0.52 0.79 0.75A. Tenggulang 3.90 13.0 0.05 37.8 0.17 0.57 0.5 0.77 0.74IPB Batola 6R 4.23 12.3 0.04 36.2 0.15 0.5 0.42 0.80 0.7IPBKapuas 7R 4.73 10.0 0.04 32.8 0.15 0.43 0.4 0.76 0.72Batu Tegi 4.77 11.8 0.06 40.2 0.15 0.48 0.58 0.77 0.69Fatmawati 4.83 13.8 0.06 40.2 0.18 0.43 0.37 0.78 0.66Inpara5 5.23 9.5 0.03 33.7 0.15 0.45 0.34 0.75 0.64IR64 5.33 11.0 0.04 33.3 0.14 0.48 0.3 0.75 0.58IPB107F-5-1-1 5.40 10.5 0.03 33.0 0.15 0.48 0.34 0.77 0.58R2 - 0.03 0.03 0.28 0.06 0.757 0.560 0.636 0.845

SS critical - 507 1194 26.1 13.0 0.092 0.154 0.014 0.241SS total - 20902 39586 91.6 2056 0.122 0.258 0.022 0.285ANOVA (Model) ns ns ** ns *** *** *** ***CV (%) 14.5 12.3 23.2 15.5 10.9 14.4 9.4 13.6

LBS, leaf bronzing score, RL, root length, RW, root weight, SL, shoot length, SW, shoot weight, RRL, relative root length, RRW, relativeroot weight, Grey shaded values indicate tolerant genotypes after Cate-Nelson analysis using LBS as critical pivot point,R2, coefficient determination, SS partition, Sum of square critical partition between tolerant and sensitive groups, SS total, Sum Square ofTotal Anova model, CV, coefficient variation

Page 26: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

186

which had critical point of LBS. 3.67. This could mean thatgenotypes with LBS score less than 3.67 could becategorized as tolerant genotypes, while the genotypeswith LBS score above 3.67 could be categorized sensitivegenotypes. The critical point of LBS based on observedphenotypical performance was quite narrow ranged from3.40-3.67. Using this interactive method analysis wasreported for determining critical value between growthand quality nitrogen exchange in turf grass (Kopp andGuillard 2002); adoption sustainable resource and qualitywater resource (Mangiafico et al. 2008); and critical valuefor survey respond (Hollingsworth et al. 2011).

Status of Fe2+ in the Shoot and Root

Based on the first experiment, we selected six genotypesrepresenting different tolerance and biomassaccumulation. IR64 and IPB107F-5-1-1 were eachsensitive genotypes with low biomass accumulation,Inpara2 and Pokkali were tolerant genotypes with highbiomass accumulation, and Siam Saba and Mahsuriwere each tolerant genotypes with low biomassaccumulation. Differential expression of bipyridine-induced iron color formations in roots cross section areshown in Fig 2A. IR64, Inpara2 had distinct red color in

BA

Fig. 2. Cross section of root at 10 mm of rice seedling after treated by 400 mg. L-1 of Fe2+ in Yoshida-Agar solution for 10 d. (A)and normal condition (B). The red color is stained by 2,2 bypiridine. pa, Parenchyma; ae, aerenchym; lr, lateral root, a,IR64; b, Mahsuri; c, Pokkali; d, IPB107; e, Inpara2; f, Siam Saba.

Page 27: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

NUGRAHA ET AL.: RESPONSES OF SELECTED RICE VARIETIES UNDER EXCESS IRON CONDITION

187

the center cylinder of the root while Pokkali was foundonly in the lateral root, indicating that iron had enteredin to the root. The red color formation in shoot followedafter iron had entered the root, where most of the ironwas deposited in vascular bundle of IR64 and Inpara2but it was not found in Pokkali. We found onlyparenchyma formation in 10 mm from the tips of mainapical root under normal conditions (Fig 2B), but thepresent of space formation (aerenchym) was only foundunder iron stress. This result revealed that iron toxicitystress induced an aerenchym formation.

Fig 3 supports the result of iron staining where theless red color formation genotypes (Mahsuri, Siam Saba,and Pokkali) also had low shoot iron content. The ratiobetween total area of cross section of root with

aerenchym formation (Fig. 4A) was also highercompared to that of the other genotypes. This patternalso was found in formation of aerenchym in the shoot(Fig. 4B). The wider aerenchym per root section facilitatedthe genotypes to oxidize the ferrous iron (Harahap et al.2014) and we suspect that shoot aerenchym per crosssection also has important role in transferring oxygen tothe root. Higher iron plaque formation supported theoxidation ability of the genotypes. The plaque depositionis associated with substantial formation of aerenchym,leakage of oxygen into the root zone, and subsequentlychemical oxidation of potentially toxic Fe2+ toprecipitated Fe3+. Iron plaque has also been proposedto act as a barrier or buffer to reduce the uptake of toxicelements (e.g. Al, Cd, As) into plant tissues (Liu et al.

Fig. 3. Cross section of 20 mm above basal of shoot rice seedling after treated by 400 mg. L-1 of Fe2+ in Yoshida-Agar solution for 10 d. Thered color is stained by 2,2 bypiridine. vb, vascular bundle, sa, shoot apical, ae, aerenchym.

Page 28: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

188

2004, Liu et al. 2010, Chen et al. 2006). The amount ofoxygen released was not quantified in the present study.However, the radial oxygen loss from rice roots couldbe determined using Eh microelectrodes or by methyl-blue staining of roots in agar (Kotula et al. 2009, Wu et al.2014). The determination of this oxidation power of rootshad been suggested as a screening tool for iron toxicitybreeding of rice (Nozoe et al. 2008, Wu et al. 2014).

Based on these results we found that rice genotypescould be classified either as the includer tolerant-typesuch as IR64, Inpara2 or the excluder tolerant-type suchas Mahsuri, Pokkali, and Siam Saba. The research furtherconfirmed the previously suggested tolerancemechanisms of rhizospheric exclusion or stressavoidance (Yoshida et al. 1976), Fe partitioning (Audebertand Sahrawat 2000) and leaf tissue tolerance (Thongbaiand Goodman 2000, Engel et al. 2012b). The droplet-staining method developed in this research was simplerthan that developed by Engel et al. (2012a), whichneeded to over-night sample staining. This methodallows differentiating genotypes according to theirtolerance type and accelerates the selection of candidategenotypes for future breeding of Fe-toxicity tolerance inrice.

Most of the genotypes reported in this study haddifferent result with regard to that reported in the varietaldescription. For example, IPB Kapuas 7R, IPB Batola 6R,A. Tenggulang, Indragiri, Kapuas and IPB Batola 5R, each

was reported as tolerant to Fe toxicity but reacted asmoderately tolerant in this study. The different resultcould be due to the different characteristic of tolerancemechanisms or, due to the different methodology usedin the determination of tolerance level. Most of thegenotypes tested were improved cultivars which hadbeen tested in many locations including at the iron toxicsites. Breeders might not be aware of the LBS as aselection criterion, as much as the grain yield. Therefore,it is possible to develop variety which has higher tolerancelevel similar to that Siam Saba, Pokkali, Mahsuri, andAwan Kuning, when the LBS was applied during courseof selection.

The difference tolerance-type with regard to the Fe-upload in the shoot and root could be observed on therice seedling. This study reveals that there is still a chanceto develop more tolerant rice variety to iron toxicity byintegrating these two distinct mechanisms throughbreeding program. Other implication of present study isthat it is possible to develop high iron content in thegrain. High iron concentration iron should be able to betaken up by root, transferred to the shoot via xylemloading, and stored in the grain (Masuda et al. 2012).High iron concentration in the shoot, however shouldnot affect a negative effect on growth and developmentof rice plant. The two requisites are only possible whenthe genotypes has mechanism of includer tolerance-type, like that of Inpara2.

Fig 4. Area of root cross section, root aerenchym, and their ratio (A) and area of shoot cross section, shoot aerenchym and their ratio (B)of rice seedling under 400 mg. L-1 of ferrous iron. Error bar is standard error from three replications.

Page 29: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

NUGRAHA ET AL.: RESPONSES OF SELECTED RICE VARIETIES UNDER EXCESS IRON CONDITION

189

CONCLUSION

Variations on shoot dry weight, root dry weight, andshoot iron content were found among tested genotypesin respond to iron toxicity condition. The critical valuefor determining tolerant genotypes was 3.76 of LBS.Tolerant genotypes indicated either higher shoot dryweight (Pokkali, Inpara2, Cilamaya Muncul) or low shootdry weight (Siam Saba, Mahsuri, Awan Kuning). Basedon the status of Fe2+ in the root and shoot, we identifiedexcluder-type tolerance (Pokkali, Mahsuri and SiamSaba) and an includer-type tolerance (Inpara2).

ACKNOWLEDGEMENTS

This study was funded by Budget (DIPA) 2014 ofIndonesian Agency for Agricultural Research andDevelopment, Jakarta.

REFERENCES

Audebert, A. and K.L. Sahrawat. 2000 Mechanisms for iron toxicitytolerance in lowland rice. Journal of Plant Nutrition 23:1877-1885. doi: 10.1080/01904160009382150

Becana, M., J.F. Moran, and I Iturbe-Ormaetxe. 1998. Iron-dependent oxygen free radical generation in plants subjectedto environmental stress: toxicity and antioxidant protection.Plant Soil. 201: 137-147. doi: 10.1023/a:1004375732137

Becker, M. and F. Asch. 2005. Iron toxicity in rice-conditions andmanagement concepts. Journal of Plant Nutrition and SoilScience.168:558-573.doi: 10.1002/jpln.200520504

Briat, J.F., K Ravet, N. Arnaud, C. Duc, J. Boucherez, B. Touraine,F. Cellier, and F. Gaymard. 2010. New insights into ferritinsynthesis and function highlight a link between ironhomeostasis and oxidative stress in plants. Annals Botany.105: 811-822. doi:10.1093/aob/mcp128

Chen, R.F., R.F. Shen, P. Gu, X.Y. Dong, C.W. Du, and J.F. Ma. 2006.Response of rice (Oryza sativa) with root surface iron plaqueunder aluminum stress. Annals Botany 98, 389-395

Colmer, T.D., 2003 Aerenchym and an inducible barrier to radialoxygen loss facilitate root aeration in upland, paddy and deep-water rice (Oryza sativa L.). Plant, Cell and Environment. 26:301-309. doi: 10.1093/aob/mcf114

Dobermann, A. and T.H. Fairhurst. 2000. Nutrient Disorders andNutrient Management. Manila. The International RiceResearch Institute. p. 191.

Dufey, I, S. Gheysens, A Ingabire, and P. Bertin. 2014. Siliconapplication in cultivated rice (Oryza Sativa L and OryzaGlaberrima Steud) alleviates iron toxicity symptoms throughthe reduction in iron concentration in the leaf tissue. J. Agron.Crop Sci. 200: 132-42.

Dufey, I., P. Hakizimana, X. Draye, S. Lutts, and P. Bertin. 2009.QTL mapping for biomass and physiological parameterslinked to resistance mechanisms to ferrous iron toxicity inrice. Euphytica. 167: 143-160. doi:10.1007/s10681-008-9870-7

Engel, K., F. Asch, and M. Becker. 2012a. In vivo staining of reducediron by 2,22 bipyridine in rice exposed to iron toxicity. J PlantNutr Soil Sci. 175:548-552. doi:10.1002/jpln.201200096

Engel, K., F. Asch, and M. Becker. 2012b. Classification of ricegenotypes based on their tolerance and the mechanisms of

Fig 5. Root iron plaque (A) and total shoot iron content (B) of some genotypes of rice seedling under 400 mg. L-1 of ferrous iron. Error baris standard error from three replications.

BA

Page 30: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

190

adaptation to conditions of iron toxicity. J Plant Nutr Soil Sci.175:871–881. doi:10.1002/jpln.201100421

Elec, V., C.A. Quimio, R. Mendoza, A.G. Sajise, S.E.J Beebout, G.B.Gregorio, and R.K. Singh. 2013. Maintaining elevated Fe2+

concentration in solution culture for the development of arapid and repeatable screening technique for iron toxicitytolerance in rice (Oryza sativa L). Plant Soil doi: 10.1007/s11104-013-1739-4

Fageria, N.K., A.B. Santos, M.P.B Filho, and C.M. Guimarães. 2008.Iron toxicity in lowland rice. J Plant Nutri 31(9):1676-1697doi: 10.1080/01904160802244902

Hanarida, I. dan D.W. Utami. 2009. Uji toleransi plasma nutfahpadi terhadap keracunan Fe di lapang dan desain primer Fe-SNP. Warta Biogen 5(1):8-11.

Harahap, S.M., M. Ghulamahdi M, S.A. Aziz, and A. Sutandi. 2014.Relationship of ethylene production and aerenchym formationon oxidation ability and root surfaced-iron (Fe2+) accumulationunder different iron concentrations and rice genotypes. Int. J.Appl. Sci. 4(1):186-194.

Hollingsworth, R. G., Collins, T. P., Smith, V. E., and Nelson, S. C.2011. Simple statistics for correlating survey responses.Journal of Extension 49(5):14-21.

Kotula, L., K. Ranathunge, L. Schreiber, and E. Steudle. 2009.Functional and chemical comparison of apoplastic barriersto radial oxygen loss in roots of rice (Oryza sativa L.) grownin aerated or deoxygenated solution. Journal ExperimentalBotany 60: 2155-2167.

Kopp, K. L., and Guillard, K. 2002. Relationship of turfgrass growthand quality to soil nitrate desorbed from anion exchangemembranes. Crop Science (42):1232-1240.

Liu, J., C. Cao, M. Wong, Z. Zhang, and Y. Chai., 2010. Variationsbetween rice cultivars in iron and manganese plaque onroots and the relation with plant cadmium uptake. JournalEnvironmental Science China 22: 1067-1072.

Liu, W.J., Y.G. Zhu, F.A. Smith, and S.E. Smith. 2004. Do iron plaqueand genotypes affect arsenate uptake and translocation byrice seedlings (Oryza sativa L.) grown in solution culture?Jornal Experimental Botany 55: 1707-1713.

Mangiafico, S. S., Newman, J. P., Mochizuki, M. J., and Zurawski,D. 2008. Adoption of sustainable practices to protect andconserve water resources in container nurseries withgreenhouse facilities. Acta Horticulturae (797):367-372.

Majerus, V., P. Bertin, and S. Lutts. 2009. Abscisic acid and oxidativestress implications in overall ferritin synthesis by African rice(Oryza glaberrima Steud.) seedlings exposed to short termiron toxicity. Plant Soil 324: 253-265. doi: 10.1007/s11104-009-9952-x

Majerus, V., Bertin P and Lutts S. 2007b. Effects of iron toxicity onosmotic potential, osmolytes and polyamines concentrationsin the African rice (Oryza glaberrima Steud.). Plant Sci. 173:96-105. doi: 10.1016/j.plantsci.2007.04.003

Majerus V., P. Bertin, and V Swenden. 2007a. Organ-dependentresponses of the African rice to short-term iron toxicity:Ferritin regulation and antioxidative responses. Biol Plant51:303-312. doi: 10.1007/s10535-007-0060-6.

Masuda, H., Y. Ishimaru, M.S. Aung, T. Kobayashi, Y. Kakei, M.Takahashi, K. Higuchi, H. Nakanishi, and N.K Nishizawa.2012. Iron biofortification in rice by the introduction of multiplegenes involved in iron nutrition. Nature 2:543 DOI: 10.1038/srep00543

Nozoe, T., R. Agbisit, Y. Fukuta, R. Rodriguez, and S. Yanagihara.2008: Characteristics of iron tolerant rice lines developed atIRRI under field conditions. JARQ: 42(3), 187-192.

Nugraha, Y., S.W. Ardie SW, Suwarno S, and H. Aswidinnoor H.2016. Nutrient culture media with agar is effective for early-and rapid- screening of iron toxicity tolerant in rice. J CropSci Biotech. Doi: 10.1007/s12892-015-0075-z (Inpress)

Onaga, G., R. Edema, and G Asea. 2013. Tolerance of ricegermplasm to iron toxicity stress and the relationship betweentolerance, Fe2+, P and K content in the leaves and roots.Archives Agronomy Soil Science. 59(2):213-229. doi:10.1080/03650340.2011.622751

Prasetyo, T.B., F. Ahmad, and A. Saidi. 2013. Humic acid and watermanagement to decrease Ferro (Fe2+) solution and increaseproductivity of established new rice field. J Trop Soil 17(1): 9-17. doi: 10.5400/jts.2012.17.1.9

Ramirez, L.M., N. Claassen, H. Werner, and A.M. Moawad. 2002Effect of phosphorus, potassium and zinc fertilizers on irontoxicity in wetland rice (Oryza sativa L.). Plant Soil 239:197-206. doi: 10.1023/A:1015099422778

Ruskandar, A., T Rustiati and P. Wardana . 2011. Adopsi varietasunggul baru dan keuntungan usahatani padi di lahan rawalebak. In: Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi. Sukamandi(ID): Balai Besar Penelitian Padi.

Shimizu A., C.Q. Guerta, G.B. Gregorio, and H. Ikehashi. 2005.Improved mass screening of tolerance to iron toxicity in riceby lowering temperature of culture solution. Journal of PlantNutrient. 28, 1481-1493. doi:10.1080/01904160500201352

Stephan, U.W. 2002. Intra- and intercellular iron trafficking andsubcellular compartmentation within roots. Plant Soil, 241,19-25.

Suhartini, T. 2004. Improvement of rice variety for Fe-toxicity soil.Bulletin Plasma Nutfah 10, 1-11 (Indonesian)

Suhartini, T. and M.A. Makarim. 2009. Selection technique for ricegenotypes tolerant to iron toxicity. J. Pen. Pert. Tan. Pangan28: 125-30.

Thomine, S. and G. Vert. 2013. Iron transport in plants: better besafe than sorry. Current Opinion in Plant Biology 6:1-6.

Thongbai, P., and B.A. Goodman. 2000. Oxidative free radicalsgeneration and post-anoxic injury of rices (Oryza sativa L.)in an iron-toxic soil. Journal Plant Nutrition. 23, 1887-1900.

Utami, D.W. and I.H. Somantri. 2014. Field evaluation andmolecular identification of rice germplasms for Fe toxicity. J.Agro Biogen 10(1): 9-17 (Indonesian).

Wu, L., M.Y. Shhadi, G. Gregorio, E. Matthus, M. Becker, and M.Frei. 2014. Genetic and physiological analysis of toleranceto acute iron toxicity in rice. Rice: 1-12. available at http://www.thericejournal.com/content/7/1/

Yoshida, S., D.A. Forno, J.H. Cock, and K.A. Gomez. 1976. LaboratoryManual for Physiological Studies of Rice. Manila.TheInternational Rice Research Institute.p 1-9.

Page 31: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

MULYANINGSIH ET AL.: SELEKSI PADI GOGO DI TANAH MASAM

191

Seleksi Fenotipe Populasi Padi Gogo untuk Hasil Tinggi,Toleran Alumunium dan Tahan Blas pada Tanah Masam

Phenotype Selection of Upland Rice Population for High Yield,Aluminum Tolerant and Blast Resistant in Acid Soil

Enung Sri Mulyaningsih1*, Ambar Yuswi Perdani1, Sri Indrayani1, dan Suwarno2

1Pusat Penelitian Bioteknologi LIPIJalan Raya Bogor KM 46 Cibinong 16911, Indonesia

*Email: [email protected] Besar Penelitian Tanaman Padi

Jl. Muara Bogor, Jawa Barat, Indonesia

Naskah diterima 24 Februari 2016, direvisi 26 Oktober 2016, disetujui 18 November 2016

ABSTRACT

The aim of this research was to get upland rice lines with high yield,aluminum tolerance and resistance to blast. Genetic material usedwere 380 lines (F6) from six hybridization combinations evaluatedunder Al stress condition in environment endemic blast usingaugmented design with five randomized blocks. Performance oflines in the field and level of tolerance was tested. The resultsshowed five genetic clusters formed from 380 lines of upland rice ina test based on quantitative characters. Cluster number 2 was thebest cluster with characters: uniform growth vigor of plants, earlyflowering days, early maturing, medium plant height, high productivetillers, medium panicle length, high number of filled grain, the lowestof empty grains, high weight of 5 panicles and high yield potential.Aluminum tolerance and blast resistance were observed in almostall clusters. The lines in cluster 2 had the highest resistance toblast (98%) and tolerance to Al (94%).Keywords: Upland rice, phenotype selection, aluminum

tolerant, acid soil, blast disease.

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mendapatkan galur-galur padi gogopotensi hasil tinggi, toleran alumunium (Al), dan tahan penyakit blasmelalui proses seleksi. Material genetik yang diseleksi adalah 380galur (F6) yang berasal dari enam kombinasi persilangan yang diujiketahanannya pada lahan bercekaman Al dan lingkungan endemikblas. Percobaan menggunakan rancangan augmented terbagi dalamlima blok teracak. Penampilan tanaman diamati di lapangan dan tingkatketahanan terhadap blas serta cekaman Al. Hasil percobaanmenunjukkan bahwa dari 380 galur padi gogo yang diuji terbentuklima klaster genetik berdasarkan karakter kuantitatifnya. Klaster 2menunjukkan hasil terbaik dibanding klaster lain berdasarkanparameter yang diuji, yaitu vigor pertumbuhan tanaman seragam,umur berbunga 50% dan umur panen genjah, postur tanamansedang, jumlah anakan produktif terbanyak, panjang malai sedang,jumlah gabah isi terbanyak, jumlah gabah hampa sedikit, dan potensihasil tertinggi. Ketahanan terhadap blas dan cekaman Al dimilikihampir semua klaster, dan tertinggi pada klaster 2 sebesar 98%terhadap blas dan 94% terhadap Al.Kata kunci: Padi gogo, seleksi fenotipe, toleran aluminium, tanah

masam, tahan blas.

PENDAHULUAN

Faktor pembatas budi daya tanaman pangan di lahankering adalah pH tanah yang rendah dan kejenuhan Altinggi (Kasno et al. 2013, Suhartina et al. 2014, Lubis etal. 2014, Efendi et al. 2015). Keracunan Al erat kaitannyadengan kemasaman tanah akibat pH rendah (Alluri1986). Tanaman keracunan Al juga mengalamikekahatan hara N, P, K Ca, dan Mg, sehinggapertumbuhan kerdil dan tidak mampu berproduksi.Fiksasi Al menyebabkan ketersediaan hara di tanahrendah dan pemupukan tidak efisien (Suhartini 2010).

Kejenuhan Al tinggi membatasi penetrasi akar untukmendapatkan hara. Perkembangan akar yang burukmengakibatkan defisiensi hara, sehingga menurunkanhasil gabah (Bian et al. 2013). Penggunaan varietastoleran Al berperan penting dalam budi daya padi padalahan suboptimal.

Selain keracunan Al, penyakit blas juga merupakankendala pada budi daya padi gogo. Menurut Bakhtiar etal. (2009), cekaman Al tidak mengubah urutan tingkatketahanan padi gogo terhadap penyakit blas, namungenotipe dengan nisbah Si/N tajuk tinggi tahan terhadapblas daun. Penyakit blas pada tanaman padi sulitdikendalikan karena memiliki keragaman genetikpatogen Pyricularia grisea yang multiras dengan virulensiyang mudah berubah. Patogen P. grisea dapat denganmudah mematahkan ketahanan suatu varietas (Yulianidan Maryana, 2014). Jamur ini menginfeksi tanamanpadi pada hampir semua fase pertumbuhan, mulaipersemaian, vegetatif (leaf blast) hingga generatif (neckblast). Lubis (2006) melaporkan bahwa varietas lokalpadi gogo mempunyai keragaman genetik yang besaruntuk sifat ketahanan blas, sehingga berpeluang

Page 32: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

192

digunakan dalam perbaikan ketahanan varietas.Pengembangan padi gogo pada lahan marginalterkendala oleh keragaman ras fisiologi patogen blas,yang dominasinya berbeda pada setiap wilayah (Yulianidan Maryana 2014).

Seleksi adalah kegiatan memilih sejumlah individu,famili, atau galur dalam populasi yang beragam (Kasnoet al. 2013) untuk memperoleh individu unggul yangdiharapkan. Tanaman unggul dapat diperoleh melaluipersilangan dan seleksi populasi hasil persilangan padadaerah yang tercekam. Dalam pengembangan varietasyang beradaptasi baik pada lingkungan spesifik perludilakukan identifikasi galur yang mempunyai interaksitinggi dengan lingkungan (Abdullah dan Safitri 2014).

Penggunaan varietas unggul tidak hanya berperanmeningkatkan produksi, namun juga memunculkansifat lain yang diinginkan. Varietas Batu Tegi, Limboto,dan Situ Patenggang yang sesuai sebagai komponenteknologi pada pengelolaan tanaman terpadu padi gogodapat meningkatkan hasil dan pendapatan petani padaagroekosistem lahan kering di Lampung (Toha 2007).Varietas unggul umumnya memiliki potensi hasil tinggi,tahan organisme pengganggu tertentu, adaptif padalingkungan tertentu, dan memiliki sifat agronomi pentinglain. Seleksi yang dilakukan Utama (2010) terhadap 20varietas padi gogo menunjukkan varietas Pandak Putih,Mulut Harimau, Kuning, Rantau Mudiak Kelabu, Towutidan Cisadane toleran cekaman Al pada lahan masam.

Pengembangan padi gogo toleran cekaman biotikdan abiotik perlu terus dilakukan denganmemanfaatkan berbagai sumber keragaman genetik,baik yang berasal dari kultivar lokal maupun varietasunggul nasional sebagai tetua persilangan. Penelitian inibertujuan untuk mendapatkan galur-galur unggultoleran Al, berpotensi hasil tinggi, dan tahan blasberdasarkan karakter agronomi dan fenotipe tanamanpada lahan kering masam.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Taman BogoLampung pada MT II 2013, pH tanah 3,5-4,0. Materigenetik yang diuji 380 genotipe padi gogo populasi F6,hasil enam kombinasi persilangan dan lima varietasunggul nasional sebagai pembanding (Tabel 1). Seluruhmateri genetik ditanam pada plot tunggal menggunakanrancangan augmented design yang terbagi dalam limablok teracak (Sutaryo et al. 2005). Setiap blok terdiri atas76 galur dan lima varietas pembanding yang masing-masing ditanam dalam plot tunggal (single plot). Galur-galur yang telah ditanam pada satu blok tidak ditanamlagi pada blok yang lain, sedangkan varietas pembandingditanam pada setiap blok sebagai ulangan. Jarak

antarblok 0,5 m dan ukuran plot 3 m x 1 m. Benihditanam secara larikan dengan jarak antarbaris 0,3 m.Pupuk majemuk Phonska (NPK 15-15-15) diberikan 200kg/ha pada 10 hari setelah tanam (HST), urea 100 kg/hapada 5 minggu setelah tanam (MST) dan 9 MST.

Fenotipe dan Analisis Klaster

Karakter fenotipe yang diamati adalah karakterkuantitatif dan kualitatif. Karakter kuantitatif antara lainvigor tanaman yang dikuantifikasi dengan skoring (skor:1 = sangat tinggi, 3 = tinggi, 5 = cukup tinggi, 7 = rendah,9 = sangat rendah), tinggi tanaman, jumlah anakanproduktif, umur berbunga 50%, umur panen (80% gabahmasak), panjang malai, jumlah gabah isi/malai, jumlahgabah hampa/malai, bobot gabah dari lima malai (kadarair ± 14%), dan potensi hasil. Karakter kualitatif yangdiamati adalah warna gabah (kuning, kuning jerami,kuning emas, dan kuning kecokelatan), bentuk gabah(bulat, sedang, ramping), dan ukuran gabah (kecil,sedang, panjang, dan besar). Keragaman dankekerabatan genetik dianalisis menggunakan metodeklaster, minitab, dan uji anova menggunakan programSPSS versi 16,0.

Analisis Ketahanan Tanaman terhadap Blas danToleransi Al

Pengamatan ketahanan tanaman terhadap blas daundilakukan pada fase vegetatif, sedangkan toleransi Alpada fase generatif. Penilaian ketahanan tanamanterhadap penyakit blas daun dan keracunan Al mengacupada sistem penilaian IRRI (1996). Penentuan kriteriaketahanan blas dan toleransi Al tertera pada Tabel 2 danTabel 3.

Tabel 1. Materi genetik percobaan padi gogo.

Kode Tetua persilangan Keunggulan tetuapersilangan

A TB368B-TB-25-MR-2 x Produksi tinggi xB11178G-TB-29 moderat Al

B SituPatenggang x Tahan blas, produktivitasB11930F-TB-2 tinggi, aromatik x toleran

AlC Inpago 8 x Moderat Al, tahan blas x

B11930F-TB-2 toleran AlD B11492F-TB-12 x Produksi tinggi x

B11178G-TB-29 moderat AlE Danau gaung x Moderat Al x tahan blas,

Situpatenggang produktivitas tinggi,aromatik

F B11908F-TB-2 x Toleran Al x tahan blas,Situpatenggang produktivitas tinggi,

aromatikKontrol Situ Patenggang, Limboto,Lipi Go2, Danau Gaung,

dan Inpago-8.

Page 33: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

MULYANINGSIH ET AL.: SELEKSI PADI GOGO DI TANAH MASAM

193

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Klaster Karakter Fenotipe Kuantitatif danKualiatif

Hasil analisis ragam dari masing-masing kelompok galurterhadap 10 karakter kuantitatif menunjukkan hampirsemua kelompok berbeda nyata pada selangkepercayaan 95%, kecuali vigor tanaman (Tabel 4).Semua galur memiliki respon vigor baik (skor 3) denganpertumbuhan tanaman seragam. Pada karakter umurberbunga 50%, galur diharapkan berbunga cepat karenasemakin cepat berbunga semakin besar peluangmendapatkan galur genjah. Berdasarkan hasilpengamatan, rata-rata berbunga 50% tercepat terdapatpada klaster 2 dan 3 (69 HST).

Umur panen yang tepat akan menghasilkan gabahdan beras bermutu baik, sedangkan cara panen yangbaik secara kuantitatif dapat menekan kehilangan hasil(Hasbi 2012). Padi yang dipanen muda akanmenghasilkan beras dengan persentase butir hijau danbutir apung tinggi, rendemen beras giling rendah,persentase beras pecah dan menir tinggi, serta warnaberas kusam (Hidayat 2014). Dengan demikian, umurpanen yang tepat dapat meminimalisasi kehilangan hasil.Menurut Almera (1997), kehilangan hasil pada saatmasak optimum dapat mencapai 3,35%. Panen lewatmasak 1 dan 2 minggu menyebabkan kehilangan hasilberturut-turut 5,63% dan 8,64%. Menurut Siregar (1981),umur tanaman padi ialah genjah (100-115 HST), sedang(116-125 HST), dan dalam (126-150 HST). Umur panengalur pada semua klaster berkisar antara 92-95 HST, ataugenjah.

Galur-galur yang stabil mempunyai penampilanagronomi yang baik, yaitu tinggi tanaman, jumlah anakandan umur panen sedang, dan jumlah gabah total/malailebih tinggi dari varietas pembanding (Abdullah danSafitri 2014). Tinggi tanaman merupakan ukuran yangsering digunakan sebagai indikator pertumbuhan. Selainitu, karakter tinggi tanaman juga menjadi penentu hasiltanaman yang erat hubungannya dengan prosesfotosintesis. Tanaman padi dengan batang pendek lebihbanyak menggunakan fotosintesis dibanding tanamanberbatang panjang. Selain itu, tinggi tanamanberpengaruh pada tingkat kerebahan dan efisiensipemanenan. Seleksi dalam pemuliaan padi kurangmengarah pada tanaman yang tinggi karena rentanterhadap kerebahan (Diptaningsari 2013). Menurut IRRI(2002), kriteria tinggi tanaman padi gogo berdasarkanRice Standard Evaluation System adalah pendek (<90cm), sedang (90-125 cm), dan tinggi (>125 cm). Hasilpengamatan menunjukkan tanaman paling rendahdalam penelitian ini berada pada klaster 1 dan 5 denganrata-rata 126 cm (Tabel 4).

Produktivitas tanaman padi antara lain diukur darijumlah anakan produktif, yaitu anakan yang membentukmalai bernas. Jumlah anakan produktif pada semuaklaster hampir sama, berkisar antara 8-10 batang.Jumlah anakan padi yang ditanam pada tanah mineralmasam berbeda antarvarietas karena setiap varietasmemiliki potensi genetik berbeda dalam meresponlingkungan tumbuh (Utama 2010). Panjang malaimerupakan parameter yang menentukan tinggirendahnya produktivitas tanaman padi. Malai yangpanjang berpeluang menghasilkan gabah lebih banyak.Semakin banyak jumlah malai diikuti oleh peningkatanbobot 1.000 butir, panjang akar, dan hasil gabah (Sutaryoet al. 2005). Klasifikasi panjang malai menurutDiptaningsari (2013) dibedakan atas malai pendek (<

Tabel 3. Skor, gejala dan kriteria toleransi tanaman terhadapkeracunan Al.

Skor Gejala Kriteria toleransi

1 Pertumbuhan dan anakan normal Toleran(0-19%)

3 Pertumbuhan dan anakan normal, Agak tolerantetapi terdapat bintik-bintik warnaputih atau kuning pada bagianujung daun yang lebih tua(20-39%)

5 Pertumbuhan dan anakan Agak rentanterhambat (40-59%)

7 Pertumbuhan dan anakan terhenti Rentan(60-79%)

9 Semua tanaman mati atau Sangat rentanmengering (80-100%)

Tabel 2. Skor gejala dan kriteria ketahanan padi gogo terhadappenyakit blas daun.

Skor Gejala Kriteriaketahanan

0 Tidak ada gejala serangan Tahan1 Terdapat bercak sebesar ujung jarum Tahan

(LDT= 0,5%)2 Bercak lebih besar dari ujung jarum Tahan

(LDT= 1%)3 Bercak keabu-abuan, berbentuk bundar Tahan

dan agak lonjong, panjang 1-2 mm dengantepi coklat (LDT= 5-10%

4 Bercak khas blas, panjang 1-2 mm, Agak tahanLDT< 5%

5 Bercak khas blas, LDT 5-10% Agak tahan6 Bercak khas blas, LDT 10-25% Rentan7 Bercak khas blas, LDT 26-50% Rentan8 Bercak khas blas, LDT 51-75% Rentan9 Bercak khas blas, LDT 76-100% Rentan

LDT= luas daun terinfeksi.

Page 34: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

194

20 cm), sedang (21-30 cm), dan panjang (> 30 cm). Hasilpengamatan menunjukkan malai terpanjang terdapatpada klaster 2 yaitu 28 cm, sedangkan terendah 26 cmpada klaster 5.

Kualitas gabah juga merupakan salah satuparameter seleksi. Jumlah gabah isi/malai menentukanproduktivitas tanaman. Apabila malai yang terbentukbanyak menghasilkan gabah bernas maka produktivitastanaman padi menjadi tinggi. Tingginya kualitas tanamanpadi tercermin dari banyaknya gabah isi dan sedikitnyagabah hampa. Banyak sedikitnya gabah hampamempengaruhi besar kecilnya produktivitas tanaman.Apabila dalam suatu malai terdapat gabah yang sebagianbesar hampa berpengaruh terhadap rendahnyaproduktivitas tanaman. Berdasarkan hasil pengamatandiketahui gabah isi tertinggi terdapat pada klaster 2 rata-rata 139 bulir/malai, dan terendah pada klaster 5 rata-rata 55 bulir/malai. Uji daya hasil pendahuluan yangdilakukan Pramudyawardani et al. (2015) terhadap 200galur ultra genjah/sangat genjah menghasilkan 17 galurterbaik berdasarkkan karakter hasil gabah dan hasilgabah/hari. Analisis sidik lintas, menunjukkan bahwakriteria seleksi terbaik pada galur yang diuji untuk hasiltinggi adalah umur matang dan hasil gabah/hari.

Bobot gabah merupakan salah satu parameterpengamatan yang erat hubungannya dengan hasil dankebutuhan tanaman dalam satuan luas. Berdasarkanhasil pengamatan, bobot lima malai tertinggi terdapatpada klaster 2 rata-rata 19 g, demikian pula potensi hasilrata-rata 1,8 kg/petak. Berdasarkan data tersebutdiketahui bahwa klaster terbaik adalah klaster 2. Galur-galur yang termasuk klaster 2 memiliki pertumbuhanvigor tanaman yang seragam, umur berbunga 50% danumur panen lebih genjah, postur tanaman sedang,jumlah anakan produktif terbanyak, panjang malaisedang, jumlah gabah isi terbanyak, jumlah gabah

hampa sedikit, bobot lima malai dan potensi hasiltertinggi.

Hasil pengelompokan karakter fenotipe kuantitatifterhadap 380 galur yang diuji menunjukkan tingkat jarakkedekatan antargalur. Berdasarkan hasil pengamatankarakter fenotipe kuantitatif (vigor, umur bunga 50%,umur panen, tinggi tanaman, jumlah anakan produktif,panjang malai, gabah isi, gabah hampa, bobot 5 malai,dan potensi hasil) diperoleh lima kelompok galur(Gambar 1).

Berdasarkan klastering pada Gambar 1, keberadaangalur-galur dalam satu klaster mengindikasikan semakindekat tingkat kemiripannya. Sebaliknya galur-galurdalam klaster berbeda memiliki tingkat kemiripan yangsemakin jauh. Perbedaan karakter paling jauh adalahantara klaster pertama dan kelima.

Tabel 4. Karakter kuantitatif masing-masing klaster dari 380 galur dan varietas pembanding pada lahan kering masam.

Umur Jumlah Gabah BobotKlaster Vigor berbunga Umur Tinggi anakan Panjang Gabah hampa/ gabah/ Potensi

(skor) 50% panen tanaman produktif malai isi/malai malai 5 malai hasil(hari) (hari) (cm) (batang) (cm) (bulir) (bulir) (g) (kg/petak)

1 3,4 70,5 ab 93,7 a 126,8 a 8,3 ab 26,4 ab 89,6 b 64,5 a 10,9 b 0,9 b2 3,2 69,1 a 92,9 a 132,2 b 10,5 d 28,4 d 138,7 d 68,1 a 18,7 e 1,8 e3 3,4 69,7 a 92,7 a 130,3 ab 9,6 c 27,2 bc 118,2 c 56,9 a 15,2 d 1,3 d4 3,5 70,1 a 92,9 a 129,8 ab 8,7 b 27,6 c 110,2 c 71,0 a 13,9 c 1,1 c5 4,0 71,7 b 95,9 b 126,4 a 7,6 a 25,5 a 55,4 a 92,1 b 6,0 a 0,5 a

KK 24,3 5,2 4,8 9,4 19,2 8,7 28,2 53,3 20,89 13,06Rata-rata 3,5 70,2 93,6 129,1 8,9 27,0 102,4 70,5 12,9 1,2Tertinggi 4,0 71,7 95,9 132,2 10,5 28,4 138,7 92,1 18,7 1,8Terendah 3,2 69,1 92,7 126,4 7,6 25,5 55,4 56,9 6,0 0,5

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α 0,05.

Tabel 5. Komposisi galur dalam lima klaster genetik.

Kluster Jumlah Sebaran galur Varietas pembandinggalur

1 129 A=28; B= 12; C=19; Inpago 8-2, Inpago 8-5,D=31; E=23 F= 8 Danau Gaung-4, Situ

Patenggang-1,-2,-3,-4,Limboto-4

2 61 A= 12; B=13; C=9; Situ Patenggang-5,D=12; E=12; F= 0 LIPI Go 2-5, Danau

Gaung-13 84 A=27; B= 10; C=12; Danau Gaung-5,

D=16; E=14; F= 1 Inpago 8-1, Inpago 8-4,LIPI Go 2-2

4 80 A= 25; B=12; C=13; Limboto-1, Limboto-2D=10; E=16; F= 2

5 25 A=3; B=1; C=8; Inpago 8-3, LIPI Go 2-4D=8; E=2; F= 1

A-F adalah kode persilangan.

Page 35: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

MULYANINGSIH ET AL.: SELEKSI PADI GOGO DI TANAH MASAM

195

Menurut populasi asal persilangan diketahui 24%galur dalam klaster 1 berasal dari persilangan B11492F-TB-12 x B11178G-TB-29 (D). Pada klaster 3 dan 4 berturut-turut 32% dan 31% didominasi oleh persilangan TB368B-TB-25MR2 x B11178G-TB-29 (A). Sementara pada klaster1 dan 5 tidak nampak dominasi pasangan persilangantertentu. Varietas pembanding lengkap tidak ditemukanpada semua klaster yang terbentuk. Namun demikianempat varietas pembanding muncul pada pada klaster1, dan tiga pembanding pada klaster 2 dan 3. Hal inididuga karena interval galur pada klaster sangat luas.

Pengamatan karakter fenotipik kualitatif dilakukanpada warna, bentuk dan ukuran gabah (Tabel 6).Berdasarkan hasil pengamatan, setiap klasterdidominasi oleh gabah berwarna kuning jerami,ramping, dan ukuran sedang.

Ketahanan dan Toleransi Galur dalam Setiap Klasterterhadap Blas dan Al

Hasil pengamatan ketahanan galur terhadap penyakitblas daun disajikan pada Tabel 7. Sementara tingkattoleransi terhadap cekaman Al dapat dilihat pada Tabel8. Data pengamatan pada Tabel 7 menunjukkan bahwagalur-galur hasil persilangan dan varietas pembandingumumnya tahan terhadap penyakit blas, kecuali empatgalur bereaksi rentan.

Sebaran ketahanan galur terhadap blas dengan skor0-3 (tahan) dari klaster 1 hingga 5 berturut-turut: 95%,98%, 96%, 96%, dan 96%. Seluruh varietas pembandingtahan terhadap blas. Reaksi ketahanan galur uji terhadappenyakit blas sebagian besar adalah skor 0, yang berartitidak ada gejala. Pemilihan tetua persilangan dengankarakter tahan blas (Tabel 1) menunjukkan bahwakarakter tersebut diturunkan pada semua galurturunannya. Hal ini diduga karena sifat ketahanan

terhadap blas bersifat dominan. Kendali genetik untuksifat ketahanan padi terhadap cendawan blas ras 001 danras 033 lebih diperankan oleh aksi gen dominan denganpengaruh interaksi nonalelik yang bersifat epistasisduplikat (Utami et al. 2006). Hal ini senada denganpenelitian Lubis (2006) yang melaporkan ekspresi genketahanan padi gogo terhadap blas cukup kuat dandikode oleh gen dominan. Dengan demikian seleksi sifatketahanan terhadap bIas dapat dilakukan pada generasiawal. Menurut Nasution dan Usyati (2015) 20 dari 60varietas padi lokal yang diuji ketahanannya terhadapempat ras blas mempunyai ketahanan terhadap satu rasdan, lima varietas terhadap dua ras yaitu varietas Sibosur,Siremet, Tampai Bereum, dan Garagai. Penggunaanvarietas yang memiliki ketahanan lestari merupakanpengendalian penyakit blas yang paling efektif, murah,dan ramah lingkungan, yaitu varietas dengan dua ataulebih gen ketahanan berbeda dan bersifat parsial danpenggunaannya disesuaikan dengan sebaran ras yangdominan pada suatu daerah dan berdasarkanagroekosistem (Yuliani dan Maryana 2014).

Pada Tabel 8 disajikan tingkat toleransi galur-galurhasil persilangan terhadap keracunan Al yang bervariasi.Tingkat toleransi galur terhadap Al relatif tinggi yaitu 313galur toleran Al. Sebaran galur dalam setiap klaster (1sampai 5) dengan skor 0 berturut-turut 79%, 96%, 94%,83%, dan 83%. Seluruh varietas pembanding toleranterhadap Al. Fakta ini menunjukkan bahwa galur yangdiuji tumbuh normal. Variasi sifat ketahanan 30 padihibrida F1 terhadap keracunan Al diduga karena tetuajantan yang memiliki gen-gen dominan toleran terhadapkeracunan Al tidak bekerja sinergi (Sutaryo et al. 2005).Koesrini (2001) melaporkan bahwa dari 28 genotipekedelai yang diuji tingkat ketahanannya terhadapcekaman Al diperoleh genotipe-genotipe yang rentansampai toleran.

Tabel 6. Sebaran galur dalam setiap klaster berdasarkan karakterfenotipe gabah.

KlasterKarakter Klasifikasi

1 2 3 4 5

Warna Kuning 14 8 3 6 0Kuning jerami 95 47 76 62 20Kuning emas 15 5 3 8 4Kuning kecokelatan 5 1 2 4 1

Bentuk Bulat 2 4 2 4 2Sedang 51 21 27 34 10Ramping 76 36 55 42 13

Ukuran Kecil 4 4 3 5 3Sedang 61 26 36 37 8Panjang 28 9 22 12 5Besar 36 22 23 26 9Gambar 1. Pengelompokan galur berdasarkan 10 karakter fenotipe

kuantitatif tanaman padi hasil persilangan generasi F6pada lahan kering masam.

Page 36: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

196

KESIMPULAN

Terbentuk lima klaster genetik dari 380 galur padi gogoyang diuji berdasarkan karakter kuantitatif. Klaster 2memiliki galur-galur terbaik dengan pertumbuhanseragam, umur berbunga 50% dan umur panen genjah,postur tanaman sedang, jumlah anakan produktif

terbanyak, panjang malai sedang, gabah hampa sedikit,jumlah gabah isi, dan potensi hasil tertinggi.

Ketahanan terhadap blas dan toleransi cekamanalumunium tinggi diperoleh pada hampir semuaklaster, dan tertinggi pada klaster 2 yaitu 98% dan 94%masing-masing untuk ketahanan blas dan toleran Al,sehingga seleksi selanjutnya dapat dikonsentrasikanpada klaster 2.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Ibu Ir. Erwina Lubis,Bapak Ade Santika S.P., Bapak Supartopo di KebunPercobaan Muara BB Padi, Saudara Oktri Yurika dan M.Taufik di Puslit Bioteknologi, atas kerja sama selamapelaksanaan penelitian di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, B. dan H. Safitri. 2014. Stabilitas hasil galur-galur harapanpadi sawah. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 33(3):163-168.

Alluri, K. 1986. Screening rice varieties in acid upland soil. Progressin upland Rice Research, Los Banos Philippines. IRRI. pp.263-270.

Almera. 1997. Grain losses at different harvesting times based oncrop maturity. In l. Lantin. Rice postharvest operation. Dalam:A. Setyono, Perbaikan teknologi pascapanen dalam upayamenekan kehilangan hasil padi. Pengembangan InovasiPertanian 3(3):212-226.

Bakhtiar, B.S. Purwoko, Trikoesooemaningtyas, dan S.D. Indrasari.2009. Konstribusi akumulasi silikat, nitrogen dan alumunium

Tabel 8. Toleransi 380 galur padi gogo hasil persilangan danvarietas pembanding terhadap keracunan Al.

Jumlah galur dalam skor toleran terhadap keracunan aluminiumKlaster Komposisi

genotipe 1 3 5 7

Galur 96 17 7 11 Situpatenggang 4 - - -

Inpago 8 2 - - -Danau Gaung 1 - - -Limboto 1 - - -Galur 55 3 - -

2 Situpatenggang 1 - - -Danau Gaung 1 - - -LIPI Go 2 1 - - -Galur 75 3 2 -

3 Inpago 8 2 - - -Danau Gaung 1 - - -LIPI Go 2 1 - - -Galur 65 10 2 1

4 Limboto 2 - - -Galur 19 - 1 3

5 Inpago 8 1 - - -LIPI Go 2 1 - - -

Catatan: pengamatan hanya dilakukan pada 360 galur yang diuji.

Tabel 7. Ketahanan 380 galur padi gogo hasil persilangan dan varietas pembanding terhadap penyakit blas (P. oryzae).

Jumlah galur dalam skor ketahanan terhadap penyakit blasKlaster Komposisi

genotipe 0 1 3 5 7 9

Galur 109 5 2 3 1 11 Situ Patenggang 4 - - - - -

Inpago 8 2 - - - - -Danau Gaung 1 - - - - -Limboto - - 1 - - -Galur 52 3 2 1 - -

2 Situ Patenggang 1 - - - - -Danau Gaung - - - 1 - -LIPI Go 2 1 - - - - -Galur 66 3 8 3 - -

3 Inpago 8 1 - 1 - - -Danau Gaung 1 - - - - -LIPI Go 2 1 - - - - -

4 Galur 70 - 5 2 1 -Limboto 2 - - - - -Galur 18 - 4 - 1 -

5 Inpago 8LIPI Go 2 11 — — — — —

Angka pada setiap kolom adalah jumlah galur.

Page 37: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

MULYANINGSIH ET AL.: SELEKSI PADI GOGO DI TANAH MASAM

197

terhadap ketegangan alumunium dan ketahanan terhadappenyakit blas pada padi gogo. Jurnal Agronomi Indonesia37(3):194-201.

Bian, M., M. Zhua, D. Sunb, and C. Lic. 2013. Molecular approachesunravel the mechanism of acid soil tolerance in plants. CropJournal 1:91-104.

Diptaningsari, D. 2013. Analisis keragaman karakter agronomisdan stabilitas galur harapan padi gogo turunan padi lokalPulau Buru hasil kultur antera. Disertasi. ProgramPascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Efendi, R., Y. Musa, M.F. Bdr, M.D. Rahim, M. Azrai, dan M.Pabendon. 2015. Seleksi jagung inbrida dengan markamolekuler dan toleransinya terhadap kekeringan dan nitrogenrendah. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 34(1):43-53.

Hasbi. 2012. Perbaikan teknologi pascapanen padi di lahansuboptimal. Jurnal Lahan Suboptimal 1(2):186-196.

Hidayat, M.A. 2014. 155 inovasi teknologi untuk pengelolaan padi(Oryza sativa) pada proses pengeringan dan penggilingan dilahan pasang surut Sumatera Selatan. Prosiding SeminarNasional Lahan Suboptimal. pp:155-163.

IRRI. 1996. Standard evaluation system for rice. 4th Edition July1996. INGER Genetic Resources Center. IRRI. Philippines.p.52.

IRRI. 2002. Rice Standard Evalution System for Rice (SES). IRRI.Philippines. p.56.

Kasno, A., Trustinah, dan A.A. Rahmiana. 2013. Seleksi galur kacangtanah adaptif pada lahan kering masam. Penelitian PertanianTanaman Pangan 32(1):16-24.

Koesrini. 2001. Studi metode skrining ketahanan terhadapaluminium pada kedelai. Tesis, Program PascasarjanaUniversitas Gajah Mada. p.78.

Lubis, E. 2006. Pewarisan sifat ketahanan penyakit blas pada padivarietas Dupa, Malio, dan Asahan. Penelitian PertanianTanaman Pangan 25(3):152-156.

Lubis, K., S.H. Sutjahjo, M. Syukur, dan Trikoesoemaningtyas. 2014.Pendugaan parameter genetik dan seleksi karaktermorfofisiologi galur jagung introduksi di lingkungan tanah

masam. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 33(2): 122-128.

Nasution, A. dan N. Usyati. 2015. Observasi ketahanan varietaspadi lokal terhadap penyakit blas (Pyricularia grisea) di rumahkaca. Prosiding Seminar Naional Masyarakat BiodiversitasIndonesia 1(1):19-22.

Pandey, V., and A. Shukla. 2015. Aclimation and tolerance strategiesof rice under drought stress. Rice Science 22(4):147"161.

Pramudyawardani, E.F., B. Suprihatno, dan M. J. Mejaya. 2015.Potensi hasil galur harapan padi sawah ultra genjah dansangat genjah. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 34(1):1-11.

Siregar, H. 1981. Budidaya tanaman padi di Indonesia. SastraHudaya. Bogor.

Suhartina, Purwantoro, N. Nugrahaeni, dan A. Taufik. 2014. Stabilitashasil galur kedelai toleran cekaman kekeringan. PenelitianPertanian Tanaman Pangan 33(1):54-60.

Suhartini, T. 2010. Pertumbuhan akar dua puluh genotipe padigogo pada kahat fosfor dan cekaman alumunium. BeritaBiologi 10(3):375-383.

Sutaryo, B., A. Purwantoro, dan Nasrullah. 2005. Seleksi beberapakombinasi persilangan padi untuk ketahanan terhadapkeracunan aluminium. Ilmu Pertanian 12(1):20-31.

Toha, H.M. 2007. Peningkatan produktivitas padi gogo melaluipenerapan pengelolaan tanaman terpadu dengan introduksivarietas unggul. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan26(3): 180-187.

Utama, M.Z.H., 2010. Penapisan varietas padi gogo tolerancekaman alumunium. Jurnal Agronomi Indonesia 38(3):163-169.

Utami, D.W., H. Aswidinnoor, S. Moeljopawiro, I. Hanarida, danReflinur. 2006. Pewarisan ketahanan penyakit blas(Pyricularia grisea sacc.) pada persilangan padi IR64 denganOryza rufipogon. Hayati 13(3):107-112.

Yuliani, D. dan Y. E. Maryana. 2014. Pengendalian penyakit blaspada tanaman padi di lahan sub-optimal. Prosiding seminarnasional lahan suboptimal 2014, Palembang 26-27 September2014.

Page 38: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

198

Page 39: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

AZRAI ET AL.: KERAGAMAN GENETIK JAGUNG HIBRIDA SILANG PUNCAK

199

Keragaman Genetik dan Penampilan Jagung Hibrida Silang Puncakpada Kondisi Cekaman Kekeringan

Genetic Diversity and Agronomic Performance of Top Cross Maize Hybridunder Drought Stress

Muhammad Azrai1*, Roy Efendi1, Suwarti1, dan R. Heru Praptana2

1Balai Penelitian Tanaman SerealiaJl. Ratulangi No. 274 Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia

*E-mail: [email protected] Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan

Jl. Merdeka, 147 Bogor, Jawa Barat, Indonesia

Naskah diterima 18 April 2016, direvisi 7 November 2016, disetujui 25 November 2016

ABSTRACT

Maize breeding population with a wide genetic diversity is requiredto develop superior drought tolerant varieties. The objective of thisresearch was to obtain information on genetic diversity, heritabilityvalue and grain yield performance, yield components and agronomictraits of maize genotypes derived from top cross under severedrought stress. One hundred and fifty maize genotypes derivedfrom top cross and four hybrids maize as check varieties, weretested in Probolinggo, East Java, and Gowa, South Sulawesi duringdry season of 2013. Factorial randomized block design with tworeplications was used in thisexperiment. Each hybrid was grownin two rows of 5 m length plot, one plant per hill spaced 70 cmbetween rows and 20 cm within row. Results showed that topcross hybrids had significantly different responses to droughtstress. Broad sense heritability, value of silking, number grain-rows per ear, and shelling percentage were high. Heritabilityestimates for of anthesis, anthesis-silking interval, plant height, earheight, weight and ear performance, ear length, 1000 seeds weightand grain each yield were intermediate. The 20 best hybrids basedon the highest grain yield, consisted of 17 genotypes with goodcombining ability with P21, 2 genotypes had good combining abilitywith Bima 11 and only one genotype had good combining abilitywith both the top cross parents, (P21 and Bima 11). Grain yield of20 top cross hybrids in Probolinggo ranged from 4.8 t/ha to 6.7 t/hasignificantly higher than that of tester varieties, while yields inGowa ranged from 4.5 t/ha-6.7 t/ha. Only 4 tested hybridssignificantly outyielded the four tester varieties. For the purpose offurther selection, determining of the best S1 genotype should bedone per location to overcome large environmental effects.

Keywords: Maize, top cross, genetic variability, selection.

ABSTRAK

Pembentukan varietas unggul jagung hibrida toleran kekeringanmemerlukan materi dengan keragaman genetik yang luas. Penelitianini bertujuan untuk mendapatkan informasi ragam genetik dan nilaiheritabilitas serta penampilan hasil, komponen hasil dan beberapapeubah agronomi hibrida silang puncak dari galur S1 pada kondisi

cekaman kekeringan berat. Sebanyak 158 hibrida silang puncakdan empat varietas hibrida pembanding diuji penampilan hasil,komponen hasil dan sifat agronomi lainnya di Probolinggo, JawaTimur dan Gowa, Sulawesi Selatan pada musim kemarau 2013.Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok, dua ulangan.Setiap hibrida ditanam pada petakan yang terdiri dari dua baris,panjang 5 m, jarak antarbaris 70 cm, dan jarak dalam baris 20 cm.Hasil penelitian menunjukkan hibrida silang puncak memberikanrespon yang berbeda nyata terhadap cekaman kekeringan. Nilaiduga heritabilitas umur berbunga betina, jumlah barisan biji pertongkol, dan rendemen biji tergolong tinggi, sedangkan umurberbunga jantan, selang bunga jantan dan betina, tinggi tanamandan letak tongkol, bobot dan penampilan tongkol panen, panjangtongkol, bobot 1.000 biji dan hasil biji tergolong sedang. Dari 20hibrida terbaik berdasarkan rata-rata hasil panen tertinggi, terdapat17 galur berdaya gabung baik dengan varietas P21, 2 galur berdayagabung baik dengan Bima 11, dan hanya satu galur berdaya gabungbaik dengan kedua tetua silang puncaknya, yaitu P21 dan Bima 11.Hasil biji 20 hibrida silang puncak tersebut di Probolinggo berkisar4,8-7,3 t/ha, nyata lebih unggul dari semua varietas pembanding,sedangkan di Gowa berkisar 4,5-6,7 t/ha, 4 hibrida di antaranyanyata lebih unggul dari keempat varietas pembanding. Untuk seleksilebih lanjut, pemilihan galur S1 terbaik sebaiknya per lokasi karenapengaruh faktor lingkungan cukup besar.

Kata kunci: Jagung, silang puncak, variabilitas genetik, seleksi.

PENDAHULUAN

Untuk dapat berproduksi optimal, tanaman jagungmembutuhkan air 400-600 mm per siklus produksi(Farhad et al. 2011). Kondisi ini diharapkan dapat dipenuhidari curah hujan pada periode akhir musim hujan dansisa kelembaban tanah (soil residual moisture).

Perubahan iklim global yang berakibat padacekaman kekeringan merupakan ancaman terhadapproduksi jagung nasional (Haryono 2012). Pergeseranpola distribusi hujan berpengaruh terhadap pola tanam

Page 40: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

200

di lahan kering dan waktu tanam sukar ditentukan,sehingga risiko gagal panen semakin besar (Azrai 2013).Perluasan areal tanam jagung lahan suboptimalmemerlukan varietas toleran kekeringan.

Varietas jagung yang adaptif pada lingkungan yangkering dapat diperoleh melalui pemuliaan tanaman.Peluang keberhasilan pemuliaan ditentukan olehtersedianya gen-gen pembawa sifat yang diinginkan dantingkat keragaman genetik materi pemuliaan.Keragaman genetik materi pemuliaan dapatdikelompokkan berdasarkan ketersediaan gen donordan kluster, melalui analisis ragam atau analisismolekuler (Suprapto dan Kairuddin 2007, Pabendon etal. 2010, Efendi et al. 2015). Keragaman genetik timbuldari keragaman genotipe pembentuk populasi dan darigen-gen yang bersegregasi dan berinteraksi dengan genlain. Keragaman genetik inbrida dari kluster (gene pool)yang berbeda menunjukkan korelasi positif antara jarakgenetik dengan tingkat hasil hibrida (Xia et al. 2004,Warbutton et al. 2005, Pabendon et al. 2007).

Seleksi genotipe superior dari populasi bersegregasimemerlukan jumlah individu tanaman yang lebih besar.Untuk menguji potensi genetik dan kemampuan dayagabung galur-galur dalam jumlah besar pada generasiawal tidak mungkin dilakukan untuk semua kombinasipersilangan. Evaluasi potensi genetik, informasi perangen, dan kemampuan daya gabung inbrida padagenerasi awal dapat dilakukan menggunakan hibridasilang puncak (top cross). Hibrida silang puncak jugadapat digunakan untuk menyeleksi inbrida untukmembentuk varietas hibrida unggul, sehingga seleksiinbrida pada generasi berikutnya semakin berkurang.

Seleksi untuk karakter yang diinginkan, seperti hasiltinggi dan toleran cekaman abiotis dilakukan secarabertahap atau simultan pada setiap tahap pembentukangalur (Nzuve et al. 2014). Seleksi pada lingkungantercekam sebaiknya dilakukan di lingkungan targetsehingga genotipe dapat memaksimalkan ekspresi gen-gen yang mengendalikan sifat yang diinginkan maupundaya hasilnya (Ceccarelli et al. 2013, Jambormias 2011).Informasi variabilitas genetik dan terdapatnya interaksiantara genetik dengan lingkungan menjadipertimbangan metode seleksi yang tepat untukmemperoleh karakter tanaman yang diinginkan (Azraiet al. 2006, Sa’diyah et al. 2013). Semakin besar nilaiheritabilitas suatu sifat, semakin besar peluangkeberhasilan seleksi. Ragam aditif dari karakter yangdiseleksi pada suatu populasi ikut menentukankemajuan genetik karakter yang diseleksi (Hapsari danAdhie 2010, Azrai et al. 2014). Estimasi ragam aditif danpopulasi dapat dilakukan melalui uji zuriat populasitersebut pada minimal dua lokasi untuk mengeluarkangalat yang ditimbulkan akibat pengaruh lingkungan.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkaninformasi ragam genetik dan nilai heritabilitas sertapenampilan karakter hasil, komponen hasil, danbeberapa peubah agronomi jagung hibrida silangpuncak galur-galur S1, pada lingkungan yang mengalamicekaman kekeringan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada Juli-Oktober 2013 diBajeng, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, dan diMuneng, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Kedualokasi tersebut merupakan lahan kering yang memilikifasilitas pengairan semi teknis sehingga memudahkanpengaturan air untuk evaluasi cekaman kekeringan padamusim kemarau. Lokasi penelitian di Gowa memilikijenis tanah Ultisol, 49 m dpl. dan tipe iklim C3, sedangkandi Probolinggo memiliki jenis tanah Aluvial, 100 m dpl.dan tipe iklim E1 menurut klasifikasi iklim Oldeman.Materi genetik yang digunakan adalahjagung hibridasilang puncak 79 galur S1 CML 538/Nei9008DMR,menggunakan dua hibrida tester, varietas P21 dan Bima11, sehingga terdapat 158 hibrida. Varietas P21, Bima 11,Bisi 2 dan Bima 3 digunakan sebagai pembanding.

Percobaan menggunakan rancangan acakkelompok dengan dua ulangan. Setiap genotipe ditanampada petakan dua baris, panjang petak 5 m, jarak tanamantarbaris 70 cm dan dalam baris 20 cm. Pupuk diberikandua kali, yaitu pada umur 10 hari setelah tanam (HST)dengan dosis 100 kg urea/ha + 350 kg NPK (15:15:15),dan umur 30 HST dengan dosis urea 250 kg/ha.

Tanaman percobaan mendapatkan perlakuancekaman kekeringan, pemberian air dihentikan padasaat tanaman berumur 35 HSThingga panen. Metodepengujian merujuk pada standar yang digunakanMonneveux et al. (2006). Pengamatan sebelum panendilakukan terhadap karakter umur 50% berbunga jantandan betina. Pengamatan terhadap kandungan klorofildaun dan skoring penggulungan daun yang dilakukanpada saat 50% tanaman mengalami pollinasi (skor 1 jikadaun normal atau tidak menggulung, skor 2 jika daunkelihatan mulai menggulung, skor 3 jika bagian tengahdaun menggulung dan ujungnya berbentuk V, skor 4jika daun menggulung menutupi bagian lidah daun, danskor 5 jika daun menggulung seperti daun bawang)(Zaidi et al. 2007). Pengamatan tanaman pada 75 HSTmeliputi tinggi tanaman dan letak tongkol, skorpenampilan tanaman berdasarkan keseragaman danvigor tanaman (skor 1 terbaik – skor 5 terjelek), skorpenutupan klobot (skor 1 = klobot menutup denganrapat – 5 = klobot terbuka hingga separuh bagian daritongkol terlihat) dan skor penuaan daun berdasarkanpersentase daun yang mengalami penuaan (skor 1 jika

Page 41: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

AZRAI ET AL.: KERAGAMAN GENETIK JAGUNG HIBRIDA SILANG PUNCAK

201

100% daun masih segar tanpa mengalami penuaan- skor10 jika ≥ 90% daun yang telah mengalami penuaan yangditandai dengan daun telah mengering dan berwarnacokelat. Pengamatan umur panen dilakukan pada saattanaman menjelang panen dengan kriteria 100% klobottelah mengering dan berwarna cokelat. Pengamatansetelah panen dilakukan terhadap bobot tongkolkupasan basah, penampilan tongkol setelah panen (skor1 = terbaik, skor 5 = terjelek), panjang dan diametertongkol, jumlah baris biji per tongkol dan jumlah biji perbaris pada tongkol, rendemen biji dari 10 tongkol sampel,kadar air saat panen, bobot 1.000 biji, dan hasil biji padakadar air 15% menggunakan persamaan (Sujiprihati etal. 2006 sebagai berikut):

10.000 100-KAHasil (t/ha) = ————— x ———— x B x SP L.P 100-14

di mana KA =kadar air biji waktu panen, L.P = luas panen(m2), B = bobot tongkol kupasan (kg), kadar air 15%, SP= rata-rata rendemen (shelling percentage).

Analisis data menggunakan program CropStat untukWindows Versi 7.2.2007.3 (IRRI 2007). Data dianalisisgabungan berdasarkan hasil pengujian pada kedualokasi dengan model linear rancangan acak kelompoksebagai berikut (Baihaki dan Wicaksono 2005):

Yij = μ + αi + βj + (αβ)ij +εij

di mana Yij = hasil genotipe ke-i pada lingkungan ke-j, μ= rata-rata umum, αi = pengaruh genotipe ke-i; βj =pengaruh lingkungan ke-j, (αβ)ij = interaksi genotipe xlokasi ke-i εij = pengaruh galat.

Variabilitas genetik suatu karakter didugaberdasarkan varians genetik (σ2

g), rata-rata populasi (x)dan Koefisien Keragaman Genetik (KKG) menurutAnderson dan Brancoff (1952) dikutip Lubis et. al (2014)dengan persamaan berikut:

KKG = %1002

xx

g

Variabilitas fenotipik suatu karakter ditentukan

berdasarkan varians fenotifik ( 2f ), rata-rata populasi

(x) dan Koefisien Keragaman Fenotipik (KKF)menggunakan persamaan berikut:

KKF = %1002

xx

f

Suatu karakter memiliki variabilitas genotipik yangluas apabila nilai KKG >20%, sedang apabila nilai KKG10-20%, dan sempit apabila KKG 0-10% ( Lubis et al. 2014).Nilai heritabilitas dalam arti luas (H) didefinisikan sebagai

perbandingan antara varians genetik dan varians

fenotipe yang diestimasi dengan persamaan: H = 2

2

f

g

x

100%, nilai heritabilitas rendah apabila H < 20%;heritabilitas sedang apabila H 20-50%, dan heritabilitastinggi apabila H ≤ 50-100%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara umum penelitian berlangsung dengan baik,perlakuan kekeringan sesuai dengan yang diinginkan,dan selama percobaan berlangsung tidak turun hujan.Sidik ragam gabungan menunjukkan terdapat pengaruhnyata dan sangat nyata dari lokasi, hibrida, dan interaksihibrida x lokasi untuk beberapa peubah yang diamati(Tabel 1). Pengaruh nyata lokasi ditemukan pada skorpenampilan tanaman dan skor penutupan klobot,sedangkan pengaruh sangat nyata ditemukan padapeubah penampilan tongkol dan rendemen biji.Pengaruh lokasi yang nyata dan sangat nyata untuk suatupeubah menunjukkan, antarlokasi pengujian terdapatperbedaan komponen ekologi, meskipun keduanyamendapatkan perlakuan cekaman yang sama(Monneveux et al. 2008).

Pengaruh hibrida sangat nyata untuk peubah 50%umur berbunga jantan dan betina, tinggi tanaman, bobottongkol panen, penampilan tongkol, jumlah baris biji,rendemen biji, dan hasil panen biji pada kadar air 15%.Hal ini menunjukkan terdapat keragaman penampilanhibrida silang puncak pada kedua lokasi pengujian.Interaksi antara hibrida dan lokasi sangat nyata terhadappeubah 50% umur berbunga betina, selang waktu 50%umur berbunga betina dan jantan, skor penggulungandaun, kandungan klorofil daun, panjang tongkol, bobot1.000 biji kering dan hasil biji pada kadar air 15%. Data inimenunjukkan terdapat perbedaan respons galur-galurjagung yang diuji pada dua lingkungan seleksi. Interaksigenotipe x lingkungan untuk suatu karakter merupakangambaran perbedaan respon dari genotipe pada kondisilingkungan yang berbeda, sehingga seleksi populasi ataugalur sebaiknya dilakukan pada masing-masing lokasipengujian (Azrai et al. 2006). Seleksi untuk kepentinganpelepasan varietas unggul sebaiknya diarahkan padaspesifik lokasi (Andayani et al. 2014).

Pendugaan Komponen Ragam danNilai Heritabilitas

Nilai estimasi komponen ragam beberapa karakterpenting yang diamati disajikan pada Tabel 2. Koefisienkeragaman genotipe (KKG) gabungan pada penelitian

Page 42: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

202

ini berkisar antara 0,00-9,54%, sedangkan koefisienkeragaman fenotipe (KKF) berkisar antara 2,19-19,13%.Nilai KKG tersebut tergolong sempit (< 10%), sedangkannilai KKF tergolong sempit- sedang. Pada penelitian ini

juga diperoleh nilai ragam genetik dan heritabilitasnegatif pada peubah umur panen dan skor penampilantanaman serta nilai nol untuk peubah skor penutupanklobot. Nilai negatif disebabkan oleh nilai kuadrat tengah

Tabel 1. Analisis ragam gabungan jagung hibrida silang puncak pada kondisi cekaman kekeringan di Kabupaten Gowa dan Probolinggo, MK2013.

RagamKarakter

Lokasi Lok/Rep Hibrida H x L Galat KK (%)

50% umur berbunga jantan 20,41 93,34 4,69** 2,79 2,32 2,850% umur berbunga betina 28,96 160,85 5,31** 2,55** 1,61 2,2Selang berbunga betina & jantan 98,00 9,19 0,85 0,67** 0,47 19,1Kandungan klorofil daun 147,06 150,79 44,71 38,01 35,70 11,0Skor penggulungan daun 0,40 0,30 0,17 0,16** 0,10 12,4Tinggi tanaman 4674,81 12074,70 528,68** 306,31 266,22 8,5Tinggi letak tongkol 5865,05 12529,40 358,23 282,79 242,70 15,9Skor penuaan daun 0,01 0,64 0,26 0,23 0,23 17,1Penampilan tanaman 18,07* 0,83 0,10 0,11 0,10 15,5Skor penutupan klobot 36,84* 1,60 0,31 0,31** 0,22 18,7Umur panen 3840,31 496,78 11,08 11,53** 7,51 2,7Bobot tongkol panen 6,44 3,02 1,28** 0,84** 0,13 8,3Penampilan tongkol 69,42** 0,30 0,57** 0,34** 0,10 12,5Panjang tongkol 97,69 13,24 1,34 0,98 0,75 6,8Diameter tongkol 35,77 2,04 0,89 0,78 0,70 17,3Jumlah baris biji 33,24 11,62 2,74** 0,94 0,82 5,9Jumlah biji/baris tongkol 193,83 158,71 10,20 10,08 9,52 11,5Rendemen 0,007** 0,00001 0,003** 0,001** 0,0003 2,40Bobot 1000 biji 341,94 21157,60 1115,16** 742,21 614,95 10,7Hasil panen biji k.a. 15% 41,19 2,54 1,85** 1,08** 0,19 9,2

* = nyata pada taraf uji F 5%; ** = sangat nyata pada taraf uji F 1%*; tn = tidak nyata pada taraf uji F

Tabel 2. Nilai duga ragam dan koefisien keragaman genetik gabungan jagung hibrida silang puncak pada kondisi cekaman kekeringan diKabupaten Gowa dan Probolinggo, MK 2013.

Peubah σ2g

σ2gxe

σ2e

σ2f

Rata-rata KKG KKF H

50% umur berbunga jantan 0,475 0,235 2,320 1,173 54,4 1,266 2,80 0,4150% umur berbunga betina 0,69 0,47 1,610 1,328 58,0 1,432 2,19 0,52Selang berbunga betina & jantan 0,045 0,1 0,470 0,213 3,6 5,920 19,13 0,21Kandungan klorofil daun 1,675 1,155 35,700 11,178 54,1 2,393 11,05 0,15Skor penggulungan daun 0,0025 0,03 0,100 0,043 2,5 1,961 12,40 0,06Tinggi tanaman 55,5925 20,045 266,220 132,170 191,4 3,896 8,53 0,42Tinggi letak tongkol 18,86 20,045 242,700 89,558 97,8 4,440 15,93 0,21Skor penuaan daun 0,0075 0 0,230 0,065 2,8 3,089 17,10 0,12Penampilan tanaman -0,0025 0,005 0,100 0,025 2,0 2,465 15,59 -0,10Skor penutupan klobot 0 0,045 0,220 0,078 2,5 0,000 18,61 0,00Umur panen -0,1125 2,01 7,510 2,770 100,6 0,333 2,72 -0,04Bobot tongkol panen 0,11 0,355 0,130 0,320 4,3 7,751 8,43 0,34Penampilan tongkol 0,0575 0,12 0,100 0,143 2,5 9,544 12,59 0,40Panjang tongkol 0,09 0,115 0,750 0,335 12,7 2,371 6,85 0,27Diameter tongkol 0,0275 0,04 0,700 0,223 4,8 3,433 17,32 0,12Jumlah baris biji 0,45 0,06 0,820 0,685 15,5 4,334 5,85 0,66Jumlah biji/baris tongkol 0,03 0,28 9,520 2,550 26,9 0,644 11,48 0,01Rendemen 0,0005 0,00035 0,000 0,001 0,74 3,023 2,34 0,67Bobot 1000 biji 93,2375 63,63 614,950 278,790 232,1 4,160 10,68 0,33Hasil panen biji k.a. 15% 0,1925 0,445 0,190 0,463 4,633 9,471 9,41 0,42

σ2g = Ragam genetik; σ2

gxe = Ragam genetik x lingkungan; σ2

e = Ragam galat; σ2

f = Ragam fenotip;

KKG = Koefisien keragaman genotip, KKF = Koefisien ragam fenotip, H = Heritabilitas

Page 43: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

AZRAI ET AL.: KERAGAMAN GENETIK JAGUNG HIBRIDA SILANG PUNCAK

203

genotipe lebih kecil dari nilai kuadrat tengah interaksi(genotipe x lingkungan), sedangkan nilai nol disebabkanoleh nilai kuadrat tengah genotipe sebanding dengannilai kuadrat tengah interaksi (genotipe x lingkungan).Peubah tersebut tidak dapat digunakan dalam seleksigenotipe (Saputri et al. 2013).

Keragaman genetik yang sempit untuk semuakarakter yang diamati diduga karena perlakuancekaman berat menyebabkan ekspresi gen-genterhambat menampilkan tanaman secara optimal.Dengan demikian, pengaruh lingkungan lebih besardibandingkan dengan pengaruh gen aditif (Hijra et al.2012). Keragaman genetik sempit yang berperan pentingpada perlakuan cekaman kekeringan juga telahdilaporkan Adriani et al (2014), di mana dari 24 peubahyang diamati, semua memiliki ragam genetik yangsempit. Febriani et al. (2008) juga melaporkan bahwavariabilitas genetik dan fenotipik yang luas dari galur

jagung manis hanya diperoleh pada kondisi lingkungantumbuh yang optimal.

Oleh karena nilai koefisien keragaraman tergolongkecil maka pemilihan peubah yang tepat sebagai kriteriaseleksi hibrida silang puncak toleran kekeringandiarahkan pada peubah dengan nilai heritabilitas sedang-tinggi. Terdapat tiga peubah yang menunjukkan nilaiheritabilitas tinggi, yaitu umur berbunga betina, jumlahbaris biji, dan rendemen biji. Peubah dengan heritabilitassedang ditemukan pada 50% umur berbunga jantan,selang bunga jantan dan betina, tinggi tanaman dan letaktongkol, bobot dan penampilan tongkol panen, panjangtongkol, bobot 1.000 biji dan hasil biji.

Nilai duga heritabilitas sedang-tinggi untuk karaktertertentu pada suatu lingkungan merupakan petunjukterdapat peluang untuk perbaikan genetik sifat tersebutmenggunakan metode seleksi massa atau seleksi galurmurni (Aryana 2010, Vashistha et al. 2013). Selain nilai

Tabel 3. Keragaan jagung hibrida jagung silang puncak terseleksi (P21//CML538/ Nei9008DMR) dan (Bima11//CML538/ Nei9008DMR) padakondisi cekaman kekeringan di Kabupaten Gowa dan Probolinggo, MK 2013.

Hasil (t/ha) Rata-rata hasil relatif terhadap var cek (%)Hibrida

Probolinggo Gowa Rata-rata P21 Bima 11 Bisi2 Bima3

TCP21-Bj4-64 7,3abcd 5,2cd 6,3abcd 139 172 214 220TCP21-Bj4-42 6,1abcd 5,8abcd 6,0bcd 132 164 203 209TCP21-Bj4-55 6,2abcd 5,5cd 5,8bcd 129 160 198 205TCP21-Bj4-39 4,8bcd 6,7abcd 5,8bcd 128 158 196 202TCP21-Bj4-07 6,2abcd 5,3cd 5,7bcd 127 158 195 202TCP21-Bj4-10 6,5abcd 5,0cd 5,7bcd 127 158 195 201TCP21-Bj4-51 6,6abcd 4,8cd 5,7bcd 126 157 194 200TCP21-Bj4-24 6,0abcd 5,4cd 5,7bcd 126 156 193 199TCBim11-Bj4-67 6,8abcd 4,5cd 5,7bcd 125 156 193 199TCP21-Bj4-56 5,4abcd 5,9abcd 5,6bcd 125 155 192 198TCP21-Bj4-47 5,8abcd 5,5cd 5,6bcd 125 155 192 198TCP21-Bj4-04 5,6abcd 5,6bcd 5,6bcd 124 154 191 197TCP21-Bj4-73 5,9abcd 5,2cd 5,5bcd 122 152 188 194TCP21-Bj4-19 5,3abcd 5,8abcd 5,5bcd 122 151 188 194TCP21-Bj4-71 5,5abcd 5,5cd 5,5bcd 122 151 187 193TCBim11-Bj4-74 6,5abcd 4,5cd 5,5bcd 122 151 187 193TCP21-Bj4-35 5,4abcd 5,4cd 5,4bcd 120 149 185 191TCP21-Bj4-75 6,0abcd 4,8cd 5,4bcd 120 149 184 190TCP21-Bj4-67 5,4abcd 5,4cd 5,4bcd 120 149 184 190TCP21-Bj4-43 5,3abcd 5,5cd 5,4bcd 119 148 183 189TCBim11-Bj4-77 5,7abcd 5,1cd 5,4bcd 119 148 183 189

P21 (a) 4,1 4,9 4,5 Bima 11 (b) 2,6 4,7 3,6Bisi 2 (c) 3,0 2,9 2,9Bima 3 (d) 2,1 3,6 2,8

Rata-rata 4,9 4,4 4,6SE 0,3 0,3 0,5 5% LSD 0,9 0,8 1,5 KK (%) 9,2 9,6 9,4 a = Nyata lebih unggul dari varietas P21; b= Nyata lebih unggul dari varietas Bima 11; c = Nyata lebih unggul dari varietas Bisi 2;d = Nyata lebih unggul dari varietas Bima 3

Page 44: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

204

keragaman genetik yang luas, nilai heritabilitas yangtinggi dan nilai tengah masing-masing genotipe jugaberperan dalam meningkatkan efektivitas seleksi (Syukuret al. 2011).

Penampilan Hibrida Silang Puncak

Rata-rata hasil biji pada kadar air 15% per lokasi dangabungan dua lokasi pengujian disajikan pada Tabel 3.Rata-rata hasil biji semua hibrida yang dievaluasi berkisarantara 3,0-7,3 t/ha di Probolinggo, 2,2-6,7 t/ha di Gowadengan rata-rata 2,7-6,3 t/ha dari pada kedua lokasi.Penampilan hasil, komponen hasil dan karakteragronomi dari 20 hibrida silang puncak dengan hasil bijitertinggi, dari rata-rata gabungan kedua lokasi disajikanpada Tabel 3-6.

Hasil biji 20 hibrida silang puncak terpilih, nyata lebihunggul dari varietas pembanding di Probolinggo. DiGowa, hanya empat hibrida yang hasilnya nyata lebihunggul dari varietas pembanding, yaitu TCP21-Bj4-42,

TCP21-Bj4-39, TCP21-Bj4-56, dan TCP21-Bj4-19. Hasil bijihibrida lainnya nyata lebih unggul dari varietaspembanding Bisi 2 dan Bima 3, kecuali TCP21-Bj4-04 yangnyata lebih unggul dari varietas Bima 11, Bisi 2 dan Bima3. Dari rata-rata dua lokasi hanya hibrida silang puncakTCP21-Bj4-64 yang memiliki produktivitas yang nyatalebih unggul dari semua varietas pembanding, tetapisemua hibrida nyata lebih unggul dari varietaspembanding Bima 11, Bisi 2 dan Bima 3. Rendahnya hasilvarietas pembanding diduga karena dalampembentukannya tidak ditujukan untuk tolerankekeringan. Hibrida silang puncak yang digunakan padapenelitian ini dibentuk menggunakan segregan hasilpersilangan antara galur toleran kekeringan asalCIMMYT di Afrika dengan galur tahan penyakit bulai. Dari158 hibrida silang puncak yang dibentuk, terdapat galuryang sangat peka terhadap kekeringan dengan hasilyang lebih rendah dibandingkan dengan varietaspembanding dan hibrida toleran kekeringan denganhasil yang lebih tinggi.

Tabel 4. Umur berbunga, tinggi tanaman, letak tongkol, dan kandungan klorofil daun jagung hibrida silang puncak terseleksi P21//CML538/Nei9008DMR dan Bima11// CML538/ Nei9008DMR pada kondisi cekaman kekeringan. Kabupaten Gowa dan Probolinggo, MK 2013.

Umur Umur Selang hari KandunganHibrida berbunga berbunga berbunga jantan Umur Tinggi Tinggi klorofil daun

jantan betina dan betina panen tanaman tongkol menggunakan SPAD(hari) (hari) (hari) (hari) (cm) (cm) (skor)

TCP21-Bj4-64 53,3bcd 57,0bc 3,8 101,3 193,7 96,7 54,5TCP21-Bj4-42 54,5 57,5bc 3,0d 101,3 191,2 97,4 55,9TCP21-Bj4-55 53,0bcd 57,0bc 4,0 99,1 205,1 105 53,3TCP21-Bj4-39 53,0bcd 56,8bc 3,8 99,1 198 98,4 57,3cTCP21-Bj4-07 53,3bcd 57,0bc 3,8 101,9 197,8 97,1 54,8TCP21-Bj4-10 53,0bcd 56,0bc 3,0d 101,8 200,5 101,3 52,6TCP21-Bj4-51 53,5bc 57,0bc 3,3 101,6 205,5 101,2 54,8TCP21-Bj4-24 53,0bcd 56,3bc 3,3 100,3 195,2 93,8 54,7TCBim11-Bj4-67 54,0b 57,8c 3,8 99,6 183,6 101,1 56,8c

TCP21-Bj4-56 54,5 57,8c 3,3 100,3 194,2 101,9 54,1TCP21-Bj4-47 53,5bc 57,0bc 3,3 101,8 207,8 112,3 52,3TCP21-Bj4-04 53,8bc 57,0bc 3,3 100,8 192,9 96,1 54,2TCP21-Bj4-73 54 57,3bc 3,3 100,4 210 110,9 50,9TCP21-Bj4-19 53,5bc 57,0bc 3,5 102 194,9 95,7 52,1TCP21-Bj4-71 53,5bc 57,0bc 3,3 99,8 200,3 101,5 47,3TCBim11-Bj4-74 53,0bcd 56,5bc 3,5 96,9c 179,6 87,4 57,0c

TCP21-Bj4-35 55,5 58,3 2,8d 102,8 198,1 146,2 51,7TCP21-Bj4-75 53,3bcd 57,0bc 3,5 99,1 190,6 96,6 54,1TCP21-Bj4-67 52,8bcd 55,8bc 3,0d 101 192,2 103,1 51,2TCP21-Bj4-43 53,0bcd 57,0bc 4,0 99,4 205,9 107,9 51,2TCBim11-Bj4-77 54,5 57,5bc 3,0d 97,9c 187,9 95,4 55

P21 53,8 57,3 3,5 99,1 191,6 99,6 52,1Bima 11 56,5 60,0 3,5 101,0 179,2 98,7 58,2Bisi 2 56,3 60,5 4,3 103,6 196,8 106,4 47,8Bima 3 55,8 58,3 3,5 99,1 176,9 83,7 57,5

Rata-rata 54,4 58,0 3,6 100,6 191,4 97,8 54,1SE 0,8 0,8 0,4 1,7 8,8 8,4 3,15%LSD 2,3 2,2 1,1 4,7 24,4 23,5 8,6KK (%) 2,8 2,2 19,1 2,7 8,5 15,9 11,0

Page 45: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

AZRAI ET AL.: KERAGAMAN GENETIK JAGUNG HIBRIDA SILANG PUNCAK

205

Hasil relatif rata-rata di dua lokasi berkisar 119-139%terhadap P21, 148-172% terhadap Bima 11, 183214%terhadap Bisi 2, dan 189220% terhadap Bima 3. Dari 20galur dengan rata-rata hasil tertinggi tersebut, 17 galurdi antaranya berdaya gabung baik dengan varietas P21,dua galur berdaya gabung baik dengan Bima 11, dansatu galur berdaya gabung baik dengan kedua tetuasilang puncaknya, yaitu P21 dan Bima 11. Namundemikian, dengan interaksi genetik x lingkungan yangsangat nyata untuk karakter hasil, pemilihan galur untukdiseleksi lebih lanjut akan lebih baik pada galur-galur 20terbaik dari tiap lokasi pengujian.

Karakter agronomis dan komponen hasil hibridasilang puncak yang terseleksi disajikan pada Tabel 4, 5dan 6. Untuk peubah 50% umur berbunga hanyaTCBim11-Bj4-67, TCP21-Bj4-73, TCP21-Bj4-35 TCBim11-Bj4-77 yang tidak nyata menunjukkan kegenjahan

dibandingkan dengan salah satu dari varietaspembanding, sedangkan untuk peubah 50% berbungabetina (rambut) menunjukkan 20 hibrida silang puncaknyata lebih genjah dari varietas pembanding Bima 11dan Bisi 2. Karakter peubah selang waktu bunga betinadan jantan menunjukkan hibrida silang puncak memilikinilai relatif sama dengan varietas pembanding, kecualihibrida TCP21-Bj4-42, TCP21-Bj4-10, TCP21-Bj4-35,TCP21-Bj4-67, dan TCBim11-Bj4-77 yang nyata lebihpendek dari varietas Bima 3. Karakter selang waktuberbunga betina dan jantan merupakan salah satukarakter penting untuk menyeleksi genotipe jagungtoleran kekeringan (Monneveux et al. 2008, Ngugi et al.2013, Oyekunle et al. 2015). Selang waktu umurberbunga berkisar antara 2,8-4,0 hari (Tabel 4). Olehkarena itu tanaman masih mampu melangsungkanpollinasi, sehingga biji bisa terbentuk meskipun tidaksempurna. Dalam penelitian ini perlakuan cekaman

Tabel 5. Keragaan peubah skoring hibrida P21//CML538/ Nei9008DMR dan Bima11// CML538/ Nei9008DMR pada kondisi cekaman kekeringandi Kabupaten Gowa dan Probolinggo, MK. 2013.

Skoring Skoring Skoring Skoring SkoringNo Hibrida penampilan penampilan penggulungan penuaan penutupan

tanaman tongkol daun daun klobotskor 1-5 Skor 1-10 Skor 1-5

64 TCP21-Bj4-64 2,1 2,5 2,5 2,9 2,5c

42 TCP21-Bj4-42 1,9 2,3 2,3c 2,4c 1,9bc

55 TCP21-Bj4-55 2,1 2,4 2,5 2,9 2,0bc

39 TCP21-Bj4-39 2,1 2,5 2,8 2,4c 1,9bc

7 TCP21-Bj4-07 2,1 2,5 2,3c 2,9 2,1c

10 TCP21-Bj4-10 2,1 2,6 2,5 2,6 2,651 TCP21-Bj4-51 1,9 3 2,3c 2,9 2,1c

24 TCP21-Bj4-24 1,9 2,5 2,3c 2,9 2,1c

146 TCBim11-Bj4-67 2,1 3 2,8 2,9 2,5c

56 TCP21-Bj4-56 2,1 2,4 2,3c 2,6 2,3c

47 TCP21-Bj4-47 2 2,5 2,5 2,9 2,1c

4 TCP21-Bj4-04 2 3 2,8 2,6 2,1c

73 TCP21-Bj4-73 1,8 2,4 2,3c 2,9 2,0bc

19 TCP21-Bj4-19 2 2,5 2,8 3,1 1,9bc

71 TCP21-Bj4-71 1,9 2,4 2,3c 3,1 2,3c

153 TCBim11-Bj4-74 2 2,6 2,8 2,6 2,835 TCP21-Bj4-35 2 2,3 2,3c 2,4c 2,0bc

75 TCP21-Bj4-75 2 2,9 2,8 2,4c 2,1c

67 TCP21-Bj4-67 2 2,8 2,3c 2,6 2,3c

43 TCP21-Bj4-43 1,9 2,8 2,8 2,6 2,3c

156 TCBim11-Bj4-77 1,9 2,3 2,5 2,6 2,3c

159 P21 1,9 2,0 2,3 2,9 2160 Bima 11 2,3 2,4 2,8 2,9 2,9161 Bisi 2 2,3 1,8 3,0 3,3 3,4162 Bima 3 1,8 2,3 2,5 2,6 2,4

Rerata 2,0 2,5 2,5 2,8 2,5SE 0,2 0,3 0,2 0,2 0,35%LSD 0,5 0,8 0,6 0,7 0,8

KK (%) 15,5 18,7 12,4 17,1 12,5

PA = Skoring penampilan tanaman (1 terbaik – 5 terjelek); EA= Skoring penampilan tongkol (1 terbaik – 5 terjelek); PgD= Skoringpenggulungan daun (1 terbaik – 5 terjelek); PenD= Skoring penuaan daun (1 terbaik/daun segar tanpa ada yang seperti terbakar – 10terjelek/semua daun warna cokelat kering seperti terbakar); HC = Skoring penutupan klobot (1 terbaik – 5 terjelek).

Page 46: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

206

Tabel 6. Komponen hasil hibrida silang puncak terseleksi P21//CML538/ Nei9008DMR dan Bima11//CML538/ Nei9008DMR pada kondisicekaman kekeringan di Kabupaten Gowa dan Probolinggo, MK. 2013.

Kadar Rendemen Panjang Diameter Jumlah Jumlah BobotNo Hibrida air biji tongkol tongkol baris/ biji/baris 1.000 biji

(%) (cm) (cm) tongkol (g)

64 TCP21-Bj4-64 29,6 0,77 12,4 5 15,8bcd 27,4 219,942 TCP21-Bj4-42 31,6 0,76 13 4,9 16,2bcd 30,4b 245,0c

55 TCP21-Bj4-55 29,9 0,74 14,1ad 4,7 16,2bcd 28,7b 241,4c

39 TCP21-Bj4-39 31,4 0,78d 12,1 4,8 16,3bcd 28b 208,17 TCP21-Bj4-07 28,2 0,74 12,6 4,9 16,1bcd 26,3 237,5c

10 TCP21-Bj4-10 29,6 0,77 13,1 4,8 15,7bcd 28,8b 216,351 TCP21-Bj4-51 31,4 0,77 12,3 4,9 16,4bcd 26,6 225,424 TCP21-Bj4-24 30,8 0,74 12,5 4,9 15,7bcd 26,1 226,2146 TCBim11-Bj4-67 30,4 0,71 12,3 5 15,8bcd 23,9 269,6cd

56 TCP21-Bj4-56 30,7 0,75 14,0ad 5 16,7bcd 27,4 243,5c

47 TCP21-Bj4-47 30,3 0,77 12,3 4,9 16,5bcd 28,2b 219,34 TCP21-Bj4-04 30,9 0,75 12,7 4,8 16,2bcd 28,7b 240,5c

73 TCP21-Bj4-73 31,1 0,77 12,7 5 16,8bcd 26,1 233,2c

19 TCP21-Bj4-19 30,9 0,76 12,9 4,8 15,9bcd 28,3b 225,471 TCP21-Bj4-71 29,8 0,76 12,2 4,9 16bcd 26,7 238,7c

153 TCBim11-Bj4-74 29,3 0,75 12,4 4,8 15,4bcd 25,5 232,5c

35 TCP21-Bj4-35 30,4 0,77 13,5 5 16,3bcd 27,7b 222,375 TCP21-Bj4-75 30,7 0,76 13,2 5,1 16,5bcd 27,7b 231,1c

67 TCP21-Bj4-67 30,0 0,75 13 7,3abcd 15,8bcd 29,9b 208,943 TCP21-Bj4-43 30,8 0,77 12,3 4,9 16,4bcd 28,0b 212,6156 TCBim11-Bj4-77 29,7 0,74 13,5 4,6 15,0bc 27,9b 213,5159 P21 29,8 0,77 12,2 4,8 15,6 26,9 266,0160 Bima 11 29,5 0,73 13,7 3,9 13,5 23,2 270,4161 Bisi 2 29,5 0,76 13,0 4,0 13,0 28,1 191,6162 Bima 3 27,3 0,72 12,5 4,6 13,6 26,7 225,3

Rerata 30,5 0,74 12,7 4,8 15,5 26,9 232,1SE 1,1 0,02 0,5 0,4 0,5 1,6 13,65%LSD 3,1 0,05 1,4 1,2 1,4 4,4 38,0

KK (%) 7,0 2,40 6,8 7,3 5,9 11,5 10,7

kekeringan menyebabkan proses pengisian biji menjaditerhambat, sehingga hasil biji tidak optimal.

Peubah umur panen dan kandungan klorofil daunhibrida silang puncak tidak berbeda nyata denganvarietas pembanding, kecuali hibrida silang puncakTCBim11-Bj4-74 dan TCBim11-Bj4-77, yang nyata lebihgenjah dan kandungan klorofil daun lebih tinggidibandingkan dengan varietas Bisi 2 (Tabel 4). VarietasBima 11 nampaknya merupakan tetua silang puncak(tester) yang memiliki daya gabung baik, untukmendapatkan hibrida dengan umur panen yang lebihgenjah. Untuk peubah tinggi tanaman dan letak tongkoltidak terdapat hibrida dengan rata-rata hasil biji terbaikdengan tanaman yang nyata lebih pendek dari varietaspembanding.

Nilai skor tanaman disajikan pada Tabel 5.Penampilan tanaman dan penutupan klobot 20 hibridasilang puncak dengan hasil panen tertinggi tidakberbeda nyata dengan varietas pembanding. Untukpeubah penggulungan dan penuaan daun, hibridasilang puncak tidak berbeda nyata dengan varietaspembanding P 21, Bima 11 dan Bima 3, hanya beberapa

di antaranya dengan nilai skor yang nyata lebih baik dariBisi 2, yaitu TCP21-Bj4-42, TCP21-Bj4-07, TCP21-Bj4-51,TCP21-Bj4-24, TCP21-Bj4-56, TCP21-Bj4-73, TCP21-Bj4-71, TCP21-Bj4-35, dan TCP21-Bj4-67 untuk peubahpenggulungan daun serta TCP21-Bj4-42, TCP21-Bj4-39,TCP21-Bj4-35, dan TCP21-Bj4-75 untuk peubah penuaandaun. Penampilan tongkol enam hibrida silang puncakmemiliki nilai skor nyata lebih baik dibanding varietasBima 11 dan Bisi 2, sedangkan hibrida silang puncaklainnya nyata lebih baik dibanding varietas Bisi 2, kecualiTCP21-Bj4-10.

Data komponen hasil 20 hibrida silang puncakdengan rata-rata hasil tertinggi disajikan pada Tabel 6.Pada umumnya peubah kadar air biji, rendemen biji,panjang dan diameter tongkol, jumlah biji per baris danbobot 1.000 biji setara dengan varietas pembanding,kecuali beberapa hibrida yang menunjukkankeunggulan nyata. Untuk jumlah baris per tongkol,hampir semua hibrida silang puncak nyata lebih banyakdari varietas pembanding Bima 11, Bisi 2 dan Bima 3,kecuali TCBim11-Bj4-77 yang hanya nyata lebih banyakdibanding varietas Bima 11 dan Bisi 2.

Page 47: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

AZRAI ET AL.: KERAGAMAN GENETIK JAGUNG HIBRIDA SILANG PUNCAK

207

KESIMPULAN

Ragam genetik 158 hibrida silang puncak jagung untuksemua peubah tergolong sempit, sehingga penerapanseleksi untuk perbaikan populasi sebaiknya dilakukanpada generasi segregasi berikutnya.

Peubah dengan nilai duga heritabilitas tinggidiperoleh dari umur berbunga betina, jumlah baris biji,dan rendemen biji, dan nilai duga heritabilitas sedangdiperoleh dari umur berbunga jantan, selang waktuumur berbunga jantan dan betina, tinggi tanaman danletak tongkol, bobot dan penampilan tongkol panen,panjang tongkol, bobot 1.000 biji dan hasil biji. Hal inimenunjukkan tersedia peluang untuk memperolehkemajuan genetik dari seleksi pembentukan galur murnipada generasi selanjutnya.

Penampilan hasil biji konsisten nyata lebih ungguldibanding varietas pembanding di kedua lokasi hibridasilang puncak pasangan galur Bj4-42, Bj4-56 dan Bj4-19dengan varietas P21 atau galur Bj4-67 yang berdayagabung baik dengan P21 dan Bima 11. Artinya terdapatpeluang keberhasilan memperoleh galur tolerankekeringan jika diseleksi lebih lanjut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada BadanLitbang Pertanian atas dukungan dana penelitian inimelalui Proyek SMARTD 2013. Ucapan terima kasih jugadisampaikan kepada peneliti dan teknisi di Balitserealdan KP Muneng yang membantu kegiatan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adriani, A., M. Azrai, W.B. Suwarno, dan S.H. Sutjahjo. 2014.Pendugaan keragaman genetik dan heritabilitas jagunghibrida silang puncak pada perlakuan cekaman kekeringan.Buletin Informatika Pertanian 24(1):91–100.

Andayani, N.N., S. Sunarti, M. Azrai, dan R.H. Praptana. 2014.Stabilitas hasil jagung hibrida silang tunggal. Jurnal PenelitianPertanian Tanaman Pangan 33(3):148-154.

Aryana, IGPM. 2010. Uji keseragaman, heritabilitas dan kemajuangenetik galur padi beras merah hasil seleksi silang balik dilingkungan gogo. Crop Agro 3(1):12-19.

Azrai, M., F. Kasim dan J.R. Hidayat. 2006. Stabilitas jagung hibrida.Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25(3):163-169.

Azrai, M., H. Aswidinnoor, J. Koswara, M. Surahman, dan J.R.Hidayat. 2006. Analisis genetik ketahanan jagung terhadappenyakit bulai dalam pemuliaan tanaman jagung. JurnalPenelitian Pertanian Tanaman Pangan 25(2):71-77.

Azrai, M. 2013. Jagung hibrida genjah: prospek pengembanganmenghadapi perubahan iklim. IPTEK Tanaman Pangan8(2):90-96.

Azrai, M., M.J. Mejaya, dan H. Aswidinnoor. 2014. Daya gabunggalur-galur jagung berkualitas protein tinggi. Jurnal PenelitianPertanian Tanaman Pangan 33(3):137-147.

Baihaki, A. dan N. Wicaksono. 2005. Interaksi genotip x lingkungan,adaptabilitas, dan stabilitas hasil dalam pengembangantanaman varietas unggul di Indonesia. Zuriat 16(1):1–8.

Ceccarelli, S., W. Erskine, J. Humblin, and S. Brando. 2013.Genotype by environment interaction and internationalbreeding program. http://www.researchgate.net/ [2013].

Efendi, R., Y. Musa, M.F. Bdr, M.D. Rahim, M. Azrai, dan M.B.Pabendon. 2015. Seleksi jagung hibrida dengan markamolekuler dan toleteransinya terhadap kekeringan dannitrogen rendah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan34(1):43-53.

Farhad, W., M.A. Cheema, M.F. Saleem, and M. Saqib, 2011.Evaluation of drought tolerant and sensitive maize hybrids.Int. J. Agric. Biol. 13:523-528.

Febriani, Y., S. Ruswandi, M. Rachmady, dan D. Ruswandi. 2008.Keragaman galur-galur murni elite baru jagung unpad diJatinangor- Indonesia. Zuriat 19(1):104-117.

Hapsari, R.T. dan M.M. Adhie, 2010. Pendugaan parameter genetikdan hubungan antar komponen hasil kedelai. JurnalPenelitian Pertanian Tanaman Pangan 29(1):12-17.

Haryono, 2013. Maize for food, feed and fuel in Indonesia: challengesand opportunity. Proceedings of International Seminar onAgribusiness of Maize-Livestock Integration and InternationalMaize Conference Gorontalo, Indonesia, November 21-23,2012 . Ministry of Agriculture in collaboration with ProvincialGovernment of Gorontalo. p.3-9.

Hijria, D. Boer, dan T. Wijayanto. 2012. Analisis variabilitas genetikdan heritabilitas berbagai karakter agronomi 30 kultivarjagung (Zea mays L.) lokal Sulawesi Tenggara. BerkalaPenelitian Agronomi PS 17. 1(2):174-183.

IRRI. 2007. CropStat for Windows Version 7.2.2007.3.

Jambormias, E. 2011. Peragaan grafis GGE-Biplot untuk evaluasikeragaan genotipe-genotipe dan perubahan lingkunganbercekaman di pulau-pulau kecil. Prosiding Seminar NasionalPengembangan Pulau-Pulau Kecil. Universitas Pattimura.Ambon. p.1-7.

Lubis, K., S.H. Sutjahjo, M. Syukur, dan Trikoesoemaningtyas. 2014.Pendugaan parameter genetik dan seleksi karaktermorfofisiologi galur jagung introduksi di lingkungan tanahmasam. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan33(2):122-128.

Monneveux, P., S. Sa¡nchez, D. Beck, and G.O. Edmeades. 2006.Drought tolerance improvement in tropical maize sourcepopulations: evidence of progress. Crop Science 46:180-191.

Monneveux, P., C. Sanchez, and A. Tiessen. 2008. Future progressin drought tolerance in maize needs new secondary traitsand cross combinations. The Journal of Agricultural Science146:287-300.

Ngugi, K., J.O. Collins, and C. Muchira. 2013. Combining, earliness,short anthesis to silking interval and yield based selectionindices under intermittent water stress to select for droughttolerant maize. Australian Journal of Crop Science 7:2014-2020.

Nzuve, F., S. Githiri, D.M. Mukunya, and J. Gethi. 2014. Geneticvariability and correlation studies of grain yield and relatedagronomic traits in maize. Journal of Agricultural Science6(9):166-176.

Oyekunle, M., B. Badu-Apraku, S. Hearne, and J. Franco. 2015.Genetic diversity of tropical early-maturing maize inbredsand their performance in hybrid combinations under droughtand optimum growing conditions. Field Crops Research170:55-65.

Page 48: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

208

Pabendon, M.B., M.J. Mejaya, J. Koswara, dan H. Aswidinnoor.2007. Analisis ragam genetik inbrida jagung berdasarkanmarka SSR dan korelasinya dengan data fenotipik F1 hasilsilang uji. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26(2):69-77.

Pabendon, M.B., M. Azrai, M.J. Mejaya, dan Sutrisno. 2010. Geneticdiversity of quality protein maize and normal maize inbredas revealed by SSR markers and its relationship with thehybrid performance. Indonesian Journal of Agriculture 3(2).

Sa’diyah, N., M. Widiastuti, dan Ardian 2013. Keragaan,keragaman, dan heritabilitas karakter agronomi kacangpanjang (Vigna Unguiculata) generasi F1 hasil persilangantiga genotipe. J. Agrotek Tropika 1(1):32-37.

Saputri, T.Y., S. Hikam, and P.B. Tomotiwu. 2013. Pendugaankomponen genetik, daya gabung, dan segregasi biji padajagung manis kuning kisut. Jurnal Agrotek Tropika 1(1):25-31.

Sujiprihati, S., M. Azrai, dan A. Yuliandry. 2006. Keragaan genotipejagung bermutu protein tinggi (QPM) di dua tipologi lahanyang berbeda. Jurnal Agrotropika. XI (2):90-100.

Suprapto dan N.M. Kairudin. 2007. Variasi genetik, heritabilitas,tindak gen dan kemajuan genetik kedelai (Glycine max

Merrill) pada ultisol. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia9(2):183-190.

Syukur, M., S. Sujiprihati, R. Yunianti, dan D.A. Kusumah. 2011.Pendugaan ragam genetik dan heritabilitas karakterkomponen hasil beberapa genotipe cabai. J. Agrivigor10(2):148-156.

Vashistha, A., N.N. Dixit, Dipika, S.K. Sharma, and S. Marker. 2013.Studies on heritability and genetic advance estimates in Maizegenotypes. Bioscience Discovery 4(2):165-168.

Warbutton, M., J.M. Ribaut, J. Franco, J. Crossa, P. Dubreull, andF.J. Betran. 2005. Genetic characterisation of 218 eliteCIMMYT maize inbred lines using RFLP markers. Euphytica142:97-106.

Xia, X., J.C. Reif, D.A. Hoisington, A.E. Melchinger, M. Frich, andM.L. Warburton. 2004. Genetic diversity among CIMMYTmaize inbred lines investigated with SSR markers: I. lowlandtropical maize. Crop Sci. 44:2230-2237.

Zaidi, P.H., P. M. Selvan, R. Sultana, A. Srivastava, A.K. Singh, G.Srinivasan, R.P. Singh, and P.P. Singh. 2007. Associationbetween line per se and hybrid performance under excessivesoil moisture stress in tropical maize (Zea mays L.). FieldCrop Research101:117-126.

Page 49: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

ASNAWI DAN MEJAYA: KEUNGGULAN KOMPETITIF UBI KAYU DI LAMPUNG TENGAH

209

Analisis Keunggulan Kompetitif Ubi Kayu terhadapJagung dan Kedelai di Kabupaten Lampung Tengah

Competitive Advatages Analysis of Cassava to Maize and SoybeanFarming System in Central Lampung

Robet Asnawi1* dan Made Jana Mejaya2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian LampungJl. Zainal Abidin Pagar Alam No.1A, Bandar Lampung, Lampung, Indonesia

2Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman PanganJalan Merdeka 147, Bogor, Jawa Barat, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Naskah diterima 27 Januari 2015, direvisi 30 November 2016, disetujui 15 Desember 2016

ABSTRACT

Cassava is widely developed in Lampung province, because ofhigh adaptability, easily cultivated, smallest risk of failure, andhigh price. The objective of the study is to analyze on-farmcompetitive advantage of casava farming system compared tomaize and soybean farming systems. The activities wereconducted at Central Lampung District from April 2012 to February2013. The primary data were obtained from 90 farmers as mainrespondents through structured survey with direct interviews usingstructural questionnair. Secondary data were obtained from theoffice of relevant agencies and Statistic of Lampung Province.Financial analysis and competitive advantage analysis wereexercised to measure the competitive advantage of cassava withrespect to other secondary crops. The results showed that cassavafarming more profitable than maize and soybean on farm incomeof Rp.21.109.000/ha and R/C of 2,91 compared to maize on farmincome Rp.15.935.000 and R/C of 2,01 and soybean farm incomeof Rp.5.187.800/ha and R/C of 1,48. Cassava farming system willbe competitive compared to maize and soybean farming on theproductivity at least 34.567 kg/ha and 20,788 kg/ha and cassavaprice at least IDR 654/kg and IDR 394/kg.

Keywords: Cassava, maize, soybeans, farming, competitive.

ABSTRAK

Ubi kayu banyak dikembangkan di Provinsi Lampung, karena memilikidaya adaptasi yang luas, mudah diusahakan dengan risiko kegagalanlebih kecil, dan harga yang menjanjikan. Penelitian ini bertujuan untukmenganalisis keunggulan kompetitif usahatani ubi kayu dibandingkandengan jagung dan kedelai pada MT-1 dan MT-2. Penelitian dilakukandi Kabupaten Lampung Tengah pada bulan April 2012 sampaiFebruari 2013. Data primer diperoleh dari 90 orang petani respondenmelalui metode survei dengan wawancara dan kuisioner terstruktur.Data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Data diolah denganmetode analisis finansial dan keuntungan kompetitif. Hasil penelitianmenunjukkan ubi kayu lebih menguntungkan untuk diusahakandengan pendapatan Rp 21.109.000/ha dan R/C 2,91, dibandingkan

dengan usahatani jagung dengan pendapatan Rp 15.935.000 danR/C 2,01 dan usahatani kedelai dengan pendapatan Rp.5.187.800/ha dan R/C 1,48. Usahatani ubi kayu akan kompetitif terhadapusahatani jagung dan kedelai pada tingkat produktivitas minimalmasing-masing 34.567 kg/ha dan 20.788 kg/ha dengan harga minimalRp 654/kg dan Rp 394/kg.

Kata kunci: Ubi kayu, jagung, kedelai, usahatani, keunggulankompetitif.

PENDAHULUAN

Pemilihan komoditas yang akan ditanam petaniumumnya bergantung pada harga dan peluangkeberhasilan produksi. Lampung merupakan daerahpenghasil utama ubi kayu di Indonesia denganmenyumbang lebih dari 33% produksi nasional. Luastanam ubi kayu di Lampung pada tahun 2013 adalah324.749 ha. Di samping ubi kayu, Lampung jugamengembangkan jagung dan kedelai masing-masingdengan areal tanam 360.264 ha dan 6.708 ha. LampungTengah merupakan kabupaten utama penghasil ubikayu di Provinsi Lampung dengan luas areal 130.781 ha,produksi 3,37 juta ton, dan produktivitas 25,78 t/ha (BPSProvinsi Lampung 2013).

Ubi kayu mudah diusahakan, risiko kegagalanpanen kecil, dan toleran kekeringan. Di Lampung, hargaubi kayu terjamin karena banyaknya industri pengolahantapioka yang membutuhkan bahan baku dalam jumlahbesar. Dalam kurun waktu 5-7 tahun terakhir, harga ubikayu di Lampung pada kisaran Rp 700-900 (DinasPertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura ProvinsiLampung 2013).

Page 50: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

210

Jaminan pasar dan harga yang relatif stabil menjadipendorong bagi pengembangan ubi kayu yangmenyaingi jagung dan kedelai di Lampung.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisiskeunggulan kompetitif usahatani ubikayu dibandingkandengan jagung dan kedelai di Kabupaten LampungTengah, Provinsi Lampung.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di tiga kecamatan di KabupatenLampung Tengah, yakni Bumi Nabung, Seputih Banyak,dan Padang Ratu pada April 2012 sampai Februari 2013.Lokasi tersebut merupakan salah satu penghasil utamaubi kayu, jagung, dan kedelai di Lampung Tengah.

Data primer dikumpulkan melalui survei denganmenggunakan kuisioner terstruktur terhadap 90 petaniyang mengusahakan ubi kayu, jagung, dan kedelai.Responden dipilih secara acak berstrata, masing-masing30 petani per komoditas. Stratifikasi dilakukanberdasarkan pengalaman berusahatani, yakni <2,5tahun, 2,6-5 tahun, dan > 5 tahun. Data yangdikumpulkan adalah data usahatani ubi kayu dalam satumusim tanam (MT) dan data usahatani jagung dankedelai dalam dua musim tanam (MT-1 dan MT-2),dengan asumsi umur panen ubi kayu 9-10 bulan, jagungdan kedelai masing-masing 3-4 bulan. Penanamanjagung dan kedelai pada MT-1 dilakukan pada bulan Meisampai September 2012, sedangkan pada MT-2 dimulaipada bulan Oktober sampai Februari 2013. Datausahatani jagung dan kedelai yang dianalisis adalah totalbiaya sarana produksi dan tenaga kerja pada MT-1 danMT-2. Data yang terkumpul ditabulasi dan menggunakanmetode analisis kelayakan finansial usahatani dankeuntungan kompetitif. Parameter yang digunakanadalah imbangan penerimaan terhadap biaya atau R/C(Kadariah 1988 dalam Sunandar dan Permadi 2014,Estiningtyas et al. 2012, Swastika 2004 dalam Rusdin danAgussalim 2012). Keuntungan usahatani dihitungmenggunakan formula:

II = TR – TCII = Profit atau keuntungan (Rp)TR = Total revenue atau total penerimaan (Rp)TC = Total cost atau total biaya (Rp).

Nilai total penerimaan kemudian digunakan untukmenilai kelayakan usahatani, dimana indikator sebagaiberikut:

TRR/C = . TC

R/C = Revenue and cost ratioTR = Total revenue (Rp)TC = Total cost.

Kriteria kelayakan dengan indikator ini adalah jikaR/C>1,5 berarti usahatani layak, sedangkan jika R/C<1,5kurang layak. Menurut Fitriadi dan Nurmalina (2008),usahatani efisien jika R/C>1, artinya setiap biaya yangdikeluarkan menghasilkan penerimaan yang lebih besardari biaya yang dikeluarkan.

Analisis keuntungan kompetitif memberikangambaran tentang daya saing usahatani denganusahatani tanaman pangan lainnya untuk penggunaansumber daya yang terbatas (Adnyana 1998 dalamNurnayetti dan Atman 2013). Tingkat keuntungankompetitif usahatani suatu komoditas terhadapkomoditas lainnya dapat dianalisis pada tingkat hargadan produktivitas yang relatif tidak berubah. Dari hasilanalisis tersebut dapat diketahui tingkat hasil minimalyang harus dicapai agar komoditas yang diusahakantetap kompetitif dengan komoditas lainnya. Metodeanalisis keuntungan kompetitif tersebut dapat dilihatpada Tabel 1.

Tabel 1. Metode analisis keuntungan kompetitif usahatani ubikayuterhadap usahatani jagung dan kedelai.

Komoditas Produksi Harga Biaya Keuntungan(kg/ha) (Rp/kg) produksi (Rp/ha)

(Rp/ha)

Ubikayu T1 B1 D1 E1Jagung T2 B2 D2 E2Kedelai T3 B3 D3 E3

Tingkat keuntungan kompetitif

Hasil minimal Harga minimal (kg/ha) (Rp/kg)

Ubikayu terhadap:• Jagung F1 P1• Kedelai F2 P2Jagung terhadap:• Ubikayu J1 JP1• Kedelai J2 JP2Kedelai terhadap:• Ubikayu K1 KP1• Jagung K2 KP2

Keterangan :F1 = (E2+D1/B1); F2 = (E3+D1/B1); P1 = (E2+D1/T1);P2 = (E3+D1/T1); J1 = (E1+D2)/B2 ; J2 = (E3+D2)/B2;JP1 = (E1+D2)/T2; JP2 = (E3/D2)/T2; K1 = (E1+D3)/B3;K2 = (E2+D3)/B3; KP1 = (E1+D3)/T3; KP2 = (E2/D3)/T3

Page 51: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

ASNAWI DAN MEJAYA: KEUNGGULAN KOMPETITIF UBI KAYU DI LAMPUNG TENGAH

211

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Usahatani

Hasil analisis usahatani pada Tabel 2 menunjukkanbahwa total biaya produksi ubi kayu adalahRp.11.027.000/ha yang terdiri atas biaya sarana produksi(bibit, pupuk, dan pestisida) Rp 3.570.000/ha, biayatertinggi digunakan untuk pembelian pupuk (organikdan anorganik) sebesar Rp 2.125.000 dan bibit (stek)ubi kayu Rp 1.120.000. Upah tenaga kerja Rp 7.875.000/ha dengan komponen terbesar biaya transportasipengangkutan hasil panen Rp 2.700.000 dan upah panenRp 2.250.000. Hasil ubi kayu 41.200 kg/ha dan harga jualRp.780/kg sehingga penerimaan kotor usahatani adalahRp 32.136.000. Setelah dikurangi biaya produksi sebesarRp 11.027.000 maka keuntungan bersih usahatani ubikayu menjadi Rp 21.109.000/ha dengan nilai R/C 2,91.

Pada Tabel 3 dapat dilihat total biaya produksi jagunguntuk MT-1 dan MT-2 adalah Rp 15.805.000/ha yangterdiri atas biaya sarana produksi (bibit, pupuk, danpestisida) Rp 6.806.000/ha dengan komponen biayatertinggi untuk pembelian pupuk (organik dananorganik) sebesar Rp 4.660.000 dan pembelian benihjagung hibrida Rp 1.650.000. Upah tenaga kerja Rp9.000.000/ha dengan komponen terbesar biaya untukpanen Rp 1.890.000 dan upah penyiangan gulma Rp1.800.000. Hasil jagung sebesar 7.500 kg/ha pada MT-1dengan harga jual Rp 2.100/kg. Pada MT-2 hasil jagung8.200 kg/ha dengan harga jual Rp 1.950/kg. Penerimaankotor usahatani jagung adalah Rp 31.740.000. Setelah

dikurangi biaya produksi, keuntungan bersih usahatanijagung menjadi Rp 15.935.000/ha dengan nilai R/C 2,01.

Tabel 4 menunjukkan bahwa total biaya produksiusahatani kedelai Rp 11.192.000/ha yang terdiri atas biayasarana produksi (benih, pupuk, dan pestisida) Rp3.407.200/ha dengan komponen biaya terbesar untukpembelian pupuk (organik dan anorganik) Rp 2.570.000dan pestisida Rp 837.200. Upah tenaga kerja Rp7.785.000/ha dengan komponen terbesar digunakanuntuk biaya panen Rp 1.620.000 dan upah pengolahantanah sebesar Rp 1.530.000. Hasil kedelai pada MT-11.200 kg/ha dan harga jual Rp 6.500/kg. Oada MT-2, hasilkedelai 1.400 kg/ha dengan harga jual Rp 6.300/kg.Penerimaan kotor dari usahatani kedelai adalah Rp16.620.000/ha. Setelah dikurangi biaya produksi,keuntungan bersih usahatani kedelai hanya Rp 5.187.800/ha dengan nilai R/C 1,48.

Berdasarkan hasil analisis kelayakan finansial dapatdisimpulkan bahwa ubi kayu dan jagung layak untukdiusahakan, karena nilai R/C rationya lebih besar dari1,5 (R/C ratio > 1,5), bahkan masing-masing dengan R/C ratio 2,91 dan 2,01. Kedelai kurang layak diusahakankarena nilai R/C ratio 1,48 (R/C < 1,5). Hasil penelitianAsnawi (2007) di Lampung juga menunjukkan usahataniubi kayu dengan sistem tanam double row menghasilkanR/C 3,55, sedangkan dengan cara konvensionalmenghasilkan R/C 2,65. Di Sulawesi Selatan, usahatanijagung secara konvensional menghasilkan R/C 1,63sedangkan dengan pendekatan PTT memberikan R/C2,34 (Sadipun et al. 2008). Hasil penelitian Nazar et al.

Tabel 2. Anallisis usahatani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah, 2012-2013.

No Uraian Volume Satuan Harga (Rp) Nilai (Rp/ha)

1. Sarana produksi• Stek ubi kayu 11.200 batang 100 1.120.000• Pupuk urea 150 kg 1.900 285.000• Pupuk NPK Phonska 200 kg 2.700 540.000• Pupuk kandang 5.000 kg 260 1.300.000• Herbisida 5 lt 65.000 325.000Total biaya material 3.570.000

2. Upah Tenaga Kerja• Pengolahan tanah 17 HOK 45.000 765.000• Penanaman 10 HOK 45.000 450.000• Pemupukan 8 HOK 45.000 360.000• Penyiangan I (manual) 22 HOK 45.000 990.000• Penyiangan II (herbisida) 8 HOK 45.000 360.000• Upah cabut (panen) 41.200 kg 50 2.060.000• Transportasi hasil panen 41.200 kg 60 2.472.000Total biaya tenaga kerja 7.457.000

3. Total biaya produksi (1+2) 11.027.0004. Penerimaan 41.200 kg 780 32.136.0005. Pendapatan (4-3) 21.109.0006. R/C ratio 2,91

Page 52: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

212

Tabel 3. Analisis usahatani jagung di Kabupaten Lampung Tengah, 2012-2013.

No. Uraian MT-1 MT-2 Jumlah (Rp/ha)

1. Sarana produksi • Benih 825.000 825.000 1.650.000• Pupuk Urea 475.000 475.000 950.000• Pupuk NPK Phonska 945.000 945.000 1.890.000• Pupuk kandang 910.000 910.000 1.820.000• Pestisida 220.000 275.000 495.000Total bahan material 3.375.000 3.430.000 6.805.000

2. Upah tenaga kerja • Pengolahan tanah 765.000 765.000 1.530.000• Penanaman 540.000 540.000 1.080.000• Pemupukan 360.000 360.000 720.000• Penyiangan (manual dan kimia) 900.000 900.000 1.800.000• Pengendalian H/P 225.000 225.000 450.000• Panen 900.000 990.000 1.890.000• Prosesing 495.000 540.000 1.035.000• Transportasi hasil panen 225.000 270.000 495.000Total biaya tenaga kerja 4.410.000 4.590.000 9.000.000

3. Total biaya produksi (1+2) 7.785.000 8.020.000 15.805.000

4. Penerimaan 15.750.000 15.990.000 31.740.000

5. Pendapatan (4-3) 7.965.000 7.970.000 15.935.000

6. R/C ratio 2,01

Tabel 4. Analisis usahatani kedelai di Kabupaten Lampung Tengah, 2012-2013.

No. Uraian MT-1 MT-2 Jumlah (Rp/ha)

1. Sarana produksi • Benih kedelai 400.000 400.000 800.000• Pupuk urea 95.000 95.000 190.000• Pupuk NPK Phonska 270.000 270.000 540.000• Pupuk kandang 520.000 520.000 1.040.000• Pestisida Decis 140.000 140.000 280.000• Pestisida Curacron 95.000 95.000 190.000• Pestisida Antracol 15.600 15.600 31.200• Pestisida Matador 120.000 120.000 240.000• Fungisida Dithane M-45 36.000 36.000 72.000• Nematisida Furadan 12.000 12.000 24.000Total bahan material 1.703.600 1.703.600 3.407.200

2. Upah tenaga kerja • Pengolahan tanah 765.000 765.000 1.530.000• Meratakan tanah 180.000 180.000 360.000• Penanaman 450.000 450.000 900.000• Pemupukan 270.000 270.000 540.000• Penyiangan & pembumbunan 585.000 675.000 1.260.000• Penyemprotan H/P 225.000 225.000 450.000• Pengairan 450.000 270.000 720.000• Panen dan prosesing 810.000 810.000 1.620.000• Transportasi hasil panen 180.000 225.000 405.000Total upah tenaga kerja 3.915.000 3.870.000 7.785.000

3. Total biaya produksi (1+2) 5.618.600 5.573.600 11.192.200

4. Penerimaan 7.800.000 8.820.000 16.620.000

5. Pendapatan (4-3) 2.181.400 3.246.400 5.187.800

6. R/C ratio 1,48

Page 53: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

ASNAWI DAN MEJAYA: KEUNGGULAN KOMPETITIF UBI KAYU DI LAMPUNG TENGAH

213

(2008) menunjukkan usahatani kedelai varietasAnjasmoro pada lahan sawah menghasilkan R/C 3,23sedangkan di lahan kering masam hanya dengan R/C1,78.

Analisis Keuntungan Kompetitif

Analisis keuntungan kompetitif diperlukan untuk melihatgambaran tentang keuntungan memilih komoditas,khususnya jika petani akan berusahatani dengan pilihanbeberapa komoditas. Keunggulan kompetititf lebihmenitikberatkan pada pertimbangan aspek ekonomidibandingkan dengan faktor eksternal. Rasio biaya danpenerimaan digunakan untuk melihat tingkatkeuntungan kompetitif sebagai akibat dari hukumpenawaran dan permintaan terhadap harga yangbervariasi antarlokasi dan musim tanam.

Tabel 5 menunjukkan usahatani ubi kayu diKabupaten Lampung Tengah lebih kompetitif danmampu bersaing dengan usahatani jagung padaproduktivitas minimal 34.567 umbi kg/ha dan usahatanikedelai pada produktivitas minimal 20.788 kg umbi/ha.Artinya, untuk bersaing dengan usahatani jagung, makaproduktivitas minimal ubi kayu adalah 34.567 kg umbi/ha dan untuk bersaing dengan usahatani kedelai cukupmenghasilkan 20.788 kg umbi/ha. Produktivitas ubi kayudi Lampung rata-rata 25.830 kg/ha (BPS ProvinsiLampung 2013), sehingga untuk dapat bersaing denganusahatani jagung diperlukan sentuhan teknologi agarmampu memberi hasil minimal 34.567 kg umbi/ha.Usahatani ubi kayu lebih kompetitif dibandingkanusahatani kedelai terlihat usahatani.

Usahatani ubi kayu akan kompetitif dan mampubersaing dengan usahatani jagung dan kedelai padatingkat harga ubi kayu minimal Rp 654/kg dan Rp 394/kg(Tabel 5). Jika dilihat dari perkembangan harga ubi kayudalam 5 tahun terakhir dengan kisaran Rp 700- 950/kg,maka usahatani ubi kayu cenderung lebih kompetitifdan bersaing dengan usahatani jagung dan kedelai.

Usahatani jagung mampu bersaing denganusahatani ubi kayu dan kedelai pada tingkatproduktivitas minimal dalam dua musim tanam (MT-1dan MT-2) masing-masing 18.256 kg/ha (9.128 kg/ha/MT) dan 10.382 kg/ha (5.191 kg/ha/MT). Berarti usahatanijagung menggungguli usahatani ubi kayu jikaproduktivitas minimalnya 18.256 kg/ha (9.128 kg/ha/MT).Jika ingin mengungguli usahatani kedelai, produktivitasjagung minimal 10.382 kg/ha (5.191 kg/ha/MT). Rata-rataproduktivitas jagung di Lampung tergolong rendah yakni4,89 kg/ha (BPS Provinsi Lampung, 2013). Hal ini antaralain disebabkan oleh sebagian besar pertanaman jagungdiusahakan pada lahan kering dengan tingkatkesuburan yang relatif rendah, bereaksi masam,pengelolaan tanam dan lingkungan belum sesuaidengan konsep keberlanjutan sistem usahatani, danbenih yang digunakan adalah turunan F1 yang bukanlagi jagung hibrida (Subandi et al. 1988 dalam Akil 2008).Secara umum, produktivitas jagung berpeluangditingkatkan melalui penggunaan benih hibrida. Hasilpenelitian di tingkat petani menunjukkan penggunaanbenih jagung hibrida mampu memberi hasil 9.500 kg/ha (Murni dan Arief 2009). Salah satu upaya untukmeningkatkan produktivitas jagung adalahmengembangkan varietas unggul berdaya hasil tinggi

Tabel 5. Analisis keuntungan kompetitif usahatani ubi kayu terhadap usahatani jagung dan kedelai di Kabupaten Lampung Tengah, 2012/2013.

Komoditas Produksi Harga Biaya produksi Penerimaan Keuntungan(kg/ha) (Rp/kg) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha)

Ubikayu 41.200 780 11.027.000 32.136.000 21.109.000Jagung 15.700 2.022 15.805.000 31.740.000 15.935.000Kedelai 2.600 6.395 11.192.200 16.620.000 5.187.800

Tingkat keuntungan kompetitif

Hasil minimal (kg/ha) Harga minimal (Rp/kg)

Ubi kayu terhadap :• Jagung 34.567 654• Kedelai 20.788 394Jagung terhadap :• Ubi kayu 18.256 2.351• Kedelai 10.382 1.337Kedelai terhadap :• Ubi kayu 5.051 12.424• Jagung 4.242 10.434

Sumber: Data olahan 2012/2013.

Page 54: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

214

dan adaptif pada lingkungan tertentu (Hipi et al. 2013).Menurut Lubis et al. (2014), perluasan pengembanganjagung ke lahan suboptimal merupakan salah satustrategi peningkatan produksi nasional.

Usahatani jagung akan kompetitif dan mampubersaing dengan usahatani ubi kayu pada tingkat hargajagung minimal kg Rp 2.351/kg dan bersaing denganusahatani kedelai pada tingkat harga jagung Rp 1.337/kg. Jika dilihat dari fluktuasi harga jagung dalam 5 tahunterakhir dengan kisaran Rp 1.600-3.000/kg makausahatani jagung berpeluang lebih kompetitif danmengungguli ubi kayu.

Usahatani kedelai akan kompetitif dan mampubersaing dengan usahatani ubi kayu dan jagung padatingkat produktivitas minimal dalam dua musim tanam4.235 kg/ha (2.117,5 kg/ha/MT) dan 2.150 kg/ha (1.075kg/ha/MT). Usahatani kedelai sulit menyaingi usahataniubi kayu dan jagung. Usahatani kedelai akan mampumengungguli usahatani ubi kayu jika produktivitaskedelai minimal 4.235 kg/ha (2.117,5 kg/ha/MT) danmampu mengungguli usahatani jagung jika produktivitaskedelai 2.150 kg/ha (1.075 kg/ha/MT). Produktivitaskedelai di Lampung rata-rata 1.12 kg/ha (BPS ProvinsiLampung 2013), sehingga usahatani kedelai hanyaberpeluang lebih kompetitif dan bersaing denganusahatani jagung. Untuk dapat bersaing denganusahatani ubi kayu, pengembangan kedelaimemerlukan sentuhan teknologi agar mampuberproduksi minimal 2.117 kg/ha. Dijelaskan olehMasturi (2012), produksi kedelai di Indonesia relatifrendah dan belum dapat memenuhi kebutuhankonsumen yang terus meningkat. Rendahnya produksikedelai berimplikasi pula terhadap pendapatan petani.

Usahatani kedelai akan kompetitif dan mampubersaing dengan usahatani ubi kayu pada tingkat hargakedelai minimal Rp 12.424/kg dan akan kompetitifdengan usahatani jagung dengan harga kedelai Rp10.434/ha. Jika dilihat dari perkembangan harga kedelaidalam kurun waktu 5 tahun terakhir yang berkisar antaraRp 4.500-7.500/kg, maka usahatani kedelai sulitmenggungguli usahatani ubi kayu dan jagung.

Aspek Sosial, Risiko Usahatani, danKesuburan Tanah

Harga ubi kayu dalam 5 tahun terakhir, berkisar antaraRp 700-950/kg. Hal ini membuat petani lebih tertarikmenanam ubi kayu dibandingkan dengan jagung dankedelai. Berdasarkan kondisi riil di lapangan, hampirsemua lahan kering dan lahan tidur di Provinsi Lampungtidak ada lagi yang terlantar dan lebih dari 84% dariluasan tersebut ditanami ubi kayu. Secara social, yangdampak timbul adalah keinginan petani secara

perorangan dan berkelompok, baik pada lahan sempit(<0,25 ha) maupun lahan luas (>1 ha), untukmengembangkan ubi kayu dengan alasan komoditasini mudah diusahakan, adanya jaminan harga, danmampu menambah pendapatan.

Usahatani ubi kayu memiliki risiko kegagalan lebihkecil dibandingkan dengan usahatani jagung dankedelai, dengan keunggulan relatif toleran kekeringandan belum ditemukan serangan hama dan penyakityang menyebabkan kegagalan usahatani ubi kayu(Asnawi 2007). Di lain pihak, risiko usahatani jagungantara lain serangan penyakit bulai, kekeringan, danfluktuasi harga yang cukup tinggi terutama pada saatpanen raya. Harga jagung seringkali di bawah harga yangtelah ditetapkan pemerintah Provinsi Lampung Rp 1.800/kg.

Risiko kegagalan usahatani kedelai cukup besarkarena serangan hama ulat grayak dan harga jual yangrendah (kurang dari Rp 5.500/kg) pada saat panen,sehingga menurunkan minat petani.

Kelemahan usahatani ubi kayu adalah menurunkantingkat kesuburan tanah karena komoditas ini menyeraphara yang lebih banyak dari dalam tanah untukpertumbuhannya. Menurut Nasir (2009), dari setiap tonubi kayu yang dipanen menyerap unsur hara dari dalamtanah sebesar 6,5 kg N; 2,4 kg P2O5; dan 4,3 kg K2O. Secaraekonomi, nilai penyerapan hara oleh tanaman ubi kayumencapai Rp 4.397.250 untuk setiap kali panen denganproduktivitas rata-rata 41 t/ha.

KESIMPULAN

Usahatani ubi kayu memberikan pendapatan Rp21.109.000/ha dan R/C 2,91, lebih menguntungkandibandingkan dengan usahatani jagung denganpendapatan Rp 15.935.000 dan R/C 2,01 dan usahatanikedelai dengan pendapatan Rp 5.187.800/ha dan R/C1,48. Usahatani ubi kayu akan kompetitif terhadapusahatani jagung dan kedelai pada tingkat produktivitasminimal 34.567 kg/ha dan 20.788 kg/ha dengan hargaubi kayu minimal Rp 654/kg dan Rp 394/kg.

Petani di Lampung Tengah mengusahakan ubi kayudengan alasan harga jual tinggi, mudah diusahakan,produksi tinggi, mudah dalam penjualan, dan memilikirisiko kegagalan panen lebih rendah dibandingkandengan usahatani jagung dan kedelai.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Ratna Wylis Arief danDede Rohayana yang telah membantu pengumpulandata primer dari petani.

Page 55: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

ASNAWI DAN MEJAYA: KEUNGGULAN KOMPETITIF UBI KAYU DI LAMPUNG TENGAH

215

DAFTAR PUSTAKA

Akil, M. 2008. Peningkatan produksi jagung dengan pemberianbahan organik di lahan kering. Prosiding Simposium VTanaman Pangan “Inovasi Teknologi Tanaman Pangan. Buku3: Penelitian dan Pengembangan Palawija. Pusat Penelitiandan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian danPengembangan Pertanian. p.803-813.

Asnawi, R. 2007. Analisis usahatani sistem tanam double rowpada tanaman ubi kayu (Manihot esculenta) di Lampung.Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian10(1):40-47.

BPS Provinsi Lampung. 2013. Lampung dalam angka 2013. BPSProvinsi Lampung. 421p.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura ProvinsiLampung. 2013. Perkembangan harga harian dan bulan ubikayu di Provinsi Lampung tahun 2012. Dinas PertanianTanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung. 16p.

Estiningtyas, W., R. Boer., I. Las, dan A. Buono. 2012. Analisisusahatani padi untuk mendukung pengembangan asuransiindeks iklim (Weather Index Insurance): Study kasus diKabupaten Indramayu. Jurnal Pengkajian dan PengembanganTeknologi Pertanian 15(2):158-170.

Fitriadi, F. dan R. Nurmalina. 2008. Analisis pendapatan danpemasaran padi organik metode system of rice intensification(SRI). Kasus di Desa Sukagalih, Kecamatan Sukaratu,Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Pengkajian danPengembangan Teknologi Pertanian 11(1):94-103.

Hipi, A., M. Surahman, S. Ilyas, dan Giyanto. 2013. Pengaruhaplikasi Rizobakteri dan pupuk fosfat terhadap produktivitasdan mutu fisiologis benih jagung hibrida. Jurnal PenelitianPertanian Tanaman Pangan 32(3):192-198.

Lubis, K., S.H. Sutjahjo, M. Syukur, dan Trikoessoemaningtyas.2014. Pendugaan parameter genetik dan seleksi karaktermorfofisiologi galur jagung introduksi di lingkungan tanahmasam. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan 33(2):122-128.

Masturi, H. 2012. Kajian ekonomi usahatani kedelai. JurnalAgribisisnis Fakultas PertanianUniversitas Bengkulu (IV) 1:19-24.

Murni, A.M. dan R.W. Arief. 2009. Teknologi budidaya jagung“Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu Spesifik Lokasi”.Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan TeknologiPertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertaanian.17p.

Nasir, S. 2009. Teknologi budidaya ubi kayu mendukungpengembangan bio-etanol. Disampaikan di BPTP Lampungpada bulan Juni 2009. Balai Penelitian Kacang-kacangandan Umbi-umbian. 18p.

Nazar, A., D.R. Mustikawati, dan A. Yani. 2008. Teknologi budidayakedelai. Balai Besar Pengkajian dan PengembanganTeknologi Pertanian, Badan Penelitian dan PengembanganPertanian, Jakarta. 15p.

Nurnayetti dan Atman. 2013. Keunggulan kompetitif padi sawahvarietas lokal di Sumatera Barat. Jurnal Pengkajian danPengembangan Teknologi Pertanian 16(2):100-108.

Rusdin dan Agussalim. 2012. Analisis pendapatan usahatani padivarietas unggul baru di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian15(3):241-249.

Sadipun, M., S. Saenong, dan Zubachtirodin. 2008. Pendapatanusahatani jagung pada berbagai pola tanam di Pangkep danLombok Timur. Prosiding Simposiun V Tanaman Pangan.Inovasi Teknologi Tanaman Pangan, Buku 3: Penelitian danPengembangan Palawija. Pusat Penelitian danPengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian danPengembangan Pertanian. p.918-924.

Sunandar, B. dan K. Permadi. 2014. Analisa usahatani penggunaandosis pupuk NPK majemuk (30-6-8) dan pupuk organik padapadi sawah di Kabupaten Purwakarta. Prosiding SeminarNasional 2013. Inovasi Teknologi Padi Adaptif Perubahan IklimGlobal Mendukung Surplus 10 Juta Ton Beras Tahun 2014.p.1379-1386.

Page 56: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

216

Page 57: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

BACHTIAR ET AL.: KEBUTUHAN NITROGEN KEDELAI PADA TANAH JENUH AIR

217

Kebutuhan Nitrogen Tanaman Kedelai pada Tanah Mineral danMineral Bergambut dengan Budi Daya Jenuh Air

The Need of Nitrogen for Soybean on Mineral and PeatyMineral Soils with Saturated Soil Culture

Bachtiar1*, Munif Ghulamahdi2, Maya Melati2, Dwi Guntoro2, dan Atang Sutandi3

1Fakultas Pertanian, Universitas GorontaloLimboto, Gorontalo, 96212, Indonesia

*Email: [email protected] Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor

Dramaga, Bogor-Jawa Barat, 16680, Indonesia3Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Institut Pertanian Bogor

Dramaga, Bogor-Jawa Barat,16680, Indonesia

Naskah diterima 20 Mei 2016, direvisi 22 September 2016, disetujui 29 September 2016

ABSTRACT

The development of soybean in tidal land is faced with problemssuch as physical, chemical and biological soil properties, thatincludes high organic matter, high soil acidity, toxicity of Fe andAl, and deficiency of nutrients N, P , K, Ca and Mg. N content ishigh (> 0.51%) but with low availability. The research objective isto determine the dose and timing of N, P and K fertilizer applicationin accordance with the needs of soybean crops in order to haveoptimal growth and yield per unit of land in mineral and peatymineral soil in tidal swamp land. The research was conducted inmineral and peaty mineral soil of tidal swamp land type C and B,District of Tanjung Lago, Banyuasin, South Sumatera from April toAugust 2014. The experiment was arranged following split plotsdesign. Wilis and Tanggamus varieties as main plot, applicationtime: 2, 3, 4 WAP, 2, 3, 4, 5 WAP, and 2, 3, 4, 5, 6 WAP as sub plotsand fertilizer concentration: 7.5, 10, 12.5 dan 15.0 g/l water assubsub plots with spraying volume of 400 l/ha. Research resultsshowed that mineral soil, dry weight of nodules and Wilis biomassincreased with increasing frequency time of fertilizer application,while Tanggamus more fluctuated and declined at higher frequencyof fertilizer application. Interaction of Wilis variety, time of fertilizer2-6 WAP and concentration of 15 g N/I generated the highest yieldof 3,5 ton/ha. In the peaty mineral soil, dry weight of nodules andbiomass were not significantly different. Wilis productivity tendsto decrease with increasing N ferti l izer concentrations.Tanggamus productivity tends to increase with increasing Nfertilizer concentration at all level of time of fertilizer application.Tanggamus tends to generate higher productivity of 3,2 ton/ha at aconcentration of 15 g N/I with time of fertilizer application 2-4MST. Application of low concentration N at higher frequency offertilizer application or otherwise, was able to improve theproductivity of soybeans in soil with high pyrite content.

Keywords: Glycine max (L) Merr., nitrogen, time of fertilizerapplication, mineral soil, peat soil.

ABSTRAK

Pengembangan kedelai pada lahan pasang surut dihadapkan kepadamasalah sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, di antaranya kandunganbahan organik tinggi, kemasaman tanah tinggi, keracunan Fe danAl, serta kahat hara N, P, K, Ca dan Mg. Kandungan N di lahanpasang surut termasuk tinggi (>0,51%), namun N-tersedia rendah.Waktu pemupukan dan dosis pupuk N berpengaruh padapertumbuhan dan produksi tanaman. Tujuan penelitian adalahmenentukan dosis dan waktu pemberian pupuk N yang sesuaikebutuhan tanaman kedelai untuk tumbuh dan berproduksi maksimaldengan budi daya jenuh air pada tanah mineral dan mineralbergambut lahan pasang surut. Penelitian dilaksanakan pada tanahmineral dan mineral bergambut lahan pasang surut masing-masingpada tipe C dan B di Banyuasin, Sumatera Selatan, pada April-Agustus 2014. Percobaan menggunakan rancangan petak-petakterpisah. Petak utama adalah varietas Wilis dan Tanggamus, anakpetak adalah waktu pemberian pupuk: (1) 2, 3 dan 4 MST, (2) 2, 3,4 dan 5 MST, dan (3) 2, 3, 4, 5 dan 6 MST. Sebagai anak-anak petakadalah dosis pupuk N, 7,5; 10; 12,5; dan 15 g/l air dengan volumesemprot 400 l/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tanahmineral, bobot kering bintil akar dan brangkasan varietas Wilismeningkat dengan bertambahnya frekuensi waktu pemupukan, dansebaliknya pada varietas Tanggamus. Interaksi antara varietas Wilis,waktu pemupukan 2-6 MST dan dosis N 7,5 g/l air memberikanproduktivitas tertinggi 3,5 t/ha. Pada tanah mineral bergambut, bobotkering bintil akar dan bobot brangkasan tanaman antar perlakuantidak berbeda nyata. Produktivitas varietas Wilis menurun denganbertambahnya konsentrasi pupuk N. Produktivitas tertinggi (3,2 t/ha) dicapai pada pemupukan N dengan dosis 15 g/I dan waktupemupukan 2-4 MST. Pemberian N pada dosis rendah dan frekuensiyang lebih tinggi atau dosis yang tinggi dengan frekuensi lebihrendah meningkatkan produktivitas kedelai pada tanah dengankandungan pirit tinggi.

Kata kunci: Glycine max (L) Merr., nitrogen, waktu pemupukan,tanah mineral, gambut.

Page 58: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

218

PENDAHULUAN

Pengembangan lahan pasang surut untuk usahapertanian dihadapkan kepada masalah sifat fisik, kimia,dan biologi tanah. Kemasaman tanah merupakankendala utama di lahan rawa pasang surut yangumumnya ber-pH 3,5-4,5. Kemasaman yang tinggi(pH<4,0) berimbas pada meningkatnya kelarutan Al, Fe,dan Mn (Las et al. 2007). Kemasaman tanah pada lahanrawa pasang surut disebabkan oleh oksidasi senyawapirit yang dibantu bakteri pengoksidasi besi dan sulfur(Mariana et al. 2012).

Masalah agrofisik-kimia lahan pasang surut lainnyaadalah lingkungan perakaran yang jenuh air dan bersifatanaerobik, adanya bahan sulfidik, dan tingkat kesuburantanah yang rendah (kahat N, P, K, dan miskin basa) (Sunarti2010). Toksisitas Al menghambat pertumbuhanmeristem akar (Pujiwati et al. 2015) dan mengurangiserapan P sehingga menghambat pertumbuhantanaman dan menurunkan hasil. Rendahnyaproduktivitas kedelai pada lahan pasang surut jugadisebabkan oleh teknologi budi daya konvensional yangtidak mampu mengatasi oksidasi pirit dan tingginyakelarutan Al, Fe, dan Mn.

Upaya peningkatan produktivitas kedelai dapatdilakukan dengan perbaikan teknik budi daya.Penerapan teknologi budi daya jenuh air menjadikankondisi lahan lebih reduktif sehingga dapat menekankelarutan pirit (Ghulamahdi et al. 2006). Pada budi dayakedelai jenuh air, lahan digenangi terus-menerus sejaktanam sampai panen dengan permukaan muka air tetap,sehingga lapisan tanah di bawah perakaran jenuh air(Troedson et al.1984). Respon akar terhadap kondisidaerah perakaran dapat menentukan pertumbuhantanaman dan selanjutnya mempengaruhi produktivitastanaman. Perkembangan akar yang baik akanmenunjang proses nitrogenase dan penyerapan haralainnya serta mekanisme adaptasi dan aklimatisasitanaman lebih cepat.

Awal pertumbuhan tanaman kedelai didahului olehmekanisme adaptasi dalam memenuhi kebutuhan haraterutama N untuk pertumbuhan akar. Mekanismeadaptasi tersebut dimulai dengan meningkatnyakandungan 1-aminocyclopropane-1-carboxylic acid(ACC) akar yang diikuti oleh meningkatnya kandunganetilen akar. Etilen akar akan meningkatkan terbentuknyajaringan aerenkima dan perakaran baru, sehinggameningkatkan pembentukan bintil akar dan penyerapanhara, yang selanjutnya meningkatkan aktivitasnitrogenase dan serapan hara oleh akar (Ghulamahdiet al. 2006).

Nitrogen (N) merupakan salah satu hara makro yangdiperlukan untuk pertumbuhan akar, batang, dan daun.

Namun bila N terlalu banyak dapat menghambatpertumbuhan bunga dan pembentukan biji (Anwar 2014).

Suplai hara N di awal pertumbuhan dapatmembantu tanaman untuk lepas dari cekaman lebihawal. Kandungan N pada lahan pasang surut umumnyatermasuk tinggi, namun N-tersedia rendah, karena Nyang ada umumnya dalam bentuk organik. Kondisiporositas lahan mempermudah hara N tercuci olehgerakan air. Di sisi lain kandungan protein kedelaitermasuk tinggi, berkisar 35-45%, sehinggamembutuhkan hara N yang tinggi (Anwar 2014).

Hasil penelitian Seadh et al. (2009) menunjukkanbahwa mutu benih (persentase perkecambahan,kecepatan perkecambahan, panjang batang, panjangakar dan bobot kering kecambah) nyata dipengaruhioleh pemberian N dan hara mikro. Naibaho (2006)menyatakan pemberian N 0,2% melalui daunmemberikan polong isi dan bobot biji tertinggi.

Jenis tanah di lahan pasang surut terdiri atas tanahmineral dan mineral bergambut. Karakteristik kimialahan gambut sangat ditentukan oleh kandunganmineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (didasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut.Kandungan mineral gambut umumnya kurang dari 5%dan sisanya bahan organik. Fraksi organik terdiri darisenyawa humat sekitar 10-20% dan sebagian lainnyaadalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin,tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya.Tanah gambut umumnya sangat masam, pH 4-5,0 yangumumnya dipengaruhi oleh asam organik, sedangkanpH < 4,0 dapat terjadi karena adanya sumbangan H+dari oksidasi pirit atau bahan gambutnya sangat miskin(Anwar 2009). Peningkatan pH tanah nyatameningkatkan kadar N tanaman, serapan N dan Ptanaman, bobot kering tanaman pada beberapa varietaskedelai (Lubis et al. 2015). Varietas kedelai yang memilikibobot bintil akar rendah diduga karena tanaman hanyamemanfaatkan N yang tersedia di tanah dan hanyasebagian kecil yang diperoleh dari hasil fiksasi N2 udara(Amir et al. 2015). Kandungan kation basa seperti Ca,Mg, K, dan Na pada gambut tebal sangat rendah.Kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi,sehingga kejenuhan basa (KB) menjadi sangat rendah.

Tujuan penelitian adalah menentukan waktupemberian dan dosis pupuk N yang sesuai kebutuhantanaman kedelai dengan budi daya jenuh air pada tanahmineral dan mineral bergambut lahan pasang surut.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada tanah mineral dan mineralbergambut lahan pasang surut tipe C dan B, diKecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin,

Page 59: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

BACHTIAR ET AL.: KEBUTUHAN NITROGEN KEDELAI PADA TANAH JENUH AIR

219

Sumatera Selatan pada April-Agustus 2014. Analisis fisik,kimia tanah, dan jaringan tanaman dilakukan diLaboratorium Tanah Institut Pertanian Bogor.

Penelitian terdiri atas dua set percobaan pada tanahmineral dan mineral bergambut, yang dilaksanakansecara paralel. Percobaan menggunakan rancanganpetak-petak terpisah. Petak utama adalah varietas yangkedelai terdiri atas Wilis dan Tanggamus. Anak petakadalah waktu pemberian pupuk N yaitu (1) pada umur2, 3 dan 4 MST; (2) 2, 3, 4 dan 5 MST; dan (3) 2, 3, 4, 5 dan6 MST. Anak-anak petak adalah dosis pupuk N yangterdiri atas 7,5; 10; 12,5 dan 15 g/l air. Percobaan terdiriatas 24 kombinasi perlakuan, diulang tiga kali sehinggaterdapat 72 petak percobaan. Data pengamatandianalisis dengan Analisis of varians (ANOVA) pada tarafα = 5%. Uji lanjut menggunakan Duncan Multiple RangeTest (DMRT) dan beda rata-rata menggunakan uji t.

Model Linear

Model linear rancangan petak-petak terpisah adalahsebagai berikut: (Gaspersz 1994)

Yijkl = μ+ Kl + Ai + εil + Bj + (AB)ij + δijl + Ck + (AC)ik +(BC)jk + (ABC)ijk + γijkl

Yijk = nilai pengamatan pada kelompok ke-i yangmemperoleh taraf ke-i dari faktor varietas dantaraf ke-j dari faktor waktu aplikasi dan tarafke-k dari faktor konsentrasi pupuk

μ = nilai rata-rata yang sesungguhnyaK1 = pengaruh aditif dari kelompok ke-1 Ai = pengaruh aditif dari taraf ke-i faktor varietasεi1 = Pengaruh galat yang timbul pada kelompok

ke-1 yang memperoleh taraf ke-i dari faktorvarietas (galat petak utama = galat a)

Bj = pengaruh aditif dari taraf ke-j faktor waktuaplikasi

(AB)ij = pengaruh interaksi taraf ke-i faktor varietasdan taraf ke-j faktor waktu aplikasi

δik = pengaruh galat yang muncul pada kelompokke-1 yang memperoleh taraf ke-i dari faktorvarietas dan taraf ke-j dari faktor waktuaplikasi (galat anak petak = galat b)

Ck = pengaruh aditif dari taraf ke-k faktorkonsentrasi pupuk

(AC)ik = pengaruh interaksi taraf ke-i faktor varietasdan taraf ke-k faktor konsentrasi pupuk

(BC)jk = pengaruh interaksi taraf ke-j faktor waktuaplikasi dan taraf ke-k faktor konsentrasipupuk

(ABC)ijk = pengaruh interaksi taraf ke-i faktor varietasdan taraf ke-j dari faktor waktu aplikasi dantaraf ke-k faktor konsentrasi pupuk

γijk1 = pengaruh galat yang muncul pada kelompokke-1 yang memperoleh taraf ke-i dari faktorvarietas dan taraf ke-j dari faktor waktuaplikasi dan taraf ke-k dari faktor konsentrasipupuk (galat anak-anak petak = galat c)

Analisis tanah dilakukan sebelum penanaman dansesudah panen. Tanah diolah secara minimum(minimum tillage) dan pembuatan petakan berukuran2 m x 5 m, dilakukan dalam keadaan lembab. Di antarapetak terdapat saluran air berukuran lebar 30 cm dankedalaman 25 cm, sehingga kondisi petakan selalubasah pada saat saluran digenangi (Gambar 1).

Seluruh petak percobaan diberi kapur dan pupukkandang (kotoran sapi) sebagai amelioran masing-masing 1,5 t/ha dan 2 t/ha. Benih ditanam dengan caratugal 2-3 biji dengan jarak tanam 12,5 cm x 40 cm (400000 tanaman/ha) dan kedalaman 1-2 cm. Sebelumditanam, benih diinokulasi dengan rhizobium 5 grhizogin/kg benih. Pupuk anorganik diberikan dengancara semprot pada daun untuk pupuk N dan cara alurdan sebar untuk pupuk P dan K. Pemeliharaan tanamandalam bentuk penjarangan, penyulaman, pengontrolankedalaman muka air, serta pengendalian hama danpenyakit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bobot Kering Bintil Akar dan Brangkasan

Dosis pupuk N berpengaruh nyata terhadap bobot bintilakar dan brangkasan tanaman pada tanah mineral(Tabel 1). Penambahan pupuk N sampai dosis 15 g/l airmenaikkan bobot kering bintil akar 0,24 g (50%),sedangkan pada dosis 12,5 g/l air cenderungmenurunkan bobot kering. Pada tanah mineralbergambut, peningkatan dosis pupuk N tidakberpengaruh nyata terhadap bobot bintil akar.

Uji t menunjukkan bahwa pengaruh peningkatandosis pupuk N terhadap bobot kering bintil akar padatanah mineral lebih baik dan berbeda nyatadibandingkan dengan tanah mineral bergambut.Peningkatan dosis pupuk N sampai 15 g/l air pada tanahmineral menaikkan bobot kering brangkasan tanamansebesar 21,6%. Pada tanah mineral bergambut, respon

Gambar 1. Saluran air antarpetak di lapangan.

Page 60: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

220

bobot kering brangkasan terhadap peningkatan dosispupuk N tidak nyata, tetapi cenderung meningkat sampaidosis 12,5 g/l air. Kandungan N total pada tanah mineralsebelum perlakuan berada pada level sedang,sementara pada tanah mineral bergambut sangat tinggi.Hal ini menyebabkan tanaman pada tanah mineralmasih membutuhkan N yang lebih banyak untukpertumbuhan vegetatif. Meskipun demikian,ketersediaan hara lain juga dipengaruhi olehkemasaman tanah, yang menyebabkan peningkatandosis pupuk N pada tanah mineral bergambut tidakefektif meningkatkan bobot brangkasan.

Penurunan bobot kering pada tanah mineralbergambut kemungkinan disebabkan oleh tanamankurang toleran terhadap kemasaman tanah dan kadarhara tanah tidak maksimal mendukung pertumbuhan.Kemampuan tanaman mengabsorpsi hara N dari dalamtanah dipengaruhi oleh pertumbuhan akar dancekaman Al dan Fe. Toleransi kemasaman tanah sebagaisyarat pertumbuhan kedelai adalah pH 5,8-7,0 tetapipada pH 4,5 kedelai juga dapat tumbuh. Pada pH kurangdari 5,5 pertumbuhan tanaman sangat terlambat karenakeracunan Al.

Hal ini menunjukkan pemberian pupuk N pada saattanaman dapat meningkatkan volume akar dan bintilakar, sehingga meningkatkan efektivitas bakteriRhizobium dalam menambat N2 udara. Simbiosis antaraRhizobium dengan akar tanaman legum akanmenghasilkan organ penambat N2, yaitu bintil akar(Purwaningsih et al. 2012). Pemberian N secarabertahap lebih tepat karena setiap fase pertumbuhantanaman membutuhkan unsur hara N. Pemupukan Npada awal pertumbuhan kedelai perlu dilakukansebagai starter, karena pada saat itu lapisan ataspermukaan tanah tidak jenuh air sehingga fungsi akarbelum maksimal. Tambahan hara N melalui daunmembantu pembentukan, perkembangan, danpembintilan pada akar.

Dosis pupuk N mempunyai keterkaitan yang kuatdengan bobot kering bintil akar. Bobot kering bintil akarcenderung lebih tinggi dengan meningkatnya dosis Npada tanah mineral. Pada tanah mineral bergambut,peningkatan dosis N relatif tidak meningkatkan bobotkering bintil akar. Hubungan antara dosis pupuk N danbobot kering bintil akar pada tanah mineral mempunyaipersamaan y = 0,0128x2 - 0,263x + 1,7639 dan tanahmineral bergambut dengan persamaan y = 0,0032x2 –0,0692x + 0,482 dengan korelasi r = 0,853 dan 0,772.

Interaksi varietas Tanggamus dan waktupemupukan N pada 2-4 MST berbeda nyata denganinteraksi Tanggamus dan waktu pemupukan 2-4 MSTterhadap bobot bintil akar tertinggi pada tanah mineral.Perpanjangan waktu pemupukan pada varietas Williscenderung menaikkan bobot kering bintil akar, sebaliknyalebih fluktuatif dan cenderung turun pada Tanggamus.Respon bobot kering bintil akar terhadap interaksi varietasdan waktu pemupukan tidak menunjukkan perbedaan,kecuali interaksi perlakuan Tanggamus dan waktupemupukan 2-5 MST (Gambar 2).

Bobot kering bintil akar pada seluruh interaksiperlakuan relatif sama pada tanah mineral bergambut.Perpanjangan waktu pemupukan cenderungmenaikkan bobot bintil akar Wilis. Sebaliknya, bobotbintil akar berkurang dengan perpanjangan frekuensipemupukan pada Tanggamus. Uji t menunjukkan bobotkering bintil akar pada interaksi varietas dan waktupemupukan pada tanah mineral lebih tinggi daripadatanah mineral bergambut (selisih 0,39 g) dan terdapatperbedaan nyata antara bobot kering bintil akar padatanah mineral dan mineral bergambut.

Konsentrasi pupuk N mempunyai keterkaitan kuatdengan bobot kering brangkasan. Pertambahan bobotkering brangkasan bersifat fluktuatif, namun cenderunglebih tinggi dengan meningkatnya dosis pupuk N padatanah mineral. Sebaliknya pada tanah mineralbergambut, peningkatan dosis pupuk N relatif tidakberpengaruh dan bahkan cenderung menurun padadosis lebih dari 12,5 g/l air.

Hubungan antara konsentrasi dan bobot keringbrangkasan pada tanah mineral lebih tinggi daripadatanah mineral bergambut. Pada tanah mineral, bobotkering brangkasan berkorelasi positif dengan persamaany = 0,0445x2 – 0,7302x + 14,88 dan mempunyaiketerkaitan kuat dengan peningkatan dosis pupuk Ndengan nilai korelasi r = 0,828. Pada tanah mineralbergambut, peningkatan dosis pupuk N berkorelasinegatif dengan peningkatan bobot brangkasan denganpersamaan -0,051x2 + 1,1636x + 5,7681 dengan nilaikorelasi r = -0,478.

Interaksi waktu pemupukan dan varietasTanggamus menghasilkan bobot kering brangkasan

Tabel 1. Bobot kering bintil akar dan brangkasan kedelai umur 8MST menurut dosis pupuk N di tanah mineral dan mineralbergambut.

Bobot kering Bobot keringDosis pupuk bintil akar (g) brangkasan (g)(g urea/l air)

Mineral Mineral Mineral Mineralbergambut bergambut

7,5 0,48 ab 0,15 a 11,67 b 11,89 a10,0 0,50 ab 0,09 a 12,76 ab 11,51 a12,5 0,39 b 0,14 a 11,98 b 13,14 a15,0 0,72 a 0,16 a 14,19 a 11,48 a

Angka selanjur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbedanyata pada taraf uji DMRT α=0,05

Page 61: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

BACHTIAR ET AL.: KEBUTUHAN NITROGEN KEDELAI PADA TANAH JENUH AIR

221

tanaman lebih tinggi dibanding interaksi dengan varietasWilis, baik pada tanah mineral maupun mineralbergambut (Gambar 3). Pada tanah mineral, interaksivarietas Tanggamus dengan waktu pemupukan 2–5 MSTmenghasilkan bobot kering brangkasan tertinggi.Respon bobot kering brangkasan tanaman cenderungmenurun dengan bertambahnya dosis pupuk padavarietas Wilis, sedangkan pada varietas Tanggamusterjadi penurunan bobot kering brangkasan.

Pada tanah mineral bergambut, perpanjanganwaktu pemupukan pada kedua varietas tidak nyatamempengaruhi pertambahan bobot kering brangkasan.Bobot kering brangkasan tertinggi terlihat pada interaksivarietas Tanggamus dengan waktu pemupukan 2-6 MST.Uji t menunjukkan bobot kering brangkasan padainteraksi varietas dan waktu pemupukan pada tanahmineral lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineralbergambut (selisih 0,65 g) dan tidak terdapat perbedaannyata antara kedua jenis tanah.

Keterangan: Huruf besar (mineral) dan huruf kecil (bergambut) yang tidak sama berarti berbeda nyata pada taraf uji DMRT α=0,05

Gambar 2. Bobot kering bintil akar tanaman kedelai pada interaksi varietas dan waktu pemupukan nitrogen di tanah mineral dan mineralbergambut.

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

Bobotkeringbintilakar(g)

0,47AB

‐0,2

2‐4 MST 2‐5 MST 2‐6 MST

Tanah mineral

2‐4 MST 2‐5 MST 2‐6 MST

Tanah mineral bergambut

0,77A

0,50AB

0,25B

0,49AB

0,64AB

0,09a

0,14a

0,19a 0,11

a

0,19a 0,07

a

Wilis Tanggamus

0

5

10

15

20

Bobotkeringbrangkasan

(g)

12,91AB

2‐4 MST 2‐5 MST 2‐6 MST

Tanah mineral

2‐4 MST 2‐5 MST 2‐6 MST

Tanah mineral bergambut

11,69B

11,71B

14,85A

11,94B

12,77AB 10,08

a

14,12a 11,24

a

13,05a

9,09a

14,44a

Wilis Tanggamus

Keterangan: Huruf besar (mineral) dan huruf kecil (bergambut) yang tidak sama berarti berbeda nyata pada taraf uji DMRT a=0.05

Gambar 3. Bobot kering brangkasan kedelai pada varietas dan waktu pemupukan pupuk N di tanah mineral dan mineral bergambut.

Page 62: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

222

Produktivitas Tanaman

Produktivitas kedelai yang tinggi pada tanah mineraldipengaruhi oleh interaksi varietas Wilis dan waktupemupukan 2-6 MST tetapi tidak berbeda nyata denganinteraksi varietas Wilis dan waktu pemupukan 2-4 MST(Tabel 2). Semakin tinggi frekuensi waktu pemupukan,produktivitas Wilis meningkat 14,08% walaupun terjadipenurunan pada pemupukan 2-5 MST. Meskipun tidakberbeda nyata, penambahan waktu pemupukandengan frekuensi 2-5 MST pada varietas Tanggamuscenderung meningkatkan produktivitas tetapi menurundengan bertambahnya frekuensi pemupukan (2-6 MST).Hal ini kemungkinan berkaitan dengan respon akar danbintil akar yang tidak lagi efektif setelah tanamanberumur 6 MST, karena aktivitas nitrogenase lebih baikpada tanah dengan kadar air yang lebih tinggi.

Varietas Wilis dan Tanggamus memiliki tingkatrespon produksi yang cenderung berbeda pada duajenis tanah. Pada tanah mineral bergambut,produktivitas varietas Wilis lebih rendah dari tanahmineral. Penurunan produktivitas varietas Wilismencapai 14,38% dengan bertambahnya waktupemupukan N. Penurunan produktivitas juga terjadipada varietas Tanggamus, yakni 4,85% dengan semakintingginya frekuensi waktu pemupukan N. Pada tanahmineral bergambut, produktivitas varietas Tanggamuscenderung lebih tinggi daripada tanah mineral. Uji tmenunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antaraproduktivitas tanaman pada tanah mineral dan tanahmineral bergambut pada interaksi varietas dan waktupemupukan.

Respon produktivitas kedelai pada tanah mineral danmineral bergambut pada interaksi waktu pemupukan dankonsentrasi N relatif sama. Waktu pemupukan 2-6 MSTcenderung menurunkan produktivitas denganbertambahnya dosis pupuk N (Tabel 3).

Pada tanah mineral, produktivitas tertinggi terdapatpada interaksi waktu pemupukan 2-6 MST dengan dosispupuk N 7,5 g/l air dan cenderung turun denganmeningkatnya dosis pupuk. Peningkatan dosis pupuk Nsampai 12,5 g/l air pada waktu pemupukan 2-4 MSTmenurunkan produktivitas 27,7%. Walaupun tidakberbeda nyata, penambahan dosis pupuk N menjadi 15g/l air menaikkan produktivitas tanaman. Pola yang samaterjadi pada waktu pemupukan 2-6 MST dengan tingkatpenurunan produktivitas yang lebih kecil (11%).Peningkatan dosis pupuk N pada waktu pemupukan 2-5 MST meningkatkan produktivitas kedelai 34,5%.

Produktivitas tanaman pada tanah mineralbergambut tidak berbeda nyata dengan meningkatnyafrekuensi waktu pemupukan dan dosis pupuk N.Rhizobium pada tanaman kedelai membantu

pembentukan bintil akar. Semakin banyak bintil akar,semakin membantu penyediaan hara N, bagi tanamandalam proses pertumbuhan akar, batang, dan daun (Sariet al. 2015). Uji t menunjukkan tidak terdapat perbedaannyata antara produktivitas tanaman pada interaksiwaktu pemupukan dan dosis pupuk N.

Produktivitas kedelai pada tanah mineral bergambutlebih rendah dibandingkan dengan tanah mineral.Pemupukan pada 4 MST dengan dosis N 15 g/l mampumeningkatkan produktivitas varietas Tanggamuswalaupun kadar hara N pada jaringan tanaman lebihrendah dibandingkan dengan dosis pupuk N 12,5 g/l airtetapi mempunyai kadar P dan K lebih tinggi. Pemberianpupuk N dengan dosis tinggi harus melibatkan hara Pdan K yang seimbang untuk meningkatkan produktivitastanaman.

Tabel 2. Produktivitas tanaman kedelai pada perlakuan varietas danwaktu pemupukan N pada tanah mineral dan mineralbergambut.

Produktivitas (t/ha)Varietas dan waktupemupukan Tanah mineral Tanah mineral

bergambut

Wilis + 2-4 MST 2,89 ab 2,43 cWilis + 2-5 MST 2,57 b 2,28 cWilis + 2-6 MST 3,30 a 2,08 c

Tanggamus + 2-4 MST 2,47 b 3,08 aTanggamus + 2-5 MST 2,75 b 2,54 bcTanggamus + 2-6 MST 2,59 b 2,93 ab

Angka selanjur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbedanyata pada taraf uji DMRT α=0,05

Tabel 3. Produktivitas kedelai pada perlakuan waktu pemupukandan dosis pupuk N pada tanah mineral dan mineralbergambut.

Waktu pemupukan Tanah mineral Tanah mineraldan dosis pupuk bergambut

2-4 MST + 7,5 g 2,95 ab 2,61 a2-4 MST + 10 g 2,68 ab 2,68 a2-4 MST + 12,5 g 2,31 ab 2,88 a2-4 MST + 15 g 2,79 ab 2,65 a2-5 MST + 7,5 g 2,11 b 2,46 a2-5 MST + 10 g 2,96 ab 2,17 a2-5 MST + 12,5 g 2,73 ab 2,31 a2-5 MST + 15 g 2.84 ab 2,71 a2-6 MST + 7,5 g 3,04 a 2,72 a2-6 MST + 10 g 2,99 a 2,52 a2-6 MST + 12,5 g 2,74 ab 2,39 a2-6 MST + 15 g 3,02 ab 2,38 a

Angka selanjur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbedanyata pada taraf uji DMRT α=0,05

Page 63: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

BACHTIAR ET AL.: KEBUTUHAN NITROGEN KEDELAI PADA TANAH JENUH AIR

223

Namun tingkat kemasaman tinggi pada tanah mineral(pH 4,70) dan sangat tinggi pada tanah mineralbergambut (pH 4,30). Hal ini menjadi salah satu faktorpembatas budi daya kedelai pada lahan pasang surut(Tabel 4).

Produktivitas kedelai pada tanah mineral lebih baikdibandingkan dengan tanah mineral bergambut. Padatanah mineral, kombinasi varietas Wilis, waktupemupukan 2-6 MST, dan dosis pupuk N 7,5 g/l airmemberikan produktivitas tertinggi. Pemberian N padadosis rendah dengan waktu pemberian sampai 6 MSTmemberikan kecukupan hara bagi tanaman selamapertumbuhan vegetatif dan generatif, sehinggamemberikan produktivitas yang lebih tinggi. Selain itu,kandungan pirit dalam tanah tidak nyata mempengaruhiproduktivitas. Pemberian N dengan dosis sangat tinggitetapi waktu pemberian relatif singkat tidak

Gambar 4. Produktivitas tanaman kedelai pada interaksi varietas, waktu pemupukan dan konsentrasi pupuk N pada tanah mineral.

Gambar 5. Produktivitas tanaman kedelai pada interaksi varietas, waktu pemupukan dan konsentrasi pupuk N pada tanah mineral bergambut.

Produktivitas kedelai dari kombinasi varietas, waktutanam, dan dosis pupuk N pada tanah mineral dibagimenjadi tiga kategori yaitu tinggi 3,1-3,5 t/ha), sedang2,4-3,0 t/ha), dan rendah 1,9-2,4 t/ha). Pada tanah mineralbergambut, produktivitas tinggi adalah 2,8-3,2 t/ha),sedang 2,3-2,7 t/ha), dan rendah 1,8-2,2 t/ha) (Gambar 4dan 5).

Pengaruh Ciri Tanah terhadap ProduktivitasTanaman

Ketersediaan hara dalam tanah mempengaruhikandungan hara pada jaringan tanaman danproduktivitas kedelai. Kandungan hara kedua jenistanah termasuk sedang sampai sangat tinggi. Hasilanalisis sebelum percobaan memperlihatkan tingkatkesuburan tanah relatif baik dengan kandungan bahanorganik, P2O5, dan K2O sedang sampai sangat tinggi.

1,5

2,0

2,5

3,0

4,0

Produktivitas(t/ha)

3,4

2‐4 MST 2‐5 MST 2‐6 MST

Wilis

2‐4 MST 2‐5 MST 2‐6 MST

Tanggamus

3,0

2,4

2,8

1,9

3,1

2,7 2,6

3,53,4

3,13,2

2,4 2,4 2,3

2,8

2,3

2,8 2,8

3,1

2,6 2,62,4

2,8

7,5 g 10 g 12,5 g 15 g 7,5 g 10 g 12,5 g 15 g 7,5 g 10 g 12,5 g 15 g 7,5 g 10 g 12,5 g 15 g 7,5 g 10 g 12,5 g 15 g 7,5 g 10 g 12,5 g 15 g

3,5

1,5

2,0

2,5

3,0

4,0

Produktivitas(t/ha)

2,2

2‐4 MST 2‐5 MST 2‐6 MST

Wilis

2‐4 MST 2‐5 MST 2‐6 MST

Tanggamus

2,72,5

2,0

2,5

2,1

2,72,5

2,01,8

1,9

3,0 3,03,1

3,2

2,3

2,1

2,7 2,7

2,9 3,0 3,0

1,8

2,8

7,5 g 10 g 12,5 g 15 g 7,5 g 10 g 12,5 g 15 g 7,5 g 10 g 12,5 g 15 g 7,5 g 10 g 12,5 g 15 g 7,5 g 10 g 12,5 g 15 g 7,5 g 10 g 12,5 g 15 g

3,5

Page 64: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

224

menyebabkan distribusi hara seimbang sesuai denganfase pertumbuhan tanaman.

Pada tanah mineral bergambut, perlakuankombinasi varietas Tanggamus, waktu pemupukan 2-4MST, dan dosis pupuk N 15 g/l air memberikanproduktivitas tertinggi pada tanah dengan kadar haraN-total dan Mn tinggi, kandungan P sangat tinggi dan Ksedang, serta kadar Al tanah sangat rendah. Meskipunproduktivitas tanaman lebih tinggi pada tanah mineralbergambut, namun kandungan pirit lebih tinggidibandingkan dengan tanah mineral. Kondisi inimemberikan cekaman tersendiri bagi tanaman untukdapat berproduksi maksimal.

Produktivitas kedelai dipengaruhi oleh kadar piritdalam tanah. Hasil analisis tanah mineral dan mineralbergambut menunjukkan kadar pirit tertinggiditemukan pada tanah dengan produktivitas tanamanterendah. Produktivitas tertinggi dan sedang diperolehdari tanah dengan kadar pirit yang lebih rendah.Kenaikan kadar pirit dari 0,18% menjadi 0,26%menurunkan produktivitas kedelai 46,0% atau dari 3,5 t/ha menjadi 1,9 t/ha pada tanah mineral. Pada tanah

mineral bergambut kenaikan kadar pirit 0,39%menurunkan produktivitas kedelai 45,1% atau dari 3,2 t/ha menjadi 1,8 t/ha.

Kandungan pirit yang tinggi mempengaruhipenyerapan hara oleh tanaman. Pada tanah sulfatmasam, drainase yang berlebihan menciptakan kondisiaerob yang mengakibatkan lapisan pirit teroksidasi danmelepaskan asam alumunium yang merupakan racunbagi tanaman, dan dapat memfiksasi P membentuksenyawa yang mengendap. Akibatnya ketersediaan Pdalam tanah menjadi rendah. Subagyo (2006)menyatakan bahwa kandungan pirit pada lahan pasangsurut umumnya rendah (0-5%), tetapi sulit diatasi jikasudah mengalami oksidasi.

Asam-asam organik mampu menurunkan jumlahfosfat yang difiksasi oleh Fe dan Al melalui mekanismepengkelatan sehingga P tersedia bagi tanaman (Barkerand Pilbeam 2007). Dengan kata lain, kecepatanpelepasan P dari bentuk tidak tersedia menjadi tersediabergantung pada pH dan kandungan bahan organiktanah (Purba et al. 2015).

Tabel 4. Kandungan hara N, P, K, Al, Mn dan pirit pada tanah mineral dan mineral bergambut sebelum dan sesudah perlakuan.

Perlakuan Produktivitas pH N-Total P K Al Mn Pirit(%) (ppm) (me/100 g) (me/100 g) (ppm) (%)

MineralSebelum perlakuan 4,70 0,38 12,4 0,43 2,49 42,39

masam sedang Tinggi sedang rendah Sangattinggi

Sesudah perlakuanWilis Tinggi 0,34 31,67 0,30 3,13 17,74 0,182-6 MST 7,5 g/l urea Sedang Sangat Rendah Sedang Sangat

tinggi tinggiTanggamus Sedang 0,36 19,10 0,31 3,46 17,32 0,122-4 MST 15 g/l urea Sedang Sangat Rendah Sedang Sangat

tinggi tinggiWilis Rendah 0,31 19,50 0,23 3,18 15,53 0,262-5 MST 7,5 g/l urea Sedang Sangat Rendah Sedang Sangat

tinggi tinggi

Tanah mineral bergambutSebelum perlakuan 4,30 1,03 21,5 0,51 2,49 48,70

Sangat Sangat Sangat Sedang Rendah Sangatmasam tinggi tinggi tinggi

Sesudah perlakuanTanggamus Tinggi 0,75 29,99 0,38 0,31 6,76 0,472-4 MST15 g/l urea Tinggi Sangat Rendah Sangat Tinggi

tinggi rendahWilis Sedang 0,76 40,35 0,28 1,62 9,47 0,582-4 MST12,5 g/l urea Sangat Sangat Rendah Rendah Sangat tinggi

tinggi tinggi tinggiWilis Rendah 1,09 58,23 0,28 1,27 19,28 0,862-6 MST12,5 g/l urea Sangat Sangat Rendah Rendah Sangat

tinggi tinggi tinggi

Page 65: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

BACHTIAR ET AL.: KEBUTUHAN NITROGEN KEDELAI PADA TANAH JENUH AIR

225

Hubungan antara Hara Tanaman dan Produktivitas

Hasil analisis menunjukkan produktivitas tertinggi padatanah mineral dan mineral bergambut masing-masingpada interaksi antara varietas Wilis, waktu pemberianpupuk 2-6 MST, dan dosis pupuk N 7,5 g/l, serta interaksiTanggamus, waktu pemupukan 2-4 MST, dan dosispupuk N 15 g/l. Produktivitas sedang terdapat padainteraksi antara Tanggamus, waktu pemupukan 2-4 MST,dan dosis N 15 g/l, serta interaksi Wilis, 2-4 MST, 12,5 g/l.Produktivitas rendah terdapat pada interaksi antara Wilis,2-5 MST dan 7,5 g/l serta interaksi Wilis, 2-6 MST, dan 12,5g/l. Data ini menunjukkan bahwa tanaman yang memilikiproduktivitas tinggi juga mempunyai kandungan haraN, P dan K yang tinggi daun. Sebaliknya, tanaman denganproduktivitas yang rendah memiliki kandungan hararendah pada jaringan tanaman. Total N, P dan K tertinggipada tanaman memberikan produktivitas sedang. Halini dipengaruhi oleh bobot kering tanaman. Kandungan

hara N, P dan K tertinggi pada jaringan tanaman terdapatpada perlakuan dosis N yang tinggi (Tabel 5).

Jenis tanah mempengaruhi jumlah hara yang dapatdiserap tanaman. Hasil analisis jaringan tanamanmenunjukkan bahwa penyerapan hara N, P dan K olehtanaman pada tanah mineral lebih besar dibandingkandengan tanah mineral bergambut. Pada tanah mineral,pemberian pupuk N secara bertahap sampai 6 MSTdengan dosis terendah atau pemberian N dengan dosistinggi sampai 4 MST dalam selang waktu satu minggudapat memenuhi kebutuhan hara tanaman, sehinggapertumbuhan vegetatif menjadi optimal dan dapatmenunjang produktivitas tanaman.

Hubungan serapan hara dan hasil kedelaimenunjukkan bahwa penurunan produktivitas tanamandisebabkan oleh penurunan kadar hara dalam jaringanmaupun ketersediaan hara dalam tanah (Gambar 6).Pada tanah mineral penurunan produktivitas tidak linear

Tabel 5. Kandungan hara N, P dan K pada jaringan daun tanaman kedelai umur 8 MST.

Kadar hara (%) Serapan hara (g/tan)Tingkat produktivitas pada interaksi

N P K N P K

Tanah mineralTinggi (Wilis; 2-6 MST; 7,5 g/l) 2,84 0,33 2,09 0,3189 0,0371 0,2347Sedang (Tanggamus; 2-4 MST; 15 g/l) 2,67 0,33 1,91 0,3638 0,0450 0,2603rendah (Wilis; 2-5 MST; 7,5 g/l) 2,56 0,30 1,79 0,2743 0,0322 0,1918

Tanah mineral bergambutTinggi (Tanggamus; 2-4 MST; 15 g/l) 1,78 0,23 1,67 0,2402 0,0310 0,2253Sedang (Wilis; 2-4 MST; 12,5 g/l) 1,89 0,24 1,73 0,1852 0,0235 0,1695Rendah (Wilis; 2-6 MST;12,5 g/l) 1,67 0,23 1,67 0,1496 0,0206 0,1496

Gambar 6. Produktivitas tanaman kedelai pada interaksi varietas, waktu pemupukan dan konsentrasi pupuk N di tanah mineral.

 

A  B 

Page 66: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

226

diikuti oleh penurunan kadar hara pada jaringantanaman, terutama pada kombinasi varietas Tanggamusdengan waktu pemupukan 2-4 MST dosis pupuk N 15 g/l. Tingginya kadar N dalam jaringan tanamanmenunjukkan pupuk N mempunyai fungsi yang sentraldalam pertumbuhan tanaman. Terdapat hubunganantara fungsi akar dan tajuk dalam penyerapan (hara).

Hara N diperlukan tanaman kedelai pada awalpertumbuhan untuk pembentukan bintil akar. Di sisi lain,tanaman kedelai memerlukan hara N, P, dan K dalamjumlah banyak untuk mencapai produktivitas yangtinggi. Penyerapan hara oleh tanaman semakinmeningkat sejalan dengan laju pertumbuhan vegetative,dimulai dari fase perkecambahan sampai awalberbunga. Pemberian pupuk N secara bertahap sampaifase awal berbunga diharapkan dapat memenuhikebutuhan tanaman (Suryati et al. 2009). Pertumbuhanvegetatif yang optimal akan meningkatkan produktivitastanaman.

Jumlah serapan N yang tinggi pada tanaman didugadisebabkan oleh pemberian pupuk N secara bertahapdan ketersediaan hara N yang tinggi di tanah selamapertumbuhan tanaman. Peningkatan N total jaringanberdampak pada peningkatan laju fotosintesis, hasilkedelai, dan kandungan protein biji. Meningkatnyakandungan N total jaringan pada fase pertumbuhanvegetatif maupun generatif diperoleh melalui serapan N(Anang et al. 2010). Akumulasi N pada jaringan atau Ntotal tanaman yang diperoleh dari fiksasi oleh bakterimeningkatkan asimilasi N pada tanaman yang akhirnyameningkatkan kandungan N pada daun dan bijisehingga berperan meningkatkan bobot tanaman danbiji (Situmorang 2008).

KESIMPULAN

Pertumbuhan dan produktivitas Willis lebih baik padatanah mineral. Pada tanah bergambut, Tanggamusmemiliki pertumbuhan dan produktivitas lebih baikdibandingkan dengan Willis pada pemupukan nitrogen.

Waktu pemupukan nitrogen pada umur tanamankedelai 2-5 MST pada tanah mineral dan 2-4 MST padatanah bergambut, lebih meningkatkan pertumbuhandan produktivitas dibandingkan dengan waktupemupukan lainnya.

Pemupukan nitrogen dengan konsentrasi 15 g/l air,lebih meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas.Pada tanah bergambut, konsentrasi pupuk urea 12,5 g/l air, berpengaruh lebih baik pada tanaman kedelaidibandingkan dengan konsentrasi lainnya.

Interaksi perlakuan pada tanah mineralmenunjukkan bahwa interaksi Willis, waktu pemupukan

2-6 MST dan konsentrasi nitrogen 7,5 g/l air, produktivitastanaman kedelai tertinggi yaitu 3,5 ton/ha. Interaksiperlakuan pada tanah bergambut menunjukkan bahwainteraksi Tanggamus, waktu pemupukan 2-4 MST dankonsentrasi nitrogen 15,0 g/l air, produktivitas tanamankedelai tertinggi sebesar 3,2 t/ha.

Kadar hara N pada jaringan daun kedelai mengalamidefisiensi meskipun dilakukan penambahan konsentrasidan waktu aplikasi pupuk N yang lebih tinggi baik padatanah bergambut maupun mineral.

Produktivitas kedelai tertinggi diperoleh pada tanahdengan kandungan pirit yang lebih rendah. PemberianN konsentrasi rendah dan frekuensi waktu pemupukanyang lebih tinggi dapat meningkatkan produktivitaskedelai pada tanah dengan kandungan pirit yang tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Direktorat Jenderal SumberdayaIPTEK dan Dikti Kementerian Riset, Teknologi danPendidikan Tinggi Republik Indonesia yang telahmemberikan bantuan studi dan penelitian dalam bentukbeasiswa BP-DN. Disampaikan pula ucapan terima kasihkepada Yayasan Pendidikan Duluwo Limo PohalaaGorontalo yang banyak membantu kelancaranpenelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, B., D. Indradewa, dan E.T.S. Putra. 2015. Hubungan bintilakar dan aktivitas nitrat reduktase dengan serapan N padabeberapa kultivar kedelai (Glycine max) [Relationship ofnodule and nitrate reductase activity with N uptake in somecultivars of soybean (Glycine max)]. Prosiding SeminarNasional Masyarakat Biodiversiti Indonesia 1(5):1132-1135.

Anang, S., Soedradjad, dan A. Majid. 2010. Aktivitas nitrogenasebintil akar pada tanaman kedelai (Glycine max L.) yangberasosiasi dengan bakteri fotosintetik Synechococus sp.Penelitian Fundamental. Universitas Jember, Jember.

Anwar, K. 2009. Pemupukan fosfat untuk meningkatkan hasilkedelai di lahan rawa. Prosiding Seminar dan LokakaryaNasional Inovasi Sumberdaya Lahan: Teknologi Konservasi,Pemupukan, dan Biologi Tanah. Buku II. p.319-328. BBSDLP.Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Anwar, K. 2014. Ameliorasi dan pemupukan untuk meningkatkanproduktivitas kedelai di lahan gambut. Prosiding SeminarNasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi.Banjarbaru, 6-7 Agustus 2014.

Barker, A.V. and D.J. Pilbeam. 2007. Hand Book of Plant Nutrition.CRC Press. New York. 612p.

Gaspersz V. 1994. Metode perancangan percobaan untuk ilmu-ilmu pertanian, ilmu-ilmu teknik, biologi. Bandung: Armico.

Ghulamahdi, M., S.A. Aziz, M. Melati, N. Dewi, dan S.A. Rais.2006. Aktivitas nitrogenase, serapan hara dan pertumbuhanpertumbuhan dua varietas kedelai pada kondisi jenuh airdan kering [Nitrogenase Activity, Nutrient Uptake, and Growth

Page 67: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

BACHTIAR ET AL.: KEBUTUHAN NITROGEN KEDELAI PADA TANAH JENUH AIR

227

of Two Soybean Varieties Under Saturated and Dry SoilConditions]. Bul. Agron. 34(1):32-38.

Las, I., Sukarman, K. Subagyono, D.A. Suriadikarta, M. Noor, danA. Jumberi. 2007. Grand design lahan rawa. ProsidingSeminar Nasional Pertanian Lahan Rawa. Badan Penelitiandan Pengembangan Pertanian. Kalimantan Tengah.

Lubis, D.S., S.H. Asmarlaili, dan M. Sembiring, 2015. Pengaruh pHterhadap pembentukan bintil akar, serapan hara N, P, danproduksi tanaman pada beberapa varietas kedelai pada tanahInseptisol di rumah kasa (The Effect of pH on Root NodulesFormation, Nitrogen and Phosphorus Uptake, and CropProduction in Some Soybean Varieties in Inceptisol on ScreenHouse). Jurnal Online Agroekoteknologi 3(3):1111-1115.

Mariana, Z.T., F. Razie, dan M. Septiana. 2012. Populasi bakteripengoksidasi besi dan sulfur akibat penggenangan danpengeringan pada tanah sulfat masam di Kalimantan Selatan.Jurnal Agritek 19(1):22-27.

Naibaho, K. 2006. Pengaruh jarak tanam dan pemupukan N lewatdaun terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai pada budidaya jenuh air. Institut Pertanian Bogor.

Pujiwati, H., M. Ghulamahdi, Y. Sudirman, A.A. Sandra, and H.Oteng. 2015. The application of peaty mineral soil water inimproving the adaptability of black soybean towardaluminium stress on tidal mineral soil with saturated waterculture. Agrivita 37(3):0126-0537.

Purba, M.A., Fauzi, dan K. Sari, 2015. Pengaruh pemberian fosfatalam dan bahan organik pada tanah sulfat masam potensialterhadap P-tersedia tanah dan produksi padi (Oryza sativaL.) {The Effect of Phosphate Fertilizer and Organic Matter InA Potential Acid Sulphate Soils to P-soil Available andProduction of Rice (Oryza sativa L.)}. Jurnal OnlineAgroekoteknologi 3(3):938-948.

Purwaningsih, O., D. Indradewa, S. Kabirun, dan D. Shiddiq. 2012.Tanggapan tanaman kedelai terhadap inokulasi rhizobium.Jurnal Agrotop 2(1):25-32.

Sari, R.R.F., N. Aini, dan L. Setyobudi. 2015. Pengaruh penggunaanrhizobium dan penambahan mulsa organik jerami padi padatanaman kedelai hitam (Glycine max (L) Merril.) varietasDetam 1 {The effect of rhizobium and organic mulches ofstraw in black soybean (Glycine max (L) Merril.) varietiesDetam 1}. Jurnal Produksi Tanaman 3(8):689-696.

Seadh, S.E., M.I. EL-Abady, A.M. El-Ghamry, and S. Farouk. 2009.Influence of micronutrients foliar application and nitrogenfertilization on wheat yield and quality of grain and seed. J.Biological Sci. 9(8):851-858.

Situmorang, A.R.F. 2008. Penggunaan inokulan B. japonicum toleranasam alumunium untuk pertumbuhan tanah kedelai padatanah masam [Skripsi]. FMIPA IPB, Bogor.

Subagyo, H. 2006. Lahan rawa pasang surut. p.23-98. Dalam: D.A.Suriadi, Undang K., Mamat H.S., W. Hartatik, dan D. Setyorini(Eds.). Karakteristik dan pengelolaan lahan rawa. Balai BesarPenelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian,Bogor.

Sunarti. 2010. Land characteristics of batang pelepah watershedin Bungo District, Jambi. J. Tanah Tropika 15(1):73-82.

Suryati, D., N. Susanti, dan Hasanudin. 2009. Waktu aplikasi pupukN terbaik untuk pertumbuhan dan hasil kedelai varietas KipasPutih dan Galur 13 ED [Best Application Date of NitrogenFertilizer for Growth and Yield of Soybean var. Kipas Putihand 13 ED line]. Aleta Agrosia 12(2):204-212.

Troedson, R.J., A.L. Garside, R.J. Lawn, D.E. Byth, and G.L. Wilson.1984. Saturated soil culture-an innovative water managementoption for soybean in the tropics and subtropics. Dalam:Shanmugasundaram S and Sulzberger EW (Eds.). Soybean intropical and subtropical cropping systems. Proc. of a Symp.Tsukuba. Japan. p.171-180.

Page 68: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

228

Page 69: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

MUIS ET AL.: MIKORIZA ARBUSKULAR PADA TANAMAN KEDELAI

229

Kompatibilitas Fungi Mikoriza Arbuskular dengan Tanaman Kedelai pada Budi Daya Jenuh Air

Compatibility of Arbuscular Mycorrhizae Fungi Inoculants with Soybean Plantsin Saturated Soil Culture

Ridwan Muis1*, Munif Ghulamahdi2, Maya Melati2, Purwono2, dan Irdika Mansur3

1Program Studi Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor;Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jambi,

Kampus Mendalo Jambi, Indonesia*E-mail: [email protected]

2Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,Kampus Dramaga Bogor, Jawa Barat, Indonesia

E-mail: [email protected]; [email protected]; [email protected] Studi Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor,

Kampus Dramaga Bogor, Jawa Barat, IndonesiaE-mail: [email protected]

Naskah diterima 27 Mei 2016, direvisi 22 November 2016, disetujui 1 Desember 2016

ABSTRACT

The main constraint on soybean cultivation in acid sulfate tidallands is the lack of P availability because it is bound by Fe. Highrate of fertilizer applications often lead to high fertilizer residuesthat can be used for the following cropping using ArbuscularMycorrhizae Fungi (AMF) inoculants. The research aimed todetermine the effect of soybean culture techniques and AMFinoculants on growth and yield of soybean. The trial was arrangedin a factorial randomized block design with two factors and threereplications. The first factor consisted of four AMF inoculantsfrom different sources, namely from rhizospheres of kudzu (Puerariajavanica), sorghum (Sorghum bicolor), corn (Zea mays) andsoybean (Glycine max). The second factor was soybean culturetehniques, namely water saturated culture and dry soil culture.Seeds of soybean variety Tanggamus were grown in pots containing5 kg soil derived from tidal land of Simpang Village, Berbak District,Tanjung Jabung Timur, Jambi. The results showed that there wasa positive and significant interaction between the saturated soilculture and AMF inoculant from maize on the variabilities of Puptake (0.13 g/plant), P content in the plant (0.39%), relativeefficiency of inoculants (72.8%) and relative efficiency of P uptake(133.3%), biomass dry weight (35.4 g/plant), the number of filledpods (106 pod) and seed dry weight of soybeans (27.6 g/tanaman).Dry soil culture and AMF inoculant from maize produced greatersoybean root colonization. In overall, however, the saturated soilculture with AMF inoculant from maize gave the best growth andyield of soybean variety Tanggamus.

Keywords: Soybean, FMA inoculants, tidal swamp land.

ABSTRAK

Masalah utama yang ditemui pada lahan sulfat masam pasang surutadalah kurang tersedianya P bagi tanaman karena mengalami ikatan

kimia dengan Fe. Pemupukan dengan dosis tinggi seringkalimengakibatkan residu pemupukan yang tinggi. Residu pupuk iniberpeluang dimanfaatkan bagi pertumbuhan tanaman pada budidaya berikutnya dengan menggunakan FMA. Penelitian ini bertujuanuntuk mengetahui pengaruh cara budi daya dan sumber inokulanFMA terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai. Percobaanmenggunakan rancangan acak kelompok dua faktor dengan tigaulangan. Faktor pertama adalah empat sumber inokulan FMA yangterdiri atas tanpa inokulasi, inokulan dari rizosfer kudzu (Puerariajavanica), sorgum (Sorghum bicolor), jagung (Zea mays), dankedelai (Glycine max). Faktor kedua adalah cara budi daya jenuhair dan budi daya lahan kering (budidaya konvensional). Kedelaivarietas Tanggamus ditanam dalam pot berisi 5 kg tanah yangberasal dari lahan pasang surut Kelurahan Simpang, KecamatanBerbak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Hasil penelitianmenunjukkan interaksi antara budi daya jenuh air dengan inokulandari rizosfer jagung berpengaruh nyata positif terhadap serapanhara P tanaman (0,13 g/tanaman), P tanaman (0,39%), efisiensirelatif inokulan (72,8%), efisiensi relatif serapan hara P (133,3%),bobot kering brangkasan (35,4 g/tanaman), jumlah polong isi (106polong), dan bobot kering biji kedelai (27,6 g/tanaman). Budi dayalahan kering dengan inokulan FMA dari rizosfer jagung memilikikolonisasi akar yang lebih besar. Namun secara keseluruhan budidaya jenuh air dengan inokulan FMA dari jagung berpengaruh terbaikterhadap pertumbuhan dan hasil biji kedelai varietas Tanggamus.

Kata kunci: Kedelai, inokulan FMA, lahan pasang surut.

PENDAHULUAN

Lahan pasang surut yang didominasi tanah sulfatmasam potensial bagi pengembangan tanaman pangan,termasuk kedelai, untuk mengimbangi alih fungsi lahan.Areal pasang surut di Indonesia diperkirakan 20,11 jutaha yang terdiri atas 2,07 juta ha lahan potensial, 6,71 juta

Page 70: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

230

ha lahan sulfat masam, 10,89 juta ha lahan gambut, dan0,44 juta ha lahan salin. Dari 9,53 juta ha lahan yangpotensial untuk pertanian, 4,19 juta ha di antaranya telahdireklamasi, sehingga sisanya dapat dimanfaatkanmenjadi areal pertanian (Tim Sintesis Kebijakan 2008).

Salah satu kendala utama pengembangan lahanpasang surut untuk budi daya tanaman adalah reaksitanah yang sangat masam, dan sumber utamapemasaman tanah adalah oksidasi senyawa pirit(Priatmadi 2007, Priatmadi 2008). Kendala ini dapatdiatasi dengan menurunkan kadar pirit melaluipengaturan tinggi muka air agar kondisi tanah lebihreduktif. Teknologi budi daya jenuh air dapat mereduksisenyawa racun dan mengurangi kemasaman tanah,terutama pada sistem pengaturan muka air tanah yangdipertahankan pada kedalaman tertentu, sehinggalapisan perakaran tanaman tetap dalam kondisi jenuhair (Ghulamahdi et al. 2006). Kedalaman muka air 20cm di bawah permukaan tanah dapat mempertahankankondisi kapasitas lapang pada zona perakaran(Ghulamahdi et al. 2009). Budi daya jenuh air dijadikanalternatif untuk menggantikan budi daya lahan keringhanya mengandalkan pada air hujan.

Kendala lain pada lahan pasang surut adalahkelarutan unsur Fe, Al dan Mn serta rendahnyaketersediaan unsur hara, terutama P dan K (Yenni 2012).Hal ini membuka peluang pemanfaatan fungi mikorizaarbuskular (FMA) dalam budi daya kedelai.

FMA berperan penting bagi tanaman inang untukmemperluas areal serapan bulu-bulu akar melaluipembentukan miselium di sekeliling akar. Pembentukanmiselium di sekeliling akar akan memperbesar volumejelajah, sehingga kemampuan tanaman menyerap airdan unsur hara lebih baik dibandingkan dengantanaman yang tidak memiliki FMA (Hanafiah 2001).

Simbiosis mutualisme antara FMA dengan inangterjadi karena adanya eksudat akar. Bertham (2006)menjelaskan bahwa tanaman akan melepaskan eksudatakar berupa senyawa flavonoid untuk membentuksimbiosis dengan FMA. Senyawa flavonoid berpengaruhpositif terhadap pertumbuhan mikoriza pada tahapprasimbiotik.

Pada lahan pasang surut, kandungan P totalumumnya tinggi, tetapi P tersedia rendah. P tersediadapat ditingkatkan dengan memanfaatkan FMA,sehingga pemupukan fosfor dapat lebih efisien(Trisilawati dan Yusron 2008). FMA dapat meningkatkanP terlarut melalui asam organik dan enzim fosfatase yangdihasilkan. FMA juga dapat memperbaiki P terlarutsehingga dapat masuk ke dalam hifa eksternal FMA.Bagian yang penting dari sistem mikoriza adalahmiselium yang terdapat di luar akar yang berperan dalampenyerapan unsur hara bagi tanaman. Menurut Zuhry

et al. (2008), penyerapan P yang bersifat immobil dapatditingkatkan melalui perpanjangan akar yang mendekatiP. Kehadiran FMA dapat meningkatkan kemampuanakar dalam menyerap hara dan air untuk menunjangpertumbuhan dan perkembagan tanaman. Dijelaskanoleh Nurhayati (2012) bahwa fungsi utama hifa adalahuntuk menyerap air dari dalam tanah, P yangterakumulasi pada hifa eksternal akan segera diubahmenjadi senyawa polifosfat dengan adanya enzimfosfatase.

Menurut Jannah (2011), inokulasi fungi mikorizaarbuskular pada tanaman kedelai akan memberikanrespon yang menguntungkan, dimana akan terbentukjalinan hifa-hifa mikoriza, sehingga dapat memperluasbidang serapan air dan unsur hara dalam tanah. Kabirun(2002) juga melaporkan bahwa pengaruh inokulasi FMAlebih baik pada tanaman dengan kandungan P rendahdibandingkan dengan P cukup. Tingginya Pmengakibatkan berkurangnya infektifitas FMA.

Setiap strain FMA memiliki kemampuan yangberbeda-beda di dalam meningkatkan pertumbuhantanaman (Tian et al. 2004). Dengan demikian, perludipilih isolat FMA yang serasi dengan tanaman yangdibudidayakan. FMA bersimbiosis dengan tanamaninang yang responsif dan memiliki perakaran banyak(Simanungkalit 2004).

Tanaman semusim seperti jagung dan sorgummerupakan inang yang sangat kompatibel denganendomikoriza (Simanungkalit 2004, Hapsoh 2008)sehingga kedua tanaman ini dianggap sebagai inangyang sesuai untuk perbanyakan spora endomikoriza(Widiastuti 2004). Tujuan penelitian ini adalah untukmengetahui kompatibilitas isolat-isolat FMA daribeberapa tanaman inang dengan kedelai.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca KebunCikabayan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,pada bulan Maret hingga Juni 2014. Rancanganpercobaan adalah acak kelompok dua faktor dengantiga ulangan. Faktor pertama adalah inokulasi (I) yangterdiri atas tanpa inokulasi serta inokulan dari rhizosfer:kudzu (Pueraria javanica), sorgum (Sorghum bicolor),jagung (Zea mays) dan kedelai (Glycine max). Faktorkedua adalah cara budi daya (B) yang terdiri atasbudidaya jenuh air dan budi daya lahan kering.

Percobaan didahului oleh percobaan keragamanfungi mikoriza arbuskular hasil trapping(pemerangkapan) menggunakan tanaman inang yangberbeda (Muis et al. 2016). Percobaan dilanjutkandengan uji aplikasi FMA di lapangan pada lahan pasang

Page 71: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

MUIS ET AL.: MIKORIZA ARBUSKULAR PADA TANAMAN KEDELAI

231

surut di Kelurahan Simpang, Kecamatan Berbak,Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi (Muis 2016).Media tanam yang digunakan dalam trapping FMAadalah zeolit 150 g dan tanah dari rizosfer kedelai 50 gyang diambil dari lahan pasang surut KelurahanSimpang.

Jenis FMA yang diperoleh dari trapping adalahGlomus clarum dan Acaulospora tuberculata daritanaman jagung, G. clarum dari tanaman sorgum sertaG. macrocarpum, G. fecundisporum, dan A. scrobiculataserta dari tanaman kedelai (Muis et al. 2016). FMA hasiltrapping diperbanyak selama empat bulan sesuaidengan inang masing-masing perlakuan hingga rata-rata jumlah spora FMA yang dikandung >30 spora/25 gtanah.

Benih kedelai varietas Tanggamus ditanam dalampot-pot dengan tinggi 25 cm dan berisi 5 kg tanah keringyang diayak dengan saringan 10 mesh. Pada perlakuanbudi daya jenuh air, pot diletakkan dalam wadah yangmemiliki ketinggian air 5 cm dan dipertahankan mulaidari saat tanam hingga panen. Pada perlakuan budi dayalahan kering, pot diletakkan di atas bata untuk mencegahhubugan langsung dengan tanah di bawah pot.

Bahan pembawa FMA diberikan sebanyak 5 g/potuntuk menutup lubang tanam benih. Pada perlakuanbudi daya jenuh air, tanaman diberi pupuk urea empatkali, yakni pada umur 3, 4, 5 dan 6 minggu setelah tanam(MST) dengan cara penyemprotan melalui daun dengankonsentrasi 7,5 g urea/liter air. Pada perlakuan budi dayalahan kering, tanaman dipupuk 0,15 g urea/tanamansecara tugal, 3 cm di samping lubang tanam. Pupuk SP36 (0,3 g/tanaman) dan KCl (0,3 g/tanaman), diberikandalam lubang tugal, sama untuk perlakuan budi dayajenuh air dan budi daya tanah kering.

Penyiraman pada perlakuan budi daya lahan keringdilakukan dua hari sekali sampai mencapai 50%kapasitas lapang. Panen dilakukan setelah tanamankedelai memasuki fase matang fisiologis, yaitu pada saatsebagian besar daun kedelai mulai mengering danseluruh polong telah berisi penuh dan kulit bijinya tipis,kulit polong cukup keras, serat sangat nyata danberwarna cokelat kehitaman.

Perbanyakan FMA hasil trapping menggunakanmedia campuran tanah, zeolite, dan akar tanaman inang.Jenis FMA yang diperoleh dari percobaan trappingadalah G. clarum dan A.tuberculata dari tanaman jagung,G. clarum dari tanaman sorgum, G. macrocarpum danA. scrobiculata serta G. fecundisporum dari tanamankedelai. Sebanyak 600 g media diletakkan dalam pot yangtelah diisi 1200 g zeolit, kemudian ditutup dengan 600 gzeolit. Selanjutnya media ditanami dengan tanamaninang sesuai dengan perlakuan trapping FMA.

Pemeliharaan tanaman inang pada perbanyakanFMA sama dengan pemeliharaan pada trapping FMA,hanya perlakuan cekaman air (tanpa penyiraman) padaakhir penelitian ditambah selama 30 hari untuk memacuspora FMA.

Peubah yang diamati adalah kolonisasi akar olehFMA, diameter batang, umur berbunga, umur panen,jumlah polong bernas, jumlah polong hampa, bobotkering 100 biji, hail biji kering, kadar hara N, P, K, serapanhara N, P, K, serta efisiensi relatif inokulan dan efisiensirelatif serapan hara.

Kolonisasi akar diduga dengan rumus:

Jumlah akar terinfeksi FMAKolonosasi akar = x 100% Jumlah akar yang diamati

Efisiensi relatif inokulan (ERI) diperolehmenggunakan rumus:

Wi –WpERI = x 100%, dan Wp

Efisiensi relatif serapan hara P (ERSHP) dihitungmenggunakan rumus:

Hi –HpERSHP = x 100% Hp

Keterangan:Wi = Bobot brangkasan kering tanaman yang

menggunakan FMAWp = Bobot brangkasan kering tanaman yang tidak

menggunakan FMAHi = Serapan hara P tanaman yang menggunakan

FMAHp = Serapan hara P tanaman yang tidak

menggunakan isolat FMA.

Kolonisasi akar oleh FMA diamati vesikula, arbuskula,hifa, dan spora FMA yang menginfeksi akar. Kolonisasiakar diperoleh dengan rumus:

Jumlah akar yang terinfeksiKolonosasi akar = x 100% Jumlah akar yang diamati

Pengamatan diameter batang dilakukan pada saattanaman berbunga menggunakan jangka sorong padabagian 5 cm di atas pangkal akar. Umur berbunga danumur panen ditetapkan setelah 75% tanaman padamasing-masing perlakuan berbunga dan menunjukkantanda-tanda panen. Jumlah polong bernas dan jumlahpolong hampa diamati dengan cara menekan polongpada saat panen. Bobot 1.000 biji diukur setelahpengeringan dalam oven bersuhu 800C selama 2 x 24

Page 72: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

232

jam. Hasil biji kering diamati dari dua tanaman/pot setelahdikeringkan dengan oven bersuhu 800C selama 2 x 24jam. Kadar hara N, P, dan K dikalikan dengan bobot keringtanaman untuk menghitung serapan hara N, P dan K.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kolonisasi Akar

Kolonisasi FMA pada akar tanaman kedelai budi dayalahan kering lebih banyak dibandingkan denganperlakuan budi daya jenuh air. Inokulan FMA dari jagung,sorgum, dan P. javanica lebih responsif pada perlakuanbudi daya lahan kering dibandingkan dengan budi dayajenuh air. Kolonisasi akar tertinggi terjadi pada inokulanFMA dari jagung pada perlakuan budi daya lahan keringwalaupun tidak berbeda nyata dengan kolonisasi FMAdari sorgum dan P. javanica tetapi berbeda nyata dengankolonisasi FMA dari kedelai (Gambar 1).

Meskipun kolonisasi akar oleh FMA lebih tinggi padaperlakuan budi daya tanah kering (Gambar 1), kadardan serapan P lebih tinggi pada budidaya jenuh air. Halini disebabkan ketersediaan P selain melalui aktivitaspengambilan P oleh FMA juga akibat kondisi reduktifpada perlakuan budi daya jenuh air. Kondisi reduktif inimencegah teroksidasinya pirit, sehingga terhindar daripenurunan pH tanah, dan hara P menjadi tersedia bagitanaman.

Peningkatan kolonisasi akar pada inokulan FMAjagung tidak diikuti oleh pertambahan bobot keringbrangkasan dan efisiensi relatif inokulan kedelai padaperlakuan budi daya lahan kering. Bobot keringbrangkasan dan efisiensi relatif inokulan kedelai terbesardihasilkan pada interaksi antara inokulan dari rizosferjagung dengan budi daya jenuh air. Ini berarti perlakuan

budi daya jenuh air juga memberikan pengaruh nyataterhadap bobot kering brangkasan dan efisiensi relatifinokulan kedelai. Bobot kering brangkasan dan efisiensirelatif inokulan kedelai pada kombinasi perlakuan budidaya jenuh air dan inokulan dari rizosfer jagung nyatalebih banyak dibandingkan dengan semua kombinasibudi daya lahan kering dan tanpa inang pada budi dayajenuh air (Gambar 2 dan Gambar 3).

Kadar dan Serapan Hara

Serapan N dan K tanaman kedelai dipengaruhi oleh carabudi daya dan sumber inokulan tunggal. Tidak adainteraksi nyata antara kedua faktor yang dicoba. SerapanN dan K tanaman kedelai pada perlakuan budi dayajenuh air masing-masing 0,21 g N dan 0,12 g K/tanaman,lebih besar dari pada serapan N dan K pada perlakuanbudi daya lahan kering. Serapan N dan K kedelai yang

Gambar 1. Kolonisasi FMA pada akar kedelai pada dua cara budidaya dan inokulan dari rizosfer empat tanaman inang.Perlakuan yang diikuti oleh huruf yang sama tidakberbeda nyata pada taraf 5% uji t.

Gambar 2. Bobot kering brangkasan kedelai pada dua cara budidaya dan inokulan dari rizosfer empat tanaman inang.Perlakuan yang diikuti oleh huruf yang sama tidakberbeda nyata pada taraf 5% uji t.

Gambar 3. Efisiensi relatif inokulan FMA pada kedelai dengan duacara budi daya dan inokulan dari rizosfer empat tanamaninang. Perlakuan yang diikuti oleh huruf yang sama tidakberbeda nyata pada taraf 5% uji t.

Page 73: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

MUIS ET AL.: MIKORIZA ARBUSKULAR PADA TANAMAN KEDELAI

233

diinokulasi dengan inokulan asal rizosfer tanamanjagung adalah 0,6 g N dan 0,42 g K/tanaman, lebih besardan berbeda nyata dari pada tanaman kedelai yang tidakdiinokulasi (Tabel 1).

Peningkatan serapan N pada perlakuan budi dayajenuh air mendorong pertumbuhan tanaman kedelai.Hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan dan hasil kedelaidari perlakuan budi daya jenuh air yang meningkatkarena serapan N dan pertumbuhan akar di ataspermukaan air tanah. Budi daya jenuh air memberikankondisi yang lebih baik bagi lingkungan pertumbuhanperakaran karena ketersediaan air cukup, sehinggatanaman membentuk akar dan bintil akar yang lebihbanyak.

Budi daya jenuh air mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+,yang mampu meningkatkan ketersediaan P danmelepaskan kation ke kompleks adsorpsi yang dapatdipertukarkan. Peningkatan ketersediaan P akibat reaksireduksi ini menyebabkan budi daya jenuh airmemerlukan P lebih sedikit dibanding budi dayakonvensional untuk memperoleh hasil yang sama.Meningkatnya serapan P tanaman (Gambar 5)meningkatkan kadar P bagi tanaman (Gambar 4),selanjutnya meningkatkan bobot kering brangkasan(Gambar 2) dan bobot kering biji/pot (Gambar 9), ERI(Gambar 3), dan ERSHP (Gambar 6).

Kedelai yang diinokulasi dengan inokulan FMA daririzosfer jagung dan sorgum lebih responsif menyerapN, P dan K dibandingkan dengan yang diinokulasi dariinang yang lain atau tanpa inokulasi. Serapan air yanglebih besar oleh tanaman bermikoriza, yang membawaunsur hara yang mudah larut dan terbawa aliran masaseperti N dan K, sehingga serapan tersebut juga makinmeningkat.

Peningkatan nilai variabel tanaman kedelai padaperlakuan sumber inokulan dari rizosfer jagungdibanding dengan sumber inokulan lain, disebabkanlebih banyakya spora dibanding inokulan yang berasaldari tanaman inang lain. Hal ini didasarkan pada prosestrapping FMA yang pada penelitian sebelumnyamenunjukkan bahwa jumlah spora dari rizosfer jagunglebih banyak dan beragam. Hal ini disebabkan karenaakar jagung yang lebih panjang dibanding tanaman inanglain, sehingga jumlah hifa yang dihasilkan lebih banyakdan jumlah spora juga lebih banyak. Menurut Muis et al.(2016), FMA bersimbiosis dengan tanaman inang yangresponsif dan memiliki perakaran yang banyak dansistem perakaran yang luas.

Kedelai yang diinokulasi dengan inokulan daririzosfer jagung pada perlakuan budi daya jenuh airmemiliki kadar P 0,09% dan serapan P tanaman 0,07 g/tanaman, lebih tinggi dibandingkan dengan kedelaitanpa inokulan pada perlakuan budi daya lahan kering.Kedelai yang diinokulasi dengan inokulan dari rizosferjagung lebih responsif terhadap peningkatan kadar Pdan serapan P pada budi daya jenuh air dibandingkandengan perlakuan lainnya. Serapan P tanaman kedelaiyang diinokulasi dengan inokulan dari rizosfer jagunglebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, baikpada budi daya jenuh air maupun budi daya lahankering. Inokulan dari rizosfer jagung lebih responsifterhadap budi daya jenuh air dibandingkan denganinokulan dari rizosfer inang yang lain. Hal ini ditunjukkanoleh perbedaan 0,034 g/tanaman terhadap inokulanpada budi daya lahan kering (Gambar 4 dan Gambar 5).

Kadar N tanaman kedelai dipengaruhi oleh carabudi daya dan sumber inokulan tunggal, dan tidak adainteraksi nyata antara kedua faktor. Kadar N tanamankedelai pada perlakuan budi daya jenuh air lebih besar0,78% dibandingkan dengan budi daya lahan kering.Kadar N tanaman kedelai yang diinokulasi denganinokulan dari rizosfer jagung lebih besar 1,02% danberbeda nyata dengan kedelai tanpa inang (Tabel 2).

Serapan N tanaman kedelai meningkat padaperlakuan budi daya jenuh air. Kondisi ini meningkatkankadar N tanaman sehingga meningkatkan pertumbuhandan hasil kedelai. Legum dengan bintil akar dapatmemanfaatkan nitrogen dari udara maupun nitrogenanorganik dari dalam tanah dalam bentuk ion amoniumdan nitrat.

Penelitian ini menunjukkan bahwa inokulan daririzosfer jagung menyebabkan serapan P (Gambar 2) danefisiensi relatif serapan hara P (Tabel 2) serta efisiensirelatif inokulan lebih tinggi dibandingkan denganperlakuan lain (Gambar 6). Hal ini berkaitan dengankolonisasi akar pada perlakuan inokulan dari rizosferjagung 56,17% yang berdasarkan kriteria Rajapakse dan

Tabel 1. Serapan N dan K tanaman kedelai varietas Tanggamuspada dua cara budi daya atau inokulan dari rizosfertanaman inang. KP Cikabayan, IPB, Juni 2014.

Serapan N Serapan KPerlakuan tanaman tanaman

(g N/tanaman) (g K/tanaman)

Cara budi dayaBudi daya jenuh air 0,79 a 0,70 aBudi daya tanah kering 0,58 b 0,58b

Inang asal inokulan• Tanpa inokulan 0,40 c 0,40 c• Pueraria javanica 0,58 bc 0,60 b• Sorgum 0,82 a 0,72 ab• Jagung 1,00 a 0,82 a• Kedelai 0,61 b 0,66 ab

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbedanyata berdasarkan uji Tukey (α=5%)

Page 74: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

234

antara kadar P tanaman kedelai dengan bobot keringbrangkasan (r=0,9422), jumlah polong isi (r=0,926),bobot kering biji/pot (r=0,9508), dan serapan P(r=0,9703). Semakin tinggi serapan P semakinmeningkat kadar P tanaman. Meningkatnya kadar Ptanaman mempengaruhi metabolisme tanaman yangbermuara pada peningkatan bobot kering brangkasan,jumlah polong isi, dan bobot kering biji kedelai. Gambar7 memperlihatkan bahwa semakin tinggi kadar P kedelaipada lahan pasang surut, semakin meningkat varabellain sampai kadar P 0,37%. Unsur P dijadikan sebagaifaktor determinan karena penggunaan FMA akanmempengaruhi kondisi P, baik di tanah maupun padatanaman.

Poerwanto (2003) menyatakan bahwa fungsi Psebagai penyusun karbohidrat dan asam aminomempengaruhi induksi pembungaan. Kekurangankarbohidrat pada tanaman dapat menghambat

Gambar 4. Kadar P tanaman kedelai pada dua cara budi daya daninokulan dari rizosfer empat tanaman inang. Perlakuanyang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyatapada taraf 5% uji t.

Gambar 6. Efisiensi relatif serapan hara P kedelai pada dua carabudi daya dan inokulan dari rizosfer empat tanamaninang. Perlakuan yang diikuti oleh huruf yang sama tidakberbeda nyata pada taraf 5% uji t.

Miler termasuk tinggi (Purwaningrahayu et al. 2004).Kolonisasi akar pada tanaman merupakan bukti adanyaFMA. Musfal (2010) menyatakan bahwa FMA bergunameningkatkan serapan hara, khususnya fosfat P. Hal inikarena jaringan hifa eksternal FMA mampu memperluasbidang serapan. FMA menghasilkan enzim fosfataseyang dapat melepaskan hara P yang terikat unsur Al danFe pada lahan masam, serta Ca pada lahan berkapursehingga hara lebih tersedia bagi tanaman.

Kondisi ini juga ditunjang oleh kelimpahan sporadan keragaman jenis FMA (G. clarum dan A. tuberculata)yang diperoleh inang jagung pada percobaan trappingFMA dan digunakan sebagai bahan inokulan padapercobaan ini (Muis et al. 2016). Keterkaitan antara kadarP tanaman dengan beberapa parameter disajikan padaGambar 7.

Gambar 7 menjelaskan bahwa terdapat hubunganyang sangat kuat dengan derajat asosiasi yang tinggi

Gambar 5. Serapan P kedelai pada dua cara budi daya dan inokulandari rizosfer empat tanaman inang. Perlakuan yang diikutioleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf5% uji t.

Tabel 2. Kadar N tanaman kedelai pada dua cara budi daya atauinokulan dari rizosfer tanaman inang. KP Cikabayan IPB,Juni 2014.

Perlakuan Kadar N tanaman (%)

Cara budi dayaBudi daya jenuh air 2,80 aBudi daya tanah kering 2,02 b(budi daya konvensional)

Inang asal inokulan• Tanpa inokulan 2,00 c• Pueraria javanica 2,08 bc• Sorgum 2,86 ab• Jagung 3,02 a• Kedelai 2,32 abc

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbedanyata berdasarkan uji Tukey (α=5%).

Page 75: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

MUIS ET AL.: MIKORIZA ARBUSKULAR PADA TANAMAN KEDELAI

235

pembentukan bunga dan buah. Menurut Lakitan (2008),P merupakan bagian esensial dari berbagai gula P yangberperan dalam reaksi-reaksi pada fase gelapfotosintesis, respirasi, dan berbagai proses metabolismelainnya. Hara P juga merupakan bagian nukleotida (RNAdan DNA) dan fosfolipida penyusun membran.

Unsur P adalah unsur penting kedua setelah N yangberperan penting dalam fotosintesis, perkembanganakar, pembentukan bunga, buah dan biji (Simanungkalitdan Suriadikarta 2006). Sebagian besar bentuk P terikatoleh koloid tanah, Fe dan Al sehingga tidak tersedia bagitanaman (Hardjowigeno 2003). Tanaman kedelaimembutuhkan banyak P untuk berproduksi, sehinggaperlu dilakukan usaha untuk mengurai unsur P yangterikat dalam tanah (Ginting et al. 2006).

Jumlah Polong Isi dan Bobot Biji Kering Kedelai

Peningkatan nilai variabel tanaman kedelai padaperlakuan budi daya jenuh air dibandingkan denganperlakuan budi daya lahan kering disebabkan olehketersediaan air yang stabil di bawah permukaan tanah,sehingga kelembaban tanah berada dalam kondisi

kapasitas lapang. Kondisi ini sekaligus berfungsimenekan oksidasi pirit.

Lapisan pirit pada media tanam menjadi faktorpenghambat pertumbuhan kedelai pada budi daya lahankering. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya variabelkedelai pada budi daya lahan kering dibandingkandengan budi daya jenuh air.

Pada perlakuan budi daya lahan kering, kondisi airtanah turun melebihi lapisan pirit. Pirit yang mengalamioksidasi menghasilkan asam sulfat dan senyawa besibebas bervalensi 3 (Fe3+). Bila pirit teroksidasi maka pHtanah akan menurunkan dan meningkatkan Aldd.Semakin dangkal lapisan pirit semakin banyak piritteroksidasi (Sutandi et al. 2011). Penerapan budi dayajenuh air (BJA) menyebabkan pirit dalam keadaanreduktif karena sebagian ruang pori tanah diisi oleh air.Oksidasi pirit menjadi Fe dapat ditekan dan terhindardari penurunan pH yang makin rendah (Ghulamahdi etal. 2009). Akibatnya, unsur hara yang diperlukantanaman seperti N, P, K cukup tersedia bagi tanaman.Kondisi ini dibarengi dengan kemampuan FMAmeningkatkan kapasitas pengambilan hara sehinggameningkatkan pertumbuhan tanaman.

Gambar 7. Hubungan antara kadar P tanaman kedelai dengan (a) bobot kering brangkasan kedelai, (b) jumlah polong isi, (c) bobot biji kering/pot dan (d) serapan P.

a b

c d

Page 76: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

236

Pada perlakuan budi daya jenuh air, jumlah polongisi dan bobot kering biji kedelai yang menggunakaninokulan dari rizosfer jagung lebih responsifdibandingkan dengan inokulan dari rizosfer inang yanglain atau tanpa inang (Tabel 3).

Meningkatnya jumlah polong isi dan bobot keringbiji pada perlakuan perlakuan budi daya jenuh air inidisebabkan oleh meningkatnya kelembaban tanah.Kelembaban tanah menyebabkan penundaan penuaantanaman sehingga meningkatkan pertumbuhan danhasil kedelai.

Kondisi air yang stabil dari awal stadia vegetatifhingga stadia kematangan dan tingginya suhu siang didaerah pasang surut dapat menyebabkan meningkatnyajumlah bunga (Ghulamahdi et al.2009). Tersedianya airmembuat daun menjadi hijau lebih lama dan aktivitasfotosintesis meningkat sehingga fotosintat yangdihasilkan cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman,baik pada fase vegetatif maupun pembentukan danpengisian polong. Kondisi ini menyebabkanmeningkatnya vegetatif dan variabel generatif tanamanyang bermuara pada meningkatnya jumlah polong isidan hasil biji kering. Hal ini sejalan dengan penelitianGhulamahdi et al. (2009) yang mendapatkan bahwa budidaya jenuh air meningkatkan tinggi tanaman, jumlahdaun, jumlah cabang, jumlah polong isi, bobot keringbiji, dan bobot 100 biji.

Akar yang bermikoriza dapat meningkatkan serapanhara, terutama P. Peningkatan serapan P tanaman yangdiinokulasi dengan fungi mikoriza arbuskular sebagianbesar karena hifa eksternal dari fungi mikorizaarbuskular berperan pada sistem perakaran. Hifaeksternal menyediakan permukaan yang lebih efektifdalam menyerap unsur hara dari tanah yang kemudiandipindahkan ke akar inang. Fungi mikoriza arbuskularjuga dapat menyerap P organik dan mengubahnyamenjadi P anorganik yang dapat diserap tanamandengan bantuan enzim fosfatase yang juga dihasilkan

oleh fungi mikoriza arbuskular dan sel-sel tanamantersebut. Enzim fosfatase yang dihasilkan oleh hifacendawan mikoriza arbuskular yang sedang aktif akanmeningkatkan aktivitas fosfatase pada permukaan akaryang diinfeksi fungi mikoriza arbuskular. Kondisi inimenyebabkan P anorganik dibebaskan dari P organikpada permukaan sel sehingga dapat diserap melaluimekanisme serapan hara (Same 2011, Prasetya 2011).

KESIMPULAN

Inokulan FMA yang berasal dari rizosfer jagung palingkompatibel dengan kedelai varietas Tanggamusdibandingkan dengan FMA dari tanaman kudzu(Pueraria javanica), sorgum, jagung dan kedelai.

Inokulan FMA dari rizosfer jagung pada budi dayajenuh air dapat meningkatkan serapan hara P olehtanaman, kadar P tanaman, efisiensi relatif inokulan,jumlah polong isi, dan bobot biji kedelai varietasTanggamus.

UCAPAN TERIMA KASIH

Tulisan ini merupakan bagian dari disertasi penulispertama di Sekolah Pasca Sarjana Institut PertanianBogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkanterima kasih kepada Kementerian Ristek dan Dikti yangtelah memberikan beasiswa, kepada Rektor UNJA yangtelah menugaskan penulis dan kepada Rektor IPB yangtelah memberikan kesempatan untuk mengikutiProgram Doktor di IPB.

DAFTAR PUSTAKA

Bertham, Y.H. 2006. Pemanfaatan FMA dan Bradyrhizobium dalammeningkatkan produktivitas kedelai pada sistem agroforestrikayu bawang (Scorodocarpus borneensis Burm F) di Ultisol.[Disertasi] Bogor. Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Tabel 3. Jumlah polong isi dan bobot kering biji kedelai pada dua cara budidaya dan berbagai tanaman inang. KP Cikabayan IPB, Juni 2014.

Perlakuan Tanpa Pueraria Sorghum Zea mays Glycine max Rata-ratainokulan javanica bicolor

Jumlah polong isiBudidaya jenuh air 62,0 e 79,0 cd 89,0 bc 106,0 a 80,0 bcd 83,0 EBudidaya tanah kering 60,0 e 78,0 d 84,0 bcd 90,0 a 80,0 bcd 78,6 FRata-rata 61,0 D 78,5 D 86,5 B 98,0 A 80.0 BC

Bobot kering biji (g/pot)Budidaya jenuh air 16,3 d 20,7 c 23,3 b 27,6 a 20,9 c 21,7 EBudidaya tanah kering 15,7 d 20,5 c 22,0 bc 23,4 b 20,9 c 20,6 FRata-rata 16,0 D 20,6 C 22,7 B 25,5 A 20,9 C

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey (α=5%).

Page 77: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

MUIS ET AL.: MIKORIZA ARBUSKULAR PADA TANAMAN KEDELAI

237

Ghulamahdi, M., S.A. Aziz, M. Melati, N. Dewi, dan S.A. Rais.2006. Aktivitas nitrogenase, serapan hara dan pertumbuhandua varietas kedelai pada kondisi jenuh air dan kering. Bul.Agron. 34(1):32-38.

Ghulamahdi, M., M. Melati, and D. Sagala. 2009. Production ofsoybean varieties under saturated soil culture on tidalswamps. J. Agron. Indonesia 37(3);226-232.

Ginting, R.C.B., R. Saraswati, dan E.F. Husen. 2006. Mikroorganismepelarut fosfat. Dalam: Pupuk Organik dan Pupuk Hayati.Jakarta (ID): Balai Penelitian Tanah.

Hanafiah, K.A. 2001. Pengaruh inokulasi fungi mikoriza arbuskulardan Azospirillum brasiliense dalam peningkatan efisiensipemupukan P dan N pada padi sawah tadah hujan. Disertasi.Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor: 158p.

Hapsoh, H. 2008. Pemanfaatan fungi mikoriza arbuskular padabudidaya kedelai di lahan kering. Pidato Pengukuhan JabatanGuru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Budidaya Pertanianpada Fakultas Pertanian,diucapkan di hadapan Rapat TerbukaUniversitas Sumatera Utara Gelanggang Mahasiswa, KampusUSU, 14 Juni 2008. Universitas Sumatera Utara, Medan. 31p.

Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu tanah. Edisi Revisi. Jakarta (ID):Akademika Pressindo.

Jannah, H. 2011. Respon tanaman kedelai terhadap asosiasi fungimikoriza arbuskularr di lahan kering. J. Ganeç. Swara5(2):28-31.

Kabirun, S. 2002. Tanggap padi gogo terhadap inokulasi mikorizaarbuskular dan pemupukan fosfat di Entisol. J. Ilmu Tanahdan Lingkungan 3(2):49"56.

Lakitan, B. 2008. Dasar-dasar fisiologi tumbuhan. Raja GrafindoPersada. Jakarta.

Muis, R. 2016. Efisiensi pemupukan fosfor menggunakan isolatFMA lokal untuk meningkatkan produktivitas kedelai di lahanpasang surut. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 145p.

Muis, R., M. Ghulamahdi, M. Melati, Purwono, dan I. Mansur. 2016.Diversity of Arbuscular Mycorrhiza Fungi from Trapping usingDifferent Host Plants. Internati’l. J. Scie.: Basic and AppliedResearch 27(2):158-169.

Musfal. 2010. Potensi fungi mikoriza arbuskular untukmeningkatkan hasil tanaman jagung. Jurnal Litbang Pertanian29(4):6-20.

Nurhayati, N. 2012. Pengaruh berbagai jenis tanaman inang danbeberapa jenis sumber inokulum terhadap infektivitas danefektivitas mikoriza. J. Agrista 16(2):80-86.

Prasetya, C.A.B. 2011. Assesment of the effect of long term tillageon the arbascular mycorthiza colonization of vegetable cropgrown in Andisol. Agrivita 33(1):85-92.

Priatmadi, B.J. 2007. Segmentasi tanah sulfat masam di daerahreklamasi Kalimantan Selatan. J. Kalimantan Scientiae70:84-92.

Priatmadi, B.J. 2008. Pengaruh pencucian tanah sulfat masamterhadap sifat kimia tanah. J. Agroscientiae 14:88-95.

Purwaningrahayu, R.D., D. Indradewa, dan B.H. Sunarminto. 2004.Peningkatan hasil beberapa varietas kedelai denganpenerapan teknologi basah. Penelitian Pertanian TanamanPangan 23(1):49-58.

Poerwanto, R. 2003. Budi daya buah-buahan: Pengelolaan tanahdan pemupukan kebun buah-buahan. Bahan Kuliah. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.

Same, M. 2011. Serapan phospat dan pertumbuhan bibit kelapasawit pada tanah Ultisol akibat cendawan mikoriza abuskula.J. Penelitian Pertanian Terapan 11(2):69-76.

Simanungkalit, R.D.M. 2004. Teknologi cendawan mikorizaarbuskularr: produksi inokulan dan pengawasan mutunya.Prosiding Seminar Mikoriza Teknologi dan PemanfaatanInokulan Endo-Ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan,dan Kehutanan. 16 September 2003. Universitas Padjadjaran,Bandung. 103-110p.

Simanungkalit, R.D.M. dan D.A. Suriadikarta. 2006. Pupuk organikdan pupuk hayati. Bogor (ID): Balai Besar LitbangSumberdaya Lahan Pertanian.

Sutandi, A., B. Nugroho, dan B. Sejati. 2011. Hubungan kedalamanpirit dengan beberapa sifat kimia tanah dan produksi kelapasawit (Elais guineensis). J. Tanah Lingkungan 13(1):21-24.

Tian, C.Y., G. Feng, X.L. Li, and F.S. Zhang. 2004. Different effectsof arbuscular mycorrhizal fungal isolates from saline or non-saline soil on salinity tolerance of plants. Appl. Soil Ecol.26:43-48.

Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Pemanfaatan lahan sulfat masamberwawasan lingkungan dalam mendukung peningkatanproduksi beras nasional. Pengembangan Inovasi Pertanian1(2):129-131.

Trisilawati, O. dan E. Yusron. 2008. Pengaruh pemupukan P terhadapproduksi dan serapan P tanaman nilam (Pogostemon cablinBenth). Buletin Littro 1: 39-46.

Widiastuti, H. 2004. Biologi interaksi cendawan mikorizaarbuskular kelapa sawit pada tanah asam sebagai dasarpengembangan teknologi aplikasi dini. Disertasi. SekolahPasca Sarjana IPB, Bogor. 141p.

Yenni. 2012. Ameliorasi tanah sulfat masam potensial untukbudidaya tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.).Jurnal Lahan Sub-optimal 1(1):40-49.

Zuhry, E. dan F. Puspita. 2008. Pemberian cendawan mikorizaarbuskular (CMA) pada tanah podsolik merah kuning terhadappertumbuhan dan produksi kedelai (Glycine max (L) Merill.Sagu 7(2):25-29.

Page 78: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

238

Page 79: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

KUNTYASTUTI DAN LESTARI: INTERAKSI DOSIS PUPUK DAN POPULASI TANAMAN KACANG HIJAU

239

Pengaruh Interaksi antara Dosis Pupuk dan Populasi Tanaman terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kacang Hijau

pada Lahan Kering Beriklim Kering

Effect of Fertilizer Dosage and Plant Population on Mungbean Growthand Yield Performance at Upland with Dry Climates

Henny Kuntyastuti* dan Sri Ayu Dwi Lestari

Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan UmbiJL. Raya Kendalpayak. KM 8. Kotak Pos 66 Malang, Indonesia

*Email: [email protected]

Naskah diterima 27 Mei 2016, direvisi 6 Desember 2016, disetujui 14 Desember 2016

ABSTRACT

Its early maturity and drought resistance allows mungbean to becultivated on upland with dry climate. Approriate cultivationtechnology need to be identified in order to increase productivity.The research objective was to formulate cultivation technologypackage by assessing interaction between plant population,optimum organic and anorganic fertilizers on mungbean. Thisexperiment was conducted on upland Alfisol soil with type E climatein Probolinggo, East Java on dry season 2015, using split plotdesign, with three replications. As the main plot was plant spacing,namely: 1) 40 cm x 10 cm, 1 plant/hole, 2) 40 cm x 15 cm, 2 plants/hole, and 3) 40 cm x 20 cm, 2 plants/hole. As the sub plot wascombination of organic and anorganic fertilizers, namely: 1) withoutfertilizer, 2) 50 kg ZA + 50 kg SP36 + 100 kg KCl/ha, 3) 150 kgPhonska/ha, 4) 5 ton manure/ha, and 5) 75 kg Phonska + 2,5 tonmanure/ha. Medium dose of NPK fertilizer (22,5 kg N + 22,5 kgP

2O

5 + 22,5 kg K

2O + 15 kg S) per ha and plant population of

250.000 until 333.333 plant per ha, was considered suitable togrow mungbean at upland with dry climates, based on the obtainedyield. While low dose of NPK fertilizer (11,3 kg N + 11,3 kg P

2O

5 +

11,3 kg K2O + 7,5 kg S) plus 2.500 kg manure/ha was capable of

producing high biomass of mungbean up to 3,2 kg/ha.

Keywords: Mungbean, organic fertilizer, anorganic, residue offertilizer, biomass, soil quality.

ABSTRAK

Umur genjah dan toleran kondisi kering memungkinkan bagi kacanghijau dibudidayakan pada lahan kering beriklim kering. Teknologibudi daya yang sesuai perlu diidentifikasi guna meningkatkanproduktivitas. Percobaan dilaksanakan dengan tujuan mendapatkanteknik budi daya yang terdiri dari kombinasi populasi tanaman, pupukorganik, dan anorganik yang optimal pada kacang hijau. Percobaandilaksanakan pada tanah Alfisol lahan kering tipe iklim E di KabupatenProbolinggo, Jawa Timur, musim kemarau 2015. Rancanganpercobaan adalah petak terpisah dengan tiga ulangan. Petak utamaadalah jarak tanam, yaitu: 1) 40 cm x 10 cm, satu tanaman/rumpun,2) 40 cm x 15 cm, dua tanaman/rumpun, 3) 40 cm x 20 cm, duatanaman/rumpun. Anak petak adalah kombinasi pupuk organik dananorganik, yaitu 1) tanpa pupuk, 2) 50 kg ZA + 50 kg SP36 + 100 kg

KCl/ha, 3) 150 kg Phonska/ha, 4) 5 t pupuk kandang/ha, dan 5) 75kg Phonska + 2,5 t pupuk kandang/ha. Pemupukan NPK dosis sedang(22,5 kg N + 22,5 kg P

2O

5 + 22,5 kg K

2O + 15 kg S/ha) dan populasi

tanaman 250.000 hingga 333.333 tanaman/ha dinilai sesuai untukmemperoleh hasil optimal kacang hijau pada lahan kering iklim kering.Pemupukan NPK dosis rendah (11,3 kg N + 11,3 kg P

2O

5 + 11,3 kg

K2O + 7,5 kg S) ditambah 2,5 t pupuk kandang/ha mampu

menghasilkan biomas cukup tinggi, 3,2 kg/ha.

Kata kunci: Kacang hijau, pupuk organik, anorganik, residupupuk, biomas, kualitas tanah.

PENDAHULUAN

Lingkungan produksi kacang hijau pada umumnyaberupa lahan suboptimal, terutama lahan sawah tadahhujan, lahan kering masam, dan lahan kering iklimkering. Agroekologi lahan sawah tadah hujan seringmengalami kekeringan, sehingga banyak lahan yangdibiarkan bero setelah padi dipanen. Lahan dengankondisi demikian dapat dimanfaatkan untuk budi dayakacang hijau karena berumur pendek (55-60 hari) dandapat memanfaatkan sisa lengas tanah dari tanamanpadi sebelumnya, tanpa pengairan. Kacang hijau jugasesuai untuk dikembangkan pada lahan kering beriklimkering, dan lahan sawah pada akhir musim kemarau,saat ketersediaan air irigasi terbatas, mengikuti polarotasi tanam padi-padi-kacang hijau. Apabila kacanghijau diairi hanya pada saat tanam, maka kadar lengastanah mencapai 6-7% di atas titik layu permanen padaumur 35 HST (Purwaningrahayu et al. 2011), danberpotensi menurunkan hasil 35% apabila tidak diairilagi. Pertumbuhan dan hasil maksimal kacang hijaudiperoleh dengan pengairan pada fase berbunga danberpolong (Tawfik 2008, Sadeghipour 2008,Purwaningrahayu et al. 2011, Uddin et al. 2013).

Page 80: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

240

Hasil biji kacang hijau dimanfaatkan untuk bahanpangan dan sisa tanaman (brangkasan) untuk pakan.Penanaman kacang hijau dalam pola tanam setahundiikuti pembenaman sisa biomas saat pengolahan tanahdapat memenuhi >50% kebutuhan N untuk padisehingga menjadi alternatif sumber N-organik untukmeningkatkan kesuburan tanah (Motior et al. 2012),meningkatkan pendapatan petani (Ferdous et al. 2011),dan meningkatkan kesuburan tanah secaraberkelanjutan (Rahman et al. 2012).

Penggunaan input pertanian berupa senyawakimiawi diperlukan dengan memperhatikan ketepatantakaran dan efek residunya. Peningkatan produktivitaskacang hijau pada lahan suboptimal memerlukanperbaikan teknologi budi daya yang bersifat spesifiklokasi. Komponen teknologi budi daya kacang hijauyang sudah diidentifikasi untuk lahan sawah tadah hujanmencakup varietas, penyiapan lahan, saluran drainase,penggunaan mulsa, cara dan waktu tanam, pemupukan,penyiangan, pengairan, pengendalian hama danpenyakit, serta panen dan pascapanen (Atman 2007,Radjit et al. 2008).

Budi daya kacang hijau secara tradisional padalahan kering dilakukan petani dengan cara (1)tumpangsari dengan tanaman jagung, sebagian kecilmonokultur, (2) tanpa pemupukan, memanfaatkanresidu pupuk dari padi atau tanaman pokok, (3) jaraktanam tidak teratur, dan (4) pengendalian gulma danOPT minimal. Usahatani kacang hijau cara petani padamusim kemarau pada lahan sawah Vertisol memiliki B/C 0,8. Perbaikan cara budi daya, yang meliputi varietas,cara dan jarak tanam, efisiensi pemupukan, danpengendalian OPT meningkatkan hasil 40%, dan B/Cmeningkat menjadi 2,1 (Radjit et al. 2009). Penerapanteknologi anjuran berupa penggunaan varietas unggulumur genjah, penyiapan lahan, pemupukan daun, danpengendalian hama penyakit meningkatkan keuntungandengan B/C 3,22 (Radjit dan Prasetiaswati 2012).

Zulfikri (2002) melaporkan bahwa pemupukan NPKmeningkatkan hasil kacang hijau tertinggi dibandingkandengan pemupukan NP, NK, atau PK. Pemberian 3,5 tkotoran ayam/ha atau 5,0 t pupuk kandang/ha jugameningkatkan hasil kacang hijau (Naeem et al. 2006),tetapi pemberian kompos 1,0 t/ha pada lahan sawahtadah hujan tidak meningkatkan hasil kacang hijau (Yassi2010). Pertumbuhan dan hasil kacang hijau meningkatsejalan dengan peningkatan takaran pupuk K dari 20kg/ha sampai 120 kg K/ha, dan optimal pada takaran 80kg K/ha (Kumar et al. 2014). Pemupukan 90-160 kg K/hameningkatkan hasil kacang hijau dari 1,88 t/ha (tanpapupuk K) menjadi 2,51-2,70 t/ha (Fooladivanda et al.2014). Pemupukan 84 kg TSP/ha pada tanah miskin P(8,5 ppm P dengan pH 8,1) meningkatkan hasil kacang

hijau 0,58 t/ha dibandingkan dengan tanpa pupuk TSP(Ali et al. 2010). Hasil optimum kacang hijau diperolehdengan pemupukan 90 kg P2O5/ha dan penyiangan duakali pada umur 2 dan 4 minggu setelah tanam (Ahadiyatdan Tri Harjoso 2012). Hasil kacang hijau 1,73 t/ha jugadiperoleh dengan pemupukan 38 kg P2O5 + 6,25 t pupukkandang/ha (Aslam et al. 2010). Pemupukan 124 kg DAP+ 10 t pupuk kandang/ha menghasilkan biji kacang hijau1,13 t/ha, lebih tinggi 0,31 t/ha dibanding tanpa pupuk(Abbas et al. 2011). Dampak positif penggunaan pupukkandang dan kompos terhadap pertumbuhan, dan hasilkacang hijau juga dilaporkan Syafrina (2009). Pengaruhpositif penggunaan pupuk organik dan anorganikterhadap pertumbuhan, hasil, dan serapan haratanaman disebabkan oleh penyediaan unsur haraesensial melalui mineralisasi pupuk organik secarakontinu, peningkatan kapasitas tanah menyediakanunsur hara, perbaikan sifat fisik dan biologi tanah (Meenaet al. 2015).

Pada lahan gambut, hasil kacang hijau meningkat10% dan 43% dengan peningkatan populasi tanamandari jarak tanam 35 cm x 35 cm menjadi 30 cm x 30 cmdan 25 cm x 25 cm (Hamzah et al. 2005). Penerapanjarak tanam 0,5 m atau 0,3 m meningkatkan hasil kacanghijau 10% dan biomas limbah panen 22% dibandingkandengan jarak tanam 1 m atau 0,9 m, sedangkanperbedaan populasi 20, 30, dan 40 tanaman/m2 tidakmempengaruhi hasil dan biomas limbah panen(Rachaputi et al. 2015). Peningkatan produktivitaskacang hijau diperkirakan dapat diperoleh melaluipengaturan tata letak tanaman atau jarak tanam disertaipemupukan organik dan anorganik. Penelitianbertujuan mengidentifikasi komponen budi dayameliputi kombinasi populasi tanaman, pupuk organikdan anorganik untuk meningkatkan hasil biji danakumulasi biomas limbah panen kacang hijau.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada tanah Alfisol lahan keringtipe iklim E di KP Muneng, Probolinggo, Jawa Timur,pada musim kemarau 2015. Percobaan dirancangmenggunakan petak terpisah dengan tiga ulangan.Benih kacang hijau varietas Vima-1 ditanam pada petakberukuran 4 m x 4,5 m tanpa pupuk dasar. Petak utamaadalah jarak tanam, yaitu 1) 40 cm x 10 cm, satutanaman/rumpun, 2) 40 cm x 15 cm, dua tanaman/rumpun, 3) 40 cm x 20 cm, dua tanaman/rumpun. Anakpetak adalah kombinasi pupuk organik dan anorganik,yaitu: 1) tanpa pupuk, 2) 50 kg ZA + 50 kg SP36 + 100kg KCl/ha, 3) 150 kg Phonska/ha, 4) 5 t pupuk kandang/ha, dan 5) 75 kg Phonska + 2,5 t pupuk kandang/ha(Tabel 1).

Page 81: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

KUNTYASTUTI DAN LESTARI: INTERAKSI DOSIS PUPUK DAN POPULASI TANAMAN KACANG HIJAU

241

Pemeliharaan tanaman dilakukan secara intensif,yaitu (1) pengairan dua kali pada umur 27 dan 42 HST(hari setelah tanam), (2) penyemprotan herbisidaisopropilamina glifosat 3 HST dan parakuat diklorida 1HST, penyiangan gulma dua kali pada umur 10 dan 21HST, serta (3) penyemprotan insektisida pada umur 16,25, 32, 38, dan 46 HST. Pengamatan dilakukan terhadap(1) sifat fisik dan kimia tanah sebelum tanam dansesudah panen, (2) bobot kering biomas dan tinggitanaman umur 35 HST dari dua rumpun tanamancontoh, (3) tinggi tanaman dan komponen hasil dari 10tanaman contoh saat panen, (4) hasil biji dan biomaslimbah panen dari plot panen berukuran 3,2 m (8 baris)x 4,5 m, dan (5) kadar unsur NPK brangkasan, dan bijikacang hijau. Selama pertumbuhan tanaman dalampetak panen dilakukan pengamatan secara periodik,yaitu (1) kadar lengas tanah menggunakan metodagravimetri (Balittanah 2009) sebanyak enam kali, daridua titik acak di setiap petak perlakuan, (2) intensitasradiasi surya di bawah, di antara, dan di atas kanopimenggunakan luxmeter sebanyak lima kali pada tiga titikacak di setiap petak perlakuan, dan (3) indeks klorofil

daun menggunakan klorofilmeter SPAD-502 sebanyakenam kali, dari 10 tanaman contoh dari setiap petakperlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Tanah Percobaan

Tanah Alfisol di KP Muneng Probolinggo sebagai lokasipenelitian bereaksi basa, kaya P, K, Ca, dan Mg, tetapimiskin C-organik dan unsur N dan S. Tanah ber-pH tinggidan kaya Ca dan Mg yang berpotensi menghambatketersediaan dan serapan unsur P dan unsur mikro(Tabel 2). Tekstur tanah adalah lempung berdebu, kayafraksi debu dengan air tersedia 17% (Tabel 3). Sifat fisiktanah, khususnya permeabilitas dan porositas tanahtergolong baik, yang diharapkan mendukung usahapeningkatan produksi biji dan biomas kacang hijau.Pupuk kandang yang digunakan juga ber-pH tinggi, kayaC-organik, unsur P, K, Ca, dan terutama Mg. PupukPhonska mengandung 15% N, 15% P2O5, 15% K2O, dan10% S.

Penetrasi Radiasi Surya dan Kadar Lengas Tanah

Kacang hijau varietas Vima-1 dapat tumbuh dengan baikdengan penetrasi radiasi surya yang semakin menurunsesuai dengan umur tanaman (Gambar 1). Penetrasiradiasi surya berkaitan dengan produksi biomas danbentuk kanopi yang menghambat atau meneruskanradiasi surya sampai ke permukaan tanah di bawah ataudi antara kanopi atau baris tanaman. Penetrasi radiasisurya ke permukaan tanah semakin berkurang seiringdengan perkembangan tanaman sejak fase vegetatifumur 20 HST sampai fase generatif umur 49 HST.

Tabel 2. Sifat kimia tanah Alfisol Probolinggo dan pupuk kandang (kotoran sapi) pada MK 2015.

Sifat kimia tanah Alfisol Nilai Sifat kimia pupuk kandang sapi Nilai

pH H2O (1:5) 8,0 pH H

2O (1:5) 8,3

pH KCl (1:5) 6,8 C-organik Kurmis (%) 22,7C-organik Kurmis (%) 0,77 N-organik (%) 1,24N-total Kjedahl (%) 0,07 N-NH

4 (%) 0,13

P2O

5 Bray-1 (ppm) 82,9 N-NO

3 (%) 0,20

K (NH4OAc pH 7,0, cmol+/kg) 0,60 N-total (%) 1,56

Na (NH4OAc pH 7,0, cmol+/kg) 0,87 P-total HNO

3 + HClO

4 (%) 0,94

Ca (NH4OAc pH 7,0, cmol+/kg) 16,0 S-total HNO

3 + HClO

4 (%) 0,45

Mg (NH4OAc pH 7,0, cmol+/kg) 6,53 K-total HNO

3 + HClO

4 (%) 1,79

SO4 (NH

4OAc pH 4,8, ppm) 4,88 Na-total HNO

3 + HClO

4 (%) 0,01

Al-dd (KCl 1 N, cmol+/kg) 0,00 Ca-total HNO3 + HClO

4 (%) 3,14

H-dd (KCl 1 N, cmol+/kg) 0,10 Mg-total HNO3 + HClO

4 (%) 13,7

KTK (NH4OAc pH 7,0, cmol+/kg) 49,7 KTK (NH

4OAc pH 7,0, cmol+/kg) 57,7

Fe (DTPA, ppm) 5,61 Fe-total HNO3 + HClO

4 (%) 0,80

Zn (DTPA, ppm) 0,27 Zn-total HNO3 + HClO

4 (%) 0,004

Cu (DTPA, ppm) 5,96 Cu-total HNO3 + HClO

4 (%) 0,002

Mn (DTPA, ppm) 59,6 Mn-total HNO3 + HClO

4 (%) 0,067

Tabel 1. Tambahan hara dari pupuk dalam kombinasi perlakuanpemupukan pada MK 2015.

Kandungan hara (kg/ha)*

Perlakuan pemupukan (kg/ha) N P

2O

5K

2O S

Tanpa pupuk 0 0 0 050 ZA + 50 SP36 + 100 KCl 10,4 18 60 12150 Phonska 22,5 22,5 22,5 155000 pupuk kandang 78 108 108 22,575 Phonska + 2500 pukan 50 65 65 19

*Tambahan hara dari pupuk (ZA - 21% N dan 24% S).

Page 82: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

242

kanopi, apalagi pada saat kanopi belum menutup. Padasiang hari penetrasi radiasi surya ke permukaan tanahsebesar 100% pada umur 20 HST, dan masih 96% saattanaman berumur 27 HST, selanjutnya berkurang secarabertahap menjadi 48% pada umur 35 HST, dan 11% saatmenjelang panen (Gambar 1, kanan). Penetrasi radiasisurya ke permukaan tanah mulai banyak berkurang saattanaman berumur 35 HST (fase berpolong), namunmasih lebih tinggi dibandingkan dengan penetrasi suryadi bawah kanopi yang kurang dari 20%.

Pengukuran kadar lengas tanah daerah perakarandilakukan pada kedalaman 10-20 cm di bawahpermukaan tanah. Perlakuan pupuk organik dananorganik maupun jarak tanam tidak mempengaruhikadar lengas tanah, kecuali pada umur 48 HST. Kadarlengas tanah masih 37% pada awal pertumbuhan kacanghijau umur 6 HST. Kadar lengas tanah berkurang menjadi21% pada umur 27 HST, meningkat menjadi 24% pada

Tabel 3. Sifat fisik tanah Alfisol Probolinggo pada MK 2015.

Sifat fisika tanah Alfisol Nilai

KJH (cm/jam) 3,21Berat isi (g/cm3) 1,20Berat jenis (g/cm3) 2,40Porositas (%) 50,00Kadar air pF 2,5 (cm3/cm3) 0,33Kadar air pF 4,2 (cm3/cm3) 0,16Pasir (%) 19Debu (%) 62Liat (%) 19Klas tekstur Lempung berdebu

Gambar 1. Penetrasi radiasi surya di bawah dan di antara kanopi kacang hijau varietas Vima-1 pada siang hari pada lahan kering tanahAlfisol Probolinggo, MK 2015.

Perlakuan jarak tanam dengan meningkatkan populasitanaman dari 250.000 menjadi 333.333 tanaman/ha tidakmempengaruhi penetrasi radiasi surya ke permukaantanah, karena tidak terjadi persaingan penerimaanradiasi surya. Seperti yang dilaporkan Santoso (2004),peningkatan populasi kacang hijau dari 250.000 menjadi500.000 tanaman/ha yang ditumpangsarikan denganjagung tidak mempengaruhi intersepsi radiasi surya olehtanaman kacang hijau. Pemberian pupuk kandang danpupuk anorganik ZA, SP36, KCl, dan Phonska juga tidakberpengaruh pada penetrasi radiasi surya kepermukaan tanah. Hal ini berarti pemberian pupuk tidakberpengaruh terhadap volume kanopi tanaman.

Pada pukul 12-13 tanaman umur 20 HST penetrasiradiasi surya ke permukaan tanah di bawah kanopisebesar 89%, turun menjadi 70% pada umur 27 HST, danberkurang menjadi 20% pada umur 35 HST sampaimenjelang panen (Gambar 1, kiri). Setelah berumur 27HST perkembangan tajuk dan kanopi tanaman kacanghijau mencapai fase vegetatif maksimum. Di antarakanopi tanaman penetrasi radiasi surya ke permukaantanah lebih leluasa dibandingkan dengan di bawah

Gambar 2. Kadar lengas tanah selama pertumbuhan kacang hijauvarietas Vima-1 pada lahan kering tanah AlfisolProbolinggo, MK 2015.

Page 83: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

KUNTYASTUTI DAN LESTARI: INTERAKSI DOSIS PUPUK DAN POPULASI TANAMAN KACANG HIJAU

243

umur 48 HST karena pengairan (Gambar 2). Kadarlengas tanah pada kapasitas lapang adalah 33%, dan16% pada titik layu permanen (Tabel 3). Dengandemikian selama pertumbuhan tanaman kacang hijaukadar lengas tanah 5-21% di atas titik layu permanenatau 29-124% air tersedia.

Pada saat umur 27 HST tanaman mengalamicekaman kekeringan, kadar lengas tanah hanya 21% (5%di atas titik layu permanen). Walaupun sempat tercekamkekeringan, pertumbuhan tanaman sejak awal fasevegetatif sampai menjelang panen termasuk baik,karena diairi pada umur 27 HST (fase berbunga) danumur 42 HST (fase pengisian polong). Pengairandilakukan setelah pengambilan contoh tanah untukpengukuran kadar lengas tanah.

Indeks Klorofil Daun, Pertumbuhan, dan Hasil

Perlakuan jarak tanam, pemupukan organik dananorganik tidak berpengaruh nyata terhadap indeksklorofil daun, kecuali jarak tanam pada umur 35 HSTdan pemupukan pada umur 27 HST. Nilai indeks klorofildaun sebesar 34 pada umur 20 HST, meningkatmencapai maksimum 45 pada umur 35-42 hst.Selanjutnya semakin berkurang sampai panen, namunlebih dari 40 (Gambar 3). Indeks klorofil 40 dinilai normaluntuk tanaman kacang hijau umur lebih 45 hari.

Nilai indeks klorofil daun berkaitan dengan kadarunsur N dalam tanaman. Kadar unsur N dalambrangkasan kacang hijau umur 35 HST berkisar antara2,34-2,79% (Tabel 4), rata-rata 2,49%, tergolong rendah.Kisaran kadar unsur N yang sempit berdampak padakecilnya perbedaan nilai indeks klorofil daun. Jaraktanam maupun pupuk yang diberikan ternyata tidakberpengaruh terhadap indeks klorofil daun.

Pada umur 35 HST jarak tanam 40 cm x 10 cm, satutanaman/rumpun dan 40 cm x 20 cm, dua tanaman/rumpun tanaman menyerap N 20-42%, P 32%, dan K 26-35%, lebih tinggi dibanding tanaman dengan jarak tanam40 cm x 15 cm, dua tanaman/rumpun (Tabel 4). Haltersebut disebabkan oleh nilai bobot kering tajuk padajarak tanam 40 cm x 15 cm, dua tanaman/rumpun lebihrendah dibandingkan dengan kedua jarak tanam lainnya(Tabel 5), walaupun berdasarkan uji F tidak nyata.Serapan hara (mg/tanaman) diperoleh denganmengalikan kadar hara (%) dengan bobot kering tajuk(g/tanaman). Kadar dan serapan unsur P dan K palingrendah justru diperoleh dari tanaman kacang hijau yang

Tabel 4. Pengaruh jarak tanam dan pupuk terhadap kadar hara dalam brangkasan kacang hijau varietas Vima-1 umur 35 HST pada lahankering Alfisol Probolinggo, MK 2015.

Kadar hara (%) Serapan hara (kg/ha)Perlakuan

N P K N P K

Jarak tanam (cm)40 x 10, 1 tnm/rumpun 2,34 0,53 5,00 165,7 37,9 361,340 x 15, 2 tnm/rumpun 2,36 0,49 4,60 137,9 28,7 268,340 x 20, 2 tnm/rumpun 2,79 0,54 4,79 195,7 38,1 336,9

Pupuk (kg/ha)Tanpa pupuk 2,46 0,56 5,00 182,5 42,3 382,850 ZA+50 SP36+100 KCl 2,43 0,51 4,65 161,7 33,9 308,5150 Phonska 2,48 0,48 4,61 159,7 31,0 294,15000 pupuk kandang 2,54 0,52 4,88 158,4 32,4 302,375 Phonska+2500 pukan 2,56 0,52 4,86 169,8 34,9 323,2

Rata-rata 2,49 0,52 4,80 166,4 34,9 322,2Kategori Rendah Tinggi Berlebih

Gambar 3. Indeks klorofil daun kacang hijau varietas Vima-1 selamapertumbuhan pada lahan kering tanah AlfisolProbolinggo, MK 2015.

Page 84: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

244

dipupuk 150 kg Phonska/ha, dan paling tinggi padaperlakuan tanpa pupuk, yang nilai bobot kering tajuknyajuga tinggi. Serapan kadar N tertinggi juga diperoleh padaperlakuan tanpa pupuk, namun tanaman termasukkahat unsur N. Kebutuhan unsur P tercukupi, dantanaman berlebihan menyerap unsur K. Hal ini adahubungannya dengan tanah Alfisol Probolinggo yangkaya P dan K.

Tanah pada lokasi penelitian sangat miskin unsur N(0,07%), tetapi kaya unsur P dan K (P2O5 Bray-1 82,9 ppm,K-dd 0,60 cmol+/kg) dengan pH H2O 8,0 (Tabel 2).Tanaman akan menyerap K secara berlebihan apabilaketersediaannya juga berlebih di tanah. Sebaliknya,tanah bereaksi basa dapat menghambat ketersediaanunsur P, apalagi pada kadar Ca 16,0 cmol+/kg dan Mg6,53 cmol+/kg. Unsur Ca dan Mg mudah mengikat Pmenjadi bentuk Ca-P, Mg-P atau Ca, Mg-P yang tidaktersedia untuk tanaman. Walaupun demikian,kebutuhan tanaman akan unsur P tercukupi.

Kombinasi jarak tanam dan takaran pupuk tidakberpengaruh nyata terhadap bobot kering akar dan tajuktanaman umur 35 HST. Tanaman tumbuh baik, rata-ratabobot kering akar dan tajuk berturut-turut 0,53 g/tanaman dan 6,66 g/tanaman (Tabel 5). Perlakuan 50 kgZA + 50 kg SP36 + 100 kg KCl/ha atau 150 kg Phonska/ha atau 75 kg Phonska + 2,5 t pupuk kandang/hameningkatkan tinggi tanaman pada umur 35 HST dansaat panen dibandingkan dengan perlakuan tanpapupuk atau 5 t pupuk kandang/ha.

Peningkatan populasi tanaman dari 250.000tanaman/ha (jarak tanam 40 cm x 10 cm, satu tanaman/rumpun atau 40 cm x 20 cm, dua tanaman/rumpun)menjadi 333.333 tanaman/ha (jarak tanam 40 cm x 15

cm, 2 tanaman/rumpun) menurunkan jumlah polongisi dari 16 polong/tanaman menjadi 12 polong/tanaman(Tabel 6). Akan tetapi perbedaan jarak tanam tidakmempengaruhi hasil dan bobot 100 biji kacang hijau,rata-rata 6,34 g/100 biji.

Perlakuan pemupukan berpengaruh nyata terhadapjumlah polong isi dan hasil biji kacang hijau. Interaksiantara perlakuan jarak tanam dengan pemupukanhanya mempengaruhi bobot 100 biji. Pemberian 150 kgPhonska/ha atau 75 kg Phonska + 2,5 t pupuk kandang/ha meningkatkan jumlah polong isi. Pada peubah hasilbiji, hanya pemberian 150 kg Phonska/ha (setara 22,5kg N + 22,5 kg P2O5 + 22,5 kg K2O + 15 kg S/ha) yangmeningkatkan hasil kacang hijau dari 1,63 t/ha menjadi1,79 t/ha, atau meningkat 10% dibanding tanpapemupukan. Peningkatan hasil tersebut ditunjang olehpeningkatan tinggi tanaman, jumlah polong isi, danproduksi biomas limbah panen. Pemberian 75 kgPhonska + 2,5 t pupuk kandang/ha atau pemupukan50 kg ZA + 50 kg SP36 + 100 kg KCl/ha atau 5 t pupukkandang/ha tidak meningkatkan hasil biji kacang hijaudibandingkan dengan tanpa pemupukan.

Perlakuan jarak tanam dan pupuk mempengaruhiproduksi biomas kacang hijau. Peningkatan populasitanaman dari 250.000 tanaman/ha menjadi 333.333tanaman/ha menurunkan produksi biomas panen, dari3,19-3,23 t/ha menjadi 2,47 t/ha atau berkurang 23%(Tabel 6). Hal ini berhubungan dengan bobot kering tajukyang lebih rendah pada perlakuan populasi 333.333tanaman/ha (Tabel 5).

Perlakuan pupuk meningkatkan bobot biomas 0,33-0,51 t/ha (12-19%) menjadi 3,01-3,19 t/ha dibandingkandengan perlakuan tanpa pupuk, kecuali pemberian 5 t

Tabel 5. Pengaruh jarak tanam dan pupuk terhadap pertumbuhan kacang hijau varietas Vima-1 pada lahan kering Alfisol Probolinggo, MK2015.

Bobot kering akar Bobot kering tajuk Tinggi tanaman Tinggi tanamanPerlakuan umur 35 HST umur 35 HST umur 35 HST umur 59 HST

(g/tnm) (g/tnm) (cm) (panen)

Jarak tanam (cm)40 x 10, 1 tnm/rumpun 0,47 a 7,10 a 34,7 a 56,3 a40 x 15, 2 tnm/rumpun 0,56 a 5,85 a 36,1 a 54,3 a40 x 20, 2 tnm/rumpun 0,56 a 7,02 a 33,7 a 53,7 aBNT 5% 0,304 2,064 2,459 4,664

Pemupukan (kg/ha)Tanpa pupuk 0,53 a 7,45 a 32,4 b 52,6 b50 ZA + 50 SP-36 + 100 KCl 0,56 a 6,65 a 36,0 a 55,1 a150 Phonska 0,49 a 6,40 a 37,2 a 56,0 a5000 pupuk kandang 0,52 a 6,15 a 32,3 b 54,2 ab75 Phonska +2500 pukan 0,54 a 6,64 a 36,3 a 55,9 aBNT 5% 0,182 2,561 3,258 2,251Rata-rata 0,53 6,66 34,8 54,8Interaksi tn tn tn tnKK (%) 19,45 9,72 9,61 4,22

Page 85: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

KUNTYASTUTI DAN LESTARI: INTERAKSI DOSIS PUPUK DAN POPULASI TANAMAN KACANG HIJAU

245

pupuk kandang/ha. Pemupukan 75 kg Phonska + 2,5 tpupuk kandang/ha menghasilkan bobot biomas panentertinggi. Takaran 5 t pupuk kandang/ha dalam penelitianini tidak meningkatkan hasil biji maupun biomas kacanghijau, kemungkinan pada kondisi relatif kering nutrisidari pupuk kandang belum tersedia bagi tanaman.

Kadar Hara Biji dan Brangkasan Tanaman

Perlakuan jarak tanam 40 cm x 20 cm, dua tanaman/rumpun menghasilkan biji dengan kadar unsur Ntertinggi, yaitu 3,61% dengan akumulasi N dalam biji 60,94kg N/ha. Kadar N dalam biji terendah 2,99% denganakumulasi dalam biji 50,35 kg N/ha diperoleh padakacang hijau yang ditanam dengan jarak tanam 40 cm x10 cm, 1 tanaman/rumpun (Tabel 7). Kadar N 3,47%

dalam biji kacang hijau juga diperoleh dari tanaman yangdipupuk 75 kg Phonska + 2,5 t pupuk kandang/ha atau5 t pupuk kandang/ha, sedangkan kadar unsur N dalambiji tanpa pemupukan adalah 3,15%. Rata-rata kadar NPKdalam biji kacang hijau berturut-turut adalah 3,30% N,0,46% P, dan 1,27% K.

Pemupukan 150 kg Phonska/ha (setara 22,5 kg N +22,5 kg P2O5 + 22,5 kg K2O + 15 kg S/ha) menyebabkanakumulasi NPK dalam biji 50,34 kg N/ha (terendah), 8,27kg P/ha (tertinggi), dan 22,85 kg K/ha (tertinggi) (Tabel7). Akumulasi N dalam biji tertinggi 60,46 kg N/hadiperoleh pada pemupukan 75 kg Phonska + 2,5 tpupuk kandang/ha. Tanah Alfisol KP MunengProbolinggo sangat miskin N (0,07%) dan penambahanunsur N 150 kg Phonska/ha tidak meningkatkan

Tabel 7. Pengaruh jarak tanam dan pupuk terhadap kadar hara dalam biji kacang hijau varietas Vima-1 pada lahan kering Alfisol Probolinggo,MK 2015.

Kadar hara (%) Serapan hara (kg/ha)Perlakuan

N P K N P K

Jarak tanam (cm)40 x 10, 1 tnm/rumpun 2,99 0,47 1,29 50,35 7,89 21,7040 x 15, 2 tnm/rumpun 3,28 0,46 1,29 56,91 8,03 22,2240 x 20, 2 tnm/rumpun 3,61 0,44 1,25 60,94 7,36 21,04

Pupuk (kg/ha)Tanpa pupuk 3,15 0,43 1,29 50,91 7,01 20,9050 ZA+50 SP36+100 KCl 3,02 0,47 1,25 52,28 8,08 21,58150 Phonska 3,37 0,46 1,28 50,34 8,27 22,855000 pupuk kandang 3,47 0,46 1,27 56,35 7,53 20,6375 Phonska+2500 pukan 3,47 0,45 1,28 60,46 7,91 22,31

Rata-rata 3,30 0,46 1,27 56,07 7,76 21,65

Tabel 6. Pengaruh jarak tanam dan pupuk terhadap komponen hasil dan hasil serta biomas kacang hijau varietas Vima-1 pada lahan keringAlfisol Probolinggo, MK 2015.

Perlakuan Jumlah polong Bobot 100 biji Hasil biji kadar air Produksi biomas panenisi/tanaman (g) 12% (t/ha) (t/ha)

Jarak tanam (cm)40 x 10, 1 tnm/rumpun 15,8 a 6,42 a 1,68 a 3,23 a40 x 15, 2 tnm/rumpun 12,0 b 6,27 a 1,74 a 2,47 b40 x 20, 2 tnm/rumpun 15,6 a 6,33 a 1,70 a 3,19 aBNT 5% 1,769 0,290 0,154 0,486

Pemupukan (kg/ha)Tanpa pupuk 13,4 b 6,25 a 1,63 b 2,68 c50 ZA+50 SP-36+100 KCl 14,3 ab 6,34 a 1,74 ab 3,01 ab150 Phonska 15,3 a 6,40 a 1,79 a 3,06 ab5000 pupuk kandang 14,2 ab 6,38 a 1,62 b 2,87 bc75 Phonska +2500 pukan 15,2 a 6,33 a 1,74 ab 3,19 aBNT 5% 1,42 0,16 0,13 0,31Rata-rata 14,5 6,34 1,70 2,97Interaksi tn * tn tnKK (%) 10,08 2,64 8,01 10,80

Page 86: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

246

Tabel 8. Pengaruh jarak tanam dan pupuk terhadap kadar dalam brangkasan panen kacang hijau varietas Vima-1 pada lahan kering AlfisolProbolinggo, MK 2015.

Kadar hara (%) Serapan hara (kg/ha)Perlakuan

N P K N P K

Jarak tanam (cm)40 x 10, 1 tnm/rumpun 1,63 0,31 4,05 52,7 10,1 130,640 x 15, 2 tnm/rumpun 1,60 0,29 3,84 39,4 7,1 94,840 x 20, 2 tnm/rumpun 1,51 0,28 3,68 47,8 9,1 117,8

Pupuk (kg/ha)Tanpa pupuk 1,82 0,31 4,17 48,5 8,4 110,650 ZA+50 SP36+100 KCl 1,67 0,29 3,81 50,4 8,9 115,3150 Phonska 1,31 0,30 3,65 39,6 9,0 111,75000 pupuk kandang 1,57 0,30 3,73 45,4 8,6 109,275 Phonska+2500 pukan 1,54 0,28 3,92 49,3 9,0 125,2

Rata-rata 1,58 0,30 3,86 46,7 8,8 114,4Kategori Rendah Cukup Berlebih

akumulasi unsur N dalam biji kacang hijau. Sebaliknya,penambahan N dari pupuk Phonska dan pupukkandang memenuhi kebutuhan tanaman, sehinggameningkatkan akumulasi N dalam biji kacang hijau.

Perlakuan jarak tanam dan pemupukanmempengaruhi bobot biomas kacang hijau pada umur59 HST, tetapi jarak tanam tidak mempengaruhi kadarNPK dalam biomas panen. Produksi biomas saat panenpada jarak tanam 40 cm x 15 cm, 2 tanaman/rumpunadalah terendah, maka unsur NPK yang terakumulasidalam biomas panen juga lebih rendah dibandingkandengan kedua jarak tanam lainnya, yaitu 39,45 kg N/ha,7,13 kg P/ha, dan 94,83 kg K/ha (Tabel 8).

Produksi biomas panen terendah diperoleh dariperlakuan tanpa pupuk, tertinggi dari perlakuan 75 kgPhonska + 2,5 t pupuk kandang/ha. Pemupukan 150 kgPhonska/ha menghasilkan kadar N dan K terendahdengan akumulasi dalam biomas 39,60 kg N/ha(terendah), 9,04 kg P/ha (tertinggi), dan 111,68 kg K/ha,lebih rendah dibandingkan dengan pemupukan 75 kgPhonska + 2,5 t pupuk kandang/ha. Produksi biomaspanen tertinggi pada perlakuan 75 kg Phonska + 2,5 tpupuk kandang/ha ditunjang oleh akumulasi 49,32 kgN/ha (tertinggi 50,45 kg N/ha), 8,99 kg P/ha (tertinggi 9,04kg P/ha), dan 125,18 kg K/ha (tertinggi). Pemanfaatanutama biomas panen kacang hijau adalah sebagai pakanternak. Biomas masih kaya unsur NPK. Hal tersebutmenjadikan nilai tambah bagi biomas kacang hijauuntuk pakan ternak, bahkan kadar unsur K lebih tinggi204% dibandingkan dengan biji kacang hijau.

Sifat Kimia Tanah Setelah Panen

Analisis hara contoh tanah komposit setelah panendisajikan pada Tabel 9. Sebelum digunakan untuk

penelitian kacang hijau, lahan telah digunakan untukperbanyakan jagung varietas Lamuru. Perlakuan tanpaatau dipupuk 50 kg ZA + 50 kg SP36 + 100 kg KCl/hamenurunkan kadar C-organik, N-total, K-dd, Ca-dd, danMg-dd, tetapi meningkatkan kadar P-tersedia setelahpanen kacang hijau. Apabila tanaman dipupuk 150 kgPhonska/ha atau 5 t pupuk kandang/ha, maka tanahdapat mempertahankan kadar C-organik,meningkatkan N-total, P-tersedia, dan P2O5-total, danmenurunkan K-dd, Ca-dd, dan Mg-dd dibandingkandengan tanah tanpa pemupukan. Sebaliknyapenggunaan 75 kg Phonska + 2,5 t pupuk kandang/hatidak dapat mempertahankan kadar C-organik, tetapimeningkatkan kadar P-tersedia, N-total dan P2O5-totaldibandingkan dengan tanah tanpa pemupukan. Jadipenggunaan 150 kg Phonska/ha, 5 t pupuk kandang/ha, atau 75 kg Phonska + 2,5 t pupuk kandang/ha dapatdigunakan sebagai alternatif komponen teknologi untukproduksi biomas dan konservasi unsur hara pada lahankering iklim kering.

Tanaman kacang hijau toleran kondisi kekeringan,dan peningkatan produktivitas pada lahan keringmemerlukan perbaikan teknologi budi daya spesifiklokasi. Walaupun mengalami cekaman kekeringan padaumur 27 HST, tanaman kacang hijau masih dapattumbuh dengan baik dengan indeks klorofil 45.Purwaningrahayu et al. (2011, 2012) melaporkan indeksklorofil daun mencapai 45-49 pada kondisi tercekamkekeringan.

Pada tanah Alfisol bereaksi basa dan miskin unsur N(0,07%) dan C-organik (0,77%), pemupukan 150 kgPhonska/ha (setara 22,5 kg N + 22,5 kg P2O5 + 22,5 kgK2O + 15 kg S/ha) dengan jarak tanam 40 cm x 10 cm,satu tanaman/rumpun atau 40 cm x 20 cm, dua tanaman/rumpun tidak meningkatkan bobot kering akar dan tajuk

Page 87: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

KUNTYASTUTI DAN LESTARI: INTERAKSI DOSIS PUPUK DAN POPULASI TANAMAN KACANG HIJAU

247

Tabel 9. Pengaruh jarak tanam dan pupuk terhadap sifat kimia tanah setelah panen kacang hijau pada lahan kering Alfisol Probolinggo, MK2015.

Pupuk pH H2O pH KCl C-org N-total P

2O

5 Bray-1 P

2O

5 total K

2O total K-dd

(%) (%) (ppm) (mg/100 g) (mg/100 g) (Cmol+/kg)

Sebelum tanam 8,0 6,8 0,77 0,070 82,9 - - 0,60Tanpa pupuk 7,5 5,9 0,55 0,035 112,0 162 595 0,22NPK 7,2 5,9 0,56 0,045 110,1 187 548 0,23Phonska 7,3 6,0 0,81 0,045 119,7 184 571 0,23Pukan 7,3 6,1 0,94 0,042 109,0 178 554 0,24Phonska+pukan 7,3 6,0 0,38 0,055 112,7 183 612 0,23Rata-rata 7,3 6,0 0,65 0,044 112,7 179 576 0,23

Pupuk Ca-dd Mg-dd Al-dd H-dd Fe Zn Cu Mn ...... .............Cmol+/kg............................... .................................ppm..................................

Sebelum tanam 16,0 6,53 0,00 0,10 5,61 0,27 5,96 59,6Tanpa pupuk 4,20 0,49 0,00 0,28 4,88 2,24 4,85 1,32NPK 4,18 0,48 0,00 0,21 4,20 1,75 5,17 1,38Phonska 4,51 0,50 0,00 0,11 3,84 1,68 4,85 1,42Pukan 4,44 0,46 0,00 0,11 3,77 1,70 4,87 1,33Phonska+pukan 4,43 0,48 0,00 0,11 6,62 1,66 4,81 1,49Rata-rata 4,35 0,48 0,00 0,17 4,66 1,81 4,91 1,39

kacang hijau pada umur 35 HST, tetapi meningkatkanhasil dan biomas menjadi 1,79 t/ha dan 3,06 t/ha.Penyerapan unsur sampai umur 35 HST belummaksimal, sehingga pemupukan 150 kg Phonska/hatidak meningkatkan bobot kering akar dan tajuk, tetapimeningkatkan hasil dan biomas. Pemupukan 20 kg N +40 kg P2O5 + 30 kg K2O/ha juga tidak meningkatkanbobot kering akar dan tajuk kacang hijau pada umur 40HST (Sultana et al. 2013). Peningkatan populasi menjadi500.000 tanaman/ha dengan jarak tanam 40 cm x 10cm, dua tanaman/rumpun dan takaran Phonskamenjadi 250 kg/ha berpeluang meningkatkan hasil,seperti dilaporkan sebelumnya, mampu menghasilkanbiji kacang hijau 2,04 t/ha (Pratiwi et al. 2012).

Pemupukan 75 kg Phonska + 2,5 t pupuk kandang/ha menghasilkan biomas tertinggi (3,19 t/ha), sedangkanpemberian 5 t pupuk kandang/ha tidak berpengaruh.Pada kondisi kering, miskin C-organik dan unsur N, tetapikaya unsur PK, pemberian pupuk kandang kaya C-organik(22,7%) dikombinasi dengan pupuk NPK anorganikseperti Phonska efektif meningkatkan produksi biomas.Produksi biomas masih mungkin ditingkatkan melaluipeningkatan takaran pupuk organik dan anorganik.Menurut Aslam et al. (2010), produksi biomas kacanghijau tertinggi 5,7 t/ha diperoleh dengan pemberian 12,5t pupuk kandang/ha atau 38 kg P2O5 + 6,25 t pupukkandang/ha. Pemupukan 90-180 kg K/ha jugameningkatkan biomas kacang hijau dari 5,43 t/ha (tanpapupuk K) menjadi 6,00-6,52 t/ha (Fooladivanda et al. 2014).Pemupukan P dilaporkan meningkatkan biomas kacanghijau, dan sebaliknya dengan penggunaan asam humat(pupuk organik) (Bandani et al. 2014).

Rendahnya takaran pupuk yang digunakan, yaitu150 kg Phonska/ha, mengakibatkan produktivitaskacang hijau tidak maksimal, sehingga akumulasi unsurhara dalam biji juga rendah, 3,30% N, 0,46% P, dan 1,27%K. Sheteawi dan Tawfiq (2007) melaporkan kadar NPKdalam biji kacang hijau dapat mencapai 4,5-5,5% N, 1,5-1,8% P, dan 1,7-2,2% K. Kadar protein mencapai 25,6%(Malik et al. 2003) dengan pemupukan 50-75 kg NP/ha.Pemupukan 2-6 g N/m2 (Motior et al. 2012) jugameningkatkan akumulasi N dalam biomas kacang hijau(biji + brangkasan panen) secara linier.

Pemupukan organik dan anorganik meningkatkanhasil biji dan biomas kacang hijau, mampumempertahankan dan memperbaiki kualitas kesuburanfisik, kimia dan biologi tanah melalui peningkatan kadarbahan organik dan unsur hara dalam tanah serta nilaiekonomi N dalam pola tanam. Kondisi yang demikianjuga sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya (Shahet al. 2003, Raihana dan Willian 2006, Mondal et al. 2015).

KESIMPULAN

Pemupukan NPK dosis sedang (22,5 kg N + 22,5 kg P2O5+ 22,5 kg K2O + 15 kg S/ha) dan populasi tanaman250.000 hingga 333.333 tanaman per ha dinilai sesuaiuntuk memperoleh hasil biji optimal tanaman kacanghijau pada lahan kering iklim kering. Pemupukan NPKdosis rendah (11,3 kg N + 11,3 kg P2O5 + 11,3 kg K2O +7,5 kg S/ha) ditambah 2,5 t pupuk kandang/ha mampumenghasilkan biomas kacang hijau yang cukup tinggi,3,2 kg/ha.

Page 88: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

248

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Ir. Suyamto(Koordinator KP Muneng), Ir. Salam AR, Munadi Robert,dan Sugianto B (masing-masing teknisi lapang), AngestiP, Ekmi LY, dan Mayar (masing-masing analis lab tanah)serta Rofi’i atas bantuan dalam pelaksanaan penelitiandan pengamatan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, G., Z. Abbas, M. Aslam, A.U. Malik, M. Ishaque and F.Hussain. 2011. Effects of organic and inorganic fertilizers onmungbean (Vigna radiata (L.)) yield under arid climate.International Res. J. of Plant Sci. ISSN 2(4):94-98.

Ahadiyat, Y.R. dan T.i Harjoso. 2012. Karakter hasil biji kacanghijau pada kondisi pemupukan P dan intensitas penyianganberbeda. J. Agrivigor 11(2):137-143.

Ali, M.A., G. Abbas, Q. Mohy-ud-Din, K. Ullah, G. Abbas, and M.Aslam. 2010. Response of mungbean (Vigna radiata) tophosphatic fertilizer under arid climate. The J. of Animal &Plant Sciences 20(2):83-86.

Aslam, M., N. Hussain, M. Zubair, S.B. Hussain, and M.S. Baloch.2010. Integration of organic and inorganic sources ofphosphorus for increased productivity of mungbean (Vignaradiata L.). Pak. J. Agri. Sci. 47(2):111-114.

Atman. 2007. Teknologi budidaya kacang hijau (Vigna radiata L.)di lahan sawah. Jurnal Ilmiah Tambua VI(1):89-95.

Balittanah. 2009. Petunjuk teknis analisis kimia tanah, tanaman,air, dan pupuk. Edisi 2. Balai Penelitian Tanah.

Bandani M., H.R. Mobasser, and A. Sirusmehr. 2014. Effect of organicfertilizer on length of pod, biological yield and number ofseeds per pod in mung bean (Vigna radiata L.). InternationalResearch Journal of Applied and Basic Sciences 8(7):763-766.

Ferdous, M.Z., M.M. Anowar, M.A. Rahman, F. Yasmine, and J.Nain. 2011. Fertilizer management for maize-mungbean-T.aman based cropping pattern. J. Agrofor. Environ. 5(2):129-132.

Fooladivanda, Z., M. Hassanzadehdelouei, and N. Zarifinia. 2014.Effects of water stress and potassium on quantity traits of twovarieties of mung bean (Vigna radiata L.). CercetariAgronomice in Moldova XLVII(1):107-114.

Hamzah. A., Rosmimi, dan Syamsuardi. 2005. Pertumbuhan danproduksi tiga varietas kacang hijau (Phaseolus radiatus L.)pada beberapa jarak tanam di lahan gambut. SAGU IV(1):10-15.

Kumar, P., P. Kumar, T. Singh, A.K. Singh, and R.I. Yadav. 2014.Effect of different potassium levels on mungbean undercustard apple based agri-horti system. African J. of Agric.Res. 9(8):728-734.

Malik, M.A., M.F. Saleem, A. Ali, and I. Mahmood. 2003. Effect ofnitrogen and phosphorus application on growth, yield andquality of mungbean (Vigna radiata L.). Pak. J. Agri. Sci.40:3-4.

Meena, R.S., Y. Dhakal, J.S. Bohra, S.P. Singh, M.K. Singh, P.Sanodiya, and H. Meena. 2015. Influence of bioinorganiccombinations on yield, quality and economics of mungbean.American J. of Experimental Agric. 8(3):159-166.

Mondal, N.K., J.K. Datta, and A. Banerjee. 2015. Integrated effectsof reduction dose of nitrogen fertilizer and mode of biofertilizerapplication on soil health under mungbean cropping system.Commun. Plant Sci. 5(1-2):15-22.

Motior, M.R., G. Faruq, M. Sofian-Azirun M., and N.B. Amru. 2012.Effects of nitrogen fertilizer and tropical legume residues onnitrogen utilization of rice-legumes rotation. Life Sci. J.9(4):1468-1474.

Naeem, M., J. Iqbal, and M. Ahmad alias H.A. Bakhsh. 2006.Comparative study of inorganic fertilizers and organicmanures on yield and yield components of mungbean (Vignaradiata L.). J. Agric. and Social Sci. 2(4):227-229.

Pratiwi, H., A.A. Rahmianna, dan A. Taufiq. 2012. Perbandinganfenologi beberapa varietas unggul kacang hijau padapertanaman awal musim hujan. p.487-492. Prosiding SeminarNasional Inovasi Teknologi dan Kajian Ekonomi KomoditasAneka Kacang dan Umbi Mendukung Empat SuksesKementerian Pertanian tgl 15 November 2011. PusatPenelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. BadanLitbang Pertanian.

Purwaningrahayu, R.D., Trustinah, M. Anwari, dan B.S. Radjit. 2011.Tanggap galur-galur kacang hijau terhadap cekamankekeringan. p.535-545. Prosiding Seminar NasionalAkselerasi Inovasi Teknologi untuk Mendukung PeningkatanProduksi Aneka Kacang dan Umbi tgl 21 Desember 2009.Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.Badan Litbang Pertanian.

Purwaningrahayu, R.D., Trustinah, dan M. Anwari. 2012. Tanggapgenotipe kacang hijau terhadap kadar lengas tanah berbeda.p.487-496. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi danKajian Ekonomi Komoditas Aneka Kacang dan UmbiMendukung Empat Sukses Kementerian Pertanian tgl 15November 2011. Pusat Penelitian dan PengembanganTanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian.

Rachaputi, R.C.N., Y. Chauhan, C. Douglas, W. Martin, S. Krosch,P. Agius, and K. King. 2015. Physiological basis of yieldvariation in response to row spacing and plant density ofmungbean grown in subtropical environments. Field CropsResearch. 183:14-22.

Radjit, B.S., M. Anwari, S.W. Indiati., Sumartini, dan R.D.Purwaningrahayu. 2008. Evaluasi teknologi budi daya kacanghijau di lahan suboptimal. Laporan Teknis. Balai PenelitianTanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. 22p.

Radjit, B.S., N. Prasetiawati, R. Iswanto, dan M. Anwari. 2009.Evaluasi teknologi budi daya kacang hijau di lahansuboptimal. Laporan Akhir Penelitian. Balai PenelitianTanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. 42p.

Radjit, B.S. dan N. Prasetiaswati. 2012. Prospek kacang hijau padamusim kemarau di Jawa Tengah. Buletin Palawija 24:57-68.

Rahman, M.H., M.R. Islam, M. Jahiruddin, and M.Q. Haque. 2012.Management of organic manure and inorganic fertilizer inthe maize-mungbean/dhaincha-T. Aman rice cropping patternfor increased crop production. Bangladesh J. Agric. Res.37(2):225-234.

Raihana Y. dan E. William. 2006. Pemberian mulsa terhadap tujuhvarietas kacang hijau dan keharaan tanah di lahan lebaktengahan. Bul. Agron. 34(3):148-152.

Sadeghipour, O. 2008. Effect of withholding irrigation at differentgrowth stages on yield and yield components of mungbean(Vigna radiata L.) varieties. American-Eurasian J. Agric. &Environ. Sci. 4(5):590-594.

Santoso, M.B. 2004. Efisiensi energi dan produktivitas padatumpang sari jagung manis (Zea saccharata Sturt) dan

Page 89: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

KUNTYASTUTI DAN LESTARI: INTERAKSI DOSIS PUPUK DAN POPULASI TANAMAN KACANG HIJAU

249

berbagai kerapatan kacang hijau (Vigna radiata L.) denganpengolahan tanah yang berbeda. Tesis. Program StudiAgronomi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.119p.

Shah, Z., S.H. Shah, M.B. Peoples, G.D. Schwenke, and D.F.Herridge. 2003. Crop residue and fertiliser N effects onnitrogen fixation and yields of legume–cereal rotations andsoil organic fertility. Field Crops Research 83:1–11.

Sheteawi, S.A. and K.M. Tawfiq. 2007. Interaction effect of somebiofertilizers and irrigation water regime on mungbean (Vignaradiata L.) growth and yield. J. Appl. Sci. Res. 3(3):251-262.

Sultana, M., B. Ahmed, M.M. Rahman, S. Sultana, and M.M. Haque.2013. Growth and seed yield of mungbean as inflienced byleaf clipping ang fertilizer doses. Bangladesh Res. Pub. J.9(2):79-86.

Syafrina, S. 2009. Respon pertumbuhan dan produksi kacang hijau(Phaseolus radiatus L.) pada media sub boil terhadap

pemberian beberapa jenis bahan organik dan pupuk organikcair. Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian, Faperta, USU.79p.

Tawfik, K.M. 2008. Effect of water stress in addition to potassiomagapplication on mungbean. Australian J. of Basic and AppliedSci. 2(1):42-52.

Uddin, S., S. Parvin, and M.A. Awal. 2013. Morpho-physiologicalaspects of mungbean (Vigna radiata L.) in response to waterstress. Inter. J. Agric. Sci. Res. 3(2):137-148.

Yassi, A. 2010. Pertumbuhan dan produksi kacang hijau pada duawaktu tanam dan pupuk kompos di lahan tadah hujan. J.Agrivigor. 9(3):245-254.

Zulfikri, M. 2002. Pengaruh kombinasi pemupukan N, P, dan Kterhadap pertumbuhan dan hasil kacang hijau (Vigna radiataL.) varietas Merpati pada jenis tanah Aluvial Sukamandi danLaposol Merah Purwodadi. Jurusan Budidaya Pertanian,Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 46p.

Page 90: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 35 NO. 3 2016

250

Page 91: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

251

Suprihanto (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi);Susamto Somowiyarjo, Sedyo Hartono, dan Y. Andi Trisyono(Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Preferensi Wereng Batang Cokelat terhadap Varietas Padi danKetahanan Varietas Padi terhadap Virus Kerdil Hampa

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 1-8.

Penyakit virus kerdil hampa ditularkan oleh wereng batang cokelat(WBC) secara persisten. Penyakit tersebut akhir-akhir ini menjadimasalah di Indonesia dan beberapa negara, seperti China, Vietnam,Filipina, dan Thailand. Pengendalian penyakit virus kerdil hampasampai saat ini dilakukan terhadap vektornya (WBC) menggunakaninsektisida, sehingga sering kali mencemari lingkungan. Alternatifpengendalian lain yang ramah lingkungan adalah penggunaanvarietas tahan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkatpreferensi WBC terhadap beberapa varietas padi, ketahananbeberapa varietas padi terhadap penyakit virus kerdil hampa, danefektivitasnya sebagai sumber inokulum. Sebanyak 15 varietas padidigunakan dalam uji preferensi imago WBC terhadap varietas padi,dan uji ketahanan terhadap virus kerdil hampa. Uji ketahanan varietaspadi dilakukan dengan penularan menggunakan vektor WBC instar2 melalui periode makan akuisisi 3 hari, masa inkubasi 10 hari, danperiode inokulasi 24 jam dengan kepadatan populasi 3 ekor/tanaman.Hasil penghitungan indeks penyakit digunakan untuk menentukantingkat ketahanan tanaman. Varietas padi yang menunjukkan reaksitahan, agak tahan, dan rentan, serta kontrol rentan TN1 dipilih dandigunakan sebagai sumber inokulum untuk ditularkan pada tanamanpadi TN1 kembali, sehingga diketahui tingkat efektivitas varietassebagai sumber inokulum virus. Hasil penelitian menunjukkan bahwadari 15 varietas yang diuji, Situ Bagendit, Utri Merah, Mentik Wangi,Mahsuri, dan Inpari 1 merupakan varietas yang tidak/kurang disukaiWBC untuk berkembang biak. Varietas Mentik Wangi, Tetep, UtriMerah dan Swarnalata bereaksi tahan terhadap virus kerdil hampa.Hasil uji penularan kembali pada varietas rentan (TN1) menunjukkanSitu Bagendit, Inpari 13, Mentik Wangi, dan Tetep mempunyaiefektivitas yang cukup rendah sebagai sumber inokulum yangditunjukkan oleh lebih rendahnya tingkat penularan dan indekspenyakitnya.

(Penulis)

Kata kunci: wereng batang cokelat, virus kerdil hampa, varietaspadi, ketahanan.

Baehaki.S.E. (Pupuk Indonesia Holding Company, Jakarta); Eko HariIswanto, Dede Munawar (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi,Sukamandi)

Laju Pertumbuhan Intrinsik dan Neraca Hidup Wereng Cokelat padaTanaman Padi Akibat Perubahan Iklim Global

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 9-18.

Penelitian laju pertumbuhan intrinsik dan neraca hidup wereng cokelatdilaksanakan di rumah kasa Balai Besar Penelitian Tanaman Padipada tahun 2012 menggunakan dua varietas padi, yaitu Pelita I/1dan Inpari 13. Penelitian bertujuan mengevaluasi pengaruh iklimglobal terhadap perkembangan wereng cokelat di Sukamandi,Subang, Jawa Barat, setelah tiga dasawarsa sejak penelitianpertama tahun 1984. Hasil penelitian menunjukkan perkembanganwereng cokelat di Sukamandi pada tahun 2012 sangat berbedadengan tahun 1984. Laju pertumbuhan intrinsik wereng cokelatpada varietas Pelita I/1 adalah rm = 0,2285 atau 2,22 kali lipat danpada Inpari 13 adalah rm = 0,2209 atau 2,14 kali lipat dalam tigadasawarsa. Lama waktu satu generasi pada Pelita I/1 dan Inpari 13lebih singkat 0,81-0,83 kali lipat. Indeks daya bertahan hidup werengcokelat pada Pelita I/1 mencapai 5,3 kali lipat dan indeks dayabertahan hidup pada Inpari 13 mencapai 5,8 kali lipat dibanding tigadasawarsa yang lalu. Pada varietas Pelita I/1 tahun 2012 nisbahwereng betina dan wereng jantan adalah 74%: 26%, sedangkanpada varietas Inpari 13 adalah 70,8%: 29,2%. Berdasarkan lajupertumbuhan intrinsik dan neraca hidup wereng cokelat populasilapang di Sukamandi telah berubah selama tiga dasawarsa. Implikasidari penelitian ini, dinamika populasi wereng cokelat telah berubahmengarah kepada perkembangan yang lebih tinggi dan dipengaruhioleh perubahan iklim global.

(Penulis)

Kata kunci: padi, wereng cokelat, laju intrinsik, neraca hidup,perubahan iklim.

Siti Dewi Indrasari, Kristamtini (Balai Pengkajian Teknologi PertanianDI Yogyakarta); Ami Teja Rakhmi (Balai Besar Penelitian TanamanPadi, Sukamandi); Agus Subekti (Balai Pengkajian Teknologi PertanianKalimantan Barat)

Mutu Fisik, Mutu Giling dan Mutu Fungsional Beras Varietas LokalKalimantan Barat

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 19-28.

Mutu fisik gabah dan beras, mutu giling beras, sifat fisikokimia, dansifat fungsional beras varietas lokal telah dianalisis untukmempelajari karakter mutu empat varietas lokal padi asal KalimantanBarat. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium mutu beras BB Padipada tahun 2013. Metode pengamatan mutu fisik dan mutu gilingsesuai dengan metode IRRI. Sifat fungsional diamati menggunakanalat LC-MS. Semua pengamatan dilakukan enam ulangan. Data yangdiamati dibuat matrik korelasi untuk mengetahui ada tidaknya

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan

ISSN 0216-9959 Volume 35, 2016

Keterangan diberikan tanpa dipungut biaya, Lembar abstrak ini dapat di-copy tanpa izin penerbit/penulis

251-1

Page 92: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

252

hubungan antarkarakter. Korelasi yang nyata antarkarakterselanjutnya dianalisis untuk memperoleh persamaan regresinya.Beras varietas lokal Kalimantan Barat yang diamati berbentuk sedangdan ramping. Terdapat korelasi antara kadar air gabah denganpersentase beras kepala, butir rusak dengan densitas gabah,rendemen beras pecah kulit dengan rendemen beras giling danpersentase beras kepala, persentase beras kepala denganrendemen beras giling, butir hampa dengan beras patah. Hubunganantarkarakter mutu fungsional menunjukkan kandungan Cyanidin3-glukosidase (C3G) pada beras pecah kulit berpengaruh padakandungan C3G pada beras giling. Beras merah varietas Sanik,beras ungu varietas Beliah dan beras hitam varietas Balik berpeluangdigunakan sebagai tetua dalam perakitan varietas padi fungsionalkarena mempunyai mutu giling beras yang baik dan mengandungC3G cukup tinggi yang bermanfaat sebagai antioksidan, antikanker,antijantung koroner dan memperbaiki profil lemak darah. Oleh sebabitu beras warna sebaiknya dikonsumi dalam bentuk beras pecahkulit (BPK) atau disosoh sebagai beras giling (BG) dengan derajatsosoh 80% agar beras masih mengandung C3G yang bermanfaatuntuk kesehatan.

(Penulis)

Kata kunci: padi varietas lokal, mutu beras, fisikokimia, sifatfungsional.

Agung Budi Santoso (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku)

Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Produksi Tanaman Pangan diProvinsi Maluku

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 29-38.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak perubahan iklimterhadap produksi tanaman pangan di Provinsi Maluku berdasarkandata tahun 1995 sampai 2012 dan mengetahui ketahanan komoditasterhadap perubahan iklim. Penelitian menggunakan empat modelanalisis tren, yakni least square pola linear, quadratic, exponential,dan moving average. Hasil dari peramalan tersebut digunakan untukmenduga produksi tanaman pangan pada tahun terjadinyaperubahan iklim dan mengetahui dampak perubahan iklim terhadapproduksi. Kedelai merupakan komoditas yang paling sensitif terhadapperubahan iklim karena memiliki dampak penurunan produksi, baikpada kondisi El Nino (sebesar 10,7%) maupun La Nina (sebesar11,4%). Padi sawah yang umumnya diusahakan pada lahan basah,mengalami pengaruh penurunan produksi 2,9% pada saat El Ninodan peningkatan produksi 2,4% pada saat terjadi La Nina. Jagungmendapatkan pengaruh penurunan produksi 7,4% pada saat ElNino dan peningkatan produksi 3,9% pada saat La Nina. Ubi jalarpaling toleran terhadap perubahan iklim karena memperoleh dampakpeningkatan produksi 2,5% pada kondisi El Nino. Pengurangandampak perubahan iklim dapat ditempuh melalui beberapa upaya(1) mengidentifikasi wilayah potensial kekeringan, banjir, endemikhama dan penyakit tanaman berkaitan dengan iklim dan kondisi tanah,(2) mengembangkan teknik prediksi dan prakiraan cuaca dan iklimyang akurat guna memberi peringatan dini kepada petani mengenaiperubahan iklim yang akan terjadi, (3) menyiapkan danmendiseminasikan paket teknologi yang lebih adaptif pada kondisiEl Nino dan La Nina, mencakup varietas, penanggulangan hamadan penyakit, input yang mudah diperoleh petani untukmembudidayakan tanaman pangan, (4) memperbaiki saluran irigasiterutama pada lahan sawah untuk meningkatkan kapasitas produksidan pencegahan gagal panen pada musim kemarau.

(Penulis)

Kata kunci: tanaman pangan, anomali iklim, produksi, proyeksi.

Fausiah T. Ladja (Loka Penelitian Penyakit Tungro, Lanrang); SriHendrastuti Hidayat, Tri Asmira Damayanti, Aunu Rauf (DepartemenProteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor)

Deteksi Virus Tungro pada Gulma Padi Sawah Menggunakan TeknikPCR

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 39-43.

Tungro yang disebabkan oleh kombinasi infeksi Rice TungroBacilliform Virus (RTBV) dan Rice Tungro Spherical Virus (RTSV),merupakan salah satu penyakit penting tanaman padi. Kedua virustersebut dapat bertahan hidup pada tanaman padi, ratun padi, gulma,dan beberapa padi liar. Penelitian bertujuan mendeteksi RTBV danRTSV pada beberapa spesies gulma yang dikumpulkan daribeberapa lokasi persawahan di Jawa Barat, Bali, Nusa TenggaraBarat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, danSumatera Selatan. Deteksi RTBV dan RTSV dari sampel gulmadilakukan berturut-turut dengan metode Polymerase Chain Reaction(PCR) dan Reverse Transcription (RT) - PCR menggunakan primerspesifik gen protein selubung. Fragmen DNA spesifik RTBVberukuran ~1.400 pb berhasil diamplifikasi dari F. miliacea, C. iria,M. vaginalis, L. adscendens, S. zeylanica, D. sanguinalis, dan E.crusgalli. Fragmen DNA spesifik RTSV berukuran ~787 pb berhasildiamplifikasi dari sepsis gulma F. miliacea, L. octovalvis, dan D.sanguinalis. Fragmen DNA spesifik RTBV maupun RTSV tidakteramplifikasi dari spesies gulma L. flava dan P. distichum. Sampelgulma yang dikumpulkan dari lapangan tidak ada yang menunjukkangejala (visual) terinfeksi virus, sehingga hasil deteksi bermanfaatdalam menentukan status gulma sebagai inang alternatif virustungro. Sanitasi gulma di sawah sebelum tanam padi menjadi bagianintegral teknik pengendalian virus.

(Penulis)

Kata kunci: padi, penyakit tungro, gulma, inang alternatif.

Laela Sari, Enny Sudarmonowati (Pusat Penelitian Bioteknologi,Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia); Agus Purwito, Didy Sopandie(Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor);Ragapadmi Purnamaningsih Balai Besar Penelit ian danPengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian)

Seleksi Jagung Inbrida dengan Marka Molekuler dan Toleransinyaterhadap Kekeringan dan Nitrogen Rendah

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 45-52.

Informasi karakter mutan gandum diperlukan untuk mengetahui sifatunggul mutan dalam program pemuliaan. Tujuan dari penelitian iniadalah mengidentifikasi kriteria seleksi untuk mendapatkan mutanunggul berasal dari tanaman gandum varietas Alibey yang adaptifdi dataran rendah. Penelitian dilakukan di Kebun PercobaanSEAMEO-BIOTROP Bogor (± 250 m dpl) dari bulan April 2013 sampaiDesember 2013. Materi yang diteliti terdiri atas 16 galur mutangenerasi M3 dari perlakuan EMS terhadap varietas Alibey danvarietas Alibey sebagai pembanding. Data diolah menggunakanrancangan pembesaran dan analisis korelasi. Hasil penelitianmenunjukkan mutan Alibey berbeda nyata dengan varietaspembanding untuk peubah panjang tangkai malai (8 mutan), bobotbiji/malai (1 mutan), bobot 100 biji (4 mutan) dan bobot biji /tanaman(9 mutan). Peubah waktu berbunga, gabah masak/panen, panjangmalai, tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah malai, dan luas dauntidak berbeda nyata dibanding mutan Alibey. Penampilan karakteranatomi termasuk ketebalan daun dan ukuran stomatamemperlihatkan perbedaan nyata antara tanaman Alibey mutan (AB-0.1.60-1-7-1) dan pembanding. Karakter fisiologi menunjukkanperbedaan yang nyata antara mutan dengan pembanding pada

252-2

Page 93: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

253

jumlah prolin, yaitu pembanding (4,15 ug/gBB), mutan AB-0.1.60-3-16-1 (263,47 ug/gBB), AB-0.1.60-3-3-2 (235,90 ug/gBB) dan memilikikadar glukosa yang berbeda yaitu pembanding (132,88 mg/ml),mutan AB-0.1.60-3-16-1 (181,48 mg/ml), AB-0.1.60-3-3-2 (287,41mg/ml). Mutan Alibey dapat diseleksi berdasarkan karakter panjangtangkai malai (PTM) dan bobot biji/tanaman (BBT). Kedua karaktertersebut menghasilkan lebih banyak mutan dibanding karakterlainnya. Analisis korelasi PTM dan JM pada semua karakter tidaknyata, sedangkan tinggi tanaman berkorelasi nyata dengan bobotbiji/malai dan bobot biji/tanaman. Diharapkan beberapa mutan yangdihasilkan dapat beradaptasi di dataran rendah tropis, sehinggamenambah keragaman sumber daya genetik gandum di Indonesiauntuk adaptasi di dataran rendah.

(Penulis)

Kata kunci: gandum, mutan Alibey, dataran rendah tropis.

Made Oka Adnyana, Putu Wardana (Pusat Penelitian danPengembangan Tanaman Pangan)

Willingness to Accept dan Willingness to Pay Petani dan Konsumenterhadap Padi Hibrida di Sentra Produksi Jawa Timur

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 53-61.

Penelitian dan pengembangan padi hibrida di Indonesia telah dimulaisejak 1983 bekerja sama dengan International Rice ResearchInstitute. Sejak tahun 2000 sektor swasta tertarik melakukan bisnisbenih padi hibrida. Luas pertanaman padi hibrida di Indonesia relatifkecil, sekitar 658.000 ha atau tidak lebih dari 5,0% dari total luastanam padi nasional 13,2 juta ha pada tahun 2013. Penelitian inibertujuan menganalisis respons dan preferensi petani terhadappengembangan padi hibrida di Malang dan Blitar, sentra produksi diJawa Timur. Metode penilaian Contingent Valuation Method (CVM)diadopsi untuk menganalisis Willingness to Accept (WTA) danWillingness to Pay (WTP) petani dalam pengambilan keputusanpenerimaan teknologi. Hasil penelitian menunjukkan selera dan pilihanpetani dalam merespon padi hibrida cukup positif, terutama terhadapvarietas Hipa Jatim yang baru diintroduksikan, dibandingkan denganvarietas Maro dan Rokan yang diintroduksikan sebelumnya. WTAdan WTP juga menunjukkan keinginan yang cukup nyata karenahasil padi hibrida lebih tinggi dan rasa nasinya mendekati beraspadi inbrida. WTA petani nyata dipengaruhi oleh produktivitas,serangan hama dan penyakit, dan biaya produksi, sedangkan WTPkonsumen dipengaruhi oleh kualitas beras padi hibrida.

(Penulis)

Kata kunci: padi hibrida, WTA, WTP.

Achmad Yozar Perkasa (Pascasarjana Departemen Agronomi danHortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor); MunifGhulamahdi, Dwi Guntoro (Departemen Agronomi dan Hortikultura,Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor)

Penggunaan Herbisida untuk Pengendalian Gulma pada Budi DayaKedelai Jenuh Air di Lahan Pasang Surut

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 63-69.

Salah satu masalah dalam budi daya kedelai jenuh air di lahan pasangsurut adalah gangguan gulma. Tujuan penelitian adalah mengetahuiherbisida yang paling efektif mengendalikan gulma pada budi dayakedelai jenuh air di lahan pasang surut. Penelitian dilaksanakan dilahan pasang surut Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago,Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, dari bulan Juli hingga

Desember 2013. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok.Percobaan terdiri atas delapan perlakuan dengan tiga ulangan.Perlakuan yang diuji yaitu kontrol (P0), penyiangan manual 4 minggusetelah tanam (MST) (P1), aplikasi herbisida paraquat 2 l/ha pada 4MST (P2), glifosat 3 l/ha pada 4 MST (P3), oksifluorfen 2 l/ha pada 3hari sebelum tanam (HSbT) (P4), oksifluorfen diikuti aplikasi paraquat2 l/ha pada 3 HSbT dan 4 MST (P5), oksifluorfen diikuti aplikasi glifosat2 l/ha dan 3 l/ha pada 3 HSbT dan 4 MST (P6), dan penoksulam 1 l/hapada 2 MST (P7). Hasil penelitian menunjukkan herbisida paraquatefektif menekan gulma pada pertanaman kedelai dengan bobot keringgulma total paling rendah pada 4, 6, dan 8 MST. Gulma golongan tekiCyperus iria paling dominan pada lahan percobaan dengan NJD37,7%. Pengendalian gulma dengan aplikasi herbisida glifosatmemberikan produktivitas kedelai tertinggi, mencapai 3,7 t/ha. Aplikasiherbisida pre emergence sebaiknya dilakukan sebelum tanam kedelaidan aplikasi herbisida post emergence harus dilakukan secara hati-hati menggunakan sungkup nozzle untuk mencegah keracunan padatanaman.

(Penulis)

Kata kunci: kedelai, jenuh air, gulma, lahan pasang surut.

Syuryawati, Faesal (Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros)

Kelayakan Finansial Penerapan Teknologi Budi Daya Jagung padaLahan Sawah Tadah Hujan

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 71-80.

Budi daya jagung dengan pendekatan pengelolaan tanaman secaraterpadu (PTT) merupakan suatu upaya yang mampu memberikanproduktivitas dan pendapatan petani yang optimal karena terjadinyaefisiensi produksi. Sehubungan dengan hal ini dilakukan penelitiantentang kelayakan teknologi jagung pada verifikasi komponenteknologi terpilih di lahan sawah tadah hujan yang dapatmeningkatkan produksi dan pendapatan petani. Perlakuan yangdiverifikasi yaitu komponen teknologi yang diterapkan petani denganpendekatan PTT, komponen teknologi berdasarkan modifikasi darikomponen dasar PTT: populasi tanaman, cara tanam, penentuantakaran pupuk, dan varietas. Penelitian dilakukan pada duakabupaten, Kabupaten Pangkep di Desa Mandalle KecamatanMandalle Mei-September 2012, dan di Barru di Kelurahan TaneteKecamatan Tanete Rilau Juli -Oktober 2012, dimana petani berperanaktif. Hasil penelitian menunjukkan takaran pupuk 202,5-225 kg N/ha layak dan efisien digunakan pada lahan sawah tadah hujanuntuk meningkatkan pendapatan (NPTK 6,45-9,04; NPSP 6,67-7,17;R/C 3,39-3,96; BEP lahan 0,19-0,27 ha dan MBCR 8,25-8,28). Caratanam biasa 75 cm x 20 cm dan legowo (100-50) cm x 20 cmmemberikan hasil dan keuntungan yang relatif sama, masing-masingdi Pangkep NPTK 8,90 dan 8,60; NPSP 6,85 dan 6,81; R/C 3,86 dan3,80; BEP lahan sama 0,20 ha. Sedang di Barru NPTK 6,05 dan5,98; NPSP 6,15 dan 6,14; R/C 3,21 dan 3,19; dan BEP lahan sama0,29 ha. Varietas Bima-3 Bantimurung memperoleh hasil dankeuntungan yang lebih tinggi dari Bisi-2. Hasil tertinggi Bima-3Bantimurung adalah 12,07 t/ha keuntungan Rp 22.457.625/hadengan NPTK 8,99; NPSP 7,03; R/C ratio 3,91 dan BEP lahan 0,20ha. Demikian pula nilai MBCR > 1, di Pangkep 8,31 dan di Barru 7,50.Untuk ratio biaya/kg biji pada Bima-3 Bantimurung lebih rendah sekitarRp 640-750/kg biji. Berdasarkan hasil verifikasi teknologi jagung inimaka komponen pemupukan, cara tanam, dan varietas unggul yangmemberikan hasil yang lebih tinggi dan pendapatan yang lebih besarsangat layak diterapkan pada lahan sawah tadah hujan.

(Penulis)

Kata kunci: kelayakan teknologi, pendapatan, jagung, sawah tadahhujan.

253-3

Page 94: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

254

M. Arsyad Biba (Balai Penelitian Tanaman Serealia)

Preferensi Petani terhadap Jagung Hibrida Berdasarkan KarakterAgronomik, Produktivitas, dan Keuntungan Usahatani

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 81-88.

Usahatani jagung hibrida telah berkembang dan mendapat beragamrespons dari petani. Penelitian bertujuan untuk mengetahui responpetani terhadap karakter agronomis, produktivitas, dan keuntunganusahatani jagung hibrida varietas N-35, BISI-2, BIMA-3 dan SHS-11. Survei dilakukan di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, padabulan Maret hingga November 2014. Pemilihan sampel dilakukansecara sengaja terhadap 60 petani jagung dari 600 orang diKabupaten Takalar. Data yang dikumpulkan adalah data primer dansekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan petaniresponden menggunakan kuesioner yang telah disiapkansebelumnya. Data primer dari lapangan dikelompokkan, diolah,dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel, kemudian dibahas secarakualitatif-deskriptif. Data sekunder diperoleh dari buku statistik, buku,laporan, jurnal, dan makalah. Hasil analisis menunjukkan bahwahasil jagung hibrida BIMA-3 lebih tinggi dari tiga varietas lainnya,mencapai 9,5 t/ha pada kadar air 16% dengan keuntungan tertinggiRp 15.875.000/ha. Keunggulan varietas BIMA-3 antara lain terletakpada daya tumbuh benih yang lebih baik dengan harga yang lebihmurah, tahan penyakit bulai, toleran kekeringan, dan biomas tanamanstay green sehingga potensial digunakan untuk pakan ternak sapi.Sementara itu, pertanaman varietas N-35, BISI-2, dan SHS-11sebagian terinfeksi penyakit bulai sehingga hasilnya lebih rendah,berkisar antara 6,9-7,9 t/ha, biomas tanaman tidak stay green. R/Cratio tertinggi diperoleh dari BIMA-3 (2,71), diikuti oleh BISI-2 (2,61),N-35 (2,53), SHS-11 (2,44), dan jagung bersari bebas (2,33). B/Cratio BIMA-3 (1,71), juga lebih tinggi dari BISI-2 (1,61), N-35 (1,53),SHS (1,44), dan jagung bersari bebas (1,33), MBCR BIMA-3 (2,13)lebih tinggi dari BISI-2 (2,04), N-35 (1,86), dan SHS-11 (1,64). Varietashibrida BIMA-3 dapat dianjurkan untuk dikembangkan di SulawesiSelatan.

(Penulis)

Kata kunci: jagung hibrida, karakter agronomi, produktivitas,keuntungan usahatani, respon petani.

Trias Sitaresmi, Cucu Gunarsih, Nafisah, Yudhistira Nugraha, BuangAbdullah, A.A. Daradjat, B. Suprihatno (Balai Besar PenelitianTanaman Padi, Sukamandi); Ida Hanarida (Balai Besar Penelitiandan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya GenetikPertanian, Bogor); H. Aswidinnoor (Institut Pertanian Bogor); I.G.P.Muliarta U(niversitas Mataram)

Interaksi Genotipe x Lingkungan untuk Hasil Gabah Padi Sawah

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 2,hlm 89-97.

Hasil padi dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, dan interaksigenotik x lingkungan. Potensi hasil maksimum varietas padi akanmuncul apabila ditanam pada lingkungan yang sesuai. Penelitian inibertujuan untuk mengetahui adaptasi dan stabilitas hasil 16 genotipepadi pada 16 lokasi atau lingkungan tumbuh. Galur-galur yang diujidalam percobaan ini dirakit untuk mendapatkan ketahanan hamapenyakit yang lebih baik dari varietas yang sudah ada. Enam belasgenotipe padi diuji menggunakan rancangan acak kelompok padaMH 2010/2011, dan MK 2011. Percobaan menggunakan ukuran plot4 m x 5 m. Tanaman dipupuk urea, SP36, dan KCl dengan dosismasing-masing 250, 100, dan 100 kg/ha. Peubah agronomi yangdiamati adalah hasil gabah per plot. Analisis ragam gabungan dari16 lokasi menunjukkan tidak terdapat galur yang memiliki hasil yangnyata lebih tinggi dari varietas pembanding Conde. Terdapat enam

galur yang hasil gabahnya setara dengan Conde sebagaipembanding, yaitu B12743-MR-18-2-3-8, B12411E-MR-10-1,BP10620F-BB4-15-BB8, IPB107-F-82-2-1, IPB117-F-18E-1-1, danBIO 143-AC-BLAS. Analisis AMMI menunjukkan bahwa keragamanhasil terbesar berasal dari lingkungan dan interaksi genotipe xlingkungan. Berdasarkan analisis AMMI2, galur B12743-MR-18-2-3-8, IPB107-F-82-2-1, dan Conde diklasifikasikan sebagai genotipeberadaptasi luas. Galur G10 dan IPB117-F-18E-1-1 diduga sebagaigenotipe beradaptasi spesifik.

(Penulis)

Kata kunci: padi, hasil gabah, G x E, AMMI.

Baehaki, S.E, E.H. Iswanto, dan D. Munawar (Balai Besar PenelitianTanaman Padi, Sukamandi)

Resistensi Wereng Cokelat terhadap Insektisida yang Beredar diSentra Produksi Padi

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 2,hlm 99-107.

Penelitian resistensi wereng cokelat, Nilaparvata lugens (Stal.)terhadap insektisida menggunakan metode celup dilaksanakan padaMH 2011/2012 di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi,Jawa Barat. Wereng cokelat populasi lapangan yang diukurresistensinya terhadap insektisida berasal dari persawahanSukamandi (wereng cokelat populasi Sukamandi) dan Juwiring,Klaten, Jawa Tengah (wereng cokelat populasi Juwiring)dibandingkan dengan wereng cokelat biotipe 1 populasi rumah kasa.Insektisida yang digunakan adalah imidakloprid, etiprol, tiametoksam,fipronil, BPMC, MIPC, buprofezin, sipermethrin dan sihalothrin. Rasioresistensi (RR) ditunjukkan oleh perbandingan LC50 wereng cokelatlapangan dan LC50 wereng cokelat rumah kasa. Hasil analisis probitmenunjukkan wereng cokelat populasi Sukamandi agak resistenterhadap insektisida imidakloprid dan sipermethrin, disusul resistensirendah terhadap insektisida buprofezin, tetapi kerentanan werengcokelat menurun terhadap insektisida fipronil, tiametoksam dansihalothrin, sedangkan terhadap etiprol, BPMC dan MIPC masihrentan. Wereng cokelat populasi Juwiring memperlihatkan resistensirendah terhadap insektisida imidakloprid, buprofezin, sipermethrindan sihalothrin. Di lain pihak kerentanan wereng cokelat tersebutmenurun terhadap insektisida BPMC, etiprol dan fipronil, sedangkan

terhadap tiametoksam dan MIPC masih rentan. (Penulis)

Kata kunci: padi, wereng cokelat, insektisida, resistensi.

Chaerani, Diani Damayanti, Siti Yuriyah, KusumawatyKusumanegara, Ahmad Dadang, Sutrisno, Bahagiawati (Balai BesarPenelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya GenetikPertanian), Trisnaningsih (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi,Sukamandi)

Virulensi Wereng Batang Cokelat dan Pembentukan Koleksi Intinya

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 2,hlm 109-117.

Wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens Stål) merupakan hamautama tanaman padi di Indonesia. Kemampuan adaptasi danreproduksi WBC pada varietas tahan cukup tinggi, menjadi biotipeyang lebih virulen dan menyebabkan terjadinya ledakan populasidengan gejala tanaman “terbakar” dan puso. Pemuliaan untukketahanan padi terhadap wereng batang cokelat (WBC) memerlukaninformasi tingkat virulensi lapang strain WBC untuk mengantisipasi

254-4

Page 95: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

255

berkembangnya WBC yang lebih ganas. Tujuan penelitian ini ialahmengetahui virulensi populasi WBC lapang dan mengelompokkantingkat virulensi dalam koleksi WBC inti. Tiga belas populasi WBCyang dikumpulkan dari enam provinsi (Banten, Jawa Barat, JawaTengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan)pada tahun 2011 dan 2013, diuji terhadap 10 varietas diferensialdan tujuh varietas inang populasi WBC, menggunakan teknik skriningbaku. Berdasarkan respon ketahanan empat varietas diferensialutama (TN1, Mudgo, ASD7, dan Rathu Heenathi), sebagian besarpopulasi memiliki virulensi yang lebih ganas daripada biotipe 4 (T1,Banten; PG, Jawa Barat; BY, Jawa Timur; B2 dan B3, KalimantanSelatan, X1 dan X3 (Sulawesi Selatan). Empat populasi termasukbiotipe 4 (JWDL, Jawa Tengah; SD, Jawa Timur; serta X2 dan X4,Sulawesi Selatan), dan masing-masing satu populasi diidentifikasimemiliki virulensi seperti biotipe 3 (T2, Banten) dan biotipe 2 (S1,Jawa Barat). Populasi B3 dan X1 virulen terhadap semua varietasuji, sedangkan T2 paling rendah tingkat virulensinya. Populasi WBCyang lebih virulen dari biotipe 4 telah berkembang di lapangan,sehingga skrining ketahanan galur-galur padi terhadap WBCsebaiknya menggunakan WBC dengan tipe virulensi tersebut. Limakelompok WBC yang terbagi lagi menjadi 10 subkelompok yangmewakili kelompok virulensi terhadap 10 varietas differensialteridentifikasi dalam koleksi WBC yang diuji. Setiap kelompok virulensidapat dibedakan berdasarkan kemampuannya untuk mengatasi 4-8gen ketahanan tunggal maupun ganda pada tanaman padi. Koleksivirulensi inti ini dapat digunakan untuk krakterisasi ketahanan calonvarietas dan galur padi isogenik, atau untuk studi genetik interaksiWBC dan tanaman padi.

(Penulis)

Kata kunci: padi, wereng batang cokelat, virulensi, biotipe.

Kristamtini, Sutarno, Endang Wisnu Wiranti, dan Setyorini Widyayanti(Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta)

Genetic Advance and Heritability of Agronomic Characters of BlackRice in F2 Population

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 2,hlm 119-124.

Padi beras hitam adalah varietas lokal yang memiliki keunggulandan kelemahan. Padi beras hitam memiliki kandungan antosianinyang tinggi, kelemahannya adalah umurnya panjang, habitustanaman tinggi, dan potensi hasilnya rendah. Peningkatanproduktivitas padi beras hitam dapat dilakukan melalui persilangan.Persilangan antara dua tetua yang memiliki keunggulan tertentubertujuan untuk merakit kultivar unggul dan dilanjutkan denganseleksi. Efektifitas dan efisiensi seleksi antara lain ditentukan olehbesaran heritabilitas dan kemajuan seleksi. Penelitian ini bertujuanuntuk mengetahui kemajuan genetik dan nilai duga heritabilitas (dayawaris) karakter-karakter agronomi padi beras hitam generasi F2hasil persilangan padi beras hitam lokal dengan varietas unggulpadi beras putih. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di DusunPadasan, Pakembinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta pada bulanJanuari sampai Mei 2013. Benih yang digunakan adalah F2 hasilpersilangan padi beras hitam tidak berbulu (S) dengan padi berasputih varietas Situbagendit (G), Cempo ireng (C) dengan Situbagendit(G), dan Cempo ireng (C) dengan Inpari 6 (I). Percobaanmenggunakan rancangan tanpa ulangan. Parameter genetik yangdiduga adalah heritabilitas dalam arti luas dan kemajuan genetik.Hasil penelitian menunjukkan populasi F2 mempunyai nilai dugaheritabilitas yang tinggi untuk semua karakter yang diamati (tinggitanaman, panjang daun bendera, jumlah anakan produktif, panjangmalai, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai,umur tanaman dan warna beras) pada ketiga populasi hasilpersilangan (S x G, C x G, dan C x I), kecuali tinggi tanaman pada

persilangan S x G yang memiliki heritabilitas sedang. Nilai dugaheritabilitas yang tinggi menunjukkan karakter lebih dikendalikan olehfaktor genetik daripada faktor lingkungan. Nilai kemajuan genetikyang tinggi terdapat pada peubah panjang daun bendera, jumlahanakan produktif, panjang malai, jumlah gabah isi/malai, jumlah gabahhampa/malai dan warna beras untuk persilangan S x G, C x Gmaupun C x I. Karakter tinggi tanaman memiliki nilai kemajuan genetiksedang (pada persilangan S x G dan C x I) sampai tinggi (persilanganC x G). Karakter umur panen memiliki nilai kemajuan genetik yangrendah, baik pada persilangan S x G, C x G maupun C x I. Tingginyanilai duga kemajuan genetik mengindikasikan karakter tersebutdidukung oleh faktor genetik, sehingga dapat melengkapi kemajuanseleksi.

(Penulis)

Kata kunci: padi beras hitam, kemajuan genetik, heritabilitas, karakteragronomi, generasi F2.

Slamet Bambang Priyanto, R. Nenny Iriani, Andi Takdir M. (BalaiPenelitian Tanaman Serealia, Maros)

Stabilitas Hasil Jagung Varietas Hibrida Harapan Umur Genjah

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 2,hlm 125-132.

Hasil jagung dipengaruhi oleh interaksi antara genotipe danlingkungan tumbuh, yang mengakibatkan terdapatnya perbedaanhasil di setiap lokasi pengujian. Genotipe yang baik adalah yangmempunyai rata-rata hasil tinggi dan keragaman hasil antarlokasikecil. Untuk mengetahui keragaan dan stabilitas genotipe padaberbagai lingkungan diperlukan pengujian multilokasi dan analisisstabilitas hasil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui stabilitashasil galur harapan jagung pada lima lokasi penelitian. Sebanyak 12genotipe jagung hibrida yang terdiri atas delapan calon hibrida umurgenjah (CH-1, CH-2, CH-3, CH-4, CH-5, CH-6, CH-7, dan CH-8) danempat varietas pembanding (Gumarang, Bima 3, AS-1, dan Bisi 2),diuji di lima lokasi, yaitu Gowa (Sulawesi Selatan), Donggala(Sulawesi Tengah), Manado (Sulawesi Utara), Probolinggo (JawaTimur), dan Lombok Barat (NTB) dari April sampai September 2013.Rancangan percobaan adalah acak kelompok, tiga ulangan. Peubahyang diamati adalah hasil biji. Analisis ragam data di setiap lokasidilakukan untuk mengetahui penampilan tiap genotipe pada masing-masing lokasi. Analisis stabilitas hasil menggunakan model AMMIdengan software CropStat 7.2. Hasil penelitian menunjukkangenotipe CH-2, CH-4, dan CH-6 tergolong stabil. Genotipe CH-2 danCH-4 berpeluang dilepas sebagai varietas unggul baru umur genjahkarena mempunyai rata-rata hasil lebih tinggi, masing-masing 8,71t/ha dan 7,52 t/ha, sedangkan genotipe CH-6 memiliki rata-rata hasillebih rendah dibanding rata-rata hasil genotipe yang diuji. CH-8adalah genotipe spesifik lokasi Donggala dengan hasil biji 8,38 t/ha

(Penulis)

Kata kunci: jagung hibrida, genjah, stabilitas hasil, indeks lingkungan,AMMI.

Nining Nurini Andayani, M. Yasin HG, Marcia B. Pabendon (BalaiPenelitian Tanaman Serealia, Maros)

Keragaman Genetik Inbrida Jagung QPM dan Provit-A BerdasarkanMarka SSRs (Simple Sequence Repeats)

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 2,hlm 133-140.

Informasi keragaman genetik inbrida jagung QPM dan Provit-Adiperlukan untuk mendukung program pemuliaan jagung varietas

255-5

Page 96: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

256

hibrida unggul. Marka SSR telah banyak digunakan dalam studikeragaman genetik, identifikasi varietas tanaman dan pemetaangen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman genetiksatu set inbrida jagung QPM dan Provit-A menggunakan 29 markaSSR. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler BadanLitbang Pertanian, Balai Penelitian Serealia di Maros. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa dari total 90 inbrida hanya 20 inbrida yangdapat dimasukkan dalam program hibrida dengan homosigositas>80% dan diperoleh 83 alel dengan kisaran 2-6 alel/lokus, rata-rata3 alel/lokus SSR. Nilai polimorfisme berkisar dari 0,10 sampai 0,74,rata-rata 0,45. Koefisien kemiripan genetik berkisar antara 0,39-0,92. Nilai jarak genetik berkisar antara 0,08-0,75. Berdasarkananalisis klaster 20 inbrida, terbentuk tiga klaster pada koefisienkemiripan genetik 0,41. Nilai koefisien korelasi kofenetik (r) 0,85tergolong baik terhadap matrik kemiripan genetik. Diperoleh prakiraan30 rekombinan yang bersifat heterosis yang melibatkan 20 inbridajagung QPM dan Provit-A, yang memiliki jarak genetik £ 0,65. MarkaSSR memberikan informasi yang akurat dan efektif tentangvariabilitas genetik 20 inbrida jagung QPM dan Provit-A, yangbermanfaat dalam pembentukan hibrida.

(Penulis)

Kata kunci: jagung QPM, jagung Provit-A, inbrida, jarak genetik,SSRs.

Sheny Sandra Kaihatu, Marietje Pesireron (Balai Pengkajian TeknologiPertanian Maluku)

Adaptasi Beberapa Varietas Jagung pada Agroekosistem LahanKering di Maluku

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 2,hlm 141-147.

Jagung memegang peranan penting dalam perekonomian nasional,namun produktivitasnya masih rendah. Salah satu carameningkatkan produktivitas jagung adalah dengan mendapatkanvarietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan adaptif denganlingkungan setempat. Kajian yang dilakukan di Desa Haruru,Kecamatan Amahai, Maluku Tengah, dari bulan Maret sampaiAgustus 2012 bertujuan untuk mengetahui varietas jagung yangadaptif pada agroekosistem lahan kering. Kajian menggunakanrancangan acak kelompok yang diulang tiga kali, petani sebagaiulangan. Varietas yang diuji adalah Srikandi Kuning, Gumarang,dan Sukmaraga sebagai varietas komposit, Bima-2, dan Bima-4sebagai varietas hibrida, dan Mutiara, Ungu Hati Putih, Merah,Orange Hati Putih, dan Orange Hati Merah yang merupakan varietaslokal, yang diperoleh dari petani di Kabupaten MTB. Pupuk diberikansecara tugal, 5-7 cm di sisi tanaman, dengan dosis 135 kg N, 90 kgP2O5, 60 kg K2O dan 1-2 t/ha pupuk kandang. Parameter yangdiamati adalah persentase tanaman tumbuh, umur 50% bunga jantan,umur 50% bunga betina, tinggi tanaman, tinggi tongkol , panjangtongkol, berat tongkol, diameter tongkol, jumlah baris/tongkol, jumlahbiji/baris, bobot 100 biji, bobot biji kering, kadar air, dan hasil. Hasilkajian menunjukkan varietas lokal memberikan pertumbuhan yanglebih baik. Hasil yang tinggi ditunjukkan oleh varietas hibrida danvarietas unggul. Varietas hibrida Bima-4 menghasilkan biji pipilankering tertinggi yaitu 10,31 t/ha, kemudian diikuti oleh varietas hibridaBima-2 serta varietas bersari bebas Sukmaraga, Srikandi Kuningdan Gumarang masing-masing 8,70 t/ha, 7,97 t/ha, 7,60 t/ha, dan7,26 t/ha. Hasil varietas lokal Mutiara, Orange Hati Putih, Merah,Orange Hati Merah, dan Ungu Hati Putih masing-masing hanya 3,74t/ha, 3,32 t/ha, 3,07 t/ha, 3,02 t/ha, dan 2,45 t/ha.

(Penulis)

Kata kunci: jagung, varietas, adaptasi, lahan kering.

Hesti Pujiwati (Dosen Program Studi Agroekoteknologi FakultasPertanian Universitas Bengkulu); Munif Ghulamahdi, SudirmanYahya, Sandra Arifin Aziz (Departemen Agronomi dan Hortikultura,Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor); Oteng Haridjaja(Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor)

Tanggap Kedelai Hitam terhadap Cekaman Aluminium pada KulturHara

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 2,hlm 149-153.

Cekaman Al pada tanaman menghambat pertumbuhan akar. Indekssensitivitas panjang akar dapat dijadikan indikator toleransi akarterhadap cekaman Al. Pewarnaan hematoksilin dapat digunakanuntuk melihat pergerakan Al pada jaringan akar tanaman. Penelitianini bertujuan untuk mengetahui toleransi genotipe kedelai padakonsentrasi Al bertingkat. Percobaan dilaksanakan pada Februarihingga April 2014 di Rumah Kaca Kebun Percobaan Cikabayan IPB.Percobaan disusun dalam faktorial 4 x 3 menggunakan rancanganacak lengkap dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalahkonsentrasi Al: tanpa Al (A0); 0,5 mM Al (A1); 0,7 mM Al (A2) dan0,9 mM (A3). Faktor kedua adalah varietas kedelai: Tanggamus,Cikuray, dan Ceneng. Pengamatan meliputi indeks sensitifitaspanjang akar dengan pewarnaan hematoksilin, pergerakan Al padavarietas toleran dan peka Al. Hasil penelitian menunjukkan varietasTanggamus toleran hingga konsentrasi Al 0,5 mM dan moderat padakonsentrasi Al 0,7 dan 0,9 mM, varietas Cikuray toleran hinggakonsentrasi 0,5 mM Al, moderat pada konsenstrasi 0,7 mM Al, danmenjadi peka pada konsentrasi 0,9 mM Al, varietas Ceneng pekapada konsentrasi 0,5 sampai 0,9 mM Al. Pewarnaan hematoksilinmenunjukkan kerusakan jaringan akar lebih berat dan warna birulebih pekat pada varietas peka dibandingkan dengan varietas toleran.

(Penulis)

Kata kunci: kedelai hitam, cekaman aluminium, toleransi.

Saptowo J. Pardal (Balai Besar Penelitian dan PengembanganBioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian); Suharsono(Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut PertanianBogor)

Evaluasi Galur Kedelai Transgenik Toleran Aluminium pada FasilitasUji Terbatas

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 2,hlm 155-161.

Sebagian lahan masam memiliki potensial untuk perluasan lahanpertanian. Kendala utama pengembangan kedelai di lahan masamantara lain keracunan Al dan defisiensi hara. Pengapuran kurangekonomis dan pengaruhnya mudah hilang sehingga diperlukanvarietas kedelai toleran lahan masam. Perakitan kedelai toleran lahanmasam dapat dilakukan melalui rekayasa genetik denganmenyisipkan gen toleran aluminium (Al), gen MaMt2 dengan bakteriAgrobacterium tumefaciens ke dalam genom kedelai. Sebanyak 31tanaman kedelai T0 telah dihasilkan melalui insersi gen toleran Almenggunakan perantaraan Agrobacterium tumefaciens dansembilan galur diantaranya positif mengandung gen MaMt2berdasarkan hasil uji PCR. Selanjutnya, pada pengujian lebih lanjutgalur tersebut di fasilitas uji terbatas diperoleh empat galur T1 yangmasih membawa gen MaMt2, yaitu GM2, GM5, GM10 dan GM14.Keempat galur ini digunakan dalam penelitian ini. Penelitian inibertujuan untuk mengetahui toleransi terhadap Al dari empat galurkedelai T2 (GM2, GM5, GM10 dan GM14) yang berasal dari galur T1secara fenotipik dan genetik (molekuler). Tahapan pengujian meliputiuji kepekaan benih T1 terhadap higromisin, uji toleransi tanaman T2

256-6

Page 97: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

257

terhadap cekaman Al pada fasilitas uji terbatas, dan konfirmasi genMaMt2 pada tanaman T2. Hasil penelitian menunjukkan keempatgalur T2 yang diuji berkecambah pada medium higromisin, artinyasemua galur tersebut membawa gen ketahanan higromisin (hptII).Kemudian hasil uji fenotipik tanaman T2 menggunakan empat mediatumbuh dengan pH dan kandungan Al berbeda menunjukkan keempatgalur kedelai T2 hanya dapat tumbuh pada media tanah denganperlakuan Al (tanpa kapur dan kompos). Pertumbuhan galur GM2

lebih baik daripada GM5, GM10 dan GM14. (Penulis)

Kata kunci: kedelai transgenik, toleransi Al, karakter fenotipik,molekuler.

Zahara Mardiah, Ami Teja Rakhmi, S. Dewi Indrasari, BramKusbiantoro (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi)

Evaluasi Mutu Beras untuk Menentukan Pola Preferensi Konsumendi Pulau Jawa

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 3,hlm 163-172.

Pulau Jawa merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbanyaksekaligus konsumen beras tertinggi di Indonesia. Sampai saat iniberas yang banyak dikonsumsi oleh penduduk di Pulau Jawadidominasi oleh varietas Ciherang. Penelitian ini bertujuan untukmempelajari pola preferensi konsumen di Pulau Jawa terhadap berassebagai salah satu pertimbangan untuk diseminasi dan perakitanvarietas unggul baru. Evaluasi dilakukan melalui uji sensori danfisikokimia pada lima jenis beras yang paling banyak dibeli konsumendi tiap provinsi di Pulau Jawa. Uji sensori yang dilakukan adalah ujikesukaan dan uji ranking oleh 1.000 panelis pada lima provinsi diPulau Jawa. Analisis fisikokimia beras dilakukan di LaboratoriumProksimat Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Secara umumpreferensi konsumen memiliki pola yang mirip, kecuali di ProvinsiDIY. Konsumen umumnya lebih menyukai beras dengan kandunganamilosa sedang, kecuali di Provinsi DIY yang menyukai beras denganamilosa rendah. Karakter suhu gelatinisasi beras sebagian besartinggi, kecuali di Provinsi DIY yang didominasi oleh beras dengansuhu gelatinisasi rendah. Warna beras mempengaruhi preferensikonsumen, kecuali konsumen di Jawa Barat yang memilih berastidak berdasarkan warna putih. Preferensi konsumen denganterhadap beras secara umum nyata dipengaruhi oleh kandunganamilosa dan tidak dipengaruhi oleh parameter lainnya. Derajat putihberas nyata berhubungan dengan preferensi konsumenberdasarkan warna dan sangat nyata berdasarkan kilap dan rasanasi.

(Penulis)

Kata kunci: mutu beras, uji sensori, preferensi beras.

Siti Dewi Indrasari, Purwaningsih, Erni Apriyati (Balai PengkajianTeknologi Pertanian Yogyakarta), Shinta Dewi Ardhiyanti (Balai BesarPenelitian Tanaman Padi)

The Consumers Preferences on Variety Assurance Rice Labelledfor Hipa 8, Ciherang And Inpari 13

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 3,hlm 173-180.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari penerimaan konsumenterhadap beras berlabel jaminan varietas (BBJV) yang diproduksioleh Kopkarlitan BB Padi. Penelitian dilaksanakan pada Septemberhingga November 2013. Responden diminta menilai kesukaannyaterhadap sampel beras dan nasi yang disajikan. Preferensi beras

yang dinilai berdasarkan ranking aroma, warna, bentuk/ukuran,keutuhan, kebersihan (1 = paling disukai; 6 = paling tidak disukai)dan penerimaan secara umum beras dinilai secara hedonik (1 =sangat suka; 5 = sangat tidak suka). Preferensi nasi yang dinilaiyaitu aroma, warna, tekstur, kilap, bentuk, rasa dan penerimaansecara umum. Beras yang digunakan adalah varietas Hipa 8mewakili beras aromatik dan varietas Ciherang serta Inpari 13mewakili beras nonaromatik. Sebagai pembanding digunakan berasberlabel nonjaminan varietas (BBNJV) aromatik dan nonaromatikyang dibeli pada dua pasar modern di Jakarta. Data yang diperolehdisajikan secara deskriptif dan data hasil uji organoleptik dianalisisdengan uji Kruskal-Wallis. Responden yang menyatakan produkBBJV lebih baik dibanding produk BBNJV berdasarkan bentuk beras55%, warna beras 31%, aroma beras 44%, keutuhan 68%,kebersihan 68%, rasa nasi 54%, mutu gizi 87%, dan mutu fungsional88%. Responden lainnya yang menyatakan produk BBJV samadengan BBNJV berdasarkan bentuk beras 45%, warna beras 52%,aroma beras 48%, keutuhan 27%, kebersihan 30%, rasa nasi 39%,mutu gizi 12% dan mutu fungsional 11%. Berdasarkan preferensipenerimaan umum, beras aromatik yang paling disukai adalah BBJVHipa 8 di Kota Bandung dengan tingkat kesukaan 1,93 (suka) danranking 57,67. Untuk beras aromatik, tidak ada perbedaan tingkatkesukaan dari semua sampel yang diuji berdasarkan preferensipenerimaan umum. Berdasarkan preferensi penerimaan umum, yangpaling disukai dari beras nonaromatik adalah beras Setra RamosBPS dan BBJV Inpari 13 masing-masing dengan tingkat kesukaandan ranking 1,57 (suka) dan 60,07 serta 1,74 (suka) dan 58,64 diKota Yogyakarta. Penerimaan secara umum BBJV Ciherang denganbeberapa BBNJV lainnya relatif sama. Tingkat kesukaan secaraumum antara beras nonaromatik BBJV Ciherang dan Inpari 13 denganberas nonaromatik BBNJV lain dari dua pasar modern di Jakartarelatif sama. Beras yang paling disukai secara umum adalah berasSetra Ramos BPS dengan tingkat kesukaan 1,77 (suka) dan ranking58,83 di Kota Bandung.

(Penulis)

Kata kunci: preferensi beras, jaminan varietas, konsumen.

Yudhistira Nugraha, Indrastuti A. Rumanti, Agus Guswara, Suwarno(Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi), SinthoWahyuning Ardie, Munif Ghulammahdi, Hajrial Aswidinnoor(Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB)

Respon Varietas Indonesia Terpilih pada Kondisi Kelebihan BesiFase Bibit di Media Kultur

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 3,hlm 181-190.

Keracunan besi sering membatasi hasil padi pada tanah masamdan rawa di beberapa negara tropis. Penggunaan varietas toleranterhadap keracunan besi menjadi strategi alternatif dalammeningkatkan hasil padi pada daerah-daerah tersebut. Penelitianbertujuan untuk mempelajari variasi fenotipik dan mengkarakterisasialur besi di dalam akar dan tajuk dari 24 genotipe padi yang ditanampada kondisi tercekam Fe tinggi dengan konsentrasi 400 mg. L-1dan dalam kondisi normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwaterdapat variasi dalam akumulasi biomasa selama perlakuancekaman Fe, yaitu genotipe toleran yang berbobot kering tajuk besardan genotipe toleran dengan bobot kering tajuk kecil. relatif bobotkering berkorelasi sangat nyata dengan skor bronzing daun (LBS)pada kondisi cekaman besi. Berdasarkan kategorisasi ini, beberapagenotipe dipilih untuk dipelajari jaringan dengan menggunakanvisualisasi pewarnaan 2,2 bypiridine untuk mengetahui keberadaanFe di dalam akar dan tajuk. Hasil penelitian menunjukkan sejumlahgenotipe dapat membentuk aerinkima di daerah akar dan tajuk akibatperlakuan cekaman besi. Kemampuan ini berhubungan dengan

257-7

Page 98: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

258

terbentuknya plak besi di akar dan kandungan besi di tajuk. Dengandemikian, genotipe padi dapat digolongkan menjadi tipe toleranincluder (Inpara2) dan tipe toleran excluder (Mahsuri, Pokkali andSiam Saba). Informasi tentang strategi toleransi tanaman padiberguna untuk pemulia dalam merancang program pemuliaantanaman padi toleran terhadap keracunan besi berbasis fisiologi.

(Penulis)

Kata kunci: padi, tipe excluder, tipe includer, ferric, aerenkima,biomassa

Enung Sri Mulyaningsih, Ambar Yuswi Perdani, Sri Indrayani (PusatPenelitian Bioteknologi LIPI), Suwarno (Balai Besar PenelitianTanaman Padi, Sukamandi),

Seleksi Fenotipe Populasi Padi Gogo untuk Hasil Tinggi, ToleranAlumunium dan Tahan Blas pada Tanah Masam

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 3,hlm 191-197.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan galur-galur padi gogopotensi hasil tinggi, toleran alumunium (Al), dan tahan penyakit blasmelalui proses seleksi. Material genetik yang diseleksi adalah 380galur (F6) yang berasal dari enam kombinasi persilangan yang diujiketahanannya pada lahan bercekaman Al dan lingkungan endemikblas. Percobaan menggunakan rancangan augmented terbagi dalamlima blok teracak. Penampilan tanaman diamati di lapangan dan tingkatketahanan terhadap blas serta cekaman Al. Hasil percobaanmenunjukkan bahwa dari 380 galur padi gogo yang diuji terbentuklima klaster genetik berdasarkan karakter kuantitatifnya. Klaster 2menunjukkan hasil terbaik dibanding klaster lain berdasarkanparameter yang diuji, yaitu vigor pertumbuhan tanaman sudahseragam, umur berbunga 50% dan umur panen genjah, posturtanaman sedang, jumlah anakan produktif terbanyak, panjang malaisedang, jumlah gabah isi terbanyak, jumlah gabah hampa sedikit,dan potensi hasil tertinggi. Ketahanan terhadap blas dan cekamanAl dimiliki hampir semua klaster, dan tertinggi pada klaster 2 sebesar98% terhadap blas dan 94% terhadap Al.

(Penulis)

Kata kunci: padi gogo, seleksi fenotipe, toleran aluminium, tanahmasam, tahan blas.

Muhammad Azrai, Roy Efendi, Suwarti, (Balai Penelitian TanamanSerealia, Maros), R. Heru Praptana (Pusat Penelitian danPengembangan Tanaman Pangan, Bogor)

Keragaman Genetik dan Penampilan Jagung Hibrida Silang Puncakpada Kondisi Cekaman Kekeringan

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 3,hlm 199-208.

Pembentukan varietas unggul jagung hibrida toleran kekeringanmemerlukan materi dengan keragaman genetik yang luas. Penelitianini bertujuan untuk mendapatkan informasi ragam genetik dan nilaiheritabilitas serta penampilan hasil, komponen hasil dan beberapapeubah agronomi hibrida silang puncak dari galur S1 pada kondisicekaman kekeringan berat. Sebanyak 158 hibrida silang puncakdan empat varietas hibrida pembanding diuji penampilan hasil,komponen hasil dan sifat agronomi lainnya di Probolinggo, JawaTimur dan Gowa, Sulawesi Selatan pada musim kemarau 2013.Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok, dua ulangan.Setiap hibrida ditanam pada petakan yang terdiri dari dua baris,panjang 5 m, jarak antarbaris 70 cm, dan jarak dalam baris 20 cm.Hasil penelitian menunjukkan hibrida silang puncak memberikan

respon yang berbeda nyata terhadap cekaman kekeringan. Nilaiduga heritabilitas umur berbunga betina, jumlah barisan biji pertongkol, dan rendemen biji tergolong tinggi, sedangkan umurberbunga jantan, selang bunga jantan dan betina, tinggi tanamandan letak tongkol, bobot dan penampilan tongkol panen, panjangtongkol, bobot 1.000 biji dan hasil biji tergolong sedang. Dari 20hibrida terbaik berdasarkan rata-rata hasil panen tertinggi, terdapat17 galur berdaya gabung baik dengan varietas P21, 2 galur berdayagabung baik dengan Bima 11, dan hanya satu galur berdaya gabungbaik dengan kedua tetua silang puncaknya, yaitu P21 dan Bima 11.Hasil biji 20 hibrida silang puncak tersebut di Probolinggo berkisar4,8-7,3 t/ha, nyata lebih unggul dari semua varietas pembanding,sedangkan di Gowa berkisar 4,5-6,7 t/ha, 4 hibrida di antaranyanyata lebih unggul dari keempat varietas pembanding. Untuk seleksilebih lanjut, pemilihan galur S1 terbaik sebaiknya per lokasi karenapengaruh faktor lingkungan cukup besar.

(Penulis)

Kata kunci: jagung, silang puncak, variabilitas genetik, seleksi.

Robet Asnawi (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung), MadeJana Mejaya (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan)

Analisis Keunggulan Kompetitif Ubi Kayu terhadap Jagung danKedelai di Kabupaten Lampung Tengah

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 3,hlm 209-215.

Ubi kayu banyak dikembangkan di Provinsi Lampung, karena memilikidaya adaptasi yang luas, mudah diusahakan dengan risiko kegagalanlebih kecil, dan harga yang menjanjikan. Penelitian ini bertujuan untukmenganalisis keunggulan kompetitif usahatani ubi kayu dibandingkandengan jagung dan kedelai pada MT-1 dan MT-2. Penelitian dilakukandi Kabupaten Lampung Tengah pada bulan April 2012 sampaiFebruari 2013. Data primer diperoleh dari 90 orang petani respondenmelalui metode survei dengan wawancara dan kuisioner terstruktur.Data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Data diolah denganmetode analisis finansial dan keuntungan kompetitif. Hasil penelitianmenunjukkan ubi kayu lebih menguntungkan untuk diusahakandengan pendapatan Rp 21.109.000/ha dan R/C 2,91, dibandingkandengan usahatani jagung dengan pendapatan Rp 15.935.000 danR/C 2,01 dan usahatani kedelai dengan pendapatan Rp.5.187.800/ha dan R/C 1,48. Usahatani ubi kayu akan kompetitif terhadapusahatani jagung dan kedelai pada tingkat produktivitas minimalmasing-masing 34.567 kg/ha dan 20.788 kg/ha dengan harga minimalRp 654/kg dan Rp 394/kg.

(Penulis)

Kata kunci: ubi kayu, jagung, kedelai, usahatani, keunggulankompetitif.

Bachtiar (Fakultas Pertanian, Universitas Gorontalo), MunifGhulamahdi, Maya Melati, Dwi Guntoro (Departemen Agronomi danHortikultura, Institut Pertanian Bogor), Atang Sutandi (DepartemenIlmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Institut Pertanian Bogor)

Kebutuhan Nitrogen Tanaman Kedelai pada Tanah Mineral danMineral Bergambut dengan Budi Daya Jenuh Air

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 3,hlm 217-227.

Pengembangan kedelai pada lahan pasang surut dihadapkan kepadamasalah sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, di antaranya kandunganbahan organik tinggi, kemasaman tanah tinggi, keracunan Fe danAl, serta kahat hara N, P, K, Ca dan Mg. Kandungan N di lahan

258-8

Page 99: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

259

pasang surut termasuk tinggi (>0,51%), namun N-tersedia rendah.Waktu pemupukan dan dosis pupuk N berpengaruh padapertumbuhan dan produksi tanaman. Tujuan penelitian adalahmenentukan dosis dan waktu pemberian pupuk N yang sesuaikebutuhan tanaman kedelai untuk tumbuh dan berproduksi maksimaldengan budi daya jenuh air pada tanah mineral dan mineralbergambut lahan pasang surut. Penelitian dilaksanakan pada tanahmineral dan mineral bergambut lahan pasang surut masing-masingpada tipe C dan B di Banyuasin, Sumatera Selatan, pada April-Agustus 2014. Percobaan menggunakan rancangan petak-petakterpisah. Petak utama adalah varietas Wilis dan Tanggamus, anakpetak adalah waktu pemberian pupuk: (1) 2, 3 dan 4 MST, (2) 2, 3,4 dan 5 MST, dan (3) 2, 3, 4, 5 dan 6 MST. Sebagai anak-anak petakadalah dosis pupuk N, 7,5; 10; 12,5; dan 15 g/l air dengan volumesemprot 400 l/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tanahmineral, bobot kering bintil akar dan brangkasan varietas Wilismeningkat dengan bertambahnya frekuensi waktu pemupukan, dansebaliknya pada varietas Tanggamus. Interaksi antara varietas Wilis,waktu pemupukan 2-6 MST dan dosis N 7,5 g/l air memberikanproduktivitas tertinggi 3,5 t/ha. Pada tanah mineral bergambut, bobotkering bintil akar dan bobot brangkasan tanaman antar perlakuantidak berbeda nyata. Produktivitas varietas Wilis menurun denganbertambahnya konsentrasi pupuk N. Produktivitas tertinggi (3,2 t/ha) dicapai pada pemupukan N dengan dosis 15 g/I dan waktupemupukan 2-4 MST. Pemberian N pada dosis rendah dan frekuensiyang lebih tinggi atau dosis yang tinggi dengan frekuensi lebihrendah meningkatkan produktivitas kedelai pada tanah dengankandungan pirit tinggi.

(Penulis)

Kata kunci: Glycine max (L) Merr., nitrogen, waktu pemupukan,tanah mineral, gambut.

Ridwan Muis (Program Studi Agronomi dan Hortikultura InstitutPertanian Bogor, Program Studi Agronomi Fakultas PertanianUniversitas Jambi), Munif Ghulamahdi, Maya Melati, Purwono(Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, InstitutPertanian Bogor Irdika Mansur (Program Studi Silvikultur, FakultasKehutanan, Institut Pertanian Bogor)

Kompatibilitas Fungi Mikoriza Arbuskular dengan Tanaman Kedelaipada Budi Daya Jenuh Air

Compatibility of Arbuscular Mycorrhizae Fungi Inoculants withSoybean in Saturated Soil Culture

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 3,hlm 229-237.

Masalah utama yang ditemui pada lahan sulfat masam pasang surutadalah kurang tersedianya P bagi tanaman karena mengalami ikatankimia dengan Fe. Pemupukan dengan dosis tinggi seringkalimengakibatkan residu pemupukan yang tinggi. Residu pupuk iniberpeluang dimanfaatkan bagi pertumbuhan tanaman pada budidaya berikutnya dengan menggunakan FMA. Penelitian ini bertujuanuntuk mengetahui pengaruh cara budi daya dan sumber inokulanFMA terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai. Percobaan

menggunakan rancangan acak kelompok dua faktor dengan tigaulangan. Faktor pertama adalah empat sumber inokulan FMA yangterdiri atas tanpa inokulasi, inokulan dari rizosfer kudzu (Puerariajavanica), sorgum (Sorghum bicolor), jagung (Zea mays), dankedelai (Glycine max). Faktor kedua adalah cara budi daya jenuhair dan budi daya lahan kering (budidaya konvensional). Kedelaivarietas Tanggamus ditanam dalam pot berisi 5 kg tanah yangberasal dari lahan pasang surut Kelurahan Simpang, KecamatanBerbak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Hasil penelitianmenunjukkan interaksi antara budi daya jenuh air dengan inokulandari rizosfer jagung berpengaruh nyata positif terhadap serapanhara P tanaman (0,13 g/tanaman), P tanaman (0,39%), efisiensirelatif inokulan (72,8%), efisiensi relatif serapan hara P (133,3%),bobot kering brangkasan (35,4 g/tanaman), jumlah polong isi (106polong), dan bobot kering biji kedelai (27,6 g/tanaman). Budi dayalahan kering dengan inokulan FMA dari rizosfer jagung memilikikolonisasi akar yang lebih besar. Namun secara keseluruhan budidaya jenuh air dengan inokulan FMA dari jagung berpengaruh terbaikterhadap pertumbuhan dan hasil biji kedelai varietas Tanggamus.

(Penulis)

Kata kunci: Kedelai, inokulan FMA, lahan pasang surut.

Henny Kuntyastuti, Sri Ayu Dwi Lestari (Balai Penelitian TanamanAneka Kacang dan Umbi, Malang)

Effect of Fertilizer Dosage and Plant Population on Mungbean Growthand Yield Performance at Upland With Dry Climates

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 3,hlm 239-249.

Umur genjah dan toleran kondisi kering memungkinkan bagi kacanghijau dibudidayakan pada lahan kering beriklim kering. Teknologibudi daya yang sesuai perlu diidentifikasi guna meningkatkanproduktivitas. Percobaan dilaksanakan dengan tujuan mendapatkanteknik budi daya yang terdiri dari kombinasi populasi tanaman, pupukorganik, dan anorganik yang optimal pada kacang hijau. Percobaandilaksanakan pada tanah Alfisol lahan kering tipe iklim E di KabupatenProbolinggo, Jawa Timur, musim kemarau 2015. Rancanganpercobaan adalah petak terpisah dengan tiga ulangan. Petak utamaadalah jarak tanam, yaitu: 1) 40 cm x 10 cm, satu tanaman/rumpun,2) 40 cm x 15 cm, dua tanaman/rumpun, 3) 40 cm x 20 cm, duatanaman/rumpun. Anak petak adalah kombinasi pupuk organik dananorganik, yaitu 1) tanpa pupuk, 2) 50 kg ZA + 50 kg SP36 + 100 kgKCl/ha, 3) 150 kg Phonska/ha, 4) 5 t pupuk kandang/ha, dan 5) 75kg Phonska + 2,5 t pupuk kandang/ha. Pemupukan NPK dosis sedang(22,5 kg N + 22,5 kg P

2O

5 + 22,5 kg K

2O + 15 kg S/ha) dan populasi

tanaman 250.000 hingga 333.333 tanaman/ha dinilai sesuai untukmemperoleh hasil ptimal kacang hijau pada lahan kering iklim kering.Pemupukan NPK dosis rendah (11,3 kg N + 11,3 kg P

2O

5 + 11,3 kg

K2O + 7,5 kg S) ditambah 2,5 t pupuk kandang/ha mampu

menghasilkan biomas cukup tinggi, 3,2 kg/ha.

(Penulis)

Kata kunci: Kacang hijau, pupuk organik, anorganik, residu pupuk,biomas, kualitas tanah.

259-9

Page 100: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

260

Suprihanto (Indonesian Center for Rice Research); SusamtoSomowiyarjo, Sedyo Hartono, dan Y. Andi Trisyono (Faculty ofAgriculture Gadjah Mada University, Yogyakarta)

Brown Planthopper Preference to Rice Varieties and the Resistanceof Rice Varieties to Rice Ragged Stunt Virus

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 1-8.

Rice ragged stunt virus (RRSV) is transmitted by brown planthopperin the persistent manner. This disease in recent years has becomea serious problem in Indonesia and some other countries, such asChina, Vietnam, Philippines, and Thailand. Disease control is usuallyconducted by the vector control using insecticides, so often causesan environmental pollution. An alternative control method is usingthe environmentally friendly of resistant varieties. The purpose ofthis study was to determine the level of preference of brownplanthopper (BPH) to some varieties and rice germplasms, theresistance of several varieties against rice ragged stunt virus(RRSV) disease and its effectiveness as an inoculum source ofvirus (RRSV). A total of 15 varieties of rice were used in preferencetest of BPH and resistance test to RRSV. The test for resistancevarieties to RRSV was conducted by transmission of 2nd instar ofBPH for 3 days of acquisition feeding period, 10 days incubationperiod and 24 hours inoculation period with population density of 3BPH/plant. Disease index was calculated and used to determinethe level of plant resistance. Varieties that showed resistant,moderately resistant and susceptible responses were selectedand were used as a source of inoculum to be transmitted on to TN1variety susceptible check variety to know the effectiveness ofvarieties as source of virus inoculum. The results showed that ofthe 15 varieties tested, Situ Bagendit, Utri Merah, Mentik Wangi,Mahsuri, and Inpari 1 each was less favored by BPH to settle andto multiply. Mentik Wangi, Tetep, Utri Merah, and Swarnalata eachshowed resistant response to RRSV. Transmission test tosusceptible variety (TN1) showed that the variety of Situ Bagendit,Inpari 13, Mentik Wangi, and Tetep each has a fairly loweffectiveness as a source of inoculum as indicated by the lowerpercentage of infection and disease index on the transmited testplants.

(Author)

Keywords: BPH, rice ragged stunt virus, rice variety, resistance.

Baehaki.S.E. (Pupuk Indonesia Holding Company, Jakarta); Eko HariIswanto, Dede Munawar (Indonesian Center for Rice Research)

Intrinsic Growth Rate of Natural Increases of Brown Planthopperon Rice Crop under Global Climate Changes

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 9-18.

Study on the intrinsic growth rate of natural increases of brownplanthopper (BPH) was carried out in Sukamandi, Subang, WestJava in 2012 at the screen house of Indonesian Center for RiceResearch using host of two rice varieties, Pelita I/1 and Inpari 13.

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan

ISSN 0216-9959 Volume 35, 2016

The description given are free terms. This abstract sheets may be reproduced without permission of charge

The study evaluated the effects of global climate changes on thedevelopment of brown planthopper after three decades since thefirst study in 1984. Results showed that the development of brownplanthopper in Sukamandi, Subang field after a period of threedecades was very different from the brown planthopper in 1984.The intrinsic rate of natural increase of BPH on Pelita I/1 was rm=0.2285 wich was 2.22 fold in three decades and on Inpari 13variety was rm = 0.2209 or 2.14 folds compared to that in 1984.Generation time of BPH on Pelita I/1 and on Inpari 13 was shorter by0.81-0.83 times. The index of BPH survival on Pelita I/1 reached5.2299 times and the index of the BPH survival on Inpari 13 reached5.8881 times, compared to that of three decades ago. BPHdevelopment on Pelita I/1 showed that the ratio of females: maleswas 74%: 26%. In Inpari 13 variety showed the ratio females:males was 70.8%: 29.2%. Based on the description, the intrinsicgrowth rate of natural increases of brown planthopper had changedover three decades. The implications was that the populationdynamics of brown planthopper had changed toward higher fitnessas affected by global climate change.

(Author)

Keywords: rice, BPH, intrinsic rate, climate change.

Siti Dewi Indrasari, Kristamtini (Assessment Institute for AgriculturalTechnology Yogyakarta); Ami Teja Rakhmi (Indonesian Center forRice Research); Agus Subekti (Assessment Institute for AgriculturalTechnology West Kalimantan)

Physical, Milling, and Functional Qualities of Grain Rice of the LocalVarieties of West Kalimantan

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 19-28.

The physical of paddy and milled rice qualities, physicochemicalproperties and the functional properties of milled rice were analyzedto study the grain characteristics of four local paddy varietiesderived from West Kalimantan. The study was conducted at PostHarvest Grain Quality Laboratory, Indonesian Center for RiceResearch in 2013. Method used for physical and milling qualityproperties followed IRRI method. Functional characteristic wasanalyzed using LC-MS. The observations were done in sixreplications. The data was analyzed for the correlation amongcharacters. Significant correlation between characters was furtheranalysed for regression equation. The shapes of grains of localrice varieties were slim to medium. There was correlation betweenpaddy moisture content and head rice percentage, betweendamaged grain and paddy density, between yield of brown riceand yield of milled rice, and percentage of head rice, betweenpercentage of head rice and yield of milled rice, and betweenempty grain and broken grain. The functional character relationshipshowed that Cyanidin 3 Glucosidase (C3G) content of brown riceinfluenced the C3G content of milled rice. “Sanik” red rice, “Beliah”purple rice and “Balik” black rice may be useful to be used asparent for crossing in the breeding program for functional ricevarieties, due to their good quality of milled rice and their highcontent of C3G. The C3G is considered as anticancer, antioxidant,

260-1

Page 101: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

261

anti coronaria heart disease and it improves fat profiles in theblood. Therefore, colored rice is recommended to be consumed ina form of brown rice or milled rice with 80% degree milling to retainthe C3G content which is beneficial for the human health.

(Author)

Keywords: rice local variety, grain characteristics,physicochemical, functional properties.

Agung Budi Santoso (Assessment Institute for AgriculturalTechnology Maluku)

The Impact of Climate Change on Food Crops Production in theProvince of Maluku

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 29-38.

This study was aimed to determine the impact of climate change onfood crops performance in the Maluku province, based on theclimatological data from 1995 to 2012, and to find out cropcommodities that are adaptable to climate change. This study usedfour models of trend analysis: linear least square pattern, quadratic,exponential, and moving averages. The results of forecasting wereused to estimate food crop production in the year of climate changeto determine the impact of climate change on crop production.Results showed that soybean was the most sensitive crop to climatechange, it had the biggest impact on production, yield declined onboth El Nino (10.7%) and La Nina (11.4%). Paddy which is generallycultivated on the wetlands, El Nino had the smallest effect on adecrease of production of 2.9% and 2.4% increased on the LaNina. Corn production decreased 7.4% on the El Nino and 3.9%increased during the La Nina. Sweet potatoes was the mostresistant crop to climate change, the impact was increasedproduction by 2.5% during El Nino. To reduce the impacts of climatechanges could be done through some efforts, namely: (1) to identifyareas of potential drought, floods, pests and diseases endemicbased on climate and soil conditions, (2) to develop predictiontechniques, based on weather and climate forecasts to provideearly warning to farmers, (3) to prepare and disseminate a packageof technology which is able to withstand the adverse conditions ofthe El Nino and La Nina, including varieties, pest and diseaseprevention, and production inputs which are easily obtained byfarmers, (4) to improve irrigation and drainage channels, mainly onthe paddy fields to increase production capacity and to preventcrop failure during the dry season.

(Author)

Keywords: food crops, climate anomaly, production, projection.

Fausiah T. Ladja (Tungro Diseases Research Station); SriHendrastuti Hidayat, Tri Asmira Damayanti, Aunu Rauf (DepartmentPlant Protection, Faculty of Agriculture, IPB)

Rice Tungro Virus Detection on Weeds using PCR Techniques

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 39-43.

Virus tungro disease is a serious problem to rice crop in a certainarea of rice production in Indonesia. The disease is caused by acombined infection of Rice Tungro Bacilliform Virus (RTBV) andRice Tungro Spherical Virus (RTSV). Both viruses were reportedto infect ratoon rice plants, weeds, and wild rice. The study wasconducted to detect RTBV and RTSV on some weeds. Weedsamples were collected from rice fields in West Java, Bali, WestNusa Tenggara, Papua, and West Sumatera. The detection of RTBV

and RTSV were carried out using Polymerase Chain Reaction (PCR)and Reverse Transcription (RT) – PCR, employing coat protein genespecific primers. RTBV specific DNA fragment of ~1400 bp sizewas successfully amplified from various weed species including:F. miliacea, C. iria, M. vaginalis, L. adscendens, S. zeylanica, D.sanguinalis, and E. crusgalli. RTSV specific DNA fragment of ~787bp size was successfully amplified from weed species of F. miliacea,L. octovalvis, and D. sanguinalis. RTBV or RTSV specific DNAfragment was not amplified from L. flava and P. distichum. Weedsamples infected by both viruses did not show any tungro symptom.Virus detection based on molecular technique was able to determinethe status of weed whether it is as an alternate host of viruses.Weeds sanitation prior to rice planting, therefore, should beconsidered as an integral part of virus disease management.

(Author)

Keywords: rice, tungro, weeds, alternative host.

Laela Sari, Enny Sudarmonowati (Research Center fo BiotechnologyIndonesian Institute of Sciences); Agus Purwito, Didy Sopandie(Department Agronomy and Horticulture, Faculty of Agriculture, IPB;Ragapadmi Purnamaningsih (Indonesian Center for AgriculturalBiotechnology and Genetic Resources Research and Development)

Characterization of Wheat Mutan Lines Grown in the Tropical LowAltitude Land

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 45-52.

Characterization of mutant wheat (Triticum aestivum L.) lines is astep on the breeding program to determine the beneficial charactersfor increasing the productivity in tropical lowland. The aim of thisresearch was to obtain information on the variabil ity ofmorphological, anatomical, and physiological characters that couldbe used as selection criteria and to obtain adaptive mutant lines of“Alibey” in tropical low altitude land. Research was conducted atthe Experimental Farm of SEAMEO-BIOTROP in Bogor 250 m abovesea level, from April to December 2013. Mutant lines of “Alibey”consisted of 16 M3 mutants resulted from treatments of EMS. LC50of “Alibey” at 0.1% EMS for 60 minutes. Results showed that themutant lines changed their morphological traits significantly, asindicated by the four characters i.e. long stem panicle (8 mutants),grain weight/panicle (1 mutant), weight of 100 seeds (4 mutants)and seed weight/plant (9 mutants). However, the mutant had nosignificant effect on the nine other characters, including: time offlowering, days to maturing, panicle length, plant height, number oftillers, panicle number, and leaf area. Anatomical characters namelyleaf thickness and stomata size showed different values between“Alibey” mutant (AB-0.1.60-1-7-1) and the original Alibey. For thephysiological characters there were significant differences amongmutants with respect to the amount of proline and glucose levels.Proline level in the control plant was 4.15 ug/g BB, while that inmutant “AB-0.1.60-3-16-1” was 263.47 μg/g BB, and that in “AB-0.1.60-3-3-2” was 235.90 μ/g BB. Likewise, glucose level in controlwas 132.88 mg/ml, while in mutant “AB-0.1.60-3-16-1” was 181.48mg/ml, and that in “AB-0.1.60-3-3-2” was 287.41 mg/ml. “Alibey”mutants should be selected based on two characters i.e. stempanicle length and seed weight/plant. Correlation analysis betweenpanicle number and all other characters were not significant. Plantheight significantly affected the grain weight/panicle and the grainweight/plant. It is expected that some of the mutants are adaptableto the tropical lowlands, so that the diversity of wheat germplasmin Indonesia is increased.

(Author)

Keywords: wheat, mutant “Alibey”, EMS, tropical lowland.

261-2

Page 102: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

262

Made Oka Adnyana, Putu Wardana (Indonesian Center for FoodCrops Research and Development)

Farmers’ Willingness to Accept and Willingness to Pay for HybridRice Varieties in East Java

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 53-61.

Research on hybrid rice in Indonesia was initiated in 1983, incollaboration with the International Rice Research Institute. Since2000 private sector had indicated their interest in hybrid rice seedbusiness. Planted area of hybrid rice in Indonesia was still relativelysmall of about 658 thousand hectares or about 5.0 percent of thetotal rice planted area of 13.2 million hectares in 2013. This studywas aimed to analyze farmers’ responses and preferences to thedevelopment of hybrid rice in East Java, one of the rice productioncenter in Indonesia. Contingent valuation method (CVM) to analyzefarmers’ Willingness to Accept (WTA) and Willingness to Pay (WTP)with respect to various factors was then exercised to evaluateconstraints and prospect of the future of hybrid rice developmentin Indonesia. The outputs of this study showed that farmers’preferences to hybrid rice based on its taste was positive,especially to the newly introduced hybrid rice variety “Hipa Jatim”,when compared with the previous hybrid varieties, such as Maroand Rokan. WTA and WTP also showed significant farmers’ intereststo the hybrid variety, due to higher yield and its better taste, similarto that of popular inbred rice. Farmers’ WTAs of hybrid rice wassignificantly influenced by the productivity, response to pests anddeseases, and the total cost of production, while consummers’WTPs of hybrid rice was significantly influened by the quality ofmilled rice.

(Author)

Keywords: hybrid rice, WTA, WTP.

Achmad Yozar Perkasa (Pascasarjana Department Agronomy andHorticulture, Faculty of Agriculture, IPB); Munif Ghulamahdi, DwiGuntoro (Department Agronomy and Horticulture, Faculty ofAgriculture, IPB)

Using Herbicides for Weed Control on Soybean Saturated Cultureon the Tidal Swamp

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 63-69.

Weed is a problem on the soybean saturated culture in tidal swampland. The objective of this study was to obtain the most effectiveherbicide for weed control on soybean planted under saturatedculture in the tidal swamp land. Research was conducted in tidalswamp land at Banyu Urip village, Tanjung Lago districs, Banyuasin,South Sumatra Province, from July to December 2013, using arandomized block design consisted, of the eight treatments, withthree replications. The treatments were: control (P0), manualweeding 4 weeks after planting (P1), paraquat 2 l/ha 4 weeks afterplanting (P2), glyphosate 3 l/ha 4 after planting (P3), oxyfluorfen 2l/ha 3 days before planting (P4), oxyfluorfen 3 days before planting2 l/ha followed application of paraquat 4 weeks after planting 2 l/ha(P5), oxyfluorfen 3 days before planting 2 l/ha followed applicationof glyphosate 4 weeks after planting 3 l/ha (P6), penoxulam 1 l/ha2 weeks after planting (P7). Results showed that herbicide paraquateffectively suppressed total dry weight of weeds at 4, 6, and 8weeks after planting. Cyperus iria was the most dominant weed inthe field, with Sum Dominance Ratio 37.7%. The highest soybeanproductivity was 3.7 t/ha obtained from glyphosate treatment. Pre-emergence herbicide applications should be done prior to soybean

planting and the post-emergence herbicide application must be donecarefully by using nozzle lid to prevent toxicity to the crop plants.

(Author)

Keywords: soybean, saturated culture, weed, tidal swamp.

Syuryawati, Faesal (Indonesian Cereals Research Institute)

Financial Feasibility of Maize Production Technology Applied onRainfed Area

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 71-80.

Cultivation of maize applying integrated crop management approach(ICM) is an attempt to obtain higher productivity and better incomefor farmers, through an optimum production efficiency. Researchwas conducted to study the feasibility of the recommended maizeproduction technology by verifying its selected components on therainfed area. The components included: plant population, plantingmethod, and rates of fertilizers. The research was conducted inPangkep and Barru on rainfed areas, involving farmers’ groups asparticipants, each site from May to September 2012, and July toOctober 2012, respectively. Results indicated that the optimum rateof N fertilizer on the rainfed was 202.5-225 kg N/ha to increasefarmer’s income. Plant population of 66,666 plants/ha wasconsidered optimum on plant spacing of 75 cm x 20 cm or pairedrows of (100-50) cm x 20 cm, each giving yield and benefit ofrelatively similar. Hybrid varieties evaluation indicated that Bima-3Bantimurung produced higher yield than did Bisi-2, the highest yieldwas 12.07 t/ha with the benefit of Rp 22,457,625/ha. The MBCR inPangkep was 8.31 and in Barru was 7.50. The cost of productionper kg of grain of Bima-3 Bantimurung was lower, at Rp 640-750/kg. Integration technology components comprise of fertilizers,planting method, and superior variety is recommended for anefficient and profitable maize farming on the rainfed areas.

(Author)

Keywords: technology feasibility, income, maize, rainfed.

M. Arsyad Biba (Indonesian Cereals Research Institute)

Farmers’ Preferences on Hybrid Varieties of Maize based onAgronomic Characters, Productivity and Farming Profit

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 1,hlm 81-88.

Some hybrid maize varieties had been adopted by farmers, butfarmers responded differently toward each variety. The objectiveof the present study was to know the farmers’ responses to hybridvariety based on agronomic characters, productivity, and incomeamong four hybrid maize, namely N-35, BISI-2, BIMA-3, and SHS-11variety. The research was conducted in Takalar regency, SouthSulawesi from March to November 2014. Sampling method waspurposive, the number of respondents were 60 farmers. Informationwere derived from primary and secondary data. Primary data wereobtained through survey and interview using structuredquestionaires. Technical analysis using R/C ratio was presentedon tables then discussed in a descriptive-qualitative. Resultsshowed that farmers planted BIMA-3 variety were able to obtainyield of 9.5 t/ha at 16% of moisture content, gaining the highestprofit of Rp 15,875,000/ha. The superiority of BIMA-3 were itsgermination was better, the seed cost was cheaper, resistant todowney-mildew and stemborer, tolerant to drought stress, producedhigher yields and its biomass stayed green, so that it was suitablefor animal feeding. Variety N-35, BISI-2, and SHS-11 were not

262-3

Page 103: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

263

resistant to downey-mildew disease, the yields ranged from 6.9 t/ha to 7.9 t/ha, and their biomass were not stayed green. The highestR/C ratio was obtained from BIMA-3 (2.71), followed by BISI-2(2.61), N-35 (2.53), SHS-11 (2.44) and OPVs (2.33). B/C Ratio ofBIMA-3 was (1.71), BISI-2 (1.61), N-35 (1.53), SHS-11 (1.44), OPVs(1.33), and MBCR of BIMA-3 (2.13), BISI-2 (2.04), N-35 (1.86), andSHS-11(1.64). Therefore, BIMA-3 hybrid variety could berecommended for maize farming in South Sulawesi.

(Author)

Kata kunci: maize hybrid variety, agronomic character, productivity,farm income, farmer response.

Trias Sitaresmi, Cucu Gunarsih, Nafisah, Yudhistira Nugraha, BuangAbdullah, A.A. Daradjat, B. Suprihatno (Indonesian Center for RiceResearch); Ida Hanarida ((Indonesian Center for AgriculturalBiotechnology and Genetic Resources Research and Development);H. Aswidinnoor (Bogor Agricultural University); I.G.P. Muliarta(Mataram University)

Genotype x Environment Interaction of Grain Yield in Rice

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 2,hlm 89-97.

Grain yield of rice is determined by genotype (G), environment (E),and interaction between genotype x environment (G x E). Varietycan achieve its maximum yield potential if it is grown in suitableenvironments. This study was aimed to determine the adaptabilityand the yield stability of rice genotypes grown in differentenvironments. Sixteen rice genotypes were tested using RBD in 16sites during the wet season of 2010/2011, and dry season of 2011.The tested rice lines were developed for resistance to pest anddiseases. The experiment unit was 4 m x 5 m of plot, plants werefertilized with urea, SP36, and KCl at rates of 250 kg/ha, 100 kg/ha,and 100 kg/ha, respectively. Variable observed was grain yield perplot. Combined analyses of variance showed that there was nolines yielded higher than did check variety Conde. The AMMI analysisshowed that the largest variation was contributed by theenvironment factors (76.49%), genotype x environment interactions(17.55%), and the smallest was contributed by the genotypes(5.97%). Data exploration using boxplot method indicated that thelow contribution of the genotype x environment interaction variancein this study was due to the high degree of similarity of yield potentialsamong the genotypes, and due to high similarity of environmentalconditions of the sites. Based on the analysis of AMMI 2, linesB12743 - MR-18-2-3-8, IPB107-F-82-2-1, and Conde was eachclassified as widely adapted genotypes, while G8, IPB107-F-27-6-1, and BIO111-2-BC-PIR-3714, each was considered as genotypehaving a specific adaptation.

(Author)

Keywords: Rice, grain yield, G x E, AMMI.

Baehaki, S.E, E.H. Iswanto, dan D. Munawar (Indonesian Centerfor Rice Research)

Brown Planthopper Resistance to Insecticides Marketed in the RiceProduction Areas

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 2,hlm 99-107.

Research on brown planthopper (BPH), (Nilaparvata lugens (Stal.)resistant to insecticide using dipping method was carried out in thewet season (WS) of 2011/2012 at Indonesian Center for RiceResearch, Sukamandi. BPH field population from Sukamandi, West

Java, known as Sukamandi BPH population and Juwiring, CentralJava, as Juwiring BPH population, were measured their degree ofresistance to insecticides to be compared with the BPH biotype 1 ofscreen house population. The insecticides used were imidacloprid,ethiprole, thiamethoxam, fipronil, BPMC, MIPC, buprofezin,cypermethrin and cyhalothrin. The resistance ratios (RR) weremeasured by LC50 of BPH from fields/LC50 of BPH from screen house.Results showed that Sukamandi BPH population was moderatelyresistance to imidacloprid and cypermethrin, but was low resistanceto buprofezin, and was decreasing into susceptibility to fipronil,thiamethoxam and cyhalothrin, where as to ethiprole, BPMC danMIPC the Sukamandi BPH was still susceptible. The Juwiring BPHpopulation was low resistance to imidacloprid, buprofezin,cypermethrin and cyhalothrin, but the Juwiring BPH was decreasinginto susceptibility to BPMC, ethiprole and fipronil. The population was

still susceptible to thiamethoxam and MIPC. (Author)

Keywords: Rice, brown planthopper, insecticides, resistance.

Chaerani, Diani Damayanti, Siti Yuriyah, KusumawatyKusumanegara, Ahmad Dadang, Sutrisno, Bahagiawati (IndonesianCenter for Agricultural Biotechnology and Genetic ResourcesResearch and Development), Trisnaningsih (Indonesian Center forRice Research)

Virulence of Brown Planthopper and Development of Core Collectionof the Pest

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 2,hlm 109-117.

Brown planthopper is the most important rice pest in Indonesia. Itshigh adaptability to feed and reproduce on previously introducedresistant varieties to form more virulent population often causesBPH outbreak and hopperburn that lead to total crop yield loss. Ricebreeding for resistant to BPH requires information on the currentstatus of BPH virulences in the fields to anticipate the virulenceadaptation on new varieties. The objectives of this study were toinvestigate the degree of virulence of BPH populations and to clusterthe BPH virulence to form BPH core collection. Thirteen BPHpopulations collected from paddy fields in six provinces (Banten,West Java, Central Java, East Java, South Kalimantan, and SouthSulawesi) in 2011 and 2013 were tested on 10 differential ricevarieties and seven host varieties of BPH populations, using thestandard seedbox screening technique. Based on resistancereaction of four differential varieties (TN1, Mudgo, ASD7, and RathuHeenathi), most BPH populations were identified as more virulentthan biotype 4 (T1, Banten, PG, West Java; BY, East Java; B2 andB3, South Kalimantan; X1 and X3, South Sulawesi), four populationswere biotype 4 (JWDL, Central Java; SD, East Java; X2 and X4,South Sulawesi), and one population each was biotype 3 (T2,Banten) and biotype 2 (S1, West Java). Populations X1 and B3showed broad virulences to all varieties, whereas T2 was theleast virulent. BPH field’s population had evolved into more virulencethan biotype 4. Genotype resistance screening should use the BPHof this virulence population. Five BPH clusters which were furtherdivided into 10 subclusters representing differential virulencetoward 10 differential varieties were present in the tested BPH.Each virulence cluster was characterized by its ability to overcomefour to eight single or double resistant genes. This BPH virulencecore collection can be used in the characterization studies ofcandidate for resistant varieties or to form near-isogenic lines, orto study the insect and rice plant interaction.

(Author)

Keywords: Rice, brown planthopper, virulence, biotype.

263-4

Page 104: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

264

Kristamtini, Sutarno, Endang Wisnu Wiranti, dan Setyorini Widyayanti(Assessment Institute for Agricultural Technology Yogyakarta)

Genetic Advance and Heritability of Agronomic Characters of BlackRice in F2 Population

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 2,hlm 119-124.

Black rice is a local rice variety with some advantages andweaknesses. The desirable character of black rice is its highanthocyanin content, while the weaknesses are late maturing, tallplant stature and low grain yield. Crosses were made betweentwo parents aimed to recombine the superior traits. Theeffectiveness and efficiency of selection would be determined bythe magnitude of the heritability of traits and the selection progress.This study was aimed to determine the heritability estimates in abroad sense and the genetic advance of agronomic characters ofF2 generation, from crosses of local black rice and high yieldingvariety of white rice. The experiment was conducted in Padasan,Pakembinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta from January to May2013. The F2 population derived from crosses of black rice x whiterice, with the morphological traits of hairless black rice (S) crossedwith Situbagendit (G) white rice, Cempo ireng (C) with Situbagendit(G) and Cempo ireng (C) with Inpari 6 (I). The F2 plants populationwere planted without replication. Genetic parameters estimatedwere calculated for broad sense heritability and genetic advancefrom selection. Results showed that the F2 population had highbroad sense heritability estimates for all characters observed,including: plant height, flag leaf length, number of productive tillers,panicle length, number of filled grains per panicle, number of emptygrains per panicle, maturity and rice color, in the three F2 populationsobtained from crosses of S x G, C x G and C x I. Only the plantheight of S x G cross had a medium broad sense heritability estimate.The large heritability estimates indicated that the respectivecharacter was controlled by genetic factor more than environmentalones. High genetic advance would be obtained in the flag leaflength, number of productive tillers, panicle length, number of filledgrains/panicle, number of empty grains/panicle and rice color fromS x G, C x G and C x I crosses. Genetic advance of plant heightwas medium (at S x G and C x I crosses) to high (C x G crosses).The maturity trait had low genetic advance on cross S x G; C x G;and Cx I. The high value of genetic advance of character wouldsuggest that selection on the character’s appearance would besuccessful.

(Author)

Keywords: Black rice, genetics progress, heritability, agronomiccharacters, F2 generation.

Slamet Bambang Priyanto, R. Nenny Iriani, Andi Takdir M. (IndonesianCereals Research Institute)

Yield Stability Analysis of Promising Early Maturing Hybrid Maize

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 2,hlm 125-132.

Maize yield represents the interaction between genotype andenvironment. An excellent genotype should have high mean yieldand small variation across common locations.This information couldbe obtained through yield performance test and stability analysis ofyield data obtained from multilocation trials. This research was

aimed to find out yield stability of eight early maturing maize promisinglines at five sites using the AMMI method. There were total 12genotypes of maize hybrids used in this research, consisted ofeight hybrids (CH-1, CH-2, CH-3, CH-4, CH-5, CH-6, CH-7, and CH-8) and four check varieties (Gumarang, Bima 3, AS-1, and Bisi 2).This research was conducted at five locations ie. Gowa (SouthSulawesi), Donggala (Central Sulawesi), Manado (North Sulawesi),Probolinggo (East Java) and Lombok Barat (West Nusa Tenggara)from April to September 2013. The treatments were arranged in arandomized complete block design (RCBD) with 3 replications.Variable measured was grain yield at all trial locations. Analysis ofvariance was performed for each site data to determine theperformance of each genotype at each location. Results showedthat genotype CH-2, CH-4 and CH-6 were considered as stablegenotypes. Genotype CH-2 and CH-4 have a potensial to be releasedas new early maturing variety, due to its high yield of 8.71 and 7.52t/ha averaged over 5 locations. Genotype CH-6 yielded below themean yield of all genotypes, while genotype CH-8 was adaptive toa specific location, such as in Donggala, with yield of 8.38 t/ha.

(Author)

Keywords: Early maturity, hybrid maize, yield stability, environment,AMMI.

Nining Nurini Andayani, M. Yasin HG, Marcia B. Pabendon(Indonesian Cereals Research Institute)

Genetic Diversity of QPM and Provit-A Maize Genotypes Based onSSRs (Simple Sequence Repeats) Markers

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 2,hlm 133-140.

Information on genetic diversity of QPM and Provit-A maizegermplasm is important to support breeding program, in order toform a high yielding maize hybrid. Simple sequence repeats (SSR)have been extensively utilized as genetic markers to study thegenetic diversity, cultivar identification, and gene mapping. Theobjectives of this research were to investigate the genetic diversityand to obtain information the genetic relationship among 20 maizeaccessions using 29 SSRs. The research was carried out at theMoleculer Biology Laboratory of Indonesian Cereals ResearchInstitute (ICERI) in Maros, South Sulawesi. Twenty nine polymorphicprimers that covered the 10 maize chromosomes were used tofingerprint the genotype of the lines, detecting 83 allels, with anaverage allel number of 3 allels per locus, ranging from 2 to 6alleles per locus. The results indicated that polymorphism informationcontent (PIC) ranged from 0.10 (nc133 and phi072) to 0.74 (phi064)with the average of 0.45. Genetic distance based on geneticsimilarity estimate ranged from 0.39 to 0.92. The high level of PICvalues and wide genetic distances indicated the large variabilityamong maize germplasm. Cluster analysis divided the 20 maizeaccessions into three groups. Coefficient cofenetic value (r) was0.85 indicated a good fit based on the genetic similarity value. Asmany as 30 inbred heterotic recombinants were derived byincorporating 20 QPM and Provit-A with genetic distance of £0.65.The SSRs proved to be reliable and is practical technique forrevealing the relationship among specialty maize genotypes.

(Author)

Keywords: QPM and Provit-A maize, inbred, genetic distance, simplesequence repeats (SSRs).

264-5

Page 105: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

265

ISheny Sandra Kaihatu, Marietje Pesireron (Assessment Institutefor Agricultural Technology Maluku)

Adaptation of Corn Varieties on Dry Land Agroecosystems in Maluku

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 2,hlm 141-147.

Maize has an important role in the national economy, but at somearea, including in Maluku, the productivity is still low, below itspotential productivity. The productivity of maize could be improvedby planting high yielding and adaptive variety to the localenvironment. Study was conducted in the Haruru village, DistrictAmahai, Central Maluku, from March to August 2012 aimed to identifymaize varieties adaptive on dry land agro ecosystem. The studyused randomized block design, replicated three times, wherefarmers’ fields were used as replications. The varieties testedwere Srikandi Kuning, Gumarang, and Sukmaraga compositesvarieties. Bima-2 and Bima-2 (hybrid varieties) and Mutiara, UnguHati Putih, Merah, Orange Hati Putih, and Orange Hati Merah (localvariety, obtained from farmers’ fields in the district of MTB). Fertilizerswere drilled, 5-7 cm on the side of plant at a rate of 135 kg N, 90 kgP2O5, 60 kg K2O and 1-2 t manure/ha. Variables to be measuredwere percentage of surviving plants, age at 50% of male flowering,age at 50% of female flowering, plant height, ear height, cob length,cob weight, cob diameter, number of rows/ear, seed number perear row, 100-seed weight, weight of dry grains, moisture content,and grain yield. Results showed that local varieties indicated abetter growth, but grain yield were superior for the hybrid and thecomposite varieties. Bima-4 hybrid variety produced 10.31 t/ha drygrain, followed by Bima-2 hybrid and the composite varieties ofSukmaraga, Srikandi Kuning, and Gumarang, each was 8.70 t/ha,7.97 t/ha, 7.60 t/ha and 7.26 t/ha, respectively. Local varietiesMutiara, Orange Hati Putih, Merah, Orange Hati Merah, and UnguHati Putih each yielded only 3.74 t/ha, 3.32 t/ha, 3.07 t/ha, 3.02 t/haand 2.45 t/ha respectively.

(Author)

Keywords: Maize, varieties, adaptation, dryland.

Hesti Pujiwati (Lecture Bengkulu University); Munif Ghulamahdi,Sudirman Yahya, Sandra Arifin Aziz (Department Agronomy andHorticulture, Faculty of Agriculture, IPB); Oteng Haridjaja(Departement of Soil Science and Land Resources, BogorAgricultural University)

Black Soybean Response to Aluminium Stress in the Nutrient Solution

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 2,hlm 149-153.

Al-stress on soybean causes inhibited root growth. Root lengthsensitivity index might be an indicator of roots tolerance to Al-stress. Hematoxylin staining can be used to visualize the movementof Al in plant root tissues. This study was aimed to determine thetolerance level of soybean genotypes to the gradual Alconcentrations. The experiment was conducted from February toApril 2014, at the greenhouse in Cikabayan Experiments Garden,IPB, using a 4 x 3 factorial treatments in a completely randomizeddesign, three replications. The first factor was the concentrationof Al ie: without Al (A0); 0.5 mM Al (A1); 0.7 mM Al (A2) and 0.9 mM(A3). The second factor was the soybean varieties including:Tanggamus, Cikuray, and Ceneng. The observation of variableincluded root length sensitivity index based on hematoxylin staining,demonstrating the movement of Al on the tolerance and sensitivevarieties. Results showed that: 1) Tanggamus was tolerance at0.5 mM Al concentration and was moderate at 0.7 and 0.9 mM Al, 2)Cikuray was tolerance to a concentration up to 0.5 mM and wasmoderate at 0.7 mM Al but was sensitive to the concentration of 0.9

mM Al, 3) Ceneng was sensitive at concentration of 0.5 to 0.9 mMAl, 4) Staining hematoxylin indicated the root tissue advanceddamages and darker blue color on the susceptible varieties, in

comparison with the tolerant ones. (Author)

Keywords: Black soybean, alluminium staining, tolerance.

Saptowo J. Pardal (Indonesian Center for Agricultural Biotechnologyand Genetic Resources Research and Development); Suharsono(Faculty of Mathematics and Natural Sciences, IPB)

Evaluation for Tolerance of Transgenic Soybean Lines to Aluminumin Biosafety Containtement

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 2,hlm 155-161.

Some acid soil is potential for the agricultural development.Constraints for soybean production in the acid soils are Aluminumtoxicity and macro nutrient deficiencies. Breeding for soybeanvarieties tolerant to acid soil is needed. This could be made throughgenetic engineering, by inserting acid tolerance genes into asoybean genome. Thirty one soybean lines (T0) had been obtainedby insertion of Al tolerance genes (MaMt2) through an Agrobacteriummediated transformation, which nine of them contained MaMt2 genebased on PCR test. Further evaluation of those lines was carriedout in the Biosafety Containment, where four T1 soybean lineswere carrying MaMt2 gene, namely line GM2, GM5, GM10 and GM14.The study was aimed to evaluate the degree of tolerance of T2generation of GM2, GM5, GM10 and GM14 lines to Al toxicity. Resultsshowed that T2 line were able to grow in hygromicin media, indicatingthat those T2 lines were containing hygromicin resistant gene (hptII).Phenotypic analysis of T2 lines in four acid soil media treatmentsindicated that all lines could survive and grow on acid soil withoutliming and adding compost. GM2 line grew best on the acid mediumthan did other lines.

(Author)

Keywords: Transgenic soybean, Al tolerance, phenotypic andmolecular evaluation.

Zahara Mardiah, Ami Teja Rakhmi, S. Dewi Indrasari, BramKusbiantoro (Indonesian Center for Rice Research)

Evaluasi Mutu Beras untuk Menentukan Pola Preferensi Konsumendi Pulau Jawa

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 3,hlm 163-172.

Java is the most populated area as well as the highest consumersof rice in Indonesia. Until now, rice widely grown in Java isstil l dominated by Ciherang. This research aimed to studythe patterns of rice consumer preferences in Java to be used asone of main considerations for dissemination and new varietiesbreeding program. Evaluation was done by conducting sensoryand physicochemical analysis on five most purchased rice varietiesof each province on Java. Hedonic and ranking test was assessedby 1000 panelists from all the five provinces in Java. Physicochemicalanalysis was carried out in the Proximate Laboratory in IndonesianCenter for Rice Research (ICRR), Sukamandi. The results showedthat, in general, consumer preferences in each province have asimilar pattern except in DIY. Consumers in West, East, and CentralJava as well as in DKI Jakarta prefer rice with intermediate amylosecontent, while those in DIY prefer low amylose rice. Gelatinizationtemperature of rice is mostly high gelatinization temperature except

265-6

Page 106: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

266

those in DIY that were dominated by low gelatinization temperaturerice. Moreover, rice color influences consumer preferences in Javaexcept on consumers in West Java who chose rice not based onthe level of rice color. Correlation analysis between consumerpreferences in general with all other variables showed thatconsumer preferences in general were significantly affected onlyby the amylose content and was not influenced by other parameters.Whiteness degree of rice significantly related to consumerpreferences based on color and very significant correlation basedon rice translucency and taste.

(Author)

Keywords: Grain quality, sensory test, rice preference.

Siti Dewi Indrasari, Purwaningsih, Erni Apriyati (Assessment Institutefor Agricultural Technology Yogyakarta), Shinta Dewi Ardhiyanti(Indonesian Center for Rice Research)

The Consumers Preferences on Variety Assurance Rice Labelledfor Hipa 8, Ciherang And Inpari 13

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 3,hlm 173-180.

The objective of this research was to study the consumeracceptance to variety assurance rice labelled (VARL) which isproduced by “Kopkarlittan” of Indonesian Center for Rice Research(ICRR). The research was conducted on September to November2013. The respondents were asked to assess their preferenceson the rice and cooked rice presented. The assessment of ricebased on rank such as aroma, color, shape, wholeness andcleaness (1 = the most preferred; 6 = the most unpreferred) andgeneral acceptance were assessed by hedonic scale (1 = mostlike; 5 = most dislike). The preferences of cooked rice assessedsuch as aroma, color, texture, translucency, shape, taste and generalacceptance. The rice used were Hipa 8 variety which is representaromatic rice and Ciherang and Inpari 23 represent non aromaticrice. As controlled were used non variety assurance labelled rice(NVARL) bought from two modern market in Jakarta. The datacollected were presented in decriptive way and the organolepticdata were analysed by Kruskal-Wallis test. Respondents statedthat VARL products is better than other NVARL products in term ofshape (55%), color (31%), aroma (44%), wholeness (68%),cleaness (68%), taste of cooked rice (54%), nutritional (87%) andfunctional quality (88%). Other respondents stated that VARLproducts is the same with NVARL products in term of shape (45%),colour (52%), aroma (48%), wholeness (27%), cleaness (30%),taste of cooked rice (39%), nutritional (12%) and functional quality(11%). Based on general acceptance preference the most preferredis VARL aromatic rice Hipa 8 in Bandung city with preferred level1.93 (like) and mean ranking 57.67. For aromatic rice, there is nopreference difference of all sampel tested based on generalacceptance. Based on general acceptance preference, the mostpreferred non aromatic rice are Setra Ramos BPS and VARL Inpari13 with preference level and mean ranking of 1.57 (like) and 60.07and 1.74 (like) and 58.84 respectively in Yogyakarta city. The generalacceptance of VARL Ciherang with others NVARL is relatively thesame. The general acceptance of VARL Ciherang and Inpari 13with the other rice of VARL from two modern markets in Jakarta isrelatively the same. The most preferred non aromatic rice is SetraRamos BPS with preference level 1,77 (like) and mean rank 58,83in Bandung City.

(Author)

Keywords: Rice preferences, cooked rice preferences.

Yudhistira Nugraha, Indrastuti A. Rumanti, Agus Guswara, Suwarno(Indonesian Center for Rice Research, Sukamandi), SinthoWahyuning Ardie, Munif Ghulammahdi, Hajrial Aswidinnoor(Department Agronomy and Horticulture, Faculty of Agriculture, IPB)

Responses of Selected Indonesian Rice Varieties under ExcessIron Condition in Media Culture at Seedling Stage

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 3,hlm 181-190.

Iron toxicity could limit rice productivity on irrigated lowland acid andswampy soil. The use of iron toxicity tolerant rice is an alternativestrategy to improve rice productivity in these areas. The researchstudied the phenotypic variation of twenty-four rice genotypes andcharacterized the fate of Fe2+ along its path between the roots andshoot of rice plant. Twenty-four rice genotypes from different agro-ecosystems were grown under agar nutrient solution conditionswith 400 mg. L-1 iron stress and under normal condition. Resultsshowed variation in the biomass accumulation of rice seedling duringstress of iron, differentiated as high accumulated biomass toleranttype and low accumulated biomass tolerant type. The relative biomassweight was highly correlated with the leaf bronzing scores (LBS)under excess iron. Based on these categorizations, six genotypeswere chosen to observe the present of Fe in root and shoot usinginvivo-staining 2,2 bypiridine. The results indicated that somegenotypes were able to develop root and shoot aerenchym duringiron stress. This was related to the development of root iron plaqueand the iron content of the shoot of the rice seedling. In this presentstudy, rice genotypes could be classified as the includer toleranttype (Inpara 2) and some others were the excluder tolerant type(Mahsuri, Pokkali and Siam Saba). This information on crop tolerancestrategies is important for rice breeder to develop physiological-based breeding program of iron-toxicity tolerance in rice.

(Author)

Keywords: Rice, excluder-type, includer-type, ferrous iron,aerenchym, biomass

Enung Sri Mulyaningsih, Ambar Yuswi Perdani, Sri IndrayaniSuwarno (Research Center fo Biotechnology - Indonesian Instituteof Sciences)

Phenotype Selection of Upland Rice Population for High Yield,Aluminum Tolerant and Blast Resistant in Acid Soil

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 3,hlm 191-197.

The aim of this research was to get upland rice lines with highyield, aluminum tolerance and resistance to blast. Genetic materialused were 380 lines (F6) from six hybridization combinationsevaluated under Al stress condition in environment endemic blastusing augmented design with five randomized blocks. Performanceof lines in the field and level of tolerance was tested. The resultsshowed five genetic clusters formed from 380 lines of upland ricein a test based on quantitative characters. Cluster number 2 wasthe best cluster with characters: uniform growth vigor of plants,early flowering days, early maturing, medium plant height, highproductive tillers, medium panicle length, high number of filled grain,the lowest of empty grains, high weight of 5 panicles and high yieldpotential. Aluminum tolerance and blast resistance were observedin almost all clusters. The lines in cluster 2 had the highest resistanceto blast (98%) and tolerance to Al (94%).

(Author)

Keywords: Upland rice, phenotype selection, aluminum tolerant,acid soil, blast disease.

266-7

Page 107: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

267

Muhammad Azrai, Roy Efendi, Suwarti (Indonesian CerealsResearch Institute), R. Heru Praptana (Indonesian Center for FoodCrops Research and Development)

Genetic Diversity and Agronomic Performance of Top Cross MaizeHybrid under Drought Stress

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 3,hlm 199-208.

Maize breeding population with a wide genetic diversity is requiredto develop superior drought tolerant varieties. The objective of thisresearch was to obtain information on genetic diversity, heritabilityvalue and grain yield performance, yield components and agronomictraits of maize genotypes derived from top cross under severedrought stress. One hundred and fifty maize genotypes derivedfrom top cross and four hybrids maize as check varieties, weretested in Probolinggo, East Java, and Gowa, South Sulawesi duringdry season of 2013. Factorial randomized block design with tworeplications was used in thisexperiment. Each hybrid was grownin two rows of 5 m length plot, one plant per hill spaced 70 cmbetween rows and 20 cm within row. Results showed that topcross hybrids had significantly different responses to droughtstress. Broad sense heritability, value of silking, number grain-rows per ear, and shelling percentage were high. Heritabilityestimates for of anthesis, anthesis-silking interval, plant height, earheight, weight and ear performance, ear length, 1000 seeds weightand grain each yield were intermediate. The 20 best hybrids basedon the highest grain yield, consisted of 17 genotypes with goodcombining ability with P21, 2 genotypes had good combining abilitywith Bima 11 and only one genotype had good combining abilitywith both the top cross parents, (P21 and Bima 11). Grain yield of20 top cross hybrids in Probolinggo ranged from 4.8 t/ha to 6.7 t/hasignificantly higher than that of tester varieties, while yields inGowa ranged from 4.5 t/ha-6.7 t/ha. Only 4 tested hybridssignificantly outyielded the four tester varieties. For the purpose offurther selection, determining of the best S1 genotype should bedone per location to overcome large environmental effects.

(Author)

Keywords: Maize, top cross, genetic variability, selection.

Robet Asnawi (Assessment Institute for Agricultural TechnologyLampung), Made Jana Mejaya (Indonesian Center for Food CropsResearch and Development)

Analisis Keunggulan Kompetitif Ubi Kayu terhadap Jagung danKedelai di Kabupaten Lampung Tengah

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 3,hlm 209-215.

Cassava is widely developed in Lampung province, because ofhigh adaptability, easily cultivated, smallest risk of failure, and highprice. The objective of the study is to analyze on-farm competitiveadvantage of casava farming system compared to maize andsoybean farming systems. The activities were conducted at CentralLampung District from April 2012 to February 2013. The primarydata were obtained from 90 farmers as main respondents throughstructured survey with direct interviews using structuralquestionnair. Secondary data were obtained from the office ofrelevant agencies and Statistic of Lampung Province. Financialanalysis and competitive advantage analysis were exercised to

measure the competitive advantage of cassava with respect toother secondary crops. The results showed that cassava farmingmore profitable than maize and soybean on farm income ofRp.21.109.000/ha and R/C of 2,91 compared to maize on farm incomeRp.15.935.000 and R/C of 2,01 and soybean farm income ofRp.5.187.800/ha and R/C of 1,48. Cassava farming system will becompetitive compared to maize and soybean farming on theproductivity at least 34.567 kg/ha and 20,788 kg/ha and cassavaprice at least IDR 654/kg and IDR 394/kg.

(Author)

Keywords: Cassava, maize, soybeans, farming, competitive.

Bachtiar (Faculty Agriculture Gorontalo University), MunifGhulamahdi, Maya Melati, Dwi Guntoro (Departement Agronomydan Horticulture, Bogor Agricultural University), Atang Sutandi(Departement of Soil Science and Land Resources, BogorAgricultural University)

The Need of Nitrogen for Soybean on Mineral and Peaty MineralSoils with Saturated Soil Culture

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 3,hlm 217-227.

The development of soybean in tidal land is faced with problemssuch as physical, chemical and biological soil properties, thatincludes high organic matter, high soil acidity, toxicity of Fe and Al,and deficiency of nutrients N, P , K, Ca and Mg. N content is high (>0.51%) but with low availability. The research objective is todetermine the dose and timing of N, P and K fertilizer application inaccordance with the needs of soybean crops in order to haveoptimal growth and yield per unit of land in mineral and peaty mineralsoil in tidal swamp land. The research was conducted in mineraland peaty mineral soil of tidal swamp land type C and B, District ofTanjung Lago, Banyuasin, South Sumatera from April to August2014. The experiment was arranged following split plots design.Wilis and Tanggamus varieties as main plot, application time: 2, 3, 4WAP, 2, 3, 4, 5 WAP, and 2, 3, 4, 5, 6 WAP as sub plots and fertilizerconcentration: 7.5, 10, 12.5 dan 15.0 g/l water as subsub plotswith spraying volume of 400 l/ha. Research results showed thatmineral soil, dry weight of nodules and Wilis biomass increasedwith increasing frequency time of fertilizer application, whileTanggamus more fluctuated and declined at higher frequency offertilizer application. Interaction of Wilis variety, time of fertilizer 2-6 WAP and concentration of 15 g N/I generated the highest yield of3,5 ton/ha. In the peaty mineral soil, dry weight of nodules andbiomass were not significantly different. Wilis productivity tends todecrease with increasing N fertilizer concentrations. Tanggamusproductivity tends to increase with increasing N ferti l izerconcentration at all level of time of fertilizer application. Tanggamustends to generate higher productivity of 3,2 ton/ha at a concentrationof 15 g N/I with time of fertilizer application 2-4 MST. Application oflow concentration N at higher frequency of fertilizer application orotherwise, was able to improve the productivity of soybeans in soilwith high pyrite content.

(Author)

Keywords: Glycine max (L) Merr., nitrogen, time of fertilizerapplication, mineral soil, peat soil.

267-8

Page 108: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

268

Ridwan Muis (Departement Agronomy dan Horticulture, BogorAgricultural University, Program Studi Agronomi Fakultas PertanianUniversitas Jambi), Munif Ghulamahdi, Maya Melati, Purwono(Departement Agronomy dan Horticulture, Bogor AgriculturalUniversity) Irdika Mansur (Department of Silviculture, Faculty ofForestry, IPB)

Compatibility of Arbuscular Mycorrhizae Fungi Inoculants withSoybean in Saturated Soil Culture

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 3,hlm 229-237.

The main constraint on soybean cultivation in acid sulfate tidallands is the lack of P availability because it is bound by Fe. High rateof fertilizer applications often lead to high fertilizer residues thatcan be used for the following cropping using ArbuscularMycorrhizae Fungi (AMF) inoculants. The research aimed todetermine the effect of soybean culture techniques and AMFinoculants on growth and yield of soybean. The trial was arrangedin a factorial randomized block design with two factors and threereplications. The first factor consisted of four AMF inoculants fromdifferent sources, namely from rhizospheres of kudzu (Puerariajavanica), sorghum (Sorghum bicolor), corn (Zea mays) andsoybean (Glycine max). The second factor was soybean culturetehniques, namely water saturated culture and dry soil culture.Seeds of soybean variety Tanggamus were grown in potscontaining 5 kg soil derived from tidal land of Simpang Village,Berbak District, Tanjung Jabung Timur, Jambi. The results showedthat there was a positive and significant interaction between thesaturated soil culture and AMF inoculant from maize on thevariabilities of P uptake (0.13 g/plant), P content in the plant (0.39%),relative efficiency of inoculants (72.8%) and relative efficiency ofP uptake (133.3%), biomass dry weight (35.4 g/plant), the numberof filled pods (106 pod) and seed dry weight of soybeans (27.6 g/tanaman). Dry soil culture and AMF inoculant from maize producedgreater soybean root colonization. In overall, however, the saturatedsoil culture with AMF inoculant from maize gave the best growthand yield of soybean variety Tanggamus.

(Author)

Keywords: Soybean, FMA inoculants, tidal swamp land.

Henny Kuntyastuti, Sri Ayu Dwi Lestari (Indonesian Legumes andTuber Crops Research Institute, Malang)

Effect of Fertilizer Dosage and Plant Population on Mungbean Growthand Yield Performance at Upland With Dry Climates

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2016, vol. 35 no. 3,hlm 239-249.

Its early maturity and drought resistance allows mungbean to becultivated on upland with dry climate. Approriate cultivationtechnology need to be identified in order to increase productivity.The research objective was to formulate cultivation technologypackage by assessing interaction between plant population, optimumorganic and anorganic fertilizers on mungbean. This experimentwas conducted on upland Alfisol soil with type E climate inProbolinggo, East Java on dry season 2015, using split plot design,with three replications. As the main plot was plant spacing, namely:1) 40 cm x 10 cm, 1 plant/hole, 2) 40 cm x 15 cm, 2 plants/hole, and3) 40 cm x 20 cm, 2 plants/hole. As the sub plot was combination oforganic and anorganic fertilizers, namely: 1) without fertilizer, 2)50 kg ZA + 50 kg SP36 + 100 kg KCl/ha, 3) 150 kg Phonska/ha, 4)5000 kg manure/ha, and 5) 75 kg Phonska + 2500 kg manure/ha.Medium dose of NPK fertilizer (22,5 kg N + 22,5 kg P2O5 + 22,5 kgK2O + 15 kg S) per ha and plant population of 250.000 until 333.333plant per ha, was considered suitable to grow mungbean at uplandwith dry climates, based on the obtained yield. While low dose ofNPK fertilizer (11,3 kg N + 11,3 kg P2O5 + 11,3 kg K2O + 7,5 kg S)plus 2.500 kg manure/ha was capable of producing high biomassof mungbean up to 3,2 kg/ha.

(Author)

Keywords: Mungbean, organic fertilizer, anorganic, residue offertilizer, biomass, soil quality.

268-9

Page 109: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

269

A.A. Daradjat 89Achmad Yozar Perkasa 63Agung Budi Santoso 29Agus Purwito 45Agus Guswara 181Agus Subekti 19Ahmad Dadang 109Ambar Yuswi Perdani 191Ami Teja Rakhmi 19,163Andi Takdir M. 125Atang Sutandi 217Aunu Rauf 39B. Suprihatno 89Bachtiar 217Baehaki, S.E 9,99Bahagiawati 109Buang Abdullah 89Chaerani 109Cucu Gunarsih 89D. Munawar 9,99Diani Damayanti 109Didy Sopandie 45Dwi Guntoro 63, 217E.H. Iswanto 9,99Endang Wisnu Wiranti 119Enny Sudarmonowati 45Enung Sri Mulyaningsih 191Erni Apriyati 173Faesal 71Fausiah T. Ladja 39H. Aswidinnoor 89,181Henny Kuntyastuti 239Hesti Pujiwati 149I.G.P. Muliarta 89Ida Hanarida 89Indrastuti A. Rumanti 181Irdika Mansur 229Kristamtini 19,119Kusumawaty Kusumanegara 109Laela Sar i45M. Arsyad Biba 81M. Yasin HG 133Made Jana Mejaya 209Made Oka Adnyana 53

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan

ISSN 0216-9959 Volume 35, 2016

Indeks Penulis

Marcia B. Pabendon 133Marietje Pesireron 141Maya Melati 217,119Muhammad Azrai 199Munif Ghulamahdi 63, 149, 181, 217, 229Nafisah 89Nining Nurini Andayani 133Oteng Haridjaja 149Purwaningsih 173Purwono 229Putu Wardana 53R. Heru Praptana 199R. Nenny Iriani 125Ragapadmi Purnamaningsih 45Ridwan Muis 229Robet Asnawi 209Roy Efendi 199Siti Dewi Indrasari 19, 163,173Sandra Arifin Aziz 149Saptowo J. Pardal 155Sedyo Hartono 1Setyorini Widyayanti 119Sheny Sandra Kaihatu 141Shinta Dewi Ardhiyanti 173Sintho Wahyuning Ardie 181Siti Yuriyah 109Slamet Bambang Priyanto 125Sri Ayu Dwi Lestari 239Sri Hendrastuti Hidayat 39Sri Indrayani 191Sudirman Yahya 149Suharsono 155Suprihanto 1Susamto Somowiyarjo 1Sutarno 119Sutrisno 109Suwarno 181, 191Suwarti 199Syuryawati 71Tri Asmira Damayanti 39Trias Sitaresmi 89Trisnaningsih 109Y. Andi Trisyono 1Yudhistira Nugraha 89, 181Zahara Mardiah 163

269-1

Page 110: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

270

Adaptasi Beberapa Varietas Jagung padaAgroekosistem Lahan Kering di Maluku 141

Analisis Keunggulan Kompetitif Ubi Kayuterhadap Jagung dan Kedelai di KabupatenLampung Tengah 209

Deteksi Virus Tungro pada Gulma Padi SawahMenggunakan Teknik PCR 39

Evaluasi Galur Kedelai Transgenik ToleranAluminium pada Fasilitas Uji Terbatas 155

Evaluasi Mutu Beras dalam Penentuan PolaPreferensi Konsumen terhadap Beras diPulau Jawa 163

Interaksi Genotipe x Lingkungan untuk HasilGabah Padi Sawah 89

Karakterisasi Morfologi, Anatomi dan FisiologiGalur Mutan Gandum yang Ditanam diDataran Rendah Tropik 45

Kelayakan Finansial Penerapan Teknologi BudiDaya Jagung pada Lahan Sawah TadahHujan 71

Kemajuan Genetik dan Heritabilitas KarakterAgronomi Padi Beras Hitam pada PopulasiF2 119

Keragaman Genetik dan Penampilan JagungHibrida Silang Puncak pada KondisiCekaman Kekeringan 199

Keragaman Genetik Inbrida Jagung QPM danProvit-A Berdasarkan Marka SSRs (SimpleSequence Repeats) 133

Laju Pertumbuhan Intrinsik dan Neraca HidupWereng Cokelat pada Tanaman Padi AkibatPerubahan Iklim Global 9

Mutu Fisik, Mutu Giling dan Mutu FungsionalBeras Varietas Lokal Kalimantan Barat 19

Pengaruh Interaksi Antara Dosis Pupuk danPopulasi Tanaman terhadap Pertumbuhandan Hasil Kacang Hijau pada Lahan KeringBeriklim Kering 239

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan

ISSN 0216-9959 Volume 35, 2016

Indeks Judul

Pengaruh Perubahan Iklim terhadap ProduksiTanaman Pangan di Provinsi Maluku 29

Penggunaan Herbisida untuk PengendalianGulma pada Budi Daya Kedelai Jenuh Airdi Lahan Pasang Surut 63

Perbedaan Kebutuhan Nitrogen untukProduksi Kedelai di Tanah Mineral danMineral Bergambut dengan Budi DayaJenuh Air 217

Kompatibilitas Fungi Mikoriza Arbuskulardengan Tanaman Kedelai pada Budi DayaJenuh Air 229

Preferensi Konsumen pada Beras BerlabelJaminan Varietas untuk Hipa 8, Ciherang,dan Inpari 13 173

Preferensi Petani terhadap Jagung HibridaBerdasarkan Karakter Agronomik,Produktivitas, dan Keuntungan Usahatani 81

Preferensi Wereng Batang Cokelat terhadapVarietas Padi dan Ketahanan Varietas Paditerhadap Virus Kerdil Hampa 1

Resistensi Wereng Cokelat terhadap Insektisidayang Beredar di Sentra Produksi Padi 99

Responses of Selected Indonesian Rice Varietiesunder Excess Iron Condition in MediaCulture at Seedling Stage 181

Seleksi Fenotipe Populasi Padi Gogo untukHasil Tinggi, Toleran Alumunium danTahan Blas di Tanah Masam 191

Stabilitas Hasil Jagung Varietas Hibrida HarapanUmur Genjah 125

Tanggap Kedelai Hitam terhadap CekamanAluminium pada Kultur Hara 49

Virulence of Brown Planthopper andDevelopment of Core Collection of the Pest 109

Willingness to Accept dan Willingness to PayPetani dan Konsumen terhadap PadiHibrida di Sentra Produksi Jawa Timur 53

270-1

Page 111: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

271

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan

ISSN 0216-9959 Volume 35, 2016

Indeks Subjek

Gandum 45mutan alibey 45tropis. 45

Jagung 71, 125, 133, 141, 199adaptasi 141genetik 133, 199genjah 125hibrida 81, 125inbrida 133lahan kering. 141lingkungan 125pendapatan 71produktivitas 81, 125seleksi 199silang puncak 199tadah hujan. 71teknologi 71usahatani 81varietas 141

Kacang hijau 239biomas 239pupuk 239

Kedelai 63, 149, 155, 217, 229aluminium 149biji hitam 149budi daya 63, 229

jenuh air 63lahan pasang surut .63, 229

fenotipik 155gambut 217gulma 63inokulan 229

molekuler 155nitrogen 217pemupukan 217tanah minera l 217transgenik 155

Padi 1, 9, 89, 163aerenkima 181aluminium 191beras 19, 119, 163preferensi 163, 173biomassa 181blas 191genetik 89, 119generasi 119gulma 39heritabilitas 119hibrida 53inang alternatif. 39lingkungan 89padi gogo 191tanah masam 191tungro 39varietas 1, 19, 173virus kerdil hampa 1wereng cokelat 1, 9, 99, 109

biotipe 109insektisida 99laju intrinsik 9resistensi .99virulensi 109

Tanaman pangan 29iklim 9, 29produksi 29

271-1

Page 112: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

272

Page 113: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

273

Petunjuk bagi Penulis

Naskah yang diterima redaksi berisi hasil penelitian primertanaman pangan yang belum pernah diterbitkan danpenulisannya mengikuti “Petunjuk bagi Penulis” ini. Naskahditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Untukmemudahkan penelaahan oleh redaksi dan mitra bestari,naskah diketik satu setengah spasi menggunakan huruf(font) arial 12 pt. Naskah dikirim ke Dewan Redaksi JurnalPenelitian Pertanian Tanaman Pangan dan harus mendapatpersetujuan dari pimpinan instansi penulis, dengan alamat:Jalan Merdeka No. 147 Bogor, 16111 atau lewat email:[email protected].

Redaksi akan mengirimkan form isian “pernyataan etikapenulisan” kepada penulis yang naskahnya memenuhisyarat untuk diproses di keredaksian. Form tersebut diisidan ditandatangani penulis di atas materai, kemudiandikirimkan kembali kepada redaksi untukdidokumentasikan.

Format naskah

Terdiri atas Judul, Nama Penulis, Instansi, Alamat Lengkapdan E-mail, Abstrak (dalam bahasa Indonesia dan Inggris),Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil dan Pembahasan,Kesimpulan, Ucapan Terima Kasih (jika diperlukan), danDaftar Pustaka.

Judul

Menggambarkan isi pokok tulisan secara singkat dan jelas,informatif, usahakan tidak lebih dari 12 kata.

Nama Penulis

Ditulis tanpa gelar, disertai dengan nama instansi kerjadan alamat lengkap termasuk telepon (HP), faks, dan emailkalau ada.

Abstrak

Ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris) tidak lebihdari 250 kata. Abstrak merupakan intisari dari seluruh tulisanyang meliputi masalah, tujuan, bahan dan metode, hasildan pembahasan, serta kesimpulan penelitian. Di dalamabstrak, seperti halnya dalam teks pokok, setiap namaumum organisme atau nama dagang bahan kimia harusdiikuti oleh nama ilmiahnya, minimal pada penyebutan yangpertama kali. Abstrak dilengkapi dengan kata kunci, minimaltiga kata, disusun dari umum ke khusus.

Pendahuluan

Merupakan latar belakang penelitian yang terdiri atasmasalah atau hipotesis yang mendorong penyelenggaraanpenelitian, penemuan yang akan disanggah ataudikembangkan, dan tujuan penelitian.

Bahan dan Metode

Menguraikan bahan, teknik dan rancangan percobaan,lingkungan, waktu dan tempat penelitian. Penulisan Bahandan Metode yang kompleks dapat dipilah ke dalam sub-

subbab, sesuai dengan aspek yang diteliti. Sitiran pustakadan penjelasan diberikan kepada metode yang kurangdikenal.

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian dikemukakan secara jelas, bila perludisertai dengan tabel, ilustrasi (grafik, diagram, gambar),dan foto. Informasi yang telah dijelaskan dengan tabel danilustrasi tidak perlu diulang dengan uraian panjang lebardalam teks. Pembahasan memuat analisis tentang hasilpenelitian, bagaimana penelitian dapat memecahkanmasalah, perbedaan atau persamaan dengan penelitianterdahulu, dan kemungkinan pengembangannya.

Kemukakan hasil penelitian terlebih dahulu sebelummenyertakan pendapat peneliti lain yang relevan. PenulisanHasil dan Pembahasan dapat dipilah ke dalam sub-subbab, sesuai dengan aspek yang ditelit i. Dalampenulisannya, Bab Hasil t idak dipisah dari BabPembahasan.

Kesimpulan

Berisi hal penting dari hasil penelitian dan pembahasan,sesuai dengan judul dan tujuan penelitian dan disajikansecara ringkas dalam bentuk narasi, bukan pointer. Hasilpenelitian yang ditulis di kesimpulan tidak perlu dibahas.

Ucapan Terima Kasih

Penulis hendaknya memberikan apresiasi kepada pihakyang telah membantu pelaksanaan penelitian atau pihaklain yang berkontribusi dalam penelit ian. Apresiasidiberikan dalam bentuk ucapan terima kasih.

Rujukan/sitasi

Menggunakan sistem nama-tahun, terbatas pada hal-halyang berhubungan erat dengan penelitian. Sitasi untuk tabeldan ilustrasi dicantumkan sebagai sumber dan diterakanpada baris terakhir.

Daftar Pustaka

Pustaka disusun menurut abjad berdasarkan nama(keluarga) penulis pertama. Penulisan pustaka pada teksatau narasi menggunakan sistem “nama-tahun” dengandua bentuk, misalnya Dobermann dan Fairhust (2000) ditengah kalimat atau (Dobermann and Fairhust 2000) di akhirkalimat. Jika pustaka ditulis di akhir kalimat, kata “dan” diantara Dobermann-Fairhust diganti dengan “and” untukpustaka bahasa Inggris.

Jika lebih lebih dari satu pustaka disebutkan bersama-samamaka penulisannya disusun berdasarkan tahun terbit.Contoh: (Harahap dan Panjaitan 2003; Suparyono 2005;Sumarno dan Suyamto 2007; Sembiring 2012). Apabilaterdapat lebih dari dua penulis maka nama (keluarga)penulis pertama diikuti oleh et al. Namun et al. tidak

Page 114: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

274

digunakan di daftar pustaka. Semua nama penulis daneditor ditulis lengkap pada daftar pustaka. Penggunaanpustaka “anonim” tidak diperbolehkan.

Setiap pustaka yang dirujuk dalam teks, tabel, atau ilustrasiharus dimuat dalam Daftar Pustaka, dan sebaliknya.Pustaka yang dirujuk minimal 80% dari jurnal ilmiah primeryang baru, terbit dalam 10 tahun terakhir.

Contoh penulisan rujukan di daftar pustaka menurut sumberrujukan:

Jurnal ilmiah primer:

Satoto, Indrastuti, M. Direja, B. Suprihatno. 2008. Yieldstability of ten hybrid rice combination derived fromintroduced CMS and local restorer lines. Jurnal PenelitianPertanian Tanaman Pangan 26(3):145-149.

Buku (tex book)

Gomez, K.A. and A.A Gomez. 1984. Statistical proceduresfor agriculture research. An International Rice ResearchInstitute Book. John Wiley and Sons. 427 pp.

Winarno, F.G. 2008. Kimia pangan dan gizi. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama. 335 hlm.

Artikel dalam buku

Kasryno, F. 2003. Perkembangan produksi dan konsumsijagung dunia dan implikasinya bagi Indonesia. Dalam: F.Kasryno et al. (Eds). Ekonomi Jagung Indonesia. Jakarta:Badan Litbang Pertanian. p:20-35.

Tesis/Disertasi

Sumertajaya, I.M. 2005. Kajian pengaruh interblok daninteraksi pada uji multilokasi gandadan respon ganda.Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 179 hlm.

Naskah Prosiding

Heriyanto. 2012. Upaya percepatan penyebaran varietasunggul kedelai di Jawa. hlm. 272-282. Dalam: A.A.Rahmiana, E. Yusnawan, A. Taufiq, Sholihin, Suharsono, T.Sundari, dan Hermanto (eds). Prosiding Seminar NasionalHasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Ubi. Bogor:Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.

Naskah Konferensi

Chin, L.J., L.M. Tan, and K. Wegleitner. 2007. Occurance ofmycotoxins in feed samples from Asia. A continuation of theBromin mycotoxin survey program. Paper presented in 15th

Annual ASA-IM Southeast Asian Feed Technology andNutrion Workshop, 27-30 May 2007, Bali, Indonesia.

Naskah online

Nasseri, T. 1996. Knowledge leverage: the ultimateadvantage. http://cmypiles/nasseri.htm. [14 March 2008].

Persamaan matematik

Dikemukakan dengan jelas. Bila simbol matematik tidakterdapat pada komputer dapat ditulis secara jelas denganpensil/pulpen. Jika perlu diberi keterangan dengan tulisantangan (pensil tipis) untuk simbol yang bersangkutan. Angkadesimal, ditandai dengan koma bila dalam bahasaIndonesia, atau titik bila dalam bahasa Inggris.

Tabel

Berjudul singkat dan jelas, diikuti oleh keterangan tempatdan waktu pengambilan data. Antarkolom/anak kolomterpisah cukup jelas. Tanda ditto (“) tidak dipergunakan.Jumlah desimal sedapat mungkin dibuat sederhana.Catatan kaki tabel ditandai dengan huruf kecil superior (agaknaik) untuk membedakan dengan tanda catatan kaki teksdengan angka.

Ilustrasi (grafik, diagram, dan gambar)

Diberi judul singkat, jelas, diikuti keterangan tempat danwaktu pengambilan data (bila mungkin), dan diletakkan dibawah ilustrasi yang bersangkutan. Simbol-simbol yangdimuat tidak terlalu banyak. Ilustrasi dibuat dengan jelas,kontras, rapi, bersih, dan dapat diperbaiki redaksi untukkeperluan penerbitan. File ilustrasi dapat disertakanterpisah dengan naskah untuk memudahkan perbaikanoleh redaksi.

Foto

Kontras, berkualitas tinggi, dan mampu menjelaskansubstansi tanpa narasi, tidak hanya sekadar pelengkap.Foto diberi judul singkat, jelas, diikuti keterangan tempatdan waktu pengambilan (bila mungkin), dan diletakkan dibawah foto bersangkutan.File foto dapat disertakan terpisahdengan naskah untuk memudahkan proses penerbitan.

Page 115: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

275

Page 116: pangan.litbang.pertanian.go.idpangan.litbang.pertanian.go.id/files/pp/pp2016/Nomor-3/Isi-Jurnal PP-3.pdfpangan.litbang.pertanian.go.id

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 31 NO. 3 2012

276