digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

118
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN NASIONAL Skripsi Oleh : INDRI RETNO SUTOPO X 4406008 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Transcript of digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

Page 1: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i

PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN NASIONAL

Skripsi

Oleh :

INDRI RETNO SUTOPO

X 4406008

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

Page 2: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN NASIONAL

Oleh :

INDRI RETNO SUTOPO

X 4406008

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan

gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

Page 3: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji

Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Surakarta, 30 Juli 2010

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Hermanu. J, M.Pd Drs. Djono, M.Pd

NIP. 195603031986031001 NIP. 196307021990031005

Page 4: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima

untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Hari : Jumat

Tanggal : 30 Juli 2010

Tim Penguji Skripsi

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Dra. Sri Wahyuni, M.Pd ………………

Sekretaris : Drs. Tri Yuniyanto, M.Hum ........................

Anggota I : Dr. Hermanu. J, M.Pd ………………

Anggota II : Drs. Djono, M.Pd ……………....

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret

Dekan,

Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd.

NIP. 19600727 198702 1 001

Page 5: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

ABSTRAK

Indri Retno Sutopo. PERAN PAKU BUWONO X DALAN PERGERAKAN

NASIONAL. Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2010.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Usaha-usaha yang

dilakukan Paku Buwono X untuk membangun kehidupan politik di Surakarta; (2)

Peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di Surakarta tahun 1909-

1939; (3) Reaksi Belanda terhadap peran Paku Buwono X dalam Pergerakan

Kebangsaan di Surakarta.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah (historis). yaitu prosedur

dari cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa lampau

berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut. Langkah-

langkah dalam metode sejarah adalah heuristik, kritik, interpretasi, dan

historiografi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Sumber

data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis. Sesuai dengan

jenis penelitiannya, maka teknik analisis data yang dipakai dalam penelitian ini

adalah teknik analisis historis. Teknik analisis historis yaitu teknik analisis yang

mengutamakan ketajaman dalam interpretasi sejarah. Langkah-langkah analisis

data dilakukan dengan cara: (1) menyediakan sumber sejarah yang mendukung

penelitian proses perbandingan sumber; (2) mengklasifikasikan data yang sudah

terkumpul dengan pendekatan kerangka berpikir atau kerangka referensi yang

mencakup berbagai konsep atau teori politik, ekonomi dan sosial sehingga

didapatkan suatu fakta sejarah yang dapat dipercaya kebenarannya; (3)

mempertinggi kredibilitas penulis.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Kondisi politik

yang dibangun oleh Paku Buwono X Surakarta dipengaruhi oleh kondisi politik

sebelum abad ke-20 yang sarat dengan peristiwa yang berhubungan dengan

pemerintah kolonial Belanda. Usahanya membangun landasan politik di Surakarta

dilakukan Sunan dengan cara mendirikan madrasah Mamba’ul Ulum pada tahun

1905 dan Sekolah-sekolah bagi rakyat dan bagi para sentana yaitu sekolah

Kasatrian, Sekolah Pamardi Siwi, Pamardi Putri, sekolah pertanian dan

perkebunan, serta melakukan suatu perjalanan incognito yang dinamakan dengan

politik Ngideri Buwono.; (2) Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak

bisa dilepaskan dari peranan Sunan Paku Buwono X. Paku Buwono X merangkul

kaum nasionalis, karena merasa jengkel atas campur tangan Belanda dalam

pemerintahannya di Surakarta. Kaum nasionalis dalam gerakannya melawan

kekuasaan Belanda, melaui gerakan kebangsaan, seperti yang dilakukan Boedi

Oetomo atau melalui gerakan perbaikan ekonomi dan sosial seperti yang

dilakukan oleh Sarekat Islam; (3) Reaksi Pemerintah Belanda terhadap peran Paku

Buwono X yaitu membatasi gerakan politik Paku Buwono X dengan tidak leluasa

berhubungan dengan bangsa atau negara lain kecuali pada pemerintah Belanda.

RM. Woerjaningrat kemenakan dan bahkan menantu Paku Buwono X yang duduk

dalam pimpinan Sarekat Islam dan pangeran Hangabehi, salah seorang putra Paku

Page 6: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

Buwono X diangkat menjadi pelindung Sarekat Islam diminta untuk meletakkan

jabatannya. Banyak kritik dari pejabat Belanda tentang perjalanan Ngideri

Buwono yang dilakukan oleh Paku Buwono X. Belanda memikirkan masalah

uang yang dikeluarkan maupun mengenai efek politik dari invasi ini.

Page 7: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

ABSTRACT

Indri Retno Sutopo. THE ROLE OF PAKU BUWONO X IN THE

NATIONALISM MOVEMENT. Thesis, Surakarta: Teacher Training and

Education Faculty of Surakarta Sebelas Maret University, July 2010.

The objective of research is to find out: (1) the attempts the Paku Buwono

X had taken to build the political life in Surakarta; (2) the role of Paku Buwono X

in the Nationalism Movement in Surakarta in 1909-1939; (3) the Dutch‟s reaction

to the role of Paku Buwono X in the Nationalism Movement in Surakarta.

This study employed a historical method, that is, the one deriving from the

historian‟s procedure of work to produce the past story based on the traces

abandoned by the past. The procedures of historical method include heuristic,

criticsm, interpretation, and historiography. Technique of collecting data

employed was library study. The data source used was the written one. In line

with the type of research, the technique of analyzing data used was historical

analysis technique. It is the one emphasizing on the incisiveness of history

interpretation. The procedure of analysis was done by: (1) providing the data

source supporting the research of source comparison process; (2) classifying the

data collected using framework and reference-frame approach involving various

concepts or political, economical and social theories so that a reliable fact of

history is obtained; (3) enhancing the writer‟s credibility.

Considering the result of research, it can be concluded that: (1) the

political condition built by Paku Buwono X Surakarta is affected by the political

condition before twentieth century in relation to Dutch Colonial government. The

attempt of bulking political foundation in Surakarta taken by Paku Buwono X

included by establishing Mamba‟ul Ulum madrasah in 1905 and the school for

people and for the sentana: Kasatrian, Pamardi Siwi, Pamardi Putri schools,

farming and planting schools, as well as by conducting incognito journey named

politically Ngideri Buwono: (2) the local political dynamics emerging in Surakarta

is inseparable from the role of Paku Buwono X. Paku Buwono embraces the

nationalist in its movement to resist the Dutch‟s power, doing through the

nationalism movement, as done by Boedy Oetomo or through the economic and

social improvement movement as done by Sarekat Islam; (3) the Dutch

Government‟s reaction to Paku Buwono‟s role was to limit the political

movement of Paku Buwono X in establishing the relation to other country or

nation except to Dutch Government. RM. Woerjaningrat is the nephew and even

son-in-law of Paku Buwono sitting in the Sarekat Islam leadership and Hangebehi

prince, the son of Paku Buwono X who protects the Sarekat Islam was asked to

resign. Many criticism proposed by the Dutch officials about Ngideri Buwono

conducted by Paku Buwono X. Dutch government thought of the money

expended and the political effect of this invasion.

Page 8: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

MOTTO

”Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa

pahlawannya”.

(Ir. Soekarno)

”Sejarah adalah pembebasan dari kepercayaan tidak benar, perjuangan

melawan kebodohan dan ketidaktahuan”.

(Pramoedya Ananta Toer dalam ”Anak Semua Bangsa”)

Page 9: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

PERSEMBAHAN

Dengan ucapan syukur kepada Allah dan shalawat atas Rasul-Nya, karya ini

kupersembahkan kepada:

Ibu, ayah dan adik Indra tercinta yang senantiasa memberi doa dan kasih sayang.

Semua saudaraku dan teman-temanku Sejarah ’06.

Almamater.

Page 10: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan

rahmat-Nya, sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan lancar guna

memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Hambatan dan rintangan yang dihadapi dalam penyelesaian penulisan

skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya

kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu disampaikan terima

kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah menyetujui

atas permohonan skripsi ini.

3. Ketua Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan

Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta, yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan

skripsi ini.

4. Dr. Hermanu. J, M.Pd, selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan

pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Drs. Djono, M.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan

pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu, ayah,adik Indra, dan semua keluarga tercinta yang senantiasa memberi

doa, semangat, dukungan dan kasih sayang.

7. Semua saudaraku dan teman-temanku Sejarah ‟06 terima kasih atas segala

doa, masukan dan teguran serta pengorbanan yang diberikan untukku.

8. Doni Setyawan terimakasih buat semangat dan dukungannya.

9. Sahabat Bandenx-Ku tercinta: Citra, Ste, Irma, Riana kebersamaan kita akan

selalu aku rindukan.

10. FC. Mandiri termakasih atas kerjasamanya selama ini.

Page 11: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

11. Buat sahabat-sahabatku yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,

terimakasih untuk semuanya.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan

Ilmu Pengetahuan pada umumnya.

Surakarta, 30 Juli 2010

Penulis

Page 12: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

DAFTAR ISI

halaman

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i

HALAMAN PENGAJUAN ......................................................................... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iv

ABSTRAK .... ….. ......................................................................................... v

HALAMAN MOTTO ................................................................................... viii

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... ix

KATA PENGANTAR .................................................................................. x

DAFTAR ISI ................ ................................................................................ xii

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………. xv

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................... 8

C. Tujuan Penelitian ................................................................ 8

D. Manfaat Penelitian .............................................................. 9

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka ................................................................. 10

1. Nasionalisme ................................................................. 10

2. Pergerakan Nasional ..................................................... 14

3. Agen dalam Pergerakan Nasional .................................. 18

B. Kerangka Berfikir ................................................................ 21

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................. 23

B. Metode Penelitian ................................................................ 24

C. Sumber Data ......................................................................... 25

D. Teknik Pengumpulan Data ................................................... 27

E. Teknik Analisis Data ............................................................ 27

Page 13: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

F. Prosedur Penelitian .............................................................. 29

BAB IV. HASIL PENELITIAN

A. Usaha-usaha Paku Buwono X Membangun Kehidupan Politik

1. Keadaan Geografis Surakarta………………………….. 33

2. Keadaan Politik Sebelum Abad ke-20…………………. 36

3. Sejarah Kehidupan Paku Buwono X……..…………….. 43

a. Latar Belakang Keluarga…………………….…..…. 43

b. Kepribadian…………....…………………………… 45

4. Membangun Landasan Kehidupan Politik…..………….. 50

a. Pendirian Madrasah dan

Sekolah…………………….………………………… 50

b. Usaha-usaha dalam Bidang

Politik………………………….…………………….. 56

c. Politik Ngideri Buwono……..………………………. 57

B. Peran Keraton Dalam Pergerakan Kebangsaan

1. Kondisi Politik Surakarta Pada Masa Pemerintahan Paku

Buwono X…...………………………………………….. 59

2. Peran Paku Buwono X dalam Organisasi Sosial dan

Politik…………………………………………………… 61

a. Sarekat Islam

1) Latar Belakang Terbentuknya Sarekat Islam……. 61

2) Faktor Ekonomi…………………………………. 66

3) Faktor Agama…………………………………… 68

4) Pasang Surut Sarekat Islam……………………… 69

5) Dukungan Terhadap Sarekat Islam……………… 71

b. Boedi Oetomo

1) Latar Belakang Terbentuknya Boedi Oetomo …… 73

2) Pasang Surut Boedi Oetomo………….....………... 76

3) Dukungan Terhadap Boedi Oetomo……………. .. 81

C. Reaksi Belanda Terhadap Peran Paku Buwono X Dalam

Pergerakan Kebangsaan di Surakarta………………………… 83

Page 14: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiv

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………….. 89

B. Implikasi………………………………………………………... 92

C. Saran…………………………………………………………… 93

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 94

LAMPIRAN………………………………………………………………. 98

Page 15: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xv

DAFTAR LAMPIRAN

halaman

Lampiran 1 : Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ........................... 99

Lampiran 2 : Lambang Keraton Kasunanan Surakarta ............................... 100

Lampiran 3 : Paku Buwono X ..................................................................... 101

Lampiran 4 : Paku Buwono X dan Kanjeng Ratu Mas ............................... 102

Lampiran 5 : Paku Buwono X dan Residen de Vogel (1897) ..................... 103

Lampiran 6 : Surat Perijinan ........................................................................ 104

Page 16: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keraton Surakarta didirikan oleh Sunan Paku Buwono II (1725-1749)

pada tahun 1746, setelah keraton sebelumnya di Kartasura mengalami kehancuran

akibat perang perebutan tahta (Ari Dwipayana, 2004: 26). Walaupun keraton

sudah dipindahkan ke Surakarta, tetapi perang-perang antara Mataran dengan

VOC belum selesai sampai Paku Buwono II wafat dan digantikan oleh Paku

Buwono III yang memerintah selama enam tahun sebagai raja Mataram (1749-

1755) dan 33 tahun sebagai raja Surakarta (1755-1788).

Peperangan antara Mataram dan VOC berlanjut pada masa pemerintahan

Paku Buwono III dari tahun 1746 sampai 1755. Perang yang berlangsung selama

sembilan tahun (1746-1755) itu dapat diatasi dengan tercapainya Perjanjian

Gianti. Sesuai dengan ketentuan Perjanjian Gianti (1755), Kerajaan Mataram

dibagi dua menjadi Kerajaan Surakarta Hadiningrat dan Kerajaan Ngayogyakarta

Hadiningrat. Perjanjian ini melibatkan tiga pihak, yaitu Paku Buwana III, Sultan

Hamengku Buwono III dan Kompeni Belanda. Sebelum perjanjian itu

dilangsungkan, Paku Buwono III telah diminta oleh Gubjen Jacob Mossel untuk

menyerahkan separo daerah kerajaannya kepada Pangeran Mangkubumi, dan

Sunan tidak dapat menolak permintaan itu. Bagi Sunan isi perjanjian itu

merupakan tamparan yang sangat berat, karena tanah yang harus dilepaskan

meliputi negara, negaragung, dan mancanegara. Dari peristiwa Palihan Nagari

(pembagian kerajaan Mataram menjadi dua), selain Pangeran Mangkubumi,

Kompeni Belanda juga memperoleh keuntungan besar, karena berakhirnya perang

yang telah berlangsung selama sembilan tahun (1746-1755) itu dapat mengurangi

beban kompeni, yang pada waktu itu berada dalam keadaan mundur. Selain itu,

terbaginya kerajaan Mataram menjadi dua memudahkan kompeni untuk dapat

menguasai kedua kerajaan itu. Daerah-daerah yang diterima oleh Sultan

berdasarkan Perjanjian Gianti adalah milik Kompeni Belanda yang dipinjamkan

Page 17: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

dengan hak mewariskan kepada putera-puteranya yang sah (Darsiti Soeratman,

2000: 27-29).

Periode 1755-1800 atau tepatnya setelah perjanjian Gianti ditandai dengan

kemakmuran ekonomi dan politik. Istana-istana Surakarta mendapatkan lebih

banyak kebebasan dan kemerdekaan ketika kekuasaan VOC meredup. Kedua

istana mengesampingkan perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka.

Penduduk Jawa tumbuh dengan cepat seiring dengan tidak adanya kegagalan

panen dan wabah-wabah penyakit, dan meningkatnya produksi pangan. Akan

tetapi setelah tahun 1800, pasang pun surut. Sederetan kondisi-kondisi yang tidak

menguntungkan menyebabkan meletusnya Perang Jawa. Faktor-faktor yang

memicu pecahnya Perang Jawa dapat diringkas dalam dua hal pokok. Pertama,

sejak tahun1800 dan seterusnya, ada masalah dimana sebuah kekuatan kolonial

yang agresif berusaha menancapkan hegemoninya di Jawa. Pada tahun 1808

Letnan Gubernur Jenderal H.W. Deandels memberlakukan peraturan-peraturan

mengenai tata etiket perilaku, sesuatu yang sangat menghina bagi orang-orang

Jawa. Etiket itu menyatakan bahwa pada saat sedang berada didalam istana-istana

itu para residen Eropa tidak lagi harus menunjukkan bahwa mereka lebih rendah

dari para penguasa Jawa dalam protokol.

Pada tahun 1811 kompensasi moneter atas pesisir utara yang telah

dianeksasi (yaitu apa yang disebut dengan strandgelden atau uang pesisir) tidak

lagi diberlakukan. Setahun kemudian, atas perintah dari T.S. Raffles, G.A.G.Ph.

van der Capellen melarang para bangsawan Jawa menyewakan tanah-tanah

mereka kepada orang-orang Eropa pengusaha pertanian. Para bangsawan ini mau

tidak mau harus mencari sumber-sumber penghasilan pengganti yang jumlahnya

luar biasa besar, yang pada akhirnya menyebabkan kehancuran finansial mereka.

Pada tahun 1825 sekali lagi sebagian wilayah direbut dari tangan kedua kerajaan

tersebut, kali ini dengan cara menyerobot sejumlah daerah kantong yang terletak

di dalam karesidenan-karesidenan pesisir utara, sebagai imbalan atas kompensasi

finansial. Maka tak heran bila istana itu tersinggung oleh perilaku agresif orang-

orang Eropa. Surakarta, dalam usahanya mengambil sikap yang lebih kooperatif

dengan orang-orang Eropa, berupaya untuk mengadu domba Yogya dengan

Page 18: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

orang-orang Eropa demi mendapatkan pengaruh yang lebih besar. Yogya

menanggapinya dengan mengambil sikap yang tegas (Vincent J.H. Houben, 2002:

18-20).

Faktor kedua yang menyebabkan Perang Jawa meliputi pertentangan

politik di dalam Istana Yogyakarta itu sendiri. Pertentangan-pertentangan pribadi

di antara para pengampu Sultan Hamengku Buwana V yang masih kecil itu mulai

terlihat setelah tahun 1822. Kelompok pertama dibentuk oleh Ratu Ibu (ibunda

Hamengku Buwana IV) dan Ratu Kencana (ibunda Hamengku Buwana V) yang

berada di bawah pengaruh Patih Danureja IV. Pihak oposisi terdiri dari

Diponegoro (putra tertua Hamengku Buwana III) dan pamannya, Pangeran

Mangkubumi (Vincent J.H. Houben, 2002: 22).

Puncaknya pada bulan Mei 1825 di sebuah jalan baru yang akan dibangun

di dekat Tegalreja, terjadi suatu bentrokan antara para pengikut Diponegoro

dengan para pengikut musuhnya, Patih Danureja IV (1813-1847), terjadi ketika

patok-patok untuk jalan raya tersebut dipancangkan. Sesudah itu berlangsung

suatu masa ketegangan. Pada tanggal 20 Juli pihak Belanda mengirim serdadu-

serdadu dari Yogyakarta untuk menangkap Diponegoro. Segera meletus

pertempuran terbuka, Tegalreja direbut dan dibakar, tetapi Diponegoro berhasil

meloloskan diri dan mencanangkan panji pemberontakan dengan meletusnya

perang Jawa hingga tahun 1830 yang pada membawa Diponegoro pada titik

kekalahan dan harus menandatangani perundingan-perundingan serta diasingkan

oleh pihak Belanda.

Perang Jawa tersebut merupakan perlawanan kelompok elite bangsawan

Jawa. Perlawanan ini merupakan suatu gerakan konservatif, suatu usaha yang sia-

sia untuk kembali lagi kepada keadaan-keadaan sebelum meningkatnya kekuatan

kolonial yang telah muncul sejak tahun 1808. Luasnya gerakan protes sosial yang

mendukung langkah perang tersebut nyata-nyata dan, dengan menoleh

kebelakang, menunjukkan betapa mendalamnya revolusi penjajahan itu sudah

merobek-robek masyarakat Jawa,dan dalam hal ini Perang Jawa seakan-akan

membayangi gerakan anti penjajahan dari abad ke-20 (M. C Ricklefs, 1991: 178-

181).

Page 19: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

Setelah berakhirnya Perang Jawa, Belanda semakin memikirkan berbagai

rencana untuk Jawa untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya yaitu dengan

cultuurstelsel (sistem pananaman) yang membuat rakyat semakin sengsara dan

semakin menyudutkan kerajaan-kerajaan di Jawa. Raja-raja baik di Surakarta

maupun Yogyakarta terbelenggu dengan kebijakan-kebijakan Belanda yang

menyudutkan pemerintahannya. Periode pasca-1830, ditemukan dalam ekspresi-

ekspresi protes sosial di Surakarta pada masa itu. Baik pusat (di istana-istana itu

sendiri) maupun pinggiran (daerah-daerah di sekitar istana) atau disebut dengan

gerakan peripheral dan gerakan semiperiferal. Gerakan periferal mengacu pada

ekspresi-ekspresi perlawanan terhadap tatanan yang ada yang muncul tepat di luar

lingkungan pusat-pusat kota keraton dan yang tidak memiliki hubungan yang

terang-terangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam dan sekitar istana.

Berbagai usaha dilakukan untuk menghentikan perlawanan-perlwanan

sosial tersebut. Salah satunya adalah pada masa Paku Buwono IX. Surakarta pada

saat itu diperintah oleh Sunan Paku Buwono IX (1861-1893). Paku Buwana IX

(1861-1893), memiliki kepribadian yang sangat berbeda daripada kedua raja

sebelumnya. Pada awal pemerintahanya, Sunan ini terdapat dua macam gagasan

mengenai usaha agar keamanan di daerah Surakarta tercapai. Pertama, berupa usul

agar kepolisian diletakkan langsung di bawah residen dengan cara mengangkat

kontrolir kelas 1 disertai hak mengadili perkara kecil. Kedua, pendapat yang

menyatakan kurang setuju dengan soal pengambilan hak-hak Sunan, karena hal

ini akan menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan. Sebab itu perlu diadakan

asisten residen dengan tugas mengusahakan agar para pengusaha asing

mendapatkan sesuatu sesuai haknya dan disamping itu juga merintangi para

pengusaha asing itu dalam hal mengadili kawula Sunan yang tinggal dan bekerja

di daerah yang disewa. Pada 1866 Sasradiningrat Seda Jabung diberhentikan dan

diberi pensiun karena dinilai tidak dapat menyelenggarakan keamanan. Pada

sekitar 1860-an banyak terjadi perampokan, disamping itu juga muncul gerakan

lain. Pengganti Sasradiningrat, R.Ad. Sasranagara (1866-1887), memangku

jabatan selama 21 tahun. Pada awal pemerintahannya (1867) di Kasunanan terjadi

sembilan kali perampokan dan sekali di daerah Mangkunegaran. Pada periode

Page 20: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

pemerintahan patih ini diadakan jabatan asisten residen. Rencana pemerintah

untuk mengangkat asisten residen diluar ibukota mulai dilancarkan pada 1872,

tetapi ditolak oleh Sunan. Raja ini bermaksud akan memperluas korps polisi

pribumi sebagai upaya untuk merintangi campur tangan pemerintah terhadap

urusan intern kerajaan. Namun, karena dana yang dimilikinya sangat terbatas,

maka gagasan itu tidak dapat direaliasikan. Akibatnya, Sunan terpaksa membuka

perundingan dengan residen. Perundingan yang berlangsung selama dua tahun itu

sering mengalami kemacetan, karena adanya perbedaan paham anatara kedua

pihak (Darsiti Soeratman, 2000: 45-46).

Usaha-usaha itu tidak menyusutkan berbagai kerusuhan-kerusuhan sosial

yang terjadi di Surakarta. Isu-isu tentang kecu atau perampok yang memiliki

tujuan-tujuan yang sifatnya lebih duniawi lebih menggambarkan sebuah kategori

kejahatan ketimbang sebuah pemberontakan. Menjelang akhir tahun 1860-an

masalah kecu telah menarik perhatian pemerintah, bahkan perhatian parlemen

Belanda, yang berarti bahwa sejak saat itu jumlah laporan yang masuk pun

meningkat. Antara bulan Februari dan Agustus 1867 terjadi kejahatan-kejahatan

regular di daerah Solo. Pada bulan Maret 1868 seorang janda Eropa yang

mengelola sebuah rumah gadai dirampok. Dua bulan kemudian ada dua kejahatan

lagi, satu di antaranya terjadi di sebuah perkebunan sewa di desa Kartasura.

Totalnya, pada tahun 1867 terjadi sepuluh kejahatan, pada tahun 1868 dua belas

kejahatan, sebelas kejahatan pada tahun 1869 dan pada tahun 1870 ada tujuh

insiden kecu yang terdaftar. Selain itu juga ada gerakan semiferiferal yaitu

ekspresi perlawanan terhadap tatanan yang ada, yang bermula di daerah-daerah

perbatasan atau yang untuk pertama kalinya diketahui terjadi disana, tetapi

dibenarkan ataupun tidak diduga memiliki kaitan-kaitan dengan keraton (Vincent

J.H. Houben, 2002: 440-444).

Gerakan ini mendapat tekanan yang tidak ada habisnya dari pihak

Belanda, Gerakan-gerakan ini juga yang pada akhirnya membawa kemrosotan

Ekonomi di Surakarta. Selain itu sejak masa Paku Buwono VII, di Surakarta

terjadi sistem penyewaan tanah dari para penguasa Jawa dan aristrokrat Jawa yang

menyewakan tanahnya kepada orang-orang Eropa dan orang-orang Cina.

Page 21: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

Permasalahan-permasalahan ini masih tetap belanjut sampai pada masa akhir

kekuasaan Paku Buwono IX, dan penggantinya yaitu Paku Buwono X yang hanya

berkuasa di lingkup keraton, dan nantinya (pada awa abad ke-20) dia berperan

besar terhadap usahanya melawan Belanda dalam masa Pergerakan Nasional.

Pada awal abad ke-20 Surakarta dan Yogyakarta dijadikan sebagai daerah

otonom berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi 1903. Vorstenlanden

merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda dan pemerintahannya dibagi

dalam dua keresidenan. Tetapi wilayah ini mempunyai status yang khusus,

walaupun agak mendua, sebab dua keresidenan ini terdiri dari dua kerajaan

swapraja yang nominal. Kerajaan semi-otonom ini adalah suatu proses

penguasaan dari imperium Mataram yang pernah berkuasa pada abad ke-17 dan

awal abad ke-18 (George D. Larson, 1990: 1).

Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari

peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X.

Namun perjuangan kemerdekaan bukanlah peristiwa sesaat yang tidak terkait

dengan peristiwa sebelumnya. Sebagai sebuah negara yang berdaulat, pemerintah

Hindia-Belanda tentu sangat memperhitungkan kekuatan politik keraton di mata

rakyat.

Menurut Soemarsaid Moertono yang dikutip oleh Purwadi, dkk (2009: 1-

2) mengatakan “Keraton Surakarta yang diperintah oleh Sunan Paku Buwono X

pada zamannya merupakan pusat kebudayaan Jawa yang telah memberi kontribusi

besar tehadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Oleh karena raja memiliki

kekuasaan yang sangat besar sebagai sumber hukum, pengatur kehidupan

bermasyarakat dan bernegara, dan bahkan di anggap sebagai „wakil Tuhan‟ di

muka bumi”. Berbagai pergumulan politik, ideologi, sosial, budaya dan

keagamaan sangat dipengaruhi oleh kebijakan sang raja yang berkuasa.

Sunan Paku Buwono X adalah raja Keraton Surakarta yang memerintah

tahun 1893-1939. Paku Buwono X adalah pribadi yang penuh nilai keteladanan,

kebijaksanaan dan keagungan. Beliau mempunyai tempat yang sangat istimewa

karena masa pengabdiannya yang cukup panjang yakni 46 tahun. Salah satu sifat

Sunan yang paling menonjol adalah kelakuannya yang dermawan, ia selalu mau

Page 22: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

membantu dan atau menyenangkan hati orang. Ia juga sopan dan suka melayani,

salah satu kekurangannya adalah bahwa ia tak mengenal nilai uang, Susuhunan

tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang keadaan keuangannya. Sunan

tidak memiliki pengertian sekecil apapun tentang urusan-urusan resmi.

Kebanyakan laporan Belanda tentang Susuhunan menggambarkan sebagi seorang

pesolek, lemah, dan agak bodoh, tetapi setia kepada keluarga raja Belanda dan

pemerintah Hindia-Belanda (George D. Larson, 1990: 44).

Menjelang pergantian abad ke-20 di negeri Belanda terjadi perubahan

politik terhadap Indonesia yaitu menjadi politik etis berdasarkan pikiran bahwa

negara Belanda mempunyai hutang budi kepada Indonesia. Sebagai perlunasan

hutang itu Belanda mendirikan banyak sekolah di Indonesia. Paku Buwono X

dapat melihat perubahan dan perkembangan-perkembangan baru itu dan juga

sadar bahwa generasi muda harus menjadi orang-orang pintar agar dapat

mengimbangi kepintaran orang Belanda hingga suatu saat dapat melepaskan

bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Oleh sebab itu di kampung dan desa

didalam wilayah Kasunanan Surakarta didirikan sekolah-sekolah rakyat dan bagi

para sentana didirikan sekolah Kasatrian semacam Hollands Inlandesche School

(Sekolah bagi orang Indonesia asli yang diberi bahasa Belanda). Selain

mendirikan sekolah-sekolah umum, Sunan juga mendirikan sekolah khusus untuk

mempelajari agama Islam yang dikalangan rakyat dikenal dengan nama

“Mamba‟ul Ulum”. (R.M Karno, 1990: 45-46).

Pada awal abad ke-20 terjadi perubahan sosial politik yang sangat besar di

seluruh dunia, tidak terkecuali bangsa Indonesia yang ditandai dengan munculnya

lembaga-lembaga pendidikan swasta dan organisasi-organiasasi, seperti Budi

Oetomo dan Syarikat Islam yang menjadi titik awal Kebangkitan Nasional.

Perjuangan Budi Oetomo dan Sarekat Islam ini mendapat apresiasi yang cukup

besar dari Sunan Paku Buwono X. Para pangeran dan bangsawan keraton

didorong untuk membantu gerakan politik, pendidikan dan kebudayaan modern.

Paku buwono X secara terbuka dan diam-diam memberi sokongan kepada

perkumpulan-perkumpulan politik itu. Contoh pemberian dukungan secara

terbuka terjadi pada kongres Syarikat Islam tahun 1913 yang diselenggarakan di

Page 23: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

Taman Sriwedhari atas restu Sunan. Dengan perlindungan ini, SI aman dari

pencekalan oleh pihak Belanda. Di sebelah utara pasar Singosaren didirikan

sebuah gedung pertemauan Habi Praya yang dapat digunakan untuk mengadakan

rapat-rapat atau pertemuan oleh masyarakat Solo (Purwadi, dkk , 2009: 20).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji

dan meneliti secara lebih mendalam serta mengangkatnya dalam sebuah skripsi

yang berjudul “PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN

NASIONAL’’.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah ini berguna untuk mempermudah dalam melaksanakan

penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka

dapat dirumuskan beberapa masalah antara lain :

1. Bagaimana usaha-usaha yang dilakukan Paku Buwono X untuk

membangun kehidupan politik di Surakarta?

2. Bagaimana peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di

Surakarta tahun 1909-1939 ?

3. Bagaimana reaksi Belanda terhadap peran Paku Buwono X dalam

Pergerakan Kebangsaan di Surakarta ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan jawaban atas masalah yang telah

dirumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan :

1. Usaha-usaha yang dilakukan Paku Buwono X untuk membangun

kehidupan politik di Surakarta.

2. Peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Kebangsaan di Surakarta tahun

1909-1939.

3. Reaksi Belanda terhadap peran Paku Buwono X dalam Pergerakan

Kebangsaan di Surakarta.

Page 24: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan kegunaan yang ingin diperoleh dari suatu

penelitian. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

Manfaat teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ni diharapkan dapat bermanfaat untuk :

a. Menambah wawasan pemikiran dan pengetahuan bagi peneliti, khususnya

tentang peran Paku Buwono X dalam Pergerakan Nasional.

b. Bahan masukan kepada pembaca untuk digunakan sebagai wacana dan

sumber data dalam bidang sejarah.

Manfaat Praktis

Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

a. Menambah khazanah penelitian pada Program Pendidikan Sejarah

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

b. Dapat memberikan informasi tentang peran Paku Buwono X dalam

Pergerakan Nasional.

Page 25: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. Tinjauan Pustaka

1. Nasionalisme

Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Bangsa

mempunyai dua pengertian, yaitu: dalam pengertian antropologis sosiologis, dan

dalam pengertian politis. Dalam pengertian antropologis sosiologis, bangsa adalah

suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri

dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras,

bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Adapun yang dimaksud bangsa dalam

pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka

tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar

dan ke dalam (Badri Yatim, 1999: 57-58).

Dalam pembentukan nation (bangsa) tersebut ada beberapa teori yang

menyebutkan antara lain: pertama, yaitu teori kebudayaan (cultur) yang

menyebutkan suatu bangsa itu adalah sekelompok manusia dengan persamaan

kebudayaan; kedua, teori Negara (staat) yang mengatakan bahwa terbentuknya

suatu negara ditentukan oleh penduduk didalamya yang disebut bangsa; ketiga,

teori kemauan (will), yang menyatakan bahwa terbentuknya suatu bangsa karena

adanya kemauan bersama dari sekelompok manusia untuk hidup bersama dalam

ikatan suatu bangsa, tanpa memandang perbedaan kebudayaan, suku, dan agama

(Suhartono, 2001: 7).

Istilah nasionalisme lazim digunakan sehubungan dengan revolusi atau

perang. Dalam surat-surat kabar Amerika Utara, istilah nasionalisme digunakan

untuk mengacu pada Negara-negara Afrika, Asia, Amerika Latin atau Timur

Tengah (Lynan Tower Sargent, 1987: 16). Terdapat berbagai pendapat tentang

pengertian nasionalisme, diantaranya adalah menurut Hans Kohn dalam

Encyclopedhia Of Sosial Science (1972: 63) adalah keyakinan politis yang

mendasari kepaduan kemasyarakatan modern dan pengesahan secara otoritas.

Nasionalisme menjadi pusat kesetiaan tertinggi bagi mayoritas orang pada satu

Page 26: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

kebangsaan baik bangsa yang sudah ada maupun yang baru di inginkan. Di sisi

lain, Lynan Tower Sargent (1978: 19) mengemukakan :

Nasionalisme merupakan salah satu cara dimana individu

mengidentifikasikan diri dengan kelompok dimana ia berada, baik karena

kelahiran maupun karena lama tinggal di suatu tempat tertentu.

Nasionalisme meliputi pola permintaan akan tindakan untuk memperkuat

negeri dan permintaan akan patriotik.

Nasionalisme merupakan tindakan yang didasarkan terhadap perasaan

akan kesetiaan pada Negara yang dipergunakan untuk menggalang kekuatan

dalam rangka mewujudkan Negara nasional dengan tindakan patriotik.

Selanjutnya dijelaskan oleh Stoddart dalam Miriam Budihardjo (1984: 31)

bahwa nasionalisme adalah suatu keyakinan yang dimilki sejumlah besar

perorangan sebagai suatu kebangsaan. Nasionalisme merupakan manifestasi

kesadaran nasional yang mengandung cita-cita dan merupakan ilham yang

mendorong dan merangsang suatu bangsa (F. Isjwara, 1982: 127). Keyakinan

yang dimiliki sejumlah besar orang dalam suatu bangsa akan mewujudkan

kesadaran untuk mencapai cita-cita dan mendorong semangat bersatu dalam satu

bangsa. Hal ini dikatakan oleh Otto Bauer dalam Sumarsono Moestoko (1988: 77)

bahwa nasionalisme adalah perasaan untuk bersatu dalam daerah suatu bangsa.

Konsep nasionalisme dalam pengertian modern berasal dari dunia barat.

Timbulnya nasionalisme erat kaitannya dengan kolonialisme. Nasionalisme yang

tumbuh pada pihak yang diajah berusaha melepaskan diri dan melalui semangat

nasionalisme itu dapat membawa keruntuhan pemerintahan kolonial di Indonesia.

Hertz dalam F. Isjwara (1977: 111) menyebutkan adanya empat macam cita-cita

yang terkandung dalam nasionalisme, yaitu : (1) perjuangan mewujudkan

persatuan nasional yang meliputi persatuan dalam bidang politik, ekonomi,

sosial, keagamaan, kebudayaan dan persekutuan serta adanya solidaritas; (2)

perjuangan untuk mewujudkan kebebasan nasional yang meliputi kebebasan dari

kekuasaan asing atau campur tangan dunia luar dan kebebasan dari kekuasaan-

kekuasaan intern yang tidak bersifat nasional atau yang hendak mengesampingkan

bangsa dan negara. (3) perjuangan mewujudkan kemandirian, pembedaan,

Page 27: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

individualitas, keaslian dan keistimewaan; (4) Perjuangan untuk mewujudkan

perbedaan di antara bangsa- bangsa yang meliputi perjuangan untuk memperoleh

kehormatan, kewibawaan, gengsi dan pengaruh.

Nasionalisme sebagai manifestasi dari kesadaran nasional mengandung

sebuah cita-cita atau ilham yang mendorong dan merangsang suatu bangsa untuk

bersatu. Hertz yang dikutip oleh F. Isjwara (1982: 127) menyebutkan ada empat

macam cita-cita yang terkandung dalam nasionalisme yaitu: (1) Perjuangan untuk

mewujudkan persatuan nasional yang meliputi persatuan bidang politik, ekonomi,

sosial, agama, kebudayaan dan persekutuan serta adanya solidaritas; (2)

Perjuangan untuk mewujudkan kebebasan nasional yang meliputi kebebasan dari

penguasaan asing; (3) Perjuangan untuk mewujudkan kesendirian (separentenses),

pembedaan (distinctivenses); individualitas keaslian (originality) atau

keistimewaan, dan (4) Perjuangan untuk mewujudkan perbedaan diantara bangsa-

bangsa, yang meliputi perjuangan untuk memperoleh kehormatan, kewibawaan,

gengsi dan pengaruh.

Di dalam nasionalisme terdapat unsur-unsur yang terkandung didalamnya

yang sangat penting untuk memperkuat nasionalisme dalam diri suatu bangsa.

Menurut M. Hutauruk (1984: 111) unsur-unsur penting nasionalisme adalah : (1)

Kesetiaan mutlak, kesetiaan individu, kesetiaan tertinggi individu itu adalah pada

nusa dan bangsa; (2) Kesadaran akan suatu panggilan; (3) Keyakinan akan suatu

panggilan; (4) Harapan akan tercapainya sesuatu yang membahagiakan; (5) Hak

hidup, hak merdeka dan hak atas harta benda yang berhasil dikumpulkan dengan

jalan halal; (6) Kepribadian kolektif yang mengandung perasaan mesra

sekeluarga, nasib serta tanggung jawab yang sama, persaudaraan dan kesetiaan di

antara manusia itu; (7) Jiwa rakyat (Volkgeist) yang ada dalam tradisi, bahasa,

ceritera dan nyayian rakyat, dan (8) Toleransi yang sebesar-besarnya terhadap

satu sama lain.

Konsep nasionalisme dalam pengertian modern berasal dari dunia Barat.

Nasionalisme mula-mula dibenihkan oleh golongan menengah Inggris yang

tergabung dalam kelompok puritan, kemudian lewat pemikiran-pemikiran John

Locke menyeberang ke Perancis dan Amerika Utara. Nasionalisme yang bangkit

Page 28: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

abad ke-18 itu merupakan suatu gerakan politik untuk membatasi kekuasaan

pemerintah dan menjamin hak-hak warga negara. Gerakan ini juga dimaksudkan

untuk membina masyarakat sipil yang liberal dan rasional. Nasionalisme abad ke-

18 itu telah melahirkan negara bangsa (nation state) di Eropa dengan menentukan

batas-batasnya di satu pihak dan melahirkan imperialisme di pihak lain.

Nasionalisme yang semula berkembang di Eropa itu juga berkembang di negara-

negara luar Eropa, tetapi dengan nuansa yang berbeda (Cahyo Budi Utomo, 1995:

17-18).

Berbeda dengan latar belakang timbulnya paham nasionalisme dalam abad

ke-18 di Amerika Utara dan Eropa Barat yang bertujuan membatasi kekuasaan

pemerintah dan menjamin hak-hak warga negaranya, maka nasionalisme di Asia

dan Afrika mulanya timbul sebagai gerakan kaum terpelajar. Kaum terpelajar

mensosialisasikan nasionalisme tersebut di tengah masyarakat, dan membentuk

organisasi politik yang berjiwa nasionalis (Ichlasul Amal & Armaidy Armawi,

1998: 21-162).

Khusus untuk nasionalisme Asia pada hakekatnya merupakan hasil

perkenalan bangsa Asia dengan kolonialisme dan imperialisme, dan nasionalisme

itu muncul bukan sebagai imitasi (peniruan) dari nasionalisme Eropa.

Nasionalisme Asia pada dasarnya tumbuh sebagai reaksi atas kolonialisme bangsa

Eropa. Nasionalisme dalam perlawanannya terhadap kolonialisme tidak selalu

bersifat pasif, dengan cara isolasi (menutup pintu), tetapi juga bersifat aktif

dengan cara mengoper cara-cara yang baik dan membuang cara-cara yang buruk.

Nasionalisme yang muncul di Indonesia pada dasarnya sama dengan

nasionalisme di Asia. Tumbuhnya nasionalisme di Indonesia merupakan bentuk

dari reaksi atau antithesis terhadap kolonialisme, yang bermula dari cara

eksploitasi yang menimbulkan pertentangan kepentingan yang permanen antara

penjajah dan yang di jajah. Nasionlisme merupakan gejala historis yang tidak

dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan kolonialisme bangsa Barat. Dalam

konteks situasi kolonial, nasionalisme Indonesia adalah suatu jawaban terhadap

kondisi politik, ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh situasi kolonial (C.S.T

Kansil & Julianto, 1984: 16).

Page 29: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

Nasionalisme di Indonesia muncul karena adanya reaksi terhadap

pemerintah Belanda, sehingga menimbulkan kesadaran dikalangan orang-orang

Indonesia. Rasa nasioanalisme yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi menyatu.

Hal ini disebabkan : (1) Persamaan agama, karena 90% penduduk Indonesia

beragama Islam; (2) Perkembangan lingua Franca, yaitu bahasa Melayu menjadi

satu bahasa kebangsaan; (3) Adanya dewan rakyat atau Volksraad yaitu majelis

perwakilan tertinggi untuk seluruh Indonesia. Bangsa Indonesia dari berbagi pulau

menjadi sadar bahwa masalah bersama harus dihadapi bersama pula, sehingga

mendorong kepada persatuan bangsa. (Ismail bin Muhammad & Zuharom bin

Abdul Rashid, 1980: 49-51).

Tujuan dari nasionalisme Indonesia ini antara lain adalah melenyapakan

tiap-tiap bentuk kekuaaan penjajah dan mencapai Indonesia merdeka. Tujuan dari

nasionalisme ini juga merupakan tujuan dari pergerakan nasional. Nasionalisme

tersebut tumbuh seirama dengan perkembangan pergerakan nasional.

2. Pergerakan Nasional

a. Pengertian

Menurut Suhartono, kata “pergerakan” mencakup semua macam aksi yang

dilakukan dengan organisasi modern kearah kemerdekaan. Sedangkan menurut

A.K Pringgodigdo (1964: 1), pergerakan mengandung arti semua macam aksi

yang dilakukan dengan organisasi secara modern kea rah perbaikan hidup suatu

bangsa. Sedikit berbeda dengan kedua pendapat tersebut, Suhartoyo Hardjosatoto

(1985: 32-33) menyatakan bahwa “ pergerakan setidak-tidaknya mengandung dua

pengertian. Pengertian pertama yakni pergerakan merupakan suatu proses yang

dinamis menuju suatu keadaan tertentu yang diinginkan, sedangkan pengertian

lainnya yaitu mengacu pada fakta atau fakta-fakta proses perubahan tersebut”.

Kata nasional berasal dari kata dasar “nation” yang biasanya

diterjemahkan sebagai bangsa. Jadi nasional dapat diartikan sebagai kebangsaan.

Nasional dapat diartikan juga sebagai sekelompok manusia yang mempunyai asal-

usul yang sama atau sekelompok manusia dari keturunan atau ras yang sama.

Dalam hubungannya dengan pergerakan nasional Indonesia, “nasional” ini

Page 30: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

dimaksudkan sebagai sekelompok manusia yang bernegara (Suhartoyo

Hardjosatoto, 1985: 33-34).

Pergerakan nasional pada umumnya merupakan pergerakan dari bangsa

yang dijajah melawan bangsa yang menjajah untuk mendirikan suatu negara

merdeka. Perjuangan dalam pergerakan nasional ditentukan oleh faktor-faktor

yang dimiliki oleh penjajah maupun bangsa yamg dijajah yang bersifat obyektif

maupun yang bersifat subyektif. Ciri obyektif mencakup hal-hal yang bersifat

materiil yakni kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air daripada

bangsa penjajah maupun yang dijajah. Sedangkan ciri yang bersifat subyektif

mencakup semangat dan kepribadian daripada bangsa yang melancarkan

perjuangan pergerakan nasional ataupun yang dimiliki oleh penjajahnya. Faktor

obyektif dari bangsa yang dijajah sangat bergantung pada kekayaan alam dari

tanah airnya dan kemauan peradaban dari bangsa yang bersangkutan. Ciri dari

penjajah sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor obyektif yang terdapat dalam

negerinya. Faktor subyektif terutama ditentukan oleh pandangan hidup dari suatu

bangsa itu sendiri (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 82-85).

b. Latar Belakang Munculnya Pergerakan Nasional

Munculnya pergerakan nasional di Indonesia, disebabkan oleh dua faktor.

Ada faktor dari dalam negeri (internal) dan faktor luar negeri (eksternal). Tetapi

faktor dari dalam negeri lebih menentukan dibanding dengan faktor yang timbul

dari luar negeri. Fungsi dan peranan faktor luar negeri hanya bersifat

mempercepat proses timbulnya pergerakan nasional. Hal ini berarti bahwa

sebenarnya tanpa adanya faktor dari luar, pergerakan nasional juga akan muncul,

hanya waktunya agak terlambat. Disamping itu, bisa juga dalam bentuk lain

(Sudiyo, 1997: 14).

Adapun faktor atau sebab-sebab dalam negeri (intern) (G Moejanto, 1988:

26) ialah:

1. Penderitaan akibat penjajahan, bangsa Indonesia merasa senasib

sepenanggungan, sama-sama dijajah Belanda. Jadi ini reaksi terhadap

penjajah.

2. Kesatuan Indonesia dibawah Pax Neerlandica memberi jalan ke arah

kesatuan bangsa.

Page 31: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

3. Pembangunan komunikasi antara pulau menyebabkan makin mudah dan

makin sering bertemunya rakyat dari berbagai kepulauan.

4. Pembatasan penggunaan atau penyebaran bahasa Belanda dikalangan

pribumi di satu pihak, dan penggunaan bahasa Melayu yang dipopulerkan

di lain pihak menyebabkan bahasa yang berasal dari sekitar selat Malaka

ini menjadi bahasa Indonesia, bahasa ini kemudian menjadi tali pengikat

kesatuan bangsa yang ampuh.

5. Undang-undang desentralisasi 1903, yang diantaranya mengatur

pembentukan kotapraja (gemeente atau haminte) dan dewan-dewan

kotapraja memperkenalkan rakyat Indonesia akan tata cara demokrasi

yang modern.

6. Pergerakan kebangsaan Indonesia dapat juga disebut sebagai reaksi

terhadap semangat kedaerahan, yang tidak menguntungkan bagi

perjuangan kemerdekaan (semangat kemerdekaan membuat kita terpecah

bekah dan lemah).

7. Inspirasi kejayaan Sriwijaya dan Majapahit.

Faktor-faktor luar negeri yang dapat mempercepat timbulnya pergerakan

nasional itu (Sudiyo, 1997: 15), adalah sebagai berikut:

1. Adanya faham baru, yaitu liberalisme dan human rights, akibat perang

Kemerdekaan Amerika (1774-1783) dan Revolusi Perancis (1789).

2. Diterapkannya pendidikan sistem barat dalam pelaksanaan Politik Etis

(1902), yang menimbulkan wawasan secara luas bagi pelajar Indonesia

walaupun jumlahnya masih sangat sedikit.

3. Kemenangan Jepang terhadap Rusia tahun 1905, yang membangkitkan

rasa percaya diri bagi rakyat Asia-Afrika dan bangkit melawan bangsa

penjajah (bangsa kulit putih).

4. Gerakan Turki muda (1896-1918), yang bertujuan menanamkan dan

mengembangkan nasionalisme Turki, sehingga terbentuk negara

kebangsaan yang bulat dengan ikatan suatu negara, satu bangsa, satu

bahasa, ialah Turki.

5. Gerakan Pan-Islamisme, yang ditumbuhkan oleh Djamaludin al-Afgani

bertujuan mematahkan dan melenyapkan Imperialisme Barat untuk

membentuk persatuan semua umat islam dibawah satu pemerintah Islam

pusat. Gerakan ini menimbulkan nasionalisme di negara terjajah dan anti-

imperialisme.

6. Dan lain-lain, seperti gerakan Nasionalisme di India, Tiongkok, dan

Philipina

Nasionalisme Indonesia tumbuh seirama dengan berkembangnya

pergerakan nasional, maka sifat dan corak nasionalisme Indonesia sesuai dengan

corak dan organisasi pergerakan yang mewakilinya. Walaupun terdapat perbedaan

corak dan sifat dari organisasi-organisasi pergerakan, tetapi tujuannya sama yaitu

mencapai kemerdekaan dan melenyapkan sistem kolonialisme.

Page 32: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

Dalam dua abad terakhir sebelum mencapai kemerdekaannya, sejarah

bangsa Indonesia diwarnai oleh rangkaian usaha yang terus menerus baik secara

fisik maupun nonfisik, baik secara moril maupun materiil, dari masyarakat

terjajah untuk membebaskan dirinya dari belenggu penjajah yang sangat

menyengsarakan. Dalam kurun waktu yang lama itu, segala upaya yang dilakukan

bangsa Indonesia dalam menentang penjajah seolah-olah menghadapi batu karang

yang demikian keras tak tergoyahkan. Perlawanan-perlawanan fisik yang muncul

di berbagai daerah segera diredam oleh pemerintah kolonial Belanda. Keadaan

seperti itu terus berlangsung sampai munculnya suatu gagasan baru, suatu gerakan

baru untuk membebaskan diri dari belenggu penjajah. Gagasan, cara dan gerakan

baru tersebut adalah perjuangan dengan menggunakan organiasai modern. Tanda-

tanda perubahan itu muncul di awal abad ke-20 yang ditandai dengan lahirnya

sebuah organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia pertama pada tanggal 20 Mei

1908 yang bernama Boedi Oetomo (Cahyo Budi Utomo, 1995: 37).

Perjuangan bangsa Indonesia yang disebut sebagai Pergerakan

Kebangsaan pada permulaan abad ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari

faktor intern dan ekstern yang mempengaruhi perjalanan pergerakan kebangsaan

Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Dari berbagai faktor yang mempengaruhi

tersebut, salah satu faktor yang mempunyai peranan penting adalah diterapkannya

Politik Etis di Indonesia yang secara perlahan mengubah pemikiran tradisional

rakyat pribumi melalui pendidikan barat yang diterapkan Belanda.

Politik etis atau politik balas budi merupakan sebuah haluan politik yang

dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1900-1942. Politik ini

didasarkan pada pertimbangan bahwa negeri Belanda telah banyak berhutang budi

kepada rakyat Indonesia (pribumi) selama berabad-abad. Hal itu disebabkan sejak

zaman VOC hingga masa Kolonial Liberal sebagian besar kekayaan bangsa

Indonesia dikeruk dan dibawa ke negeri Belanda. Walaupun tujuan utama politik

Etis sangat mulia, dalam pelaksanaannya tidak demikian. Tetapi dengan segala

kelemahan tersebut, politik etis telah mendorong perubahan sosial di kalangan

penduduk pribumi. Hal itu disebabkan banyak penduduk bumi putera yang

kemudian mengenyam pendidikan barat, sebagai suatu cara untuk mengubah

Page 33: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

pemikiran yang tradisional. Walaupun dari sudut pandang Kolonial kebijakan

pendidikan Belanda diarahkan untuk kepentingan Pemerintah Kolonial, dari sudut

kepentingan perjuangan bangsa Indonesia pendidikan Barat telah melahirkan Elit

Baru yang muncul sebagai produk pendidikan Barat. Elit inilah yang kemudian

menjadi embrio munculnya nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan

Nasional Indonesia ke arah kemerdekaan Indonesia (Cahyo Budi Utomo, 1995:

40-43).

Embrio munculnya nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan

Nasional Indonesia ke arah kemerdekaan Indonesia menyebar keseluruh wilayah

Indonesia, tidak ketinggalan dengan Surakarta yang merupakan salah titik penting

sebagai salah satu pelopor gerakan nasional yang diwadahi dan mendapat

perhatian penting dar Sri Susuhunan Paku Buwono X sebagai raja di keraton

Kasunanan Surakarta.

3. Agen dalam Pergerakan Nasional

Timbulnya peristiwa akibat dari tindakan manusia yang terjalin melalui

aktivitas antar mereka yaitu aktivitas budaya, ekonomi, politik, dan sosial.

Berpijak dari pengertian ini, Anthony Gidden dalam George Ritzer berpendapat

bahwa manusia adalah aktor dari seluruh peristiwa sosial budaya, sosial ekonomi,

dan sosial politik (George Ritzer, 2004: 507-508).

Manusia tidak sepenuhnya bebas untuk memilih tindakan mereka sendiri,

dan pengetahuan mereka terbatas, mereka tetap merupakan agen yang

mereproduksi struktur sosial dan mengarah pada perubahan sosial. Giddens

menulis bahwa hubungan antara struktur dan tindakan adalah sebuah elemen

fundamental bagi teori sosial, struktur dan keagenan adalah dualitas yang tidak

dapat dipahami terpisah satu sama lain. Argumen utamanya terkandung dalam

ungkapan dualitas struktur. Pada tingkat dasar, ini berarti bahwa orang-orang

membuat struktur masyarakat, tetapi pada saat yang sama, mereka dibatasi

olehnya (http://www.yudhieharyono.com/?p=343, diunduh pada selasa 16

Februari 2010).

Page 34: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

Tindakan dan struktur tidak dapat dianalisis secara terpisah, seperti

struktur diciptakan, dipertahankan dan diubah melalui tindakan. Sedangkan

tindakan bermakna diberi bentuk hanya melalui latar belakang struktur, garis

kausalitas berjalan di dua arah sehingga mustahil untuk menentukan siapa yang

mengubah apa. Dalam hal ini, Giddens mendefinisikan struktur yang terdiri dari

aturan dan sumber daya yang melibatkan tindakan manusia, aturan membatasi

tindakan.

Struktur dapat bertindak sebagai kendala tindakan, tetapi juga

memungkinkan tindakan dengan menyediakan kerangka makna umum. Giddens

menunjukkan bahwa struktur (tradisi, institusi, kode moral, dan harapan) pada

umumnya cukup stabil, tetapi dapat diubah, terutama melalui konsekuensi

tindakan yang diharapkan, ketika orang mulai mengabaikan mereka,

menggantikan mereka, atau mereproduksi mereka secara berbeda

(http://www.yudhieharyono.com/?p=343, diunduh pada selasa 16 Februari 2010).

Tindakan aktor adalah akibat dari kesadaran diskursif dan kesadaran

praktis (George Ritzer, 2004: 509). Kesadaran Diskursif memerlukan kemampuan

untuk melukiskan tindakan kita dalam kata-kata, sedangkan kesadaran praktis

melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan

dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan.

Aktor (agen) menerapkan aturan-aturan sosial yang sesuai dengan budaya

mereka yang telah dipelajari melalui sosialisasi dan pengalaman. Aturan-aturan

ini bersama-sama dengan sumber daya yang mereka miliki digunakan dalam

interaksi sosial. Aturan dan sumber daya yang digunakan dalam cara ini tidak

dapat diprediksi, tetapi diterapkan secara tiba-tiba oleh aktor berpengetahuan.

Maka hasil dari tindakan ini juga tidak sepenuhnya dapat diprediksi.

Konsep agen (agency) pada umumnya merujuk pada tingkat mikro atau

makro manusia individual, konsep ini pun dapat merujuk kepada kolektivitas

(makro) yang bertindak. Agen manusia dapat meliputi individu maupun kelompok

terorganisir, organisasi, dan bangsa. Agen (aktor) dalam tindakannya dipengaruhi

oleh kesadaran diskursif dan kesadaran praktis. Kesadaran diskursif memerlukan

kemampuan untuk melukiskan tindakan kita dalam kata-kata. Kesadaran praktis

Page 35: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan

dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan (George Ritzer, 2004: 506-

508).

Dalam hubungan dengan pergerakan nasional, pada awal abad ke-20,

muncul kaum intelektual yang mempunyai kesadaran diskursif dan kesadaran

praktis tentang bangsanya sendiri. Kesadaran kaum intelektual timbul karena: (1)

penindasan ekonomi, politik dan sosial akibat kolonialsme bangsa barat, (2)

diskriminasi dalam pendidikan untuk penduduk pribumi.

Salah satu tokoh yang memiliki kesadaran diskursif dan kesadaran praktis

adalah Paku Buwono X. Berbagai tindakan dilakukan Sunan dalam upayanya

untuk memberdayakan masyarakat Surakarta di bidang ekonomi maupun

pendidikan yang ditandai dengan munculnya elit intelektual yang nantinya

merupakan pendukung utama yang sangat aktif dalam pergerakan kebangsaan.

Page 36: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

B. Kerangka Berfikir

Keterangan:

Penjajahan bangsa Barat khususnya Belanda di Indonesia telah membawa

dampak yang sangat besar terhadap kelangsungan hidup rakyat Indonesia,

demikian juga terhadap kehidupan Keraton Surakarta yang merupakan salah satu

kerajaan yang mempunyai peranan penting di tanah Jawa. Segala upaya dilakukan

untuk mengusir penjajah dari Indonesia, baik perlawanan yang dilakukan secara

Penjajahan Belanda

di Indonesia

Paku Buwono X Interaksi Kaum

Intelektual dan

Pengusaha Batik

Lawean

Keraton Kasunanan

Surakarta

Nasionalisme

Pembangunan

Bidang

Pendidikan

Pembangunan

Bidang

Ekonomi

SI (Sarekat

Islam) 1912

Boedi Oetomo

(BO) 1914

Kesadaran

Diskursif

Kesadaran

Praktis

Pergerakan

Nasional

Page 37: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

tradisional/ fisik dari berbagai daerah. Perlawanan yang dilakukan secara terus

menerus dalam upayanya mengusir penjajah dari Indonesia semakin lama

semakin mengalami perubahan dari yang bersifat tradisional manjadi terorganisir.

Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari

peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X.

Menjelang pergantian abad ke-20 di negeri Belanda terjadi perubahan politik

terhadap Indonesia yaitu menjadi politik etis berdasarkan pikiran bahwa negara

Belanda mempunyai hutang budi kepada Indonesia. Sebagai perlunasan hutang itu

Belanda mendirikan banyak sekolah di Indonesia. Sunan yang mempunyai

kesadaran diskursif dan kesadaran praktis yang tinggi dapat melihat perubahan

dan perkembangan-perkembangan baru itu dan juga sadar bahwa generasi muda

harus menjadi orang-orang pintar agar dapat mengimbangi kepintaran orang

Belanda hingga suatu saat dapat melepaskan bangsa Indonesia dari penjajahan

Belanda.

Berbagai upaya dilakukan Sunan untuk tujuannya tersebut yaitu dengan

cara perubahan dan pembangunan ekonomi Surakarta agar dapat mendorong

kemajuan masyarakat Surakarta. Selain pembangunan ekonomi, bidang lain yang

sangat diperhatikan oleh Sunan adalah dalam bidang pendidikan. Dengan adanya

politik Etis yang dicanangkan oleh Belanda, memberikan kesempatan besar bagi

Sunan untuk memajukan pendidikan dengan cara mendirikan sekolah-sekolah

rakyat, maupun sekolah-sekolah berbasis agama Islam. Hal tersebut dilakukan

untuk membentuk kaum elite intelektual Indonesia yang mampu mengusir

kekeuasaan Barat di Indonesia. Elit inilah yang kemudian menjadi embrio

munculnya nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan Nasional Indonesia ke

arah kemerdekaan Indonesia di Surakarta yang bekerjasama dengan pengusaha

batik Lawean berinteraksi dengan Keraton Surakarta yang nantinya mendorong

berdirinya organisasi politik di Surakarta yaitu Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912

dan organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1914.

Page 38: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dalam rangka penelitian skripsi yang berjudul “Peran

Paku Buwono X Dalam Pergerakan Nasional” ini dilakukan dengan menggunakan

metode historis, maka untuk memperoleh data penelitian, penulis sebagian besar

memperoleh data dari perpustakaan. Adapun perpustakaan yang digunakan

sebagai obyek penelitian adalah sebagai berikut:

a. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu

Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sebelas Maret

b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas

Maret

c. Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret

d. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret

e. Perpustakaan Sasono Poestoko Keraton Kasunanan Surakarta

f. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta

g. Perpustakaan Ignatius Yogyakarta

h. Buku-buku koleksi pribadi

2. Waktu Penelitian

Rencana waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejak proposal

disetujui pembimbing yaitu bulan Januari 2010 sampai dengan Juli 2010. Adapun

kegiatan yang dilakukan dalam jangka waktu tersebut diantaranya adalah

mengumpulkan sumber, baik sumber primer maupun sekunder, melakukan kritik

untuk menyelidiki keabsahan sumber, menetapkan makna yang saling

berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh dan terakhir menyusun laporan hasil

penelitian.

Page 39: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

B. Metode Penelitian.

Metode berasal dari bahasa yunani yaitu “methodos” yang berarti cara atau

jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut cara kerja,

yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang

bersangkutan (Koentjaraningrat, 1997: 7). Dalam penelitian peranan metode

sangat penting karena keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari

penggunaan metode yang tepat. Dalam hal ini dipilih dengan mempertimbangkan

kesesuainnya dengan objek yang diteliti bukan sebaliknya. Berdasarkan

permasalahan yang dikaji serta tujuan yang dicapai, maka metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode historis. Pemilihan metode historis didasarkan

pada pokok permasalahan yang dikaji yaitu peristiwa masa lampau, untuk

direkonsruksi menjadi cerita sejarah melalui langkah aau metode hisoris.

Menurut Gilbert J. Gharagan dalam Dudung Abdurrahman (1999: 43)

metode historis adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk

mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis,

dan mengajukan sintesis dan hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.

Sejalan dengan pendapat ini, Louis Gottschalk (1986: 32) mendefinisikan metode

historis sebagai proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan

peninggalan masa lampau. Sartono Kartodirdjo (1992: 37), berpendapat bahwa

metode penelitian sejarah adalah prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk

menghasilkan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh

masa lampau tersebut. Penelitian sejarah harus membuat rekonstruksi suatu

kegiatan yang disaksikan sendiri, karena secara mutlak tidak mungkin mengalami

lagi fakta yang diselidikinya.

Berdasarkan penjelasan tentang metode historis di atas, maka metode

historis dipergunakan dengan alasan penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi

peristiwa Pergerakan Nasional di Surakarta yaitu, “Peran Paku Buwono X Dalam

Pergerakan Nasional‟‟.

Page 40: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber sejarah.

Sumber sejarah sering kali disebut sebagai data sejarah. Menurut Kuntowijoyo

dalam Dudung Abdurrahman(1999: 30), perkataan data berasal dari bahasa latin

datum yang berarti pemberitaan. Data sejarah itu sendiri berarti bahan sejarah

yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian.

Menurut Helius Syamsuddin (1996: 73) dalam penelitian sejarah, yang

menjadi sumber data adalah sumber sejarah. Sumber sejarah merupakan bahan

mentah (raw material) sejarah yang mencakup segala evidensi atau bukti yang

telah ditinggalkan oleh menusia yang menunjukkan segala aktivitas manusia di

masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan/

lesan.

Menurut Sidi Gazalba (1981: 105) sumber sejarah dapat diklasifikasikan

menjadi tiga macam, yaitu: (1) sumber tertulis yang mempunyai fungsi mutlak

dalam sejarah, (2) sumber lisan, yaitu sumber tradisional dalam pengertian luas,

(3) sumber visual atau benda, yaitu semua warisan masa lalu yang berbentuk dan

berupa seperti candi dan prasasti.

Sumber sejarah dapat diklasifikasikan menjadi beberapa cara yatu : (1)

kontemporer (contemporary) dan lama (remote), (2) formal (resmi) dan informal

(tidak resmi), (3) pembagian menurut asalnya (dari mana asalnya), (4) isi

(mengenai apa), (5) tujuan (untuk apa) yang masing-masing dibagi lagi lebih

lanjut menurut waktu, tempat dan cara/produknya. Sumber sejarah secara garis

besar dibedakan menjadi peninggalan-peninggalan (relics atau remains) dan

catatan-catatan (Helius Sjamsudin, 1996 : 74 ).

Berbagai cara ditempuh untuk mengklasifikasikan sumber data, salah satu

cara mengklasifikasikannya yaitu dengan meninjau atau melihat sumber data itu

dari sudut kegunaannya yang langsung untuk penelitian historis. Klasifikasi

sumber sejarah dapat dibedakan menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua yaitu

sumber tertulis dan sumber tidak tertulis. Sumber tersebut menurut urutan

penyampaiannya dapat dibedakan menjadi sumber primer dan dan sumber

sekunder (Dudung Abdurrahman, 1999: 31).

Page 41: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

Menurut Nugroho Notosusanto (1986: 35), sumber primer adalah

kesaksian dengan mata kepala sendiri atau panca indera lainnya atau dengan alat

mekanis yang ada pada saat peristiwa itu terjadi. Sedangkan menurut John W.

Best dalam Louis gottschalk (1986: 35) sumber primer sebagai cerita atau catatan

para saksi mata atau pengamat atau partisipan dan juga berisi catatan-catatan para

saksi mata yang menyaksikan peristiwa tersebut.

Sumber sekunder adalah informasi yang diberikan oleh orang yang tidak

langsung mengamati atau orang yang tidak terlibat langsung dalam suatu

kejadian, keadaan tertentu atau tidak langsung mengamati objek tertentu. Sumber

sekunder dapat dijadikan sebagai sumber utama apabila sumber utama sulit

didapat (Nugroho Notosusanto, 1986: 35)

Pengumpulan data berdasarkan sumber data yang ditetapkan yaitu teknik

studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis dari buku-buku dan

bentuk pustaka lainnya. Sumber-sumber ini diperoleh melalui kunjungan pustaka,

analisis dan lain-lain.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber sekunder,

karena sulitnya memperoleh sumber primer. Sumber sekunder yang yang

digunakan antara lain: Hans Van Miert judul buku Dengan semangat Berkobar

Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1981-1930; George D. Larson

judul buku Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan Politik di

Surakarta, 1912-1942; RM. Karno judul buku Riwayat dan Falsafah Hidup

Ingkang Sinuwun Sri Susuhunan Paku Buwono X 1893-1939; Darsiti Soeratman

judul Buku Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939; Denys Lombard

judul buku Nusa Jawa Silang Budaya jilid I, II, III; G.P Rouffaer judul buku

Vorstenlanden; Vincent J.H. Houben judul buku Keraton Dan Kompeni Surakarta

Dan Yogyakarta 1830-1870; M.C Ricklefs judul buku Sejarah Indonesia Modern;

A.P.E.Korver judul buku Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?; Suhartono judul

buku Apanage dan Bekel; Kuntowijoyo judul buku Raja, Priyayi dan Kawula; AA

GN Ari Dwipayana judul buku Bangsawan dan Kuasa Kembalinya Para Ningrat

di dua Kota; John Pemberton judul buku On The Subject of “Java”; A.K

Pringgodigdo judul buku Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia; Cahyo Budi

Page 42: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

Utomo judul buku Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari

Kebangkitan Hingga Kemerdekaan.

D. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan sumber data yang digunakan, maka teknik pengumpulan data

yang digunakan adalah tehnik studi pustaka. Menurut Kartini Kartono (1990: 33)

Studi pustaka merupakan sebuah penelitian yang bertujuan mengumpulkan data

dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan

misalnya: buku, surat kabar, majalah dan dokumen. Data-data yang telah

terkumpul berfungsi sebagai wahana informasi terhadap materi yang akan dibahas

dalam penelitian.

Menurut Koentjaraningrat (1997: 64), teknik studi pustaka adalah suatu

metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau

fakta sejarah dengan membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip,

surat kabar atau brosur yang tersimpan dalam perpustakaan. Studi pustaka

merupakan teknik pengumpulan data dengan mengadakan kunjungan ke

perpustakaan guna mendapatkan buku-buku sumber yang relevan dengan

penelitian yang sedang dilakukan, karena salah satu hal yang perlu dilakukan

dalam persiapan penelitian adalah memanfaatkan dengan maksimal sumber

informasi yang terdapat di perpustakaan dan jasa informasi yang tersedia. Dalam

penelitian ini data sebagian besar diperoleh dari perpustakaan yang tedapat di

Surakarta dan Yogyakarta.

Keuntungan dari studi pustaka ini ada empat hal, yaitu : (1) memperdalam

kerangka teoritis yang digunakan sebagai landasan pemikiran, (2) memperdalam

pengetahuan akan masalah yang diteliti, (3) mempertajam konsep yang digunakan

sehingga mempermudah dalam perumusan, (4) menghindari terjadinya

penggulangan suatu penelitian ( Koentjaraningrat, 1986: 36).

E. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah teknik dalam memeriksa dan menganalisis data

sehingga akan menghasilkan data yang benar dan dapat dipercaya. Dalam

Page 43: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

penelitian ini, digunakan analisis data historis. Analisis data historis lebih dikenal

dengan penafsiran atau analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan dan

secara terminologi berbeda dengan sistesis yang berarti menyatukan, namun

keduanya dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi

(Kuntowijoyo, 1995: 100).

Menurut Nugroho Notosusanto (1971: 14), teknik analisis data adalah

analisis dengan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber yang

digunakan untuk mengadakan penulisan sejarah. Analisis dilakukan dengan

meneliti semua bahan yang dipakai, setelah identitasnya dapat dibuktikan asli,

baru dapat diteliti apakah pernyataan, fakta dan ceritanya dapat dipercaya.

Penulisan sejarah yang dapat dipercaya memerlukan analisis data sejarah

yang obyektif, sehingga unsur-unsur subyekifitas dalam menganalisis data sejarah

dapat diminimalisir. Dalam proses analisis data harus diperhatikan unsur-unsur

yang sesuai dengan sumber data sejarah dan kredibilitas unsur tersebut. Unsur

yang kredibel, maksudnya apabila unsur tersebut paling dekat dengan peristiwa-

peristiwa yang sebenarnya terjadi. Unsur tersebut dapat diketahui kredibelnya

berdasarkan penyelidikan kritis terhadap sumber data sejarah yang ada (Louis

Gottchalk, 1986: 95)

Analisis data dapat dilakukan dengan aturan-aturan : fakta sejarah harus

seleksi, disusun, diberi, atau dikurangi tekanannya (tempat atau bahasanya) dan

ditempatkan dalam aturan kausal. Dari keempat aturan menyusun fakta tersebut,

seleksi merupakan masalah penting sehingga peneliti harus mampu memilih dan

memilah fakta mana yang lebih relevan dari sejumlah data (Dudung Abdurahman,

1999: 25).

Interpretasi data sejarah dilaksanakan dengan cara melaksanakan

pengumpulan terhadap berbagai materi/ data yang sesuai dengan tema penelitian

ini. Dari data yang telah terkumpul tersebut kemudian dlaksanakan kritik sumber

dengan cara membandingkan antara data yang satu dengan data yang lain untuk

mendapatkan data yang yang seobyektif mungkin. Data yang telah diseleksi

tersebut kemudan ditafsirkan sehingga menghasilkan fakta-fakta sejarah. Fakta

merupakan bahan utama bagi sejarawan untuk menyusun historiografi, sedangkan

Page 44: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

fakta sejarah selalu mengandung unsur subyektivitas sehingga dalam menganalisa

data diperlukan konsep dan teori sebagai ceritera penyeleksian, pengidentifikasian

dan pengklasifikasian (Sartono Kartodirjo, 1992: 92).

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengklasifikasikan

sumber data yang telah terkumpul yaitu sumber primer dan sumber sekunder.

Langkah selanjutnya adalah kritik sumber baik kritik intern maupun kritik ekstern.

Sumber data itu kemudian dibandingkan dengan sumber data yang lain guna

mempreroleh kredibilitas sumber data. Mengacu pada kajian teori, fakta diberi

keterangan baik yang mendukung atau menolak sampai tersusun fakta yang saling

menunjukan hubungan yang relevan guna mendapatkan hasil penelitian yang utuh

untuk sebuah karya ilmiah.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur Penelitian merupakan langkah-langkah penelitian yang harus

dijalani mulai dari pengumpulan data sampai penulisan hasilnya. Berkaitan

dengan tema penelitian langkah-langkah yang dilakukan adalah :

Heuristik Kritik Sumber Interpretasi Historiografi

Jejak Peristiwa Fakta Sejarah

1. Heuristik

Heuristik berasal dari bahasa yunani “Heurishein” yang artinya

memperoleh. Heuristik adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau

dengan cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak atau sumber lain yang

relevan dengan penelitian ini. G.J Renier yang dikutip Dudung Abdurrahman

(1999: 55) menyatakan heuristic merupakan suatu teknik, suatu seni dan bukan

suatu ilmu. Oleh karena itu heuristic tidak mempunyai peraturan umum menurut

Sidi Gazalba (1981: 115) heuristik adalah mencari bahan atau menyelidiki sumber

sejarah untuk mendapatkan bahan penelitian.

Page 45: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

Pada tahap ini dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan sumber-

sumber yang sesuai dengan penelitian. Sumber berupa buku-buku literatur

diperoleh dari beberapa perpusakaan diantaranya perpustakaan Program Studi

Pendidikan Sejarah Universias Sebelas Maret Surakarta, Perpusakaan Pusat

Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta,

Perpustakaan Keraton Kasunanan Surakarta, Perpustakaan Ignatius Yogyakarta.

2. Kritik

Setelah sumber yang diperlukan terkumpul, maka langkah berikutnya

adalah melakukan kritik sumber yaitu mengadakan penilaian atau pengujian

terhadap sumber-sumber sehingga dapat diketahui apakah sumber tersebut dapat

dijadikan sebagai data bagi penelitian tersebut atau tidak. Menurut Dudung

Abdurrahman (1999: 58) kritik sumber ini meliputi:

a. Kritik Intern

Kritik intern berhubungan dengan kredibilitas dan reabilitas isi dari

suatu sumber sejarah (Hellius Sjamsudin, 1996: 118). Dalam kritik intern, hal

yang dilakukan adalah menyelediki isi dari sumber sejarah. Kritik ini

bertujuan untuk menguji apakah isi, fakta dan cerita dari suatu sumber sejarah

dapat dipercaya dan dapat memberikan informasi yang diperlukan. Kritik

intern yang berkenaan dengan isi sumber dilakukan dengan cara apakah

keaslian sumber tersebut dari pengarangnya asli atau turunan karya orang lain,

dari tahap ini akan didapat validitas data.

Kritik intern dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

membandingkan antara sumber yang satu dengan sumber yang lain. Sumber

tersebut sesuai dengan yang ada atau banyak dipengaruhi oleh subjektifitas

pengarang, dan apakah sumber tersebut sesuai dengan tema penelitian atau

tidak. Misalnya buku Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinuwun Sri

Susuhunan Paku Buwono X 1893-1939 karangan R.M Karno yang memuat

tentang Silsilah dan riwayat Paku Buwono X dibandingkan dengan Buku

Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939 karangan Darsiti Soeratman.

Page 46: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

b. Kritik ekstern

Kritik Ekstern yaitu kritik terhadap keaslian sumber (otensitas) yang

berkenaan dengan segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan, seperti: bahan

(kertas atau tinta) yang digunakan, jenis tulisan, gaya bahasa, hurufnya, dan segi

penampilan yang lain. Menurut Dudung Abdurrahman (1999: 59), uji otensitas

minimal dilakukan dengan pertanyaan kapan, dimana, siapa, bahan apa serta

bentuknya bagaimana sumber itu dibuat. Sebelum semua kesaksian dikumpulkan

oleh sejarawan dapat digunakan untuk merekontruksi masa lalu, maka terlebih

dahulu dilakukan pemerikasaan ketat.

Kritik ekstern dilakukan dengan cara melakukan pengujian terhadap

aspek-aspek luar dari sebuah sumber sejarah. Kritik ekstern berguna untuk

memeriksa sumber sejarah dan menjaga keaslian serta keutuhan sumber tersebut.

Dalam kritik ekstern dilakukan pengujian sumber dari aspek luarnya seperti

pengarang dan asal sumber. Dalam penelitian ini kritik ekstern dilakukan dengan

menyeleksi bentuk sumber data tertulis berupa buku dan literatur. Aspek fisik

kedua sumber dilihat dari pengarang, tahun, tempat penerbitan sumber, gaya

bahasa dan ejaan yang digunakan. Misalnya buku Een Koel Hoofd En Een Warm

Hart Nationalisme, Javanisme En Jeugdbeweging In Nederlands-Indie, 1981-

1930 karangan Hans van Miert tahun 1995 diterbitkan De Bataafsche Leeuw

diterjemahkan oleh Sudewo Satiman judul Dengan semangat Berkobar

Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1981-1930 tahun 2003 dengan

hak terjemahan Indonesia pada Perwakilan KITLV dan Penerbit Hasta Mitra

menggunakan gaya bahasa dan ejaan yang disempurnakan.

3. Interpretasi

Interpretasi atau penafsiran sejarah disebut pula dengan analisis sejarah.

Interpretasi merupakan suatu kegiatan menafsirkan fakta-fakta yang diperoleh dari

data yang telah diseleksi pada tahap sebelumnya untuk selanjutnya análisis data.

Dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk menafsirkan data yang diperoleh,

kemudian mencari kaitan antara data yang satu dengan data yang lainnya. Setelah

itu data yang salin berkaitan dihubungkan sehingga akan diperoleh gambaran

Page 47: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

yang jelas dan menyeluruh kemudian menjadi suatu fakta sejarah yang dapat

dijadikan sebagai data sejarah.

4. Historiografi

Tahap historiografi merupakan langkah terakhir dalam metodologi atau

prosedur penelitian sejarah, historiografi merupakan karya sejarah dari hasil

penelitian, dipaparkan dengan bahasa ilmiah dengan seni yang khas menjelaskan

apa yang ditemukan beserta argumentasinya secara sistematis. Dalam historiografi

seorang penulis tidak hanya menggunakan keterampilan teknis, penggunaan

kutipan-kutipan dan catatan-catatan tetapi penulis juga dituntut menggunakan

pikiran kritis dan analisis (Hellius syamsudin, 1992: 153).

Historiografi merupakan langkah merangkai fakta sejarah menjadi cerita

sejarah yang dilakukan dengan cara menyalin buku-buku linteratur,surat kabar,

dan sumber tertulis lainnya. Dalam hal ini imajinasi sangat diperlukan untuk

merangkai fakta yang satu dengan fakta yang lain, sehingga menjadi suatu kisah

sejarah yang menarik dan dapat dipercaya kebenarannya. Tahap historiografi ini

merupakan langkah terakhir dalam metodologi atau prosedur penelitian historis.

Dari data-data yang sudah berhasil dikumpulkan oleh peneliti, maka peneliti

berusaha memaparkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dengan

menggunakan bahasa yang ilmiah beserta argumentasi secara sistematis. Dalam

penelitian ini historiografi diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi

dengan judul “Peran Paku Buwono X Dalam Pergerakan Nasional‟‟.

Page 48: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. USAHA-USAHA PAKU BUWONO X MEMBANGUN

KEHIDUPAN POLITIK

1. Keadaan Geografis Surakarta

Karesidenan Surakarta terdiri atas wilayah Kasunanan dan wilayah

Mangkunegaran. Batas wilayah sebagian dibentuk oleh Gunung Lawu di sebelah

Timur dan Gunung Merapi serta Merbabu di sebelah Barat. Di bagian tengah

karesidenan berjajar deretan bukit kapur dan pegunungan Sewu. Sementara di

sebelah Utara wilayah ini bertemu dengan rangkaian pegunungan Kendeng.

Bengawan Surakarta mengalir melalui dataran Surakarta dari Selatan ke Utara.

Dalam perjalanannya ke Jawa Timur dan laut Jawa, sungai ini melintasi kota

Surakarta dan memberikan kesuburan bagi tanah di dataran Surakarta. Luas

Karesidenan Surakarta adalah 6217 𝑘𝑚2 dan separo dari daerah itu merupakan

milik Kasunanan, dan lainnya masuk daerah Mangkunegaran (M. Hari Mulyadi,

dkk 1999: 20).

Kota Surakarta terletak pada ketinggian 200 meter di atas permukaan laut,

di sebelah kiri Bengawan Solo, dan pada kedua belah tepi sungai Pepe. Sebagian

besar kota tersebut masuk ke wilayah Kasunanan dan hanya seperlima saja, yaitu

sebelah barat laut merupakan daerah Mangkunegaran. Di kalangan penduduk,

daerah Kasunanan di dalam kota dikenal dengan nama daerah Kidulan, walaupun

daerah milik Sunan ini terbentang diseluruh kota, selain bagian barat laut. Sebutan

Kidulan ini mungkin dihubungkan dengan letak keraton yang berada di sebelah

selatan, sedangkan Istana Mangkunegaran di sebelah utara jalan raya Purwosari

(sekarang Jl. Slamet Riyadi) dan jalan term yang menghubungkan Boyolali dan

Wonogiri seakan-akan menjadi batas kedua daerah itu (Darsiti Soeratman 2000:

83-84). Surakarta berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten

Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di

sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan

Page 49: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

(http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta#Geografi, diunduh pada Rabu 9 Juni

2010).

Pada awal abad ke-20 luas kota Surakarta tercatat 24 𝑘𝑚2 dengan ukuran

panjang 6 𝑘𝑚2, membentang dari arah Barat ke Timur dan 4 𝑘𝑚2 dari arah utara

ke Selatan. Bagian tengah yang merupakan kota lama didiami oleh beberapa

etnik, yaitu Jawa, Cina, Arab dan Eropa, masing-masing menempati daerah

tertentu secara terpisah. Di sebelah utara keraton terletak kepatihan, tempat

kediamana pepatih dalem sekaligus berfungsi sebagai pusat administrasi

pemerintahan. Istana mangkunegaran terletak disebelah selatan sungai Pepe,

demikian pula perkampungan orang-orang Eropa yang meliputi rumah residen,

kantor-kantor, gereja, gedung pertunjukan (sositet), gedung-gedung sekolah, toko-

toko, dan Benteng Vastenburg yang berkedudukan sebagai pusatnya.

Perkampungan orang Eropa di sekitar benteng Vastenberg yang disebut Loji

Wetan, karena bangunannya berbentuk loji, menggunakan bahan batu bata.

Pacinan terletak di sekitar Pasar Gedhe, diurus oleh kepalanya yang diambil dari

etnik yang sama, dan diberi pangkat mayor. Demikian pula halnya dengan orang-

orang Arab, mereka diberi wilayah tertentu di sekitar Pasar Kliwon, diurus oleh

kepalanya seoarang Arab dengan pangkat kapten. Perkampungan untuk penduduk

Bumi Putera terpencar di seluruh kota di Surakarta (Darsiti Soeratman, 2000: 83-

85).

Letak Keraton Surakarta, istana Mangkunegaran, rumah residen, dan

kepatihan tidak berjauhan. Benteng Vastenburg dibangun dekat dengan keraton

dan rumah residen. Jarak antara keraton dan Istana Mangkubegaran yang

menghadap ke selatan tidak berjauhan, keduanya dipisahkan oleh suatu jalan

besar. Selain itu juga dapat dilihat bahwa jarak dari kepatihan ke rumah residen

lebih dekat daripada jarak dari kepatihan ke keraton. Untuk melewati keraton,

pepatih dalem harus melewati rumah residen. Pengaturan tempat-tempat itu

adalah untuk kepentingan dan keamanan pemerintahan kolonial Belanda di

Surakarta (Depdikbud, 1999: 10).

Penduduk karesidenan Surakarta pada tahun 1930 adalah: penduduk

pribumi 2.535.594 orang, warga Eropa 6.555 orang, dan Timur Asing 2.600

Page 50: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

orang, jumlah 2.564.594 orang. Untuk kota Surakarta sendiri: penduduk pribumi

149.585 orang, Eropa 3.225 orang, Cina 11.286 orang da Timur Asing 1.388

orang, jumlah semua 165.484 orang. Golongan Eropa yang terdiri atas 3.225

orang, 95% adalah orang-orang Belanda, dengan perincian terdiri atas Belanda

Totok (londo totok), Belanda Indo (londo indo) dan londo Ambon untuk

panggilan orang-orang Ambon yang bekerja, yang pada umunya menjadi tentara

Belanda. Orang-orang Belanda berkumpul di Lojiwetan dan sekitarnya,yaitu

daerah yang terletak di sebelah selatan kali-pepe, kali yang membelah kota

menjadi dua. Mereka bertempat tinggal disekitar benteng Belanda, benteng

Vastenberg, mungkin karena merasa lebih aman. Mereka memliki gereja sediri

yang letaknya di Gladak, depan benteng. Disampingnya berjejer rumah-rumah

orang kaya Belanda, Rade Maker, Javasche Bank, kantor Residen. Ada

sekelompok orang-orang Belanda yang tinggal di daerah Mangkoenegaran,

mereka berkumpul di Vila-park (Banjarsari). Belanda juga ada yang bekerja di

onder-neming, gula atau tembakau, tinggalnya dikomplek onder-neming (R.M

Karno, 1990: 115-116).

Golongan Timur-asing terdiri atas Arab, India dan Pakistan. Biasanya

orang-orang India dan Pakistan memiliki toko-toko dengan berjualan bahan

pakaian. Mereka tinggal di toko-tokonya sendiri. Orang-orang Arab berkumpul di

pasar-kliwon dan sekitarnya yaitu diseberang selatan rel kereta api yang

membelah Surakarta. Usaha mereka umumnya dibidang industri kain batik,

biasanya dikerjakan dirumahnya sendiri. Golongan ini umumnya tertutup, tidak

suka bergaul dengan golongan lain. Rumah-rumahnya dikelilingi pagar tinggi dan

tertutup rapat. Mereka juga memiliki masjid sendiri di pasar Kliwon. Sedangkan

orang-orang Cina berkumpul diseberang utara kali-Pepe, yaitu Balong,

Warungmiri, dan di daerah-daerah sekitar Pasar Gedhe. Kedatangan orang-orang

Tionghoa semula sebagai pendatang, dan mula-mula hanya pedagang kecil-kecil

saja (R.M Karno, 1990: 116-118).

Perkampungan untuk penduduk bumiputera terpencar di seluruh kota.

Beberapa di antaranya disebut menurut nama pangeran yang mendiami tempat itu

antara lain Adiwijayan, Mangkubumen, Jayakusuman, Suryabratan,

Page 51: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

Kusumabratan, Sumadiningrat, Cakranegaran dan termasuk nama kampung

Kalitan yang mengikuti nama Kandjeng Ratu Alit, putri sulung Sunan Paku

Buwono X yang lahir dari priyantun dalem atau selir. Disamping itu terdapat pula

kampung-kampung yang disebut menurut abdi dalem yang pangkatnya lebuh

rendah, antara lain Secayudan, Derpayudan, Nonongan, Mangkuyudan,

Selakerten yang disingkat menjadi Kerten dan Jamsaren (R.M Sajid, 1984: 60-

64).

Penduduk pribumi ditemukan dalam berbagai kelompok dan kampung

yang tidak teratur diseluruh kota, kebanyakan di antaranya mencari nafkah dari

industri batik dan berbagai macam kerajinan tangan. Yang juga tersebar di seluruh

kota adalah tempat para pangeran dan pegawai puri yang terkemuka (George D.

Larson, 1990: 23).

2. Keadaan Politik Sebelum abad ke-20

Keraton Surakarta didirikan oleh Sunan Paku Buwono II (1725-1749)

pada tahun 1746, setelah keraton sebelumnya di Kartasura mengalami kehancuran

akibat perang perebutan tahta (AA GN Ari Dwipayana, 2004: 26). Keraton

Surakarta merupakan kelanjutan dari Keraton Mataram yang didirikan oleh

Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama

pada akhir abad XVI. Pusat kerajaan Mataram telah mengalami beberapa kali

perpindahan temapt. Mula-mula di kota Gedhe kemudian, pindah ke Plered, ke

Kartasura, dan terakhir di Surakarta.

Setelah Paku Buwono II memindahkan keraton dari Kartasura ke

Surakarta, Paku Buwono II harus menyerahkan seluruh daerah pesisir Jawa

kepada VOC. Inilah awal terbentuknya keraton Kasunanan Surakarta, dan

sekaligus menandai awal penetrasi kolonial Belanda ke dalama wilayah inti

Kerajaan Mataram Surakarta, karena patih yang seharusnya mengurus wilayah

kerajaan mulai saat itu juga bekerja untuk kepentingan VOC (M. Hari Mulyadi,

dkk, 1999: 20). Walaupun keraton sudah dipindahkan ke Surakarta, tetapi perang-

perang antara Mataran dengan VOC belum selesai sampai Paku Buwono II wafat

dan diagantikan oleh Paku Buwono III yang memerintah selama enam tahun

Page 52: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

sebagai raja Mataram (1749-1755) dan 33 tahun sebagai raja Surakarta (1755-

1788).

Peperangan antara Mataram dan VOC dilanjutkan pada masa

pemerintahan Paku Buwono III dari tahun 1746 sampai 1755. Perang yang

berlangsung selama Sembilan tahun (1746-1755) itu dapat diatasi dengan

tercapainya Perjanjian Gianti. Sesuai dengan ketentuan Perjanjian Gianti (1755),

Kerajaan Mataram dibagi dua menjadi Kerajaan Surakarta Hadiningrat dan

Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Perjanjian ini melibatkan tiga pihak, yaitu

Paku Buwana III, Sultan Hamengku Buwono III dan Kompeni Belanda. Sebelum

perjanjian itu dilangsungkan, Paku Buwono III telah diminta oleh Gubjen Jacob

Mossel untuk menyerahkan separo daerah kerajaannya kepada Pangeran

Mangkubumi, dan Sunan tidak dapat menolak permintaan itu. Bagi Sunan isi

perjanjian itu merupakan tamparan yang sangat berat, karena tanah yang harus

dilepaskan meliputi negara, negaragung, dan mancanegara. Dari peristiwa

Palihan Nagari (pembagian kerajaan Mataram menjadi dua), selain Pangeran

Mangkubumi, Kompeni Belanda juga memperoleh keuntungan besar, karena

berakhirnya perang yang telah berlangsung selama sembilan tahun (1746-1755)

itu dapat mengurangi beban kompeni, yang pada waktu itu berada dalam keadaan

mundur. Selain itu, terbaginya kerajaan Mataram menjadi dua memudahkan

kompeni untuk dapat menguasai kedua kerajaan itu. Daerah-daerah yang diterima

oleh Sultan berdasarkan Perjanjian Gianti adalah milik Kompeni Belanda yang

dipinjamkan dengan hak mewariskan kepada putera-puteranya yang sah (Darsiti

Soeratman, 2000: 27-29).

Periode 1755-1800 atau tepatnya setelah perjanjian Gianti ditandai dengan

kemakmuran ekonomi dan politik. Istana-istana Surakarta mendapatkan lebih

banyak kebebasan dan kemerdekaan ketika kekuasaan VOC meredup. Kedua

istana mengesampingkan perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka.

Penduduk Jawa tumbuh dengan cepat seiring dengan tidak adanya kegagalan

panen dan wabah-wabah penyakit, dan meningkatnya produksi pangan. Akan

tetapi setelah tahun 1800, pasang pun surut. Sederetan kondisi-kondisi yang tidak

Page 53: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

menguntungkan menyebabkan meletusnya Perang Jawa (Vincent J.H. Houben,

2002: 18).

Faktor-faktor yang memicu pecahnya Perang Jawa dapat diringkas dalam

dua hal pokok, yaitu: (1) Sejak tahun1800 dan seterusnya, ada masalah dimana

sebuah kekuatan kolonial yang agresif berusaha menancapkan hegemoninya di

Jawa. Pada masa itu, Surakarta dipimpin oleh Paku Buwono IV (1788-1820) yang

mengalami pemerintahan Gubjen H.W Daendels (1808-1811) dan Letgub Th. S.

Raffles (1811-1816); (2) penguasa asing ini berusaha membawa perubahan dalam

pemerintahan pribumi dan menggantinya dengan pemrintahan model Barat

(Darsiti Soeratman, 2000: 29). Pada tahun 1808 Letnan Gubernur Jenderal H.W.

Deandels memberlakukan peraturan-peraturan mengenai tata etiket perilaku,

sesuatu yang sangat menghina bagi orang-orang Jawa. Etiket itu menyatakan

bahwa pada saat sedang berada didalam istana-istana itu para Residen Eropa tidak

lagi harus menunjukkan bahwa mereka lebih rendah dari para penguasa Jawa

dalam protokol (Vincent J.H. Houben, 2002: 18-19).

Pada tahun 1811 kompensasi moneter atas pesisir utara yang telah

dianeksasi (yaitu apa yang disebut dengan strandgelden atau uang pesisir) tidak

lagi diberlakukan. Setahun kemudian, atas perintah dari T.S. Raffles, G.A.G.Ph.

van der Capellen melarang para bangsawan Jawa menyewakan tanah-tanah

mereka kepada orang-orang Eropa pengusaha pertanian. Para bangsawan ini mau

tidak mau harus mencari sumber-sumber penghasilan pengganti yang jumlahnya

luar biasa besar, yang pada akhirnya menyebabkan kehancuran finansial mereka.

Pada tahun 1825 sekali lagi sebagian wilayah direbut dari tangan kedua kerajaan

tersebut, kali ini dengan cara menyerobot sejumlah daerah kantong yang terletak

di dalam karesidenan-karesidenan pesisir utara, sebagai imbalan atas kompensasi

finansial. Maka tak heran bila istana itu tersinggung oleh perilaku agresif orang-

orang Eropa. Surakarta, dalam usahanya mengambil sikap yang lebih kooperatif

dengan orang-orang Eropa, berupaya untuk mengadu domba Yogya dengan

orang-orang Eropa demi mendapatkan pengaruh yang lebih besar. Yogya

menanggapinya dengan mengambil sikap yang tegas (Vincent J.H. Houben, 2002:

19-20).

Page 54: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

Dua dekade setelah kekuasaan Deandels membawa Jawa pada kejadian-

kejadian yang secara langsung menantang otoritas Belanda, Pertama dari luar

selama Pendudukan Inggris atas Hindia Belanda (1811-1816), dan kemudian dari

dalam selama Perang Jawa yang berlangsung lama (1825-1830). Keraton

Surakarta (berbeda dengan saingannya Keraton Yogyakarta) tidak pernah berada

dalam konflik terbuka dengan Belanda. Meski ada berbagai rumor yang

mengelilingi istana Paku Buwono, kaeadaan tertib serimonial yang diperoleh dari

struktur kekuatan protokol yang sudah sangat jauh berkembang sekarang telah

menjadi sedemikian tertanam sehingga tampak adanya tata. Ketika dalam tahun

1816, bendera Inggris dimuka benteng kediaman Residen Surakarta diganti oleh

bendera Belanda yang telah kembali (John Pemberton, 2003: 80-81).

Faktor lain yang menyebabkan Perang Jawa meliputi pertentangan politik

di dalam Istana Yogya itu sendiri. Pertentangan-pertentangan pribadi di antara

para pengampu Sultan Hamengku Buwana V yang masih kecil itu mulai terlihat

setelah tahun 1822. Kelompok pertama dibentuk oleh Ratu Ibu (ibunda

Hamengku Buwana IV) dan Ratu Kencana (ibunda Hamengku Buwana V) yang

berada di bawah pengaruh Patih Danureja IV. Pihak oposisi terdiri dari

Diponegoro (putra tertua Hamengku Buwana III) dan pamannya, Pangeran

Mangkubumi (Vincent J.H. Houben, 2002: 22).

Puncaknya pada bulan Mei 1825 di sebuah jalan baru yang akan dibangun

di dekat Tegalreja, terjadi suatu bentrokan antara para pengikut Diponegoro

dengan para pengikut musuhnya, Patih Danureja IV (1813-1847), terjadi ketika

patok-patok untuk jalan raya tersebut dipancangkan. Sesudah itu berlangsung

suatu masa ketegangan. Pada tanggal 20 Juli pihak Belanda mengirim serdadu-

serdadu dari Yogyakarta untuk menangkap Diponegoro. Segera meletus

pertempuran terbuka, Tegalreja direbut dan dibakar, tetapi Diponegoro berhasil

meloloskan diri dan mencanangkan panji pemberontakan dengan meletusnya

perang Jawa hingga tahun 1830 yang pada membawa Diponegoro pada titik

kekalahan dan harus menandatangani perundingan-perundingan serta diasingkan

oleh pihak Belanda. Perang Jawa tersebut merupakan perlawanan kelompok elite

bangsawan Jawa. Perlawanan ini merupakan suatu gerakan konservatif, suatu

Page 55: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

usaha yang sia-sia untuk kembali lagi kepada keadaan-keadaan sebelum

meningkatnya kekuatan kolonial yang telah muncul sejak tahun 1808. Luasnya

gerakan protes sosial yang mendukung langkah perang tersebut nyata-nyata dan,

dengan menoleh kebelakang, menunjukkan betapa mendalamnya revolusi

penjajahan itu sudah merobek-robek masyarakat Jawa,dan dalam hal ini Perang

Jawa seakan-akan membayangi gerakan anti penjajahan dari abad ke-20 (M. C

Ricklefs, 1991: 178-181).

Berakhirnya Perang Jawa (1930), Belanda semakin memikirkan berbagai

rencana untuk Jawa untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya yaitu dengan

cultuurstelsel (sistem pananaman) yang membuat rakyat semakin sengsara dan

semakin menyudutkan kerajaan-kerajaan di Jawa. Raja-raja baik di Surakarta

maupun Yogyakarta terbelenggu dengan kebijakan-kebijakan Belanda yang

menyudutkan pemerintahannya. Pemerintah kolonial secara efektif mewajibkan

agar dibayar dengan tanaman ekspor sebagai pembayaran sewa tanah yang baru

saja telah diterapkan oleh Belanda, dan aneksasi ekstensif daerah yang jauh dari

ibu kota yang dimiliki oleh keraton Surakarta dan Yogyakarta (John Pemberton,

2003: 95).

Kekalahan politis pada medan Perang Jawa telah menjinakkan raja-raja

Jawa dan membuat mereka hanya menjadi tokoh pelaku ritual. Walau tahun 1830

tampak menandakan suatu keberhasilan baru bagi Belanda menjinakkan para raja

Jawa Tengah, tetapi ini juga mengungkapkan adanya suatu titik penting yang

merupakan suatu penjinakkan yang, dalam berbagai hal, jauh lebih kuat, suatu

bentuk yang diciptakan secara diskursif dalam sosok “Jawa” oleh orang-orang

Jawa sendiri. Walau tahun 1830 mengantarkan kondisi-kondisi kolonial yang

didalamnya “Jawa” yaitu negeri ideal itu, yang secara ritual tidak pernah

ditaklukkan. Menjadi semakin makmur, sejak tahun 1745 dan seterusnya Keraton

Surakarta sudah menjadi “lembaga ritual”, tetapi dalam arti rangkap. Keraton

adalah produk dari suatu prosese ritual unik yang mengubah suatu kontradiksi

menjadi kerajaan, dan pada saat yang sama, merupakan lokasi tempat proses ini

ditetapkan sebagai ritual. Setelah proses ini maka dunia “Jawa” menjadi semakin

dikenal, akrab, dan dapat dihuni sebagaimana peristiwa-peristiwa ritual menjadi

Page 56: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

bahan-bahan periwayatan yang dikehendaki dalam babad-babad Jawa. Sejak 1830

keraton-keraton Jawa Tengah hanya merupakan lembaga-lembaga ritual, sebagai

tanda-tanda berbunga-bunga ketunakuasaan atau sebagai penanda kepatuhan,

betapapun jinaknya sikap para raja yang berkuasa. (John Pemberton, 2003: 96-

98).

Pecahnya Perang Jawa (1825) selain menambah beban anggaran

pengeluaran juga mendorong pada perubahan kebijakan pemerintah Hindia

Balanda. Apa yang sekarang dikenal “Laporan Kolonialisasi” tahun 1827, saat itu

sangat mengandalkapengusaha-pegusaha swasta Eropa dan Cina yang bergerak di

tanah-tanah sewa-guna dalam memajukan penananman komoditas yang dapat

diekspor. Namun sebelum kebijakan ini terlaksana di lapangan, suatu rancangan

“lebih baik” yang dinilai bisa segera mendatangkan keuntungan diusulkan oelh J.

van den Bosch. Raja William I menerima rancangan baru ini dan mengirim

penggagasnya ke Jawa sebagai gubernur jenderal (kemudian komisaris jenderal)

pada tahun 1830. Rancangan yang terkenal itu kelak disebut sistem Tanam Paksa

(cultuurstelsel) (Robert van Niel, 2003: 220).

Selama tahun 1830-an dan 1840-an, Jawa diatur dengan meletakkan

kepercayaan besar pada otokrasi pribadi tanpa mengacu pada bentuk hukum yang

jelas, keseragaman pemerintahan, dan kesetaraan manusia sebagaimana dikenal

dan diterima cukup luas di Negeri Belanda waktu itu (Robert van Niel, 2003: 37).

Di Vorstenlanden, sistem Tanam Paksa tidak dijalankan dalam kurun waktu 1830

dan 1870, tetapi perkebunan swasta Belanda dapat bergerak bebas melakukan

usahanya. Sebelum tahun 1830, telah ada sejumlah orang Cina dan Eropa

menyewa tanah dari penguasa dan pemegang lungguh, tetapi hanya dalam jumlah

kecil dan letaknya di pinggiran negara (M. Hari Mulyadi, dkk 1999: 49).

Sistem Tanam Paksa merupakan penerapan prinsip lama dengan corak

baru. Sepanjang menyangkut hak-hak atas tanah, sistem ini melanjutkan lebih giat

prinsip bahwa penguasa adalah pemilik semua tanah. Sistem Tanam paksa terus

memakai penyelesaian sewa tanah berdasarkan desa, tetapi sekarang ditambah

perjanjian kontrak dengan desa untuk menanam komoditas ekspor di tanah-tanah

desa (Robert van Niel, 2003: 220).

Page 57: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

Periode pasca-1830, ditemukan juga ekspresi-ekspresi protes sosial di

Surakarta pada masa itu. Baik pusat (di istana-istana itu sendiri) maupun

pinggiran (daerah-daerah di sekitar istana) atau disebut dengan gerakan periferal

dan gerakan semiperiferal. Gerakan periferal mengacu pada ekspresi-ekspresi

perlawanan terhadap tatanan yang ada yang muncul tepat di luar lingkungan

pusat-pusat kota keraton dan yang tidak memiliki hubungan yang terang-terangan

dengan perkembangan-perkembangan di dalam dan sekitar istana (Vincent J.H.

Houben, 2002: 430-437).

Usaha-usaha itu tidak menyusutkan berbagai kerusuhan-kerusuhan sosial

yang terjadi di Surakarta. Isu-isu tentang kecu atau perampok yang memiliki

tujuan-tujuan yang sifatnya lebih duniawi lebih menggambarkan sebuah kategori

kejahatan ketimbang sebuah pemberontakan. Menjelang akhir tahun 1860-an

masalah kecu telah menarik perhatian pemerintah, bahkan perhatian parlemen

Belanda, yang berarti bahwa sejak saat itu jumlah laporan yang masuk pun

meningkat. Antara bulan Februari dan Agustus 1867 terjadi kejahatan-kejahatan

regular di daerah Solo. Pada bulan Maret 1868 seorang janda Eropa yang

mengelola sebuah rumah gadai dirampok. Dua bulan kemudian ada dua kejahatan

lagi, satu di antaranya terjadi di sebuah perkebunan sewa di desa Kartasura.

Totalnya, pada tahun 1867 terjadi sepuluh kejahatan, pada tahun 1868 dua belas

kejahatan, sebelas kejahatan pada tahun 1869 dan pada tahun 1870 ada tujuh

insiden kecu yang terdaftar. Selain itu juga ada gerakan semiferiferal yaitu

ekspresi perlawanan terhadap tatanan yang ada, yang bermula di daerah-daerah

perbatasan atau yang untuk pertama kalinya diketahui terjadi disana, tetapi

dibenarkan ataupun tidak diduga memiliki kaitan-kaitan dengan keraton (Vincent

J.H. Houben, 2002: 440-444).

Gerakan ini mendapat tekanan yang tidak ada habisnya dari pihak

Belanda, Gerakan-gerakan ini juga yang pada akhirnya membawa kemrosotan

Ekonomi di Surakarta. Selain itu sejak masa Paku Buwono VII, di Surakarta

terjadi sistem penyewaan tanah dari para penguasa Jawa dan aristrokrat Jawa yang

menyewakan tanahnya kepada orang-orang Eropa dan orang-orang Cina.

Permasalahan-permasalahan ini masih tetap belanjut sampai pada masa akhir

Page 58: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

kekuasaan Paku Buwono IX, dan penggantinya yaitu Paku Buwono X yang hanya

berkuasa di lingkup keraton, dan nantinya (pada awa abad ke-20) dia berperan

besar terhadap usahanya melawan Belanda dalam masa Pergerakan Nasional.

3. Sejarah Kehidupan Paku Buwono X

a. Latar Belakang Keluarga

Sri Susuhunan Paku Buwono X adalah putra dari Sinuhun Paku Buwono

IX dari permaisuri Kangjeng Ratu Paku Buwono, putri dari Pangeran Hadiwidjojo

ke-II. Sinuhun Paku Buwono IX adalah putra dari Sinuhun Paku Buwono ke-VI,

yang dibuang ke Ambon karena melawan Belanda. Jadi Sinuhun Paku Buwono X

adalah cucu dari Sinuhun Paku Buwono VI, maka dalam garis perjuangannya

melawan kekuasaan Belanda, Sinuhun tidak pernah mengabaikan pesan dan terus

melanjutkan perjuangan jejak kakeknya. Ingkang Sinuhun Sri Susuhunan Paku

Buwono X dilahirkan pada hari Kamis Legi tanggal 22 Rejeb 1795 Jawi, atau 29

Nopember 1866 M jam 7 pagi dan dinobatkan sebagai Pangeran Adipati Anom.

Setelah dinobatkan menjadi Pangeran Adipati Anom, sang Adipati diberi gelar

Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro Sudibjo Rojo Putro

Narendra Mataram Ingkang Kaping V, untuk kerajaan Surakarta Hadiningrat.

Sinuhun Paku Buwono IX keras dalam mendidik puteranya. Sang putra

digembleng dalam segala ilmu, dalam ilmu kebathinan, dalam ilmu menuntut

ajaran-ajaran Jawa peninggalan leluhur, agar kelak tumbuh menjadi manusia yang

berbudi luhur, berwatak utama, adil dan bijaksana, hal yang merupakan syarat

menjadi Ratu. Pendidikan untuk ilmu barat juga diberikan, dengan mendatangkan

guru-guru di keraton, karena semua pendidikan dilakukan dalam keraton (R.M

Karno, 1990: 24-27).

K.G.P. Adipati Anom menyadari bahwa syarat untuk menjadi Raja ialah

menguasai segala ilmu yang ada, yang nantinya perlu untuk bekal dalam mengatur

negara, baik itu ilmu kebatinan dan ajaran-ajaran Jawa lainnya sebagai warisan

dari leluhur, agar kelak menjadi manusia yang berbudi luhur dan berwatak utama,

maupun ilmu dari barat agar dapat mangikuti dan memahami keadaan dunia.

Segalanya ini dipelajari di Dathulojo (keraton), segala macam guru baik dalam

Page 59: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

ilmu barat maupun ilmu ketimuran didatangkan ke Keraton. Karena itu setelah

K.G.P. Adipati Anom naik tahta menjadi Raja, maka beliau menjadi raja yang

arif, adi dan bijaksana, seorang Raja yang wicaksono dan waskito (R.M Karno,

1990: 35).

Pendidikan diberikan secara Jawa yang diikuti Pangeran Adipati Anom,

meliputi berbagai bidang, antara lain: (1) pengetahuan mengenai kesusateraan,

agama termasuk mengaji, besi aji, dan segala hal tentang kuda; (2) kesenian

termasuk seni tari; (3) keterampilan menggunakan senjata seperti keris, pedang,

dan tombak secara timur, pencak silat dan bermain pedang secara Barat; (4)

olahraga, seperti berenag dan bermain kuda; (5) pendidikan dari buku-buku lama

dan ajaran dari ayahnya yang terkumpul dalam serat-serat piwulang Jawa; (6)

pengetahuan psikologi, kejiwaan; (7) pelajaran bahasa seperti Arab, Melayu,

Belanda (Purwadi, dkk, 2009: 5).

Ayahanda Sunan yaitu Sunan Paku Buwono IX wafat pada hari Jumat

Legi 28 Ruwah Je 1822 atau 1893 M. Pada tahun yang sama, hari kamis Wage

tanggal 12 bulan Siyam, K.G.P Adipati Anom dinobatkan menjadi Noto (Raja)

manggantikan sang ayah dengan gelar Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng

Sunan Paku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Syidin Panotogomo

Ingkan Jumeneng Kaping Sadasa Ing Nagari Surakarta Hadiningrat atau

ringkasnya Sunan Paku Buwono X. Adapun sebutan “Sajidin Panotogomo” tidak

hanya sebutan tradisional belaka, sebab semalam sebelum upacara penobatan

Sang Calon Raja pergi ke masjid Paromosono (sekarang Bandengan, dahulu

sebelah barat dari pandopo Parangkarso) dengan pakaian serba putih (R.M Karno,

1990: 28). Pemerintah Hindia Belanda menaikkan pangkat militernya menjadi

Mayor Jenderal. Pemberian pangkat militer secara tituler oleh Belanda kepada

raja-raja Jawa telah dimulai sejak pemerintahan Paku Buwono VII, raja pertama

kerajaan Surakarta yang memerintah tanpa daerah mancanegara (Purwadi, dkk,

2009: 7).

Orang-orang yang dianggap sebagai guru yang menuntun hidupnya

pertama-tama adalah ayahanda sendiri Sinuhun Paku Buwono IX. Selain itu juga

para kesepuhan yang oleh Sinuhun sering diajak sarasehan tukar ilmu, seperti

Page 60: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

eyang dalem Kusumoyudo ke-II, yang dimakamkan di Lawean, Kyai Surosemito

dan Ngabehi Reksoniti. Jika ayahanda Paku Buwono IX, digambarkan sebagai

Prabu Bolodewo, sakti mendoroguno, teteg, teguh pribadinya, maka Paku

Buwono X digambarkan sebagai Prabu Yudhistira, asih paramarta lahir batin,

wicaksono narendrotomo sang Jayeng Katon (R.M Karno, 1990: 42).

b. Kepribadian

Banyak anggapan yang menilai Sunan Paku Buwono X adalah seorang

raja yang hanya berkuasa dalam lingkup keraton. Sekalipun menjadi raja,

berkuasa di keraton dan dan di wilayahnya, tetapi Paku Buwono X bukan orang

yang merdeka sepenuhnya. Raja dipandang begitu tinggi oleh rakyatnya, namun

Paku Buwono X tidak pernah menjadi orang bebas. Sunan terikat bermacam

bentuk aturan, sehingga untuk keluar dari keratonnya saja perlu ijin residen. Ia

adalah “tawanan” di keratonnya sendiri. Tidak aneh jika kemudian beliau

mengembangkan lebih banyak politik simbolis daripada politik substantif

(Kuntowijoyo, 2004: 19).

Paku Buwono X merupakan seorang yang elusif (sukar dipahami),

membingungkan, dan dianggap enteng oleh serangkaian residen dan gubernur

yang ditempatkan di Surakarta selama masa pemerintahannya yang panjang

(1893-1939). Beberapa di antara pejabat itu memberikan penilaian tentang Sunan.

Seperti yang diperlihatkan dalam uraian Residen G.F van Wijk (1909-1914)

dalam George D. Larson (1990: 43-44) yang menilai Sunan Paku Buwono X:

Raja ini menurut dan mempunyai perangai yang sangat lemah. Ia ingin

melakukan hal yang tepat tetapi tidak berani menonjolkan dirinya karena

takut akan konflik dengan anggota keluarganya atau dengan pegawai

tinggi istananya. Ia sangat sombong dan memberi kesan sebagai seorang

anak manja. Kesalahan besar dimulai ketika ia dijadikan putra mahkota

pada usia tiga tahun; sejak itu tak seorang yang berani menolak sesuatu

yang diinginkannya; ia tak pernah menghayati dunia dalam keadaan yang

sebenarnya; selalu dikelilingi kelompok pengikut yang besar yang hanya

mengeluarkan kata-kata sanjungan dari mulut mereka, semuanya disajikan

kepadanya secara palsu, dan ia telah menjadi seorang raja yang lemah dan

bersifat kewanitaan. Ayahnya menganggap tidak perlu memberi asuhan

yang patut kepadanya; ia hanya belajar menulis aksara Jawa dan melayu;

berhitung ia tak tau sama sekali. Saya menyadari hal ini untuk pertama

Page 61: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

kali ketika pernah bersama-sama dengan saya ia mau mengetahui berapa

banyak tombak yang dilaluinya dalam satu jam dengan mobilnya; dari

pandangan mata pangeran yang cemas saya sudah bisa melihat betapa

tinggi mereka memandangnya dalam hal ini; dan tak ada yang dihitungnya

dengan benar. Ketika ia masih pangeran mahkota ia belajar berbahasa

Belanda sedikit secara diam-diam, ayahnya melarangnya tetapi hasilnya

amat kurang. Perhatian satu-satunya adalah „perempuan‟, dan keadaan ini

agaknya akan tetap begitu… Tak perlu dikatakan bahwa tak banyak yang

akan dihasilkan oleh seorang yang berperangai lemah dan dibesarkan

dalam lingkungan seperti itu serta mempunyai hiburan demikian. Supaya

sehat ia berhenti minum minuman keras dan tidak merokok sejak

lama…Salah satu sifat yang paling menonjol adalah kelakuannya yang

dermawan; ia selalu mau membantu atau menyenangkan hati orang. Ia

juga sopan dan suka melayani; salah satu kekurangannya adalah bahwa ia

tak mengenal nilai uang…Sunan tidak memiliki pengertian sekecil apapun

tentang urusan-urusan resmi; sejak awal dari masa jabatanku saya selalu

secara pribadi merundingkan urusan-urusan penting dengan beliau. Akan

tetapi ia tak pernah berani mengambil keputusan sendiri karena ia takut

terhadap kelompok yang mengelilinginya, terutama terhadap wazir.

Paku Buwono X merupakan suatu sosok kekuasaan “Jawa” yang tak

tampak disekelilingnya setiap hari dibangun wibawa. Namun ada desas-desus

bahwa raja diam-diam memiliki kesenangan tambahan dari medali-medalinya,

suatu kesenangan yang melebihi kesenangan normal yang diperoleh dari memiliki

dari sedemikian banyak medali itu. Setelah tugas-tugas hari itu selesai dan

dibagian dalam keratonnya, Pakubuwono X dikatakan sering memerintahkan abdi

dalem keraton untuk menyematkan jajaran medali-medali kehormatan

dipunggungnya, Raja kemudian duduk megah, tersenyum-senyum sendiri.

Beberapa abdi dalem mengatakan bahwa ini adalah tindakan protes terhadap

campur tangan Belanda dalam urusan-urusan keraton, yang lain mengatakan

bahwa walau Pakubuwono X dianugerahi tubuh yang sedemikian besar, namun

Raja masih kekurangan tempat untuk memasang semua kehormatan yang

dipersembahkan kepadanya. Apapun kebenarannya, desas-desus itu manunjukkan

adanya status yang terlalu berlebihan dari wibawa para Pakubuwono abad-20, dan

terutama adanya suatu dunia tersembunyi yang terletak dibalik penampilan-

penampilan keagungan seremonial keraton. Pakubuwono X lebih merupakan

serang eksentrik dalam ruang tertutup, yang kosmos pribadinya membatasi dirinya

Page 62: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

sementara kosmos itu sendiri juga terbatas, sebagaimana ditunjukkan oleh kisah

medali-medali kehormatan itu (John Pemberton, 2003: 166-167).

Kebanyakan laporan Belanda tentang Susuhunan menggambarkan sebagai

seorang pesolek, lemah, dan agak bodoh, tetapi setia kepada keluarga raja Belanda

dan pemerintah Hindia-Belanda. Hal itu terbukti dari kebiasaannya memamerkan

tanda-tanda kehormatannya secara berlebihan dan kegemarannya menggunakan

pakaian resmi (George D. Larson, 1990: 44). Meskipun ia tidak banyak memiliki

pengetahuan teknis atau minat terhadap soal keuangan dan administrasi

kerajaannya, tetapi ia sangat menaruh perhatian terhadap dua hal yaitu upacara da

politik. Hal ini terlihat dari peranan Susuhunan paku Buwono X yang selalu

memberikan bantuan moril dan keuangan kepada Sarekat Islam Suarakarta.

Pada dasarnya Sri Susuhunan Paku Buwono X memiliki sifat-sifat yang

patut ditiru, antara lain:

1. Kepribadian yang kuat, dalam arti bahwa beliau memiliki disiplin diri

yang kuat. Jika menghadapi orang yang bertentangan dengan pendirian

sendiri tidak dihadapi secara keras, seolah-olah mengadu kekuatan,

melainkan dihadapi dengan sikap yang lentur walaupun tanpa mengubah

pendirian diri sendiri.

2. Kemampuan menganalisa yang tajam, hingga dapat menyadari apa yang

sungguh penting bagi masa depan.

3. Perasaan yang halus dan tidak suka menyakiti orang lain, lebih suka

membuat orang lain senang, hingga member kesan yang keliru bahwa

beliau seolah-olah tidak memiliki keberanian.

4. Keterbukaan terhadap hal-hal yang baru yang bermanfaat bagi rakyat dan

negaranya.

5. Rasa keadilan yang tinggi. (R.M Karno, 1990: 42)

Sri Susuhunan Paku Buwono X yang setelah wafat berganti nama menjadi

Minulyo soho Wicaksono. Hasil karyanya berupa:

a. Pemugaran dan pembangunan Keraton Surakarta Hadiningrat.

b. Pemugaran listrik di keraton dan di tempat-tempat yang penting.

Page 63: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

c. Pembangunan Taman Sriwedari, Museum Radyapustaka, Stadion

Sriwedari, pemancar radio, S.R.I

d. Membangun pasar-pasar (pasar Gedhe Harjonagoro), sekolah-sekolah,

masjid-masjid, jembatan-jembatan besar, tanggul dan irigasi.

e. Macam-macam pembangunan lainnya dibidang pertanian,

pendidikan,sosial budaya.

f. Dibidang Pendidikan

g. Dibidang politik

h. Dalam Bidang Ekonomi

Sinuhun memerintahkan untuk mendirikan sebuah bank yang diberi nama

“Bondo Lumakso” yang secara harfiah barati “harta berjalan atau

bergerak”. Sinuhun juga mendirikan sebuah pabrik gula di Delanggu dan

sebuah pabrik serat nanas di Karanggeneng yang masing-masing dipimpin

oleh seorang Belanda. Selain itu juga didirikan pabrik teh beserta

kebunnya di Ampel, dibawah pimpinan R.M Sayogo Brotodjojo yang

telah disekolahkan pada Cultuur School di Deventer, Belanda. Dan juga

diadakan pula penanaman tembakau untuk pembuatan cerutu dibawah

pimpinan seorang Belanda.

i. Dalam Bidang Sosial

Secara rutin setiap hari kamis malam, Sinuhun beserta pengikutnya

mengadakan perjalanan keliling Solo, semula dengan naik kereta,

kemudian dengan naik mobil untuk mencari angin sambil menyebar mata

uang sen, gobang dan sebagainya kepada rakyat yang berkerumun

dipinggir jalan melihat rajanya berlalu dengan pelan-pelan. Orang-orang

miskin dan para pengemis tidak dilupakan oleh Sinuhun. Mereka

dibuatkan sebuah rumah besar oleh Sinuhun yang diberi nama

“Wangkoeng” disebelah barat Lawean. Di rumah itu mereka mendapatkan

pendidikan ketrampilan dalam membuat peralatan rumah tangga (R.M

Karno, 1990: 46-49).

Anggapan orang bahwa keraton adalah tempat untuk makan enak dan

berfoya-foya saja, atau putra raja makan enak dan berfoya-foya saja adalah salah.

Page 64: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

Keraton oleh Paku Buwono X dijadikan tempat untuk mendidik dan

menggembleng para putra, sentana, dan kerabat keraton. Seluruh penghuni

keraton diwajibkan tekun menuntut ilmu termasuk ilmu kebatinan, belajar topo

broto, sesirik dan segala ilmu kejawen lainnya termasuk menekuni segala

kesenian, agama dan lainnya. Sri Susuhunan Paku Buwono X dalam hidupnya

sehari-hari tidak pernah mengeluh, tingkah lakunya tetap sama tidak pernah

berubah (ajeg), sangat disiplin dan memiliki rasa tanggungjawab besar, selalu

bersikap keras terhadap putra-putrinya akan tetapi penuh kasih sayang. (R.M

Karno, 1990: 97).

Orang-orang Surakarta dewasa ini mengenang Pakubuwono X (bertahta

1893-1939) sebagai Paku Buwono yang terbesar. Penilaian ini sebagian adalah

karena Paku Buwono X satu-satunya Paku Buwono yang berasal dari zaman

penjajahan yang masih diingat oleh orang-orang tua Surakarta sekarang ini,

termasuk orang-orang yang dulu mengabdi di keratonnya yang sibuk dengan

segala macam upacara. Paku Buwono X dikenang sebagai raja Surakarta terakhir

yang memiliki kewibawaan sejati seorang raja. Dengan demikian, Paku Buwono

yang “sejati” yang terakhir dan karena itu, dari perspektif orang Surakarta, raja

Jawa sejati yang terakhir. Lamanya bertahta menyebabkan Paku Buwono

mengalami masa perubahan besar dalam perpolitikan Hindia Timur dan dalam

kehidupan Surakarta sehari-hari (John Pemberton, 2003: 155).

Paku Buwono X hidup dalam sampai usia tujuh puluh dua tahun, walau

menjelang usia tiga puluh tiga pada tahun 1899 kesehatannya dinilai kurang

karena suka minum-minum. Namun sampai lama Paku Buwono X dapat bertahan

dalam dunia yang seperti itu, semakin terlihat wibawanya sebagai raja dimata

beberapa generasi rakyat Surakarta yang menjadi dewasa selama kekuasaannya.

Yang seakan-akan semakin menonjolkan wibawanya yang besar itu adalah

kebesaran tubuh Kanjeng Sunan ini. Sebuah tubuh yang menggelembung yang

semakin tahun semakin membesar seakan-akan untuk memberi tempat medali-

medali kehormatan dari luar negeri yang semakin bertambah jumlahnya.

Pakubuwono X hidup seakan-akan sebagai perwujudan puncak sejarah

Pakubuwanan, tetapi dia melakukan itu sebagai suatu peringatan besar bahwa

Page 65: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

sebuah transformasi besar sedang berlangsung , bahwa dunia sedang akan berlalu

(John Pemberton, 2003: 156-157).

Paku Buwono sangat mementingkan simbol-simbol budaya. Kalau Paku

Buwono X sungguh-sungguh menjalankan kerajaaannya, maka ia akan dituduh

berusaha jadi kaisar Jawa atau terpengaruh cita-cita Pan-Islamisme (bersimpati

pada Sarekat Islam) (Kuntowijoyo, 2004: 21). Dengan sifat beliau yang bijaksana

serta berbagai hasil karya dan perannnya dalam berbagai bidang, terutam dalam

bidang pendidikan dan politik inilah yang nantinya membawa Sunan dalam peran

yang sangat besar yaitu dalam usahanya membangun kehidupan politik di

Surakarta dan perjalanan Pergerakan Kebangsaan di Surakarta pada abad ke-20.

4. Membangun Landasan Kehidupan Politik

a. Pendirian Madrasah dan Sekolah

Pada awal abad ke-20 Surakarta dan Yogyakarta dijadikan sebagai daerah

otonom berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi 1903. Vorstenlanden

merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda dan pemerintahannya dibagi

dalam dua keresidenan. Tetapi wilayah ini mempunyai status yang khusus,

walaupun agak mendua, sebab dua keresidenan ini terdiri dari dua kerajaan

swapraja yang nominal. Kerajaan semi-otonom ini adalah suatu proses

penguasaan dari imperium Mataram yang pernah berkuasa pada abad ke-17 dan

awal abad ke-18 (George D. Larson, 1990: 1).

Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari

peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X.

Namun perjuangan kemerdekaan bukanlah peristiwa sesaat yang tidak terkait

dengan peristiwa sebelumnya. Sebagai sebuah negara yang berdaulat, pemerintah

Hindia-Belanda tentu sangat memperhitungkan kekuatan politik keraton di mata

rakyat.

Menurut Soemarsaid Moertono yang dikutip Purwadi (2009: 1-2)

mengatakan “Keraton Surakarta yang diperintah oleh Sri Susuhunan Paku

Buwono X pada zamannya merupakan pusat kebudayaan Jawa yang telah

memberi kontribusi besar tehadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Oleh

Page 66: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

karena raja memiliki kekuasaan yang sangat besar sebagai sumber hukum,

pengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan bahkan di anggap sebagai

„wakil Tuhan‟ di muka bumi”. Berbagai pergumulan politik, ideologi, sosial,

budaya dan keagamaan sangat dipengaruhi oleh kebijakan sang raja yang

berkuasa.

Bangkitnya gerakan-gerakan nasionalis Indonesia dan partai-partai politik

yang menantang pemerintah kolonial Belanda dan raja-raja Jawa yang didukung

oleh pemerintah ini, kemajuan-kemajuan alat transportasi, komunikasi, dan

perekonomian yang dengan cepat mempertinggi kesadaran Surakarta atas adanya

suatu dunia Internasional yang tentu saja tidak berpusat di Surakarta, apalagi

diwakili oleh sebuah Sumbu Semesta yang tinggal dalam keraton (John

Pemberton, 2003: 156).

Menjelang pergantian abad ke-20 di negeri Belanda terjadi perubahan

politik terhadap Indonesia yaitu menjadi Politik Etis yang digagas oleh van

Deventer. Pemikiran ini berdasarkan bahwa negara Belanda mempunyai hutang

budi kepada Indonesia. Politik Etis berakar pada masalah kemanusiaan maupun

pada keuntungan ekonomi. Kecaman-kecaman terhadap pemerintahan bangsa

Belanda dilontarkan dalam berbagai pengungkapan. Semakin banyak suara

Belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan rakyat Jawa

yang tertindas. Selama zaman liberal (1870-1900) kapitalisme swasta memainkan

pengaruh yang sangat menentukan terhadap kebijakan penjajahan. Industri

Belanda mulai melihat Indonesia sebagai pasar yang potensial yang standar

hidupnya perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, maka kepentingan-kepentingan

perusahaan-perusahaan mendukung keterlibatan penjajah yang semakin intensif

untuk mencapai ketentraman, keadilan, modernitas dam kesejahteraan. Pihak yang

beraliran kemanusiaan membenarkan apa yang dipikirkan kalangan pengusah itu

akan menguntungkan, maka lahirlah Politik Etis tersebut (M. C Ricklefs, 1991:

227-228).

Politik Etis yang mengandung konsep tentang Hutang Kehomatan yang

harus dibayar Belanda kepada jajahannya sebagai pengganti harta kekayaan yang

pernah diambilnya. Efisiensi, kemakmuran, dan ekspansi adalah slogan dari

Page 67: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

politik baru itu yang memerlukan campur tangan yang lebih langsung dan lebih

tegas oleh gubernemen dalam masyarakat setempat. Pegawai Belanda seakan-

akan diilhami oleh suatu dorongan misi yang khusus untuk mengangkat orang

pribumi, “mengubah” dan “memperbaiki” masyarakat. Di Vorstenlanden para

residen tiba pada suatu pandangan bahwa tugas utamanya adalah untuk

menyadarkan pemerintah swapraja bahwa pemerintahannya harus diatur untuk

kepentingan kemakmuran rakyat umumnya, dan bahwa jika mereka yaitu raja-raja

“yang memerintah sendiri” ternyata kurang berhasil, maka pemerintah Eropa akan

ikut campur dan melaksanakan apa yang diperlukan (George D. Larson, 1990: 27-

28).

Menurut Wertheim yang dikutip Hermanu. J, (2005: 99) mengatakan

“Politik Etis pada intinya adalah memperluas dan memperbaiki program-program

yang sudah ada, yaitu: perluasan pendidikan model Barat, irigasi, peningkatan

pelayanan kesehatan, dan meningkatakan pertumbuhan industrialisasi”. Banyak

sekali usaha yang dijalankan dibidang pendidikan, dan hasil-hasilnya sering kali

membuat bangga para pejabat Belanda. Semua pendukung Politik Etis menyetujui

ditingkatkannya ditingkatkannya pendidikan bagi rakyat Indonesia (M. C

Ricklefs, 1991: 236). Perkembangan abad ke-20 ini ditandai dengan timbulnya

berbagai studi club (perkumpulan) untuk kepentingan belajar yang

membangkitkan rasa kebangsaan Indonesia dan lambat laun menjadi partai-partai

politik yang menumbuhkan keinginan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.

Paku Buwono X dapat melihat perubahan dan perkembangan-

perkembangan baru itu dan juga sadar bahwa generasi muda harus harus menjadi

orang-orang pintar agar dapat mengimbangi kepintaran orang Belanda hingga

suatu saat dapat melepaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Paku

Buwono X menaruh perhatian besar terhadap pendidikan agama. Pelaksanaan

Politik Etis di Hindia Belanda justru menjadi landasan bagi Sunan untuk

melaksanakan politik simbolis dengan mendirikan sekolah khusus untuk

mempelajari agama Islam yang dikalangan rakyat dikenal dengan nama

“Mamba’ul Ulum” pada tahun 1905. Madrasah itu dibangun dibagian selatan

halaman masjid besar di Surakarta, seberang jalan dari pasar Klewer sekarang.

Page 68: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

Lulusan madrasah ini dapat diterima menjadi siswa pada Universitas Al Azhar di

Kairo, juga ada beberapa Universitas lain diluar negeri yang menerima siswa

lulusan “Mamba’ul Ulum” dengan melalui tambahan kursus pendidikan umum. Di

Solo juga terdapat pesantren terkenal yang didirikan oleh Kyai Djamsari di

kampung Djamsaren. Pesantren ini juga tidak hanya dikenal diseluruh Jawa

melainkan juga di Pulau-pulau diluar Jawa, bahkan dikenal di Malaysia” (R.M

Karno, 1990: 45-46). Selain pondok Pesantren Djamsaren juga ada satu lagi

pondok pesantren yang terkenal di Solo yaitu Pesantren Gebang Tinatar yang

diasuh oleh Kyai Hasan Basri (Purwadi, dkk, 2009: 58).

Pendirian madrasah Mamba’ul Ulum merupakan kebijakan politik yang

cukup berani, karena dalam Staatsblad van nederlandsch-Indie 1893, No. 125,

pasal 5, dikemukakan adanya larangan terhadap pengajaran agama islam di

sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta, baik di dalam

maupun di luar kelas. Bertumpu pada staatsblad tersebut di atas, muncul

pemikiran-pemikiran dari para elit politik keraton (ulama dan pembesar keraton),

yaitu:

1) Dengan tidak diajarkannya pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah

dapat mempengaruhi akhlak anak-anak pribumi. Pengajaran agama

merupakan aspek penting yang diharapkan dapat membangun sikap

akhlakul kharimah yang bermakna bagi kehidupan masa depan.

2) Sejak dua dekade akhir abad ke-19, gerakan zendeling atau pngabar

injil meluas di kota-kota Vorstenlanden. Di antara raja-raja

Vorstenlanden terdapat perbedaan dalam menyikapi gerakan

zendeling. Sunan Paku Buwono X yang baru saja naik tahta pada tahun

1893 sangat menolak gerakan zendeling. Keinginan pendeta Bakker

untuk mendirikan sekolah dan rumah sakit Kristen pada tahun1910, di

ditrict dan onderdistrict Kasunanan, ditolak oleh Sunan. Namun

keinginan Pendeta Bakker ditanggapi positif oleh Sri Mangkunegoro,

dan Bakker diijinkan mendirikan sekolah Kristen di kawasan

kelurahan Banjarsari, sedangkan rumah sakit diizinkan didirikan di

kawasan Kelurahan jebres (MT. Arifin dkk, 2005: 102).

Page 69: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

Penolakan Sunan Paku Buwono X dilandasi pemikiran bahwa:

a) Sunan sebagai Sayidin Panotogomo, sehingga tidak mingkin member

izin agama lain untuk mendirikan sekolah agama di wilayah

kekuasaannya.

b) Gerakan zendeling dapat mendorong dan memicu radikalisme dan

fanatisme Islam di Kasunanan Surakarta.

c) Hampir disemua kota-kota Vorstenlanden sedang tidak aman, banyak

penggarongan, perampokan, dan pembakaran rumah, yang sudah

bersifat endemis, sehingga gerakan zendeling dikhawatirkan dapat

memperkeruh suasana (MT. Arifin dkk, 2005: 103). Munculnya

berbagai kerusuhan sosial di Vorstenlanden adalah sebagai akibat

meluasnya kemiskinan dan hilangnya keteladanan di Surakarta.

Masyarakat maupun bangsawan yang telah jatuh miskin bisa saja

tersulut keinginan untuk bergabung dengan gerombolan perampok atau

kecu (George D. Larson, 1990: 27-61).

Di dalam kurikulum Mamba’ul Ulum dapat ditafsirkan adanya upaya

memadukan antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Menurut Taufik

Abdullah yang dikutip Hermanu. J (2005: 106) mengatakan “Penambahan

pelajaran bahasa, berhitung, dan ilmu kodrat (ilmu pengetahuan alam)

menunjukkan adanya perbedaan dengan pendidikan di pondok pesantern yang

mengutamakan mempelajari kitab-kitab agama Islam serta intensifikasi ritual

peribadatan”. Dengan demikian dapar dikatakan bahwa Madrasah Mamba’ul

Ulum adalah bentuk transisional menuju pendidikan Islam modern.

Sementara itu, di kampung dan di desa didalam wilayah Kasunanan

Surakarta pada 1914 didirikan sekolah-sekolah dasar bagi rakyat dan bagi para

sentana didirikan sekolah Kasatrian semacam Hollands Inlandsche School

(Sekolah bagi orang Indonesia asli yang diberi bahasa Belanda) didalam

Baluwarti, Sekolah Parmadi Siwi (Taman kanak-kanak) bagi putra-putri dan cucu

raja dan sekolah “Parmadi Putri” setaraf HIS khusus bagi wanita, anak, cucu dan

sentana. Sebelum Parmadi Putri dibuka, para putri raja mendapat pendidikan

dalam bahasa Belanda, masak memasak makanan Barat dan kerajian tangan

Page 70: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

misalnya merajut, menyulam, merenda dan sebagainya oleh wanita-wanita

Belanda yang datang pada hari-hari tertentu di Keraton untuk memberi les (R.M

Karno, 1990: 45).

Pengurusan sekolah “Pamardi Siwi”, ”Pamardi Putri” dan “Kasatrian”

dilakukan oleh G.P.H Kusumobroto atas perintah Paku Buwono X, karena

dibiayai dengan uang dari kas keraton. Sedangkan sekolah-sekolah dasar untuk

umumyamg tersebar diseluruh Kasunanan Surakarta, termasuk juga sekolah

“Mamba’ul Ulum” dibiayai dengan uang kas negara Kasunanan (Rijkskas) di

kantor Kepatihan. G.P.H Kusumobroto juga mendapat tugas untuk mengurus

bersekolahnya para putar raja dan beberapa keponakan serta cucu pria yang

dibiayai oleh Paku Buwono X. Dari uang pribadi Paku Buwono X membentuk

dana “beasiswa“ bagi anak-anak pandai dari para abdi dalem (pegawai

Kasunanan) yang kurang mampu. G.P.H Hadiwidjojo lah yang mengurusi

masalah beasiswa itu. Menurut beliau yang berhasil menggunakan dengan baik

beasiswa itu ialah 1. Prof. Dr. Mr. Soepomo (penyusun UUD 1945, Menteri

Kehakiman), 2. Mr. Soesanto Tirtoprodjo (Gubernur Nusa Tenggara di Bali,

Menteri Kehakiman), 3. Prof. Dr. Mr. Wirjono Prodjodikoro (Ketua Mahkamah

Agung, Menteri Koordinator Kompartimen Hukum dan Dalam Negeri), 4. Prof.

Dr. Mr. Notonagoro (penjabar Pancasila dan Guru Besar Universitas Gajah

Mada), 5. Dr. Radjiman Widiodiningrat (ketua BPUPKI), 6. Domo Pranoto

(Mayor Jendral Polisi, Anggota DPR), dan lain-lainnya (R.M Karno, 1990: 46).

Para putra raja tidak dimasukkan ke sekolah Kasatriaan atau HIS umum,

melainkan ke Europesche Lagere School (Sekolah dasar untuk orang barat dengan

bahasa Belanda) dan mereka dipondokkan pada kluarga Eropa, selanjutnya ke

MULO (SMP) ke AMS (SMA) atau HBS (5 tahun) di Semarang atau Bandung,

baru ke Perguruan Tinggi baik di Indonesia maupun di negeri Belanda (Darsiti

Soeratman, 2000: 369-370). Untuk keperluan tenaga pertanian dan perkebunan,

maka Paku Buwono X merasa perlu diadakan sebuah sekolah yang mengajarkan

kepada sisiwanya tentang pertanian dan perkebunan. Ide ini disambut masyarakat

dengan antusias. Untuk pertama kalinya didirikanlah sekolah pertanian dan

Page 71: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

perkebunan ini di Tegalgondo, Delanggu pada tahun 1929 (Purwadi, dkk, 2009:

59).

b. Usaha-Usaha Dalam Bidang Politik

Usaha-usaha yang dilakukan Sunan Paku Buwono X dalam rangka

membangun kehidupan politik di Surakarta menjadi lebih lengkap dengan

perannya membantu dan mengayomi organisasi-organisasi nasional, dalam

usahanya melawan Belanda dan mengusirnya dari bumi tanah Jawa. Baik G.P.H

Hangabehi maupun G.P.H Kusumoyudo pernah menjadi Anggota Pengurus Besar

Sarekat Islam yang diketuai R.M HOS Tjokroaminoto, maupun anggota Boedi

Oetomo. G.P.H Hadiwidjojo, R.M.T Woerjaningrat (keponakan dan menantu sang

Raja) juga merupakan tokoh-tokoh terkenal dalam kepengurusan Boedi Oetomo.

Lingkungan keluarga keraton dibentuk juga perkumpulan dengan nama

“Narpawandawa” dan bagian keputrian dinamakan “Poetri Narpawandawa”.

R.M.T Woerjaningrat dan Pangeran Hadiwidjojo masing-masing pernah menjabat

sebagai ketua Narpawandawa, sedangkan B.R.A Woerjaningrat adalah ketua

pertama Poetri Narpawandawa (R.M Karno, 1990: 46-47). Paku Buwono X

secara diam-diam memberi sokongan kepada perkumpulan-perkumpulan politik

itu. Disebelah utara pasar Singosaren dididirikan sebuah gedung pertemuan

“Habipraya” yang dapat digunakan untuk mengadakan rapat-rapat atau

pertemuan oleh masyarakat Solo dengan uang sewa. Bung Karno pernah

berpidato di tempat itu, tanpa bisa dihalangi oleh Belanda. Selain dari pada itu, di

tempat yang sama terdapat sebuah ruangan untuk bermain bilyard untuk penduduk

Solo yang berminat (Purwadi, dkk, 2009: 20).

Paku Buwono X sungguh makin menyadari bahwa perwakilan rakyat

sebagai salah satu sarana demokrasi dalam pengambilan keputusan oleh rakyat

yang dapat dijadikan landasan bagi arah melaksanakan kekuasaan eksekutif

kekuasaan memerintah. Dalam rangka melaksanakan kesadaran itu beliau

mendirikan “Bale Agung” pada tanggal 21 Maret 1935, yang semula berfungsi

sebagai lembaga memberi pertimbangan, dan secara bertahap akan diberi fungsi

sebagai perwakilan rakyat sepenuhnya. Dengan lahirnya Bale Agung , dihapuslah

Page 72: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

Dewan kerajaan yang sebagian besar terdiri dari anggota keluarga raja. Bale

Agung ini terdiri dari seorang ketua diantara 10 orang yang ditunjuk oleh raja, dua

orang adalah putranya, 5 orang pegawainya dan 3 orang selebihnya semua

pegawai Gubernemen berkebangsaan Belanda. G.P.H Hadiwidjojo yang pada

waktu itu anggota Volksraad, terpaksa melepaskan kedudukannya karena ditunjuk

oleh Paku Buwono X sebagai ketua Bale Agung yang pertama dan R.T. Mr.

Wironegoro sebagai sekretaris (R.M Karno, 1990: 46-49).

c. Politik Ngideri Buwono

Usaha-usaha yang dilakukan oleh Paku Buwono X yang merupakan

strateginya yaitu dengan melakukan perjalanan kerja ke berbagai daerah yang

disebut dengan perjalanan incognito atau disebut dengan Ngideri Buwono

(Kuntowijoyo, 2004: 94). Dalam kajian Islam Ngideri Buwono adalah tindakan

diplomatis untuk menciptakan strategi pergolakan. Dalam Islam, diplomasi adalah

Kayfiyah (cara) untuk disampaikan kepada masyarakat sebagai bagian dari uslub

kifahi (strategi pergolakan)untuk menghadapi pemerintah Belanda (Muhammad

Hawari, 2003: 14-15).

Dalam menjalankan pekerjaan raja, jaman dahulu juga termasuk

kewajibannya untuk secara berkala pada malam hari melakukan perjalanan dinas

rahasia mengelilingi kota Raja dan sekitarnya agar dapat menangkap suka duka

dan keluhan rakyat. Pekerjaan ini merupakan tugas setiap raja dari keturunan

Mataram. Pada suatu malam dalam melaksanakan kewajibannya tersebut Sri

Susuhunan Paku Buwono X dalam kegelapan harus melompati parit dan

tergelincir jatuh di kampug Ngruki, daerah Kedawung Barat. Akibat jatuh itu kaki

Sinuhun menjadi cacat, tidak dapat disembuhkan dan tidak begitu kuat jika

dipakai berjalan. Setelah cacat pada kakinya Sri Susuhunan Paku Buwono X

merubah taktik, untuk dapat mendapat informasi tentang pendapat rakyat dengan

menyebar pegawai keraton yang buta untuk mendengarkan pendapat rakyat di

warung-warung dan di tempat-tempat yang dikunjungi orang banyak, kemudian

mereka menghadap Sinuhun dan mereka bercerita tentang pengalaman mereka

tidak dalam bentuk laporan. Dari omongan bebas mereka itu Paku Buwono X

Page 73: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

dapat mengambil gambaran tentang apa yang menjadi pikiran rakyat kecil (R.M

Karno, 1990: 49).

Proses Ngideri Buwono meliputi perjalanan di berbagai wilayah di Jawa,

Sumatera Selatan, Bali, dan Lombok, dengan menggunakan jasa transportasi

kereta api dan kapal laut. Pada awal abad ke-20 ini, pada masa jabatan Residen

Vogel, Sunan melakukan perjalanan ke Semarang dengan membawa dua ratus

pengiring. Pada tahun 1916 Sunan merencanakan untuk pergi ke Buitenzorf

(Bogor) untuk menyampaikan ucapan terimakasih kepada Sri Maharatu

Wilhelmina atas pemberian bintang Grootkruis in de Orde van Oranje Nasaau

lewat Gubjen De Fock. Dua tahun kemudian pada 1924 sunan melakukan perjalan

ke Malang. Pada 1929 Paku Buwono X dan rombongannya mengunjungi pulau

Bali dan pulau Lombok. Di pulau Bali, Paku Buwono X mengunjungi I Gusti

Gede Bagus Jelantik di Karangasem dan Anak Agung I Gusti Gede Taman di

Kabupaten Bangli. Selain itu juga berkunjung ke tempat asisiten Residen

Mataram (Lombok). Pada tahun 1935 PakuBuwono X berkunjung ke Lampung.

Setahun kemudian pada tahun 1936, dengan alasan meninjau Gubernur Surakarta

yang dirawat di rumah sakit di Surabaya, Paku Buwono X bersama rombongan

pergi ke Surabaya, kemudian sunan singgah di kabupaten Gresik (Darsiti

Soeratman, 2000: 383-385).

Banyak kritik dari pejabat Belanda tentang perjalanan Ngideri Buwono

yang dilakukan oleh Sunan ini. Belanda memikirkan masalah uang yang

dikeluarkan maupun mengenai efek politik dari invasi ini, karena meskipun Paku

Buwono X dianggap mengadakan perjalanan incognito, ia menonjolkan dirinya

sebagai kaisar Jawa (George D. Larson, 1990: 222). Semua itu dilakukan oleh

Paku Buwono X dalam rangka membangun kehidupan politik di Surakarta dan

nasionalisme Indonesia melawan pejajahan Belanda.

Page 74: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

B. PERAN KERATON DALAM PERGERAKAN KEBANGSAAN

1. Kondisi Politik Surakarta Pada Masa Pemerintahan Paku

Buwono X

Awal abad ke-20 merupakan suatu periode awal bangkitnya pergerakan

serta perubahan struktur sosial kemasyarakatan oleh pemerintah kolonial. Kunci

perkembangan pada awal abad ke-20 adalah munculnya ide-ide baru mengenai

organisasi dan dikenalnya definisi-definisi baru dan lebih canggih tentang

identitas. Ide baru tentang organisasi meliputi bentuk-bentuk kepemimpinan yang

baru, sedangkan definisi yang baru dan lebih canggih mengenai identitas meliputi

analisis yang lebih mendalam tentang lingkungan agama, sosial, politik, dan

ekonomi. Pada tahun 1927 telah terbentuk suatu jenis kepemimpinan Indonesia

yang baru dan suatu kesadaran diri yang baru, tetapi dengan pengorbanan yang

sangat besar. Para pemimpin yang baru terlibat dalam pertentangan yang sangat

sengit satu sama lain, sedangkan kesadaran diri yang semakin besar telah

memecah belah kepemimpinan ini lewat garis-garis agama dan ideologi. Pihak

Belanda mulai menjalankan suatu tingkat penindasan baru sebagai jawaban

terhadap perkembangan-perkembangan tersebut. Periode ini tidak menujukkan

pemecahan masalah, tetapi merubah pandangan kepemimpinan Indonesia itu

mengenai diri sendiri dan masa depannya (M. C Ricklefs, 1991: 247).

Sejak permulaan abad ke-17 sampai abad-20 kerap sekali timbul

peperangan dan pemberontakan, yang tidak berhasil karena jeleknya senjata kita

dan baiknya taktik-taktik Belanda mengarang barisan Indonesia. Akan tetapi juga

setelah peperangan- peperangan dan pemberontakan-pemberontakan habis, nasib

rakyat yang sangat jelek itu tetap menimbulkan rasa sedih dan sengsara, yang

kadang-kadang sebagai keadaan yang menjelma menjadi bermacam-macam aksi

dari rakyat (A.K Pringgodigdo, 1994: VII).

Pada awal abad ke-20 Surakarta dan Yogyakarta dijadikan sebagai daerah

otonom berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi 1903. Vorstenlanden

merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda dan pemerintahannya dibagi

dalam dua keresidenan. Tetapi wilayah ini mempunyai status yang khusus,

Page 75: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

walaupun agak mendua, sebab dua keresidenan ini terdiri dari dua kerajaan

swapraja yang nominal. Kerajaan semi-otonom ini adalah suatu proses

penguasaan dari imperium Mataram yang pernah berkuasa pada abad ke-17 dan

awal abad ke-18 (George D. Larson, 1990: 1).

Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari

peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X.

Namun perjuangan kemerdekaan bukanlah peristiwa sesaat yang tidak terkait

dengan peristiwa sebelumnya. Sebagai sebuah negara yang berdaulat, pemerintah

Hindia-Belanda tentu sangat memperhitungkan kekuatan politik keraton di mata

rakyat. Daerah Surakarta menjadi salah satu pusat tumbuhnya organisasi-

organisasi sosial politik yang diantaranya yaitu Sarekat Islam dan Boedi Oetomo.

Berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908 dan Sarekat Islam pada tahun 1912di

Indonesia pada awal abad ke-20 merupakan pengaruh adanya revolusi di negara-

negara maju.

Kota Surakarta seakan-akan menjadi tempat yang sangat berpengaruh dan

menjadi pusat kebudayaan bagi masyarakat Jawa, yaitu Keraton Kasunanan

Surakarta dan Istana Mangkunegaran. Di Yogyakarta terdapat Keraton Kasultanan

dan Istana Pakualaman. Pengaruh kekuatan dari kedua kota tersebut dalam

peregerakan nasional sangat menonjol, bahkan menjadi pusat pergerakan.

Sunan Paku Buwono X telah mendorong masyarakat Jawa memasuki

zaman baru. Masuknya zaman modernisasi yang berhembus dari bumi Eropa,

dimanfaatkan oleh Sunan untuk meningkatkan kesejahteraannya, dengan

melakukan modernisasi di sebagian tanah Jawa yang dinaunginya., dengan

Surakarta sebagai ibukotanya. Dukungannya terhadap gerakan kaum republik

semakin lama semakin membuahkan hasil. Putra-putri dan para bangsawan

keraton disekolahknnya ke berbagai belahan dunia, telah menjadi kader-kader

perjuangan yang tangguh. Sunan sangat banyak sekali memberikan dorongan dan

fasilitas untuk belajar dan melakukan gerakan perjuangan, meskipun seolah-olah

tidak dikoordinasi oleh keraton (Purwadi, dkk , 2009: 16-20).

Keraton adalah komunitas yang mempunyai kebudayaan sendiri. Di dalam

komunitas itu terjadi interaksi, baik secara individual maupun kolektif. Anggota

Page 76: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

komunitas itu berhubungan satu dengan yang lainnya. Selain terjadi interaksi

secara individual dan kolektif, berlangsung pula interaksi yang dilakukan lewat

organisasi sosial. Keraton Kasunanan Surakarta merupakan merupakan tempat

yang subur bagi pertumbuhan organisasi-organisasi sosial politik. Keadaan ini

disebabkan karena Keraton Kasunanan Surakarta sebagai tempat administrasi

pemerintahan, maka bagi pengamat politik dan tokoh politik, Surakarta

merupakan kota yang strategis.

Untuk mengenyahkan Belanda dari bumi Indonesia, Sunan merangkul

kaum nasionalis, karena merasa jengkel atas campur tangan Belanda dalam

pemerintahannya di Surakarta. Kaum nasonalis mendekati keraton untuk dapat

menggaet masa, oleh karena itu memang harus diakui bahwa untuk menarik

rakyat menjadi anggota suatu gerakan, rakyat harus diyakinkan dulu bahwa ada

orang dikalangan keraton yang duduk dalam pimpinan organisasi. Memang

demikianlah keadaan pada saat itu, kepercayaan masyarakat terhadap keraton,

khususnya keraton Surakarta memang masih sangat kuat. Bahkan sampai di

daerah-daerah gubernemen diluar negeri Surakarta dan dimana saja, masyarakat

Jawa masih menganggap bahwa pusat kerajaan ada di keraton Surakarta. Kaum

nasionalis dalam gerakannya melawan kekuasaan Belanda, memulai dengan

gerakan-gerakan membangkitkan dan menanam jiwa nasioanl pada rakyat. Ini

dapat dilakukan melaui pandidikan atau melalui gerakan kebangsaan, seperti yang

dilakukan Boedi Oetomo atau melalui gerakan perbaikan ekonomi dan sosial

seperti yang dilakukan oleh Sarekat Islam (R.M Karno, 1990:159).

2. Peran Paku Buwono X Dalam Organisasi Sosial dan Politik

a. Sarekat Islam

1) Latar Belakang Terbentuknya Sarekat Islam

Gerakan Nasional pertama yang muncul di Surakarta adalah Sarekat Islam

pada tahu 1912. Gerakan ini langsung disongsong oleh Paku Buwono X tentunya

dengan caranya sendiri. Gerakan organisasi politik di Indonesia yang menonjol

sebelum Perang Dunia Kedua dan layak mendapat perhatian adalah Sarekat Islam

(SI). organiasasi ini segera mengalami perkembangan yang tiada taranya ketika

Page 77: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

itu. Dari semua gerakan emansipasi Indonesia ketika itu partai inilah yang paling

dinamis. Namun, masa perkembangan perkumpulan ini kiranya singkat. Pada

tahun 1915 ia telah melampaui titik puncaknya. Kegairahan massa pengikutnya

mengendur. hanya sedikit saja lagi bertambah cabang-cabang baru dan masalah

keuangan mulai tidak teratasi (A.P.E Korver, 1985: 1).

Pokok utama perlawanan Sarekat Islam ditujukan terhadap setiap bentuk

penindasan dan kesombongan rasial. Berbeda dengan Boedi Oetomo yang

merupakan organisasi dari ambtenar-ambtenar pemerintah, maka Sarekat Islam

berhasil sampai pada lapisan bawah masyarakat, yaitu lapisan yang sejak berabad-

abad hampir tidak mengalami perubahan dan paling banyak menderita (Marwati

Djoened Poesponegoro&Nugroho Notosusanto, 1993: 183).

Organisasi Sarekat Islam ternyata merupakan gerakan massa yang pertama

di Hindia Belanda. Daya dorong bagi terbentuknya organisasi ini lebih bersifat

dagang ketimbang agama. Agaknya sebagai reaksi terhadap kegiatan

perekonomian imigran Cina yang berkeembang dengan cepat diseluruh Jawa.

Bangsa Cina di Hindia Belanda, dibangkitkan oleh gerakan nasionalisme Cina dan

oleh kejengkelannya melihat bangsa Jepang di Hindia yang mendapat kedudukan

lebih tinggi, sejak pergantian abad ini terus menerus melakukan tekanan terhadap

pemerintah. Tuntutan-tuntutan mereka berhasil dengan dihapuskannya sistem

pajak-jalan yang berat dan merintangi kegiatan perdagangan mereka.

Keberhasilan imigran-imigran Cina ini menimbulkan kekaguman sekaligus

kerisauan kalangan penduduk pribumi. Meningkatnya kegiatan perekonomian

Cina itu selanjutnya berakibat persaingan yang semakin menajam antara pengrajin

dan pedagang Cina dan bukan Cina, khususnya di daerah Vorstenlanden. Gagasan

mendirikan organisasi untuk mengembangkan perdagangan dikalangan penduduk

pribumi semula berasal dari Raden Mas Tirtoadisoerjo, seorang wartawan dan

pengusaha di Bandung. Pada tahun 1909, ia mendirikan Sarekat Dagang

Islamiyah di Batavia dan 1911 organisasi kedua, Sarekat Dagang islam di Bogor.

Ia kemudian pindah pindah ke Surakarta mengorganisasi pedagang batik (Akira

Nagasumi, 1989: 128).

Page 78: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

R.M Tirtoadisuryo, orang Solo yang merantau dan juga redaktur majalah

Medan Priyayi. Ia pernah mendirikan Sarekat Dagang Islam di Batavia pada tahun

1909 dan juga di Bogor, dan pada awal 1912 mendirikan Sarekat Dagang Islam di

Surakarta. Kedatangan R.M Tirtoadisuryo di Surakarta sebenarnya atas undangan

Haji Samanhudi, seorang pengusaha batik terkemuka di Lawean. Setelah Sarekat

Dagang Islam berdiri di Surakarta, R.M Tirtoadisuryo kembali ke Batavia dan

pimpinan Sarekat Islam diserahkan kepada Haji Samanhudi, dan sesuai dengan

tujuan organisasi, maka namanya diganti menjadi Sarekat Islam disingkat SI.

Tujuan utama mendirikan Sarekat Islam di Surakarta mula-mula agak kurang

jelas. Semula diperkirakan bahwa berdirinya Sarekat Islam karena adanya

perasaan tidak senang dari rakyat atas tindakan-tindakan dari para kerabat keraton

yang dianggap mempersulit kehidupan petani dengan macam-macam aturan yang

dianggapnya bersumber pada kebiasaan-kebiasaan keraton yang sudah usang.

Tetapi dari bahan-bahan arsip pemerintah negeri Belanda yang berupa kumpulan-

kumpulan laporan dari para residen dan gubernur Surakarta, ternyata tidak ada

yang menyinggung mengenai hal itu, sebaliknya dalam laporan-laporan Sarekat

Islam nantinya akan diketahui bahwa tidak hanya keterkaitan saja dari keraton

dengan gerakan nasional, tetapi sudah dalam bentuk keterlibatan (R.M Karno,

1990: 171-172).

Meskipun masih dalam cengkeraman kolonial, pada akhir abad ke-19 dan

awal abad ke-20, telah muncul “embrional” pengusah-pengusah di Surakarta.

Gejala itu dimulai pada tahun 1840-an, ketika metode membatik yang baru

diperkenalkan oleh seorang pedagang batik Semarang ke pengrajin batik Kauman

Surakarta. Metode baru ini menggunakan alat cap yang terbuat dari garis-garis

tembaga, sehingga mampu membuat batik dalam jumlah banyak denga tenaga

yang sedikit. Munculnya permintaan dan penawaran yang cepat, telah

meningkatkan produksi kain batik dengan berbagi implikasinya. Bagi kalangan

pengusaha batik di Surakarta, kondisi ekonomi itu memunculkan “api semangat

islam” yang sempat padam semenjak VOC memporak-porandakan jaringan

perdagangan muslim. Semangat itu lahir kembali dalam gerakan nasionalisme

modern Sarekat Dagang islam. Organisasi pedagang dengan fasilitas dari

Page 79: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

Djokomono alias RM. Tirtoadisuryo, pada tanggal 9 November 1911 didirikanlah

oleh Wirjowikoro yang kemudian dikenal dengan mana Haji Samanhoedi, yang

dalam perkembangannyaorganisasi itu menjadi Sarekat Islam. Melalui ketokohan

HOS. Tjokoaminoto, organisasi ini dianggap berhasil meletakkan fondasi paling

awal pandangan kebangsaan Indonesia (M. Hari Mulyadi, dkk 1999 : 37-39).

Sarekat Islam mulai tumbuh disebabkan oleh beberapa hal khusus, yaitu:

a) Perdagangan bangsa Tionghoa adalah suatu halangan untuk

perdagangan Indonesia (monopoli bahan-bahan batik) ditambah pula

dengan tingkah laku sombong bangsa Tionghoa setelah Revolusi di

Tiongkok.

b) Kemajuan gerak-langkah penyebaran agama Kristen dan juga ucapan-

ucapan yang menghina dalam parlemen negeri Belanda tentang

tipisnya kepercayaan agama bangsa Indonesia.

c) Cara adat-lama yang terus dipakai di daerah kerajaan-kerajaan Jawa,

makin lama makin dirasakan sebagai penghinaan (A.K Pringgodigdo,

1994: 5).

Ketika orang-orang Tionghoa mulai membangkitkan kembali kegiatan

dagang mereka setelah dilonggarkan dan kemudian dihapuskannya sistem pas

jalan, industri batik di Surakarta yang mengontrol pasar “nasional” menjadi salah

satu lahan utama bagi penanaman modal mereka. Persaingan orang Tionghoa ini

sangat dirasakan oleh pengusaha dan pedagang batik pribumi, terlebih lagi karena

bahan-bahan katun dan lainnya yang diimpor oleh firma-firma Eropa dari luar

negeri dibawa oleh pedaganpedagang Tionghoa dan Arab. Saat cabang Boedi

Oetomo di Surakarta didirikan, H. Samanhoedi, seorang pedagang batik

terkemuka di Lawean, dan H. Bakri dari Kauman diundang untuk bergabung

dengan Boedi Oetomo. Ketika mereka mengusulkan pembentukan pembentukan

kopersi Bumiputera, kedua orang ini bergabung dengan Boedi Oetomo di

Surakarta bersama sejumlah teman, saudara, dan pengikut, dan hasilnya adalah

peningkatan jumalah anggota Boedi Oetomo di Surakarta sampai 800 orang.

Melihat H. Samanhoedi bergabung dengan Boedi Oetomo dan khawatir bahwa

organisasi ini tentunya akan mendirikan toko koperasi sebagai saingan mereka,

Page 80: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

orang-orang Tionghoa menawarkan kepadanya untuk bergabung dengan

perkumpulan tolong menolong mereka yaitu Kong Sing. H. Samanhoedi

menerima tawaran ini dan meninggalkan BO lalu bergabung dengan Kong Sing,

dan menjadi salah satu komisaris perkumpulan itu. Secara formal Kong Sing

adalah perkumpulan tolong menolong untuk pemakaman, tetapi sesugguhnya itu

merupakan sisa jaringan ladang opium yang pernah sangat kuat yang dibangun

atas model serikat rahasia Cina. Tolong menolong tidak hanya terbatas pada

pemakaman dan pesta, tetapi jua untuk perdagangan, perkelahian, dan pembalasan

dendam. Setelah H.Samanhoedi dan para pengikutnya bergabung dengan Kong

Sing, jumlah anggota Jawa makin membengkak dua kali lipat dibandingkan

dengan jumlah anggota Tionghoa. Bagaimanapun anggota Tionghoa tetap

berkuasa, dan ketika berita tentang revolusi Tiongkok mencapai Hindia, mereka

mulai bersikap “arogan” dan memperlakukan anggota Jawa secara kurang layak.

Dengan marah, H. Samanhoedi menyuruh bebrapa temannya mendirikan

perkumpulan serupa yang bertujuan saling menolong dan membantu pada saat

perkelahian. Perkumpulan itu dinamakan Rekso Roemekso. Ketika H. Samanhoedi

yakin bahwa perkumpulan ini akan berhasil, ia meninggalkan Kong Sing dengan

dalih bahwa ia harus pindah ke Surabaya. Sekembalinya dari Surabaya, ia menjadi

ketua Rekso Rumekso, yang disebut orang-orang Tionghoa dengan nama Kong

Sing Jawa. Polisi lalu memeriksa apakah Rekso Roemekso telah memakai status

perkumpulan raden Ngabehi Djojomargono, seorang anggota Rekso Roemekso

dan saudara jauh patih, meminta bantuan R. Martodharsono, yang pada gilirannya

meminta bantuan kepada Tirtoadisoerjo, Sarekat Dagang Islam saat itu hampir

berdiri. Akarnya tentu berasal dari pengusaha dan pedagang batik di Lawean

(Takashi Shiraishi, 1997: 52-54).

Sarekat Islam tumbuh dan berkembang dari Rekso Roemekso. Organisasi

ini merupakan sebuah perkumpulan tolong-menolong untuk menghadapi para

kecu yang membuat daerah Lawean tidak aman, indikasinya karena adanya

pencurian kain batik yang dijemur di halaman tempat pembuatan batik. Jadi Rekso

Roemekso adalah sebuah organisasi ronda yang bertugas mengawasi keamanan

daerah. Selain mengawasi keamanan, anggota Rekso Roemekso harus saling

Page 81: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

membantu pada perkawinan, kelahiran dan kematian. Dengan berdirinya Rekso

Roemekso semakin meningkatkan persaingan bahkan mengarah pada permusuhan

dengan organisasi serupa, yaitu Kong Sing milik orang-orang Cina. Di bulan-

bulan akhir tahun 1911 dan bulan-bulan awal tahun 1912 timbul perkelahian kecil

di jalan antara orang-orang Jawa dari Rekso Roemekso dengan orang-orang Cina

dari Kong Sing. Serangkaian perkelahian jalanan itu mengundang penyelidikan

polisi terhadap status hokum Rekso Roemekso, sebuah penyelidikan yang

kemudian mengubah Rekso Roemekso dari sebuah organisasi ronda yang

sederhana menjadi Sarekat Islam (SI) (M. Hari Mulyadi, dkk 1999: 22). Tujuan

utama didirikan Sarekat Islam di Surakarta berpangkal dari faktor ekonomi dan

faktor politik agama.

2) Faktor Ekonomi

Faktor yang mendorong berdirinya Sarekat Islam semula bersumber pada

saingan antara pedagang Cina dan pedagang batik Jawa yang berkedudukan di

Lawean. Lawean adalah tempat berkumpulnya para pedagang batik Jawa.

Dimulainya dengan munculnya kain halus, cambrics cx impor yang menggeser

kain batik lokal. Juga bahan celupan nila digeser dengan bahan sintetis buatan

Eropa. Dua jenis barang ini merupakan bahan pokok industri batik yang mulai

dikuasai pedagang-pedagang Cina dalam penguasaan perdagangan dibidang

kebutuhan-kebutuhan pokok industri batik ini, yang kemudian muncul sebagai

Sarekat Islam (R.M Karno, 1990: 172).

Konflik antara etnis Jawa dan Cina ini dilatarbelakangi oleh motif sosial

dan ekonomi. Ketegangan ini berpangkal dari persaingan antara saudagar Jawa

dengan pedagang Cina, semula dibidang industri batik. Penggantian kain lokal

dengan bahan impor yang dibeli pengusaha batik melalui broker (pedagang

perantara Cina) mengakibatkan seluruh perusahaan harus membeli kain dari

pedagang Cina. Disamping itu. Sejak abad ke-20 bahan celupan kimia mulai

menggantikan nila. Bahan celupan ini harus didatangkan dengan cara impor dan

distribusinya ditangani oleh para pedagang Cina. Etnis Cina semakin lama

menjadi semakin kuat posisinya untuk menguasai bahan baku industri batik,

Page 82: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

sehingga dapat mengendalikan barang-barang impor yang sangat diperlukan bagi

indutri batik. Untuk melawan dominasi pedagang Cina maka pengusaha batik

Jawa di kota Surakarta mendirikan Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912 (M. Hari

Mulyadi, dkk 1999 : 565-566).

Berdirinya Sarekat Islam (SI) lebih tepat bila dikatakan sebagai reaksi

terhadap pemerintah Kolonial yang melindungi kepentingan ekonominya sendiri.

Sarekat Islam (SI) dibentuk dan merupakan wadah solidaritas untuk menghadapi

pengusaha asing dan Cina (M. Hari Mulyadi, dkk 1999: 23). Tentang tepatnya

pembentukan SI tidak terdapat kepastian. Organisasi ini didirikan pada akhir

tahun 1911 atau awal tahun 1912 di Surakarta. Secara umum diterima bahwa

gerakan ini dibentuk H. Samanhoedi, seorang pengusaha batik yang mampu di

Kampung Lawean di Solo. Kerajinan batik Surakarta berada dalam tangan

pengusaha-pengusaha Jawa, Arab, dan Cina. Jumlah pengusaha Jawa merupakan

mayoritas. Tenaga kerja di semua perusahaan adalah orang Jawa. Di Lawean di

samping usaha-usaha kecil terdapat beberapa perusahaan besar dengan ratusan

buruh. H. Samanhoedi tergolong pemilik usaha yang besar. Di Lawean usahanya

terutama ditujukan pada produksi besar-besaran barang yang murah (A.P.E

Korver, 1985: 11-12).

Meningkatnya kegiatan perekonomian Cina berakibat pada persaingan

yang semakin menajam antara Cina dan Pribumi khususnya di Vorstelanden.

Dengan dikuasainya perdagangan dan pemasaran menengah oleh orang-orang

Cina, maka mereka dapat mempermainkan para konsumen yang kebanyakan

terdiri atas orang-orang pribumi.

Di Surakarta, orang Cina mulai dibenci oleh orang Jawa karena sikap

mereka berubah sesudah Revousi Tiongkok bulan Oktober 1911 dan berdirinya

republik dalam Februari 1912. Banyak diantara orang Cina setempat bersikap

angkuh terhadap orang Jawa. Dan beberapa diantara mereka sangat tidak

bijaksana denagan membual bahwa republik baru itu akan segera mengusir orang

Belanda dari Jawa dan kemudian mereka (orang Cina) akan menjadi penguasa

yang baru. Surakarta dengan cepata menjadi kancah serentetan pemboikotan,

Page 83: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

pemogokan, perkelahian jalanan dan kerusuhan anti Cina (George D. Larson,

1990: 60).

3) Faktor Agama

Dengan terbentuknya Sarekat Islam yang berbasis agama Islam yang

sangat kuat, Belanda mulai merasa takut akan timbulnya pemberontakan orang-

orang Islam fanatik. Oleh karena itu, Belanda segera mengambil sikap dengan

cara Kristenisasi masyarakat pribumi yang diharapakan dapat menyelesaikan

masalah tersebut.

Peranan Paku Buwono X sebagai kepala agama Islam di Surakarta

merupakan suatu peranan yang membuat hubungannya dengan Sarekat Islam

sebagai sesuatu yang wajar. Hubungan demikian diperkuat lagi dengan

perlawanan terhadap kegiatan para penginjil Kristen. Ia masih dianggap sebagai

Raja tradisional yang sah dimata penduduk Jawa di seluruh Jawa Tengah, dan tak

kurang pentingnya, Paku Buwono X adalah Kepala Agama Islam (Panotogomo)

(George D. Larson, 1990: 50).

Hal ini terlihat dari keputusan Gubernur Djendral Idenburg, yang memberi

izin kepada suatu kelompok penginjil untuk membuka cabangnya di Surakarta.

Sinuhun juga mempunyai pikiran yang sama dengan para pedagang Lawean,

maka penginjil akan tanah untuk mendirikan rumah sakit ditolak, tetapi akhirnya

rumah sakit itu berdiri mendapatkan tanah dari istana Mangkunegaran dan

berdirilah rumah sakit Jebres. Dengan diizinkannya sebuah penginjil beroperasi di

Surakarta merupakan termasuk taktik Belanda menerapkan Politik Verdeel En

Heers, lebih-lebih jika diperhatikan, izin itu datangnya langsung dari Gubernur

Jendral sendiri. Jadi orang Jawa akan dipecah lagi dari segi agama, Sinuhun

mencium akal busuk dari Belanda ini, maka Paku Buwono X mencegahnya

dengan menolak memberi tanah untuk mendirikan Rumah Sakit. Segi baiknya

masalah ini adalah, dengan masuknya penginjil ke Surakarta sebaliknya malah

merangsang timbulnya kesadaran nasional, nasionalisme Jawa dikalangan

masyarakat (R.M Karno, 1990: 172-173).

Page 84: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

4) Pasang Surut Sarekat Islam

Munculnya organisasi kebangsaan di daerah Surakarta dan Yogyakarta,

yang juga dinamakan daerah Vorstenlanden, bukan hal mengherankan. Sekalipun

wilayah kerajaan ini kurang maju dalam pemanfaatan teknologi dibanding dengan

wilayah gubernemen, namun secara cultural daerah kerajaan ini sangat besar

potensinya. Bagi rakyat daerah kerajaan, maupun bagi penduduk di tanah

gubernemen di pulau Jawa, Paku Buwono X diakui sebagai tokoh yang

menempati kedudukan sentral dari kewibawaan dan kekuasaan nasonalisme Jawa

yang sedang tumbuh, tumpuan harapan untuk menegakkan kembali kerajaan

Jawa. Jadi sejalan dengan pemikiran Paku Buwono X. Sementara itu pada tanggal

10 September 1912 muncul tokoh nasionalis baru di Surakarta, HOS

Tjokroaminoto, seorang penguasa dari Surabaya, bertindak atas namanya sendiri

maupun sebagi wakil dari Surabaya. Gerakan Sarekat Islam mulai meluas ke

daerah lain di pulau Jawa.

Pada bulan September, berdasarkan akta notaris ditetapkan anggaran dasar

baru SI oleh Tjokroaminoto, serta dimajukannya permohonan resmi untuk

mendapatkan pengakuan badan hukum bagi perkumpulan baru ini murah (A.P.E

Korver, 1985: 22). Menurut akta baru ini, Tujuan Sarekat Islam adalah: (1)

memajukan semangat perdagangan dikalangan penduduk bumiputera; (2)

membantu anggota-anggota yang dalam kesulitan yang bukan karena kesalahan

sendiri; (3) memajukan perkembangan spiritual dan minat dibidang dikalangan

orang Indonesia, dan dengan berbuat demikian akan meningkatkan standar hidup

meraka; (d) menentang salah paham tentang Islam dan memajukan kehidupan

beragama dikalangan orang Indonesia yang sesuai dengan hukum-hukum dan

kebiasaan agama tersebut (Robert van Niel, 1984: 128).

Pada kongres pertamanya yang diadakan pada tanggal 26 Januari 1913 di

Surabaya, kongres dihadiri oleh 8000 sampai 10.000 peserta dari seluruh anggota

yang berjumlah 80.000 orang, 64.000 berasal dari Surakarta. Kongres kedua

diadakan pada tanggal 23 Maret 1913 di Surakarta bertempat di Taman Sriwedari.

Pada kongres ini diputuskan untuk membentuk badan baru yang dinamakan

Central Sarekat Islam (CSI) dibawah komite pusat. Komite pusat membawahi 3

Page 85: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

departemen yang masing-masing mempunyai pengurus pusat dan berkedudukan

di Surabaya, Surakarta, dan Batavia. Tiga departemen lama untuk Jawa Timur,

Jawa Tengah, dan Jawa Barat dihapus, dan untuk gantinya adalah Central Sarekat

Islam ini. Sekitar tahun 1916 cabang Sarekat Islam sudah berjumlah 180 dan

anggotanya 700.000 orang (R.M Karno, 1990: 173-174).

Pada awal berdirinya Sarekat Islam, dari pimpinan yang terdiri dari 11

orang dan 4 orang diantaranya adalah pegawai Kasunanan. Bahkan pada kongres

kedua yang diadakan pada tanggal 23 Maret 1913 di Surakarta, Sarekat Islam

menawarkan kapada RM. Woerjaningrat kemenakan dan bahkan menantu

Sinuhun untuk duduk dalam pimpinan Sarekat Islam, RM. Woerjaningrat sendiri

adalah bupati nayoko keraton Surakarta. Van Wijk tiba-tiba mendengar bahwa

pangeran Hangabehi, salah seorang putra Sinuhun diangkat menjadi pelindung

Sarekat Islam. Oleh residen Van Wijk, pangeran Hangabehi diminta untuk

meletakkan jabatannya sebagai pelindung, bahkan untuk menjaga agar tidak

timbul hal-hal yang tidak diinginkan Pangeran Hangabehi disingkirkan ke negeri

Belanda dengan alasan belajar.

Dalam kongres yang diadakan di Surakarta pada tanggal 2 Maret 1913

dipilih kepengurusan yang terdiri dari Haji Samanhudi sebagai ketua, sedangkan

HOS Tjokroaminoto sebagai wakil ketua dan sebagai pengurus pusat untuk Jawa

Tengah dipilih RMA. Poesponingrat, putra dari salah satu penasehat terpercaya

Paku Buwono X yang bernama RT. Wiriodingrat, Poespodiningrat pada saat itu

jabatannya sebagai bupati Nayoko di Kasunanan, dan terkenal semangat islamnya

yang kuat dan bersikap antipasti terhadap Belanda dan orang-orang Eropa. Haji

Samanhudi sebenarnya termasuk pandai, kerjanya efektif, tetapi sebagai pimpinan

organisasi besar tidak memiliki kemampun berorganisasi, tidak pandai pidato.

Jadi untuk memimpin suatu organisasi masa yang sedang mananjak, agal diluar

kemampuannya. Lain dengan HOS. Tjikroaminoto, seorang bekas wedana

Madiun adalah seorang politikus sejati, pandai berorganisasi dan mahir berpidato,

memliki kharisma sebagai pemimpin. Sejak kongres kedua, Tjokroaminoto

sebenarnya sudah berminat menggantikan Haji Samanhudi sebagai ketua Central

Komite. Untuk itu dia berusah menarik perhatian para anggota dengan cara

Page 86: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

menggugah kembali kepercayaan psiko-religius tradisional yang dimiliki orang

Jawa, denga cara membangkitkan kembali semangat nasionalisme dari masa

dinasti Majapahit yang silam, nasionalisme dari emporium pra Mataram yang

berpusat di Jawa Timur. Kata-katanya serta pandangannya ini emninggalkan

kesan yang mendalam pada rakyat, sehingga membangkitkan semangat yang

meluap-luap. Dalam kongres lokal yang diadakan di Yogyakarta pada bulan April

1914, HOS. Tjokroaminoto terpilih sebagai ketua Central Komite Sarekat Islam

menggantikan Haji Samanhudi, sedangkan Haji Samanhudi sendiri tetap duduk

sebagai ketua cabang Sarekat Islam Surakarta. Pimpinan Sarekat Islam

selanjutnya berpindah ke Surabaya (R.M Karno, 1990:171-176).

5) Dukungan Terhadap Sarekat Islam

Kerjasama antara Sarekat Islam dan istana Paku Buwono X yang secara

tepat digambarkan sebagai suatu hubungan yang sangat dekat, paling tidak telah

dimulai sejak September 1912 ketika dari pimpinan Sarekat Islam yang terdiri

dari sebelas orang ada empat pegawai Susuhunan. Puncaknya tercapai setahun

kemudian pada kongres Sarekat Islam yang kedua tanggal 23 Maret yang

diselenggarakan di Surakarta di Sriwedari, taman hiburan dan pusat pertemuan

yang termasuk dalam wilayah Susuhunan (George D. Larson, 1990: 66).

Sarekat Islam ini benar-benar gerakan massa. Macam-macam cerita

beredar mengenai Sarekat Islam dalam kaitannya dengan keraton Surakarta,

dengan Paku Buwono X baik yang berasal dari laporan-laporan residen maupun

bupati pesisiran. Laporan yang masuk dari para pegawai gubernemen seluruh

Jawa dan Madura bahwa hubungan Sarekat Islam dengan keraton menyebabkan

penduduk mulai gelisah dibawah pemerintah Belanda, ini menyebabkan kerisauan

para bupati. Residen Madiun beranggapan bahwa perlu diberi perhatian serius

terhadap desas-desus yang santer di daerahnya, bahwa Paku Buwono X adalah

anggota Sarekat Islam. Di daerah Surakarta orang beranggapan bahwa Sarekat

Islam didirikan oleh perintah Paku Buwono X.

Berdirinya Sarekat Islam (SI) lebih tepat bila dikatakan sebagai reaksi

terhadap pemerintah Kolonial yang melindungi kepentingan ekonominya sendiri.

Page 87: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

Sarekat Islam (SI) dibentuk dan merupakan wadah solidaritas untuk menghadapi

pengusaha asing dan Cina. Sarekat Islam (SI) sendiri juga mendapat dukungan

dari Sunan Pakubuwono X sehingga sempat tersiar sebutan “SI-nya Sunan”

karena beberpa orang elit istana ada yang menjadi anggota SI antara lain adalah

Wuryaningrat (anggota kehormatan). Selain itu, beberapa hari sebelum kongres SI

ke-3 yang berlangsung pada bulan Maret 1913, seorang menantu Sunan, pangeran

Hangabehi diangkat sebagai anggota kehormatan dan pelindung SI. Semenjak itu

SI meluas bukan hanya terbatas pada kalangan bangsawan tetapi juga sudah

sampai pada rakyat kebanyakan. Pada tahun 1913, anggota SI cabang Surakarta

berjumlah 35.000 orang (M. Hari Mulyadi, dkk 1999 : 24).

Seorang bekas anggota Sarekat Islam yang diperiksa mengatakan bahwa

Sarekat Islam didirikan untuk membentuk pemerintahan baru yang akan

melancarkan perang mengusir Belanda dan Cina dari Jawa. Seorang bekas

anggota pengurus Sarekat Islam di Surabaya mengatakan bahwa Sarekat Islam

bertujuan merebut tanah Jawa dari tangan Belanda lewat revolusi dan akan

menyerahkannya kembali kepada Paku Buwono X. Asisten residen di Nganjuk

melaporkan bahwa anggota Sarekat Islam baru, sesudah diambil sumpahnya

secara resmi, selalu diingatkan: “Jangan lupa bahwa di pulau Jawa hanya ada satu

Ratu yang dapat memerintah secara adil”. Bupati Demak sangat tidak setuju

bahwa pemerintah Hindia Belandamengesahkan anggaran dasar Central Comite

Islam yang berkedudukan di Surakarta, karena dianggap bahwa Surakarta sebagai

kota tradisional Jawa, masih memiliki pengaruh besar yang tidak dikehendaki

bagi rakyat yang kurang pendidikan.

Di Batavia seorang asisiten residen melaporkan bahwa para anggota

Sarekat Islam dilarang menghormati pemerintah Hindia Belanda. Jika terjadi

sesuatu ada seseorang yang akan menolongnya, siapa itu orangnya tidak

diberitahu. Residen Batavia juga menerima laporan tentang banyaknya desas-

desus mengenai Sarekat Islam yang akan mengadakan pemberontakan yang

didukung oleh Paku Buwono X. Kabar angin itu tidak hanya beredar diantara

orang-orang Eropa yang kurang pendidikan tetapi juga dikalangan yang terpelajar.

Belanda masih menyangsikan kebenaran berita-berita ini, karena tidak cocok

Page 88: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

dengan kepribadian dan penampilan Paku Buwono X yang diperlihatkan selama

ini. Oleh karena itu didalam laporan-laporan gubernur Surakarta dikatakan tidak

ada tanda-tanda yang mencurigakan pada diri Paku Buwono X. Jika dipikir

dalam-dalam, adanya Sarekat Islam sebenarnya sangat membantu kedudukan

Paku Buwono X. Perhatian jutaan penduduk Jawa tertuju pada Surakarta, tertuju

kepada Paku Buwono X lewat gerakan nasional ini. Keraton Surakarta tetap

dianggap sebagai pembawa panji gerakan nasional yang mana sangat

memeprtinggi kedudukan Paku Buwono X.

Suara-suara tentang hubungan Sarekat Islam dengan Keraton Surakarta

akhirnya juga sampai telinga residen Surakarta Van Wijk. Karena itu Van Wijk

mendesak agar Paku Buwono X mengurangi keterlibatannya dengan Sarekat

Islam. Dan atas anjuran Van Wijk, Gubernur Jendral juga melarang Paku Buwono

X mengadakan perjalanan keluar Vorstenlanden, karena dianggap bahwa

perjalanan-perjalanan Paku Buwono X inilah yang membuat gerakan Sarekat

Islam meluap-luap. Sementara itu bersama dengan larangan bagi Sinuhun untuk

mengadakan perjalanan keliling, ternyata didalam pimipinan Sarekat Islam

sendiri, timbul keretakan yang mengakibatkan agak mundurnya Keraton Surakarta

dengan Sarekat Islam. Ada insiden-insiden kecil di Surakarta. Sri Mangkunegara

yang takut melihat tambah besarnya keanggotaan Sarekat Islam yang pro

Kasunanan, mencoba mendirikan Sarekat Islam tandingan yang diberi nama

Darmo Hatmoko. Tetapi Darmo Hatmoko ini tidak dapat berkembang karena

terkenal atas sifat kekerasannya (R.M Karno, 1990: 175-176).

Keterlibatan Paku Buwono X dengan organisasi nasional pertama yang

ada di Surakarta ini merupakan suatu hal yang sangat besar dan dampaknya pun

dapat dirasakan secar meluas baik di Surakarta sendiri maupun daerah-daerah

disekitarnya. Figur Sinuhun masih merupakan daya tarik bagi masyarakat.

b. Boedi Oetomo

1) Latar Belakang terbentuknya Boedi Oetomo

Boedi Oetomo secara resmi didirikan oleh sekelompok mahasiswa

didalam sebuah ruangan kelas di Sekolah kedokteran Stovia di Batavia dalam

Page 89: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

bulan Mei 1908, dan merupakan organisasi yang pertama di Hindia Belanda

(George D. Larson, 1990: 78). Boedi Oetomo menempati tempat tersendiri dalam

sejarah Indonesia, karena organisasi ini menandakan awal kebangkitan nasional di

Nusantara. Namun kebangkitan nasional ini pada awalnya bukan kebangkitan

nasional Indonesia melainkan kebangkitan nasional Jawa. Jadi pada awalnya

kebangkitan nasional ini adalah kebangkitan nasional Jawa, bahkan secara samar-

samar mengandung tujuan merestorasi kerajaan Jawa (R.M Karno, 1990: 190).

Di antara pendirinya terdapat orang-orang yang kemudian menjadi

pimpinan-pimpinan nasional yang terkenal yaitu Raden Soetomo, Tjipto

Mangoenkoesoemo, dan saudaranya Goenawan Mangoenkoesoemo. Mereka

didesak oleh dokter Jawa Wahidin Soedirohoesoedo yang telah menjelajahi

berbagai kota di Jawa untuk mengajak membangkitkan bangsa Jawa. Terjemahan

nama Jawa Boedi Oetomo dalam bahasa Belanda dengan segera menjadi umum,

yaitu “het schooner streven”, namun mempunyai konotasi yang lebih luas, dan

berarti juga “pengertian”, “kemampuan memahami”, “pembawaan”. “Oetomo”

berarti tinggi atau luhur. Boedi Oetomo berarti kata-kata dengan arti yang dalam

bagi priyayi Jawa, kata yang mengacu pada etika yang lebih tinggi. Ini tercermin

juga dalam semboyan dan lambang perkumpulan itu. Semboyan “Santoso

Waspodo nggajoeh Oetomo” berarti “Dengan kekuatan dan kecerdasan mencapai

keutamaan”. Lambang yang dirancang tahun 1917 itu terdiri dari huruf-huruf B.O.

(singkatan Boedi Oetomo) yang ditembus oleh anak panah bermakna wahyu

Tuhan, dan dikelilingi bulu yang menjadi lambang antara lain Masa Lalu, Masa

Kini, dan Masa Depan, juga lambang perkembangan badaniah, rohaniah, dan

susila. Lambang itu tergantung pada pita panca warna: menggambarkan keuletan

(hitam), keberanian (merah), kekayaan material (kuning), kemakmuran (hijau),

dan kesucian (putih). Boedi Oetomo adalah gerakan priyayi baru, yang mendapat

kedudukan berkat pendidikan Barat yang mereka peroleh, dan statusnya tidak

diperoleh karena mereka adalah keturunan keluarga pangreh praja lama. Sebagai

priyayi baru, mereka itu moderat, dan biasanya loyal pada pemberi nafkah, yaitu

pemerintah (Hans van Miert, 2003: 17).

Page 90: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

Dr. Wahidin Soedirohoesodo, seorang pensiunan dokter Jawa dari

Yogyakarta, adalah yang pertama mengemukakan gagasan agar berupaya

menghimpun orang-orang Jawa agar mempunyai pandangan ke depan,

mempunyai tujuan bersama yaitu kemajuan rakyat Jawa. Gagasan ini

meninggalkan kesan yang dalam pada para mahasiswa kedokteran Batavia, dan

gagasan inilah yang akhirnya mendorong kepada pembentukan Boedi Oetomo.

Sementara itu pers juga sedang gencar memuat karangan-karangan yang

menggambarkan perkembangan pesat di Jepang dan Tiongkok, dan yang sangat

menggemparkan ialah kemenangan Jepang atas Rusia (1904-1905). Sebagai

organisasi politik yang mempunyai arti sangat penting karena mewakili suatu

bangsa yang mengejar kemerdekaan, terutama bagi orang Jawa, Boedi Oetomo

tidak boleh tidak harus mencantumkan kemerdekaan nasional sebagai program

partainya. Namun karena keadaan belum mengizinkan, maka keinginan

diwujudkan dalam suatu klausul dalam anggaran dasar yang mengatakan bahwa

perhimpunan ini akan memperjuangkan tingkat hidup yang layak bagi rakyat

lewat pembangunan nasional (R.M Karno, 1990: 190-191).

Gubernur Jenderal van Heutsz menyambut baik Boedi Oetomo sebagai

tanda keberhasilan poltik Etis. Memang itulah yang dikehendakinya, suatu

organisasi pribumi yang progresif-moderat yang dikendalikan oleh para pejabat

yang maju. Pejabat-pejabat Belanda lainnya mencurigai Boedi Oetomo atau

semata-mata menganggapnya sebagai gangguan yang potensial. Akan tetapi, pada

bulan Desember 1909 organisasi tersebut dinyatakan sebagai organisasi yang sah.

Adanya sambutan yang hangat dari Batavia menyebabkan banyak orang Indonesia

yang merasa tidak puas dengan pemerintah untuk mencurigai Boedi Oetomo itu.

Sepanjang sejarahnya sebenarnya Boedi Oetomo sering kali tampak sebagai partai

pemerintah yang seakan-akan resmi (M. C Ricklefs, 1991: 227-228).

Boedi Oetomo pada dasarnya merupakan suatu organisasi priyayi Jawa.

Kebanyakan priyayi Jawa melihat kebangkitan kebudayaannya dengan berdirinya

Boedi Oetomo pada tahun 1908. Aspirasi-aspirasi dan perwujudan-perwujudan

yang ditemukan oleh persatuan ini menggambarkan presepsi-presepsi priyayi.

Page 91: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

Aspirasi utama Boedi Oetomo adalah peningkatan keserasian ke dalam

masyarakat Jawa (Savitri Prastiti Scherer, 1985: 53).

Sampai tahun 1917 Boedi Oetomo bukanlah partai politik. Para priyayi

adalah abdi negara kolonial Belanda, pelestari tradisi Jawa. Berbagai organisasi

pribumi, dengan semangat yang semakin besar memasuki kehidupan politik yang

bergelora yang oleh kaum priyayi dipersamakan dengan kekacauan,

pemberontakan, dan kemelut. Provokasi politik berarti gangguan terhadap

keseimbangan, ancaman terhadap keserasian, karenanya bertentangan dengan apa

yang mereka anggap sebagai watak orang Jawa. Lebih lagi aksi politik itu

biasanya bersifat melawan pemerintah, majikan kaum priyayi. Tetapi Boedi

Oetomo yang menghimpun kaum priyayi menengah dan rendah dengan

bersemangat memutuskan untuk memasuki arena politik, lengkap dengan program

partainya. Sejak 1918 nasionalisme Jawa seperti yang diangkat oleh Boedi

Oetomo memiliki komponen politik yang kuat (Hans van Miert, 2003: 24-26).

Boedi Oetomo pada pokoknya adalah pendukung kebudayaan Jawa.

Organisasi ini mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggap

masuk dalam kelompok yang berbahasa Jawa, Sunda dan Madura, yang

keseluruhannya telah melebur ke dalam suatu bentuk kebudayaan Jawa) menuju

kepada suatu perkembangan yang harmonis (Robert van Niel, 1984: 84).

2) Pasang Surut Boedi Oetomo

Periode akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan periode awal

pertumbuhan modernisasi masyarakat bumi putera. Modernisasi dalam hal ini

diartikan sebagai hasrat untuk mencapai kemajuan dengan menunutut pelajaran

dan pendidikan, terutama pendidikan model Barat. Paham-paham baru mulai

berlaku, timbul keberanian meniggalkan tradisi kuno, dan adanya dorongan yang

semakin kuat untuk memperoleh kemajuan. Boedi Oetomo sebagai suatu

pergerakan nasional pertama didirikan atas dasar tuntutan kemajuan itu. Tuntutan

kemajuan yang direfleksi dalam bentuk suatu organisasi itu sebenarnya suatu

jawaban terhadap penetrasi Barat dengan imperialisme dan kolonialismenya

(Cahyo Budi Utomo, 1995:49).

Page 92: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

Kongres Boedi Oetomo yang pertama diselenggarakan di Yogyakarta pada

bulan Oktober 1908 dan diketuai oleh Dr. Wahidin Soedirihoesodo. Kongres

pertama ini diadakan di daerah Vorstenlanden karena mendapat dukungan dari

Pangeran Notodiredjo dari keluarga Pakualaman. Kongres ini diadakan untuk

mengesahkan anggaran dasar dan untuk memilih pengurus. Kongres ini dihadiri

oleh kira-kira 300 orang Jawa, sebagian besar sendiri dari para priyayi yang

datang dari Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pembesar yang hadir

adalah Pangeran Notodiredjo. Dalam kongres pertama ini banyak diadakan

diskusi mengenai pendidikan barat terhadap masyarakat. Banyak pro dan kontra

mengenai hal ini. Dr. Wahidin dan Dr. Tjiptomangoenkoesoemo, mereka adalah

dokter keraton dari keraton Kasunanan Surakarta, termasuk yang kontra. Juga ikut

bicara Goenawan Mangoenkoesoemo dan Dr. Soetomo. Usul dari Dr. Tjipto

Mangoenkoesoemo agar Boedi Oetomo melangkah keluar, jangan hanya

membatasi pada pebdidikan dan kebudayaan saja, melainkan juga harus terjun

dalam bidang politik, tidak diterima oleh kongres. Mungkin kongres tidak berani

mengambil resiko jika permohonan mendirikan partai ditolak oleh pemerintah

Belanda (R.M Karno, 1990: 191).

Kongres itu menetapkan tujuan perumpulan adalah kemajuan yang selaras

(harmonis) untuk negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran,

pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industry, kebudayaan (kesenian dan

ilmu). Sebagai ketua pengurus Besar yang pertama dipilih R.T Tirtokusumo

bupati Karanganyar dan Wahidin Soedirohoesoedo sebagai wakil ketuanya.

Sedang anggota-anggota pengurus besar yang lain adalah para pegawai negeri

atau bekas pegawai negeri. Pusat perkumpulan ditempatkan di Yogyakarta (A.K

Pringgodigdo, 1994: 1-2).

Dari kongres itu akhirnya berhasil diambil keputusan bahwa:

1) Boedi Oetomo tidak ikut mengadakan kegiatan politik.

2) Kegiatan terutama ditujukan kepada bidang pendidikan dan kebudayaan.

Ruang gerak terbatas hanya untuk daerah Jawa dan Madura (kemudian

diluaskan melingkupi Bali karena dianggap mempunyai kebudayaan yang sama)

(Cahyo Budi Utomo, 1995:49).

Page 93: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

Menjelang akhir tahun 1908 Boedi Oetomo telah mempunyai 10.000

anggota dalam 40 cabang, tetapi karena kepemimipinan Tirtokoesoemo yang

kurang bersemarak maka organisasi ini merana hingga ia mengundurkan diri pada

tahun 1911 atau 1912. Sesudah ia diganti sebagai ketua dalam bulan Agustus

1912 oleh Pangeran Notodirojo maka Boedi Oetomo memperlihatkan semangat

baru di Vorstenlanden, dengan segera mendirikan dua sekolah di Yogyakarta dan

sebuah di Surakarta (George D. Larson, 1990: 85).

Pendirian Boedi Oetomo di Surakarta tidak begitu jelas kapan tepatnya,

tetapi banyak kemungkinan hal ini terjadi kira-kira sekitar paruh terakhir tahun

1908. Kita tahu dengan pasti bahwa sudah ada cabang pada tahun 1909 yang

dianggap luar biasa kuatnya. Akan tetapi pada tahun yang sama cabang ini tidak

meneruskan kegiatannya sebab tidak bisa setuju dengan policy yang ditetapkan

oleh pengurus pusat. Penghentian ini hanya bersifat sementara, dan kemudian

cabang Surakarta tampil sebagai salah satu cabang yang paling penting. Misalnya,

sekitar tahun 1912 kantor percetakan dari cabang Surakarta telah mengambil alih

Darmo Kondo, sebuah surat kabar Melayu Jawa yang didirikan pada tahun 1904

di bawah manajemen Cina. Pada bulan November 1913 ketika Jurnal resmi Boedi

Oetomo menghentikan publikasi selam dua tahun, maka peranannya dipegang

oleh Darmo Kondo (George D. Larson, 1990: 85-86).

Orang besar di belakang layar kebangunan kembali budaya Jawa adalah

Prangwedana, kepala pura kedua di Surakarta yang maju, yaitu Mankunegaran.

Ketika Prangwedana masih dengan nama R.M.A Soerjosoeparto, dari tahun 1914

sampai 1915 R.M.A Soerjosoeparto tinggal di negeri Belanda dan belajar di

Leiden. Sekembalinya di Hindia, bulan Agustus 1915 ia menjadi ketua Boedi

Oetomo, Maret 1916 ia menggantikan pamannya, Mangkunegoro VI. Akibatnya

Soerjosoeparto harus melepaskan jabatan-jabatan politiknya. Soerjosoeparto

adalah orang modern dan berpendidikan, yang berlainan dengan raja-raja lain

secara aktif ikut campur dalam pemerintahan negerinya.Semangatnya untuk tidak

hanya di dalam nama menjadi kepala swapraja menyebabkannya sering bentrok

dengan residen-residen Surakarta yang konservatif seperti F.P Sollewijn Gelpke

(1914-1918) dan A.J.W. Harloff (1918-1922). Sunan Paku Buwono X sebagai

Page 94: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

penguasa kerajaan yang lebih besar di Surakarta sama sekali tidak suka dengan

aktivitasnya. Usaha-usaha Sunan untuk mengingatkan Prangwedana selalu

mengakibatkan konflik (Hans van Miert, 2003: 120-121).

R.M.A Soerjosoeparto (calon Mangkunegoro VII) memainkan peran yang

sangat menonjol dalam tahun-tahun pertama Boedi Oetomo cabang Surakarta.

Pada tahun 1917 Pangeran Hadiwidjojo, salah seorang putra Paku Buwono X

yang lebih terkenal, menjadi ketua cabang, dan sekitar Juni 1919 kedua calon

terpenting untuk tahta Surakarta juga telah menjadi peserta. Pangeran Hangabehi,

putra sulung Paku Buwono X, masuk dalam pengurus cabang, sedangkan putra

kedua, Pangeran Koesoemojoedo, telah menjadi pelindung. Dibawah pimpinan

dua ketua nasional yang pertama Boedi Oetomo membatasi dirinya pada soal

sosio-kultural dan menjadi relative kurang dikenal karena munculnya organisasi

lain, terutama Sarekat Islam yang mendapat dukungan massa.Tetapi dalam bulan

September 1914 Boedi Oetomo untuk pertama kalinya mencoba memasuki dunia

politik di bawah pimpinan Dr. Radjiman, dokter Istana Kasunanan Surakarta yang

memegang kedudukan sebagai pejabat ketua dalam bulan Agustus 1914 sesudah

Notodirodjo mengundurkan diri karena sakit. Radjiman adalah seorang nasionalis

yang bergairah tetapi konservatif dengan loyalitas yang mendalam terhadap

Susuhunan (George D. Larson, 1990: 86).

Pada kongres tanggal 8-9 Juli 1916 di Surabaya, Soerjosoeparto

mengundurkan diri sebagai ketua Boedi Oetomo. Sebagai penggantinya terpilih

RMA. Woerjaningrat, seirang yang terkenal anti Belanda dari Keraton Surakarta.

Woerjaningrat memegang jabatan ketua sampai 9 tahun, dengan diselingi berhenti

sebentar. Woerjaningrat sangat dongkol terhadap Belanda dalam masalah

penggantian pepatih-dalem lama kepada yang baru Djojonegoro. Woerjaningrat

merasa lebih berhak menggantikan Sosrodiningrat, bahkan sebenarnya sudah

dicalonkan oleh Sinuhun. Tetapi Belanda tidak suka dengan Woerjaningrat karena

selalu menentang Belanda, sampai-sampai salah seorang gubernur Surakarta

member sebutan padanya “setan jahat dari keraton”. Dengan tidak diangkatnya

menjadi pepatih-dalem, Woerjaningrat semakin membenci Belanda. Pepatih-

dalem keraton merupakan abdi-dalem Sinuhun. Berhubung pentingnya kedudukan

Page 95: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80

pepatih-dalem, pengangkatannya benar-benar dilakukan oleh Sinuhun sendiri,

namun dari calon yang dipilh Belanda. Dibawah pimpinan Woerjaningrat, Boedi

Oetomo menjadi lebih mantap. Pada tahun 1918 Boedi Oetomo cabang Surakarta

berada digaris depan. Cabang Surakarta memiliki 315 anggota, Yogyakarta 70

anggota, Surabaya 139 anggota, Batavia 94 anggota dan weltevreden paling

banyak yaitu 601 anggota, dengan keseluruhan anggota sekitar 10.000 orang.

Cabang-cabangnya meningkat, yang tercatat pada tahun 1918 dari 40 menjadi 51

cabang. Ini menunjukan bahwa Boedi Oetomo bukan partai massa. Inilah

sebenarnya yang kurang disukai Woerjaningrat, karena itu Weorjaningrat

berupaya memperbesar basis partai. Pada tahun 1920 cabang partai meningkat

menjadi 65 cabang dan 14 calon cabang, pada tahun 1921 manjadi 90 cabang

(R.M Karno, 1990: 192-193).

Pada kongres Boedi Oetomo antara 5-7 Juli 1917 Pengurus Besar

mengusulkan agar paragraf keagamaan yang bersifat netral dalam program partai

digantikan dengan paragraf yang menguntungkan Islam. Tujuannya adalah untuk

meluaskan keanggotaan. Sesudah Radjiman Widiodiningrat mengucapkan pidato

garang, dimana ia mengemukakan pendiriannya bahwa budaya Jawa bukanlah

budaya Islamis, melainkan Hinduis-Buddhis, maka versi lama dipertahankan

(Hans van Miert, 2003: 165-166).

Pada tahun 1920 muncul muka baru di Keraton RT. Mr. Wongsonegoro,

pimpinan pusat Jong Java, dan juga merupakan tangan kanan Woerjaningrat. Dr.

Soetomo mendirikan Indonesische Studie Club di Surabaya pada tahun 1924. Dua

tahun kemudian Surakarta menyusul mendirikan Studi Club ini. Keanggotaannya

tidak besar, hanya beberapa politisi terkemuka diantaranya Woerjaningrat dan Dr.

Rajiman Widiodiningrat. Salah satu kegiatannya adalah menerbitkan majalah

Timboel, yang pro keraton Surakarta dan nasionalistis. Terbit dua bulan sekali

sejak Januari 1927. Redaksinya Dr. Rajiman dan RP. Mr. Singgih. Majalah ini

menerima subsidi 200 gulden tiap bulan dari kas keraton Surakarta dan dana

pribadi dari Pangeran Koesoemojudo. Timboel berkampanye menyerang politik

Belanda dan terus menuntut otonomi yang lebih longgar. Mr. Singgih, redaktur

Timboel merupakan tokoh baru yang memperkuat suara keraton Surakarta. Ia

Page 96: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81

sendiri berasal dari Pasuruan, sejak belajar ilmu hukum di negeri Belanda sudah

menjadi anggota Perhimpunan Indonesia, suatu perkumpulan mahasiswa –

mahasiswa Indonesia yang nasionalistis dan militant. Sekembalinya di Indonesia

banyak diantara mereka yang menjadi pemuka gerakan nasional. Mr. Singgih juga

ikut aktif di Boedi Oetomo sekretaris pertama pimpinan pusat. Dengan

kembalinya Mr. Singgih ke Surakarta pada 28 April 1928, keraton Surakarta

kembali akrab dengan Boedi Oetomo. Dalam pimpinan pusat Boedi Oetomo

nampak duduk banyak tokoh-tokoh keraton Surakarta. RMA. Koesoemo Oetojo:

ketua; RM. Woerjaningrat : wakil ketua; RP. Mr. Singgih : sekretaris pertama; M.

Seodarjo : sekretaris kedua; S. Martodiharjo : sekretaris kedua; Dr. Radjiman;

Widiodiningrat : komisaris; R. Mr. Soepomo : komisaris; R. Slamet : komisaris

(R.M Karno, 1990: 196).

3) Dukungan Terhadap Boedi Oetomo

Boedi Oetomo adalah gerakan priyayi baru, yang mendapat kedudukan

berkat pendidikan Barat yang mereka peroleh, dan statusnya tidak diperoleh

karena mereka adalah keturunan keluarga pangreh praja lama. Sebagai priyayi

baru, mereka itu moderat, dan biasanya loyal pada pemberi nafkah, yaitu

pemerintah. Pengurus pusat Boedi Oetomo berada di Surakarta dan Yogyakarta,

kecuali di tahun 1925 dan 1926. Pengurus itu didominasi oleh amtenar menengah

dan tinggi yang kadang-kadang tidak bekerja pada pemerintah, melainkan pada

salah satu dari keempat kerajaan itu. Hubungan dengan keluarga raja cukup kuat.

Ketua tahun 1915 sampai 1916 adalah R.M.A Soerjosoeparto, yang harus

melepaskan jabatannya karena di tahun 1916 ia menggantikan pamannya sebagai

prangwedana, yaitu penguasa Pura Mangkunegaran (Hans van Miert, 2003: 17).

Peranan bangsawan Surakarta di Boedi Oetomo setelah itu diteruskan

dengan keterlibatan Wuryaningrat sebagai ketua Boedi Oetomo cabang Surakarta,

yang dilanjutkan sebagai Ketua Pengurus Besar Boedi Oetomo (1916-1921) (AA

GN Ari Dwipayana, 2004: 93). Menurut Sanusi Pane yang dikutip oleh Purwadi,

dkk (2009: 24) mengatakan bahwa “Di Solo, nama yang dapat dihubungkan

dengan Boedi Oetomo, yang sangat menonjol adalah Raden Mas Arya

Page 97: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

Wuryaningrat, seorang bupati nayaka yang menjadi menantu Sri Susuhunan Paku

Buwono X, Ia adalah cucu Paku Buwono IX, karena ibunya adalah putri Paku

Buwono IX atau kakak Paku Buwono X. Sunan mendorong Raden Mas Arya

Wuryaningrat untuk melakukan pergerakan melalui organisasi ini”.

Keterlibatan keraton (istana) Surakarta adalah yang terbesar. Beberapa

putra Susuhunan Paku Buwono X adalah anggota. Putra dan calon pengganti Paku

Buwono X, yaitu Pangeran Hadiwidjojo bertahun-tahun memimpin cabang

Surakarta, dan antara tahun 1921-1922 sebentar menjadi ketua pengurus pusat.

Salah satu pejabat tertinggi keraton, R.M.A Woerjaningrat, bahkan memimpin

Boedi Oetomo sampai tiga kali, yaitu 1916-1921, 1923-1925, 1934-1935. Tokoh-

tokoh penting Surakarta yang lain yang bersangkutan dengan Boedi Oetomo

adalah Radjiman Wideodiningrat, dokter pribadi Sunan, dan R.M Soetatmo

Soeriokoesoemo, pengawas Departemen Pekerjaan Umum. Soetatmo adalah

kerabat pura Pakualaman, yang menjadi orang kepercayaaan Prangwedana. Di

kalangan priyayi Solo inilah di awal abad yang muncul nasionalisme Jawa yang

khas. Nasionalisme ini pertama-tama memperjuangkan renaisans budaya.

Kalangan Priyayi yang mengagungkan budaya Jawa itu menyadari bahwa sedang

terjadi krisis yang mendalam di tengah dunia Jawa sebagai akibat kemerosotan

politik raja-raja dan priyayi Jawa. Keraton dan penghuninya yang berada dibawah

kekuasaan Belanda telah menjadi contoh ketidakberdayaan politik yang

menimbulkan rasa kasihan (Hans van Miert, 2003: 17-18).

Boedi Oetomo yang mewakili budaya afirmatif memandang Paku Buwono

X sebagai personifikasi nasionalisme Jawa. Kepriyayian Boedi Oetomo dengan

maksud untuk menunjukkan bahwa Boedi Oetomo setuju dengan stratifikasi

zamannya dan Boedi Oetomo menjadi pengajur dari milite plicht. Jadi bukan saja

afirmatif pada Sunan dan stratifikasi sosial, tetapi juga pada pemerintah Belanda

(Kuntowijoyo, 2004: 94-96).

Pada tahun-tahun pertama keterlibatan keraton Surakarta dalam Boedi

Oetomo masih agak berhati-hati, tetapi pada akhir 1921 ketika Sunan

Pakubuwono X mulai mengadakan kunjungan ke daerah-daerah lain di pulau

Jawa. Pada Januari 1916 Sunan mengadakan perjalanan ke Priangan dengan

Page 98: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

83

rombongan 52 orang dan pelayan istana telah menimbulkan kegemparan. Sesudah

berhenti di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, Paku Buwono X mengadakan

kunjungan yang lama di Garut dan Tasikmalaya. Massa sangat tertarik untuk

membeli air bekas dan sisa makanan yang dijual oleh anggota rombongan tingkat

rendah maupun pegawai hotel. Makanan dan air ini sangat dicari karena dianggap

mengandung kekuatan magis yang mampu memberi nasib baik kepada yang

memilikinya (M. Hari Mulyadi, dkk 1999 : 565-566).

Pada tahun 1922, Paku Buwono X mengadakan perjalanan ke Jawa Barat

dan Jawa Timur, yang menimbulkan peningkatan semangat radikalisme Boedi

Oetomo, setelah itu Sinuhun berhenti melakukan perjalanan. Tetapi pada tahun

1924 Sinuhun berangkat lagi ke Malang. Gubernur Jendral Fock menyuruh

residen Surakarta Nieuwenhuis menyusul dan menghubungi Paku Buwono X

untuk mempersilahkan pulang. Setelah Nieuwenhuis pindah dari Surakarta, Paku

Buwono X pada tahun 1927 kembali mengadakan perjalanan ke Gresik, Surabaya

dan Bangkalan selama satu minggu, dengan diiringi 44 pengikut. Pada tahun 1929

selama dua minggu, Paku Buwono X pergi ke Bali dan Lombok , juga dengan 44

pengiring. Kemudian pada tahun1935 ke Bogor, Batavia dan Lampung dengan 51

pengikut. Paku Buwono X terus melakukan perjalanan sampai wafatnya pada

tahun 1939 (R.M Karno, 1990: 195).

C. REAKSI BELANDA TERHADAP PERAN PAKU BUWONO X

DALAM PERGERAKAN KEBANGSAAN DI SURAKARTA

Pada awal pergerakan, pemerintah Belanda memangcukup dibuat bingung

oleh ulah organisasi-organisasi yang bermunculan. Salah satunya adalah Sarekat

Islam. SI menjadi satu payung raksasa bagi para pribumi. Keterikatan hubungan

dagang dan agama menjadikan organisasi ini cepat tumbuh. Kolonial Belanda pun

melihatnya sebagai sebuah ancaman berbahaya yang harus segera diatasi. Apalagi

pengaruhnya bahkan sudah masuk ke dalam keraton Kasunanan Surakarta. Demi

memukul mundur kekuatan SI ini, diperlukan strategi untuk menggeser

Page 99: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

keberpihakan kaum bangsawan Jawa. Boedi Oetomo dipandang oleh pemerintah

kolonial sebagai arus untuk menyedot kembali keberpihakkan tersebut.

Kaum nasionalis dalam gerakannya melawan kekuasaan Belanda, memulai

dengan gerakan-gerakan membangkitkan dan menanam jiwa nasional pada rakyat.

Ini dapat dilakukan melaui pandidikan atau melalui gerakan kebangsaan, seperti

yang dilakukan Boedi Oetomo atau melalui gerakan perbaikan ekonomi dan sosial

seperti yang dilakukan oleh Sarekat Islam. Berdasarkan keputusan ini semua

organisasi yang akan didirikan harus mendapat izin dulu dari Gubernur Djendral,

dengan mengajukan permohonan serta melampirkan anggaran dasar dan

penjelasan mengenai tujuan organisasi. Boedi Oetomo telah memenuhi

persyaratan ini, sebaliknya pada Sarekat Islam, hal ini sangat menimbulakn

ketakutan dan panik diantara penduduk Belanda. Orang-orang Belanda melihat

Sarekat Islam adalah suatu organisasi berbahaya yang merencanakan

pemberontakan, dibarengi dengan melancarkan teror terhadap masyarakat asing.

Maka setelah Sarekat Islam akhirnya diberi izin berdiri oeh Gubernur Djendral,

masyarakat Belanda menuduh jika terjadi apa-apa maka ini adalah kesalahan dari

Gubernur Djendral. Maka SI oleh orang-orang Belanda sempat diartikan “salah

Idenburg”, karena Gubernur Djendral yang memberi izin bernama Idenburg (R.M

Karno, 1990: 176).

Kekuasaan Pemerintah Belanda tidak pernah memberikan peluang usaha

kepada dunia usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi

rakyatnya yang bisa amembawa rakyatnya hidup lebih baik. Karena sesungguhnya

yang bisa menciptakan kemakmuran rakyatnya adalah dunia usaha. Pemerintah

kolonial menggunakan dunia usaha sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan.

Pengaruh politik Belanda terhadap Vorstenlanden adalah suksesnya Belanda

dalam aksi milternya di daerah seberang. Nusantara kaya akan kekayaan alam,

maka Belanda memanfaatkan sebagai lahan penghasilan bagi negaranya.

Meskipun tujuan utamanya perdagangan, namun hasil alam Indonesia sangat

menngiurkan. Sehingga mereka mempunyai pikiran untuk menguasai da

memonopoli perdagangan Indonesia.

Page 100: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

85

Pemerintah Kolonial Belanda memandang Sarekat Islam adalah organisasi

yang membahayakan. Karena pada dasarnya SI adalah gerakan untuk untuk

membentuk pemerintah baru yang akan melancarkan perang dan mengusir

Belanda dan Cina dari Jawa. Sarekat Islam bertujuan untuk merebut Jawa dari

Belanda lewat sebuah revolusi dan akan menyerahkan kembali pada Susuhunan

(George D. Larson, 1990: 66).

Pemerintah kolonial Belanda di Surakarta berkeinginan memonopoli

hubungan pemerintah. Dengan demikian gerakan politik Paku Buwono X sangat

terbatas, yaitu tidak leluasa berhubungan dengan bangsa atau negara lain kecuali

pada pemerintah Belanda. Sebab dengan adanya pembatasan ataupun larangan

untuk berhubungan dengan bangsa lain, maka kemungkinan Paku Buwono X

memberontak sangat kecil, hal ini disebabkan karna tidak adanya bantuan dari

negara lain.

RM. Woerjaningrat kemenakan dan bahkan menantu Sinuhun untuk duduk

dalam pimpinan Sarekat Islam, RM. Woerjaningrat sendiri adalah bupati nayoko

keraton Surakarta. Van Wijk tiba-tiba mendengar bahwa pangeran Hangabehi,

salah seorang putra Paku Buwono X diangkat menjadi pelindung Sarekat Islam.

Oleh residen Van Wijk, pangeran Hangabehi diminta untuk meletakkan

jabatannya sebagai pelindung, bahkan untuk menjaga agar tidak timbul hal-hal

yang tidak diinginkan Pangeran Hangabehi disingkirkan ke negeri Belanda

dengan alasan belajar.

Di Kasunanan Surakarta sebagai kerajaan terdapat permasalahan yang

cukup serius. Hal ini berkaitan dengan adanya sisitem penjajahan Belanda di

Indonesia. Apabila dipandang dari sudut luar, maka keraton Kasunanan Surakarta

merupakan alat bagi sistem penjajahan Belanda. Raja-raja yang berkuasa selalu

bekerja sama dengan pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini terlihat dari adanya

perjanjian-perjanjian antara setiap raja yang berkuasa dengan pemerintah Belanda.

Pemerintah kolonial Belanda selalu mengawasi perkembangan organisasi-

organisasi yang berkembang di Surakarta, seperti halnya perkembangan

organisasi Sarekat Islam yang berkembang pest di Surakarta karena mereka takut

apabila organisasi ini cepat menyebar memperoleh banyak massa dan

Page 101: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86

mempengaruhi rakyat untuk menentang pemerintah kolonial Bealanda. Mengenai

status hukum yang diajukan Sarekat Islam sejak tahun1913 sealau ditolak oleh

gubernur Jenderal Idenberg dikarenakan berbagai alasan, dan baru diakui pada

tahun 1916, itupun hanya Sarekat Islam lokal, sedang Sentral Sarekat Islam

beranggotakan Sarekat Islam lokal.

Pada tahun-tahun pertama keterlibatan keraton Surakarta dalam Boedi

Oetomo masih agak berhati-hati, tetapi pada akhir 1921 ketika Sunan

Pakubuwono X mulai mengadakan kunjungan ke daerah-daerah lain di pulau

Jawa. Pada Januari 1916 Sunan mengadakan perjalanan ke Priangan dengan

rombongan 52 orang dan pelayan istana telah menimbulkan kegemparan. Sesudah

berhenti di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, ia mengadakan kunjungan yang

lama di Garut dan Tasikmalaya. Masa sangat tertarik untuk membeli air bekas dan

sisa makanan yang dijual oleh anggota rombongan tingkat rendah maupun

pegawai hotel. Makanan dan air ini sangat dicari karena dianggap mengandung

kekuatan magis yang mampu memberi nasib baik kepada yang memikinya.

Perlawatan-perlawatan ini sangat memusingkan residen Harloff. Ia berusaha

untuk membatasi ulah Sunan yang sangat mahal dengan menunjukkan keadaan

raja bahwa biaya Sunan itu luar biasa besarnya, tidak sesuai dengan peranan raja

yang pantas menurut semangat baru yang demokratis.

Banyak kritik dari pejabat Belanda tentang perjalanan Ngideri Buwono

yang dilakukan oleh Sunan ini. Belanda memikirkan masalah uang yang

dikeluarkan maupun mengenai efek politik dari invasi ini, karena meskipun ia

dianggap mengadakan perjalanan incognito, ia menonjolkan dirinya sebagai

kaisar Jawa (George D. Larson, 1990: 222). Hal tersebut Pada awal abad ke-20

ini, pada masa jabatan Residen Vogel, Sunan melakukan perjalanan ke Semarang

dengan membawa dua ratus pengiring. Melihat itu, residen-residen yang menjabat

berikutnya selalu berusaha untuk mengurangi pengawal Sunan apabila bepergian,

dan Residen Van Der Wijk berhasil menekannya menjadi 36 orang. Penekanan

jumlah pengawal ini terus dilakukan oleh pemerintah Belanda sepanjang Sunan

melakukan perjalanan. Pemerintah Hindia Belanda sebenarnya sangat keberatan,

apabila Sunan pergi ke daerah-daerah lain, karena walaupun kunjungan itu

Page 102: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

87

dilakukan secara incognito, tetapi kenyataannya Suanan selalu menampilkan diri

sebagai Maharaja di Jawa (Darsiti Soeratman, 2000: 383-385).

Pemerintah Kolonial memiliki dua tujuan utama untuk perluasan

pengaruhnya di Surakarta. Tujuan ini adalah menjamin posisi politisnya terhadap

anacaman yang muncul baik dari para raja pribumi maupun dari kekuatan asing,

yang memungkinkan bisa membahayakan kedudukannya. Dasar kedua yang

melandasi tindakan Pemerintah kolonial Belanda adalah faktor ekonomi.

Kepentingan ekonomi modal swasta telah memperluas aktivitasnya di seluruh

wilayah Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, mereka meminta bantuan

kepada pemerintah Belanda untuk pengamanan daerah usahanya. Atas permintaan

ini pemerintah Belanda memandang bukan hanya untuk mengamankan secara

fisik dengan menggunakan kekuatan senjata, melainkan mengamankan secara

politis kawasan dunia usaha ini. Langkah yang ditempuh untuk mewujudkan

terciptanya keamanan di kawasan usaha tersebut adalah melalui intervensi

permasalahan dalam negeri raja-raja pribumi setempat, khususnya dikalangan elit

politiknya.

Dengan perjanjian-perjanjian dan pernyataan Paku Buwono X kepada

pemerintah kolonial Belanda, maka dapat digarisbawahi yaitu aktualisasi janji

setia dan mengakui bahwa kekuasaan di Surakarta bersumber pada pemerintah

kolonial Belanda. Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa Belanda sudah

mempengaruhi Keraton Surakarta lama sebelum paku Buwono X. Kekhawatiran

Pemerintah kolonial Belanda tersebut juga untuk menghalang-halangi supaya

Paku Buwono X tidak menuntut terhadap pemerintah kolonial Belanda, bahkan

pertahanan akan dikuatkan lagi. Dalam pelaksanann administrasi pemerintahan di

Kasunanan juga di awasi dengan ketat. Yang dimaksud dengan administrasi disini

adalah segala kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga

pemerintah dari terciptanya suatu kelancaran dalam penyelenggaraan

pemerintahan.

Dalam pelaksanaan administrsi pemerintahan, meskipun pada waktu itu

dijajah Belanda, namun pemegang kekuasaan di daerah Kasunanan Surakarta

masih ada pada tangan Sunan Paku Buwono X. Sedangkan pelaksanaan

Page 103: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

88

pemerintahan diserahkan kepada patih dalem. Maka disini patih berfungsi sebagai

wakil Paku Buwono X. Meskipun patih dalem mempunyai wewenang yang

didapat dari Paku Buwono X, namun dengan adnya ketentuan tersebut maka patih

juga harus tunduk terhadap kebijaksanaan Belanda atau tuan residen. Dengan

demikian patih dalem tidak bisa berbuat banyak hal dalam menjalankan tugasnya

sebelum mendapat ijin atau sepengetahuan pemerintah kolonial Belanda. Selain

dari raja, pengesahan program kerja patih dalem harus sepengetahuan residen atau

pemerintah kolonial Belanda.Hal ini jelas bahwa pemerintah kolonial Belanda

selalu mengawasi kegiatan politik dalam rangka memutar roda pemerintahan di

Kasunann Surakarta.

Proses yang terjadi selama setengah abad sejak tahun 1890-an ini telah

menciptakan ketegangan baik secara ekspresif maupun terselubung di kalangan

stratifikasi sosial yaitu masyarakat bawah khususnya di wilayah Kasunanan

Surakarta. Beberapa reaksi bersifat menentang intevensi kolonial baik secara

terbuka maupun secara sembunyi-sembunyi muncul dalam benturan yang terjadi.

Berbagai kebijakan kolonial yang diterapkan untuk masyarakat Surakarta telah

menciptakan konflik meluas yang berpengaruh dan menyebar ke daerah pinggiran

bahkan daerah penopang di Surakarta. Kalangan kelompok masyarakat bawah

lebih cenderung mengungkapkan reaksi keras yang terjadi ini dengan melakukan

letupan perlawanan fisik di kota Surakarta yang menggunakan simbol-simbol

kolonial sebagai sasarannya.

Page 104: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

89

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian diatas maka dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Usaha-usaha Paku Buwono X membangun kehidupan politik di Surakarta

dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu keadaan Surakarta terdiri atas wilayah

Kasunanan dan Mangkunegaran, keduanya dipisahkan oleh suatu jalan

besar. Bagian tengah Surakarta yang merupakan kota lama didiami oleh

beberapa etnik, yaitu Jawa, Cina, Arab dan Eropa, masing-masing

menempati daerah tertentu secara terpisah. Etnik tersebut memiliki

komunitas sendiri di daerahnya masing-masing, baik dari mata

pencaharian maupun peranan dalam hubungannya dengan Keraton

Kasunanan. Kondisi politik yang dibangun oleh Paku Buwono X Surakarta

dipengaruhi oleh kondisi politik sebelum abad ke-20 yang sarat dengan

peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan pemerintah kolonial

Belanda, yaitu gerakan Islam pada abad ke-19. Paku Buwono X yang

mempunyai gelar Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sunan Paku

Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Syidin Panotogomo Ingkan

Jumeneng Kaping Sadasa Ing Nagari Surakarta Hadiningrat. Paku

Buwono X memiliki Kepribadian yang kuat, dalam arti bahwa beliau

memiliki disiplin diri yang kuat dan bijaksana. Sunan memiliki andil besar

dalam pergerakan kebangsaan dengan mengayomi organisasi-organisasi

politik di Surakarta. Dalam usahanya membangun landasan politik di

Surakarta dilakukan Sunan dengan cara Mendirikan madrasah Mamba’ul

Ulum pada tahun 1905 dan Sekolah-sekolah bagi rakyat dan bagi para

sentana yaitu sekolah Kasatrian, Sekolah Parmadi Siwi, Parmadi Putri,

sekolah pertanian dan perkebunan, serta melakukan suatu perjalanan

incognito yang dinamakan dengan politik Ngideri Buwono. Semua itu

Page 105: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

90

dilakukan oleh Sunan dalam rangka membangun kehidupan politik di

Surakarta dan nasionalisme Indonesia melawan pejajahan Belanda.

2. Awal abad ke-20 merupakan suatu periode awal bangkitnya pergerakan

serta perubahan struktur sosial kemasyarakatan oleh pemerintah kolonial.

Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari

peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X.

Sunan Paku Buwono X telah mendorong masyarakat Jawa memasuki

zaman baru. Keraton Kasunanan Surakarta merupakan merupakan tempat

yang subur bagi pertumbuhan organisasi-organisasi sosial politik. Untuk

mengenyahkan Belanda dari bumi Indonesia, Paku Buwono X merangkul

kaum nasionalis, karena merasa jengkel atas campur tangan Belanda

dalam pemerintahannya di Surakarta. Kaum nasionalis dalam gerakannya

melawan kekuasaan Belanda, memulai dengan gerakan-gerakan

membangkitkan dan menanam jiwa nasioanl pada rakyat. Ini dapat

dilakukan melaui gerakan kebangsaan, seperti yang dilakukan Boedi

Oetomo atau melalui gerakan perbaikan ekonomi dan sosial seperti yang

dilakukan oleh Sarekat Islam. Gerakan Nasional pertama yang muncul di

Surakarta adalah Sarekat Islam pada tahu 1912. Gerakan ini langsung

disongsong oleh Sinuhun tentunya dengan caranya sendiri. Kerjasama

antara Sarekat Islam dan istana Paku Buwono X yang secara tepat

digambarkan sebagai suatu hubungan yang sangat dekat. Beberapa orang

elit istana ada yang menjadi anggota Sarekat Islam antara lain adalah

Woeryaningrat yang merupakan kemenakan dan bahkan menantu

Susuhunan menjadi anggota kehormatan. Selain itu, beberapa hari sebelum

kongres Sarekat Islam ke-3 yang berlangsung pada bulan Maret 1913,

seorang menantu Sunan, pangeran Hangabehi diangkat sebagai anggota

kehormatan dan pelindung Sarekat Islam. Selain itu peran Sunan juga

terlihat pada organisasi Boedi Oetomo. Boedi Oetomo adalah gerakan

priyayi baru, yang mendapat kedudukan berkat pendidikan Barat yang

mereka peroleh, dan statusnya tidak diperoleh karena mereka adalah

keturunan keluarga pangreh praja lama. Di Surakarta, nama yang dapat

Page 106: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

91

dihubungkan dengan Boedi Oetomo, yang sangat menonjol adalah Raden

Mas Arya Wuryaningrat, seorang bupati nayaka yang menjadi menantu

Sunan Paku Buwono X, Ia adalah cucu Paku Buwono IX, karena ibunya

adalah putri Paku Buwono IX atau kakak Paku Buwono X. Sunan

mendorong Raden Mas Arya Wuryaningrat untuk melakukan pergerakan

melalui organisasi ini. Pada tahun-tahun pertama keterlibatan keraton

Surakarta dalam Boedi Oetomo masih agak berhati-hati, tetapi pada akhir

1921 ketika Sunan Pakubuwono X mulai mengadakan kunjungan ke

daerah-daerah lain di pulau Jawa yang menimbulkan peningkatan

semangat radikalisme Boedi Oetomo.

3. Pemerintah Kolonial Belanda memandang Sarekat Islam adalah organisasi

yang membahayakan. Karena pada dasarnya Sarekat Islam adalah gerakan

untuk untuk membentuk pemerintah baru yang akan melancarkan perang

dan mengusir Belanda dan Cina dari Jawa. Sarekat Islam bertujuan untuk

merebut Jawa dari Belanda lewat sebuah revolusi dan akan menyerahkan

kembali pada Susuhunan. Pemerintah kolonial Belanda di Surakarta

berkeinginan memonopoli hubungan pemerintah. Dengan demikian

gerakan politik Paku Buwono X sangat terbatas, yaitu tidak leluasa

berhubungan dengan bangsa atau negara lain kecuali pada pemerintah

Belanda. Sebab dengan adanya pembatasan ataupun larangan untuk

berhubungan dengan bangsa lain, maka kemungkinan Paku Buwono X

memberontak sangat kecil, hal ini disebabkan karena tidak adanya bantuan

dari negara lain. RM. Woerjaningrat kemenakan dan bahkan menantu

Paku Buwono X yang duduk dalam pimpinan Sarekat Islam dan pangeran

Hangabehi, salah seorang putra Paku Buwono X diangkat menjadi

pelindung Sarekat Islam diminta untuk meletakkan jabatannya. bahkan

untuk menjaga agar tidak timbul hal-hal yang tidak diinginkan Pangeran

Hangabehi disingkirkan ke negeri Belanda dengan alasan belajar. Selain

itu Banyak kritik dari pejabat Belanda tentang perjalanan Ngideri Buwono

yang dilakukan oleh Sunan yang menimbulkan peningkatan semangat

radikalisme Boedi Oetomo. Belanda memikirkan masalah uang yang

Page 107: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

92

dikeluarkan maupun mengenai efek politik dari invasi ini, karena

meskipun ia dianggap mengadakan perjalanan incognito. Melihat itu,

pemerintah Belanda selalu berusaha untuk mengurangi pengawal Sunan

apabila bepergian.

B. IMPLIKASI

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, maka muncul implikasi yang

dapat dipandang dari berbagai segi:

1. Teoritis

Awal abad ke-20 merupakan suatu periode awal bangkitnya pergerakan

serta perubahan struktur sosial kemasyarakatan oleh pemerintah kolonial.

Nasionalisme yang muncul di Indonesia pada dasarnya sama dengan nasionalisme

di Asia. Tumbuhnya nasionalisme di Indonesia merupakan bentuk dari reaksi atau

antithesis terhadap kolonialisme, yang bermula dari cara eksploitasi yang

menimbulkan pertentangan kepentingan yang permanen antara penjajah dan yang

di jajah. Keraton Surakarta dianggap sebagai pembawa panji gerakan nasional

yang mana sangat mempertinggi kedudukan Sinuhun. Sunan memiliki andil besar

dalam pergerakan kebangsaan dengan mengayomi organisasi-organisasi politik di

Surakarta, yaitu dalam organisasi Sarekat Islam dan Boedi Oetomo.

2. Praktis

Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari

peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X.

Sebagai sebuah negara yang berdaulat, pemerintah Hindia-Belanda tentu sangat

memperhitungkan kekuatan politik keraton di mata rakyat. Paku Buwono X

merupakan suatu sosok kekuasaan “Jawa” yang tak tampak disekelilingnya setiap

hari dibangun wibawa. Keterlibatan Sinuhun dengan organisasi nasional yang ada

di Surakarta ini suatu hal yang sangat besar dan dampaknya pun dapat dirasakan

secara meluas baik di Surakarta sendiri maupun daerah-daerah disekitarnya. Figur

Sinuhun masih merupakan daya tarik bagi masyarakat.

Page 108: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

93

C. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, diajukan saran sebagai

berikut:

1. Bagi mahasiswa sejarah dan generasi muda, semoga penelitian ini akan

dapat digunakan sebagai salah satu literatur dalam memahami masalah

yang terjadi di Indonesia, khususnya Surakarta. Dengan demikian

mahasiswa tidak hanya memiliki pengetahuan yang monoton terutama

yang berkaitan dengan sejarah Surakarta yang sebenarnya cukup

kompleks.

2. Kepada pengelola perpustakaan program studi Sejarah, mohon referensi

buku tentang sejarah Surakarta, khususnya tentang tokoh-tokoh yang

mempunyai peranan penting di Surakarta ditambah, karena masih sulit

mencari sumber tentang tokoh-tokoh Surakarta di sana.

3. Bagi pemerintah kota Surakarta hendaknya menjaga dan melestarikan

peninggalan-peninggalan Paku Buwono X serta meneladani jiwa

nasionalisme Paku Buwono X bagi perkembangan Surakarta.

Page 109: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

94

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ari Dwipana, AA GN. 2004. Bangsawan dan Kuasa Kembalinya Para Ningrat

dari Dua Kota. Yogyakarta: IRE Press.

Arifin, MT, dkk. 2005. Kajian Sejarah Mikro Sebagai Muatan Lokal. Surakarta:

Sebelas Maret University Press.

Badri Yatim. 1999. Soekarno, Islam, dan Nasionalisme. Jakarta : Logos Wacana

Ilmu.

Cahyo Budi Utomo, 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia. IKIP

Semarang Press.

Darsiti Soeratman. 2000. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939.

Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional

Surakarta. Jakarta: CV. Ilham Bangun Karya.

Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana

Ilmu.

Gottchalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta : UI Press.

Helius Syamsudin. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta : Jalan Pintu Satu,

Direktorat jendral dikti depdikbud.

Houben, Vincent J. H. 2002. Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta,

1830-1870. Terjemahan E. Setiawati Alkhatab. Yogyakarta: Bentang

Budaya, KITLV.

Hutauruk. 1984. Gelora Nasionalisme Indonesia. Jakarta : Erlangga.

Isjwara. F. 1982. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Binacipta

Kahin, George Mc. 1995. Nasionalisme Dan Revolusi Indonesia. Surakarta: UNS-

Press.

Kansil, C. S. T & Julianto. 1984. Sejarah Perjuangan Kebangsaan Indonesia.

Jakarta : Erlangga.

Page 110: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

95

Karno. 1990. Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinuhun Sri Susuhunan Paku

Buwono X 1893-1939. Jakarta.

Kartini Kartono. 1983. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta : Raja Grafindo

Persada.

Koentjaraningrat. 1986. Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta : Gramedia.

. 1997. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta. Gramedia.

Kohn. Hans. 1961. Nasionalisme. Arti dan Sejarahnya. Jakarta: PT Pembangunan.

Korver, A.P.E. 1985. Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil?, Jakarta: Grafiti Pers.

Kuntowijoyo. 1995. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

. 2004. Raja, Priyayi, Dan Kawula. Yogyakarta: Ombak.

Larson, George D. 1990. Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan

Politik di Surakarta, 1912-1942. Terjemahan Dr. A. B. Lapian.

Yogyakarta : UGM Pres.

Miriam Budihardjo. 1984. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Moedjanto, G. 1988. Indonesia Abad Ke-21 I, Dari Kebangkitan Nasional Sampai

Linggarjati, Yogyakarta: Kanisius.

Muhammad Hawari. 2003. Politik Partai. Merentas Jalan Baru Perjuangan

Partai Politik Islam. Terjemahan. Bogor: Idea Pustaka.

Mulyadi, Hari M, dkk. 1999. Runtuhnya Kekuasaan “Keraton Alit” (Studi

Radikalisasi Sosial “Wong Sala” dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta).

Surakarta: Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan.

Nagasumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia Budi Utomo 1908-

1918. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Nugroho Notosusanto. 1971. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Depdikbub

. 1986. Norma-Norma Dasar Penelitian Dan Penulisan

Sejarah. Jakarta: Dephankam.

Pringgodigdo. 1994. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta : Dian

Rakyat.

Page 111: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

96

Pemberton, John. 2003. “Jawa” On The Subject Of Java. Terjemahan Hartono

Hadikusumo.Yogyakarta: Mata Bangsa.

Poesponegoro, Marwati Djoened &Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional

Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.

Purwadi, dkk. 2009. Sri Susuhunan Paku Buwono X Perjuangan, Jasa &

Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa. Jakarta: Bangun Jasa.

Ricklefs, 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Press.

Ritzer, George. 2004. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan Alimandan. Jakarta:

Prenada Media.

Sajid. 1984. Babad Sala. Surakarta: Rekso Pustoko Mangkunegaran.

Sargent, Lynan Tower. 1987. Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer. Jakarta:

Gramedia.

Sartono Kartodirjo. 1984. Pengantar Sejarah Nasional : Dari Emporium ke

Imperium. Jakarta : Balai Pustaka.

. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.

Jakarta: Gramedia.

Scherer, Savitri Prastiti. 1985. Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-

pemikiran priyayi nasionalisme jawa awal abad XX. Terjemahan Jiman S.

Rumbo. Jakarta: Sinar Harapan.

Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-

1926. Terjemahan Hilmar Farid. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta : Bathara.

Soerjono Soekanto. 1986. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada :

Jakarta.

Sudiyo. 1997. Perhimpunan Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta dan Bina Adi

Aksara.

Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan 1830-1930.

Yogyakarta: Tiara Wacana.

. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional Dari Budi Utomo Sampai

Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Liberty.

Page 112: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

97

Suhartoyo Hardjosatoto. 1985. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia : Suatu

Analisis Ilmiah. Yogyakara: Liberti.

Van Miert, Hans. 2003. Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme Dan Gerakan

Pemuda Di Indonesia, 1918-1930. Terjemahan Sudewo Satiman. Jakarta:

Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, KITLV.

Van Niel, Robert. 1984. Munculnya Elite Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka

Jawa.

. 2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta: PT. Pustaka

LP3ES.

B. Makalah

Hermanu Joebagio. 2010. Merajut Nusantara: Menguak Peran Paku Buwono X

dalam Gerakan Islam dan Kebangsaan di Surakarta. Makalah Seminar

Bertajuk “Manggali Nilai-Nilai Kepahlawanan, Kebangsaan dan

Keteladanan Sri Susuhunan Paku Buwono X” 2010, 1-16.

C. Intenet

http://www.yudhieharyono.com/?p=343,/16 Februari 2010.

http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta#Geografi,/9 Juni 2010

http://www.gcmtoy.com/Pakubuno.htm

Page 113: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

98

LAMPIRAN

Page 114: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

99

Lampiran 1

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

(http://wisatasolo.netne.net/wisata.html)

Page 115: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

100

Lampiran 2

Lambang Keraton Kasunanan Surakarta

(http://www.gimonca.com/sejarah/sejarah06.shtml)

Page 116: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

101

Lampiran 3

Paku Buwono X

Raja Keraton Kasunanan Surakarta (1893-1939)

(http://smansalingga82.wordpress.com/2010/02/21/ruasia-kagagahan-raja-nu-

ngagaduhan-45-garwa/)

Page 117: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

102

Lampiran 4

Paku Buwono X dan Kanjeng Ratu Mas (Permaisuri Paku Buwono X)

(http://www.gcmtoy.com/Pakubuno.htm)

Page 118: digilib.uns.ac.id/Peran-Paku...digilib.uns.ac.idAuthor: Indri Retno SutopoPublish Year: 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

103

Lampiran 5

Sunan Paku Buwono X dan Residen de Vogel (1897)

(http://indonesian-history.blogspot.com/2009/05/history-of-dutch-in-

indonesia.html)