parlemen.netparlemen.net/wp-content/uploads/2016/04/DRAFT-ARGUMENT-GABUNGAN... · No Draft DPRD NAD...

167
www.parlemen.net No Draft DPRD NAD RUU PA (PEMERINTAH) Argumentasi/ Rasionalisasi RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ........ TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang; b. bahwa salah satu karakter khas dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh adalah adanya ketahanan dan daya juang yang bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. bahwa syari’at Islam sebagaimana yang diyakini oleh masyarakat Aceh, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara kaffah. d. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum mampu sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan dan penegakan Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

Transcript of parlemen.netparlemen.net/wp-content/uploads/2016/04/DRAFT-ARGUMENT-GABUNGAN... · No Draft DPRD NAD...

www.parlemen.net

No Draft DPRD NAD RUU PA (PEMERINTAH) Argumentasi/ Rasionalisasi

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR ........ TAHUN 2006

TENTANG

PEMERINTAHAN ACEH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang;

b. bahwa salah satu karakter khas dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh adalah adanya ketahanan dan daya juang yang bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. bahwa syari’at Islam sebagaimana yang diyakini oleh masyarakat Aceh, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara kaffah.

d. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum mampu sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan dan penegakan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

hak asasi manusia;

e. bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 belum sepenuhnya dapat mengakomodir aspirasi rakyat Aceh secara komprehensif;

f. bahwa implementasi Nota Kesepahaman Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM tanggal 15 Agustus 2005 sebagai upaya penyelesaian konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat, memerlukan adanya pembaruan ketentuan hukum tentang penyelenggaraan Pemerintah Aceh;

g. bahwa dalam menjalankan pemerintahan Nanggroe Aceh Darusalam di pandang perlu diberikan kewenangan pemerintahan sendiri sesuai dengan semangat dan butir-butir yang terkandung dalam Nota Kesepahaman Helsinki tanggal 15 Agustus 2005 yang diatur dengan Undang-undang;

h. bahwa untuk menjalankan Pemerintah Aceh perlu dikelola dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance);

i. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g dan huruf h perlu ditetapkan undang-undang tentang Pemerintah Aceh;

Mengingat :

1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18A, Pasal 18B dan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103);

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2218), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penenaman Modal Asing;

4. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2853), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970 (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944);

5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3260);

6. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3319);

7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495);

8. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647);

9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);

10. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Indonesia Nomor 3886);

11. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3888);

12. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893);

13. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026);

14. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Pelabuhan Bebas Sabang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 525, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4054);

15. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);

16. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168);

17. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251);

18. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Republik Indonesia Nomor 4301);

19. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);

20. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);

21. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

22. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4401);

23. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);

24. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANGPEMERINTAHAN ACEH.

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG

BAB I KETENTUAN UMUM

PEMERINTAHAN ACEH. BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang Undang ini yang dimaksudkan dengan :

1. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Aceh adalah merupakan suatu wilayah yang diberi kewenangan pemerintah sendiri dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Gubernur atau nama lain, yang batas-batasnya merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.

3. Pemerintah Aceh adalah pemerintahan sendiri yang diwujudkan melalui suatu proses demokratis dan adil untuk menyelenggarakan urusan Pemerintahan Aceh dalam Negara dan konstitusi Republik Indonesia, yang dipimpin oleh Gubernur atau nama lain.

4. Kabupaten adalah bagian wilayah Aceh yang dipimpin oleh seorang bupati dan memiliki hak untuk mengatur urusan rumah tangga kabupaten secara otonom.

5. Kota adalah bagian wilayah Aceh yang dipimpin oleh seorang walikota dan memiliki hak untuk mengatur urusan rumah tangga kota secara otonom.

6. Kecamatan adalah suatu wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten/kota dalam

Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksudkan dengan: 1. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah,

adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Kabupaten/Kota adalah bagian dari daerah provinsi sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 1 Angka (2) dan Angka (3) draft RUU DPRD NAD dipertahankan, dengan alasan sbb: a. “Istilah pemerintahan sendiri”

artinya mengurus secara mandiri urusan/kewenangan yg tlh diakui sbg kewenangan Aceh. Jadi tdk dimaksudkan sbg upaya memisahkan diri dr NKRI. Istilah ini juga tlh lama dikenal dlm rangka pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Istilah ini tlh dipakai sejak thn 1903 dlm “desentralisasi wet” tgl 23 Juli 1903.

b. Istilah pemerintahan sendiri juga dikenal dlm khasanah perundang-undangan NKRI yaitu dlm UU No. 22 thn 1948 ttg Penetapan Aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

penyelenggaraan pemerintahan kecamatan.

7. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah camat yang dipimpin oleh imum mukim atau nama lain.

8. Gampong atau nama lain adalah suatu wilayah yang dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang merupakan kesatuan masyarakat yang berada di bawah mukim dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.

9. Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain Aceh adalah Kepala dan Wakil Kepala Pemerintah Aceh.

10. Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota adalah Kepala dan Wakil Kepala Pemerintahan kabupaten/kota.

11. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang selanjutnya disebut DPRA dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut DPRK adalah lembaga pelaksana kekuasaan legislatif Aceh dan Kabupaten/Kota yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum secara langsung.

12. Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota adalah lembaga peradilan yang mengadili perkara-perkara yang berkenaan dengan pelaksanaan syari’at Islam.

4. Pemerintahan Aceh adalah penyelenggaraan urusan

penierintahan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh di daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada angka 2.

5. Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.

6. Kabupaten adalah bagian wilayah Aceh yang dipimpin oleh seorang Bupati dan memiliki hak untuk mengatur urusan rumah tangga kabupaten secara otonom.

7. Kota adalah bagian wilayah Aceh yang dipimpin oleh seorang Walikota dan memiliki hak untuk mengatur

Sendiri di Daerah-Daerah yg berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dlm konsideran menimbangnya juga menyebutkan “bahwa perlu ditetapkan UU berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar yg menetapkan Pokok-pokok tentang Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yg berhak mengatur dan Mengurus rumah tangganya sendiri.

c. Penggunaan istilah Pemerintahan Sendiri juga dimaksudkan untuk memberikan kekhususan/keistimewaan yang membedakan pelaksanaan otonomi untuk Aceh dgn daerah-daerah lain.

Pasal 1 Angka (4) RUU PA Pemerintah tidak dapat diterima dengan alasan sbb: a. bertentangan dgn point 1.4.1.

MoU Helsinki yg secara tegas mengatakan ada pemisahan kekuasana antara eksekutif dan legislatif.

b. Point-point dlm MoU menurut penjelasan pemerintah, tdk bertentangan dgn UUD 1945 dan sistem hukum Indonesia.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

13. Komisi Independen Pemilihan selanjutnya disebut KIP adalah KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRA, DPRK, Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.

14. Majelis Permusyawaratan Ulama selanjutnya disebut MPU adalah Lembaga Independen dan merupakan mitra sejajar Pemerintah dan DPRA.

15. Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan rakyat sebagai alat pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya, yang dipimpin oleh seorang wali nanggroe.

16. Partai Politik Lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh kelompok-kelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan agama, masyarakat, bangsa dan negara.

urusan rumah tangga kota secara otonom. 8. Pemerintah Aceh adalah unsur penyelenggara

pemerintahan Aceh yang terdiri atas Gubemur atau nama lain dan perangkat Aceh.

9. Gubemur atau nama lain adalah kepala pemerintah Aceh yang dipilih melalui suatu proses demokratis dan adil.

10. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah unsur penyelenggara pemerintahan kabupaten/kota yang terdiri atas Bupati/Walikota dan perangkat kabupaten/kota.

11. Bupati/Walikota adalah kepala pemerintah kabupaten/kota yang dipilih melalui suatu proses demokratis dan adil.

12. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang selanjutnya

disingkat DPRA adalah unsur penyelenggara pemerintahan Aceh yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum secara langsung,

13. Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat DPRK adalah unsur penyelenggara pemerintahan kabupaten/kota yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum secara langsung.

14. Komisi Independen Pemilihan selanjutnya disingkat KIP adalah KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan Gubernur/Wakil Gubemur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota.

15. Partai Politik Lokal adalah organisasi politik yang

Pasal 1 Angka (13) RUU PA DPRD NAD perlu dipertahankan dgn alasan: - menghindari adanya dualisme

pelaksana pemilihan umum di Aceh

- efisiensi dlm penggunaan dana, sumber daya, dan fasilitas

- perbedaan nama pelaksana pemilihan masih dpt diakomodir dlm RUU pemilihan umum/ RUU tentang KPU yg akan di revisi.

- Bahwa ini merupakan ciri kekhususan Aceh sebagaimana diperkenalkan oleh UU no. 18 thn 2001 dan Pasal 226 Ayat (3) UU no. 32 thn 2004.

Pasal 1 Angka (12) RUU PA Pemerintah tdk dpt diterima krn: a. bertentangan dgn point 1.4.1.

MoU Helsinki yg secara tegas mengatakan ada pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.

b. Pengertian ini mengaburkan fungsi DPRA sebagai pelaksana kekuasan legislatif Aceh.

c. Pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif berguna untuk: a. Mencegah intervensi antar

lembaga

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

17. Qanun Aceh adalah produk perundang-undangan yang mengatur hal ikhwal penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat dalam lingkungan Pemerintahan Aceh sebagai peraturan pelaksanaan Undang-undang ini.

18. Qanun Kabupaten/Kota adalah produk perundang-undangan yang mengatur hal ikhwal penyelenggaraan Pemerintahan dan kehidupan masyarakat dalam lingkungan kabupaten/kota.

dibentuk oleh kelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan agama, masyarakat, bangsa dan negara.

16. Mahkamah Syar'iyah Aceh dan Mahkamah Syar'iyah kabupaten/kota adalah lembaga peradilan yang mengadili perkara-perkara yang berkenaan dengan pelaksanaan syari'at Islam.

17. Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya.

18. Kecamatan adalah suatu wilayah kerja camat sebagai perangkat kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan.

19. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan memiliki harat kekayaan sendiri yang dipimpin oleh imum mukim atau nama lain berkedudukan langsung di bawah camat.

20. Gampong atau nama lain adalah suatu wilayah yang dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang merupakan kesatuan masyarakat yang berada di bawah mukim dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.

21. Majelis Permusyawaratan Ulama selanjutnya disingkat MPU adalah majelis yang anggotanya terdiri dari ulama dan intelektual muslim yang merupakan mitra Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

22. Peraturan perundang-undangan adalah produk hukum tertulis yang disahkan/ditetapkan oleh Pemerintah.

23. Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat bagi Aceh yang tingkatannya sama dan setara dengan Peraturan Dacrah Provinsi.

b. Meningkatkan profesionalisme lembaga

c. Optimalisasi fungsi pengawasan

Pasal 1 Angka (17) RUU PA DPRD NAD tetap merupakan substansi yg harus dipertahankan karena: a. merupakan ciri khas

kekhususan yg sudah diperlakukan pd UU nomor 18 thn 2001

b. pelaksanaan UU ini jika bukan diatur secara langsung dgn Qanun akan memberi dampak kpd alur birokrasi yg terlalu panjang dan berbelit.

c. jika pemerintah keberatan atas substansi Qanun dpt melakukan yudisial review melalui mekanisme yg ada.

d. Dgn setara antara Qanun dgn Perda, dipahami bahwa kekuatan hukum pd pelaksanaan UU ini tdk ada dan tidak mengikat pemerintah.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

24. Qanun kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat bagi kabupaten/kota yang tingkatannya sama dan setara dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota.

25. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjut disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan negara.

26. Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh yang selanjut disingkat APBA adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Aceh yang ditetapkan dengan Qanun Aceh.

27. Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota yang selanjut disingkat APBK adalah adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Kabupaten/Kota yang ditetapkan dengan Qanun Kabupaten/Kota.

BAB IIBENTUK DAN SUSUNAN ACEH

Pasal 2

1. Aceh adalah suatu pemerintahan sendiri yang diberi kewenangan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Gubernur atau nama lain, yang batas-batasnya merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.

2. Aceh terdiri atas daerah kabupaten/kota yang masing-masing sebagai daerah otonom.

3. Daerah kabupaten/kota terdiri atas kecamatan-kecamatan.

4. Kecamatan terdiri atas mukim-mukim.

5. Mukim terdiri atas gampong-gampong.

BAB II PEMBAGIAN ACEH DAN KAWASAN KHUSUS

Pasal 2

(1) Aceh terdiri atas kabupaten/kota. (2) Kabupaten/kota terdiri atas kecamatan-kecamatan. (3) Kecamatan terdiri atas mukim-mukim. (4)Mukim terdiri alas kelurahan dan gampong-gampong.

Judul BAB II Draft RUU PA DPRD NAD tetap dipertahankan. - karena dibawah judul

tersebut ada ruang untuk mengatur bentuk pemerintahan Aceh yg berbeda dgn bentuk pemerintahan di Provinsi lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1).

Pasal 2 Ayat (4) RUU PA pemerintah ”ketentuan tentang

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

lembaga Kelurahan” bertentangan dgn UU nomor 18 tahun 2001 dan juga dgn Qanun-Qanun yg telah berlaku efektif di Aceh.

Pasal 3

1. Pemerintah Aceh bersama-sama Pemerintah berbatasan lainnya dapat membentuk kawasan-kawasan strategis yang menunjang kebutuhan pengembangan ekonomi, konservasi dan lingkungan hidup, cagar budaya dan kebutuhan-kebutuhan strategis lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

2. Pemerintah Aceh dan/atau bersama-sama Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk kawasan-kawasan strategis untuk kebutuhan pengembangan ekonomi, konservasi dan lingkungan hidup, cagar budaya dan kebutuhan-kebutuhan strategis lainnya yang ditetapkan dengan Qanun Aceh.

Pasal 3 (1) Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di Aceh

dan atau kabupaten/kota untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus.

(2) Dalam pembentukan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah wajib mengikutsertakan Pemerintah Aceh dan atau Pemerintah kabupaten/kota.

(3) Pemerintah Aceh bersama pemerintah kabupaten/kota dapat mengusulkan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mendapat persetujuan DPRA/DPRK.

(4) Kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas diatur dengan undang-undang.

(5) Kawasan khusus selain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(6) Tata cara penetapan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai peraturan perundang-undangan.

Dalam MoU, semua kewenangan pelayanan publik diserahkan pengaturannya kpd pemerintah Aceh krn itu Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2) Draft RUU PA DPRD NAD tetap dipertahankan: - membuka kemungkinan bagi

pembentukan kawasan khusus antar daerah provinsi dan kabupaten/kota.

- percepatan pembangunan ekonomi

- percepatan pelayanan publik - demokratisasi ekonomi - deregulasi peraturan perundang-

undangan yg bersifat sentralistis, sesuai dgn semangat reformasi.

Pasal 4

Aceh terletak pada koordinat 2o – 6o lintang utara dan 95o

– 98o lintang selatan, yang disesuaikan dengan batas tanggal 1 Juli 1956, yaitu: a. sebelah utara dengan Selat Malaka. b. sebelah timur dengan Selat Malaka.

Pasal 4

Aceh mempunyai batas-batas: a. sebelah Utara dengan Selat Malaka; b. sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara;

Titik koordinat dlm pasal 4 Draft RUU PA DPRD NAD perlu dipertahankan karena : - menghindari adanya konflik antar

provinsi - memudahkan break down dlm

tata ruang provinsi maupun

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

c. sebelah barat dengan Samudera Indonesia. d. sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera Utara.

c. sebelah Timur dengan Selat Malaka, dan d. sebelah barat dengan Samudera Indonesia.

kabupaten/kota - selama inipun Aceh dlm setiap

dokumen daerah tetap menyebutkan titik koordinat.

- Merujuk pada UU nomor 24 thn 1956 ttg pembentukan propinsi Atjeh dan secara faktual batas-batas tersebut sesuai dgn UU tersebut.

Pasal 5

Pembentukan, penghapusan dan penggabungan kabupaten/kota, kecamatan, mukim dangampong/kelurahan sesuai peraturan perundang-undangan.

Istilah “Kelurahan” dalam Pasal 5 RUU PA Pemerintah harus dihilangkan karena dlm susunan pemerintahan sesuai dgn Pasal 2 UU no. 18 thn 2001 tdk lagi dikenal istilah kelurahan.

BAB IIIKAWASAN PERKOTAAN

Pasal 5

1. Kawasan perkotaan dapat berbentuk :

a. kota sebagai daerah otonom;

b. bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan;

c. bagian dari dua atau lebih kabupaten/kota yang berbatasan langsung dan memiliki ciri perkotaan.

2. Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelola oleh Pemerintah Kota.

3. Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikelola oleh pemerintah kabupaten atau lembaga pengelola yang dibentuk dan bertanggungjawab kepada Pemerintah Kabupaten

BAB III KAWASAN PERKOTAAN

Pasal 6

(1) Kawasan perkotaan dapat berbentuk: a. kota sebagai daerah otonom; b. bagian kabupaten yang memiliki ciri perkotaan;

dan c. bagian dari dua atau Iebih kabupaten/kota yang

berbatasan Iangsung dan memiliki ciri perkotaan.

(2) Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelola oleh pemerintah kota.

(3) Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikelola oleh pemerintah kabupaten atau lembaga pengelola yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada pemerintah kabupaten yang bersangkutan.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

yang bersangkutan.

4. Penataan ruang dan penyediaan fasilitas pelayanan umum tertentu di kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikelola bersama oleh kabupaten/kota terkait.

5. Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk Badan Pengelolaan Pembangunan di kawasan gampong yang direncanakan dan dibangun menjadi kawasan perkotaan.

6. Pemerintah Kabupaten/Kota mengikutsertakan masyarakat dalam perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan kawasan perkotaan.

7. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Qanun Aceh.

(4) Penataan ruang dan penyediaan fasilitas pelayanan umum tertentu di kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikelola bersama oleh kabupaten/kota terkait.

(5) Pemerintah kabupaten/kota dapat membentuk badan pengelolaan pembangunan di kawasan gampong yang direncanakan dan dibangun menjadi kawasan perkotaan.

(6) Pemerintah kabupaten/kota mengikutsertakan masyarakat dalam perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan kawasan perkotaan.

(7) Pelaksanaan kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) diatur dengan Qanun Aceh.

BAB IVKEWENANGAN ACEH

Pasal 6

(1) Aceh berwenang dalam semua sektor publik, kecuali dalam bidang-bidang yang menjadi kewenangan pemerintah.

(2) Kewenangan pemerintah dalam sektor publik adalah dalam bidang politik luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, moneter dan fiskal nasional dan kekuasaan kehakiman.

(3) Kewenangan pemerintah sebagaimana dimaksud

BAB IV KEWENANGAN ACEH DAN

KEWENANGAN KABUPATEN/KOTA

Pasal 7 (1) Aceh dun kabupaten/kota berwenang untuk mengatur

dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.

Judul BAB IV Draft RUU PA DPRD NAD tetap dipertahankan karena judul tersebut lebih memberikan kewenangan dalam mengatur kewenangan kabupaten/kota. Pasal 6 Ayat (1) Draft RUU PA DPRD NAD : Kewenangan Aceh di semua sektor publik, tidak hanya mengatur urusan pemerintahan, kecuali yg menjadi kewenangan pemerintah.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

pada ayat (2) dapat dilimpahkan sebagian atau seluruhnya kepada pemerintah Aceh atau pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta urusan tertentu dalam bidang agama.

(3) Disamping kewenangan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) terdapat urusan pemerintahan lain yang oleh peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai kewenangan Pemerintah.

Pasal 7 Ayat (2) RUU PA Pemerintah harus diperbaiki karena tidak sejalan dgn MoU. Karena itu Pasal 7 ayat (2) RUU PA Pemerintah ini, sebaiknya mengacu pada MoU point 1.1.2.a, yaitu bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama. Pasal 7 Ayat (3) RUU PA Pemerintah harus ditolak karena: a. ditambahkannya kewenangan

lain pemerintah pusat yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menambah kewenangannya secara tidak terbatas.

b. bertentangan dengan MoU angka 1.1.2 a.yang secara tegas menyebutkan kewenangan pemerintah yang terbatas pada 6 bidang, sedangkan selebihnya menjadi kewenangan pemerintah Aceh. Ketentuan ini juga lebih sempit dibandingkan dengan UU no.32 tahun 2004. (ketentuan ini mengingatkan kita pada UU No.22 tahun 1999, yang direalisasikan dengan PP 25 tahun 2000).

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(4) Pelimpahan kewenangan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai dana, penyerahan sarana dan prasarana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 6 Ayat (4) draft RUU PA DPRD NAD harus tetap dipertahankan, mengingat pelimpahan kewenangan dari pemerintah kpd pemerintah Aceh itu bermakna bertambahnya urusan yg hrs dikelola di daerah karena itu jika ada pelimpahan kewenangan tidak disertai penyerahan dana, sarana dan prasarana dpt dipahami sbg upaya tidak memberdayakan daerah, tidak demokratis, dan tidak sesuai dgn semangat otonomi.

Pasal 7

(1) Perjanjian internasional yang terkait dengan kepentingan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah harus dengan konsultasi dan persetujuan DPRA.

(2) Rancangan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan DPRA.

(3) Kebijakan-kebijakan administratif yang terkait dengan Aceh yang dibuat oleh pemerintah harus dengan konsultasi dan persetujuan Gubernur atau nama lain.

(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 8

(1) Rencana persetujuan internasional yang terkait kepentingan khusus Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan DPRA.

(2) Rencana keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait kepentingan khusus Aceh dilakukan dengan dikonsultasi dan persetujuan DPRA.

(3) Kebijakan administratif yang terkait kepentingan khusus Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan Gubernur.

(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 8

(1) Aceh dapat mengadakan kerjasama dengan negara, lembaga atau badan di luar negeri.

(2) Pemerintah Aceh dan lembaga-lembaga lainnya di Aceh dapat bekerjasama secara langsung dengan badan-badan Perserikatan Bangsa-bangsa tertentu dan badan-badan dunia lainnya.

(3) Lembaga-lembaga di Aceh dapat menjadi anggota dari badan-badan Perserikatan Bangsa-bangsa tertentu dan badan-badan dunia lainnya.

(4) Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, kebudayaan dan olah raga internasional.

(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 9

(1) Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah.

(2) Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, kebudayaan dan olah raga internasional.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 8 Ayat (1) Draft RUU PA DPRD NAD : Yang dimaksud kerjasama dgn negara disini adalah kerjasama dalam bidang-bidang diluar dari kewenangan Pemerintah (politik luar negeri). Pasal 9 Ayat (3) RUU PA Pemerintah yg mengharuskan pengaturan dgn peraturan presiden dirasa akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya dan juga berbau sentralistis. Oleh karenanya pengaturan ini cukup dgn Qanun Aceh.

Pasal 9

(1) Aceh berwenang untuk membentuk Lembaga, Badan/atau Komisi sesuai dengan kebutuhan.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 10 (1) Pemerintah Aceh dapat membentuk lembaga,

badan/atau komisi menurut undang-undang ini, kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah.

(2) Pembentukan lembaga, badan atau komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

BAB V

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN

Pasal 10

(1) Pemerintah Aceh menyelenggarakan semua urusan publik yang menjadi kewenangannya, kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2).

(2) Dalam menyelenggarakan urusan publik yang menjadi kewenangan Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh mengatur, menjalankan dan mengurus sendiri urusan pemerintahan Aceh.

(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah yang tidak termasuk kewenangan pemerintah Aceh dapat :

a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;

b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur atau nama lain sebagai Wakil Pemerintah; atau

c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan Kabupaten/Kota dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

BAB V PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN

Pasal 11

(1) Aceh menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).

(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dan diurus sendiri oleh Aceh.

(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah yang tidak termasuk kewenangan Aceh dan Pemerintahan kabupaten/kota, dapat dilakukan melalui:

a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;

b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah; atau

c. menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintahan Aceh dan/atau Pemerintahan kabupaten/kota dan/atau pemerintahan gampong berdasarkan asas tugas pembantuan.

Pasal 10 Ayat (1) Draft RUU DPRD NAD tetap dipertahankan karena sejalan dgn MoU.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 12

(1) Pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Pemerintahan Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 yang belum diatur dalam undang-undang ini, akan diatur lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/kota diatur lebih lanjut dengan Qanun Aceh.

(3) Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) difasilitasi oleh Pemerintah.

Pasal 12 Ayat (1) RUU PA Pemerintah dihapus karena: a. bisa mengeliminir semua

ketentuan yg ada dalam Pasal 6 Draft RUU PA DPRD NAD tentang kewenangan Aceh.

b. Ketentuan ini sama dengan ketentuan UU No.22 th 1999 yang dilaksanakan dengan PP No.25 Tahun 2000,yang menetapkan kewenangan pemerintah yang tidak terbatas. Dan pasal ini juga sama dengan Pasal 7 Ayat (3) RUU pemerintah, yang jelas-jelas bertentangan dengan dengan MoU point 1.1.2.a., yang menetapkan kewenangan pemerintah terbatas pada 6 bidang yaitu hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan luar, moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama.

Oleh karena itu Pasal 12 Ayat (1) RUU PA Pemerintah harus dihapuskan.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 11

1. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria efesiensi, efektifitas, akuntabilitas dan transparansi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.

2. Penyelenggaraan urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Aceh, Kabupaten dan Kota atau antar-pemerintahan Aceh dengan pemerintahan daerah lainnya yang saling terkait dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan.

3. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan Daerah yang diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

4. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dengan standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 13 (1) Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 12 dilakukan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.

(2) Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pelaksanaannya merupakan hubungan yang saling terkait dan sinergis sebagai satu sistem pemerintuhan antara Pemerintah dan Pemerintahan Aceh/kabupaten/ kota atau antar Pemerintahan Aceh/kabupaten/kota dengan pemerintahan daerah lainnya.

(3) Urusan pemerintuhan yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh/kabupaten/kota yang diselenggarakan berdasarkann kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan Urusan pilihan.

(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 12

1. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Pemerintah Aceh disertai dengan pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.

2. Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur atau nama lain disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.

Pasal 14 (1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada

Pemerintahan Aceh dan pemerintah kabupaten/kota disertai dengan pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.

(2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 13

(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh merupakan urusan dalam skala Aceh yang meliputi: a. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan

tata ruang; b. perencanaan dan pengendalian pembangunan; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan

ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber

daya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas

Kabupaten/Kota; h. pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan

ketenagakerjaan lintas Kabupaten/Kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil,

dan menengah termasuk lintas Kabupaten/Kota; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas

Kabupaten/Kota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal

termasuk lintas Kabupaten/Kota; dan o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang

belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota.

(2) Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan khusus Aceh antara lain meliputi: a. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam

bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar-umat beragama;

b. penyelenggaraan kehidupan adat yang

Pasal 15 (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan

Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) merupakan urusan dalam skala Aceh yang meliputi: a. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata

ruang; b. perencanaan dan pengendalian pembangunan; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan

ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber

daya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas

kabupaten/kota; h. pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan

ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan

menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas

kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal

termasuk lintas kabupaten/kota; dan o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang

belum dapat dilaksanakan oleh pemerintahan kabupaten/kota.

(2) Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain:

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

bersendikan agama; c. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas

dan islami; d. peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah;

dan e. penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji.

(3) Urusan Pemerintah Aceh yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata berpotensi meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi.

a. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari'at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar-umat beragama;

b. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama islam;

c. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari'at islam;

d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan

e. penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundangundangan.

(3) Urusan Pemerintahan Aceh yang bersifat pilihan

meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan Aceh yang bersangkutan.

Hak untuk pengelolaan Ibadah Haji di atur dengan Peraturan Perundang-undangan. Meningkatkan Partisipasi diganti dengan kesejahteraan. (Proses di Ganti Hasil)

Pasal 14

(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan Kabupaten/Kota merupakan urusan yang berskala Kabupaten/Kota meliputi: a. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan

tata ruang; b. perencanaan dan pengendalian pembangunan; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan

ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan

Pasal 16 (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan

pemerintahan kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:

a. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata

ruang; b. perencanaan dan pengendalian pembangunan; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan

ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penangaan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial;

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil,

dan menengah; j. pengendalian dan pengawasan lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal

termasuk penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya.

(2) Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan

khusus kabupaten/kota antara lain meliputi: a. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam

bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di kabupaten/kota dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar-umat beragama;

b. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama;

c. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan islami;

d. peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.

(3) Urusan pemerintah kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat termasuk pemulihan psikososial sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan Daerah yang bersangkutan.

h. pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan ketenagakerjaan;

i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;

j. pengendalian dan pengawasan lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; dan n. pelayanan administrasi penanaman modal

termasuk penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya.

(2). Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan khusus Pemerintahan kabupaten/kota adalah pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi: a. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam

bentuk pelaksanaan syari'at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar-umat beragama;

b. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;

c. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari'at islam; dan

d. peran ulama dalam penetapan kebijakan kabupaten/kota.

(3). Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat

pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat termasuk pemulihan psikososial sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan kabupaten/kota yang bersangkutan.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 15

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 sampai dengan pasal 14 diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 17 Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 diatur dalam Qanun Aceh dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Pasal 17 RUU PA Pemerintah, penambahan kalimat berpedoman pada peraturan perundang-undangan dihapus, karena tidak lazim dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.Dalam UU sebelumnya misal UU nomor 44 thn 1999, UU nomor 18 thn 2001, UU 32 thn 2004, UU nomor 10 thn 2004, juga tidak disebutkan secara eksplisit.

BAB VIASAS, BENTUK DAN SUSUNAN PENYELENGARA

PEMERINTAHAN

Pasal 16

Penyelenggaraan Pemerintah Aceh berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang terdiri atas :

a. asas keislaman; b. asas kepastian hukum; c. asas tertib penyelenggara pemerintahan; d. asas kepentingan umum; e. asas keterbukaan; f. asas proporsionalitas; g. asas profesionalitas; h. asas akuntabilitas; i. asas efisiensi; j. asas efektivitas; k. asas kesetaraan, dan l. bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

BAB VI ASAS, BENTUK DAN SUSUNAN PENYELENGGARA

PEMERINTAHAN Pasal 18

Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota berpedoman pada asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri atas:

a. asas keislaman; b. asas kepastian hukum; c. asas kepentingan umum; d. asas tertib penyelenggaraan pemerintahan; e. asas keterbukaan; f. asas proporsionalitas; g. asas profesionalitas; h. asas akuntabilitas; i. asas efisiensi; j. asas efektivitas; k. asas kesetaraan; dan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

l. asas bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Pasal 17

Pemerintah Aceh berbentuk pemerintahan sendiri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 17 draft RUU DPRD NAD dipertahankan, dengan alasan sbb: a. “Istilah pemerintahan sendiri”

artinya mengurus secara mandiri urusan/kewenangan yg tlh diakui sbg kewenangan Aceh. Jadi tdk dimaksudkan sbg upaya memisahkan diri dr NKRI. Istilah ini juga tlh lama dikenal dlm rangka pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Istilah ini tlh dipakai sejak thn 1903 dlm “desentralisasi wet” tgl 23 Juli 1903.

b. Istilah pemerintahan sendiri juga dikenal dlm khasanah perundang-undangan NKRI yaitu dlm UU No. 22 thn 1948 ttg Penetapan Aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yg berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dlm konsideran menimbangnya juga menyebutkan “bahwa perlu ditetapkan UU berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar yg menetapkan Pokok-pokok tentang Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yg berhak mengatur dan Mengurus rumah tangganya sendiri.

c. Penggunaan istilah

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pemerintahan Sendiri juga dimaksudkan untuk memberikan kekhususan/keistimewaan yang membedakan pelaksanaan otonomi untuk Aceh dgn daerah-daerah lain.

Pasal 18

(1) Penyelenggara Pemerintah Aceh adalah Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain dan perangkat pemerintah Aceh.

(2) Penyelenggara Pemerintahan Kabupaten adalah Bupati/Wakil Bupati dan perangkat pemerintah Kabupaten.

(3) Penyelenggara Pemerintahan Kota adalah Walikota/Wakil Walikota dan perangkat pemerintah Kota.

(4) Penyelenggara Pemerintahan Kecamatan adalah Camat dan perangkat pemerintah Kecamatan.

(5) Penyelenggara Pemerintahan Kemukiman adalah Imuem Mukim atau nama lain dan perangkat pemerintah Kemukiman.

(6) Penyelenggara Pemerintahan Gampong adalah Keuchik atau nama lain dan perangkat pemerintah Gampong.

(7) Bentuk dan susunan penyelenggara pemerintahan ditetapkan dengan Qanun Aceh.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 19

(1). Penyelenggara Pemerintahan Aceh terdiri atas Pemerintah Aceh dan DPRA.

(2). Penyelenggara pemerintahan kabupaten/kota terdiri atas pemerintah kabupaten/kota dan DPRK.

(3). Susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota diatur dalam Qanun.

Pasal 19 ayat (1) s/d Ayat (3) Draft RUU PA Pemerintah tidak dapat diterima karena :

a. bertentangan dgn point 1.4.1. MoU Helsinki yg secara tegas mengatakan ada pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.

b. pengertian ini mengaburkan fungsi DPRA sebagai pelaksana kekuasan legislatif Aceh.

BAB VIILEGISLATIF ACEH

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 19

(1) Kekuasaan Legislatif Aceh dilaksanakan oleh DPRA dan kekuasaan legislatif kabupaten/kota dilaksanakan DPRK yang anggotanya dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum.

(2) DPRA dan DPRK mempunyai fungsi legislasi, penganggaran, pengawasan kebijakan daerah dan penyaluran aspirasi rakyat.

(3) DPRA dan DPRK mempunyai hak untuk membentuk alat-alat kelengkapan Dewan sesuai dengan kebutuhan dan kekhususan Aceh.

(4) Jumlah anggota DPRA paling banyak 125% (seratus

BAB VII DPRA DAN DPRK

Bagian Kesatu Umum

Pasal 20 (1). DPRA dan DPRK mempunyai fungsi legislasi,

penganggaran, pengawasan kebijakan provinsi/kabupaten/kota dan penyaluran aspirasi rakyat.

(2). DPRA dan DPRK mempunyai hak untuk membentuk alat-alat kelengkapan DPRA/DPRK sesuai dengan kekhususan Aceh.

(3). Jumlah anggota DPRA paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari yang ditetapkan Undang Undang.

Judul BAB mengikuti rumusan yg tlh disepakati dlm MoU Helsinki (Legislatif Aceh).

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

dua puluh lima persen) dari yang ditetapkan Undang Undang.

Bagian KeduaTugas dan Wewenang

Pasal 20

(1) DPRA mempunyai tugas dan wewenang sebagai

berikut:

a. membentuk Qanun Aceh termasuk Qanun tentang APBA, Perubahan dan Perhitungan APBA yang dibahas dengan Gubernur atau nama lain untuk mendapat persetujuan bersama;

b. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun Aceh dan peraturan perundang-undangan lainnya;

c. melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah Aceh dalam melaksanakan program pembangunan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, penanaman modal dan kerjasama internasional;

d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri;

e. memberitahukan kepada Gubernur atau nama lain dan Komisi Independen Pemilihan (KIP) tentang akan berakhirnya masa jabatan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain;

f. memilih Wakil Gubernur atau nama lain dalam hal terjadinya kekosongan jabatan Wakil Gubernur

Bagian Kedua Tugas dan Wewenang

Pasal 21

(1). DPRA mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:

a. membentuk Qanun Aceh yang dibahas dengan

Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama;

b. melaksanakan pengawasan terhadpelaksanaan Qanun Aceh. dan peraturan pertindang-undangan lainnya;

ap

c. melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh, dalam melaksanakan program pembangunan Aceh, pengelolaan sumber daya

Pasal 20 Ayat (1) Draft RUU PA DPRD NAD huruf a perlu dipertahankan karena: Penegasan Qanun tentang APBA, perubahan dan perhitungannya, diperlukan sebagai konsekwensi adanya hak anggaran (budget) pada DPRA.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

atau nama lain;

g. memberikan pertimbangan dan persetujuan kepada pemerintah Aceh terhadap perjanjian internasional;

h. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan keputusan pemerintah tentang perjanjian internasional yang terkait dengan hal ihkwal kepentingan khusus Aceh;

i. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan keputusan-keputusan DPR RI yang terkait dengan Aceh;

j. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;

k. meminta laporan pertanggungjawaban Gubernur atau nama lain dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan;

l. membentuk Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawasan Pemilihan (Panwas);

m. melakukan pengawasan dan meminta laporan kegiatan dan penggunaan anggaran kepada KIP dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.

(2) Melaksanakan kewenangan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

(3) Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

alam dan sumber daya ekonomi lainnya, penanaman modal dan kerjasama internasional;

d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri;

e. memberitahukan kepada Gubernur dan KIP tentang akan berakhirnya masa jabatan Gubernur /Wakil Gubernur;

f. memilih Wakil Gubernur dalam hal terjadinya

kekosongan jabatan Wakil Gubernur; g. memberikan pendapat dan pertimbangan terhadap

rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh;

h. memberikan pertimbangan dan persetujuan

terhadap rancangan persetujuan internasional yang dibuat oleh Pemerintah terkait dengan kepentingan khusus Aceh;

i. memberikan pertimbangan dan persetujuan

terhadap rancangan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan kepentingan khusus Aceh.

j. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dan/atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;

k. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan;

l. membentuk KIP dan Panitia Pengawasan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pemilihan; dan m. melakukan pengawasan dan meminta laporan

kegiatan dan penggunaan anggaran kepada KIP dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil I3upati dan Walikota/Wakil Walikota.

(2). Melaksanakan kewenangan lainnya yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan. (3). Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 21

(1) DPRK mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:

a. membentuk Qanun Kabupaten/Kota termasuk Qanun tentang APBK, perubahan dan perhitungan APBK yang dibahas dengan Bupati/Walikota untuk mendapat persetujuan bersama;

b. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun kabupaten/kota dan peraturan perundang-undangan lainnya;

c. melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan program pembangunan kabupaten/kota, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, penanaman modal dan kerjasama internasional;

Pasal 22 (1). DPRK mempunyai tugas dan wewenang sebagai

berikut: a. membentuk Qanun kabupaten/kota yang dibahas

dengan Bupati/Walikota untuk mendapat persetujuan bersama;

b. melaksanakan pengawasan terhadappelaksanaan Qanun kabupaten/kota dan peraturan perundang-undangan lainnya;

Penegasan Qanun tentang APBK,perubahan dan perhitungannya,diperlukan sebagai konsekwensi adanya hak anggaran (budget) pada DPRK.

c. melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan program pembangunan kabupaten/kota, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, penanaman modal dan kerjasama internasional;

d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur;

e. memberitahukan kepada Bupati/Walikota dan KIP

Pasal 21 Ayat (1) huruf a, Draft RUU PA DPRD NAD perlu dipertahankan karena:

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur atau nama lain;

e. memberitahukan kepada Bupati/Walikota dan Komisi Independen Pemilihan (KIP) tentang akan berakhirnya masa jabatan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

f. memilih Wakil Bupati/Wakil Walikota dalam hal terjadinya kekosongan jabatan Wakil Bupati/Wakil Walikota;

g. memberikan pendapat, pertimbangan, dan persetujuan kepada pemerintah Kabupaten/Kota terhadap rencana kerjasama internasional di Kabupaten/Kota yang bersangkutan;

h. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;

i. meminta laporan pertanggungjawabanBupati/Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan.

(3). Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengun Qanun kabupaten/kota.

(2) Melaksanakan kewenangan lainnya yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan. (3) Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

mengenai akan berakhirnya masa jabatan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

f. memilih Wakil Bupati/Wakil Walikota dalam hal terjadinya kekosongan jabatan Wakil Bupati/Wakil Walikota;

g. memberikan pendapat, pertimbangan, dan persetujuan kepada pemerintah kabupaten/kota terhadap rencana kerjasama internasional di kabupaten/kota yang bersangkutan;

h. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dan/atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan kabupaten/kota;

i. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Bupati/Walikota dalam penyelenggaraanpemerintahan untuk penilaian kinerjapemerintahan.

(2). Melaksanakan kewenangan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Bagian KetigaHak, Kewajiban dan Kode Etik

Pasal 22

(1) DPRA dan DPRK mempunyai hak :

a. interpelasi; b. angket; c. meminta laporan pertanggungjawaban Gubernur

atau nama lain dan Bupati/Walikota untuk penilaian kinerja;

d. meminta keterangan kepada pemerintah Aceh, Kabupaten/Kota serta pihak-pihak yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

e. mengajukan rancangan Qanun; f. mengajukan pernyataan pendapat; g. mengadakan perubahan atas rancangan Qanun; h. melakukan penyusunan, perubahan dan

perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh;

i. melakukan penyusunan dan pengajuan Anggaran Belanja DPRA sebagai bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh; dan

j. menetapkan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPRA.

(2) Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah diajukan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna.

(3) Dalam menggunakan hak angket sebagaimana

Bagian Ketiga Hak, Kewajiban dan Kode Etik

Pasal 23 (1). DPRA/DPRK mempunyai hak:

a. interpelasi; b. angket; c. mengajukan pernyataan pendapat; d. mengadakan perubahan atas rancangan Qanun; e. membahas dan menyetujui rancangan Qanun

tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh dan kabupaten/kota dengan Gubernur dan atau Bupati/Walikota;

f. melakukan penyusunan dan pengajuan anggaran belanja DPRA/DPRK sebagai bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh dan kabupaten/kota; dan

g. menyusun dan menetapkan peraturan tata tertib dan kode etik DPRA/DPRK.

(2). Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud ayat

(1) huruf b dilakukan setelah diajukan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPRA/DPRK yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRA/DPRK dan putusan yang diambil dengan persetujuan

Pasal 22 Ayat (1) huruf c Draft RUU PA DPRD NAD tidak ada yg bertentangan dengan UU sektoral lainnya, sedangkan LPJ yang termuat dalam huruf c merupakan ciri khas Aceh sesuai dengan yg telah diatur dalam UU otonomi khusus. Pasal 22 Ayat (1) huruf c Draft RUU PA DPRD NAD sebagaimana yg dimaksud tersebut, tidak untuk menjatuhkan Kepala Daerah akan tetapi lebih kepada penilaian kinerja Kepala Daerah oleh DPRA/DPRK sebagai representasi rakyat.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

dimaksud pada ayat (2) dibentuk panitia angket yang terdiri atas unsur DPRA yang bekerja dalam waktu paling lama 60 hari telah menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRA.

(4) Dalam melaksanakan tugasnya panitia angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat memanggil, mendengar dan memeriksa seseorang yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang sedang diselidiki serta untuk meminta menunjukan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.

(5) Setiap orang yang dipanggil, didengar, dan diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib memenuhi panggilan panitia angket kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan.

(6) Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), panitia angket memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(7) Seluruh hasil kerja panitia angket bersifat rahasia.

(8) Tata cara penggunaan hak meminta laporan pertanggungjawaban Gubernur atau nama lain atau Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Qanun Aceh.

(9) Tata cara penggunaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j diatur dalam PeraturanTata Tertib DPRA atau DPRK.

sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRA/DPRK.

(3). Dalam menggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk panitia ungket yang terdiri atas unsur DPRA/DPRK yang bekerja dalam waktu paling lama 60 hari telah menyampaikan basil kerjanya kepada DPRA/ DPRK.

(4). Dalam melaksanakan tugasnya panitia angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat memanggil, mendengar dan memeriksa seseorang yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang sedang diselidiki serta untuk meminta menunjukan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.

(5). Setiap orang yang dipanggil, didengar, dan diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib memenuhi panggilan panitia angket kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan.

(6). Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilansebagaimana dimaksud pada ayat (5), panitia angket memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundangundangan.

(7). Seluruh hasil kerja panitia angket bersifat rahasia. (8). Tata cara penggunaan hak sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf a, huruf g, huruf h, huruf i diatur dalam peraturan tata tertib DPRA/DPRK.

(9). Peraturan tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22 Ayat (8) Draft RUU PA DPRD NAD tetap dipertahankan, sesuai dengan point diatas karena itu merupakan mekanisme LPJ.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 23

(1) Setiap anggota DPRA dan DPRK mempunyai hak: a. mengajukan rancangan Qanun; b. mengajukan pertanyaan; c. menyampaikan usul dan pendapat; d. protokoler; e. keuangan dan administrasi; f. memilih dan dipilih; g. membela diri; dan h. imunitas.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e diatur dengan Qanun Aceh.

(3) Anggota DPRA dan DPRK mempunyai kewajiban:

a. mempertahankan konstitusi Republik Indonesia;

b. mengamalkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 serta mentaati segala peraturan Perundang-undangan;

c. membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh;

d. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di daerah;

e. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya;

f. mentaati peraturan tata tertib, kode etik dan sumpah/janji anggota DPRA;

g. mendahulukan kepentingan negara diatas

Pasal 24 (1). Setiap anggota DPRA/DPRK mempunyai hak:

a. mengajukan rancangan Qanun; b. mengajukan pertanyaan; c. menyampaikan usul dan pendapat; d. protokoler; e. keuangan dan administratif; f. memilih dan dipilih; g. membela diri; dan h. imunitas.

(2). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e diatur dengan Qanun sesuai peraturan perundang-undangan.

(3). Anggota DPRA/DPRK mempunyai kewajiban: a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan;

b. membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota;

c. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat;

d. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya;

e. mentaati peraturan tata tertib, kode etik dan sumpah/janji anggota DPRA/DPRK;

f. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan;

g. memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRA/DPRK sebagai wujud tanggung jawab moral dan politik terhadap daerah pemilihannya; dan

Penambahan kalimat “sesuai peraturan perundang-undangan” dalam pasal 24 Ayat (2) RUU PA Pemerintah tidak perlu, karena sudah menjadi keharusan dalam pembuatan setiap produk hukum di daerah sebagaimana diatur dalam UU sebelumnya misal UU nomor 44 thn 1999, UU nomor 18 thn 2001, UU 32 thn 2004, UU nomor 10 thn 2004, juga tidak disebutkan secara eksplisit.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

kepentingan pribadi, kelompok dan golongan;

h. memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRA sebagai wujud tanggung jawab moral dan politik terhadap daerah pemilihannya; dan

i. menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.

(4) Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA dan DPRK.

h. menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.

(4). Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf f, huruf g, huruf h dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK.

Pasal 24

(1) DPRA dan DPRK wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan anggota DPRA dan DPRK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi: a. pengertian kode etik; b. tujuan kode etik; c. pengaturan sikap, tata kerja dan hubungan antar

penyelenggara pemerintahan daerah dan antar anggota serta antara anggota DPRA dan DPRK serta pihak lain;

d. hal yang baik dan sepantasnya dilakukan oleh anggota DPRA dan DPRK;

e. etika dalam penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, sanggahan; dan

f. sanksi dan rehabilitasi.

Pasal 25 (1). DPRA/DPRK wajib menyusun kode etik untuk

menjaga martabat dan kehormatan anggota DPRA/DPRK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya’

(2). Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi: a. pengertian kode etik; b. tujuan kode etik; c. pengaturan sikap, tata kerja dan hubungan antar

penyelenggara pemerintahan daerah dan antar anggota serta antara anggota DPRA/DPRK serta pihak lain;

d. hal yang baik dan sepantasnya dilakukan oleh anggota DPRA/DPRK;

e. etika dalam penyampaian pendapat, tanggapan,.jawaban, sanggahan; dan

f. sanksi dan rehabilitasi.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Bagian Keempat

Penyidikan dan Penuntutan

Pasal 25

(1) Anggota DPRA dan DPRK tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat DPRA dan DPRK, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPRA dan DPRK.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan.

(3) Anggota DPRA dan DPRK tidak dapat diganti antar waktu karena pernyataan dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPRA dan DPRK.

Bagian Keempat Penyidikan dan Penuntutan

Pasal 26

(1). Anggota DPRA/DPRK tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat DPRA/DPRK, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPRA/DPRK.

(2). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam peraturan perundang-undangan.

(3). Anggota DPRA/DPRK tidak dapat diganti antar waktu karena pernyataan dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPRA/DPRK.

Ditambah tentang ketentuan rahasia negara.

Pasal 26

(1) Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRA dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden bagi anggota DPRA dan dari Gubernur atau nama lain atas nama Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRK.

(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari semenjak diterimanya permohonan, proses penyidikan dapat dilakukan.

Pasal 27

(1). Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRA dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dan Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRK.

(2). Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari semenjak diterimanya permohonan, proses penyidikan dapat dilakukan.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan/moral; atau

b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

(5) Setelah tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan, tindakan penyidikan harus dilaporkan kepada pejabat yang memberikan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.

(3). Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4). Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana

kejahatan; atau b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang

diancam dengan pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

(5). Setelah tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan, tindakan penyidikan harus dilaporkan kepada pejabat yang memberikan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.

Bagian KelimaAlat Kelengkapan DPRA dan DPRK

Paragraf 1

Umum

Pasal 27

(1) Alat kelengkapan DPRA dan DPRK terdiri atas : a. pimpinan; b. komisi; c. panitia musyawarah; d. panitia anggaran; e. badan kehormatan; f. badan perancang dan kajian atau nama lain; dan g. alat kelengkapan lainnya yang diperlukan.

Bagian Kelima Alat Kelengkapan DPRA/DPRK

Paragraf 1 Umum

Pasal 28 (1). Alat kelengkapan DPRA/DPRK terdiri atas:

a. pimpinan; b. komisi; c. panitia musyawarah; d. panitia anggaran; e. badan kehormatan; f. badan perancang dan kajian atau nama lain; dan g. alat kelengkapan lainnya yang diperlukan.

(2). Pembentukan, susunan, tugas dan wewenang alat

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(2) Pembentukan, susunan, tugas dan wewenang alat

kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA dan DPRK.

kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK.

Paragraf 2Komisi

Pasal 28

(1) DPRA dapat membentuk sekurang-kurangnya 5 (lima)

komisi/badan dan sebanyak-banyaknya 8 (delapan) komisi/badan.

(2) DPRK yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi, yang beranggotakan lebih dari 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 5 (lima) komisi.

Paragraf 2 Komisi

Pasal 29 (1). DPRA/DPRK dapat membentuk sekurang-kurangnya

5 (lima) komisi dan sebanyakbanyaknya 8 (delapan) komisi.

(2). DPRA/DPRK yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi, yang beranggotakan Iebih dari 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 5 (lima) komisi.

Paragraf 3Badan Kehormatan DPRA dan DPRK

Pasal 29

(1) Badan kehormatan DPRA dan DPRK dibentuk dan

ditetapkan dengan keputusan DPRA dan DPRK.

(2) Anggota Badan Kehormatan DPRA dan DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari anggota DPRA dan DPRK dengan ketentuan: a. untuk DPRK yang beranggotakan sampai dengan

34 (tiga puluh empat) berjumlah 3 (tiga) orang, dan untuk DPRA yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) atau lebih berjumlah 5 (lima) orang; dan

b. untuk DPRA berjumlah 5 (lima) orang.

(3) Anggota Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud

Paragraf 3 Badan Kehormatan DPRA/DPRK

Pasal 30 (1). Badan kehormatan DPRA/DPRK dibentuk dan

ditetapkan dengan keputusan DPRA/ DPRK. (2). Anggota Badan Kehormatan DPRA/DPRK

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari anggota DPRA/DPRK dengan ketentuan: a. untuk DPRK yang beranggotakan sampai dengan

34 (tiga puluh empat) berjumlah 3 (tiga) orang, dan untuk DPRK yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) atau lebih berjumlah 5 (lima) orang; dan

b. untuk DPRA berjumlah 5 (lima) orang. (3). Anggota Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) dipilih oleh DPRA/ DPRK.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

pada ayat (2) dipilih oleh DPRA dan DPRK.

(4) Pimpinan Badan Kehormatan DPRA dan DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Kehormatan.

(5) Badan kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh sebuah sekretariat yang secara fungsional dilaksanakan oleh Sekretariat DPRA dan Sekretariat DPRK.

(6) Pelaksanaan ketentuan ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Tata Tertib DPRA dan DPRK.

(4). Pimpinan Badan Kehormatan DPRA/DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Kehormatan.

(5). Badan kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu sekretariat yang secara fungsional dilaksanakan oleh Sekretariat DPRA/DPRK.

(6). Pelaksanaan ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK.

Pasal 30

(1) Badan Kehormatan mempunyai tugas:

a. Mengamati dan mengevaluasi disiplin, kinerja, etika dan moral para anggota DPRA dan DPRK dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan sesuai dengan Kode Etik DPRA dan DPRK;

b. meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan

anggota DPRA dan DPRK terhadap Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPRA dan DPRK serta sumpah/janji;

c. melakukan penyelidikan, verifikasi dan klarifikasi

atas pengaduan pimpinan dan anggota DPRA dan DPRK serta masyarakat dan/atau pemilih;

d. menyampaikan kesimpulan atas hasil

penyelidikan, verifikasi, klarifikasi dan pengaduan sebagaimana dimaksud pada huruf c sebagai rekomendasi untuk ditindak-lanjuti oleh DPRA dan DPRK.

Pasal 31

(1). Badan Kehormatan mempunyai tugas: a. mengamati dan mengevaluasi disiplin, etika dan

moral para anggota DPRA/DPRK dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan sesuai dengan Kode Etik DPRA/ DPRK;

b. meneliti dugnan pelanggaran yang dilakukan

anggota DPRA/DPRK terhadap Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPRA/DPRK serta sumpah/janji;

c. melakukan penyelidikan, verifikasi dan klarifikasi atas pengaduan pimpinan dan anggota DPRA/DPRK, masyarakat dan/atau pemilih; dan

d. menyampaikan kesimpulan atas hasil penyelidikan, verifikasi dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf c sebagai rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh DPRD.

(2). Mekanisme kerja Badan Kehormatan disusun oleh Badan Kehormatan dan disetujui oleh pimpinan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(2) Mekanisme kerja Badan Kehormatan disusun oleh

Badan Kehormatan dan disetujui oleh pimpinan DPRA dan DPRK.

DPRA/DPRK.

Bagian Keenam

Fraksi

Pasal 31

(1) Setiap anggota DPRA dan DPRK wajib berhimpun dalam fraksi.

(2) Jumlah anggota setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sama dengan jumlah minimal komisi di DPRA dan DPRK.

(3) Anggota DPRA dan DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari partai politik yang tidak memenuhi syarat untuk membentuk 1 (satu) fraksi, wajib bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.

(4) Fraksi yang ada wajib menerima anggota DPRA dan DPRK dari partai politik lain yang tidak memenuhi syarat untuk dapat membentuk satu fraksi.

(5) Dalam hal fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah dibentuk, kemudian tidak lagi memenuhi syarat sebagai fraksi gabungan, seluruh anggota fraksi gabungan tersebut wajib bergabung dengan fraksi lain dan/atau fraksi gabungan lain yang memenuhi syarat.

(6) Partai politik yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi hanya dapat membentuk satu fraksi.

Bagian Keenam Fraksi

Pasal 32 (1). Setiap anggota DPRA/DPRK wajib berhimpun dalam

fraksi. (2). Jumlah anggota setiap fraksi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) sekurang-kurangnya sama dengan jumlah minimal komisi di DPRA/DPRK.

(3). Anggota DPRA/DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari partai politik yang tidak memenuhi syarat untuk membentuk 1 (satu) fraksi, wajib bergabung dengan fraksi yang uda atau membentuk fraksi gabungan.

(4). Fraksi yang ada wajib menerima anggota DPRA/DPRK dari partai politik lain yang tidak memenuhi syarat untuk dapat membentuk 1 (satu) fraksi.

(5). Dalam hal fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah dibentuk, kemudian tidak lagi memenuhi syarat sebagai fraksi gabungan, seluruh anggota fraksi gabungan tersebut wajib bergabung dengan fraksi lain dan/atau fraksi gabungan lain yang memenuhi syarat.

(6). Partai politik yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi hanya dapat membentuk 1 (satu) fraksi.

(7). Fraksi gabungan dapat dibentuk oleh partai politik dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5).

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(7) Fraksi gabungan dapat dibentuk oleh partai politik dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5).

Bagian KetujuhLarangan dan Pemberhentian Anggota DPRA dan DPRK

Paragraf 1 Larangan

Pasal 32

(1) Anggota DPRA dan DPRK dilarang merangkap

jabatan sebagai:

a. pejabat negara lainnya; b. hakim pada badan peradilan; c. pegawai negeri sipil, anggota TNI dan Polri,

pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan/atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBA/APBK.

(2) Anggota DPRA dan DPRK dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat/pengacara, notaris, dokter praktik, jurnalis dan pengelola media massa serta pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas, wewenang dan hak sebagai anggota DPRA dan DPRK.

(3) Anggota DPRA dan DPRK dilarang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.

(4) Anggota DPRA dan DPRK yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melepaskan pekerjaan tersebut selama menjadi anggota DPRA dan DPRK.

(5) Anggota DPRA dan DPRK yang tidak memenuhi

Bagian Ketujuh Larangan dan Pemberhentian Anggota DPRA/DPRK

Paragraf 1 Larangan Pasal 33

(1). Anggota DPRA/DPRK dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya; b. hakim pada badan peradilan; c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional

Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan/atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBA/APBK.

(2). Anggota DPRA/DPRK dilarang melakukan pekerjaan

sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat/pengacara, notaris, dokter praktik, jurnalis dan pengelola media massa serta pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas, wewenang dan hak sebagai anggota DPRA/DPRK.

(3). Anggota DPRA/DPRK dilarang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.

(4). Anggota DPRA/DPRK yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melepaskan pekerjaan tersebut selama menjadi anggota DPRA/DPRK.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberhentikan oleh pimpinan berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Kehormatan DPRA dan DPRK.

(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA dan DPRK.

(5). Anggota DPRA/DPRK. yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberhentikan oleh pimpinan berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Kehormatan DPRA/DPRK.

(6). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2

Pemberhentian Anggota DPRA dan DPRK

Pasal 33

(1) Anggota DPRA dan DPRK berhenti antarwaktu sebagai anggota karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara

tertulis; dan c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.

(2) Anggota DPRA dan DPRK diberhentikan antarwaktu, karena: a. tidak dapat melaksanakan tugas secara

berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;

b. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPRA dan DPRK;

c. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, dan/atau melanggar kode etik DPRA dan DPRK;

d. tidak melaksanakan kewajiban anggota DPRA dan DPRK;

e. melanggar larangan bagi anggota DPRA dan DPRK; dan

Paragraf 2 Pemberhentian Anggota DPRA/DPRK

Pasal 34 (1). Anggota DPRA/DPRK berhenti antar waktu sebagai

anggoia karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara

tertulis; dan c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.

(2). (2) Anggota DPRA/DPRK diberhentikan antar waktu, karena: a. tidak dapat melaksanakan tugas secara

berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;

b. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPRA/DPRK;

c. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, dan/atau melanggar kode etik DPRA/ DPRK;

d. tidak melaksanakan kewajiban anggota DPRA/DPRK;

e. melanggar larangan bagi anggota DPRA/DPRK; dan

f. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

f. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman pidana sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun penjara atau lebih.

(3) Pemberhentian anggota DPRA dan DPRK yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan oleh pimpinan DPRA dan DPRK kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur atau nama lain bagi anggota DPRA dan kepada Gubernur atau nama lain melalui Bupati/Walikota bagi anggota DPRK untuk diresmikan pemberhentiannya.

(4) Pemberhentian anggota DPRA dan DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e dilaksanakan setelah ada keputusan DPRA dan DPRK berdasarkan rekomendasi dari Badan Kehormatan DPRA dan DPRK.

(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA dan DPRK.

hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman pidana sekurangkurangnya 5 (lima) tahun penjara atau lebih.

(3). Pemberhentian anggota DPRA/DPRK yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan oleh pinipinan DPRA kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi anggota DPRA dan kepada Gubernur melalui Bupati/Walikota bagi anggota DPRK untuk diresmikan pemberhentiannya.

(4). Pemberhentian anggota DPRA/DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e dilaksanakan setelah ada keputusan DPRA/DPRK berdasarkan rekomendasi dari Badan Kehormatan DPRA/DPRK.

(5). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK dengan berpedoman peraturan perundang-undangan.

Penambahan kalimat “dengan berpedoman peraturan perundang-undangan” dalam pasal 34 Ayat (5) RUU PA Pemerintah tidak perlu, karena sudah menjadi keharusan dalam pembuatan setiap produk hukum di daerah sebagaimana dimaksud dalam UU sebelumnya misal UU nomor 44 thn 1999, UU nomor 18 thn 2001, UU 32 thn 2004, UU nomor 10 thn 2004, juga tidak disebutkan secara eksplisit.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

BAB VIIIBADAN EKSEKUTIF

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 34

(1) Pemerintah Aceh dipimpin oleh seorang Gubernur atau nama lain sebagai Kepala Pemerintahan dan dibantu oleh seorang Wakil Gubernur atau nama lain.

(2) Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat pemerintah Aceh.

(3) Gubernur atau nama lain bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan pemerintah di semua sektor pelayanan publik termasuk keamanan, ketertiban, dan ketenteraman masyarakat.

(4) Gubernur atau nama lain karena jabatannya adalah juga wakil pemerintah.

(5) Dalam menjalankan tugas dan kewenangan Gubernur atau nama lain bersama Wakil Gubernur atau nama lain bertanggung jawab kepada DPRA.

(6) Dalam kedudukan sebagai wakil pemerintah, Gubernur atau nama lain bertanggung jawab kepada Presiden.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) diatur dalam Qanun Aceh.

BAB VIII PEMERINTAH ACEH DAN PEMERINTAH

KABUPATEN/KOTA Bagian Kesatu

Umum Pasal 35

(1) Pemerintah Aceh dipimpin oleh seorang Gubernur

sebagai Kepala Pemerintah Aceh dan dibantu oleh seorang Wakil Gubernur.

(2) Gubernur dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat Aceh.

(3) Gubernur bertanggung jawab dalam penetapan

kebijakan Pemerintah Aceh di semua sektor pelayanan masyarakat termasuk ketenteraman dan ketertiban masyarakat.

(4) Gubernur karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah.

(5) Dalam kedudukan sebagai wakil pemerintah, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Qanun Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 34 Ayat (1) s/d Ayat (4) RUU PA DPRD NAD tetap dipertahankan karena perlu ada ruang untuk penggantian nama kepala pemerintahan sesuai dengan amanat MoU point (1.1.3.) Pasal 34 Ayat (5) RUU PA DPRD NAD perlu dipertahankan karena itu menyangkut mekanisme LPJ.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 35

(1) Pemerintah Kabupaten/Kota dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota sebagai Kepala Pemerintahan Kabupaten/Kota dan dibantu oleh seorang Wakil Bupati/Wakil Walikota.

(2) Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat pemerintah Kabupaten/Kota.

(3) Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan pemerintah Kabupaten/Kota di semua sektor pelayanan publik termasuk keamanan, ketertiban, dan ketenteraman masyarakat.

(4) Bupati/Walikota karena jabatannya adalah juga Wakil Pemerintah Aceh.

(5) Dalam menjalankan tugas dan kewenangan Bupati bersama Wakil Bupati dan Walikota bersama Wakil Walikota bertanggung jawab kepada DPRK.

(6) Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah Aceh Bupati bersama Wakil Bupati dan Walikota bersama

Pasal 36

(1) Pemerintah kabuputen/kota dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota sebagai Kepala Pemerintah kabupaten/kota dan dibantu oleh seorang Wakil Bupati/Wakil Walikota.

(2) Bupati/Walikota dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat kabupaten/kota.

(3) Bupati/Walikota bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan pemerintah kabupaten/kota di semua sektor pelayanan publik termasuk ketentraman dan ketertiban masyarakat.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Qanun Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Penambahan kalimat “dengan berpedoman peraturan perundang-undangan” dalam pasal 36 Ayat (4) RUU PA Pemerintah tidak perlu, karena sudah menjadi keharusan dalam pembuatan setiap produk hukum di daerah sebagaimana dimaksud dalam UU sebelumnya misal UU nomor 44 thn 1999, UU nomor 18 thn 2001, UU 32 thn 2004, UU nomor 10 thn 2004, juga tidak disebutkan secara eksplisit. Pasal 35 Ayat (4), Ayat (5) dan Ayat (6) draft RUU PA DPRD NAD tetap dipertahankan sesuai dgn alasan pada point-point diatas.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Wakil Walikota bertanggung jawab kepada Gubernur atau nama lain.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) diatur dalam Qanun Aceh.

Bagian Kedua

Tugas dan Wewenang

Pasal 36

Gubernur atau nama lain, Bupati/Walikota mempunyai tugas dan wewenang :

(1) memimpin penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRA atau DPRK;

(2) mengajukan rancangan Qanun;

(3) menetapkan Qanun yang telah mendapat persetujuan bersama DPRA atau DPRK;

(4) menyusun dan mengajukan rancangan Qanun tentang APBA atau ABPK kepada DPRA atau DPRK untuk dibahas dan ditetapkan bersama;

(5) melaksanakan dan mengkoordinasikan pelaksanaan syaria’t Islam secara kaffah.

(6) menyampaikan pertanggungjawaban tentang penyelenggaraan pemerintahan kepada DPRA atau DPRK;

(7) mengupayakan terlaksananya kewenangan pemerintahan;

(8) mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan,

Bagian Kedua

Tugas dan Wewenang

Pasal 37 (1). Gubernur, Bupati/Walikota mempunyai tugas dan

wewenang: a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan

berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRA/DPRK;

b. mengajukan rancangan Qanun; c. menetapkan Qanun yang telah mendapat

persetujuan bersama DPRA/DPRK; d. menyusun dan mengajukan rancangan Qanun

tentang APBA/ABPK kepada DPRA/ DPRK untuk dibahas dan ditetapkan bersama;

e. melaksanakan dan mengkoordinasikan pelaksanaan Syar'iat Islam secara kaffah;

f. memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban mengenai penyelenggaraan pemerintahan kepada DPRA/DPRK;

g. memberikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh/Kabupaten/Kota kepada Pemerintah;

h. menyampaikan informasi penyelenggaraan Pemerintahan Aceh/Kabupaten/Kota kepada

Tentang LPJ sesuai dengan alasan diatas.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

(9) melaksanakan tugas dan kewenangan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(10) Gubernur atau nama lain memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah berkaitan dengan Aceh;

(11) Gubernur atau nama lain membentuk pusat-pusat penanggulangan bencana alam berdasarkan wilayah geografis.

masyarakat; i. mengupayakan terlaksananya kewenangan

pemerintahan; j. mewakili daerahnya di dalam dan di luar

pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilInya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

k. melaksanakan tugas dun kewenangan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2). Gubernur memberikan pertimbangan dan persetujuan

terhadap kebijakan administratif yang ditetapkan oleh Pemerintah berkaitan dengan kepentingan khusus Aceh.

Pasal 38

(1). Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) memiliki tugas dan wewenang: a. membina dan mengawasi penyelenggaraan

pemerintahan kabupaten/kota; b. mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan

Pemerintah di Aceh dan kabupaten/kota; c. mengkoordinasikan pembinaan dan pengawasan

penyelenggaraan tugas pembantuan di Aceh dan kabupaten/kota.

(1). Pendanaan untuk pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada APBN.

(2). Kedudukan keuangan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(3). Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang

Ada penambahan Pasal 38, yang diambil dari pasal 38 UU 32 tahun 2004.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur daltun Peraturan Pemerintah.

Pasal 37

(1) Wakil Gubernur atau nama lain/Wakil Bupati/Wakil Walikota mempunyai tugas:

a. membantu Gubernur atau nama lain/Bupati/Walikota dalam menyelenggarakan pemerintahan;

b. membantu Gubernur atau nama lain/Bupati/Walikota dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal pemerintahan, menindak-lanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, pemberdayaan adat, syari’at Islam, serta mengupayakan pengembangan kebudayaan dan pelestarian lingkungan hidup;

c. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten/Kota oleh Wakil Gubernur atau nama lain dan memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan wilayah Kecamatan, Kemukiman, Gampong oleh Wakil Bupati/Wakil Walikota;

d. melaksanakan tugas dan wewenang Gubernur atau nama lain/Bupati/Walikota apabila Gubernur atau nama lain/Bupati/Walikota berhalangan;

e. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh Gubernur atau nama lain/Bupati/Walikota.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wakil Gubernur atau nama lain/Wakil

Pasal 39 (1). Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota

mempunyai tugas: a) membantu Gubemur/Bupati/Walikota dalam

menyelenggarakan pemerintahan; b) membantu Gubernur/Bupati/Walikota dalam

mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal pemerintahan, menindak-lanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, pemberdayaan adat, Syari'at Islam, serta mengupayakan pengembangan kebudayaan dan pelestarian lingkungan hidup;

c) memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota bagi Wakil Gubernur, dan memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan wilayah kecamatan, kemukiman, kelurahan, gampong bagi Wakil Bupati/Wakil Walikota;

d) melaksanakan tugus dan wewenang Gubernur/Bupati/Walikota apabila Gubernur/Bupati/Walikota berhalangan; dan

e) melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan Iainnya yang diberikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota.

(2). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wakil Gubernur bertanggungjawab kepada Gubernur, dan Wakil Bupati/Wakil Walikota bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota

(3). Wakil Gubernur menggantikan Gubernur dun Wakil

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Bupati/Wakil Walikota bertanggungjawab kepada Gubernur atau nama lain/Bupati/Walikota.

(3) Wakil Gubernur atau nama lain/Wakil Bupati/Wakil Walikota menggantikan Gubernur atau nama lain/Bupati/Walikota sampai habis masa jabatannya apabila Gubernur atau nama lain/Bupati/Walikota meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus.

Bupati/Wakil Walikota menggantikan Bupati/Walikota sampai habis masa jabatannya karena berhenti dan/atau diberhentikan.

Bagian KetigaKewajiban dan Larangan

Pasal 38

(1) Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama

lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 dan pasal 37 mempunyai kewajiban : a. mentaati konstitusi dan segala peraturan

Perundang-undangan; b. melaksanakan syari’at Islam; c. meningkatkan kesejahteraan rakyat ; d. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; e. melaksanakan kehidupan demokrasi ; f. melaksanakan prinsip dan tata pemerintahan yang

bersih, baik dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme;

g. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan Aceh secara transparan;

h. menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan Pemerintah Aceh dihadapan paripurna DPRA.

Bagian Ketiga Kewajiban dan Larangan

Pasal 40

(1). Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37 mempunyai kewajiban: a) memegang teguh dan mengamalkan Pancasila,

melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b) menjalankan syari'at agamanya; c) meningkatkan kesejahteraan rakyat; d) memelihara keamanan, ketentraman umum dan

ketertiban masyarakat; e) melaksanakan kehidupan demokrasi; f) melaksanakan prinsip dan tata pemerintahan yang

bersih, baik dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme;

g) mclaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan Aceh/ kabupaten/kota

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

secara transparan; h) menyampaikan rencana strategis

penyelenggaraan Pemerintahan Aceh/kabupaten/kota dihadapan paripurna DPRA/DPRK.

i) menjalin hubungan kerja dengan instansi vertikal pemerintahan dan perangkat Pemerintahan Aceh/kabupaten/kota.

(2). Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur, Bupati/Walikota mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh/kabupaten/kota kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRA/DPRK serta menginformasikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh/kabupaten/kota kepada masyarakat.

(3). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun berdusarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 39

Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dilarang:

a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain;

b. turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik negara,

Pasal 41 Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dilarang:

a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain;

b. turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik negara, milik swasta maupun milik pemerintah

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

milik swasta maupun milik pemerintah Aceh, atau dalam yayasan bidang apapun;

c. melakukan pekerjaan lain yang ada hubungan dengan jabatanya yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung;

d. melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;

e. menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya;

f. merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota DPR RI, DPD dan DPRA sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Aceh, atau dalam yayasan bidang apapun; c. melakukan pekerjaun lain yang ada hubungan

dengan jabatanya yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung;

d. melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;

e. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain yang dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf j.

f. menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya; dan

g. merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah dan DPRA sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Bagian KeempatPemberhentian

Pasal 40

(1) Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau

nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota berhenti karena : a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; atau c. diberhentikan.

(2) Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c

Bagian Keempat Pemberhentian

Pasal 42 . (1). Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil

Bupati, Walikota dan Wakil Walikota berhenti karena: a) meninggal dunia; b) permintaan sendiri; atau c) diberhentikan.

(2). Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberhentikan karena: a) berakhir masa jabatannya dan telah dilantik

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

diberhentikan karena: a. berakhir masa jabatannya; b. tidak dapat melaksanakan tugas secara

berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;

c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota;

d. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota;

e. tidak melaksanakan kewajiban Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota;

f. melanggar larangan bagi Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.

(3) Pemberhentian Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRA untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRA.

(4) Pemberhentian Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf e dilaksanakan dengan ketentuan:

a. Pemberhentian Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati,

pejabat yang baru. b) tidak dapat melaksanakan tugas secara

berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;

c) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota;

d) dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota;

e) tidak melaksanakan kewajiban Gubernur clan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota; dan

f) melanggar larangan bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.

(3). Pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf u dun huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRA/DPRK untuk diputuskan dalam rapat paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRA/DPRK.

(4). Pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf e dilaksanakan dengan ketentuan: a) pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur,

Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota diusulkan kepada presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRA/DPRK, bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Walikota dan Wakil Walikota diusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRA atau DPRK, bahwa Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota;

b. Pendapat DPRA atau DPRK sebagaimana dimaksud pada huruf a diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRA atau DPRK yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRA atau DPRK dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRA atau DPRK yang hadir;

c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPRA atau DPRK tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah permintaan DPRA atau DPRK itu diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final;

d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRA atau DPRK menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRA atau DPRK yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRA atau DPRK dan putusan diambil, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRA atau DPRK yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian

kewajiban Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota;

b) Pendapat DPRA/DPRK sebagaimana dimaksud pada huruf a diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRA/DPRK yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRA/DPRK dan putusan diambil dengan persetujuan sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRA/DPRK yang hadir;

c) Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPRA/DPRK paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permintaan DPRAIDPRK itu diterima Mahkarnah Agung dan putusannya bersifat final;

d) Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wa.likota dan Wakil Walikota terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRA/DPRK menyelenggarakan rapat paripurna DPRA/DPRK yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRA/DPRK dan putusan diambil, dengan persetujuan sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRA/DPRK yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota kepada Presiden; dan

e) Presiden wajib memproses usul pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak DPRA/DPRK menyampaikan usul.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota kepada Presiden;

e. Presiden wajib memproses usul pemberhentian Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRA atau DPRK menyampaikan usul tersebut.

Pasal 41

(1) Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau

nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRA atau DPRK apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.

(2) Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRA atau DPRK apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 43 (1). Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil

Bupati, Walikota dan Wakil Walikota diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRA/DPRK apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.

(2). Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRA/ DPRK apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 42

(1) Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRA atau DPRK karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap

Pasal 44 (1). Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil

Bupati, Walikota dan Wakil Walikota diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRA/DPRK karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

keamanan negara.

(2) Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRA atau DPRK karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara dan/atau tindak pidana lain yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2). Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRA/DPRK karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara dan/atau tindak pidana lain yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang teluh mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 43

(1) Dalam hal Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana dan melibatkan tanggung jawabnya, DPRA atau DPRK menggunakan hak angket untuk menanggapinya.

(2) Penggunaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Rapat Paripurna DPRA atau DPRK yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRA atau DPRK dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRA atau DPRK yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.

(3) Dalam hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRA atau DPRK menyerahkan proses penyelesaian antara kepada aparat penegak hukum sesuai dengan

Pasal 45 (1) Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan

Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana dan melibatkan tanggung jawabnya, DPRA/DPRK menggunakan hak angket untuk menanggapinya.

(2) Penggunaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mcndapatkan persetujuan Rapat Paripurna DPRA/DPRK yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRA/DPRK dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRA/DPRK yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.

(3) Dalam hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRA/DPRK menyerahkan proses penyelesaian kepada aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota dinyatakan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

peraturan perundang-undangan.

(4) Apabila Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DPRA atau DPRK mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRA atau DPRK.

(5) Berdasarkan keputusan DPRA atau DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Presiden menetapkan pemberhentian sementara Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.

(6) Apabila Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRA atau DPRK mengusulkan pemberhentian berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRA atau DPRK dan dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRA atau DPRK dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRA atau DPRK yang hadir.

(7) Keputusan DPRA atau DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Presiden memberhentikan Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.

hersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DPRA/DPRK mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRA/DPRK.

(5) Rerdasarkan keputusan DPRA/DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Presiden menetapkan pemberhentian sementara Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.

(6) Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRA/DPRK mengusulkan pemberhentian berdasarkan. keputusan rapat paripurna DPRA/DPRK dan dihadiri oleh sekurung-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRA/DPRK dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRA/DPRK yang hadir.

(7) Berdasarkan Keputusan DPRA/DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Presiden memberhentikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota sesuai peraturan perundang-undangan.

Penambahan kalimat “dengan berpedoman peraturan perundang-undangan” dalam pasal 45 Ayat (7) RUU PA Pemerintah tidak perlu, karena sudah menjadi keharusan dalam pembuatan setiap produk hukum di daerah sebagaimana dimaksud dalam UU sebelumnya misal UU nomor 44 thn 1999, UU nomor 18 thn 2001, UU 32 thn

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

2004, UU nomor 10 thn 2004, juga tidak disebutkan secara eksplisit.

Pasal 44

(1) Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), Pasal 42 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (5) setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, paling lambat 30 (tiga puluh) hari Presiden telah merehabilitasikan dan mengaktifkan kembali Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatannya.

(2) Apabila Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir masa jabatannya, Presiden merehabilitasikan Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang bersangkutan dan tidak mengaktifkannya kembali.

(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 sampai dengan pasal 43 diatur dalam Qanun Aceh.

Pasal 46 (1) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil

Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), Pasal 44 ayat (1), dan Pasal 45 ayat (5) setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, paling lama 30 (tiga puluh) hari Presiden telah merehabilitasikan dan mengaktifkan kembali Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatannya.

(2) Apabila Gubernur clan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang diberhentikan sernentara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir masa jabatannya, Presiden merehabilitasikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang bersangkutan dan tidak mengaktifkannya kembali.

Pasal 45

(1) Apabila Gubernur atau nama lain/Bupati/Walikota diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud

Pasal 47 (1). Apabila Gubernur/Bupati/Walikota diberhentikan

sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), Pasal 44 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (5),

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

dalam Pasal 41 ayat (1), Pasal 42 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (5), Wakil Gubernur atau nama lain/Wakil Bupati/Wakil Walikota melaksanakan tugas dan kewajiban Gubernur atau nama lain/Bupati/Walikota sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Apabila Wakil Gubernur atau nama lain/Wakil Bupati/Wakil Walikota diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), Pasal 42 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (5), tugas dan kewajiban Wakil Gubernur atau nama lain/Wakil Bupati/Wakil Walikota dilaksanakan oleh Gubernur atau nama lain/Bupati/Walikota sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(3) Apabila Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1), Pasal 42 ayat (1), dan pasal 43 ayat (5), Presiden menetapkan penjabat Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, atas usul DPRA melalui Menteri Dalam Negeri RI dan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota atas usul DPRK melalui Gubernur atau nama lain sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(4) Tata cara penetapan, kriteria calon, dan masa jabatan penjabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan Qanun Aceh.

Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota melaksanakan tugas dan kewajiban Gubernur/Bupati/Walikota sarnpai dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

(2). Apabila Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), Pasal. 44 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (5), tugas dan kewajiban Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota dilaksanakan oleh Gubernur/Bupati/Walikota sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

(3). Apabila Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), Pasal 44 ayat (1), dan Pasal 45 ayat (5), Presiden menetapkan penjabat Gubernur/Bupati/Walikota, dengan pertimbangan DPRA melalui Menteri Dalam Negeri dan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dengan pertimbangan DPRK melalui Gubernur sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

(4). Tata cara penetapan, kriteria calon, dan masa jabatan penjabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 45 Ayat (4) Draft RUU PA DPRD NAD tetap dipertahankan karena sesuai dengan UU No. 18 Thn 2001 hal tersebut telah ditetapkan dengan Qanun No. 2 Thn 2004 dan Qanun No. 3 Thn 2005.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 46

(1) Apabila Gubernur atau nama lain/Bupati/Walikota diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2), Pasal 42 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (7) jabatan kepala daerah diganti oleh Wakil Gubernur atau nama lain/Wakil Bupati/Wakil Walikota sampai berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRA atau DPRK dan disahkan oleh Presiden.

(2) Apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Gubernur atau nama lain/Wakil Bupati/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan, Gubernur atau nama lain/Bupati/Walikota mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur atau nama lain/Wakil Bupati/Wakil Walikota untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRA atau DPRK berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.

(3) Dalam hal Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota berhenti atau diberhentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya, Rapat Paripurna DPRA atau DPRK memutuskan dan menugaskan KIP untuk menyelenggarakan pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak ditetapkannya penjabat Gubernur atau nama lain/Bupati/Walikota.

(4) Dalam hal terjadi kekosongan jabatan Gubernur atau

Pasal 48 (1). Apabila Gubernur/Bupati/Walikota diberhentikan

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2), Pasal 44 ayat (2), dan Pasal 45 ayat (7) jabatan kepala daerah diganti oleh Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota sampai berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRA atau DPRK dan disahkan oleh Presiden.

(2). Apabila Gubernur/Bupati/Walikota berhenti karena meninggal dunia maka Presiden menetapkan dan mengesahkan Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota untuk mengisi jabatan kepala daerah sampai berakhir masa jabatannya.

(3). Apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan, Gubernur/Bupati/Walikota mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRA atau DPRK berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.

(4). Dalam hal Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota berhenti atau diberhentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya, Rapat Paripurna DPRA atau DPRK memutuskan dan menugaskan KIP untuk menyelenggarakan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sekretaris daerah melaksanakan tugas sehari-hari Gubernur atau nama lain/Bupati/Walikota sampai dengan Presiden mengangkat penjabat Gubernur atau nama lain/Bupati/Walikota.

(5) Tata cara pengisian kekosongan, persyaratan dan masa jabatan penjabat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

ditetapkannya penjabat Gubernur/Bupati/Walikota. (5). Dalam hal terjadi kekosongan jabatan Gubernur/Wakil

Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Sekretaris Aceh dan Sekretaris kabupaten/kota melaksanakan tugas sehari-hari GubernurBupati/Walikota sarnpai dengan Presiden mengangkat penjabat Gubernur/Bupati/Walikota.

(6). Tata cara pengisian kekosongan, persyaratan dan masa jabatan penjabat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sesuai dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian KelimaPenyelidikan dan Penyidikan

Pasal 47

(1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.

(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.

(3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

Bagian Kelima Penyelidikan dan Penyidikan

Pasal 49

(1). Penyelidikan dan penyidikan terhadap

Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.

(2). Apabila persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.

(3). Penyidikan yang dilanjutkan dengan tindakan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4). Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) adalah:

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan dan kejahatan moral; atau

b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

(5) Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah dilakukan wajib dilaporkan kepada Presiden paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.

a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau

b) disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

(5). Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dilaporkan kepada Presiden paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.

BAB IXPENYELENGGARA PEMILIHAN

Bagian Kesatu

K I P

Pasal 48

(1) KIP merupakan penyelenggara pemilihan umum di Aceh.

(2) Dalam hal pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, DPR-RI, DPD, DPRA dan DPRK, Komisi Pemilihan Umum Nasional melimpahkankewenangannya kepada KIP.

(3). Dalam hal pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KIP Kabupaten/Kota merupakan bagian daripenyelenggara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur. (3) KIP Aceh dibentuk oleh DPRA dan ditetapkan serta

diresmikan oleh Gubernur atau nama lain.

(4) KIP Kabupaten/Kota dibentuk oleh KIP Aceh berdasarkan hasil seleksi dari DPRK dan ditetapkan serta diresmikan oleh KIP Aceh.

BAB IX PENYELENGGARA PEMILIHAN

Bagian Kesatu KIP

Pasal 50

(1). KiP Aceh merupakan penyelenggara Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.

(2). KIP Kabupaten/Kota merupakan penyelenggara Pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.

- efisiensi dlm penggunaan dana, sumber daya, dan fasilitas

(4). Selain menyelenggarakan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) KIP Aceh dan Kabupaten/Kota dapat diberi tugas untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah, DPRA dan

Pasal 48 Ayat (1) dan Ayat (2) RUU PA DPRD NAD perlu dipertahankan dgn alasan: - menghindari adanya dualisme

pelaksana pemilihan umum di Aceh

- perbedaan nama pelaksana pemilihan masih dpt diakomodir dlm RUU pemilihan umum/ RUU tentang KPU yg akan di revisi.

Bahwa ini merupakan ciri kekhususan Aceh sebagaimana

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

DPRK. (5). KIP Aceh dibentuk oleh DPRA dan diresmikan oleh

Gubernur. (6). KIP kabupaten/kota dibentuk oleh DPRK dan

diresmikan oleh Bupati/Walikota

diperkenalkan oleh UU no. 18 thn 2001 dan Pasal 226 Ayat (3) UU no. 32 thn 2004.

Pasal 49

(1) Anggota KIP berjumlah 7 (tujuh) orang untuk Aceh dan 5 (lima) orang untuk masing-masing Kabupaten/Kota, yang terdiri atas unsur masyarakat.

(2) Masa kerja KIP selama 5 (lima) tahun.

Pasal 51 (1). Anggota KIP Aceh berjumlah 7 (tujuh) orang dan

anggota KIP kabupaten/kota berjumlah 5 (lima) orang yang berasal dari unsur masyarakat.

(2). Masa kerja KIP selama 5 (lima) tahun.

Bagian KeduaTugas dan Wewenang

Pasal 50

(1) Tugas dan wewenang KIP adalah sebagai berikut:

a. menyelenggarakan pemilihan umum DPR, DPD, DPRA dan DPRK;

b. menyelenggarakan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden;

c. merencanakan dan menyelenggarakan pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

d. menetapkan tatacara pelaksanaan pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

e. mengkoordinasikan, menyelenggarakan dan

Bagian Kedua Tugas dan Wewenang

Pasal 52 (1). Tugas dan wewenang KIP:

a) merencanakan dan menyelenggarakan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

b) menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

c) mcngkoordinasikan, menyelenggarakan dan mengendalikan semua tahap pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

d) menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye serta pemungutan suara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

e) menerima, meneliti dan menetapkan pasangan

Pasal 50 Ayat (1) huruf a dan huruf b DPRD NAD perlu dipertahankan dgn alasan: - menghindari adanya dualisme

pelaksana pemilihan umum di Aceh

- efisiensi dlm penggunaan dana, sumber daya, dan fasilitas

- perbedaan nama pelaksana pemilihan masih dpt diakomodir dlm RUU pemilihan umum/ RUU tentang KPU yg akan di revisi.

Bahwa ini merupakan ciri kekhususan Aceh sebagaimana diperkenalkan oleh UU no. 18 thn 2001 dan Pasal 226 Ayat (3) UU no. 32 thn 2004.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

mengendalikan semua tahap pelaksanaan pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

f. menetapkan tanggal dan tatacara pelaksanaan kampanye serta pemungutan suara pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

g. menerima, meneliti dan menetapkan calon sebagai peserta pemilihan;

h. meneliti persyaratan calon Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang diusulkan;

i. menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan;

j. menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye;

k. mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye;

l. menetapkan hasil rekapitulasi perhitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

m. melakukan evaluasi dan memberikan laporan kepada DPRA terhadap pelaksanaan pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota; dan

n. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang

calon sebagai peserta pemilihan; f) meneliti persyaratan calon Gubernur/Wakil

Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang diusulkan;

g) menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan;

h) menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye;

i) mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye;

j) menetapkan hasil rekapitulasi perhitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihanGubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

k) melakukan evaluasi dan memberikan laporan kepada DPRA terhadap pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota; dan

l) melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.

(2). Dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, KIP kabupaten/kota adalah bagian penyelenggara pemilihan yang ditetapkan oleh KIP Aceh.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

diatur oleh peraturan perundang-undangan.

(2) Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

(3) Dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, KIP Kabupaten/Kota adalah bagian penyelenggara pemilihan yang ditetapkan oleh KIP Aceh.

Pasal 51

KIP berkewajiban: a. memperlakukan pasangan calon secara adil dan setara; b. menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan

jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota berdasarkan peraturan perundang-undangan;

c. menyampaikan laporan kepada DPRA untuk setiap tahap pelaksanaan pemilihan dan menyampaikan informasi kegiatannya kepada masyarakat;

d. memelihara arsip dan dokumen pemilihan serta mengelola barang inventaris KIP berdasarkan perundang-undangan;

e. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada Gubernur atau nama lain, Bupati/Walikota; dan

f. melaksanakan semua tahap pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota secara tepat waktu.

Pasal 53

KIP berkewajiban: a. memperlakukan pasangan calon secara adil dan

setara; b. mcnetapkan standarisasi serta kebutuhan barang

dan jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota berdasarkan peraturan perundang-undangan;

c. menyampaikan laporan setiap tahap pelaksanaan pemilihan kepada DPRA untuk KIP Aceh dan DPRK untuk KIP kabupaten/kota dan menyampaikan informasi kegiatannya kepada masyarakat;

d. memelihara arsip dan dokumen pemilihan serta mengelola barang inventaris KIP berdasarkan perundang-undangan;

e. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai peraturan perundang-undangan; dan

f. melaksanakan semua tahap pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

dan Walikota/Wakil Walikota secara tepat waktu.

Bagian ketiga Panitia Pengawas Pemilihan

Pasal 52

(1) Panitia Pengawas Pemilihan Aceh dibentuk oleh DPRA.

(2) Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh.

(3) Anggota Panitia Pengawas Pemilihan (Panwas) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) masing-masing sebanyak 5 (lima) orang yang terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers dan tokoh masyarakat yang dipilih oleh DPRA.

(4) Masa kerja Panwas berakhir 3 (tiga) bulan setelah pelantikan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.

Bagian ketiga Panitia Pengawas Pemilihan

Pasal 54

(1). Panitia Pengawas Pemllihan Aceh dibentuk oleh DPRA.

(2). Panitia Pengawas Pernilihan kabupaten/kota dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh.

(3). Anggota Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) masing-masing sebanyak 5 (lima) orang yang terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers dan tokoh masyarakat yang dipilih oleh DPRA.

(4). Masa kerja Panitia Pengawas Pemilihan berakhir 3 (tiga) bulan setelah pelantikan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.

Bagian KeempatTugas dan Wewenang Panwas

Pasal 53

(1) Tugas dan wewenang Panwas adalah:

a. melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan umum DPR, DPD, DPRA dan DPRK;

b. melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden;

c. melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan

Bagian Keempat

Tugas dan Wewenang Panitia Pengawas Pemilihan Pasal 55

(1). Tugas dun wewenang Panitia Pengawas Pemilihan: a) melakukan pengawasan. pelaksanaan pemilihan

Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota; dan

b) melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.

(2). Pelaksanaan tubas sebagaimana dimaksud pada

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Walikota/Wakil Walikota; dan d. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang

diatur oleh peraturan perundang-undangan.

(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b mengikuti ketentuan perundang-undangan.

ayat (1) sesuai peraturan perundangundangan.

Pasal 55

Panitia Pengawas Pemilihan mempunyai tugas dan wewenang:

a. mengawasi semua tahap penyelenggaraan pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

b. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

c. meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang;

d. mengatur hubungan koordinasi antara panitia pengawas pada semua tingkatan.

Pasal 56 Tugas dan wewenang Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 55 dilakukan melalui:

a. mengawasi semua tahap penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dun Walikota/Wakil Walikota;

b. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

c. meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang; dan

d. mengatur hubungan koordinasi antara panitia pengawas pada semua tingkatan.

Pasal 54

Proses pengawasan pelaksanaan pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota selain dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilihan, juga dapat dilakukan oleh pemantau lokal, pemantau nasional dan pemantau asing yang telah mendapat izin dari KIP.

Pasal 57 (1). Pemantauan pelaksananaan pemilihan

Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dapat dilakukan oleh pemantau lokal, pemantau nasional dan pemantau asing.

(2). Pernantau perniiiluun Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan yang meliputi:

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

a) a. bersifat independent dan b) b. mempunyai sumber dana yang jelas.

(3). Pemantau asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

(4). Pemantau pemilihan Gubernur/Wakil Gubemur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikotu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) hams terdaftar di KIP.

Pasal 56

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 55 diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 58 Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56 dan Pasal 57 diatur dengan Qanun sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kata-kata peraturan perundang-undangan dihapus karena merupakan mekanisme yang berlaku sebagaimana alasan diatas.

BAB X

PEMILIHAN GUBERNUR ATAU NAMA LAIN/WAKIL GUBERNUR

ATAU NAMA LAIN, BUPATI/WAKIL BUPATI DAN WALIKOTA/WAKIL WALIKOTA

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 57

(1) Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota

BAB X PEMILIHAN GUBERNUR/WAKIL GUBERNUR,

BUPATI/WAKIL BUPATI DAN WALIKOTA/WAKIL WALIKOTA

Bagian Kesatu Umum

Pasal 59 (1). Gubernur/Wakil Gubernur, BUpati/Wakil Bupati dan

Walikota/Wakil Walikota dipilih dalam satu pasangan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap lima tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil;

(2) Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan;

(3) Biaya untuk pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada APBA dan APBK.

secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil.

(2). Gubernur/Wakil Gubernur, I3upati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

(3). Biaya untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dibebankan pada APBA.

(4). Biaya untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dibebankan pada APBK.

Bagian KeduaTahap Pemilihan

Pasal 58

(1) Tahapan dan jadwal pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota ditetapkan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP);

(2) Proses pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota melalui tahap-tahap persiapan, pencalonan, pelaksanaan pemilihan, pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan.

(3) Masa persiapan pemilihan meliputi:

a. pembentukan dan pengesahan KIP Aceh oleh DPRA;

b. pemberitahuan DPRA kepada KIP Aceh mengenai berakhirnya masa jabatan Gubernur atau nama

Bagian Kedua Tahapan Pemilihan

Pasal 60 (1). Tahapan dan jadwal pemilihan Gubernur/Wakil

Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota ditetapkan oleh KIP.

(2). Proses pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota melalui tahap persiapan, pencalonan, pelaksanaan pemilihan, pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan.

(3). Tahap persiapan pemilihan meliputi: a) pembentukan dan pengesahan KIP Aceh oleh

DPRA dan KIP Kabupaten/Kota oleh KIP Aceh; b) pemberitahuan DPRA kepada KIP Aceh mengenai

berakhirnya masa jabatan Gubernur/Wakil Gubernur;

c) pemberitahuan DPRK kepada KIP Kabupaten/Kota mengenai berakhimya masa

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

lain/Wakil Gubernur atau nama lain; c. pemberitahuan DPRK kepada KIP Aceh mengenai

berakhirnya masa jabatan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

d. perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

e. pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPG dan PPS; dan

f. pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan.

(4) Tahap pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui: a. pendaftaran dan seleksi administrasi pasangan

bakal calon oleh KIP; b. pemaparan visi dan missi pasangan bakal calon

dalam sidang paripurna istimewa DPRA dan DPRK;

c. penetapan pasangan bakal calon oleh KIP; d. penetapan pasangan calon oleh KIP; dan e. pendaftaran pemilih oleh KIP.

(5) Tata cara tahapan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Qanun Aceh.

jabatan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

d) perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pclaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

e) pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPG dan PPS; dan

f) pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan.

(4). Tahap pelaksanaan pemilihan sebagaimana dirnaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui: a) penetapan daflar pemilih; b) pendaftaran dan penetapan calon Gubernur/Wakil

Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

c) kampanye; d) pemungutan suara; e) penghitungan suara; f) penetapan pasangan calon Gubernur/Wakil

Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota terpilih, pengesahan dan pelantikan;

(5). Pendaftaran dan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, meliputi: a) pemeriksaan administrasi pasangan bakal calon

oleh KIP; b) pernaparan visi dan misi pasangan bakal calon

dalam sidang paripurna istimewa DP RA/DPRK; c) penetapan pasangan bakal calon oleh KIP; d) penetapan pasangan calon oleh KIP; dan e) pendaftaran pemilih oleh KIP.

(6). Tata cara tahapan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

oleh KIP dengan berpedoman pada Qanun.

Bagian KetigaPencalonan

Pasal 59

(1) Pasangan calon Gubernur atau nama lain/Wakil

Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam pasal 57 ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik atau perorangan sebagai calon independen;

(2) Calon Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. warga negara Republik Indonesia; b. taat menjalankan syari’at Islam; c. taat kepada konstitusi Republik Indonesia; d. berpendidikan sekurang-kurangnya SLTA atau

yang sederajat; e. berumur minimal 30 tahun; f. sehat jasmani, rohani dan bebas narkoba

berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;

g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik;

h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

Bagian Ketiga Pencalonan

Pasal 61

Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan/atau partai politik lokal.

Calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: warga negara Republik Indonesia; menjalankan syari'at agamanya; taat pada Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945; berpendidikan sekurang-kurangnya SLTA atau yang

sederajat; berumur sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun; sehat jasmani, rohani dan bebas narkoba

berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;

tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat rehabilitasi;

tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai

Pasal 59 Ayat (1) Draft RUU PA DPRD NAD tetap dipertahankan dengan alasan: Dalam qanun No.2 tahun 2004 j0.No.3 Tahun 2005, sebagai pelaksanaan Undang2 No.18 Tahun 2001,telah diatur tentang calon perorangan (independen ), dan qanun ini tidak pernah dibatalkan oleh Pemerintah. Dengan demikian sudah mengikat dan diakui. Penghilangan kesempatan kepada calon independen telah mengurangi hak demokrasi rakyat,terutama yg tdk memperoleh peluang melalui partai politik. Peluang ini sebenarnya harus disediakan,mengingat dalam ketentuan hukum kita terdapat kelompok warga negara yang karena fungsi/pekerjaannya dilarang menjadi anggota partai politik. MoU klausul 1.2.2. memberi luang untuk diajukan calon independen bagi semua posisi pejabat yg dipilih.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

j. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;

k. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;

l. tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah; dan

m. tidak sedang memiliki tanggungan hutang secara perorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara.

kekuatan hukum yang tetap; tidak pernah melakukan perbuatan tercela; mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di

daerahnya; menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia

untuk diumumkan; tidak dalam status sebagai penjabat

Gubernur/Bupati/Walikota; dan tidak sedang rnemiliki tanggungan hutang secara

perorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara.

Pasal 62

Partai politik atau gabungan partai politik wajib memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2), sebagai bakal calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota melalui mekanisme yang demokratis dan transparan sesuai peraturan perundang undangan.

Dalam proses penetapan pasangan calon, partai politik atau gabungan partai politik memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.

Pasal 62 RUU PA pemerintah harus dihapus karena: Dalam Qanun No.2 tahun 2004 j0.No.3 Tahun 2005, sebagai pelaksanaan Undang2 No.18 Tahun 2001,telah diatur tentang calon perorangan (independen ), dan qanun ini tidak pernah dibatalkan oleh Pemerintah. Dengan demikian sudah mengikat dan diakui. Penghilangan kesempatan kepada calon independen telah mengurangi hak demokrasi rakyat,terutama yg tdk memperoleh peluang melalui partai politik. Peluang ini sebenarnya harus disediakan,mengingat dalam ketentuan hukum kita terdapat kelompok warga negara yang karena fungsi/pekerjaannya dilarang menjadi anggota partai

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

politik. MoU klausul 1.2.2. memberi luang untuk diajukan calon independen bagi semua posisi pejabat yg dipilih.

Pasal 60

Tahap pengesahan dan pelantikan Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain terpilih meliputi:

a. penyerahan hasil pemilihan oleh KIP kepada DPRA dan untuk selanjutnya diteruskan kepada Presiden;

b. pengesahan Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain terpilih oleh Presiden; dan

c. pelantikan Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain Aceh yang dilaksanakan oleh Presiden Republik Indonesia dan pengangkatan sumpahnya dilakukan di hadapan Ketua Mahkamah Syar‘iyah Aceh dalam Sidang Paripurna DPRA.

Pasal 63 Tahap pengesahan dan pelantikan Gubernur dan Wukil Gubernur terpilih meliputi:

penyerahan hasil pemilihan oleh KIP kepada DPRA dan untuk selanjutnya diteruskan kepada Presiden;

pengesahan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih oleh Presiden; dan

Pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dihadapan Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh dalam sidang paripurna DPRA.

Pasal 61

Tahapan pengesahan dan pelantikan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota terpilih meliputi:

a. penyerahan hasil pemilihan oleh KIP kabupaten/kota kepada DPRK dan untuk selanjutnya diteruskan kepada Gubernur atau nama lain;

b. pengesahan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota terpilih oleh Presiden; dan

c. pelantikan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota yang dilaksanakan oleh Gubernur atau nama lain atas nama Presiden dan pengangkatan sumpahnya dilakukan di hadapan Ketua Mahkamah

Pasal 64 Tahapan penyesahan dan pelantikan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota terpilih meliputi:

a. penyerahan hasil pemilihan oleh KIP kabupaten/kota kepada DPRK dan untuk selanjutnya diteruskan kepada Gubernur;

b. pengesahan Bupati/Wakil Bupati atauWalikota/Wakil Walikota terpilih oleh Presiden; dan

c. Pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Gubernur atas nama Presiden RI dihadapan Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh dalam sidang paripurna DPRK.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Syar‘iyah kabupaten/kota dalam Sidang Paripurna DPRK.

Bagian KelimaPemilih dan Hak Pemilih

Pasal 62

(1) Pemilih untuk pemilihan Gubernur atau nama

lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota adalah warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh atau kabupaten/kota yang pada tanggal pemungutan suara memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. berusia sekuang-kurangnya 17 tahun atau sudah

pernah kawin; b. tidak sedang terganggu jiwanya; c. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan

d. terdaftar sebagai pemilih.

(2) Seorang warga negara RI yang telah terdaftar dalam daftar pemilih akan tetapi tidak lagi memenuhi syarat sebagai dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menggunakan hak pilihnya.

Bagian Keempat Pemilih dan Hak Pemilih

Pasal 65 (1). Pemilih untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,

Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota adalah warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh atau

(2). kabupaten/kota yang pada tanggal pemungutan suara memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a) berusia sekurang-kurangnya 17 tahun atau sudah

pernah kawin; b) tidak sedang terganggu jiwanya; c) tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan

d) terdaftar sebagai pemilih. (3). Warga Negara Indonesia yang telah terdaftar dalam

daftar pemilih akan tetapi tidak lagi memenuhi syarat sebagai dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menggunakan hak pilihnya.

Pasal 63

Pemilih di Aceh, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, mempunyai hak:

a. memilih Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota

Pasal 66

(1). Pemilih di Aceh, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, mempunyai hak: a) memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan

Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota; b) mengawasi proses pemilihan Gubernur dan Wakil

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

dan Wakil Walikota; b. mengawasi proses pemilihan Gubernur atau nama lain

dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota;

c. mengajukan penarikan kembali (recall) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

d. mengajukan pemberhentian sebelum habis masa jabatan Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota;

e. mengajukan usulan kebijakan pelaksanaan Pemerintahan Daerah;

f. mengajukan usulan penyempurnaan dan perubahan Qanun Aceh; dan

g. mengawasi penggunaan anggaran.

Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota;

c) mengajukan penarikan kembali anggota DPRA dan DPRK;

d) mengajukan pemberhentian sebelum habis masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota;

e) mengajukan usulan kebijakan pelaksanaan Pemerintahan Aceh/Kabupaten/Kota;

f) mengajukan usulan penyempurnaan dan perubahan Qanun; dan

g) mengawasi penggunaan anggaran.

Pelaksanaan hak-hak pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 64

Pelaksanaan hak-hak pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 diatur dengan Qanun Aceh.

BAB XIPARTAI POLITIK LOKAL

Bagian Kesatu Pembentukan

Pasal 65

(1) Penduduk Aceh dapat membentuk partai politik lokal.

(2) Partai politik lokal didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga

BAB XI PARTAI POLITIK LOKAL

Bagian Kesatu Pembentukan

Pasal 67

(1). Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) perempuan dan sudah berdomisili tetap di Aceh.

(3) Partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didirikan dengan akta notaris.

(4) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta struktur kepengurusan di tingkat Aceh.

(5) Partai politik lokal berkedudukan di Ibukota Aceh.

(6) Kepengurusan partai politik lokal terdiri atas sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) perempuan.

(2). Partai politik lokal didirikan dan dibentuk sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan sekurangkurangnya 30% (tiga puluh persen) perempuan dan sudah berdomisili tetap di Aceh.

(3). Partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didirikan berdasarkan akte notaris yang memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta struktur kepengurusannya.

(4). Kepengurusan partai politik lokal berkedudukan di Ibukota Aceh.

(5). Kepengurusan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sekurangkurangnya 30% (tiga puluh persen) perempuan.

(6). Partai politik lokal memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang ciri-cirinya tidak mempunyai persaniaan dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lain; dan

(7). Partai polilik lokal mempunyai alamat kantor yang tetap.

Pasal 66

Hal-hal mengenai keanggotaan dan kedaulatan anggota, kepengurusan, keuangan, pengawasan, pembubaran dan penggabungan, sanksi, serta peradilan partai politik lokal diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 68

(1) Partai Politik Lokal sebagaimana dimaksud dalam pasal 65 harus didaftarkan pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Aceh.

(2) Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi

Pasal 68 (1). Partai politik lokal yang telah memenuhi persyaratan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 didaftarkan pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Aceh.

(2). Pendaftaran partai polilik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan dalam Berita

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Manusia Aceh menerima pendaftaran pendirian partai politik lokal yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai peserta pemilu.

(3) Pendaftaran partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan dalam Berita Pemerintah Aceh.

(4) Perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik lokal peserta pemilu wajib didaftarkan kembali pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Aceh.

(5) Untuk dapat mengikuti pemilihan umum berikutnya harus memperoleh sekurang-kurangnya 5 % (lima persen) dari kursi DPRA atau 5 % (lima persen) dari kursi DPRK yang tersebar sekurang-kurangnya di 25 % (dua puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota.

Aceh/Kabupaten/Kota. (3). Perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah

tangga partai politik lokal peserta pemilu wajib didaftarkan kembali pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Aceh.

Bagian KeduaPersyaratan Untuk Ikut Pemilu

Pasal 67

Untuk dapat mengikuti pemilihan umum, partai politik lokal harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya di 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota di Aceh dan di 50% (lima puluh persen) dari jumlah kecamatan di setiap kabupaten/kota yang bersangkutan;

b. memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang ciri-cirinya tidak mempunyai persamaan dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lain; dan

c. mempunyai alamat kantor yang tetap.

Bagian Kedua Pemilu

Pasal 69 (1). Untuk dapat mengikuti pemilihan umum DPRA dan

DPRK, partai politik lokal harus memenuhi syarat mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota di Aceh Persyaratan Mengikuti dan 50% (lima puluh persen) dari jumlah kecamatan di setiap kabupaten/kota yang bersangkutan.

(2). Untuk dapat mengikuti pemilihan umum berikutnya harus memperoleh sekurangkurangnya 5% (lima persen) dari kursi DPRA atau 5% (lima persen) dari kursi DPRK yang tersebar sekurang-kurangnya di 25% (dua puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Bagian Ketiga

Asas, Tujuan dan Fungsi

Pasal 69

(1) Asas, ciri dan cita-cita partai lokal tidak boleh bertentangan dengan demokrasi, keadilan, kesejahteraan, perdamaian dan kemanusiaan.

(2) Partai politik lokal mencerminkan aspirasi, agama, adat istiadat dan filosofi kehidupan rakyat Aceh.

Bagian Ketiga Asas, Tujuan dan Fungsi

Pasal 70 (1). Asas, ciri dan cita-cita partai lokal tidak boleh

bertentangan dengan demokrasi, keadilan, kesejahteraan, perdamaian dan kemanusiaan.

(2). Partai politik lokal mencerminkan aspirasi, agama, adat istiadat dan filosofi kehidupan rakyat Aceh.

Pasal 70

Tujuan partai politik lokal adalah: a. mengamalkan dan memajukan nilai-nilai Islam; b. memajukan demokrasi; c. mewujudkan keadilan sosial; d. meningkatkan kesejahteraan rakyat; e. memajukan perdamaian; f. menegakkan Hak-hak Asasi Manusia; g. mewujudkan masyarakat madani.

Pasal 71

(1) Tujuan umum partai politik lokal adalah:

a. mengembangkan demokrasi; b. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ; dan

c. memperjuangkan hak-hak politik, sosial, agama, ekonomi, budaya, adat istiadat, keamanan dan ketertiban masyarakat Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 71 (1). Tujuan partai politik lokal meliputi:

a) mengamalkan dan memajukan nilai-nilai Islam; b) memajukan demokrasi; c) mewujudkan keadilan sosial; d) meningkatkan kesejahteraan rakyat; e) memajukan pcrdamaian; f) menegakkan hak asasi manusia; dan g) mewujudkan masyarakat madani.

(2). Tujuan umum partai politik lokal meliputi: a) mengembangkan demokrasi; b) mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan

c) memperjuangkan hak-hak politik, sosial, agama, ekonomi, budaya, adat istiadat, keamanan dan ketertiban masyarakat Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(3). Tujuan khusus partai politik lokal meliputi:

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(2) Tujuan khusus partai politik lokal adalah: a. meningkatkan partisipasi politik rakyat Aceh

dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat daerah maupun nasional;

b. berperan aktif dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang adil dan bermartabat;

c. memperjuangkan cita-cita politik partai dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai kekhususan dan keistimewaan Aceh.

a) meningkatkan partisipasi politik rakyat Aceh dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat daerah maupun nasional;

b) berperan aktif dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang adil dan bermartabat; dan

c) memperjuangkan cita-cita politik partai dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai kekhususan dan keistimewaan Aceh.

Pasal 72

Partai politik lokal berfungsi sebagai : a. sarana pendidikan politik bagi anggotanya dan

masyarakat; b. sarana penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan

dan kesatuan bangsa untuk kesejahteraan rakyat; c. sarana penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi

politik rakyat; d. sarana partisipasi politik rakyat.

Pasal 72 Partai politik lokal berfungsi sebagai sarana:

a. pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat;

b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan rakyat;

c. penyerap, penghimpun clan penyalur aspirasi politik rakyat; dan

d. partisipasi politik rakyat.

Bagian KeempatHak dan Kewajiban

Pasal 73

(1) Partai politik lokal berhak:

a. memperoleh perlakuan yang sama, sederajat dan adil dari pemerintah;

b. mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri;

c. memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar partainya dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM);

Bagian Keempat Hak dan Kewajiban

Pasal 73 (1). Partai politik lokal berhak:

a) memperoleh perlakuan yang sama, sederajat dan adil dari Pernerintah;

b) mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri;

c) memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar partainya dari Departemen Hukum

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

d. turut serta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota DPRA dan DPRK ;

e. mengusulkan pemberhentian anggotanya di DPRA dan DPRK;

f. mengusulkan pergantian antar waktu anggotanya di DPRA dan DPRK;

g. mengusulkan pasangan calon Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, calon Bupati dan Wakil Bupati, serta calon Walikota dan Wakil Walikota di Aceh; dan

h. melakukan aliansi atau penggabungan dengan sesama partai politik lokal atau partai politik nasional lainnya.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sampai dengan huruf h diatur dengan Qanun Aceh.

dan Hak Asasi Manusia (HAM); d) turut serta dalam pemilihan umum untuk memilih

Anggota DPRA dan DPRK; e) mengusulkan pemberhentian anggotanya di DPRA

dan DPRK; f) mengusulkan pergantian antar waktu anggotanya

di DPRA dan DPRK; g) mengusulkan pasangan calon Gubernur dan Wakil

Gubernur, calon Bupati dan Wakil Bupati, serta calon Walikota dan Wakil Walikota di Aceh; dan

h) melakukan koalisi atau penggabungan dengan sesama partai politik lokal atau partai politik nasional lainnya.

(2). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 74

Partai politik lokal berkewajiban: a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang

Undang Dasar Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya;

b. mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; d. berpartisipasi dalam pembangunan Aceh dan

pembangunan nasional; e. menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan

hak asasi manusia; f. melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi

politik anggotanya;

Pasal 74 Partai politik lokal berkewajiban:

a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang Undang Dasar Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya;

b. mempertahunkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; d. berpartisipasi dalam pembangunan Aceh dan

pembangunan nasional; e. menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi,

dan hak asasi manusia; f. melakukan pendidikan politik dan menyalurkan

aspirasi politik anggotanya; g. menyukseskan pemilihan umum pada tingkat

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

g. menyukseskan pemilihan umum pada tingkat daerah dan nasional;

h. melakukan pendataan dan memelihara data anggota; i. membuat pembukuan, daftar penyumbang dan jumlah

sumbangan yang diterima, serta terbuka untuk diketahui oleh masyarakat dan pemerintah;

j. membuat laporan keuangan secara berkala; k. memiliki rekening khusus dana partai; dan l. mengupayakan berlakunya syariat Islam.

daerah dan nasional; h. melakukan pendataun dan memelihara data

anggota; i. membuat pembukuan, daftar penyumbang dan

jumlah sumbangan yang diterima, serta terbuka untuk diketuhui oleh masyarakat dan pemerintah;

j. membuat laporan keuangan secara berkala; k. memiliki rekening khusus dana partai; dan l. mengupayakan berlakunya syariat Islam.

Bagian Kelima Larangan

Pasal 75

(1) Partai politik lokal dilarang menggunakan nama,

lambang, atau tanda gambar yang sama dengan: a. bendera atau lambang negara Republik

Indonesia; b. lambang lembaga negara atau lambang

Pemerintah; c.nama, bendera, atau lambang negara lain atau

lembaga/badan internasional; d. nama dan gambar seseorang; atau e. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau

keseluruhannya dengan partai politik lokal dan partai politik berbasis nasional lain.

(2) Partai politik lokal dilarang:

a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila, Undang Undang Dasar Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya;

b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Bagian Kelima Larangan Pasal 75

(1). Partai politik lokal dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan: a) bendera atau lambang negara Republik Indonesia; b) lambang lembaga negara atau lambang

Pemerintah; c) nama, bendera, atau lambang negara lain atau

lembaga/badan internasional; d) nama dan gambar seseorang; atau e) yang mempunyai persamaan pada pokok atau

keseluruhannya dengan partai politik lokal dan partai politik berbasis nasional lain.

(2). Partai politik lokal dilarang: a) melakukan kegial.an yang bertentangan dengan

Pancasila, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan Iainnya;

b) melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

c. menerima dari atau memberikan sumbangan kepada pihak asing dalam bentuk apa pun, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

d. menerima sumbangan, baik berupa barang maupun uang, dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas;

e. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan oleh Perundang-undangan; atau

f. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik Desa atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kemanusiaan.

(3) Partai politik lokal dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.

(4) Partai politik lokal dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme dan marxisme-leninisme.

(4). Partai politik lokal dilarang menganut,

mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme dan marxisme-leninisme.

c) menerima atau memberikan sumbangan kepada pihak asing dalam bentuk apa pun, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

d) menerima sumbangan, baik berupa barang maupun uang, dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas;

e) menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; atau

f) meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, lembaga swadaya masyarukat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kemanusiaan.

(3). Partai politik lokal dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.

Pasal 76

(1). Keanggotaan, kedaulatan anggota, kepengurusan partai politik lokal diatur dalam Anggaran Dasar dan Rumah Tangga partai politik lokal.

(2). Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara pembentukan, pembubaran dan penggabungan, keuangan, pengawasan, sanksi, serta pengadilan perkara partai politik lokal diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(3). Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan paling lambat Februari

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

2007.

BAB XIILEMBAGA WALI NANGGROE

Pasal 76

(1) Lembaga Wali Nanggroe merupakan lembaga kepemimpinan adat dan pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa serta berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.

(2) Wali Nanggroe adalah seseorang yang memiliki kharisma di bidang agama, budaya dan adat istiadat.

(3) Syarat-syarat calon Wali Nanggroe :

a. beragama Islam;

b. orang Aceh;

c. kharismatik;

d. mempunyai wawasan yang luas serta kuat tentang agama, sejarah, adat, budaya dan peradaban Aceh;

e. telah berusia sekurang-kurangnya 40 tahun;

f. berpendidikan minimal SLTA atau sederajat; dan

g. sehat jasmani dan rohani.

(4) Wali Nanggroe dipilih dalam musyawarah yang pesertanya terdiri dari:

a. pemuka adat, ulama dan tokoh-tokoh masyarakat yang mewakili kabupaten/kota;

b. ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh;

BAB XII LEMBAGA WALI NANGGROE

Pasal 77

(1). Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacaraupacara adat Iainnya.

(2). Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen.

(3). Syarat-syarat calon Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a) warga negara Indonesia; b) telah berusia sekurang-kurangnya 40 tahun; c) beragama Islam; d) orang Aceh; e) kharismatik; f) mempunyai wawasan yang luas serta kuat tentang

agama, sejarah, adat, budaya dan peradaban Aceh;

g) berpendidikan minimal SLTA atau sederajat; dan h) sehat jasmani dan rohani,

(4). Wali Nanggroe dipilih dalam musyawarah yang pesertanya terdiri dari: a) pemuka adat, ulama dan tokoh-tokoh masyarakat

yang mewakili kabupaten/kota;

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

dan

c. ketua Majelis Adat Aceh.

(5) Peserta musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, sebanyak 3 (tiga) orang dari setiap kabupaten/kota yang terdiri dari:

a. 1 (satu) orang pemuka adat yang mewakili Majelis Adat Kabupaten/Kota;

b. 1 (satu) orang dari unsur ulama yang mewakili MPU Kabupaten/Kota; dan

c. 1 (satu) orang dari unsur tokoh masyarakat yang dipilih oleh musyawarah imuem mukim atau nama lain.

(6) Pelaksanaan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) huruf c, difasilitasi oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang diatur dengan Qanun Aceh.

b) ketua Majelis Pcrmusyawaratan Ulama Aceh; dan c) ketua Majelis Adat Aceh.

(5). Peserta musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, sebanyak 3 (tiga) orang dari setiap kabupaten/kota yang terdiri dari: a) 1 (satu) orang pemuka adat yang mewakili Majelis

Adat Kabupaten/Kota; b) 1 (satu) orang dari unsur ulama yang mewakili

MPU Kabupaten/Kota; dan c) 1 (satu) orang dari unsur tokoh masyarakat yang

dipilih oleh musyawarah imuem mukim atau nama lain.

(6). Pelaksanaan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), difasilitasi oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota yang diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 77

Wali Nanggroe berhak memberikan gelar kehormatan atau derajat adat kepada perorangan atau lembaga baik dalam maupun luar negeri yang kriteria dan tatacaranya diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 78 Wali Nanggroe berhak mcmberikan gelar kehormatan atau derajat adat kepada perorangan atau lembaga baik dalarn maupun luar negeri yang kriteria dan tatacaranya diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 78

(1) Masa jabatan Wali Nanggroe adalah 5 (lima) tahun untuk satu periode dan dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.

(2) Kedudukan protokoler dan keuangan Wali Nanggroe diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 79 (1). Masa jabatan Wali Nanggroe 5 (lima) tahun untuk

satu periode dan dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.

(2). Kedudukan protokoler dan keuangan Wali Nanggroe diatur dengan Qanun Aceh.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

BAB XIIILEMBAGA ADAT

Pasal 79

(1) Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai alat kontrol dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, bidang keamanan, ketentraman, kerukunan dan ketertiban masyarakat.

(2) Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat.

(3) Lembaga-lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) antara lain:

a. Majelis Adat Aceh (MAA); b. imeum mukim atau nama lain; c. imeum chik atau nama lain; d. keuchik atau nama lain; e. tuha peut atau nama lain; f. tuha lapan atau nama lain; g. imeum meunasah atau nama lain; h. keujreun blang atau nama lain; i. panglima laot atau nama lain; j. pawang glee atau nama lain; k. peutua seuneubok atau nama lain; l. haria peukan atau nama lain; m. syahbanda atau nama lain.

(4) Penetapan tugas, wewenang, hak dan kewajiban lembaga-lembaga adat serta pemberdayaan adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud dalam pasal ini diatur dengan Qanun Aceh.

BAB XIII LEMBAGA ADAT

Pasal 80 (1). Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai

wahana partisipasi masyarakat dalampenyelenggaraan Pemerintahan Aceh di bidang keamanan, ketentraman, kerukunan. clan ketertiban masyarakat.

(2). Penyelesuian musalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat.

(3). Lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi: a) Majelis Adat Aceh; b) imeum mukim atau narna lain; c) imeum chik atau nama lain; d) keuchik atau nama lain; e) tuba peut atau nama lain; f) tuha lapan atuu numa lain; g) imeum meunasah atau nama lain; h) keujreun blang atau nama lain; i) panglima laot atau nama lain; j) pawung glee atau nama lain; k) peutua seuneubok atau nama lain; l) haria peukan atau nama lain; dan m) syuhbanda atau nama lain.

(4). Penetapan tugas, wewenang, hak dan kewajiban lembaga adat, pemberdayaan adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 80

(1) Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat sesuai dengan perkembangan dan keistimewaan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai Syari’at Islam, dilaksanakan oleh Wali Nanggroe.

(2) Penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum di masyarakat Aceh dilakukan oleh lembaga-lembaga adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe.

(3) Pelaksanaan ketentuan dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 81 (1). Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat sesuai

dengan perkembangan dan keistimewaan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai Syari'at Islam dilaksanakan oleh Wali Nanggroe.

(2). Penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum di masyarakat Aceh dilakukan oleh lembaga adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe.

(3). Pelaksanaan ketentuan dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

BAB XIVPERANGKAT PEMERINTAH ACEH

DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Bagian Kesatu Umum

Pasal 81

(1) Perangkat Pemerintah Aceh terdiri atas Sekretariat

Daerah, Sekretariat DPRA, Dinas Daerah, dan lembaga teknis daerah yang diatur dengan Qanun Aceh.

(2) Perangkat Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri atas Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRA, Dinas Daerah, lembaga teknis daerah, Kecamatan, Mukim dan Gampong yang diatur dengan Qanun kabupaten/kota.

BAB XIV PERANGKAT ACEH DAN KABUPATEN/KOTA

Bagian Kesatu Umum

Pasal 82

(1). Perangkat Aceh terdiri atas Sekretariat Aceh, Sekretariat DPRA, Dinas Aceh dan lembaga teknis Aceh yang diatur dengan Qanun Aceh.

(2). Perangkat Kabupaten/Kota terdiri atas Sekretariat Kabupaten/Kota, Sekretariat DPRK, Dinas Kabupaten/Kota, lembaga teknis Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kelurahan, yang diatur dengan Qanun Kabupaten/Kota.

Istilah “Kelurahan” dalam Pasal 82 RUU PA Pemerintah harus dihilangkan karena dlm susunan pemerintahan sesuai dgn Pasal 2 UU no. 18 thn 2001 tdk lagi dikenal istilah kelurahan.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Bagian KeduaSekretariat Pemerintah Aceh

Pasal 82

(1) Sekretariat Pemerintah Aceh dipimpin oleh Sekretaris Pemerintah Aceh.

(2) Sekretariat Pemerintah Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan kewajiban membantu Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas, lembaga dan badan-badan Pemerintahan Aceh.

(3) Dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sekretaris Pemerintah Aceh bertanggung jawab kepada Gubernur atau nama lain.

(4) Apabila Sekretaris Pemerintah Aceh berhalangan melaksanakan tugasnya, tugas Sekretaris Aceh dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk Gubernur atau nama lain.

Bagian Kedua Sekretariat Aceh

Pasal 83

(1). Sekretariat Aceh dipimpin oleh Sekretaris Aceh. (2). Sekretariat Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) mempunyai tugas dan kewajiban membantu Gubernur dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas, lembaga dan badan-badan Aceh.

(3). Pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sekretaris Aceh bertanggung jawab kepada Gubernur.

(4). Apabila Sekretaris Aceh berhalangan melaksanakan tugasnya, tugas Sekretaris Aceh dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk Gubernur.

Bagian Ketiga Sekretariat Pemerintah Kabupaten/Kota

Pasal 83

(1) Sekretariat Pemerintah Kabupaten/Kota dipimpin oleh Sekretaris Pemerintah Kabupaten/Kota.

(2) Sekretariat Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan kewajiban membantu Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota dalam menyusun kebijakan

Bagian Ketiga Sekretariat kabupaten/kota

Pasal 84

(1). Sekretariat Kabupaten/Kota dipimpin oleh Sekretaris Kabupaten/Kota.

(2). Sekretariat Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) mempunyai tugas dan kewajiban membantu Bupati/Walikota dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas, lembaga

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

dan mengkoordinasikan dinas, lembaga dan badan-badan Kabupaten/Kota.

(3) Dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sekretaris Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada Bupati atau Walikota.

(4) Apabila Sekretaris Pemerintah Kabupaten/Kota berhalangan melaksanakan tugasnya, tugas Sekretaris Daerah dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk Bupati atau Walikota.

dan badan kabupaten/kota. (3). Pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), Sekretaris Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.

(4). Apabila Sekretaris Kabupaten/Kota berhalangan

melaksanakan tugasnya, tugas Sekretaris dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk Bupati/Walikota.

Pasal 84

(1) Sekretaris Pemerintah Aceh diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.

(2) Sekretaris Pemerintah Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Aceh diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur atau nama lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Sekretaris Pemerintah Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atau nama lain atas usul Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Sekretaris Pemerintah Aceh karena kedudukannya mempunyai fungsi sebagai pembina pegawai negeri sipil di daerahnya.

Pasal 85

(1). Sekretaris Aceh dan Kabupaten/Kota diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.

(2). Sekretaris Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3). Sekretaris Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4). Sekretaris Aceh dan Sekretaris Kabupaten/Kota

karena kedudukannya mempunyai fungsi sebagai pembina pegawai negeri sipil di daerahnya.

Bagian KeempatSekretariat DPRA

Pasal 85

Bagian Keempat Sekretariat DPRA

Pasal 86

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(1) Sekretariat DPRA dipimpin oleh Sekretaris DPRA.

(2) Sekretaris DPRA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atau nama lain dengan persetujuan pimpinan DPRA.

(3) Sekretaris DPRA mempunyai tugas:

a. menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRA;

b. menyusun rencana anggaran Sekretariat DPRA dan menyelenggarakan administrasi keuangan;

c. mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRA; dan

d. menyediakan dan mengkoordinasi tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRA dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

(4) Sekretaris DPRA dalam menyediakan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRA.

(5) Sekretaris DPRA dalam melaksanakan tugasnya secara teknis operasional berada dibawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRA dan secara administratif bertanggung jawab kepada Gubernur atau nama lain, melalui Sekretaris Daerah.

(6) Susunan organisasi Sekretariat DPRA ditetapkan dengan Qanun Aceh.

(1). Sekretariat DPRA dipimpin oleh Sekretaris DPRA. (2). Sekretaris DPRA sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur dengan persetujuan pimpinan DPRA.

(3). Sekretaris DPRA mempunyai tugas: a) menyelenggarakan administrasi kesekretariatan

DPRA; b) menyusun rencana anggaran Sekretariat DPRA

dan menyelenggarakan administrasi keuangan; c) mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRA;

dan d) menyediakan dan mengkoordinasi tenaga ahli

yang diperlukan oleh DPRA dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

(4). Sekretaris DPRA dalam inenyediakan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRA.

(5). Sekretaris DPRA dalani melaksanakan tugasnya secara teknis operasional berada dibawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRA dan secara administratif bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Aceh.

(6). Susunan organisasi Sekretariat DPRA ditetapkan dengan Qanun Aceh.

Bagian KelimaSekretariat DPRK

Pasal 86

Bagian Kelima Sekretariat DPRK

Pasal 8 7

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(1) Sekretariat DPRK dipimpin oleh Sekretaris DPRK.

(2) Sekretaris DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Bupati atau Walikota dengan persetujuan pimpinan DPRK.

(3) Sekretaris DPRK mempunyai tugas:

a. menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRK;

b. menyusun rencana anggaran Sekretariat DPRK dan menyelenggarakan administrasi keuangan;

c. mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRK; dan

d. menyediakan dan mengkoordinasi tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRK dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

(4) Sekretaris DPRK dalam menyediakan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRK.

(5) Sekretaris DPRK dalam melaksanakan tugasnya secara teknis operasional berada dibawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRK dan secara administratif bertanggung jawab kepada Bupati dan Walikota melalui Sekretaris Pemerintah Kabupaten/kota.

(6) Susunan organisasi Sekretariat DPRK ditetapkan dengan Qanun Aceh.

(1). Sekretariat DPRK dipimpin oleh Sekretaris DPRK. (2). Sekretaris DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota dengan persetujuan pimpinan DPRK.

(3). Sekretaris DPRK mempunyai tugas: a) menyelenggarakan administrasi kesekretariatan

DPRK; b) menyusun rencana anggaran Sekretariat DPRK

dan menyelenggarakan administrasi keuangan; c) mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRK;

dan d) menyediakan dan mengkoordinasi tenaga ahli

yang diperlukan oleh DPRK dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan Kabupaten/Kota.

(4). Sekretaris DPRK dalam menyediakan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRK.

(5). Sekretaris DPRK dalam melaksanakan tugasnya secara teknis operasional berada dibawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRK dan secara administratif bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Kabupaten/Kota.

(6). Susunan organisasi Sekretariat DPRK ditetapkan dengan Qanun Kabupaten/Kota.

Bagian Keenam Dinas, Badan dan Lembaga Pemerintah Aceh dan

Kabupaten/Kota

Pasal 87

(1) Dinas Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota

Bagian Keenam Dinas,Badan dan Lembaga Teknis Aceh dan

Kabupaten/Kota Pasal 88

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

merupakan unsur pelaksana Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota.

(2) Dinas Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota dipimpin oleh Kepala Dinas yang diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atau nama lain, Bupati dan Walikota yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Pemerintah Aceh dan Sekretaris Pemerintah Kabupaten/Kota.

(3) Kepala Dinas Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggungjawab kepada Gubernur atau nama lain, Bupati/Walikota melalui Sekretaris Pemerintah Aceh dan Sekretaris Pemerintah Kabupaten/Kota.

(1). Dinas Aceh dan Kabupaten/Kota merupakan unsur pelaksana Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota.

(2). Dinas Aceh dan kabupaten/kota dipimpin oleh kepala dinas yang diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.

(3). Kepala Dinas Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Sekretaris Aceh.

(4). Kepala Dinas Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris kabupaten/kota.

(5). Kepala Dinas Aceh bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Aceh.

(6). Kepala Dinas kabupaten/kota bertanggungjawab kepada Bupali/Walikota melalui Sekretaris kabupaten/kota.

Pasal 88

(1) Lembaga teknis Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota merupakan unsur pendukung tugas Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersifat spesifik berbentuk badan/lembaga dan kantor.

(2) Badan dan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh kepala badan/lembaga, kepala kantor yang diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atau nama lain, Bupati atau Walikota yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Pemerintah Aceh dan Sekretaris Pemerintah Kabupaten/Kota.

Pasal 89 (1). Lembaga Teknis Aceh merupakan unsur pendukung

tugas Gubernur dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan Aceh yang bersifat spesilik berbentuk badan/kantor.

(2). Lembaga teknis kabupaten/kota merupakan unsur pendukung tugas Bupati/Walikota dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota yang bersifat spesifik berbentuk badan/kantor.

(3). Badan/kantor Aceh dan kabupaten/kota dipimpin oleh Kepala Badan/kantor yang diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.

(4). Kepala Badan/kantor Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Sekretaris Aceh.

(5). Kepala badan/kantor kabupaten/kota sebagaimana

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(3) Kepala badan dan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab kepada Gubernur atau nama lain, Bupati atau Walikota melalui Sekretaris Pemerintah Aceh dan Sekretaris Pemerintah Kabupaten/Kota.

dimaksud pada ayat (3) diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris kabupaten/kota.

(6). Kepala Badan/kantor Aceh bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Aceh.

(7). Kepala Badan/kantor kabupaten/kota bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris kabupatcn/kota.

Bagian Ketujuh Kecamatan

Pasal 89

(1) Kecamatan dipimpin oleh Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota untuk menangani urusan kabupaten/kota.

(2) Penunjukan dan pengangkatan Camat Kepala Wilayah Kecamatan oleh Bupati atau Walikota setelah mendapat pertimbangan para imeum mukim atau nama lain.

(3) Pemekaran kecamatan baru di wilayah kabupaten/kota ditetapkan dengan Qanun.

(4) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Camat juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi: a. mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan

masyarakat; b. mengkoordinasikan upaya penyelengaraan

ketentraman dan ketertiban umum; c. mengkoordinasikan penerapan dan penegakan

peraturan perundang-undangan;

Bagian Ketujuh Kecamatan

Pasal 90

(1). Kecamatan dipimpin oleh Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota untuk menangani urusan kabupaten/kota.

(2). Penunjukan dan pengangkatan Camat Kepala Wilayah Kecamatan oleh Bupati/Walikota.

(3). Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Camat juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi: a) mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan

masyarakat; b) mengkoordinasikan upaya penyelengaraan

ketentraman dan ketertiban umum; c) mengkoordinasikan penerapan dan penegakan

peraturan perundang-undangan; d) mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan

fasilitas pelayanan umum; e) mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan

pemerintahan di tingkat Kecamatan; f) membina penyelenggaraan pemerintahan Mukim,

Kelurahan dan Gampong; dan

Pasal 89 Ayat (2) Draft RUU PA DPRD NAD tetap dipertahankan karena hal ini merupakan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat Aceh. Pasal 89 Ayat (3) Draft RUU PA DPRD NAD tetap dipertahankan karena sesuai dengan kewenangan Aceh.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

d. mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;

e. mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat Kecamatan;

f. membina penyelenggaraan pemerintahan Mukim dan Gampong;

g. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan Mukim dan Gampong.

(5) Camat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris daerah Kabupaten/Kota dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat sesuai perundang-undangan.

(6) Camat dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dibantu oleh perangkat Kecamatan dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Pemerintah Kabupaten/Kota.

(7) Perangkat Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bertanggung jawab kepada Camat.

(8) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) ditetapkan dengan peraturan Bupati atau Walikota dengan berpedoman pada Qanun.

g) rnelaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan Mukim, Kelurahan dan Gampong.

(4). Camat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat sesuai peraturan perundang-undangan.

(5). Camat dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat.(3) dan ayat (4) dibantu oleh perangkat Kecamatan dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris kabupaten/kota.

(6). Perangkat Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bertanggungjawab kepada Camat.

(7). Pelaksanaan ketentuan sebagairnana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota dengan berpedoman pada Qanun Kabupaten/Kota.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Bagian Kedelapan Kelurahan Pasal 91

(1). Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan Qanun kabupaten/kota berpedoman pada Peraturan Pernerintah.

(2). Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dariBupati/Walikota.

Istilah “Kelurahan” dalam Pasal 91 RUU PA Pemerintah harus dihilangkan karena dlm susunan pemerintahan sesuai dgn Pasal 2 UU no. 18 thn 2001 tdk lagi dikenal istilah kelurahan.

(3). Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Lurah mempunyai tugas: a) pelaksanaan kegiatan pemerintahan kelurahan; b) pemberdayaan masyarakat; c) pelayanan masyarakat; d) penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban

umum; dan e) pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan

umum. (4). Lurah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat

oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(5). Dalarn melaksanukan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Lurah bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Camat.

(6). Lurah dalam rnelaksunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibantu oleh perangkat kelurahan.

(7). Perangkat kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bertanggung jawab kepada Lurah.

(8). Untuk kelancaran pelaksanaan tugas Lurah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk

sub BAB bagian kedelapan tentang kelurahan dihapus, dengan alasan sama dengan diatas.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dalam Qanun Kabupaten/Kota.

(9). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedelapan

Imeum Mukim

Pasal 90

(1) Imeum Mukim atau nama lain adalah Kepala Pemerintahan Mukim yang dibantu oleh Tuha Peuet Mukim atau nama lain yang dipilih melalui musyawarah Mukim untuk masa jabatan 5 (lima) tahun.

(2) Kedudukan, tugas dan fungsi, organisasi dan kelengkapan Mukim diatur dengan Qanun.

BAB XV MUKIM DAN GAMPONG

Bagian Kesatu Mukim

Pasal 92 (1). Dalam kabupaten/kota dibentuk Mukim yang

terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang berkedudukan langsung di bawah Camat.

(2). Mukim dipimpin oleh Imeurn Mukim atau nama lain sebagai penyelenggara tugas dan fungsi Mukim yang dibantu oleh Tuha Peuet Mukim.

(3). Imeum Mukirn atau nama lain dipilih melalui musyawarah Mukim untuk masa jabatan 5 (lima) tahun.

(4). Kedudukan, tugas dan fungsi, organisasi dan kelengkapan Mukim diatur dengan Qanun.

Bagian Kesembilan Pemerintahan Gampong

Pasal 91

(1) Dalam pemerintahan daerah Kabupaten/Kota dibentuk pemerintahan Gampong atau nama lain dan Badan Permusyawaratan Gampong yang disebut

Bagian Kedua Gampong Pasal 93

(1). Dalam kabupaten/kota dibentuk Gampong atau nama

lain. (2). Dalam Gampong dibentuk pemerintahan Gampong

yang terdiri dari Badan Permusyawaratan Gampong

Penambahan ayat 1 di draft depdagri.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Tuha Peut atau nama lain.

(2) Gampong atau nama lain dipimpin oleh seorang Keuchik yang dipilih secara langsung oleh masyarakat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

(3) Pembentukan, penghapusan, dan/ataupenggabungan Gampong atau nama lain dengan memperhatikan asal-usul dan atas prakarsa masyarakat.

(4). Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Gampong atau nama lain dengan memperhatikan asal-usul dan atas prakarsa masyarakat.

(4) Ketentuan lebih lanjut tentang kedudukan, fungsi, pembiayaan, organisasi dan perangkat pemerintahan Gampong atau nama lain diatur dengan Qanun.

yang disebut Tuha Peut atau nama lain. (3). Gampong atau nama lain dipimpin oleh seorang

Keuchik yang dipilih secara langsung oleh masyarakat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

(5). Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, fungsi, pembiayaan, organisasi dan perangkat pemerintahan Gampong atau nama lain diatur dengan Qanun Kabupaten/Kota.

BAB XV

KEPEGAWAIAN

Pasal 92

(1) Pemerintah dan Pemerintah Aceh melaksanakan pembinaan pegawai negeri sipil daerah dalam suatu kesatuan penyelenggaraan pegawai negeri secara nasional.

(2) Pembinaan pegawai negeri sipil daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan pengendalian jumlah.

BAB XVI KEPEGAWAIAN

Pasal 94

(1). Pemerintah melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil Aceh/kabupatenlkota dalam satu kesatuan penyelenggaran manajemen pegawai negei sipil secara nasional.

(2). Manajemen pegawai negeri sipil Aceh/kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pension, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan pengendalian jumlah.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 93

(1) Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada Pemerintah Aceh ditetapkan oleh Gubernur atau nama lain.

(2) Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintahan Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi dan mendapat rekomendasi Gubernur atau nama lain.

Pasal 95 (1). Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari

dan dalam jabatan eselon II pada Pemerintah Aceh ditetapkan oleh Gubernur.

(2). Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi dengan Gubernur.

Pasal 94

(1) Perpindahan pegawai negeri sipil antar Kabupaten/Kota dalam satu wilayah Aceh ditetapkan oleh Gubernur atau nama lain setelah memperoleh pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Aceh.

(2) Perpindahan pegawai negeri sipil antara Aceh dengan provinsi lainnya ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara.

(3) Perpindahan pegawai negeri sipil daerah Kabupaten/Kota ke departemen/lembaga pemerintah non Departemen atau sebaliknya, ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara.

Pasal 96 (1). Perpindahan pegawai negeri sipil antar

kabupaten/kota dalam Aceh ditetapkan oleh Gubernur setelah memperoleh pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara.

(2). Perpindahan pegawai negeri sipil antar kabupaten/kota antar provinsi dan antar provinsi ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara.

(3). Perpindahan pegawai negeri sipil dari Aceh/kabupaten/kota ke Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen atau sebaliknya, ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara.

Pasal 94 Ayat (1) Draft RUU PA DPRD NAD tetap dipertahankan karena hal tersebut merupakan kewenangan Aceh.

Pasal 95

Penetapan formasi pegawai negeri sipil daerah setiap tahun anggaran dilaksanakan oleh Gubernur atau nama lain dengan pemberitahuan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.

Pasal 97 Penetapan formasi pegawai negeri sipil daerah setiap tahun anggaran diusulkan oleh Gubernur kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 96

Pengembangan karir pegawai negeri sipil daerah mempertimbangan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan, mutasi antar daerah, dan kompetensi.

Pasal 98 Pengembangan karir pegawai negeri sipil Aceh/Kabupaten/Kota mempertimbangan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan, mutasi antar daerah dan kompetensi.

Pasal 97

(1) Gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil daerah dibebankan pada APBD yang bersumber dari alokasi dasar dalam dana alokasi umum.

(2) Penghitungan dan penyesuaian besaran alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akibat pengangkatan, pemberhentian, pemindahan pegawai negeri sipil daerah dilaksanakan setiap tahun.

(3) Penghitungan alokasi dasar sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

(4) Pemerintah melakukan pemutakhiran data pengangkatan, pemberhentian, dan pemindahan pegawai negeri sipil daerah untuk penghitungan penyesuaian alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 99 (1). Gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil daerah

dibebankan pada APBA/APBK yang bersumber dari alokasi dasar dalam dana alokasi umum.

(2). Penghitungan dan penyesuaian besaran alokasi dasar sebagairana dimaksud pada ayat (1) akibat pengangkatan, pemberhentian, pemindahan pegawai negeri sipil daerah dilaksanakan setiap tahun.

(3). Penghitungan alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

(4). Pemerintah melakukan pemutakhiran data pengangkatan, pemberhentian, dan pemindahan pegawai negeri sipil Aceh/kabupaten/kota untuk penghitungan penyesuaian alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 98

(1) Pembinaan dan pengawasan pegawai negeri sipil daerah dilaksanakan oleh Gubernur atau nama lain.

(2) Standar, norma, dan prosedur pembinaan dan pengawasan pegawai negeri sipil daerah diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 100 (1). Pembinaan dan pengawasan pegawai negeri sipil

Aceh/kabupaten/kota pada tingkat nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri dan pada tingkat Aceh/kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur.

(2). Standar, norma, dan prosedur pembinaan dan pengawasan pcgawai negeri sipil

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Aceh/kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XVIII

MAHKAMAH SYAR’IYAH

Pasal 105

(1) Peradilan Syari’at Islam di Aceh sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun.

(2) Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah, mu’amalah dan jinayah yang didasarkan atas syari’at Islam yang diatur dengan Qanun.

(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam dan non Islam yang melakukan tindak pidana atau sengketa perdata bersama-sama dengan pemeluk agama Islam.

BAB XVII

MAHKAMAH SYAR'IYAH Pasal 101

(1). Peradilan Syari'at Islam di Aceh sebagai bagian dari

sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar'iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun.

(2). Kewenangan Mahkamah Syar'iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan bagi perneluk agama Islam.

(3). Kewenangan Mahkamah Syar'iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah, mu'amalah dan jinayah yang didasarkan atas syari'at Islam yang diatur dengan Qanun.

- Pasal 105 ayat (3) Draft

DPRD perlu dipertahankan dengan alasan: secara sosiologis kejahatan bersama yang dilakukan oleh muslim dan non muslim terasa tidak adil jika diadili di peradilan yang berbeda.

- Fakta nya ada kasus tindak pidana perjudian yang dilakukan bersama-sama oleh muslim dan non muslim ternyata yang non muslim justru minta diadili pada Mahkamah Syar’iah (....). Namun Mahkamah Syar’iah terpaksa menolak dengan alasan di luar kewenangan.

-

Pasal 106

(1) Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) terdiri atas Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding.

(2) Mahkamah Syar’iyah Aceh adalah pengadilan terakhir untuk perkara nikah, talaq, cerai dan rujuk.

Pasal 102 (1). Mahkamah Syar'iyah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 101 ayat (1) terdiri atas Mahkamah Syar'iyah kabupaten/kota sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Syar'iyah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding.

(2). Mahkamah Syar'iyah Aceh merupakan pengadilan terakhir untuk perkara nikah, talaq, cerai dan rujuk.

(3). Selain perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 107

(1) Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer dan polisi yang beragama Islam diadili oleh Mahkamah Syar’iyah.

(2) Semua kejahatan sipil yang dilakukan bersama-sama oleh aparat militer dan polisi pemeluk agama Islam dan non Islam diadili oleh Mahkamah Syar’iyah.

(3) Kejahatan sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun.

- Pasal 107, 108 Draft DPRD perlu dipertahankan, dengan alasan : bahwa pasal tersebut adalah merupakan amanat MoU point 1.4.5. Pencantuman pasal ini dimaksudkan adalah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi ini di masa yang akan datang

- Pelaku kejahatan sipil dan militer diadili di mahkamah Syar’iah juga mengangkat harkat dan martabat negara di mata international.

Pasal 108

(1) Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer dan polisi yang bukan beragama Islam diadili oleh Pengadilan Umum .

(2) Penyidikan terhadap kejahatan sipil sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1), ayat (2) dan pasal 107 ayat (1) dilakukan oleh Polisi dan penuntutan dilakukan oleh Kejaksaan.

Pasal 109

(1) Hakim Mahkamah Syar’iyah diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

(2) Mahkamah Agung dapat mengusulkan pengangkatan hakim ad-hoc yang dibiayai oleh Pemerintah dan Pemerintah Aceh.

Pasal 103 (1). Hakim Mahkamah Syar'iyah diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkarnah Agung.

(2). Ketua Mahkamah Agung dapat mengusulkan pengangkatan hakim ad-hoc yang dibiayai oleh Pemerintah dun Pemerintah Aceh. .

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 110

(1) Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh diangkat oleh

Mahkamah Agung dengan memperhatikan pengalamannya sebagai hakim tinggi di Mahkamah Syar’iyah Aceh.

(2) Ketua Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota diangkat

oleh Mahkamah Agung atas usul Mahkamah Syar’iyah Aceh.

(3). Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh diangkat oleh Ketua Mahkamah Agung dengan memperhatikan pengalamannya sebagai hakim tinggi di Mahkamah Syar'iyah Aceh.

(4). Ketua Mahkamah Syar'iyah kabupaten/kota diangkat oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh.

Pasal 111

Proses beracara di Mahkamah Syar’iyah diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 104 Ketentuan beracara di Mahkamah Syar'iyah diatur dengan Qanun.

Pasal 112

(1) Pembinaan teknis peradilan Mahkamah Syar’iyah dilakukan oleh Mahkamah Agung.

(2) Penyediaan sarana dan prasarana serta penyelenggaraan kegiatan Mahkamah Syar’iyah dibiayai oleh Mahkamah Agung, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Pasal 105 (1). Pembinaan teknis peradilan Mahkamah Syar'iyah

dilakukan oleh Mahkamah Agung. (2). Penyediaan sarana dan prasarana serta

penyelenggaraan kegiatan Mahkamah Syar'iyah dibiayai dari APBN, APBA dan APBK

Pasal 106 Sengketa wewenang antara Mahkamah Syari'ah dan pengadilan dalam lingkungan peradilan lain menjadi wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk tingkat pertama dan tingkat terakhir.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

BAB XIXPELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM

Pasal 113

(1) Setiap pemeluk agama Islam wajib menaati dan

mengamalkan Syari’at Islam.

(2) Setiap warga negara Republik Indonesia atau siapapun yang bertempat tinggal atau singgah di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syari’at Islam.

BAB XVIII PELAKSANAAN SYARI'AT ISLAM

Pasal 107 (1). Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati

dan mengamalkan Syari'at Islam. (2). Setiap warga negara Indonesia atau siapapun yang

bertempat tinggal atau singgah di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syari'at Islam.

Pasal 114

(1) Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam.

(2) Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya.

(3) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengalokasikan dana dan sumber daya lainnya untuk pelaksanaan syari’at Islam.

(4) Pendirian rumah ibadah di Aceh harus mendapat izin dari Pemerintah Aceh.

(5) Ketentuan tentang tata cara pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) di atur dengan Qanun Aceh.

Pasal 108

(1). Pemerintahan Aceh dan Pemerintahankabupaten/kota bertanggung jawab ataspenyelenggaraan pelaksanaan syari'at Islam.

(2). Pemerintahan Aceh dan Pemerintahankabupaten/kota menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya.

(3). Pemerintah, Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan kabupaten/kota mengalokasikan dana dan sumber daya lainnya untuk pelaksanaan syari'at Islam.

(4). Pendirian rumah ibadah di Aceh harus mendapat izin dari Pemerintah Aceh.

(5). Pemberian izin sehagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

- Pasal 114 ayat (5) Draft

DPRD perlu dipertahankan karena aceh mempunyai kekhususan tersendiri dan juga masyarakat aceh secara sosiologi sangat rentang kalau

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

pendirian rumah ibadah non muslim melampaui bathiniah mayoritas rakyat aceh perlu diatur dalam Qanun agar pendirian rumah ibadah non muslim tidak di sembarang tempat karena masyarakat aceh sanagt fanatik.

- Secara yuridis pasal 29 UUD 1945, secara implisit menyebutkan bahwa tidak boleh melakukan interfensi dalam mendirirkn rumah ibadah oleh suatu agama terhadap agama lain.

Pasal 115

(1) Pelaksanaan syari’at Islam di Aceh meliputi: aqidah,

akhlak, ibadah, mu’amalah, ahwal al-syakhshiyah, jinayah, peradilan, pendidikan, dakwah islamiyah, syiar dan pembelaan Islam.

(2) Pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 109 (1). Pelaksanaan syari'at Islam di Aceh meliputi aqidah,

akhlak, ibadah, mu'amalah, ahwal alsyaklishiyah, jinayah, peradilan agama, pendidikan, dakwah islamiyah, syiar dan pernbelaan Islam.

(2). Pelaksanaan syari'at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 110 (1). Tugas penyelidikan dan penyidikan untuk

penegakan syari'at Islam yang menjadi kewenangan mahkamah syar'iyah dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

(2). Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pembinaan teknis, pendidikan dan pelatihan oleh Kepolisian Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

- Pasal 110 RUU PA Pemerintah dapat kita terima, dengan perbaiakan pada ayat (1) penambahan penegakan ”oleh pejabat kepolisian dan PPNS”

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(3). Pengangkatan, pcrsyaratan dan pendidikan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk penegakan syari'at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

BAB XX

MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA

Pasal 116

(1) Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dibentuk di Aceh dan Kabupaten/Kota yang anggotanya terdiri atas ulama dan intelektual muslim yang memahami secara mendalam ilmu agama Islam.

(2) MPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen dan kepengurusannya dipilih dalam musyawarah ulama.

(3) MPU berkedudukan sebagai mitra sejajar Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRA.

(4) Struktur keorganisasian, tata kerja, kedudukan protokoler dan keuangan MPU diatur dengan Qanun Aceh.

BAB XIX MPU

Pasal 111

(1). MPU dibentuk di Aceh/kabupaten/kota yang anggotanya terdiri atas ulama dan intelektual muslim yang memahami secara mendalam ilmu agama Islam.

(2). MPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen dan kepengurusannya dipilih dalam musyawarah ulania.

(3). MPU berkedudukan sebagai mitra Pemerintah Aceh, Pemerintah kabupaten/kota, DPRA dan DPRK.

(4). Struktur keorganisasian, tata kerja, kedudukan protokoler dan keuangan MPU diatur dengan Qanun Aceh.

- Pada pasal 111 ayat (3) RUU

PA Pemerintah tidak memasukkan kalimat atau kausul mitra sejajar hanya menyebutkan mitra pemerintah DPRA/DPRK, menurut kami perlu dicantumkan mitra sejajar sebagaimana Draft DPRD, dengan alasan bahwa penyebutan mitra sejajar hanya bersifat konsultatif dan tidak menyangkut aspek kewenanagan dalam penyelenggaraan pemerintahan, disamping itu hubungan antara ulama dengan umara di aceh telah melembaga dan harmonis.

- Secara historis bahwa ulama sejak zaman kerajaan Aceh dahulu memiliki kedudukan yang sejajar sebagai Qadhi Malikul Adil di samping sultan sebagai pemegang kekuasaan eksekutif.

Pasal 117 Pasal 112

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(1) MPU berfungsi menetapkan fatwa hukum dan

memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah dalam bidang pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat dan tatanan ekonomi yang islami.

(2) Tatacara pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

(1). MPU berfungsi menetapkan fatwa hukum dan memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah dalarn bidang pemerintahan, pembangunan, pernbinaan masyarakat dan tatanan ekonomi yang islami.

(2). Tata cara pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 118

(1) Tugas dan wewenang MPU: a. Memberi fatwa hukum, baik diminta atau tidak

diminta terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan.

b. Memberi bimbingan dan arahan terhadap perbedaan pendapat di masyarakat dalam masalah keagamaan.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) MPU dapat melibatkan tenaga ahli dalam bidang keilmuan terkait.

Pasal 113 (1). Tugas dan wewenang MPU:

a) memberi fatwa hukum, baik diminta atau tidak diminta terhadap persoalan-persoalan kernasyarakatan; dan

b) memberi bimbingan dan arahan terhadap perbedaan pendapat di masyarakat dalam masalah keagamaan.

(2). Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) MPU dapat melibatkan tenaga ahli dalam bidang keilmuan terkait.

BAB XXIPERENCANAAN PEMBANGUNAN DAN TATA RUANG

Pasal 119

(1) Perencanaan pembangunan Aceh disusun sesuai peraturan perundangan yang berlaku, dengan memperhatikan :

a. nilai-nilai Islami;

b. sosial budaya;

BAB XX PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAN TATA RUANG

Pasal 114 (1). Perencanaan pembangunan Aceh/kabupaten/kota

disusun secara komprehensif sebagai bagian dari sistem perencanan pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan memperhatikan: a) nilai-nilai Islami; b) sosial budaya;

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

c. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;

d. keadilan dan pemerataan;

e. kebutuhan; dan

f. komprehensif.

(2) Masyarakat berhak terlibat untuk memberikan masukan secara lisan maupun tulisan tentang penyusunan perencanaan pembangunan Aceh melalui penjaringan aspirasi dari bawah (bottom up).

c) berkelanjutan clan berwawasan lingkungan; d) keadilan dan pemerataan; dan e) kebutuhan.

(2). Perencanaan pembangunan Aceh/kabupaten/kota

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.

(3). Masyarakat berhak terlibat untuk memberikan masukan secara lisan maupun tertulis tentang penyusunan perencanaan pembangunan Aceh dan kabupaten/kota melalui penjaringan aspirasi dari bawah.

Pasal 120

Pemerintah Aceh membuat perencanaan tata ruang wilayah dengan memperhatikan pembangunan yang berkelanjutan dan kelestarian lingkungan hidup.

Pasal 115 Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan kabupaten/kota membuat perencanaan tata ruang wilayah yang mengacu pada tata ruang nasional dengan memperhatikan pembangunan berkelanjutan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pasal 121

(1) Pembangunan Aceh dilaksanakan secaraberkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup serta kemakmuran rakyat.

(1). Pembangunan Aceh dan kabupaten/kota dilaksanakan secara berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kemakmuran rakyat. (2) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah

Kabupaten/Kota dalam menyusun dan melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan berkewajiban memperhatikan, menghormati, melindungi dan

Pasal 116

(2). Pernerintah, Pernerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota dalam menyusun dan melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan dengan kewajiban memperhatikan, menghormati, melindungi dan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

memenuhi serta menegakkan hak-hak rakyat Aceh.

(3) Rakyat Aceh berhak untuk terlibat secara aktif dalam penyelenggaraan pembangunan yang berkelanjutan.

(4) Tata cara keterlibatan rakyat Aceh dalam penyelenggaraan pembangunan yang berkelanjutan di Aceh diatur dalam Qanun Aceh.

memenuhi serta menegakkan hak-hak rakyat Aceh. (3). Masyarakat berhak untuk terlibat secara aktif dalam

penyelenggaraan pembangunan yang berkelanjutan. (4). Tata cara keterlibatan masyarakat dalam

penyelenggaraan pembangunan yang berkelanjutan di Aceh diatur dengan Qanun.

Pasal 122

Pelaksanaan pembangunan di Aceh dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunanberkelanjutan, pelestarian lingkungan, kemanfaatan, dan keadilan dengan mengacu pada rencana tata ruang.

Pelaksanaan pembangunan di Aceh dan kabupaten/kota dilakukan dengan mengacu pada rencana pembangunan nasional yang berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian fungsi lingkungan hidup, kemanfaatan, dan keadilan dengan mengacu pada rencana tata ruang nasional.

Pasal 117

Pasal 123

(1) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi serta menegakkan hak rakyat Aceh terhadap pengelolaan lingkungan hidup dengan memberi perhatian khusus kepada kelompok-kelompok rentan.

(2) Rakyat Aceh berhak untuk terlibat secara aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup.

(3) Tata cara keterlibatan rakyat Aceh dalam pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam Qanun.

Pasal 118 (1). Pemerintah, Perncrintah Aceh dan Pemerintah

kabupaten/kota berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi serta menegakkan hak masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan hidup dengan memberi perhatian khusus kepada kelompok rentan.

(2). Masyarakat berhak untuk terlibat secara aktif dalam pengelolaan Iingkungan hidup.

(3). Tata cara keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam Qanun.

Pasal 124

Pasal 119

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(1) Pemerintah Aceh berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan tata ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Aceh berkewajiban melindungi, menjaga, memelihara dan melestarikan Taman Nasional Gunung Leuser, kawasan lindung dan Taman Nasional lainnya.

(3) Pemerintah Aceh berkewajiban mengelola kawasan lindung untuk melindungi keanekaragaman hayati dan proses ekologi terpenting.

(4) Pemerintah Aceh wajib mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

(5) Penyelesaian sengketa lingkungan dapat ditempuh melalui jalur pengadilan atau luar pengadilan.

(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Qanun Aceh.

(1). Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota

berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan tata ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati, sumber daya buatan, konservasi somber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati dengan memperhatika.n hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.

(2). Pemerintah dan Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban melindungi, menjaga, memelihara dan melestarikan Taman Nasional dan kawasan lindung.

(3). Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota berkewajiban mengelola kawasan lindung untuk melindungi keanekaragaman hayati dan ekologi.

(4). Pcinerintah Aceh dan kabupaten/kota wajib mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

(5). Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui jalur pengadilan atau luar pengadilan.

(6). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

- Pasal 119 ayat (2), ayat (6)

RUU PA Pemerintah agar dikembalikan sesuai dengan teks Draft DPRD ayat (2), ayat (6) Pasal 124, dengan alasan bahwa di Aceh terdapat hutan lindung atau Taman Nasional yang perlu mendapat pengawasan secara khusus dalam rangka melestarikan lingkungan. Dan juga kata-kata peraturan perundang-undangan pada ayat (6) RUU PA Pemerintah telah mengurangi kewenangan Pemerintah Daerah dalam megurus rumah tangga nya sendiri.

BAB XXIIKOMUNIKASI DAN INFORMASI

Pasal 125

BAB XXI KOMUNIKASI DAN INFORMASI

Pasal 120

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(1) Pemerintah dan Pemerintah Aceh dapat menyediakan dan membangun sarana dan prasarana komunikasi dan informasi di Aceh.

(2) Pengaturan operasional pengelolaan sarana dan prasarana komunikasi dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh bersama dengan Komisi Komunikasi dan Informasi (KKI).

(3) Pembentukan KKI dilaksanakan oleh DPRA.

(4) Tugas dan wewenang serta tatacara pembentukan KKI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.

(5) Pemerintah Aceh menjamin kebebasan publik terhadap komunikasi dan informasi untuk kesejahteraan rakyat.

(1). Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota dapat menyediakan dan membangun sarana dan prasarana komunikasi serta informasi di Aceh.

(2). Pengelolaan sarana dan prasarana komunikasi dan informasi yang disediakan dan dibangun oleh pemerintah Aceh dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3). Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota menjamin kebebasan publik terhadap konninikasi dan informasi untuk kesejahteraan rakyat.

- Pasal 125 dan Pasal 126 Draft DPRD perlu dipertahankan, mengingat perlunya otoritas bagi daerah dalam mengawasi dan mengevaluasi agar materi siaran tidak bertentangan dengan Syariat Islam.

Pasal 126

(1) Lembaga Komunikasi dan Informasi yang ada di Aceh wajib membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi dan biaya Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) kepada Pemerintah Aceh, sebagai bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh.

(2) Pemerintah Aceh dan Komisi Komunikasi dan Informasi (KKI) melarang dan membatasi Mass media, lembaga Komunikasi dan Informasi lainnya yang menyiarkan, menyebarkan dan menyajikan informasi yang bertentangan dengan syari’at Islam.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya akan diatur dalam Qanun Aceh.

Pasal 126 Draft DPRD tetap dipertahankan dengan alasan bahwa selain kewenangan yang telah diberikan selain UU ini juga untuk mengimbangi penggunaan APBD yang selama ini diberikan kepada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang dijadikan KKI.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

BAB XXIIIPEREKONOMIAN

Bagian Kesatu Prinsip Dasar

Pasal 127

(1) Bumi dan air dalam wilayah Aceh dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang pelaksanaan dan pengelolaannya dikuasakan kepada Pemerintah Aceh.

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak di Aceh dikuasai oleh negara yang pelaksanaan dan pengelolaannya dikuasakan kepada Pemerintah Aceh.

BAB XXII PEREKONOMIAN

Bagian Kesatu Prinsip Dasar

- Pasal 127 ayat (1) dan (2) draft

DPRD NAD wajib dipertahankan dengan alasan bahwa: landasan pelimpahan wewenang pengelolaan SDA (termasuk migas) kepada pemerintah Aceh (pasal 130). Sesuai UU RI Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pasal 2 ayat (4), Hak menguasai dari Negara pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra (otonom) dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.Hak-hak pengelolaan dan pengusahaan sumber daya alam (eksplorasi dan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

eksploitasi) adalah Mining Rights yang wewenangnya dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Aceh, sebagaimana yang dilimpahkan kepada BP Migas.

Pasal 128

(1) Perekonomian Aceh adalah perekonomian regional yang terbuka dan tanpa hambatan dalam investasi.

(2) Perekonomian Aceh diselenggarakan berdasar atas asas kekeluargaan dan asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

(3) Usaha-usaha perekonomian di Aceh diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan, penghormatan atas hak-hak rakyat setempat, pemberian peluang dan akses pendanaan seluas-luasnya kepada usaha ekonomi oleh kelompok perempuan, serta pemberian jaminan hukum bagi pengusaha dan pekerja.

Pasal 121

(1). Perekonomian di Aceh merupakan perekonomian yang terbuka dan tanpa hambatan dalam investasi sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional sesuai peraturan perundangundangan.

(2). Perekonomian di Aceh diselenggarakan berdasar atas asas kekeluargaan dan asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

(3). Usaha-usaha perekonomian di Aceh diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan, penghormatan atas hak-hak rakyat setempat, pemberian peluang dan akses pendanaan seluas-luasnya kepada usaha ekonomi kelompok perempuan, serta pemberian jaminan hukum bagi pengusaha dan pekerja.

Bagian KeduaArah Perekonomian

Pasal 129

(1) Perekonomian Aceh, yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing demi

Bagian Kedua Arah Perekonomian

Pasal 122

(1). Perekonomian di Aceh diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, keadilan, pemerataan, partisipasi rakyat dan efisiensi dalam pola pembangunan berkelanjutan.

(2) Pembangunan perekonomian Aceh dilaksanakan dengan memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia melalui proses penciptaan nilai tambah yang sebesar-besarnya.

(3) Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan penyederhanaan peraturan untuk terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi pertumbuhan investasi dan kegiatan ekonomi lainnya.

menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, keadilan, pemerataan, partisipasi rakyat dan efisiensi dalam pola pembangunan berkelanjutan.

(2). Perekonomian di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia melalui proses penciptaan nilai tambah yang sebesar-besarnya.

(3). Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota melakukan penyederhanaan peraturan untuk terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi pertumbuhan investasi dan kegiatan ekonomi lainnya sesuai kewenangan.

Bagian KetigaPengelolaan Sumber Daya Alam

Pasal 130

(1) Pemerintah Aceh berwenang mengatur penyediaan, pengaturan dan pengelolaan minyak bumi dan gas alam serta sumber daya alam lainnya di wilayah Aceh baik di darat maupun di laut teritorial, perairan nusantara, Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen.

(2) Kewenangan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengaturan, pembinaan dan pengawasan atas kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi.

(3) Kewenangan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan

Bagian Ketiga Pengelolaan Sumber Daya Alam

Pasal 123

(1). Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola sumber daya alam di Aceh baik di darat maupun di laut teritorial Aceh sesuai dengan

- Pasal 130 ayat (1) Draft

DPRD perlu di pertahankan, dengan alasan : bahwa rumusan yang ada dalam Draft DPRD lebih tegas dan lebih nyata tentang kewenanagan pemerintah Aceh dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada di Aceh.

- RUU PA Pemerintah pusat

Pasal 123 ayat (1) berpotensi menimbulkan konflik antara

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

berkelanjutan.

(4) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh Pemerintah Aceh atau BUMN, BUMD, Koperasi, Usaha Kecil dan Badan Usaha Swasta, Domestik dan Asing serta Bentuk Usaha Tetap untuk Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi berdasarkan perjanjian atau kontrak kerjasama.

(5) Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pelaksana kegiatan usaha melakukan pemberdayaan masyarakat secara maksimal dengan mengikutsertakan sumber daya manusia setempat dan sumber daya lainnya yang ada di Aceh.

(6) Bahan baku yang berasal dari sumber daya alam Aceh diutamakan pengolahannya di dalam wilayah Aceh dengan memperhatikan kerjasama antara usaha besar, menengah dan kecil.

kewenangannya. (2). Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi dan budidaya.

(3). Sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) meliputi bidang pertambangan yang terdiri dari pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan dan kelautan, yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan.

(4). Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh Pemerintah Aceh/Kabupaten/Kota, dan atau Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Aceh/Kabupaten/Kota, Koperasi, Usaha Kecil dan Badan Usaha Swasta berdasarkan perjanjian atau kontrak kerjasama.

(5). Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pelaksana kegiatan usaha memberdayakan masyarakat secara maksimal dengan mengikutsertakan sumber daya manusia setempat dan sumber daya lainnya yang ada di Aceh.

provinsi dan kabupaten. - Pengaturan tentang

pembahagian kewenangan pengelolaan sumber daya alam antra pemerintah aceh dengan pemerintah kab/kota di atur dalam Qanun.

- Pasal 130 ayat (6) Draft

DPRD harus dipertahanakan dengan alasan : agar perputaran perekonomian itu ada di Aceh.

Pasal 131

(1) Setiap pelaku kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 130 ayat (4) bertanggungjawab untuk reklamasi dan rehabilitasi lahan yang dieksplorasi dan dieksploitasi.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan investasi yang seimbang nilainya untuk

Pasal 124

(1). Setiap pelaku kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (4) bertanggung jawab untuk reklamasi dan rehabilitasi lahan yang dieksplorasi dan dieksploitasi.

(2). Pemerintah dan Pemerintah Aceh/Kabupaten/Kota melakukan pembangunan ekonomi kerakyatan,

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

pembangunan ekonomi kerakyatan, pendidikan dan kesehatan sebagai kompensasi untuk setiap eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan.

pendidikan dan kesehatan yang seimbang sebagai kompensasi atas eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan.

Pasal 132

Pemerintah dan Pemerintah Aceh menerapkan secara sungguh-sungguh prinsip tranparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam dan pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya yang ada di Aceh.

- Pasal 132 Draft DPRD harus dipertahankan dengan alasan: hampir sebagaian besar ketentuan yang berkaitan dengan KKN diatur dalam UU.

- Pasal ini dimaksud untuk menciptakan iklim kerja yang Goodgovernance dan clean Goodgoverment.

Pasal 133

(1) Pemerintah mengalokasikan dana yang cukup untuk pembangunan bidang energi pendukung pertumbuhan ekonomi di Aceh.

(2) Pemerintah mengalokasikan dana yang cukup untuk penelitian, pembangunan dan pengembangan energi alternatif yang bersih dan berkelanjutan.

Bagian KeempatPerikanan dan Kelautan

Pasal 134

(1) Pemerintah Aceh berwenang untuk mengelola

sumber daya alam yang hidup di wilayah laut sekitar Aceh.

(2) Kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan

pengelolaan sumber daya alam di laut; b. pengaturan administrasi dan perizinan

Bagian Keempat Perikanan dan Kelautan

Pasal 125 (1). Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota

berwenang untuk mengelola sumber daya alam yang hidup di laut teritorial Aceh.

(2). Kewenangan untuk mengelola sumber daya alam yang hidup di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a) konservasi dan pengelolaan sumber daya alam di

laut; b) pengaturan administrasi dan perizinan

- Yang dimaksud laut di sekitar

Aceh adalah laut pedalaman,teritorial dan ZEE

- Yang dimaksud dengan

pengelolaan sumber daya alam di laut adalah Eksplorasi dan Eksploitasi sumber daya alam di laut.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

penangkapan dan/ atau pembudidayaan ikan; c. pengaturan tata ruang wilayah laut, pesisir dan

pulau-pulau kecil; d. penegakan hukum terhadap peraturan yang

dikeluarkan atas wilayah laut yang menjadi kewenangannya;

e. pemeliharaan hukum adat laut dan keamanan laut; dan

f. keikutsertaan dalam pemeliharaan kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia

(3) Pemerintah Aceh berwenang menerbitkan semua izin penangkapan ikan dan pengusahaan sumber daya alam laut lainnya di wilayah laut di sekitar Aceh.

(4) Pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup.

penangkapan dan/atau pembudidayaan ikan; c) pengaturan tata ruang wilayah laut, pesisir dan

pulau-pulau kecil; d) penegakan hukum terhadap peraturan yang

dikeluarkan atas wilayah laut yang menjadi kewenangannya;

e) pemeliharaan hukum adat laut dan keamanan laut; dan

f) keikutsertaan dalam petncliharaan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(3). Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota berwenang menerbitkan izin penangkapan ikan dan pengusahaan sumber daya alam laut lainnya di laut di sekitar Aceh sesuai kewenangannya.

(4). Pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan petestarian lingkungan hidup.

Bagian Kelima

Perdagangan dan Investasi

Pasal 135

Pemerintah dan Pemerintah Aceh menjamin pelaksanaan perdagangan internal dalam wilayah Aceh dan dengan wilayah lain di Indonesia bebas dari hambatan apapun.

Pemerintah Aceh dan rakyat Aceh berhak untuk melakukan perdagangan bebas dalam wilayah Republik Indonesia melalui darat, laut dan udara tanpa hambatan pajak, tarif atau hambatan lainnya.

Bagian Kelima Perdagangan dan Investasi

Pasal 126

(1). Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota menjamin pelaksanaan perdagangan internal di Aceh dan wilayah lain di Indonesia bebas dari hambatan apapun.

(2). Penduduk Aceh dapat melakukan perdagangan secara bebas dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui darat, laut dan udara tanpa hambatan pajak, bea atau hambatan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan.

- Pasal 126 ayat (2) RUU PA

Pemda penambahan kata-kata sesuai peraturan perundang-undangaan dapat membatasi kewenanagan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

pada ayat (1) untuk menjami pelaksanaan perdagangan tanpa hambatan.

Dalam MOU, disebut “laut teritorial di sekitar Aceh” (1.3.3). Dalam draf Aceh disebut “laut teritorial perairan nusantara, ZEE, dan landas kontinen” (pasal 130 dan pasal 134)). Sementara dalam draf Pemerintah, “laut teritorial Aceh” (pasal 123 dan 125). Batasan geografis yang menjadi kewenangan Aceh perlu tegas, apakah hanya 12 mil (laut teritorial provinsi) atau juga termasuk ZEE (200 mil) yang ada di sekitar Aceh. Ada kekhawatiran laut di sekitar Aceh tidak dapat dikontrol dengan baik oleh pemerintah, sementara pencurian oleh kapal-kapal asing terus terjadi.

Pasal 136

Setiap pelaku usaha di Aceh dapat membentuk organisasi, asosiasi profesi, dan asosiasi bisnis yang berbasis lokal dan mandiri.

Pasal 127 Setiap pelaku usaha di Aceh dapat membentuk organisasi, asosiasi profesi, dan asosiasi bisnis yang berbasis lokal dan mandiri.

Pasal 137

Pasal 128

(1). Penduduk di Aceh dapat melakukan perdagangan

Pasal 128 ayat (1) RUU PA

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(1) Pemerintah Aceh berwenang mengatur perdagangan dan investasi secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.

(2) Pemerintah Aceh berhak mengeluarkan semua izin yang terkait dengan investasi dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) serta ekspor dan impor.

(3) Pemerintah Aceh berwenang mengatur:

a. hak eksplorasi dan eksploitasi sumber daya hidrokarbon dan pertambangan umum lainnya;

b. hak guna usaha (HGU); c. hak pelepasan kawasan hutan; d. izin penangkapan ikan; e. izin penggunaan operasional kapal ikan dalam

segala jenis dan ukuran; f. hak penggunaan air permukaan dan air laut; g. penggunaan frekuensi komunikasi; h. penggunaan wilayah udara dan laut dalam

wilayah Aceh; i. hak-hak dan perizinan yang berkaitan dengan

pengelolaan dan pengusahaan hutan; dan j. izin operator lokal dalam bidang telekomunikasi.

(4) Pemberian izin dan kewenangan pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diberitahukan kepada dan dikoordinasikan dengan Pemerintah.

(5) Proses pengaturan dan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus selesai dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin dan kewenangan pengaturan sebagaimana dimaksud

dan investasi secara internal dan internasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2). Pemerintah Aceh dan , Pemerintah kabupaten/kota

sesuai dengan kewenangannya, dapat menarik wisatawan asing dan memberikan izin yang terkait dengan investasi dalam bentuk penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, ekspor dan impor dengan memperhatikan norma, standar, prosedur dan kriteria yang berlaku secara nasional.

(3). Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria yang berlaku nasional berhak memberikan: a) izin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan

umum; b) izin konversi kawasan hutan; c) izin penangkapan ikan paling jauh 12 mil laut

diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan untuk Provinsi dan satu pertiga dari wilayah kewenangan daerah provinsi untuk daerah kabupaten/kota;

d) izin penggunaan operasional kapal ikan dalam segala jenis dan ukuran;

e) izin penggunaan air permukaan dan air laut; f) izin yang berkaitan dengan pengelolaan dan

pengusahaan hutan; dan g) izin operator lokal dalam bidang telekomunikasi.

(4). Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus mengacu pada prinsip-prisip pelayanan publik yang cepat, tepat, murah dan prosedur yang sederhana.

(5). Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ayat (3) dan

Pemerintah perlu dipangkas dengan menghilangkan kata-kata sebagai berikut sesuai peraturan perundangundangan.

Dengan alasan : mengurangi kewenangan daerah dalam mengelola perekonomian Aceh secara khusus.

- Pasal 128 ayat (3) RUU PA

Pemerintah membatasi hak pemberian izin hanya untuk izin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan umum, padahal draf Aceh mencakup juga sumberdaya hidrokarbon

Izin penangkapan ikan tidak hanya dibatasi 12 mil laut untuk provinsi dan 1/3 wilayah untuk kab/kota, tetapi mencukup wilayah laut sekitar Aceh (termasuk laut pedalaman, teritorial dan ZEE).

- Pasal 128 RUU PA

Pemerintah menghilangkan kewenangan mengatur perdagangan dan investasi (pasal 137 draf DPRD). RUU PA Pemerintah hanya menyebut “Penduduk di Aceh

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Qanun Aceh.

ayat (4) diatur dalam Qanun Aceh dengan berpedoman peraturan perundangundangan.

dapat melakukan perdagangan dan investasi secara internal dan internasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Peraturan per-UU-an yang ada mungkin berlaku umum, tidak ada kekhususan untuk Aceh, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa kewenangan perizinan tertentu tetap di tangan pemerintah pusat.

Pasal 138 (1) Pemerintah menyediakan fasilitas perpajakan berupa

keringanan pajak, pembebasan bea masuk, pembebasan pajak-pajak dalam rangka impor (PDRI) barang modal dan bahan baku ke Aceh dan ekspor barang jadi dari Aceh, invesment allowance, dan lain-lain fasilitas fiskal yang diusulkan oleh Pemerintah Aceh.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 129 Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dapat menyediakan fasilitas perpajakan berupa keringanan pajak, pembebasan bea masuk, pembebasan pajak-pajak dalam rangka impor barang modal dan bahan baku ke Aceh dan ekspor barang jadi dari Aceh, fasilitas investasi, dan lain-lain fasilitas fiskal yang diusulkan oleh Pemerintah Aceh.

Bagian KeenamKawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

Pasal 139

(1) Penduduk Aceh berhak untuk melakukan

perdagangan bebas antar wilayah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui darat, laut dan

Bagian Keenam Kawasan Perdagangan Bebas Sabang

- Pasal 139 Draft DPRD menjadi

bab penjelasan pada RUU PA pemerintah

- Pasal 139 RUU PA

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

udara, tanpa hambatan pajak, tarif atau hambatan lainnya.

(2) Penduduk Aceh berhak melakukan perdagangan dengan negara asing melalui darat, laut dan udara secara langsung.

Pemerintah dikembalikan bunyi pada bunyi pasal 150 Draft DPRD mengingat substansi yang diatur dalam Draft Pemerintah sebenarnya juga mengakomodir Draft DPRD. Disamping itu ada istilah-istilah tertentu yang ada dalam pasal 150 draft DPRD juga bertautan dengan istilah-istilah yang ada dalam pasal-pasal yang lain.

- Bagi hasil dan pajak-pajak

yang dijadikan pajak daerah seperti PBB dan BPHTB serta 50% PPH adalah pantas sebagai wewenang penerimaan (Revenue assignment) untuk membiayai wewenang luas yang dilimpahkan kepada Aceh (expenditure assignment).

- Penerimaan dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan sendiri (pasal 150 ayat 1 butir c draf Aceh) dihapus dalam draf Pemerintah. Sumber penerimaan ini mencakup ; bagi hasil migas dan SDA, seluruh PBB dan BPHTB, 50% PPh Pribadi dan Badan). Tetapi dalam draf Pemerintah semua sumber penerimaan ini dihapus, kecuali 70% bagi

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

hasil migas. Sumber penerimaan migas diperkirakan tidak sustainable dibandingkan sumber-sumber di luar migas (PBB, PPh dan SDA terbarui). Draf Pemerintah mengembalikan semua sumber penerimaan lain di luar migas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku umum (draf Pemerintah pasal 141, padahal Aceh menginginkan format bagi hasil dan pajak-pajak yang khusus (misalnya menjadikan PBB dan BPHTB sebagai pajak daerah). Di negara maju, property tax adalah pajak daerah ada mekanisme piggybacking atas income tax.

Pasal 140

(1) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang yang disebut Kawasan Sabang adalah kawasan pelabuhan bebas (free port) dan perdagangan bebas (free trade zone) yang di dalamnya berlaku fasilitas dan perlakuan khusus.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Aceh mengembangkan Kawasan Sabang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi regional melalui kegiatan pengolahan, pengepakan, dan entrepot hasil-hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan industri dari kawasan

Pasal 130

(1). Kawasan Perdagangan Bebas Sabang yang disebut kawasan perdagangan bebas (free trade zone) yang di dalamnya berlaku fasilitas dan perlakuan khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2). Pemerintah dan Pemerintah Aceh mengembangkan

Kawasan Sabang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi regional melalui kegiatan pengolahan, pengepakan, dan entreport hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan industri dari kawasan

Pasal 130 RUU PA Pemerintah agar diakomodir secara utuh Pasal 140 Draft DPRD dengan alasan Sabang merupakan kawasan perdagangan bebas yang telah diatur dengan UU Nomor 37 Tahun 2000 tentang pelabuhan dan perdagangan bebas sabang.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

sekitarnya.

(3) Badan Pengusahaan Kawasan Sabang berwenang menerbitkan semua izin usaha, izin investasi, dan izin-izin lainnya yang berhubungan dengan pengembangan Kawasan Sabang setelah mendapat persetujuan Dewan Kawasan Sabang.

(4) Wilayah lain dalam wilayah Aceh berhak atas fasilitas perdagangan bebas terhadap barang-barang tertentu dari Kawasan Sabang.

(5) Penentuan jenis dan jumlah barang tertentu untuk kebutuhan Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan bersama oleh Gubernur atau nama lain dan Pemerintah setelah mendapat pertimbangan DPRA.

(6) Peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Qanun Aceh.

sekitarnya. (3). Badan Pengusahaan Kawasan Sabang berwenang

menerbitkan izin usaha, izin investasi, dan izin lainnya yang berhubungan dengan pengembangan Kawasan Sabang setelah mendapat persetujuan Dewan Kawasan Sabang.

(4). Urusan Pemerintah Aceh dalam mengembangkan Kawasan Sabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 141

Pemerintah Aceh berwenang membentuk Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Zone) dan Kawasan Berikat (Bonded Zone) di dalam wilayah Aceh.

Pasal 142

Pemerintah Aceh dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah Aceh dan/atau Kabupaten/Kota untuk kepentingan pengelolaan sumber daya alam, investasi dan perdagangan.

Bagian Ketujuh

Peruntukan Lahan dan Pemanfaatan Ruang

Pasal 143

Bagian Ketujuh Peruntukan Lahan dan Pemanfaatan Ruang

Pasal 131

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(1) Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota di

Aceh berwenang menetapkan peruntukan lahan dan pemanfaatan ruang untuk kepentingan pembangunan ekonomi.

(2) Ketentuan tentang peruntukan lahan dan pemanfaatan ruang dalam wilayah Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

(3) Ketentuan tentang peruntukan lahan dan pemanfaatan

ruang kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Kabupaten/Kota.

(1). Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan kabupaten/kota berwenang menetapkan peruntukan lahan dan pemanfaatan ruang untuk kepentingan pembangunan ekonomi sesuai peraturan perundang-undangan.

(2). Ketcntuan peruntukan lahan dan pemanfaatan ruang Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

(3). Ketentuan peruntukan lahan dan pemanfaatan ruang kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Kabupaten/Kota.

- Pasal 131 ayat (1) RUU PA Pemerintah, sebaiknya di kembalikan kepada Draft DPRD Pasal 141 ayat (1) dengan alasan dengan adanya kata sesuai dengan peraturan perundang-undangan dapat membatasi/mempersempit kewenangan pemerintah aceh.

- Kewenangan menetapkan

“kawasan khusus” oleh Pemerintah Aceh (pasal 142 draf Aceh) tidak diakomodasi dalam draf Pemerintah. Kawasan khusus secara implisit tetap dijadikan wewenang Pemerintah Pusat sebagaimana dalam UU 32/2004. Padahal kawasan khusus (otorita, kawasan perdagangan bebas, kawasan industri, dll.) harus menjadi wewenang khusus Pemerintah Aceh (hanya untuk pengelolaan SDA, investasi dan perdagangan) demi kepentingan percepatan pertumbuhan ekonomi Aceh.

Bagian Kedelapan

Infrastruktur Ekonomi

Pasal 144

Bagian Kedelapan Infrastruktur Ekonomi

Pasal 132 (1). Pemerintah, Pemerintah Aceh dan/atau Pemerintah

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Aceh membangun pelabuhan laut, pelabuhan udara, infrastruktur transportasi dan energi beserta sarananya dalam wilayah Aceh.

(2) Pengaturan dan pengelolaan pelabuhan laut, pelabuhan udara, infrastruktur transportasi dan energi beserta sarananya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Qanun Aceh.

kabupaten/kota dapat membangun pelabuhan tautt dan pelabuhan udara di Aceh.

(2). Pengelolaan pelabuhan laut dan pelabuhan udara yang dibangun oleh Pemerintah Aceh dan/atau Pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan/atau Pemerintah kabupaten/kota.

(3). Pembangunan dan pengelolaan pelabuhan laut dan pelabuhan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

- Pasal 144 ayat (2) Draft

DPRD perlu dipertahankan dengan alasan karena pengelolaan pelabuhan laut dan pelabuhan udara karena bersifat kekhususan dengan kewenanagan khusus maka perlu diberi kewenangan pengaturan melalui Qanun.

- Kewenangan pengelolaan pelabuhan laut dan pelabuhan udara baik yang dibangun oleh pemerintah dan pemerintah Aceh tetap dikelola oleh pemerintah Aceh sesuai dengan rumusan Pasal 144 ayat (2) Draft DPRD.

BAB XXIVTENAGA KERJA

Pasal 145

(1) Pemerintah Aceh memfasilitasi pengembangan dan pemberdayaan tenaga kerja Aceh dengan mendirikan sentra-sentra pelatihan tenaga kerja.

(2) Pemerintah Aceh mengupayakan terciptanya lapangan kerja dengan mempercepat pertumbuhan investasi dan pembangunan di berbagai sektor.

(3) Pemerintah Aceh berwenang mengeluarkan izin

BAB XXIII TENAGA KERJA Bagian Pertama

Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Pasal 133

(1). Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota berwenang mengeluarkan izin pendirian badan usaha jasa pengerahan tenaga kerja ke luar negeri berdasarkan peraturan perundangundangan.

(2). Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota bekerja sama dengan badan usaha jasa pengerahan tenaga kerja ke luar negeri sebagaimana dimaksud

- Pasal 133 RUU PA

Pemerintah agar mengadopsi secara utuh Draft DPRD NAD karena tidak saja mengatur tentang penempatan tenaga kerja luar negeri tetapi juga mengatur tentang pengerahan tenaga kerja di Aceh.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

pendirian badan usaha jasa tenaga kerja Aceh untuk pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.

(4) Pemerintah Aceh bekerjasama dengan badan usaha jasa tenaga kerja Aceh untuk memberi perlindungan bagi tenaga kerja Aceh yang bekerja di luar negeri.

(5) Pemerintah Aceh dan Pemerintah memberi perlindungan bagi tenaga kerja Aceh yang bekerja di luar negeri bekerjasama dengan pemerintah negara dimana Tenaga Kerja Aceh bekerja.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Qanun Aceh.

pada ayat (1) guna memberikan perlindungan bagi tenaga kerja yang berasal dari Aceh dan kabupaten/kota yang bekerja di luar negeri.

(3). Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota memberikan perlindungan bagi tenaga kerja yang berasal dari Aceh dan kabupaten/kota yang bekerja di luar negeri bekerja sama dengan pemerintah negara tujuan masing-masing.

(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga kerja ke luar negeri diatur dalam Qanun.

Bagian Kedua Perlindungan dan Kesejahteraan Tenaga Kerja

Pasal 134 (1). Setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan

dan kesejahteraan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(2). Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota dapat mengatur perlindungan dan kesejahteraan bagi tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan peraturan perundangundangan.

(3). Pengaturan lebih lanjut mengenai perlindungan dan kesejahteraan bagi tenaga kerja dan keluarganya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Qanun.

Pasal 135

(1). Setiap tenaga kerja mempunyai hak yang sama mendapat pekerjaan yang layak di Aceh, baik dari dalam maupun dari luar Aceh.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(2). Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan dan perlindungan kerja bagi tenaga kerja dari luar Aceh untuk bekerja di Aceh, dan dapat bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota asal tenaga kerja yang bersangkutan.

(3). Tenaga kerja yang berasal dari luar Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus terdaftar pada instansi ketenagakerjaan masing-masing Kabupaten/Kota.

(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran tenaga kerja yang berasal dari luar Aceh diatur dalam Qanun.

Pasal 146

(1) Tenaga kerja luar Aceh adalah tenaga kerja yang berasal dari provinsi-provinsi di Indonesia.

(2) Untuk bekerja di Aceh, tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja Aceh.

(3) Pemerintah Aceh memberi perlindungan bagi tenaga kerja luar Aceh yang bekerja di Aceh bekerja sama dengan Pemerintah provinsi asal tenaga kerja tersebut.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tenaga kerja luar Aceh diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 147

(1) Pemerintah Aceh berwenang sepenuhnya untuk mengeluarkan izin tenaga kerja asing yang akan bekerja di Aceh.

(2) Penempatan tenaga kerja asing di Aceh hanya diperbolehkan untuk posisi pekerjaan tertentu sesuai

Pasal 136 (1). Tenaga kerja asing dapat bekerja di Aceh setelah

pemberi kerja yang mempergunakan tenaga kerja asing memiliki izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2). Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan setelah pemberi kerja membuat rencana penggunaan tenaga kerja asing yang

- Pasal 136 ayat (1) RUU PA

Pemerintah, kata ”sesuai dengan peraturan perundang-undangan” di ganti dengan Qanun.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

dengan kebutuhan di Aceh.

(3) Pemerintah Aceh dan Pemerintah akan memberi perlindungan bagi tenaga kerja asing yang bekerja di Aceh bekerja sama dengan Pemerintah negara asal pekerja asing tersebut.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tenaga kerja asing diatur dengan Qanun Aceh.

disahkan oleh Menteri yang membidangi masalah ketenagakerjaan.

(3). Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu setelah mendapat rekomendasi dari Pemerintah Aceh.

(4). Ketentuan pemberian izin untuk jabatan tertentu dan untuk jangka waktu tertentu serta mekanisme memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Qanun Aceh.

Pasal 148

(1) Pemerintah Aceh menjamin hak pekerja di Aceh untuk mendirikan organisasi-organisasi pekerja.

(2) Organisasi-organisasi pekerja di Aceh adalah organisasi independen yang dapat melakukan kerjasama dengan organisasi atau asosiasi pekerja lainnya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 137 (1). Setiap pekerja berhak rnembentuk dan menjadi

anggota serikat pekerja/serikat buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2). Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota dapat mengatur sarana khusus mengenai organisasi dan keanggotaan dalam organisasi pekerja/buruh yang lebih baik bagi pekerja/buruh.

(3). Tata cara pembentukan dan syarat keanggotaan dalam organisasi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Qanun.

BAB XXV

KEUANGAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 149

(1) Penyelenggaraan urusan Pemerintah di Aceh dan di Kabupaten/Kota dibiayai atas beban Anggaran

BAB XXIV KEUANGAN

Bagian Kesatu

Umum Pasal 138

(1). Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan Aceh didanai dari dan atas beban

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pendapatan dan Belanja Negara.

(2) Penyelenggaraan urusan Pemerintah Aceh dan DPRA dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh.

(3) Penyelenggaraan urusan Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRK dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota.

APBA. (2). Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan kabupaten/kota didanai dari dan atas beban APBK.

(3). Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di Aceh dan kabupaten/kota didanai dari dan atas beban APBN.

Bagian KeduaSumber Penerimaan dan Pengelolaan

Paragraf 1

Sumber Penerimaan

Pasal 150

(1) Sumber penerimaan Aceh terdiri atas : a. Pendapatan Asli Aceh yang selanjutnya disebut

PAA; b. dana perimbangan; c. penerimaan dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan sendiri; d. dana tambahan; e. pinjaman Pemerintah Aceh; dan f. lain-lain penerimaan yang sah.

Bagian Kedua Sumber Penerimaan dan Pengelolaan

Paragraf 1 Sumber Penerimaan

Pasal 139

Sumber penerimaan Aceh/kabupaten/kota terdiri atas: a. pendapatan asli Aceh/kabupaten/kota; b. dana perimbangan; c. dana tambahan; d. pinjaman Aceh/kabupaten/kota; dan e. lain-lain penerimaan Aceh/kabupaten/kota yang

sah.

- Pasal 139 RUU PA

Pemerintah dikembalikan bunyi pada bunyi pasal 150 Draft DPRD mengingat substansi yang diatur dalam Draft Pemerintah sebenarnya juga mengakomodir Draft DPRD. Disamping itu ada istilah-istilah tertentu yang ada dalam pasal 150 draft DPRD juga bertautan dengan istilah-istilah yang ada dalam pasal-pasal yang lain.

- Bagi hasil dan pajak-pajak

yang dijadikan pajak daerah seperti PBB dan BPHTB serta 50% PPH adalah pantas sebagai wewenang penerimaan (Revenue assignment) untuk membiayai wewenang luas yang

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

dilimpahkan kepada Aceh (expenditure assignment).

Penerimaan dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan sendiri (pasal 150 ayat 1 butir c draf Aceh) dihapus dalam draf Pemerintah. Sumber penerimaan ini mencakup ; bagi hasil migas dan SDA, seluruh PBB dan BPHTB, 50% PPh Pribadi dan Badan). Tetapi dalam draf Pemerintah semua sumber penerimaan ini dihapus, kecuali 70% bagi hasil migas. Sumber penerimaan migas diperkirakan tidak sustainable dibandingkan sumber-sumber di luar migas (PBB, PPh dan SDA terbarui). Draf Pemerintah mengembalikan semua sumber penerimaan lain di luar migas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku umum (draf Pemerintah pasal 141, padahal Aceh menginginkan format bagi hasil dan pajak-pajak yang khusus (misalnya menjadikan PBB dan BPHTB sebagai pajak daerah). Di negara maju, property tax adalah pajak daerah ada mekanisme piggybacking atas

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

income tax.

(2) Sumber PAA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri dari : a. pajak daerah; b. retribusi daerah; c. hasil perusahaan milik daerah dan penyertaan

modal daerah; d. zakat; e. hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang

dipisahkan; dan f. lain-lain PAA yang sah.

Pasal 140 (1). Sumber pendapatan asli Aceh dan pendapatan asli

kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf a, terdiri dari: a) pajak Aceh/kabupaten/kota; b) retribusi Aceh/kabupaten/kota; c) hasil perusahaan milik Aceh/kabupaten/kota dan

penyertaan modal Aceh/kabupaten/kota; d) zakat; dan e) lain-lain pendapatan asli Aceh dan pendapatan

ash kabupaten/kota yang sah. (2). Sumber pendapatan asli Aceh dan pendapatan asli

Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Bagaimana dengan infaq, sadaqah dan waqaf dan harta agama lainnya?

(3) Dana perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah dana perimbangan bagian Aceh dan Kabupaten/Kota sesuai peraturan perundang-undangan, terdiri atas :

a. Bagi hasil pajak dan bagi hasil penerimaan negara dari sumber daya alam yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu 80 % (delapan puluh persen) bagian penerimaan sumber daya alam dari sektor kehutanan, 80 % (delapan puluh persen) bagian penerimaan pertambangan umum, 80 % (delapan puluh persen) bagian penerimaan perikanan, dan 80 % (delapan puluh persen) bagian penerimaan

Pasal 141 (1). Dana perimbangan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 139 huruf b, terdiri atas: a) bagi hasil pajak, yaitu:

1. bagian dari penerimaan pajak bumi dan bangunan sebesar 90%.

2. bagian dari penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan sebesar 80%.

3. bagian dari penerimaan pajak penghasilan orang pribadi sebesar 20%.

b) bagi hasil penerimaan negara bukan pajak yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lain: 1. Kehutanan sebesar 80%.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

panas bumi.

b. dana alokasi umum yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

c. dana alokasi khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

d. Penerimaan Aceh dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan sendiri, terdiri atas:

(1) 70 % (tujuh puluh persen) bagian penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi serta sumber daya alam hidrokarbon lainnya yang ada dalam wilayah Aceh;

(2) 80 % (tujuh puluh persen) bagian penerimaan negara dari kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi serta penerimaan negara lainnya dari sumber daya alam lainnya yang ada di darat dan laut sekitar Aceh;

(3) seluruh penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan; dan

(4) seluruh penerimaan Pajak Pertambahan Nilai dan pajak-pajak tidak langsung lainnya.

(5) 50% (lima puluh persen) bagian Pajak Penghasilan Orang Pribadi, Pajak Penghasilan Badan dan Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap dari usaha-usaha ekonomi dalam wilayah Aceh.

2. Perikanan sebesar 80%. 3. Pertambangan umum sebesar 80%. 4. Pertambangan panas bumi sebesar 80%. 5. Pertambangan minyak bumi sebesar 70%. 6. Pertambangan gas alam sebesar 70%.

c) Dana Alokasi Umum yang besarnya sesuai peraturan perundang-undangan.

d) Dana Alokasi Khusus yang besarnya sesuai peraturan perundang-undangan.

(2). Pembagian Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan serta Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3). Pembagian dana bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1, angka 2, angka 3 dan angka 4 sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4). Pembagian dana bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 5 dan angka 6 antara Aceh dan kabupaten/kota diatur dengan Qanun Aceh.

70 % (tujuh puluh persen) bagian penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi serta sumber daya alam hidrokarbon lainnya yang ada dalam wilayah Aceh; meliputi bagian pemerintah dari bagi hasil dan bagian pemerintah dari penerimaan pajak dari kegiatan dimaksud.

Pajak dimaksud merupakan pajak daerah karena sifatnya yang bersumber dari sumber daya alam di daerah.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(4) Dana tambahan terdiri atas:

a. Penerimaan yang besarnya setara dengan 5 % (lima persen) dari plafon dana alokasi umum nasional, yang digunakan untuk pemberdayaan ekonomi kerakyatan, pembiyaan pendidikan, sosial dan kesehatan; dan

b. Dana tambahan yang besarnya ditetapkan oleh Pemerintah bersama DPR RI pada setiap tahun anggaran, yang dikelola oleh Pemerintah Aceh dan ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur, termasuk harta benda publik dan perorangan yang hancur dan rusak akibat konflik dan bencana alam, serta untuk pembangunan daerah terpencil, terisolir dan kepulauan.

(5) Penerimaaan Pemerintah Aceh dari sektor eksplorasi dan eksploitasi dan sumber daya alam diatur dalam suatu kontrak bagi hasil antara Pemerintah dan Pemerintah Aceh.

(6) Penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan b terdiri atas penerimaan negara berupa pajak dan bukan pajak.

(7) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terdiri atas;

a. Penerimaan Iuran Tetap (Land Rent); b. Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi

(Royalty); c. Penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan; d. Penerimaan Provisi Sumber Daya Hutan; dan e. Penerimaan-penerimaan negara bukan pajak

lainnya dari pengusahaan sumber daya alam.

(8) Penerimaan negara dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b meliputi

Pasal 142 (1). Dana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

139 huruf c merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan yang besarnya 1 % (satu persen) dari plafon dana alokasi umum nasional selama 5 (lima) tahun.

(2). Pembagian dana tambahan antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah kabupaten/kota diatur dengan Qanun Aceh.

(3). Penyusunan Qanun tentang Pembagian Dana Tambahan antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) difasilitasi oleh Pemerintah.

- Pasal 142 ayat (1) RUU PA

Pemerintah yang menetapkan dana tambahan 1 % dari DAU Nasional perlu dikembalikan lagi kepada Draft DPRD yang menetapkan dana tamabahan yang setara dengan 5 % plafon DAU Nasional.

- Aceh menginginkan dana

tambahan yang besarnya 5% dari plafon DAU nasional (Papua: 2%) dan berlangsung permanen (pasal 150 ayat 4). Draf Pemerintah hanya mengakomodasi 1% dari DAU dan hanya untuk 5 tahun. Dana tambahan dari DAU sebenarnya mrp kompensasi ats ketidakadilan thd Aceh selama pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Justifikasi;

• Eksploitasi migas sejak 1977 hingga sebelum otsus (2002)

• Konflik sejak 1976 hingga 2004 menyebabkan Aceh kehilangan kesempatan membangun

• Percepatan pembangunan infrastruktur fisik dan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan.

(9) Semua pajak dan bagi hasil pajak yang diperoleh melalui kewenangan pemerintahan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak menjadi faktor pengurang dalam formula penghitungan dana alokasi umum untuk Aceh.

nonfisik untuk mengejar ketertinggalan Aceh dan kemajuan Aceh berdampak positif bagi seluruh Indonesia

• Dalam sejarah, ada contoh Marshal Plan (sejak selesai PD-II hingga 1953 AS menyuntikkan dana sebesar USD 13 milyar untuk rekonstruksi Eropa pascaperang). AS juga membantu Jepang pascaperang.

• Dalam konteks Aceh, kompensasi adalah antar jenjang pemerintahan (dari Pusat untuk Aceh) dan karenanya dituangkan dalam mekanisme DAU

Tentu saja kerugian dan kehilangan kesempatan dalam jumlah yang besar dan waktu yang panjang tidak cukup dikompensasi dgn 1% DAU dan hanya 5 tahun. Jumlah 5% dr DAU memadai, walaupun mungkin waktunya dibatasi hanya 10-15 tahun. Dengan kewenanagan yang diberikan lebih besar kepada aceh maka diperlukan dana

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

tambahan dari pemerintah pusat dalam rangka memacu pembangunan.

Pasal 151

(1) Pemerintah Aceh memiliki kewenangan mengelola penerimaan negara dari hasil pengusahaan sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130.

(2) Pemerintah Aceh melakukan penghitungan dan penetapan bagian Pemerintah dan bagian Pemerintah Aceh dari penerimaan negara dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130.

(3) Penghitungan dan penetapan bagian Pemerintah dan Pemerintah Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikoordinasikan dengan Pemerintah.

Pasal 152

(1) Pemerintah Aceh berhak memperoleh dana pinjaman dari dalam dan/atau luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Pemerintah Aceh dapat menerima bantuan dari luar negeri secara langsung dengan kewajiban memberitahukan kepada DPRA.

(3) Ketentuan mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 143 (1). Pemerintah Aceh dapat memperoleh pinjaman dari

dalam dan atau luar negeri dengan persetujuan Menteri Keuangan dan pertimbangan Menteri Dalam Negeri.

(2). Pemerintah Aceh dapat menerima bantuan dari luar negeri secara langsung dengan kewajiban memberitahukan kepada DPRA.

(3). Ketentuan mengenai dana pinjaman dari dalam dan/atau luar negeri dan bantuan dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Paragraf 2 Pengelolaan

Pasal 153

(1) Pemerintah Aceh berwenang mengelola hasil sumber daya alam di Aceh.

(2) Pemerintah Aceh bertanggungjawab kepada Pemerintah terhadap pendistribusian hasil sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan dalam pasal 150 ayat (1) huruf c dan ayat (4).

(3) Pendistribusian hasil sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara Aceh dan Kabupaten/Kota diatur dengan Qanun Aceh.

Paragraf 2 Pengelolaan

Pasal 144

(1). Pemerintah Aceh berwenang mengelola dana bagi

hasil yang merupakan bagian Aceh di luar dana perimbangan.

(2). Pemerintah Aceh bertanggungjawab kepada Pemerintah terhadap pengalokasian dana bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diberikan kepada kabupaten/kota.

Pasal 144 RUU PA Pemerintah. Kewenangan mengelola penerimaan SDA oleh Pem. Aceh (draf Aceh pasal 151 dan 153) dihilangkan dalam draf Pemerintah. Yang diserahkan adalah wewenang hanya mengelola dana bagi hasil (RUU PA pemerintah pasal 144). Prinsip pemerintahan sendiri (self-governance) dalam hal pengelolaan SDA ini perlu dipertahankan.

Pasal 154

(1) Zakat dikelola oleh pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota sebagai bagian dari PAA.

(2) Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk Baital Mal sebagai badan pengelola zakat, harta wakaf dan harta agama lainnya yang merupakan bagian dari perangkat pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

(3) Zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terutang dari wajib pajak.

(4) Pengelolaan Zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Qanun

Pasal 145

(1). Zakat dikelola oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai bagian dari Pendapatan Ash Aceh/Pendapatan Asli Kabupaten/Kota.

(2). Penierintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat membentuk Baital Mal sebagai badan pengelola zakat, harta wakaf dan harta agama lainnya yang merupakan bagian dari perangkat Aceh dan perangkat kabupaten/kota.

(3). Zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terutang dari wajib pajak.

(4). Pengelolaan zakat sebagaimana dimaksud pada ayat

Pasal ini perlu diberi penjelasan kaitan antara zakat penghasilan dengan pajak penghasilan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Aceh.

(1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Qanun.

Pasal 155

1) Sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen) pendapatan dalam APBA dan APBK dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan.

2) Pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai laporan tersendiri dalam pertanggungjawaban APBA dan APBK.

3) Pengalokasian dan pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 146

(1). Alokasi anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan 30% (tiga puluh persen) dari pendapatan dalam APBA dan APBK yang dilaksanakan secara bertahap.

(2). Pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sebagai laporan tersendiri dalampertanggungjawaban APBA dan APBK.

(3). Pengalokasian dan pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota diatur dengan Qanun Aceh.

- Pasal 146 RUU PA

Pemerintah pelaksanaan 30% dana pendidikan dilaksanakan secara bertahap tidak tepat lagi karena selama ini pengalokasian 30% untuk dana pendidikan memang sudah berlangsung.

- Draf DPRD menyebutkan alokasi 30% APBD and APBK untuk pendidikan tanpa ada tahapan (pasal 155). Tetapi RUU PA Pemerintah pasal 146 menambahkan “yang dilaksanakan secara bertahap”. Kelonggaran tahapan ini dikhawatirkan akan menyebabkan tidak memadainya alokasi anggaran untuk pendidikan sebagaimana yang terjadi selama ini baik secara nasional maupun di daerah.

Pasal 156

(1) Pemerintah menyampaikan data dan informasi mengenai penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari Aceh kepada Pemerintah Aceh dan DPRA setiap tahun anggaran.

Pasal 147

(1). Pemerintah menciptakan transparansi dalam pengumpulan dan pengalokasian pendapatan yang berasal dari Aceh antara Pemerintah dan Pemerintah Aceh.

(2). Dalam menciptakan transparansi sebagaimana

- Pasal 147 ayat (2) RUU PA

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(2) Pemerintah Aceh berhak meminta bantuan auditor independen untuk melakukan verifikasi atas pengalokasian pendapatan antara Pemerintah dan Pemerintah Aceh.

(3) Auditor menyampaikan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Gubernur atau nama lain.

dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan auditor independen yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan verifikasi sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.

(3). Auditor menyampaikan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemerintah dan Pemerintah Aceh.

Pemerintah yang tidak mengakomodir kewenanagan Pemerintah Aceh untuk meminta auditor independen, perlu dikembalikan seperti

- pasal 156 ayat (2) Draft

DPRD, dengan alasan sebagai berikut:

1. Kewenanagan meminta

auditor independen juga disepakati dalam MoU.

2. Kehadiran auditor independen diharapkan akan dapat meningkatkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah.

- Kata-kata ”menciptakan” tidak

berarti ada hak meminta bantuan auditor independen padahal dalam MoU sudah jelas di sebutkan kata-kata ”Auditor Independen”

- Draft DPRD lebih tegas mengatur tentang hak Pemerintah Aceh untuk memperoleh data dan informasi mengenai penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak yang berasal dari Aceh.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 157

(1) Pemerintah Aceh berwenang mengatur tatacara pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota.

(2) Pemerintah Aceh berwenang membuat sistem akuntansi keuangan tersendiri.

(3) Tatacara pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sistem akuntansi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 148

(1). Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang mengatur tata cara pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana APBA dan APBK sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2). Pemerintah Aceh berwenang membuat sistem akuntansi keuangan berpedoman pada standar akuntansi pemerintahan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(3). Sistem akuntansi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 158

(1) Pemerintah Aceh berwenang menetapkan persyaratan tambahan untuk lembaga-lembaga keuangan bank dan bukan bank dalam hal ketentuan penyaluran kredit dalam wilayah Aceh.

(2) Pemerintah Aceh berhak menetapkan tingkat suku bunga yang berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

(3) Bank asing dapat membuka cabang atau perwakilan di Aceh dengan persetujuan Pemerintah Aceh.

Pasal 149

(1). Pemerintah Aceh berwenang menetapkan persyaratan tambahan untuk lembaga-lembaga keuangan bank dun bukan bank dalam penyaluran kredit di Aceh.

(2). Pernerintah Aceh berhak menetapkan tingkat suku bunga yang berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

(3). Bank asing dapat membuka cabang atau perwakilan di Aceh sesuai peraturan perundangundangan.

- Pasal 149 ayat (3) RUU PA

Pemerintah mengatur bank asing dapat membuka cabang atau perwakilan di aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan perlu dikembalikan sebagaimana rumusan Pasal 158 ayat (3) Draft DPRD, dengan pertimbangan sebagai berikut:

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

- Memberi kemudahan

kepada bank asing yang akan membuka cabang atau perwakilan di Aceh

- Menciptakan iklim

investasi yang mudah dan sehat.

Pasal 159

(1) Pemerintah Aceh dapat melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbasis sumber daya alam dan BUMN lainnya serta perusahaan-perusahaan swasta yang berdomisili dan/atau beroperasi di wilayah Aceh melalui anggaran sendiri dan/atau dana hibah.

(2) Penyertaan modal dengan sumber dana hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemberian hibah saham pemerintah pada BUMN kepada Pemerintah Aceh.

(3) Pemerintah setiap tahun memberikan sebagian keuntungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang hanya beroperasi di Aceh yang besarnya ditetapkan bersama antara pemerintah dan pemerintah Aceh.

(4) Tata cara penyertaan modal pemerintah Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 150

(1). Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara berbasis sumber daya alam dan badan usaha milik negara lainnya serta perusahaan-perusahaan swasta yang berdomisili dan/atau beroperasi di Aceh melalui anggaran sendiri dan/atau dana hibah.

(2). Penyertaan modal Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (I) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 160

Tata cara penyusunan dan pelaksanaan APBA dan APBK, perubahan dan perhitungan serta pertanggungjawaban dan

Pasal 151 Tata cara penyusunan dan pelaksanaan APBA dan APBK, perubahan dan perhitungan serta pertanggungjawaban dan pengawasannya diatur dengan Qanun dengan berpedoman

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

pengawasannya diatur dengan Qanun Aceh.

pada peraturan perundang-undangan.

Pasal 161

(1) Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendapatan dan belanja yang bersumber dari APBA dan non APBA secara transparan dan akuntabel.

(2) Masyarakat, termasuk kelompok perempuan, dan/atau perorangan berhak dalam pengawasan atas pengelolaan pendapatan dan belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Tatacara pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 152

(1). Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendapatan dan belanja yang bersumber dari APBA/APBK dan non APBA/APBK secara transparan dan akuntabel.

(2). Masyarakat, termasuk kelompok perempuan, dan/atau perorangan berhak dalam pengawasan atas pengelolaan pendapatan dan belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3). Tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Qanun.

BAB XXVIPERTAHANAN

Pasal 162

(1) Pemerintah menempatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Aceh yang bertanggung jawab hanya untuk menjaga pertahanan eksternal Aceh.

(2) Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Aceh terdiri dari TNI organik.

(3) Penempatan Tentara Nasional Indonesia di Aceh dilakukan dengan terlebih dahulu dikonsultasikan dengan pemerintah Aceh dan mendapat persetujuan dari DPRA.

(4) Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Aceh berkewajiban menjunjung tinggi prinsip-prinsip

BAB XX V TENTARA NASIONAL INDONESIA

Pasal 153

Tentara Nasional Indonesia bertanggung jawab

menyelenggarakan pertahanan negara dan tugas lain di Aceh sesuai peraturan perundang-undangan.

Pertahanan negara dan tugas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara di Aceh.

Anggota Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Aceh tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak-hak asasi manusia dan menghormati budaya serta adat istiadat Aceh.

Pasal 153 RUU PA Pemerintah agar dikembalikan ke dalam klausul Pasal 162 draft DPRD dengan alasan bahwa TNI bertugas menjaga pertahanan eksternal terhadap ancaman NKRI, sedangkan menyangkut dengan tugas keamanan dan pengamanan dapat dilakukan oleh kepolisian Aceh dan apabila suatu waktu ada keadaan yang sangat mendesak maka kepolisian dapat meminta perbantuan kepada TNI dalam rangka melakukan pengamanan namun tanggung jawab

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

universal hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam instrumen-instrumen hak-hak asasi manusia perserikatan bangsa-bangsa serta menghormati budaya dan adat istiadat Aceh.

operasional keamanan tetap berada pada kepolisian.

Pasal 154 Tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Tentara

Nasional Indonesia di Aceh diadili sesuai peraturan perundang-undangan.

Peradilan anggota Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terbuka dan dibuka untuk umum.

Pasal 154 RUU PA Pemerintah bertentangan dengan MoU point 1.4.5, karena itu pasal tersebut tidak relevan dengan MoU dan patut dihapuskan.

BAB XVI

KEPOLISIAN ACEH

Pasal 99

(1) Kepolisian Aceh adalah bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(2) Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan terlebih dahulu mengajukan 3 (tiga) orang calon untuk memperoleh persetujuan Gubernur atau nama lain setelah mendapat pertimbangan DPRA.

(3) Pemberhentian Kepala Kepolisian Aceh dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(4) Tata cara persetujuan Gubernur atau nama lain dan pertimbangan DPRA yang dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

BAB XXVI KEPOLISIAN

Pasal 155

(1). Kepolisian Aceh merupakan bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(2). Kepolisian Aceh bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat untuk melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum di Aceh.

(3). Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.

(4). Pemberhentian Kepala Kepolisian Aceh dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 99 Ayat (2) dan Ayat (4) Draft RUU PA DPRD NAD perlu dipertahankan karena ketentuan tersebut mengatur tentang mekanisme pemberian persetujuan Gubernur dalam pengangkatan Kapolda Aceh. Ayat ini merupakan penyempurnaan terhadap Pasal 21 dalam UU nomor 18 thn 2001 dan MoU Angka 1.4.4

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 100

(1) Kepolisian Aceh sebagaimana dimaksud dalam pasal 99 ayat (1) melaksanakan kebijakan teknis kepolisian di bidang keamanan dan ketertiban serta penegakan hukum dari berbagai ketentuan tentang pelaksanaan Syari’at Islam untuk mewujudkan ketentraman masyarakat.

(2) Kebijakan Kepala Kepolisian Aceh mengenai keamanan ketertiban dan ketentraman masyarakat di Aceh dikoordinasikan kepada Gubernur atau nama lain Aceh.

(3) Pelaksanaan tugas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dipertanggungjawabkan oleh Kepala Kepolisian Aceh kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Gubernur atau nama lain Aceh.

(4) Anggota polisi organik Aceh akan memperoleh pelatihan khusus di Aceh dan di luar negeri dengan penekanan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia.

(5) Tugas Komisi Kepolisian Nasional untuk Aceh dilaksanakan oleh Komisi Kepolisian Aceh yang dibentuk oleh DPRA.

(6) Tugas, fungsi, struktur dan keanggotaan Komisi Kepolisian Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 156

(1). Tugas kepolisian dilaksanakan oleh Kepolisian Aceh

sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(2). Kepolisian Aceh melaksanakan kebijakan teknis kepolisian di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat.

(3). Kebijakan ketentraman dan ketertiban masyarakat di Aceh dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Aceh kepada Gubernur.

(4). Pelaksanaan tugas kepolisian di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dipertanggungjawabkan oleh Kepala Kepolisian Aceh kepada Gubernur.

(5). Kepala Kepolisian Aceh bertanggungjawab kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas pembinaan kepolisian di Aceh dalam kerangka pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 100 Ayat (1) Draft DPRD NAD tetap dipertahankan karena: d. Syariat Islam yang ditetapkan

dengan Qanun sebagai pelaksanaan UU No. 18 Thn 2001 sudah merupakan hukum positif. Oleh karenanya adalah juga merupakan tugas fungsional kepolisian untuk melakukan penyidikan/penegakan hukum terhadap pelanggaran syariat Islam dimaksud.

e. Qanun nomor 11 thn 2003 ttg tugas fungsional kepolisian di Aceh telah mengatur mekanisme penegakan hukum thd syariat Islam dimana penyidikan merupakan tugas kepolisian.

Pasal 100 Ayat (5) dan Ayat (6) Draft RUU PA DPRD NAD perlu dipertahankan karena tugas kepolisian di Aceh berbeda dgn daerah lain khususnya menyangkut dengan syariat Islam. Oleh karena itu diperlukan Komisi Kepolisian yg khusus untuk Aceh. Oleh karena Komisi Kepolisian Aceh merupakan instrumen pelaksanaan kekhususan Aceh maka pembentukannya juga dilakukan oleh DPRA.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 101

(1) Kepolisian Aceh membentuk satuan khusus Polisi

Syari’at Islam.

(2) Pembentukan satuan khusus Polisi Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia setelah mendapat pertimbangan dari Gubernur atau nama lain dan Kepala Kepolisian Aceh.

Pasal 101 dan Pasal 102 Draft RUU DPRD NAD tetap dipertahankan sebagai konsekwensi dari adanya tugas fungsional kepolisian dalam pelaksanaan syariat Islam yang juga merupakan salah satu keistimewaan Aceh sebagaimana diatur dalam UU no. 44 thn 1999.

Pasal 102

(1) Tugas penyelidikan dan penyidikan untuk penegakan Syari’at Islam dilakukan oleh pejabat Polisi atau PPNS.

(2) Pengangkatan, persyaratan dan pendidikan PPNS untuk penegakan Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun.

Pasal 103

(1) Penerimaan untuk menjadi bintara dan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia di Aceh dilaksanakan oleh Kepolisian Aceh dengan berkonsultasi kepada Gubernur atau nama lain serta memperhatikan sistem hukum, syari’at, budaya dan adat istiadat di Aceh.

(2) Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi bintara Kepolisian Negara Republik Indonesia di Aceh diberi kurikulum muatan lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Aceh.

(3) Pendidikan dan pembinaan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berasal dari Aceh

Pasal 157

(1). Seleksi untuk menjadi bintara dan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia di Aceh dilaksanakan oleh Kepolisian Aceh dengan memperhatikan norma hukum, syari'at, budaya, adat istiadat.

(2). Pendidikan dasar bagi talon bintara dan pelatihan umum bagi bintara Kepolisian Aceh diberi kurikulum muatan lokal dan dengan penekanan terhadap hak asasi manusia.

(3). Pendidikan dan pembinaan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berasal dari Aceh dilaksanakan secara nasional oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

dilaksanakan secara nasional oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(4) Penempatan perwira dan bintara Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Aceh ke Kepolisian Aceh dilaksanakan atas keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan sistem hukum, budaya, dan adat istiadat Aceh.

(4). Penempatan bintara dun perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Aceh ke Kepolisian Aceh dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan norma hukum, syari'at, budaya, dan adat istiadat.

BAB XVII KEJAKSAAN ACEH

Pasal 104

(1) Kejaksaan Aceh adalah bagian dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

(2) Pengangkatan Kepala Kejaksaan Aceh dilakukan oleh Jaksa Agung Negara Republik Indonesia dengan terlebih dahulu mengajukan 3 (tiga) orang calon untuk memperoleh persetujuan Gubernur atau nama lain setelah mendapat pertimbangan DPRA.

(3) Rekruitment dan penempatan Jaksa di Aceh harus memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat Aceh.

(4) Tata cara persetujuan Gubernur atau nama lain dan pertimbangan DPRA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

(5) Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi di Aceh dilakukan oleh Jaksa Agung.

(6) Kejaksaan Aceh melaksanakan tugas dan kebijakan teknis di bidang penegakan hukum termasuk pelaksanaan Syari’at Islam.

(7) Tugas Komisi Kejaksaan untuk Aceh dilaksanakan

BAB XXVII KEJAKSAAN

Pasal 158

(1). Tugas Kejaksaan dilakukan oleh Kejaksaan Aceh

sebagai bagian dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

(2). Seleksi dan penempatan Jaksa di Aceh dilakukan oleh Kejaksaan Agung dengan memperhatikan norma hukum, syari'at, budaya, adat istiadat Aceh.

(3). Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.

(4). Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi di Aceh dilakukan oleh Jaksa Agung.

(5). Kejaksaan di Aceh melaksanakan tugas dan kebijakan teknis dibidang penegakan hukum termasuk pelaksanaan Syari'at Islam.

Pasal 104 Ayat (2) Draft RUU PA DPRD NAD tetap dipertahankan karena mengatur tentang mekanisme pemberian persetujuan Gubernur dalam pengangkatan Kajati Aceh. Ayat ini merupakan penyempurnaan terhadap Pasal 24 Ayat (2) UU nomor 18 thn 2001 dan MoU Angka 1.4.4.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

oleh Komisi Kejaksaan Aceh yang dibentuk oleh DPRA.

(8) Tugas, fungsi, struktur dan keanggotaan Komisi Kejaksaan Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 104 Ayat (7) dan Ayat (8) Draft RUU PA DPRD NAD tetap dipertahankan karena tugas Kejaksaan di Aceh berbeda dgn daerah lain khususnya menyangkut dengan syariat Islam. Oleh karena itu diperlukan Komisi Kejaksaan yg khusus untuk Aceh. Oleh karena Komisi Kejaksaan Aceh merupakan instrumen pelaksanaan kekhususan Aceh maka pembentukannya juga dilakukan oleh DPRA.

BAB XXVIIIDENTITAS DAN KEPENDUDUKAN

Pasal 163

(1) Warga Aceh adalah setiap individu yang lahir dan/atau memiliki garis keturunan Aceh baik yang ada di Aceh maupun di luar Aceh dan mengakui dirinya sebagai warga Aceh.

(2) Rakyat Aceh adalah setiap individu yang berasal dari berbagai ras bangsa dan etnik yang telah menetap di Aceh secara turun-temurun dan mengakui dirinya sebagai rakyat Aceh.

(3) Pemerintah dan Pemerintah Aceh mengakui, menghormati dan melindungi keanekaragaman etnik Aceh.

(4) Pemerintah Aceh mengakui dan melindungi hak setiap kelompok etnik yang ada di Aceh untuk diperlakukan setara dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan

BAB XXVIII KEPENDUDUKAN

Pasal 159

(1). Orang Aceh adalah setiap individu yang lahir atau memiliki garis keturunan Aceh balk yang ada di Aceh maupun di Iuar Aceh dan mengakui dirinya sebagai warga Aceh.

(2). Rakyat Aceh terdiri dari individu-individu yang berasal dari berbagai ras bangsa dan etnik yang telah menetap di Aceh secara turun-temurun dan mengakui dirinya sebagai rakyat Aceh.

(3). Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota mengakui, menghormati dan melindungi keanekaragaman etnik di Aceh.

(4). Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengakui dan melindungi hak setiap kelompok etnik yang ada di Aceh untuk diperlakukan setara dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

budaya.

Pasal 164

(1) Penduduk Aceh adalah setiap orang yang bertempat tinggal secara menetap di Aceh.

(2) Setiap penduduk Aceh yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun dan/atau telah menikah akan diberikan kartu identitas.

(3) Pemerintah Aceh berkewajiban untuk melakukan data base terhadap penduduk Aceh.

(4) Ketentuan tentang kependudukan dan identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) akan diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 160

(1). Penduduk Aceh adalah setiap orang yang bertempat tinggal secara menetap di Aceh.

(2). Setiap penduduk Aceh yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun dan/atau telah menikah diberikan kartu tanda penduduk.

(3). Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola data kependudukan sesuai dengan kewenangan.

(4). Ketentuan mengenai kependudukan dan identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Qanun Aceh dengan berpedoman pada peraturan perundang undangan.

Pasal 160 ayat (4) RUU PA Pemerintah dikembalikan pada Pasal 164 ayat (4) Draft DPRD dengan alasan bahwa ketentuan mengenai kependudukan di Aceh mempunyai karakteristik dan kultur yang khusus sehingga cukup diatur dalam Qanun Aceh saja.

BAB XXVIIIPERTANAHAN

Pasal 165

(1) Rakyat Aceh memiliki kedaulatan terhadap hak atas tanah.

BAB XXIX PERTANAHAN

Pasal 161

(1). Rakyat Aceh memiliki hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 161 ayat (1) dan (2) RUU PA Pemerintah dikembalikan pada Pasal 165 ayat (1) dan (2) Draft

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(2) Pemerintah Aceh berwenang mengatur peruntukan, pemanfaatan dan hubungan hukum berkenaan dengan hak atas tanah dengan mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak yang telah ada termasuk hak-hak adat.

(3) Pemerintah Aceh wajib melakukan perlindungan hukum terhadap tanah-tanah wakaf dan harta agama lainnya.

(4) Tatacara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.

(2). Pemerintah Aceh berwenang mengatur dan mengurus peruntukan, pemanfaatan dan hubungan hukum berkenaan dengan hak atas tanah dengan mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak yang telah ada termasuk hak-hak adat sesuai dengan norma, standar dan prosedur yang berlaku secara nasional.

(3). Pemerintah Aceh wajib melakukan perlindungan hukum terhadap tanah-tanah wakaf dan harta agama lainnya.

(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.

DPRD dengan alasan bahwa penguasaan hak atas tanah di aceh memiliki karakteristik tersendiri dan cukup diatur dengan Qanun.

Pasal 166

(1) Pemerintah Aceh berwenang sepenuhnya memberi izin hak guna bangunan dan hak guna usaha bagi investor dalam negeri maupun luar negeri.

(2) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 162 (1). Pemerintah Aceh berwenang memberi izin hak guna

bangunan dan hak guna usaha bagi investor dalam negeri dan luar negeri sesuai dengan norma, standar dan prosedur yang berlaku.

(2). Tata cara pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Qanun Aceh.

BAB XXIX

PENDIDIKAN

Pasal 167

(1) Pendidikan yang diselenggarakan di Aceh adalah satu

BAB XXX

PENDIDIKAN

Pasal 163 (1). Pendidikan yang diselenggarakan di Aceh merupakan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

kesatuan dengan sistem pendidikan nasional yang disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan masyarakat setempat.

(2) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat termasuk kelompok perempuan melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

satu kesatuan dengan sistem pendidikan nasional yang disesuaikan dengan karakteristik, potensi dan kebutuhan masyarakat setempat.

(2). Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat termasuk kelompok perempuan melalui peran serta dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengendalian mutu layanan.

Pasal 168

(1) Setiap penduduk Aceh berhak mendapat pendidikan yang bermutu dan islami sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2) Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan berdasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai islami, budaya dan kemajemukan bangsa.

Pasal 164

(1). Setiap penduduk Aceh berhak mendapat pendidikan yang bermutu dan islami sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2). Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan berdasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai islami, budaya dan kemajemukan bangsa.

Pasal 169

(1) Penduduk Aceh yang berusia 7 (tujuh) sampai 15 (lima belas) tahun berhak memperoleh pendidikan dasar tanpa pungutan biaya apapun.

(2) Penduduk Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti pendidikan dasar.

(3) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengalokasikan dana yang cukup untuk membiayai pendidikan dasar dan menengah.

(4) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah

Pasal 165

(1). Penduduk Aceh yang berusia 7 (tujuh) tahun sampai 15 (lima belas) tahun berhak memperoleh pendidikan dasar tanpa pungutan biaya.

(2). Penduduk Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti pendidikan dasar.

(3). Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan kabupaten/kota wajib mengalokasikan dana untuk membiayai pendidikan dasar dan menengah.

(4). Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan kabupaten/kota menyediakan pelayanan pendidikan tanpa pungutan biaya kepada kelompok masyarakat

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Kabupaten/Kota mengutamakan pelayanan pendidikan gratis kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu sampai jenjang pendidikan sekolah menengah atas.

(5) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyediakan pelayanan pendidikan khusus untuk orang cacat dan anak-anak terlantar.

(6) Pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Qanun Aceh.

yang tidak mampu sampai jenjang pendidikan sekolah menengah atas.

(5). Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan kabupaten/kota menyediakan pelayanan pendidikan khusus untuk orang cacat dan anak-anak terlantar.

(6). Pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 170

(1) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan.

(2) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan umum tentang penyelenggaraan pendidikan formal, pendidikan dayah dan pendidikan nonformal lainnya melalui penetapan kurikulum inti dan standar mutu bagi semua jenis dan jenjang pendidikan.

(3) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan pengembangan perguruan tinggi, kurikulum dan standar mutu pendidikan pada semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan.

(4) Alokasi dana pendidikan melalui APBA dan APBK tidak diperuntukkan untuk pendidikan dan pelatihan kedinasan, kegiatan pelayanan publik di luar bidang pendidikan serta diprioritaskan untuk peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan pada tingkat

Pasal 166 (1). Pernerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota

bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan.

(2). Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota menetapkan kebijakan mengenai penyelenggaraan pendidikan formal, pendidikan dayah dan pendidikan nonformal lainnya melalui penetapan kurikulum inti dan standar mutu bagi semua jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3). Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota menetapkan kebijakan pengembangan perguruan tinggi, kurikulum dan standar mutu pendidikan pada semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan.

(4). Alokasi dana pendidikan melalui APBA dan APBK tidak diperuntukkan untuk pendidikan dan pelatihan kedinasan, kegiatan pelayanan publik di luar bidang pendidikan serta diprioritaskan untuk peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan pada tingkat sekolah.

(5). Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota

- Pasal 166 ayat (2) RUU PA

Pemerintah dikembalikan pada Pasal 170 ayat (2) draft DPRD dengan alasan bahwa sesuai dengan UU nomor 44 tahun 1999 tentang keistimewaan aceh, bahwa pemerintah telah mengakui secara resmi tentang hak keistimewaan dalam penyelenggaraan pendidikan di Aceh.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

sekolah.

(5) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan luas kepada lembaga keagamaan, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu.

memberikan kesempatan luas kepada lembaga keagamaan, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu.

Pasal 171

(1) Penyelenggara pendidikan di Aceh wajib memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang pendidikan.

(2) Penyelenggara pendidikan dayah wajib memenuhi standar akreditasi yang ditetapkan oleh pemerintah Aceh.

(3) Penetapan standar akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 167 (1). Penyelenggara pendidikan di Aceh wajib memenuhi

standar pelayanan minimal bidang pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2). Penyelenggara pendidikan dayah wajib memenuhi standar akreditasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Aceh.

(3). Penetapan standar akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 172

(1) Pemerintah dan Pemerintah Aceh memberi akses kepada peserta didik untuk mendapatkan pelayanan pendidikan oleh tenaga-tenaga profesional dari dalam dan luar negeri.

(2) Penyelenggara pendidikan di Aceh dapat bekerjasama dengan lembaga pendidikan dari dalam dan luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 168 (1). Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah

Kabupaten/Kota memberi akses kepada peserta didik untuk mendapatkan pelayanan pendidikan oleh tenaga profesional dari dalam dan luar negeri.

(2). Pelayanan pendidikan yang dilakukan oleh tenaga profesional dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3). Penyelenggara pendidikan di Aceh dapat bekerjasama dengan lembaga pendidikan dari dalam dan luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

undangan.

Pasal 173

(1) Pemerintah Aceh wajib memperkuat fungsi dan peran Majelis Pendidikan Daerah (MPD).

(2) Tatacara pembentukan, susunan, tugas dan fungsi Majelis Pendidikan Daerah (MPD) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 169

(1). Pemerintah Aceh wajib memperkuat fungsi dan peran Majelis Pendidikan Daerah.

(2). Tata cara pembentukan, susunan, tugas dan fungsi Majelis Pendidikan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

BAB XXXKEBUDAYAAN

Pasal 174

(1) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota melindungi, membina dan mengembangkan kebudayaan Aceh serta kesenian Aceh yang berlandaskan nilai-nilai peradaban islami.

(2) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan peran kepada masyarakat dan lembaga-lembaga sosial dalam pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota membina, mengembangkan dan melestarikan keragaman kebudayaan dan kesenian daerah dalam upaya mempertahankan jati diri dan membentuk kepribadian masyarakat Aceh.

(4) Pemerintah dan Pemerintah Aceh mengakui, menghormati dan melindungi warisan budaya dan kesenian kelompok-kelompok etnik Aceh termasuk warisan budaya dan kesenian etnik minoritas di

BAB XXXI KEBUDAYAAN

Pasal 170

(1). Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota melindungi, membina dan mengembangkan kebudayaan Aceh serta kesenian Aceh yang berlandaskan nilai-nilai peradaban islami.

(2). Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota memberikan peran kepada masyarakat dan lembaga-lembaga sosial dalam pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3). Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota membina, mengembangkan dan melestarikan keragaman kebudayaan dan kesenian daerah . dalam upaya mempertahankan jati diri dan membentuk kepribadian masyarakat Aceh.

(4). Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota, mengakui, menghormati dan melindungi warisan budaya dan kesenian kelompok-kelompok etnik Aceh termasuk warisan budaya dan kesenian etnik minoritas di Aceh.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Aceh.

(5) Bahasa daerah dapat menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan tingkat sekolah dasar sesuai dengan kebutuhan.

(6) Pemerintah Aceh dapat membentuk Lembaga Kebudayaan dan/atau Kesenian Aceh.

(7) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Qanun Aceh.

(5). Bahasa daerah dapat menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan tingkat sekolah dasar sesuai dengan kebutuhan.

(6). Pemerintah Aceh dapat membentuk lembaga kebudayaan dan/atau kesenian aceh.

(7). Pelaksanaan ketentuan yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebugaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) ayat (5) dan ayat (6) diatur dengan Qanun.

Pasal 175

(1) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota melindungi dan melestarikan situs, literatur, dokumen sejarah, tanda tsunami, kebudayaan dan peradaban Aceh.

(2) Pemerintah Aceh mendirikan dan mengembangkan pusat-pusat kebudayaan, kesenian dan peradaban Aceh.

(3) Pemerintah dan Pemerintah Aceh berkewajiban mencari kembali dan mengembalikan benda-benda sejarah yang hilang atau dipindahkan dan merawatnya sebagai warisan budaya Aceh.

(4) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 171

(1). Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota melindungi dan melestarikan situs, literatur, dokumen sejarah, tanda bekas tsunami, kebudayaan dan peradaban Aceh.

(2). Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mendirikan dan mengembangkan pusatpusat kebudayaan, kesenian dan peradaban Aceh.

(3). Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban mencari kembali dan mengembalikan benda-benda sejarah yang hilang atau dipindahkan dan merawatnya sebagai warisan budaya Aceh.

(4). Pelaksanaan ketentuan yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Qanun.

BAB XXXII

KESEHATAN

Pasal 177

BAB XXXIII KESEHATAN

Pasal 173

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Kesehatan adalah hak rakyat yang mendasar dan merupakan investasi sumber daya manusia dalam pembangunan Aceh.

Pasal 178

(1) Setiap penduduk Aceh berhak memperoleh pelayanan kesehatan fisik, mental dan peningkatan gizi.

(2) Setiap anak yatim dan fakir miskin berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang komprehensif secara gratis.

(3) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

(1). Kesehatan merupakan hak rakyat yang mendasar dan merupakan investasi sumber daya manusia dalam pembangunan Aceh.

(2). Setiap penduduk Aceh berhak memperoleh pelayanan kesehatan fisik, mental dan peningkatan gizi.

(3). Setiap anak yatim dan fakir miskin berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang komprehensif secara gratis.

(4). Tata cara pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 179

(1) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota menetapkan standar mutu kesehatan dan memberikan pelayanan kesehatan penduduk Aceh secara islami.

(2) Standar mutu kesehatan pada semua tingkatan meliputi standar menajemen, administrasi dan informasi, standar pelayanan dan obat, standar pembiayaan, standar prasarana dan sarana serta standar kualifikasi dan kompetensi tenaga medis.

(3) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota mencegah dan menanggulangi segala jenis penyakit endemi, epidemi, pandemi dan/atau penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk.

(4) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota memberikan peluang kepada lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, lembaga adat, organisasi sosial, organisasi perempuan, organisasi profesi, lembaga

Pasal 174 (1). Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota

wajib memberikan pelayanan kesehatan secara islami berdasarkan standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan perundangundangan.

(2). Standar pelayanan minimal bidang kesehatan meliputi standar manajemen, administrasi dan informasi, standar pelayanan dan obat, standar pembiayaan, standar prasarana dan sarana serta standar kualifikasi dan kompetensi tenaga medis.

(3). Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mencegah dan menanggulangi segala jenis penyakit endemi, epidemi, pandemi dan/atau penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk.

(4). Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan peluang kepada lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, lembaga adat, organisasi sosial, organisasi perempuan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat serta dunia usaha yang

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

swadaya masyarakat serta dunia usaha yang memenuhi persyaratan untuk berperan dalam bidang kesehatan.

(5) Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota menyediakan pembiayaan kesehatan yang mencukupi kebutuhan normatif upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan bagi penduduk miskin.

(6) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Qanun Aceh.

memenuhi persyaratan untuk berperan dalam bidang kesehatan.

(5). Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota menyediakan pembiayaan kesehatan yang mencukupi kebutuhan normatif upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan bagi penduduk miskin.

(6). Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) ayat (3) ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Qanun.

Pasal 180

(1) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota merencanakan dan melaksanakan program-program perbaikan, pemulihan psikososial dan kesehatan mental akibat konflik dan bencana yang pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, lembaga adat, organisasi sosial, organisasi perempuan, organisasi profesi dan lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan.

(2) Perencanaan dan pelaksanaan program-program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan budaya Aceh dan memaksimalkan peran masyarakat setempat.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 175

(1). Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota merencanakan dan melaksanakan program-program perbaikan, pemulihan psikososial dan kesehatan mental akibat konflik dan bencana yang pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, lembaga adat, organisasi sosial, organisasi perempuan, organisasi profesi dan lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan.

(2). Perencanaan dan pelaksanaan program-program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan budaya Aceh dan memaksimalkan peran masyarakat setempat.

(3). Ketentuan mengenai program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun.

Pasal 181

BAB XXXIV HAK ASASI MANUSIA

Pasal 176 (1). Seluruh penduduk Aceh berkedudukan sama di

BAB XXXIIIHAK ASASI MANUSIA

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(1) Seluruh penduduk Aceh berkedudukan sama di depan hukum.

(2) Seluruh penduduk berhak memilih dan dipilih.

(3) Penduduk Aceh memiliki hak kebebasan berbicara, kebebasan pers dan publikasi, kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul, bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, berdemontrasi secara damai, dan hak untuk mendirikan dan bergabung dalam serikat pekerja dan hak mogok.

(4) Tidak seorang pun penduduk Aceh dapat ditangkap, ditahan, diadili, dan dipenjarakan secara melawan hukum.

(5) Tidak dibenarkan melakukan semua bentuk penggeledahan sewenang-wenang atau tidak sah atas tubuh, kediaman, pakaian, pencabutan atau perampasan hak atau pembatasan atas kebebasan setiap orang.

(6) Tidak dibenarkan untuk melakukan penyiksaan atas penduduk atau kesewenang-wenangan dan pencabutan atas hak hidup secara melawan hukum.

(7) Penduduk Aceh memiliki kebebasan untuk melakukan penelitian akademik, kreasi seni dan sastra dan aktivitas budaya lainnya yang tidak bertentangan dengan syari’at islam.

(8) Penduduk Aceh berhak untuk mendapatkan pelayanan dan bantuan hukum, akses kepada pengadilan, memilih pengacara/penasehat hukum untuk perlindungan pada saat dibutuhkan atas hak-hak hukum dan kepentingan mereka di depan pengadilan.

depan hukum. (2). Seluruh penduduk yang memenuhi syarat yang

ditentukan dengan peraturan perundangundangan berhak memillh dan dipilih.

(3). Penduduk Aceh memiliki hak kebebasan berbicara, kebebasan pers dan publikasi, kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul, bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, berdemontrasi secara damai, dan hak untuk mendirikan dan bergabung dalam serikat pekerja dan hak mogok.

(4). Tidak seorang pun penduduk Aceh dapat ditangkap, ditahan, diadili, dan dipenjarakan secara melawan hukum.

(5). Tidak dibenarkan melakukan semua bentuk penggeledahan sewenang-wenang atau tidak sah atas tubuh, kediaman, pakaian, pencabutan atau perampasan hak atau pembatasan atas kebebasan setiap orang.

(6). Tidak dibenarkan untuk melakukan penyiksaan atas penduduk atau kesewenang-wenangan dan pencabutan atas hak hidup secara melawan hukum.

(7). Penduduk Aceh memiliki kebebasan untuk melakukan penelitian akademik, kreasi seni dan sastra dan aktivitas budaya lainnya yang tidak bertentangan dengan syari'at islam.

(8). Penduduk Aceh berhak untuk mendapatkan pelayanan dan bantuan hukum, akses kepada pengadilan, memilih pengacara/penasehat hukum untuk perlindungan pada saat dibutuhkan atas hak-hak hukum dan kepentingan mereka di depan pengadilan.

(9) Semua penduduk Aceh dan penduduk lain di Aceh memiliki kewajiban untuk mematuhi hukum-hukum

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

yang berlaku di Aceh.

Pasal 182

(1) Tiap-tiap penduduk Aceh berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

(2) Setiap penduduk yang belum mendapat hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak atas jaminan sosial.

(3) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Qanun Aceh.

Pasal 177 (1). Setiap penduduk Aceh berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (2). Setiap penduduk yang belum mendapat hak

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak atas jaminan sosial yang disediakan oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 183

(1) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memenuhi, memajukan dan menegakkan hak asasi manusia sebagaimana disebut dalam kovenan internasional.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk memberi pengakuan dan perlindungan kepada kelompok dan suku minoritas di Aceh.

(3) Pemerintah membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh paling lambat

(4) Pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh paling lambat

(5) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah derivasi dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional yang bertugas untuk merumuskan dan menentukan rekonsiliasi dan

Pasal 178 (1). Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah

kabupaten/kota wajib memenuhi, memajukan dan menegakkan hak asasi manusia sebagaimana disebut dalam kovenan internasional yang telah ditetapkan dalam peraturan peundang-undangan.

(2). Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk memberi pengakuan dan perlindungan kepada kelompok dan suku minoritas di Aceh.

(3). Pemerintah membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk Aceh.

(4). Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.

Pasal 183 Draft DPRD perlu dipertahankan dengan alasan terutama Rumusan-rumusan tentang pementukan peradilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi telah diatur secara kongkrit dan menetapkan batas waktu 1 (satu) tahun untuk pembentukan peradilan HAM dan KKR.

1 (satu) tahun setelah pengesahan undang-undang ini.

1 (satu) tahun setelah pengesahan undang-undang ini.

melakukan klarifikasi terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa lalu.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(6) Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibentuk oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional dengan

memperhatikan pertimbangan DPRA.

Pasal 184

(1) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota serta penduduk Aceh berkewajiban memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak serta melakukan upaya-upaya pemberdayaan yang bermartabat.

(2) Pemajuan, perlindungan dan pemberdayaan hak-hak perempuan dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing diatur lebih lanjut di dalam Qanun Aceh.

Pasal 179 (1). Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah

kabupaten/kota serta penduduk Aceh berkewajiban memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak serta melakukan upaya-upaya pemberdayaan yang bermartabat.

(2). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota diatur lebih lanjut dalam Qanun.

Pasal 185 Draft DPRD perlu dipertahankan dengan alasan bahwa untuk mendapat akses yang luas dalam rangka memperoleh perlindungan HAM terutama dari kejahatan berat.

Pasal 185

Dalam hal tidak adanya jaminan proses investigasi yang adil dilakukan terhadap kasus-kasus kejahatan berat hak asasi manusia tertentu di wilayah, pemerintah memberi kesempatan kepada pelapor khusus (special rappourteur) dan/atau pejabat lain Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk masuk ke wilayah Aceh.

BAB XXXIV QANUN DAN PERATURAN GUBERNUR ATAU NAMA

LAIN, BUPATI/WALIKOTA

Pasal 186

(1) Qanun disahkan oleh Gubernur atau nama lain,

BAB XXXV QANUN, PERATURAN GUBERNUR DAN

PERATURAN BUPATI/WALIKOTA Pasal 180

(1). Qanun disahkan oleh Gubernur, Bupati/Walikota

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Bupati/Walikota setelah mendapat persetujuan bersama DPRA dan DPRK.

(2) Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh/ Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan.

(3) Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah diundangkan dalam Lembaran Pemerintah Aceh dan Lembaran Pemerintah Kabupaten/Kota.

(4) Rancangan Qanun yang telah mendapat persetujuan bersama DPRA dan DPRK, apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari belum ditandatangani oleh Gubernur atau nama lain, Bupati/Walikota, maka rancangan Qanun tersebut sah menjadi Qanun dan wajib diundangkan dalam Lembaran Pemerintah Aceh dan Lembaran Pemerintah Kabupaten/Kota.

(5) Dalam hal sahnya Rancangan Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (4), rumusan kalimat pengesahannya, “Qanun ini dinyatakan sah”, dengan mencantumkan tanggal sahnya.

(6) Kalimat pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), harus dibukukan pada halaman terakhir Qanun sebelum pengundangan naskah Qanun dalam Lembaran Pemerintah Aceh dan Lembaran Pemerintah Kabupaten/Kota.

setelah mendapat persetujuan bersarna DPRA dan DPRK.

(2). Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh/kabupaten/kota dan tugas pembantuan.

(3). Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah diundangkan dalam Lembaran Aceh dan Lembaran Kabupaten/Kota.

(4). Rancangan Qanun yang telah mendapat persetujuan bersama DPRA dan DPRK, apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari belum ditandatangani oleh Gubernur, Bupati/Walikota, maka rancangan Qanun sah menjadi Qanun dan wajib diundangkan dalam Lembaran Pemerintah Aceh dan Lembaran Pemerintah Kabupaten/Kota.

(5). Dalam hal sahnya Rancangan Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (4), rumusan kalimat pengesahannya, "Qanun ini dinyatakan sah", dengan mencantumkan tanggal sahnya.

(6). Kalimat pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), harus dibukukan pada halaman terakhir Qanun sebelum pengundangan naskah Qanun dalam Lembaran Aceh dan Lembaran Kabupaten/Kota.

Pasal 187

Qanun yang telah sah tidak dapat dibatalkan, kecuali melalui uji materil (yudicial review) ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Pasal 181

(2).

Pasal 187 Draft DPRD wajib dipertahankan dengan alasan bahwa kedudukan Qanun sebagai produk hukum yang dibuat bersama-sama antara Pemerintah Aceh dan DPRA tidak dapat dibatalkan oleh pemerintah melainkan hanya dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung melalui

(1). Pengawasan Pemerintah terhadap Qanun Aceh/kabupaten/kota dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan. Qanun yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undanganyang lebih tinggi dibatalkan oleh Pemerintah, kecuali diatur lain dalam undang-undang ini.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

Qanun dapat memuat asas lain sesuai dengan

proses uji materil. Pasal 188

Qanun dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.

Pasal 182 Qanun dibentuk berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi:

a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.

Pasal 189

(1) Materi muatan Qanun mengandung asas : a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. keanekaragaman; f. keadilan; g. non diskriminasi; h. kebersamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, kesetaraan dan keselarasan.

Pasal 183 (1). Materi muatan Qanun mengandung asas:

a) pengayoman; b) kemanusiaan; c) kebangsaan; d) kekeluargaan; e) keanekaragaman; f) keadilan; g) non diskriminasi; h) kebersamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan; i) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j) keseimbangan, keserasian, kesetaraan dan

keselarasan. (2). Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

www.parlemen.net

(2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Qanun dapat memuat asas lain sesuai dengan substansi Qanun yang bersangkutan.

substansi Qanun yang bersangkutan.

Pasal 190

(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan Qanun.

(2) Pada setiap tahapan penyiapan dan pembahasan Qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik.

(3) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh dan Qanun Kabupaten/Kota.

Pasal 184 (1). Masyarakat berhak memberikan masukan secara

lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan Qanun.

(2). Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan Qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik.

(3). Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun.

Pasal 191

(1) Rancangan Qanun dapat berasal dari DPRA, DPRK, Gubernur atau nama lain dan Bupati/Walikota.

(2) Apabila dalam satu masa sidang, DPRA, DPRK, Gubernur atau nama lain dan Bupati/Walikota menyampaikan rancangan Qanun mengenai materi yang sama maka yang dibahas adalah rancangan Qanun yang disampaikan oleh DPRA dan DPRK, sedangkan rancangan Qanun yang disampaikan Gubernur atau nama lain dan Bupati/Walikota digunakan sebagai bahan untuk diperbandingkan.

Tata cara mempersiapkan rancangan Qanun yang berasal dari Gubernur atau nama lain dan Bupati/Walikota diatur dengan

Pasal 185

(1). Rancangan Qanun dapat berasal dari DPRA, DPRK, Gubernur dan Bupati/Walikota.

(2). Apabila dalam satu masa sidang, DPRA, DPRK, Gubernur dan Bupati/Walikota menyampaikan rancangan Qanun mengenai materi yang sama maka yang dibahas adalah rancangan Qanun yang disampaikan oleh DPRA/DPRK, sedangkan rancangan Qanun yang disampaikan Gubernur dan Bupati/Walikota digunakan sebagai bahan untuk diperbandingkan.

(3). Tata cara mempersiapkan rancangan Qanun yang berasal dari Gubernur dan Bupati/Walikota diatur dengan Qanun.

(3)

Qanun tentang penyusunan Qanun.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Pasal 192

(1) Rancangan Qanun disampaikan oleh anggota komisi, gabungan beberapa orang anggota fraksi/komisi atau alat kelengkapan DPRA dan DPRK yang khusus menangani bidang legislasi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA dan DPRK.

Pasal 186

(1). Rancangan Qanun disampaikan oleh anggota komisi, gabungan beberapa orang anggota fraksi/komisi atau alat kelengkapan DPRA/DPRK yang khusus menangani bidang legislasi.

(2). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK.

Pasal 193

(1) Penyebarluasan rancangan Qanun yang berasal dari DPRA dan DPRK dilaksanakan oleh Sekretariat DPRA dan Sekretariat DPRK.

(2) Penyebarluasan rancangan Qanun yang berasal dari Gubernur atau nama lain, Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretariat Aceh dan Sekretariat Kabupaten/Kota.

Pasal 187

(1). Penyebarluasan rancangan Qanun yang berasal dari DPRA/DPRK dilaksanakan oleh Sekretariat DPRA/DPRK.

(2). Penyebarluasan rancangan Qanun yang berasal dari Gubernur, Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretariat Aceh dan Sekretariat Kabupaten/Kota.

Pasal 194

(1) Qanun dapat memuat ketentuan tentang pembebanan

Pasal 188

(1). Qanun dapat memuat ketentuan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundangan.

(3). enda

- Pasal 188 RUU PA Pemerintah telah membatasi ancaman pidana kurungan dan denda serta mengacu kepada peraturan perundang-undangan sehingga ancaman pidana hanya terbatas apa yang telah diatur selama ini.

- Pasal 188 ayat (2) RUU PA

Pemerintah dikembalikan kepada Draft DPRD Pasal 194 ayat (2) dan (3) dengan

(2). Qanun dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Qanun dapat memuat ancaman pidana atau d

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundangan.

(2) Qanun dapat memuat ancaman pidana kurungan atau denda.

(3) Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

alasan: adanya pelaksanaan syariat Islam di Aceh dalam bidang ahwal al-syakhsiyah, mu’amalah dan jinayah

- Berlakunya Syariat Islam di

Aceh adalan tuntutan masyarakat luas di Aceh jati dirinya orang Aceh serta amanah UU Nomor 44 Tahun 1999, tentang keistimewaan Aceh.

- Pasal 194 Draft DPRD tidak

membatasi mengenai ancaman pidana yang dapat diatur dalam Qanun dan memberi ruang yang cukup mengatur ancaman/sanksi pidana lainnya yang merupakan pelaksanaan syariat islam. Oleh karenanya rumusan draft DPRD perlu dipertahankan.

Pasal 195

Untuk melaksanakan Qanun Gubernur atau nama lain, Bupati/Walikota menetapkan peraturan atau keputusan Gubernur atau nama lain, Bupati/Walikota.

Pasal 189 Untuk melaksanakan Qanun, Gubernur dan Bupati/Walikota menetapkan Peraturan/Keputusan Gubernur, Peraturan/ Keputusan Bupati/Walikota.

Pasal 196

(1) Qanun, Peraturan Gubernur atau nama lain dan Peraturan Bupati/Walikota diundangkan dalam Lembaran Pemerintah Aceh dan Lembaran Pemerintah Kabupaten/Kota.

Pasal 190

(1). Qanun diundangkan dalam Lembaran Aceh/Kabupaten/Kota.

(2). Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

(2) Pengundangan Qanun dan Peraturan Gubernur atau nama lain, Bupati/Walikota dalam Lembaran Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota dilakukan oleh Sekretaris Pemerintah Aceh dan Sekretaris Kabupaten/Kota.

(3) Pemerintah Aceh wajib menyebarluaskan Qanun, Peraturan Gubernur atau nama lain, Bupati/Walikota yang telah diundangkan dalam Lembaran Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota dan Keputusan Gubernur atau nama lain, Bupati/Walikota yang telah diundangkan dalam Berita Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota.

diundangkan dalam Berita Aceh/kabupaten/kota. (3). Pengundangan Qanun dan Peraturan Gubernur

dilakukan oleh Sekretaris Aceh. (4). Pengundangan Qanun dan Peraturan.

Bupati/Walikota dilakukan oleh Sekretaris Kabupaten/kota

(5). Pemerintah Aceh wajib menyebarluaskan Qanun dan Peraturan Gubernur yang telah diundangkan dalam Lembaran Aceh dan Berita Aceh.

(6). Pemerintah Kabupaten/kota wajib menyebarluaskan Qanun dan Peraturan Bupati/Walikota yang telah diundangkan dalam Lembaran kabupaten/kota dan Berita Kabupaten/kota.

Pasal 197

(1) Untuk membantu Gubernur atau nama lain, Bupati/Walikota dalam menegakkan Qanun dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dapat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.

(2) Pembentukan dan penyusunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Qanun Aceh dan Kabupaten/Kota.

Pasal 191

(1) Untuk membantu Gubernur, Bupati/Walikota dalam menegakkan Qanun dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dapat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.

(2) Pembentukan dan penyusunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Qanun dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

BAB XXXV BENDERA, LAMBANG DAN HYMNE

Pasal 199

(1) Bendera Merah Putih merupakan lambang bendera nasional yang berlaku bagi Pemerintah Aceh dalam

BAB XXXVI BENDERA, LAMBANG DAN HYMNE

Pasal 193 1) Bendera Merah Putih merupakan lambang bendera

nasional yang berlaku bagi Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

negara dan konstitusi Republik Indonesia.

(2) Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh, dapat menentukan dan menetapkan bendera Aceh sebagai lambang pencerminan keistimewaan dan kekhususan.

(3) Bentuk bendera Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

2) Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan.

4) sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

3) Bendera Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh. Bentuk bendera

Pasal 200

(1) Pemerintah Aceh dapat menetapkan lambang sebagai simbol keistimewaan dan kekhususan.

(2) Ketentuan-ketentuan tentang lambang diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 194

1) Pemerintah Aceh dapat menetapkan lambang sebagai simbol keistimewaan dan kekhususan.

2) Ketentuan mengenai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 201

(1) Lagu Indonesia Raya merupakan lagu kebangsaan yang bersifat nasional bagi Pemerintah Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Pemerintah Aceh, disamping lagu Indonesia Raya dapat menetapkan Hymne Aceh sebagai pencerminan keistimewaan dan kekhususan.

(3) Ketentuan-ketentuan tentang Hymne Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 195

1. Lagu Indonesia Raya merupakan lagu kebangsaan yang bersifat nasional bagi Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Pemerintah Aceh dapat menetapkan Hymne Aceh sebagai pencerminan keistimewaan dan kekhususan.

3. Ketentuan mengenai Hymne Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

BAB XXXVII PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENYELESAIAN

PERSELISIHAN Pasal 196

Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota dilaksanakan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pasal 197 1) Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan

fungsi pemerintahan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan.

2) Apabila terjadi perselisihan antar provinsi, antara provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kabupaten/kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan.

3) Keputusan penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final dan mengikat.

BAB XXXVI KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 202

BAB XXXVIII KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 198

2)

Ketentuan Pasal 198 Draft pemerintah sudah cukup dengan mengadopsi saja rumusan pasal 202 Draft DPRD tidak perlu memberi rumusan yang menimbulkan yang terlalu panjang dan berbelit-belit.

Nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh legislatif Aceh setelah pemilihan umum tahun 2009 yang akan datang.

1) Nama Aceh sebagai Daerah Provinsi dan gelar pejabat pemerintahan yang dipilih akan ditentukan oleh DPRA setelah pemilihan umum tahun 2009. Nama dan gelar sebagai mana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah berdasarkan usul dari DPRA dan Gubernur Aceh.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

BAB XXXVII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 203

(1) Berbagai perjanjian kerja sama antara pemerintah dengan negara-negara asing atau pihak lainnya, yang berkenaan dengan perjanjian kontrak bagi hasil minyak bumi dan gas alam (Migas) yang berlokasi di Aceh dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa kontrak.

BAB XXXIX KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 199

Perjanjian kerjasama antara Pemerintah dengan negara asing atau pihak lainnya, yang berkenaan dengan perjanjian kontrak bagi hasil minyak bumi dan gas alam (migas) yang berlokasi di Aceh dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian kerjasama.

Ketentuan mengenai peralihan hak pengelolaan migas dan kekayaan alam lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 203 Draft DPRD perlu dipertahankan sejalan dengan ketentuan Pasal-pasal yang mengatur tentang sumber daya alam

(2) Dengan disahkannya undang-undang ini maka hak pengelolaan Sumber Daya Alam di Aceh beralih kepada Pemerintah Aceh dan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun semua hak dan kewajiban serta akibat yang timbul dari perjanjian kerjasama atau kontrak bagi hasil antara pihak lain dan Pemerintah atau Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi diserahkan kepada Pemerintah Aceh.

(3) Selama belum adanya penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan/atau badan pelaksana minyak dan gas bumi tetap melaksanakan tugas pengelolaan Sumber Daya Alam di Aceh dengan ketentuan sebagai berikut:

a. setiap pembahasan menyangkut rencana kerja dan anggaran oleh Badan Pelaksana migas dengan badan usaha serta pembinaan dan pengawasan badan usaha yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas di Aceh harus mengikutsertakan dan atas persetujuan pemerintah Aceh; dan

b. pembahasan menyangkut rencana kerja dan anggaran setiap badan usaha yang melakukan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

eksplorasi dan eksploitasi Sumber Daya Alam lainnya serta pembina dan pengawasan badan usaha harus mengikutsertakan dan atas persetujuan Pemerintah Aceh.

(4) Setiap pembahasan rencana tahunan dan budget yang diajukan oleh semua Contract Production Sharing (CPS) kepada Badan Pengelola minyak bumi dan gas alam (BP Migas) harus mengikutsertakan dan dengan persetujuan pemerintah Aceh.

Pasal 200 Pembentukan Partai Politik Lokal dan keikutsertaan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, Anggota DPRA dan DPRK yang diatur berdasarkan Undang-Undang ini dilaksanakan paling cepat tanggal 15 Agustus 2006.

Pasal 204

(1) Pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain dan Bupati/Wakil Bupati serta Walikota/Wakil Walikota untuk pertama kali yang dilaksanakan pada April 2006 dilangsungkan dengan berpedoman pada Qanun Provinsi Aceh Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Qanun Provinsi Aceh Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, sejauh tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.

(2) Pelaksanaan pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain dan Bupati/Wakil Bupati serta Walikota/Wakil Walikota untuk berikutnya akan diatur kembali dengan qanun sesuai dengan ketentuan

Pasal 201

1) Penyelenggara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota untuk pertama kali dilaksanakan oleh KIP Provinsi NAD dan KIP Kabupaten/Kota yang telah dibentuk.

2) Tata cara Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota untuk pertama kali berpedoman pada Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana telah diubah dengan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2004, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

Undang-undang ini.

BAB XXXVIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 205

(1) Semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku lagi untuk Aceh.

(2) Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan hak otonomi luas bagi Aceh wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada undang-undang ini.

(3) Perubahan terhadap Undang-undang ini harus melalui persetujuan DPRA.

(4) Semua Qanun yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

BAB XL KETENTUAN PENUTUP

Pasal 202

1) Semua peraturan perundang-undangan sepanjang tidak bertentangan dengan UndangUndang ini dinyatakan tetap berlaku di Aceh.

2) Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan hak otonomi luas bagi Aceh wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada undang-undang ini.

3) Rencana perubahan terhadap Undang-Undang ini dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan DPRA.

4) Semua Qanun yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

Pasal 206

(1) Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah Acehditetapkan dengan Qanun Aceh.

(2) Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Qanun Kabupaten/Kota.

Pasal 203

2) ang-Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintahan Aceh ditetapkan dengan Qanun Aceh.

3) Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintahan

1) Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang

menyangkut kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintahan dan Peraturan perundang-undangan lainnya. Ketentuan pelaksanaan Und

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

kabupaten/kota ditetapkan dengan Qanun Kabupaten/Kota.

Pasal 207

Pasal 204 Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menjadi kewajiban Pemerintah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.

Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini dibentuk paling lambat setelah 3 (tiga) bulan undang-undang ini diundangkan.

Pasal 208

Dengan berlakunya undang-undang ini, undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Luas Aceh dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 205 Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Disahkan di Jakarta. pada tanggal PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2006 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, HAMID AWALUDDIN

Disahkan di Jakarta. pada tanggal PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2006 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, HAMID AWALUDDIN

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

www.parlemen.net

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net