PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77666/potongan/S2-2015... · menjadi kumpulan kata...

38
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan sistem komunikasi yang sangat penting bagi manusia. Segala konsep, ide, atau pikiran dapat dikemukakan melalui bahasa yang digunakan dan dikuasai (Chaer, 1994:44). Bahasa dianggap sebagai salah satu cara manusia untuk berinteraksi baik itu dengan diri sendiri maupun orang lain (Aminuddin, 2011:28; Poedjosoedarmo, 2001:169). Sesuai dengan tujuh fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Michael Halliday (1973) dikutip oleh Brown (2007:246) mengenai begitu kompleksnya aplikasi bahasa bagi manusia dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama karena bahasa pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari masyarakat penuturnya. Melihat kemajuan dan penggunaan bahasa yang cukup signifikan dan beragam menjadikan pemakai bahasa harus berpikir jeli dalam mengemasnya menjadi kumpulan kata atau kalimat yang menarik, dinamis, khas dan unik, berbobot, elegan, serta persuasif agar pesan dapat diterima dan dipahami denganmudah dan jelas. Pilihan untuk menggunakan bahasa lugas dengan konsep- konsep konkrit merupakan salah satu upaya penyampai pesan dalam menghindari penafsiran-penafsiran ganda. Namun ketika konsep-konsep konkrit tersebut tidak dapat membangkitkan gambaran yang lebih menarik, variatif, dan mudah diingat dalam pikiran penerima pesan, tantangan yang harus dihadapi adalah merubahnya menjadi suatu gambaran sederhana yang mudah dipahami dengan melibatkan

Transcript of PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77666/potongan/S2-2015... · menjadi kumpulan kata...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan sistem komunikasi yang sangat penting bagi manusia.

Segala konsep, ide, atau pikiran dapat dikemukakan melalui bahasa yang

digunakan dan dikuasai (Chaer, 1994:44). Bahasa dianggap sebagai salah satu

cara manusia untuk berinteraksi baik itu dengan diri sendiri maupun orang lain

(Aminuddin, 2011:28; Poedjosoedarmo, 2001:169). Sesuai dengan tujuh fungsi

bahasa yang dikemukakan oleh Michael Halliday (1973) dikutip oleh Brown

(2007:246) mengenai begitu kompleksnya aplikasi bahasa bagi manusia dalam

berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama karena bahasa pada dasarnya tidak

dapat dipisahkan dari masyarakat penuturnya.

Melihat kemajuan dan penggunaan bahasa yang cukup signifikan dan

beragam menjadikan pemakai bahasa harus berpikir jeli dalam mengemasnya

menjadi kumpulan kata atau kalimat yang menarik, dinamis, khas dan unik,

berbobot, elegan, serta persuasif agar pesan dapat diterima dan dipahami

denganmudah dan jelas. Pilihan untuk menggunakan bahasa lugas dengan konsep-

konsep konkrit merupakan salah satu upaya penyampai pesan dalam menghindari

penafsiran-penafsiran ganda. Namun ketika konsep-konsep konkrit tersebut tidak

dapat membangkitkan gambaran yang lebih menarik, variatif, dan mudah diingat

dalam pikiran penerima pesan, tantangan yang harus dihadapi adalah merubahnya

menjadi suatu gambaran sederhana yang mudah dipahami dengan melibatkan

2

konsep-konsep abstrak dan pengalaman hidup atau cara pandang di dalamnya.

Bahasa yang menunjukkan konsep-konsep tersebut dikenal sebagai bahasa yang

tidak lugas atau bahasa figuratif/kiasan (figurative language). Namun bahasa

figuratif (BF) masih dianggap tidak sedominan bahasa literal (BL) karena bahasa

figuratif pada dasarnya membutuhkan proses kognisi yang lebih lama sebelum

sampai pada makna yang sebenarnya.

Pradopo (2005:38) menjelaskan bahwa bahasa figuratif sebenarnya adalah

gaya bahasa kiasan, hal lain yang menyatakan suatu hal secara tidak langsung

dengan menyamakan suatu hal lain yang sesungguhnya tidak sama atau

menyatakan suatu hal dengan hal lain untuk mendapatkan gambaran angan (imaji)

yang jelas. Keraf (2009:136) menggunakan istilah membandingkan dan analogi

untuk menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain yaitu dengan menemukan

ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan diantara keduanya. Penyampaian definisi

yang sedikit berbeda dengan langsung menekankan pada makna dikemukakan

oleh Abrams (1996:96):

“Figurative language is a conspicuous departure from whatcompetent users of a language apprehend as the standardmeaning of words, or else the standard order of words, in orderto achieve some special meaning or effect”

Terjemahan:

“Bahasa kiasan adalah suatu perubahan yang sangat menyolokdari pemahaman penutur bahasa terhadap makna kata bakuatau rangkaian kata baku untuk memperoleh beberapa maknaatau efek khusus”

Abrams menyatakan bahwa bahasa figuratif secara tidak langsung merupakan

penyebab munculnya makna figuratif. Figurative meaning/transfered meaning

3

adalah pemakaian leksem dengan makna yang tidak sebenarnya (Suwandi,

2008:96).

Berdasarkan jenis, bahasa figuratif atau gaya bahasa kiasan terbagi

menjadi: Pradopo (2005:38-41) mengidentifikasi sebanyak 8 jenis terdiri dari

perbandingan atau perumpamaan (simile), perbandingan epos (epic simile),

metafora, metafora yang diperjelas (extended metaphor), alegori, personifikasi,

metonimi, dan sinekdoke. SementaraKeraf (2009:136-145) mengembangkannya

menjadi16 jenis terdiri dari persamaan (simile), metafora, metafora yang diperluas

(alegori, parabel, dan fabel), personifikasi (prosopopoeia), alusi, eponim, epitet,

sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, sindiran (ironi, sinisme, dan

sarkasme), satire, inuendo, antifrasis, dan pun (paronomasia). Variasi bahasa

kiasan juga ditunjukkan oleh Abrams (1996:97-99) namun hanya terdiri dari lima

jenis berupa simile, metafora, metonimi (metonymy), sinekdoke (synecdoche), dan

personifikasi (personification/prosopopoeia).

Pemakai bahasa dapat menemukan berbagai jenis bahasa figuratif tidak

hanya dalam dunia sastra yang bernuansa puitis saja namun juga dalam kehidupan

sehari-hari seperti yang sering dijumpai dalam dunia perpolitikan. Bahasa politik

biasanya mengandung maksud yang tersembunyi dan terkadang dapat

menimbulkan persepsi yang berbeda. Pada penelitian ini, penulis mengambil

contoh pemakaian varian bahasa kiasan yang terdapat dalam naskah pidato politik

seorang tokoh kulit hitam paling berpengaruh di Afrika Selatan yaitu Nelson

Mandela. Naskah tersebut terdiri dari tiga pidato yang disampaikan di dalam

berbagai kesempatan yaitu pada saat kesaksian Mandela di persidangan tahun

4

1964, kebebasan Mandela, dan inagurasi Mandela. Ketiga pidato ini disajikan agar

konsistensi dan bentuk perjuangan Mandela dapat tergambar jelas mulai dari awal

perjalanan hingga keberhasilan mencapai tujuan atau dikenal dengan istilah Long

March to Freedom. Bahasa politik Mandela dipilih sebagai bahan kajian karena

terbukti dari tulisan yang dilansir oleh sebuah laman yaitu www.portalhr.com

yang mengutip pernyataan Nancy Duarte, Principal at Duarte Design, Inc. dari

sebuah blog Linkedin bahwa Mandela dikenal sebagai komunikator yang baik,

negosiator ulung, dan penyampai pesan yang unik.

Nelson Mandela memasukkan empat jenis bahasa figuratif ke dalam

pidatonya antara lain simile, metafora, metonimi, dan personifikasi untuk

membantu Mandela dalam merefleksikan konsep-konsep pemikirannya mengenai

berbagai hal. Simile didefinisikan sebagai perbandingan atau perumpamaan yang

menyamakan suatu hal/benda dengan hal/benda lain secara eksplisit dengan

menggunakan kata-kata pembanding yaitu seperti, sebagai, bagaikan, laksana,

semisal, dan seumpama (Pradopo, 2005:38; Keraf, 2009:136) atau dalam bahasa

Inggris ditandai dengan kata as atau like (Abrams, 1996:97), sedangkan metafora

adalah kebalikan dari simile yaitu perbandingan dua entitas secara implisit dan

tidak menggunakan kata-kata pembanding (Pradopo, 2005:40; Abrams, 1996:97).

Ketika hanya satu entitas yang digunakan untuk menandai entitas lain karena

dianggap memiliki pertalian yang sangat dekat, gaya bahasa kiasan tersebut

adalah metonimi (Keraf, 2009:142; Abrams, 1996:98; Lakoff dan Johnson,

1980:35). Secara singkat metonimi dapat didefinisikan sebagai suatu kedekatan

makna. Sementara itu, personifikasi yang merupakan corak khusus dari metafora

5

didefinisikan sebagai gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda

mati/barang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Keraf,

2009:140; Abrams, 1996:99; Lakoff dan Johnson, 1980:33). Berikut contoh

keempat jenis bahasa kiasan Nelson Mandela:

Tabel 1.Varian Bahasa Figuratif (BF) dalam Naskah Pidato Nelson Mandela

Simile Metafora Metonimi PersonifikasiThe national moodchanges as theseason change.

On this day of myrelease, I extend mysincere and warmestgratitude to themillions of mycompatriots andthose in every cornerof the globe whohave campaignedtirelessly for myrelease.

In fact, I believenone of the trial isirrelevant because itwill, enable theCourt to appreciatethe attitudeeventually adoptedby the variouspersons and bodiesconcerned in theNational LiberationMovement.

Experienceconvincedus that rebellionwould offer theGovernment limitlessopprtunities for theindiscriminateslaughter of ourpeople.

Pada contoh simile, terlihat secara eksplisit perbandingan antara dua entitas

menggunakan kata as sebagai penanda. Frase national mood “suasana nasional”

disamakan dengan seasons change “perubahan cuaca”. Kedua entitas tersebut

sama-sama dapat berubah dikarenakan oleh adanya pengaruh kondisi lingkungan

yang terjadi di suatu wilayah. Selain secara eksplisit, perbandingan dua entitas

juga dapat dilakukan secara implisit yaitu menggunakan gaya bahasa kiasan

metafora. Frase in every corner of “di setiap sudut” menandai metafora dengan

membandingkan antara globe “dunia” dan house “rumah”. Globe dan house

disamakan untuk menunjukkan sebuah tempat yang sangat bermanfaat bagi

manusia dalam beraktivitas. Seperti halnya simile dan metafora, Nelson Mandela

menggunakan personifikasi juga untuk menunjukkan persamaan yaitu dengan

membandingkan antara nomina experience “pengalaman” dan manusia. Proses

6

yang sedikit berbeda dari ketiga gaya bahasa kiasan sebelumnya, metonimi hanya

menggunakan satu entitas yaitu bodies. Tubuh manusia digunakan Nelson

Mandela tidak hanya semata-mata untuk untuk menggambarkan satu makna saja

yaitu sekelompok orang, namun juga fungsi atau manfaat adanya keterlibatan

orang-orang tersebut bagi Mandela.

Keempat jenis bahasa figuratif tersebut memiliki keunikan tersendiri.

Namun dikarenakan oleh signifikansi yang kecil dari simile, metonimi, dan

personifikasi dalam tiga pidato tersebut dibandingkan dengan metafora, penulis

memilih gaya bahasa kiasan metafora sebagai obyek penelitian. Metafora

mendapat perhatian khusus karena dinilai telah menjadi satu keluaran atau sumber

untuk melayani pikiran dan perasaan pemakai bahasa berupa motivasi yang kuat

dalam menyatakan perasaan, emosi yang mendalam, dan sarana kebahasaan yang

bersifat ekspresif seperti yang diungkapkan oleh Parera (2004:119).

Pada pidato Nelson Mandela, metafora dimanfaatkan untuk mendramatisir

kejadian-kejadian penting dalam proses perjuangannya, membangkitkan

sentimen-sentimen dan solidaritas akan perasaan senasib dan sepenanggungan

seperti sebuah pernyataan yang berbunyi: “We are in the same boat” yang

bermakna to be in the same unpleasant situation as other people“ berada pada

situasi yang tidak menyenangkan sama seperti orang-orang lainnya”. Karena

berada di negara yang sama, tujuan yang sama, dan nasib yang sama diharapkan

semua pihak yang terlibat saling mendukung demi kepentingan bersama.

Pembahasan ini memasukkan personifikasi ke dalam analisis metafora karena

sesuai dengan pendapat Lakoff dan Johnson (1980:34) bahwa jenis bahasa kiasan

7

ini merupakan kategori umum yang mencakup bagian-bagian yang sangat luas

dari metafora yang juga dapat membantu manusia untuk memahami tujuan,

tindakan, dan karakteristik dasar masing-masing.

Berikut beberapa contoh penggunaan metafora oleh Nelson Mandela yang

diambil secara acak (random sampling) dari tiga pidatonya:

(1) Similarly in the underground resistance movements which sprung up inEurope during the last World War, communists played an important role. (A.SD. R13. 3)

“Demikian pula dalam gerakan bawah tanah yang tiba-tiba muncul di Eropaselama Perang Dunia terakhir, komunis memainkan peranan pentingnya”.

Pada saat perang, gerakan bawah tanah bukan merupakan hal yang baru.

Gerakan ini tidak diartikan sebagai gerakan yang melakukan aksinya di bawah

tanah melainkan sebagai gerakan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh pihak

tertentu agar tidak diketahui oleh pihak lain. Gerakan bawah tanah sebagai

nomina abstrak dibandingkan dengan penyakit sebagai nomina konkrit dengan

kesamaan makna yaitu keduanya bergerak tanpa diketahui oleh target yang dituju

dengan maksud ingin menaklukkan targetnya.

Gerakan bawah tanah dan penyakit menunjukkan suatu pergerakan aktif

dimana penyebarannya bergerak perlahan dan semakin meningkat dalam

menggerogoti korbannya. Aktif adalah pergerakan tanpa henti atau bergerak

secara kontinyu. Semakin sering pergerakan dilakukan semakin jauh peningkatan

yang dihasilkan hingga sampai pada tujuan. Oleh karena itu, penulis memandang

entitas-entitas tersebut dengan sebuah konsep metafora yaitu ACTIVE IS UP.

Nelson Mandela menerapkan konsep metafora ini dalam perjuangannya. Dengan

8

gerakan bawah tanah, perjuangannya bersama warga kulit hitam berhasil

mencapai kebebasan.

(2) On this day of my release, I extend my sincere and warmest gratitude to themillions of my compatriots and those in every corner of the globe who havecampaigned tirelessly for my release. (B. SD. R5. 1)

“Pada hari pembebasan saya ini, saya mengucapkan terima kasih yang tulusdan terhangat kepada jutaan rekan-rekan saya dan orang-orang di setiap sudutdunia yang telah berkampanye tanpa lelah untuk pembebasan saya”

Sebuah bangunan atau konstruksi biasanya memiliki beberapa bagian

yang saling bersinggungan satu sama lain dengan mengacu pada suatu titik.

Cambridge Dictionaries Online menafsirkan bagian ini sebagai the point, area, or

line that is formed by the meeting of two lines, surfaces, roads atau dalam bahasa

Indonesia berarti sudut. Data 2 dengan metafora yang berbentuk frase adverbia in

every corner of menunjukkan pemaknaan yang implisit. Pada kenyataannya dunia

itu tidak bersudut karena dunia atau bumi dengan segala sesuatu yang terdapat di

atasnya berbentuk bulat. Jika menganalisa ungkapan metaforis linguistiknya,

dunia dapat dibandingkan dengan sebuah rumah yang memiliki sudut. Dunia dan

rumah sama-sama berfungsi sebagai tempat makhluk hidup terutama manusia

dalam berkegiatan.

Ungkapan ini juga dapat dijadikan dasar untuk menentukan konsep

metafora yang sesuai yaitu COUNTRY IS A BUILDING. Globe atau dunia sebagai

nomina abstrak mencakup banyak negara dengan keunikan dan kelebihan yang

beraneka ragam. Negara yang berada dalam ruang lingkup dunia dipandang

sebagai sebuah bangunan karena diharapkan negara juga memiliki kekuatan atau

kekokohan sebuah bangunan. Apabila negara memiliki sifat bangunan yang kokoh

9

dan kuat, negara tersebut tidak akan mudah diprovokasi, digoyahkan oleh

kepentingan pihak-pihak tertentu atau negara lain, dan dapat memberikan rasa

aman dan nyaman ketika tinggal di dalamnya. Sebaliknya jika negara dianggap

tidak dapat memberikan rasa aman, nyaman rakyatnya akibat kekuasaan

pemerintah kulit putih yang semena-mena seperti yang terjadi pada Afrika Selatan

sekitar tahun 1962-1990. Padahal fungsi sebuah bangunan baik itu rumah,

ruangan, dan lain sebagainya adalah kebalikannya, harus dapat menaungi orang-

orang yang berada di dalamnya agar merasa tenang dan nyaman.

(3) We understand it still that there is no easy road to freedom. (C. TD. R13. 2)

“Kami memahami bahwa tidak ada jalan yang mudah untuk mencapaikebebasan”.

Berdasarkan ungkapan metaforis linguistik di atas, pengungkapan ranah

Peristiwa dan Aksi ditunjukkan dengan pemilihan kata road “jalan” sebagai

penanda metafora yang berperan penting dalam kehidupan manusia. Secara

harfiah, nomina road digunakan untuk berlalu lintas, beraktifitas setiap waktu.

Semakin bagus kualitas jalannya semakin nyaman dan aman bagi para

penggunanya. Sementara itu, kata road dalam KBBI Daring (Online) dapat

diartikan sebagai cara (akal, syarat, atau ikhtiar) untuk melakukan (mengerjakan,

mencapai, mencari) sesuatu. Hal yang lebih bersifat abstrak dalam

penganalogiannya. Perbandingan yang ditemukan tersebut menunjukkan adanya

kesamaan makna satu sama lain dalam komponen maknanya yaitu [+penting],

[+bermanfaat], [+proses].

Jalan yang dimaknai dengan cara yang ditempuh oleh seseorang dalam

melakukan sesuatu juga merupakan entitas yang digunakan oleh Nelson Mandela

10

dalam menggambarkan proses pencapaian tujuan akhirnya yaitu kebebasan.

Mandela mengalami banyak kesulitan namun dapat berhasil dengan dukungan

yang diberikan oleh banyak pihak sehingga konsep metafora yang mewakili

konteks ini adalah: MEANS ARE PATHS.

Kajian tentang metafora semakin menempati posisi penting dalam

pengalaman berbahasa tidak hanya sekedar sebagai cerminan realitas, melainkan

juga pembentuk realitas. Kemampuan dan kreatifitas dalam menciptakan sesuatu

untuk menandai realitas baik itu bersifat abstrak maupun konkrit merupakan hasil

dari pemikiran dan tindakan manusia ketika berinteraksi dan berkomunikasi.

Thomas dan Wareing (2007:68) menambahkan bahwa metafora sangat berguna

bagi para politisi karena walaupun menunjukkan suatu gambaran yang kompleks

namun dapat disajikan secara sederhana. Kemudian, metafora juga dapat

menciptakan gambaran mental yang mudah dipahami. Karena memiliki kaitan

dengan pengalaman pribadi mereka sendiri sehingga ada kemungkinan besar

sangat berpengaruh dalam membangun ideologi.

Fenomena kebahasaan yang menunjukkan adanya relasi kesamaan antara

satu hal dengan hal lain dalam membentuk sebuah makna membuat metafora

berada dalam tataran Semantik yang berfungsi sebagai landasan teori dan payung

analisis. Pengungkapan relasi persamaan dalam metafora dapat diperkuat dengan

mengaplikasikan komponen-komponen makna yang menggunakan tanda (+) dan

(-) untuk membuat garis pemisah antara satu unit leksikal dengan unit leksikal

lainnya sehingga dapat memperjelas makna yang dimaksud dan membuktikan

tingkat keefektifan metafora.

11

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih

komprehensif tentang makna mendalam dari sebuah ungkapan metaforis linguistik

yang berasal dari teks tertulis berupa pidato. Penulis ingin menunjukkan bahwa

metafora tidak hanya menggambarkan ungkapan-ungkapan kiasan yang

digunakan sebagai bumbu penyedap bagi sebuah rangkaian pidato agar terkesan

lebih menarik dan elegan, melainkan dapat menyajikan suatu cara alternatif bagi

para penyampai pesan untuk membantu meningkatkan kualitas pidatonya. Apapun

yang akan dikemukakan terutama konseptualisasi maksud dapat tersampaikan

secara singkat dan lebih terarah, unik dengan penekanan yang terlihat, tidak hanya

sekedar membuat pidato dengan ala kadarnya, panjang lebar tanpa makna yang

jelas, tanpa penguatan pesan di dalamnya, dan lain sebagainya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, masalah-masalah yang

dikembangkan berkaitan dengan analisis ungkapan-ungkapan metaforis linguistik

dalam pidato Nelson Mandela dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana makna dan pemetaan ranah metafora dalam naskah pidato Nelson

Mandela berdasarkan elemen-elemen pembentuk?

2. Bagaimana konsep-konsep metafora yang tercermin dalam naskah pidato

Nelson Mandela?

12

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, penelitian ini

memiliki beberapa tujuan antara lain:

1. Mendeskripsikan makna dan ranah metafora dalam naskah pidato Nelson

Mandela berdasarkan elemen-elemen pembentuk.

2. Mendeskripsikan konsep-konsep metafora yang tercermin dalam naskah

pidato Nelson Mandela.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat tidak hanya secara

teoritis namun juga secara praktis yaitu:

1.4.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi dunia penelitian

khususnya ilmu linguistik, menambah pengetahuan, informasi, pemahaman, ide,

atau teori-teori sebelumnya dalam mengkaji metafora di bidang semantik dengan

menggunakan pidato sebagai sumber data, dan dapat melengkapi referensi tentang

kemetaforisan.

1.4.2 Manfaat praktis

Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi penunjang untuk kepentingan

kebahasaan terutama bagi siapapun yang ingin belajar dan lebih memahami

metafora. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi pedoman atau

acuan bagi kajian-kajian berikutnya demi berkembangnya khasanah kebahasaan

13

yang ada, sebagai bahan perbandingan peneliti lain, serta dapat memberikan

gambaran atau cara alternatif kepada para pemakai bahasa/penyampai pesan yang

akan menuangkan pikiran, dan gagasannya ke dalam bentuk lisan atau tulisan

sehingga lebih efektif dan menarik melalui ungkapan-ungkapan metaforis.

1.5 Tinjauan Pustaka

Kajian tentang metafora telah banyak dilakukan oleh para peneliti

sebelumnya dengan objek, fokus, dan konteks yang beragam. Tentunya akan tetap

menunjukkan suatu keunikan tersendiri ketika bahasan yang dikaji berhubungan

dengan analisis metafora dalam aspek kebahasaan.

Para peneliti tersebut antara lain: Ishak Bagea (2009) dalam tesisnya yang

berjudul “Metafora dalam Bidang Pertanian Padi Masyarakat Dayak Buket

Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur: Suatu Tinjauan Linguistik

Antropologi”. Bagea membahas mengenai bentuk ujaran yang tidak biasa atau

berbeda dari bahasa Indonesia sebagai bahasa standar/baku dalam bahasa yang

digunakan oleh masyarakat Dayak Buket sehari-hari. Hasil yang diperoleh antara

lain metafora dapat dikelompokkan ke dalam bentuk kata kerja, kata benda, kata

sifat, frase kata kerja, frase benda, frase sifat. Metafora dalam bidang pertanian

padi ini dinilai membawa kearifan lokal masyarakat yang menggunakan, salah

satunya adalah masyarakat Dayak Buket di kampung Linga Tivab Kecamatan

Long Apari Kutai Barat Kalimantan Timur yang berkebudayaan Dayak.

Ishak Bagea (2013) dalam penelitian keduanya berupa sebuah disertasi

yang berjudul “Metafora dalam Wacana Pingitan pada Masyarakat Mawasangka

14

Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara (Suatu Tinjauan Linguistik

Antropologis)”. Bagea lebih memaparkan metafora ditinjau dari konteks

budayanya dengan menganalisis bahasa yang digunakan oleh masyarakat

Mawasangka di Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara sehari-hari dalam

sebuah wacana pingitan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa metafora dalam

wacana pingitan bagi masyarakat Mawasangka memiliki peran penting dan

mengandung arti yang mendalam karenadapat diterima dan dipakai sebagai

pedoman untuk menciptakan keharmonisan antara seluruh penghuni semesta raya

baik itu dari wujud tertinggi hingga masyarakat dan alam.

Jika Ishak Bagea menganalisa metafora dengan fokus kajian Linguistik

Antropologi, Hendrikus Lawe Kerans (2005) membuat tinjauan dari sisi etnografi

komunikasi dengan penelitian yang berjudul “Metafora dalam Tradisi Tutu’ Ukut

Raran Bahasa Lamaholot”. Dalam penelitian ini,bahasa Lamaholot yang

digunakan oleh masyarakatnya dalam Tradisi Tutu’ Ukut Raran sebagai sumber

data. Penciptaan metafora sangat dipengaruhi oleh ekosistem tempat manusia

berada dan berinteraksi. Berdasarkan kategori dan organisme ekosistem yang

digunakan dapat ditemukan macam-macam metafora dalam tradisi tersebut yaitu

manusia, hewan, tumbuhan, benda-benda mati, bumi dan permukaannya, zat-zat,

yang bertenaga, benda-benda angkasa (kosmos), dan hal-hal abstrak yang

menunjukkan pola pikir dan pandangan masyarakat Lamaholot. Metafora-

metafora yang dihasilkan mempunyai pasangan yang berbentuk metafora &

metafora dan metafora & non-metafora.

15

Peneliti lain yang membahas tentang adanya metafora dalam sebuah

wacana adalah Deli Nirmala (2012) dengan disertasinya yang berjudul “Metafora

dalam Wacana Surat Pembaca di Surat Kabar Harian Berbahasa Indonesia”: Suatu

Tinjauan Linguistik Kognitif”. Dengan menggunakan metode nonparticipant

observation dan notetaking and page filing techniques, data yang berupa

ungkapan metaforis dipilih secara sengaja dan acak berdasarkan tema dari sumber

data, kemudian dianalisis secara referensial, distribusional, refleksif introspektif,

dan abduktif inferensial. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa frase nomina

dan verba mendominasi ungkapan metaforis, dan terdapat 18 topik yang khas

dalam wacana surat pembaca yaitu: dana, korupsi, lingkungan, pemerintahan,

hukum, perasaan, persoalan, promosi, pendidikan, ideologi, budaya, politik,

kehidupan, informasi, layanan bank, waktu, kemiskinan, dan pikiran. Kedelapan

belas topik tersebut mempresentasikan pengalaman sosiokultural masyarakat yang

bersifat negatif dengan konsep yang berbeda.

Yulia Indarti (2008) dalam tesisnya yang berjudul “Metafora Kidung

Ludruk” mengulas kiasan metafora dalam ranah semantik kognitif. Kidung yang

terdiri dari kidung bedhayan dan kidung lawak dianalisis menggunakan

pendekatan semantik kognitif dengan data yang berasal dari satuan lingual yang

terdapat di dalamnya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa (1) metafora

kidung ludruk digunakan sebagai sumber kata-kata baru dengan

mempertimbangkan penggunaan kata-kata lama yang bermakna baru dan bahasa

yang indah, (2) lambang metafora yang digunakan dalam kidung ludruk telah

disesuaikan dengan karakteristik masyarakat, (3) penggunaan metafora dalam

16

kidung ludruk telah mempertimbangkan fungsi penggunaan bahasa sehingga

kidung ludruk tersebut menjadi berterima oleh penonton.

Sementara M. Imelda Kusumastuty (2011) dengan judul tesisnya “Medan

Semantik Metafora Nominatif dalam Lirik Lagu Kla Project dan Bon Jovi serta

Kaitannya dengan Sistem Ekologi” mengkaji metafora dengan cara

mengidentifikasi dan mendeskripsikan medan semantik dari metafora nominatif

secara komparatif dan kontrastif untuk melihat kaitannya dengan sistem ekologi

dan budaya. Data bersumber dari 20 lagu Kla Project dan Bon Jovi yang dianalisis

dengan menggunakan metode padan, kemudian data disajikan secara formal. Hasil

yang diperoleh antara lain: (1) berdasarkan distribusi kategori medan semantik

dapat dilihat masih terdapat ketidakseimbangan dalam ekosistem di sekitar

pencipta metafora, (2) penggunaan metafora dapat digunakan sebagai indikator

kualitas penulisan lirik, (3) 83,89% dari keseluruhan metafora merupakan konsep

abstrak yang dikiaskan dengan konsep/sesuatu yang konkrit, (4) metafora dapat

digunakan untuk mengamati kondisi sosial budaya di sekitar pencipta metafora.

Roswita Silalahi (2005) dalam jurnal yang berjudul “Metafora dalam

Bahasa Batak Toba” membahas metafora konseptual dengan fokus kajian tentang

hubungan makna literal dan makna konteks dalam bahasa Batak Toba, bahasa

daerah yang biasanya digunakan oleh masyarakat terutama di Kabupaten Tapanuli

Utara dan Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara dan sesama suku

Batak Toba yang tinggal di daerah lain. Penelitian ini menghasilkan suatu

pembuktian bahwa terdapat berbagai jenis metafora konseptual kata dengan

formulasi struktur /pola metafora bahasanya adalah X dan Y, atau X sebagai Y.

17

Sebuah artikel yang menganalisa penggunaan metafora dalam naskah pidato,

penulis temukan di sebuah laman http://pakfaizal.com/the-use-of-metaphor-in-barack-

obamas-inauguration-speech/. Penelitian yangberjudul The Use of Metaphor in

Barack Obama’s Inauguration Speech menyajikan data yang berasal dari pidato

pelantikan presiden Amerika Serikat yaitu Barack Obama dengan menguraikan

keunikan-keunikan pidato tersebut yang tergambar pada metafora yang digunakan.

Data mencakup 23 kalimat yang kemudian dibentuk ke dalam konsep-konsep

metaforanya. Hasil yang diperoleh adalah terdapat 8 konsep metafora yang terkenal

dalam pidato Obama antara lain: CHANGES ARE MOVEMENT, STATES ARE

LOCATIONS, STATES IS A MOTION OVER A LANDSCAPE, POLITICS IS

FIGHT/WAR, ACTIONS ARE TRANSFER, POLITICS IS A JOURNEY, MORE IS

UP; LESS IS DOWN, serta ACHIEVING A PURPOSE IS AGRICULTURE.

Adapun penelitian yang khusus membahas metafora dalam naskah pidato

Nelson Mandela baik itu berupa artikel, tesis maupun disertasi belum penulis

temukan. Selain dikarenakan oleh kepopuleran Nelson Mandela sebagai seorang

pejuang kebebasan, penulis melihat pidato yang disampaikan Mandela lebih

bervariasi jangkauan ranah yang dikonseptualisasikan, serta banyak menyiratkan

pesan-pesan moral yang dapat menjadi pegangan hidup atau acuan di semua aspek

kehidupan dan juga contoh bagi semua kalangan terutama di dunia perpolitikan

sekarang ini.

18

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Semantik

Semantik berasal dari bahasa Yunani semainein yang berarti to signify

“memaknai” (Aminuddin, 2011:15). Sebagai cabang ilmu bahasa, semantik

mempelajari bagaimana makna disusun dan diungkapkan di dalam bahasa

(Wijana, 2010:4). Munculnya unsur makna yang dihubungkan dengan istilah

semantik dapat mengarah kepada sebuah teori umum yang menyatakan bahwa

semantik adalah ilmu makna atau studi tentang makna. Teori ini dikemukakan

oleh beberapa ahli bahasa diantaranya Verhaar (2010:285); Lyons (1995:3);

Parera (2004:42); dan Ullman via Sumarsono (2012:1). Ruang lingkup semantik

pada awalnya hanya meliputi makna kata, perkembangan, dan perubahannya

(Suwandi, 2008:9) atau makna/arti yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat

komunikasi verbal (Chaer, 2009:3) atau terletak pada pencirian hakikat makna dan

hubungannya (Parera, 2004:51).

Kajian semantik kemudian berkembang dengan melibatkan unsur makna

dan pengalaman manusia. Pateda (2010:15) menjelaskan bahwa semantik

merupakan ilmu yang mempelajari kemaknaan di dalam bahasa sebagaimana apa

adanya (das sein) dan terbatas pada pengalaman manusia, sehingga secara

ontologis masalah yang dikaji semantik dibatasi hanya pada persoalan yang

terdapat di dalam ruang lingkup jangkauan pengalaman manusia. Sementara

Leech menguraikan batas lingkup pengalaman manusia dengan lebih rinci yaitu

dimulai dari pikiran, kognisi, konsep, hingga pengalaman. Leech (1974:ix)

memandang semantik sebagai “the centre of the study of the human mind –

19

thought processes, cognition, conceptualization – all these are intricately bound

up with the way in which we classify and convey our experience of the world

through language”. Sesuatu yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami tersebut

dapat dimasukkan ke dalam entitas dunia nyata seperti yang dilakukan oleh

Morris yaitu dengan menekankan kajian semantik pada hubungan yang terjalin

antara tanda-tanda dengan entitas di dunia nyata yang ditunjuk (melalui Rahyono,

2012:19).

Hubungan antara makna dan sistem kognisi manusia berupa pikiran dapat

menjadi penguat bagi pemakai bahasa dalam membentuk sebuah konsep baru

seperti yang diilustrasikan oleh Ogden & Richards (1923:10-11) pada bagan di

bawah ini:

Bagan 1.Segitiga Makna C.K. Ogden & I.A. Richards

Odgen dan Richards menjelaskan bahwa thought “pikiran/gagasan” memiliki

hubungan langsung dengan referent “acuan” dan symbol “lambang”. Pikiran atau

referensi merupakan hasil konseptualisasi dari hubungan antara kedua hal tersebut

yaitu berupa pemaknaan. Sementara untuk referent “acuan” dan symbol

“lambang” berlaku sebaliknya. Garis putus-putus di antara keduanya

menunjukkan bahwa referen dan lambang memang tidak berhubungan secara

langsung.

ReferentSymbol

Thought or Reference

20

Kridalaksana (2011:216) mengungkapkan definisi semantik sedikit agak

berbeda dan lebih khusus yaitu semantik adalah bagian struktur bahasa yang

berhubungan dengan makna ungkapan dan struktur makna suatu wicara, seperti

pendapat Parker (1986:29): “Semantics is part of grammar proper, the study of

the internal structure of language”. Tidak hanya makna yang harus diperhatikan

namun juga strukturnya. Menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang

menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, serta

pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat juga merupakan bagian dari kajian

semantik (Suwandi, 2008:9).

Pemaknaan memegang peranan penting bagi kajian semantik karena

pemaknaan merupakan proses akhir suatu komunikasi (aktivitas berbahasa) untuk

mendapatkan kejelasan dan kebenaran dalam menangkap informasi makna akan

sesuatu hal agar kelangsungan komunikasi tetap terjaga tanpa menimbulkan

kesalahpahaman. Salah satu cara untuk meminimalisir kesalahan yang terjadi

adalah dengan menggunakan gaya bahasa kiasan metafora yaitu dengan

menambahkan makna dengan nilai rasa lain pada makna dasarnya sehingga

terkesan lebih kreatif, efektif, dan menarik. Semantik menjadi payung analisis

metafora karena semantik tidak hanya dapat dihubungkan dengan psikologi,

logika, dan filsafat, namun juga dengan ilmu politik (Pateda, 2010: 14) seperti

sumber data penelitian ini.

21

1.6.2 Metafora

Metafora telah menjadi bahan kajian yang penting sejak zaman kuno

seperti yang dilakukan oleh Aristoteles dan Quintilian, dan telah mengalami

perkembangan yang cukup signifikan hingga sekarang. Sebagai bentuk bahasa

yang khas dan bisa juga dianggap aneh karena relasi katanya melampaui batas

relasi bahasa secara literal yang telah disepakati bersama dalam komunikasi

sehari-hari, metafora menimbulkan perbedaan pendapat beberapa ahli linguistik

antara lain mengenai definisi metafora dan penerapan maknanya. Pertama,

metafora dapat berarti membawa perubahan makna,sesuai dengan asal katanya

yaitu dari bahasa Yunani: meta dan pherein. Meta “atas” adalah prefiks yang biasa

dipakai untuk menggambarkan perubahan (di atas atau sesuatu yang melebihi dari

standarnya) dan pherein “diangkat” adalah memindahkan. Sementara, Searle

memiliki definisi yang berbeda dengan menegaskan bahwa pada dasarnya

metafora itu adalah makna maksud bukan semata-mata hanya perubahan makna.

Makna maksud dipahami sebagai makna yang tersirat dari pembicara/penyampai

pesan yang memiliki maksud lain ketika mengujarkan satu kata atau kalimat

(melalui Parera, 2004:132). Kedua, tidak jauh berbeda dengan permasalahan di

atas, silang pendapat terjadi ketika Cruse (1986:42) dan Taylor (2003:132)

mengindikasikan bahwa metafora mengalami penyimpangan penerapan makna

kepada suatu referen yang lain, sedangkan sebagian ahli bahasa menolak.

Penjelasan teoritis dikemukakan Keraf (2010:139) dan Verhaar (dalam Wijana,

2008:48-49) sebagai bahan kajian. Menurut Keraf, penyimpangan makna hanya

dapat terjadi dalam ungkapan dengan metafora yang masih hidup, sedangkan

22

untuk metafora yang mati tidak lagi dirasa adanya perubahan makna.

Menyimpang menurut Verhaar berarti bahwa makna tidak bersifat semena atau

arbitrer namun berdasarkan atas kesamaan tertentu seperti kesamaan sifat, bentuk,

fungsi, tempat, atau kombinasi di antaranya. Misal: pemakaian kata lintah – lintah

darat, kata daun – daun pintu, kata punggung - punggung bukit, dan kata kaki –

kaki meja.

Struktur dasar metafora sangat sederhana terdiri dari dua hal yaitu sesuatu

yang sedang dibicarakan (yang dibandingkan) dan sesuatu yang dipakai sebagai

bandingan. Jika dua hal tersebut saling berdekatan, metafora akan muncul namun

mutu ekspresifnya tidak ada sama sekali. Sebaliknya, jika jarak antara dua hal

tersebut cukup jauh, metafora akan makin efektif (Sumarsono, 2012:265-266).

Metafora tidak selalu harus menduduki fungsi predikat, namun juga dapat

menduduki fungsi lain seperti subyek atau obyek sehingga dapat berdiri sendiri

sebagai kata (Keraf, 2010:139).

Kövecses (2002:vii) mendefinisikan metafora sebagai gaya bahasa kiasan

yang membandingkan satu hal dengan hal lain, misal: He is a lion (manusia

dibandingkan dengan seekor singa). Keraf (2010:139) menggunakan semacam

analogiyang membandingkan dua hal tersebut secara langsung, tetapi dalam

bentuk singkat seperti buaya darat, buah hati, atau cindera mata. Keraf juga

sependapat dengan Pradopo (2005:40) yang menyatakan bahwa metafora itu

mempersamakan dua hal yang sesungguhnya tidak sama tanpa mempergunakan

kata pembanding yaitu seperti, bak, bagai, bagaikan dan sebagainya. Contoh: dari

karya Subagio Sastrowardojo yang berbunyi: “Bumi ini perempuan jalang” (Bumi

23

dibandingkan dengan sosok seorang perempuan yang memiliki sikap kurang

baik). Secara umum, metafora adalah kesamaan antar makna dan merupakan

penggunaan bahasa secara non-literal yang di dalamnya mengandung

perbandingan.

Tergolong ke dalam bahasa kiasan (majas) seperti perbandingan, metafora

lebih dikenal dengan pengkajian bahasa puisi dan bahasa sastra. Namun seiring

perkembangannya, penggunaan metafora juga terdapat dalam bahasa keseharian.

Lakoff dan Johnson (1980:3) mengambil contoh dari bahasa retorika yang

memuat aturan-aturan dalam bahasa politik yang baik dan benar. Walaupun

termasuk seni kuno yang mengajarkan tentang bagaimana berbicara secara elegan

dan persuasif, namun Thomas dan Wareing (2007:68) menegaskan bahwa bahasa

retorika masih tetap dijadikan acuan oleh para politisi hingga sekarang dengan

mempelajari kebiasaan-kebiasaan tertentu yang bisa memperkuat dampak yang

ditimbulkan oleh ucapan atau tulisan mereka. Perbedaan mendasar yang terlihat

antara metafora dalam karya sastra dengan metafora dalam bahasa keseharian

adalah jika yang pertama umumnya bersifat perseorangan, yang kedua

berhubungan dengan motivasi sosial.

Metafora tidak hanya sekedar persoalan bahasa, namun juga sejauh mana

peran dan pengaruh metafora terhadap pemakai bahasa dalam berbicara,

memahami, berpikir, dan bertindak. Dengan kata lain, metafora adalah

pemahaman dan pengalaman akan sejenis hal yang dimaksudkan untuk perihal

yang lain (Wijana, 2008:50). Fromkin (1993:151) mengartikan metafora dengan

definisi yang lebih sederhana yaitu: “Interpretations of sentences are called

24

metaphor”. Namun menginterpretasi dan memahami metafora melalui ungkapan-

ungkapan metaforis linguistik yaitu ungkapan yang mengandung makna kiasan

bukan merupakan hal yang mudah karena pemakai bahasa harus memahami kedua

makna sekaligus yaitu makna literal dan makna yang menggambarkan realitas

dunia, kemudian pemakai bahasa juga dituntut untuk mencari relevansinya.

Seorang pemakai bahasa/penyampai pesan harus memiliki methaporical

competence (kemampuan metaforis) dalam mencari persamaan makna antar kata

secara kontekstual. Menurut Keraf (2010:139), konteks diperlukan dalam kajian

metafora karena konteks berperan sebagai pembatas makna. Konteks berhubungan

dengan kata. Semakin tinggi frekuensi pemakaian sebuah kata, semakin banyak

juga konteks yang cenderung dijalinnya atau semakin banyak kecenderungan bagi

kata itu untuk memiliki arti/makna yang berbeda (Poedjosoedarmo, 2001:111).

Ungkapan-ungkapan metaforis linguistik merupakan ungkapan yang berada dalam

konteks karena konteks dapat memperkuat alasan atau menjadi penentu

keberadaan sebuah kata bermakna metaforis atau tidak.

Lakoff dan Johnson (1980:193) menekankan bahwa melalui metafora,

manusia dapat memahami segala yang terjadi di dalam kehidupannya dari yang

sulit untuk dijelaskan sekalipun seperti yang tergambar dalam kutipan

pendapatnya: “Metaphor is one of our most important tools for trying to

comprehend partially what cannot be comprehended totally: our feelings, moral

practices, and spiritual awareness”. Secara keseluruhan, metafora memang bukan

merupakan bahasa biasa. Metafora telah berjasa untuk menciptakan istilah-istilah

25

baru dalam khasanah kebahasaan, dapat memberikan wawasan baru bagi pemakai

bahasa, serta dapat mempengaruhi struktur konseptual manusia.

1.6.3 Konsep Metafora

Kajian metafora merupakan kajian yang menekankan pada penggunaan

unsur linguistik yaitu linguistik kognitif yang menunjukkan sistem konsep dalam

realitas kehidupan. Apa yang manusia bicarakan, pikirkan, dan lakukan menjadi

satu rangkaian/ikatan yang saling mempengaruhi satu sama lain.

1.6.3.1 Teori Metafora Konseptual

Kridalaksana (2011:132) mendefinisikan kata konsep sebagai gambaran

mental dari obyek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, dan yang

memerlukan penggunaan akal budi untuk memahaminya. Hubungan antara

gambaran mental dan penggunaan akal budi menunjukkan bahwa sebuah konsep

mengarah kepada ide atau prinsip/aturan moral yang membantu pemakai bahasa

dalam menjelaskan atau mengontrol berbagai hal. Karena konsep metafora

bersifat sistematis, bahasa yang digunakan untuk berbicara tentang aspek-aspek

dari konsep tersebut juga bersifat sistematis (Lakoff dan Johnson, 1980:7).

Mengacu kepada sifat universal bahasa yang sistematis tersebut, Rahyono

(2012:188) mengemukakan bahwa pemanfaatan dan pemberdayaan bahasa harus

dilakukan melalui proses konseptualisasi yang terstruktur. Metafora dikaitkan

dengan pengalaman hidup atau cara pandang terhadap sesuatu dalam sistem

konseptual manusia. Manusia berpikir dengan melihat kesamaan atau kemiripan

satu pengalaman dengan pengalaman lain. Menurut Lakoff dan Johnson (1980:5),

26

pemahaman dan pengalaman seseorang akan sesuatu hal terhadap sesuatu yang

lain adalah inti dari metafora konseptual itu sendiri seperti petikan pendapatnya:

“The essense of metaphor is understanding and experiencing one kind of thing in

terms of another”. Kövecses (2002:4) memformulasikan metafora konseptual

sebagai pemetaan konseptual diantara dua ranah yaitu ranah konsep A adalah

ranah konsep B seperti contoh berikut ini:

He’s without direction in life.I’m where I want to be in life.I’m at a crossroads in my life.She’ll go places in life.He’s never let anyone get in his way.She’s gone through a lot in life. (Kövecses, 2002:3)

Metafora-metafora yang dihasilkan merupakan cerminan dari realitas kehidupan.

Terlihat dari beberapa frase yang diungkapkan oleh pemakai bahasa Inggris

tersebut mengindikasikan suatu perjalanan yang ditempuh dalam hidup. Keadaan

susah atau senang selalu dihadapi seperti kehidupan yang tanpa arah, berada di

persimpangan, atau telah mengalami dan melewati banyak hal dalam kehidupan.

Jadi, konsep yang tepat untuk metafora di atas: LIFE IS A JOURNEY“ Hidup

adalah Perjalanan”. Life adalah konsep A dan A Journey adalah konsep B.

Ungkapan-ungkapan metaforis linguistik dimanfaatkan untuk menyatakan

perasaan dan gagasan kepada khalayak ramai atau sekedar memberikan gambaran

dari sebuah konsep untuk menekankan suatu pemikiran sehingga membuat

siapapun terpengaruh pada tingkatan emosional dan intelektual. Gambaran-

gambaran yang terwakili dalam ungkapan-ungkapan metaforis linguistik tersebut

dapat menjadi dasar untuk memformulasikan metafora berdasarkan elemen-

elemen pembentuknya yang terpetakan dan terkonsep.

27

Newmark mengusulkan beberapa konsep di bawah ini untuk menganalisis

metafora (lih. Parera, 2004:133):

1) Objek. Objek adalah butir makna yang dilukiskan dengan metafora. Objek

dapat tampak dalam struktur luar dan dapat pula tidak tampak. Ini berarti

dalam analisis makna metafora diperlukan struktur dalam.

2) Citra. Dalam bahasa Inggris dipadankan dengan image. Citra adalah kejadian,

proses, hal yang hendak dicapai sebagai bandingan. Citra merupakan

keterangan kepada objek atau topik. Dikatakan pula bahwa citra dapat

menjadi topik kedua.

3) Sense “titik kemiripan”. Antara objek dan citra terdapat aspek-aspek khusus

yang mempunyai kemiripan. Titik kemiripan itulah yang menjadi komentar

bandingan bagi topik/objek.

Dalam terminologi Richards yang dikutip oleh Ullmann (lih. Sumarsono,

2012: 266), konsep metafora terpetakan menjadi dua antara lain: tenor (makna

atau arah umum) yaitu sesuatu yang dibicarakan, dan bandingannya disebut

wahana (vehicle), sedangkan unsur atau unsur-unsur yang biasa dimiliki oleh

tenor dan wahana membentuk dasar dari metafora. Dengan kata lain, kesamaan

yang dibayangkan atau diciptakan antara keduanya membentuk dasar bayangan

itu yaitu suatu unsur umum yang melandasi transfer. Lebih lanjut Ullmann juga

mengutip pendapat Sayce yang menjelaskan bahwa jarak antara tenor dengan

wahana (sudut bayang ‘angle of the image’) merupakan faktor penting dalam

keefektifan metafora.

28

Sementara, Kövecses (2002:4) serta Lakoff dan Johnson (1980:265)

menggunakan dua ranah (domain) dalam metafora konseptual yaitu ranah sumber

(source domain) yang digunakan manusia untuk menggambarkan ekspresi

metafora dalam memahami ranah konseptual yang lain (bersifat konkrit),

sedangkan ranah sasaran (target domain) adalah ranah konseptual yang dapat

dipahami melalui ranah sumber (bersifat abstrak). Namun, bentuk kesamaan atau

kemiripan yang menjadi unsur penting metafora digambarkan terpisah: Kövecses

(2002:6) menyebut kesamaan dengan a set of systematic correspondences between

the source and the target in the sense that constituent conceptual elements of B

correspond to constituent elements of A “seperangkat persamaan yang sistematis

antara ranah sumber dan target dalam hal ini elemen konseptual pokok B yang

sesuai dengan elemen pokok A” atau secara singkat menjadi a set of mapping

relation or correspondences “seperangkat hubungan pemetaan atau persesuaian”,

sedangkan Lakoff dan Johnson menggunakan istilah ground untuk relasi

persamaannya. Ullman menambahkan bahwa unsur kesamaan tersebut dapat

diamati dari dua sisi yaitu secara objektif dan emotif (melalui Sumarsono,

2012:266).

Teori metafora konseptual yang berbeda ditunjukkan oleh Michael C.

Haley dengan analisisnya yang menggolongkan data metafora ke dalam kategori

medan semantik berdasarkan hirarkhi ruang persepsi manusia yaitu ke-ada-an,

kosmos, energi, substansi, terestrial, benda (objek), kehidupan, makhluk

bernyawa, dan manusia (melalui Wahab, 1990:148-149).

29

Dari beberapa teori metafora konseptual yang telah dijelaskan, penulis

mengambil benang merah secara keseluruhan bahwa pemahaman akan konsep

tersebut dapat berbeda-beda berdasarkan pendapat perorangan, namun yang

menjadi titik berat atau unsur pemersatu adalah elemen persamaan atau kemiripan

dari bentuk ungkapan yang bermakna.

1.6.3.2 Konsep Metafora Penelitian

Kajian tentang konsep metafora pada penelitian ini lebih merujuk pada

model konsep yang ditawarkan oleh Lakoff dan Johnson (1980) serta Kövecses

(2002) dengan teori dua ranah. Penulis memilih teori ini untuk membentuk konsep

metafora berdasarkan beberapa pertimbangan yaitu (1) Lakoff, Johnson, dan

Kövecses menunjukkan bahwa ungkapan linguistik yang digunakan sehari-hari

memiliki hubungan metaforis atau pemetaan ranah konseptual dalam pikiran

manusia dengan lebih khusus. Menurut mereka pada umumnya metafora

didefinisikan sebagai alat untuk menggambarkan imajinasi puitis, aspek retorikal

dan bahasa yang luar biasa. Oleh karena itu, seharusnya metafora tidak hanya

dilihat sebagai suatu perkataan saja, namun juga sebagai alat pemikiran atau

perbuatan manusia. Karena kenyataannya, banyak sekali konsep dasar yang ada

dalam sistem pengetahuan manusia yang dipahami sebagai konsep metafora

seperti waktu, jumlah, keadaan, perubahan, gerakan, akibat, tujuan, alat,

kemampuan dan kategorisasi, menjadikan semua konsep ini menyatu dalam tata

bahasa dan menjadi suatu metafora yang alami; (2) teori tersebut yang

30

memperkenalkan tentang metafora konseptual yang memandang kognisi sebagai

hasil dari konstruksi mental manusia.

Dengan memusatkan perhatian pada pandangan konseptual terhadap

ungkapan metaforis linguistik yang digunakan dalam tekstertulis berupa pidato

diharapkan dapat mengonseptualisasikan gagasan, pengalaman, dan perasaan yang

terdapat dalam teks tersebut yaitu memfokuskan pada bentuk metafora yang daya

metaforisnya aktif atau produktif berupa kata, frase, kalimat atau klausa dengan

membandingkan sesuatu yang abstrak atau memiliki konsep yang sulit dijelaskan

dengan hal yang konkrit yang lebih mudah untuk dipahami oleh penerima pesan

karena dapat dijelaskan melalui proses visualisasi dan analogi yang didasarkan

pada pengalaman nyata yang dirasakan, dialami, dan dipikirkan. Contoh: LOVE IS

A JOURNEY “Cinta adalah Perjalanan” melalui ungkapan metaforis linguistik We

aren’t going anywhere. Frase go somewhere menandai perjalanan menuju ke

suatu tempat tujuan yang tidak jelas. Kata we dengan jelas mengarah kepada

keterlibatan orang yang melakukan perjalanan. Terdapat tiga unsur pokok yang

tergambar dalam kalimat yaitu pelaku perjalanan, perjalanan, dan tujuan. Namun,

penyampai pesan sebenarnya ingin menjelaskan bahwa konsep tersebut berkaitan

dengan hubungan percintaan atau perasaan cinta seseorang. Ranah sumber dan

target diuraikan dengan lengkap sebagai berikut: (Kövecses, 2002: 6-7)

Source: JOURNEY Target: LOVEthe travelers the loversthe vehicle the love relationship itselfthe journey events in the relationshipthe distance the progress madethe obstacles encountered the difficulties experienceddecisions about which way to go choices about what to dothe destinations of the journey the goal (s) of the relationship

31

1.6.3.3 Pembagian Ranah Metafora

Klasifikasi dua ranah yaitu ranah sumber (source domain) dan ranah

sasaran (target domain) mengadopsi teori dari Kövecses (2002:16-25) yang secara

khusus membagi ranah tersebut ke dalam sub-sub ranah yang berkaitan dengan

realitas kehidupan manusia baik itu berupa pengalaman, pemikiran, perasaan,

pengamatan, dan lain sebagainya. Berikut uraian ranah metafora versi Kövecses

terdiri dari 13 ranah sumber dan 13 ranah sasaran:

1. Ranah Sumber (Source Domain)

1.1 The Human Body “Tubuh Manusia”. Ranah ini digunakan untuk

memahami entitas abstrak pada ranah sasaran secara metaforis. Aspek-

aspek atau entitas yang termasuk dalam ranah Tubuh Manusia adalah

bagian tubuh manusia termasuk kepala, wajah, kaki, dan lain-lain.

1.2 Health and Illness “Kesehatan dan Penyakit”. Ranah ini

menggambarkan sifat-sifat penyakit dan kesehatan atau penyakit

tertentu.

1.3 Animals “Hewan”. Ranah ini termasuk ranah sumber yang produktif.

Manusia dapat disamakan dengan ranah Hewan seperti a brute, a tiger,

a dog, dan sebagainya.

1.4 Plants “Tumbuh-tumbuhan”. Ranah ini secara metaforis mencakup

berbagai macam tanaman, aktivitas yang dilakukan, dan tahap

pertumbuhan tanaman.

1.5 Building and Construction “Bangunan dan Konstruksi”. Ranah ini

menguraikan tentang benda-benda yang ada di dalam sebuah rumah,

32

bagian-bagian rumah, dan aktivitas yang dilakukan dalam proses

pembangunan.

1.6 Machines and Tools “Mesin dan Peralatan”. Aspek metafora

ditunjukkan dengan berbagai jenis mesin dan peralatan atau yang

berhubungan dengan kedua entitas tersebut, dan segala aktivitas yang

juga berkaitan dengan ranah ini.

1.7 Games and Sport “Permainan dan Olahraga”. Ranah ini tidak hanya

mengarah kepada permainan dan olahraga dengan fungsi yang

sesungguhnya namun juga sebagai entitas hiburan.

1.8 Money and Economic Transactions (Business) “Uang dan Transaksi

Ekonomi (Bisnis)”. Aktivitas ekonomi melibatkan uang dan transaksi

komersial dalam prosesnya. Peristiwa komersial termasuk di dalamnya

beberapa entitas dan tindakan yaitu barang/komoditas, uang, serta serah

terima barang dan uang.

1.9 Cooking and Food “Kegiatan Memasak dan Makanan”. Kegiatan

memasak termasuk suatu proses yang kompleks dari beberapa unsur:

pelaku, resep, bahan makanan, cara-cara memasak, dan produk/hasil.

1.10 Heat and Cold “Panas dan Dingin”. Ranah ini merupakan pengalaman

manusia yang biasa dirasakan atau dialami sebagai efek dari temperatur

udara di sekitar. Manusia biasanya menggunakan ranah Panas secara

metaforis untuk menggambarkan perilaku seseorang dan sesuatu.

33

1.11 Light and Darkness “Cahaya dan Kegelapan”. Ranah ini juga

merupakan pengalaman manusia yang sering digambarkan secara

metaforis dengan kondisi cuaca.

1.12 Forces “Kekuatan”. Terdapat berbagai macam kekuatan yang termasuk

ke dalam ranah ini yaitu gaya gravitasi, magnetis, elektris, dan mekanis

dengan entitas: gelombang/ombak, angin, badai, api, dan pelaku yang

melakukan sesuatu seperti mendorong, menarik, mengirimkan sesuatu,

dan lain-lain.

1.13 Movement and Direction “Gerakan dan Arah”. Ranah ini melibatkan

perubahan lokasi atau bisa juga bersifat statis. Arah yang dimaksud

antara lain: depan-belakang, naik-turun.

2. Ranah Sasaran (Target Domain)

2.1 Emotion “Emosi”. Konsep emosi mencakup rasa marah, takut, cinta,

kebahagiaan, kesedihan, rasa malu, bangga, dan lain-lain. Ranah ini

melibatkan kekuatan dari ranah sumber.

2.2 Desire “Nafsu”. Ranah ini dipahami sebagai kekuatan, tidak hanya

secara fisik namun juga psikis seperti lapar atau haus. Selain itu, sering

dipahami untuk menggambarkan unsur panas.

2.3 Morality “Moralitas”. Ranah ini dapat mengarah kepada sesuatu yang

baik dan juga buruk sama seperti kejujuran, keberanian, kehormatan,

dan lain-lain. Secara metaforis dapat dikaitkan dengan beberapa ranah

sumber yaitu transaksi ekonomi, kekuatan, cahaya dan gelap, dan

sebagainya.

34

2.4 Thought “Pemikiran”. Mencoba memahami pikiran manusia adalah

bagian dari ranah ini seperti segala sesuatu yang berhubungan dengan

pemikiran, persepsi, atau pemahaman, misal dapat digambarkan melalui

kata seeing.

2.5 Society/Nation “Masyarakat/Negara”. Ranah ini melibatkan konsep

ranah sumber yaitu konsep yang menggambarkan seseorang, keluarga,

mesin, atau tubuh manusia.

2.6 Politics “Politik”. Dalam politik unsur kekuatan digunakan. Kekuatan

politik secara konseptual dipahami sebagai kekuatan fisik. Ranah ini

melibatkan ranah sumber seperti ranah Permainan dan Olahraga, Bisnis,

dan Perang.

2.7 Economy “Ekonomi”. Ranah ini berkaitan dengan ranah sumber yaitu

ranah Bangunan dan Konstruksi, Tumbuh-tumbuhan, dan Perjalanan

(Gerakan dan Arah).

2.8 Human Relationships “Hubungan Manusia”. Ranah ini menunjukkan

konsep suatu persahabatan, cinta, dan pernikahan. Secara metaforis

dapat dibandingkan dengan beberapa ranah sumber yaitu ranah

Tumbuh-tumbuhan, Mesin dan Peralatan, serta Bangunan dan

Konstruksi.

2.9 Communication“Komunikasi”. Dalam berkomunikasi, manusia

melibatkan pembicara/penyampai pesan, pendengar/penerima pesan,

pesan berupa ekspresi linguistik, dan juga proses berpindahnya pesan

dari penyampai kepada penerima melalui beberapa media. Ranah ini

35

berkaitan dengan ranah sumber diantaranya: container “wadah”, objek,

dan proses pengiriman.

2.10 Time “Waktu”. Waktu merupakan konsep yang sangat sulit untuk

dipahami. Waktu disamakan dengan benda yang bergerak secara

metaforis.

2.11 Life and Death “Kehidupan dan Kematian”. Ranah ini bersifat alami

secara metaforis. Kehidupan dipahami sebagai perjalanan ke suatu

tempat tujuan yang dimetaforakan dengan hari, cahaya, kehangatan, dan

lain-lain. Kelahiran dianggap sebagai kedatangan dan kematian

dipandang sebagai keberangkatan sama seperti malam, kegelapan, dan

dingin.

2.12 Religion “Agama”. Ranah ini melibatkan pandangan manusia tentang

Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan seperti keabadian, hidup

sesudah/sebelum mati, dan sebagainya.

2.13 Events and Actions “Peristiwa dan Aksi”. Ranah ini dipahami sebagai

ranah Gerakan dan Arah, dan ranah Kekuatan dalam ranah sumber.

Beberapa hal yang termasuk dalam ranah sasaran ini adalah perubahan,

penyebab, tujuan, dan cara.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang dilakukan

semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomen yang memang

secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau

36

yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret:

paparan seperti apaadanya (Sudaryanto, 1988: 62) dan didasarkan pada data-data

yang lengkap secara tipikal (bukan berdasarkan jumlah). Menurut Santana K.

(2007:30), kerangka tulisan kualitatif menyampaikan data berupa perkataan orang

atau kutipan, berbagai teks, atau wacana lain. Materinya mengeksplorasi

pemaknaan ketika orang-orang, misalnya, melakukan tindakan komunikasi dan

menginterpretasikannya kepada konteks yang luas. Sesuai dengan perspektif yang

dipakai, penelitian kualitatif berusaha memahami makna dari fenomena-

fenomena, peristiwa, dan kaitannya dengan orang-orang atau masyarakat yang

diteliti dalam konteks kehidupan dalam situasi yang sebenarnya (Subroto,

1992:6). Metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu

penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil seperti dijelaskan di bawah ini:

1.7.1 Penyediaan Data

Penelitian ini membahas tentang fenomena metafora beserta pemetaan

ranah dan konsepnya. Sumber data primer dalam kajian berasal dari tiga pidato

tertulis Nelson Mandela yaitu pada saat Mandela memberikan kesaksiannya di

persidangan pada tahun 1964, Mandela bebas dari penjara, dan Mandela dilantik

menjadi presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan. Data tersebut berisi

ungkapan-ungkapan metaforis linguistik yang dipilah-pilah berupa kata-kata atau

kalimat dengan menentukan kata kunci sebagai penanda metafora. Penulis

menggunakan beberapa pemakai bahasa yang dianggap memiliki metaphorical

competence dalam membantu pengidentifikasian data. Kemudian, data

dikelompokkan atau diklasifikasikan ke dalam tabel berdasarkan urutan ranah

37

metafora menurut Kövecses (2002).Metafora diberi cetak tebal untuk

membedakan dengan entitas-entitas abstrak dan konkrit sebagai bagian dari ranah.

Sementara bentukan konsep-konsep metafora diperoleh dari studi pustaka dan

pengamatan penulis.

1.7.2 Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisa berdasarkan rumusan masalah dalam

penelitian dengan melihat klasifikasi yang ada sehingga dapat menunjukkan

bentuk dan konseptualisasi yang mengindikasikan adanya sistem konsep yang

terdiri dari konsep ranah target dan konsep ranah sumber. Elemen kesamaan atau

kemiripan pada pemetaan metafora dianalisa berdasarkan hubungan yang

tergambar dari kedua entitas yang ada dan didukung oleh analisis komponen

makna. Teknik analisis makna ini merupakan satu usaha untuk mengelompokkan,

membedakan, dan menghubungkan masing-masing hakikat makna (Parera,

2004:51). Konsep metafora yang terbentuk diperoleh denganmengelompokkan

ungkapan-ungkapan metaforis linguistik berdasarkan teori metafora konseptual

Lakoff dan Johnson (1980) dan Kövecses (2002), dianalisis secara berurutan

sesuai dengan tingkat kemunculan konsep atau dominasi konsep. Konsep yang

memiliki jumlah ungkapan paling banyak adalah yang paling dominan. Setelah

itu, data dianalisa dengan menguraikannya berdasarkan kejadian dan latar

belakang Nelson Mandela dalam perjuangannya sehingga dapat menggambarkan

suatu keadaan dimana penerima pesan atau pembaca dapat merasakan dan

mengetahui secara jelas.

38

1.7.3 Penyajian Data

Penelitian ini disajikan secara deskriptif dalam dua macam bentuk tulisan

yaitu informal dan formal. Tulisan informal menggunakan kata-kata biasa dan

tulisan formal menggunakan tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993:

144).

1.8 Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan disajikan dalam empat bab. Bab I mengenai

pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang penelitian berisi pemaparan

hal ihwal pemikiran peneliti terkait dengan topik yang ada; rumusan masalah;

tujuan penelitian; manfaat penelitian; tinjauan pustaka yang mengemukakan hasil-

hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan kajian metafora; landasan teori

yang menjelaskan tentang teori-teori pendukung yang relevan dengan penelitian

dan materi yang dikaji dalam penelitian demi memudahkan peneliti lain dalam

pengajuan penelitian lanjutan; serta metode penelitian yang menjelaskan tentang

metode yang digunakan, teknik pengolahan data secara terperinci, dan penyajian

data. Bab II berisi uraian dari rumusan masalah pertama yang telah disusun untuk

memenuhi tujuan penelitian yaitu mengenai makna dan pemetaan ranah metafora.

Bab III berisi uraian rumusan masalah kedua yaitu mengenai pembentukan

konsep-konsep metafora. Bab IV berisi kesimpulan dan saran yang menjelaskan

tentang kesimpulan dari analisis data yang telah dilakukan dalam bab sebelumnya

serta saran bagi penelitian selanjutnya.