-LENGKAP- BO prak antibiotik.docx
-
Upload
melissa-silva -
Category
Documents
-
view
43 -
download
17
Transcript of -LENGKAP- BO prak antibiotik.docx
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bakteri flora normal pada rongga mulut manusia sangat banyak, yang
berfungsi untuk pertahanan tubuh, bakteri tersebut menjadi patogen bila berpindah
habitatnya, sehingga apabila bakteri flora normal mengalami resistensi akan
menyulitkan pengobatan antibiotik. Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik
alami maupun sintetik, yang dihasilkan oleh mikroorganisme bakteri ataupun
jamur. Pada dasarnya tujuan utama penggunaan antibiotic untuk menghilangkan
infeksi. Antibiotik berdasarkan daya kerjanya ada 2, yang digunakan untuk
membunuh(bakterisid) atau menghambat(bakteriostatik) pertumbuhan bakteri
penyebab infeksi pada tubuh manusia atau binatang. Antibiotik pada awal
ditemukan dihasilkan oleh mikroba terutama jamur kemudian seiring dengan
kemajuan ilmu pengetahuan bisa dibuat secara sintetis. Pemberian antibiotik yang
paling baik adalah berdasarkan hasil pemeriksan mikrobiologi dan uji kepekaan
kuman tetapi pada kenyataannya tidak selalu demikian (Depkes RI, 2008).
Antibiotik yang ideal adalah yang mempunyai toksisitas selektif yaitu yang
berbahaya bagi bakteri tetapi tidak berbahaya bagi hospes, hal ini disebabkan
karena mekanisme kerja antibiotik diawali dengan merusak lapisan dinding sel
bakteri yang tersusun oleh peptidoglikan sedangkan sel manusia tidak mempunyai
lapisan tersebut sehingga sel-sel tubuh manusia tidak akan rusak oleh antibiotik.
Suatu bakteri dikatakan resisten terhadap antibiotik tertentu bila pertumbuhan
bakteri tersebut tidak bisa dihambat oleh antibiotik pada konsentrasi minimal yang
dapat ditolerir oleh inang atau hospes. Bakteri yang mengalami resistensi
pertumbuhannya tidak terganggu oleh antibiotik.Resistensi mikroorganisme
terhadap antibiotik dibedakan menjadi resistensi bawaan (primer), resistensi
dapatan (sekunder) dan resistensi episomal. Resistensi primer merupakan
resistensi yang menjadi sifat alami dari mikroorganisme tertentu contoh bakteri
pembentuk enzim penisilinase secara alami dapat menguraikan penisilin, bakteri
yang mempunyai kapsul pada dinding sel yang dapat melindunginya dari paparan
antibiotik. Resistensi sekunder terjadi akibat kontak dengan antimikroba dalam
1
2
waktu yang cukup lama dan frekwensi tinggi sehingga terjadi mutasi pada bakteri,
resistensi juga bisa terjadi karena adanya mekanisme adaptasi aktivitas bakteri
untuk melawan obat misal dengan membentuk enzim, bakteri memperkuat
dinding selnya sehingga dinding sel bersifat impermiabel. Resistensi episomal
disebabkan faktor genetik diluar kromosom, terjadi karena berpindahnya plasmid
dari bakteri yang resisten ke bakteri lain sehingga bakteri baru menjadi resisten
(Pratiwi, 2008).
Antibiotik juga dibedakan berdasarkan spektrum kerjanya, ada yang luas
dan sempit. Antibiotik dengan spektrum kerja yang luas bekerja terhadap banyak
jenis mikroba yaitu bakteri gram positif dan negatif, sedangkan yang memiliki
spektrum kerja yang sempit hanya bekerja terhadap beberapa jenis mikroba saja,
gram positif saja, atau gram negatif saja. Dalam praktikum ini, digunakan
antibiotika amoksisilin, amoksisilin+asam klavulanat, eritromisin, dan
klindamisin. Berdasarkan spektrum kerjanya yang memiliki spektrum kerja yang
luas hanyalah amoksisilin, eritromisin dan klindamisin hanya bekerja terhadap
bakteri gram positif saja. Untuk amoksiisilin, diberikannya tambahan asam
klavulanat adalah dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan terhadap enzim
beta lactamase, dengan cara memblokir dan menginaktivasi beta lactamase.
1.1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan suatu masalah
bagaimana efektivitas antibiotika pada kuman rongga mulut.
1.2. Tujuan Penelitian
Untuk mengukur zona hambatan pada kultur kuman rongga mulut dan
membandingkan berbagai macam antibiotika pada kuman rongga mulut.
3
1.4. Tata Kerja
Tata Kerja
1. Alat dan Bahan
1. Kultur kuman rongga mulut
2. Antibiotika:
a. Amoksisilin
b. Amoksisilin + Asam Klavulanat
c. Eritromisin
d. Klindamisin
3. Blood agar
4. Cawan Petri
5. Burner
6. Mikropippet
7. Jangka sorong
Gambar 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum
4
1.4.2. Cara Kerja
1. Kuman yang diambil dari penderita di klinik FKG UA, kemudian dikultur
dalam blood agar dan diinkubasi selama 24 jam.
2. Media Kuman pada cawan petri dibagi menjadi 5 zona, yaitu 4 zona untuk
antibiotik dan 1 zona untuk kelompok kontrol.
3. Antibiotik Amoxyclav, Amoxycilin, Eritromisin, dan Klindamisin berupa
bentuk cair ditaruh dalam tabung yang terpisah, kemudian diambil larutan
antibiotik tersebut dengan menggunakan mikropipet.
4. Larutan diteteskan pada paperdish.
5. Masing-masing zona diberi paperdish yang telah ditetesi antibiotik
6. Setelah diinkubasi selama 24 jam, kemudian ukur zona hambatan yang ada
dengan menggunakan jangka sorong.
Gambar a) Mengambil paperdish, b) Paperdish diletakkan pada zona yang
dikehendaki, c) Mengambil antibiotik
a b c
d e f
5
Gambar d) Menyedot antibiotik, e) Memasukkan mikropipet sampai ke
dasar tabung antibiotik, f) Meneteskan antibiotik pada paperdish.
Gambar g) Media kuman pada cawan petri siap diinkubasi, h) Setelah
diinkubasi selama 24 jam.
gh
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Antibiotik
Antibiotika adalah zat-zat kimia oleh yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri,
yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman,
sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini, yang
dibuat secara semi-sintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula senyawa
sintesis dengan khasiat antibakteri. Namun dalam prakteknya antibiotika sintetik
tidak diturunkan dari produk mikroba (misalnya kuinolon).Antibiotika yang akan
digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia, harus
mememiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, antibiotika tersebut
haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk
manusia. Setiap antibiotik sangat beragan efektivitasnya dalam melawan berbagai
jenis bakteri. Kemampuan antibiotika dalam penyembuhan juga bergantung pada
lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut (Tjay &
Rahardja, 2007).
Antibiotik adalah zat biokimia yang diproduksi oleh mikroorganisme, yang
dalam jumlah kecik dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh
pertumbuhan mikroorganisme lain. Antibiotika adalah obat yang sangat ampuh
dan sangat bermanfaat jika digunakan secara benar. Namun, jika digunakan tidak
semestinya antibiotika justru akan mendatangkan berbagai mudharat. Yang harus
selalu diingat, antibiotika hanya ampuh dan efektif membunuh bakteri tetapi tidak
dapat membunuh virus. Karena itu, penyakit yang dapat diobati dengan
antibiotika adalah penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
(Harmita dan Radji, 2008).
2.1.1. Amoksisilin
Amoksisilin merupakan antibiotik golongan penisilin dengan spectrum
luas. Amoksisilin bersifat bakterisidal. Obat ini mengganggu sintesis dinding sel
bakteri, sehingga menyebabkan sel menjadi lisis. Amoksisilin aktif melawan
bakteri Gram positif yang tidak menghasilkan β-laktamase, juga lebih mudah
4
7
berdifusi ke dalam bakteri Gram negative sehingga aktif melawan banyak strain
Escherichia coli, Haemophilusinfluenzae, dan Salmonella. Amoksisilin
diinaktivasi oleh bakteri penghasil penisilinase. Organisme yang resisten terhadap
amoksisilin meliputi sebagian besar Staphylococcus aureus, 50% strain
Escherichia coli, dan sampai dengan 15% strain Haemophilusinfluenzae (Kee &
Hayes, 1994; Neal, 2005).
Amoksisilin diabsorpsi dengan baik melalui saluran gastrointestinal 80%
diabsorpsi per oral, sedangkan yang berikatan pada protein sebanyak 20%.
Makanan tidak mencegah absorpsi amoksisilin, sehingga masa kerja lebih
panjang. Umumnya amoksisilin jarang menimbulkan diare karena dapat
diabsorpsi dengan baik (Kee& Hayes, 1994; Udaykumar, 2007).
Setelah diabsorpsi, amoksisilin didistribusikan ke berbagai jaringan tubuh.
Biotransformasi terbagi atas 2 golongan, yaitu pada hospes dan pada mikroba.
Pada hospes, proses biotransformasi tidak bermakna dan belum diketahui
tempatnya yang pasti. Proses biotransformasi pada mikroba, terutama berdasarkan
enzim penisilinase dan amidase. Pengaruh dari penisilinase terhadap pemecahan
β-laktam mengakibatkan aktivitas antimikrobanya hilang. Amidase memecah
rantai samping mengakibatkan penurunan potensi antimikroba yang mencolok
(Trevor et al, 2002).
Amoksisilin menurunkan ekskresi methotrexate yang merupakan obat
sitotoksik, sehingga meningkatkan toksisitas obat tersebut dan dapat
menyebabkan kematian. Terapi antibiotic juga dapat menurunkan efektivitas
kontrasepsi oral dan metode kontrasepsilainnya. Aktivitas amoksisilin diturunkan
dengan tetrasiklin. Amoksisilin kadang meningkatkan waktu protrombin ketika
diberikan kepada pasien yang sedang mengonsumsi warfarin. Probenecid
meningkatkan waktu paruh amoksisilin secara signifikan. Nifedipine
meningkatkan absorpsi amoksisilin namun umumnya tidak digunakan dalam
kepentingan klinis. Amiloride menurunkan absorpsi amoksisilin namun tidak
begitu signifikan. Terdapat peningkatan timbulnya ruam selama perawatan
amoksisilin bersama allopurinol (Meechan& Seymour, 2002).
Agen antiinfeksi yang paling umum digunakan dalam bidang kedokteran
gigi adalah amoksisilin. Amoksisilin dinilai aman untuk digunakan selama
8
kehamilan, namun dapat muncul pada ASI sehingga perlu perhatian terhadap
gejala diare, candidiasis, dan reaksi alergi pada bayi (Haveles, 2011). Amoksisilin
juga menjadi pilihan pertama untuk profilaksis infeksi lokal dan pada pasien
dengan infeksi endocarditis pascaoperatif (Tripathi, 2011).
2.1.2. Kombinasi Amoksisilin dan Asam Klavulanat
Amoksisilin adalah salah satu contoh antibiotik golongan betalaktam.
Asam klavulanat adalah golongan antibiotik penghambat betalaktamase. Ada jenis
bakteri yang sudah resisten terhadap antibiotik golongan penisilin (betalaktam),
hal itu disebabkan antara lain karena bakteri memproduksi enzim betalaktamase
sehingga dapat menghancurkan antibiotik golongan betalaktam ini. Contoh
bakteri tersebut antara lain adalah S. aureus, H. influenza, gonokokus dan
berbagai bakteri batang gram negatif.
Penghambat betalaktamase saja belum bisa membunuh bakteri sehingga
tidak bisa digunakan sebagai obat tunggal untuk menanggulangi penyakit. Tapi
kalau dikombinasikan dengan antibiotika betalaktam, maka penghambat ini bisa
mengikat betalaktamase sehingga antibiotika pasangannya bebas dari pengrusakan
enzim tersebut dan dapat mencapai tujuan dan menghancurkan dinding sel bakteri.
Jadi dalam formulasinya posisi yang bagian dalam adalah amoksisilin dan bagian
luar adalah asam klavulanat.
Asam klavulanat yang diproduksi dari hasil fermentasi Streptomyces
clavuligerus memiliki kemampuan untuk menghambat sisi aktif enzim beta-
laktamase sehingga menyebabkan enzim tersebut menjadi inaktif. Beberapa jenis
antibiotik beta-laktam (contohnya nafcillin) juga memiliki sifat resisten terhadap
beta-laktamase karena memiliki rantai samping dengan letak tertentu.
Amoksisilin dan kalium klavulanat bersifat bakterisida. Asam klavulanat
tidak mengubah mekanisme kerja amoksisilin. Pemberian kombinasi amoksisilin
dan asam klavulanat menghasilkan efek bakterisid sinergis yang memperluas
spektrum kerja amoksisilin terhadap beberapa strain bakteri penghasil β-laktamase
yang resisten terhadap amoksisilin sendiri.
9
2.1.3. Klindamisin
Klindamisin merupakan antibiotika linkosamide yang mengandung
antiplasmodium yang dapat diberikan pada anak. Obat ini pada malaria bersifat
skizontosida darah untuk Plasmodium falciparum yang resisten terhadap
klorokuin, mempunyai waktu paruh yang cepat, aman dan toleransi yang baik
sebagai antimalaria. Selain itu, klindamisin juga mempunyai efek bakteriostatik
dan digunakan sebagai terapi bakteri gram positif (Betrand, 2002).
Absorpsi klindamisin 90% diserap baik dengan pemberian oral dan
adanya makanan tidak mempengaruhi absorpsi tersebut. Klindamisin fosfat dan
palmitat dihidrolisis dengan cepat menjadi bentuk bebas dengan konsentrasi
puncak plasma 45 menit. Waktu paruh klindamisin adalah dua jam namun dapat
lebih lama pada neonatus dan dengan adanya gangguan fungsi ginjal. Klindamisin
didistribusi dengan baik ke jaringan dan tulang, kecuali ke cairan serebrospinal.
Hanya sekitar 10% klindamisin dieksresikan dalam bentuk asal melalui urin,
sejumlah kecil melalui feses. Diare dilaporkan terjadi pada 2% sampai 20%
penderita yang mendapat obat ini. Pada sebagian kasus dapat terjadi kolitis yang
dapat berakibat fatal (Betrand, 2002).
Klindamisin bekerja dengan cara menghambat tahap awal sintesis protein
yang kaya akan histidin di mitokondria pada Plasmodium falciparum dan
menghambat pembentukan merozoit di eritrosit. Invitro, klindamisin dan ketiga
metabolitnya memiliki efek inhibisi yang kuat terhadap P.falciparum. Dosis
klindamisin 7 mg/kgbb/dosis. Klindamisin hanya digunakan secara terbatas
karena efek sampingnya yang serius. Efek samping klindamisin antara lain kulit
kemerahan, mual, muntah, iritasi gastrointestinal, stomatitis dan efek samping
yang paling serius dan dapat berakibat fatal yaitu kolitis pseudomembranosa yang
disebabkan pertumbuhan berlebihan Clostridium difficile yang mengelaborasi
toksin nekrotik. Kolitis sangat umum terjadi pada usia setengah baya dan pada
wanita usia lanjut, terutama sesudah operasi. Meskipun timbulnya kolitis yang
berkaitan dengan penggunaan antibiotika dapat terjadi pada penggunaan sebagian
besar antibiotika, namun kondisi ini lebih sering terjadi pada penggunaan
klindamisin. Reaksi lain yang jarang terjadi ialah sindrom stevens-johnson,
peningkatan SGPT dan SGOT sementara, granulisitopenia, trombositopenia dan
10
reaksi anfilaksis. Tromboflebitis dapat terjadi karena pemberian intravena
(Betrand, 2002).
2.1.4. Eritromisin
Eritromisin merupakan salah satu antibiotika pilihan utama yang penting,
terutama bagi pasien yang sensitif serta resisten terhadap turunan penisilin.
Eritromisin dapat diproduksi melalui fermentasi dengan menggunakan bakteri
Streptomyces sp. Saat ini, produksi skala industri memanfaatkan bakteri jenis
Saccharopolyspora erythraea. Proses produksi antibiotik biasanya menggunakan
sistem kultur pertumbuhan biakan/sel bakteri (Rahman. 2011).
Eritromisin merupakan antibiotik yang aktif secara oral, yang ditemukan
oleh McGuire pada tahun 1952 dalam produk metabolisme Streptomyces
erythraeus. Spesies mikroba penghasil eritromisin lainnya adalah Streptomyces
griseoplanus dan Arthobacter sp. Dari ketiganya yang merupakan penghasil
utama eritromisin adalah Streptomyces erythraeus. Nama dari mikroba telah
mengalami retaksonomi menjadi Saccharopolyspora erythraea (Rahman. 2011).
Antibiotik eritromisin memiliki aktivitas sebagai bakteriostatik maupun
bakterisida tergantung dari jenis mikroba patogen dan konsentrasi obat.
Mekanisme aksi eritromisin adalah dengan cara menghambat sintesis protein
bakteri dengan jalan berikatan secara reversible dengan ribosom subunit 50 S.
Antibiotik ini memiliki spektrum cukup luas terhadap bakteri gram positif
(Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes dan Streptococcus pneumoniae)
dan gram negatif (Haemophilus influenzae, Pasteurella multocida, Brucella dan
Rickettsia) maupun mikoplasma (Chlamydia) namun tidak memiliki aktivitas
terhadap virus, ragi ataupun jamur. Penggunaan eritromisin terbukti aman dalam
pemakaiannya (Katzung et al ., 2014).
Eritromisin diuraikan oleh asam lambung, maka harus diberikan dalam
sediaan enteric coated (dengan selaput tahan-asam) atau sebagai garam atau
esternya (stearat dan etilsuksinat). Merk dagang eritromisin yang umum dijumpai
antara lain: Erythromycin/Eritromisin (obat generik), Corsatrocin, Dothrocyn,
Duramycin, Erycoat Forte, Eryderm, Erysanbe, Erythrin, Erythrocin, Jeracin,
Narlecin, Opithrocin, Pharothrocin (Sutedjo, 2008).
11
Kegunaan antibiotik eritromisin menurut antara lain: (Purwanto, 2002)
1. Eritromisin merupakan pilihan pertama pada khususnya infeksi
paru- paru dengan Lagionella pneumophila.
2. Infeksi saluran pernapasan bagian atas ringan sampai sedang yang
disebabkan Streptococcus pyogenes, Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae.
3. Infeksi saluran pernapasan bagian bawah ringan sampai agak berat
yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes dan Streptococcus
pneumonia
4. Infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh Mycoplasma
pneumonia
5. Pertusis yang disebabkan oleh Bordetella pertussis
6. Infeksi kulit dan jaringan lunak ringan sampai agak berat yang
disebabkan oleh Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus
7. Mengatasi radang panggul akut yang disebabkan oleh Neisseria
gonorrhoeae pada penderita yang alergi terhadap penisilin dan
derivatnya.
8. Pencegahan terhadap endocarditis bacterial pada penderita yang alergi
terhadap penisilin dengan riwayat rematik dan kelainan jantung
bawaan.
9. Karena sifatnya yang aktif terhadap kuman anaerob dalam usus,
eritomisin bersama neomisin digunakan untuk profilaksis bedah usus.
Eritromisin basa dihancurkan oleh asam lambung dan harus diberikan
bersama salut enterik. Makanan dapat mengganggu penyerapan.bentuk stearat
dan ester cukup resisten terhadap asam dan sedikit lebih baik diserapnya. Garam
lauril dari ester propionil eritromisin merupakan sediaan oral yang paling baik
penyerapannya. Namun, hanya bentuk basa yang secara mikrobiologis aktif, dan
konsentrasinya cenderung serupa apa pun formulasinya. Eritromisin tidak
memerlukan penyesuaian dosis untuk gagal ginjal. Eritromisin tidak dikeluarkan
dengan dialisis. Sejumlah besar obat yang diberikan diekskresikan dalam empedu
dan keluar melalui tinja, dan hanya 5% yang diekskresikan di urin. Obat yang
12
terserap didistribusikan secara luas, kecuali ke otak dan cairan serebrospinal.
Eritromisin diserap oleh leukosit polimorfonukleus dan makrofag. Obat ini
menembus plasenta dan mencapai janin (Katzung et al., 2014).
Efek samping dari obat ini adalah mual, muntah, dan sering terjadi diare.
Intoleransi saluran cerna, yang disebabkan oleh rangsangan langsung pada
motilitas lambung, adalah penyebab tersering dihentikannya eritromisin dan
diberikannya antibiotik lain. Eritromisin, terutama bentuk estolat, dapat
menyebabkan hepatitis kolestatik akut (demam, ikterus, gangguan fungsi hati),
yang merupakan suatu reaksi hipersensitivitas. Sebagian besar pasien pulih dari
reaksi ini, tetapi hepatitis kambuh jika obat diberi kembali. Reaksi alergik lain
mencakup demam, eosinofilia, dan ruam. Metabolit eritromisin menghambat
enzim-enzim sitokrom P450 dan karenanya, meningkatkan kosentrasi banyak obat
dalam serum, termasuk teofilin, warfarin, dan metilprednisolon. Eritromisin
meningkatkan konsentrasi serum digoksin oral dengan meningkatkan
ketersediaan-hayatinya (Katzung et al., 2014).
13
BAB 3
HASIL PRAKTIKUM DAN ANALISA
3.1. Hasil Praktikum
Hasil Praktikum:
Setelah kuman dikultur dalam blood agar dan diinkubasi selama 24 jam,
didapatkan hasil sebagai berikut:
Gambar x.a: Hasil dari kelompok D1
14
Gambar x.b: Hasil dari kelompok D2
Dapat dilihat dari gambar diatas bahwa hasil dari dua kelompok praktikum
D pada hari Senin. Hasil yang digunakan adalah hasil dari kelompok D1. Hasil
dari kelompok D2 tidak dapat diukur zona hambatannya.
Pada setiap zona tersebut terdapat paper dish yang diberi antibiotika yang
berbeda, pada bagian tengah cawan petri adalah paper dish untuk kelompok
kontrol. Dapat dilihat hasil praktikum yang telah diukur pada tabel berikut:
Antibiotik Diameter Terpendek(mm)
dari Zona Hambatan (mm)
Diameter Terpanjang(mm)
dari Zona Hambatan (mm)
Rata-rata Diameter dari Zona Hambatan
(mm)Zona A Amoksisilin +
Asam Klavulanat
12.25 14.30 12.28
Zona B Amoksisilin 11.00 12.50 11.75
Zona C Eritromisin 23.65 25.35 24.5
Zona D Klindamisin 28.25 33.20 30.28
Tabel x: Hasil Praktikum Kelompok D1
3.2. Analisa Hasil Praktikum
Pada hasil praktikum “efektivitas antibiotika pada kuman rongga mulut”,
didapatkan bahwa Zona D yang diberi Antibiotika Klindamisin memiliki luas
zona hambatan yang terbesar. Zona C yang diberi Antibiotika Eritromisin
menempati peringkat kedua yang terbesar. Zona A yang diberi Amoksisilin dan
Asam Klavulanat, walau berbeda jauh dengan Zona C dan D, menempati
peringkat ketiga yang terbesar. Zona B yang diberi Antibiotika Amoksilin
menempati peringkat terakhir dengan zona hambatan yang terkecil.
15
BAB IV
PEMBAHASAN
Tujuan dari proses uji sensisitivitas ini adalah untuk mengetahui obat-obat
yang paling cocok (paling poten) untuk kuman penyebab penyakit terutama pada
kasus-kasus penyakit yang kronis dan untuk mengetahui adanya resistensi
terhadap berbagai macam antibiotik. Penyebab kuman resisten terhadap antibiotik
yakni memang kuman tersebut resisten terhadap antibiotik yang diberikan, akibat
pemberian dosis dibawah dosis pengobatan dan akibat penghentian obat sebelum
kuman tersebut betul-betul terbunuh oleh antibiotik.
Zona hambat merupakan tempat dimana bakteri terhambat
pertumbuhannya akibat antibakteri atau antimikroba. Zona hambat adalah daerah
untuk menghambat pertumbuhan mikroorrganisme pada media agar oleh
antibiotik.
Amoksisilin adalah antibiotik dengan spektrum luas. Amoksisilin aktif
melawan bakteri gram positif yang tidak menghasilkan β-laktamase dan aktif
melawan bakteri gram negatif karena obat tersebut dapat menembus pori–pori
dalam membran fosfolipid luar. Efektifitas amoksisilin pada praktikum kali ini
tidak sesuai dengan teori. Pada hasil praktikum tidak terdapat gambaran adanya
zona hambat pada media. Seharusnya amoksisilin memiliki zona hambat yang
besar dalam uji sensitivas sebab amoksisilin tergolong antibotik yang berspektrum
luas. Hasil ini tidak sesuai dengan teori dimungkinkan akibat dari kesalahan
operator ketika pemberian antibiotic pada paper disc dosisnya kurang atau bakteri
sudah resisten terhadap pemberian antibiotic amoksisilin.
Pengkombinasian antara amoksilin dengan asam klavulanat adalah untuk
meningkatkan potensi dari antibiotik agar dapat membunuh bakteri serta memiliki
sifat resisten terhadap enzim beta laktamase. Asam klavulanat memiliki
kemampuan dalam menghambat sisi aktif beta laktamase sehingga enzim tersebut
menjadi inaktif. Dari hasil praktikum pengkombinasian amoksilin dengan asam
klavulanat memiliki diameter zona hambatan paling besar yaitu pada media
pertama 16.15 mm dan 20.7 mm, ini berarti bahwa pengkombinasian amoksilin
13
16
dengan asam klavulanat merupakan antibiotic yang poten dengan urutan kedua
setelah eritromisin.
Eritromisin termasuk golongan makrolida. Eritromisin bekerja dengan cara
menekan sintesis protein bakteri. Waktu untuk mencapai puncak adalah 4 jam dan
lama kerjanya adalah 6 jam. Adapun mekanisme kerja eritromisin adalah dengan
menghambat sintesis protein yang tergantung RNA. Spektrum aktivitas utama
eritromisin melawan organisme-organisme gram positif meskipun beberapa jenis
bakteri gram negatif mungkin rentan juga. Eritromisin efektif terhadap kuman
gram-positif seperti S. aureus (baik yang menghasilkan penisillinase maupun
tidak), Streptococcus group A, Enterococcus, C. diphtheriae dan Pneumococcus.
Obat ini juga efektif terhadap kuman gram-negatif seperti Neisseria, H.
influenzae, B. pertusis, Brucella juga terhadap Riketsia, Treponema dan M.
pneumoniae. Obat ini terutama bersifat bakteriostatik tetapi dapat bersifat
bakteriosid tergantung dari jenis bakteri dan kadarnya dalam darah. Obat ini
merupakan basa lemah dan secara bermakna lebih aktif pada pH alkali daripada
pada pH netral atau asam. Pada praktikum kali ini didapatkan hasil zona hambatan
pada pemberian eritromisin terhadap kultur campur bakteri rongga mulut yaitu
sebesar 19,4 mm dan 24 mm dengan tepian jelas. Hasil ini menunjukkan urutan
pertama obat yang poten terhadap bakteri.
Mekanisme kerja klindamisin sama dengan eritromisin. Eritromisin lebih
efektif terhadap organisme-organisme gram positif terutama Pneumococcus,
Streptococcus dan Corine bacteria dalam konsentrasi plasma sebesar 0.02 mg/ml.
Sedangkan klindamisin aktif terhadap S. areus, S. pyogene, S. viridans dan kuman
anaerob lainnya. Pada praktikum kali ini dilakukan pengamatan terhadap
efektifitas dari klindamisin terhadap kuman di rongga mulut. Klindamisin
memiliki zona hambat yang lebih kecil dari eritromisin yaitu sebesar 15.5 mm dan
19 mm dengan tepian sedikit difus. Hasil dari praktikum menunjukkan zona
hambatan yang lebih kecil dari eritromisin, ini berarti klindamisin memiliki efek
bakteriostatik yang lebih rendah dari eritromisin. Namun, efek bakteriostatik dari
klindamisin tidak sebesar amoksisilin dan kombinasi amoksisilin dengan asam
klavulanat.
17
BAB V
KESIMPULAN
15
18
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Dirjen Pengawasan obat dan makanan. Jakarta. Hal: 199 –234.
Haveles EB. 2011. Applied Pharmacology for The Dental Hygienist. 6th edition. Missouri: Mosby Elsevier. p. 305.
Jawetz, Melnick, Adelberg’s. 2005. Medical Microbiology. USA: McGraw-Hill. p. 227–276.
Kee JL, Hayes ER. 1994.Farmakologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 328-330.
Meechan JG, Seymour RA. 2002. Drug Dictionary for Dentistry. Oxford: Oxford University Press. p. 22.
Neal MJ. 2005. At A Glance FarmakologiMedis. Edisi 5. Jakarta: Erlangga. Hal. 83.
Pratiwi ST, 2008. Mikrobiologi farmasi. Jakarta: Erlangga. Hal. 150 –171
Trevor AJ, Katzung BG, Masters SB. 2008. Katzung& Trevor’s Pharmacology: Examination & Board Review. New York: McGraw Hill Medical.
Tripathi KD. 2011. Essentials of Pharmacology for Dentistry. 2nd edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd. p. 397.
Udaykumar P. 2007.Textbook of Pharmacology for Dental and Allied Health Sciences.2nd edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd. p. 271.
Richard S, Lynn SM, Avery CG. 2007. Antimicrobial susceptibility testing protocols. CRC Press
Betrand L, Kremsner PG. Clindamycin as an antimalarial drug: Review of clinical trials. J Antimicrob Chemother. 2002; 46:2315-20
Katzung et al. 2014. Farmakologi Dasar dan Klinik. Buku Kedokteran. Jakarta: EGC.
Rahman et al. 2011. Uji Stabilitas Fisik dan Daya Antibakteri Suspensi Eritromisin dengan Suspending Agent Gummi Arabici. Pharmacon. Vol. 12. No. 2. Hal. 44-49. URL : http://publikasiilmiah.ums.ac.id/ Diakses pada tanggal 7 Oktober 2014
Sutedjo AY. 2008. Mengenal Obat-Obatan Secara Mudah dan Aplikasinya dalam Perawatan. Amara Books. Yogyakarta.
19
Harmita, Maksum R. 2008. Analisis Hayat: Kepekaan terhadap antibiotik. Ed 3. Jakarta: EGC
Tjay TH, Rahardja K. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta: PT Gramedia