ekonometrikblog.files.wordpress.com...ii Disertasi ini dipertahankan di hadapan Dewan Penguji pada...
Transcript of ekonometrikblog.files.wordpress.com...ii Disertasi ini dipertahankan di hadapan Dewan Penguji pada...
1
RINGKASAN DISERTASI
FAKTOR-FAKTOR PENENTU PERTUMBUHAN EKONOMI
DAERAH TAHUN 2008-2018 PENDEKATAN PANEL DATA
(STUDI KASUS 20 PROVINSI DI INDONESIA)
OLEH :
AGUS TRI BASUKI
NIM : T401408015
PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI
MINAT EKONOMI PEMBANGUNAN
PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2020
ii
Disertasi ini dipertahankan di hadapan Dewan Penguji pada Ujian Terbuka Promosi
Doktor Universitas Sebelas Maret guna memenuhi sebagian persyaratan dalam
memperoleh gelar Doktor Ilmu Ekonomi dan Bisnis di Bidang Ilmu Ekonomi
Dewan Penguji
1 Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M. S. Ketua
2 Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D Sekretaris
3 Prof. Drs. Djoko Suhardjanto, M.Com (Hons). PhD.,Ak. Anggota
4 Prof. Dr. Rahmawati, M.Si., Ak. Anggota
5 Prof. Dr. Yunastiti Purwaningsih, MP Anggota
6 Dr. A.M. Soesilo, M.Sc. Anggota
7 Dr. Mulyanro, ME. Anggota
8 Dr. Suryanto, SE., M.Si. Anggota
9 Tri Mulyaningsih, SE., M.Si., P.hD. Anggota
10 Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec. Anggota
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala
karunia dan ridho-NYA, sehingga disertasi dengan judul “FAKTOR PENENTU
PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH TAHUN 2008-2018 DENGAN
PENDEKATAN PANEL (STUDI KASUS 20 PROVINSI DI INDONESIA) ” ini dapat
diselesaikan. Disertasi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
Doktor (Dr) dalam bidang keahlian Ekonomi Pembangunan pada Program Doktor Ilmu
Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Yunastiti Purwaningsih, MP. atas bimbingan, arahan dan waktu
yang telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama menjadi promotor. 2. Bapak Dr. AM. Soesilo, M.Sc atas bimbingan, arahan dan waktu yang telah
diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama menjadi ko-promotor.
3. Bapak Dr. Mulyanto, M.E atas bimbingan, arahan dan waktu yang telah
diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama menjadi ko-promotor. 4. Bapak Prof. Drs. Djoko Suhardjanto, M.Com(Hons), Ph.D.Ak. selaku Dekan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta yang selalu
memberikan motivasi kepada mahasiswa S3 untuk segera menyelesaikan disertasinya.
5. Ibu Prof. Dr. Rahmawati, Ak. selaku ketua Program Doktor Ilmu Ekonomi FEB
UNS dan juga sebagai dosen penguji, atas masukan yang telah diberkannya sehingga disertasi menjadi lebih sempurna.
6. Bapak Prof. Dr. Edy Suandi Hamid selaku penguji eksternal dan telah banyak
memberi masukan dalam menyelesaikan disertasi ini.
7. Ibu Tri Mulyaningsih. SE., M.Si., Ph.D selaku dosen penguji dan telah banyak membantu proses perbaikan disertasi ini.
8. Bapak Dr. Suryanto. SE., M.Si. selaku dosen penguji dan telah banyak membantu
proses perbaikan disertasi ini. 9. Seluruh Dosen Program Doktor Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
10. Bapak Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberi kesempatan dan memfasilitasi
penyelesaian disertasi ini.
11. Bapak Dr. Nano Prawoto, SE, M.Si. selaku Wakil Rektor Bidang Sumberdaya
Manusia Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah banyak meluangkan waktu dan motivasi untuk membantu disertasi ini.
12. Bapak Rizal Yaya, SE., M.Sc. Ph.d., AK selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis yang selalu memberikan dorongan dan motivasi dalam menyelesaikan disertasi ini.
13. Bapak Dr. Imamudin Yuliadi, SE, M.Si. selaku Kepala Program Studi Ilmu
Ekonomi FEB UMY yang telah banyak meluangkan waktu untuk membantu
disertasi ini. 14. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan FEB UMY yang telah banyak memberikan
motivasi baik secara langsung maupun tidak langsung untuk membantu disertasi
ini. 15. Almarhum Ayahanda Sujatmin dan Almarhumah Ibunda Surtilah, serta Bapak
mertua Bapak H. Ngadi dan Ibu Hj. Basyariah atas segala dukungan dan doanya.
16. Istri saya tercinta Sri Pujiati, SE., atas segala motivasi, perhatian dan doa nya serta kesabaran menunggu di rumah selama beberapa waktu. Dan Ananda
iv
tercinta Apt. Riandita Gusnanda, S.Fam., dan Refai Putra, Pandu Perdana Putra dan Gusdinda Ramadhanti Putri yang selalu memberi semangat untuk dapat
menyelesaikan S3.
17. Kakak-kakak dan adik-adikku yang saya cintai dan saya banggakan.
18. Rekan rekan mahasiswa PDIE angkatan 8 yang selalu memotivasi untuk segera menyelesaikan S3.
Dengan keterbatasan pengalaman, ilmu maupun pustaka yang ditinjau, penulis
menyadari bahwa disertasi ini masih banyak kekurangan dan pengembangan lanjut agar benar benar bermanfaat. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
agar disertasi ini lebih sempurna serta sebagai masukan bagi penulis untuk penelitian dan
penulisan karya ilmiah di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis berharap disertasi ini memberikan manfaat bagi kita semua
terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan bidang ekonomi regional dan ekonomi
pembangunan.
Surakarta, 15 September 2020
Agus Tri Basuki
v
DAFTAR ISI
Halaman Sampul
Lembar Pengesahan Pernyataan Orisinalitas Disertasi
Abstrak
Ringkasan Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………..……… 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………..…………… 12 C. Tujuan Penelitian ………………………………………………….……… 13
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………………… 14
BAB II TELAAH PUSTAKA, PENGEMBANGAN HIPOTESIS DAN KERANGKA
KONSEPTUAL PENELITIAN
A. Kajian Pustaka ……………………………………………………….. 15
1. Otonomi Daerah ………………………………………………….. 15
2. Desentralisasi Fiskal ……………………………………………… 16 3. Pengeluran Negara ………………………………………………... 18
4. Teori Pertumbuhan Pendekatan Klasik …………………………... 20
5. Teori Pertumbuhan Pendekatan Keynes …………………………. 21 6. Teori Pertumbuhan Pendekatan Neo Keynes …………..………… 21
7. Teori Pertumbuhan Pendekatan Neo Klasik ……………………… 22
8. Teori Pertumbuhan Pendekatan Sosial Budaya …………………… 23
9. Teori Pertumbuhan Pendekatan Strukturalisme …………………… 24 10. Teori Tahapan Linear WW Rostow …………………………….. 25
B. Teori Mengenai Tata Hubungan Variabel Yang Diteliti ……………
1. Pengaruh Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi …… 26 a. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah untuk Pendidikan terhadap
Pertumbuhan Ekonomi…………………….………………..
26
b. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah untuk Kesehatan terhadap Pertumbuhan Ekonomi …………………………………………
27
c. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah untuk Pertanian terhadap
Pertumbuhan Ekonomi …………………………………………
28
d. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah untuk Perikanan dan Kelautan terhadap Pertumbuhan Ekonomi ……………………
29
2. Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Pertumbuhan Ekonomi ... 30
3. Pengaruh Penduduk terhadap Pertumbuhan Ekonomi …………… 31 4. Pengaruh Penduduk Miskin terhadap Pertumbuhan Ekonomi …… 33
5. Pengaruh Investasi Asing terhadap Pertumbuhan Ekonomi 34
6. Pengaruh Opini BPK terhadap Pertumbuhan Ekonomi ………….. 35
7. Pengaruh Status Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi ……… 36 C. Penurunan Hipotesis ……………………………………..……… 37
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu ……………………………………………..…… 42 B. Tipe Penelitian ……………………………………………………..… 42
C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ……………………… 42
D. Teknis Analisis Data ………………………………………………… 45 1. Model Regresi Data Panel ……………………………………… 45
vi
2. Metode Estimasi Model Regresi Panel ………………………… 46 a. Model Regresi Panel Statis …………………………………… 47
b. Metode Estimasi Model Regresi Panel Dinamis (Panel VECM) 50
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Data Panel Statis …………………………………………………….… 57 B. Regresi Panel Dinamis …….. ………………………….……………… 67
1. Impul Response Function (IRF) ……………..…………………… 76
2. Variance Decomposition. ……………….…………………………. 79 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN, KETERBATASAN DAN
REKOMENDASI
A. Kesimpulan ……………………………………………………….…. 80 B. Implikasi Kebijakan ………………………………………………….. 81
C. Keterbatasan dan Saran ……………………………………………… 82
Daftar Pustaka
Lampiran
vii
FAKTOR-FAKTOR PENENTU PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
TAHUN 2008-2018 PENDEKATAN PANEL DATA
(STUDI KASUS 20 PROVINSI DI INDONESIA)
Abstrak
Masalah perbedaan pertumbuhan ekonomi antar daerah yang dihadapi Indonesia sangat berbeda
dalam suatu daerah dengan daerah lainnya. Wilayah Indonesia bagian timur lebih tertinggal dibandingkan dengan wilayah Indonesia tengah maupun dengan wilayah Indonesia barat. Terjadinya fenomena
ketimpangan hasil pembangunan tersebut dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti perbedaan belanja
pembangunan, besarnya dana perimbangan, jumlah penduduk, besarnya investasi yang ada di daerah dan sumber daya alam yang dimilikinya. Penelitian ini bertujuan untuk menguji dampak belanja pemerintah
daerah, variabel makro ekonomi, opini Badan Pemeriksa Keuangan dan status daerah kaya minyak terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah pendekatan panel statis
dan panel dinamis (panel VECM). Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data dari tahun 2008 hingga 2018 di 20 provinsi yang memiliki data lengkap dari 34 provinsi di Indonesia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang (panel VECM) belanja pendidikan,
belanja pertanian, Dana Alokasi Umum, jumlah penduduk, dan investasi asing terbukti memiliki pengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, sedangkan belanja kesehatan, belanja perikanan dan
kelauatan, dan jumlah penduduk miskin memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil
penelitian dengan panel statis belanja pendidikan, pertanian, perikanan dan kelautan dan investasi asing
langsung memiliki pengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, sedangan Dana Alolasi Umum memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Variabel dummy untuk opini Badan Pemeriksa
Keuangan, dan status daerah terbukti memiliki pengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Temuan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan belanja daerah (belanja pendidikan, kesehatan, pertanian dan kelautan) yang selama ini dilakukan pemerintah daerah walaupun memiliki pengaruh dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi (panel statis) tetapi belum efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan belanja daerah yang telah terjadi pada setiap tahun belum cukup mampu mendongkrak pertumbuhan perekonomian daerah. Besaran belanja daerah merupakan salah satu pekerjaan rumah yang
harus diprioritaskan oleh pemerintah daerah sebab banyak harapan yang terdapat di dalam belanja daerah
tersebut untuk menyelesaikan beragam permasalahan. Penggunaan alokasi belanja daerah untuk pendidikan
dan kesehatan dan dana perimbangan (DAU) oleh pemerintah daerah seharusnya sesuai dengan harapan masyarakat. Setiap daerah harus menggunakan anggaran sesuai dengan Mandatory spending, yaitu alokasi
belanja atau pengeluaran daerah harus sesuai dan memenuhi persyaratan undang-undang yang ditentukan.
Pemerintah memastikan bahwa anggaran negara dialokasikan lebih maksimum untuk mengatasi ketimpangan dalam memperoleh kesempatan pada sektor pendidikan dan kesehatan melalui peningkatan
pelayanan infrastruktur publik.
Kata Kunci : desentralisasi, panel statis, panel dinamik, pertumbuhan ekonomi, kebijakan fiscal
viii
FACTORS AFFECTING REGIONAL ECONOMIC GROWTH
THE PANEL DATA APPROACH, 2008-2018
(CASE STUDY 20 PROVINCES IN INDONESIA)
Abstract
The problem of differences in economic growth between regions facing Indonesia is very different from one region to another. Eastern Indonesia is lagging behind the central and western regions of Indonesia.
The phenomenon of inequality in development results can be caused by many factors such as differences in
development spending, the size of the balance fund, the population, the amount of investment in the region
and the natural resources it owns. This study aims to examine the effect of local government spending, macroeconomic variables, BPK opinions, and the status of oil-rich regions on regional economic growth.
The method used in this analysis is the static panel and dynamic panel (VECM panel) approach. The data
used in this study uses data from 2008 to 2018 in 20 provinces which have complete data from 34 provinces in Indonesia.
The results of this study indicate that in the long term (VECM panel) education spending,
agricultural spending, General Allocation Funds, total population, and foreign investment are proven to have a positive effect on regional economic growth, while health spending, fisheries and fishing spending, and the
number of poor people has a negative influence on economic growth. The results of research with a static
panel spending on education, agriculture, fisheries and marine and foreign direct investment have a positive
effect on regional economic growth, while the General Allocation Fund has a negative effect on economic growth. Dummy variables for the Supreme Audit Agency's opinion and regional status are proven to have a
positive effect on regional economic growth. These findings indicate that regional spending policies
(spending on education, health, agriculture and maritime affairs) that have been carried out by regional governments although they have had an influence in driving economic growth (static panel) have not been
effective in promoting economic growth.
The increase in regional spending that occurs every year is not sufficient to stimulate regional
economic growth. The amount of regional expenditure is one of the homeworks that must be prioritized by the regional government because there are many hopes contained in regional spending to solve various
problems. The use of regional expenditure allocations for education and health as well as balancing funds
(DAU) by local governments must be in accordance with community expectations. Each region is obliged to use the budget in accordance with its mandatory expenditure, namely the allocation of expenditure or
regional expenditure must be in accordance with and in accordance with the provisions of laws and
regulations. The government ensures that the APBN is allocated more optimally to overcome inequalities in obtaining opportunities in the education and health sectors by improving public infrastructure services.
Keywords: decentralization, static panel, dynamic panel, economic growth, fiscal policy
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi sebelum tahun 1970-an hanya diukur dari tingkat pertumbuhan
Produk Domestik Bruto (PDB), baik secara keseluruhan maupun secara perkapita (Meier & Rauch,
1995). Pengalaman negara-negara ketiga tahun 1960-an, banyak negara dunia ketiga berhasil
mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun gagal memperbaiki taraf hidup sebagian besar penduduknya. Indikator ekonomi tidak hanya pertumbuhan ekonomi, tetapi harus dilihat dari faktor-
faktor lain dalam mengukur pembangunan ekonomi melalui langkah-langkah seperti Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang terlihat pada PDB perkapita, indeks kebahagiaan, tetapi juga statistik seperti standar keaksaraan dan perawatan kesehatan. Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi
para ekonom menggunakan data Produk Domestik Bruto (PDB), yang mengukur pendapatan total
setiap orang dalam perekonomian. PDB mengukur output barang dan jasa total suatu negara dan
pendapatan totalnya (Mankiw, 2003). Untuk menghargai pentingnya PDB, negara hanya perlu melihat sekilas data internasional, dan dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih miskin. Negara
dengan tingkat PDB perkapita yang tinggi memiliki kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan
dengan negara yang yang memiliki PDB perkapita yang lebih rendah. PDB yang besar tidak menjamin kebahagiaan seluruh penduduk suatu negara, tetapi mungkin merupakan resep kebahagiaan
terbaik yang ditawarkan oleh para ahli makroekonomi. Tabel 1.1 menunjukkan Produk Domestik
Bruto dan pertumbuhan ekonomi tahun 2010 hingga tahun 2018. PDB Indonesia tahun 2018 adalah satu setengah kali lebih besar dari tahun 2010 atau PDB tahun 2018 meningkat 150 persen dari PDB
tahun 2010. PDB perkapita tahun 2018 mengalami peningkatan kesejahteraan 1,36 kali dibandingkan
PDB perkapita tahun 2010.
Tabel 1.1. Produk Domestik Bruto dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Tahun 2010 – 2018
Tahun PDB
(Milyar Rupiah)
Pertumbuhan
ekonomi Penduduk PDB/kapita
2010 6.864.133,1 237.641.326 28.884.425
2011 7.287.635,3 6,17 240.873.248 30.255.063
2012 7.727.083,4 6,03 244.149.124 31.649.032
2013 8.156.497,8 5,56 247.469.552 32.959.601
2014 8.564.866,6 5,01 250.835.138 34.145.402
2015 8.982.517,1 4,88 254.246.496 35.329.954
2016 9.434.613,4 5,03 257.704.248 36.610.236
2017 9.912.928,1 5,07 261.209.026 37.950.174
2018 10.425.397,3 5,17 264.761.469 39.376.565
Sumber : Biro Pusat Statistik (berbagai terbitan)
Pengamatan Adolf Wagner terhadap negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang pada
abad 19 menunjukkan aktivitas pemerintah dalam perekonomian cenderung semakin meningkat. Wagner mengukur perbandingan pengeluaran pemerintah terhadap PDB dengan mengemukakan suatu
teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap
PDB. Peningkatan pengeluaran pemerintah bersifat relatif atau absolut oleh Musgrave (1959) dinyatakan sebagai “Adolf Wagner Failed to Specify”. Relatif yang berarti dinyatakan dengan
persentase dari PDB dan atau dibandingkan dengan sektor swasta (Soetrisno, 1981). Di Indonesia,
APBN sebagai instrumen utama kebijakan fiskal memainkan peranan penting mendorong pencapaian
target-target pembangunan yang telah ditetapkan. Peranan tersebut sejalan dengan salah satu fungsi APBN sebagai alat menjaga stabilitas dan akselerasi kinerja ekonomi. Untuk itu, kebijakan fiskal
1
2
senantiasa diarahkan untuk tercapainya pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja,
pengurangan kemiskinan, namun dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Tabel 1.2.
Pengaruh antara Pengeluaran Pemerintah dengan PDB ADHK 2010
(Milyar Rupiah)
Tahun
Belanja
Pemerintah
(BP)
Perubahan
(%) PDB
Perubahan
(%)
Rasio Belanja
Pemerintah
terhadap
PDB (%)
Elatisitas1
1 2 3 4 5 6 7
2011 1.294.999 - 7.287.635 17,77 -
2012 1.491.410 15,17 7.741.655 6,23 19,26 0,41
2013 1.650.564 10,67 8.189.122 5,78 20,16 0,54
2014 1.777.183 7,67 8.600.216 5,02 20,66 0,65
2015 1.984.100 11,64 9.012.167 4,79 22,02 0,41
2016 2.095.700 5,62 9.433.034 4,67 22,22 0,83
2017 2.276.479 8,63 9.911.289 5,07 22,97 0,59
2018 2.497.297 9,70 10.423.703 5,17 23,96 0,53
Sumber : BPS 2012, 2014, 2017 (data diolah) 1 Elastisitas dihitung dengan formula perbandingan persentase perubahan PDB dibagi dengan persentase perubahan belanja pemerintah.
Pengaruh antara belanja pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan dengan
angka elastisitas (Tabel 1.2.). Angka elastisitas menunjukkan seberapa besar pengaruh perubahan pengeluaran pemerintah akan berpengaruh terhadap perubahan Pendapatan Domestik Bruto (Mangkoesoebroto, 2001). Menurut Wagner meningkatnya pengeluaran pemerintah disebabkan
karena meningkatnya fungsi pembangunan, artinya semakin besar pengeluaran pemerintah dapat mendorong laju pembangunan ekonomi suatu negara. Berdasarkan perhitungan angka elastisitas tahun
2012 hingga 2018 dapat diduga peningkatan belanja pemerintah dapat meningkatkan Produk
Domestik Bruto tetapi setelah tahun 2016 tambahan peningkatan semakin menurun, dan apabila pemerintah tidak memperbaiki program-program pembangunan berdampak pada peningkatan
tambahan pengeluaran pemerintah menyebabkan rendahnya pertumbuhan Produk Domestik Bruto
(Hemming, et al. 2002).
Desentralisasi dan otonomi daerah pada hakikatnya bertujuan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Teori tentang desentralisasi yang
utama adalah bahwa desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi pemerintah dalam mengalokasikan
sumber daya yang dimilikinya. Menurut Hayek (1945) dan Musgrave (1959) kebijakan dalam mengalokasikan pengeluaran pemerintah untuk pelayanan publik akan lebih efisien bila diambil oleh
pemerintah daerah yang dekat dengan masyarakat dan memiliki kontrol geografis paling minimal
karena disebabkan oleh beberapa faktor (Azwar, dkk. 1999), yaitu: Pertama, pemerintah lokal lebih
mengetahui kebutuhan masyarakatnya. Kedua, keputusan pemerintah lokal lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam
penggunaan dana yang berasal dari masyarakat. Ketiga, persaingan antar daerah dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal dalam meningkatkan inovasinya dalam rangka meningkatkan pelayanan publik.
Implementasi desentralisasi dan otonomi daerah terkait erat dengan bagaimana masing-masing
daerah dapat mengelola perekonomian daerah menjadi lebih makmur dan mandiri. Pengertian mandiri disini adalah daerah tidak tergantung pada pusat, sehingga daerah dapat melaksanakan kebijakan-
kebijakan yang didasarkan pada keunggulan komparatif masing-masing daerah. Prinsip ini
mengandung arti bahwa perekonomian daerah dilaksanakan atas prinsip efisiensi dan economics of
3
scale. Hubungan interdependensi antar daerah menjadi semakin erat, karena akan terjadi saling
ketergantungan antar daerah. Masing-masing daerah akan memproduksi barang dan jasa sesuai
potensi ekonomi dan keunggulan komparatif yang dimiliki masing-masing daerah. Kemandirian ekonomi daerah juga harus dilihat dari aspek kemampuan dan keleluasaan daerah dalam melakukan
proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan implementasi desentralisasi yang berkaitan dengan
UU No 23 Tahun 2014.
Tabel 1.3. menunjukkan hubungan antara anggaran pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan, pertanian dan kelautan dengan pertumbuhan ekonomi. Hubungan antara pengeluaran
anggaran pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan, pertanian dan kelautan dengan
pertumbuhan ekonomi dinyatakan dengan elastisitas. Elastisitas adalah perbandingan perubahan proporsional dari anggaran pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan, pertanian dan kelautan
dengan perubahan PDRB. Dengan kata lain, elastisitas mengukur seberapa besar besar kepekaan atau
reaksi anggaran pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan, pertanian dan kelautan terhadap
perubahan PDRB. Nilai elastisitas anggaran pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan, pertanian dan
kelautan dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai oleh Daerah Khusus Ibukota Jakarta (3,6),
Nusa Tenggara Timur (1,21), Bali (0,43), Kalimantan Utara (0,28) dan Jambi (0,21). Nilai elastisitas anggaran pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan, pertanian dan kelautan dengan
pertumbuhan ekonomi terendah dicapai oleh Kalimantas Selatan (-0,18), Papua Barat (-0,16), Nusa
Tenggara Barat (-0,03), Jawa Barat (0,02) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (0,03). Nilai elastisitas tahun 2016-2018 rata-rata nasional 0,16, menurun dibandingkan dengan tahun 2013-2016 (0,18).
Hasil ini menunjukan bahwa anggaran pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan,
pertanian dan kelautan memiliki peran mendorong pertumbuhan ekonomi di sebagian besar provinsi
yang ada di Indonesia, sedangkan 3 provinsi memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu: Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Kalimantan Selatan, dan Provinsi Papua
Barat.
4
Tabel 1.3.
Anggaran Pemerintah Daerah dan PDRB di 34 Provinsi di Indonesia Tahun 2010-2018 (2010=100)
No Provinsi
Anggaran Pendidikan, Kesehatan,
Pertanian dan Kelautan
(Milyar Rupiah)
PDRB
(Milyar Rupiah) Elastisitas
2010 2013 2016 2018 2010 2013 2016 2018 2010 -
2013
2013 -
2016
2016 -
2018 Keterangan
1 Aceh 2.068 2.578 4.412 6.724 101.545 111.756 116.374 126.824 0,41 0,06 0,17 Menurun
2 Sumatera Utara 617 820 2.273 6.200 331.085 398.727 463.775 512.766 0,62 0,09 0,06 Menurun
3 Sumatera Barat 498 699 1.950 3.092 105.018 125.941 148.134 164.034 0,49 0,10 0,18 Menurun
4 Riau 1.010 1.367 2.885 4.069 388.578 436.188 458.769 482.158 0,35 0,05 0,12 Menurun
5 Jambi 440 620 1.577 2.285 90.618 111.766 130.501 142.968 0,57 0,11 0,21 Menurun
6 Sumatera Selatan 1.092 667 1.462 2.416 194.013 232.175 266.857 298.570 -0,51 0,13 0,18 Meningkat
7 Bengkulu 286 479 613 1.247 28.353 34.326 40.077 44.171 0,31 0,60 0,10 Menurun
8 Lampung 485 832 1.500 3.429 150.561 180.620 209.794 232.208 0,28 0,20 0,08 Menurun
9 Kep. Bangka Bel. 169 231 384 1.103 35.562 42.191 47.848 52.215 0,51 0,20 0,05 Menurun
10 Kepulauan Riau 362 667 994 1.494 111.224 137.264 162.853 173.684 0,28 0,38 0,13 Menurun
11 DKI Jakarta 8.368 16.590 24.812 25.691 1.075.183 1.296.695 1.539.917 1.736.291 0,21 0,38 3,60 Meningkat
12 Jawa Barat 1.376 1.565 2.213 14.845 906.686 1.093.544 1.275.619 1.419.689 1,49 0,40 0,02 Menurun
13 Jawa Tengah 1.258 1.936 3.446 8.828 623.225 726.655 849.099 941.164 0,31 0,22 0,07 Menurun
14 DI Yogyakarta 250 457 390 1.945 64.679 75.627 87.686 98.024 0,20 -1,09 0,03 Menurun
15 Jawa Timur 1.812 3.322 6.303 15.105 990.649 1.192.790 1.405.564 1.563.769 0,24 0,20 0,08 Menurun
16 Banten 415 734 2.837 4.099 271.465 331.099 387.835 434.015 0,29 0,06 0,27 Menurun
17 Bali 340 1.029 1.897 2.436 93.749 114.104 137.296 154.110 0,11 0,24 0,43 Meningkat
18 Nusa Tengr Barat 253 402 1.116 2.549 70.123 69.767 94.524 90.391 -0,01 0,20 -0,03 Menurun
19 Nusa Tengr Timur 298 392 2.525 2.744 43.847 51.505 59.678 65.945 0,55 0,03 1,21 Meningkat
20 Kalimantan Barat 382 625 1.465 2.480 86.066 101.980 118.183 130.589 0,29 0,12 0,15 Menurun
21 Kalimantan Tengah 422 473 1.062 1.794 56.531 69.411 83.900 94.601 1,90 0,17 0,18 Menurun
22 Kalimantan Selatan 680 1.276 1.983 833 85.305 101.851 115.744 128.093 0,22 0,25 -0,18 Menurun
5
No Provinsi
Anggaran Pendidikan, Kesehatan,
Pertanian dan Kelautan
(Milyar Rupiah)
PDRB
(Milyar Rupiah) Elastisitas
2010 2013 2016 2018 2010 2013 2016 2018 2010 -
2013
2013 -
2016
2016 -
2018 Keterangan
23 Kalimantan Timur 1.185 2.060 2.264 2.986 418.212 438.533 439.004 464.823 0,07 0,01 0,18 Meningkat
24 Kalimantan Utara - - 595 882 - - 51.065 57.837 - - 0,28 -
25 Sulawesi Utara 202 345 1.013 1.724 51.721 62.423 74.765 84.259 0,29 0,10 0,18 Menurun
26 Sulawesi Tengah 246 541 837 1.976 51.752 68.219 91.015 103.593 0,26 0,61 0,10 Menurun
27 Sulawesi Selatan 387 710 2.787 5.236 171.741 217.589 269.401 309.202 0,32 0,08 0,17 Menurun
28 Sulawesi Tenggara 290 320 874 1.913 48.401 64.269 77.746 88.329 3,15 0,12 0,11 Menurun
29 Gorontalo 114 270 424 871 15.476 19.368 23.507 26.721 0,18 0,38 0,13 Menurun
30 Sulawesi Barat 113 201 221 685 17.184 22.227 27.525 31.111 0,38 2,43 0,06 Menurun
31 Maluku 278 354 867 1.808 18.429 22.101 26.284 29.467 0,74 0,13 0,11 Menurun
32 Maluku Utara 123 189 262 1.029 14.984 18.209 21.557 25.050 0,41 0,47 0,06 Menurun
33 Papua Barat 231 257 3.590 1.167 41.362 47.694 54.711 60.464 1,36 0,01 -0,16 Menurun
34 Papua 796 1.052 2.249 4.433 110.808 117.119 142.225 159.790 0,18 0,19 0,13 Menurun
Jumlah 26.842 44.057 84.081 140.115 6.864.133 8.133.731 9.498.833 10.526.928 0,29* 0,18* 0,16* Menurun
Sumber : Subdit Data Keuangan Daerah, Direktorat EPIKD tahun 2010-2018, BPS (data diolah).
Keterangan : * nilai elastisitas
Lanjutan Tabel 1.5.
6
Teori klasik yang membahas pertumbuhan ekonomi yang dipengaruhi oleh peran
pemerintah adalah Teori Klasik Keynes. Teori ini beranggapan bahwa campur tangan pemerintah
dalam ekonomi menentukan pembangunan ekonomi dapat berjalan maksimal. Implikasi pandangan Keynes adalah bahwa untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang stabil diperlukan
peranan pemerintah dalam pengelolaan perekonomian. Ekonom lain, Adolf Wagner, menyatakan
bahwa pengeluaran pemerintah dan kegiatan pemerintah semakin lama semakin meningkat.
Wagner mengukur perbandingan pengeluaran pemerintah terhadap produk nasional negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang pada abad ke-19 (Mangkoesoebroto, 2002). Hasilnya terbukti
menunjukkan bahwa aktivitas pemerintah dalam perekonomian mengalami kecenderungan yang
semakin meningkat. Kecenderungan ini oleh Wagner disebut dengan hukum selalu meningkatnya peranan pemerintah (law of ever increasing state activity).
Tabel 1.4. menunjukkan perbandingan elastisitas, indek pembangunan manusia dan
kontribusi penanaman modal asing di provinsi yang melimpah SDA dan provinsi kurang SDA
tahun 2010-2018. Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No 4618 K/80/MEM/2016 dan penghasil SDA Minyak Bumi di atas 5 juta perbarel, daerah yang memiliki SDA minyak bumi
diatas 5 juta perbarel adalah Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung,
Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua Barat. Rata-rata nilai elastisitas di provinsi yang memiliki
SDA minyak bumi di atas 5 juta perbarel sebesar 0,315, rata-rata nilai IPM sebesar 70,29, dan
kontribusi penanaman modal asing rata-rata sebesar 3,15 persen. Rata-rata nilai elastisitas di provinsi yang memiliki SDA minyak bumi kurang dari 5 juta perbarel sebesar 0,41, rata-rata nilai
IPM sebesar 70,46, dan kontribusi penanaman modal asing rata-rata sebesar 2,78 persen.
Hasil ini menunjukan provinsi kaya SDA akan menarik investor asing untuk menanamkan
modalnya, hal ini ditunjukkan dengan kontribusi rata-rata penanaman modal asing lebih besar di provinsi kaya SDA dibandingkan dengan provinsi kurang kaya SDA. Peningkatan penaman
modal asing akan meningkatkan output dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Perbandingan
nilai IPM di provinsi kaya SDA lebih rendah dibandingan provinsi kurang kaya SDA yaitu rerata IPM 70,29 lebih kecil dibandingkan IPM 70,46. Hal ini menunjukkan bahwa provinsi yang
memiliki SDA berlimpah cenderung memiliki kemampuan sumberdaya manusia yang lebih
rendah dibandingkan dengan daerah yang kurang SDA atau sering disebut paradox kelimpahan. Paradoks kelimpahan atau kutukan sumber daya (Brunnschweiler & Bulte, 2008) mengacu pada
kegagalan banyak negara atau daerah kaya sumber daya untuk mendapatkan manfaat penuh dari
kekayaan sumber daya alam, dan bagi pemerintah di negara atau daerah tersebut untuk merespon
secara efektif kebutuhan kesejahteraan publik melalui belanja publik. Negara atau daerah kaya sumber daya cenderung memiliki tingkat konflik dan otoritarianisme yang lebih tinggi, dan
tingkat stabilitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, dibandingkan dengan
negara tetangga yang tidak kaya sumber daya. Fenomena ini mirip dengan yang disebut dengan Dutch disease (Corden, 1984). Dutch
disease adalah fenomena di bidang perekonomian yang merujuk pada akibat yang biasanya
ditimbulkan oleh berlimpahnya sumber daya alam di suatu negara. Istilah ini dikemukakan pertama
kali pada tahun 1977, yang merujuk pada menurunnya pertumbuhan di sektor perindustrian secara drastis akibat ditemukannya sumber gas alam yang berlimpah di Belanda. Model ekonomi yang
menjelaskan mengenai fenomena ini kemudian dikembangkan oleh W. Max Corden and J. Peter
Neary pada tahun 1982. Sumber daya alam dan tingkat perekonomian suatu negara memiliki kaitan yang erat, di mana kekayaan sumber daya alam secara teoretis akan menunjang pertumbuhan
ekonomi yang pesat. Akan tetapi, pada kenyataannya hal tersebut justru sangat bertentangan
karena negara-negara di dunia yang kaya akan sumber daya alamnya sering kali merupakan negara dengan tingkat ekonomi yang rendah. Hal ini disebabkan negara yang cenderung memiliki sumber
pendapatan besar dari hasil bumi memiliki kestabilan ekonomi sosial yang lebih rendah daripada
negara-negara yang bergerak di sektor industri dan jasa. Di samping itu, negara yang kaya akan
sumber daya alam juga cenderung belum memiliki teknologi yang memadai dalam mengolahnya.
7
Tabel 1.4.
Elastisitas, IPM dan Kontribusi FDI di Provinsi Kaya SDA dan Provinsi Kurang SDA Tahun 2010-2018
No Provinsi
Elastisitas
IPM Kontribusi
FDI Provinsi
Elastisitas
IPM Kontribusi
FDI 2010-
2013
2013-
2016
2016-
2018
2010-
2013
2013-
2016
2016-
2018
1 Aceh 0,41 0,06 0,17 71,2 0,24 Sumatera Barat 0,49 0,10 0,18 71,7 0,62
2 Sumatera Utara 0,62 0,09 0,06 71,2 4,19 Bengkulu 0,31 0,60 0,10 70,6 3,68
3 Riau 0,35 0,05 0,12 72,4 3,52 Kep. Bangka Bel. 0,51 0,20 0,05 70,7 0,47
4 Jambi 0,57 0,11 0,21 70,7 2,84 DKI Jakarta 0,21 0,74 0,54 80,5 16,57
5 Sumatera Selatan -0,51 0,13 0,18 69,4 0,35 DI Yogyakarta 0,20 -1,09 0,03 79,5 8,10
6 Lampung 0,28 0,2 0,08 69 0,16 Banten 0,29 0,06 0,27 72 4,55
7 Kepulauan Riau 0,28 0,38 0,13 74,8 0,45 Bali 0,11 0,24 0,43 74,8 3,42
8 Jawa Barat 1,49 0,4 0,02 71,3 19,02
Nusa Tenggara
Barat -0,01 0,20 -0,03 67,3 0,86
9 Jawa Tengah 0,31 0,22 0,07 71,1 9,65 Nusa Teng Timur 0,55 0,03 1,21 64,4 0,34
10 Jawa Timur 0,24 0,2 0,08 70,8 0,28 Kalimantan Barat 0,29 0,12 0,15 67 1,68
11 Kalimantan Tengah 1,9 0,17 0,18 70,4 2,32 Kalimantan Selatan 0,22 0,25 -0,18 70,2 0,44
12 Kalimantan Utara 0,28 70,6 0,23 Kalimantan Timur 0,07 0,01 0,18 75,8 2,00
13 Sulawesi Tengah 0,26 0,61 0,1 68,9 0,14 Sulawesi Utara 0,29 0,10 0,18 72,2 1,01
14 Maluku 0,74 0,13 0,11 68,9 0,03 Sulawesi Selatan 0,32 0,08 0,17 70,9 2,29
15 Papua Barat 1,36 0,01 -0,16 63,7 3,86 Sulawesi Tenggara 3,15 0,12 0,11 70,6 2,11
16 Gorontalo 0,18 0,38 0,13 67,7 0,08
17 Sulawesi Barat 0,38 2,43 0,06 65,1 2,30
18 Maluku Utara 0,41 0,47 0,06 67,8 1,24
19 Papua 0,18 0,19 0,13 60,1 0,98
Rerata 0,29 0,18 0,16 70,29 3,15 Rerata 0,47 0,12 0,23 70,46 2,78
Sumber : Subdit Data Keuangan Daerah, Direktorat EPIKD tahun 2010-2018, BPS (data diolah).
8
Berdasarkan fenomena di atas maka perlu diidentifikasi faktor-faktor pendorong pertumbuhan
ekonomi di suatu daerah, yaitu salah satunya melalui peran kebijakan fiskal melalui belanja pemerintah.
Kebijakan fiskal yang lazim dilakukan pemerintahan daerah adalah penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun sesuai dengan
kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan APBD ini
berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dalam rangka mewujudkan pelayanan
kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara. APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi (Bastian, 2006).
Pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk mempengaruhi jalannya perekonomian suatu
wilayah (sarana prasarana pendidikan, kesehatan, transportasi dan lain-lainnya) akan mengakibatkan peningkatan aktivitas ekonomi dan mendorong (+) pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2000). Penelitian
tentang pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan oleh Amusa &
Oyinlola (2019) dengan judul “The effectiveness of government expenditure on economic growth in Botswana”. Penelitianya menguji hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi di
Botswana selama periode 1985-2016. Temuan empiris menunjukkan bahwa pengeluaran agregat
memiliki efek negatif dalam jangka pendek dan memiliki efek positif dalam jangka panjang terhadap
pertumbuhan ekonomi. Sedangkan penelitian Dudzevičiūtė, et al. (2018) dengan judul “Government expenditure and economic growth in the European Union countries”. Hasil penelitiannya memberikan
bukti baru tentang dampak pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara Uni
Eropa untuk periode 1994-2012. Ada hubungan positif (+) untuk beberapa negara UE (Portugal dan Inggris), sedangkan terjadi hubungan negatif (-) untuk negara-negara lain (Austria, Finlandia, Italia dan
Swedia) atau bahkan tidak signifikan (?) (Belgia, Prancis, Yunani, Irlandia, Irlandia, Luksemburg,
Belanda dan Spanyol). Penelitian mengenai pengaruh antara pengeluaran pemerintah untuk pendidikan terhadap
pertumbuhan ekonomi dilakukan Besarria, et al. (2018) dengan judul “Effects of income inequality on the
economic growth of Brazilian states”. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa ketidaksetaraan dalam
pendapatan dan tingkat pendidikan adalah penentu utama tingkat pertumbuhan yang berbeda di antara negara-negara Brasil. Peningkatan lama sekolah secara positif (+) mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, ketimpangan pendapatan berpengaruh negatif terhadap indikator ini. Penelitian lainnya yang
dilakukan Perović & Golem (2019) dengan judul “Government Expenditures Composition and Growth In Eu15: A Dynamic Heterogeneous Approach. Regional Science Inquiry”. Hasil penelitiaanya
menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran agregat yang tinggi merupakan penghambat (-) pertumbuhan
ekonomi di negara maju, sementara item pengeluaran pemerintah yang paling penting adalah pengeluaran
sektor pendidikan. Penelitian mengenai pengaruh antara pengeluaran pemerintah untuk kesehatan terhadap
pertumbuhan ekonomi dilakukan Naidu & Chand (2013) dengan judul “Does central government health
expenditure and medical technology advancement determine economic growth rates in the Pacific island countries?”. Penelitian ini menemukan bahwa pengeluaran kesehatan memiliki dampak signifikan pada
tingkat pertumbuhan ekonomi PICs. Studi ini juga menemukan bahwa tingkat kontemporer penggunaan
teknologi medis canggih di PICs relatif rendah dibandingkan dengan total populasi negara. Jika PIC perlu mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah PIC perlu meningkatkan pengeluarannya
di sektor kesehatan. Dokter yang baik dan berkualitas perlu dipekerjakan dan pendidikan kedokteran
harus dibuat lebih kompetitif. Peningkatan layanan kesehatan di PIC akan mengurangi angka kematian,
meningkatkan kesehatan per kapita dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi nasional wilayah Oseania. Penelitian Mohapatra (2017) dengan judul “Economic growth, public expenditure on health and IMR in
India”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa PDB untuk Granger menyebabkan pengeluaran publik
untuk kesehatan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, tetapi pengeluaran publik untuk kesehatan hanya menyebabkan PDB dalam jangka panjang, sedangkan dalam jangka pendek pengeluaran
publik untuk kesehatan (?) tidak mempengaruhi PDB.
9
Penelitian mengenai pengaruh antara pengeluaran pemerintah untuk pertanian terhadap
pertumbuhan ekonomi dilakukan Xu, et al. (2011) dengan judul “Impacts of agricultural public spending
on Chinese food economy: A general equilibrium approach”. Penelitian ini bertujuan mengembangkan model keseimbangan umum (DCGE) yang dapat dihitung secara dinamis untuk menganalisis dampak
ekonomi dari berbagai jenis pengeluaran publik di Tiongkok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengeluaran publik memiliki dampak signifikan pada produksi pangan, harga, dan perdagangan.
Meningkatnya pengeluaran publik untuk penelitian dan pengembangan pertanian, irigasi, dan subsidi pertanian juga berdampak kecil (+) pada sektor-sektor lain seperti industri, layanan, dan pertumbuhan
PDB. Penelitian Armas, dkk (2012) menyelidiki dampak belanja publik di sektor pertanian terhadap
pertumbuhan sektor pertanian di Indonesia. Hasil penelitiannya menyimpulkan belanja publik untuk pertanian dan irigasi selama periode 1976-2006 memiliki dampak positif (+) pada pertumbuhan
pertanian. Sementara belanja publik untuk subsidi pupuk memiliki efek negatif (-) terhadap pertumbuhan
ekonomi. Penelitian lain tentang pengaruh pengeluaran pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan Oyinbo, et al. (2013) dengan judul “Agricultural budgetary allocation and economic growth in
Nigeria: implications for agricultural transformation in Nigeria”. Penelitiannya menganalisis pengaruh
antara alokasi anggaran pertanian dan pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Hasil penelitiannya
menyimpulkan belanja pertanian tidak memiliki pengaruh (?) terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria dalam jangka panjang.
Penelitian mengenai pengaruh antara pengeluaran pemerintah untuk perikanan dan kelautan
terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan Huda, dkk (2015). Penelitian yang dilakukannya menganalisis peran subsektor perikanan dalam perekonomian daerah di Provinsi Jawa Timur. Hasil penelitiannya
menyimpulkan pembangunan perikanan secara on-farm berhubungan nyata dengan jumlah tenaga kerja
dan besarnya anggaran pembangunan bidang kelautan dan perikanan mempengaruhi (+) output perikanan dan kelautan sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Penilitian lain yang dilakukan Novianti,
dkk. (2014) menganalisis dampak pengeluaran Infrasruktur (pelabuhan) dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitiannya menyimpulkan peningkatan pengeluaran pemerintah bidang
kelautan (Infrastruktur kemaritiman) dapat meningkatkan (+) pertumbuhan ekonomi. Dalam literatur standar tentang desentralisasi dan federalisme fiskal, alokasi dana menjadi sangat
penting, dan secara implisit diasumsikan bahwa dana yang dialokasikan secara otomatis mencapai
penerima manfaat yang dituju (Bardhan, 2002). Asumsi ini perlu secara drastis memenuhi syarat di negara-negara berkembang, di mana perhatian harus diberikan pada insentif dan perangkat khusus untuk
memeriksa korupsi birokrasi, dan dengan demikian efektivitas yang berbeda dari mekanisme tersebut di
bawah sentralisasi dan desentralisasi menjadi penting. Kebijakan fiskal melalui dana perimbangan juga
menjadi penentu pertumbuhan ekonomi daerah. Dana perimbangan juga memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN, yang
dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014, dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (Bagian Daerah), Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana
yang harus dialokasikan oleh pemerintah pusat kepada setiap provinsi/kabupaten/kota yang ada di
Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD yang digunakan untuk dana
pembangunan, dan tidak boleh diprioritaskan untuk pengeluaran rutin.
Penelitian mengenai pengaruh antara Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap pertumbuhan ekonomi
dilakukan Purbadharmaja, er al. (2019) dengan judul “The implications of fiscal decentralization and budget governance on economic capacity and community welfare”. Hasil penelitiannya menyimpulkan
desentralisasi fiskal tidak selalu mengarah pada manajemen anggaran yang lebih baik. Keberhasilan
desentralisasi fiskal dapat ditemukan dalam kualitas anggaran daerah dan kualitas manajemen anggaran. Alokasi anggaran daerah untuk peningkatan layanan publik dan pengembangan infrastruktur akan
meningkatkan kapasitas ekonomi daerah. Peningkatan kapasitas ekonomi regional mendorong
peningkatan (+) kesejahteraan masyarakat. Penelitian lain yang dilakukan Thimmaiah (2000)
10
menganalisis peran desentralisasi dalam mendorong pertumbuhan PDB yang lebih tinggi dalam
lingkungan ekonomi yang diliberalisasi di India. Hasil penelitian menyimpulkan pengeluaran
desentralisasi belum memberikan kontribusi yang signifikan (?) untuk meningkatkan tingkat pendapatan di India.
Menurut Solow (Mankiw, 2003) model pertumbuhan menunjukkan bagaimana, tabungan,
pertumbuhan populasi, dan kemajuan mempengaruhi tingkat ouput perekonomian serta pertumbuhan
sepanjang waktu. Perkembangan penduduk menurut solow menjadi faktor yang mempengaruhi output perekonomian. Pertambahan penduduk menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi jika pertambahan
penduduk dari masa ke masa diikuti dengan peningkatan pendidikan sebelum menjadi tenaga kerja yang
trampil dan terdidik, sehingga penduduk menjadi tenaga kerja yang memiliki daya saing tinggi dan pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2000). Agar harapan tersebut
dapat terwujud, pemerintah daerah bersama masyarakat harus bersama-sama mengambil inisiatif
membangun daerah. Pemerintah daerah harus mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada di daerah untuk kemakmuran seluruh masyarakat dan mendorong perekonomian untuk maju dan
berkembang.
Penelitian yang dilakukan Joseph, et al. (2015) bertujuan menyelidiki potensi peningkatan
penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi di negara Nigeria. Hasil penelitian menyimpulkan pertumbuhan penduduk tidak memiliki dampak signifikan (?) terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria.
Penelitian lainnya mengenai pengaruh antara jumlah penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan
Rahman, et al. (2017) dengan judul The effects of population growth, environmental quality and trade openness on economic growth. Penelitiannya mengeksplorasi efek dari pertumbuhan populasi, kualitas
lingkungan dan keterbukaan perdagangan pada pertumbuhan ekonomi negara maju dan berkembang.
Hasil penelitiannya menyimpulkan pertumbuhan populasi memiliki efek positif (+) pada pertumbuhan ekonomi di tiga negara berkembang dan hubungan searah dari Pertumbuhan Populasi ke pertumbuhan
ekonomi.
Di lain pihak, penelitian Doran (2012) dengan judul “Analysis of the interdependence of
demographic factors, labour effort and economic growth in Ireland”. Penelitian ini menganalisis hubungan sebab akibat antara perubahan demografis di Irlandia dan upaya tenaga kerja dan pembangunan
ekonomi. Hasil penelitian menyimpulkan peningkatan rasio ketergantungan usia tua dapat mengurangi (-)
output ekonomi. Hasil ini memberikan wawasan tentang bagaimana perubahan demografi masyarakat Irlandia dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi masa depan. Penelitian lain yang dilakukan Banik
& Bhaumik (2006) menyoroti efek ganda dari perubahan demografis dan emigrasi kaum muda terhadap
pertumbuhan ekonomi di negara Karibia. Hasil penelitiannya menyimpulkan aspek negatif (-) lebih
penting daripada aspek positif karena meningkatnya rasio ketergantungan dan juga dapat mewakili migrasi keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan produksi. Sedangkan penelitian dilakukan
oleh Canning & Fink (2010) yang menyimpulkan populasi yang menua akan cenderung menurunkan
partisipasi angkatan kerja dan tingkat tabungan, sehingga meningkatkan kekhawatiran tentang perlambatan (-) pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Selain faktor diatas, faktor penduduk miskin juga memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi. Kemiskinan membuat kaum miskin tidak punya akses terhadap sumber daya, dan tidak punya peluang berinvestasi sehingga akan memperlambat (-) pertumbuhan ekonomi perkapita (Todaro, 2000).
Penelitian Škare & Družeta (2016) dengan judul “Poverty and economic growth: a review”. Pertumbuhan
itu sendiri mungkin tidak tahan lama dan berkelanjutan, karena itu penting untuk mendasarkan strategi
pengentasan kemiskinan pada pertumbuhan ekonomi yang cepat namun berkelanjutan. Tantangan terpenting bagi pembuat kebijakan adalah memastikan pra-kondisi kelembagaan dan menggabungkan
kebijakan pro-pertumbuhan dan pro-miskin yang akan memungkinkan kaum miskin untuk berpartisipasi
dalam peluang dan berkontribusi untuk pertumbuhan di masa depan. Penelitian ini mewakili kontribusi sederhana analisis saling ketergantungan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi, dan dapat berfungsi
sebagai dasar untuk penelitian masa depan. Penelitian lainnya, seperti Hassan, et al. (2015) yang meneliti
kekuatan pendorong utama yang mempengaruhi pola emisi karbon jangka pendek dan jangka panjang
11
karena perubahan dalam pertumbuhan, ketimpangan dan segitiga kemiskinan di Pakistan selama periode
1980-2011. Hasil penelitiannya menyimpulkan kemiskinan adalah faktor utama yang berkontribusi
terhadap degradasi lahan karena memaksa jutaan orang menghancurkan sumber daya yang ada di sekitar mereka hanya untuk bertahan hidup. Dalam jangka pendek ada pengaruh negatif (-) antara kemiskinan
dengan pertumbuhan ekonomi, sedangkan dalam jangka panjang tidak ada hubungan (?) antara
kemiskinan dengan pertumbuhan ekonomi.
Penanaman modal asing dianggap merupakan sesuatu yang dapat mengisi celah yang ada antara tabungan yang dihimpun dari dalam negeri, cadangan devisa, penerimaan pemerintah dan keahlian di satu
pihak dan jumlah yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran pembangunan di pihak lain (Todaro, 2000).
Penelitian mengenai pengaruh antara investasi asing terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan Anetor (2020) dengan judul “Financial development threshold, private capital inflows and economic growth”.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara arus masuk modal swasta, pengembangan
keuangan dan pertumbuhan ekonomi di 28 negara Afrika sub-Sahara (SSA) antara periode 1995 dan 2017. Hasil penelitiannya menyimpulkan investasi asing langsung memiliki dampak negatif (-) dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara SSA. Penelitian Hossain & Hossain (2012) dengan
judul “Empirical Relationship between Foreign Direct Investment and Economic Output in South Asian
Countries: A study on Bangladesh, Pakistan and India”. Hasil penelitiannya menyimpulkan tidak ada ko-integrasi (?) antara FDI dan PDB dalam jangka panjang dan pendek di Bangladesh dan India. Namun, ada
ko-integrasi (+) di antara keduanya dalam jangka pendek dan panjang di Pakistan. Sebaliknya, hasil
Granger Causality menunjukkan bahwa tidak ada hubungan kausalitas (?) antara GDP dan FDI untuk Bangladesh dan hubungan searah ditemukan untuk Pakistan dan India, yang berarti FDI menyebabkan (+)
output ekonomi di Pakistan.
International Monetary Fund dalam pertemuan Interim Committee (1996), mengidentifikasi perbaikan tata kelola yang baik dalam semua aspeknya, termasuk memastikan supremasi hukum,
meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas sektor publik, dan memberantas korupsi sebagai kunci efisiensi
dan pertumbuhan ekonomi (Basu, 2002). Menurut IMF salah satu poin dari pertemuan adalah
akuntabilitas sektor publik sebagai kunci efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan
dan mengungkapkan segala aktivitas kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi
amanah yang memiliki hak dan kewenangan untuk pertanggungjawaban tersebut (Mardiasmo, 2002). Pengawasan merupakan hal penting dalam upaya untuk menjamin suatu kegiatan terlaksana sesuai
dengan rencana yang ingin dicapai. Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen. Pengawasan
adalah suatu upaya yang sistematik untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang
sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan tersebut, serta untuk
mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya
telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan (Kadarman, 2001). Pengawasan merupakan rangkaian kegiatan pemantauan, pemeriksaan dan evaluasi terhadap pelaksanaan
kebijakan. Pengawasan dilakukan untuk menjamin semua kebijakan program dan kegiatan yang
dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku. Pengawasan dilakukan untuk mengetahui apakah perencanaan yang telah disusun dapat berjalan secara efisien, efektif dan ekonomis.
Teori stewardship berasumsi bahwa manusia pada hakikatnya bertindak dengan penuh
tanggungjawab, dapat dipercaya, berintegritas tinggi dan memiliki kejujuran. Manajemen melaksanakan
tindakan sebaik-baiknya untuk kebutuhan stakeholder yaitu: rakyat, pemegang saham, penanam modal, dan kreditur (Donaldson & Davis, 1991). Manajemen dalam suatu organisasi dicerminkan sebagai good
steward yang melaksanakan tugas dari atasannya secara penuh tanggungjawab. Hubungan teori
stewardship dengan penelitian ini yaitu prinsip bahwa pemerintah sebagai manajer merasa mempunyai tanggungjawab dalam pengelolaan keuangan dan pengalokaisan sumber daya yang ada dengan cara lebih
bijaksana dan berhati-hati untuk kepentingan masyarakat luas. Pemerintah wajib memberikan laporan
pertanggungwajaban dalam APBD kepada rakyat dalam bentuk LKPD yang telah diaudit oleh BPK.
12
Penelitian yang dilakukan Aikins (2011) yang berjudul “An examination of government internal
audits' role in improving financial performance” menyimpukan bahwa secara umum auditor pemerintah
daerah lebih banyak melakukan audit di wilayah operasional yang berhubungan dengan penerimaan dan pengeluaran fiskal. Selain itu, pekerjaan auditor secara signifikan mempengaruhi kinerja keuangan
pemerintah daerah baik secara langsung maupun tidak langsung melalui peningkatan pengendalian
internal dan efisiensi operasi. Peningkatan kinerja keuangan daerah akan berdampak (+) pada
pembangunan ekonomi. Penelitian lain yang dilakan oleh Din, et al. (2017) dengan judul “The follow up of auditing results, accountability of financial reporting and mediating effect of financial loss rate: an
empirical study in Indonesian local governments”. Hasil penelitiaanya menyimpulkan bahwa tindak lanjut
investigasi keuangan mengurangi tingkat kerugian keuangan sehingga meningkatkan akuntabilitas pelaporan keuangan pemerintah daerah dan meningkatkan (+) kinerja keuangan pemerintah daerah.
Sedangkan penelitian Muda, et al (2018) dengan judul “Factors of quality of financial report of
local government in Indonesia” menyimpulkan hasil penelitian menunjukkan pengaruh sistem informasi akuntansi terhadap kualitas laporan keuangan pemerintah daerah dan pengendalian intern tidak
berpengaruh (?) terhadap kualitas laporan keuangan. Penelitian lainnya Sutopo, dkk (2017) dengan judul
“E-government, audit opinion, and performance of local government administration in Indonesia”
menyimpulkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa e-government memiliki hubungan positif dengan kinerja penyelenggara pemerintahan daerah. Ini didukung oleh asosiasi positif antara dimensi e-
government dengan kinerja. Opini audit juga berhubungan positif dengan kinerja seperti yang diharapkan.
Hasil ini menunjukkan bahwa e-government dan opini audit dapat digunakan sebagai indikator kinerja penyelenggara pemerintahan daerah.
Model hubungan antar variabel (pertumbuhan ekonomi, belanja daerah, dana perimbangan dan
variable mkkro) baik persamaan tunggal maupun persamaan berganda, pada umumnya disusun berdasarkan suatu teori ekonomi yang melandasi adanya hubungan antar variabel yang digunakan dalam
sistem persamaan tersebut. Kenyataannya seringkali teori ekonomi tidak mampu memberikan penjelasan
mengenai kondisi dinamis yang terjadi antara variabel ekonomi yang ada dan munculnya fenomena
ekonomi baru. VECM yang dikenalkan Sims merupakan metode estimasi yang menjawab kondisi ketidakmampuan teori ekonomi dalam menjelaskan hubungan antar variabel ekonomi dengan sebuah
model nonstruktural atau model tidak teoritis (model ateoritis). Dengan sifatnya yang tidak bergantung
pada suatu teori ekonomi tertentu, maka dalam model VECM perlu ditentukan (Nachrowi, 2006): variabel yang saling berinteraksi (menyebabkan) yang perlu dimasukkan dalam sistem persamaan. Banyaknya
variabel jeda (lag) yang perlu diikutsertakan dalam model yang diharapkan dapat menangkap keterkaitan
antar variabel dalam sistem persamaan.
Berdasarkan fenomena dan beberapa penelitian terdahulu yang telah diuraikan diatas, maka menarik untuk menganalisis faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi di beberapa provinsi di
wilayah Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan peranan kebijakan fiskal: (1) belanja
pendidikan; (2) belanja kesehatan; (3) belanja pertanian; (4) belanja perikanan dan kelautan; (5) dana alokasi umum; variabel makro seperti: (6) jumlah penduduk; (7) penduduk miskin; (9) Investasi Asing
Langsung; dan (9) opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD); serta (10) status
daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia, sehingga dapat menciptakan efektivitas dan keselarasan dalam pembangunan ekonomi daerah, serta terciptanya good governance.
B. Rumusan Masalah Sejalan dengan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya dan beberapa penelitian
terdahulu, maka perumusan masalah tentang pengaruh pengeluaran publik, ekonomi makro dan opini
BPK (Kualitas Kelembagaan) terhadap pertumbuhan ekonomi tahun 2008-2018 di 20 provinsi di Indonesia adalah :
1. Apakah pengeluaran pemerintah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Pengeluaran
pemerintah yang dimaksud adalah :
13
a. Berdasarkan uraian latar belakang dan hasil penelitian yang dilakukan Besarria, et al. (2018) dan
Perović & Golem (2019) dapat dirumuskan: apakah pengeluaran pemerintah untuk pendidikan
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. b. Berdasarkan uraian latar belakang dan hasil penelitian Naidu & Chand (2013) dan Mohapatra
(2017) dapat dirumuskan: apakah pengeluaran pemerintah untuk kesehatan berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah.
c. Berdasarkan uraian latar belakang dan hasil penelitian Xu, et al. (2011) dan Armas, et al. (2012) dapat dirumuskan: apakah pengeluaran untuk pertanian berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi daerah.
d. Berdasarkan uraian latar belakang dan hasil penelitian Huda, dkk (2015) dan Novianti, dkk. (2014) dapat dirumuskan: apakah pengeluaran pemerintah untuk perikanan dan kelautan
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
2. Berdasarkan uraian latar belakang dan hasil penelitian Purbadharmaja, dkk. (2019) dan Thimmaiah, (2000) dapat dirumuskan: apakah Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi wilayah.
3. Berdasarkan uraian latar belakang dan hasil penelitian Rahman, at al. (2017) dan Doran, (2012)
dapat dirumuskan: apakah jumlah penduduk berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. 4. Berdasarkan uraian latar belakang dan hasil penelitian Škare & Družeta (2016) dan Hassan, at al.
(2015) dapat dirumuskan: apakah jumlah orang miskin berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah. 5. Berdasarkan uraian latar belakang dan hasil penelitian yang dilakukan Anetor (2020) dan Hossain &
Hossain (2012) dapat dirumuskan: apakah penanaman modal asing berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah. 6. Berdasarkan uraian latar belakang dan hasil penelian yang dilakukan Din, et al. (2017) dan Aikins
(2011), serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 pada Penjelasan Pasal 16 ayat (1) dapat
dirumuskan: apakah opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. 7. Berdasarkan uraian latar belakang dan Keputusan Menteri ESDM No 4618 K/80/MEM/2016 tentang
provinsi penghasil SDA Minyak Bumi di atas 5 juta perbarel dapat dirumuskan: apakah status daerah
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian tentang pengaruh komposisi belanja pemerintah, ekonomi makro dan opini
BPK terhadap pertumbuhan ekonomi daerah tahun 2008-2018 di 20 provinsi di Indonesia sebagai berikut:
1. Menganalisis pengaruh belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Belanja
pemerintah yang dimaksud : a. Menganalisis pengaruh belanja pemerintah untuk pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah.
b. Menganalisis pengaruh belanja pemerintah untuk kesehatan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
c. Menganalisis pengaruh belanja pemerintah untuk pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah.
d. Menganalisis pengaruh belanja pemerintah untuk perikanan dan kelautan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
2. Menganalisis pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
3. Menganalisis pengaruh jumlah penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. 4. Menganalisis pengaruh jumlah penduduk miskin terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
5. Menganalisis pengaruh penanaman modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
14
6. Menganalisis pengaruh Opini Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
7. Menganalisis pengaruh status daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan beberapa kegunaan atau manfaat sebagai berikut :
1. Secara umum memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang peran kebijakan fiskal (belanja pemerintah daerah), dana bagi hasil, jumlah penduduk dan penduduk miskin, serta investasi
asing dalam pembangunan ekonomi daerah. Melalui koefisien hasil regresi menunjukkan nilai
apakah kebijakan fiskal (belanja pemerintah) yang diberlakukan sudah efektif atau belum, sehingga dapat menjadi bahan diskusi untuk pengambilan keputusan bagi pemerintah daerah.
2. Secara teoritis menjadi bahan referensi untuk pengembangan keilmuan khususnya dalam bidang
ekonomi makro dan perencanaan pembangunan ekonomi daerah, dan dapat menjadi acuan/referensi bagi penelitian-penelitian sejenis dimasa yang akan datang.
3. Secara praktis menjadi masukan bagi pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pemerintah di
bidang kebijakan fiskal dan perencanaan pembangunan ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan
masalah pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan fiskal, jumlah penduduk, penduduk miskin, investasi dan opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dan status daerah dalam
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah.
15
BAB II
TELAAH PUSTAKA, PENGEMBANGAN HIPOTESIS DAN KERANGKA
KONSEPTUAL PENELITIAN
A. Kajian Pustaka
Pengkajian pustaka yang digunakan dibagi dalam dua kajian yaitu pendekatan teori dan
penelitian terdahulu. Pendekatan teori meliputi teori pertumbuhan pendekatan Klasik, pendekatan
Keynes, pendekatan Neo-Keynes, pendekatan Neo-Klasik, pendekatan Strukturalis, tahapan linear WW Rostow.
1. Otonomi Daerah
Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Tuntutan seperti itu wajar dan memiliki dua alasan. Pertama, intervensi
pemerintah pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya
kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan
demokrasi di daerah (Mardiasmo, 1999). Arahan dan statutory requirement yang terlalu besar dari pemerintah pusat tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati sehingga
pemerintah daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan, dan bukan sebagai
alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dikeluarkan untuk menggantikan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan. dan tuntutan pernyelenggaraan pemerintahan daerah. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah disempurnakan sebanyak dua
kali. Penyempurnaan yang pertama dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun perubahan kedua ialah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Serangkaian UU Nomor 23 Tahun 2014 beserta perubahan-perubahannya tersebut menyebutkan adanya perubahan susunan dan kewenangan pemerintahan daerah. Seusunan
pemerintahan daerah menurut UU ini meliputi pemerintahan daerah provinsi, pemerintahan daerah
kebupaten, dan DPRD. Pemerintahan daerah terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu oleh perangkat daerah. Pemerintahan daerah provinsi terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD
provinsi. Adapun pemerintah daerah kabupaten/kota terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota
dan DPRD kabupaten/kota.
Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (Mardiasmo, 2002), yaitu: meningkatkan kualitas dan
kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, dan memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat
untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Undang-Undang No 23 tahun 2014 akan berpengaruh terhadap pengelolaan keuangan daerah.
Hal ini berkaitan erat dengan konsep otonomi dan desentralisasi yang pada hakekatnya memberikan kekuasan, kewenangan dan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan menentukan
penggunaan dana untuk melaksanakan urusan-urusan daerahnya. Untuk membiayai pelaksanaan asas
desentralisasi maka pembiayaan kegiatan-kegiatan tersebut bersumber dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD). Sumber-sumber pokok keuangan daerah terdiri dari Pendapatan Asli
Daerah dan Dana Perimbangan akan berimplikasi pada struktur dan proporsi pengeluaran pada
APBN dan penerimaan pada APBD.
15
16
2. Desentralisasi Fiskal
Konsep desentralisasi yang diberlakukan di Indonesia telah memberikan implikasi yang
sangat mendasar terutama menyangkut kebijakan fiskal dan kebijakan administrasi negara. Desentralisasi didefinisikan sebagai transfer perencanaan, pengambilan keputusan dan atau
kewenangan administrasi dari pemerintah pusat kepada organisasi pusat di daerah, unit administrasi
lokal, organisasi semi otonomi dan perusahaan, pemerintah daerah atau organisasi non pemerintah
(Rondinelli & Cheema, 1983). Perbedaan konsep desentralisasi ditentukan terutama berdasarkan tingkat kewenangan untuk perencanaan, memutuskan dan mengelola kewenangan yang ditransfer
oleh pemerintah pusat dan besaran otonomi yang diterima untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut.
Sementara itu filosofi desentralisasi yang bermakna devolusi menurut pengertian Rondinelli, menguraikan substansi kewenangan, khususnya di Indonesia dengan rincian sebagai berikut:
a. Kewenangan absolut (distinctive); hanya dimiliki pusat yaitu pertahanan keamanan, agama,
moneter, peradilan dan politik luar negeri. b. Kewenangan bersama (concurrent) dikerjakan bersama antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupeten/kota. Kewenangan concurrent ada yang bersifat wajib (obligatory) dan ada yang
bersifat optional (core competence). Kewenangan wajib harus diikuti oleh Standar Pelayanan
Minimal. Menurut teori ekonomi publik, fungsi ekonomi pemerintah terdiri dari 3 fungsi yaitu
(Musgrave, 1984):
a. Fungsi Alokasi Melalui fungsi alokasi, maka APBN terutama sisi pengeluaran ditujukan untuk sektor-sektor
pembangunan. Misalnya untuk dekade sekarang, masalah pengangguran menjadi sangat penting
sehingga menjadi muatan normatif dalam UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Fungsi alokasi tidak hanya ditujukan untuk masalah pengangguran saja tetapi juga untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, maka porsi anggaran untuk pembangunan infrastruktur harus mendapatkan
prioritas utama. Hal ini sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Rostow dan Musgrave
dalam Mangkoesoebroto (2002) yang menyatakan bahwa pada tahap awal pembangunan ekonomi seharusnya belanja pemerintah menyediakan infrastruktur seperti pendidikan, kesehatan,
infrastruktur transportasi, dan sebagainya. Oleh karena itu, pada tahap ini persentase investasi
pemerintah sangat besar. Pada tahap intermediate pembangunan ekonomi yang ditandai dengan belanja pemerintah yang difokuskan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi agar dapat lepas
landas. Dengan demikian investasi pemerintah tetap diperlukan guna mendukung guna
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada tahap ini, investasi swasta telah tumbuh sehingga peran
dan kontribusi swasta dalam pembangunan relatif lebih besar dari pada tahap pertama.
b. Fungsi Distribusi
Melalui fungsi distribusi, komponen pengeluaran dalam anggaran mempunyai dimensi
pemerataan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, pengeluaran untuk membangun infrastruktur ekonomi seperti jalan, bendungan, dan lain-lain, akan memberikan manfaat kepada
semua pihak. Atau, pembukaan daerah terisolasi akan cenderung menguatkan terms of trade
kelompok masyarakat terpencil. Manfaat marjinal tindakan ini yang terbesar biasanya akan dinikmati oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah dibandingkan mereka
yang berpenghasilan tinggi, dimana yang terakhir ini sebelumnya telah memiliki akses (meskipun
terbatas). Peran distribusi APBN berkaitan juga derhadap usaha untuk memperbaiki kegagalan
mekanisme pasar (market failure) dalam mengangkat kelompok masyarakat yang berpendapatan bawah dan memperbaiki distribusi pendapatan. Fungsi ini berjalan secara paralel dengan aspek
penerimaan dimana dengan sistem pajak yang progresif akan memberikan beban pajak yang fair
sesuai dengan pendapatan yang diterima oleh masing-masing kelompok pendapatan dan kemudian disalurkan melalui pengeluaran pemerintah. Distribusi juga dilakukan untuk pembangunan daerah
tertinggal. Saat ini Indonesia menghadapi pembangunan yang tidak merata sehingga masih banyak
daerah yang tertinggal. Fungsi distribusi juga akan menunjukkan bahwa APBN merupakan produk
17
kebijakan pemerintah yang bersifat politis. Adanya pengeluaran untuk subsidi adalah salah satu
contohnya. Walaupun secara teori subsidi baik BBM maupun non BBM merupakan distorsi di dalam
perekonomian, namun pemerintah tetap menganggarkannya di dalam APBN. Hal ini diyakini tidak hanya sebagai upaya untuk melindungi kelompok masyarakat miskin dalam mempertahankan tingkat
konsumsinya namun juga untuk meredam terjadinya konflik sosial di tengah-tengah masyarakat.
Dalam prakteknya fungsi tersebut menjadi bagian dari penyusunan APBN. Fungsi ini juga menjadi
bagian dari politik anggaran. Menurut Wang, et al. (2018) dalam penelitian yang berjudul The impacts of transportation
infrastructure on sustainable development: emerging trends and challenges, menyimpulkan
Infrastruktur transportasi memiliki dampak yang sangat besar pada pembangunan berkelanjutan. Temuan studi ini memberikan pemahaman mendalam kepada para peneliti dan praktisi tentang
dampak infrastruktur transportasi terhadap pembangunan berkelanjutan melalui ekspresi visual.
Peneliti lainnya Ansar, et al (2016) dengan judul penelitiannya Does infrastructure investment lead to economic growth or economic fragility? Evidence from China mengungkap mitos kembar bahwa
infrastruktur menciptakan nilai ekonomi, dan China memiliki keunggulan tersendiri dalam
penyampaiannya. Jauh dari menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, investasi infrastruktur pada
umumnya gagal memberikan pengembalian positif yang disesuaikan dengan risiko. Selain itu, rekam jejak China dalam menyediakan infrastruktur tidak lebih baik dari rekam jejak negara demokrasi
yang kaya. Berinvestasi dalam proyek-proyek yang tidak produktif pada awalnya menghasilkan
ledakan, selama konstruksi sedang berlangsung, diikuti oleh kegagalan, ketika manfaat yang diperkirakan gagal terwujud dan itu menjadi penghambat ekonomi. Di mana investasi dibiayai oleh
utang, investasi berlebihan dalam proyek-proyek yang tidak produktif menghasilkan penumpukan
utang, ekspansi moneter, ketidakstabilan di pasar keuangan, dan kerapuhan ekonomi. Hasilnya investasi infrastruktur yang tidak dikelola dengan baik adalah penjelasan utama yang memunculkan
masalah ekonomi dan keuangan di China.
c. Fungsi Stabilisasi Melalui fungsi stabilisasi, APBN sebagai alat stabilisasi perekonomian agar berjalan dalam
kapasitasnya. Jika perekonomian dalam keadaan lesu maka peran pemerintah melakukan intervensi
dengan menambah pengeluaran, atau sebaliknya jika perekonomian terlalu panas atau pada saat permintaan aggregat domestik tumbuh di atas kemampuan sektor penawaran untuk tumbuh, maka
peran pemerintah melakukan kebijakan fiskal ketat. Dalam stabilisasi tersebut pada dasarnya dilihat
dari dua hal, yaitu alat pengendali inflasi dan penstabil pertumbuhan ekonomi. Kedua hal ini pada
dasarnya memiliki hubungan yang sangat erat. APBN juga dapat mengurangi dampak inflasioner dengan melakukan sterilisasi anggaran, yaitu meningkatkan simpanan pemerintah pada Bank
Indonesia atau mempercepat pembayaran beban utang luar negeri. Dengan demikian dalam
penetapan APBN, mengacu kepada UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004, Bank Indonesia memberikan pendapat dan
pertimbangan kepada Pemerintah mengenai RAPBN (Pasal 54 Ayat 2). Praktek tujuan APBN
terhadap stabilisasi ini, misalnya dilakukan oleh Kabinet Ampera yang dibentuk dalam bulan Juli 1966 dengan tujuan pokoknya adalah meningkatkan taraf hidup rakyat banyak terutama dalam
bidang sandang dan pangan, dimana dalam melaksanakan program stabilisasi ekonomi
(pengendalian inflasi) dan program rehabilitasi (pemulihan produksi) dipakai skala prioritas, yang
salah satunya adalah pengendalian inflasi. Penelitian yang dilakukan Mauro & Zilinsky (2015) dengan judul Fiscal Tightening and
Economic Growth: Exploring Cross-Country Correlations. Policy Brief, menyimpulkan
penghematan dibentuk oleh plot sebar sederhana yang dimaksudkan untuk menggambarkan dampak negatif yang besar dari penghematan fiskal pada pertumbuhan ekonomi. Hasilnya mengungkapkan
gambaran yang beragam, memberikan dukungan parsial pada gagasan bahwa pilihan fiskal dan
pertumbuhan output terkait secara empiris. Peneliti lain Attinasi & Klemm (2016) menganalisis
18
dampak kebijakan fiskal diskresioner terhadap pertumbuhan ekonomi untuk sampel 18 negara Uni
Eropa selama periode 1998-2011. Dengan menggunakan teknik data panel statis dan dinamis,
ditemukan bahwa konsolidasi fiskal dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, meskipun beberapa kategori anggaran tertentu tidak ditemukan signifikan secara statistik.
Secara umum, hasil tersebut juga menunjukkan bahwa penyesuaian berbasis pengeluaran cenderung
tidak terlalu berbahaya dibandingkan penyesuaian berbasis pendapatan. Di antara pemotongan
pengeluaran, pengurangan investasi dan konsumsi pemerintah terbukti mengurangi pertumbuhan. Penelitian Ali, et al. (2010) yang berjudul The effects of fiscal policy on economic growth:
empirical evidences based on time series data from Pakistan menyelidiki efektivitas kebijakan fiskal
dan dampaknya terhadap kegiatan ekonomi makro di Pakistan selama periode 1972–2008. Dengan menggunakan model Auto Regressive Distribute Lag (ARDL), hasil penelitiaanya menemukan
bahwa defisit fiskal secara keseluruhan memberikan efek negatif pada pertumbuhan ekonomi dalam
jangka panjang. Dengan demikian, kontraksi fiskal ekspansif terjadi di Pakistan. Untuk memperkirakan dinamika jangka pendek, menggunakan Mekanisme Koreksi Kesalahan (ECM).
Dalam jangka pendek, defisit fiskal secara keseluruhan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Studi tersebut merekomendasikan bahwa defisit anggaran harus berada di kisaran sempit 3
hingga 4 persen dari PDB. Di luar batas ini, defisit anggaran yang tidak berkelanjutan dapat menimbulkan biaya makroekonomi yang tidak diinginkan dan tujuan makroekonomi pemerintah
seperti inflasi rendah dan pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai.
Konsep desentralisasi fiskal dengan demikian seperti dirumuskan oleh De Mello (2000) adalah dimaksudkan untuk memindahkan atau menyerahkan sumber-sumber pendapatan dan faktor-
faktor pengeluaran ke daerah dengan mengurangi birokrasi pemerintahan. Dengan membawa
pemerintah lebih dekat ke masyarakat, desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong efisiensi sektor publik, juga akuntabilitas publik dan transparansi dalam dalam penyediaan jasa publik serta
pembuatan keputusan yang transparan dan demokratis. Berbagai kajian dampak desentralisasi
terhadap perekonomian dan public services delivery dapat dijelaskan dalam kerangka teori fiscal
federalism. Teori ini dibagi dalam dua perspektif, yaitu teori tradisional atau teori generasi pertama (First Generation Theories) dan teori perspektif baru atau teori generasi kedua (Second Generation
Theories).
3. Pengeluaran Negara
Menurut Chandler dan Plano (1988) kebijakan publik adalah pemanfaatan secara strategis
terhadap segala sumber daya untuk menyelesaikan masalah dimasyarakat dan atau pemerintah dan
dapat diklasifikasikan sebagai intervensi pemerintah. Sedangkan Carl Frederich (1977) kebijakan publik merupakan serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang atau kelompok, atau pemerintah
dalam suatu lingkungan tertentu dengan ancaman dan peluang yang ada. Kebijakan publik dapat kita
simpulkan sebagai tindakan untuk mencapai tujuan bernegara yang merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu, ruang lingkup kebijakan publik diantaranya adalah bagaimana pemerintah
mengelola segala aspek yang berkaitan dengan mobilisasi sumber daya keuangannya dan bagaimana
melakukan pengelolaan pemanfaatan melalui kebijakan belanja negara. Kebijakan belanja negara yang merupakan bagian kebijakan publik, secara umum dapat kita klasifikasikan menjadi 3 jenis.
Yaitu :
a. Kebijakan Umum Ekstratif, adalah kebijakan penyerapan sumber daya yang ada dimasyarakat.
Seperti; pemungutan pajak dan tarif, iuran dan retribusi dari masyarakat, dan pengolahan sumber alam yang terkadung dalam wilayah negara.
b. Kebijakan Umum Distributif adalah pelaksanaan kebijakan distribusi dan alokasi berbagai
sumber daya kepada masyrakat. Distribusi dalam kebijakan ini berarti membagikan secara relatif merata kepada semua anggota masyarakat, sedangkan alokasi berarti yang mendapat cenderung
kelompok atau sektor masyarakat tertentu sesuai dengan skala prioritas yang ditetapkan atau
sesuai dengan situasi yang dihadapi pada suatu kurun waktu
19
c. Kebijakan Umum Regulatif, merupakan pengaturan perilaku anggota masyarakat. Kebijakan
umum yang bersifat regulatif adalah peraturan dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh warga
masyarakat dan para penyelenggara pemerintahan negara. Peningkatan Pengeluaran Pemerintah dari waktu ke waktu akan selalu mengalami peningkatan,
hal ini diakibatkan karena terjadi perubahan atau gejolak ekonomi, sosial, dan politik. Berikut ini
tokoh-tokoh ekonomi yang membahas peran pemerintan yang selalu mengalami peningkatan:
a. Rostow dan Musgrave Rostow dan Musgrave menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan
tahap-tahap pembangunan ekonomi dalam Negara. Tahap awal perkembangan pembangunan
ekonomi peran pemerintah sangat besar terutama dalam penyediaan sarana prasarana, misalnya sarana pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Tahap berikutnya adalah tahap menengah peran
investasi swasta menjadi lebih besar tetapi masih diperlukan peran pemerintah untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi di samping peran pemerintah menjadi semakin besar. Peran pemerintah yang semakin besar karena terjadi kegagalan pasar (market failure) akibat peran swasta yang besar dan
juga kewajiban pemerintah menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang besar dengan
kualitas yang lebih baik karena pertumbuhan dan tuntutan kesejahteraan semakin tinggi
(Suparmoko, 1987). Hubungan antarsektor bersifat lebih rumit, misalnya kebijakan pembangunan ekonomi yang dilakukan dengan meningkatkan sektor industri, dengan banyaknya industri akan
menyebabkan akibat negatif berupa pencemaran lingkungan yang merugikan masyarakat banyak,
keadaan ini menuntut keterlibatan pemerintah untuk mengurangi aspek negatif tersebut juga menjadi mediator atas tuntutan buruh untuk kenaikan upah. Pada tahap lanjut pembangunan ekonomi,
aktivitas pemerintah mulai beralih dari penyediaan sarana prasarana ke pengeluaran untuk aktivitas
sosial, misalnya program pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin, pelayanan kesehatan lansia.
b. Adolf Wagner
Pengamatan Adolf Wagner di beberapa negara Eropa, AS, dan Jepang pada abad XIX tentang
perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap GNP, hasil pengamatannya disebut hukum semakin meningkatnya kegiatan pemerintah (law of ever increasing
state activity). Jadi, apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran
pemerintah juga akan meningkat (Suparmoko, 1987). Dalam pertumbuhan ekonomi, hubungan antarpelaku ekonomi, yaitu antarindustri dengan industri, industri dengan masyarakat akan semakin
kompleks sehingga perlu peran pemerintah yang lebih besar baik dalam bentuk pengaturan maupun
sebagai fasilitator di mana hal ini akan menyebabkan pengeluaran pemerintah menjadi semakin
besar pula.
c. Peacock dan Wiseman
Teorinya Peacock dan Wiseman didasarkan pada asumsi bahwa ada kecenderungan tindakan pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya tetapi pada sisi lain akan mengakibatkan beban
masyarakat dalam bentuk pajak menjadi lebih besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah
tersebut (Suparmoko, 1987). Sementara menurut Peacock dan Wiseman ada titik toleransi pajak yaitu suatu tingkat di mana masyarakat dapat memahami besarnya pemungutan pajak yang
dibebankan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Adanya titik toleransi pajak ini merupakan
penghambat bagi pemerintah untuk terus menaikkan pemungutan pajak. Tercapainya perkembangan
ekonomi akan menyebabkan pemungutan pajak menjadi semakin besar walaupun pemerintah tidak menaikkan tarif pajak, adanya kenaikan penerimaan pajak ini akan menyebabkan pengeluaran
pemerintah meningkat pula. Akan tetapi, apabila kondisi tersebut terganggu oleh gejolak sosial,
misalnya karena perang maka pemerintah akan lebih memperbesar pengeluarannya untuk membiayai kegiatan baru tersebut yaitu dengan menaikkan tarif pajak. Namun, kebijakan pemerintah menaikkan
penerimaan dari sektor pajak melalui kenaikan tarif akan mengurangi dana swasta yang seharusnya
digunakan untuk konsumsi dan investasi sehingga tingkat investasi dan konsumsi masyarakat
20
menjadi turun. Keadaan ini disebut dengan efek pengalihan (displacement effect), yaitu karena
adanya gejolak sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Di
samping itu, untuk membiayai penanganan gejolak sosial atau perang pemerintah tidak hanya mengandalkan penerimaannya dari sektor pajak tetapi sering menutupnya melalui pinjaman. Apabila
gejolak sosial atau perang telah dapat diatasi sehingga tercipta suasana aman maka pemerintah tidak
lagi memerlukan dana untuk membiayai perang sehingga seharusnya pemerintah akan menurunkan
tarif pajak pada suatu tingkat sebelum perang tersebut terjadi. Namun, pemerintah tidak melakukan kebijakan penurunan tarif karena pemerintah masih memerlukan dana untuk membayar utang. Jadi,
adanya peningkatan pengeluaran pemerintah pada saat perang telah selesai selain karena
peningkatan GNP juga karena ada kewajiban untuk mengembalikan utang beserta bunganya di samping ada kegiatan baru dari pemerintah setelah perang usai, kondisi ini disebut efek inspektasi
(inspection effect). Pada tahap terakhir setelah adanya gejolak sosial tersebut akan menyebabkan
terkonsentrasinya kegiatan baru di tangan pemerintah yang sebelumnya sebagian dari kegiatan tersebut ditangani oleh swasta. Kondisi ini disebut dengan efek konsentrasi (concentration effect).
Jadi, menurut Peacock dan Wiseman adanya ketiga efek tersebut, yaitu efek pengalihan, efek
inspeksi, dan efek konsentrasi akan menyebabkan bertambahnya kegiatan pemerintah dan
pengeluaran pemerintah.
4. Teori Pertumbuhan Ekonomi Pendekatan Klasik
Pemikiran kaum Klasik berpangkal tolak dari pengertian fungsi produksi, yaitu mengenai hubungan persamaan antara hasil produksi dengan kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam
proses produksi (Djojohadikusumo, 1994). Total produksi Klasik dinyatakan dalam rumus Y=f(K,L,
R,T) dimana K adalah jumlah modal (Capital), L adalah tenaga kerja (Labor), R adalah tanah (sumber daya alam dalam arti luas) dan T adalah Tehnologi.
Analisis mazhab Klasik berpusat pada proses akumulasi dalam arti pembentukan modal
secara kumulatif (modal fisik maupun modal dana). Proses akumulasi terlaksana karena adanya
surplus dalam ekonomi masyarakat yang tersedia untuk investasi. Pokok pemikiran mazhab ini bahwa perkembangan ekonomi bisa berlanjut, namun akan mengalami kendala dan batasan yang
berkenaan dengan kecenderungan menurunnya imbalan jasa bagi peranan modal maupun peranan
tenaga kerja, dua faktor yang bersifat variabel dalam fungsi produksi. Perkembangan ekonomi yang dimaksud, adalah perkembangan ekonomi akan menuju keadaan yang bersifat stasioner (stationary
state).
Teori pendekatan Klasik meliputi teori mengenai apa yang dikemukakan oleh Adam Smith,
David Ricardo dan Robert Malthus. Adam Smith (1869) melalui bukunya An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations menyatakan variabel penentu proses produksi suatu negara
dalam menghasilkan output total ada 3, yaitu: (i) sumber daya alam yang tersedia; (ii) sumber daya
manusia; dan (iii) stok barang kapital yang ada. Sumber daya alam yang tersedia merupakan bahan baku utama dalam proses produksi suatu negara, jika sumber daya alam telah terkuras habis maka
proses produksi akan terhenti dan pertumbuhan ekonomi juga akan berhenti. Sumber daya manusia
dalam arti angkatan kerja, tenaga kerja merupakan input dalam proses produksi dan berperan aktif dalam proses pertumbuhan ekonomi. Jumlah dan kualitas akan sangat menentukan dalam proses
produksi, sedangkan stok kapital memegang peran yang sangat penting dalam menentukan cepat
lambatnya proses pertumbuhan output (Djojohadikusumo, 1994).
David Ricardo (1821) berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat ditentukan oleh: (i) sumber daya alam (dalam hal ini tanah); (ii) perkembangan jumlah penduduk; dan
(iii) peran tehnologi. David Ricardo membagi masyarakat ekonomi menjadi 3 golongan masyarakat
yaitu golongan kapitalis, golongan buruh dan golongan tuan tanah. Golongan kapitalis adalah golongan yang memimpin proses produksi dan memegang peranan yang sangat menentukan dalam
mencari keuntungan dan menginvestasikan kembali dalam bentuk akumulasi kapital. Golongan
kapitalis sangat tergantung pada golongan buruh dan golongan ini terbesar dalam masyarakat,
21
sedangkan golongan tuan tanah, mereka hanya menerima dari golongan kapitalis atas areal tanah
yang disewa (Arsyad, 2004: 58; Hakim, 2002: 68).
Malthus (1817) berpendapat bahwa ada 2 faktor penentu produksi di sektor pertanian, yaitu: (i) faktor ekonomi (tanah, tenaga kerja, modal dan organisasi); dan (ii) faktor non-ekonomi (keamanan
dan kekayaan, konstitusi dan hukum yang pasti, kerja keras, jujur dan disiplin). Faktor-faktor
ekonomi yang sangat menentukan adalah faktor akumulasi modal, tanpa akumulasi modal yang
diinvestasikan maka proses produksi akan terhenti (Hakim, 2002). Pengusaha dapat menyediakan tabungan untuk akumulasi modal dengan cara menyisihkan keuntungan dan bukannya penghematan
konsumsi para pelaku ekonomi (non pengusaha), karena dampak dari penghematan konsumsi justru
menurunkan permintaan efektif dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
5. Teori Pertumbuhan Pendekatan Keynes
Menurut Keynes, situasi makro suatu perekonomian ditentukan oleh apa yang terjadi dengan permintaan agregat masyarakat apabila permintaan agregat melebihi penawaran agregat (atau output
yang dihasilkan) dalam periode tersebut, maka akan terjadi situasi “kekurangan produksi”. Pada
periode berikutnya output akan naik atau harga akan naik, atau keduanya terjadi bersama-sama.
Apabila permintaan agregat lebih kecil daripada penawaran agregat, maka situasi ―kelebihan produksi akan terjadi. Pada periode berikutnya output akan turun atau harga akan turun, atau
keduanya terjadi bersama-sama.
Inti dari kebijakan makro Keynes adalah bagaimana pemerintah bisa mempengaruhi permintaan agregat (dengan demikian, mempengaruhi situasi makro), agar mendekati posisi Full Employment-
nya. Permintaan agregat adalah seluruh jumlah uang yang dibelanjakan oleh seluruh lapisan
masyarakat untuk membeli barang dan jasa dalam satu tahun. Dalam perekonomian tertutup permintaan agregat terdiri dari 3 unsur: a) Pengeluaran Konsumsi oleh Rumah Tangga (C); b)
Pengeluaran Investasi oleh Perusahaan (I); c) Pengeluaran Pemerintah (G). Pemerintah bisa
mempengaruhi permintaan agregat secara langsung melalui pengeluaran pemerintah dan secara tidak
langsung terhadap pengeluaran konsumsi dan pengeluaran investasi. Apabila dirumuskan adalah sebagai berikut:
Z = C+ I + G …………………………………..…………………. (2.0)
Masing-masing unsur permintaan agregat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berbeda. Pengeluaran konsumsi tergantung pada pendapatan yang diterima oleh Rumah Tangga dan
kecenderungan berkonsumsinya (propincity to consume). Pengeluaran investasi ditentukan oleh
keuntungan yang diharapkan (marginal efficiency of capital) dan biaya dana (tingkat bunga).
Pengeluaran pemerintah ditentukan oleh proses politik yang kompleks dan dalam teori makro dianggap eksogen. Perubahan dari unsur-unsur permintaan agregat (pengeluaran konsumsi,
pengeluaran investasi dan pengeluaran pemerintah) mempengaruhi tingkat permintaan agregat
melalui proses berantai atau proses multiplier. Menurut pendapat Keynes peranan atau campur tangan pemerintah masih sangat diperlukan
yaitu apabila perekonomian sepenuhnya diatur olah kegiatan di pasar bebas, bukan saja perekonomian
tidak selalu mencapai tingkat kesempatan kerja penuh tetapi juga kestabilan kegiatan ekonomi tidak dapat diwujudkan. Akan tetapi fluktuasi kegiatan ekonomi yang lebar dari satu periode ke periode
lainnya dan ini akan menimbulkan implikasi yang serius kepada kesempatan kerja dan pengangguran
dan tingkat harga.
6. Teori Pertumbuhan Pendekatan Neo-Keynes
Proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan kaum Neo-Keynes diwakilkan oleh teori Roy
F. Harrod (1939) dan Evsey D. Domar (1946). Pola pendekatan Harrod terhadap proses pertumbuhan menunjukkan ciri-ciri pokok pada kerangka analisis Keynes (1936). Perhatian Keynes berkisar pada
tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (full employment) termasuk pada penggunaan kapasitas
produksi yang terpasang. Persoalan ini sekarang dipersoalkan oleh Harrod (Djojohadikusumo, 1994)
22
yaitu dalam kondisi seperti apa persyaratan yang dipenuhi dalam proses pertumbuhan yang
berlangsung dalam ekuilibrium yang stabil.
Pokok perhatian Harrod berkisar pada pertumbuhan ekonomi yang dapat berlangsung secara terus-menerus dalam pola keadaan ekuilibrium yang stabil. Harrod memaparkan 2 konsep pengertian
perihal laju pertumbuhan yang menjadi kunci gagasannya, yaitu: (i) laju pertumbuhan produksi dan
pendapatan pada tingkat yang dianggap memadai dari sudut para pengusaha; (ii) laju pertumbuhan
produksi dan pendapatan ditentukan oleh kondisi dasar yang menyangkut bertambahnya angkatan kerja karena bertambahnya jumlah penduduk, dan meningkatnya produktivitas kerja karena kemajuan
tehnologi. Menurut Harrod pertumbuhan ekonomi yang kontinyu dalam kondisi full employment
dapat terjadi apabila dipenuhi 2 syarat tersebut (Djoyohadikusumo, 1994; Hakim, 2002; Todaro, 2000; Sukirno, 2006).
Gagasan Domar berpangkal pada berlakunya asas investment multiplier. Laju pertumbuhan
pada permintaan efektif langsung dihadapkan kepada pertumbuhan dan kapasitas produksi. Dalam model Domar diungkapkan bahwa pertumbuhan pada permintaan adalah sama dengan pertambahan
investasi (I) dikalikan dengan multiplier (1/s). Angka multiplier atau sering disebut dengan angka
pengganda diperoleh dengan cara mengalikan 1/s, dan simbul s adalah propensity to save.
Pertumbuhan kapasitas produksi adalah sama dengan investasi (I) dibagi oleh capital-output rasio (k), sehingga pertumbuhan permintaan adalah sama dengan pertumbuhan kapasitas produksi :
∆I/I = s/k ………………………………………………………………. 2.1.
Laju pertumbuhan dalam persamaan Domar dianggap sebagai laju pertumbuhan yang kritis (critical rate of growth) yang hampir mirip dengan warranted rate of growth dalam model Harrod.
Jika investasi melebihi laju pertumbuhan maka penyimpangan tersebut menyebabkan ∆I/I (yang
sama dengan pertumbuhan permintaan) akan lebih meningkat secara nisbi dibandingakan dengan s/k (pertumbuhan pada kapasitas produksi): ∆I/I > s/k. Keadaan ini akan membawa investasi dalam
jumlah besar. Selaras dengan gagasan Harrod, jika karena ada sesuatu hal yang menyebabkan laju
pertumbuhan investasi menyimpang dari laju kritis s/k, laju pertumbuhan pada kapasitas produksi,
maka penyimpangan itu cenderung berlangsung terus sehingga diperlukan intervensi kebijakan pemerintah, jika kecenderungan penyimpangan ingin dikembalikan pada jalur ekuilibrium
(Djoyohadikusumo, 1994; Hakim, 2002; Todaro, 2000).
7. Teori Pertumbuhan Pendekatan Neo Klasik
Pembahasan tentang teori Neo-Klasik mengenai pertumbuhan ekonomi dibatasi pada pokok-
pokok pemikiran yang dikembangkan oleh Robert M. Solow (1957), Nicholas Kaldor (1955) dan
Simon Kuznet (1934). Model yang dikembangkan Solow terdapat adanya kemungkinan perubahan pada tingkat bunga maupun tingkat upah. Proses pertumbuhan dilihat sebagai suatu proses yang
berlangsung dengan perimbangan-perimbangan variabel diantara faktor-faktor produksi. Harga-harga
faktor produksi adalah fleksibel sehingga ada kemungkinan substitusi di antara faktor-faktor produksi yang terlibat dalam proses produksi. Dalam keadaan di mana jumlah tenaga kerja melebihi pasok
modal, harga tenaga kerja (tingkat upah) akan menurun secara nisbi terhadap harga modal (tingkat
bunga). Sebaliknya jika pertambahan modal melampaui pertambahan jumlah tenaga kerja, maka tingkat upah akan meningkat. Dengan adanya perubahan pada harga faktor-faktor produksi dan
melalui substitusi satu jenis faktor produksi oleh jenis faktor produksi lainnya, hal itu satu sama lain
dapat membatasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dari ekuilibrium pertumbuhan. Oleh sebab
itu tidaklah tepat bila seakan-akan dalam proses pertumbuhan terkandung unsur ketidakstabilan sebagaimana ditonjolkan dalam instability theorm Harrod (Djoyohadikusumo, 1994: 44).
Pertumbuhan ekonomi atau peningkatan output perekonomian menurut Solow dipengaruhi oleh
tabungan, pertumbuhan populasi, dan kemajuan teknologi. Tabungan merupakan instrumen yang dipengaruhi oleh kebijakan fiskal (penerimaan pajak dan belanja negara mempengaruhi tabungan
nasional). Secara tidak langsung kebijakan fiskal ikut mengambil peran dalam pertumbuhan ekonomi.
Keputusan-keputusan pemerintah mengenai kebijakan fiskal yang ditempuh suatu negara dapat
23
mengubah ouput dalam perekonomian, baik bertambah maupun berkurang. Penurunan pajak (Tax)
maupun peningkatan belanja pemerintah (Government Expenditure) memiliki multiplier effect
terhadap pendapatan suatu negara. Pendapatan yang lebih tinggi menyebabkan konsumsi yang lebih tinggi. Kenaikan belanja pemerintah menyebabkan meningkatnya pendapatan, kemudian
meningkatkan konsumsi, yang selanjutnya meningkatkan pendapatan, kemudian meningkatkan
konsumsi dan seterusnya.
Kaldor (1955) berpendapat bahwa suatu teori adalah ulasan analisis yang sifatnya sangat sederhana tentang proses ekonomi yang majemuk. Dalam perkembangan pemikiran Kaldor mengenai
masalah pertumbuhan, perhatiannya semakin ditujukan kepada masalah-masalah konkret yang
berjalan dalam masa yang panjang, sekitar lima puluh tahun atau lebih. Dalam hubungan ini, Kaldor semakin menjauhi pola pendekatan yang mengandalkan metodologi berdasarkan model-model
ekonomi makro. Pandangan Kaldor tentang proses pertumbuhan jangka panjang diarahkan pada
pertumbuhan sektoral yang mencakup sektor produksi komoditi primer dan sektor skunder (industri dan konstruksi). Kegiatan di sektor tersier (jasa-jasa) oleh Kaldor dianggap sebagai fungsi dari
perkembangan industri (Djoyohadikusumo, 1994: 48).
Kaldor berpendapat bahwa peningkatan produktivitas tenaga kerja secara berkesinambungan
memerlukan investasi yang berkenaan dengan mekanisme teknik produksi. Hal ini berarti bertambahnya modal per tenaga kerja. Pertumbuhan industri dalam jangka panjang ditandai oleh
meningkatnya hasil produksi per tenaga (labour productivity) maupun meningkatnya modal per
tenaga kerja (capital-labour productivity). Akan tetapi, perubahan pada capital-output ratio (nisbah modal terhadap hasil produksi) tidak begitu menonjol. Kaldor menekankan bahwa investasi bukan
menjadi sebab bagi pertumbuhan produksi, melainkan sebaliknya pertumbuhan produksi yang
memungkinkan pengerahan investasi (Djojohadikusumo, 1994). Pandangan Kuznets mengenai kegiatan ekonomi masyarakat berpangkal pada kerangka
perhitungan nasional dengan penjabarannya tentang unsur-unsur komponen dalam pendapatan
nasional. Kuznets berhasil memberi substansi secara empiris kualitatif terhadap pengertian-pengertian
pokok dalam kerangka analisis Keynes seperti mengenai hubungan antara konsumsi–tabungan–investasi–pendapatan dalam tata susunan ekonomi secara keseluruhan (Djojohadikusumo, 1994: 53).
Dalam pandangan Kuznets era pertumbuhan tidak hanya ditandai dengan peran industri
manufaktur dan konstruksi, melainkan juga modernisasi teknologi bidang pertanian dan bidang produksi primer pada umumnya, serta meningkatkan peranan pemasaran dan teknologi komunikasi.
Perkembangan tersebut akan menyebabkan pola kegiatan ekonomi modern melintasi batas-batas antar
negara dan sebagai konsekuensi logis dari proses pertumbuhan perekonomian dunia berada pada
tahap interdepensi dan globalisasi yang masih terus berlangsung (Suryana, 2000: 65). Teori pertumbuhan Solow (Solow growth model) menjelaskan bagaimana perekonomian
berproduksi dan menggunakan outputnya pada suatu waktu tertentu. Analisis ini bersifat statis tentang
sebuah tinjauan sekilas tentang perekonomian. Untuk menjelaskan mengapa pendapatan nasional tumbuh dan mengapa sebagian perekonomian tumbuh lebih cepat ketimbang lainnya. Maka analisis
harus diperluas agar mampu menjelaskan perubahan-perubahan dalam perekonomian sepanjang
waktu. Model pertumbuhan Solow dapat dikembangkan dengan menunjukan bagaimana tabungan, pertumbuhan populasi, dan kemajuan tehnologi mempengaruhi tingkat output perekonomian serta
pertumbuhan sepanjang waktu (Mankiw, 2003).
8. Teori Pertumbuhan Pendekatan Sosial Budaya Para ahli sosial berpendapat bahwa perilaku tata sosial budaya di masyarakat lebih penting
peranannya dibandingkan dengan perilaku ekonomi masayarakatnya. Dalam ulasan ini akan dikaji
pandangan Everett E. Hagen (1963), JH. Boeke (1953), Clifford Geerz (1976) dan Bert F. Hoselitz (1955).
Hagen (1963) berpendapat bahwa faktor kekuatan yang paling penting untuk menggerakan
masyarakat negara berkembang dari stagnasi ekonomi kearah proses pembangunan adalah perubahan
24
pada tata pola sosial budayanya (Djojohadikusumo, 1994; 66). Perubahan utama dalam pembangunan
ekonomi terletak secara internal pada faktor-faktor yang melekat pada tata susunan masyarakat dan
dalam tubuh masyarakat itu sendiri, bukan pada sejumlah faktor eksternal. Jika nilai-nilai budaya dan perilaku masyarakat itu sendiri berubah maka akan berdampak pada perubahan ekonomi yang
ditandai dengan akumulasi modal dan kemajuan teknologi.
Gagasan pokok Boeke (1953) adalah masyarakat bumiputra di negara-negara Afrika dan
Amerika latin masih dalam tahap prakapitalisme, yaitu mereka bekerja hanya untuk memenuhi
kebutuhan sendiri dan keluarga (Djojohadikusumo, 1994: 68). Pemikiran Boeke dikenal dengan teori
dualisme ekonomi. Menurut pandangan Boeke masyarakat timur (negara Afrika dan Amerika Latin)
kebutuhan masyarakatnya masih bersifat terbatas dan bersifat sederhana, hal ini langsung akan
mempengaruhi masalah penawaran barang, permintaan dan pembentukan harga. Dalam kajian ekonomi jika terjadi peningkatan permintaan akan suatu barang maka akan mendorong kenaikan
harga, dan pada akhirnya akan meningkatkan penawaran barang dengan cara meningkatkan produksi
barang dan jasa. Kondisi ini sangat berlainan dengan yang terjadi di masyarakat timur, terbatasnya kebutuhan dan produksi yang tidak efisien mengakibatkan kenaikan harga yang diikuti berkurangnya
penawaran barang. Gejala ini oleh Boeke disebut backward sloping curve of supply.
Pandangan Geertz (1976) tentang kegiatan ekonomi dalam kehidupan masyarakat desa hampir
mirip dengan pandangan Boeke (Djojohadikusumo, 1994: 78). Geertz melakukan pengamatan di
pulau Jawa dan menyimpulkan ada kemungkinan perubahan tata susunan nilai-nilai budaya
masyarakat desa di pulau Jawa dapat mempengaruhi perkembangan ekonomi nasyarakatnya.
Kerangka pemikiran Geertz pada hakikatnya merupakan suatu varian dari saran pendapat Boeke
mengenai kegiatan ekonomi yang meluas (karena penduduk bertambah) namun tetap bersifat statis. Perkembangan masyarakat pedesaan di Jawa yang diamati oleh Geertz menunjukkan pola dan sifat
yang berbeda sekali, dibandingkan dengan apa yang lazim dianggap sebagai perkembangan yang
bersifat evolusi. Hal ini berkaitan dengan budaya yang kokoh dalam masyarakat Jawa yang bersifat kaku dan sulit untuk dilakukan perubahan. Akibatnya tidak mungkin terjadi suatu evolusi kearah
kemajuan ekonomi dalam arti modern. Geertz juga mengakui ada kemungkinan perkembangan
ekonomi dapat mempengaruhi pola dan arah perkembangan budaya dan tata nilai. Hoselitz (1955) berpendapat bahwa serangkaian faktor sosial dan budaya sangat mempengaruhi
pola dan arah pembangunan ekonomi. Secara eksplisit bahwa segi sosial budaya dan segi ekonomi
harus dilihat sebagai proses interaksi dalam perkembangan keadaan (Djojohadikusumo, 1994; 80).
Dalam tiap masyarakat selalu ada kemungkinan untuk mencapai kemajuan melalui usaha pembangunan. Mengenai faktor sosial dapat dibedakan yang bersifat tradisional dan rasional. Dalam
hubungannya dengan konsep tradisional mengandung implikasi bahwa pola kegiatannya tidak efisien
berdasarkan teknologi sederhana dan menghalangi inovasi. Tradisional seolah-olah menutup kemungkinan perubahan. Pelajaran dan kajian tentang transformasi masyarakat dari satu tingkat
ekonomi ke tingkat ekonomi yang lebih tinggi, dapat dianggap sebagai studi tentang dinamika
perubahan masyarakat (dynamics of social change).
9. Teori Pertumbuhan Pendekatan Strukturalisme
Pembangunan ekonomi sebagai transisi yang ditandai oleh suatu transformasi mengandung
perubahan yang mendasar pada struktur ekonomi, ini disebut dengan perubahan strukturalis. Secara umum transformasi lazim ditandai oleh peralihan dan pergeseran dari kegiatan di sektor produksi
primer ke sektor produksi skunder maupun ke sektor tersier. Dalam ulasan ini dikaji pandangan W.
Arthur Lewis (1954), Rosensteins-Rodan (1943), Alberth Hirschman (1973), dan Hans W. Singer (1975) mengenai proses pembangunan sebagai suatu transformasi.
Kerangka analisis dan garis pemikiran Lewis (1954) pada hakikatnya berawal pada alam
pikiran mazhab Klasik dan sebagian juga Neo Klasik (Djojohadikusumo, 1994: 94; Arsyad, 2004: 93,
Sukirno, 2006: 279). Menurut Lewis proses pembangunan berarti suatu ekspansi dari sektor tradisional ke sektor modern, yang diikuti proses integrasi dalam pasar tenaga kerja dari sektor
25
pertanian ke sektor industri sampai tidak tersedia kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian.
Berkenaan dengan asumsi tentang angkatan kerja yang dianggap sebagai faktor homogen dan tidak
mempunyai ketrampilan di sektor pertanian. Angkatan kerja yang homogen dan tidak trampil itu dianggap bisa bergerak dan beralih yang tiada batasnya. Dalam keadaan demikian penawaran tenaga
kerja mengandung sifat elastisitas yang tinggi. Meningkatnya permintaan atas tenaga kerja (dari
sektor tradisional) bersumber pada ekspansi kegiatan sektor modern, sedangkan ekspansi sektor
modern seakan-akan ditentukan oleh faktor eksogen, yaitu karena perubahan selera konsumen, atau karena langkah kebijakan pemerintah, ataupun karena perubahan pasar internasional. Selain itu,
menurut Arthur Lewis akumulasi modal bersumber pada tabungan yang disisihkan dari laba yang
disalurkan kembali sebagai investasi yang produktif. Pandangan Rosensteins-Rodan (1943) sudah menyangkut segi strategi dalam pelaksanaan
pembangunan. Pandangannya diawali pada keadaan stagnasi dalam perekonomian negara-negara
berkembang (Djojohadikusumo, 1994: 98). Stagnasi yang dimaksud berkaitan dengan sejumlah lingkaran-lingkaran yang tiada berujung pangkal. Salah satu di antaranya ialah bahwa pasar barang
dan jasa sangat tidak sempurna, disebabkan penjual lebih sedikit dibandingkan dengan pembelinya.
Kenyataan itu berakibat bahwa pasar untuk investasi juga tidak sempurna disebabkan tingginya
permintaan investasi dan tinggingya resiko tingkat bunga. Investasi tidak hanya mengandung resiko usaha, melainkan juga dihadapkan kepada ketidakpastian (uncertainties). Dalam keadaan demikian,
usaha-usaha yang terpencar dan terpecah-pecah dalam produksi barang konsumsi maupun barang
modal tidak akan berdaya untuk membawa masyarakat dari keadaan stagnasi menuju kepada suatu perkembangan yang bisa berlanjut dengan kekuatan sendiri. Oleh sebab itu diperlukan usaha investasi
pada skala besar yang harus dilakukan secara bersama-sama di berbagai bidang dan ragam kegiatan
yang dapat saling melengkapi. Satu sama lain merupakan faktor pendorong yang amat kuat (Big Push) untuk mengatasi hambatan dan rintangan yang terkandung dalam stagnasi ekonomi dan untuk
membawa sistem ekonomi sebagai keseluruhan ke arah perkembangan yang semakin maju.
Hirschman (1973) berpendapat sebaiknya ditempuh suatu strategi pembangunan yang tidak
berimbang (strategy of unbalanced growth). Dalam kenyataannya, di negara-negara yang sedang berkembang sudah diselenggarakan sejumlah investasi yang berasal dari masa lampau. Akan tetapi
investasi tersebut terbatas pada beberapa sektor. Hal ini menyebabkan terjadinya ketimpangan di
sektor lainnya (Djojohadikusumo, 1994; 103). Investasi potensial dari sudut pendanaan justru terletak di sektor yang sudah maju yang sudah dilakukan sejumlah investasi. Sektor maju ini sebaiknya dibina
dan hasil dari investasi ini diarahkan untuk prioritas-prioritas yang terletak di sektor-sektor lainya
sehingga ketimpangan dan ketidakseimbangan dalam ekonomi masyarakat dapat teratasi. Dengan
kata lain diperlukan strategi investasi yang tidak perlu dilaksanakan bersamaan secara berimbang di berbagai bidang yang dianggap komplementer.
Singer (1975) berpendapat bahwa 80% penduduk dan angkatan kerja pada masyarakat suatu
negara terbelakang masih mengandalkan nafkahnya dari sektor primer (pertanian, perkebunan, perikanan dan pertambangan). Transformasi masyarakat ini menuju transformasi ke ekonomi yang
lebih maju ditandai dengan semakin berkurangnya jumlah penduduk dan angkatan kerja dari 80%
yang menggantungkan sektor primer menjadi dibawah 15% (Djojohadikusumo, 1994; 105). Tingkat produktivitas dan pendapatan masyarakat yang rendah di sektor pertanian
menunjukkan sebagian besar pendapatan masyarakat digunakan untuk kebutuhan pangan, dan jika
masih tersisa akan digunakan untuk kebutuhan dasar lainnya. Secara umum dapat dinyatakan bahwa
negara-negara yang sedang berkembang merupakan negara yang sebagian besar masyarakatnya mengandalkan dari pengekspor komoditas pertanian (primer) dan pengimpor produksi untuk sektor
industri (skunder) dan jasa untuk sektor tersier.
10. Teori Tahapan Linear WW Rostow
Teori tahapan linear ini pada mulanya merupakan artikel Rostow yang dimuat dalam
Economics Journal (Maret 1956) dan kemudian dikembangkannya lebih lanjut dalam bukunya yang
26
berjudul The Stages of Economic Growth (1960). Menurut pengklasifikasian Todaro (2000), teori
Rostow dikelompokan ke dalam jenjang linear.
Rostow (1960) berpendapat bahwa proses pembangunan ekonomi suatu negara dapat dibedakan menjadi 5 tahapan (Sukirno, 2006: 169; Suryana, 2000: 60; Todaro, 2003, Hakim, 2002: 89), yaitu:
(i) masyarakat tradisional; (ii) prasyarat tinggal landas; (iii) tinggal landas; (iv) menuju kedewasaan;
dan (v) masa konsumsi tinggi. Dasar pembedaan tahap pembangunan ekonomi menjadi 5 tahap
tersebut adalah karakteristik, perubahan keadaan ekonomi, sosial dan politik yang terjadi. Jadi pembangunan ekonomi atau transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern
merupakan proses yang multi-dimensional. Pembangunan ekonomi bukan hanya berarti perubahan
struktur ekonomi suatu negara yang ditunjukan oleh menurunnya peranan sektor pertanian dan meningkatnya sektor industri jasa. Teori ini berpendapat bahwa negara-negara maju seluruhnya
melampaui tahapan tinggal landas menuju pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan
berlangsung secara otomatis. Sebaliknya negara-negara berkembang atau yang masih terbelakang, pada umumnya berada dalam tahapan masyarakat tradisional atau tahapan prasyarat tinggal landas.
Negara perlu merumuskan serangkaian aturan pembangunan menuju tinggal landas untuk bergerak
menuju proses ke pertumbuhan ekonomi yang pesat dan berkelanjutan.
B. Pengaruh Variabel Bebas Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
1. Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Belanja pemerintah daerah yang digunakan untuk mempengaruhi jalannya perekonomian suatu wilayah (pendidikan, kesehatan, pertanian, perikanan dan kelautan) akan mengakibatkan peningkatan
aktivitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
a. Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah untuk Pendidikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Daerah
Penyediaan fasilitas pendidikan dasar merupakan prioritas utama bagi semua negara-negara
berkembang. Sebagian besar negara berkembang bagian terbesar anggaran pemerintahnya
dialokasikan ke sektor pendidikan (Todaro, 2000). Peran pendidikan dalam pembangunan berpangkal dari pendapat bahwa pendidikan merupakan prasyarat untuk meningkatkan martabat
manusia. Melalui pendidikan masyarakat mendapatkan kesempatan untuk membina
kemampuannya dan mengatur kehidupan ekonominya secara baik. Perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan berarti membuka kesempatan ekonomis untuk mengupayakan perbaikan
dan kemajuan kehidupan masyarakat. Selama ini pemerintahan negara-negara berkembang
memberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan secara luas namun dalam arti kuantitatif.
Jalur pendidikan formal yang sudah diperluas belum juga menunjukkan hasil yang diharapkan. Jika diukur dengan serangkaian masalah yang dihadapi negara berkembang, pengangguran yang
terjadi cenderung meningkat dengan bertambahnya angkatan kerja yang ketrampilannya terbatas.
Pertambahan penduduk mengakibatkan bertambahnya tempat belajar, tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan struktur pendidikan dan kurikulum yang menghasilkan lulusan yang siap
kerja, sehingga pendidikan pelatihan informal menjadi semakin penting.
Kenaikan belanja pemerintah daerah untuk pendidikan dalam perpotongan Keynes dapat dijelaskan dalam Gambar 2.1. Kenaikan belanja pemerintah daerah untuk pendidikan sebesar
∆GEduc meningkatkan pengeluaran daerah yang direncanakan sebesar ∆Y untuk semua tingkat
pendapatan. Keseimbangan bergerak dari titik A ke titik B, dan pendapatan daerah meningkat dari Y1 ke Y2.
Gambar 2.1. ini menunjukkan bahwa kenaikan dalam belanja pemerintah daerah untuk
pendidikan mendorong adanya kenaikan dalam pendapatan daerah yang lebih besar. Yaitu, ∆Y
adalah lebih besar dari ∆GEduc. Rasio ∆Y/∆GEduc disebut pengganda belanja pemerintah
daerah untuk pendidikan (regional government purchase multiplier), rasio ini menyatakan
27
seberapa besar pendapatan daerah meningkat yang diakibatkan kenaikan dalam belanja
pemerintah daerah untuk pendidikan.
Implikasi dari perpotongan Keynesian adalah bahwa pengganda belanja pemerintah daerah untuk pendidikan bernilai positip atau kenaikan belanja pendidikan menyebabkan kenaikan
pendapatan.
Pengeluaran, E
Pengeluaran Aktual
E2=Y2 B ∆GEduc
E1=Y1 ∆Y A
∆Y
0 Y1 Y2 Pendapatan, output, Y
Sumber : Mankiw, 2003: hal. 257 (dikembangkan)
Gambar 2.1.
Kenaikan Belanja Pendidikan Terhadap Perekonomian Daerah
b. Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah untuk Kesehatan terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Daerah
Dewasa ini di banyak negara berkembang masih dirasakan kurang adanya pelayanan kesehatan masyarakat (secara kuantitatif dan kualitatif) beserta persebaran jaringannya.
Pengeluaran anggaran pemerintah untuk pelayanan kesehatan masyarakat masih serba terbatas
dibandingkan dengan pengeluaran anggaran negara-negara maju di bidang kesehatan. Jumlah dokter dan rumah sakit yang masih sedikit, baik secara absolut maupun sebagai nisbah terhadap
jumlah penduduk. Di satu sisi rumah sakit swasta hanya dapat diandalkan oleh kalangan
masyarakat yang mampu (Todaro, 2000).
Akhir-akhir ini nampak jelas bahwa para pakar ilmu ekonomi pembangunan mulai kurang berminat untuk memberikan perhatian pada upaya industrialisasi secara cepat. Nampaknya
mereka menyadari bahwa daerah pedesaan pada umumnya dan sektor pertanian pada khususnya
sama sekali tidak bersifat pasif, dan jauh lebih penting dari sekedar penunjang dalam proses pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Keduanya harus ditempatkan pada kedudukan yang
sebenarnya, yakni sebagai unsur atau elemen unggulan yang sangat penting, dinamis dan bahkan
sangat menentukan dalam strategi-strategi pembangunan secara keseluruhan (Todaro, 2000). Kenaikan belanja pemerintah daerah untuk kesehatan dalam perpotongan Keynes dapat
dijelaskan dalam Gambar 2.2. Kenaikan belanja pemerintah dalam kesehatan sebesar ∆GHealth
meningkatkan pengeluaran yang direncanakan sebesar ∆Y untuk semua tingkat pendapatan.
Keseimbangan bergerak dari titik A ke titik B, dan pendapatan meningkat dari Y1 ke Y2. Grafik ini menunjukkan bahwa kenaikan dalam belanja pemerintah daerah untuk kesehatan
mendorong adanya kenaikan dalam pendapatan daerah. Yaitu, ∆Y adalah lebih besar dari
Pengeluaran Yang
Direncanakan
Kenaikan belanja pemerintah daerah untuk pendidikan menggeser pengeluaran yang
direncanakan ke atas
28
∆GHealth. Rasio ∆Y/∆GHealth disebut pengganda belanja pemerintah daerah untuk kesehatan
(regional government purchase multiplier), rasio ini menyatakan seberapa besar pendapatan
daerah meningkat yang diakibatkan kenaikan dalam belanja pemerintah daerah untuk kesehatan. Implikasi dari perpotongan Keynesian adalah bahwa pengganda belanja pemerintah daerah untuk
kesehatan bernilai positip atau kenaikan belanja pendidikan menyebabkan kenaikan pendapatan.
Pengeluaran, E
Pengeluaran Aktual
E2=Y2 B ∆GHealth
E1=Y1 ∆Y A
∆Y
0 Y1 Y2 Pendapatan, output, Y
Sumber : Mankiw, 2003: hal. 257 (dikembangkan)
Gambar 2.2.
Kenaikan Belanja Kesehatan Terhadap perekonomian
c. Pengaruh Belanja Pemerintah untuk Pertanian terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan bidang pertanian di negara sedang berkembang sangat tergantung pada
penyediaan jaringan-jaringan pelayanan pendukung yang luas disertai dengan kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang harga atas input dan output adalah merupakan syarat penting
yang harus dipenuhi demi terselenggaranya kemajuan dalam sektor pertanian dalam mendukung
program pembangunan. Pembangunan sektor pertanian (dibuktikan dengan program-program pemerintah yang pro-petani) harus menjadi prioritas pembangunan di Indonesia, tidak hanya
karena sebagian besar penduduk tinggal di pedesaan, tetapi juga karena terpusatnya
pengangguran di pedesaan harus segera dicarikan langkah penyelesaiannya guna memperbaiki kualitas hidup pedesaan. Keseimbangan kesempatan kerja bagi daerah pedesaan dan daerah
perkotaan benar-benar tercipta, maka negara-negara berkembang akan mengalami langkah besar
menuju kepada realisasi makna pembangunan yang paling hakiki.
Kenaikan belanja pemerintah daerah untuk pertanian dalam perpotongan Keynes dapat dijelaskan dalam Gambar 2.3. Kenaikan belanja pemerintah daerah untuk pertanian sebesar
∆GAgric meningkatkan pengeluaran daerah yang direncanakan sebesar ∆Y untuk semua tingkat
pendapatan. Keseimbangan bergerak dari titik A ke titik B, dan pendapatan daerah meningkat dari Y1 ke Y2. Kebijakan menaikkan belanja pemerintah daerah untuk pertanian memiliki
dampak terhadap pendapatan daerah.
Grafik ini menunjukkan bahwa kenaikan dalam belanja pemerintah daerah untuk pertanian
mendorong adanya kenaikan dalam pendapatan daerah. Yaitu, ∆Y adalah lebih besar dari
∆GAgric. Rasio ∆Y/∆GAgric disebut pengganda belanja pemerintah daerah untuk pertanian
Pengeluaran Yang
Direncanakan
Kenaikan belanja pemerintah daerah kesehatan menggeser pengeluaran daerah yang
direncanakan ke atas
29
(regional government purchase multiplier), rasio ini menyatakan seberapa besar pendapatan
daerah meningkat yang diakibatkan kenaikan dalam belanja pemerintah daerah untuk pertanian.
Implikasi dari perpotongan Keynesian adalah bahwa pengganda belanja pemerintah daerah untuk pendidikan bernilai positip atau kenaikan belanja pertanian menyebabkan kenaikan pendapatan.
Pengeluaran, E
Pengeluaran Aktual
E2=Y2 B ∆GAgric
E1=Y1 ∆Y A
∆Y
0 Y1 Y2 Pendapatan, output, Y
Sumber : Mankiw, 2003: hal. 257 (dikembangkan)
Gambar 2.3.
Kenaikan Belanja Pertanian Terhadap Perekonomian Daerah
d. Pengaruh Belanja Pemerintah untuk Perikanan dan Kelautan terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Belanja pemerintah termasuk kedalam kebijakan fiskal. Perubahan pengeluaran pemerintah
akan mengubah keseimbangan jangka pendek perekonomian nasional. Perubahan fiskal akan
memengaruhi pengeluaran yang direncanakan dan menggeser kurva IS. Model IS-LM
menunjukkan bagaimana pergeseran dalam kurva IS ini mempengaruhi pendapatan nasional (Mankiw, 2003).
Indonesia adalah negara yang sepertiga luas wilayah dikelilingi lautan. Luas daratan
NKRI adalah 1.910.931,32 km² (Kemendagri, Mei 2010) dan luas lautan = 3.544.743,9 km² (UNCLOS 1982) terdiri dari: luas laut teritorial = 284.210,90 km², luas Zona Ekonomi Ekslusif =
2.981.211,00 km² dan Luas Laut 12 Mil = 279.322,00 km². Dua pertiga wilayah Indonesia
dikelilingi oleh perairan, sehingga peran dari pengeluaran pemerintah untuk pengembangan infrastruktur kemaritiman dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan belanja perikanan dan kelautan dalam perpotongan Keynes dapat dijelaskan
dalam Gambar 2.5. Kenaikan belanja pemerintah daerah untuk perikanan dan kelautan sebesar
∆GMarine meningkatkan pengeluaran daerah yang direncanakan sebesar ∆Y untuk semua tingkat pendapatan. Keseimbangan bergerak dari titik A ke titik B, dan pendapatan meningkat dari Y1 ke
Y2.
Grafik Gambar 2.4. ini menunjukkan bahwa kenaikan dalam belanja pemerintah daerah untuk perikanan dan kelautan mendorong adanya kenaikan dalam pendapatan daerah. Yaitu, ∆Y
adalah lebih besar dari ∆GMarine. Rasio ∆Y/∆GMarine disebut pengganda belanja pemerintah
daerah untuk perikanan dan kelautan (regional government purchase multiplier), rasio ini
Pengeluaran Yang
Direncanakan
Kenaikan belanja pemerintah daerah untuk pertanian menggeser pengeluaran daerah
yang direncanakan ke atas
30
menyatakan seberapa besar pendapatan daerah meningkat yang diakibatkan kenaikan dalam
belanja pemerintah daerah untuk perikanan dan kelautan. Implikasi dari perpotongan Keynesian
adalah bahwa pengganda belanja pemerintah daerah untuk pendidikan bernilai positip atau kenaikan belanja pendidikan menyebabkan kenaikan pendapatan.
Pengeluaran, E
Pengeluaran Aktual
E2=Y2 B ∆GMarine
E1=Y1 ∆Y A
∆Y
0 Y1 Y2 Pendapatan, output, Y
Sumber : Mankiw, 2003: hal. 257 (dikembangkan)
Gambar 2.4. Kenaikan Belanja Perikanan dan Kelautan Terhadap perekonomian
2. Paranan Dana Alokasi Umum terhadap Pertumbuhan Ekonomi Penetapan alokasi dana perimbangan di Indonesia dilakukan dalam rangka penerapan prinsip
desentralisasi fiskal. Sistem alokasi ini ditetapkan dengan Undang-Undang No 25 tahun 1999 yang
kemudian direvisi dengan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah. Dana perimbangan dialokasikan dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Untuk Dana Alokasi Umum (DAU)
dialokasikan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar daerah sehingga kemampuan wilayah
untuk mengelola dan membangunan daerah menjadi relatif merata. Dana perimbangan merupakan dana yang dialokasikan kepada pemerintah daerah untuk
memenuhi suatu keperluan daerah yang bersifat khusus, seperti pembangunan infrastruktur atau
sarana penunjang pertumbuhan wilayah tersebut. Seperti yang diketahui tujuan dari dana perimbangan sendiri yaitu untuk kesejahteraan masyarakat, untuk menghilangkan kesenjangan
(Kesenjangan fiskal adalah kesenjangan kondisi perekonomian pemerintah yang dapat diubah
dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah) antara pemerintah pusat dengn
pemerintah daerah, untuk menjalankan desentralisasi dari pemerintah pusat demi pelaksanaan otonomi daerah, dan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam pelaksanakan otonomi
daerah.
DAU bertujuan untuk menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang berdasarkan pertimbangan kebutuhan dan potensi daerah yang dimiliki, sehingga daerah dapat
membelanjakan dana tersebut untuk kebutuhan-kebutuhan daerahnya yang akan mendorong
pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Secara nasional, penyusunan besaran DAU nasional sebesar 26 persen dari PDN Neto yang
ditetapkan dalam APBN pada hakikatnya mengacu kepada UU Nomor 33/2004 dengan
Pengeluaran Yang
Direncanakan
Kenaikan belanja pemerintah
daerah perikanan dan kelautan
menggeser pengeluaran
daerah yang direncanakan ke atas
31
penyesuaian dan langkah-langkah kebijakan sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi.
Terkait dengan hal tersebut, rumusan formula perhitungan DAU tersebut dalam perkembangannya
mengalami penyesuaian dan langkah-langkah kebijakan. DAU dialokasikan kepada daerah dengan menggunakan formula DAU yang berdasarkan
Alokasi Dasar dan Celah Fiskal dengan proporsi pembagian DAU untuk daerah provinsi dan
kabupaten/kota masing-masing sebesar 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen)
dari besaran DAU secara nasional. Formula DAU dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan: DAU = alokasi DAU per daerah
AD = alokasi DAU berdasar Alokasi Dasar
CF = alokasi DAU berdasar Celah Fiskal Alokasi Dasar dihitung berdasarkan data jumlah Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) dan
besaran belanja gaji PNSD dengan memperhatikan kebijakan-kebijakan lain terkait dengan
penggajian. Sementara itu, Celah Fiskal merupakan selisih antara Kebutuhan Fiskal dan Kapasitas
Fiskal. DAU diharapkan menjadi tambahan modal dalam rangka menciptakan pemanfaatan yang
lebih baik. Sebagai contoh, jika dana dialokasikan untuk kepentingan pembangunan, misal
infrastruktur atau layanan dasar (pendidikan, kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan sebagainya) atau upaya perluasan lapangan pekerjaan, maka hal ini akan memiliki dampak yang
besar bagi masyarakat dengan tersedianya pelayanan publik yang lebih baik maupun mengurangi
pengangguran dengan penyerapan tenaga kerja di sejumlah sentra-sentra lapangan kerja yang berdampak pada pengurangan penduduk miskin. Dengan demikian, DAU menjadi penting bagi
suatu daerah sebagai salah satu pendapatan daerah yang dapat digunakan sebagai modal untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi.
3. Pengaruh Penduduk terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Peningkatan jumlah penduduk mempengaruhi berbagai aspek seperti pembangunan
ekonomi di negara-negara di berbagai belahan di dunia. Pembangunan ekonomi akibat pertumbuhan penduduk ini memberi dampak yang berbeda-beda terhadap negara maju dan negara
terbelakang. Pertumbuhan penduduk di negara maju memberikan dampak yang positif. Sebagai
contoh pertambahan penduduk Eropa Barat yang dapat mempercepat proses industrialisasi.
Pertumbuhan penduduk membantu ekonomi negara tersebut karena mereka sudah makmur, mempunyai modal melimpah, sedangkan mereka kekurangan tenaga buruh. Kurva penawaran
buruh pada sektor industri bersifat elastis sehingga tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi
justru akan menaikkan produktivitas. Akan tetapi, pada negara berkembang pertumbuhan penduduk memberikan dampak yang menghambat pembangunan ekonomi karena kondisi yang
berlaku sangatlah berbeda dengan kondisi pada negara maju. Ekonomi pada negara terbelakang,
modal-modal di negara tersebut juga kurang, sedangkan buruhnya melimpah. Pertumbuhan penduduk yang cepat memperberat tekanan pada lahan dan mengakibatkan pengangguran.
Pertumbuhan penduduk di negara ini cenderung mengalihkan pengeluaran negara dari aktiva
produktif ke kurang produktif, sehingga mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi.
Perkembangan penduduk dapat menjadi faktor pendorong maupun faktor penghambat pembangunan ekonomi. Pertambahan penduduk akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi
jika pertambahan penduduk dari masa ke masa diikuti dengan peningkatan pendidikan, sehingga
menjadikan tenaga kerja yang memiliki daya saing yang tinggi dan pada akhirnya akan berdampak pada pendorong pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya pertambahan penduduk akan menghambat
pertumbuhan ekonomi apabila tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas perkerja akan
menimbulkan pengangguran. Pertambahan penduduk tidak akan menaikan produksi secara
DAU = AD + CF
32
signifikan, karena jumlah pengangguran meningkat terus dan menjadi bertambah serius.
Disamping itu rendahnya produktivitas tenaga kerja menyebabkan perkembangan produktivitas
sektor pertanian menjadi rendah. Hal ini menyebabkan menurunnya tingkat pendapatan perkapita (Todaro, 2000). Pertambahan penduduk yang cepat menimbulkan permasalahan (semakin
meningkatnya masalah sosial dan kriminalitas) bagi kesejahteraan umat manusia di penjuru dunia.
(δ+n2)k (δ+n1)k
Sf(k)
0 k2* k1* Modal per pekerja, k
Sumber : Mankiw, 2003:hal. 196
Gambar 2.5.
Dampak Pertumbuhan Populasi terhadap Tingkat Pertumbuhan
Model solow dasar menunjukkan bahwa alokasi modal, dengan sendirinya tidak bisa
menjelaskan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan: tingkat tabungan yang tinggi menyebabkan
pertumbuhan yang tinggi secara temporer, tetapi perekonomian pada akhirnya mendelakati kondisi mapan di mana modal dan output konstan. Untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan model Solow harus diperluas dengan menambahkan pertumbuhan populasi dalam
model (Mankiw, 2003). Pertumbuhan populasi membedakan model Solow dalam tiga cara. Pertama, pertumbuhan
populasi mempermudah menjelaskan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dalam kondisi mapan
dengan pertumbuhan populasi, modal per pekerja dan output per pekerja adalah konstan. Jumlah pekerja bertambah pada tingkat n, modal total dan output total juga harus bertambah pada tingkat
n. Dengan demikian, meskipun tidak dapat menjelaskan pertumbuhan yang berkelanjutan dalam
standar kehidupan, pertumbuhan populasi akan membantu menjelaskan pertumbuhan output total
yang berkelanjutan. Kedua, pertumbuhan populasi memberi penjelasan tentang mengapa sebagian negara kaya
dan sebagian lain miskin. Perhatikan dampak kenaikan populasi pada Gambar 2.5. Gambar 2.5
menunjukkan bahwa kenaikan tingkat pertumbuhan populasi dari n1 ke n2 mengurangi tingkat modal per pekerja pada kondisi mapan dari k1* ke k2* lebih rendah, dank arena y* = f(k*), maka
tingkat ouput per pekerja y* juga lebih rendah. Jadi model Solow memprediksi bahwa negara-
negara dengan pertumbuhan populasi yang lebih tinggi akan memiliki tingkat GDP perkapita yang
lebih rendah.
Kenaikan tingkat Pertumbuhan Populasi
Menurunkan
persedian modal
pada kondisi mapan
Investasi, Investasi
Pulang Pokok
33
Ketiga, pertumbuhan populasi mempengaruhi kriteria menentukan tingkat modal Kaidah
Emas (memaksimalkan konsumsi).
c = y – i Karena output pada kondisi mapan adalah f(k*) dan investasi pada kondisi mapan adalah (δ+n)k*,
maka persamaan konsumsi dapat ditulis kembali sebagai berikut :
c* = f(k*) – (δ+n)k*
Dengan menggunakan argumen ini, maka MPK = δ + n1. Dalam kondisi mapan Kaidah Emas, produk marjinal modal setelah terdepresiasi sama dengan tingkat pertumbuhan populasi.
4. Pengaruh Penduduk Miskin terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kemiskinan definisikan sebagai ketidakmampuan masayarakat dalam memenuhi standar
hidup minimal. Pengertian ini dijelasakn oleh oleh World Bank. Namun ditahun 2004, World Bank
memaparkan kembali secara lebih detail definisi kemiskinan yaitu “Kemiskinan adalah menunjukkan bahwa seseorang itu tidak mampu untuk makan. Kemiskinan adalah ketiadaan
tempat tinggal. Kemiskinan adalah sakit dan tidak memiliki kemampuan untuk memeriksa ke
dokter. Kemiskinan adalah tidak dapat bersekolah dan tidak mengetahui cara membaca.
Kemiskinan adalah ketika sesorang memeiliki kekhawatiran yang tinggi terhadap kehidupan dimasa datang akibat tidak memiliki pekerjaan. Kemiskinan adalah adanya penyakit yang
menyebabnya hilangnya nyawa seorang anak dimana penyakit ini disebabkan oleh tidak adanya air
yang bersih. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, ketiadaaan keterwakilan dan kebebasan”. Definisi kemiskinan yang dijelasakan oleh BPS adalah definisi kemiskinan yang
digunakan sebagai tolak ukur kemiskinan secara nasional di Indonesia. Definisi ini menerapkan
pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dengan tujuan agar kemiskinan dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, baik
kebutuhan dasar makanan (2100 kcal/cap/hari) ataupun kebutuhan dasar bukan makanan.
BPS berpendapat bahwa komponen kebutuhan disusun susuai daerah perkotaan dan
pedesaan yang terdiri atas kebutuhan pangan dan bukan pangan yang yang sesuai dengan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Adapun jenis pangan yang diperhitungkan sebagai
kebutuhan dasar adalah padi-padian dan hasil-hasilnya, ubi-ubian dan hasil-hasilnya, ikan dan
hasil-hasil ikan lainnya, daging, telur, susu dan hasil dari susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, konsumsi lainnya, makanan yang sudah jadi, minuman yang mengandung alkohol,
tembakau, dan sirih. Sedangkan jenis kebutuahan dasar bukan pangan adalah perumahan, bahan
bakar, penerangan, dan air; barang-barang dan jasa; pakaian, alas kaki, dan tutup kepala; barang-
barang yang tahan lama; keperluan pesta dan upacara. Upaya-upaya pengentasan kemiskinan melalui serangkaian kebijakan dan rencana yang
langsung terarah kepada penduduk miskin akan berdampak pada perbaikan kesejahteraan
penduduk miskin (Todaro, 2000). Todaro berpendapat pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk
mempercepat pertumbuhan, dengan demikian kebijakan untuk mengurangi kemiskinan berdampak
pada laju pertumbuhan ekonomi. Kemiskinan membuat kaum miskin tidak punya akses terhadap sumber daya, dan tidak punya peluang berinvestasi sehingga akan memperlambat pertumbuhan
pendapatan perkapita. Kebijakan penurunan kemiskinan secara masal akan menciptakan stabilitas
sosial dan memperluas partisipasi publik dalam proses pertumbuhan ekonomi.
Berbagai kebijakan pembangunan ekonomi dirumuskan dengan melibatkan peran seluruh elemen penduduk dalam proses pertumbuhan ekonomi, termasuk penduduk miskin. Peningkatan
peran serta penduduk miskin dapat dilakukan dengan lebih memberdayakan penduduk miskin
melalui perbaikan sumber daya manusia dan peningkatan akses terhadap sumber daya faktor produksi.
34
5. Pengaruh Investasi Asing terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Persediaan modal adalah determinan output perekonomian yang penting, karena persediaan
modal bisa berubah sepanjang waktu, dan perubahan itu bisa mengarah ke pertumbuhan ekonomi. Dua kekuatan yang mempengaruhi persediaan, yaitu investasi dan depresiasi (Mankiw, 2003).
Investasi mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru, dan hal ini
menyebabkan persedian modal bertambah. Depesiasi mengacu pada penggunaan modal, hal ini
menyebabkan persediaan modal berkurang. Perhatikan persamaan berikut ini : I = sf(k).
c
y
i i
0 Modal per pekerja, k
Sumber : Mankiw, 2003:hal. 178 Gambar 2.6.
Output, Konsumsi dan Investasi
Persamaan ini mengaitkan persediaan modal yang telah ada k dengan akumulasi modal
baru i. Gambar 2.6 menunjukkan hubungan untuk setiap nilai k, jumlah output ditentukan oleh fungsi produksi f(k), dan alokasi output itu di antara konsumsi dan investasi ditentukan oleh
tingkat tabungan s. Tingkat tabungan s menentukan alokasi output di antara konsumsi dan
investasi. Untuk setiap tingkat modal k, output adalah f (k), investasi adalah sf(k), dan konsumsi adalah f(k) – sf(k).
Secara lebih terperinci tujuan penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia diatur
dalam pasal 3 ayat 2 UU No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal yang menyebutkan bahwa
tujuan penyelenggaraan penanaman modal antara lain untuk : a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional
b. Menciptakan lapangan kerja
c. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan d. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional
e. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional
f. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan g. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang
berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, dan
h. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ouput per
pekerja, Y
Ouput, f(k)
Investasi, sf(k) Konsumsi
per pekerja
Investasi per
pekerja
Output per pekerja
35
Berdasarkan pasal 3 ayat 2 UU No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal yang
menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan penanaman modal adalah untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi.
6. Pengaruh Opini BPK terhadap Pertumbuhan Ekonomi
IMF dalam pertemuan Interim Committee (1996), mengidentifikasi peningkatan tata kelola
yang baik dalam semua aspeknya, termasuk memastikan supremasi hukum, meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas sektor publik, dan memberantas korupsi sebagai kunci untuk efisiensi
dan pertumbuhan ekonomi (Basu, 2002). Keterlibatan IMF dalam mewujudkan tata pemerintahan
yang baik dapat dilihat dalam dua bidang berikut: a. Meningkatkan pengelolaan sumber daya publik dengan mencakup lembaga-lembaga sektor
publik (misalnya, perbendaharaan, bank sentral, perusahaan publik, layanan sipil, dan fungsi
statistik resmi), termasuk prosedur administrasi (misalnya, pengendalian pengeluaran, pengelolaan anggaran, dan pengumpulan pendapatan).
b. Mendukung pengembangan dan pemeliharaan lingkungan ekonomi dan peraturan yang
transparan dan stabil yang kondusif bagi kegiatan sektor swasta yang efisien (misalnya,
sistem harga, rezim pertukaran dan perdagangan, serta sistem perbankan dan peraturan terkait).
Salah satu poin penting dari pertemuan Interim Committee (1996) adalah pengelolaan
sumber daya publik dengan mencakup lembaga-lembaga sektor publik yaitu pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan anggaran. Keberhasilan otonomi daerah didukung tiga aspek
penting didalamnya yaitu pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan (Mardiasmo. 2002:213).
Ketiga aspek tersebut pada dasarnya berbeda baik secara konsep maupun aplikasinya. Pengawasan pada dasarnya mengacu kepada tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh pihak
diluar eksekutif yaitu masyarakat dan DPRD dalam mengawasi kinerja Pemerintahan.
Pengendalian atau control yaitu mekanisme yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam menjamin
terlaksananya sistem dan kebijakan untuk mencapai tujuan organisasi. Upaya pengendalian ini sama dengan pemeriksaan (audit) yang merupakan kegiatan pihak tertentu secara independen dan
memiliki kompetensi profesional dalam memeriksa hasil kinerja pemerintah.
Sistem informasi dan akuntansi serta mekanisme pemantauan birokrat publik menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 pada Penjelasan Pasal 16 ayat (1) dilakukan melalui
pemberian opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Dari segi hubungannya antara pemeriksa
dengan yang diperiksa pengawasan ini dapat berbentuk pengawasan interen dan eksteren
(Bohari,1992:32). Pengawasan terhadap keuangan dapat dikatakan interen jika antara pengawas dan yang diawasi mempunyai hirarki atau masih ada hubungan pekerjaan pada tatanan
eksekutif, seperti Inspektorat baik Insfektorat wilayah Provinsi maupun wilayah Kabupaten
/Kota. Pengawasan dikatakan ekstern jika antara pengawas dengan yang diawasi tidak mempunyai
hubungan hirarki atau berada diluar eksekutif, dapat diartikan bahwa pengawasan yang
secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan yang terlepas dari kekuasaan eksekutif. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan badan yang bertugas mengawasi dan memeriksa
keuangan negara yang terlepas dari eksekutif. Selain itu pengawasn yang dilakukan oleh DPRD
juga merupakan pengawasan ektern, karena DPRD merupakan lembaga diluar eksekutif yang
diposisikan sebagai mitra kerja Kepala Daerah. Pengawasan merupakan tahap integral dengan keseluruh tahap pada penyusunan dan
pelaporan PKAPB. Pengawasan diperlukan pada setiap tahap bukan hanya pada tahap evaluasi
saja (Mardiasmo, 2001). Pengawasan yang dilakukan oleh Pimpinan dimulai pada saat proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan, dan pertanggunganjawaban APBD. Alamsyah (1997)
menyebutkan bahwa tujuan adanya pengawasan APBD adalah untuk : (1) menjaga agar anggaran
yang disusun benar-benar dijalankan, (2) menjaga agar pelaksanaan APBD sesuai dengan
36
anggaran yang digariskan, dan (3) menjaga agar pelaksanaan APBD benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan.
Implikasi atas pengelolaan keuangan Negara/daerah dapat mencerminkan kinerja institusi dalam memanfaatkan dana untuk mencapai tujuan organisasinya. Musgrave & Musgrave (1989)
mengkategorikan kebutuhan publik dalam produk-produk pelayanan umum antara lain pelayanan
barang, pelayanan jasa, keamanan, pendidikan, dan kesehatan. Oleh karena sifatnya adalah unit
kerja publik, maka entitas yang menjadi obyek pemeriksaan adalah berkaian dengan belanja untuk menghasilkan pelayanan dan produk untuk memenuhi kebutuhan publik. Dalam konteks
inilah proses manajemen pengawasan dan pemeriksaan atas alokasi belanja diperlukan untuk
mendeteksi kebenarannya. Stewardship theory didefinisikan sebagai suatu situasi dimana manager tidak mempunyai
kepentingan pribadi tetapi mementingkan principal. (Donaldson dan Davis, 1991). Teori
stewardship berasumsi bahwa manusia pada hakikatnya bertindak dengan penuh tanggungjawab, dapat dipercaya, berintegritas tinggi dan memiliki kejujuran. Manajemen melaksanakan tindakan
sebaik-baiknya untuk kebutuhan stakeholder yaitu: rakyat, pemegang saham, penanam modal, dan
kreditur. Manajemen dalam suatu organisasi dicerminkan sebagai good steward yang
melaksanakan tugas dari atasannya secara penuh tanggungjawab. Hubungan teori stewardship dengan penelitian ini yaitu prinsip bahwa pemerintah sebagai manajer merasa mempunyai
tanggungjawab dalam pengelolaan keuangan dan pengalokaisan sumber daya yang ada dengan
cara lebih bijaksana dan berhati-hati untuk kepentingan masyarakat luas. Pemerintah wajib memberikan laporan pertanggungwajaban dalam APBD kepada rakyat dalam bentuk LKPD yang
telah diaudit oleh BPK. LKPD dibuat oleh pemerintah daerah akan bermanfaat bagi pihak yang
membutuhkannya yang nantinya akan digunakan untuk pengambilan keputusan. Kinerja pemerintah daerah akan dinilai dalam laporan pertanggungjawaban dalam realisasi APBD serta
opini LKPD yang diperoleh pemerintah daerah.
7. Pengaruh Status Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Sumber daya alam dan tingkat perekonomian suatu negara memiliki kaitan yang erat, di
mana kekayaan sumber daya alam secara teoretis akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Pendapat ini didukung oleh Pemikiran kaum Klasik, yaitu mengenai hubungan persamaan
antara hasil produksi dengan kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi
(Djojohadikusumo, 1994). Total produksi Klasik dinyatakan dalam rumus Y=f(K, L, R, T) dimana
K adalah jumlah modal (Capital), L adalah tenaga kerja (Labor), R adalah tanah (sumber daya alam dalam arti luas) dan T adalah Tehnologi. Menurut kaum Klasik fungsi produksi sangat
tergantung dari R atau sumber daya alam dalam arti luas. Semakin besar R maka total produksi
akan semakin besar. Demikian juga dengan daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, akan meningkatkan pendapatan asli daerah yang semakin meningkat melalui bagi hasil
pemerintah pusat dengan daerah. Meningkatnya bagi hasil dengan daerah, akan meningkatan
kemampuan finasial dalam mengelola belanja daerah dan mengakibatkan peningktan kapasitas ekonomi daerah yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, pada
kenyataannya hal tersebut justru sangat bertentangan karena negara-negara di dunia yang kaya
akan sumber daya alamnya sering kali merupakan negara dengan tingkat ekonomi yang rendah.
Hal ini disebabkan negara yang cenderung memiliki sumber pendapatan besar dari hasil bumi memiliki kestabilan ekonomi sosial yang lebih rendah daripada negara-negara yang bergerak di
sektor industri dan jasa. Di samping itu, negara yang kaya akan sumber daya alam juga cenderung
belum memiliki teknologi yang memadai dalam mengolahnya. Korupsi, perang saudara, lemahnya pemerintahan dan demokrasi juga menjadi faktor penghambat dari perkembangan perekonomian
negara-negara tersebut.
37
Penemuan paradoks tentang hubungan negatif antara sektor sumber daya yang cukup besar
dan pertumbuhan ekonomi telah menarik perhatian luas dari akademisi, pembuat kebijakan dan
organisasi internasional. Mekanisme penyebab utama yang menghubungkan sumber daya dengan kinerja yang buruk biasanya dihipotesiskan sebagai kebijaksanaan eksekutif atas sewa sumber
daya. Menurut pandangan ini, banyaknya uang sewa memungkinkan politisi petahana untuk
mempertahankan dukungan dan mengkonsolidasikan basis kekuatan mereka melalui represi,
perlindungan yang dilembagakan (termasuk pengeluaran besar-besaran untuk pekerjaan layanan publik). Karena kebijakan semacam itu kemungkinan tidak akan mendorong pertumbuhan
ekonomi, maka tidak mengherankan jika kinerja ekonomi dan politik tidak independen. Hal itu
dikuatkan dengan pengamatan dari negara-negara tertentu di dunia berkembang, tidak diragukan lagi telah menambah daya tarik hipotesis kutukan sumber daya (Brunnschweiler & Bulte, 2008).
Ada beberapa penelitian yang mencoba mengidentifikasi alasan di balik kutukan sumber
daya di ekonomi negara kaya minyak. Alasan utama yang ditunjukkan dalam literatur dapat dikelompokkan menjadi enam kategori (Coutinho, 2011) : (i) penyakit Belanda; (ii) kemerosotan
pemerintahan; (iii) investasi berlebihan dalam modal fisik; (iv) kurangnya investasi dalam modal
manusia; (v) pasar keuangan yang belum berkembang; dan (vi) peningkatan volatilitas ekonomi
makro. Salah satu penyebab kutukan sumber daya adalah penyakit Belanda (Dutch disease).
Penyakit Belanda adalah fenomena di bidang perekonomian yang merujuk pada akibat yang
biasanya ditimbulkan oleh berlimpahnya sumber daya alam di suatu negara. Penelitian Richard Auty menyimpulkan sejak 1960-an, negara-negara miskin sumber daya telah mengungguli negara-
negara kaya sumber daya dibandingkan dengan selisih yang cukup besar. Auty telah
mempertimbangkan indikator pertumbuhan ekonomi terutama pada ekspor. Pendapatnya kutukan ini menjadi penghambat pembangunan dengan menimbulkan apa yang disebutnya Dutch Disease,
yaitu kemerosotan di sektor ekonomi lain yang menyertai masuknya pendapatan dari ekspor
minyak (Otaha, 2012). Ketergantungan pada pendapatan sumber daya alam (minyak) membuat
perekonomian nasional rentan terhadap harga yang dipatok. Ketergantungan minyak dan ketidakstabilan harga minyak di pasar internasional menyebabkan masalah yang signifikan dalam
perencanaan fiskal, menurunkan kualitas belanja publik, dan menyebabkan bencana keuangan
ketika harga minyak jatuh. Namun, ketika harga minyak jatuh, anggaran fiskal mengalami defisit, negara-negara mulai mengambil pinjaman dengan memanfaatkan cadangan mereka, dan berbaris
tanpa hambatan ke dalam utang (Auty, 2004).
C. Penurunan Hipotesis Dari uraian penelitian terdahulu dapat diturunkan hipotesis penelitian sebagai berikut :
1. Belanja pemerintah diduga memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah,
melalui : a. Teori yang membahas pengaruh anggaran terhadap pertumbuhan ekonomi adalah
teorinya kebijakan fiskal. Perubahan pengeluaran pemerintah akan mengubah
keseimbangan jangka pendek perekonomian nasional. Perubahan fiskal akan memengaruhi pengeluaran yang direncanakan dan menggeser kurva IS. Model IS-LM
menunjukkan bagaimana pergeseran (peningkatan) dalam kurva IS ini mempengaruhi
(meningkatkan) pendapatan nasional (Mankiw, 2003). Penelitian mengenai pengaruh antara pengeluaran pemerintah untuk pendidikan
terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan Iqbal & Zahid (1998), Li & Liang (2010) dan
Murova & Khan (2017). Penelitian Iqbal & Zahid (1998) menguji efek dari beberapa
variabel ekonomi makro kunci pada pertumbuhan ekonomi Pakistan. Penelitiannya menyimpulkan bukti kuantitatif menunjukkan bahwa pendidikan dasar menjadi
prasyarat penting (+) untuk mempercepat pertumbuhan. Penelitian Li & Liang (2010)
menguji secara empiris sumber-sumber pertumbuhan ekonomi berdasarkan model
38
Mankiw, Romer, dan Weil yang diperluas yang mempertimbangkan modal manusia
dalam bentuk kesehatan dan pendidikan untuk sekelompok ekonomi Asia Timur
termasuk Cina. Penelitiaanya menyimpulkan mampak dari anggaran kesehatan dan pendidikan secara statistik signifikan mempengaruhi (+) pertumbuhan ekonomi.
Penelitian Murova & Khan (2017) menganalisis efisiensi investasi publik dan
dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi di AS. Hasil penelitiaanya ada hubungan
yang sangat signifikan dan positif (+) antara pengeluaran untuk pendidikan dengan produk domestik bruto (PDB). Hipotesis yang dapat diturunkan dari teori dan penelitian
terdahulu adalah :
H1 :
Belanja pemerintah untuk pendidikan memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
b. Teori yang membahas pengaruh anggaran terhadap pertumbuhan ekonomi adalah teorinya kebijakan fiskal. Keynesian theory of growth mengilustrasikan bahwa dalam
kebijakan fiskal, baik pajak maupun belanja pemerintah memiliki dampak terhadap
aggregate output. Dimana belanja pemerintah memiliki dampak langsung terhadap aggregate output, sebaliknya pajak memiliki dampak tidak langsung. Penelitian
mengenai pengaruh antara pengeluaran pemerintah untuk kesehatan terhadap
pertumbuhan ekonomi dilakukan Naidu & Chand (2013), Murova & Khan (2017), Silva,
et al. (2018), Akingba, et al. (2018) dan Pereira, et al. (2019). Mereka menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk kesehatan memiliki pengaruh positip terhadap
pembangunan ekonomi. Penelitian ini juga didukung penelian Li & Liang (2010). Hasil
penelitiannya menyimpulkan pengeluaran untuk kesehatan terhadap pertumbuhan ekonomi lebih kuat daripada dampak pengeluaran untuk pendidikan. Tampaknya lebih
masuk akal bagi para pembuat kebijakan di Asia Timur untuk berinvestasi lebih banyak
di bidang kesehatan daripada sumber daya manusia pendidikan. Hipotesis yang dapat diturunkan dari teori dan penelitian terdahulu adalah : H1 :
Belanja pemerintah untuk kesehatan memiliki pengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi
c. Teori yang membahas pengaruh anggaran terhadap pertumbuhan ekonomi adalah
teorinya kebijakan fiskal. Keynesian theory of growth mengilustrasikan bahwa dalam
kebijakan fiskal, baik pajak maupun belanja pemerintah memiliki dampak terhadap aggregate output. Dimana belanja pemerintah memiliki dampak langsung terhadap
aggregate output, sebaliknya pajak memiliki dampak tidak langsung. penelitian
mengenai pengaruh antara belanja pemerintah untuk pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai unsur penunjang. Pembangunan bidang pertanian diartikan
dengan transformasi struktural dari perekonomian yang bertumpu pada kegiatan
pertanian menjadi perekonomian industri barang dan jasa, sehingga peranan pemerintah
sangat dibutuhkan terutama dalam mendorong aktivitas di bidang pertanian melalui penyediaan sarana dan prasarana pertanian (seperti irigasi, pupuk dan bibit). Hasil
penelitian mengenai pengaruh antara pengeluaran pemerintah untuk pertanian terhadap
pertumbuhan ekonomi dilakukan Xu, et al. (2011), Hasil penelitiannya menyimpulkan pengeluaran pemerintah bidang pertanian memiliki dampak (+) terhadap pertumbuhan
ekonomi dalam jangka panjang. Hipotesis yang dapat diturunkan :
H1 :
Belanja pemerintah untuk pertanian memiliki pengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi
d. Teori yang membahas pengaruh anggaran terhadap pertumbuhan ekonomi adalah
teorinya kebijakan fiskal. Keynesian theory of growth mengilustrasikan bahwa dalam
39
kebijakan fiskal, baik pajak maupun belanja pemerintah memiliki dampak terhadap
aggregate output. Dimana belanja pemerintah memiliki dampak langsung terhadap
aggregate output, sebaliknya pajak memiliki dampak tidak langsung. penelitian mengenai pengaruh antara belanja pemerintah bidang perikanan dan kelautan terhadap
pertumbuhan ekonomi dilakukan Huda, dkk. (2015), Novianti, dkk. (2014), dan
Agustine, dkk. (2013). Penelitian Huda dkk menyimpulkan anggaran kelautan dan
perikanan memiliki pengaruh positif (+) terhadap peningkatan PDRB (sektor perikanan) di Jawa Timur. Penelitian Novianti dkk menyimpulkan Peningkatan Pengeluaran
pemerintah bidang kelautan dapat meningkatkan (+) pertumbuhan ekonomi melakukan
peningkatan infrastruktur kelautan. Penelitian Agustine dkk menyimpulkan anggaran kelautan dan perikanan dapat mendorong (+) pendapatan masyarakat di Indonesia.
Penelitian mengenai pengaruh antara belanja pemerintah untuk bidang perikanan dan
kelautan terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan Huda, dkk. (2015), Novianti, dkk. (2014), dan Agustine, dkk. (2013) menyimpulkan belanja pemerintah yang di alokasikan
untuk pembangunan kelautan dapat mendorong (+) perumbuhan ekonomi. Hipotesis
yang dapat diturunkan:
H1 :
Belanja pemerintah untuk kelautan memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
2. Teori yang membahas pengaruh dana alokasi umum terhadap pertumbuhan ekonomi adalah teorinya kebijakan fiskal. Keynesian theory of growth mengilustrasikan bahwa dalam
kebijakan fiskal, baik pajak maupun belanja pemerintah maupun dana bagi hasil (DAU)
memiliki dampak terhadap aggregate output. Dimana DAU yang digunakan untuk belanja daerah memiliki dampak langsung terhadap aggregate output. Penelitian mengenai pengaruh
antara DAU terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan Malik, et al. (2006), Ezcurra &
Rodríguez (2011) dan Purbadharmaja, dkk. (2019) menyimpulkan dana perimbangan di beberapa negara dapat mendorong (+) pertumbuhan ekonomi. Penelitian Malik, et al. (2006)
memberikan teori dan bukti tentang hubungan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan
ekonomi di Pakistan tahun 1984-2012. Penelitian Ezcurra & Rodríguez (2011) menganalisis
hubungan antara tingkat desentralisasi pengeluaran perlindungan sosial dan pertumbuhan ekonomi untuk dua puluh negara OECD selama periode 1990-2005. Hasil penelitian
menyimpulkan dana desentralisasi berkorelasi positif (+) dengan pertumbuhan ekonomi di
negara-negara yang termasuk dalam sampel, yang konsisten dengan argumen teoretis yang menekankan pada perolehan efisiensi yang diperoleh dari proses desentralisasi. Hipotesis
yang dapat diturunkan :
H1 :
Dana Alokasi Umum memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
3. Pertumbuhan populasi membedakan model Solow dalam tiga cara. Pertama, pertumbuhan
populasi mempermudah menjelaskan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dalam kondisi
mapan dengan pertumbuhan populasi, modal per pekerja dan output per pekerja adalah konstan. Jumlah pekerja bertambah pada tingkat n, modal total dan output total juga harus
bertambah pada tingkat n. Dengan demikian, meskipun tidak dapat menjelaskan pertumbuhan
yang berkelanjutan dalam standar kehidupan, pertumbuhan populasi akan membantu menjelaskan pertumbuhan output total yang berkelanjutan.
Penelitian yang dilakukan Merrick (2002), Prettner (2013), Rahman, et al. (2017) dan Ibhagui
(2020) menyimpulkan bahwa pertambahan penduduk memiliki pengaruh positif (+) terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian Merrick (2002) menganalisis potensial dari pertumbuhan
populasi yang lebih lambat tergantung pada waktu dan intensitas perubahan demografis,
status ekonomi dan sosial perempuan, dan jenis dan fokus kebijakan ekonomi di negara-
40
negara yang mengalami perubahan demografis. Hasil penelitiannya menyimpulkan transisi
demografis telah mempromosikan (+) pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan
melalui apa yang disebut dividen demografis. Penelitian Tsen & Furuoka (2005) menyelidiki hubungan antara populasi dan pertumbuhan ekonomi di negara Asia. Hasil penelitiaanya Ada
dua arah Granger kausalitas antara populasi dan pertumbuhan ekonomi untuk Jepang, Korea,
dan Thailand. Untuk Cina, Singapura, dan Filipina, populasi yang ditemukan di Granger
menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan bukan sebaliknya. Hipotesis yang dapat diturunkan adalah:
H1 :
Jumlah penduduk memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
4. Upaya-upaya pengentasan kemiskinan melalui serangkaian kebijakan dan rencana yang
langsung terarah kepada penduduk miskin akan berdampak pada perbaikan kesejahteraan
penduduk miskin (Todaro, 2000). Todaro berpendapat pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan
untuk mempercepat pertumbuhan, dengan demikian kebijakan untuk mengurangi kemiskinan
berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi. Kemiskinan membuat kaum miskin tidak punya akses terhadap sumber daya, dan tidak punya peluang berinvestasi sehingga akan
memperlambat pertumbuhan pendapatan perkapita. Kebijakan penurunan kemiskinan secara
masal akan menciptakan stabilitas sosial dan memperluas partisipasi publik dalam proses
pertumbuhan ekonomi. Penelitian mengenai pengaruh penduduk miskin terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan
Yusuf, et al. (2014), Mariyanti & Mahfudz (2016) dan Akanbi (2017). Mereka
menyimpulkan jumlah penduduk miskin memiliki pengaruh negatif (-) dengan pertumbuhan ekonomi, artinya jika jumlah penduduk miskin meningkat, maka mengakibatkan penurunan
pertumbuhan ekonomi. Penelitian Yusuf, et al. (2014) meneliti hubungan sebab akibat antara
korupsi, pengurangan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi di Nigeria, dengan tujuan mengidentifikasi hubungan simultan antara korupsi, pengurangan kemiskinan dan
pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Hasil penelitiannya menyimpulkan Korupsi dan faktor
pertumbuhan ekonomi menyebabkan kemiskinan di Nigeria. Hasilnya juga menunjukkan
bahwa pertumbuhan ekonomi menyebabkan korupsi dalam jangka pendek dan menengah, dan korupsi bersama-sama dengan kemiskinan mempengaruhi (-) pertumbuhan ekonomi.
Hipotesis yang dapat diturunkan :
H1 :
Jumlah penduduk miskin memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi
5. Argumen yang mendukung penanaman modal asing sebagai pendorong laju pertumbuhan
ekonomi sebagian besar berasal dari pendapat Neo-Klasik tradisional. Menurut analisis ini penanaman modal asing dianggap merupakan sesuatu yang dapat mengisi celah yang ada
antara tabungan yang dihimpun dari dalam negeri, cadangan devisa, penerimaan pemerintah
dan keahlian di satu pihak dan jumlah yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran
pembangunan di pihak lain (Todaro, 2000). penelitian mengenai pengaruh antara investasi asing terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan Metwally (2004), Hoang, et al. (2010),
Freckleton, et al. (2012), Arısoy (2012), Chaudhry, et al. (2013) dan Lau & Yip (2019)
menyimpulkan penanaman modal asing memiliki pengaruh positif (+) terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peranannya di dalam mengisi kekurangan sumberdaya antara investasi yang
ditargetkan dengan tabungan dalam negeri yang dapat di mobilisasi. Penelitian Metwally, M.
(2004) menguji proses interaksi antara investasi asing langsung (FDI), ekspor dan pertumbuhan ekonomi di tiga negara Timur Tengah. Hasil penelitiannya menyimpulkan ada
efek umpan balik dalam hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan aliran modal di semua
negara sampel. Arus masuk modal asing yang lebih besar (+) mengarah pada pertumbuhan
41
ekspor barang dan jasa, dan akhirnya berdampak pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi.
Penelitian Hoang, et al. (2010) menganalisis efek dari investasi asing langsung (FDI) pada
pertumbuhan ekonomi di enam puluh satu provinsi Vietnam pada tahun 1995-2006. Hasil penelitiannya ada efek FDI yang kuat dan positif (+) terhadap pertumbuhan ekonomi di
Vietnam sebagai saluran untuk meningkatkan persediaan modal. Hipotesis yang dapat
diturunkan: H1 :
Investasi Asing memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
6. IMF dalam pertemuan Interim Committee (1996), mengidentifikasi peningkatan tata kelola
yang baik dalam semua aspeknya, termasuk memastikan supremasi hukum, meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas sektor publik, dan memberantas korupsi sebagai kunci untuk
efisiensi dan pertumbuhan ekonomi (Basu, 2002). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang
disajikan dalam laporan keuangan, dan berdampak (+) terhadap perumbuhan ekonomi.
Hubungan teori stewardship dengan penelitian ini yaitu prinsip bahwa pemerintah sebagai manajer merasa mempunyai tanggungjawab dalam pengelolaan keuangan dan pengalokaisan
sumber daya yang ada dengan cara lebih bijaksana dan berhati-hati untuk kepentingan
masyarakat luas. Pemerintah wajib memberikan laporan pertanggungwajaban dalam APBD
kepada rakyat dalam bentuk LKPD yang telah diaudit oleh BPK. LKPD dibuat oleh pemerintah daerah akan bermanfaat bagi pihak yang membutuhkannya yang nantinya akan
digunakan untuk pengambilan keputusan. Kinerja pemerintah daerah akan dinilai dalam
laporan pertanggungjawaban dalam realisasi APBD serta opini LKPD yang diperoleh pemerintah daerah. Hipotesis yang dapat diturunkan :
H1 :
Opini BPK terhadap LKPD memiliki pengaruh positif pertumbuhan ekonomi
7. Sumber daya alam dan tingkat perekonomian suatu negara memiliki kaitan yang erat, di mana
kekayaan sumber daya alam secara teoretis akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Pendapat ini didukung oleh Pemikiran kaum Klasik, yaitu mengenai hubungan
persamaan antara hasil produksi dengan kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam
proses produksi (Djojohadikusumo, 1994). Total produksi Klasik dinyatakan dalam rumus
Y=f(K, L, R, T) dimana K adalah jumlah modal (Capital), L adalah tenaga kerja (Labor), R adalah tanah (sumber daya alam dalam arti luas) dan T adalah Tehnologi. Menurut kaum
Klasik fungsi produksi sangat tergantung dari R atau sumber daya alam dalam arti luas.
Semakin besar R maka total produksi akan semakin besar. Demikian juga dengan daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, akan meningkatkan pendapatan asli daerah
yang semakin meningkat melalui bagi hasil pemerintah pusat dengan daerah. Meningkatnya
bagi hasil dengan daerah, akan meningkatan kemampuan finasial dalam mengelola belanja
daerah dan mengakibatkan peningktan kapasitas ekonomi daerah yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan teori dan Keputusan Menteri ESDM No
4618 K/80/MEM/2016 dan penghasil SDA Minyak Bumi di atas 5 juta perbarel, status daerah
memiliki pengaruh (+) terhadap pertumbuhan ekonomi. Hipotesis yang dapat diturunkan : H1 :
Status Daerah memiliki pengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi
42
BAB III
METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian adalah proses atau cara ilmiah untuk mendapatkan data yang akan
digunakan untuk keperluan penelitian. Metodologi dalam penelitian ini menggunakan regresi data panel. Bab ini akan membahas tipe penelitian, definisi operasional, teknis analisis data, regresi panel statis dan
regresi panel dinamis.
A. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Indonesia dengan menggunakan data sampel 20 dari 34
provinsi yang ada di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data time series dan cross section dari
tahun 2008 sampai dengan 2018. Tahun 2008 dipilih sebagai awal tahun pengamatan karena pada tahun tersebut terjadi krisis ekonomi jilid II dan mulai tertatanya laporan data realisasi belanja
daerah yang dipublikasikan Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Tahun 2018 dipilih sebagai
tahun berakhirnya pengamatan karena alasan teknis, yaitu data yang update pada saat ini adalah tahun 2018. Alasan digunakan 20 provinsi sebagai sampel penelitian ini karena dari 34 provinsi yang
ada di Indonesia (59% dari total provinsi yang ada di Indonesia), hanya 20 provinsi yang memiliki
data lengkap dari tahun 2008 hingga 2018, sedangkan 14 provinsi lainnya data tersedia tapi tidak
lengkap.
B. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan pendekatan regresi linear. Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan
fenomena serta hubungan-hubungannya. Tujuan Penelitian Kuantitatif adalah mengembangkan dan
menggunakan model-model matematis, teori-teori dan hipotesis yang dikaitkan dengan fenomena yang terjadi.
Metode penelitian kuantitatif menurut pandangan Sugiyono (2012: 8) yaitu: metode
penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau
sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Ekonometrikan
adalah salah satu bagian dari penelitian kuantitatif yang menggunakan alat utama regresi linear.
Ekonometrika merupakan suatu ilmu yang menganalisis fenomena ekonomi dengan menggunakan teori ekonomi, matematika, dan statistika, dan teori ekonomi tersebut dirumuskan
melalui hubungan matematika dan diterapkan pada data untuk dianalisis menggunakan metode
statistika (Gujarati, 2003). Alat utama yang digunakan dalam ekonometrika adalah regresi linear.
Regresi linear (Gujarati, 2003) diartikan sebagai suatu analisis tentang ketergantungan suatu variabel kepada variabel lain yaitu variabel bebas dalam rangka membuat estimasi atau prediksi dari nilai
rata-rata variabel tergantung dengan diketahuinya nilai variabel bebas.
C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel penelitian dan definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Tabel 3.1.
Definisi Operasional Variabel
No Variabel Definisi Operasional Keterangan
1 Pertumbuhan
Ekonomi
Pertumbuhan Ekonomi adalah
perubahan (kenaikan atau penurunan)
PDRB yang dalam studi ini diukur
Lanjutan Tabel 3.1.
42
43
No Variabel Definisi Operasional Keterangan
dengan logaritma terhadap PDRB
(Gujarati, 2003, hal 176) atau dengan
melakukan turunan pertamanya dari PDRB (Δ PDRB)
2 a. Belanja
Pemerintah untuk
pendidikan
Belanja Pemerintah untuk pendidikan
adalah anggaran fungsi pendidikan mencerminkan upaya pemerintah dalam
memberikan pelayanan kepada
masyarakat dalam bidang pendidikan.
Belanja pemerintah untuk
pendidikan didekati dengan jumlah belanja
pembangunan untuk sektor
pendidikan pada Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah tahun 2008-2018 menurut
fungsi pendidikan. Variabel
tersebut dihitung dalam satuan Milyar Rupiah.
b. Belanja
Pemerintah
untuk Kesehatan
Belanja Pemerintah untuk Kesehatan
adalah anggaran fungsi kesehatan
mencerminkan upaya pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat dalam bidang kesehatan dan
pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana.
Belanja pemerintah untuk
pendidikan didekati dengan
jumlah belanja pembangunan untuk sektor
kesehatan pada Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah tahun 2008-2018 menurut
fungsi kesehatan. Variabel
tersebut dihitung dalam
satuan Milyar Rupiah.
c. Belanja
Pemerintah
untuk pertanian
Belanja Pemerintah untuk pertanian
adalah anggaran fungsi pertanian
mencerminkan upaya pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat dalam bidang pertanian.
Belanja pemerintah untuk
pertanian didekati dengan
jumlah belanja pembangunan untuk sektor
pertanian pada Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah
tahun 2008-2018 menurut fungsi pertanian. Variabel
tersebut dihitung dalam
satuan Milyar Rupiah.
d. Belanja
Pemerintah
untuk
perikanan dan kelautan
Belanja Pemerintah untuk perikanan
dan kelautan adalah anggaran fungsi
perikanan dan kelautan mencerminkan
upaya pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam
bidang perikanan dan kelautan.
Belanja pemerintah untuk
perikanan dan kelautan
didekati dengan jumlah
belanja pembangunan untuk sektor perikanan dan
kelautan pada Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah tahun 2008-2018 menurut
fungsi perikanan dan
kelautan. Variabel tersebut dihitung dalam satuan
Milyar Rupiah.
3 Dana Alokasi
Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah
salah satu transfer dana Pemerintah
DAU = Alokasi Dasar (AD)
+ Celah Fiskal (CF) AD =
Lanjutan Tabel 3.1.
44
No Variabel Definisi Operasional Keterangan
kepada pemerintah daerah yang
bersumber dari pendapatan APBN, yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah
untuk mendanai kebutuha daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi dan dinyatakan satuan Milyar Rupiah.
Proyeksi Belanja Gaji
Pegawai Negeri Sipil Daerah
(PNSD) dalam setahun kedepan. CF = Kebutuhan
Fiskal (KbF) - Kapasitas
Fiskal (KpF)
4 Jumlah Populasi Jumlah Populasi adalah semua orang
yang berdomisili di wilayah geografis
Republik Indonesia selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili
kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan
untuk menetap (definisi menurut BPS Republik Indonesia), dinyatakan dalam
satuan orang
5 Jumlah
Penduduk Miskin
Jumlah penduduk miskin (Pov) adalah
jumlah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan
dibawah garis kemiskinan (GK)
provinsi, dinyatakan dalam satuan orang
6 Penanaman
Modal Asing
Penanaman Modal Asing (PMA) adalah
realisasi kegiatan menanam modal
untuk melakukan usaha di wilayah
Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing
baik yang menggunakan modal asing
sepenuhnya, maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri
dan dinyatakan dalam Milyar Rupiah.
7 Dummy Opini
BPK
Opini BPK merupakan pernyataan
profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang
disajikan dalam laporan keuangan.
Opini yang diberikan BPK 1. Wajar Tanpa Pengecualian
(WTP)
2. Wajar Tanpa Pengecualian
Dengan Paragraf Penjelas (WTP-DPP)
3. Wajar Dengan Pengecualian
(WDP), 4. Tidak Wajar (TW)
5. Tidak Memberikan Pendapat
(TMP)
Dalam regresi panel statis
diberi angka 1 dan 0. (Wajar Tanpa Pengecualian
(WTP) dan Wajar Tanpa
Pengecualian Dengan Paragraf Penjelas (WTP-
DPP) dengan skor 1, Wajar
Dengan Pengecualian
(WDP), Tidak Wajar (TW) dan Tidak Memberikan
Pendapat (TMP) dengan
skor 0). Dalam panel dinamis
dummy untuk opini BPK
tidak bisa menjadi variabel karena tidak memiliki Δ
8 Dummy Status
Daerah
Skor Daerah adalah klasifikasi daerah
berdasarkan Keputusan Menteri ESDM
No 4618 K/80/MEM/2016
Dalam regresi panel statis
diberi angka 1 dan 0.
(Wajar Tanpa Pengecualian
Lanjutan Tabel 3.1.
45
No Variabel Definisi Operasional Keterangan
(WTP) dan Wajar Tanpa
Pengecualian Dengan
Paragraf Penjelas (WTP-DPP) dengan skor 1, Wajar
Dengan Pengecualian
(WDP), Tidak Wajar (TW) dan Tidak Memberikan
Pendapat (TMP) dengan
skor 0). Dalam panel dinamis
dummy status daerah tidak
bisa menjadi variabel karena
tidak memiliki Δ
D. Teknis Analisis Data
Alasan penelitian ini menggunakan model panel statis dan panel dinamik tersebut adalah;
pertama ingin melihat pengaruh langsung antara variabel bebas terhadap variabel terikat, pengaruh ini bisa dilihat dari hasil regresi panel statis; kedua, karena ketergantungan suatu variabel terikat
atas variabel–variabel bebas jarang yang bersifat seketika. Selang waktu tersebut dinamakan lag
(Gujarati, 2003:657). Melalui regresi model statis terhadap variabel-variabel yang saling berhubungan, akan didapat parameter estimasi jangka panjang (model dinamis) yang mendorong
terjadinya dinamika jangka pendek yang lebih kompleks ke dalam residualnya. Dengan demikian
penggabungan model regresi panel statis dan regresi panel dinamis lebih memberikan informasi yang lengkap dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi daerah.
1. Model Regresi Data Panel Sesuai dengan uraian teknis analisis data maka persamaan regresi yang tepat
digunakan dalam disertasi ini adalah regresi data panel. Fungsi PDRB adalah sebagai berikut ini
( 3.1):
PDRBti = f(Educti, Healthti, Agricti, Marineti, DAUti, Popti, Povt, FDIti, Opnti, Status) ……………………………………..……….. 3.1.
Dari fungsi PDRB (3.1) dapat dijabarkan persamaan matematika sebagai berikut :
PDRBti = β0 + β1Educti + β2Healthti + β3Agricti + β4 Marineti + β5 DAUti + β6Popti + β7Povti + β8FDIti + β9 DOpnti+ β10 DStatus + εt
……………………………………………..…....…..…….. 3.2.
Keterangan :
PDRB : Produk Domestik Regional Bruto Educ : Belanja Pemerintah Untuk Pendidikan
Health : Belanja Pemerintah Untuk Kesehatan
Agric : Belanja Pemerintah untuk Pertanian Marine : Belanja Pemerintah Untuk Kelautan dan Perikanan
DAU : Dana Alokasi Umum
Pop : Jumlah Penduduk
Pov : Jumlah Penduduk Miskin FDI : Investasi Asing
DOpn : Dummy untuk Opini BPK terhadap Laparon Pertangungjawaban
Keuangan Daerah DStatus : Dummy untuk variabel Status
β (1…2) : Koefisien regresi (angka elastisitas) masing-masing variabel
Lanjutan Tabel 3.1.
Lanjutan Tabel 3.1.
46
independen
ε : Error term
t : Waktu i : Wilayah
Persamaan 3.2 di atas, dapat digunakan untuk mencari koefisien regresi yang
menunjukkan angka elastisitas yaitu nilai β. Nilai koefisien regresi β dapat diartikan perubahan persentase variabel bebas akan mempengaruhi perubahan prosentase variabel terikat. Koefisien
regresi ini dapat dicari dengan melakukan log (Gujarati, 2003 : 168) terhadap semua variabel
kecuali variabel yang nilainya persen atau pecahan (perubahan dalam prosen). Variabel PDRB dalam persamaan tersebut dijadikan dalam bentuk logaritma, dan hasil persamaan 3.3 regresi
untuk log PDRB akan menghasilkan arti pertumbuhan ekonomi. Koefisien yang ingin dicari
adalah nilai elastisitas, maka model regresi dirubah dengan model double log, sehingga log(PDRBti) dapat diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi. Model panel statis yang digunakan
dalam penelitian ini menggunakan model double log (persamaan 3.3).
Log(PDRBti) = β0 + β1log(Educti) + β2log(Healthti ) + β3log(Agricti) + β4log(Marineti) + β5log(DAUti) + β6log(Popti) + β7Log(Povti) + β8log(FDIti) + β9DOpnti +
β10DStatusti + εt ………. 3.3.
Selanjutnya model panel dinamis sebagai berikut (persamaan 3.4). Δ PDRBti = β0 + β1ΔPDRBt-1i + β2ΔPDRBt-2i + β3ΔEduct-1i + β4 ΔEduct-2i + β5 ΔHealtht-1i
+ β6ΔHealtht-2i + β7ΔAgrict-1i + β8ΔAgrict-2i + β9ΔMarinet-1i + β10ΔMarinet-2i
+ β11ΔDAUt-1i + β12ΔDAUt-2i + β13ΔPopt-1i + β14ΔPopt-2i + β15ΔPovt-1i + β16ΔPovt-2i + β17ΔFDIt-1i + β18 ΔFDIt-2i + εt
………………...………………..……. 3.4.
Keterangan :
Δ : First Different (data turunan pertama) 1t : Lag 1
2t : Lag 2
Persamaan 3.4 untuk variabel dummy tidak bisa dimasukan ke dalam persamaan, karena syarat
untuk panel VECM seluruh variabel harus lolos dalam stasioner pada turunan pertama. Variabel
dummy berisi angka 0 dan 1, dummy tidak memiliki nilai turunan sehingga jika dalam
persamaan panel VECM dimasukan dummy program eviews tidak bisa menyelesaikan.
2. Metode Estimasi Model Regresi Panel
Tahapan analisis data panel sebagai berikut (Gambar 3.1). Tahapan yang harus dilakukan untuk melakukan regresi dengan model panel statis dan model panel dinamis ditunjukan dalam
Gambar 3.1. Metode estimasi data panel statis harus melalui tiga pendekatan (Greene, 2003)
pengujian pemilihan model (uji Chow, uji Hausman dan uji LM), dan jika pengujian dengan uji Chow dan uji Hausman sudah konsinten menolak hipotesis nol maka uji LM tidak perlu
dilakukan. Setelah model terpilih (common effect, fixed effect atau random effect), kemudian
dilakukan pengujian asumsi klasik (Gambar 3.1 tentang panel statis).
Untuk tahap pengujian regresi panel dinamik melalui pengujian : uji akar unit; uji penentuan panjang lag, uji stabilitas, uji kointegrasi, uji kausalitas Grangger, regresi model
VECM, impulse respon function dan variance decomposition (Gambar 3.1. tentang Model Panel
Dinamis).
a. Model Regresi Panel Statis
47
Metode estimasi model regresi dengan menggunakan data panel tahapan analisisnya
dapat dilakukan sebagai berikut:
Gambar 3.1
Tahapan Analisis Data Panel
1. Belanja Pemerintah Daerah a. Belanja Pendidikan b. Belanja Kesehatan c. Belanja Pertanian d. Belanja Perikanan dan Kelautan
2. Dana Alokasi Umum 3. Jumlah Penduduk 4. Jumlah Penduduk Miskin 5. Penanaman Modal Asing 6. Dummy Opini BPK
7. Dummy Status Daerah
48
1) Model Yang Dihasilkan
Regresi data panel akan dihasilkan model sebagai berikut :
a) Common Effects Model Model common effects merupakan pendekatan data panel yang paling sederhana.
Model ini tidak memperhatikan dimensi individu maupun waktu, sehingga diasumsikan
bahwa perilaku antar individu sama dalam berbagai kurun waktu. Model ini hanya
mengkombinasikan data time series dan cross section dalam bentuk pool, mengestimasinya menggunakan pendekatan kuadrat terkecil/pooled least square (Gujarati, 2003 ; 637;
Greene, 2003: 285). Persamaan regresi dalam model common effects dapat ditulis seperti
dalam persamaan 3.5. Log(PDRBti) = α + β1log(Educit) + β2log(Healthit) + β3log(Agricit) + β4log(Marineit)
+ β5log(DAUit) + β6log(Popit) + β7log(Povit) + β8log(FDIit) +
β9DOpnti + β10DStatusti + εit ………. 3.5. Keterangan :
i : Aceh, Sumut …… Papua (20 Provinsi)
t : 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018
Dimana i menunjukkan cross section (individu) dan t menunjukkan periode waktunya. Asumsi komponen error dalam pengolahan kuadrat terkecil biasa, proses estimasi secara
terpisah untuk setiap unit cross section dapat dilakukan.
b) Fixed Effects Model
Model Fixed effects mengasumsikan bahwa terdapat efek yang berbeda antar
individu. Perbedaan itu dapat diakomodasi melalui perbedaan pada intersepnya. Model fixed effects, setiap individu merupakan parameter yang tidak diketahui dan akan diestimasi
dengan menggunakan teknik variabel dummy yang dapat ditulis sebagai berikut (Gujarati,
2003; Greene, 2003: 285). Persamaan regresi dalam model fixed effects dapat ditulis seperti
dalam persamaan 3.6. Log(PDRBti) = (α + iαit) + β1log(Educit) + β2log(Healthit) + β3log(Agricit) +
β4log(Marineit) + β5log(DAUit) + β6log(Popit) + β7log(Povit) +
β8FDIit) + β9DOpnti + β10DStatusti + εit ................... 3.6.
nPDRB
PDRB
PRDR
log
............
log
log
2
1
=
....+
i
ii
00
...
0
......
000
n
....
2
1
+
pnnn
p
p
DStatusDStatusDStatus
HealthHealthHealth
EducEducEduc
21
22212
12111
....
log
....
log
....
log
logloglog
n
....
2
1
+
n
...
2
1
Teknik analisis seperti diatas dinamakan Least Square Dummy Variabel (LSDV). Selain
diterapkan untuk efek tiap individu, LSDV ini juga dapat mengakomodasi efek waktu yang
besifat sistemik. Hal ini dapat dilakukan melalui penambahan variabel dummy waktu di
dalam model.
c) Random Effects Model
Berbeda dengan fixed effects model, efek spesifik dari masing-masing individu diperlakukan sebagai bagian dari komponen error yang bersifat acak dan tidak berkorelasi
dengan variabel penjelas yang teramati, model seperti ini dinamakan random effects model
(REM). Model ini sering disebut juga dengan error component model (ECM) (Greene, 2003: 285). Persamaan model random effects dapat dituliskan seperti persamaan 3.7.
Log(PDRBt) = α + β1log(Educit) + β2log(Healthit) + β3log(Agricit) + β4log(Marineit)
+ β5log(DAUit) + β6log(Popit) + β7log(Povit) + β8log(FDIit) + β9DOpnti
+ β10DStatusti + wit …………….…. 3.7.
49
Keterangan :
i : Aceh, Sumut …… Papua
t : 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018 wit : εit + u1 ; E (wit) = 0; E (wit
2)= α2 + αu2;
E(wit,wjt-1) : 0; i ‡ j; E (ui,εit)= 0;
E(εi,εis) : E (εit,εjt)= E (εit,εjs)=0
Komponen error walaupun wt bersifat homoskedastik, tetapi terdapat korelasi antara wt dan wit-s (equicorrelation), yakni seperti persamaan 3.8.
Corr (wit, wi(t-1)) = αu2/( α2 + αu
2) ……………………………….…………….….. 3.8.
Metode OLS tidak bisa digunakan untuk mendapatkan estimator yang efisien bagi model random effects. Metode yang tepat untuk mengestimasi model random effects adalah
Generalized Least Squares (GLS) dengan asumsi homokedastik dan tidak ada cross-
sectional correlation (Gujarati, 2003).
2) Pemilihan Model Terbaik
Untuk memilih model yang paling tepat digunakan dalam mengelola data panel, terdapat
beberapa pengujian yang dapat dilakukan yakni:
a) Uji Chow (Radundant Test)
Uji Chow adalah pengujian untuk menentukan model Fixed Effet atau Random Effect yang paling tepat digunakan dalam mengestimasi data panel. Hipotesis
dalam uji chow adalah:
H0 : Common Effect Model atau pooled OLS H1 : Fixed Effect
Jika hasil uji Chow menunjukkan nilai probablitas cross section F statistic dibawah
0,05 maka Ho ditolak dan model fixed effect lebih tepat digunakan. Sebaliknya jika
hasil uji Chow menunjukkan nilai probablitas cross section F statistic di atas 0,05 maka Ho diterima dan model common effect lebih tepat digunakan.
b) Uji Hausman Uji Hausman (Greene, 2003: 303). dapat didefinisikan sebagai pengujian
statistik untuk memilih apakah model Fixed Effect atau Random Effect yang paling
tepat digunakan. Pengujian uji Hausman dilakukan dengan hipotesis berikut:
H0 : Random Effect Model H1 : Fixed Effect Model
Jika hasil uji Hausman menunjukkan nilai probablitas Chi-Sq. Statistic dibawah 0,05
maka Ho ditolak dan model fixed effect lebih tepat digunakan. Sebaliknya jika hasil uji Hausman menunjukkan nilai probablitas Chi-Sq. Statistic di atas 0,05 maka Ho
diterima dan model random effect lebih tepat digunakan.
c) Uji Lagrange Multiplier
Uji Lagrange Multiplier dilakukan jika uji Chow memilih common effect dan Uji
Hausman memilih random effect, tetapi jika uji Chow dan uji Hasman konsisten
menerima model fixed effect adalah model terbaik, maka uji LM tidak perlu dilakukan. Untuk mengetahui apakah model Random Effect lebih baik daripada metode Common
Effect digunakan uji Lagrange Multiplier (Greene, 2003: 298). Hipotesis dalam uji LM
sebagai berikut : H0 : Common Effect Model
H1 : Random Effect Model
50
Jika nilai Prob. Breusch-Pagan (BP) lebih kecil dari 0,05 maka H0 ditolak, dengan kata
lain model yang cocok adalah Random Effect Model.
3) Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik yang digunakan dalam regresi linier dengan pendekatan Ordinary
Least Squared (OLS) meliputi uji normalitas. uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji
multikolinieritas Walaupun demikian, tidak semua uji asumsi klasik harus dilakukan pada setiap model regresi linier dengan pendekatan OLS. Uji asumsi klasik dilakukan untuk
model terpilih berdasarkan hasil uji pemilihan model.
a) Uji Normalitas Uji normalitas pada dasarnya tidak merupakan syarat BLUE (Best Linier Unbias
Estimator) dan beberapa pendapat tidak mengharuskan syarat ini sebagai sesuatu
yang wajib dipenuhi. Untuk menguji apakah distribusi data normal atau tidak dapat dilakukan dengan menggunkan uji Jarque-Berra (uji J-B).
b) Uji Autokorelasi
Autokorelasi menunjukkan adanya korelasi antara anggota serangkaian observasi.
Jika model mempunyai korelasi, parameter yang diestimasi menjadi bias dan variasinya tidak lagi minimum dan model menjadi tidak efisien. Dalam penelitian
ini, untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi dalam model digunakan uji
Lagrange Multiplier (LM). c) Uji Multikolinearitas
Multikolinieritas adalah adanya hubungan linier antara variabel independen di
dalam model regresi. Untuk menguji ada atau tidaknya multikolinieritas pada model, peneliti menggunakan metode parsial antar variabel independen. Rule of
thumb dari metode ini adalah jika koefisien korelasi cukup tinggi di atas 0,85 maka
diduga ada multikolinieritas dalam model. Sebaliknya jika koefisien korelasi relatif
rendah maka duga model tidak mengandung unsur multikolinieritas (Ajija dan Dyah, 2011).
d) Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas merupakan masalah regresi yang faktor gangguan tidak memiliki varian yang sama atau variannya tidak konstan. Hal ini akan
memunculkan berbagai permasalahan yaitu penaksir OLS yang bias, varian dari
koefisien OLS akan salah. Dalam penelitian ini akan menggunakan metode dengan
uji Glejser untuk mendeteksi ada tidaknya heteroske-dastisitas dalam model regresi.
b. Metode Estimasi Model Regresi Panel Dinamis (Panel VECM) Ahli ekonometrika modern menunjukkan metode untuk membangun model
relasional di antara variabel-variabel ekonomi dengan cara yang tidak struktural, yaitu model
autoregresif vektor (VAR) dan model koreksi kesalahan vektor (VEC). Model VAR dibuat berdasarkan sifat statistik data. Dalam model VAR, setiap variabel endogen dalam sistem
dianggap sebagai nilai lag semua variabel endogen dalam sistem; dengan demikian model
autoregresif univariat digeneralisasi ke model autoregresif "vektor" yang terdiri dari variabel
deret waktu multivariat. Pada tahun 1980, Christopher Sims memperkenalkan model VAR ke bidang ekonomi dan mempromosikan aplikasi luas dalam analisis dinamis sistem ekonomi.
Engle dan Granger menggabungkan model kointegrasi dan koreksi kesalahan, untuk
membentuk model koreksi kesalahan jejak. Selama ada hubungan kointegrasi antara variabel, model koreksi kesalahan dapat diturunkan dari model lag terdistribusi autoregresif. Setiap
persamaan dalam model VAR adalah model lag terdistribusi autoregresif. Oleh karena itu,
dapat dianggap bahwa model VEC adalah model VAR dengan kendala kointegrasi. Karena
51
ada hubungan kointegrasi dalam model VEC, ketika ada sejumlah besar fluktuasi dinamis
jangka pendek, ekspresi VEC dapat membatasi perilaku jangka panjang dari variabel endogen
dan menjadi konvergen dengan hubungan kointegrasi mereka (Zou, 2018).
Diasumsikan sebagai deret waktu stokastik, t=1,2,3,…T,
dan setiap masing-masing dipengaruhi oleh deret
waktu eksogen dimensi-d ; maka model VAR dapat ditetapkan
sebagai berikut:
………………………………………………………………….….. (3.9)
Jika tidak dipengaruhi oleh deret waktu eksogen dimensi-d ;
maka model rumus VAR (3.9) dapat ditulis sebagai berikut:
……………………………………………………………….. (3.10)
Dengan transformasi kointegrasi formula (3.10), kita bisa mendapatkannya
………………………… (3.11) Dimana
…………………………………. (3.12)
Jika Yt memiliki hubungan kointegrasi, maka dan rumus (3.11) dapat ditulis
sebagai berikut:
…………… (3.13)
adalah istilah koreksi kesalahan, yang mencerminkan hubungan
ekuilibrium jangka panjang antara variabel, dan rumus di atas dapat ditulis sebagai berikut:
………….. (3.14) Formula (3.14) adalah model koreksi kesalahan vektor (VECM), di mana setiap
persamaan adalah model koreksi kesalahan.
52
Matrik Model Panel VECM
∆PDRB
β1.1
β2.1 β4.1 β6.1 β8.1 β10.1 β12.1 β14.1 β16.1 β18.1
∆PDRB(-1)
∆POP
β1.2
β2.2 β4.2 β6.2 β8.2 β10.2 β12.2 β14.2 β16.2 β18.2
∆POP(-1)
∆POV
β1.3
β2.3 β4.3 β6.3 β8.3 β10.3 β12.3 β14.3 β16.3 β18.3
∆POV(-1)
∆DAU
β1.4
β2.4 β4.4 β6.4 β8.4 β10.4 β12.4 β14.4 β16.4 β18.4
∆DAU(-1)
∆EDUC = β1.5 Ecm(-1) + β2.5 β4.5 β6.5 β8.5 β10.5 β12.5 β14.5 β16.5 β18.5 x ∆EDUC(-1)
∆HEALTH
β1.6
β2.6 β4.6 β6.6 β8.6 β10.6 β12.6 β14.6 β16.6 β18.6
∆HEALTH(-1)
∆AGRIC
β1.7
β2.7 β4.7 β6.7 β8.7 β10.7 β12.7 β14.7 β16.7 β18.7
∆AGRIC(-1)
∆MARINE
β1.8
β2.8 β4.8 β6.8 β8.8 β10.8 β12.8 β14.8 β16.8 β18.8
∆MARINE(-1)
∆FDI
β1.9
β2.9 β4.9 β6.9 β8.9 β10.9 β12.9 β14.9 β16.9 β18.9
∆FDI(-1)
β3.1 β5.1 β7.1 β9.1 β11.1 β13.1 β15.1 β17.1 β19.1
∆PDRB(-2)
β3.2 β5.2 β7.2 β9.2 β11.2 β13.2 β15.2 β17.2 β19.2
∆POP(-2)
β3.3 β5.3 β7.3 β9.3 β11.3 β13.3 β15.3 β17.3 β19.3
∆POV(-2)
β3.4 β5.4 β7.4 β9.4 β11.4 β13.4 β15.4 β17.4 β19.4
∆DAU(-2)
+ β3.5 β5.5 β7.5 β9.5 β11.5 β13.5 β15.5 β17.5 β19.5 x ∆EDUC(-2)
β3.6 β5.6 β7.6 β9.6 β11.6 β13.6 β15.6 β17.6 β19.6
∆HEALTH(-2)
β3.7 β5.7 β7.7 β9.7 β11.7 β13.7 β15.7 β17.7 β19.7
∆AGRIC(-2)
β3.8 β5.8 β7.8 β9.8 β11.8 β13.8 β15.8 β17.8 β19.8
∆MARINE(-2)
β3.9 β5.9 β7.9 β9.9 β11.9 β13.9 β15.9 β17.9 β19.9
∆FDI(-2)
53
Model Panel VECM dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
dinamis antara variabel pertumbuhan ekonomi terhadap belanja daerah (pendidikan,
kesehatan, pertanian dan perikanan dan kelautan), dana perimbangan, dan variabel makroekonomi, yaitu jumlah penduduk, penduduk miskin dan investasi. Kedelapan variabel
endogen tersebut diperlakukan dalam sistem sebagai fungsi dari nilai lag dari variabel-
variabel endogen dimaksud. Selanjutnya, variabel endogen yang akan digunakan dalam
sistem persamaan Panel VECM pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Yt = [∆PDRB, Educ, Healt, Agric, Marine, DAU, Pop, Pov, FDI]-1 ……. (3.15)
dimana:
∆PDRB = Pertumbuhan Ekonomi berdasarkan PDRB Riil (atas dasar Harga Konstan Tahun 2010)
Educ = Belanja daerah untuk pendidikan
Health = Belanja daerah untuk kesehatan Agric = Belanja daerah untuk pertanian
Marine = Belanja daerah untuk perikanan dan kelautan
DAU = Dana Alokasi Umum
Pop = Jumlah penduduk Pov = Jumlah penduduk miskin
FDI = Investasi asing langsung
Persamaan model panel VECM untuk ∆PDRBt sebagai berikut :
∆PDRBt = β1.1 ecm(-1) + β2.1 ∆PDRB(-1) + β3.1 ∆PDRB(-2) + β4.1 ∆Educ(-1) + β5.1
∆Educ(-2) + β6.1 ∆Healt(-1) + β7.1 ∆Health(-2) + β8.1 ∆Agric(-1) + β9.1
∆Agric(-2) + β10.1 ∆Marine(-1) + β11.1 ∆Marine(-2) + β12.1 ∆DAU(-1) + β13.1
∆DAU(-2) + β14.1 ∆Pop(-1) + β15.1 ∆Pop(-2) + β16.1 ∆Pov(-1) + β17.1 ∆Pov(-
2) + β18.1 ∆FDI(-1) + β19.1 ∆FDI(-2) + β20.1+ μt
………………………………………………. (3.16)
Langkah untuk mendapatkan hasil yang tepat dengan menggunakan prosedur
standar. Langkah-langkah berikut pada prosedur Panel VECM adalah sebagai berikut: (i) uji akar unit; (ii) penentuan panjang lag optimum; (iii) uji stabilitas; (iv) uji kointegrasi; (v) uji
kausalitas Grangrer; (vi) model koreksi kesalahan vektor panel (VECM); (vii) fungsi respon
impulse; dan (viii) Impulse Response Function (IRF). Rincian langkah tersebut dijelaskan
sebagai berikut (Gujarati, 2003; Widarjono, 2009):
1) Uji Akar Unit
Uji akar unit unit (unit roots test) dapat dikategorikan sebagai "generasi pertama" atau "generasi kedua". Tes yang paling menonjol dari tes akar unit generasi pertama adalah
tes Levin-Lin-Chu (LLC) dan tes Im-Pesaran-Shin (IPS). Pada dasarnya, pengujian ini
merupakan perluasan dari uji akar unit Dickey-Fuller (ADF) yang diperkuat secara tradisional untuk pemodelan rangkaian waktu univariat dengan asumsi independensi individual cross-
sectional (Greene, 2003: 636). Tes Levin, Lin, dan Chu (LLC) mengasumsikan bahwa ada
proses uji unit akar bersama yang umum sehingga identik di lintas penampang. Pengujian ini
dilakukan untuk mengetahui adanya akar unit pada data.
54
jika γ = 0 berarti ɸ=1, maka yt mempunyai akar unit atau yt tidak stasioner. Jadi dibentuk
sistematika uji hipotesis untuk mengetahui keberadaan akar unit sebagai berikut:
H0: γ = 0 (terdapat akar unit sehingga data tidak stasioner) H1: γ < 0 (tidak terdapat akar unit sehingga data stasioner)
Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai statistik ADF dengan nilai kritikal pada
selang kepercayaan = 5%
2) Penentuan Panjang Lag Optimum
Penetapan lag optimal sangat penting karena variabel independen yang digunakan
tidak lain adalah lag dari variabel dependennya. Pemilihan orde lag dapat menggunakan informasi kriteria Akaike Information Criterion (AIC) dengan persamaan :
dan Schwarz Criterion (SC) dengan persamaan
dimana |Σ | adalah determinan dari residual varian atau kovarian matriks, N adalah jumlah
parameter yang diestimasi, dan T adalah jumlah observasi. Adapun dari hasil yang didapat, semakin banyak jumlah lag yang dipergunakan maka semakin banyak jumlah parameter yang
harus diestimasi dan semakin kecil derajat kebebasannya, sedangkan semakin sedikit jumlah
lag yang dipergunakan maka semakin sedikit jumlah parameter yang harus diestimasi dan semakin besar derajat kebebasannya yang dapat mengakibatkan model mengalami miss
spesification (Enders, 2004).
3) Uji Stabilitas Stabilitas VAR perlu diuji terlebih dahulu sebelum melakukan analisis lebih jauh,
karena jika hasil estimasi VAR yang akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan
tidak stabil (VECM), maka Impulse Response Function dan Variance Decomposition menjadi tidak valid. Uji stabilitas model dilakukan untuk melihat kestabilan model VAR yang telah
didapat. Model VAR dikatakan stabil jika seluruh root-nya memiliki modulus dengan nilai
lebih kecil dari satu. Berikut ini merupakan uraian dari Lütkepohl (2005) dimana model VAR(p) dapat dituliskan:
Jika mekanisme dimulai misalnya saat t=1, maka kita akan mendapatkan:
Oleh karenanya, vektor (Y1, … , Yt) ditentukan oleh (Y0, Y1, … , Yt) dan distribusi bersama
dari (Y1, … , Yt) ditentukan oleh distribusi bersama dari (Y0, Y1, … , Yt). Dari persamaan VAR(1) maka didapatkan:
55
Apabila semua nilai eigen dari memiliki modulus < 1, maka model merupakan proses stokastik yang didefinisikan dengan:
Oleh karena itu, persamaan Yt stabil jika:
4) Uji kointegrasi
Uji kointegrasi panel memberikan hasil yang lebih dapat diandalkan dalam menguji
kointegrasi dibandingkan dengan tes individual (Gujarati, 2003). Uji kointegrasi panel
didasarkan pada pengujian akar unit residual dari regresi OLS-wise, atau biasa disebut "uji kointegrasi" Engle-Granger (Greene, 2003: 449). Tes Engle-Granger (EG) berasal dari
gagasan dasar model kointegrasi, di mana dua rangkaian waktu non-stasioner dikelompokkan
jika ada beberapa kombinasi linear stasioner di antara keduanya. Akibatnya, begitu hipotesis nol dikointegrasi, residu dari kombinasi linier stasionernya juga tidak bergerak. Prosedur EG
memerlukan dua tahap: estimasi regresi OLS statis untuk mendapatkan residu, dan kemudian
memaksakan beberapa pengujian akar unit ke residu (tidak harus ADF).
Kepentingan yang luas dan tersedianya data panel telah menyebabkan penekanan pada perluasan berbagai uji statistik terhadap data panel. Literatur terbaru berfokus pada tes
kointegrasi dalam setting panel. E-Views dapat menghitung salah satu jenis uji kointegrasi
panel berikut menurut Pedroni (2004), Kao (1999) dan uji tipe Fisher dengan menggunakan metodologi Johansen yang mendasari (Maddala & Wu 1999). Tes Pedroni dan Kao
didasarkan pada tes kointegrasi berbasis dua langkah (residual-based) Engle-Granger (1987).
Uji Fisher menggunakan uji Johansen gabungan. Uji kointegrasi Engle-Granger (1987) didasarkan pada penilaian residu regresi
palsu dengan menggunakan I (1) variabel. Jika variabel dikelompokkan maka residu harus I
(0). Di sisi lain, jika variabel tidak dikelompokkan maka residu akan menjadi I (1). Pedroni
(2004) dan Kao (1999) memperluas kerangka Engle-Granger untuk menguji kointegrasi dengan melibatkan data panel. Tes Kao mengikuti pendekatan dasar yang sama seperti tes
Pedroni, namun menentukan penampang dengan penyadapan spesifik dan koefisien homogen
pada regresor tahap pertama.
5) Uji Kausalitas Grangger
Uji kausalitas dilakukan untuk mengetahui apakah suatu variabel endogen dapat diperlakukan sebagai variabel eksogen. Hal ini bermula dari ketidaktahuan keterpengaruhan
antar variabel. Jika ada dua variabel y dan z, maka apakah y menyebabkan z atau z
menyebabkan y atau berlaku keduanya atau tidak ada hubungan keduanya. Variabel y
menyebabkan variabel z artinya berapa banyak nilai z pada periode sekarang dapat dijelaskan oleh nilai z pada periode sebelumnya dan nilai y pada periode sebelumnya. Uji kausalitas
dapat dilakukan dengan berbagai metode diantaranya metode Granger’s Causality (Hurlin &
Venet, 2001) dan Error Correction Model Causality.
56
6) Model Koreksi Kesalahan Vektor Panel (VECM)
Semua variabel yang telah memenuhi stasioner pada turunan pertama dan telah
melewati uji kointegrasi dapat dilanjutkankan regresi panel model koreksi kesalahan vektor dinamis (VECM).
7) Impulse Response Function (IRF)
IRF (Greene, 2003: 593) dapat menjelaskan respon satu variabel terhadap kejutan
dari variabel lain. Jadi pengaruh syok satu variabel karena variabel lain bisa dijelaskan dengan jelas. Hasil IRF menunjukkan lamanya waktu yang dibutuhkan dari satu variabel
untuk merespon yang lain. Fungsi response terhadap shock atau guncangan berfungsi untuk
melihat respon dinamika setiap variabel apabila ada suatu guncangan tertentu sebesar satu standard error. Respon inilah yang menunjukkan adanya pengaruh dari suatu shock variabel
bebas terhadap variabel terikat. Jika gambar impulse response menunjukkan pergerakan yang
semakin mendekati titik keseimbangan (convergence) atau kembali ke keseimbangan sebelumnya, ini berarti respon suatu variabel akibat suatu guncangan (shock) makin lama
akan menghilang sehingga kejutan tersebut tidak meninggalkan pengaruh permanen terhadap
variabel tersebut.
8) Variance Decomposition (VD)
Prediksi varians dekomposisi adalah alat yang menonjol dalam menafsirkan model
rangkaian waktu multivariat linier dan non linier bersama dengan respons impuls (Lanne & Nyberg 2014). Variasi dekomposisi bertujuan untuk memperkirakan kontribusi masing-
masing variabel karena adanya perubahan pada sistem.
Variance decomposition atau disebut juga forecast error variance decomposition merupakan perangkat pada model VAR yang akan memisahkan variasi dari sejumlah variabel
yang diestimasi menjadi komponen-komponen shock atau menjadi variabel inovasi, dengan
asumsi bahwa variabel-variabel innovation tidak saling berkorelasi. Kemudian, variance
decomposition akan memberikan informasi mengenai proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada sebuah variabel terhadap shock variabel lainnya pada periode saat ini dan periode
yang akan datang.
c. Interpretasi Hasil Regresi Panel Statis dan Panel Dinamis
Hasil analisis melalui regresi model statis hanya akan memperoleh koefisien regresi
tahun 2008 hingga 2018, dan tidak bisa memperoleh koefisien jangka pendek maupun jangka
panjang. Koefisien jangka pendek dan jangka panjang akan didapat dengan menggunakan model dinamis. Dengan model dinamis selain memperoleh koefisien jangka pendek dan jangka panjang,
akan diperoleh kontribusi variabel bebas terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang
(25 tahun) sehingga dapat menjadi dasar pengambilan kebijakan ekonomi daerah ke depan. Penggunaan 25 tahun mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang provinsi dan
menjadi acuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (5 tahun). Penggunaan model regresi
panel statis dan regresi panel dinamis akan memberikan informasi yang lebih lengkap dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi daerah jangka panjang.
57
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab IV ini akan diawali pembahasan dengan penyelesaian analisis data panel statis dan data
panel dinamis (Panel VECM). Setelah seluruh tahapan dalam penyelesaian analisis data panel statis
dan panel dinamis memenuhi seluruh kriteria, maka dilanjutkan dengan interpretasi hasil regresi dan temuan dari penelitian.
A. Data Panel Statis
Berdasarkan hasil uji Chow dan Hausman, model Fixed effect adalah model yang dipilih. Berikut ini hasil analisis pendekatan regresi panel model Fixed Effect :
Log(PDRBti) = 0,972 log(POP)P*** – 0,062 log(POV) – 0,169 Log(DAU) ***+ 0,071
log(EDUC)*** + 0,007 log(HEALTH) + 0,04 log(AGRIC)** + 0,032 log(MARINE)** + 0,057 log(FDI)*** + 0,059 DOPINI*** + 0,290
DSTATUS*** + 16,661
Keterangan : *** signifikan α 1% ** signifikan α 5% * signifikan α 10%
Interpretasi hasil perhitungan model fixed effect adalah sebagai sebagai berikut :
1. Pengaruh Belanja Pemerintah untuk Pendidikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Belanja pemerintah daerah untuk pendidikan memiliki pengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi, hal ini ditunjukan dengan nilai rata-rata koefisien regresi untuk
pengeluaran pendidikan sebesar 0,0711. Koefisen ini menunjukkan bahwa kenaikan anggaran
pendidikan sebesar 1% akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0,0711%, dengan asumsi faktor selain pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dianggap tetap. Anggaran pendidikan
memiliki pengaruh positip tetapi nilai koefisiennya kecil atau untuk menaikan 1% pertumbuhan
dibutuhkan tambahan anggaran pendidikan 14% (diperoleh dari 1% dibagi 0,0711% atau
14,05%). Setiap tahun biaya pendidikan di Indonesia meningkat rata-rata 15% atau anggaran
pendidikan menjadi penyumbang inflasi di Indonesia. Peningkatan anggaran pendidikan di awali
tahun 2005 dengan munculnya undang-undang guru dan dosen yaitu Undang-undang No 14 tahun 2005. Undang-undang No 14 tahun 2005 menyebutkan bahwa guru dan dosen yang telah
tersertifikasi berhak memperoleh tunjangan sebesar gaji pokok. Peningkatan kesejahteraan guru
dan dosen belum diimbangi dengan peningkatan kualitas guru dan dosen, dan akibatnya peningkatan anggaran pendidikan melalui tunjangan profesi guru dan dosen belum optimal
meningkatkan kualitas guru dan murid. Pada tahun 2010 anggarannya baru untuk profesi guru
dan dosen sebesar Rp 10 triliunan, sementara pada 2017 sudah mencapai lebih dari Rp 50
triliunan dan sempat naik hingga Rp 70 triliun setahun sebelumnya (dialog publik Persatuan Guru Republik Indonesia bersama Menkeu dan Mendikbud yang diselenggarakan di Gedung Guru
Indonesia, Jakarta (10/7/2018)). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Iqbal & Zahid
(1998), Li & Liang (2010) dan Murova & Khan (2017). Mereka menyimpulkan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan memiliki pengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi.
Hasil penelitian belanja pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah ini, mendukung teori Keyns, Rostow dan Musgrave dan teori Neo Klasik.
Teori Keynes peran pemerintah bisa mempengaruhi permintaan agregat, agar mendekati posisi Full Employment-nya. Permintaan agregat adalah seluruh jumlah uang yang dibelanjakan
oleh seluruh lapisan masyarakat untuk membeli barang dan jasa dalam satu tahun. Dalam
perekonomian tertutup permintaan agregat terdiri dari 3 unsur: a) Pengeluaran Konsumsi oleh Rumah Tangga (C); b) Pengeluaran Investasi oleh Perusahaan (I); c) Pengeluaran Pemerintah
57
58
(G). Pemerintah bisa mempengaruhi permintaan agregat secara langsung melalui pengeluaran
pemerintah dan secara tidak langsung terhadap pengeluaran konsumsi dan pengeluaran investasi.
Rostow dan Musgrave menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi dalam Negara. Tahap awal perkembangan pembangunan
ekonomi peran pemerintah sangat besar terutama dalam penyediaan sarana prasarana, misalnya
sarana pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Tahap berikutnya adalah tahap menengah peran
investasi swasta menjadi lebih besar tetapi masih diperlukan peran pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di samping peran pemerintah menjadi semakin besar.
Peningkatan output perekonomian menurut Solow (Neo Klasik) dipengaruhi oleh
tabungan, pertumbuhan populasi, dan kemajuan teknologi. Tabungan merupakan instrumen yang dipengaruhi oleh kebijakan fiskal (penerimaan pajak dan belanja negara mempengaruhi tabungan
nasional). Secara tidak langsung kebijakan fiskal ikut mengambil peran dalam pertumbuhan
ekonomi. Untuk meningkatkan agar belanja pemerintah daerah di bidang pendidikan mendorong
pertumbuhan ekonomi, maka pemerintahan membuat kebijakan penggunaan anggaran belanja
pendidikan dengan Mandatory spending. Mandatory spending adalah belanja atau pengeluaran
negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Tujuan mandatory spending ini adalah untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah. Mandatory spending dalam tata
kelola keuangan pemerintah daerah untuk alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD
sesuai amanat UUD 1945 pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 ayat (1).
2. Pengaruh Belanja Pemerintah untuk Kesehatan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Belanja pemerintah daerah untuk kesehatan tidak memiliki pengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi, hal ini ditunjukan dengan nilai t hitung yang rendah. Budaya menjaga
kesehatan di Indonesia masih rendah, sehingga jumlah penduduk yang menggunakan fasilitas
rumah sakit semakin meningkat. Peningkatan penduduk yang menggunakan fasilitas kesehatan belum bisa ditutupi dengan anggaran pemerintah daerah untuk kesehatan. Peningkatan anggaran
kesehatan belum diimbangi dengan budaya menjaga kesehatan, sehingga menimbulkan pola
hidup kurang sehat dan menyebabkan produktivitas belum maksimal. Hasil penelitian ini didukung hasil penelitian Mohapatra (2017). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa PDB untuk
Granger menyebabkan pengeluaran publik untuk kesehatan baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Pengeluaran publik untuk kesehatan (?) tidak menyebabkan PDB dalam jangka
pendek. Secara teori hasil penelitian ini dapat dijelaskan dengan gambar 4.1. Gambar tersebut
menunjukkan kenaikan belanja pemerintah daerah untuk kesehatan menggeser kurva IS dari IS1
ke IS2, pergeseran IS1 ke IS2 mendorong kenaikan permintaan agregat dari AD1 ke AD2. Kenaikan belanja pemerintah daerah untuk kesehatan menggeser kurva IS ke kanan untuk setiap
tingkat harga dan meningkatkan pendapatan dari Y1 ke Y2. Jika P2 > P1 dan Y1/P1 = Y2/P2, maka
peningkatan belanja pemerintah daerah untuk kesehatan tidak mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
59
Gambar 4.1
Peningkatan Belanja Pemerintah Daerah untuk Kesehatan
Menggeser Permintaan Agregat
Hasil penelitian ini mendukung teori pandangan Australia. Dalam bukunya Market
Theory and the Price System, Kirzner membuat kesimpulannya tentang gangguan di pasar dengan
sangat jelas. Dia menyatakan Interferensi dengan jaringan dan kekuatan yang dijalin melalui
proses pasar membatasi upaya peserta untuk mengoordinasikan aktivitas mereka melalui mesin dengan efisiensi yang luar biasa. Analisis proses pasar dapat memperjelas biaya yang terlibat
melalui campur tangan tersebut, sehingga memungkinkan bagi pelaku pasar untuk memutuskan,
melalui proses politik, sejauh mana mereka bersedia untuk mengesampingkan mesin efisiensi mereka demi tujuan khusus. Kirzner merasa intervensi pemerintah ke pasar tidak pernah bisa
dibenarkan atas dasar peningkatan efisiensi. Ini konsisten dengan pandangan Austria tentang
efisiensi dan diterima secara umum oleh ekonom Austria kontemporer. Kirzner menyiratkan
bahwa mungkin ada pembenaran untuk intervensi pemerintah atas dasar efisiensi. Dalam kenyataan biaya berobat di Indonesia sangat tinggi dan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah
saat ini. Salah satu pemicu mahalnya biaya berobat adalah pengenaan pajak bagi alat kesehatan
yang cukup mahal. Sampai saat ini hampir semua alat kesehatan masih termasuk dalam kategori barang mewah. Konsekuensinya adalah transaksi alat-alat ini otomatis akan dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), yang ujung-ujungnya mengerek tarif biaya berobat.
Menurut Kirzner intervensi pemerintah ke pasar tidak pernah bisa dibenarkan atas dasar peningkatan inefisiensi.
Adanya titik toleransi pajak ini merupakan penghambat bagi pemerintah untuk terus
menaikkan pemungutan pajak. Tercapainya perkembangan ekonomi akan menyebabkan
pemungutan pajak menjadi semakin besar walaupun pemerintah tidak menaikkan tarif pajak, adanya kenaikan penerimaan pajak alat kesehatan ini akan menyebabkan pengeluaran pemerintah
untuk belanja kesehatan meningkat pula. Akan tetapi, apabila kondisi tersebut terganggu oleh
LM1
AD2
AD1
Y1 Y2 Pendapatan, output, Y
Tingkat Harga
Meningkatkan Permintaan
Agregate pada tingkat
harga berapapun
Pendapatan, output, Y
IS1(P=P1
)
IS2(P=P2
)
P2
P1
Y1 Y2
Tingkat Bunga Kenaikan
Belanja Daerah
Kesehatan
Daerah
Sumber : Mankiw, 2003
60
gejolak sosial, misalnya karena wabah penyakit maka pemerintah akan lebih memperbesar
pengeluarannya untuk membiayai kegiatan baru tersebut yaitu dengan menaikkan tarif pajak.
Kebijakan pemerintah menaikkan penerimaan dari sektor pajak melalui kenaikan tarif akan mengurangi dana swasta yang seharusnya digunakan untuk konsumsi dan investasi sehingga
tingkat investasi dan konsumsi masyarakat di bidang kesehatan menjadi turun. Keadaan ini
disebut dengan efek pengalihan (displacement effect), yaitu karena adanya gejolak sosial
menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah.
3. Pengaruh Belanja Pemerintah untuk Pertanian terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Pengeluaran pemerintah daerah untuk pertanian memiliki pengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi, hal ini ditunjukan dengan nilai rata-rata koefisien regresi untuk
pengeluaran untuk pertanian sebesar 0,04. Koefisen ini menunjukkan bahwa kenaikan anggaran
pertanian sebesar 1% akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0,04%, dengan asumsi faktor selain pengeluaran pemerintah untuk pertanian dianggap tetap. Walaupun anggaran
pertanian memiliki pengaruh positip tetapi nilai koefisiennya kecil atau untuk menaikan 1%
pertumbuhan dibutuhkan tambahan anggaran pertanian 25% (diperoleh dari 1% dibagi 0,04%
atau 24,9%). Karakteristik petani di Indonesia adalah lahannya kecil sehingga petani lebih banyak
bercocok tanam secara individu. Dampak dari cara bercocok tanam yang lebih banyak dilakukan
secara pribadi bukan kelompok menyebabkan anggaran pendampingan petani menjadi besar dibandingkan dengan berkelompok. Para petani kecil lokasinya tidak berkelompok sehingga sulit
memenuhi permintaan akan kebutuhan, serta risiko yang ditanggungnya sangat besar.
Anggaran pertanian Indonesia sangat kecil, hanya 1% (Anggaran sebesar itu juga digunakan sebagian besar untuk membayar gaji para PNS) dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(Trubus News, 26 September 2017). Padahal di negara-negara maju seperti Amerika Serikat,
anggaran pertaniannya begitu besar mencapai 20%-40% dari APBN. Dengan anggaran yang kecil
tersebut, maka pengembangan sektor pertanian sangat sulit dilakukan. Akibatnya, cita-cita menciptakan ketahanan pangan di Tanah Air akan sulit dilakukan. Hasil ini sesuai dengan
penelitian Xu, et al. (2011) dan Armas, et al. (2012). Mereka menyimpulkan pengeluaran
pemerintah bidang pertanian memiliki dampak (+) terhadap pertumbuhan ekonomi.
4. Pengaruh Belanja Perikanan dan Kelautan terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Pengeluaran pemerintah daerah untuk perikanan dan kelautan memiliki pengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi, hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata koefisien regresi untuk pengeluaran pemerintah untuk perikanan dan kelautan sebesar 0,032. Koefisien regresi ini
menunjukkan bahwa kenaikan anggaran perikanan dan kelautan sebesar 1% akan mendorong
pertumbuhan ekonomi sebesar 0,032%, dengan asumsi faktor selain pengeluaran pemerintah untuk perikanan dan kelautan dianggap tetap. Walaupun anggaran perikanan dan kelautan
memiliki pengaruh positip, tetapi nilai koefisiennya kecil atau untuk menaikan 1% pertumbuhan
ekonomi dibutuhkan tambahan anggaran pertanian sebesar 31% (diperoleh dari 1%/0.032395 yaitu 30,86%). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Huda, dkk. (2015), Novianti,
dkk. (2014) dan Agustine, et al. (2013). Mereka menyimpulkan pengeluaran pemerintah yang
dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur kelautan dan perikanan dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi.
5. Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Bagi hasil pemerintah pusat terhadap daerah yang diwujudkan dalam bentuk dana alokasi umum yang digunakan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah. Dana Alokasi Umum memiliki pengaruh negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi, hal ini ditunjukan dengan nilai rata-rata koefisien regresi untuk dana
61
alokasi umum sebesar -0.169. Koefisen regresi ini menunjukkan bahwa kenaikan anggaran dana
alokasi umum sebesar 1% akan menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,169% dengan
asumsi faktor lain selain Dana Alokasi Umum dianggap tetap. Pengaruh negatif antara dana alokasi umum terhadap pertumbuhan ekonomi dapat terjadi karena implementasinya, Dana
Alokasi Umum banyak terserap di belanja pegawai menjadi hal yang krusial di daerah. Karena
urgensi dari belanja tidak sejalan dengan pembangunan masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan yang ada. Pemberian DAU untuk gaji pegawai tidak sejalan perampingan pegawai sesuai dengan kebutuhan yang ada. Sehingga mengurangi kapasitas belanja pembangunan dan pada
akhirnya berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi.
Permasalahan utama dalam DAU adalah pemerintah pusat tidak berhak mencampuri penggunaan DAU oleh daerah/kota dengan proporsi adalah 26% dari penerimaan dalam negeri
kemudian 10% diserap oleh propinsi dan 90% untuk seluruh kabupaten/kota. Dana Alokasi
Umum (DAU) menurut UU no 23 tahun 2014 bertujuan mengurangi atau menutup fiscal gap daerah, sehingga daerah mampu memenuhi kebutuhan berdasar prioritas tertentu, dan mendorong
kemajuan suatu daerah.
Dalam struktur I-Account APBN, DAU merupakan jenis transfer dalam kelompok Dana
Transfer Umum (DTU). Melalui UU No. 15 Tahun 2017 tentang APBN TA 2018, Pemerintah mengarahkan penggunaan DTU minimal sebesar 25% untuk belanja infrastruktur daerah yang
langsung terkait dengan percepatan pembangunan fasilitas pelayanan publik dan ekonomi dalam
rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antar daerah. Pada tahun 2017 dari 508 daerah yang telah
menyampaikan laporan keuangan, 229 daerah (20 Provinsi, 209 kab/kota) telah melaporkan
penggunaan DTU lebih dari 25% untuk belanja infrastruktur daerah. 313 daerah (14 Provinsi, 299 kab/kota) telah melaporkan penggunaan DTU kurang dari 25% untuk belanja infrastruktur
daerah. Dari total daerah yang telah melaporkan laporan keuangannya 61,6% penggunaan
anggaran untuk infrastruktur kurang dari 25%. Pada tahun 2018 dari 534 daerah yang telah
menyampaikan laporan keuangan. 246 daerah (21 Provinsi, 225 kab/kota) melaporkan penggunaan DTU lebih dari 25% untuk belanja infrastruktur daerah. 288 daerah (11 Provinsi, 277
kab/kota) melaporkan penggunaan DTU kurang dari 25% untuk belanja infrastruktur daerah. Dari
total daerah yang telah melaporkan laporan keuangannya 54% penggunaan anggaran untuk infrastruktur kurang dari 25%. Penggunaan DAU yang tidak tepat atau tidak untuk prioritas
belanja infrastruktur daerah berakibat pada target pembangunan daerah tidak dapat optimal.
Target pembangunan yang tidak optimal berdampak pada meningkatkan kesempatan kerja,
mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antar daerah tidak terpenuhi.
Selain itu, sampel provinsi yang digunakan dalam penelitian ini 11 dari 20 provinsi
(55%) adalah provinsi yang kaya sumber daya minyak yang dihasilkan diatas 5 juta barel menurut Keputusan Menteri ESDM No 4618 K/80/MEM/2016. DAU merupakan dana perimbangan yang
memiliki tujuan utama adalah pengurangan kesenjangan fiskal antar daerah. Dalam UU 23/2014
telah dinyatakan dengan tegas bahwa DAU dibagikan dengan formula yang didasarkan atas alokasi dasar dan kesenjangan fiskal. Alokasi dasar ditetapkan terutama berdasarkan besarnya
belanja pegawai, sedangkan kesenjangan fiskal dihitung dari selish antara kebutuhan fiskal dan
kapasitas fiskal. Bagi daerah yang kesenjangannya fiskal kecil akan memperoleh DAU yang kecil
pula, karena 55% sampel provinsi dengan status daerah kaya sehingga mendapatkan DAU yang kecil sehingga dalam jangka pendek peranan DAU dalam pertumbuhan ekonomi belum sesuai
dengan yang diharapkan.
DAU merupakan komponen utama dalam pembiayaan otonomi daerah, sehingga perlu dilakukan pengawasan penggunaan pembiayaan melalui DAU. Lebih dari 80% DAU digunakan
untuk belanja pegawai dan sisanya diserahkan kepada daerah untuk digunakan dengan
persetujuan DPRD. (Kompas, 26 Nop 2001). Atas dasar itu, maka komponen terbesar DAU
62
dialokasikan untuk pembayaran gaji dan tunjangan PNS (pegawai negeri sipil) di daerah. Hasil ini
sesuai dengan penelitian penelitian Astria (2014) di Sumatera Selatan hasil penelitiannya
menyimpulkan Dana Alokasi Umum memiliki pengaruh negatif (-) terhadap pertumbuhan ekonomi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Model penyebab berkumulatif. Teori tidak
percaya pemerataan pembangunan antar daerah akan dapat dicapai dengan sendirinya
berdasarkan mekanisme pasar. Menurut model ini, ketimpangan pembangunan regional hanya akan dapat dikurangi melalaui program pemerintah. Apabila hanya diserahkan pada mekanisme
pasar, maka ketimpangan regional akan terus meningkat seiring dengan peningkatan proses
pembangunan. Hasil ini juga mendukung teori Musgrave (1959) dan Oates (1972) lebih menekankan pentingnya revenue dan expenditure assignment antar level pemerintahan. Teori ini
menjelaskan bagaimana desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap perilaku pemerintah daerah.
Jika pemerintah daerah mempunyai kewenangan membuat peraturan tentang ekonomi lokal, maka campur tangan pemerintah pusat dalam perekonomian daerah dibatasi. Keterkaitan yang
erat antara penerimaan daerah dengan pengeluaran daerah juga menjadi insentif bagi pemerintah
daerah dalam meningkatkan kemakmuran ekonomi daerah.
Dalam konteks keuangan publik, hasil penelitian ini mendukung pemerintah daerah mempunyai informasi yang lebih baik dibanding pemerintah pusat tentang kondisi daerah
masing-masing, sehingga pemerintah daerah akan lebih baik dalam pengambilan keputusan
penyediaan barang dan jasa publik dibanding penyediaan hal tersebut oleh pemerintah pusat. Keadaan ini disebut allocative efficiency. Dana Perimbangan untuk mendukung kebutuhan
pendanaan pelayanan publik di daerah harung menggunakan konsep Value for Money, serta
memerangi korupsi dan penyalahgunaan. DAU bersifat final untuk memberikan kepastian pendanaan bagi APBD dan penggunaan 25 persen untuk belanja infrastruktur daerah.
6. Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Jumlah penduduk memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan persamaan 4.4 koefisien regresi untuk jumlah penduduk sebesar 0,972 artinya
kenaikan jumlah penduduk sebesar 1% akan menaikan pertumbuhan ekonomi daerah sebesar
0,972% dengan asumsi faktor selain jumlah peduduk dianggap tetap. Pertumbuhan penduduk merupakan salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi dan ini sesuai dengan teori Klasik (David
Ricardo) bahwa salah satu pendorong perumbuhan ekonomi adalah perkembangan jumlah
penduduk.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian dilakukan Ibhagui (2020), Rahman, et al. (2017) dan Doran (2012), mereka menyimpulkan penambahan penduduk mendorong
pertumbuhan ekonomi, atau penambahan penduduk berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan Model pertumbuhan Solow dan David Ricardo.
Menurut Solow dan David Ricardo pertumbuhan populasi, dan kemajuan tehnologi
mempengaruhi tingkat output perekonomian serta pertumbuhan sepanjang waktu. Pertumbuhan penduduk yang dibarengi dengan kemajuan teknologi berdampak pada perumbuhan ekonomi.
Hasil ini juga sesuai dengan teori Harrod. Harot memaparkan laju pertumbuhan produksi dan
pendapatan ditentukan oleh kondisi dasar yang menyangkut bertambahnya angkatan kerja karena
bertambahnya jumlah penduduk, dan meningkatnya produktivitas kerja karena kemajuan tehnologi. Peningkatan jumlah penduduk akan menambah angkatan kerja, jika peningkatan
angkatan kerja dibarengi dengan peningkatan produktivitas berdampak padapertumbuhan
ekonomi. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang mengoptimalkan
manfaat sumber daya alam dan manusia dengan pembangunan. Pembangunan berkelanjutan
diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa tujuan pembangunan
63
berkelanjutan adalah mengentaskan kemiskinan, menghilangkan dampak kelaparan, kehidupan
sehat dan sejahtera, pendidikan berkualitas, dan masih banyak lainnya. Dalam buku Ekologi
Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan (2016) karya Oekan Abdullah, untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di suatu negara, peran penduduk sangat penting. Hal ini karena peran
penduduk adalah sebagai subyek dan obyek dari pembangunan berkelanjutan.
7. Pengaruh Jumlah Penduduk Miskin terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jumlah penduduk miskin tidak memiliki pengaruh (-) terhadap pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan persamaan 4.4 jumlah penduduk miskin tidak memiliki pengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi, artinya kenaikan jumlah penduduk miskin tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Jumlah penduduk miskin menjadi salah satu penghambat
pertumbuhan ekonomi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hassan, et al. (2015) yang menyatakan tidak ada pengaruh (?) antara kemiskinan dengan pertumbuhan ekonomi Pakistan
selama periode 1980-2011.
Menurut Škare & Družeta (2016) penting untuk mendasarkan strategi pengentasan
kemiskinan pada pertumbuhan ekonomi yang cepat namun berkelanjutan, ketika jutaan orang masih hidup dalam kemiskinan, tantangan terpenting bagi pembuat kebijakan adalah memastikan
pra-kondisi kelembagaan dan menggabungkan kebijakan pro-pertumbuhan dan pro-miskin yang
akan memungkinkan kaum miskin untuk berpartisipasi dalam peluang dan berkontribusi untuk pertumbuhan di masa depan.
Untuk meningkatkan peran penduduk miskin dalam berperan dalam pembangunan, maka
pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus meningkatkan relevansi arah kebijakan, program dan alokasi anggaran pemerintah daerah terhadap kebutuhan intervensi penanggulangan
kemiskinan. Meningkatkan konsolidasi belanja anggaran pemerintah daerah dengan anggaran
pemerintah pusat, dan antar anggaran pemerintah darah untuk penanggulangan kemiskinan.
Melakukan pemberdayaan penduduk miskin melalui program pemberdayaan kelompok masyarakat miskin dengan pemberian modal usaha melalui program bantuan langsung
pemberdayaan sosial untuk mengelola usaha ekonomi produktif dan bantuan kredit usaha rakyat
dengan bunga pinjaman rendah.
8. Pengaruh Penanaman Modal Asing terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Penanaman modal asing lansung memiliki pengaruh positip terhadap pertumbuhan
ekonomi, hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata koefisien regresi untuk penanaman modal asing langsung sebesar 0,057. Koefisen regresi ini menunjukkan bahwa kenaikan penanaman
modal asing langsung sebesar 1% akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0,057%,
dengan asumsi faktor selain penanaman modal asing dianggap tetap. Walaupun penanaman modal asing langsung memiliki pengaruh positip tetapi koefisiennya kecil atau untuk menaikan
1% pertumbuhan dibutuhkan tambahan penanaman modal asing langsung sebesar 17,5% (17,5%
diperoleh dari 1% dibagi 0,057%). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Pandangan Rosensteins-Rodan. Usaha-usaha yang
terpencar dan terpecah-pecah dalam produksi barang konsumsi maupun barang modal tidak akan
berdaya untuk membawa masyarakat dari keadaan stagnasi menuju kepada suatu perkembangan
yang bisa berlanjut dengan kekuatan sendiri. Oleh sebab itu diperlukan usaha investasi pada skala besar yang harus dilakukan secara bersama-sama di berbagai bidang dan ragam kegiatan yang
dapat saling melengkapi. Satu sama lain merupakan faktor pendorong yang amat kuat (Big Push)
untuk mengatasi hambatan dan rintangan yang terkandung dalam stagnasi ekonomi dan untuk membawa sistem ekonomi sebagai keseluruhan ke arah perkembangan yang semakin maju.
Hasil ini juga sesuai dengan teori Hirschman (1973). Hirschman berpendapat sebaiknya
ditempuh suatu strategi pembangunan yang tidak berimbang (strategy of unbalanced growth).
64
Investasi potensial dari sudut pendanaan justru terletak di sektor yang sudah maju yang sudah
dilakukan sejumlah investasi. Sektor maju ini sebaiknya dibina dan hasil dari investasi ini
diarahkan untuk prioritas-prioritas yang terletak di sektor-sektor lainya sehingga ketimpangan dan ketidakseimbangan dalam ekonomi masyarakat dapat teratasi.
Hasil ini juga sesuai dengan Teori Lokasi. Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki
tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari
sumber-sumber yang langka, serta hubungannya dengan lokasi berbagai macam kegiatan baik ekonomi maupun sosial (Tarigan, 2018; Sjafrizal, 2012). Analisis ini dapat dikembangkan untuk
melihat bagaimana suatu lokasi yang memiliki potensi dan daya tarik mempengaruhi orang untuk
mendatangi wilayah yang memiliki potensi tersebut. Analisis ini dapat dikembangkan untuk melihat bagaimana suatu lokasi yang memiliki potensi dan daya tarik mempengaruhi orang untuk
mendatangi wilayah yang memiliki potensi tersebut.
Hasil ini juga sesuai dengan George H. Bort (1960) dengan mendasarkan analisisnya pada teori ekonomi ekonomi Neo-Klasik. Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah akan sangat
ditentukan oleh kemampuan wilayah tersebut untuk meningkatkan kegiatan produksinya.
Kegiatan produksi pada suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi daerah yang
bersangkutan, tetapi juga ditentukan pula oleh mobilitas modal antar daerah. Hasil ini juga sesuai dengan teori Kutub Pertumbuhan. Teori ini berpendapat bahwa
strategi pembangunan ekonomi harus memfokuskan investasi pada sektor tertentu yaitu kutub
pertumbuhan, atau sektor-sektor yang mendorong pembangunan ekonomi daerah. Tiang pertumbuhan biasanya merupakan industri dasar inti ekonomi regional. Idenya adalah bahwa
ketika kutub ini mulai meluas, hubungan ditempa ke sektor lain ketika.
Untuk mendorong agar investasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Sejak tahun 2014 Investasi kawasan NKRI diarahkan mendukung pengembangan Kawasan Ekonomi
Khusus. KEK merupakan kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi dengan manfaat
perekonomian tertentu. Tujuan utama pengembangan KEK adalah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan peningkatan daya saing bangsa. KEK
dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan
geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Kehadiran KEK
diharapkan membangun kemampuan dan daya saing ekonomi pada level nasional melalui
industri- industri dan pariwisata bernilai tambah dan berantai nilai.
9. Pengaruh Opini BPK terhadap LKPD terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Opini Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Tanda positip ini menunjukkan bahwa tingginya peringkat opini Badan Pemeriksa Keuangan akan mendorong pertumbuhan ekonomi,
dan peningkatan pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan perbaikan perilaku korupsi di
lingkungan pemerintah dan masyarakat. Gambar 4.24 menunjukkan jumlah provinsi berpredikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Nilai koefisien dalam regresi untuk dummy opini BPK sebesar
0,058, artinya daerah yang memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengeualian (WTP) memiliki nilai
konstanta (nilai kostanta dalam regresi ditambah 0,058 atau bertambah 1,14 Milyar Rupiah) yang
lebih besar dibandingkan Hasil penelitian ini sesuai dengan Penelitian yang dilakukan Aikins (2011) dan Din, et
al. (2017) yang menyimpukan bahwa secara umum auditor pemerintah daerah lebih banyak
melakukan audit di wilayah operasional yang berhubungan dengan penerimaan dan pengeluaran fiskal. Selain itu, pekerjaan auditor secara signifikan mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah
daerah baik secara langsung maupun tidak langsung melalui peningkatan pengendalian internal
65
dan efisiensi operasi. Peningkatan kinerja keuangan daerah akan berdampak (+) pada
pembangunan ekonomi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori pertumbuhan social budaya. Perubahan utama dalam pembangunan ekonomi terletak secara internal pada faktor-faktor yang melekat pada tata
susunan masyarakat dan dalam tubuh masyarakat itu sendiri, bukan pada sejumlah faktor
eksternal. Jika nilai-nilai budaya dan perilaku masyarakat itu sendiri berubah maka akan
berdampak pada perubahan ekonomi yang ditandai dengan akumulasi modal dan kemajuan teknologi.
Hasil penelitian ini juga sesuai teori Hoselitz (1955). Hoselitz berpendapat bahwa
serangkaian faktor sosial dan budaya sangat mempengaruhi pola dan arah pembangunan ekonomi. Secara eksplisit bahwa segi sosial budaya dan segi ekonomi harus dilihat sebagai proses
interaksi dalam perkembangan keadaan. Dalam tiap masyarakat selalu ada kemungkinan untuk
mencapai kemajuan melalui usaha pembangunan. Mengenai faktor sosial dapat dibedakan yang bersifat tradisional dan rasional. Dalam hubungannya dengan konsep tradisional mengandung
implikasi bahwa pola kegiatannya tidak efisien berdasarkan teknologi sederhana dan menghalangi
inovasi. Tradisional seolah-olah menutup kemungkinan perubahan. Pelajaran dan kajian tentang
transformasi masyarakat dari satu tingkat ekonomi ke tingkat ekonomi yang lebih tinggi, dapat dianggap sebagai studi tentang dinamika perubahan masyarakat (dynamics of social change).
Hasil ini juga sesuai dengan Teori Polarisasi. Para pendukung teori polarisasi
berpendapat bahwa bukan hanya faktor ekonomi, tetapi juga faktor sosial, budaya dan kelembagaan yang menjelaskan mengapa beberapa daerah makmur sementara yang lain miskin.
Pendekatan Kelembagaan yang Tertanam menyatakan pendorong pembangunan daerah terlihat
bergantung pada proses integrasi yang kompleks terkait dengan proses yang agak lebih lunak yang berkaitan dengan dinamika lingkungan regional yang mencakup modal sosial, kepercayaan,
loyalitas dan wilayah belajar, hubungan kekuasaan dan kontrol dalam organisasi, dan efisiensi
dan budaya organisasi, norma dan aturan
Pelaksanakan anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah secara transparan, akuntabel dan bebas dari korupsi, memerlukan fungsi pengawasan intern yang handal dan sistem
pengendalian intern yang memadai. Berdasarkan pertimbangan tersebut Presiden RI menerbitkan
Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Peningkatkan kehandalan penyelenggaraan fungsi pengawasan intern dan kualitas
sistem pengendalian intern dilakukan melalui penyempurnaan organisasi Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Penyempurnaan organisasi BPKP melalui Perpres tersebut
meliputi kedudukan, tugas, fungsi, serta organisasi dan tata kerjanya. Untuk meningkatkan peran Opini BPK dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, maka
perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Perlu adanya sinergi antara lembaga audit negara (BPK), penegak hukum dan inspektorat terkait potensi kerugian negara dalam penggunaan anggaran pembangunan daerah.
b. Perlu adanya pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat daerah untuk meminimalisir
terjadinya penyelewengan anggaran di daerah. Selain itu, perlu adanya pengawasan dari Pemerintah Pusat untuk mengawasi penyaluran dana alokasi umum sehingga potensi
kerugian yang dialami oleh negara dan masyarakat dapat diminimalisir.
c. Penegak hukum perlu menggali bukti lain yang mengarah pada keterlibatan korporasi dan pejabat daerah dalam kejahatan penyelewengan anggaran daerah.
10. Pengaruh Status Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Opini status daerah memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Tanda positip ini menunjukkan bahwa semakin kaya suatu daerah (memiliki sumber daya alam yang
66
melimpah berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No 4618 K/80/MEM/2016 dan penghasil SDA
Minyak Bumi di atas 5 juta perbarel ) akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Nilai koefisien
dalam regresi untuk dummy status daerah sebesar 0.289611, artinya daerah yang memperoleh predikat daerah yang kaya akan sumber daya alam yang berlimpah memiliki nilai konstanta (nilai
kostanta dalam regresi ditambah 0.289611 atau bertambah 1,95 Milyar Rupiah) yang lebih besar
dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki sumber daya alam yang berlimpah.
Berdasarkan Tabel 4.1 tentang perkembangan PDRB tahun 2008 dan 2018 di beberapa provinsi yang kaya sumber daya alam dan beberapa provinsi yang minim sumber daya alam, dapat
lihat rata-rata perubahan produk domestik regional bruto provinsi yang kaya dengan sumber daya
alam (rata-rata perubahan pertahun 57.297 milyar rupiah) lebih besar dibandingan dengan yang minim sumber daya alam (rata-rata perubahan pertahun 40.598 milyar rupiah).
Tabel 4.1
Perkembangan PDRB Tahun 2008-2018
Provinsi Kaya SDA Provinsi Minim SDA
Provinsi PDRB (Milyar)
Δ Provinsi PDRB (Milyar)
Δ 2008 2018 2008 2018
1. N Aceh D 97.706 126.853 29.148 10. SumBar 89.850 163.981 74.130
2. Riau 376.699 482.451 105.752 11. Bengkulu 24.483 44.180 19.697
3. Jambi 78.273 142.989 64.715 12. D I Y 56.225 98.023 41.798
4. SumSel. 170.095 298.550 128.454 13. SulUt 43.051 84.273 41.222
5. KalSel. 75.916 128.115 52.199 14. NTB 53.304 90.329 37.025
6. KalTim. 435.134 464.939 29.804 15. NTT 38.207 66.009 27.802
7. SulTeng. 36.311 103.697 67.387 16. Papua 89.135 159.732 70.597
8. Maluku 15.612 29.464 13.851 17. MalUt 12.539 25.049 12.510
9. PaBar 36.095 60.458 24.363
Total 1.323.849 1.839.534 515.674 Total 406.794 731.577 324.782
Rerata Perubahan 57,29 Rerata Perubahan 40,59
Sumber : Lampiran 2 Kebijakan desentralisasi memerlukan sumber pendanaan bagi masing-masing daerah,
terutama provinsi/kabupaten/kota. Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah dalam konteks
otonomi akan terlaksana dengan optimal apabila diikuti dengan pemberian pendapatan yang
cukup. Daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah memiliki potensi penerimaan daerah (Pendapatan Asli Daerah dan kebijakan transfer pusat dan daerah) lebih besar
dibandingkan dengan daerah yang minim sumber daya alam. Pemerintah daerah akan memiliki
keleluasaan dalam menyikapi aspirasi masyarakat dan mengakomodasi prioritas pembangunan daerah sehingga mempercepat peningkatan kesejahteraan, pelayanan umum, dan pertumbuhan
ekonomi (Dirjen Keuangan Daerah, 2013). Pengalokasian belanja dengan baik dari sumber-
sumber pendapatan daerah menjadi hal yang sangat krusial dalam mencapai tujuan organisasi (Bastian, 2006).
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori pendekatan Klasik, yaitu Adam Smith (1869),
David Ricardo (1821), Malthus. Menurut Adam Smith (1869) melalui bukunya An Inquiry Into the
Nature and Causes of the Wealth of Nations menyatakan variabel penentu proses produksi suatu negara dalam menghasilkan output total ada 3, yaitu: (i) sumber daya alam yang tersedia; (ii)
sumber daya manusia; dan (iii) stok barang kapital yang ada. Sumber daya alam yang tersedia
merupakan bahan baku utama dalam proses produksi suatu negara, jika sumber daya alam telah terkuras habis maka proses produksi akan terhenti dan pertumbuhan ekonomi juga akan berhenti.
67
Pendapat David Ricardo bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat ditentukan oleh: (i)
sumber daya alam (dalam hal ini tanah); (ii) perkembangan jumlah penduduk; dan (iii) peran
tehnologi. Menurut Malthus pandangan pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang dari
segi institusional yang bersifat sosiologis-ekonomis. Dalam masyarakat di negara-negara maju,
termasuk kalangan cendekiawan sering terdapat pandangan seolah-olah keterbelakangan dan
stagnasi ekonomi di belahan dunia lain (Amerika latin, Afrika dan Asia) disebabkan oleh perilaku masyarakatnya tidak optimal dalam berusaha karena kondisi sumber daya alam sangat
menguntungkan dan memudahkan kehidupan manusia.
Pengelolaan sumber daya alam seharusnya berorientasi untuk mengatasi kerusakan lingkungan dan memulihkan kerugian negara akibat investasi yang merusak. Hal tersebut tidak
cukup hanya dengan memberikan sanksi administrasi berupa denda, namun mesti ada ancaman
pidana yang mampu memberi efek jera bagi perusahaan perusak. Pemerintah terus berupaya untuk mengelola sumber daya alam (SDA) yang ada untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia sebagai
bentuk keberpihakan Pemerintah kepada kepentingan masyarakat. Hal tersebut merupakan
perwujudan amanah Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dimana bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.
Sumber daya alam dan tingkat perekonomian suatu negara memiliki kaitan yang erat,
dimana kekayaan sumber daya alam secara teoretis akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi, pada kenyataannya hal tersebut justru sangat bertentangan karena negara-
negara di dunia yang kaya akan sumber daya alamnya sering kali merupakan negara dengan
tingkat ekonomi yang rendah. Kasus ini dalam bidang ekonomi sering pula disebut Dutch disease. Hal ini disebabkan negara yang cenderung memiliki sumber pendapatan besar dari hasil bumi
memiliki kestabilan ekonomi sosial yang lebih rendah daripada negara-negara yang bergerak di
sektor industri dan jasa. Di samping itu, negara yang kaya akan sumber daya alam juga cenderung
tidak memiliki teknologi yang memadai dalam mengolahnya dan rentan dengan korupsi. Permasalahan tersebut adat diatasi dengan pembenahan sistem pemerintahan, pengalihan investasi
dan penyokongan ekonomi ke bidang industri lain, serta peningkatan transparansi dan
akuntabilitas dalam pemberdayaan sumber daya alam.
B. Regresi Panel Dinamis
Jika semua variabel telah memenuhi stasioner pada turunan pertama, telah melewati uji lag
optimum, uji stabilitas, dan uji kointegrasi dapat dilanjutkan dengan regresi model koreksi kesalahan vektor dinamis (Panel VECM). Model untuk Panel VECM tidak menggunakan model logaritma,
karena model dengan logaritma tidak memenuhi uji kointergrasi. Sehingga untuk memenuhi semua
persyaratan model Panel VECM digunakan model tanpa log (tetapi hasil regresi juga menunjukkan perubahan). Hasil regresi data panel dinamis (P VECM) disajikan dalam Tabel 4.2 dan Tabel 4.3.
Dalam jangka pendek (Tabel 4.2) pertumbuhan ekonomi daerah (perubahan PDRB)
dipengaruhi secara negatif (-) oleh perubahan anggaran pendidikan tahun lalu, perubahan anggaran pendidikan 2 tahun lalu, perubahan anggaran pertanian tahun lalu, perubahan anggaran pertanian 2
tahun lalu, perubahan DAU tahun lalu, perubahan DAU 2 tahun lalu, perubahan penduduk miskin 2
tahun lalu, dan perubahan investasi asing tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi daerah (perubahan
PDRB) dipengaruhi secara positif (+) oleh perubahan PDRB 2 tahun lalu, perubahan anggaran kesehatan tahun lalu, perubahan anggaran kesehatan 2 tahun lalu, perubahan anggaran kelautan tahun
lalu, perubahan anggaran kelautan 2 tahun lalu, dan perubahan populasi 2 tahun lalu,
Koefisien untuk perubahan anggaran pendidikan tahun lalu sebesar -8,4048 dalam jangka pendek, dan dari hasil koefisien tersebut dapat dicari angka elastisitasnya. Angka elastisitas bisa
dicari dengan rumus sebagai berikut -8,4048 x (130.233.266.301/8.354.121.893.132) diperoleh angka
elastisitas -0,131, artinya jika terjadi perubahan peningkatan anggaran pendidikan sebesar 1 persen,
68
maka akan mengakibatkan perubahan penurunan PDRB sebesar 0,131 persen dengan asumsi faktor
lain dianggap tetap. Realisasi anggaran pendidikan yang sudah sesuai dengan amanat undang-undang,
yakni 20 persen dari total anggaran negara harus dioptimalkan terlebih dahulu. anggaran pendidikan terbagi dalam belanja pemerintah pusat sebesar 33,7 persen, transfer ke daerah dan dana desa sebesar
Rp 63 persen. belanja pusat ternyata bukan berarti hanya untuk Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemdikbud) melainkan juga terdistribusi sebagai dana fungsi pendidikan 20
kementerian serta untuk Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP). Dari 20 kementerian/lembaga yang mendapatkan alokasi anggaran pendidikan, Kementerian Agama
memperoleh alokasi terbesar, yaitu 35 persen, disusul oleh Kemristekdikti sebesar 26,97 persen, dan
Kemdikbud sebesar 26,77 persen. Selebihnya sekitar 12 persen tersebar di sejumlah kementerian dan Badan Tenaga Nuklir Nasional serta Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Kemdikbud yang
mengurus pendidikan dasar dan menengah serta Kemristekdikti untuk pendidikan tinggi,
mendapatkan anggaran yang justru lebih kecil dari Kementerian Agama. Anggaran negara bukan hanya terfokus pada pemenuhan besaran angka melainkan juga ketepatan dan efektivitas penempatan
anggaran. Perlu dilihat lagi apakah anggaran yang besar sesuai dengan hasil yang diharapkan, atau
justru sebaliknya. Sedangkan di Kemdikbud sendiri perlu juga dilihat lebih detail sejauh mana
anggaran menjangkau persoalan yang perlu mendapatkan prioritas penanganan. Bank Pembangunan Asia alias Asian Development Bank (ADB) menyebut anggaran
pendidikan Indonesia tidak efisien. Pasalnya, 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yang dialokasikan untuk sektor pendidikan hanya berdampak 3,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sylwester (2000), hasil
penelitianya menyimpulkan belanja publik untuk pendidikan tidak memiliki pengaruh secara
langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi memiliki memiliki pengaruh negatif (-) secara tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi.
Koefisien untuk perubahan anggaran pendidikan tahun lalu sebesar 352,5 dalam jangka
panjang (lihat Tabel 4.3), dan dari hasil koefisien tersebut dapat dicari angka elastisitasnya. Angka
elastisitas bisa dicari dengan rumus sebagai berikut 352,5 x (130.233.266.301,861/1,79878E+14) diperoleh angka elastisitas 0,255, artinya jika terjadi perubahan peningkatan belanja pendidikan
sebesar 1 persen, maka akan mengakibatkan perubahan peningkatan PDRB sebesar 0,255 persen
dengan asumsi faktor lain dianggap tetap. Perubahan pengeluaran pemerintah daerah untuk pendidikan memiliki pengaruh positip terhadap perubahan PDRB dalam jangka panjang, hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Iqbal & Zahid (1998), Li & Liang (2010) dan
Murova & Khan (2017) yang menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk pendidikan
memiliki pengaruh positip (+) terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengaruh positif jangka panjang antara belanja pemerintah untuk pendidikan terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah dapat dijelaskan secara teori seperti pada Gambar 4.2. Model IS-LM
dirancang untuk menjelaskan perekonomian dalam jangka panjang ketika tingkat harga mempengaruhi ekuilibrium dalam model IS-LM (Mankiw, 2003). Dengan model IS-LM untuk
menjelaskan jangka panjang, kenaikan belanja pemerintah daerah untuk pendidikan menyebabkan
kenaikan/penurunan PDRB. Gambar 4.2 menunjukkan kenaikan belanja pemerintah daerah untuk pendidikan
menggeser kurva IS dari IS1 ke IS2, pergeseran IS1 ke IS2 mendorong kenaikan permintaan agregat
dari AD1 ke AD2. Kenaikan belanja pemerintah daerah untuk pendidikan menggeser kurva IS ke
kanan untuk setiap tingkat harga dan meningkatkan pendapatan dari Y1 ke Y2. Jika P2 > P1 maka akan diperoleh Y1/P1 < Y2/P2, maka peningkatan belanja pemerintah daerah untuk pendidikan mendorong
pertambahan pendapatan daerah dan Jika Y2/P2 < Y1/P1, maka peningkatan belanja pemerintah daerah
untuk pendidikan mengakibatkan penurunan pendapatan daerah. Sekolah gratis bukan sesuatu yang harus diminta masyarakat karena itu sudah menjadi hak.
Di era Presiden Jokowi dicanangkan program Wajib Belajar 12 tahun hingga SMA. Menurut
Undang-Undang anggaran untuk pendidikan 20 persen dari APBN, sehingga beban untuk biaya
69
pendidikan menjadi berkurang dan dapat dialokasikan untuk kebutuhan lainnya. Peningkatan belanja
daerah untuk pendidikan akan meningkatkan IS dan mendorong permintaan agregat dan pada
akhirnya akan mendorong peningkatan pendapatan daerah. Dalam jangka pendek, koefisien untuk perubahan anggaran kesehatan tahun lalu sebesar 8,40.
Nilai koefisien tersebut dapat dicari angka elastisitasnya. Angka elastisitas bisa kita cari dengan
rumus sebagai berikut 8,40 x (74.627.707.682/8.354.121.893.132) diperoleh angka elastisitas
perubahan anggaran kesehatan lag satu terhadap perubahan PDRB sebesar 0,075, artinya jika terjadi perubahan peningkatan anggaran kesehatan sebesar 1 persen, maka akan mengakibatkan perubahan
peningkatan PDRB sebesar 0,0751 persen dengan asumsi faktor lain dianggap tetap. Dalam jangka
pendek terjadi pengaruh yang positif antara anggaran kesehatan terhadap pertumbuhan ekonomi, hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Li & Liang (2010), Naidu & Chand (2013), Murova
& Khan (2017), Silva, et al. (2018), Akingba, et al. (2018) dan Pereira, et al. (2019).
Gambar 4.2 Peningkatan Belanja Pemerintah Daerah untuk Pendidikan Menggeser Permintaan Agregat
Koefisien untuk perubahan anggaran kesehatan tahun lalu sebesar -500,94 dalam jangka panjang (lihat Tabel 4.3), dan dari hasil koefisien tersebut dapat dicari angka elastisitasnya. Angka
elastisitas bisa dicari dengan rumus sebagai berikut -500,94 x (74.627.707.682/1.79878E+14)
diperoleh angka elastisitas perubahan anggaran kesehatan lag satu terhadap perubahan PDRB sebesar
-0,21, artinya jika terjadi perubahan peningkatan anggaran kesehatan sebesar 1 persen, maka akan mengakibatkan perubahan penurunan PDRB sebesar 0,21 persen dengan asumsi faktor lain dianggap
tetap. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pemerintah pusat diwajibkan
mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 5 persen di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), sedangkan pemda sebesar 10 persen di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD).
Dalam kenyataannya banyak daerah tidak mentaati Undang-Undang tersebut yang mengakibatkan persoalan baru deficit pengelolaan dana kesehatan melalui pengelolaan BPJS.
Sehingga awal tahun 2020 pemerintah mengeluarkan peraturan menaikan tariff asuransi BPJS 100%,
LM1
AD2
AD1
Y1 Y2 Pendapatan,
output, Y
Tingkat Harga
Meningkatkan Permintaan
Agregate pada tingkat
harga berapapun
Pendapatan,
output, Y
IS1(P=P1
)
IS2(P=P2
)
P2
P1
Y1 Y2
Tingkat Bunga Kenaikan
Belanja Daerah
Pendidikan
Sumber : Mankiw, 2003: hal. 276
70
hal ini menyebabkan biaya kesehatan menjadi mahal. Dalam jangka panjang pemerintah dan
masyarakat harus menyadari bahwa biaya kesehatan sangat mahal, dan anggaran pemerintah tidak
bisa mengatasi persoalan mahalnya biaya kesehatan di Indonesia. Jika dalam satu keluarga ada yang menderita penyakit yang serius, mereka dalam satu keluarga akan berjuang bersama-sama untuk
mengatasinya. Berapapun biaya akan dipikul bersama-sama, sehingga akan menimbulkan beban
ekonomi.
Pengaruh negatif jangka panjang antara belanja pemerintah untuk kesehatan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dapat dijelaskan secara teori seperti pada Gambar 4.3. Model IS-LM
dirancang untuk menjelaskan perekonomian dalam jangka panjang ketika tingkat harga
mempengaruhi ekuilibrium dalam model IS-LM (Mankiw, 2003). Dengan model IS-LM untuk menjelaskan jangka panjang, kenaikan belanja pemerintah daerah untuk kesehatan menyebabkan
kenaikan/penurunan PDRB.
Gambar 4.3 menunjukkan kenaikan belanja pemerintah daerah untuk kesehatan menggesesr kurva IS dari IS1 ke IS2, pergeseran IS1 ke IS2 mendorong kenaikan permintaan agregat dari AD1 ke
AD2. Kenaikan belanja pemerintah daerah untuk kesehatan menggesr kurva IS ke kanan untuk setiap
tingkat harga dan meningkatkan pendapatan dari Y1 ke Y2. Jika P2 > P1 maka akan diperoleh Y1/P1 <
Y2/P2 maka peningkatan belanja pemerintah daerah untuk kesehatan mendorong pertambahan pendapatan dan Jika Y2/P2 < Y1/P1 maka peningkatan belanja pemerintah daerah untuk kesehatan
mengakibatkan penurunan pendapatan daerah.
Gambar 4.3 Peningkatan Belanja Pemerintah Daerah untuk Kesehatan Menggeser Permintaan Agregat
Dalam jangka panjang peningkatan belanja daerah untuk kesehatan belum bisa memenuhi
kebutuhan kesehatan seluruh masyarakat. Semakin lengkap sarana dan prasarana kesehatan akan meningkatkan biaya pelayanan kesehatan. Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI)
menjelaskan selalu ada peningkatan tarif di rumah sakit swasta di Indonesia. Itu terjadi karena
mengikuti laju inflasi. Selain itu, perkembangan teknologi juga mempengaruhi biaya berobat di rumah sakit. Dalam jangka panjang kesehatan menjadi sangat mahal atau sering muncul pernyataan
LM1
AD2
AD1
Y1 Y2 Pendapatan, output, Y
Tingkat Harga
Meningkatkan Permintaan
Agregate pada tingkat
harga berapapun
Pendapatan, output, Y
IS1(P=P1
)
IS2(P=P2
)
P2
P1
Y1 Y2
Tingkat Bunga Kenaikan
Belanja Daerah
Kesehatan
Daerah
Sumber : Mankiw, 2003: hal.276
71
orang miskin tidak boleh jatuh sakit. Apabila dalam keluarga miskin ada salah satu anggotanya
terkena penyakit serius menyebabkan semakin menjadi miskin.
Koefisien untuk perubahan anggaran pertanian tahun lalu sebesar -19,9732 dalam jangka pendek, dan dari hasil koefisien tersebut dapat dicari angka elastisitasnya. Angka elastisitas bisa
dicari dengan rumus sebagai berikut -19,9732 x (17.307.035.863/8.354.121.893.132) diperoleh angka
elastisitas -0,0414, artinya jika terjadi perubahan peningkatan anggaran pertanian sebesar 1 persen,
maka akan mengakibatkan perubahan penurunan PDRB sebesar 0,0414 persen dengan asumsi faktor lain dianggap tetap. Alokasi anggaran untuk sektor pertanian di Indonesia yang rendah dan sektor ini
didominasi tenaga kerja yang sangat besar, sehingga mengakibatkan produkvitas sektor pertanin
menjadi rendah dalam jangka pendek. Subsidi untuk para petani di Indonesia sebagian besar melalui subsidi pupuk. Hasil ini sesuai penelitian yang dilakukan Armas, et al. (2012) menyimpulkan belanja
publik sector pertanian untuk subsidi pupuk memiliki efek negatif (-) terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Gambar 4.4
Peningkatan Belanja Pemerintah Daerah untuk Pertanian Menggeser Permintaan Agregat
Koefisien untuk perubahan anggaran pertanian tahun lalu sebesar 1.335,73 dalam jangka
panjang (lihat Tabel 4.3), dan dari hasil koefisien tersebut dapat dicari angka elastisitasnya. Angka
elastisitas bisa dicari dengan rumus sebagai berikut 1.335.735 x (17.307.035.863/1.79878E+14)
diperoleh angka elastisitas 0,1285, artinya jika terjadi perubahan peningkatan anggaran pertanian sebesar 1 persen, maka akan mengakibatkan perubahan peningkatan PDRB sebesar 0,1285 persen
dengan asumsi faktor lain dianggap tetap. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Xu, et al.
(2011) dan Armas, et al. (2012), mereka menyimpulkan bahwa anggaran pertanian dapat mendorong (+) pertumbuhan ekonomi.
Gambar 4.4 menunjukkan kenaikan belanja pemerintah daerah untuk pertanian menggeseser
kurva IS dari IS1 ke IS2, pergeseran IS1 ke IS2 mendorong kenaikan permintaan agregat dari AD1 ke AD2. Kenaikan belanja pemerintah daerah untuk kesehatan menggesr kurva IS ke kanan untuk setiap
tingkat harga dan meningkatkan pendapatan dari Y1 ke Y2. Peningkatan belanja pemerintah daerah
LM1
AD2
AD1
Y1 Y2 Pendapatan, output, Y
Tingkat Harga
Meningkatkan Permintaan
Agregate pada tingkat
harga berapapun
Pendapatan, output, Y
IS1(P=P1
)
IS2(P=P2
)
P2
P1
Y1 Y2
Tingkat Bunga Kenaikan
Belanja Daerah
Kesehatan
Daerah
Sumber : Mankiw, 2003:hal 276
72
untuk pertanian mendorong pertambahan pendapatan karena Y2/P2 > Y1/P1. Rendahnya angka inflasi
pangan, menunjukkan ketersediaan yang cukup karena produksi bahan makanan hasil pertanian yang
terus meningkat (Detik Finance). Tabel 4.2
Hasil Regesi Panel VECM Jangka Pendek
Variabel Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
CointEq1 0,0158 0,0017 9,2080*** 0,0000
D(PDRB(-1)) -0,0537 0,0711 -0,7546 0,4506
D(PDRB(-2)) -0,1348 0,0739 -1,8232* 0,0685
D(POP(-1)) 5.633.429. 3.624.403. 1,5543 0,1204
D(POP(-2)) 6.579.552. 3.608.949. 1,8231* 0,0685
D(POV(-1)) -13.783.958 8.791.049. -1,5679 0,1171
D(POV(-2)) -27.123.811 8.044.174. -3,3718*** 0,0008
D(DAU(-1)) -7,527143 2,7311 -2,7560*** 0,0059
D(DAU(-2)) -17,9278 5,1914 -3,4533*** 0,0006
D(EDUC(-1)) -8,4048 1,6213 -5,1837*** 0,0000
D(EDUC(-2)) -9,8241 1,7594 -5,5837*** 0,0000
D(HEALTH(-1)) 8,4027 2,5498 3,2954*** 0,0010
D(HEALTH(-2)) 9,1373 3,4181 2,6732*** 0,0076
D(AGRIC(-1)) -19,9732 6,8735 -2,9058*** 0,0037
D(AGRIC(-2)) -24,3246 7,7906 -3,1222*** 0,0018
D(MARINE(-1)) 28,86055 12,2201 2,3617** 0,0183
D(MARINE(-2)) 26,04508 14,6782 1,7744* 0,0762
D(FDI(-1)) -0,160558 0,0842 -1,9055* 0,0569
D(FDI(-2)) 0,063539 0,0934 0,6797 0,4968
C 11.492.910 1.483.790 7,7456*** 0,0000
Sumber : Lampiran 13
Keterangan : [ ] t hitung *** signifikan α 1% ** signifikan α 5% * signifikan α 10%
Matrik Panel VECM sebagai berikut :
Koefisien untuk perubahan anggaran perikanan dan kelautan tahun lalu sebesar 28,860 dalam
jangka pendek, dan dari hasil koefisien tersebut dapat dicari angka elastisitasnya. Angka elastisitas
73
bisa dicari dengan rumus sebagai berikut 28,860 x (12.473.339.513/8.354.121.893.132) diperoleh
angka elastisitas 0,043, artinya jika terjadi perubahan peningkatan anggaran perikanan dan kelautan
sebesar 1 persen, maka akan mengakibatkan perubahan peningkatan PDRB sebesar 0,043 persen dengan asumsi faktor lain dianggap tetap. Hasil ini didukung oleh penelitian mengenai pengaruh
antara pengeluaran pemerintah untuk perikanan dan kelautan terhadap pertumbuhan ekonomi yang
dilakukan Huda, et al. (2015), Novianti, dkk. (2014), dan Agustine, et al. (2013), mereka
menyimpulkan pengeluaran pemerintah yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur kelautan dan perikanan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Koefisien untuk perubahan anggaran perikanan dan kelautan tahun lalu sebesar -2,424 dalam
jangka panjang, dan dari hasil koefisien tersebut dapat kita cari angka elastisitasnya. Angka elastisitas bisa kita cari dengan rumus sebagai berikut -2.424.264 x (12.473.339.513/1.79878E+14) diperoleh
angka elastisitas -0,168, artinya jika terjadi perubahan peningkatan anggaran perikanan dan kelautan
sebesar 1 persen, maka akan mengakibatkan perubahan penurunan PDRB sebesar 0,043 persen dalam jangka panjang dengan asumsi faktor lain dianggap tetap.
Gambar 4.5 menunjukkan kenaikan belanja pemerintah daerah untuk perikanan dan kelautan
menggeseser kurva IS dari IS1 ke IS2, pergeseran IS1 ke IS2 mendorong kenaikan permintaan agregat
dari AD1 ke AD2. Kenaikan belanja pemerintah daerah untuk perikanan dan kelautan menggesr kurva IS ke kanan untuk setiap tingkat harga dan meningkatkan pendapatan dari Y1 ke Y2. Peningkatan
belanja pemerintah daerah untuk perikanan dan kelautan mengakibatkan penurunan pendapatan
karena Y2/P2 < Y1/P1. Luas Indonesia dua pertiga wilayahnya terdiri perairan, tetapi sarana dan prasana untuk sektor ini masih sangat minim, sehingga menyebabkan mahalnya biaya logistik sektor
kelautan. Biaya pengiriman logistik dari Makassar ke Surabaya mencapai Rp20 juta per kontainer 20
feet, sementara Surabaya ke Singapura dan Jepang masing-masing hanya Rp2,8 juta dan Rp4,2 juta per kontainer 20 feet (Tirto.id).
Gambar 4.5 Peningkatan Belanja Pemerintah Daerah untuk Perikanan dan Kelautan
Menggeser Permintaan Agregat
LM1
AD2
AD1
Y1 Y2 Pendapatan, output, Y
Tingkat Harga
Meningkatkan Permintaan
Agregate pada tingkat
harga berapapun
Pendapatan, output, Y
IS1(P=P1
)
IS2(P=P2
)
P2
P1
Y1 Y2
Tingkat Bunga Kenaikan
Belanja Daerah
Kesehatan
Daerah
Sumber : Mankiw, 2003: hal. 276
74
Koefisien untuk perubahan Dana Alokasi Umum tahun lalu sebesar -7,527 dalam jangka
pendek, dan dari hasil koefisien tersebut dapat dicari angka elastisitasnya. Angka elastisitas bisa
dicari dengan rumus sebagai berikut -7,527 x (182.428.382.845/8.354.121.893,132) diperoleh angka elastisitas -,1644, artinya jika terjadi perubahan peningkatan Dana alokasi Umum sebesar 1 persen,
maka akan mengakibatkan perubahan penurunan PDRB sebesar 0,1644 persen dengan asumsi faktor
lain dianggap tetap. Dalam jangka pendek penggunaan DAU 80% digunakan untuk membayar gaji
PNS, sehingga peningkatan DAU belum tentu meningkatkan dana pembangunan. Dalam jangka pendek Dana Alokasi Umum memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, hasil ini
didukung hasil penelitian Astria (2014) yang menyimpulkan Dana Alokasi Umum memiliki pengaruh
negatif (-) terhadap pertumbuhan ekonomi di Sumatera Selatan. Koefisien untuk perubahan DAU tahun lalu sebesar 674,9 dalam jangka panjang (lihat Tabel
4.3), dan dari hasil koefisien tersebut dapat dicari angka elastisitasnya. Angka elastisitas bisa dicari
dengan rumus sebagai berikut 674,921x (182.428.382.845,99/1.79878E+14) diperoleh angka elastisitas 0,6845, artinya jika terjadi perubahan peningkatan Dana alokasi Umum sebesar 1 persen,
maka akan mengakibatkan perubahan peningkatan PDRB sebesar 0,6845 persen dalam jangka
panjang dengan asumsi faktor lain dianggap tetap. Dana Alokasi Umum memiliki pengaruh positif
terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Malik, et al. (2006), Ezcurra & Rodríguez (2011) dan Purbadharmaja, dkk. (2019) yang
menyimpulkan Dana Alokasi Umum di beberapa provinsi di Indonesia dapat mendorong (+)
pertumbuhan ekonomi. Koefisien untuk perubahan populasi dua tahun lalu sebesar 6.579.552 dalam jangka pendek,
dan dari hasil koefisien tersebut dapat dicari angka elastisitasnya. Angka elastisitas bias dicari dengan
rumus sebagai berikut 6.579.552 x (143.707.4246 dibagi 8.354.121.893.132) diperoleh angka elastisitas 0,097, artinya jika terjadi perubahan peningkatan populasi sebesar 1 persen, maka akan
mengakibatkan perubahan peningkatan PDRB sebesar 0,097 persen dengan asumsi faktor lain
dianggap tetap.
Sedangkan koefisien untuk perubahan populasi tahun lalu sebesar 1,010+E10 dalam jangka panjang (lihat Tabel 4.3), dan dari hasil koefisien tersebut dapat kita cari angka elastisitasnya. Angka
elastisitas bisa kita cari dengan rumus sebagai berikut 10,100,000,000 x (143.707.4246/1.79878E+14)
diperoleh angka sebesar 8,069, artinya jika terjadi perubahan peningkatan populasi sebesar 1 persen, maka akan mengakibatkan perubahan penurunan PDRB sebesar 8,07 persen dengan asumsi faktor
lain dianggap tetap. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Ibhagui (2020), Rahman (2017),
Doran (2012) dan Banik & Bhaumik (2006) menyimpulkan populasi akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Koefisien untuk perubahan penduduk miskin 2 tahun lalu sebesar -27.123.811 dalam jangka
pendek, dan dari hasil koefisien tersebut dapat dicari angka elastisitasnya. Angka elastisitas bisa
dicari dengan rumus sebagai berikut -27.123.811 x (22.272/8.354.121.893.132) diperoleh angka elastisitas -0,0367, artinya jika terjadi perubahan peningkatan jumlah penduduk miskin sebesar 1
persen, maka akan mengakibatkan perubahan penurunan PDRB sebesar 0,0367 persen dengan asumsi
faktor lain dianggap tetap. Koefisien untuk perubahan penduduk miskin tahun lalu sebesar -4,48 dalam jangka panjang,
dan dari hasil koefisien tersebut dapat dicari angka elastisitasnya. Angka elastisitas bisa dicari dengan
rumus sebagai berikut -448.000.000 x (22 841/1.79.878E+14) diperoleh angka elastisitas -0,0569,
artinya jika terjadi perubahan peningkatan jumlah penduduk miskin sebesar 1 persen, maka akan mengakibatkan perubahan penurunan PDRB sebesar 0,0569 persen dalam jangka panjang dengan
asumsi faktor lain dianggap tetap. Hasil ini didukung penelitian Yusuf, et al. (2014), Mariyanti &
Mahfudz (2016) dan Akanbi (2017) yang menyimpulkan bahwa jumlah penduduk miskin memiliki
pengaruh negatif (-) dengan perubahan PDRB, artinya jika jumlah penduduk miskin meningkat, maka mengakibatkan penurunan PDRB.
75
Koefisien untuk perubahan penanama modal asing sebesar -0,1605 dalam jangka pendek, dan
dari hasil koefisien tersebut dapat dicari angka elastisitasnya. Angka elastisitas bisa dicari dengan
rumus sebagai berikut -0,1605 x (1.472.217.219.937/8.354.121.893.132) diperoleh angka elastisitas – 0,0283, artinya jika terjadi perubahan peningkatan penanaman modal asing sebesar 1 persen, maka
akan mengakibatkan perubahan penurunan PDRB sebesar 0,0283 persen dengan asumsi faktor lain
dianggap tetap.
Tabel 4.3 Hasil Regesi Panel VECM Jangka Panjang
Variabel Keterangan Coefficient Std. Error t-Statistic
PDRB(-1) Produk Domestik Regional
Bruto Tahun lalu 1,000000
POP(-1) Populasi Tahun Lalu 1,01E+08 (1,4E+07) [ 7,37237]***
POV(-1) Penduduk Miskin Tahun Lalu -4,48E+08 (7,7E+07) [-5,85147]***
DAU(-1) Dana Alokasi Umum Tahun Lalu
674,9212 (80,7839) [ 8,35465]***
EDUC(-1) Anggaran Pendidikan Tahun
Lalu 352,5057 (149,463) [ 2,35849]***
HEALTH(-1) Anggaran Kesehatan Tahun Lalu
-500,9480 (114,021) [-4,39348]***
AGRIC(-1) Anggaran Pertanian Tahun Lalu 1.335,735 (392,921) [ 3,39950]***
MARINE(-1) Anggaran Perikanan dan
kelautan Tahun Lalu -2.424,264 (994,845) [-2,43683]***
FDI(-1) Investasi Asing Tahun Lalu 8,281930 (3,16916) [ 2,61329]***
C Konstanta -1,14E+09
Sumber : Lampiran 12
Keterangan : [ ] t hitung *** signifikan α 1% ** signifikan α 5% * signifikan α 10%
Dalam jangka pendek investasi asing langsung memiliki pengaruh negatif (-) terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah, hasil ini didukung penelitian Anetor (2020) yang menyimpulkan bahwa interaksi investasi asing langsung memiliki efek negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi di 28 negara Afrika sub-Sahara (SSA) antara periode 1995 dan 2017.
Dalam jangka panjang koefisien untuk perubahan penanaman modal asing tahun lalu sebesar
8,28 dalam jangka panjang (lihat Tabel 4.3), dan dari hasil koefisien tersebut dapat dicari angka elastisitasnya. Angka elastisitas bisa dicari dengan rumus sebagai berikut 8,2819 x
(472.217.219.937/1.79878E+14) diperoleh angka elastisitas 0,067, artinya jika terjadi perubahan
peningkatan penanaman modal asing sebesar 1 persen, maka akan mengakibatkan perubahan peningkatan PDRB sebesar 0,067 persen dengan asumsi faktor lain dianggap tetap. Hasil ini didukung
penelitian Metwally (2004), Hoang, et al. (2010), Freckleton, et al. (2012), Arısoy (2012), Chaudhry,
et al. (2013) dan Lau & Yip (2019). Mereka menyimpulkan penanaman modal asing memiliki pengaruh positif (+) terhadap pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan Gambar 4.6 peningkatan investasi asing dari I1 ke I2 akan mendorong ouput
per pekerja dari sf(k1) ke sf(k2) dan Outpu meningkat dari Y1 ke Y2. Dalam jangka panjang investasi
asing harus memberikan keuntungan melalui peningkatan daya saing bangsa. Ada tiga keuntungan bagi Indonesia jika FDI ditingkatkan. Pertama, investasi dalam rangka untuk datangkan devisa dalam
jangka panjang. Kedua, ya menciptakan lapangan kerja yang banyak, dan ketiga adalah investasi
asing harus melibatkan usaha kecil dan menengah.
76
C
C Y2
Y1 I2
I1
0 Modal per pekerja, k Sumber : Mankiw, 2003
Gambar 4.6 Peningkatan Investasi Asing Meningkatkan Output Per Pekerja
1. Impuls Respon Function (IRF) Berdasarkan Gambar 4.7.a dapat dijelaskan bahwa, respon PDRB terhadap shock PDRB
adalah positif dari periode ke-1 hingga memasuki dari periode ke-20. Hal ini ditunjukan dari garis
IRF yang berada diatas garis horizontal periode ke-1 sampai periode ke-20, dan cenderung
mengalami penurunan pada periode ke-20. Memasuki periode ke-21 sampai periode ke-0 respon PDRB terhadap shock PDRB menurun terus (negatif).
Gambar 4.7.a
Respon PDRB terhadap PDRB
Gambar 4.7.b
Respon Pop terhadap PDRB
Gambar 4.7.c
Respon Pov terhadap PDRB
Gambar 4.7 Respon PDRB, Penduduk Miskin (Pov) dan Pengeluaran Pendidikan (EDUC) terhadap Perubahan
PDRB
Berdasarkan Gambar 4.7.b dapat dijelaskan bahwa, respon jumlah penduduk terhadap shock
PDRB adalah positif dari periode ke-1 hingga memasuki dari periode ke-5. Hal ini ditunjukan dari garis IRF yang berada diatas garis horizontal periode ke-1 sampai periode ke-5, dan cenderung
mengalami penurunan pada periode ke-5 hingga periode-30 (ditunjukan dengan hasil IRF yang
berada dibawah garis horizontal). Memasuki periode ke-5 sampai periode ke-30 respon jumlah penduduk terhadap shock PDRB adalah negatif.
Ouput per
pekerja, Y Ouput, f(k1)
Investasi, sf(k1)
Investasi, sf(k2)
Ouput, f(k2)
77
Berdasarkan Gambar 4.7.c dapat dijelaskan bahwa, respon penduduk miskin terhadap shock
PDRB adalah negatif dari periode ke-1 hingga memasuki dari periode ke-17. Periode ke-1 sampai
dengan periode ke-10 cenderung menurun dan berada di bawah garis horizontal. Pada periode ke-18 sampai periode ke-30 respon penduduk miskin terhadap shock PDRB adalah positif.
Gambar 4.8.a Respon DAU terhadap PDRB
Gambar 4.8.b Respon Educ terhadap PDRB
Gambar 4.8.c Respon Health terhadap PDRB
Gambar 4.8
Respon Pengeluaran Kesehatan (HEALTH), Pengeluran Pertanian (AGRIC) dan Pengeluaran
Perikanan dan Kelautan (MARINE) terhadap Perubahan PDRB
Berdasarkan Gambar 4.8.a dapat dijelaskan bahwa, respon DAU terhadap shock PDRB
adalah meningkat dari periode ke-1 hingga memasuki dari periode ke-30 dan peningkatan tajam terjadi pada period eke 15, artinya dalam jangka panjang respon DAU terhadap shock PDRB adalah
positif dengan asumsi penggunaan DAU digunakan dengan optimal sesuai dengan potensi wilayah
masing-masing. Berdasarkan Gambar 4.8.b dapat dijelaskan bahwa, respon pengeluaran daerah untuk
pendidikan terhadap shock PDRB adalah meningkat dari periode ke-1 hingga memasuki periode ke-
30, peningkatan tajam terjadi pada periode 20. Dalam jangka panjang respon pengeluaran daerah
untuk pendidikan terhadap shock PDRB adalah positif. Pendidikan adalah salah satu cara untuk meningkan sumber daya manusia, peningkatan sumber daya manusia mengakibatkan peningkatan
produktivitas kerja dan selanjunya berdampak pada peningkatan PDRB.
Berdasarkan Gambar 4.8.c dapat dijelaskan bahwa, respon pengeluaran daerah untuk kesehatan terhadap shock PDRB adalah positif dari periode ke-1 hingga memasuki periode ke-5,
peurunan tajam terjadi pada periode 10 hingga periode 30. Dalam jangka panjang respon pengeluaran
daerah untuk kesehatan terhadap shock PDRB adalah negatif. Sistem kesehatan adalah istilah yang mencakup pribadi, lembaga, pembiayaan, informasi, komoditas dan strategi pemerintahan dalam
menyediakan layanan pencegahan dan perawatan kepada masyarakat. Sistem kesehatan diciptakan
dengan tujuan dapat merespon kebutuhan dan harapan kesehatan yang dimiliki masyarakat dalam
pemenuhan yang adil dan merata. Kenyataan yang terjadi sampai saat ini derajat kesehatan masyarakat masih rendah khususnya pada masyarakat miskin. Salah satu penyebabnya adalah karena
mahalnya biaya kesehatan sehingga akses ke pelayanan kesehatan pada umumnya masih rendah.
Asuransi kesehatan adalah salah satu upaya untuk mengatasi masalah ketidakmampuan terhadap pembiayaan pelayanan kesehatan.
Berdasarkan Gambar 4.9.a dapat dijelaskan bahwa, respon perubahan pengeluaran
pemerintah untuk pertanian terhadap shock PDRB adalah negatif dari periode ke-1 hingga memasuki
periode ke-7. Memasuki periode 8 sampai dengan periode 30 cenderung mengalami peningkatan dan peningkatan tajam terjadi mulai periode ke-20. Pertanian merupakan komponen utama yang
menopang kehidupan pedesaan dan perkotaan di Indonesia. Apa yang terjadi di pertanian akan secara
langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan pedesaan, dan juga sebaliknya. Pertanian tidak hanya sebatas pertanian dalam artian sempit, namun dalam artian luas yaitu penghasil produk primer
yang terbarukan. Pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan sangat penting dalam
perekonomian; menyediakan kebutuhan bahan pangan yang diperlukan masyarakat untuk menjamin
78
ketahanan pangan; menyediakan bahan baku bagi industry; sumber tenaga kerja; mengurangi
kemiskinan dan peningkatan ketahanan pangan, dan menyumbang secara nyata bagi pembangunan
pedesaan dan pelestarian lingkungan hidup.
Gambar 4.9.a
Respon Agric terhadap PDRB
Gambar 4.9.b
Respon Marine terhadap
PDRB
Gambar 4.9.c
Respon FDI terhadap PDRB
Gambar 4.9 Respon Dana Alokasi Umum (DAU), Investasi Asing (FDI) dan Opini BPK (OPN) terhadap
Perubahan PDRB
Berdasarkan Gambar 4.9.b dapat dijelaskan bahwa, respon pengeluaran untuk perikanan dan kelautan terhadap shock PDRB adalah positif dari periode ke-1 hingga memasuki periode ke-5,
mulai periode ke-6 cenderung menurun hingga periode ke-30, dan penurunan tajam terjadi pada
periode ke-17. Permasalahan yang dihadapi negara kepulauan seperti Indonesia adalah penangkapan ikan ilegal yang dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, ekonomi dan kelembagaan. Negara yang
paling rentan mengalami kasus penangkapan ikan ilegal adalah negara dengan tata kelola yang buruk
dan kapasitas yang kurang memadai untuk mengawasi wilayah perairan. Selain itu, kondisi sosial
ekonomi yang buruk dan kelompok masyarakat nelayan juga menjadi sasaran empuk perekrutan kegiatan kriminal. Faktor ekonomi juga menjadi penyebab dilakukannya penangkapan ikan ilegal,
seperti penggunaan armada melebihi kapasitas, pengelolaan yang tidak efektif dan penyalahgunaan
subsidi yang dalam jangka panjang akan merugikan penerimaan di sektor perikanan dan kelautan. Berdasarkan Gambar 4.9.c dapat dijelaskan bahwa, respon FDI terhadap shock PDRB
adalah positif dari periode ke-1 hingga periode ke-30, dan peningkatan tajam terjadi pada periode ke-
15. Secara keseluruhan respon FDI terhadap PDRB terus meningkat. Penanaman modal asing sebagai bentuk aliran modal mempunyai peran penting bagi pertumbuhan perekonomian suatu Negara dalam
jangka panjang, khususnya negara berkembang. Hal ini disebabkan investor asing tidak hanya
memindahkan modal barang, tetapi juga mentransfer pengetahuan dan modal sumber daya manusia.
Dalam jangka panjang akan meningkatkan sumber daya pekerja lokal dan kemampuan untuk menghasilkan barang di dalam negeri, sehngga dapat mengurangi impor barang (substitusi impor).
2. Variance Decomposition Prediksi varian dekomposisi adalah alat yang menonjol dalam menafsirkan model rangkaian
waktu multivariat linier dan non linier bersama dengan respons impuls (Lanne dan Nyberg, 2016).
Analisis Varian Decomposition (VDC) bertujuan untuk mengukur besarnya komposisi atau
kontribusi pengaruh variabel independen terhadap variabel dependennya. Dalam penelitian ini analisis VDC difokuskan untuk melihat pengaruh variabel independen.
Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dijelaskan bahwa pada periode pertama PDRB sangat
dipengaruhi oleh shock PDRB itu sendiri sebesar 100%. Sementara itu pada periode pertama variabel populasi (POP), penduduk miskin (POV), Dana Alokasi Umum (DAU), pengeluaran pendidikan
(EDUC), pengeluaran kesehatan (HEALT), pengluaran pertanian (AGRIC), pengeluaran kelautan
(MARINE), penanaman modal asing (FDI) belum memberikan pengaruh terhadap PDRB. Selanjutnya, pada periode ke-2 variabel populasi (POP) memberikan kontibusi shock sebesar 0,042%,
pada periode ke-5 menjadi 0,77%, dan selalu mengalami peningkatan sampai pada periode ke-10
79
yaitu menjadi 1,31%. Periode ke-20 meningkat menjadi 1,033%. Periode ke-25 kontribusi populasi
(Pop) terhadap PDRB menurun menjadi sebesar 0,88%.
Pada periode ke-2 variabel kemiskinan (Pov) memberikan kontibusi shock sebesar 0,148%, pada periode ke-5 menjadi 13,37%, dan selalu mengalami peningkatan sampai pada periode ke-10
yaitu menjadi 10,12%. Periode ke-20 meningkat menjadi 0,64%. Periode ke-25 kontribusi penduduk
miskin (Pov) menurun terhadap PDRB menjadi sebesar 0,344%.
Pada periode ke-2 variabel Dana Alokasi Umum (DAU) memberikan kontibusi shock sebesar 0,3122%, pada periode ke-5 menjadi 3,305%, dan selalu mengalami peningkatan kontribusi sampai
pada periode ke-10 yaitu menjadi 11,11%. Periode ke-20 meningkat menjadi 22,59%. Periode ke-25
kontribusi Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap PDRB meningkat menjadi sebesar 23,317%.
Tabel 4.4.
80
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN, KETERBATASAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dengan menggunakan metode data panel, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah sebagai berikut : a. Belanja pemerintah daerah untuk pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi (jangka
panjang) memiliki pengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini
membuktikan bahwa belanja pendidikan yang dialokasikan untuk infrastuktur pendidikan dapat meningkatkan sumber daya manusia, dan berdampak pada peningkatan produktivitas
pekerja. Peningkatan produktivitas pekerja akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Hasil ini
menjelaskan bahwa alokasi belanja pendidikan yang diprioritaskan untuk kepentingan infrastruktur publik dapat mendorong pertumbuhan ekonomi (Amanat Undang-Undang
belanja pendidikan minimal 20 persen dari APBN).
b. Belanja pemerintah daerah untuk kesehatan memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi, sedangkan untuk jangka panjang belanja pemerintah untuk kesehatan memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini membuktikan bahwa dalam
jangka pendek peningkatan anggaran yang dialokasikan lebih besar untuk infrastruktur akan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Jangka panjang penelitian ini
menjelaskan belanja kesehatan memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan. Indonesia
memiliki wilayah yang sangat luas tetapi anggaran kesehatan terendah di ASEAN, akibatnya infrastruktur kesehatan per daerah di Indonesia mengalami disparitas yang cukup tinggi.
Belanja kesehatan di Indonesia memang tumbuh pesat sekitar 10 sampai 20 persen per tahun,
terlebih lagi didorong program JKN sejak 2015. Namun percepatan pertumbuhan itu belum
mampu membuat Indonesia mengejar ketertinggalan dibanding negara lain. c. Belanja pemerintah daerah untuk pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi (jangka panjang)
memiliki pengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini membuktikan
bahwa alokasi anggaran untuk infrastruktur sektor pertanian dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan pada Agustus 2019
untuk sektor pertanian sebesar 27,33 persen dengan kontribusi sektor pertanian sebesar 12,72
persen terhadap PDB. Penelitian ini menjelaskan sektor pertanian masih menjadi andalan
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. d. Belanja pemerintah daerah untuk perikanan dan kelautan memiliki pengaruh positip terhadap
pertumbuhan ekonomi, sedangkan untuk jangka panjang memiliki pengaruh negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini membuktikan pilihan sektor perikanan dan kelautan merupakan urusan konkuren pilihan, sehingga anggaran APBD untuk sektor nelayan
atau kelautan rasionya masih sangat kecil dibandingkan dengan sektor lain. Anggaran
perikanan tahun 2017 hingga 2020 hanya sebesar 1,27 persen dari APBN. Dengan anggaran yang sangat kecil maka infrastruktur yang ideal sulit untuk diwujudkan, dan terbukti
produksi ikan nomor dua di dunia, tapi tidak masuk negara pengekspor ikan 10 besar
dunia.
2. Dana Alokasi Umum memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang memiliki pengaruh positip terhadap
pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini membuktikan dalam jangka pendek alokasi Dana Alokasi
Umum yang tidak diawasi berdampak pada penggunaan alokasi anggaran yang tidak tepat sasaran (lebih banyak digunakan untuk pengeluaran rutin pegawai) berdampak pada rendahnya
pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian ini menjelaskan penggunaan DAU yang dikontrol (jangka
80
81
panjang) sesuai dengan mandatory spending akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan
ekonomi.
3. Jumlah penduduk memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Penelitian ini membuktikan jumlah penduduk merupakan modal
dasar pembangunan bagi suatu daerah. Peningkatan penduduk diartikan sebagai peningkatan
tenaga kerja, dan peningkatan tenaga kerja dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Hasil ini
menjelaskan peningkatan penduduk yang dibarengi dengan peningkatan sumber daya manusia akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
4. Jumlah penduduk miskin memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Penelitian ini membuktikan peningkatan penduduk miskin (standar hidup cenderung rendah) akan menyebabkan rendahnya produktivitas.
Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pertumbuhan ekonomi. Hasil ini menjelaskan
penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki keterbatasan terhadap faktor produksi menyebabkan akses terhadap nilai tambah (PDB) juga minimal.
5. Penanaman modal asing langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, maupun dalam jangka
panjang memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini membuktikan
peran PMA pada suatu perekonomian negara akan menentukan perkembangan perekonomian. Apabila PMA hanya sebagai tambahan modal untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat
ditutupi oleh PMDN, maka PMA hanya akan berdampak pada jangka pendek. Hal tersebut
dikarenakan peran penting PMA dalam mentransfer aset akan semakin efisien. Sebaliknya, PMA dapat membawa inovasi kepada negara tuan rumah sehingga dapat mendorong perekonomian
melalui kegiatan usaha yang lebih efisien dan efektif
6. Opini Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah memiliki pengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi. Tanda positif ini menunjukkan bahwa
tingginya peringkat opini Badan Pemeriksa Keuangan (tidak terjadi penyelewengan penggunaan
anggaran) akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini membuktikan hasil monitoring
dan evaluasi atas pengelolaan keuangan yang tercermin dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi salah satu tolok ukur kinerja dalam pengelolaan keuangan
daerah. Pengelolaan keuangan daerah yang baik akan mewujudkan tercapainya target
pembangunan. 7. Status daerah memiliki pengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi. Tanda positif ini
menunjukkan bahwa semakin daerah memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah akan
mendorong pertumbuhan ekonomi. Hasil ini mendukung pernyataan Bank Dunia terhadap
Indonesia dalam literatur dianggap sebagai contoh negara pengekspor minyak yang telah seimbang berhasil menghindari kutukan sumberdaya. Indonesia berhasil mempertahankan tingkat
pertumbuhan rata-rata PDB sekitar 5%, jauh di atas rata-rata tingkat pertumbuhan PDB negara-
negara industri selama periode pengamatan (Coutinho, 2011).
B. Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan, dapat diidentifikasi hasil temuan penelitian ini sebagai berikut:
Pertama, dalam jangka panjang anggaran kesehatan menyebabkan biaya kesehatan yang
sangat mahal. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pemerintah pusat
diwajibkan mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 5 persen di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), sedangkan pemerintah daerah sebesar 10 persen di dalam Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Anggaran yang dialokasikan selama ini mencakup alokasi gaji
pegawai di sektor kesehatan. Padahal, pemerintah harus mengalokasikan 5% dari APBN di luar dari gaji pegawai. Akibatnya peningkatan anggaran tidak meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan
kesehatan masyarakat, apalagi di daerah terpencil.
82
Kedua, Infrastruktur distribusi logistik laut yang ada saat ini belum mampu menurunkan
biaya angkut yang efisien. Mahalnya biaya logistik disebabkan minimnya infrastruktur yang tersedia,
hal itu menyebabkan harga komoditas pangan termasuk ikan selalu tinggi di pasaran. Berdasarkan data RPJM Nasional 2015-2019 belanja pembangunan insfrastruktur kelautan masih minim atau 63
persen dari total belanja perikanan dan kelautan. Disamping itu peran swasta dalam insfrastruktur
kelautan masih minim.
Ketiga, penggunaan Dana Alokasi Umum dalam jangka pendek tidak tepat sasaran. Dari segi akuntabilitas, alokasi DAU menimbulkan sejumlah tanda tanya. Dana yang berasal dari APBN
harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Alokasi dana DAU sebagian besar dialokasikan
untuk pembayaran gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil di daerah dan sisanya diserahkan kepada daerah untuk digunakan dengan persetujuan DPRD. Untuk mengurangi penggunaan anggaran yang
salah sasaran maka dana yang berasal dari DAU perlu diawasi pengalokasiannya oleh lembaga
tertentu dan lebih diprioritaskan untuk kepentingan publik. Keempat, pernyataan profesional pemeriksa keuangan (BPK) mengenai kewajaran
informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan menjadi pendorong pembangunan
daerah. Kriteria pemberian opini yaitu kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan kecukupan
pengungkapan (adequatedisclosures), kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian eksternal efektif untuk pencegahan korupsi yang terjadi di
lingkungan pemerintah kabupaten dan kota. Efektifitas pencegahan korupsi dapat terjadi apabila ada
kolaborasi antara hasil audit laporan BPK, Kepolisian Nasional, Kejaksaan Tinggi, Komisi Pemberasan Korupsi dan masyarakat pengguna jasa pemerintah. Selain itu pemerintah pusat dan
pemerintah daerah harus membuat dan memberlakukan sistem penganggaran berbasis kinerja.
Anggaran harus dapat menyajikan informasi yang jelas mengenai tujuan, sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan. Anggota masyarakat
memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran karena menyangkut aspirasi
dan kepentingan masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat.
Masyarakat juga berhak untuk menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran tersebut. Anggaran yang disusun dengan pendekatan kinerja mengutamakan upaya
penampilan hasil kerja (output/outcome) dari perencanaan alokasi biaya atau input yang telah
ditetapkan. Hasil kerjanya harus sepadan atau lebih besar dari biaya atau input yang telah ditetapkan, selain itu harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap organisasi kerja yang terkait.
C. Keterbatasan dan Rekomendasi
Pelaksanaan penelitian ini diupayakan semaksimal mungkin sesuai dengan metodologi yang dipergunakan. Namun masih dirasakan adanya keterbatasan dan kelemahan yang tidak dapat
dihindari antara lain :
1. Tidak semua provinsi yang ada di Indonesia dijadikan kasus dalam riset ini. Sampel digunakan hanya 20 provinsi dari 34 provinsi yang ada. Data tidak tersedia lengkap untuk 14 provinsi,
kemungkinan pemerintah daerah lambat dalam melaporkan Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah (LKPD), sehingga tidak masuk dalam laporan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementrian Keuangan. Diharapkan ke depan ada penelitian serupa yang dapat
mengakomodasi seluruh provinsi menjadi sampel dalam penelitian selanjutnya.
2. Tahun yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan tahun 2008 sebagai awal dilakukan
penelitian dan berakhir 2018 sehingga hasil yang diperoleh belum maksimal. Ke depan ada penelitian yang menggunakan tahun 2000 sebagai awal tahun penelitian, karena pada tahun
tersebut Indonesia melakukan perubahan dari perencanaan terpusat ke otonomi daerah sesuai
dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2014. 3. Variabel opini Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
digunakan sebagai variabel pengganti persepsi korupsi (jika opini BPK tehadap laporan keuangan
tinggi berarti indikasi penyelewengan penggunaan uang rendah, dan sebaliknya jika opini BPK
83
tehadap laporan keuangan rendah berarti indikasi penyelewengan penggunaan uang tinggi).
Penulis berharap ke depan ada peneliti yang menggunakan variabel korupsi dengan indeks
persepsi korupsi di masing-masing provinsi. 4. Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam hal menangkap peran sektor ekonomi terutama
pertanian dan manufaktur (industri) yang di banyak daerah berperan dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi di daerah. Ada daerah yang memiliki peran industri terbesar di Indonesia
tidak masuk dalam sampel daerah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur, serta daerah provinsi yang menjadi lumbung beras juga tidak masuk dalam sampel seperti Lampung, Jawa
Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Penulis berharap agar ke depan ada peneliti lain yang
memasukkan provinsi tersebut dalam penelitiannya. 5. Literatur keuangan publik menjelaskan bahwa fungsi belanja pemerintah banyak ditujukan untuk
fungsi distribusi yaitu sebagai mekanisme melakukan redistribusi sumber daya pada provinsi
yang memiliki sumber daya yang rendah dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian, mungkin ada peneliti selanjutnya yang memasukan variabel dependen yang lebih
relevan seperti IPM yang tidak semata-mata mengukur kontribusi belanja pemerintah pada
pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, dapat diambil beberapa rekomendasi bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai berikut:
1. Melalui kebijakan fiskal, pemerintah daerah dapat memastikan bahwa anggaran negara
dialokasikan lebih maksimum untuk mengatasi ketimpangan dalam memperoleh kesempatan pada sektor pendidikan dan kesehatan melalui peningkatan pelayanan infrastruktur publik. Hal ini
bertujuan agar semua warga negara, tanpa dibatasi oleh status sosial ekonomi dan letak geografi,
dapat memperoleh kesamaan kesempatan dalam bidang pendidikan dan layanan kesehatan. 2. Jumlah penduduk miskin harus dikurangi melalui pemberdayaan sektor agraris, karena sebagian
besar tenaga kerja Indonesia masih diserap oleh sektor pertanian. Menurut data BPS, pada tahun
2017 jumlah tenaga kerja sektor pertanian mencapai 35,93 juta orang. Sektor ini merupakan
penyerap tenaga kerja terbesar dengan prosentase dari seluruh tenaga kerja mencapai 29,69%. Bila disandingkan dengan data kemiskinan pada tahun yang sama, maka sebanyak 26,58 juta
orang adalah penduduk miskin yang tinggal di desa (dengan prosentase mencapai 61,4%) dan
sebesar 49,9% adalah petani. Selayaknya bila pemerintah mengarahkan kebijakan anggaran APBN dan APBD agar lebih berpihak kepada sektor pertanian.
3. Dalam jangka pendek DAU menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi. Penggunaan Dana
Alokasi Umum yang sebagian besar dialokasikan untuk penambahan gaji para PNS, yang tujuan
utama penyerapan anggaran DAU, sedangkan untuk alokasi DAU untuk program pembangunan infrastruktur terabaikan hal ini dibuktikan dengan sebagian besar alokasi belanja DAU
pemerintah daerah untuk infrastruktur publik kurang dari 25 persen (Amanat Undang-Undang
dana DAU minimal 25 persen untuk infrastruktur). 4. Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pemerintah pusat diwajibkan mengalokasikan
anggaran kesehatan sebesar 5 persen di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),
sedangkan pemerintah daerah sebesar 10 persen di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Berdasarkan data APBD 2017, dari 542 daerah provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh
Indonesia, daerah yang telah memenuhi kewajiban minimal 10 persen anggaran kesehatan baru
177 daerah dari 548 provinsi/kabupaten/kota atau baru sekitar 32 persen. Pemerintah pusat
melalui Kementrian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan mengamati satu persatu, apakah benar-benar APBD itu sudah betul-betul bermanfaat untuk meningkatkan sistem kesehatan. Baik
untuk peralatan infrastruktur, maupun kemampuan tenaga kesehatan dan kesejahteraan tenaga
kesehatan. Peran pemerintah ini akan meningkatan peran kesehatan masyarakat dalam meningkatakan produktivitas tenaga kerja, dan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
84
DAFTAR PUSTAKA
Abdoellah, O. S. 2016. Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Agenor, P.-R. (2004). The Economic of Adjustment and Growth (2 ed.). Cambridge: Harvard University Press.
Ahmad, E., Ullah, M. A., & Arfeen, M. I. (2012). Does corruption affect economic growth?. Latin
american journal of economics, 49(2), 277-305.
Ahmad, I. (2011). Regional Fiscal Independence In East Java Province Post Regional Autonomy. Economic Journal of Emerging Markets, 3(2), pp.189-198.
Ahmad, I., Arif, M. Z., & Khalid, M. (2016). From Fiscal Decentralisation to Economic Growth: The
Role of Complementary Institutions. The Pakistan Development Review, 761-780 Aikins, S. (2011). An examination of government internal audits' role in improving financial
performance. Public Finance and Management, 11(4), 306-337
Akanbi, O. A. (2017). Impact of Migration on Economic Growth and Human Development. International Journal of Social Economics.
Akingba, I. O. I., Kaliappan, S. R., & Hamzah, H. Z. (2018). Impact of Health Capital on Economic
Growth in Singapore: an ARDL Approach to Cointegration. International Journal of Social
Economic. Alhowaish, A. K. (2014). Healthcare Spending and Economic Growth in Saudi Arabia: A Granger
causality approach. International Journal of Scientific & Engineering Research, 5(1), 1471-
1476. Ali, H., & Asgher, M. T. (2016). The Role of the Sectoral Composition of Foreign Direct Investment on
Economic Growth: A Policy Proposal for CPEC and Regional Partners. The Pakistan
Development Review, 89-103. Ali, S., Ahmad, N., & Khalid, M. (2010). The effects of fiscal policy on economic growth: empirical
evidences based on time series data from Pakistan [with comments]. The Pakistan Development
Review, 497-512.
Ali, S., Ali, A., & Amin, A. (2013). The Impact of Population Growth on Economic Development in Pakistan. Middle-East Journal of Scientific Research, 18(4), 483-491.
Alon, I., Chang, J., Lattemann, C., McIntyre, J. R., Zhang, W., Zhang, J., & Chen, Y. (2014). Does
Chinese Investment Affect Sub-Saharan African Growth?. International Journal of Emerging Markets.
Al-Shatti, A.S., (2014). The Impact of Public Expenditures on Economic Growth in Jordan. International
Journal of economics and Finance, 6(10), p.157.
Amusa, K., & Oyinlola, M. A. (2019). The Effectiveness of Government Expenditure on Economic Growth in Botswana. African Journal of Economic and Management Studies.
Anetor, F. O. (2020). Financial Development Threshold, Private Capital Inflows and Economic Growth.
International Journal of Development Issues. Angelopoulou, A., & Liargovas, P. (2014). Foreign Direct Investment and Growth: EU, EMU and
Transition Economies. Journal of Economic Integration, 470-495.
Ansar, A., Flyvbjerg, B., Budzier, A., & Lunn, D. (2016). Does infrastructure investment lead to economic growth or economic fragility? Evidence from China. Oxford Review of Economic
Policy, 32(3), 360-390.
Arısoy, İ. (2012). The Impact of Foreign Direct Investment on Total Factor Productivity and Economic
Growth in Turkey. The Journal of Developing Areas, 17-29. Armas, E.B., Osorio, C.G., Moreno-Dodson, B. and Abriningrum, D.E., 2012. Agriculture public
spending and growth in Indonesia. The World Bank.
Arsyad, L. (2014). Ekonomi pembangunan. UPP STIM YKPN. Yogyakarta. Astria, S. A. 2014. Analisis Pengaruh Dana Alokasi Umum Dan Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Di Sumatera Selatan. Journal of Economics & Development Policy, 12(1), 41-54.
85
Attinasi, M. G., & Klemm, A. (2016). The growth impact of discretionary fiscal policy measures. Journal
of Macroeconomics, 49, 265-279.
Auty, R. (2004). The political economy of growth collapses in mineral economies. Minerals & Energy-Raw Materials Report, 19(4), 3-15.
Awosusi, O. O., & Awolusi, O. D. (2014). Technology Transfer, Foreign Direct Investment and
Economic Growth in Nigeria. Africa Development, 39(2), 1-20.
Azam, M., & Ahmed, A. M. (2015). Role of Human Capital and Foreign Direct Investment in Promoting Economic Growth. International Journal of Social Economics.
Badrudin, R. and Kuncorojati, I. (2017). The Effect of District Own-Source Revenue and Balance Funds
on Public Welfare by Capital Expenditure and Economic Growth as an Intervening Variable in Special District of Yogyakarta. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 19(1), pp.54-59.
Baltagi, B. (2008). Econometric analysis of panel data. John Wiley & Sons.
Banik, A., & Bhaumik, P. K. (2006). Aging Population, Emigration and Growth in Barbados. International Journal of Social Economics.
Bardhan, P.K. (1997). Role of Governance in Economic Development. Development Centre of the
Organisation for Economic Cooperation and Development.
Barro, R. J. (1990). Government Spending in A Simple Model of Endogeneous Growth. Journal of political economy, 98(5, Part 2), S103-S125.
Barro, R. J. (1996). Democracy and growth. Journal of economic growth, 1(1), 1-27.
Barro, R.J. and Sala-i-Martin, X. (1990). Economic Growth and Convergence Across the United States (No. w3419). National Bureau of Economic Research.
Basri, F.H. (1995). Perekonomian Indonesia menjelang abad XXI: distorsi, peluang, dan kendala.
Erlangga. Bastian, I. (2006). Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintahan Daerah di Indonesia. Salemba
Empat.
Basu, S. R. (2002, April). Does governance matter. In Some Evidence from Indian States, VIIth Spring
Meeting of Young Economists, University of Paris-1. Bendavid-Val., Avrom, (1991). Regional and Local Economic Analysis for. Practitioners, Fourth edition,
New York: Prager Publisher.
Besarria, C. N., Araujo, J. M., Da Silva, A. F., Sobral, E. F. M., & Pereira, T. G. (2018). Effects of Income Inequality on The Economic Growth of Brazilian States. International Journal of
Social Economics.
Blakely, E. J. (1989). Planning Local Economic Development: Theory and Practice. California: SAGE
Publication, Inc. Bloom, D. E., Canning, D., & Fink, G. (2010). Implications of Population Ageing for Economic Growth.
Oxford review of economic policy, 26(4), 583-612.
Boediono, (1999). Teori Pertumbuhan Ekonomi. BPFE. Boushey, H., & Price, C. C. (2014). How Are Economic Inequality and Growth Connected? A review of
Recent Research. Washington Center for Equitable Growth, Washington DC.
Boussalem, F., Boussalem, Z., & Taiba, A. (2014). The Relationship Between Public Spending on Health and Economic Growth in Algeria: Testing for Co-integration and Causality. International
journal of business and management, 2(3), 25.
Brunnschweiler, C. N., & Bulte, E. H. (2008). The Resource Curse Revisited and Revised: A Tale of
Paradoxes and Red Herrings. Journal of Environmental Economics and Management, 55(3), 248-264.
Chaudhry, N. I., Mehmood, A., & Mehmood, M. S. (2013). Empirical Relationship between Foreign
Direct Investment and Economic Growth. China Finance Review International. Cordato, R. E. (1980). The Austrian Theory of Efficiency and The Role of Government. The Journal of
Libertarian Studies, 4(4), 393-403.
86
Corden, W. M. (1984). Booming Sector and Dutch Disease Economics: Survey and Consolidation.
Oxford Economic Papers, 36(3), 359-380.
Coutinho, Leonor. "The Resource Curse and Fiscal Policy." Cyprus Economic Policy Review 5, no. 1 (2011): 43-70.
Dao, M.Q., 2012. Population and Economic Growth in Developing Countries. International Journal of
Academic Research in Business and Social Sciences, 2(1), p.6.
Din, M., Ghozali, I., & Achmad, T. (2017). The follow up of auditing results, accountability of financial reporting and mediating effect of financial loss rate: an empirical study in Indonesian local
governments.
Djojohadikusumo, S. (1994). Perkembangan pemikiran ekonomi: dasar teori ekonomi pertumbuhan dan ekonomi pembangunan. LP3ES.
Donaldson, L., & Davis, J. H. (1991). Stewardship Theory or Agency Theory: CEO Governance and
Shareholder Returns. Australian Journal of management, 16(1), 49-64. Doran, J. (2012). An Analysis of The Interdependence of Demographic Factors, Labour Effort and
Economic Growth in Ireland. International Journal of Social Economics.
Dosti, B., Grabova, P., Shera, A., & Shahini, L. (2015). The Impact of Informal Economy in The Pension
System, Empirical Analysis. The Albanian Case. Journal of Knowledge Management, Economics and Information Technology, 5(1).
Dudzevičiūtė, G., Šimelytė, A., & Liučvaitienė, A. (2018). Government Expenditure and Economic
Growth in The European Union Countries. International Journal of Social Economics, 45(2), 372-386.
Ebeling, R. M. (2006). Milton Friedman and the Chicago School of Economics. FREEMAN-NEW
SERIES-FOUNDATION FOR ECONOMIC EDUCATION-, 56(10), 2. Ebong, F., Ogwumike, F., Udongwo, U. and Ayodele, O. (2016). Impact of Government Expenditure on
Economic Growth in Nigeria: A Disaggregated Analysis. Asian Journal of Economics and
Empirical Research, 3(1), pp.113-121.
Engle, R. F., & Granger, C. W. (1987). Co-Integration and Error Correction: Representation, Estimation, and Testing. Econometrica: Journal of the Econometric Society, 251-276.
Ezcurra, R., & Rodríguez-Pose, A. (2011). Decentralization of Social Protection Expenditure and
Economic Growth in the OECD. Publius: The Journal of Federalism, 41(1), 146-157. Fasoranti, M. M. (2012). The Effect of Government Expenditure on Infrastructure on The Growth of the
Nigerian Economy, 1977-2009. International Journal of Economics and Financial Issues, 2(4),
513-518.
Forte, R. and Moura, R., (2013). The Effects of Foreign Direct Investment on The Host Country's Economic Growth: Theory and Empirical Evidence. The Singapore Economic Review, 58(03),
p.1350017.
Freckleton, M., Wright, A., & Craigwell, R. (2012). Economic Growth, Foreign Direct Investment and Corruption in Developed and Developing Countries. Journal of Economic Studies.
Gemmell, N., & Kneller, R. (2008). Fiscal Policy in the European Union. (1 ed.). (J. Ferreiro, G.
Fontana, & F. Serrano, Eds.) Hampshire: Palgrave MacMillan. Grabova, P. (2014). Corruption Impact on Economic Growth: An Empirical Analysis. Journal of
Economic Development, Management, IT, Finance, and Marketing, 6(2), p.57. Greene, W.H.,
2003. Econometric analysis. Pearson Education India.
Gujarati, D.N. (2003). Basic Econometrics, McGraw-Hill. New York. Gupta, H. (2014). Public Expenditure and Economic Growth. Afican Journal of Social Science, vol, 6 No.
1. P. 114-122
Gupta, S., Verhoeven, M., & Tiongson, E. R. (2002). The Effectiveness of Government Spending on Education and Health Care in Developing and Transition Economies. European Journal of
Political Economy, 18(4), 717-737.
87
Gyimah-Brempong, K. (2002). Corruption, Economic Growth, and Income Inequality in
Africa. Economics of Governance, 3(3), pp.183-209.
Hakim, A. (2002). Ekonomi Pembangunan. ekonisia. Hassan, S. A., Zaman, K., & Gul, S. (2015). The Relationship between Growth-Inequality-Poverty
Triangle and Environmental Degradation: Unveiling The Reality. Arab Economic and Business
Journal, 10(1), 57-71.
Hemming, R., Mahfouz, S. and Kell, M. (2002). The Effectiveness of Fiscal Policy in Stimulating Economic Activity- a Review of The Literature (Vol. 2). International Monetary Fund.
Hendarmin, 2012. Pengaruh Belanja Modal Pemerintah Daerah dan Investasi Swasta terhadap
Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Barat . Jurnal EKSOS, Volume 8, Nomor 3, p.144-155.
Hoang, T. T., Wiboonchutikula, P., & Tubtimtong, B. (2010). Does Foreign Direct Investment Promote
Economic Growth in Vietnam?. ASEAN Economic Bulletin, 295-311. Hossain, A., & Hossain, M. K. (2012). Empirical Relationship between Foreign Direct Investment and
Economic Output in South Asian Countries: A Study on Bangladesh, Pakistan and India.
International Business Research, 5(1), 9.
Hsiao, C. (2006). Panel Data Analysis–Advantage and Challenges [iepr Working Paper no. 06.49]. Institute of Economic Policy Research (iepr), Los Angeles, CA.
Hurlin, C. and Venet, B. (2001). Granger Causality Tests in Panel Data Models with Fixed
Coefficients. Cahier de Recherche EURISCO, September, Université Paris IX Dauphine. Hussain, M. N. (2014). Empirical Econometric Analysis of Relationship between Fiscal-Monetary
Policies and Output on SAARC Countries. The Journal of Developing Areas, 209-224.
Ibhagui, O. (2020). How Does Foreign Direct Investment Affect Growth in Sub-Saharan Africa? New Evidence From Threshold Analysis. Journal of Economic Studies.
Iqbal, Z., & Zahid, G. M. (1998). Macroeconomic Determinants of Economic Growth in Pakistan. The
Pakistan Development Review, 125-148.
Iswara, P. N., Meydianawathi, L.G., Indrajaya, I.G.B., dan Adigorim, I.M. (2016). Analisis Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi di Bali: Model TSLS. E-Jurnal EP Unud.
Joseph, O., Ajegi Simeon, O., Samuel, O., & John, A. (2015). An Empirical Investigation of Malthusian
Population Theory in Nigeria. Journal of Emerging Trends in Economics and Management Sciences (JETEMS), 6(8), 367-375.
Kao, C. (1999). Spurious Regression and Residual-Based Tests for Cointegration in Panel Data. Journal
of econometrics, 90(1), 1-44.
Khalid, M., & Ahsan ul Haq Satti. (2016). Fiscal Policy Effectiveness for Pakistan: A Structural VAR Approach. The Pakistan Development Review, 309-324.
Klevmarken, N.A. (1989). Introduction: Panel Studies. European Economic Review, Elsevier, 33, pp.2-3.
Kobrin, S. J. (1977). Foreign direct investment, industrialization, and social change (Vol. 9). Jai Press. Kosor, M. M., Perovic, L. M., & Golem, S. (2019). Efficiency of public spending on higher education: a
data envelopment analysis for eu-28. Problems of education in the 21st century, 77(3), 396.
Kuncoro, M., (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta: Erlangga.
Landau, D. (1983). Government expenditure and economic growth: a cross-country study. Southern
economic journal, 783-792.
Lanne, M. and Nyberg, H. (2016). Generalized Forecast Error Variance Decomposition for Linear and Nonlinear Multivariate Models. Oxford Bulletin of Economics and Statistics, 78(4), pp.595-
603.
Lau, W. Y., & Yip, T. M. (2019). The Nexus between Fiscal Deficits and Economic Growth in ASEAN. Journal of Southeast Asian Economies, 36(1), 25-36.
Leibenstein, H. (1974). An interpretation of the economic theory of fertility: promising path or blind
alley?. Journal of Economic Literature, 12(2), 457-479.
88
Li, H., & Liang, H. (2010). Health, Education, and Economic Growth in East Asia. Journal of Chinese
Economic and Foreign Trade Studies.
Lin, J. Y., & Liu, Z. (2000). Fiscal Decentralization and Economic Growth in China. Economic Development and Cultural Change, 49(1), 1-21.
Lipsey, R. G., Steiner, P. O., & Purvis, D. D. (1987). Economics: Eight Edition. New York.
Lütkepohl, H. (2005). New Introduction to Multiple Time Series Analysis. Springer Science & Business
Media. Machaj, M. (2007). Friedman for Government Intervention: The Case of the Great Depression. Mises
Daily, January, 23, 2007.
Maddala, G. S., & Wu, S. (1999). A Comparative Study of Unit Root Tests with Panel Data and A New Simple Test. Oxford Bulletin of Economics and statistics, 61(S1), 631-652.
Maddala, G.S. and Lahiri, K., (1992). Introduction to Econometrics (Vol. 2). New York: Macmillan.
Malik, S., Mahmood-ul-Hassan, & Hussain, S. (2006). Fiscal Decentralisation and Economic Growth in Pakistan. The Pakistan Development Review, 845-854.
Mangkoesoebroto, G. (2002). Ekonomi Publik. BPFE, Yogyakarta.
Mankiw, N. G. (2003). Teori Makroekonomi edisi kelima. Jakarta: Erlangga.
Mankiw, N.G., Romer, D. and Weil, D.N. (1992). A Contribution to The Empirics of Economic Growth. The quarterly journal of economics, 107(2), pp.407-437.
Mardiasmo, (2002). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit Andi Yogyakarta.
Mariyanti, T., & Mahfudz, A. A. (2016). Dynamic Circular Causation Model in Poverty Alleviation. Humanomics.
Mauro, P., & Zilinsky, J. (2015). Fiscal Tightening and Economic Growth: Exploring Cross-Country
Correlations. Policy Brief, 15-15. McCloud, N., & Kumbhakar, S. C. (2012). Institutions, Foreign Direct Investment and Growth: A
Hierarchical BayesianAapproach. Journal of The Royal Statistical Society: Series A (Statistics
in Society), 175(1), 83-105.
Mehanna, R.A. (2003). The Temporal Causality between Investment and Growth in Developing Economies. Journal of Business and Economics Research, 1(3), p.85.
Meier, G. M., & Rauch, J. E. (1995). Leading issues in economic development (Vol. 6). New York:
Oxford University Press. Merrick, T. W. (2002). Population and Poverty: New Views on An Old Controversy. International
Family Planning Perspectives, 28(1), 41-46.
Metwally, M. M. (2004). Impact of EU FDI on Economic Growth in Middle Eastern Countries. European
Business Review. Mitchell, D. J. (2005). The Impact of Government Spending on Economic Growth. The Heritage
Foundation (1831), 1-18.
Mo, P.H. (2001). Corruption and Economic Growth. Journal of comparative economics, 29(1), pp.66-79. Mohapatra, S. (2017). Economic Growth, Public Expenditure on Health and IMR in India. International
Journal of Social Economics
Muda, I., Harahap, A. H., Erlina, S. G., Maksum, A., & Abubakar, E. (2018, March). Factors of quality of financial report of local government in Indonesia. In IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science (Vol. 126, No. 1, p. 012067).
Murova, O., & Khan, A. (2017). Public Investments, Productivity and Economic Growth. International
Journal of Productivity and Performance Management. Murphy, K.M., Shleifer, A. and Vishny, R.W. (1993). Why Is Rent-seeking so Costly to Growth?. The
American Economic Review, 83(2), pp.409-414.
Musgrave, R. M., & Musgrave, P. PB (1989): Public finance in theory and practice. International Edition McGraw-hill Book Company.
Nachrowi, D. Nachrowi. 2006. Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: FE-UI.
89
Naidu, S., & Chand, A. (2013). Does Central Government Health Expenditure and Medical Technology
Advancement Determine Economic Growth Rates in The Pacific island Countries?. Asia-
Pacific Journal of Business Administration. Nelson, R. R. (1956). A theory of the low-level equilibrium trap in underdeveloped economies. The
American Economic Review, 46(5), 894-908.
Nworji I. D., Okwu A. T., Obiwuru T. C. & Nworji L. O. (2012). “Effects of Public Expenditure on
Economic Growth in Nigeria: A Disaggregated Time Series Analysis”.International Journal of Management Sciences and Business Research, Vol. 1, Issue 7.
Odhiambo, N. (2015). Government Expenditure and Economic Growth in South Africa: an Empirical
Investigation. Atlantic Economic Journal, 3(43), 393-406 Ogawa, H., & Yakita, S. (2009). Equalization Transfers, Fiscal Decentralization, and Economic Growth.
FinanzArchiv/Public Finance Analysis, 122-140.
Ogbuagu Matthew, I. and Ekpenyong Udom, I. (2015). Estimating The Impact of The Component of Public Expenditure on Economic Growth in Nigeria (A Bound Testing Approach).
International Journal of Economics, Commerce and Management. Vol. III, Issue 3. P:1-8.
Olaoye, O. O., Orisadare, M., & Okorie, U. U. (2019). Government Expenditure and Economic Growth
Nexus in ECOWAS Countries. Journal of Economic and Administrative Sciences. Otaha, J. I. (2012). Dutch disease and Nigeria oil economy. African Research Review, 6(1), 82-90.
Oyinbo, O., Zakari, A. and Rekwot, G.Z., 2013. Agricultural Budgetary Allocation and Economic Growth
in Nigeria: Implications for Agricultural Transformation in Nigeria. Journal of Sustainable Development, 10(1), pp.16-27.
Palei, T. (2015). Assessing the impact of infrastructure on economic growth and global
competitiveness. Procedia Economics and Finance, 23(2015), 168-175. Peacock, A. T., & Wiseman, J. (1979). Approaches to The Analysis of Government Expenditure
Growth. Public Finance Quarterly, 7(1), 3-23.
Pedroni, P. (2004). Panel Cointegration: Asymptotic and Finite Sample Properties of Pooled Time Series
Tests with An Application to the PPP Hypothesis. Econometric theory, 20(3), 597-625. Pereira, A. M., Pereira, R. M., & Rodrigues, P. G. (2019). Health Care Investments and Economic
Performance in Portugal: An Industry Level analysis. Journal of Economic Studies.
Perović, L. M., & Golem, S. (2019). Government Expenditures Composition And Growth In Eu15: A Dynamic Heterogeneous Approach. Regional Science Inquiry, 95.
Prettner, K. (2013). Population Aging and Endogenous Economic Growth. Journal of population
economics, 26(2), 811-834.
Purbadharmaja, I. B. P., Ananda, C. F., & Santoso, D. B. (2019). The Implications of Fiscal Decentralization and Budget Governance on Economic Capacity and Community Welfare.
foresight.
Quy, N.H. (2016). Relationship between Economic Growth, Unemployment and Poverty: Analysis at Provincial Level in Vietnam. International Journal of Economics and Finance, 8(12), p.113.
Rahman, M. M., Saidi, K., & Mbarek, M. B. (2017). The Effects of Population Growth, Environmental
Quality and Trade Openness on Economic Growth. Journal of Economic Studies. Vol. 44 (3) Ramey, V. A. (2011). Can government purchases stimulate the economy?. Journal of Economic
Literature, 49(3), 673-85.
Robinson, T. (2005). Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Bumi Aksara. Jakarta.
Sabir, S., & Qamar, M. (2019). Fiscal Policy, Institutions and Inclusive Growth: Evidence From The Developing Asian Countries. International Journal of Social Economics.
Sasmal, R., & Sasmal, J. (2016). Public Expenditure, Economic Growth and Poverty Alleviation.
International Journal of Social Economics. Schaltegger, A., & Torgler, B. (2006). Growth Effects of Public Expenditure on State and Local Levels:
Evidence from a Sample of Rich Governments. Applied Economic, 38, 1181-1192
90
Scott-Joseph, A., & Turner, T. F. 2019. Does The Composition of Government Expenditure Matter for
Eastern Caribbean Economies’ Long-run Sectoral Output Growth?. International Journal of
Development Issues. Shahbaz, M., Shabbir, M. S., & Butt, M. S. (2013). Effect of Financial Development on Agricultural
Growth in Pakistan. International Journal of Social Economics.
Shuaib, I.M., Igbinosun, F.E. and Ahmed, A.E. 2015. Impact of Government Agricultural Expenditure on
The Growth of The Nigerian Economy. Asian Journal of Agricultural Extension, Economics and Sociology, 6(1), pp.23-33.
Silva, F. R., Simões, M., & Andrade, J. S. (2018). Health Investments and Economic Growth: A Quantile
Regression Approach. International Journal of Development Issues. Sjafrizal, (2012). Ekonomi Wilayah dan Perkotaan, cetakan pertama, Rajagrafindo Persada.
Škare, M. and Družeta, R.P. (2016). Poverty and Economic Growth: A Review. Technological and
Economic Development of Economy, 22(1), pp.156-175. Soetrisno, P. H. (1981). Dasar-dasar ilmu keuangan negara. Bagian Penerbitan, Fakultas Ekonomi,
Universitas Gadjah Mada.
Srinivasan, P., Kalaivani, M., & Ibrahim, P. (2011). An Empirical Investigation of Foreign Direct
Investment and Economic Growth in SAARC Nations. Journal of Asia Business Studies. Srithongrung, A., & Kriz, K. A. (2014). The Impact of Subnational Fiscal Policies on Economic Growth:
A Dynamic Analysis Approach. Journal of Policy Analysis and Management, 33(4), 912-928.
Stimson, R. J., Stough, R. R., & Roberts, B. H. (2006). Regional economic development: analysis and planning strategy. Springer Science & Business Media.
Sugiyono, D. (2008). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Pusat Bahasa Depdiknas.
Sukirno, S. (2000). Ekonomi Pembangunan Proses masalah dan Dasar Kebijakan, cetakan ketiga, Penerbit Kencana, Jakarta.
Suparmoko. (1987). Keuangan Negara dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: PFE Universitas Gajah
Mada.
Suryana, E.P. (2000). Problematika dan Pendekatan. Edisi Pertama, Jakarta: Salemba Empat. Sutopo, B., Wulandari, T. R., Adiati, A. K., & Saputra, D. A. (2017). E-government, audit opinion, and
performance of local government administration in Indonesia. Australasian Accounting,
Business and Finance Journal, 11(4), 6-22. Sylwester, K. (2000). Income Inequality, Education Expenditures and Growth. Journal of development
economics, 63(2), pp.379-398.
Tarigan, R. (2018). Perencanaan pembangunan wilayah. Bumi Aksara.
Thimmaiah, G. (2000). Decentralization and Economic Development: Indian Experience. Hitotsubashi Journal of Economics, 123-136.
Todaro, M.P. (2000). Economic Development, New York, Addition Wesley Longman.
Tsen, W. H., & Furuoka, F. (2005). The Relationship between Population and Economic Growth in Asian Economies. ASEAN Economic Bulletin, 314-330.
Verbeck, W. (2000). “The Nature of Government Expenditure and its Impact on Sustainable Economic
Growth”. Middle Eastern Finance and Economic Journal, 4(3), 25-56. Wang, L., Xue, X., Zhao, Z., & Wang, Z. (2018). The impacts of transportation infrastructure on
sustainable development: emerging trends and challenges. International journal of
environmental research and public health, 15(6), 1172.
Widarjono, A. (2009). Ekonometrika Pengantar dan Aplikasinya. Yogyakarta: Ekonisia. Xu, S., Zhang, Y., Diao, X., & Chen, K. Z. (2011). Impacts of Agricultural Public Spending on Chinese
Food Economy: A General Equilibrium Approach. China Agricultural Economic Review, 3(4),
518-534. Yusuf, M., Malarvizhi, C. A., Mazumder, M. N. H., & Su, Z. (2014). Corruption, Poverty, and Economic
Growth Relationship in The Nigerian Economy. The Journal of Developing Areas, 95-107.
91
CURICULUM VITAE
Agus Tri Basuki terlahir di Yogyakarta, 14 Oktober 1968. Menyelesaikan pendidikan formal S1 jurusan Ekonomi Pembangunan tahun 1993 di Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta dan S2 di Pasca Sarjana tahun 2000 di Universitas
Padjadjaran Bandung. Penulis melanjutkan studi S3 pada Program Doktor Ilmu
Ekonomi di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan menyelesaikan studi pada akhir tahun 2020.
Mengawali karir tahun 1994 sebagai dosen tetap Fakultas Ekonomi Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. Penulis pernah menjabat sebagai Kepala Program Studi Ekonomi Pembangunan FE UMY periode 2004-2008. Selain sebagai dosen
penulis juga pernah menjadi konsultan dan bergabung dengan Pusat Studi
Pariwisata Universitas Gadjah Mada tahun 2004-2010. Penulis juga pernah menjabat sebagai Direktur Cendekia Utama Konsuktan tahun 2007-2012.
Publikasi Artikel di Jurnal :
1. Basuki, A.T. (2018). DETERMINANT OF ECONOMIC GROWTH IN INDONESIA: PANEL VECM APPROACH. International Journal of Management and Applied Science. ISSN: 2394-
7926. Volume-4, Issue-6, Jun-2018.
2. Basuki, A. T., Purwaningsih, Y., & Susilo, A. M. (2019). THE ROLE OF LOCAL GOVERNMENT EXPENDITURE ON ECONOMIC GROWTH: A REVIEW OF PANEL
DATA IN INDONESIA. Humanities & Social Sciences Reviews, 7(5), 1293-1303.
3. Basuki, A., Purwaningsih, Y., & Soesilo, A. (2019, October). The Role of Regional Government Expenditures on Regional Economic Growth in Indonesia. In Third International Conference on
Sustainable Innovation 2019–Humanity, Education and Social Sciences (IcoSIHESS 2019).
Atlantis Press.
4. Basuki, A. T., Purwaningsih, Y., Soesilo, A. M., & Mulyanto, M. (2020). The Effect of Fiscal Policy and Foreign Direct Investment on Regional Economy in Indonesia. Jurnal Ekonomi &
Studi Pembangunan, 21(1), 53-68.
5. BASUKI, A. T., PURWANINGSIH, Y., SOESILO, A. M., & MULYANTO, M. (2020). Determinants of Economic Growth in Indonesia: A Dynamic Panel Model. The Journal of Asian
Finance, Economics and Business (JAFEB), 7(11), 147-156.
6. Prawoto, N., & Basuki, A. T. (2020). The influence of macroeconomic variables, processing
industry, and education services on economic growth in Indonesia. Entrepreneurship and Sustainability Issues, 8(1), 1029-1040.
7. Prawoto, N., & Basuki, A. T. (2020). Effect of Macroeconomic Indicators and CO2 Emission on
Indonesian Economic Growth. International Journal of Energy Economics and Policy, 2020, 10(6), 354-358
Pembicara Seminar Internasional : 1. ANALYSIS OF FACTORS AFFECTING THE ECONOMIC GROWTH IN REGIONAL
YOGYAKARTA INDONESIA (VECM APPROACH OF THE YEAR 1983 – 2013), 4th
International Conference Of Business, Economics, Management, Information Technology and
Social Science 3-4 Sep 2016 , Phuket , Thailand 2. THE ANALYSIS OF MACROECONOMIC VARIABLES, REGIONAL STOCK INDEX, AND
GOLD PRICE IMPACT ON JAKARTA ISLAMIC INDEX: AN APPROACH OF VECTOR
ERROR CORRECTION MODEL (VECM), Conference on Management and Social Sciences, on 14th Aug,2017. Osaka, Japan.
92
3. DETERMINANT OF ECONOMIC GROWTH IN INDONESIA: panel VECM approach, ISER- -
355th International Conference on Economics and Business Research (ICEBR-2018),
Amsterdam, Netherlands. 4. THE EFFECT OF REGIONAL GOVERNMENT EXPENDITURE ON ECONOMIC GROWTH
(CASE STUDY OF SUMATERA ISLAND: DYNAMIC PANEL APPROACH). UNIMED
International Conference on Economics and Management 12th Des 2018. Medan, Indoneia.
Buku Ajar dan Buku Referensi :
1. Agus Tri Basuki dan Imamudin Yuliadi, Pengantar Ekonomi Mikro, Penerbit Gosyen Publishing
Yogyakarta 2019 ISBN 978-602-5411-63-2 2. Agus Tri Basuki dan Imamudin Yuliadi, Elektronik Data Prosesing, Penerbit Danisa Media
Yogyakarta, 2014 ISBN 979-602-7577-31-2
3. Ietje Nazaruddin dan Agus Tri Basuki, Analisis Statistik dengan SPSS, Penerbit Danisa Media Yogyakarta, 2014 ISBN : 978-602-7577-41-1
4. Agus Tri Basuki dan Nano Prawoto, Statistik untuk Ekonomi dan Bisnis, Penerbit Ombak,
Yogyakarta Tahun 2016 ISBN 602-258-352-3
5. Agus Tri Basuki dan Nano Prawoto, Analisis Regresi Dalam Penelitian Ekonomi dan Bisnis, PT RajaGrafindo Jakarta, 2016 ISBN 9789797699161
6. Agus Tri Basuki, Ekonometrika dan Aplikasi Dalam ekonomi, Penerbit Danisa Media
Yogyakarta, Tahun 2017.