digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA...
Transcript of digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA...
i
PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI
SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
DI TAMAN NASIONAL WAKATOBI
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama : Hukum Pidana Ekonomi
Oleh :
LA FASA NIM : S.331010304
PROGRAM MAGISTER (S-2) ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
PERNYATAAN
Nama : La Fasa
NIM : S.331010304
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul: “Penegakan
Hukum dengan upaya Non Penal dalam Penanggulangan Tindak Pidana di
Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman
Nasional Wakatobi”, adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal yang bukan
karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar
pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut di atas tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, berupa pencabutan tesis
dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut. Selanjutnya untuk menunjukkan
keasliannya, saya memperbolehkan tesis ini di upload dalam web site Program
Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret.
Surakarta, 19 Maret 2012 Yang membuat pernyataan, La Fasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan
rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul
“Penegakan Hukum dengan upaya Non Penal dalam Penanggulangan
Tindak Pidana di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi ”. Tesis ini merupakan hasil
penelitian lapangan yang dilakukan oleh penulis sebagai salah satu persyaratan
untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat magister program
studi Ilmu Hukum di Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada yang sangat saya
hormati, Bapak Prof. Dr. Supanto, SH, M.Hum., dan Bapak Ismunarno, SH,
M.Hum., atas bimbingannya selama proses penyusunan tesis ini, sehingga penulis
mendapatkan perluasan wawasan, kedalaman ilmu, ketelitian, penajaman analisis
dan peningkatan daya kritis sejak penyusunan proposal, seminar rencana
penelitian sampai penulisan akhir tesis ini.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada yang
terhormat :
1. Menteri Kehutanan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan
tugas belajar/karyasiswa kepada penulis;
2. Prof. Dr. Ravik Karsidi,M.S., Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta;
3. Kepala Pusat Diklat Kehutanan yang telah menfasilitasi penulis sehingga
berkesempatan menimba ilmu pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta dan seluruh staf Pusat Diklat Kehutanan
yang telah membantu dan memberi kemudahan selama kami mengikuti tugas
belajar;
4. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS., selaku Direktur Program Pasca Sarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta;
5. Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH.,M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret, Surakarta;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
6. Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH., MH, Selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang
baru dan Prof. Dr. Setiono,SH.,MS, Selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
lama;
7. Segenap dosen pada Program Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kerangka
berpikir teoritis sekaligus membekali penulis dalam penulisan tesis ini;
8. Segenap staf administrasi pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah membantu dan mendukung
penulis selama menempuh perkuliahan pada program Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Unisversitas Sebelas Maret;
9. Bapak Wahju Rudianto,S.Pi., Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi, yang
telah mendukung dan memberi masukan-masukan yang cukup berarti dalam
penulisan tesis ini beserta seluruh rekan-rekan kerja Balai Taman Nasional
Wakatobi yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis;
10. Kepada Ayah dan Ibu saya, La Suhudu (almarhum) dan Wa Agha yang telah
mengasuh, membesarkan dan mendidik dan memberikan doa yang tiada henti
kepada penulis, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberi imbalan amal
kebaikan dan kebahagian di dunia dan akhirat kelak.
11. Rekan-rekan mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Pidana
Ekonomi angkatan 2010, terimakasih atas kebersamaan, dukungan dan
motivasi yang luar biasa selama menimba ilmu di Surakarta. Secara khusus
untuk rekan-rekan rimbawan karyasiswa Kementerian Kehutanan angkatan
tahun 2010 di Universitas Sebelas Maret Surakarta: Sollu Batara, Agung
Widodo, Erwin Prasetyo, Lisnawati, dan Fransiska. Terimakasih atas
persaudaraan, bantuan dan diskusi yang selalu hangat selama menimba ilmu
di Surakarta
12. Untuk isriku tercinta, Farlina Hak, yang tiada hentinya memberi doa dan
dorongan moril yang demikian besar agar penulis dapat segera menyelesaikan
penulisan tesis ini, dan anak-anakku tersayang Feren, Febri, Farel, Fatir dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
Jehan Florence yang telah memberikan semangat dan harapan agar penulis
dapat menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
segala kritik dan saran kiranya dapat menjadikan tesis ini semakin sempurna,
semoga bisa bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Amien
Surakarta, 19 Maret 2012
Penulis
La Fasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
DAFTAR ISI
Hlm. HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ........................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS ...................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN .................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xii
DAFTAR BAGAN/GAMBAR .................................................................................. xiii
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xv
ABSTRAK ................................................................................................................. xvi
ABSTRACT ............................................................................................................. xvii
BAB I PENDAHULUAN .......................………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah .................……………………………………… 1
B. Perumusan Masalah ................…………………………………………… 17
C. Tujuan Penelitian ..................…………………………………………… 17
D. Manfaat Penelitian ..............……………………………………………… 18
BAB II LANDASAN TEORI .......………………………………………………… 19
A. Kerangka Teori ……………………............................................................. 19 1. Teori Penegakan Hukum di Bidang KSDAH & E................................... 19
2. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta
Pengelolaan Taman Nasional Di Indonesia ……………………….......... 33
3. Upaya Penanggulangan Kejahatan ......................................................... 40
4. Instrumen Hukum dalam bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya ……............................................................................. 62
a) Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ........................................................ 62
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
b) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.............................................………………..
64 c) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan………………………………………………
68 d) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan………..…….………………………………………
73 e) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil .............................................
74 f) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup………………………...
76
5. Teori Bekerjanya Hukum………………………..……………… 83
B. Penelitian yang relevan……………………………………………….. 101
C. Kerangka Berpikir……………………………………………….......... 102
BAB III. METODE PENELITIAN …………………………………………..
106
a. Jenis Penelitin …………………………………………….................. 106
b. Lokasi Penelitian………………………………………………………. 108
c. Sampel/Responden Penelitian ………………..……………………… 108
d. Jenis dan Sumber Data ………………………………………………. 110
e. Tehnik Pengumpulan Data ………………………..…………………. 111
f. Tehnik Analisis Data ………………………………………………… 113
BAB. IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………………
117
A. Hasil Penelitian………………………………………………………. 117
1. Gambaran Umum Taman Nasional Wakatobi ………………..…. a. Sejarah Taman Nasional Wakatobi …………..……………… b. Luas dan Kedudukan………………………………………….. c. Organisasi dan Tata Kerja…………………………………….. d. Intensitas Tindak Pidana yang Terjadi di Taman Nasional
Wakatobi ………………………………………………………
117 117 119 123
126
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelemahan Penegakan Hukum
Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi.............................. 1) Faktor Hukumnya Sendiri (Undang-Undang) ………...……….
2) Faktor Aparat Penegak Hukum ……………………..………….
3) Faktor Sarana Prasarana/Fasilitas Pendukung ……...………….
4) Faktor Masyarakat ……………………………………………
5) Faktor Kebudayan ..……………………………………………
131
131
139
142
146
150
3. Upaya Non Penal yang dilakukan dalam rangka Penanggulangan Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi………………… a. Patroli Rutin di Setiap SPTN…………………………………...
b. Sosialisasi dan Penyuluhan……………………………………..
c. Program Pemberdayaan Masyarakat…………………………..
d. Pembentukan Kader Konservasi dan Kelompok Pencinta Alam
e. Pembentukan Forum Nelayan Antar Pulau di Wakatobi …….
B. Pembahasan……………………………………………………………
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kelemahan Penegakan Hukum Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi………….. 1) Faktor Hukumnya Sendiri (Undang-Undang)………………..
2) Faktor Aparat Penegak Hukum……………………………….
3) Faktor Sarana/Fasilitas Pendukung…………………………….
4) Faktor Masyarakat…………………………………………….
5) Faktor Kebudayaan……………………………………………
2. Upaya Non Penal (Tanpa Pidana) yang seharusnya dilakukan dalam rangka menanggulangi Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi………………………………………. 1) Patroli Rutin Kawasan Taman Nasional Wakatobi………….
2) Kegiatan Penyuluhan dan Sosialisasi…………………………
152
152
154
155
161
161
162
163
163
174
182
184
188
191
198
199
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
3) Program Pemberdayaan Masyarakat………………………….
4) Pembentukan Kader Konservasi dan Kelompok Pencinta Alam
5) Pembentukan Forum Nelayan Antar Pulau…………….……..
200
204
205
BAB. V PENUTUP……………………………………………………………...
208
1. Simpulan……………………………………………………………….
2. Implikasi……………………………………………………………….
3. Saran…………………………………………………………………..
208
210
212
DAFTRA PUSTAKA…………………………………………………………..
LAMPIRAN-LAMPIRAN
216
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR TABEL
Hlm
1. Tabel 1 : Data Penyelesaian Penanganan Kasus Tindak Pidana di Taman Nasional Wakatobi Periode Tahun 2000-2011 ................... 14
2. Tabel 2 : Klasifikasi Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1991 tentang Kehutanan…………………………………………………. .............. 66
3. Tabel 3 : Zonasi Taman Nasional Wakatobi.................................................... 121 4. Tabel 4 : Sebaran Zonasi Taman Nasional Wakatobi ……................................ 121 5. Tabel 5 : Lokasi Subbagian dan SPTN di TN. Wakatobi ……...............……. 125 6. Tabel 6 : Kondisi Pegawai Berdasarkan Status Kepegawaian......................... 125 7. Tabel 7 : Kondisi Pegawai Berdasarkan Lokasi Wilayah Tugas ................... 126 8. Tabel 8 : Data Intensitas Tindak Pidana yang terjadi di Taman Nasional
Wakatobi dalam setiap Tahun ………….......................................... 128 9. Tabel 9: Data Intensitas Kejadian Perkara Tindak Pidana di Taman
Nasional Wakatobi sejak Tahun 2000 s.d 2011............................... 130 10. Tabel 10: Data Rekapitulasi Vonis Hukuman yang di Jatuhkan oleh
Hakim Atas Pelaku Tindak Pidana yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi Periode Tahun 2000 s.d 2011........................... 134
11. Tabel 11: Sarana Prasarana Perlindungan Hutan Balai Taman Nasional Wakatobi .,…………………………………………...... 143
12. Tabel 12: Data Asal Pelaku Tindak Pidana di Bidang KSDA & E Taman Nasional Wakatobi periode Tahun 2000 s.d 2011 ……. 147
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR/BAGAN
hlm
1. Bagan 1 : Skema Upaya Penanggulangan Kejahatan…….. .......................... 61 2. Bagan 2 : Kerangka Berpikir ..................................................................... 105 3. Bagan 3 : Proses Analisis Data (Interactive Model of Analysis) .................. 115 4. Bagan 4 : Zonasi Taman Nasional Wakatobi …………………………….. 122 5. Bagan 5 : Struktur Organisasi Balai Taman Nasional Wakatobi ………… 124
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR SINGKATAN
BTNW : Balai Taman Nasional Wakatobi CPTED : Crime Prevention Through Environmental Design (Pencegahan
Kejahatan melalui Desain Lingkungan) DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah IUCN : Internasional Union For Conservation of Nature KPA : Kelompok Pencinta Alam KSDA : Konservasi Sumber Daya Alam KSDAH&E : Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana MDK : Model Desa konservasi PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa PEH : Pengendali Ekosistemn Hutan PHKA : Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Polhut : Polisi Kehutanan PPNS : Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPLH : Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup RPTN : Rencana Pengelolaan Taman Nasional RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah SDM : Sumber Daya Manusia SD : Social Defence SK : Surat Keputusan SPTN : Seksi Pengelolaan Taman Nasional SW : Social Welfare TN : Taman Nasional TNC : The Nature Conservation TNW : Taman Nasional Wakatobi UPT : Unit Pelaksana Teknis UU : Undang-Undang UUD : Undang-Undang Dasar WWF : World Wide Fondation
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Kawasan Taman Nasional Wakatobi
2. Matriks Penanganan Perkara Tindak Pidana Kepemilikan/penyalagunaan
Bahan Peledak di Taman Nasional Wakatobi periode Tahun 2000 s.d 2011
3. Daftar Penanganan Kasus Tindak Pidana Penggunaan Potasium Chyanida
(KCn) di Taman Nasional Wakatobi Periode Tahun 2005 s.d 2011.
4. Daftar Penanganan Kasus Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrve di
Taman Nasional Wakatobi sampai dengan Tahun 2009
5. Matriks Penanganan Kasus Tindak Pidana KSDA & E (Penangkapan dan
Kepemilikan Satwa yang di Lindungi) di Taman Nasional Wakatobi periode
Tahun 2003 s.d 2010
6. Data Penyelesaian Kasus pelanggaran Tindak Pidana Pelaranggaran Zonasi
Taman Nasional Wakatobi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
ABSTRAK
La Fasa, S 331010304, Penegakan Hukum dengan upaya Non Penal dalam Penanggulangan Tindak Pidana di Bidang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi. Tesis: Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi, dan untuk mengetahui upaya non penal (tanpa pidana) yang seharusnya dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi.
Penelitian ini termasuk penelitian non doktrinal dengan menggunakan konsep hukum kelima, bahwa hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. Pengumpulan data dilakukan dengan studi lapangan dan studi kepustakaan guna memperoleh data primer dan data sekunder. Dilihat dari bentuknya, penelitian ini merupakan penelitian diagnostik dengan analisis data menggunakan metode kualitatif interaktif.
Hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi yaitu : 1) faktor undang-undangnya sendiri meliputi : perumusan tindak pidana dalam formulasi delik materiil dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya dan masih abstrak/kurang jelas dalam prakteknya menyulitkan penegak hukum. 2) faktor aparat penegak hukum meliputi kualitas dan kuantitas aparat penegak hukum dan terbatasnya kewenangan aparat penegak hukum . 3) faktor fasilitas pendukung atau sarana prasarana meliputi terbatasnya biaya operasional, manajemen pengelolaan sarana prasarana yang kurang baik. 4) faktor masyarakat meliputi : dipengaruhi oleh rendahnya pemahaman dan pengetahuan mereka terhadap upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, termasuk faktor kemiskinan. 5) faktor kebudayaan menunjukkan menunjukkan bahwa ada perbedaan nilai-nilai konservasi yang dianut oleh masyarakat dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya
Upaya yang seharusnya dilakukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi tidak dapat dilakukan hanya dengan kebijakan penal (pidana) saja tetapi harus dilakukan melalui upaya integral antara kebijakan penal dan non penal (tanpa pidana). Kejahatan atau tindak pidana terjadi karena kondisi sosial yang menjadi faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan, karena itu upaya non penal yang dapat dilakukan adalah meniadakan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Kata kunci: Penegakan Hukum, Non Penal , Penanggulangan Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional Wakatobi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
ABSTRACT
La Fasa, S331010304. The Law Enforcement through Non-Penal Efforts as the Prevention of Crimes in the Conservation of Biological Resource and Its Ecosystem at Wakatobi National Park. Thesis: The Graduate Program in Law, Sebelas Maret University, Surakarta. The objectives of this research are to investigate: (1) the factors that affect the weakness of the law enforcement on the crimes in the conservation of biological resource and its ecosystem at Wakatobi National Park; and (2) the non-penal efforts that should be done as to prevent the crimes in the conservation of biological resource and its ecosystem at Wakatobi National Park. This research used the non-doctrinal diagnostic research method with the fifth law concept that law is the manifestation of symbolic meanings of the social behaviors as shown in their interaction among them. The data of this research were gathered through a field study and a library research as to obtain primary and secondary data. They were then analyzed by using the qualitative interactive method of analysis. The results of the research show that the factors which affect the weakness of the law enforcement on the crimes in the conservation of biological resource and its ecosystem at Wakatobi National Park are as follows: 1) law and regulation: the formulation of crimes in the substantive offense formulation in Law Number 5, Year 1990 on the Conservation of Biological Resource and Its Ecosystem is still not clear or visible, which inhibits the law enforcement apparatuses in its practice; 2) law enforcement apparatus: the quality, quantity, and authority of the law enforcement apparatuses are limited; 3) supporting facility and infrastructure: the fund allocated for the operational cost is limited, and the facility and infrastructure management is less good; 4) community: the community has a low understanding and knowledge, including poverty, on the efforts of conserving the biological resource and its ecosystem; and 5) culture: there are differences between the conservation values embraced by the community and the provisions contained by Law, Number 5, Year 1990 on the Conservation of Biological Resource and Its Ecosystem. The efforts that should be done to prevent the crimes in the conservation of biological resource and its ecosystem at Wakatobi National Park shall integratedly include both penal and non-penal policies. The crimes or offenses likely take place due to the conducive social conditions which enable them to happen. Therefore, the non-penal effort which can be done to deal with such problem is eradicating the conducive factors which cause the crimes in the conservation of biological resource and its ecosystem at Wakatobi National Park to occur. Keywords: Law enforcement, non-penal, and the prevention of the crimes in the
conservation of biological resource and its ecosystem at Wakatobi National Park
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia dianugrahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa
sumber daya alam yang melimpah, baik di darat, di perairan maupun di
udara yang merupakan modal dasar pembangunan nasional di segala bidang.
Modal dasar sumber daya alam tersebut harus dilindungi, dipelihara,
dilestarikan, dan dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan
masyarakat Indonesia pada khususnya dan mutu kehidupan manusia pada
umumnya menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan, baik antara manusia dengan Tuhan penciptanya, antara
manusia dengan masyarakat maupun antara manusia dengan ekosistemnya.
Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
sebagai bagian dari modal dasar tersebut pada hakikatnya merupakan bagian
integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan
Pancasila. 1
Pembangunan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
di Indonesia dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan Negara yaitu
memajukan kesejahteraan masyarakat Indonesia sesuai dengan amanat
konstitusi Undang-Undang dasar 1945. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya menyatakan bahwa “Konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber
daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga lebih
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia.2
Indonesia dijuluki sebagai Mega Biodiversity Country atau negara
yang memiliki keanekaragamai daratann hayati yang sangat tinggi. Julukan
1 Penjelasan Umum ,Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Alinea ke-1 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, Pasal 3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
tersebut tidak salah karena indonesia memang merupakan negara yang kaya
akan keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati di Indonesia
sebanding dengan Brasilia yang luas daratannya 5 kali lebih besar dari
daratan Indonesia.3 Indonesia memiliki potensi keanekaragaman spesies
satwa yang sangat tinggi, yaitu sekitar 12% (515 species, 39% endemik) dari
total spesies binatang menyusui, urutan kedua di dunia; 7,3% (511 spesies,
150 endemik) dari total spesies reptilian, urutan keempat di dunia; 17%
(1531 spesies, 397 endemik) dari total spesies burung di dunia, urutan
kelima; 270 spesies amfibi, 100 endemik, urutan keenam di dunia; dan 2827
spesies binatang tidak bertulang belakang, selain ikan air tawar. Selanjutnya,
Indonesia memiliki 35 spesies primata (urutan keempat, 18% endemik) dan
121 spesies kupu-kupu (44% endemik). Indonesia menjadi satu-satunya
negara setelah Brazil, dan mungkin Columbia, dalam hal urutan
keanekaragaman ikan air tawar, yaitu sekitar 1400 spesies . Dalam hal
keanekaragaman tumbuhan, Indonesia menduduki peringkat lima besar di
dunia; yaitu memiliki lebih dari 38.000 spesies, 55% endemik.
Keanekaragaman palem di Indonesia menempati urutan pertama, mencapai
477, 225 endemik. Lebih dari setengah dari seluruh spesies (350) pohon
penghasil kayu bernilai ekonomi penting (dari famili Dipterocarpaceae)
terdapat di negara ini, 155 di antaranya endemik di Kalimantan.4
Perhatian dunia internasional sangat besar pula terhadap kelestarian
keanekaragaman hayati yang dibangun melalui kesepakatan-kesepakatam
internasional antara Negara-negara anggota diantaranya Konvensi
Keanekaragaman hayati (Convention on Biological Diversity) ditetapkan
pada Earth Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT Bumi) di Rio de
3 Widada, dkk, Sekilas tentang Konservasi Sumber Daya Alama Hayati dan Ekosistemnya, Biodiversity Conservation Project, 2003, Bogor. hlm. 35
4 Pokja Kebijakan Konservasi, Konservasi Indonesia : Sebuah Potret dan Kebijakan, Perpustakaan Nasional, Jakarta, 2008, Cet. I, hlm.21 Pokja Kebijakan Konservasi adalah salah satu Kelompok Kerja rekomendasi Sarasehan Nasional ”Membangun Kemitraan Taman Nasional di Indonesia” yang diselenggarakan 11 NGO ’konservasi’ yaitu Birdlife Indonesia, LATIN, WWF, RMI, Sylva Indonesia, PILI, Cifor, KEHATI, WARSI, ESP dan CI, serta PHKA-Dephut dan MFP-DFID pada 29 Agustus – 1 September 2005 di Wisma Kinasih, Bogor. .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Janeiro, Brasilia pada tanggal 5 Juli 1990, dimana Indonesia merupakan
salah satu anggota. Perjanjian ini merupakan kesepakatan yang mengikat
secara hukum dimana semua anggotanya wajib mengembangkan usaha-
usaha pelestarian keanekaragaman hayati, baik dengan perumusan kebijakan
pembangunan negaranya maupun pada semua aksi atau program-
programnya. Kesepakatan ini menpunyai tiga tujuan utama, yakni
1. Perlindungan ragam hayati;
2. Pemanfaatan ragam hayati secara berkelanjutan;
3. Sumbangan keuntungan dari produk-produk baru yang dibuat dari jenis-
jenis liar atau domestik, yakni mengenai hak dan kepemilikan
(properties rights) 5
Pada tahun 1994, Indonesia meratifikasi Konvensi Konservasi
Keanekaragaman Hayati (Convention of Biological Diversity) melalui
Undang-Undang No. 5 Tahun 1994. Indonesia juga harus mengikuti apa
yang dimandatkan dalam konvensi tersebut serta perkembangan-
perkembangan yang terjadi di dunia, khususnya yang berkaitan dengan
upaya konservasi keanekaragaman hayati. Dalam Article 8 Konvensi
Konservasi Keanekaragaman Hayati ditetapkan bahwa setiap negara yang
meratifikasi konvensi tersebut diwajibkan untuk menetapkan sistem
kawasan yang dilindungi (protected area system). Disamping itu, pasal ini
juga mensyaratkan agar setiap negara yang menjadi anggota konvensi ini,
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku di negara masing-
masing, mengakui/menghormati, melestarikan dan memelihara pengetahuan,
inovasi dan kegiatan-kegiatan dari masyarakat asli dan masyarakat setempat,
yang terkandung didalam kehidupan mereka yang relevan dengan upaya
konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara lestari;
mempromosikan aplikasinya yang lebih luas dan meningkatkan peranserta
5 Widada, dkk, Op.Cit, hlm. 89
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
para pihak; serta, mendorong teruwujudnya kesetaraan dalam berbagi
manfaat/ keuntungan dari pemanfaatan hal-hal tersebut di atas.6
Di Eropa perhatian konservasi keanekaragan hayati , dapat dilihat
lahirnya beberapa undang-undang: seperti Perlindungan jenis Burung dan
perlindungan Habitat (Habitat Directive). Dalam pengelolaan dan
perlindungan Habitat ditetapkan kerangka kerja
untuk konservasi habitat alam dan fauna liar dan flora
melalui jaringan Natura 2000. Tujuan utama dari Natura 2000 adalah
memastikan perlindungan jaminan yang menguntung status konservasi
habitat alam dan spesies dalam daerah-daerah. Anggota negara-negara Eropa
diminta untuk menetapkan tindakan konservasi yang diperlukan dan
rencana manajemen atau pengelolaan untuk menjamin keberlanjutan status
habitat konservasi alam dan spesies, sebagaimana di tulis oleh Victoria
Nunez dalam sebuah jurnal yang berjudul “Livestock management in Natura
2000: A case study in a Quercus pyrenaica neglected coppice forest”
menulis sebagai berikut :
“The concern regarding the conservation of biodiversity in Europe led to a series of legislation: such as the Birds Directive 79/409/EEC and the Habitats Directive 92/43/EEC . The Habitats Directive sets a framework for the conservation of natural habitats and wild fauna and flora through the Natura 2000 network. The main goal of Natura 2000 is ensuring “favourable conservation status” of natural habitats and species within these areas. European Member States are required to establish the necessary conservation measures and management plans to ensure the favourable conservation status of natural habitats and species .”7
Di Indonesia politik hukum pembangunan Konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya di Indonesia sudah dimulai sejak jaman
sebelum kemerdekaan yaitu jaman kolonial Belanda ,sesudah kemerdekaan,
(Orde Lama, 1945-1965), Masa Orde Baru (1966-1999) sampai sekarang.
6 Pokja Kebijakan Konservasi,Op.Cit , hlm. 38 7 Victoria Nú˜neza, Ana Hernandob, Javier Velázqueza, Rosario Tejerab, Livestock
management in Natura 2000: A case study in a Quercus pyrenaica neglected coppice forest, Journal for Nature Conservation 20 (2012) 1– 9, hlm. 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Dari beberapa dekade pemerintahan, pemerintah masa Orde Baru cukup
memperlihatkan keseriusannya dalam perlindungan konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya, ini terlihat dengan dikeluarkannya 6 (enam)
peraturan perundang-undangan yang erat kaitannya dengan konservasi alam,
yaitu :
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kehutanan;
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan telah dicabut dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
3. Undang-Undang Nomor 9 tahun Tahun 1985 tentang Perikanan
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam hayati dan Ekosistemnya.
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati
6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan8
Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya alam hayati dan Ekosistemnya (KSDA & E) dianggap sebagai
tonggak sejarah pelestarian alam di Indonesia karena dianggap telah ada
hukum yang mengatur tentang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya secara utuh dan menyeluruh. Undang-undang lain yang ada
terkait dengan konservasi alam hanya menyinggung sedikit saja. Dalam
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya telah diatur secara jelas mengenai Kawasan
Konservasi, Pengaturan untuk jenis yang dilindungi, namun untuk jenis
satwa liar dan tumbuhan yang tidak dilindungi tidak ada pengaturan secara
khusus.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ini, mencabut Undang-undang yang
8 Widada, dkk, Op.Cit, hlm. 77
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
diterbitkan pada jaman kolonial Belanda yang sebelumnya masih berlaku
saat itu yaitu :
1. Ordonansi Perburuan (Jachtordonanntie 1931) , Stbl 1931 Nomor 133;
2. Ordonansi Perlindungan Binatang-Binatang Liar 1932
(Dierenbescherming-ordonanntie 1931 Stbl 1931 No:134)
3. Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jactordonanntie java en
Madoera 1940, Stbl 1939 No: 733
4. Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschhermingsordonanntie
1941, Stbl 1941 Nomor 167. 9
Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dijelaskan bahwa
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya boleh dimanfaatkan semua pihak
untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu kehidupan manusia, namun
upaya pemanfaatan ini harus bijaksana dan dapat dilaksanakan secara
berkesinambungan bagi masa depan manusia. Dalam undang-undang ini
disebutkan juga larangan-larangan, dan sanksi pidana bagi yang
melanggarnya dalam kaitannya dengan upaya pengawetan jenis tumbuhan
dan satwa serta pemanfaatan dalam kawasan konservasi.
Strategi konservasi alam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
sejarah konservasi sejak jaman penjajahan Belanda. Kebijakan ini mengarah
pada upaya preservasi-perlindungan. Oleh karena itu, muncul kawasan-
kawasan cagar alam dan suaka alam atau suaka margasatwa. Pada umumnya
luasnya relatif kecil karena untuk melindungi species tertentu, seperti
kawasan cagar alam di Bengkulu yang khusus melindungi Rafflesia arnoldi,
misalnya, yang hanya beberapa hektar. Namun demikian pada jaman itu,
juga ada kawasan suaka alam yang cukup luas yaitu Leuser (400.000 Ha)
yang ditetapkan pada 1934. Di era 1980, munculah konsep taman nasional,
yang sebenarnya dicopi dari pemikiran dan gerakan konservasi dari kutub
Amerika. Lima taman nasional pertama dideklarasi di Bali, yaitu
9 AA. Hutabarat, Rangkuman Peraturan Perundang-Undangan Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. CV. Samudra Intan Rejeki, Cet I, 2003, Jakarta, Hal 22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
TN.Gunung Leuser, TN. Gede Pangrango, TN.Ujung Kulon, TN Baluran,
dan TN Komodo, dengan total luas 1,4 juta Ha. Tentu saja, bagaimana cara
mengelola taman nasional saat itu masih belum jelas dan masih mencari
bentuknya. Sepuluh tahun kemudian, baru lahir Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya yang mensyarakatkan tidak kurang dari 11 peraturan
pemerintah untuk melaksanakannya.10
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor . 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ,
pemerintah di wajibkan membentuk kawasan-kawasan konservasi sebagai
upaya perlindungan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Kategori kawasan konservasi terbagi atas ; Kawasn Suaka Alam yang
terdiri dari : Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, Kawasan Pelestarian Alam
yang berupa Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya.
Juga tetap mempertahan keberadaan Taman Buru seperti yang terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
sebagimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang , Pengelompokan inilah
yang sekarang dikenal dengan istilah kawasan konservasi hingga sekarang.
Pemerintah telah menetapkan kawasan konservasi sebanyak 535 unit
dengan luas sekitar 28,26 juta ha., sebagai salah satu strategi dalam
melindungi keanekaragaman hayati tersebut dari berbagai ancaman dan
pemanfatan yang tidak terkendali. Kawasan Konservasi ini di bagi menjadi
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.11
10 http://konservasiwiratno.wordpress.com/tantangan-pengelolaan-taman-nasional-di-
indonesia, di akses tanggal 3 Januari 2012, Jam, 10.00 WIB.
11 Balai Taman Nasional Wakatobi, Sekilas Peraturan Perundang-Undangan bidang
Konservasi, TNW, 2007, hlm. 12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Taman Nasional, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah
kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan
sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Kawasan
Kepulauan Wakatobi dan perairan laut disekitarnya ditunjuk sebagai
kawasan konservasi atau Taman Nasional Laut berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No.393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 juli 1996
dan telah ditetapkan berdasarkan SK Menhut nomor : 7651/Kpts-II/2002
tanggal 19 Agustus 2002 , dengan luasan 1.390.000 Ha, terletak dalam
wilayah administrasi Kabupaten Wakatobi yang terdiri dari 4 ( empat )
pulau besar (Wangi-Wangi,Kaledupa,Tomia dan Binongko) dan terbagi
dalam 8 kecamatan. Secara geografis TNW berada di antara Laut Banda dan
Laut Flores tepatnya pada koordinat 123°20¢- 124°39¢ bujur timur dan
5°12¢- 6°10¢ lintang selatan. Penduduknya pada tahun 2007 tercatat 99.492
jiwa terdiri atas laki-laki 48.199 jiwa dan perempuan 51.293 jiwa, dengan
pertumbuhannya rata-rata mencapai 1,73% per tahun dan kepadatan rata-
rata 119 jiwa/km2.12
Salah satu dasar pertimbangan Kepulauan Wakatobi dijadikan sebagai
kawasan Taman Nasional adalah pertimbangan sisi ekologis dimana
kawasan Wakatobi memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi,
peraiaran kepulauan Wakatobi berada pada wilayah “Coral Tri-Angle” atau
wilayah segitiga terumbu karang, yaitu wilayah yang memiliki
keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut lainnya
(termasuk ikan) tertinggi di dunia, yang meliputi Philipina, Indonesia
sampai Kepulauan Solomon.13
12 Wahju Rudianto (Kepala Balai TN Wakatobi), dan Priyambudi Santoso (Widyaiswara
Kehutanan). Memilih Alternatif Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi Yang Efektif, Makalah penugasan Diklat SECEM-Bogor, 2008, hlm. 3
13Balai Taman Nasional Wakatobi, Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi (RPTN), Bau-Bau, 2010, hlm. 10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling ekologis
penting di Bumi dan menyediakan ekonomi, sumber daya hayati dan budaya
yang mendukung kehidupan jutaan penduduk pesisir. Degradasi global
terumbu karang yang terjadi secara cepat sebagai akibat dari tekanan
antropogenik langsung dan perubahan iklim global. Diperkirakan bahwa
tanpa tindakan manajemen yang efektif dalam 20 berikutnya - 40 tahun,
hampir 60 persen dari terumbu karang di planet kita akan menjadi jauh
terdegradasi. Pihak pengelola wilayah pesisir harus merumuskan cara baru
dan inovatif yang hemat biaya, hemat waktu, dan berulang untuk mengatasi
masalah ini mempengaruhi lingkungan laut.14
Berdasarkan hasil citra satelit satelit Landsat 2003, diketahui bahwa
luas terumbu karang di Kepulauan Wakatobi adalah 54.500 hektar. Di
kompleks Pulau Wangi-Wangi dan sekitarnya (Pulau Kapota, Pulau
Sumanga, Pulau Kamponaone) lebar terumbu mencapai 120 meter (jarak
terpendek) dan 2,8 kilometer (jarak terjauh). Untuk Pulau Kaledupa dan
Pulau Hoga, lebar terpendek terumbu adalah 60 meter dan terjauh 5,2
kilometer. Di Pulau Tomia, rataan terumbunya mencapai 1,2 kilometer
untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk jarak terdekat. Kompleks atol
Kaledupa mempunyai lebar terumbu 4,5 kilometer pada daerah tersempit
dan 14,6 kilometer pada daerah terlebar. Panjang atol Kaledupa sekitar 48
kilometer.15
Karang Kaledupa merupakan atol yang terletak di sebelah barat Pulau
Lintea, sebelah selatan Pulau Kaledupa dan Pulau Wangi-wangi serta
memanjang ke arah Tenggara dan Barat Laut dengan Panjang lebih kurang
49.26 km dan lebar 9.75 km. Atol Kaledupa merupakan atol tunggal
terpanjang di Asia Pasifik.16
14 Wedding, Gibson, Walsh, Battista, Integrating remote sensing products and GIS tools to
support marine spatial management in West Hawai, Journal of Conservation Planning Vol 7 (2011) 60 – 73, hlm. 61
15 Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi (RPTN), Op.Cit, hlm. 11 16 Loc. Cit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional kebijakan yang diambil
oleh pemerintah adalah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (KSDA&E) yaitu bahwa Taman Nasional dikelola dengan
sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain
sesuai dengan keperluan. Demikian pula dengan pengelolaan kawasan
Taman Nasional Laut Wakatobi, pendekatan zonasilah yang digunakan
dalam pencapaian tujuan pengelolaan konservasinya. Pembagian zonasi
pengelolaan Taman Nasional Wakatobi (TNW) ditetapkan melalui Surat
Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor:
SK.149/IV-KK/2007 tanggal 23 Juli Tahun 2007 tentang Zonasi Taman
Nasional Wakatobi yang terbagi : Zona Inti, Zona Perlindungan Bahari,
Zona Pariwisata, Zona Pemanfaatan Lokal, Zona Pemanfaatan Umum, dan
Zona Khusus Daratan.
Upaya pengelolaan dan pemanfaatan dalam kawasan Taman Nasional
harus dilaksanakan sesuai dengan fungsi dan peruntukan zonasi. Setiap
tindakan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukkan
zonasi, maka kegiatan tersebut merupakan suatu kejahatan atau perbuatan
pidana dan dikenakan sangsi pidana bagi pelakunya.
Kebijakan penanggulangan kejahatan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam hayati dan
Ekosistemnya ditempuh melalui kebijakan hukum pidana (penal policy).
Undang-Undang ini secara tegas menyatakan bahwa terhadap tindakan
atau perbuatan tidak bertanggungjawab yang dapat menimbulkan
kerusakan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam
ataupun tindakan yang melanggar ketentuan perlindungan tumbuhan dan
satwa yang dilindungi, diancam dengan pidana yang berat berupa pidana
badan dan denda. Pidana yang berat dipandang perlu karena kerusakan
atau kepunahan salah satu unsur sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
tidak dapat dinilai dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada
keadaan semula tidak mungkin lagi. Kenyataan faktual kebijakan pidana
yang diterapkan tersebut belum signifikan memberikan perlindungan
terhadap keutuhan kawasan konservasi dan perburuan atau penangkapan
satwa dan pengambilan tumbuhan yang dilindungi serta belum
menimbulkan efek jera terhadap para pelaku kejahatan di bidang
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Di kawasan Taman Nasional Wakatobi kejahatan atau tindak pidana
di bidang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya, masih saja
terjadi. Pemanfaatan sumber daya alam yang merusak seperti pemboman
penggunaan racun dalam penangkapan ikan dikawasan taman nasional
belum dapat secara efektif di kendalikan termasuk pemanfaatan yang tidak
sesuai dengan fungsi atau peruntukan zonasi. Disadari memang bahwa
penetapan Kepulauan Wakatobi dan perairan laut disekitarnya sebagai
kawasan konservasi atau taman nasional, secara faktual masih
menyisihkan sejumlah persoalan-persoalan baik ditingkat masyarakat
maupun pada level pemerintah daerah Kabupaten Wakatobi. Di
masyarakat misalnya terjadi penolakan-penolakan terutama pada level
masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan dimana selama turun-temurun
sejak dahulu sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, kawasan ini telah
dijadikan sebagai tempat pencarian menangkap ikan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat masih sulit untuk mematuhi
zonasi taman nasional walaupun dalam proses penetapannya juga
melibatkan para stakeholder yang berkepentingan termasuk unsur
perwakilan masyarakat di dalamnya. Terlebih lagi setelah Kepulauan
Wakatobi mekar dari Kabupaten Buton sebagai sebuah wilayah kabupaten
yang otonom tersendiri. Dampak yang muncul adalah terjadinya
eksploitasi sumber daya alam di Taman Nasional Wakatobi untuk
pemenuhan kebutuhan pembangunan Kabupaten Wakatobi sendiri. Hal ini
tentunya merupakan masalah lebih kompleks lagi khususnya terkait
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
persoalan kewenangan pengelolaan sumber daya alam di Kepulauan
Wakatobi.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, dinyatakan bahwa
tugas penegakan hukum meliputi perlindungan dan Pengamanan serta
penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya garda terdepan di emban oleh Polisi Kehutanan (Polhut)
dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) kehutanan selain dilaksanakan
oleh Polisi, Jaksa dan Pengadilan (Hakim).
Penegakkan hukum terhadap penanggulangan tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional
Wakatobi selama ini dengan menggunakan sarana pendekatan hukum
pidana (penal) telah dilakukan oleh Polisi kehutanan dan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan Balai Taman Nasional Wakatobi
bekerjasama dengan Polri, Kejaksaan dan Pengadilan (hakim) serta
instansi terkait lainnya. Namun kenyataan dilapangan belum menunjukkan
pelaksanaan penegakan hukum belum secara optimal dapat menjerat
semua pelaku pidana dan efek jera yang ditimbulkan juga belum optimal
bagi pelaku dan calon pelaku tindak pidana. Ini terlihat dari data kasus
yang ada beberapa pelaku tindak pidana adalah residivis atau pernah
melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya sebelumnya dan pernah dihukum penjara terutama kasus
pemboman ikan di dalam kawasan Taman Nasional. Kegiatan
penangkapan ikan secara destruktif yaitu pemboman dan pembiusan ikan
yang umumnya dilakukan oleh nelayan lokal maupun luar wakatobi masih
saja terjadi termasuk pemanfaatan yang tidak sesuai dengan peruntukan
zonasi taman nasional, dan masalah yang sampai saat ini belum pernah
diproses secara hukum adalah penambangan batu karang, dan
penambangan pasir yang dilakukan oleh masyarakat lokal dikawasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Taman nasional Wakatobi. Hal tentunya akan berdampak pada kerusakan
ekosistem dan keanekeragaman sumber daya alam hayati di kawasan ini.
Dari data yang ada, kurun waktu tahun 2000 s.d 2011, laporan
terjadinya tindak pidana di Taman Nasional Wakatobi (TNW) sebanyak 34
(tiga puluh empat ) kasus. Hasil proses penegakan hukum diperoleh data 21
(dua puluh satu) kasus extract vonis di Pengadilan dan 13 kasus lainnya
tidak dilanjutkan proses hukumnya.17 Selengkapnya dapat dilihat dalam
tabel 1 berikut ini:
17 Data Laporan Matriks Penanganan Kasus Tindak Pidana KSDA & E Balai Taman
Nasional Wakatobi Tahun 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Tabel 1 Penyelesaian Penanganan Kasus Tindak Pidana di Taman Nasional
Wakatobi periode tahun 2000-2011
No Tindak Pidana Yang Terjadi Frekuensi Undang-Undang Proses Hukum
Pelanggaran Yang Disangkakan Extract Vonis
Tidak dilanjutkan
1 2 3 4 5 6
1. Penggunaan/kepemilikan 18 kasus UU No. 12/Drt/19951 16 kasus 2 kasus
Bahan Peledak dalam Tentang Senjata Api
Penangkapan Ikan di TNW
2. Penggunaan Potasium 4 kasus - UU No. 31 Tahun 2004 2 kasus 2 kasus
Cyanida (KCn) dalam tentang Perikanan
Penangkapan Ikan di TNW - UU No5 Tahun 1990
tentang KSDA &E
- KUHP (pasal 480)
- UU No. 45 Tahun 2009
tentang Perubahan
atas UU No. 31 Tahun
2004 tentang Perikanan
3. Kepemilikan Satwa Yang 10 kasus - UU No. 5 Tahun 1990 1 kasus 9 kasus
Di Lindungi (Penyu) tentang KSDA &E
4. Pelanggaran Zonasi
(Zona Inti) 1 kasus - UU No. 5 Tahun 1990 1 kasus
tentang KSDA &E
5. Penebangan Hutan Mangrove 1 kasus - UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan 1 kasus
Jumlah 34 kasus 21 kasus 13 kasus
Sumber Data : Matriks Laporan Penanganan Kasus Tindak Pidana di Taman Nasional Wakatobi Tahun 2011
Data diatas menunjukkan bahwa masih ada kasus-kasus tindak pidana
yang terjadi di TNW yang tidak dapat dilakukan proses penegakkan
hukumnya yaitu 39,39 persen atau 13 kasus dan hanya 21 kasus atau 61,76
persen yang vonis di pengadilan.
Selain upaya penegakan hukum melalui kebijakan hukum pidana, Balai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Taman Nasional Wakatobi selaku otoritas pengelola kawasan juga telah
melakukan penanggulangan kejahatan di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya dengan pendekatan kebijakan pencegahan
tanpa pidana (non penal). Upaya ini dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan
baik dilakukan oleh personil Polisi Kehutanan melalui kegiatan patroli rutin,
penjagaan di pos jaga dan kegiatan kunjungan ke desa dalam kerangka
pencegahan tindak pidana. Kegiatan lainnya adalah kegiatan sosialisasi
pengelolaan, penyuluhan dan peningkatan kapasitas masyarakat tentang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnnya serta kegiatan
pemberdayaan masyarakat pada desa-desa pesisir di dalam kawasan . yang
dilaksanakan oleh pejabat fungsional Penyuluh Kehutanan atau PEH
(Pengendali Ekosistem Hutan). Namun kenyataan dilapangan kegiatan-
kegiatan tersebut belum menunjukkan dampak keberhasilan sesuai dengan
apa yang diharapkan . Gangguan keamanan terhadap kawasan Taman
Nasional Wakatobi (TNW) sampai saat ini masih terjadi, seperti
penangkapan ikan dengan bom (bahan peledak), penggunaan bius atau racun
, pemanfaatan yang tidak sesuai dengan fungsi zonasi TNW termasuk
kegiatan merusak lainnya.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan penegakan hukum
tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi baik melalui pendekatan
penegakan hukum pidana maupun pencegahan tanpa pidana belum atau
kurang berhasil. Penulis menduga bahwa terdapat kelemahan yang menjadi
faktor penyebab dalam proses pelaksanaan penegakan hukum itu sendiri
baik berasal dari faktor internal pelaksana penegak hukum maupun yang
berasal dari eksternal penegak hukum sehingga pencapaian sasaran
penegakan hukum dibidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi yaitu pencegahan dan
pemberantasan kejahatan pencurian atau pengambilan hasil laut tanpa izin
(illegal fishing) seperti penggunaan bahan peledak/bahan kimia (Potassium
cyanida) dalam penangkapan ikan yang dapat menimbulkan kerusakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
ekosistem yang lebih luas baik dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial
budaya,18 kurang berhasil. Hal ini tentunya akan berdampak pada kurang
berhasilnya pencapain visi pengelolaan Taman Nasional Wakatobi yaitu
“Terwujudnya TNW yang mantap, dinamis dan lestari serta dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat dan daerah secara
berkelanjutan”.(Mantap dari aspek kawasannya, dinamis dari aspek
pengelolaannya, lestari dari aspek sumberdaya alam hayati dan
eksosistemnya).19
Secara teoritis dinyatakan bahwa bahwa faktor sumber daya manusia
(kualitas, kuantitas) khususnya aparat penegak hukum menjadi faktor yang
sangat strategis dalam menentukan berhasil tidaknya pelaksanaan
penegakan hukum pidana di masyarakat. Upaya lain selain pendekatan
dengan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan dikenal upaya
pencegahan tanpa pidana (non penal) yang merupakan upaya yang sangat
strategis dalam mencegah terjadi tindak pidana. Barda Nawawi Arief
mengemukakan:
“dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. Posisis kunci dan strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.”20
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul : “ PENEGAKAN HUKUM DENGAN
UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK
PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN
EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL WAKATOBI”
18 Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi (RPTN), Op.Cit, hlm. 90 19 Ibid, hlm. 37 20 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Cet Ke-2, Jakarta, 2010, hlm. 42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
B. Perumusan Masalah
Untuk mengkaji permasalahan-permasalahan penanggulangan tindak
pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di
Taman Nasional Wakatobi seperti tersebut pada uraian latar belakang di
atas, dalam penelitian ini, penulis membatasi fokus permasalahan dalam
penelitian yaitu : pengkajian penegakan hukum melalui pendekatan hukum
pidana dengan mengkaji faktor yang mempengaruhi kelemahan yang
menjadi faktor penyebab dalam proses penegakan hukum yang
menyebabkan kurang berhasilnya upaya penegakan hukum terhadap
penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dalam pengelolaan Taman
Nasional Wakatobi dan pengkajian upaya non penal yang seharusnya
dilakukan, yang secara teoritis merupakan upaya yang strategis dalam
pencegahan terjadinya tindak pidana, menurut penulis juga dapat diterapkan
dalam menanggulangi terjadinya tindak pidana di bidang konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi.
Untuk memperjelas atau mempermudah pemahaman permasalahan
dalam penelitian ini , maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kelemahan penegakan
hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya alam hayati
dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi ?
2. Upaya Non-Penal (tanpa pidana) apakah yang seharusnya dilakukan
dalam menanggulangi tindak pidana di bidang Konservasi Sumber
Daya Alam hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi ?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan
penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
2. Untuk mengetahui upaya Non Penal (tanpa pidana) yang seharusnya
dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana di bidang Konservasi
Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional
Wakatobi
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut
:
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran secara ilmiah dalam
perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam penyelesaian perkara
tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan
Ekosistemnya.
b. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan referensi bagi penelitian
berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan
untuk mengetahui kemanpuan penulis dalam menerapkan ilmu yang
telah diperoleh selama di bangku kuliah.
b. Memberikan kontribusi terhadap berbagai pemecahan masalah
khususnya tentang penegakan hukum dalam penanggulangan
kejahatan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam
hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi dan daerah
lain pada umumnya serta masukan bagi Kementerian Kehutanan
selaku otoritas pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori
1. Penegakan Hukum di bidang KSDA & E
Penegakan hukum adalah kata Indonesia untuk law enforcemet.
Dalam bahasa Belanda dikenal rechtstoeppassing dan rechtshandhaving.
Pemikiran yang dominan di sini mengatakan, penegakan hukum adalah
suatu proses logis yang mengikuti kehadiran suatu peraturan hukum. Apa
yang harus terjadi menyusul kehadiran peraturan hukum hampir
sepenuhnya terjadi melalui logika. Logika menjadi kredo (keyakinan)
dalam penegakan hukum.21
Penegakan hukum (pidana), apabila dilihat dari suatu proses
kebijakan, pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan, pada
hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap:
Pertama, tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh
badan pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap
legislatif. Kedua, tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana
oleh aparat-aparat penegak hukum mulai Kepolisian, Kejaksaan dan
Pengadilan. Tahap kedua ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
Ketiga, tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara
konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut
tahap kebijakan eksekutif atau administratif. 22
Dari pengertian diatas memberikan pemahaman bahwa penegakan hukum
adalah sebuah proses yang cukup sederhana dan otomatis yang dilaksanakan
oleh pejabat negara mulai dari pembuatan dan penetapan undang-undang oleh
legislatif, penerapannya oleh aparat penegak hukum dan pelaksanaan putusan
21 Sajipto Raharjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Genta
Publishing,Yogyakarta, 2010, hlm. 191 22 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Penerbit Nusa Media, Bandung,
2010, hlm.4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
hakim oleh pejabat eksekutif. Penyataan ini mungkin dapat dikatakan benar jika
konsep penegakan hukum hanya dilihat dari satu sisi normatif semata.
Menurut kajian normatif penegakan hukum adalah suatu tindakan
yang pasti yaitu menerapkan hukum terhadap suatu kejadian, yang dapat
diibaratkan menarik garis lurus antara dua titik. Dalam ilmu hukum cara
seperti itu disebut sebagai model mesin otomat dan pekerjaan menegakan
hukum menjadi aktivitas subsumsi otomat. Di sini hukum dilihat sebagai
variabel yang jelas dan pasti dan terlihat sangat sederhana. Dalam
kenyataannya tidak sesederhana itu melainkan yang terjadi penegakan
hukum itu mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karena
dihadapkan pada kenyataan yang kompleks. Dalam ilmu hukum normatif
kompleksitas tersebut diabaikan, sedangkan sosiologi hukum sebagai
ilmu empiris sama sekali tidak dapat mengabaikannya.23
Hukum berfungsi sebagai alat untuk pemenuhan ketertiban dan
ketentraman dalam kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat dapat
hidup sehjatera. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan penataan
kehidupan bersama yang mengacu pada patokan tingkat laku yang
disepakati secara bersama, atau disebut hukum. Patokan tersebut
dirumuskan dan ditetapkan oleh yang memiliki otoritas didalam
masyarakat tersebut. Dalam patokan tingkah laku tersebut diatur hak dan
kewajiban individu, baik dalam hubungan antar individual maupun yang
berhubungan dengan urusan bersama dan publik. Di samping itu adanya
pengaturan mekanisme hubungan dalam penerimaan dan pelaksanaan hak
dan kewajiban itu. Apabila terjadi perilaku menyimpang ditentukan cara-
cara penyelesaiannya termasuk sangsi jika diperlukan bagi perilaku yang
menyimpang. Oleh karena itu berbicara penegakan hukum kita tidak bisa
mengabaikan faktor-faktor diluar hukum itu sendiri seperti nilai-nilai
sosial yang diyakini oleh masyarakat (pandangan tentang baik dan
23 Hartiwiningsih, Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, UPT
Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press), Cet-1, Surakarta, 2008, hlm. 60
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
buruk), struktur social termasuk kebiasaan-kebiasan masyarakat itu
sendiri.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar
kepentingan manusia terlindungi hukum harus dilaksanakan. Melalui
penegakan hukum inilah, hukum itu menjadi kenyataan. Dalam
menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu
kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan
keadilan (Gerechtigkeit).24
Menurut Black’s Law Dictionary, penegakan hukum (law
enforcement), diartikan sebagai “the act of putting something such as a
law into effect; the execution of a law; the carrying out of a mandate or
command”. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penegakan hukum
merupakan usaha untuk menegakkan norma-norma dan kaidah-kaidah
hukum sekaligus nilai-nilai yang ada di belakangnya. Aparat penegak
hukum hendaknya memahami benar-benar jiwa hukum (legal spirit) yang
mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait dengan
berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perundang-
undangan (law making process).25
Selain itu dalam Black’s Law Dictionary, dengan editor Bryan A.
Garner menerjemahkan penegakan hukum sebagai pertama; The
detection and punishment of violations of the law. The term is not limited
to the enforcement of criminal laws, for example, the Freedom of
Information Act contains an exemption for law-enforcement purposes and
furnished in confidence. That exemption is valid for the enforcement of a
variety of noncriminal laws (such as national-security laws) as well as
criminal laws. Kedua; Criminal justice. Ketiga; Police officers and other
24 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum suatu pengantar, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2010, hlm. 207 25 Yohanes Suhardin, Kebijakan Penegakan Hukum yang Responsfi dan Progresif,
http://johnforindonesia.blog.com/2009/09/13/kebijakan-penegakan-hukum-yang-responsif-dan-progresif, Diakses tanggal 20 Maret 2012 Jam 12.30 di Kota Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
members of the executive branch of government charged with carrying
out and enforcing the criminal law.26
Penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga
penegakannya dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti
perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, iptek,
pendidikan dan sebagainya. Penegakan hukum harus berlandaskan
kepada prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana tersirat dalam UUD
1945 dan asas-asas hukum yang berlaku di lingkungan bangsa-bangsa
yang beradab (seperti the Basic Principles of Independence of Judiciary),
agar penegak hukum dapat menghindarkan diri dari praktik-praktik
negatif akibat pengaruh lingkungan yang sangat kompleks tersebut.
Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono
Soekanto, efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima)
faktor. Pertama; faktor hukumnya sendiri (undang-undang). Kedua;
faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum. Ketiga; faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hukum. Keempat; faktor masyarakat, yakni lingkungan di
mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kelima; faktor
kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.27
Pada saat ini dapat diamati, dilihat dan dirasakan
bahwa penegakan hukum berada dalam posisi yang tidak
menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat
penegak hukum dalam pemberantasan berbagai tindak pidana yang
terjadi saat ini di Indonesia. Ketidakpuasan masyarakat saat ini atas
kinerja aparat penegak hukum menimbulkan perlawanan/penolakan, hal
justru menambah daftar hitam pelaksanaan penegakan hukum di
Indonesia. Beberapa kasus yang saat ini muncul dan menjadi tragedi
nasional yang memilukan atas praktek penegakan hukum yang dinilai
26 Loc.Cit 27 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2010, hlm. 8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
oleh masyarakat sangat tidak adil antara lain seperti kasus Mesuji di
Lampung, kasus sape Bima Nusa Tenggara Barat, kasus sandal jepit di
Palu dan beberapa kasus lainnya yang justru mendapatkan simpati dan
dukungan atas perlawanan masyarakat tersebut. Ini menunjukkan bahwa
saat ini penegakan hukum yang ada hanyalah selalu mengejar kepastian
hukum semata sementara rasa keadilan bagi masyarakat dan kemanfaatan
sosialnya belum menjadi porsi yang sama dalam pertimbangan keputusan
dalam proses penegakan hukum kita saat ini.
Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah
penegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya
kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan
pemberdayaan sosial melalui putusan – putusan hakimnya.
Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum
diatas telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum.
Adanya penilaian dari masyarakat atas kinerja aparat penegak hukum
menunjukkan bahwa hukum /pengadilan tidak dapat melepaskan diri
dari struktur sosial masyarakatnya. Hukum tidaklah steril dari perilaku
– perilaku sosial lingkungannya. Oleh karena itu wajar kiranya
apabila masyarakat mempunyai opini tersendiri setiap ada putusan
pengadilan yang dipandang bertentangan dengan nilai – nilai
keadilan hidup dan tumbuh di tengah – tengah masyarakat.
Persoalannya tidak akan berhenti hanya sebatas munculnya opini
publik, melainkan berdampak sangat luas yaitu merosotnya citra
lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan
luntur dan mendorong munculnya situasi anomi. Masyarakat
kebingungan nilai – nilai mana yang benar dan mana yang salah.
Penegakan hukum dapat juga dilihat sebagai proses yang melibatkan
manusia di dalamnya. Sosiologi hukum melihat penegakan hukum
dengan pengamatan demikian itu. Sesuai dengan tradisi empiriknya,
maka dalam pengamatan terhadap kenyataan penegakan hukum, faktor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
manusia sangat terlibat dalam usaha menegakan hukum tersebut.
Penegakan hukum itu bukan suatu proses logis semata, melainkan sarat
dengan keterlibatan manusia di dalamnya. Hal ini berarti bahwa
penegakan hukum tidak dapat dilihat sebagai suatu proses logislinier,
melainkan sesuatu yang kompleks. Masuknya faktor manusia menjadikan
penegakan hukum sarat dengan dimensi perilaku dengan semua faktor
yang menyertainya. Penegakan hukum lalu bukan lagi merupakan hasil
deduksi logis, melainkan lebih merupakan pilihan-pilihan. Dengan
demikian, luaran (out put) dari penegakan hukum tidak hanya didasarkan
pada ramalan logika semata, melainkan juga hal-hal yang “tidak menurut
logika”.28
Penegakan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri
sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal-balik yang erat dengan
masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam membicarakan penegakan hukum,
sebaliknya tidak diabaikan pembahasan mengenai struktur masyarakat
yang ada di belakangnya. Penegakan hukum dalam suatu masyarakat
mempunyai kecenderungan-kecenderungannya sendiri yang disebabkan
oleh struktur masyarakatnya. Struktur masyarakat tersebut merupakan
kendala, baik berupa penyediaan sarana sosial yang memungkinkan
penegakan hukum dijalankan, maupun memberikan hambatan-hambatan
yang menyebabkan penegakan hukum tidak dapat dijalankan atau kurang
dapat dijalankan dengan seksama.29
Dari beberapa defenisi diatas jelas bahwa penegakan hukum
merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang
dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan
hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya
merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili
kepentingan – kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang
telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat
28 Satjipto Raharjo, Op. Cit , hlm.192 29Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009, hlm. 31.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum
sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan
hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat
tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi
perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat
mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu
menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the
books”.
Leden Marpaung mengatakan :
“Penegakan hukum tidak berlangsung dalam suasana vakum atau kekosongan sosial. Yang dimaksud dengan kekosongan sosial adalah tiadanya proses-proses di luar hukum yang secara bersamaan berlangsung dalam masyarakat. Proses-proses tersebut adalah seperti ekonomi dan politik. Penegakan hukum berlangsung ditengah-tengah berjalannya proses-proses tersebut. Dengan dikeluarkannya undang-undang misalnya maka tidak sim salabin lalu segalanya menjadi persis seperti dikehendaki oleh undang-undang itu. Hubungan kompetitif, tarik menarik dan dorong mendorong antara hukum dan bidang serta proses lain diluarnya tetap saja terjadi. “30
Menurut Marc Galanter dalam Satjipto Rahardjo,
“Bahwa penegakan hukum tidaka sesederhana yang kita duga, melainkan bahwa penegakan hukum itu mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karena dihadapkan kepada kenyataan kompleks. Dalam ilmu hukum normative kompleksitas itu di abaikan, sedangkan sebagai ilmu yang empiric tidak dapat mengabaikannya. Sosiologi hukum berangkat dari kenyataan, yaitu melihat berbagai kenyataan, kompleksitas, yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kenyataan itu membentuk maksud dengan melihat hukum dari (from the other end of the telescope) “Unjung yang lain dari teleskop”. Oleh karena memasukan kompleksitas tersebut ke dalam pemahaman dan analisisnya, maka dalam sosiologi hukum, penegakan hukum itu tidak bersifat logis universal, melainkan variabel.”
31 Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan
nilai, ide dan cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan
hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan
kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas
30 Hartiwiningsih, Op.Cit, hlm. 61 31 Loc.Cit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
nyata. Eksistensi hukum diakui apabila nilai-nilai moral yang terkandung
dalam hukum tersebut manpu diimplementasikan atau tidak.
Menurut Soerjono Soekanto,
“ secara konsepsional inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.”32
Satjipto Raharjo mengatakan Penegakan hukum merupakan suatu
usaha mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan. Proses
perwujudan ide-ide tersebut merupakan hakekat dari penegakan hukum.33
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa, penegakan hukum sudah dimulai
pada saat peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan. Penegakan hukum
adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum
menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran
badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-
peraturan hukum. Proses penegakan hukum menjangkau pula sampai
kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang
dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana
penegakan hukum itu dijalankan.34
Sudah seharusnya bahwa hukum yang dibuat atau diciptkan oleh
lembaga/Negara mencerminkan nilai-nilai yang telah disepakati atau telah
diyakini oleh masyarakat sebagai norma-norma yang harus di taati dalam
kehidupan bersama, sehingga hukum tersebut dapat di terima dan
dijalankan secara sukarela oleh masyarakat. Dalam teori sosiologis
dinyatakan hukum akan berlaku efektif ketika penerimaannya secara
sukarela oleh masyarakat. Perumusan hukum atau suatu peraturan yang
mencerminkan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat tersebut benar
dan adil akan berdampak pada kepatuhan masyarakat dan keberhasilan
dalam penegakannya. Oleh karena itu penegakan hukum harus selalu
32 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm. Kata Pengantar Editor 33 Loc.Cit 34 Ibid, hlm. 24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
dapat dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang
diyakini dapat di implemetasikan baik aparat penegak hukum maupun
oleh masyarakat yang terkena dampaknya, sehingga asas keadilan,
kepastian dan kemanfaatan yang menjadi tujuan penegakan hukum itu
sendiri tercapai yang akhirnya menciptakan ketertiban dan kedamaian
dalam hidup masyarakat.
Dari kajian teori-teori diatas menunjukkan bahwa proses penegakan
hukum disamping dipengaruhi oleh faktor hukumnya sendiri juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar hukum itu sendiri (faktor sosial
dan budaya). Faktor-faktor diatas kiranya dapat menjadi kajian para
pengambil kebijakan dalam hal perumusan penegakan hukum yang baik
guna mewujudkan rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan sosial bagi
masyarakat. Faktor perumusan tindak pidana yang baik, aparat yang
berkualitas dengan kuantitas yang seimbang beban tugas yang diberikan,
sarana prasarana yang optimal sangat menentukan proses keberhasilan
penegakan hukum disamping dukungan atau kepatuhan masyarakat serta
faktor kebudayaan khusus nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat
menjadi faktor yang berpengaruhi dalam penegakan hukum. Seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa penegakan hukum sudah dimulai sejak
undang-undang tersebut dirumuskan. Perumusan undang – undang yang
baik apabila selaras dengan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat
yakni nilai-nilai yang baik yang harus ditaati dan nilai-nilai buruk yang
harus di hindari. Ketika suatu rumusan tindak pidana sama dengan nilai
yang dianut oleh masyarakat sebagai perbuatan yang dicela, maka akan
secara spontan ketentuan tersebut dapat diterima atau dipatuhi oleh
masyarakat sehingga dengan sendirinya proses penegakan hukum akan
mendapat dukungan dari masyarakat yang berdampak pada pencapaian
keberhasilan penegakan hukum itu sendiri.
Menurut Barda Nawawi Arief,
“banyak faktor yang mempengaruhi dan menentukan kualitas penegakan hukum. Faktor itu dapat berupa kualitas individual (SDM), kualitas institusional/struktur hukum (termasuk mekanisme tata kerja dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
manajemen), kualitas sarana/prasarana, kualitas perundang-undangan (substansi hukum), dan kualitas kondisi lingkungan (sistem sosial, ekonomi, politik, budaya; termasuk budaya hukum masyarakat. Dengan demikian, upaya peningkatan kualitas penegakan hukum harus mencakup keseluruhan faktor/kondisi/kausa yang mempengaruhinya.”35
Hukum merupakan pelembagaan dari perubahan, maka mestinya
penegakan hukum juga berfungsi sebagai sarana untuk menciptakan
perubahan atau melakukan pembangunan. Ciri-ciri yang sebaiknya ada
pada penegakan hukum untuk pembangunan adalah :
1. Mempunyai kesadaran lingkungan, artinya tindakan-tindakan dalam
penegakan hukum hendaknya mengait kepada proses-proses yang
berlangsung dalam masyarakat, seperti ekonomi, politik dan
sebagainya.
2. Menyadari kedudukan dan kualifikasinya sebagai suatu badan yang
harus ikut mengerakkan perubahan-perubahan.
3. Penegakan hukum akan banyak terlibat kepada masalah pembuatan-
pembuatan keputusan daripada sekedar menjadi badan yang
melaksanakan saja. 36
Penegakan hukum dilihat dari kacamata normatif memang
merupakan permasalahan yang sangat sederhana, tetapi bila dilihat dari
kacamatan sosiologis maka penegakan hukum merupakan proses yang
panjang dan merupakan suatu perjuangan, sebagaimana dikemukakan
oleh Barda Nawawi Arief, bahwa,
“Penegakan hukum dan keadilan merupakan serangkaian proses yang cukup panjang dan dapat melibatkan berbagai kewenangan instansi aparat penegak hukum lainnya ( di bidang penegakan hukum pidana melibatkan aparat penyidik/kepolisian, aparat penuntut umum kejaksaan, aparata pengadilan, dan aparat pelaksana pidana).”37
35 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Cet Ke-2, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007,hlm.20 36 Sajipto Rahardjo, Op.Cit, hlm. 140 37 Hartiwiningsih, Op.Cit, hlm.61
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Dari berbagai defenisi diatas peneliti menyimpulkan bahwa
penegakan hukum adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum dalam rangka memberikan perlindungan terhadap
kepentingan manusia untuk pencapaian ketertiban, ketentraman dan
kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat dengan mengacu pada prinsip
keadilan , kepastian hukum dan kemanfaatan sosial.
Strategi penegakan hukum nasional dititikberatkan kepada upaya
pencegahan atau preventif. Sarana preventif yang bersifat operasional
adalah dilaksanakannya secara cermat, lengkap, jelas prosedur
perijinannya dan tahap berikutnya terlaksananya kegiatan pembinaan,
pengawasan dan pemantauan secara konsisten,efisien dan efektif.
Selanjutnya apabila hal tersebut tidak berhasil atau tidak manpu
mencegah terjadinya pelanggaran, baru memasuki tahapan yang bersifat
represif.38
Penegakan hukum yang bersifat preventif berarti pengawasan aktif
dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung
yang menyangkut peristiwa konkret yang menimbulkan sangkaan bahwa
peraturan hukum telah dilanggar. Instrument bagi penegakan hukum
preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan
yang sifatnya pengawasan (pengambilan sampel, penghentian mesin dan
sebagainya). Penegakan hukum yang bersifat represif dilakukan dalam
hal perbuatan yang melanggar peraturan, seperti penindakan secara
pidana.39
Politik Hukum pembangunan konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan amanat
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemmnya. Menurut Adi Sulistiyono,:
“Politik Hukum adalah Kebijakan yang dilakukan oleh penyelenggara negara dalam merencanakan, memberlakukan, menegakkan hukum untuk
38 Ibid, hlm. 59 39 Loc.Cit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
membangun sistem hukum dalam upaya mencapai tujuan Negara sebagai diamanatkan konstitusi”40
Dalam undang-undang tersebut diatur mengenai strategi
pembangunan konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia melalui
pembentukan atau penetapan kawasan-kawasan konservasi baik di darat
maupun di wilayah perairan, model-model pengelolaan konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Indonesia termasuk
norma/ketentuan tentang perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan
yang bersanksi pidana penjara dan denda jika norma tersebut dilanggar.
Strategi penegakan hukum pidana atas ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya tersebut dilaksanakan baik melalui pendekatan
preventif/pencegahan maupun pendekatan represif/penerapan sanksi
pidana (penyidikan, penuntutan dan peradilan pidana) bagi pelaku.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dinyatakan bahwa dalam
hal penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya selain pejabat penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia, juga pejabat pegawai negeri sipil tertentu di
lingkungan departemen/kementerian yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.41 Disamping itu
dalam rangka tugas perlindungan dan pengamanan kawasan hutan
termasuk kawasan konservasi juga telah ada pejabat kehutanan tertentu
sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus
40 Adi Sulistiyono, Pengertian Dasar Politik Hukum, Materi Kuliah Politik Hukum, Pada
Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011, hlm. 10 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Op.Cit, Pasal 39 ayat (1)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya yaitu Polisi kehutanan (Polhut).42
Dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional, tugas penegakan
hukum dalam rangka pengamanan dan perlindungan kawasan taman
nasional dan penyidikan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya diemban oleh Polisi Kehutanan
(Polhut) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan selain
dilaksanakan oleh Polisi, Jaksa dan Pengadilan (hakim). Polisi
Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkungan instansi kehutanan
pusat dan daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya,
menyelenggarakan dan atau melaksanakan usaha perlindungan hutan
yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus
di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.43
Polisi Kehutanan (Polhut) memiliki wewenang kegiatan dan
tindakan kepolisian khusus di bidang kehutanan yang bersifat preventif,
tindakan administrasi dan operasi represif meliputi :
a. Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau
wilayah hukumnya;
b. Memeriksa surat-surat dokumen yang berkaitan dengan
pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya;
c. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
d. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana
yang menyangkut yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan
hasil hutan;
e. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk
diserahkan kepada yang berwenang;
42 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, Pasal 32 ayat (1)
43 Ibid, Pasal 1 ayat (2)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
f. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya
tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan; dan
g. Atas perintah pimpinan berwenang untuk melakukan
penyelidikan, dalam rangka mencari dan menangkap tersangka.44
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) kehutanan adalah
pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan
pusat dan daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus
penyidikan di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.45 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
pasal 39 dinyatakan wewenang penyidik pegawai negeri sipil kehutanan
sebagai berikut :
a. Melakukan pemeriksaan atas laporan atau keterangan berkenan
dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya
c. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan
suaka alam dan kawasan pelestarian alam;
d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang-bukti tindak
pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya
e. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya;
f. Membuat dan menandatangani berita acara;
44 Ibid, Pasal 36 45 Ibid, pasal 1 ayat (3)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
g. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti
tentang adanya tindak pidana di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya, Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS), ketika melakukan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan
hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Pejabat Penyidik
Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 107
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.46
Di dalam menjalankan tugasnya Pejabat Pegawai Negeri Sipil
Kehutanan berada di bawah koordinasi dan pengawasan Pejabat
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.47
Dari penjelasan di atas diperoleh gambaran bahwa upaya
penegakan hukum terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
secara preventif atau tindakan pencegahan dilaksanakan oleh Polisi
Kehutanan dan secara represif atau penerapan/penegakan hukum pidana
dilaksanakan oleh Polisi Kehutanan dan PPNS Kehutanan selain
dilaksanakan oleh penyidik Polri, Kejaksaan dan Hakim (Pengadilan).
2. Koservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia
Konservasi itu sendiri berasal dari kata Conservation yang terdiri
atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian
mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you
have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh
46 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Op.Cit, Pasal 39 ayat (4) 47 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004, Op.Cit, Pasal 39 ayat (3)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Theodore Roosevelt yang merupakan orang Amerika pertama yang
mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi dalam pengertian
sekarang, sering diterjemahkan sebagai the wise use of nature resource
(pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana).48Sedangkan menurut
Rijksen , konservasi merupakan suatu bentuk evolusi kultural dimana
pada saat dulu, upaya konservasi lebih buruk daripada saat sekarang.
Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana
konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan
sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi,
konservasi merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa
yang akan datang.49
Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan
dalam beberapa batasan, sebagai berikut :
1. Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi
keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama
(American Dictionary).
2. Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi)
yang optimal secara sosial (Randall, 1982).
3. Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke
organisme hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas
kehidupan manusia yang meningkat termasuk dalam kegiatan
manajemen adalah survai, penelitian, administrasi, preservasi,
pendidikan, pemanfaatan dan latihan (IUCN, 1968).
4. Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia
sehingga dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar
dan dapat diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang
(WCS, 1980). 50
48 http://susilofy.wordpress.com/2011/02/18/pengertian-konservasi, Diakses tgl 18 Juni 2011
49 http://www.konservasi.co.cc/2010/07/sejarah-pengertian-dan-definisi.html, Diakses tgl 18 Juni 2011
50 Loc.cit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Pengertian Konservasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk
mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan;
pengawetan; pelestarian51
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi sumber
Daya Alam hayati dan Ekosistemnya (KSDA & E), mendefenisikan
Konservasi Sumber daya Alam hayati dan Ekosistemnya adalah
pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan
secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya. Sedangkan tujuan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
ekosistemnya adalah mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya
alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia. Sumber daya alam hayati adalah unsur -unsur hayati
di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber
daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di
sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem52
Dari beberapa pengertian dan defenisi diatas dapat disimpulkan
bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah
upaya pengaturan dan perlindungan atau pelestarian sumber daya alam
yang dilaksanakan dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem alam
agar dapat dimanfaatkan selamanya bagi kesejahteraan hidup umat
manusia.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya menurut
undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui: (1) perlindungan
sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (3) pemanfaatan secara
51 Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Lux, CV Widya Karya, Semarang, 2005, hlm. 262
52 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Op.Cit, Pasal 1 angka (1),(2) dan Pasal 3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Ketiga hal ini
dianggap sebagai prinsip dan acuan dalam pengelolaan konservasi di
Indonesia. Secara sederhana, kegiatan konservasi pada dasarnya
mencakup tiga unsur kegiatan yang saling terkait, yaitu :
1. Melindungi dan menyelamatkan ragam hayati (saving)
2. Mengkaji ragam hayati (studying)
3. Memanfaatkan ragam hayati (using) 53
Dalam penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya
dinyatakan sebagai berikut :
“Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan
melalui tiga kegiatan :
a. Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan. Kehidupan merupakan suatu sistem yang terdiri dari proses yang berkait satu dengan lainnya dan saling mempengaruhi, apabila terputus akan mepengaruhi kehidupan. Agar manusia tidak dihadapkan pada perubahan tidak terduga yang akan mempengaruhi kemampuan sumber daya alam hayati, maka proses ekologis yang mengandung kehidupan itu perlu dijaga dan dilindungi. Perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan perlindungan mata air,tebing,tepian sungai, danau, dan jurang, pemeliharaan fungsi hidorlogi hutan,perlindungan pantai, pengelolaan daerah aliran sungai;perlindungan terhadap gejala keunikan dan keindahan alam dan lain-lain
b. Pengawetan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dan Satwa beserta ekosistemnya. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terdiri dari unsur hayati dan non-hayati (baik fisik maupun nonfisik).
Semua unsur ini sangat berkait dan pengaruh mempengaruhi. Punahnya salah satu unsur tidak dapat diganti dengan unsur yang lain. Usaha dan tindakan konservasi untuk menjamin keanekaragaman jenis meliputi penjagaan agar unsur-unsur tersebut tidak punah dengan tujuan agar masing-masing unsur dapat berfungsi dalam alam dan agar senantiasa siap untuk sewktu-waktu dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia.
53 Widada, dkk, Op.Cit, hlm. 48
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dapat dilaksanakan di dalam kawasan (konservasi in-situ) ataupun di luar kawasan (konservasi ex-situ)
c. Pemanfaatan Secara Lestari Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Usaha pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya merupakan usaha pengendalian/ pembatasan dalam pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus menerus pada masa yang akan datang.”
Banyak kalangan khususnya masyarakat masih sering mengatakan
bahwa konservasi adalah hanya indentik dengan pelarangan atau
perlindungan sumber daya alam. Pendapat ini tentunya sangat keliru jika
kita memperhatikan beberapa penjelasan di atas bahwa konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilaksanakan bukan hanya
upaya perlindungan dan pengawetan tetapi juga dalam pemanfaatan
sumber daya itu sendiri. Konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dilaksanakan dalam rangka menjamin kelestarian dan
keanekaragaman sumber daya alam tersebut sehingga masyarakat dapat
memanfaatkan sumber daya alam terus secara terus menerus tanpa
menghilang atau terjadinya kepunahan atas sumber daya alam. Jadi jelas
kiranya bahwa upaya konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dilaksanakan dalam rangka mendukung upaya peningkatan
kesehateraan masyarakat saat ini dan yang akan datang.
Berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran konservasi yaitu :
a. Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem
penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan
kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan);
b. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-
tipe ekosistemnya sehingga manpu menunjang pembangunan, ilmu
pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan
kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi
kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
c. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati
sehingga terjamin kelestariannya. Akibat sampingan penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana, belum
harmonisnya penggunaan dan peruntukkan tanah serta belum
berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik didarat maupun
diperairan, dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik,
polusi, dan penurunan potensi sumber daya alam hayati (pemanfaatan
secara lestari.) 54
Seperti yang telah diuraikan pada halaman latar belakang di atas
bahwa dalam rangka upaya perlindungan dan pemanfaatan yang
bijaksana potensi keanekaragam hayati, pemerintah membentuk kawasan-
kawasan konservasi, yang meliputi Kawasn Suaka Alam yang terdiri dari
: Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, Kawasan Pelestarian Alam yang
berupa Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya
serta Taman Buru.
Kawasan Konservasi adalah bagian dari wilayah daratan atau
lautan yang perlu dan sengaja disisihkan dari segala bentuk eksploitasi
dan pemanfaatan sumber daya alam hayati, sehingga terjamin
keberadaannya secara lestari.55
Dalam penelitin ini, lokasi kajian penelitian dilakukan pada
kawasan Pelestarian Alam yaitu Taman Nasional, karena itu penelitian ini
lebih khusus mengkaji pengelolaan Taman Nasional sebagai kawasan
konservasi.
Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang menpunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk
tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi.56
54 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi Sumber Daya
Alam hayati dan Ekosistemnya, Gajah Mada University Press, Cet. 1-Yogyakarta, 1991, hlm. 2 55 Widada, dkk, Op.Cit, hlm. 93 56 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, Pasal 1 angka (13),(14)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Dari pengertian ini menjelaskan bahwa penetapan suatu kawasan
taman nasional diperuntukan untuk : Kegiatan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
Fungsi pemanfaatan secara langsung pada kawasan taman nasional
adalah fungsi menunjang budidaya, pariwisata alam dan rekreasi.
Masyarakat dapat memanfaatkan kawasan taman nasional untuk kegiatan
penyediaan sumber bibit atau benih dalam kegiatan budidaya di luar
kawasan taman nasional, kegiatan pariwisata alam dan rekreasi dalam
kawasan.
Untuk mewujudkan tujuan dan fungsi pengelolaan Taman
Nasional, maka pengelolaan Taman Nasional di lakukan dengan sistem
zonasi. Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang
dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap
persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan
zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas dan penetapan, dengan
mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat. Zona taman nasional adalah wilayah di
dalam kawasan taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan
Kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.57
Zona dalam Taman Nasional terdiri dari :
1. Zona inti;
2. Zona rimba; Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan;
3. Zona pemanfaatan;
4. Zona lain, antara lain: Zona tradisional; Zona rehabilitasi; Zona
religi, budaya dan sejarah; dan Zona khusus. 58
Penetapan zonasi atau ruang-ruang/wilayah dalam pengelolaan
taman nasional ini dilakukan sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan
pengelolaan yaitu perlindungan system penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
57 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional
58 Loc.Cit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dinyatakan
bahwa setiap perbuatan atau aktivitas yang tidak sesuai dengan fungsi
atau peruntukan zona di taman nasional adalah merupakan perbuatan
atau tindakan pidana yang dapat dijatuhi sangsi pidana penjara dan denda.
Tentu hal ini sangat diperlukan sebagai langkah untuk mencegah dan
membuat efek jera bagi pelaku pelanggaran atas zonasi dalam
pengelolaan taman nasional.
3. Upaya Penanggulangan Kejahatan atau Tindak Pidana
Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk
menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan
demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut
bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat
relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu.
Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh
pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua
golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat
ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat.
Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan
pendapat diantara para sarjana. R. Soesilo membedakan pengertian
kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis.
Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan
tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi
sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau
tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan
masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan
ketertiban.59 Bonger menyatakan bahwa
59 http://library.usu.ac.id/download/fh/pid-syahruddin1.pdf, diakses Tgl 9 Juni 2011, Jam
13.00 WIB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
“kejahatan adalah merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai kejahatan.60
Dari pengertian diatas secara umum dapat disimpulkan bahwa
kejahatan adalah suatu perbuatan yang bertentang dengan ketentuan
undang-undang atau perbuatan yang melawan hukum, merugikan
kepentingan individu atau kepentingan umum, dapat dicela oleh
masyarakat serta bersangsi pidana bagi yang melanggarnya.
Menurut Clarke dan Cornish yang dikutip oleh Ozkan GOK yang
ditulis dalam sebuah jurnal yang ber judul “The Role of Opportunity in
Crime Prevention and Possible Threats of Ciıme Control Benefits,”
mengatakan “
“Crime is a result of rational choices based on analyses of anticipated costs and benefits. Individuals choose to commit crime to somehow maximize their benefits and minimize their costs. Both benefits and costs have subjective and objective dimensions.”61 (Kejahatan adalah hasil dari pilihan rasional berdasarkan analisis biaya dan manfaat yang diantisipasi. Individu memilih untuk melakukan kejahatan entah bagaimana memaksimalkan manfaat dan meminimalkan biaya mereka. Kedua manfaat dan biaya memiliki dimensi subjektif dan objektif.)
Selanjutnya Ozkan GOK mengatakan bahwa ada dua pilihan untuk
mencegah kejahatan: yang pertama adalah mencoba untuk menghapus
kecenderungan pelaku untuk melakukan tindak pidana , dan yang kedua
adalah untuk menghilangkan peluang kejahatan atau kesempatan yang
dimiliki pelanggar/pelaku.62
Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social
defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).
60 http://nasrullaheksplorer.blogspot.com/2008/10/pengertian-kejahatan.html, diakses Tgl 9
Juni 2011, Jam 10.00 WIB 61 Ozkan GOK, The Role of Opportunity in Crime Prevention and Possible Threats of Ciıme
Control Benefits, Polis Bilimleri Dergisi Cilt:13 (1) , Turkish Journal of Police Studies Vol: 13 (1), 2011, ss.97-114, hlm.100 62 Ibid, hlm 98
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama
dari politik kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat”.63 Menurut Mardjono Reksodiputro,
penanggulangan kejahatan merupakan usaha untuk mengendalikan
kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.64
Sekiranya penanggulangan kejahatan (politik criminal) dilakukan dengan
menggunakan sarana penal (hukum pidana), kebijakan hukum pidana (penal
policy), harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan kebijakan
sosial, berupa social welfare dan social defence. Hal ini dapat dikaitkan dengan
segala upaya peningkatan kehidupan masyarakat dalam bentuk program
pembangunan ataupun usaha-usaha recovery tetap dalam kerangka mewujudkan
tujuan Negara, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.65
Upaya penanggulangan kejahatan dilaksanakan secara terintegrasi
yakni upaya pelaksanaan penegakan hukum dan pelaksanaan kebijakan
sosial dalam pembangunan. Maksudnya adalah bahwa upaya penegakan
hukum dalam rangka penanggulangan kejahatan (politik kriminal) harus
dikaitakan dan dilihat sebagai upaya perbaikan kondisi-kondisi sosial
sebagai dampak dari pelaksanaan pembangunan guna mewujudkan
perlindungan masyarakat dalam rangka pencapaian kesejahteraan
masyarakat baik material maupun spiritual (kebijakan sosial).
Menurut G.P. Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat
ditempuh dengan :
1. Penerapan Hukum Pidana (criminal law application);
2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan
63 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 4 64 Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 3 65 Supanto, Kejahatan Ekonomi Global dan Kebijakan Hukum Pidana, P.T. Alumni
,Bandung, 2010, hlm. 176
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
3. Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on
crime and punishment/mass media) 66
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada
hakekatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya
penegakan hukum pidana) oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
politik hukum pidana merupakan pula dari kebijakan penegakan
hukum. Politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun
dari politik kriminal. Menurut Sudarto, Politik Hukum adalah :
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang
diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-
citakan. 67
Bertolak dari pengertian demikian, Sudarto selanjutnya
menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti
mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan
pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya
guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan
“politik hukum pidana” berarti, usaha mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi
pada suatu waktu dan masa-masa yang akan datang.68
Selanjutnya menurut A. Mulder Politik Hukum Pidana
(Strafrechtspolitiek) ialah garis kebijakan untuk menentukan :
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu
diubah atau diperbaharui.
66 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 41 67Ibid, hlm 26 68 Loc.Cit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak
pidana.
3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan
pidana harus dilaksanakan. 69
Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana
(penal policy) mengandung masalah sentral, yakni (1) perbuatan apa
yang perlu ditentukan sebagai tindak pidana, (2) masalah pelakunya
menyangkut kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan (3) sanksi
pidana apa yang selayaknya dikenakan pada pelaku.70
Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan secara garis
besar dapat dibagi dua, yaitu jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat
jalur “nonpenal” (bukan/di luar hukum pidana). Upaya-upaya yang
disebut dalam butir (2) dan (3) dimasukan dalam kelompok upaya
“nonpenal”. Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih
menitikberatkan pada sifat “repressive” (penindasan
/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan
jalur “nonpenal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventive”
(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan
terjadi.71Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non-penal” lebih
bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran
utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada
masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau
tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan
kejahatan.72
Secara umum dapat disimpulkan bahwa upaya pencegahan
kejahatan atau tindak pidana dapat ditempuh melalui tindakan melalui
penegakan/penerapan hukum pidana yang berfokus pada tindakan
69 Ibid, hlm 166 70 Supanto, Op.Cit, hlm 211 71 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm 42 72 Loc.Cit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
represif atau upaya penanggulangan kehajatan setelah terjadinya
tindakan atau perbuatan pidana dan upaya penanggulangan kejahatan
melalui tindakan pencegahan tanpa pidana (non penal) yaitu upaya
penanggulangan sebelum terjadinya tindak pidana, yang dilaksanakan
melalui kebijakan sosial dengan menangani atau mencegah faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana
merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri.
Ada pula yang menyebutnya sebagai older philosophy of crime control.
Dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, maka ada yang
mempermasalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah
atau dikendalikan dengan menggunakan sanksi pidana. Menurut
Roeslan Saleh, ada tiga alasan yang cukup panjang mengenai perlunya
pidana dan hukum pidana yaitu sebagai berikut:
1. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-
tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa
jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan.
Persoalan bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam
perimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas
kebebasan pribadi masing-masing.
2. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak menpunyai
arti sama sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap
ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah
dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.
3. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan
pada si penjahat, tetapi, juga untuk mempengaruhi orang yang tidak
jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma
masyarakat. 73
73 Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Tujuan pidana tidak melulu dicapai dengan pengenaan pidana,
tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan
pengamanan.74 Dalam literatur berbahasa Inggris tujuan pidana biasa
disingkat dengan tiga R dan satu D, yaitu Reformation: berarti
memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan
berguna bagi masyarakat.; Restraint: maksudnya mengasingkan
pelanggar dari masyarakat.; Retribution : pembalasan terhadap
pelanggar karena telah melakukan kejahatan.; Deterrence yang terdiri
atas individual deterrence dan general deterrence. (pencegahan khusus
dan pencegahan umum), berarti menjera atau mencegah sehingga baik
terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi
penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat
pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.75
Di Indonesia penggunaan sarana hukum pidana tampaknya
merupakan suatu kebijakan yang sudah dapat diterima oleh semua
pihak, terbukti selalu hadirnya sanksi pidana dalam setiap kebijakan
pembuatan suatu peraturan perundangan. Penggunaan hukum pidana
dianggap sebagai hal yang wajar dan normal. Tetapi permasalahan yang
muncul, kebijakan yang bagaimana yang harus ditempuh, agar
kebijakan penggunakan sanksi pidana dalam setiap perundang-
undangan benar-benar dapat efektif, kehadirannya dapat dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat. Dapat berhasil dan berdaya guna.
Hukum pidana dapat ditetapkan sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan maka harus benar-benar memperhitungkan
semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya
hukum pidana dalam kenyataannya. Faktor-faktor yang dapat
mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana tersebut antara
lain dikemukakan oleh Sudarto sebagai berikut :
74 Andi Hamzah, Asas-Asan Hukum Pidana, Rineka Cipta, Cet. Kedua (edisi revisi),
Jakarta, 1994, hlm. 27 75 Ibid, hlm. 28-29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan
pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila;
sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana
bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan
pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi
dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak
dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian
(materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip
biaya dan hasil (cost benefit principle) .
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas
atau kemanpuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum,
yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) 76
Pada prinsipnya penggunaan hukum pidana, menurut penulis
sampai saat inipun harush tetap digunakan dalam upaya
penanggulangan kejahatan, hanya saja memang ada beberapa hal yang
mestinya harus diperhatikan khususnya para penegak hukum dalam
praktek atau penerapannya. Beberapa keluhan masyarakat menilai
bahwa praktek penegakan hukum di Indonesia saat ini terkadang masih
terkesan pilih kasih dan lebih mementingkan kepastian hukum
sementara sisi keadilan dan kemanfaatan sosialnya kurang menjadi
perhatian, tidak jarang proses penegakan hukum yang dilakukan oleh
aparat justru mendapatkan perlawanan dari masyatakat. Menurut
peneliti, ketiga unsur (keadilan, kepastian dan kemanfaatan) yang
menjadi tujuan hukum, harus menjadi pertimbangan yang sama dalam
penegakan hukum. Seperti yang dikemukakan oleh Sudarto diatas,
mestinya suatu perbuatan pidana yang akan diproses sampai ke
76 Hartiwiningsih, Op.Cit, hlm. 168
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
pengadilan harus merupakan perbuatan yang betul-betul merupakan
perbuatan yang dapat merugikan kepentingan masyarakat banyak ,
tentunya hal ini tidak mudah, diperlukan integritas dan komitemen
aparat penegak hukum yang kuat. Kewenangan menggunakan diskresi
penegak hukum mungkin dapat menjadi pertimbangan. Hal ini jelas
perlu diantisipasi dengan pengaturan yang lebih rinci, limitatif dan
memiliki tolak ukur yang obyektif unutk menilai bagaimana aparat
penegak hukum harus menjalankan tugas dan wewenangnya..
Seperti juga dikemukanan oleh Ted Honderich berpendapat,
bahwa suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis
(economical deterrents) apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Pidana itu sungguh-sungguh mencegah.
2. Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih
berbahaya/merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana itu
tidak dikenakan.
3. Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan
bahaya/kerugian yang lebih kecil. 77
Penggunaan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan
bersifat sistemik menjadi bagian yang integral dengan perencanaan
pembangunan nasional. Kongres PBB mempermasalahkan hubungan
antara kebijakan pembangunan nasional dengan peningkatan kejahatan,
seperti kongres PBB 1980 di Venezuela, Kongres PBB VII 1985 di
Milan.78 Dari sebagian pernyataan-pernyataannya dapat dipahami
bahwa pembangunan itu sendiri pada hakikatnya tidak bersifat
kriminogen, apabila pembangunan itu direncanakan secara rasional,
tidak timpang atau seimbang, tidak mengabaikan nilai-nilai kultural,
dan moral serta mengandung strategi perlindungan masyarakat yang
integral. Sebaliknya, kebijakan pembangunan dapat bersifat kriminogen
apabila tidak direncanakan secara rasional, timpang atau tidak
77 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 35 78 Supanto, Op.Cit. hlm. 175
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
seimbang, mengabaikan nilai-nilai kultural, serta tidak mencakup
strategi perlindungan masyarakat yang integral.79
Disadari bahwa upaya penanggulangan kejahatan dengan
penggunaan hukum pidana memiliki bersifat terbatas diidentifikasi
disebabkan hal-hal sebagai berikut :
1. Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar
jangkauan hukum pidana,
2. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub bagian) dari
sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah
kejahatan sebagai masalah kemanusian dan kemasyarakatan yang
sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik,
sosio ekonomi, sosio-kultural, dsb),
3. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya
merupakan kurieren am symptom, sehingga hukum pidana hanya
merupakan pengobatan simptomatik, dan bukan pengobatan
kausatif,
4. Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat
kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek
sampingan yang negatif,
5. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal,
tidak bersifat struktural/fungsional,
6. Keterbatasan jenis sanksi pidana, dan sistem perumusan sanksi
pidana yang bersifat kaku dan imperative,
7. Berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang
lebih bervariasi dan lebih menuntut biaya tinggi. 80
Penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana memerlukan
dukungan instrument lainnya dalam kerangka kebijakan sosial ataupun
program pembangunan. Dikenal adanya Crime Prevention Through
Enviromental Design, Yang dimaksudkan termasuk upaya perbaikan
79 Loc.Cit 80 Ibid, hlm. 180
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
lingkungan untuk mengurangi kesempatan perilaku kejahatan, juga
untuk menghapuskan rasa takut karena kejahatan dan persepsi resiko
kejahatan. Ini dilakukan dengan peningkatan perbaikan kualitas
lingkungan dengan pengurangan kondisi yang tidak baik, peningkatan
kehidupan masyarakat yang patuh hukum, serta dilaksanakan
penghapusan lingkungan fisik yang cenderung mendukung kejahatan.
Hal ini tentu tidak lepas dari pengembangan masyarakat dengan upaya
pembangunan dalam segala aspek. Dengan demikian, tampaklah
keterkaitan yang saling mendukung atara upaya penanggulangan
kejahatan dengan pembangunan nasional.81
Jalur non-penal merupakan jalur kebijakan sosial (social policy)
dalam penanggulangan kejahatan digunakan untuk mengatasi masalah-
masalah social, yang dalam skema G.P. Hoefnagles dimasukan dalam
jalur “prevention without punishment”. Kebijakan sosial pada dasarnya
adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau
perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang
cukup luas dari pembangunan.82
Pada Kongres PBB ke-8 Tahun 1990 di Havana, Cuba, beberapa
aspek sosial yang diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab
terjadinya kejahatan (khususnya dalam masalah “urban crime”), antara
lain disebutkan di dalam dokumen A/CONF.144/L.3 sebagai berikut :
1. Kemiskinan,pengangguran,kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi.
2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak menpunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial.
3. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga. 4. Keadaan-keadaan/kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang
bermigrasi ke kota-kota atau ke Negara-negara lain.
81 Loc.Cit. 82Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersangkutan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan di bidang social, kesejahteraan, dan lingkungan pekerjaan.
6. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya (tidak cukupnya) pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga.
7. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakat, di lingkungan keluarga/familinya, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya.
8. Penyalahgunaan alcohol, obat bius, dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut diatas.
9. Meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian.
10. Dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak), atau sikap-sikap tidak toleran (intoleransi). 83
Menurut Felson yang dikutip oleh Graham Farrell dalam sebuah
jurnal yang berjudul “Situational Crime Prevention and Its
Discontents:Rational Choice and Harm Reduction versus‘Cultural
Criminology”, mengatakan :
“Crime as the product of social change, with the key driving forces being technological, socioeconomic, environmental and political. The mechanism of change is the nature and frequency of interactions between suitable targets and potential offenders in the absence of capable guardians.”84 (kejahatan sebagai produk perubahan sosial, dengan kekuatan pendorong utama adalah teknologi, sosial ekonomi, lingkungan dan politik. Mekanisme perubahan adalah sifat dan frekuensi interaksi antara sasaran yang tepat/cocok dan potensial pelanggar tanpa adanya pelindung atau wali yang mampu.)
83Ibid, hlm. 45 84 Graham Farrell, Situational Crime Prevention and Its Discontents: Rational Choice and
Harm Reduction versus ‘Cultural Criminology, Journal Social Policy & Administration issn 0144–5596, DOI: 10.1111/j.1467-9515.2009.00699.x, Vol. 44, No. 1, February 2010, pp. 40–66, hlm 58
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Selanjutnya Cohen dan Felson dengan pendekatan teori Kegiatan
Rutin (Routine Activity Theory) yang di kutip oleh Aygün Erdogan
dalam sebuah jurnal yang berjudul “What do place-based crime
prevention strategies mean for the Turkish planning system and urban
transformation?”, menjelaskan kapan, dimana dan bagaimana peristiwa
kejahatan terjadi, menurut teori ini, kejahatan terjadi pada daerah atau
wilayah kegiatan rutin ketika ketiga kondisi terjadi secara simultan,
yakni keinginan/motivasi pelaku, target yang sesuai/ diinginkan dan
tidak adanya penekan pelindung/wali kejahatan yang manpu mencgah
tindak pidana (misalnya, teman, orang tua, guru, atau pimpinan/manajer
setempat), selengkapnya ditulis sebagai berikut :
“Routine Activity Theory, proposed by Cohen and Felson in 1979, describes when, where and how criminal events occur and utilizes the opportunities provided by the Routine Activities of the victims and possible absence of controllers as an analytical method. Routine Activities are daily activities that are carried out to meet individual needs in a repetitive and routine way, and are independent of biological or cultural differences.
They include activities that provide work, food, shelter, entertainment, learning, child rearing and the likes . According to this theory, crime occurs in the routine activity areas of targets when three conditions take place simultaneously, being: a likely/motivated offender; a suitable/desirable target; and the absence of a guardian/crime suppressor capable of preventing the criminal act (e.g., friends, parents, teachers, place managers).”85
Beberapa masalah dan kondisi sosial yang merupakan penyebab
kondusif penyebab timbulnya kejahatan merupakan masalah sosial yang
tidak dapat hanya diatasi dengan penggunaan hukum pidana (penal) ,
karena faktor tersebut bisa saja muncul sebagai akibat dampak
pembangunan yang tidak rasional, timpang atau tidak seimbang.
Disinilah keterbatasan jalur penal, oleh karena itu masalah-masalah
85 Aygün Erdogan , What do place-based crime prevention strategies mean for the Turkish
planning system and urban transformation?, Journal of Geography and Regional Planning Vol. 3(11), pp. 271-296, November 2010, Available online at http://www.academicjournals.org/JGRP, ISSN 2070-1845 ©2010 Academic Journals, hlm. 275
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
sosial seperti yang dikemukakan diatas harus diatasi melalui jalur
kebijakan sosial atau tanpa pidana (nonpenal) yaitu kebijakan atau
upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Menurut Sudarto, salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya
patut mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa
masyarakat, baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun
kesehatan/kesejahteraan keluarga ( termasuk masalah kesejahteraan
anak dan remaja) serta masyarakat luas pada umumnya.86 Penggarapan
kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama merupakan upaya
non penal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan. Peranan
pendidikan agama dan berbagai bentuk media penyuluhan keagamaan
dalam memperkuat kembali keyakinan dan kemanpuan manusia untuk
mengikuti jalan kebenaran dan kebaikan.87 Selanjutnya Sudarto
mengemukakan, bahwa kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan
secara kontinyu termasuk upaya nonpenal yang menpunyai pengaruh
preventif bagi penjahat (pelanggar hukum) potensial.88 Kegiatan
razia/operasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian di beberapa tempat
tertentu dan kegiatan yang berorientansi pada pelayanan masyarakat
atau kegiatan komunikatif edukatif dengan masyarakat, dapat pula
dilihat sebagai upaya non penal yang perlu diefektifkan.
Dari uraian diatas disimpulkan bahwa upaya non penal lebih
mengedepankan tindakan pencegahan agar tidak terjadi tindak pidana,
dengan melakukan strategi mengatasi masalah-masalah penyebab
kejahatan. Menurut peneliti hal ini justru akan lebih efektif mengatasi
kejahatan, ketika kondisi suatu masyarakat dari sisi kesejahteraan cukup
baik, kehadiaran aparat penegak hukum pada tempat-tempat tertentu
yang rawan terjadinya kejahatan maka dipastikan (pelaku/penjahat)
tidak akan melakukan kejahatan.
86 Barda Nawawi Areif, Op.Cit, hlm. 46 87 Loc.Cit 88 Ibid, hlm. 49
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Massoomeh Hedayati Marzbali, menulis dalam sebuah jurnal
yang berjudul “A Review of the Effectiveness of Crime Prevention by
Design Approaches towards Sustainable Development” ( Sebuah
Tinjauan Efektivitas Pencegahan Kejahatan melalui Desain Pendekatan
terhadap Pembangunan Berkelanjutan) sebagai berikut :
“Important conclusions that can be drawn from this study are connected with the initial research objectives. Clearly the reviews reported in this article provide empirical evidence supporting the significant relationship between safety and sustainability. The present paper suggests that the application of crime prevention principles have positive effects in the built environment and possess low levels of crime and fear among societies. Consequently, it can be pointed out that place-based crime prevention strategies appear to be effective methods towards achieving sustainability. A number of studies have concentrated on the evaluation of safety of the physical environment and sustainability. Along this line of investigation, it may be concluded that safety and security should be considered as a prerequisite towards achieving sustainable development. Meanwhile, in terms of CPTED design strategies, Saville (2009) argued that it needs to move away from standardized CPTED theories in the direction of a holistic strategy to design, implement, and manage the societies. These mutations can be useful for the current system of place-based crime prevention for years to come.Taken as a whole, a major recommendation from the authors is that crime and the fear of crime must be considered in the development process as effective indicators in achieving sustainability for communities. Crime prevention strategies if considered at the initial stage of each development may able to provide comprehensive sustainability outcomes namely environmental, social as well as economic benefits. Finally, recommendations are made not only for the consideration of safety in the development process, but also for the dissemination of crime prevention strategies that have proven to be successful. It needs to be noted that further and more studies need to be carried out in order to evaluate accurately the conflict between crime prevention by design strategies and sustainable development and address their measurements.”89
(Kesimpulan penting yang dapat ditarik dari studi ini dihubungkan
89 Massoomeh Hedayati Marzbali, A Review of the Effectiveness of Crime Prevention by
Design Approaches towards Sustainable Development, www.ccsenet.org/jsd Journal of Sustainable Development Vol. 4, No. 1; February 2011, ISSN 1913-9063 E-ISSN 1913-9071, hlm. 167-168
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
dengan tujuan penelitian awal. Jelas review dilaporkan dalam artikel ini memberikan bukti empiris mendukung hubungan yang signifikan antara keselamatan dan keberlanjutan. Tulisan ini menunjukkan bahwa penerapan prinsip-prinsip pencegahan kejahatan memiliki efek positif dalam pembinaan lingkungan dan rendahnya tingkat kejahatan dan ketakutan di kalangan masyarakat. Akibatnya, dapat ditunjukkan bahwa strategi berbasis pencegahan ditempat/lokasi terjadinya kejahatan tampaknya merupakan metode yang efektif untuk mencapai keberlanjutan.
Sejumlah studi telah memusatkan pada evaluasi keselamatan fisik lingkungan dan keberlanjutan. Sesuai dengan hasil penelitian ini , dapat disimpulkan bahwa keselamatan dan keamanan harus dipertimbangkan sebagai prasyarat untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Sementara itu, dalam hal strategi desain CPTED, Saville (2009) berpendapat bahwa perlu dikaji lebih jauh standar dari teori-teori CPTED dalam arah strategi holistik untuk merancang, melaksanakan, dan mengelola masyarakat. mutasi ini dapat berguna untuk sistem saat tempat berbasis pencegahan kejahatan selama bertahun-tahun yang akan datang. Secara keseluruhan, rekomendasi utama dari penulis adalah kejahatan itu dan takut kejahatan harus dipertimbangkan dalam proses pembangunan sebagai indikator efektif dalam mencapai keberlanjutan bagi masyarakat. Strategi pencehagan kejahatan pada tahap awal harus dipertimbangkan sehingga menghasilkan pembangunan berkelanjutan secara komprehensif yaitu lingkungan, manfaat sosial serta ekonomi. Akhirnya, rekomendasi, dibuat tidak hanya untuk pertimbangan keamanan dalam proses pembangunan, tetapi juga untuk penyebaran strategi pencegahan kejahatan yang telah terbukti berhasil. Perlu dicatat bahwa studi lebih lanjut dan lebih perlu dilakukan dalam rangka untuk mengevaluasi secara akurat penilaian antara konflik antara pencegahan kejahatan dengan strategi desain dan pembangunan berkelanjutan.)
Berdasarkan pendapat Massoomeh Hedayati Marzbali diatas
dapat disimpulkan bahwa strategi penanggulangan kejahatan dalam
proses pembangunan adalah tindakan pencegahan kejahatan pada
wilayah atau tempat yang berpotensi terjadinya kejahatan adalah
metode yang efektif untuk pencapaian ketertiban dan keamanan dalam
pembangunan berkelanjutan sehingga menciptakan kondisi lingkungan
dan sosial yang baik, serta memberikan manfaat secara ekonomi bagi
masyarakat.
Departement Social Development Republic of South Africa, dalam
rangka memerangi kejahatan dan korupsi sebagai upaya peningkatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
keamanan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat di Negara Afrika
Selatan ditulis oleh MR.VP. Madonsela dalam sebuah jurnal yang
berjudul ” Integrated Social Crime Prevention Strategy 2011” ,
memberikan 6 (enam) rekomendasi strategis pencegahan kejahatan
sebagai berikut :
1. Strengthening internal and external capacity to sustain better service delivery.
• An investment in capacity to build and deliver key services is required. In addition, it is recommended that all government departments should find ways to equip the community and its members to deliver simpler services under minimal departmental supervision.
(Memperkuat kapasitas internal dan eksternal untuk mempertahankan
pelayanan yang lebih baik. • Investasi dalam kapasitas untuk membangun dan memberikan layanan utama diperlukan. Selain itu, dianjurkan bahwa semua departemen pemerintah harus mencari cara untuk membekali masyarakat dan anggotanya untuk memberikan layanan sederhana di bawah pengawasan minimal departemen )
2. Facilitating targeted collaborative partnership with other
government departments and civil society organisations. • Departments should constantly explore ways in which individuals,
families and organisations within the communities can be mentored and supported to reduce the burden on existing capacity within the Departments.
(Memfasilitasi kemitraan kolaboratif ditargetkan dengan departemen
pemerintah lainnya dan organisasi masyarakat sipil. • Departemen harus terus mengeksplorasi cara-cara di mana individu, keluarga dan organisasi dalam masyarakat dapat dibimbing dan didukung untuk mengurangi beban pada kapasitas yang ada dalam Departemen)
3. Ensuring equitable and integrated site-based service delivery for
local service providers. • All departments’ services should be delivered to all people at each
site. (Memastikan adil dan terpadu berbasis situs layanan bagi penyedia
layanan lokal. • Semua departemen layanan 'harus disampaikan kepada semua orang di
setiap situs )
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
4. Promoting sustained institutional mechanisms in communities. • Feedback loops should be created and sustained in communities to
ensure realistic expectations by community members and transparent reports on progress or lack thereof, in relation to service delivery by departments This will result in building trust with and between communities.
(Mempromosikan mekanisme kelembagaan berkelanjutan di
masyarakat. • Umpan balik semua pihak harus diciptakan dan dipertahankan di masyarakat untuk memastikan harapan yang realistis oleh anggota masyarakat dan laporan yang transparan atas kemajuan atau kekurangan daripadanya, dalam hubungannya dengan penyediaan layanan oleh departemen. Hal ini dapat membangun kepercayaan dengan dan antar masyarakat.)
5. Improving social fabric and cohesion within families. • Communities should be strengthened to build the family as a cradle of
nurture. Departments should focus on providing support and services to families, both directly and indirectly, in order to strengthen and grow families as places of nurturing and peace.
(Meningkatkan struktur sosial dan keterpaduan dalam keluarga.
• Masyarakat harus diperkuat untuk membangun keluarga sebagai tempat lahir memelihara. Departemen harus fokus pada memberikan dukungan dan layanan untuk keluarga, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam rangka memperkuat dan memelihara keluarga sebagai tempat pengasuhan dan perdamaian.)
6. Ensuring investment in prevention and early intervention services
with long-term benefits. • Government departments should encourage all respective partners
and role-players to recognise and commit to social crime prevention as a long-term strategy and commitment, and to see the value of current actions as not just for the moment, but also for the future.90
(Memastikan investasi dalam pencegahan dan pelayanan intervensi
ini dengan keuntungan jangka panjang.
• departemen Pemerintah harus mendorong semua mitra masing-masing dan peran-pemain untuk mengenali dan melakukan untuk pencegahan kejahatan sosial sebagai strategi jangka panjang dan
90Mr.VP. Madonsela, Intergrated Sosial Crime Prevention Strategy 2011, Journal of Drug Issues, 32, 153-178, , www.info.gov.za/view/DownloadFileAction,, hlm. 41-42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
komitmen, dan untuk melihat nilai tindakan saat ini sebagai tidak hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk masa depan)
Hukum, melalui sistem peradilan pidana, yang sejatinya
memerankan fungsinya sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik,
menegakkan kebenaran dan keadilan. Bahkan, dapat menjadi sarana
rekayasa sosial (social engineering) bagi masyarakat. tetapi dalam
prakteknya kondisi penegakkan hukum di Indonesia belum dapat
dikatakan berhasil. Ketidakefektifan penegakan hukum dalam bidang
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya menunjukan
perlunya perbaikan pada penegakan hukum secara luas.
Mahrus Ali menyatakan,
“Kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa menegakkan hukum diartikan sama dengan menegakkan undang-undang. Pemahaman ini membawa implikasi bahwa hukum (undang-undang) menjadi pusat perhatian. Padahal, masalah penegakan hukum tidak dapathanya dilihat dari kaca mata undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibatkan semua unsur yang ada, seperti moral,perilaku, dan budaya. Oleh karena itu, perlu orientasi dan cara pandang baru dalam penegakan hukum.”91
Raymond Paternoster dalam sebuah tulisannya yang berjudul
“How Much Do We Really Know about Criminal Deterrence?” , Beliau
menulis sebagai berikut :
“One of the costs of crime is the possible legal punishment, including being arrested for committing the act, getting convicted of the crime, and being subjected to some kind of punishment as a result of conviction (jail, probation, prison, or, in some jurisdictions for some crimes, death). Deterrence theorists presume that punishment by the legal system will increase the cost of—and therefore inhibit—crime There are three properties of legal punishment that are related to its cost, the (1) certainty, (2) severity, and (3) celerity (or swiftness) of punishment. Other things being equal, a legal punishment is more costly when it is more certain (more likely than not to be a consequence of crime), severe (greater in magnitude), and swift (the punishment arrives sooner rather than later after the offense). This leads to the three key hypotheses that can be deduced from deterrence theory, which have served to guide empirical research over the past fifty years:
91 Mahrus Ali, 2007, Sistim Peradilan Progresif, Alternatif dalam Penegakan Hukum
Pidana, Jurnal Hukum, No.2 Vol. 14, April 2007, hlm. 212
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
H1: The greater the certainty of legal punishment, the lower the
crime rate. H
2: The greater the severity of legal punishment, the lower the crime
rate. H3. : The greater the celerity of legal punishment, the lower the crime
rate.92
(Ada tiga sifat sanksi hukum yang terkait dengan biaya, kepastian (1), (2) tingkat keparahan, dan (3) kecepatan (atau kecepatan) dari hukuman. Hal-hal lain dianggap sama, sebuah sanksi hukum adalah lebih mahal ketika itu lebih tertentu (lebih mungkin daripada tidak menjadi konsekuensi dari kejahatan), berat (lebih besar dalam besarnya), dan cepat (hukuman tiba lebih awal daripada kemudian setelah terjadi pelanggaran) . Ini mengarah pada tiga hipotesis kunci yang dapat disimpulkan dari teori pencegahan, yang telah melayani untuk memandu penelitian empiris selama lima puluh tahun terakhir:
1. Semakin besar kepastian hukuman hukum, semakin rendah tingkat kejahatan.
2. Semakin besar tingkat keparahan (beratnya) hukuman hukum, semakin rendah tingkat kejahatan
3. Semakin besar kecepatan hukuman (proses penyelesaian perkara) hukum, semakin rendah tingkat kejahatan.)
Inti teori ini adalah bahwa penanggulangan kejahatan dapat
ditempuh melalui pendekatan pencegahan atau teori pencegahan.
Pencegahan kejahatan dapat dicegah melalui pendekatan pencegahan
dengan membentuk persepsi pelaku atau calon pelaku kejahatan untuk
tidak melakukan kejahatan dipengaruhi oleh pelaksanaan penegakan
hukum (kepastian hukum) yang baik atau cepat dan beratnya sangsi
hukuman yang dialami, semakin baik hukum ditegakkan dan semakin
berat hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku maka akan semakin
kecil atau rendah tingkat kejahatan.
92 Raymond Paternoster, How Much Do We Really Know about criminal Deterrence?.
0091-4169/10/10003-0765 The Journal Of Criminal Law & Criminology, Vol. 100, No. 3 , hlm, 765-824,Copyright © 2010 by Northwestern University, School of Law Printed in U.S.A., hlm. 783-784
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Strategi-strategi yang dikemukakan diatas tentunya menambah
keyakinan kita bahwa tindakan pencegahan akan lebih efektif
menanggulangi kejahatan daripada upaya penanggulangan kejahatan
setelah terjadinya kejahatan atau jalur penegakan hukum pidana
(penal).
Dari uraian diatas, sangat jelas bahwa upaya penanggulangan
kejahatan (tindak pidana) tidak hanya ditempuh dengan sarana penal
(hukum pidana) semata tetapi diperlukan pendekatan atau sarana lain
yang dikenal non penal ( selain hukum pidana). Penanggulangan
kejahatan (tindak pidana) di bidang konservasi tidak cukup hanya
dengan sarana hukum pidana, diperlukan pendekatan kegiatan integral
dengan program pembangunan, khususnya terkait dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi, serta upaya
penyadaran hukum bagi masyarakat, pelaku usaha, juga para aparat
penegak hukum.
Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan sarana penal (hukum pidana) dan sarana non penal,
secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Gambar 1. : Skema Upaya penanggulangan Kejahatan
Keterangan skema : a. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan
(“goal”), “kesejahteraan masyarakat/social welfare” (SW) dan
“perlindungan masyarakat/social defence”(SD). Aspek SW dan SD
yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/perlindungan
masyarakat yang bersifat immateriil, terutama nilai kepercayaan,
kebenaran/kejujuran/keadilan.
b. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan
“pendekatan integral”; ada keseimbangan sarana “penal” dan
“nonpenal”. Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling
strategis melalui sarana “nonpenal” karena lebih bersifat preventif
dan karena kebijakan “penal” menpunyai keterbatasan/kelemahan
Social-welfare policy
Social Policy
NONPENAL
Social-defence policy
PENAL
Criminal policy
GOAL SW/SD
- Formulasi
- Eksekusi
- Aplikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
(yaitu bersifat fragmentaris/simplistis/tidak struktural fungsional;
simptomatik/tidak kausatif/tidak eliminatif; individualistik atau
“offender-oriented/tidak victim-oriented”; lebih bersifat
repressif/tidak preventif; harus didukung oleh infrastruktur dengan
biaya tinggi);
c. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal”
merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy”
yang fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap :
c.1 tahap formulasi (kebijakan legislatif);
c.2 tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);
c.3 tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Dengan adanya tahap “formulasi”, maka upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat
penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum
(aparat legislatif); bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap
paling strategis dari “penal policy”. Karena itu,
kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan
strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi. 93
4. Instrumen Hukum dalam bidang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya
a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam hayati dan Ekosistemnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAH & E) telah
merumuskan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam pengelolaan
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya khususnya pada
kawasan Taman Nasional dan apabila dilanggar maka merupakan suatu
93 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 77-78
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
perbuatan tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana, yang
dibagi atas 2 (dua) kategori yaitu kejahatan dan pelanggaran. Perbuatan-
perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 33 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnnya sebagai berikut :
Pasal 21 :
(1) Setiap orang dilarang untuk : a. Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnakan,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b. Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia
(2) Setiap orang dilarang untuk : a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau diluar Indonesia;
d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat laian di dalam atau di luar Indonesia;
e. Mengambil, merusak, memusnakan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi.
Pasal 33 : (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional;
(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli;
(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Adapun ketentuan pidana atas pelanggaran norma/perbuatan-
perbuatan diatas dirumuskan dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnnya sebaga berikut :
Pasal 40 :
(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Barang siapa karena kelalaianya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) adalah pelanggaran
b) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, upaya perlindungan dan konservasi alam dinyatakan dalam
Pasal 46 dan Pasal 47 sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Pasal 46 : “Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari.
Pasal 47 : Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk :
a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh per-buatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit; dan
b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Di dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan diatur juga penggolongan antara tindak pidana yang
dikategorikan kejahatan dan tindak pidana yang dikategorikan
pelanggaran. Penggolongan tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 78
ayat (13) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
yang berbunyi:
“Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.”
Penggolongan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana
pelanggaran seperti terdapat dalam ketentuan Pasal 78 ayat (13)
Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan terdapat
dalam tabel 2 berikut ini: 94
94 Undang-Undang Kehutanan No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Tabel 2 Klasifikasi Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran
dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Pasal (ketentuan
pidana) Tindak Pidana Kejahatan
Pasal (ketentuan
pidana)
Tindak Pidana Pelanggaran
Pasal 78 ayat (1)
Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
(Pasal 50 ayat 1)
Ancaman sanksi :
Pidana penjara 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
Pasal 78 ayat (8)
menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang
(Pasal 50 ayat (3) huruf i)
Pasal 78 ayat (1)
Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. (Pasal 50 ayat 2)
Ancaman sanksi :
Pidana penjara 10 ( sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
Pasal 78 ayat (12)
mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang
(Pasal 50 ayat (3) huruf m)
Pasal 78 ayat (2)
Setiap orang dilarang: (a) mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; (Pasal 50 ayat (3) huruf a )
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Pasal 78 ayat (2)
(b) merambah kawasan hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf b )
Pasal 78 ayat (2)
(c) melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak tertentu (Pasal 50 ayat (3) huruf c)
Pasal 78 (ayat (3) dan ayat (4)
membakar hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf d)
Pasal 78 ayat (5)
menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; (Pasal 50 ayat (3) huruf e)
Pasal 78 ayat (5)
menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; (Pasal 50 ayat (3) huruf f )
Pasal 78 ayat (6)
Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. (Pasal 38 ayat (4)
Pasal 78 ayat (6)
melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; (Pasal 50 ayat (3) huruf g)
Pasal 78 ayat (7)
mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
(Pasal 50 ayat (3) huruf h)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Pasal 78 ayat (9)
membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang; (Pasal 50 ayat (3) huruf j )
Pasal 78 ayat (10)
membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
(Pasal 50 ayat (3) huruf k )
Pasal 78 ayat (11)
membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan;
(Pasal 50 ayat (3) huruf l )
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dirumuskan adanya ketentuan pemberatan pidana.
Pemberatan pidana kehutanan diatur dalam ketentuan Pasal 78 ayat
(14) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang
berbunyi:
“Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.”
c) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Perikanan dijelaskan bahwa upaya konservasi dilaksanakan melalui
kegiatan perlindungan sumberdaya ikan, konservasi ekosistem,
konservasi jenis dan konservasi genetika ikan . Pasal 1 ayat (8)
dijelaskan bahwa
“Konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan, pelestaran, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamn keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas niai dan keanekaragaman sumber daya ikan.”95
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan tidak
secara khusus mengatur tentang konservasi sumber daya alam hayati
tetapi secara implisit memasukan ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan kaidah pelestarian atau konservasi sumber daya ikan,
konservasi ekosistem, konservasi jenis dan konservasi genetika ikan.
Dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal-Pasal yang mengatur Tindak Pidana Perikanan
yang terkait dengan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
Ketentuan yang mengatur tentang upaya konservasi dalam
undang-undang ini diatur dalam pasal 84 s.d 88 sebagai berikut :
Pasal 84
(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp l.200.000.000,00 (satu m i l y a r dua atus juta rupiah).
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan
95 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestaran sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp l.200.000.000,00 (satu m i l y a r dua ratus juta rupiah).
(3) Pemilik kapal perikanan, p e m i l i k perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wiayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestaran sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua m i l y a r rupiah).
Pasal 85 “Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk per alatan tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rpn2.000.000.000,00 (dua m i l y a r rupiah).”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Pasal 86 (1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp l.500.000.000,00 (satu m i l y a r lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp l.500.000.000,00 (satu m i l y a r lima ratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp l.500.000.000,00 (satu m i l y a r lima ratus juta rupiah).
Pasal 87 (1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp l.000.000.000,00 (satu m i l y a r rupiah).
(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 88 “Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp l.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).”
2. Penggolongan Tindak Pidana Kejahatan dan Pelanggaran
Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan dianut juga penggolongan tindak pidana perikanan atas
tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran. Ketentuan
tentang kejahatan dan pelanggaran tersebut diatur dalam Pasal 103
ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan yang selengkapnya berbunyi:
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan pasal 94 adalah kejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 100 adalah pelanggaran.
3. Ketentuan tentang Pemberatan Pidana
Pemberatan pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan di atur dalam Pasal 101, selengkapnya
berbunyi :
“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 85 Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, dan Pasal 96 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
(sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.”
Dari ketentuan diatas sangat jelas bahwa pelanggaran atas
ketentuan pasal-pasal yang disebutkan diatas apabila dilakukan
oleh atas nama korporasi atau badan hukum/perusahaan, tuntutan
dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana
dendanya di tambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
d) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Ketentuan yang berkaiatan dengan konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan adalah pada perubahan Pasal 9 jo Pasal 85 undang-
undang ini sebagai berikut :
Pasal 9 :
(1) Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 85
“Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”96
96 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa Alat penangkapan ikan
dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak
keberlanjutan sumber daya ikan termasuk diantaranya jaring trawl
atau pukat harimau, dan/atau compressor.
e) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil
Dalam undang-undang ini pengertian/pemahaman konservasi
dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil dimuat dalam
ketentuan umum Pasal 1 ayat (19) dan ayat (20) sebagai berikut :
(19) Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
(20) Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.
Ketentuan pidana dalam undang-undang ini termuat dalam
beberapa Pasal yaitu Pasal 73 s.d 75 sebagai berikut :
Pasal 73
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang dengan sengaja:
a. melakukan kegiatan menambang terumbu karang, mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak dan bahan beracun, dan/atau cara lain yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d;
b. menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove, melakukan konversi Ekosistem mangrove,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g;
c. menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf h;
d. melakukan penambangan pasir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf i.
e. melakukan penambangan minyak dan gas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf j.
f. melakukan penambangan mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf k.
g. melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf l.
h. tidak melaksanakan mitigasi bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diakibatkan oleh alam dan/atau Orang sehingga mengakibatkan timbulnya bencana atau dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerentanan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1).
(2) Dalam hal terjadi kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena kelalaian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 74
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) setiap Orang yang karena kelalaiannya:
a. tidak melaksanakan kewajiban rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1); dan/atau
b. tidak melaksanakan kewajiban reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2).
Pasal 75
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) setiap Orang yang karena kelalaiannya:
a. melakukan kegiatan usaha di Wilayah Pesisir tanpa hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); dan/atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
b. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4).97
f) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa konservasi sumber
daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin
pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan
ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
nilai serta keanekaragamannya.98
Ketentuan – ketentuan perlindungan dan pengelolaan
Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan pengelolaan konservasi
sumber daya alam dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Ketentuan yang berkaitan dengan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya :
Pasal 57
(1) Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya: a. konservasi sumber daya alam; b. pencadangan sumber daya alam;dan/atau c. pelestarian fungsi atmosfer.
(2) Konservasi sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kegiatan:
a. perlindungan sumber daya alam; b. pengawetan sumber daya alam; dan c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.
(3) Pencadangan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan sumber daya alam yang tidak dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu.
(4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan c. upaya perlindungan terhadap hujan asam.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer
97 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil 98 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Pasal 1 angka 18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Ketentuan pidana dalam undang-undang ini diatur dalam
beberapa pasal yakni pasal 97 s.d 115 sebagai berikut :
Pasal 97 Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan. Pasal 98 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 99 (1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).
Pasal 100 (1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku
mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.
Pasal 101 Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 102 Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 103 Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Pasal 104 Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 105 Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Pasal 106 Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 107 Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 108 Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 109 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 110 Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 111 (1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin
lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 112 Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1(satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 113 Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 114 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 115 Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Pertanggungjawaban Pidana
Kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menganut prinsip
liability based on fault (pertanggungjawaban berdasarkan
kesalahan) , hal ini dapat dilihat pada perumusan tindak pidana,
mencantumkan unsur sengaja dan kelalaian. Disamping itu
terdapat pengecualian terhadap beberapa pasal tertentu atas
ketentuan tersebut diatas yakni dalam Pasal 88 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH dinyatakan bahwa :
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya,dan/atau kegiatannya menggunakan B3,menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan :
“Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundangundangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Dari uraian diatas disimpulkan pertanggungjawaban pidana
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH
menganut asas kesalahan (prinsip liability based on fault) dan
asas pertanggungjawaban tanpa kesalahan (strict liability atau
liability without fault).
Dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Aalam Hayati dan
Ekosistemnya, tidak mengenal pertangungjawaban pidana oleh
korporasi atau badan hukum, dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang PPLH ini, subyek hukum pidana disamping
“orang” juga korporasi atau badan usaha. Pertanggungjawaban
pidana yang dilakukan oleh korporasi/badan usaha diuraikan
dalam pasal-pasal sebagai berikut :
Pasal 116 (1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh,
untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak
pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Pasal 118 Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
4. Pemberatan Pidana dan Pidana Tambahan
Pemberatan pidana ditujukan terhadap pimpinan badan
usaha yang memberi perintah, ancaman pidana yang dijatuhkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.
Pidana tambahan ditunjukan terhadap badan usaha yang terkena
pidana. Dinyatakan dalam pasal :
Pasal 117 Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Pasal 119 Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b.penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau
kegiatan; c. perbaikan akibat tindak pidana; d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3
(tiga) tahun. Pasal 120 (1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi.
(2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e, Pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
5. Teori Bekerjanya Hukum
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang
hidup di dalam masyarakat. Sesuai disini berarti bahwa hukum itu
mencerminkan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat.99
Demikianlah para penganut madzab Sociological Jurisprudence
merumuskan. Sosiological jurisprudence itu merupakan suatu mazhab
99 Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993,hlm 71
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara
hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Yang terpenting adalah
menggunakan pendekatan yang bermula dari hukum ke masyarakat.
Hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma berisikan
petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan pencerminan dari
kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina
dan kemana harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama hukum itu
mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat
hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide mengenai keadilan. Hukum
mengikatkan diri kepada masyarakat sebagai basis sosial. Ini berarti
bahwa ia harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan
anggota-anggota masyarakat serta memberikan pelayanan
kepadanya.100 Masyakat tidak hanya ingin melihat keadilan diciptakan
dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya dilayani oleh
hukum, melainkan ia juga menginginkan agar masyarakat terdapat
peraturan-peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan mereka
satu sama lain.
Fungsi hukum menurut pendapat Hoebel dalam Esmi Warassih
menyebutkan adanya empat dasar fungsi hukum, yaitu :
1) Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat,
dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku apa yang
diperkenankan dan apa pula yang dilarang.
2) Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang
boleh melakukan paksaan serta siapakah yang harus mentaatinya
dan sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif.
3) Menyelesaikan sengketa.
4) Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri
dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara
100 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Cet. Keenam, Bandung, 2006,
hlm. 18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota
masyarakat. 101
Berbicara masalah hukum, pada dasarnya membicarakan fungsi
hukum didalam masyarakat. Karena kebijakan dalam bidang hukum
akan berimplikasi ke masalah politik yang sarat dengan diskriminasi.
Untuk memahami bagaimana fungsi hukum itu, ada baiknya dipahami
terlebih dulu bidang pekerjaan hukum.
Menurut Satjipto Rahardjo, sedikitnya ada 4 (empat) bidang
pekerjaan yang dilakukan oleh hukum, yaitu :
1) Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat
dengan menunjukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang
dan yang boleh dilakukan.
2) Mengalokasikan dengan menegaskan siapa saja yang boleh
melakukan kekuasaan berikut prosedurnya.
3) Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat.
4) Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara
mengatur kembali hubungan-huhubungan dalam masyarakat. 102
Disamping itu hukum menghendaki agar warga masyarakat
bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat atau berfungsi
sebagai kontrol sosial. Demikian pula interaksi sosial, yaitu dengan
memandang hukum sebagai suatu mekanisme kontrol sosial yang
bersifat umum dan beroperasi secara merata hampir di seluruh sektor
kehidupan masyarakat.
Mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka hal yang
harus diukur adalah sejauhmana aturan hukum itu ditaati atau tidak
ditaati. Menurut Achmad Ali faktor-faktor yang menpengaruhi ketaatan
hukum secara umum adalah sebagai berikut :
1. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum
dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum;
101 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Penerbit PT. Suryandu Utama, Semarang, 2005, hlm. 26
102 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung 1984, hlm. 45
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
2. Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah
dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum;
3. Sosiolisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu
4. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka
seyogyanya aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat
mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang (prohibitur)
lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat
mengharuskan (mandatur);
5. Sanksi yang diancamkan oleh aturan hukum itu harus dipadankan
dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut.
6. Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum,
harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
7. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi
pelanggaran terhadap aturan tersebut, adalah memang
memungkinkan, karena tindakan konkret, dapat dilihat, diamati,
oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap
tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
penghukuman).
8. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan,
relatif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang
bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang
menjadi target diberlakukannya aturan tersebut. Aturan hukum
yang sangat efektif, adalah aturan hukum yang melarang dan
mengancam sanksi bagi tindakan yang juga dilarang dan
diancamkan samksi oleh norma lain, seperti norma moral, norma
agama, norma adat-istiadat atau kebiasaan dan lainnya.
9. Efektif atau tidak efektinya suatu aturan hukum secara umum, juga
tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak
hukum untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut;
mulai dari tahap pembuatannya, sosiolisasinya, proses
penegakannya hukumnya yang mencakupi tahapan penemuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
hukum (penggunaan penalaran hukum, interpretasi dan konstruksi),
dan penerapannya terhadap suatu kasus konkret;
10. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga
mensyaratkan adanya standar hidup sosio-ekonomi yang minimal
di dalam masyarakat. 103
Hukum sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan,yang
menjadi pertanyaan, kapan hukum itu mengikat secara hukum?
Undang-undang menpunyai persyaratan untuk dapat berlaku atau untuk
menpunyai kekuatan berlaku. Ada tiga macam kekuatan berlaku yaitu
kekuatan yuridis, sosiologis dan filosofis.104
Undang-undang menpunyai kekuatan berlaku yuridis apabila
persyaratan formal terbentuknya undang-undang itu telah terpenuhi.
Menurut Hans Kelsen, kaedah hukum menpunyai kekuatan berlaku
apabila didasarkan atas kaedah yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu
kaedah hukum merupakan sistem kaedah secara hierarchies.105 Hal
berlakunya secara Sosiologis, intinya adalah efektifitas atau hasil guna
kaedah hukum di dalam kehidupan bersama. Yang dimaksudkan ialah,
bahwa berlakunya atau diterimanya hukum di dalam masyarakat itu
lepas dari kenyataan apakah peraturan hukum itu terbentuk menurut
persyaratan formal atau tidak. Berlakunya hukum merupakan kenyataan
di dalam masyarakat. Ada dua teori kekuatan berlakunya hukum
didalam masyarakat yaitu :
1. Menurut teori kekuasaan yaitu hukum menpunyai kekuatan berlaku
sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, terlepas
dari diterima ataupun tidak oleh warga masyarakat.
103 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence), Kencana Prenada Media Group, Cet. ke -1, Jakarta, 2009, hlm. 376-378 104 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005,
hlm. 94 105 Ibid, hlm. 95
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
2. Menurut teori pengakuan yaitu hukum menpunyai kekuatan
berlaku sosiologis apabila diterima dan diakui oleh warga
masyatakat. 106
Secara sosiologis hukum dalam hal ini undang-undang yang
berlaku harus mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-
masalah yang dihadapi. Dengan adanya sosiologis diharapkan setiap
peraturan perundang-undangan yang diterbitkan akan diterima
masyarakat secara wajar, bahkan diterima secara spontan. Kalau sudah
demikian, maka peraturan perundang-undangan tersebut akan berdaya
laku efektif tanpa harus banyak menggunakan dan mengerahkan
lembaga-lembaga guna penegakannya.
Kenyataan yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar sosiologis
harus juga termasuk kecenderungan dan harapan masyarakat. Tanpa hal
tersebut suatu peraturan perundang-undangan hanya sekedar rekaman
keadaan seketika. Dan jika hal ini memang terjadi, maka keadaan yang
demikian akan menyebabkan kelumpuhan peranan peraturan
perundang-undangan atau hukum.
Hukum menpunyai kekuatan filosofis apabila kaedah hukum
tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (Rechtsidee) sebagai nilai positif
yang tertinggi (uberpositiven Werte: Pancasila, masyarakat adil dan
makmur)107
Agar hukum berfungsi dengan baik, maka hukum harus memenuhi
ketiga macam keberlakuan tersebut. Hal ini disebabkan, apabila hukum
hanya menpunyai kekuatan berlakunya yuridis saja, maka kemungkinan
kaedah hukum tersebut hanya merupakan kaedah yang mati saja. Kalau
kaedah hanya menpunyai keberlakukan sosiologis dalam arti
kekuasaan, maka hukum tersebut mungkin semata-mata menjadi aturan
pemaksa. Demikian pula, apabila kaedah hukum tadi hanya menpunyai
106 Loc. Cit 107 Loc. Cit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
keberlakukan secara filosofis, maka hukum tersebut hanya sebagai
kaedah yang dicita-citakan saja.108
Paul dan Dias dalam Esmi Warassih mengajukan 5 (lima) syarat
yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu :
1 Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk diungkap
dan dipahami.
2 Luas tidaknya kalangan dalam masyarakat yang mengetahui isi
aturan-aturan hukum yang bersangkutan.
3 Efisiensi dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum.
4 Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah
dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan
juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa.
5 Adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan warga
masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu
memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif. 109
Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak
sederhana, bukan saja karena kompleksitas sistem hukum itu sendiri,
tetapi juga rumitnya jalinan hubungan antara sistem hukum dengan
sistem sosial, poltik, ekonomi, dan budaya masyarakat. Sebagai suatu
proses, penegakaan hukum pada hakekatnya merupakan variabel yang
menpunyai korelasi dan interdependensi dengan faktor-faktor lain.
Ada beberapa faktor yang terkait yang menentukan proses
penegakan hukum sebagaimana diungkapkan oleh Lawrence M
Freidman yaitu konponen substansi, struktur dan kultural. Beberapa
komponen tersebut termasuk ruang lingkup bekerjanya hukum sebagai
suatu sistem. Kesemua faktor tersebut akan sangat menentukan proses
penegakan hukum dalam masyarakat dan tidak dapat dinafikan satu
108 Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik, Rineka Cipta, Jakarta,
2009, hlm. 200 109 Esmi Warassih, Op.Cit, hlm 105
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
dengan yang lainnya. Kegagalan pada salah satu komponen akan
berimbas pada faktor lainnya.110
Dalam usaha merealisasikan tujuan pembangunan maka suatu
sistem hukum harus dapat memainkan peranan sebagai pendukung dan
penunjangnya. Suatu sistem hukum yang tidak efektif tentunya akan
menghambat terealisasinya tujuan yang ingin dicapai itu.
Pengertian hukum sebagai sistem hukum yang dikemukakan oleh
Lawrence M. Friedman, bahwa sistem hukum mengandung tiga unsur
yang mempengaruhinya bekerjanya hukum tersebut yaitu Struktur
Hukum, Substansi hukum, dan kultur (budaya) hukum. Dalam Ketiga
unsur yang ada dalam sistem hukum menurut Friedman satu unsur
dengan unsur lain saling mempengaruhi sehingga apabila satu unsur
tidak berfungsi dengan baik maka suatu sistem hukum tidak akan
berjalan dengan baik pula. Suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya
merupakan sebuah organism kompleks di mana struktur, substansi, dan
kultur berinteraksi. 111
Menurut Friedman komponen struktur (legal structure) yaitu
kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai
fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen
ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu
memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum
secara teratur. Struktur sebuah sistem adalah kerangka badannya; ia
adalah bentuk permanennya, tubuh institusional dari sistem tersebut,
tulang-tulang keras yang kaku yang menjaga agar proses mengalir
dalam batas-batas112. Struktur di sini merupakan suatu kerangka bagian
yang memberi semacam bentuk batasan terhadap keseluruhan dalam
sistem hukum. Strukur dalam hal ini adalah institusi –institusi yang
110 Sajipto Rahardjo, Op.Cit. hlm. Pengantar Editor 111 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal Sistem A
Social Science Perspective, Penerjemah: M. Khozim, Cet. II, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2009, hlm. 17
112 Ibid, hlm.16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
berperan dalam penegakan suatu aturan. Komponen substansi tersusun
dari peraturan-peraturan dan ketentuan mengenai bagaimana institusi-
institusi itu harus berperilaku.113
Menurut Esmi Warasih,:
“substansi hukum adalah aturan, norma dan pola perilaku yang nyata manusia yang berada dalam sistem hukum itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kita undang-undang atau law in books. Komponen substantif yaitu output dari sistem hukum yang berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.” 114
Kultur hukum adalah elemen sikap dan nilai sosial. Kultur hukum
mengacu pada bagian-bagian yang ada pada kultur umum yaitu adat
kebiasaan, opini, cara bertindak dan berpikir yang mengarahkan
kekuatan-kekuatan sosial menuju atau menjauh dari hukum dan dengan
cara-cara tertentu. Secara garis istilah tersebut menggambarkan sikap-
sikap mengenai hukum, kurang lebih analog dengan kultur politik, yang
didefenisikan oleh Almond dan Verba sebagai
“sistem politik sebagaimana yang terinternalisasi dalam alam pikiran, perasaan dan penilaian para manusianya” . Gagasannya dasarnya adalah bahwa nilai-nilai dan sikap-sikap ketika diterjemahkan menjadi tuntutan akan menghidupkan mesin sistem hukum itu menjadi bergerak atau, sebaliknya, akan menghentikannya di tengah perjalanan.”115
Tanpa kultur hukum maka sistem hukum itu sendiri tidak akan
berdaya sama sekali. Komponen kultur yaitu terdiri dari nilai-nilai dan
sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum yaitu kultur hukum.
Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum
seluruh warga masyarakat.
113 Loc.Cit 114 Esmi Warasih, Op.Cit, hlm 105 115 Lawrence M. Friedman, Op.Cit, hlm. 17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Menurut Soerjono Soekanto, tolak ukur daripada efektivitas
penegakan hukum dapat dilihat faktor-faktor yang mempengaruhinya,
yaitu ada 5 (lima) faktor pokok yaitu :
a. Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang)
Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat
beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut
menpunyai dampak yang positif. Artinya, supaya undang-undang
tersebut mencapai tujuannya, sehingga efektif. Asas-asas tersebut
adalah sebagai berikut :
1) Undang-undang tidak berlaku surut;
2) Undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi,
menpunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
3) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-
undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama;
4) Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan
undang-undang yang berlaku dahulu. Artinya, undang-undang
lain yang lebih dahulu berlaku di mana di atur mengenai suatu
hal tertentu, tidak berlaku lagi apabila ada undang-undang baru
yang berlaku belakangan yang mengatur pula hal tertentu
tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya berlainan atau
berlawanan dengan undang-undang lama tersebut.
5) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
6) Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun
pribadi, melalui pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi).
Artinya, supaya pembuat undang-undang tidak sewenang-
wenang atau supaya undang-undang tersebut tidak menjadi
huruf mati, maka perlu dipenuhi beberapa syarat tertentu, yakni
antara lain :
a) Keterbukaan di dalam proses pembuatan Undang-Undang;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
b) Pemberian hak kepada warga masyarakat untuk
mengajukan usul-usul tertentu, melalui cara-cara : 1)
Penguasa setempat mengundang mereka yang berminat
untuk menghadiri suatu pembicaraan mengenai peraturan
tertentu yang akan dibuat,; 2) Suatu departemen tertentu,
mengundang organisasi-organisasi tertentu untuk
memberikan masukan bagi suatu rancangan undang-undang
yang sedang disusun.; 3) Acara dengar pendapat di Dewa
Perwakilan Rakyat.; 4) Pembentukan kelompok-kelompok
penasihat yang terdiri dari tokoh-tokoh atau ahli-ahli
terkemuka.
Selanjutnya Soerjono Soekanto mengatakan bahwa masalah
lain yang dijumpai di dalam undang-undang adalah antara lain
:
1) adanya pelbagai undang-undang yang belum juga
menpunyai peraturan pelaksanaan, padahal di dalam
undang-undang tersebut diperintahkan demikian.;
2) ketidakjelasan di dalam kata-kata yang dipergunakan di
dalam perumusan pasal-pasal tertentu. Kemungkinan hal itu
disebabkan karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat
ditafsirkan secara luas sekali, atau karena soal terjemahan
dari bahasa asing (Belanda) yang kurang tepat.
Disimpulkan bahwa gangguan terhadap penegakan hukum
yang berasal dari undang-undang mungkin disebabkan,
karena :
a) Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang,
b) Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat
dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang,
c) Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang
yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam
penafsiran serta penerapannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Faktor materi (substansi) suatu hukum atau peraturan
perundang-undangan memegang peranan penting dalam penegakan
hukum (law enforcement). Artinya di dalam hukum atau peraturan
perundang-undangan itu sendiri harus terkandung dan bahkan
merupakan conditio sine quanon di dalamnya keadilan (justice).
Sebab, bagaimana pun juga hukum yang baik adalah hukum yang
di dalamnya terkandung nilai-nilai keadilan.116
b. Faktor Penegak Hukum
Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali,
oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara
tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum yang
tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace
maintenance. Kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas
di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan
pemasyarakatan.
Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut
mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan
tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah yang isinya adalah
hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tadi merupakan peranan atau role. Oleh
karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu,
lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak
sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat,
sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan
tertentu, dapat dijabarkan ke dalam unsure-unsur sebagai berikut :
1) Peranan yang ideal (ideal role)
2) Peranan yang seharusnya (expected role)
3) Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role)
4) Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role)
116 Yohanes Suhardin, Op.Cit, hlm. 3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga-
warga masyarakat lainnya. Lazimnya mempunyai beberapa
kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah
mustahil, bahwa pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik
(status conflict dan conflict of role). Kalau di dalam kenyataannya
terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan
peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan actual, maka
terjadi suatu kesenjangan peranan (role-distance).
Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut
mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan
tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah yang isinya adalah
hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tadi merupakan peranan atau role. Oleh
karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu,
lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak
sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat,
sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.
Kerangka sosiologis tersebut, akan diterapkan dalam analisis
terhadap penegak hukum, sehingga pusat perhatian akan diarahkan
pada peranannya. Namun demikian, di dalam hal ruang lingkup
hanya dibatasi pada peranan yang seharusnya dan peranan actual.
Penegakan hukum bisa dimulai dari tahap formulasi sampai
tahap aplikasi. Penegakan hukum dalam tahap aplikasi sering
hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegak hukum tertentu
untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum
berjalan sebagaimana seharusnya.117 Bagir Manan yang dikutif oleh
Edi Setiadi dalam tulisannya beliau mengemukakan .
“ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk penegakan hukum yang adil dan berkeadilan, Pertama aturan hukum yang ditegakkan. Penegakan hukum yang adil atau berkeadilan akan tercapai apabila
117 Edi Setiadi,HZ., Strategi dan Optimalisasi Pemberantasan Korupsi (Kapita Selekta
Hukum),Widya Padjadjaran,2009. hlm.273.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
hukum yang akan ditegakkan adalah benar dan adil, kedua pelaku penegakkan hukum. Pelaku penegakan hukum dapatlah disebut sebagi kunci utama penegakan hukum yang bersifat abstrak menjadi konkret, berlaku terhadap pencari keadilan. Ketiga, lingkungan sosial sebagai tempat hukum berlaku.”118
Dalam proses penegakan hukum faktor penegak hukum
merupakan salah satu faktor yang tidak dapat diabaikan. Bahkan
dapat dikatakan merupakan faktor penentu utama dalam
keberhasilan penegakan hukum. Faktor penegak hukum dalam
suatu penegakan hukum tidak semata-mata dilihat dari apa peran
tugas, atau kewajibannya yang tertuang dalam peraturan
perundang-undangan tetapi justru pada penekanan peran diskresi
yang memang dimilikinya.119
Bagaimanapun baiknya suatu peraturan perundangan, bila
tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik dan
memiliki kemanpuan/kualitas yang baik maka jangan diharapkan
bahwa suatu penegakan hukum akan berhasil, dengan kata lain
bagaimanapun jeleknya kualitas suatu undang-undang, apabila
didukung dengan aparat penegak hukum yang baik, menpunyai
moral serta memiliki kualitas yang baik, maka penegakan hukum
akan berhasil. Keduanya saling mendukung, pengaruh
menpengaruhi, tetapi persoalan sebenarnya sangat tergantung pada
sumber daya manusianya.
Menurut Adi Sulistiyono,
“Tidak kalah pentingnya dalam kerangka pembaruan sistem hukum dan peradilan secara umum adalah penegakan hukum dengan paradigma moral. Ketika paradigma kekuasaan memudar dan janji pemanfaatan paradigma hukum mulai menuai harapan sebetulnya bangsa ini perlu menindaklanjuti dengan meletakkan nilai-nilai dasar yang menjadikan acuan penyelenggara negara. Hal ini, merupakan upaya menjaga konstinuitas dan kesinambungan agar “kegagalan” penggunaan paradigma hukum tidak menjadi
118 Ibid. hlm. 274 119 Ibid, hlm. 53
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
legitimasi penggunaan paradigma kekuasaan kembali. Paradigma moral nampaknya dapat dijadikan alternatif yang baik bagi negara Indonesia, karena paradigma ini lebih cocok dengan budaya Indonesia yang menonjolkan ruang bebas konflik.”120
Menurut Satjipto Rahardjo,
“Membicarakan masalah penegakan hukum tanpa menyinggung segi manusia yang menjalankan penegakan hukum itu, merupakan pembicaraan yang stril sifatnya. Apalagi kita membicarakan masalah penegakan hukum hanya berpegangan pada keharusan-keharusan sebagaimana tercantum dalam ketentuan-ketetntuan, maka kita hanya akan memperoleh gambaran stereotipis yang kosong. Ia baru menjadi berisi manakala dikaitkan pada pelaksanaannya yang konkret oleh manusia”121
Oleh karena itu aparat penegak hukum memegang peranan
sangat penting bagi keberhasilan suatu tugas penegakan hukum.
c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin
penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau
fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu
tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai
tujuannya. Tanpa adanya sarana atau fasilitas pendukung tidak
mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya
dengan peranan yang aktual.
d. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu,
120 Adi Sulistiyono, Menggapai Mutiara Keadailan : Membangun Pengadilan yang
Independen dengan Paradigma Moral, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 152 – 184, hlm. 175
121 Hartiwiningsih, Op.Cit,hlm. 68
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat
mempengaruhi penegakan hukum tersebut.
Faktor masyarakat sebagai salah satu faktor yang
mengefektifkan suatu peraturan atau hukum adalah berhubungan
dengan kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-
undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana
dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap
hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang
bersangkutan.122
Tidak setiap kegiatan atau usaha yang bertujuan supaya warga
masyarakat menaati hukum, menghasilkan kepatuhan. Ada
kemugkinan bahwa kegiatan atau usaha tersebut malahan
menghasilkan sikap tindak yang bertentangan dengan tujuannya.
Kalau ketaatan terhadap hukum dilakukan dengan hanya
mengetengahkan sanksi-sanksi negatif yang berwujud hukuman
apabila dilanggar, maka mungkin warga masyarakat malahan hanya
taat pada saat ada petugas saja. Cara-cara lain dapat diterapkan,
misalnya, cara yang lunak (atau persuasion) yang bertujuan agar
warga masyarakat secara mantap mengetahui dan memahami
hukum, sehingga ada persesuaian dengan nilai-nilai yang dianut
oleh warga masyarakat. Dapat pula dilakukan melalui penerangan
dan penyuluhan yang berulang kali, sehingga menimbulkan suatu
penghargaan tertentu terhadap hukum (cara pervasion). Cara
lainnya yang agaknya menyudutkan masyarakat adalah
compulsion. Yaitu penciptaan dengan sengaja suatu situasi tertentu,
sehingga warga masyarakat tidak menpunyai pilihan lain, kecuali
mematuhi hukum.
Kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya adalah
untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-
kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain itu oleh hukum
122 Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
diintegasikan sedemikian rupa sehingga tubrukan-tubrukan itu bisa
ditekan sekecil-kecilnya. Pengorganisasian kepentingan-
kepentingan itu dilakukan dengan membatasi dan melindungi
kepentingan-kepentingan tersebut. Dalam suatu lalu lintas
kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan
tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan
dilain pihak.123
Menurut Achmad Ali, mengemukakan, bahwa sebenarnya
jenis ketaatan yang paling mendasar sehingga seseorang menaati
atau tidak menaati hukum, adalah karena adanya kepentingan.124
Teori ini terpengaruh oleh pandangan mazhab hukum ekonomi,
yang memandang berbagai faktor ekonomi sangat mempengaruhi
ketaatan seseorang, termasuk di dalamnya, keputusan seseorang
yang bertalian dengan faktor ‘biaya’ atau ‘pengorbanan’, serta
‘keuntungan’ jika ia menaati hukum; juga faktor yang turut
menentukan taat atau tidaknya seseorang terhadap hukun, sangat
ditentukan oleh asumsi-asumsinya, persepsi-persepsinya serta
berbagai faktor subyektif lain, demikian juga proses-proses yang
dengannya seseorang itu memutuskan apakah ia akan menaati suatu
aturan hukum atau tidak. Seyogyanya pembuat perundang-
undangan, harus peka untuk berupaya dapat melakukan prediksi
yang akurat, tentang bagaimana orang-orang yang kelak akan
menjadi target peraturan yang dibuatnya, akan bereaksi terhadap
peraturan tersebut, dan olehnya itu, pembuat undang-undang harus
secara optimal memiliki kemanpuan menentukan dan
mempertimbangkan faktor-faktor yang ikut membentuk pilihan
orang-orang yang menjadi sasasarn perundang-undangan itu.125
123 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm. 53 124 Achmad Ali, Op.Cit. hlm. 349
125 Loc.Cit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
e. Faktor Kebudayaan
Faktor kebudayaan sebenarnya bersatu dengan faktor
masyarakat. Yang dibedakan disini adalah pada faktor kebudayaan
lebih spesifik diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang
menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non-materiel. Sebagai
suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakat), maka
hukum mencakup, struktur, substansi dan kebudayaan. Struktur
mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang
umpamanya, mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal,
hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Substansi mencakup isi
norma-norma hukum beserta perumusannya maupun acara untuk
menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun
pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya
mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-
nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa
yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap
buruk (sehingga dihindari). 126
Istilah kultur hukum yang digambarkan atau mengacu ke
pengetahuan masyarakat dan sikap-sikap serta pola-pola perilaku
masyarakat terhadap sistemn hukum, Friedman menyatakan
sebagai berikut :
“We define legal culture to mean attitudes, values, and opinions held in society, with regard to law, the legal system, and its various parts. So defined, it is the legal culture which determines when, why, and where people use law, legal institutions, or legal process; and when they use other institutions, or do nothing. In order words, cultural factors are an essential ingredient in turning a static structure and a static collection of norms into a body of living law. Adding the legal culture to the picture is like winding up a clock or plugging in a machine. It sets everything in motion,” (Kita mendefenisikan kultur hukum sebagai sikap-sikap, nilai-nilai dan pendapat-pendapat yang dianut di masyarakat tentang hukum,
126 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm. 8-60
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
sistemn hukum dan beragam bagiannya. Dengan didefenisikan seperti itu, kultur hukum itulah menentukan kapan, mengapa, dan dimana orang-orang menggunakan hukum, institusi hukum, atau proses hukum; dan kapan mereka menggunakan institusi-institusi lainnya, atau tidak melakukan apapun. Dengan kata lain, faktor-faktor kultural merupakan suatu unsur ensensial dalam mengubah suatu struktur statis dan suatu kumpulan norma-norma statis menjadi suatu kumpulan hukum yang hidup. Menambahkan kultur hukum kepada gambaran ini adalah seperti memutar sebuah jam atau menghidupkan sebuah mesin. Kultur hukum itu menggerakan segala sesuatu)127
Dari uraian diatas diatas disimpulakan bahwa penegakan hukum
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yakni faktor hukumnya sendiri
(rumusan undang-undang ) , aparat penegaknya, sarana prasarana,
kepatuhan masyarakat dan faktor kebudayaan. Kelima faktor ini akan
saling terkait/menpengaruhi, dalam proses penegakan hukum pidana,
ketika salah satu faktor tidak menjadi perhatian aparat penegak hukum
maka dapat dipastikan proses penegakan hukum akan mengalami
ketimpangan atau tidak optimal.
B. Penelitian yang Relevan
Setelah melakukan penelusuran pada berbagai referensi dan hasil
penelitian, penulisan yang memfokuskan pada penegakan hukum melalui
upaya non penal penanggulangan tindak pidana di bidang konservasi di
Taman Nasional Wakatobi belum pernah dilakukan.
Namun ada satu penelitian yang pernah di lakukan di Balai Konservasi
Sumber Daya Alam Kalimatan Barat dengan judul : “Implementasi Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya dalam menanggulangi perbuatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan Suaka alam dan
Kawasan Pelestarian Alam di Balai Konservasi Sumber Daya Alam
Kalimatan Barat”. Penelitian ini dilaksanakan oleh Azmardi, 2010. Tapi
127 Achmad Ali, Op.Cit, hlm.228
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilaksanakan oleh penulis.
Penelitian yang dilakukan oleh Azmardi adalah mengenai implementasi/
penerapan undang-undang, faktor pendukung dan penghambat implementasi
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya dalam mengatasi perbuatan yang dapat
mengakibatkan perubahan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap
keutuhan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam di Balai
Konservasi Sumber Daya Alam Kalimatan Barat.
C. Kerangka Berpikir
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SUmber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAH & E) merupakan dasar
hukum pembangunan Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan
Ekosistemnya (KSDAH & E) di Indonesia.
Sesuai amanat undang-undang tersebut di atas , bahwa startegi
pembangunan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di
Indonesia dilaksanakan melalui pembentukan kawasan-kawasan konservasi
yaitu Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA)
Taman Nasional Wakatobi adalah kawasan konservasi yakni Kawasan
Pelestarian Alam Laut yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri
kehutanan Nomor: SK Menhut nomor : 7651/Kpts-II/2002 tanggal 19
Agustus 2002 , dengan luasan 1.390.000 Ha. Taman Nasional Wakatobi
dikelola dengan sistem zonasi. sesuai dengan dengan amanat dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnnya dalam pengelolaan taman nasional diatur pula ketentuan –
ketentuan mengenai tindakan pidana di bidang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnnya yang digolongkan atas tindak pidana
kategori kejahatan dan kategori pelanggaran yang termuat dalam Pasal 40
ayat (1), s.d ayat (5), junto Pasal 21 ayat (1) dan (2) dan Pasal 33 ayat (1) dan
(3).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
Upaya penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan tindak
pidana di di bidang Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di
Taman Nasional Wakatobi telah dilakukan oleh aparat Polisi Kehutanan,
PPNS Kehutanan bekerjasama dengan Penyidik Polri, Kejaksaan dan
Pengadilan (hakim) (jalur (penal/tindakan represif) termasuk upaya
pencegahan/preventif dengan jalur tanpa pidana (non penal) melalui kegiatan
patroli rutin, kegiatan pemberdayaan masyarakat, penyuluhan dan lain
sebagai. Namun kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa upaya-upaya
tersebut diatas belum berhasil menanggulangi kejahatan (tindak pidana) di
bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya khususnya
terkait kejahatan mengenai pelanggaran zonasi dan pemanfaatan satwa dan
tumbuhan yang dilindungi.
Secara teoritis dinyatakan bahwa masalah pokok penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya
yakni oleh : faktor undang-undangnya sendiri, aparat penegak hukum,
fasilitas/sarana prasarana, masyarakat dan kebudayaan. Kejahatan terjadi
karena faktor kondisi sosial yang merupakan faktor kondusif penyebab
timbulnya kejahatan. Masalah ini tidak dapat diatasi semata-mata dengan
pendekatan jalur penal (penegakan hukum pidana) tetapi harus ditunjang
dengan jalur pendekatan non penal (tanpa pidana) atau lewat jalur kebijakan
sosial..
Dalam penelitian ini, penegakan hukum yang dimaksud dalam kajian ini
adalah tahapan penerapan hukum atau tahapan aplikasi oleh penegak hukum.
Peneliti akan mengkaji lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional
Wakatobi yang merupakan faktor penyebab kurang berhasilnya penegakan
hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya yang dilaksanakan di Taman Nasional Wakatobi dan upaya non
penal yang seharusnya dilakukan dalam rangka menanggulangi tindak pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman
Nasional Wakatobi.
Dalam penelitian ini untuk mengkaji dan membahas 2 (dua)
permasalahan tersebut di atas, penulis akan merujuk pada teori yang
dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, dimana beliau mengemukakan bahwa
masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
mungkin mempengaruhinya, yang juga merupakan tolak ukur efektifitas
penegakan hukum yaitu Undang-Undangnya sendiri, aparat penegak hukum,
sarana prasarana atau fasilitas pendukung, masyarakat dan kebudayaan, untuk
mengkaji dan membahas pokok permasalahan yang pertama dan teori G.P.
Hoefnageles, yang mengatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan
atau tindak pidana pidana dapat ditempuh dengan: 1) Penerapan hukum
pidana.; 2) Pencegahan Tanpa Pidana (non penal).; 3) Memengaruhi
pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass
media. Sesuai dengan pokok permasalahan kedua dalam penelitian ini yakni
upaya- upaya non penal (tanpa pidana) apakah yang seharusnya dilakukan
dalam rangka penanggulangan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi ?. Maka
penggunaan teori yang dikemukakan oleh G.P.Hoefnageles ini hanya pada
kebijakan penanggulangan kejahatan dengan pencegahan tanpa pidana yang
merupakan upaya non penal.
Kerangka pikir penulis dalam penelitian ini digambarkan dalam skema
sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
Kerangka Berpikir
Gambar 2. Kerangka Pikir
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya
Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional Wakatobi
Non Penal
1) Undang-Undang 2) Aparat Penegak
Hukum 3) Sarana
Prasarana/Fasilitas 4) Masyarakat 5) Budaya
1. Upaya yang telah dilakukan
2. Upaya yang seharus di lakukan
Terwujud Tujuan dan Fungsi Pengelolaan Konservasi Sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi
Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Pidana/Penal
Tindak Pidana Di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Penegakan Hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
BAB. III
METODE PENELITIAN
a. Jenis Penelitian
Penelitian dalam penulisan ini termasuk jenis penelitian hukum
non doctrinal atau penelitian sosiologis yang mempergunakan data
primer., sedangkan dilihat dari bentuknya penelitian ini merupakan
penelitian diagnostic yaitu merupakan suatu penelitian yang
dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab
terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala. Dilihat dari sifatnya
penelitian ini termasuk penelitian yang deskriptif, yaitu dimaksudkan
untuk memberikan data yang diteliti seteliti mungkin tentang manusia,
keadaan atau gejala-gejala lainnya.128 Maksudnya adalah terutama
untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam
memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun teori-
teori baru.129 Dilihat dari pendekatan yang digunakan dalam penelitian,
adalah penelitian dengan pendekatan kualitatif.
Dalam mempelajari atau meneliti hukum menurut Soetandyo
Wignyosoebroto, sebagaimana dikutip oleh Setiono, ada 5 (lima)
konsep hukum yang harus menjadi dasar pemikiran apa itu hukum
yaitu :130
1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati
dan berlaku universal;
2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-
undangan hukum nasional;
3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan
tersistematis sebagai judge made law;
128 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, , UI-Press, Jakarta, 1984, hlm. 10 129 Setiono, Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Universitas Sebelas
Maret, Surakarta, 2005, hlm. 5 130 Ibid, hlm. 20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
4. Hukum adalah pola-pola prilaku sosial yang terlembagakan, eksis
sebagai variabel sosial yang empiris;
5. Hukum adalah makna-makna simbolik para perilaku social sebagai
tampak dalam interaksi antar mereka.
Dalam penelitian ini penulis mendasarkan pada konsep hukum
yang ke-5, yang menurut Soetandyo, seperti yang dikutip oleh Setiono
, hukum dalam hal ini dikonsepsikan sebagai manifestasi makna-
makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi
mereka (hukum yang ada dalam benak manusia). Tipe kajiannya
sosiologi dan/antropologi hukum yang mengkaji “ law as it is in
(human) action: dengan menggunakan metode penelitian sosiologi
dan/atau social/non-doktrinal dengan pendekatan interaksional/mikro
dengan analisis-analisis yang kualitatif ini metode penelitiannya
kemudian penelitinya menggunakan sosio-antropolog, pengkaji
humaniora dan orientasi kepada simbolik interaksional.131
Hukum disini bukan dikonsepkan sebagai rules tetapi sebagai
regularities yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau dalam alam
pengalaman. Disini hukum adalah tingkah laku atau aksi-aksi dan
interaksi manusia secara aktual dan potensial akan terpola. Karena
setiap perilaku atau aksi itu merupakan suatu realita sosial yang terjadi
dalam alam pengalaman indrawi dan empiris, maka setiap penelitian
yang mendasarkan atau mengkonsepkan hukum sebagai tingkah laku
atau perilaku dan aksi ini dapat disebut sebagai penelitian sosial
(hukum, penelitian empiris atau penelitian yang non doktrinal. Tipe
kajian ini adalah kajian keilmuan dengan maksud hanya hendak
mempelajari saja dan bukan hendak mengajarkan sesuatu doktrin,
maka metodenya disebut sebagai metode non doctrinal.132
131 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga, Rineka Cipta, Jakarta,
2001. hlm.11 132 Setiono, Op.Cit, hlm.22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
Berdasarkan konsep hukum ke lima dan dengan pendekatan
interaksional (mikro) dengan analisis yang kualitatif yang dilakukan,
maka gejala empiris yang diamati dalam penelitian ini adalah yang
berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas
penegakan hukum dalam penanggulangan kejahatan tindak pidana di
bidang konservasi di Taman Nasional Wakatobi.
Dalam penelitian ini, penulis ingin menggali pendapat-pendapat,
ide-ide, pikiran-pikiran dari perilaku peristiwa secara langsung dan
mendalam mengenai sebab-sebab terjadinya sesuatu atau beberapa
gejala, sehingga diperoleh informasi dan data-data yang akurat, yang
penulis perlukan dalam penulisan ini.
b. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di laksanakan di Taman Nasional Wakatobi di
Kabupaten Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara.
c. Sampel/Responden Penelitian
Dalam penelitian ini sampel/subjek yang diteliti dipandang
sebagai responden yang manpu memberikan informasi mengenai
permasalahan yang hendak diteliti. Untuk menentukan sampel dalam
penelitian ini digunakan tehnik non-probability, yaitu melalui tehnik
purposive sampling atau judgemental sampling yaitu pengambilan
sampel berdasarkan penilaian peneliti mengenai siapa-siapa saja yang
pantas (memenuhi persyaratan) untuk dijadikan sampel.133 Menurut
Sugiyono, sampling purposive adalah tehnik penentuan sampel dengan
pertimbangan tertentu. Selanjutnya Margono dalam artikel yang sama
menyatakan pemilihan sekelompok subyek dalam purposive sampling
didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dipandang menpunyai sangkut
paut yang erat dengan ciri-ciri populasi yang sudah diketahui
133 http://tatangmanguny.wordpress.com/2009/06/30/sampel-sampling, di akses, tanggal 10
Nopember 2011, Jam 10.00 WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
sebelumnya. Dengan kata lain unit sampel yang dihubungi disesuaikan
dengan kriteria-kriteria tertentu berdasarkan tujuan penelitian.134
Dalam penelitian ini peneliti akan mengambil sampel terhadap orang
yang dianggap memiliki informasi yang cukup diperlukan guna
pencapaian tujuan penelitian.
Dalam memilih sampel atau responden penelitian, peneliti
menentukan kriteria/persyratan sampel adalah mereka yang
memahami dan atau melaksanakan proses penegakan hukum yakni
unsur aparat penegak hukum, pengelola Taman Nasional Wakatobi dan
beberapa perwakilan masyarakat yang terkena dampak atas penerapan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya dalam pengelolaan Taman
Nasional Wakatobi. Dalam penelitian ini, sampel/responden yang
diambil menurut penulis dapat menjadi narasumber yaitu sebagai
berikut :
1. Wahyu Rudianto (Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi);
2. Pitra Andreas Ratulangi (Kapolres Wakatobi)
3. Abdul Halim Amran (Hakim di Pengadilan Negeri Bau-Bau)
4. Muhammad Said ( Kejaksaan Negeri Wakatobi)
5. Rubiani, (Kejaksaan Negeri Wakatobi)
6. Ahali (Kasat Reskrim Polres Wakatobi)
7. La Ode Ahyar T. Mufti (Ka. SPTN Wil. I Balai TN.
Wakatobi/PPNS)
8. La Ode Made (Penyidik Polres Wakatobi)
9. Yahya Sonda.S. (Penyidik Polres Wakatobi)
10. Ismono Dg. Halim (PPNS Balai TN. Wakatobi)
11. Syaharuddin (Polhut SPTN I, Balai TN. Wakatobi)
12. Aah Hidayatullah ( Polhut SPTN III, Balai TN Wakatobi)
134 http://file.upi.edu/Direktori/Dual-Modes/Penelitian- Pendidikan/BBM_6.pdf, di akses
tanggal 10 Nopember 2011, Jam 11.00 WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
13. Muhammad Naswir
14. Sadar (Sekretaris Kerukunan Keluarga Bajo, Sulawesi Tenggara/
Tokoh Masyarakat Bajo)
15. Musliadi ( Unsur Nelayan Bajo)
16. Antoni (Tokoh Masyarakat Kaledupa)
17. Abdul Zainal (Mantan Pengurus Kelompok Pencinta Alam
Kolokolopua)
d. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini Jenis dan sumber data diperoleh melalui :
1. Data Primer
Data yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan wawancara
tidak langsung (kuesioner) dengan responden/narasumber yaitu
sampel/responden yang dipandang dapat memberikan informasi
yang cukup mengenai permasalahan yang hendak diteliti
berdasarkan pertimbangan/kriteria peneliti sendiri sebagaimana
tersebut diatas.
2. Data Sekunder
Data sekunder mencakup :
1) Bahan Hukum Primer, yaitu yang berupa peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain :
a) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
c) Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya ALama Hayati dan Ekosistemnya
d) Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan Jo
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41 tahun 199 tentang Kehutanan menjadi Undang-
Undang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
e) Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia
f) Peraturan Pemerintah No.45 tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan, dan
g) Peraturan lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan
undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari
kalangan hukum, bahan-bahan kepustakaan, dokumen, journal,
makalah, artikel, surat kabar dan hasil penelitian yang relevan.
3) Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau informasi maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum
tertier dalam penelitian ini adalah ensklopedia/Kamus Hukum,
Kamus Bahasa Indonesia, Majalah dan surat kabar dan web
site/internet.
e. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan tehnik pengumpulan
data sebagai berikut :
1. Wawancara
Pengumpulan data dengan wawancara dilakukan dengan 2 (dua)
cara yaitu :
a) Wawancara langsung yaitu dengan menggunakan tehnik
wawancara mendalam (indepth interviewing) dengan sampel
yang telah disebutkan diatas. Wawancara merupakan cara yang
digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna
mencapai tujuan penelitian. Artinya pengumpulan data dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
menanyakan secara langsung/tahap tatap muka dengan para
sampel/responden untuk mendapatkan keterangan atau
informasi mengenai suatu masalah, yang dilakukan dengan
sistematis berdasarkan pedoman yang disusun sesuai dengan
tujuan penelitian dan sifatnya tidak terbatas. Wawancara
dilaksanakan untuk memperoleh informasi atau keterangan-
keterangan yang jelas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
permasalahan faktor-faktor yang menpengaruhi kelemahan
pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemmnya dan
upaya non penal yang telah dilakukan dalam rangka
penanggulangan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya di Taman Nasional
Wakatobi.
Dalam penelitian ini, wawancara mendalam dilakukan
terhadap para sampel/responden yang dianggap dapat menjadi
narasumber yaitu sebagai berikut :
1. Wahyu Rudianto (Kepala Balai Taman Nasional
Wakatobi);
2. Pitra Andreas Ratulangi (Kapolres Wakatobi)
3. Abdul Halim Amran (Hakim di Pengadilan Negeri Bau-
Bau)
4. Muhammad Said ( Kejaksaan Negeri Wakatobi)
5. Rubiani, (Kejaksaan Negeri Wakatobi)
6. Ahali (Kasat Reskrim Polres Wakatobi)
7. La Ode Ahyar T. Mufti (Ka. SPTN Wil. I Balai TN.
Wakatobi/PPNS)
8. La Ode Made (Penyidik Polres Wakatobi)
9. Yahya Sonda.S. (Penyidik Polres Wakatobi)
10. Sadar (Sekretaris Kerukunan Keluarga Bajo Sulawesi
Tenggara/Tokoh Masyarakat Bajo)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
11. Musliadi (Unsur Nelayan Bajo)
12. Antoni (Tokoh Masyarakat Kaledupa)
13. Abdul Zainal (mantan pengurus Kelompok Pencinta Alam
Kolokolopua)
b) Wawancara tidak langsung, yaitu dengan kuisioner yang bebas
dan terbatas hanya kepada PPNS dan Polhut yang secara rutin
melakukan tugas pengamanan kawasan Taman Nasional
Wakatobi, yakni :
1. Ismono Dg. Halim (PPNS Balai TN. Wakatobi)
2. Syaharuddin (Polhut SPTN I, Balai TN. Wakatobi)
3. Muhammad Naswir
4. Aah Hidayatullah ( Polhut SPTN III, Balai TN Wakatobi)
c) Studi Pustaka
Tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan mempelajari
data-data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan,
dokumen-dokumen atau arsip, buku-buku, data dari internet,
artikel laporan-laporan yang berhubungan dengan masalah yang
penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya dalam pengelolaan kawasan
Taman Nasional
f. Tehnik Analisa Data
Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metode
ilmiah karena dengan analisis data tersebut dapat diberi arti dan
makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Tehnik
analisisnya adalah studi kasus tunggal, artinya meneliti satu daerah
saja yang merupakan unit pengamatan, dalam model analisis ini ada
tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan dan verifikasinya.
Menurut Lexy J. Moloeng, analisis data adalah proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan data.135
Tehnik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
tehnik analisis model interaktif, Menurut HB. Soetopo tehnik analisis
kualitatif dengan metode interaktif terdiri dari tiga komponen yaitu
:136
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses penyelesaian, pemfokusan,
penyederhanaan, dan abstraksi data yang diperoleh dari data yang
kasar yang dimuat dicatatan tertulis.
Menurut Miles dan Huberman, reduksi data merupakan
proses pemilihan, pemfokusan, penyederhanaan, abstraksi, dan
transformasi terhadap data kasar yang diperoleh dari catatan
lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis data yang
bertujuan untuk menanjamkan, mengelompokkan, memfokuskan,
pembuangan yang tidak perlu dan mengorganisasikan data untuk
memperoleh kesimpulan final.137
2. Penyajian Data
Penyajian data berupa rangkaian informasi yang tersusun
dalam kesatuan bentuk narasi yang memungkinkan untuk dapat
ditarik suatu kesimpulan dari penelitian yang dilakukan. Selain
dalam bentuk narasi kalimat, sajian data dapat pula ditampilkan
dengan berbagai jenis matriks, gambar/skema, jaringan kerja
kaitan kegiatan dan juga tabel, sebagai pendukung narasi.
135 Lexy J.Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001,
hlm. 103 136 H.B. Soetopo, Metodologi Penelitian Kualitatif, UNS Press, Surakarta, 2006, hlm. 120 137 http://repository.upi.edu/operator/upload/d_pkn_0809534_chapter3.pdf, di akses tanggal
11 Nopember 2011, Jam 11.30 WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
3. Penarikan Simpulan dan Verifikasi
Penarikan kesimpulan adalah suatu kegiatan, yang dilakukan
oleh peneliti yang perlu untuk di verifikasi, berupa suatu
pengulangan dari tahap pengumpulan data yang terdahulu dan
dilakukan secara lebih teliti setelah data tersaji. Penarikan
kesimpulan dan verifikasi merupakan tahap akhir dari suatu
penelitian yang dilakukan dengan didasarkan pada semua hal yang
ada dalam reduksi maupun penyajian data.
Tehnik analisis kualitatif interaksi dapat digambarkan dalam
bentuk rangkaian yang utuh antara ketiga komponen diatas
(reduksi data, penyajian data serta penarikan kesimpulan dan
verifikasinya) sebagai berikut :
Proses Analisis Data Interaktif (Interactive Model of Analysis)
Gambar 3 : Skema Analisis data Interaktif
Keterangan :
Reduksi dan sajian data diisusun pada waktu penulis sudah
mendapatkan data-data dari wawancara terhadap responden
Pengumpulan Data
Reduksi Data Sajian Data
Penarikan simpulan/Verifikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan
penegakan hukum dalam penanggulangan tindak pidana di bidang
konservasi di Taman Nasional Wakatobi dan upaya non penal yang
seharunya dilakukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana
di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnnya di Taman Nasional Wakatobi.
Dalam mereduksi data, penulis menyisihkan data-data yang
tidak diperlukan dan mengambil data yang diperlukan. Untuk
penyajian data penulis membuat dalam bentuk narasi yang disusun
secara logis. Disamping itu guna mendukung penyajiannya
ditampilkan informasi dan data dengan berbagai jenis matriks,
gambar/skema, jaringan kerja kaitan kegiatan dan juga tabel,
sebagai pendukung narasi.
Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, penulis mulai
melakukan penarikan kesimpulan yang didasarkan pada semua data
yang terdapat dalam reduksi data dan sajian data. Dan apabila
terdapat kekurangan data atau kesimpangsiuran peneliti dapat
melakukan wawancara ulang. Metode analisis ini disebut dengan
model analisis interaktif (interactive model of analysis).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
BAB 1V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Taman Nasional Wakatobi
a. Sejarah Taman Nasional Wakatobi Taman Nasional Wakatobi (TNW) merupakan Kawasan
Pelestarian Alam (KPA) di Indonesia, dengan karaterisktik kawasan
Sekitar 97 % Perairan (Laut) dan ± 3 % daratan, ditunjuk
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 393/Kpts-
VI/1996 dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 7651/Kpts-II/2002.
Taman Nasional Wakatobi sebelum ditunjuk dan ditetapkan
sebagai Taman Nasional mengalami tahapan yang panjang mulai
tahun 1987 sampai dengan tahun 2002 melalui tahapan sebagai
berikut:
1. Survey Penilaian Potensi Sumberdaya Alam Laut Wakatobi tahun 1987 (Surat Dirjen PHPA Tanggal 9 tahun 1987);
2. Usul Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kep. Tukang Besi/Wakatobi (Surat Ka. Sub BKSDA Sultra No. 34/IV/6/SBKSDA-4/91 tanggal 6 April 1991);
3. Permohonan Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kep. Tukang Besi/ Wakatobi (Surat Kakanwil Dephutbun Prop. Sultra No.533/270/Kwl-PHPA/91 tanggal 29 Mei 1991):
4. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Sekwilda Tk. II Buton No. 523.3/1255 tanggal 3 Juni 1991);
5. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Sekwilda Tk. I Sultra No. 566/3240 tanggal 4 Juni 1991);
6. Usul Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Dirjen PHPA No. 1340/DJ-VI/PA-4/1991 tanggal 31 Juli 1991);
7. Rekomendasi Usulan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Dirjen PHPA No. 2387/DJ-VI/PA-4/1991 tanggal 28 Agustus 1991);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
8. Rekomendasi Usulan Kawasan Konservasi Laut di Pulau Moromaho Dsk. Kab. Dati II Buton Prop. Sultra (Surat Dirjen PHPA No. 3801/DJ-VI/PA-4/1992 tanggal 12 Nopember 1992);
9. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Sulawesi Tenggara (Surat Ka. Sub BKSDA Sultra No. 602/V/7/SBKSDA-4/93 tanggal 17 Juli 1993);
10. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Bupati KDH Tk.II Buton No. 522.51/3226 tanggal 3 Nopember 1993);
11. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kep. Tukang Besi/Wakatobi (Surat Ka. Kanwil Dephutbun Prop. Sultra No. 106/6168/Kwl-PHPA/93 tanggal 19 Nopember 1993);
12. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kep. Tukang Besi/Wakatobi (Radiogram Pembantu Gub. Wil. Kepulauan Prop. Sultra No. 522.51/201 tanggal 25 Nopember 1993);
13. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut Sulawesi Tenggara (Surat Kadis Perikanan Dati I Sultra No. 523/3220/1993 tanggal 13 Nopember 1993);
14. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Kadis Perikanan Dati I Sultra No. 523.2/85/1994 tanggal 11 Januari 1994);
15. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Gubernur KDH Tk. I Sultra No. 522.51/2548 tanggal 7 Maret 1994);
16. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Menhut RI No. 976/Menhut-VI/94 tanggal 2 Juli 1994);
17. Penunjukan Kawasan Perairan Kep. Wakatobi di Kab. Dati II Buton, Prop. Sultra seluas ± 306.690 (Tiga ratus enam ribu enam ratus sembilan puluh) Hektar sebagai Taman Wisata Alam Laut (SK. Menhut RI No. 462/KPTS-II/1995 tanggal 4 September 1995);
18. Penunjukan Kepulauan Wakatobi dan perairan sekitarnya seluas 1.390.000 Ha sebagai Taman Nasional (SK. Menhut RI No. 393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996);
19. Organisasi dan Tata Kerja Balai dan Unit Taman Nasional (SK. Menhut RI No. 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997);
20. Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional (SK. Menhut RI No. 6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002);
21. Penetapan Kepulauan Wakatobi dan perairan sekitarnya seluas 1.390.000 Ha sebagai Taman Nasional. (SK. Menhut RI No. 7651/Kpts-II/2002 tanggal 19 Agustus 2002);
22. Penegasan Menhut bahwa letak dan luas TNW tidak berubah, pulau-pulau yang telah berpenduduk dijadikan zona penyangga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
(Surat Menhut No. 723/Menhut-II/2005) tanggal 13 Nopember 2006);
23. Organisasi dan Tata Kerja UPT Taman Nasional (Permenhut No.P.03/Menhut-II/2007)
24. SK Dirjen PHKA Nomor :SK.149/IV-KK/2007 tentang Zonasi Taman Nasional Wakatobi Tanggal 23 Juli 2007138
b. Luas dan Kedudukan
Kepulauan Wakatobi sejak tahun 2003 telah menjadi Kabupaten
sebagai pemekaran dari Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi
Tenggara dengan batas-batas yang mengacu pada koordinat
geografis Titik Referensi sebagai berikut:
1) TN-3201 yang terletak di P. Wangi-Wangi (05021’28’’ LS;
123033’24’’ BT)
2) TN-3202 yang terletak di Selatan P. Kaledupa (05034;12’’ LS;
12304618’’ BT)
3) TN-3203 yang terletak di ujung Selatan P. Binongko (06000’42
LS; 124002’31’’ BT)
4) TN-3204 yang terletak di P. Moromaho (06007’54” LS;
124035’59” BT)
5) TN-3205 yang terletak di P. Runduma (05019’27” LS;
124019’21” BT)
Taman Nasional Wakatobi adalah kawasan konservasi perairan
laut yang dibatasi atau memiliki batas-batas luar yang berupa garis-
garis yang menghubungkan titik-titik dengan koordinat sebagai
berikut (Peta terlampir):
1) Titik 1 dengan koordinat geografis 05011’57” LS dan
123020’00” BT;
2) Titik 2 dengan koordinat geografis 05012’04” LS dan
123038’56” BT;
138 Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi 1998-2023 (Revisi 2008), hlm.7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
3) Titik 3 dengan koordinat geografis 05012’04” LS dan
123039’01” BT;
4) Titik 4 dengan koordinat geografis 05012’04” LS dan
123050’00” BT;
5) Titik 5 dengan koordinat geografis 06036’04” LS dan
123020’00” BT.139
Berdasarkan administratif pemerintahan wilayah Kepulauan
Wakatobi yang terbagi ke dalam 100 desa/kelurahan dan 8 (delapan)
kecamatan meliputi Kecamatan Wangi-Wangi, Wangi-Wangi
Selatan, Kaledupa, Kaledupa Selatan, Tomia, Tomia Timur,
Binongko dan Kecamatan Togo Binongko yang termasuk ke dalam
wilayah Kabupaten Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara,
Penduduknya pada tahun 2007 tercatat 99.492 jiwa terdiri atas laki-
laki 48.199 jiwa dan perempuan 51.293 jiwa, dengan
pertumbuhannya rata-rata mencapai 1,73% per tahun dan kepadatan
rata-rata 119 jiwa/km2.140 .
Luas kawasan TNW adalah 1.390.000 Ha sama persis atau
overlap dengan luas wilayah Kabupaten Wakatobi. Dari luasan
tersebut sebanyak 97% merupakan wilayah perairan/laut dan sisanya
sebanyak 3% merupakan wilayah daratan berupa pulau-pulau.141
Kawasan TN Wakatobi terbagi menjadi 6 zona berdasarkan
Keputusan Dirjen PHKA Nomor : SK.149/IV-KK/2007 tentang
Zonasi TN Wakatobi, yang meliputi :
139 Ibid, hlm. 8 140 Loc.Cit 141 Loc.Cit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
Tabel 3. Zonasi TN Wakatobi serta Luasannya masing-masing142
Berdasarkan SK Dirjen PHKA Nomor SK. 149/IV-KK/2007
sebaran zonasi TN adalah sebagai tercantum pada tabel 5 berikut ini.
Tabel 4. Sebaran zonasi TN Wakatobi143
No. Zonasi Penyebaran
1. Zona Inti Wilayah perairan dan mangrove serta sebagian daratan Pulau Moromaho
2. Zona Perlindungan Bahari
Sebagian wilayah perairan bagian utara Pulau Wangi-Wangi, bagian utara dan timur Pulau Hoga, sebagian perairan sekitar Pulau Lentea dan P. Derawa, perairan P. Anano, perairan sekitar P. Lintea Selatan,
3. Zona Pariwisata/ Pemanfaatan
Wilayah perairan bagian timur P. Wangi-Wangi (Matahora), perairan dan pantai bagian barat P. Hoga, perairan tanjung Sombano, mangrove di pesisir Derawa, perairan bagian barat Waha P. Tomia, perairan sekitar Pulau Tolandono Tomia (Onemobaa), dan sebagian wilayah karang Koromaha
4. Zona Pemanfaatan Lokal/ Tradisional
Sebagian besar wilayah perairan pesisir pulau-pulau di Kep. Wakatobi selain peruntukan zona lainnya dalam radius ± 4 mil dari Pulau Wangi-Wangi, P. Kaledupa, P. Tomia, P. Binongko, P. Runduma, P. Kapota, P. Komponaone, P. Nuabalaa, P. Nuaponda, P. Matahora, P. Sumanga, P.. Oroho, P. Ndaa dan serta sebagian
142 Statistik Taman Nasional Wakatobi Tahun 2010, hlm. 2 143 Ibid, hlm.4
Nomor
Zonasi
Luas
1. Zona Inti 1.300 Ha
2. Zona Perlindungan Bahari 36.450 Ha
3. Zona Pariwisata/Pemanfaatan 6.180 Ha
4. Zona Pemanfaatan Lokal/Tradisional 804.000 Ha
5. Zona Pemanfaatan Umum 495.700 Ha
6. Zona Khusus/Daratan 46.370 Ha
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
besar wilayah karang Kapota, K. Kaledupa/Tomia, dan bagian utara K. Koromaha.
5. Zona Pemanfaatan Umum
Sebagian besar wilayah perairan diluar radius ± 4 mil dari pulau-pulau dan gugusan terumbu karang di Wakatobi.
6. Zona Khusus/ Daratan
Pulau Wangi-Wangi, P. Kaledupa, P. Tomia, P. Binongko, P. Runduma, P. Kapota, P. Komponaone, P. Sumanga, P. Hoga, P. Lentea, P. Derawa, P. Lentea Selatan, P. Sawa, P. Anano, P. Kentiole, P. Tuwu-Tuwu, dan sebagian P. Moromaho.
Gambar 4. Peta Zonasi Taman Nasional Wakatobi144
144 Buku Zonasi Wakatobi, 2010, Lampiran 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
c. Organisasi dan Tata Kerja
Balai Taman Nasional Wakatobi merupakan Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan adalah organisasi
pelaksana teknis pengelolaan taman nasional yang berada dibawah
dan bertanggung jawab secara langsung kepada Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Dalam melaksanakan tugas, Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Taman Nasional menyelenggarakan fungsi:
1. penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan
dan evaluasi pengelolaan kawasan taman nasional;
2. pengelolaan kawasan taman nasional;
3. penyidikan, perlindungan, dan pengamanan kawasan taman
nasional;
4. pengendalian kebakaran hutan;
5. promosi, informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya;
6. pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya;
7. kerja sama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan;
8. pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional;
9. pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan
pariwisata alam;
10. pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.145
Struktur Organisasi Balai Taman Nasional Wakatobi
merupakan Balai Taman Nasional Tipe A. Taman Nasional
Wakatobi dikepalai oleh seorang Kepala Balai (Eselon III) yang
145 Permenhut Nomor : P.03/Menhut-II/2007 Tanggal : 1 Februari 2007 tentang Organisasi
Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
membawahi Kepala Sub Bagian Tata Usaha, 3 Seksi Pengelolaan
Taman Nasional serta Kelompok Jabatan Fungsional. Bagan struktur
organisasi Balai TN Wakatobi dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Bagan Struktur Organisasi Balai Taman Nasional
Wakatobi146
Pembentukan Seksi Pengelolaan TN Wakatobi berdasarkan
surat Sekretaris Direktorat Jenderal PHKA No. S. 2252/IV-
Sek/HO.3/2006 tanggal 14 Desember 2006 tentang Penataan UPT
Ditjen PHKA dimana TN Wakatobi termasuk Kelas II Tipe A terdiri
dari 1. Subbagian Tata Usaha dan 3 SPTN . Berikut ini adalah
rincian lokasi Subbagian TU dan SPTN di TN Wakatobi.
146 Permenhut Nomor. P.03/Menhut-II/2007 Tanggal 1 Februari 2007
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
Tabel 5.
Lokasi Subbagian dan SPTN di TN Wakatobi147
No SBTU, SPTN Lokasi
1. Subbagian Tata Usaha Bau-Bau
2. SPTNW I Wanci
3. SPTNW II Kaledupa
4. SPTNW III Tomia
Jumlah pegawai TN Wakatobi sampai dengan Desember 2010
berjumlah 79 orang. Tabel berikut ini merupakan kondisi pegawai
TN Wakatobi berdasarkan beberapa keadaan.
Tabel 6.
Kondisi Pegawai Berdasarkan Status Kepegawaian148
No. Status Kepegawaian Jumlah (orang)
Keterangan
1 2 3 4
1. Pegawai Negeri Sipil
a. Struktural b. Non struktural c. Fungsional/Calon
5
17
45
Ka Balai, Kasubag TU, KSPTNW I, II& III
Fungsional umum )
Polhut, PEH, dan Penyuluh)*
2. Tenaga Upah/honorer 12
J u m l a h 79
Keterangan : )* 1 orang CPNS
147 Statistik Balai Taman Nasional Tahun 2010, hlm. 88 148 Ibid, hlm. 89
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
Dari 79 orang staf/pegawai Taman Nasional tersebut tersebar
di Kantor Balai di Baua-Bau dan di masing-masing Seksi
Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) sesuai dengan tupoksi masing-
masing. Dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 7. Kondisi Pegawai Berdasarkan Lokasi Penyebaran atau Wilayah Tugas149
No. Lokasi
Penyebaran
Jabatan (orang)
Jumlah Struktural Non. Str PEH Polhut Penyuluh Honorer
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Bau-Bau 2 12 4 1 - 4 23
2 Wangi-Wangi 1 1 1 9 1 1 14
3 Kaledupa 1 1 1 7 - - 10
4 Tomia 0 2 1 9 1 - 13
5 BKO di BB KSDA Sulsel
- - - 10 -
- 10
J u m l a h 4 16 7 36 2 5 70
Keterangan :
1 orang non struktural dan 1 orang PEH Tugas Belajar S2 10 orang polhut masuk dalam anggota SPORC dan di BKO-kan di Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan di Makassar.
d. Intensitas Tindak Pidana yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi
Dari data yang diperoleh di Kantor Balai Taman Nasional
Wakatobi (BTNW), intensitas tindak pidana yang terjadi di Taman
Nasional Wakatobi dari tahun ke tahun untuk beberapa jenis tindak
pidana cenderung menurun. Terutama kegiatan penangkapan ikan
149 Ibid, hlm. 90
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
dengan penggunaan bahan peledak dan racun (potassium cyanida).
Tindak pidana yang terjadi umumnya meliputi tindak pidana
kepemilikan/penangkapan satwa yang dilindungi, Kegiatan yang
dapat merubah fungsi kawasan zona inti Taman Nasional, kegiatan
yang tidak sesuai dengan fungsi zona Taman Nasional, penggunaan
bahan peledak dalam penangkapan ikan, penggunaan racun atau
potassium cyanida (potas) dalam penangkapan ikan, penambangan
pasir pantai , penambangan batu karang, penebangan hutan
bakau/mangrove dan kegiatan perikanan illegal (tanpa izin). Pelaku
tindak pidana biasanya dilakukan oleh masyarakat lokal maupun
masyarakat di luar Wakatobi. Dari matriks data penanganan kasus
perkara tindak pidana di Taman Nasional Wakatobi tahun 2000 s.d
2011, intensitas tindak pidana yang terjadi di Taman Nasional
Wakatobi dapat dilihat dalam tabel berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
Tabel 8.
Data Intensitas Tindak Pidana yang terjadi di Taman Nasional
Wakatobi periode tahun 2000 s.d 2011
No Tahun Jumlah Persentase
Perkara Pidana (%)
1 2000 1 2,94 2 2001 - 0 3 2002 - 0 4 2003 11 32,35 5 2004 6 17,64 6 2005 3 8,82 7 2006 3 8,82 8 2007 3 8,82 9 2008 1 2,94
10 2009 1 2,94 11 2010 3 8,82 12 2011 2 5,89
Jumlah 34 100 Sumber Data : Laporan Data Penanganan Kasus Tindak Pidana,
Balai Taman Nasional Wakatobi, Tahun 2011
Dari data tersebut diatas menunjukkan bahwa jumlah perkara
tindak pidana yang terjadi di TNW paling banyak terjadi pada tahun
2003 yaitu 11 kasus atau sekitar 32 % dari total kasus yang terjadi
sepanjang tahun 2000 s.d 2011 dan terjadi penurunan intensitas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
Kasus pelanggaran yang terjadi paling menonjol adalah
kasus penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan sepanjang
kurung waktu tahun 2000 s.d 2011 telah terjadi 18 (delapan belas)
kasus pelanggaran pidana, menyusul kasus
kepemilikan/penangkapan satwa yang di lindungi (penyu) sebanyak
10 (sepuluh) kasus. Selengkapnya disajikan pada tabel berikut :
0
20
40
60
80
100
120
Grafik Kejadian Tindak Pidana di TN. Wakatobi Tahun 2000 s.d 2011
Jumlah Perkara Pidana Persentase (%)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
Tabel 9
Data Intensitas Kejadian Perkara Tindak Pidana di Taman Nasional Wakatobi sejak Tahun 2000 s.d 2011
No Tindak Pidana
Tahun Jumlah
Presentase
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
1. Penggunaan Bahan Peledak 1 8 2 1 2 3 1 18 52,94
dalam Penangkapan Ikan
2. Penggunaan Racun (Potas)
dalam Penangkapan Ikan 2 1 1 4 11,778
3. Pelanggaran Zona Inti
Taman Nasional 1 1 2,94
4. Pelanggaran Fungsi Zona
Lain Taman Nasional
5. Kepemilikan/penangkapan
Satwa Yang di Lindungi 2 4 1 1 2 10 29,41
6. Penebangan/Perambahan
Hutan Mangrove/Bakau 1 1 2,94
7. Penambangan Pasir Pantai
8. Penambangan Batu Karang
9. Kegiatan Perikanan Ilegal
Jumlah 1 11 6 3 3 3 1 1 3 2 34 100
Sumber Data : Laporan Data Penanganan Kasus Tindak Pidana, Balai Taman Nasional Wakatobi, Tahun 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelemahan Penegakan Hukum Tindak Pidana di bidang KSDA & E di Taman Nasional Wakatobi.
Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan
penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi, peneliti akan
merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto seperti
yang telah diuraikan pada kajian teori diatas.
1) Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang)
Dasar hukum pengelolaan kawasan pelestraian alam atau
taman nasional di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnnya termasuk pengelolaan Taman Nasional Wakatobi
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya
dinyatakan kaedah atau ketentuan bahwa taman nasional dikelola
dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan
dan zona lain sesuai dengan keperluan. Ketentuan norma/ larangan
atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan di dalam kawasan
taman nasional dalam Pasal 21 dan Pasal 33 sebagai berikut :
Pasal 21 :
(1) Setiap orang dilarang untuk : a.Mengambil, menebang, memiliki, merusak,
memusnakan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b. Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia
(2) Setiap orang dilarang untuk : a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan,
memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau diluar Indonesia;
d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat laian di dalam atau di luar Indonesia;
e. Mengambil, merusak, memusnakan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi.
Pasal 33 : (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional;
(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli;
(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya ini termuat dalam Pasal 40 ayat (1) s.d ayat (4)
sebagai berikut :
Pasal 40 :
(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Barang siapa karena kelalaianya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) adalah pelanggaran
Dari hasil studi pustaka di Kantor Balai Taman Nasional
Wakatobi diperoleh data penanganan perkara pidana yang terjadi di
kawasan Taman Nasional Wakatobi (TNW) kurun waktu tahun
2000 s.d 2011 sebanyak 34 (tiga puluh empat) kasus pelanggaran
pidana. Dari jumlah tersebut hanya 21 (dua puluh satu) kasus yang
vonis di pengadilan dengan sanksi hukuman yang rata-rata ringan,
antara 4 (empat) bulan penjara s.d dengan 1(satu) tahun 8 (delapan)
bulan penjara paling tinggi. Selengkapnya disajikan pada tabel
berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
Tabel 10
Data Rekapitulasi Vonis Hukuman yang di jatuhkan
oleh Hakim di Pengadilan Negeri Bau-Bau
atas pelaku Tindak Pidana yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi
periode Tahun 2000 s.d 2011
No Tindak Pidana Jumlah Vonis Hukuman
yang Terjadi kasus yang di Proses Paling Rendah Paling Tinggi
1 2 3 4 5
1. Penangkapan ikan dengan 16 kasus 4 bulan 1 tahun 8 bulan
bahan peledak
2. Penangkapan ikan dengan
bahan kimia
(Potasium cyanida( 2 kasus 4 bulan Pidana Penjara 7 (tujuh)
bulan dan denda
Rp. 200.000,-
subs 1 (satu) bulan
Kurungan
3. Pelanggaran zona inti 1 kasus Pidana Penjara 5 (lima)
bulan
4. Penangkapan dan peredaran Extract Vonis No.
satwa yang dilindungi (penyu) 1 kasus 225/Ket.Pid.B/
2006/PN.BB. tanggal 8
Januari 2007 Vonis
penjara selama 10
(sepuluh) bulan dan denda
sebanyak Rp.500.000,-
(Lima ratus ribu rupiah).
5. Penebangan Hutan Mangrove 1 kasus Pidana Penjara 4 (empat)
bulan
15 (lima belas) hari
Sumber : Data olahan matriks penanganan kasus perkara pidana di bidang KSDA & E , Balai Taman Nasional Wakatobi, Tahun 2011
Dari data di atas menunjukkan bahwa vonis hukum yang
dijatuhkan atas pelaku tindak pidana yang terjadi di kawasan
Taman Nasional Wakatobi paling berat 1 (satu) tahun 8 (delapan)
bulan untuk pelaku kepemilikan tanpa hak bahan peledak
(penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan), jika dilihat
dengan besarnya kerusakan sumber daya alam yang ditimbulkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
akibat perbuatan pelaku tidak sebanding. Dari segi ancaman
hukuman di Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata
Api dinyatakan bahwa pelaku kepemilikan tanpa hak bahan
peledak dapat diancam dengan hukuman mati atau hukuman
penjara seumur hidup atau Hukuman penjara maksimum. 20
(dua puluh) tahun.150
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
ketentuan sanksi pidana dirumuskan dalam Pasal 40 yaitu terhadap
pelanggaran adanya kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan
keutuhan zona inti taman nasional diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juga rupiah). Di ayat (2) juga
diyatakan bahwa perbuatan atau kegiatan yang tidak sesuai dengan
fungsi zona pemanfaatan dan zona lainnya dari taman nasional
diancam dengan sanksi hukuman penjara 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Kasus-kasus penggunaan bahan peledak dan potassium
cyanida dalam penangkapan ikan termasuk dikawasan Taman
Nasional Wakatobi (TNW) merupakan kegiatan atau perbuatan
yang dapat merubah keutuhan zona inti taman nasional dan tidak
sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain di taman
nasional, namun dalam implementasi penegakan hukum ketentuan
ini masih sulit diterapkan.
Hasil wawancara dengan Yahya Sonda,S menyatakan:
“Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih sulit kami terapkan di Wakatobi karena penyidik merasa kesulitan dalam pembuktian unsur-unsur pidana yang dilanggar. Ketika menerapkan pasal ini penyidik harus membutuhkan keterangan ahli dibidang konservasi kelautan dan di Wakatobi
150 Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api, pasal 1 ayat (1)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
tidak ada yang menpunyai kualifikasi seperti itu dan penyidik akhirnya mencari undang-undang lain seperti Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 tentang Kepemilikan Senjata Api, dimana unsur pembuktian pidana dalam undang-undang ini tidak sulit untuk menjerat pelaku pembom ikan, prinsipnya kami mencari undang-undang yang mudah pembuktiannya.”151
Seperti juga dikatakan oleh Rubiani, :
“Penerapan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya di Kabupaten Wakatobi masih sulit diterapkan karena akan berbenturan dengan kepentingan Pemerintah Daerah Wakatobi dalam hal kepentingan pembangunan daerah dan pemenuhan kebutuhan masyarakat, disisi yang lain pembuktian dalam undang-undang ini membutuhkan ahli dimana di Wakatobi sendiri sulit di dapatkan. Hal lainnya adalah terkait dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat khususnya nelayan. Sejak dahulu kala nelayan Wakatobi sudah terbiasa melakukan penangkapan ikan diseluruh wilayah perairan laut Wakatobi yang sekarang ini telah ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional, menurut saya hukum atau aturan dibuat dalam rangka terciptanya ketertiban dan pencapaian kesejahteraan serta terciptanya rasa keadilan bagi masyarakat. Penetapan luasan kawasan Taman Nasional Wakatobi harus di tinjau ulang disesuaikan dengan ruang kebutuhan nelayan dan Pemerintah Daerah Wakatobi serta pembangunan konservasi sendiri sehingga ada keseimbangan antara pembangunan konservasi dan pembangunan daerah serta pencapaian kebutuhan masyarakat, kami sebagai penegak hukum tidak bisa menerapkan undang-undang begitu saja tanpa melihat apakah undang-undang itu tidak berbenturan dengan kepentingan masyarakat banyak jangan sampai penerapan suatu undang-undang justru akan menimbulkan dampak sosial lainnya. Saat ini wilayah kepulauan Wakatobi telah berubah sebagai sebuah daerah otonom kabupaten dan memiliki jumlah masyarakat kurang lebih 100.000 (seratus ribu) jiwa yang juga sebagai kawasan Taman Nasional, sudah tentu ketika penegakan hukum di bidang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya diterapkan maka akan terjadi benturan atau pertentangan dengan undang-undang lainya seperti Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang belum mengatur konsep zonasi dalam pemanfaatan
151 Wawancara dengan Yahya Sonda,S, Penyidik Polres Wakatobi di Polres Wakatobi di
Wanci, tanggal 20 Oktober 2011, Jam 14.00 WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
sumber daya perikanan diperairan laut, hal menjadi dilema kami dilapangan ”. 152
Seperti juga dikatakan oleh Kepala Balai Taman Nasional
Wakatobi, Wahyu Rudianto sebagai berikut :
“Posisi kawasan Taman Nasional Wakatobi yang berhimpitan dengan wilayah Kabupaten Wakatobi menyebabkan tumpangtindihnya/benturan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam di Kepulaun Wakatobi. Banyak aturan pengelolaan taman nasional yang justru bertentangan dengan kepentingan pemda Wakatobi.”153
Selanjutnya La Ode Made Mengatakan :
“Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya terhadap kasus-kasus pelaku tindak pidana di kawasan Taman Nasional Wakatobi sangat sulit untuk menjerat aktor/pelaku utama khusus pemberi modal, banyak dugaan sesuai hasil penyelidikan bahwa para pelaku bom ikan atau pembiusan ikan hidup/ikan karang dengan menggunakan racun cyianida, umumnya dimodali oleh perusahan –perusahan penampung atau pengusaha ikan hidup baik berasal dari Wakatobi maupun dari luar Kabupaten Wakatobi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya belum mengatur pertanggungjawaban korporasi atau badan hukum sehingga selama ini penegakan hukum terhadap tindak pidana bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya hanya menjerat nelayan-nelayan kecil yang sebenarnya mereka hanya korban bujukan dari para pengusaha tersebut.”154
Hasil wawancara dengan La Ode Ahyar Thamrin Mufti,
Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Taman
Nasional Wakatobi, menyatakan :
“Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya, khususnya penerapan ketentuan pidananya terhadap pelaku tindak pidana yang terjadi di kawasan TNW masih sulit diterapkan oleh penyidik karena penyidik selalu kesulitan dalam hal membuktikan
152 Wawancara dengan Rubiani, Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Wakatobi di Kantor
Kejaksaan Negeri Wakatobi, di Numana, tanggal 16 Oktober 2011, Jam 10.00 WITA 153 Wawancara dengan Wahyu Rudianto, Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi di Kantor
Balai TNW di Baubau Tanggal 8 Nopember 2011, Jam 15.30. WITA 154 Wawancara dengan La Ode Made, Penyidk Polres Wakatobi di Mako Polres Wakatobi-
di Wanci, tanggal 24, Oktober, Jam 14.00 WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
unsur-unsur pidananya disamping itu juga karena pengetahuan para penegak hukum (penyidik, penuntut umum dan hakim) dalam hal konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya masih rendah. Untuk membuktikan unsur-unsur pidana yang termuat dalam undang-undang ini diperlukan keahlian khusus tentang konservasi perairan laut” karena itu penyidik lebih cenderung menggunakan undang-undang lain yang bisa menjerat pelaku”.155
Hasil wawancara dengan Ahali, menyatakan :
“ Salah satu kesulitan penyidik kami dalam melakukan tugas penyidikan tindak pidana baik di bidang konservasi maupun bidang perikanan adalah penerapan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya diperlukan pembuktian kerusakan secara fisik terhadap akibat atas perbuatan yang dilakukan di perairan. Karena itu keterangan ahli sangat dibutuhakn. Beberapa kasus tindak pidana yang terjadi di kawasan Taman Nasional Wakatobi tidak bisa dilanjutkan kasusnya karena kurang keterangan ahli yang mendukung pembuktian suatu tindak pidana. Rata-rata kasus tindak pidana di bidang konservasi dan perikanan membutuhkan keterangan ahli. Disamping itu untuk mendatangkan ahli dari luar penyidik tidak memiliki biaya untuk itu”.156
Dari keterangan – keterangan responden diatas diperoleh
bahwa faktor undang-undangnya sendiri dalam penegakan hukum
pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnnya merupakan salah satu kelemahan penegakan
hukum pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi adalah faktor
undang-undangnya sendiri yang meliputi : Rumusan unsur pidana
yang abstrak menyebabkan kesulitan dalam pembuktiannya,
kesulitan dalam mendapatkan keterangan ahli, tidak diaturnya
pertanggungjawaban korporasi atau badan hukum, dan posisi
Taman Nasional Wakatobi yang berhimpitan atau overlaping
dengan wilayah Kabupaten Wakatobi yang menimbulkan benturan
155Wawancara dengan La Ode Ahyar Thamrin Mufti, Kepala SPTN Wil.I di Numana-
Wangi-Wangi, tanggal 10 Oktober 2011, Jam 10.00 WITA 156 Wawancara dengan Ahali,. Kasat Reskrim Polres Wakatobi di Mako Polres Wakatobi- di
Wanci, tanggal 24, Oktober 2011, Jam 12.30 WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
kewenangan pengelolaan sumber daya alam dan undang-undang
yang terkait dengan otonomi daerah
2) Faktor aparat penegak hukum
Kawasan Taman Nasional Wakatobi memiliki luas 1.390.000,
(satu juta tiga ratus ribu ) ha. Saat ini jumlah personil atau aparat
yang melakukan tugas pengamanan dan perlindungan kawasan
terdiri dari 21 (dua puluh satu) personil Polisi kehutanan, 2 (dua)
orang berkualifikasi sebagai PPNS di tambah 3 (tiga) orang PPNS
Kehutanan dari non Polhut yakni Kepala Balai TNW, Kepala
SPTN Wil. I dan 1 (satu) orang staf Balai TNW. Personil Polisi
Kehutanan tersebar di 3 (tiga) wilayah SPTN, masing-masing
SPTN Wil I berjumlah 8 (delapan) orang, SPTN Wil. II berjumlah,
7 (tujuh) orang dan SPTN Wil.III berjumlah 6 (enam) orang.
Dilihat dari segi kuantitas atau jumlah aparat penegak hukum
di Balai Taman Nasional Wakatobi khususnya Polisi kehutanan
dan PPNS, data yang ada jumlah keduanya sangat minim dan
sangat tidak sesuai dengan luas kawasan Taman Nasional
Wakatobi seluas 1.390.000, ha yang harus di jaga. Sesuai dengan
data kebutuhan formasi pegawai di Balai Taman Nasional
Wakatobi Tahun 2011 untuk tenaga Polisi Kehutanan seharusnya
sejumlah 50 (lima puluh) orang untuk menjaga kawasan Taman
Nasional Wakatobi seluas 1.390.000,ha. Jumlah Polisi Kehutanan
Balai Taman Nasional untuk saat ini berjumlah 21 (dua puluh satu)
orang yang tersebar di 3 Seksi Wilayah Pengelolaan Taman
Nasional dan ditambah PPNS berjumlah 3 (tiga) orang157, Jika di
rata-ratakan dengan pelaksanan tugas pengawasan oleh seorang
petugas polhut maka setiap petugas harus menjaga luas kawasan
taman nasional sebesar ± 66.190,48 ha. Hal ini tentunya sangat
157 Data Kepegawaian Balai Taman Nasional Wakatobi Tahun 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
sulit dilaksanakan. Maka wajar apabila pelaksanaan pengawasan
dan pengamanan kawasan belum dapat maksimal dilaksanakan.
Hasil wawancara dengan salah satu personil Polhut SPTN Wil.
I, Syaharuddin mengatakan :
“Luas kawasan yang kami jaga sangat luas tidak sebanding dengan jumlah Polhut dilapangan. Pelaksanaan kegiatan patroli dilakukan secara acak, karena luasnya wilayah yang harus di awasi disamping itu medan atau kondisi perairan laut yang cukup berat karena harus melalui lautan besar sangat memerlukan dukungan sarana dan prasarana yang memadai.karena personil kami terbatas , kegiatan patroli keamanan di kawasan tidak bisa rutin setiap saat.”158
Selanjutnya Muhammad Naswir, juga anggota Polhut SPTN
Wil. I mengatakan :
“ Kendala polhut dilapangan disamping jumlah kami yang sangat terbatas, juga secara kewenangan Polhut tidak seperti Polri sebagai yang berfungsi sebagai penyelidik yang dapat melakukan tugas penangkapan atas perintah penyidik atau melakukan tindakan menurut hukum yang bertanggung jawab. Polisi Kehutanan hanya berfungsi menjalankan tugas secara preventif atau pencegahan tidak bisa melakukan penangkapan kecuali tertangkap tangan. Dalam hal menemukan perkara pidana di kawasan Polhut harus segera melaporkan kasus tersebut ke PPNS atau Penyidik Polri untuk tindakan hukum selanjutnya. Hal ini dilapangan menjadi kendala. Keterbatasan kewenangan ini justru membuat Polhut selalu ragu-ragu dalam mengambil tindakan hukum sehingga beberapa kasus pelanggaran pidana yang ditemukan akhirnya hanya dilakukan tindakan pembinaan ditempat dan pelaku dilepas.” 159
Dari sisi kualitas aparat penegak hukum di Balai Taman
Nasional Wakatobi khususnya Pejabat Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) Kehutanan, maka dapat dikatakan belum sesuai dengan
apa yang diharapkan, PPNS Balai Taman Nasional Wakatobi
berjumlah 5 (lima) orang, tetapi belum ada yang pernah melakukan
tugas penyidikan. ini dapat dilihat dari data penanganan kasus
158 Wawancara dengan Syaharuddin, Kepala Resort Polisi Kehutanan Resort Matahora SPTN
I BTNW, di Kantor SPTN Wilayah I di Numana, Tanggal 24 Oktober 2011, Jam 15.00 WITA 159 Wawancara dengan Muhammad Naswir, anggota Polhut SPTN I BTNW, di Kantor SPTN
Wilayah I di Numana , tanggal 23 Oktober 2011, Jam 10.00 WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
perkara pidana yang terjadi di kawasan Taman Nasional Wakatobi
kurun waktu tahun 2000 s.d 2011, dari 21 (dua puluh) kasus yang
diproses hukum dan vonis di pengadilan, proses penyidikannya
masih dilakukan oleh penyidik Polri.
Dari hasil wawancara dengan salah satu pejabat PPNS Balai
Taman Nasional Wakatobi, Ismono Dg. Halim menyatakan :
“Selama ini PPNS disini belum melakukan tugas penyidikan perkara tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang terjadi di kawasan TNW, karena disamping tingkat pengetahuan /kemanpuan PPNS yang masih kurang dalam hal penyidikan juga karena kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada PPNS masih sangat terbatas, seperti PPNS tidak memiliki kewenangan menangkap dan menahan pelaku seperti penyidik polri, ketika PPNS melakukan penangkapan (tertangkap tangan) maka segera harus melaporkan ke penyidik polri untuk diberikan surat penangkapan dan/atau penahanan. PPNS bekerja dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik polri dan hal ini menimbulkan ketidakmandirian dan ketergantungan PPNS terhadap penyidik polri serta memperpanjang birokrasi. PPNS akhirnya cenderung pasif untuk bekerja karena ketika mereka bekerja harus selalu lapor kepada polisi, disamping itu secara kelembagaan, jabatan PPNS Kehutanan merupakan tugas tambahan dan belum terorganisir dengan baik.”160
Hasil wawancara dengan Abdul Halim Amran menyatakan :
“ Selama ini salah satu kelemahan dalam upaya penegakan hukum tindak pidana khususnya tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah koordinasi yang kurang antara sesama aparat penegak hukum, selama ini masih terjadi perbedaan persepsi khusus dalam hal penerapan pasal-pasal sanksi pidana di dalam Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, oleh karena itu aparat penegak hukum khususnya PPNS maupun Penyidik Polri dan penuntut umum harus selalu berkoordinasi dengan instansi teknis dalam rangka membangun kesepahaman atau persepsi yang sama, masih adanya keraguan penyidik atau jaksa dalam menerapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya karena disebabkan kurangnya pemahaman mereka dalam memahami undang-undang tersebut.
160 Wawancara dengan Ismono Dg. Halim, Penyidik Balai Taman Nasional Wakatobi di
Kantor Balai Taman Nasional Wakatobi di Baubau, tanggal 7 Oktober 2011, Jam 11.00 WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
Ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut merupakan delik formil yang tidak perlu dibutuhkan pembuktian dampak/akibat atas perbuatan pelaku. Oleh karena itu penyamaan persepsi dan koordinasi antar penegak hukum sangat diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan penegakan hukum di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya”161
Selanjutnya menurut Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi,
Wahyu Rudianto mengatakan ,
“ Banyak faktor yang menyebabkan penegakan hukum di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya belum optimal antara lain : PPNS Balai Taman Nasional belum memiliki keberanian untuk melakukan penyidikan yang menjadi kewenangannya, adanya pemahaman yang berbeda antar penegak hukum terhadap tindak pidana konservasi.”162
Dari uraian-uraian penjelasan responden diatas menunjukkan
bahwa faktor aparat penegak hukum merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di
bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
di Taman Nasional Wakatobi, meliputi : jumlah/kuantitas penegak
hukum yang kurang, kewenangan yang terbatas yang dimiliki oleh
Polhut dan PPNS, perbedaan persepsi antar penegak hukum dalam
penerapan undang-undang, kurangnya koordinasi dan rendahnya
kualitas pemahaman aparat penegak hukum dalam penerapan
undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
3) Faktor sarana prasarana/fasilitas pendukung
Dari hasil penelitian menunjukkan sarana prasarana yang
digunakan selama ini dalam kegiatan penegakan hukum tindak
pidana di bidang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya
di Taman Nasional Wakatobi disajikan dalam tabel berikut :
161 Wawancara dengan Abdul Halim Amran, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Baubau di
Kantor Pengadilan Negeri Baubau di Baubau, Tgl 23 Nopember 2011, Jam.10.00 WITA 162 Wawancara dengan Wahyu Rudianto, Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi di Kantor
Balai TNW di Baubau Tanggal 8 Nopember 2011, Jam 15.30. WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
Tabel 11
Sarana Prasarana Pelindungan Hutan Balai Taman Nasional Wakatobi
No Jenis Sarana Prasarana Satuan Jumlah Keterangan
1 2 3 4 5
1. Mobil Patroli unit 3
2. Kapal Patroli unit 4 1 unit milik Joint
Program TNC - WWF
3. Handy Talk (HT) buah 20
4. Radio SSB unit 4
5. Radio RIG unit 5
6. Radio Motorola unit 6
7. Speed Boat unit 6 2 unit rusak
8. Pesawat Ultra Ringan unit 1
9. Senjata Api pucuk 10 1 pucuk pistol
10. Sepeda Motor Patroli unit 13 1 unit rusak
11. Pos Jaga buah 2 1 buah rusak
12. Pondok Kerja buah 6 1 rusak berat
13. Kantor SPTN buah 3
14. Barak Polhut dan perlengkaannya unit 5
15. Komputer unit 5
16. Peralatan Selam Set 15 setiap SPTN 5 set
17. Pos Jaga terapung unit 1 rusak berat
18. Kamera unit 3 Masing-masing SPTN
19. GPS unit 3
20. Hanggar Pesawat unit 2
21. Kompresor selam unit 3
Jumlah 120
Sumber : Data Balai Taman Nasional Wakatobi, Tahun 2011 Jika dilihat dari fasilitas pendukung perlindungan Hutan dalam
rangka penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Balai Taman
Nasional Wakatobi sudah cukup memadai untuk mendukung
pelaksanaan tugas dilapangan, hanya saja kendala dilapangan
adalah ketersediaan bahan bakar kendaraan laut khususnya speed
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
boat cukup besar dan memerlukan biaya operasional yang sangat
mahal. Dalam sehari saja misalnya, untuk melakukan kegiatan
patroli pengamanan kawasan TNW dengan menggunakan speed
boat memerlukan bahan bakar ± 1.000 (seribu) liter bensin atau
sekitar 5 juta s.d 7 juta rupiah sementara di sisi yang lain dana yang
tersedia sangat terbatas. Hal ini menyebabkan frekuensi patroli
pengamanan kurang efektif. Disamping itu faktor lainnya adalah
biaya penanganan kasus perkara pidana yang terjadi di kawasan
perairan laut juga membutuhkan biaya yang mahal terutama dalam
hal pengamanan dan pengangkutan barang-bukti tindak pidana.
Sisi yang lain terlihat bahwa ketersediaan sarana prasarana juga
harus didukung dengan kemanpuan penguasaan teknologi
khususnya perbaikan dan pemeliharaan armada/kendaraan laut,
dibutuhkan personil yang harus memiliki kemanpuan teknis di
bidang perkapalan atau speed boat sehingga ketika terjadi
kerusakan dapat segera dilakukan perbaikan dan perawatan. Di
Balai Taman Nasional sendiri sampai saat ini belum ada mekanik
atau staf ynag memiliki kemanpuan teknis di bidang perkapalan
atau speed boat sehingga ketika terjadi kerusakan pada
armada/peralatan di laut, Balai Taman Nasional Wakatobi harus
mendatang tenaga ahli dari Jakarta atau perusahan dimana speed
boat atau kapal tersebut dibuat. Sehingga hal ini menyebakan
kegiatan pengamanan kawasan TNW juga tidak dapat berjalan
sesuai dengan apa yang diharapkan. Seperti yang di sampaikan
oleh La Ode Ahyar Thamrin Mufti :
“kendala kami dilapangan dalam hal sarana prasarana perlindungan hutan adalah masalah operasional dilapangan seperti ketersediaan bahan bakar minyak yang terbatas, disamping itu juga terkadang ketika speed boat patroli kami rusak, maka harus menunggu berbulan-bulan untuk dilakukan perbaikan karena mekanik harus kami panggil dari Jakarta atau dari Surabaya. Hal disebabkan karena motoris di Balai Taman Nasional wakatobi belum memiliki keahlian untuk melakukan perbaikan apabila speed boat rusak, dan dampaknya beberapa laporan kejadian tindak pidana di kawasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
TNW tidak dapat kami tindaklanjut karena armada kami mengalami kerusakan” 163
Hasil wawancara dengan Kepala Balai Taman Nasional
Wakatobi, Wahyu Rudianto mengatakan :
“ Perioritas kami dalam penanggulangan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kawasan Taman Nasional Wakatobi adalah dengan melakukan kegiatan pencegahan yaitu pelaksanaan secara intensif patroli rutin kawasan yang dilakukan di masing-masing SPTN (seksi pengelolaan Taman Nasional) , hanya memang ada kendala manajemen pengelolaan kegiatan patroli di lapangan yang kadang menjadi hambatan terutama masalah ketersediaan bahan bakar setiap saat, dari sisi pendanaan sudah cukup tersedia.”164
Kapolres Wakatobi, Pitra A. Ratulangi mengatakan:
“Proses penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi cukup baik hanya saja kendala dilapangan lebih pada sarana atau fasilitas pendukung seperti pembiayaan yang cukup tinggi, dan minimnya kendaraan operasional di laut. Saat ini untuk Polres Wakatobi belum memiliki speed boat yang memadai untuk melakukan tugas patroli di laut. Biasanya kami dapat dukungan dari meminjam dari pemerintah daerah atau Balai Taman Nasional Wakatobi itupun tidak bisa setiap saat.”165
Dari uraian penjelasan-penjelasan responden diatas
menunjukkan bahwa faktor sarana atau fasilitas pendukung
pelaksanaan tugas penegakan hukum dilapangan juga merupakan
mempengaruhi kelemahan pelaksanaan penegakan hukum tindak
pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi meliputi, Ketersediaan
operasional kendaraan patroli, pembiayaan yang tinggi, kurangnya
sumber daya manusia yang terampil dalam pemeliharaan dan
163 Wawancara dengan La Ode Ahyar Thamrin Mufti, Kepala Seksi Pengelolaan Taman
Nasional Wilayah I, di Kantor SPTN Wilayah I di Numana-Wangi-Wangi, tanggal 08 Oktober 2011, Jam 10.30 WITA
164 Wawancara dengan Wahyu Rudianto, Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi di Kantor Balai TNW di Baubau Tanggal 8 Nopember 2011, Jam 15.15. WITA
165 Wawancara dengan Pitra A. Ratulangi, Kapolres Wakatobi di Mako Polres Wakatobi, tanggal 10 Oktober 2011, Jam 11.00 WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
perbaikan kendraan operasional patroli dan manajemen
pengelolaan sarana prasarana yang kurang baik.
4) Faktor masyarakat
Kepulauan Wakatobi saat ini di huni oleh Penduduk pada
tahun 2007 tercatat 99.492 jiwa terdiri atas laki-laki 48.199 jiwa
dan perempuan 51.293 jiwa, yang tersebar di 100 desa/kelurahan
yang berasal dari beberapa etnis suku yaitu Buton/Wakatobi
sendiri, Cia-Cia, Muna, bugis, Jawa umumnya mendiami daratan
pulau-pulau dan satu etnis suku laut Bajau yang mendiami
sebagian kecil daerah pesisir pulau-pulau di Wangi—Wangi,
Kaledupa dan Pulau Tomia.166 Pada umumnya masyarakat di
Kepulauan Wakatobi tingkat kepatuhan masyarakat terhadap
hukum atau peraturan perundang-undangan sudah cukup baik,
hanya saja disadari memang masih ada sebagian kelompok oknum
masyarakat baik masyarakat lokal maupun luar wakatobi yang
masih melakukan tindak pidana khususnya di bidang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional
Wakatobi. Pada umumnya asal pelaku tindak pidana di Taman
Nasional Wakatobi khususnya masyarakat lokal Wakatobi berasal
masyarakat suku laut (Bajau) asal Mola di pulau Wangi-Wangi dan
Bajau Mantigola di pulau Kaledupa dan berasal dari masyarakat
nelayan luar Wakatobi. Dari data registrasi penanganan perkara
tindak pidana di Taman Nasional Wakatobi kurun waktu tahun
2000 s.d 2011 menunjukkan asal pelaku tindak pidana di sajikan
dalam tabel berikut :
166 Statistik Taman Nasional Wakatobi Tahun 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
Tabel 12
Data Asal Pelaku Tindak Pidana di Bidang KSDA & E
yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi periode Tahun 2000 s.d 2011
No Tindak Pidana Yang Terjadi
Asal pelaku Bajo Bajo Kaledupa Tomia Binongko Luar Jumlah Mola Mantigola Wakatobi Total
/ kasus / kasus / kasus / kasus / kasus / kasus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan 7 1 10 18
2. Penggunaan Potasium (Kcn) dalam penagkapan ikan 3 1 4
3. Penangkapan/peredaran satwa yang dilindungi (penyu) 8 1 1 10
4. Pelanggaran Zona Inti Penebangan/perambahan 1 1
5. Hutan Mangrove 1 1
Jumlah 15 4 1 1 1 12 34
Sumber Data : Data Olahan Matriks penanganan kasus tindak pidana yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi Tahun 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa asal pelaku tindak
pidana yang terjadi di kawasan Taman Nasional Wakatobi kurun
wakatu 2000 s.d 2011, dari 34 kasus yang terjadi, 15 kasus atau
44,11 persen berasal dari masyarakat/nelayan lokal wakatobi
khususnya masyarakat suku bajau Mola dan 12 kasus atau 35,30
persen berasal dari nelayan luar Wakatobi.
Dari hasil wawancara dengan salah satu nelayan Bajau Mola
Musliadi, di Desa Mola Selatan mengatakan :
“ masih adanya sebagian masyarakat bajau mola yang masih melakukan kegiatan atau penangkapan ikan di kawasan Taman Nasional Wakatobi dengan alat tangkap yang bertentangan dengan peraturan perundangan disebabkan alasan ekonomi, ada juga karena adanya keinginan untuk memperoleh hasil penangkapan lebih cepat, faktor keterbatasan fasilitas pendukung alat tangkap perikanan seperti kapal penangkap ikan yang tidak ada, peralatan yang kurang. Umumnya pelaku tindak pidana adalah nelayan kecil (nelayan tradisional) dengan sarana yang digunakan sampan atau perahu kantingting (5 PK). Disamping itu rendahnya pengetahuan yang dimiliki nelayan dalam berusaha juga menyebabkan mereka menghalalkan segala cara untuk memperoleh pendapatan untuk menghidupi keluarga juga menjadi faktor penyebabnya. Untuk itu seyogyanya pemerintah mencari solusi yang lebih arif dalam menindak pelaku tindak pidana di kawasan TNW apalagi mereka itu adalah nelayan kecil yang tidak mengerti dengan hukum, karena itu sosialisasi atau penyuluhan dan pembinaan oleh pemerintah sangat diperlukan dalam rangka peningkatan kesadaran hukum serta perlunya program pendampingan dan bimbingan peningkatan usaha ekonomi keluarga bagi nelayan kecil di Mola menjadi solusi yang perlu dipertimbangkan oleh pihak pengelola Balai Taman Nasional Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi.”167
Menurut Sadar,
“masih adanya sebagian masyarakat Bajo khususnya Bajo Mola kurang patuh dengan hukum atau peraturan karena rendahnya pemahaman mereka akan pentingnya pelestarian sumber daya alam dan pengaruh godaan dari para pengusaha/pengumpul ikan hidup yang datang dari luar Wakatobi.”168
167 Wawancara dengan Musliadi, Unsur Nelayan Bajau-Mola di desa Mola Selatan, tanggal
13 Oktober 2011, Jam 10.00 WITA 168 Wawancara dengan Sadar, Sekretaris Kerukunan Keluarga Bajo-Sultra, Indonesia di
Desa Mola Selatan, Tanggal 20, Oktober Tahun 2011, Jam 12.22 WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
Selanjutnya Sadar mengatakan :
“ Suku Bajo sejak dahulu kala mencintai laut karena mereka hidup dan sangat tergantung pada sumber daya di laut. Dikenal sebagai masyarakat pemburu di laut tetapi dalam pemanfaatan sumber daya alam di laut masyarakat bajo tidak mengenal adanya sistem zonasi di laut. Karakter masyarakat bajo merupakan masyarakat yang takut/patuh pada hukum atau peraturan. Adanya sebagian masyarakat bajo yang menangkap ikan dengan bom atau bius karena godaan dari pengumpul ikan hidup yang datang di Kepulauan Wakatobi sejak tahun 1990-an. Karena desakan ekonomi sesaat dan pengaruhi gaya hidup masyarakat ini sudah terkontaminasi dengan kehidupan masyarakat darat yang konsumtif mereka akhirnya melakukan pekerjaan yang melanggar hukum mengikuti keinginan pemodal, menurut saya untuk memperbaiki kondisi ini tidak hanya dilakukan dengan penegakkan hukum semata tetapi kegiatan penyuluhan dan penyadaran di masyarakat sangat diperlukan.”169
Gaya hidup masyarakat khususnya para pengusaha yang
mengutamakan keuntungan/provit dalam melakukan usaha
pengelolaan sumber daya alam telah mengubah cara pandang dan
perlakuannya terhadap lingkungan. Untuk memenuhi
kebutuhannya para pengusaha tidak segan-segan mengeksploitasi
sumber daya alam secara berlebihan untuk mengejar keuntungan
komersial. Di Taman Nasional Wakatobi di duga para
pengusaha/pengumpul ikan hidup menfasilitasi nelayan dengan
potassium cyanida (sejenis racun) untuk melakukan penangkapan
beberapa jenis ikan tertentu.
Dari beberapa penjelasan responden di atas disimpulkan
bahwa faktor kelemahan penegakan hukum tindak pidana di bidang
KSDA & E di Taman Nasional Wakatobi terkait unsur masyarakat
adalah disebabkan oleh beberapa hal meliputi : faktor kemiskinan,
pemahaman dan pengetahuan yang rendah, keterbatasan sarana
usaha bagi nelayan, kebiasaan turun temurun dalam hal kegiatan
penangkapan ikan di perairan kepulauan Wakatobi tidak mengenal
169 Ibid, Tanggal 20, Oktober Tahun 2011, Jam 12.22 WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
adanya sistem zonasi dan pengaruh godaan//pengaruh pengusaha
dari luar wakatobi dengan pemberian fasilitas-fasilitas tertentu.
5) Faktor Kebudayaan
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-
nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang
merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap
baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga
dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan
nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus
diserasikan.
Hasil Wawancara dengar Sadar menyatakan :
“ khususnya masyarakat Bajo sejak dahulu sudah memiliki kearifan /budaya lokal tentang pemanfaatan sumber daya laut secara bijaksana yang sejalan dengan prinsip konservasi. Beberapa ritual/tata upacara adat tentang pemanfaatan dan larangan dalam pemanfaatan sumber daya laut dikenal dengan ritual “sangal, parika, dan pamali”. Kesepakatan untuk menetapkan tata kelola penangkapan ikan di laut dikenal dengan “Madua Pina” serta sanksi-sanksi adat yang diberikan kepada masyarakat yang melanggar aturan tersebut seperti dikucilkan dilingkungan masyarakat, mengganti ikan yang ditangkap dan dikembalikan ke lokasi yang dilarang ditangkap. Adanya perubahan pola kebiasaan mayarakat bajo ke perikanan yang cenderung merusak karena pengaruh oleh orang-orang luar dan rendahnya pemahaman masyarakat akan pentingnya konservasi atau pelestarian sumber daya laut serta kesulitan pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, karena itu salah satu upaya yang mesti dilakukan adalah perlunya penyuluhan tentang konservasi dan penguatan ekonomi masyarakat ditingkat keluarga nelayan bajo.”170
Namun sayangnya kebiasaan tersebut saat ini sudah jarang
dilaksanakan, masyarakat di Kepulauan Wakatobi termasuk
komunitas suku bajo dalam hal melakukan kegiatan pemanfaatan
sumber daya alam di laut tidak lagi melakukan pemanfaatan secara
tradisional seperti sebelum-sebelumnya. Pengaruh kemajuan
teknologi saat ini, pemanfaatan sudah dilakukan dengan tehnik-
170 Ibid, , Tanggal 20, Oktober Tahun 2011, Jam 12.22 WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
tehnik perikanan modern seperti penggunaan mesin, kapal
penangkap ikan, jaring dan peralatan lainnya. Masyarakat Bajo
merupakan komunitas terbesar di Kepulauan Wakatobi yang
memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya alam di
kawasan Taman Nasional Wakatobi. Ada pemahaman atau
anggapan yang keliru dalam kebiasaan mereka melakukan
penangkapan ikan bahwa sumber daya perikanan tidak akan pernah
habis, masyarakat bajo adalah tipe masyarakat nomaden atau suka
berpindah-pindah. Salah satu nilai konservasi yang dianut yakni
bahwa untuk mempertahankan kelestarian sumber daya perikanan
maka metode yang digunakan adalah dengan tehnik berpindah-
pindah lokasi penangkapan ikan. Menurut mereka dengan tehnik
tersebut sumber daya perikanan tidak akan pernah habis dan tidak
perlu di zonasi.
Selanjutnya Sadar mengatakan :
“Saat ini kebiasaan kearifan lokal masyarakat bajo yang memiliki nilai-nilai konservasi sudah tidak menjadi kebiasaan nelayan disebabkan karena pengaruh banyaknya nelayan luar wakatobi yang masuk melakukan penangkapan ikan di perairan Wakatobi, masyarakat lokal tidak bisa bersaing dengan nelayan luar yang menggunakan alat penangkapan ikan yang modern. Disamping itu peraturan perundang-undangan kita tidak mengakomodir kebiasaan-kebiasan masyarakat lokal. Pengelolaan sumber daya perairan laut adalah kewenangan sepenuhnya pemerintah. Dalam paradigma pemanfaatan di perairan laut modern dikenal prinsip sumber daya perairan laut adalah open access atau sumber daya yang terbuka untuk di manfaatkan oleh siapa saja. Kondisi inilah menurut saya yang menyebabkan terjadinya konflik pemanfaatan antar masyarakat termasuk dengan pemerintah yang justru menyebabkan percepatan kerusakan sumber daya hayati di perairan laut.”171
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa faktor kebudayan
juga mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di
bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
171 Ibid, Tanggal 20, Oktober Tahun 2011, Jam 12.22 WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152
di Taman Nasional Wakatobi, meliputi nilai-nilai konservasi yang
dianut atau prinsip yang berbeda antara masyarakat dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, faktor rendahnya
pemahaman dan pengetahuan tentang pelestarian sumber daya
alam, kewenangan pengelolaan sumber daya perairan laut beralih
dari masyarakat dengan hukum adat menjadi sepenuhnya
kewenangan pemerintah, dan kemajuan teknologi
3. Upaya Non penal yang dilakukan dalam Penanggulangan Tindak
Pidana di bidang KSDA & E di Taman Nasional Wakatobi Kebijakan penanggulangan tindak pidana di bidang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (KSDA&E) di Taman
Nasional Wakatobi dilaksanakan baik melalui pendekatan dengan
penegakan/penerapan hukum pidana maupun melalui tindakan
pencegahan tanpa pidana (non-penal). Penanggulangan tindak pidana di
bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
melalui pencegahan tanpa pidana (non-penal) di Taman Nasional
Wakatobi dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
a. Patroli rutin di setiap Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN)
Pelaksanaan patroli rutin di setiap SPTN dilaksanakan oleh
Polisi Kehutanan. Patroli rutin di laksanakan 3 s.d 5 hari dalam
setiap bulannya dengan tujuan untuk mencegah terjadinya tindak
pidana di kawasan TNW. Namum dalam pelaksanaanya kegiatan
tidak cukup efektif karena terterbatasan sarana prasarana
khususnya operasional bahan bakar speed boat yang tidak
memadai, sehingga patroli hanya dilaksanakan di wilayah pesisir
pantai saja dan tidak bisa mencapai perairan karang. Seperti di
katakan oleh Syaharuddin :
“ Saat ini kami tidak bisa menindaklanjuti laporan masyarakat tentang adanya kegiatan pemboman ikan di wilayah perairan karang karena dana kami sangat minim untuk membeli bahan bakar, dan tahun 2011 ini dana kegiatan untuk patroli sedikit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153
sehingga kegiatan pengamanan sudah berkurang. Disamping itu masalah lain yang kami temukan dilapangan masih ditemukan izin usaha perikanan yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi yang tidak sesuai dengan zonasi Taman Nasional Wakatobi seperti menunjuk lokasi penangkapan ikan di wilayah perairan Wakatobi, sehingga membingungkan kami untuk mengambil tindakan hukum dilapangan.”172
Selanjutnya Aah Hidayatullah mengatakan :
“ Kendala kami dilapangan dalam hal pelaksanaan patroli rutin di Taman Nasional Wakatobi adalah medan di laut sangat sulit dijangkau serta luas wilayah kawasan, disamping itu jumlah kami yang sangat terbatas, kegiatan patroli rutin tidak bisa kami jadwalkan secara rutin setiap bulan. Faktor pembiayaan juga menjadi masalah karena kebutuhan bahan bakar kenderaan patroli yang cukup besar.”.173
Kepala SPTN Wil I, La Ode Ahyar Thamrin Mufti, juga
mengatakan :
“Seksi Wilayah sulit menjadwalkan kegiatan patroli rutin bulanan secara permanen karena keterbatasan jumlah personil Polhut yang ada disamping itu kendala biaya. Pembiayaan kegiatan setiap bulan tidak tentu pencairannya belum lagi dengan lagi ketersedian sarana yang baik, hal lainnya adalah ketersediaan bahan bakar di Wakatobi stok bahan bakar minyak sangat terbatas, kondisi-kondisi inilah sehingga pelaksanaan patroli rutin belum efektif di laksanakan.”174
Dari penjelasan-penjelasan di atas menunjukkan bahwa
pelaksanaan kegiatan patroli rutin keamanan kawasan Taman
Nasional Wakatobi belum terlaksana sesuai dengan yang
diharapkan karena disebabkan oleh : Keterbatasan jumlah personil
Polhut di setiap SPTN, kegiatan patroli tidak terjadwal dengan
baik, Sarana prasarana yang kurang memadai, ketersediaan bahan
172 Wawancara dengan Syaharuddin, Kepala Resort Polisi Kehutanan Resort Matahora SPTN
I BTNW, di Kantor SPTN Wilayah I di Numana, Tanggal 24 Oktober 2011, Jam 15.00 WITA 173 Wawancara dengan Aah Hidayatullah, Polisi Kehutanan Balai Taman Nasional
Wakatobi, SPTN Wil. III di Kantor Balai Taman Nasiona Wakatobi di Baubau, tanggal 12 Oktober 2011, Jam 16.32 WITA
174 Wawancara dengan La Ode Ahyar Thamrin Mufti, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I, di Kantor SPTN Wilayah I di Numana-Wangi-Wangi, tanggal 08 Oktober 2011, Jam 10.30 WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154
bakar, kondisi geografis (cuaca, dan luas kawasan), dan
pembiayaan
b. Sosialisasi dan Penyuluhan
Sosialisasi dan penyuluhan dilaksanakan di seluruh desa di
Wakatobi (100 desa/kelurahan) dalam rangka peningkatan
pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya
pelestarian sumber daya alam di Taman Nasional Wakatobi serta
sosialisasi zonasi Taman Nasional Wakatobi. Pelaksanaan
penyuluhan dan sosialisasi dilaksanakan melalui kegiatan
pertemuan di tingkat kabupaten, kecamatan, desa dan kunjungan ke
kelompok masyarakat tertentu di desa/kelurahan.
Hasil wawancara dengan Sadar mengatakan :
“ Pelaksanaan sosialisasi dan penyuluhan tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya selama ini yang dilakukan oleh pihak Balai Taman Nasional Wakatobi sebenarnya sudah cukup intensif dilakukan hanya saja belum menyentuh sepenuhnya kelompok sasaran sesungguhnya. pengguna sumber daya alam di Taman Nasional Wakatobi yang terbesar adalah masyarakat Bajau, mestinya pihak Balai Taman Nasional cukup konsentrasi saja pada kelompok masyarakat ini karena pengguna sumber daya yang cukup besar dan tergantung kehidupannya di kawasan perairan Taman Nasional Wakatobi adalah masyarakat bajau (mola, mantigola, Lohoa dan Lamanggau), masyarakat di darat cukup diserahkan ke Pemda saja penanganannya. Program TNW belum menyentuh akar masalah yang sesungguhnya terutama terhadap kelompok masyarakat yang menpunyai tingkat ketergantungan sumber daya alam terhadap kawasan TNW, diperlukan suatu metode pendekatan khusus bagi orang bajo, intensitas kunjungan ke nelayan dan sosialisasi penyadaran ke masyarakat masih diperlukan dalam rangka penanganan pelanggaran hukum yang masih dilakukan oleh masyarakat bajo”175
Sementara hasil wawancara dengan Wahyu Rudianto
menyatakan :
“ Salah satu kendala kami dilapangan terkait dengan kegiatan penyuluhan dan penyadaran hukum bagi masyarakat dalam upaya
175 Wawancara dengan Sadar, Sekretaris Kerukunan Keluarga Bajo-Sultra, Indonesia di
Desa Mola Selatan, Tanggal 20, Oktober Tahun 2011, Jam 12.22 WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155
pengelolaan Taman Nasional adalah terbatasnya jumlah penyuluh dilapangan dan kualitas tenaga penyuluh yang kurang memadai. Staf penyuluh yang ada saat ini di BTNW hanya 2 (dua) orang, hal ini tidak sebanding dengan luas kawasan TNW yang dihuni oleh ± 100 desa dengan jumlah masyarakat ± 100.000 (seratus ribu) jiw, selama ini kegiatan penyuluhan dilakukan oleh Polisi kehutanan (Polhut) dan fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH)”176
Dari penjelasan dia atas disimpulkan bahwa pelaksanaan
kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan oleh pihak Balai Taman
Nasional selama ini kurang berhasil karena disebabkan oleh :
Pelaksanaan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan belum tepat
sasaran, Metode penyuluhan yang kurang baik, jumlah tenaga
penyuluh terbatas dan rendahnya kualitas tenaga/staf penyuluh
lapangan.
c. Program Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi
merupakan segala upaya yang bertujuan untuk terus meningkatkan
keberdayaan masyarakat disekitar kawasan konservasi, untuk
memperbaiki kesejahteraannya dan meningkatkan partisipasi
mereka dalam segala kegiatan konservasi sumber dayaalam hayati
dan ekosistemnya, secara berkelanjutan.177
Kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan
konservasi yang menjadi kebijakan Direktorat Jenderal PHKA,
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang mau dan mampu
mengembangkan kreatifitas yang bertumpu pada potensi sosial,
ekonomi, budaya, dan lingkungan yang mereka miliki guna
mendukung kelangsungan pembangunan konservasi sumber daya
176 Wawancara dengan Wahyu Rudianto, Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi, di
Kantor Balai Taman Nasional di Baubau, Tanggal 8 Nopember 2011, Jam 15.00 WITA 177 Ibid, hlm. Kata Pengantar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
156
alam hayati dan ekosistemnya dalam rangka peningkatan
kesejahteraan masyarakat.178
Salah satu program kebijakan prioritas pembangunan
kehutanan yang tertuang dalam SK. Menhut No. 456/Menhut-
II/2004 adalah “Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di dalam
dan di sekitar hutan”. Hal ini merupakan komitmen pemerintah
dalam pembangunan hutan lestari tidak hanya bertumpu pada
aspek ekologis dan ekonomi tetapi juga aspek social dan budaya
masyarakat. Implementasi pelaksanaan peningkatan kemampuan,
kemandirian dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan
konservasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal PHKA maupun
berbagai lembaga non pemerintah, melalui pemberian kesempatan
kepada masyarakat (pemberdayaan masyarakat) sebagai pelaku dan
atau mitra dalam pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya alam
hutan. Kegiatan tersebut terintergrasi dengan rencana pengelolaan
yang mengakomodir aspirasi masyarakat antara lain,
pengembangan : ekowisata seperti desa wisata, homestay,
pemanfaatan jasa lingkungan lainnya, budidaya flora dan fauna,
pelestarian sumberdaya alam seperti koperasi yang memanfaatkan
potensi wilayah, ekonomi produktif (home industri, produk
pertanian, kehutanan, peternakan, perikanan dll.179
Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat di Taman
Nasional Wakatobi dilaksanakan melalui program-program sebagai
berikut :
1) Pembangunan Model Desa Konservasi
Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) di Taman
Nasional Wakatobi merupakan salah satu program
pemberdayaan masyarakat di mulai sejak tahun 2006 dan saat
178 Departemen Kehutanan, Dirjen PHKA, Direktorat Pemanfaatan Pemanfaatan Jasa
Lingkungan dan Wisata Alam, Pedoman Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) di Sekitar Kawasan Konservasi, Bogor, 2009, hlm.1
179 Loc.Cit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
157
ini telah di bentuk 5 (lima) Model Desa Konservasi. Tujuan
program ini adalah peningkatan pemberdayaan dan penguatan
ekonomi masyarakat melalui kegiatan konservasi alam meliputi
kegiatan pengembangan wisata alam, penataaan ruang desa
berbasis konservasi, peningkatan keterampilan masyarakat,
penguatan kelembagaan di tingkat desa, pembentukan
kelompok-kelompok usaha mikro, penguatan modal usaha
kelompok, pengembangan usaha ekonomi kelompok berbasis
konservasi dan pelaksanaan penyuluhan di tingkat desa. Karena
program ini baru efektif dijalankan sejak tahun 2009, program
ini belum menunjukkan hasil sesuai yang diharapkan.
Hasil wawancara dengan Suhaeri mengatakan :
“ Pelaksanaan program Model Desa Konservasi (MDK) di desa Kapota dilaksanakan sejak tahun 2009, namum kami sadari sampai saat ini belum optimal dijalankan karena tingkat pemahaman dan kemanpuan masyarakat masih rendah khususnya pengembangan keterampilan usaha produktif yang berbasis konservasi dan membangun usaha kelompok, harapan kami kepada pihak Balai Taman Nasional untuk selalu melakukan pendampingan secara intensif dan dukungan baik dalam bentuk modal usaha maupun peningkatan kapasitas anggota kelompok.”180
Kepala SPTN Wil I, La Ode Ahyar Thamrin Mufti,
mengatakan :
“Pelaksanaan program MDK di Taman Nasional Wakatobi saat ini hasilnya belum bisa dikatakan sudah berhasil dalam pemberdayaan masyarakat di kawasan Taman Nasional Wakatobi, hal ini disebabkan karena program ini baru dirintis dan tahap uji coba, disamping itu kami sadari kemanpuan dan pengetahuaan petugas pendamping lapangan yang masih kurang. Saat ini petugas pendamping pada desa MDK adalah staf fungsional Polhut, PEH atau Penyuluh dimana mereka umumnya belum memiliki kualitas sebagai tenaga fasilitator yang terlatih bagi pendampingan masyarakat. Faktor lainnya
180 Wawancara dengan Suhaeri, Ketua SPKP (Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan) desa
Kapota, di Sekretariat SPKP desa Kapota, tanggal 27 Oktober Tahun 2011, Jam 10.00 WITA SPKP adalah organisasi ditingkat desa yang dibentuk dalam rangka pelaksanaan program MDK Balai Taman Nasional Wakatobi di Desa Kapota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
158
adalah pemahaman dan pengetahuan masyarakat. Rata-rata tingkat pengetahuan nelayan di Wakatobi dapat dikatakan rendah dalam mengembangkan usaha ekonomi keluarga, umumnya masih tergantung pada pemanfaatan sumber daya di kawasan Taman Nasional Wakatobi.”181
Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan program MDK di
Taman Nasional Wakatobi belum menunjukkan hasil yang
sesuai dengan yang diharapkan karena disebabkan oleh
Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat dalam
pengembangan usaha ekonomi, kuantitas dan kualitas tenaga
pendamping yang kurang.
2) Peningkatan Usaha Ekonomi Masyarakat
Kegiatan peningkatan usaha ekonomi masyarakat
dilaksanakan dalam bentuk pemberian bantuan modal usaha
bagi kelompok masyarakat di beberapa desa di Kabupaten
Wakatobi. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengurangi
tekanan pemanfaatan di kawasan Taman Nasional Wakatobi
dengan memanfaatkan potensi pesisir yang telah dilakukan
oleh masyarakat sebelumnya. Melalui kegiatan ini masyarakat
diharapkan dapat memanfaatkan potensi sumber daya alam di
Taman Nasional Wakatobi secara optimal dengan pendekatan
ramah lingkungan atau berbasis konservasi seperti perikanan
laut dalam , budidaya perikanan (pengembangan budidaya
rumput laut melalui bantuan bibit rumput laut) dan
pengembangan potensi kerajinan rumah tangga, sehingga
diharapkan masyarakat dapat meningkatkan usaha ekonomi
keluarga yang telah dilakukan dan tidak melakukan kegiatan
merusak seperti menambang batu karang, penggunaan bom
atau bius dalam penangkapan ikan di kawasan Taman Nasional.
181 Wawancara dengan La Ode Ahyar Thamrin Mufti, Kepala Seksi Pengelolaan Taman
Nasional Wilayah I, di Kantor SPTN Wilayah I di Numana-Wangi-Wangi, tanggal 08 Oktober 2011, Jam 10.30 WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
159
Hasil wawancara penulis dengan beberapa kelompok penerima
bantuan, diperoleh bahwa kurang berhasilnya program ini
dilaksanakan dimasyarakat disebabkan karena rendahnya
pengetahuan masyakat dalam mengelola usaha kelompok,
mereka lebih memilih mengembangkan usaha secara sendiri-
sendiri berdasarkan pengalaman mereka sebelumnya,
disamping itu juga disebabkan oleh karena kurangnya
pengawasan dan pendampingan secara intensif dari pihak
pemberi bantuan (Balai TNW) sendiri.
Hasil wawancara dengan Antoni menyatakan :
“Pemberian bantuan modal usaha atau bibit rumput laut bagi kelompok masyarakat selama ini yang dilakukan oleh pihak Balai Taman Nasional Wakatobi (BTNW) kurang berhasil karena selama ini kelompok yang diberi bantuan sebenarnya adalah kelompok yang terbentuk secara instant karena adanya program bantuan dari BTNW , masyarakat belum memahami pentingnya membentuk kelompok dalam melalukan usaha, karena itu menurut saya sebelum ada program bantuan usaha bagi kelompok masyarakat sebaiknya dilakukan pengorganisasian atau bimbingan dulu di tingkat kelompok masyarakat sehingga mereka memahami bagaimana dan pentingnya mengelola usaha bersama, disamping itu pihak BTNW seharusnya melakukan pengawasan dan pendampingan secara intensif terhadap kelompok masyarakat penerima bantuan.”182
3) Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
Kegiatan peningkatan kapasitas masyarakat dilaksanakan
melalui kegiatan pelatihan keterampilan bagi masyarakat dan
studi banding ke Taman Nasional lain di Indonesia. Kegiatan
ini dilaksanakan dalam rangka peningkatan pengetahuan
masyarakat dalam pembangunan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya serta peningkatan kemanpuan
masyarakat dalam mengembangkan usaha ekonomi di tingkat
182 Wawancara dengan Antoni, staf LSM Lokal Warahma di Kaledupa, tanggal 28 Oktober
2011, Jam 10.30 WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
160
desa dan pengembangan ekowisata desa. Beberapa kegiatan
telah dilakukan antara lain :
1. Pelatihan pengelolaan pasca panen rumput laut
2. Pelatihan pengorganisasian masyarakat (CO)
3. Pelatihan Pengembangan usaha ekonomi mikro
4. Pelatihan Analisis Sosial (Ansos)
5. Pelatihan Identifikasi Potensi Desa
6. Pelatihan Organisasi dan kelembagaan masyarakat di
tingkat desa
7. Pelatihan tehnik penangkapan ikan ramah lingkungan
8. Pelatihan kader konservasi bagi masyarakat
9. Pelatihan dan Studi banding pengelolaan ekowisata di
Taman Nasional Bali Barat
10. Pelatihan dan studi banding desaian marketing ekowisata di
Yogyakarta183
Dari hasil – hasil kegiatan peningkatan kapasitas ini
diharapakan masyarakat dapat mengembangkannya pada desa
masing-masing peserta. Beberapa upaya pengembangan yang
mulai Nampak adalah pada pengembangan kegiatan ekowisata
desa pada pelaksanan program Model Desa Konservasi di Desa
Kapota Pulau Kapota , walaupun saat ini hasilnya belum
nampak dapat mendatangkan pendapatan ekonomi bagi
masyarakat setempat. Beberapa kendala yang belum
terselesaikan adalah persoalan membangun kesepahaman di
tingkat masyarakat, aturan main pengelolaan, kelembagaannya
ditingkat masyarakat dan kesiapan masyarakat itu sendiri. Saat
ini pihak Balai Taman Nasional sedang melakukan beberapa
upaya pembenahan infrastruktur seperti pembuatan papan
potensi wisata, pusat informasi wisata, promosi dan
183 Database Balai Taman Nasional Wakatobi Tahun 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
161
pendampingan serta menfasilitasi pembentukan kelembagaan
ekowisata dan aturan main di tingkat desa
d. Pembentukan Kader Konservasi dan Kelompok Pencinta Alam
(KPA)
Pembentukan kader konservasi dan kelompok pencinta alam
dibentuk dalam rangka membangun kesadaran generasi muda
terhadap pentingnya upaya konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya di Wakatobi. Pembentukan kader konservasi dan
pencinta alam ini dilaksanakan pada setiap SPTN.
Hasil wawancara dengan mantan ketua pengurus KPA Kolo-
Kolopua (salah satu KPA yang dibentuk di wilayah di SPTN Wil I)
, Abdul Zainal mengatakan :
“ Pelaksanaan program Kelompok Pencinta Alam (KPA) di Pulau Wangi-Wangi belum terencana atau tersusun dengan baik. Kami sendiri dahulu sebagai pengurus masih mengalami kesulitan, apa yang seharusnya kami lakukan sebagai kader. Pihak Balai Taman Nasional sendiri setelah pelaksanaan pembentukan kader KPA sepanjang yang saya ketahui tidak begitu jelas kemana kami sebenarnya diarahkan untuk membantu pelaksanaan program mendukung upaya konservasi di Wakatobi. Saya mengharapkan agar pihak Balai Taman Nasional Wakatobi dapat menyusun program pembinaan kader secara berjenjang dan program kegiatan rutin bulanan sehingga kami dapat belajar secara terus menerus dan dapat menjalankan fungsi sebagai kader KPA di Taman Nasional Wakatobi.”184
e. Pembentukan Forum Nelayan Antar Pulau di Wakatobi
Forum nelayan antar pulau di Wakatobi digagas dan dibentuk
sebagai hasil kerjasama antara Balai Taman Nasional Wakatobi,
Joint Program TNC-WWF, Pemda Kabupaten Wakatobi dan
masyakarat Wakatobi. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka
penyiapan masyarakat sebagai rancangan pengelolaan kolaborasi
pengelolaan Taman Nasional Wakatobi ke depan
184 Wawancara dengan Adbul Zainal, Mantan ketua KPA Kolo-Kolopua –Wangi-Wangi di
Desa Numana, tanggal 10 Oktober 2011, Jam. 11.00 WITA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
162
Forum ini merupakan forum komunikasi /wadah bagi
nelayan/pengguna sumber daya kawasan TNW ditingkat pulau
untuk berkumpul menyalurkan aspirasi dan keluhan serta
menyusun perencanaan kegiatan masyarakat dalam rancangan
pengelolaan kolaborasi Taman Nasional Wakatobi. Namun
sayangnya forum ini belum direspon secara baik oleh para
pengambil kebijakan khususnya dipihak Balai Taman Nasional
Wakatobi maupun Pemerintah Daerah Wakatobi. Tujuan awal
dibentuk forum ini adalah dalam kerangka menyiapkan
kelembagaan dan wakil masyarakat untuk duduk dalam forum
kolaborasi pengelolaan Taman Nasional Wakatobi di tingkat
Kabupaten .tetapi karena sampai saat ini forum kolaborasi yang di
cita-citakan tersebut belum terwujud, sehingga aspirasi dan
rekomendasi yang telah disepakati di tingkat forum pulaupun tidak
dapat implementasikan.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian diatas menunjukkan pelaksanaan
penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi belum berhasil
sesuai dengan apa yang diharapkan, banyak kelemahan dalam proses
pelaksanaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hal ini disebabkan
oleh faktor-faktor meliputi : faktor hukum/undang-undang itu sendiri, faktor
aparat penegak hukum, sarana/fasilitas pendukung, kepatuhan masyarakat
dan faktor kebudayaan. Di samping itu upaya non penal telah pula
dilaksanakan namun secara umum dapat dikatakan belum mencapai hasil
sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Untuk membahas lebih mendalam permasalahan ini, dalam penelitian
ini akan diuraikan sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
163
1. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kelemahan Penegakan Hukum Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi
Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan
penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi, peneliti
akan merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto
diatas.
1. Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang)
Hukum dipahami oleh masyarakat sebagai suatu perangkat
aturan yang dibuat oleh Negara dan mengikat warga negaranya
dengan mekanisme keberadaan sanksi sebagai pemaksa untuk
menegakan hukumnya. Negara menpunyai hak untuk memaksa
diberlakukannya sanksi terhadap perbuatan yang melanggar hukum
dimana pelakunya dinyatakan salah oleh keputusan pengadilan yang
menpunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam tahapan proses penegakan hukum penerapan atau
pemberlakukan suatu aturan/undang-undang yang tidak tepat akan
dapat menpengaruhi proses penegakan hukum itu sendiri. Adanya
kebijakan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat yang
dilakukan aparat penegak hukum di dalam tahapan aplikasi, tentu
saja tidak dapat dilepaskan dari kebijakan dalam menetapkan dan
merumuskan perundangan di bidang konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya. Kegagalan di bidang aplikasi atau
penerapan suatu undang-undang oleh aparat penegak hukum tidak
dapat dilepaskan dari bagaimana kegagalan dalam menetapkan dan
merumuskan peraturan perundangan khususnya di bidang pidana.
Menurut sistem hukum Indonesia, peraturan perundang-
undangan (hukum tertulis) disusun dalam suatu tingkatan yang
disebut hierarki peraturan perundang-undangan. Terlihat di dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
164
Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan perundang-undangan
yang tersusun secara hierarkis tersebut mengandung pengertian
bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya.185
Dalam teori perundang-undangan pembuatan dan penetapan
suatu peraturan perundang-undangan juga harus tunduk pada asas-
asas tertentu, yaitu :
1. Asas yang bersumber pada politik konstitusi dan ketentuan
UUD (asas konstitusional dalam penerapan hukum);
2. Asas tidak berlaku surut (nonretroaktif);
3. Asas peralihan hukum;
4. Asas pertingkatan peraturan perundang-undangan (lex superiori
derogate legi inferiori);
5. Asas aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan
hukum yang umum (lex specialis deregat legi generali);
6. Asas aturan hukum yang baru mengesampingkan atau
meniadakan aturan hukum yang lama (lex posteriori derogat
legi priori);
7. Asas mengutamakan atau mendahulukan hukum tertulis dari
hukum tidak tertulis
8. Asas kepatuhan, keadilan,kepentingan umum dan ketertiban
umum186
Berhasil tidaknya suatu proses penegakan hukum sangat
tergantung pada apakah peraturan yang ada mengenai bidang-
bidang kehidupan tertentu secara hierarkis maupun horisontal tidak
ada pertentangan, apakah secara kuantitatif dan secara kualitatif
sudah cukup, apakah peraturan yang ada menimbulkan penafsiran
185 Teguh Prasetyo, Op.Ct, hlm 142 186 Ibid, hlm. 144
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
165
ganda, sistematis dan penerbitannya sudah sesuai dengan
persyaratan yuridis yang ada.
Penegakan hukum (law enforcement) merupakan salah satu
upaya dalam penanggulangan kejahatan/tindak pidana dengan
pendekatan penerapan hukum pidana (penal). Tahapan proses
fungsionalisasi/operasionalisasi penegakan hukum dalam arti luas
meliputi tahap formulasi (kebijakan legislatif/pembuatan undang-
undang), tahap aplikasi (pelaksanaan/penerapan undang-undang
oleh aparat penegak hukum/yudikatif, dan tahapan eksekusi
(pelaksanaan pidana oleh eksekutif).
Dalam telaah substansi hukum pidana, maka tahapan kebijakan
formulatif dapat dilihat sebagai dasar atau landasan bagi tahap-tahap
fungsionaliasi/penegakan hukum pidana selanjutnya. Kesalahan
atau kelemahan tahap formulasi merupakan kesalahan strategis yang
dapat menjadi penghambat bagi tahap-tahap berikutnya dalam
kebijakan hukum pidana (penal policy), yaitu tahap aplikasi dan
eksekusi.187
Seperti dijelaskan sebelumnya kebijakan penanggulangan
kejahatan dengan hukum pidana (penal policy) mengandung
masalah sentral, yakni (1) perbuatan apa yang perlu ditentukan
sebagai tindak pidana, (2) masalah pelakunya menyangkut
kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan (3) sanksi pidana
apa yang selayaknya dikenakan pada pelaku.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
dinyatakan norma atau ketentuan perbuatan yang dilarang dan
sanksi pidana bagi yang melangggar. Di dalam pengelolaan taman
nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti,
zona pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan keperluan. Setiap
orang dalam dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan
187 Hartiwiningsih,Op.Cit, hlm. 18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
166
fungsi zona serta adanya ketentuan larangan pemanfaataan atau
penangkapan satwa yang dilindungi oleh undang-undang.
Selengkapnya : dalam Pasal 21 dan Pasal 33 sebagai berikut :
Pasal 21 :
(1) Setiap orang dilarang untuk : a. Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnakan,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b. Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia
(2) Setiap orang dilarang untuk : a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau diluar Indonesia;
d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat laian di dalam atau di luar Indonesia;
e. Mengambil, merusak, memusnakan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi.
Pasal 33 : (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional;
(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli;
(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
167
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
ini termuat dalam Pasal 40 ayat (1) s.d ayat (4) sebagai berikut :
Pasal 40 :
(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Barang siapa karena kelalaianya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) adalah pelanggaran
Sesuai dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa kelemahan
dalam penerapan ketentuan pidana Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi Penegakan hukum
(pidana), disebabkan oleh beberapa hal yakni : rumusan unsur
pidana yang abstrak menyebabkan kesulitan dalam pembuktiannya,
kesulitan dalam mendapatkan keterangan ahli, tidak diaturnya
pertanggungjawaban korporasi atau badan hukum, dan posisi
Taman Nasional Wakatobi yang berhimpitan atau overlaping
dengan wilayah Kabupaten Wakatobi yang menimbulkan benturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
168
kewenangan pengelolaan sumber daya alam dan undang-undang
yang terkait dengan otonomi daerah.
Menurut Saifullah yang dikutip oleh Hartiwiningsih, terdapat
kesalahan dalam perumusan formulasi perbuatan pidana dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yaitu :
“formulasi perbuatan pidana yang tercantum dalam Pasal 40 ayat (1) merupakan peraturan sanksi, sedangkan rumusannya terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) merupakan dua rumusan perbuatan pidana yang digabungkan menjadi bagian inti dari perbuatan pidana di karenakan terdapat kata penghubung: kata “dan” bukan kata “atau”. Adapun perbuatan yang digabungkan adalah : “setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam” dan setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional”. Kata “dan” dalam konteks penafsiran gramatikal terhadap suatu undang-undang bermaksud menggabungkan dari dua perbuatan tersebut. Walaupun maksud dari pembuat undang-undang ini dapat dikaji bahwa kedua pasal tersebut tidak berfungsi digabungkan tetapi merupakan alternatif atau pilihan di antara dua obyek perbuatan. Untuk itu kata penghubung yang lebih tepat adalah “atau” bukan kata “dan”.188
Sistem perumusan perbuatan pidana yang abstrak tersebut
diatas dapat menimbulkan penafsiran berbeda sesama aparat
penegak hukum seperti rumusan diatas dalam prakteknya
menimbulkan kesulitan.
Rumusan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3) adalah merupakan delik
materiil yaitu perumusan tindak pidana yang menitik beratkan pada
akibat yang dilarang, bila akibat yang dilarang ini benar-benar
terjadi barulah dianggap tindak pidana selesai dilakukan. Perbuatan
yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti
taman nasional pada kawasan konservasi laut seperti di Taman
188 Ibid, hlm. 293
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
169
Nasional Wakatobi, sangat sulit untuk dibuktikan karena ini dapat
saja disebabkan oleh faktor alam, perbuatan manusia atau satwa dan
untuk membuktikan hal tersebut diperlukan keahlian khusus dan
biaya yang mahal.
Oleh karena itu perubahan atau revisi untuk perbaikan rumusan
perbuatan pidana atas unndang-undang ini sangat diperlukan
sehingga tidak lagi menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda
antara sesama aparat penegak hukum, di samping itu seharusnya
rumusan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya tidak dirumuskan secara materiil karena sulit
pembuktiaannya, tetapi dirumuskan secara formil agar mudah
proses pembuktiannya dan tidak diperlukan biaya yang mahal.
Untuk membuktikan suatu akibat kerusakan atas sumber daya alam
khususnya di perairan laut dibutuhkan waktu yang relatif lama dan
biaya yang mahal.
Paul dan Dias dalam Esmi Warassih mengajukan 5 (lima)
syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum,
yaitu :
1. Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk
diungkap dan dipahami.
2. Luas tidaknya kalangan dalam masyarakat yang mengetahui isi
aturan-aturan hukum yang bersangkutan.
3. Efisiensi dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum.
4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya
mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat,
melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan
sengketa-sengketa.
5. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan
warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
170
hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang
efektif.189
Hukum agar efektif paling tidak harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
1. Undang-undang dirancang dengan baik; kaidahnya jelas,
mudah dipahami, dan penuh kepastian;
2. Undang-undang sebaiknya bersifat melarang (prohibitur) dan
bukan mengharuskan/membolehkan (mandatur);
3. Sanksi haruslah tepat dan sesuai tujuan / sifat undang-udang
itu;
4. Beratnya sanksi tidak boleh berlebihan (sebanding) dengan
macam pelanggarannya;
5. Mengatur terhadap perbuatan yang mudah dilihat (lahiriah);
6. Mengandung larangan yang berkesesuaian dengan moral;
7. Pelaksana hukum menjalankan tugasnya dengan baik;
menyebarluaskan UU, penafsiran seragam, dan konsisten.190
Perumusan tindak pidana dalam Undang-Undang No. 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya diawali dengan kata-kata “Barang siapa” yang
menunjuk pada pengertian “orang”. Dalam undang-undang ini tidak
mengatur pertanggungjawaban badan hukum atau korporasi
sehingga dalam penegakan hukumnya, korporasi atau badan hukum
tidak dapat dijerat. Kenyataan dilapangan tidak jarang pelaku adalah
orang kecil yang merupakan suruhan pemodal atau
pengusaha/perusahan, tetapi karena undang-undang ini tidak
mengaturnya maka penegakan hukum di bidang konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya tidak menyelesaikan akar
masalah sesungguhnya yaitu pemodal/perusahan yang nakal,
189 Esmi Warassih, Op.Cit, hlm. 105
190 Mohammad Jamin, Kesadaran Hukum dan Penegakan Hukum, Bahan Materi Kuliah Sosiologi Hukum, pada Program Magister Ilmu Hukum UNS, Surakarta, 2011.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
171
masyarakat kecil selalu menjadi korban. Hasil penelitian dilapangan
menunjukkan bahwa para pelaku penangkap ikan hidup yang
menggunakan alat bantu potassium cyanida/racun adalah nelayan
yang dimodali oleh perusahan penampung ikan hidup yang
berkedudukan di Pulau Wangi-Wangi dan di Denpasar Bali.
Oleh karena itu dalam rangka kajian perbaikan/revisi Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, patut untuk dipertimbangkan
dimasukannya sistem pertanggungjawaban pidana terhadap
korporasi/badan hukum.
Menurut konsep/teori Roling, korporasi dapat dianggap sebagai
pelaku tindak pidana apabila perbuatan yang terlarang dilakukan
dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau untuk mencapai tujuan-
tujuan badan hukum tersebut. 191 Ada tiga kemungkinan
pertanggungjawaban dari kejahatan korporasi : (1) orang yang
bersalah dalam tindak pidana tersebut, sesuai dengan ajaran
kesalahan dalam hukum pidana yakni asas tiada pidana tanpa
kesalahan. Yang mempertanggungjawabkan tersebut dicari orang
yang bersalah, (2) Korporasinya yang dipertanggungjawabkan,
berdasarkan ajaran strict liability. Disini tidak perlu memperhatikan
bentuk kesalahan kesengajaan atau kelalaian. (3) baik orangnya
maupun perusahaannya. Orang yang bersalah dimungkinkan
dipertanggungjawabkan dan dipidana sesuai dengan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan perusahaannya dikenal
kewajiban pengganti kerugian.192
Selain itu dilihat dari jumlah dan sistem perumusan sanksi
pidana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih terdapat
kelemahan dalam hal belum ditetapkannya jumlah sanksi minimal
191 Hartiwiningsih, Op.Cit, hlm. 304 192 Supanto,Op.Cit, hlm. 260
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
172
khusus dalam setiap rumusan tindak pidana, hal ini mengakibatkan
kasus-kasus di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya yang sudah dapat dikategorikan sebagai kejahatan,
karena unsur-unsur pidananya sudah terpenuhi, diputus dengan
sanksi yang ringan, yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat
dan pelestarian sumber daya alam hayati. Jika dilihat dari ancaman
sanksi maksimalnya 10 (sepuluh) tahun denda Rp. 200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah) dan 5 (lima) tahun, denda Rp.100.000.000,-
(seratus juta rupiah), untuk kategori kejahatan. Tidak adanya sistem
perumusan sanksi minimum khusus mengakibatkan penjatuhan
putusan pidana yang terlalu rendah/ringan.
Ini dapat dilihat dari 2 (dua) kasus tindak pidana yang terjadi di
Taman Nasional Wakatobi dijerat dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya divonis oleh pengadilan Negeri Bau-Bau yakni kasus
penangkapan/peredaran satwa yang dilindungi (penyu), pelaku
hanya di vonis 10 (sepuluh) bulan penjara dan denda Rp.500.000,-
(lima ratus ribu rupiah) dan kasus pelanggaran zona inti taman
nasional, pelaku hanya di vonis 5 (lima) bulan penjara.
Kasus- kasus tindak pidana lainnya di Taman Nasional
Wakatobi yang vonis di pengadilan dengan
menggunakan/menerapkan undang-undang lain selain Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, yaitu :
1) kasus penangkapan ikan dengan bahan peledak (16 kasus)
paling lama pelaku di vonis 1 (satu) tahun 8 (delapan) bulan
yang dijerat dengan UU No.12/drt/1951 tentang Kepemilikan
Senjata Api dengan ancaman hukuman maksimal 20 (dua
puluh) tahun penjara;
2) penggunaan potassium cyanida/ racun (2 kasus) vonis pelaku
paling lama 7 (tujuh) bulan denda Rp. 200.000,-(dua ratus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
173
ribu) subs 1 (satu) bulan kurungan dijerat dengan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan
ancaman hukuman maksimal 6 (enam) tahun penjara dan
denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,- (satu milyar dua
ratus juta rupiah); dan
3) kasus penebangan hutan mangrove ( 1 kasus), pelaku hanya
divonis 4 (empat) bulan 15 (lima belas) hari penjara , dijerat
dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
kehutanan dengan ancaman hukum penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,-
(lima milyar rupiah).193
Dari data tersebut diatas jelas bahwa sanksi yang dijatuhkan
terhadap pelaku tidak dapat memberikan efek jera bagi pelaku,
kepentingan konservasi/pelestarian keanekaragaman sumber daya
alam hayati dan keadilan bagi masyarakat. oleh karena itu ke depan
kebijakan perumusan ancaman sanksi pidana penjara maupun denda
harus disebutkan batas minimalnya dan batas maksimalnya, dengan
cara merumuskan ancaman sanksi minimal dan maksimal dalam
setiap rumusan tindak pidana, agar penegak hukum menpunyai
petunjuk yang pasti dan menghindari adanya disparitas pidanayang
sangat mencolok.
Dianutnya pidana minimum khusus ini menurut Barda
Nawawi Arief yang dikutip oleh Hartiwiningsih di dasarkan pada
pokok pikiran :
1. guna menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang secara hakiki berbeda kualitasnya.
2. Untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi general, khususnya bagi delik-delik yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat.
193 Data Olahan matriks penanganan kasus perkara tindak pidana di bidang KSDA & E
Balai Taman Nasional Wakatobi Tahun 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
174
3. dianalogkan dengan pemikiran, bahwa apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana (umum maupun khusus) dapat diperberat, maka minimum pidanapun hendaknya dapat diperberat dalam hal-hal tertentu.194
2) Faktor aparat penegak hukum
Menurut Soerjono Soekanto; ruang lingkup dan istilah
penegak hukum adalah luas sekali, mencakup tugas di bidang
kepolisian, kejaksaan, kehakiman (peradilan) dan
pemasyarakatan.195 Menurut Moh. Hatta, istilah penegak hukum
yang sebenarnya merupakan terjemahan dari law enforcement
officer yang dalam arti sempit hanya polisi tetapi dapat juga jaksa.
Namun di Indonesia biasanya diperluas pula dengan hakim dan ada
kecenderungan kuat memasukan pula dalam pengertian para
advokat (pengacara).196
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aparat penegak hukum
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kelemahan
penegakan hukum pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi meliputi
faktor-faktor : jumlah/kuantitas penegak hukum yang kurang,
kewenangan yang terbatas yang dimiliki oleh Polhut dan PPNS,
perbedaan persepsi antar penegak hukum dalam penerapan undang-
undang, kurangnya koordinasi dan rendahnya kualitas pemahaman
aparat penegak hukum dalam penerapan undang-undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
Dilihat dari segi kuantitas aparat penegak hukum di Balai
Taman Nasional Wakatobi khususnya Polisi kehutanan dan PPNS,
data yang ada jumlah keduanya sangat minim dan sangat tidak
194 Hartiwiningsih, Op.Cit, hlm 128 195 Moh. Hatta, Menyongsong Penegakan Hukum Responsif, Sistem Peradilan Pidana
terpadu (Dalam Konsepsi dan Implementasi Kapita Selekta). Galangpress, Yogyakarta, 2008, hlm. 44
196 Loc.Cit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
175
sesuai dengan luas kawasan Taman Nasional Wakatobi seluas
1.390.000, ha yang harus di jaga. Sesuai dengan data kebutuhan
formasi pegawai di Balai Taman Nasional Wakatobi Tahun 2011
untuk tenaga Polisi Kehutanan seharusnya sejumlah 50 (lima puluh)
orang untuk menjaga kawasan Taman Nasional Wakatobi seluas
1.390.000,ha.
Belum ada studi atau pernyataan tentang rata – rata yang ideal
seorang Polhut harus menjaga berapa luas kawasan konservasi.
Sesuai formasi usulan pada Kantor Balai Taman Nasional Wakatobi
Jumlah Polhut yang mestinya di Taman Nasional Wakatobi adalah
50 (lima puluh) orang, jika dibandingkan dengan jumlah polhut
yang ada sekarang di Taman Nasional hanya berjumlah 21 (dua
puluh satu ) orang , yang berarti masih memerlukan tenaga Polisi
Kehutanan sejumlah 29 (dua puluh Sembilan ) orang lagi sehingga
sebanding dengan luas kawasan Taman Nasional Wakatobi
Maka wajar apabila penegakan hukum di bidang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional
Wakatobi belum berjalan sesuai yang diharapkan. Bagaimanapun
kuantitas/kecukupan dan kualitas sumber daya manusia memiliki
peranan penting bagi berhasilnya penegakan hukum. Tanpa
didukung kualitas dan kuantitas, komitmen akan tegaknya keadilan,
kesiapan aparat penegak hukum dalam penanganan masalah
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, mustahil
terwujud.
Dari sisi kualitas aparat penegak hukum di Balai Taman
Nasional Wakatobi khususnya Polhut hampir rata-rata berijasah
sekolah Menengah Atas (SMA). PPNS kehutanan yang ada belum
memiliki keberanian untuk melakukan tugas penyidikan karena
keterbatasan kemanpuan yang ada. Maka tidak heran kalau selama
ini proses penanganan perkara pidana yang terjadi masih di
serahkan langsung ke Penyidik Polri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
176
Keberhasilan penegakan hukum pidana di bidang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tidak hanya ditentukan
oleh tercukupinya kualitas dan kuantitas dari aparat penegak hukum
baik itu hakim, jaksa, polisi, PPNS dan atau Polisi Kehutanan saja,
tetapi juga sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas dari
peraturan perundangan di bidang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya yang tersedia. Kewenangan yang terbatas
diberikan oleh undang-undang bagi Polisi Kehutanan (Polhut) dan
PPNS Kehutanan dalam pelaksanan tugas perlindungan dan
pengamanan kawasan konservasi dirasakan merupakan sebagai
penghambat dalam pencapaian keberhasilan penegakan hukum
tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi.
Polisi Kehutanan dan PPNS Kehutanan memiliki kewenangan
untuk menegakan hukum hanya terbatas pada ketentuan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kawasan Taman Nasional
Wakatobi adalah kawasan perairan laut dimana tindak pidana yang
sering terjadi lebih menjurus pada perbuatan atau tindak pidana di
bidang perikanan dan lingkungan hidup, seperti kegiatan perikanan
tanpa izin, penangkapan ikan dengan alat yang merusak seperti
Bom/bahan peledak, racun/potassium cyanida, penggunaan alat
bantu kompresor, penambangan batu karang dan pengambilan pasir
pantai. Keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh Polhut dan
PPNS kehutanan menyebabkan tidak optimalnya penanganan
kasus-kasus tersebut diatas. Disamping itu instansi terkait seperti
Dinas Kelautan dan Perikanan dan Kepolisian menganggap
penanganan kasus-kasus tersebut menjadi tanggungjawab Balai
Taman Nasional Wakatobi selaku pengelola kawasan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
177
Polisi kehutanan merupakan pejabat yang bertugas
mengembang fungsi kepolisian khusus tetapi hanya memiliki
kewenangan untuk melakukan kegiatan atau tindakan
preventif/pencegahan yaitu melalui kegiatan patroli pengamanan
kawasan dan penyuluhan ke masyarakat. Polisi kehutanan tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan penangkapan
kecuali tertangkap tangan, menahan, menyita atau melakukan
tindakan lain sesuai hukum yang bertanggungjawab seperti
penyelidik Polri, petugas pengawas perikanan atau petugas bea
cukai. Polisi Kehutanan ketika menemukan kejadian perkara pidana
maka segera melaporkan dan menyerahkan kasus perkara kepada
aparat berwenang khusus ke Kepolisian. Banyak kasus perkara
pidana perikanan yang terjadi di kawasan Taman Nasional
Wakatobi baik yang diserahkan ke Dinas Perikanan Kabupaten
Wakatobi maupun Ke pihak Kepolisian yang tidak jelas
penanganannya. Kondisi ini yang merupakan salah satu tidak
optimalnya penegakan hukum di Taman Nasional Wakatobi.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang menpengaruhi lemahnya penegakan hukum di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman
Nasional Wakatobi terkait dengan unsur aparat penegak hukum
sendiri adalah :
1. Kuantintas aparat; ketersedian/kecukupan aparat/personil
penegak hukum di bidang konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistem sangat mempengaruhi dalam hal pencegahan
terjadi tindak pidana dan optimalisasi pelaksanaan tugas
dilapangan. Jumlah aparat Polisi Kehutanan Balai Taman
Nasional Wakatobi tidak sebanding dengan luas kawasan TNW
yang harus di jaga, menyebabkan pengawasan dan pengamanan
kawasan TNW tidak optimal;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
178
2. Kualitas aparat; rendah kualitas aparat PPNS Kehutanan Balai
Taman Nasional Wakatobi dalam hal penyidikan tindak pidana
di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya menyebabkan beberapa kasus pidana yang terjadi
tidak dapat dilanjutkan proses hukumnya dan sebagian lagi
diserahkan ke penyidik Polri. Disamping itu juga kenyataan
dilapangan menunjukkan bahwa aparat penegak hukum baik
PPNS maupun Polri, penuntut umum dan hakim yang
memahami ketentuan atau peraturan tentang Konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnnya kemanpuannya
masih terbatas. Karena itu perlu mendidik dan mengangkat
tenaga-tenaga yang professional aparat penegak hukum yang
memiliki kemanpuan di bidang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya dan penegakan hukum sehingga
diharapkan nantinya mereka akan manpu menangani kasus-
kasus tindak pidana khususnya di bidang konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya;
3. Pelaksanaan koordinasi antar penegak hukum; koordinasi yang
kurang antar sesama penegak hukum dan instansi teknis
menyebabkan pelaksanaan penegakan hukum dilapangan tidak
efektif hal ini karena ada perbedaan pemahaman antar sesama
penegak hukum. Oleh karena itu pelaksanaan koordinasi antar
sesama penegak hukum (Penyidik/PPNS, Penuntut umum dan
Hakim) mutlak diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan
penegakan hukum khususnya di bidang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
4. Kewenangan aparat penegak hukum yang terbatas; sesuai
dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
Polisi Kehutanan dan PPNS Kehutanan adalah garda terdepan
dalam rangka penegakan hukum tindak pidana di bidang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
179
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, tetapi
dalam hal kewenangan penegakan hukum sangat terbatas.
Polisi Kehutanan walaupun memiliki tugas seperti penyelidik
Polri tetapi tidak memiliki kewenanangan seperti penyelidik
Polri, yang memiliki kewenangan menangkap atas perintah
penyidik dan melakukan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab. Polisi Kehutanan hanya diberi
mandat/kewenanganan oleh undang-undang untuk menegakkan
hukum khusus Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Di
Taman Nasional Wakatobi, tindak pidana yang terjadi yang
berdampak pada kerusakan potensi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya, umumnya merupakan tindak pidana di
bidang Perikanan dan Lingkungan Hidup, di sisi lain Polisi
Kehutanan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan
penegakan hukum di bidang tersebut.
Dalam hal penyidikan tindak pidana di bidang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sesuai dengan amanat
undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PPNS Kehutanan diberikan
kewenangan khusus untuk melakukan tugas penyidikan. Setiap
memulai penyidikan PPNS Kehutanan wajib memberitahukan
dimulainya penyidikan ke pada penyidik Polri dan hasil penyidikan
di serahkan kepada penutut umum melalui pejabat penyidik Polri.197
Keberadaan penyidik pegawai negeri sipil dalam sistem
peradilan pidana berada dalam satu komponen yang sama dengan
penyidik Polisi Republik Indonesia (Polri). Ini diperkuat dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.
197 Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, Pasal 39 ayat (4)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
180
Dalam undang-undang ini disebutkan Polri melakukan koordinasi,
pengawasan dan pembinaan teknis terhadap PPNS. Didalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,
keberadaan PPNS di atur dalam pasal 6 ayat (1) huruf b, pasal 7
ayat (2), pasal 107 dan pasal 109 KUHAP.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP, PPNS bekerja sesuai dengan kewenangan yang diberikan
oleh undang-undang yang merupakan lingkup tugasnya.198 PPNS
Kehutanan yang diberi kewenangan khusus melakukan tugas
penyidikan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya adalah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya , memiliki kewenangan yang sangat terbatas. PPNS
kehutanan dalam penegakan hukum tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya memiliki
kewenangan sangat terbatas tidak sama dengan kewenangan yang
dimiliki oleh penyidik Polri. PPNS Kehutanan tidak memiliki
kewenangan menangkap, menahan pelaku tindak pidana atau
melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab
seperti penyidik Polri. PPNS Kehutanan didalam melaksanakan
tugas penyidikan berada di bawah koordinasi dan pengawasan
pejabat penyidik Polri termasuk dalam hal menangkap dan menahan
pelaku tindak pidana harus meminta bantuan dari pejabat penyidik
Polri karena PPNS Kehutanan tidak memiliki kewenangan.
Di samping itu , PPNS Kehutanan juga tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan penyidikan pada tindak pidana pada
bidang yang lain seperti tindak pidana perikanan atau lingkungan
hidup. Kewenangan PPNS Kehutanan sesuai dengan undang-
undang hanya memiliki kewenangan menegakkan hukum khusus
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
198 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 7 ayat (2)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
181
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jika di lihat lebih dalam
kewenangan PPNS Kehutanan dalam 2 (dua) undang-undang
tersebut di atas tidak mengadopsi ketentuan-ketentuan dasar
kewenangan penyidik sesuai KUHAP yang menyebabkan
ketidakmandirian PPNS dalam melaksanakan tugas penyidikan.
Keterbatasan kewenangan PPNS Kehutanan dalam hal penyidikan
tindak pidana khususnya di bidang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya merupakan salah satu faktor kelemahan
penegakan hukum tindak pidana di konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi.
Untuk mengoptimalkan tugas dan fungsi Polisi Kehutanan dan
PPNS Kehutanan dalam penegakan hukum tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya maka perlu
adanya perubahan ketentuan undang-undang untuk memberikan
kewenangan khusus bagi Polisi Kehutanan dan PPNS sebagai
penyelidik dan penyidik khusus di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya sama seperti kewenangan yang di
miliki Pejabat penyidik Kepolisian RI atau seperti kewenangan
yang dimiliki oleh pejabat PPNS Bea Cukai Kementerian Keuangan
RI.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Sudarto bahwa, dalam
menghadapi masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang
pada intinya sebagai berikut :
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan
pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil
dan makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan
Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum
pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan
mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan
itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
182
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi
dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak
dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian
(materiil dan/atau spiritual) atas warga masyarakat;
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan
prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle);
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memerhatikan kapasitas
atau kemanpuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum,
yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas
(overbelasting). 199
3) Faktor sarana prasarana/fasilitas pendukung
Tanpa adanya sarana atau fasilitas pendukung tidak mungkin
penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan
peranan yang aktual. Faktor sarana prasarana atau fasilitas
pendukung dalam penegakan hukum tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sangat
dibutuhkan untuk pencapaian keberhasilan penegakan hukum.
Ruang lingkupnya adalah terutama sarana fisik yang berfungsi
sebagai faktor pendukung. Taman Nasional Wakatobi merupakan
kawasan perairan laut yang cukup luas sehingga sangat dibutuhkan
dukungan sarana prasarana khususnya sarana prasarana di laut.
Sarana prasarana yang dimaksud meliputi, Kapal laut, speed boat,
senjata api, Global Position System (GPS), kompas, bahan bakar
yang harus memadai, radio pantai, pos jaga, alat tulis kantor (ATK),
dan lain-lain. Disamping itu proses penegakan hukum di laut
memerlukan dukungan biaya yang tinggi, pengguasaan teknologi
konservasi kelautan dan dukungan kemanpuan sumber daya
manusia di bidang konservasi kelautan.
199 Barda Nawawi Arief,Op.Cit. hlm. 31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
183
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor sarana atau
fasilitas pendukung pelaksanaan tugas penegakan hukum
dilapangan juga menyebabkan faktor yang mempengaruhi
lemahnya pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana di bidang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman
Nasional Wakatobi meliputi, kurang ketersediaan operasional
kenderaan patroli, pembiayaan yang tinggi, kurangnya sumber daya
manusia yang terampil dalam pemeliharaan dan perbaikan kendraan
operasional patroli dan manajemen pengelolaan sarana prasarana
yang kurang baik.
Sarana prasarana merupakan elemen penting dalam upaya
penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnnya, oleh karena itu
penyiapan sarana prasarana yang memadai termasuk dukungan
biaya operasional dilapangan serta ketersediaan kualitas sumber
daya manusia yang menjalankannya sangat diperlukan guna
pencapaian keberhasilan penegakan hukum khususnya di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman
Nasional Wakatobi. Oleh karena itu terkait dengan permasalahn di
atas penulis merumuskan bahwa untuk mengoptimalkan
penggunaan sarana atau fasilitas pendukung tugas penegakan
hukum maka pihak Balai Taman Nasional Wakatobi harus
melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum harus
dipisahkan dari penggunaan kepentingan lainnya dengan
kondisi yang siap pakai;
b. Penyiapan tenaga sumber daya manusia yang berpendidikan
dan terampil untuk menggunakan dan perawatan sarana atau
fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
184
c. Penyedian dana operasional/bahan bakar sarana yang
memadai atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum di
setiap SPTN;
d. Adanya standar prosedur operasional penggunaan sarana atau
fasilitas yang mendukung penegakan hukum di setiap SPTN;
e. Dibentuk unit pengelola sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hukum di tingkat UPT Balai dan SPTN
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa terkait sarana atau
fasilitas pendukung dalam penegakan hukum sebaiknya dianut jalan
pikiran sebagai berikut :
a. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul;
b. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan;
c. Yang kurang – ditambah;
d. Yang macet-dilancarkan;
e. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.200
f. Faktor masyarakat
Faktor masyarakat sebagai salah satu faktor yang
mengefektifkan suatu peraturan atau hukum adalah berhubungan
dengan kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-
undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana
dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap
hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang
bersangkutan
Masyarakat merupakan pihak yang secara langsung terkena
dampak atas lahirnya suatu peraturan perundangan, karena itu faktor
ketaatan/kepatuhan masyarakat sangat menentukan berhasil
tidaknya suatu peraturan/hukum diterapkan oleh aparat penegak
hukum.
200 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm. 44
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
185
Pelaksanaan hukum akan berjalan dengan baik sebagaimana
yang diharapkan apabila masyarakat memiliki tingkat kesadaran
hukum yang tinggi. Kesadaran tersebut dapat dimanisfestasikan
dalam bentuk pemahaman, kepatuhan (sikap) dan perbuatan atau
perilaku hukum dalam berbagai aktifitas kehidupan sehari-hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang terkait
dengan masyarakat terhadap lemahnya penegakan hukum tindak
pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi terkait unsur
masyarakat adalah disebabkan oleh beberapa hal meliputi : faktor
kemiskinan, pemahaman dan pengetahuan yang rendah,
keterbatasan sarana usaha bagi nelayan, kebiasaan turun temurun
dalam hal kegiatan penangkapan ikan di perairan kepulauan
Wakatobi tidak mengenal adanya sistem zonasi dan pengaruh
godaan//pengaruh pengusaha dari luar wakatobi dengan pemberian
fasilitas-fasilitas tertentu.
Sesuai dengan data penelitian bahwa para pelaku tindak
pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi waktu 2000 s.d 2011,
dari 34 kasus yang terjadi 15 kasus atau 44,11 persen berasal dari
masyarakat/nelayan lokal wakatobi khususnya masyarakat suku
bajau Mola dan 12 kasus atau 35,30 persen berasal dari nelayan luar
Wakatobi. Ini tentunya menjadi permasalahan yang sangat serius
yang harus diperhatikan oleh pihak pengelola taman nasional.
Pertanyaannya adalah mengapa orang bajo sebagian masyarakatnya
adalah pelaku atau mantan pelaku tindak pidana di bidang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya .
Menurut Hartiwiningsih, menyatakan:
“Keterbatasan tingkat dan kualitas kesadaran hukum masyarakat antara lain disebabkan tidak/kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang sejauhmana pengaruh dan akibat aktivitas yang dilakukannya terhadap lingkungan. Misalnya ia tidak mengetahui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
186
bahwa menangkap ikan dengan bom dapat menghancurkan tatanan ekosistem perairan pantai, yakni karena musnahnya biota laut/pantai dan terumbu karang.”201
Selanjutnya beliau menyatakan :
Penegakan hukum tidak dapat dipisahkan dari upaya pembinaan ketaatan terhadap ketentuan hukum yang berlaku karena penegakan hukum mengandung pengertian juga terhadap kegiatan penyuluhan, pembinaan teknis, pemberian penghargaan dan berbagai bentuk insentif, pengawasan, pemantauan, penindakan sampai kepada penjatuhan sanksi-sanksi hukum baik administrasi dan atau pidana dan atau perdata.202
Hasil studi persepsi yang dilakukan Vaclavikova,M,
Vaclavik, T. & Kostkan, V. di negara Republik Ceko tentang
persepsi para pemangku kepentingan mengenai perlindungan satwa
berang-berang (L.lutra) dengan kepentingan nelayan, yang ditulis
dalam sebuah jurnal yang berjudul “Otters vs. fishermen:
Stakeholders' perceptions of otter predation and damage
compensation in the Czech Republic.” mengindentifikasi bahwa:
“ konflik yang terjadi disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara nelayan dan conservasionis/penggiat serta rendahnya pengetahuan nelayan yang berdampak pada ancaman bahaya kelestarian berang-berang. Rekomendasi hasil studi mereka adalah upaya konservasi atau perlindungan berang-berang di Republik Ceko bahwa daerah dimana upaya perencanaan konservasi dilakukan harus mempertimbangkan kepentingan nelayan kecil, menyusun target kampanye kesadaran lingkungan, penyedian informasi tentang langkah-langkah yang efektif untuk mencegah kerusakan/kepunahan berang-berang. Selain itu dialog yang konstruktif antara kedua kelompok stakeholder (nelayan dan para penggiat konservasi) harus dimulai, dalam rangka meningkatkan saling percaya dan pertukaran informasi. Memahami persepsi stakeholder 'manusia-satwa liar isu dan keterlibatan pemangku kepentingan
201 Hartiwiningsih, Op.Cit, hlm. 77 202 Ibid, hlm.79
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
187
dalam proses konservasi adalah penting untuk pembangunan masa depan dan perbaikan kebijakan difokuskan pada rekonsiliasi konflik antara kegiatan manusia dan spesies dilindungi”
(We demonstrated how a social perspective can be applied to provide insights into stakeholders’ attitudes towards the overall strategy and effectiveness of otter–fishermen conflict mitigation. We identified serious deficiencies in (i) the communication between fishermen and conservationists, and (ii) the knowledge and utilisation of the current damage compensation scheme, which hinder the conflict reconciliation. Our results show prevailing gaps in the conservation of L. lutra in the Czech Republic and suggest the areas into which the efforts of conservation planning, public relations, and environmental awareness campaigns should be targeted. Both conservationists and fishermen (especially small fish farmers) must be provided with resources and detailed information about preventive measures to effectively avert otter damages. In addition, a constructive dialogue between both groups of stakeholders needs to be initiated, in order to increase mutual trust and information exchange. Understanding stakeholders’ perceptions of human–wildlife issues and involvement of stakeholders in the conservation process is essential to future development and improvement of reconciliation policies focused on conflicts between human activities and protected species).203
Dari penjelasan teori diatas penulis berkesimpulan bahwa
upayakan peningkatan kesadaran hukum masyarakat melalui
kampanye/sosialisasi dan membangun dialog dengan para
pemangku kepentingan tentang pengelolaan Taman Nasional
Wakatobi dalam rangka pelestarian sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya serta upaya peningkatan ketaataan terhadap peraturan
di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,
perlu terus-menerus ditingkatkan khusunya terhadap masyarakat,
disamping itu pemberian sanksi yang tegas, baik itu pengusaha,
203 Vaclavikova, M., Vaclavik, T. & Kostkan, V. (2011): Otters vs. fishermen: Stakeholders'
perceptions of otter predation and damage compensation in the Czech Republic. Journal for Nature Conservation 19(2): 95-102, hlm.100
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
188
pejabat, aparat penegak hukum maupun masyarakat harus benar-
benar diterapkan dalam kerangka membangun kepercayaan
masyarakat terhadap aparat penegak hukum dalam penegakan
hukum atas Undang-Undang khususnya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya Di samping itu upaya pengentasan kemiskinan
melalui program pemberdayaan masyarakat harus dilaksanakan di
komunitas Bajo sehingga mereka mengelola usaha ekonomi dan
memiliki pendapatan dari usaha yang legal.
g. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai
yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan
konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik
(sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga
dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-
nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus
diserasikan.
Menurut Moh. Koesnoe :
“Hukum adat merupakan hukum kebiasaan yang berlaku dikalangan
rakyat terbanyak. Disamping itu, berlaku pula hukum tertulis
(perundang-undangan) yang timbul dari golongan tertentu dalam
masyarakat yang menpunyai kekuasaan dan wewenang resmi.
Hukum perundang-undangan tersebut harus mencerminkan nilai-
nilai yang menjadi dasar dari hukum adat supaya hukum perundang-
undangan tersebut dapat berlaku efektif.”204
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor kebudayan yang
terkait dengan faktor yang mempengaruhi lemahnya penegakan
hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam
204 Soerjono Soekanto,Op.Cit, hlm.65
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
189
Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi, meliputi
nilai-nilai konservasi yang dianut atau prinsip yang berbeda antara
masyarakat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
faktor rendahnya pemahaman dan pengetahuan tentang pelestarian
sumber daya alam, kewenangan pengelolaan sumber daya perairan
laut beralih dari masyarakat dengan hukum adat menjadi
sepenuhnya kewenangan pemerintah, dan kemajuan teknologi.
Nilai-nilai konservasi yang dianut oleh masyarakat Wakatobi
dalam hal pemanfaatan perairan laut khususnya dalam penangkapan
ikan sebenarnya sudah ada sejak jaman kesultanan Buton, yang
dikenal dengan istilah pengelolaan sara kadie . Jika dirunut secara
kronologis kurangnya kepatuhan hukum masyarakat dalam hal
pemanfaatan sumberdaya diperairan laut khususnya Kepulauan
Wakatobi, merupakan akibat dari perubahan pengelolaan
sumbedaya laut dari sistem tradisional menjadi sistem formal
ditandai berakhirnya sistem sara di tahun 1960 (bubarnya
Kesultanan Buton) sampai berlakunya penyeragaman pemerintahan
lokal menjadi desa melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1979.
Dalam masa transisi dari kuasa adat ke desa (baca : negara),
pemerintah menetapkan Kepulauan Wakatobi sebagai taman
nasional laut, sebuah instrumen baru yang secara langsung
bersentuhan dengan perihal pengelolaan sumberdaya alam.
Pengelolaan sumberdaya laut melalui sistem formal menyulitkan
proses adaptasi masyarakat yang sudah terbiasa mengelola
sumberdaya laut berdasarkan pengetahuan tradisional yang
dipelajari secara turun-temurun. Sistem baru berada di luar
pengalaman, pengetahuan, kuasa dan sejarah hidup masyarakat
Wakatobi.205
205 Saleh Hanan, Kajian Strategi Pengelolaan Sumberdaya Laut oleh Masyarakat Adat
dalam Kawasan Taman Nasional Wakatobi, Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
190
Pengaturan pengelolaan sumberdaya alam diperairan Wakatobi
dengan sistem zonasi yang berimplikasi pada perbuatan pidana
ketika ada pemanfaatan yang tidak sesuai dengan fungsi zonasi
adalah merupakan hal baru bagi masyarakat. Masyarakat hanya
mengenal perbuatan-perbuatan yang tidak boleh antara lain:
melakukan penangkapan ikan dengan bom, bius atau racun
sejenisnya. Bagi masyarakat Wakatobi usaha budidaya rumput laut,
menangkap ikan boleh diseluruh perairan wakatobi kecuali dengan
menggunakan bahan-bahan seperti tersebut diatas, konsep zonasi
dalam prakteknya masih menyulitkan masyarakat setempat, di
samping itu secara fisik dilapangan tanda-tanda tersebut tidak
nampak sehingga membingungkan nelayan ketika melakukan
kegiatan penangkapan ikan .
Konsep pengelolaan kawasan konservasi khususnya Taman
Nasional di Indonesia sebagian besar mengadopsi panduan IUCN (
the International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources) tentang kawasan kawan yang dilindungi. Kategorisasi
Kawasan Konservasi IUCN ini lalu diadopsi di dalam Undang-
Undang 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, walau tidak seutuhnya. Hanya sayangnya
konsep IUCN dalam membangun Kawasan Konservasi lebih banyak
mengadopsi situasi di negara maju sehingga tidak sepenuhnya co-
cok untuk negara berkembang seperti Indonesia.206
Oleh karena itu, perlu dilakukan inventarisasi, penggalian
gagasan ide-ide lokal, kebiasaan masyarakat dalam melakukan
pemanfaatan wilayah laut yang mendukung upaya konservasi.
Pengelolaan kawasan konservasi laut harus dikaji dengan
gelar Magister pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2010, hlm 2-3
206 Pokja Kebijakan Konservasi,Op.Cit, hlm. 38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
191
pendekatan berbagai aspek meliputi budaya masyarakat Indonesia,
hasil-hasil kajian ilmiah atau penelitian ilmiah. Dan aspirasi
masyarakat setempat
2. Upaya Non Penal (Tanpa Pidana) yang seharusnya dilakukan dalam Menanggulangi Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa upaya penanggulangan
tindak pidana melalui pendekatan/jalur non penal (pencegahan tanpa
pidana) di Taman Nasional Wakatobi telah dilakukan oleh pihak
pengelola atau Balai Taman Nasional Wakatobi meliputi : pelaksanaan
patroli rutin pengamanan kawasan, kegiatan penyuluhan dan sosialisasi
pengelolaan , pemberdayaan masyarakat, pembentukan kader
konservasi dan kelompok pencinta alam , termasuk pembentukan forum
nelayan di tingkat pulau sebagai salah satu model pendekatan dalam
upaya pencegahan kejahatan di bidang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya serta upaya peningkatan peran dan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi.
Berdasarkan hasil penelitian dilapangan menunjukkan bahwa
upaya penanggulangan tindak pidana melalui jalur non penal tersebut
sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh
beberapa hal sebagai berikut :
1) Frekuensi patroli rutin yang dilaksanakan oleh Polisi Kehutanan di
setiap SPTN (Seksi Pengelolaan Taman Nasional) sangat kurang
dikarenakan kurangnya ketersedian bahan bakar kenderaan kapal
laut atau speed boat dan faktor kerusakan armada speed boat atau
kapal patroli;
2) Perencanaan kegiatan patroli rutin belum direncanakan dengan
baik. Target patroli rutin pengamanan kawasan di masing-masing
SPTN belum dirumuskan dengan jelas sehingga tujuan pencegahan
tindak pidana belum optimal dilaksanakan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
192
3) Personil Polisi Kehutanan dimasing-masing SPTN sangat minim
dibanding dengan luas kawasan yang harus dijaga tidak seimbang;
4) Target pencapaian tujuan pelaksanaan kegiatan penyuluhan di
masing-masing SPTN belum dirumuskan secara jelas sehingga
kegiatan penyuluhan belum terarah dengan baik hanya merupakan
kegiatan rutinitas belaka;
5) Kegiatan penyuluhan masih sebatas membangun pemahaman
masyarakat tentang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya serta sosialisasi pengelolaan taman nasional belum
mengarah pada menjawab permasalahan yang muncul di
masyarakat;
6) Sasaran kegiatan penyuluhan belum mengarah kepada para
kelompok sasaran yang tepat;
7) Kuantitas dan Kualitas tenaga penyuluh di Balai Taman Nasional
sangat minim;
8) Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat melalui
pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) belum berhasil
dikarenakan oleh rendahnya pemahaman dan pengetahuan
masyarakat dalam mengembangkan usaha dan kualitas dan
kuantitas staf pendamping/fasilitator lapangan yang kurang.
9) Minimnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat dalam
pengelolaan usaha ekonomi menyebab program penguatan
ekonomi masyarakat yang di dukung Balai Taman Nasional belum
dapat memberi dampak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
10) Dukungan para pihak terkait dalam pengelolaan Taman Nasional
Wakatobi belum sepenuhnya optimal
11) Pembentukan Kader Konservasi dan Kelompok Pencinta alam di
Taman Nasional Wakatobi belum terencana dengan baik sehingga
dirasakan tidak memberikan manfaat yang berarti bagi peningkatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
193
pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya.serta
12) Forum nelayan yang dibentuk di setiap pulau dalam rangka
penyiapan masyarakat terhadap rencana pengelolaan kolaborasi
Taman Nasional Wakatobi ke depan yang pernah di gagas oleh
para pihak sampai saat ini tidak dilanjutkan prosesnya, forum ini
belum dapat memberikan kontribusi yang berarti/positif dalam
pengelolaan Taman Nasional Wakatobi.
Berdasarkan hasil analisa uraian kondisi diatas, diperlukan upaya-
upaya perbaikan atas pelaksanaan kegiatan non penal tersebut diatas
sehingga dapat membawa dampak positif bagi pengelolaan Taman
Nasional Wakatobi ke depan.
Upaya penanggulangan tindak pidana lewat jalur “non penal”
lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya tindak pidana,
sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab
terjadinya tindak pidana antara lain berpusat pada masalah-masalah atau
kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat
menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.
Dalam kerangka kebijakan sosial ataupun program pembangunan.
dikenal adanya Crime Prevention Through Enviromental Design, Yang
dimaksudkan termasuk upaya perbaikan lingkungan untuk mengurangi
kesempatan perilaku kejahatan, juga untuk menghapuskan rasa takut
karena kejahatan dan persepsi resiko kejahatan. Ini dilakukan dengan
peningkatan perbaikan kualitas lingkungan dengan pengurangan
kondisi yang tidak baik, peningkatan kehidupan masyarakat yang patuh
hukum, serta dilaksanakan penghapusan lingkungan fisik yang
cenderung mendukung kejahatan. Hal ini tentu tidak lepas dari
pengembangan masyarakat dengan upaya pembangunan dalam segala
aspek. Dengan demikian, tampaklah keterkaitan yang saling
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
194
mendukung atara upaya penanggulangan kejahatan dengan
pembangunan nasional.207
Berdasarkan kajian teori diatas makan upaya non penal yang
seharusnya dilakukan oleh pihak Balai Taman Nasional adalah
perbaikan kondisi sosial melalui upaya perbaikan taraf hidup,
peningkatan pendapatan dan perbaikan lingkungan sosial melalui
penyuluhan kesadaran hukum khususnya pada kelompok-kelompok
masyarakat yang berpotensi masih melakukan tindak pidana perlu
dilakukan secara intensif. Data yang ada komunitas nelayan Bajo
adalah sangat tepat untuk dilakukan program ini. Di samping itu
kehadiran petugas atau polhut di lingkungan mereka termasuk di lokasi
– lokasi yang rawan terjadinya tindak pidana terutama di perairan
karang dan daerah pesisir sangat diperlukan dalam rangka mencegah
atau membatasi peluang untuk terjadinya tindak pidana
Menurut Sudarto, salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya
patut mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa
masyarakat, baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun
kesehatan/kesejahteraan keluarga ( termasuk masalah kesejahteraan
anak dan remaja) serta masyarakat luas pada umumnya.208 Penggarapan
kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama merupakan upaya
non penal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan.209 Peranan
pendidikan agama dan berbagai bentuk media penyuluhan keagamaan
dalam memperkuat kembali keyakinan dan kemanpuan manusia untuk
mengikuti jalan kebenaran dan kebaikan.210
Pelaksanaan kegiatan penyuluhan bagi masyarakat selama ini yang
dilakukan oleh pihak Balai Taman Nasional masih terbatas pada
sosialisasi undang-undang dan kebijakan pengelolaan Taman Nasional
secara umum, sehingga terkesan merupakan rutinitas belaka yang mana
207 Supanto, Op.Cit, hlm.176 208 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm.46 209 Loc.Cit 210 Ibid, hlm. 47
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
195
terkadang masyarakat masih sulit untuk memahaminya. Menurut
penulis apa yang ditulis oleh Sudarto di atas patut di pertimbangan.
Pelaksanaan kegiatan penyuluhan dan pendidikan keagamaann bagi
masyarakat sangat penting mengingat semua ajaran agama pada
prinsipnya mengajak orang untuk berbuat atau bertindak benar dalam
menjalani kehidupan.
Selanjutnya Sudarto mengatakan kegiatan razia/operasi yang
dilakukan oleh pihak kepolisian di beberapa tempat tertentu dan
kegiatan yang berorientansi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan
komunikatif edukatif dengan masyarakat, dapat pula dilihat sebagai
upaya non penal yang perlu diefektifkan.211
Kongres PBB ke-6 tahun 1980 di Caracas, Venezuela antara lain
dinyatakan di dalam pertimbangan resolusi mengenai “ Crime tends
and crime prevention strategis”:
1) Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian
kualitas lingkungan hidup yang layak/pantas bagi semua orang;
2) Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada
penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan
kejahatan;
3) Bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak negara ialah
ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional,
standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan
(kebodohan) di antara golongan besar penduduk.212
Kebijakan penanggulangan kejahatan tidak banyak artinya apabila
kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan itu sendiri justru
menimbulkan faktor-faktor kriminogen dan victimogen. Disinyalir
dalam berbagai Kongres PBB (mengenai The Prevention of Crime and
the Treatment of Offenders), bahwa pembangunan itu sendiri dapat
bersifat “kriminogen” apabila pembangunan itu :
211 Ibid, hlm. 49 212 Ibid, hlm 43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
196
a. Tidak direncanakan secara rasional ( it was not rationally
planned); atau direncanakan secara timpang, tidak memadai/tidak
seimbang (unbalanced/inadequately planned);
b. Mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral (disregarded cultural
and moral values); dan
c. Tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang
menyeluruh/integral (did not include integrated social defence
strategies).213
Institut Kebijakan Sosial Caledon yang dikutip Lynn Fournier-Ruggles dalam tulisannya yang berjudul “The Cost of Getting Tough on Crime: Isn’t Prevention the Policy Answer” menyatakan bahwa :
“recognizes the success of the social development approach to crime prevention, which attempts to address the root causes of crime in society, recognizing that crime stems from a variety of critical experiences in people‘s lives: family violence; poor parenting; negative school experiences; poor housing; a lack of recreational, health and environmental facilities; inadequate social support; peer pressure; unemployment; and lack of opportunity and poverty (Jamieson and Hart 2003: 3). The crime prevention social development theory emphasizes investing in individuals, families and communities by providing social, recreational, educational and economic interventions and support programs for those individuals, mainly young people, who are most at risk of becoming involved in crime before they come into conflict with the law. It also includes investing in rehabilitative interventions for people who are already in conflict with the criminal justice system.”214 (Keberhasilan pendekatan pembangunan sosial untuk pencegahan kejahatan, dilaksanakan dengan mengatasi akar penyebab kejahatan dalam masyarakat, dinyatakan bahwa kejahatan berasal dari berbagai kritis pengalaman dalam kehidupan manusia: kekerasan dalam keluarga, orangtua miskin; pengalaman sekolah yang negatif; perumahan yang buruk, kurangnya fasilitas rekreasi, kesehatan dan lingkungan; dukungan sosial yang tidak memadai; tekanan teman
213 Ibid, hlm. 46 214 Lynn Fournier-Ruggles, “The Cost Getting Tough on Crime: isn’t Prevention the Policy
Answer”, dalam Journal of Public Policy, Administration and Law Volume 2, October 2011, hlm. 25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
197
sebaya, pengangguran, dan kurangnya kesempatan dan kemiskinan. Teori pembangunan sosial menjelaskan bahwa pencegahan kejahatan menekankan investasi pada individu, keluarga dan masyarakat dengan menyediakan sosial, rekreasi, intervensi pendidikan dan ekonomi dan program dukungan bagi orang-orang, terutama orang muda, yang paling berisiko menjadi terlibat dalam kejahatan sebelum mereka datang ke dalam konflik dengan hukum. Hal ini juga mencakup berinvestasi pada intervensi rehabilitatif untuk orang yang sudah dalam konflik dengan sistem peradilan pidana.)
Dari beberapa kajian teori di atas penulis menyimpulkan bahwa
upaya non penal yang seharus dilakukan oleh Balai Taman Nasioanal
Wakatobi dalam rangka penanggulangan tindak pidan di bidang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman
Nasional Wakatobi adalah sebagai berikut :
1. Upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendidikan bagi
komunitas Bajo harus dilaksanakan baik oleh pihak Balai Taman
Nasional Wakatobi maupun pemerintah daerah Kabupaten
Wakatobi
2. Pelaksanaan program pendidikan konservasi bagi generasi muda
atau remaja dan penyuluhan di bidang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya terhadap masyarakat harus di
padukan dengan pendidikan/penyuluhan keagaman dan penyuluhan
kesadaran hukum yang seharusnya dilakukan oleh unsur
pemerintah terkait dalam hal ini pihak Balai Taman Nasional
Wakatobi, instansi Pemda Wakatobi dan pihak Polres Wakatobi
3. Pelaksanaan program pembangunan pengelolaan Taman Nasional
Wakatobi juga harus mempertimbangkan segi sosial, budaya dan
ekonomi masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan hidup,
peningkatan sarana/fasilitas alat tangkap perikanan yang sesuai
dengan prinsip konservasi dan kebiasan masyarakat dan tingkat
adaptasi masyarakat terhadap penerapan zonasi Taman Nasional
Wakatobi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
198
4. Perlunya dirumuskan dan disusun program bersama Balai Taman
Nasional Wakatobi dan Pemerintah Daerah Kab. Wakatobi tentang
pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat pada masyarakat
Bajo khusus komunitas Mola dan Mantigola
5. Pembatasan pemberian izin penanmpungan ikan hidup bagi
pengusaha luar Wakatobi.
Di samping upaya-upaya tersebut diatas , pelaksanaan kegiatan non
penal yang sebelum telah dilaksanakan oleh pihak Balai Taman
Nasional tetap harus dilanjutkan dengan melakukan perbaikan-
perbaikann dalam pelaksanaannya . diuraikan sebagai berikut :
1. Patroli Rutin Pengamanan Kawasan Taman Nasional
Pelaksanaan kegiatan patroli rutin kawasan Taman Nasional
Wakatobi di masing-masing SPTN merupakan upaya pencegahan
terhadap perbuatan pidana. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan
upaya perbaikan yang seharusnya dilakukan oleh pihak Balai
Taman Nasional Wakatobi di masing-masing SPTN adalah sebagai
berikut :
1) Penjadwalan kegiatan patroli rutin bulanan dimasing-masing
SPTN;
2) Perawatan secara berkala armada/kendaraan patroli sehingga
setiap saat dapat digunakan secara maksimal;
3) Penyedian stok bahan bakar kendaraan/armada patroli di
masing-masing SPTN;
4) Penyusunan peta rawan gangguan di masing-masing SPTN;
5) Penambahan jumlah personil Polisi Kehutanan di masing-
masing SPTN sesuai dengan luas kawasan yang dijaga;
6) Peningkatan kapasitas personil Polisi Kehutanan tentang tehnik
pengamanan pada wilayah perairan laut;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
199
7) Pelaksanaan razia/operasi peredaran satwa yang dilindungi
pada tempat-tempat penampungan biota/satwa laut di daerah
pesisir dan karang;
8) Pemeriksaan secara rutin izin-izin usaha perikanan bersama
instansi Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Wakatobi;
9) Membangun kerjasama pengamanan kawasan Taman Nasional
dengan pihak Polsek dimasing-masing kecamatan;
10) Pembuatan dan pemasangan papan informasi peta zonasi
Taman Nasional Wakatobi, pelarangan kegiatan yang tidak
dibolehkan/perbuatan pidana di Taman Nasional Wakatobi;
2. Kegiatan Penyuluhan dan Sosialisasi Pengelolaan Taman Nasional
Wakatobi
Peningkatan kesadaran masyarakat dan bina cinta alam
dimaksudkan untuk lebih meningkatkan pemahaman dan kesadaran
masyarakat akan pentingnya konservasi sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya. Sehingga dapat lebih berperan aktif secara
langsung dalam kegiatan pelestarian dan pengamanan sumberdaya
alam yang terdapat dalam kawasan TNW. Untuk mewujudkan
maksud tersebut, beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan yaitu :
penyuluhan dan sosialisasi, pembinaan kelompok
masyarakat/generasi muda, pembentukan dan pembinaan Kader
Konservasi (KK), pengembangan kerjasama penerapan kurikulum
muatan lokal berbasis pengelolaan SDA, serta monitoring dan
evaluasi.215
Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan kegiatan
penyuluhan dalam rangka peningkatan pemahaman masyarakat
akan pentingnya konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi belum menunjukkan
pencapaian hasil sesuai yang harapkan. Berdasarkan hasil
215 Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi 1998-2023, hlm. 95
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
200
wawancara dilapangan upaya yang seharusnya dilakukan dalam
rangka pencapaian tujuan penyuluhan bagi masyarakat adalah
sebagai berikut :
1) Sasaran penyuluhan sebaiknya lebih fokus pada masyarakat
pesisir yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi
terhadap sumber daya alam di Taman Nasional Wakatobi
khususnya masyarakat yang berasal dari komunitas Bajo Mola
dan Mantigola. Sesuai data hasil penelitian hampir rata-rata
pelaku tindak pidana di kawasan Taman Nasional Wakatobi
berasal dari kedua komunitas masyarakat tersebut;
2) Peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga penyuluh lapangan.
Data yang ada di Balai Taman Nasional Wakatobi jumlah
penyuluh hanya berjumlah 3 (tiga) orang, masing-masing
SPTN hanya memiliki 1 (satu) tenaga penyuluh lapangan;
3) Perumusan tujuan penyuluhan harus sesuai dengan
permasalahan/kebutuhan masyarakat dalam rangka peningkatan
pemahaman dan pengetahuan masyarakat serta peningkatan
taraf hidup bagi masyarakat dikawasan Taman Nasional
Wakatobi.
3. Program Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat, adalah segala upaya yang dilakukan
oleh sekelompok masyarakat, dengan atau tanpa dukungan pihak
luar, agar mampu terus mengembangkan daya atau potensi yang
dimiliki, demi perbaikan mutu-hidupnya, secara mandiri dan
berkelanjutan.216
Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi,
bertujuan untuk:
216 Departemen Kehutanan, Dirjen PHKA, Direktorat Pemanfaatan Pemanfaatan Jasa
Lingkungan dan Wisata Alam, Pedoman Kriteria dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi, Bogor, 2007, hlm. 4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
201
1. Menjamin keseimbangan ekologis, ekonomi, maupun sosial
budaya dan kelestarian kawasan konservasi.
2. Meningkatkan kemandirian masyarakat sebagai pendukung
utama dalampembangunan kehutanan melalui peningkatan
ekonomi kerakyatan di sekitar kawasan konservasi.
3. Mengaktualisasikan akses timbal balik peran masyarakat dan
fungsi kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat.217
Karena itu, pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan
konservasi, harus ditujukan bukan sekedar untuk mengamankan
kawasan konservasi dari kerusakan, melainkan bertujuan untuk
terus menerus menumbuh-kembangkan kesadaran dan kemampuan
ekonomi masyarakat, agar berpartisipasi dalam pembangunan
kawasan konservasi secara lestari.
Keberhasilan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat
yang dilakukan dinilai melalui beberapa indikator, antara lain :
1. Terbangunnya kesepahaman dengan para pihak (stakeholders)
terkaitdengan kegiatan pemberdayaan masyarakat.
2. Telah terdapat fasilitator/pendamping yang efektif bagi kegiatan
pemberdayaan masyarakat di lapangan.
3. Terbangun dan berkembangnya kelembagaan masyarakat di
tingkat desa, dan berfungsi dengan baik.
4. Kapasitas SDM (Pengelola dan Masyarakat) meningkat.
5. Ketrampilan dan pengetahuan SDM (Pengelola dan
Masyarakat)meningkat.
6. Kegiatan usaha ekonomi masyarakat telah berkembang.
7. Terbangunnya jejaring kerja dengan pola kemitraan.
8. Terpeliharanya fungsi kawasan hutan konservasi.
9. Terbentuk dan berfungsinya PAMSWAKARSA.218
217 Ibid, hlm. 8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
202
Pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk mendorong
peningkatan pendayagunaan potensi yang terdapat di masyarakat,
untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar
kawasan serta dukungannya terhadap kawasan dalam pelestarian
Sumber Daya Alam melalui kegiatan-kegiatan : penguatan
kapasitas masyarakat dan kelompok pengguna sumberdaya laut,
pengembangan usaha ekonomi masyarakat pengguna sumber daya
alam di daerah penyangga, pengembangan usaha ekonomi
alternatif yang berkelanjutan bagi masyarakat dan kelompok
pengguna sumber daya alam serta pengembangan Model Desa
Konservasi (MDK) sebagai wahana pengembangan potensi lokal
kearah harmonisasi interaksi manusia dengan alamnya219
Hasil penelitian menunjukan bahwa program kegiatan
pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan oleh pihak
Balai Taman Nasional Wakatobi melalui kegiatan-kegiatan seperti
yang tersebut diatas belum menunjukkan pencapaian hasil yang
maksimal. Dari hasil penelitian dilapangan faktor rendahnya
pemahaman dan pengetahuan masyarakat dalam hal pelaksanakan
kegiatan pemberdayaan di desa menyebabkan ketidakberhasilan
pelaksanaan program dilapangan disamping itu kualiatas
pendamping/fasilitator dari Balai Taman Nasional Wakatobi juga
sangat menpengaruhi rendahnya pencapaian tujuan pelaksanaan
kegiatan pemberdayaan di masyarakat. Faktor lainnya adalah
sasaran pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat khususnya
program model desa konservasi kurang tepat sasaran dimana
pelaksanaan program-program tersebut tidak/belum menyentuh
pada kelompok-kelompok sasaran yang selama ini memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap kawasan Taman Nasional
218 Departemen Kehutanan, Dirjen PHKA, Direktorat Pemanfaatan Pemanfaatan Jasa
Lingkungan dan Wisata Alam, Pedoman Monitoring dan Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi, Bogor, 2008, hlm. 19
219, Ibid, hlm. 96
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
203
Wakatobi seperti di komunitas Bajo. Dari data yang ada
pelaksanaan program model desa konservasi di Taman Nasional
Wakatobi dilaksanakan di 5 (lima) desa dan hanya 1 (satu) desa
pada komunitas bajo yaitu Desa Sama Bahari sementara desa yang
menunjukkan tingkat asal pelaku tindak pidana yang cukup tinggi
di kawasan Taman Nasional tidak masuk dalam target program
pemberdayaan model desa konservasi. Faktor lainnya adalah pada
pelaksanaan kegiatan penguatan ekonomi masyarakat proses
pelaksanaannya belum memenuhi kriteria tahapan pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat sehingga program tersebut tidak lebih
seperti sumbangan bagi masyarakat tidak terencana dengan baik
sehingga hasilnya tidak dapat dilakukan monitoring dan evaluasi
pelaksanaannya.
Tahapan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat yang
merupakan dasar dalam penentuan kriteria dan indikator
pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Membangun kesepahaman.
2. Membangun/mengembangkan kelembagaan tingkat desa.
3. Menyiapkan fasilitator/pendamping.
4. Pelatihan PRA.
5. Melaksanakan PRA.
6. Peningkatan kapasitas SDM
7. Pengembangan usaha ekonomi produktif.
8. Membangun kemitraan dan jejaring usaha.
9. Monev dan pembinaan pengembangan kegiatan pemberdayaan
masyarakat.220
Dari kondisi diatas upaya yang seharusnya dilakukan dalam
rangka peningkatan pencapaian tujuan program pemberdayaan
masyarakat adalah sebagai berikut :
220 Ibid, hlm. 12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
204
1) Peningkatan pemahaman dan pengetahuan masyarakat pada
desa-desa sasaran program melalui kegiatan pelatihan, magang,
atau studi banding ke daerah lain di Indonesia yang dianggap
berhasil dalam pelaksanaan program pemberdayaan
masyarakat;
2) Perlunya pelaksanaan kegiatan pemberdayaan program model
desa konservasi pada komunitas desa di Kampung
Mola/komunitas Bajo dan Desa Mantigola;
3) Peningkatan kuantitas dan kualitas staf Balai Taman Nasional
Wakatobi khususnya pendamping program pemberdayaan
masyarakat.
4. Pembentukan Kader Konservasi dan Kelompok Pencinta Alam
Pembentukan Kader Konservasi dan Kelompok Pencinta Alam
Balai Taman Nasional Wakatobi dilaksanakan dalam rangka
peningkatan penyadaran masyarakat dan bina cinta alam
khususnya bagi generasi muda, Sehingga dapat lebih berperan aktif
secara langsung dalam kegiatan pelestarian dan pengamanan
sumberdaya alam yang terdapat dalam kawasan TNW. Dari hasil
penelitian dilapangan menunjukan bahwa peran dan fungsi kader
konservasi dan kelompok pencinta alam yang di bina oleh Balai
Taman Nasional Wakatobi belum menunjukan peran yang efektif
dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi. Agar tujuan
kegiatan tersebut dapat tercapai maka upaya yang seharusnya
dilakukan adalah :
1) Perlunya perumusan tujuan dan program kegiatan kader
konservasi dan kelompok pencinta alam di Taman Nasional
Wakatobi sehingga mereka memiliki peran dan fungsi yang
jelas untuk berperan aktif dalam pengelolaan Taman Nasional
Wakatobi ;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
205
2) Penguatan kelembagaan kader dan kelompok pencinta alam
Taman Nasional Wakatobi;
3) Peningkatan kapasitas anggota kader konservasi dan kelompok
pencinta alam;
4) Dukungan pendanaan pelaksanaan kegiatan kader konservasi
dan kelompok pencinta alam;.
5. Pembentukan forum Nelayan Antar Pulau
Seperti telah dijelaskan pada hasil penelitian diatas bahwa
pembentukan Forum Nelayan antar Pulau di Wakatobi
dilaksanakan dalam rangka menyiapkan masyarakat sebagai bagian
salah satu pihak dalam rencana pengelolaan kolaborasi Taman
Nasional Wakatobi ke depan, namun forum ini tidak
ditindaklanjuti secara serius oleh pihak Balai Taman Nasional
Wakatobi. Dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi
Tahun 1998 s.d 2023 dijelaskan bahwa pengembangan kerjasama
kemitraan pengelolaan TNW merupakan wujud dari paradigma
pengelolaan kawasan konservasi sebagai bagian dari tanggung
jawab banyak pihak dengan menjalin kerjasama-kerjasama dalam
mendukung pengelolaan melalui pengembangan kerjasama dengan
institusi/lembaga/pihak lain dalam rangka efektifitas dan
peningkatan kapasitas pengelolaan (pemerintah, LSM, lembaga
pendidikan, kelompok/lembaga masyarakat) lingkup lokal,
regional, nasional dan internasional serta pengembangan
mekanisme kerjasama pengelolaan (penyusunan nota kesepahaman
kerjasama pengelolaan TNW, penyusunan rencana kerja bersama,
pelaksanaan rencana kerja bersama dan monitoring & evaluasi
bersama).
Sejak tahun 2003 sampai sekarang Balai Taman Nasional
Wakatobi telah membangun kerjasama pengelolaan Taman
Nasional Wakatobi dengan pihak-pihak terkait antara lain TNC-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
206
WWF bersama pemerintah Kabupaten Wakatobi. Salah satu hasil
yang telah dicapai adalah rekomendasi bersama para pihak hasil
lokakarya tingkat Kabupaten Wakatobi tanggal 28 s.d 29 Desember
2004 adalah pembentukan forum nelayan antar pulau sebagai kerja
awal penyiapan pengelolaan kolaborasi Taman Nasional Wakatobi
ke depan, dimana unsur perwakilan masyarakat khususnya nelayan
pengguna sumber daya merupakan salah satu pihak yang setara
dalam forum kolaborasi Taman Nasional yang dimaksud.
Berdasarkan kajian beberapa teori yang telah dibahas diatas,
menurut penulis, pembentukan forum nelayan antar pulau
seharusnya tetap menjadi kerangka dasar atau kebijakan yang harus
tetap diambil oleh pihak Balai Taman Nasional Wakatobi untuk
menyiapkan masyarakat sehingga dapat berperan dalam forum
pengelolaan kolaborasi Taman Nasional Wakatobi dan
berpartisipasi secara langsung dalam pengelolaan Taman Nasional
Wakatobi. Hal ini juga merupakan wujud kepedulian pihak
pengelola Taman Nasional Wakatobi terhadap eksistensi
masyarakat lokal Wakatobi atas hak pemanfaatan dan kepemilikan
sumber daya alam di Kepulauan Wakatobi. Peran serta masyarakat
dalam pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya juga merupakan amanat Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnnya, pada Pasal 37 ayat (1), dan ayat (2)
Selain itu upaya yang seharus dilakukan dalam mempercepat
dukungan para pihak dan pelaksanaan terhadap rencana
pengelolaan kolaborasi Taman Nasional Wakatobi adalah sebagai
berikut :
1) Pihak Balai Taman Nasional Wakatobi bersama Pemerintah
daerah perlunya membangun komunikasi dan negosiasi
dengan pihak DPRD Kabupaten Wakatobi, agar zonasi Taman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
207
Nasional Wakatobi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
RTRW Kabupaten Wakatobi, yang dikukuhkan melalui
Peraturan Daerah sehingan pemanfaatan sumber daya alam di
kawasan Taman Nasional Wakatobi mengacu pada tata ruang
zonasi Taman Nasional wakatobi hasil revisi;
2) Pembagian peran dan tanggungjawab antara pemerintah
daerah dan pihak Balai Taman Nasional Wakatobi terkait
pengelolaan kawasan Taman Nasional Wakatobi berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku;
3) Pengembangan sistem pengelolaan kolaborasi/kerjasama
Taman Nasional Wakatobi yang diwujudkan dalam bentuk
kegiatan: 1) pembentukan mekanisme pengelolaan kolaboratif
dengan membuat rancangan/model mekanisme pengelolaan
bersama, penerapan model mekanisme pengelolaan bersama,
pembentukan wadah/ruang konsultasi pengelolaan bersama
TNW dan penetapan (kedudukan, fungsi & peran para pihak
dalam pengelolaan kolaborasi); 2) Penguatan forum konsultasi
para pihak dengan memfasilitasi pelatihan/kursus,
memfasilitasi pertemuan rutin di tingkat Desa 1 bulan sekali,
Kecamatan 3 bulan sekali dan Kabupaten 6 bulan sekali; 3)
Formulasi dan penerapan mekanisme keluhan (Grievance
mechanism) dengan merancang mekanisme dan
impelementasinya. Hal ini telah tertuang dalam rencana
pengelolaan Taman Nasional Wakatobi tahun 1998 s.d 2023
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
208
BAB V.
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut diatas, maka
simpulan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan penegakan hukum
tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi adalah :
a. Faktor Hukum sendiri (Undang-Undang) meliputi : perumusan
yang abstrak ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya , unsur delik dalam undang-undang ini merupakan
delik materiil, dalam praktek kesulitan dalam pembuktiannya,
tidak dirumuskannya pertanggungjawaban korporasi atau badan
hukum, dan rumusan ketentuan pidana undang-undang ini tidak
mengatur ketentuan sanksi minimum khusus mengakibatkan vonis
hukuman rata-rata ringan.
b. Faktor Aparat Penegak Hukum meliputi : kualitas dan kuatitas
aparat penegak hukum Polhut dan PPNS kehutanan sangat minim,
Kewenangan yang terbatas yang dimiliki oleh Polhut dan PPNS
dalam hal penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya , perbedaan
persepsi antara sesama penegak hukum yang dipengaruhi oleh
rendahnya pemahaman dan pengetahuan aparat penegak hukum
dalam penerapan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya serta kordinasi yang masih kurang.
c. Faktor Sarana/Fasilitas Pendukung meliputi : kurang
ketersediaan/kesiapan operasional kendraan patroli, pembiayaan
yang tinggi, kurangnya sumber daya manusia yang terampil dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
209
pemeliharaan dan perbaikan kendraan operasional patroli dan
manajemen pengelolaan sarana prasarana yang kurang baik.
d. Faktor Masyarakat meliputi : faktor kemiskinan, pemahaman dan
pengetahuan yang rendah, keterbatasan sarana usaha bagi nelayan,
kebiasaan turun temurun dalam hal kegiatan penangkapan ikan di
perairan kepulauan Wakatobi tidak mengenal adanya sistem
zonasi dan pengaruh godaan/pengaruh pengusaha dari luar
wakatobi dengan pemberian fasilitas-fasilitas tertentu.
e. Faktor Kebudayaan meliputi : perbedaan nilai-nilai konservasi
yang dianut atau prinsip yang antara masyarakat dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, rendahnya pemahaman dan
pengetahuan tentang pelestarian sumber daya alam, kewenangan
pengelolaan sumber daya perairan laut beralih dari masyarakat
dengan hukum adat menjadi sepenuhnya kewenangan pemerintah.
Sistem baru berada di luar pengalaman, pengetahuan, kuasa dan
sejarah hidup masyarakat Wakatobi. Pengaturan pengelolaan
sumberdaya alam diperairan Wakatobi dengan sistem zonasi yang
berimplikasi pada perbuatan pidana ketika ada pemanfaatan yang
tidak sesuai dengan fungsi zonasi adalah merupakan hal baru bagi
masyarakat serta pengaruh kemajuan teknologi
2. Upaya Non Penal yang seharusnya dilakukan dalam menanggulangi
tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi adalah :
a. Melakukan upaya perbaikan dan peningkatan atas pelaksanaan
kegiatan upaya non penal yang sebelumnya telah dilaksanakan
oleh pihak Balai Taman Nasional Wakatobi seperti yang telah
dirumuskan penulis dalam pembahasan di atas
b. Upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendidikan bagi
komunitas Bajo harus dilaksanakan baik oleh pihak Balai Taman
Nasional Wakatobi maupun Pemerintah Daerah Kabupaten
Wakatobi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
210
c. Pelaksanaan program pendidikan konservasi bagi generasi muda
atau remaja dan penyuluhan di bidang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya terhadap masyarakat harus di
padukan dengan pendidikan/penyuluhan keagaman dan
penyuluhan kesadaran hukum yang seharusnya dilakukan oleh
unsur pemerintah terkait dalam hal ini pihak Balai Taman
Nasional Wakatobi, instansi Pemerintah Daerah Kabupaten
Wakatobi dan pihak Polres Wakatobi
d. Pelaksanaan program pembangunan pengelolaan Taman Nasional
Wakatobi juga harus mempertimbangkan segi sosial, budaya dan
ekonomi masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan hidup,
peningkatan sarana/fasilitas alat tangkap perikanan yang sesuai
dengan prinsip konservasi dan kebiasan masyarakat dan tingkat
adaptasi masyarakat terhadap penerapan zonasi Taman Nasional
Wakatobi
e. Perlunya dirumuskan dan disusun program bersama Balai Taman
Nasional Wakatobi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi
tentang pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat pada
masyarakat Bajo khusus komunitas Mola dan Mantigola
f. Pembatasan pemberian izin penanmpungan ikan hidup bagi
pengusaha luar Wakatobi.
B. Implikasi
Konsekuensi logis dari fakta-fakta terhadap simpulan tersebut di atas
maka implikasi yang dapat terjadi adalah sebagai berikut :
1. Adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan dalam
pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi
sumber daya alam dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi
yang disebabkan oleh faktor-faktor hukumnya sendiri (undang-
undang), aparat penegak hukum, sarana/fasilitas pendukung,
masyarakat dan kebudayaan mengakibatkan tindakan pidana di bidang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
211
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem di Taman Nasional
Wakatobi tidak dapat dihentikan atau di cegah dengan maksimal .
Beberapa tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya sampai saat ini masih saja terjadi adalah kegiatan
penangkapan ikan dengan menggunakan bom, racun (potassium
cyianida), pemanfaatan yang tidak sesuai dengan fungsi zonasi taman
nasional, penambangan batu karang dan pasir pantai . proses
penanganan atau penegakan hukum masih terkesan lamban serta
dukungan para pihak termasuk masyarakat dalam proses penegakan
hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya tidak maksimal. Hal ini berdampak pada bahaya
kerusakan dan kepunahan sumber daya alam dan keanekaragam hayati
di Taman Nasional Wakatobi
2. Belum optimalnya pelaksanaan penanggulangan tindak pidana di
bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dengan
pendekatan upaya non penal di Taman Nasional Wakatobi
menyebabkan masalah-masalah dan faktor kondisi sosial yang
merupakan faktor kondusif penyebab tumbuh kejahatan atau tindak
pidana dalam pemanfaatan sumberdaya alam di Taman Nasional
Wakatobi belum dapat dihilangkan atau ditangani dengan baik. Faktor
kemiskinan, rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat
terhadap pentingnya upaya konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dalam pengelolaan sumber daya alam serta minimnya
keterampilan masyarakat dalam mengembangkan usaha ekonomi
produktif masih menjadi faktor kondusif penyebab terjadinya tindak
pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
212
C. Saran
Dari hasil penelitian,simpulan dan implikasi di atas, penulis
memberikan masukan dan saran-saran sebagai berikut:
1. Untuk mengatasi faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan dalam
pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional
Wakatobi, saran penulis dapat dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut :
a. Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang):
1) Perumusan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya dalam Undang-undang Nomor
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya ke depan harus disusun dalam delik formil
dan dalam formulasi yang mudah untuk diimplementasikan
oleh aparat penegak hukum baik dalam proses penyidikan,
penuntutan maupun proses peradilan.
2) Perumusan ketentuan pidana dalam undang-undang di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya harus
mengatur tentang ancaman hukuman minimum.
3) Perumusan ketentuan pidana dalam undang-undang di bidang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
harus mengatur tentang pertanggungjawababn pidana yang
dilakukan oleh korporasi atau badan hukum
4) Pemberian kewenangan yang lebih luas kepada Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Kehutanan khususnya dalam hal
kewenangan melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
pelaku tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya dalam Undang-undang di bidang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
serta kewenangan Polisi Kehutanan dalam tugas pengamanan
kawasan dan penyelidikan tindak pidana di bidang konservasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
213
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,sebagai bahan
studi perbandingan seperti kewenangan yang di miliki oleh
pejabat pengawas Kelautan dan Perikanan atau pejabat Bea
Cukai yang juga memiliki fungsi yang sama seperti Polhut
yaitu fungsi pengembang tugas kepolisian khusus.
b. Faktor Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang menerapkan
hukum:
1) Peningkatan kualitas dan kuantitas petugas Polisi Kehutanan
dan PPNS Kehutanan Balai Taman Nasional Wakatobi.
Peningkatan ini dapat dilakukan dengan mengajukan
penambahan jumlah formasi kebutuhan Polisi Kehutanan dan
PPNS Kehutanan serta memberikan kesempatan untuk
mengikuti pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan
pengetahuan. Di samping itu juga penerapan pola reward and
punishment harus dilaksanakan dengan selektif dan transparan
untuk memacu kompetensi kemampuan aparatur.
2) Peningkatan kapasitas PPNS Kehutanan melalui diklat,
magang atau studi banding ke UPT lain (Taman Nasional atau
Balai KSDA) Diretorat Jenderal Perlindungan Hutan
Konservasi Alam Kementerian Kehutanan di Indonesia yang
dianggap berhasil dalam penegakan hukum tindak pidana di
bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
3) Meningkatkan koordinasi antara sesama aparat penegak
hukum (Polhut, PPNS, Penyidik Polri, Kejaksaan dan
Pengadilan (Hakim) termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten
Wakatobi dalam rangka membangun persepsi yang sama
tentang strategi penegakan hukum tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem di Taman
Nasional Wakatobi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
214
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
1) Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum harus
dipisahkan dari penggunaan kepentingan lainnya dengan
kondisi yang siap pakai.
2) Penyiapan tenaga sumber daya manusia yang berpendidikan
dan terampil untuk menggunakan dan perawatan sarana atau
fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
3) Penyedian dana operasional/bahan bakar sarana yang
memadai atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum di
setiap SPTN
4) Adanya standar prosedur operasional penggunaan sarana atau
fasilitas yang mendukung penegakan hukum di setiap SPTN
5) Dibentuk unit pengelola sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hukum di tingkat UPT Balai dan SPTN
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan:
1) Peningkatan penyuluhan, sosialisasi dan pembinaan kepada
masyarakat tentang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dan kesadaran hukum.
2) Peningkatan program pemberdayaan masyarakat pada desa-
desa pesisir yang teridentifikasi masyarakatnya masih
melakukan kegiatan yang merusak atau melakukan
pelanggaran tindak pidana dalam pemanfaatan sumber daya
alam di Taman Nasional Wakatobi.
e. Faktor kebudayaan, yakni nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak
mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang
dianggap buruk (sehingga dihindari).: yaitu mempertimbangkan
atau mengadopsi nilai-nilai ekologis kearifan lokal masyarakat
setempat dalam pengelolaan dan pengaturan pemanfaatan sumber
daya alam di kawasan Taman Nasional Wakatobi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
215
2. Untuk meningkatan keberhasilan upaya non penal yang seharusnya di
lakukan dalam menanggulangi tindak pidana di bidang konservasi
sumber daya hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi,
Penulis menyarankan sebagai berikut :
a. Membangun peningkatan hubungan kerjasama dengan unsur
instansi terkait Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi dan
Lembaga Swadaya masyarakat dalam pelaksanaan program
Model Desa Konservasi di Taman Nasional Wakatobi sebagai
bagian dari pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat di
dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi;
b. Pelaksanaan kampanye dan pendidikan konservasi untuk semua
kalangan masyarakat umum;
c. Untuk menghindari/menghilangkan pengaruh negatif dari
pengusaha luar wakatobi terhadap nelayan-nelayan lokal dalam
melakukan penangkapan ikan yang merusak atau melanggar
pidana maka upaya yang seharusnya dilakukan adalah pembatasan
atau pelarangan izin untuk penampung ikan hidup/ikan karang
bagi pengusaha luar Wakatobi;
d. Peningkatan program pemberdayaan masyarakat di komunitas
masyarakat bajo melalui bantuan permodalan usaha;
e. Perlunya program pendampingan/pembinaan dan penyadartahuan
tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnyan
secara intensif bagi masyarakat bajo;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user