digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA...

232
i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL WAKATOBI TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Hukum Pidana Ekonomi Oleh : LA FASA NIM : S.331010304 PROGRAM MAGISTER (S-2) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user

Transcript of digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA...

Page 1: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

i

PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI

SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

DI TAMAN NASIONAL WAKATOBI

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister

Program Studi Ilmu Hukum

Minat Utama : Hukum Pidana Ekonomi

Oleh :

LA FASA NIM : S.331010304

PROGRAM MAGISTER (S-2) ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2012

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 2: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

ii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 3: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

iv

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 4: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

v

PERNYATAAN

Nama : La Fasa

NIM : S.331010304

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul: “Penegakan

Hukum dengan upaya Non Penal dalam Penanggulangan Tindak Pidana di

Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman

Nasional Wakatobi”, adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal yang bukan

karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar

pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut di atas tidak

benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, berupa pencabutan tesis

dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut. Selanjutnya untuk menunjukkan

keasliannya, saya memperbolehkan tesis ini di upload dalam web site Program

Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret.

Surakarta, 19 Maret 2012 Yang membuat pernyataan, La Fasa

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 5: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan

rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul

“Penegakan Hukum dengan upaya Non Penal dalam Penanggulangan

Tindak Pidana di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi ”. Tesis ini merupakan hasil

penelitian lapangan yang dilakukan oleh penulis sebagai salah satu persyaratan

untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat magister program

studi Ilmu Hukum di Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada yang sangat saya

hormati, Bapak Prof. Dr. Supanto, SH, M.Hum., dan Bapak Ismunarno, SH,

M.Hum., atas bimbingannya selama proses penyusunan tesis ini, sehingga penulis

mendapatkan perluasan wawasan, kedalaman ilmu, ketelitian, penajaman analisis

dan peningkatan daya kritis sejak penyusunan proposal, seminar rencana

penelitian sampai penulisan akhir tesis ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada yang

terhormat :

1. Menteri Kehutanan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan

tugas belajar/karyasiswa kepada penulis;

2. Prof. Dr. Ravik Karsidi,M.S., Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta;

3. Kepala Pusat Diklat Kehutanan yang telah menfasilitasi penulis sehingga

berkesempatan menimba ilmu pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta dan seluruh staf Pusat Diklat Kehutanan

yang telah membantu dan memberi kemudahan selama kami mengikuti tugas

belajar;

4. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS., selaku Direktur Program Pasca Sarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta;

5. Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH.,M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret, Surakarta;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 6: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

vi

6. Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH., MH, Selaku Ketua Program Studi Magister

Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang

baru dan Prof. Dr. Setiono,SH.,MS, Selaku Ketua Program Studi Magister

Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang

lama;

7. Segenap dosen pada Program Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kerangka

berpikir teoritis sekaligus membekali penulis dalam penulisan tesis ini;

8. Segenap staf administrasi pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah membantu dan mendukung

penulis selama menempuh perkuliahan pada program Magister Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Unisversitas Sebelas Maret;

9. Bapak Wahju Rudianto,S.Pi., Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi, yang

telah mendukung dan memberi masukan-masukan yang cukup berarti dalam

penulisan tesis ini beserta seluruh rekan-rekan kerja Balai Taman Nasional

Wakatobi yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis;

10. Kepada Ayah dan Ibu saya, La Suhudu (almarhum) dan Wa Agha yang telah

mengasuh, membesarkan dan mendidik dan memberikan doa yang tiada henti

kepada penulis, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberi imbalan amal

kebaikan dan kebahagian di dunia dan akhirat kelak.

11. Rekan-rekan mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Pidana

Ekonomi angkatan 2010, terimakasih atas kebersamaan, dukungan dan

motivasi yang luar biasa selama menimba ilmu di Surakarta. Secara khusus

untuk rekan-rekan rimbawan karyasiswa Kementerian Kehutanan angkatan

tahun 2010 di Universitas Sebelas Maret Surakarta: Sollu Batara, Agung

Widodo, Erwin Prasetyo, Lisnawati, dan Fransiska. Terimakasih atas

persaudaraan, bantuan dan diskusi yang selalu hangat selama menimba ilmu

di Surakarta

12. Untuk isriku tercinta, Farlina Hak, yang tiada hentinya memberi doa dan

dorongan moril yang demikian besar agar penulis dapat segera menyelesaikan

penulisan tesis ini, dan anak-anakku tersayang Feren, Febri, Farel, Fatir dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 7: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

vii

Jehan Florence yang telah memberikan semangat dan harapan agar penulis

dapat menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu

segala kritik dan saran kiranya dapat menjadikan tesis ini semakin sempurna,

semoga bisa bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Amien

Surakarta, 19 Maret 2012

Penulis

La Fasa

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 8: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

viii

DAFTAR ISI

Hlm. HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ........................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN TESIS ...................................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN .................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................. v

DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xii

DAFTAR BAGAN/GAMBAR .................................................................................. xiii

DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xv

ABSTRAK ................................................................................................................. xvi

ABSTRACT ............................................................................................................. xvii

BAB I PENDAHULUAN .......................………………………………………… 1

A. Latar Belakang Masalah .................……………………………………… 1

B. Perumusan Masalah ................…………………………………………… 17

C. Tujuan Penelitian ..................…………………………………………… 17

D. Manfaat Penelitian ..............……………………………………………… 18

BAB II LANDASAN TEORI .......………………………………………………… 19

A. Kerangka Teori ……………………............................................................. 19 1. Teori Penegakan Hukum di Bidang KSDAH & E................................... 19

2. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta

Pengelolaan Taman Nasional Di Indonesia ……………………….......... 33

3. Upaya Penanggulangan Kejahatan ......................................................... 40

4. Instrumen Hukum dalam bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

dan Ekosistemnya ……............................................................................. 62

a) Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ........................................................ 62

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 9: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

ix

b) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan.............................................………………..

64 c) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan………………………………………………

68 d) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan………..…….………………………………………

73 e) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil .............................................

74 f) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup………………………...

76

5. Teori Bekerjanya Hukum………………………..……………… 83

B. Penelitian yang relevan……………………………………………….. 101

C. Kerangka Berpikir……………………………………………….......... 102

BAB III. METODE PENELITIAN …………………………………………..

106

a. Jenis Penelitin …………………………………………….................. 106

b. Lokasi Penelitian………………………………………………………. 108

c. Sampel/Responden Penelitian ………………..……………………… 108

d. Jenis dan Sumber Data ………………………………………………. 110

e. Tehnik Pengumpulan Data ………………………..…………………. 111

f. Tehnik Analisis Data ………………………………………………… 113

BAB. IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………………

117

A. Hasil Penelitian………………………………………………………. 117

1. Gambaran Umum Taman Nasional Wakatobi ………………..…. a. Sejarah Taman Nasional Wakatobi …………..……………… b. Luas dan Kedudukan………………………………………….. c. Organisasi dan Tata Kerja…………………………………….. d. Intensitas Tindak Pidana yang Terjadi di Taman Nasional

Wakatobi ………………………………………………………

117 117 119 123

126

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 10: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

x

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelemahan Penegakan Hukum

Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi.............................. 1) Faktor Hukumnya Sendiri (Undang-Undang) ………...……….

2) Faktor Aparat Penegak Hukum ……………………..………….

3) Faktor Sarana Prasarana/Fasilitas Pendukung ……...………….

4) Faktor Masyarakat ……………………………………………

5) Faktor Kebudayan ..……………………………………………

131

131

139

142

146

150

3. Upaya Non Penal yang dilakukan dalam rangka Penanggulangan Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi………………… a. Patroli Rutin di Setiap SPTN…………………………………...

b. Sosialisasi dan Penyuluhan……………………………………..

c. Program Pemberdayaan Masyarakat…………………………..

d. Pembentukan Kader Konservasi dan Kelompok Pencinta Alam

e. Pembentukan Forum Nelayan Antar Pulau di Wakatobi …….

B. Pembahasan……………………………………………………………

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kelemahan Penegakan Hukum Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi………….. 1) Faktor Hukumnya Sendiri (Undang-Undang)………………..

2) Faktor Aparat Penegak Hukum……………………………….

3) Faktor Sarana/Fasilitas Pendukung…………………………….

4) Faktor Masyarakat…………………………………………….

5) Faktor Kebudayaan……………………………………………

2. Upaya Non Penal (Tanpa Pidana) yang seharusnya dilakukan dalam rangka menanggulangi Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi………………………………………. 1) Patroli Rutin Kawasan Taman Nasional Wakatobi………….

2) Kegiatan Penyuluhan dan Sosialisasi…………………………

152

152

154

155

161

161

162

163

163

174

182

184

188

191

198

199

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 11: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

xi

3) Program Pemberdayaan Masyarakat………………………….

4) Pembentukan Kader Konservasi dan Kelompok Pencinta Alam

5) Pembentukan Forum Nelayan Antar Pulau…………….……..

200

204

205

BAB. V PENUTUP……………………………………………………………...

208

1. Simpulan……………………………………………………………….

2. Implikasi……………………………………………………………….

3. Saran…………………………………………………………………..

208

210

212

DAFTRA PUSTAKA…………………………………………………………..

LAMPIRAN-LAMPIRAN

216

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 12: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

xii

DAFTAR TABEL

Hlm

1. Tabel 1 : Data Penyelesaian Penanganan Kasus Tindak Pidana di Taman Nasional Wakatobi Periode Tahun 2000-2011 ................... 14

2. Tabel 2 : Klasifikasi Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1991 tentang Kehutanan…………………………………………………. .............. 66

3. Tabel 3 : Zonasi Taman Nasional Wakatobi.................................................... 121 4. Tabel 4 : Sebaran Zonasi Taman Nasional Wakatobi ……................................ 121 5. Tabel 5 : Lokasi Subbagian dan SPTN di TN. Wakatobi ……...............……. 125 6. Tabel 6 : Kondisi Pegawai Berdasarkan Status Kepegawaian......................... 125 7. Tabel 7 : Kondisi Pegawai Berdasarkan Lokasi Wilayah Tugas ................... 126 8. Tabel 8 : Data Intensitas Tindak Pidana yang terjadi di Taman Nasional

Wakatobi dalam setiap Tahun ………….......................................... 128 9. Tabel 9: Data Intensitas Kejadian Perkara Tindak Pidana di Taman

Nasional Wakatobi sejak Tahun 2000 s.d 2011............................... 130 10. Tabel 10: Data Rekapitulasi Vonis Hukuman yang di Jatuhkan oleh

Hakim Atas Pelaku Tindak Pidana yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi Periode Tahun 2000 s.d 2011........................... 134

11. Tabel 11: Sarana Prasarana Perlindungan Hutan Balai Taman Nasional Wakatobi .,…………………………………………...... 143

12. Tabel 12: Data Asal Pelaku Tindak Pidana di Bidang KSDA & E Taman Nasional Wakatobi periode Tahun 2000 s.d 2011 ……. 147

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 13: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

xiii

DAFTAR GAMBAR/BAGAN

hlm

1. Bagan 1 : Skema Upaya Penanggulangan Kejahatan…….. .......................... 61 2. Bagan 2 : Kerangka Berpikir ..................................................................... 105 3. Bagan 3 : Proses Analisis Data (Interactive Model of Analysis) .................. 115 4. Bagan 4 : Zonasi Taman Nasional Wakatobi …………………………….. 122 5. Bagan 5 : Struktur Organisasi Balai Taman Nasional Wakatobi ………… 124

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 14: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

xiv

DAFTAR SINGKATAN

BTNW : Balai Taman Nasional Wakatobi CPTED : Crime Prevention Through Environmental Design (Pencegahan

Kejahatan melalui Desain Lingkungan) DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah IUCN : Internasional Union For Conservation of Nature KPA : Kelompok Pencinta Alam KSDA : Konservasi Sumber Daya Alam KSDAH&E : Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana MDK : Model Desa konservasi PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa PEH : Pengendali Ekosistemn Hutan PHKA : Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Polhut : Polisi Kehutanan PPNS : Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPLH : Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup RPTN : Rencana Pengelolaan Taman Nasional RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah SDM : Sumber Daya Manusia SD : Social Defence SK : Surat Keputusan SPTN : Seksi Pengelolaan Taman Nasional SW : Social Welfare TN : Taman Nasional TNC : The Nature Conservation TNW : Taman Nasional Wakatobi UPT : Unit Pelaksana Teknis UU : Undang-Undang UUD : Undang-Undang Dasar WWF : World Wide Fondation

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 15: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

xv

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Kawasan Taman Nasional Wakatobi

2. Matriks Penanganan Perkara Tindak Pidana Kepemilikan/penyalagunaan

Bahan Peledak di Taman Nasional Wakatobi periode Tahun 2000 s.d 2011

3. Daftar Penanganan Kasus Tindak Pidana Penggunaan Potasium Chyanida

(KCn) di Taman Nasional Wakatobi Periode Tahun 2005 s.d 2011.

4. Daftar Penanganan Kasus Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrve di

Taman Nasional Wakatobi sampai dengan Tahun 2009

5. Matriks Penanganan Kasus Tindak Pidana KSDA & E (Penangkapan dan

Kepemilikan Satwa yang di Lindungi) di Taman Nasional Wakatobi periode

Tahun 2003 s.d 2010

6. Data Penyelesaian Kasus pelanggaran Tindak Pidana Pelaranggaran Zonasi

Taman Nasional Wakatobi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 16: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

xvi

ABSTRAK

La Fasa, S 331010304, Penegakan Hukum dengan upaya Non Penal dalam Penanggulangan Tindak Pidana di Bidang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi. Tesis: Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi, dan untuk mengetahui upaya non penal (tanpa pidana) yang seharusnya dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi.

Penelitian ini termasuk penelitian non doktrinal dengan menggunakan konsep hukum kelima, bahwa hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. Pengumpulan data dilakukan dengan studi lapangan dan studi kepustakaan guna memperoleh data primer dan data sekunder. Dilihat dari bentuknya, penelitian ini merupakan penelitian diagnostik dengan analisis data menggunakan metode kualitatif interaktif.

Hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi yaitu : 1) faktor undang-undangnya sendiri meliputi : perumusan tindak pidana dalam formulasi delik materiil dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya dan masih abstrak/kurang jelas dalam prakteknya menyulitkan penegak hukum. 2) faktor aparat penegak hukum meliputi kualitas dan kuantitas aparat penegak hukum dan terbatasnya kewenangan aparat penegak hukum . 3) faktor fasilitas pendukung atau sarana prasarana meliputi terbatasnya biaya operasional, manajemen pengelolaan sarana prasarana yang kurang baik. 4) faktor masyarakat meliputi : dipengaruhi oleh rendahnya pemahaman dan pengetahuan mereka terhadap upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, termasuk faktor kemiskinan. 5) faktor kebudayaan menunjukkan menunjukkan bahwa ada perbedaan nilai-nilai konservasi yang dianut oleh masyarakat dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya

Upaya yang seharusnya dilakukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi tidak dapat dilakukan hanya dengan kebijakan penal (pidana) saja tetapi harus dilakukan melalui upaya integral antara kebijakan penal dan non penal (tanpa pidana). Kejahatan atau tindak pidana terjadi karena kondisi sosial yang menjadi faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan, karena itu upaya non penal yang dapat dilakukan adalah meniadakan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Kata kunci: Penegakan Hukum, Non Penal , Penanggulangan Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional Wakatobi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 17: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

xvii

ABSTRACT

La Fasa, S331010304. The Law Enforcement through Non-Penal Efforts as the Prevention of Crimes in the Conservation of Biological Resource and Its Ecosystem at Wakatobi National Park. Thesis: The Graduate Program in Law, Sebelas Maret University, Surakarta. The objectives of this research are to investigate: (1) the factors that affect the weakness of the law enforcement on the crimes in the conservation of biological resource and its ecosystem at Wakatobi National Park; and (2) the non-penal efforts that should be done as to prevent the crimes in the conservation of biological resource and its ecosystem at Wakatobi National Park. This research used the non-doctrinal diagnostic research method with the fifth law concept that law is the manifestation of symbolic meanings of the social behaviors as shown in their interaction among them. The data of this research were gathered through a field study and a library research as to obtain primary and secondary data. They were then analyzed by using the qualitative interactive method of analysis. The results of the research show that the factors which affect the weakness of the law enforcement on the crimes in the conservation of biological resource and its ecosystem at Wakatobi National Park are as follows: 1) law and regulation: the formulation of crimes in the substantive offense formulation in Law Number 5, Year 1990 on the Conservation of Biological Resource and Its Ecosystem is still not clear or visible, which inhibits the law enforcement apparatuses in its practice; 2) law enforcement apparatus: the quality, quantity, and authority of the law enforcement apparatuses are limited; 3) supporting facility and infrastructure: the fund allocated for the operational cost is limited, and the facility and infrastructure management is less good; 4) community: the community has a low understanding and knowledge, including poverty, on the efforts of conserving the biological resource and its ecosystem; and 5) culture: there are differences between the conservation values embraced by the community and the provisions contained by Law, Number 5, Year 1990 on the Conservation of Biological Resource and Its Ecosystem. The efforts that should be done to prevent the crimes in the conservation of biological resource and its ecosystem at Wakatobi National Park shall integratedly include both penal and non-penal policies. The crimes or offenses likely take place due to the conducive social conditions which enable them to happen. Therefore, the non-penal effort which can be done to deal with such problem is eradicating the conducive factors which cause the crimes in the conservation of biological resource and its ecosystem at Wakatobi National Park to occur. Keywords: Law enforcement, non-penal, and the prevention of the crimes in the

conservation of biological resource and its ecosystem at Wakatobi National Park

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 18: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia dianugrahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

sumber daya alam yang melimpah, baik di darat, di perairan maupun di

udara yang merupakan modal dasar pembangunan nasional di segala bidang.

Modal dasar sumber daya alam tersebut harus dilindungi, dipelihara,

dilestarikan, dan dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan

masyarakat Indonesia pada khususnya dan mutu kehidupan manusia pada

umumnya menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan, dan

keseimbangan, baik antara manusia dengan Tuhan penciptanya, antara

manusia dengan masyarakat maupun antara manusia dengan ekosistemnya.

Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

sebagai bagian dari modal dasar tersebut pada hakikatnya merupakan bagian

integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan

Pancasila. 1

Pembangunan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

di Indonesia dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan Negara yaitu

memajukan kesejahteraan masyarakat Indonesia sesuai dengan amanat

konstitusi Undang-Undang dasar 1945. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya menyatakan bahwa “Konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber

daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga lebih

mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu

kehidupan manusia.2

Indonesia dijuluki sebagai Mega Biodiversity Country atau negara

yang memiliki keanekaragamai daratann hayati yang sangat tinggi. Julukan

1 Penjelasan Umum ,Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Alinea ke-1 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya, Pasal 3

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 19: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

2

tersebut tidak salah karena indonesia memang merupakan negara yang kaya

akan keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati di Indonesia

sebanding dengan Brasilia yang luas daratannya 5 kali lebih besar dari

daratan Indonesia.3 Indonesia memiliki potensi keanekaragaman spesies

satwa yang sangat tinggi, yaitu sekitar 12% (515 species, 39% endemik) dari

total spesies binatang menyusui, urutan kedua di dunia; 7,3% (511 spesies,

150 endemik) dari total spesies reptilian, urutan keempat di dunia; 17%

(1531 spesies, 397 endemik) dari total spesies burung di dunia, urutan

kelima; 270 spesies amfibi, 100 endemik, urutan keenam di dunia; dan 2827

spesies binatang tidak bertulang belakang, selain ikan air tawar. Selanjutnya,

Indonesia memiliki 35 spesies primata (urutan keempat, 18% endemik) dan

121 spesies kupu-kupu (44% endemik). Indonesia menjadi satu-satunya

negara setelah Brazil, dan mungkin Columbia, dalam hal urutan

keanekaragaman ikan air tawar, yaitu sekitar 1400 spesies . Dalam hal

keanekaragaman tumbuhan, Indonesia menduduki peringkat lima besar di

dunia; yaitu memiliki lebih dari 38.000 spesies, 55% endemik.

Keanekaragaman palem di Indonesia menempati urutan pertama, mencapai

477, 225 endemik. Lebih dari setengah dari seluruh spesies (350) pohon

penghasil kayu bernilai ekonomi penting (dari famili Dipterocarpaceae)

terdapat di negara ini, 155 di antaranya endemik di Kalimantan.4

Perhatian dunia internasional sangat besar pula terhadap kelestarian

keanekaragaman hayati yang dibangun melalui kesepakatan-kesepakatam

internasional antara Negara-negara anggota diantaranya Konvensi

Keanekaragaman hayati (Convention on Biological Diversity) ditetapkan

pada Earth Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT Bumi) di Rio de

3 Widada, dkk, Sekilas tentang Konservasi Sumber Daya Alama Hayati dan Ekosistemnya, Biodiversity Conservation Project, 2003, Bogor. hlm. 35

4 Pokja Kebijakan Konservasi, Konservasi Indonesia : Sebuah Potret dan Kebijakan, Perpustakaan Nasional, Jakarta, 2008, Cet. I, hlm.21 Pokja Kebijakan Konservasi adalah salah satu Kelompok Kerja rekomendasi Sarasehan Nasional ”Membangun Kemitraan Taman Nasional di Indonesia” yang diselenggarakan 11 NGO ’konservasi’ yaitu Birdlife Indonesia, LATIN, WWF, RMI, Sylva Indonesia, PILI, Cifor, KEHATI, WARSI, ESP dan CI, serta PHKA-Dephut dan MFP-DFID pada 29 Agustus – 1 September 2005 di Wisma Kinasih, Bogor. .

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 20: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

3

Janeiro, Brasilia pada tanggal 5 Juli 1990, dimana Indonesia merupakan

salah satu anggota. Perjanjian ini merupakan kesepakatan yang mengikat

secara hukum dimana semua anggotanya wajib mengembangkan usaha-

usaha pelestarian keanekaragaman hayati, baik dengan perumusan kebijakan

pembangunan negaranya maupun pada semua aksi atau program-

programnya. Kesepakatan ini menpunyai tiga tujuan utama, yakni

1. Perlindungan ragam hayati;

2. Pemanfaatan ragam hayati secara berkelanjutan;

3. Sumbangan keuntungan dari produk-produk baru yang dibuat dari jenis-

jenis liar atau domestik, yakni mengenai hak dan kepemilikan

(properties rights) 5

Pada tahun 1994, Indonesia meratifikasi Konvensi Konservasi

Keanekaragaman Hayati (Convention of Biological Diversity) melalui

Undang-Undang No. 5 Tahun 1994. Indonesia juga harus mengikuti apa

yang dimandatkan dalam konvensi tersebut serta perkembangan-

perkembangan yang terjadi di dunia, khususnya yang berkaitan dengan

upaya konservasi keanekaragaman hayati. Dalam Article 8 Konvensi

Konservasi Keanekaragaman Hayati ditetapkan bahwa setiap negara yang

meratifikasi konvensi tersebut diwajibkan untuk menetapkan sistem

kawasan yang dilindungi (protected area system). Disamping itu, pasal ini

juga mensyaratkan agar setiap negara yang menjadi anggota konvensi ini,

sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku di negara masing-

masing, mengakui/menghormati, melestarikan dan memelihara pengetahuan,

inovasi dan kegiatan-kegiatan dari masyarakat asli dan masyarakat setempat,

yang terkandung didalam kehidupan mereka yang relevan dengan upaya

konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara lestari;

mempromosikan aplikasinya yang lebih luas dan meningkatkan peranserta

5 Widada, dkk, Op.Cit, hlm. 89

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 21: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

4

para pihak; serta, mendorong teruwujudnya kesetaraan dalam berbagi

manfaat/ keuntungan dari pemanfaatan hal-hal tersebut di atas.6

Di Eropa perhatian konservasi keanekaragan hayati , dapat dilihat

lahirnya beberapa undang-undang: seperti Perlindungan jenis Burung dan

perlindungan Habitat (Habitat Directive). Dalam pengelolaan dan

perlindungan Habitat ditetapkan kerangka kerja

untuk konservasi habitat alam dan fauna liar dan flora

melalui jaringan Natura 2000. Tujuan utama dari Natura 2000 adalah

memastikan perlindungan jaminan yang menguntung status konservasi

habitat alam dan spesies dalam daerah-daerah. Anggota negara-negara Eropa

diminta untuk menetapkan tindakan konservasi yang diperlukan dan

rencana manajemen atau pengelolaan untuk menjamin keberlanjutan status

habitat konservasi alam dan spesies, sebagaimana di tulis oleh Victoria

Nunez dalam sebuah jurnal yang berjudul “Livestock management in Natura

2000: A case study in a Quercus pyrenaica neglected coppice forest”

menulis sebagai berikut :

“The concern regarding the conservation of biodiversity in Europe led to a series of legislation: such as the Birds Directive 79/409/EEC and the Habitats Directive 92/43/EEC . The Habitats Directive sets a framework for the conservation of natural habitats and wild fauna and flora through the Natura 2000 network. The main goal of Natura 2000 is ensuring “favourable conservation status” of natural habitats and species within these areas. European Member States are required to establish the necessary conservation measures and management plans to ensure the favourable conservation status of natural habitats and species .”7

Di Indonesia politik hukum pembangunan Konservasi sumber daya

alam hayati dan ekosistemnya di Indonesia sudah dimulai sejak jaman

sebelum kemerdekaan yaitu jaman kolonial Belanda ,sesudah kemerdekaan,

(Orde Lama, 1945-1965), Masa Orde Baru (1966-1999) sampai sekarang.

6 Pokja Kebijakan Konservasi,Op.Cit , hlm. 38 7 Victoria Nú˜neza, Ana Hernandob, Javier Velázqueza, Rosario Tejerab, Livestock

management in Natura 2000: A case study in a Quercus pyrenaica neglected coppice forest, Journal for Nature Conservation 20 (2012) 1– 9, hlm. 1

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 22: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

5

Dari beberapa dekade pemerintahan, pemerintah masa Orde Baru cukup

memperlihatkan keseriusannya dalam perlindungan konservasi sumber daya

alam hayati dan ekosistemnya, ini terlihat dengan dikeluarkannya 6 (enam)

peraturan perundang-undangan yang erat kaitannya dengan konservasi alam,

yaitu :

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kehutanan;

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan telah dicabut dengan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup

3. Undang-Undang Nomor 9 tahun Tahun 1985 tentang Perikanan

4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam hayati dan Ekosistemnya.

5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati

6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan8

Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya alam hayati dan Ekosistemnya (KSDA & E) dianggap sebagai

tonggak sejarah pelestarian alam di Indonesia karena dianggap telah ada

hukum yang mengatur tentang konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya secara utuh dan menyeluruh. Undang-undang lain yang ada

terkait dengan konservasi alam hanya menyinggung sedikit saja. Dalam

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya telah diatur secara jelas mengenai Kawasan

Konservasi, Pengaturan untuk jenis yang dilindungi, namun untuk jenis

satwa liar dan tumbuhan yang tidak dilindungi tidak ada pengaturan secara

khusus.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ini, mencabut Undang-undang yang

8 Widada, dkk, Op.Cit, hlm. 77

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 23: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

6

diterbitkan pada jaman kolonial Belanda yang sebelumnya masih berlaku

saat itu yaitu :

1. Ordonansi Perburuan (Jachtordonanntie 1931) , Stbl 1931 Nomor 133;

2. Ordonansi Perlindungan Binatang-Binatang Liar 1932

(Dierenbescherming-ordonanntie 1931 Stbl 1931 No:134)

3. Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jactordonanntie java en

Madoera 1940, Stbl 1939 No: 733

4. Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschhermingsordonanntie

1941, Stbl 1941 Nomor 167. 9

Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dijelaskan bahwa

sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya boleh dimanfaatkan semua pihak

untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu kehidupan manusia, namun

upaya pemanfaatan ini harus bijaksana dan dapat dilaksanakan secara

berkesinambungan bagi masa depan manusia. Dalam undang-undang ini

disebutkan juga larangan-larangan, dan sanksi pidana bagi yang

melanggarnya dalam kaitannya dengan upaya pengawetan jenis tumbuhan

dan satwa serta pemanfaatan dalam kawasan konservasi.

Strategi konservasi alam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari

sejarah konservasi sejak jaman penjajahan Belanda. Kebijakan ini mengarah

pada upaya preservasi-perlindungan. Oleh karena itu, muncul kawasan-

kawasan cagar alam dan suaka alam atau suaka margasatwa. Pada umumnya

luasnya relatif kecil karena untuk melindungi species tertentu, seperti

kawasan cagar alam di Bengkulu yang khusus melindungi Rafflesia arnoldi,

misalnya, yang hanya beberapa hektar. Namun demikian pada jaman itu,

juga ada kawasan suaka alam yang cukup luas yaitu Leuser (400.000 Ha)

yang ditetapkan pada 1934. Di era 1980, munculah konsep taman nasional,

yang sebenarnya dicopi dari pemikiran dan gerakan konservasi dari kutub

Amerika. Lima taman nasional pertama dideklarasi di Bali, yaitu

9 AA. Hutabarat, Rangkuman Peraturan Perundang-Undangan Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. CV. Samudra Intan Rejeki, Cet I, 2003, Jakarta, Hal 22

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 24: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

7

TN.Gunung Leuser, TN. Gede Pangrango, TN.Ujung Kulon, TN Baluran,

dan TN Komodo, dengan total luas 1,4 juta Ha. Tentu saja, bagaimana cara

mengelola taman nasional saat itu masih belum jelas dan masih mencari

bentuknya. Sepuluh tahun kemudian, baru lahir Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya yang mensyarakatkan tidak kurang dari 11 peraturan

pemerintah untuk melaksanakannya.10

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor . 5 Tahun 1990

tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ,

pemerintah di wajibkan membentuk kawasan-kawasan konservasi sebagai

upaya perlindungan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Kategori kawasan konservasi terbagi atas ; Kawasn Suaka Alam yang

terdiri dari : Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, Kawasan Pelestarian Alam

yang berupa Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya.

Juga tetap mempertahan keberadaan Taman Buru seperti yang terdapat

dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

sebagimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang , Pengelompokan inilah

yang sekarang dikenal dengan istilah kawasan konservasi hingga sekarang.

Pemerintah telah menetapkan kawasan konservasi sebanyak 535 unit

dengan luas sekitar 28,26 juta ha., sebagai salah satu strategi dalam

melindungi keanekaragaman hayati tersebut dari berbagai ancaman dan

pemanfatan yang tidak terkendali. Kawasan Konservasi ini di bagi menjadi

Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.11

10 http://konservasiwiratno.wordpress.com/tantangan-pengelolaan-taman-nasional-di-

indonesia, di akses tanggal 3 Januari 2012, Jam, 10.00 WIB.

11 Balai Taman Nasional Wakatobi, Sekilas Peraturan Perundang-Undangan bidang

Konservasi, TNW, 2007, hlm. 12

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 25: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

8

Taman Nasional, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990

tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah

kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan

sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Kawasan

Kepulauan Wakatobi dan perairan laut disekitarnya ditunjuk sebagai

kawasan konservasi atau Taman Nasional Laut berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Kehutanan No.393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 juli 1996

dan telah ditetapkan berdasarkan SK Menhut nomor : 7651/Kpts-II/2002

tanggal 19 Agustus 2002 , dengan luasan 1.390.000 Ha, terletak dalam

wilayah administrasi Kabupaten Wakatobi yang terdiri dari 4 ( empat )

pulau besar (Wangi-Wangi,Kaledupa,Tomia dan Binongko) dan terbagi

dalam 8 kecamatan. Secara geografis TNW berada di antara Laut Banda dan

Laut Flores tepatnya pada koordinat 123°20¢- 124°39¢ bujur timur dan

5°12¢- 6°10¢ lintang selatan. Penduduknya pada tahun 2007 tercatat 99.492

jiwa terdiri atas laki-laki 48.199 jiwa dan perempuan 51.293 jiwa, dengan

pertumbuhannya rata-rata mencapai 1,73% per tahun dan kepadatan rata-

rata 119 jiwa/km2.12

Salah satu dasar pertimbangan Kepulauan Wakatobi dijadikan sebagai

kawasan Taman Nasional adalah pertimbangan sisi ekologis dimana

kawasan Wakatobi memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi,

peraiaran kepulauan Wakatobi berada pada wilayah “Coral Tri-Angle” atau

wilayah segitiga terumbu karang, yaitu wilayah yang memiliki

keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut lainnya

(termasuk ikan) tertinggi di dunia, yang meliputi Philipina, Indonesia

sampai Kepulauan Solomon.13

12 Wahju Rudianto (Kepala Balai TN Wakatobi), dan Priyambudi Santoso (Widyaiswara

Kehutanan). Memilih Alternatif Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi Yang Efektif, Makalah penugasan Diklat SECEM-Bogor, 2008, hlm. 3

13Balai Taman Nasional Wakatobi, Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi (RPTN), Bau-Bau, 2010, hlm. 10

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 26: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

9

Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling ekologis

penting di Bumi dan menyediakan ekonomi, sumber daya hayati dan budaya

yang mendukung kehidupan jutaan penduduk pesisir. Degradasi global

terumbu karang yang terjadi secara cepat sebagai akibat dari tekanan

antropogenik langsung dan perubahan iklim global. Diperkirakan bahwa

tanpa tindakan manajemen yang efektif dalam 20 berikutnya - 40 tahun,

hampir 60 persen dari terumbu karang di planet kita akan menjadi jauh

terdegradasi. Pihak pengelola wilayah pesisir harus merumuskan cara baru

dan inovatif yang hemat biaya, hemat waktu, dan berulang untuk mengatasi

masalah ini mempengaruhi lingkungan laut.14

Berdasarkan hasil citra satelit satelit Landsat 2003, diketahui bahwa

luas terumbu karang di Kepulauan Wakatobi adalah 54.500 hektar. Di

kompleks Pulau Wangi-Wangi dan sekitarnya (Pulau Kapota, Pulau

Sumanga, Pulau Kamponaone) lebar terumbu mencapai 120 meter (jarak

terpendek) dan 2,8 kilometer (jarak terjauh). Untuk Pulau Kaledupa dan

Pulau Hoga, lebar terpendek terumbu adalah 60 meter dan terjauh 5,2

kilometer. Di Pulau Tomia, rataan terumbunya mencapai 1,2 kilometer

untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk jarak terdekat. Kompleks atol

Kaledupa mempunyai lebar terumbu 4,5 kilometer pada daerah tersempit

dan 14,6 kilometer pada daerah terlebar. Panjang atol Kaledupa sekitar 48

kilometer.15

Karang Kaledupa merupakan atol yang terletak di sebelah barat Pulau

Lintea, sebelah selatan Pulau Kaledupa dan Pulau Wangi-wangi serta

memanjang ke arah Tenggara dan Barat Laut dengan Panjang lebih kurang

49.26 km dan lebar 9.75 km. Atol Kaledupa merupakan atol tunggal

terpanjang di Asia Pasifik.16

14 Wedding, Gibson, Walsh, Battista, Integrating remote sensing products and GIS tools to

support marine spatial management in West Hawai, Journal of Conservation Planning Vol 7 (2011) 60 – 73, hlm. 61

15 Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi (RPTN), Op.Cit, hlm. 11 16 Loc. Cit

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 27: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

10

Dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional kebijakan yang diambil

oleh pemerintah adalah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya (KSDA&E) yaitu bahwa Taman Nasional dikelola dengan

sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain

sesuai dengan keperluan. Demikian pula dengan pengelolaan kawasan

Taman Nasional Laut Wakatobi, pendekatan zonasilah yang digunakan

dalam pencapaian tujuan pengelolaan konservasinya. Pembagian zonasi

pengelolaan Taman Nasional Wakatobi (TNW) ditetapkan melalui Surat

Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor:

SK.149/IV-KK/2007 tanggal 23 Juli Tahun 2007 tentang Zonasi Taman

Nasional Wakatobi yang terbagi : Zona Inti, Zona Perlindungan Bahari,

Zona Pariwisata, Zona Pemanfaatan Lokal, Zona Pemanfaatan Umum, dan

Zona Khusus Daratan.

Upaya pengelolaan dan pemanfaatan dalam kawasan Taman Nasional

harus dilaksanakan sesuai dengan fungsi dan peruntukan zonasi. Setiap

tindakan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukkan

zonasi, maka kegiatan tersebut merupakan suatu kejahatan atau perbuatan

pidana dan dikenakan sangsi pidana bagi pelakunya.

Kebijakan penanggulangan kejahatan konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam hayati dan

Ekosistemnya ditempuh melalui kebijakan hukum pidana (penal policy).

Undang-Undang ini secara tegas menyatakan bahwa terhadap tindakan

atau perbuatan tidak bertanggungjawab yang dapat menimbulkan

kerusakan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam

ataupun tindakan yang melanggar ketentuan perlindungan tumbuhan dan

satwa yang dilindungi, diancam dengan pidana yang berat berupa pidana

badan dan denda. Pidana yang berat dipandang perlu karena kerusakan

atau kepunahan salah satu unsur sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 28: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

11

tidak dapat dinilai dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada

keadaan semula tidak mungkin lagi. Kenyataan faktual kebijakan pidana

yang diterapkan tersebut belum signifikan memberikan perlindungan

terhadap keutuhan kawasan konservasi dan perburuan atau penangkapan

satwa dan pengambilan tumbuhan yang dilindungi serta belum

menimbulkan efek jera terhadap para pelaku kejahatan di bidang

konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Di kawasan Taman Nasional Wakatobi kejahatan atau tindak pidana

di bidang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya, masih saja

terjadi. Pemanfaatan sumber daya alam yang merusak seperti pemboman

penggunaan racun dalam penangkapan ikan dikawasan taman nasional

belum dapat secara efektif di kendalikan termasuk pemanfaatan yang tidak

sesuai dengan fungsi atau peruntukan zonasi. Disadari memang bahwa

penetapan Kepulauan Wakatobi dan perairan laut disekitarnya sebagai

kawasan konservasi atau taman nasional, secara faktual masih

menyisihkan sejumlah persoalan-persoalan baik ditingkat masyarakat

maupun pada level pemerintah daerah Kabupaten Wakatobi. Di

masyarakat misalnya terjadi penolakan-penolakan terutama pada level

masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan dimana selama turun-temurun

sejak dahulu sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, kawasan ini telah

dijadikan sebagai tempat pencarian menangkap ikan untuk pemenuhan

kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat masih sulit untuk mematuhi

zonasi taman nasional walaupun dalam proses penetapannya juga

melibatkan para stakeholder yang berkepentingan termasuk unsur

perwakilan masyarakat di dalamnya. Terlebih lagi setelah Kepulauan

Wakatobi mekar dari Kabupaten Buton sebagai sebuah wilayah kabupaten

yang otonom tersendiri. Dampak yang muncul adalah terjadinya

eksploitasi sumber daya alam di Taman Nasional Wakatobi untuk

pemenuhan kebutuhan pembangunan Kabupaten Wakatobi sendiri. Hal ini

tentunya merupakan masalah lebih kompleks lagi khususnya terkait

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 29: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

12

persoalan kewenangan pengelolaan sumber daya alam di Kepulauan

Wakatobi.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah

Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, dinyatakan bahwa

tugas penegakan hukum meliputi perlindungan dan Pengamanan serta

penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati

dan ekosistemnya garda terdepan di emban oleh Polisi Kehutanan (Polhut)

dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) kehutanan selain dilaksanakan

oleh Polisi, Jaksa dan Pengadilan (Hakim).

Penegakkan hukum terhadap penanggulangan tindak pidana di bidang

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional

Wakatobi selama ini dengan menggunakan sarana pendekatan hukum

pidana (penal) telah dilakukan oleh Polisi kehutanan dan Penyidik

Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan Balai Taman Nasional Wakatobi

bekerjasama dengan Polri, Kejaksaan dan Pengadilan (hakim) serta

instansi terkait lainnya. Namun kenyataan dilapangan belum menunjukkan

pelaksanaan penegakan hukum belum secara optimal dapat menjerat

semua pelaku pidana dan efek jera yang ditimbulkan juga belum optimal

bagi pelaku dan calon pelaku tindak pidana. Ini terlihat dari data kasus

yang ada beberapa pelaku tindak pidana adalah residivis atau pernah

melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati

dan ekosistemnya sebelumnya dan pernah dihukum penjara terutama kasus

pemboman ikan di dalam kawasan Taman Nasional. Kegiatan

penangkapan ikan secara destruktif yaitu pemboman dan pembiusan ikan

yang umumnya dilakukan oleh nelayan lokal maupun luar wakatobi masih

saja terjadi termasuk pemanfaatan yang tidak sesuai dengan peruntukan

zonasi taman nasional, dan masalah yang sampai saat ini belum pernah

diproses secara hukum adalah penambangan batu karang, dan

penambangan pasir yang dilakukan oleh masyarakat lokal dikawasan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 30: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

13

Taman nasional Wakatobi. Hal tentunya akan berdampak pada kerusakan

ekosistem dan keanekeragaman sumber daya alam hayati di kawasan ini.

Dari data yang ada, kurun waktu tahun 2000 s.d 2011, laporan

terjadinya tindak pidana di Taman Nasional Wakatobi (TNW) sebanyak 34

(tiga puluh empat ) kasus. Hasil proses penegakan hukum diperoleh data 21

(dua puluh satu) kasus extract vonis di Pengadilan dan 13 kasus lainnya

tidak dilanjutkan proses hukumnya.17 Selengkapnya dapat dilihat dalam

tabel 1 berikut ini:

17 Data Laporan Matriks Penanganan Kasus Tindak Pidana KSDA & E Balai Taman

Nasional Wakatobi Tahun 2011

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 31: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

14

Tabel 1 Penyelesaian Penanganan Kasus Tindak Pidana di Taman Nasional

Wakatobi periode tahun 2000-2011

No Tindak Pidana Yang Terjadi Frekuensi Undang-Undang Proses Hukum

Pelanggaran Yang Disangkakan Extract Vonis

Tidak dilanjutkan

1 2 3 4 5 6

1. Penggunaan/kepemilikan 18 kasus UU No. 12/Drt/19951 16 kasus 2 kasus

Bahan Peledak dalam Tentang Senjata Api

Penangkapan Ikan di TNW

2. Penggunaan Potasium 4 kasus - UU No. 31 Tahun 2004 2 kasus 2 kasus

Cyanida (KCn) dalam tentang Perikanan

Penangkapan Ikan di TNW - UU No5 Tahun 1990

tentang KSDA &E

- KUHP (pasal 480)

- UU No. 45 Tahun 2009

tentang Perubahan

atas UU No. 31 Tahun

2004 tentang Perikanan

3. Kepemilikan Satwa Yang 10 kasus - UU No. 5 Tahun 1990 1 kasus 9 kasus

Di Lindungi (Penyu) tentang KSDA &E

4. Pelanggaran Zonasi

(Zona Inti) 1 kasus - UU No. 5 Tahun 1990 1 kasus

tentang KSDA &E

5. Penebangan Hutan Mangrove 1 kasus - UU No. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan 1 kasus

Jumlah 34 kasus 21 kasus 13 kasus

Sumber Data : Matriks Laporan Penanganan Kasus Tindak Pidana di Taman Nasional Wakatobi Tahun 2011

Data diatas menunjukkan bahwa masih ada kasus-kasus tindak pidana

yang terjadi di TNW yang tidak dapat dilakukan proses penegakkan

hukumnya yaitu 39,39 persen atau 13 kasus dan hanya 21 kasus atau 61,76

persen yang vonis di pengadilan.

Selain upaya penegakan hukum melalui kebijakan hukum pidana, Balai

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 32: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

15

Taman Nasional Wakatobi selaku otoritas pengelola kawasan juga telah

melakukan penanggulangan kejahatan di bidang konservasi sumber daya

alam hayati dan ekosistemnya dengan pendekatan kebijakan pencegahan

tanpa pidana (non penal). Upaya ini dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan

baik dilakukan oleh personil Polisi Kehutanan melalui kegiatan patroli rutin,

penjagaan di pos jaga dan kegiatan kunjungan ke desa dalam kerangka

pencegahan tindak pidana. Kegiatan lainnya adalah kegiatan sosialisasi

pengelolaan, penyuluhan dan peningkatan kapasitas masyarakat tentang

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnnya serta kegiatan

pemberdayaan masyarakat pada desa-desa pesisir di dalam kawasan . yang

dilaksanakan oleh pejabat fungsional Penyuluh Kehutanan atau PEH

(Pengendali Ekosistem Hutan). Namun kenyataan dilapangan kegiatan-

kegiatan tersebut belum menunjukkan dampak keberhasilan sesuai dengan

apa yang diharapkan . Gangguan keamanan terhadap kawasan Taman

Nasional Wakatobi (TNW) sampai saat ini masih terjadi, seperti

penangkapan ikan dengan bom (bahan peledak), penggunaan bius atau racun

, pemanfaatan yang tidak sesuai dengan fungsi zonasi TNW termasuk

kegiatan merusak lainnya.

Kondisi di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan penegakan hukum

tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi baik melalui pendekatan

penegakan hukum pidana maupun pencegahan tanpa pidana belum atau

kurang berhasil. Penulis menduga bahwa terdapat kelemahan yang menjadi

faktor penyebab dalam proses pelaksanaan penegakan hukum itu sendiri

baik berasal dari faktor internal pelaksana penegak hukum maupun yang

berasal dari eksternal penegak hukum sehingga pencapaian sasaran

penegakan hukum dibidang konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi yaitu pencegahan dan

pemberantasan kejahatan pencurian atau pengambilan hasil laut tanpa izin

(illegal fishing) seperti penggunaan bahan peledak/bahan kimia (Potassium

cyanida) dalam penangkapan ikan yang dapat menimbulkan kerusakan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 33: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

16

ekosistem yang lebih luas baik dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial

budaya,18 kurang berhasil. Hal ini tentunya akan berdampak pada kurang

berhasilnya pencapain visi pengelolaan Taman Nasional Wakatobi yaitu

“Terwujudnya TNW yang mantap, dinamis dan lestari serta dapat

memberikan manfaat bagi masyarakat dan daerah secara

berkelanjutan”.(Mantap dari aspek kawasannya, dinamis dari aspek

pengelolaannya, lestari dari aspek sumberdaya alam hayati dan

eksosistemnya).19

Secara teoritis dinyatakan bahwa bahwa faktor sumber daya manusia

(kualitas, kuantitas) khususnya aparat penegak hukum menjadi faktor yang

sangat strategis dalam menentukan berhasil tidaknya pelaksanaan

penegakan hukum pidana di masyarakat. Upaya lain selain pendekatan

dengan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan dikenal upaya

pencegahan tanpa pidana (non penal) yang merupakan upaya yang sangat

strategis dalam mencegah terjadi tindak pidana. Barda Nawawi Arief

mengemukakan:

“dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. Posisis kunci dan strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.”20

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul : “ PENEGAKAN HUKUM DENGAN

UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK

PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN

EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL WAKATOBI”

18 Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi (RPTN), Op.Cit, hlm. 90 19 Ibid, hlm. 37 20 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Cet Ke-2, Jakarta, 2010, hlm. 42

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 34: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

17

B. Perumusan Masalah

Untuk mengkaji permasalahan-permasalahan penanggulangan tindak

pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di

Taman Nasional Wakatobi seperti tersebut pada uraian latar belakang di

atas, dalam penelitian ini, penulis membatasi fokus permasalahan dalam

penelitian yaitu : pengkajian penegakan hukum melalui pendekatan hukum

pidana dengan mengkaji faktor yang mempengaruhi kelemahan yang

menjadi faktor penyebab dalam proses penegakan hukum yang

menyebabkan kurang berhasilnya upaya penegakan hukum terhadap

penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dalam pengelolaan Taman

Nasional Wakatobi dan pengkajian upaya non penal yang seharusnya

dilakukan, yang secara teoritis merupakan upaya yang strategis dalam

pencegahan terjadinya tindak pidana, menurut penulis juga dapat diterapkan

dalam menanggulangi terjadinya tindak pidana di bidang konservasi sumber

daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi.

Untuk memperjelas atau mempermudah pemahaman permasalahan

dalam penelitian ini , maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan

sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kelemahan penegakan

hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya alam hayati

dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi ?

2. Upaya Non-Penal (tanpa pidana) apakah yang seharusnya dilakukan

dalam menanggulangi tindak pidana di bidang Konservasi Sumber

Daya Alam hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi ?

C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan

penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi .

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 35: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

18

2. Untuk mengetahui upaya Non Penal (tanpa pidana) yang seharusnya

dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana di bidang Konservasi

Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional

Wakatobi

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut

:

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran secara ilmiah dalam

perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam penyelesaian perkara

tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan

Ekosistemnya.

b. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan referensi bagi penelitian

berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan

untuk mengetahui kemanpuan penulis dalam menerapkan ilmu yang

telah diperoleh selama di bangku kuliah.

b. Memberikan kontribusi terhadap berbagai pemecahan masalah

khususnya tentang penegakan hukum dalam penanggulangan

kejahatan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam

hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi dan daerah

lain pada umumnya serta masukan bagi Kementerian Kehutanan

selaku otoritas pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 36: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

19

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kerangka Teori

1. Penegakan Hukum di bidang KSDA & E

Penegakan hukum adalah kata Indonesia untuk law enforcemet.

Dalam bahasa Belanda dikenal rechtstoeppassing dan rechtshandhaving.

Pemikiran yang dominan di sini mengatakan, penegakan hukum adalah

suatu proses logis yang mengikuti kehadiran suatu peraturan hukum. Apa

yang harus terjadi menyusul kehadiran peraturan hukum hampir

sepenuhnya terjadi melalui logika. Logika menjadi kredo (keyakinan)

dalam penegakan hukum.21

Penegakan hukum (pidana), apabila dilihat dari suatu proses

kebijakan, pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan, pada

hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap:

Pertama, tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh

badan pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap

legislatif. Kedua, tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana

oleh aparat-aparat penegak hukum mulai Kepolisian, Kejaksaan dan

Pengadilan. Tahap kedua ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.

Ketiga, tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara

konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut

tahap kebijakan eksekutif atau administratif. 22

Dari pengertian diatas memberikan pemahaman bahwa penegakan hukum

adalah sebuah proses yang cukup sederhana dan otomatis yang dilaksanakan

oleh pejabat negara mulai dari pembuatan dan penetapan undang-undang oleh

legislatif, penerapannya oleh aparat penegak hukum dan pelaksanaan putusan

21 Sajipto Raharjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Genta

Publishing,Yogyakarta, 2010, hlm. 191 22 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Penerbit Nusa Media, Bandung,

2010, hlm.4

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 37: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

20

hakim oleh pejabat eksekutif. Penyataan ini mungkin dapat dikatakan benar jika

konsep penegakan hukum hanya dilihat dari satu sisi normatif semata.

Menurut kajian normatif penegakan hukum adalah suatu tindakan

yang pasti yaitu menerapkan hukum terhadap suatu kejadian, yang dapat

diibaratkan menarik garis lurus antara dua titik. Dalam ilmu hukum cara

seperti itu disebut sebagai model mesin otomat dan pekerjaan menegakan

hukum menjadi aktivitas subsumsi otomat. Di sini hukum dilihat sebagai

variabel yang jelas dan pasti dan terlihat sangat sederhana. Dalam

kenyataannya tidak sesederhana itu melainkan yang terjadi penegakan

hukum itu mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karena

dihadapkan pada kenyataan yang kompleks. Dalam ilmu hukum normatif

kompleksitas tersebut diabaikan, sedangkan sosiologi hukum sebagai

ilmu empiris sama sekali tidak dapat mengabaikannya.23

Hukum berfungsi sebagai alat untuk pemenuhan ketertiban dan

ketentraman dalam kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat dapat

hidup sehjatera. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan penataan

kehidupan bersama yang mengacu pada patokan tingkat laku yang

disepakati secara bersama, atau disebut hukum. Patokan tersebut

dirumuskan dan ditetapkan oleh yang memiliki otoritas didalam

masyarakat tersebut. Dalam patokan tingkah laku tersebut diatur hak dan

kewajiban individu, baik dalam hubungan antar individual maupun yang

berhubungan dengan urusan bersama dan publik. Di samping itu adanya

pengaturan mekanisme hubungan dalam penerimaan dan pelaksanaan hak

dan kewajiban itu. Apabila terjadi perilaku menyimpang ditentukan cara-

cara penyelesaiannya termasuk sangsi jika diperlukan bagi perilaku yang

menyimpang. Oleh karena itu berbicara penegakan hukum kita tidak bisa

mengabaikan faktor-faktor diluar hukum itu sendiri seperti nilai-nilai

sosial yang diyakini oleh masyarakat (pandangan tentang baik dan

23 Hartiwiningsih, Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, UPT

Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press), Cet-1, Surakarta, 2008, hlm. 60

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 38: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

21

buruk), struktur social termasuk kebiasaan-kebiasan masyarakat itu

sendiri.

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar

kepentingan manusia terlindungi hukum harus dilaksanakan. Melalui

penegakan hukum inilah, hukum itu menjadi kenyataan. Dalam

menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu

kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan

keadilan (Gerechtigkeit).24

Menurut Black’s Law Dictionary, penegakan hukum (law

enforcement), diartikan sebagai “the act of putting something such as a

law into effect; the execution of a law; the carrying out of a mandate or

command”. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penegakan hukum

merupakan usaha untuk menegakkan norma-norma dan kaidah-kaidah

hukum sekaligus nilai-nilai yang ada di belakangnya. Aparat penegak

hukum hendaknya memahami benar-benar jiwa hukum (legal spirit) yang

mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait dengan

berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perundang-

undangan (law making process).25

Selain itu dalam Black’s Law Dictionary, dengan editor Bryan A.

Garner menerjemahkan penegakan hukum sebagai pertama; The

detection and punishment of violations of the law. The term is not limited

to the enforcement of criminal laws, for example, the Freedom of

Information Act contains an exemption for law-enforcement purposes and

furnished in confidence. That exemption is valid for the enforcement of a

variety of noncriminal laws (such as national-security laws) as well as

criminal laws. Kedua; Criminal justice. Ketiga; Police officers and other

24 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum suatu pengantar, Universitas Atma Jaya

Yogyakarta, 2010, hlm. 207 25 Yohanes Suhardin, Kebijakan Penegakan Hukum yang Responsfi dan Progresif,

http://johnforindonesia.blog.com/2009/09/13/kebijakan-penegakan-hukum-yang-responsif-dan-progresif, Diakses tanggal 20 Maret 2012 Jam 12.30 di Kota Surakarta

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 39: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

22

members of the executive branch of government charged with carrying

out and enforcing the criminal law.26

Penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga

penegakannya dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti

perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, iptek,

pendidikan dan sebagainya. Penegakan hukum harus berlandaskan

kepada prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana tersirat dalam UUD

1945 dan asas-asas hukum yang berlaku di lingkungan bangsa-bangsa

yang beradab (seperti the Basic Principles of Independence of Judiciary),

agar penegak hukum dapat menghindarkan diri dari praktik-praktik

negatif akibat pengaruh lingkungan yang sangat kompleks tersebut.

Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono

Soekanto, efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima)

faktor. Pertama; faktor hukumnya sendiri (undang-undang). Kedua;

faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum. Ketiga; faktor sarana atau fasilitas yang mendukung

penegakan hukum. Keempat; faktor masyarakat, yakni lingkungan di

mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kelima; faktor

kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.27

Pada saat ini dapat diamati, dilihat dan dirasakan

bahwa penegakan hukum berada dalam posisi yang tidak

menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat

penegak hukum dalam pemberantasan berbagai tindak pidana yang

terjadi saat ini di Indonesia. Ketidakpuasan masyarakat saat ini atas

kinerja aparat penegak hukum menimbulkan perlawanan/penolakan, hal

justru menambah daftar hitam pelaksanaan penegakan hukum di

Indonesia. Beberapa kasus yang saat ini muncul dan menjadi tragedi

nasional yang memilukan atas praktek penegakan hukum yang dinilai

26 Loc.Cit 27 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, RajaGrafindo

Persada, Jakarta, 2010, hlm. 8

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 40: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

23

oleh masyarakat sangat tidak adil antara lain seperti kasus Mesuji di

Lampung, kasus sape Bima Nusa Tenggara Barat, kasus sandal jepit di

Palu dan beberapa kasus lainnya yang justru mendapatkan simpati dan

dukungan atas perlawanan masyarakat tersebut. Ini menunjukkan bahwa

saat ini penegakan hukum yang ada hanyalah selalu mengejar kepastian

hukum semata sementara rasa keadilan bagi masyarakat dan kemanfaatan

sosialnya belum menjadi porsi yang sama dalam pertimbangan keputusan

dalam proses penegakan hukum kita saat ini.

Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah

penegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya

kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan

pemberdayaan sosial melalui putusan – putusan hakimnya.

Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum

diatas telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan

masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum.

Adanya penilaian dari masyarakat atas kinerja aparat penegak hukum

menunjukkan bahwa hukum /pengadilan tidak dapat melepaskan diri

dari struktur sosial masyarakatnya. Hukum tidaklah steril dari perilaku

– perilaku sosial lingkungannya. Oleh karena itu wajar kiranya

apabila masyarakat mempunyai opini tersendiri setiap ada putusan

pengadilan yang dipandang bertentangan dengan nilai – nilai

keadilan hidup dan tumbuh di tengah – tengah masyarakat.

Persoalannya tidak akan berhenti hanya sebatas munculnya opini

publik, melainkan berdampak sangat luas yaitu merosotnya citra

lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan

luntur dan mendorong munculnya situasi anomi. Masyarakat

kebingungan nilai – nilai mana yang benar dan mana yang salah.

Penegakan hukum dapat juga dilihat sebagai proses yang melibatkan

manusia di dalamnya. Sosiologi hukum melihat penegakan hukum

dengan pengamatan demikian itu. Sesuai dengan tradisi empiriknya,

maka dalam pengamatan terhadap kenyataan penegakan hukum, faktor

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 41: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

24

manusia sangat terlibat dalam usaha menegakan hukum tersebut.

Penegakan hukum itu bukan suatu proses logis semata, melainkan sarat

dengan keterlibatan manusia di dalamnya. Hal ini berarti bahwa

penegakan hukum tidak dapat dilihat sebagai suatu proses logislinier,

melainkan sesuatu yang kompleks. Masuknya faktor manusia menjadikan

penegakan hukum sarat dengan dimensi perilaku dengan semua faktor

yang menyertainya. Penegakan hukum lalu bukan lagi merupakan hasil

deduksi logis, melainkan lebih merupakan pilihan-pilihan. Dengan

demikian, luaran (out put) dari penegakan hukum tidak hanya didasarkan

pada ramalan logika semata, melainkan juga hal-hal yang “tidak menurut

logika”.28

Penegakan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri

sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal-balik yang erat dengan

masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam membicarakan penegakan hukum,

sebaliknya tidak diabaikan pembahasan mengenai struktur masyarakat

yang ada di belakangnya. Penegakan hukum dalam suatu masyarakat

mempunyai kecenderungan-kecenderungannya sendiri yang disebabkan

oleh struktur masyarakatnya. Struktur masyarakat tersebut merupakan

kendala, baik berupa penyediaan sarana sosial yang memungkinkan

penegakan hukum dijalankan, maupun memberikan hambatan-hambatan

yang menyebabkan penegakan hukum tidak dapat dijalankan atau kurang

dapat dijalankan dengan seksama.29

Dari beberapa defenisi diatas jelas bahwa penegakan hukum

merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang

dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan

hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya

merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili

kepentingan – kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang

telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat

28 Satjipto Raharjo, Op. Cit , hlm.192 29Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,

Yogyakarta, 2009, hlm. 31.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 42: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

25

semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum

sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan

hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat

tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi

perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat

mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu

menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the

books”.

Leden Marpaung mengatakan :

“Penegakan hukum tidak berlangsung dalam suasana vakum atau kekosongan sosial. Yang dimaksud dengan kekosongan sosial adalah tiadanya proses-proses di luar hukum yang secara bersamaan berlangsung dalam masyarakat. Proses-proses tersebut adalah seperti ekonomi dan politik. Penegakan hukum berlangsung ditengah-tengah berjalannya proses-proses tersebut. Dengan dikeluarkannya undang-undang misalnya maka tidak sim salabin lalu segalanya menjadi persis seperti dikehendaki oleh undang-undang itu. Hubungan kompetitif, tarik menarik dan dorong mendorong antara hukum dan bidang serta proses lain diluarnya tetap saja terjadi. “30

Menurut Marc Galanter dalam Satjipto Rahardjo,

“Bahwa penegakan hukum tidaka sesederhana yang kita duga, melainkan bahwa penegakan hukum itu mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karena dihadapkan kepada kenyataan kompleks. Dalam ilmu hukum normative kompleksitas itu di abaikan, sedangkan sebagai ilmu yang empiric tidak dapat mengabaikannya. Sosiologi hukum berangkat dari kenyataan, yaitu melihat berbagai kenyataan, kompleksitas, yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kenyataan itu membentuk maksud dengan melihat hukum dari (from the other end of the telescope) “Unjung yang lain dari teleskop”. Oleh karena memasukan kompleksitas tersebut ke dalam pemahaman dan analisisnya, maka dalam sosiologi hukum, penegakan hukum itu tidak bersifat logis universal, melainkan variabel.”

31 Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan

nilai, ide dan cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan

hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan

kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas

30 Hartiwiningsih, Op.Cit, hlm. 61 31 Loc.Cit.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 43: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

26

nyata. Eksistensi hukum diakui apabila nilai-nilai moral yang terkandung

dalam hukum tersebut manpu diimplementasikan atau tidak.

Menurut Soerjono Soekanto,

“ secara konsepsional inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.”32

Satjipto Raharjo mengatakan Penegakan hukum merupakan suatu

usaha mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan. Proses

perwujudan ide-ide tersebut merupakan hakekat dari penegakan hukum.33

Selanjutnya beliau mengatakan bahwa, penegakan hukum sudah dimulai

pada saat peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan. Penegakan hukum

adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum

menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran

badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-

peraturan hukum. Proses penegakan hukum menjangkau pula sampai

kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang

dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana

penegakan hukum itu dijalankan.34

Sudah seharusnya bahwa hukum yang dibuat atau diciptkan oleh

lembaga/Negara mencerminkan nilai-nilai yang telah disepakati atau telah

diyakini oleh masyarakat sebagai norma-norma yang harus di taati dalam

kehidupan bersama, sehingga hukum tersebut dapat di terima dan

dijalankan secara sukarela oleh masyarakat. Dalam teori sosiologis

dinyatakan hukum akan berlaku efektif ketika penerimaannya secara

sukarela oleh masyarakat. Perumusan hukum atau suatu peraturan yang

mencerminkan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat tersebut benar

dan adil akan berdampak pada kepatuhan masyarakat dan keberhasilan

dalam penegakannya. Oleh karena itu penegakan hukum harus selalu

32 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm. Kata Pengantar Editor 33 Loc.Cit 34 Ibid, hlm. 24

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 44: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

27

dapat dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang

diyakini dapat di implemetasikan baik aparat penegak hukum maupun

oleh masyarakat yang terkena dampaknya, sehingga asas keadilan,

kepastian dan kemanfaatan yang menjadi tujuan penegakan hukum itu

sendiri tercapai yang akhirnya menciptakan ketertiban dan kedamaian

dalam hidup masyarakat.

Dari kajian teori-teori diatas menunjukkan bahwa proses penegakan

hukum disamping dipengaruhi oleh faktor hukumnya sendiri juga

dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar hukum itu sendiri (faktor sosial

dan budaya). Faktor-faktor diatas kiranya dapat menjadi kajian para

pengambil kebijakan dalam hal perumusan penegakan hukum yang baik

guna mewujudkan rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan sosial bagi

masyarakat. Faktor perumusan tindak pidana yang baik, aparat yang

berkualitas dengan kuantitas yang seimbang beban tugas yang diberikan,

sarana prasarana yang optimal sangat menentukan proses keberhasilan

penegakan hukum disamping dukungan atau kepatuhan masyarakat serta

faktor kebudayaan khusus nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat

menjadi faktor yang berpengaruhi dalam penegakan hukum. Seperti

dijelaskan sebelumnya bahwa penegakan hukum sudah dimulai sejak

undang-undang tersebut dirumuskan. Perumusan undang – undang yang

baik apabila selaras dengan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat

yakni nilai-nilai yang baik yang harus ditaati dan nilai-nilai buruk yang

harus di hindari. Ketika suatu rumusan tindak pidana sama dengan nilai

yang dianut oleh masyarakat sebagai perbuatan yang dicela, maka akan

secara spontan ketentuan tersebut dapat diterima atau dipatuhi oleh

masyarakat sehingga dengan sendirinya proses penegakan hukum akan

mendapat dukungan dari masyarakat yang berdampak pada pencapaian

keberhasilan penegakan hukum itu sendiri.

Menurut Barda Nawawi Arief,

“banyak faktor yang mempengaruhi dan menentukan kualitas penegakan hukum. Faktor itu dapat berupa kualitas individual (SDM), kualitas institusional/struktur hukum (termasuk mekanisme tata kerja dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 45: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

28

manajemen), kualitas sarana/prasarana, kualitas perundang-undangan (substansi hukum), dan kualitas kondisi lingkungan (sistem sosial, ekonomi, politik, budaya; termasuk budaya hukum masyarakat. Dengan demikian, upaya peningkatan kualitas penegakan hukum harus mencakup keseluruhan faktor/kondisi/kausa yang mempengaruhinya.”35

Hukum merupakan pelembagaan dari perubahan, maka mestinya

penegakan hukum juga berfungsi sebagai sarana untuk menciptakan

perubahan atau melakukan pembangunan. Ciri-ciri yang sebaiknya ada

pada penegakan hukum untuk pembangunan adalah :

1. Mempunyai kesadaran lingkungan, artinya tindakan-tindakan dalam

penegakan hukum hendaknya mengait kepada proses-proses yang

berlangsung dalam masyarakat, seperti ekonomi, politik dan

sebagainya.

2. Menyadari kedudukan dan kualifikasinya sebagai suatu badan yang

harus ikut mengerakkan perubahan-perubahan.

3. Penegakan hukum akan banyak terlibat kepada masalah pembuatan-

pembuatan keputusan daripada sekedar menjadi badan yang

melaksanakan saja. 36

Penegakan hukum dilihat dari kacamata normatif memang

merupakan permasalahan yang sangat sederhana, tetapi bila dilihat dari

kacamatan sosiologis maka penegakan hukum merupakan proses yang

panjang dan merupakan suatu perjuangan, sebagaimana dikemukakan

oleh Barda Nawawi Arief, bahwa,

“Penegakan hukum dan keadilan merupakan serangkaian proses yang cukup panjang dan dapat melibatkan berbagai kewenangan instansi aparat penegak hukum lainnya ( di bidang penegakan hukum pidana melibatkan aparat penyidik/kepolisian, aparat penuntut umum kejaksaan, aparata pengadilan, dan aparat pelaksana pidana).”37

35 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Kejahatan, Cet Ke-2, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007,hlm.20 36 Sajipto Rahardjo, Op.Cit, hlm. 140 37 Hartiwiningsih, Op.Cit, hlm.61

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 46: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

29

Dari berbagai defenisi diatas peneliti menyimpulkan bahwa

penegakan hukum adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh

aparat penegak hukum dalam rangka memberikan perlindungan terhadap

kepentingan manusia untuk pencapaian ketertiban, ketentraman dan

kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat dengan mengacu pada prinsip

keadilan , kepastian hukum dan kemanfaatan sosial.

Strategi penegakan hukum nasional dititikberatkan kepada upaya

pencegahan atau preventif. Sarana preventif yang bersifat operasional

adalah dilaksanakannya secara cermat, lengkap, jelas prosedur

perijinannya dan tahap berikutnya terlaksananya kegiatan pembinaan,

pengawasan dan pemantauan secara konsisten,efisien dan efektif.

Selanjutnya apabila hal tersebut tidak berhasil atau tidak manpu

mencegah terjadinya pelanggaran, baru memasuki tahapan yang bersifat

represif.38

Penegakan hukum yang bersifat preventif berarti pengawasan aktif

dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung

yang menyangkut peristiwa konkret yang menimbulkan sangkaan bahwa

peraturan hukum telah dilanggar. Instrument bagi penegakan hukum

preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan

yang sifatnya pengawasan (pengambilan sampel, penghentian mesin dan

sebagainya). Penegakan hukum yang bersifat represif dilakukan dalam

hal perbuatan yang melanggar peraturan, seperti penindakan secara

pidana.39

Politik Hukum pembangunan konservasi sumber daya alam hayati

dan ekosistemnya di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan amanat

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemmnya. Menurut Adi Sulistiyono,:

“Politik Hukum adalah Kebijakan yang dilakukan oleh penyelenggara negara dalam merencanakan, memberlakukan, menegakkan hukum untuk

38 Ibid, hlm. 59 39 Loc.Cit

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 47: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

30

membangun sistem hukum dalam upaya mencapai tujuan Negara sebagai diamanatkan konstitusi”40

Dalam undang-undang tersebut diatur mengenai strategi

pembangunan konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia melalui

pembentukan atau penetapan kawasan-kawasan konservasi baik di darat

maupun di wilayah perairan, model-model pengelolaan konservasi

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Indonesia termasuk

norma/ketentuan tentang perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan

yang bersanksi pidana penjara dan denda jika norma tersebut dilanggar.

Strategi penegakan hukum pidana atas ketentuan dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya tersebut dilaksanakan baik melalui pendekatan

preventif/pencegahan maupun pendekatan represif/penerapan sanksi

pidana (penyidikan, penuntutan dan peradilan pidana) bagi pelaku.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dinyatakan bahwa dalam

hal penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumberdaya alam

hayati dan ekosistemnya selain pejabat penyidik Kepolisian Negara

Republik Indonesia, juga pejabat pegawai negeri sipil tertentu di

lingkungan departemen/kementerian yang lingkup tugas dan tanggung

jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.41 Disamping itu

dalam rangka tugas perlindungan dan pengamanan kawasan hutan

termasuk kawasan konservasi juga telah ada pejabat kehutanan tertentu

sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus

40 Adi Sulistiyono, Pengertian Dasar Politik Hukum, Materi Kuliah Politik Hukum, Pada

Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011, hlm. 10 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Op.Cit, Pasal 39 ayat (1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 48: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

31

dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya yaitu Polisi kehutanan (Polhut).42

Dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional, tugas penegakan

hukum dalam rangka pengamanan dan perlindungan kawasan taman

nasional dan penyidikan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya diemban oleh Polisi Kehutanan

(Polhut) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan selain

dilaksanakan oleh Polisi, Jaksa dan Pengadilan (hakim). Polisi

Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkungan instansi kehutanan

pusat dan daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya,

menyelenggarakan dan atau melaksanakan usaha perlindungan hutan

yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus

di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya.43

Polisi Kehutanan (Polhut) memiliki wewenang kegiatan dan

tindakan kepolisian khusus di bidang kehutanan yang bersifat preventif,

tindakan administrasi dan operasi represif meliputi :

a. Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau

wilayah hukumnya;

b. Memeriksa surat-surat dokumen yang berkaitan dengan

pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah

hukumnya;

c. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang

menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

d. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana

yang menyangkut yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan

hasil hutan;

e. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk

diserahkan kepada yang berwenang;

42 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, Pasal 32 ayat (1)

43 Ibid, Pasal 1 ayat (2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 49: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

32

f. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya

tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil

hutan; dan

g. Atas perintah pimpinan berwenang untuk melakukan

penyelidikan, dalam rangka mencari dan menangkap tersangka.44

Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) kehutanan adalah

pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan

pusat dan daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus

penyidikan di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya.45 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

pasal 39 dinyatakan wewenang penyidik pegawai negeri sipil kehutanan

sebagai berikut :

a. Melakukan pemeriksaan atas laporan atau keterangan berkenan

dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya;

b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan

tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya

c. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan

suaka alam dan kawasan pelestarian alam;

d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang-bukti tindak

pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya

e. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan

sehubungan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber

daya alam hayati dan ekosistemnya;

f. Membuat dan menandatangani berita acara;

44 Ibid, Pasal 36 45 Ibid, pasal 1 ayat (3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 50: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

33

g. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti

tentang adanya tindak pidana di bidang konservasi sumber daya

alam hayati dan ekosistemnya.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya, Penyidik

Pegawai Negeri Sipil (PPNS), ketika melakukan tugas penyidikan

tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan

hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Pejabat Penyidik

Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 107

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.46

Di dalam menjalankan tugasnya Pejabat Pegawai Negeri Sipil

Kehutanan berada di bawah koordinasi dan pengawasan Pejabat

Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.47

Dari penjelasan di atas diperoleh gambaran bahwa upaya

penegakan hukum terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,

secara preventif atau tindakan pencegahan dilaksanakan oleh Polisi

Kehutanan dan secara represif atau penerapan/penegakan hukum pidana

dilaksanakan oleh Polisi Kehutanan dan PPNS Kehutanan selain

dilaksanakan oleh penyidik Polri, Kejaksaan dan Hakim (Pengadilan).

2. Koservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia

Konservasi itu sendiri berasal dari kata Conservation yang terdiri

atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian

mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you

have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh

46 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Op.Cit, Pasal 39 ayat (4) 47 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004, Op.Cit, Pasal 39 ayat (3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 51: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

34

Theodore Roosevelt yang merupakan orang Amerika pertama yang

mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi dalam pengertian

sekarang, sering diterjemahkan sebagai the wise use of nature resource

(pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana).48Sedangkan menurut

Rijksen , konservasi merupakan suatu bentuk evolusi kultural dimana

pada saat dulu, upaya konservasi lebih buruk daripada saat sekarang.

Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana

konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan

sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi,

konservasi merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa

yang akan datang.49

Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan

dalam beberapa batasan, sebagai berikut :

1. Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi

keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama

(American Dictionary).

2. Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi)

yang optimal secara sosial (Randall, 1982).

3. Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke

organisme hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas

kehidupan manusia yang meningkat termasuk dalam kegiatan

manajemen adalah survai, penelitian, administrasi, preservasi,

pendidikan, pemanfaatan dan latihan (IUCN, 1968).

4. Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia

sehingga dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar

dan dapat diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang

(WCS, 1980). 50

48 http://susilofy.wordpress.com/2011/02/18/pengertian-konservasi, Diakses tgl 18 Juni 2011

49 http://www.konservasi.co.cc/2010/07/sejarah-pengertian-dan-definisi.html, Diakses tgl 18 Juni 2011

50 Loc.cit

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 52: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

35

Pengertian Konservasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

adalah pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk

mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan;

pengawetan; pelestarian51

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi sumber

Daya Alam hayati dan Ekosistemnya (KSDA & E), mendefenisikan

Konservasi Sumber daya Alam hayati dan Ekosistemnya adalah

pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan

secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan

tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan

nilainya. Sedangkan tujuan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

ekosistemnya adalah mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya

alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih

mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu

kehidupan manusia. Sumber daya alam hayati adalah unsur -unsur hayati

di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber

daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di

sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem52

Dari beberapa pengertian dan defenisi diatas dapat disimpulkan

bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah

upaya pengaturan dan perlindungan atau pelestarian sumber daya alam

yang dilaksanakan dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem alam

agar dapat dimanfaatkan selamanya bagi kesejahteraan hidup umat

manusia.

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya menurut

undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui: (1) perlindungan

sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman jenis

tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (3) pemanfaatan secara

51 Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Lux, CV Widya Karya, Semarang, 2005, hlm. 262

52 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Op.Cit, Pasal 1 angka (1),(2) dan Pasal 3

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 53: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

36

lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Ketiga hal ini

dianggap sebagai prinsip dan acuan dalam pengelolaan konservasi di

Indonesia. Secara sederhana, kegiatan konservasi pada dasarnya

mencakup tiga unsur kegiatan yang saling terkait, yaitu :

1. Melindungi dan menyelamatkan ragam hayati (saving)

2. Mengkaji ragam hayati (studying)

3. Memanfaatkan ragam hayati (using) 53

Dalam penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990

tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya

dinyatakan sebagai berikut :

“Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan

melalui tiga kegiatan :

a. Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan. Kehidupan merupakan suatu sistem yang terdiri dari proses yang berkait satu dengan lainnya dan saling mempengaruhi, apabila terputus akan mepengaruhi kehidupan. Agar manusia tidak dihadapkan pada perubahan tidak terduga yang akan mempengaruhi kemampuan sumber daya alam hayati, maka proses ekologis yang mengandung kehidupan itu perlu dijaga dan dilindungi. Perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan perlindungan mata air,tebing,tepian sungai, danau, dan jurang, pemeliharaan fungsi hidorlogi hutan,perlindungan pantai, pengelolaan daerah aliran sungai;perlindungan terhadap gejala keunikan dan keindahan alam dan lain-lain

b. Pengawetan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dan Satwa beserta ekosistemnya. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terdiri dari unsur hayati dan non-hayati (baik fisik maupun nonfisik).

Semua unsur ini sangat berkait dan pengaruh mempengaruhi. Punahnya salah satu unsur tidak dapat diganti dengan unsur yang lain. Usaha dan tindakan konservasi untuk menjamin keanekaragaman jenis meliputi penjagaan agar unsur-unsur tersebut tidak punah dengan tujuan agar masing-masing unsur dapat berfungsi dalam alam dan agar senantiasa siap untuk sewktu-waktu dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia.

53 Widada, dkk, Op.Cit, hlm. 48

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 54: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

37

Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dapat dilaksanakan di dalam kawasan (konservasi in-situ) ataupun di luar kawasan (konservasi ex-situ)

c. Pemanfaatan Secara Lestari Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Usaha pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya merupakan usaha pengendalian/ pembatasan dalam pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus menerus pada masa yang akan datang.”

Banyak kalangan khususnya masyarakat masih sering mengatakan

bahwa konservasi adalah hanya indentik dengan pelarangan atau

perlindungan sumber daya alam. Pendapat ini tentunya sangat keliru jika

kita memperhatikan beberapa penjelasan di atas bahwa konservasi

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilaksanakan bukan hanya

upaya perlindungan dan pengawetan tetapi juga dalam pemanfaatan

sumber daya itu sendiri. Konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya dilaksanakan dalam rangka menjamin kelestarian dan

keanekaragaman sumber daya alam tersebut sehingga masyarakat dapat

memanfaatkan sumber daya alam terus secara terus menerus tanpa

menghilang atau terjadinya kepunahan atas sumber daya alam. Jadi jelas

kiranya bahwa upaya konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya dilaksanakan dalam rangka mendukung upaya peningkatan

kesehateraan masyarakat saat ini dan yang akan datang.

Berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran konservasi yaitu :

a. Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem

penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan

kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan);

b. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-

tipe ekosistemnya sehingga manpu menunjang pembangunan, ilmu

pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan

kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi

kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah);

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 55: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

38

c. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati

sehingga terjamin kelestariannya. Akibat sampingan penerapan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana, belum

harmonisnya penggunaan dan peruntukkan tanah serta belum

berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik didarat maupun

diperairan, dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik,

polusi, dan penurunan potensi sumber daya alam hayati (pemanfaatan

secara lestari.) 54

Seperti yang telah diuraikan pada halaman latar belakang di atas

bahwa dalam rangka upaya perlindungan dan pemanfaatan yang

bijaksana potensi keanekaragam hayati, pemerintah membentuk kawasan-

kawasan konservasi, yang meliputi Kawasn Suaka Alam yang terdiri dari

: Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, Kawasan Pelestarian Alam yang

berupa Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya

serta Taman Buru.

Kawasan Konservasi adalah bagian dari wilayah daratan atau

lautan yang perlu dan sengaja disisihkan dari segala bentuk eksploitasi

dan pemanfaatan sumber daya alam hayati, sehingga terjamin

keberadaannya secara lestari.55

Dalam penelitin ini, lokasi kajian penelitian dilakukan pada

kawasan Pelestarian Alam yaitu Taman Nasional, karena itu penelitian ini

lebih khusus mengkaji pengelolaan Taman Nasional sebagai kawasan

konservasi.

Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang menpunyai

ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk

tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,

pariwisata, dan rekreasi.56

54 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi Sumber Daya

Alam hayati dan Ekosistemnya, Gajah Mada University Press, Cet. 1-Yogyakarta, 1991, hlm. 2 55 Widada, dkk, Op.Cit, hlm. 93 56 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

dan Ekosistemnya, Pasal 1 angka (13),(14)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 56: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

39

Dari pengertian ini menjelaskan bahwa penetapan suatu kawasan

taman nasional diperuntukan untuk : Kegiatan penelitian, ilmu

pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

Fungsi pemanfaatan secara langsung pada kawasan taman nasional

adalah fungsi menunjang budidaya, pariwisata alam dan rekreasi.

Masyarakat dapat memanfaatkan kawasan taman nasional untuk kegiatan

penyediaan sumber bibit atau benih dalam kegiatan budidaya di luar

kawasan taman nasional, kegiatan pariwisata alam dan rekreasi dalam

kawasan.

Untuk mewujudkan tujuan dan fungsi pengelolaan Taman

Nasional, maka pengelolaan Taman Nasional di lakukan dengan sistem

zonasi. Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang

dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap

persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan

zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas dan penetapan, dengan

mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial,

ekonomi dan budaya masyarakat. Zona taman nasional adalah wilayah di

dalam kawasan taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan

Kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.57

Zona dalam Taman Nasional terdiri dari :

1. Zona inti;

2. Zona rimba; Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan;

3. Zona pemanfaatan;

4. Zona lain, antara lain: Zona tradisional; Zona rehabilitasi; Zona

religi, budaya dan sejarah; dan Zona khusus. 58

Penetapan zonasi atau ruang-ruang/wilayah dalam pengelolaan

taman nasional ini dilakukan sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan

pengelolaan yaitu perlindungan system penyangga kehidupan,

pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta

57 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional

58 Loc.Cit

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 57: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

40

ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati

dan ekosistemnya. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dinyatakan

bahwa setiap perbuatan atau aktivitas yang tidak sesuai dengan fungsi

atau peruntukan zona di taman nasional adalah merupakan perbuatan

atau tindakan pidana yang dapat dijatuhi sangsi pidana penjara dan denda.

Tentu hal ini sangat diperlukan sebagai langkah untuk mencegah dan

membuat efek jera bagi pelaku pelanggaran atas zonasi dalam

pengelolaan taman nasional.

3. Upaya Penanggulangan Kejahatan atau Tindak Pidana

Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk

menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan

demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut

bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat

relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu.

Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh

pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua

golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat

ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat.

Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan

pendapat diantara para sarjana. R. Soesilo membedakan pengertian

kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis.

Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan

tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi

sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau

tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan

masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan

ketertiban.59 Bonger menyatakan bahwa

59 http://library.usu.ac.id/download/fh/pid-syahruddin1.pdf, diakses Tgl 9 Juni 2011, Jam

13.00 WIB

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 58: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

41

“kejahatan adalah merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai kejahatan.60

Dari pengertian diatas secara umum dapat disimpulkan bahwa

kejahatan adalah suatu perbuatan yang bertentang dengan ketentuan

undang-undang atau perbuatan yang melawan hukum, merugikan

kepentingan individu atau kepentingan umum, dapat dicela oleh

masyarakat serta bersangsi pidana bagi yang melanggarnya.

Menurut Clarke dan Cornish yang dikutip oleh Ozkan GOK yang

ditulis dalam sebuah jurnal yang ber judul “The Role of Opportunity in

Crime Prevention and Possible Threats of Ciıme Control Benefits,”

mengatakan “

“Crime is a result of rational choices based on analyses of anticipated costs and benefits. Individuals choose to commit crime to somehow maximize their benefits and minimize their costs. Both benefits and costs have subjective and objective dimensions.”61 (Kejahatan adalah hasil dari pilihan rasional berdasarkan analisis biaya dan manfaat yang diantisipasi. Individu memilih untuk melakukan kejahatan entah bagaimana memaksimalkan manfaat dan meminimalkan biaya mereka. Kedua manfaat dan biaya memiliki dimensi subjektif dan objektif.)

Selanjutnya Ozkan GOK mengatakan bahwa ada dua pilihan untuk

mencegah kejahatan: yang pertama adalah mencoba untuk menghapus

kecenderungan pelaku untuk melakukan tindak pidana , dan yang kedua

adalah untuk menghilangkan peluang kejahatan atau kesempatan yang

dimiliki pelanggar/pelaku.62

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social

defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).

60 http://nasrullaheksplorer.blogspot.com/2008/10/pengertian-kejahatan.html, diakses Tgl 9

Juni 2011, Jam 10.00 WIB 61 Ozkan GOK, The Role of Opportunity in Crime Prevention and Possible Threats of Ciıme

Control Benefits, Polis Bilimleri Dergisi Cilt:13 (1) , Turkish Journal of Police Studies Vol: 13 (1), 2011, ss.97-114, hlm.100 62 Ibid, hlm 98

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 59: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

42

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama

dari politik kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat”.63 Menurut Mardjono Reksodiputro,

penanggulangan kejahatan merupakan usaha untuk mengendalikan

kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.64

Sekiranya penanggulangan kejahatan (politik criminal) dilakukan dengan

menggunakan sarana penal (hukum pidana), kebijakan hukum pidana (penal

policy), harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan kebijakan

sosial, berupa social welfare dan social defence. Hal ini dapat dikaitkan dengan

segala upaya peningkatan kehidupan masyarakat dalam bentuk program

pembangunan ataupun usaha-usaha recovery tetap dalam kerangka mewujudkan

tujuan Negara, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.65

Upaya penanggulangan kejahatan dilaksanakan secara terintegrasi

yakni upaya pelaksanaan penegakan hukum dan pelaksanaan kebijakan

sosial dalam pembangunan. Maksudnya adalah bahwa upaya penegakan

hukum dalam rangka penanggulangan kejahatan (politik kriminal) harus

dikaitakan dan dilihat sebagai upaya perbaikan kondisi-kondisi sosial

sebagai dampak dari pelaksanaan pembangunan guna mewujudkan

perlindungan masyarakat dalam rangka pencapaian kesejahteraan

masyarakat baik material maupun spiritual (kebijakan sosial).

Menurut G.P. Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat

ditempuh dengan :

1. Penerapan Hukum Pidana (criminal law application);

2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan

63 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 4 64 Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 3 65 Supanto, Kejahatan Ekonomi Global dan Kebijakan Hukum Pidana, P.T. Alumni

,Bandung, 2010, hlm. 176

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 60: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

43

3. Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on

crime and punishment/mass media) 66

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada

hakekatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya

penegakan hukum pidana) oleh karena itu dapat dikatakan bahwa

politik hukum pidana merupakan pula dari kebijakan penegakan

hukum. Politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun

dari politik kriminal. Menurut Sudarto, Politik Hukum adalah :

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang

diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang

terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-

citakan. 67

Bertolak dari pengertian demikian, Sudarto selanjutnya

menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti

mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan

pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya

guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan

“politik hukum pidana” berarti, usaha mewujudkan peraturan

perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi

pada suatu waktu dan masa-masa yang akan datang.68

Selanjutnya menurut A. Mulder Politik Hukum Pidana

(Strafrechtspolitiek) ialah garis kebijakan untuk menentukan :

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu

diubah atau diperbaharui.

66 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 41 67Ibid, hlm 26 68 Loc.Cit

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 61: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

44

2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak

pidana.

3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan

pidana harus dilaksanakan. 69

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana

(penal policy) mengandung masalah sentral, yakni (1) perbuatan apa

yang perlu ditentukan sebagai tindak pidana, (2) masalah pelakunya

menyangkut kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan (3) sanksi

pidana apa yang selayaknya dikenakan pada pelaku.70

Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan secara garis

besar dapat dibagi dua, yaitu jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat

jalur “nonpenal” (bukan/di luar hukum pidana). Upaya-upaya yang

disebut dalam butir (2) dan (3) dimasukan dalam kelompok upaya

“nonpenal”. Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih

menitikberatkan pada sifat “repressive” (penindasan

/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan

jalur “nonpenal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventive”

(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan

terjadi.71Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non-penal” lebih

bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran

utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya

kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada

masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau

tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan

kejahatan.72

Secara umum dapat disimpulkan bahwa upaya pencegahan

kejahatan atau tindak pidana dapat ditempuh melalui tindakan melalui

penegakan/penerapan hukum pidana yang berfokus pada tindakan

69 Ibid, hlm 166 70 Supanto, Op.Cit, hlm 211 71 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm 42 72 Loc.Cit

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 62: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

45

represif atau upaya penanggulangan kehajatan setelah terjadinya

tindakan atau perbuatan pidana dan upaya penanggulangan kejahatan

melalui tindakan pencegahan tanpa pidana (non penal) yaitu upaya

penanggulangan sebelum terjadinya tindak pidana, yang dilaksanakan

melalui kebijakan sosial dengan menangani atau mencegah faktor-

faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana.

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana

merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri.

Ada pula yang menyebutnya sebagai older philosophy of crime control.

Dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, maka ada yang

mempermasalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah

atau dikendalikan dengan menggunakan sanksi pidana. Menurut

Roeslan Saleh, ada tiga alasan yang cukup panjang mengenai perlunya

pidana dan hukum pidana yaitu sebagai berikut:

1. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-

tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa

jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan.

Persoalan bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam

perimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas

kebebasan pribadi masing-masing.

2. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak menpunyai

arti sama sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap

ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah

dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.

3. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan

pada si penjahat, tetapi, juga untuk mempengaruhi orang yang tidak

jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma

masyarakat. 73

73 Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 22

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 63: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

46

Tujuan pidana tidak melulu dicapai dengan pengenaan pidana,

tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan

pengamanan.74 Dalam literatur berbahasa Inggris tujuan pidana biasa

disingkat dengan tiga R dan satu D, yaitu Reformation: berarti

memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan

berguna bagi masyarakat.; Restraint: maksudnya mengasingkan

pelanggar dari masyarakat.; Retribution : pembalasan terhadap

pelanggar karena telah melakukan kejahatan.; Deterrence yang terdiri

atas individual deterrence dan general deterrence. (pencegahan khusus

dan pencegahan umum), berarti menjera atau mencegah sehingga baik

terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi

penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat

pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.75

Di Indonesia penggunaan sarana hukum pidana tampaknya

merupakan suatu kebijakan yang sudah dapat diterima oleh semua

pihak, terbukti selalu hadirnya sanksi pidana dalam setiap kebijakan

pembuatan suatu peraturan perundangan. Penggunaan hukum pidana

dianggap sebagai hal yang wajar dan normal. Tetapi permasalahan yang

muncul, kebijakan yang bagaimana yang harus ditempuh, agar

kebijakan penggunakan sanksi pidana dalam setiap perundang-

undangan benar-benar dapat efektif, kehadirannya dapat dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat. Dapat berhasil dan berdaya guna.

Hukum pidana dapat ditetapkan sebagai sarana untuk

menanggulangi kejahatan maka harus benar-benar memperhitungkan

semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya

hukum pidana dalam kenyataannya. Faktor-faktor yang dapat

mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana tersebut antara

lain dikemukakan oleh Sudarto sebagai berikut :

74 Andi Hamzah, Asas-Asan Hukum Pidana, Rineka Cipta, Cet. Kedua (edisi revisi),

Jakarta, 1994, hlm. 27 75 Ibid, hlm. 28-29

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 64: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

47

1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan

pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan

makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila;

sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana

bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan

pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi

kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi

dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak

dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian

(materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat.

3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip

biaya dan hasil (cost benefit principle) .

4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas

atau kemanpuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum,

yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) 76

Pada prinsipnya penggunaan hukum pidana, menurut penulis

sampai saat inipun harush tetap digunakan dalam upaya

penanggulangan kejahatan, hanya saja memang ada beberapa hal yang

mestinya harus diperhatikan khususnya para penegak hukum dalam

praktek atau penerapannya. Beberapa keluhan masyarakat menilai

bahwa praktek penegakan hukum di Indonesia saat ini terkadang masih

terkesan pilih kasih dan lebih mementingkan kepastian hukum

sementara sisi keadilan dan kemanfaatan sosialnya kurang menjadi

perhatian, tidak jarang proses penegakan hukum yang dilakukan oleh

aparat justru mendapatkan perlawanan dari masyatakat. Menurut

peneliti, ketiga unsur (keadilan, kepastian dan kemanfaatan) yang

menjadi tujuan hukum, harus menjadi pertimbangan yang sama dalam

penegakan hukum. Seperti yang dikemukakan oleh Sudarto diatas,

mestinya suatu perbuatan pidana yang akan diproses sampai ke

76 Hartiwiningsih, Op.Cit, hlm. 168

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 65: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

48

pengadilan harus merupakan perbuatan yang betul-betul merupakan

perbuatan yang dapat merugikan kepentingan masyarakat banyak ,

tentunya hal ini tidak mudah, diperlukan integritas dan komitemen

aparat penegak hukum yang kuat. Kewenangan menggunakan diskresi

penegak hukum mungkin dapat menjadi pertimbangan. Hal ini jelas

perlu diantisipasi dengan pengaturan yang lebih rinci, limitatif dan

memiliki tolak ukur yang obyektif unutk menilai bagaimana aparat

penegak hukum harus menjalankan tugas dan wewenangnya..

Seperti juga dikemukanan oleh Ted Honderich berpendapat,

bahwa suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis

(economical deterrents) apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Pidana itu sungguh-sungguh mencegah.

2. Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih

berbahaya/merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana itu

tidak dikenakan.

3. Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan

bahaya/kerugian yang lebih kecil. 77

Penggunaan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan

bersifat sistemik menjadi bagian yang integral dengan perencanaan

pembangunan nasional. Kongres PBB mempermasalahkan hubungan

antara kebijakan pembangunan nasional dengan peningkatan kejahatan,

seperti kongres PBB 1980 di Venezuela, Kongres PBB VII 1985 di

Milan.78 Dari sebagian pernyataan-pernyataannya dapat dipahami

bahwa pembangunan itu sendiri pada hakikatnya tidak bersifat

kriminogen, apabila pembangunan itu direncanakan secara rasional,

tidak timpang atau seimbang, tidak mengabaikan nilai-nilai kultural,

dan moral serta mengandung strategi perlindungan masyarakat yang

integral. Sebaliknya, kebijakan pembangunan dapat bersifat kriminogen

apabila tidak direncanakan secara rasional, timpang atau tidak

77 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 35 78 Supanto, Op.Cit. hlm. 175

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 66: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

49

seimbang, mengabaikan nilai-nilai kultural, serta tidak mencakup

strategi perlindungan masyarakat yang integral.79

Disadari bahwa upaya penanggulangan kejahatan dengan

penggunaan hukum pidana memiliki bersifat terbatas diidentifikasi

disebabkan hal-hal sebagai berikut :

1. Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar

jangkauan hukum pidana,

2. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub bagian) dari

sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah

kejahatan sebagai masalah kemanusian dan kemasyarakatan yang

sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik,

sosio ekonomi, sosio-kultural, dsb),

3. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya

merupakan kurieren am symptom, sehingga hukum pidana hanya

merupakan pengobatan simptomatik, dan bukan pengobatan

kausatif,

4. Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat

kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek

sampingan yang negatif,

5. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal,

tidak bersifat struktural/fungsional,

6. Keterbatasan jenis sanksi pidana, dan sistem perumusan sanksi

pidana yang bersifat kaku dan imperative,

7. Berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang

lebih bervariasi dan lebih menuntut biaya tinggi. 80

Penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana memerlukan

dukungan instrument lainnya dalam kerangka kebijakan sosial ataupun

program pembangunan. Dikenal adanya Crime Prevention Through

Enviromental Design, Yang dimaksudkan termasuk upaya perbaikan

79 Loc.Cit 80 Ibid, hlm. 180

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 67: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

50

lingkungan untuk mengurangi kesempatan perilaku kejahatan, juga

untuk menghapuskan rasa takut karena kejahatan dan persepsi resiko

kejahatan. Ini dilakukan dengan peningkatan perbaikan kualitas

lingkungan dengan pengurangan kondisi yang tidak baik, peningkatan

kehidupan masyarakat yang patuh hukum, serta dilaksanakan

penghapusan lingkungan fisik yang cenderung mendukung kejahatan.

Hal ini tentu tidak lepas dari pengembangan masyarakat dengan upaya

pembangunan dalam segala aspek. Dengan demikian, tampaklah

keterkaitan yang saling mendukung atara upaya penanggulangan

kejahatan dengan pembangunan nasional.81

Jalur non-penal merupakan jalur kebijakan sosial (social policy)

dalam penanggulangan kejahatan digunakan untuk mengatasi masalah-

masalah social, yang dalam skema G.P. Hoefnagles dimasukan dalam

jalur “prevention without punishment”. Kebijakan sosial pada dasarnya

adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau

perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang

cukup luas dari pembangunan.82

Pada Kongres PBB ke-8 Tahun 1990 di Havana, Cuba, beberapa

aspek sosial yang diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab

terjadinya kejahatan (khususnya dalam masalah “urban crime”), antara

lain disebutkan di dalam dokumen A/CONF.144/L.3 sebagai berikut :

1. Kemiskinan,pengangguran,kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi.

2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak menpunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial.

3. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga. 4. Keadaan-keadaan/kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang

bermigrasi ke kota-kota atau ke Negara-negara lain.

81 Loc.Cit. 82Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 46

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 68: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

51

5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersangkutan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan di bidang social, kesejahteraan, dan lingkungan pekerjaan.

6. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya (tidak cukupnya) pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga.

7. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakat, di lingkungan keluarga/familinya, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya.

8. Penyalahgunaan alcohol, obat bius, dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut diatas.

9. Meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian.

10. Dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak), atau sikap-sikap tidak toleran (intoleransi). 83

Menurut Felson yang dikutip oleh Graham Farrell dalam sebuah

jurnal yang berjudul “Situational Crime Prevention and Its

Discontents:Rational Choice and Harm Reduction versus‘Cultural

Criminology”, mengatakan :

“Crime as the product of social change, with the key driving forces being technological, socioeconomic, environmental and political. The mechanism of change is the nature and frequency of interactions between suitable targets and potential offenders in the absence of capable guardians.”84 (kejahatan sebagai produk perubahan sosial, dengan kekuatan pendorong utama adalah teknologi, sosial ekonomi, lingkungan dan politik. Mekanisme perubahan adalah sifat dan frekuensi interaksi antara sasaran yang tepat/cocok dan potensial pelanggar tanpa adanya pelindung atau wali yang mampu.)

83Ibid, hlm. 45 84 Graham Farrell, Situational Crime Prevention and Its Discontents: Rational Choice and

Harm Reduction versus ‘Cultural Criminology, Journal Social Policy & Administration issn 0144–5596, DOI: 10.1111/j.1467-9515.2009.00699.x, Vol. 44, No. 1, February 2010, pp. 40–66, hlm 58

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 69: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

52

Selanjutnya Cohen dan Felson dengan pendekatan teori Kegiatan

Rutin (Routine Activity Theory) yang di kutip oleh Aygün Erdogan

dalam sebuah jurnal yang berjudul “What do place-based crime

prevention strategies mean for the Turkish planning system and urban

transformation?”, menjelaskan kapan, dimana dan bagaimana peristiwa

kejahatan terjadi, menurut teori ini, kejahatan terjadi pada daerah atau

wilayah kegiatan rutin ketika ketiga kondisi terjadi secara simultan,

yakni keinginan/motivasi pelaku, target yang sesuai/ diinginkan dan

tidak adanya penekan pelindung/wali kejahatan yang manpu mencgah

tindak pidana (misalnya, teman, orang tua, guru, atau pimpinan/manajer

setempat), selengkapnya ditulis sebagai berikut :

“Routine Activity Theory, proposed by Cohen and Felson in 1979, describes when, where and how criminal events occur and utilizes the opportunities provided by the Routine Activities of the victims and possible absence of controllers as an analytical method. Routine Activities are daily activities that are carried out to meet individual needs in a repetitive and routine way, and are independent of biological or cultural differences.

They include activities that provide work, food, shelter, entertainment, learning, child rearing and the likes . According to this theory, crime occurs in the routine activity areas of targets when three conditions take place simultaneously, being: a likely/motivated offender; a suitable/desirable target; and the absence of a guardian/crime suppressor capable of preventing the criminal act (e.g., friends, parents, teachers, place managers).”85

Beberapa masalah dan kondisi sosial yang merupakan penyebab

kondusif penyebab timbulnya kejahatan merupakan masalah sosial yang

tidak dapat hanya diatasi dengan penggunaan hukum pidana (penal) ,

karena faktor tersebut bisa saja muncul sebagai akibat dampak

pembangunan yang tidak rasional, timpang atau tidak seimbang.

Disinilah keterbatasan jalur penal, oleh karena itu masalah-masalah

85 Aygün Erdogan , What do place-based crime prevention strategies mean for the Turkish

planning system and urban transformation?, Journal of Geography and Regional Planning Vol. 3(11), pp. 271-296, November 2010, Available online at http://www.academicjournals.org/JGRP, ISSN 2070-1845 ©2010 Academic Journals, hlm. 275

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 70: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

53

sosial seperti yang dikemukakan diatas harus diatasi melalui jalur

kebijakan sosial atau tanpa pidana (nonpenal) yaitu kebijakan atau

upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Menurut Sudarto, salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya

patut mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa

masyarakat, baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun

kesehatan/kesejahteraan keluarga ( termasuk masalah kesejahteraan

anak dan remaja) serta masyarakat luas pada umumnya.86 Penggarapan

kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama merupakan upaya

non penal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan. Peranan

pendidikan agama dan berbagai bentuk media penyuluhan keagamaan

dalam memperkuat kembali keyakinan dan kemanpuan manusia untuk

mengikuti jalan kebenaran dan kebaikan.87 Selanjutnya Sudarto

mengemukakan, bahwa kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan

secara kontinyu termasuk upaya nonpenal yang menpunyai pengaruh

preventif bagi penjahat (pelanggar hukum) potensial.88 Kegiatan

razia/operasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian di beberapa tempat

tertentu dan kegiatan yang berorientansi pada pelayanan masyarakat

atau kegiatan komunikatif edukatif dengan masyarakat, dapat pula

dilihat sebagai upaya non penal yang perlu diefektifkan.

Dari uraian diatas disimpulkan bahwa upaya non penal lebih

mengedepankan tindakan pencegahan agar tidak terjadi tindak pidana,

dengan melakukan strategi mengatasi masalah-masalah penyebab

kejahatan. Menurut peneliti hal ini justru akan lebih efektif mengatasi

kejahatan, ketika kondisi suatu masyarakat dari sisi kesejahteraan cukup

baik, kehadiaran aparat penegak hukum pada tempat-tempat tertentu

yang rawan terjadinya kejahatan maka dipastikan (pelaku/penjahat)

tidak akan melakukan kejahatan.

86 Barda Nawawi Areif, Op.Cit, hlm. 46 87 Loc.Cit 88 Ibid, hlm. 49

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 71: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

54

Massoomeh Hedayati Marzbali, menulis dalam sebuah jurnal

yang berjudul “A Review of the Effectiveness of Crime Prevention by

Design Approaches towards Sustainable Development” ( Sebuah

Tinjauan Efektivitas Pencegahan Kejahatan melalui Desain Pendekatan

terhadap Pembangunan Berkelanjutan) sebagai berikut :

“Important conclusions that can be drawn from this study are connected with the initial research objectives. Clearly the reviews reported in this article provide empirical evidence supporting the significant relationship between safety and sustainability. The present paper suggests that the application of crime prevention principles have positive effects in the built environment and possess low levels of crime and fear among societies. Consequently, it can be pointed out that place-based crime prevention strategies appear to be effective methods towards achieving sustainability. A number of studies have concentrated on the evaluation of safety of the physical environment and sustainability. Along this line of investigation, it may be concluded that safety and security should be considered as a prerequisite towards achieving sustainable development. Meanwhile, in terms of CPTED design strategies, Saville (2009) argued that it needs to move away from standardized CPTED theories in the direction of a holistic strategy to design, implement, and manage the societies. These mutations can be useful for the current system of place-based crime prevention for years to come.Taken as a whole, a major recommendation from the authors is that crime and the fear of crime must be considered in the development process as effective indicators in achieving sustainability for communities. Crime prevention strategies if considered at the initial stage of each development may able to provide comprehensive sustainability outcomes namely environmental, social as well as economic benefits. Finally, recommendations are made not only for the consideration of safety in the development process, but also for the dissemination of crime prevention strategies that have proven to be successful. It needs to be noted that further and more studies need to be carried out in order to evaluate accurately the conflict between crime prevention by design strategies and sustainable development and address their measurements.”89

(Kesimpulan penting yang dapat ditarik dari studi ini dihubungkan

89 Massoomeh Hedayati Marzbali, A Review of the Effectiveness of Crime Prevention by

Design Approaches towards Sustainable Development, www.ccsenet.org/jsd Journal of Sustainable Development Vol. 4, No. 1; February 2011, ISSN 1913-9063 E-ISSN 1913-9071, hlm. 167-168

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 72: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

55

dengan tujuan penelitian awal. Jelas review dilaporkan dalam artikel ini memberikan bukti empiris mendukung hubungan yang signifikan antara keselamatan dan keberlanjutan. Tulisan ini menunjukkan bahwa penerapan prinsip-prinsip pencegahan kejahatan memiliki efek positif dalam pembinaan lingkungan dan rendahnya tingkat kejahatan dan ketakutan di kalangan masyarakat. Akibatnya, dapat ditunjukkan bahwa strategi berbasis pencegahan ditempat/lokasi terjadinya kejahatan tampaknya merupakan metode yang efektif untuk mencapai keberlanjutan.

Sejumlah studi telah memusatkan pada evaluasi keselamatan fisik lingkungan dan keberlanjutan. Sesuai dengan hasil penelitian ini , dapat disimpulkan bahwa keselamatan dan keamanan harus dipertimbangkan sebagai prasyarat untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Sementara itu, dalam hal strategi desain CPTED, Saville (2009) berpendapat bahwa perlu dikaji lebih jauh standar dari teori-teori CPTED dalam arah strategi holistik untuk merancang, melaksanakan, dan mengelola masyarakat. mutasi ini dapat berguna untuk sistem saat tempat berbasis pencegahan kejahatan selama bertahun-tahun yang akan datang. Secara keseluruhan, rekomendasi utama dari penulis adalah kejahatan itu dan takut kejahatan harus dipertimbangkan dalam proses pembangunan sebagai indikator efektif dalam mencapai keberlanjutan bagi masyarakat. Strategi pencehagan kejahatan pada tahap awal harus dipertimbangkan sehingga menghasilkan pembangunan berkelanjutan secara komprehensif yaitu lingkungan, manfaat sosial serta ekonomi. Akhirnya, rekomendasi, dibuat tidak hanya untuk pertimbangan keamanan dalam proses pembangunan, tetapi juga untuk penyebaran strategi pencegahan kejahatan yang telah terbukti berhasil. Perlu dicatat bahwa studi lebih lanjut dan lebih perlu dilakukan dalam rangka untuk mengevaluasi secara akurat penilaian antara konflik antara pencegahan kejahatan dengan strategi desain dan pembangunan berkelanjutan.)

Berdasarkan pendapat Massoomeh Hedayati Marzbali diatas

dapat disimpulkan bahwa strategi penanggulangan kejahatan dalam

proses pembangunan adalah tindakan pencegahan kejahatan pada

wilayah atau tempat yang berpotensi terjadinya kejahatan adalah

metode yang efektif untuk pencapaian ketertiban dan keamanan dalam

pembangunan berkelanjutan sehingga menciptakan kondisi lingkungan

dan sosial yang baik, serta memberikan manfaat secara ekonomi bagi

masyarakat.

Departement Social Development Republic of South Africa, dalam

rangka memerangi kejahatan dan korupsi sebagai upaya peningkatan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 73: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

56

keamanan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat di Negara Afrika

Selatan ditulis oleh MR.VP. Madonsela dalam sebuah jurnal yang

berjudul ” Integrated Social Crime Prevention Strategy 2011” ,

memberikan 6 (enam) rekomendasi strategis pencegahan kejahatan

sebagai berikut :

1. Strengthening internal and external capacity to sustain better service delivery.

• An investment in capacity to build and deliver key services is required. In addition, it is recommended that all government departments should find ways to equip the community and its members to deliver simpler services under minimal departmental supervision.

(Memperkuat kapasitas internal dan eksternal untuk mempertahankan

pelayanan yang lebih baik. • Investasi dalam kapasitas untuk membangun dan memberikan layanan utama diperlukan. Selain itu, dianjurkan bahwa semua departemen pemerintah harus mencari cara untuk membekali masyarakat dan anggotanya untuk memberikan layanan sederhana di bawah pengawasan minimal departemen )

2. Facilitating targeted collaborative partnership with other

government departments and civil society organisations. • Departments should constantly explore ways in which individuals,

families and organisations within the communities can be mentored and supported to reduce the burden on existing capacity within the Departments.

(Memfasilitasi kemitraan kolaboratif ditargetkan dengan departemen

pemerintah lainnya dan organisasi masyarakat sipil. • Departemen harus terus mengeksplorasi cara-cara di mana individu, keluarga dan organisasi dalam masyarakat dapat dibimbing dan didukung untuk mengurangi beban pada kapasitas yang ada dalam Departemen)

3. Ensuring equitable and integrated site-based service delivery for

local service providers. • All departments’ services should be delivered to all people at each

site. (Memastikan adil dan terpadu berbasis situs layanan bagi penyedia

layanan lokal. • Semua departemen layanan 'harus disampaikan kepada semua orang di

setiap situs )

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 74: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

57

4. Promoting sustained institutional mechanisms in communities. • Feedback loops should be created and sustained in communities to

ensure realistic expectations by community members and transparent reports on progress or lack thereof, in relation to service delivery by departments This will result in building trust with and between communities.

(Mempromosikan mekanisme kelembagaan berkelanjutan di

masyarakat. • Umpan balik semua pihak harus diciptakan dan dipertahankan di masyarakat untuk memastikan harapan yang realistis oleh anggota masyarakat dan laporan yang transparan atas kemajuan atau kekurangan daripadanya, dalam hubungannya dengan penyediaan layanan oleh departemen. Hal ini dapat membangun kepercayaan dengan dan antar masyarakat.)

5. Improving social fabric and cohesion within families. • Communities should be strengthened to build the family as a cradle of

nurture. Departments should focus on providing support and services to families, both directly and indirectly, in order to strengthen and grow families as places of nurturing and peace.

(Meningkatkan struktur sosial dan keterpaduan dalam keluarga.

• Masyarakat harus diperkuat untuk membangun keluarga sebagai tempat lahir memelihara. Departemen harus fokus pada memberikan dukungan dan layanan untuk keluarga, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam rangka memperkuat dan memelihara keluarga sebagai tempat pengasuhan dan perdamaian.)

6. Ensuring investment in prevention and early intervention services

with long-term benefits. • Government departments should encourage all respective partners

and role-players to recognise and commit to social crime prevention as a long-term strategy and commitment, and to see the value of current actions as not just for the moment, but also for the future.90

(Memastikan investasi dalam pencegahan dan pelayanan intervensi

ini dengan keuntungan jangka panjang.

• departemen Pemerintah harus mendorong semua mitra masing-masing dan peran-pemain untuk mengenali dan melakukan untuk pencegahan kejahatan sosial sebagai strategi jangka panjang dan

90Mr.VP. Madonsela, Intergrated Sosial Crime Prevention Strategy 2011, Journal of Drug Issues, 32, 153-178, , www.info.gov.za/view/DownloadFileAction,, hlm. 41-42

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 75: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

58

komitmen, dan untuk melihat nilai tindakan saat ini sebagai tidak hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk masa depan)

Hukum, melalui sistem peradilan pidana, yang sejatinya

memerankan fungsinya sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik,

menegakkan kebenaran dan keadilan. Bahkan, dapat menjadi sarana

rekayasa sosial (social engineering) bagi masyarakat. tetapi dalam

prakteknya kondisi penegakkan hukum di Indonesia belum dapat

dikatakan berhasil. Ketidakefektifan penegakan hukum dalam bidang

konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya menunjukan

perlunya perbaikan pada penegakan hukum secara luas.

Mahrus Ali menyatakan,

“Kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa menegakkan hukum diartikan sama dengan menegakkan undang-undang. Pemahaman ini membawa implikasi bahwa hukum (undang-undang) menjadi pusat perhatian. Padahal, masalah penegakan hukum tidak dapathanya dilihat dari kaca mata undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibatkan semua unsur yang ada, seperti moral,perilaku, dan budaya. Oleh karena itu, perlu orientasi dan cara pandang baru dalam penegakan hukum.”91

Raymond Paternoster dalam sebuah tulisannya yang berjudul

“How Much Do We Really Know about Criminal Deterrence?” , Beliau

menulis sebagai berikut :

“One of the costs of crime is the possible legal punishment, including being arrested for committing the act, getting convicted of the crime, and being subjected to some kind of punishment as a result of conviction (jail, probation, prison, or, in some jurisdictions for some crimes, death). Deterrence theorists presume that punishment by the legal system will increase the cost of—and therefore inhibit—crime There are three properties of legal punishment that are related to its cost, the (1) certainty, (2) severity, and (3) celerity (or swiftness) of punishment. Other things being equal, a legal punishment is more costly when it is more certain (more likely than not to be a consequence of crime), severe (greater in magnitude), and swift (the punishment arrives sooner rather than later after the offense). This leads to the three key hypotheses that can be deduced from deterrence theory, which have served to guide empirical research over the past fifty years:

91 Mahrus Ali, 2007, Sistim Peradilan Progresif, Alternatif dalam Penegakan Hukum

Pidana, Jurnal Hukum, No.2 Vol. 14, April 2007, hlm. 212

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 76: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

59

H1: The greater the certainty of legal punishment, the lower the

crime rate. H

2: The greater the severity of legal punishment, the lower the crime

rate. H3. : The greater the celerity of legal punishment, the lower the crime

rate.92

(Ada tiga sifat sanksi hukum yang terkait dengan biaya, kepastian (1), (2) tingkat keparahan, dan (3) kecepatan (atau kecepatan) dari hukuman. Hal-hal lain dianggap sama, sebuah sanksi hukum adalah lebih mahal ketika itu lebih tertentu (lebih mungkin daripada tidak menjadi konsekuensi dari kejahatan), berat (lebih besar dalam besarnya), dan cepat (hukuman tiba lebih awal daripada kemudian setelah terjadi pelanggaran) . Ini mengarah pada tiga hipotesis kunci yang dapat disimpulkan dari teori pencegahan, yang telah melayani untuk memandu penelitian empiris selama lima puluh tahun terakhir:

1. Semakin besar kepastian hukuman hukum, semakin rendah tingkat kejahatan.

2. Semakin besar tingkat keparahan (beratnya) hukuman hukum, semakin rendah tingkat kejahatan

3. Semakin besar kecepatan hukuman (proses penyelesaian perkara) hukum, semakin rendah tingkat kejahatan.)

Inti teori ini adalah bahwa penanggulangan kejahatan dapat

ditempuh melalui pendekatan pencegahan atau teori pencegahan.

Pencegahan kejahatan dapat dicegah melalui pendekatan pencegahan

dengan membentuk persepsi pelaku atau calon pelaku kejahatan untuk

tidak melakukan kejahatan dipengaruhi oleh pelaksanaan penegakan

hukum (kepastian hukum) yang baik atau cepat dan beratnya sangsi

hukuman yang dialami, semakin baik hukum ditegakkan dan semakin

berat hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku maka akan semakin

kecil atau rendah tingkat kejahatan.

92 Raymond Paternoster, How Much Do We Really Know about criminal Deterrence?.

0091-4169/10/10003-0765 The Journal Of Criminal Law & Criminology, Vol. 100, No. 3 , hlm, 765-824,Copyright © 2010 by Northwestern University, School of Law Printed in U.S.A., hlm. 783-784

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 77: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

60

Strategi-strategi yang dikemukakan diatas tentunya menambah

keyakinan kita bahwa tindakan pencegahan akan lebih efektif

menanggulangi kejahatan daripada upaya penanggulangan kejahatan

setelah terjadinya kejahatan atau jalur penegakan hukum pidana

(penal).

Dari uraian diatas, sangat jelas bahwa upaya penanggulangan

kejahatan (tindak pidana) tidak hanya ditempuh dengan sarana penal

(hukum pidana) semata tetapi diperlukan pendekatan atau sarana lain

yang dikenal non penal ( selain hukum pidana). Penanggulangan

kejahatan (tindak pidana) di bidang konservasi tidak cukup hanya

dengan sarana hukum pidana, diperlukan pendekatan kegiatan integral

dengan program pembangunan, khususnya terkait dengan peningkatan

kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi, serta upaya

penyadaran hukum bagi masyarakat, pelaku usaha, juga para aparat

penegak hukum.

Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan

menggunakan sarana penal (hukum pidana) dan sarana non penal,

secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 78: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

61

Gambar 1. : Skema Upaya penanggulangan Kejahatan

Keterangan skema : a. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan

(“goal”), “kesejahteraan masyarakat/social welfare” (SW) dan

“perlindungan masyarakat/social defence”(SD). Aspek SW dan SD

yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/perlindungan

masyarakat yang bersifat immateriil, terutama nilai kepercayaan,

kebenaran/kejujuran/keadilan.

b. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan

“pendekatan integral”; ada keseimbangan sarana “penal” dan

“nonpenal”. Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling

strategis melalui sarana “nonpenal” karena lebih bersifat preventif

dan karena kebijakan “penal” menpunyai keterbatasan/kelemahan

Social-welfare policy

Social Policy

NONPENAL

Social-defence policy

PENAL

Criminal policy

GOAL SW/SD

- Formulasi

- Eksekusi

- Aplikasi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 79: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

62

(yaitu bersifat fragmentaris/simplistis/tidak struktural fungsional;

simptomatik/tidak kausatif/tidak eliminatif; individualistik atau

“offender-oriented/tidak victim-oriented”; lebih bersifat

repressif/tidak preventif; harus didukung oleh infrastruktur dengan

biaya tinggi);

c. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal”

merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy”

yang fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap :

c.1 tahap formulasi (kebijakan legislatif);

c.2 tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);

c.3 tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

Dengan adanya tahap “formulasi”, maka upaya pencegahan dan

penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat

penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum

(aparat legislatif); bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap

paling strategis dari “penal policy”. Karena itu,

kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan

strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan

penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi. 93

4. Instrumen Hukum dalam bidang Konservasi Sumberdaya Alam

Hayati dan Ekosistemnya

a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam hayati dan Ekosistemnya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAH & E) telah

merumuskan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam pengelolaan

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya khususnya pada

kawasan Taman Nasional dan apabila dilanggar maka merupakan suatu

93 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 77-78

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 80: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

63

perbuatan tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana, yang

dibagi atas 2 (dua) kategori yaitu kejahatan dan pelanggaran. Perbuatan-

perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 33 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

dan Ekosistemnnya sebagai berikut :

Pasal 21 :

(1) Setiap orang dilarang untuk : a. Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnakan,

memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;

b. Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia

(2) Setiap orang dilarang untuk : a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,

memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau diluar Indonesia;

d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat laian di dalam atau di luar Indonesia;

e. Mengambil, merusak, memusnakan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi.

Pasal 33 : (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat

mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional;

(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli;

(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 81: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

64

Adapun ketentuan pidana atas pelanggaran norma/perbuatan-

perbuatan diatas dirumuskan dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnnya sebaga berikut :

Pasal 40 :

(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(4) Barang siapa karena kelalaianya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) adalah pelanggaran

b) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, upaya perlindungan dan konservasi alam dinyatakan dalam

Pasal 46 dan Pasal 47 sebagai berikut :

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 82: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

65

Pasal 46 : “Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari.

Pasal 47 : Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk :

a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh per-buatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit; dan

b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Di dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan diatur juga penggolongan antara tindak pidana yang

dikategorikan kejahatan dan tindak pidana yang dikategorikan

pelanggaran. Penggolongan tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 78

ayat (13) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

yang berbunyi:

“Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.”

Penggolongan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana

pelanggaran seperti terdapat dalam ketentuan Pasal 78 ayat (13)

Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan terdapat

dalam tabel 2 berikut ini: 94

94 Undang-Undang Kehutanan No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 83: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

66

Tabel 2 Klasifikasi Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran

dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

Pasal (ketentuan

pidana) Tindak Pidana Kejahatan

Pasal (ketentuan

pidana)

Tindak Pidana Pelanggaran

Pasal 78 ayat (1)

Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.

(Pasal 50 ayat 1)

Ancaman sanksi :

Pidana penjara 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)

Pasal 78 ayat (8)

menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang

(Pasal 50 ayat (3) huruf i)

Pasal 78 ayat (1)

Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. (Pasal 50 ayat 2)

Ancaman sanksi :

Pidana penjara 10 ( sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)

Pasal 78 ayat (12)

mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang

(Pasal 50 ayat (3) huruf m)

Pasal 78 ayat (2)

Setiap orang dilarang: (a) mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; (Pasal 50 ayat (3) huruf a )

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 84: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

67

Pasal 78 ayat (2)

(b) merambah kawasan hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf b )

Pasal 78 ayat (2)

(c) melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak tertentu (Pasal 50 ayat (3) huruf c)

Pasal 78 (ayat (3) dan ayat (4)

membakar hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf d)

Pasal 78 ayat (5)

menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; (Pasal 50 ayat (3) huruf e)

Pasal 78 ayat (5)

menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; (Pasal 50 ayat (3) huruf f )

Pasal 78 ayat (6)

Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. (Pasal 38 ayat (4)

Pasal 78 ayat (6)

melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; (Pasal 50 ayat (3) huruf g)

Pasal 78 ayat (7)

mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;

(Pasal 50 ayat (3) huruf h)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 85: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

68

Pasal 78 ayat (9)

membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang; (Pasal 50 ayat (3) huruf j )

Pasal 78 ayat (10)

membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;

(Pasal 50 ayat (3) huruf k )

Pasal 78 ayat (11)

membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan;

(Pasal 50 ayat (3) huruf l )

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan dirumuskan adanya ketentuan pemberatan pidana.

Pemberatan pidana kehutanan diatur dalam ketentuan Pasal 78 ayat

(14) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang

berbunyi:

“Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.”

c) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 86: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

69

Perikanan dijelaskan bahwa upaya konservasi dilaksanakan melalui

kegiatan perlindungan sumberdaya ikan, konservasi ekosistem,

konservasi jenis dan konservasi genetika ikan . Pasal 1 ayat (8)

dijelaskan bahwa

“Konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan, pelestaran, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamn keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas niai dan keanekaragaman sumber daya ikan.”95

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan tidak

secara khusus mengatur tentang konservasi sumber daya alam hayati

tetapi secara implisit memasukan ketentuan-ketentuan yang berkaitan

dengan kaidah pelestarian atau konservasi sumber daya ikan,

konservasi ekosistem, konservasi jenis dan konservasi genetika ikan.

Dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal-Pasal yang mengatur Tindak Pidana Perikanan

yang terkait dengan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan

Ekosistemnya

Ketentuan yang mengatur tentang upaya konservasi dalam

undang-undang ini diatur dalam pasal 84 s.d 88 sebagai berikut :

Pasal 84

(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp l.200.000.000,00 (satu m i l y a r dua atus juta rupiah).

(2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan

95 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 87: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

70

perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestaran sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp l.200.000.000,00 (satu m i l y a r dua ratus juta rupiah).

(3) Pemilik kapal perikanan, p e m i l i k perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wiayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

(4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestaran sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua m i l y a r rupiah).

Pasal 85 “Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk per alatan tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rpn2.000.000.000,00 (dua m i l y a r rupiah).”

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 88: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

71

Pasal 86 (1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp l.500.000.000,00 (satu m i l y a r lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp l.500.000.000,00 (satu m i l y a r lima ratus juta rupiah).

(4) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp l.500.000.000,00 (satu m i l y a r lima ratus juta rupiah).

Pasal 87 (1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp l.000.000.000,00 (satu m i l y a r rupiah).

(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 89: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

72

ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 88 “Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp l.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).”

2. Penggolongan Tindak Pidana Kejahatan dan Pelanggaran

Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan dianut juga penggolongan tindak pidana perikanan atas

tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran. Ketentuan

tentang kejahatan dan pelanggaran tersebut diatur dalam Pasal 103

ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan yang selengkapnya berbunyi:

(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan pasal 94 adalah kejahatan.

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 100 adalah pelanggaran.

3. Ketentuan tentang Pemberatan Pidana

Pemberatan pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2004 tentang Perikanan di atur dalam Pasal 101, selengkapnya

berbunyi :

“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 85 Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, dan Pasal 96 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 90: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

73

(sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.”

Dari ketentuan diatas sangat jelas bahwa pelanggaran atas

ketentuan pasal-pasal yang disebutkan diatas apabila dilakukan

oleh atas nama korporasi atau badan hukum/perusahaan, tuntutan

dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana

dendanya di tambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

d) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Ketentuan yang berkaiatan dengan konservasi sumberdaya alam

hayati dan ekosistemnya dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun

2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan adalah pada perubahan Pasal 9 jo Pasal 85 undang-

undang ini sebagai berikut :

Pasal 9 :

(1) Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.

(2) Ketentuan mengenai alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 85

“Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”96

96 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 91: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

74

Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa Alat penangkapan ikan

dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak

keberlanjutan sumber daya ikan termasuk diantaranya jaring trawl

atau pukat harimau, dan/atau compressor.

e) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil

Dalam undang-undang ini pengertian/pemahaman konservasi

dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil dimuat dalam

ketentuan umum Pasal 1 ayat (19) dan ayat (20) sebagai berikut :

(19) Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.

(20) Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.

Ketentuan pidana dalam undang-undang ini termuat dalam

beberapa Pasal yaitu Pasal 73 s.d 75 sebagai berikut :

Pasal 73

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang dengan sengaja:

a. melakukan kegiatan menambang terumbu karang, mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak dan bahan beracun, dan/atau cara lain yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d;

b. menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove, melakukan konversi Ekosistem mangrove,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 92: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

75

menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g;

c. menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf h;

d. melakukan penambangan pasir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf i.

e. melakukan penambangan minyak dan gas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf j.

f. melakukan penambangan mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf k.

g. melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf l.

h. tidak melaksanakan mitigasi bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diakibatkan oleh alam dan/atau Orang sehingga mengakibatkan timbulnya bencana atau dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerentanan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1).

(2) Dalam hal terjadi kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena kelalaian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 74

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) setiap Orang yang karena kelalaiannya:

a. tidak melaksanakan kewajiban rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1); dan/atau

b. tidak melaksanakan kewajiban reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2).

Pasal 75

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) setiap Orang yang karena kelalaiannya:

a. melakukan kegiatan usaha di Wilayah Pesisir tanpa hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); dan/atau

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 93: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

76

b. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4).97

f) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)

Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa konservasi sumber

daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin

pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan

ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas

nilai serta keanekaragamannya.98

Ketentuan – ketentuan perlindungan dan pengelolaan

Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan pengelolaan konservasi

sumber daya alam dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Ketentuan yang berkaitan dengan konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya :

Pasal 57

(1) Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya: a. konservasi sumber daya alam; b. pencadangan sumber daya alam;dan/atau c. pelestarian fungsi atmosfer.

(2) Konservasi sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kegiatan:

a. perlindungan sumber daya alam; b. pengawetan sumber daya alam; dan c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.

(3) Pencadangan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan sumber daya alam yang tidak dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu.

(4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan c. upaya perlindungan terhadap hujan asam.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer

97 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil 98 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, Pasal 1 angka 18

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 94: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

77

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Ketentuan pidana dalam undang-undang ini diatur dalam

beberapa pasal yakni pasal 97 s.d 115 sebagai berikut :

Pasal 97 Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan. Pasal 98 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang

mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 99 (1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan

dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 95: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

78

(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).

Pasal 100 (1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku

mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.

Pasal 101 Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 102 Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 103 Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 96: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

79

Pasal 104 Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 105 Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Pasal 106 Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 107 Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 108 Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 109 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 97: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

80

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 110 Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 111 (1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin

lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 112 Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1(satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 113 Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 114 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 98: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

81

penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 115 Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3. Pertanggungjawaban Pidana

Kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menganut prinsip

liability based on fault (pertanggungjawaban berdasarkan

kesalahan) , hal ini dapat dilihat pada perumusan tindak pidana,

mencantumkan unsur sengaja dan kelalaian. Disamping itu

terdapat pengecualian terhadap beberapa pasal tertentu atas

ketentuan tersebut diatas yakni dalam Pasal 88 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH dinyatakan bahwa :

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya,dan/atau kegiatannya menggunakan B3,menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”

Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan :

“Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundangundangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.”

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 99: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

82

Dari uraian diatas disimpulkan pertanggungjawaban pidana

dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH

menganut asas kesalahan (prinsip liability based on fault) dan

asas pertanggungjawaban tanpa kesalahan (strict liability atau

liability without fault).

Dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Aalam Hayati dan

Ekosistemnya, tidak mengenal pertangungjawaban pidana oleh

korporasi atau badan hukum, dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 tentang PPLH ini, subyek hukum pidana disamping

“orang” juga korporasi atau badan usaha. Pertanggungjawaban

pidana yang dilakukan oleh korporasi/badan usaha diuraikan

dalam pasal-pasal sebagai berikut :

Pasal 116 (1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh,

untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak

pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Pasal 118 Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.

4. Pemberatan Pidana dan Pidana Tambahan

Pemberatan pidana ditujukan terhadap pimpinan badan

usaha yang memberi perintah, ancaman pidana yang dijatuhkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 100: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

83

berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.

Pidana tambahan ditunjukan terhadap badan usaha yang terkena

pidana. Dinyatakan dalam pasal :

Pasal 117 Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Pasal 119 Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b.penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau

kegiatan; c. perbaikan akibat tindak pidana; d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3

(tiga) tahun. Pasal 120 (1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi.

(2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e, Pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

5. Teori Bekerjanya Hukum

Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang

hidup di dalam masyarakat. Sesuai disini berarti bahwa hukum itu

mencerminkan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat.99

Demikianlah para penganut madzab Sociological Jurisprudence

merumuskan. Sosiological jurisprudence itu merupakan suatu mazhab

99 Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993,hlm 71

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 101: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

84

dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara

hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Yang terpenting adalah

menggunakan pendekatan yang bermula dari hukum ke masyarakat.

Hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma berisikan

petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan pencerminan dari

kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina

dan kemana harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama hukum itu

mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat

hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide mengenai keadilan. Hukum

mengikatkan diri kepada masyarakat sebagai basis sosial. Ini berarti

bahwa ia harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan

anggota-anggota masyarakat serta memberikan pelayanan

kepadanya.100 Masyakat tidak hanya ingin melihat keadilan diciptakan

dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya dilayani oleh

hukum, melainkan ia juga menginginkan agar masyarakat terdapat

peraturan-peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan mereka

satu sama lain.

Fungsi hukum menurut pendapat Hoebel dalam Esmi Warassih

menyebutkan adanya empat dasar fungsi hukum, yaitu :

1) Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat,

dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku apa yang

diperkenankan dan apa pula yang dilarang.

2) Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang

boleh melakukan paksaan serta siapakah yang harus mentaatinya

dan sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif.

3) Menyelesaikan sengketa.

4) Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri

dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara

100 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Cet. Keenam, Bandung, 2006,

hlm. 18

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 102: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

85

merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota

masyarakat. 101

Berbicara masalah hukum, pada dasarnya membicarakan fungsi

hukum didalam masyarakat. Karena kebijakan dalam bidang hukum

akan berimplikasi ke masalah politik yang sarat dengan diskriminasi.

Untuk memahami bagaimana fungsi hukum itu, ada baiknya dipahami

terlebih dulu bidang pekerjaan hukum.

Menurut Satjipto Rahardjo, sedikitnya ada 4 (empat) bidang

pekerjaan yang dilakukan oleh hukum, yaitu :

1) Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat

dengan menunjukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang

dan yang boleh dilakukan.

2) Mengalokasikan dengan menegaskan siapa saja yang boleh

melakukan kekuasaan berikut prosedurnya.

3) Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat.

4) Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara

mengatur kembali hubungan-huhubungan dalam masyarakat. 102

Disamping itu hukum menghendaki agar warga masyarakat

bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat atau berfungsi

sebagai kontrol sosial. Demikian pula interaksi sosial, yaitu dengan

memandang hukum sebagai suatu mekanisme kontrol sosial yang

bersifat umum dan beroperasi secara merata hampir di seluruh sektor

kehidupan masyarakat.

Mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka hal yang

harus diukur adalah sejauhmana aturan hukum itu ditaati atau tidak

ditaati. Menurut Achmad Ali faktor-faktor yang menpengaruhi ketaatan

hukum secara umum adalah sebagai berikut :

1. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum

dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum;

101 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Penerbit PT. Suryandu Utama, Semarang, 2005, hlm. 26

102 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung 1984, hlm. 45

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 103: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

86

2. Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah

dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum;

3. Sosiolisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu

4. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka

seyogyanya aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat

mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang (prohibitur)

lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat

mengharuskan (mandatur);

5. Sanksi yang diancamkan oleh aturan hukum itu harus dipadankan

dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut.

6. Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum,

harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.

7. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi

pelanggaran terhadap aturan tersebut, adalah memang

memungkinkan, karena tindakan konkret, dapat dilihat, diamati,

oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap

tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan

penghukuman).

8. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan,

relatif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang

bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang

menjadi target diberlakukannya aturan tersebut. Aturan hukum

yang sangat efektif, adalah aturan hukum yang melarang dan

mengancam sanksi bagi tindakan yang juga dilarang dan

diancamkan samksi oleh norma lain, seperti norma moral, norma

agama, norma adat-istiadat atau kebiasaan dan lainnya.

9. Efektif atau tidak efektinya suatu aturan hukum secara umum, juga

tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak

hukum untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut;

mulai dari tahap pembuatannya, sosiolisasinya, proses

penegakannya hukumnya yang mencakupi tahapan penemuan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 104: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

87

hukum (penggunaan penalaran hukum, interpretasi dan konstruksi),

dan penerapannya terhadap suatu kasus konkret;

10. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga

mensyaratkan adanya standar hidup sosio-ekonomi yang minimal

di dalam masyarakat. 103

Hukum sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan,yang

menjadi pertanyaan, kapan hukum itu mengikat secara hukum?

Undang-undang menpunyai persyaratan untuk dapat berlaku atau untuk

menpunyai kekuatan berlaku. Ada tiga macam kekuatan berlaku yaitu

kekuatan yuridis, sosiologis dan filosofis.104

Undang-undang menpunyai kekuatan berlaku yuridis apabila

persyaratan formal terbentuknya undang-undang itu telah terpenuhi.

Menurut Hans Kelsen, kaedah hukum menpunyai kekuatan berlaku

apabila didasarkan atas kaedah yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu

kaedah hukum merupakan sistem kaedah secara hierarchies.105 Hal

berlakunya secara Sosiologis, intinya adalah efektifitas atau hasil guna

kaedah hukum di dalam kehidupan bersama. Yang dimaksudkan ialah,

bahwa berlakunya atau diterimanya hukum di dalam masyarakat itu

lepas dari kenyataan apakah peraturan hukum itu terbentuk menurut

persyaratan formal atau tidak. Berlakunya hukum merupakan kenyataan

di dalam masyarakat. Ada dua teori kekuatan berlakunya hukum

didalam masyarakat yaitu :

1. Menurut teori kekuasaan yaitu hukum menpunyai kekuatan berlaku

sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, terlepas

dari diterima ataupun tidak oleh warga masyarakat.

103 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence), Kencana Prenada Media Group, Cet. ke -1, Jakarta, 2009, hlm. 376-378 104 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005,

hlm. 94 105 Ibid, hlm. 95

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 105: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

88

2. Menurut teori pengakuan yaitu hukum menpunyai kekuatan

berlaku sosiologis apabila diterima dan diakui oleh warga

masyatakat. 106

Secara sosiologis hukum dalam hal ini undang-undang yang

berlaku harus mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.

Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-

masalah yang dihadapi. Dengan adanya sosiologis diharapkan setiap

peraturan perundang-undangan yang diterbitkan akan diterima

masyarakat secara wajar, bahkan diterima secara spontan. Kalau sudah

demikian, maka peraturan perundang-undangan tersebut akan berdaya

laku efektif tanpa harus banyak menggunakan dan mengerahkan

lembaga-lembaga guna penegakannya.

Kenyataan yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar sosiologis

harus juga termasuk kecenderungan dan harapan masyarakat. Tanpa hal

tersebut suatu peraturan perundang-undangan hanya sekedar rekaman

keadaan seketika. Dan jika hal ini memang terjadi, maka keadaan yang

demikian akan menyebabkan kelumpuhan peranan peraturan

perundang-undangan atau hukum.

Hukum menpunyai kekuatan filosofis apabila kaedah hukum

tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (Rechtsidee) sebagai nilai positif

yang tertinggi (uberpositiven Werte: Pancasila, masyarakat adil dan

makmur)107

Agar hukum berfungsi dengan baik, maka hukum harus memenuhi

ketiga macam keberlakuan tersebut. Hal ini disebabkan, apabila hukum

hanya menpunyai kekuatan berlakunya yuridis saja, maka kemungkinan

kaedah hukum tersebut hanya merupakan kaedah yang mati saja. Kalau

kaedah hanya menpunyai keberlakukan sosiologis dalam arti

kekuasaan, maka hukum tersebut mungkin semata-mata menjadi aturan

pemaksa. Demikian pula, apabila kaedah hukum tadi hanya menpunyai

106 Loc. Cit 107 Loc. Cit

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 106: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

89

keberlakukan secara filosofis, maka hukum tersebut hanya sebagai

kaedah yang dicita-citakan saja.108

Paul dan Dias dalam Esmi Warassih mengajukan 5 (lima) syarat

yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu :

1 Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk diungkap

dan dipahami.

2 Luas tidaknya kalangan dalam masyarakat yang mengetahui isi

aturan-aturan hukum yang bersangkutan.

3 Efisiensi dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum.

4 Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah

dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan

juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa.

5 Adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan warga

masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu

memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif. 109

Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak

sederhana, bukan saja karena kompleksitas sistem hukum itu sendiri,

tetapi juga rumitnya jalinan hubungan antara sistem hukum dengan

sistem sosial, poltik, ekonomi, dan budaya masyarakat. Sebagai suatu

proses, penegakaan hukum pada hakekatnya merupakan variabel yang

menpunyai korelasi dan interdependensi dengan faktor-faktor lain.

Ada beberapa faktor yang terkait yang menentukan proses

penegakan hukum sebagaimana diungkapkan oleh Lawrence M

Freidman yaitu konponen substansi, struktur dan kultural. Beberapa

komponen tersebut termasuk ruang lingkup bekerjanya hukum sebagai

suatu sistem. Kesemua faktor tersebut akan sangat menentukan proses

penegakan hukum dalam masyarakat dan tidak dapat dinafikan satu

108 Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik, Rineka Cipta, Jakarta,

2009, hlm. 200 109 Esmi Warassih, Op.Cit, hlm 105

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 107: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

90

dengan yang lainnya. Kegagalan pada salah satu komponen akan

berimbas pada faktor lainnya.110

Dalam usaha merealisasikan tujuan pembangunan maka suatu

sistem hukum harus dapat memainkan peranan sebagai pendukung dan

penunjangnya. Suatu sistem hukum yang tidak efektif tentunya akan

menghambat terealisasinya tujuan yang ingin dicapai itu.

Pengertian hukum sebagai sistem hukum yang dikemukakan oleh

Lawrence M. Friedman, bahwa sistem hukum mengandung tiga unsur

yang mempengaruhinya bekerjanya hukum tersebut yaitu Struktur

Hukum, Substansi hukum, dan kultur (budaya) hukum. Dalam Ketiga

unsur yang ada dalam sistem hukum menurut Friedman satu unsur

dengan unsur lain saling mempengaruhi sehingga apabila satu unsur

tidak berfungsi dengan baik maka suatu sistem hukum tidak akan

berjalan dengan baik pula. Suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya

merupakan sebuah organism kompleks di mana struktur, substansi, dan

kultur berinteraksi. 111

Menurut Friedman komponen struktur (legal structure) yaitu

kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai

fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen

ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu

memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum

secara teratur. Struktur sebuah sistem adalah kerangka badannya; ia

adalah bentuk permanennya, tubuh institusional dari sistem tersebut,

tulang-tulang keras yang kaku yang menjaga agar proses mengalir

dalam batas-batas112. Struktur di sini merupakan suatu kerangka bagian

yang memberi semacam bentuk batasan terhadap keseluruhan dalam

sistem hukum. Strukur dalam hal ini adalah institusi –institusi yang

110 Sajipto Rahardjo, Op.Cit. hlm. Pengantar Editor 111 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal Sistem A

Social Science Perspective, Penerjemah: M. Khozim, Cet. II, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2009, hlm. 17

112 Ibid, hlm.16

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 108: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

91

berperan dalam penegakan suatu aturan. Komponen substansi tersusun

dari peraturan-peraturan dan ketentuan mengenai bagaimana institusi-

institusi itu harus berperilaku.113

Menurut Esmi Warasih,:

“substansi hukum adalah aturan, norma dan pola perilaku yang nyata manusia yang berada dalam sistem hukum itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kita undang-undang atau law in books. Komponen substantif yaitu output dari sistem hukum yang berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.” 114

Kultur hukum adalah elemen sikap dan nilai sosial. Kultur hukum

mengacu pada bagian-bagian yang ada pada kultur umum yaitu adat

kebiasaan, opini, cara bertindak dan berpikir yang mengarahkan

kekuatan-kekuatan sosial menuju atau menjauh dari hukum dan dengan

cara-cara tertentu. Secara garis istilah tersebut menggambarkan sikap-

sikap mengenai hukum, kurang lebih analog dengan kultur politik, yang

didefenisikan oleh Almond dan Verba sebagai

“sistem politik sebagaimana yang terinternalisasi dalam alam pikiran, perasaan dan penilaian para manusianya” . Gagasannya dasarnya adalah bahwa nilai-nilai dan sikap-sikap ketika diterjemahkan menjadi tuntutan akan menghidupkan mesin sistem hukum itu menjadi bergerak atau, sebaliknya, akan menghentikannya di tengah perjalanan.”115

Tanpa kultur hukum maka sistem hukum itu sendiri tidak akan

berdaya sama sekali. Komponen kultur yaitu terdiri dari nilai-nilai dan

sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum yaitu kultur hukum.

Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang

menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum

seluruh warga masyarakat.

113 Loc.Cit 114 Esmi Warasih, Op.Cit, hlm 105 115 Lawrence M. Friedman, Op.Cit, hlm. 17

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 109: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

92

Menurut Soerjono Soekanto, tolak ukur daripada efektivitas

penegakan hukum dapat dilihat faktor-faktor yang mempengaruhinya,

yaitu ada 5 (lima) faktor pokok yaitu :

a. Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang)

Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat

beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut

menpunyai dampak yang positif. Artinya, supaya undang-undang

tersebut mencapai tujuannya, sehingga efektif. Asas-asas tersebut

adalah sebagai berikut :

1) Undang-undang tidak berlaku surut;

2) Undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi,

menpunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;

3) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-

undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama;

4) Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan

undang-undang yang berlaku dahulu. Artinya, undang-undang

lain yang lebih dahulu berlaku di mana di atur mengenai suatu

hal tertentu, tidak berlaku lagi apabila ada undang-undang baru

yang berlaku belakangan yang mengatur pula hal tertentu

tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya berlainan atau

berlawanan dengan undang-undang lama tersebut.

5) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.

6) Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai

kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun

pribadi, melalui pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi).

Artinya, supaya pembuat undang-undang tidak sewenang-

wenang atau supaya undang-undang tersebut tidak menjadi

huruf mati, maka perlu dipenuhi beberapa syarat tertentu, yakni

antara lain :

a) Keterbukaan di dalam proses pembuatan Undang-Undang;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 110: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

93

b) Pemberian hak kepada warga masyarakat untuk

mengajukan usul-usul tertentu, melalui cara-cara : 1)

Penguasa setempat mengundang mereka yang berminat

untuk menghadiri suatu pembicaraan mengenai peraturan

tertentu yang akan dibuat,; 2) Suatu departemen tertentu,

mengundang organisasi-organisasi tertentu untuk

memberikan masukan bagi suatu rancangan undang-undang

yang sedang disusun.; 3) Acara dengar pendapat di Dewa

Perwakilan Rakyat.; 4) Pembentukan kelompok-kelompok

penasihat yang terdiri dari tokoh-tokoh atau ahli-ahli

terkemuka.

Selanjutnya Soerjono Soekanto mengatakan bahwa masalah

lain yang dijumpai di dalam undang-undang adalah antara lain

:

1) adanya pelbagai undang-undang yang belum juga

menpunyai peraturan pelaksanaan, padahal di dalam

undang-undang tersebut diperintahkan demikian.;

2) ketidakjelasan di dalam kata-kata yang dipergunakan di

dalam perumusan pasal-pasal tertentu. Kemungkinan hal itu

disebabkan karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat

ditafsirkan secara luas sekali, atau karena soal terjemahan

dari bahasa asing (Belanda) yang kurang tepat.

Disimpulkan bahwa gangguan terhadap penegakan hukum

yang berasal dari undang-undang mungkin disebabkan,

karena :

a) Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang,

b) Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat

dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang,

c) Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang

yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam

penafsiran serta penerapannya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 111: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

94

Faktor materi (substansi) suatu hukum atau peraturan

perundang-undangan memegang peranan penting dalam penegakan

hukum (law enforcement). Artinya di dalam hukum atau peraturan

perundang-undangan itu sendiri harus terkandung dan bahkan

merupakan conditio sine quanon di dalamnya keadilan (justice).

Sebab, bagaimana pun juga hukum yang baik adalah hukum yang

di dalamnya terkandung nilai-nilai keadilan.116

b. Faktor Penegak Hukum

Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali,

oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara

tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum yang

tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace

maintenance. Kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas

di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan

pemasyarakatan.

Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut

mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan

tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah yang isinya adalah

hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan

kewajiban-kewajiban tadi merupakan peranan atau role. Oleh

karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu,

lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak

sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat,

sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan

tertentu, dapat dijabarkan ke dalam unsure-unsur sebagai berikut :

1) Peranan yang ideal (ideal role)

2) Peranan yang seharusnya (expected role)

3) Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role)

4) Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role)

116 Yohanes Suhardin, Op.Cit, hlm. 3

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 112: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

95

Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga-

warga masyarakat lainnya. Lazimnya mempunyai beberapa

kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah

mustahil, bahwa pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik

(status conflict dan conflict of role). Kalau di dalam kenyataannya

terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan

peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan actual, maka

terjadi suatu kesenjangan peranan (role-distance).

Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut

mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan

tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah yang isinya adalah

hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan

kewajiban-kewajiban tadi merupakan peranan atau role. Oleh

karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu,

lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak

sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat,

sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.

Kerangka sosiologis tersebut, akan diterapkan dalam analisis

terhadap penegak hukum, sehingga pusat perhatian akan diarahkan

pada peranannya. Namun demikian, di dalam hal ruang lingkup

hanya dibatasi pada peranan yang seharusnya dan peranan actual.

Penegakan hukum bisa dimulai dari tahap formulasi sampai

tahap aplikasi. Penegakan hukum dalam tahap aplikasi sering

hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegak hukum tertentu

untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum

berjalan sebagaimana seharusnya.117 Bagir Manan yang dikutif oleh

Edi Setiadi dalam tulisannya beliau mengemukakan .

“ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk penegakan hukum yang adil dan berkeadilan, Pertama aturan hukum yang ditegakkan. Penegakan hukum yang adil atau berkeadilan akan tercapai apabila

117 Edi Setiadi,HZ., Strategi dan Optimalisasi Pemberantasan Korupsi (Kapita Selekta

Hukum),Widya Padjadjaran,2009. hlm.273.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 113: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

96

hukum yang akan ditegakkan adalah benar dan adil, kedua pelaku penegakkan hukum. Pelaku penegakan hukum dapatlah disebut sebagi kunci utama penegakan hukum yang bersifat abstrak menjadi konkret, berlaku terhadap pencari keadilan. Ketiga, lingkungan sosial sebagai tempat hukum berlaku.”118

Dalam proses penegakan hukum faktor penegak hukum

merupakan salah satu faktor yang tidak dapat diabaikan. Bahkan

dapat dikatakan merupakan faktor penentu utama dalam

keberhasilan penegakan hukum. Faktor penegak hukum dalam

suatu penegakan hukum tidak semata-mata dilihat dari apa peran

tugas, atau kewajibannya yang tertuang dalam peraturan

perundang-undangan tetapi justru pada penekanan peran diskresi

yang memang dimilikinya.119

Bagaimanapun baiknya suatu peraturan perundangan, bila

tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik dan

memiliki kemanpuan/kualitas yang baik maka jangan diharapkan

bahwa suatu penegakan hukum akan berhasil, dengan kata lain

bagaimanapun jeleknya kualitas suatu undang-undang, apabila

didukung dengan aparat penegak hukum yang baik, menpunyai

moral serta memiliki kualitas yang baik, maka penegakan hukum

akan berhasil. Keduanya saling mendukung, pengaruh

menpengaruhi, tetapi persoalan sebenarnya sangat tergantung pada

sumber daya manusianya.

Menurut Adi Sulistiyono,

“Tidak kalah pentingnya dalam kerangka pembaruan sistem hukum dan peradilan secara umum adalah penegakan hukum dengan paradigma moral. Ketika paradigma kekuasaan memudar dan janji pemanfaatan paradigma hukum mulai menuai harapan sebetulnya bangsa ini perlu menindaklanjuti dengan meletakkan nilai-nilai dasar yang menjadikan acuan penyelenggara negara. Hal ini, merupakan upaya menjaga konstinuitas dan kesinambungan agar “kegagalan” penggunaan paradigma hukum tidak menjadi

118 Ibid. hlm. 274 119 Ibid, hlm. 53

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 114: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

97

legitimasi penggunaan paradigma kekuasaan kembali. Paradigma moral nampaknya dapat dijadikan alternatif yang baik bagi negara Indonesia, karena paradigma ini lebih cocok dengan budaya Indonesia yang menonjolkan ruang bebas konflik.”120

Menurut Satjipto Rahardjo,

“Membicarakan masalah penegakan hukum tanpa menyinggung segi manusia yang menjalankan penegakan hukum itu, merupakan pembicaraan yang stril sifatnya. Apalagi kita membicarakan masalah penegakan hukum hanya berpegangan pada keharusan-keharusan sebagaimana tercantum dalam ketentuan-ketetntuan, maka kita hanya akan memperoleh gambaran stereotipis yang kosong. Ia baru menjadi berisi manakala dikaitkan pada pelaksanaannya yang konkret oleh manusia”121

Oleh karena itu aparat penegak hukum memegang peranan

sangat penting bagi keberhasilan suatu tugas penegakan hukum.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin

penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau

fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang

berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang

memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu

tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai

tujuannya. Tanpa adanya sarana atau fasilitas pendukung tidak

mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya

dengan peranan yang aktual.

d. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk

mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu,

120 Adi Sulistiyono, Menggapai Mutiara Keadailan : Membangun Pengadilan yang

Independen dengan Paradigma Moral, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 152 – 184, hlm. 175

121 Hartiwiningsih, Op.Cit,hlm. 68

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 115: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

98

dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat

mempengaruhi penegakan hukum tersebut.

Faktor masyarakat sebagai salah satu faktor yang

mengefektifkan suatu peraturan atau hukum adalah berhubungan

dengan kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-

undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana

dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap

hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang

bersangkutan.122

Tidak setiap kegiatan atau usaha yang bertujuan supaya warga

masyarakat menaati hukum, menghasilkan kepatuhan. Ada

kemugkinan bahwa kegiatan atau usaha tersebut malahan

menghasilkan sikap tindak yang bertentangan dengan tujuannya.

Kalau ketaatan terhadap hukum dilakukan dengan hanya

mengetengahkan sanksi-sanksi negatif yang berwujud hukuman

apabila dilanggar, maka mungkin warga masyarakat malahan hanya

taat pada saat ada petugas saja. Cara-cara lain dapat diterapkan,

misalnya, cara yang lunak (atau persuasion) yang bertujuan agar

warga masyarakat secara mantap mengetahui dan memahami

hukum, sehingga ada persesuaian dengan nilai-nilai yang dianut

oleh warga masyarakat. Dapat pula dilakukan melalui penerangan

dan penyuluhan yang berulang kali, sehingga menimbulkan suatu

penghargaan tertentu terhadap hukum (cara pervasion). Cara

lainnya yang agaknya menyudutkan masyarakat adalah

compulsion. Yaitu penciptaan dengan sengaja suatu situasi tertentu,

sehingga warga masyarakat tidak menpunyai pilihan lain, kecuali

mematuhi hukum.

Kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya adalah

untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-

kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain itu oleh hukum

122 Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 64

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 116: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

99

diintegasikan sedemikian rupa sehingga tubrukan-tubrukan itu bisa

ditekan sekecil-kecilnya. Pengorganisasian kepentingan-

kepentingan itu dilakukan dengan membatasi dan melindungi

kepentingan-kepentingan tersebut. Dalam suatu lalu lintas

kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan

tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan

dilain pihak.123

Menurut Achmad Ali, mengemukakan, bahwa sebenarnya

jenis ketaatan yang paling mendasar sehingga seseorang menaati

atau tidak menaati hukum, adalah karena adanya kepentingan.124

Teori ini terpengaruh oleh pandangan mazhab hukum ekonomi,

yang memandang berbagai faktor ekonomi sangat mempengaruhi

ketaatan seseorang, termasuk di dalamnya, keputusan seseorang

yang bertalian dengan faktor ‘biaya’ atau ‘pengorbanan’, serta

‘keuntungan’ jika ia menaati hukum; juga faktor yang turut

menentukan taat atau tidaknya seseorang terhadap hukun, sangat

ditentukan oleh asumsi-asumsinya, persepsi-persepsinya serta

berbagai faktor subyektif lain, demikian juga proses-proses yang

dengannya seseorang itu memutuskan apakah ia akan menaati suatu

aturan hukum atau tidak. Seyogyanya pembuat perundang-

undangan, harus peka untuk berupaya dapat melakukan prediksi

yang akurat, tentang bagaimana orang-orang yang kelak akan

menjadi target peraturan yang dibuatnya, akan bereaksi terhadap

peraturan tersebut, dan olehnya itu, pembuat undang-undang harus

secara optimal memiliki kemanpuan menentukan dan

mempertimbangkan faktor-faktor yang ikut membentuk pilihan

orang-orang yang menjadi sasasarn perundang-undangan itu.125

123 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm. 53 124 Achmad Ali, Op.Cit. hlm. 349

125 Loc.Cit.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 117: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

100

e. Faktor Kebudayaan

Faktor kebudayaan sebenarnya bersatu dengan faktor

masyarakat. Yang dibedakan disini adalah pada faktor kebudayaan

lebih spesifik diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang

menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non-materiel. Sebagai

suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakat), maka

hukum mencakup, struktur, substansi dan kebudayaan. Struktur

mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang

umpamanya, mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal,

hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan

kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Substansi mencakup isi

norma-norma hukum beserta perumusannya maupun acara untuk

menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun

pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya

mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-

nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa

yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap

buruk (sehingga dihindari). 126

Istilah kultur hukum yang digambarkan atau mengacu ke

pengetahuan masyarakat dan sikap-sikap serta pola-pola perilaku

masyarakat terhadap sistemn hukum, Friedman menyatakan

sebagai berikut :

“We define legal culture to mean attitudes, values, and opinions held in society, with regard to law, the legal system, and its various parts. So defined, it is the legal culture which determines when, why, and where people use law, legal institutions, or legal process; and when they use other institutions, or do nothing. In order words, cultural factors are an essential ingredient in turning a static structure and a static collection of norms into a body of living law. Adding the legal culture to the picture is like winding up a clock or plugging in a machine. It sets everything in motion,” (Kita mendefenisikan kultur hukum sebagai sikap-sikap, nilai-nilai dan pendapat-pendapat yang dianut di masyarakat tentang hukum,

126 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm. 8-60

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 118: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

101

sistemn hukum dan beragam bagiannya. Dengan didefenisikan seperti itu, kultur hukum itulah menentukan kapan, mengapa, dan dimana orang-orang menggunakan hukum, institusi hukum, atau proses hukum; dan kapan mereka menggunakan institusi-institusi lainnya, atau tidak melakukan apapun. Dengan kata lain, faktor-faktor kultural merupakan suatu unsur ensensial dalam mengubah suatu struktur statis dan suatu kumpulan norma-norma statis menjadi suatu kumpulan hukum yang hidup. Menambahkan kultur hukum kepada gambaran ini adalah seperti memutar sebuah jam atau menghidupkan sebuah mesin. Kultur hukum itu menggerakan segala sesuatu)127

Dari uraian diatas diatas disimpulakan bahwa penegakan hukum

sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yakni faktor hukumnya sendiri

(rumusan undang-undang ) , aparat penegaknya, sarana prasarana,

kepatuhan masyarakat dan faktor kebudayaan. Kelima faktor ini akan

saling terkait/menpengaruhi, dalam proses penegakan hukum pidana,

ketika salah satu faktor tidak menjadi perhatian aparat penegak hukum

maka dapat dipastikan proses penegakan hukum akan mengalami

ketimpangan atau tidak optimal.

B. Penelitian yang Relevan

Setelah melakukan penelusuran pada berbagai referensi dan hasil

penelitian, penulisan yang memfokuskan pada penegakan hukum melalui

upaya non penal penanggulangan tindak pidana di bidang konservasi di

Taman Nasional Wakatobi belum pernah dilakukan.

Namun ada satu penelitian yang pernah di lakukan di Balai Konservasi

Sumber Daya Alam Kalimatan Barat dengan judul : “Implementasi Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya dalam menanggulangi perbuatan yang dapat

mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan Suaka alam dan

Kawasan Pelestarian Alam di Balai Konservasi Sumber Daya Alam

Kalimatan Barat”. Penelitian ini dilaksanakan oleh Azmardi, 2010. Tapi

127 Achmad Ali, Op.Cit, hlm.228

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 119: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

102

penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilaksanakan oleh penulis.

Penelitian yang dilakukan oleh Azmardi adalah mengenai implementasi/

penerapan undang-undang, faktor pendukung dan penghambat implementasi

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya dalam mengatasi perbuatan yang dapat

mengakibatkan perubahan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap

keutuhan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam di Balai

Konservasi Sumber Daya Alam Kalimatan Barat.

C. Kerangka Berpikir

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SUmber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAH & E) merupakan dasar

hukum pembangunan Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan

Ekosistemnya (KSDAH & E) di Indonesia.

Sesuai amanat undang-undang tersebut di atas , bahwa startegi

pembangunan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di

Indonesia dilaksanakan melalui pembentukan kawasan-kawasan konservasi

yaitu Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA)

Taman Nasional Wakatobi adalah kawasan konservasi yakni Kawasan

Pelestarian Alam Laut yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri

kehutanan Nomor: SK Menhut nomor : 7651/Kpts-II/2002 tanggal 19

Agustus 2002 , dengan luasan 1.390.000 Ha. Taman Nasional Wakatobi

dikelola dengan sistem zonasi. sesuai dengan dengan amanat dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

dan Ekosistemnnya dalam pengelolaan taman nasional diatur pula ketentuan –

ketentuan mengenai tindakan pidana di bidang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnnya yang digolongkan atas tindak pidana

kategori kejahatan dan kategori pelanggaran yang termuat dalam Pasal 40

ayat (1), s.d ayat (5), junto Pasal 21 ayat (1) dan (2) dan Pasal 33 ayat (1) dan

(3).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 120: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

103

Upaya penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan tindak

pidana di di bidang Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di

Taman Nasional Wakatobi telah dilakukan oleh aparat Polisi Kehutanan,

PPNS Kehutanan bekerjasama dengan Penyidik Polri, Kejaksaan dan

Pengadilan (hakim) (jalur (penal/tindakan represif) termasuk upaya

pencegahan/preventif dengan jalur tanpa pidana (non penal) melalui kegiatan

patroli rutin, kegiatan pemberdayaan masyarakat, penyuluhan dan lain

sebagai. Namun kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa upaya-upaya

tersebut diatas belum berhasil menanggulangi kejahatan (tindak pidana) di

bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya khususnya

terkait kejahatan mengenai pelanggaran zonasi dan pemanfaatan satwa dan

tumbuhan yang dilindungi.

Secara teoritis dinyatakan bahwa masalah pokok penegakan hukum

sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya

yakni oleh : faktor undang-undangnya sendiri, aparat penegak hukum,

fasilitas/sarana prasarana, masyarakat dan kebudayaan. Kejahatan terjadi

karena faktor kondisi sosial yang merupakan faktor kondusif penyebab

timbulnya kejahatan. Masalah ini tidak dapat diatasi semata-mata dengan

pendekatan jalur penal (penegakan hukum pidana) tetapi harus ditunjang

dengan jalur pendekatan non penal (tanpa pidana) atau lewat jalur kebijakan

sosial..

Dalam penelitian ini, penegakan hukum yang dimaksud dalam kajian ini

adalah tahapan penerapan hukum atau tahapan aplikasi oleh penegak hukum.

Peneliti akan mengkaji lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di bidang

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional

Wakatobi yang merupakan faktor penyebab kurang berhasilnya penegakan

hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya yang dilaksanakan di Taman Nasional Wakatobi dan upaya non

penal yang seharusnya dilakukan dalam rangka menanggulangi tindak pidana

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 121: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

104

di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman

Nasional Wakatobi.

Dalam penelitian ini untuk mengkaji dan membahas 2 (dua)

permasalahan tersebut di atas, penulis akan merujuk pada teori yang

dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, dimana beliau mengemukakan bahwa

masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang

mungkin mempengaruhinya, yang juga merupakan tolak ukur efektifitas

penegakan hukum yaitu Undang-Undangnya sendiri, aparat penegak hukum,

sarana prasarana atau fasilitas pendukung, masyarakat dan kebudayaan, untuk

mengkaji dan membahas pokok permasalahan yang pertama dan teori G.P.

Hoefnageles, yang mengatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan

atau tindak pidana pidana dapat ditempuh dengan: 1) Penerapan hukum

pidana.; 2) Pencegahan Tanpa Pidana (non penal).; 3) Memengaruhi

pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass

media. Sesuai dengan pokok permasalahan kedua dalam penelitian ini yakni

upaya- upaya non penal (tanpa pidana) apakah yang seharusnya dilakukan

dalam rangka penanggulangan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi ?. Maka

penggunaan teori yang dikemukakan oleh G.P.Hoefnageles ini hanya pada

kebijakan penanggulangan kejahatan dengan pencegahan tanpa pidana yang

merupakan upaya non penal.

Kerangka pikir penulis dalam penelitian ini digambarkan dalam skema

sebagai berikut :

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 122: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

105

Kerangka Berpikir

Gambar 2. Kerangka Pikir

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya

Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional Wakatobi

Non Penal

1) Undang-Undang 2) Aparat Penegak

Hukum 3) Sarana

Prasarana/Fasilitas 4) Masyarakat 5) Budaya

1. Upaya yang telah dilakukan

2. Upaya yang seharus di lakukan

Terwujud Tujuan dan Fungsi Pengelolaan Konservasi Sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi

Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Pidana/Penal

Tindak Pidana Di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Penegakan Hukum

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 123: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

106

BAB. III

METODE PENELITIAN

a. Jenis Penelitian

Penelitian dalam penulisan ini termasuk jenis penelitian hukum

non doctrinal atau penelitian sosiologis yang mempergunakan data

primer., sedangkan dilihat dari bentuknya penelitian ini merupakan

penelitian diagnostic yaitu merupakan suatu penelitian yang

dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab

terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala. Dilihat dari sifatnya

penelitian ini termasuk penelitian yang deskriptif, yaitu dimaksudkan

untuk memberikan data yang diteliti seteliti mungkin tentang manusia,

keadaan atau gejala-gejala lainnya.128 Maksudnya adalah terutama

untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam

memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun teori-

teori baru.129 Dilihat dari pendekatan yang digunakan dalam penelitian,

adalah penelitian dengan pendekatan kualitatif.

Dalam mempelajari atau meneliti hukum menurut Soetandyo

Wignyosoebroto, sebagaimana dikutip oleh Setiono, ada 5 (lima)

konsep hukum yang harus menjadi dasar pemikiran apa itu hukum

yaitu :130

1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati

dan berlaku universal;

2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-

undangan hukum nasional;

3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan

tersistematis sebagai judge made law;

128 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, , UI-Press, Jakarta, 1984, hlm. 10 129 Setiono, Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Universitas Sebelas

Maret, Surakarta, 2005, hlm. 5 130 Ibid, hlm. 20

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 124: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

107

4. Hukum adalah pola-pola prilaku sosial yang terlembagakan, eksis

sebagai variabel sosial yang empiris;

5. Hukum adalah makna-makna simbolik para perilaku social sebagai

tampak dalam interaksi antar mereka.

Dalam penelitian ini penulis mendasarkan pada konsep hukum

yang ke-5, yang menurut Soetandyo, seperti yang dikutip oleh Setiono

, hukum dalam hal ini dikonsepsikan sebagai manifestasi makna-

makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi

mereka (hukum yang ada dalam benak manusia). Tipe kajiannya

sosiologi dan/antropologi hukum yang mengkaji “ law as it is in

(human) action: dengan menggunakan metode penelitian sosiologi

dan/atau social/non-doktrinal dengan pendekatan interaksional/mikro

dengan analisis-analisis yang kualitatif ini metode penelitiannya

kemudian penelitinya menggunakan sosio-antropolog, pengkaji

humaniora dan orientasi kepada simbolik interaksional.131

Hukum disini bukan dikonsepkan sebagai rules tetapi sebagai

regularities yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau dalam alam

pengalaman. Disini hukum adalah tingkah laku atau aksi-aksi dan

interaksi manusia secara aktual dan potensial akan terpola. Karena

setiap perilaku atau aksi itu merupakan suatu realita sosial yang terjadi

dalam alam pengalaman indrawi dan empiris, maka setiap penelitian

yang mendasarkan atau mengkonsepkan hukum sebagai tingkah laku

atau perilaku dan aksi ini dapat disebut sebagai penelitian sosial

(hukum, penelitian empiris atau penelitian yang non doktrinal. Tipe

kajian ini adalah kajian keilmuan dengan maksud hanya hendak

mempelajari saja dan bukan hendak mengajarkan sesuatu doktrin,

maka metodenya disebut sebagai metode non doctrinal.132

131 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga, Rineka Cipta, Jakarta,

2001. hlm.11 132 Setiono, Op.Cit, hlm.22

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 125: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

108

Berdasarkan konsep hukum ke lima dan dengan pendekatan

interaksional (mikro) dengan analisis yang kualitatif yang dilakukan,

maka gejala empiris yang diamati dalam penelitian ini adalah yang

berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas

penegakan hukum dalam penanggulangan kejahatan tindak pidana di

bidang konservasi di Taman Nasional Wakatobi.

Dalam penelitian ini, penulis ingin menggali pendapat-pendapat,

ide-ide, pikiran-pikiran dari perilaku peristiwa secara langsung dan

mendalam mengenai sebab-sebab terjadinya sesuatu atau beberapa

gejala, sehingga diperoleh informasi dan data-data yang akurat, yang

penulis perlukan dalam penulisan ini.

b. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di laksanakan di Taman Nasional Wakatobi di

Kabupaten Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara.

c. Sampel/Responden Penelitian

Dalam penelitian ini sampel/subjek yang diteliti dipandang

sebagai responden yang manpu memberikan informasi mengenai

permasalahan yang hendak diteliti. Untuk menentukan sampel dalam

penelitian ini digunakan tehnik non-probability, yaitu melalui tehnik

purposive sampling atau judgemental sampling yaitu pengambilan

sampel berdasarkan penilaian peneliti mengenai siapa-siapa saja yang

pantas (memenuhi persyaratan) untuk dijadikan sampel.133 Menurut

Sugiyono, sampling purposive adalah tehnik penentuan sampel dengan

pertimbangan tertentu. Selanjutnya Margono dalam artikel yang sama

menyatakan pemilihan sekelompok subyek dalam purposive sampling

didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dipandang menpunyai sangkut

paut yang erat dengan ciri-ciri populasi yang sudah diketahui

133 http://tatangmanguny.wordpress.com/2009/06/30/sampel-sampling, di akses, tanggal 10

Nopember 2011, Jam 10.00 WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 126: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

109

sebelumnya. Dengan kata lain unit sampel yang dihubungi disesuaikan

dengan kriteria-kriteria tertentu berdasarkan tujuan penelitian.134

Dalam penelitian ini peneliti akan mengambil sampel terhadap orang

yang dianggap memiliki informasi yang cukup diperlukan guna

pencapaian tujuan penelitian.

Dalam memilih sampel atau responden penelitian, peneliti

menentukan kriteria/persyratan sampel adalah mereka yang

memahami dan atau melaksanakan proses penegakan hukum yakni

unsur aparat penegak hukum, pengelola Taman Nasional Wakatobi dan

beberapa perwakilan masyarakat yang terkena dampak atas penerapan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya dalam pengelolaan Taman

Nasional Wakatobi. Dalam penelitian ini, sampel/responden yang

diambil menurut penulis dapat menjadi narasumber yaitu sebagai

berikut :

1. Wahyu Rudianto (Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi);

2. Pitra Andreas Ratulangi (Kapolres Wakatobi)

3. Abdul Halim Amran (Hakim di Pengadilan Negeri Bau-Bau)

4. Muhammad Said ( Kejaksaan Negeri Wakatobi)

5. Rubiani, (Kejaksaan Negeri Wakatobi)

6. Ahali (Kasat Reskrim Polres Wakatobi)

7. La Ode Ahyar T. Mufti (Ka. SPTN Wil. I Balai TN.

Wakatobi/PPNS)

8. La Ode Made (Penyidik Polres Wakatobi)

9. Yahya Sonda.S. (Penyidik Polres Wakatobi)

10. Ismono Dg. Halim (PPNS Balai TN. Wakatobi)

11. Syaharuddin (Polhut SPTN I, Balai TN. Wakatobi)

12. Aah Hidayatullah ( Polhut SPTN III, Balai TN Wakatobi)

134 http://file.upi.edu/Direktori/Dual-Modes/Penelitian- Pendidikan/BBM_6.pdf, di akses

tanggal 10 Nopember 2011, Jam 11.00 WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 127: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

110

13. Muhammad Naswir

14. Sadar (Sekretaris Kerukunan Keluarga Bajo, Sulawesi Tenggara/

Tokoh Masyarakat Bajo)

15. Musliadi ( Unsur Nelayan Bajo)

16. Antoni (Tokoh Masyarakat Kaledupa)

17. Abdul Zainal (Mantan Pengurus Kelompok Pencinta Alam

Kolokolopua)

d. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini Jenis dan sumber data diperoleh melalui :

1. Data Primer

Data yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan wawancara

tidak langsung (kuesioner) dengan responden/narasumber yaitu

sampel/responden yang dipandang dapat memberikan informasi

yang cukup mengenai permasalahan yang hendak diteliti

berdasarkan pertimbangan/kriteria peneliti sendiri sebagaimana

tersebut diatas.

2. Data Sekunder

Data sekunder mencakup :

1) Bahan Hukum Primer, yaitu yang berupa peraturan perundang-

undangan yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain :

a) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

c) Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumberdaya ALama Hayati dan Ekosistemnya

d) Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan Jo

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 41 tahun 199 tentang Kehutanan menjadi Undang-

Undang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 128: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

111

e) Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia

f) Peraturan Pemerintah No.45 tahun 2004 tentang

Perlindungan Hutan, dan

g) Peraturan lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan

undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari

kalangan hukum, bahan-bahan kepustakaan, dokumen, journal,

makalah, artikel, surat kabar dan hasil penelitian yang relevan.

3) Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan

petunjuk atau informasi maupun penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum

tertier dalam penelitian ini adalah ensklopedia/Kamus Hukum,

Kamus Bahasa Indonesia, Majalah dan surat kabar dan web

site/internet.

e. Tehnik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan tehnik pengumpulan

data sebagai berikut :

1. Wawancara

Pengumpulan data dengan wawancara dilakukan dengan 2 (dua)

cara yaitu :

a) Wawancara langsung yaitu dengan menggunakan tehnik

wawancara mendalam (indepth interviewing) dengan sampel

yang telah disebutkan diatas. Wawancara merupakan cara yang

digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna

mencapai tujuan penelitian. Artinya pengumpulan data dengan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 129: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

112

menanyakan secara langsung/tahap tatap muka dengan para

sampel/responden untuk mendapatkan keterangan atau

informasi mengenai suatu masalah, yang dilakukan dengan

sistematis berdasarkan pedoman yang disusun sesuai dengan

tujuan penelitian dan sifatnya tidak terbatas. Wawancara

dilaksanakan untuk memperoleh informasi atau keterangan-

keterangan yang jelas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

permasalahan faktor-faktor yang menpengaruhi kelemahan

pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana di bidang

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemmnya dan

upaya non penal yang telah dilakukan dalam rangka

penanggulangan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya di Taman Nasional

Wakatobi.

Dalam penelitian ini, wawancara mendalam dilakukan

terhadap para sampel/responden yang dianggap dapat menjadi

narasumber yaitu sebagai berikut :

1. Wahyu Rudianto (Kepala Balai Taman Nasional

Wakatobi);

2. Pitra Andreas Ratulangi (Kapolres Wakatobi)

3. Abdul Halim Amran (Hakim di Pengadilan Negeri Bau-

Bau)

4. Muhammad Said ( Kejaksaan Negeri Wakatobi)

5. Rubiani, (Kejaksaan Negeri Wakatobi)

6. Ahali (Kasat Reskrim Polres Wakatobi)

7. La Ode Ahyar T. Mufti (Ka. SPTN Wil. I Balai TN.

Wakatobi/PPNS)

8. La Ode Made (Penyidik Polres Wakatobi)

9. Yahya Sonda.S. (Penyidik Polres Wakatobi)

10. Sadar (Sekretaris Kerukunan Keluarga Bajo Sulawesi

Tenggara/Tokoh Masyarakat Bajo)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 130: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

113

11. Musliadi (Unsur Nelayan Bajo)

12. Antoni (Tokoh Masyarakat Kaledupa)

13. Abdul Zainal (mantan pengurus Kelompok Pencinta Alam

Kolokolopua)

b) Wawancara tidak langsung, yaitu dengan kuisioner yang bebas

dan terbatas hanya kepada PPNS dan Polhut yang secara rutin

melakukan tugas pengamanan kawasan Taman Nasional

Wakatobi, yakni :

1. Ismono Dg. Halim (PPNS Balai TN. Wakatobi)

2. Syaharuddin (Polhut SPTN I, Balai TN. Wakatobi)

3. Muhammad Naswir

4. Aah Hidayatullah ( Polhut SPTN III, Balai TN Wakatobi)

c) Studi Pustaka

Tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan mempelajari

data-data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan,

dokumen-dokumen atau arsip, buku-buku, data dari internet,

artikel laporan-laporan yang berhubungan dengan masalah yang

penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya dalam pengelolaan kawasan

Taman Nasional

f. Tehnik Analisa Data

Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metode

ilmiah karena dengan analisis data tersebut dapat diberi arti dan

makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Tehnik

analisisnya adalah studi kasus tunggal, artinya meneliti satu daerah

saja yang merupakan unit pengamatan, dalam model analisis ini ada

tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan

kesimpulan dan verifikasinya.

Menurut Lexy J. Moloeng, analisis data adalah proses

mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 131: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

114

dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan data.135

Tehnik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

tehnik analisis model interaktif, Menurut HB. Soetopo tehnik analisis

kualitatif dengan metode interaktif terdiri dari tiga komponen yaitu

:136

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses penyelesaian, pemfokusan,

penyederhanaan, dan abstraksi data yang diperoleh dari data yang

kasar yang dimuat dicatatan tertulis.

Menurut Miles dan Huberman, reduksi data merupakan

proses pemilihan, pemfokusan, penyederhanaan, abstraksi, dan

transformasi terhadap data kasar yang diperoleh dari catatan

lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis data yang

bertujuan untuk menanjamkan, mengelompokkan, memfokuskan,

pembuangan yang tidak perlu dan mengorganisasikan data untuk

memperoleh kesimpulan final.137

2. Penyajian Data

Penyajian data berupa rangkaian informasi yang tersusun

dalam kesatuan bentuk narasi yang memungkinkan untuk dapat

ditarik suatu kesimpulan dari penelitian yang dilakukan. Selain

dalam bentuk narasi kalimat, sajian data dapat pula ditampilkan

dengan berbagai jenis matriks, gambar/skema, jaringan kerja

kaitan kegiatan dan juga tabel, sebagai pendukung narasi.

135 Lexy J.Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001,

hlm. 103 136 H.B. Soetopo, Metodologi Penelitian Kualitatif, UNS Press, Surakarta, 2006, hlm. 120 137 http://repository.upi.edu/operator/upload/d_pkn_0809534_chapter3.pdf, di akses tanggal

11 Nopember 2011, Jam 11.30 WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 132: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

115

3. Penarikan Simpulan dan Verifikasi

Penarikan kesimpulan adalah suatu kegiatan, yang dilakukan

oleh peneliti yang perlu untuk di verifikasi, berupa suatu

pengulangan dari tahap pengumpulan data yang terdahulu dan

dilakukan secara lebih teliti setelah data tersaji. Penarikan

kesimpulan dan verifikasi merupakan tahap akhir dari suatu

penelitian yang dilakukan dengan didasarkan pada semua hal yang

ada dalam reduksi maupun penyajian data.

Tehnik analisis kualitatif interaksi dapat digambarkan dalam

bentuk rangkaian yang utuh antara ketiga komponen diatas

(reduksi data, penyajian data serta penarikan kesimpulan dan

verifikasinya) sebagai berikut :

Proses Analisis Data Interaktif (Interactive Model of Analysis)

Gambar 3 : Skema Analisis data Interaktif

Keterangan :

Reduksi dan sajian data diisusun pada waktu penulis sudah

mendapatkan data-data dari wawancara terhadap responden

Pengumpulan Data

Reduksi Data Sajian Data

Penarikan simpulan/Verifikasi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 133: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

116

penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan

penegakan hukum dalam penanggulangan tindak pidana di bidang

konservasi di Taman Nasional Wakatobi dan upaya non penal yang

seharunya dilakukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana

di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnnya di Taman Nasional Wakatobi.

Dalam mereduksi data, penulis menyisihkan data-data yang

tidak diperlukan dan mengambil data yang diperlukan. Untuk

penyajian data penulis membuat dalam bentuk narasi yang disusun

secara logis. Disamping itu guna mendukung penyajiannya

ditampilkan informasi dan data dengan berbagai jenis matriks,

gambar/skema, jaringan kerja kaitan kegiatan dan juga tabel,

sebagai pendukung narasi.

Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, penulis mulai

melakukan penarikan kesimpulan yang didasarkan pada semua data

yang terdapat dalam reduksi data dan sajian data. Dan apabila

terdapat kekurangan data atau kesimpangsiuran peneliti dapat

melakukan wawancara ulang. Metode analisis ini disebut dengan

model analisis interaktif (interactive model of analysis).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 134: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

117

BAB 1V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Taman Nasional Wakatobi

a. Sejarah Taman Nasional Wakatobi Taman Nasional Wakatobi (TNW) merupakan Kawasan

Pelestarian Alam (KPA) di Indonesia, dengan karaterisktik kawasan

Sekitar 97 % Perairan (Laut) dan ± 3 % daratan, ditunjuk

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 393/Kpts-

VI/1996 dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Kehutanan Nomor 7651/Kpts-II/2002.

Taman Nasional Wakatobi sebelum ditunjuk dan ditetapkan

sebagai Taman Nasional mengalami tahapan yang panjang mulai

tahun 1987 sampai dengan tahun 2002 melalui tahapan sebagai

berikut:

1. Survey Penilaian Potensi Sumberdaya Alam Laut Wakatobi tahun 1987 (Surat Dirjen PHPA Tanggal 9 tahun 1987);

2. Usul Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kep. Tukang Besi/Wakatobi (Surat Ka. Sub BKSDA Sultra No. 34/IV/6/SBKSDA-4/91 tanggal 6 April 1991);

3. Permohonan Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kep. Tukang Besi/ Wakatobi (Surat Kakanwil Dephutbun Prop. Sultra No.533/270/Kwl-PHPA/91 tanggal 29 Mei 1991):

4. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Sekwilda Tk. II Buton No. 523.3/1255 tanggal 3 Juni 1991);

5. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Sekwilda Tk. I Sultra No. 566/3240 tanggal 4 Juni 1991);

6. Usul Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Dirjen PHPA No. 1340/DJ-VI/PA-4/1991 tanggal 31 Juli 1991);

7. Rekomendasi Usulan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Dirjen PHPA No. 2387/DJ-VI/PA-4/1991 tanggal 28 Agustus 1991);

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 135: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

118

8. Rekomendasi Usulan Kawasan Konservasi Laut di Pulau Moromaho Dsk. Kab. Dati II Buton Prop. Sultra (Surat Dirjen PHPA No. 3801/DJ-VI/PA-4/1992 tanggal 12 Nopember 1992);

9. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Sulawesi Tenggara (Surat Ka. Sub BKSDA Sultra No. 602/V/7/SBKSDA-4/93 tanggal 17 Juli 1993);

10. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Bupati KDH Tk.II Buton No. 522.51/3226 tanggal 3 Nopember 1993);

11. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kep. Tukang Besi/Wakatobi (Surat Ka. Kanwil Dephutbun Prop. Sultra No. 106/6168/Kwl-PHPA/93 tanggal 19 Nopember 1993);

12. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kep. Tukang Besi/Wakatobi (Radiogram Pembantu Gub. Wil. Kepulauan Prop. Sultra No. 522.51/201 tanggal 25 Nopember 1993);

13. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut Sulawesi Tenggara (Surat Kadis Perikanan Dati I Sultra No. 523/3220/1993 tanggal 13 Nopember 1993);

14. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Kadis Perikanan Dati I Sultra No. 523.2/85/1994 tanggal 11 Januari 1994);

15. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Gubernur KDH Tk. I Sultra No. 522.51/2548 tanggal 7 Maret 1994);

16. Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Menhut RI No. 976/Menhut-VI/94 tanggal 2 Juli 1994);

17. Penunjukan Kawasan Perairan Kep. Wakatobi di Kab. Dati II Buton, Prop. Sultra seluas ± 306.690 (Tiga ratus enam ribu enam ratus sembilan puluh) Hektar sebagai Taman Wisata Alam Laut (SK. Menhut RI No. 462/KPTS-II/1995 tanggal 4 September 1995);

18. Penunjukan Kepulauan Wakatobi dan perairan sekitarnya seluas 1.390.000 Ha sebagai Taman Nasional (SK. Menhut RI No. 393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996);

19. Organisasi dan Tata Kerja Balai dan Unit Taman Nasional (SK. Menhut RI No. 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997);

20. Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional (SK. Menhut RI No. 6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002);

21. Penetapan Kepulauan Wakatobi dan perairan sekitarnya seluas 1.390.000 Ha sebagai Taman Nasional. (SK. Menhut RI No. 7651/Kpts-II/2002 tanggal 19 Agustus 2002);

22. Penegasan Menhut bahwa letak dan luas TNW tidak berubah, pulau-pulau yang telah berpenduduk dijadikan zona penyangga

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 136: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

119

(Surat Menhut No. 723/Menhut-II/2005) tanggal 13 Nopember 2006);

23. Organisasi dan Tata Kerja UPT Taman Nasional (Permenhut No.P.03/Menhut-II/2007)

24. SK Dirjen PHKA Nomor :SK.149/IV-KK/2007 tentang Zonasi Taman Nasional Wakatobi Tanggal 23 Juli 2007138

b. Luas dan Kedudukan

Kepulauan Wakatobi sejak tahun 2003 telah menjadi Kabupaten

sebagai pemekaran dari Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi

Tenggara dengan batas-batas yang mengacu pada koordinat

geografis Titik Referensi sebagai berikut:

1) TN-3201 yang terletak di P. Wangi-Wangi (05021’28’’ LS;

123033’24’’ BT)

2) TN-3202 yang terletak di Selatan P. Kaledupa (05034;12’’ LS;

12304618’’ BT)

3) TN-3203 yang terletak di ujung Selatan P. Binongko (06000’42

LS; 124002’31’’ BT)

4) TN-3204 yang terletak di P. Moromaho (06007’54” LS;

124035’59” BT)

5) TN-3205 yang terletak di P. Runduma (05019’27” LS;

124019’21” BT)

Taman Nasional Wakatobi adalah kawasan konservasi perairan

laut yang dibatasi atau memiliki batas-batas luar yang berupa garis-

garis yang menghubungkan titik-titik dengan koordinat sebagai

berikut (Peta terlampir):

1) Titik 1 dengan koordinat geografis 05011’57” LS dan

123020’00” BT;

2) Titik 2 dengan koordinat geografis 05012’04” LS dan

123038’56” BT;

138 Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi 1998-2023 (Revisi 2008), hlm.7

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 137: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

120

3) Titik 3 dengan koordinat geografis 05012’04” LS dan

123039’01” BT;

4) Titik 4 dengan koordinat geografis 05012’04” LS dan

123050’00” BT;

5) Titik 5 dengan koordinat geografis 06036’04” LS dan

123020’00” BT.139

Berdasarkan administratif pemerintahan wilayah Kepulauan

Wakatobi yang terbagi ke dalam 100 desa/kelurahan dan 8 (delapan)

kecamatan meliputi Kecamatan Wangi-Wangi, Wangi-Wangi

Selatan, Kaledupa, Kaledupa Selatan, Tomia, Tomia Timur,

Binongko dan Kecamatan Togo Binongko yang termasuk ke dalam

wilayah Kabupaten Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara,

Penduduknya pada tahun 2007 tercatat 99.492 jiwa terdiri atas laki-

laki 48.199 jiwa dan perempuan 51.293 jiwa, dengan

pertumbuhannya rata-rata mencapai 1,73% per tahun dan kepadatan

rata-rata 119 jiwa/km2.140 .

Luas kawasan TNW adalah 1.390.000 Ha sama persis atau

overlap dengan luas wilayah Kabupaten Wakatobi. Dari luasan

tersebut sebanyak 97% merupakan wilayah perairan/laut dan sisanya

sebanyak 3% merupakan wilayah daratan berupa pulau-pulau.141

Kawasan TN Wakatobi terbagi menjadi 6 zona berdasarkan

Keputusan Dirjen PHKA Nomor : SK.149/IV-KK/2007 tentang

Zonasi TN Wakatobi, yang meliputi :

139 Ibid, hlm. 8 140 Loc.Cit 141 Loc.Cit

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 138: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

121

Tabel 3. Zonasi TN Wakatobi serta Luasannya masing-masing142

Berdasarkan SK Dirjen PHKA Nomor SK. 149/IV-KK/2007

sebaran zonasi TN adalah sebagai tercantum pada tabel 5 berikut ini.

Tabel 4. Sebaran zonasi TN Wakatobi143

No. Zonasi Penyebaran

1. Zona Inti Wilayah perairan dan mangrove serta sebagian daratan Pulau Moromaho

2. Zona Perlindungan Bahari

Sebagian wilayah perairan bagian utara Pulau Wangi-Wangi, bagian utara dan timur Pulau Hoga, sebagian perairan sekitar Pulau Lentea dan P. Derawa, perairan P. Anano, perairan sekitar P. Lintea Selatan,

3. Zona Pariwisata/ Pemanfaatan

Wilayah perairan bagian timur P. Wangi-Wangi (Matahora), perairan dan pantai bagian barat P. Hoga, perairan tanjung Sombano, mangrove di pesisir Derawa, perairan bagian barat Waha P. Tomia, perairan sekitar Pulau Tolandono Tomia (Onemobaa), dan sebagian wilayah karang Koromaha

4. Zona Pemanfaatan Lokal/ Tradisional

Sebagian besar wilayah perairan pesisir pulau-pulau di Kep. Wakatobi selain peruntukan zona lainnya dalam radius ± 4 mil dari Pulau Wangi-Wangi, P. Kaledupa, P. Tomia, P. Binongko, P. Runduma, P. Kapota, P. Komponaone, P. Nuabalaa, P. Nuaponda, P. Matahora, P. Sumanga, P.. Oroho, P. Ndaa dan serta sebagian

142 Statistik Taman Nasional Wakatobi Tahun 2010, hlm. 2 143 Ibid, hlm.4

Nomor

Zonasi

Luas

1. Zona Inti 1.300 Ha

2. Zona Perlindungan Bahari 36.450 Ha

3. Zona Pariwisata/Pemanfaatan 6.180 Ha

4. Zona Pemanfaatan Lokal/Tradisional 804.000 Ha

5. Zona Pemanfaatan Umum 495.700 Ha

6. Zona Khusus/Daratan 46.370 Ha

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 139: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

122

besar wilayah karang Kapota, K. Kaledupa/Tomia, dan bagian utara K. Koromaha.

5. Zona Pemanfaatan Umum

Sebagian besar wilayah perairan diluar radius ± 4 mil dari pulau-pulau dan gugusan terumbu karang di Wakatobi.

6. Zona Khusus/ Daratan

Pulau Wangi-Wangi, P. Kaledupa, P. Tomia, P. Binongko, P. Runduma, P. Kapota, P. Komponaone, P. Sumanga, P. Hoga, P. Lentea, P. Derawa, P. Lentea Selatan, P. Sawa, P. Anano, P. Kentiole, P. Tuwu-Tuwu, dan sebagian P. Moromaho.

Gambar 4. Peta Zonasi Taman Nasional Wakatobi144

144 Buku Zonasi Wakatobi, 2010, Lampiran 1

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 140: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

123

c. Organisasi dan Tata Kerja

Balai Taman Nasional Wakatobi merupakan Unit Pelaksana

Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan

Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan adalah organisasi

pelaksana teknis pengelolaan taman nasional yang berada dibawah

dan bertanggung jawab secara langsung kepada Direktur Jenderal

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Dalam melaksanakan tugas, Unit Pelaksana Teknis (UPT)

Taman Nasional menyelenggarakan fungsi:

1. penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan

dan evaluasi pengelolaan kawasan taman nasional;

2. pengelolaan kawasan taman nasional;

3. penyidikan, perlindungan, dan pengamanan kawasan taman

nasional;

4. pengendalian kebakaran hutan;

5. promosi, informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya;

6. pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi

sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya;

7. kerja sama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati

dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan;

8. pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional;

9. pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan

pariwisata alam;

10. pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.145

Struktur Organisasi Balai Taman Nasional Wakatobi

merupakan Balai Taman Nasional Tipe A. Taman Nasional

Wakatobi dikepalai oleh seorang Kepala Balai (Eselon III) yang

145 Permenhut Nomor : P.03/Menhut-II/2007 Tanggal : 1 Februari 2007 tentang Organisasi

Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 141: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

124

membawahi Kepala Sub Bagian Tata Usaha, 3 Seksi Pengelolaan

Taman Nasional serta Kelompok Jabatan Fungsional. Bagan struktur

organisasi Balai TN Wakatobi dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Bagan Struktur Organisasi Balai Taman Nasional

Wakatobi146

Pembentukan Seksi Pengelolaan TN Wakatobi berdasarkan

surat Sekretaris Direktorat Jenderal PHKA No. S. 2252/IV-

Sek/HO.3/2006 tanggal 14 Desember 2006 tentang Penataan UPT

Ditjen PHKA dimana TN Wakatobi termasuk Kelas II Tipe A terdiri

dari 1. Subbagian Tata Usaha dan 3 SPTN . Berikut ini adalah

rincian lokasi Subbagian TU dan SPTN di TN Wakatobi.

146 Permenhut Nomor. P.03/Menhut-II/2007 Tanggal 1 Februari 2007

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 142: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

125

Tabel 5.

Lokasi Subbagian dan SPTN di TN Wakatobi147

No SBTU, SPTN Lokasi

1. Subbagian Tata Usaha Bau-Bau

2. SPTNW I Wanci

3. SPTNW II Kaledupa

4. SPTNW III Tomia

Jumlah pegawai TN Wakatobi sampai dengan Desember 2010

berjumlah 79 orang. Tabel berikut ini merupakan kondisi pegawai

TN Wakatobi berdasarkan beberapa keadaan.

Tabel 6.

Kondisi Pegawai Berdasarkan Status Kepegawaian148

No. Status Kepegawaian Jumlah (orang)

Keterangan

1 2 3 4

1. Pegawai Negeri Sipil

a. Struktural b. Non struktural c. Fungsional/Calon

5

17

45

Ka Balai, Kasubag TU, KSPTNW I, II& III

Fungsional umum )

Polhut, PEH, dan Penyuluh)*

2. Tenaga Upah/honorer 12

J u m l a h 79

Keterangan : )* 1 orang CPNS

147 Statistik Balai Taman Nasional Tahun 2010, hlm. 88 148 Ibid, hlm. 89

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 143: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

126

Dari 79 orang staf/pegawai Taman Nasional tersebut tersebar

di Kantor Balai di Baua-Bau dan di masing-masing Seksi

Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) sesuai dengan tupoksi masing-

masing. Dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 7. Kondisi Pegawai Berdasarkan Lokasi Penyebaran atau Wilayah Tugas149

No. Lokasi

Penyebaran

Jabatan (orang)

Jumlah Struktural Non. Str PEH Polhut Penyuluh Honorer

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Bau-Bau 2 12 4 1 - 4 23

2 Wangi-Wangi 1 1 1 9 1 1 14

3 Kaledupa 1 1 1 7 - - 10

4 Tomia 0 2 1 9 1 - 13

5 BKO di BB KSDA Sulsel

- - - 10 -

- 10

J u m l a h 4 16 7 36 2 5 70

Keterangan :

1 orang non struktural dan 1 orang PEH Tugas Belajar S2 10 orang polhut masuk dalam anggota SPORC dan di BKO-kan di Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan di Makassar.

d. Intensitas Tindak Pidana yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi

Dari data yang diperoleh di Kantor Balai Taman Nasional

Wakatobi (BTNW), intensitas tindak pidana yang terjadi di Taman

Nasional Wakatobi dari tahun ke tahun untuk beberapa jenis tindak

pidana cenderung menurun. Terutama kegiatan penangkapan ikan

149 Ibid, hlm. 90

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 144: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

127

dengan penggunaan bahan peledak dan racun (potassium cyanida).

Tindak pidana yang terjadi umumnya meliputi tindak pidana

kepemilikan/penangkapan satwa yang dilindungi, Kegiatan yang

dapat merubah fungsi kawasan zona inti Taman Nasional, kegiatan

yang tidak sesuai dengan fungsi zona Taman Nasional, penggunaan

bahan peledak dalam penangkapan ikan, penggunaan racun atau

potassium cyanida (potas) dalam penangkapan ikan, penambangan

pasir pantai , penambangan batu karang, penebangan hutan

bakau/mangrove dan kegiatan perikanan illegal (tanpa izin). Pelaku

tindak pidana biasanya dilakukan oleh masyarakat lokal maupun

masyarakat di luar Wakatobi. Dari matriks data penanganan kasus

perkara tindak pidana di Taman Nasional Wakatobi tahun 2000 s.d

2011, intensitas tindak pidana yang terjadi di Taman Nasional

Wakatobi dapat dilihat dalam tabel berikut :

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 145: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

128

Tabel 8.

Data Intensitas Tindak Pidana yang terjadi di Taman Nasional

Wakatobi periode tahun 2000 s.d 2011

No Tahun Jumlah Persentase

Perkara Pidana (%)

1 2000 1 2,94 2 2001 - 0 3 2002 - 0 4 2003 11 32,35 5 2004 6 17,64 6 2005 3 8,82 7 2006 3 8,82 8 2007 3 8,82 9 2008 1 2,94

10 2009 1 2,94 11 2010 3 8,82 12 2011 2 5,89

Jumlah 34 100 Sumber Data : Laporan Data Penanganan Kasus Tindak Pidana,

Balai Taman Nasional Wakatobi, Tahun 2011

Dari data tersebut diatas menunjukkan bahwa jumlah perkara

tindak pidana yang terjadi di TNW paling banyak terjadi pada tahun

2003 yaitu 11 kasus atau sekitar 32 % dari total kasus yang terjadi

sepanjang tahun 2000 s.d 2011 dan terjadi penurunan intensitas.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 146: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

129

Kasus pelanggaran yang terjadi paling menonjol adalah

kasus penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan sepanjang

kurung waktu tahun 2000 s.d 2011 telah terjadi 18 (delapan belas)

kasus pelanggaran pidana, menyusul kasus

kepemilikan/penangkapan satwa yang di lindungi (penyu) sebanyak

10 (sepuluh) kasus. Selengkapnya disajikan pada tabel berikut :

0

20

40

60

80

100

120

Grafik Kejadian Tindak Pidana di TN. Wakatobi Tahun 2000 s.d 2011

Jumlah Perkara Pidana Persentase (%)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 147: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

130

Tabel 9

Data Intensitas Kejadian Perkara Tindak Pidana di Taman Nasional Wakatobi sejak Tahun 2000 s.d 2011

No Tindak Pidana

Tahun Jumlah

Presentase

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 (%)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

1. Penggunaan Bahan Peledak 1 8 2 1 2 3 1 18 52,94

dalam Penangkapan Ikan

2. Penggunaan Racun (Potas)

dalam Penangkapan Ikan 2 1 1 4 11,778

3. Pelanggaran Zona Inti

Taman Nasional 1 1 2,94

4. Pelanggaran Fungsi Zona

Lain Taman Nasional

5. Kepemilikan/penangkapan

Satwa Yang di Lindungi 2 4 1 1 2 10 29,41

6. Penebangan/Perambahan

Hutan Mangrove/Bakau 1 1 2,94

7. Penambangan Pasir Pantai

8. Penambangan Batu Karang

9. Kegiatan Perikanan Ilegal

Jumlah 1 11 6 3 3 3 1 1 3 2 34 100

Sumber Data : Laporan Data Penanganan Kasus Tindak Pidana, Balai Taman Nasional Wakatobi, Tahun 2011

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 148: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

131

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelemahan Penegakan Hukum Tindak Pidana di bidang KSDA & E di Taman Nasional Wakatobi.

Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan

penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi, peneliti akan

merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto seperti

yang telah diuraikan pada kajian teori diatas.

1) Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang)

Dasar hukum pengelolaan kawasan pelestraian alam atau

taman nasional di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnnya termasuk pengelolaan Taman Nasional Wakatobi

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya

dinyatakan kaedah atau ketentuan bahwa taman nasional dikelola

dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan

dan zona lain sesuai dengan keperluan. Ketentuan norma/ larangan

atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan di dalam kawasan

taman nasional dalam Pasal 21 dan Pasal 33 sebagai berikut :

Pasal 21 :

(1) Setiap orang dilarang untuk : a.Mengambil, menebang, memiliki, merusak,

memusnakan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;

b. Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia

(2) Setiap orang dilarang untuk : a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan,

memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 149: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

132

b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau diluar Indonesia;

d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat laian di dalam atau di luar Indonesia;

e. Mengambil, merusak, memusnakan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi.

Pasal 33 : (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat

mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional;

(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli;

(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya ini termuat dalam Pasal 40 ayat (1) s.d ayat (4)

sebagai berikut :

Pasal 40 :

(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 150: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

133

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(4) Barang siapa karena kelalaianya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) adalah pelanggaran

Dari hasil studi pustaka di Kantor Balai Taman Nasional

Wakatobi diperoleh data penanganan perkara pidana yang terjadi di

kawasan Taman Nasional Wakatobi (TNW) kurun waktu tahun

2000 s.d 2011 sebanyak 34 (tiga puluh empat) kasus pelanggaran

pidana. Dari jumlah tersebut hanya 21 (dua puluh satu) kasus yang

vonis di pengadilan dengan sanksi hukuman yang rata-rata ringan,

antara 4 (empat) bulan penjara s.d dengan 1(satu) tahun 8 (delapan)

bulan penjara paling tinggi. Selengkapnya disajikan pada tabel

berikut :

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 151: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

134

Tabel 10

Data Rekapitulasi Vonis Hukuman yang di jatuhkan

oleh Hakim di Pengadilan Negeri Bau-Bau

atas pelaku Tindak Pidana yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi

periode Tahun 2000 s.d 2011

No Tindak Pidana Jumlah Vonis Hukuman

yang Terjadi kasus yang di Proses Paling Rendah Paling Tinggi

1 2 3 4 5

1. Penangkapan ikan dengan 16 kasus 4 bulan 1 tahun 8 bulan

bahan peledak

2. Penangkapan ikan dengan

bahan kimia

(Potasium cyanida( 2 kasus 4 bulan Pidana Penjara 7 (tujuh)

bulan dan denda

Rp. 200.000,-

subs 1 (satu) bulan

Kurungan

3. Pelanggaran zona inti 1 kasus Pidana Penjara 5 (lima)

bulan

4. Penangkapan dan peredaran Extract Vonis No.

satwa yang dilindungi (penyu) 1 kasus 225/Ket.Pid.B/

2006/PN.BB. tanggal 8

Januari 2007 Vonis

penjara selama 10

(sepuluh) bulan dan denda

sebanyak Rp.500.000,-

(Lima ratus ribu rupiah).

5. Penebangan Hutan Mangrove 1 kasus Pidana Penjara 4 (empat)

bulan

15 (lima belas) hari

Sumber : Data olahan matriks penanganan kasus perkara pidana di bidang KSDA & E , Balai Taman Nasional Wakatobi, Tahun 2011

Dari data di atas menunjukkan bahwa vonis hukum yang

dijatuhkan atas pelaku tindak pidana yang terjadi di kawasan

Taman Nasional Wakatobi paling berat 1 (satu) tahun 8 (delapan)

bulan untuk pelaku kepemilikan tanpa hak bahan peledak

(penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan), jika dilihat

dengan besarnya kerusakan sumber daya alam yang ditimbulkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 152: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

135

akibat perbuatan pelaku tidak sebanding. Dari segi ancaman

hukuman di Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata

Api dinyatakan bahwa pelaku kepemilikan tanpa hak bahan

peledak dapat diancam dengan hukuman mati atau hukuman

penjara seumur hidup atau Hukuman penjara maksimum. 20

(dua puluh) tahun.150

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,

ketentuan sanksi pidana dirumuskan dalam Pasal 40 yaitu terhadap

pelanggaran adanya kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan

keutuhan zona inti taman nasional diancam dengan pidana penjara

paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak

Rp.200.000.000,00 (dua ratus juga rupiah). Di ayat (2) juga

diyatakan bahwa perbuatan atau kegiatan yang tidak sesuai dengan

fungsi zona pemanfaatan dan zona lainnya dari taman nasional

diancam dengan sanksi hukuman penjara 5 (lima) tahun dan denda

paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Kasus-kasus penggunaan bahan peledak dan potassium

cyanida dalam penangkapan ikan termasuk dikawasan Taman

Nasional Wakatobi (TNW) merupakan kegiatan atau perbuatan

yang dapat merubah keutuhan zona inti taman nasional dan tidak

sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain di taman

nasional, namun dalam implementasi penegakan hukum ketentuan

ini masih sulit diterapkan.

Hasil wawancara dengan Yahya Sonda,S menyatakan:

“Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih sulit kami terapkan di Wakatobi karena penyidik merasa kesulitan dalam pembuktian unsur-unsur pidana yang dilanggar. Ketika menerapkan pasal ini penyidik harus membutuhkan keterangan ahli dibidang konservasi kelautan dan di Wakatobi

150 Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api, pasal 1 ayat (1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 153: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

136

tidak ada yang menpunyai kualifikasi seperti itu dan penyidik akhirnya mencari undang-undang lain seperti Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 tentang Kepemilikan Senjata Api, dimana unsur pembuktian pidana dalam undang-undang ini tidak sulit untuk menjerat pelaku pembom ikan, prinsipnya kami mencari undang-undang yang mudah pembuktiannya.”151

Seperti juga dikatakan oleh Rubiani, :

“Penerapan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya di Kabupaten Wakatobi masih sulit diterapkan karena akan berbenturan dengan kepentingan Pemerintah Daerah Wakatobi dalam hal kepentingan pembangunan daerah dan pemenuhan kebutuhan masyarakat, disisi yang lain pembuktian dalam undang-undang ini membutuhkan ahli dimana di Wakatobi sendiri sulit di dapatkan. Hal lainnya adalah terkait dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat khususnya nelayan. Sejak dahulu kala nelayan Wakatobi sudah terbiasa melakukan penangkapan ikan diseluruh wilayah perairan laut Wakatobi yang sekarang ini telah ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional, menurut saya hukum atau aturan dibuat dalam rangka terciptanya ketertiban dan pencapaian kesejahteraan serta terciptanya rasa keadilan bagi masyarakat. Penetapan luasan kawasan Taman Nasional Wakatobi harus di tinjau ulang disesuaikan dengan ruang kebutuhan nelayan dan Pemerintah Daerah Wakatobi serta pembangunan konservasi sendiri sehingga ada keseimbangan antara pembangunan konservasi dan pembangunan daerah serta pencapaian kebutuhan masyarakat, kami sebagai penegak hukum tidak bisa menerapkan undang-undang begitu saja tanpa melihat apakah undang-undang itu tidak berbenturan dengan kepentingan masyarakat banyak jangan sampai penerapan suatu undang-undang justru akan menimbulkan dampak sosial lainnya. Saat ini wilayah kepulauan Wakatobi telah berubah sebagai sebuah daerah otonom kabupaten dan memiliki jumlah masyarakat kurang lebih 100.000 (seratus ribu) jiwa yang juga sebagai kawasan Taman Nasional, sudah tentu ketika penegakan hukum di bidang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya diterapkan maka akan terjadi benturan atau pertentangan dengan undang-undang lainya seperti Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang belum mengatur konsep zonasi dalam pemanfaatan

151 Wawancara dengan Yahya Sonda,S, Penyidik Polres Wakatobi di Polres Wakatobi di

Wanci, tanggal 20 Oktober 2011, Jam 14.00 WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 154: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

137

sumber daya perikanan diperairan laut, hal menjadi dilema kami dilapangan ”. 152

Seperti juga dikatakan oleh Kepala Balai Taman Nasional

Wakatobi, Wahyu Rudianto sebagai berikut :

“Posisi kawasan Taman Nasional Wakatobi yang berhimpitan dengan wilayah Kabupaten Wakatobi menyebabkan tumpangtindihnya/benturan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam di Kepulaun Wakatobi. Banyak aturan pengelolaan taman nasional yang justru bertentangan dengan kepentingan pemda Wakatobi.”153

Selanjutnya La Ode Made Mengatakan :

“Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya terhadap kasus-kasus pelaku tindak pidana di kawasan Taman Nasional Wakatobi sangat sulit untuk menjerat aktor/pelaku utama khusus pemberi modal, banyak dugaan sesuai hasil penyelidikan bahwa para pelaku bom ikan atau pembiusan ikan hidup/ikan karang dengan menggunakan racun cyianida, umumnya dimodali oleh perusahan –perusahan penampung atau pengusaha ikan hidup baik berasal dari Wakatobi maupun dari luar Kabupaten Wakatobi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya belum mengatur pertanggungjawaban korporasi atau badan hukum sehingga selama ini penegakan hukum terhadap tindak pidana bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya hanya menjerat nelayan-nelayan kecil yang sebenarnya mereka hanya korban bujukan dari para pengusaha tersebut.”154

Hasil wawancara dengan La Ode Ahyar Thamrin Mufti,

Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Taman

Nasional Wakatobi, menyatakan :

“Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya, khususnya penerapan ketentuan pidananya terhadap pelaku tindak pidana yang terjadi di kawasan TNW masih sulit diterapkan oleh penyidik karena penyidik selalu kesulitan dalam hal membuktikan

152 Wawancara dengan Rubiani, Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Wakatobi di Kantor

Kejaksaan Negeri Wakatobi, di Numana, tanggal 16 Oktober 2011, Jam 10.00 WITA 153 Wawancara dengan Wahyu Rudianto, Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi di Kantor

Balai TNW di Baubau Tanggal 8 Nopember 2011, Jam 15.30. WITA 154 Wawancara dengan La Ode Made, Penyidk Polres Wakatobi di Mako Polres Wakatobi-

di Wanci, tanggal 24, Oktober, Jam 14.00 WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 155: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

138

unsur-unsur pidananya disamping itu juga karena pengetahuan para penegak hukum (penyidik, penuntut umum dan hakim) dalam hal konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya masih rendah. Untuk membuktikan unsur-unsur pidana yang termuat dalam undang-undang ini diperlukan keahlian khusus tentang konservasi perairan laut” karena itu penyidik lebih cenderung menggunakan undang-undang lain yang bisa menjerat pelaku”.155

Hasil wawancara dengan Ahali, menyatakan :

“ Salah satu kesulitan penyidik kami dalam melakukan tugas penyidikan tindak pidana baik di bidang konservasi maupun bidang perikanan adalah penerapan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya diperlukan pembuktian kerusakan secara fisik terhadap akibat atas perbuatan yang dilakukan di perairan. Karena itu keterangan ahli sangat dibutuhakn. Beberapa kasus tindak pidana yang terjadi di kawasan Taman Nasional Wakatobi tidak bisa dilanjutkan kasusnya karena kurang keterangan ahli yang mendukung pembuktian suatu tindak pidana. Rata-rata kasus tindak pidana di bidang konservasi dan perikanan membutuhkan keterangan ahli. Disamping itu untuk mendatangkan ahli dari luar penyidik tidak memiliki biaya untuk itu”.156

Dari keterangan – keterangan responden diatas diperoleh

bahwa faktor undang-undangnya sendiri dalam penegakan hukum

pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnnya merupakan salah satu kelemahan penegakan

hukum pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi adalah faktor

undang-undangnya sendiri yang meliputi : Rumusan unsur pidana

yang abstrak menyebabkan kesulitan dalam pembuktiannya,

kesulitan dalam mendapatkan keterangan ahli, tidak diaturnya

pertanggungjawaban korporasi atau badan hukum, dan posisi

Taman Nasional Wakatobi yang berhimpitan atau overlaping

dengan wilayah Kabupaten Wakatobi yang menimbulkan benturan

155Wawancara dengan La Ode Ahyar Thamrin Mufti, Kepala SPTN Wil.I di Numana-

Wangi-Wangi, tanggal 10 Oktober 2011, Jam 10.00 WITA 156 Wawancara dengan Ahali,. Kasat Reskrim Polres Wakatobi di Mako Polres Wakatobi- di

Wanci, tanggal 24, Oktober 2011, Jam 12.30 WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 156: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

139

kewenangan pengelolaan sumber daya alam dan undang-undang

yang terkait dengan otonomi daerah

2) Faktor aparat penegak hukum

Kawasan Taman Nasional Wakatobi memiliki luas 1.390.000,

(satu juta tiga ratus ribu ) ha. Saat ini jumlah personil atau aparat

yang melakukan tugas pengamanan dan perlindungan kawasan

terdiri dari 21 (dua puluh satu) personil Polisi kehutanan, 2 (dua)

orang berkualifikasi sebagai PPNS di tambah 3 (tiga) orang PPNS

Kehutanan dari non Polhut yakni Kepala Balai TNW, Kepala

SPTN Wil. I dan 1 (satu) orang staf Balai TNW. Personil Polisi

Kehutanan tersebar di 3 (tiga) wilayah SPTN, masing-masing

SPTN Wil I berjumlah 8 (delapan) orang, SPTN Wil. II berjumlah,

7 (tujuh) orang dan SPTN Wil.III berjumlah 6 (enam) orang.

Dilihat dari segi kuantitas atau jumlah aparat penegak hukum

di Balai Taman Nasional Wakatobi khususnya Polisi kehutanan

dan PPNS, data yang ada jumlah keduanya sangat minim dan

sangat tidak sesuai dengan luas kawasan Taman Nasional

Wakatobi seluas 1.390.000, ha yang harus di jaga. Sesuai dengan

data kebutuhan formasi pegawai di Balai Taman Nasional

Wakatobi Tahun 2011 untuk tenaga Polisi Kehutanan seharusnya

sejumlah 50 (lima puluh) orang untuk menjaga kawasan Taman

Nasional Wakatobi seluas 1.390.000,ha. Jumlah Polisi Kehutanan

Balai Taman Nasional untuk saat ini berjumlah 21 (dua puluh satu)

orang yang tersebar di 3 Seksi Wilayah Pengelolaan Taman

Nasional dan ditambah PPNS berjumlah 3 (tiga) orang157, Jika di

rata-ratakan dengan pelaksanan tugas pengawasan oleh seorang

petugas polhut maka setiap petugas harus menjaga luas kawasan

taman nasional sebesar ± 66.190,48 ha. Hal ini tentunya sangat

157 Data Kepegawaian Balai Taman Nasional Wakatobi Tahun 2011

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 157: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

140

sulit dilaksanakan. Maka wajar apabila pelaksanaan pengawasan

dan pengamanan kawasan belum dapat maksimal dilaksanakan.

Hasil wawancara dengan salah satu personil Polhut SPTN Wil.

I, Syaharuddin mengatakan :

“Luas kawasan yang kami jaga sangat luas tidak sebanding dengan jumlah Polhut dilapangan. Pelaksanaan kegiatan patroli dilakukan secara acak, karena luasnya wilayah yang harus di awasi disamping itu medan atau kondisi perairan laut yang cukup berat karena harus melalui lautan besar sangat memerlukan dukungan sarana dan prasarana yang memadai.karena personil kami terbatas , kegiatan patroli keamanan di kawasan tidak bisa rutin setiap saat.”158

Selanjutnya Muhammad Naswir, juga anggota Polhut SPTN

Wil. I mengatakan :

“ Kendala polhut dilapangan disamping jumlah kami yang sangat terbatas, juga secara kewenangan Polhut tidak seperti Polri sebagai yang berfungsi sebagai penyelidik yang dapat melakukan tugas penangkapan atas perintah penyidik atau melakukan tindakan menurut hukum yang bertanggung jawab. Polisi Kehutanan hanya berfungsi menjalankan tugas secara preventif atau pencegahan tidak bisa melakukan penangkapan kecuali tertangkap tangan. Dalam hal menemukan perkara pidana di kawasan Polhut harus segera melaporkan kasus tersebut ke PPNS atau Penyidik Polri untuk tindakan hukum selanjutnya. Hal ini dilapangan menjadi kendala. Keterbatasan kewenangan ini justru membuat Polhut selalu ragu-ragu dalam mengambil tindakan hukum sehingga beberapa kasus pelanggaran pidana yang ditemukan akhirnya hanya dilakukan tindakan pembinaan ditempat dan pelaku dilepas.” 159

Dari sisi kualitas aparat penegak hukum di Balai Taman

Nasional Wakatobi khususnya Pejabat Pegawai Negeri Sipil

(PPNS) Kehutanan, maka dapat dikatakan belum sesuai dengan

apa yang diharapkan, PPNS Balai Taman Nasional Wakatobi

berjumlah 5 (lima) orang, tetapi belum ada yang pernah melakukan

tugas penyidikan. ini dapat dilihat dari data penanganan kasus

158 Wawancara dengan Syaharuddin, Kepala Resort Polisi Kehutanan Resort Matahora SPTN

I BTNW, di Kantor SPTN Wilayah I di Numana, Tanggal 24 Oktober 2011, Jam 15.00 WITA 159 Wawancara dengan Muhammad Naswir, anggota Polhut SPTN I BTNW, di Kantor SPTN

Wilayah I di Numana , tanggal 23 Oktober 2011, Jam 10.00 WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 158: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

141

perkara pidana yang terjadi di kawasan Taman Nasional Wakatobi

kurun waktu tahun 2000 s.d 2011, dari 21 (dua puluh) kasus yang

diproses hukum dan vonis di pengadilan, proses penyidikannya

masih dilakukan oleh penyidik Polri.

Dari hasil wawancara dengan salah satu pejabat PPNS Balai

Taman Nasional Wakatobi, Ismono Dg. Halim menyatakan :

“Selama ini PPNS disini belum melakukan tugas penyidikan perkara tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang terjadi di kawasan TNW, karena disamping tingkat pengetahuan /kemanpuan PPNS yang masih kurang dalam hal penyidikan juga karena kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada PPNS masih sangat terbatas, seperti PPNS tidak memiliki kewenangan menangkap dan menahan pelaku seperti penyidik polri, ketika PPNS melakukan penangkapan (tertangkap tangan) maka segera harus melaporkan ke penyidik polri untuk diberikan surat penangkapan dan/atau penahanan. PPNS bekerja dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik polri dan hal ini menimbulkan ketidakmandirian dan ketergantungan PPNS terhadap penyidik polri serta memperpanjang birokrasi. PPNS akhirnya cenderung pasif untuk bekerja karena ketika mereka bekerja harus selalu lapor kepada polisi, disamping itu secara kelembagaan, jabatan PPNS Kehutanan merupakan tugas tambahan dan belum terorganisir dengan baik.”160

Hasil wawancara dengan Abdul Halim Amran menyatakan :

“ Selama ini salah satu kelemahan dalam upaya penegakan hukum tindak pidana khususnya tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah koordinasi yang kurang antara sesama aparat penegak hukum, selama ini masih terjadi perbedaan persepsi khusus dalam hal penerapan pasal-pasal sanksi pidana di dalam Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, oleh karena itu aparat penegak hukum khususnya PPNS maupun Penyidik Polri dan penuntut umum harus selalu berkoordinasi dengan instansi teknis dalam rangka membangun kesepahaman atau persepsi yang sama, masih adanya keraguan penyidik atau jaksa dalam menerapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya karena disebabkan kurangnya pemahaman mereka dalam memahami undang-undang tersebut.

160 Wawancara dengan Ismono Dg. Halim, Penyidik Balai Taman Nasional Wakatobi di

Kantor Balai Taman Nasional Wakatobi di Baubau, tanggal 7 Oktober 2011, Jam 11.00 WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 159: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

142

Ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut merupakan delik formil yang tidak perlu dibutuhkan pembuktian dampak/akibat atas perbuatan pelaku. Oleh karena itu penyamaan persepsi dan koordinasi antar penegak hukum sangat diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan penegakan hukum di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya”161

Selanjutnya menurut Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi,

Wahyu Rudianto mengatakan ,

“ Banyak faktor yang menyebabkan penegakan hukum di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya belum optimal antara lain : PPNS Balai Taman Nasional belum memiliki keberanian untuk melakukan penyidikan yang menjadi kewenangannya, adanya pemahaman yang berbeda antar penegak hukum terhadap tindak pidana konservasi.”162

Dari uraian-uraian penjelasan responden diatas menunjukkan

bahwa faktor aparat penegak hukum merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di

bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

di Taman Nasional Wakatobi, meliputi : jumlah/kuantitas penegak

hukum yang kurang, kewenangan yang terbatas yang dimiliki oleh

Polhut dan PPNS, perbedaan persepsi antar penegak hukum dalam

penerapan undang-undang, kurangnya koordinasi dan rendahnya

kualitas pemahaman aparat penegak hukum dalam penerapan

undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

3) Faktor sarana prasarana/fasilitas pendukung

Dari hasil penelitian menunjukkan sarana prasarana yang

digunakan selama ini dalam kegiatan penegakan hukum tindak

pidana di bidang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya

di Taman Nasional Wakatobi disajikan dalam tabel berikut :

161 Wawancara dengan Abdul Halim Amran, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Baubau di

Kantor Pengadilan Negeri Baubau di Baubau, Tgl 23 Nopember 2011, Jam.10.00 WITA 162 Wawancara dengan Wahyu Rudianto, Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi di Kantor

Balai TNW di Baubau Tanggal 8 Nopember 2011, Jam 15.30. WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 160: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

143

Tabel 11

Sarana Prasarana Pelindungan Hutan Balai Taman Nasional Wakatobi

No Jenis Sarana Prasarana Satuan Jumlah Keterangan

1 2 3 4 5

1. Mobil Patroli unit 3

2. Kapal Patroli unit 4 1 unit milik Joint

Program TNC - WWF

3. Handy Talk (HT) buah 20

4. Radio SSB unit 4

5. Radio RIG unit 5

6. Radio Motorola unit 6

7. Speed Boat unit 6 2 unit rusak

8. Pesawat Ultra Ringan unit 1

9. Senjata Api pucuk 10 1 pucuk pistol

10. Sepeda Motor Patroli unit 13 1 unit rusak

11. Pos Jaga buah 2 1 buah rusak

12. Pondok Kerja buah 6 1 rusak berat

13. Kantor SPTN buah 3

14. Barak Polhut dan perlengkaannya unit 5

15. Komputer unit 5

16. Peralatan Selam Set 15 setiap SPTN 5 set

17. Pos Jaga terapung unit 1 rusak berat

18. Kamera unit 3 Masing-masing SPTN

19. GPS unit 3

20. Hanggar Pesawat unit 2

21. Kompresor selam unit 3

Jumlah 120

Sumber : Data Balai Taman Nasional Wakatobi, Tahun 2011 Jika dilihat dari fasilitas pendukung perlindungan Hutan dalam

rangka penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Balai Taman

Nasional Wakatobi sudah cukup memadai untuk mendukung

pelaksanaan tugas dilapangan, hanya saja kendala dilapangan

adalah ketersediaan bahan bakar kendaraan laut khususnya speed

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 161: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

144

boat cukup besar dan memerlukan biaya operasional yang sangat

mahal. Dalam sehari saja misalnya, untuk melakukan kegiatan

patroli pengamanan kawasan TNW dengan menggunakan speed

boat memerlukan bahan bakar ± 1.000 (seribu) liter bensin atau

sekitar 5 juta s.d 7 juta rupiah sementara di sisi yang lain dana yang

tersedia sangat terbatas. Hal ini menyebabkan frekuensi patroli

pengamanan kurang efektif. Disamping itu faktor lainnya adalah

biaya penanganan kasus perkara pidana yang terjadi di kawasan

perairan laut juga membutuhkan biaya yang mahal terutama dalam

hal pengamanan dan pengangkutan barang-bukti tindak pidana.

Sisi yang lain terlihat bahwa ketersediaan sarana prasarana juga

harus didukung dengan kemanpuan penguasaan teknologi

khususnya perbaikan dan pemeliharaan armada/kendaraan laut,

dibutuhkan personil yang harus memiliki kemanpuan teknis di

bidang perkapalan atau speed boat sehingga ketika terjadi

kerusakan dapat segera dilakukan perbaikan dan perawatan. Di

Balai Taman Nasional sendiri sampai saat ini belum ada mekanik

atau staf ynag memiliki kemanpuan teknis di bidang perkapalan

atau speed boat sehingga ketika terjadi kerusakan pada

armada/peralatan di laut, Balai Taman Nasional Wakatobi harus

mendatang tenaga ahli dari Jakarta atau perusahan dimana speed

boat atau kapal tersebut dibuat. Sehingga hal ini menyebakan

kegiatan pengamanan kawasan TNW juga tidak dapat berjalan

sesuai dengan apa yang diharapkan. Seperti yang di sampaikan

oleh La Ode Ahyar Thamrin Mufti :

“kendala kami dilapangan dalam hal sarana prasarana perlindungan hutan adalah masalah operasional dilapangan seperti ketersediaan bahan bakar minyak yang terbatas, disamping itu juga terkadang ketika speed boat patroli kami rusak, maka harus menunggu berbulan-bulan untuk dilakukan perbaikan karena mekanik harus kami panggil dari Jakarta atau dari Surabaya. Hal disebabkan karena motoris di Balai Taman Nasional wakatobi belum memiliki keahlian untuk melakukan perbaikan apabila speed boat rusak, dan dampaknya beberapa laporan kejadian tindak pidana di kawasan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 162: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

145

TNW tidak dapat kami tindaklanjut karena armada kami mengalami kerusakan” 163

Hasil wawancara dengan Kepala Balai Taman Nasional

Wakatobi, Wahyu Rudianto mengatakan :

“ Perioritas kami dalam penanggulangan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kawasan Taman Nasional Wakatobi adalah dengan melakukan kegiatan pencegahan yaitu pelaksanaan secara intensif patroli rutin kawasan yang dilakukan di masing-masing SPTN (seksi pengelolaan Taman Nasional) , hanya memang ada kendala manajemen pengelolaan kegiatan patroli di lapangan yang kadang menjadi hambatan terutama masalah ketersediaan bahan bakar setiap saat, dari sisi pendanaan sudah cukup tersedia.”164

Kapolres Wakatobi, Pitra A. Ratulangi mengatakan:

“Proses penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi cukup baik hanya saja kendala dilapangan lebih pada sarana atau fasilitas pendukung seperti pembiayaan yang cukup tinggi, dan minimnya kendaraan operasional di laut. Saat ini untuk Polres Wakatobi belum memiliki speed boat yang memadai untuk melakukan tugas patroli di laut. Biasanya kami dapat dukungan dari meminjam dari pemerintah daerah atau Balai Taman Nasional Wakatobi itupun tidak bisa setiap saat.”165

Dari uraian penjelasan-penjelasan responden diatas

menunjukkan bahwa faktor sarana atau fasilitas pendukung

pelaksanaan tugas penegakan hukum dilapangan juga merupakan

mempengaruhi kelemahan pelaksanaan penegakan hukum tindak

pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi meliputi, Ketersediaan

operasional kendaraan patroli, pembiayaan yang tinggi, kurangnya

sumber daya manusia yang terampil dalam pemeliharaan dan

163 Wawancara dengan La Ode Ahyar Thamrin Mufti, Kepala Seksi Pengelolaan Taman

Nasional Wilayah I, di Kantor SPTN Wilayah I di Numana-Wangi-Wangi, tanggal 08 Oktober 2011, Jam 10.30 WITA

164 Wawancara dengan Wahyu Rudianto, Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi di Kantor Balai TNW di Baubau Tanggal 8 Nopember 2011, Jam 15.15. WITA

165 Wawancara dengan Pitra A. Ratulangi, Kapolres Wakatobi di Mako Polres Wakatobi, tanggal 10 Oktober 2011, Jam 11.00 WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 163: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

146

perbaikan kendraan operasional patroli dan manajemen

pengelolaan sarana prasarana yang kurang baik.

4) Faktor masyarakat

Kepulauan Wakatobi saat ini di huni oleh Penduduk pada

tahun 2007 tercatat 99.492 jiwa terdiri atas laki-laki 48.199 jiwa

dan perempuan 51.293 jiwa, yang tersebar di 100 desa/kelurahan

yang berasal dari beberapa etnis suku yaitu Buton/Wakatobi

sendiri, Cia-Cia, Muna, bugis, Jawa umumnya mendiami daratan

pulau-pulau dan satu etnis suku laut Bajau yang mendiami

sebagian kecil daerah pesisir pulau-pulau di Wangi—Wangi,

Kaledupa dan Pulau Tomia.166 Pada umumnya masyarakat di

Kepulauan Wakatobi tingkat kepatuhan masyarakat terhadap

hukum atau peraturan perundang-undangan sudah cukup baik,

hanya saja disadari memang masih ada sebagian kelompok oknum

masyarakat baik masyarakat lokal maupun luar wakatobi yang

masih melakukan tindak pidana khususnya di bidang konservasi

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional

Wakatobi. Pada umumnya asal pelaku tindak pidana di Taman

Nasional Wakatobi khususnya masyarakat lokal Wakatobi berasal

masyarakat suku laut (Bajau) asal Mola di pulau Wangi-Wangi dan

Bajau Mantigola di pulau Kaledupa dan berasal dari masyarakat

nelayan luar Wakatobi. Dari data registrasi penanganan perkara

tindak pidana di Taman Nasional Wakatobi kurun waktu tahun

2000 s.d 2011 menunjukkan asal pelaku tindak pidana di sajikan

dalam tabel berikut :

166 Statistik Taman Nasional Wakatobi Tahun 2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 164: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

147

Tabel 12

Data Asal Pelaku Tindak Pidana di Bidang KSDA & E

yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi periode Tahun 2000 s.d 2011

No Tindak Pidana Yang Terjadi

Asal pelaku Bajo Bajo Kaledupa Tomia Binongko Luar Jumlah Mola Mantigola Wakatobi Total

/ kasus / kasus / kasus / kasus / kasus / kasus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan 7 1 10 18

2. Penggunaan Potasium (Kcn) dalam penagkapan ikan 3 1 4

3. Penangkapan/peredaran satwa yang dilindungi (penyu) 8 1 1 10

4. Pelanggaran Zona Inti Penebangan/perambahan 1 1

5. Hutan Mangrove 1 1

Jumlah 15 4 1 1 1 12 34

Sumber Data : Data Olahan Matriks penanganan kasus tindak pidana yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi Tahun 2011

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 165: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

148

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa asal pelaku tindak

pidana yang terjadi di kawasan Taman Nasional Wakatobi kurun

wakatu 2000 s.d 2011, dari 34 kasus yang terjadi, 15 kasus atau

44,11 persen berasal dari masyarakat/nelayan lokal wakatobi

khususnya masyarakat suku bajau Mola dan 12 kasus atau 35,30

persen berasal dari nelayan luar Wakatobi.

Dari hasil wawancara dengan salah satu nelayan Bajau Mola

Musliadi, di Desa Mola Selatan mengatakan :

“ masih adanya sebagian masyarakat bajau mola yang masih melakukan kegiatan atau penangkapan ikan di kawasan Taman Nasional Wakatobi dengan alat tangkap yang bertentangan dengan peraturan perundangan disebabkan alasan ekonomi, ada juga karena adanya keinginan untuk memperoleh hasil penangkapan lebih cepat, faktor keterbatasan fasilitas pendukung alat tangkap perikanan seperti kapal penangkap ikan yang tidak ada, peralatan yang kurang. Umumnya pelaku tindak pidana adalah nelayan kecil (nelayan tradisional) dengan sarana yang digunakan sampan atau perahu kantingting (5 PK). Disamping itu rendahnya pengetahuan yang dimiliki nelayan dalam berusaha juga menyebabkan mereka menghalalkan segala cara untuk memperoleh pendapatan untuk menghidupi keluarga juga menjadi faktor penyebabnya. Untuk itu seyogyanya pemerintah mencari solusi yang lebih arif dalam menindak pelaku tindak pidana di kawasan TNW apalagi mereka itu adalah nelayan kecil yang tidak mengerti dengan hukum, karena itu sosialisasi atau penyuluhan dan pembinaan oleh pemerintah sangat diperlukan dalam rangka peningkatan kesadaran hukum serta perlunya program pendampingan dan bimbingan peningkatan usaha ekonomi keluarga bagi nelayan kecil di Mola menjadi solusi yang perlu dipertimbangkan oleh pihak pengelola Balai Taman Nasional Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi.”167

Menurut Sadar,

“masih adanya sebagian masyarakat Bajo khususnya Bajo Mola kurang patuh dengan hukum atau peraturan karena rendahnya pemahaman mereka akan pentingnya pelestarian sumber daya alam dan pengaruh godaan dari para pengusaha/pengumpul ikan hidup yang datang dari luar Wakatobi.”168

167 Wawancara dengan Musliadi, Unsur Nelayan Bajau-Mola di desa Mola Selatan, tanggal

13 Oktober 2011, Jam 10.00 WITA 168 Wawancara dengan Sadar, Sekretaris Kerukunan Keluarga Bajo-Sultra, Indonesia di

Desa Mola Selatan, Tanggal 20, Oktober Tahun 2011, Jam 12.22 WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 166: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

149

Selanjutnya Sadar mengatakan :

“ Suku Bajo sejak dahulu kala mencintai laut karena mereka hidup dan sangat tergantung pada sumber daya di laut. Dikenal sebagai masyarakat pemburu di laut tetapi dalam pemanfaatan sumber daya alam di laut masyarakat bajo tidak mengenal adanya sistem zonasi di laut. Karakter masyarakat bajo merupakan masyarakat yang takut/patuh pada hukum atau peraturan. Adanya sebagian masyarakat bajo yang menangkap ikan dengan bom atau bius karena godaan dari pengumpul ikan hidup yang datang di Kepulauan Wakatobi sejak tahun 1990-an. Karena desakan ekonomi sesaat dan pengaruhi gaya hidup masyarakat ini sudah terkontaminasi dengan kehidupan masyarakat darat yang konsumtif mereka akhirnya melakukan pekerjaan yang melanggar hukum mengikuti keinginan pemodal, menurut saya untuk memperbaiki kondisi ini tidak hanya dilakukan dengan penegakkan hukum semata tetapi kegiatan penyuluhan dan penyadaran di masyarakat sangat diperlukan.”169

Gaya hidup masyarakat khususnya para pengusaha yang

mengutamakan keuntungan/provit dalam melakukan usaha

pengelolaan sumber daya alam telah mengubah cara pandang dan

perlakuannya terhadap lingkungan. Untuk memenuhi

kebutuhannya para pengusaha tidak segan-segan mengeksploitasi

sumber daya alam secara berlebihan untuk mengejar keuntungan

komersial. Di Taman Nasional Wakatobi di duga para

pengusaha/pengumpul ikan hidup menfasilitasi nelayan dengan

potassium cyanida (sejenis racun) untuk melakukan penangkapan

beberapa jenis ikan tertentu.

Dari beberapa penjelasan responden di atas disimpulkan

bahwa faktor kelemahan penegakan hukum tindak pidana di bidang

KSDA & E di Taman Nasional Wakatobi terkait unsur masyarakat

adalah disebabkan oleh beberapa hal meliputi : faktor kemiskinan,

pemahaman dan pengetahuan yang rendah, keterbatasan sarana

usaha bagi nelayan, kebiasaan turun temurun dalam hal kegiatan

penangkapan ikan di perairan kepulauan Wakatobi tidak mengenal

169 Ibid, Tanggal 20, Oktober Tahun 2011, Jam 12.22 WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 167: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

150

adanya sistem zonasi dan pengaruh godaan//pengaruh pengusaha

dari luar wakatobi dengan pemberian fasilitas-fasilitas tertentu.

5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-

nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang

merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap

baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga

dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan

nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus

diserasikan.

Hasil Wawancara dengar Sadar menyatakan :

“ khususnya masyarakat Bajo sejak dahulu sudah memiliki kearifan /budaya lokal tentang pemanfaatan sumber daya laut secara bijaksana yang sejalan dengan prinsip konservasi. Beberapa ritual/tata upacara adat tentang pemanfaatan dan larangan dalam pemanfaatan sumber daya laut dikenal dengan ritual “sangal, parika, dan pamali”. Kesepakatan untuk menetapkan tata kelola penangkapan ikan di laut dikenal dengan “Madua Pina” serta sanksi-sanksi adat yang diberikan kepada masyarakat yang melanggar aturan tersebut seperti dikucilkan dilingkungan masyarakat, mengganti ikan yang ditangkap dan dikembalikan ke lokasi yang dilarang ditangkap. Adanya perubahan pola kebiasaan mayarakat bajo ke perikanan yang cenderung merusak karena pengaruh oleh orang-orang luar dan rendahnya pemahaman masyarakat akan pentingnya konservasi atau pelestarian sumber daya laut serta kesulitan pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, karena itu salah satu upaya yang mesti dilakukan adalah perlunya penyuluhan tentang konservasi dan penguatan ekonomi masyarakat ditingkat keluarga nelayan bajo.”170

Namun sayangnya kebiasaan tersebut saat ini sudah jarang

dilaksanakan, masyarakat di Kepulauan Wakatobi termasuk

komunitas suku bajo dalam hal melakukan kegiatan pemanfaatan

sumber daya alam di laut tidak lagi melakukan pemanfaatan secara

tradisional seperti sebelum-sebelumnya. Pengaruh kemajuan

teknologi saat ini, pemanfaatan sudah dilakukan dengan tehnik-

170 Ibid, , Tanggal 20, Oktober Tahun 2011, Jam 12.22 WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 168: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

151

tehnik perikanan modern seperti penggunaan mesin, kapal

penangkap ikan, jaring dan peralatan lainnya. Masyarakat Bajo

merupakan komunitas terbesar di Kepulauan Wakatobi yang

memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya alam di

kawasan Taman Nasional Wakatobi. Ada pemahaman atau

anggapan yang keliru dalam kebiasaan mereka melakukan

penangkapan ikan bahwa sumber daya perikanan tidak akan pernah

habis, masyarakat bajo adalah tipe masyarakat nomaden atau suka

berpindah-pindah. Salah satu nilai konservasi yang dianut yakni

bahwa untuk mempertahankan kelestarian sumber daya perikanan

maka metode yang digunakan adalah dengan tehnik berpindah-

pindah lokasi penangkapan ikan. Menurut mereka dengan tehnik

tersebut sumber daya perikanan tidak akan pernah habis dan tidak

perlu di zonasi.

Selanjutnya Sadar mengatakan :

“Saat ini kebiasaan kearifan lokal masyarakat bajo yang memiliki nilai-nilai konservasi sudah tidak menjadi kebiasaan nelayan disebabkan karena pengaruh banyaknya nelayan luar wakatobi yang masuk melakukan penangkapan ikan di perairan Wakatobi, masyarakat lokal tidak bisa bersaing dengan nelayan luar yang menggunakan alat penangkapan ikan yang modern. Disamping itu peraturan perundang-undangan kita tidak mengakomodir kebiasaan-kebiasan masyarakat lokal. Pengelolaan sumber daya perairan laut adalah kewenangan sepenuhnya pemerintah. Dalam paradigma pemanfaatan di perairan laut modern dikenal prinsip sumber daya perairan laut adalah open access atau sumber daya yang terbuka untuk di manfaatkan oleh siapa saja. Kondisi inilah menurut saya yang menyebabkan terjadinya konflik pemanfaatan antar masyarakat termasuk dengan pemerintah yang justru menyebabkan percepatan kerusakan sumber daya hayati di perairan laut.”171

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa faktor kebudayan

juga mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di

bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

171 Ibid, Tanggal 20, Oktober Tahun 2011, Jam 12.22 WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 169: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

152

di Taman Nasional Wakatobi, meliputi nilai-nilai konservasi yang

dianut atau prinsip yang berbeda antara masyarakat dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, faktor rendahnya

pemahaman dan pengetahuan tentang pelestarian sumber daya

alam, kewenangan pengelolaan sumber daya perairan laut beralih

dari masyarakat dengan hukum adat menjadi sepenuhnya

kewenangan pemerintah, dan kemajuan teknologi

3. Upaya Non penal yang dilakukan dalam Penanggulangan Tindak

Pidana di bidang KSDA & E di Taman Nasional Wakatobi Kebijakan penanggulangan tindak pidana di bidang konservasi

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (KSDA&E) di Taman

Nasional Wakatobi dilaksanakan baik melalui pendekatan dengan

penegakan/penerapan hukum pidana maupun melalui tindakan

pencegahan tanpa pidana (non-penal). Penanggulangan tindak pidana di

bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

melalui pencegahan tanpa pidana (non-penal) di Taman Nasional

Wakatobi dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

a. Patroli rutin di setiap Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN)

Pelaksanaan patroli rutin di setiap SPTN dilaksanakan oleh

Polisi Kehutanan. Patroli rutin di laksanakan 3 s.d 5 hari dalam

setiap bulannya dengan tujuan untuk mencegah terjadinya tindak

pidana di kawasan TNW. Namum dalam pelaksanaanya kegiatan

tidak cukup efektif karena terterbatasan sarana prasarana

khususnya operasional bahan bakar speed boat yang tidak

memadai, sehingga patroli hanya dilaksanakan di wilayah pesisir

pantai saja dan tidak bisa mencapai perairan karang. Seperti di

katakan oleh Syaharuddin :

“ Saat ini kami tidak bisa menindaklanjuti laporan masyarakat tentang adanya kegiatan pemboman ikan di wilayah perairan karang karena dana kami sangat minim untuk membeli bahan bakar, dan tahun 2011 ini dana kegiatan untuk patroli sedikit

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 170: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

153

sehingga kegiatan pengamanan sudah berkurang. Disamping itu masalah lain yang kami temukan dilapangan masih ditemukan izin usaha perikanan yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi yang tidak sesuai dengan zonasi Taman Nasional Wakatobi seperti menunjuk lokasi penangkapan ikan di wilayah perairan Wakatobi, sehingga membingungkan kami untuk mengambil tindakan hukum dilapangan.”172

Selanjutnya Aah Hidayatullah mengatakan :

“ Kendala kami dilapangan dalam hal pelaksanaan patroli rutin di Taman Nasional Wakatobi adalah medan di laut sangat sulit dijangkau serta luas wilayah kawasan, disamping itu jumlah kami yang sangat terbatas, kegiatan patroli rutin tidak bisa kami jadwalkan secara rutin setiap bulan. Faktor pembiayaan juga menjadi masalah karena kebutuhan bahan bakar kenderaan patroli yang cukup besar.”.173

Kepala SPTN Wil I, La Ode Ahyar Thamrin Mufti, juga

mengatakan :

“Seksi Wilayah sulit menjadwalkan kegiatan patroli rutin bulanan secara permanen karena keterbatasan jumlah personil Polhut yang ada disamping itu kendala biaya. Pembiayaan kegiatan setiap bulan tidak tentu pencairannya belum lagi dengan lagi ketersedian sarana yang baik, hal lainnya adalah ketersediaan bahan bakar di Wakatobi stok bahan bakar minyak sangat terbatas, kondisi-kondisi inilah sehingga pelaksanaan patroli rutin belum efektif di laksanakan.”174

Dari penjelasan-penjelasan di atas menunjukkan bahwa

pelaksanaan kegiatan patroli rutin keamanan kawasan Taman

Nasional Wakatobi belum terlaksana sesuai dengan yang

diharapkan karena disebabkan oleh : Keterbatasan jumlah personil

Polhut di setiap SPTN, kegiatan patroli tidak terjadwal dengan

baik, Sarana prasarana yang kurang memadai, ketersediaan bahan

172 Wawancara dengan Syaharuddin, Kepala Resort Polisi Kehutanan Resort Matahora SPTN

I BTNW, di Kantor SPTN Wilayah I di Numana, Tanggal 24 Oktober 2011, Jam 15.00 WITA 173 Wawancara dengan Aah Hidayatullah, Polisi Kehutanan Balai Taman Nasional

Wakatobi, SPTN Wil. III di Kantor Balai Taman Nasiona Wakatobi di Baubau, tanggal 12 Oktober 2011, Jam 16.32 WITA

174 Wawancara dengan La Ode Ahyar Thamrin Mufti, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I, di Kantor SPTN Wilayah I di Numana-Wangi-Wangi, tanggal 08 Oktober 2011, Jam 10.30 WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 171: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

154

bakar, kondisi geografis (cuaca, dan luas kawasan), dan

pembiayaan

b. Sosialisasi dan Penyuluhan

Sosialisasi dan penyuluhan dilaksanakan di seluruh desa di

Wakatobi (100 desa/kelurahan) dalam rangka peningkatan

pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya

pelestarian sumber daya alam di Taman Nasional Wakatobi serta

sosialisasi zonasi Taman Nasional Wakatobi. Pelaksanaan

penyuluhan dan sosialisasi dilaksanakan melalui kegiatan

pertemuan di tingkat kabupaten, kecamatan, desa dan kunjungan ke

kelompok masyarakat tertentu di desa/kelurahan.

Hasil wawancara dengan Sadar mengatakan :

“ Pelaksanaan sosialisasi dan penyuluhan tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya selama ini yang dilakukan oleh pihak Balai Taman Nasional Wakatobi sebenarnya sudah cukup intensif dilakukan hanya saja belum menyentuh sepenuhnya kelompok sasaran sesungguhnya. pengguna sumber daya alam di Taman Nasional Wakatobi yang terbesar adalah masyarakat Bajau, mestinya pihak Balai Taman Nasional cukup konsentrasi saja pada kelompok masyarakat ini karena pengguna sumber daya yang cukup besar dan tergantung kehidupannya di kawasan perairan Taman Nasional Wakatobi adalah masyarakat bajau (mola, mantigola, Lohoa dan Lamanggau), masyarakat di darat cukup diserahkan ke Pemda saja penanganannya. Program TNW belum menyentuh akar masalah yang sesungguhnya terutama terhadap kelompok masyarakat yang menpunyai tingkat ketergantungan sumber daya alam terhadap kawasan TNW, diperlukan suatu metode pendekatan khusus bagi orang bajo, intensitas kunjungan ke nelayan dan sosialisasi penyadaran ke masyarakat masih diperlukan dalam rangka penanganan pelanggaran hukum yang masih dilakukan oleh masyarakat bajo”175

Sementara hasil wawancara dengan Wahyu Rudianto

menyatakan :

“ Salah satu kendala kami dilapangan terkait dengan kegiatan penyuluhan dan penyadaran hukum bagi masyarakat dalam upaya

175 Wawancara dengan Sadar, Sekretaris Kerukunan Keluarga Bajo-Sultra, Indonesia di

Desa Mola Selatan, Tanggal 20, Oktober Tahun 2011, Jam 12.22 WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 172: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

155

pengelolaan Taman Nasional adalah terbatasnya jumlah penyuluh dilapangan dan kualitas tenaga penyuluh yang kurang memadai. Staf penyuluh yang ada saat ini di BTNW hanya 2 (dua) orang, hal ini tidak sebanding dengan luas kawasan TNW yang dihuni oleh ± 100 desa dengan jumlah masyarakat ± 100.000 (seratus ribu) jiw, selama ini kegiatan penyuluhan dilakukan oleh Polisi kehutanan (Polhut) dan fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH)”176

Dari penjelasan dia atas disimpulkan bahwa pelaksanaan

kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan oleh pihak Balai Taman

Nasional selama ini kurang berhasil karena disebabkan oleh :

Pelaksanaan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan belum tepat

sasaran, Metode penyuluhan yang kurang baik, jumlah tenaga

penyuluh terbatas dan rendahnya kualitas tenaga/staf penyuluh

lapangan.

c. Program Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi

merupakan segala upaya yang bertujuan untuk terus meningkatkan

keberdayaan masyarakat disekitar kawasan konservasi, untuk

memperbaiki kesejahteraannya dan meningkatkan partisipasi

mereka dalam segala kegiatan konservasi sumber dayaalam hayati

dan ekosistemnya, secara berkelanjutan.177

Kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan

konservasi yang menjadi kebijakan Direktorat Jenderal PHKA,

bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang mau dan mampu

mengembangkan kreatifitas yang bertumpu pada potensi sosial,

ekonomi, budaya, dan lingkungan yang mereka miliki guna

mendukung kelangsungan pembangunan konservasi sumber daya

176 Wawancara dengan Wahyu Rudianto, Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi, di

Kantor Balai Taman Nasional di Baubau, Tanggal 8 Nopember 2011, Jam 15.00 WITA 177 Ibid, hlm. Kata Pengantar

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 173: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

156

alam hayati dan ekosistemnya dalam rangka peningkatan

kesejahteraan masyarakat.178

Salah satu program kebijakan prioritas pembangunan

kehutanan yang tertuang dalam SK. Menhut No. 456/Menhut-

II/2004 adalah “Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di dalam

dan di sekitar hutan”. Hal ini merupakan komitmen pemerintah

dalam pembangunan hutan lestari tidak hanya bertumpu pada

aspek ekologis dan ekonomi tetapi juga aspek social dan budaya

masyarakat. Implementasi pelaksanaan peningkatan kemampuan,

kemandirian dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan

konservasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal PHKA maupun

berbagai lembaga non pemerintah, melalui pemberian kesempatan

kepada masyarakat (pemberdayaan masyarakat) sebagai pelaku dan

atau mitra dalam pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya alam

hutan. Kegiatan tersebut terintergrasi dengan rencana pengelolaan

yang mengakomodir aspirasi masyarakat antara lain,

pengembangan : ekowisata seperti desa wisata, homestay,

pemanfaatan jasa lingkungan lainnya, budidaya flora dan fauna,

pelestarian sumberdaya alam seperti koperasi yang memanfaatkan

potensi wilayah, ekonomi produktif (home industri, produk

pertanian, kehutanan, peternakan, perikanan dll.179

Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat di Taman

Nasional Wakatobi dilaksanakan melalui program-program sebagai

berikut :

1) Pembangunan Model Desa Konservasi

Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) di Taman

Nasional Wakatobi merupakan salah satu program

pemberdayaan masyarakat di mulai sejak tahun 2006 dan saat

178 Departemen Kehutanan, Dirjen PHKA, Direktorat Pemanfaatan Pemanfaatan Jasa

Lingkungan dan Wisata Alam, Pedoman Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) di Sekitar Kawasan Konservasi, Bogor, 2009, hlm.1

179 Loc.Cit

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 174: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

157

ini telah di bentuk 5 (lima) Model Desa Konservasi. Tujuan

program ini adalah peningkatan pemberdayaan dan penguatan

ekonomi masyarakat melalui kegiatan konservasi alam meliputi

kegiatan pengembangan wisata alam, penataaan ruang desa

berbasis konservasi, peningkatan keterampilan masyarakat,

penguatan kelembagaan di tingkat desa, pembentukan

kelompok-kelompok usaha mikro, penguatan modal usaha

kelompok, pengembangan usaha ekonomi kelompok berbasis

konservasi dan pelaksanaan penyuluhan di tingkat desa. Karena

program ini baru efektif dijalankan sejak tahun 2009, program

ini belum menunjukkan hasil sesuai yang diharapkan.

Hasil wawancara dengan Suhaeri mengatakan :

“ Pelaksanaan program Model Desa Konservasi (MDK) di desa Kapota dilaksanakan sejak tahun 2009, namum kami sadari sampai saat ini belum optimal dijalankan karena tingkat pemahaman dan kemanpuan masyarakat masih rendah khususnya pengembangan keterampilan usaha produktif yang berbasis konservasi dan membangun usaha kelompok, harapan kami kepada pihak Balai Taman Nasional untuk selalu melakukan pendampingan secara intensif dan dukungan baik dalam bentuk modal usaha maupun peningkatan kapasitas anggota kelompok.”180

Kepala SPTN Wil I, La Ode Ahyar Thamrin Mufti,

mengatakan :

“Pelaksanaan program MDK di Taman Nasional Wakatobi saat ini hasilnya belum bisa dikatakan sudah berhasil dalam pemberdayaan masyarakat di kawasan Taman Nasional Wakatobi, hal ini disebabkan karena program ini baru dirintis dan tahap uji coba, disamping itu kami sadari kemanpuan dan pengetahuaan petugas pendamping lapangan yang masih kurang. Saat ini petugas pendamping pada desa MDK adalah staf fungsional Polhut, PEH atau Penyuluh dimana mereka umumnya belum memiliki kualitas sebagai tenaga fasilitator yang terlatih bagi pendampingan masyarakat. Faktor lainnya

180 Wawancara dengan Suhaeri, Ketua SPKP (Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan) desa

Kapota, di Sekretariat SPKP desa Kapota, tanggal 27 Oktober Tahun 2011, Jam 10.00 WITA SPKP adalah organisasi ditingkat desa yang dibentuk dalam rangka pelaksanaan program MDK Balai Taman Nasional Wakatobi di Desa Kapota

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 175: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

158

adalah pemahaman dan pengetahuan masyarakat. Rata-rata tingkat pengetahuan nelayan di Wakatobi dapat dikatakan rendah dalam mengembangkan usaha ekonomi keluarga, umumnya masih tergantung pada pemanfaatan sumber daya di kawasan Taman Nasional Wakatobi.”181

Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan program MDK di

Taman Nasional Wakatobi belum menunjukkan hasil yang

sesuai dengan yang diharapkan karena disebabkan oleh

Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat dalam

pengembangan usaha ekonomi, kuantitas dan kualitas tenaga

pendamping yang kurang.

2) Peningkatan Usaha Ekonomi Masyarakat

Kegiatan peningkatan usaha ekonomi masyarakat

dilaksanakan dalam bentuk pemberian bantuan modal usaha

bagi kelompok masyarakat di beberapa desa di Kabupaten

Wakatobi. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengurangi

tekanan pemanfaatan di kawasan Taman Nasional Wakatobi

dengan memanfaatkan potensi pesisir yang telah dilakukan

oleh masyarakat sebelumnya. Melalui kegiatan ini masyarakat

diharapkan dapat memanfaatkan potensi sumber daya alam di

Taman Nasional Wakatobi secara optimal dengan pendekatan

ramah lingkungan atau berbasis konservasi seperti perikanan

laut dalam , budidaya perikanan (pengembangan budidaya

rumput laut melalui bantuan bibit rumput laut) dan

pengembangan potensi kerajinan rumah tangga, sehingga

diharapkan masyarakat dapat meningkatkan usaha ekonomi

keluarga yang telah dilakukan dan tidak melakukan kegiatan

merusak seperti menambang batu karang, penggunaan bom

atau bius dalam penangkapan ikan di kawasan Taman Nasional.

181 Wawancara dengan La Ode Ahyar Thamrin Mufti, Kepala Seksi Pengelolaan Taman

Nasional Wilayah I, di Kantor SPTN Wilayah I di Numana-Wangi-Wangi, tanggal 08 Oktober 2011, Jam 10.30 WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 176: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

159

Hasil wawancara penulis dengan beberapa kelompok penerima

bantuan, diperoleh bahwa kurang berhasilnya program ini

dilaksanakan dimasyarakat disebabkan karena rendahnya

pengetahuan masyakat dalam mengelola usaha kelompok,

mereka lebih memilih mengembangkan usaha secara sendiri-

sendiri berdasarkan pengalaman mereka sebelumnya,

disamping itu juga disebabkan oleh karena kurangnya

pengawasan dan pendampingan secara intensif dari pihak

pemberi bantuan (Balai TNW) sendiri.

Hasil wawancara dengan Antoni menyatakan :

“Pemberian bantuan modal usaha atau bibit rumput laut bagi kelompok masyarakat selama ini yang dilakukan oleh pihak Balai Taman Nasional Wakatobi (BTNW) kurang berhasil karena selama ini kelompok yang diberi bantuan sebenarnya adalah kelompok yang terbentuk secara instant karena adanya program bantuan dari BTNW , masyarakat belum memahami pentingnya membentuk kelompok dalam melalukan usaha, karena itu menurut saya sebelum ada program bantuan usaha bagi kelompok masyarakat sebaiknya dilakukan pengorganisasian atau bimbingan dulu di tingkat kelompok masyarakat sehingga mereka memahami bagaimana dan pentingnya mengelola usaha bersama, disamping itu pihak BTNW seharusnya melakukan pengawasan dan pendampingan secara intensif terhadap kelompok masyarakat penerima bantuan.”182

3) Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia

Kegiatan peningkatan kapasitas masyarakat dilaksanakan

melalui kegiatan pelatihan keterampilan bagi masyarakat dan

studi banding ke Taman Nasional lain di Indonesia. Kegiatan

ini dilaksanakan dalam rangka peningkatan pengetahuan

masyarakat dalam pembangunan konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya serta peningkatan kemanpuan

masyarakat dalam mengembangkan usaha ekonomi di tingkat

182 Wawancara dengan Antoni, staf LSM Lokal Warahma di Kaledupa, tanggal 28 Oktober

2011, Jam 10.30 WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 177: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

160

desa dan pengembangan ekowisata desa. Beberapa kegiatan

telah dilakukan antara lain :

1. Pelatihan pengelolaan pasca panen rumput laut

2. Pelatihan pengorganisasian masyarakat (CO)

3. Pelatihan Pengembangan usaha ekonomi mikro

4. Pelatihan Analisis Sosial (Ansos)

5. Pelatihan Identifikasi Potensi Desa

6. Pelatihan Organisasi dan kelembagaan masyarakat di

tingkat desa

7. Pelatihan tehnik penangkapan ikan ramah lingkungan

8. Pelatihan kader konservasi bagi masyarakat

9. Pelatihan dan Studi banding pengelolaan ekowisata di

Taman Nasional Bali Barat

10. Pelatihan dan studi banding desaian marketing ekowisata di

Yogyakarta183

Dari hasil – hasil kegiatan peningkatan kapasitas ini

diharapakan masyarakat dapat mengembangkannya pada desa

masing-masing peserta. Beberapa upaya pengembangan yang

mulai Nampak adalah pada pengembangan kegiatan ekowisata

desa pada pelaksanan program Model Desa Konservasi di Desa

Kapota Pulau Kapota , walaupun saat ini hasilnya belum

nampak dapat mendatangkan pendapatan ekonomi bagi

masyarakat setempat. Beberapa kendala yang belum

terselesaikan adalah persoalan membangun kesepahaman di

tingkat masyarakat, aturan main pengelolaan, kelembagaannya

ditingkat masyarakat dan kesiapan masyarakat itu sendiri. Saat

ini pihak Balai Taman Nasional sedang melakukan beberapa

upaya pembenahan infrastruktur seperti pembuatan papan

potensi wisata, pusat informasi wisata, promosi dan

183 Database Balai Taman Nasional Wakatobi Tahun 2011

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 178: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

161

pendampingan serta menfasilitasi pembentukan kelembagaan

ekowisata dan aturan main di tingkat desa

d. Pembentukan Kader Konservasi dan Kelompok Pencinta Alam

(KPA)

Pembentukan kader konservasi dan kelompok pencinta alam

dibentuk dalam rangka membangun kesadaran generasi muda

terhadap pentingnya upaya konservasi sumber daya alam hayati

dan ekosistemnya di Wakatobi. Pembentukan kader konservasi dan

pencinta alam ini dilaksanakan pada setiap SPTN.

Hasil wawancara dengan mantan ketua pengurus KPA Kolo-

Kolopua (salah satu KPA yang dibentuk di wilayah di SPTN Wil I)

, Abdul Zainal mengatakan :

“ Pelaksanaan program Kelompok Pencinta Alam (KPA) di Pulau Wangi-Wangi belum terencana atau tersusun dengan baik. Kami sendiri dahulu sebagai pengurus masih mengalami kesulitan, apa yang seharusnya kami lakukan sebagai kader. Pihak Balai Taman Nasional sendiri setelah pelaksanaan pembentukan kader KPA sepanjang yang saya ketahui tidak begitu jelas kemana kami sebenarnya diarahkan untuk membantu pelaksanaan program mendukung upaya konservasi di Wakatobi. Saya mengharapkan agar pihak Balai Taman Nasional Wakatobi dapat menyusun program pembinaan kader secara berjenjang dan program kegiatan rutin bulanan sehingga kami dapat belajar secara terus menerus dan dapat menjalankan fungsi sebagai kader KPA di Taman Nasional Wakatobi.”184

e. Pembentukan Forum Nelayan Antar Pulau di Wakatobi

Forum nelayan antar pulau di Wakatobi digagas dan dibentuk

sebagai hasil kerjasama antara Balai Taman Nasional Wakatobi,

Joint Program TNC-WWF, Pemda Kabupaten Wakatobi dan

masyakarat Wakatobi. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka

penyiapan masyarakat sebagai rancangan pengelolaan kolaborasi

pengelolaan Taman Nasional Wakatobi ke depan

184 Wawancara dengan Adbul Zainal, Mantan ketua KPA Kolo-Kolopua –Wangi-Wangi di

Desa Numana, tanggal 10 Oktober 2011, Jam. 11.00 WITA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 179: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

162

Forum ini merupakan forum komunikasi /wadah bagi

nelayan/pengguna sumber daya kawasan TNW ditingkat pulau

untuk berkumpul menyalurkan aspirasi dan keluhan serta

menyusun perencanaan kegiatan masyarakat dalam rancangan

pengelolaan kolaborasi Taman Nasional Wakatobi. Namun

sayangnya forum ini belum direspon secara baik oleh para

pengambil kebijakan khususnya dipihak Balai Taman Nasional

Wakatobi maupun Pemerintah Daerah Wakatobi. Tujuan awal

dibentuk forum ini adalah dalam kerangka menyiapkan

kelembagaan dan wakil masyarakat untuk duduk dalam forum

kolaborasi pengelolaan Taman Nasional Wakatobi di tingkat

Kabupaten .tetapi karena sampai saat ini forum kolaborasi yang di

cita-citakan tersebut belum terwujud, sehingga aspirasi dan

rekomendasi yang telah disepakati di tingkat forum pulaupun tidak

dapat implementasikan.

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian diatas menunjukkan pelaksanaan

penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi belum berhasil

sesuai dengan apa yang diharapkan, banyak kelemahan dalam proses

pelaksanaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hal ini disebabkan

oleh faktor-faktor meliputi : faktor hukum/undang-undang itu sendiri, faktor

aparat penegak hukum, sarana/fasilitas pendukung, kepatuhan masyarakat

dan faktor kebudayaan. Di samping itu upaya non penal telah pula

dilaksanakan namun secara umum dapat dikatakan belum mencapai hasil

sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Untuk membahas lebih mendalam permasalahan ini, dalam penelitian

ini akan diuraikan sebagai berikut :

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 180: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

163

1. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kelemahan Penegakan Hukum Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi

Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan

penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya

alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi, peneliti

akan merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto

diatas.

1. Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang)

Hukum dipahami oleh masyarakat sebagai suatu perangkat

aturan yang dibuat oleh Negara dan mengikat warga negaranya

dengan mekanisme keberadaan sanksi sebagai pemaksa untuk

menegakan hukumnya. Negara menpunyai hak untuk memaksa

diberlakukannya sanksi terhadap perbuatan yang melanggar hukum

dimana pelakunya dinyatakan salah oleh keputusan pengadilan yang

menpunyai kekuatan hukum tetap.

Dalam tahapan proses penegakan hukum penerapan atau

pemberlakukan suatu aturan/undang-undang yang tidak tepat akan

dapat menpengaruhi proses penegakan hukum itu sendiri. Adanya

kebijakan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat yang

dilakukan aparat penegak hukum di dalam tahapan aplikasi, tentu

saja tidak dapat dilepaskan dari kebijakan dalam menetapkan dan

merumuskan perundangan di bidang konservasi sumberdaya alam

hayati dan ekosistemnya. Kegagalan di bidang aplikasi atau

penerapan suatu undang-undang oleh aparat penegak hukum tidak

dapat dilepaskan dari bagaimana kegagalan dalam menetapkan dan

merumuskan peraturan perundangan khususnya di bidang pidana.

Menurut sistem hukum Indonesia, peraturan perundang-

undangan (hukum tertulis) disusun dalam suatu tingkatan yang

disebut hierarki peraturan perundang-undangan. Terlihat di dalam

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 181: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

164

Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan perundang-undangan

yang tersusun secara hierarkis tersebut mengandung pengertian

bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah

tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi tingkatannya.185

Dalam teori perundang-undangan pembuatan dan penetapan

suatu peraturan perundang-undangan juga harus tunduk pada asas-

asas tertentu, yaitu :

1. Asas yang bersumber pada politik konstitusi dan ketentuan

UUD (asas konstitusional dalam penerapan hukum);

2. Asas tidak berlaku surut (nonretroaktif);

3. Asas peralihan hukum;

4. Asas pertingkatan peraturan perundang-undangan (lex superiori

derogate legi inferiori);

5. Asas aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan

hukum yang umum (lex specialis deregat legi generali);

6. Asas aturan hukum yang baru mengesampingkan atau

meniadakan aturan hukum yang lama (lex posteriori derogat

legi priori);

7. Asas mengutamakan atau mendahulukan hukum tertulis dari

hukum tidak tertulis

8. Asas kepatuhan, keadilan,kepentingan umum dan ketertiban

umum186

Berhasil tidaknya suatu proses penegakan hukum sangat

tergantung pada apakah peraturan yang ada mengenai bidang-

bidang kehidupan tertentu secara hierarkis maupun horisontal tidak

ada pertentangan, apakah secara kuantitatif dan secara kualitatif

sudah cukup, apakah peraturan yang ada menimbulkan penafsiran

185 Teguh Prasetyo, Op.Ct, hlm 142 186 Ibid, hlm. 144

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 182: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

165

ganda, sistematis dan penerbitannya sudah sesuai dengan

persyaratan yuridis yang ada.

Penegakan hukum (law enforcement) merupakan salah satu

upaya dalam penanggulangan kejahatan/tindak pidana dengan

pendekatan penerapan hukum pidana (penal). Tahapan proses

fungsionalisasi/operasionalisasi penegakan hukum dalam arti luas

meliputi tahap formulasi (kebijakan legislatif/pembuatan undang-

undang), tahap aplikasi (pelaksanaan/penerapan undang-undang

oleh aparat penegak hukum/yudikatif, dan tahapan eksekusi

(pelaksanaan pidana oleh eksekutif).

Dalam telaah substansi hukum pidana, maka tahapan kebijakan

formulatif dapat dilihat sebagai dasar atau landasan bagi tahap-tahap

fungsionaliasi/penegakan hukum pidana selanjutnya. Kesalahan

atau kelemahan tahap formulasi merupakan kesalahan strategis yang

dapat menjadi penghambat bagi tahap-tahap berikutnya dalam

kebijakan hukum pidana (penal policy), yaitu tahap aplikasi dan

eksekusi.187

Seperti dijelaskan sebelumnya kebijakan penanggulangan

kejahatan dengan hukum pidana (penal policy) mengandung

masalah sentral, yakni (1) perbuatan apa yang perlu ditentukan

sebagai tindak pidana, (2) masalah pelakunya menyangkut

kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan (3) sanksi pidana

apa yang selayaknya dikenakan pada pelaku.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

dinyatakan norma atau ketentuan perbuatan yang dilarang dan

sanksi pidana bagi yang melangggar. Di dalam pengelolaan taman

nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti,

zona pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan keperluan. Setiap

orang dalam dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan

187 Hartiwiningsih,Op.Cit, hlm. 18

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 183: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

166

fungsi zona serta adanya ketentuan larangan pemanfaataan atau

penangkapan satwa yang dilindungi oleh undang-undang.

Selengkapnya : dalam Pasal 21 dan Pasal 33 sebagai berikut :

Pasal 21 :

(1) Setiap orang dilarang untuk : a. Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnakan,

memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;

b. Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia

(2) Setiap orang dilarang untuk : a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,

memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau diluar Indonesia;

d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat laian di dalam atau di luar Indonesia;

e. Mengambil, merusak, memusnakan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi.

Pasal 33 : (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat

mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional;

(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli;

(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 184: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

167

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990

tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

ini termuat dalam Pasal 40 ayat (1) s.d ayat (4) sebagai berikut :

Pasal 40 :

(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(4) Barang siapa karena kelalaianya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) adalah pelanggaran

Sesuai dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa kelemahan

dalam penerapan ketentuan pidana Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi Penegakan hukum

(pidana), disebabkan oleh beberapa hal yakni : rumusan unsur

pidana yang abstrak menyebabkan kesulitan dalam pembuktiannya,

kesulitan dalam mendapatkan keterangan ahli, tidak diaturnya

pertanggungjawaban korporasi atau badan hukum, dan posisi

Taman Nasional Wakatobi yang berhimpitan atau overlaping

dengan wilayah Kabupaten Wakatobi yang menimbulkan benturan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 185: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

168

kewenangan pengelolaan sumber daya alam dan undang-undang

yang terkait dengan otonomi daerah.

Menurut Saifullah yang dikutip oleh Hartiwiningsih, terdapat

kesalahan dalam perumusan formulasi perbuatan pidana dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yaitu :

“formulasi perbuatan pidana yang tercantum dalam Pasal 40 ayat (1) merupakan peraturan sanksi, sedangkan rumusannya terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) merupakan dua rumusan perbuatan pidana yang digabungkan menjadi bagian inti dari perbuatan pidana di karenakan terdapat kata penghubung: kata “dan” bukan kata “atau”. Adapun perbuatan yang digabungkan adalah : “setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam” dan setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional”. Kata “dan” dalam konteks penafsiran gramatikal terhadap suatu undang-undang bermaksud menggabungkan dari dua perbuatan tersebut. Walaupun maksud dari pembuat undang-undang ini dapat dikaji bahwa kedua pasal tersebut tidak berfungsi digabungkan tetapi merupakan alternatif atau pilihan di antara dua obyek perbuatan. Untuk itu kata penghubung yang lebih tepat adalah “atau” bukan kata “dan”.188

Sistem perumusan perbuatan pidana yang abstrak tersebut

diatas dapat menimbulkan penafsiran berbeda sesama aparat

penegak hukum seperti rumusan diatas dalam prakteknya

menimbulkan kesulitan.

Rumusan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3) adalah merupakan delik

materiil yaitu perumusan tindak pidana yang menitik beratkan pada

akibat yang dilarang, bila akibat yang dilarang ini benar-benar

terjadi barulah dianggap tindak pidana selesai dilakukan. Perbuatan

yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti

taman nasional pada kawasan konservasi laut seperti di Taman

188 Ibid, hlm. 293

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 186: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

169

Nasional Wakatobi, sangat sulit untuk dibuktikan karena ini dapat

saja disebabkan oleh faktor alam, perbuatan manusia atau satwa dan

untuk membuktikan hal tersebut diperlukan keahlian khusus dan

biaya yang mahal.

Oleh karena itu perubahan atau revisi untuk perbaikan rumusan

perbuatan pidana atas unndang-undang ini sangat diperlukan

sehingga tidak lagi menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda

antara sesama aparat penegak hukum, di samping itu seharusnya

rumusan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya tidak dirumuskan secara materiil karena sulit

pembuktiaannya, tetapi dirumuskan secara formil agar mudah

proses pembuktiannya dan tidak diperlukan biaya yang mahal.

Untuk membuktikan suatu akibat kerusakan atas sumber daya alam

khususnya di perairan laut dibutuhkan waktu yang relatif lama dan

biaya yang mahal.

Paul dan Dias dalam Esmi Warassih mengajukan 5 (lima)

syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum,

yaitu :

1. Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk

diungkap dan dipahami.

2. Luas tidaknya kalangan dalam masyarakat yang mengetahui isi

aturan-aturan hukum yang bersangkutan.

3. Efisiensi dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum.

4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya

mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat,

melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan

sengketa-sengketa.

5. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan

warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 187: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

170

hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang

efektif.189

Hukum agar efektif paling tidak harus memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut :

1. Undang-undang dirancang dengan baik; kaidahnya jelas,

mudah dipahami, dan penuh kepastian;

2. Undang-undang sebaiknya bersifat melarang (prohibitur) dan

bukan mengharuskan/membolehkan (mandatur);

3. Sanksi haruslah tepat dan sesuai tujuan / sifat undang-udang

itu;

4. Beratnya sanksi tidak boleh berlebihan (sebanding) dengan

macam pelanggarannya;

5. Mengatur terhadap perbuatan yang mudah dilihat (lahiriah);

6. Mengandung larangan yang berkesesuaian dengan moral;

7. Pelaksana hukum menjalankan tugasnya dengan baik;

menyebarluaskan UU, penafsiran seragam, dan konsisten.190

Perumusan tindak pidana dalam Undang-Undang No. 5 Tahun

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya diawali dengan kata-kata “Barang siapa” yang

menunjuk pada pengertian “orang”. Dalam undang-undang ini tidak

mengatur pertanggungjawaban badan hukum atau korporasi

sehingga dalam penegakan hukumnya, korporasi atau badan hukum

tidak dapat dijerat. Kenyataan dilapangan tidak jarang pelaku adalah

orang kecil yang merupakan suruhan pemodal atau

pengusaha/perusahan, tetapi karena undang-undang ini tidak

mengaturnya maka penegakan hukum di bidang konservasi sumber

daya alam hayati dan ekosistemnya tidak menyelesaikan akar

masalah sesungguhnya yaitu pemodal/perusahan yang nakal,

189 Esmi Warassih, Op.Cit, hlm. 105

190 Mohammad Jamin, Kesadaran Hukum dan Penegakan Hukum, Bahan Materi Kuliah Sosiologi Hukum, pada Program Magister Ilmu Hukum UNS, Surakarta, 2011.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 188: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

171

masyarakat kecil selalu menjadi korban. Hasil penelitian dilapangan

menunjukkan bahwa para pelaku penangkap ikan hidup yang

menggunakan alat bantu potassium cyanida/racun adalah nelayan

yang dimodali oleh perusahan penampung ikan hidup yang

berkedudukan di Pulau Wangi-Wangi dan di Denpasar Bali.

Oleh karena itu dalam rangka kajian perbaikan/revisi Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya, patut untuk dipertimbangkan

dimasukannya sistem pertanggungjawaban pidana terhadap

korporasi/badan hukum.

Menurut konsep/teori Roling, korporasi dapat dianggap sebagai

pelaku tindak pidana apabila perbuatan yang terlarang dilakukan

dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau untuk mencapai tujuan-

tujuan badan hukum tersebut. 191 Ada tiga kemungkinan

pertanggungjawaban dari kejahatan korporasi : (1) orang yang

bersalah dalam tindak pidana tersebut, sesuai dengan ajaran

kesalahan dalam hukum pidana yakni asas tiada pidana tanpa

kesalahan. Yang mempertanggungjawabkan tersebut dicari orang

yang bersalah, (2) Korporasinya yang dipertanggungjawabkan,

berdasarkan ajaran strict liability. Disini tidak perlu memperhatikan

bentuk kesalahan kesengajaan atau kelalaian. (3) baik orangnya

maupun perusahaannya. Orang yang bersalah dimungkinkan

dipertanggungjawabkan dan dipidana sesuai dengan Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan perusahaannya dikenal

kewajiban pengganti kerugian.192

Selain itu dilihat dari jumlah dan sistem perumusan sanksi

pidana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih terdapat

kelemahan dalam hal belum ditetapkannya jumlah sanksi minimal

191 Hartiwiningsih, Op.Cit, hlm. 304 192 Supanto,Op.Cit, hlm. 260

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 189: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

172

khusus dalam setiap rumusan tindak pidana, hal ini mengakibatkan

kasus-kasus di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya yang sudah dapat dikategorikan sebagai kejahatan,

karena unsur-unsur pidananya sudah terpenuhi, diputus dengan

sanksi yang ringan, yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat

dan pelestarian sumber daya alam hayati. Jika dilihat dari ancaman

sanksi maksimalnya 10 (sepuluh) tahun denda Rp. 200.000.000,-

(dua ratus juta rupiah) dan 5 (lima) tahun, denda Rp.100.000.000,-

(seratus juta rupiah), untuk kategori kejahatan. Tidak adanya sistem

perumusan sanksi minimum khusus mengakibatkan penjatuhan

putusan pidana yang terlalu rendah/ringan.

Ini dapat dilihat dari 2 (dua) kasus tindak pidana yang terjadi di

Taman Nasional Wakatobi dijerat dengan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya divonis oleh pengadilan Negeri Bau-Bau yakni kasus

penangkapan/peredaran satwa yang dilindungi (penyu), pelaku

hanya di vonis 10 (sepuluh) bulan penjara dan denda Rp.500.000,-

(lima ratus ribu rupiah) dan kasus pelanggaran zona inti taman

nasional, pelaku hanya di vonis 5 (lima) bulan penjara.

Kasus- kasus tindak pidana lainnya di Taman Nasional

Wakatobi yang vonis di pengadilan dengan

menggunakan/menerapkan undang-undang lain selain Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya, yaitu :

1) kasus penangkapan ikan dengan bahan peledak (16 kasus)

paling lama pelaku di vonis 1 (satu) tahun 8 (delapan) bulan

yang dijerat dengan UU No.12/drt/1951 tentang Kepemilikan

Senjata Api dengan ancaman hukuman maksimal 20 (dua

puluh) tahun penjara;

2) penggunaan potassium cyanida/ racun (2 kasus) vonis pelaku

paling lama 7 (tujuh) bulan denda Rp. 200.000,-(dua ratus

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 190: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

173

ribu) subs 1 (satu) bulan kurungan dijerat dengan Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan

ancaman hukuman maksimal 6 (enam) tahun penjara dan

denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,- (satu milyar dua

ratus juta rupiah); dan

3) kasus penebangan hutan mangrove ( 1 kasus), pelaku hanya

divonis 4 (empat) bulan 15 (lima belas) hari penjara , dijerat

dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

kehutanan dengan ancaman hukum penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,-

(lima milyar rupiah).193

Dari data tersebut diatas jelas bahwa sanksi yang dijatuhkan

terhadap pelaku tidak dapat memberikan efek jera bagi pelaku,

kepentingan konservasi/pelestarian keanekaragaman sumber daya

alam hayati dan keadilan bagi masyarakat. oleh karena itu ke depan

kebijakan perumusan ancaman sanksi pidana penjara maupun denda

harus disebutkan batas minimalnya dan batas maksimalnya, dengan

cara merumuskan ancaman sanksi minimal dan maksimal dalam

setiap rumusan tindak pidana, agar penegak hukum menpunyai

petunjuk yang pasti dan menghindari adanya disparitas pidanayang

sangat mencolok.

Dianutnya pidana minimum khusus ini menurut Barda

Nawawi Arief yang dikutip oleh Hartiwiningsih di dasarkan pada

pokok pikiran :

1. guna menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang secara hakiki berbeda kualitasnya.

2. Untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi general, khususnya bagi delik-delik yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat.

193 Data Olahan matriks penanganan kasus perkara tindak pidana di bidang KSDA & E

Balai Taman Nasional Wakatobi Tahun 2011

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 191: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

174

3. dianalogkan dengan pemikiran, bahwa apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana (umum maupun khusus) dapat diperberat, maka minimum pidanapun hendaknya dapat diperberat dalam hal-hal tertentu.194

2) Faktor aparat penegak hukum

Menurut Soerjono Soekanto; ruang lingkup dan istilah

penegak hukum adalah luas sekali, mencakup tugas di bidang

kepolisian, kejaksaan, kehakiman (peradilan) dan

pemasyarakatan.195 Menurut Moh. Hatta, istilah penegak hukum

yang sebenarnya merupakan terjemahan dari law enforcement

officer yang dalam arti sempit hanya polisi tetapi dapat juga jaksa.

Namun di Indonesia biasanya diperluas pula dengan hakim dan ada

kecenderungan kuat memasukan pula dalam pengertian para

advokat (pengacara).196

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aparat penegak hukum

merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kelemahan

penegakan hukum pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi meliputi

faktor-faktor : jumlah/kuantitas penegak hukum yang kurang,

kewenangan yang terbatas yang dimiliki oleh Polhut dan PPNS,

perbedaan persepsi antar penegak hukum dalam penerapan undang-

undang, kurangnya koordinasi dan rendahnya kualitas pemahaman

aparat penegak hukum dalam penerapan undang-undang Nomor 5

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya.

Dilihat dari segi kuantitas aparat penegak hukum di Balai

Taman Nasional Wakatobi khususnya Polisi kehutanan dan PPNS,

data yang ada jumlah keduanya sangat minim dan sangat tidak

194 Hartiwiningsih, Op.Cit, hlm 128 195 Moh. Hatta, Menyongsong Penegakan Hukum Responsif, Sistem Peradilan Pidana

terpadu (Dalam Konsepsi dan Implementasi Kapita Selekta). Galangpress, Yogyakarta, 2008, hlm. 44

196 Loc.Cit

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 192: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

175

sesuai dengan luas kawasan Taman Nasional Wakatobi seluas

1.390.000, ha yang harus di jaga. Sesuai dengan data kebutuhan

formasi pegawai di Balai Taman Nasional Wakatobi Tahun 2011

untuk tenaga Polisi Kehutanan seharusnya sejumlah 50 (lima puluh)

orang untuk menjaga kawasan Taman Nasional Wakatobi seluas

1.390.000,ha.

Belum ada studi atau pernyataan tentang rata – rata yang ideal

seorang Polhut harus menjaga berapa luas kawasan konservasi.

Sesuai formasi usulan pada Kantor Balai Taman Nasional Wakatobi

Jumlah Polhut yang mestinya di Taman Nasional Wakatobi adalah

50 (lima puluh) orang, jika dibandingkan dengan jumlah polhut

yang ada sekarang di Taman Nasional hanya berjumlah 21 (dua

puluh satu ) orang , yang berarti masih memerlukan tenaga Polisi

Kehutanan sejumlah 29 (dua puluh Sembilan ) orang lagi sehingga

sebanding dengan luas kawasan Taman Nasional Wakatobi

Maka wajar apabila penegakan hukum di bidang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional

Wakatobi belum berjalan sesuai yang diharapkan. Bagaimanapun

kuantitas/kecukupan dan kualitas sumber daya manusia memiliki

peranan penting bagi berhasilnya penegakan hukum. Tanpa

didukung kualitas dan kuantitas, komitmen akan tegaknya keadilan,

kesiapan aparat penegak hukum dalam penanganan masalah

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, mustahil

terwujud.

Dari sisi kualitas aparat penegak hukum di Balai Taman

Nasional Wakatobi khususnya Polhut hampir rata-rata berijasah

sekolah Menengah Atas (SMA). PPNS kehutanan yang ada belum

memiliki keberanian untuk melakukan tugas penyidikan karena

keterbatasan kemanpuan yang ada. Maka tidak heran kalau selama

ini proses penanganan perkara pidana yang terjadi masih di

serahkan langsung ke Penyidik Polri

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 193: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

176

Keberhasilan penegakan hukum pidana di bidang konservasi

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tidak hanya ditentukan

oleh tercukupinya kualitas dan kuantitas dari aparat penegak hukum

baik itu hakim, jaksa, polisi, PPNS dan atau Polisi Kehutanan saja,

tetapi juga sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas dari

peraturan perundangan di bidang konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya yang tersedia. Kewenangan yang terbatas

diberikan oleh undang-undang bagi Polisi Kehutanan (Polhut) dan

PPNS Kehutanan dalam pelaksanan tugas perlindungan dan

pengamanan kawasan konservasi dirasakan merupakan sebagai

penghambat dalam pencapaian keberhasilan penegakan hukum

tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi.

Polisi Kehutanan dan PPNS Kehutanan memiliki kewenangan

untuk menegakan hukum hanya terbatas pada ketentuan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kawasan Taman Nasional

Wakatobi adalah kawasan perairan laut dimana tindak pidana yang

sering terjadi lebih menjurus pada perbuatan atau tindak pidana di

bidang perikanan dan lingkungan hidup, seperti kegiatan perikanan

tanpa izin, penangkapan ikan dengan alat yang merusak seperti

Bom/bahan peledak, racun/potassium cyanida, penggunaan alat

bantu kompresor, penambangan batu karang dan pengambilan pasir

pantai. Keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh Polhut dan

PPNS kehutanan menyebabkan tidak optimalnya penanganan

kasus-kasus tersebut diatas. Disamping itu instansi terkait seperti

Dinas Kelautan dan Perikanan dan Kepolisian menganggap

penanganan kasus-kasus tersebut menjadi tanggungjawab Balai

Taman Nasional Wakatobi selaku pengelola kawasan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 194: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

177

Polisi kehutanan merupakan pejabat yang bertugas

mengembang fungsi kepolisian khusus tetapi hanya memiliki

kewenangan untuk melakukan kegiatan atau tindakan

preventif/pencegahan yaitu melalui kegiatan patroli pengamanan

kawasan dan penyuluhan ke masyarakat. Polisi kehutanan tidak

memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan penangkapan

kecuali tertangkap tangan, menahan, menyita atau melakukan

tindakan lain sesuai hukum yang bertanggungjawab seperti

penyelidik Polri, petugas pengawas perikanan atau petugas bea

cukai. Polisi Kehutanan ketika menemukan kejadian perkara pidana

maka segera melaporkan dan menyerahkan kasus perkara kepada

aparat berwenang khusus ke Kepolisian. Banyak kasus perkara

pidana perikanan yang terjadi di kawasan Taman Nasional

Wakatobi baik yang diserahkan ke Dinas Perikanan Kabupaten

Wakatobi maupun Ke pihak Kepolisian yang tidak jelas

penanganannya. Kondisi ini yang merupakan salah satu tidak

optimalnya penegakan hukum di Taman Nasional Wakatobi.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor

yang menpengaruhi lemahnya penegakan hukum di bidang

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman

Nasional Wakatobi terkait dengan unsur aparat penegak hukum

sendiri adalah :

1. Kuantintas aparat; ketersedian/kecukupan aparat/personil

penegak hukum di bidang konservasi sumber daya alam hayati

dan ekosistem sangat mempengaruhi dalam hal pencegahan

terjadi tindak pidana dan optimalisasi pelaksanaan tugas

dilapangan. Jumlah aparat Polisi Kehutanan Balai Taman

Nasional Wakatobi tidak sebanding dengan luas kawasan TNW

yang harus di jaga, menyebabkan pengawasan dan pengamanan

kawasan TNW tidak optimal;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 195: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

178

2. Kualitas aparat; rendah kualitas aparat PPNS Kehutanan Balai

Taman Nasional Wakatobi dalam hal penyidikan tindak pidana

di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya menyebabkan beberapa kasus pidana yang terjadi

tidak dapat dilanjutkan proses hukumnya dan sebagian lagi

diserahkan ke penyidik Polri. Disamping itu juga kenyataan

dilapangan menunjukkan bahwa aparat penegak hukum baik

PPNS maupun Polri, penuntut umum dan hakim yang

memahami ketentuan atau peraturan tentang Konservasi

sumber daya alam hayati dan ekosistemnnya kemanpuannya

masih terbatas. Karena itu perlu mendidik dan mengangkat

tenaga-tenaga yang professional aparat penegak hukum yang

memiliki kemanpuan di bidang konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya dan penegakan hukum sehingga

diharapkan nantinya mereka akan manpu menangani kasus-

kasus tindak pidana khususnya di bidang konservasi sumber

daya alam hayati dan ekosistemnya;

3. Pelaksanaan koordinasi antar penegak hukum; koordinasi yang

kurang antar sesama penegak hukum dan instansi teknis

menyebabkan pelaksanaan penegakan hukum dilapangan tidak

efektif hal ini karena ada perbedaan pemahaman antar sesama

penegak hukum. Oleh karena itu pelaksanaan koordinasi antar

sesama penegak hukum (Penyidik/PPNS, Penuntut umum dan

Hakim) mutlak diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan

penegakan hukum khususnya di bidang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

4. Kewenangan aparat penegak hukum yang terbatas; sesuai

dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,

Polisi Kehutanan dan PPNS Kehutanan adalah garda terdepan

dalam rangka penegakan hukum tindak pidana di bidang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 196: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

179

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, tetapi

dalam hal kewenangan penegakan hukum sangat terbatas.

Polisi Kehutanan walaupun memiliki tugas seperti penyelidik

Polri tetapi tidak memiliki kewenanangan seperti penyelidik

Polri, yang memiliki kewenangan menangkap atas perintah

penyidik dan melakukan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggungjawab. Polisi Kehutanan hanya diberi

mandat/kewenanganan oleh undang-undang untuk menegakkan

hukum khusus Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Di

Taman Nasional Wakatobi, tindak pidana yang terjadi yang

berdampak pada kerusakan potensi sumber daya alam hayati

dan ekosistemnya, umumnya merupakan tindak pidana di

bidang Perikanan dan Lingkungan Hidup, di sisi lain Polisi

Kehutanan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan

penegakan hukum di bidang tersebut.

Dalam hal penyidikan tindak pidana di bidang konservasi

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sesuai dengan amanat

undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PPNS Kehutanan diberikan

kewenangan khusus untuk melakukan tugas penyidikan. Setiap

memulai penyidikan PPNS Kehutanan wajib memberitahukan

dimulainya penyidikan ke pada penyidik Polri dan hasil penyidikan

di serahkan kepada penutut umum melalui pejabat penyidik Polri.197

Keberadaan penyidik pegawai negeri sipil dalam sistem

peradilan pidana berada dalam satu komponen yang sama dengan

penyidik Polisi Republik Indonesia (Polri). Ini diperkuat dengan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.

197 Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya, Pasal 39 ayat (4)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 197: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

180

Dalam undang-undang ini disebutkan Polri melakukan koordinasi,

pengawasan dan pembinaan teknis terhadap PPNS. Didalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,

keberadaan PPNS di atur dalam pasal 6 ayat (1) huruf b, pasal 7

ayat (2), pasal 107 dan pasal 109 KUHAP.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

KUHAP, PPNS bekerja sesuai dengan kewenangan yang diberikan

oleh undang-undang yang merupakan lingkup tugasnya.198 PPNS

Kehutanan yang diberi kewenangan khusus melakukan tugas

penyidikan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya adalah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya , memiliki kewenangan yang sangat terbatas. PPNS

kehutanan dalam penegakan hukum tindak pidana di bidang

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya memiliki

kewenangan sangat terbatas tidak sama dengan kewenangan yang

dimiliki oleh penyidik Polri. PPNS Kehutanan tidak memiliki

kewenangan menangkap, menahan pelaku tindak pidana atau

melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab

seperti penyidik Polri. PPNS Kehutanan didalam melaksanakan

tugas penyidikan berada di bawah koordinasi dan pengawasan

pejabat penyidik Polri termasuk dalam hal menangkap dan menahan

pelaku tindak pidana harus meminta bantuan dari pejabat penyidik

Polri karena PPNS Kehutanan tidak memiliki kewenangan.

Di samping itu , PPNS Kehutanan juga tidak memiliki

kewenangan untuk melakukan penyidikan pada tindak pidana pada

bidang yang lain seperti tindak pidana perikanan atau lingkungan

hidup. Kewenangan PPNS Kehutanan sesuai dengan undang-

undang hanya memiliki kewenangan menegakkan hukum khusus

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

198 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 7 ayat (2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 198: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

181

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jika di lihat lebih dalam

kewenangan PPNS Kehutanan dalam 2 (dua) undang-undang

tersebut di atas tidak mengadopsi ketentuan-ketentuan dasar

kewenangan penyidik sesuai KUHAP yang menyebabkan

ketidakmandirian PPNS dalam melaksanakan tugas penyidikan.

Keterbatasan kewenangan PPNS Kehutanan dalam hal penyidikan

tindak pidana khususnya di bidang konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya merupakan salah satu faktor kelemahan

penegakan hukum tindak pidana di konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi.

Untuk mengoptimalkan tugas dan fungsi Polisi Kehutanan dan

PPNS Kehutanan dalam penegakan hukum tindak pidana di bidang

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya maka perlu

adanya perubahan ketentuan undang-undang untuk memberikan

kewenangan khusus bagi Polisi Kehutanan dan PPNS sebagai

penyelidik dan penyidik khusus di bidang konservasi sumber daya

alam hayati dan ekosistemnya sama seperti kewenangan yang di

miliki Pejabat penyidik Kepolisian RI atau seperti kewenangan

yang dimiliki oleh pejabat PPNS Bea Cukai Kementerian Keuangan

RI.

Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Sudarto bahwa, dalam

menghadapi masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang

pada intinya sebagai berikut :

1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan

pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil

dan makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan

Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum

pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan

mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan

itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 199: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

182

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi

dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak

dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian

(materiil dan/atau spiritual) atas warga masyarakat;

3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan

prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle);

4. Penggunaan hukum pidana harus pula memerhatikan kapasitas

atau kemanpuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum,

yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas

(overbelasting). 199

3) Faktor sarana prasarana/fasilitas pendukung

Tanpa adanya sarana atau fasilitas pendukung tidak mungkin

penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan

peranan yang aktual. Faktor sarana prasarana atau fasilitas

pendukung dalam penegakan hukum tindak pidana di bidang

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sangat

dibutuhkan untuk pencapaian keberhasilan penegakan hukum.

Ruang lingkupnya adalah terutama sarana fisik yang berfungsi

sebagai faktor pendukung. Taman Nasional Wakatobi merupakan

kawasan perairan laut yang cukup luas sehingga sangat dibutuhkan

dukungan sarana prasarana khususnya sarana prasarana di laut.

Sarana prasarana yang dimaksud meliputi, Kapal laut, speed boat,

senjata api, Global Position System (GPS), kompas, bahan bakar

yang harus memadai, radio pantai, pos jaga, alat tulis kantor (ATK),

dan lain-lain. Disamping itu proses penegakan hukum di laut

memerlukan dukungan biaya yang tinggi, pengguasaan teknologi

konservasi kelautan dan dukungan kemanpuan sumber daya

manusia di bidang konservasi kelautan.

199 Barda Nawawi Arief,Op.Cit. hlm. 31

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 200: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

183

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor sarana atau

fasilitas pendukung pelaksanaan tugas penegakan hukum

dilapangan juga menyebabkan faktor yang mempengaruhi

lemahnya pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana di bidang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman

Nasional Wakatobi meliputi, kurang ketersediaan operasional

kenderaan patroli, pembiayaan yang tinggi, kurangnya sumber daya

manusia yang terampil dalam pemeliharaan dan perbaikan kendraan

operasional patroli dan manajemen pengelolaan sarana prasarana

yang kurang baik.

Sarana prasarana merupakan elemen penting dalam upaya

penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang konservasi

sumber daya alam hayati dan ekosistemnnya, oleh karena itu

penyiapan sarana prasarana yang memadai termasuk dukungan

biaya operasional dilapangan serta ketersediaan kualitas sumber

daya manusia yang menjalankannya sangat diperlukan guna

pencapaian keberhasilan penegakan hukum khususnya di bidang

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman

Nasional Wakatobi. Oleh karena itu terkait dengan permasalahn di

atas penulis merumuskan bahwa untuk mengoptimalkan

penggunaan sarana atau fasilitas pendukung tugas penegakan

hukum maka pihak Balai Taman Nasional Wakatobi harus

melakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum harus

dipisahkan dari penggunaan kepentingan lainnya dengan

kondisi yang siap pakai;

b. Penyiapan tenaga sumber daya manusia yang berpendidikan

dan terampil untuk menggunakan dan perawatan sarana atau

fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 201: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

184

c. Penyedian dana operasional/bahan bakar sarana yang

memadai atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum di

setiap SPTN;

d. Adanya standar prosedur operasional penggunaan sarana atau

fasilitas yang mendukung penegakan hukum di setiap SPTN;

e. Dibentuk unit pengelola sarana atau fasilitas yang mendukung

penegakan hukum di tingkat UPT Balai dan SPTN

Soerjono Soekanto mengatakan bahwa terkait sarana atau

fasilitas pendukung dalam penegakan hukum sebaiknya dianut jalan

pikiran sebagai berikut :

a. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul;

b. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan;

c. Yang kurang – ditambah;

d. Yang macet-dilancarkan;

e. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.200

f. Faktor masyarakat

Faktor masyarakat sebagai salah satu faktor yang

mengefektifkan suatu peraturan atau hukum adalah berhubungan

dengan kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-

undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana

dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap

hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang

bersangkutan

Masyarakat merupakan pihak yang secara langsung terkena

dampak atas lahirnya suatu peraturan perundangan, karena itu faktor

ketaatan/kepatuhan masyarakat sangat menentukan berhasil

tidaknya suatu peraturan/hukum diterapkan oleh aparat penegak

hukum.

200 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm. 44

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 202: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

185

Pelaksanaan hukum akan berjalan dengan baik sebagaimana

yang diharapkan apabila masyarakat memiliki tingkat kesadaran

hukum yang tinggi. Kesadaran tersebut dapat dimanisfestasikan

dalam bentuk pemahaman, kepatuhan (sikap) dan perbuatan atau

perilaku hukum dalam berbagai aktifitas kehidupan sehari-hari.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang terkait

dengan masyarakat terhadap lemahnya penegakan hukum tindak

pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi terkait unsur

masyarakat adalah disebabkan oleh beberapa hal meliputi : faktor

kemiskinan, pemahaman dan pengetahuan yang rendah,

keterbatasan sarana usaha bagi nelayan, kebiasaan turun temurun

dalam hal kegiatan penangkapan ikan di perairan kepulauan

Wakatobi tidak mengenal adanya sistem zonasi dan pengaruh

godaan//pengaruh pengusaha dari luar wakatobi dengan pemberian

fasilitas-fasilitas tertentu.

Sesuai dengan data penelitian bahwa para pelaku tindak

pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi waktu 2000 s.d 2011,

dari 34 kasus yang terjadi 15 kasus atau 44,11 persen berasal dari

masyarakat/nelayan lokal wakatobi khususnya masyarakat suku

bajau Mola dan 12 kasus atau 35,30 persen berasal dari nelayan luar

Wakatobi. Ini tentunya menjadi permasalahan yang sangat serius

yang harus diperhatikan oleh pihak pengelola taman nasional.

Pertanyaannya adalah mengapa orang bajo sebagian masyarakatnya

adalah pelaku atau mantan pelaku tindak pidana di bidang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya .

Menurut Hartiwiningsih, menyatakan:

“Keterbatasan tingkat dan kualitas kesadaran hukum masyarakat antara lain disebabkan tidak/kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang sejauhmana pengaruh dan akibat aktivitas yang dilakukannya terhadap lingkungan. Misalnya ia tidak mengetahui

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 203: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

186

bahwa menangkap ikan dengan bom dapat menghancurkan tatanan ekosistem perairan pantai, yakni karena musnahnya biota laut/pantai dan terumbu karang.”201

Selanjutnya beliau menyatakan :

Penegakan hukum tidak dapat dipisahkan dari upaya pembinaan ketaatan terhadap ketentuan hukum yang berlaku karena penegakan hukum mengandung pengertian juga terhadap kegiatan penyuluhan, pembinaan teknis, pemberian penghargaan dan berbagai bentuk insentif, pengawasan, pemantauan, penindakan sampai kepada penjatuhan sanksi-sanksi hukum baik administrasi dan atau pidana dan atau perdata.202

Hasil studi persepsi yang dilakukan Vaclavikova,M,

Vaclavik, T. & Kostkan, V. di negara Republik Ceko tentang

persepsi para pemangku kepentingan mengenai perlindungan satwa

berang-berang (L.lutra) dengan kepentingan nelayan, yang ditulis

dalam sebuah jurnal yang berjudul “Otters vs. fishermen:

Stakeholders' perceptions of otter predation and damage

compensation in the Czech Republic.” mengindentifikasi bahwa:

“ konflik yang terjadi disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara nelayan dan conservasionis/penggiat serta rendahnya pengetahuan nelayan yang berdampak pada ancaman bahaya kelestarian berang-berang. Rekomendasi hasil studi mereka adalah upaya konservasi atau perlindungan berang-berang di Republik Ceko bahwa daerah dimana upaya perencanaan konservasi dilakukan harus mempertimbangkan kepentingan nelayan kecil, menyusun target kampanye kesadaran lingkungan, penyedian informasi tentang langkah-langkah yang efektif untuk mencegah kerusakan/kepunahan berang-berang. Selain itu dialog yang konstruktif antara kedua kelompok stakeholder (nelayan dan para penggiat konservasi) harus dimulai, dalam rangka meningkatkan saling percaya dan pertukaran informasi. Memahami persepsi stakeholder 'manusia-satwa liar isu dan keterlibatan pemangku kepentingan

201 Hartiwiningsih, Op.Cit, hlm. 77 202 Ibid, hlm.79

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 204: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

187

dalam proses konservasi adalah penting untuk pembangunan masa depan dan perbaikan kebijakan difokuskan pada rekonsiliasi konflik antara kegiatan manusia dan spesies dilindungi”

(We demonstrated how a social perspective can be applied to provide insights into stakeholders’ attitudes towards the overall strategy and effectiveness of otter–fishermen conflict mitigation. We identified serious deficiencies in (i) the communication between fishermen and conservationists, and (ii) the knowledge and utilisation of the current damage compensation scheme, which hinder the conflict reconciliation. Our results show prevailing gaps in the conservation of L. lutra in the Czech Republic and suggest the areas into which the efforts of conservation planning, public relations, and environmental awareness campaigns should be targeted. Both conservationists and fishermen (especially small fish farmers) must be provided with resources and detailed information about preventive measures to effectively avert otter damages. In addition, a constructive dialogue between both groups of stakeholders needs to be initiated, in order to increase mutual trust and information exchange. Understanding stakeholders’ perceptions of human–wildlife issues and involvement of stakeholders in the conservation process is essential to future development and improvement of reconciliation policies focused on conflicts between human activities and protected species).203

Dari penjelasan teori diatas penulis berkesimpulan bahwa

upayakan peningkatan kesadaran hukum masyarakat melalui

kampanye/sosialisasi dan membangun dialog dengan para

pemangku kepentingan tentang pengelolaan Taman Nasional

Wakatobi dalam rangka pelestarian sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya serta upaya peningkatan ketaataan terhadap peraturan

di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,

perlu terus-menerus ditingkatkan khusunya terhadap masyarakat,

disamping itu pemberian sanksi yang tegas, baik itu pengusaha,

203 Vaclavikova, M., Vaclavik, T. & Kostkan, V. (2011): Otters vs. fishermen: Stakeholders'

perceptions of otter predation and damage compensation in the Czech Republic. Journal for Nature Conservation 19(2): 95-102, hlm.100

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 205: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

188

pejabat, aparat penegak hukum maupun masyarakat harus benar-

benar diterapkan dalam kerangka membangun kepercayaan

masyarakat terhadap aparat penegak hukum dalam penegakan

hukum atas Undang-Undang khususnya Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya Di samping itu upaya pengentasan kemiskinan

melalui program pemberdayaan masyarakat harus dilaksanakan di

komunitas Bajo sehingga mereka mengelola usaha ekonomi dan

memiliki pendapatan dari usaha yang legal.

g. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai

yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan

konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik

(sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga

dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-

nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus

diserasikan.

Menurut Moh. Koesnoe :

“Hukum adat merupakan hukum kebiasaan yang berlaku dikalangan

rakyat terbanyak. Disamping itu, berlaku pula hukum tertulis

(perundang-undangan) yang timbul dari golongan tertentu dalam

masyarakat yang menpunyai kekuasaan dan wewenang resmi.

Hukum perundang-undangan tersebut harus mencerminkan nilai-

nilai yang menjadi dasar dari hukum adat supaya hukum perundang-

undangan tersebut dapat berlaku efektif.”204

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor kebudayan yang

terkait dengan faktor yang mempengaruhi lemahnya penegakan

hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam

204 Soerjono Soekanto,Op.Cit, hlm.65

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 206: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

189

Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi, meliputi

nilai-nilai konservasi yang dianut atau prinsip yang berbeda antara

masyarakat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

faktor rendahnya pemahaman dan pengetahuan tentang pelestarian

sumber daya alam, kewenangan pengelolaan sumber daya perairan

laut beralih dari masyarakat dengan hukum adat menjadi

sepenuhnya kewenangan pemerintah, dan kemajuan teknologi.

Nilai-nilai konservasi yang dianut oleh masyarakat Wakatobi

dalam hal pemanfaatan perairan laut khususnya dalam penangkapan

ikan sebenarnya sudah ada sejak jaman kesultanan Buton, yang

dikenal dengan istilah pengelolaan sara kadie . Jika dirunut secara

kronologis kurangnya kepatuhan hukum masyarakat dalam hal

pemanfaatan sumberdaya diperairan laut khususnya Kepulauan

Wakatobi, merupakan akibat dari perubahan pengelolaan

sumbedaya laut dari sistem tradisional menjadi sistem formal

ditandai berakhirnya sistem sara di tahun 1960 (bubarnya

Kesultanan Buton) sampai berlakunya penyeragaman pemerintahan

lokal menjadi desa melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1979.

Dalam masa transisi dari kuasa adat ke desa (baca : negara),

pemerintah menetapkan Kepulauan Wakatobi sebagai taman

nasional laut, sebuah instrumen baru yang secara langsung

bersentuhan dengan perihal pengelolaan sumberdaya alam.

Pengelolaan sumberdaya laut melalui sistem formal menyulitkan

proses adaptasi masyarakat yang sudah terbiasa mengelola

sumberdaya laut berdasarkan pengetahuan tradisional yang

dipelajari secara turun-temurun. Sistem baru berada di luar

pengalaman, pengetahuan, kuasa dan sejarah hidup masyarakat

Wakatobi.205

205 Saleh Hanan, Kajian Strategi Pengelolaan Sumberdaya Laut oleh Masyarakat Adat

dalam Kawasan Taman Nasional Wakatobi, Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 207: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

190

Pengaturan pengelolaan sumberdaya alam diperairan Wakatobi

dengan sistem zonasi yang berimplikasi pada perbuatan pidana

ketika ada pemanfaatan yang tidak sesuai dengan fungsi zonasi

adalah merupakan hal baru bagi masyarakat. Masyarakat hanya

mengenal perbuatan-perbuatan yang tidak boleh antara lain:

melakukan penangkapan ikan dengan bom, bius atau racun

sejenisnya. Bagi masyarakat Wakatobi usaha budidaya rumput laut,

menangkap ikan boleh diseluruh perairan wakatobi kecuali dengan

menggunakan bahan-bahan seperti tersebut diatas, konsep zonasi

dalam prakteknya masih menyulitkan masyarakat setempat, di

samping itu secara fisik dilapangan tanda-tanda tersebut tidak

nampak sehingga membingungkan nelayan ketika melakukan

kegiatan penangkapan ikan .

Konsep pengelolaan kawasan konservasi khususnya Taman

Nasional di Indonesia sebagian besar mengadopsi panduan IUCN (

the International Union for Conservation of Nature and Natural

Resources) tentang kawasan kawan yang dilindungi. Kategorisasi

Kawasan Konservasi IUCN ini lalu diadopsi di dalam Undang-

Undang 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya, walau tidak seutuhnya. Hanya sayangnya

konsep IUCN dalam membangun Kawasan Konservasi lebih banyak

mengadopsi situasi di negara maju sehingga tidak sepenuhnya co-

cok untuk negara berkembang seperti Indonesia.206

Oleh karena itu, perlu dilakukan inventarisasi, penggalian

gagasan ide-ide lokal, kebiasaan masyarakat dalam melakukan

pemanfaatan wilayah laut yang mendukung upaya konservasi.

Pengelolaan kawasan konservasi laut harus dikaji dengan

gelar Magister pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2010, hlm 2-3

206 Pokja Kebijakan Konservasi,Op.Cit, hlm. 38

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 208: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

191

pendekatan berbagai aspek meliputi budaya masyarakat Indonesia,

hasil-hasil kajian ilmiah atau penelitian ilmiah. Dan aspirasi

masyarakat setempat

2. Upaya Non Penal (Tanpa Pidana) yang seharusnya dilakukan dalam Menanggulangi Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa upaya penanggulangan

tindak pidana melalui pendekatan/jalur non penal (pencegahan tanpa

pidana) di Taman Nasional Wakatobi telah dilakukan oleh pihak

pengelola atau Balai Taman Nasional Wakatobi meliputi : pelaksanaan

patroli rutin pengamanan kawasan, kegiatan penyuluhan dan sosialisasi

pengelolaan , pemberdayaan masyarakat, pembentukan kader

konservasi dan kelompok pencinta alam , termasuk pembentukan forum

nelayan di tingkat pulau sebagai salah satu model pendekatan dalam

upaya pencegahan kejahatan di bidang konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya serta upaya peningkatan peran dan partisipasi

masyarakat dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi.

Berdasarkan hasil penelitian dilapangan menunjukkan bahwa

upaya penanggulangan tindak pidana melalui jalur non penal tersebut

sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh

beberapa hal sebagai berikut :

1) Frekuensi patroli rutin yang dilaksanakan oleh Polisi Kehutanan di

setiap SPTN (Seksi Pengelolaan Taman Nasional) sangat kurang

dikarenakan kurangnya ketersedian bahan bakar kenderaan kapal

laut atau speed boat dan faktor kerusakan armada speed boat atau

kapal patroli;

2) Perencanaan kegiatan patroli rutin belum direncanakan dengan

baik. Target patroli rutin pengamanan kawasan di masing-masing

SPTN belum dirumuskan dengan jelas sehingga tujuan pencegahan

tindak pidana belum optimal dilaksanakan;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 209: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

192

3) Personil Polisi Kehutanan dimasing-masing SPTN sangat minim

dibanding dengan luas kawasan yang harus dijaga tidak seimbang;

4) Target pencapaian tujuan pelaksanaan kegiatan penyuluhan di

masing-masing SPTN belum dirumuskan secara jelas sehingga

kegiatan penyuluhan belum terarah dengan baik hanya merupakan

kegiatan rutinitas belaka;

5) Kegiatan penyuluhan masih sebatas membangun pemahaman

masyarakat tentang konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya serta sosialisasi pengelolaan taman nasional belum

mengarah pada menjawab permasalahan yang muncul di

masyarakat;

6) Sasaran kegiatan penyuluhan belum mengarah kepada para

kelompok sasaran yang tepat;

7) Kuantitas dan Kualitas tenaga penyuluh di Balai Taman Nasional

sangat minim;

8) Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat melalui

pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) belum berhasil

dikarenakan oleh rendahnya pemahaman dan pengetahuan

masyarakat dalam mengembangkan usaha dan kualitas dan

kuantitas staf pendamping/fasilitator lapangan yang kurang.

9) Minimnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat dalam

pengelolaan usaha ekonomi menyebab program penguatan

ekonomi masyarakat yang di dukung Balai Taman Nasional belum

dapat memberi dampak pada peningkatan kesejahteraan

masyarakat.

10) Dukungan para pihak terkait dalam pengelolaan Taman Nasional

Wakatobi belum sepenuhnya optimal

11) Pembentukan Kader Konservasi dan Kelompok Pencinta alam di

Taman Nasional Wakatobi belum terencana dengan baik sehingga

dirasakan tidak memberikan manfaat yang berarti bagi peningkatan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 210: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

193

pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang konservasi sumber

daya alam hayati dan ekosistemnya.serta

12) Forum nelayan yang dibentuk di setiap pulau dalam rangka

penyiapan masyarakat terhadap rencana pengelolaan kolaborasi

Taman Nasional Wakatobi ke depan yang pernah di gagas oleh

para pihak sampai saat ini tidak dilanjutkan prosesnya, forum ini

belum dapat memberikan kontribusi yang berarti/positif dalam

pengelolaan Taman Nasional Wakatobi.

Berdasarkan hasil analisa uraian kondisi diatas, diperlukan upaya-

upaya perbaikan atas pelaksanaan kegiatan non penal tersebut diatas

sehingga dapat membawa dampak positif bagi pengelolaan Taman

Nasional Wakatobi ke depan.

Upaya penanggulangan tindak pidana lewat jalur “non penal”

lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya tindak pidana,

sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab

terjadinya tindak pidana antara lain berpusat pada masalah-masalah atau

kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat

menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.

Dalam kerangka kebijakan sosial ataupun program pembangunan.

dikenal adanya Crime Prevention Through Enviromental Design, Yang

dimaksudkan termasuk upaya perbaikan lingkungan untuk mengurangi

kesempatan perilaku kejahatan, juga untuk menghapuskan rasa takut

karena kejahatan dan persepsi resiko kejahatan. Ini dilakukan dengan

peningkatan perbaikan kualitas lingkungan dengan pengurangan

kondisi yang tidak baik, peningkatan kehidupan masyarakat yang patuh

hukum, serta dilaksanakan penghapusan lingkungan fisik yang

cenderung mendukung kejahatan. Hal ini tentu tidak lepas dari

pengembangan masyarakat dengan upaya pembangunan dalam segala

aspek. Dengan demikian, tampaklah keterkaitan yang saling

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 211: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

194

mendukung atara upaya penanggulangan kejahatan dengan

pembangunan nasional.207

Berdasarkan kajian teori diatas makan upaya non penal yang

seharusnya dilakukan oleh pihak Balai Taman Nasional adalah

perbaikan kondisi sosial melalui upaya perbaikan taraf hidup,

peningkatan pendapatan dan perbaikan lingkungan sosial melalui

penyuluhan kesadaran hukum khususnya pada kelompok-kelompok

masyarakat yang berpotensi masih melakukan tindak pidana perlu

dilakukan secara intensif. Data yang ada komunitas nelayan Bajo

adalah sangat tepat untuk dilakukan program ini. Di samping itu

kehadiran petugas atau polhut di lingkungan mereka termasuk di lokasi

– lokasi yang rawan terjadinya tindak pidana terutama di perairan

karang dan daerah pesisir sangat diperlukan dalam rangka mencegah

atau membatasi peluang untuk terjadinya tindak pidana

Menurut Sudarto, salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya

patut mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa

masyarakat, baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun

kesehatan/kesejahteraan keluarga ( termasuk masalah kesejahteraan

anak dan remaja) serta masyarakat luas pada umumnya.208 Penggarapan

kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama merupakan upaya

non penal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan.209 Peranan

pendidikan agama dan berbagai bentuk media penyuluhan keagamaan

dalam memperkuat kembali keyakinan dan kemanpuan manusia untuk

mengikuti jalan kebenaran dan kebaikan.210

Pelaksanaan kegiatan penyuluhan bagi masyarakat selama ini yang

dilakukan oleh pihak Balai Taman Nasional masih terbatas pada

sosialisasi undang-undang dan kebijakan pengelolaan Taman Nasional

secara umum, sehingga terkesan merupakan rutinitas belaka yang mana

207 Supanto, Op.Cit, hlm.176 208 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm.46 209 Loc.Cit 210 Ibid, hlm. 47

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 212: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

195

terkadang masyarakat masih sulit untuk memahaminya. Menurut

penulis apa yang ditulis oleh Sudarto di atas patut di pertimbangan.

Pelaksanaan kegiatan penyuluhan dan pendidikan keagamaann bagi

masyarakat sangat penting mengingat semua ajaran agama pada

prinsipnya mengajak orang untuk berbuat atau bertindak benar dalam

menjalani kehidupan.

Selanjutnya Sudarto mengatakan kegiatan razia/operasi yang

dilakukan oleh pihak kepolisian di beberapa tempat tertentu dan

kegiatan yang berorientansi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan

komunikatif edukatif dengan masyarakat, dapat pula dilihat sebagai

upaya non penal yang perlu diefektifkan.211

Kongres PBB ke-6 tahun 1980 di Caracas, Venezuela antara lain

dinyatakan di dalam pertimbangan resolusi mengenai “ Crime tends

and crime prevention strategis”:

1) Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian

kualitas lingkungan hidup yang layak/pantas bagi semua orang;

2) Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada

penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan

kejahatan;

3) Bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak negara ialah

ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional,

standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan

(kebodohan) di antara golongan besar penduduk.212

Kebijakan penanggulangan kejahatan tidak banyak artinya apabila

kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan itu sendiri justru

menimbulkan faktor-faktor kriminogen dan victimogen. Disinyalir

dalam berbagai Kongres PBB (mengenai The Prevention of Crime and

the Treatment of Offenders), bahwa pembangunan itu sendiri dapat

bersifat “kriminogen” apabila pembangunan itu :

211 Ibid, hlm. 49 212 Ibid, hlm 43

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 213: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

196

a. Tidak direncanakan secara rasional ( it was not rationally

planned); atau direncanakan secara timpang, tidak memadai/tidak

seimbang (unbalanced/inadequately planned);

b. Mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral (disregarded cultural

and moral values); dan

c. Tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang

menyeluruh/integral (did not include integrated social defence

strategies).213

Institut Kebijakan Sosial Caledon yang dikutip Lynn Fournier-Ruggles dalam tulisannya yang berjudul “The Cost of Getting Tough on Crime: Isn’t Prevention the Policy Answer” menyatakan bahwa :

“recognizes the success of the social development approach to crime prevention, which attempts to address the root causes of crime in society, recognizing that crime stems from a variety of critical experiences in people‘s lives: family violence; poor parenting; negative school experiences; poor housing; a lack of recreational, health and environmental facilities; inadequate social support; peer pressure; unemployment; and lack of opportunity and poverty (Jamieson and Hart 2003: 3). The crime prevention social development theory emphasizes investing in individuals, families and communities by providing social, recreational, educational and economic interventions and support programs for those individuals, mainly young people, who are most at risk of becoming involved in crime before they come into conflict with the law. It also includes investing in rehabilitative interventions for people who are already in conflict with the criminal justice system.”214 (Keberhasilan pendekatan pembangunan sosial untuk pencegahan kejahatan, dilaksanakan dengan mengatasi akar penyebab kejahatan dalam masyarakat, dinyatakan bahwa kejahatan berasal dari berbagai kritis pengalaman dalam kehidupan manusia: kekerasan dalam keluarga, orangtua miskin; pengalaman sekolah yang negatif; perumahan yang buruk, kurangnya fasilitas rekreasi, kesehatan dan lingkungan; dukungan sosial yang tidak memadai; tekanan teman

213 Ibid, hlm. 46 214 Lynn Fournier-Ruggles, “The Cost Getting Tough on Crime: isn’t Prevention the Policy

Answer”, dalam Journal of Public Policy, Administration and Law Volume 2, October 2011, hlm. 25

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 214: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

197

sebaya, pengangguran, dan kurangnya kesempatan dan kemiskinan. Teori pembangunan sosial menjelaskan bahwa pencegahan kejahatan menekankan investasi pada individu, keluarga dan masyarakat dengan menyediakan sosial, rekreasi, intervensi pendidikan dan ekonomi dan program dukungan bagi orang-orang, terutama orang muda, yang paling berisiko menjadi terlibat dalam kejahatan sebelum mereka datang ke dalam konflik dengan hukum. Hal ini juga mencakup berinvestasi pada intervensi rehabilitatif untuk orang yang sudah dalam konflik dengan sistem peradilan pidana.)

Dari beberapa kajian teori di atas penulis menyimpulkan bahwa

upaya non penal yang seharus dilakukan oleh Balai Taman Nasioanal

Wakatobi dalam rangka penanggulangan tindak pidan di bidang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman

Nasional Wakatobi adalah sebagai berikut :

1. Upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendidikan bagi

komunitas Bajo harus dilaksanakan baik oleh pihak Balai Taman

Nasional Wakatobi maupun pemerintah daerah Kabupaten

Wakatobi

2. Pelaksanaan program pendidikan konservasi bagi generasi muda

atau remaja dan penyuluhan di bidang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya terhadap masyarakat harus di

padukan dengan pendidikan/penyuluhan keagaman dan penyuluhan

kesadaran hukum yang seharusnya dilakukan oleh unsur

pemerintah terkait dalam hal ini pihak Balai Taman Nasional

Wakatobi, instansi Pemda Wakatobi dan pihak Polres Wakatobi

3. Pelaksanaan program pembangunan pengelolaan Taman Nasional

Wakatobi juga harus mempertimbangkan segi sosial, budaya dan

ekonomi masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan hidup,

peningkatan sarana/fasilitas alat tangkap perikanan yang sesuai

dengan prinsip konservasi dan kebiasan masyarakat dan tingkat

adaptasi masyarakat terhadap penerapan zonasi Taman Nasional

Wakatobi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 215: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

198

4. Perlunya dirumuskan dan disusun program bersama Balai Taman

Nasional Wakatobi dan Pemerintah Daerah Kab. Wakatobi tentang

pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat pada masyarakat

Bajo khusus komunitas Mola dan Mantigola

5. Pembatasan pemberian izin penanmpungan ikan hidup bagi

pengusaha luar Wakatobi.

Di samping upaya-upaya tersebut diatas , pelaksanaan kegiatan non

penal yang sebelum telah dilaksanakan oleh pihak Balai Taman

Nasional tetap harus dilanjutkan dengan melakukan perbaikan-

perbaikann dalam pelaksanaannya . diuraikan sebagai berikut :

1. Patroli Rutin Pengamanan Kawasan Taman Nasional

Pelaksanaan kegiatan patroli rutin kawasan Taman Nasional

Wakatobi di masing-masing SPTN merupakan upaya pencegahan

terhadap perbuatan pidana. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan

upaya perbaikan yang seharusnya dilakukan oleh pihak Balai

Taman Nasional Wakatobi di masing-masing SPTN adalah sebagai

berikut :

1) Penjadwalan kegiatan patroli rutin bulanan dimasing-masing

SPTN;

2) Perawatan secara berkala armada/kendaraan patroli sehingga

setiap saat dapat digunakan secara maksimal;

3) Penyedian stok bahan bakar kendaraan/armada patroli di

masing-masing SPTN;

4) Penyusunan peta rawan gangguan di masing-masing SPTN;

5) Penambahan jumlah personil Polisi Kehutanan di masing-

masing SPTN sesuai dengan luas kawasan yang dijaga;

6) Peningkatan kapasitas personil Polisi Kehutanan tentang tehnik

pengamanan pada wilayah perairan laut;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 216: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

199

7) Pelaksanaan razia/operasi peredaran satwa yang dilindungi

pada tempat-tempat penampungan biota/satwa laut di daerah

pesisir dan karang;

8) Pemeriksaan secara rutin izin-izin usaha perikanan bersama

instansi Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Wakatobi;

9) Membangun kerjasama pengamanan kawasan Taman Nasional

dengan pihak Polsek dimasing-masing kecamatan;

10) Pembuatan dan pemasangan papan informasi peta zonasi

Taman Nasional Wakatobi, pelarangan kegiatan yang tidak

dibolehkan/perbuatan pidana di Taman Nasional Wakatobi;

2. Kegiatan Penyuluhan dan Sosialisasi Pengelolaan Taman Nasional

Wakatobi

Peningkatan kesadaran masyarakat dan bina cinta alam

dimaksudkan untuk lebih meningkatkan pemahaman dan kesadaran

masyarakat akan pentingnya konservasi sumberdaya alam hayati

dan ekosistemnya. Sehingga dapat lebih berperan aktif secara

langsung dalam kegiatan pelestarian dan pengamanan sumberdaya

alam yang terdapat dalam kawasan TNW. Untuk mewujudkan

maksud tersebut, beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan yaitu :

penyuluhan dan sosialisasi, pembinaan kelompok

masyarakat/generasi muda, pembentukan dan pembinaan Kader

Konservasi (KK), pengembangan kerjasama penerapan kurikulum

muatan lokal berbasis pengelolaan SDA, serta monitoring dan

evaluasi.215

Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan kegiatan

penyuluhan dalam rangka peningkatan pemahaman masyarakat

akan pentingnya konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi belum menunjukkan

pencapaian hasil sesuai yang harapkan. Berdasarkan hasil

215 Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi 1998-2023, hlm. 95

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 217: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

200

wawancara dilapangan upaya yang seharusnya dilakukan dalam

rangka pencapaian tujuan penyuluhan bagi masyarakat adalah

sebagai berikut :

1) Sasaran penyuluhan sebaiknya lebih fokus pada masyarakat

pesisir yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi

terhadap sumber daya alam di Taman Nasional Wakatobi

khususnya masyarakat yang berasal dari komunitas Bajo Mola

dan Mantigola. Sesuai data hasil penelitian hampir rata-rata

pelaku tindak pidana di kawasan Taman Nasional Wakatobi

berasal dari kedua komunitas masyarakat tersebut;

2) Peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga penyuluh lapangan.

Data yang ada di Balai Taman Nasional Wakatobi jumlah

penyuluh hanya berjumlah 3 (tiga) orang, masing-masing

SPTN hanya memiliki 1 (satu) tenaga penyuluh lapangan;

3) Perumusan tujuan penyuluhan harus sesuai dengan

permasalahan/kebutuhan masyarakat dalam rangka peningkatan

pemahaman dan pengetahuan masyarakat serta peningkatan

taraf hidup bagi masyarakat dikawasan Taman Nasional

Wakatobi.

3. Program Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat, adalah segala upaya yang dilakukan

oleh sekelompok masyarakat, dengan atau tanpa dukungan pihak

luar, agar mampu terus mengembangkan daya atau potensi yang

dimiliki, demi perbaikan mutu-hidupnya, secara mandiri dan

berkelanjutan.216

Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi,

bertujuan untuk:

216 Departemen Kehutanan, Dirjen PHKA, Direktorat Pemanfaatan Pemanfaatan Jasa

Lingkungan dan Wisata Alam, Pedoman Kriteria dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi, Bogor, 2007, hlm. 4

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 218: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

201

1. Menjamin keseimbangan ekologis, ekonomi, maupun sosial

budaya dan kelestarian kawasan konservasi.

2. Meningkatkan kemandirian masyarakat sebagai pendukung

utama dalampembangunan kehutanan melalui peningkatan

ekonomi kerakyatan di sekitar kawasan konservasi.

3. Mengaktualisasikan akses timbal balik peran masyarakat dan

fungsi kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteraan

masyarakat.217

Karena itu, pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan

konservasi, harus ditujukan bukan sekedar untuk mengamankan

kawasan konservasi dari kerusakan, melainkan bertujuan untuk

terus menerus menumbuh-kembangkan kesadaran dan kemampuan

ekonomi masyarakat, agar berpartisipasi dalam pembangunan

kawasan konservasi secara lestari.

Keberhasilan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat

yang dilakukan dinilai melalui beberapa indikator, antara lain :

1. Terbangunnya kesepahaman dengan para pihak (stakeholders)

terkaitdengan kegiatan pemberdayaan masyarakat.

2. Telah terdapat fasilitator/pendamping yang efektif bagi kegiatan

pemberdayaan masyarakat di lapangan.

3. Terbangun dan berkembangnya kelembagaan masyarakat di

tingkat desa, dan berfungsi dengan baik.

4. Kapasitas SDM (Pengelola dan Masyarakat) meningkat.

5. Ketrampilan dan pengetahuan SDM (Pengelola dan

Masyarakat)meningkat.

6. Kegiatan usaha ekonomi masyarakat telah berkembang.

7. Terbangunnya jejaring kerja dengan pola kemitraan.

8. Terpeliharanya fungsi kawasan hutan konservasi.

9. Terbentuk dan berfungsinya PAMSWAKARSA.218

217 Ibid, hlm. 8

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 219: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

202

Pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk mendorong

peningkatan pendayagunaan potensi yang terdapat di masyarakat,

untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar

kawasan serta dukungannya terhadap kawasan dalam pelestarian

Sumber Daya Alam melalui kegiatan-kegiatan : penguatan

kapasitas masyarakat dan kelompok pengguna sumberdaya laut,

pengembangan usaha ekonomi masyarakat pengguna sumber daya

alam di daerah penyangga, pengembangan usaha ekonomi

alternatif yang berkelanjutan bagi masyarakat dan kelompok

pengguna sumber daya alam serta pengembangan Model Desa

Konservasi (MDK) sebagai wahana pengembangan potensi lokal

kearah harmonisasi interaksi manusia dengan alamnya219

Hasil penelitian menunjukan bahwa program kegiatan

pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan oleh pihak

Balai Taman Nasional Wakatobi melalui kegiatan-kegiatan seperti

yang tersebut diatas belum menunjukkan pencapaian hasil yang

maksimal. Dari hasil penelitian dilapangan faktor rendahnya

pemahaman dan pengetahuan masyarakat dalam hal pelaksanakan

kegiatan pemberdayaan di desa menyebabkan ketidakberhasilan

pelaksanaan program dilapangan disamping itu kualiatas

pendamping/fasilitator dari Balai Taman Nasional Wakatobi juga

sangat menpengaruhi rendahnya pencapaian tujuan pelaksanaan

kegiatan pemberdayaan di masyarakat. Faktor lainnya adalah

sasaran pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat khususnya

program model desa konservasi kurang tepat sasaran dimana

pelaksanaan program-program tersebut tidak/belum menyentuh

pada kelompok-kelompok sasaran yang selama ini memiliki

ketergantungan yang tinggi terhadap kawasan Taman Nasional

218 Departemen Kehutanan, Dirjen PHKA, Direktorat Pemanfaatan Pemanfaatan Jasa

Lingkungan dan Wisata Alam, Pedoman Monitoring dan Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi, Bogor, 2008, hlm. 19

219, Ibid, hlm. 96

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 220: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

203

Wakatobi seperti di komunitas Bajo. Dari data yang ada

pelaksanaan program model desa konservasi di Taman Nasional

Wakatobi dilaksanakan di 5 (lima) desa dan hanya 1 (satu) desa

pada komunitas bajo yaitu Desa Sama Bahari sementara desa yang

menunjukkan tingkat asal pelaku tindak pidana yang cukup tinggi

di kawasan Taman Nasional tidak masuk dalam target program

pemberdayaan model desa konservasi. Faktor lainnya adalah pada

pelaksanaan kegiatan penguatan ekonomi masyarakat proses

pelaksanaannya belum memenuhi kriteria tahapan pelaksanaan

pemberdayaan masyarakat sehingga program tersebut tidak lebih

seperti sumbangan bagi masyarakat tidak terencana dengan baik

sehingga hasilnya tidak dapat dilakukan monitoring dan evaluasi

pelaksanaannya.

Tahapan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat yang

merupakan dasar dalam penentuan kriteria dan indikator

pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut :

1. Membangun kesepahaman.

2. Membangun/mengembangkan kelembagaan tingkat desa.

3. Menyiapkan fasilitator/pendamping.

4. Pelatihan PRA.

5. Melaksanakan PRA.

6. Peningkatan kapasitas SDM

7. Pengembangan usaha ekonomi produktif.

8. Membangun kemitraan dan jejaring usaha.

9. Monev dan pembinaan pengembangan kegiatan pemberdayaan

masyarakat.220

Dari kondisi diatas upaya yang seharusnya dilakukan dalam

rangka peningkatan pencapaian tujuan program pemberdayaan

masyarakat adalah sebagai berikut :

220 Ibid, hlm. 12

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 221: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

204

1) Peningkatan pemahaman dan pengetahuan masyarakat pada

desa-desa sasaran program melalui kegiatan pelatihan, magang,

atau studi banding ke daerah lain di Indonesia yang dianggap

berhasil dalam pelaksanaan program pemberdayaan

masyarakat;

2) Perlunya pelaksanaan kegiatan pemberdayaan program model

desa konservasi pada komunitas desa di Kampung

Mola/komunitas Bajo dan Desa Mantigola;

3) Peningkatan kuantitas dan kualitas staf Balai Taman Nasional

Wakatobi khususnya pendamping program pemberdayaan

masyarakat.

4. Pembentukan Kader Konservasi dan Kelompok Pencinta Alam

Pembentukan Kader Konservasi dan Kelompok Pencinta Alam

Balai Taman Nasional Wakatobi dilaksanakan dalam rangka

peningkatan penyadaran masyarakat dan bina cinta alam

khususnya bagi generasi muda, Sehingga dapat lebih berperan aktif

secara langsung dalam kegiatan pelestarian dan pengamanan

sumberdaya alam yang terdapat dalam kawasan TNW. Dari hasil

penelitian dilapangan menunjukan bahwa peran dan fungsi kader

konservasi dan kelompok pencinta alam yang di bina oleh Balai

Taman Nasional Wakatobi belum menunjukan peran yang efektif

dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi. Agar tujuan

kegiatan tersebut dapat tercapai maka upaya yang seharusnya

dilakukan adalah :

1) Perlunya perumusan tujuan dan program kegiatan kader

konservasi dan kelompok pencinta alam di Taman Nasional

Wakatobi sehingga mereka memiliki peran dan fungsi yang

jelas untuk berperan aktif dalam pengelolaan Taman Nasional

Wakatobi ;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 222: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

205

2) Penguatan kelembagaan kader dan kelompok pencinta alam

Taman Nasional Wakatobi;

3) Peningkatan kapasitas anggota kader konservasi dan kelompok

pencinta alam;

4) Dukungan pendanaan pelaksanaan kegiatan kader konservasi

dan kelompok pencinta alam;.

5. Pembentukan forum Nelayan Antar Pulau

Seperti telah dijelaskan pada hasil penelitian diatas bahwa

pembentukan Forum Nelayan antar Pulau di Wakatobi

dilaksanakan dalam rangka menyiapkan masyarakat sebagai bagian

salah satu pihak dalam rencana pengelolaan kolaborasi Taman

Nasional Wakatobi ke depan, namun forum ini tidak

ditindaklanjuti secara serius oleh pihak Balai Taman Nasional

Wakatobi. Dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi

Tahun 1998 s.d 2023 dijelaskan bahwa pengembangan kerjasama

kemitraan pengelolaan TNW merupakan wujud dari paradigma

pengelolaan kawasan konservasi sebagai bagian dari tanggung

jawab banyak pihak dengan menjalin kerjasama-kerjasama dalam

mendukung pengelolaan melalui pengembangan kerjasama dengan

institusi/lembaga/pihak lain dalam rangka efektifitas dan

peningkatan kapasitas pengelolaan (pemerintah, LSM, lembaga

pendidikan, kelompok/lembaga masyarakat) lingkup lokal,

regional, nasional dan internasional serta pengembangan

mekanisme kerjasama pengelolaan (penyusunan nota kesepahaman

kerjasama pengelolaan TNW, penyusunan rencana kerja bersama,

pelaksanaan rencana kerja bersama dan monitoring & evaluasi

bersama).

Sejak tahun 2003 sampai sekarang Balai Taman Nasional

Wakatobi telah membangun kerjasama pengelolaan Taman

Nasional Wakatobi dengan pihak-pihak terkait antara lain TNC-

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 223: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

206

WWF bersama pemerintah Kabupaten Wakatobi. Salah satu hasil

yang telah dicapai adalah rekomendasi bersama para pihak hasil

lokakarya tingkat Kabupaten Wakatobi tanggal 28 s.d 29 Desember

2004 adalah pembentukan forum nelayan antar pulau sebagai kerja

awal penyiapan pengelolaan kolaborasi Taman Nasional Wakatobi

ke depan, dimana unsur perwakilan masyarakat khususnya nelayan

pengguna sumber daya merupakan salah satu pihak yang setara

dalam forum kolaborasi Taman Nasional yang dimaksud.

Berdasarkan kajian beberapa teori yang telah dibahas diatas,

menurut penulis, pembentukan forum nelayan antar pulau

seharusnya tetap menjadi kerangka dasar atau kebijakan yang harus

tetap diambil oleh pihak Balai Taman Nasional Wakatobi untuk

menyiapkan masyarakat sehingga dapat berperan dalam forum

pengelolaan kolaborasi Taman Nasional Wakatobi dan

berpartisipasi secara langsung dalam pengelolaan Taman Nasional

Wakatobi. Hal ini juga merupakan wujud kepedulian pihak

pengelola Taman Nasional Wakatobi terhadap eksistensi

masyarakat lokal Wakatobi atas hak pemanfaatan dan kepemilikan

sumber daya alam di Kepulauan Wakatobi. Peran serta masyarakat

dalam pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya juga merupakan amanat Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnnya, pada Pasal 37 ayat (1), dan ayat (2)

Selain itu upaya yang seharus dilakukan dalam mempercepat

dukungan para pihak dan pelaksanaan terhadap rencana

pengelolaan kolaborasi Taman Nasional Wakatobi adalah sebagai

berikut :

1) Pihak Balai Taman Nasional Wakatobi bersama Pemerintah

daerah perlunya membangun komunikasi dan negosiasi

dengan pihak DPRD Kabupaten Wakatobi, agar zonasi Taman

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 224: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

207

Nasional Wakatobi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari

RTRW Kabupaten Wakatobi, yang dikukuhkan melalui

Peraturan Daerah sehingan pemanfaatan sumber daya alam di

kawasan Taman Nasional Wakatobi mengacu pada tata ruang

zonasi Taman Nasional wakatobi hasil revisi;

2) Pembagian peran dan tanggungjawab antara pemerintah

daerah dan pihak Balai Taman Nasional Wakatobi terkait

pengelolaan kawasan Taman Nasional Wakatobi berdasarkan

peraturan perundangan yang berlaku;

3) Pengembangan sistem pengelolaan kolaborasi/kerjasama

Taman Nasional Wakatobi yang diwujudkan dalam bentuk

kegiatan: 1) pembentukan mekanisme pengelolaan kolaboratif

dengan membuat rancangan/model mekanisme pengelolaan

bersama, penerapan model mekanisme pengelolaan bersama,

pembentukan wadah/ruang konsultasi pengelolaan bersama

TNW dan penetapan (kedudukan, fungsi & peran para pihak

dalam pengelolaan kolaborasi); 2) Penguatan forum konsultasi

para pihak dengan memfasilitasi pelatihan/kursus,

memfasilitasi pertemuan rutin di tingkat Desa 1 bulan sekali,

Kecamatan 3 bulan sekali dan Kabupaten 6 bulan sekali; 3)

Formulasi dan penerapan mekanisme keluhan (Grievance

mechanism) dengan merancang mekanisme dan

impelementasinya. Hal ini telah tertuang dalam rencana

pengelolaan Taman Nasional Wakatobi tahun 1998 s.d 2023

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 225: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

208

BAB V.

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut diatas, maka

simpulan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan penegakan hukum

tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi adalah :

a. Faktor Hukum sendiri (Undang-Undang) meliputi : perumusan

yang abstrak ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya , unsur delik dalam undang-undang ini merupakan

delik materiil, dalam praktek kesulitan dalam pembuktiannya,

tidak dirumuskannya pertanggungjawaban korporasi atau badan

hukum, dan rumusan ketentuan pidana undang-undang ini tidak

mengatur ketentuan sanksi minimum khusus mengakibatkan vonis

hukuman rata-rata ringan.

b. Faktor Aparat Penegak Hukum meliputi : kualitas dan kuatitas

aparat penegak hukum Polhut dan PPNS kehutanan sangat minim,

Kewenangan yang terbatas yang dimiliki oleh Polhut dan PPNS

dalam hal penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya , perbedaan

persepsi antara sesama penegak hukum yang dipengaruhi oleh

rendahnya pemahaman dan pengetahuan aparat penegak hukum

dalam penerapan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya serta kordinasi yang masih kurang.

c. Faktor Sarana/Fasilitas Pendukung meliputi : kurang

ketersediaan/kesiapan operasional kendraan patroli, pembiayaan

yang tinggi, kurangnya sumber daya manusia yang terampil dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 226: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

209

pemeliharaan dan perbaikan kendraan operasional patroli dan

manajemen pengelolaan sarana prasarana yang kurang baik.

d. Faktor Masyarakat meliputi : faktor kemiskinan, pemahaman dan

pengetahuan yang rendah, keterbatasan sarana usaha bagi nelayan,

kebiasaan turun temurun dalam hal kegiatan penangkapan ikan di

perairan kepulauan Wakatobi tidak mengenal adanya sistem

zonasi dan pengaruh godaan/pengaruh pengusaha dari luar

wakatobi dengan pemberian fasilitas-fasilitas tertentu.

e. Faktor Kebudayaan meliputi : perbedaan nilai-nilai konservasi

yang dianut atau prinsip yang antara masyarakat dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, rendahnya pemahaman dan

pengetahuan tentang pelestarian sumber daya alam, kewenangan

pengelolaan sumber daya perairan laut beralih dari masyarakat

dengan hukum adat menjadi sepenuhnya kewenangan pemerintah.

Sistem baru berada di luar pengalaman, pengetahuan, kuasa dan

sejarah hidup masyarakat Wakatobi. Pengaturan pengelolaan

sumberdaya alam diperairan Wakatobi dengan sistem zonasi yang

berimplikasi pada perbuatan pidana ketika ada pemanfaatan yang

tidak sesuai dengan fungsi zonasi adalah merupakan hal baru bagi

masyarakat serta pengaruh kemajuan teknologi

2. Upaya Non Penal yang seharusnya dilakukan dalam menanggulangi

tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi adalah :

a. Melakukan upaya perbaikan dan peningkatan atas pelaksanaan

kegiatan upaya non penal yang sebelumnya telah dilaksanakan

oleh pihak Balai Taman Nasional Wakatobi seperti yang telah

dirumuskan penulis dalam pembahasan di atas

b. Upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendidikan bagi

komunitas Bajo harus dilaksanakan baik oleh pihak Balai Taman

Nasional Wakatobi maupun Pemerintah Daerah Kabupaten

Wakatobi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 227: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

210

c. Pelaksanaan program pendidikan konservasi bagi generasi muda

atau remaja dan penyuluhan di bidang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya terhadap masyarakat harus di

padukan dengan pendidikan/penyuluhan keagaman dan

penyuluhan kesadaran hukum yang seharusnya dilakukan oleh

unsur pemerintah terkait dalam hal ini pihak Balai Taman

Nasional Wakatobi, instansi Pemerintah Daerah Kabupaten

Wakatobi dan pihak Polres Wakatobi

d. Pelaksanaan program pembangunan pengelolaan Taman Nasional

Wakatobi juga harus mempertimbangkan segi sosial, budaya dan

ekonomi masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan hidup,

peningkatan sarana/fasilitas alat tangkap perikanan yang sesuai

dengan prinsip konservasi dan kebiasan masyarakat dan tingkat

adaptasi masyarakat terhadap penerapan zonasi Taman Nasional

Wakatobi

e. Perlunya dirumuskan dan disusun program bersama Balai Taman

Nasional Wakatobi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi

tentang pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat pada

masyarakat Bajo khusus komunitas Mola dan Mantigola

f. Pembatasan pemberian izin penanmpungan ikan hidup bagi

pengusaha luar Wakatobi.

B. Implikasi

Konsekuensi logis dari fakta-fakta terhadap simpulan tersebut di atas

maka implikasi yang dapat terjadi adalah sebagai berikut :

1. Adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan dalam

pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi

sumber daya alam dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi

yang disebabkan oleh faktor-faktor hukumnya sendiri (undang-

undang), aparat penegak hukum, sarana/fasilitas pendukung,

masyarakat dan kebudayaan mengakibatkan tindakan pidana di bidang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 228: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

211

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem di Taman Nasional

Wakatobi tidak dapat dihentikan atau di cegah dengan maksimal .

Beberapa tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati

dan ekosistemnya sampai saat ini masih saja terjadi adalah kegiatan

penangkapan ikan dengan menggunakan bom, racun (potassium

cyianida), pemanfaatan yang tidak sesuai dengan fungsi zonasi taman

nasional, penambangan batu karang dan pasir pantai . proses

penanganan atau penegakan hukum masih terkesan lamban serta

dukungan para pihak termasuk masyarakat dalam proses penegakan

hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

dan Ekosistemnya tidak maksimal. Hal ini berdampak pada bahaya

kerusakan dan kepunahan sumber daya alam dan keanekaragam hayati

di Taman Nasional Wakatobi

2. Belum optimalnya pelaksanaan penanggulangan tindak pidana di

bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dengan

pendekatan upaya non penal di Taman Nasional Wakatobi

menyebabkan masalah-masalah dan faktor kondisi sosial yang

merupakan faktor kondusif penyebab tumbuh kejahatan atau tindak

pidana dalam pemanfaatan sumberdaya alam di Taman Nasional

Wakatobi belum dapat dihilangkan atau ditangani dengan baik. Faktor

kemiskinan, rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat

terhadap pentingnya upaya konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya dalam pengelolaan sumber daya alam serta minimnya

keterampilan masyarakat dalam mengembangkan usaha ekonomi

produktif masih menjadi faktor kondusif penyebab terjadinya tindak

pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 229: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

212

C. Saran

Dari hasil penelitian,simpulan dan implikasi di atas, penulis

memberikan masukan dan saran-saran sebagai berikut:

1. Untuk mengatasi faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan dalam

pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional

Wakatobi, saran penulis dapat dilakukan langkah-langkah sebagai

berikut :

a. Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang):

1) Perumusan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya dalam Undang-undang Nomor

5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

dan Ekosistemnya ke depan harus disusun dalam delik formil

dan dalam formulasi yang mudah untuk diimplementasikan

oleh aparat penegak hukum baik dalam proses penyidikan,

penuntutan maupun proses peradilan.

2) Perumusan ketentuan pidana dalam undang-undang di bidang

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya harus

mengatur tentang ancaman hukuman minimum.

3) Perumusan ketentuan pidana dalam undang-undang di bidang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

harus mengatur tentang pertanggungjawababn pidana yang

dilakukan oleh korporasi atau badan hukum

4) Pemberian kewenangan yang lebih luas kepada Penyidik

Pegawai Negeri Sipil Kehutanan khususnya dalam hal

kewenangan melakukan penangkapan dan penahanan terhadap

pelaku tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya dalam Undang-undang di bidang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

serta kewenangan Polisi Kehutanan dalam tugas pengamanan

kawasan dan penyelidikan tindak pidana di bidang konservasi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 230: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

213

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,sebagai bahan

studi perbandingan seperti kewenangan yang di miliki oleh

pejabat pengawas Kelautan dan Perikanan atau pejabat Bea

Cukai yang juga memiliki fungsi yang sama seperti Polhut

yaitu fungsi pengembang tugas kepolisian khusus.

b. Faktor Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang menerapkan

hukum:

1) Peningkatan kualitas dan kuantitas petugas Polisi Kehutanan

dan PPNS Kehutanan Balai Taman Nasional Wakatobi.

Peningkatan ini dapat dilakukan dengan mengajukan

penambahan jumlah formasi kebutuhan Polisi Kehutanan dan

PPNS Kehutanan serta memberikan kesempatan untuk

mengikuti pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan

pengetahuan. Di samping itu juga penerapan pola reward and

punishment harus dilaksanakan dengan selektif dan transparan

untuk memacu kompetensi kemampuan aparatur.

2) Peningkatan kapasitas PPNS Kehutanan melalui diklat,

magang atau studi banding ke UPT lain (Taman Nasional atau

Balai KSDA) Diretorat Jenderal Perlindungan Hutan

Konservasi Alam Kementerian Kehutanan di Indonesia yang

dianggap berhasil dalam penegakan hukum tindak pidana di

bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

3) Meningkatkan koordinasi antara sesama aparat penegak

hukum (Polhut, PPNS, Penyidik Polri, Kejaksaan dan

Pengadilan (Hakim) termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten

Wakatobi dalam rangka membangun persepsi yang sama

tentang strategi penegakan hukum tindak pidana di bidang

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem di Taman

Nasional Wakatobi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 231: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

214

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

1) Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum harus

dipisahkan dari penggunaan kepentingan lainnya dengan

kondisi yang siap pakai.

2) Penyiapan tenaga sumber daya manusia yang berpendidikan

dan terampil untuk menggunakan dan perawatan sarana atau

fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

3) Penyedian dana operasional/bahan bakar sarana yang

memadai atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum di

setiap SPTN

4) Adanya standar prosedur operasional penggunaan sarana atau

fasilitas yang mendukung penegakan hukum di setiap SPTN

5) Dibentuk unit pengelola sarana atau fasilitas yang mendukung

penegakan hukum di tingkat UPT Balai dan SPTN

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan:

1) Peningkatan penyuluhan, sosialisasi dan pembinaan kepada

masyarakat tentang konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya dan kesadaran hukum.

2) Peningkatan program pemberdayaan masyarakat pada desa-

desa pesisir yang teridentifikasi masyarakatnya masih

melakukan kegiatan yang merusak atau melakukan

pelanggaran tindak pidana dalam pemanfaatan sumber daya

alam di Taman Nasional Wakatobi.

e. Faktor kebudayaan, yakni nilai-nilai yang mendasari hukum yang

berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak

mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang

dianggap buruk (sehingga dihindari).: yaitu mempertimbangkan

atau mengadopsi nilai-nilai ekologis kearifan lokal masyarakat

setempat dalam pengelolaan dan pengaturan pemanfaatan sumber

daya alam di kawasan Taman Nasional Wakatobi.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 232: digilib.uns.ac.id... · i PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL

215

2. Untuk meningkatan keberhasilan upaya non penal yang seharusnya di

lakukan dalam menanggulangi tindak pidana di bidang konservasi

sumber daya hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi,

Penulis menyarankan sebagai berikut :

a. Membangun peningkatan hubungan kerjasama dengan unsur

instansi terkait Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi dan

Lembaga Swadaya masyarakat dalam pelaksanaan program

Model Desa Konservasi di Taman Nasional Wakatobi sebagai

bagian dari pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat di

dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi;

b. Pelaksanaan kampanye dan pendidikan konservasi untuk semua

kalangan masyarakat umum;

c. Untuk menghindari/menghilangkan pengaruh negatif dari

pengusaha luar wakatobi terhadap nelayan-nelayan lokal dalam

melakukan penangkapan ikan yang merusak atau melanggar

pidana maka upaya yang seharusnya dilakukan adalah pembatasan

atau pelarangan izin untuk penampung ikan hidup/ikan karang

bagi pengusaha luar Wakatobi;

d. Peningkatan program pemberdayaan masyarakat di komunitas

masyarakat bajo melalui bantuan permodalan usaha;

e. Perlunya program pendampingan/pembinaan dan penyadartahuan

tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnyan

secara intensif bagi masyarakat bajo;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user