lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

231
UNIVERSITAS INDONESIA PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI KERSAMANAH GARUT TESIS Rahmi Imelisa 1006749182 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, JULI 2012 Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Transcript of lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Page 1: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

i

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT

TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI KERSAMANAH GARUT

TESIS

Rahmi Imelisa1006749182

FAKULTAS ILMU KEPERAWATANPROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIADEPOK, JULI 2012

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 2: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

ii

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT

TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI KERSAMANAH GARUT

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa

Rahmi Imelisa1006749182

FAKULTAS ILMU KEPERAWATANPROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWAUNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK, JULI 2012

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 3: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

iii

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 4: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

iv

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 5: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

v

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 6: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

vi

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang sebesar-besarnya penyusun sampaikan kepada Allah SWT yang

telah melimpahkan karuniaNya kepada penyusun sehingga tesis ini dapat

diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai tugas akhir dalam rangka mencapai gelar

Magister Keperawatan Jiwa pada Program Pasca Sarjana Keperawatan

Universitas Indonesia. Dalam penyusunan tesis ini penyusun mendapatkan

bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penyusun bermaksud mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Dewi Irawaty, MA. Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Indonesia.

2. Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., MN., selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas

Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

3. Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc., sebagai dosen pembimbing 1

yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penyusun

sehingga penyusun dapat terus berproses menyelesaikan tesis ini.

4. Drs. Sutanto Priyo Hastono, M.Kes. sebagai dosen pembimbing 2 yang telah

meluangkan waktu, dan mengarahkan penyusun sehingga dapat memahami

rancangan berjalannya penelitian tesis ini.

5. Mustikasari, S.Kp., MARS., sebagai penguji 1 yang telah banyak memberikan

masukan untuk perbaikan tesis ini.

6. Ibu Nurhalimah, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.J., sebagai penguji 2 yang telah

memberikan banyak masukan untuk perbaikan tesis ini.

7. Novy Helena C.D.,S.Kp., M.Sc. sebagai dosen pembimbing akademik yang

dengan penuh pengertian mengarahkan penyusun selama menjalani masa studi

Program Magister Keperawatan Jiwa.

8. Bpk. Darsono, sebagai Kepala Puskesmas Kersamanah, yang telah dengan

terbuka mengizinkan penyusun untuk melakukan penelitian di Kecamatan

Kersamanah Garut.

9. Bpk. Iyus dan Ibu Ai sebagai staf program Kesehatan Jiwa Puskesmas

Kersamanah yang telah banyak membantu dalam proses penelitian.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 7: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

vii

10. Ibu Lilis, Ibu Nyai, Ibu Nunung, Ibu Siti dan Ibu Alit, sebagai kader kesehatan

jiwa yang telah bersedia dan penuh semangat menjalani peran PMO dalam

penelitian ini.

11. Seluruh dosen Program Pasca Sarjana Keperawatan Universitas Indonesia

yang telah membagi ilmu yang dimilikinya.

12. Keluarga yang selalu memberikan do’a dan dukungan kepada penyusun.

13. Teman-teman Angkatan VI Program Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan

Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang

unik dan selalu memberikan semangat kepada penyusun.

Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan semua pihak yang

terlibat dalam penelitian ini nantinya.

Depok, Juli 2012

Penyusun

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 8: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

viii

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 9: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

ix Universitas Indonesia

PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATANUNIVERSITAS INDONESIA

Tesis, Juli 2012

Rahmi Imelisa

Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran pengawas minum obat terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut

xviii + 118 hal + 29 tabel + 5 skema + 17 lampiran

ABSTRAK

Prevalensi schizophrenia di Kersamanah adalah sebesar 2.6/1000 jiwa, dan 39,8% klien drop out berobat. Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (terapi keperawatan) terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat. Penelitian ini menggunakan desain quasy experiment dengan purposive sampling. Penelitian menggunakan instrumen kemandirian CMHN Jakarta dan MARS. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perubahan bermakna kemandirian dan kepatuhan berobat setelah diberikan terapi keperawatan (p-value<α=0.05). Terdapat perbedaan perubahan bermakna pada kelompok intervensi dan kontrol (p-value<α=0.05). Terdapat hubungan erat antara kemandirian dengan kepatuhan berobat (p-value < α=0.05). Saran dari penelitian ini adalah dikembangkannya asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO di Kersamanah.

Kata kunci : schizophrenia, kemandirian, kepatuhan berobat, PMO dan psikoedukasi keluarga

Daftar pustaka 29 (2006-2011)

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 10: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

x Universitas Indonesia

POSTGRADUATE PROGRAM FACULTY OF NURSINGUNIVERSITY OF INDONESIA

Thesis, July 2012

Rahmi Imelisa

The effect of nursing process to client, family and ‘Pengawas Minum Obat’ role to independency and medication adherence of schizophrenic client in Kersamanah Garut.

xviii + 118 page + 29 table + 5 scheme + 17 appendix

ABSTRACT

The prevalence of schizophrenia in Kersamanah is 2.6/1000 person, 39.8% client has been drop out in medication. This research aimed to found the effect of nursing process to the client, family and PMO role (as nursing therapy) to independency and medication adherence. This research used a quasy experiment design with purposive sampling. This research use the instrument of independency from the CMHN Jakarta research and the MARS instrumen for medication adherence. The result shows that there is a significant change of independency and medication adherence after intervension of nursing therapy (p-value < α=0.05). There is a significant differences change between intervention and control group (p-value < α=0.05). There is a close relation between independency and medication adherence (p-value < α=0.05). This research suggest continue implementation of nursing process to client, family and PMO role in Kersamanah.

Keyword : schizophrenia, independency, medication adherence, PMO, and family psychoeducation

References 29 (2006-2011)

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 11: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

ix

PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATANUNIVERSITAS INDONESIA

Tesis, Juli 2012

Rahmi Imelisa

Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran pengawas minum obat terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut

xviii + 118 hal + 29 tabel + 5 skema + 17 lampiran

ABSTRAK

Prevalensi schizophrenia di Kersamanah adalah sebesar 2.6/1000 jiwa, dan 39,8% klien drop out berobat. Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (terapi keperawatan) terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat. Penelitian ini menggunakan desain quasy experiment dengan purposive sampling. Penelitian menggunakan instrumen kemandirian CMHN Jakarta dan MARS. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perubahan bermakna kemandirian dan kepatuhan berobat setelah diberikan terapi keperawatan (p-value<α=0.05). Terdapat perbedaan perubahan bermakna pada kelompok intervensi dan kontrol (p-value<α=0.05). Terdapat hubungan erat antara kemandirian dengan kepatuhan berobat (p-value < α=0.05). Saran dari penelitian ini adalah dikembangkannya asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO di Kersamanah.

Kata kunci : schizophrenia, kemandirian, kepatuhan berobat, PMO dan psikoedukasi keluarga

Daftar pustaka 29 (2006-2011)

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 12: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

x

POSTGRADUATE PROGRAM FACULTY OF NURSINGUNIVERSITY OF INDONESIA

Thesis, July 2012

Rahmi Imelisa

The effect of nursing process to client, family and ‘Pengawas Minum Obat’ role to independency and medication adherence of schizophrenic client in Kersamanah Garut.

xviii + 118 page + 29 table + 5 scheme + 17 appendix

ABSTRACT

The prevalence of schizophrenia in Kersamanah is 2.6/1000 person, 39.8% client has been drop out in medication. This research aimed to found the effect of nursing process to the client, family and PMO role (as nursing therapy) to independency and medication adherence. This research used a quasy experiment design with purposive sampling. This research use the instrument of independency from the CMHN Jakarta research and the MARS instrumen for medication adherence. The result shows that there is a significant change of independency and medication adherence after intervension of nursing therapy (p-value < α=0.05). There is a significant differences change between intervention and control group (p-value < α=0.05). There is a close relation between independency and medication adherence (p-value < α=0.05). This research suggest continue implementation of nursing process to client, family and PMO role in Kersamanah.

Keyword : schizophrenia, independency, medication adherence, PMO, and family psychoeducation

References 29 (2006-2011)

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 13: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL iHALAMAN JUDUL iiHALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS iiiHALAMAN PENGESAHAN ivLEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN vKATA PENGANTAR viHALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI viiiABSTRAK ixABSTRACT xDAFTAR ISI xiDAFTAR SKEMA xivDAFTAR TABEL xvDAFTAR LAMPIRAN xviii

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 11.2 Rumusan Masalah 91.3 Tujuan Penelitian 11

1.3.1 Tujuan Umum Penelitian 111.3.2 Tujuan Khusus Penelitian 11

1.4 Manfaat Penelitian1.4.1 Pelayanan Keperawatan 121.4.2 Ilmu Pengetahuan 121.4.3 Penelitian Keperawatan 12

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA2.1 Schizophrenia

2.1.1 Definisi schizophrenia 132.1.2 Proses terjadinya schizophrenia 162.1.3 Tanda dan gejala schizophrenia 182.1.4 Proses keperawatan pada klien dengan schizophrenia 20

2.1.4.1 Pengkajian 212.1.4.2 Diagnosa keperawatan 272.1.4.3 Intervensi keperawatan 30

1. Intervensi keperawatan generalis 302. Intervensi keperawatan spesialis 313. Pemberdayaan kader dan peran pengawas minum obat 34

2.1.4.4 Pedoman pelaksanaan terapi1. Asuhan keperawatan generalis pada klien 412. Family Psychoeducation pada keluarga 413. Pelaksanaan peran Pengawas Minum Obat oleh kader 44

2.1.4.5 Hasil akhir dan evaluasi intervensi keperawatan 45

2.2 Kemandirian klien schizophrenia 472.2.1 Efek schizophrenia terhadap aktivitas sehari-hari 482.2.2 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian 49

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 14: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

xii

2.2.3 Pengukuran kemandirian 502.3 Kepatuhan berobat

2.3.1 Definisi kepatuhan dan ketidakpatuhan 502.3.2 Batasan karakteristik 522.3.3 Faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan 522.3.4 Cara mengukur kepatuhan 53

BAB 3. KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka teori 553.2 Kerangka konsep penelitian 593.3 Hipotesis 623.4 Definisi operasional 62

BAB 4. METODE PENELITIAN4.1 Rancangan penelitian 644.2 Populasi dan sampel 65

4.2.1 Populasi 654.2.2 Sampel 66

4.3 Waktu dan tempat penelitian 694.4 Etika penelitian 704.5 Instrumen penelitian 734.6 Uji coba instrumen 754.7 Prosedur pelaksanaan penelitian 76

4.7.1 Tahap persiapan 764.7.2 Tahap pelaksanaan 774.7.3 Tahap akhir 77

4.8 Pengolahan data 784.9 Analisa data 79

4.9.1 Analisa data univariat 794.9.2 Analisa data bivariat 804.9.3 Analisa data multivariat 82

BAB 5. HASIL PENELITIAN5.1 Karakteristik klien schizophrenia 83

5.1.1 Karakteristik usia klien 835.1.2 Karakteristik jenis kelamin, keluhan fisik dan keyakinan

terhadap pelayanan kesehatan 845.1.3 Faktor predisposisi pada klien schizophrenia di Kecamatan

Kersamanah Kabupaten Garut 86

5.2 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO terhadap kemandirian klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 875.2.1 Kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan

terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 87

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 15: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

xiii

5.2.2 Perubahan kemandirian klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi

dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 88

5.2.3 Kemandirian klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 90

5.2.4 Hubungan karakteristik dengan kemandirian klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 91

5.3 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO terhadap kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Garut 92

5.3.1 Kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 92

5.3.2 Perubahan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 935.3.3 Kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi

pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 95

5.3.4 Hubungan karakteristik dengan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 96

5.4 Hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 98

BAB 6 PEMBAHASAN6.1 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO

pada kemandirian klien 996.2 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO pada kepatuhan berobat klien 1046.3 Hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 1096.4 Faktor predisposisi klien schizophrenia 1106.5 Keterbatasan penelitian 1116.6 Implikasi hasil penelitian 112

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN7.1 Kesimpulan 1137.2 Saran 114

DAFTAR PUSTAKA 117LAMPIRAN

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 16: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

xiv

DAFTAR SKEMA

Skema 2.1 Model Stress Adaptasi Stuart 20

Skema 3.1 Kerangka teori 58

Skema 3.2 Kerangka konsep penelitian 61

Skema 4.1 Rancangan penelitian 64

Skema 4.2 Gambaran prosedur penelitian 78

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 17: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Diagnosa keperawatan pada klien dengan schizophrenia 27

Tabel 3.1 Definisi operasional dan variabel penelitian 63

Tabel 4.1 Pemetaan jumlah klien berdasarkan kelompok intervensi dan kelompok kontrol 69

Tabel 4.2 Kisi-kisi instrumen pengukuran kemandirian klien schizophrenia 74

Tabel 4.3 Kisi-kisi instrumen pengukuran kepatuhan berobat klien schizophrenia 74

Tabel 4.4 Analisis bivariat variabel penelitian 81

Tabel 5.1 Analisis karakteristik klien pada kelompok intervensi dan kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan

Kersamanah Kabupaten Garut 84

Tabel 5.2 Kesetaraan karakteristik klien schizophrenia berdasarkan usia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan

Kersamanah Kabupaten Garut 84

Tabel 5.3 Distribusi karakteristik klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah

Kabupaten Garut 85

Tabel 5.4 Kesetaraan karakteristik klien berdasarkan jenis kelamin, keluhan fisik dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan

Kersamanah Kabupaten Garut 86

Tabel 5.5 Faktor predisposisi pada klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 86

Tabel 5.6 Analisis kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 87

Tabel 5.7 Analisis kesetaraan kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 88

Tabel 5.8 Analisis perbedaan kemandirian klien schizophrenia sebelum

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 18: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

xvi

sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 89

Tabel 5.9 Analisa beda rata-rata selisih kemandirian klien sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 89

Tabel 5.10 Analisis kemandirian klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 90

Tabel 5.11 Perbedaan kemandirian klien schizophrenia setelah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 90

Tabel 5.12 Analisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 91

Tabel 5.13 Perbedaan rata-rata kemandirian sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol 92

Tabel 5.14 Analisis kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 93

Tabel 5.15 Analisis kesetaraan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 93

Tabel 5.16 Analisis perbedaan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 94

Tabel 5.17 Analisis beda rata-rata selisih kepatuhan berobat klien sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 95

Tabel 5.18 Analisis kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 95

Tabel 5.19 Perbedaan kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 96

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 19: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

xvii

Tabel 5.20 Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 97

Tabel 5.21 Perbedaan rata-rata kepatuhan berobat sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol 97

Tabel 5.22 Analisis hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 98

Tabel 6.1 Perbandingan presentase peningkatan kemandirian pada penelitian CMHN Jakarta dengan penelitian Kersamanah Garut 102

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 20: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Jadwal pelaksanaan penelitian Lampiran 1

Penjelasan penelitian Lampiran 2

Lembar persetujuan responden (informed consent) Lampiran 3

Kuesioner 1 Lampiran 4

Kuesioner 2 Lampiran 5

Kuesioner 3 Lampiran 6

Keterangan lolos uji etik Lampiran 7

Keterangan lolos expert validity Lampiran 8

Keterangan lolos uji kompetensi Lampiran 9

Standar Asuhan Keperawatan Jiwa (Diagnosa Gangguan) Lampiran 10

Modul terapi Family Psycho Education (FPE) Lampiran 11

Buku kerja FPE Lampiran 12

Buku evaluasi PMO Lampiran 13

Buku evaluasi peneliti Lampiran 14

Pedoman pembekalan kader Lampiran 15

Surat-surat Lampiran 16

Daftar riwayat hidup peneliti Lampiran 17

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 21: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

1Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Schizophrenia merupakan gangguan kesehatan serius yang perlu mendapat

perhatian. Menurut World Health Organiztion (WHO), schizophrenia

merupakan gangguan mental serius yang mempengaruhi sekitar tujuh dari

1000 populasi orang dewasa, kebanyakan dalam rentang usia 15 - 35 tahun.

Walaupun insidennya rendah (3/10.000), prevalensi penyakit ini cukup tinggi

karena penyakit ini bersifat kronis (WHO, 2012). Prevalensi median dari

schizophrenia adalah 4.6/1.000 untuk prevalensi point, 3.3/1.000 for

prevalensi periodik dan 4.0/1.000 untuk lifetime prevalence dan 7.2/1.000

untuk risiko morbiditas (NCBI, 2012). Melihat prevalensi ini, schizophrenia

perlu mendapat perhatian dalam penanganan dan pencegahan meningkatnya

prevalensi.

Prevalensi gangguan jiwa di Indonesia tidak jauh berbeda dengan

prevalensinya di dunia. Angka kejadian gangguan jiwa di Indonesia

berdasarkan data riskesdas adalah sebesar 4,6/1000 jiwa (Balitbangkes, 2007).

Angka ini sama dengan angka prevalensi median gangguan jiwa di dunia. Di

Indonesia diperkirakan sekitar 1 juta penduduk menderita gangguan jiwa

(Depkes, 2012). Hasil pendataan kesehatan untuk schizophrenia ini bisa jadi

merupakan fenomena ‘gunung es’ di mana angka sebenarnya di lapangan

dapat lebih besar, karena stigma yang buruk mengenai gangguan jiwa yang

menyebabkan kejadian gangguan jiwa atau schizophrenia banyak ditutup-

tutupi oleh masyarakat.

Penyakit schizophrenia juga dianggap penyakit yang tidak kalah berbahaya

dibandingkan dengan penyakit-penyakit fisik kronis lainnya. Ho, Black dan

Andreasen (2003, dalam Townsend, 2009) menyatakan bahwa schizophrenia

mungkin merupakan penyakit yang paling membingungkan dan paling tragis

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 22: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

2

Universitas Indonesia

yang mengancam jiwa, dan mungkin juga penyakit yang paling merusak.

Penyakit ini tidak kalah berbahaya dibanding penyakit fisik kronis lainnya

pada usia dewasa. Schizophrenia menyerang pada usia muda, karena itu tidak

seperti pasien dengan kanker atau penyakit jantung, pasien dengan

schizophrenia masih tetap hidup bertahun tahun setelah onset penyakit dan

terus menderita karena efek penyakit tersebut, sehingga menghambat mereka

untuk menjalani kehidupan dengan normal, seperti sekolah, bekerja, memiliki

teman dekat, menikah, atau memiliki anak. Schizophrenia dapat berefek

terhadap individu, keluarga dan juga menyebabkan beban ekonomi yang besar

di masyarakat (Townsend, 2009). Dari pernyataan tersebut dapat dilihat

bahwa selain berbahaya, penyakit ini juga berdampak buruk pada keluarga

dan menjadi beban bagi masyarakat.

Klien dengan schizophrenia terpisah dari dunia nyata dan memiliki dunianya

sendiri, seperti pengertian kata schizophrenia yang diambil dari bahasa

Yunani ‘schizein’ yang berarti terbelah dan ‘phren’ yang berarti pikiran

(Townsend, 2009). Orang dengan schizophrenia dapat mendengarkan suara

yang tidak dapat didengar orang lain. Mereka dapat berpikir bahwa orang lain

dapat membaca pikirannya, mengontrol pikirannya, atau berencana untuk

menyakiti mereka. Hal ini menakutkan bagi penderita schizophrenia dan

membuat mereka menarik diri atau gelisah berlebihan. Keluarga dan

masyarakat sekitar dapat juga terkena dampak dari schizophrenia.

Kebanyakan orang dengan schizophrenia memiliki kesulitan dalam

menjalankan pekerjaannya atau bahkan untuk merawat dirinya sendiri, maka

mereka bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012). Dari sini dapat

dilihat bahwa schizophrenia berdampak buruk pada individu, keluarga dan

masyarakat sekitarnya.

Orang dengan schizophrenia akan mengalami gangguan dalam

kemandiriannya menjalankan fungsi dan peran dalam kehidupan sehari hari,

seperti merawat diri sendiri, sekolah atau bekerja dan fungsi lainnya. Oleh

karena itu, pasien dengan schizophrenia memerlukan bantuan dari pihak lain

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 23: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

3

Universitas Indonesia

untuk tetap bertahan hidup, atau dengan kata lain bergantung pada bantuan

orang lain (NIMH, 2012). Unit terdekat yang dapat membantu pasien dengan

schizophrenia adalah keluarga. Karena prevalensinya yang tinggi dan penyakit

ini bersifat kronik maka selain memberikan penanganan secara medis dengan

obat-obatan, diperlukan juga terapi untuk meningkatkan kemandirian klien

agar selama menjalani pengobatan kemandirian klien dapat ditingkatkan dan

dapat mengurangi kebergantungan pasien pada orang lain.

Schizophrenia sampai dapat menyebabkan kematian karena kejadian bunuh

diri. Radomsky, Haas, Mann, dan Sweeney (1999, dalam Townsend, 2009)

memperkirakan 10% pasien dengan schizophrenia meninggal karena bunuh

diri. Penelitian lain memperkirakan kejadian ide bunuh diri pada klien

schizophrenia sekitar 40 - 55% dan percobaan bunuh diri sekitar 20 – 50%

(Addington, 2006 dalam Townsend, 2009). Mempertimbangkan bahaya yang

dapat ditimbulkan oleh penyakit ini kepada individu, maka schizophrenia ini

perlu mendapat perhatian serius dalam penanganannya.

Penanganan masalah gangguan jiwa perlu dirancang dengan baik dengan

mengikutsertakan berbagai pihak. Menurut perhitungan utilisasi layanan

kesehatan jiwa di tingkat primer, sekunder, dan tertier kesenjangan

pengobatan diperkirakan >90%. Hal ini berarti bahwa hanya <10% orang

dengan masalah kesehatan jiwa terlayani di fasilitas kesehatan (Diatri, 2011).

Perawatan pasien dengan schizophrenia dapat disediakan pada taraf

komunitas, dengan keaktifan keluarga dan keterlibatan komunitas di sekitar

pasien (WHO, 2012). Dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi masalah ini

diperlukan penanganan tidak hanya kepada klien, tetapi juga kepada keluarga

dan masyarakat yang dapat terkena dampak dari penyakit ini.

Banyak penanganan berupa terapi telah dikembangkan oleh berbagai disiplin

ilmu untuk mengatasi masalah gangguan jiwa. Berbagai penelitian juga terus

dikembangkan untuk mengetahui efek dari terapi-terapi tersebut. Townsend

(2009) menyatakan bahwa saat ini dan mungkin selamanya tidak akan ada

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 24: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

4

Universitas Indonesia

satu penanganan saja yang bisa mengatasi schizophrenia. Karena itu,

penanganan yang efektif memerlukan usaha yang komprehensif, melibatkan

multidisiplin, termasuk terapi farmaka dan berbagai bentuk perawatan

psikososial, seperti kemampuan untuk menjalani hidup sehari-hari dan

keterampilan sosial, rehabilitasi dan terapi keluarga (Townsend, 2009).

Karena itu, penanganan schizophrenia memerlukan kombinasi antara terapi

farmaka dan terapi lain seperti psikoterapi, rehabilitasi dan sebagainya.

Penanganan penyakit schizophrenia dapat melibatkan penanganan medis,

psikoterapi dan rehabilitasi. Dalam keperawatan telah dikenal adanya Standar

Asuhan Keperawatan (SAK) Jiwa yang merupakan panduan bagi perawat

dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien dan keluarganya. SAK ini

digunakan oleh perawat untuk memberikan tindakan keperawatan generalis.

SAK ini berisi panduan untuk menangani diagnosa keperawatan Sedangkan

untuk terapi spesialis keperawatan jiwa telah dikembangkan berbagai

psikoterapi untuk individu, kelompok dan keluarga.

Keluarga sebagai unit sosial terdekat dengan klien juga memerlukan terapi

untuk menangani anggota keluarganya yang mengalami schizophrenia. Selain

asuhan keperawatan generalis sesuai SAK, saat ini telah dikembangkan pula

psikoterapi untuk keluarga antara lain Family Psychoeducation dan Triangle

Therapy (Keliat & Walter, 2011). Berbagai terapi ini terus dikembangkan dan

banyak dilakukan penelitian untuk terus mengembangkan metoda terapi dan

efeknya untuk masalah dan gangguan kesehatan jiwa.

Family psycho-education (FPE) atau psikoedukasi keluarga adalah salah satu

terapi untuk keluarga yang dapat digunakan di berbagai setting pelayanan

keperawatan jiwa. Psikoedukasi adalah pendekatan edukasional dan pragmatis

yang bertujuan untuk memperbaiki pengetahuan mengenai anggota keluarga

yang sakit, mengurangi kekambuhan, dan memperbaiki keberjalanan fungsi

pasien dan keluarga (Stuart, 2009). Psikoedukasi keluarga dapat diberikan

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 25: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

5

Universitas Indonesia

pada keluarga dalam berbagai setting, baik di rumah sakit jiwa, rumah sakit

umum maupun di komunitas.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui efek dari pemberian

FPE ini secara langsung kepada keluarga dan secara tidak langsung kepada

klien. Salah satu penelitian dalam The British Journal of Psychology

menunjukkan efek pemberian FPE pada keluarga yang merawat klien dengan

depresi mayor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok pada

kelompok yang diberikan FPE, waktu kekambuhan klien secara statistik lebih

panjang dibandingkan dengan kelompok keluarga yang tidak diberikan FPE

(Kaplan-Meier survival analysis, P=0,002) (Shimazu, et.al, 2008). Hal ini

menunjukkan bahwa intervensi pada keluarga memberikan dampak yang

positif terhadap klien.

Pemberdayaan masyarakat dalam menangani schizophrenia juga tidak dapat

diabaikan. Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa masalah

schizophrenia memberikan dampak pada keluarga dan masyarakat di

sekitarnya. Karena itu keberadaan keluarga dan masyarakat perlu

dipertimbangkan dalam rangka menangani masalah gangguan jiwa ini.

Pemberdayaan masyarakat dalam keperawatan kesehatan jiwa diwujudkan

dengan dikembangkannya model Community Mental Health Nursing

(CMHN). CMHN / Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas (KKJK)

merupakan salah satu upaya yang digunakan untuk membantu masyarakat

menyelesaikan masalah-masalah kesehatan jiwa akibat dampak konflik,

tsunami, gempa maupun bencana lainnya (Keliat dkk, 2011). Dalam CMHN

masyarakat diberdayakan agar dapat mengatasi masalah kesehatan jiwa di

wilayah tempat tinggalnya.

Penelitian terkait penerapan model CMHN yang dilakukan Keliat, Helena dan

Riasmini (2011) yang mengujicobakan model CMHN pada 237 keluarga di

DKI Jakarta. Pada penelitian ini perawat CMHN melakukan kunjungan rumah

dilakukan sebanyak 12 kali kunjungan. Penelitian dilakukan dengan

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 26: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

6

Universitas Indonesia

memberikan asuhan keperawatan kepada klien dan memberikan health

education kepada keluarga klien. Hasil analisis menunjukkan rata-rata

kemandirian pasien pada kelompok intervensi sebelum penerapan model

CMHN yaitu 29.94, standar deviasi 11.27, dan setelah penerapan model

CMHN yaitu 38.83, standar deviasi 9.32. Rata-rata waktu produktif pasien

pada kelompok intervensi sebelum penerapan model CMHN yaitu 2.21,

standar deviasi 1.36, dan setelah penerapan model sebesar 3.82, standar

deviasi 1.28. Ada perbedaan bermakna kemampuan kognitif keluarga sebelum

dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi (p value = 0.000), sedangkan

pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan bermakna (p value = 0.123) ada

perbedaan bermakna kemampuan psikomotor sebelum dan setelah penerapan

model CMHN baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol (p

value = 0.000 dan 0.027). Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa penerapan

model CMHN berdampak positif terhadap klien dan keluarga.

Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan pola kunjungan rumah

seperti pada penelitian di atas ditambah dengan pemberdayaan kader untuk

menjalankan peran PMO (Pengawas Minum Obat). Peran PMO digunakan

dengan mempertimbangkan sumber daya yang telah ada, yaitu tersedianya

kader yang khusus berperan dalam program kesehatan jiwa dan fenomena

yang ditemukan selama peneliti melakukan studi pendahuluan yang akan

dijelaskan lebih rinci pada paragraf selanjutnya.

Peran kader dalam model CMHN salah satunya adalah melakukan kunjungan

rumah ke keluarga pasien gangguan jiwa yang telah mandiri (Keliat, 2010).

Kegiatan yang dapat dilakukan saat kader melakukan kunjungan rumah adalah

menjalankan peran PMO (Pengawas Minum Obat) seperti yang telah

dikembangkan oleh Departemen Kesehatan untuk penyakit tuberculosis. PMO

bertugas untuk menjamin keteraturan pengobatan klien. PMO sendiri

sebaiknya dilakukan oleh petugas kesehatan, atau jika tidak memungkinkan

dapat dilakukan oleh kader atau keluarga klien (Nizar, 2010). Pada penelitian

ini akan diujicobakan pelaksanaan peran PMO oleh kader.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 27: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

7

Universitas Indonesia

Kecamatan Kersamanah adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Garut

Propinsi Jawa Barat yang cukup potensial untuk diberikan terapi spesialis.

Jumlah klien gangguan jiwa di kecamatan tersebut sampai akhir Desember

2011 mencapai 98 orang dari total jumlah penduduk 37.681 orang. Dengan

demikian prevalensi gangguan jiwa di kecamatan tersebut adalah 2,6/1000

jiwa. Angka ini lebih besar dari prevalensi di Provinsi Jawa Barat yang

mencapai 2,2/1000 jiwa. Desa Kersamanah yang memiliki jumlah klien paling

banyak, yaitu 35 klien, sempat diberitakan sebagai ‘desa gila’ pada tahun

2008 dalam salah satu media massa di Jawa Barat. Berdasarkan data Bulan

Januari 2012 yang diperoleh dari data sekunder di puskesmas, didapatkan data

dari 98 klien, sebanyak 39 klien terdata drop out (DO) obat dengan alasan

berbeda-beda.

Peneliti melakukan studi pendahuluan dengan mengunjungi enam keluarga

dengan schizophrenia. Dari hasil pengkajian didapatkan dua dari enam klien

belum mandiri melakukan perawatan diri dan salah satu klien tersebut

mengalami pemasungan sehingga perawatan dirinya semakin buruk. Empat

dari enam klien menunjukkan gejala fase aktif schizophrenia seperti

halusinasi, disorganisasi pembicaraan, gejala-gejala negatif seperti afek datar,

dan tidak ada motivasi untuk beraktivitas. Semua klien tidak mengetahui

bagaimana cara mengatasi masalah keperawatan, seperti halusinasi, isolasi

sosial dan risiko perilaku kekerasan yang muncul pada dirinya. Empat dari

enam klien yang dikaji, tidak teratur minum obat dengan berbagai alasan.

Alasan yang dikemukakan terkait pengobatan antara lain, klien menolak

minum obat karena bosan, klien tidak minum obat karena keluarga merasa

tidak perlu diobati, dan klien minum obat semaunya karena tidak diawasi oleh

orangtuanya yang sudah tua. Hal ini menunjukkan bahwa klien memerlukan

asuhan keperawatan untuk meningkatkan kemandirian dan meningkatkan

kepatuhan klien minum obat.

Studi pendahuluan juga dilakukan kepada keluarga klien untuk mengetahui

usaha keluarga untuk mengatasi penyakit klien dan dampak kondisi klien pada

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 28: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

8

Universitas Indonesia

keluarga. Empat dari enam keluarga merasa bingung dan tidak tahu apa yang

harus dilakukan pada anggota keluarganya yang sakit. Dua keluarga merasa

terancam dan takut kepada klien dan pernah menjadi korban perilaku

kekerasan klien. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga tidak memiliki koping

yang adekuat untuk merawat klien. Untuk itu keluarga perlu diberikan terapi

untuk meningkatkan pengetahuannya tentang cara merawat klien serta

meningkatkan kopingnya dalam menghadapi klien.

Kelima desa di Kecamatan Kersamanah memiliki 4-5 kader untuk membantu

petugas kesehatan di puskesmas. Hal yang sudah dilakukan kader yang ada

adalah membantu pasien mendapatkan obat dari puskesmas, memotivasi

pasien dan keluarga untuk mengingatkan pasien untuk minum obat,

mengidentifikasi pasien baru dan melaporkannya ke pihak puskesmas..

Peneliti juga menanyakan perihal kunjungan kader dan petugas puskesmas ke

rumah warga. Satu dari enam keluarga yang dikaji adalah kader kesehatan

jiwa yang dinilai cukup aktif di puskesmas. Satu keluarga lain menyatakan

bahwa kader dan petugas puskesmas tidak pernah mendatangi rumahnya. Satu

keluarga lain berikutnya menyatakan jarang, tetapi keluarga akan mendatangi

puskesmas jika gejala klien muncul lagi. Sedangkan tiga keluarga lain

menyatakan kader kesehatan jiwa maupun petugas puskesmas jarang datang

ke rumahnya, petugas atau kader hanya datang ketika memberikan obat atau

menyampaikan ada kegiatan di puskesmas. Kader juga belum pernah

mendapatkan pelatihan Kader Kesehatan Jiwa (KKJ) sebelumnya. Peneliti

tertarik untuk memberdayakan kader untuk melakukan kunjungan rumah

sebagai salah satu peran KKJ untuk melakukan peran PMO.

Kecamatan Kersamanah terdiri dari lima desa, yaitu Desa Kersamanah, Desa

Sukamaju, Desa Girijaya, Desa Nanjungjaya, dan Desa Sukamerang.

Puskesmas utama berlokasi di Desa Sukamerang, dan puskesmas pembantu

terletak di Desa Kersamanah dan Desa Nanjungjaya. Dengan adanya

puskesmas pembantu, diperkirakan akses warga ke puskesmas cukup

terjangkau. Puskesmas juga menyediakan pemeriksaan psikiater gratis di

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 29: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

9

Universitas Indonesia

puskesmas satu minggu sekali dan pemberian obat gratis. Dapat disimpulkan

bahwa jarak puskesmas dan biaya pengobatan seharusnya tidak menjadi

hambatan untuk klien berobat. Jumlah petugas puskesmas untuk kesehatan

jiwa di Kecamatan Kersamanah adalah 2 orang, dibantu 2 orang lainnya untuk

teknis di lapangan. Petugas puskesmas merasa perlu dibantu oleh kader dalam

menjalankan tugasnya di lapangan seperti menyampaikan obat ke rumah klien.

Pengelolaan klien secara langsung ke rumah-rumah kurang optimal dilakukan

oleh petugas puskesmas karena keterbatasan tenaga. Kecamatan Kersamanah

juga belum pernah terpapar dengan terapi spesialis keperawatan jiwa.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk

meneliti pengaruh pemberian asuhan keperawatan kepada klien, FPE pada

keluarga dan pelaksanaan peran PMO oleh kader terhadap kemandirian dan

kepatuhan berobat klien gangguan jiwa di Kecamatan Kersamanah tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Kecamatan Kersamanah merupakan salah satu kecamatan di Provinsi Jawa

Barat yang memiliki prevalensi gangguan jiwa lebih tinggi dibandingkan

dengan prevalensi gangguan jiwa di Provinsi Jawa Barat. Jumlah klien yang

terdeteksi sampai Bulan Desember 2012 adalah 98 orang. Dari 98 klien,

sebanyak 39 orang terdata drop out (DO) obat karena berbagai alasan. Dari

hasil studi pendahuluan diketahui empat dari enam klien belum mandiri dalam

melakukan perawatan diri, bahkan salah satu klien dipasung oleh keluarga.

Semua klien yang dikaji menyatakan tidak tahu bagaimana cara mengatasi

masalah yang dialaminya, seperti halusinasi, isolasi sosial, defisit perawatan

diri dan perilaku kekerasan.

Enam keluarga yang dikaji mengatakan tidak tahu dalam merawat klien

dengan gangguan jiwa. Dua keluarga merasa takut dan pernah menjadi korban

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 30: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

10

Universitas Indonesia

perilaku kekerasan klien. Seluruh keluarga belum pernah terpapar oleh terapi

spesialis keperawatan jiwa seperti FPE sebelumnya.

Setiap desa memiliki sumber daya berupa kader sebanyak 4-5 orang yang

bertugas untuk membantu petugas puskesmas menjalankan program kesehatan

jiwa di kecamatan tersebut. Namun menurut keluarga petugas puskesmas dan

kader tidak teratur datang ke rumah klien. Belum pernah ada program PMO

sebelumnya.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, didapatkan

masalah-masalah penelitian sebagai berikut:

1.2.1 Prevalensi gangguan jiwa di Kecamatan Kersamanah, yaitu sebesar

2,6/1000 jiwa, lebih tinggi dibanding prevalensi di Jawa Barat sebesar

2,2/1000 jiwa.

1.2.2 Empat dari enam klien yang dikunjungi belum mandiri dalam

melakukan ADL (Activity Daily Living) nya.

1.2.3 Sebesar 39 dari 98 klien (39,8%) dinyatakan drop out berobat.

1.2.4 Semua keluarga yang dikunjungi belum memahami cara merawat klien

di rumah.

1.2.5 Kader tidak teratur melakukan kunjungan rumah.

1.2.6 Belum pernah dilakukan FPE dan peran PMO sebelumnya.

Berdasarkan berbagai permasalahan di atas, peneliti tertarik untuk

memberikan asuhan keperawatan kepada klien, FPE kepada keluarga dan

memberdayakan kader untuk menjalankan peran PMO kepada klien dengan

schizophrenia di Kersamanah Garut, dengan pertanyaan penelitian yaitu:

1. Apakah pemberian asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran

Pengawas Minum Obat oleh kader mempengaruhi kemandirian dan

kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut?

2. Apakah ada hubungan antara kemandirian dengan kepatuhan berobat klien

schizophrenia di Kersamanah Garut?

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 31: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

11

Universitas Indonesia

3. Apakah karakteristik klien mempengaruhi kemandirian dan kepatuhan

berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh

pemberian asuhan keperawatan kepada klien, keluarga dan peran

Pengawas Minum Obat (PMO) terhadap kemandirian dan kepatuhan

berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut.

1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian

Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.3.2.1 Diketahuinya karakteristik klien schizophrenia di Kersamanah

Garut

1.3.2.2 Diketahuinya kemandirian klien schizophrenia di Kersamanah

Garut.

1.3.2.3 Diketahuinya kepatuhan berobat klien schizophrenia di

Kersamanah Garut.

1.3.2.4 Diketahuinya pengaruh asuhan keperawatan kepada klien, FPE

kepada keluarga dan peran PMO oleh kader terhadap

kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di

Kersamanah Garut.

1.3.2.5 Diketahuinya hubungan antara kemandirian dengan kepatuhan

berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah.

1.3.2.6 Diketahuinya karakteristik yang berkontribusi terhadap

kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di

Kecamatan Kersamanah.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 32: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

12

Universitas Indonesia

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1.4.1 Pelayanan keperawatan

Dengan penelitian ini diharapkan Unit Kesehatan Jiwa Puskesmas

Kersamanah dapat mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa dengan

sasaran klien, keluarga dan kader. Penelitian ini juga diharapkan

menjadikan masukan bagi puskesmas untuk mengadakan pelatihan

CMHN untuk program kesehatan jiwa di Kecamatan Kersamanah.

Bagi kader yang sudah terbentuk diharapkan dapat menjadi masukan

untuk menjalankan peran sebagai Kader Kesehatan Jiwa sesuai dengan

model CMHN.

1.4.2 Ilmu pengetahuan

1.4.2.1 Hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar dalam

pengembangan kader sesuai dengan model CMHN

1.4.2.2 Penelitian ini dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi

keluarga, kader dan petugas puskesmas dalam memberikan

intervensi pada klien dengan schizophrenia

1.4.3 Penelitian keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan data awal untuk melakukan

penelitian selanjutnya terkait intervensi kepada klien dengan

schizophrenia, keluarga dan kader.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 33: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

13

Universitas Indonesia

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT

TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI KERSAMANAH GARUT

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa

Rahmi Imelisa1006749182

FAKULTAS ILMU KEPERAWATANPROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWAUNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK, JULI 2012

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 34: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

14

Universitas Indonesia

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT

TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI KERSAMANAH GARUT

TESIS

Rahmi Imelisa1006749182

FAKULTAS ILMU KEPERAWATANPROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIADEPOK, JULI 2012

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 35: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

13Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan disampaikan tinjauan pustaka mengenai schizophrenia,

termasuk penanganan kepada klien, keluarga dan peran kader dalam PMO,

kemandirian, dan kepatuhan berobat.

2.1 Schizophrenia

Berikut ini akan dibahas mengenai definisi schizophrenia, proses terjadinya

schizophrenia, tanda dan gejala schizophrenia, dan proses keperawatan pada

klien dengan schizophrenia.

2.1.1 Definisi schizophrenia

Kata ‘schizophrenia’ adalah kombinasi dari dua kata dari Yunani,

‘schizein’, yang berarti terbelah, dan ‘phren’, yang berarti pikiran.

Namun bukan berarti pikiran terbelah seperti yang terjadi pada seseorang

dengan kepribadian terbelah, tetapi keyakinan bahwa pembelahan terjadi

antara kognitif dan emosional seseorang (Stuart, 2009).

Schizophrenia merupakan salah satu fase dari psikosis. Untuk

memahami schizophrenia terlebih dahulu perlu dipahami mengenai

pengertian psikosis. Psikosis adalah kondisi mental di mana terjadi

disorganisasi kepribadian, kerusakan dalam fungsi sosial dan kehilangan

kontak atau distori terhadap realita. Mungkin terjadi halusinasi dan

waham. Psikosis dapat terjadi dengan atau tanpa adanya kerusakan

organik (Townsend, 2009). Stuart (2009) mendefinisikan psikosis

sebagai kondisi mental dimana seseorang memiliki pengalaman realita

yang berbeda dari orang lain. Pada kondisi ini pasien tidak akan

menyadari bahwa orang lain tidak mengalami apa yang dialaminya dan

pasien akan merasa heran karena orang lain tidak bereaksi sama dengan

dirinya (Stuart, 2009). Dan Fontaine (2009) mendefinisikan psikosis

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 36: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

14

Universitas Indonesia

sebagai pengalaman perubahan mental yang menetap, seperti

ketidakmampuan berpikir jernih, tidak mampu memaknai sesuatu

dengan benar, dan tidak mampu mengontrol emosi yang berlebih. Dari

beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa psikosis adalah

gangguan mental di mana klien mengalami perubahan persepsi terhadap

realita. Klien dengan psikosis mengalami kesulitan dalam memaknai

kenyataan.

Definisi psikosis dan schizophrenia seringkali beriringan. Shizophrenia

sendiri menurut Townsend (2009) merupakan salah satu tahapan dari

psikosis, yaitu saat tanda dan gejala muncul sangat mencolok. Stuart

(2009) mendefinisikan schizophrenia sebagai penyakit otak

neurobiologis yang menetap. Menurutnya pula, bahwa schizophrenia

merupakan gejala klinis yang berdampak pada kehidupan individu,

keluarga dan komunitasnya. Stuart mengelompokkan schizophrenia ke

dalam rentang respon neurobiologis. Schizophrenia oleh Videbeck

(2008), diartikan sebagai suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan

menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku

yang aneh dan terganggu. Dan Fontaine (2009) mendefinisikan

schizophrenia sebagai kombinasi dari kerusakan berpikir, gangguan

persepsi, ketidaknormalan perilaku, gangguan afektif dan kerusakan

kompetensi sosial. Dapat disimpulkan bahwa schizophrenia merupakan

gangguan neurobiologis yang dimanifestasikan dengan gangguan

persepsi terhadap realita dan disertai dengan perilaku yang abnormal.

Berikut ini adalah kriteria DSM-IV-TR (APA, 2000 dalam Townsend,

2009) yang digunakan untuk mendiagnosa schizophrenia:

1. Gejala karakteristik: dua (atau lebih) dari gejala berikut, masing-

masing terjadi dalam waktu yang signifikan selama periode 1 bulan

(atau kurang jika berhasil ditangani):

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 37: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

15

Universitas Indonesia

a. Delusi (waham)

b. Halusinasi

c. Disorganisasi pembicaraan

d. Perilaku katatonik

e. Gejala negatif (misal afek datar, alogia, atau avolisi)

2. Disfungsi sosial atau okupasional: untuk waktu yang signifikan sejak

muncul gangguan, satu atau lebih area mayor atau fungsi seperti

pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri berada di

bawah normal pada level sebelum onset gangguan (atau jika onset

pada masa anak atau remaja, kegagalan mencapai pencapaian tingkat

interpersonal, akademik atau okupasional).

3. Durasi: gangguan berlanjut dan menetap selama sekurang-kurangnya

6 bulan. Selama 6 bulan ini termasuk masa 1 bulan gejala aktif (atau

kurang jika penanganan baik) dan dapat termasuk fase prodromal

atau residual. Selama masa prodromal dan residual ini, tanda-tanda

dari gangguan ini dapat berupa gejala negatif saja atau dua atau lebih

gejala yang telah diuraikan pada kriteria 1 dan muncul dalam bentuk

yang melemah (misal keyakinan yang aneh, ekpresi persepsi yang

tidak biasa).

4. Eksklusi skizoafektif dan mood disorder: Gangguan skizoafektif dan

mood disorder dengan masalah psikotik telah dikeluarkan karena (1)

tidak ada depresi mayor, manic, atau episode campuran yang terjadi

bersamaan dengan gejala fase aktif; atau (2) jika episode mood

terjadi selama fase aktif, durasi totalnya berhubungan langsung

dengan durasi masa aktif dan residual.

5. Esklusi masalah substansi atau kondisi kesehatan umum: Gangguan

yang terjadi tidak secara langsung merupakan efek fisiologis dari

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 38: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

16

Universitas Indonesia

penggunaan substansi tertentu (misal penyalahgunaan obat, atau

pengobatan) atau kondisi medis secara umum.

6. Berhubungan dengan gangguan perkembangan pervasif: jika ada

riwayat autis atau masalah perkembangan lainnya, maka diagnosa

schizophrenia ditambahkan hanya jika waham atau halusinasi yang

sangat kuat muncul selama sekurang-kurangnya 1 bulan (atau kurang

jika penanganan baik).

2.1.2 Proses Terjadinya Schizophrenia

Untuk memahami proses terjadinya schizophrenia, perlu dipahami pula

perjalanan gangguan psikotik, karena schizophrenia merupakan salah

satu fase yang muncul pada perjalanan gangguan psikotik. Berikut ini

akan diuraikan mengenai empat fase perjalanan gangguan psikotik.

Schizophrenia dapat muncul tiba-tiba, tetapi kebanyakan tanda dan

gejala berkembang secara lambat dan bertahap. Gejala yang dapat

muncul seperti menarik diri dari masyarakat, perilaku yang tidak lazim,

kehilangan minat untuk sekolah atau bekerja, dan seringkali

mengabaikan hygiene (Videbeck, 2008).

Psikosis berkembang dalam empat fase, yaitu fase premorbid, fase

prodromal, fase schizophrenia dan fase residual. Berikut ini adalah

uraian dari setiap fase tersebut.

2.1.2.1 Fase I : Fase premorbid

Fase ini ditandai dengan periode munculnya ketidaknormalan

fungsi, walaupun hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari efek

penyakit tertentu (Lehman et al, 2006 dalam Townsend, 2009).

Indikator premorbid dari psikosis, diantaranya adalah riwayat

psikiatri keluarga, riwayat prenatal, dan komplikasi obstetrik dan

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 39: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

17

Universitas Indonesia

defisit neurologis. Faktor premorbid lain adalah pribadi yang

terlalu pemalu dan menarik diri, hubungan sosial yang kurang

baik dan menunjukkan perilaku antisosial. Faktor usia dan jenis

kelamin perlu menjadi perhatian, perilaku menyimpang

cenderung lebih muncul saat remaja. Dan perilaku antisosial

lebih sering ditunjukkan oleh gender laki-laki, sementara perilaku

pasif dan menarik diri sering ditemui pada wanita (Olin dan

Mednick, 1996 dalam Townsend, 2009). Pada tahap ini individu

telah mengalami gangguan dalam menjalankan fungsi dalam

aktivitasnya sehari-hari. Pada fase ini tanda-tanda psikotik belum

muncul sehingga pencegahan pada klien yang telah menunjukkan

perilaku premorbid perlu diperhatikan.

2.1.2.2 Fase II : Fase prodromal

Fase ini menunjukkan tanda dan gejala tertentu yang mengarah

pada manifestasi fase akut dari penyakit ini. Fase prodromal

dimulai dengan adanya perubahan fungsi premorbid dan meluas

sampai munculnya gejala psikotik. Fase ini dapat terjadi dalam

beberapa minggu atau bulan, tetapi banyak penelitian

menyatakan bahwa fase prodromal terjadi antara 2 sampai 5

tahun. Lehman dan asosiasinya (2006 dalam Townsend, 2009),

menyatakan bahwa selama fase prodromal pasien akan

mengalami kerusakan fungsional penting dan gejala-gejala yang

tidak spesifik, seperti gangguan tidur, kecemasan, mudah

tersinggung, mood depresi, penurunan konsentrasi, lemah, dan

defisit perilaku seperti penurunan fungsi peran dan menarik diri

dari lingkungan sosial. Gejala positif seperti abnormalitas

persepsi, referensi ide, dan kecurigaan berkembang pada akhir

fase prodromal dan semakin mendekati kejadian psikosis

(Townsend, 2009). Pada fase ini tanda-tanda psikotik mulai

muncul dengan intensitas rendah. Pengenalan tanda dan gejala

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 40: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

18

Universitas Indonesia

dan penanganan pada fase ini perlu diperhatikan agar tidak

berkembang menuju fase aktif.

2.1.2.3 Fase III : Fase Schizophrenia

Fase schizophrenia merupakan fase aktif dari perjalanan penyakit

psikosis. Pada fase ini gejala gangguan tampak sangat mencolok

(Townsend, 2009). Tanda dan gejala pada fase ini akan

diuraikan pada sub pokok bahasan berikutnya mengenai tanda

dan gejala schizophrenia.

2.1.2.4 Fase IV : Fase Residual

Schizophrenia ditandai dengan adanya masa remisi dan

eksaserbasi. Fase residual biasanya mengikuti fase aktif penyakit.

Selama fase residual, gejala dari masa akut dapat hilang atau

tidak mencolok lagi. Gejala negatif mungkin masih ada, dan afek

datar dan kerusakan fungsi peran biasa terjadi. Kerusakan

residual biasanya berkembang antara masa masa aktif psikosis.

2.1.3 Tanda dan gejala schizophrenia

Pengelompokkan tanda dan gejala schizophrenia dikembangkan dalam

beberapa sistem pengelompokkan. Satu sistem mengelompokkan tanda

dan gejala ini dalam 2 kelompok, yaitu gejala positif dan negatif. Sistem

lain mengelompokkannya dalam 5 kelompok gejala, yaitu gejala positif,

gejala negatif, gejala kognitif, disfungsi sosial dan okupasional, serta

gejala mood (Stuart, 2009). Sistem yang membagi gejala menjadi 5

kelompok mempermudah pemahaman kita akan efek schizophrenia pada

individu, keluarga dan masyarakat (komunitas).

Gejala positif adalah gejala di mana perilaku yang muncul berlebihan

dibandingkan dengan perilaku normal, sebaliknya gejala negatif adalah

gejala yang muncul saat perilaku lebih menurun dibandingkan perilaku

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 41: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

19

Universitas Indonesia

normal. Gejala positif adalah gangguan atau fungsi yang berlebihan dari

fungsi normal, biasanya berrespon terhadap semua jenis obat obatan

antipsikotik. Gejala positif dapat dikelompokkan menjadi gangguan

proses pikir; yaitu munculnya waham (paranoid, somatik, kebesaran,

religious, nihilistik, atau penyiksaan; siar pikir, sisip pikir atau kontrol

pikiran) dan halusinasi (pendengaran, penglihatan, peraba, pengecap atau

penghidu), dan disorganisasi pembicaraan dan perilaku; yaitu gangguan

pemikiran formal (inkoherensi, word salad, derailment, ketidaklogisan,

kehilangan asosiasi, pemikiran tangensial, sirkumstansial, pembicaraan

tertekan, pembicaraan terputus, atau sulit untuk bicara) dan perilaku

yang aneh (katatonia, gangguan pergerakan, penururan perilaku sosial)

(Stuart, 2009). Gejala positif menunjukkan perilaku klien yang

berlebihan. Gejala positif ini biasanya memunculkan perilaku agresif dan

dapat membahayakan klien dan orang lain di sekitarnya.

Gejala negatif adalah penurunan atau hilangnya fungsi normal, biasanya

tidak berrespon terhadap antipsikotik biasa dan lebih berrespon terhadap

antipsikotik atipikal. Yang termasuk ke dalam gejala negatif adalah

masalah emosi seperti afek datar (keterbatasan rentang atau intensitas

dari ekspresi emosi), dan anhedonia/asocial (ketidakmampuan

merasakan kesenangan atau membangun kontak sosial. Gejala negatif

lain yaitu kerusakan kemampuan membuat keputusan, dapat dilihat dari

adanya alogia (terbatasnya pemikiran dan pembicaraan), avolisi/apatis

(kurang inisiatif dalam perilaku mencapai tujuan), dan kerusakan

perhatian (tidak mampu fokus secara mental dan tidak mampu

mempertahankan perhatian) (Stuart, 2009). Dari penjelasan ini dapat

dianalisa bahwa gejala negatif dapat berkontribusi besar terhadap

kemandirian klien. Klien yang menunjukkan gejala negatif akan

mengalami penurunan motivasi dan kemampuan untuk melakukan

kegiatan sehari-hari, sehingga dapat terjadi defisit perawatan diri.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 42: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

20

Universitas Indonesia

2.1.4 Proses Keperawatan Pada Klien Dengan Schizophrenia

Unsur dalam proses keperawatan adalah pengkajian, penetapan diagnosis

keperawatan, intervensi, dan evaluasi (Nursalam, 2008). Berikut ini

adalah Model Stress Adaptasi Stuart, yang merupakan salah satu model

yang dapat dikembangkan dalam pendekatan proses keperawatan jiwa.

Model ini mengintegrasikan aspek biologis, psikologis dan sosial budaya

dalam pelayanan kepada klien. Tahapan yang terjadi sehingga muncul

diagnosa keperawatan pada klien dapat dilihat pada skema 2.1.

Skema 2.1

Model Stress Adaptasi Stuart

Sumber: Stuart (2009)

2.1.4.1 Pengkajian

Pengkajian klien schizophrenia dimulai dari mengkaji faktor

predisposisi. Selanjutnya dikaji faktor presipitasi, faktor

presipitasi, penilaian stressor, sumber koping dan mekanisme

koping (Stuart, 2009).

1. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi menurut Model Stress Adaptasi Stuart

terdiri dari tiga faktor, yaitu biologis, psikologis dan sosial

budaya. Pendapat lain menyatakan bahwa schizophrenia

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 43: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

21

Universitas Indonesia

dapat merupakan hasil dari kombinasi beberapa penyebab

diantaranya faktor biologis, faktor psikologis, dan faktor

lingkungan (Townsend, 2009).

a. Faktor Biologis

Faktor biologis terdiri dari latar belakang genetik, status

nutrisi, sensitivitas biologi, kondisi kesehatan umum, dan

paparan terhadap zat racun.

1) Genetik

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa saudara dari

individu dengan schizophrenia memiliki

kecenderungan lebih besar untuk terkena penyakit ini

dibandingkan populasi secara umum. Risiko umum

untuk terkena schizophrenia adalah 1 persen di antara

populasi penelitian, sedangkan saudara kandung atau

keturunan dari klien yang teridentifikasi

schizophrenia memiliki risiko 5 sampai 10 persen

terkena schizophrenia (Andreasen & Black, 2006

dalam Townsend, 2009). Pada penelitian ini faktor

genetik akan diukur sebagai variabel perancu karena

faktor genetik (herediter) menjadi faktor yang

menyebabkan tingginya risiko seseorang menderita

schizophrenia.

Kejadian schizophrenia pada kembar monozigot

memiliki rasio 4 sampai 5 kali risiko dibandingkan

kembar dizigot dan sekitar 50 kali dibanding populasi

umum (Sadock & Sadock, 2007 dalam Townsend,

2009). Karena setengah kasus menunjukkan bahwa

hanya salah satu dari pasangan monozigot yang

terkena schizophrenia, maka beberapa peneliti

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 44: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

22

Universitas Indonesia

menyimpulkan bahwa ada faktor lingkungan yang

berinteraksi dengan faktor genetik (Townsend, 2009).

Hal ini menunjukkan bahwa schizophrenia terjadi

tidak hanya karena faktor biologis saja, tetapi ada

interaksi dengan faktor lain.

2) Sensitivitas biologi

Hipotesis dopamin menyatakan bahwa schizophrenia

(atau gejala mirip schizophrenia) dapat disebabkan

oleh aktivitas berlebih dari syaraf yang tergantung

dopamine pada otak. Beberapa neurotransmitter telah

diimplikasikan sebagai penyebab schizophrenia.

Yaitu dopamine, norepinephrine, serotonin,

glutamate, dan GABA. Sistem dopaminergik adalah

yang paling banyak dipelajari dan yang paling dekat

berkaitan dengan gejala penyakit (Townsend, 2009).

Teori ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan

neurotransmitter sangat berperan dalam munculnya

tanda dan gejala schizophrenia.

3) Kondisi kesehatan umum

Sadock dan Sadock (2007 dalam Townsend, 2009)

melaporkan bahwa data epidemiologis menunjukkan

insiden schizophrenia yang tinggi setelah paparan

influenza pada masa prenatal.

Ketidaknormalan anatomis juga dapat berkaitan

dengan schizophrenia. Dengan penggunaan teknologi

neuroimaging, ditemukan ketidaknormalan struktur

otak pada klien dengan schizophrenia. Adanya

pelebaran ventrikel otak adalah temuan yang paling

konsisten; namun peluasan sulci dan atropi cerebellar

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 45: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

23

Universitas Indonesia

juga ditemukan. Pemeriksaan juga menunjukkan

penurunan ukuran lobus frontal, tetapi hal ini tidak

selalu ditemukan. MRI telah digunakan untuk

mengeksplorasi abnormalitas pada area-area yang

spesifik seperti amygdala, hippocampus, lobus

temporal dan ganglia basalis pada otak seorang

dengan schizophrenia.

Pada klien schizophrenia diduga terjadi ‘salah susun’

pada sel piramida di hippocampus (Jonsson, Luts,

Guldberg-Kjaer, & Brun, 1997 dalam Townsend,

2009). Teori ini menunjukkan bahwa schizophrenia

dapat terjadi pada seseorang yang memiliki

abnormalitas struktur otak.

4) Kondisi fisik. Beberapa penelitian melaporkan adanya

keterkaitan antara schizophrenia dengan epilepsi

(khususnya pada lobus temporalis), penyakit Huntington,

trauma kelahiran, trauma kepala pada masa dewasa,

penyalahgunaan alcohol, tumor otak (khususnya pada

sistim limbik), masalah cerebrovascular, systemic lupus

eritematosus, myxedema, parkinsonism, dan penyakit

Wilson (Townsend, 2009). Pernyataan ini menunjukkan

korelasi antara kondisi fisik dengan kondisi psikologis.

Hal ini sejalan dengan yang disampaikan (Nasrallah et al,

2005 dalam Stuart, 2009) bahwa seseorang dengan

schizophrenia memiliki morbiditas dan mortalitas lebih

tinggi karena penyakit medis.

b. Faktor Psikologis

Faktor psikologis terdiri dari kecerdasan, keterampilan

verbal, moral, kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 46: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

24

Universitas Indonesia

diri, motivasi, pertahanan psikologis dan locus of control

atau perasaan seseorang mampu mengontrol nasibnya

sendiri.

Sadock dan Sadock (2007 dalam Townsend, 2009)

menyatakan bahwa petugas kesehatan harus memikirkan

kedua faktor, biologis dan psikososial, yang

mempengaruhi schizophrenia. Penyakit ini

mempengaruhi seseorang secara individual tetapi dampak

secara psikologis akan unik pada setiap orang. Seperti

dinyatakan pada sub pokok bahasan sebelumnya bahwa

schizophrenia terjadi tidak karena satu faktor saja

melainkan karena adanya interaksi antara berbagai faktor.

Faktor psikologis juga merupakan faktor penting yang

perlu diperhatikan dan perlu diberikan penanganan selain

untuk mengatasi aspek biologis dari schizophrenia.

c. Faktor Sosial Budaya

Faktor sosial budaya terdiri dari usia, jenis kelamin,

pendidikan, penghasilan, pekerjaan, posisi sosial, latar

belakang budaya, keyakinan, afiliasi politik, pengalaman

sosialisasi, dan tingkat integrasi sosial (Townsend, 2009).

Schizophrenia banyak terjadi pada individu dari golongan

sosial konomi rendah (Ho, Black & Andreasen, 2003

dalam Townsend, 2009). Hidup dalam kemiskinan,

seperti tinggal di tempat yang padat, nutrisi yang tidak

mencukupi, tidak adanya perawatan prenatal, kurangnya

sumber-sumber dalam menghadapi stress, dan merasa

tidak berdaya untuk merubah kondisi miskin seseorang

menjadi faktor ekonomi yang dapat menjadi predisposisi

schizophrenia (Townsend, 2009).

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 47: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

25

Universitas Indonesia

Pandangan alternatif adalah hipotesa downward drift,

yang menyatakan bahwa, karena karakter penyakit ini,

individu dengan schizophrenia memiliki kesulitan untuk

mempertahankan pekerjaan dan beralih pada tingkat

sosial ekonomi yang lebih rendah (atau gagal untuk

meningkat dari kelompok sosial ekonomi yang rendah).

Pandangan ini mempertimbangkan bahwa kondisi sosial

ekonomi yang sulit merupakan konsekuensi dari

schizophrenia, bukan sebagai penyebab (Townsend,

2009).

2. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi dalam Model Stress Adaptasi Stuart dapat

berasal dari faktor biologis, psikologis, dan sosial budaya.

Stressor pencetus dapat berasal dari internal klien atau

lingkungan di luar klien. Selain menggambarkan sumber

stressor, perlu diketahui pula waktu dan berapa kali stressor

terjadi (Stuart, 2009).

Tidak ada bukti yang ilmiah yang membuktikan bahwa stress

menyebabkan schizophrenia. Tetapi sangat memungkinkan

bahwa stress berkontribusi terhadap keparahan penyakit ini.

Diketahui bahwa stress yang ekstrim dapat mencetuskan fase

psikotik. Stress dapat menjadi pencetus penyakit pada

individu yang memiliki kecenderungan genetis terhadap

schizophrenia (Townsend, 2009).

3. Penilaian stressor

Merupakan pandangan klien mengenai stressor.

Schizophrenia dapat berkembang karena adanya hubungan

antara jumlah stress yang dialami seseorang dan ambang

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 48: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

26

Universitas Indonesia

batas stress seseorang (Stuart, 2009). Walaupun tidak ada

penelitian yang membuktikan bahwa stress adalah penyebab

dari schizophrenia, namun diyakini bahwa stress dapat

memperburuk schizophrenia (Jones & Fernyhough, 2007

dalam Stuart, 2009).

4. Sumber Koping

Schizophrenia membutuhkan penyesuaian pada klien dan

keluarga. Penyesuaian yang diperlukan setelah seseorang

mengalami masalah psikosis adalah: (1) gangguan kognisi,

(2) mencapai pemahaman, (3) keseimbangan semua aspek

kehidupan, dan (4) meraih pencapaian kerja dan pendidikan

(Stuart, 2009).

5. Mekanisme Koping

Pada fase aktif psikosis, pasien menggunakan mekanisme

pertahanan yang tidak disadari untuk melindungi diri dari

pengalaman yang tidak menyenangkan yang disebabkan oleh

penyakitnya. Berbagai mekanisme koping digunakan oleh

klien schizophrenia. Mekanisme koping dapat dijelaskan

berkaitan dengan schizophrenia. Regresi terjadi karena

masalah pemrosesan informasi dan pengeluaran banyak

energi untuk mengatasi ansietas. Proyeksi digunakan sebagai

usaha untuk menjelaskan kebingungan persepsi dengan

mengalihkan masalah pada sesuatu atau seseorang. Menarik

diri terjadi karena kesulitan menjalin kepercayaan dan karena

terlalu asik dengan dunianya sendiri. Keluarga seringkali

menyangkal diagnosa schizophrenia pada anggota

keluarganya. Mekanisme koping yang perlu dikaji pada klien

dengan schizophrenia adalah strategi koping kognitif,

emosional, interpersonal, fisiologis, dan spiritual (Stuart,

2009).

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 49: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

27

Universitas Indonesia

2.1.4.2 Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan

schizophrenia adalah diagnosa gangguan yang terdiri dari 11

diagnosa keperawatan yaitu gangguan sensori persepsi, gangguan

proses pikir, harga diri rendah, risiko perilaku kekerasan, isolasi

sosial, defisit perawatan diri, risiko perilaku kekerasan, regiment

terapeutik inefektif, regimen keluarga inefektif, berduka

disfungsional dan kerusakan komunikasi verbal. Berikut ini akan

dipaparkan mengenai data subjektif dan data objektif yang

menunjukkan 7 diagnosa gangguan utama.

Tabel 2.1Diagnosa Keperawatan Pada Klien Schizophrenia

No Data Subjektif Data Objektif Diagnosa Keperawatan

1 Mendengar suara-suara atau kegaduhanMendengar suara yang mengajak bercakap-cakapMendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya

Bicara atau tertawa sendiri tanpa lawan bicaraMarah-marah tanpa sebabMencodongkan telinga ke arah tertentu Menutup telinga

Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasidengar/suara

Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu atau monster

Menunjuk-nunjuk ke arah tertentuKetakutan pada objek yang tidak jelas

Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi Penglihatan

Membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-kadang bau itu menyenangkan

Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentuMenutup hidung

Gangguan SensoriPersepsi: Halusinasi Penghidu

Merasakan rasa seperti darah, urine, atau feses

Sering meludah Muntah

Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi pengecapan

Mengatakan ada serangga di permukaan kulit Merasa seperti tersengat listrik

Menggaruk-garuk permukaan kulit

Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi Perabaan

2 Memiliki isi pikir yang berulang-ulang diungkapkan dan menetapTakut terhadap objek atau situasi tertentu atau cemas berlebihan tentang tubuh atau kesehatannyaMerasa benda-benda di sekitarnya aneh dan tidak nyata

- Gangguan proses pikir: Waham

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 50: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

28

Universitas Indonesia

Merasa berada di luar tubuhnyaMerasa diawasi atau dibicarakan oleh orang lainBerpikir bahwa pikiran atau tindakannya dikontrol orang lainMengatakan memiliki kekuatan fisik atau kekuatan lain atau yakin bahwa orang lain dapat membaca pikirannya

3 Mengkritik diri sendiriPerasaan tidak mampuPandangan hidup yang pesimisPenolakan terhadap kemampuan diri

Penurunan produktivitasKurang memperhatikan perawatan diriBerpakaian tidak rapiSelera makan kurangTidak berani menatap lawan bicaraLebih banyak menundukBicara lambatNada suara lemah

Harga Diri Rendah

4 Menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lainMerasa tidak aman berada dengan orang lainMengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lainMerasa bosan dan lambat menghabiskan waktuTidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusanMerasa tidak bergunaTidak yakin dapat melangsungkan

Tidak memiliki teman dekatMenarik diriTidak komunikatifTindakan berulang dan tidak bermaknaAsyik dengan pikirannya sendiriTidak ada kontak mataTampak sedih, afek tumpul

Isolasi Sosial

5 Isi pembicaraan mengancam Muka merah dan tegangPandangan tajamMengatupkan rahang dengan kuatMengepalkan tanganJalan mondar-mandirBicara kasarSuara tinggi, menjerit atau berteriakMengancam secara verbal atau fisikMelempar atau memukul benda/orang lainMerusak barang atau bendaTidak mempunyai kemampuan untuk mencegah/mengontrol perilaku kekerasan

Risiko Perilaku Kekerasan

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 51: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

29

Universitas Indonesia

6 - Gangguan kebersihan diri: rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan bau, kuku panjang dan kotorTidakmampu berhias/berdandan: rambut acak-acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, tidak bercukur (klien pria), tidak berdandan (klien wanita)Tidak mampu makan mandiri: makan berceceran, makan tidak pada tempatnyaTidak mampu defekasi/berkemih mandiri: defekasi/berkemih tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelah defekasi/berkemih

Defisit Perawatan Diri

7 Memberikan isyarat secara tidak langsung, misal mengatakan “tolong jaga anak-anak saya karena saya akan pergi jauh’Mengancam akan bunuh diri

Memiliki rencana bunuh diri dengan menunjukkan persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebutMencederai diri sendiri

Risiko Bunuh Diri

Sumber : (Keliat, dkk., 2011)

2.1.4.3 Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan jiwa dikelompokkan dalam intervensi

generalis dan intervensi spesialis. Intervensi generalis

menggunakan standar yang telah disepakati di Indonesia yaitu

SAK (Standar Asuhan Keperawatan) Jiwa. SAK jiwa ini berisi

panduan Strategi Pelaksanaan (SP) untuk melakukan komunikasi

terapeutik pada klien dan pada keluarga. Intervensi spesialis

keperawatan jiwa dapat berupa psikoterapi yang saat ini telah

dikembangkan dengan sasaran individu, keluarga, dan kelompok.

1. Intervensi Keperawatan Generalis

Intervensi keperawatan generalis dilakukan dengan

menggunakan panduan SAK (Standar Asuhan Keperawatan)

Jiwa. SAK berisi panduan untuk melakukan komunikasi

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 52: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

30

Universitas Indonesia

terapeutik kepada klien dan keluarga. SAK untuk pasien

maupun untuk keluarga berisi SP 1 sampai SP 5 s.d 12.

Masing-masing SP adalah panduan untuk melakukan satu

kali komunikasi terapeutik kepada klien ataupun keluarga. SP

dapat dilakukan berulang-ulang jika kriteria keberhasilan

yang diharapkan belum tercapai.

Pada setiap SP klien diarahkan untuk mengenali masalahnya

dan dilatih untuk mengatasi masalahnya secara mandiri.

Misalnya untuk klien dengan isolasi sosial, pada pertemuan

pertama (SP 1), klien bersama-sama dengan perawat

mengenali penyebab isolasi sosialnya terjadi, kemudian klien

diajak untuk menyadari pentingnya bersosialisasi, dan klien

dilatih untuk berkenalan dengan anggota keluarganya. Pada

SP berikutnya klien dilatih untuk bersosialisasi secara

bertahap sampai klien dapat melakukannya secara mandiri.

SP keluarga diberikan agar keluarga memahami masalah

yang dialami klien, keluarga mengetahui cara merawat klien,

sampai keluarga mampu merawat klien secara mandiri di

rumah. Panduan lengkap SAK untuk intervensi kepada klien

dan keluarga dapat dilihat pada lampiran.

2. Intervensi Keperawatan Spesialis

Intervensi keperawatan spesialis juga dapat diberikan kepada

klien dan keluarga. Intervensi keperawatan spesialis telah

banyak dikembangkan baik untuk individu, keluarga,

kelompok dan masyarakat. Terapi spesialis untuk individu

diantaranya adalah cognitive therapy, behavioral therapy,

cognitive-behavioral therapy, social skill training, thought

stopping, progressive relaxation dan assertiveness training.

Selain terapi-terapi tersebut, masih banyak terapi lain yang

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 53: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

31

Universitas Indonesia

terus dikembangkan untuk memberikan intervensi kepada

individu dengan schizophrenia.

Intervensi keperawatan spesialis untuk keluarga yang telah

dikembangkan antara lain adalah family psychoeducation dan

triangle therapy. Pada penelitian ini, akan dilakukan family

psychoeducation kepada keluarga dengan klien

schizophrenia. Intervensi keperawatan spesialis jiwa yang

akan digunakan dalam penelitian ini adalah FPE.

Family Psychoeducation (FPE)

Beberapa pemberi layanan menangani schizophrenia sebagai

penyakit yang tidak hanya mengenai individu saja, tetapi juga

seluruh keluarga. Walaupun keluarga tampak memiliki

koping yang baik, dapat dipastikan ada pengaruh pada status

mental keluarga saat salah satu anggota keluarga mengalami

schizophrenia. Safier (1997, dalam Townsend, 2009)

menyatakan bahwa keluarga yang memiliki anggota keluarga

dengan schizophrenia akan mengalami pergolakan yang besar

dalam dirinya. Hal ini menjadi dasar pentingnya keluarga

mendapatkan terapi.

Intervensi kepada keluarga dimaksudkan untuk memperkuat

sistem keluarga, mencegah atau menghambat kekambuhan,

dan mempertahankan klien di masyarakatnya. Program

psikoedukasi ini memperlakukan keluarga sebagai sumber,

bukan sebagai stressor, dengan berfokus pada penyelesaian

masalah yang konkrit, dan perilaku menolong yang spesifik

untuk beradaptasi dengan stress. Dengan memberikan

informasi pada keluarga tentang penyakit dan menyarankan

tentang mekanisme koping yang efektif, program

psikoedukasi mengurangi kecenderungan klien untuk kambuh

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 54: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

32

Universitas Indonesia

dan mengurangi pengaruh penyakit ini pada keluarga yang

lain (Townsend, 2009).

Intervensi psikoedukasi yang sudah cukup terkenal

dikembangkan oleh National Alliance on Mental Illness

(NAMI). Dalam program dari keluarga ke keluarga, keluarga

saling mengajari satu sama lain mengenai penyakit ini,

metoda koping yang digunakan, dan sumber-sumber

dukungan yang ada.

Psikoedukasi untuk keluarga termasuk dengan individu yang

mengalami gangguan, seperti schizophrenia, depresi mayor,

dan gangguan bipolar, biasanya dikombinasikan dengan

terapi farmaka (Nathan and Gorman, 2007 dalam Stuart,

2009). Psikoedukasi ini terbukti memperbaiki gejala umum

dan mengurangi penolakan serta beban keluarga (Stuart,

2009).

Terapi keluarga biasanya terdiri dari program utama untuk

memberikan edukasi kepada keluarga tentang schizophrenia,

dan program yang lebih luas dengan keluarga dibentuk untuk

mengurangi manifestasi konflik yang jelas dan untuk

merubah pola komunikasi keluarga dan penyelesaian

masalah. Respon terhadap terapi ini sangat dramatis. Ho,

Black, dan Andreasen (2003 dalam Townsend, 2009)

melaporkan pada beberapa penelitian bahwa hasil positif

pada penanganan klien dengan schizophrenia ini dapat

tercapai dengan mengikutsertakan keluarga dalam pelayanan.

Family Psychoeducation therapy adalah salah satu elemen

program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara

pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 55: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

33

Universitas Indonesia

terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan

yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart, 2009).

FPE dilakukan dalam 5 sesi, yaitu : (1) sesi 1, pengkajian

masalah keluarga, (2) sesi 2, edukasi kepada keluarga tentang

cara merawat klien dengan gangguan jiwa, (3) sesi 3,

manajemen stress keluarga, (4) sesi 4, manajemen beban

keluarga, dan (5) sesi 5, pemberdayaan komunitas untuk

membantu keluarga. Penjelasan lengkap mengenai FPE pada

klien schizophrenia dapat dilihat pada modul FPE terlampir.

3. Pemberdayaan Kader dan Peran Pengawas Minum Obat

(PMO)

Intervensi lain yang dapat diberikan di komunitas adalah

dengan menerapkan model CMHN. Pada penelitian ini akan

dilakukan pemberdayaan kader untuk menjalankan peran

PMO kepada klien dengan schizophrenia di rumah.

Pemberdayaan masyarakat merupakan proses pengembangan

potensi pengetahuan maupun keterampilan masyarakat agar

mereka mampu mengontrol diri dan terlibat dalam

pemenuhan kebutuhan mereka sendiri (Helvie, 1998 dalam

Keliat, 2010). Kader Kesehatan Jiwa (KKJ) merupakan

sumber daya masyarakat yang perlu dikembangkan di Desa

Siaga Sehat Jiwa. Pemberdayaan kader kesehatan jiwa

sebagai tenaga potensial yang ada di masyarakat diharapkan

mampu mendukung program CMHN yang diterapkan di

masyarakat. Seorang kader akan mampu melakukan kegiatan

apabila kader tersebut telah diberikan pembekalan sejak awal.

Metode yang dipakai dalam mengembangkan kader

kesehatan jiwa sebaiknya teratur, sistematis, dan rasional

(Keliat, 2010).

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 56: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

34

Universitas Indonesia

Kemampuan kader kesehatan jiwa dalam melakukan kegiatan

perlu dipertahankan, dikembangkan, dan ditingkatkan melalui

manajemen pemberdayaan kader yang konsisten dan sesuai

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat

ini. Pengembangan kader kesehatan jiwa digambarkan

sebagai suatu proses pengelolaan motivasi kader sehingga

mereka dapat melaksanakan kegiatan dengan baik. Hal ini

juga merupakan penghargaan bagi kader karena melalui

manajemen sumber daya manusia (SDM) yang baik, kader

akan mendapatkan kompensasi berupa penghargaan

(compensatory reward) sesuai dengan apa yang telah

dikerjakannya (Keliat, 2010).

Manajemen pemberdayaan kader kesehatan jiwa di Desa

Siaga Sehat Jiwa berfokus pada proses rekruitmen, seleksi,

orientasi, penilaian kinerja, dan pengembangan kader. Proses

ini dilakukan dalam mempersiapkan Desa Siaga Sehat Jiwa,

juga setiap kali ada penambahan kader baru (Keliat, 2010).

a) Proses rekruitmen kader kesehatan jiwa

Rekruitmen kader kesehatan jiwa adalah suatu proses

pencarian dan pemikatan para calon kader yang

mempunyai kemampuan dalam mengembangkan Desa

Siaga Sehat Jiwa. Proses awal dalam merekrut kader

adalah dengan melakukan sosialisasi tentang

pembentukan Desa Siaga Sehat Jiwa disertai dengan

kriteria kader yang dibutuhkan. Adapun kriteria kader

adalah sebagai berikut:

1) Bertempat tinggal di Desa Siaga Sehat Jiwa

2) Sehat jasmani dan rohani

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 57: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

35

Universitas Indonesia

3) Mampu membaca dan menulis dengan lancar

menggunakan bahasa Indonesia

4) Bersedia menjadi kader kesehatan jiwa sebagai tenaga

suka rela

5) Mempunyai komitmen untuk melaksanakan program

kesehatan jiwa komunitas

6) Menyediakan waktu untuk kegiatan CMHN

7) Mendapat izin dari suami atau istri atau keluarga

(Keliat, 2010)

Rekruitmen kader dilakukan di tiap desa pada wilayah

puskesmas yang akan dikembangkan menjadi Desa Siaga

Sehat Jiwa. Kader Kesehatan Jiwa DSSJ direkrut dengan

rasio satu KKJ bertanggung jawab terhadap 15-20

keluarga (Keliat, 2010).

Proses rekrutmen kader di Desa Siaga Sehat Jiwa

dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat yang

dapat menentukan calon kader yang mampu dan mau

melakukan kegiatan kesehatan jiwa di lingkungan tempat

tinggalnya. Perawat CMHN melakukan koordinasi

dengan kepala desa, kepala dusun, atau dengan organisasi

masyarakat yang ada di wilayah kerjanya, seperti PKK.

Proses rekrutmen kader kesehatan jiwa dilakukan sebagai

berikut.

1) Perawat CMHN mengadakan pertemuan dengan

kepala desa dan tokoh masyarakat setempat untuk

menjelaskan pembentukan Desa Siaga Sehat Jiwa dan

kebutuhan kader kesehatan jiwa.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 58: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

36

Universitas Indonesia

2) Perawat CMHN menjelaskan kriteria kader dan

jumlah kader yang dibutuhkan untuk tiap desa dan

dusun.

3) Tokoh masyarakat melakukan pencarian calon kader

berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.

4) Kader yang telah direkrut mengisi biodata pada

formulir yang telah disediakan untuk proses seleksi

selanjutnya.

(Keliat, 2010).

b) Proses Seleksi Kader Kesehatan Jiwa

Proses seleksi adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan untuk memutuskan apakah calon kader

diterima atau tidak sebagai kader kesehatan jiwa. Proses

seleksi ini penting untuk mendapatkan sumber daya

manusia yang mempunyai motivasi dan kemampuan yang

tepat sesuai dengan yang dibutuhkan. Proses seleksi calon

kader di Desa Siaga Sehat Jiwa adalah sebagai berikut.

1) Perawat CMHN melakukan koordinasi dengan tokoh

masyarakat atau organisasi masyarakat dalam

menentukan calon kader yang memenuhi syarat.

2) Kader terpilih harus mengisi surat pernyataan

bersedia menjadi kader kesehatan jiwa dan bersedia

menjalankan program CMHN.

3) Kader terpilih diwajibkan mengikuti pelatihan kader

kesehatan jiwa.

(Keliat, 2010)

c) Proses Orientasi Kader Kesehatan Jiwa

Setiap kader yang akan melaksanakan program kesehatan

jiwa akan melalui masa orientasi, yaitu mengikuti

sosialisasi program CMHN dan pelatihan kader kesehatan

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 59: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

37

Universitas Indonesia

jiwa. Orientasi yang dilakukan mencakup informasi

budaya kerja dan informasi umum tentang visi, misi,

filosofi, kebijakan Desa Siaga Sehat Jiwa, dan

kemampuan kader kesehatan jiwa. Kegiatan orientasi

menggunakan metode klasik selama 2 hari, praktik

lapangan selama 3 hari, dan dilanjutkan dengan praktik

penerapan Desa Siaga Sehat Jiwa. Materi pelatihan kader

kesehatan jiwa mencakup :

1) Program Desa Siaga Sehat Jiwa

2) Deteksi keluarga di masyarakat: kelompok keluarga

sehat, kelompok keluarga yang berisiko mengalami

masalah psikososial, dan kelompok keluarga dengan

gangguan jiwa

3) Peran serta dalam menggerakkan masyarakat pada

kegiatan:

i) Penyuluhan kesehatan untuk kelompok keluarga

sehat jiwa

ii) Penyuluhan kesehatan untuk kelompok yang

berisiko mengalami masalah psikososial

iii) Penyuluhan kesehatan untuk kelompok yang

mengalami gangguan jiwa

iv) Terapi aktivitas kelompok dan rehabilitasi pasien

gangguan jiwa

4) Supervisi keluarga dan pasien gangguan jiwa yang

telah mandiri

5) Perujukan kasus pasien gangguan jiwa

6) Pelaporan kegiatan kader kesehatan jiwa

d) Kemampuan Kader Kesehatan Jiwa

Kemampuan kader yang dinilai di sini adalah kemampuan

dalam:

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 60: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

38

Universitas Indonesia

1) Mendeteksi keluarga di Desa Siaga Sehat Jiwa: Sehat,

Risiko, dan Sakit.

2) Menggerakkan keluarga sehat untuk mengikuti

penyuluhan sehat jiwa sesuai dengan usia anak.

3) Menggerakkan keluarga yang berisiko untuk

mengikuti penyuluhan risiko gangguan jiwa.

4) Menggerakkan keluarga pasien gangguan jiwa untuk

mengikuti penyuluhan tentang cara merawat pasien.

5) Menggerakkan pasien gangguan jiwa untuk mengikuti

TAK dan rehabilitasi.

6) Melakukan kunjungan rumah ke keluarga pasien

gangguan jiwa yang telah mandiri.

7) Merujuk kasus ke perawat CMHN.

8) Mendokumentasikan kegiatan yang dilakukan

(Keliat, 2010)

e) Peran PMO (Pengawas Minum Obat)

PMO atau Pengawas Minum Obat adalah seseorang yang

mengawasi dan menjamin keteraturan klien minum obat.

Berikut ini adalah standar PMO yang dikembangkan

untuk klien tuberculosis.

1) Persyaratan Pengawas Minum Obat

Menurut Depkes RI (2007), persyaratan seorang PMO

adalah sebagai berikut:

i) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui,

baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain

itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

ii) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

iii) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

iv) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan

bersama-sama dengan pasien.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 61: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

39

Universitas Indonesia

v) Memahami tanda dan gejala penyakit termasuk

cara penularan, pengobatan dan perawatannya

(Nazir, 2010).

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya

Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru

Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas

kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal

dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau

tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

2) Tugas Seorang Pengawas Minum Obat

Berikut ini adalah tugas seorang PMO berdasarkan

standar PMO untuk pasien tuberculosis (TB).

Menurut Depkes RI (2007), tugas seorang PMO

adalah:

i) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara

teratur sampai selesai pengobatan.

ii) Memberi dorongan kepada pasien agar mau

berobat teratur.

iii) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak

pada waktu yang ditentukan.

iv) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga

pasien TB yang mempunyai gejala-gejala

mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri

ke petugas kesehatan terdekat.

v) Membantu atau mendampingi penderita dalam

pengambilan obat di pelayanan kesehatan

terdekat.

vi) Membantu petugas kesehatan dalam rangka

memantau perkembangan penyakit tuberkulosis di

desanya.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 62: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

40

Universitas Indonesia

Point 1 sampai 4 adalah tugas pokok PMO yang

ditetapkan depkes. Tetapi dalam pelaksanaan di

lapangan PMO juga berperan melakukan hal-hal lain

berkaitan dengan pasien TB dan petugas kesehatan

seperti pada poin 5 dan 6 di atas (Nazir, 2010).

2.1.4.4 Pedoman pelaksanaan terapi

1. Asuhan keperawatan generalis pada klien

Asuhan keperawatan generalis pada klien dilakukan dengan

menggunakan panduan SAK untuk diagnosa keperawatan

pada klien gangguan jiwa. Diagnosa yang akan digunakan

pada penelitian adalah 7 diagnosa utama pada klien gangguan

jiwa, yaitu gangguan sensori persepsi: halusinasi, gangguan

proses pikir: waham, harga diri rendah, isolasi sosial, risiko

perilaku kekerasan, defisit perawatan diri, dan risiko bunuh

diri.

SAK terdiri dari pedoman asuhan kepada klien dan kepada

keluarga. Pedoman tersebut dikembangkan per diagnosa

keperawatan. Intervensi kepada individu berfokus untuk

membantu klien mengenali masalahnya, dan melatih klien

mengatasi masalahnya sendiri. Sedangkan intervensi kepada

keluarga berfokus untuk membantu keluarga untuk

mengenali masalah yang dialami oleh anggota keluarganya

yang sakit dan melatih keluarga untuk merawat klien di

rumah. Panduan SAK lengkap dapat dilihat pada lampiran.

2. Family Psychoeducation pada keluarga

a) Pengertian

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 63: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

41

Universitas Indonesia

Family Psychoeducation therapy adalah salah satu elemen

program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara

pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang

terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan

yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart & Laraia,

2005). Psikoedukasi keluarga merupakan sebuah metode

yang berdasarkan pada penemuan klinik terhadap

pelatihan keluarga yang bekerjasama dengan tenaga

keperawatan jiwa profesional sebagai bagian dari

keseluruhan intervensi klinik untuk anggota keluarga yang

mengalami gangguan. Terapi ini menunjukkan adanya

peningkatan outcomes pada klien dengan schizofrenia dan

gangguan jiwa berat lainnya (Anderson, 1983 dalam

Levine, 2002).

Sedangkan menurut Carson (2000), psikoedukasi

merupakan alat terapi keluarga yang makin popular

sebagai suatu strategi untuk menurunkan faktor-faktor

resiko yang berhubungan dengan perkembangan gejala-

gejala perilaku. Jadi pada prinsipnya psikoedukasi dapat

membantu anggota keluarga dalam meningkatkan

pengetahuan tentang penyakit melalui pemberian

informasi dan edukasi yang dapat mendukung pengobatan

dan rehabilitasi pasien dan meningkatkan dukungan bagi

anggota keluarga itu sendiri.

b) Tujuan terapi

1) Tujuan Umum

Tujuan utama psikoedukasi keluarga adalah untuk

berbagi informasi tentang perawatan kesehatan jiwa

(Varcarolis, 2006). Sedangkan menurut Levine (2002),

tujuan psikoedukasi keluarga adalah untuk mencegah

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 64: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

42

Universitas Indonesia

kekambuhan klien gangguan jiwa, dan untuk

mempermudah kembalinya klien ke lingkungan

keluarga dan masyarakat dengan memberikan

penghargaan terhadap fungsi sosial dan okupasi klien

gangguan jiwa. Tujuan lain dari program ini adalah

untuk memberi dukungan terhadap anggota keluarga

yang lain dalam mengurangi beban keluarga terutama

beban fisik dan mental dalam merawat klien gangguan

jiwa untuk waktu yang lama.

2) Tujuan Khusus

i) Meningkatkan pengetahuan anggota keluarga

tentang penyakit dan pengobatan

ii) Meningkatkan kemampuan keluarga dalam upaya

menurunkan angka kekambuhan

iii) Mengurangi beban keluarga

iv) Melakukan penelitian yang berkelanjutan tentang

perkembangan keluarga

v) Melatih keluarga untuk lebih bisa mengungkapkan

perasaan, bertukar pandangan antar anggota

keluarga dan orang lain

c) Proses pelaksanaan terapi

Meski tidak ada satupun program bisa menjelaskan struktur

umum yang dapat memodifikasi kebutuhan pertemuan

individu keluarga, tetapi yang paling penting dari program

Family Psyhcoeducation adalah bertemu keluarga

berdasarkan pada kebutuhan, dan keluarga mendapat

kesempatan untuk bertanya, bertukar pandangan dan

bersosialisasi dengan anggota yang lain dan tenaga

kesehatan jiwa profesional. Adapun proses kerja untuk

melakukan psikoedukasi pada keluarga adalah:

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 65: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

43

Universitas Indonesia

i) Persiapan

- Identifikasi dan seleksi keluarga yang

membutuhkan psikoedukasi sesuai indikasi dan

kriteria yang telah ditetapkan

- Menjelaskan tujuan dilaksanakan psikoedukasi

keluarga

- Membuat kontrak waktu, bahwa terapi akan

dilaksanakan dalam beberapa kali pertemuan dan

anggota keluarga yang mengikuti keseluruhan

pertemuan adalah orang yang sama yang tinggal

serumah dengan klien

ii) Pelaksanaan

Berdasarkan uraian tujuan khusus yang akan dicapai

kelompok, pencapaian terapi Family Psyhcoeducation

dapat dilakukan dalam 5 sesi:

- Sesi 1 : Pengkajian Masalah Keluarga

- Sesi 2 : Perawatan Klien Gangguan Jiwa

- Sesi 3 : Manajemen Stres Keluarga

- Sesi 4 : Manajemen Beban Keluarga

- Sesi 5 : Pemberdayaan Komunitas Untuk

Membantu Keluarga

Panduan lengkap mengenai terapi FPE dapat dilihat pada

modul terapi FPE terlampir.

3. Pelaksanaan Peran PMO oleh kader

Pelaksanaan peran PMO oleh kader akan dilaksanakan

dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Persiapan kader

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 66: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

44

Universitas Indonesia

i) Peneliti meminta izin dan berkoordinasi dengan petugas

puskesmas untuk mengumpulkan kader

ii) Kader yang bertempat di desa yang dipilih untuk

kelompok intervensi 2 dikumpulkan oleh peneliti di

satu tempat yang telah disepakati

iii) Kader diberikan materi mengenai schizophrenia, peran

kader kesehatan jiwa dan peran pengawas minum obat

iv) Kader dilatih untuk menjadi pengawas minum obat

b. Pelaksanaan

i) Kader mengunjungi klien ke rumahnya setiap minggu

satu kali

ii) Kader melakukan wawancara kepada klien

iii) Kader melakukan klarifikasi kepada keluarga klien

iv) Kader melakukan penghitungan obat

v) Kader menjelaskan pentingnya berobat

c. Evaluasi

Pelaksanaan kunjungan kader untuk menjalankan peran

PMO didokumentasikan dalam buku kerja kader ke rumah

klien. Pedoman kerja dan buku kerja kader terlampir.

2.1.4.5 Hasil Akhir dan Evaluasi Intervensi Keperawatan

Intervensi pada penelitian ini meliputi pemberian asuhan

keperawatan generalis kepada klien dengan schizophrenia

berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul, pemberian

terapi spesialis FPE kepada keluarga klien dan pemberdayaan

kader untuk menjalankan peran PMO.

Evaluasi pemberian asuhan keperawatan generalis kepada klien

dengan schizophrenia dapat dilihat dari kriteria evaluasi yang

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 67: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

45

Universitas Indonesia

tercantum pada SAK. Masing-masing disesuaikan dengan

diagnosa keperawatan yang muncul. Pada dasarnya setelah

diberikan intervensi tersebut, klien mampu mengatasi

masalahnya sendiri. Termasuk di dalamnya kemandirian klien

dalam melakukan aktivitas perawatan dirinya sendiri.

Pada setiap intervensi pada masing-masing diagnosa keperawatan

jiwa yang muncul pada klien dengan schizophrenia. Selalu

diikuti dengan intervensi untuk meningkatkan kesadaran klien

dan keluarga dalam hal pengobatan klien. Karena masalah

pengobatan menjadi masalah yang cukup perlu perhatian dalam

schizophrenia. Karena itu, intervensi keperawatan juga

diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan klien dalam berobat.

Intervensi FPE kepada keluarga dimaksudkan agar setelah

diberikan terapi pengetahuan keluarga tentang penyakit dan

pengobatan meningkat, kemampuan keluarga dalam upaya

menurunkan angka kekambuhan meningkat, beban keluarga

berkurang, keluarga dapat mengungkapkan perasaan dan bertukar

pandangan antar anggota keluarga dan orang lain.

Intervensi berikutnya adalah pemberdayaan kader untuk

menjalankan peran PMO kepada klien. Peran ini perlu menjadi

pertimbangan mengingat fenomena ketidakpatuhan berobat yang

ada pada klien schizophrenia. Peran PMO sendiri dapat

dilakukan oleh keluarga, kader ataupun masyarakat sekitar.

Dalam penelitian ini akan dilakukan uji coba pelaksanaan peran

PMO oleh kader. Hasil akhir yang diharapkan setelah

pelaksanaan peran ini adalah peningkatan kepatuhan berobat

klien schizophrenia.

2.2 Kemandirian Klien Schizophrenia

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 68: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

46

Universitas Indonesia

NAMI (National Alliance on Mental Illness) menyatakan bahwa gejala negatif

dari schizophrenia termasuk terjadinya afek datar dan menurunnya ekspresi

emosi klien, dan ketidakmampuan memulai atau mengakhiri aktivitas, dan

kurangnya rasa nyaman atau minat dalam hidup (NAMI, 2012). Pernyataan ini

menjadi dasar untuk memahami bahwa klien schizophrenia akan mengalami

gangguan dalam aktivitasnya.

Klien dengan schizophrenia terpisah dari dunia nyata dan memiliki dunianya

sendiri, seperti pengertian kata schizophrenia yang diambil dari bahasa

Yunani ‘schizein’ yang berarti terbelah dan ‘phren’ yang berarti pikiran

(Townsend, 2009). Orang dengan schizophrenia dapat mendengarkan suara

yang tidak dapat didengar orang lain. Mereka dapat berpikir bahwa orang lain

dapat membaca pikirannya, mengontrol pikirannya, atau berencana untuk

menyakiti mereka. Hal ini menakutkan bagi penderita schizophrenia dan

membuat mereka menarik diri atau gelisah berlebihan. Keluarga dan

masyarakat sekitar dapat juga terkenai dampak dari schizophrenia.

Kebanyakan orang dengan schizophrenia memiliki kesulitan dalam

menjalankan pekerjaannya atau bahkan untuk merawat dirinya sendiri, maka

mereka bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012). Dari sini dapat

dilihat bahwa schizophrenia berdampak buruk pada individu, keluarga dan

masyarakat sekitarnya.

Bagi klien sebagai individu, schizophrenia menyebabkan gangguan dalam

memenuhi kebutuhan sehari-hari atau berdampak kepada kemandirian klien.

Hal ini menyebabkan klien banyak tergantung kepada orang lain, terutama

keluarga. Kemandirian sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan klien

menentukan apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri. Hal ini selaras ciri

sehat jiwa pertama, yaitu memiliki otonomi atau kemandirian. Di mana

seorang individu dapat menentukan apa yang akan dilakukannya dan mampu

melakukan banyak hal secara mandiri.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 69: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

47

Universitas Indonesia

2.2.1 Efek schizophrenia pada aktivitas sehari-hari (ADL = Activity Daily

Living)

Schizophrenia bisa berdampak besar pada aktivitas sehari-hari dan

seluruh bagian dari kehidupan seseorang akan terpengaruh oleh

pengalaman memiliki penyakit psikotik. Kesulitan menjalani hidup bagi

seseorang dengan penyakit mental seperti schizophrenia, adalah karena

harus menghadapi gejala yang terus muncul, menghadapi masalah

pengobatan dan penanganan lain, dan merasa asing, terisolasi dan

kesepian. Berhubungan dengan orang lain menjadi sulit, walaupun

merasa perlu, ada perasaan takut untuk menjadi dekat dengan orang lain

dan masalah dalam memanaje stress yang dapat disebabkan oleh

kedekatan dengan orang lain (Chang & Johnson, 2008).

Kesulitan meluas terkait dengan aktivitas hidup sehari-hari tergantung

tidak hanya pada keparahan penyakit atau gejala sisa, tetapi juga pada

keterlambatan perkembangan yang disebabkan oleh onset munculnya

penyakit. Orang muda yang memiliki penyakit psikotik akan sulit

membangun hubungan sosial yang baik dan keterampilan hidup sehari-

hari karena onset penyakit ini. Penilaian yang buruk dan pemikiran yang

terganggu menyebabkan klien sulit membuat keputusan dalam aktivitas

sehari-hari.

Karena itu, orang dengan schizophrenia membutuhkan dukungan dan

pengetahuan mengenai kebersihan diri, berpakaian, berbelanja,

memasak, dan membereskan rumah, mengatur keuangan, membangun

hubungan sosial dan memanaje waktu. Bekerja dapat akan mengalami

banyak kesulitan dan banyak orang dengan schizophrenia yang tidak

bekerja walaupun mereka menginginkannya. Saat mereka bekerja,

mereka akan sangat membutuhkan dukungan terkait manajemen

pengobatan dan pekerjaan dan kejelasan tentang status kesehatan mereka

(Chang & Johnson, 2008).

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 70: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

48

Universitas Indonesia

Pendapat lain menyatakan bahwa orang dengan schizophrenia akan

mengalami berbagai kesulitan dalam kehidupan sehari-harinya, yaitu

dalam bekerja, sekolah, aktivitas sehari-hari, menjadi orang tua, merawat

diri, hidup mandiri, aktivitas di waktu luang, hubungan interpersonal.

Schizophrenia memiliki dampak yang signifikan pada kualitas hidup

karena gejala dapat menjadi sangat merusak bagi klien dan bagi orang

lain yang dekat dengan klien. Misal, klien dengan schizophrenia bisa

jadi bicara tidak masuk akal, hal ini dapat mengarahkan pada isolasi

sosial dari keluarga dan kontak sosial lain yang lebih lanjut dapat

memperburuk gejala. Klien dengan schizophrenia juga dapat mengalami

depresi dan atau penyalahgunaan substansi, keduanya meningkatkan

risiko untuk bunuh diri. Dampak selanjutnya adalah kesulitan dalam

bekerja, mengejar tujuan, seperti menyelesaikan pendidikan, membina

hubungan, dan hidup mandiri dan berarti (medifocus, 2011).

2.2.2 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian

Kemandirian klien schizophrenia dapat dipengaruhi oleh beberapa hal

berikut, yaitu:

1. Usia

Pada masa usia anak-anak, manusia mempelajari untuk melakukan

aktivitas sehari-hari dengan mandiri. Dan pada saat memasuki usia

lansia, manusia mengalami kemunduran kemandirian dikarenakan

penurunan fisiologis lansia.

2. Kondisi sakit

Mengalami rasa sakit dapat menghambat seseorang dalam

melakukan aktivitas sehari-hari. Seperi dinyatakan oleh Chang dan

Johnson bahwa orang dewasa yang memiliki nyeri yang kronis

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 71: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

49

Universitas Indonesia

seringkali tidak mampu melakukan aktivitas sesuai dengan tugas

tumbuh kembang pada usianya (Chang & Johnson, 2008).

2.2.3 Pengukuran kemandirian

Kemandirian klien schizophrenia dapat diukur dengan instrumen yang

pernah digunakan dalam penelitian CMHN Jakarta oleh Keliat, Helena,

dan Riasmini (2011). Instrumen tersebut terdiri dari 26 item yang berisi

tentang kegiatan sehari-hari klien. Skala pengukuran masing-masing

kegiatan tersebut, menggunakan tiga kategori, yaitu tidak dilakukan (T),

dilakukan dengan bantuan (B), dan dilakukan mandiri (M).

2.3 Kepatuhan berobat

Berikut ini akan dipaparkan mengenai definisi kepatuhan dan ketidakpatuhan,

batasan karakteristik, faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat,

dan cara mengukur kepatuhan.

2.3.1 Definisi kepatuhan dan ketidakpatuhan

Definisi mudah untuk menggambarkan kepatuhan yang sering digunakan

oleh praktisi kesehatan adalah perilaku pasien untuk mengikuti

permintaan dokter (Jaret, 2001 dalam Brannon & Feist, 2010).

Kepatuhan dapat didefinisikan pula sebagai kemampuan dan kemauan

seseorang untuk mengikuti praktik kesehatan yang dianjurkan (Brannon

& Feist, 2010). Kata ‘kepatuhan’ dapat diasosiasikan dengan kata

kooperatif dan kolaborasi. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara

pasien dengan petugas kesehatan. Hal ini juga menunjukkan bahwa

pasien berperan aktif dalam meningkatkan derajat kesehatannya sendiri.

Haynes (1979 dalam Brannon & Feist, 2010) memberikan defisini yang

lebih luas mengenai kepatuhan, yaitu perluasan perilaku seseorang (yang

dimaksud adalah dalam berobat, mengikuti aturan diet atau melakukan

perubahan gaya hidup) sesuai dengan anjuran kesehatan. Definisi ini

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 72: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

50

Universitas Indonesia

meluas dari pengobatan menjadi mempertahankan pola hidup sehat

seperti melakukan perawatan sesuai, melakukan olahraga cukup,

menghindari stress berkepanjangan, tidak merokok, dan tidak

menggunakan alkohol. Selanjutnya kepatuhan juga termasuk

menjadwalkan pemeriksaan kesehatan atau pemeriksaan gigi secara

teratur, menggunakan sabuk pengaman, dan melakukan perilaku lain

yang sesuai dengan saran kesehatan terbaik yang tersedia.

Ketidakpatuhan berobat menunjukkan perilaku individu dan/atau

pemberi asuhan yang tidak sesuai dengan rencana promosi kesehatan

atau terapeutik yang ditetapkan oleh individu (dan/atau keluarga

dan/atau komunitas) serta profesional pelayanan kesehatan. Perilaku

pemberi asuhan atau individu yang tidak mematuhi ketetapan, rencana

promosi kesehatan atau terapeutik secara keseluruhan atau sebagian

dapat menyebabkan hasil akhir yang tidak efektif secara klinis atau

sebagian tidak efektif (NANDA, 2010)

Ketidakpatuhan dipengaruhi oleh kondisi penyakit itu sendiri. Orang-

orang biasanya lebih patuh pada pengobatan dibandingkan pada

kebutuhan untuk merubah pola hidup, seperti diet atau olah raga. Rata-

rata angka ketidakpatuhan adalah sebesar 25%. Philip Ley, seorang

peneliti yang melakukan penelitian mengenai kepatuhan selama lebih

dari 30 tahun, menyatakan bahwa semakin sederhana jadwal pengobatan,

dan semakin singkat durasinya, maka kepatuhan akan semakin tinggi

(Ley, 1997 dalam Brannon & Feist, 2010). Karena itu tenaga kesehatan

perlu mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dan

ketidakpatuhan klien dalam berobat.

2.3.2 Batasan Karakteristik

Batasan karakteristik ketidakpatuhan menurut NANDA (2010) adalah:

1. Perilaku menunjukkan individu gagal mematuhi ketetapan

2. Terjadi perkembangan komplikasi

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 73: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

51

Universitas Indonesia

3. Terdapat perburukan gejala

4. Gagal mempertahankan janji untuk kunjungan klinis

5. Gagal mengalami perkembangan kesehatan

6. Uji objektif (misal tindakan fisiologis, deteksi penanda fisiologis)

2.3.3 Faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan

Berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan

mempengaruhi kepatuhan berobat klien schizophrenia (Brannon & Feist,

2010)

1. Faktor pribadi

Beberapa faktor yang telah diteliti dan terbukti mempengaruhi

kepatuhan seseorang dalam berobat adalah faktor demografi seperti

usia dan jenis kelamin. Faktor lain yang penting adalah kepribadian

seseorang dan faktor pribadi lain seperti faktor emosi, dan faktor

keyakinan seseorang.

2. Norma budaya

Keyakinan budaya dan norma-norma memiliki pengaruh yang kuat

tidak hanya pada tingkat kepatuhan tetapi apa yang terdapat dalam

kepatuhan (Brannon & Feist, 2010). Contohnya adalah keyakinan

individu pada hal-hal yang dapat memberikan kesembuhan atau

kesehatan akan mempengaruhi pemilihan seseorang pada terapi

medis. Individu tersebut cenderung akan memilih hal diyakini

tersebut dan secara otomatis, kepatuhan akan menurun.

Terkadang seseorang mengkombinasikan pengobatan tradisional,

atau sesuai dengan keyakinannya, dengan terapi medik. Perilaku ini

akan ternilai sebagai ketidakpatuhan oleh kedua belah pihak

(Brannon & Feist, 2010).

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 74: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

52

Universitas Indonesia

Norma budaya juga dapat meningkatkan kepatuhan, misalnya

tingginya kepatuhan lansia di Jepang, dibandingkan dengan lansia

Amerika atau Eropa. Sistem pelayanan kesehatan di Jepang

menyediakan pelayanan untuk semua warga negara dengan

pelayanan yang beragam, hal ini menciptakan kepercayaan warga

kepada pelayanan kesehatan di Jepang.

3. Interaksi praktisi kesehatan dengan pasien

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menilai hubungan antara

interaksi praktisi kesehatan dan pasien dengan kepatuhan pasien.

Praktisi yang berhasil membangun hubungan kemitraan dengan

pasien, akan cenderung mencapai kepuasan bagi pasien dan pasien

akan lebih mudah mengikuti sarannya (Fuertes et.al, 2007 dalam

Brannon & Feist, 2010). Faktor yang mempengaruhi keberhasilan

dalam membina hubungan baik dengan pasien diantaranya adalah

komunikasi verbal dan karakter pribadi praktisi kesehatan.

2.3.4 Cara Mengukur Kepatuhan

Tingkat kepatuhan tidak dapat diketahui secara pasti, tetapi beberapa

teknik telah digunakan oleh para peneliti dan mampu memberikan

gambaran mengenai ketidakpatuhan. Ada enam hal dasar yang dapat

digunakan dalam mengukur kepatuhan, yaitu: (1) bertanya kepada

praktisi kesehatan, (2) bertanya kepada pasien, (3) bertanya kepada

orang lain, (4) memantau penggunaan obat, (5) pemeriksaan biokimia,

dan (6) menggunakan kombinasi dari cara-cara tersebut (Brannon &

Feist, 2010).

Berbagai metoda tadi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-

masing. Beberapa peneliti lebih memilih untuk menggunakan kombinasi

dari metoda-metoda tersebut. Teknik yang sering digunakan oleh para

peneliti adalah mewawancarai pasien, menghitung obat yang ada,

memonitor secara elektronik, dan melakukan pengukuran biokimia.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 75: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

53

Universitas Indonesia

Teknik ini lebih banyak disetujui untuk mengukur kepatuhan

dibandingkan dengan hanya mengandalkan pernyataan dari pasien atau

praktisi klinis. Namun teknik ini memiliki kekurangan, yaitu

membutuhkan biaya lebih besar.

Salah satu instrumen untuk mewawancarai klien untuk mengukur

kepatuhan berobat adalah instrumen yang dikembangkan dari penelitian

oleh Thompson K, et.al (2000) dan Fialko L, et al yang dinamakan

intstrumen MARS (Medical Adherence Rating Scale)

(virtualmedicalcentre.com). Instrumen ini terdiri dari 10 pernyataan

mengenai kepatuhan berobat dengan pilihan jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 76: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

55Universitas Indonesia

BAB 3

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS

DAN DEFINISI OPERASIONAL

Pada bab ini dijelaskan mengenai kerangka teori, kerangka konsep, hipotesis

penelitian dan definisi operasional yang memberikan arah terhadap pelaksanaan

penelitian serta analisis data.

3.1 Kerangka Teori

Pada kerangka teori ini akan dijelaskan mengenai schizophrenia, kemandirian,

kepatuhan berobat dan intervensi yang dapat dilakukan pada klien dengan

schizophrenia berdasarkan literatur. Kerangka teori akan digambarkan pada

skema 3.1.

Stuart (2009) mendefinisikan schizophrenia sebagai penyakit otak

neurobiologis yang menetap. Schizophrenia merupakan gejala klinis yang

berdampak pada kehidupan individu, keluarga dan komunitasnya (Stuart,

2009). Schizophrenia bukan penyakit yang homogen yang disebabkan oleh

satu penyebab tetapi merupakan hasil dari kombinasi predisposisi genetik,

disfungsi biokimia, faktor fisiologis, dan stress psikososial (Townsend, 2009).

Stuart (2009) mengembangkan Model Stress Adaptasi untuk membantu

memahami masalah keperawatan jiwa. Menurut Stuart, faktor predisposisi

gangguan jiwa dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu faktor

biologis, psikologis dan sosial budaya. Faktor biologis terdiri dari latar

belakang genetik, status nutrisi, sensitivitas biologis, kondisi kesehatan umum,

dan paparan terhadap zat racun. Faktor psikologis terdiri dari kecerdasan,

keterampilan verbal, moral, kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri,

motivasi, pertahanan psikologis, dan locus of control, atau rasa menguasai

takdir sendiri. Dan faktor sosial budaya termasuk usia, gender, pendidikan,

penghasilan, pekerjaan, posisi sosial, latar belakang budaya, keyakinan,

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 77: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

56

Universitas Indonesia

afiliasi politik, pengalaman sosialisasi, dan tingkat integrasi sosial (Stuart,

2009).

Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan diagnosa

schizophrenia adalah gangguan sensori persepsi: halusinasi, gangguan proses

pikir, isolasi sosial, harga diri rendah, risiko perilaku kekerasan, defisit

perawatan diri, risiko bunuh diri, kerusakan komunikasi verbal, regimen

terapeutik inefektif, dan regimen keluarga inefektif (NANDA, 2011). Saat ini

telah dikembangkan SAK (Standar Asuhan Keperawatan) untuk sebelas

diagnosa tersebut. SAK berisi SP (Strategi Pelaksanaan) untuk setiap diagnosa

yang memberikan arahan untuk pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien

dengan gangguan jiwa dan keluarga.

Kebanyakan orang dengan schizophrenia memiliki kesulitan dalam

menjalankan pekerjaannya atau bahkan untuk merawat dirinya sendiri, maka

mereka bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012). Orang dengan

schizophrenia membutuhkan dukungan dan pengetahuan mengenai kebersihan

diri, berpakaian, berbelanja, memasak dan membereskan rumah, mengatur

keuangan, membangun hubungan sosial dan memanage waktu (Chang &

Johnson, 2008).

Penderita schizophrenia memerlukan pengobatan medis secara teratur dan

terkontrol. Seringkali penderita schizophrenia mengalami putus obat karena

berbagai faktor seperti malas, merasa sudah sembuh, dan sebagainya. Jangka

waktu pengobatan yang lama dapat menjadi faktor yang menyebabkan

ketidakpatuhan klien pada pengobatan. Kepatuhan berobat sendiri diartikan

sebagai kemampuan dan kemauan seseorang untuk mengikuti praktik

kesehatan yang dianjurkan (Brannon & Feist, 2010). Dengan adanya

fenomena ketidakpatuhan pada klien schizophrenia, maka diperlukan

pengawasan dalam mengkonsumsi obat-obatan.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 78: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

57

Universitas Indonesia

Pengawas Minum Obat (PMO) adalah seseorang yang mengawasi dan

menjamin keteraturan klien minum obat. Peran ini dapat dilakukan oleh

keluarga, kader kesehatan atau orang lain yang memenuhi kriteria PMO

(Nazir, 2010).

Tidak ada penanganan tunggal untuk penyakit schizophrenia ini. Karena itu,

penanganan yang efektif membutuhkan dukungan yang komprehensif dari

berbagai disiplin ilmu, yaitu terapi farmaka dan berbagai bentuk penanganan

psikososial, seperti latihan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, latihan

keterampilan sosial, rehabilitasi dan terapi keluarga (Townsend, 2009).

Keperawatan jiwa di Indonesia telah mengembangkan berbagai terapi untuk

klien gangguan jiwa. Terapi yang dikembangkan dapat dikelompokkan

menjadi terapi generalis dan terapi spesialis. Terapi juga telah dikembangkan

tidak hanya untuk individu, tetapi juga untuk keluarga, kelompok, dan

masyarakat.

Penanganan masalah schizophrenia tidak hanya dirancang untuk individu saja.

Karena schizophrenia juga berdampak pada keluarga klien dan masyarakat.

Untuk itu, dalam keperawatan telah dikembangkan terapi-terapi keluarga dan

model CMHN untuk memberdayakan masyarakat menangani schizophrenia.

Terapi keluarga, family psychoeducation telah banyak dibuktikan manfaatnya

untuk keluarga dengan klien gangguan jiwa, maupun pada keluarga dengan

gangguan psikososial.

Model CMHN adalah pendekatan untuk memberdayakan berbagai elemen

masyarakat dalam menangani masalah gangguan jiwa. Model CMHN

memberdayakan salah satunya kader dalam mewujudkan Desa Siaga Sehat

Jiwa. Peran kader dalam CMHN adalah mendeteksi, menggerakkan keluarga,

menggerakkan pasien, kunjungan rumah, merujuk kasus, dokumentasi (Keliat,

2010).

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 79: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

58

Universitas Indonesia

Skema 3.1KERANGKA TEORI

Input Proses Output

DAMPAK PENYAKITPENANGANANDIAGNOSA MEDIS :Schizophrenia: Penyakit otak neurobiologis yang menetap (Stuart, 2009).Suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu (Videbeck, 2010).

DIAGNOSA KEPERAWATAN :Gangguan sensori persepsi: halusinasi, Gangguan Proses Pikir, Harga Diri Rendah, Isolasi Sosial, Risiko Perilaku Kekerasan, Defisit Perawatan Diri, Risiko Bunuh Diri, Kerusakan komunikasi verbalRegimen terapeutik inefektifRegimen keluarga inefektif(NANDA, 2011)

Penelitian ini berfokus pada diagnosa gangguan sensori persepsi: halusinasi, Harga Diri Rendah, Isolasi Sosial, Risiko Perilaku Kekerasan, Defisit Perawatan Diri

INDIVIDU:Generalis : SP 1 - SP 5 s.d SP 12Terapi spesialis : cognitive therapy, behavioral therapy, cognitive-behavioral therapy, assertiveness training, thought stopping, social skill training, progressive relaxation therapy(Keliat & Walter, 2011).

Terapi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah terapi generalis SP1-SP5 untuk diagnosa: halusinasi, Harga Diri Rendah, Isolasi Sosial, Risiko Perilaku Kekerasan, Defisit Perawatan Diri

KELUARGA:

Generalis : SP 1 – SP 5 s.d SP 12Terapi spesialis : Family psychoeducation (FPE), Triangle therapy (Keliat & Walter, 2011).FPE adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart & Laraia, 2005 )

Terapi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah FPE

CMHN : Kader

Tugas kader : Mendeteksi, menggerakkan keluarga, menggerakkan pasien, kunjungan rumah, merujuk kasus, dokumentasi (Keliat, 2010)PMO : Seseorang yang mengawasi dan menjamin keteraturan klien minum obat (Nazir, 2010)

Pada penelitian ini dikembangkan peran PMO merujuk pada peran PMO pada penyakit tuberculosis

Kepatuhan berobat klien:Kemampuan dan kemauan seseorang untuk mengikuti praktik kesehatan yang dianjurkan (Brannon & Feist, 2010)

Kemandirian klien:kebersihan diri, berpakaian, berbelanja, memasak, dan membereskan rumah, mengatur keuangan, membangun hubungan sosial dan memanaje waktu (Chang & Johnson, 2008).

Bekerja, sekolah, aktivitas sehari-hari, menjadi orang tua, merawat diri, hidup mandiri, aktivitas di waktu luang, hubungan interpersonal(www.medifocus.com, 2011)

FAKTOR PREDISPOSISI:Biologis: latar belakang genetik, status nutrisi, sensitivitas biologis, kondisi kesehatan umum, dan paparan terhadap zat racun

Psikologis: kecerdasan, keterampilan verbal, moral, kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, motivasi, pertahanan psikologis, dan locus of control, atau rasa menguasai takdir sendiri

Sosial budaya: usia, gender, pendidikan, penghasilan, pekerjaan, posisi sosial, latar belakang budaya, keyakinan, afiliasi politik, pengalaman sosialisasi, dan tingkat integrasi sosial(Stuart, 2009)

FAKTOR PRESIPITASI:Nature : biologis, psikologis, sosial budayaOrigin : internal, eksternalTiming : kapan, berapa lama, berapa kali stressor munculNumber : berapa banyak stressor dalam periode waktu tertentu(Stuart, 2009)

Jenis faktor precipitasi : kejadian hidup yang penuh tekanan, ketegangan hidup dan perselisihan (Stuart, 2009).

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 80: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

59

Universitas Indonesia

3.2 Kerangka Konsep

Kerangka konsep ini merupakan bagian dari kerangka teori yang akan digunakan sebagai

acuan dalam penelitian. Pada kerangka konsep ini akan dijelaskan mengenai terapi

keperawatan yang dipilih yaitu asuhan keperawatan generalis pada klien, FPE pada

keluarga dan peran PMO. Kerangka konsep akan digambarkan pada skema 3.2.

Penelitian ini mengukur kemandirian klien schizophrenia serta kepatuhan berobat klien

sebagai variabel dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah intervensi

keperawatan berupa pemberian asuhan keperawatan generalis kepada klien, FPE kepada

keluarga dan pelaksanaan peran kader sebagai Pengawas Minum Obat (PMO). Asuhan

keperawatan kepada klien diberikan sesuai SAK generalis yang terstandar sebagai

intervensi mendasar kepada klien. FPE yang diberikan kepada keluarga klien merupakan

salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian

informasi dan edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program psikoedukasi

merupakan pendekatan yang bersifat edukatif dan pragmatik (Stuart, 2009). FPE dipilih

karena menurut Safier (1997, dalam Townsend, 2009) menyatakan bahwa keluarga yang

memiliki anggota keluarga dengan schizophrenia akan mengalami pergolakan yang besar

dalam dirinya.

Peran PMO dapat menjadi salah satu kegiatan untuk memberdayakan kader kesehatan di

masyarakat. Pemberdayaan kader serupa dengan pemberdayaan masyarakat yaitu

merupakan proses pengembangan potensi pengetahuan maupun keterampilan masyarakat

agar mereka mampu mengontrol diri dan terlibat dalam pemenuhan kebutuhan mereka

sendiri (Helvie, 1998, dalam Keliat, 2010). Salah satu kegiatan kader kesehatan jiwa

dalam buku modul IC-CMHN adalah mendeteksi, menggerakkan keluarga,

menggerakkan pasien, kunjungan rumah, merujuk kasus, dokumentasi (Keliat, 2010).

Kader dapat melaksanakan peran PMO pada saat melakukan kunjungan rumah. Peran

PMO dipilih pada penelitian ini karena sudah ada sumber daya di tempat penelitian dan

karena cukup tingginya kejadian drop out berobat pada klien schizophrenia di

Kersamanah Garut.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 81: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

60

Universitas Indonesia

Variabel pengganggu yang dapat mempengaruhi hasil penelitian atau dikenal juga dengan

confounding variable, yaitu berupa karakteristik responden. Karakteristik klien yang

dapat mempengaruhi kemandirian klien antara lain adalah usia (Stuart, 2009) dan kondisi

sakit (Chang & Johnson, 2008). Dan karakteristik yang mempengaruhi variabel

kepatuhan berobat klien adalah usia, jenis kelamin dan faktor budaya (Brannon & Feist,

2010).

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 82: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

61

Universitas Indonesia

Skema 3.2KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Pre-test Post-test

VARIABEL DEPENDEN VARIABEL DEPENDEN

VARIABEL INDEPENDEN

1. Asuhan keperawatan generalis pada klien(SP 1 - SP 5 s.d SP 12)

2. FPE pada keluarga klien Sesi 1 : pengkajian masalah keluargaSesi 2 : edukasi cara merawat klienSesi 3 : manajemen stress keluargaSesi 4 : manajemen beban keluargaSesi 5 : pemberdayaan komunitas

3. Peran PMO oleh kader

CONFOUNDING VARIABLES(Kemandirian):

- Usia (Stuart, 2009)- Kondisi sakit

(Chang & Johnson, 2008)

CONFOUNDING VARIABLES(Kepatuhan):

- Usia

- Jenis kelamin

- Faktor budaya(Brannon & Feist, 2010)

Kemandirian

Kepatuhan berobat Kepatuhan berobat

Kemandirian

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 83: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

62

Universitas Indonesia

3.3 Hipotesis

Menurut Nursalam (2008), hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan

masalah atau pertanyaan penelitian. Dalam penelitian ini dapat dirumuskan

hipotesis sebagai berikut :

3.3.1 Ada perubahan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia

sebelum dan sesudah dilakukan asuhan keperawatan pada klien, FPE

pada keluarga dan peran PMO oleh kader

3.3.2 Ada perbedaan perubahan kemandirian dan kepatuhan berobat klien

schizophrenia pada kelompok yang diberikan asuhan keperawatan pada

klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader dengan kelompok

kontrol

3.3.3 Ada hubungan antara kemandirian dan kepatuhan berobat klien

schizophrenia di Kecamatan Kersamanah

3.3.4 Ada hubungan antara karakteristik klien dengan kemandirian dan

kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah.

3.4 Definisi Operasional

Variabel yang telah didefinisikan perlu dijelaskan secara operasional, sebab

setiap istilah (variabel) dapat diartikan secara berbeda-beda oleh orang yang

berlainan. Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang

diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2008). Pada tabel

3.1 akan dijelaskan mengenai definisi operasional dari semua variabel

dependen, independen dan variabel pengganggu (confounding variables).

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 84: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

63

Universitas Indonesia

Tabel 3.1DEFINISI OPERASIONAL DAN VARIABEL PENELITIAN

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur dan Cara Ukur

Hasil Ukur Skala

A. Variabel Independen1 Asuhan

KeperawatanAsuhan keperawatan adalah proses sistematik mulai dari pengkajian hingga implementasi. Implementasi yang dilakukan sesuai dengan SAK untuk klien gangguan

Check list : observasi

1. Tidak diberikan

2. Diberikan

Nominal

2 Family Psychoeducation (FPE)

Terapi spesialis yang diberikan kepada keluargadengan cara pemberian informasi dan edukasi yang terapeutik

Check list : observasi

1. Tidak diberikan

2. Diberikan

Nominal

3 Peran Pengawas Minum Obat (PMO)

Pengawasan langsung untuk menjamin keteraturan pengobatan klein schizophrenia. Peran PMO dalam penelitian ini akan dilakukan oleh kader

Check list : Observasi

1. Tidak diberikan

2. Diberikan

Nominal

B. Variabel Dependen1 Kemandirian Kemampuan pasien dalam

mengatasi masalahkesehatan jiwa secara mandiri

Kuesioner kemandirian CMHN Jakarta, 24 item, skor 0-48

Nilai kemandirian 0-52

Interval

2 Kepatuhan berobat

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan kepatuhan adalah kesesuaian klien meminum obat sesuai aturan

Kuesioner MARS, 6 item, skor 0-6

Nilai kepatuhan berobat 0-6

Interval

C. Variabel Pengganggu1 Usia Lamanya klien hidup, yang

dihitung sejak tahun klien lahir hingga tahun penelitian dilakukan

Kuesioner isian Dinyatakan dalam tahun

Interval

2 Jenis kelamin Identitas klien sesuai dengan kartu identitas resmi klien

Kuesioner isian 1. Laki-laki2. Perempuan

Nominal

3 Kondisi sakit(keluhan fisik)

Kondisi fisik klien jika klien merasakan nyeri atau tidak

Kuesioner isian 1. Tidak ada nyeri2. Ada nyeri

Nominal

4 Faktor budaya(keyakinan terhadap pelayanan kesehatan)

Norma budaya klien yang mempengaruhi keyakinan klien terhadap pengobatan dan tindakan medis

Kuesioner isian 1. Positif2. Negatif

Nominal

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 85: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

64Universitas Indonesia

BAB 4

METODE PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan mengenai rencana pelaksanaan penelitian, mulai dari

rancangan penelitian, populasi dan sampel, waktu dan tempat penelitian, etika

penelitian, instrumen penelitian sampai pada cara menganalisa data hingga hasil

penelitian dapat disajikan.

4.1 Rancangan penelitian

Rancangan penelitian merupakan wadah untuk menjawab pertanyaan

penelitian atau menguji kesahihan hipotesis (Nursalam, 2008). Penelitian ini

adalah penelitian kuantitatif yang menggunakan rancangan quasy

experimentpre-post test dengan grup kontrol. Rancangan kuasi eksperimen

berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara

melibatkan kelompok kontrol di samping kelompok eksperimental (Nursalam,

2008).

Intervensi pada penelitian ini yaitu asuhan keperawatan generalis pada klien

schizophrenia dan FPE pada keluarga dan peran Pengawas Minum Obat

(PMO) oleh kader. Kelompok kontrol akan diberikan pendidikan kesehatan

mengenai cara merawat klien di rumah, setelah penelitian selesai dilakukan.

Efek yang akan dilihat pada klien schizophrenia adalah kemandirian dan

kepatuhan berobat klien. Secara skematik, rancangan penelitian dapat dilihat

pada skema 4.1.

Skema 4.1Rancangan penelitian quasy experimental pre-post test with control group

Pre test Post test

Kelompok Intervensi

X

Kelompok Kontrol

Keterangan :

O1 O2

O3 O4

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 86: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

65

Universitas Indonesia

X : Intervensi pada kelompok intervensi yaitu asuhan keperawatan generalis

pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader

O1 : Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum

diberikan intervensi asuhan keperawatan generalis pada klien, FPE pada

keluarga dan peran PMO oleh kader pada kelompok intervensi

O2 : Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia setelah

diberikanintervensi asuhan keperawatan generalis pada klien, FPE pada

keluarga dan peran PMO oleh kader pada kelompok intervensi

O3 : Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum

penelitian dimulai pada kelompok kontrol

O4 : Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum

penelitian dimulai pada kelompok kontrol

O2 – O1 = Y1 : Perubahan kemandirian dan kepatuhan berobat klien

schizophrenia pada kelompok intervensi sebelum dan

sesudah diberikan asuhan keperawatan generalis pada

klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader

O4 – O3 = Y2 : Perubahan kemandirian dan kepatuhan berobat klien

schizophrenia pada kelompok kontrol sebelum dan

sesudah penelitian

Y2 – Y1 = Y3 : Perbedaan perubahan kemandirian dan kepatuhan berobat

klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol

4.2 Populasi dan sampel

4.2.1 Populasi

Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian, atau disebut

juga universe (Ali, 1985 dalam Taniredja & Mustafidah, 2011).

Sedangkan Nursalam (2008) menyatakan bahwa populasi adalah subjek

(misalnya manusia; klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan

peneliti. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh klien yang

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 87: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

66

Universitas Indonesia

mengalami schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

yang terdata pada Januari 2012 sebanyak 98 orang.

4.2.2 Sampel

Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan

sebagai subjek penelitian melalui teknik sampling. Sampling adalah

proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi

yang ada (Nursalam, 2008). Sampel dalam penelitian ini adalah klien

dengan schizophrenia yang tinggal dengan keluarganya sebagai

caregiver.

Besar sampel akan ditentukan berdasarkan rumus besar sampel untuk uji

beda mean kelompok independen, dengan menggunakan derajat

kepercayaan (confidence interval = CI) sebesar 95%, α = 0,05 dan β =

80%. Penelitian sebelumnya yang digunakan peneliti adalah penelitian

penerapan CMHN di Jakarta oleh Keliat, Helena dan Riasmini (2011)

yang mengukur variabel kemandirian dengan = 9,32, dan ( 1 – 2)

yaitu (38,83 – 29,94). Adapun rumus yang digunakan adalah rumus

berikut.

=2 [ + ]( − )

Keterangan := jumlah sampel

= standar normal deviasi untuk α (dapat dilihat pada tabel

distribusi Z)

= standar normal deviasi untuk β (dapat dilihat pada tabel distribusi Z)

= estimasi standar deviasi dan beda mean data pre test dan post test

− = Beda mean yang dianggap bermakna secara klinik antara sebelum dan sesudah perlakukan

(Dharma, 2011).

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 88: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

67

Universitas Indonesia

Dengan rumus tersebut, dapat dilakukan perhitungan berikut.

=2(9,32) [1,96 + 0,842](38,83 − 29,94)

= 17,26, dibulatkan menjadi 18 orang.

Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, yang menggunakan

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, maka jumlah anggota

sampel masing-masing kelompok antara 10 s/d 20 (Sugiyono, 2007).

Dalam penelitian ini perlu dipertimbangkan kejadian drop out

responden, karena itu perlu dilakukan koreksi jumlah sampel untuk

mengantisipasi kejadian drop out ini. Rumus yang dapat digunakan

untuk ini antisipasi ini adalah sebagai berikut.

= (1 − )Keterangan :

= besar sampel setelah dikoreksi

= besar sampel yang akan dihitung

1 − = perkiraan proporsi subjek yang drop out, perkiraan 10%

(f=0,1)

(Dharma, 2011)

Dengan rumus tersebut, maka dapat dihitung koreksi sampel sebagai

berikut.

= 18(1 − 0,1) = 20 orang.

Pada penelitian ini digunakan teknik purposive sampling. Teknik ini

adalah suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 89: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

68

Universitas Indonesia

antara populasi yang sesuai dengan kriteria yang dikehendaki peneliti

(Nursalam, 2008). Kriteria inklusi untuk sampel dalam penelitian ini

adalah klien yang didiagnosa schizophrenia, tinggal menetap di

Kecamatan Kersamanah dan tinggal bersama keluarga sebagai caregiver.

Penelitian ini melibatkan keluarga dan kader dalam satu paket intervensi,

walaupun perhitungan sampel tetap berdasarkan jumlah klien. Setelah

didapatkan sampel yang sesuai kemudian ditetapkan keluarga dan kader

yang berkaitan dengan klien tersebut. Tidak dilakukan pengukuran

variabel pada keluarga dan kader karena penelitian berfokus pada

kondisi klien.

Sampel untuk kelompok intervensi adalah klien schizophrenia yang

tinggal di Desa Sukamaju, Desa Mekar Raya (pemekaran Desa

Sukamaju), dan Desa Girijaya. Jumlah total klien yang memenuhi

kriteria adalah 28 klien. Dua orang klien tidak dapat ditemui, sehingga

pada saat pretest terdata 26 klien. Selama proses terapi pada 8 orang

klien drop out dari penelitian dikarenakan menolak diintervensi, klien

bepergian ke luar dari Kecamatan Kersamanah untuk waktu yang lama,

dan klien sulit berkomunikasi. Sehingga total klien untuk kelompok

intervensi adalah 18 orang.

Sampel untuk kelompok kontrol diambil dari Desa Kersamanah. Data

awal pada Bulan Januari 2012 jumlah klien di Desa Kersamanah adalah

35 orang. Pada saat penelitian jumlah klien yang masih ada berjumlah 24

orang. Lima orang didrop out dengan alasan sulit ditemui, pasien masih

akut sehingga sulit berkomunikasi dengan klien, dan klien dinyatakan

sembuh menurut data dari puskesmas. Jumlah akhir klien kelompok

kontrol adalah 19 orang. Pemetaan kelompok intervensi dan kontrol

dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 90: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

69

Universitas Indonesia

Tabel 4.1Pemetaan jumlah klien berdasarkan kelompok intervensi

dan kelompok kontrol

No Kelompok Nama Desa KlienTotal

KlienInklusi

Drop out

Klien Responden

1 Intervensi Sukamaju 24 10 4 6

2 Intervensi Mekar raya (*) 11 4 7

3 Intervensi Giri Jaya 10 7 2 5

4 Kontrol Kersamanah 35 24 19 19

TOTAL 37

(*)pemekaran Desa Sukamaju, jumlah total termasuk ke dalam jumlah klien di Desa Sukamaju

4.3 Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilakukan dalam waktu 5 minggu. Minggu pertama digunakan

untuk persiapan yaitu melatih kader untuk melakukan peran PMO dan

melakukan pengukuran kemandirian dan kepatuhan berobat, mengurus

perizinan penelitian ke Puskesmas dan Kecamatan Kersamanah. Minggu

kedua digunakan untuk mengukur variabel dependen (pre-test) pada semua

responden di kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Pretest untuk

kelompok intervensi dilakukan mulai tanggal 24 Mei 2012. Intervensi

dilakukan selama 3 kali kunjungan dengan jarak masing-masing kunjungan

selama 1 minggu. Pretest untuk kelompok kontrol dilakukan mulai tanggal 30

Mei 2012. Post test dilakukan pada tanggal 18-21 Juni 2012 untuk kelompok

intervensi dan kelompok kontrol.

Penelitian dilakukan di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut di 4 desa,

yaitu Desa Kersamanah, Desa Girijaya, Desa Sukamaju dan Desa Mekar

Raya. Kecamatan ini dipilih karena prevalensinya yang lebih tinggi (2,6/1000

jiwa) dibandingkan dengan prevalensi gangguan jiwa Jawa Barat (2,2/1000

jiwa).

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 91: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

70

Universitas Indonesia

4.4 Etika penelitian

Responden dalam penelitian ini adalah klien schizophrenia yang memiliki hak

asasi manusia. Karena itu setiap responden perlu dilindungi hak-haknya

dengan memperhatikan etika penelitian. Prinsip etika yang harus diperhatikan

dalam penelitian ini yaitu etika terhadap responden, prinsip etik terapi yang

dilakukan, prinsip etik peneliti sebagai terapis dan prinsip etik proposal

penelitian.

Ethical clearance (uji etik) untuk memvalidasi proposal penelitian. Uji etik

dilakukan oleh komite etik Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

karena penelitian ini menggunakan manusia sebagai responden. Uji etik

dilakukan agar penelitian tidak menyalahi prinsip etik. Keterangan lolos uji

etik diperoleh pada tanggal 30 April 2012 (lampiran 7).

Prinsip etik untuk modul terapi yang dilakukan dalam penelitian, dilakukan

agar terapi yang dilakukan tidak melanggar prinsip etik kepada responden.

Prinsip etik ini diperoleh dengan cara memvalidasi modul dari terapi yang

akan dilakukan kepada pakar (expert validity). Keterangan lolos expert

validity diperoleh pada Bulan April 2012 (lampiran 8).

Uji kompetensi dilakukan untuk meyakinkan kemampuan peneliti dalam

memberikan intervensi kepada responden. Uji kompetensi dilakukan untuk

menilai kemampuan peneliti untuk melakukan asuhan keperawatan kepada

klien dan FPE kepada keluarga klien, dan kemampuan klien melatih kader

untuk menjalankan peran PMO. Uji kompetensi dilakukan pada Bulan Mei

2012 (lampiran 9).

Adapun etika dalam penelitian kepada responden yang perlu diperhatikan

selama proses penelitian menurut Nursalam (2008), terdiri dari 3 bagian, yaitu

prinsip manfaat, prinsip menghargai hak-hak subjek, dan prinsip keadilan.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 92: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

71

Universitas Indonesia

4.4.1 Prinsip manfaat

1. Bebas dari penderitaan

Menurut prinsip ini penelitian harus dilaksanakan tanpa

mengakibatkan penderitaan kepada subjek. Terapi yang dilakukan

oleh peneliti banyak terbukti memberikan dampak positif kepada

subjek penelitian, seperti digambarkan pada bab I. Pada penelitian ini

terbukti tidak ada penderitaan atau bahaya pada klien schizophrenia

yang disebabkan oleh terapi yang dilakukan peneliti. Setiap tahapan

tindakan sudah direncanakan dalam modul dengan

mempertimbangkan dampak positif bagi klien dan keluarga sebagai

sasaran terapi.

2. Bebas dari eksploitasi

Partisipasi subjek dalam penelitian, harus dihindarkan dari keadaan

yang tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan bahwa

partisipasinya dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan,

tidak dipergunakan dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek

dalam bentuk apapun. Untuk memenuhi prinsip ini, sebelum

penelitian, klien dan keluarganya diberikan informasi yang jelas

mengenai proses penelitian dan penggunaan penelitian selanjutnya.

Bukti bahwa klien dan/atau keluarga telah mendapat keterangan yang

jelas mengenai penelitian dan setuju dijadikan subjek penelitian

tercantum dalam format informed consent.

3. Risiko (benefits ratio)

Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan risiko dan keuntungan

yang berakibat kepada subjek pada setiap tindakan. Pemilihan

intervensi yang dilakukan didasari dari keuntungan yang didapatkan

yang disampaikan dalam literatur-literatur dan penelitian yang

dilakukan sebelumnya. Sebelum penelitian, peneliti menyepakati

langkah-langkah penelitian bersama-sama pihak puskesmas dan

kader, dan disepakati langkah yang dirancang peneliti memiliki

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 93: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

72

Universitas Indonesia

banyak keuntungan untuk klien, keluarga, kader dan program

kesehatan jiwa di puskesmas.

4.4.2 Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect human dignity)

1. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to self determination)

Subjek harus diperlakukan secara manusiawi. Subjek mempunyai

hak memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek ataupun

tidak, tanpa adanya sanksi apapun atau akan berakibat terhadap

kesembuhannya, jika mereka seorang klien. Dalam pelaksanaannya,

peneliti telah memberikan penjelasan mengenai proses penelitian lalu

meminta kesediaan responden tanpa memaksa. Klien yang tidak

bersedia menjadi responden penelitian tidak akan diikutsertakan

dalam penelitian sesuai dengan kriteria eksklusi klien pada saat

pemilihan sampel.

2. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan

(right to full disclosure)

Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara rinci serta

bertanggungjawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subjek. Hal

ini dilakukan dengan memberikan informasi lengkap sebelum

mendapat persetujuan dari responden dan meyakinkan responden

bahwa responden memiliki akses kepada peneliti secara langsung

selama penelitian berlangsung. Selama penelitian peneliti didampingi

oleh kader yang dikenal oleh klien dan keluarga, peneliti

memberitahukan tempat tinggal selama penelitian dan nomor telepon

peneliti (jika diperlukan).

3. Informed consent

Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan

penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas

berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Pada informed

consent juga perlu dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 94: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

73

Universitas Indonesia

akan dipergunakan untuk pengembangan ilmu. Informed consent

diisi oleh klien atau keluarga sebelum peneliti melakukan pre-test.

Lembar informed consent dapat dilihat pada lampiran 3.

4.4.3 Prinsip keadilan (right to justice)

1. Hak untuk mendapatkan penanganan yang adil (right in fair

treatment)

Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan

sesudah keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi

apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari

penelitian. Prinsip ini diaplikasikan dengan tidak membeda-bedakan

perlakuan pada semua klien schizophrenia.

2. Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy)

Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan

harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity)

dan rahasia (confidentiality). Untuk memenuhi prinsip etik ini,

responden tidak akan memberikan nama jelas, tetapi hanya inisial,

dan data mentah hasil penelitian akan segera dimusnahkan setelah

penelitian selesai.

4.5 Instrumen penelitian

Pada penelitian ini digunakan 3 instrumen yaitu kuesioner untuk mengukur

karakteristik responden, kuesioner untuk mengukur kemandirian, dan

kuesioner untuk mengukur kepatuhan berobat.

Instrumen untuk mengukur karakteristik berisi pertanyaan tentang usia, jenis

kelamin, keluhan fisik, dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan.

Instrumen ini terdiri dari 4 pertanyaan tertutup, ditambah 3 pertanyaan

mengenai faktor predisposisi yang menyebabkan klien menderita

schizophrenia. Peneliti menyediakan pilihan jawaban dan responden memilih

dengan memberikan tanda pada pilihan jawaban.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 95: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

74

Universitas Indonesia

Instrumen kemandirian menggunakan instrumen yang telah digunakan dalam

penelitian mengenai penerapan model CMHN di Jakarta. Instrumen ini terdiri

dari 26 pertanyaan mengenai kegiatan yang dapat dilakukan klien. Pilihan

jawaban terdiri dari ‘dilakukan mandiri’, ‘dilakukan dengan bantuan’ dan

‘tidak pernah dilakukan’. Komponen kemandirian yang diukur meliputi

kemampuan klien dalam melakukan kegiatan sehari-hari klien, secara rinci

komponen yang diukur dalam variabel kemandirian ini dapat dilihat pada tabel

4.2 mengenai kisi kisi instrumen pengukuran kemandirian klien

schizophrenia. Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen ini pada penelitian

CMHN Jakarta adalah r alpha dengan pearson product moment sebesar 0,933.

Tabel 4.2Kisi-kisi instrumen pengukuran kemandirian klien schizophrenia

No Komponen yang diukur No Pernyataan Jumlah item1 Perawatan diri 1,2,3 32 Aktivitas fisik 4,5,6,7,8,12,13,16 82 Sosialisasi 9,10,11,14,15 53 Kegiatan mengatasi gejala 17,18 24 Mekanisme koping 19,20,21 35 Pengobatan 22,23,24,25,26 5

TOTAL 26

Instrumen kepatuhan berobat menggunakan Medication Adherence Rating

Scale (MARS) (virtual medical centre, 2012). Instrumen ini terdiri dari 10

pernyataan dengan pilihan jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’. Gambaran mengenai

komponen dalam instrumen untuk pengukuran kepatuhan berobat ini dapat

dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3Kisi-kisi instrumen pengukuran kepatuhan berobat klien schizophrenia

No Komponen yang diukur No Pernyataan Jumlah item1 Perawatan diri 1,2,3 32 Aktivitas fisik 4,5,6,7,8,12,13,16 82 Sosialisasi 9,10,11,14,15 53 Kegiatan mengatasi gejala 17,18 24 Mekanisme koping 19,20,21 35 Pengobatan 22,23,24,25,26 5

TOTAL 26

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 96: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

75

Universitas Indonesia

4.6 Uji coba instrumen

Uji coba instrumen dilakukan untuk meyakinkan bahwa instrumen yang akan

digunakan saat penelitian merupakan instrumen yang valid dan reliabel. Uji

coba instrumen terdiri dari uji validitas dan uji reliabilitas yang menjadi dasar

agar peneliti yakin bahwa instrumen penelitiannya dapat mengukur apa yang

seharusnya diukur dan mampu menunjukkan konsistensinya dalam

pengukuran (Dharma, 2011). Uji coba instrumen dilakukan pada 20 orang

klien dengan schizophrenia di Unit Rawat Jalan RSJ Provinsi Jawa Barat.

4.6.1 Uji validitas

Tekhnik uji validitas instrumen yang digunakan dalam penelitian ini

dapat diuraikan sebagai berikut: (Dharma, 2011)

1. Content validity

Yaitu validitas yang menunjukkan kemampuan item pertanyaan

dalam instrumen dapat mewakili semua unsur dimensi konsep yang

sedang diteliti. Validitas ini dilakukan dengan meminta seorang

pakar (expert) untuk menelaah instrumen yang digunakan, apakah

seluruh item pertanyaan telah mencakup isi konsep yang diteliti.

2. Construct validity

Yaitu validitas yang menunjukkan bahwa instrumen disusun secara

rasional berdasarkan konsep yang sudah mapan. Validitas ini

dilakukan dengan uji statistik. Uji statistik yang digunakan untuk uji

ini adalah dengan menggunakan Pearson Product Moment.

Koefisien korelasi yang diharapkan untuk jumlah responden 20

orang sesuai r table adalah 0.444.

Hasil uji validitas untuk instrumen pengukuran kemandirian

didapatkan 3 item yang tidak valid yaitu nomor 12,13 dan 15. Nomor

12 tidak digunakan pada penelitian karena cukup terwakili oleh item

nomor 13. Sedangkan nomor 13 dan 15 tetap digunakan karena

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 97: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

76

Universitas Indonesia

pertimbangan peneliti bahwa item tersebut penting untuk ditanyakan.

Item nomor 18 tidak digunakan karena di tempat penelitian tidak

terdapat fasilitas yang menyediakan layanan kegiatan Terapi

Aktivitas Kelompok (TAK).

Hasil uji validitas untuk instrumen kepatuhan berobat didapatkan 3

item yang tidak valid yaitu nomor 3,7 dan 8. Semua item tersebut

tidak digunakan dalam penelitian. Item nomor 6 valid secara statistik

tetapi tidak peneliti gunakan dalam penelitian dengan pertimbangan

bahwa item tersebut dinilai ambigu dan membingungkan saat

ditanyakan pada responden.

4.6.2 Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas adalah uji instrumen yang dilakukan untuk mengukur

tingkat konsistensi dari suatu pengukuran.Uji reliabilitas dapat dilakukan

dengan menguji konsistensi internal suatu alat ukur menggunakan

metoda 1 kali uji dengan metode item covariance menggunakan

cronbach alpha (Dharma, 2011).

Hasil uji reliabilitas untuk instrumen pengukuran kemandirian

didapatkan koefisien alpha cronbach sebesar 0.860, sedangkan untuk

instrumen pengukuran kepatuhan berobat didapatkan reliabilitas sebesar

0.778.

4.7 Prosedur pelaksanaan penelitian

Pelaksanaan penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu persiapan, tahap

pelaksanaan dan tahap akhir.

4.7.1 Tahap persiapan

Pada tahap ini peneliti mengajukan permohonan ijin penelitian kepada

Kecamatan Kersamanah dan Puskesmas Kersamanah. Setelah

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 98: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

77

Universitas Indonesia

berkoordinasi dan mendapatkan izin dari Kecamatan Kersamanah dan

Puskesmas Kersamanah, peneliti memulai tahap awal penelitian.

Penelitian ini melibatkan kader untuk menjalankan peran PMO. Jumlah

kader sebanyak lima orang. Untuk menyetarakan kemampuan kader

diadakan uji intereter. Hasil uji interrater untuk pengukuran kemandirian

kelima kader dinyatakan lulus uji interrater yaitu mencapai nilai Kappa

>0.6. Untuk pengukuran kepatuhan berobat 2 kader memiliki nilai

Kappa <0.6, yaitu 0.583 dan 0.545. Untuk kedua kader ini dilakukan

penyamaan persepsi agar selanjutnya dapat menjalankan peran PMO.

Pada tahap ini selanjutnya peneliti melakukan pre-test dibantu oleh kader

untuk mengukur kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia

sebelum diberikan intervensi.

4.7.2 Tahap pelaksanaan

Pada tahap ini peneliti mulai memberikan intervensi kepada kelompok

intervensi, yaitu berupa asuhan keperawatan pada klien, FPE pada

keluarga dan peran PMO oleh kader. Pada setiap kunjungan, peneliti

sekaligus sebagai terapis bersama-sama dengan kader dan melakukan

intervensi yang berbeda pada waktu kunjungan yang sama. Pada setiap

klien dan keluarga, kunjungan dilakukan selama 3 kali.

4.7.3 Tahap akhir

Pada tahap ini dilakukan kembali pengukuran kemandirian dan

kepatuhan berobat. Pada kelompok kontrol diberikan pendidikan

kesehatan mengenai cara merawat klien gangguan jiwa di rumah.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 99: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

78

Universitas Indonesia

Gambaran pelaksanaan penelitian selama lima minggu tersebut dapat dilihat

pada skema 4.2 di bawah ini.

Skema 4.2Gambaran Prosedur Penelitian

PROSES

(minggu ke-2 sampai ke-4)

4.8 Pengolahan data

Pengolahan data adalah langkah yang dilakukan setelah data mentah dari

kuesioner telah dikumpulkan.Data diolah agar dapat dianalisa dan

menghasilkan informasi. Agar data dapat dianalisa dan menghasilkan

informasi yang akurat, ada empat tahapan yang harus dilalui, yaitu:

1. Editing

Editing merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir

atau kuesioner apakah jawaban yang ada di kuesioner sudah lengkap, jelas,

relevan dan konsisten.

2. Coding

Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data

berupa angka/bilangan. Kegunaan coding adalah untuk mempermudah

PERSIAPAN PENELITIAN(minggu ke-1)

Penentuan sampel

Informed consent

Pengukuran karakteristik responden

Pembekalan dan pelatihan kader

Pre test: kemandirian dan kepatuhan berobat

AKHIR PENELITIAN(minggu ke-5)

Minggu ke-5:Post test: kemandirian dan kepatuhan berobat

Kelompok kontrol diberikan pendidikan kesehatan mengenai cara merawat klien schizophrenia di rumah

Kelompok intervensi :1. Asuhan keperawatan generalis

pada klien (3 kali)2. FPE pada keluarga (3 kali)3. Peran PMO oleh kader (3 kali)

Kelompok Kontrol:

Pada akhir penelitian akan diberikan pendidikan kesehatan mengenai cara merawat klien schizophrenia di rumah

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 100: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

79

Universitas Indonesia

pada saat analisis data dan juga mempercepat pada saat entry data. Contoh

coding pada penelitian ini misalnya pada kuesioner 1 yang digunakan

untuk mengukur karakteristik responden. Untuk pertanyaan jenis kelamin,

jika klien berjenis kelamin laki-laki diberikan kode 1, dan jika responden

perempuan diberikan kode 2.

Untuk kuesioner 2 (pengukuran kemandirian), coding dilakukan pada

masing-masing pilihan jawaban yang disediakan, yaitu 0=jika klien tidak

pernah melakukan kegiatan yang ditanyakan, 1=jika klien dapat

melakukan kegiatan namun dengan bantuan dari orang lain, dan 2=jika

klien dapat melakukan kegiatan secara mandiri. Untuk kuesioner 3

(pengukuran kepatuhan), diberikan kode 1 untuk jawaban ‘ya’ dan 0 untuk

jawaban ‘tidak’.

3. Processing

Processing adalah langkah memproses data, agar data yang sudah di-entry

dapat dianalisis. Pemrosesan data dilakukan dengan meng-entry data dari

kuesioner ke paket program komputer.

4. Cleaning

Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-

entry apakah ada kesalahan atau tidak.

(Hastono, 2007)

4.9 Analisa data

Analisa data yang akan dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari analisa

univariat, analisa bivariat dan analisa multivariat.

4.9.1 Analisa Univariat

Analisa univariat dilakukan untuk mendeskripsikan setiap variabel

yang diukur dalam penelitian, yaitu dengan distribusi frekuensi. Hasil

statistik deskriptif meliputi mean, median, modus, standar deviasi,

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 101: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

80

Universitas Indonesia

minimal dan maksimal serta proporsi dari variabel penelitian

(Supriyanto, 2007).

Karakteristik klien terdiri dari data numerik dan data kategorik. Data

numerik yang disajikan dalam bentuk statistik deskriptif adalah

variabel usia. Sedangkan data kategorik yaitu jenis kelamin, keluhan

fisik dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan disajikan dalam

bentuk distribusi proporsi.

Kemandirian disajikan dalam data interval yang kemudian

diinterpretasikan dalam kategori kemandirian rendah (skor 0-16),

sedang (17-32) dan tinggi (33-48).

Kepatuhan berobat disajikan dalam data interval yang kemudian

dikategorikan menjadi kepatuhan rendah (0-3) dan kepatuhan tinggi

(4-6).

4.9.2 Analisa Bivariat

Analisa bivariat adalah analisis untuk menguji hubungan antara dua

variabel. Pemilihan uji statistik yang akan digunakan untuk melakukan

analisis didasarkan pada skala data, jumlah populasi/sampel dan

jumlah variabel yang diteliti (Supriyanto, 2007). Dalam penelitian ini

analisis bivariat digunakan untuk menguji kesetaraan antara kelompok

intervensi dengan kelompok kontrol dan menganalisis perbedaan

kemandirian dan kepatuhan berobat pada klien schizophrenia.

Uji kesetaraan dilakukan dengan menggunakan uji beda mean. Untuk

menguji kesetaraan karakteristik responden, digunakan uji independent

t-test untuk usia karena data tersebut berskala numerik. Dan untuk

karakteristik gender, kesehatan umum (keluhan fisik), dan keyakinan

pada pelayanan kesehatan akan digunakan rumus chi-square karena

berskala kategorik (lihat tabel 4.3.1).

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 102: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

81

Universitas Indonesia

Perbedaan kemandirian dan kepatuhan berobat klien sebelum dan

sesudah intervensi dianalisa dengan menggunakan uji beda 2 mean

pada kelompok yang sama yaitu menggunakan uji paired t-test.

Tingkat kemaknaan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

95% (alpha = 0,05). Untuk lebih mudah melihat cara analisis yang

akan digunakan dapat dilihat pada tabel 4.3.2. dan tabel 4.3.3.

Kemandirian dan kepatuhan berobat dianalisa hubungannya dengan

menggunakan koefisien korelasi Pearson (lihat tabel 4.3.4)

Tabel 4.3Analisis Bivariat Variabel Penelitian

1. Analisis Uji Kesetaraan Karakteristik Responden

No Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Cara Analisis1 Keluhan fisik Kesehatan umum Chi-square

2 Usia Usia Independent t-test

3 Gender Gender Chi-square

4 Keyakinan Keyakinan Chi-square

2. Analisis Kemandirian Responden Sebelum dan Sesudah Intervensi

No Variabel Kemandirian Variabel Kemandirian

Cara Analisis

1 Kemandirian responden kelompok intervensi sebelum diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (data interval)

Kemandirian responden kelompok kontrol sebelum penelitian(data interval)

Independent t-test

2 Kemandirian responden kelompok intervensi sesudah diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (data interval)

Kemandirian responden kelompok kontrol sesudah penelitian (data interval)

Independent t-test

3 Perbedaan kemandirian responden kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO

Perbedaan kemandirian responden kelompok kontrol sebelum dan sesudah penelitian

Paired t-test

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 103: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

82

Universitas Indonesia

3. Analisis Kepatuhan Berobat Responden Sebelum dan Sesudah

Intervensi

No Variabel Kepatuhanberobat

Variabel Kepatuhan berobat

Cara Analisis

1 Kepatuhan berobat responden kelompok intervensi sebelum diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (data interval)

Kemandirian responden kelompok kontrol sebelum penelitian (data interval)

Independent t-test

2 Kepatuhan berobat responden kelompok intervensi sesudah diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (data interval)

Kepatuhan berobatresponden kelompok kontrol sesudah penelitian (data interval)

Independent t-test

3 Perbedaan kepatuhan berobatresponden kelompok intervensisebelum dan sesudah diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO

Perbedaan kepatuhan berobat responden kelompok kontrol sebelum dan sesudah penelitian

Paired t-test

4. Analisis hubungan kemandirian dengan kepatuhan berobat klien

schizophrenia sebelum dan sesudah intervensi

No Kelompok intervensi Kelompok kontrol Cara Analisis

1 Kemandirian dan kepatuhan berobat klien kelompok intervensi sebelum diberikanasuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (data interval)

Kemandirian dan kepatuhan berobat klienkelompok kontrol sebelum penelitian (data interval)

One-sample t-test

4.9.3 Analisa Multivariat

Analisa multivariat dilakukan untuk menganalisis pengaruh intervensi

setelah dikontrol karakteristik responden. Analisa multivariat yang

akan digunakan adalah ancova (analysis of covariance). Ancova

digunakan untuk menguji pengaruh variabel covariance (skala

interval/rasio) terhadap hubungan antara variabel independen dengan

variabel dependen (Dharma, 2011). Ancova mirip dengan multiple

regression, tetapi juga menampilkan anova. Ancova digunakan untuk

membandingkan mean dari dua atau lebih kelompok (Polit & Beck,

2006).

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 104: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

83 Universitas Indonesia

BAB 5

HASIL PENELITIAN

Pada bab ini disajikan hasil penelitian mengenai pengaruh asuhan keperawatan

pada klien, keluarga dan peran PMO terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat

klien schizophrenia di Kersamanah Garut. Penelitian dilakukan mulai tanggal 24

Mei 2012 sampai 19 Juni 2012. Penelitian ini melibatkan 18 orang klien

schizophrenia di kelompok intervensi dan 19 orang klien schizophrenia di

kelompok kontrol.

Data yang disajikan dalam bab ini meliputi data karakteristik klien, kemandirian

dan kepatuhan berobat klien sebelum diberikan terapi, kemandirian dan kepatuhan

berobat klien setelah diberikan terapi, perubahan kemandirian dan kepatuhan

berobat klien setelah diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan

peran PMO dan faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian dan kepatuhan

berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut.

5.1. Karakteristik klien schizophrenia

Berikut ini disajikan karakteristik klien berdasarkan kelompok intervensi dan

kelompok kontrol. Data numerik, yaitu usia disajikan dalam mean, median,

standar deviasi, nilai minimal-maksimal, dan confidence interval untuk rata-

rata. Sedangkan untuk data kategorik, yaitu jenis kelamin, keluhan fisik, dan

keyakinan terhadap tindakan medis disajikan dalam persentase. Dalam

penyajian mengenai karakteristik responden ini, disajikan pula faktor

predisposisi yang menyebabkan responden mengalami schizophrenia. Faktor

predisposisi tersebut juga disajikan dalam persentase.

5.1.1. Karakteristik usia klien

Karakteristik usia klien pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol dapat dilihat pada tabel 5.1. Berdasarkan tabel 5.1 diketahui

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 105: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

84

Universitas Indonesia

bahwa rata-rata usia klien adalah 36.16 tahun (95% CI: 32.77; 39.56),

dengan usia termuda 19 tahun dan usia tertua 70 tahun.

Tabel 5.1Analisis karakteristik klien pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten

GarutVariabel Kelompok

N=37 Mean Median SD

Min-Maks

95% CI

Usia

Intervensi 18 35.06 35.5 8.342 20-52 30.91;39.20

Kontrol 19 37.21 37 11.797 19-70 31.52;42.90

Total 37 36.16 36 10.18 19-70 32.77;39.56Keterangan : usia dalam tahun

Selanjutnya dilakukan uji kesetaraan antara usia klien pada kelompok

intervensi dengan usia klien pada kelompok kontrol. Uji yang

digunakan untuk melakukan uji kesetaraan pada variabel numerik

adalah dengan menggunakan independent t-test. Hasil uji kesetaraan

untuk variabel usia klien dapat dilihat pada tabel 5.2.

Tabel 5.2Kesetaraan karakteristik klien schizophrenia berdasarkan usia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan

Kersamanah Kabupaten GarutVariabel Kelompok N=37 Mean SD SE p-value

UsiaIntervensi 18 35.06 8.342 1.966

0.527Kontrol 19 37.21 11.797 2.706

Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa tidak ada perbedaan usia klien

schizophrenia dalam kelompok intervensi dan kelompok kontrol

dengan p-value 0.527 (p-value > α=0.05).

5.1.2. Karakteristik jenis kelamin, keluhan fisik dan keyakinan terhadap

pelayanan kesehatan

Karakteristik jenis kelamin, keluhan fisik dan keyakinan terhadap

pelayanan kesehatan dapat dilihat pada tabel 5.3. Berdasarkan tabel 5.3

diketahui bahwa jumlah klien laki-laki yang diikutkan dalam penelitian

adalah sebanyak 22 orang (59.6%) dan klien perempuan sebanyak 15

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 106: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

85

Universitas Indonesia

orang (40.5%). Klien yang mengalami keluhan fisik yaitu berupa nyeri

sebanyak 6 orang (16.2%) dan yang tidak mengalami nyeri sebanyak

31 orang (83.8%). Klien yang memiliki keyakinan negatif terhadap

pelayanan kesehatan sebanyak 1 orang (2.7%) dan klien yang memiliki

keyakinan positif terhadap pelayanan kesehatan sebanyak 36 orang

(97.3%).

Tabel 5.3Distribusi karakteristik klien schizophrenia pada kelompok

intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

Variabel Kategori

Kelompok intervensi

(N=18)

Kelompok kontrol (N=19)

Jumlah

N % N % N %

Jenis kelamin

Laki-laki 10 55.6 12 63.2 22 59.6

Perempuan 8 44.4 7 36.8 15 40.5

Keluhan fisik

Tidak ada nyeri 12 66.7 19 100 31 83.8

Ada nyeri 6 33.3 0 0 6 16.2

Keyakinan yankes

Negatif 1 5.6 0 0 1 2.7

Positif 17 94.4 19 100 36 97.3

Pada karakteristik klien yang berupa data kategorik, yaitu jenis

kelamin, keluhan fisik dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan,

dilakukan uji kesetaraan untuk mengetahui ada atau tidaknya

perbedaan antara karakter klien pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol. Uji kesetaraan dilakukan dengan menggunakan

rumus chi-square. Kesetaraan karakteristik jenis kelamin, keluhan fisik

dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan dapat dilihat pada tabel

5.4 berikut.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 107: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

86

Universitas Indonesia

Tabel 5.4Kesetaraan karakteristik klien berdasarkan jenis kelamin,

keluhan fisik dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan

Kersamanah Kabupaten Garut

Variabel Kategori

Kelompok intervensi

(N=18)

Kelompok kontrol (N=19)

Jumlah

x² P-value

OR

95% CIN % N % N %

Jenis kelamin

Laki-laki 10 55.6 12 63.2 22 59.60.222 0.743

1.371

Perempuan 8 44.4 7 36.8 15 40.5 0.368; 5.116

Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa tidak ada perbedaan

karakteristik jenis kelamin pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol dengan p-value 0.743 (p-value > α=0.05). Karakter keluhan

fisik dan keyakinan terhadap pelayanan medis tidak dilakukan uji

kesetaraan karena data yang didapatkan terlalu homogen.

5.1.3. Faktor predisposisi pada klien schizophrenia di Kecamatan

Kersamanah Kabupaten Garut

Berikut ini adalah gambaran karakteristik klien berdasarkan faktor

predisposisi yang menyebabkan klien mengalami schizophrenia.

Faktor tersebut yaitu faktor biologis, faktor psikologis dan faktor sosial

budaya.

Tabel 5.5Faktor predisposisi pada klien schizophrenia di Kecamatan

Kersamanah Kabupaten Garut

Variabel Kategori

Kel. Intervensi Kel. Kontrol Total

N=18 % N=19 % N=37 %

Biologis

Tidak 11 61.1 8 42.1 19 51.4

Ya 7 38.9 11 57.9 18 48.6

Psikologis

Tidak 1 5.6 0 0 1 2.7

Ya 17 94.4 19 100 36 97.3

Sosial Budaya

Tidak 0 0 5 26.3 5 13.5

Ya 18 100 14 73.7 32 86.5

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 108: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

87

Universitas Indonesia

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa 18 orang klien

(51.4%) memiliki faktor predisposisi biologis, 36 dari 37 orang klien

(97.3%) memiliki predisposisi psikologis, dan 32 dari 37 orang klien

(86.5%) memiliki faktor predisposisi sosial budaya.

5.2. Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO

terhadap kemandirian klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah

Kabupaten Garut

Berikut ini akan disajikan data hasil penelitian mengenai kemandirian klien

schizophrenia di Kersamanah Garut, pengaruh asuhan keperawatan pada

klien, keluarga dan peran PMO terhadap kemandirian klien schizophrenia di

Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut dan hubungan karakteristik klien

dengan kemandirian klien schizophrenia di Kersamanah Garut.

5.2.1. Kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan

Kersamanah Kabupaten Garut

Berikut ini akan disajikan hasil analisa data mengenai kemandirian

klien schizophrenia yaitu meliputi analisa kemandirian klien sebelum

dilakukan terapi, analisa kemandirian klien sebelum dan sesudah

dilakukan terapi, analisa kemandirian klien sesudah dilakukan terapi

dan faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian klien

schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut.

Tabel 5.6Analisis kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi

pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

Variabel KelompokN=37 Mean

Median SD

Min-Maks 95% CI

Kemandirian

Intervensi 18 29.83 31 11.577 7 -- 44 24.08; 35.59

Kontrol 19 28.47 32 13.636 4 -- 45 21.90; 35.05

Total 37 29.14 32 12.519 4 -- 45 24.96; 33.31Kemandirian : 0-16= rendah, 17-32=sedang, 33-48=tinggi

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 109: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

88

Universitas Indonesia

Berdasarkan tabel 5.6 dapat dilihat bahwa rata-rata kemandirian

keseluruhan klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi adalah

kemandirian sedang, yaitu sebesar 29.14 (95% CI: 24.96; 33.31)

dengan nilai terrendah 4 dan nilai tertinggi 45.

Uji kesetaraan kemandirian klien schizophrenia sebelum diberikan

terapi dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan rata-

rata kemandirian klien pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol. Hasil uji kesetaraan dapat dilihat pada tabel 5.7.

Tabel 5.7Analisis kesetaraan kemandirian klien schizophrenia sebelum

dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

Variabel Kelompok N Mean SD SE T p-value

Kemandirian

Intervensi 18 29.83 11.577 2.729(-)0.326 0.746

Kontrol 19 28.47 13.636 3.128

Berdasarkan tabel 5.7 di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada

perbedaan antara rata-rata kemandirian klien schizophrenia pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hal ini dapat dilihat dari

nilai p-value 0.746 (> α=0.05). Dengan kata lain terdapat kesetaraan

antara rata-rata nilai kemandirian klien schizophrenia pada kelompok

intervensi dan kelompok kontrol.

5.2.2. Perubahan kemandirian klien schizophrenia sebelum dan sesudah

dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

Analisa perbedaan nilai kemandirian klien antara sebelum dan sesudah

dilakukan terapi dilakukan untuk mengetahui apakah perubahan yang

terjadi pada data post-test cukup bermakna secara statistik. Hasil uji

perbedaan rata-rata sebelum dan sesudah dilakukan terapi tersebut

dapat dilihat pada tabel 5.8.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 110: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

89

Universitas Indonesia

Tabel 5.8Analisis perbedaan kemandirian klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

KelompokN=37

Mean pretest

Mean posttest

Mean-paired SD SE 95% CI t

p-value

Intervensi 18 29.83 31.61 (-)1.7782.21

10.52

1(-)2.877; (-)0.678

(-)3.411 0.003

Kontrol 19 28.47 28.84 (-)0.3681.11

60.25

6(-)0.906; 0.170

(-)1.439 0.167

Berdasarkan tabel 5.8 diketahui bahwa pada kelompok intervensi nilai

rata-rata kemandirian klien schizophrenia meningkat dari 29.83

menjadi 31.61. Rata-rata selisih antara post-test dan pre-test adalah -

1.778 (95% CI -2.877; -0.678). Dari tabel di atas juga dapat

disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna setelah

diberikan terapi, yaitu berupa asuhan keperawatan pada klien, FPE

pada keluarga dan peran PMO oleh kader pada kelompok intervensi.

Hal ini dapat dilihat dari nilai p-value 0.003 (<α=0.05).

Diketahui pula nilai rata-rata kemandirian klien schizophrenia pada

kelompok kontrol meningkat dari 28.47 menjadi 28.84. Rata-rata

selisih nilai kemandirian pre dan posttest adalah sebesar -0.368 (95%

CI -0.906; 0.170). Perubahan nilai kemandirian yang terjadi pada

kelompok kontrol dapat disimpulkan tidak bermakna. Hal ini

dibuktikan dari nilai p-value 0.107 (>α=0.05).

Tabel 5.9Analisa beda rata-rata selisih kemandirian klien sebelum dan

sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

Variabel Kelompok N=37 Mean SD SE t p-value

Selisih kemandirian

Intervensi 18 1.78 2.211 0.521(-)2.468 0.019

Kontrol 19 0.37 1.116 0.256

Berdasarkan tabel 5.9 dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan

yang bermakna antara rata-rata selisih kemandirian pada kelompok

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 111: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

90

Universitas Indonesia

intervensi dan kelompok kontrol, dilihat dari nilai p-value 0.019

(<α=0.05).

5.2.3. Kemandirian klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan

Kersamanah Kabupaten Garut

Kemandirian klien sesudah dilakukan terapi dibandingkan antara

kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil analisa posttest

kemandirian dapat dilihat pada tabel 5.10.

Tabel 5.10Analisis kemandirian klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi

pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

Variabel KelompokN=37 Mean

Median SD

Min-Maks 95% CI

Kemandirian

Intervensi 18 31.61 32.5 10.472 12--46 26.40; 36.82

Kontrol 19 28.84 34 13.853 4--45 22.16; 35.52

Total 37 30.19 33 12.236 4--46 26.11; 34.27

Berdasarkan tabel 5.10 diketahui bahwa rata-rata nilai kemandirian

keseluruhan klien schizophrenia setelah diberikan terapi adalah 30.19

(kemandirian sedang) (95% CI 26.11; 34.27) dengan nilai terrendah 4

dan nilai tertinggi 46.

Uji independent t-test dilakukan untuk mengetahui perbedaan nilai

kemandirian klien setelah diberikan terapi pada kelompok intervensi.

Hasil analisa dapat dilihat pada tabel 5.11.

Tabel 5.11Perbedaan kemandirian klien schizophrenia setelah dilakukan

terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

Variabel Kelompok N=37 Mean SD SE t p-value

Kemandirian

Intervensi 18 31.61 10.472 2.468(-)0.688 0.499

Kontrol 19 28.84 13.853 3.178

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 112: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

91

Universitas Indonesia

Berdasarkan tabel 5.11 diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang

bermakna antara rata-rata nilai kemandirian setelah diberikan terapi

pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol, dilihat dari nilai p-

value 0.499 (>α=0.05).

5.2.4. Hubungan karakteristik dengan kemandirian klien schizophrenia

di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian adalah karakteristik

usia dan keluhan fisik. Faktor-faktor ini merupakan confounding

variables yang dapat mempengaruhi efek terapi. Berikut ini adalah

analisa faktor-faktor tersebut untuk mengetahui faktor yang

mempengaruhi kemandirian secara bermakna, dan untuk mengetahui

perubahan kemandirian yang disebabkan oleh terapi tanpa dipengaruhi

confounding variables tersebut. Teknik analisa yang digunakan adalah

dengan menggunakan analysis of covariance (Ancova), dengan hasil

yang dapat dilihat pada 5.12 dan 5.13.

Tabel 5.12Analisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian

klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten GarutKarakteristik B p-value

Usia (-)0.007 0.817

Keluhan fisik (-)0.178 0.844

Kelompok (-)1.454 0.035

Berdasarkan tabel 5.12 diketahui bahwa faktor usia dan keluhan fisik

adalah faktor yang tidak bermakna dalam mempengaruhi kemandirian

klien schizophrenia pada penelitian ini. Faktor terapi adalah faktor

yang bermakna dalam mempengaruhi kemandirian. Hal ini berarti

bahwa terapi yang diberikan menyebabkan perubahan bermakna dalam

kemandirian klien schizophrenia. Hal ini dibuktikan oleh nilai p-value

yang lebih kecil dari α (=0.05).

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 113: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

92

Universitas Indonesia

Tabel 5.13Perbedaan rata-rata perubahan kemandirian pada kelompok

intervensi dan kelompok kontrol

KelompokSebelum dikontrol

Setelah dikontrol

Intervensi 1.78 1.801

Kontrol 0.37 0.347

Berdasarkan tabel 5.13 dapat dilihat perbedaan antara nilai rata-rata

perubahan kemandirian klien schizophrenia pada kelompok intervensi

dan kelompok kontrol, setelah dikontrol dari confounding variables.

Dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata sebelum dan

sesudah dikontrol oleh confounding variables. Pada kelompok

intervensi rata-rata kemandirian klien schizophrenia mengalami

peningkatan dari 1.78 menjadi 1.801, sedangkan pada kelompok

kontrol terjadi penurunan dari 0.37 menjadi 0.347.

5.3. Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO

terhadap kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan

Kersamanah Garut

Berikut ini akan disajikan analisa data mengenai variabel dependen

kepatuhan berobat pada klien. Analisa yang disajikan meliputi analisa

univariat, bivariat dan multivariat.

5.3.1. Kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi

pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan

Kersamanah Kabupaten Garut

Analisa mengenai kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum

dilakukan terapi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol

dilakukan dengan menggunakan deskriptif stastistik. Hasil analisa

tersebut dapat dilihat pada tabel 5.14.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 114: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

93

Universitas Indonesia

Tabel 5.14Analisis kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan

terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

VariabelKelompok

N=37

Mean

Median SD

Min-Maks 95% CI

Kepatuhan berobat

Intervensi 18 1.72 2.001.52

6 0-40.96; 2.48

Kontrol 19 2.26 2.002.44

6 0-61.08; 3.44

Total 37 2.00 2.002.04

1 0-61.32; 2.68

Kepatuhan : 0-3=rendah, 4-6=tinggi

Berdasarkan tabel 5.14 diketahui bahwa rata-rata kepatuhan berobat

keseluruhan klien schizophrenia yang diikutsertakan dalam penelitian

berada dalam rentang rendah, yaitu sebesar 2.00 (95% CI 1.32; 2.68)

dengan nilai terrendah 0 dan nilai tertinggi 6.

Tabel 5.15Analisis kesetaraan kepatuhan berobat klien schizophrenia

sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

Variabel Kelompok N=37 Mean SD SE t p-value

Kepatuhan berobat

Intervensi 18 1.72 1.526 0.561

0.802 0.428Kontrol 19 2.26 2.446 0.36

Analisis kesetaraan kepatuhan berobat klien schizophrenia antara

kelompok intervensi dan kelompok kontrol dilakukan dengan

menggunakan uji independent t-test. Dari tabel 5.15 diketahui bahwa

terdapat kesetaraan nilai kepatuhan berobat klien schizophrenia pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol, dilihat dari nilai p-value

0.428 (>α=0.05).

5.3.2. Perubahan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dan

sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

Berikut ini adalah hasil analisa perbedaan kepatuhan berobat klien

schizophrenia sebelum dan sesudah diberikan terapi pada kelompok

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 115: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

94

Universitas Indonesia

intervensi. Uji yang dilakukan adalah dengan menggunakan paired t-

test pada masing-masing kelompok. Hasil analisa tersebut dapat dilihat

pada tabel 5.16.

Tabel 5.16Analisis perbedaan kepatuhan berobat klien schizophrenia

sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah

Kabupaten Garut

KelompokN=37

Mean pretest

Mean posttest

Mean-paired SD SE 95% CI t p-value

Intervensi 18 1.72 2.89 (-)1.167 1.15 0.271(-)1.739; (-)0.595

(-)4.302 0.000'

Kontrol 19 2.26 2.63 (-)0.368 0.684 0.157(-)0.698; (-)0.039

(-)2.348 0.031

Berdasarkan tabel 5.16 diketahui bahwa kepatuhan berobat klien

schizophrenia pada kelompok intervensi meningkat dari 1.72 menjadi

2.89. Sedangkan rata-rata selisih antara nilai pre dan posttest adalah -

1.167 (95% CI -1.739; 0.595). Dan dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan yang bermakna antara kepatuhan berobat sebelum dan

sesudah diberikan asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga

dan peran PMO oleh kader. Hal ini dibuktikan oleh nilai p-value 0.000

(<α=0.05).

Pada kelompok kontrol terdapat pula perubahan nilai rata-rata

kepatuhan berobat klien schizophrenia yaitu dari 2.26 menjadi 2.63.

Nilai rata-rata selisih antara pre dan posttest sebesar -0.368 (95% CI: -

0.698; -0.039). Dan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang

bermakna pada kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok

kontrol sebelum dan sesudah penelitian. Hal ini dilihat dari nilai p-

value 0.031 (<α=0.05).

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 116: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

95

Universitas Indonesia

Tabel 5.17Analisis beda rata-rata selisih kepatuhan berobat klien

schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan

Kersamanah Kabupaten GarutVariabel Kelompok N=37 Mean SD SE t p-value

Selisih kepatuhan

Intervensi 18 1.17 1.15 0.271(-)2.582 0.014

Kontrol 19 0.37 0.684 0.157

Berdasarkan tabel 5.17 diketahui bahwa terdapat perbedaan yang

bermakna antara rata-rata selisih kepatuhan berobat klien

schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hal ini

dapat dilihat dari nilai p-value 0.014 (<α=0.05).

5.3.3. Kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi

pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan

Kersamanah Kabupaten Garut

Berikut ini adalah kepatuhan berobat klien sesudah dilakukan terapi

pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil deskripsi

statistik dapat dilihat pada tabel 5.18.

Tabel 5.18Analisis kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan

terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

Variabel KelompokN=37 Mean Median SD

Min-Maks 95% CI

Kepatuhan berobat

Intervensi 18 2.89 3.00 2.272 0-6 1.76; 4.02

Kontrol 19 2.63 3.00 2.692 0-6 1.33; 3.93

Total 37 2.76 3.00 2.465 0-6 1.93; 3.58

Berdasarkan tabel 5.18 diketahui bahwa rata-rata kepatuhan berobat

klien schizophrenia setelah dilakukan terapi adalah 2.76 (kepatuhan

rendah) (95% CI 1.93; 3.58), dengan nilai terrendah 0 dan nilai

tertinggi 6.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 117: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

96

Universitas Indonesia

Pada tabel 5.19 dapat dilihat perbedaan kepatuhan berobat klien

schizophrenia setelah diberikan intervensi kepada kelompok intervensi

dan kelompok kontrol.

Tabel 5.19Perbedaan kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah

dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

Variabel Kelompok N=37 Mean SD SE t p-value

KepatuhanIntervensi 18 2.89 2.272 0.536

(-)0.313 0.756Kontrol 19 2.63 2.692 0.618

Berdasarkan tabel 5.19 diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang

bermakna antara kepatuhan berobat klien sesudah diberikan terapi baik

pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol.

5.3.4. Hubungan karakteristik dengan kepatuhan berobat klien

schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

Berikut ini adalah analisa multivariat untuk variabel dependen

kepatuhan berobat. Analisa multivariat ini menggunakan uji ancova

untuk mengetahui faktor-faktor yang secara bermakna mempengaruhi

kepatuhan berobat klien schizophrenia dan untuk mengetahui

perubahan nilai kepatuhan berobat klien schizophrenia setelah faktor-

faktor yang mempengaruhinya dikontrol. Sehingga dapat diketahui

perubahan kepatuhan berobat klien yang hanya disebabkan oleh terapi

yang diberikan pada penelitian, yaitu pemberian asuhan keperawatan

pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader. Hasil

analisa ancova tersebut dapat dilihat pada tabel 5.20 dan tabel 5.21.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 118: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

97

Universitas Indonesia

Tabel 5.20Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat

klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

Karakteristik B p-value

Usia (-)0.07 0.655

Keyakinan 1.462 0.136

Jenis kelamin (-)0.512 0.111

Kelompok (-)0.904 0.006

Berdasarkan tabel 5.20 dapat diketahui bahwa faktor usia, keyakinan

terhadap pelayanan medis dan jenis kelamin tidak mempengaruhi

kepatuhan berobat klien schizophrenia secara bermakna. Faktor

kelompok menjadi faktor yang bermakna mempengaruhi kepatuhan

berobat klien. Ini dapat berarti bahwa terapi yang diberikan

mempengaruhi kepatuhan berobat secara bermakna. Hal ini dapat

dilihat dari nilai p-value yang lebih kecil dari α (=0.05).

Tabel 5.21Perbedaan rata-rata kepatuhan berobat sebelum dan sesudah

terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

KelompokSebelum dikontrol

Setelah dikontrol

Intervensi 1.17 1.221

Kontrol 0.37 0.317

Berdasarkan tabel 5.21 dapat diketahui perbedaan rata-rata kepatuhan

berobat klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol sebelum dan sesudah pengaruh confounding variables

dihilangkan. Dapat diketahui bahwa pada kelompok intervensi terdapat

peningkatan dari 1.17 menjadi 1.221, sedangkan pada kelompok

kontrol terjadi penurunan dari 0.37 menjadi 0.317.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 119: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

98

Universitas Indonesia

5.4. Hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia

pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan

Kersamanah Kabupaten Garut

Pada tabel 5.22 dapat dilihat mengenai hubungan antara variabel dependen

kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok

intervensi dan kelompok kontrol. Uji yang digunakan adalah dengan

menggunakan one sample t-test.

Tabel 5.22Analisis hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien

schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

Variabel N=37Pearson correlation p-value

Kemandirian dan kepatuhan berobat

37 0.66 0.000

Berdasarkan tabel 5.22 diketahui bahwa terdapat hubungan yang kuat dan

searah antara kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di

Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut. Ini berarti bahwa semakin tinggi

kemandirian klien, maka semakin tinggi pula kepatuhan berobat. Hal ini

dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi dan p-value 0.000 (<α =0.05).

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 120: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

99 Universitas Indonesia

BAB 6

PEMBAHASAN

Pada bab ini dibahas mengenai hasil penelitian dan analisa dari pengolahan data

yang didapatkan pada bab 5 sebelumnya. Kerangka pembahasan pada bab ini

meliputi pembahasan mengenai pengaruh asuhan keperawatan pada klien,

keluarga dan peran PMO pada kemandirian klien, faktor-faktor yang

mempengaruhi kemandirian klien schizophrenia, pengaruh asuhan keperawatan

pada klien, keluarga dan peran PMO pada kepatuhan berobat klien, faktor-faktor

yang mempengaruhi kepatuhan berobat klien schizophrenia, keterbatasan

penelitian dan implikasi hasil penelitian.

6.1. Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO

pada kemandirian klien

Hasil analisa data menunjukkan bahwa kondisi kemandirian awal keseluruhan

klien schizophrenia sebelum dilakukan asuhan keperawatan pada klien, FPE

pada keluarga dan peran PMO adalah kemandirian sedang. Kebanyakan orang

dengan schizophrenia memiliki kesulitan dalam menjalankan pekerjaannya

atau bahkan untuk merawat dirinya sendiri, maka mereka bergantung pada

bantuan orang lain (NIMH, 2012). Ini menunjukkan bahwa kemandirian klien

terganggu karena kondisi schizophrenia.

Masalah kemandirian klien schizophrenia perlu mendapat perhatian karena

akan banyak masalah lain yang ditimbulkan seperti masalah stress pada

caregiver dan menambah beban keluarga. Hal ini sesuai dengan yang

dinyatakan oleh Safier (1997, dalam Townsend, 2009) bahwa keluarga yang

memiliki anggota keluarga dengan schizophrenia akan mengalami pergolakan

yang besar dalam dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi schizophrenia

dapat berdampak pada kondisi keluarga, karena itu keluarga pun memerlukan

intervensi agar tidak menimbulkan masalah baru.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 121: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

100

Universitas Indonesia

Pengaruh dari adanya anggota keluarga dengan gangguan mental sering

disebut dengan beban keluarga (Stuart, 2009). Sebuah survey mengenai

caregiver di keluarga menunjukkan bahwa beban yang paling besar dirasakan

adalah mengkhawatirkan masa depan, berkurangnya konsentrasi,

terganggunya rutinitas sehari-hari, merasa bersalah karena merasa apa yang

dilakukan tidak cukup baik, merasa terperangkap di rumah, dan merasa sedih

karena perubahan pada anggota keluarga (Rose et al., 2006 dalam Stuart,

2009). Dengan potensi yang dimiliki oleh klien, klien dapat meningkatkan

kemandiriannya dengan cara dilatih untuk menjalankan aktivitas sehari-hari

secara mandiri. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka diperlukan terapi

yang sesuai kepada klien dan keluarga.

Hasil penelitian ini menunjukkan kemandirian pada kelompok yang

mendapatkan asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan peran

PMO lebih meningkat secara bermakna dibandingkan kelompok yang tidak

mendapatkan terapi. Terdapat perbedaan yang bermakna antara selisih

kemandirian pada kelompok yang mendapatkan asuhan keperawatan pada

klien, FPE pada keluarga dan peran PMO dengan kelompok kontrol.

Perbedaan yang terjadi antara kedua kelompok tersebut menunjukkan bahwa

pemberian terapi atau kunjungan secara rutin dan terstruktur dapat

meningkatkan kemandirian klien.

Pada penelitian ini dilakukan asuhan keperawatan generalis pada klien agar

klien dapat dilatih langsung untuk mandiri dalam melakukan kegiatan sehari-

hari. Asuhan keperawatan yang diberikan pada klien sesuai dengan diagnosa

keperawatan yang muncul pada klien, dalam penelitian dikelola 5 diagnosa

yaitu gangguan sensori persepsi; halusinasi, harga diri rendah, isolasi sosial,

risiko perilaku kekerasan dan defisit perawatan diri. Asuhan keperawatan ini

dapat membantu meningkatkan kemandirian klien karena dalam isi asuhan

keperawatan, klien diajarkan untuk mengatasi masalahnya dan dapat

menjalani kegiatan sehari-hari secara wajar dan mandiri. Pada keluarga

diberikan terapi psikoedukasi agar keluarga sebagai caregiver mampu

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 122: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

101

Universitas Indonesia

meningkatkan kemandirian klien sehari-hari seperti mensupport klien untuk

mengatasi masalahnya sendiri seperti mengingatkan cara mengontrol

halusinasi, dan mensupport klien untuk mandiri dalam aktivitas sehari-hari

seperti mencuci bajunya sendiri, mengingatkan klien untuk merawat diri, dan

sebagainya.

Penelitian dalam The British Journal of Psychology menunjukkan efek

pemberian FPE pada keluarga yang merawat klien dengan depresi mayor.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok pada kelompok yang

diberikan FPE, waktu kekambuhan klien secara statistik lebih panjang

dibandingkan dengan kelompok keluarga yang tidak diberikan FPE (Kaplan-

Meier survival analysis, P=0,002) (Shimazu, et.al, 2008). Dalam penelitian ini

FPE diasumsikan dapat berpengaruh terhadap perawatan keluarga sebagai

caregiver kepada klien dengan schizophrenia.

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Keliat, Helena dan Riasmini (2011)

mengenai penerapan model CMHN Jakarta. Intervensi yang dilakukan berupa

pemberian asuhan keperawatan pada klien dan health education kepada

keluarga yang dilakukan selama 12 kali kunjungan. Hasil penelitian ini

menunjukkan perbedaan yang bermakna sebelum dan sesudah penelitian baik

pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Terdapat peningkatan

kemandirian sebesar 8,88 pada kelompok intervensi dan sebesar 3,96 pada

kelompok kontrol. Penelitian tersebut dapat menjadi dasar perbandingan

dengan penelitian ini yang melakukan kunjungan untuk kelompok intervensi

sebanyak 3 kali dengan menambah peran kader sebagai Pengawas Minum

Obat.

Pada penelitian ini, setelah dilakukan terapi rata-rata nilai kemandirian klien

masih berada pada rentang kemandirian sedang. Pada kelompok intervensi

terjadi peningkatan sebesar 1,778 dan pada kelompok kontrol sebesar 0,368.

Pada penelitian ini terjadi peningkatan 3,7% dalam 3 kali kunjungan,

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 123: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

102

Universitas Indonesia

sedangkan pada penelitian CMHN Jakarta terjadi peningkatan 17,1% dalam

12 kali kunjungan. Perubahan tersebut dapat dilihat pada tabel 6.1

Tabel 6.1Perbandingan persentase peningkatan kemandirian pada penelitian

CMHN Jakarta dengan penelitian Kersamanah Garut3 kali 12 kali 1: 4

Intervensi Askep, FPE, PMO Askep, HE

Peningkatan 1,778 8,88 1 : 4.9

Persentase 3,7% 17,1%

Pada penelitian tersebut dapat dilihat bahwa ratio perubahan kemandirian

klien lebih tinggi pada penelitian CMHN Jakarta. Hal ini dapat disebabkan

karena jumlah tim yang terlibat dalam penelitian lebih banyak. Pada penelitian

di Kersamanah Garut ini peneliti melakukan terapi sendiri. Sehingga

keefektifan waktu kunjungan dan pelaksanaan terapi menjadi kurang efektif.

Pada penelitian yang dilakukan pada CMHN Jakarta, rata-rata tingkat

pendidikan responden adalah menengah, sedangkan pada penelitian di

Kersamanah Garut adalah pada tingkat rendah, yaitu di bawah SMU. Hal ini

secara tidak langsung dapat mempengaruhi kognitif, psikomotor dan afektif

klien dalam meningkatkan kemandiriannya. Stuart (2009) menyatakan bahwa

klien dengan tingkat pendidikan rendah memiliki motivasi yang rendah untuk

menjalani pengobatan. Klien dengan pendidikan yang rendah juga menjadi

kurang peka terhadap informasi-informasi terkait pengobatannya.

Stuart (2009) menyatakan pula bahwa klien dengan pendidikan yang rendah

selanjutnya memiliki penghasilan yang rendah atau bahkan tidak bekerja. Pada

penelitian di Kersamanah Garut, diketahui bahwa sebagian besar klien dan

keluarganya tidak bekerja atau memiliki penghasilan yang rendah.

Keberhasilan asuhan keperawatan sebagai bagian dari paket intervensi dalam

meningkatkan kemandirian klien schizophrenia didukung pula oleh penelitian

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 124: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

103

Universitas Indonesia

sebelumnya. Penelitian Sari (2009) mengenai pengaruh FPE terhadap beban

keluarga dan kemampuan keluarga dalam merawat klien pasung di Nangroe

Aceh Darussalam, juga mengukur dampak pemberian asuhan keperawatan

kepada klien terhadap kemandirian klien pasung. Dari penelitian ini diketahui

bahwa setelah diberikan intervensi defisit perawatan diri terjadi peningkatan

yang bermakna pada aspek kemandirian klien, yang terdiri dari aktivitas

harian, aktivitas sosial, cara mengatasi masalah dan pengobatan klien (Sari,

2009). Hal ini menunjukkan bahwa intervensi langsung kepada klien

memberikan pengaruh yang bermakna pada kemandirian klien.

Keberhasilan pemberian asuhan keperawatan pada klien dalam penelitian ini

dapat dilihat dari satu contoh kasus, yaitu Tn.E yang perubahannya secara

subjektif dirasakan sangat signifikan oleh keluarga. Tn. E memiliki HDR

(Harga Diri Rendah), Isolasi sosial, dan DPD (Defisit Perawatan Diri). Klien

sering merasa malu karena kondisi dirinya dan tidak mau ke luar rumah, lebih

sering tidur, mandi seperlunya (atau jika diingatkan), klien juga malas

mencuci baju sendiri. Setelah dilakukan intervensi, terjadi perubahan yaitu

klien mau mencuci bajunya, mandi dan membersihkan rumah, dan mau datang

ke puskesmas walaupun masih didampingi kakaknya serta berkunjung ke

rumah temannya.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikembangkan terapi spesialis

selanjutnya untuk keluarga yaitu terapi suportif dan self help group. Hal ini

karena mempertimbangkan banyaknya klien dengan gangguan jiwa, dan

potensi keluarga yang memiliki keyakinan positif terhadap pelayanan

kesehatan. Dengan terapi spesialis tersebut masalah yang muncul pada

keluarga dengan klien schizophrenia dapat dikurangi dengan mengoptimalkan

potensi keluarga sendiri.

Peningkatan yang dicapai pada kelompok intervensi dalam penelitian ini

adalah sebesar 3,7% dan nilai kemandirian sesudah intervensi adalah 31,61.

Hal ini berarti peningkatan yang dihasilkan belum optimal pada klien, dilihat

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 125: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

104

Universitas Indonesia

dari nilai maksimum kemandirian yang belum tercapai, yaitu 48. Dan

walaupun terjadi peningkatan setelah intervensi dalam penelitian ini, namun

rata-rata kemandirian tersebut masih berada pada rentang kemandirian sedang.

Hal ini dapat disebabkan karena diperlukan pembudayaan yang lebih lama

untuk merubah perilaku dan diperlukan kekonsistenan pendampingan pada

klien dan keluarga agar perilaku yang sudah baik dapat bertahan dan

meningkat. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Pavlov, bahwa

perilaku merupakan hal yang dipelajari oleh makhluk hidup. Pembentukan

perilaku dapat dilakukan dengan memberikan stimulus secara berulang-ulang

sehingga menjadi pola perilaku (Varcarolis & Halter, 2010).

Peningkatkan kemandirian klien dan nilai optimal dari kemandirian dapat

dicapai dengan cara memberikan pendampingan secara teratur oleh kader,

evaluasi secara berkala oleh pihak puskesmas atau spesialis jiwa sekaligus

sebagai pendampingan, serta dilakukan konsultasi kepada spesialis jiwa untuk

psikoterapi yang tepat pada masing-masing klien dan keluarga. Berdasarkan

hasil penelitian dengan perhitungan statistik didapatkan bahwa diperlukan 30

kali kunjungan untuk mencapai nilai kemandirian yang optimal.

Faktor usia dan keluhan fisik adalah faktor yang tidak bermakna dalam

mempengaruhi kemandirian klien schizophrenia pada penelitian ini. Faktor

terapi adalah faktor yang bermakna dalam mempengaruhi kemandirian. Hal

ini berarti bahwa terapi yang diberikan menyebabkan perubahan bermakna

dalam kemandirian klien schizophrenia. Pada kelompok intervensi rata-rata

kemandirian klien schizophrenia mengalami peningkatan dari 1.78 menjadi

1.801, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan dari 0.37 menjadi

0.347.

6.2 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO

pada kepatuhan berobat klien

Kondisi awal kepatuhan berobat keseluruhan klien schizophrenia yang

diikutsertakan dalam penelitian ini adalah kepatuhan berobat rendah.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 126: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

105

Universitas Indonesia

Kepatuhan berobat yang rendah dapat terjadi pada penyakit-penyakit kronis

yang memerlukan waktu jangka panjang untuk pengobatan. Rata-rata

kepatuhan berobat keseluruhan klien schizophrenia yang diikutsertakan

dalam penelitian berada dalam rentang kepatuhan rendah. Klien dengan

schizophrenia biasanya menjalani pengobatan dalam jangka waktu yang

lama. Seperti dinyatakan dalam Stuart (2009) bahwa pada beberapa klien

dengan masalah kesehatan jiwa, program pengobatan dapat berlangsung

selama beberapa bulan atau bahkan seumur hidup. Kondisi ini dapat

menyebabkan muncul perasaan bosan, lelah dan sebagainya sehingga dapat

menurunkan kepatuhan berobat klien schizophrenia.

Penelitian Wardhani (2009) menyimpulkan bahwa ketidakpatuhan dapat

disebabkan oleh berbagai aspek, yaitu aspek yang berkaitan dengan obat,

aspek yang berkaitan dengan pasien, aspek yang berkaitan dengan keluarga,

dan aspek yang berkaitan dengan tenaga kesehatan. Perilaku ketidakpatuhan

pasien yang paling banyak dilakukan adalah perilaku menurunkan dosis obat.

Penyebab perilaku ini adalah pandangan pasien bahwa kerugian minum obat

lebih besar dibandingkan dengan manfaat minum obat.

Analisa data penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

bermakna antara rata-rata selisih kepatuhan berobat klien schizophrenia pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Setelah dilakukan terapi terjadi

peningkatan rata-rata kepatuhan berobat sebesar 1.167 pada kelompok

intervensi dan sebesar 0,368 pada kelompok kontrol. Peningkatan tersebut

dapat terjadi karena terapi yang diberikan kepada klien dan keluarga serta

peran PMO oleh kader. Seperti dinyatakan dalam penelitian Wardhani (2009)

bahwa kepatuhan berobat dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu

diantaranya adalah aspek yang berkaitan dengan pasien, aspek yang berkaitan

dengan keluarga dan aspek yang berkaitan dengan tenaga kesehatan. Paket

intervensi yang diberikan dalam penelitian pada klien schizophrenia di

Kersamanah Garut ini memberikan intervensi pada aspek-aspek yang dapat

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 127: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

106

Universitas Indonesia

mempengaruhi kepatuhan berobat tersebut sehingga kepatuhan berobat dapat

meningkat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna

antara kepatuhan berobat sebelum dan sesudah terapi baik pada kelompok

kontrol maupun kelompok intervensi. Intervensi yang dilakukan dalam

penelitian ini adalah asuhan keperawatan kepada klien schizophrenia sesuai

SAK Jiwa, FPE kepada keluarga sebagai caregiver dan peran PMO oleh

kader untuk menjamin keteraturan berobat klien. Intervensi yang diberikan

kepada klien berupa asuhan keperawatan sesuai SAK dapat membantu

meningkatkan kepatuhan berobat klien karena dalam salah satu strategi

pelaksanaan asuhan keperawatan tersebut, terdapat satu strategi pelaksanaan

mengenai pengobatan klien. Dalam intervensi tersebut klien diberikan

penjelasan mengenai obat-obatan yang diminum klien, fungsi obat-obatan

tersebut, berapa lama klien harus berobat dan apa alasannya, klien juga

diajarkan mengenai pengobatan yang benar, jadwal kontrol dan akibat yang

ditimbulkan jika klien tidak teratur berobat. Penjelasan-penjelasan ini dapat

meningkatkan kepatuhan berobat klien karena pengetahuan yang baik

menjadi dasar untuk perilaku yang sesuai. Sesuai dengan teori perilaku yang

dikemukakan oleh Bloom (dalam Notoatmodjo, 2002), bahwa perilaku

seseorang dipengaruhi oleh pengetahuannya. Berbagai penelitian

membuktikan hubungan searah antara pengetahuan dan perilaku seseorang,

dengan arti bahwa semakin baik pengetahuan seseorang maka dapat

diasumsikan semakin baik pula perilakunya.

Pada penelitian ini dalam paket terapi diberikan FPE kepada keluarga. Pada

sesi 2 diberikan pemberian informasi mengenai cara perawatan klien

berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien, termasuk

mengenai pengobatan klien. Diasumsikan bahwa keluarga dapat memberikan

kontribusi secara tidak langsung kepada klien untuk meningkatkan kepatuhan

berobat klien. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wardhani (2009) bahwa

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 128: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

107

Universitas Indonesia

keluarga juga berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung sebagai

penyebab ketidakpatuhan.

Keberhasilan FPE dalam berbagai variabel yang diukur pada keluarga telah

banyak diteliti. Salah satu penelitian yang dilakukan mengenai FPE adalah

penelitian Sari (2009) mengenai pengaruh FPE terhadap beban yang

dirasakan keluarga dan kemampuan keluarga dalam merawat klien pasung di

Nangroe Aceh Darussalam, yang menyimpulkan bahwa terjadi penurunan

bermakna pada beban keluarga dan terjadi peningkatan yang bermakna pada

kemampuan keluarga merawat klien pasung. Dalam penelitian ini, aspek

perawatan pada klien diasumsikan termasuk ke dalam kemampuan keluarga

mengatur pengobatan klien. karena itu pemberian FPE kepada keluarga

secara tidak langsung menyebabkan peningkatan kepatuhan berobat pada

klien.

Rata-rata nilai kepatuhan berobat setelah dilakukan terapi adalah 2,76 yang

berarti masih berada pada rentang kepatuhan rendah. Peningkatan yang hanya

sebesar 1,9% dalam penelitian ini dapat disebabkan karena perubahan

perilaku klien memerlukan pendampingan agar membudaya. Dan untuk

mencapai nilai optimal yaitu 6 diperlukan intervensi lebih lanjut seperti

keberlanjutan peran PMO oleh kader dengan rentang kunjungan yang lebih

sering, karena pada saat penelitian kader melakukan kunjungan 1 kali dalam

seminggu menyesuaikan dengan kunjungan peneliti. Selain itu dapat

dilakukan kunjungan berkala dari pihak puskesmas, serta konsultasi pada

spesialis jiwa secara berkala untuk psikoterapi yang tepat yang dapat

mendukung meningkatnya kepatuhan berobat klien.

Aspek pengobatan yang dapat mempengaruhi pengobatan diantaranya adalah

durasi pengobatan yang cenderung lama pada klien schizophrenia. Hal

diungkapkan oleh Philip Ley, seorang peneliti yang melakukan penelitian

mengenai kepatuhan selama lebih dari 30 tahun, menyatakan bahwa semakin

sederhana jadwal pengobatan, dan semakin singkat durasinya, maka

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 129: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

108

Universitas Indonesia

kepatuhan akan semakin tinggi (Ley, 1997 dalam Brannon & Feist, 2010).

Pada klien dengan schizophrenia kejadian drop out berobat juga seringkali

menjadi masalah karena jangka waktu pengobatan yang lama. Klien

seringkali merasa bosan, atau merasa sudah sembuh. Karena itu peran PMO

untuk klien dengan schizophrenia juga diperlukan untuk mengurangi angka

drop out berobat. Karena lamanya durasi pengobatan klien schizophrenia,

maka klien perlu mendapat dukungan agar teratur berobat. Dukungan dapat

diberikan oleh keluarga sebagai unit terdekat dengan klien, dan keluarga juga

dapat menjalankan peran Pengawas Minum Obat.

Ketiga bagian dari paket terapi berkaitan dengan pengobatan klien. Dalam

asuhan keperawatan generalis yang diberikan kepada klien sesuai dengan

diagnosa keperawatan terdapat strategi pelaksanaan untuk membahas

mengenai pengobatan klien, sehingga dapat membantu meningkatkan

kesadaran klien akan pentingnya berobat. Pada FPE kepada keluarga sesi 2,

keluarga diberikan pengetahuan mengenai kondisi penyakit klien termasuk

pengobatannya dan keluarga dilatih untuk membantu klien teratur berobat.

Dan peran PMO yang merupakan hal yang baru yang memang ditujukan

spesifik untuk masalah pengobatan klien.

Peran Pengawas Minum Obat adalah peran yang dijalankan oleh seseorang

untuk meyakinkan keteraturan klien meminum obat. Peran PMO sendiri

dapat dilakukan oleh keluarga atau kader atau pemberi layanan kesehatan

(Nizar, 2010). Pengembangan peran PMO telah banyak dikenal pada

penyakit tuberculosis karena kepatuhan minum obat pada penyakit ini

dianggap rendah, sementara drop out berobat dapat memperburuk kondisi

pasien dengan tuberculosis. Peran PMO yang dijalankan dalam penelitian ini

adalah kader memotivasi klien untuk teratur berobat, memberikan penjelasan

kepada keluarga untuk mengawasi pengobatan klien dan menganjurkan klien

untuk teratur melakukan pemeriksaan ke puskesmas (Nazir, 2010). Dengan

dikunjungi oleh kader klien dan keluarga mendapatkan informasi bahwa

pengobatan mudah dan murah didapat. Selain itu dengan mendapatkan

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 130: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

109

Universitas Indonesia

penjelasan dari kader, klien dan keluarga dapat lebih memahami manfaat dari

pengobatan, sehingga termotivasi untuk teratur menjalani pengobatan. Dalam

penelitian ini kader juga memotivasi klien untuk berobat dengan cara

menceritakan keberhasilan pengobatan pada klien lain.

Faktor usia, keyakinan terhadap pelayanan medis dan jenis kelamin tidak

mempengaruhi kepatuhan berobat klien schizophrenia secara bermakna.

Faktor kelompok menjadi faktor yang bermakna mempengaruhi kepatuhan

berobat klien. Ini dapat berarti bahwa terapi yang diberikan mempengaruhi

kepatuhan berobat secara bermakna. Setelah dikontrol oleh faktor

confounding, pada kelompok intervensi terdapat peningkatan dari 1.17

menjadi 1.221, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan dari 0.37

menjadi 0.317.

Keyakinan klien terhadap pelayanan kesehatan dapat mempengaruhi

kepatuhan berobat klien. Hal ini dapat disebabkan karena homogenitas klien

dan keluarga. Klien dan keluarga akan lebih cenderung memilih cara

pengobatan yang diyakini dapat memberikan perubahan pada kondisi klien.

Sehingga kepatuhan berobat klien akan dipengaruhi oleh keyakinan yang

selanjutnya mempengaruhi pemilihan klien terhadap alternatif pengobatan.

Pada penelitian ini hanya satu orang yang memiliki keyakinan negatif pada

pengobatan medis. Hal ini dapat disebabkan oleh program kesehatan jiwa

yang cukup menjadi sorotan di Kecamatan Kersamanah, sehingga klien dan

keluarga memiliki harapan yang besar terhadap program program kesehatan

jiwa yang dikembangkan di puskesmas. Dan dapat disebabkan oleh

kedekatan dengan petugas kesehatan sehingga sudah terbina kepercayaan

yang baik.

6.3 Hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di

Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemandirian dan kepatuhan berobat

klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 131: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

110

Universitas Indonesia

berhubungan secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan asuhan

keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader. Ini

berarti bahwa semakin tinggi kemandirian klien, maka semakin tinggi pula

kepatuhan berobat.

Analisa data menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara

kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan

Kersamanah Kabupaten Garut. Dalam kuesioner kemandirian 4 item

berkaitan dengan pengobatan klien. Mandiri dalam berobat menjadi salah

satu aspek yang ditanyakan dalam pengukuran kemandirian. Koefisien

korelasi positif menunjukkan hubungan searah antara kemandirian dengan

kepatuhan berobat klien schizophrenia. Artinya semakin tinggi kemandirian

maka kepatuhan berobat pun semakin meningkat. Dengan demikian dapat

diasumsikan bahwa jika kemandirian ditingkatkan, maka kepatuhan berobat

pun akan ikut meningkat. Maka usaha yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan kepatuhan berobat dapat dilakukan bersamaan dengan usaha

untuk meningkatkan kemandirian klien.

Item dalam pengukuran kepatuhan berobat adalah tidak pernah lupa jadwal

minum obat dan tidak pernah terlewat jadwal minum obat. Kemandirian

yang diukur dalam penelitian ini menunjukkan kemampuan klien melakukan

aktivitasnya sehari-hari tanpa bantuan dari orang lain. Aktivitas sehari-hari

tersebut termasuk di dalamnya adalah mengenai pengobatan klien. Klien

yang sudah mandiri dan teratur dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari

dapat diasumsikan bahwa klien tersebut juga teratur dan mandiri dalam

pengobatan. Hal ini dapat menjadi alasan yang mendasari hubungan yang

erat antara kemandirian dengan kepatuhan berobat.

6.4 Faktor Predisposisi Klien Schizophrenia

Dalam penelitian ini juga diteliti mengenai faktor predisposisi yang

menyebabkan klien mengalami gangguan jiwa. Faktor predisposisi psikologis

dimiliki oleh seluruh klien kecuali 1 orang, yang tidak menyatakan ada faktor

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 132: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

111

Universitas Indonesia

psikologis sebelum tanda dan gejala schizophrenianya muncul. Faktor

psikologis yang menyebabkan schizophrenia pada klien dalam penelitian ini

antara lain karena kegagalan dalam rumah tangga, kegagalan dalam usaha,

pengalaman tarumatis, kehilangan, dan sebagainya. 86,5% memiliki

predisposisi budaya seperti kemiskinan dan pendidikan yang rendah. Dan

51.4% terkaji memiliki predisposisi biologis seperti faktor keturunan, trauma

kepala, terpapar narkoba, dan sebagainya. Menurut Model Stress Adaptasi

Stuart (Stuart, 2009), faktor predisposisi dapat dikelompokkan menjadi faktor

biologis, psikologis dan faktor sosial budaya. Pendapat lain menyatakan

bahwa schizophrenia dapat merupakan hasil dari kombinasi beberapa

penyebab diantaranya faktor biologis, faktor psikologis, dan faktor

lingkungan (Townsend, 2009). Maka faktor predisposisi dapat merupakan

kombinasi dari beberapa faktor, misalnya salah satu klien mengalami

schizophrenia setelah ditinggal meninggal oleh suaminya dalam kondisi

hamil dan tidak bekerja, sehingga klien merasa terbebani secara psikologis

dan sosial budaya.

6.5 Keterbatasan penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu waktu penelitian. Waktu penelitian

yang dirancang sebelumnya adalah selama 8 minggu dengan 5 kali kunjungan

untuk terapi. Namun karena keterbatasan waktu penelitian maka penelitian

hanya dilakukan selama 5 minggu dengan 3 kali kunjungan untuk terapi.

Kunjungan dilakukan dengan melakukan beberapa SP atau sesi dalam satu

kali pertemuan.

Keterbatasan penelitian yang lain adalah isi dari kuesioner kepatuhan berobat

yaitu MARS lebih sesuai jika ditujukan untuk klien yang sedang menjalani

pengobatan, sedangkan pada penelitian ini klien yang tidak berobat pun

diikutsertakan dengan skor kepatuhan berobat nol (0).

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 133: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

112

Universitas Indonesia

6.6 Implikasi hasil penelitian

1. Bagi pelayanan keperawatan

Penelitian ini memberikan pengalaman terutama kepada kader untuk

menjalankan peran PMO. Pengalaman dalam melakukan kunjungan dan

mengikuti asuhan keperawatan yang diberikan oleh peneliti, dapat

memberikan pengetahuan baru kepada kader dalam menghadapi klien dan

keluarga dengan schizophrenia. Penelitian ini juga dapat menjadi dasar

pengembangan program Desa Siaga Sehat Jiwa yang sedang direncanakan

di Kecamatan Kersamanah dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat.

2. Bagi keilmuan

Penelitian ini memberikan pengembangan ilmu baru mengenai intervensi

kepada klien schizophrenia terutama mengenai peran Pengawas Minum

Obat yang sebelumnya dikembangkan pada klien tuberculosis. Penelitian

ini memberikan gambaran bagi peneliti, kader dan pihak puskesmas untuk

memberikan intervensi yang komprehensif pada klien dan keluarga dengan

melibatkan peran spesialis jiwa, peran kader, dan peran petugas kesehatan

dari puskesmas.

3. Bagi penelitian selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data awal untuk pelaksanaan

penelitian mengenai klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah

Kabupaten Garut. Beberapa usulan penelitian yang disarankan oleh

peneliti adalah sebagai berikut.

- Analisis faktor predisposisi schizophrenia pada klien schizophrenia di

Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut.

- Pengaruh pendidikan kesehatan mengenai cara merawat klien di rumah

terhadap kemampuan keluarga dalam merawat klien dengan gangguan

jiwa di rumah.

- Pengaruh terapi Self Help Group terhadap kemampuan keluarga

merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 134: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

113 Universitas Indonesia

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

7.1 Kesimpulan

1. Karakteristik usia klien adalah rata-rata 36.16 tahun, lebih dari setengah

klien berjenis kelamin laki-laki, sebagian besar tidak memiliki keluhan

nyeri dan hampir seluruhnya memiliki keyakinan positif terhadap

pelayanan kesehatan.

2. Kemandirian klien schizophrenia di Kersamanah Garut adalah

kemandirian sedang.

3. Kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut adalah

kepatuhan rendah.

4. Pemberian asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan

pelaksanaan peran PMO oleh kader meningkatkan kemandirian dan

kepatuhan berobat klien schizophrenia secara bermakna.

5. Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia yang tidak

mendapatkan asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan

pelaksanaan peran PMO oleh kader mengalami peningkatan yang tidak

bermakna.

6. Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah

Garut memiliki hubungan yang erat. Peningkatan kemandirian akan

menyebabkan peningkatan kepatuhan berobat, dan peningkatan kepatuhan

berobat akan meningkatkan kemandirian klien schizophrenia di

Kersamanah Garut.

7. Tidak ada karakteristik klien schizophrenia yang berkontribusi secara

bermakna terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien

schizophrenia di Kersamanah Garut.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 135: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

114

Universitas Indonesia

7.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas peneliti memberikan beberapa saran sebagai

berikut :

1. Pelayanan keperawatan

Penanggungjawab program kesehatan jiwa Puskesmas Kersamanah dapat

mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa dengan sasaran klien, keluarga

dan kader. Kemandirian klien dapat dioptimalkan dengan keberlanjutan

kunjungan dari petugas puskesmas maupun kader. Kemandirian dan

kepatuhan berobat klien dapat ditingkatkan dengan pemberian asuhan

keperawatan generalis pada klien, yaitu pemberian asuhan keperawatan

sesuai diagnosa keperawatan yang muncul pada klien sesuai dengan

pedoman SAK. Petugas kesehatan di Puskesmas Kersamanah dapat

melatih kader untuk melakukan asuhan keperawatan generalis, melakukan

pendampingan dan supervisi.

Intervensi kepada keluarga, dapat dilakukan dengan melanjutkan

pemberian FPE oleh perawat spesialis jiwa. Rancangan akhir yang dapat

ditargetkan pada keluarga adalah membentuk kelompok-kelompok

pendukung sesama keluarga yang memiliki anggota keluarga

schizophrenia. Terapi spesialis yang dapat dilakukan selanjutnya di

Kersamanah adalah terapi supportif dan kemudian dilanjutkan dengan

pembentukan kelompok-kelompok self help group.

Pemberdayaan kader yang dapat diteruskan adalah dengan menjalankan

peran PMO. Kader dapat melakukan kunjungan rutin kepada klien dan

keluarga untuk memantau keteraturan berobat klien. Semua kegiatan dapat

didokumentasikan di dalam status klien yang diarsipkan di puskesmas.

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa untuk

mendapatkan kemandirian yang optimal perlu dilakukan kunjungan rutin

dan evaluasi berkelanjutan oleh tenaga kesehatan. Secara statistik, pada

kelompok intervensi dapat ditingkatkan kemandirian dengan melakukan

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 136: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

115

Universitas Indonesia

kunjungan sebanyak 30 kali. Sedangkan untuk kepatuhan berobat secara

statistik perlu dilakukan kunjungan sebanyak 11 kali untuk mendapatkan

rata-rata kepatuhan yang optimal.

2. Ilmu pengetahuan

Penelitian ini dapat dijadikan model untuk mengembangkan peran PMO

kader di masyarakat pada klien schizophrenia. Hasil penelitian ini juga

dapat dijadikan dasar bagi pengembangan paket terapi untuk klien dan

keluarga dengan klien schizophrenia. SAK, modul, buku kerja, buku

evaluasi, buku pedoman pembekalan kader dan buku pegangan kader yang

digunakan dalam penelitian ini dapat ditelaah lebih lanjut dan digunakan

untuk intervensi peran PMO di Kersamanah Garut. Hasil penelitian ini

dapat dibandingkan dengan penelitian lain terkait intervensi dengan

kunjungan ke rumah klien, untuk mengetahui pola kunjungan yang lebih

efektif. Penelitian ini juga dapat menjadi gambaran pola kunjungan antara

petugas puskesmas, perawat spesialis dan kader.

3. Penelitian keperawatan

Penelitian lain perlu dilakukan untuk terus mengembangkan intervensi

kepada klien schizophrenia di masyarakat. Penelitian yang perlu dilakukan

antara lain untuk mengetahui faktor yang paling berkontribusi

menyebabkan schizophrenia di Kecamatan Kersamanah, mengetahui

intervensi yang paling optimal untuk mengatasi masalah yang dapat

muncul pada klien dengan schizophrenia seperti kemandirian dan

kepatuhan berobat. Penelitian juga perlu dilakukan untuk mengembangkan

paket intervensi yang efektif, komprehensif dengan memberdayakan

berbagai pihak seperti petugas kesehatan dari puskesmas, tenaga

keperawatan generalis maupun spesialis, kader dan keluarga klien

schizophrenia.

Penelitian selanjutnya dapat membandingkan kelompok intervensi yang

diberikan intervensi asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 137: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

116

Universitas Indonesia

PMO, dengan kelompok intervensi yang hanya diberikan asuhan

keperawatan pada klien dan keluarga saja. Buku pedoman dan buku

pegangan kader mengenai PMO perlu ditinjau ulang dan dilakukan

penelitian untuk mengujicobakan keefektifan rancangan peran PMO

tersebut.

Penelitian selanjutnya dapat pula meneliti mengenai keefektifan jumlah

kunjungan ke rumah klien schizophrenia, mengetahui hasil evaluasi

kemandirian dengan rentang waktu pembudayaan terapi lebih lama dan

sebagainya. Frekuensi kunjungan dapat menggunakan dasar penelitian ini

dan penelitian CMHN Jakarta sebelumnya.

Kepatuhan berobat klien perlu diteliti lebih lanjut dengan menggunakan

instrumen yang lebih representatif dan diujicobakan pola intervensi yang

efektif untuk meningkatkan kepatuhan berobat klien dengan keterlibatan

kader kesehatan. Frekuensi kunjungan dapat diujicobakan sesuai saran

untuk pelayanan keperawatan dan waktu pembudayaan terapi kepada klien

dapat dipertimbangkan dari hasil penelitian ini.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 138: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

117

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Balitbangkes. (2008). Riset kesehatan dasar 2007. Jakarta: Depkes.

Brannon, L., & Feist, J. (2010). Health psychology: an introduction to behavior and health (7thed). USA: Wadsworth Cengage Learning.

Chang & Johnson. (2008). Chronic illness & disability: principles for nursing practice. Australia: Elsevier Australia.

Dharma, K.K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan: panduan melaksanakan dan menerapkan hasil penelitian. Jakarta: Trans Info Media.

Diatri.(2011). www.depkes.go.id. Februari, 24. 2012.

Fontaine, K.L. (2009). Mental health nursing (6thed). New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Hastono, S.P. (2007). Analisis data kesehatan. Depok: FKM UI.

Keliat, B.A. (2007). Keperawatan kesehatan jiwa komunitas : CMHN (Basic Course). Jakarta : EGC.

__________. (2010). Manajemen keperawatan jiwa komunitas desa siaga : CMHN (Intermediate Course). Jakarta: EGC.

Keliat, B.A., Helena, N. & Riasmini, N.M. (2011). Efektifitas penerapan model community mental health nursing terhadap kemampuan hidup pasien gangguan jiwa dan keluarganya di wilayah DKI Jakarta. Hibah riset unggulan UI.

Keliat & Walter. (2011). Buku saku terapi keperawatan. Depok: FIK UI.

NANDA International. (2010). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2009-2011. Jakarta: EGC.

Nazir, M. (2010). Pemberantasan dan penanggulangan tuberculosis. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan: pedoman skripsi, tesis, dan instrumen penelitian keperawatan (ed.2). Jakarta: Salemba Medika.

Polit, D.F., & Beck, C.T. (2006). Nursing research: principles and methods(7thed). Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 139: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

118

Universitas Indonesia

Shimazu, et.al. (2008). Family psychoeducation for major depression: randomised controlled trial. The British Journal of Psychology. Februari 26, 2012. http://bjp.rcpsych.org/content/198/5/385.abstract.

Stuart, G.W. (2009). Principles and practice of psychiatric nursing (9thed). St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier.

Sugiyono.(2007). Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta.

Taniredja, T., & Mustafidah, H. (2011).Penelitian kuantitatif: sebuah pengantar.Bandung: Alfabeta.

Tim Keperawatan Jiwa FIK UI. (2011). Draft modul terapi. Depok: FIK UI.

Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health nursing (6thed). Philadelphia: F.A. Davis Company.

Varcarolis, Elizabeth M & Halter, Margareth J. (2010). Foundation of psychiatric mental health nursing : a clinical approach (6th ed). New York: Elsevier Inc.

Videbeck, S. L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta: EGC.

World Health Organization. Februari 24, 2012. www.who.int/ mental_health/management/schizophrenia/en/.

www.depkes.go.id, Februari 24, 2012.

www.medifocus.com. (2011). Februari 2012.

www.nami.org. Februari 26, 2012.

www.ncbi.nlm.nih.gov. Februari 24, 2012.

www.nimh.nih.gov, Februari 24, 2012.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 140: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN

‘Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran Pengawas Minum Obat terhadap kemandirian dan

kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut’

No KegiatanWaktu Penelitian (2012)

Februari Maret April Mei Juni JuliI II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

1 Penyusunan proposal2 Ujian proposal3 Revisi proposal4 Expert validity, uji kompetensi,

ethical clearance5 Surat izin penelitian6 Pengumpulan data7 Analisa data8 Penyusunan laporan9 Sidang hasil10 Perbaikan (revisi)11 Sidang tesis12 Revisi tesis13 Pengumpulan tesis

Lampiran 1

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 141: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

PENJELASAN PENELITIAN

Judul penelitian : Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan

peran Pengawas Minum Obat terhadap kemandirian dan

kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah

Garut

Peneliti : Rahmi Imelisa

Telepon : 08996036184

Saya, Rahmi Imelisa, adalah mahasiswa Program Magister Keperawatan Jiwa

Universitas Indonesia. Saya bermaksud mengadakan penelitian dengan

memberikan asuhan keperawatan kepada klien dengan schizophrenia,

memberikan terapi spesialis FPE (family psychoeducation) kepada keluarga dan

memberdayakan peran kader sebagai PMO (Pengawas Minum Obat). Hasil akhir

yang akan diteliti adalah dampak terapi-terapi tersebut pada kemandirian dan

kepatuhan berobat klien.

Responden akan dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama akan mendapat

asuhan keperawatan pada klien dan FPE pada keluarga. Kelompok kedua akan

mendapat asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO

oleh kader. Dan kelompok ketiga tidak mendapatkan intervensi apa-apa selama

penelitian, namun di akhir penelitian, keluarga akan menerima panduan cara

merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah.

Pada penelitian ini peneliti akan menjunjung hak-hak responden dengan cara : (1)

merahasiakan identitas responden, (2) memberikan kebebasan kepada klien untuk

berhenti menjadi responden selama penelitian berlangsung. Demikian penjelasan

penelitian ini saya buat. Terima kasih.

Lampiran 2

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 142: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN

Setelah membaca penjelasan penelitian dan mendapatkan penjelasan langsung

dari peneliti, saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama :

Alamat :

Menyatakan setuju untuk dijadikan responden dalam penelitian yang berjudul:

‘Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran Pengawas Minum

Obat terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di

Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut’. Saya telah memahami segala

konsekuensi yang saya dapatkan selama menjadi responden dan saya

menandatangani lembar persetujuan ini dengan kemauan sendiri.

Garut, …………………2012

(…………………………….)

Lampiran 3

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 143: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

KUESIONER 1

Karakteristik Responden

Petunjuk pengisian :

Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini ditujukan pada keluarga klien.

Jawablah pertanyaan di bawah ini, sesuai dengan kondisi anggota keluarga

anda yang mengalami schizophrenia dengan sebenar benarnya.

1. Berapakah usia anggota keluarga anda tersebut saat ini? ……………… tahun

2. Jenis kelamin anggota keluarga tersebut?

Laki-laki

Perempuan

3. Apakah saat ini anggota keluarga anda yang menderita schizophrenia sedang

memiliki keluhan fisik yang menyebabkan nyeri?

Tidak ada nyeri

Ada nyeri

4. Bagaimana keyakinan anggota keluarga anda tersebut terhadap pengobatan dan

tindakan medis?

Positif

Negatif

5. Faktor biologis

No Faktor biologisJawaban

Ya Tidak

1 Latar belakang genetik (keturunan)

2 Riwayat status nutrisi kurang baik

3 Memiliki sensitivitas biologis untuk gangguan jiwa

4 Kondisi kesehatan secara umum kurang baik

5 Adanya paparan terhadap racun

Faktor biologis lain : …………….. (narasikan)

Lampiran 4

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 144: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

6. Faktor psikologis

No Faktor psikologisJawaban

Ya Tidak

1 Adanya gangguan inteligensia

2 Adanya gangguan keterampilan verbal

3 Adanya gangguan kepribadian

4 Adanya pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu

5 Motivasi diri kurang baik

6 Konsep diri negatif

Faktor psikologis lain : ……. (narasikan)

7. Faktor sosial budaya

No Faktor sosial budayaJawaban

Ya Tidak

1 Pendidikan rendah

2 Penghasilan rendah

3 Pengalaman sosial tidak menyenangkan

Faktor sosial budaya lain : …………….. (narasikan)

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 145: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

KUESIONER 2:KEMANDIRIAN KLIEN

Petunjuk Pengisian:1. Kuesioner ini diisi dengan cara wawancara terhadap pasien atau keluarga 2. Berikan tanda cek (√ ) sesuai kondisi terkini pasien pada kolom yang disediakan. 3. Jika jawaban adalah:

Tidak Pernah dilakukan pasien, isilah kolom T Dilakukan pasien dengan bantuan, isilah kolom B Dilakukan sendiri (mandiri) oleh pasien, isilah kolom M

4. Isilah pernyataan pada kolom dibawah dengan sebenar – benarnya.

NO KEGIATAN-KEGIATAN YANG DILAKUKAN PASIENKemampuan

M B T

1. Mandi dengan benar dan bersih

2. Buang air besar/buang air kecil dengan bersih.

3. Mengganti pakaian dengan pakaian bersih

4. Membereskan pakaian kotor

5. Merapikan tempat tidur

6. Mengambil makanan dengan rapi

7. Mempersiapkan makanan.

8. Membersihkan ruangan

9. Ngobrol dengan teman

10. Ngobrol dengan keluarga

11. Mendengarkan saran dari keluarga

12. Bepergian dengan kendaraan sendiri

13. Bepergian dengan kendaraan umum

14. Mengikuti kegiatan keluarga

15. Mengikuti kegiatan masyarakat

16. Melakukan kegiatan sehari-hari secara teratur.

17. Melakukan kegiatan untuk mengatasi gejala yang dialami

18. Mengikuti terapi aktivitas kelompok

19. Menceritakan masalah yang dialami kepada petugas kesehatan

20. Menceritakan masalah yang dialami kepada keluarga.

21. Menceritakan masalah yang dialami kepada teman dekat.

22. Kontrol ke Puskesmas atau Rumah Sakit secara teratur

23. Minum obat sesuai jenisnya

24. Minum obat sesuai dosis (takaran yang seharusnya)

25. Minum obat tepat waktu

26. Minum obat sesuai cara

Lampiran 5

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 146: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

KUESIONER 3

Kepatuhan Berobat

Petunjuk pengisian :

- Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini ditujukan kepada klien dan

keluarga klien (anggota keluarga yang mengalami schizophrenia).

- Berikan tanda checklist ( V ) pada kolom di sebelah kanan pernyataan

yang sesuai dengan jawaban anda!

No Pernyataan Ya Tidak

1 Apakah anda pernah lupa meminum obat?

2 Apakah anda teledor dalam waktu meminum obat?

3Saat anda merasa lebih baik, apakah anda terkadang tidak meminum

obat anda?

4Sewaktu-waktu, saat anda merasa lebih buruk karena meminum obat,

apakah anda berhenti meminum obat?

5 ‘Saya meminum obat hanya jika saya sakit’

6 Bagi saya tidak wajar jika pikiran dan tubuh saya diatur oleh obat

7 Pikiran saya lebih jelas karena meminum obat

8 Dengan terus meminum obat, saya dapat mencegah penyakit

9 Saya merasa aneh, seperti zombie, karena meminum obat

10 Pengobatan membuat saya merasa lelah dan loyo

Sumber : Medication Adherence Rating Scale, www.virtualmedicalcentre.com

Lampiran 6

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 147: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 148: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 149: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 150: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 151: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 152: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 153: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 154: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

MODUL PANDUANFAMILY PSYCHOEDUCATION THERAPY

(TERAPI PSIKOEDUKASI KELUARGA)PADA KLIEN SCHIZOPHRENIA

Oleh :

Rahmi Imelisa, S.Kep., Ners.

Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp, M.App.Sc.

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA

2012

Lampiran 11

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 155: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang besar penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah berkenan

memberi petunjuk dan kekuatan kepada penyusun sehingga modul panduan Family

Psychoeducation untuk keluarga klien dengan schizophrenia ini dapat diselesaikan. Modul ini

adalah panduan untuk melaksanakan terapi spesialis Family Psychoeducation di lingkungan

masyarakat atau di rumah sakit. Terapi ini dimaksudkan agar keluarga memiliki pengetahuan yang

adekuat mengenai masalah yang dialami klien, mampu merawat klien dan mampu mengatasi

masalah yang muncul di dalam diri dan keluarga karena merawat klien. Karena itu modul ini

berisi langkah-langkah dalam melaksanakan Family Psychoeducation (FPE) pada keluarga klien

dengan schizophrenia di masyarakat.

Penyusun ingin mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc.,

yang telah mengarahkan pembuatan modul ini dan kepada pihak-pihak lain yang telah turut

membantu tersusunnya modul ini. Penyusun sangat mengharapkan masukan yang membangun

untuk mengembangkan modul ini lebih lanjut. Dan penyusun berharap modul ini dapat digunakan

secara luas untuk keluarga klien dengan schizophrenia.

Depok, April 2012

Penyusun

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 156: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

DAFTAR ISI

Halaman sampul i

Kata pengantar ii

Daftar isi iii

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar belakang 1

1.2 Tujuan 3

1.3 Manfaat 3

Bab II Pedoman pelaksanaan psikoedukasi keluarga pada keluarga dengan anggota keluarga

schizophrenia

2.1 Sesi 1: Pengkajian masalah keluarga 4

2.2 Sesi 2: Cara perawatan klien gangguan jiwa 8

2.3 Sesi 3: Manajemen stress keluarga 11

2.4 Sesi 4: Manajemen beban keluarga 14

2.5 Sesi 5: Pemberdayaan komunitas untuk membantu keluarga 18

Bab III Penutup 22

Daftar pustaka 23

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 157: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

NAMI (National Alliance on Mental Illness) menyatakan bahwa gejala negatif dari

schizophrenia termasuk terjadinya afek datar dan menurunnya ekspresi emosi klien, dan

ketidakmampuan memulai atau mengakhiri aktivitas, dan kurangnya rasa nyaman atau minat

dalam hidup (NAMI, 2012). Pernyataan ini menjadi dasar untuk memahami bahwa klien

schizophrenia akan mengalami gangguan dalam aktivitasnya. Kebanyakan orang dengan

schizophrenia memiliki kesulitan dalam menjalankan pekerjaannya atau bahkan untuk

merawat dirinya sendiri, maka mereka bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012).

Dari sini dapat dilihat bahwa schizophrenia berdampak buruk pada individu, keluarga dan

masyarakat sekitarnya.

Bagi klien sebagai individu, schizophrenia menyebabkan gangguan dalam memenuhi

kebutuhan sehari-hari atau berdampak kepada kemandirian klien. Hal ini menyebabkan klien

banyak tergantung kepada orang lain, terutama keluarga. Kemandirian sendiri dapat diartikan

sebagai kemampuan klien menentukan apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri. Hal ini

selaras ciri sehat jiwa pertama, yaitu memiliki otonomi atau kemandirian. Di mana seorang

individu dapat menentukan apa yang akan dilakukannya dan mampu melakukan banyak hal

secara mandiri.

Orang dengan schizophrenia membutuhkan dukungan dan pengetahuan mengenai kebersihan

diri, berpakaian, berbelanja, memasak, dan membereskan rumah, mengatur keuangan,

membangun hubungan sosial dan memanaje waktu. Bekerja dapat akan mengalami banyak

kesulitan dan banyak orang dengan schizophrenia yang tidak bekerja walaupun mereka

menginginkannya. Saat mereka bekerja, mereka akan sangat membutuhkan dukungan terkait

manajemen pengobatan dan pekerjaan dan kejelasan tentang status kesehatan mereka (Chang

& Johnson, 2008).

Beberapa pemberi layanan menangani schizophrenia sebagai penyakit yang tidak hanya

mengenai individu saja, tetapi juga seluruh keluarga. Walaupun keluarga tampak memiliki

koping yang baik, dapat dipastikan ada pengaruh pada status mental keluarga saat salah satu

anggota keluarga mengalami schizophrenia. Safier (1997, dalam Townsend, 2009)

menyatakan bahwa keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan schizophrenia akan

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 158: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

mengalami pergolakan yang besar dalam dirinya. Hal ini menjadi dasar pentingnya keluarga

mendapatkan terapi.

Intervensi kepada keluarga dimaksudkan untuk memperkuat sistem keluarga, mencegah atau

menghambat kekambuhan, dan mempertahankan klien di masyarakatnya. Program

psikoedukasi ini memperlakukan keluarga sebagai sumber, bukan sebagai stressor, dengan

berfokus pada penyelesaian masalah yang konkrit, dan perilaku menolong yang spesifik untuk

beradaptasi dengan stress. Dengan memberikan informasi pada keluarga tentang penyakit dan

menyarankan tentang mekanisme koping yang efektif, program psikoedukasi mengurangi

kecenderungan klien untuk kambuh dan mengurangi pengaruh penyakit ini pada keluarga

yang lain (Townsend, 2009).

Psikoedukasi untuk keluarga termasuk dengan individu yang mengalami gangguan, seperti

schizophrenia, depresi mayor, dan gangguan bipolar, biasanya dikombinasikan dengan terapi

farmaka (Nathan and Gorman, 2007 dalam Stuart, 2009). Psikoedukasi ini terbukti

memperbaiki gejala umum dan mengurangi penolakan serta beban keluarga (Stuart, 2009).

Terapi keluarga biasanya terdiri dari program utama untuk memberikan edukasi kepada

keluarga tentang schizophrenia, dan program yang lebih luas dengan keluarga dibentuk untuk

mengurangi manifestasi konflik yang jelas dan untuk merubah pola komunikasi keluarga dan

penyelesaian masalah. Respon terhadap terapi ini sangat dramatis. Ho, Black, dan Andreasen

(2003 dalam Townsend, 2009) melaporkan pada beberapa penelitian bahwa hasil positif pada

penanganan klien dengan schizophrenia ini dapat tercapai dengan mengikutsertakan keluarga

dalam pelayanan.

Family Psychoeducation therapy adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa

keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang terapeutik.

Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart,

2009).

1.2 Tujuan

Setelah diberikan terapi family psychoeducation, keluarga diharapkan mampu:

1.2.1 Memahami masalah yang dialami oleh anggota keluarga dengan schizophrenia

1.2.2 Mengatasi masalah pada diri sendiri yang muncul karena merawat anggota keluarga

dengan schizophrenia

1.2.3 Mengatasi beban pada keluarga yang muncul karena adanya anggota keluarga

dengan schizophrenia

1.2.4 Memanfaatkan sarana di komunitas untuk membantu keluarga

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 159: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

1.3 Manfaat

Terapi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi keluarga dan klien dengan schizophrenia.

1.3.1 Bagi keluarga, dapat memiliki kemampuan untuk merawat klien dan mengatasi

masalah yang timbul karena merawat klien

1.3.2 Bagi klien, secara tidak langsung mendapatkan perawatan yang optimal dari keluarga

BAB II

PEDOMAN PELAKSANAAN PSIKOEDUKASI KELUARGA

(FAMILY PSYCHOEDUCATION) PADA KELUARGA

DENGAN ANGGOTA KELUARGA SCHIZOPHRENIA

Pelaksanaan terapi psikoedukasi keluarga terdiri dari 5 sesi. Setiap sesi dilakukan selama 45-60

menit. Adapun urutan dari terapi ini adalah sebagai berikut:

2.1 Sesi 1: Pengkajian Masalah Keluarga

Pada sesi pertama ini terapis dan keluarga bersama-sama mengidentifikasi masalah yang

timbul di keluarga karena memiliki klien gangguan jiwa. Terapi ini mengikutsertakan seluruh

anggota keluarga yang terpengaruh dan terlibat dalam perawatan klien, terutama caregiver.

Hal yang perlu diidentifikasi adalah makna gangguan jiwa bagi keluarga dan dampaknya

pada orangtua, anak, saudara kandung, dan pasangan.

Pengkajian dibuat terpisah antara masalah yang dirasakan oleh caregiver dan anggota

keluarga yang lain. Pengkajian berfokus pada masalah dalam merawat klien sakit dan masalah

yang muncul pada diri karena merawat klien. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan pada

saat mengkaji masalah ini adalah sebagai berikut (Saunders, 1997 dalam Stuart, 2009):

- Situasi bagaimana yang membuat stress pada keluarga anda?

- Bagaimana perasaan anda mengenai ketergantungan, interaksi sosial atau respon terhadap

tindakan pada anggota keluarga yang sakit?

- Seberapa besar dukungan yang anda dapatkan dari profesional kesehatan mental,

komunitas atau keluarga besar anda?

2.1.1 Tujuan sesi I:

1. Peserta dapat menyepakati kontrak program psikoedukasi keluarga

2. Peserta mengetahui tujuan program psikoedukasi keluarga

3. Peserta mendapat kesempatan untuk menyampaikan pengalamannya dalam

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 160: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

merawat klien dengan gangguan jiwa (masalah dalam merawat dan masalah

pribadi yang dirasakan karena merawat)

4. Peserta dapat menyampaikan keinginan dan harapannya selama mengikuti

program psikoedukasi keluarga

2.1.2 Setting

Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalam posisi yang nyaman

2.1.3 Alat dan bahan

Leaflet/lembar balik, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan

dokumentasi)

2.1.4 Metode

Curah pendapat, ceramah, diskusi, dan tanya jawab

2.1.5 Langkah-langkah:

1. Persiapan

a. Mengingatkan keluarga 2 hari sebelum pelaksanaan terapi

b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan

2. Pelaksanaan

Fase Orientasi:

a. Salam terapeutik: salam dari terapis

b. Memperkenalkan nama dan panggilan terapis

c. Menanyakan nama dan panggilan peserta

d. Validasi:

Menanyakan bagaimana perasaan peserta dalam mengikuti program

psikoedukasi keluarga saat ini

e. Kontrak:

Menjelaskan tujuan pertemuan pertama yaitu untuk bekerjasama dan

membantu keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan gangguan jiwa

f. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut:

1) Menyepakati pelaksanaan terapi selama 5 sesi

2) Lama kegiatan 45 – 60 menit

3) Keluarga mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan anggota

keluarga yang tidak berganti

Fase Kerja :

a. Menanyakan tentang apa yang dirasakan keluarga selama ini terkait dengan

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 161: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

gangguan jiwa yang dialami salah satu anggota keluarga

1) Masalah pribadi yang dirasakan anggota keluarga sendiri

2) Masalah dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan

jiwa

3) Keluarga menuliskan masalahnya pada buku kerja keluarga

4) Terapis menuliskan pada buku kerja sendiri

b. Menanyakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga dengan

adanya salah satu anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa

1) Setiap anggota keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan

perubahan-perubahan yang dialami dalam keluarga

c. Menanyakan keinginan dan harapan keluarga selama mengikuti psikoedukasi

keluarga

d. Memberikan kesempatan keluarga untuk mengajukan pertanyaan terkait

dengan hasil diskusi yang sudah dilakukan

Fase Terminasi:

a. Evaluasi:

1) Menyimpulkan hasil diskusi sesi I

2) Menanyakan perasaan keluarga setelah selesai sesi I

3) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama dan kemampuan

keluarga dalam menyampaikan apa yang dirasakan

b. Tindak lanjut:

1) Menganjurkan keluarga untuk menyampaikan dan mendiskusikan pada

anggota keluarga yang lain tentang masalah yang dihadapi keluarga dan

perubahan-perubahan yang terjadi pada keluarga dengan gangguan jiwa

c. Kontrak:

1) Menyepakati topik sesi 2 yaitu menyampaikan tentang gangguan jiwa dan

cara merawat klien gangguan jiwa

2) Menyepakati waktu dan tempat untuk pertemuan selanjutnya

2.1.6 Evaluasi dan dokumentasi

1. Evaluasi Proses

Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan

keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan kegiatan secara

keseluruhan.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 162: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Format EvaluasiSesi I Psikoedukasi Keluarga : Pengkajian Masalah Keluarga

Tanggal :

No KegiatanAnggota keluarga

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Hadir dalam terapi2 Menyepakati kontrak kegiatan3 Menyampaikan masalah yang dialami

(masalah pribadi yang dirasakan anggota keluarga dan perubahan yang dialami dalam keluarga)

4 Aktif dalam diskusi

2. Dokumentasi Kemampuan

Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan

oleh keluarga yaitu masalah pribadi yang dirasakan anggota keluarga dan masalah

yang dialami selama merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa dan

perubahan– perubahan yang terjadi dalam keluarga.

Format DokumentasiSesi I Psikoedukasi Keluarga: Pengkajian Masalah Keluarga

(caregiver)

Tanggal:

NoMasalah pribadi dalam

merawat Masalah yang muncul karena anggota

keluarga sakitKeinginan Harapan

1.

2.

3.

Format DokumentasiSesi I Psikoedukasi Keluarga: Pengkajian Masalah Keluarga

(anggota keluarga lain)

Tanggal:

No

Nama anggota keluarga Masalah pribadi

dalam merawat Masalah yang muncul karena

anggota keluarga sakitKeinginan Harapan

1.

2.

3.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 163: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

2.2 Sesi II: Perawatan Klien Gangguan Jiwa

Sesi II ini berfokus pada edukasi mengenai masalah yang dialami oleh klien. Edukasi yang

diberikan kepada keluarga terkait dengan diagnosa medis dan diagnosa keperawatan yang

dialami klien. Edukasi pada sesi II ini disesuaikan dengan SAK keluarga yang telah

dikembangkan pada untuk intervensi generalis. Intervensi yang diberikan pada sesi II ini

didasarkan dengan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien.

Bellack dan Mueser (1993 dalam Fortinash & Worret, 2004) menyatakan bahwa intervensi

dengan memberikan edukasi pada keluarga dapat membantu keluarga menghadapi stressor

karena klien sakit, yang berefek positif pada kondisi klien. Townsend (2009) menyatakan

dampak positif program psikoedukasional secara tidak langsung pada klien yaitu bahwa

dengan memberikan informasi mengenai penyakit klien pada keluarga dan memberikan saran

mengenai koping yang baik, akan menurunkan kecenderungan klien untuk kambuh dan

menurunkan kemungkinan pengaruh berbahaya gangguan jiwa terhadap anggota keluarga

yang lain.

2.2.1 Tujuan sesi II:

1. Keluarga mengetahui tentang gangguan jiwa yang dialami oleh klien

2. Keluarga mengetahui tentang pengertian, gejala, etiologi, prognosis, intervensi dan

terapi yang dapat diberikan kepada klien gangguan jiwa

3. Keluarga mengetahui cara merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah

4. Keluarga mampu memperagakan cara merawat klien dengan gangguan jiwa di

rumah

2.2.2 Setting

Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalam posisi yang nyaman

2.2.3 Alat

Leaflet/lembar balik, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan

dokumentasi)

2.2.4 Metoda

Ceramah, diskusi, curah pendapat dan tanya jawab

2.2.5 Langkah-langkah

1. Persiapan

a. Mengingatkan keluarga minimal 2 hari sebelumnya

b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 164: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

2. Pelaksanaan

Fase Orientasi

a. Salam terapeutik: salam dari terapis.

b. Evaluasi: menanyakan perasaan keluarga hari ini dan menanyakan apakah

keluarga mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, misalnya

tentang masalah yang dialami oleh anggota keluarga yang lain.

c. Kontrak: menyepakati waktu dan lama sesi.

Fase Kerja

a. Mendiskusikan tentang gangguan jiwa yang dialami oleh salah satu anggota

keluarga (misalnya: perilaku kekerasan, halusinasi).

1) Anggota keluarga menyampaikan pengalamannya selama ini

2) Memberi kesempatan anggota keluarga lain untuk memberi pendapat

b. Menyampaikan tentang konsep gangguan jiwa meliputi pengertian, penyebab,

tanda, prognosis, intervensi dan terapi.

1) Anggota keluarga menyampaikan pengalaman mereka

2) Memberi kesempatan kepada keluarga untuk bertanya

c. Mendiskusikan cara merawat klien dengan gangguan jiwa yang selama ini

dilakukan oleh keluarga.

d. Mendemonstrasikan cara merawat klien dengan gangguan jiwa, misalnya

klien dengan halusinasi atau perilaku kekerasan.

1) Meminta keluarga untuk mendemonstrasikan kembali salah satu cara

merawat klien dengan gangguan jiwa, misalnya halusinasi.

2) Memberi masukan terhadap hal–hal yang perlu ditingkatkan oleh

keluarga.

3) Memberi kesempatan anggota keluarga lain untuk memperagakan cara

merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah.

Fase Terminasi

a. Evaluasi

1) Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi II selesai

2) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama peserta yang baik

b. Tindak lanjut: menganjurkan keluarga untuk menyampaikan tentang materi

gangguan jiwa yang telah dijelaskan kepada anggota keluarga yang lain

c. Kontrak: menyepakati topik sesi berikutnya, waktu dan tempat untuk

pertemuan berikutnya

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 165: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

2.2.6 Evaluasi dan dokumentasi

1. Evaluasi

Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan

keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan.

Format EvaluasiSesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa

No Kegiatan Anggota keluarga

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Hadir dalam terapi2 Menyebutkan pengertian gangguan jiwa 3 Menjelaskan gangguan jiwa yang dialami

anggota keluarga4 Menyebutkan dan mendemonstrasikan cara

merawat klien5 Aktif dalam diskusi

2. Dokumentasi

Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan

oleh keluarga yaitu tentang gangguan jiwa yang dialami oleh anggota keluarga.

Format DokumentasiSesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa

No Masalah yg dialami klien Cara mengatasi masalah1

2

3

2.3 Sesi III: Manajemen Stress Keluarga

Stress adalah kondisi ketidakseimbangan yang terjadi saat ada kesenjangan keinginan individu

dalam lingkungan internal atau eksternalnya dengan kemampuannya untuk menghadapi

keinginan-keinginan tersebut (Townsend, 2009). Stressor adalah keinginan dari lingkungan

internal atau eksternal individu yang meningkatkan respon fisiologis dan/atau psikologis

seseorang. Kondisi klien dengan schizophrenia dapat menjadi stressor tersendiri bagi

keluarga. Setiap stressor dapat dihadapi dengan memiliki kemampuan koping yang baik.

Untuk meningkatkan kemampuan koping yang baik, diperlukan manajemen stress yang tepat.

Manajemen stress adalah berbagai metode yang digunakan oleh seseorang untuk mengurangi

tekanan dan respon maladaptif lain terhadap stress dalam hidup; termasuk latihan relaksasi,

latihan fisik, musik, mental imagery, atau teknik teknik lain yang berhasil pada individu

tersebut.

Sesi III dari FPE adalah sesi untuk membantu mengatasi masalah masing-masing individu

keluarga yang muncul karena merawat klien. Stress akan terjadi terutama pada caregiver yang

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 166: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

setiap saat berinteraksi dengan klien. Pada sesi III ini, terapis mengajarkan cara-cara

memanajemen stress pada seluruh anggota keluarga, terutama caregiver.

2.3.1 Tujuan sesi III:

1. Keluarga mampu berbagi pengalaman dengan anggota keluarga lain tentang stres

yang dirasakan akibat salah satu anggota mengalami gangguan jiwa dalam

keluarga

2. Keluarga mendapatkan informasi tentang cara mengatasi stres yang dialami akibat

salah satu anggota mengalami gangguan jiwa dalam keluarga

3. Keluarga mampu mendemonstrasikan cara mengatasi stres

4. Keluarga dapat mengatasi hambatan dalam mengurangi stres

2.3.2 Setting

Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalam posisi yang nyaman.

2.3.3 Alat

Lembar balik/leaflet, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan

dokumentasi), alat bantu disesuaikan dengan teknik manajemen stress yang dipilih.

2.3.4 Metode

Ceramah, diskusi, curah pendapat, role play (bermain peran) dan tanya jawab.

2.3.5 Langkah-langkah

1. Persiapan

a. Mengingatkan keluarga minimal 2 hari sebelumnya

b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta

2. Pelaksanaan

Fase Orientasi

a. Salam terapeutik: salam dari terapis

b. Validasi: menanyakan perasaan keluarga hari ini dan menanyakan apakah

keluarga mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, yaitu tentang

materi gangguan jiwa dan cara merawat klien di rumah

c. Kontrak: menyepakati lama waktu terapi (sesi) serta materi yang akan

disampaikan

Fase Kerja

Menanyakan pada keluarga terkait stres yang mereka alami dengan adanya klien

gangguan jiwa.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 167: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

a. Anggota keluarga menyampaikan pengalaman mereka

b. Memberikan pujian/penghargaan atas kemampuan anggota keluarga

menyampaikan pendapat/perasaannya

c. Menjelaskan tentang stres yang dialami keluarga akibat salah satu anggota

mengalami gangguan jiwa dengan menggunakan leaflet

d. Meminta anggota keluarga mengidentifikasi tanda dan gejala serta cara

mengurangi stres sesuai dengan penjelasan terapis

e. Mendemontrasikan cara mengurangi stres yang dialami oleh anggota keluarga

f. Meminta anggota keluarga untuk mendemontrasikan kembali cara mengurangi

stres yang telah diajarkan

Fase Terminasi

a. Evaluasi

1) Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi III selesai

2) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama peserta yang baik

b. Tindak lanjut: menganjurkan keluarga untuk berlatih cara mengurangi stres.

c. Kontrak: menyepakati topik sesi berikutnya, waktu dan tempat untuk

pertemuan berikutnya.

2.3.6 Evaluasi dan dokumentasi

1. Evaluasi

Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan

keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan.

Format EvaluasiSesi III Psikoedukasi Keluarga : Manajemen Stres Keluarga

No Kegiatan Anggota keluarga

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Hadir dalam terapi2 Menyebutkan tanda-tanda stres yang dialami

keluarga3 Menyebutkan cara mengatasi stress dalam

merawat klien gangguan jiwa 4 Memperagakan cara mengatasi stres yang telah

diajarkan5 Aktif dalam diskusi

2. Dokumentasi

Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan

oleh keluarga, yaitu cara mengatasi stres dalam merawat anggota keluarga dengan

gangguan jiwa.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 168: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Format DokumentasiSesi III Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Stres Keluarga

(caregiver)

No Tanda-tanda stres yang dialami caregiverCara mengatasi

stres yang dapat digunakan123

Format DokumentasiSesi III Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Stres Keluarga

(anggota keluarga lain)

NoNama anggota

keluargaTanda-tanda stres yang dialami anggota

keluargaCara mengatasi

stres yang dapat digunakan123

2.4 Sesi IV: Manajemen Beban Keluarga

Pada sesi IV ini terapis bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga, membicarakan

mengenai masalah yang muncul karena klien sakit dan mencari pemecahan masalah bersama-

sama. Pada sesi ini sangat diperlukan kontribusi dari seluruh anggota keluarga untuk

memecahkan masalah yang dirasakan keluarga.

Family psychoeducation telah terbukti dapat memperbaiki gejala umum penyakit dan

mengatasi penolakan dan beban yang dirasakan keluarga. Pengaruh dari adanya anggota

keluarga dengan gangguan mental sering disebut dengan beban keluarga (Stuart, 2009).

Sebuah survey mengenai caregiver di keluarga menunjukkan bahwa beban yang paling besar

dirasakan adalah mengkhawatirkan masa depan, berkurangnya konsentrasi, terganggunya

rutinitas sehari-hari, merasa bersalah karena merasa apa yang dilakukan tidak cukup baik,

merasa terperangkap di rumah, dan merasa sedih karena perubahan pada anggota keluarga

(Rose et al., 2006 dalam Stuart, 2009).

Beban dapat bersifat subjektif atau objektif. Beban objektif terkait dengan perilaku klien,

penampilan peran, efek luas pada keluarga, kebutuhan akan dukungan, dan biaya yang

dikeluarkan karena penyakit. Beban subjektif adalah perasaan terbebani yang dirasakan oleh

seseorang; bersifat individual dan tidak selalu berhubungan dengan bagian dari beban

objektif. Dengan mengkaji beban keluarga perawat dapat bekerja sama dengan keluarga untuk

mengidentifikasi dalam hal mana keluarga memerlukan bantuan (Stuart, 2009).

2.4.1 Tujuan Sesi IV:

1. Keluarga mengenal beban subjektif maupun objektif yang dialami keluarga akibat

adanya anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.

2. Keluarga mengetahui cara mengatasi beban yang dialami akibat adanya anggota

keluarga yang menderita gangguan jiwa.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 169: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

3. Keluarga mampu menjelaskan cara mengatasi beban yang telah diajarkan oleh

terapis.

4. Semua anggota keluarga menyepakati cara mengatasi beban keluarga dan perannya

masing-masing dalam mengatasi beban keluarga.

2.4.2 Setting

Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalam posisi yang nyaman

2.4.3 Alat

Lembar balik/leaflet, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan

dokumentasi)

2.4.4 Metode

Ceramah, diskusi, curah pendapat, roleplay dan tanya jawab

2.4.5 Langkah-langkah

1. Persiapan

a. Mengingatkan kembali 2 hari sebelumnya

b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta

2. Pelaksanaan

Fase Orientasi

a. Salam terapeutik: salam dari terapis.

b. Evaluasi: menanyakan penerapan cara mengatasi stres yang sudah dilakukan

keluarga di rumah sesuai dengan yang diajarkan pada sesi sebelumnya dan

hasil yang dirasakan.

c. Kontrak: menyepakati kontrak waktu dan topik yang akan disampaikan yaitu

tentang beban keluarga.

Fase Kerja

a. Menanyakan apa yang dirasakan anggota keluarga tentang beban objektif

maupun subjektif yang dialami keluarga akibat adanya anggota keluarga yang

mengalami gangguan jiwa.

1) Anggota keluarga menyampaikan pengalaman mereka

2) Memberikan kesempatan anggota keluarga lain untuk memberi tanggapan

3) Memberikan pujian dan penghargaan atas kemampuan anggota keluarga

menyampaikan pendapat/perasaannya

b. Menanyakan pendapat anggota keluarga tentang cara mengatasi beban yang

sudah dilakukan dengan adanya anggota keluarga yang menderita gangguan

jiwa.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 170: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

c. Menjelaskan macam-macam beban keluarga dan cara mengatasi beban yang

dialami keluarga karena adanya anggota keluarga yang menderita gangguan

jiwa dengan menggunakan leaflet.

d. Meminta anggota keluarga untuk mengulangi menyebutkan macam-macam

beban keluarga dan cara mengatasi beban yang dirasakan keluarga akibat

adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa sesuai dengan

penjelasan terapis.

e. Terapis mendemonstrasikan satu cara untuk mengatasi beban yang dipilih oleh

keluarga.

f. Memberi kesempatan anggota keluarga untuk mendemonstrasikan ulang.

g. Memberikan pujian atas partisipasi anggota keluarga selama pelaksanaan

terapi.

Fase Terminasi

a. Evaluasi

1) Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi IV selesai

2) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama keluarga

b. Tindak lanjut

1) Menganjurkan keluarga untuk menerapkan cara mengatasi beban yang

telah diajarkan.

c. Kontrak: menyepakati waktu, tempat dan topik pertemuan berikutnya

2.4.6 Evaluasi dan dokumentasi

1. Evaluasi Proses

Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan

keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan.

Format EvaluasiSesi IV Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Beban Keluarga

No Kegiatan Anggota keluarga1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Hadir dalam terapi2 Menyebutkan tanda-tanda dan cara mengatasi

beban dalam merawat klien gangguan jiwa 3 Memperagakan cara untuk mengatasi beban

keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa 4 Aktif dalam diskusi

2. Dokumentasi

Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan

oleh keluarga, yaitu cara mengatasi beban keluarga serta demonstrasi cara

mengatasi beban keluarga.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 171: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Format DokumentasiSesi IV Psikoedukasi Keluarga : Manajemen Beban Keluarga

No Nama anggota keluarga Beban keluarga Cara mengatasi beban123

2.5 Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga

Pada sesi V ini, akan dibahas mengenai pemberdayaan sumber-sumber di luar keluarga, yaitu

di komunitas untuk membantu permasalahan di keluarga dengan klien gangguan jiwa.

Keluarga yang merawat klien dengan gangguan jiwa seringkali merasa malu, merasa

dikucilkan dan merasa sendiri dalam merawat. Sumber-sumber dukungan yang sebelumnya

ada dapat hilang atau terbatas karena kebutuhan untuk merawat anggota keluarga dengan

gangguan jiwa. Keluarga dapat merasa malu atau takut jika anggota keluarga yang sakit

menunjukkan perilaku yang tidak pantas pada orang lain. Semua aspek dari beban subjektif

dapat membatasi akses pada sistem dukungan sosial. Keluarga seperti ini memerlukan

bantuan untuk membangun kembali dukungan sosialnya (Stuart, 2009).

Komunitas memiliki pengaruh yang besar dalam rehabilitasi dan pemulihan klien dengan

gangguan jiwa. Pemberi layanan kesehatan, termasuk perawat, harus menjalani peran

pemimpin dalam mengkaji keadekuatan dan keefektifan sumber-sumber di komunitas dan

dalam merekomendasikan perubahan untuk memperbaiki akses dan kualitas dari layanan

kesehatan mental.

2.5.1 Tujuan Sesi V:

1. Keluarga dapat mengungkapkan hambatan dalam merawat klien gangguan jiwa di

rumah.

2. Keluarga dapat mengungkapkan hambatan dalam berhubungan dengan tenaga

kesehatan dan mengetahui cara mengatasi hambatan dalam berkolaborasi.

3. Keluarga dapat berdiskusi dengan tenaga kesehatan dari puskesmas tentang sistem

rujukan, advokasi hak-hak klien gangguan jiwa dan mencari dukungan untuk

pembentukan Self Help Group.

2.5.2 Setting

Peserta (keluarga), terapis dan tenaga kesehatan dari puskesmas duduk berhadapan

dengan posisi melingkar.

2.5.3 Alat

Lembar balik/leaflet, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan

dokumentasi)

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 172: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

2.5.4 Metoda

Ceramah, diskusi, curah pendapat dan tanya jawab

2.5.5 Langkah-langkah

1. Persiapan

a. Mengingatkan kembali 2 hari sebelumnya

b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta

2. Pelaksanaan

Fase Orientasi

a. Salam terapeutik: salam terapeutik dari terapis

b. Evaluasi: mengevaluasi hasil keluarga dalam menerapkan cara untuk

mengatasi beban pada keluarga

c. Kontrak: menyampaikan topik pada sesi ini yaitu tentang pemberdayaan

komunitas.

Fase Kerja

a. Menanyakan hambatan yang dirasakan selama merawat klien gangguan jiwa

di rumah

1) Masing-masing keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan

pendapat

2) Memberi kesempatan kepada keluarga lain untuk menanggapi

b. Menanyakan hambatan dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan selama

ini

1) Masing-masing keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan

pendapat

2) Memberi kesempatan kepada keluarga lain untuk menanggapi

c. Menjelaskan kepada keluarga bagaimana seharusnya hubungan keluarga

dengan tenaga kesehatan

d. Menjelaskan kepada keluarga bagaimana cara mengatasi hambatan dalam

berkolaborasi dengan tenaga kesehatan

e. Memberi kesempatan keluarga untuk berdiskusi dengan tenaga kesehatan dari

Puskesmas (atau yang mewakili) tentang sistem rujukan, advokasi hak-hak

klien gangguan jiwa dan mencari dukungan untuk pembentukan Self Help

Group.

1) Masing – masing keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan

pendapat

2) Memberikan kesempatan pada keluarga untuk bertanya

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 173: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

3) Memfasilitasi dialog antara keluarga dengan pihak Puskesmas

4) Menyimpulkan hasil diskusi

Fase Terminasi

a. Evaluasi

1) Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi V selesai

2) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama peserta yang baik

b. Tindak lanjut

1) Menganjurkan keluarga untuk tetap menerapkan apa yang telah dilakukan

selama terapi yaitu merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah,

menyarankan keluarga untuk memanfaatkan sistem rujukan yang telah

ada, menjalankan kelompok swabantu yang akan difasilitasi oleh pihak

puskesmas dan disepakati oleh keluarga

c. Terminasi akhir yaitu menyerahkan kelompok pada pihak puskesmas

2.5.6 Evaluasi dan dokumentasi

1. Evaluasi Proses

Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan

keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan

Format EvaluasiSesi V Psikoedukasi Keluarga: Pemberdayaan Komunitas

Membantu KeluargaNo Kegiatan Anggota keluarga

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101 Hadir dalam terapi2 Menyampaikan hambatan yang dialami

dalam merawat klien gangguan jiwa 3 Menyampaikan hambatan yang dialami

dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan

4 Menyebutkan cara mengatasi hambatan dalam merawat klien gangguan jiwa dan dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan

5 Mengetahui sistem rujukan6 Menyepakati adanya kelompok swabantu

yang akan difasilitasi oleh Puskesmas7 Aktif dalam diskusi

2. Dokumentasi

Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan

oleh keluarga, yaitu hambatan yang dialami dalam merawat klien dan dalam

berhubungan dengan tenaga kesehatan, menyebutkan cara mengatasi hambatan dan

kesepakatan keluarga untuk pembentukan Self Help Group yang akan difasilitasi

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 174: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

oleh Puskesmas.

Format DokumentasiSesi V Psikoedukasi Keluarga : Pemberdayaan Komunitas

Membantu Keluarga

NoNama

KeluargaHambatan dalam merawat klien & dalam

berhubungan dengan tenaga kesehatanMenyebutkan cara

mengatasi hambatan12345678910

BAB III

PENUTUP

Keluarga adalah unit terdekat dengan klien yang akan terpengaruh karena kondisi sakit klien, baik

masalah dalam aspek psikososial maupun gangguan jiwa. Keluarga juga merupakan bagian

terkecil dari masyarakat yang berperan dalam meningkatkan kesehatan keluarganya untuk

mencapai derajat kesehatan yang optimal baik fisik maupun mental. Karena itu intervensi

keperawatan perlu mempertimbangkan keluarga sebagai sasaran intervensi.

Family Psychoeducation adalah terapi spesialis yang tepat untuk diberikan pada keluarga dengan

anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan baik penyakit fisik maupun gangguan jiwa.

Keluarga menjadi unit penting yang mempengaruhi kesehatan klien karena keluarga yang akan

merawat klien di rumah. Terlebih untuk keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan

gangguan jiwa yang memerlukan perawatan jangka panjang. Karena itu diperlukan pengetahuan

dan kemampuan mengatasi masalah yang baik, agar walaupun salah satu anggota keluarga

mengalami gangguan jiwa, keseimbangan keluarga tetap terjaga.

Terapi ini dapat memberikan dampak positif kepada keluarga dan secara tidak langsung kepada

klien. Bagi keluarga, dapat meningkatkan pengetahuan tentang penyakit yang dialami klien,

meningkatkan kemampuan merawat klien, memperbaiki koping keluarga, dan meningkatkan

kemampuan mengatasi masalah karena kondisi sakit klien. Bagi klien, akan mendapatkan

perawatan yang optimal oleh keluarga, mendapatkan dukungan yang adekuat dari keluarga dan

secara tidak langsung dapat meningkatkan kemandirian dan menurunkan kekambuhan pada klien.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 175: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

DAFTAR PUSTAKA

Chang & Johnson. (2008). Chronic illness & disability: Principles for nursing practice. Australia: Elsevier Australia.

Fortinash, K.M & Worret, P.A.H. (2004). Psychiatric mental health nursing (3rd ed). St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier.

NAMI. www.nami.org. Februari 24, 2012.

NIMH. www.nimh.nih.gov, Februari 24, 2012.

Sari, Hasmila. (2009). Modul panduan family psychoeducation therapy. Depok: FIK UI.

Stuart, G.W. (2009). Principles and practice of psychiatric nursing (9th ed). St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier.

Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health nursing (6th ed). Philadelphia: F.A. Davis Company.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 176: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

BUKU KERJAPSIKOEDUKASI KELUARGA

DENGAN KLIEN SCHIZOPHRENIA

Oleh :

Rahmi Imelisa, S.Kep., Ners.

Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp, M.App.Sc.

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA

2012

Lampiran 12

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 177: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

IDENTITAS KELUARGA

Nama klien :

Nama anggota keluarga :

-

-

-

-

Alamat :

FAMILY PSYCHOEDUCATION (PSIKOEDUKASI

KELUARGA) DENGAN KLIEN SCHIZOPHRENIA

Family Psychoeducation adalah tindakan keperawatan spesialis yang tepat untuk

diberikan pada keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan

kesehatan baik penyakit fisik maupun gangguan jiwa. Keluarga menjadi unit

penting yang mempengaruhi kesehatan klien karena keluarga yang akan merawat

klien di rumah. Terlebih untuk keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan

gangguan jiwa yang memerlukan perawatan jangka panjang. Karena itu

diperlukan pengetahuan dan kemampuan mengatasi masalah yang baik, agar

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 178: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

walaupun salah satu anggota keluarga mengalami gangguan jiwa, keseimbangan

keluarga tetap terjaga.

Terapi ini dilakukan dalam 5 sesi yaitu:

Sesi 1 : Identifikasi masalah keluarga

Sesi 2 : Cara merawat klien dengan gangguan jiwa

Sesi 3 : Manajemen stress keluarga

Sesi 4 : Manajemen beban keluarga

Sesi 5 : Pemberdayaan komunitas untuk membantu keluarga

Setiap sesi dilakukan selama 45-60 menit. Setiap sesi tidak terbatas untuk

dilakukan dalam satu pertemuan. Penjelasan untuk setiap sesi akan dibahas

selanjutnya.

SESI I: PENGKAJIAN MASALAH KELUARGA

Sesi pertama dilakukan untuk menemukan masalah yang ada pada keluarga. Pada

sesi ini terapis dan keluarga bersama-sama mengidentifikasi masalah yang timbul

di keluarga karena memiliki klien gangguan jiwa. Tindakan ini mengikutsertakan

seluruh anggota keluarga yang terpengaruh dan terlibat dalam perawatan klien,

terutama caregiver. Hal yang perlu diidentifikasi adalah makna gangguan jiwa

bagi keluarga dan dampaknya pada orangtua, anak, saudara kandung, dan

pasangan.

Tujuan sesi I:

5. Peserta dapat menyepakati kontrak program psikoedukasi keluarga

6. Peserta mengetahui tujuan program psikoedukasi keluarga

7. Peserta mendapat kesempatan untuk menyampaikan pengalamannya dalam

merawat klien dengan gangguan jiwa (masalah karena klien sakit dan masalah

pribadi yang dirasakan karena merawat)

8. Peserta dapat menyampaikan keinginan dan harapannya selama mengikuti

program psikoedukasi keluarga

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 179: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

SESI I. PENGKAJIAN MASALAH KELUARGA

Format DokumentasiSesi I Psikoedukasi Keluarga: Pengkajian Masalah Keluarga

(caregiver)

NoMasalah pribadi dalam

merawat Masalah yang muncul karena

anggota keluarga sakitKeinginan / Harapan

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 180: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Format DokumentasiSesi I Psikoedukasi Keluarga: Pengkajian Masalah Keluarga

(anggota keluarga lain)

NoNama anggota

keluargaMasalah pribadi dalam

merawat Masalah yang muncul karena

anggota keluarga sakitKeinginan/

Harapan

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 181: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

SESI II: CARA MERAWAT KLIEN GANGGUAN JIWA

Sesi II ini berfokus untuk membahas mengenai masalah yang dialami oleh klien.

Keluarga akan berbagi cara merawat klien yang selama ini dilakukan dan

kemudian membahas bersama-sama perawat mengenai cara merawat yang baik.

Keluarga kemudian dilatih oleh perawat untuk melakukan perawatan langsung

pada klien.

Psikoedukasi keluarga ini terbukti berdampak positif pada klien. Dampak positif

dari program psikoedukasional yaitu bahwa dengan memberikan informasi

mengenai penyakit klien pada keluarga dan memberikan saran mengenai koping

yang baik, akan menurunkan kecenderungan klien untuk kambuh dan menurunkan

kemungkinan pengaruh berbahaya gangguan jiwa terhadap anggota keluarga yang

lain.

Tujuan sesi II:

5. Keluarga mengetahui tentang gangguan jiwa yang dialami oleh klien

6. Keluarga mengetahui tentang pengertian, gejala, etiologi, prognosis, intervensi

dan terapi yang dapat diberikan kepada klien gangguan jiwa

7. Keluarga mengetahui cara merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah

8. Keluarga mampu memperagakan cara merawat klien dengan gangguan jiwa di

rumah

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 182: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

SESI II: CARA MERAWAT KLIEN GANGGUAN JIWA

Format DokumentasiSesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa

No Masalah yg dialami klien Cara mengatasi masalah1

2

3

4

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 183: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

SESI III: CARA MENGATASI STRESS KELUARGA(Manajemen Stress Keluarga)

Stress adalah kondisi ketidakseimbangan yang terjadi saat ada kesenjangan keinginan

individu dalam lingkungan internal atau eksternalnya dengan kemampuannya untuk

menghadapi keinginan-keinginan tersebut. Stressor adalah semua hal yang dapat

menyebabkan stress. Kondisi klien dengan schizophrenia dapat menjadi stressor

tersendiri bagi keluarga. Setiap stressor dapat dihadapi dengan memiliki kemampuan

koping yang baik. Untuk meningkatkan kemampuan koping yang baik, diperlukan

manajemen stress yang tepat.

Manajemen stress adalah berbagai cara yang digunakan oleh seseorang untuk mengurangi

tekanan dan respon maladaptif lain terhadap stress dalam hidup. Cara tersebut antara lain

dengan latihan relaksasi, latihan fisik, musik, mental imagery, atau teknik teknik lain

yang berhasil pada individu tersebut.

Sesi III dari FPE adalah sesi untuk membantu mengatasi masalah masing-masing

individu keluarga yang muncul karena merawat klien. Stress akan terjadi terutama pada

caregiver yang setiap saat berinteraksi dengan klien. Pada sesi III ini, perawat

mengajarkan cara-cara manajemen stress pada seluruh anggota keluarga, terutama

caregiver.

Tujuan sesi III:

5. Keluarga mampu berbagi pengalaman dengan anggota keluarga lain tentang stres

yang dirasakan akibat salah satu anggota mengalami gangguan jiwa dalam keluarga

6. Keluarga mendapatkan informasi tentang cara mengatasi stres yang dialami akibat

salah satu anggota mengalami gangguan jiwa dalam keluarga

7. Keluarga mampu mendemonstrasikan cara mengatasi stres

8. Keluarga dapat mengatasi hambatan dalam mengurangi stres

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 184: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

SESI III: CARA MENGATASI STRESS KELUARGA(Manajemen Stress Keluarga)

Format DokumentasiSesi III Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Stres Keluarga

(caregiver)

No Tanda-tanda stres yang dialami caregiverCara mengatasi

stres yang dapat digunakan1

2

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 185: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Format DokumentasiSesi III Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Stres Keluarga

(anggota keluarga lain)

NoNama anggota

keluargaTanda-tanda stres yang dialami

anggota keluargaCara mengatasi

stres yang dapat digunakan1

2

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 186: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

SESI IV: CARA MENGATASI BEBAN KELUARGA

(Manajemen Beban Keluarga)

Pada sesi IV ini perawat bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga,

membicarakan mengenai masalah yang muncul karena klien sakit dan mencari

pemecahan masalah bersama-sama. Pada sesi ini sangat diperlukan kontribusi dari

seluruh anggota keluarga untuk memecahkan masalah yang dirasakan keluarga.

Beban dapat bersifat subjektif atau objektif. Beban objektif terkait dengan

perilaku klien, penampilan peran, efek luas pada keluarga, kebutuhan akan

dukungan, dan biaya yang dikeluarkan karena penyakit. Beban subjektif adalah

perasaan terbebani yang dirasakan oleh seseorang; bersifat individual dan tidak

selalu berhubungan dengan bagian dari beban objektif.

Tujuan Sesi IV:

5. Keluarga mengenal beban subjektif maupun objektif yang dialami keluarga

akibat adanya anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.

6. Keluarga mengetahui cara mengatasi beban yang dialami akibat adanya

anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.

7. Keluarga mampu menjelaskan cara mengatasi beban yang telah diajarkan oleh

perawat.

8. Semua anggota keluarga menyepakati cara mengatasi beban keluarga dan

perannya masing-masing dalam mengatasi beban keluarga.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 187: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

SESI IV: CARA MENGATASI BEBAN KELUARGA

(Manajemen Beban Keluarga)

Format DokumentasiSesi IV Psikoedukasi Keluarga : Manajemen Beban Keluarga

No Beban keluarga Cara mengatasi beban1

2

3

4

5

6

7

8

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 188: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

SESI V: CARA MENGATASI HAMBATAN DENGAN MEMBERDAYAKAN KOMUNITAS

(Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga)

Pada sesi V ini, akan dibahas mengenai pemberdayaan sumber-sumber di luar keluarga,

yaitu di komunitas untuk membantu permasalahan di keluarga dengan klien gangguan

jiwa. Keluarga yang merawat klien dengan gangguan jiwa seringkali merasa malu,

merasa dikucilkan dan merasa sendiri dalam merawat. Sumber-sumber dukungan yang

sebelumnya ada dapat hilang atau terbatas karena kebutuhan untuk merawat anggota

keluarga dengan gangguan jiwa. Keluarga dapat merasa malu atau takut jika anggota

keluarga yang sakit menunjukkan perilaku yang tidak pantas pada orang lain. Semua

aspek dari beban subjektif dapat membatasi akses pada sistem dukungan sosial. Keluarga

seperti ini memerlukan bantuan untuk membangun kembali dukungan sosialnya (Stuart,

2009).

Komunitas memiliki pengaruh yang besar dalam rehabilitasi dan pemulihan klien dengan

gangguan jiwa. Pemberi layanan kesehatan, termasuk perawat, harus menjalani peran

pemimpin dalam mengkaji keadekuatan dan keefektifan sumber-sumber di komunitas dan

dalam merekomendasikan perubahan untuk memperbaiki akses dan kualitas dari layanan

kesehatan mental.

Tujuan Sesi V:

4. Keluarga dapat mengungkapkan hambatan dalam merawat klien gangguan jiwa di

rumah.

5. Keluarga dapat mengungkapkan hambatan dalam berhubungan dengan tenaga

kesehatan dan mengetahui cara mengatasi hambatan dalam berkolaborasi.

6. Keluarga dapat berdiskusi dengan tenaga kesehatan dari puskesmas tentang sistem

rujukan, advokasi hak-hak klien gangguan jiwa dan mencari dukungan untuk

pembentukan Self Help Group.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 189: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

SESI V: CARA MENGATASI HAMBATAN DENGAN MEMBERDAYAKAN KOMUNITAS

(Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga)

Format DokumentasiSesi V Psikoedukasi Keluarga : Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga

NoHambatan dalam merawat klien & dalam

berhubungan dengan tenaga kesehatanMenyebutkan cara mengatasi hambatan

1

2

3

4

5

6

7

8

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 190: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

CATATAN HARIANKU

(Caregiver)

Tanggal No Cara yang digunakan Hasil

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 191: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

CATATAN HARIANKU(Anggota keluarga lain)

Tanggal No Cara yang digunakan Hasil

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 192: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

BUKU EVALUASI / RAPPORT

Klien schizophrenia

(Pegangan kader)

Disusun oleh :

Rahmi Imelisa, S.Kep., Ners.

Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc.

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA

2012

Lampiran 13

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 193: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

IDENTITAS PMO

Nama :

Alamat :

Telepon :

Jumlah Klien binaan :

Klien binaan :

-

-

-

-

-

-

-

-

1. Evaluasi keteraturan berobat2. Evaluasi kegiatan sehari-hari (living skill assessment)3. Evaluasi penurunan gejala4. Evaluasi kemampuan sosialisasi

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 194: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Klien 1Nama : …….. Usia : ……. tahunAlamat : ……………

EVALUASI KEPATUHAN BEROBAT

No PerilakuPertemuan ke-

I II III IV V VI VII VIII IX X1 Meminum obat sesuai jadwal2 Meminum obat sesuai dosis

3Tidak pernah terlewat waktu meminum obat

4Terus meminum obat walaupun merasa baikan

5Bertanya pada tenaga kesehatan jika efek obat dirasakan mengganggu

6Menyatakan obat membuat klien lebih baik

Keterangan :- Tuliskan tanggal pertemuan di kolom pertemuan ke-.- Beri tanda checklist pada kolom pertemuan, untuk perilaku yang sudah

dilakukan klien- Identifikasi perilaku lain yang menunjukkan kepatuhan

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 195: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Catatan Kader :

NoHari,

TanggalJam Catatan

1 - Klien/pasien:- Keluarga :- Jumlah Obat :

HaloperidolTrihexyphenidylChlorpomazide

TTD2

3

4

5

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 196: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

EVALUASI KEGIATAN SEHARI-HARI (LIVING SKILL ASSESSMENT)

No Kegiatan sehari-hariPertemuan ke-

I II III IV V VI VII VIII IX XFisik1 Perawatan diri : mandi

Perawatan diri : makan dan minumPerawatan diri : berdandanPerawatan diri : BAB dan BAK

2 Olah raga fisik

3Menggunakan transportasi umum

4 Memasak5 Belanja6 Membersihkan rumah7 Partisipasi dalam olah raga

8Menggunakan fasilitas rekreasional

9 BeribadahEmosional1 Hubungan antar manusia 2 Kontrol diri 3 Penghargaan diri4 Mengurangi stigma5 Pemecahan masalah

6Kemampuan berbincang-bincang

Intelektual1 Mengatur keuangan2 Menetapkan tujuan3 Pengembangan masalah

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 197: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

EVALUASI PENURUNAN GEJALA

No Kegiatan sehari-hariPertemuan ke-

I II III IV V VI VII VIII IX XGejala positif1 Waham2 Halusinasi3 Tidak nyambung (inkoheren)4 Bicara berputar-putar 5 Sedikit bicara6 Bicara mudah beralih7 Diam kaku8 Gangguan pergerakan

Gejala negatif1 Afek datar2 Hilang minat 3 Tidak mau bersosialisasi

4Pikiran dan pembicaraan terbatas

5Kurang inisiatif dalam mencapai tujuan

6 Sulit fokus7 Sedikit bicara8 Diam kaku

EVALUASI KEMAMPUAN SOSIALISASI

No Kemampuan sosialisasiPertemuan ke-

I II III IV V VI VII VIII IX X1 Berkomunikasi sesuai (koheren)2 Memiliki keinginan dan minat3 Tidak mengalami paranoid

4Minat cukup baik pada kegiatan-kegiatan rekreasional

5 Mampu memulai pembicaraan

6Mampu memperkenalkan diri pada orang lain

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 198: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

BUKU EVALUASI

‘PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN

PERAN PENGAWAS MINUM OBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI

KERSAMANAH GARUT’

Oleh :

Rahmi Imelisa, S.Kep., Ners.

Prof. DR. Budi Anna Keliat, S.Kp, M.App.Sc.

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

Lampiran 14

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 199: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

UNIVERSITAS INDONESIA

2012

Nama

IDENTITAS KELUARGA

Nama Klien :

Alamat :

Nama caregiver :

Nama anggota keluarga :

- …………..

- …………

- ………….

- ………….

- ………….

- ………….

Nama kader :

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 200: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Pertemuan 1

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 201: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Evaluasi SP 1 pasienImplementasi Evaluasi

Sesi I Psikoedukasi Keluarga: Pengkajian Masalah Keluarga

Tanggal :

No KegiatanAnggota keluarga

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101 Hadir dalam terapi2 Menyepakati kontrak kegiatan3 Menyampaikan masalah yang dialami (masalah

pribadi yang dirasakan anggota keluarga dan perubahan yang dialami dalam keluarga)

4 Aktif dalam diskusi

Sesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa

Format EvaluasiSesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa

No Kegiatan Anggota keluarga1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Hadir dalam terapi2 Menyebutkan pengertian gangguan jiwa3 Menjelaskan gangguan jiwa yang dialami

anggota keluarga4 Menyebutkan dan mendemonstrasikan cara

merawat klien5 Aktif dalam diskusi

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 202: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Evaluasi Kinerja Kader

Tanggal :

No Aspek yang dinilaiPenilaian

Ya Tidak1 Melakukan kunjungan sesuai jadwal yang disepakati2 Menjelaskan tujuan interaksi3 Melakukan wawancara kepada klien4 Melakukan wawancara kepada caregiver5 Melakukan penghitungan obat6 Mendokumentasikan kegiatan7 Menyepakati kontrak berikutnya

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 203: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Pertemuan 2

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 204: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Evaluasi SP 2 pasienImplementasi Evaluasi

Sesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa

Format EvaluasiSesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa

No Kegiatan Anggota keluarga1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Hadir dalam terapi2 Menyebutkan pengertian gangguan jiwa3 Menjelaskan gangguan jiwa yang dialami

anggota keluarga4 Menyebutkan dan mendemonstrasikan cara

merawat klien5 Aktif dalam diskusi

Evaluasi Kinerja Kader

Tanggal :

No Aspek yang dinilaiPenilaian

Ya Tidak1 Melakukan kunjungan sesuai jadwal yang disepakati2 Menjelaskan tujuan interaksi3 Melakukan wawancara kepada klien4 Melakukan wawancara kepada caregiver5 Melakukan penghitungan obat6 Mendokumentasikan kegiatan7 Menyepakati kontrak berikutnya

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 205: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Pertemuan 3

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 206: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Evaluasi SP 3 pasienImplementasi Evaluasi

Sesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa

Format EvaluasiSesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa

No Kegiatan Anggota keluarga1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Hadir dalam terapi2 Menyebutkan pengertian gangguan jiwa3 Menjelaskan gangguan jiwa yang dialami

anggota keluarga4 Menyebutkan dan mendemonstrasikan cara

merawat klien5 Aktif dalam diskusi

Sesi III Psikoedukasi Keluarga : Manajemen Stres Keluarga

Format EvaluasiSesi III Psikoedukasi Keluarga : Manajemen Stres Keluarga

No Kegiatan Anggota keluarga1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Hadir dalam terapi2 Menyebutkan tanda-tanda stres yang dialami

keluarga3 Menyebutkan cara mengatasi stress dalam

merawat klien gangguan jiwa4 Memperagakan cara mengatasi stres yang telah

diajarkan5 Aktif dalam diskusi

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 207: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Evaluasi Kinerja Kader

Tanggal :

No Aspek yang dinilaiPenilaian

Ya Tidak1 Melakukan kunjungan sesuai jadwal yang disepakati2 Menjelaskan tujuan interaksi3 Melakukan wawancara kepada klien4 Melakukan wawancara kepada caregiver5 Melakukan penghitungan obat6 Mendokumentasikan kegiatan7 Menyepakati kontrak berikutnya

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 208: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Pertemuan 4

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 209: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Evaluasi SP 4 pasienImplementasi Evaluasi

Sesi IV Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Beban KeluargaFormat Evaluasi

Sesi IV Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Beban KeluargaNo Kegiatan Anggota keluarga

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101 Hadir dalam terapi2 Menyebutkan tanda-tanda dan cara mengatasi

beban dalam merawat klien gangguan jiwa3 Memperagakan cara untuk mengatasi beban

keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa4 Aktif dalam diskusi

Evaluasi Kinerja Kader

Tanggal :

No Aspek yang dinilaiPenilaian

Ya Tidak1 Melakukan kunjungan sesuai jadwal yang disepakati2 Menjelaskan tujuan interaksi3 Melakukan wawancara kepada klien4 Melakukan wawancara kepada caregiver5 Melakukan penghitungan obat6 Mendokumentasikan kegiatan7 Menyepakati kontrak berikutnya

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 210: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Pertemuan 5

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 211: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Evaluasi SP 5 pasienImplementasi Evaluasi

Sesi V Psikoedukasi Keluarga: Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga

No Kegiatan Anggota keluarga1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Hadir dalam terapi2 Menyampaikan hambatan yang dialami dalam

merawat klien gangguan jiwa3 Menyampaikan hambatan yang dialami dalam

berhubungan dengan tenaga kesehatan4 Menyebutkan cara mengatasi hambatan dalam

merawat klien gangguan jiwa dan dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan

5 Mengetahui sistem rujukan6 Menyepakati adanya kelompok swabantu yang

akan difasilitasi oleh Puskesmas7 Aktif dalam diskusi

Evaluasi Kinerja Kader

Tanggal :

No Aspek yang dinilaiPenilaian

Ya Tidak1 Melakukan kunjungan sesuai jadwal yang disepakati2 Menjelaskan tujuan interaksi3 Melakukan wawancara kepada klien4 Melakukan wawancara kepada caregiver5 Melakukan penghitungan obat6 Mendokumentasikan kegiatan7 Menyepakati kontrak berikutnya

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 212: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

PEDOMAN PEMBEKALAN KADER

Disusun oleh :

Rahmi Imelisa, S.Kep., Ners.

Prof. DR. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc.

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA

2012

Lampiran 15

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 213: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang besar penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang

telah berkenan memberi petunjuk dan kekuatan kepada penyusun sehingga buku

pedoman kader untuk peran Pengawas Minum Obat (PMO) pada klien

schizophrenia ini dapat diselesaikan.

Buku pedoman ini adalah panduan untuk menjalankan peran PMO pada klien

dengan schizophrenia. Peran ini dapat dilakukan oleh kader, keluarga atau tenaga

kesehatan lain yang dipercaya oleh klien. Peran PMO ini dimaksudkan untuk

menjamin kemandirian, keteraturan berobat, sosialisasi dan pemantauan gejala

klien schizophrenia. Modul ini berisi panduan dalam menjalankan peran PMO

dan materi-materi lain yang dapat menjadi bekal bagi seorang PMO

schizophrenia.

Penyusun ingin mengucapkan terimakasih kepada Prof. DR. Budi Anna Keliat,

S.Kp., M.App.Sc., yang telah mengarahkan pembuatan buku pedoman ini dan

kepada berbagai pihak yang telah turut membantu tersusunnya buku panduan ini.

Penyusun sangat mengharapkan masukan yang membangun untuk

mengembangkan buku pedoman ini lebih lanjut. Dan penyusun berharap buku

pedoman ini dapat digunakan secara luas oleh keluarga klien atau kader untuk

mengawasi pengobatan klien dengan schizophrenia.

Depok, April 2012

Penyusun

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 214: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

DAFTAR ISI

Halaman sampul i

Kata pengantar ii

Daftar isi iii

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar belakang 1

1.2 Tujuan 2

1.3 Manfaat 2

Bab II Pelaksanaan Peran Pengawas Minum Obat

2.1 Pengawas minum obat 3

2.2 Kepatuhan berobat 4

2.3 Obat-obatan untuk klien schizophrenia 5

2.4 Pelaksanaan peran PMO 5

Bab III Penutup 7

Daftar pustaka 8

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 215: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

BAB I

PENDAHULUAN

1.4 Latar Belakang

Klien dengan schizophrenia, memerlukan pengobatan jangka panjang dan

kontrol rutin. Dalam kenyataannya, seringkali klien merasa bosan, merasa

obat tidak bermanfaat, merasa obat memperburuk kondisinya atau merasa

sudah tidak memerlukan obat lagi. Kondisi ini mempengaruhi kepatuhan klien

dalam berobat. Akibatnya kondisi klien kembali memburuk dan sering terjadi

rawat ulang pada klien dengan schizophrenia.

Kepatuhan adalah perilaku klien mengikuti saran dari tenaga kesehatan. Salah

satunya adalah kepatuhan berobat, di mana klien mengikuti instruksi dokter

dalam berobat. Ketidakpatuhan klien dalam berobat dapat dipengaruhi oleh

faktor individu, faktor budaya, dan faktor kepercayaan pada tenaga medis.

Klien dengan schizophrenia adalah seseorang yang mengalami gangguan

dalam membedakan antara realita dengan dunia khayal nya. Klien

schizophrenia seringkali bingung dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari,

termasuk berobat. Oleh karena itu, klien schizophrenia memerlukan

pengawasan dalam meminum obat.

Pengawasan dalam berobat telah dikembangkan untuk penyakit tuberculosis

dengan adanya istilah PMO (Pengawas Minum Obat). PMO bertugas untuk

menjamin keteraturan berobat klien. PMO dikembangkan pada penyakit

tuberculosis mengingat pengobatan jangka panjang yang perlu dijalani oleh

klien tuberculosis. Begitu pula dengan klien schizophrenia, klien dengan

schizophrenia memerlukan waktu jangka panjang untuk berobat. Selain itu,

kejadian putus obat juga sering terjadi pada klien schizophrenia yang

menyebabkan tingginya angka kekambuhan. Karena itu, pengembangan peran

PMO pada klien dengan schizophrenia perlu dikembangkan.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 216: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

PMO sendiri dapat dilakukan oleh keluarga, masyarakat atau kader, atau

tenaga kesehatan yang dipercaya oleh klien sehingga dapat meningkatkan

kepatuhannya dalam berobat. Buku panduan ini berisi mengenai hal-hal yang

perlu diketahui oleh seorang PMO untuk menjalankan perannya.

Pemberdayaan masyarakat merupakan proses pengembangan potensi

pengetahuan maupun keterampilan masyarakat agar mereka mampu

mengontrol diri dan terlibat dalam pemenuhan kebutuhan mereka sendiri

(Helvie, 1998 dalam Keliat, 2010). Seorang kader akan mampu melakukan

kegiatan apabila kader tersebut telah diberikan pembekalan sejak awal.

Metode yang dipakai dalam mengembangkan kader kesehatan jiwa sebaiknya

teratur, sistematis, dan rasional (Keliat, 2010).

Dalam penelitian ini akan diberdayakan kader untuk melakukan kunjungan

rumah dan melakukan pengawasan kepada klien yaitu dalam kepatuhan

berobat, kemandirian aktivitas sehari-hari, penurunan gejala, dan sosialisasi

klien. Kader yang telah terbentuk di setiap desa di Kecamatan Kersamanah

Kabupaten Garut terdiri dari 5-6 orang di masing-masing desa, dan beberapa

di antaranya adalah keluarga dari klien gangguan jiwa. Kader yang terbentuk

tersebut belum pernah mendapatkan pelatihan-pelatihan sesuai standar

CMHN.

Sebelum kader melakukan kunjungan kepada klien, maka kader perlu

diberikan pembekalan agar dalam pelaksanaan perannya, kader dapat

membantu mensukseskan program pengawasan sesuai dengan pedoman yang

telah dibuat. Dengan latar belakang ini, maka peneliti merasa perlu dilakukan

pembekalan kader mengenai pengawasan terutama pengawasan minum obat

klien schizophrenia.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 217: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

1.5 Tujuan

Tujuan dilakukannya kegiatan pembekalan kader ini adalah untuk melatih dan

menyamakan persepsi kader dalam menjalankan peran Pengawas Minum

Obat.

1.6 Manfaat

Kegiatan pembekalan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1.3.1 Kader

Memiliki kemampuan mengawasi keteraturan berobat, sosialisasi,

penurunan gejala dan kemandirian klien

1.3.2 Klien

Mendapatkan pelayanan yang intensif dari tenaga kesehatan yang

diwakili oleh kader

1.3.3 Puskesmas

Membantu mensukseskan program puskesmas untuk menurunkan angka

schizophrenia di Kersamanah

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 218: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

BAB IIPERAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO)

2.1 Pengawas Minum Obat

PMO atau Pengawas Minum Obat adalah seseorang yang mengawasi dan

menjamin keteraturan klien minum obat. Berikut ini adalah standar PMO yang

dikembangkan untuk klien tuberculosis.

2.1.1 Persyaratan Pengawas Minum Obat

Menurut Depkes RI (2007), persyaratan seorang PMO adalah sebagai

berikut:

1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas

kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati

oleh pasien.

2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama

dengan pasien.

5. Memahami tanda dan gejala penyakit termasuk cara penularan,

pengobatan dan perawatannya

(Nazir, 2010).

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa,

Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak

ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari

kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat

lainnya atau anggota keluarga.

2.1.2 Tugas Seorang Pengawas Minum Obat

Tugas seorang PMO adalah:

1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai

selesai pengobatan.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 219: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang

ditentukan.

4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang

mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera

memeriksakan diri ke petugas kesehatan terdekat.

5. Membantu atau mendampingi penderita dalam pengambilan obat di

pelayanan kesehatan terdekat.

6. Membantu petugas kesehatan dalam rangka memantau

perkembangan penyakit tuberkulosis di desanya.

Point 1 sampai 4 adalah tugas pokok PMO yang ditetapkan depkes.

Tetapi dalam pelaksanaan di lapangan PMO juga berperan melakukan

hal-hal lain berkaitan dengan pasien TB dan petugas kesehatan seperti

pada poin 5 dan 6 di atas (Nazir, 2010).

2.2 Kepatuhan berobat

Kepatuhan dapat didefinisikan pula sebagai kemampuan dan kemauan

seseorang untuk mengikuti praktik kesehatan yang dianjurkan (Brannon &

Feist, 2010). Definisi ini meluas dari pengobatan menjadi mempertahankan

pola hidup sehat seperti melakukan perawatan sesuai, melakukan olahraga

cukup, menghindari stress berkepanjangan, tidak merokok, dan tidak

menggunakan alkohol. Selanjutnya kepatuhan juga termasuk menjadwalkan

pemeriksaan kesehatan atau pemeriksaan gigi secara teratur, menggunakan

sabuk pengaman, dan melakukan perilaku lain yang sesuai dengan saran

kesehatan terbaik yang tersedia.

Ketidakpatuhan berobat menunjukkan perilaku individu dan/atau pemberi

asuhan yang tidak sesuai dengan rencana promosi kesehatan atau terapeutik

yang ditetapkan oleh individu (dan/atau keluarga dan/atau komunitas) serta

profesional pelayanan kesehatan. Perilaku pemberi asuhan atau individu yang

tidak mematuhi ketetapan, rencana promosi kesehatan atau terapeutik secara

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 220: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

keseluruhan atau sebagian dapat menyebabkan hasil akhir yang tidak efektif

secara klinis atau sebagian tidak efektif (NANDA, 2010).

Tingkat kepatuhan tidak dapat diketahui secara pasti, tetapi beberapa teknik

telah digunakan oleh para peneliti dan mampu memberikan gambaran

mengenai ketidakpatuhan. Ada enam hal dasar yang dapat digunakan dalam

mengukur kepatuhan, yaitu: (1) bertanya kepada praktisi kesehatan, (2)

bertanya kepada pasien, (3) bertanya kepada orang lain, (4) memantau

penggunaan obat, (5) pemeriksaan biokimia, dan (6) menggunakan kombinasi

dari cara-cara tersebut (Brannon & Feist, 2010).

2.3 Obat-obatan untuk klien schizophrenia

1. Haloperidol

Adalah obat antipsikotik atipikal yang efektif untuk mengatasi

hiperaktivitas, agitasi dan mania. Haloperidol digunakan untuk manifestasi

psikosis akut dan kronis, termasuk schizophrenia dan kondisi manik.

2. Trihexyphenidyl

Trihexyphenidyl digunakan untuk mengatasi gejala penyakit Parkinson

dan tremor yang disebabkan oleh masalah medis atau pengobatan.

3. Chlorpomazide

Chlorpomazide digunakan untuk mengatasi gangguan psikotik dan gejala

seperti halusinasi, waham, dan rasa bermusuhan. Obat ini juga digunakan

untuk mencegah dan menangani mual dan muntah, untuk menangani

masalah perilaku pada anak, dan untuk mengurangi cegukan berat.

4. Trifluperazine (Stelazine)

Obat antipsikotik tipikal, satu golongan dengan chlorpomazide.

5. Risperidon

Obat antipsikotik atipikal.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 221: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

2.4 Pelaksanaan peran PMO

Pelaksanaan peran PMO dilakukan dengan melakukan kunjungan langsung ke

tempat tinggal klien dengan schizophrenia. Kunjungan dilakukan

berkesinambungan selama klien menjalani pengobatan.

2.4.1 Tujuan

Tujuan setiap pertemuan adalah untuk menjaga keteraturan berobat klien

dan meningkatkan kepatuhan klien untuk berobat

2.4.2 Setting

Kader datang ke tempat tinggal klien. Duduk berhadapan saat

mewawancarai klien dan keluarga. Wawancara klien dan keluarga

dilakukan terpisah.

2.4.3 Alat dan bahan

Alat tulis dan buku evaluasi kader PMO

2.4.4 Metode

Wawancara, tanya jawab, hitung obat

2.4.5 Langkah-langkah:

1. Mengidentifikasi perilaku keteraturan berobat

2. Mewawancara klien mengenai perilaku berobat

3. Memotivasi klien untuk teratur berobat

4. Mewawancarai keluarga untuk memvalidasi keteraturan berobat

klien

5. Menghitung obat yang ada

6. Mendokumentasikan tindakan

2.1.6 Evaluasi

Evaluasi dilakukan pada masing-masing klien yang dikunjungi dan

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 222: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

dilakukan pemantauan perilaku di setiap pertemuan. Format evaluasi

yang dapat digunakan dapat dilihat di bawah ini.

Tabel 2.1Format evaluasi keteraturan berobat klien schizophrenia

Nama Klien :Alamat :

No PerilakuPertemuan ke-

I II III IV V VI VII VIII IX X1 Meminum obat sesuai jadwal2 Meminum obat sesuai dosis3 Tidak pernah terlewat waktu meminum obat

4Terus meminum obat walaupun merasa baikan

5Bertanya pada tenaga kesehatan jika efek obat dirasakan mengganggu

6 Menyatakan obat membuat klien lebih baikKeterangan :

- Tuliskan tanggal pertemuan di kolom pertemuan ke-.- Beri tanda checklist pada kolom pertemuan, untuk perilaku yang sudah dilakukan klien- Identifikasi perilaku lain yang menunjukkan kepatuhan

2.5 Pelaksanaan Pembekalan Kader

2.5.1 Setting

Kegiatan dilakukan di ruangan seminar, kader sebagai

peserta duduk melingkar dan peneliti berdiri di depan

peserta.

2.5.2 Metoda

Ceramah, tanya jawab, diskusi, role play.

2.5.3 Alat dan bahan

Ruang seminar, LCD, laptop, power point presentation, buku

pedoman kader, buku kerja kader.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 223: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

2.5.4 Waktu dan tempat

Pembekalan kader akan dilakukan pada minggu pertama

sebelum penelitian (peran kader) dimulai.

2.5.5 Langkah-langkah

1. Persiapan

2. Pelaksanaan

3. Evaluasi

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 224: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

BAB III

PENUTUP

Keteraturan berobat menjadi hal penting yang perlu diperhatikan pada klien

dengan schizophrenia mengingat waktu pengobatan dalam jangka panjang.

Karena kondisi sakitnya, klien schizophrenia memerlukan seseorang untuk

mengawasi keteraturan berobat. Peran ini dapat dilakukan oleh seorang PMO

(Pengawas Minum Obat) yang berfungsi menjaga keteraturan berobat klien.

Menjaga keteraturan berobat klien dapat dilakukan dengan melakukan kunjungan

rumah, lalu melakukan wawancara kepada klien dan keluarga, lalu mneghitung

persediaan obat yang tersisa. Metoda ini adalah metoda yang paling praktis dan

murah untuk mengecek perilaku kepatuhan klien dalam berobat.

Akhirnya penyusun berharap bahwa buku panduan ini dapat bermanfaat bagi

pelayanan kesehatan jiwa dan dapat memudahkan kader menjalankan tugasnya.

Dampak akhir yang diinginkan dari peran PMO ini adalah prognosa klien yang

baik, sehingga klien dapat hidup produktif dan mencegah kekambuhan klien.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 225: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

DAFTAR PUSTAKA

Brannon, L., & Feist, J. (2010). Health psychology: an introduction to behavior and health (7th ed). USA: Wadsworth Cengage Learning.

NANDA International. (2010). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2009-2011. Jakarta: EGC.

Nazir, M. (2010). Pemberantasan dan penanggulangan tuberkulosis. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 226: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 227: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 228: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 229: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 230: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.

Page 231: lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20314836-T 31229-Pengaruh asuhan...lontar.ui.ac.id

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Biodata

Nama : Rahmi Imelisa

Tempat/ tanggal lahir : Jakarta/ 2 Juni 1984

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Dosen tetap

Alamat instansi : STIKES Jenderal Ahmad Yani Cimahi

Alamat rumah : Jl. Utama Bbk. Cihapit No.64 Rt.05/08 Cicaheum

Bandung.

No telepon : 08996036184

Riwayat pendidikan

SDN Awigombong III Bandung : 1989-1991

SDN Jatihandap II Bandung : 1991-1995

SLTPN 20 Bandung : 1995-1998

SMUN 10 Bandung : 1998-2001

Program Sarjana PSIK -FK UNPAD : 2001-2006

Program Profesi Ners FIK UNPAD : 2006-2007

Riwayat pekerjaan

Perawat magang RS.Krakatau Medika Cilegon (2007)

Dosen tetap Program Studi Ilmu Keperawatan (S.1) STIKES Jenderal Ahmad

Yani Cimahi (2008-sekarang)

Lampiran 17

Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.