(beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia,...

14
2 Berdasarkan hasil survey global yang diadakan oleh Latitude News (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, menemukan fakta baru yang sangat mengejutkan dengan mengurutkan negara yang memiliki kasus bullying tertinggi adalah Jepang, Indonesia, Kanada dan Amerika Serikat serta yang terakhir Finlandia. Penelitian yang dilakukan di berbagai negara terhadap siswa berusia 8 sampai 16 tahun menunjukkan bahwa 8% hingga 38% siswa adalah korban bullying (Mceachern et al 2005, dalam Aluede 2011). Kasus bullying juga ditemukan pada beberapa sekolah di Yogyakarta, mulai dari jenjang SD sampai SMA (kasus Praktek Kerja Profesi Psikologi UGM, angakatan delapan 2012). Salah satu isu penting yang menjadi sorotan dalam kegiatan ini adalah tindakan bullying yang terjadi di lingkungan sekolah. Data survey yang dilakukan oleh Centre of Public Mental Health (CPMH) (2012) terhadap 144 pelajar SMA Yogyakarta terkait dengan tindakan bullying di sekolah, menunjukkan hasil sebagai berikut; 59.5% siswa mengaku pernah mengalami bullying di sekolah (seperti; dipalak, diancam, dipukul, diejek, dll), 9.09% siswa mengaku pernah melakukan perilaku bullying) seperti; memalak, mengancam, memukul, mengejek, dll), sebanyak 4,89%, siswa mengaku cukup sering menyaksikan peristiwa bullying di sekolah dan 8,39% siswa merasa takut dan gelisah ketika berada di sekolah. Data terbaru yang diperoleh dari hasil preliminary pada bulan Juli sampai Agustus 2013, dengan mengambil sampel sebanyak 30% dari total siswa kelas XI

Transcript of (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia,...

Page 1: (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69541/potongan/S2-2014... · kelompoknya dalam mengontrol tingkah laku sosial,

2

Berdasarkan hasil survey global yang diadakan oleh Latitude News

(beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, menemukan fakta

baru yang sangat mengejutkan dengan mengurutkan negara yang memiliki kasus

bullying tertinggi adalah Jepang, Indonesia, Kanada dan Amerika Serikat serta yang

terakhir Finlandia.

Penelitian yang dilakukan di berbagai negara terhadap siswa berusia 8 sampai

16 tahun menunjukkan bahwa 8% hingga 38% siswa adalah korban bullying

(Mceachern et al 2005, dalam Aluede 2011). Kasus bullying juga ditemukan pada

beberapa sekolah di Yogyakarta, mulai dari jenjang SD sampai SMA (kasus Praktek

Kerja Profesi Psikologi UGM, angakatan delapan 2012). Salah satu isu penting yang

menjadi sorotan dalam kegiatan ini adalah tindakan bullying yang terjadi di

lingkungan sekolah. Data survey yang dilakukan oleh Centre of Public Mental Health

(CPMH) (2012) terhadap 144 pelajar SMA Yogyakarta terkait dengan tindakan

bullying di sekolah, menunjukkan hasil sebagai berikut; 59.5% siswa mengaku

pernah mengalami bullying di sekolah (seperti; dipalak, diancam, dipukul, diejek,

dll), 9.09% siswa mengaku pernah melakukan perilaku bullying) seperti; memalak,

mengancam, memukul, mengejek, dll), sebanyak 4,89%, siswa mengaku cukup

sering menyaksikan peristiwa bullying di sekolah dan 8,39% siswa merasa takut dan

gelisah ketika berada di sekolah.

Data terbaru yang diperoleh dari hasil preliminary pada bulan Juli sampai

Agustus 2013, dengan mengambil sampel sebanyak 30% dari total siswa kelas XI

Page 2: (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69541/potongan/S2-2014... · kelompoknya dalam mengontrol tingkah laku sosial,

3

pada sepuluh SMA Negeri yang ada di Yogyakarta. Jumlah responden seluruhnya

berjumlah 739 orang, menyebutkan bahwa 100 orang (13,53%) siswa merasa dibully,

dan 396 orang (53,58%) siswa pernah melihat temannya dibully. Data-data di atas

mengindikasikan bahwa tindakan bullying masih terjadi di kalangan siswa SMA

Yogyakarta serta masih menjadi isu yang penting.

Menurut Olweus (1993), bullying adalah perilaku negatif (tidak menyenangkan

& menyakitkan) yang dilakukan oleh satu orang atau lebih, secara sengaja dan

berulang-ulang, kepada seseorang yang kesulitan untuk membela dirinya sendiri.

Perilaku bullying di sekolah merupakan suatu masalah sosial yang cukup

penting, karena memiliki dampak negatif jangka pendek seperti masalah dengan

kesehatan fisik, dan juga dampak negatif jangka panjang yaitu pada kondisi

psikologis dan penyesuaian sosial siswa, Ttofi dan Farrington (2008). Organisasi

kesehatan dunia (WHO) mengatakan bahwa perilaku bullying berupa ancaman atau

penggunaan kekuatan fisik dapat mengakibatkan cedera, kerusakan fisik, gangguan

perkembangan bahkan kematian baik terhadap seorang maupun kelompok (Turkmen.,

et al, 2013).

Olweus (dalam Saleh, 2013) menjelaskan dinamika terbentuknya perilaku

bullying sebagai sebuah lingkaran. Setiap aktor didalamnya memiliki peranan

masing-masing. Dimulai dari korban bullying (victim) yang dikelilingi oleh pelaku

(bully). Pelaku memiliki dua jenis pendukung, yang aktif dan pasif. Pendukung aktif

(active suppoters) adalah individu yang terlibat atau turut ambil bagian dalam

Page 3: (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69541/potongan/S2-2014... · kelompoknya dalam mengontrol tingkah laku sosial,

4

tindakan bullying, sedangkan pendukung pasif (passive suppoters) tidak ikut

melakukan bullying tetapi menyetujui tindakan bullying dengan cara memprovokasi

pelaku. Selain itu ada sekelompok penonton yang juga sering melihat aksi bullying

tersebut tetapi mereka tidak peduli dengan korban (disenged onlookers), kemudian

terdapat juga kelompok lain dari penonton yang tidak menyukai perilaku bullying

tetapi mereka tidak melakukan sesuatu untuk mencegahnya (potential witnesses).

Kelompok terakhir adalah pembela korban yang tidak setuju dengan perilaku bullying

dan mencoba untuk membantu korban (defender).

Berbagai macam hasil penelitian yang menyatakan bahwa individu yang menjadi

korban bullying teridentifikasi memiliki karakteristik seperti depresi, pasif, rasa malu

yang berlebihan (Beran, Shapiro, Bonnie, 2005), trauma dan menarik diri dari

lingkungan sosialnya (Carney, 2008; Garbarino, 2001; Siege et al., 2009), sedangkan

pada pelaku berisiko untuk terlibat dalam perilaku kriminal saat dewasa nanti dan

cenderung tidak memiliki sikap empati (Hawker & Boulton, 2000).

Melihat banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari perilaku bullying,

maka sudah sepantasnya dilakukan intervensi untuk mengatasi dan mencegah

terjadinya perilaku bullying tersebut. Olweus (1993) menyatakan bahwa pencegahan

perlu dilakukan sehingga dapat menolong korban lebih dini dan menciptakan

lingkungan sekolah yang kondusif. Farrel, Meyer & White (2001) juga memaparkan

salah satu usaha preventif bagi perilaku bullying dilakukan dengan psikoedukasi

mengenai bullying kepada siswa.

Page 4: (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69541/potongan/S2-2014... · kelompoknya dalam mengontrol tingkah laku sosial,

5

Selama ini belum terlihat adanya usaha yang berbasis ilmiah terhadap

pencegahan perilaku bullying di sekolah melalui teman sebaya, khususnya di daerah

Yogyakarta. Teman sebaya khususnya dapat digunakan sebagai media untuk

mencegah bullying. Berdasarkan beberapa data yang telah diperoleh bahwa perilaku

bullying masih sering terjadi dikalangan remaja, oleh karena itu untuk mengatasinya

diperlukan remaja sebagai media penyampai informasi kepada teman sebayanya. Hal

ini dinilai efektif jika informasi tersebut disampaikan oleh teman sebaya yang sesuai

dengan karakteristik khas remaja.

Pengaruh teman sebaya merupakan isu yang sangat mendominasi dalam dalam

periode remaja awal. Remaja pada perode ini mulai bergabung dan menghabiskan

banyak waktu dengan teman-teman sebayanya (Stang & Story, 2005). Penelitian yang

dilakukan Buhrmester (dalam Santrock, 2003) menunjukkan bahwa pada masa

remaja kedekatan hubungan dengan teman sebaya meningkat secara drastis, dan pada

saat yang bersamaan kedekatan hubungan remaja dengan orang tua menurun secara

drastis. Beberapa penelitian semakin menegaskan bahwa pengaruh teman sebaya

(peers) memiliki peran yang besar dalam menentukan masa perkembangan remaja

dan juga sebagai cara efektif yang dapat ditempuh untuk mendukung perkembangan

remaja menjadi lebih positif.

Menurut Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23

tahun. Pada masa ini, ketertarikan dan komitmen serta ikatan terhadap teman sebaya

menjadi sangat kuat, karena remaja merasa bahwa orang dewasa tidak dapat

Page 5: (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69541/potongan/S2-2014... · kelompoknya dalam mengontrol tingkah laku sosial,

6

memahami mereka. Laursen (2005) menandaskan bahwa teman sebaya merupakan

faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pada masa-masa remaja.

Penegasan Laursen dapat dipahami karena pada kenyataannya remaja dalam

masyarakat moderen seperti sekarang ini menghabiskan sebagian besar waktunya

bersama dengan teman sebaya mereka (Steinberg, 1993).

Oleh karena itu, beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan teman

sebaya sebagai mediator dirasa efektif dalam proses intervensi. Beberapa penelitian

yang menggunakan teman sebaya antara lain; penelitian Sulistyoningsih (2009)

menyebutkan bahwa melalui media pendidikan sebaya teruji efektif dalam

meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap pencegahan dan penyalahgunaan

narkotika dan psikotropika pada siswa SMA, penelitian dari Lotrean, dkk (2010) di

Romania menunjukkan program berbasis teman sebaya (peers programs) lebih

efektif dari program berbasis orang dewasa (adults programs) dan penelitian

Setiawan (2008) juga melakukan penelitian mengenai peer to peer approach dengan

membentuk fasilitator teman sebaya dirasa efektif dalam melakukan penjangkauan

dan pendampingan pekerja sosial kepada mantan anak didik LAPAS.

Dari beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan dengan menggunakan

teman sebaya (peer), belum pernah ditemukan metode penelitian yang menggunakan

media teman sebaya sebagai upaya untuk mengurangi perilaku bullying pada remaja,

khususnya siswa SMA. Hal ini juga ditegaskan oleh penelitian yang dilakukan

Page 6: (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69541/potongan/S2-2014... · kelompoknya dalam mengontrol tingkah laku sosial,

7

Hawkins, Pepler, Craig (2001) bahwa bullying akan berhenti jika ada teman sebaya

yang membantu menghentikannya.

Pemberdayaan teman sebaya sebagai media penyampaian informasi telah banyak

dilakukan dalam program intervensi anti bullying, seperti mengimplementasikan

program psikoedukasi melalui teman sebaya dengan metode; melakukan presentasi di

sekolah atau di lingkungan komunitas teman sebaya (remaja) menampilkan drama,

dan video/film yang dilanjutkan dengan diskusi (IPPF/WHR Tools, 2004). Hal yang

sama juga digunakan dalam modul STAR (Stop Thinking Act Replay) bullying

prevention-peer pressure, yaitu menggunakan metode diskusi antar teman sebaya

(Learning Through Sports, Inc. 2011). Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan

sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa psikoedukasi dengan menggunakan

media teman sebaya teruji efektif dalam program intervensi dan juga bisa diterapkan

pada kasus bullying.

Pelatihan dengan menggunakan peer support biasanya berfokus pada

mendengarkan secara aktif dengan menggunakan keterampilan komunikasi secara

efektif, empati dan pengambilan keputusan, Cowie & Wallace (dalam Houlston,

Catherine & Smith, 2009).

Efektivitas pemberdayaan teman sebaya dalam program intervensi bullying juga

dibuktikan oleh Smith & Thompson (2011) melalui studi longitudinal yang

dilaksanakan di Inggris selama tahun 2008-2010, salah satu hasil yang dicapai adalah

dukungan teman sebaya dapat dilakukan untuk mencegah dan merespon bullying,

Page 7: (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69541/potongan/S2-2014... · kelompoknya dalam mengontrol tingkah laku sosial,

8

menambah pengetahuan, keterampilan dan pengalaman siswa dalam merancang

secara terstruktur dalam upaya mencegah dan mengurangi bullying.

Terdapat tiga proses yang meningkatkan kecenderungan perilaku bullying

berdasarkan perspektif sosial kognitif, yaitu kesempatan melihat atau mengamati

perilaku bullying, penerimaan terhadap perilaku bullying dan penguatan dari

lingkungan terhadap perilaku bullying (Craig, Pepler & atlas, 2000). Hal senada juga

dikemukakan Rice & Dolgin (2008), berdasarkan perspektif sosial kognitif yang

menyatakan bahwa keterlibatan teman sebaya dalam intervensi anti-bullying juga

didasari atas dominasi metode belajar modelling pada remaja. Teman sebaya

memiliki hubungan yang sangat kuat terhadap fungsi kognitif, sosial dan emosional

remaja. Interaksi sosial pada masa remaja memiliki pengaruh jangka panjang individu

terhadap fungsi intra dan interpersonalnya (Harrel, Mercer & DeRosier; dalam

Papalia, 2008). Modelling adalah konsep utama dari teori sosial kognitif, yaitu

perubahan perilaku, kognitif dan afeksi yang terbentuk melalui proses mengobservasi

orang lain (Bandura dalam Rice & Dolgin, 2008).

Kelebihan menggunakan teman sebaya sebagai fasilitator adalah untuk

menyampaikan informasi tentang bullying karena mereka mempunyai peranan bagi

kelompoknya dalam mengontrol tingkah laku sosial, mengembangkan keterampilan

dan minat yang relevan dengan usianya, sehingga terjadi saling tukar informasi,

perasaan dan malasah. Kelompok sebaya dalam suasana keakraban dapat lebih

membantu teman sebaya dalam pemahaman konsep diri yang positif. Hal tersebut

Page 8: (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69541/potongan/S2-2014... · kelompoknya dalam mengontrol tingkah laku sosial,

9

akan berdampak pada peningkatan kemampuan individu, keluarga, kelompok dan

masyarakat untuk hidup sehat serta terciptanya lingkungan yang kondusif untuk

mendorong terbentuknya kemampuan diri (Depkes RI, 2004).

Penelitian ini akan mengajarkan sebuah keterampilan memandu diskusi kasus

pada fasilitator teman sebaya dengan menggunakan prinsip teori sosial kogntif yang

dikemukakan oleh Albert Bandura. Fasilitator teman sebaya akan menjadi agent

untuk menyampaikan informasi bullying kepada teman-temannya serta mempersuasif

mereka agar menciptakan lingkungan sekolah yang aman yang bebas dari bullying.

Teori belajar sosial (social learning theory) menyatakan bahwa seseorang bisa

belajar dengan mengamati perilaku dan sikap orang lain (Bandura, 2005). Begitu pula

remaja, salah satu karakteristiknya yang dipertimbangkan yaitu kecenderungan untuk

lebih memilih membicarakan permasalahannya kepada sesama teman dengan gaya

remaja, dibandingkan dengan berdiskusi dengan orangtua maupun orang dewasa,

bahkan konselor sekalipun (Gerald & patton, 2007).

Program pelatihan “Berbagi Untuk Sahabat” bertujuan untuk mengajarkan

keterampilan memandu diskusi kasus kepada siswa yang nantinya akan menjadi

fasilitator teman sebaya dalam menyampaikan informasi antibullying di sekolahnya.

Fasilitator sebagai “model” akan menyampaikan pengetahuan tentang bullying dan

mengajarkan keterampilan memimpin sebuah diskusi kasus dalam bentuk simulasi

yang kemudian akan diamati oleh peserta. Proses pembelajaran dalam pelatihan ini

Page 9: (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69541/potongan/S2-2014... · kelompoknya dalam mengontrol tingkah laku sosial,

10

mengacu pada keempat tahap observational learning (pembelajaran melalui

pengamatan) Bandura (1986), antara lain:

1. Attention

Pada tahap ini, siswa diharapkan untuk memperhatikan materi yang disampaikan

oleh fasilitator ‘model’. Siswa akan memperhatikan jika ia tertarik kepada model

dan materi yang disampaikan. Oleh karena itu saat pelatihan fasilitator yang dipilih

adalah sesorang yang berpengalaman dalam memberikan pelatihan kepada remaja,

sehingga bisa menjiwai dan lebih dekat dengan remaja. Modul ini juga disusun

dengan menggunakan beberapa metode yang bervariasi seperti video, gambar,

skenario kasus, dan games untuk menarik perhatian siswa sehingga mereka bisa

lebih mudah dalam memahami materi yang disampaikan serta tidak bosan selama

kegaiatan pelatihan berlangsung.

2. Retention

Tahap kedua yaitu retention. Tahap ini akan membantu siswa untuk mengingat

simbol-simbol atau informasi penting yang akan memudahkan mereka untuk

mencapai tahap berikutnya. Agar siswa dapat meniru perilaku suatu model, maka

siswa harus mengingat perilaku tersebut. Pada tahap ini siswa harus bisa

mengkoding informasi penting dan menyimpannya dalam ingatan (memori)

sehingga informasi itu bisa diambil kembali. Deskripsi verbal sederhana, gambar

atau video menarik yang disajikan oleh model akan bisa membantu daya retensi

siswa. Pada sesi ini fasilitator akan melakukan simulasi memandu diskusi kasus

Page 10: (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69541/potongan/S2-2014... · kelompoknya dalam mengontrol tingkah laku sosial,

11

yang akan diamati oleh peserta. Pada proses pelatihan, diakhir sesi siswa akan

diberi lembar kerja dengan tujuan untuk melihat sejauh mana siswa bisa mengingat

materi yang telah diperoleh.

3. Production

Setelah mengamati, memperhatikan dan mengingat kembali hal-hal yang

disampaikan dan dilakukan oleh model, maka dalam tahap ini informasi tersebut

akan diwujudkan dalam bentuk overt behavior. Pada tahap production, latihan

yang berulang-ulang akan membuat perilaku yang ingin dibentuk dapat ditirukan

dengan lebih baik. Pada proses pelatihan, siswa akan melakukan simulasi

sebanyak tiga kali yaitu memimpin sebuah diskusi kasus dengan menggunakan

berbagai media, seperti video dan skenario kasus.

4. Motivation

Ketika siswa telah memperoleh suatu pengetahuan ataupun keterampilan melalui

proses pembelajaran sebelumnya, maka mereka akan melakukan hal yang sama

ketika ada penguatan positif yang diberikan kepada mereka. Penguatan tersebut

bisa berupa motivasi atau feedback positif kepada siswa. Menurut Bandura (1986)

ada tiga bentuk penguatan dalam observational learning yaitu: 1) incentives direct

adalah penguatan yang diberikan secara langsung, misalnya ketika siswa berhasil

melakukan sesuatu yang bagus, maka fasilitator langsung memujinya, 2) vicarious

reinforcement adalah dengan melihat orang lain memperoleh penguatan positif

untuk suatu keterampilan tertentu, maka siswa tersebut dapat meniru keterampilan

Page 11: (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69541/potongan/S2-2014... · kelompoknya dalam mengontrol tingkah laku sosial,

12

itu, dan yang terakhir 3) self produced adalah siswa yang bersangkutan bisa

menghasilkan sebuah keterampilan baru yang didasarkan atas keinginan dari

dirinya sendiri.

Penelitian ini merupakan penelitian payung yang mengujicobakan sebuah modul

pelatihan untuk membentuk fasilitator teman sebaya yang akan menyampaikan

informasi antibullying, melalui empat metode penyampaian yaitu; metode role-play,

diskusi kelompok, diskusi kasus, dan presentasi. Dalam penelitian ini menggunakan

metode diskusi kasus.

Metode diskusi kasus memanfaatkan studi kasus, yaitu deskripsi tentang suatu

situasi yang disajikan entah secara tertulis, lewat rekaman audio, atau lewat rekaman

video, untuk disimak atau dipelajari oleh peserta dan kemudian mendiskusikannya

dengan panduan pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan oleh fasilitator. Lazimnya

diskusi difokuskan pada isu-isu yang terdapat dalam situasi yang dideskripsikan

yaitu: tindakan apa yang perlu dilakukan atau pelajaran-pelajaran apa saja yang bisa

dipetik, dan cara mengatasi atau mencegah agar situasi sejenis tidak terjadi dimasa

mendatang, sehingga metode ini dirasa cocok digunakan untuk menyampaikan

informasi pencegahan bullying kepada siswa (Supratiknya, 2011). Dalam metode ini

fasilitator akan menyajikan beberapa kasus yang nantinya akan didiskusikan oleh

peserta, dengan tujuan agar mereka bisa saling memberikan pendapatnya, ide, berbagi

pengetahuan tentang fenomena bullying, cara mencegahnya serta solusi untuk

menangani perilaku bullying.

Page 12: (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69541/potongan/S2-2014... · kelompoknya dalam mengontrol tingkah laku sosial,

13

Menurut Sanjaya (2006), Djamarah & Zain (1995) metode diskusi kasus

diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses

penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah, untuk menjawab pertanyaan

dalam pengambilan keputusan. Diskusi kasus mengajarkan siswa agar berusaha

memecahkan persoalan dengan padangan dan pendekatan yang berbeda untuk

menghasilkan semangat kreatifitas dalam berdiskusi, mereka menyeleksi data,

menganalisis, melihat kembali pengalaman yang telah mereka jalani, menarik

kesimpulan sehingga mereka berada pada situasi yang baru (Boehrer & Linsky,

1990).

Fasilitator harus mampu mengaktifkan kelompok dalam pembahasan kasus yang

diajukan, memberi saran yang sifatnya membantu, dan berperan serta bertanggung

jawab dalam memfasilitasi diskusi yang berjalan (Wood, 2003; Mclean et al., 2006).

Berikut alur penelitian yang akan dijelaskan dalam bagan dibawah ini.

Gambar 1: Alur Berpikir Penelitian

Permasalahan

bullying yang terus

terjadi pada siswa

SMA, karena

kurangnya

pemahaman siswa

tentang dampak

bullying

Professional

judgement

modul &

alat ukur

Validasi modul.

Pelaksanaan

pelatihan

“Berbagi Untuk

Sahabat”. Siswa

dilatih menjadi

fasilitator teman

sebaya

Keterampilan

untuk memimpin

diskusi kasus

Pengetahuan

tentang

bullying

Pembuatan

blueprint &

modul pelatihan

“Berbagi Untuk

Sahabat”

Page 13: (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69541/potongan/S2-2014... · kelompoknya dalam mengontrol tingkah laku sosial,

14

Penelitian ini dilaksanakan disalah satu SMA negeri di kota Yogyakarta.

Berdasarkan hasil survey awal peneliti melalui angket, wawancara dengan guru BK

dan beberapa orang siswa di sekolah, peneliti akhirnya menyimpulkan bahwa

tindakan bullying masih sering terjadi di sekolah ini, seperti: mengejek, mengucilkan

teman yang dianggap kurang gaul, memaksa teman untuk ikut organisasi tertentu

yang diikuti ancaman-ancaman melalui sms atau media sosial lannya, serta ada

beberapa siswa yang dianggap famous atau terkenal yang juga sering melakukan

bullying kepada siswa yang baru masuk di sekolah tersebut. Menurut guru BK belum

pernah ada program pencegahan bullying yang dilakukan di sekolah khususnya

dengan menggunakan media teman sebaya. Sekolah memerlukan suatu metode baru

yang lebih variatif untuk memperkenalkan bullying kepada siswa. Oleh karena itu

peneliti merasa bahwa program psikoedukasi pelatihan pencegahan bullying perlu

diberikan kepada siswa agar mereka bisa memberikan informasi antibullying kepada

teman sebayanya yang dikemas secara menarik dalam modul “Berbagi Untuk

Sahabat”. Modul inilah yang digunakan dalam program pelatihan, sebagai media

untuk memberikan informasi tentang bullying dan mengajarkan keterampilan

memimpin diskusi kasus kepada siswa.

Berkaitan dengan tujuan penelitian yaitu memvalidasi modul pada program

pelatihan “berbagi Untuk Sahabat” dalam meningkatkan keterampilan fasilitator

teman sebaya melalui metode diskusi kasus maka ada hal yang harus diketahui

berhubungan dengan validitas itu sendiri. Menurut Azwar (2013) yang mengatakan

Page 14: (beritaedukasi.com,19 Oktober 2012) pada 40 negara di dunia, …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69541/potongan/S2-2014... · kelompoknya dalam mengontrol tingkah laku sosial,

15

bahwa validitas mempunyai arti sejauhmana akurasi suatu pengukuran dalam

menjalankan fungsinya, dengan kata lain suatu pengukuran atau alat ukur dikatakan

mempunyai validitas yang tinggi apabila data yang dihasilkan secara akurat dapat

memberikan gambaran mengenai variabel yang diukur seperti yang dikehendaki oleh

tujuan pengukuran tersebut. Cronbach (dalam Azwar, 2013) menekankan bahwa

proses validasi sebenarnya tidak bertujuan untuk melakukan validasi alat ukur akan

tetapi melakukan validasi terhadap interpretasi data yang diperoleh oleh prosedur

tertentu.

Adapun tujuan penelitian adalah untuk memvalidasi modul pada program

pelatihan “Berbagi Untuk Sahabat” dalam meningkatkan keterampilan fasilitator

teman sebaya melalui metode diskusi kasus. Modul pelatihan ini dibuat untuk

memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada fasilitator teman sebaya dalam

memberikan informasi antibullying.

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah pengetahuan tentang

keterampilan memimpin diskusi kasus dengan topik bullying pada kelompok

eksperimen lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol.

Secara praktis manfaat penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu

referensi yang dapat memberikan manfaat bagi sekolah-sekolah yang akan

menggunakan pendekatan teman sebaya untuk mencegah perilaku bullying di sekolah

melalui metode diskusi kasus.